i
KONSEP DZAWIL ARHAM DALAM PEMBAGIAN HARTA
PENINGGALAN MENURUT ULAMA’ SYAFI’IYAH DAN
ULAMA’ HANAFIYAH
Oleh
AHMAD SANUSI
15.2.13.2.005
JURUSAN AKHWAL AL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2018
ii
KONSEP DZAWIL ARHAM DALAM PEMBAGIAN HARTA
PENINGGALAN MENURUT ULAMA’ SYAFI’IYAH DAN
ULAMA’ HANAFIYAH
Skripsi
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Mataram Untuk Melengkapi
Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Oleh
AHMAD SANUSI
15.2.13.2.005
JURUSAN AKHWAL AL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2018
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi : Ahmad Sanusi, NIM 15.2.13.2.005. yang berjudul “Konsep Dzawil
Arham dalam Pembagian Harta Peninggalan menurut Ulama’ Syafi’iyah dan
ulama’ Hanafiyah” telah memenuhi syarat dan disetujui untuk di munaqasahkan
.
Disetujui tanggal . 21 Desember 2017
Di bawah Bimbingan
Pembimbing I
Dr. H. USMAN, M.Ag
NIP.196312311992031026
Pembimbing II
Dr.H.M. Said Ghazali, Lc. MA
NIP. 197112312006041003
iv
NOTA DINAS PEMBIMBING
Hal : Munaqasyah
Mataram, 21 Desember 2017
Kepada
Yth. Rektor UIN Mataram
di Mataram
Assalamu‟alaikum Warahmatullhi Wabarakatuh .
Setelah di periksa dan diadakan perbaikan sesuai dengan masukan
pembimbing dan pedoman , skripsi, kami berpendapat bahwa skripsi : Ahmad
Sanusi, NIM 15.2.13.2.005. yang berjudul “Konsep Dzawil Arham dalam
Pembagian Harta Peninggalan menurut Ulama’ Syafi’iyah dan Ulama’
Hanafiyah” telah memenuhi syarat untuk diajukan dalam sidang munaqasyah
skripsi fakultas Syari‟ah UIN Mataram.
Demikian, atas perhatian bapak rektor disampaikan terima kasih .
Wassalamu‟alaikum. Wr. Wb.
Pembimbing I
Dr. H. USMAN, M.Ag
NIP.196312311992031026
Pembimbing II
Dr.H.M. Said Ghazali, Lc. MA
NIP. 197112312006041003
v
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ahmad Sanusi
NIM : 15.2.13.2.005
Jurusan : Ahwal Al Syakhshiyah
Fakultas : Syari‟ah
Dengan sesungguhnya menyatakan bahwa skripsi dengan judul :
Konsep Dzawil Arham dalam Pembagian Harta Peninggalan menurut
Ulama’ Syafi’iyah dan Ulama’ Hanafiyah secara keseluruhn adalah hasil
penelitian / karya sendiri, kecuali pada bagian – bagian yang dirujuk sumbernya.
Apabila di belakang hari ternyata karya tulis ini tidak asli, saya siap
dianulir gelar keserjanaan saya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN
Mataram
Mataram, 28 desember 2017
Hormat saya
Ahmad Sanusi
NIM. 15.2.13.2.005
vi
PENGESAHAN
Skripsi dengan judul “Konsep Dzawil Arham dalam Pembagian Harta
Peninggalan menurut Ulama’ Syafi’iyah dan ulama’ Hanafiyah” di ajukan
oleh Ahmad Sanusi NIM. 15.2.13.2.005, Jurusan Ahwal Al Syakhshiyah Fakultas
Syariah Universitas Islam Negeri (UIN ) Mataram telah di munaqasah-kan pada
hari Rabu 05 Januari 2018 dan di nyatakan telah memenuhi syarat untuk mencapai
Gelar Sarjana Hukum.
Dewan Munaqasah
1. Ketua Sidang
Pembimbing I
Dr. H. USMAN, M.Ag
NIP. 196312311992031026
(_______________)
2. Sekretaris Sidang
Pembimbing II
Dr.H.M. Said Ghazali, Lc. MA
NIP. 197112312006041003
(_______________)
3. Penguji Pertama
Drs. H. Muktamar, M.H
NIP:196512311993031024
(_______________)
4. Penguji Kedua
Hj. Ani Wafiroh, M.Ag
NIP:197407162005012003
(_______________)
Mengetahui
Dekan
Dr. H. Musawar, M.A.g
NIP: 196912311998031008
vii
MOTTO
ولهن عليكم رزقهن وكسىتهن بالمعروف
„‟Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang
diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).‟‟ (HR. Muslim 2137)
viii
HALAMAN PERSEMBAHAN
1. Kupersembahkan skripsi ini untuk ibu & bapak tercinta yakni bapak
Jamali (alm) dan ibu Hj. Fatimah, Terimakasih yang tiada terhingga
ananda ucapkan atas segala Kasih sayang, kerja keras dan Pengorbanan
yang engkau berikan kepada ananda sehingga ananda bisa
menyelesaikan Program Studi Sarjana I di Universitas Islam Negeri
Mataram,
2. Kepada ayahanda, ibunda, kakanda, ayunda, adindaku yang ada diwadah
organisasi himpunan mahasiswa islam (HMI) ananda ucapkan terima
kasih yang tak terhingga atas segala motivasi, suport, dan bantuan
sehingga ananda bisa menggunakan toga ini .
3. Kepada teman-teman AS Angkatan Kelas A 2013 banyak suka duka
yang kita alami bersama anada ucapkan terimakasih telah menemani
ananda sampai saat ini dikala susah maupun senang
4. Buat Teman- teman KKP diAik Bukak tahun 2016 terima kasih atas
dukungannya selama ini . Thank‟s For all My Friends.
5. Untuk Keluarga Besar ku terimakasih atas dukungan dan motivasi nya
selama ini dari awal sampai sekarang,
6. Buat pembimbing bapak Dr. H. Usman M.Ag. dan Dr. H. M. Sa‟id
Ghozali Lc. MA., terimakasih atas bimbingannya selama ini, tanpa
bimbingan dari bapak, ananda tidak akan dapat menyelesaikan tugas
akhir ini.
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, dengan penuh rasa syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpakan rahmatnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam konsisten tercurahkan kepada
sang revolusioner sejati bagi dunia ini, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga,
sahabat, pengikut-pengikutnya dan seluruh umat Islam dari masyrik sampai
magrib, semooga kita mendapatkan syafa‟at beliau di akhirat kelak. Amin
Atas berkah dan rahmat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan
yang diharapkan, patutlah rasa syukur penulis panjatkan kepada-Nya serta rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Syari‟ah Universitas Islam
Negeri (UIN) Mataram.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik
tanpa adanya bantuan orang lain yang begitu berharga dan bermakna bagi penulis,
dengan demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis menghaturkan rasa
hormat dan ucapan terima kasih kepada:
1. Pembimbing skripsi, Bapak Dr. H. Usman, M.Ag. Dan Bapak Dr. H.M.
Said Ghazali, Lc. MA yang senantiasa ikhlas meluangkan waktunya untuk
memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Semoga beliau selalu dalam lindungn Allah SWT.
2. Rektor Universitas Islam Negri (UIN) Mataram,
x
3. Dekan Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negri (UIN) Mataram, beserta
segenap pimpinan, karyawan, dan staf yang berdedikasi tinggi dan
sepenuh hati memberikan nasihat-nasihat yang berharga demi
meningkatkan kualitas spiritual dan intelektual kepada mahasiswa/i
Fakultas Syari‟ah .
4. Para Dosen Fakultas Syari‟ah yang telah memberikan ilmu pengetahuan
selama penulis belajar di kampus tercinta, Universitas Islam Negri (UIN)
Mataram yang banyak membuka cakrawala dan wacana berpikir penulis.
5. Rasa Ta‟zim dan terima kasih yang mendalam kepada kedua orang tua
saya, Bapak Jamali dan Ibu Hj. Fatimah yang telah memberikan motivasi
dukungan moril dan materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian, kasih
sayang serta do‟a munajatnya yang tak henti-henti kepada Allah SWT
senantiasa agar penulis mendapatkan kesuksesan dalam penyelesaian studi
dan juga atas perjuangan mereka yang telah mendidik dan mengajarkan
arti kehidupan. Penulis persembahkan skripsi ini.
6. Teman-teman seperjuangan jurusan Akhwal Al-Syakhsiyah angkatan 2013
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah bersama-sama
berjuang dalam menuntut ilmu baik dalam suasana suka maupun duka di
fakultas syari‟ah tercinta, semoga ukhuwah islamiyah diantara kita tetap
terjaga selamanya.
Penulis menyadari bahwa masih banyak nama-nama yang penulis
sebutkan satu persatu, kepada semua pihak yang telah memotivasi dalam
memberikan inspirasi kepada penulis untuk mencapai suatu cita-cita dan telah
xi
membantu baik secara langsung amupun tidak langsung, moril maupun
materil. Hanya ucapan terimakasih yang mapu penulis haturkan semoga segala
bantuan tersebut diterima sebagai amal ibadah di sisi Allah SWT dengan
pahala yang terus mengalir.
Akhirnya saran dan kritik yang konstruktif dan solutif dari semua pihak
akan diterima dengan baik, semoga Allah senantiasa meridhoi setiap langkah
kita. Amin.
Mataram, 28 Desember 2017
Penulis,
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN .......................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... iii
NOTA DINAS PEMBIMBING ...................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ......................................................... v
PENGESAHAN .............................................................................................. vi
MOTO ............................................................................................................. vii
PERSEMBAHAN ........................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
ABSTRAK ..................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 6
D. Kajian Pustaka ................................................................................. 7
E. Kerangka Teori ............................................................................... 11
F. Metode Penelitian ............................................................................ 15
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian ............................................... 15
2. Sumber data ............................................................................... 15
3. Teknik dan Analisis data ............................................................ 16
4. Teknik Pengumpulan data ......................................................... 18
5. Validitas data ............................................................................. 18
G. Sistematika Pembahasan ................................................................. 19
BAB II PEMBAHASAN DZAWIL ARHAM MENURUT
SYAFI‟IYAH DAN HANAFIYAH ................................................................ 20
A. Konsep dzawil arham menurut syafi‟iyah ...................................... 20
1. Pengertian Dzawil arham ........................................................... 20
2. Ahli waris zawil arham .............................................................. 22
xiii
3. Kewarisan dzawil arham ............................................................ 23
4. Dalil tentang dzawil arham tidak dapat bagian harta ................. 24
B. Konsep Dzawil Arham Menurut Hanafiyah ................................... 26
1. Pengertian Dzawil Arham .......................................................... 26
2. Dalil Tetang Dzawil Arham Bisa Mendapatkan Harta .............. 26
3. Cara Mendapatkan Warisan Dzawil Arham ............................... 32
4. Kelompok Dzawil Arham .......................................................... 39
5. Perbedaan Antara Mazhab Ahlu Al-Tanzil Dan
Mazhab Ahlu Al-Qorobah ......................................................... 42
6. Cara Mewarisi ............................................................................ 42
7. Syarat-Syarat Kewarisan Dzwil Arham ..................................... 44
C. Persamaan Dan Perbedaan Antara Syafi‟iyah Dan Hanafiyah
Tentang Konsep Dzawil Arham ...................................................... 47
1. Pengertian Dzawil Arham .......................................................... 47
2. Kewarisan Dan Ahli Waris ......................................................... 48
3. Kewarisan Dzawil Arham .......................................................... 49
4. Dalil-Dalil Tentang Dzawil Arham Dapat Menjadi Ahli Waris
Dan Tidak Dapat Menjadi Ahli Waris ......................................... 50
BAB III PENUTUP......................................................................................... 57
A. Kesimpulan ...................................................................................... 57
B. Saran ............................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA
xiv
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang kewarisan yang sering membuaat orang-
orang bingung bagaimana mau melaksanakan dan menyelesaikan pembagian harta
peninggalan yang ditinggalkan oleh mayyit, yaitu tentang kewarisan dzawil
arham, apakah akan diberikan harta peninggalan tersebut atau tidak kepada
mereka.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam dan lebih luas
argumentasi ulama‟ Syafi‟iyah dan ulama‟ hanafiayah tentang sisi perbedaan
mereka megenai dzawil arham dalam pembagian harta peninggalan dan
mempertimbangkan tingkat kekuatan argumentasi yang masing-masing mereka
gunakan dalam hal ini.
Penelitian ini ialah penelitian pustaka, data yang dikumpulkan berdasarkan
fakta yang didapatkan dari dokumen-dokumen. Penelitian ini juga bersifat
konfaratif yaitu suatu metode membandingkan pendapat atau hasil pemkiran para
tokoh, dalam hal ini adalah membandingkan pendapat para ulama‟ Syafi‟iyah dan
ulama‟ Hanafiyah tentang dzawil arham dalam pembagian harta peninggalan.
Penelitian ini membahas bagaiman konsep-konsep yang ditawarkan oleh
masing-masing ulama‟ dari mazhab Syafi‟i dan ulama‟ dari mazhab Hanafi
tentang dzawil arham dalam pembagian harta peninggalan dan cara mereka para
kerabat dzawil arham mendapatkan bagian harta peninggalan orang yang mati
sesuai prosedur.
Kata kunci: Dzawil furudh Ashabah, Dzawil arham, Ulama‟ Syafi‟iyah dan
ulama‟ Hanafiyah
15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah mahluk sosial yang tidak akan pernah dapat hidup sendiri
tanpa bantuan orang lain atau makhluk lain, karenanya Allah menurunkan aturan
kepada manusia berupa al-Qur‟an dan al-Hadits sebagai penuntun dan pedoman
manusia dalam menjalankan kehidupanya di dunia ini, diperkuat lagi dengan
sumber-sumber hukum lainnya, seperti ijma‟ para ulama‟, qiyas, dan lain
sebagainya.
