Download - konsep infeksi nosokomial
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Infeksi Nosokomial
1.1 Pengertian Infeksi dan Infeksi Nosokomial
Infeksi adalah invasi tubuh oleh patogen atau mikroorganisme yang
mampu menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005). Berdasarkan uraian di atas
peneliti menyimpulkan bahwa infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh
invasi patogen atau mikroorganisme yang berkembang biak dan bertahan hidup
dengan cara menyebar dari satu orang ke orang lain sehingga menimbulkan sakit
pada seseorang.
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien dari rumah sakit
pada saat pasien menjalani proses asuhan keperawatan. Infeksi nosokomial pada
umumnya terjadi pada pasien yang dirawat di ruang seperti ruang perawatan anak,
perawatan penyakit dalam, perawatan intensif, dan perawatan isolasi (Darmadi,
2008). Infeksi nosokomial menurut Brooker (2008) adalah infeksi yang didapat
dari rumah sakit yang terjadi pada pasien yang dirawat selama 72 jam dan pasien
tersebut tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit.
Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa infeksi
nosokomial adalah infeksi yang diperoleh dari rumah sakit yang dapat
mempengaruhi kondisi kesehatan pasien tersebut selama dirawat maupun sesudah
dirawat yang dapat terjadi karena intervensi yang dilakukan di rumah sakit seperti
pemasangan infus, kateter, dan tindakan-tindakan operatif lainnya.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Cara Penularan Infeksi Nosokomial
Mekanisme transmisi patogen ke pejamu yang rentan melalui tiga cara
(WHO, 2002) yaitu:
1.2.1 Transmisi dari flora normal pasien (endogenous infection)
Bakteri dapat hidup dan berkembang biak pada kondisi flora normal yang
dapat menyebabkan infeksi. Infeksi ini dapat terjadi bila sebagian dari flora
normal pasien berubah dan terjadi pertumbuhan yang berlebihan, misalnya:
infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter.
1.2.2 Transmisi dari flora pasien atau tenaga kesehatan (exogenous cross-
infection)
Infeksi didapat dari mikroorganisme eksternal terhadap individu, yang
bukan merupakan flora normal seperti melalui kontak langsung antara
pasien (tangan, tetesan air liur, atau cairan tubuh yang lain), melalui udara
(tetesan atau kontaminasi dari debu yang berasal dari pasien lain), melalui
petugas kesehatan yang telah terkontaminasi dari pasien lain (tangan,
pakaian, hidung dan tenggorokkan), melalui media perantara meliputi
peralatan, tangan tenaga kesehatan, pengunjung atau dari sumber
lingkungan yang lain (air dan makanan).
1.2.3 Transmisi dari flora lingkungan layanan kesehatan (endemic or epidemic
exogenous environmental infection)
Beberapa jenis organisme yang dapat bertahan hidup di lingkungan rumah
sakit yaitu: dalam air, tempat yang lembab, dan kadang-kadang di produk
yang steril atau desinfektan (pseudomonas, acinetobacter, mycobacterium);
dalam barang-barang seperti linen, perlengkapan dan persediaan yang
Universitas Sumatera Utara
digunakan dalam perawatan atau perlengkapan rumah tangga; dalam
makanan; dalam inti debu halus dan tetesan yang dihasilkan pada saat
berbicara atau batuk.
1.3 Indikator Infeksi Nosokomial
Indikator adalah salah satu cara untuk menilai penampilan dari suatu
kegiatan dengan menggunakan instrumen. Indikator merupakan variabel yang
digunakan untuk menilai suatu perubahan (Depkes, 2001).
WHO dalam Depkes (2001) menyatakan bahwa, indikator adalah variabel
untuk mengukur perubahan. Indikator sering digunakan terutama bila perubahan
tersebut tidak dapat diukur. Indikator pengendalian infeksi nosokomial menurut
Depkes tahun 2001 meliputi Angka Pasien Dekubitus, Angka Kejadian dengan
jarum infus, dan Angka Kejadian Infeksi Luka Operasi. Ketiga indicator ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1 Angka Pasien dengan Dekubitus (Dekubitus Ulcer Rate)
Luka dekubitus adalah luka pada kulit dan/atau jaringan yang dibawahnya
yang terjadi di rumah sakit karena tekanan yang terus menerus akibat tirah baring.
Luka dekubitus akan terjadi bila penderita tidak dibolak-balik atau dimiringkan
dalam waktu 2 x 24 jam. Angka pasien dengan dekubitus adalah banyaknya
penderita yang menderita Dekubitus dan bukan banyaknya kejadian Dekubitus.
