Download - Kelainan Neurologik Pada Kehamilan
KELAINAN NEUROLOGIK PADA KEHAMILAN
PENDAHULUAN
Kelainan neurologik yang sering dijumpai pada wanita usia reproduktif, dapat pula
dijumpai pada wanita hamil. Gejala yang ditemukan sangat kompleks, dapat melibatkan kelainan
fungsi luhur maupun kelainan fungsi neuromuskuler, oleh karena itu harus dapat dibedakan dari
penyakit psikiatrik.
Diagnosis dan penanganan penyakit neurologik selama kehamilan seringkali sangat sulit
karena keluhan yang dialami dapat saling tumpang-tindih dengan keluhan yang umum
ditemukan pada kehamilan, di samping itu juga karena adanya konsekuensi yang berbahaya dari
penyakit ini, serta efek pengobatan terhadap ibu terhadap janin. Anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang seksama akan memberikan dasar untuk menegakkan diagnosis yang akurat untuk
penanganan lebih lanjut.
Prosedur pencitraan (imaging) harus dipertimbangkan bila diduga ada lesi pada sistem
saraf pusat. Keterpaparan sinar X terhadap janin bila kurang dari 1 rad masih dianggap aman. CT
otak yang memakai sinar X dan arteriografi bukan merupakan suatu kontraindikasi mutlak untuk
mengevaluasi penyakit ibu. Perut dapat dilindungi dari keterpaparan sinar X selama prosedur
neuroradiologik. Bahan kontras intravena dapat digunakan tanpa efek nyeri. MRI yang tanpa
melibatkan radiasi ionisasi sangat bermanfaat untuk membantu pemeriksaan selama kehamilan,
sebab diketahui tidak berisiko terhadap janin. Penggunaan myelografi yang melibatkan radiasi
dosis tinggi sebagian telah digantikan oleh CT dan MRI, risiko terbesar dari myelografi terutama
pada awal kehamilan.
A. NYERI KEPALA (HEADAACHE)
Nyeri kepala cukup sering ditemukan pada kehamilan, umumnya jinak tapi kadang-
kadang serius bilamana nyeri kepala tersebut baru timbul sewaktu hamil, untuk itu perlu
dipertimbangkan keadaan serius yang mengakibatkan nyeri kepala tersebut antara lain
preeklampsia, eklampsia, hipertensi tak terkontrol, pheochromocytoma, perdarahan
subarakhnoid, pseudotumor serebri, tumor serebri, thrombosis vena serebral, infeksi otak antara
lain ensefaliti dan meningitis.
Nyeri kepala yang paling sering ditemukan pada kehamilan adalah nyeri kepala tipe
tegang / NKTT (Tension type headache) yaitu nyeri kepala kronik yang dirasakan seperti diikat,
ditindih barang berat atau kadang kadang berwujud rasa tidak enak dikepala, umumnya bilateral,
intensitasnya dari ringan sampai sedang. NKTT sering merupakan bagian dari gejala depresi dan
stres situasional, selain itu dapat sebagai tanda depresi postpartum. Sebaliknya migren
merupakan nyeri kepala unilateral, berdenyut denyut dengan intensitas sedang sampai berat
disertai mual, fotofobia atau fonofobia, nyeri kepala diperberat dengan aktifitas fisik, 80 % kasus
membaik saat penderita hamil. Pemeriksaan CT. Scan kepala sebaiknya dihindari kecuali
dicurigai ada kelainan struktural intrakranial.
Penanganan nyeri kepala pada NKTT kadang-kadang teratasi dengan analgetik sederhana
yaitu Acetaminophen namun pada NKTT rekuren diperlukan pemeriksaan psikologik dan
pemberian profilaksis antidepresan trisiklik semisal Amitriptyline sangat menolong dan tidak
menyebabkan cacat bawaan. Penggunaan Aspirin dan Benzodiasepin reguler sebaiknya
dihindari.
Kenyataan bahwa sebagian besar obat dapat melewati sawar plasenta dan dapat
berpengaruh terhadap janin menyebabkan kesulitan dalam pengobatan migrain selama
kehamilan. Sejumlah strategi seperti ice-pack, pemijatan, tidur dan biofeedback dapat meredakan
serangan.
Pada migren pemberian preparat ergot dan sumatripan merupakan kontraindikasi selama
kehamilan karena dapat meningkatkan kontraksi uterus dan gangguan vaskuler pada janin,
Pemberian chlorpromazine 0,1 mg/ kg berat badan secara intravena sangat efektif dalam
penanganan migren namun termasuk kelas C dalam obat untuk kehamilan. Acetaminophen atau
acetaminophen dengan codein juga dapat digunakan dalam kehamilan, kadang-kadang
meperidine, morfin dan hidromorfin juga dapat digunakan jika terjadi serangan hebat. Aspirin
dan NSAID sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan konstriksi duktus arteriosus janin
dan oligohidramnion khususnya pada tahap akhir kehamilan. Umumnya migren rekuren dapat
diobati dengan propanolol atau “Calcium channel blockers”, namun demikian karena propranolol
dapat melewati plasenta dan mengakibatkan bradikardi pada janin maka penggunaannya dibatasi
pada migren refrakter.
