KUALITAS UDARA PADA RUANG TUNGGU PUSKESMAS
PERAWATAN CIPUTAT TIMUR DAN NON-PERAWATAN
CIPUTAT DI DAERAH TANGERANG SELATAN DENGAN
PARAMETER JAMUR
NAILUL IZZAH
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/1436 H
KUALITAS UDARA PADA RUANG TUNGGU PUSKESMAS
PERAWATAN CIPUTAT TIMUR DAN NON-PERAWATAN
CIPUTAT DI DAERAH TANGERANG SELATAN DENGAN
PARAMETER JAMUR
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
NAILUL IZZAH
1111095000008
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/1436 H
i
KUALITAS UDARA PADA RUANG TUNGGU PUSKESMAS
PERAWATAN CIPUTAT TIMUR DAN NON-PERAWATAN
CIPUTAT DI DAERAH TANGERANG SELATAN DENGAN
PARAMETER JAMUR
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
NAILUL IZZAH
1111095000008
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Megga Ratnasari Pikoli Dr. Eko Pudjadi
NIP. 19720322 200212 2 002 NIP. 19681107 199301 1 001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Dasumiati, M.Si
NIP. 19730923 199903 2 002
ii
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi yang berjudul “Kualitas Udara pada Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan
Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat di Daerah Tangerang Selatan dengan
Parameter Jamur” yang ditulis oleh Nailul Izzah, NIM 1111095000008 telah diuji dan
dinyatakan LULUS dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Juni 2015. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1) Jurusan
Biologi.
Menyetujui,
Penguji I Penguji II
Priyanti, M.Si
NIP. 19775056 200012 2 001
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Megga Ratnasari Pikoli Dr. Eko Pudjadi
NIP. 19720322 200212 2 002 NIP. 19681107 199301 1 001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Biologi
Dr. Dasumiati, M.Si
NIP. 19730923 199903 2 002
iii
iv
PENYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL
KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI
ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA
MANAPUN.
Jakarta, April 2014
Nailul Izzah
NIM. 1111095000008
v
ABSTRAK
NAILUL IZZAH. Kualitas Udara pada Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan dan
Non-Perawatan di Daerah Tangerang Selatan dengan Parameter Jamur. Skripsi.
Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Pencemaran udara di dalam ruang tunggu Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Salah satu bioaerosol yang menyebabkan
pencemaran udara adalah jamur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
keberadaan jamur dan karakteristik jamur yang ditemukan di ruang tunggu
Puskesmas, sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi
akibat jamur yang mungkin terjadi. Pencuplikan udara dilakukan di ruang tunggu
Puskesmas Perawatan dan Non-Perawatan di Daerah Tangerang Selatan. Metode
yang digunakan adalah pencuplikan udara menggunakan Single stage Multi-orifice
Sampler Biostage Standard, kemudian sampel udara ditumbuhkan pada media Potato
Dextose Agar. Terdapat 14 isolat jamur yang terisolasi, yaitu : Cladosporium sp.,
Aspergillus niger, Aspergillus fumigatus, Aspergillus sp.1, Fusarium sp.,
Paecilomyces sp., Rhizopus sp., Mucor sp., Neurospora sp., Saccharomyces sp.,
Cryptococcus sp., Candida sp1., Candida sp.2 dan Rhodoturula sp. Hasil uji statistik
Analisis Variansi dengan taraf kepercayaan 95% menunjukkan tidak ada perbedaan
konsentrasi jamur yang signifikan pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat
Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. Faktor fisik suhu,
kelembaban udara, intensitas cahaya dan jumlah orang berpengaruh terhadap
konsentrasi jamur sebesar 21,3%, sedangkan 78,8% dapat dipengaruhi oleh faktor
lain, seperti sistem ventilasi, kondisi ventilasi, kondisi ruangan, kadar debu, material
bangunan dan frekuensi pembersihan ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat
Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. Hasil perbandingan
konsentrasi jamur dengan standar World Health Organisation masih dibawah standar,
yaitu kurang dari 500 CFU/m3 (432-495 CFU/m3). Ditemukan beberapa jamur udara
yang diduga berpotensi pathogen berdasarkan jenis jamur udara patogenik, yaitu
Aspergillus sp., Mucor sp. dan Candida sp.
Kata kunci : Kualitas udara, Puskesmas, Bioaerosol, Jamur
vi
ABSTRACT
NAILUL IZZAH. Air Quality in the Waiting Room of Public Health Care Center
with Inpatient Unit and without Inpatient Unit in the Region South of Tangerang with
Fungi Parameter. Undergraduate Thesis. Department of Biology, Faculty of Science
and Technology. Islamic State University Of Syarif Hidayatullah Jakarta.
Air pollution in the public health care center may cause nosocomial infections. One
of the bioaerosol air pollutants is fungi. The purposes of this research were to
determine the presence of fungi and to analyze the characteristics of the fungi that
found in the waiting room of public health care center, so the infections caused by
fungi cloud be prevented and controlled. Air was sampled in the waiting room of
public health care center with inpatient unit and without inpatient unit in the region
South of Tangerang. The method used was Single Stage Multi Orifice Sampler
Biostage Standard, and then fungi was cultured in Potato Dextose Agar. There were
fourteen kinds of fungi which were: Cladosporium sp., Aspergillus niger, Aspergillus
fumigatus, Aspergillus sp1., Fusarium sp., Paecilomyces sp., Rhizopus sp., Mucor sp.,
Neurospora sp., Saccharomyces sp., Cryptococcus sp., Candida sp1., Candida sp2.
and Rhodoturula sp. The results of statistical analysis with 95 % level of significance
showed there was no significant difference in the fungi concentration from waiting
room of public health care center with inpatient unit and without inpatient unit in the
region South of Tangerang. The temperature, humidity, light intensity and the
quantity of people in waiting room of the effect on fungi concentration of 21,3%,
while 78,8% are influenced by other factors, such as ventilation systems, ventilation
conditions, the condition of the room, the amount of dust, material waking up and
frequency of cleaning room. The result compared to World Health Organisation was
still within standard level, specifically less than 500 CFU/m3 (432-495 CFU/m3).
There were estimated potential pathogen fungi such as Aspergillus sp., Mucor sp. and
Candida sp.
Keyword : Air quality, Public Health Care Center, Bioaerosol, Fungi.
vii
KATA PENGANTAR
Bismilaahirrohmanirrohiim
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah, inayah dan karunia-Nya, sehingga penulis telah menyelesaikan laporan
hasil penelitian yang berjudul “Kualitas Udara pada Ruang Tunggu Puskesmas
Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat di Daerah Tangerang
Selatan dengan Parameter Jamur”. Shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memperjuangkan
kesempurnaan agama Islam. Terima kasih kepada keluarga saya, yaitu Ayah
Sodikin, Bunda Warti, Lukman Nol Hakim, Muh Sahrul Hanif dan Ummi
Ni’maun Nazza yang tidak henti-hentinya mengirimkan do’a dan motivasi hingga
penulis tetap tegar dan tidak kenal putus asa.
Dalam penyusunan laporan hasil penelitian ini, tidak sedikit kendala yang
penulis hadapi namun dengan keteguhan niat dan bantuan serta dorongan dari
berbagai pihak, akhirnya penulis pun dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian
ini dengan baik. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu penulis, diantaranya adalah :
1) Dr. Megga Ratnasari Pikoli dan Dr. Eko Pudjadi selaku pembimbing
pertama dan kedua yang telah memberikan bimbingan pemikiran, saran,
dan dorongan kepada penulis dengan penuh perhatian dan kesabaran
sehingga laporan hasil penelitian ini dapat terselesaikan.
viii
2) Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3) Dr. Dasumiati dan Ir. Etyn Yunita, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris
Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4) Mba Puji, Kak Bahri, Kak Amal dan Kak Festi yang telah memberikan
nasihat dan arahan selama penulis penelitian.
5) Teman seperjuangan penelitian Shelfila, Rima dan Innes. Teman yang
membantu pengambilan sampel Windi Prabowo, Udi, Iqbal dan Ichwan.
Terima kasih atas kerja sama kalian.
6) Medina, Shelfi, Ai, Agil, Farhany, Putri dan Aldha yang selalu menemani
dan memberikan semangat serta dukungan dalam penelitian dan
penyelesaian laporan hasil penelitian ini.
7) Rekan-rekan Mahasiswa Biologi Fakultas Sains dan Teknologi angkatan
2011 yang selalu bahagia dan memberikan semangat kepada penulis.
Semoga laporan hasil penelitian ini dapat bemanfaat bagi semua pihak dan
semoga Allah membalas segala kebaikan yang telah mereka lakukan. Amin.
Jakarta, April 2015
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN ................................................................... iii
PERNYATAAN ................................................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 5
1.3. Hipotesis ............................................................................................... 5
1.4. Tujuan Penelitian .................................................................................. 5
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................ 6
1.6. Kerangka Berfikir ................................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 8
2.1. Pengertian Pencemaran Udara .............................................................. 8
2.2. Pencemar Mikroba dalam Ruangan ...................................................... 9
2.3. Puskesmas Kota Tangerang Selatan ..................................................... 16
2.4. Peraturan Kualitas Udara dalam Ruangan ............................................ 17
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 21
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................................ 21
3.2. Bahan dan Alat ..................................................................................... 21
3.3. Cara Kerja ............................................................................................. 21
3.3.1. Pembuatan Media PDA .............................................................. 22
3.1.2. Lokasi Sampling ........................................................................ 22
3.3.3. Protokol Sampling ...................................................................... 24
x
3.3.4. Pengukuran Faktor Fisik dan Jumlah Orang dalam Ruangan .... 24
3.3.5. Perhitungan Koloni Jamur .......................................................... 25
3.3.6. Pengamatan Morfologi dan Identifikasi Jamur .......................... 25
3.4. Analisis Data ......................................................................................... 26
3.5. Bagan Alur Kerja .................................................................................. 29
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 30
4.1. Hasil Analisis Konsentrasi Jamur Udara pada Ruang Tunggu
Puskesmas Perawatan dan Non-Perawatan Tangerang Selatan ............ 30
4.2. Isolat Jamur Udara Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan
dan Non-Perawatan Tangerang Selatan ................................................ 32
4.3. Hasil Analisis Pengaruh Faktor Fisik Udara dan Jumlah Orang
Terhadap Konsentrasi Jamur Udara dan Hasil Observasi pada Ruang
Tunggu Puskesmas Perawatan dan Non-Perawatan ............................. 49
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 59
5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 59
5.2. Saran ..................................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 61
LAMPIRAN ......................................................................................................... 66
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Indeks Angka Kuman Menurut Fungsi Ruang atau Unit ........................ 17
Tabel 2. Standar Suhu, Kelembaban dan Tekanan Udara Menurut Fungsi
Ruang atau Unit ................................................................................... 18
Tabel 3. Standar Intensitas Cahaya Menurut Fungsi Ruang atau Unit ................. 19
Tabel 4 Peraturan Bioaerosol pada Berbagai Negara ........................................... 20
Tabel 5. Fakor dan Parameter yang di Uji ............................................................ 27
Tabel 6. Hasil Pengamatan Morfologi dan Identifikasi Jamur ............................. 32
Tabel 7. Hasil Pengamatan Bentuk Hifa Aseksual ............................................... 38
Tabel 8. Kondisi Saat Sampling pada Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan
dan Non-Perawatan Tangerang Selatan ................................................ 52
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Denah Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur
Tangerang Selatan ............................................................................ 23
Gambar 2. Denah Ruang Tunggu Puskesmas Non-Perawatan Ciputat
Tangerang Selatan ............................................................................ 23
Gambar 3. Persentase Keberadaan Isolat Jamur ................................................... 40
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil Analisis SPSS .......................................................................... 66
Lampiran 2. Foto Kondisi Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan
Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan ..................................... 72
Lampiran 3. Hasil Pengamatan Konsentrasi Jamur di Ruang Tunggu Puskesmas
Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat .................... 74
Lampiran 4. Hasil Pengukuran Faktor Fisik Udara Dan Jumlah Orang Pada Ruang
Tunggu Puskesmas Perawatan dan Non-Perawatan ........................ 74
Lampiran 5. Foto Koloni Jamur setelah di Inkubasi selama Tiga Hari ................ 75
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh keberadaan agen abiotik
(partikel debu, kelembaban, suhu dan cahaya) dan agen biotik (jamur, bakteri,
virus dan serbuk sari). Keberadaan agen biotik berupa mikroorganisme dalam
ruangan terdapat pada tempat-tempat seperti sistem ventilasi, keset atau tempat
lain. Agen biotik dalam udara disebut juga bioaerosol. Kehadiran bioaerosol
dalam ruangan ini dapat menimbulkan kesakitan pada beberapa orang, yaitu
menyebabkan alergi. Jamur merupakan salah satu dari bioaerosol. Jamur dalam
udara umumnya dalam bentuk spora jamur. Kelembaban dan kehadiran jamur
berhubungan erat dalam memicu timbulnya keluhan pernapasan pada penghuni
ruangan tersebut. Selain itu, kelembaban juga berhubungan secara signifikan
terhadap kejadian alergi pada anak-anak usia pra-sekolah (Sulistiowati, 2001).
Rumah sakit dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) merupakan
pusat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medis dasar dan medis
spesialistik, pelayanan penunjang medis, pelayanan perawatan, baik rawat jalan,
rawat inap, maupun pelayanan instalasi. Output layanannya menjangkau
pelayanan keluarga dan lingkungan. Puskesmas merupakan pusat pelatihan tenaga
kesehatan serta untuk penelitian biososial. Selain berfungsi sebagai sarana
pelayanan kesehatan, puskesmas juga tempat berkumpulnya orang sakit maupun
orang sehat, sehingga berpotensi menjadi tempat penularan penyakit serta
memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan
(Kepmenkes RI No. 1204, 2004).
1
2
Mikroorganisme dalam udara terdiri dari komposisi yang kompleks antara
bioaerosol seperti jamur, bakteri dan partikel non biologi, seperti asap rokok,
partikel pembakaran generator dan partikel debu. Lebih dari 80 genera jamur
dihubungkan dengan kejadian gejala alergi. Beberapa genera jamur yang
dihubungkan dengan kejadian gejala alergi, yaitu Cladosporium, Alternaria,
Aspergillus dan Fusarium. Aktivitas manusia seperti berbicara, batuk, berjalan
adalah sebagian aktivitas yang dapat menghasilkan partikel biologi di udara.
Spora jamur dapat melekat pada pot tanaman, debu, tekstil, karpet dan material
kayu yang berada diruangan (Maeir et al., 2002).
Udara dalam ruangan atau indoor air menurut National Health Medical
Research Council (NHMRC) (1989) adalah udara yang berada dalam ruang
gedung (rumah, sekolah, restoran, hotel, rumah sakit dan perkantoran) yang
ditempati sekelompok orang dengan tingkat kesehatan yang berbeda-beda selama
minimal satu jam. Menurut Environmental Protection Agency of America (EPA)
(2010), polusi udara dalam ruangan berisiko terhadap kesehatan manusia. Kualitas
udara dalam ruangan 2-5 kali lebih buruk dibandingkan udara di luar ruangan
(lingkungan bebas). Menurut Kepmenkes No. 1204 tahun 2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit atau Puskesmas, perlu dilakukan
pengendalian faktor-faktor yang menyebabkan pencemaran udara di Rumah Sakit
atau Puskesmas termasuk salah satunya keberadaan mikroorganisme.