Rumus yang digunakan untuk mengukur Angka pasien dengan dekubitus (APD)
adalah:
Banyaknya pasien dengan dekubitus/bulan x 100% Total pasien tirah baring total bulan itu
Universitas Sumatera Utara
1.3.2 Angka Infeksi karena Jarum Infus (Intravenous Cabule Infection Rate)
Infeksi karena jarum infus adalah keadaan yang terjadi disekitar tusukan
atau bekas tusukan jarum infus di Rumah Sakit, dan timbul setelah 3 x 24 jam
dirawat di rumah sakit kecuali infeksi kulit karena sebab-sebab lain yang tidak
didahului oleh pemberian infus atau suntikan lain. Infeksi ini ditandai dengan rasa
panas, pengerasan dan kemerahan (kalor, tumor, dan rubor) dengan atau tanpa
nanah (pus) pada daerah bekas tusukan jarum infus dalam waktu 3 x 24 jam atau
kurang dari waktu tersebut bila infus terpasang. Rumus yang digunakan untuk
mengukur Angka kejadian infeksi karena jarum infus (AIKJ) adalah:
Banyaknya kejadian infeksi kulit karena jarum infus/bulan x 100% Total kejadian pemasangan infus pada bulan tersebut
1.3.3 Angka Kejadian Luka Operasi (Wound Infection Rate)
Adanya infeksi nosokomial pada semua kategori luka sayatan operasi
bersih yang dilaksanakan di rumah sakit ditandai oleh rasa panas (kalor),
kemerahan (color), pengerasan (tumor), dan keluarnya nanah (pus) dalam waktu
lebih dari 3 x 24 jam kecuali infeksi nosokomial yang terjadi bukan pada tempat
luka. Rumus yang digunakan untuk mengukur Angka infeksi luka operasi (AILO)
adalah:
Banyaknya infeksi luka operasi bersih/bulan x 100% Total operasi bersih bulan tersebut
Universitas Sumatera Utara
1.4 Pengendalian Infeksi Nosokomial
Pencegahan infeksi nosokomial yang dikemukakan oleh WHO (2002)
menyatakan bahwa infeksi nosokomial membutuhkan keterpaduan, pemantauan,
dan program dari semua tenaga kesehatan profesional yang meliputi: dokter,
perawat, terapis, apoteker, dan lain-lain. Pencegahan infeksi nosokomial yang
menjadi kunci utama yaitu: (1) membatasi transmisi organisme antara pasien
dalam melakukan perawatan pasien secara langsung melalui cuci tangan,
menggunakan sarung tangan, teknik aseptik yang tepat, strategi isolasi, sterilisasi
dan teknik desinfektan; (2) mengendalikan lingkungan yang berisiko untuk
infeksi; (3) melindungi pasien dengan penggunaan profilaksis antimikroba yang
tepat, nutrisi, dan vaksinasi; (4) membatasi risiko terjadinya infeksi endogenous
dengan meminimalkan prosedur invasif, dan mempromosikan penggunaan
antimikroba yang optimal; (5) surveilans infeksi, mengidentifikassi dan
mengendalikan wabah; (6) pencegahan infeksi pada tenaga kesehatan; (7)
meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan secara terus menerus dengan
memberikan pendidikan.
1.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial
Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya infeksi nosokomial yang
dikemukakan Darmadi (2008) adalah:
1.5.1 Faktor-faktor luar (extrinsic factor) yang berpengaruh dalam proses
terjadinya infeksi nosokomial seperti petugas pelayanan medis (dokter,
perawat, bidan, tenaga laboratorium, dan sebagainya), peralatan, dan dan
material medis (jarum, kateter, instrumen, respirator, kain/doek, kassa, dan
Universitas Sumatera Utara
lain-lain), lingkungan seperti lingkungan internal seperti ruangan /bangsal
perawatan, kamar bersalin, dan kamar bedah, sedangkan lingkungan
eksternal adalah halaman rumah sakit dan tempat pembuangan
sampah/pengelolahan limbah, makanan/minuman (hidangan yang disajikan
setiap saat kepada penderita, penderita lain (keberadaan penderita lain dalam
satu kamar/ruangan/bangsal perawatan dapat merupakan sumber penularan),
pengunjung/keluarga (keberadaan tamu/keluarga dapat merupakan sumber
penularan).
1.5.2 Faktor-faktor yang ada dalam diri penderita (instrinsic factors) seperti umur,
jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit
lain yang menyertai (multipatologi) beserta komplikasinya.
1.5.3 Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay),
menurunnya standar pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam
satu ruangan.
1.5.4 Faktor mikroba seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan
merusak jaringan, lamanya paparan (length of exposure) antara sumber
penularan (reservoir) dengan penderita.
1.6 Faktor Keperawatan yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi
Nosokomial
Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan sangat berkaitan
dengan terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit dan perawat bertanggung
jawab menyediakan lingkungan yang aman bagi klien terutama dalam
pengendalian infeksi dalam proses keperawatan. Perawat juga bertindak sebagai
Universitas Sumatera Utara
pelaksana terdepan dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial (Potter & Perry, 2005).
Jumlah tenaga pelayanan kesehatan yang kontak langsung dengan pasien,
jenis dan jumlah prosedur invasif, terapi yang diterima, lama perawatan, dan
standar asuhan keperawatan mempengaruhi risiko terinfeksi. Faktor standar
asuhan keperawatan yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial adalah
klasifikasi dan jumlah ketenagaan yang memiliki kemampuan dalam menjalankan
dan mempraktikkan teknik aseptik, peralatan dan obat yang sesuai, siap pakai dan
cukup, ruang perawatan yang secara fisik dan hygiene yang memadai, aspek
beban kerja dalam pembagian jumlah penderita dengan tenaga keperawatan, dan
jumlah pasien yang dirawat (Darmadi, 2008).
1.7 Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial
Peran perawat dalam pengendalian infeksi adalah menyediakan layanan
konsultasi mengenai semua aspek pencegahan dan pengendalian infeksi dengan
menggunakan metode yang berdasarkan bukti penelitian, praktisi, dan keefektifan
biaya (Brooker, 2008). Pelaksanaan praktik asuhan keperawatan untuk
pengendalian infeksi nosokomial adalah bagian dari peran perawat (WHO, 2002).
WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired Infection
menyatakan bahwa kepala ruangan bertanggung jawab untuk (1) berpartisipasi
dalam Komite Pengendalian Infeksi; (2) mempromosikan pengembangan dan
peningkatan teknik keperawatan yang berkaitan dengan pengendalian infeksi
nosokomial, dan pengawasan teknik aseptik yang dilakukan oleh perawat dengan
persetujuan Komite Pengendalian Infeksi; (3) mengembangkan pelatihan
Universitas Sumatera Utara
program bagi setiap perawat; (4) mengawasi pelaksanaan teknik pencegahan
infeksi di daerah khusus seperti ruang operasi, ruang perawatan intensif, ruang
persalinan, dan ruang bayi baru lahir; (5) pemantauan kepatuhan perawat terhadap
kebijakan yang dibuat oleh kepala ruangan. Peran perawat selain yang diatas
adalah bertanggung jawab atas lingkungan yaitu: (1) menjaga kebersihan rumah
sakit yang berpedoman terhadap kebijakan rumah sakit dan praktik keperawatan;
(2) pemantauan teknik aseptik termasuk cuci tangan dan penggunaan isolasi, (3)
melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah yang dihadapi terutama jika
ditemui adanya gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan; (4)
melakukan isolasi jika pasien menunjukkan tanda-tanda dari penyakit menular,
ketika layanan kesehatan tidak tersedia; (5) membatasi paparan pasien terhadap
infeksi yang berasal dari pengujung, staf rumah sakit, pasien lain, atau peralatan
yang digunakan untuk diagnosis atau asuhan keperawatan; (6) mempertahankan
suplai peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan yang aman dan
memadai di ruangan.
Perawat yang bertanggung jawab dalam pengendalian infeksi adalah
perawat yang menjadi anggota dari tim pengendalian infeksi yang bertanggung
jawab untuk (1) mengidentifikasi infeksi nosokomial; (2) melakukan penyelidikan
terhadap jenis infeksi dan organisme yang menginfeksi; (3) berpartisipasi dalam
pelatihan; (4) surveilans infeksi di rumah sakit; (5) berpartisipasi dalam
penyelidikkan wabah; (6) memastikan kepatuhan perawat terhadap peraturan
pengendalian infeksi lokal maupun nasional; (7) menyediakan layanan konsultasi
untuk petugas kesehatan dan program rumah sakit yang sesuai dalam hal-hal
yang berhubungan dengan penularan infeksi.
Universitas Sumatera Utara
2. Kepatuhan
2.1 Pengertian Kepatuhan dan Ketidakpatuhan
Kelman (1958 dalam Sarwono 1997) menyatakan bahwa, kepatuhan
adalah suatu perilaku manusia yang taat terhadap aturan, perintah, prosedur, dan
displin. Kepatuhan perawat adalah perilaku perawat sebagai seorang professional
terhadap suatu anjuran, prosedur atau peraturan yang harus dilakukan atau ditaati
(Setiadi, 2007).
Perilaku kepatuhan bersifat sementara karena perilaku ini akan bertahan
bila ada pengawasan. Jika pengawasan hilang atau mengendur maka akan timbul
perilaku ketidakpatuhan. Perilaku kepatuhan ini akan optimal jika perawat itu
sendiri mengganggap perilaku ini bernilai positif yang akan diintegrasikan melalui
tindakan asuhan keperawatan. Perilaku keperawatan ini akan dapat dicapai jika
manajer keperawatan merupakan orang yang dapat dipercaya dan dapat
memberikan motivasi (Sarwono, 1997).
Ketidakpatuhan adalah perilaku yang dapat menimbulkan konflik yang
dapat menghasilkan perasaan bersalah pada seseorang dimana perilaku ditujukan.
Perilaku ini dapat berbentuk verbal dan nonverbal. Perilaku ini terbagi menjadi
tiga jenis menurut Murphy dalam Swansburg (2000) yaitu: (1) Competitive
Bomber yang mudah menolak untuk bekerja. Orang ini sering menggerutu dengan
bergumam dan dengan wajah yang cemberut dapat pergi meninggalkan manajer
perawat atau tidak masuk kerja. (2) Martyred Accomodator yang menggunakan
kepatuhan palsu. Orang tipe ini dapat bekerja sama tetapi juga sambil melakukan
ejekan, hinaan, mengeluh dan mengkritik untuk mendapatkan dukungan yang
Universitas Sumatera Utara
lainnya. (3) Advoider yang bekerja dengan menghindarkan kesepakatan,
berpartisipasi dan tidak berespon terhadap manajer perawat.
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan (Setiadi, 2007) terbagi atas
dua yaitu:
2.2.1 Faktor Internal
a. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting membentuk
tindakan atau perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2007).
Proses adopsi perilaku, menurut Notoatmojo (2007) yang mengutip
pendapat (Rogers, 1974), sebelum seseorang mengadopsi perilaku, di dalam diri
orang tersebut terjadi suatu proses yang berurutan. Tingkatan pengetahuan
mencakup enam pengetahuan, yaitu:
1. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Tahu artinya
dapat mengingat atau mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Ukuran bahwa seseorang itu tahu, adalah dapat menyebutkan,
menguraikan, mendefenisikan dan menyatakan.
2. Memahami, artinya kemampuan untuk menjelaskan dan
menginterpretasikan dengan benar tentang objek yang diketahui. Seseorang
Universitas Sumatera Utara
yang telah paham tentang sesuatu harus dapat menjelaskan, memberikan
contoh, dan meyimpulkan.
3. Penerapan, yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi nyata atau dapat menggunakan hukum-
hukum, rumus, metode dalam situasi nyata.
4. Analisis artinya adalah kemampuan untuk menguraikan objek ke dalam
bagian-bagian lebih kecil, tetapi masih di dalam suatu struktur objek
tersebut dan masih terkait satu sama lain.
5. Sintesis, yaitu suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di
dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk
menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
6. Evaluasi, yaitu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu
objek. Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau disusun
sendiri.
b. Sikap
Sikap merupakan penentu dari perilaku karena keduanya berhubungan
dengan persepsi, kepribadiaan, perasaan, dan motivasi. Sikap merupakan keadaan
mental yang dipelajari dan diorganisasikan melalui pengalaman, menghasilkan
pengaruh spesifik pada respon seseorang terhadap orang lain, objek, situasi yang
berhubungan. Sikap menentukan pandangan awal seseorang terhadap pekerjaan
dan tingkat kesesuaian antara individu dan organisasi (Ivancevich et al, 2007).
Sikap mempunyai tingkat berdasarkan intensitas yang menurut
Notoatmodjo (2007) terdiri dari menerima, menanggapi, menghargai, bertanggung
Universitas Sumatera Utara
jawab. Sikap juga dapat dibentuk melalui pengalaman pribadi, pengaruh orang
lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga
pendidikan dan agama, dan faktor emosional.
c. Kemampuan
Kemampun adalah bakat seseorang untuk melakukan tugas fisik atau
mental. Kemampuan seseorang pada umumnya stabil. Kemampuan merupakan
faktor yang dapat membedakan karyawan yang berkinerja tinggi dan yang
berkinerja rendah. Kemampuan individu mempengaruhi karateristik pekerjaan,
perilaku, tanggung jawab, pendidikan dan memiliki hubungan secara nyata
terhadap kinerja pekerjaan (Ivancevich et al, 2007).
Manajer harus berusaha menyesuaikan kemampuan dan keterampilan
seseorang dengan kebutuhan pekerjaan. Proses penyesuaian ini penting karena
tidak ada kepemimpinan, motivasi, atau sumber daya organisasi yang dapat
mengatasi kekurangan kemampuan dan keterampilan meskipun beberapa
keterampilan dapat diperbaiki melalui latihan atau pelatihan (Ivancevich et al,
2007).
d. Motivasi
Motivasi adalah konsep yang menggambarkan kondisi ekstrinsik yang
merangsang perilaku tertentu, dan respon instrinsik yang menampakkan perilaku
manusia. Respon instrinsik ditopang oleh sumber energi, yang disebut motif yang
dapat diartikan sebagai kebutuhan, keinginan, atau dorongan. Motivasi diukur
dengan perilaku yang dapat diobservasi dan dicatat (Swansburg, 2000). Motivasi
Universitas Sumatera Utara
dapat mempengaruhi seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang
menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
Maslow menyatakan bahwa motivasi didasarkan pada teori holistik
dinamis yang berdasarkan tingkat kebutuhan manusia. Individu akan lebih puas
bila kebutuhan fisiologis telah terpenuhi dan apabila kebutuhan tersebut tercapai
maka individu tersebut tidak perlu dimotivasi. Tingkat kebutuhan yang paling
mempengaruhi motivasi adalah tingkat kebutuhan aktualisasi diri. Aktualisasi diri
merupakan upaya individu tersebut untuk menjadi seseorang yang seharussnya
(Ivancevich et al, 2007).
2.2.2 Faktor Eksternal
a. Karakteristik Organisasi
Keadaan dari organisasi dan struktur organisasi ditentukan oleh filosofi
dari manajer organisasi tersebut. Keadaan organisasi dan struktur organisasi akan
memotivasi atau gagal memotivasi perawat profesional untuk berpartisipasi pada
tingkatan yang konsisten sesuai dengan tujuan (Swansburg, 2000). Ting dan Yuan
(1997 dalam Subyantoro, 2009) berpendapat bahwa karakteristik organisasi
meliputi komitmen organisasi dan hubungan antara teman sekerja dan supervisor
yang akan berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan perilaku individu.
b. Karakteristik Kelompok
Rusmana (2008) berpendapat bahwa kelompok adalah unit komunitas
yang terdiri dari dua orang atau lebih yang memiliki suatu kesatuan tujuan dan
pemikiran serta integritas antar anggota yang kuat. Karakteristik kelompok adalah
Universitas Sumatera Utara
(1) adanya interaksi; (2) adanya struktur; (3) kebersamaan; (4) adanya tujuan; (5)
ada suasana kelompok; (6) dan adanya dinamika interdependensi.
Anggota kelompok melaksanakan peran tugas, peran pembentukan,
pemeliharaan kelompok, dan peran individu. Anggota melaksanakan hal ini melalui
hubungan interpersonal. Tekanan dari kelompok sangat mempengaruhi hubungan
interpersonal dan tingkat kepatuhan individu karena individu terpaksa mengalah
dan mengikuti perilaku mayoritas kelompok meskipun sebenarnya individu tersebut
tidak menyetujuinya (Rusmana, 2008).
c. Karakteristik Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan akan memberikan motivasi bagi karyawan untuk
lebih bekerja dengan giat dan untuk menumbuhkan semangat kerja yang lebih
produktif karena karakteristik pekerjaan adalah proses membuat pekerjaan akan
lebih berarti, menarik dan menantang sehingga dapat mencegah seseorang dari
kebosanan dan aktivitas pekerjaan yang monoton sehingga pekerjaan terlihat lebih
bervariasi. Gibson et al (Rahayu, 2006) karakteristik pekerjaan adalah sifat yang
berbeda antara jenis pekerjaan yang satu dengan yang lainnya yang bersifat
khusus dan merupakan inti pekerjaan yang berisikan sifat-sifat tugas yang ada di
dalam semua pekerjaan serta dirasakan oleh para pekerja sehingga mempengaruhi
sikap atau perilaku terhadap pekerjaannya.
d. Karakteristik Lingkungan
Apabila perawat harus bekerja dalam lingkungan yang terbatas dan
berinteraksi secara konstan dengan staf lain, pengunjung, dan tenaga kesehatan
Universitas Sumatera Utara
lain. Kondisi seperti ini yang dapat menurunkan motivasi perawat terhadap
pekerjaannya, dapat menyebabkan stress, dan menimbulkan kepenatan
(Swansburg, 2000).