B. GANGGUAN NEUROMUSKULER
KRAM OTOT
Diperkirakan 25 % ibu hamil mengalami kram otot setiap pagi saat memulai aktivitas
selama trimester akhir kehamilan. Kekurangan natrium (garam), kalium dan kondisi metabolik
lainnya dapat menyebabkan kram. Tablet magnesium laktat dan magnesium sitrat (122 mg pada
pagi hari dan 244 mg pada malam hari) dapat memberi perbaikan pada 80 % penderita.
Kalsium carbonat atau glukonat oral, 500 mg diberikan 3 –4 kali sehari juga dapat memeberi
perbaikan namun placebo tampaknya efektif pada 40 % penderita.
MIASTENIA GRAVIS
Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimmun yang ditandai oleh kelemahan atau
kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan akan pulih kekuatannya setelah
istirahat beberapa saat yaitu beberapa menit sampai beberapa jam, akibat penurunan jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Gambaran klinik MG sangat jelas yaitu dari
kelemahan lokal yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeleruh yang fatal. Kira-kira 33
% hanya terdapat kelainan okular disertai kelemahan otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa
disertai kelainan okular jarang dijumpai, yang lainnya kira-kira 20 % ditemukan kesulitan
mengunyah dan menelan.
Selama kehamilan mempunyai pengaruh yang bervariasi terhadap MG, 1/3 dapat
memburuk, 1/3 menetap atau 1/3 membaik. Dari semua penderita MG yang eksaserbasi,
penelitian terakhir melaporkan 41 % terjadi selama kehamilan dan 30 % terjadi pada waktu nifas.
MG meningkatkan risiko abortus spontan dan 3 – 10 % menyebabkan kematian ibu. Timbulnya
MG pada suatu kehamilan bukan merupakan prediksi bahwa akan timbul pada kehamilan
berikutnya. Aborsi tidak menyebabkan remisi, kurang lebih setengahnya memburuk pada saat
puerperium. Minimal 12 - 19 % bayi yang lahir dari ibu MG menderita MG neonatal transitory
dan harus dimonitoor secara ketat paling kurang selama 4 hari dapat berlangsung 10 sampai
dengan 15 minggu, gejala yang timbul antara lain gangguan menelan (87 %), kelemahan (69 %),
kesulitan pernapasan (65 %), feeble cry (60 %)dan parese facialis (54 %).
Penanganan MG pada Kehamilan sama dengan MG tanpa kehamilan, kurangnya data yang
tersedia tentang keamanan pemberian immunoglobulin intravena selama kehamilan. Perlu
diingat bahwa magnesium sulfat merupakan kontra indikasi pada MG dengan kehamilan karena
akan meningkatkan kelemahan otot dengan menurunkan pelepasan asetilkolin dan menurunkan
kepekaan membran postsinaps. Terapi alternatif pada penderita preeklampsia dan eklampsia
dengan MG adalah benzodiazepin atau phenobarbital, phenitoin juga harus hati-hati pada MG
Menyusui diperbolehkan pada ibu dengan MG namun Cyclosporine dan Azathioprine diekskresi
melalui air susu dan memberikan risiko immunosupresif dan potensi tumorigenik oleh karena itu
sebaiknya dihindari. Kortikosteroid juga disekresi melalui air susu tetapi dalam jumlah yang
kecil, Obat anticholinergic dalam dosis besar yang diminum oleh ibu dengan MG dapat
menyebabkan gangguan gastrointestinal pada bayi baru lahir yang menyusui
NEUROPATI
BELL’S PALSY
Bell’s Palsy atau prosoplegia adalah Parese facialis tipe perifer terjadi secara akut dan
penyebabnya tidak diketahui atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi
nervus fasialis.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur namun demikian lebih sering terjadi pada umur
20 – 50 tahun. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan
timbulnya penyakit ini ditemukan 4 kali lebih banyak. Penyakit ini biasanya sembuh dengan
sendirinya namun terapi kortikosteroid jangka pendek tampaknya memperbaiki prognosis pasien
dengan parese facialis yang komplit.
MERALGIA PARESTHETICA
Parastesia unilateral atau bilateral pada distribusi nervus cutaneus femoralis lateralis
akibat kompresi saraf itu di bawah ligamentun inguinale. Keluhan ini dapat timbul pada usia
kehamilan sekitar minggu ke 13 sesuai dengan meningkatnya pembesaran abdominal berupa rasa
baal, tidak enak, rasa terbakar atau nyeri pada paha bagian lateral dan tidak ditemukan defisit
neurologik lainnya, keluhan ini diperburuk pada posisi berdiri atau berjalan. Obesitas, lordosis
dan partus lama dapat memicu timbulnya penyakit tersebut.