Al-Qur‟an dan al-Hadits mengajarkan kepada umat manusia aturan-aturan
yang terkait dengan kehidupan duniawi yang dapat memberikan jalan yang baik
menuju kesuksesan kehidupan akhirat yang akan membuatnya selamat, seperti
aturan-aturan dalam keluarga dan yang berhubungan dengan hal tersebut, seperti
hukum waris yang diaturnya secara detail. Masalah harta peninggalan orang yang
telah meninggal ini sangatlah sensitif dalam sebuah keluarga, sehingga sangat
rentan dapat memecah-belah hubungan keluarga yang awalnya harmonis.1
Berbagai kemungkinan timbulnya senketa disebabkan harta telah
diantisipasi dengan adanya aturan-aturan jelas dibidang harta, seperti dapat dilihat
dalam aturan jual beli, utang piutang, aturan hibah, wakaf, wasiat, mawaris dan
sebagainya. Silang sengketa tidak dapat dihindarkan bilamana pihak-pihak tidak
konsisten dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan.2
1 Muhamad bin Ibrahim bin Abdullah Atuwaijry. Hukum Waris. (Riyadh: Maktab Dakwah
dan Bimbingan Jaliyat Rabwah, 2007) h.1. 2 M. Zein, Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 223.
1
2
Ilmu tentang harta peninggalan ini termasuk ilmu yang amat mulia,
sesuatu yang tinggi kedudukannya, amat besar ganjarannya. Karena pentingnya
ilmu tersebut, hingga Allah sendiri yang menentukan bagian masing-masing dan
Allah pun yang menerangkan bagian masing-masing ahli waris, sebagian besar
diterangkan dalam beberapa ayat secara jelas, karena harta itu sendiri kerap kali
menjadi sumber ketamakan bagi manusia. Sebagian besar dari harta warisan itu
adalah untuk keluarga baik pria maupun wanita, besar maupun kecil, yang lemah
maupun yang kuat, sehingga tidak terdapat padanya kesempatan untuk
berpendapat atau berbicara dengan hawa nafsu.
Karena itulah Allah swt. yang langsung mengatur sendiri secara tertib
pembagian serta rincianya dalam kitab-Nya yang mulia (al-Qur‟an), meratakannya
di antara semua keluarga yang tergolong sebagai ahli waris sesuai dengan tingkat
keadilan diantara semua kerabat serta menjaga keharmonisan berkeluarga diantara
mereka.3
Ilmu mawaris adalah salah satu cabang ilmu tentang hukum keluarga
dalam Islam yang `membahas tentang tata cara pembagian harta peninggalan
kepada kerabat yang ditinggalkan dengan aturan yang sudah ditentukan. Aturan
tersebut datang dari sumber hukum utama di dalam Islam, yaitu al-Qur‟an dan al-
Sunnah
Pembahasan tentang warisan lebih banyak termuat di dalam kitab-kitab
klasik berbahasa arab tentang hasil-hasil ijtihad dan fatwa-fatwa para Ulama‟
masa lampau. Dengan situasi seperti ini agak berat bagi pembaca untuk
3Muhamad bin Ibrahim bin Abdullah Atuwaijry. Hukum Waris. (Riyadh: Maktab Dakwah
dan Bimbingan Jaliyat Rabwah, 2007),h. 1.
3
menjadikannya refrensi penelitian, karena harus melewati metode-metode yang
cukup rumit dalam memahaminya.
Aturan mengenai warisan banyak yang telah dibukukan baik dengan
berbahasa Indonesia, bahasa arab atau lainnya, termasuk berupa terjemahan dari
kitab-kitab berbahasa arab, sehingga mudah bagi para peneliti sekarang untuk
mencari dan menjadikan refrensi tentang aturan-aturan mengenai disiplin ilmu
warisan tersebut.
Warisan merupakan persoalan yang cukup sensitif dalam masalah hukum
keluarga dan yang lumayan sulit terselesaikan dilembaga-lembaga pengadilan,
dan krusial untuk diketahui dan dipelajari guna menyelamatkan harmonisasi
keluarga, karena menyankut masalah harta benda yang akan dibagi kepada ahli
waris yang ditinggalkan.
Pengertian secara umum mengenai hukum mawaris adalah hukum yang
mengatur mengenai peralihan atau pemindahan harta kekayaan yang ditinggalkan
oleh seseorang yang telah meninggal dunia untuk dibagi kepada ahli warisnya
atau kepada keluarga dekat yang ditinggalkannya sesuai dengan bagian masing-
masing yang telah diatur. Adapun hukum mawaris di Indonesia mengatakan
bahwa hukum warisan adalah suatau cara penyelesaian perhubungan-perhubungan
hukum dalam masyarakat, yang melahirkan sedikit-banyak kesulitan sebagai
akibat dari wafatnya seseorang.4
Hukum mawaris merupakan seperangkat aturan/hukum yang mengatur
mengenai peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang (pewaris)
4 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris. (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 16.
4
yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya atau keluarganya.Di dalam
pembagian warisan selalu dimungkinkan adanya perselisihan didalamnya, karena
pembagian warisan identik dengan pembagian harta peninggalan pewaris kepada
ahli warisnya yang apabila tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan akan menimbulkan sengketa diantara ahli waris.5
Hukum mawaris ini berbicara dan membahas mengenai apa dan
bagaimanakah segala sesuatu yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tentang harta peninggalan atau kekayaan seseorang pada saat ia
meninggal dunia yang akan beralih dan dipindah kepada orang lain yang masih
hidup untuk dikelola dengan baik.6
Kerabat terbagi menjadi tiga golongan, yaitu dzawil furudh,7 ashabah
8 dan
dzawil arham. Ulama‟ sepakat bahwa golongan dzawil furudh dan dzawil ashabah
menjadi ahli waris yang mewarisi harta pusaka orang yang meninggal. Adapun
dzawil arham terdapat perbedaan cara pandang para ulama‟ terhadap nash-nash
dalam menjadikan mereka sebagai ahli waris. Misalnya cucu yang dari garis anak
perempuan. Sebagian ulama‟ ada yang berpendapat bahwa cucu tersebut
memperoleh harta warisan dan ada juga sebagian ulama‟ yang berpendapat tidak
memperoleh harta peninggalan.
Perbedaan yang terjadi mengenai dzawil arham ini bisa membuat orang
awam menjadi semakin bingung dalam mengambil kesimpulan makna mengenai
5Ibid. h. 13.
6 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung : Sumur Bandung), h. 12.
7 Dzawil Furudh adalah ahli waris yang mendapatkan warisan dengan cara mendapatkan
bagian masing-masing yang telah dijelaskan didalam al-Qur‟an dan/atau al-hadits. 8Asabah adalah ahli waris yang mendapatkan warisan dengan mendapatkan sisa dari
pembagian harta peninggalan yang telah diberikan bagian masing-masing kepada dzawil furudh
yang ada.
5
apa itu dzawil arham. Perbedaan itu tentu tidak terlepas dari argumentasi-
argumentasi logis yang dijadikan dasar utama dalam beristinbat dan
mempertahankan hasil ijtihad mereka (Ulama‟).
Berdasarkan perbedaan di atas peneliti tertarik untuk membahas penelitian
tentang konsep dzawil arham sebagai objek penelitian untuk mencari landasan
hukum para ulama‟ tersebut dalam memberikan hasil ijtihad mereka tentang
dzawil arham. Dzawil arham juga pernah menjadi bahan diskusi para sahabat
dalam menentukan hukumnya, Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas, Umar Bin Khatab,
Ibnu Mas‟ud dan ali bin Abi Thalib, namun juga menghasilkan perbedaan hasil
interpretasi dikalangan mereka.
Dengan demikian perlu dicari penjelasan lebih lanjut terkait argumen-
argumen yang dianggap tepat terkait dengan konsep dzawil arham menurut
pendapat dan atau pandangan para ulama‟, yaitu dengan mengumpulkan dan
mencari tahu semua pendapat para ulama‟ dan dalil yang dijadikan landasan
dalam memperkuat pendapat mereka.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah konsep dzawil arham dalam pandangan Syafi‟iyah dan
Hanafiyah?
2. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan antara Ulama‟ Syafi‟iyah dan
Ulama‟ Hanafiyah tentang konsep dzawil arham.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
6
Dalam penelitian ini peneliti mempunyai tujuan yaitu:
a. Untuk mengetahui pendapat ulama‟ Syafi‟iyah dan Hanafiyah tentang
dzawil arham
b. Untuk memahami dan mendalami alasan dan argument ulama‟ Syafi‟iyah
dan Hanafiyah tentang konsep dzawil arham
c. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan masing-masing ulama‟
Syafi‟iyah dan Hanafiyah
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang kami harapkan dari penelitian ini adalah:
a. Secara Teoritik, dapat memperbanyak khazanah keilmuan, khususnya
dalam masalah kewarisan dalam Islam
b. Dalam tataran praktis diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman dan
rujukan bagi masyarakat umumnya, khususnya masyarakat akademis
dalam memahami kelompok ahli waris yang termasuk dalam kategori
dzawil arham.
D. Kajian Pustaka
Penelaahan pustaka dilakukan untuk menjelaskan posisi penelitian yang
sedang dilakukan (State of Affairs) yang bertujuan untuk menegaskan kebaruan,
orisinalitas, dan urgensi penelitian bagi pengembangan ilmu terkait.
Tujuan dari kajian pustaka adalah menginformasikan kepada pembaca hasil-
hasil penelitian lain yang berkaitan erat dengan penelitian yang dilakukan saat itu,
menghubungkan penelitian dengan literatur-literatur yang ada, dan mengisi celah-
celah dalam penelitian sebelumnya, dan menjadi tolak ukur untuk mempertegas
7
pentingnya penelitian tersebut, seraya membandingkan hasil-hasilnya dengan
penemuan-penemuan lain.9
Terdapat beberapa judul penelitian yang mengangkat tentang materi yang
berkaitan dengan materi yang peneliti teliti, yang menjadi bahan kajian penulis
sebelum penulisan skripsi ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh para
Ahli dalam masalah waris dan kebetulan memiliki kmiripan dengan judul
proposal penelitian yang peneliti lakukan, adapun hasil penelitian yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
1. Judul Skripsi “Kedudukan dan bagian Ahli waris pengganti dalam hukum
Islam”. 2014.10
Kesimpulan dari penelitian yang terkait dengan penelitian saya ni adalah,
memiliki sisi kesamaan yaitu tentang munculnya istilah dzawil arham, yang
menurutnya pada awalnya ahli waris pengganti tidak dikenal dalam konsep
Hukum kewarisan Islam yang ada dalam kitab-kitab fiqh yang kemudian hal ini
dianggap dapat menimbulkan rasa ketidakadilan bagi para ahli waris pengganti,
sehingga atas dasar inilah kemudian dilakukan ijtihad guna untuk menyelesaikan
berbagai masalah baru yang bermunculan termasuk ahli waris pengganti.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian saya yaitu tentang diakuinya
dzawil arham di Indonesia, dari proses ijtihad inilah kemudian menghasilkan
adanya unifikasi atau penyatuan berbagai aturan dalam hukum Islam yang
kemudian disebut Kompilasi Hukum Islam yang di berlakukan di negara
Indonesia. Di dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut terdapat pasal-pasal yang
9Ibid. h. 40.
10Alhafidz Limbanadi, “Kedudukan dan bagian Ahli waris pengganti dalam hukum Islam”.
2014.
8
mengatur tentang kedudukan juga bagian yang didapat oleh ahli waris pengganti
yang kemudian pasal-pasal tersebut dapat menjadi dasar pengambilan keputusan
oleh hakim dalam memenuhi rasa keadilan bagi para ahli waris pengganti.
2. Judul Tesis “Analisis Yuridis Atas Putusan Nomor: 014/Pdt.P/2014/Pa-Lpk
Tentang Penetapan Ahli Waris Dzawil Arham Yang Mendapatkan Seluruh Harta
Warisan Si Pewaris”11
Kesimpuan dari penelitian tersebut yang terkait dengan penelitian ini adalah
bahwa memiliki sisi kesamaan yaitu tentang kedudukkan dzawil arham sebagai
ahli waris diakui oleh Al-Quraan sebagaimana terdapat dalam Surat Al-Anfal ayat
75, serta Hadist Nabi SAW tentang perkara pemberian harta peninggalan Tsabit
bin ad-Dahdah yang jatuh kepada anak laki-laki saudaranya yaitu Abu Lubabah.
Diantaranya juga adalah mengenai faktor-faktor dzawil arham berhak atas harta
peninggalan seorang ahli waris yaitu menurut penelitian ini ada dua faktor utama,
yang pertama faktor adanya hubungan nasab, yang kedua tidak adanya kelompok
ahli waris dzawil furudh (dzul fardin) dan kelompok ahli waris ashabah.
Perbedaannya dengan penelitian saya ini adalah, Penelitian saya terpokus
pada masalah pandangan para Ulama‟ tentang apa itu dzawil arham dengan
masing-masing dalil yang mereka gunakan, tetapi penelitian dari Taufiq Tahrir
Yufuf Lubis tersebut hanya pokus pada masalah analisis putusan tentang dzawil
arham yang dapat menerima semua harta warisan dari pewaris.
3. Judul Tesis, “Kedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti Berdasarkan
Ketentuan Kompilasi Hukum Islam”12
11
Taufiq Tahrir Yusuf Lubis “Analisis Yuridis Atas Putusan Nomor: 014/Pdt.P/2014/Pa-
Lpk Tentang Penetapan Ahli Waris Dzawil Arham Yang Mendapatkan Seluruh Harta Warisan Si
Pewaris”, Universitas Sumatera Utara, 2014.
9
Kesimpulan dari penelitian tersebut yang terkait dengan penelitian ini
memiliki sisi kesamaan dengan penelitian saya yaitu tentag konsep dzawil arham,
tetapi hanya pokus pada konsep kompilasi hukum islam yang berlaku di
Indonesia. Penelitian ini tidak memuat pendapat-pendapat para Ulama‟ atau
pakar-pakar dalam hukum Islam.
Perbedaanya dengan penelitian yang saya teliti adalah, bahwa penelitian ini
hanya mengkonparasikan dzawil arham menurut kompilasi hukum Islam dengan
dengan dzawil arham menurut al-Qur‟an.Karena di dalam Al Qur‟an telah
ditetapkan
hak kepemilikan atas harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupunperempuan
dengan cara yang sah dan dibenarkan menurut ajaran Islam.
Seperti yang kita ketahui bahwa di dalam Al Qur‟an telah ditentukan adanya
ahli waris Ashabah dan ahli waris Dzawil Furudl saja. Ahli waris Ashabah adalah
ahli waris yang mendapatkan bagian sisa, ahli waris Dzawil Furudl adalah ahli
waris yang mendapatkan bagian yang telah ditentukan menurut Al Qur‟an.Dan
apabila pada saat pewaris meninggal dunia tidak meninggalkan seorangpun ahli
waris, maka harta warisannya wajib diserahkan kepada Baitul Maal untuk
dipergunakan bagi kemaslahatanagama dan umat Islam.