3. Fungsi Manajemen Keperawatan
3.1 Pengertian Manajemen dan Manajemen Keperawatan
Manajemen merupakan suatu pendekatan yang dinamis dan proaktif dalam
menjalankan suatu kegiatan di organisasi. Manajemen mencakup kegiatan POAC
(planning, organizing, actuating, controlling) terhadap staf, sarana, dan prasarana
dalam mencapai tujuan organisasi (Grant dan Massey, 1999 dikutip dari
Nursalam, 2009).
Muninjaya (2004) menyatakan bahwa manajemen adalah ilmu atau seni
tentang bagaimana menggunakan sumber daya secara efisien, efektif, dan rasional
untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Swansburg (2000) menyatakan bahwa, manajemen keperawatan
berhubungan dengan perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
pengaturan staf (staffing), kepemimpinan (leading), dan pengendalian
(controlling) aktivitas-aktivitas upaya keperawatan atau divisi departemen
keperawatan dan dari sub unit departemen.
3.2 Fungsi Manajemen Keperawatan
Henry Fayol (1949 dalam Robins & Coulter, 2007) merupakan salah satu
ahli yang pertama kalinya mengusulkan bahwa semua manajer melaksanakan
empat fungsi manajemen yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian
Universitas Sumatera Utara
(organizing), mengarahkan (coordinating or directing), dan pengendalian
(controlling). Henry Fayol juga menyakini bahwa fungsi-fungsi ini mencerminkan
inti dari proses manajemen secara akurat.
Swansburg (2000) menyatakan bahwa fungsi manajemen terdiri atas lima
fungsi yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengaturan
staf (staffing), kepemimpinan (leading), dan pengendalian (controlling). Peneliti
akan membahas dan menjelaskan fungsi manajemen menurut Swansburg (2000)
yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Perencanaan (Planning)
Perencanaan merupakan fungsi dasar dari manajemen. Perencanaan dalam
manajemen keperawatan adalah proses mental dimana semua manajer perawat
menggunakan data yang valid dan dapat dipercaya untuk mengembangkan
objektif dan menentukan sumber-sumber yang dibutuhkan dan cetak biru yang
digunakan dalam mencapai objektif. Tujuan utama dari perencanaan adalah
membuat kemungkinan yang paling baik dalam penggunaan personel, bahan, dan
alat (Swansburg, 2000).
Huber (2006) menyatakan bahwa perencanaan merupakan fungsi
manajemen yang digunakan untuk memilih prioritas, hasil, dan metode yang
digunakan untuk sebuah sistem dan kemudian membimbing sistem untuk
mengikuti arahan tersebut.
Robins dan Coulter (2007) menyatakan bahwa fungsi perencanaan
mencakup proses merumuskan sasaran, membangun strategi untuk mencapai
sasaran yang telah disepakati, dan mengembangkan perencanaan tersebut untuk
memadukan dan mengkoordinasikan sejumlah kegiatan.
Universitas Sumatera Utara
2. Pengorganisasian (Organizing)
Fungsi manajemen keperawatan dalam organisasi adalah mengembangkan
seseorang dan merancang organisasi yang paling sederhana untuk menyelesaikan
pekerjaan. Pengorganisasian meliputi proses memutuskan tingkat organisasi yang
diperlukan untuk mencapai objektif divisi keperawatan, departemen atau
pelayanan, dan unit (Swansburg, 2000).
Huber (2006) menyatakan bahwa pengorganisasian adalah fungsi
manajemen yang berhubungan dengan mengalokasi dan mengatur sumber daya
untuk menyelesaikan tujuan yang dicapai. Peran manajer dalam fungsi
pengorganisasian adalah menentukan, tugas yang akan dikerjakan, individu yang
akan mengerjakan, pengelompokkan tugas, struktur pertanggungjawaban, dan
proses pengambilan keputusan. Manajer bertanggung jawab juga dalam
merancang pekerjaan staf yang digunakan untuk mencapai sasaran organisasi
(Robins & Coulter, 2007).
3. Pengaturan staf (Staffing)
Pengaturan staf dan penjadwalan adalah komponen utama dalam
manajemen keperawatan. Pengaturan staf keperawatan merupakan proses yang
teratur, sistematis, rasional diterapkan untuk menentukan jumlah dan jenis
personel keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan keperawatan
pada standar yang ditetapkan sebelumnya pada kelompok pasien dalam situasi
tertentu (Swansburg, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Pengaturan staf memerlukan banyak perencanaan dari manajer.
Perencanaan pengaturan staf dipengaruhi oleh misi dan tujuan institusi, dan
dipengaruhi oleh kebijakan personel (Swansburg, 2000).
4. Kepemimpinan (Leading)
Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi kelompok untuk
menentukan dan mencapai tujuan. Kepemimpinan difokuskan kepada gaya
kepemimpinan situasi kemungkinan dan faktor-faktor seperti manusia, pekerjaan,
situasi, organisasi, dan faktor-faktor lingkungan. Manajer perawat dalam fungsi
ini berperan untuk merangsang motivasi dengan mempraktikkan fungsi
kepemimpinan karena perilaku motivasi merupakan promosi, autonomi, membuat
keputusan, dan manajemen partisipasi (Swansburg, 2000).
Fungsi kepemimpinan menurut Huber (2006) adalah fungsi manajemen
yang mengarahkan dan kemudian mempengaruhi individu tersebut untuk
mengikuti arahan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah disepakati dan yang
telah ditentukan.
Fungsi kepemimpinan menurut Fayol dalam Robins & Coulter (2007)
adalah fungsi yang memotivasi stafnya ketika stafnya bekerja dan mencari
berbagai cara untuk menyelesaikan masalah perilaku stafnya.
5. Pengendalian atau Pengevaluasian (Controlling)
Pengendalian atau pengevaluasian adalah suatu fungsi yang terus menerus
dari manajemen keperawatan yang terjadi selama perencanaan, pengorganisasian,
Universitas Sumatera Utara
dan pengerahan aktivitas. Melalui prsoses ini standar dibuat dan kemudian
digunakan, diikuti umpan balikyang menimbulkan perbaikan (Swansburg, 2000).