Puskesmas adalah salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang
amat penting dengan fungsi, sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat
pembinaan peran masyarakat dalam bidang kesehatan, serta pusat pelayanan
kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan kegiatannya secara
3
menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan pada suatu masyarakat yang
bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu (Kepmenkes RI, 2010).
Puskesmas berbasis disetiap kelurahan. Puskesmas di daerah Tangerang Selatan
memiliki 25 Puskesmas yang terdiri dari 18 Puskesmas Perawatan dan 7
Puskesmas Non-Perawatan. Puskesmas Perawatan memiliki fasilitas ruang rawat
inap dengan pelayanan jam buka 24 jam, serta dilengkapi dengan ruangan khusus,
seperti ruang operasi, ruang laboratorium dan ruang roentgen, sedangkan
Puskesmas Non-Perawatan hanya meliputi pelayanan rawat jalan tanpa adanya
sarana rawat inap dan memiliki jam buka 8 jam. Menurut Badan Pusat Statistika
(BPS) (2013), Kota Tangerang Selatan memiliki jumlah penduduk 1.443.403 jiwa
dan Puskesmas memiliki nilai 63% sebagai tempat pelayanan kesehatan yang
dikunjungi oleh penduduk Tangerang Selatan. Keberadaan Puskesmas yang dekat
dan terjangkau menjadi pilihan utama bagi masyarakat untuk solusi masalah
kesehatan. Hal ini yang menjadi dasar penelitian tentang kualitas udara dilakukan
di Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat di daerah
Tangerang Selatan.
Berdasarkan hasil survei pendahuluan, pada ruang tunggu Puskesmas
Tangerang Selatan adalah tempat berkumpul yang dipadati oleh pengunjung
Puskesmas, yang meliputi pasien dan keluarga pengantar pasien. Sekitar 300
orang/hari pasien dan keluarga pengantar pasien berada di ruang tunggu
Puskesmas menunggu antrean periksa. Keadaan ini menyebabkan ruangan
menjadi sesak, sedikitnya ruang gerak dan dapat berpotensi besar terjadinya
penularan penyakit melalui udara dari orang sakit ke orang sehat maupun
sebaliknya. Hal ini yang menjadi dasar penelitian tentang kualitas udara pada
4
ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat di
daerah Tangerang Selatan.
Penelitian sebelumnya tentang kualitas udara dengan parameter jamur di
Rumah Sakit telah dilakukan oleh Iq (2014) dan Merlin (2012), yang pada
keduanya ditemukan jenis jamur Aspergillus sp., Mucor sp., dan Rhizopus sp.
Penelitian tentang kualitas udara dengan parameter jamur pada Puskesmas belum
pernah diteliti, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang kualitas udara
pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan
Ciputat di daerah Tangerang Selatan.
Penelitian tentang kualitas udara di Puskesmas menjadi penting dilakukan
karena udara merupakan salah satu media perpindahan bagi mikroba penyebab
infeksi dari orang sakit ke orang sehat maupun sebaliknya. Partikel yang sangat
kecil berpotensi mengandung spora jamur yang dapat menyebabkan infeksi jika
memasuki sistem pernafasan dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, perlu
pengambilan sampel jamur udara pada ruang tunggu Puskesmas agar dapat
diketahui keberadaan jamur udara pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan
Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat di daerah Tangerang Selatan.
5
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah ada perbedaan konsentrasi jamur di udara pada ruang tunggu
Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat
Tangerang Selatan?
2. Apakah konsentrasi jamur udara di ruang tunggu Puskesmas Perawatan
Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan dipengaruhi
oleh kualitas fisik udara (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya) dan
jumlah orang?
1.3 Hipotesis
1. Terdapat perbedaan konsentrasi jamur di udara pada ruang tunggu
Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat
Tangerang Selatan.
2. Konsentrasi jamur udara di ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat
Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan dipengaruhi oleh
kualitas fisik udara (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya) dan jumlah
orang.
1.4 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui kualitas udara melalui konsentrasi jamur udara di ruang
tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat
Tangerang Selatan.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi jamur udara di
ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan
Ciputat Tangerang Selatan.
6
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak
Puskesmas tentang kualitas udara dengan parameter jamur udara di ruang tunggu
Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang
Selatan. Selain itu, dapat memberikan informasi kepada pengunjung Puskesmas,
pasien dan paramedis untuk meningkatkan kewaspadaan serta melakukan cara
pencegahan agar terhindar dari terjadinya penularan penyakit dari orang sakit ke
orang sehat maupun sebaliknya.
7
1.6 Kerangka Berfikir
Pencemaran udara ruang
tunggu Puskesmas
Kepmenkes RI No
1204 tahun 2004
WHO: Mold and Dampness, Indoor
a Air Quality 2009
Variabel Bebas:
1. Suhu udara
2. Kelembaban udara
3. Intensitas cahaya
4. Jumlah orang dalam ruangan
Pengendalian kualitas udara
mikrobiologis ruang tunggu
Metode:
Kepmenkes RI No. 1335 tahun 2002
NIOSH 0800 Bioaerosol Sampling
SKC Biostage Standard
Analisa:
• Karakteristik morfologi jamur
• Analysis of variance (ANOVA)
• Korelasi
Variabel Terikat:
Konsentrasi Jamur
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pencemaran Udara
Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing
di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari
keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah
tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama, akan dapat
mengganggu kehidupan manusia. Bila keadaan seperti itu terjadi maka udara
dikatakan telah tercemar (Achmadi, 2005).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun 1999 mengenai
Pengendalian Pencemaran Udara, yang dimaksud dengan pencemaran udara
adalah masuknya atau dimaksukannya zat, energi atau komponen lain ke dalam
udara ambient oleh kegiatan manusia sehingga mutu udara ambient turun sampai
ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambient tidak memenuhi fungsinya.
Pencemaran udara menurut Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (2004)
diartikan sebagai terjadinya kontaminasi atmosfir oleh gas, cairan maupun limbah
padat serta produk samping dalam konsentrasi dan waktu yang sedemikian rupa,
sehingga menciptakan gangguan, kerugian atau memiliki potensi merugikan
terhadap kesehatan dan kehidupan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan atau benda
serta menciptakan ketidaknyamanan.
Pencemaran udara, yaitu masuknya zat pencemar baik dalam bentuk gas
maupun partikel kecil atau aerosol kedalam udara. Masuknya zat pencemar
kedalam udara dapat secara alamiah, misalnya asap kebakaran hutan, akibat
8
9
gunung berapi, debu meteorit dan pancaran garam dari laut; juga sebagian besar
disebabkan oleh kegiatan manusia, misalnya akibat aktivitas transportasi, industri,
pembuangan sampah, baik akibat proses dekomposisi ataupun pembakaran serta
kegiatan rumah tangga (Setyaningsih¸ 2003).
2.2 Pencemar Mikroba dalam Ruangan
Mikroorganisme yang berasal dari luar misalnya serbuk sari, jamur dan
spora, yang bisa juga berada di dalam ruangan. Selain itu cemaran dalam ruangan
yang berasal dari mikroorganisme dalam ruangan seperti serangga, jamur pada
ruangan yang lembab, bakteri. Mikroorganisme yang tersebar di dalam ruangan
dikenal dengan istilah bioaerosol (Pudjiastuti et al., 1998).
Bioaerosol adalah mikroorganisme yang terdapat dalam udara. Contoh
bioaerosol di udara bakteri (Legionella, Actinomycetes), jamur (Histoplasma,
Alternaria, Pencillium, Aspergillus, Stachybotrys), protozoa (Naegleria,
Acanthamoeba), virus (Bakteriofage). Pada jumlah terbatas, keberadaan
bioaerosol tidak akan menimbulkan efek apapun, akan tetapi dalam jumlah
tertentu dan terhirup akan menimbulkan infeksi pernapasan misalnya asma, alergi
(Pollard et al., 2005).
Bioaerosol terdapat pula di atmosfir, akan tetapi keberadaannya tidak
dapat bertahan lama di atmosfir karena kurangnya nutrien dan adanya pengaruh
radiasi ultraviolet cahaya matahari. Namun beberapa organisme dapat membentuk
spora sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lebih lama. Spora ini umumnya
dapat menyesuaikan diri dalam dispersi udara dan dapat ditemukan pada
ketinggian diatas 2000m (Peavy, 1985).
10
Udara bukan tempat alamiah mikroba karena itu bentuknya vegetatif akan
cepat musnah, terutama di udara bebas, yang lebih dapat bertahan adalah spora
dan virus. Lamanya mikroba berada di udara tergantung dari kecepatan angin
serta kelembaban udara, sedangkan banyaknya sangat ditentukan oleh aktivitas
lingkungan setempat, misalnya diatas tanah yang subur akan didapat lebih banyak
mikroba dibandingkan dengan udara diatas tanah yang tertutup tanaman. Atas
dasar tersebut dapat dimengerti bahwa penularan penyakit lewat udara bebas sulit
terlaksana, kecuali apabila penyakit yang disebabkan oleh mikroba berspora dan
virus (Brooks et al., 2005).
Unsur mikroba yang dapat mempengaruhi kualitas udara dalam ruangan
adalah jamur. Fungi atau jamur mempunyai peranan dalam kesehatan atau disebut
mikosis baik bersifat patogen yang bisa menyebabkan sakit maupun sebagai
penyebab alergi. Sebagai negara tropis dengan kelembaban 60-80%, Indonesia
adalah surga bagi pertumbuhan berbagai jenis jamur. Secara alamiah
mikroorganisme tidak ada di udara, karena udara bukan habitat mikroorganisme.
Mikroorganisme berada di udara karena terbawa angin bersama partikel debu atau
untuk sementara mengapung di udara (Brooks et al., 2005).
Udara bukan habitat hidup asli dari mikroba, namun aktivitas manusia
baik disengaja maupun tidak membantu terciptanya media hidup sementara di
udara, misalnya kelembaban yang terjadi saat manusia bernapas atau bersin,
lemari atau alas ruangan yang basah, tumpukan buku-buku, tanaman dalam
ruangan dan lain lain (Brooks et al., 2005).
11
EPA (2010) mengilustrasikan bahwa kebocoran pipa air yang hanya
berupa tetesan air dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan jamur.
Permukaan furnitur, dinding atau lantai harus kering dan bebas dari genangan air
atau kondisi basah. Karpet atau benda-benda dalam ruangan yang sudah berjamur
harus segera dikeluarkan karena berakibat pada perubahan kualitas mikrobiologi
udara.
Konsentrasi mikroba dalam ruangan akan bertambah banyak pada ruangan
yang kondusif untuk pertumbuhannya misalnya dari kelembaban, suhu dan
aktifitas manusianya. Material biologi yang mengalir di udara dan bertumpuk di
ruangan dan menutupi permukaan interior akan menyebabkan perubahan kualitas
udara dalam ruangan. Sedikit saja sumber karbon dan air di ruangan akan menjadi
media pertumbuhan mikroorganisme (Pudjiastuti et al., 1998).
2.2.1 Pencemar Mikrobiologi Jamur
Mikroorganisme berikutnya yang dapat menimbulkan permasalahan dalam
hubungannya dengan kesehatan udara dalam ruang adalah pertumbuhan jamur.
Karena dalam pertumbuhannya jamur akan menghasilkan vegetasi, material
organik, mampu menghasilkan mikotoksin, yaitu substansi yang toksik terhadap
manusia apabila terhirup, tertelan dan bersentuhan dengan kulit (Elsberry, 2007).
Pencemar udara mikrobiologis terdiri dari jamur dan bakteri. Jamur adalah
polutan udara dalam ruangan yang paling penting dan sedikit dimengerti
kebanyakan orang. Jamur ada dimana-mana pada lingkungan manusia. Sporanya
melimpah-limpah di udara, pada permukaan, di dalam debu, dan dalam air. Jamur
dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan sangat penting sebagai sumber
12
patogen. Jamur dikonsumsi dalam makanan dan metabolismenya digunakan untuk
obat-obatan, antibiotik misalnya (Miller et al., 2005).
Mikroba pencemar udara dapat berupa kapang dan khamir. Khamir: fungi
(jamur) bersel satu; berbentuk bulat, oval, atau silindris; berdiameter 3-5 μm;
sebagian berkembang biak dengan membelah diri, dan sebagian lain berkembang
biak dengan membentuk tunas. Habitat umumnya pada makanan. Kapang: fungi
(jamur) berfilamen. Satu filamen disebut hifa; kelompok hifa yang tumbuh pada
suatu media disebut miselium. Hifa terbentuk dari spora jamur. Spora berdiameter
3-30 μm. Habitat umumnya pada kayu dan kertas (Haisley et al., 2002).
Spora jamur diproduksi oleh jamur secara aseksual dan seksual.
Reproduksi secara aseksual yang membentuk sel tunggal. Spora seksual adalah
hasil rekombinasi dari dua sel. Kebanyakan jamur yang mencemari udara dalam
ruangan berasal dari reproduksi aseksual, dengan adaptasi terhadap lingkungan
yang berubah menjadi hifa yang menyatu. Tahap aseksual dengan cepat
menghasilkan spora yang menjadi koloni jamur. Pada tahap seksual terjadi ketika
kondisinya menguntungkan, dan menghasilkan spora yang lebih tahan lama dan
dapat menyebar ke lingkungan dengan jarak yang sangat jauh (Haisley et al.,
2002).
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur
Jamur merupakan organisme heterotrof yang berarti membutuhkan sumber
karbon organik dari luar. Untuk menunjang kelangsungan hidupnya, jamur seperti
halnya organisme lain membutuhkan kondisi-kondisi fisiologis tertentu yang
sesuai dengan keadaannya. Kondisi fisiologis tersebut meliputi kondisi nutrisi
13
yang harus tersedia dan keadaan fisik yang dapat menunjang kehidupannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jamur, yaitu kebutuhan air, suhu
pertumbuhan, kebutuhan oksigen, pH, substrat (media), komponen penghambat
(Srikandi, 1993).
Kebanyakan jamur membutuhkan air lebih sedikit untuk pertumbuhannya
dibandingkan khamir dan bakteri. Air berperan dalam reaksi metabolik didalam
sel dan merupakan alat pengangkut zat gizi atau bahan buangan kedalam dan
keluar sel, jika air mengalami kristalisasi dan membentuk es atau terikat secara
kimia dalam gula atau garam maka air tersebut tidak dapat digunakan lagi. Jamur
bersifat heterotrofik, memerlukan selapis air disekitar hifanya untuk tumbuh
sehingga jika bersaing dengan mikroorganisme lain maka jamur akan kalah.
Jumlah air dalam makanan disebut aktivitas air (aw) merupakan perbandingan
tekanan uap pelarut (umumnya air), sebanding dengan kelembapan relative (RH)
dari udara atmosfir (Srikandi, 1993).
Kebanyakan jamur bersifat mesofilik, yaitu tumbuh baik pada suhu
kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan jamur adalah sekitar 25-
30°C, tetapi beberapa dapat tumbuh pada suhu 35-37ºC atau lebih tinggi, misalnya
Aspergillus. Beberapa jamur bersifat psikrotropik, yaitu dapat tumbuh baik pada
suhu almari es dan beberapa bahkan masih dapat tumbuh lambat pada suhu
dibawah suhu pembekuan, misalkan pada suhu -5ºC sampai -10ºC. Beberapa
jamur juga bersifat termofilik, yaitu dapat tumbuh pada suhu tinggi (Srikandi,
1993).