4. Judul Tesis “Tinjauan Ahli Waris Pengganti dalam Hukum kewarisan Islam
dan Hukum Kewarisan KUH Perdata”13
12
Taufiq Tri Kusnanto, “Kedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti Berdasarkan
Ketentuan Kompilasi Hukum Islam”, Universitas Diponegoro. 2007. 13
Pasnelyza Karani “Tinjauan Ahli Waris Pengganti dalam Hukum kewarisan Islam dan
Hukum Kewarisan KUH Perdata”Universitas Diponegoro Semarang. 2010.
10
Kesimpulan dari penelitian tersebut yang terkait dengan penelitian saya
yaitu memiliki sisi kesamaan yaitu berbicara sedikit mengenai konsep.Ahli Waris
Dzawil Arham menurutnya adalah ahli waris yang mempunyai hubungan darah
dengan pewaris melalui anggota keluarga dari pihak perempuan, yang termasuk
dalam kategori ini misalnya cucu dari anak perempuan, anak saudara perempuan,
anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan paman, paman seibu, saudara
laki-laki ibu dan saudara perempuan ibu/bibi. Diantaranya juga mengenai
pendapat Para ulama berbeda dalam menentukan apakah ahli waris Dzawil Arham
dapat mewaris atau tidak.
Ada dua pendapat yang dikemukakan tentang hal ini, yaitu :
Pendapat pertama, mengatakan bahwa ada atau tidak ada ahli waris dzawil
furudl maupun ahli waris asabah, ahli waris dzawil arham tidak dapat mewaris.
Apabila tidak ada ahli waris dzawil furudl maupun ahli waris asabah, harta
warisan diserahkan ke Baitulmaal, meskipun ada ahli waris dzawil arham.
Beberapa ulama yang berpendapat seperti ini, Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas, Imam
Malik, Imam Syafi‟i dan Ibnu Hazm.
Pendapat kedua, mengemukakan bahwa apabila tidak ada ahli waris dzawil
furud maupun ahli waris asabah, ahli waris dzawil arham dapat mewaris.Lebih
jauh dikatakan bahwa dzawil arham lebih berhak untuk menerima harta warisan
dibandingkan lainnya.Untuk itu lebih diutamakan untuk menerima harta warisan
dzawilarham dari pada Baitul Maal. Pendapat ini merupakan jumhur ulama
diantaranya , Umar bin Khatab, Ibnu Mas‟ud dan Ali bin Abi Thalib, Imam Abu
Hanifah, Ahmad bin Hambal r.a. Dari kedua pendapat tersebut dapat satu hal yang
11
jelas bagi kita yaitu sepanjang masih ada ahli waris dzawil furud atau ahli waris
asabah, ahli waris dzawil arham tak mungkin mewarisi.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian saya adalah, penelitian ini hanya
pokus pada masalah tinjauan hukum tentang dzawil arham yang sesuai dengan
kitab undang-undang hukum perdata yang diakui di Indonesia.
E. Kerangka Teori
Menurut bahasa, rahim berarti tempat berdiamnya embrio didalam
kandungan ibu, kemudian istilah itu mutlak ditunjukkan kepada kerabat, baik
kerabat dari pihak ayah ataupun ibu, karena kata “ar-rahim” meliputi mereka
semua. Penggunaan kata arham bagi keluarga atau kerabat sangat populer, baik
dari segi bahasa lisan ataupun syara‟14
Beberapa dalil telah menjelaskan tentang makna arham dalam berbagai
sudut pandang nash sehingga memberikan kesimpulan yang berbeda-beda tentang
makna dzawil arham.
Dzawil arham menurut Muhammad Ali as-Shobuni adalah mereka yang
bukan termasuk golongan ahli waris ashabu al-furudh dan bukan juga termasuk
golongan ahli waris ashabah seperti paman dari pihak ibu, bibi dari pihak bapak,
cucu-cucu (laki-laki dan perempuan) dari jalur anak perempuan dan lain
sebagainya.15
Menurut Otje Salman dan Mustofa Haffas, dzawil arham adalah mereka
yang tidak termasuk orang-orang yang tidak mendapatkan bagian waris, yang
jumlahnya telah ditentukan oleh Qur‟an dan sunnah dan juga tidak termasuk
14
Muhammad Ali as-Shabuni, Hukum Waris dalam Syari‟at Islam, h. 199. 15
Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir ayatil ahkam, (Jakarta: dinamik Berkah Utama), h.
280.
12
golongan ashabah. Maka setiap orang yang mempunyai hubungan kekerabatan
dengan orang yang mati, namun ia tidak mendapatkan warisan, baik dari jalan
ashabul furudl ataupun ashabah, maka orang tersebut dinamakan dzawil arham.
Misalnya bibi dari piak ayah, paman dan bibi dari pihak ibu, anak laki-laki dari
saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan dan sebagainya.16
Dzawil Arham disebut juga oleh Ahlus sunnah dengan istilah mawali atau
ahli waris pengganti. Dzawil Arham menurut Alus sunnah adalah laki-laki dan
perempuan yang tidak berlaku ketetuan didalam al-Qur‟an tentang bagian seorang
laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan pada kasus tertentu.17
Mawali Ialah Ahli waris pengganti. Yang dimaksud adalah ahli waris yang
menggantikan seorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan
diperoleh orang yang digantikan tersebut. Sebabnya ialah karena orang ang
digantikan itu adalah orang yang seharusnya menerima warisan kalau dia masih
hidup, tetapi dalam kasus bersasngkutan dia telah meninggal terlebih dahulu.18
Para Imam Mujtahid berbeda pendapat mengenai kewarisan dzawil arham,
mengikuti perbedaan pendapat yang timbul dikalangan para sahabat r.a. dalam
masalah ini mereka terbagi dalam dua kelompok:
Kelompok pertama, Berpandangan bahwa dzawil arham tidak berhak
mendapat warisan. Mereka berkata: “Sesungguhnya harta warisan apabila tidak
ada golongan ashabul furudl atau gologan ash-habah, diserahakan kepada baitul
mal dan dipergunakan untuk kepentingan Umat Islam seluruhnya, tidak
dikhususan buat kepentingan dzawil arham. Konsepsi ini merupakan pendapat dua
16
R Otje Salman dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, h. 53. 17
Zaiuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris DiIndonesia, h. 62. 18
Sajuti Thalib, Hukum kewarisan Islam diIndonesia, h. 80.
13
Imam, yaitu Imam Syafi‟i dan Imam Maliki r.a. Pendapat kedua Imam tersebut
disandarkan kepada sebagian sahabat, seperti Zaid bin Tsabit dan Ibnu Abbas r.a.
dalam sebagian rawayatnya.19
Kelompok kedua, mengakui kewarisan dzawil arham, apabila tidak ada ahli
warits dari golongan ashabul furudh dan golongan ashabul ash-habah. Menurut
pandangan mereka, dzawil arham lebih berhak mewarisi daripada yang lain, sebab
mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan simati, dan kewarisan merea
didahulukan daripada baitul mal. Pendapat ini merupakan pendapat dua Imam,
yakni Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal r.a.. Pendapat kedua tersebut
disandarkan kepada Ali bin Abi thalib k.w., Umar bin Khatthab, Ibnu Rusyd, dan
Shabat besar radiyallahu anhum lainnya. Dan pendapat inilah yang lebih banyak
penganutnya bahkan menjadi mazhab jumhur.20
F. Metode Penelitian
Metode yang diguakan dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis dan pendekatan penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian pustaka, yaitu suatu
usaha untuk mendapatkan data dan atau informasi yang diperlukan
serta menganalisis suatu permasalahan melalui sumber-sumber
kepustakaan, penulis menggunakan studi kepustakaan ini
dimaksudkan untuk memperoleh dan menelaah teori-teori yang
19
Muhammad Ali as-Shabuni, Hukum Waris dalam Syari‟at Islam, h. 201. 20 Ibid., h.201.
14
berhubungan dengan topik dan sekaligus dijadikan sebagai landasan
teori.21
2. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah
subyek dari mana data dapat diperoleh untuk melengkapi penelitian.22
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka, karenanya data yang
diperoleh dari bahan- bahan pustaka adalah berupa sumber data primer
dan sumber data skunder, yaitu sebagai berikut:
a. Sumber data primer
Data primer adalah data yang data yang diperoleh langsung dari
subyek penelitian dengan menggunakan alat pengambilan langsung
pada subyek informasi yang dicari. Sumber data primer dalam
penelitian ini meliputi kitab-kitab yang secara langsung membahas
terkait dzawil arham baik dari kalangan Syafi‟iyah ataupun
Hanafiyah, seperti kitab fathul mu‟in dan kitab al-mawarits
b. Sumber data skunder
Data skunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain, tidak
langsung dari subyek penelitiannya, tetapi dapat mendukung atau
berkaitan dengan tema yang diankat. Dalam penelitian ini.Data
skundernya adalah antara lain: buku-bukuberbahasa Indonesia yang
merupakan kutipan dari kitab-kitab kelasik, tafsir-tafsir
kontemporer.
21
Sutrisno Hadi, Metodologi Research 1. h. 82. 22
Suharsimi Arikunto, 2010, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT
Rineka3 Cipta, h. 171.
15
3. Tekhnik Analisis Data
Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya yang menjadi
satuan yang dapat dikelola, mencari dan menemukan pola, menemukan
apa yang penting dan apa yang pelajari.23
Menurut miles dan Huberman ada tiga jenis kegiatan dalam
analisis data24
yaitu:
a. Reduksi Data
Pada tahap ini peneliti melakukan proses pemilihan dengan
memisahkan catatan-catatan tertulis peneliti yang diperoleh
dilapangan, yang tidak relevan dengan obyek penelitian, proses ini
dilakukan selama penelitian berlangsung. Hal ini dimaksudkan untuk
menyederhanakan dan memusatkan perhatian terhadap obyek
penelitian.
b. Display Data
Setelah melalui proses pemilihan pada tahap reduksi data, peneliti
melakukan display data atau penyajian data, yaitu peneliti
mensistematisasikan keterangan-keterangan atau catatan-catatan yang
telah dipilih pada tahap reduksi data. Ini dimaksudkan untuk
memudahkan penarikan kesimpulan pada tahap terakhir, selain itu
untuk menyederhanakan informasi yang pada akhirnya keterangan-
keterangan atau data-data tersebut jelas dan mudah dipahami.
23
Lexy J. Moleong, Metodologi...,h .248. 24
Elvinaro Ardianto, Metodologi Penelitian untuk Public Relations Kuantitatif dan
Kualitatif, (Bandung: Simbiosa Reekatama Media, 2011), h. 223.
16
c. Penarikan Simpulan
Pada tahap terakhir ini, setelah melalui proses reduksi data dan
penyajian data, peneliti melakukan analisis dari keseluruhan data secara
utuh yang telah tersistematisasi dengan baik, yang diperoleh selama
berlangsungnya penelitian. Baru kemudian menarik kesimpulan,
penarikan kesimpulan dilakukan pada akhir dari kegiatan penelitian
yang ditandai dengan terkumpul dan tersusunnya data-data yang
dibutuhkan peneliti.
4. Tehnik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode
dokumentasi. Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-
hal atau literature yang berupa catatan, trankrip, buku, surat kabar,
majalah dan sebagainya. Adapun maksud metode ini guna
mendapatkan data tentang dokumen-dokumen yang ada melalui
sumber-sumber yang berkaitan dengan kajian yang dibahas, baik
langsung maupun tidak langsung.
5. Validitas Data
Validitas data bertujuan untuk membuktikan bahwa apa yang
diperoleh oleh peneliti sesuai dengan apa yang didapatkan dalam
penelitian.
Keabsahan data berkaitan dengan suatu kepastian bahwa yan
berukur benar-banar merupakan variabel yang ingin diukur.
Keabsahan data ini juga dapat dicapai dengan proses pengumpulan
17
data yang tepat, salah satau caranya adalah dengan proses triangulasi
(teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain diluar data itu untuk keperluan pemeksriksaan atau sebagai
pembanding data tersebut25
Dalam hal ini untuk memperoleh validitas data yang peneliti
inginkan agar penelitian ini menghasilkan penelitian yang tidak
diragukan validitasnya, maka diperlukan teknik pemeriksaan data atau
analisis data, dan dalam hal ini teknik yang digunakan adalah
triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data
yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan
pemeriksaan atau sebagai pembanding data tersebut26
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan dalam mempelajari materi skripsi ini, sistematika
pembahasan memegang peranan penting. Adapun sistematika pembahasan skripsi
dapat ditulis paparan sebagai berikut
a. Bab I Pendahuluan.
Di dalam bab ini diuraikan tentang keranka dari penelitian skripsi
yang berisi latar belakang masalah, konteks penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teori metode penelitian dan
sistematika pembahasan. Bab pendahuluan ini sebagai jembatan awal
untuk mengantarkan penelitian pada bab selanjutnya.
25
Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet Pertama, (jakarta : Persada Press, 2009).
h. 143. 26
Ibid. h. 154.
18
b. Bab II Pembahasan.
Dalam bab ini diuraikan tentang kewarisan dzawil arham dalam
pandangan ulama‟ Syafi‟iyah, kewarisan dzawil arham dalam pandangan
ulama‟ Hanafiyah, persamaan dan perbedaan kewarisan dzawil arham
dalam pandangan ulama‟ mazhab syafi‟iyah dan ulama‟ hanafiyah.
c. Bab III Penutup
Dalam bab ini diuraikan tentang temuan studi berupa kesimpulan dari
keseluruhan pembahasan dan saran rekomendasi dari hasil kesimpulan tersebut.
19
BAB II
Pembahasan Dzawil Arham Menurut Syafi’iyah Dan Hanafiyah
A. Konsep Dzawil Arham menurut Syafi’iyah
1. Biografi Imam Syafi’i dan Ulama’-ulama’ Syafi’iyah
Imam Syafi‟i, yang dikenal sebagai pendiri mazhab Syafi‟I adalah:
Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟I Al-uraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah,
pada tahun 150 H, bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah.
Pada usianya yang ke-20, beliau meninggalkan Mekah mempelajari
ilmu fiqh dari Imam Malik. Merasa masih harus memperdalam
pengetahuannya, beliau kemudian pergi ke Irak, sekali lagi mempelajari ilmu
diqh dari murid Imam Abu Hanifah yang masih ada. Dalam perantaunnya
tersebut, beliau juga sempat mengunjungi Persia, dan beberapa tempat lain.27
Setelah wafat Imam Malik (179 H), beliau kemudian pergi ke Yaman,
menetap dan mengajarkan ilmu di sana, bersama Harun al-Rasyid yang telah
mendengar kehebatan beliau, kemudian meminta beliau untuk dating ke
Baghdad. Imam Syafi‟i memenuhi undangan tersebut. Sejak saat itu beliau
dikenal secara lebih luas, dan banyak orang belajar kepadanya. Pada waktu
itulah mazhab beliau dikenal.
Tak lama setelah itu, Imam Syafi‟I kembali ke Mekkah dan mengajar
rombongan jama‟ah hajji yang datang dari berbagai penhuru. Melalui mereka
inilah, mazhab Syafi‟I menjadi tersebar luas ke penjuru dunia.
27 Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab. (Jakarta: Lentera, 2008) h.xxix
19
20
Pada tahun 198 H, beliau pergi ke negeri Mesir. Beliau mengajar di masjid
Amru bin As. Beliau juga menulis kitab al-Um, Amali Kubra, kitab Risalah,
Ushul al-Fiqh, dan memperkenalkan. Qaul jadid sebagai mazhab baru.
Di Mesir inilah akhirnya Imam Syafi‟i wafat, setelah menyebarkan
ilmu dan manfaat kepada banyak orang. Kitab-kitab beliau hingga kini masih
dibaca orang, dan makam beliau di Mesir sampai detik ini masih ramai
diziarahi orang.
Sedang pengikut-pengikut beliau yang terkenal, masih tetap dibaca
karyanya sampai saat ini dan dijadikan rujukan oleh peneliti dalam penelitian
ini adalah : Ali As‟ad, Al-Bakri bin Arif, Ibrahim al-Bajuri, Sayyid Sabik dan
Muhammad Ali al-Shabuni. 28
2. Pengertian Dzawil Arham
Yang dimaksud dengan ahli waris dzawil arham adalah orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat dengan pewaris, namun tidak dijelaskan
bagianya dalam al-Qur‟an dan/atau Hadits Nabi sebagai dzawil furudh dan
tidak pula termasuk sebagai Ashabah. Bila kerabat yang menjadi ashabah
laki-laki dalam garis keturunan laki-laki, maka dzawil arham itu adalah
perempuan atau laki-laki melalui garis keturunan perempuan.29
Menurut Muhammad Ali al-Shobuniy, dzawil arham adalah orang-orang
yang tidak disebutkan ketentuan bagian mereka didalam al-Qur‟an dan al-
Sunnah, bukan termasuk orang yang mendapatkan dengan jalan furudh dan
bukan pula dengan jalan ashabah. Maka setiap orang yang dekat lagi
28
Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab. h.xxx 29
Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Fiqh.(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2003) h.169.
21
memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang meninggal, tetapi tidak
mendapatkan harta peninggalan dengan jalan furudh dan dengan jalan
ashabah, maka mereka adalah dzawil arham. Seperti: kholah, „ammah, anak
laki-laki saudara perempuan, anak laki-laki dari anak perempuan, dan lain-
lain.30
زحام همذ صحاب والا
يسىابا
ن ل ر
ال سوض
ال و ف
خ
ا ل
بناث وآل عصباة ك
دال
وال
توا عم
ال
يرهم 31وغ
Artinya: Dzawil arham adalah mereka yang bukan tergolong ashabu al-
furudh dan bukan juga termasuk golongan Ashabah seperti paman dari pihak
ibu, bibi dari pihak bapak, cucu-cucu dari anak perempuan dan lain
sebagainya.
Dalam penjelasan ini dzawil arham adalah mereka yang tidak termasuk
orang-orang yang tidak mendapatkan bagian waris, yang jumlahnya telah
ditentukan oleh Qur‟an dan sunnah dan juga tidak termasuk golongan
ashabah. Maka setiap orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan
orang yang mati, namun ia tidak mendapatkan warisan, baik dari jalan
ashabul furudl ataupun ashabah, maka orang tersebut dinamakan dzawil
arham. Misalnya bibi dari pihak ayah, paman dan bibi dari pihak ibu, anak
laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan dan
sebagainya.
30
Muhammad Ali al-Shabuniy.Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010) h.159. 31
Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir ayatil ahkam, (Jakarta: dinamik Berkah Utama), h.
280.
22
ى منول
ا
قسابت
ن ال
ى ا
عال
ن هللا ح بي
ى ببعض في كخاب هللا. ف
ول
زحام بعضهم ا
ىالا
ول
وا
32الحلف
Artinya: Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya
lebih berhak kepada sesamanya (daripada yang bukan kerabat),
demikian menurut kitabullah.
Argumentasi yang diambil dari ayat tersebut adalah bahwasanya Allah
SWT telah menyebutkan sebagian keluarga lebih berhak mewarisi daripada
selain mereka. Lafaz ulul arham itu pengertianya bersifat umum, meliputi
semua keluarga, baik mereka dari golongan dzawil farudh atau ash-habah
atau diluar keduanya, asal masih termasuk kerabat. Dengan demikian lafadh
tersebut meliputi semua kerabat, tidak membeda-bedakan antara dzawil furud,
golongan asabah, atau kerabat lainnya. Seolah-olah ayat tersebut berkata:
“Kerabat dari jihat manapun lebih berhak mewarisi daripada yang lainnya,
disebabkan adanya hubungan kekerabatan. Jika mereka mempunyai
hubungan kerabat dengan yang mati, berilah mereka warisan dan tidak boleh
mendahulukan seseorang pun daripada yang lain”
3. Ahli Waris Dzawil Arham
Dzawil Arham itu dapat dikelompokkan pada empat kelompok sesuai
dengan garis keturunan: 33
a. Garis keturunan lurus kebawah, yaitu:34
32
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshori Al-Qurthubi. Al-jami‟ al-
Ahkami Al-Qur‟an, (Bairut Libanon: darul kutubi „ilmiyah), h. 83. 33
Ibid. h. 159. 34
Sayyid Syabik. Fiqh al-Sunnah. (Kairo: Darul Fath, 2009) h. 307.
23
cucu dari anak perempuan dan keturunannya.
Anak dari cucu perempuan atau keturunannya
b. Garis keturunan lurus keatas, yaitu:
Ayah dari ibu dan seterusnya ke atas
Ayah dari ibunya ibu dan seterusnya ke atas.
Ayah dari ibunya ayah dan seterusnya ke atas.
c. Garis keturunan kesamping pertama, yaitu:
Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung atau seayah dan
anaknya.
Anak laki-laki atau perempuan dari saudara seibu dan seterusnya ke
bawah.
d. Garis keturunan ke samping kedua, yaitu:
Saudara perempuan (kandung, seayah dan seibu) dari ayah dan
anaknya.
Saudara laki-laki atau perempuan seibu dari ayah dan seterusnya ke
bawah.
Saudara laki-laki atau perempuan (kandung, seayah, seibu) dari ibu dan
seterusnya ke bawah
4. Kewarisan Dzawil Arham
Sesungguhnya jika terdapat harta peninggalan orang yang meninggal,
tetapi tidak ada dzawil furudh dan ashabah, maka harta tersebut dipindahkan
kepada baitul mal orang muslim, yaitu untuk kemaslahatan orang muslim secara
umum, tidak boleh diserahkan kepada dzawil arham, sebagaimana pendapat
24
sebagian para sahabat, seperti Zaid bin Sabit dan Ibnu Abbas dalam sebagian
riwayat.35
Menurut Ali al-As‟ad dalam bukunya adalah, apabila seluruh ahli waris
tidak ada, maka menurut asal madzhab adalah Dzawil Arham tidak bisa dijadikan
Ahli waris; dan bila hanya ada bagian Ahli Waris maka kelebihan hartanya tidak
dikembalikan kepada yang ada itu lagi; tetapi semuanya ini menjadi milik baitul
mal (harta negara)36
ان لم نخظم بيت املال زدما فضل عنهم عليهم غيرالصوجين
Artinya: Kemudian jika Baitul Mal tidak tertib, maka kelebihan harta bisa
dikembalikan lagi kepada ahli waris yang ada selain suami/istri dengan
besar bagian menurut Fardlu masing-masing; kalau tidak ada, maka
diberikan kepada Dzawil Arham.37
Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuriy dalam kitabnya bahwa jika baitul
malnya tidak terorganisir dengan baik, maka harta tersebut tidak boleh diserahkan
kepadanya, maka sisanya tersebut diserahkan kepada keluarganya setelah diambil
oleh dzawil furud, kecuali tidak boleh diserahkan kepada suami atau istri, karena
sebab penyerahannya harus kepada kerabat, bukan karena sebab pertalian suami-
istri, Seperti seorang istri adalah anak perempuan paman dari garis bapak atau
anak perempuan bibik dari garis ibu, maka cara penyelesaiannya adalah di berikan
kepada dzawil furud, kemuadian mencari tahu hubungan tiap-tiap dari
35
Ibid. h. 160. 36
Muhammad Ali al-Shabuniy.Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010) h.159. 37
Sayyid Abu Bakar, I‟anah al-Thalibin, (Surabaya: al-Hidayah). H. 225.
25
keseluruhannya dan diserahkan sisanya kepada yang berhak dengan hubungannya
untuk mencari keadilan.38
Dzawil Arham ada sebelas, yaitu: cucu dari anak wanita, anak saudar
wanita, anak wanita saudara lelaki, anak wanita saudara ayah, saudara lelaki ayah
seibu, saudara lelaki ibu, saudara wanita ibu, saudara wanita bapak, ayahnya ibu,
ibunya ayahnya ibu, dan anak lelakinya saudara lelaki seibu.39
5. Dalil tentang dzawil arham tidak dapat bagian harta peninggalan
a. Bahwa dasar dalil tentang kewarisan itu diambil dari nash yang qot‟i,
yaitu al-Qur‟an dan Sunnah Nabi SAW, dan nash yang menunjukkan
tentang kewarisan dzawil arham ini tidak ditemukan didalam dua nash
tersebut (al-Qur‟an dan al-Sunnah). Dengan itu kewarisan dzawil arham
itu tidak punya nash dan dalil, maka jika dzawil arham diberikan warisan,
maka hukumnya batil.
b. Dari sebuah hadist:
لخه الغيرزفع زاسه الي السماء فقال اللهم زجل فيمن جسك عمخه وخا ىملا اسخفت
ل قال ها اها ذا قال ال ئجسك عمخه وخالخه ال وازث له غيرهما جم قال ان السا
ميراث لهماArtinya: Rasulullah SAW pernah memberikan fatwa kepada seseorang
yang meninggal, yang hanya punya „ammah/bibik (garis bapak)
dan Kholah/bibik (garis ibu), tidak ada yang lain selain
keduanya. Maka Nabi SAW berdo‟a kepada Allah SWT untuk
meminta petunjuk tentang masalah ini, Nabi bersabda: Ya
Allah, ada seorang laki-laki yang meninggal dengan
meninggalkan seorang bibik (garis bapak) dan bibik (garis ibu),
dia tidak punya ahli waris selain keduanya, Malaikat Jibril
memberitahukan bahwa tidak ada bagian bagi keduanya, dan
38
Ibrahim Al Bajuri, Al-Bajuri Ala Ibnu Qasim Al Gozi,(Surabaya : Nurul huda). Juz 2 h.
75. 39
Ali As‟ad. Terjemah fathul Mu‟in, (Yogyakarta: Menara Kudus) h. 414.
26
Nabi bertanya: kemanakah orang bertanya tadi?, maka berkata
seseorang: inilah saya wahai Rosulullah. Dan Nabi pun
bersabda: Keduanya (amah dan kholah) tidak mendapatkan
harta warisan.
Maka tidak boleh diberikan harta peninggalan itu kepada dzawil
arham, karena sesungguhnya mempertahankan dengan tanpa ada dalil
yang menguatkan itu hukumnya batil. Karena itu, pada dasarnya dzawil
arham tidak mendapatkan harta peninggalan. 40
c. Apabila harta pusaka itu diserahkan kepada baitul mal, manfaat dan
faidahnya sangat besar dan menjadi milik bersama seluruh ummat Islam.
Berbeda halnya kalau diberikan kepada dzawil arham, manfaatnya sedikit
dan faedahnya hanya dapat dinikmat oleh yang bersangkutan saja.
Sedangkan qaidah fiqhiyyah telah menetapkan bahwa kemaslahatan umum
harus didahulukan daripada kemaslahatan khusus. Oleh sebab itu, Baitul
Mal lebih berhak didahulukan daripada dzawil arham.41
B. Konsep Dzawil Arham Menurut Hanafiyah
1. Biografi Imam Abu Hanifah dan Ulama’-ulama’ Hanafiyah
Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, adalah Abu Hanifah An-
Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih mempuyai pertalian
hubungan kekeluargaan dengan Ali bin Abi Thalib ra. Imam Ali bahkan
pernah berdo‟a bagi Tsabit, yakni agar Allah memberkahi keturunannya. Tak
40
Al-Sayyid al-Bakriy bin „Arif. I‟anatu al-thalibin, (Surabaya: Al-Hidayah) juz. 3, h. 225. 41
Muhammad Ali al-Shabuniy.Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010) h. 160.
27
heran jika kemudian dari keturunan Tsabit ini, muncul seorang ulama‟ besar
seperti Abu Hanifah.42
Dilahirkan di Kuffah pada tahun 150 H/699 M, pada masa
pemerintahan Al-Qalid bin Abdul Malik, Abu Hanifah selanjutnya
menghabisi masa kecil sampai tumbuh dewasa disana. Sejak masih kanak-
kanak beliau telah mengkaji dan mengahfal al-Qur‟an. Beliau dengan tekun
senantiasa mengulang-ulang hafalanya, sehingga ayat-ayat suci tersebut tetap
terjaga dalam ingatanya. Dalam hal memperdalam pengetahuannya tentang
al-Qur‟an beliau sempat berguru kepada Imam Asin, seorang ulama‟ terkenal
pada masa itu. Beliau juga belajar fiqih pada ulama‟ yang paling terpandang
pada masa itu, yakni Hummad bin Abu Sulaiman, tidak kurang dari 18 tahun
lamanya. Setelah wafat gurunya, Imam Abu Hanifah kemudian mulai
mengajar dibanyak majelis ilmu di Kuffah.
