Download - Konsep Inti Bab 5
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bunyi sila ke 4 Pancasila mengatakan: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Kalimat ini mengandung 3 kandungan
pokok yaitu Pertama, kerakyatan merupakan objek yang bersifat umum. Diharapkan para
petinggi negara dan kebijakan atau perundangan yang dibuat dapat berpihak kepada rakyat.
Serta memberikan kesempatan yang lebih baik bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses
pembuatan kebijakan, tanpa mendekatkan mereka dengan (konflik) politik.
Kedua, dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, rakyat pada dasarnya terserah dan
mengikuti pemimpin. Hikmat adalah sesuatu yang apabila digunakan atau diperhatikan akan
menghalangi terjadinya keburukan sehingga mendatangkan kebaikan dan kemudahan. Dan
diharapkan pemimpin Negara ini bijaksana.
Ketiga, permusyawaratan perwakilan. Permusyawaratan adalah pembeda yang paling
mendasar dibandingkan dengan demokrasi karena permusyawaratan merupakan kuasa atau
pengganti pembuatan segala keputusan.
Maka dalam demokrasi permusyawaratan yang telah dikandung dalam prinsip Negara
ini, diharapkan pemerintah dapat menerapkan kebijakan-kebijakan yang mendasari sikap
demokratisasi sehingga menciptakan suatu Negara yang melibatkan rakyatnya dalam
memajukan Negara Indonesia tercinta ini.
1.2 Tujuan
Tujuan dari mengetahui Demokrasi Permusyawaratan yang juga berhubungan dengan
Pancasila dalam sila yang keempat, yaitu demokrasi permusyawaratan menyediakan wahana
bagi perwujudan semangat kekeluargaan dan keadilan sosial di bawah bimbingan hikmat-
kebijaksanaan. Hal ini juga dipertimbangkan dengan tradisi gotong-royong masyarakat
Indonesia, watak multikultural kebangsaan Indonesia, dan pengalaman keterjajahan yang
ditimbulkan oleh kolonialisme sebagai perpanjangan dari kapitalisme dan individualisme. Itu
semua membuat masyarakat mengetahui cita-cita kerakyatan dan permusyawaratan.
Demokrasi permusyawaratan juga bertujuan agar rakyat mendapatkan kebajikan dan
kesentosaan masa depan. Selain itu demokrasi permusyawaratan dipandang sebagai nostrum,
obat bagi segala masalah kebangsaan.
Demokrasi yang berdasarkan nilai persatuan dan keadilan, dituntut untuk dapat melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan atas
persatuan dengan mewujudkan keadilan social bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Demokrasi yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab bertujuan untuk para penyelenggara Negara dalam memelihara budi-
pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang cita-cita moral rakyat yang luhur.
BAB 2
KONSEP INTI
2. 1 Perspektif Historis
Menurut Hatta, setidaknya ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi
dalam kalbu bangsa Indonesia, terutama di lingkungan para pemimpin pergerakan. Pertama,
tradisi kolektivisme dari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam menuntut kebenaran
dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antara manusia sebagai makhluk
Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan
kebangsaan karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya
(Hatta, 1992: 121).
Stimulus Demokrasi Desa
Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,
memang merupakan fenomena baru di negeri ini, yang muncul sebagai ikutan dari formasi
negara Republik Indonesia Merdeka. Dalam pandangan Tan Malaka, paham kedaulatan
rakyat sebenarnya sudah tumbuh sejak lama di bumi Nusantara. Menurut analisis
Hatta,demokrasi asli Nusantara itu dapat terus bertahan di bawah feodalisme karena di
banyak tempat Nusantara, tanah sebagai faktor produksi yang terpenting bukanlah kepunyaan
raja, melainkan dimiliki bersama oleh masyarakat desa.
Kelima analisir demokrasi asli itu: rapat, mufakat, gotong-royong, hak mengadakan
protes bersama dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan raja, dipuja dalam lingkungan
pergerakan nasional sebagai pokok yang kuat bagi demokrasi sosial, yang akan dijadikan
dasar pemerintahan Indonesia merdeka di masa datang.
Stimulus Islam atas Demokrasi
Dalam pandangan Soekarno, pengaruh Islam di Nusantara membawa transformasi
masyarakat feodal menuju masyarakat yang lebih demokratis. Dalam perkembangannya,
Hatta juga memandang stimulus Islam sebagai salah satu sumber yang menghidupkan cita-
cita demokrasi sosial di kalbu para pemimpin pergerakan kebangsaan. Prinsip Tawhid adalah
paham persamaan (kesederajatan) manusia di hadapan Tuhan, yang melarang adanya
perendahan martabat dan pemaksaan kehendak/pandangan antarsesama manusia.
Penyejarahan nilai-nilai demokratis sebagai pancaran prinsip Tawhid itu dicontohkan
oleh Nabi Muhammad sejak awal pertumbuhan komunitas politik Islam di Madina, dengan
mengembangkan cetakan dasar dari apa yang kemudian dikenal sebagai “bangsa”. Menurut
Madjid (2003), pengertian “bangsa” (nation) itu dalam bahasa Arab sering diungkapkan
dengan istilah “ummah” (ummatun, umat), sedang konvergensi seluruh komunitas bangsa ke
dalam suatu kesatuan politik dan tatanan hidup bersama disebut “al-Umam al-Muttahidah”
(umat-umat bersatu).
Stimulus Barat atas Demokrasi
Masyarakat Eropa memiliki akar demokrasi yang panjang. Dalam pemahaman yang
lazim berkembang, istilah demokrasi, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu
“demos” yang berarti rakyat dan “kratos/cratein” yang berarti pemerintahan. Pertumbuhan
nasionalisme dan demokrasi di dunia Barat bersahutan dengan perkembangan industrialisasi
dan ekspansi kapitalisme. Konsekuensinya bukan hanya menimbulkan konflik internal
antarkelas dalam suatu negara-bangsa, melainkan juga konflik eksternal antarnegara-bangsa
dalam ekspansi kapitalisme, untuk memperebutkan sumber daya dan pasar. Konflik eksternal
ini pada gilirannya meluber ke luar dunia Barat, melahirkan kolonialisme di Asia, Afrika, dan
Amerika Latin. Kehadiran kolonialisme Eropa, khususnya Belanda, di Indonesia, membawa
dua-sisi dari koin peradaban Barat: sisi represi imperialisme-kapitalisme dan sisi humanisme-
demokratis.
Negosiasi antarsumber Nilai menuju Demokrasi-Sosialistik
Sumber inspirasi dari anasir demokrasi desa, ajaran Islam, dan sosio-demokrasi Barat,
memberikan landasan persatuan dari keragaman, bahwa dengan segala keragaman ideologi-
politik yang dikembangkan, yang bercorak keagamaan maupun sekuler, semuanya memiliki
titik-temu dalam gagasan-gagasan demokrasi sosialistik (kekeluargaan), dan secara umum
menolak individualisme.
Dari perspektif golongan Islam, idealisasi terhadap gagasan demokrasi-sosialistik itu
diwakili oleh pandangan H.O.S. Tjokroaminoto, dari perspektif golongan sekuler, hal ini
diwakili oleh pandangan Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir.
Pandangan H.O.S. Tjokroaminoto
Dalam Islam dan Sosialisme (1924; 1951) dan juga tulisan-tulisan lainnya, Tjokro
menguraikan kesalinghubungan antara paham sosialisme dengan ajaran Islam. Pertama, dia
mencoba menguraikan dasar-dasar sosialisme yang ada di dalam ajaran Islam, kedua, dia
berusaha menunjukkan bahwa perintah atau anjuran di dalam Islam memiliki ciri yang
bersifat sosial, ketiga, Islam juga mewajibkan para penganutnya untuk selalu memerhatikan
sesama manusia dengan membantu mereka yang lemah dan membutuhkan pertolongan,
keempat, prinsip persamaan, persaudaraan, dan kemerdekaan merupakan prinsip yang
integral di dalam ajaran Islam sejak dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Tjokro
mengidealiskan prinsip-prinsip demokrasi-sosial sebagai dasar perjuangan Islam dan dasar
kehidupan bernegara.
Pandangan Tan Malaka
Dalam pandangannya, bentuk negara yang dicita-citakan bangsa Indonesia bukanlah
sebuah negara monarki, yang kedaulatannya berada di tangan seorang raja. Baginya, bentuk
negara republik adalah cita-cita yang harus diperjuangkan oleh seluruh bangsa Indonesia,
karena dengan bentuk ini, rakyat akan memiliki kedaulatan atas negara. Untuk menjamin
kedaulatan rakyat dalam republik, menurutnya, perlu dijaga keseimbangan kekuasaan dengan
membaginya menjadi tiga: pertama, kekuasaan untuk membuat undang-undang yang
diberikan pada badan legislatif. Kedua, kekuasaan untuk menjalankan undang-undang yang
diberikan pada badan eksekutif. Dan ketiga, kekuasaan untuk mengawasi undang-undang
yang diberikan pada badan yudisial. Dalam gagasan republikanisme Tan Malaka, demokrasi
yang dikembangkan bercorak sosialistik yang menekankan kerjasama. Dalam pemikirannya,
individualisme dan perpanjangannya dalam bentuk kapitalisme secara apriori ditolak.
Pandangan Soekarno
Gagasan demokrasi dengan semangat kekeluargaan (gotong-royong) lebih kuat
diartikulasikan oleh Soekarno. Penekanannya atas semangat kekeluargaan ini terancam
setidaknya sejak dia menerbitkan tulisan pada 1926 yang berjudul “Nasionalisme, Islam, dan
Marxisme”. Tulisan ini mengidealiskan pentingnya pertautan di antara tiga kekuatan
revolusioner yang disebutnya sebagai “Roh Asia” (Spirit of Asia), yang menjadi nyawa
pergerakan rakyat di Indonesia. Ketiga kekuatan tersebut, menurutnya, meskipun maksudnya
sama, mempunyai tiga sifat: Nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis. Soekarno menekankan
perlunya bangsa kita memiliki konsepsi nasionalisme dan demokrasinya sendiri, yang dia
namakan sebagai “sosio-nasionalisme” dan “sosio-demokrasi”.
Sosio-nasionalisme yang dia maksudkan adalah semanagat kebangsaan yang
menjunjung tinggi perikemanusiaan ke dalam dan keluar, “yang tidak mencari ‘gebyarnya’
atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi ia haruslah mencari selamatnya semua manusia”.
Adapun sosio-demokrasi adalah demokrasi yang memperjuangkan keadilan sosial, yang tidak
hanya memedulikan hak-hak sipil dan poilitik, melainkan juga hak ekonomi.
Pandangan Mohammad Hatta
Gagasan demokrasi sosial dalam konteks Indonesia mendapatkan formulasi secara
lebih jelas dari Mohammmad Hatta. Pergulatannya yang intens dengan tradisi demokrasi di
Eropa, penyelidikannya atas praktik sosio-demokrasi, serta penghayatannya atas tradisi
permusyawaratan dan gotong royong dari masyarakat desa (khususnya nagari) di Indonesia,
menjadi latar yang kuat dalam mengkonseptualisasikan model demokrasi yang cocok bgi
masa depan bangsanya. Salah satu proses penting dalam demokrasi menurut Bung Hatta
adalah soal prinsip kedaulatan rakyat. Yang dimaksudkan kedaulatan rakyat adalah bahwa
kekuasaan untuk mengatur negeri berada di tangan rakyat.