Semua jamur bersifat aerobik, yaitu membutuhkan oksigen untuk
pertumbuhannya. Kebanyakan jamur dapat tumbuh pada kisaran pH yang luas,
14
yaitu pH 2-8,5 tetapi biasanya pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam
atau pH rendah (Srikandi, 1993).
Pada umumnya jamur dapat menggunakan berbagai komponen makanan
dari yang sederhana sampai komplek. Kebanyakan jamur memproduksi enzim
hidrolitik misalnya amylase, pektinase, proteinase, dan lipase. Oleh karena itu
dapat tumbuh pada makanan yang mengandung pati, protein, pectin dan lipid
(Srikandi, 1993).
Beberapa jamur mengeluarkan komponen yang dapat menghambat
organisme lainnya. Komponen ini disebut antibiotik. Beberapa komponen lain
bersifat mikostatik, yaitu penghambat pertumbuhan jamur atau fungisidal
membunuh jamur. Pertumbuhan jamur biasanya berjalan lambat bila
dibandingkan dengan pertumbuhan bakteri dan khamir. Jika kondisi pertumbuha
memungkinkan semua mikroorganisme untuk tumbuh, jamur biasanya kalah
dalam kompetisi dengan khamir dan bakteri. Tetapi sekali jamur dapat mulai
tumbuh, pertumbuhan yang ditandai dengan pertumbuhan miselium dapat
berlangsung dengan cepat (Srikandi, 1993).
2.2.3 Penyakit Akibat Jamur
Penyakit yang berhubungan dengan bioaerosol dapat berupa penyakit
infeksi seperti flu, hipersensitivitas: asma, alergi, dan juga toxicoses, yaitu toksin
dalam udara di ruangan yang terkontaminasi sebagai penyebab gejala SBS (Sick
Building Syndrome).‘Sick building syndrome’ adalah sindrom penyakit yang
diakibatkan oleh kondisi gedung. SBS merupakan kumpulan gejala-gejala dari
suatu penyakit. Definisi SBS adalah gejala yang terjadi berdasarkan pengalaman
para pemakai gedung selama mereka berada di dalam gedung tersebut. Gejala
15
SBS antara lain: sakit kepala, kehilangan konsentrasi, tenggorokan kering, iritasi
mata dan kulit. Beberapa bentuk penyakit yang berhubungan dengan SBS: iritasi
mata dan hidung, kulit dan lapisan lendir yang kering, kelelahan mental, sakit
kepala, ISPA, batuk, bersin-bersin, dan reaksi hipersensitivitas (CIAR, 1996).
Kontak antara manusia dan mikroorganisme tidak dengan sendirinya
secara klinis mengakibatkan perkembangan penyakit. Terjadinya infeksi
tergantung sebagian pada karakterstik mikroorganisme, termasuk ketahanan
terhadap virulensi intrinsik, dan jumlah bahan infektif. Banyak jenis bakteri, virus,
jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi dapat
disebabkan oleh mikroorganisme yang diperoleh dari orang lain di rumah sakit
(infeksi silang) atau mungkin disebabkan oleh flora pasien sendiri. Beberapa
organisme dapat diperoleh dari benda mati atau infeksi dari lingkungan (Fletcher
et al., 2010).
Beberapa jenis jamur yang biasa ditemui pada udara dalam ruang dan
menimbulkan dampak bagi kesehatan manusia adalah Alternaria, Aspergillus,
Cladosporium, Penicillium, dan Stachybotrys. Hanya sebagian kecil yang dapat
menginfeksi manusia, namun banyak yang dapat tumbuh pada bangunan dan
mempunyai potensi untuk mengurangi kualitas udara dalam ruangan (Fletcher et
al., 2010).
Efek kesehatan yang merugikan yang disebabkan jamur adalah reaksi
alergi, efek beracun iritasi dan infeksi. Penyakit Pulmonary aspergillosis atau
Aspergillosis paru disebabkan oleh terhirupnya spora dari Aspergillus sp di
lingkungan yang diperkirakan memasuki gedung rumah sakit melalui saluran
16
ventilasi (Fletcher et al., 2010). Akan tetapi, adanya pertumbuhan jamur tidak
selalu orang yang berada di daerah tersebut akan menunjukkan efek kesehatan
yang negatif. Risiko paparan tertentu dapat signifikan dalam jangka panjang
khususnya individu dengan kondisi kesehatan yang mendasarinya seperti asma,
sistem imun, atau alergi (Eduard, 2009).
2.3 Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang
merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran
serta masyarakat disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan
terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok
(Kepmenkes RI, 2010). Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom yang
terbentuk pada akhir tahun 2008 berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Tahun
2008, tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Propinsi Banten tertanggal
26 November 2008. Pembentukan daerah otonom baru tersebut, yang merupakan
pemekaran dari Kabupaten Tangerang, dilakukan dengan tujuan meningkatkan
pelayanan dalam bidang kesehatan. Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan Memiliki 25 Puskesmas terdiri dari 18 Puskesmas Perawatan dan 7
Puskesmas Non Perawatan dan 1 Rumah sakit umum daerah yang saat ini sedang
dalam proses pembangunan adalah RSUD Kota Tangerang Selatan. Puskesmas
Perawatan memiliki fasilitas ruang rawat inap dengan pelayanan jam buka 24 jam,
serta dilengkapi dengan peralatan medis canggih, sedangkan Puskesmas Non-
Perawatan hanya meliputi pelayanan rawat jalan tanpa adanya sarana rawat inap
dan memiliki jam buka 8 jam (Dinkes Tangsel, 2012).
17
2.4 Peraturan Kualitas Udara dalam Ruangan
Pengaturan lingkungan perawatan harus dilakukan dengan baik.
Lingkungan sebagai tempat berkumpul orang memungkinkan terjadinya
peningkatan interaksi antara orang yang terinfeksi dan orang-orang beresiko
terinfeksi. Pasien dengan infeksi dirawat di rumah sakit atau mikroorganisme
patogen merupakan sumber potensial dari infeksi baik pada pasien maupun staf.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1204/Menskes/SK/X/2004, persyaratan kualitas udara dengan indeks angka
kuman pada ruangan rumah sakit atau Puskesmas dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Indeks Angka Kuman Menurut Fungsi Ruang atau Unit
No. Ruang atau unit
Konsentrasi maksimum
mikroorganisme per m3 udara
(CFU/m3)
1. Operasi 10
2. Bersalin 200
3 Pemulihan/Perawatan 200-500
4. Observasi bayi 200
5. Perawatan bayi 200
6. Perawatan prematur 200
7. ICU 200
8. Jenazah, autopsi 200-500
9. Penginderaan medis 200
10. Laboratorium 200-500
11. Radiologi 200-500
12. Sterilisasi 200
13. Dapur 200-500
14. Gawat darurat 200
15. Administrasi, pertemuan,
ruang tunggu 200-500
16. Ruang luka bakar 200
Sumber: Kepmenkes No.1204/ Menkes/ SK/ X/ 2004
18
Kepmenkes No. 1204 tahun 2004 mensyaratkan penghawaan, suhu dan
kelembaban udara untuk masing-masing ruang rumah sakit atau Puskesmas.
Ruang-ruang tertentu seperti ruang operasi, Perawatan bayi, laboratorium, perlu
mendapat perhatian yang khusus karena sifat pekerjaan yang terjadi di ruang-
ruang tersebut. Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit/Puskesmas,
persyaratan dengan indeks Persyaratan penghawaan yang meliputi standar suhu,
kelembaban, dan tekanan udara untuk masing-masing ruang atau unit dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Standar Suhu, Kelembaban dan Tekanan Udara Menurut Fungsi Ruang
atau Unit
No. Ruang atau Unit Suhu (ºC) Kelembaban (%) Tekanan
1. Operasi 19-24 45-60 Positif
2. Bersalin 24-26 45-60 Positif
3. Pemulihan/ perawatan 22-24 45-60 Seimbang
4. Observasi bayi 21-24 45-60 Seimbang
5. Perawatan bayi 22-26 35-60 Seimbang
6. Perawatan premature 24-26 35-60 Positif
7. ICU 22-23 35-60 Positif
8. Jenazah, Autopsi 21-24 - Negatif
9. Penginderaan medis 19-24 45-60 Seimbang
10. Laboratorium 22-26 35-60 Negatif
11. Radiologi 22-26 45-60 Seimbang
12. Sterilisasi 22-30 35-60 Negatif
13. Dapur 22-30 35-60 Seimbang
14. Gawat darurat 19-24 45-60 Positif
15. Administrasi,
pertemuan, ruang tunggu
21-24 45-60 Seimbang
Sumber: Kepmenkes No.1204/ Menkes/ SK/ X/ 2004
19
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1204/Menskes/SK/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah
Sakit/Puskesmas, persyaratan standar intensitas cahaya pada ruangan dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Standar Intensitas Cahaya Menurut Fungsi Ruang atau Unit
No. Ruangan atau Unit Intensitas
Cahaya (Lux)
Keterangan
1. Ruang pasien
- saat tidak tidur
- saat tidur
100-200
maksimal 50
Warna cahaya sedang
2. Ruang Operasi umum 300-500
3. Meja operasi 10.000- 20.000 Warna cahaya sejuk atau
sedang tanpa bayangan
4. Anastesi, pemulihan 300-500
5. Endoscopy 75- 100
6. Sinar X Minimal 60
7. Koridor, ruang tunggu,
administrasi kantor dan
toilet
Minimal 100 Pada malam hari
8. Ruang alat/ gudang,
farmasi dan dapur
Minimal 200
9. Ruang isolasi khusus
penyakit tetanus
0,1- 0,5 Warna cahaya biru
10. Ruang luka bakar 100-200
Sumber: Kepmenkes No.1204/ Menkes/ SK/ X/ 2004
World Health Organisation (WHO) memperkirakan sekitar 400-500 juta
orang khususnya di negara-negara berkembang saat ini menghadapi masalah
polusi udara di dalam ruangan dan diperkirakan setiap tahunnya dari sekitar 3 juta
kematian akibat polusi udara, 2,8 juta di antaranya akibat polusi udara dalam
ruangan serta 0,2 juta lainnya akibat polusi udara luar ruangan. Studi Indoor Air
yang dilakukan EPA menemukan bahwa udara dalam ruangan 100 kali lebih
berbahaya dibandingkan udara luar. Peraturan tentang konsentrasi mikroba udara
yang dibuat oleh beberapa negara dan organisasi dapat dilihat pada Tabel 4.
20
Tabel 4. Peraturan Bioaerosol pada Berbagai Negara
(Sumber : Mandal dan Brandl 2011)
Negara Bakteri
(CFU/m3)
Fungi
(CFU/m3)
Total bioaerosol
(bakteri+fungi)
Sumber
Brazil 750 de Aquino Nelo,
2004
Indonesia 500 Kepmenkes, 2004
Canada 150A KH,Barlett, 2003
China 2500-7000B Gony, RL, 2004
Finlandia 4500 A.Nevalainen,
1989
Germany 10000 IFA, 2004
Korea 800D Jo WK Seo YJ,
2005
Portugal 500C Pegas PN, 2010
Belanda 10000E 10000 Heida, H, 1995
Rusia 2000-
10000B
EduwardW, 2009
Swiss 1000 Opliger, A, 2005
USA 100 ACGIH, 2009
Uni Eropa 10000C
2000D
10000C
2000D
OSHA, 2008
Catatan: A untuk campuran spesies,
B bergantung pada spesies fungi, C rumah tangga,
D lokasi ruang Non-industrial, Earea komposting.
21
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2014 hingga Maret 2015.
Sampling udara dilakukan di ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur
Tangerang Selatan dan di ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan Ciputat,
Tangerang Selatan. Pengamatan dan analisa jamur dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi Pusat Laboratorium Terpadu (PLT), Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.2 Bahan dan Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Single Stage Multi
Orifice Sampler SKC Biostage Standard, pompa vakum dengan laju alir udara
sebesar 28,3 L/menit, tripod, stopwatch, cawan petri, bunsen, sprayer, cool box,
laminar air flow, Erlenmeyer, inkubator (Memmert), autoklaf (ALP), Hot plate
(Thermoline), mikroskop (Merk Olympus dan Novel), plastik wrapping, kaca pr
eparat, cover glass, Counter, Luxmeter dan Hygrometer. Bahan yang digunakan
antara lain media Potato Dextose Agar (PDA Oxoid), alkohol 70% dan aquades.
3.3 Cara Kerja
Cara kerja yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pembuatan media
PDA, lokasi sampling, protokol sampling, pengukuran faktor fisik dan jumlah
orang dalam ruangan, perhitungan koloni jamur, pengamatan morfologi jamur dan
identifikasi jamur. Cara kerja tentang pengukuran kualitas udara ini dipandu
dengan buku Indoor Air Quality (NIOSH, 1989).
21
22
3.3.1 Pembuatan Media PDA
Potato Dextrose Agar (PDA) merupakan medium untuk menunjang
pertumbuhan fungi yang dilengkapi dengan asam atau antibiotik untuk
menghambat pertumbuhan bakteri. Pembuatan medium, yaitu dengan cara
melarutkan PDA Oxoid sebanyak 39 gram ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan
aquades sebanyak 1000 ml, setelah itu dipanaskan diatas hot plate diikuti oleh
pangadukan dengan menggunakan magnetic stirrer. Setelah dipanaskan hingga
larutan homogen dan menjadi bening kekuning-kuningan larutan PDA kemudian
didinginkan. Kemudian dimasukan ke dalam autoklaf untuk proses sterilisasi
dilakukan selama 15 menit dengan suhu 121oC. Kemudian dibuat agar plate pada
cawan petri steril.
3.3.2 Lokasi Sampling
Lokasi sampling dilakukan di dua jenis Puskesmas, yaitu di ruang tunggu
Puskesmas Perawatan Ciputat Timur Tangerang Selatan dan di ruang tunggu
Puskesmas Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. Teknik sampling
dilakukan secara acak, kemudian pencuplikan dilakukan 2 kali pada setiap
ulangan. Sampling dilakukan 3 kali ulangan, yaitu pada hari senin tanggal 8, 15,
22 Desember 2015. Pengambilan sampel dilakukan pada jam kunjung teramai,
yaitu pukul 08.00-11.00 WIB. Jam kunjung teramai sama dengan jumlah orang
terbanyak dalam ruang tunggu Puskesmas. Pembuatan batas ruangan tunggu
seperti di denah, dapat mempermudah dalam perhitungan luas area pada ruang
tunggu Puskesmas. Denah ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur
Tangerang Selatan ditunjukan pada Gambar 1 sebagai berikut :
23
Gambar 1 Denah Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur Tangerang
Selatan
Denah ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan
ditunjukan pada Gambar 2 sebagai berikut :
Gambar 2 Denah Ruang Tunggu Puskesmas Non-Perawatan Ciputat
Tangerang Selatan
Keterangan :
A : Ruang radioterapi
B : Ruang vaksin
C : Apotek
D : Ruang periksa anak
E : Ruang UGD
F : Ruang periksa dewasa
G : Ruang loket
pendaftaran
H : Ruang KB
I : Ruang Gizi
: Kursi
: Ruang tunggu periksa 1
: Ruang tunggu periksa 2
: Ruang tunggu Apotek
: Ruang tunggu Pendaftaran
Keterangan :
A : Ruang pendaftaran
B : Ruang periksa gigi
C : Ruang periksa anak
D : Ruang UGD
E : Ruang periksa dewasa
F : Apotek
: Kursi
: Ruang tunggu periksa 1
: Ruang tunggu periksa 2
24
3.3.3 Protokol Sampling
Protokol sampling metode Air Sampler NIOSH 0800 mengenai Bioaerosol
Indoor Air dan panduan manual Single stage Multi-orifice Sampler SKC Biostage
Standard. Media PDA pada cawan petri yang telah disterilkan, serta alat dan
bahan lainnya dipersiapkan dan dibawa ke lokasi sampling ruang tunggu
Puskesmas. Sampler dihubungkan ke tripod dengan ketinggian 1,2 -1,5m di atas
lantai. Pompa vakum dikalibrasi dan diatur laju aliran udara menjadi 28,3
Liter/menit. Semua permukaan sampler disterilkan terlebih dahulu dengan
menyemprotkan alkohol 70%.