Imam Abu HAnifah wafat pada usia 70 tahun. Beliau dimakamkan
dikuburan khizra. Pada tahun 450 H/1066 M, didirikan lah sebuah sekolah
yang bernam Jami‟ Abu Hanifah. Sepeninggalan beliau, ajaran beliau tersebar
melalui murid-murid beliau yang cukup banyak. Seperti Abu Yusuf, Abdullah
bun Mubarak, Waki‟ bin Jarah ibn hasan as-Saybani dan lain-lain. Sedang
pengikut-pengikut beliau yang terkenal, masih tetap dibaca karyanya sampai
saat ini dan dijadikan rujukan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah:
Abdullah bin Mahmud bin Maudud, Muhammad Sulaiman al-Mannaniy.
42 Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab. (Jakarta: Lentera, 2008) h.xxv
28
2. Pengertian dzawil arham
43وذوو ألازحام كل قسيب ليس بري سهم وال عصبت
Artinya: Dzawil arham adalah setiap kerabat yang bukan termasuk orang
yang mendapatkan saham dan bukan juga termasuk orang yang
mendapatkan ashabah.
Yang dimaksud dengan ahli waris dzawil arham adalah orang-orang
yang mempunyai hubungan kerabat dengan pewaris, namun tidak dijelaskan
bagianya dalam al-Qur‟an dan/atau Hadits Nabi sebagai orang yang
mendapatkan saham dan tidak pula termasuk sebagai ashabah.
3. Dalil tentang dzawil arham bisa mendapatkan harta peninggalan
Mazhab hanafiyah memberikan argumentasi dengan menggunakan al-
Qur‟an, al-Sunnah dan akal.
a. Adapun yang terdapat di dalam al-Qur‟an yaitu Firman Allah:
ى ل وأ
ضہمأ أ حام بعأ زأ
أ ٱل
ىا
ول
ب وأ
فى كخـ
ض ببعأ
ه44 ٱلل
Artinya: Dzawil arham itu lebih utama diberikan kepada mereka dari
pada sebagian yang lain, demikianlah yang terdapat didalam
kitab Allah.
Argumentasi yang diambil dari ayat tersebut adalah bahwasanya
Allah SWT telah menyebutkan sebagian keluarga lebih berhak mewarisi
43Abdullah bin Mahmud bin Maudud. Al-Ikhtiyar lita‟lili al-Mukhtar. (Libanon: Bairut,
2005) h. 112. 44
Q.S. al-Anfal [8]: 75.
29
daripada selain mereka. Lafaz ulul arham itu pengertianya bersifat umum,
meliputi semua keluarga, baik mereka dari golongan ashabul farudh atau
ash-habah atau diluar keduanya, asala masih termasuk kerabat.Dengan
demikian lafadh tersebut meliputi semua kerabat, tidak membeda-bedakan
antara ashabul furud, golongan asabah, atau kerabat lainnya. Seolah-olah
ayat tersebut berkata: “Kerabat dari jihat manapun lebih berhak mewarisi
daripada yang lainnya, disebabkan adanya hubungan kekerabatan. Jika
mereka mempunyai hubungan kerabat dengan yang mati, berilah mereka
warisan dan tidak boleh mendahulukan seseorang pun daripada yang
lain”.45
Maka Tidak diragukan lagi bahwa dzawil arham termasuk yang
disebutkan oleh keumuman ayat tersebut, bukanlah seperti yang kelompok
pertama sebutkan, yakni intisari maksud ayat, tapi justru dari tuntunan ayat
itu sendiri, sesungguhnya setiap kerabat lebih berhak mewarisi harta
kerabatnya daripada orang lain. Dengan demikian dzawil arham lebih
berhak mewarisi daripada baitul mal orang muslim.
b. Dalil dari al-Qur‟an juga
لدان لل ى أسك ٱل
ا ج م صيب م
ء ه
سا
سبىن وللن
أق ألدان وٱل ى
أسك ٱل
ا ج م صيب م
سجال ه
سوضا فأ صيبا مر ه
ثوأ ك
ه أ ل منأ
ا ق سبىن مم
أق أوٱل
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.46
45
Muhammad Ali al-Shabuniy. Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010) h.161. 46
Surat al-Nisa‟ [4]: 7.
30
Sisi argumentasi ayat ini adalah, bahwasanya Allah SWT menyebutkan
setiap laki-laki dan perempuan memiliki bagian dalam harta peninggalan
keluarga dan kerabat mereka.47
Sesungguhnya ayat tersebut jelas menyebutkan tentang kerabat,
dan memperjelas bahwa mereka memiliki bagian dalam harta peninggalan
keluarga dan kerabat mereka, entah yang didapatkan itu sedikit ataupun
banyak.Menurut kesepakatan kebanyakan Ulama‟ berpendapat bahwa
dzawil arham itu adalah bagian dari kerabat, dengan begitu mereka sangat
berhak untuk mendapatkan bagian harta peninggalan keluarga dan kerabat
mereka karena dalil ini.48
Ayat ini juga menasakh praktik waris mewarisi yang pernah
dilakukan pada permulaan datangnya islam yaitu dengan sebab al-Mualat
dan al-Muakhat dalam agama, atau dengan sebab al-Hijrah dan al-Nashrah
(Hijrah dan Pertolongan).
Sesungguhnya Syari‟at Islam menetapkan kewarisan para kerabat,
bukan selain mereka saja yang pernah disebutkan bagiannya dalam ayat-
ayat tentang mawarits. Akan tetapi ayat ini sesungguhnya mensyari‟atkan
kewarisan bagi semua kerabat, bukan kepada beberapa golongan saja,
maka ayat yang kami sebutkan ini sungguh menjadi petunjuk yang jelas
tentang kewarisan dzawil arham.
47
Muhammad Ali al-Shabuniy. Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010) h.163. 48
Ibid., h. 161.
31
c. Adapun dalam Sunnah Nabi SAW.
ن رجزني أ
ه ال
ر بن عبد الل
ا حميد عن بك
برن
خ
أ
ا يزيد بن هارون
برن
خ
ك أ
هل
ال
صيب ن
ة
ال
خ
ى ال
عط
خ وأ
صيب لا
ن
ة عم
ى عمر ال
عط
أه ف
تال
ه وخ
ت رك عم
وت
تخ
)رواه الدارمي( لا
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun telah
mengabarkan kepada kami Humaid dari Bakr bin Abdullah Al
Muzani bahwa ada seorang laki-laki meninggal dunia dan
meninggalkan seorang bibi dari pihak ayah dan bibi dari pihak
ibu. Maka Umar memberikan bagian kepada bibi dari pihak
ayah seperti bagian saudara laki-laki dan memberikan kepada
bibi dari pihak ibu seperti bagian saudara perempuan. (HR.
Darimi No.2922).
Maka Hadits ini menunjukkan tentang bahwa kerabat yang termasuk
golongan dzawil arham itu dapat menerima harta warisan selama tidak
adanya ahli waris dari golongan dzawil furudh dan golongan ashabah.
d. Dalil yang digunakan juga dari sebuah riwayat:49 bahwa seorang laki-laki
pernah menembak Sahal bin Hunaif dengan fanah, kemudian Ia
meninggal, dan dia tidak punya ahli waris melainkan hanya ada paman
daris garis ibunya (al-Khal). Maka Abu Ubaidah bin Jarah melapor kepada
Sayyidina Umar bin al-Khattab untuk menanyai tentang hal tersebut, maka
Sayyidina Umar pun menjawab: bahwa Nabi saw. Pernah bersabda:50
51الخال وازث من ال وازث له
Artinya: Paman (dari garis ibu) adalah ahli waris orang yang tidak punya
ahli waris.
49
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah (Daru Ihya‟ al-Kutub al-
„Arabiyah), h. 914. 50
Abu Isa Muhamad bin „Isa bin Surah, Sunan al-Tirmizi, h. 421. 51
Sunan Abu Dawud, (Bairut: Maktabah al-„Asriyyah), h. 123.
32
Maka cerita ini dan apa yang telah diberitahukan oleh Umar al-
faruq dari nabi SAW menjadi dalil tentang kewarisan dzawil arham,
karena al-khal (Paman dari garis bapak) bukan lah termasuk dzawil furudh
dan bukan juga termasuk dari golongan yang mendapatkan ashabah
berdasarkan kesepakatan para Ulama‟. Sesungguhnya telah diriwayatkan
dari Nabi SAW bahwa al-Khal (paman dari garis Ibu) adalah termasuk ahli
waris ketika tidak ada ahli waris yang lebih utama untuk mewarisi harta
peninggalan.52
e. Adapun dalil yang di gunakan berdasarkan akal pikiran, yaitu mereka
berkata sesungguhnya dzawil arham lebih berhak mendapatkan warisan
daripada baitul mal orang muslim.53 Oleh karena itu, sesungguhya baitul
mal orang muslim berhubungan dengan mayit dengan satu hubungan saja
yaitu hubungan keislaman dengan memandang mayit adalah orang
muslim.
Adapun dzawil arham berhubungan dengan orang meninggal
dalam dua hubungan yang pertama hubungan keislaman dan yang kedua
hubungan kekerabatan. Siapa saja yang memiliki sistim kekerabatan dari
dua sisi, maka sesungguhnya lebih kuat daripada orang yang memiliki
hubungan kekerabatan hanya dari satu sisi seperti saudara sekandung yang
apabila berkumpul bersama saudara sebapak maka harta tersebut
semuanya diberikan kepada saudara sekandung,karana hubungan karena
52
Muhammad Ali al-Shabuniy.Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010) h.. 162. 53
Abdullah bin Mahmud bin Maudud. Al-Ikhtiyar lita‟lili al-Mukhtar. (Libanon: Bairut,
2005) h. 113.
33
hubungan kekerabatannya dari dua sisi yaitu dari sisi bapak dan sisi ibu
maka begitu jugalah dzawil arham.
f. Dalil berdasarkan akal fikiran yaitu: Sesungguhnya kekerabatan itu pada
dasarnya merupakan sebab berhak mendapatkan harta peninggalan,
kecuali bahwa kekerabatannya itu lebih jauh dari semua kerabat yang ada.
Maka setiap harta peninggalan yang masih memiliki hak untuk
mewarisinya, maka tidak boleh harta tersebut diserahkan kepada baitul
mal.54
ال جىش صسفه إلى بيت املال
Setiap orang muslim dipandang dekat secara keseluruhan kepada
agama Islam, dan mereka pun (dzawil arham) dekat dengan orang yang
meninggal dari segi kekerabatan. Orang yang memiliki kedekatan dari dua
sisi lebih utama dari pada yang dekatnya hanya dari satu sisi.
4. Cara mendapatkan warisan dzawil arham
Dan orang-orang yang berpendapat tentang kewarisan dzawil arham
menurut jumuhur ulama‟ mereka berbeda pendapat tentang jalan dan cara mereka
mendapatkan warisan . Para ulama membaginya menjadi tiga mazhab, yaitu:55
a. Mazhab Ahlu Al-Rahim
b. Mazhab Ahlu Al-tanzil
c. Mazhab Ahlu Al-Qarabah
54
Abdullah bin Mahmud bin Maudud. Al-Ikhtiyar lita‟lili al-Mukhtar. (Libanon: Bairut,
2005) h. 112. 55
Muhammad Ali al-Shabuniy.Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010) h. 164.
34
Adapun mazhab yang pertama yaitu mazhab ahlu Al-rohim mereka berkata
dengan cara meratakan diantara dzawil arham dengan tanpa membedakan
kerabat yang lebih dekat dengan kerabat yang lebih jauh, tidak juga diantara
yang laki-laki dan yang permpuan,maka setiap dzawil arham itu mendapatkan
warisan menurut pendapat mereka. Karena sebab mereka mendapatkan
warisan dengan jalan satu nasab, dan itu dibenarkan menurut kebanyakan
pendapat maka mereka mendapatkan warisan dengan cara di samaratakan.
Apabila seseorang meninggal dunia umpamanya dengan meninggalkan cucu
perempuan dari anak perempuan, anak perempuan dari saudara perempuan,
bibik dari garis bapak, bibik dari garis ibu dan anak saudara seibu, maka
semuanya mendapatkan bagian harta peninggalan dengan disamaratakan .
Maka dinamakan mazhab ini dengan mazhab Ahlu al-rahim karna mereka
berpendapat bahwa tidak boleh membedakan yang satu dengan yang lain
dalam pembagian harta peninggalan, dan tidak boleh juga memandang sisi
kuatnya kekerabatan atau lemahnya dengan memandang kerabat yang sedarah
maka diratakanlah semuanya.56
Mazhab ini tidak terlalu populer bahkan lemah dan tidak banyak dipakai
karna orang yang berpendapat tentang hal itu, mereka tidak membuatnya
dengan kaidah-kaidah ilmiah karna itu dia tidak terlalu banyak dipakai. Dan
tidak ada seorang fuqaha‟ dan imam mujtahid pun yang menggunakannya.
56
Muhammad Ali al-Shabuniy. Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010) h.163. h.164.
35
Adapun mazhab yang kedua yaitu mazhab ahlu al-Tanzil, mazhab ini di
namakan mazhab ahlu al-tanzil karna mereka menempatkan posisi ahli waris
dzawil arham pada posisi ahli waris asalnya. Mereka tidak memandang ahli
waris yang ada, akan tetapi mereka memandang pada yang ahli waris yang
menunjukkan furu‟ ashabul furud dan ashabah, maka mereka memberikan
yang ada pada bagiannya seperti bagian ahli waris pada asalnya.
Mazhab ini dianut oleh imam ahmad R.ha karena itu di anut oleh ulama‟-
ulama‟ muataakhirin dari kalangan mazhab syafi‟I dan mazhab maliki karena
itu kami perlu memberikan contoh untuk menjelaskan tentang mazhab ini 57
a. Jikalau seseorang meninggal dengan meninggalkan cucu perempuan
dari anak perempuan, anak laki-laki saudari sekandung, anak
perempuan saudara sebapak, disamakan seperti seakan akan seseorang
meninggal dengan meninggalkan anak perempuan, saudari sekandung,
dan saudara sebapak. Maka mereka memberikan kepada cucu
perempuan dari anak perempuan itu ½ yaitu bagian ibunya yang
menunjukkan kepadanya, anak laki – laki dari saudara perempuan
mereka memberikannya juga ½ yaitu bagian ibunya, dan tidak ada
bagian bagi anak perempuan saudara sebapak. Karena yang
sekandung dapat menjadi ashobah bersama anak perempuan, dan anak
57
Muhammad Ali al-Shabuniy. Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010). h.165.
