Download - Lap Akhir Farter 2 IMA OMI
LAPORAN AKHIR
PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II
IMA Anterior + OMI Inferior pro DCA+PCI
Disusun Oleh
Kelas A/Kelompok 3Rara Amalia Fadiah (G1F010003)Ifa Muttiatur R. (G1F010011)Tika Pratiwi (G1F010019)Adibah (G1F010027)Anisa Dewi R. (G1F010037)Yurissa Karimah (G1F010049)Desy Nawangsari (G1F010067)Taufik Hidayat (G1F010073)Diah Nurhidayati (G1F010077)
Aldi Permadi (G1F010079)
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN FARMASI
PURWOKERTO
2013
PRAKTIKUM 2
IMA Anterior + OMI Inferior pro DCA+PCI
I. Dasar Teori
Beberapa pendapat tentang pengertian IMA (Infark Miokard Akut)
sebagai berikut.
a. Infark miokard akut adalah proses rusaknya jaringan akibat suplay
darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang
(Brunner and Suddath, 2002).
b. Infark Miokard Akut adalah kematian jaringang miokard diakibatkan
oleh kerusakan darah koroner miokard ,karena ketidakadekuatan aliran
darah (Carpenito, 2000).
c. Infark Miokard Akut adalah iskemia atau nekrosis pada oto jantung
yang diakibatkan karena penurunan aliran darah melalui satu atau lebih
arteri koroner (Doengos, 2000).
d. Infark Miokard Akut adalah kematian jaringan otot jantung ditandai
adanya sakit dada yang khas,lama sakitnya lebih dari 30 menit,tidak
hilang dengan istirahat atau pemberian anti angina (Anonim, 2001).
Menurut pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa infark miokard
akut adalah iskemia atau nekrosis miokard yang disebabkan karena
penurunan aliran darah ke otot jantung. Menurut Noer, (1999) disebabkan
oleh
a. Faktor penyebab
1. Suplay oksigen kejantung berkurang yang disebabkan oleh;
a. Faktor pembuluh darah : Artherosklerosis, Spasme, Arteritis
b. Faktor Sirkulasi : Hipotensi, Stenosis Aorta, Insufisiensi
c. Faktor darah : Anemia, Hipoksemia, Polisitemia
2. Curah jantung yang meningkat, misal aktifitas, emosi, makan yang
terlalu banyak, anemia.
3. Kebutuhan oksigen Miokard meningkat pada kerusakan
miokard,hipertropi miokard.
b. Faktor predisposisi
1. Faktor biologis yang tidak dapat diubah
a. Usia lebih dari 40 tahun
b. Jenis kelamin
c. Hereditas
d. Ras
2. Faktor resiko yang dapat diubah
a. Mayor ;Hiperlipidemia, hipertensi, perokok berat, DM, obesitas,
diet tinggi lemak.
b. Minor ;Aktifitas fisik,pola kepribadian tipe A (emosional,
agresif ambisius, kompetitif).
Akut Miokard Infark (AMI) adalah suatu keadaan dimana otot
jantung tiba-tiba tidak mendapat suplai darah akibat penyumbatan
mendadak arteri koroner oleh gumpalan darah karena pecahnya plak
(Kabo, 2008). Menurut Corwin (2009) AMI adalah kematian sel-sel
miokardium yang terjadi akibat kekurangan oksigen berkepanjangan.
Infark miokardium mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat
suplai darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang
(Brunner and Sudarth, 2002). Infark miocard akut adalah nekrosis miocard
akibat aliran darah ke otot jantung terganggu (Suyono, 1999). Sedangkan
menurut Tjokonegoro dan Utama (1996) AMI adalah nekrosis miokard
akibat aliran darah ke otot jantung terganggu.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa AMI adalah
adanya sumbatan/plak di arteri koroner sehingga menyebabkan kematian
sel-sel miokardium akibat aliran darah dan oksigen keotot jantung
terganggu.
PENYEBAB AKUT MIOKARD INFARK
Terlepasnya suatu plak aterosklerosis dari salah satu arteri koroner,
dan kemudian tersangkut dibagian hilir yang menyumbat aliran darah
keseluruh miokardium yang diperdarahi oleh pembuluh dan dapat
menyebabkan infark miokardium. Infark miokardium juga dapat terjadi
apabila lesi trombotik yang melekat ke suatu arteri yang rusak menjadi
cukup besar untuk menyumbat secara total aliran darah ke bagian hilir,
atau apabila suatu ruang jantung mengalami hipertrofi berat sehingga
kebutuhan oksigennya tidak dapat terpenuhi (Corwin, 2000).