Selama kehamilan dapat diatasi dengan duduk. Parestesia umumnya membaik dalam 3
bulan setelah persalinan. Pemberian carbamazepine, amitriptilin atau injeksi steroid – lidokain
dapat berguna.
GUILLIAN BARRE SYNDROME
Guillian Barre Syndrome (GBS) suatu kelainan immunobiologik baik secara primary
immune response maupun immune mediated process yang ditandai oleh kelemahan /
kelumpuhan otot ekstremitas yang akut dan progresif biasanya muncul setelah infeksi. Penyebab
infeksi umumnya virus dari kelompok herpes namun dapat pula didahului oleh infeksi bakteri,
vaksinasi, gangguan endokrin, tindakan operasi anaestesi dan sebagainya.
GBS yang timbul bersamaan dengan kehamilan merupakan suatu koinsidental. GBS
sendiri secara umum tidak dipengaruhi oleh kehamilan demikian pula sebaliknya kehamilan dan
persalinan tidak dipengaruhi oleh GBS. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita GBS umumnya
tidak terpengaruh. Pemberian plasmapheresis cukup aman selama kehamilan meskipun ibu hamil
khususnya dengan disfungsi autonomik dapat menjadi sensitif terhadap perubahan dalam volume
plasma.
PARESE OBSTETRIK MATERNAL
Kepala bayi, pemakaian forcep dan posisi yang tidak sesuai pada sandaran tungkai dapat
menyebabkan jebakan saraf perifer (entrapment of peripheral nerve) intrapartum. Disproporsi
sefalopelvik dan dystosia sering mendahului penyakit ini. Umumnya ibu hamil yang terkena
adalah primipara dengan keluhan nyeri tajam atau terbakar.
Parese obstetrik maternal yang tersering adalah iritasi / kompresi unilateral pada pleksus
lumbosacral (radiks L4 dan L5) oleh kening janin saat melewati tepi posterior pelvis. Perbaikan
biasanya terjadi dalam waktu 6 minggu.
C. GANGGUAN CEREBRAL
CHOREA GRAVIDARUM
Chorea gravidarum adalah suatu gerakan involunter berupa gangguan hiperkinetik yang
ditandai dengan gerakan tungkai yang kasar, cepat, tidak dapat dipertahankan, tanpa tujuan,
ireguler dan tidak berirama.
Penyebab yang paling sering adalah penyakit jantung rematik, sistemik lupus
eritamatosus, antiphospholipid antibodi. Selain itu dapat disebabkan oleh Wilson”s disease,
Cerebrovascular disease, Meningovascular syphilis, Hyperthyroidism, Neuroacanthocytosis,
Huntington”s disease, Adult onset Tay Sachs, obat-obatan : Antiepileptic drug, Neuroleptic,
Theophylline derivates, Lithium, Tricyclic antidepressants, Lead toxicity, Amphetamines,
Cocaine, Metaclopramide,
Chorea gravidarum biasanya timbul pada trimester kedua kehamilan dan sembuh spontan
dalam waktu minggu sampai bulan, sering dalam waktu singkat setelah melahirkan. Pilihan
terapi tergantung pada penyebab dan beratnya penyakit. Haloperidol dan kortikosteroid dapat
digunakan untuk terapi jangka pendek.
MULTIPLE SKLEROSIS
Multiple sklerosis (MS) merupakan suatu kelainan demyelinating yang mengenai sistem
saraf pusat pada tingkat yang berbeda dan pada saat yang bervariasi. Kelainan ini sering
ditemukan pada dewasa muda, dengan puncak insidens pada usia 30 tahun dan wanita 2 kali
lebih banyak dari pada pria.
Kelainan ini mungkin disebabkan karena kelainan autoimmun. Ditandai dengan disfungsi
neurologik baik fokal maupun multifokal yang bersifat serangan yang rekuren dengan ekserbasi
dan remisi.
Gejala yang ada berupa diplopia yang tiba-tiba, vertigo, gangguan keseimbangan pada
saat berjalan, inkontinensia urin, kehilangan penglihatan dan kelelahan. Hampir 40% penertita
mengalami neuritits optik selama perjalanan penyakit ini. MS tanpa komplikasi mungkin hanya
mempunyai sedikit pengaruh pada kehamilan. Angka kekambuhan selama kehamilan menurun
sejalan dengan bertambahnya trimester kehamilan. Anak-anak dengan ibu menderita MS
mempunyai risiko 3% untuk menderita MS, sedang dari ibu yang normal 0,1%.1,2
Kurangnya data yang tersedia tentang keamanan obat-obatan baru (seperti interferon) terhadap
janin yang digunakan untuk mencegah kekambuhan. Anaestesi epidural dapat digunakan, uterus
gravid mungkin memperburuk fungsi kandung kemih dan usus. Fluktuasi spastisitas selama
kehamilan sering meningkat seiring meningkatnya kontraksi uterus.