Huber (2006) menyatakan bahwa fungsi pengendalian adalah fungsi yang
digunakan untuk memantau dan mengatur perencanaan, proses, dan sumber daya
manusia yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
direncanakan sebelumnya.
Robins & Coulter (2007) menyatakan bahwa fungsi ini adalah fungsi yang
terakhir di dalam manajemen dan fungsi memantau dan mengevaluasi setiap
kegiatan yang telah berjalan sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan dan
memantau kinerja stafnya, Kinerja tersebut kemudian dibandingkan dengan
sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Apabila kinerja tersebut menyimpang
maka fungsi manajemen yang lain diperiksa kembali. Proses pengendalian ini
meliputi memantau, memperbandingkan, dan mengoreksi.
3.3 Fungsi Manajemen Kepala Ruangan
Kepala ruangan adalah seorang tenaga perawatan profesional yang diberi
tanggung jawab dan wewenang dalam mengelola kegiatan pelayanan keperawatan
di satu ruang rawat (Depkes, 1994). Kepala ruangan mempunyai tanggung jawab
dalam manajemen menurut Depkes RI (1994) adalah secara admnistratif dan
fungsional bertanggung jawab kepada Kepala Bidang Perawatan, secara teknis
medis operasional bertanggung jawab kepada dokter penanggung jawab, dokter
yang berwenang/Kepala UPF.
Universitas Sumatera Utara
Tugas pokok kepala ruangan adalah mengawasi dan mengendalikan
kegiatan pelayanan keperawatan di ruang rawat yang berada di wilayah tanggung
jawabnya. Adapun fungsi manajemen keperawatan kepala ruangan adalah:
1. Fungsi Perencanaan Kegiatan Keperawatan di Ruang Rawat Inap
Fungsi perencanaan manajemen keperawatan di ruang rawat inap yang
dilaksanakan oleh kepala ruangan sebagai pemikiran atau konsep-konsep tertulis
seorang manajer. Sebelum melakukan perencanaan terlebih dahulu dianalisa dan
dikaji sistem, strategi organisasi dan tujuan organisasi, sumber-sumber organisasi,
kemampuan yang ada, aktifitas spesifik dan prioritasnya. Perencanaan di ruang
rawat inap melibatkan seluruh personil mulai dari perawat pelaksana, ketua tim
dan kepala ruangan. Perencanaan kepala ruang sebagai manajer meliputi
perencanaan tahunan, bulanan, mingguan, dan harian (Swansburg, 2000).
Perencanaan kepala ruang di ruang rawat inap meliputi perencanaan
kebutuhan tenaga, pengembangan tenaga, kebutuhan logistik ruangan, program
kendali mutu yang akan disusun untuk pencapaian tujuan jangka pendek,
menengah dan panjang. Kepala ruangan juga merencanakan kegiatan di ruangan
seperti pertemuan dengan staf pada akhir minggu (Swansburg, 2000).
Nursalam (2009) menyatakan bahwa tanggung jawab kepala ruangan
dalam fungsi perencanaan sebagai berikut (1) menunjuk ketua tim yang bertugas
di ruangan masing-masing; (2) mengikuti serah terima pasien pada shift
sebelumnya; (3) mengidentifikasi tingkat ketergantungan klien : gawat, transisi,
dan persiapan pulang, bersama ketua tim; (4) mengidentifikasi jumlah perawat
yang dibutuhkan berdasarkan aktivitas dan kebutuhan klien bersama ketua tim,
mengatur penugasan/penjadwalan; (5) merencanakan strategi pelaksanaan
Universitas Sumatera Utara
keperawatan; (6) mengikuti visite dokter untuk mengetahui kondisi, patofisiologi,
tindakan medis yang dilakukan, program pengobatan, dan mendiskusikan dengan
dokter tentang tindakan yang dilakukan terhadap pasien; (7) mengatur dan
mengendalikan asuhan keperawatan meliputi membimbing pelaksanaan asuhan
keperawatan, membimbing penerapan proses keperawatan dan menilai asuhan
keperawatan, mengadakan diskusi untuk pemecahan masalah, memberikan
informasi kepada pasien atau keluarga yang baru masuk; (8) membantu
mengembangkan niat pendidikan dan latihan diri; (9) membantu membimbing
peserta perawat didik keperawatan; (10) menjaga terwujudnya visi dan misi
keperawatan dan rumah sakit.
Uraian tugas kepala ruangan yang ditentukan oleh Depkes (1994) dalam
melaksankan fungsi perencanaan adalah (1) merencanakan jumlah dan kategori
tenaga keperawatan serta tenaga lain sesuai kebutuhan; (2) merencanakan jumlah
jenis peralatan keperawatan yang diperlukan sesuai kebutuhan; (3) merencanakan
dan menentukan jenis kegiatan dan asuhan keperawatan yang akan
diselenggarakan sesuai kebutuhan pasien.
2. Fungsi Pengorganisasian Kegiatan Keperawatan di Ruang Rawat Inap
Pengorganisasian adalah langkah untuk menetapkan, menggolongkan, dan
mengatur berbagai macam kegiatan, menetapkan tugas-tugas pokok dan
wewenang, dan pendelegasian wewenang oleh pimpinan kepada staf dalam
rangka mencapai tujuan organisasi (Muninjaya, 2004). Ada tiga aspek penting
dalam pengorganisasian meliputi : pola struktur organisasi, penataan kegiatan, dan
Universitas Sumatera Utara
struktur kerja organisasi. Prinsip-prinsip pengorganisasian adalah pembagian
kerja, pendelegasian tugas, koordinasi, dan manajemen waktu (Warsito, 2006).