Umumnya AMI didasari oleh adanya aterosklorosis pembuluh
darah koroner. Nekrosis miokard akut hampir selalu terjadi akibat
penyumbatan total arteri koronaria oleh trombus yang terbentuk pada
plaque aterosklorosis yang tidak stabil, juga sering mengikuti ruptur
plaque pada arteri koroner dengan stenosis ringan (50-60%). Kerusakan
miokard terjadi dari endokardium ke epikardium, menjadi komplit dan
ireversibel dalam 3-4 jam. Meskipun nekrosis miokard sudah komplit,
proses remodeling miokard yang mengalami injury terus berlanjut sampai
beberapa minggu atau bulan karena daerah infark meluas dan daerah non
infark mengalami dilatasi. Secara morfologis, AMI dapat transmural atau
sub-endokardial. AMI dapat trasmural mengenai seluruh dinding miokard
dan terjadi pada daerah distribusi suatu arteri koroner. Sebaliknya pada
AMI sub-endokardial, nekrosis hanya terjadi pada bagian dalam dinding
ventrikel dan umumnya berupa bercak-bercak dan tidak konfluens seperti
AMI transmural. AMI sub-endokardial dapat regional (terjadi pada
distribusi lebih dari satu arteri koroner) (Tjokonegoro and Utama, 1996).
Old Infark Miokard adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh
karena sumbatan arteri koroner (Hudak and Gallo, 1997). Sumbatan terjadi
oleh karena adanya ateroksklerotik pada dinding arteri koroner, sehingga
menyumbat aliran darah ke jaringan otot jantung. Aterosklerotik adalah
suatu penyakit pada arteri-arteri besar dan sedang dimana lesi lemak yang
disebut Plak Ateromatosa timbul pada permukaan dalam dinding arteri.
Sehingga mempersempit bahkan menyumbat suplai aliran darah ke arteri
bagiuan distal (Hudak and Gallo, 1997).
II. Patofisiologi
IMA (Infark Miokard Akut)
(Silbernagl, 2000).
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya
aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah.
Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di
dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam
lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen
mengganggu aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi
(Ramrakha, 2006).
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus
tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan
disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas
menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel
tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric
oxide, yang berkerja sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-
proliferasi. Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi
vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam
migrasi dan pertumbuhan sel (Ramrakha, 2006).
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi.
Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi
makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja
mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan
kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Faktor
pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi otot polos dari tunika
media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini mengubah
bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi ateroma
matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit
ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis.
Ulserasi atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi
dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri (Price, 2006).
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh
formasi plak. Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk
keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan
manifestasi klinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap
kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh
sebab itu, obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner
desendens kiri berbahaya (Selwyn, 2005).
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke
jaringan miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam
fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke
subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya.
Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal
arteri koroner berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi
dan berelaksasi (Selwyn, 2005).
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas
metabolisme, fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme
asam lemak dan glukosa menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar
oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa
diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini
mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel
menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit.
Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel
(<20 menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir
pada infark miokard (Selwyn, 2005).
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di
arteri koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST
(STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak
menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat
terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya
terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat (Antman, 2005).
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen
ST yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak.
Erosi dan ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya
tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner (Kalim,
2001).
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial
(nontransmural). Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8
jam. Semua otot jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu
yang bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian
miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu
berbeda-beda (Selwyn, 2005).
III. Guideline Terapi
GUIDELINE TERAPI INFARK MIOKARD AKUT
a. Pemilihan Beta-Blocker sebagai terapi IMA OMI
b. Pemilihan Statin sebagai terapi pencegahan peningkatan kolesterol pada
pasien infark miokard
c. Pemilihan statin setelah penggunaan PCI (Percutaneous Coronary
Intervention)
(Zhang, 2009).
d. Pemilihan kombinasi tiga antiplatelet (klopidogrel, cilostazol, dan aspirin)
setelah pemasangan DES PCI
Terapi dengan menggunakan statin setelah PCI akan menurunkan resiko kematian dan hasil ini mendukung penggunaan rutin terapi statin setelah PCI
(Arief, 2010).
IV. Kasus dan DFP
a. Kasus
Inisial pasien : M.Wachid
Umur/BB : 49 tahun
MRS : 16 Maret 2009
Riwayat social : JPS
Keluhan Utama :Nyeri ulu hati (Agustus 2008), sesak -,
berdebat, batuk-, maag-, tidak tidur dengan sati bantal, tidak terbangun
karea sesak.
Diagnosis : IMA anterior + OMI inferior pro DCA +
PCI
Riwayat penyakit : HT + obat tidak teratur, DM –
Riwayat pengobatan : RSAL
Terapi ISDN 3x5 mg
Clopidogrel 1x1 tab
Tromboaspilet 1x1 tab
Bisoprolol 5 mg, ½-0-½
Simvastatin 0-0-10
b. Data Klinik
DATA
KLINIK
NILAI
NORMAL
18/3 19/3
(10.30)
19/3
(14.30)
KET
TD 120/80 150/90 130/90 120/80 ↑
Suhu Afebris Afebris Afebris -
Nadi 60 - 100 85 80 88
RR 16 - 20 20 16 -
GCS 456 456 456 -
(Tatro, 2003).
Keterangan:
Tekanan darah naik pada tanggal 18/3 dan 19/3 (10.30)
c. Data Laboratorium
DATA LAB NILAI
NORMAL
18/3 19/3 KET
Hb 12,1 – 15,3 14,1 14,1 ↔
WBC 3800 – 9800 12900 12900 ↑
Platelet 150 - 450 437 497 ↔, ↑
OT/PT 11-47 / 7-53 17/5 17/15 ↔
BUN 8 – 25 12,4 12,4 ↔
PPT 11,5 - 14,5 12,6 12,6 ↔
APTT 28 - 41 28,8 - ↔
HbSAg - - -
Na 135 - 147 142 142 ↔
K 3,5 - 5 4,4 - ↔
Cr 0,5 - 1,7 1,31 - ↔
RBC 4,3 -5,9x1012 1,31 - ↓
Hct 40,7 – 50,3% 41,7% - ↔
Cl 95 - 110 107 - ↔
LED <15 20 - ↑
(Tatro, 2003).
Tanggal 18/3:
- PCI dengan stant DES biomatrix 3,0x2,4mm di proximal LAD
- LM normal
- LAD stenosis 90% di proximal LAD (dkt septal) dengan underfilling
ke distal LAD
- LCX, RCA normal
- PCI di LAD 2 minggu kemudian
Tanggal 19/3: cardiomegali 60%
Keterangan:
WBC naik pada tanggal 18 dan 19 Maret 2009
Platelet naik pada tanggal 19 Maret 2009
RBC turun pada tanggal 18 Maret 2009
LED naik pada tanggal 18 Maret 2009
d. Jadwal Penggunaan Obat dari Dokter
OBAT RUTE DOSIS TANGGAL PEMBERIAN
OBAT
16/3 17/3 18/3 19/3 20/3
O2 nasal 4 lt/m - - + + +
PZ IV 20 tts/mnt - - + 7 tts -
ASA PO 1x100 mg + + + + +
Clopidogrel PO 1x 75 mg + + + + +
ISDN PO 3x5 mg + + + + +
Bisoprolol PO 2,5-02,5 + + + + +
Simvastatin PO 0-0-20 mg + + + + +
Fluimucyl PO 2x600 mg - - + + -
Ceftriaxon,
sblm DCA
tunda
IV 2x1 gr + - - - -
Ceftriaxon IV 2x1 gr - + - - -
Co- enzim Q PO 1-0-0 + + - - -
Rehidrasi IV 2000 + - - - -
cc/hari
e. DRP (Drug Related Problem)
N
O
PROBLEM PAPARAN
PROBLEM
REKOMENDASI
1. Obat tanpa
indikasi
a. Fluimucyl
b. Rehidrasi
Mengandung N-
Asetilsistein
berfungsi sebagi
obat batuk
Merupakan salah
satu terapi untuk
dehidrasi,
mengandung NaCl.
Pada kasus ini pasien
tidak mengalami
dehidrasi
Pada kasus ini pasien tidak
mengeluhkan batuk,
sehingga pengobatan
dihilangkan.
Terapi ini dihilangkan,
cukup dengan PZ yang
dipakai mulai hari
pertama.
2. Penambahan obat Setelah dilakukan
PCI lebih baik
diberikan 3
antiplatelet.
Ditambah platelet lain
yaitu cilostazol karena
terapi dengan 3 antiplatelet
memberikan efek lebih
baik pada pasien pasca
pemasangan DES
dibandingkan bila
diberikan 2 antiplatelet.
f. Jadwal Penggunaan Obat Rekomendasi Kelompok
OBAT RUTE DOSIS TANGGAL PEMBERIAN
OBAT
16/3 17/3 18/3 19/3 20/3
O2 nasal 4 lt/m - - + + +
PZ IV 20 tts/mnt + + + 7tts/
mnt
7tts/
mnt
ASA PO 1x100 mg + + + + +
Clopidogrel PO 1x 75 mg + + + + +
ISDN PO 3x5 mg + + + + +
Bisoprolol PO 2,5-02,5 + + + + +
Simvastatin PO 0-0-20 mg + + + + +
Ceftriaxon IV 2x1 gr - - + + +
Co- enzim Q PO 1-0-0 + + - - -
Cilostazol PO 2x100 mg - - + + +
g. Monitoring
PARAMETER NILAI
NORMAL
JADWAL
16/3 17/3 18/3 19/3 20/3
TD 120/80 + + + + +
Plt 150 - 450 + +
WBC 3,8-9,8x109 + + +
Fungsi ginjal + + +
Kolesterol + + +
Pendarahan Tidak terjadi
pendarahan
+ + + + +
Keterangan :
1. Tekanan darah pasien dimonitoring setiap hari, diharapkan tidak ada
kenaikan diatas normal setelah diberikan terapi obat.
2. Monitoring pendarahan dilakukan karena pada kasus ini digunakan 3
antiplatelet yang dikhawatirkan akan menimbulkan resiko
pendarahan.
3. Monitoring jumlah platelet dilakukan agar jumlah platelet tetap
berada pada kisaran nilai normal karena jika jumlah platelet terlalu
besar di dalam tubuh dapat menyebabkan pembentukan blot clot
yang dapat menutup aliran pembuluh darah. Jika platelet dalam
jumlah kecil dapat menyebabkan pedarahan.