Salah satu institusi penting dari demokrasi dalam menjembatani aspirasi rakyat ke
dalam pemerintahan adalah partai politik. Partai politik, menurut Hatta, adalah sarana untuk
mengorganisasikan opini publik agar rakyat bisa belajar dan merasakan tanggungjawab
sebagai warga dari sebuah negara anggota dari sebuah masyarakat. Semakin baik kemampuan
partai dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana aspirasi, semakin tinggi pula rasa
keterlibatan rakyat dalam pemerintahan. Hatta menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia
tidak mengenal paham individualisme sebagaimana yang ada di Barat. Oleh karena itu, model
demokrasi yang dikembangkan hendaknya bukan demokrasi yang sekedar menjiplak budaya
masyarakat Barat secara mentah-mentah, melainkan demokrasi yang cocok dengan karakter
keindonesiaan sendiri, yakni demokrasi kekeluargaan berlandaskan permusyawaratan.
Pandangan Sutan Sjahrir
Sjahrir adalah figur yang paling muda dan sekaligus paling liberal, karena
perhatiannya yang lebih besar pada kebebasan individu. Paham sosialisme yang diusung oleh
Sjahrir adalah paham yang tetap menghormati kemerdekaan dan kebebasan invidu dengan
rasionalitas yang dimiliki namun juga harus peduli pada masalah bersama sebagai makhluk
sosial. Sjahrir mendukung sistem parlementer yang dipandangnya sebagai wujud pengabdian
pada perkembangan kemanusiaan. Sjahrir juga berkeyakinan bahwa sistem demokrasi
parlementer adalah syarat yang harus dipenuhi untuk sampai pada negara kesejahteraan.
Dengan segala variasi pemikirannya, tokoh-tokoh pendiri bangsa tersebut memiliki
persamaan dalam idealisasinya terhadap demokrasi yang bercorak sosialistik. Demokrasi
yang memperjuangkan keseimbangan pencapaian kebebasan, kesetaraan (keadilan) dan
persaudaraan (kekeluargaan), dalam semangat permusyawaratan.
Demokrasi dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi
Kedaulatan rakyat penting dalam semangat kekeluargaan (permusyawaratan).
Ungkapan ini diungkapakan oleh Muhammad Yamin ketika meletakkan dasar kedaulatan
rakyat sebagai tujuan kemerdekaan dan permusyawaratan. Dari ungkapan para anggota
rakyat, intinya adalah asas permusyawaratan penting dan harus adanya kekeluargaan di
negara.
Pengertian Negara Indonesia ialah, teori yang dapat dinamakan teori integralistik.
Negara ialah tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi
menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan. Soekarno menyampaikan
pidatonya pada Rapat Besar 1 Juni 1945. Dalam uraiannya mengenai dasar falsafah Negara
Indonesia merdeka (philosofiscche granslag), dia memasukkan prinsip “mufakat atau
demokrasi” sebagai dasar ketiga.
Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu
Negara untuk satu orang, bukan satu Negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya.
Tetapi kita mendirikan Negara “semua untuk semua”, “satu untuk semua”, “semua untuk
satu”. Permusyawaratan diharapkan dapat dibimbing oleh semangat kekeluargaan
berdasarkan hikmah kebijaksanaan agar dapat mencapai sintesis yang bermutu bagi kebaikan
semua. Hasil prinsip demokrasi dalam Pidato Soekarno menempati urutan ke-3, lalu
mengalami pergeseran menjadi prinsip (sila) keempat dari dasar Negara (Pancasila).
Redaksinya disempurnakan menjadi. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan / perwakilan”.
Pokok yang ketiga yang terkandung dalam ‘Pembukaan’ ialah Negara yang berkedaulatan
rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistem
Negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasar atas Kedaulatan Rakyat
dan berdasarkan permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat
masyarakat Indonesia. Roeslan Abdoelgani menyatakan bahwa toleransi yang dikehendaki
Pancasila adalah suatu kompromi dalam konteks toleransi yang positif karena senantiasa
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Demokrasi dengan semangat musyawarah-mufakat
inilah yang akan mewarnai rancang-bangun ketatanegaraan Indonesia dalam pembahasan
yang terkait dengan Rancangan Undang-Undang Dasar.
Semangat demokrasi musyawarah-mufakat ini selaras dengan arus utama pemikiran
politik Indonesia saat itu yang mengidealisasikan konsepsi Negara kekeluargaan. Konsepsi
Negara kekeluargaan ini tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 alinea terakhir yang
mengandung kehendak untuk “membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Dengan kata
lain, suatu bentuk pemerintah Negara yang mengatasi paham perseorangan dan golongan.
Demokrasi dalam semangat permusyawaratan- kekeluargaan diidealkan sebagai salah satu
prinsip nasional. Demokrasi pada umumnya dipandang sebagai tujuan yang harus dicapai
ketimbang sekadar sebagai sarana. Demokrasi identik dengan kebajikan dan kesentosaan
masyarakat masa depan. Demokrasi dipandang sebagai nostrum, obat bagi segala masalah
kebangsaan. Hal ini berimplikasi bahwa semua tindakan yang mengarah pada ideal-ideal
kehidupan kebangsaan dipandang sebagai ekspresi demokrasi.
2.2 Perspektif Teoretis-Komparatif
Menurut Abraham Lincoln secara sederhana mendefinisikan demokrasi sebagai ”
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (government of the people, by
people, and for the people). Pemerintahan demokratis itu memerlukan prasyarat yang
mendukung sedikitnya tiga ide pokok sebagai berikut:
1. Kekuasaan pemerintah berasal dari rakyat yang diperintah (the nation that a
government deriving its powers from the consent of the governed).
2. Kekuasaan itu harus dibatasi (limited government).
3. Pemerintah harus berdaulat (sovereign), artinya harus cukup kuat untuk dapat
menjalankan pemerintahan secara efektif dan efisien.
Dalam perkembangannya, pemerintahan demokratis itu dibentuk dan dijalankan, didekati
secara berbeda oleh orang-orang yang berbeda di tempat dan waktu yang berbeda. Akibatnya,
muncul berbagai bentuk dan model demokrasi sesuai dengan ruang dan waktunya.
Menurut Charles Tilly, pengertian dari demokrasi dibagi kedalam empat kategori
pendekatan yaitu konstitusional, substantif, procedural, dan berorientasi proses. Pendekatan
konstitusional menekankan pada bagaimana konstitusi dibentuk, diberlakukan, dan diamalkan
oleh suatu pemerintahan sehubungan dengan aktivitas politik. Pendekatan substantive
memberikan perhatian lebih pada bagaimana suatu pemerintah memajukan kondisi kehidupan
dan kehidupan politik. Pendekatan procedural berkisar pada pembahasan bagaimana secara
sederhana, dan tentunya procedural, suatu pemerintahan digolongkan sebagai suatu
demokrasi. Pendekatan berorientasi proses kerap diasosiasikan dengan pemikiran Robert
Dahl. Dahl menggariskan lima kriteria minimum agar suatu Negara bisa dianggap
demokrastis. Kelima kriteria berbentuk proses itu meliputi:
1. Partisipasi efektif (effectif participation)
Setiap warga harus memiliki kesempatan yang setara dan efektif untuk membuat
pandangan-pandangannya diketahui oleh warga yang lain.
2. Kesetaraan memilih (voting equality)
Setiap warga harus memiliki kesempatan yang setara dan efektif untuk memilih dan
seluruh pilihan harus dihitung secara setara.
3. Pemahaman tercerahkan (enlightened understanding)
Setiap warga harus memiliki kesempatan yang setara dan efektif untuk mempelajari
alternative kebijakan yang relevan serta kemungkinan akibatnya.
4. Pengendalian agenda (control of the agenda)
Setiap warga harus memiliki kesempatan untuk menentukan bagaimana dan apa saja
yang harus ditempatkan dalam agenda kebijakan.
5. Perlibatan setiap orang dewasa (inclusion of adults)
Setiap warga yang sudah dewasa harus diberi hak secara penuh untuk keempat kriteria
diatas.
Dahl juga menyebutkan 6 prasyarat institusi demokrasi yaitu pejabat terpilih; pemilihan
umum yang bebas, adil, dan berkala; kebebasan berbicara; tersedianya sumber-sumber
informasi alternative; otonomi berserikat; dan kewarganegaraan inklusif. Dimensi kualaitas
menjadi penentu dan pembanding apakah suatu Negara lebih demokratis disbanding dengan
Negara lain.
Robert Putnam dalam bukunya, Making Democracy Work, menekankan dengan tegas
namun lugas, “demokrasi yang efektif berhubungan erat dengan modernitas sosio-ekonomi”.
Alexis de Tocqueville menegaskan bahwa demokrasi merupakan suatu subjek
multidimensional, yang meliputi aspek-aspek politik, moral, sosiologis, ekonomis,
antropologis, dan psikologis. Meskipun ada kesamaan secara prinsipil, demokrasi itu tidaklah
berwajah tunggal, melainkan menampilkan dirinya secara beragam, karena harus disesuaikan
dengan konteks ruang dan waktu agar dapat mengakar dalam beragam jenis masyarakat.
Para pendiri bangsa Indonesia menghayati sepenuhnya dampak buruk represi politik
dan eksploitasi ekonomi yang ditimbulkanoleh kolonialisme dan kapitalisme, oleh karena itu
sangat mengidealiskan keselarasan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, yang
dalam istilah Soekarno disebut “sosio-demokrasi”. Mereka juga enyadari bahwa
kemajemukan Indonesia secara social-budaya dan social-ekonomi memerlukan semangat
kekeluargaan dalam mengatasi berbagai kesenjangan yang ada. Dengan semangat persatuan-
kekeluargaan itulah, mereka berjuang meraih kemerdekaan dan membentuk Negara-nasional,
dan dengan semangat itu pula demokrasi diarahkan untuk mencapai masyarakat yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Pendekatan politik yang difokuskan untuk meningkatkan kualitas demokrasi dengan
memperbaiki karakteristik dan bentuk partisipasi politik bukan hanya untuk kepentingan
pribadi. Penganut demokrasi deliberative menganggap bahwa demokrasi yang berkembang,
baik langsung maupun representative, cenderung mencerminkan pertempuran kepentingan
pribadi yang tidak membawa perbaikan mutu. Sebagai alternative, demokrasi deliberative
meletakkan keutamaan diskusi dan musyawarah dengan kekuatan argumentasi berlandaskan
daya-daya consensus, diatas keputusan yang berdasarkan voting. Para pendukung demokrasi
deliberative berpendapat bahwa musyawarah meningkatkan kualitas dan akseptabilitas
keputusan kolektif.
Dalam pandangan Arend Lijphart, demokrasi secara garis besar dibedakan kedalam
dua model yaitu “majoratian democracy” (demokrasi yang lebih mengutamakan suara
mayoritas) dan “consensus democracy” (demokrasi yang lebih mengutamakan consensus).
Faktanya bahwa jarang sekali Negara yang menjalankan model “majoratian democracy”
secara murni, hanya United Kingdom, New Zealand, bekas koloni Inggris di wilayah Karibia,
dan dalam taraf yang berbeda, juga Amerika Serikat. Kebanyakn pemerintahan demokratis
lebih menganut model consensus. Lebih dari tiu, Lijphart menilai bahwa “consensus
democracy” bisa dipandang lebih demokratis ketimbang “majoratian democracy” dalam
banyak hal. Berdasarkan dari argument Arthur Lewis, Lijphart menunjukkan bahwa
penekanan model majoratian pada “majority rule” dalam politik ditafsirkan tidak demokratis
karena mengandung prinsip-prinsip pengucilan (exclusion).
Demokrasi di Indonesia tidak sejalan dengan model “demokrasi elitis”. Demokrasi
elitis adalah suatu konsep yang disodorkan oleh Joseph Schumpeter sehingga dikenal pula
sebagai Demokrasi Schumpeterian. Demokrasi didefinisikan sebagai suatu metode atas
pengaturan institusi guna mendapatkan keputusan politik di mana individu mempunyai
kekuasaan untuk memutuskan melalui cara perjuangan kompetisi demi suara pemilih.
Demokrasi adalah persaingan antar elite. Demokrtasi elitis ini dikenal juga sebagai demokrasi
procedural minimalism.
Teori kedaulatan dari Bodin menekankan perlunya Negara memiliki rumusan “kedaulatan
tertinggi” sebagai ekspresi tertinggi rakyat secara keseluruhan, bukan ekspresi sebagian dari
kekuatan rakyat. Robyn Eckersley mengambil kesimpulan bahwa kunci transformasi politik
hijau ialah penyebarluasan dan penghayatan budaya ekosentris (berporos pada ekologi),
diatas struktur politik yang sudah hijau.
Demokrasi musyawarah dibangun berlandaskan akal-kearifan ketimbang kuasa, serta
bersandar pada prosedur musyawarah sebagai cita-cita kebenaran politik. Demokrasi
musyawarah menempatkan esensi demokrasi bukan pada voting tetapi didasarkan pada
musyawarah kolektif dan prosedur pengambilan keputusan yang terbuka. Sifat terbuka dari
prosedur demokrasi musyawarah yang lebih mementingkan rasionalitas argument dan
kearifan menempatkan kemungkinan lebih besar diterimanya nilai-nilai dan pemikiran
ekologis. Apabila demokrasi benar-benar ingin memasukkan pertimbangan lingkungan, ia
harus memastikan bahwa musyawarah (dan bukan kompetisi) yang menjadi penentu dalam
struktur ataupun proses pengambilan keputusan dalam berdemokrasi. Krisis demokrasi
merupakan konsekuensi dari apa yang disebutnya sebagai “superkapitalisme”.
Superkapitalisme adalah suatu konsep yang menggambarkan semakin menguatnya kompetisi
di dunia bisnis dalam memperebutkan konsumen dan investor, dan kini telah merambah
dunia politik.
Dalam pandangan Carol C. Gould pada tataran internasional, masalah normative yang
ditimbulkan kapitalisme global setidaknya menyangkut dua hal yaitu deficit keadilan global
dan deficit demokrasi global. Salah satu dampak utama dari penetrasi kapitalisme ke dalam
kehidupan berdemokrasi adalah meredupnya kekuatan kewargaan.
Menurut Barber, ekonomi kapitalis sekarang, selain membagi dunia ke dalam kubu berada
dan tidak berada, juga menumbuhkan etos baru. Inti dari uraian para teorikus demokrasi
tersebut adalah bahwa kondisi demokrasi politik terkait erat dengan kondisi perekonomian.
Benar bahwa demokrasi dan kewarganegaraan tetap bisa bertahan walaupun terjadi
ketimpangan ekonomi. Akan tetapi, semakin besar ketimpangan itu, semakin besar pula
tenaga yang diperlukan untuk mempertahankan kesinambungan kehidupan demokrasi.
Membumikan Demokrasi Permusyawaratan dalam Kerangka Pancasila
Gagasan “demokrasi pemusyawaratan” berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila
merupakan usaha sadar dari para pendiri bangsa untuk melakukan apa yang disebut Putnam
“making democracy work”, atau apa yang disebut Saward “mengakar” (to take root), dalam
konteks keindonesiaan. Dalam ungkapan Soekarno; “Demokrasi yang harus kita jalankan
adalah demokrasi Indonesia, membawa kepribadian Indonesia sendiri. Jika tidak bisa berpikir
demikian itu, kita nanti tidak dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan
dari rakyat itu”.
Demokrasi dalam alam pikiran Indonesia bukan sekadar alat teknis, melainkan juga
cerminan alam kejiwaan, kepribadian, dan cita-cita nasional. Tetapi di dalam cara pemikiran
kita, atau lebih tegas lagi di dalam cara keyakinan dan kepercayaan kita, kedaulatan rakyat
bukan sekadar alat saja. Kita berpikir dan berasa bukan sekadar hanya secara teknis, tetapi
juga secara kejiwaan, secara psikologis nasional, secara kekeluargaan.
Sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan” mengandung beberapa ciri dari alam pemikiran demokrasi di
Indonesia. Dalam pokok pikiran ketiga dari Pembukaan UUD 1945, disebutkan bahwa
kedaulatan itu berdasar atas “kerakyatan” dan “pemusyawaratan”. Dengan kata lain,
demokrasi itu hendaknya mengandung ciri kerakyatan (daulat rakyat) dan pemusyawaratan
(kekeluargaan). Selain kedua cirri tersebut, demokrasi Indonesia juga mengandung cirri
“hikmat kebijaksanaan”. Cita hikmat kebijaksanaan merefleksikan orientasi etis, sebagaimana
dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 bahwa susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat itu hendaknya didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, perikemanusiaan,
persatuan, permusyawaratan, dan keadilan.
Dalam demokrasi permusyawaratan ,suatu keputusan politik dikatakan benar jika
memenuhi setidaknya empat prasyarat.
1. Harus didasarkan pada asasn rasionalitas dan keadilan bukan hanya berdasarkan
subjektivitas ideologis dan kepentingan.
2. Didedikasikan bagi kepentingan orang banyak, bukan demi kepentingan perseorangan
atau golongan.
3. Berorientasi jauh kedepan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui
akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi negative).
4. Bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak
(minoritas kecil sekalipun) secara inklusif, yang dapat menangkal dikte-dikte
minoritas elite penguasa dan pengusaha serta klaim mayoritas.
Demokrasi Indonesia menganut konsepsi kedaulatan yang menyerupai teori Jean
Bodin, dengan mengakui adanya lembaga permusyawaratan tertinggi (MPR) sebagai
penjelmaan dari ekspresi kedaulatan rakyat tertinggi (locus of sovereignty). Sebagai
ekspresi dari demokrasi yang bersemangat keadilan, demokrasi Indonesia
mengembangkan sistem pemerintahan yang member peran penting pada Negara dalam
mengembangkan kesejahteraan rakyat. Basis legitimasi Negara-pengurus (Negara
kesejahteraan ala Indonesia) ini bersumber pada empat jenis tanggung jawab yaitu
perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, dan keadilan-perdamaian.
Selain itu, sistem pemerintahan Negara Indonesia tidak mengenal pemisahan
kekuasaan yang ketat seperti dalam paham Trias Politica. Asas yang digunakan dalam
sistem pemerintah Negara Indonesia adalah “pembagian kekuasaan secara tidak ketat”
(partial separation of powers). Hal ini berbeda dengan asas “pure separation of powers”
seperti di Amerika Serikat, yang konsepsi kedaulatannya mengikuti teori James Madison
yang menganut paham “pemisahan kekuasaan”. Dengan tidak menganut sistem
pemisahan kekuasaan secara ketat (trias politica), tidak berarti bahwa sistem pemerintah
Negara Indonesia tidak mengandung mekanisme “pengecekan dan keseimbangan” (check
and balances).
Demokrasi dalam alam Pancasila dilandasi oleh nilai-nilai teosentris yang
mengangkat kehidupan politik dari tingkat sekuler ke tingkat moral spiritual dan nilai
aposentris yang memuliakan nilai-nilai kemanusiaan, yang menghargai perbedaan
berlandaskan semangat kesetaraan dan persaudaraan, dengan mewujudkan suatu keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan dimuliakannya aspirasi rakyat dalam proses
demokrasi politik di lembaga perwakilan, rakyat juga dituntut untuk menjadi warga
Negara yang bijaksana, yang memahami hak dan kewajibannya, serta bertanggung jawab
dalam menjalankan partisipasi politiknya.
BAB 3
ANALISIS
1. Perspektif Hisotris
Menurut Hatta, setidaknya ada 3 sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi
dalam bangsa Indonesia, terutama di lingkungan para pemimpin pergerakan.Pertama,
tradisi kolektivitasdari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam yang menuntut
kebenaran dan keadilan Ilahi sebagai makhluk Tuhan dan yang Ketiga adalah paham
sosialis Barat yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaaan. Dari
perspektif historis dapat dilihat juga pengalaman Bangsa Indonesia yang dijajah oleah
bangsa lain dimana Bangsa Indonesia tidak bisa memberikan pendapatnya dan
kebanyakan dibodohi oleh penjajah, dari pengalaman ini bisa menjadi sumber ke
masa depan agar bangsa Indonesia sendiri tidak menjajah Bangsanya sendiri maupun
dijajah oleh bangsa lain.
Pada Stimulus Demokrasi Desa, demokrasi merupakan suatu bentuk aspirasi
rakyat kepada Negara ini sehingga kata-kata “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat” merupakan suatu fenomena di negri ini. Demokrasi memiliki 5
anilisir yaitu: rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes dan hak
menyingkir dari daerah kekuasaaan raja, dan dipuja di pergerakan nasional sebagai
pokok demokrasi social. Kelima analisir itu mengandung arti yang sangat mendalam
bagi kelangsungan pemerintahan Indonesia di masa yang akan datang. Namun, dalam
kenyataannya sekarang kebanyakan mengadakan hak protes bersama sangatlah minim
karena aspirasi rakyat sangatlah minim didengarkan oleh pemerintahan, sehingga
diperlukan analisir satu lagi yaitu moral. Karena dengan adanya moral yang baik
pasti akan terjadi suatu hubungan yang baik antara rakyat dan pemerintah sehinnga
terjalin komunikasi yang serasi dan aspirasi rakyat di dengarkan demi menjunjung
tinggi suatu demokrasi di Indonesia.
Pada Stimulus Islam atas demokrasi, , pada awalnya stimulus ini sangatlah
baik , jika dipikirkan dampak nya di masa depan akan menimbulkan suatu
pertentangan. Stimulus Islam yang dijadikan suatu stimulus demokrasi akan
mengarah ke beberapa bidang , yaitu social , politik.
Contohnya Piagam Jakarta, di sana tertulis “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” , hal tersebut dapat
menimbulkan suatu dominasi di berbagai bidang , sperti bidang politik yang sekarang
lagi marak-maraknya.dapat dilihat juga contoh, pemilihan presiden,semua presiden di
Indonesia merupakan penganut agama Islam, bagaimana jika pada pemilu nanti
presiden penganut agama lain menjadi presiden? Bila piagam Jakarta tidak diubah
maka akan terjadi sebuah pertentangan di Negara ini pasti akan banyak kontroversial
Karena di Indonesia kebanyakan penganut Islam, maka pasti terjadi suatu pemaksaan
penurunan presiden .Sehingga sangatlah baik ketiga isi pertama piagam Jakarta
diubah menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa” di sila 1 Pancasila sehingga adanya
hak-hak agama lain untuk memiliki jabatan di negri ini dan terwujudnya demokrasi
pada semua ras,suku dan agamadi negri ini.
Pada Stimulus Barat atas demokrasi , kebanyakan merupakan sumber
demokrasi di berbagai negara termasuk Indonesia,namun demokrasi stimulus Barat ini
kecenderungan bersifat saing dalam memperebutkan sumber daya dan pasar.
Negosiasi antarsumber Nilai menuju Demokrasi-Sosialistik
Suatu titik temu adalah suatu tujuan dari persatuan keragaman yang becorak agama
maupun sekuler demi terwujudnya suatu demokrasi dan menjunung tinggi
kekeluargaan.
Terdapat idelisasai terhadap demokrasi-sosialistik:
1. Perspektif golongan Islam , menurut H.O.S Tjokroaminoto
Dasar perjuangan Islam dan dasar kehidupan bernegara sebaiknya hanyalah
dijadikan suatu inspirasi , karena bila dijadikan suatu prinsip maka agama tersebut
bisa menjadi suatu dominasi . Padahal pada kenyataannya urusan Negara dan
Agama harus dipisahkan karena memiliki suatu pertentangan .
2. Golongan sekuler, Tan malaka
Keseimbangan kekuasaaan di negara sangatlah diperlukan , yaitu dengan cara
Membagi kekuasaan legislatif, yudisial, dan eksekutif untuk menjamin
kedaulatan rakyat .
3. Pandangan Soekarno
Inti dari demokrasi adalah menjunjung tinggi keadilan social dan perikemanusiaan
4. Pandangan Moh. Hatta
Pandangan Moh. Hatta merupakan pandangan paling baik karena dia melihat
pemegang penuh dalam neagra ini adalah kedaulatan rakyat. Namun, hal itu
hanyalah menjadi kata mutiara di jaman sekarang . Meskipun hal tersebut telah di
tuliskan di pasal 1 ayat 2 UUD 1945, dalam prakteknya sekarang , justru
pemerintahlah yang mendominasi, sehingga diperlukan suatu rombakan pola pikir
di negri dengan kembali ke UUD sehingga demokrasi akan berjalan sbeagaimana
fungsinya.
5. Sutan Syahrir
Menurut Sutan Syahrir, adalah paham yang tetap menghormati kemerdekaan dan
kebebasan invidu dengan rasionalitas yang dimiliki namun juga harus peduli pada
masalah bersama sebagai makhluk social. Pandangan Sutan Syahrir memiliki
suatu kekuatan untuk membentuk suatu Negara yang sejahtera , namun dalam
membentuk Negara demokrasi yang diperlukan adalah suatu kerjasama dalam
membangun Negara.
Demokrasi yang memperjuangkan keseimbangan pencapaian kebebasan
kesetaraan (keadilan) dan persaudaraan (kekeluargaan), dalam semangat
permusyawaratan.
Demokrasi dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi
Kedaulatan rakyat penting dalam semangat kekeluargaan (permusyawaratan). suatu
bentuk pemerintah Negara yang mengatasi paham perseorangan dan golongan.
Demokrasi dalam semangat permusyawaratan- kekeluargaan diidealkan sebagai salah
satu prinsip nasional. Demokrasi pada umumnya dipandang sebagai tujuan yang harus
dicapai ketimbang sekadar sebagai sarana. Demokrasi identik dengan kebajikan,
kebijaksanaan dan kesentosaan masyarakat masa depan. Demokrasi dipandang
sebagai nostrum, obat bagi segala masalah kebangsaan. Hal ini berimplikasi bahwa
semua tindakan yang mengarah pada ideal-ideal kehidupan kebangsaan dipandang
sebagai ekspresi demokrasi. Di Indonesia maka dibentuklah sila ke-4 “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, dimana
di sila ke-4 memiliki arti yaitu nilai moral terdapat pada kata “Kebijaksanaan” dan
“permusyawaratn/perwakilan” adalah teknis.
2. Perspektif Teoretis-Komparatif
Menurut Abraham Lincoln secara sederhana mendefinisikan demokrasi sebagai ”
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (government of the people,
by people, and for the people). Pemerintahan demokratis itu memerlukan prasyarat
yang mendukung sedikitnya tiga ide pokok sebagai berikut:
1. Kekuasaan pemerintah berasal dari rakyat yang diperintah (the nation that a
government deriving its powers from the consent of the governed).
2. Kekuasaan itu harus dibatasi (limited government).
3. Pemerintah harus berdaulat (sovereign), artinya harus cukup kuat untuk dapat
menjalankan pemerintahan secara efektif dan efisien.
Ide pokok yang sangat penting adalah suatu sikap kebijaksanaan dari pemerintah
untuk mendengarkan aspirasi rakyat untuk menjalankan pemerintahan demokratis.
Dengan adanya suatu teori demokrasi , maka pembentukan demokrasi di Indonesia di
buat berdasarkan teori tokoh, pengalaman hidup di masyarkat, dan keragaman di
Indonesia. Menurut Robert Dahl terdapat 5 kriteria bentuk proses demokratis yaitu:
Partisipasi efektif (effectif participation), Kesetaraan memilih (voting equality),
Pemahaman tercerahkan (enlightened understanding), Pengendalian agenda (control
of the agenda), Perlibatan setiap orang dewasa (inclusion of adults).Di Indonesia juga
menerapkan proses demokratis tersebut di pemilihan umum namun banyak terjadi
penyelewengan yang terjadi maka dari itu di perlukan 6 prasyarat instusi demokrasi
yaitu pejabat terpilih; pemilihan umum yang bebas, adil, dan berkala; kebebasan
berbicara; tersedianya sumber-sumber informasi alternative; otonomi berserikat; dan
kewarganegaraan inklusif agar tidak terjadi penyelewengan atau adanya uang suap
untuk memilih suatu parpol itu sendiri.
Menurut Alexis de Tocqueville, demokrasi adalah suatu objek
multidimensional yang meliputi aspek-aspek politik, moral, sosiologis , ekonomi ,
antropologis dan psikologis. Di Indonesia kecenderungan pada aspek politik,
ekonomi, moral dan social. Namun yang benar-benar condong adalah bidang politik,
dapat dilihat sekarang banak partai-partai politik yang berlomba-lomba untuk
mendapatkan jabtan di negri tanpa adanya suatu demokrasi yang adil, Karena itu,
setidaknya para-para pelaku demokrasi haruslah kembali melihat masa lalu ketika
para pendiri bangsa Indonesia menghayati sepenuhnya dampak buruk represi politik
dan eksploitasi ekonomi yang ditimbulkanoleh kolonialisme dan kapitalisme, oleh
karena itu sangat mengidealiskan keselarasan antara demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi, yang dalam istilah Soekarno disebut “sosio-demokrasi”. Mereka juga
menyadari bahwa kemajemukan Indonesia secara social-budaya dan social-ekonomi
memerlukan semangat kekeluargaan dalam mengatasi berbagai kesenjangan yang ada.
Dengan semangat persatuan-kekeluargaan itulah, mereka berjuang meraih
kemerdekaan dan membentuk Negara-nasional, dan dengan semangat itu pula
demokrasi diarahkan untuk mencapai masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil, dan makmur.
Demokrasi di Indonesia seharusnya sejalan dengan model “demokrasi elitis”.
Demokrasi elitis adalah suatu konsep yang disodorkan oleh Joseph Schumpeter
sehingga dikenal pula sebagai Demokrasi Schumpeterian. Demokrasi didefinisikan
sebagai suatu metode atas pengaturan institusi guna mendapatkan keputusan politik di
mana individu mempunyai kekuasaan untuk memutuskan melalui cara perjuangan
kompetisi demi suara pemilih. Demokrasi adalah persaingan antar elite. Namun yang
terjadi di Indonesia terjadi penyeleweangan terjadi persaingan yang tak sehat sehingga
membuat Indonesia secara teoritis tidak sejalan dengan Demokrasi Schumpeterian.
Demokrasi musyawarah yang baik adalah demokrasi yang mendengarkan aspirasi
masyarakat dengan cara votting, dan dibangun berlandaskan akal-kearifan, serta sifat
pengambilan keputusan yang terbuka.
Membumikan Demokrasi Permusyawaratan dalam Kerangka Pancasila
Dalam ungkapan Soekarno; “Demokrasi yang harus kita jalankan adalah
demokrasi Indonesia, membawa kepribadian Indonesia sendiri. Jika tidak bisa
berpikir demikian itu, kita nanti tidak dapat menyelenggarakan apa yang menjadi
amanat penderitaan dari rakyat itu”. Gagasan demokrasi permusyawaratn haruslah
berdasarkan prinsip-prinsp pancasila Karena merupakan suatu usaha sadar dan
bangkit dari pendiri bangsa.
Demokrasi adalah suatu kesadaran bagi masyarakat Indonesia yang bersifat
terbuka, kekeluargaan ,dan psikologis nasional. Sila keempat Pancasila, “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”
mengandung beberapa ciri dari alam pemikiran demokrasi di Indonesia. Dalam pokok
pikiran ketiga dari Pembukaan UUD 1945, disebutkan bahwa kedaulatan itu berdasar
atas “kerakyatan” dan “pemusyawaratan”. Dengan kata lain, demokrasi itu hendaknya
mengandung ciri kerakyatan (daulat rakyat) dan pemusyawaratan (kekeluargaan).
Selain kedua cirri tersebut, demokrasi Indonesia juga mengandung cirri “hikmat
kebijaksanaan”. hikmat kebijaksanaan merefleksikan orientasi etis dan nilai moral,
sebagaimana dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 bahwa susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat itu hendaknya didasarkan pada nilai-
nilai ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan.
Dalam Demokrasi di Indonesia tidak mengenal trias politica, namun di Indonesia
mengenal check and balances. Demokrasi Indonesia menganut konsepsi Jean Bodin ,
dengan mengakui adanya MPR sebagai oragnisasi dari ekspresi keadulaatan rakyat
tertinggi sebagai ekspresi dari demokrasi yang bersifat bersemangat keadilan ,
demokrasi Indonesia mengembangkan sistem pemerintahan yang member peran
penting pada Negara dalam mengembangkan kesejahteraan rakyat. Basis legitimasi
Negara-pengurus (Negara kesejahteraan ala Indonesia) ini bersumber pada empat
jenis tanggung jawab yaitu perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, dan keadilan-
perdamaian. Tetapi, bila organisasi tersebut tidak memiliki nilai moral yang baik dan
diakui, maka yang terjadi adalah suatu kebohongan pada aspirasi masyarakat Karena
banyak kemungkinan terjadi penyelewengan dan badan MPR/DPR yang hanya
melakukan hal “Gaji Buta” yaitu bekerja tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat
serta menghilangkan kepercayaan masyarakt terhadap DPR/MPR tersebut sehingga
demokrasi yang dijunjung tinggi hanya menjadi suatu kebohongan belaka. Karen itu
di perlukan / ditanamkan suatu sikap “Kebijkasaan” terhadap masyarakat Indonesia
secara dini. Demokrasi di Pancasila dilandasi oleh nilai-nilai teosentris yang
mengangkat kehidupan politik dari tingkat sekuler ke tingkat moral spiritual dan nilai
aposentris yang memuliakan nilai-nilai kemanusiaan, yang menghargai perbedaan
berlandaskan semangat kesetaraan dan persaudaraan, dengan mewujudkan suatu
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan dimuliakannya aspirasi rakyat
dalam proses demokrasi politik di lembaga perwakilan, rakyat juga dituntut untuk
menjadi warga Negara yang bijaksana, yang memahami hak dan kewajibannya, serta
bertanggung jawab dalam menjalankan partisipasi politik, social, dan ekonominya
demi kelangsungan Pancasila dan Negara Indonesia yang sejahtera ini.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam praktiknya permusyawaratan sulit menghindari kecenderungan elitisme,
Mendorong warganegara untuk selalu memiliki kesadaran politik yang tinggi dan selalu
memperkaya diri dengan pengetahuan tentang perkembangan masyarakatnya, Sulit
mengharapkan setiap warganegara memiliki kepedulian politik yang sama dan setara,
Mendorong warganegara untuk selalu memikirkan kepentingan bersama, Memerlukan
masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi dan sarana komunikasi yang modern
4. 2 Relevansi
Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Sampai saat ini gagasan tersebut tentu saja masih
relevan dan mempunyai kedudukan yang tinggi di masyarakat Indonesia. Sebagai Negara
demokrasi Indonesia menjunjung kebebasan atas mengemukakan pendapat. Semua hal
tersebut dilandaskan oleh sila keempat Pancasila. Tak dapat dipungkiri bahkan kemerdekaan
66 tahun silam tak lepas dari peran musyawarah dari pejuang bangsa.
Kehadiran sila keempat sampai jaman modern ini tetap saja diperlukan bahkan dari hal sepele
seperti menentukan makan bersama pun kita tetap menggunakan musyawarah. Tentu saja
dalam kehidupan bernegara yang jauh lebih luas dari contoh kecil yang di atas musyawarah
tidak mudah diterapkan. Sering timbul rasa ingin melakukan ‘oposisi’ namun agar bangsa ini
tetap utuh diperlukan penerapan yang baik dan harmonis pada sila keempat.