Nurhidayah (2003) menyatakan bahwa, kepala ruangan bertanggung jawab
untuk mengorganisasikan kegiatan asuhan keperawatan di unit kerjanya untuk
mencapai tujuan pengorganisasian, pelayanan keperawatan di ruangan meliputi:
a. Struktur Organisasi
Struktur organisasi ruang rawat inap terdiri dari : struktur, bentuk dan bagan.
Berbagai struktur, bentuk dan bagan dapat digunakan tergantung pada
besarnya organisasi dan tujuan yang ingin dicapai. Struktur organisasi
ruang rawat inap menggambarkan pola hubungan bagian atau staf atasan
baik vertikal maupun horizontal. Sehingga dapat dilihat juga posisi tiap
bagian, wewenang, tanggung jawab serta tanggung gugat.
b. Pengelompokkan kegiatan
Setiap organisasi memiliki serangkaian tugas atau kegiatan yang harus
diselesaikan untuk mencapai tujuan. Pengelompokkan kegiatan dilakukan
untuk memudahkan pembagian tugas perawat sesuai dengan pengetahuan
dan keterampilan yang dimiliki oleh peserta serta disesuaikan dengan
kebutuhan pasien/klien.
c. Koordinasi kegiatan
Kepala ruangan sebagai koordinator kegiatan harus menciptakan
kerjasama yang selaras satu sama lain dan saling menunjang untuk
menciptakan suasana kerja yang kondusif. Selain itu, adanya
pedelegasian tugas perlu dilakukan kepada ketua tim atau perawat
pelaksana dalam asuhan keperawatan di ruang rawat inap.
Universitas Sumatera Utara
d. Evaluasi kegiatan
Kegiatan yang telah dilaksanakan perlu dievaluasi menilai apakah
pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana. Kepala ruangan
berkewajiban untuk memberi asuhan yang jelas tentang kegiatan yang
dilakukan.
e. Kelompok kerja
Kegiatan di ruang rawat inap diperlukan kerja sama antar staf dan
kebersamaan dalam kelompok, hal ini untuk meningkatkan motivasi
kerja dan perasaan keterikatan dalam kelompok, hal ini untuk
meningkatkan kualitas kerja dan mencapai tujuan pelayanan dan asuhan
keperawatan.
3. Fungsi Pengaturan Staf Kegiatan Keperawatan di Ruang Rawat Inap
Kegiatan pelayanan keperawatan bergantung pada kualitas dan kuantitas
perawat yang bertugas selama 24 jam terus-menerus di bangsal. Upaya
peningkatan mutu pelayanan yang diperlukan adalah dukungan sumber daya
manusia yang mampu mengemban tugas dan mengadakan perubahan. Hal ini akan
dapat terlaksana dengan baik diperlukan adanya perencanaan, baik jumlah
maupun klasifikasi tenaga kerja, serta pendayagunaan tenaga kerja sesuai dengan
sistem pengelolaan yang ada (Swansburg, 2000).
Swansburg (2000) berpendapat bahwa pengaturan staf keperawatan
merupakan proses yang teratur dan sistematis, berdasarkan rasional, diterapkan
untuk menentukan jumlah dan jenis personel keperawatan yang dibutuhkan untuk
memberikan asuhan keperawatan pada standar yang ditetapkan sebelumnya pada
Universitas Sumatera Utara
kelompok pasien dalam situasi tertentu. Proses pengaturan staf bersifat kompleks.
Komponen pengaturan staf adalah sistem kontrol termasuk studi pengaturan staf,
penugasan rencana pengaturan staf, dan rencana penjadwalan.
Kebutuhan keperawatan dipengaruhi oleh karateristik populasi pasien yang
ditentukan oleh jumlah dan kemampuan staf medis. Kebutuhan khusus individu
dokter, waktu dan lamanya ronde; waktu, kompleksitas, dan jumlah tes, obat-
obatan, dan pengobatan; jumlah dan jenis pembedahan akan mempengaruhi
kualitas dan kuantitas personel perawatan yang diperlukan dan mempengaruhi
penempatan (Swansburg, 2000).
Pengaturan staf yang rendah mempunyai efek yang negatif terhadap moral
staf, kualitas pelayanan keperawatan, dan modalitas praktik keperawatan. Hal
tersebut dapat menurunkan jumlah pasien, menyebabkan penurunan kehadiran,
kebosanan, dan ketidakpuasan (Swansburg, 2000).
4. Fungsi Kepemimpinan Kegiatan Keperawatan di Ruang Rawat Inap
Fungsi kepemimpinan adalah suatu konsep dari suatu tujuan dan metoda
untuk mencapainya, serta suatu mobilisasi dari seluruh fasilitas yang diperlukan
untuk pencapaian hasil dari penyesuaian nilai-nilai terhadap faktor lingkungan
yang ingin dicapai dari tujuan perencanaan yang telah ditetapkan.
Fungsi kepemimpinan ini dipandang sebagai suatu proses interaktif yang
dinamis yang mencakup tiga dimensi yaitu: pimpinan, bawahan, dan situasi.
Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi, misalnya: pencapaian tujuan bukan
hanya bergantung pada sifat pribadi seorang pimpinan tetapi juga bergantung pada
kebutuhan bawahan dan bentuk dari suatu keadaan (Swansburg, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Fungsi kepemimpinan kepala ruangan di ruang rawat inap bertindak
sebagai manajer yang membuat tanggung jawab, membuat unit kerja, mendengar,
berbicara, membujuk dan dibujuk, menggunakan kebijaksanaan bersama untuk
membuat keputusan. Kepala ruangan di ruang rawat inap merupakan posisi
kepemimpinan yang paling berpengaruh. Kepala ruangan sebagai manajer perawat
dapat mempraktikkan fungsi kepemimpinan perilaku untuk merangsang motivasi
tenaga perawat diruangan (Swansburg, 2000).
Fungsi kepemimpinan merupakan usaha untuk menciptakan iklim kerja
sama di antara staf pelaksana program sehingga tujuan organisasi dapat tercapai
secara efektif dan efisien (Muninjaya, 2004). Kepala ruangan dalam melakukan
kegiatan kepemimpinan dengan cara: saling memberi motivasi, membantu
pemecahan masalah, melakukan pendelegasian, melakukan, menggunakan
komunikasi yang efektif, melakukan kolaborasi dan koordinasi (Swansburg,
2000).
Nursalam (2009) menyatakan bahwa, tanggung jawab kepala ruangan
dalam fungsi kepemimpinan adalah sebagai berikut: (1) memberi pengarahan
tentang penugasan kepada ketua tim; (2) memberi motivasi dalam peningkatan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap; (3) menginformasikan hal-hal yang
dianggap penting dan berhubungan dengan askep pasien; (4) melibatkan
bawahan sejak awal hingga akhir kegiatan; (5) membimbing bawahan yang
mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugasnya; (6) meningkatkan
kolaborasi dengan anggota tim lain.
Universitas Sumatera Utara
5. Fungsi Pengawasan dan Pengendalian Keperawatan di Ruang Rawat Inap
Fungsi pengawasan dan pengendalian merupakan standar keberhasilan
program yang dituangkan dalam bentuk target pencapaian, prosedur kerja, dan
sebagainya harus dibandingkan dengan hasil yang telah dicapai atau yang mampu
dikerjakan oleh staf. Fungsi pengawasan dan pengendalian bertujuan agar
penggunaan sumber daya dapat lebih diefisienkan, dan tugas-tugas staf untuk
mencapai tujuan program dapat diefektifkan (Muninjaya, 2004).
Fungsi pengawasan dan pengendalian ini sangat penting karena dapat
memberi gambaran kualitas pelayanan rumah sakit khususnya pelayanan
keperawatan. Kualitas pelayanan merupakan tipe pengawasan yang berhubungan
dengan kegiatan yang dipantau atau diatur dalam pelayanan. Pencapaian kualitas
pelayanan keperawatan memerlukan supervisi keperawatan.
Supervisi keperawatan adalah suatu proses pemberian berbagai sumber
yang dibutuhkan perawat untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam mencapai
tujuan organisasi (Nursalam, 2009) sedangkan Depkes (2000, dalam Nursalam,
2009), supervisi adalah kegiatan pengawasan dan pembinaan yang dilakukan
secara berkesinambungan oleh supervisor mencakup masalah pelayanan
keperawatan, masalah ketenagaan, dan peralatan agar pasien mendapat pelayanan
yang bermutu setiap saat.
Tujuan dari supervisi keperawatan adalah pemenuhan dan peningkatan
kepuasan pelayanan pada pasien dan keluarganya. Supervisi difokuskan pada
kebutuhan, keterampilan, dan kemampuan perawat untuk melakukan tugasnya
(Nursalam, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan supervisi merupakan salah satu fungsi pokok yang harus
dilaksanakan oleh manajer dari tingkatan yang rendah, menengah, dan atas.
Manajer yang melakukan supervisi disebut sebagai supervisor. Sasaran supervisi
adalah pekerjaan yang dilakukan bawahan yang melakukan pekerjaang. Di rumah
sakit yang bertindak sebagai manajer keperawatan yang melakukan supervisi
adalah kepala ruang, pengawas keperawatan, kepala seksi, kepala bidang, dan
wakil direktur keperawatan (Nursalam, 2009).
Proses supervisi praktek keperawatan meliputi tiga elemen yaitu: standar
keperawatan sebagai acuan, fakta pelaksanaan praktek keperawatan sebagai
pembanding untuk menetapkan pembanding untuk menetapkan pencapaian atau
kesenjangan, tindak lanjut dalam upaya memperbaiki dan mempertahankan
kualitas asuhan. Area supervisi meliputi: pengetahuan dan pengertian tentang
pasien dan diri sendiri, keterampilan yang dilakukan sesuai dengan standar, dan
sikap serta penghargaan terhadap pekerjaan (Nursalam, 2009).
Nursalam (2009) menyatakan bahwa, tanggung jawab kepala ruang dalam
fungsi pengawasan adalah sebagai berikut: (1) melalui komunikasi seperti
mengawasi dan berkomunikasi langsung dengan ketua tim maupun pelaksana
mengenai asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien; (2) melalui
supervisi meliputi pengawasan langsung dilakukan dengan cara inspeksi,
mengamati sendiri, atau laporan langsung secara lisan, dan
memperbaiki/mengawasi kelemahan-kelemahan yang ada saat itu juga;
pengawasan tidak langsung, yaitu memeriksa daftar hadir ketua tim, membaca dan
memeriksa rencana keperawatan serta catatan yang dibuat selama proses
keperawatan dilaksanakan (didokumentasikan), mendengar laporan ketua tim
Universitas Sumatera Utara
tentang pelaksanaan tugas; evaluasi; mengevaluasi upaya pelaksanaan dan
membandingkan dengan rencana keperawatan yang telah disusun bersama ketua
tim; audit keperawatan.
3.4 Alat Ukur Fungsi Manajerial Keperawatan Kepala Ruangan
Alat ukur fungsi manajerial keperawatan kepala ruangan yang digunakan
merupakan hasil pengembangan/modifikasi. Alat ukur fungsi manajerial kepala
ruangan merupakan modifikasi dari beberapa sumber seperti dari Swansburg
(2000), Nursalam (2009), pedoman uraian tugas tenaga perawatan di rumah sakit
yang dikeluarkan oleh tim Depkes (1994), dan dari penelitian sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara