Download - koinfeksi TB HIV
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome ) merupakan masalah
global yang penting dan merupakan masalah yang sangat kompleks. Dewasa
ini dunia telah mengalami suatu pandemi virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) sebagai penyebab AIDS. Penyakit HIV/AIDS
sampai sekarang masih ditakuti karena sangat mematikan. HIV/AIDS
menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis
kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan
kemanusiaan. 1,2
Menurut data UNAIDS (United Programmes on HIV AIDS) yaitu badan
WHO dunia yang menanggulangi permasalahan AIDS memperkirakan bahwa
AIDS telah membunuh lebih dari 24 juta orang di dunia sejak tahun 1981 dan
menjadikannya sebagai suatu destruksi pandemik yang terbesar dalam sejarah
manusia. 3
Sampai saat ini, benua Afrika masih menjadi region terbanyak dengan
penduduk yang terinfeksi HIV/AIDS. Berdasarkan fakta epidemiologi
HIV/AIDS di Afrika Selatan menurut UNAIDS pada tahun 2008 ini, bahwa
sekitar 5,7 juta (64%) orang yang telah menjadi ODHA (Orang Dengan HIV
AIDS), dengan rata-rata prevalensi usia 15-49 tahun sekitar 5,4 juta orang,
3,2 juta diantaranya termasuk wanita 15 tahun keatas, 280.000 anak-anak usia
0-14 tahun dan telah tercatat 350.000 pengidap HIV AIDS yang meninggal.
1
Kemudian disusul Asia Tenggara yaitu sekitar 15 % dari total keseluruhan,
sehingga menyebabkan kematian lebih dari 500.000 anak.4
Statistik kasus yang dilaporkan oleh Ditjen PPM & PL Depkes RI,
sampai dengan September 2009 secara kumulatif jumlah kasus yang
dilaporkan adalah 18442 di 32 Provinsi. Proporsi kumulatif kasus AIDS
tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun, disusul kelompok
umur 30-39 tahun dan kelompok umur 40-49 tahun.5
Di Indonesia yang terletak diantara benua Asia dan Australia, yang
memiliki sekitar 17.000 pulau dengan populasi 220 juta penduduk,
menjadikan Indonesia sebagai negara ke empat tertinggi di dunia untuk
penyebaran HIV. Indonesia termasuk wilayah endemik HIV/AIDS, dimana
dari tahun ke tahun meningkat dengan cepat dan tidak memperlihatkan
adanya penurunan. 4,6,7
Penyakit Tuberkulosis (TB) sejak lama merupakan penyakit menular
yang endemis di Indonesia. Tahun 1940 sampai 1970an ditemukan berbagai
obat TB sehingga angka TB diberbagai negara Eropa dan Amerika menurun
dengan amat tajam dari waktu ke waktu, tetapi belakangan tampak fenomena
baru dan penurunan yang tajam ini tidak terjadi. Beberapa faktor jelas
berperan dalam perlambatan penurunan TB ini seperti perpindahan penduduk,
pengungsi akibat perang, kemiskinan dan infeksi HIV.4,6,8
Antara TB dan HIV mempunyai hubungan yang kuat karena dengan
infeksi HIV maka angka penyakit TB mengalami peningkatan lagi.
Tuberkulosis paru merupakan infeksi oportunistik yang paling sering terjadi
2
pada penderita HIV. Infeksi HIV merupakan faktor resiko untuk
berkembangnya TB melalui mekanisme berupa reaktivasi infeksi laten,
progresiviti yang cepat pada infeksi primer atau reinfeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis).4,9
Sebanyak 24% - 45% kasus TB pada infeksi HIV asimptomatik
menjadi 70 % pada pasien dengan AIDS, bentuk terbanyak adalah TB
ekstrapulmoner termasuk limfadenitis, bakteremia, penyakit sistem saraf
pusat (tuberkuloma, meningitis TB). Tingginya angka kejadian TB pada
penderita HIV dengan uji tuberkulin positif dan berpotensi terjadi TB aktif
maka perlu diadakan strategi terapi pencegahan TB yang optimal dan
sebaiknya mendapat prioriti tinggi pada pasien HIV.9
Menurut data dari WHO tahun 2008, TB merupakan penyebab utama
kematian terkait HIV di seluruh Dunia. Di beberapa negara dengan prevalensi
HIV yang lebih tinggi, hingga 80% dari orang uji TB positif HIV. Sekitar
30% dari orang yang terinfeksi HIV diperkirakan memiliki infeksi laten TB.
Pada tahun 2008, ada sebuah perkiraan 1,4 juta kasus baru TB di antara orang
dengan infeksi HIV dan TB menyumbang 23% dari kematian terkait AIDS.10
Jumlah kepadatan yang tinggi, rendahnya akses ke tempat kesehatan,
dan populasi beresiko tinggi di antara para tahanan berperan dalam
peningkatan infeksi TB dan HIV di antara penghuni penjara. Dr. Fabienne
Hariga dari UN Office on Drugs and Crime dan Dr. Alasdair Reid dari UNAIDS
menyoroti suramnya statistik kesehatan untuk orang-orang di balik jeruji besi.
Menurut Hariga, beberapa penjara memiliki sampai 65% populasi orang yang
3
terinfeksi HIV. DCS statistik melaporkan bahwa terjadi peningkatan
sebanyak 700% untuk penderita HIV di penjara sejak tahun 199511,12
Angka TB di penjara mencapai angka 50 kali lebih tinggi daripada
populasi umum. Angka peningkatan ditemukan pada tahanan yang dihukum
lebih lama. Hal ini mengakibatkan adanya keterkaitan antara infeksi TB dan
lama tahanan. Narapidana juga lebih mungkin meninggal akibat TB dan/atau
dari pengobatan dibandingkan dengan populasi di luar penjara. Dilaporkan
bahwa 90-95% kematian di penjara berhubungan dengan HIV dengan
koinfeksi TB. 11,12
Berdasarkan data dari DEPKES RI tahun 2006, bahwa jumlah penderita
HIV di Penjara Kelas 1 Makassar sebanyak 33 orang dan penderita TB
sebanyak 22 orang dari 925 tahanan19. Hingga saat ini belum tersedia data ko-
infeksi TB-HIV/AIDS di rumah tahanan Gunung Sari Makassar.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah
karakteristik kejadian ko-infeksi penderita HIV/AIDS dengan penyakit
Tuberkulosis di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar ?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik kejadian ko-infeksi
penderita HIV/AIDS dengan Penyakit Tuberkulosis di rumah tahanan
Gunung Sari Jalan Sultan Alauddin Makassar
4
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui prevalensi penderita HIV/AIDS di rumah tahanan
Gunung Sari Makassar
2. Untuk mengetahui prevalensi penderita TB di rumah tahanan Gunung
Sari Makassar.
3. Untuk mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi
Tuberkulosis berdasarkan umur
4. Untuk Mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi
Tuberkulosis berdasarkan jenis kelamin.
5. Untuk Mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi
Tuberkulosis berdasarkan jumlah CD4.
6. Untuk Mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi
Tuberkulosis berdasarkan foto thoraks.
7. Untuk Mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi
Tuberkulosis berdasarkan BTA.
8. Untuk Mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi
Tuberkulosis berdasarkan pemberian terapi.
1.3 Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi
pihak Rumah tahanan Gunung Sari jalan Sultan Alauddin dalam
peningkatan upaya pencegahan dan penanganan HIV/AIDS dengan
infeksi Tuberkulosis di masa yang akan datang.
5
2. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi perbandingan untuk
peneliti selanjutnya.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber bacaan
bagi mahasiswa kedokteran dan peneliti selanjutnya.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. HIV/AIDS
2.1.1 Definisi
AIDS adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus
HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang mengakibatkan
rusaknya/menurunnya sistem kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit.
Apabila HIV ini masuk ke dalam peredaran darah seseorang, maka HIV
tersebut menyerap sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih ini adalah bagian
dari sistem kekebalan tubuh yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan
penyakit. HIV secara berangsur-angsur merusak sel darah putih hingga tidak
bisa berfungsi dengan baik.1,4,6
2.1.2 Sejarah
Penyakit ini pertama kali timbul di Afrika, Haiti, dan Amerika Serikat
pada tahun 1978. Pada tahun 1979 pertama kali dilaporkan adanya kasus-
kasus Sarkoma Kaposi dan penyakit-penyakit infeksi yang jarang terjadi di
Eropa, penyakit ini menyerang orang-orang Afrika yang bermukim di
Eropa. Sampai saat ini belum disadari oleh para ilmuwan bahwa kasus-
kasus tersebut adalah AIDS. Sindrom yang kini telah menyebar ke seluruh
dunia ini pertama kali dilaporkan oleh Gotlieb dan kawan-kawan di Los
Angeles pada tahun 1981. Orang yang terinfeksi virus HIV akan berpotensi
sebagai pembawa dan penular virus selama hidupnya walaupun orang
tersebut tidak merasa sakit dan tampak sehat. 4,13
7
Dalam tahun yang sama yaitu pada tahun 1981 Amerika Serikat
melaporkan adanya kasus Sarkoma Kapusi dan penyakit infeksi yang jarang
terjadi di kalangan homoseksual. Hal ini menimbulkan dugaan yang kuat
bahwa transmisi penyakit ini terjadi melalui hubungan seksual. Pada tahun
1982 CDC-USA (Centers for Disease Control) Amerika Serikat untuk
pertamakali membuat defenisi kasus AIDS. Sejak tahun 1982 dilakukan
surveilans terhadap kasus-kasus AIDS. Pada tahun 1982 –1983 mulai
diketahui adanya transmisi diluar jalur hubungan seksual, yaitu melalui
transfusi darah, penggunaan jarum suntik secara bersama oleh para
penyalahgunaan narkotik dan obat-obat terlarang. 4,14
Di Indonesia pertama kali mengetahui adanya kasus AIDS pada bulan
April tahun 1987, pada seorang warganegara Belanda yang meninggal di
RSUP Sanglah Bali akibat infeksi sekunder pada paru-paru, sampai pada
tahun 1990 penyakit ini masih belum mengkhawatirkan, namun sejak awal
tahun 1991 telah mulai adanya peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua
kali lipat (doubling time) kurang dari setahun, bahkan mengalami
peningkatan kasus secara ekponensial. 15,16
2.1.3 Epidemiologi
Saat ini diperkirakan ada 5 – 10 juta orang pengidap HIV (Human
Immuno Deficeincy Virus) yang belum menunjukkan gejala apapun tetapi
potensial sebagai sumber penularan. Di samping itu telah dilaporkan adanya
lebih kurang 100.000 orang penderita AIDS dan 300.000 – 500.000 orang
penderita ARC (AIDS Related Complex) sampai 1 Maret 1989 telah
8
dilaporkan 141.000 kasus AIDS ke WHO oleh 145 negara. AIDS adalah
suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai Case Fatality Rate
100 % dalam 5 tahun, artinya dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis AIDS
ditegakkan, semua penderita akan meninggal. Pada populasi normal Adult
Mortality Rate adalah 50/10.000 bila seroprevalensi infeksi HIV adalah 10
% maka dalam 5 tahun mendatang Adult Mortality Rate ini akan meningkat
dua kali menjadi 100/10.000 4,16. Dari Tahun 2001 – 2007, terjadi
peningkatan penderita HIV dari 93.000-270.000.
Grafik 2.1 Estimasi angka manusia yang hidup dengan HIV17
Distribusi umur penderita AIDS di AS, Eropa dan Afrika tidak
berbeda jauh, kelompok terbesar berada pada umur 30 – 39 tahun, dan
menurun pada kelompok umur yang lebih besar dan lebih kecil. Hal ini
membuktikan bahwa transmisi seksual baik homo maupun heteroseksual
merupakan pola transmisi utama. Mengingat masa inkubasi AIDS yang
berkisar dari 5 tahun ke atas, maka infeksi terbesar terjadi pada kelompok
9
umur muda/seksual paling aktif yaitu 20 – 30 tahun11,12. Distribusi penderita
HIV menurut umur dapat dilihat dari gambar 2.
Grafik 2.2. Distribusi penderita HIV/AIDS menurut umur17.
Depkes RI melaporkan bahwa sampai pada tahun 2009 kasus
HIV/AIDS tercatat sebanyak 18442 orang yang menyebar di 33 Propinsi.
Perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia dapat dilihat pada tabel
berikut :5
Tabel 2.1 Perkembangan HIV AIDS di Indonesia
Jenis Kelamin/Sex AIDS AIDS/IDU
Laki-laki/Male 13654 6877
Perempuan/Female 4701 574
Tak Diketahui/Unknown 87 47
Jumlah/Total 18442 7498
Statistik Kasus HIV/AIDS di IndonesiaSumber : Ditjen PPM & PL Depkes RI5
10
Rasio jenis kelamin pria wanita adalah 10 – 15 : 1 karena sebagian
besar penderita adalah kaum homoseksual. Perbandingan antara penderita
dari daerah urban (perkotaan) dan rural (pedesaan) umumnya lebih tinggi di
daerah urban, karena di kota lebih banyak dilakukan promiskuitas
(hubungan seksual dengan banyak mitra seksual), maka kelompok
masyarakat berisiko tinggi adalah kelompok masyarakat yang melakukan
promiskuitas, yaitu kaum homoseksual termasuk kelompok biseksual,
heteroseksual, dan penyalahguna narkotik suntik, serta penerima transfusi
darah termasuk penderita hemofili dan penyakit-penyakit darah, anak dan
bayi yang lahir dari ibu pengidap HIV. Prevalensi infeksi HIV dikalangan
ini terus meningkat dengan pesat. Di San Fransisco pada tahun 1978, hanya
4 % kaum homoseksual diperkirakan mengidap HIV, 3 tahun kemudian
angka ini bertambah menjadi 24 %, 8 tahun kemudian menjadi 80 % dan
pada saat ini telah menjadi 100 %. 4, 18
Kelompok heteroseksual risiko tinggi ini di Indonesia adalah para
WTS, para pramupijat, pramuria bar dan club malam dan para
pelanggannya. Kelompok penyalah guna narkotik suntik, mereka ini
menggunakan alat suntik bersama dan sering masih terdapat sisa darah di
dalam jarum atau alat suntik. Kelompok ini di Eropa meliputi 11 % dari
semua kasus AIDS dan di Amerika Serikat 25 % dari seluruh kasus AIDS 4.