36
perempuan itu mendapatkan sisa, dan terhijab saudara sebapak
begitulah bagiannya.58
Lihatlah tabel dibawah ini:
Ahli waris Bagiannya
Cucu perempuan dari anak
perempuan / Anak Perempuan
½
Anak laki-laki saudari sekandung
/ Saudari Sekandung
½ Ashabah
Anak perempuan saudara sebapak
/ Saudara Sebapak
Dihijab oleh saudari sekandung
b. Seseorang yang mati dengan meninggalkan anak perempuan dari
saudari sekandung, anak perempuan dari saudari sebapak, anak laki-
laki dari saudari seibu, dan anak perempuan paman sekandung. Maka
untuk anak perempuan saudari sekandung ½ , untuk perempuan
saudari sebapak 1/6 yang menyamai 2/3, anak laki-laki dari saudari
seibu 1/6 dengan jalan furud, anak perempuan paman sekandung
mendapatkan sisa dengan dijadikan ashabah, demikianlah dengan
memandang pada asalnya. Maka seakan akan orang yang mati tersebut
meninggalkan saudari sekandung, saudari sebapak, saudari seibuk, dan
paman sekandung. Maka bagian daripada yang sekandung ½ , bagian
saudari sebapak 1/6 bagian saudari seibu 1/6 dan untuk paman
sekandung ialah sisa, kemudian dipindahlah warisan seluruhnya
kepada furu‟ nya maka yang jadi ahli waris mereka adalah yaitu yang
58
Muhammad Sulaiman al-Mannanniy. Al-Jauharah al-Nairah ala syarhi mukhtashar al-
Quduri fi furu‟I al- Hanafiyah. h. 148.
37
mendapatkan warisan dari furu‟nya dan yang terhijab itu di hijab oleh
furu‟nya .59
Lihatlah tabel dibawah ini:
Ahli waris Bagiannya
Anak perempuan dari saudari
sekandung / Saudari Sekandung
½
Anak perempuan dari saudari
sebapak / Saudari Sebapak
1/6
Anak laki-laki dari saudari seibu /
Saudari seibu
1/6
Anak perempuan paman
sekandung / Paman Sekandung
1/6 dengan jalan ashabah
Kemudian di pindahlah bagian dari keluruhannya kepada furu‟nya
c. Seseorang mati dengan meninggalkan cucu perempuan, anak laki-laki
saudari sekandung, anak laki-laki saudara sekandung, dan anak
perempuan saudara sebapak. Seakan – akan yang meninggalkan seperti
anak perempuan, saudari sekandung, saudari seibu, dan saudara
sebapak. Lihatlah tabel dibawah ini:
Ahli waris Bagiannya
Cucu perempuan / Anak
perempuan
½ dengan jalan furud
Anak laki-laki saudari sekandung/ ½ dengan jalan ashabah
59
Muhammad Ali al-Shabuniy. Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010). h.165.
38
Saudari sekandung
Anak laki-laki saudari sekandung/
Saudari seibu
Dihijab oleh anak perempuan
Anak perempuan saudara
sebapak/ Saudari sebapak
Dihijab oleh saudari sekandung
Maka yang menjadi ahli waris dalam masalah ini cucu perempuan dari
anak perempuan mengambil bagian ibunya, dan anak laki-laki saudari
sekandung mengambil bagian ibunya dan untuk anak saudari seibu dan
anak saudara sebapak itu tidak mendapatkan bagian .60
d. Seseorang yang mati dengan meninggalkan bibik dari garis bapak dan
bibik dari garis ibu, maka untuk bibik dari garis bapak mendapatkan
2/3 dan untuk bibik dari garis ibu mendapatkan 1/3. Sesungguhnya
seakan akan yang mati tersebut adalah bapak dan ibu. Maka untuk
bapak mendapatkan 2/3 dan untuk ibu 1 / 3 , karna bibik dari garis
bapak sesungguhnya menunjukkan pada bapak karena dia adalah
saudari bapak dan bibik dari garis ibu menujukkan kepada ibu, karna
dia adalah saudari ibu. Maka dipindahlah bagian asalnya kepada
furu‟nya, dan diberikan yang dianggap berhak mendapatkan warisan.
Lihatlah tabel dibawah ini:
Ahli waris Bagiannya
Bibik dari garis bapak / bapak 2/3
60
Muhammad Ali al-Shabuniy. Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010). h. 166.
39
Bibik dari garis ibu / ibu 1/3
Sesungguhnya yang menggunakan mazhab ini memberikan dalil
untuk memperkuat mazhab mereka seperti apa yang telah diriwayatkan
dari nabi SAW bahwasanya telah memberikan warisan kepada bibik
dari garis bapak dan bibik dari garis ibu dan tidak ada ahli waris lain
daripada keduanya. Maka diberikanlah kepada bibik dari garis bapak
2/3 dan di berikan kepada bibik dari garis ibu 1/3 .
Mereka juga memberikan dalil dengan fatwa ibnu mas‟ud r.a.
sesungguhnya di pernah menghadapi suatu masalah tentang yang ada
cucu perempuan dari anak perempuan dan anak perempuan saudari
sekandung. Maka ibu mas‟ud memberikan harta tersebut pada
keduanya sama- sama ½, untuk cucu perempuan dari anak perempuan
½ dan anak perempuan saudari sekandung ½. sesungguhnya perbuatan
Nabi SAW disandarkan kepada fatwa ibnu mas‟ud yang dapat
menguatkan pendapat kami tentang dzawil arham dapat mendapatkan
warisan bukan karena disandarkan pada orang lain akan tetapi
disandarkan kepada orang orang yang menunjukkan kepada mereka
dari ashabul furud atau ashabah . 61
Maka tentang kewarisan dzawil arham tidak dapat di pegang
kecuali ada nash - nash yang umum, tidak ada yang menjelaskan
ukuran pendapatannya dan tidak ada juga jalan kekuatannya akan
tetapi di pandang kepada asalnya yang dapat menunjukkan kepada
61
Muhammad Ali al-Shabuniy. Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010). h. 167.
40
mereka bahwa lebih berhak dan lebih utama, karna sesungguhnya
ashbul furud dan ashabah itu telah dijelaskan bagian bagian mereka
dan furd-furd mereka dengan jelas. Tidak ada jalan bagi kita untuk
mengetahui bagian bagian dzawil arham kecuali dengan
mengembalikannya kepada asal nya yang menujukkan kepada mereka
maka jadilah ini dikuatkan menurut pendapat yang menganut mazhab
ini.
Adapun mazhab ketiga adalah mazhab ahlu al-qorobah, yaitu
mazhab yang memandang kewarisan dzawil arham derajatnya lebih
dekat dan kekrabatannya kuat, di qiyaskan seperti ashabah yang
diberikan kepada yang berhak yaitu laki-laki yang paling dekat dengan
orang yang meninggal, mazhab ini dinamakan dengan mazhab ahlu al-
qorobah karena dipegang dari sisi derajat kekerabatannya dan
kekuatannya. Sesungguhnya mazhab ini membagi dzawil arham
menjadi beberapa bagian sebagaimana keadaan yang ada dalam
pembagian ashabah menjadi beberapa bagian. Mereka memandang
kekuatannya itu dengan derajat yang paling dekat kemudian yang
kerabat yang paling kuat, bahwa laki-laki mendapatkan bagian seperti
dua bagian perempuan (للركس مثل حظ الاهثيين) sebagaimana yang ada
dalam pembagian ashabah. Mazhab ini dianut oleh Ali bin Abi Thalib
ra, karena itu diambil oleh imam mazhab hanapi . 62
62
Muhammad Sulaiman al-Mannanniy. Al-Jauharah al-Nairah ala syarhi mukhtashar al-
Quduri fi furu‟I al- Hanafiyah. h. 148.
41
5. Kelompok dzawil arham
Sesungguhnya mazhab Ahlu Al-qorobah telah membagi bagian dzawil
arham menjadi 4 bagian. Mazhab ini menjadikan setiap bagian dzawil arham
untuk furu‟-furu‟ dan ketentuannya sebagai mana mereka menjelaskan tentang
tatacara pembagian tiap-tiap bagian ini. Kami akan menyebutkan bagian-bagian
secara terperinci beserta contoh-contohnya secara berurutan .63
a. Kerabat yang memiliki hubungan dengan mayit
b. Kerabat yang memiliki hubungkan melalui mayit
c. Kerabat yang memiliki hubungan dengan orang tua mayit
d. Kerabat yang berhubungan dengan kakek dan atau nenek si mayit
Bagian pertama yaitu Kerabat yang memiliki hubungan dengan mayit
yaitu :
1) Cucu (laki-laki/perempuan) dari jalan anak perempuan dan terus
kebawah
2) Anak (laki-laki/perempuan) dari cucu perempuan anak laki-laki dan
terus kebawah
Bagian yang kedua kerabat yang memiliki hubungkan melalui mayit
1) Kakek yang tidak shahih dan terus keatas, sperti bapaknya ibu, dan
bapak bapaknya si ibu
2) Nenek yang tidak shahih dan terus keatas, seperti ibu bapaknya si ibu
dan ibu ibu bapaknya si ibu.
63
Muhammad Ali al-Shabuniy. Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010). h. 167.
42
Bagian ketiga yaitu kerabat yang memiliki hubungkan kepada orang tua si
mayit yaitu
1) Anak (laki-laki/perempuan) saudara perempuan sekandung atau
sebapak atau seibu64
2) Anak perempuan saudara sekandung atau sebapak atau seibu dan anak
perempuan bapak bapak mereka dan terus kebawah
3) Anak laki-laki saudara seibu dan anak anak mereka terus kebawah,
seperti anak laki-laki saudara seibu, cucu laki-laki saudara seibu atau
cucu perempuan dari anak laki-laki saudara seibu.
Bagian keempat kerabat yang memilik hubungkan kepada kakek dan atau
nenek simayit dari sisi bapaknya atau sisi ibunya :65
1) Bibik – bibik dari jalan bapak simayit sekandung atau sebapak atau
seibu, paman-pamannya dari jalan ibu simayit dan bibik-bibik dari
jalan ibu simayit dan paman-paman dari jalan bapak si ibu
2) Anak-anak (laki-laki/perempuan) bibik dari jalan bapak,bibik dari
jalan ibu,paman dari jalan ibu,dan anak-anak (laki-laki/perempuan)
paman dari jalan bapak seibu dan terus kebawah
3) Bibik-bibik (dari jalan bapak) bapaknya simayit sekandung atau
sebapak atau seibu, paman-paman dan bibik-bibik (dari jalan ibu)
sibapak, paman (dari jalan bapak) siibu, bibik ( dari jalan bapak) siibu,
64
Muhammad Sulaiman al-Mannanniy. Al-Jauharah al-Nairah ala syarhi mukhtashar al-
Quduri fi furu‟I al- Hanafiyah, h. 138. 65
Muhammad Ali al-Shabuniy. Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010). h. 168.
43
dan bibik (dari jalan ibu) si ibu, dan bibik (dari jalan ibu) sekandung
atau sebapak.
4) Anak (laki-laki/perempuan) bibik (dari jalan bapak) sibapak dan terus
kebawah
5) Paman (dari jalan bapak) kakeknys simayit seibu,paman (dari jalan
bapak) si nenek, paman dan bibik (dari jalan ibu) dan bibik dari jalan
bapak si kakek dan atau si nenek
6) Anak dari point 5 dan terus kebawah
Kesimpulannya, sesungguhnya enam kelompok ini adalah kerabat yang
dihubungkan kepada kakek dan nenek simayit yaitu bibik dari jalan
bapak sekandung atau sebapak atau seibu, paman dari jalan bapak
seibu,paman dan bibik dari jalan ibu, dan anak-anak tiap-tiap dari
mereka .
6. Perbedaan antara mazhab ahlu al-Tanzil dan mazhab ahlu al- Qorobah
Bahwa telah terjadi perbedaan antara mazhab ahlu al-tanzil dan
mazhab ahlu al-qorobah yaitu seperti apa yang akan datang.66
a. Mazhab al-tanzil tidak mengatur bagian-bagian tersebut yaitu tidak
mendahulukan kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Berbeda
dengan ahlu al-qorobah mendahulukan kelompok yang satu dengan
kelompok yang lain karna membandingkan dengan ashobah bin nafsi .
66
Muhammad Ali al-Shabuniy. Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010) h.163. h. 169.
44
b. Sesungguhnya pendapat ahlu al-tanzil mendahulukan berdasarkan
kedekatannya seperti ahli waris dzawil furud dan ashobah .berbeda dengan
pendapat mazhab ahlu al-qorobah yaitu derajat yang terdekat kemudian
kerabat yang terkuat dan satu bagian laki-laki sama dengan dua bagian
perempuan sebagimana ketentuan yang terjadi dalam ashobah .
7. Cara mewarisi
Kami akan menjelaskan bagian-bagian ini secara teratur karena di qiaskan
seperti ashobah. Maka anak-mereka yang mendapatkan warisan merupakan
bagian simayit atau furu‟nya, maka jika tidak ada maka dikembalikan ketempat
asalnya, jika tidak ada maka furu‟ saudaranya, jika tidak ada maka furu‟ dari
paman-pamannya (dari jalan bapak dan ibu), jika tidak ada maka anak-anak
mereka dan orang yang dihukum seperti mereka seperti anak perempuan paman
(dari jalan bapak) sekandung atau sebapak.67
Maksud dari pada mazhab ahlu al-qorobah ini adalah setiap bagian-bagian
ini semuanya ada,maka akan menghijab orang yang setelahnya,yang pertama
menghijab yang kedua, yang kedua menghijab yang ketiga, begitulah yang terjadi
pada ashobah bin nafsi. Karena itulah para fuqaha‟ dari mazhab hanafi
memberikan argument seperti itu .
Sesungguhnya dzawil arham mewarisi secara tertib seperti ashobah bin
nafsi, yaitu mendahulukan furu‟nya si mayit daripada ashabul furud dan ashobah,
seperti cucu dari anak perempuan dan terus kebawah kemudian asal-asal simayit
seperti kakek dan nenek yang tidak shahih dan terus keatas, kemudian furu‟ kedua
67
Ibid., h. 169.
45
orang tuanya seperti anak saudari – saudarinya dan anak perempuan saudara-
saudaranya dan terus kebawah, kemudian furu‟ kakek dan neneknya dari enam
kelompok yang telah disebutkan maka kewarisannya itu juga berdasarkan
urutannya.
Adapun menurut Muhammad Sulaiman al-Ananiy dalam kitabnya bahwa
dzawil arham yang paling dekat dengan mayyit adalah kakek (bapaknya ibu),
kemudian anak laki-laki atau perempuan dari anak perempuan, kemudian anak
laki-laki atau perempuan dari saudari, kemudian anak perempuan dari saudara,
kemudian bibik dari jalan bapak, kemudian bibik dari jalan ibu, kemudian anak-
anak dari mereka yang telah disebutkan.68
Ada pula yang mengatakan yang paling dekat adalah, anak laki-laki atau
perempuan dari anak perempuan, kemudian kakek (bapaknya ibu). Dan ada pula
yang berkata yang terdekat adalah anak laki-laki atau anak perempuan dari anak
perempuan, kemudian anak laki-laki atau perempuan dari saudari, kemudian anak
perempuan saudara, kemudian kakek (bapaknya ibu), kemudian bibik dari jalan
bapak, kemudian bibik dari jalan ibu, kemudian anak-anak mereka yang telah
disebutkan.
8. Syarat Syarat Kewarisan Dzawil arham
Adapun Syarat-syarat kewarisan dzawil aram untuk mendapatkan harta
peninggalan adalah sebagai berikut:
a. Tidak adanya dzawil furud, karena jika ada dzawil furud, maka dzawil
furud akan mengambil bagiannya, kemudian mengambil sisanya dengan
68
Muhammad Sulaiman al-Mannanniy. Al-Jauharah al-Nairah ala syarhi mukhtashar al-
Quduri fi furu‟I al- Hanafiyah,h. 267.
46
jalan rad, dan rad itu urutannya sebelum diserahkan kepada dzawil
arham.69
b. Tidak adanya ashabah, karena jika ada ashabah maka akan mengambil
harta peninggalan secara keseluruhan apabila dia sendiri. Dan akan
mengambil sisanya setelah diserahkan kepada dzawil furudh apabila ada
dzawil furudnya.
Adapun apabila ada salah satu dari suami atau istri, maka dia akan
mengambil bagiannya dengan jalan furud, maka sisanya adalah untuk
dzawil arham, karena rad untuk salah satu suami atau istri itu urutanya
terakhir dari pada dzawil arham, karena itu sisanya diserahkan kepada
dzawil arham.
Apabila hanya ada satu orang dzawil arham dari kelompok mana
saja dari empat kelompok yang yang sudah dibahas, entah dia laki-laki
atau perempuan, maka dia akan mendapatkan semua harta, atau dia akan
mendapatkan sisa jika disana ada salah satu dari suami atau istri.
Jika yang ada dari dzawil arham itu ada beberapa orang, maka cara
pembagiannya seperti ini:
1. Dipilih yang paling dekat derajatnya, karena yang paling utama
mendapatkan warisan adalah orang yang paling dekat derajatnya,
seperti cucu perempuan dari anak perempuan didahulukan dari pada
anak perempuan cucu perempuan dari anak perempuan dan dari pada
69
Muhammad Ali al-Shabuniy. Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010). h. 171.
47
anak laki-laki cucu perempuan dari anak perempuan, karena
derajatnya yang lebih dekat.70
2. Aabila berkumpul yang memiliki derajat yang sama, maka yang
diutamakan adalah yang paling dekat dari mereka kepada si mayyit
seperti ahli waris dzawil furudh dan ahli waris ashabah. Misalnya ada
seseorang yang mati dan meninggalkan anak perempuan cucu
perempuan dari anak laki-laki dan anak laki-laki cucu laki-laki dari
anak perempuan. Maka dalam masalah ini terjadi perkumpualan yang
sama derajatnya, karena keduanya memiliki hubungan dengan si
mayyit dengan derajat yang sama, bukan karena anak perempuan cucu
perempuan dari anak laki-laki memiliki hubungan dengan si mayit
karena ahli waris dan anak laki-laki cucu laki-laki dari anak
perempuan memiliki hubungan dengan si mayit tanpa ahli waris
karena bapaknya adalah cucu laki-laki dari anak perempuan yang
merupakan dzawil arham. berbeda dengan cucu perempuan dari anak
laki-laki sesungguhnya dia merupakan dzawil furudh, maka
diperuntukkanlah semua harta peninggalan itu untuk orang yang
paling dekat dengan ahli waris yaitu anak perempaun cucu perempuan
dari anak laki-laki
3. Apabila sama dari segi derajat dan kedekatannya maka caranya
mendahulukan yang lebih kuat kekrabatannya .umpanya, seseorang
meninggal dengan meninggalkan anak perempuan saudara sekandung
70
Muhammad Ali al-Shabuniy. Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010). h. 170.
48
dan anak perempuan saudara sebapak, maka harta itu semuanya untuk
anak perempuan saudara sekandung karena lebih kuat
kekerabatannya,tidak diberikan sama sekali kepada anak perempuan
saudara sebapak karena lemah kekerabatannya.71
Umpanya juga sesorang meninggal dengan meninggalkan cucu
perempuan anak laki-laki saudara sekandung,cucu perempuan anak
laki-laki saudara sebapak, dan anak perempuan anak laki-laki saudara
seibu, maka harta itu seluruhnya diberikan kepada cucu perempuan
anak laki-laki saudara sekandung, karena lebih kuat sisi kekerabatnya.
Atau jika seseorang meninggal dengan meninggalkan cucu
perempuan anak laki-laki saudara sebapak dan cucu perempuan anak
laki-laki saudara sebapak yang lain, maka harta itu untuk keduanya
karena kedua sama-sama kuat kekerabatannya.
4. Apabila mereka sama dari segi kuatnya kekerabatnya juga, maka
mereka membagi rata harta peninggalnnya juga. Misalnya, jika
seseorang meninggal dengan meninggalkan cucu perempuan anak
laki-laki paman sekandung, cucu perempuan anak laki-laki paman
sekandung yang lain, dan cucu perempuan anak laki-laki paman sekan
dung yang lain juga, maka harta peninggalan tersebut dibagi rata
diantara semua anak perempuan itu, karena sama dari kekerabatan dan
derajat.
71
Muhammad Ali al-Shabuniy. Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010). h. 171.
49
Yang menjadi catatan dalam pembagian harta peninggalan untuk dzawil
arham adalah yang laki-laki dapat melemahkan atau mengurangi
pendapatan yang perempuan, sebagaimana ketentuan dalam ashabah,
sekalipun dzawil arhamnya dari anak-anak saudara atau saudari seibu.
C. Persamaan dan Perbedaan antara Syafi’iyah dan Hanafiyah tentang konsep
Dzawil Arham
1. Pengertian dzawil arham
Dari segi pengertian ulama‟ Syafi‟iyah dan ulama‟ Hanafiyah memberikan
pendapat yang sama mengenai apa itu dzawil arham, tanpa ada perbedaan
sedikitpun mengenai pengertiannya, yaitu yang dimaksud dengan ahli waris
dzawil arham adalah orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan
pewaris, namun tidak dijelaskan bagianya secara eksplisit di dalam al-Qur‟an
dan/atau al-Hadits Nabi sebagai dzawil furudh dan tidak pula sebagai asabah.
Ketiadaan penjelasan yang terdapat didalam al-Qur‟an dan al-Hadits
tentang kewarisan kerabat ini, karenanya mereka digolongkan sebagai
golongan dzawil arham. Bila diperhatikan tentang kerabat yang menjadi asabah
adalah semua dari laki-laki dalam garis keturunan laki-laki, maka dzawil
arham itu adalah perempuan atau laki-laki melalui garis keturunan perempuan.
2. Kewarisn dan ahli waris dzawil arham
Dari segi ahli waris dan jumlahnya yang tergolong sebagai ahli waris dzawil
arham memiliki persamaan dan memiliki perbedaan. Persamaanya adalah,
bahwa kerabat yang menjadi ahli waris dalam golongan dzawil arham ini
adalah sama jumlahnya. Adapun letak perbedaannya adalah cara klasifikasi
50
golongan ahli waris dzawil arham tersebut, yaitu: ulama‟ Syafi‟iyah
menyebutkan secara langsung nama dan jumlahnya, karena setelah diketahui
siapa saja yang termasuk golongan dari dzawil arham tersebut, maka
pembahasannya selesai, tidak ada tindak lanjut lagi. Adapun ulama‟ hanafiyah
menyebutkannya dengan membuatkan kelompok-kelompok dari dzawil arham
tersebut, karena pembahasannya akan berkelanjutan sampai selesai pembagian
dari harta peninggalan simayyit.
Misalkan mazhab hanafiyah telah membagi bagian dzawil arham menjadi
empat bagian, yaitu:72
a. Kerabat yang memiliki hubungan dengan mayit
b. Kerabat yang memiliki hubungkan melalui mayit
c. Kerabat yang memiliki hubungan dengan orang tua mayit
d. Kerabat yang berhubungan dengan kakek dan atau nenek si mayit
Empat klasifikasi golongan ahli waris dzawil arham tersebut memiliki
bagian-bagian juga seperti apa yang telah disebutkan pada pembahasan yang
sudah lewat.
3. Kewarisan dzawil arham
Ulama‟ Syafi‟iyah dan ulama hanafiyah berbeda pendapat tentang
kewarisan dzawil arham. Menurut ulama‟ Syafi‟iyah adalah jika terdapat harta
peninggalan orang yang meninggal, tetapi tidak ada shahibul furudh dan
ashabah, maka harta tersebut diserahkan kepada baitul mal orang muslim, yaitu
untuk kemaslahatan orang muslim secara umum, tidak boleh diserahkan
72
Muhammad Ali al-Shabuniy. Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010). h. 167.
51
kepada dzawil arham, sebagaimana pendapat sebagian para sahabat, seperti
Zaid bin Sabit dan Ibnu Abbas dalam sebagian riwayat.
Apabila seluruh ahli waris tidak ada, maka dzawil arham tidak bisa
dijadikan Ahli waris; dan bila hanya ada bagian Ahli waris maka kelebihan
hartanya tidak dikembalikan kepada yang ada itu lagi; tetapi semuanya ini
menjadi milik baitul mal (harta negara). Kemudian jika baitul mal tidak tertib,
maka kelebihan harta bisa dikembalikan lagi kepada ahli waris yang ada selain
suami/istri dengan besar bagian menurut Fardlu masing-masing; kalau tidak
ada, maka diberikan kepada dzawil arham.
Adapun menurut ulama‟ hanafiyah dan orang-orang yang berpendapat
tentang kewarisan dzawil arham ialah mengakui kewarisan dzawil arham,
apabila tidak ada ahli warits dari golongan ashabul furudl dan golongan
ashabul ash-habah, menurut pandangan mereka, dzawil arham lebih berhak
mewarisi daripada yang lain, sebab mereka memiliki hubungan kekerabatan
dengan simati, dan kewarisan mereka didahulukan daripada baitul mal.
4. Dalil-dalil tentang dzawil arham dapat menjadi ahli waris dan tidak dapat
menjadi ahli waris
Ulama‟ Syafi‟iyah dan ulama‟ Hanafiyah memberikan argumentasi
terkait dengan kewarisan dzawil arham dengan dalil yang berbeda dan masuk
akal. Menurut peneliti bahwa argumentasi yang digunakan oleh ulama‟
hanafiyah lebih masuk akal dan memberikan kemaslahatan yang lebih besar
dari pada argumentasi yang digunakan oleh ulama‟ Syafi‟iyah. Ulama‟
52
Syafi‟iyah berpendapat bahwa dzawil arham tidak dapat menjadi ahli waris
dengan dalil-dalil sebagai berikut:
a. Bahwa dasar dalil tentang kewarisan itu diambil dari nash yang qot‟i, yaitu
al-Qur‟an dan Sunnah Nabi SAW, dan nash yang menunjukkan tentang
kewarisan dzawil arham ini tidak ditemukan didalam dua nash tersebut (al-
Qur‟an dan al-Sunnah). Dengan itu kewarisan dzawil arham itu tidak punya
nash dan dalil, maka jika dzawil arham diberikan warisan, maka hukumnya
batil.
b. Nabi Muhammad SAW pernah memberikan fatwa kepada seseorang yang
meninggal,73
yang hanya punya „ammah/bibik (garis bapak) dan
Kholah/bibik (garis ibu), tidak ada yang lain selain keduanya. Maka Nabi
SAW berdo‟a kepada Allah SWT untuk meminta petunjuk tentang masalah
ini, Nabi bersabda: Ya Allah, ada seorang laki-laki yang meninggal dengan
meninggalkan seorang bibik (garis bapak) dan bibik (garis ibu), dia tidak
punya ahli waris selain keduanya, Malaikat Jibril memberitahukan bahwa
tidak ada bagian bagi keduanya, dan Nabi bertanya: kemanakah orang
bertanya tadi?, maka berkata seseorang: inilah saya wahai Rosulullah. Dan
Nabi pun bersabda: Keduanya (amah dan kholah) tidak mendapatkan harta
warisan. Maka tidak boleh diberikan harta peninggalan itu kepada dzawil
arham, karena sesungguhnya bertindak dengan tanpa ada dalil yang
menguatkan itu hukumnya batil. Karena itu, pada dasarnya dzawil arham
tidak mendapatkan harta peninggalan.
73
Al-Sayyid al-Bakriy bin „Arif. I‟anatu al-thalibin, (Surabaya: Al-Hidayah) juz. 3, h.
225.
53
c. Apabila harta peninggalan itu diserahkan kepada baitul mal , manfaat dan
faidahnya sangat besar dan menjadi milik bersama seluruh ummat Islam.
Berbeda halnya kalau diberikan kepada dzawil arham, manfaatnya sedikit
dan faedahnya hanya dapat dinikmat oleh yang bersankutan saja.
Sedangkan qaidah fiqhiyyah telah menetapkan bahwa kemaslahatan umum
harus didahulukan daripada kemaslahatan khusus.74
Adapun Ulama‟ Hanafiyah berpendapat dzawil arham bisa menjadi ahli
waris dengan dalil-dalil yang diambil dari al-Qur‟an, al-Sunnah dan
berdasarkan akal fikiran (logika), yaitu sebagai berikut:
a. Adapun yang terdapat di dalam al-Qur‟an yaitu Firman Allah:
هب ٱلل
فى كخـ
ض ى ببعأ
ل وأ
ضہمأ أ حام بعأ زأ
أ ٱل
ىا
ول
75 وأ
Artinya: dzawil arham itu lebih utama diberikan kepada mereka dari pada
sebagian yang lain, demikianlah yang terdapat didalam kitab
Allah.
Argumentasi yang diambil dari ayat tersebut adalah bahwasanya Allah
SWT telah menyebutkan sebagian keluarga lebih berhak mewarisi daripada
selain mereka. Lafaz ulul arham itu pengertianya bersifat umum, meliputi
semua keluarga, baik mereka dari golongan ashabul farudh atau ash-habah
atau diluar keduanya, asal masih termasuk kerabat. Dengan demikian lafadh
tersebut meliputi semua kerabat, tidak membeda-bedakan antara ashabul
furud, golongan ash-habah, atau kerabat lainnya. Seakan-akan ayat tersebut
74
Muhammad Ali al-Shabuniy.Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010) h.160. 75 QS. al-Anfal [8]: 75.
54
berkata: “Kerabat dari jihat manapun lebih berhak mewarisi daripada yang
lainnya, disebabkan adanya hubungan kekerabatan. 76
Jika mereka mempunyai hubungan kerabat dengan yang mati, berilah
mereka warisan dan tidak boleh mendahulukan seseorang pun yang
lainnya”. Tidak disalah lagi bahwa dzawil arham termasuk yang
disebutkan oleh keumuman ayat tersebut, bukanlah sebagaimana yang
kelompok pertama maksudkan, yakni intisari maksud ayat, tapi justeru dari
tuntunan ayat itu sendiri, sesungguhnya setiap kerabat lebih berhak
mewarisi harta kerabtnya daripada orang lain. Dengan demikian dzawil
arham lebih berhak mewarisi daripada baitul mal orang muslim.
b. Dalil dari al-Qur‟an juga
لدان ى أسك ٱل
ا ج م صيب م
ء ه
سا
سبىن وللن
أق ألدان وٱل ى
أسك ٱل
ا ج م صيب م
لسجال ه
ل
سوضا فأ صيبا مر ه
ثوأ ك
ه أ ل منأ
ا ق سبىن مم
أق أوٱل
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.77
Sisi argumentasi ayat ini adalah, bahwasanya Allah SWT menyebutkan
setiap laki-laki dan perempuan memiliki bagian dalam harta peninggalan
keluarga dan kerabat mereka.78
Sesungguhnya ayat tersebut jelas menyebutkan tentang kerabat, dan
memperjelas bahwa mereka memiliki bagian dalam harta peninggalan
76 Ibid., h.161. 77
Surat al-Nisa‟ [4]: 7. 78
Muhammad Ali al-Shabuniy, Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010), h.161.
55
keluarga dan kerabat mereka, entah yang didapatkan itu sedikit ataupun
banyak.Menurut kesepakatan kebanyakan Ulama‟ berpendapat bahwa
dzawil arham itu adalah bagian dari kerabat, dengan begitu mereka sangat
berhak untuk mendapatkan bagian harta peninggalan keluarga dan kerabat
mereka karena dalil ini.79
Ayat ini juga menasakh praktik waris mewarisi yang pernah dilakukan
pada permulaan datangnya islam yaitu dengan sebab al-Mualat dan al-
Muakhat dalam agama, atau dengan sebab al-Hijrah dan al-Nashrah (Hijrah
dan Pertolongan).
Sesungguhnya Syari‟at Islam menetapkan kewarisan para kerabat, bukan
selain mereka saja yang pernah disebutkan bagiannya dalam ayat-ayat
tentang mawarits. Akan tetapi ayat ini sesungguhnya mensyari‟atkan
kewarisan bagi semua kerabat, bukan kepada beberapa golongan saja, maka
ayat yang kami sebutkan ini sungguh menjadi petunjuk yang jelas tentang
kewarisan dzawil arham.
c. Adapun dari sebuah hadits Nabi saw bersabda:
ه ال
ر بن عبد الل
ا حميد عن بك
برن
خ
أ
ا يزيد بن هارون
برن
خ
ك أ
هل
ان رجل
زني أ
تخ
صيب لا
ن
ة
ال
خ
ى ال
عط
خ وأ
صيب لا
ن
ة عم
ى عمر ال
عط
أه ف
تال
ه وخ
ت رك عم
وت
)رواه الدارمي(Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun telah
mengabarkan kepada kami Humaid dari Bakr bin Abdullah Al
Muzani bahwa ada seorang laki-laki meninggal dunia dan
meninggalkan seorang bibi dari pihak ayah dan bibi dari pihak
ibu. Maka Umar memberikan bagian kepada bibi dari pihak ayah
seperti bagian saudara laki-laki dan memberikan kepada bibi
79 Ibid., h.163.
56
dari pihak ibu seperti bagian saudara perempuan. (HR. Darimi
No.2922).
Maka Hadits ini menunjukkan tentang bahwa kerabat yang termasuk
golongan dzawil arham itu dapat menerima harta warisan selama tidak
adanya ahli waris dari golongan dzawil furudh dan golongan ashabah.
d. Dalil yang digunakan juga dari sebuah riwayat, bahwa seorang laki-laki
pernah menembak Sahal bin Hunaif dengan fanah, kemudian Ia meninggal,
dan dia tidak punya ahli waris melainkan hanya ada paman daris garis
ibunya (al-Khal). Maka Abu Ubaidah bin Jarah melapor kepada Sayyidina
Umar bin al-Khottob untuk menanyai tentang hal tersebut, maka Sayyidina
Umar pun menjawab: bahwa abi SAW pernah bersabda: 80
81الخال وازث من ال وازث له
Artinya: Paman (dari garis ibu) adalah ahli waris orang yang tidak punya
ahli waris.
Maka qisah ini seperti apa yang telah diberitahukan oleh Umar al-faruq
dari nabi SAW menjadi dalil tentang kewarisan dzawil arham, karena al-
khal (Paman dari garis bapak) bukan lah termasuk dzawil furudh dan bukan
juga termasuk dari golongan yang mendapatkan ashabah berdasarkan
kesepakatan para Ulama‟. Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Nabi SAW
bahwa al-Khal (paman dari garis Ibu) adalah termasuk ahli waris ketika
tidak ada ahli waris yang lebih utama untuk mewarisi harta peninggalan.82
80 Ibid., h. 162. 81
Sunan Abu Dawud, (Bairut: Maktabah al-„Asriyyah, 2010), h. 123. 82
Muhammad Ali al-Shabuniy.Al-Mawarits. (Makkah al-Mukarromah: Daru al-Kutub al-
Islamiyah, 2010) h.. 162.
57
e. Adapun dalil yang di gunakan berdasarkan akal pikiran, yaitu mereka
berkata sesungguhnya dzawil arham lebih berhak mendapatkan warisan
daripada baitul mal orang muslim. Oleh karena itu, sesungguhya baitul mal
orang muslim berhubungan dengan mayit dengan satu hubungan saja yaitu
hubungan keislaman dengan memandang mayit adalah orang muslim.
Adapun dzawil arham berhubungan dengan orang meninggal dalam dua
hubungan yang pertama hubungan keislaman dan yang kedua hubungan
kekerabatan. Siapa saja yang memiliki sistim kekerabatan dari dua sisi,
maka sesungguhnya lebih kuat daripada orang yang memiliki hubungan
kekerabatan hanya dari satu sisi seperti saudara sekandung yang apabila
berkumpul bersama saudara sebapak maka harta tersebut semuanya
diberikan kepada saudara sekandung, karana hubungan karena hubungan
kekerabatannya dari dua sisi yaitu dari sisi bapak dan sisi ibu maka begitu
jugalah dzawil arham.
Dengan demikian bahwa pendapat jumhur ulama (Ulama‟ Hanafiyah)
lebih rajih (kuat dan akurat) dan rasional, karena memang merupakan
pendapat mayoritas sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin. Di samping dalil
yang mereka kemukakan lebih kuat dan akurat, juga tampak lebih adil, apalagi
jika dihubungkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini.
Sebagai contoh, ulama‟ Syafi‟iyah berpendapat lebih mengutamakan
baitul mal ketimbang kerabat, sementara di sisi lain mereka mensyaratkan
keberadaan baitul mal dengan persyaratan khusus. Di antaranya, baitulmal
58
harus terjamin pengelolaannya, adil, dan amanah; adil dalam memberi kepada
setiap yang berhak, dan tepat guna dalam menyalurkan harta baitul mal.
Maka muncul pertanyaan, dimanakah adanya baitul mal yang demikian,
khususnya pada masa kita sekarang ini. Tidak ada jawaban lain untuk
pertanyaan seperti itu kecuali: "telah lama tiada". Terlebih lagi pada masa kita
sekarang ini, ketika musuh-musuh Islam berhasil memutus kelangsungan
hidup khilafah Islam dengan memporakporandakan barisan, persatuan dan
kesatuan muslimin, kemudian membagi-baginya menjadi negeri dan wilayah
yang tidak memiliki kekuatan. Sungguh tepat apa yang digambarkan seorang
penyair dalam sebuah bait syairnya: "Setiap jamaah di kalangan kita
mempunyai iman, namun kesemuanya tidak mempunyai imam."
59
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah membandingkan kedua pendapat tersebut, peneliti dapat
menyimpulkan bahwa :
1. Ulama‟ Syafi‟iyah berpendapat ketika tidak adanya ahli waris dari dzawil
furudh dan ashabah maka lebih mengutamakan baitul mal dibandingkan
kerabat dzawil arham, karena dipandang lebih banyak memberikan manfaat
harta peninggalan tersebut jika diberikan kepada baitul mal. Sedangkan
ulama‟ Hanafiyah berpendapat ketika tidak adanya ahli waris dari dzawil
furudh dan ashabah maka harta tersebut dibagi kepada kerabat dzawil
arham yang masih hidup, karena ahli waris dzawil arham adalah bagian dari
kerabat yang memiliki hubungan darah dengan orang yang meninggal
tersebut.
2. Persamaan konsep dzawil arham menurut ulama‟ Syafi‟iyah dan ulama‟
hanafiyah ialah pada nama dan golongan kerabat yang termasuk dzawil
arham atau yang tidak disebutkan bagiannya di dalam al-Qur‟an atau al-
Hadits. Adapun perbedaannya ialah pada dalil-dalil yang digunakan sebagai
landasan tentang kewarisan dzawil arham.
B. SARAN
1. Sebaiknya orang yang hendak membagi harta peninggalan yang disitu terdapat
terkait dengan dzawil arham, hendaknya tidak berpanjang lebar
59
60
memperdebatkan perbedaan pendapat oleh ulama‟ Syafi‟iyah dan Hanafiyah,
karena mereka memiliki argumentasi masing-masing.
2. Kepada Perpustakaan UIN Mataram dapat menambah literatur-literatur berupa
kitab-kitab dari mazhab lain, agar mampu menghasilkan mahasiswa yang
berwawasan luas, berprestasi dan berkualitas.
61
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Mahmud bin Maudud. Al-Ikhtiyar lita‟lili al-Mukhtar. Libanon:
Bairut, 2005.
Abu Isa Muhamad bin „Isa bin Surah, Sunan al-Tirmizi, 2010.
Ahmad, Saebani, Beni. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Al-Anshori Al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad. Al-jami‟ al-
Ahkami Al-Qur‟an, Bairut Libanon :Darul kutubi „ilmiyah
al-Bajuri, Ibrahim, al-Bajuri Ala Ibnu Qasim Al- Gozi, (Surabaya : Nurulhuda).
Juz 2
Ali, Zainuddin. Pelaksanaan Hukum Waris DiIndonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
Al-Qur‟an al-Karim
Al-Sayyid, al-Bakriy bin „Arif. I‟anatu al-thalibin. (Surabaya: Al-Hidayah) juz. 3
Al-Shabuni, Muhammad Ali. Tafsir ayat al-ahkam, Jakarta : dinamik Berkah
Utama, 2012.
Al-Shabuni, Muhammad Ali. Hukum Waris dalam Syari‟at Islam. Bandung:
Diponegoro, 1995.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2010.
As‟ad ,Ali. Terjemah fathulMu‟in. (Yogyakarta: Menara Kudus) 2008.
Basyir, Ahmd azhar. Hukum Waris Islam, Yogykarta: UII Press, 2001.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research, Yogyakarta: AndiOfset, 1997.
Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet Pertama, jakarta :Persada Press,
2009.
Jawad Mughniyah, Muhammad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 2008
Kompilasi Hukum Islam
62
M. Zein, Satria Efendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Muhamad bin Ibrahim bin Abdullah Atuwaijry. HukumWaris. Riyadh: Maktab
Dakwah dan Bimbingan Jaliyat Rabwah, 2007.
Muhammad Ali al-Shabuniy.Al-Mawarits. Makkah al-Mukarromah: Daru al-
Kutub al-Islamiyah, 2010.
Muhammad Sulaiman al-Mannanniy. Al-Jauharah al-Nairah ala syarhi
mukhtashar al-Quduri fi furu‟I al- Hanafiyah,
Pasnelyza Karani “Tinjauan Ahli Waris Pengganti dalam Hukum kewarisan Islam
dan Hukum Kewarisan KUH Perdata ”Universitas Diponegoro
Semarang. 2010
Salman, Otje dan Mustofa Haffas. Hukum Waris Islam, Bandung: PT Refika
Aditama, 2002.
Sayyid Syabik. Fiqh al-Sunnah. Kairo: Darul Fath, 2009.
Sugiyono. Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis dan Disertasi, Bandung:
Alfabeta, 2013.
Sunan Abu Dawud, Bairut: Maktabah al-„Asriyyah, 2011
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2003
Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam DiIndonesia, Jakarta: Sinargrafika, 2004.
W. Creswell, John. Recearch Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan
Mixed. Yogyakarta: PustakaPelajar, 2009.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung; Sumur Bandung
63
LAMPIRAN – LAMPIRAN
64
65
66