Sampling udara dimulai dan penghitungan waktu bersamaan dengan
penyalaan pompa. Waktu pengambilan sampel sesuai dengan metode Natioanal
Institute of Accupational Safety and Health (NIOSH) tentang Manual Analytic
Method yang telah ditentukan, yaitu selama 5 menit. Setelah selesai periode
sampling, pompa dimatikan, lalu cawan petri dilepaskan dari alat, ditutup kembali
dan dibungkus dengan menggunakan plastik wrapping. Sampel pada cawan
diinkubasi selama 3-5 hari dengan suhu 27ºC.
3.3.4 Pengukuran Faktor Fisik dan Jumlah Orang dalam Ruangan
Prosedur pengukuran kualitas fisik udara sesuai dengan Kepmenkes No.
1335 tahun 2002. Alat pengukuran faktor fisik dihindarkan dari panas sinar
matahari langsung. Pengukuran dilakukan sampai menunjukkan angka yang stabil
lalu dilakukan pencatatan. Faktor fisik yang diukur adalah suhu, kelembaban
udara dan intensitas cahaya. Pengukuran faktor fisik dilakukan pada setiap
pencuplikan pada ruang tunggu. Suhu dan kelembaban udara diukur
25
menggunakan alat Weathermeter. Intensitas cahaya diukur menggunakan alat
Luxmeter. Perhitungan jumlah orang dalam ruang tunggu dihitung dengan
menggunakan alat Counter, perhitungan dimulai saat pencuplikan hingga selesai
pencuplikan dengan durasi sekitar 20 menit.
3.3.5 Perhitungan Koloni Jamur
Setelah dilakukan pengambilan sampel dan pembiakan selama ±72 jam,
dilakukan perhitungan jumlah koloni yang tumbuh pada media agar dan kemudian
dilakukan perhitungan koloni jamur per volume udara (CFU/m3) (NIOSH, 1989).
Konsentrasi koloni jamur pada ruang tunggu dengan rumus sebagai berikut:
CFU
m3 =
Jumlah koloni pada media agar (CFU)
Volume udara m3
volume udara (m3) = lama pengambilan sampel (menit) x 0.082m3
menit
3.3.6 Pengamatan Morfologi dan Identifikasi Jamur
Setelah koloni jamur tumbuh, kemudian dilakukan pengamatan secara
makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan makroskopis meliputi bentuk
morfologi dan warna koloni bagian atas (top side) dan bawah cawan petri (reverse
side), warna hifa, miselium dan jumlah koloni (Gandjar et al., 1999). Pengamatan
mikroskopis dilakukan dengan cara kaca objek dan kaca penutup dibersihkan
dengan alkohol 70%. Miselium yang telah berporulasi diambil dan diurai dengan
ose. Setelah itu kaca penutup diletakkan diatas permukaan preparat lalu diamati
morfologi selnya di bawah mikroskop, dan difoto. Identifikasi jamur berdasarkan
pengamatan morfologi koloni dan hifa jamur berdasarkan Gandjar et al., (1999),
John dan Roland (2007) dan jurnal-jurnal identifikasi jamur.
26
3.4 Analisis Data
Pengambilan keputusan untuk melihat data berdistribusi normal, yaitu data
konsentrasi jamur pada ruang tunggu Puskesmas diuji dengan uji normalitas. Jika
hasil uji ini menunjukkan nilai signifikansi >0,05 maka H0 diterima, sedangkan
jika nilai signifikansi <0,05 maka H0 ditolak.
H0 = Data konsentrasi jamur pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan
Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan
berdistribusi normal.
H1 = Data konsentrasi jamur pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan
Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan tidak
berdistribusi normal.
Data yang didapatkan, yaitu hasil perhitungan konsentrasi jamur dianalisis
dengan menggunakan uji Analisi Variasi (ANOVA) pada tingkat kepercayaan
95% dengan signifikansi =0,05. Pengambilan keputusan untuk melihat ada atau
tidaknya pengaruh faktor Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-
Perawatan Ciputat terhadap konsentrasi jamur dianalisis menggunakan ANOVA.
Jika hasil uji ini menunjukkan nilai signifikansi >0,05 maka H0 diterima,
sedangkan jika nilai signifikansi <0,05 maka H0 ditolak.
H0 = Tidak ada perbedaan konsentrasi jamur yang signifikan pada ruang
tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan
Ciputat Tangerang Selatan
27
H1 = Ada perbedaan konsentrasi jamur yang signifikan pada ruang
tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan
Ciputat Tangerang Selatan
Tabel 5. Fakor dan Parameter yang di Uji
Faktor Y = (Parameter
Variabel Terikat)
X = (Parameter
Variabel Bebas)
1. Puskesmas Perawatan
2. Puskesmas Non-Perawatan Konsentrasi Jamur
Suhu
Kelembaban
Intensitas cahaya
Jumlah orang dalam
ruang tunggu
Pengambilan keputusan untuk melihat data berdistribusi normal, yaitu data
faktor fisik (kelembaban udara, suhu dan intensitas cahaya) dan jumlah orang
dengan konsentrasi jamur pada ruang tunggu Puskesmas diuji dengan
uji normalitas. Jika hasil uji ini menunjukkan nilai signifikansi >0,05 maka H0
diterima, sedangkan jika nilai signifikansi <0,05 maka H0 ditolak.
H0 = Data faktor fisik (kelembaban, suhu dan intensitas cahaya) dan jumlah
orang pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan
Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan berdistribusi normal.
H1 = Data faktor fisik (kelembaban, suhu dan intensitas cahaya) dan jumlah
orang pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan
Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan tidak berdistribusi normal.
Pengambilan keputusan untuk melihat persamaan antara veriabel bebas
(faktor fisik dan jumlah orang) dan variable terikat (konsentrasi jamur), dilakukan
uji korelasi Pearson dengan variabel terikat Y adalah konsentrasi jamur, variable
28
terikat bebas X1 adalah suhu udara, X2 adalah kelembaban udara, X3 adalah
intensitas cahaya dan X4 adalah variebel jumlah orang.
Untuk mengetahui pengaruh faktor fisik dan jumlah orang terhadap
konsentrasi jamur dan dianalisis dengan uji regresi linear berganda. Pengambilan
keputusan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan faktor fisik (kelembaban
udara, suhu dan intensitas cahaya) dan jumlah orang dengan konsentrasi jamur
pada ruang tunggu diuji dengan uji regresi linear berganda atau uji korelasi. Jika
hasil uji ini menunjukkan nilai signifikansi >0,05 maka H0 diterima, sedangkan
jika nilai signifikansi <0,05 maka H0 ditolak.
H0 = Tidak ada hubungan yang nyata antara konsentrasi jamur dengan faktor
fisik (kelembaban, suhu dan intensitas cahaya) dan jumlah orang pada
ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan
Ciputat Tangerang Selatan.
H1 = Ada hubungan yang nyata antara konsentrasi jamur dengan faktor fisik
(kelembaban, suhu dan intensitas cahaya) dan jumlah orang pada ruang
tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan
Ciputat Tangerang Selatan.
Kriteria R dalam tabel korelasi sebagai berikut (Sudarmanto, 2005):
1. 0-0,20= Korelasi Sangat rendah
2. 0,21-0,40= Korelasi Rendah
3. 0,41-0,60= Korelasi Sedang
4. 0,61-0,80= Korelasi Tinggi
5. 0,81-1= Korelasi sangat tinggi
29
3.5 Bagan Alur Kerja
Persiapan Alat dan Bahan
Pembuatan Medium PDA
Pengujian Kualitas Udara
Mikrobiologis
Pengambilan Data
Pendukung Sampling Jamur Udara
Inkubasi Sampel selama 3-
5 hari ± 27 0C
Pemeriksaan Mikrobiologi:
1. Perhitungan Jumlah
Koloni
2. Pengamatan Morfologi
Koloni Jamur
Pengukuran
Faktor Fisik:
1. Suhu
2. Kelembaban
Udara
3. Intensitas
cahaya
Pencatatan
Keadaan saat
Sampling:
1. Jumlah Orang
dalam Ruang
Tunggu
2. Kondisi Ruang
Tunggu
Analisis Data
Survey Penelitian
30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Analisis Konsentrasi Jamur Udara pada Ruang Tunggu
Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat
Tangerang Selatan
Penelitian sebelumnya tentang kualitas udara dengan parameter jamur
pada ruang tunggu Puskesmas belum pernah diteliti, namun penelitian tentang
kualitas udara dengan parameter jamur di ruang rawat inap suatu rumah sakit telah
diteliti oleh Iq (2014) dan Merlin (2012). Pengambilan sampel dilakukan pada jam
kunjung teramai, yaitu pukul 08.00-11.00 WIB. Penelitian sebelumnya tentang
pengambilan sampel kualitas udara dengan parameter jamur dilakukan pada jam
kunjung teramai telah dilakukan oleh Iq (2014) dan Merlin (2012). Jam kunjung
teramai sama dengan jumlah orang terbanyak dalam ruang tunggu Puskesmas.
Waktu tersebut berpotensi terjadinya penularan penyakit dari orang sakit ke orang
sehat maupun sebaliknya. Aktivitas manusia dalam ruang tunggu Puskesmas
seperti berbicara, batuk, berjalan adalah sebagian aktivitas yang dapat
menghasilkan partikel biologi di udara (Maeir et al., 2002).
Berdasarkan hasil analisis uji normalitas diketahui bahwa nilai signifikansi
konsentrasi jamur adalah 0,694, suhu 0,729, kelembaban udara 0,329, intensitas
cahaya 0,580 dan jumlah orang 0,431 yang seluruhnya melebihi 0,05, sehingga
dapat dikatakan H0 diterima, yaitu data yang diolah merupakan data berdistribusi
normal. Kurva uji normalitas diketahui bahwa data menyebar disekitar kurva
dengan mengikuti model regresi, sehingga dapat dikatakan data yang diolah
merupakan data berdistribusi normal.
30
31
Standar yang tercantum di Kepmenkes RI No. 1204 tahun 2004
merupakan standar untuk angka kuman atau angka mikroorganisme (bakteri dan
jamur). Tidak terdapat acuan standar untuk spesifik konsentrasi jamur maksimum
yang diperbolehkan pada ruang tunggu Puskesmas. Oleh karena itu, konsentrasi
jamur hasil pengukuran di dalam ruang tunggu Puskesmas yang diukur,
dibandingkan dengan menggunakan acuan World Health Organisation (WHO)
tahun 2009 tentang Mold and Dampness Indoor Air dengan nilai maksimum 500
CFU/m3.
Hasil pengukuran konsentrasi jamur pada ruang tunggu Puskesmas
Perawatan Ciputat Timur Tangerang Selatan memiliki rentang 177-594 CFU/m3
dan memiliki rata-rata 432 CFU/m3. Hasil pengukuran konsentrasi jamur pada
ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan memiliki
rentang 297-989 CFU/m3 dan memiliki rata-rata 495 CFU/m3. Rata-rata hasil
pengukuran konsentrasi jamur pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat
Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan masih dibawah standar
kualitas jamur di udara yang ditentukan oleh WHO tahun 2009, yaitu 500
CFU/m3.
Konsentrasi jamur pada ruang tunggu Puskesmas dianalisis dan dibedakan
berdasarkan faktor Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan
Ciputat di daerah Tangerang Selatan. Hasil perhitungan statistik dengan pengujian
ANOVA dengan taraf kepercayaan 95% menunjukkan hasil tidak ada perbedaan
konsentrasi jamur yang signifikan pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan
Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan, dengan nilai
signifikansi 0,619 yang melebihi 0,05, (H0 diterima). Penelitian sebelumnya Iq
32
(2014) dan Merlin (2012) menunjukan hasil yang sama, yaitu tidak ada perbedaan
konsentrasi jamur yang signifikan pada jam kunjung dan bukan jam kunjung.
4.2 Isolat Jamur Udara Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur
dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan
Berdasarkan pengamatan jamur secara makroskopik dan mikroskopik
dapat dideskripsikan dengan panduan buku kapang tropik umum Gandjar et al.,
(1999), John dan Roland (2007) dan jurnal identifikasi jamur, sehingga
didapatkan identikasi jamur udara pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan
Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. Hasil pengamatan
morfologi dan identifikasi Jamur dapat dilihat pada Tabel 6 sebagai berikut :
Tabel 6. Hasil Pengamatan Morfologi dan Identifikasi Jamur
No.
isolat
Pengamatan Keterangan
Makroskopik Mikroskopik
1.
Cladosporium sp.
Perbesaran 200x
Jumlah koloni total : 196
Warna koloni : hijau
Warna tepi : putih
Warna miselium : putih
Bentuk koloni : bundar
Diameter : 0,4-2,3 cm
Referensi identifikasi :
(Gandjar et al., 1999).
(Ari dan Shanti, 2001).
a. Konidia : bulat dan
semibulat
b. Konidiofor : tunggal
c. Hifa septum
b
a
c
33
2.
Aspergillus niger
Perbesaran 200x
Jumlah koloni total : 50
Warna koloni : hitam
Warna tepi : putih
Bentuk koloni : irreguler
Diameter : 0,7-3,8 cm
Referensi identifikasi :
(Gandjar et al., 1999).
(John dan Roland, 2007).
(Wuryanti, 2008).
a. Konidia : bulat dan
semibulat
b. Konidiofor : tunggal
c. Hifa septum
3.
Aspergillus fumigatus
Perbesaran 200x
Jumlah koloni total : 73
Warna: hijau lumut
Warna tepi : putih
Warna miselium : putih
Bentuk koloni : irregular
Diameter : 0,6-2,2 cm
Referensi identifikasi :
(Gandjar et al., 1999).
(John dan Roland, 2007).
(Eni, 2007).
a. Konidia : bulat dan
semibulat
b. Konidiofor : tunggal
c. Hifa septum
4.
Aspergillus sp.1
Perbesaran 200x
Jumlah koloni total : 3
Warna koloni : hitam
Warna tepi : putih
Warna miselium : putih
Bentuk koloni : irreguler
Diameter : 3 cm
Referensi identifikasi :
(Gandjar et al., 1999).
(John dan Roland, 2007).
(Ari dan Shanti, 2001).
a. Konidia : bulat dan
semibulat
b. Konidiofor : tunggal
c. Hifa septum
c
b
c
a
b
a
c
a
b
34
5.
Fusarium sp.
Perbesaran 400x
Jumlah koloni total : 6
Warna koloni : merah
muda
Warna tepi : putih
Warna miselium : putih
Bentuk koloni : irreguler
Diameter : 0,3-0,9 cm
Referensi identifikasi :
(Gandjar et al., 1999).
(John dan Roland, 2007).
(Ilyas, 2007).
a. Konidia : bulan sabit
b. Konidiofor : bercabang
6.
Paecilomyces sp.
Perbesaran 400x
Jumlah koloni total : 29
Warna koloni : hijau
muda
Warna tepi : putih
Warna miselium : putih
Bentuk koloni : irreguler
Diameter : 1,2-2,9 cm
Referensi identifikasi :
(Gandjar et al., 1999).
(John dan Roland, 2007).
a. Konidia : bulat dan
semibulat
b. Vesikel
c. Konidiofor : tunggal
d. Hifa septum
7.
Rhizopus sp.
Perbesaran 400x
Jumlah koloni total : 46
Warna koloni : putih
Warna tepi : putih
Warna miselium : putih
Bentuk koloni : irreguler
Diameter : 1-5 cm
Sporangiofor : tunggal
Sporangium : bulat
Hifa tidak berseptum
Referensi identifikasi :
(Gandjar et al., 1999).
(John dan Roland, 2007).
(Ari dan Shanti, 2001).
b
a
a
b
c
35
8.
Mucor sp.
Perbesaran 200x
Jumlah koloni total : 78
Warna koloni : putih
Warna tepi : putih
Warna miselium : putih
Bentuk koloni : bulat
Diameter : 0,7-1,8 cm
Referensi identifikasi :
(Gandjar et al., 1999).
(John dan Roland, 2007).
(Ilyas, 2007).
a. Spora
b. Sporangiofor : tunggal
c. Sporangium : bulat
d. Hifa tidak berseptum
9.
Neurospora sp.
Perbesaran 200x
Jumlah koloni total : 24
Warna koloni : orange
Warna tepi : putih
Warna miselium : putih
Bentuk koloni : irregular
Diameter : 1-5 cm
Referensi identifikasi :
(Gandjar et al., 1999).
(John dan Roland, 2007).
a. Konidia : bulat
b. Konidiofor : tunggal
c. Hifa septum
10.
Saccharomyces sp.
Perbesaran 1000x
Jumlah koloni total : 238
Warna : putih mengkilap
Bentuk koloni : bulat
Diameter : 0,2-0,8 cm
Referensi identifikasi :
(Gandjar et al., 1999).
(Ari dan Shanti, 2001).
a. Sel khamir semibulat
(blastospora)
b. Pembelahan sel khamir
d
b
a c
a
c
b
a b
36
11.
Cryptococcus sp.
Perbesaran 1000x
Jumlah koloni total : 11
Warna koloni : kuning
mengkilap
Bentuk koloni : bulat
Diameter : 0.5-1.3 cm
Referensi identifikasi :
(Gandjar et al., 1999).
a. Sel khamir semibulat
(blastospora)
b. Pembelahan sel khamir
12.
Candida sp.1
Perbesaran 200x
Jumlah koloni total : 4
Warna koloni : krem
mengkilap
Bentuk koloni : bulat
Diameter : 0.2-0.6 cm
Referensi identifikasi :
(Gandjar et al., 1999).
(Merlin, 2012).
a. Sel khamir semibulat
(blastospora)
b. Pembelahan sel khamir
13.
Candida sp.2
Perbesaran 200x
Jumlah koloni total : 21
Warna koloni : krem
mengkilap
Bentuk koloni : irreguler
Diameter : 0.5-1.2 cm
Referensi identifikasi :
(Gandjar et al., 1999).
(Merlin, 2012).
a. Sel khamir semibulat
(blastospora)
b. Pembelahan sel khamir
14.
Rhodoturula sp.
Perbesaran 400x
Jumlah koloni total : 8
Warna koloni : merah
muda mengkilap
Bentuk koloni : bundar
Diameter : 0.3-0.7 cm
Referensi identifikasi :
(Gandjar et al., 1999).
(Iq, 2014).
a. Sel khamir semibulat
(blastospora)
b. Hifa khamir
37
Berdasarkan hasil pengamatan morfologi koloni dan identifikasi jamur
(Tabel 6), dapat diketahui warna koloni jamur berbeda-beda akan tetapi warna
dasar miselium koloni jamur yang hampir sama, yaitu berwarna putih. Hasil
pengamatan jamur udara di ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur
dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan diperoleh 14 isolat jamur dengan
ciri morfologi yang berbeda. Jamur jenis kapang didapatkan pada isolat nomor 1-9
dan jamur jenis khamir didapatkan pada isolat nomor 10-14. Isolat jamur memiliki
bentuk koloni bundar dan sebagian yang berbentuk irregular. Bentuk koloni jamur
yang irreguler dapat tumbuh diseluruh permukaan agar cawan seperti isolat
Rhizopus sp. Diameter koloni terbesar Neurospora sp., yaitu mencapai 5 cm,
sedangkan diameter koloni terbesar Candida sp.1, yaitu 0,2 cm. Perbedaan ciri
morfologi pada isolat jamur merupakan suatu identitas dari masing-masing jenis
jamur sehingga dapat diidentifikasi jenis jamur. Jumlah total koloni dari masing-
masing jenis jamur yang ditemukan, dapat menunjukkan dominansi penyebaran
jenis jamur di ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-
Perawatan Ciputat Tangerang Selatan.
Berdasarkan hasil pengamatan secara mikroskopik jamur dapat dibedakan
dan identifikasi dari bentuk hifa aseksual. Bentuk hifa aseksual pada jamur
merupakan ciri khas suatu jamur. Hifa aseksual pada jamur berfungsi untuk
menghasilkan spora-spora dalam jumlah yang banyak. Spora aseksual yang
berukuran kecil dapat tertiup angin dan dapat tumbuh membentuk koloni jamur
pada tempat-tempat yang mendukung kelangsungan hidup bagi jamur tersebut.
Bentuk hifa aseksual jamur pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 7.
38
Tabel 7. Hasil Pengamatan Bentuk Hifa Aseksual
Konidiofor Sporangiofor Blastospora
Aspergillus niger
Ket :
a. Konidia
b. Vesikel
c. Konidiofor
d. Kepala konidia
Mucor sp.
Ket :
a. Spora
b. Sporangiofor
c. Sporangium
Cryptococcus sp.
Ket :
a. Sel khamir semibulat
(blastospora)
b. Pembelahan sel khamir
Bentuk hifa aseksual yang didapatkan pada penelitian, yaitu konidiafor,
sporangiofor dan blastospora. Bentuk hifa aseksual konidiofor memiliki struktur
konidia yang berbentuk oval, semibulat, atau bulat dan ada yang membentuk
rantai. Konidia melekat pada fialid (sel konidiogenus) dan fialid melekat pada
bagian ujung konidiofor yang mengalami pembengkakan yang disebut vesikel.
Fialid dapat melekat langsung pada vesikel (tipe sterigmata uniseriat) atau dapat
melekat pada struktur metula (tipe sterigmata biseriat). Jenis jamur yang hifa
aseksualnya berbentuk konidiofor dalam penelitian ini adalah Cladosporium sp.,
Aspergillus niger, Aspergillus fumigatus, Aspergillus sp.1, Fusarium sp.,
Paecilomyces sp. dan Neurospora sp. Bentuk hifa aseksual sporangiofor memiliki
spora yang berbentuk bulat. Hifa yang panjang tumbuh menjulang yang berfungsi
mendukung pertumbuhan sporangium. Spora bersel satu yang terbentuk di dalam
sporangium. Jenis jamur yang hifa aseksualnya berbentuk sporangiofor dalam
39
penelitian ini adalah Rhizopus sp. dan Mucor sp. Bentuk hifa aseksual blastospora
hanya terdapat pada jenis jamur khamir. Spora pada khamir berada pada kuncup
atau tunas sel-sel khamir. Hal ini menjadikan bentuk sel khamir bulat atau
semibulat. Jenis jamur yang hifa aseksualnya berbentuk blastospora dalam
penelitian ini adalah Saccharomyces sp., Cryptococcus sp., Candida sp.1,
Candida sp.2 dan Rhodoturula sp. (Pelczar et al., 2008).
Nomor isolat 1 sampai dengan 9 merupakan jamur jenis kapang. Kapang
merupakan jenis fungi multiseluler yang bersifat aktif karena merupakan
organisme saprofit dan mampu memecah bahan-bahan organik kompleks menjadi
bahan yang lebih sederhana. Di bawah mikroskop dapat dilihat bahwa kapang
terdiri dari benang yang disebut hifa, kumpulan hifa ini dikenal sebagai miselium.
Kapang tersebut mudah dijumpai pada bagian-bagian ruangan yang lembab,
seperti langit-langit bekas bocor, dinding yang dirembesi air, atau pada perabotan
lembab yang jarang terkena sinar matahari (Lampiran 2). Kapang melakukan
reproduksi dan penyebaran menggunakan spora. Spora kapang terdiri dari dua
jenis, yaitu spora seksual dan spora aseksual. Spora aseksual dihasilkan lebih
cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan spora seksual. Spora
aseksual memiliki ukuran yang kecil (diameter 1-10 μm) dan ringan, sehingga
penyebarannya umumnya secara pasif menggunakan aliran udara, apabila spora
tersebut terhirup oleh manusia dalam jumlah tertentu akan mengakibatkan
gangguan kesehatan (Pelczar et al., 2008).
Nomor isolat 10 sampai dengan 14 merupakan jamur jenis khamir. Khamir
merupakan jenis fungi uniseluler. Istilah khamir umumnya digunakan untuk
bentuk-bentuk yang menyerupai jamur dari kelompok Ascomycetes yang tidak
40
berfilamen tetapi uniseluler berbentuk semibulat dan bulat. Bentuk khamir dapat
bulat cembung sampai semibulat, kadang dapat membentuk miselium semu.
Ukuran juga bervariasi. Struktur yang dapat diamati meliputi dinding sel,
sitoplasma, vakuol air, globula lemak dan granula. Kebanyakan khamir
melakukan reproduksi secara aseksual melalui pembentukan tunas secara
multilateral ataupun polar. Reproduksi secara seksual menghasilkan askospora
melalui konjugasi dua sel atau konjugasi dua askospora yang menghasilkan sel
anakan kecil (Pelczar et al., 2008).
Berdasarkan jumlah koloni setiap jamur yang ditemukan pada ruang
tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat
Tangerang Selatan, dapat diketahui persentase setiap jamur yang tumbuh dan
memiliki tingkat kehadiran yang dominan. Hal tersebut dapat menunjukkan jamur
yang dominan keberadaannya di ruang tunggu Puskesmas, sehingga dapat
diwaspadai dan dicegah terkait infeksi yang mungkin terjadi. Persentase
keberadaan jamur yang mendominasi dari hasil pengukuran di ruang tunggu
Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang
Selatan dapat dilihat pada Gambar 4.2 sebagai berikut:
Gambar 3 Persentase Keberadaan Isolat Jamur
41
Berdasarkan Gambar 3, persentase keberadaan jamur dominan yang
tumbuh pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-
Perawatan Ciputat Tangerang Selatan. Total jenis isolat jamur yang ditemukan
pada kedua ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-
Perawatan Ciputat Tangerang Selatan adalah 14 jenis isolat jamur. Jenis jamur
Neurospora sp. hanya ditemukan pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan
Ciputat Timur, sedangkan jenis jamur Aspergillus sp.1, Cryptococcus sp.,
Candida sp.1, Candida sp.2 dan Rhodoturula sp. hanya ditemukan pada ruang
tunggu Puskesmas Non-Perawatan Ciputat.
Jenis jamur yang memiliki persentase keberadaan tertinggi adalah
Saccharomyces sp. Persentase Saccharomyces sp. pada ruang tunggu Puskesmas
Perawatan Ciputat Timur sebesar 23,6% dan Puskesmas Non-Perawatan Ciputat
sebesar 36%. Jenis jamur ini memiliki spora aseksual yang diproduksi dalam
jumlah banyak, berukuran kecil dan ringan, serta tahan terhadap keadaan kering.
Spora ini mudah beterbangan di udara (Sjamsuridzal, 2006). Hal ini yang dapat
membuat Saccharomyces sp. memiliki persentase keberadaan tertinggi pada udara
ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat
Tangerang Selatan.
Jenis jamur dominan selanjutnya adalah isolat 1, yaitu Cladosporium sp.
Persentase Cladosporium sp. pada Puskesmas Perawatan Ciputat Timur sebesar
29,1% dan Puskesmas Non-Perawatan Ciputat sebesar 21,2%. Koloni
Cladosporium sp. memiliki warna hijau kehitaman dan memiliki konidia gelap
berpigmen yang terbentuk dalam rantai sederhana atau bercabang. Cladosporium
sp. hidup sebagai parasit dan sebagai saprofit pada tanaman mati. Spora jamur ini
42
yang tersebar oleh angin membuat penyebarannya sangat berlimpah di udara
bebas (Jeffrey, 1996).
Berdasarkan hasil pengamatan morfologi koloni dan identifikasi jamur
(Tabel 6), isolat Aspergillus sp. ditemukan dengan ciri-ciri yang berbeda, yaitu
pada isloat 2 (Aspergillus niger), isolat 3 (Aspergillus fumigatus) dan isolat 4
(Aspergillus sp.1). Jenis jamur Aspergillus yang paling dominan adalah
Aspergillus fumigatus dengan nilai presentase pada ruang tunggu Puskesmas
Perawatan Ciputat Timur sebesar 10,1% dan Puskesmas Non-Perawatan Ciputat
sebesar 8,6%. Jenis jamur Aspergillus sp.1 hanya ditemukan pada ruang tunggu
Puskesmas Non-Perawatan Ciputat dengan persentase sebesar 0,7%. Aspergillus
sp. merupakan jenis jamur yang sering menimbulkan infeksi penyakit. Berbagai
penyakit berkaitan dengan jamur jenis ini. Aspergilosis merupakan infeksi yang
disebabkan oleh jamur Aspergillus. Jamur ini terdapat di alam bebas, sehingga
sporanya sering diisolasi dari udara. Aspergillus termasuk jamur kontaminan.
Spesies yang sering dianggap penyebab penyakit adalah A. fumigatus, A. niger
dan A. flavus. Cara infeksi tergantung lokasi yang diinfeksi ada beberapa bentuk,
yaitu Aspergilosis kulit, Aspergilosis sinus, Aspergilosis paru dan Aspergilosis
sistemik (Jeffrey, 1996). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zaini (2013),
menunjukkan jenis jamur dari genus Aspergillus yang dapat menyebabkan
Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA) adalah Aspergillus fumigatus.
ABPA ditemukan pada sekitar 7-18% penderita asma dan 5-10% penderita
fibrosis kistik. Spora Aspergillus fumigatus sangat kecil berukuran 3-5 μm
sehingga akan dapat mencapai saluran napas distal jika spora atau miselia ataupun
antigen Aspergillus tersebut terhirup.
43
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mangunnegoro (2008), menunjukkan
Aspergillus fumigatus dapat menyebabkan infeksi paru hingga 90%. Gambaran
klinis bisa berupa pneumoni (radang paru-paru), dalam parenkim paru-paru terjadi
bulatan granulomatosa yang dapat sembuh dan terjadi klasifikasi membentuk coin
lesion. Sputum biasanya mukopurulen dan kadang-kadang terdapat bercak darah.
Penyebaran secara hematogen biasanya ke ginjal dan organ-organ lain.
Aspergillus fumigatus terbukti menghasilkan endotoksin yang mampu
menghemolisis eritrosit manusia dan hewan. Jamur A. fumigatus ternyata memang
merupakan yang paling sering menimbulkan aspergilosis pada manusia. Jamur
Aspergillus lain yang menyebabkan Aspergilosis pada manusia ialah Aspergillus
niger, Aspergillus flavus dan Aspergillus nidulans. Hal ini menunjukkan bahwa
Aspergillus sp. merupakan salah satu jenis jamur yang paling sering ditemukan
dan penyebab kontaminasi udara di ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat
Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan.
Jenis jamur dominan selanjutnya adalah isolat Mucor sp. dan Rhizopus sp.
Persentase Mucor sp. pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur
sebesar 14.4% dan Puskesmas Non-Perawatan Ciputat sebesar 6%. Persentase
Rhizopus sp. pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur sebesar
5,4% dan Puskesmas Non-Perawatan Ciputat sebesar 6,2%. Mucor sp. dan
Rhizopus sp. masuk ke dalam golongan Zygomycetes.
Infeksi yang disebabkan oleh berbagai jamur kontaminan, yaitu
Aspergillus, Candida, Mucor, Rhizopus dan Penicillium disebut otomikosis.
Jamur penyebab otomikosis merupakan jamur kontaminan yang terdapat di udara
bebas. Otomikosis adalah infeksi jamur pada liang telinga bagian luar. Jamur
44
dapat masuk ke dalam liang telinga melalui alat-alat yang dipakai untuk
mengorek-ngorek telinga yang terkontaminasi, melalui udara atau air
(Gandahusada et al., 1988). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Edward dan
Irfandy (2012), kasus otomikosis pada seorang wanita umur 41 tahun ditemukan
jenis-jenis jamur Aspergillus flavus, Aspergillus fumigatus, Aspergillus terreus,
Candida albicans dan Candida parapsilosis. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Kumar (2005), dari kultur biakan yang diambil dari penderita otomikosis
didapatkan isolate-isolat jamur Aspergillus niger (52,43%), Aspergillus fumigatus
(34,14%), C.albicans (11%), C.pseudotropicalis (1,21%) dan Mucor sp. (1,21%).
Hal ini perlu diwaspadai oleh pasien, keluarga pengantar pasien dan paramedis
Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang
Selatan karena ditemukan genera jamur penyebab penyakit otomikosis.
Hasil penelitian ini menemukan jamur Fusarium sp., persentase
keberadaannya terendah, yaitu pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat
Timur sebesar 1,1% dan Puskesmas Non-Perawatan Ciputat sebesar 0,5%.
Fusarium adalah salah satu genus jamur berfilamen yang hidup dan
berkembangbiak di batang tanaman dan di permukaan tanah. Keadaan ruang
tunggu pada kedua Puskesmas berjarak cukup jauh dari tanaman dan tanah hal ini
memungkinkan Fusarium sp. ditemukan dalam jumlah yang sedikit dan menjadi
presentase keberadaannya terendah. Golongan Fusarium dicirikan dengan struktur
tubuh berupa miselium bercabang, hialin, dan bersekat (septat) dengan diameter
2-4 µm. Jamur ini juga memiliki struktur fialid yang berupa monofialid ataupun
polifialid dan berbentuk soliter atau merupakan bagian dari sistem percabangan
yang kompleks. Reproduksi aseksual jamur ini menggunakan mikrokonidia yang
45
terletak pada konidiospora yang tidak bercabang dan makrokonidia yang terletak
pada konidiospora bercabang dan tak bercabang. Makrokonidia dibentuk dari
fialid, memiliki struktur halus serta bentuk silindris, dan terdiri dari 2 atau lebih
sel yang memiliki dinding sel tebal. Mikrokonidia yang dihasilkan umumnya
terdiri dari 1-3 sel, berbentuk bulat atau silinder, dan tersusun menjadi rantai atau
gumpalan (Gandjar et al., 1999).
Hasil penelitian ini menemukan jenis jamur Candida sp., keberadaannya
sering ditemukan pada setiap cawan petri sampel jamur udara pada kedua ruang
tunggu Puskesmas. Jamur dari genus Candida dapat berpotensi menimbulkan
penyakit pada manusia. Menurut Crofton et al., (2001), menunjukkan 50%
penderita Tuberkulosis (TB) paru bisa dijumpai Candida albicans dalam dahak
mereka, sehingga untuk menetapkan bahwa seseorang menderita Kandidiasis
bronkial harus diperiksa dan dijumpai kepositifan organisme ini di dahak secara
berulang-ulang. Gambaran radiologik foto dada biasanya normal atau dijumpai
pengaburan berupa garis di lapangan tengah dan bawah paru. Pasien yang
menderita kandidiasis paru biasanya tampak lebih sakit, mengeluh demam dengan
pernapasan dan nadi yang cepat. Selain itu muncul batuk, hemaptoe, sesak dan
nyeri dada. Pada foto dada biasa tampak pengaburan dengan batas tidak jelas
terutama di lapangan bawah paru. Bayangan lebih padat atau efusi pleura bisa
juga dijumpai pada foto dada. Diagnosis dengan menemukan jamur Candida di
sputum serta kultur yang positif dengan medium Agar Sabouraud.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukamto (2010), dari 131 bahan
dahak penderita TB yang diteliti, didapatkan jamur Candida spp. dengan
frekuensi terbanyak (40,45%), diikuti berturut-turut oleh Aspergillus spp., (19,84),
46
Zygomycetes (6,87%), Norcardi spp., (2,29%), Geotrichum (1,52) dan lain-lain
(1,55%). Penularan TB paru terjadi melalui batuk, bersin, berbicara atau meludah.
Data penderita TB di Puskesmas Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat
Tangerang Selatan sekitar 23%. Hal ini perlu diwaspadai pada para pengunjung
Puskesmas Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan
dikarenakan ditemukan jenis-jenis jamur dari penyakit TB ini.
Hasil penelitian ini menemukan jenis jamur Cryptococcus sp., presentase
keberadaan jamur ini tidak begitu dominan karena hanya ditemukan pada ruang
tunggu Puskesmas Non-Perawatan Ciputat dengan presentase sebesar 2,6%. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Efida dan Desiekawati (2010), jenis jamur dari
genus Cryptococcus yang dapat menyebabkan kriptokokosis adalah Cryptococcus
neoformans. Jamur Cryptococcus neoformans dapat tumbuh di permukaan tanah.
Transmisi penyakit ini terjadi secara inhalasi melalui basidiospora yang terhirup
bersama udara dan debu lingkungan yang terkontaminasi, kemudian masuk ke
paru. Penyakit ini dapat mengenai penderita dengan sistem imun rendah umumnya
penderita HIV/AIDS. Tes aglutinasi tabung mendeteksi hanya 30% pasien dengan
Cryptococcus, immunofluorescence assay (IFA) mendeteksi 38% kasus dengan
Cryptococcus.
Fluktuasi konsentrasi partikel bioaerosol yang signifikan di ruangan
rumah sakit atau Puskesmas dapat berhubungan dengan variasi penghuni ruangan
seperti pasien (dengan berbagai macam penyakit), paramedis, dan pengunjung
serta kegiatan yang dilakukan (Li dan Hou, 2003). Pengambilan sampel udara
harus secara teratur dilakukan untuk beberapa tujuan, seperti epidemiologi,
47
pengawasan, penelitian, keselamatan atau tujuan kontrol kualitas udara (Joseph
dan Anjali, 2006).
4.3 Hasil Analisis Pengaruh Faktor Fisik Udara dan Jumlah Orang
Terhadap Konsentrasi Jamur Udara dan Hasil Observasi pada Ruang
Tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan
Ciputat Tangerang Selatan
Berdasarkan analisis uji regresi linier berganda atau uji korelasi diketahui
bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara konsentrasi jamur dengan faktor fisik
suhu, kelembaban udara, intensitas cahaya dan jumlah orang, dengan nilai
signifikansi suhu adalah 0,329, kelembaban udara 0,323, intensitas cahaya 0,527
dan jumlah orang 0,827 yang seluruhnya melebihi 0,05 (H0 diterima) (Lampiran
1). Hasil angka R sebesar 0,461, menunjukkan korelasi (keeratan hubungan)
antara konsentrasi jamur dengan faktor fisik suhu, kelembaban udara, intensitas
cahaya dan jumlah orang adalah korelasi sedang. Hasil uji regresi menunjukkan
angka R Square sebesar 0,213, hal ini berarti 21,3% konsentrasi jamur dapat
dijelaskan oleh variasi keempat variabel bebas yang meliputi suhu, kelembaban
udara, intensitas cahaya dan jumlah orang, sedangkan 78,8% dapat dipengaruhi
oleh faktor lain, seperti sistem ventilasi, kondisi ventilasi, kondisi ruangan, kadar
debu, material bangunan dan frekuensi pembersihan ruang tunggu Puskesmas
Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan.
Sistem ventilasi mempengaruhi sirkulasi udara dan laju aliran udara yang
berpotensi membawa mikroorganisme di udara dan mempengaruhi konsentrasi
jamur di udara. Sistem ventilasi pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat
Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan menggunakan sistem
48
ventilasi pasif. Sistem ventilasi pasif adalah sistem aliran udara yang didapat dari
alam atau lingkungan bebas, yaitu lubang angin atau jendela pada sisi dinding
yang berhadapan serta sejajar dengan arah angin lokal. Hal ini dapat berpotensi
masuknya mikroorganisme dan spora jamur dari lingkungan bebas ke dalam ruang
tunggu Puskesmas. Kondisi ventilasi yang berdebu dapat mempengaruhi kualitas
udara. Sistem ventilasi dan kondisi ventilasi dapat memberi dampak kepada
penghuni ruangan tersebut (Sulistiowati, 2001). Konsentrasi mikroba dalam
ruangan akan bertambah banyak pada ruangan yang kondusif untuk
pertumbuhannya. Material biologi yang mengalir di udara dan bertumpuk di
ruangan dan menutupi permukaan interior akan menyebabkan perubahan kualitas
udara dalam ruangan. Sedikit saja sumber karbon dan air di ruangan akan menjadi
media pertumbuhan mikroorganisme (Pudjiastuti et al., 1998).
Kondisi ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-
Perawatan Ciputat Tangerang Selatan yang berbatasan langsung dengan lahan
parkir dapat mempengaruhi kualitas udara dan konsentasi jamur udara dalam
ruang tunggu Puskesmas. Masuknya asap kendaraan ke dalam ruangan
meningkatkan kadar debu dalam ruangan. Partikulat Respirable Suspended
Particulate (RSP) atau partikulat debu dapat mengandung mikroorganisme dan
spora jamur yang dapat terhirup oleh manusia. Partikulat RSP dapat terakumulasi
di dalam paru-paru, oleh karenanya efek yang disebabkan oleh partikulat ini bisa
sangat berbahaya walaupun konsentrasinya di udara sangat kecil. Di dalam paru-
paru, partikulat RSP dapat menetap lama dan mampu mempengaruhi jaringan-
jaringan disekitarnya (Spengler et al., 2001).
49
Jamur merupakan organisme saprofit, yaitu dapat memecah bahan-bahan
organik kompleks menjadi bahan yang lebih sederhana. Jamur juga merupakan
organisme heterotrof yang berarti membutuhkan sumber karbon organik dari luar
(Pelczar et al., 2008). Material bangunan dan benda pada ruang tunggu Puskesmas
yang mengandung karbon organik dapat dijadikan tempat pertumbuhan jamur dan
dapat mempengaruhi konsentrasi jamur udara pada ruang tunggu Puskesmas.
Material bangunan dan benda yang mengandung karbon organik yang dapat
dijadikan tempat pertumbuhan jamur, yaitu bangku kayu ruang tunggu
Puskesmas, lemari kayu, langit-langit ruangan, filter udara, keset kain, tumpukan
kertas dan lain-lain (Lampiran 2). Kondisi tersebut memiliki potensi sebagai
sumber kontaminasi jamur di dalam ruang tunggu Puskesmas.
Frekuensi pembersihan ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur
dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan juga dapat mempengaruhi
konsentrasi jamur di udara. Tempat-tempat yang dijadikan pertumbuhan jamur
harus segera dibersihkan. Pembersihan lantai, ventilasi dan tempat sampah pada
ruang tunggu Puskesmas harus dibersihkan dengan frekuensi 3 kali dalam sehari.
Hal ini dilakukan untuk menghilangkan pertumbuhan jamur yang dapat menjadi
sumber kontaminasi dalam ruangan (Kepmenkes RI No. 1204, 2004).
Hasil observasi dilakukan pada saat sampling ruang tunggu Puskesmas
Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan, yaitu
saat jam kunjung teramai pada pukul 08-00 – 12.00 WIB. Jam kunjung teramai
sama dengan jumlah orang terbanyak dalam ruang tunggu Puskesmas. Waktu
tersebut berpotensis besar terjadinya penularan penyakit dari orang sakit ke orang
sehat maupun sebaliknya dan berpengaruh terhadap konsentrasi jamur.
50
Keadaan ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-
Perawatan Ciputat Tangerang Selatan dicatat, untuk diketahui potensi tersebarnya
jamur di ruang tunggu tersebut. Hal ini dapat dijadikan gambaran kondisi awal
untuk perbaikan dan pengendalian infeksi akibat jamur yang mungkin terjadi di
ruang tunggu Puskesmas. Kondisi ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat
Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan saat dilakukan sampling
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kondisi Saat Sampling pada Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan
Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan
Puskesmas Pintu
Masuk
Ruang
Tunggu
Luas
Ruangan (m2)
Jendela dan
kondisi
Kipas Angin Tempat
sampah
Perawatan 2
RTP 1 52 8 tertutup, 4
terbuka
Tidak ada 3
RTP 2 12 2 tertutup Tidak ada 1
Non-
Perawatan 3
RTA 14 2 tertutup, 1
terbuka
Tidak ada 2
RTLP 16 2 tertutup, 1
terbuka
Tidak ada 2
RTP 1 21 12 tertutup, 1
terbuka
1 nyala,
2 tidak
menyala
2
RTP 2 21 4 tertutup, 1
terbuka
1 nyala,
2 tidak
menyala
3
Keterangan : RTP (Ruang Tunggu Periksa), RTA (Ruang Tunggu Apotek) dan
RTLP (Ruang Tunggu Loket Pendaftaran).
Tabel 8. menunjukkan kondisi ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat
Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan saat sampling. Kondisi
jendela tertutup pada ruang tunggu kedua Puskesmas ini merupakan jendela yang
membatasi antara ruang tunggu dengan ruang periksa. Ruang periksa yang
dilengkapi dengan Air Conditioner (AC) kondisi jendela selalu tertutup. Kondisi
jendela terbuka pada kedua ruang tunggu Puskesmas ini merupakan jendela yang
membatasi antara ruang tunggu dengan lingkungan luar. Jendela dan pintu masuk
51
yang terbuka dapat menyebabkan masuknya bioaerosol lain dari lingkungan luar
ke dalam ruang tunggu.
Berdasarkan hasil observasi pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan
Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan dapat diketahui
kondisi ruangan saat sampling yang meliputi kondisi jendela, kipas angin dan
pintu. Selain itu dinding ruangan dan langit-langit ruangan dapat diperhatikan
dengan kasat mata terdapat pertumbuhan jamur yang dapat menjadi sumber
tersebarnya spora jamur yang tersebar ke udara (Lampiran 2). Keberadaan tempat
sampah yang berada di ruang tunggu dapat dijadikan tempat perkembangbiakan
jamur yang baik dan koloni jamur dapat melepaskan sporanya ke udara, sehingga
menjadi sumber kontaminan jamur udara. Kondisi komponen tersebut menjadi
penting diperhatikan terkait dengan keberadaan jamur udara. Selain kondisi
tersebut, jamur dapat disebarkan ke udara oleh kegiatan penghuni yang berada di
dalam ruang tunggu Puskesmas.
Kondisi tidak adanya kipas angin atau tidak menyalanya kipas angin
menyebabkan tingginya suhu dan kelembaban pada ruang tunggu. Pasien maupun
keluarga pengantar pasien yang menunggu di ruang tunggu mengeluhkan tidak
adanya kipas angin atau tidak menyalanya kipas angin menyebabkan panasnya
kondisi di dalam ruang tunggu. Penggunaan alas kaki yang tidak dilepas oleh para
pengunjung Puskesmas saat masuk ke dalam ruang tunggu dapat menyebabkan
masuknya mikroorganisme ke dalam ruang tunggu. Proliferasi jamur sering
ditemukan ditempat yang tinggi kelembabannya, dapat terlihat dari area ruangan
yang memiliki kelembaban dan substrat yang mendukung adanya pertumbuhan
jamur seperti langit-langit ruangan (Karuppasamy et al., 2013).
52
Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata suhu pada ruang tunggu
Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat (Lampiran 4)
memiliki nilai rentang suhu 28-320C. Standar suhu ruangan pada Rumah Sakit
atau Puskesmas berdasarkan Pedoman Teknis Prasarana Rumah Sakit Sistem
Instalasi Tata Udara adalah 20-23ºC. Hal ini menunjukkan suhu pada ruang
tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat berada
diatas batas standar yang ditentukan. Berdasarkan hasil pengamatan, kipas angin
yang tidak menyala maupun tidak tersedianya kipas angin dapat meningkatkan
suhu. Selain itu tingginya suhu ruang tunggu kedua puskesmas tersebut dapat
berasal dari panas yang dihasilkan dari banyaknya aktivitas maupun jumlah
manusia di dalam ruangan tersebut. Temperatur atau suhu adalah faktor fisik yang
cukup penting dan mempengaruhi pertumbuhan jamur. Suhu di dalam ruangan
rentang 18-24ºC adalah suhu optimal bagi pertumbuhan kebanyak jamur,
meskipun beberapa jenis jamur dapat hidup juga di rentang suhu yang luas.
Sedikit jamur yang mempunyai optimal diatas 30ºC, yaitu Aspergillus fumigatus.
Jamur di dalam lingkungan tidak tumbuh jika suhu di atas 30ºC, namun spora
jamur lebih tahan panas dari pada miseliumnya dan memiliki rentang suhu yang
luas (Spengler et al., 2001).
Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata kelembaban udara pada ruang
tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat
(Lampiran 4) memiliki nilai rentang kelembaban udara 72-93%. Standar
kelembaban udara ruangan pada Rumah Sakit atau Puskesmas berdasarkan
Kepmenkes RI No. 1204 tahun 2004, yaitu 45-60%. Hal ini menunjukkan
kelembaban udara pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan
53
Non-Perawatan Ciputat berada diatas batas yang ditentukan. Berdasarkan hasil
pengamatan, jumlah orang yang berada pada ruang tunggu yang padat dan ukuran
ruang tunggu yang kecil menyebabkan tingginya kelembaban udara pada ruang
tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat
Tangerang Selatan.
Kelembaban ruangan yang tinggi dapat mempengaruhi penurunan daya
tahan tubuh seseorang dan merupakan sarana yang baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme sehingga tubuh rentan terhadap penyakit terutama penyakit
Sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam ruangan
menjadi rendah sehingga kelembaban udaranya tinggi. Sebuah ruangan yang
memiliki kelembaban udara tinggi memungkinkan adanya hewan pembawa
penyakit dan jamur yang semuanya memiliki peran besar dalam patogenesis
penyakit pernafasan. Ruangan yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi
syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi orang-orang yang berada diruang
tersebut.Ruangan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme,
antara lain jamur, bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut
dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi
dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang
efektif dalam menghadang mikroroganisme (Sulistiowati, 2001).
Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata intensitas cahaya pada ruang
tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat
(Lampiran 4) memiliki nilai rentang intensitas cahaya 300-1300 lux. Berdasarkan
hasil pengamatan, cahaya pada ruang tunggu tersebut berasal dari cahaya matahari
yang masuk ke dalam ruangan dan lampu ruangan yang dinyalakan. Jumlah lampu
54
yang dinyalakan sedikit karena hanya dinyalakan pada sudut-sudut tempat yang
kekurangan cahaya. Salah satu syarat ruangan sehat adalah tersedianya cahaya
yang cukup, karena suatu ruangan yang tidak mempunyai cahaya selain dapat
menimbulkan perasaan kurang nyaman, juga dapat menimbulkan penyakit. Sinar
matahari berperan secara langsung dalam mematikan jamur dan mikroorganisme
lain yang terdapat di lingkungan ruangan, khususnya sinar matahari pagi yang
dapat menghambat perkembangbiakan jamur patogen (Sulistiowati, 2001).
Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata jumlah orang pada ruang tunggu
Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat (Lampiran 4)
memiliki nilai rentang 112-325 orang dan total luas ruang tunggu Puskesmas
Perawatan Ciputat Timur sebesar 52 m2 sedangkan pada Puskesmas Non-
Perawatan Ciputat sebesar 72 m2. Standar kepadatan hunian pada ruangan
berdasarkan Kepmenkes RI No. 829 (1999), yaitu luas ruangan atau kamar
minimal 8 m2 dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang atau 4 m2/orang.
Kepadatan hunian pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan
Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan mencapai sekitar 0,4 m2/orang. Hal ini
menunjukan jumlah orang yang berada pada ruang tunggu Puskesmas Perawatan
Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat melebihi kapasitas ruang tunggu dan
banyak orang-orang yang tidak mendapatkan tempat duduk, sehingga berdiri
(Lampiran 2). Jumlah orang pada ruang tunggu terlihat padat dan dengan ukuran
ruang tunggu yang kecil menyebabkan tingginya suhu dan kelembaban udara.
Rasa panas, rasa tidak nyaman serta menahan rasa sakit, hal ini yang para pasien
keluhkan menunggu periksa pada Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-
Perawatan Ciputat Tangerang Selatan.
55
Aktivitas manusia dalam ruang tunggu Puskesmas seperti berbicara, batuk,
berjalan adalah sebagian aktivitas yang dapat menghasilkan partikel biologi di
udara dan dapat menambah konsentrasi jamur (Maeir et al., 2002). Keringat
manusia juga dikenal mempengaruhi kelembaban. Semakin banyak manusia
dalam satu ruangan, kelembaban semakin tinggi khususnya karena uap air baik
dari pernafasan maupun keringat. Kelembaban dalam ruangan tertutup dimana
banyak terdapat manusia didalamnya lebih tinggi dibanding di luar ruangan
(Setyaningsih, 2003).
Kepadatan penghuni ruangan juga dapat mempengaruhi kesehatan, karena
jika suatu ruangan yang penghuninya padat dapat memungkinkan terjadinya
penularan penyakit dari satu manusia kemanusia lainnya. Kepadatan penghuni di
dalam ruangan yang berlebihan akan berpengaruh, hal ini dapat berpengaruh
terhadap perkembangan bibit penyakit dalam ruangan. Kepadatan penghuni dalam
ruangan merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan insiden penyakit
Tuberkulosis Paru dan penyakit-penyakit lainnya yang dapat menular. Oleh sebab
itu jumlah penghuni di dalam ruangan harus disesuaikan dengan luas ruangan agar
tidak terjadi kepadatan yang berlebihan (Kepmenkes RI No. 829, 1999).
Luas ruangan atau kamar minimal 8 m2 dianjurkan tidak untuk lebih dari 2
orang. Persyaratan tersebut diatas berlaku juga terhadap kondominium, rumah
susun (rusun), rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan) pada zona pemukiman.
Pelaksanaan ketentuan mengenai persyaratan kesehatan perumahan dan
lingkungan pemukiman menjadi tanggung jawab pengembang atau penyelenggara
pembangunan perumahan dan pemilik (Kepmenkes RI No. 829, 1999).
56
Kesehatan Lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau keadaan
lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya
status kesehatan yang optimum pula. Adapun yang dimaksud dengan usaha
kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau
mengoptimalkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik
untuk terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup
didalamnya. Sanitasi lingkungan adalah prinsip-prinsip untuk meniadakan atau
setidak-tidaknya mengurangi faktor-faktor pada lingkungan yang dapat
menimbulkan penyakit, melalui kegiatan-kegiatan yang ditunjukkan untuk
mengendalikan sanitasi air, pembuangan kotoran, air buangan dan sampah,
sanitasi udara, vektor dan binatang pengerat. Hal ini perlu dilakukan untuk
menciptakan kondisi lingkungan yang mampu menopang keseimbangan ekologi
yang dinamis antara manusia dan lingkungannya untuk mendukung tercapainya
kualitas hidup manusia yang sehat dan bahagia (Chandra, 2007).
57
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Tidak ada perbedaan konsentrasi jamur yang signifikan pada ruang tunggu
Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat
Tangerang Selatan. Rata-rata konsentrasi jamur udara pada ruang tunggu
Puskesmas Perawatan Ciputat Timur Tangerang Selatan sebesar 432
CFU/m3 dan Puskesmas Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan
sebesar 495 CFU/m3. Nilai konsentrasi tersebut masih dibawah standar
yang ditentukan oleh WHO tahun 2009 tentang Mold and Dampness
Indoor Air, yaitu kurang dari 500 CFU/m3.
2. Faktor fisik suhu, kelembaban udara, intensitas cahaya dan jumlah orang
berpengaruh terhadap konsentrasi jamur sebesar 21,3%, sedangkan 78,8%
dapat dipengaruhi oleh faktor lain, seperti sistem ventilasi, kondisi
ventilasi, kondisi ruangan, kadar debu, material bangunan dan frekuensi
pembersihan ruang tunggu Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-
Perawatan Ciputat Tangerang Selatan.
5.2 Saran
1. Pihak Puskesmas disarankan untuk melakukan pengoptimalan ventilasi
dan alat elektronik seperti kipas angin pada ruang tunggu Puskesmas agar
mengurangi tingginya suhu dan kelembaban udara. Material dan benda-
benda dalam ruang tunggu Puskesmas juga perlu diperhatikan untuk
dibersihkan secara berkala dan dengan teknik yang benar.
57
58
2. Pencegahan atau antisipasi secara dini dapat dilakukan untuk terhindar dari
penularan penyakit dari orang sakit maupun sebaliknya yang dapat
dilakukan oleh pasien, keluarga pengantar pasien dan para medis dengan
cara menggunakan masker.
3. Penelitian lebih lanjut tentang kualitas udara dalam ruangan dengan
parameter jamur udara disarankan untuk pengambilan sampel lebih banyak
dan menambahkan lebih banyak variabel bebas selain suhu, kelembaban
udara, intensitas cahaya dan jumlah orang dalam ruangan.
59
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F. 2005. Pencemaran Udara dan Gangguan Penyakit Pernapasan
Non Infeksi. Manajemen penyakit berbasis wilayah. Penerbit Buku
Kompas.
Ari Susilowati, Shanti Listyawati. 2001. Keanekaragaman Jenis Mikroorganisme
Sumber Kontaminasi Kultur In vitro di Sub-Lab. Biologi Laboratorium
MIPA Pusat UNS. Jurnal Biodiversitas. 2(1) : 110-114.
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. 2004. Pencemaran Udara. Jakarta.
Badan Pusat Statistika. 2013. Jumlah Penduduk Kota Tangerang Selatan.
Tangerang Selatan.
Brooks, G.F., Butel, J.S., Morse, S.A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran.
Terjemahan tim FKUI. Salemba Medika Utama. Jakarta.
John Webster dan Roland Weber. 2007. Introduction to Fungi. Cambridge
University Press. Cambridge.
Chandra, F. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan, cetakan 1. EGC. Jakarta.
Carol, Y., Roa, A. Harret, Burge. 2012. Quantitative Standards and Guidelines for
Fungi in Indoor Air. Journal of the Air and Waste Management
Assosiation. 46(9): 899-908.
CIAR. 1996. Sick Building Syndrome, Biological Aerosols and System Control of
Indoor Air Quality. Published by CIAR. Maryland.
Cox, C.S., Wathes, C.M. 1995. Bioaerosols Handbook. Lewis Publisher. New
York.
Crofton J, Douglas A,Wattles.2001. Fungi Infection of the Lung. In: Respiratory
Diseases. Blackwell Scientific Publications. p: 329-45.
David, E., D. Stephen, R. Handke, R. Bartley. 2007. Descriptions of Medical
Fungi. Molecular & Biomedical Science University of Adelaide. Adelaide.
Dinas Kesehatan kota Tangerang Selatan. 2012. Profile beserta Visi dan Misi.
http://dinkes-tangsel.com/p/tentang-dinkes.html Diakses pada 21 Oktober
1014 pukul 19.08 WIB.
Djuanda, A., Hamzah, M. Aisah, S. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
60
Eduard, W.R. 2009. Fungal Spores: a Critical Review of the Toxicological and
Epidemiological Evidence as a Basis for Occupational Exposure Limit
Setting. Crit Rev Toxicol. 39: 799-864.
Edward, Y dan Irfandy, D. 2012. Otomycosis. Jurnal Kesehatan Andalas. 1: 2.
Efida dan Desiekawati. 2012. Kriptokokal meningitis: Aspek klinis dan diagnosis
laboratorium. Jurnal Kesehatan Andalas. 1: 1.
Elsberry, RB. 2007 Indoor Air Pollution Can Sicken Office Workers. Electrical
Apparatus. August. 18: 34-44.
Eni, K. 2007. Viabilitas dan Morfologi Aspergillus fumigatus pada Penyimpanan
dengan Kertas Saring dan Agar Dalam Air Suling. Jurnal Besar Penelitian
Veteriner. Bogor.
EPA (Environmental Protection Agency). 2010. SOP Sampling and
Characterization of Bioaerosols in Indoor Air. Enviromental health and
Engineering. U.S.
Fletcher, L.A., C.J. Noakes, C.B. Begg, P.A. Sleigh. 2010. The Importance of
Bioaerosols in Hospital Infections and the Potential for Control using
Germicidal Ultraviolet Irradiation. Journal University of Leeds. 26: 142-
158.
Gandahusada, S., Wita, P., Herry, D. 1988. Parasitologi Kedokteran. FKUI.
Jakarta.
Gandjar, I., R.A. Samson, K. Vanden, A. Oetari, I. Santoso. 1999. Pengenalan
Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Haisley, P. dan G. Wong. 2002. Fungal Colonization of Building Material and
Impact on Occupant Health. Manoa: Departement of Botany.University of
Hawai. Hawai.
Ilyas, M. 2007. Isolasi dan Identifikasi Kapang pada Relung Rizosfir Tanaman di
Kawasan Cagar Alam Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur. Jurnal
Biodiversitas. 7(3): 216-220.
Iq, S.F. 2014. Kualitas Udara Ruang Rawat Inap Rumah Sakit dengan Parameter
Jamur (Studi Kasus: Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta
Selatan). Skripsi FST UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta.
61
Jeffrey C, Edman. 1996. Mikrobiologi Kedokteran edisi ke-20. EGC. Jakarta.
Joseph dan Anjali. 2006. The Impact of the Environment Infections in Healtcare
Facilities. Gateway Boulevard. USA.