Menurut data dari National AIDS reports, jumlah penderita HIV
sebanyak 56,1 % pada perempuan, dan 52,2 % pada laki-laki. Sedangkan
11
pada umur <25 tahun, terdapat 41,7% penderita HIV, dan pada umur >25
tahun ada 57,9% penderita HIV17. Ini dapat dilihat pada gambar 3.
Grafik 2.3 Persentase dari resiko tinggi penderita HIV berdasarkan umur
dan jenis kelamin.17
2.1.4 Gejala
Gejala-gejala yang muncul dari HIV bisa mempengaruhi seseorang
secara bertahap. Setelah virus memasuki tubuh, maka virus akan
berkembang dengan cepat. Virus ini akan menyerang limfosit CD4 (sel T)
dan menghancurkan sel-sel darah putih sehingga mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh. Setiap tahapan dari infeksi akan menunjukkan gejala
yang berbeda. Tahap awal dari infeksi virus ini biasanya tidak
menunjukkan tanda-tanda atau gejala apapun, gejala baru akan muncul
setelah dua sampai empat minggu setelah terinfeksi. Seseorang bisa
mengeluh mengalami sakit kepala yang berat dan persisten disertai dengan
demam.5,8 Terdapat 4 gejala stadium klinis HIV yang dapat digunakan
untuk mendiagnosis HIV, yaitu :
12
Tabel 2.2 Stadium klinis untuk mendiagnosis HIV
Stadium 1 Asimptomatik Tidak ada penurunan berat badan Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan Penurunan BB 5-10% ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir Luka di sekitar bibir (keilitis angularis) Ulkus mulut berulang Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE) Dermatitis seboroik Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang Penurunan berat badan > 10% Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan Kandidosis oral atau vaginal Oral hairy leukoplakia TB Paru dalam 1 tahun terakhir Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll) TB limfadenopati Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan. Kandidosis esophageal TB Extraparu* Sarkoma kaposi Retinitis CMV* Abses otak Toksoplasmosis* Encefalopati HIV Meningitis Kriptokokus* Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Kondisi dengan tanda* perlu diagnosis dokter yang dapat diambil dari rekam medis RS sebelumnya
Dikutip dari DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral Edisi II– 200719
2.1.5 Penularan AIDS.
13
HIV dapat ditularkan melalui :
A. Hubungan seksual (homoseksual ataupun heteroseksual) dengan
seorang yang mengidap HIV.
B. Transfusi darah yang tercemar HIV.
C. Melalui alat suntik, alat tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tato) bekas
dipakai orang yang mengidap HIV.
D. Pemindahan HIV dari ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin
yang dikandungnya.18,19
2.1.6 Penilaian Imunologi
Jumlah CD4 adalah cara yang terpercaya dalam menilai status
imuunitas seorang ODHA. Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan
klinis yang mana dapat memandu dalam menentukan kapan pasien
memerlukan pengobatan profilaksis terhadap IO dan terapi ARV sebelum
penyakitnya berlanjut menjadi lebih parah.18,19
2.1.7 Terapi ARV
A. Tidak tersedia tes CD4
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4
harus memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus
dipantau secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk
pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis
yang baru.18,19
B. Tersedia tes CD4
14
Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah sebelum pasien
jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit akan
lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3
dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila
tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4
kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai terapi
ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan
pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis
maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru
atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil
stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3. 18,19,20
Tabel 2.3 Saat memulai terapi pada ODHA dewasa
15
StadiumKlinis
Bila tersedia pemeriksaan
Bila tidak tersediapemeriksaan CD4
1 Terapi antiretroviral dimulai bila
Terapi ARV tidak
diberikan
2 CD4 <200 Bila jumlah total
limfosit <1200
3 Jumlah CD4 200 – 350/mm3,pertimbangkan terapi sebelumCD4 <200/mm3Pada kehamilan atau TB: Mulai terapi ARV
pada semua ibu hamil dengan CD4 ,350
Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah limfosit
4 Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah CD4
Dikutip dari DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral Edisi II– 200719
Keterangan:a CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB
paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan).
b Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum dapat ditentukan.
c Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal initidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I ) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumberdaya terbatas.
Panduan ARV lini pertama yang dianjurkan adalah :
1. Pilih lamivudin (3TC), ditambah
16
2. Pilih salah satu obat dari golongan nucleoside revere transcriptase
inhibitor (NRTI), zidovudine (AZT) atau stavudin (d4T)
Tabel 2.4 Pilihan Paduan ARV untuk Lini- Pertama
Anjuran Paduan ARV Keterangan
Pilihan utama AZT + 3TC +NVP
AZT dapat menyebabkan anemia, dianjurkanuntuk pemantauan hemoglobin, tapi AZT lebihdisuka dari pada stavudin (d4T) oleh karenaefek toksik d4T (lipoatrofi, asidosis laktat,neropati perifer).Pada awal penggunaan NVP terutama padapasien perempuan dengan CD4 >250 berisikountuk timbul gangguan hati simtomatik, yangbiasanya berupa ruam kulit. Risiko gangguanhati simtomatik tersebut tidak tergantung beratringannya penyakit, dan tersering pada 6minggu pertama dari terapi.
PilihanAlternatif
AZT + 3TC +EFV
Efavirenz (EFV) sebagai substitusi dari NVP manakala terjadi intoleransi dan bila pasien juga mendapatkan terapi rifampisin. EFV tidak boleh diberikan bila ada peningkatan enzim alanin aminotransferase (ALT) pada tingkat 4 atau lebih.Perempuan hamil tidak boleh diterapi denganEFV. Perempuan usia subur harus menjalani tes kehamilan terlebih dulu sebelum mulai terapi dengan EFV.
d4T + 3TC +NVP atau EFV
d4T dapat digunakan dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium.
Dikutip dari DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral Edisi II– 200719
Tabel 2.5 Terapi ARV untuk Pasien dengan Koinfeksi TB dan HIV
CD4 Paduan yang Keterangan
17
Dianjurkan
CD4 <200/ mm3 Mulai terapi TB.Mulai terapi ARV segerasetelah terapi TB dapatditoleransi (antara 2 mingguhingga 2 bulan)Paduan yang mengandung EFV(AZT atau d4T) + 3TC + EFV(600 atau 800 mg/hari).Setelah OAT selesai maka bilaperlu EFV dapat diganti denganNVPBila NVP terpaksa harusdigunakan disamping OAT,maka dapat dilakukan denganmelakukan pemantauan fungsihati (SGOT/SGPT) secara
ketat
Saat mulai ART pada 2 – 8minggu setelah OAT
CD4 200-350/mm3
Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi TB
CD4 >350/ mm3 Mulai terapi TB. Tunda terapi ARVe , evaluaikembali pada saat minggu ke 8terapi TB dan setelah terapi TBlengkap
CD4 tidakmungkin diperiksa
Mulai terapi TB. Pertimbangkan terapi ARVmulai 2 – 8 minggu setelahterapi TB dimulai
Dikutip dari DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral Edisi II– 200719
2.2. Tuberkulosis
2.2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO)
telah mencanangkan tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan
WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
18
tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil
Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di
Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat
dari jumlah pendduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika
hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000
pendduduk, seperti terlihat pada tabel Diperkirakan angka kematian akibat
TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun
2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di
Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per
100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per
100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan
peningkatan cepat kasus TB yang muncul.21,22
Tabel 2.6 Perkiraan insidens TB dan angka mortaliti, 2002
Jumlah(Ribu)
Kasus Kasus 100000duk
PerPendu
Kematian akibat TB
PembagiandaerahWHO
Semuakasus(%)
Sputumpositif
Semuakasus(%)
Sputumpositif
Jumlah(Ribu)
Per 100000Penduduk
Afrika 2354 (26) 1000 350 149 556 83Amerika 370 (4) 165 43 19 53 6Mediteranian timur
622 (7) 279 124 55 143 28
Eropa 472 (5) 211 54 24 73 8Asia Tenggara 2890 (33) 1294 182 81 625 39Pasifik barat 2090 (24) 939 122 55 373 22Global 8797
(100)2887 141 63 1823 29
Dikutip dari pedoman diagnosis dan penatalaksanaa Tuberkulosis di Indonesia12
19
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus
TB setelah India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB
dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah
pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab
kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut
pada seluruh kalangan usia. Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan
oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex. berbentuk batang lurus
atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini
berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding M.
tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin
kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor,
dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat
merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan
dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan
oleh jembatan fosfodiester.9,10,12,13
2.2.2 Patogenesis
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang
di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang
disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di
bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang
primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar
20
getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama
dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks
primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara Perkontinuitatum, secara bronkogen, hematogen
dan limfogen
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post
primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk
dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya.
Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan
rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer
dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari
lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk
suatu sarang pneumonik kecil.9,12,16
2.2.3 Klasifikasi Tuberkulosis
1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura
Berdasarkan Pemeriksaan dahak, Tuberkulosis pari dibagi menjadi :
21
- Tuberkulosis Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif, Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan
BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif, Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak
menunjukkan BTA positif dan biakan positif12,17,19
- Tuberkulosis Paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis
aktif, Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif
dan biakan M. tuberculosis positif12,17,20
Berdasarkan Tipe Pasien, ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
b. Kasus kambuh (relaps)
c. Kasus defaulted atau drop out
d. Kasus gagal
e. Kasus kronik / persisten
2. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput
otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing,
22
alat kelamin dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur
positif atau patologi anatomi.12
2.2.4 Gambaran Klinik
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan
pemeriksaan penunjang lainnya12
2.2.4.1 Gejala klinik
1. Gejala respiratorik
- batuk ³ 2 minggu
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
2. Gejala sistemik
- Demam
- Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
2.2.4.2 Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
23
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)12
2.2.4.3 Pemeriksaan Radiologik12
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi:
foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Gambaran radiologik yang
dicurigai sebagai lesi TB aktif9,12,19 :
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah, Kaviti, terutama lebih dari satu,
dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
- Fibrotik
- Kalsifikasi
- Schwarte atau penebalan pleura
24
Gambar 2.1. Alur Diagnosis TBCDikutip dari pedoman diagnosis dan penatalaksanaa Tuberkulosis di
Indonesia12
2. 2.6 Pengobatan TB
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan
terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.9,12,15
25
OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
· Rifampisin, INH, Pirazinamid, Streptomisin, Etambutol
Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
· Kanamisin
· Amikasin
· Kuinolon
Tabel 2.7 Jenis dan Dosis OAT
ObatDosis(Mg/KgBB/Hari)
Dosis yg dianjurkan
DosisMaks (mg)
Dosis (mg) / beraty badan (kg)
Harian (mg/kgBB / hari)
Intermitte (mg/Kg/BB/kali)
<40 40-60
>60
R 8-12 10 10 600350
450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai
BB
750 1000
Dikutip dari pedoman diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis di Indonesia12.
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang
penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB
26
(multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk
mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International
Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO
menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi
dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat
tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada
tabel 8.12,23
Tabel 2.8 Dosis Obat Anti tuberkulosis kombinasi dosis tetap
Fase Intensif Fase lanjutan
2 Bulan 4 bulan 6 Bulan
BB Harian harian 3x seminggu
harian 3x seming
gu
Haria
n
RHZE 150/75/400/275
RHZ 150/75/400
RHZ150/150/
500
RH150/75
RH150/150
EH400/150
30-37 2 2 2 2 2 1,5
38-54 3 3 3 3 3 2
55-70 4 4 4 4 4 3
>71 5 5 5 5 5 3
Dikutip dari pedoman diagnosis dan penatalaksanaan Tuberkulosis Indonesia12
2.2.3 Hubungan HIV dengan TB
HIV/AIDS dan Tuberkulosis (TB), terutama TB paru, saat ini
merupakan masalah kesehatan global. TB paru merupakan infeksi
oportunistik paling sering terjadi pada penderita HIV/AIDS di dunia,
27
sebagian besar disebabkan karena menyebarnya penderita HIV di daerah
dimana prevalensi TB tinggi. Di negara-negara sedang berkembang diduga
sekitar 3-4,5 juta penduduk di Afrika, sub sahara , menderita HIV dan TB
secara bersamaan.16,22,23
HIV meningkatkan epidemi TB dengan beberapa cara.. Telah
diketahui bahwa HIV merupakan faktor risiko yang paling potensial untuk
terjadinya TB aktif baik pada orang yang baru terinfeksi maupun mereka
dengan infeksi TB laten. Risiko terjadinya TB pada orang dengan ko-infeksi
HIV/TB berkisar antara 5 – 10% per tahun. Sekitar 60% orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) dan Purified Protein Derivative (PPD) positif
berkembang menjadi TB aktif semasa hidupnya, sedangkan pada PPD positif dan
HIV negatif adalah sekitar 10%. (lihat Gambar 4). HIV meningkatkan angka
kekambuhan TB, baik disebabkan oleh reaktifasi endogen atau re-infeksi eksogen.
Peningkatan kasus TB pada ODHA akan meningkatkan risiko penularan TB pada
masyarakat umum dengan atau tanpa terinfeksi HIV. Pencegahan HIV terkait TB
melebihi pelaksanaan sepenuhnya dari DOTS, karena juga mencakup pencegahan
infeksi HIV sejak awal, pencegahan berkembangnya infeksi TB laten menjadi
penyakit aktif serta ketentuan dan penyediaan pengobatan dan perawatan
HIV/AIDS.16,22,23
28
Gambar 2.2. Perkembangan TB dan AIDS dengan melihat pemeriksaan
PPD23
Sekitar 72% jumlah penderita TB dunia terdapat di Asia, dan lebih
dari 1,3 juta orang dewasa di Asia diperkirakan terinfeksi dengan HIV dan
TB secara bersamaan. Di negara-negara dengan prevalensi TB yang tinggi
seperti Indonesia maka setidaknya 50% atau lebih penduduk dewasanya
telah terinfeksi kuman TB dan di dalam tubuhnya terdapat kuman TB dalam
keadaan dorman. Mereka tidak menjadi sakit karena daya tahan tubuh yang
baik. Bila daya tahan menurun akibat HIV maka penyakit TB dapat muncul
akibat reaktivasi endogen kuman dorman dalam tubuh. Di pihak lain,
mereka yang terinfeksi HIV tidak dapat menahan dirinya terhadap
kemungkinan infeksi baru TB secara eksogen.17 Program nasional TB di
negara-negara dengan beban HIV yang tinggi melaporkan terjadinya peningkatan
case fatality rate (CFR) sampai 25% pada pasien dengan BTA positif dan 40 – 50%
29
pada pasien TB paru dengan BTA negatif. Di seluruh dunia terdapat 350.000
kematian akibat HIV dengan TB pada tahun 2000. Hal ini dapat disebabkan oleh
keterlambatan diagnosis dan pengobatan TB23,24.
Grafik 2.3 Angka kasus baru TB menurut status HIV per 100.000 orang di Chiang Rai, Thailand (1987-2000). (Sumber: TB/HIV Research Project, RIT-
JATA, Provincial Health Office Chiang Rai, Ministry of Public Health, Thailand)23
Sejumlah publikasi dari beberapa tempat tertentu di Thailand dan India
melaporkan bahwa proporsi TB dengan HIV seropositif meningkat tajam
setelah tahun 1991. Dari register TB di Rumah Sakit Propinsi Chiang Rai,
yang mulai melaksanakan tes HIV secara sukarela dan rahasia pada Oktober
1989, menunjukkan peningkatan jumlah dan proporsi yang cepat dan
konsisten dari pasien TB dengan HIV seropositif dari 1,5% pada tahun 1990
menjadi 45,5% pada tahun 1994 serta 72,0% pada pasien laki-laki dan
65,8% pada pasien perempuan pada tahun 1998. Data periode-10-tahun
30
yang serupa diperoleh dari Pune, India – angka HIV seropositif pada pasien
TB yang baru didiagnosis meningkat secara konsisten dari 4% pada
tahun1991 menjadi 20% pada tahun 1996. Meluasnya epidemi HIV/TB di
Asia Tenggara tergantung epidemi HIV dimasa mendatang dan upaya
pengendalian TB23,24.
Menurut Data dari WHO HIV Department, didapatkan jumlah
penderita TBC yang dites HIV sebanyak 996.000 (16%), ternyata yang
positif HIV adalah 30 % penderita. Distribusi penderitanya dapat dilihat
pada tabel 8.
Tabel 2.9 Persentase Pasien TBC yang dites HIV tahun 2007
HIV testing and treatment, 2007
30%63%30%996,000 (16%)Global
28%45%7%95,000 (6.6%)WPR
17%37%15%122,000 (5.5%)SEAR
16%52%2.5%169,000 (35%)EUR
65%35%12%4,200 (1.1%)EMR
77%36%13%114,000 (49%)AMR
29%66%51%492,000 (37%)AFR
% of identified TB patients on
ART
% of identified TB patients on
CPT
% of tested TB patients HIV +
TB patients tested for HIV
Region
Dikutip dari Marco Victoria, WHO HIV department20.
TB adalah infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
yang dapat menyerang semua organ tubuh, terutama paru. TB merupakan
31
infeksi oportunistik yang potensial untuk penderita HIV/AIDS, karena
kondisi imunosupresif seluler yang terjadi pada penderita HIV/AIDS
mempermudah penyebaran infeksi TB primer. Sebaliknya infeksi
M.tuberculosis pada penderita HIV akan mempercepat perjalanan infeksi
HIV stadium dini menjadi stadium lanjut. 16
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
32
3.1 Dasar Pemikiran Variabel yang diteliti
Berdasarkan kerangka teori, terdapat banyak karakteristik kejadian
koinfeksi HIV dengan Tuberculosis yaitu umur, jenis kelamin, status gizi,
lama menderita HIV, Status perkawinan, faktor resiko berupa riwayat
berhubungan seks dengan banyak pasangan, riwayat penggunaan jarum
suntik, riwayat kontak dengan penderita TBC, jumlah CD4, hasil Foto
thoraks, hasil pemeriksaan BTA, dan pemberian terapi. Akhirnya dipilih
beberapa variabel untuk diteliti yaitu umur, jenis kelamin, jumlah CD4, foto
thoraks, hasil pemeriksaaan BTA, dan pemberian terapi. Sedangkan faktor
yang lain tidak dilakukan penelitian karena keterbatasan data yang ada di
rekam medik.
3.2. Kerangka Konsep Penelitian
33
UMUR
3.3. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Variabel : Umur
34
KO-INFEKSI HIV DENGAN TUBERKULOSIS
HASIL PEMERIKSAAN BTA
HASIL FOTO THORAKS
JENIS TERAPI
JUMLAH CD4
JENIS KELAMIN
Definisi : lamanya hidup seseorang mulai lahir hingga saat
penderita didiagnosis HIV dengan infeksi Tuberkulosis yang
dinyatakan dalam satuan tahun.
Alat Ukur : kuesioner
Cara Ukur : Berdasarknn hasil jawaban kuesioner yang
diperoleh dari pencatatan rekam medik
Kriteria Objektif : Klasifikasi umur :
1. ≤ 10 tahun
2. 11-20 tahun
3. 21-30 tahun
4. 31-40 tahun
5. 41-50 tahun
6. 51-60 tahun
2. Variabel : Jenis Kelamin
Definisi : Identitas subjek berdasarkan organ seksualnya
Alat Ukur : kuesioner
Cara Ukur : Berdasarkan hasil jawaban kuesioner yang
diperoleh dari pencatatan rekam medik
Kriteria objektif : 1. Laki-laki
2. Perempuan
3. Variabel : Jumlah CD4
35
Definisi : sebuah marker atau penanda sistem kekebalan
tubuh yang diperiksa pada awal perawatan. Berdasarkan kategori CDC
(Centers for Disease Control) untuk pemeriksaan CD4.
Alat Ukur : kuesioner
Cara Ukur : Berdasarkan hasil jawaban kuesioner yang
diperoleh dari pencatatan rekam medik
Kriteria objektif :
1. Dilakukan pemeriksaan Jumlah CD4 dengan pengelompokkan
sebagai berikut :
Kategori 1 : >500 µl limfosit CD4+/µl
Kategori 2 : 200 - 499 µl limfosit CD4+/µl
Kategori 3 : <200 µl limfosit CD4+/µl
2. Tidak dilakukan pemeriksaan jumlah CD4
4. Variabel : Hasil Foto Thoraks
Definisi : jenis pemeriksaan radiologi yang digunakan untuk
menunjang diagnosis penyakit.
Alat Ukur : kuesioner
Cara Ukur : Berdasarkan hasil jawaban kuesioner yang
diperoleh dari pencatatan rekam medik
Kriteria objektif : 1. Mendukung diagnosis TBC
2. Tidak mendukung diagnosis TBC
5. Variabel : Hasil Pemeriksaan BTA
36
Definisi : Hasil pemeriksaan sputum dengan menggunakan
pewarnaan Ziehl-Nielsen
Alat Ukur : kuesioner
Cara Ukur : Berdasarknn hasil jawaban kuesioner yang
diperoleh dari pencatatan rekam medik
Kriteria objektif : pemeriksaan BTA mempunyai kategori sebagai
berikut :
1. Kategori 1 : BTA (+)
2. Kategori 2 : BTA (-)
3. Tidak dilakukan pemeriksaan
6. Variabel : Jenis Terapi
Definisi : jenis pengobatan yang diberikan kepada penderita
HIV/AIDS dengan infeksi tuberkulosis.