Penanganan sebelum kehamilan berupa evaluasi sebelum konsepsi dan konseling harus
dilakukan dengan menekankan pada aktivitas penyakit. Kenyataan bahwa kebanyakan penderita
mengalami perbaikan seiring bertambahnya trimester kehamilan, sehingga dipertimbangkan
untuk menghentikan pengobatan atau mengurangi dosis seminimal mungkin. Penderita juga
harus diberitahu sebelumnya bahwa keturunan mereka mempunyai risiko untuk menderita
penyakit yang sama. Tidak ada pengobatan yang efektif untuk penyakit ini. Kortikosteroid hanya
dapat mengurangi flares akut yang berat, tetapi tidak dapat memberikan perbaikan yang
menetap.1 Pengobatan yang digunakan untuk penyakit ini adalah Copolymer 1 atau glatiramer
acetat, interferon ß1b dan interferon ß1a, walaupun data FDA mengenai penggunaan obat ini
pada kehamilan sangat kurang. Selain itu kortikosteroid dapat juga diberikan.
Pada masa antenatal penderita harus diawasi terhadap kemungkinan meningkatnya
aktivitas penyakit dan perhatian khusus pada risiko pengobatan karena kurangnya informasi. Bila
terdapat gangguan pada saluran kemih, maka perlu dilakukan skreening untuk pemeriksaan
bakteriuri. Terapi fisik dan latihan peregangan harus tetap dilakukan.
Pada masa persalinan dan pasca persalinan, MS tidak memberikan pengaruh terrhadap
proses persalinan. Pemberian kortikosteroid jangka panjang pada masa kehamilan membutuhkan
penurunan dosis selama persalinan. Dosis yang lazim digunakan adalah 100 mg perenteral setiap
8 jam. Kelelahan ibu pada kala II dapat diatasi dengan melakukan forsep ataupun vakum
ekstraksi. Dulu, penggunaan anestesia spinal dihindari karena dikhawatirkan meningkatkan
risiko eksaserbasi, tetapi tidak ada data yang mendukung hal tersebut. Dengan demikian
pemberian anestesia spinal, epidural, dan anestesia umum dapat diberikan. Menyusui tetap
dianjurkan, karena tidak akan meningkatkan frekuensi atau memperberat relaps postpartum.
HIPERTENSI INTRAKRANIAL IDIOPATIK (PSEUDO TUMOR SEREBRI)
Hipertensi Intrakranial Idiopatik (HII) memburuk pada kehamilan. Sebaiknya menunda
kehamilan sampai semua gejala hilang. Pengakhiran kehamilan tidak dianjurkan. Bayi bisa sehat
meskipun HII timbul sebelum atau selama kehamilan. HII biasanya berkembang pada kehamilan
14 minggu dan menghilang setelah 1-3 bulan, tetapi kadang-kadang menetap sampai awal
puerpuralis. Penatalaksanaan sama dengan wanita tidak hamil yaitu melakukan punksi lumbal
untuk menurunkan tekanan intra kranial dan mengurangi nyeri kepala, Acetazolamide oral, 250
mg diberikan 2 kali sehari, selain itu elektolit hendak dimonitor untuk menghindari acidosis
metabolik. Biasanya tidak kambuh lagi pada kehamilan berikutnya.
EPILEPSI
Insidens kejang pada kehamilan adalah 0,3 – 0,6 %. Kira-kira 1/3 kasus frekuensi
serangan meningkat, 1/3 tidak berubah dan 1/3 membaik pada saat kehamilan. Meningkatnya
frekuensi serangan terutama terjadi dalam trimester terakhir dan terutama pada penderta epilepsi
berat.
Risiko paling tinggi dihadapi oleh mereka yang sudah memiliki bangkitan lebih dari satu kali
sebelum hamil. Risiko paling rendah terjadi pada mereka yang pada masa sebelum kehamilan
hanya mengalami bangkitan kurang dari satu kali dalam sembilan bulan.Fungsi ginjal juga
meningkat dengan adanya peningkatan creatinine clearance 50% yang berdampak pada
metabolisme. Hal ini akan menurunkan kadar OAE dalam sirkulasi darah, sehingga kebutuhan
OAE meningkat. Selain itu, estrogen yang bersifat epileptogenik meningkat selama
kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester ke tiga. Hal itu berdampak
pada peningkatan frekuensi bangkitan.