4. Monitoring WBC dilakukan karena adanya peningkatan WBC yang
menandakan adanya infeksi di dalam tubuh sehingga diharapkan
nilai WBC selalu berada dalam rentang normal.
V. Pembahasan
Kasus ini membahas tentang Tuan Wahid (49 tahun) masuk rumah
sakit tanggal 16 Maret 2009 dengan riwayat sosial JPS mengeluhkan nyeri
ulu hati sejak Agustus 2008, berdebar, tidak tidur dengan satu bantal, tidak
terbangun karena sesak dan didiagnosis Infark Miokard Anterior dan Old
Miokard Infark inferior pro DCA dan PCI.
Pasien melakukan pemeriksaan baik data klinik maupun data
laboratorium selama dirawat di rumah sakit. Berikut adalah penjelasan data
klinik dan data laboratorium dari Tuan Wahid. Tekanan darah pasien naik
pada tanggal 18/3 dan 19/3 (10.30 WIB) yaitu masing-masing sebesar
150/90 dan 130/90, normalnya 120/80 mmHg. Tekanan darah pasien naik
karena pasien memiliki riwayat hipertensi.
WBC (White Blood Cell) pasien pada tanggal 18 dan 19 Maret 2009
naik (12.900) karena normalnya adalah 3800-9800. WBC atau leukosit
adalah sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan hemopoetik yang
berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai infeksi sebagai bagian
dari siste kekebalan tubuh. WBC naik kemungkinan karena pada tanggal
18/3 dilakukan pemasangan PCI pada pasien yang menyebabkan WBC
meningkat sebagai suatu respon imun adanya benda asing yang masuk ke
dalam tubuh.
Platelet pasien pada tanggal 19 Maret 2009 naik (497) karena
normalnya adalah 150 – 450. Platelet atau trombosit adalah komponen sel
darah yang berfungsi dalam proses menghentikan perdarahan dengan
membentuk gumpalan. Platelet naik pada tanggal 19/3 kemungkinan akibat
dari pemasangan PCI pada pasien. RBC (Red Blood Cell) pasien pada
tanggal 18 Maret 2009 turun (1,31) karena normalnya 4,3 -5,9x1012. RBC
atau eritrosit adalah jenis sel darah yang paling banyak dan berfungsi
membawa oksigen ke jaringan tubuh. RBC pasien turun menunjukan bahwa
pasien hipoksia karena pasien memiliki riwayat hipertensi.
LED (Laju Endap Darah) pasien pada tanggal 18 Maret 2009 naik
(20) karena normalnya adalah <15. Led untuk mengukur kecepatan endap
eritrosit (sel darah merah) dan menggambarkan komposisi plasma serta
perbandingannya antara eritrosit (sel darah merah) dan plasma. Peningkatan
LED terjadi pada infeksi lokal atau sistemik (menyeluruh), trauma, infeksi
kronis, operasi. LED pasien meningkat kemungkinan karena infeksi yang
didukung dengan kenaikan WBC.
Drug Related Problem
1. Problem : Pemilihan obat tanpa indikasi
a. Fluimucyl mengandung N-asetyl sistein yang digunakan sebagai terapi
penyakit saluran pernafasan yang ditandai dengan adanya sekret
mukoid dan mukopurulen, seperti pada bronkhitis akut, brokhitis
kronis dan akut berulang, pulmonari emfiosema (Anonim, 2000).
Sedangkan dalam kasus pasien tidak mengeluhkan ataupun dalam data
lab tidak mengarah bahwa pasien mengidap batuk ataupun penyakit
yang diindikasikan dari obat tersebut sehingga terapi fluimucyl
ditiadakan.
b. Rehidrasi digunakan untuk terapi dehidrasi, sedangkan dilihat dari
keluhan maupun data laboratorium pasien tidak mengalami dehidrasi,
selain itu untuk pemenuhan cairan elektrolit pasien sudah diberikan
infus PZ yang berisi NaCl, sehingga terapi rehidrasi kami hilangkan.
2. Problem : Penambahan Terapi
Penambahan terapi cilostazol sebagai terapi antiplatelet
digunakan karena dalam penelitian yang dilakukan oleh Irfan Arief
dalam National Cardiovascular Center Harapan Kita menyebutkan bahwa
setelah pemasangan Drug-eluting Stent (DES) penggunaan terapi 3
antiplatelet lebih baik dalam hal menurunkan angka kejadian infark
miokard serta trombosis karena stent dibandingkan dengan terapi 2
antiplatelet.
Informasi Obat
1. Infus PZ
Infus PZ merupakan infus yang berisi cairan elektrolit berupa
NaCl 0,9% yang memiliki indikasi untuk hipovolemia, dehidrasi, jalan
masuknya obat, dan mengganti kekurangan cairan ekstraseluler. Infus
PZ diberikan kepada pasien untuk pemenuhan cairan elektrolit pasien
selama dirawat di rumah sakit selain itu sebagai jalan masuk obat yang
diberikan secara injeksi. Infus PZ diberikan dengan dosis 7 tetes/menit
dan digunakan selama MRS. Dalam terapi ini tidak terjadi interaksi
dengan obat lain. Efek samping dari infus PZ adalah udem apabila
digunakan secara berlebihan (Lacy, et al., 2009).
2. Ceftriaxon
Ceftriaxon merupakan antibiotik golongan sefalosporin yang
mempunyai spektrum luas. Efektif terhadap mikroorganisme gram
positif dan gram negatif. Indikasi untuk infeksi-infeksi yang disebabkan
oleh patogen yang sensitif terhadap ceftriaxon: infeksi saluran nafas,
infeksi THT, infeksi saluran kemih, sepsis, meningitis, infeksi tulang,
sendi dan jaringan lunak, infeksi intra abdominal, infeksi genital
(termasuk gonore), profilaksis perioperatif, dan infeksi pada pasien
dengan gangguan pertahanan tubuh (Anonim, 2013). Antibiotik
diberikan karena pasien menggunakan PCI dan DCA yang merupakan
terapi Infark Miokard yaitu dengan jalan memasukan suatu alat
kedalam tubuh pasien sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan suatu
infeksi bagi pasien sehingga untuk menanggulangi timbulnya infeksi
yang dialami pasien maka diberikan antibiotik ceftriaxon. Ceftriaxon
diberikan dengan dosis 2 gram per hari dan diberikan 1 x sehari,
ceftriaxon diberikan sebelum pemasangan PCI dan DCA.
3. Cilostazol
Cilostazol merupakan inhibitor phosphodiesterasetipe 3.
Cilostazol bekerja dengan cara memperlebar arteri yang menyuplai
darah ke kaki. Obat ini juga mengurangi kemampuan platelet (partikel
dalam darah yang menyebabkan penggumpalan darah) untuk melekat
(Anonim, 2013). Cilostazol diberikan sebagai terapi tambahan
antiplatelet pada pasien karena dalam suatu penelitian yang dilakukan
oleh Irfan Arief dalam National Cardiovascular Center Harapan Kita
menyebutkan bahwa setelah pemasangan Drug-eluting Stent (DES)
stent ini merupakan alat yang tedapat di dalam PCI, penggunaan terapi
3 antiplatelet lebih baik dalam hal menurunkan angka kejadian infark
miokard serta trombosis karena stent dibandingkan dengan terapi 2
antiplatelet. Dosis cilostazol 100 mg siberikan 2 x sehari dan diberikan
setalah dilakukan pemasangan PCI pada pasien.
4. Co-enzim Q
Merupakan suplemen makanan yang mengandung antioksidan.
Penggunaan co enzim pada kasus ini adalah sebagai antioksidan yang
digunakan untuk menetralkan radikal bebas pada keadaan hipertensi
yang menyebabkan penurunan NO (nitric oxide) sehingga NO tetap
diproduksi oleh tubuh. Selain itu penggunaan coenzim ini bisa sebagai
angen antihipertensi dan bisa mengcover efek samping yang
ditimbulkan oleh penggunaan statin (simvastatin) yang akan
menyebabkan miophaty atau myalgia (Wyman et al., 2010).
5. Clopidogrel
Infark miokard akut (IMA) adalah nekrosis miokard akibat
gangguan aliran darah ke otot jantung yang menurun secara mendadak
setelah okulasi trombus. Adanya trombus akan menyebabkan terjadinya
sumbatan di pembuluh darah sehingga menyebabkan penyempitan dan
penurunan aliran darah (aterosklerosis). Pada lokasi munculnya plak
memicu aktifitas trombosit sehingga memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 yang merupakan faktor pembekuan darah sehingga
diperlukan obat antiplatelet. Berdasarkan data laboratorium, kadar
platelet pasien menurun pada hari kedua yang mengindikasikan adanya
pendarahan. Antiplatelet yang digunakan dalam terapi kasus ini adalah
kombinasi ASA dan clopidogrel. Clopidogrel bekerja dengan
menghambat agregasi platelet secara irreversible dengan menghambat
protein P2Y12, salah satu subtipe dari reseptor ADP (adenosin
diphosphat) platelet. Subtipe tersebut sangat penting untuk agregasi
trombosit dan ikatan silang dengan fibrin (mekanisme penggumpalan
darah). Blokade reseptor ini akan menghambat agregasi trombosit
dengan cara menghambat aktivasi jalur glikoprotein IIB/IIIA. (Tatro,
2003).
Clopidogrel memiliki indikasi diantaranya untuk penyakit
aterosklerosis, IMA, dan angina. Dosis yang diberikan yaitu dosis lazim
1x75 mg/hari secara PO pada malam hari. Obat ini diberikan selama
MRS. Efek sampingnya adalah edema, hipertensi, sakit kepala, ruam
kulit, dispepsia, mual, muntah, diare, ISPA, batuk, bronkitis, dan lemas.
Penggunaan double antiplatelet ini harus dimonitoring (Tatro, 2003).
6. ASA
ASA merupakan obat antitrombosit yang dapat menghambat
agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan
trombus yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri. ASA
bermanfaat untuk mencegah kambuhnya IMA (infark miokard akut),
sebagai antitrombosit dosis yang paling banyak dianjurkan adalah PO
160 sampai 325 mg/hari. Dosis dalam terapi: 1 x 100 mg (sudah aman).
Efek samping aspirin misalnya rasa tidak enak diperut, mual dan
perdarahan saluran cerna biasanya dapat dihindarkan bila dosis per hari
tidak lebih dari 325 mg/hari (Lacy, 2009). Penggunaan ASA dalam
kasus ini untuk mencegah terbentuknya plak-plak arterosklerosis,
namun penggunaannya harus dimonitoring bila digunakan bersamaan
dengan antiplatelet lain.
7. Simvastatin
IMA biasanya terjadi karena aterosklerosis, yaitu penyempitan
pembuluh darah karena penumpukan asam lemak di dinding pembuluh
darah. Hal ini bisa disebabkan karena terjadinya glikoneogenesis
dengan memecah lemak menjadi glukosa atau hiperlipidemia sehingga
lemak disimpan dalam bentuk asam lemak dan menyebabkan
penyumbatan pembuluh darah. Dalam kasus ini tidak terdapat
pemeriksaan terhadap kadar lipid pasien. Namun, karena pada pasien
IMA dan OMI kemungkinan memang terjadinya hiperlipidemia juga
besar, pasien diberi obat simvastatin yang bekerja dengan
meningkatkan pengeluaran kolesterol dari darah dan menurunkan
produksi kolesterol dengan menghambat enzim 3-Hidroksi-3-
metilglutaril koenzim A reduktase (HMG Co-A reduktase) yang
mengkatalisis perubahan HMG Co-A menjadi asam mevalonat yang
merupakan langkah awal dari sintesa kolesterol. Simvastatin digunakan
secara PO dengan dosis 1x2,5 mg/hari sebelum tidur selama MRS,
penggunaan obat ini pada malam hari terkait dengan metabolisme
kolesterol terbanyak terjadi pada malam hari. Ketika mengonsumsi obat
ini, pasien tidak boleh minum minuman beralkohol. Efek samping obat
ini diantaranya mual, muntah, diare, konstipasi, dispepsia, hepatitits,
demam (Tatro, 2003).
8. Bisoprolol
Obat ini termasuk golongan β bloker, (penghambat
adrenoreseptor bloker) yang efektif untuk pengobatan angina.
Bisoprolol merupakan cardioselective pada dosis yang rendah dan lebih
mengikat kuat pada β1-receptors dibandingkan pada β2-receptors. Obat
golongan ini kecil pengaruhnya dalam menimbulkan gangguan
pernafasan, karena hanya menghambat β1 yang terdapat pada jantung,
sehingga akan kecil kemungkinan menganggu β2 yang terdapat banyak
di saluran pernafasan, sehingga akan lebih aman digunakan (Dipiro et
al, 2009).
Bisoprolol merupakan golongan beta bloker yang kardioselektif
yang mempunyai sifatnya relatif dan hanya ada pada dosis rendah dan
hilang pada dosis tinggi. Dosis yang digunakan yaitu PO 5 to 20 mg.
Dosis tergantung pada individu setiap pasien yang diberikan mulai dari
dosis 2.5 mg/hari, pasien mendapakatan dosis 2,5 mg 2 kali sehari. Pada
kasus ini pemberian bisoprolol digunakan menurunkan kerja jantung
sehingga mampu menurunkan tekanan darah pasien. Efek samping yang
ditimbulkan Hypotension, bradycardia, CHF, Insomnia, depresi, sakit
kepala, mata kering, konstipasi, mulut kering, susah kencing,
berkurangnya kreatinin dan BUN, thrombocytopenic purpura,
Hyperglycemia, hypoglycemia, Bronchospasm, dyspnea (Lacy, 2009).
9. ISDN
ISDN merupakan salah satu vasodilator yang diindikasikan
untuk terapi dan pencegahan angina pectoris, untuk gagal jantung
congestive. Pada kasus ini pemberiannya ditujukan sebagai vasodilator
karena pasien telah mengalami IMA dan OMI. Efek samping:yang
dimunculkan sakit kepala, sehingga seringkali dosisnya dibatasi. Efek
samping yang lebih serius adalah hipotensi dan pingsan. Refleks
takikardi pun seringkali terjadi. Dosis tinggi yang diberikan jangka
panjang bisa menyebabkan methemoglobinemia sebagai akibat oksidasi
hemoglobin (Neal, 2006).
Cara pemakaian. ISDN adalah digunakan 3 kali sehari masing2
1 tablet (5mg) yang diberikan secara sublingual untuk mencegah
metabolisme lintas pertama digunakan untuk mengobati serangan
angina akut. Mekanisme dari ISDN yaitu stimulasi pelepasan cGMP
intraceluler dalam elaksasi otot polos dari arteri dan vena. Menurunkan
tekanan ventrikel kiri(preload) dan dilatasi arteri dapat menurunkan
resistensi arteri(afterload).sehingga dapat menurunkan keutuhan
oksigen dengan menurunkan tekanan ventrikel kiri dan resistnsi
vaskuler sistemik dengan dilatasi arteri (Lacy, 2009).
Penggunaan obat ini digunakan untuk menangani infark miokard
akut dan old miokard infark yang diderita pasien. Obat ini merupakan
first line dalam mengatasai nyeri pada jantung, atau bisa juga karena
Heart Attack. Efek utamanya adalah menyebabkan vasodilatasi perifer,
terutama pada vena, dengan bekerja pada otot polos vaskuler yang
mencakup pembentukan nitrat oksida dan peningkatan cGMP
intraseluler. Akibatnya terjadi penumpukan darah dalam pembuluh
berkapasitas vena yang menurunkan aliran balik vena dan menurunkan
volume ventrikel. Penurunan distensi dinding jantung menurunkan
kebutuhan oksigen dan nyeri cepat hilang. Obat ini bekerja selama
sekitar 30 menit. ISDN tetap kami pakai, sebab ISDN lebih berguna
dalam mencegah serangan daripada menghentikan serangan yang sudah
terjadi (Neal, 2006).
10. Oksigen
O2 nasal diberikan untuk memberikan bantuan oksigen karena
pasien mengalami sesak yang diakibatkan karena asupan darah yang
diperlukan tubuh berkurang karena adanya penyempitan pembuluh
darah arteri sehingga menyebabkan pasien mengalami hipoksia
(oksigen yang diperlukan tubuh berkurang) (Anonim, 2003). Walaupun
pasien tidak mengeluhkan sesak dan tidak ada data laboratorium yang
mendukung, namun secara umum pasien yang mengalami IMA dan
OMI membutuhkan oksigen lebih sehingga kebutuhan oksigen tiap
organ dapat terpenuhi. Cara pemakaian oksigen diberikan melalui
sungkup muka atau selang kecil yang dimasukkan ke dalam lubang
hidung. Efek samping yang tidak diinginkan bila pemakaian oksigen
secara terus menerus adalah iritasi hidung, ketoksikan oksigen dalam
paru, dan mengurangi pergerakan respirasi (Lacy, 2009).
Terapi Non Farmakologi
1. Relaksasi
2. Giuded imagery
3. Terapi musik (latihan nafas dalam musik)
4. Distraksi (pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri ke stimulus
yang lain), jenis teknik distraksi antara lain:
a. Distraksi visual
Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran,
melihat pemandangan dan gambar termasuk distraksi visual.
b. Distraksi pendengaran
Diantaranya mendengarkan musik yang disukai atau suara
burung serta gemercik air, individu dianjurkan untuk memilih
musik yang disukai dan musik tenang seperti musik klasik, dan
diminta untuk berkosentrasi pada lirik dan irama lagu. Klien juga
diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh mengikuti irama lagu
seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki. (Tamsuri, 2007).
Musik klasik salah satunya adalah musik Mozart. Dari
sekian banyak karya musik klasik, sebetulnya ciptaan milik
Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791) yang paling dianjurkan.
Beberapa penelitian sudah membuktikan, Mengurangi tingkat
ketegangan emosi atau nyeri fisik. Penelitian itu di antaranya
dilakukan oleh Dr. Alfred Tomatis dan Don Campbell. Mereka
mengistilahkan sebagai “Efek Mozart”.
Dibanding musik klasik lainnya, melodi dan frekuensi yang
tinggi pada karya-karya Mozart mampu merangsang dan
memberdayakan daerah kreatif dan motivatif di otak. Yang tak
kalah penting adalah kemurnian dan kesederhaan musik Mozart itu
sendiri. Namun, tidak berarti karya komposer klasik lainnya tidak
dapat digunakan (Andreana, 2006).
c. Distraksi pernafasan
Bernafas ritmik, anjurkan klien untuk memandang fokus
pada satu objek atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi
perlahan melalui hidung dengan hitungan satu sampai empat dan
kemudian menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan
dengan menghitung satu sampai empat (dalam hati). Anjurkan
klien untuk berkosentrasi pada sensasi pernafasan dan terhadap
gambar yang memberi ketenangan, lanjutkan tehnik ini hingga
terbentuk pola pernafasan ritmik.
Bernafas ritmik dan massase, instruksi kan klien untuk
melakukan pernafasan ritmik dan pada saat yang bersamaan
lakukan massase pada bagaian tubuh yang mengalami nyeri dengan
melakukan pijatan atau gerakan memutar di area nyeri.
d. Distraksi intelektual
Antara lain dengan mengisi teka-teki silang, bermain kartu,
melakukan kegemaran (di tempat tidur) seperti mengumpulkan
perangko, menulis cerita.
e. Tehnik pernafasan
Seperti bermain, menyanyi, menggambar atau sembayang.
f. Imajinasi terbimbing
Adalah kegiatan pasien membuat suatu bayangan yang
menyenangkan dan mengonsentrasikan diri pada bayangan tersebut
serta berangsur-angsur membebaskan diri dari dari perhatian
terhadap nyeri
5. Message
6. Aplikasi panas dingin (stimulasi kulit kompres hangat atau dingin)
7. Aromaterapi (metode yang menggunakan minyak atsiri untuk
meningkatkan kesehatan fisik dan emosi. Minyak atsiri adalah
minyak alami yang di ambil dari tanaman aromatik).
8. Hypnosis
9. Relaksasi
10. Perbanyak istirahat
11. Olahraga ringan dan teratur
12. Hindari tempat tinggi, terlalu panas atau lembab dan penerbangan
jarak jauh.
(Hidayat, 2006).
VI. Jawaban Pertanyaan
1. Apakah pemasangan DCA dan PCI pada pasien tidak menimbulkan rasa
sakit?
Sebelum tindakan pemasangan DCA dan PCI pada pasien dilakukan
anestesi sehingga mengurangi rasa sakit.
2. Kapan DCA dan PCI digunakan pada pasien?
Penggunaan DCA dan PCI untuk IMA yang sudah akut. Selain itu
pasien dalam kasus ini sudah mengalami OMI, sehingga penggunaan
DCA dan PCI untuk meningkatan kualitas hidup pasien.
3. Mengapa digunakan 3 antiplatelet?
Penggunaan 3 antiplatelet hanya digunakan pada awal penggunaan PCI
untuk mengatasi agregasi platelet yang muncul karena penggunaan PCI
dapat menyebabkan agregasi platelet.
VII. Kesimpulan
1. Pasien didiagnosis IMA anterior + OMI inferior pro DCA + PCI
2. Obat-obat yang digunakan:
R/ O2 nasal 4 lt/mnt
Infus PZ 20 tts/mnt
ASA 1x100 mg
Clopidogrel 1x75 mg
ISDN 3x5 mg
Bisoprolol 2,5-0-2,5
Simvastatin 0-0-25
Ceftriazon 2x1 gr
Co-ennzimQ 1-0-0
Cilostazol 2x100 mg
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000, Informularium Obat Nasional Indonesia (IONI), Depkes RI, Jakarta.
Anonim, 2013, Cilostazol, http://reference.medscape.com/drug/pletal-cilostazol-342136#90, , diakses tanggal 13 April 2013.
Antman, E. M., Braunwald, E., 2005, ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In: Kasper, D. L., Fauci, A. S., Longo, D. L., Braunwald, E., Hauser, S. L., Jameson, J. L., eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th ed, McGraw-Hill 1449-1450, USA.
Arif, Irfan, 2010, Setelah Pemasangan Drug Elluting Stent (DES), Tiga antiplatelet Lebih Baik, National Cardiovascular Center, Hrapan Kita, Jakarta.
Dipiro, Joseph T., Barbara G. Wells, et al., 2009, Pharmacotherapy Handbook 7th Edition, McGraw Hill Companies, USA.
Hidayat, A. A. A., 2006, Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta.
Kalim, H., 2001, Diagnostik dan Stratifikasi Risiko Dini Sindrom Koroner Akut. Dalam: Kaligis, R.W.M., Kalim, H., Yusak, M., Ratnaningsih, E.,
Soesanto, A.M. (eds). Penyakit Kardiovaskular dari Pediatrik sampai Geriatrik. Jakarta: Balai Penerbit RS Jantung Harapan Kita, 227-228.
Price, A. S., Wilson M. L., 2006, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa: dr. Brahm U., Jakarta.
Ramrakha, Punit S., Jonathan Hill, 2006, Oxford Handbook of Cardiology (Oxford Handbook), Oxford University Press, UK.
Selwyn, A. P., Braunwald E., 2005, Ischemic Heart Disease, In: Kasper, D. L., Fauci, A. S., Longo, D. L., Braunwald, E., Hauser, S. L., Jameson, J. L., eds., Harrison’s.
Silbernagl, Stefan, Florian Lang, 2000, Color Atlas of Pathopysiology, Thieme Flexibook, New York.
Tatro, David S., Pharm D, 2003, A to Z Drug Facts, 5th edition, Wolters Kluwer Health, Inc., USA.
Wyman, M., Leonard, M., Morledge, T., 2010, Coenzyme Q10: A Therapy for Hypertension and Statin-induced Myalgia, Clevel and Clinic Journal of Medicine 77 (7) 435-442.
Zhang, Z. J., Marroquin, O. C., Weissfeld, J. L., Stone, R. A., Mulukutia, S. R., Williams, D. O., Selzer, F., and Kip, K. E., 2009, Beneficial effects of Statins After Percutaneus Coronary Intervention, Eur J. Cardiovasc Prev Rehabil, 16 (4): 445-450, Departement of epidemiology, School of Public Health, Shanghai Jiao University, Shanghai, Cina.