Alat Ukur : kuesioner
Cara Ukur : Berdasarknn hasil jawaban kuesioner yang
diperoleh dari pencatatan rekam medik
Kriteria objektif : Pemberian terapi pada penelitian ini adalah jenis
pengobatan yang diberikan atau tidak diberikan oleh dokter yang
memeriksa penderita HIV/AIDS dengan infeksi tuberkulosis, dengan
jenis terapi sebagai berikut :
1. Obat Antiretrovirus
2. Obat untuk Infeksi tuberkulosis
3. Pengobatan Simptomatis dan suportif.
37
4. Obat ARV, Obat TB, dan pengobatan simptomatis serta suportif
5. Obat ARV dan obat TB
6. Obat ARV dan obat Simptomatis serta suportif
7. Obat TB dan Obat simptomatis
BAB 1V
38
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk
mendeskripsikan Karakteristik kejadian ko-infeksi HIV/AIDS dengan TB di
Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar25. Data yang diperoleh selanjutnya
digambarkan berdasarkan tujuan penelitian yang akan dicapai.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah tahanan Gunung Sari yang terletak
di jalan Sultan Alauddin, makassar selama 2 minggu mulai tanggal 18-31
Oktober 2010.
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita HIV/AIDS
dengan infeksi tuberkulosis di Rumah tahanan Gunung Sari Makassar.
3.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah penderita HIV/AIDS dengan
infeksi tuberkulosis di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar yang
terdaftar di rekam medik.
3.3.3. Kriteria Seleksi
39
4.3.3.1 Kriteria Inklusi
1. Rekam Medik tahanan yang menderita HIV/AIDS dengan Infeksi
Tuberkulosis yang tercatat di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar
2. Rekam Medik Pasien HIV/AIDS selama periode Januari – Desember
2009
4.3.3.2 Kriteria Eksklusi
1. Rekam Medik yang tidak mempunyai data yang lengkap
2. Rekam Medik yang hilang dan tercecer
4.3.4 Teknik Sampling
Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling dimana
mengambil seluruh sampel data rekam medik yang tersedia dan memenuhi
kriteria seleksi berdasarkan tahun 200921
4.4 Data dan Instrumen Penelitian
4.4.1 Jenis Data
Data Sekunder dari bagian rekam medik Rumah Tahanan Gunung Sari
Makassar
4.4.2 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa rekam medik
4.5. Manajemen Data
4.5.1 Teknik Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data sekunder di baina
rekam medik rumah tahanan gunung sari Makassar
4.5.2 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
40
Pengolahan data dan naratif deskriptif dilakukan dengan
menggunakan komputer melalui program Microsoft Excel dan SPSS for
Windows 15
4.5.3 Penyajian Data
Data yang diolah dan dianalisis akan disajikan dalam bentuk tabel atau
grafik untuk menggambarkan karakteristik kejadian ko-infeksi HIV/AIDS
dengan Tuberkulosis disertai penjelasan yang sesuai.
4.6 Etika Penelitian
1. Menyerahkan surat pengantar yang ditukan kepada pihak pemerintah
dan Rumah Tahanan sebagai permohonan izin untuk melakukan
penelitian
2. Menyerahkan surat persetujuan yang ditujukan kepada pihak tempat
penelitian untuk melakukan penelitian
3. Kami akan berusaha untuk menjaga kerahasiaan identitas subjek
penelitian yang terdapat pada data sekunder yang diperoleh, sehingga
tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian ini
4. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak yang terkait, khususnya bagi dunia kedokteran dan bagi program
penaggulangan HIV/AIDS dan Tuberkulosis di Indonesia
BAB V
41
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 18 – 22 Oktober 2010 di Rumah
Tahanan Gunung Sari Makassar dengan menggunakan data sekunder yang
diperoleh dari data rekam medik pasien. Dalam penelitian ini, didapatkan jumlah
penderita HIV/AIDS sepanjang tahun 2009 berjumlah 28 orang, dan yang
menderita Tuberkulosis sebanyak 14 orang. Dari 28 orang ini yang memiliki ko-
infeksi dengan tuberkulosis berjumlah 8 orang.
Tabel 5.1. Distribusi Penderita HIV/AIDS menurut Jenis Kelamin dan Umur
di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar periode Januari-Desember 2009
Variabel Frekuensi Presentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 26 92,9
Perempuan
Umur
19-24
25-30
31-36
2
8
18
2
7,1
28,6
64,3
7,1
Jumlah (n) 28 100,0
Sumber : data sekunder 2009
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa jumlah penderita HIV di Rumah Tahanan
Gunung Sari Makassar lebih banyak laki-laki, yaitu 26 orang (92,9 %), sedangkan
perempuan berjumlah 2 orang (7,1 %). Sedangkan umur penderita HIV/AIDS
terbanyak pada kelompok umur 25-30 tahun. Tidak ada pasien yang berumur di
42
bawah 10 tahun dan di atas 40 tahun. Dengan umur terendah 19 tahun, tertinggi
34 tahun..
Tabel 5.2. Distribusi Penderita Tuberkulosis menurut Jenis Kelamin di
Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar periode Januari – Desember 2009
Variabel Frekuensi Presentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 13 92,86
Perempuan 1 7,14
Jumlah (n) 14 100,0
Sumber : data sekunder 2009
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa jumlah pasien TB di Rumah Tahanan Gunung Sari
Makassar periode 2009 berjumlah 14 orang dimana yang berjenis kelamin laki-
laki berjumlah 13 orang dan perempuan hanya 1 orang
Tabel 5.3. Karakteristik Pasien Ko-infeksi HIV dengan Tuberkulosis di
Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar periode Januari – Desember 2009
43
Variabel Frekuensi Presentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Umur
20-29
8
7
100,0
87,5
30-39
Pemeriksaan CD4
Dilakukan Pemeriksaan CD4
Tidak dilakukan pemeriksaan
Hasil Pemeriksaan BTA
BTA (-)
Tidak dilakukan Pemeriksaan
Hasil Foto Thoraks
Mendukung Diagnosa TB
Jenis Terapi
Terapi Simptomatik
Terapi ARV, TB, dan Simptomatik
Terapi TB dan Simptomatik
1
1
7
3
5
8
1
1
6
12,5
12,5
87,5
37,5
62,5
100,0
12,5
12,5
75
Jumlah (n) 8 100,0
Sumber : data sekunder 2009
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa jumlah pasien ko-infeksi HIV
dengan Tuberkulosis di Rumah Tahanan Gunung Sari periode 2009 adalah 8
orang. Semua pasien ko-infeksi HIV dengan TB berjenis kelamin laki-laki
44
dengan kelompok umur terbanyak adalah kelompok umur 20-29 tahun
dengan jumlah 7 orang, sedangkan kelompok umur 30-39 tahun berjumlah
1 orang dan tidak ada pasien yang berumur di bawah 20 tahun dan diatas 40
tahun. Pada pemeriksaan BTA, ternyata penderita yang tidak dilakukan
pemeriksaan berjumlah 5 orang, dibandingkan dengan penderita yang
dilakukan pemeriksaan BTA dengan hasil negatif sebanyak 3 orang. Tidak
ada penderita yang memberikan hasil BTA positif. Dari semua penderita ko-
infeksi TB-HIV/AIDS, hanya 1 orang yang dilakukan pemeriksaan CD4.
Hasil foto thoraks semua penderita mendukung diagnosa TB. Penderita
koinfeksi HIV/AIDS dengan TB yang mendapatkan terapi kombinasi
lengkap berupa terapi ARV, Terapi TB dan Simptomatik hanya berjumlah 1
orang. Distribusi frekuensi tertinggi untuk jenis terapi pada penderita
koinfeksi ditemukan pada kelompok terapi TB dan Simptomatik yaitu 6
orang. Pasien dengan terapi Simptomatik saja berjumlah 1 orang . Tidak ada
pasien yang mendapatkan terapi ARV dan TB secara bersamaan.
BAB VI
PEMBAHASAN
45
6.1. Jumlah Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
Berdarakan hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa
disribusi frekuensi penyakit HIV di Rutan Gunung Sari Makassar periode 2009
berdasarkan tabel 5.1. berjumlah 28 orang dengan distribusi berdasrkan jenis
kelamin adalah laki-laki berjumlah 26 orang dan perempuan 2 orang. Hasil ini
sesuai dengan statistik dari Ditjen PPM & PL Depkes RI sampai tahun 2009 yaitu
jumlah penderita HIV terbanyak adalah laki-laki sebanyak 13654 orang, dan
perempuan sebanyak 4701 orang.5 Hasil penelitian ini juga sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Rasmaliah (2001) yang mendapatkan
perbandingan laki-laki dengan perempuan 10:117. Pada penelitian ini, jumlah
penderita HIV adalah 28 orang dari 829 tahanan. Penelitian ini berbeda dengan
penelitian oleh Hariga yang mengatakan bahwa 65 % populasi penjara menderita
HIV/AIDS11
Kelompok umur 20-29 tahun merupakan kelompok umur yang rentan
terhadap HIV/AIDS sesuai dengan hasil pelaporan statistik Ditjen PPM & PL
Depkes RI sampai tahun 2009 bahwa proporsi kumulatif kasus HIV/AIDS
tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun disusul kelompok umur 30-39 tahun,
dan kelompok umur 40-49 tahun5. Penderita positif HIV pada usia tersebut diduga
telah melakukan hubungan seksual pada saat mereka masih di bangku SMP
ataupun SMA. Meski sebenarnya penularan HIV tak hanya melalui hubungan
intim. Selain itu, perilaku manusia pada usia remaja ataupun dewasa muda yang
selalu ingin mencoba membuat mereka menggunakan narkoba dengan suntik yang
akhirnya menjadi kebiasaan buat mereka. Kelompok masyarakat berisiko tinggi
46
adalah kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas, yaitu kaum
homoseksual termasuk kelompok biseksual, heteroseksual, dan penyalahguna
narkotik suntik4, 18
6.2. Karakteristik Penderita TBC Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdarakan hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa
disribusi frekuensi penyakit TBC di Rutan Gunung Sari Makassar periode 2009
berdasarkan tabel 5.3. berjumlah 14 orang dengan distribusi berdasrkan jenis
kelamin adalah laki-laki berjumlah 13 orang dan perempuan 1 orang. Hal ini
berbeda menurut teori mengatakan bahwa distribusi TB paru adalah sama pada
laki-laki dan perempuan16. Ini karena penyakit TBC dapat menyerang siapa saja,
dan tergantung dari faktor imunitas tubuh seseorang sehingga dapat tertular
penyakit TBC. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi
pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS
dan malnutrisi (gizi buruk)16.
6.3. Karakteristik Penderita Ko-infeksi HIV/AIDS dengan TB Berdasarkan
Jenis Kelamin
Distribusi frekuensi ko-infeksi HIV dengan TB paru berdasarkan jenis
kelamin menunjukkan bahwa pria lebih banyak menderita TB paru dibanding
perempuan. Hasil ini sesuai dengan penelitian dari Lubis (2007) yaitu penderita
adalah laki-laki24. Berdasarkan kelompok umur yang tertinggi menderita TB-HIV
adalah kelompok umur 20-29 tahun dimana sesuai dengan teori bahwa ko-infeksi
TB dan HIV menyerang pada usia 20-49 tahun. Ini sesuai teori bahwa TB paru
dan HIV menyerang pada usia produktif manusia. Jumlah penderita ko-infeksi TB
47
– HIV di penjara adalah 8 orang. Hasil ini tidak sesuai dengan data TB in Prison
yang mengatakan bahwa jumlah penderita TB di penjara 50% lebih banyak dari
jumlah penderita TB di populasi umum11.
6.4. Karakteristik Penderita Ko-infeksi HIV/AIDS dengan TB Berdasarkan
Pemeriksaan CD4
Hitung sel CD4 digunakan sebagai alat untuk memantau resiko
perkembangan penyakit dan menentukan waktu yang tepat untuk memulai atau
memodifikasi regimen obat. Hitung sel CD4 memberikan informasi mengenai
status imunologik seseorang. Pada studi ini, jumlah penderita ko-infeksi TB-HIV
yang dilakukan pemeriksaan CD4 hanya 1 orang, dan jumlah penderita yang tidak
dilakukan pemeriksaan CD4 adalah 7 orang. Jumlah CD4 adalah cara yang
terpercaya dalam menilai status imunitas seorang ODHA. Pemeriksaan CD4
melengkapi pemeriksaan klinis yang mana dapat memandu dalam menentukan
kapan pasien memerlukan pengobatan profilaksis terhadap IO dan terapi ARV
sebelum penyakitnya berlanjut menjadi lebih parah.18,19
6.5. Karakteristik Penderita Ko-infeksi HIV/AIDS dengan TB Berdasarkan
Hasil Pemeriksaan BTA
Distribusi frekuensi ko-infeksi TB dan HIV berdasarkan hasil
pemeriksaan BTA adalah sebanyak 3 orang BTA negatif dan 5 orang tidak
dilakukan pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan yayasan spiritiva yang menyatakan
bahwa pada penderita infeksi TBC dengan HIV lebih banyak menghasilkan BTA
negatif. Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. TB dapat
48
terjadi pada tahap awal infeksi HIV ketika jumlah CD4 masih di atas 200 sel/μL.
Kebanyakan kasus HIV dengan TB memperlihatkan gambaran klinis TB paru
yang khas, dengan meningkatnya supresi imun terkait HIV maka gambaran klinis
TB berubah dan lebih sulit untuk didiagnosis. Selanjutnya kemungkinan besar
akan terjadi peningkatan kasus TB paru dengan Basil Tahan Asam (BTA)
negatif24.
6.6. Karakteristik Penderita Ko-infeksi HIV/AIDS dengan TB Berdasarkan
Hasil Pemeriksaan Foto Thoraks
Distribusi frekuensi ko-infeksi TB dan HIV berdasarkan hasil
pemeriksaan foto thoraks menujukkaan bahwa jumlah penderita yang dicurigai
TBC setelah dilakukan pemeriksaan foto thoraks, 100% mendukung diagnosa TB.
Oleh karena itu, keluhan pasien dan foto thoraks dijadikan alat diagnosis TB di
penjara. Hal ini sesuai dengan alur diagnosis TB menurut pedoman diagnosa dan
penatalaksanaan TB di Indonesia12, yaitu jika pada pemeriksaan BTA memberikan
hasil negatif, maka dilakukan pemeriksaan foto thoraks. Jika hasil foto thoraks
mendukung diagnosis TB, maka diagnosa TB dapat ditegakkan.
6.7. Karakteristik Penderita Ko-infeksi HIV/AIDS dengan TB Berdasarkan
Jenis Terapi
Distribusi frekuensi penderita ko-infeksi TB dan HIV berdasarkan
jenis terapi yang diberikan menunjukkan 6 orang diberikan terapi TB dan
simptomatik. Hanya 1 orang penderita yang mendapat terapi lengkap yaitu terapi
ARV, terapi TB dan terapi simptomatik.. Pedoman terapi ARV pada penderita ko-
infeksi TB HIV yaitu Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis yang
49
mana dapat memandu dalam menentukan kapan pasien memerlukan pengobatan
profilaksis terhadap Infeksi oportunistik dan terapi ARV sebelum penyakitnya
berlanjut menjadi lebih parah19. Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien
dengan stadium 3 dan 4 harus memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis
1 dan 2 harus dipantau secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk
pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang
baru.18,19
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
50
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang karakteristik kejadian ko-infeksi
HIV dengan Tuberkulosis paru di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar
periode 2009, maka ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Distribusi kejadian ko-infeksi HIV/AIDS dengan tuberkulosis paru
berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki.
2. Distribusi kejadian ko-infeksi HIV/AIDS dengan tuberkulosis paru
berdasarkan umur adalah kelompok umur 20-29 tahun
3. Distribusi kejadian ko-infeksi HIV/AIDS dengan tuberkulosis paru
berdasarkan Jumlah CD4 adalah tidak dilakukan pemeriksaan
4. Distribusi kejadian ko-infeksi HIV/AIDS dengan tuberkulosis paru
berdasarkan hasil pemeriksaan BTA adalah tidak dilakukan pemeriksaan
5. Distribusi kejadian ko-infeksi HIV/AIDS dengan tuberkulosis paru
berdasarkan hasil foto thoraks adalah mendukung diagnosa TB
6. Distribusi kejadian ko-infeksi HIV/AIDS dengan tuberkulosis paru
berdasarkan Jenis terapi adalah Jenis terapi TB, terapi simptomatik dan
suportif
6.2. Saran
51
1. Dari penelitian ini dapat diketahui masih ada beberapa data pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya yang perlu dilakukan
untuk penegakan diagnosis, penatalaksanaan, dan kontroling pada pasien
ko-infeksi TB dan HIV.
2. Perlunya partisipasi aktif oleh para profesional kesehatan dalam
menangani kejadian ko-infeksi HIV dengan tuberkulosis
3. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan muncul penelitian-penelitian lain
tentang ko-infeksi HIV dengan infeksi tuberkulosis
DAFTAR PUSTAKA
52
1. Djoerban Z., Djauzy S., HIV/AIDS di Indonesia Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit dalam Jilid III, Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006
2. Amiruddin D., Penyakit Menular Seksual Kausa Virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) Dalam Penyakit Menular Seksual. Makassar :
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin : 2004
3. Djuanda A., Penyakit Kelamin AIDS (Aqcuired Immuno Deficincy
Syndrome) Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi ke-4. Jakarta :
Fakultas kedokteran Universitas Indonesia : 2005
4. Rasmaliah., Epidemiologi HIV/AIDS dan Upaya
Penanggulangannya.Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara:2001
5. Ditjen PP & PL Depkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. 2009
6. Soewandojo, Eddy., The management of HIV/AIDS in Pulmonary
Tuberculosis. TB Update 2002. Surabaya: 2002
7. UNAIDS, WHO. AIDS Epidemic Update 2007. England. 2007
8. Yoga, Tjandra. Tuberculosis and Human Immunodeficiency Virus Infection.
MedicalProgress. Jakarta:2005
9. Tabrani, Rab. Tuberculosis paru. Dalam buku Ilmu Penyakit Paru.
Hipokrates.Jakarta :1996
53
10. TB dan HIV Meningkat di Penjara. (Cited 2010 Okt 13). Available from :
http://spiritia.or.id/news/bacanews.php?nwno=1798
11. TB in Prison. ( Cited 2010 Okt 13 ). Available From :
http://www.kaisernetwork.org/health_cast/uploaded_files/Carmelia
%20Basri1.pdf
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman diagnosis dan
Penatalaksanaan Di indonesia. Jakarta:2006
13. Schwartzstein, Richard. Parker, Michael. The Phyiological Implications of
the Anatomy of The Respiratory System. In Respiratory Physiology, a
Clinical Approach. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia : 2006
14. Gunardi, Wani. Patogenitas dan Virulensi Tuberkulosis. Tugas Problema
Infeksi Secara Umum. Program Pendidikan Dokter spesialis Mikrobiologi
fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin. Jakarta:2005
15. Helmia, Manase Lulu. Tuberkulosis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru.
Bagian Ilmu Penyakit Paru Fakultas UNAIR. Surabaya: 2004
16. Soewandojo, Eddy. The management Of HIV/AIDS in Pulmonary TB.
Simposium Nasional TB Update 2002. Surabaya: 2002
17. ................Indonesia Evidence to Action. Country Profile. 2008
18. Janis, Eddy. Sugito. HIV/AIDS di RS. H. Adam Malik Medan. Dalam Jurnal
Respirologi Indonesia. Surakarta ; 2005
19. Aditama,Tcandra.dkk,. Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang
Dewasa dan Remaja. Dalam buku Pedoman Nasional Terapi
Antiretroviral.DEPKES RI. Jakarta. 2007
54
20. Triono. Radiology of Tuberculosis. Simposium Nasional TB Update 2002.
Surabaya; 2002
21. Vitoria, Marco. Management of TB HIV Co-infection. HIV Department.
WHO: Geneva. 2009
22. Yoga,Tcandra. Tuberculosis in the Future. Simposium Nasional TB Update
2002. Surabaya :2002
23. HIV/AIDS in Prison:Problems, Policies, and Potential. (Cited 2010 Okt 13 ).
Available From :
http://www.heart-intl.net/HEART/Financial/comp/AIDSinprisonproblemspoli
cie%20pn.pdf
24. Lubis, Rahayu. Ko-infeksi HIV/AIDS dan TB. Departemen Epidemiologi
FKM USU. Medan:2007
25. Sastroasmoro S, Ismael S,.Dasar-Dasar Metodologi Penelitian klinik. Edisi 3.
Jakarta:Sagung Seto.2008
26. TB BTA Negatif. (cited 2010 Nov 1). Available from :
www.yayasanspiritia.com.
55