Perubahan farmakokinetik antikonvulsan selama kehamilan dianggap sebagai penyebab
meningkatnya frekuensi kejang selama kehamilan. Metabolisme hepar yang meningkat, absorpsi
gastrointestinal yang menurun serta peningkatan konsentrasi estrogen dan progesteron
mempercepat metabolisme enzim. Peningkatan klirens ginjal dan volume distribusi menurunkan
konsentrasi obat dalam serum, perubahan ini diimbangi dengan penurunan protein-binding site
yang disebabkan oleh penurunan albumin plasma oleh karena itu Kadar konsentrasi obat
antiepileptik serum seharusnya dimonitor paling kurang 1 kali tiap trimester, dalam bulan
terakhir kehamilan dan dalam 8 minggu postpartum. Pada kehamilan akan terjadi hemodilusi,
dengan akibat filtrasi glomerulus berkurang sehingga terjadi retensi cairan serta edema,
akibatnya kadar obat dalam plasma akan menurun. Retensi cairan yang terjadi menyebabkan
hiponatremi. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan parsial dari sodium pump yang
mengakibatkan peninggian eksitabilitas neuron danmempresipitasi bangkitan. Pemantauan kadar
konsentrasi obat anti epileptik harus dilakukan lebih sering pada frekuensi kejang yang tinggi,
terdapat tanda dan gejala toksisitas, adanya kecurigaan penderita tidak patuh, riwayat
peningkatan frekuensi kejang atau status epileptik sebelum hamil. Pengaturan pengobatan harus
dibuat untuk mengontrol kejang dan mempertahankan konsentrasi serum pada rentang terapeutik
saat mendekati aterm. Untuk menghindari toksistas dosis obat sebaiknya diturunkan setelah 1
bulan postpartum. Selama kehamilan konsentrasi Carbamazepin, fenitoin, valproic acid dan
fenobarbital menurun. Hanya konssentrasi fenobarbital bebas menurun, dan konsentrasi valproic
acid bebas jelas meningkat.
Penanganan Epilepsi Pada Kehamilan
Protokol yang disetujui bersama dalam penanganan wanita dengan epilepsi selama kehamilan
adalah :
1. Gunakan obat pilihan pertama yang sesuai jenis kejang dan sindrom epilepsi.
2. Gunakan prinsip monoterapi dengan dosis dan kadar dalam plasma yang paling rendah dan
efektif untuk melindungi terhadap kejang tonik-klonik.
3. Hindari penggunaan valproate atau carbamazepine apabila ada riwayat keluarga tentang defek
neural tube.
4. Hindari politerapi, khususnya kombinasi dengan valproate, carbamazepine dan fenobarbital.
5. Monitor kadar OAE dalam plasma secara teratur dan apabila mungkin, periksalah kadar OAE
bebas atau terikat.
6. Pemakaian suplemen asam folat setiap hari dan pastikan kadar plasma normal dan kadar folat
sel darah merah selama periode organogenesis pada trimester pertama.
7. Apabila diberikan valproat, hindarilah kadar dalam plasma yang tinggi. Bagilah obat tadi 3 – 4
kali pemberian setiap harinya.
8. Pada kasus-kasus yang diberi valproat atau carbamazepine, tawarkanlah untuk pemeriksaan
alfa fetoprotein pada umur kehamilan 16 minggu dan pemeriksaan ultrasonografi pada
kehamilan 18 – 19 minggu, untuk mencari defek neuraltube. Ultrasonografi pada kehamilan 22-
24 minggu dapat mendeteksi sumbing dan kelainan jantung.
American college of obstetric and gynecology mengizinkan hanya phenobarbital sebagai
obat anti epilepsi yang boleh diberikan selama kehamilan atau sama sekali di berhentikan
atau tidak mendapat pengobatan.
Komplikasi janin
Bayi dari ibu yang menderita epilepsi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk sejumlah
outcome kehamilan yang merugikan. Di antaranya adalah kematian janin, malformasi
kongenital, perdarahan neonatus, berat badan lahir rendah, keterlambatan perkembangan,
kesulitan makan, dan epilepsi masa kanak-kanak.
Secara umum kejang tonik klonik dapat menyebabkan “transient fetal asphyxia” dan
trauma akibat terjatuh yang dapat menyebabkan edema pada fetus dan persalinan prematur. Bayi
baru lahir yang terpapar obat anti konvulsan selama kehamilan berisiko untuk penyakit
perdarahan. Defisiensi Vit. K yang tergantung faktor-faktor pembekuan berhubungan dengan
pemberian antikonvulsan terutama politerapi, oleh karena itu pemberian Vit .K intra muskuler
secara rutin pada bayi baru lahir sangat diperlukan. Risiko malformasi kongenital pada bayi baru
lahir dengan ibu yang epilepsi adalah 5-7%, sebaning dengan 1-3% dari keseluruhan populasi.
Status epileptikus
Status epileptikus merupakan suatu keadaan darurat dan membutuhkn perawatan rumah
sakit dan pengobatan. Faktor penyebab seperti infeksi atau metabolik harus dipikirkan, dan
mengontrol kejang harus secepatnya dilakukan.
PENYAKIT SEREBROVASKULER
Diperkirakan 5 –10 %, kematian ibu karena stroke. Angka kematian stroke iskemik dengan
kehamilan adalah 30 % dibanding dengan kelompok stroke tanpa kehamilan hanya 10 %.
STROKE ISKEMIK
Stroke iskemik lebih sering terjadi pada trimester kedua, ketiga dan minggu pertama post
partum, sebaliknya trombosis vena lebih sering pada awal postpartum.
Faktor risiko untuk iskemik stroke meliputi hipertensi, diabetes mellitus, dan hiperlipidemia.
Penyebab dari stroke iskemik belum dimengerti secara utuh, tetapi stroke iskemik dalam
kehamilan dikaitkan dengan hiperkoagubilitas dan antibodi antiphospholipid diduga sebagai
faktor yang turut berperan. Oklusi arteri serebral akuta berhubungan dengan arteriopati, kelainan
darah emboli kardiogenik dari sumber nonkardiak dan kondisi lain seperti narkoba dan migren,
kadang-kadang penyebabnya tidak diketahui. Hipotensi berat yang terjadi secara tiba tiba dapat
menyebabkan stroke iskemik pada area watershed otak. Hal ini dapat juga menyebabkan
nekrosis hipofise akut (Sheehans Syndrome), kadang kadang penyebabnya tidak diketahui.
Trombosis vena serebral lebih sering pada masa nifas. Trombosis sinus sagitalis yang meluas
secara sekunder ke vena kortikal dan trombosis primer pada vena kortikal merupakan bagian
yang paling sering terjadi. Secara klinis sindroma trombosis vena timbul dengan nyeri kepala
yang progressif disertai mual dan muntah, gangguan penglihatan, dan gangguan mental sekunder
akibat tekanan intrakranial yang meningkat. Kejang fokal atau umum dapat terjadi. Infark vena
cendrung mengalami perdarahan. Penyakit yang berpredisposisi pada keadaan ini adalah
polisitemia vera, kanker, leukemia, dehidrasi dan anemia cell sickle. Angka kematian trombosis
vena serebral diperkirakan 25 %.
PENANGANAN
Antenatal, persalinan, pasca persalinan
Adanya defisit neurologik fokal pada wanita hamil, yang bersifat sementara (< 24 jam)
atau menetap, seharusnya memperkuat dugaan adanya iskemia serebral. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang seksama dapat memberikan informasi yang cukup untuk menegakkan
diagnosis.
Pencitraan (imaging) untuk menilai keadaan otak bukan merupakan suatu kontraindikasi.
Pemeriksaan darah termasuk hitung jenis, trombosit, elektrolit, glukosa serum, blood urea
nitrogen, antikoagulan lupus dan antibodi antikardiolipin, faktor reumatik, VDRL dan
pemeriksaan HIV harus dilakukan. Pemeriksaan darah lainnya seperti protein C dan S dan
antitrombin, resistensi protein C aktif dan polymerase chain reaction untuk faktor V Leiden,
bersama-sama dengan protein serum dan elektroporesis darah, juga dianjurkan. Pemeriksaan
toksikologi urin dan darah juga harus dilakukan. Jika diduga penyebabnya berasal dari jantung,
EKG, echocardiogram, monitor holter dan pemeriksaan tombosis venosus profunda
diindikasikan. Pemeriksaan pungsi lumbal juga direkomendasikan. Jika etiologi tidak diketahui,
dianjurkan untuk melakukan angiografi serebral.
Pemberian antikoagulan baik berupa profilaktik ataupun terapeutik dibutuhkan pada
keadaan-keadaan trombosis dan emboli. Bila diperlukan, heparin merupakan obat pilihan.
Pilihan lain adalah warfarin, tetapi menimbulkan efek samping berupa embryopathy pada
trimester pertama dan potensial untuk perdarahan janin. Heparin tidak melewati sawar plasenta
dan kerjanya lebih singkat daripada warfarin. Pemberian warfarin bila heparin tidak
memungkinkan adalah pada usia kehamilan 12 – 36 minggu, tetapi dengan konseling yang hati-
hati.
Penurunan risiko terhadap janin membuat penanganan peripatum menjadi lebih mudah
dan lebih dapat diramalkan. Komplikasi dari pemberian heparin selain perdarahan adalah
trombositopenia dan osteopeni.
Pemeriksaan faktor anti-Xa merupakan alternatif untuk mengawasi pengobatan. Heparin
harus dihentikan pada saat persalinan mulai, walaupun bukan merupakan suatu hal yang mutlak.
Anestesia spinal dan epidural aman diberikan jika aPTT normal dan heparin sudah diihentikan 4
– 6 jam sebelumnya.
Akhir-akhir ini heparin dengan molekul berat rendah (LMWH) dipertimbangkan.
LMWH memberikan efek antitrombotik dengan menghambat faktor Xa. Efektif dalam mencegah
dan mengatasi trombosis, dan tampaknya memiliki risiko yang kecil terhadap janin dan neonatal
karena tidak melewati sawar plasenta. Risiko perdarahan juga kecil, walaupun diberikan selama
dan setelah persalinan. Keuntungannya termasuk durasi kerja yang lebih lama, lebih memberikan
efek antitrombotik dan diduga menurunkan risiko trombositopenia dan osteopenia. Data awal
penggunaan selama kehamilan diduga aman dan efektif untuk mencegah komplikasi trombotik
serebral.
Pengobatan stroke iskemia akut dengan heparin molekul rendah manfaatnya belum jelas.
Penderita dengan trobofilia herediter membutuhkan antikogulan sebelum kehamilan dan
memerlukan dosis terapeutik sebelum konsepsi atau bila kehamilan sudah ditegakkan.
Pengobatan yang optimal untuk resistensi protein C aktif sampai saat ini belum diketahui.
Heparin dapat digunakan dengan dosis profilaksis. Pengobatan yang optimal untuk sindrom
antifosfolipid antibodi sampai saat ini masih diteliti. Penggunanaan kotikosteroid, imunosupresi
atau plasma exchange, gamma globulin intravena tidak direkomendasikan. Penderita
kardiomiopati atau atrium fibrilasi dapat diberikan heparin dengan dosis profilaktik ataupun
terapeutik.
Pemberian aspirin dosis rendah menurunkan aktivitas penghambat plasminogen dan
reaktivitas trombosit selama kehamilan dan masa nifas. Beberapa penelitian penggunaan aspirin
60 mg perhari selama kehamilan, secara umum ditemukan aman, walaupun terdapat peningkatan
insidens solusio plasenta.
STROKE HEMORAGIK
Stroke hemoragik terdiri dari perdarahan intra serebral (PIS) dan perdarahan sub
arahknoid (PSA). PSA dilaporkan sebagai penyebab kematian ibu non obstetrik nomor tiga
paling sering. PSA dapat disebabkan oleh rupturr aneurisma, AVM, eklampsia atau pemakai
kokain. PIS dapat terjadi akibat eklampsia, hipertensi yang tidak berhubungan dengan eklampsia,
ruktur AVM, thrombosis vena serebral, vaskulitis dan choriocarcinomo.
Aneurisme serebral sering ditemukan pada cabang-cabang utama arteri carotis interna.
Diperkirakan 1 % perempuan umur reproduksi mempunyai aneurisme serebral, kemungkinan
ruptur dihubungkan dengan ukuran aneurisme. Secara klinis gambaran khas dari ruptur
aneurisme serebral adalah sakit kepala yang hebat, muntah, meningismus, photofobia, perubahan
status mental sampai dengan koma. Koma merupakan tanda prognostik buruk. Sebanyak 50 %
mengalami perdarahan yang ringan / sentinel yang terjadi beberapa minggu atau beberapa bulan
sebelumnya.
Risiko ruptur aneurisme selama kehamilan, pada penelitian terakhir menunjukkan bahwa
kehamilan mempunyai sedikit atau tidak ada efek pada insidens ruptur. Penelitian lain
melaporkan bahwa risiko ruptur lima kali lebih banyak daripada penderita tidak hamil. Risiko
terjadinya PSA pada kehamilan 85 % berbanding 10% pada kelompok tidak hamil, dan AVM
sebagai penyebab perdarahan 50% pada kehamilan dan 10 % pada penderita tidak hamil.
AVM cenderung ruptur pada kehamilan 20 minggu – 6 minggu postpartum. Perdarahan oleh
karena AVM selama kehamilan menyebabkan 20 % angka kematian dibanding 10 % pada
penderita yang tidak hamil. Angka kematian keseluruhan penderita ruktur aneurisme 35 %.
Dimana hampir sama dengan yang tidak hamil. Penting untuk membedakan eklampsia dengan
perdarahan serebral dan ruptur aneurisme dan AVM karena penanganan berbeda.
PENANGANAN
Antenatal
Kadang-kadang, SAH sulit dibedakan dengan eklampsia, sehingga sering menyebabkan
keterlambatan diagnosis dan lebih memperburuk hasil luaran. Adanya kelainan neurologis pada
ibu hamil harus diperiksa dengan seksama. CT scan otak, pungsi lumbal (jika perlu) dan
angiografi serebral merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan. CT scan dapat menentukan
lokasi dan tipe perdarahan dengan tingkat ketepatan yang tinggi. Jika gambaran CT scan normal,
pungsi lumbal dapat dilakukan untuk melihat adanya darah atau xanthochromia. Cairan
serospinal yang mengandung darah mendukung diagnosis SAH, tapi dapat pula ditemukan pada
keadaan lain seperti eklampsia. Angiografi serebral merupakan pemeriksaan yang terbaik dalam
menentukan adanya abnormalitas vaskuler. MRI dapat membantu untuk mengidentifikasi lesi.