Karuppasamy, C., R. Lalsanglura, R. Kannan, Saravanakumar. 2013. A
Preliminary Assesment of Aerofungal Allergens from the Wards of Civil
Hospital Aizawl. International Jounal of Enviroment Science. 4(3): 274-
283.
Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 132. 2010. Pedoman Kerja Puskesmas
III Tahun 2010/2011. Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 829. 1999. Persyaratan Kesehatan
Perumahan. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1204. 2004. Tentang Persyaratan
Lingkungan Rumah Sakit. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1335. 2002. Standar Operasional
Pengambilan dan Pengukuran Sampel Kualitas Udara Ruangan Rumah
Sakit. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta.
Kumar, A. 2005. Fungal Spectrum in Otomycosis Patiens. JK Science. 3: 152-
155.
Li, C.S. dan P.A. Hou. 2003. Bioaerosol Characteristic in Hospitals Clean Rooms.
Journal Science Total Environment. 305: 169-176.
Maeir, R.M., Pepper, J.L., Gerba, P.C. 2002. Environmental Microbiology.
Academic Press. Canada.
Mandal, J. dan H. Brandl. 2011. Bioaerosols in Indoor Environment : A Review
with Special Reference to Residential and Occupational Locations. The
Open Environmental and Biological Monitoring Journal. 4: 83-96.
Mangunnegoro, H. 2008. Pulmonologi klinik FKUI. Berbagai Permasalahan
Dalam Penyakit Tuberkulosis Paru.. 8: 73 -79.
Merlin. 2012. Studi Kualitas Udara Mikrobiologi dengan Parameter Jamur pada
Ruangan Pasien Rumah Sakit (Studi Kasus: Ruang Rawat Inap Gedung A
62
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Ciptomangunkusumo). Skripsi
FTUI. Depok.
Miller, Hung. F, Dillon. 2005. Field Guide for the Determination of Biological
Contaminants in Environmental Samples 2nd edition. AIHA.
NIOSH (National Institute for Occupational Safety and Health). 1989. Indoor Air
Quality. Selected References. Ohio.
Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
Peavy, Howard S., Donald R. Rowe, Tchobanoglous G.1985. Environmental
Engineering. McGraw-Hill Inc. New York.
Pelczar, J. Michael, E.C.S. Chan. 2008. Dasar-dasar Mikrobiologi Jilid 1.
Penerjemah Ratna Siri Hadioetomo. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun 1999. Mengenai Pengendalian Pencemaran
Udara.
Pollard, S.J.T., Edwards, R.A., Fleet, G.H., Wootton, M. 2006. Bioaerosol
releases from compost facilities: evaluating passive and active source
terms at green waste facility for improved risk assesment. Atmospheric
Environment. 40: 1159-1169.
Pudjiastuti, L., Rendra, S., Santosa, H.R. 1998. Kualitas Udara dalam Ruang.
Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Setyaningsih, Y. Soebijanto, Soedirman. 2003. Hubungan antara kualitas udara
dalam ruangan berpendingin sentral dan Sick Building Syndrome. Sains
Kesehatan, 16(3): 373-388.
Sjamsuridzal, W. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta.
Spengler, J., Samet, J.M., McCarthy, F. 2001. Indoor Air Quality. McGraw-Hill.
New York.
Srikandi, F. 1993. Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta.
63
Sudarmanto, R. 2005. Analisis Linier Ganda dengan SPSS. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Sukamto, T. 2010. Pemeriksaan Jamur Bilasan Bronkus pada Penderita
Tuberkulosis Paru. Skripsi FKUSU. Sumatra Utara.
Sulistiowati. 2001. Hubungan antara Kualitas Fisik dan Mikrobiologi Udara
dalam Ruang dengan Kejadian SBS. Depok.
Tavora, L.G., W. Gambale, E.M. Heins, G.L. Arriagada, A. Levin. 2003.Compara
tive Performance of Two Air Sampler for Monitoring Airborne Fungal.
Brazillian Journal of Medical and Biological Research. 36: 613-616.
Trinanda, N.G. 2011. Analisis Kualitas Udara Mikrobiologi di Fasilitas
Pengomposan dan Wilayah Sekitarnya. (Studi Kasus : UPS Jalan Jawa,
Depok. Skrpsi FTUI. Depok.
Wuryanti. 2008. Pengaruh Penambahan Biotin Pada Media Pertumbuhan
Terhadap Produksi Sel Aspergillus niger. Jurnal Kimia FMIPA UNDIP.
10(2) : 46-50.
WHO (World Health Organization). 2009. Guidelines for Indoor Air Quality:
Dampness and Mould. Europa.
Zaini, J. 2013. Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis. J Respir Indo. 33: 3.
64
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Analisis SPSS
1. Perbandingan Konsentrasi Jamur terhadap Puskesmas Perawatan dan
Non-Perawatan Tangerang Selatan
ANOVA
Konsentrasi
Sum of Squares df Mean Square F Sig,
Between Groups 11656,333 1 11656,333 0,263 0,619
Within Groups 442936,667 10 44293,667
Total 454593,000 11
H0 = Tidak ada pengaruh nyata konsentrasi jamur terhadap Puskesmas Perawatan
Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan.
H1 = Ada pengaruh nyata konsentrasi jamur terhadap Puskesmas Perawatan
Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat Tangerang Selatan.
Sig (0,619) > 0,05 maka H0 diterima
F hitung = 0,263 ; F tabel = df1, df2 : 1, 10 = 4,96
Fhitung < Ftabel : 0,263 < 4,96 maka H0 diterima
Deskripsi Konsentrasi
N Mean Std.
Deviation
Std.
Error
95% Confidence Interval
for Mean
Min Max
Lower
Bound
Upper
Bound
Puskesmas
Perawatan 6 432,33 149,755 61,137 275,17 589,49 177 594
Puskesmas
Non-
Perawatan
6 494,67 257,217 105,008 224,73 764,60 297 989
Total 12 463,50 203,290 58,685 334,34 592,66 177 989
65
2. Perbandingan Konsentrasi Jamur terhadap Faktor Fisik (Suhu,
Kelembaban Dan Intensitas Cahaya) dan Jumlah Orang
ANOVAa
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig,
1
Regression 96687,233 4 24171,808 0,473 0,755b
Residual 357905,767 7 51129,395
Total 454593,000 11
a, Dependent Variable: Konsentrasi
b, Predictors: (Constant), Jumlah_Orang, Suhu, Kelembaban, Intensitas_Cahaya
H0 = Tidak ada pengaruh nyata konsentrasi jamur terhadap faktor fisik (suhu,
kelembaban dan intensitas cahaya) dan jumlah orang.
H1 = Ada pengaruh nyata konsentrasi jamur terhadap faktor fisik (suhu,
kelembaban dan intensitas cahaya) dan jumlah orang.
Sig (0, 755) > 0,05 maka H0 diterima
F hitung = 0,473 ; F tabel = df1, df2 : 4, 7 = 4,12
Fhitung < Ftabel : 0,473 < 4,12 maka H0 diterima
3. Nilai Pengaruh Faktor Fisik (Suhu, Kelembaban Dan Intensitas Cahaya)
dan Jumlah Orang terhadap Konsentrasi Jamur
R Square 0,213 x 100% = 21,3 %, Berarti = 21,3 % dipengaruhi faktor fisik,
78,7% dipengaruhi faktor lain
R = 0,461 yang berarti korelasi sedang.
Model Summaryb
Model R R
Square
Adjuste
d R
Square
Std, Error
of the
Estimate
Change Statistics
R Square
Change
F
Change
df1 df2 Sig, F
Change
1 0,461a 0,213 -0,237 226,118 0,213 0,473 4 7 0,755
a, Predictors: (Constant), Jumlah_Orang, Suhu, Kelembaban, Intensitas_Cahaya
b, Dependent Variable: Konsentrasi
66
4. Analisis Regresi Linear Berganda
Koefisiena
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig,
B Std, Error Beta
1
(Constant) -335,511 2866,947 -0,117 0,910
Suhu 7,959 69,562 0,060 0,114 0,912
Kelembaban 10,848 15,805 0,381 0,686 0,515
Intensitas_Cahaya -16,148 24,938 -0,365 -0,648 0,538
Jumlah_Orang 1,347 1,668 0,543 -0,807 0,446
a, Dependent Variable: Konsentrasi
Persamaan regresi Y = -335,511 + 7,959 X1 + 10,848 X2 – 16,148 X3 + 1,347 X4
5. Analisis Nilai Korelasi Konsentrasi Jamur terhadap Faktor Fisik (Suhu,
Kelembaban Dan Intensitas Cahaya) dan Jumlah Orang
Korelasi
Konsentrasi Suhu Kelembaban Intensitas
_Cahaya
Jumlah
_Orang
Konsentrasi
Pearson Correlation 1 -0,309 0,312 -0,203 0,071
Sig. (2-tailed) 0,329 0,323 0,527 0,827
N 12 12 12 12 12
Suhu
Pearson Correlation -0,309 1 -0,423 0,087 0,325
Sig. (2-tailed) 0,329 0,170 0,788 0,303
N 12 12 12 12 12
Kelembaban
Pearson Correlation 0,312 -0,423 1 -0,620 0,496
Sig. (2-tailed) 0,323 0,170 0,032 0,101
N 12 12 12 12 12
Intensitas_Cahaya
Pearson Correlation -0,203 0,087 -0,620* 1 0,723
Sig. (2-tailed) 0,527 0,788 0,032 0,008
N 12 12 12 12 12
Jumlah_Orang
Pearson Correlation -0,071 0,325 0,496 -0,723 1
Sig. (2-tailed) 0,827 0,303 0,101 0,008
N 12 12 12 12 12
67
5.1 Analisis Nilai Korelasi Konsentrasi Jamur terhadap Suhu
H0: Tidak ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi jamur dengan suhu,
H1: Ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi jamur dengan suhu,
Sig 2 tailed 0,329 > 0,05 tidak ada hubungan signifikan (p > 0,05) (H0 diterima)
Besarnya hubungan -0,309 (tidak mendekati 1),
5.2 Analisis Nilai Korelasi Konsentrasi Jamur terhadap Kelembaban
H0: Tidak ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi jamur dengan
kelembaban,
H1: Ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi jamur dengan kelembaban,
Sig 2 tailed 0,323 > 0,05 tidak ada hubungan signifikan (p > 0,05) (H0 diterima)
Besarnya hubungan 0,312 (tidak mendekati 1),
5.3 Analisis Nilai Korelasi Konsentrasi Jamur terhadap Intensitas Cahaya
H0: Tidak ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi jamur dengan
intensitas cahaya,
H1: Ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi jamur dengan intensitas
cahaya,
Sig 2 tailed 0,527 > 0,05 tidak ada hubungan signifikan (p > 0,05) (H0 diterima)
Besarnya hubungan -0,203 (tidak mendekati 1),
68
5.4 Analisis Nilai Korelasi Konsentrasi Jamur terhadap Jumlah Orang
H0: Tidak ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi jamur dengan jumlah
orang
H1: Ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi jamur dengan jumlah orang
Sig 2 tailed 0,827 > 0,05 tidak ada hubungan signifikan (p > 0,05) (H0 diterima)
Besarnya hubungan 0,071 (tidak mendekati 1)
6. Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Konsentrasi Suhu Kelembaban Intensitas
_Cahaya
Jumlah
_Orang
N 12 12 12 12 12
Normal
Parametersa,b
Mean 463,50 30,025 81,983 4,394 191,83
Std. Deviation 203,290 1,5398 7,1366 4,5891 81,894
Most Extreme
Differences
Absolute 0,205 0,199 0,260 0,225 0,252
Positive 0,205 0,199 0,260 0,225 0,252
Negative -0,123 -0,195 -0,160 -0,186 -0,165
Kolmogorov-Smirnov Z 0,711 0,689 0,900 0,778 0,874
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,694 0,729 0,392 0,580 0,430
a. Distribusi data normal
Sig > 0,05 = Distribusi data normal.
Nilai sig konsentrasi (0,694), suhu (0,729), Intensitas cahaya (0,580) dan jumlah
orang (0,430) > 0,05, sehingga dapat dikatakan data yang diolah merupakan data
berdistribusi normal.
69
Berdasarkan kurva di atas dapat dilihat bahwa data menyebar disekitar kurva
dengan mengikuti model regresi, sehingga dapat dikatakan data yang diolah
merupakan data berdistribusi normal.
70
Lampiran 2. Foto Kondisi Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-
Perawatan Ciputat Tangerang Selatan
Kondisi pada ruang tunggu Puskesmas
Perawatan
Kondisi penuh dan sesak pada ruang
tunggu Puskesmas Non-Perawatan
Titik sampling pada ruang tunggu Puskesmas
Perawatan
Titik sampling pada ruang tunggu
Puskesmas Non-Perawatan
Tempat sampah pada ruang tunggu Puskesmas
Perawatan
Kipas angin yang menyala pada ruang
tunggu Puskesmas Non-Perawatan
71
Pengukuran faktor fisik (suhu dan
kelembaban)
Kipas angin yang tidak menyala pada
ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan
Pengukuran laju udara pada pompa vakum
Cahaya dari lampu yang menyala pada
ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan
Keset dapat menjadi tempat pertumbuhan
jamur
Pertumbuhan jamur pada langit-langit
ruang tunggu Puskesmas Non-Perawatan
72
Lampiran 3. Hasil Pengamatan Konsentrasi Jamur di Ruang Tunggu
Puskesmas Perawatan Ciputat Timur dan Non-Perawatan Ciputat
Puskesmas Titik Sampel Konsentrasi (CFU/m3)
Perawatan
1.1 594
1.2 459
1.3 530
1.4 346
1.5 177
1.6 488
Non-Perawatan
2.1 466
2.2 516
2.3 396
2.4 989
2.5 297
2.6 304
Lampiran 4. Hasil Pengukuran Faktor Fisik Udara Dan Jumlah Orang Pada
Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan dan Non-Perawatan
Puskesmas Titik
Sampel
Konsentrasi
(CFU/m3)
Suhu
(0C)
Kelembaban
(%)
Intensitas
cahaya
(KLx)
Jumlah
Orang
Dalam
Ruangan
Perawatan
1.1 594 29,4 78,1 11,3 136
1.2 459 29,2 77,8 4,23 136
1.3 530 28,1 76,8 7,3 112
1.4 346 28,5 78,6 4 112
1.5 177 31,7 75,7 13,8 115
1.6 488 32,3 72,8 6,5 115
Non-Perawatan
2.1 466 28,7 93,5 0,4 249
2.2 516 29,9 88,7 3,9 249
2.3 396 28,7 93,5 0,4 214
2.4 989 29,9 88,7 0,3 214
2.5 297 31,8 80,3 0,3 325
2.6 304 32,1 79,3 0,3 325
73
Lampiran 5. Foto Koloni Jamur setelah di Inkubasi selama Tiga Hari
5.1 Koloni Jamur Udara pada Ruang Tunggu Puskesmas Perawatan
1.1 : Titik sampel 1
1.2 : Titik sampel 2
1.3 : Titik sampel 3
1.4 : Titik sampel 4
1.5 : Titik sampel 5
1.6 : Titik sampel 6
74
5.2 Koloni Jamur Udara pada Ruang Tunggu Puskesmas Non-Perawatan
2.1 : Titik sampel 1
2.2 : Titik sampel 2
2.3: Titik sampel 3
2.4 : Titik sampel 4
2.5 : Titik sampel 5
2.6 : Titik sampel 6