Penanganan SAH didasarkan pada prinsip-prinsip neurologik dengan hanya sedikit perubahan
selama kehamilan. Tujuan utama adalah mencegah dan mengobati komplikasi neurologis.
Pemotongan aneurisma yang lebih awal (<4 hari) sekarang ini dianjurkan pada penderita post
SAH yang sadar. Perbaikan hasil luaran janin dan ibu telah diperlihatkan pada intervensi awal
dengan pembedahan pada penderita yang hamil.
Penderita dengan defisit neurologis yang bermakna, kurang memungkinkan untuk
dilakukan operasi pemotongan aneurisma sebab dapat meningkatkan mortalitas. Sejumlah pasien
memerlukan terapi medikamentosa sampai keadaan membaik.
Terdapat dua pengobatan intraoperatif yaitu hipotensi dan hipotermi yang umum
dilakukan untuk mengurangi komplikasi. Hipotensi dilakukan untuk menurunkan risiko ruptur
aneurisma selama pembedahan. Walaupun hipotensi maternal mrupakan ancaman bagi janin,
tetapi hal ini berhasil dengan pemberian sodium nitroprusside atau isoflurane pada sejumlah
kasus. Berdasarkan penelitian, pemberian sodium nitroprusside dapat memberikan efek toksik
sianida terhadap janin, sehingga pada pembedahan pemberian tidak melebihi 10 µg/kg/min. Efek
hipotensi ibu terhadap janin harus dievaluasi dengan electronic fetal hearth monitoring. Bila
terjadi perubahan yang merugikan pada aktivitas jantung menunjukkan bahwa dibutuhkan
tindakan untuk menaikkan tekanan darah ibu. Banyak obat-obat anestesia yang dapat
menurunkan aktivitas jantung, oleh karena itu menyulitkan interpretasi fetal hearth monitoring.
Hiperventilasi yang berlebihan selanjutnya menurunkan aliran darah uterus selama pemberian
sodium nitroprusside dan harus dihindari. Oleh karena risiko terhadap janin, beberapa penulis
menganjurkan seksio sesarea sebelum pembedahan jika janin sudah matur.
Hipotermi dilakukan selama operasi aneurisme dimaksudkan untuk melindungi otak dari
iskemia yang disebabkan oleh ruptur aneurisma, luka retraksi atau hipotensi. Stange dan Halldin
menganjurkan hipotermi karena dapat ditoleransi dengan baik oleh ibu dan janin.
Terapi medikamentosa untuk SAH ditujukan untuk mengurangi risiko perdarahan ulang
dan iskemia serebral yang disebabkan oleh vasospasme. Pasien ditempatkan pada ruangan yang
gelap dan tenang. Diberikan pelunak feses, sedatif dan analgesia. Nimodipin suatu
dihydropyridine calcium channel blocker sering diberikan dan memperlihatkan perbaikan
neurologik. Namun dianjurkan untuk berhati-hati pada pemberian untuk wanita hamil, karena
keamanannya belum sepenuhnya diakui.
Ε-Aminocaproic acid (EACA) dan tranexamic acid digunakan untuk menghambat
aktivasi plasminogen, suatu prekursor plasmin protein fibrinolitik utama dan menurunkan
insiden perdarahan ulang. Tetapi pada penelitian klinik, tidak menunjukkan adanya perbaikan
dalam mengurangi perdarahan ulang. Dan karena kurangnya keuntungan yang dapat diperoleh
dan dapat mempengaruhi fibrinolisis janin yang dapat dihubungkan dengan perkembangan
hyalin membrane disease, sehingga tidak digunakan lagi saat ini.
Glukokortikoid yang paten seperti deksametason digunakan secara luas untuk mengobati
edema serebral dan iskemia. Dukungan pada penggunaannya tidak hanya berdasarkan hasil
penelitian, tetapi juga dari perbaikan klinis penderita tumor otak.
Edema serebral dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraserebral, sehingga harus
diawasi. Jika terdapat peningkatan intrakranial yang disebabkan oleh edema serebri, pemberian
manitol suatu diuretik osmotik dapat dilakukan. Pemberiannya sekitar 12,5-50 gr secara
intravena, diperlukan untuk tetap mempertahankan tekanan intrakranial dibawah 20 mmHg.
Persalinan
Pada penderita yang berhasil dilakukan perbaikan terhadap aneursima atau AVM,
diajurkan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesarea. Jika AVM menjadi penyebab dari
SAH, dianjurkan untuk melakukan sterilisasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.scribd.com/doc/79233618/Kelainan-Neurologik-Pada-Kehamilan
2. http://digilib.unsri.ac.id/download/epilepsi%20dlm%20kehamilan.pdf
3. http://journal.uii.ac.id/index.php/JKKI/article/view/547/471
oleh :
Ni Luh Made Murniasih Jayanthi
0861050147
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
PERIODE 16 APRIL – 12 MEI 2012
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA