BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pesatnya pembangunan di Bali sudah barang tentu membutuhkan
tanah yang luas. Luas tanah tidak akan pernah bertambah sehingga
muncul suatu trend untuk membangun bangunan secara vertikal
(keatas) seperti akomodasi pariwisata khususnya hotel. Berdasarkan
Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Nomor
KM94/HK103/MPPT-87 tentang Ketentuan Usaha dan Penggolongan
Hotel, yang dimaksud dengan Hotel adalah salah satu jenis akomodasi
pariwisata yang dibangun secara vertikal yang mempergunakan
sebagian atau keseluruhan bagian untuk jasa pelayanan penginapan,
penyedia makanan dan minuman serta jasa lainnya bagi masyarakat
umum yang dikelola secara komersil.1
Salah satu objek pembangunan hotel yaitu dibangun diatas tanah
Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik. Hak Guna Bangunan adalah
hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas
tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu dan
luasan tanah tertentu. Mengenai pengaturan tentang jangka waktu
Hak Guna Bangunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah
1Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Nomor KM94/HK103/MPPT-87 tentang Ketentuan Usaha dan Penggolongan Hotel.
1
(selanjutnya disebut PP No. 40 Tahun 1996), yaitu maksimal 30 Tahun
dengan perpanjangan 20 tahun dan dibolehkan untuk diperbaharui.2
Pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) Atas Tanah Hak Milik
sebagaimana dimaksud di dalam pasal 37 huruf b Undang – Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA) menyebutkan:
“Hak Guna Bangunan terjadi mengenai tanah milik : karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut”.3
Ketentuan Pasal 37 UUPA diatas lebih lanjut diatur dalam Pasal 21
dan pasal 24 PP No. 40 Tahun 1996 yaitu ;
Pasal 21Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah:a. Tanah Negarab. Tanah Hak Pengelolaanc. Tanah Hak Milik
Pasal 24(1) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik terjadi dengan
pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
(2) Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
(3) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik mengikat pihak ketiga sejak didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Ketentuan diatas menunjukkan bahwa Hak Guna Bangunan dapat
diberikan diatas tanah Hak Milik dan pemberian Hak Guna Bangunan
2 Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, 2013, Kepemilikan Properti di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm.22
3 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Djmbatan, Jakarta, hlm.560
2
atas tanah Hak milik dibuat dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah
(selanjutnya disebut Akta PPAT) bukan dengan Akta yang dibuat
dihadapan Notaris (selanjutnya disebut Akta Notariil), dimana nantinya
Akta PPAT tersebut akan didaftar pada Kantor Pertanahan. Namun
pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik dapat difasilitasi
dengan Akta Notariil dalam bentuk Akta Perjanjian Pendahuluan
Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik.
Dalam undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4432) tentang Jabatan Notaris Jo.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang –
Undang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 3 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5491) (selanjutnya disebut UUJNP) disebutkan bahwa Notaris adalah
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya. Menurut pasal 15 ayat (1) UUJNP yang
menyebutkan :
“Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”
Dengan kedudukannya sebagaimana tersebut diatas, seorang
Notaris dalam pandangan masyarakat dianggap sebagai seorang
pejabat, tempat seseorang memperoleh nasehat hukum yang boleh
3
diandalkan, tempat pembuatan dokumen hukum yang kuat dalam
suatu proses hukum yang akan dilakukan khususnya dalam membuat
akta perjanjian untuk pembangunan hotel4. Dalam pembuatan akta
perjanjian tidak boleh terlepas dari pasal 1320 KUHPerdata, tentang
syarat sahnya perjanjian,antara lain :
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal;
Kondisi tersebut menjadikan jabatan Notaris memiliki kedudukan
penting dalam tatanan Negara hukum karena salah satu ciri Negara
hukum adalah legalitas dalam segala bentuknya dan Notaris dapat
membantu dalam memberikan legalitas5 tersebut yaitu dengan
membuat suatu produk hukum dalam bentuk akta notariil agar dapat
mengikat kedua belah pihak sehingga dapat memberikan jaminan dan
kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, peneliti tertarik
membahas mengenai ”Kedudukan Notaris Dalam membuat Akta
Notariil Dengan Objek Tanah Hak Guna Bangunan (HGB) Atas Tanah
Hak Milik Untuk Pembangunan Hotel.”
1.2 Rumusan Masalah
4 Sumardika, I Nyoman dkk, 2013, Penegakan Hukum Dalam Pelaksanaan Jabatan Notaris,Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana,Volume 19 Nomor 1 Januari,Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar,hal.71
5 Ibid.
4
Adapun rumusan masalah yang akan di bahas dalam penelitian
ini, antara lain:
1. Bagaimanakah kedudukan Notaris dalam membuat akta notariil
dengan objek tanah Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik
untuk pembangunan hotel?
2. Bagaimanakah eksistensi Akta Notariil dalam pemberian Hak
Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik untuk pembangunan hotel?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan pada pokok permasalahan yang diteliti, maka tujuan
yang ingin dicapai dari peneltian ini dapat dibedakan atas tujuan
teoritis dan tujuan praktis. Adapun kedua tujuan yang dimaksudkan
adalah sebagai berikut :
1.3.1 Tujuan Umum
Mengenai tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini
pada hakikatnya adalah untuk mengkaji dan menganalisis produk
hukum yang dibuat oleh Notaris dalam rangka menjamin perlindungan
dan kepastian hukum bagi masyarakat pada umumnya dan para pihak
khususnya.
1.3.2 Tujuan Khusus
Sesuai permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini, maka
adapun tujuan khusus yang ingin dicapai adalah :
1. Untuk mengetahui, mengkaji, dan menganalisis kedudukan
Notaris dalam membuat Akta Notariil dengan objek tanah Hak
5
Guna Bangunan (HGB) Atas Tanah Hak Milik untuk
pembangunan hotel.
2. Untuk mengetahui, mengkaji, dan menganalisis eksistensi Akta
Notariil yang dibuat dihadapan Notaris dalam pemberian Hak
Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik untuk pembangunan hotel.
1.4 TINJAUAN PUSTAKA
1.4.1 Kedudukan Notaris
Istilah notaris pada dasarnya berasal dari perkataan “notaris”
(Latin), yakni nama yang diberikan pada orang-orang Romawi dimana
tugasnya menjalankan pekerjaan menulis pada masa itu. Ada juga
pendapat mengatakan bahwa nama notaris itu berkata dari perkataan
“nota literaria”, berarti tanda (letter merk atau karakter) yang
menyatakan sesuatu perkataan.6 Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, notaris mempunyai arti orang yang mendapat kuasa dari
pemerintah berdasarkan penunjukan (dalam hal ini adalah
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) untuk mengesahkan dan
menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta, dan
sebagainya.7 Seorang notaris menurut pendapat Tan Thong Kie yaitu:
“Notaris adalah seorang fungsionaris dalam masyarakat, hingga
sekarang jabatan seorang notaris masih disegani. Seorang notaris
biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat
6 R. Soegondo, Notodisoerjo, 1982, Hukum Notariat di Indonesia suatu Penjelasan, Rajawali, Jakarta, hlm 13.
7 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1990 Balai Pustaka, Jakarta , Cetakan ke‐3, hlm 667
6
memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang
ditulis serta ditetapkan (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuatan
dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.8 ” Menurut
Gandasubrata, notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh
pemerintah termasuk unsur penegak hukum yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat.9
Pasal 1 ayat (1) UUJN disebutkan bahwa notaris adalah: “pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang - undang ini.”
Memperhatikan uraian Pasal 1 ayat (1) UUJN, dapat dijelaskan bahwa
notaris adalah:
a. Pejabat umum
b. Berwenang membuat akta
c. Autentik
d. Ditentukan oleh Undang-undang
Istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah
Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan
Notaris (yang selanjutnya disingkat PJN) dan Pasal 1868 KUHPerdata.
Pasal 1 PJN menyebutkan bahwa: Notaris adalah pejabat umum yang
satu-satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki
untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian
8 Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat dan Serba‐Serbi Praktek Notaris, Buku I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hlm 157
9 H.R. Purwoto S. Gandasubrata, 1998, Renungan Hukum, IKAHI Cabang Mahkamah Agung RI, Jakarta, hlm 484
7
tanggalnya, menyimpan aktanya dan membuat grosse, salinan dan
kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu
peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain.
Pasal 1868 KUHAPerdata menyebutkan: Suatu akta autentik
ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-
undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu
di tempat akta itu dibuat. Pasal 1 angka (1) UUJN menyebutkan :
Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta
autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, notaris dikualifikasikan
sebagai pejabat umum, tapi kualifikasi notaries sebagai pejabat umum,
tidak hanya untuk notaris saja. Karena sekarang ini seperti Pejabat
Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat PPAT) juga diberi kulifikasi
sebagai pejabat umum dan pejabat lelang. P emberian kualifikasi
sebagi pejabat umum kepada pejabat lain selain kepada notaris,
bertolak belakang dari makna pejabat umum itu sendiri, karena seperti
PPAT hanya membuat akta-akta tertentu saja yang berkaitan dengan
pertanahan dengan jenis akta yang sudah ditentukan, dan pejabat
lelang hanya untuk lelang saja.10
Dengan demikian notaris berperan melaksankan sebagian tugas
negara dalam bidang hukum keperdataan, dan kepada notaris
dikualifikasikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk
10 Habib Adji, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm.13
8
membuat akta autentik, dan akta merupakan formulasi keinginan atau
kehendak para pihak yang dituangkan dalam akta notaris yang dibuat
dihadapan atau oleh notaris, dan kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 15
ayat (1) UUJN.
Dalam Pasal 1 angka 1 UUJN, notaris didefinisikan sebagai
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN. Definisi yang
diberikan oleh UUJN ini merujuk pada tugas dan wewenang yang
dijalankan oleh notaris. Artinya notaris memiliki tugas sebagai pejabat
umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta autentik serta
kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN.11 Pasal 1 UUJN tidak
memberikan uraian yang lengkap mengenai tugas notaris. Menurut
Setiawan, inti dari tugas notaris selaku pejabat umum ialah mengatur
secara tertulis dan autentik hubungan hukum antara pihak yang secara
manfaat meminta jasa notaris yang pada dasarnya adalah sama
dengan tugas hakim yang memberikan keadilan diantara para pihak
yang bersengketa.12
Istilah akta berasal dari bahasa Belanda yaitu Acte. Dalam
mengartikan akta ini ada dua pendapat yaitu. Pendapat pertama
mengartikan akta sebagai surat dan pendapat kedua mengartikan akta
sebagai perbuatan hukum. Beberapa sarjana yang menganut pendapat
11 Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hlm 13‐14
12 Setiawan Wawwan, 1995, Hak Ingkar dari Notaris dan Hubungannya dengan KUHAP (suatu kajian uraian yang disajikan dalam konggress INI di Jakarta), hlm 2
9
pertama yang mengartikan akta sebagai surat antara lain Pitlo
mengartikan akta sebagai berikut: “surat yang ditandatangani,
diperbuat untuk dipahami sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh
orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat”.13
Sudikno Mertokusumo berpendapat, akta adalah surat yang
dasar dari suatu hak atau perkataan yang dibuat sejak semula dengan
sengaja untuk pembuatan.14 Pendapat yang mengartikan akta sebagai
perbuatan hukum adalah pendapat Subekti yang mengartikan Pasal
108 KUHPerdata bukanlah berarti surat melainkan harus diartikan
perbuatan hukum.15 Menguatkan pendapat yang kedua Acte atau akta
dalam arti luas merupakan perbuatan hukum (recht handeling), suatu
tulisan yang dibuat untuk dipahami sebagai bukti perbuatan hukum.16
Terlihat bahwa notaris tidak memihak, akan tetapi mandiri dan bukan
sebagai bagian dari salah satu pihak. Ia tidak memihak kepada mereka
yang berkepentingan. Itulah sebabnya dalam menjalankan tugas dan
jabatannya selaku pejabat umum terdapat ketentuan undang-undang
yang berlaku bagi orang tertentu, tidak diperbolehkan sebagai saksi
atau sebagai pihak berkepentingan pada akta yang dibuat
dihadapannya.
J. M. Polak dalam Roesnastiti Prayitno pernah menyatakan dalam
salah satu pidatonya, bahwa fungsi notaris ada 4, yaitu:
1. Selaku “pejabat” ia membuat akta-akta autentik;
13 Pitlo, 1986, Pembuktian dan Daluwarsa, Internusa, Jakarta, hlm 5214 Sudikno Mertokusumo, 1979, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar,
Liberty, Yogyakarta, hlm 10615 Subekti, 1980, Hukum Pembuktian, PT Pradnya Paramitra, Jakarta,
hlm 2916 Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hlm 25
10
2. Selaku “hakim” ia memberi perantara dalam menyelesaikan waris
diantara para ahli waris;
3. Selaku “penyuluh hukum” dan “pemberi bantuan hukum” ia
memberikan penerangan agar para pihak menyadari hak-hak dan
kewajibannya masing-masing berdasarkan;
4. Selaku “entrepreneur” atau “pengusaha” ia mempertahankan
kliennya agar supaya dapat membiayai usahanya.17
Tugas pokok dari notaris ialah membuat akta-akta autentik.
Adapun akta autentik itu menurut Pasal 1870 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya
suatu pembuktian sempurna. Di sinilah letak arti penting bagi seorang
notaris, bahwa notaris karena undang-undang diberi wewenang
membuat suatu alat pembuktian yang sempurna, dalam pengertian
bahwa apa yang tersebut dalam akta autentik itu pada pokoknya
dianggap benar sepanjang tidak ada pembuktian sebaliknya.
Tugas notaris adalah mengkonstantir hubungan hukum antara
para pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga
merupakan suatu akta autentik. Ia adalah pembuat dokumen yang
kuat dalam suatu proses hukum.18 Menurut Than Thong Kie, para
notaris mempunyai persamaan dalam pekerjaan dengan para advokat,
persamaan yang dimaksud adalah: “keduanya menuangkan suatu
kejadian di bidang ekonomi dalam suatu bentuk hukum, memberi
17 Roesnantiti Prayitno, 1989, Tugas dan Tanggung Jawab Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah, Media Notariat INI, Jakarta, hlm 179
18 Tan Thong Kie, Op. Cit., hlm. 159
11
nasihat kepada pelanggan dan mengharapkan mendapat kepercayaan
dari mereka. Tetapi ada perbedaan prinsip, yaitu:
1. Seorang notaris memberikan pelayanan kepada semua pihak,
advokad kepada satu pihak. Seorang notaris harus berusaha
menyelesaikan suatu persoalan, sehingga semua pihak puas;
advokad hanya berusaha memuaskan satu pihak. Kalaupun dalam
hal ini tercapai suatu consensus, pada dasarnya ia hanya
memperhatikan kepentingan pelanggannya.
2. Pekerjaan seorang notaris adalah untuk mencegah terjadinya suatu
persoalan antara pihak-pihak, sedangkan seorang advokat
menyelesaikan suatu persoalan yang sudah terjadi”.19
Wewenang (atau sering pula ditulis dengan istilah kewenangan)
merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada
suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan. Dengan demikian
setiap wewenang ada batasannya sebagaimana yang tercantum dalam
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Wewenang Notaris
terbatas sebagaimana peraturan perundang-undangan yang mengatur
jabatan pejabat yang bersangkutan. Wewenang yang diperoleh suatu
jabatan mempunyai sumber asalnya. Dalam hukum administrasi
wewenang bisa diperoleh secara Atribusi, Delegasi atau Mandat.20
Wewenang secara atribusi adalah pemberian wewenang yang baru
kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-
undangan atau aturan hukum. Wewenang secara Delegasi merupakan
19 Ibid, hlm 16920 Habib Adji, Hukum Notaris Indonesia, Op. Cit., hlm 77
12
pemindahan/pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu
peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Dan Mandat
sebenarnya bukan pengalihan atau pemindahan wewenang, tapi
karena yang berkompeten berhalangan.21
Berdasarkan UUJN, maka notaris sebagai pejabat umum
memperoleh wewenang secara Atribusi. Karena wewenang tersebut
diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi wewenang yang
diperoleh notaris bukan berasal dari suatu lembaga. Kewenangan
notaris tersebut dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan (3) UUJN,
yang dapat dibagi menjadi:
a) Kewenangan Umum Notaris;
b) Kewenangan Khusus Notaris;
c) Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian.
Kewenangan umum notaris menurut undang-undang ini diatur
dalam Pasal 15 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Notaris berwenang
membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
ketetapan yang diharuskan oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak
juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain
yang ditetapkan oleh undang-undang”. Sehubungan dengan
kewenangan notaris dalam membuat akta sebagaimana dimaksud
21 Ibid, hlm 77‐78
13
dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, maka dalam Pasal 15 ayat (2) dijelaskan
bahwa notaris berwenang pula:
a) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus;
c) Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan
yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam
surat yang bersangkutan;
d) Melakukan pengesahan kecocokan foto copy dengan surat aslinya;
e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
akta;
f) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
g) Membuat akta risalah lelang.
Jabatan notaris juga memiliki larangan didalam menjalankan
jabatannya. Larangan notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang
dilakukan oleh notaris, jika larangan ini dilanggar oleh notaris, maka
kepada notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana
tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Pasal 17 UUJN menyebutkan, notaris
dilarang:
a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja
berturut-turut tanpa alas an yang sah;
c. merangkap sebagai pegawai negeri;
d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
14
e. merangkap jabatan sebagai advokat;
f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta;
g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar
wilayah jabatan notaris;
h. menjadi notaris pengganti; atau
i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan
dan martabat jabatan notaris.
1.4.2 Akta Notariil
Suatu perjanjian merupakan perbuatan di mana seseorang
berjanji kepada seorang lainnya atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanjian merupakan
rangkaian kata-kata yang mengandung janji atau kesanggupan yang
ditulis atau diucapkan. Pengertian tersebut sesuai dengan bunyi Pasal
1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bunyi Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata adalah :
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Pengertian kata ‘perbuatan” merupakan perbuatan atau tindakan
hukum, yang tidak hanya menunjukkan akibat hukumnya yang
“disepakati”, dan merupakan ciri dari sahnya perjanjian sebagaimana
yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata. Dari bunyi Pasal 1313
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa suatu perjanjian dapat juga dinamakan persetujuan karena dua
15
pihak saling setuju untuk melakukan sesuatu.22 Untuk adanya
keseimbangan hak di antara keduanya diperlukan asas-asas umum
berfungsi sebagai pedoman bagi para pihak untuk dilaksanakan.
Adapun asas-asas perjanjian yang dikenal dapat hukum perdata antara
lain adalah:
a. Asas Pacta Sun Servanda
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian
hukum merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian.
Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak
ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak
boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. 23
b. Asas Konsensualisme
Pengertian asas konsensualisme adalah pada dasarnya perjanjian
dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik
tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah
apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah
diperlukan sesuatu formalitas. Asas konsensualisme terdapat dalam
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan
22 Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, hlm.1 23 Stanley lesmana, 2012, Asas-asas Perjanjian, Available from:
http://hukumindonesia-laylay.blogspot.com/2012/02/asas-asas-perjanjian.html
16
bahwa, “untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat; sepakat
mereka yang mengikat dirinya, kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.
c. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”24. Asas kebebasan berkontrak bermakna bahwa setiap
orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya,
apapun bentuknya sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban
umum, dan kesusilaan. Asas ini memiliki ruang lingkup kebebasan
untuk:
a) Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b) Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d) Menentukan objek perjanjian;
e) Menentukan bentuk perjanjian secara tertulis atau lisan25.
d. Asas Kepercayaan
Seseorang yang melakukan perjanjian dengan pihak lain berarti
menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu, bahwa satu
sama lain akan memegang janjinya atau dengan kata lain akan
memenuhi prestasi di belakang hari.
e. Asas Kekuatan Mengikat
24 Subekti dan Tjitrosudibio, 2006, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Jakarta, Pradnya Paramita, Jakarta,hlm.342.
25Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,hlm.4344.
17
Perjanjian mempunyai kekuatan mengikat para pihak. Terikatnya
para pihak dalam perjanjian tidak semata terbatas pada apa yang
diperjanjikan, namun juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang
dikehendaki oleh kebiasaan, kepatutan dan moral. Hal ini, merupakan
implementasi asas Pacta Sun Servanda yang terdapat dalam Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata, menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang.
f. Asas Persamaan Hukum
Asas persamaan hukum berarti menempatkan para pihak dalam
perjanjian sama derajatnya dan tidak terdapat perbedaan derajat
apapun. Oleh karena terdapat persamaan, maka masing-masing pihak
diharuskan menghormati satu sama lainnya.
g. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan menghendaki kedua pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian dengan baik
h. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai sebuah undang-undang harus mengandung
kepastian hukum. Kepastian hukum dalam perjanjian dapat disimak
dari kekuatan mengikatnya perjanjian yaitu sebagai undang-undang
bagi para pihak.
i. Asas Moral
Sutau perbuatan sukarela dari seseorang tidak akan menimbulkan
hak apapun bagi orang tersebut untuk menuntut prestasi dari pihak
lainnya. Namun demikian seseorang yang melakukannya dengan
18
sekarela tersebut justru mempunyai kewajiban untuk meneruskan dan
menyelesaikan perbuatan itu dengan baik.
j. Asas Kepatutan
Kepatutan yang dimaksud dalam perjanjian adalah bahwa
hubungan hukum antara para pihak dalam bentuk perjanjian itu juga
harus memperhatikan rasa keadilan masyarakat.
Akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-
pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta
dibuatnya.26 Akta Otentik adalah Akta Notariil yaitu dibuat oleh atau
dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan
Undang-undang. Ada dua jenis/golongan Akta Notariil, yaitu :
1. Akta Relaas/Berita Acara : akta yang dibuat oleh (door) Notaris,
2. Akta Partij/Akta Pihak : akta yang dibuat dihadapan (ten
overstan) Notaris.
Akta Notariil yang digunakan notaris dalam pembangunan hotel
adalah akta partij yaitu akta yang dibuat dihadapan (ten overstan)
Notaris atas permintaan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan
sendiri oleh para pihak di hadapan Notaris. Pernyataan atau
keterangan para pihak tersebut oleh Notaris dituangkan ke dalam akta
Notariil. Dalam membuat akta-akta tersebut Notaris berwenang untuk
memberikan penyuluhan (Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN) ataupun
saran-saran hukum kepada para pihak tersebut.Ketika saran-saran
26 Niko, 2003, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, CDSBL, Yogyakarta, hlm.36.
19
tersebut diterima dan disetujui oleh para pihak kemudian dituangkan
ke dalam akta, maka saran-saran tersebut harus dinilai sebagai
pernyataan atau keterangan para pihak sendiri. Akta-akta yang dibuat
oleh atau di hadapan Notaris tersebut harus menurut bentuk yang
sudah ditetapkan, dalam hal ini berdasarkan Bab VII Pasal 38 UUJN dan
tata cara (prosedur) yang sudah ditetapkan, dalam hal ini berdasarkan
Pasal 39-53 UUJN.
Mengenai bentuk akta dapat dikatakan bahwa akta notaris
terdiri dari 3 garis besar, yaitu kepala akta, badan akta dan penutup
akta.
1) Kepala akta adalah bagian yang paling awal dari akta notaris,
sebagaimana ditentukan dalam UUJN bahwa kepala akta terdiri dari
:
a) judul akta;
b) nomor akta;
c) jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan
d) nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
2) Badan Akta adalah menyangkut komparisi (identitas para pihak)
dan isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak
yang membuat akta. Badan akta memuat:
a) Nama lengkap, tempat tanggal lahir, kewarganegaraan,
pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap
dan/atau orang yang mereka wakili;
20
b) Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap/dasar
hukum bertindak;
c) Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak
yang berkepentingan; dan
d) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan,
jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi
pengenal.
3) Penutup Akta memuat :
a) Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam
pasal 16 ayat (1) huruf l atau Pasal 16 ayat (7);
b) Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan
atau penerjemahan akta apabila ada;
c) Nama lengkap, tempat tanggal lahir, pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d) Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam
pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang
dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.
Dengan demikian Notaris dalam menjalankan jabatannya harus
selalu berpedoman pada UUJN, khususnya dalam pembuatan akta
Notaris. Akta Notaris adalah produk hukum yang dibuat oleh notaris
yang bertujuan untuk memberikan kepastian dan kepastian hukum
bagi para pihak.
21
Produk hukum yang dibuat dalam pelaksanaan pembangunan
hotel untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi para
pihak yang membuatnya yaitu dengan Akta-akta Notariil berupa :
1. Akta Perjanjian (Perjanjian Belum Lunas)
2. Pembatalan Akta Perjanjian.
3. Akta Perjanjian Pendahuluan Pemberian Hak Guna Bangunan
(HGB) Atas Tanah Hak Milik.
4. Akta Kuasa.
Akta Perjanjian (Belum Lunas) dibuat apabila pihak penerima
Hak belum lunas dalam melakukan pembayaran imbalan sesuai
dengan kesepakatan kedua belah pihak. Setelah pembayaran imbalan
lunas, maka Akta Perjanjian (Belum Lunas) tersebut dibatalkan dengan
Akta Pembatalan Perjanjian yang bertujuan untuk membatalkan
perjanjian terdahulu sehingga dapat dibuatkannya perjanjian yang
baru. Selanjutnya Akta Perjanjian Pendahuluan Hak Guna Bangunan
(HGB) Atas Tanah Hak Milik adalah Perjanjian dimana pihak pertama
sebagai pemberi Hak memberikan Hak Guna Bangunan (HGB) Atas
Tanah Hak Miliknya untuk dibangun oleh pihak kedua sebagai
penerima Hak dan pihak kedua menerima pemberian Hak Guna
Bangunan (HGB) Atas Tanah Hak Milik-nya dengan objek, imbalan,
ketentuan dan jangka waktu tertentu. Terakhir Akta Kuasa dibuat
dalam rangka memberikan kewenangan dari pemberi kuasa kepada
penerima kuasa untuk menandatangani Akta Pemberian Hak Guna
Bangunan (HGB) Atas Tanah Hak Milik (Akta PPAT). Dalam hal ini
22
penerima kuasa memiliki 2 kualitas hukum yaitu bertindak untuk diri
sendiri dan selaku kuasa dari pemberi kuasa sehingga nantinya pihak
pemberi kuasa tidak perlu hadir kembali pada saat penandatanganan
Akta Pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) Atas Tanah Hak Milik (Akta
PPAT). Keempat akta-akta Notariil tersebut diatas dibuat dalam rangka
menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak yang
membuatnya.
1.4.3 Hak Guna Bangunan (HGB) Atas Tanah Hak Milik
Hak Guna Bangunan adalah salah satu hak atas tanah lainnya
yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Menurut ketentuan
Pasal 35 Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi sebagai
berikut :
1) Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri,
dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan
serta keadaan banguan-bangunannya, jangka waktu tersebut
dalam ayat ( 1 ) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20
tahun.
3) Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Dapat diketahui bahwa yang dinamakan dengan Hak Guna
Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di
atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu selama
30 tahun. Jadi dalam hal ini pemilik bangunan berbeda dari pemilik hak
atas tanah dimana bangunan tersebut didirikan. Ini berarti seorang
23
pemegang Hak Guna Bangunan adalah berbeda dari pemegang Hak
Milik atas bidang tanah di mana bangunan tersebut didirikan. Atau
dalam konotasi yang lebih umum pemegang Hak Guna Bangunan
bukanlah pemegang Hak Milik dari tanah di mana bangunan tersebut
didirikan. Sehubungan Hak Guna Bangunan ini, Pasal 37 Undang-
Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa : Hak Guna Bangunan
terjadi :
a. mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh negara : karena
penetapan pemerintah;
b. mengenai tanah milik : karena perjanjian yang berbentuk
autentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak
yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan itu, yang
bermaksud menimbulkan hak tersebut.
Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik terjadi dengan
pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang wajib didaftar pada Kantor
Pertanahan serta saat itu juga telah mengikat pihak ketiga dan
mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Guna Bangunan;
Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik diberikan untuk
jangka waktu paling lama 30 ( tiga puluh ) tahun dan atas persetujuan
antara pemegang Hak Guna Bangunan dengan pemegang Hak Milik,
Hak Guna Bangunan tersebut dapat diperbaharui dengan Hak Guna
Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah dan Hak Atas Tanah tersebut wajib didaftarkan di Kantor
Pertanahan.
24
Hal tersebut diatas diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 29 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang menyebutkan :
Pasal 24 (1) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik terjadi dengan
pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
(2) Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
(3) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik mengikat pihak ketiga sejak didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 29(1) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diberikan untuk
jangka waktu paling lama tiga puluh tahun. (2) Atas kesepakatan antara pemegang Hak Guna Bangunan
dengan pemegang Hak Milik, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan.
1.5 METODE PENELITIAN
1.5.1 Tipe Penelitian dan Pendekatan Masalah
Menurut Soeryono Soekanto penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan
pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau
beberapa gejala hukum tertentu.27. Menurut Abdulkadir Muhammad,
penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji
hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi,
perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi,
penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan
27Soeryono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm.43.
25
mengikat suatu Undang – Undang, serta bahasa hukum yang
digunakan tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau
implementasinya28. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian
hukum normatif dan dalam penelitian ini terkait dengan adanya
kekaburan norma dalam Pasal 15 ayat (1) UUJNP serta Pasal 24 ayat
(4) PP 40 Tahun 1996 terkait dengan kedudukan notaris dan akta
notariil dalam pemberian Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik.
Dalam penelitian hukum Normatif dikembangkan beberapa jenis
pendekatan, yaitu pendekatan Perundang-undangan (statue
approach), komparatif (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).29 Pendekatan perundang-undangan
merupakan cara pendekatan dengan melihat peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
Penelitian untuk praktik hukum tidak dapat melepaskan diri dari
pendekatan perundang-undangan. Pendekatan konseptual dilakukan
manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada,
dikaranakan belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang
dihadapi.30 Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu
hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang
melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan
28Abdulkadir Muhhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 101.
29Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Cetakan ke 1 hlm.93
30 Ibid.,hlm.137.
26
asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman
akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan
sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum
dalam memecahkan isu yang dihadapai.31 Pendekatan analisis
(Analytical Approach) adalah pendekatan yang didasarkan pada
seperangkat ungkapan-ungkapan dan asumsi-asumsi kebahasaan dan
sosiolinguistics. Pendekatan ini menganggap pembelajaran bahasa
sebagai suatu kegiatan rutin yang konvensional, dengan mengikuti
cara-cara yang telah biasa dilakukan berdasarkan pengalaman.32
Dalam penelitian ini, adapun pendekatan terhadap kedua pokok
permasalahan yang akan diteliti didasarkan pada pendekatan
perundang-undangan (Statute Approach) seperti Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Jo. Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang–Undang Jabatan
Notaris, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 HGU, HGB dan
Hak Pakai Atas Tanah selain itu sebagai pendukungnya juga digunakan
pendekatan konseptual (Conceptual Approach) dan pendekatan analitis
(Analitical Approach). Pendekatan konseptual diterapkan untuk
memperjelas berbagai konsep terkait pembahasan permasalahan
melalui penelusuran konsep pada peraturan perundang-undangan
maupun pendapat-pendapat ahli hukum. Sementara itu, pendekatan 31Peter Mahmud Marzuki , 2010, Penelitian Hukum, Kencana Predana
Media Group, Cetakan ke 6, Jakarta,hlm.95 32 Firqotu Tsalitsah, 2012, Pendekatan Analisis & non Analisis, Available
from : http://bahroinb.blogspot.com/2012/03/pendekatan-analisis-non-analisis.html
27
analitis diterapkan untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah
terkumpulkan disesuaikan dengan permasalahan yang dikaji terkait
kedudukan notaris dalam membuat akta notariil dengan objek tanah
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik untuk pembangunan hotel.
1.5.2 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan yang digunakan berupa sumber bahan hukum
yang berkaitan dengan rumusan permasalahan, adapun sumber bahan
hukum yang dipergunakan adalah :
a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat secara umum (perundang – undangan) atau
mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak berkepentingan
(kontrak, konvensi, dokumen hukum, dan putusan hakim).33
Dalam hal ini bahan hukum primer yang akan digunakan adalah:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tetang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria.
c) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris Jo. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014.
d) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
1996 tentang Hak Guna Bangunan.
e) Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi
Nomor KM94/HK103/MPPT-87 tentang Ketentuan Usaha
dan Penggolongan Hotel.
33 Op.cit., hlm. 82
28
b. Bahan Hukum Sekunder adalah semua publikasi tentang hukum
yang merupakan dokumen tidak resmi. Publikasi tersebut terdiri
atas : (a) buku-buku teks yang membicarakan suatu dan atau
beberapa permasalahan hukum yang terkait dengan skripsi,
termasuk tesis dan disertasi hukum, (b) kamus-kamus hukum, (c)
jurnal-jurnal hukum, (d) komentar-komentar atas keputusan
hakim. Pubilkasi tersebut merupakan petunjuk atau penjelasan
mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang
berasal dari kamus, ensiklopedia, jurnal, surat kabar dan
sebagainya.34
c. Bahan Hukum Tersier, yakni petunjuk atau penjelasan mengenai
bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder, yang berasal
dari Kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan sebagainya.35
1.5.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan – bahan hukum yang diperoleh guna penelitian, diperoleh
dengan cara pengumpulan bahan hukum melalui studi kepustakaan,
yang meliputi sumber bahan hukum primer seperti Peraturan
Perundang – Undangan yang terkait dengan permasalahan, sumber
bahan hukum sekunder berupa buku – buku literatur ilmu hukum dan
tulisan tulisan hukum lainnya yang terkait dengan permasalahan. Studi
pustaka dilakukan melalui tahap – tahap identifikasi pustaka,
34 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; 2003, Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.33-37
35 H.Zainuddin Ali, 2011, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.106.
29
identifikasi bahan hukum yang diperlukan, dan inventarisasi bahan
hukum yang diperlukan tersebut.36
1.5.4 Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan – bahan hukum yang diperoleh, baik bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder diolah dan dianalisis secara deskriptif
sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Sehingga tulisan ini
bersifat deskriptif analitis yang mengungkapkan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi
objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksaannya di dalam
masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian.37
36 Abdulkadir Muhhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.192
37 H.Zainuddin Ali,2011, Op.cit.,hlm.105-106
30
BAB II
KEDUDUKAN NOTARIS DALAM MEMBUAT AKTA NOTARIIL
2.1 Tugas Notaris di Dalam Membuat Akta Notariil dengan
Objek Tanah Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik Untuk
Pembangunan Hotel.
Notaris berasal dari kata Latin yakni Notariaat, sedangkan
Notaris dari Notarius (Notarui) diartikan “orang yang menjalankan
pekerjaan menulis”38. Secara historis institusi notariat merupakan salah
satu cabang profesi hukum yang tertua di dunia.39. Notaris
memberikan pelayanan jasa hukum kepada masyarakat umum dalam
bidang hukum perdata, yang termasuk dalam bidang hukum publik.40
Adapun yang dimaksud Notary Public dalam Black’s Law Dictionary
adalah “A person authorized by a state to administer oaths, certify
documents, attest to the authenticity of signatures and perform official
acts in commercial matters”41. Dari pernyataan ini dapat disimak
bahwa notaris adalah seseorang yang ditunjuk oleh Negara untuk
mengambil sumpah, menerangkan isi sesuatu dokumen, mengesahkan
keaslian tanda tangan dan menjalankan pekerjaan resmi lainnya yang
ditentukan dibidang komersil. Hal itu menyebabkan bahwa sejak ada
hukum pembuktian maka lembaga notariat tidak hanya ditugaskan
38 R.Soegondo Notodisoerjo,1993,Hukum Notariat Indonesia, Suatu Penjelasan, Jakarta, Rajawali,hal.82
39 Ibid.40 Henny Tanuwidjaja, 2012, Pranata Hukum Jaminan Utang dan
Sejarah Lembaga Hukum Notariat, Refika Aditama,Bandung, hal.141 Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary,West Publishing
& Co, St.paul, Minnesota, hal.1085.
31
untuk menulis, tetapi juga sebagai lembaga pembuktian yang
melahirkan suatu akta otentik. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal
1870 KUHPerdata dengan menetapkan bahwa yang dapat menjadi alat
bukti sempurna adalah akta otentik sehingga lahirlah lembaga
kenotariatan.
Arti kata tugas dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah
sesuatu yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk
dilakukan.42 Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan
keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta otentik. 43 Menurut Tan
Thong Kie, tugas notaris adalah mengkonstantir hubungan hukum
antara para pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga
merupakan suatu akta autentik. Ia adalah pembuat dokumen yang
kuat dalam suatu proses hukum.44 Adapun akta autentik itu menurut
Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan kepada
pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian sempurna. Di sinilah
letak arti penting bagi seorang notaris, bahwa notaris karena undang-
undang diberi wewenang membuat suatu alat pembuktian yang
sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam akta
autentik itu pada pokoknya dianggap benar sepanjang tidak ada
pembuktian sebaliknya.
42 W.J.S Poerwadarminta,1984,Kamus Umum bahasa Indonesia, Jakarta, hal.1094.
43 Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Cetakan Pertama, Refika Aditama, Bandung,hal.35
44 Tan Thong Kie, Op. Cit., hlm. 159
32
Frans Hendra Winata mengemukakan ada beberapa
pertimbangan yuridis yang harus diperhatikan Notaris, antara lain:45
a) Notaris adalah pejabat publik yang bertugas untuk
melaksanakan jabatan publik.
b) Notaris dalam menjalankan tugasnya tidak boleh
mencemarkan nama baik dari korps pengemban profesi
hukum.
c) Notaris dalam menjalankan tugasnya tidak boleh
mencemarkan nama baik dari lembaga notaris.
d) Notaris bekerja dengan menerapkan hukum di dalam produk
yang dihasilkan.
Notaris di Indonesia menjalankan sebagian tugas Negara dalam
bidang hukum keperdataan dengan kewenangan membuat akta-akta
otentik, oleh karena itu notaris diperkenankan menggunakan lambing
Negara dalam menjalankan tugasnya. Pelaksanaan tugas jabatan
Notaris merupakan pelaksanaan tugas jabatan yang Esoterik,46
diperlukan pendidikan khusus dan kemampuan yang memadai untuk
menjalankannya. Oleh karena itu Notaris dalam menjalankan tugasnya
harus mematuhi berbagai ketentuan yang tersebut dalam UUJN. Dalam
hal ini diperlukan kecermatan, ketelitian dan ketepatan tidak hanya
dalam teknik administrative membuat akta, tapi juga penerapan
berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta bersangkutan untuk
45 Frans Hendra Winata, 2005, Persepsi Masyarat Terhadap Profesi Hukum di Indonesia, Renvoi Periode Desember, Jakarta, hal.12
46 Esoterik suatu ciri bagi pendapat, pandangan atau pengetahuan yang haruus dipelajari atau dimengerti secara khusus dan dapat diketahui, diterima oleh siapa saja, Ensiklopedi nasional…,hal.197-198
33
para penghadap, dan kemampuan menguasai keilmuan bidang Notaris
secara khusus dan hukum pada umumnya.47 Dalam menjalankan tugas
jabatan Notaris yang baik perlu berpedoman pada asas-asas
pemerintahan yang baik (AUPN) yaitu :
a) Asas persamaan;
b) Asas kepercayaan;
c) Asas kepastian hukum;
d) Asas kecermatan;
e) Asas pemberian alasan;
f) Larangan penyalahgunaan wewenang;
g) Larangan bertindak sewenang-wenang;
Untuk kepentingan pelaksanaan tugas jabatan Notaris,
ditambahkan dengan Asas Proporsionalitas dan Asas Profesionalitas.
Asas-asas tersebut dapat adopsi sebagai asas-asas yang harus
dijadikan pedoman dalam menjalankan tugas jabatan Notaris sebagai
asas-asas pelaksanaan tugas jabatan Notaris yang baik, dengan
substansi dan pengertian untuk kepentingan Notaris, sebagai berikut :
a) Asas persamaan
Notaris dalam menjalankan tugas jabatanya, dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat tidak membeda-bedakan satu
dengan yang lainnya berdasarkan keadaan social-ekonomi atau
alasan lainnya. Alasan-alasan seperti ini tidak dibenarkan
dilakukan oleh Notaris dalam melayani masyarakat, hanya
47 Marthalena Pohan,1985,Tanggung Gugat Advocat, Dokter dan Notaris, Surabaya, Bina Ilmu,.hal.45
34
alasan hukum yang boleh dijadikan dasar bahwa Notaris tidak
dapat memberikan jasa kepada yang menghadap Notaris.
Bahkan dalam keadaan tertentu, Notaris wajib memberikan jasa
hukum di bidang kenotariatan secara Cuma-Cuma kepada yang
tidak mampu (pasal 37 UUJN).
b) Asas kepercayaan
Jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan yang harus
selaras dengan mereka yang menjalankan tugas jabatan Notaris
sebagai orang yang dapat dipercaya. Notaris sebagai jabatan
kepercayaan tidak berarti apa-apa jika ternyata mereka yang
menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris adalah orang yang
tidak dapat dipercaya. Dalam hal ini, antara Jabatan Notaris dan
Pejabatnya (yang menjalankan tugas jabatan Notaris) harus
sejalan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan, salah satunya dengan merahasiakan segala sesuatu
mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan/ pernyataan
para pihak yang diperoleh dalam pembuatan akta, kevuali
undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia dan
memberikan keterangan/pernyataan tersebut kepada pihak
yang memintanya.
c) Asas kepastian hukum
Notaris dalam menjalankan tugas jabatanya wajib berpedoman
secara normative kepada aturan hukum yang berkaitan dengan
35
segala tindakan yang akan diambil untuk kemudian dituangkan
dalam akta. Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku
akan memberikan kepastian kepada para pihak, bahwa akta
yang dibuat dihadapan atau oleh notaris telah sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku, sehingga jika terjadi permasalahan,
akta Notaris dapat dijadikan pedoman oleh para pihak.
d) Asas Kecermatan
Notaris dalam mengambil suatu tindakan harus dipersiapkan
dan didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Meneliti
semua bukti yang diperlihatkan kepada Notaris dan
mendengarkan keterangan atau pernyataan para pihak wajib
dilakukan sebagai dasar untuk dituangkan dalam akta. Asas
kecermatan ini merupakan penerapan pasal 16 ayat (1) huruf a,
antara lain dalam menjalankan tugas jabatan Notaris wajib
bertindak seksama.
e) Asas Pemberian Alasan
Setiap akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris harus
mempunyai alasan dan fakta yang mendukung untuk akta yang
bersangkutan atau ada pertimbangan hukum yang harus
dijelaskan kepada para pihak/penghadap.
f) Larangan Penyalahgunaan wewenang
Pasal 15 UUJN merupakan batas kewenangan Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya. Penyalahgunaan wewenang
yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh Notaris di luar dari
wewenang yang tekah ditentukan. Jika Notaris membuat suatu
36
tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka
tindakan Notaris dapat disebut dengan tindakan
penyalahgunaan wewenang. Jika tindakan seperti itu merugikan
para pihak, maka para pihak yang merasa dirugikan dapat
menuntut Notaris yang bersangkutan dengan kualifikasi sebagai
suatu tindakan hukum yang merugikan para pihak. Para pihak
yang menderita kerugian dapat menuntut penggantian biaya,
ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
g) Larangan bertindak sewenang-wenang
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dapat menentukan
bahwa tindakan para pihak dapat dituangkan dalam bentuk akta
notaris atau tidak. Sebelum sampai pada keputusan seperti itu,
Notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen
yang diperlihatkan kepada Notaris. Dalam hal ini notaris
mempunyai perananuntuk menentukan suatu tindakan dapat
dituangkan dalam bentuk akta atau tidak, dan keputusan yang
diambil harus didasarkan pada alasan hukum yang harus
dijelaskan kepada para pihak.
h) Asas Proporsionalitas
Dalam pasal 16 ayat (1) huruf a, Notaris dalam menjalankan
tugas jabatannya wajib bertindak menjaga kepentingan para
pihak yang terkait dalam perbuatan hukum atau dalam
menjalankan tugas jabatan Notaris. Di samping itu, wajib
mengutamakan adanya keseimbangan antara hak dan
kewajiban para pihak yang menghadap Notaris.
37
Notaris dituntut untuk senantiasa mendengar dan
mempertimbangkan keingininan para pihak agar tindakannya
dituangkan dalam akta Notaris, sehingga kepentingan para
pihak terjaga secara proporsional yang kemudian dituangkan ke
dalam bentuk akta Notaris.
i) Asas Profesionalitas
Dalam pasal 16 ayat (1) huruf d, notaris wajib memberikan
pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UUJN, kevuali ada
alasan untuk menolaknya, asas ini mengutamakan keahlian
(keilmuan) Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya
berdasarkan UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris. Tindakan
profesioanl Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya
diwujudkan dalam melayani masyarakat dan akta yang dibuat di
hadapan atau oleh Notaris.
Oleh karena tugas jabatan notaris sebagaimana tersebut diatas,
setiap notaris diharapkan untuk senantiasa menjungjung tinggi
keluhuran dari martabat dan tugas jabatannya serta menjalankan
tugas dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh perundang-
undangan.
Mengenai tugas notaris terkait dengan membuat akta notariil
dengan objek tanah hak guna bangunan atas tanah hak milik untuk
pembangunan hotel, notaris dapat memberikan jaminan atau alat bukti
serta perlindungan hukum terhadap keadaan, peristiwa hukum,
perbuatan hukum yang akan dilakukan agar para pihak yang terlibat di
dalamnya mendapat kepastian hukum dengan maksud untuk
38
membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan dengan
melahirkan produk hukum yaitu alat bukti tertulis atau akta notariil
yang bersifat otentik.
2.2 Kewenangan Notaris di Dalam Membuat Akta Notariil
dengan Objek Tanah Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik
Untuk Pembangunan Hotel.
Setiap perbuatan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu
pada kewenangan yang sah, tanpa adanya kewenangan yang sah
seorang pejabat ataupun Badan Tata Usaha Negara tidak dapat
melaksanakan suatu perbuatan pemerintahan. Oleh karena itu
kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap pejabat ataupun
bagi setiap badan.48
Wewenang (atau sering pula ditulis dengan istilah kewenangan)
merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada
suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan. Dengan demikian
setiap wewenang ada batasannya sebagaimana yang tercantum dalam
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Wewenang Notaris
terbatas sebagaimana peraturan perundang-undangan yang mengatur
jabatan pejabat yang bersangkutan. Dengan demikian jika seseorang
pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan diluar wewenang yang
telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar
wewenang.
48 Lutfi Effendi, 2004, Pokok-pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing, Malang, hal.77
39
Wewenang yang diperoleh suatu jabatan mempunyai sumber
asalnya. Dalam hukum administrasi wewenang bisa diperoleh secara
Atribusi, Delegasi atau Mandat.49 Wewenang secara atribusi adalah
pemberian wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan
suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Wewenang
secara Delegasi merupakan pemindahan/pengalihan wewenang yang
ada berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan
hukum. Dan Mandat sebenarnya bukan pengalihan atau pemindahan
wewenang, tapi karena yang berkompeten berhalangan.50
Berdasarkan UUJN, maka notaris sebagai pejabat umum
memperoleh wewenang secara Atribusi. Karena wewenang tersebut
diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi wewenang yang
diperoleh notaris bukan berasal dari suatu lembaga.
Mengenai kewenangan notaris tersebut dalam Pasal 15 dari ayat
(1) sampai dengan (3) UUJN, yang dapat dibagi menjadi:
a) Kewenangan Umum Notaris;
b) Kewenangan Khusus Notaris;
c) Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian.
Kewenangan umum notaris menurut undang-undang ini diatur
dalam Pasal 15 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
“Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
49 Habib Adji, Hukum Notaris Indonesia, Op. Cit., hlm 7750 Ibid, hlm 77‐78
40
akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”.
Sehubungan dengan kewenangan notaris dalam membuat akta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, maka dalam
Pasal 15 ayat (2) dijelaskan bahwa notaris berwenang pula:
a) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c) Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d) Melakukan pengesahan kecocokan foto copy dengan surat aslinya;e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;f) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, ataug) Membuat akta risalah lelang.
Dalam kaitannya dengan pemberian hak guna bangunan atas
tanah hak milik untuk pembangunan hotel menurut Pasal 24 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa:
Pasal 24 1) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik terjadi dengan
pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2) Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
3) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik mengikat pihak ketiga sejak didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
4) Ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Ketentuan diatas menunjukkan bahwa Hak Guna Bangunan dapat
diberikan diatas tanah Hak Milik dan pemberian Hak Guna Bangunan
atas tanah Hak milik dibuat dengan Akta PPAT bukan dengan Akta
Notariil, dimana nantinya Akta PPAT tersebut akan didaftar pada
Kantor Pertanahan. Namun Pasal 15 ayat (1) memberikan kewenangan
41
untuk membuat perjanjian dan Pasal 15 ayat (2) huruf j UUJNP
memberikan kewenangan kepada notaris untuk membuat akta di
bidang pertanahan.
Ada tiga penafsiran dari ketentuan tersebut yaitu:
1. Notaris telah mengambil alih semua wewenang PPAT menjadi
wewenang notaris atau telah menambah wewenang notaris.
2. Bidang pertanahan juga ikut menjadi wewenang notaris.
3. Tidak ada pengambil alihan wewenang dari PPAT ataupun dari
notaris, karena baik PPAT maupun notaris telah mempunyai
wewenang sendiri-sendiri.
Jika kita melihat hierarki peraturan yang mengatur mengenai
keberadaan dan wewenang antara Notaris dengan PPAT, Keberadaan
notaris ditegaskan dalam suatu Undang-undang yang di dalamnya
menyebutkan bahwa seorang notaris memiliki kewenangan untuk
membuat akta di bidang pertanahan. Sedangkan keberadaan PPAT
diatur dalam suatu PP No.37 Tahun 1998 yang secara hierarki
tingkatannya lebih rendah jika dibandingkan dengan UU No.30 Tahun
2004 yang mengatur keberadaan dan wewenang notaris. Kewenangan
ini didukung dengan teori kewenangan atribusi yaitu Berdasarkan
UUJN, notaris sebagai pejabat umum memperoleh wewenang secara
Atribusi. Karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh
UUJN sendiri sehingga pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Milik dapat difasilitasi dengan Akta Notariil dalam bentuk Akta
Perjanjian Pendahuluan Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Milik.
42
Jabatan notaris juga memiliki larangan didalam menjalankan
kewenangan jabatannya. Larangan notaris merupakan suatu tindakan
yang dilarang dilakukan oleh notaris, jika larangan ini dilanggar oleh
notaris, maka kepada notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi
sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 dan 85 UUJN. Pasal 17 UUJN
menyebutkan, notaris dilarang:
a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja
berturut-turut tanpa alasan yang sah;c. merangkap sebagai pegawai negeri;d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;e. merangkap jabatan sebagai advokat;f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta;g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar
wilayah jabatan notaris;h. menjadi notaris pengganti; ataui. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma
agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan notaris.
Mengenai sanksi dari larangan yang dilarang Notaris diatur dalam pasal:
Pasal 84Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang m;,nderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan Bunga kepada Notaris.
Pasal 85Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 16 ayat (1). huruf b, Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32,
43
Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63, dapat dikenai sanksi berupa:a) teguran lisan;b) teguran tertulis;c) pemberhentian sementara;d) pemberhentian dengan hormat; atau e) pemberhentian dengan tidak hormat.
Kewenangan Notaris di dalam membuat Akta Notariil dengan
Objek Tanah Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik untuk
Pembangunan Hotel diatur dalam pasal 15 ayat (1) yang didukung
dengan teori kewenangan atribusi dimana notaris berwenang
membuat Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik sesuai dengan
undang-undang, khususnya perjanjian pendahuluan pemberian hak
guna bangunan atas tanah hak milik. Kewenangannya yang
berhubungan dengan pembuatan akta seperti perjanjian tersebut
berdasar kepada pemberian jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum bagi para pihak yang membuatnya.
44
BAB III
EKSISTENSI AKTA NOTARIIL
3.1 Jenis-jenis Akta Notariil Yang Dibuat dihadapan Notaris
Dengan Objek Tanah Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak
Milik Untuk Pembangunan Hotel.
Akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-
pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta
dibuatnya.51 Salah satu bentuk akta Otentik adalah Akta Notariil yaitu
dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan Undang-undang. Ada dua jenis/golongan Akta Notariil, yaitu
:
1. Akta Relaas/Berita Acara : akta yang dibuat oleh (door)
Notaris,
2. Akta Partij/Akta Pihak : akta yang dibuat dihadapan (ten
overstan) Notaris.
Akta Notariil yang digunakan notaris dalam pembangunan hotel
adalah akta partij yaitu akta yang dibuat dihadapan (ten overstan)
Notaris atas permintaan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan
sendiri oleh para pihak di hadapan Notaris. Pernyataan atau
keterangan para pihak tersebut oleh Notaris dituangkan ke dalam akta
51 Niko, 2003, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, CDSBL, Yogyakarta, hlm.36.
45
Notariil. Dalam membuat akta-akta tersebut Notaris berwenang untuk
memberikan penyuluhan (Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN) ataupun
saran-saran hukum kepada para pihak tersebut. Ketika saran-saran
tersebut diterima dan disetujui oleh para pihak kemudian dituangkan
ke dalam akta, maka saran-saran tersebut harus dinilai sebagai
pernyataan atau keterangan para pihak sendiri. Akta-akta yang dibuat
oleh atau di hadapan Notaris tersebut harus menurut bentuk yang
sudah ditetapkan, dalam hal ini berdasarkan Bab VII Pasal 38 UUJN dan
tata cara (prosedur) yang sudah ditetapkan, dalam hal ini berdasarkan
Pasal 39-53 UUJN.
Mengenai bentuk akta dapat dikatakan bahwa akta notaris
terdiri dari 3 garis besar, yaitu kepala akta, badan akta dan penutup
akta.
1. Kepala akta adalah bagian yang paling awal dari akta notaris,
sebagaimana ditentukan dalam UUJN bahwa kepala akta terdiri
dari :
a. judul akta;
b. nomor akta;
c. jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
2. Badan Akta adalah menyangkut komparisi (identitas para pihak)
dan isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak
yang membuat akta. Badan akta memuat:
46
a) Nama lengkap, tempat tanggal lahir, kewarganegaraan,
pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap
dan/atau orang yang mereka wakili;
b) Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap/dasar
hukum bertindak;
c) Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak
yang berkepentingan; dan
d) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan,
jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi
pengenal.
3. Penutup Akta memuat :
a) Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam
pasal 16 ayat (1) huruf l atau Pasal 16 ayat (7);
b) Uraian tentang penandatanganan dan tempat
penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada;
c) Nama lengkap, tempat tanggal lahir, pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d) Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam
pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang
dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.
Sesuai dengan ketentuan pembuatan akta diatas, dalam rangka
memberikan kepastian hukum pemberian hak guna bangunan atas
tanah hak milik untuk pembangunan hotel kepada masyarakat maka
Notaris membuat beberapa akta Notariil yaitu :
47
a. Perjanjian
Akta Perjanjian (Belum Lunas) dibuat apabila pihak penerima
Hak belum lunas dalam melakukan pembayaran imbalan sesuai
dengan kesepakatan kedua belah pihak.
b. Pembatalan Akta Perjanjian
Setelah pembayaran imbalan lunas, maka Akta Perjanjian
(Belum Lunas) tersebut dibatalkan dengan Akta Pembatalan
Perjanjian yang bertujuan untuk membatalkan perjanjian
terdahulu sehingga dapat dibuatkannya perjanjian yang baru.
c. Perjanjian Pendahuluan Pemberian Hak Guna Bangunan atas
Tanah Hak Milik
Akta Perjanjian Pendahuluan Hak Guna Bangunan (HGB) Atas
Tanah Hak Milik adalah Perjanjian dimana pihak pertama
sebagai pemberi Hak memberikan Hak Guna Bangunan (HGB)
Atas Tanah Hak Miliknya untuk dibangun oleh pihak kedua
sebagai penerima Hak dan pihak kedua menerima pemberian
Hak Guna Bangunan (HGB) Atas Tanah Hak Milik-nya dengan
objek, imbalan, ketentuan dan jangka waktu tertentu.
d. Kuasa
Akta Kuasa dibuat dalam rangka memberikan kewenangan dari
pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk menandatangani
Akta Pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) Atas Tanah Hak
Milik (Akta PPAT). Dalam hal ini penerima kuasa memiliki 2
kualitas hukum yaitu bertindak untuk diri sendiri dan selaku
kuasa dari pemberi kuasa sehingga nantinya pihak pemberi
48
kuasa tidak perlu hadir kembali pada saat penandatanganan
Akta Pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) Atas Tanah Hak
Milik (Akta PPAT).
Keempat akta-akta Notariil tersebut diatas dibuat dalam rangka
menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak yang
membuatnya.
3.2 Eksistensi Akta Notariil dalam Pemberian Hak Guna
Bangunan Atas Tanah Hak Milik untuk Pembangunan
Hotel.
3.2.1 Syarat Akta Notaris Sebagai Akta Otentik
Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris berkedudukan
sebagai akta otentik menurut bentukdan tata cara yang ditetapkan
dalam UUJN52, hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon,
bahwa syarat akta otentik, yaitu53:
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya
baku),
2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.
Dikemukakan pula oleh Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga)
unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik,
yaitu54:
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
52 Pasal 1 angka 7 UUJN.53 Philipus M, Hadjon, "Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik",
Surabaya Post, 31 Januari 2001, hlm. 3.54 Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia,
Arkola, Surabaya, 2003, hlm. 148.
49
2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum,
3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang
berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.
Pasal 1868 B.W. merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris
juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-
syarat sebagai berikut:
a. akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan)
seorang Pejabat Umum.
b. akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang,
c. Pejabat Umum oleh - atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.
Menurut CA. Kraan akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut55:
a. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan
bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di
dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang
berwenang.Tulisan tersebut turutditandatangani oleh atau hanya
ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.
b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari
pejabat yang berwenang.
c. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi; ketentuan
tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya
memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya
55 CA.K.raan,DeAuthentiekeAkte,GoudaQuint BV,Arnhem 1984, hlm. l43 dan 201 dalam Herlien Budiono opcit., hlm. 3-4.
50
akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang
membuatnya c.q. data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal
tersebut).
d. Seorang pejabat yang diangkat oleh Negara dan mempunyai sifat
dan pekerjaan yang mandiri (onafhankelijk - independence) serta
tidak memihak (onpartijdigheid- impartiality) dalam menjalankan
jabatannya.
e. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat
adalah hubungan hukum didalam bidang hukum privat.
Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Akta yang dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan)
seorang Pejabat I/mum.56
Pasal 38 UUJN yang mengatur mengenai Sifat dan Bentuk Akta
tidak menen-tukan mengenai Sifat Akta57. Dalam Pasal 1 angka 7 UUJN
menentukan bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh
atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan
dalam UUJN, dan secara tersirat dalam Pasal 58 ayat (2) UUJN
disebutkan bahwa Notaris wajib membuat Daftar Akta dan mencatat
semua akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris.
Akta yang dibuat oleh (door) Notaris dalam praktek Notaris
disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian
Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan 56 Dalam Pasal 165 HIR (Pasal 285 Rbg, 1868 B.W.) dapat disimpulkan
bahwa akta otentik dapat dibagi menjadi (1) akta yang dibuat oleh pejabat (acte ambtelijk, procesverbaai akte) dan (2) akta yang dibuat oleh para pihak (partijakte)
57 Sebagai bahan perbandingan dalam WetophetNotarisamb (1999) Artikel 37.1. diatur dan ditegaskan bahwa Akta Notaris berbentuk Partij-akte dan Proces-verbaal akte.
51
para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan
dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris. Akta yang dibuat di hadapan
(ten overstaan) Notaris, dalam praktik Notaris disebut Akta Pihak, yang
berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan
atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak berkeinginan
agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta
Notaris58.
Pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun akta pihak,
yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris,
yaitu harus ada keinginan atu kehendak (wilsvorming) dan permintaan
dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada,
maka Notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk
memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Notaris dapat
memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika
saran Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta
Notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan
keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat
Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan
perbuatan atau tindakan Notaris.
Pengertian seperti tersebut di atas merupakan salah satu
karakter yuridis dari akta Notaris, tidak berarti Notaris sebagai pelaku
dari akta tersebut, Notaris tetap berada di luar para pihak atau bukan
pihak dalam akta tersebut. Dengan kedudukan Notaris seperti itu,
sehingga jika suatu akta Notaris dipermasalahkan, maka tetap 58 G.H.S. Lumban Tobing, op.cit., hlm. 51.
52
kedudukan Notaris bukan sebagai pihak atau yang turut serta
melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana
atau sebagai Tergugat atau Turut Tergugat dalam perkara perdata.
Penempatan Notaris sebagai pihak yang turut serta atau membantu
para pihak dengan kualifikasi membuat atau menem-patkan
keterangan palsu ke dalam akta otentik atau menempatkan Notaris
sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di
hadapan Notaris, maka hal tersebut telah mencederai akta Notaris dan
Notaris yang tidak dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai
kedudukan akta Notaris dan Notaris di Indonesia. Siapapun tidak dapat
memberikan penafsiran lain atas akta Notaris atau dengan kata lain
terikat dengan akta Notaris tersebut.
Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta
Notaris dan Notaris, jika suatu akta Notaris dipermasalahkan oleh para
pihak, maka:
1. para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuat akta
pembatalan atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang
dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak
menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut59.
2. jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk
dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya,
59 Pembatalan dengan cara seperti ini selaras dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 1420 K/Sip/1978, tanggal 1 Mei 1979, bahwa pengadilan tidak dapat membatalkan suatu akta Notaris, tetapi hanya dapat menyatakan akta Notaris yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum. Berarti hanya para pihaklah yang dapat membatalkannya.
53
dengan gugatan untuk mendegradasikan akta notaris menjadi akta
di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang
memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas
akta Notaris yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat
para pihak atau dibatalkan? Hal ini tergantung pembuktian dan
penilaian hakim.
Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa
dirugikan dari akta yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa
dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi
kepada Notaris yang bersangkutan, dengan kewajiban penggugat,
yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut
merupakan akibat langsung dari akta Notaris. Dalam kedua posisi
tersebut, penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang
dilanggar oleh Notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek
materil atas akta Notaris.
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang
Ketika kepada para Notaris masih diberlakukan Peraturan
Jabatan Notaris (PJN), masih diragukan apakah akta yang dibuat sesuai
dengan undang-undang? Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia
berdasarkan Instruktie voorde Notarissen
ResiderendeinNederlands/ndiedengan Stbl. No. 11, tanggal 7 Maret
182260, kemudian dengan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie
60 R. Soegondo Notodisoerjo, op.cit., hlm. 24-25.
54
(Stb.1860: 3), dan Reglement ini berasal dari Wet op het Notarisambt
(1842), kemudian Reglement tersebut diterje-mahkan menjadi PJN61.
Meskipun Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk/teg/emenf, hal
tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga Notaris lahir di
Indonesia, pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan
secara kelembagaan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954,
yang tidak mengatur mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya UUJN
keberadaan akta Notaris mendapat pengukuhan karena bentuknya
ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal
38 UUJN62.
3. Pejabat umum oleh-atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu63:
1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang
harus dibuat itu;
Wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak
dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga
berwenang membuatnya di samping dapat dibuat oleh pihak atau
61 Tan Thong Kie, op.cit, hlm. 362.62 Notaris dan PPAT diberi kewenangan untuk membuat Surat Kuasa
Membebankan HakTanggungan (SKMHT) berdasarkan Pasal 15 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 1996. Dengan menggunakan parameter Pasal 38 UUJN tersebut, maka SKMHTtidak memenuhi syarat sebagai akta Notaris, sehingga Notaris dalam membuat kuasa membebankan hak tanggungan tidak dapat menggunakan falangko SKMHT yang selama ini ada, tapi Notaris wajib membuatnya dalam bentuk akta Notaris dengan memenuhi semua ketentuan yang tercantum dalam Pasal 38 UUJN. Jika Notaris dalam membuat kuasa membebankan hak tanggungan masih menggunakan blangko SKMHT, maka Notaris telah bertindak di luar kewenangannya, sehingga SKMHT tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik, tapi hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
63 G.H.S. Lumban Tobing, op.cit., hlm. 49.
55
pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang Notaris dalam
membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum,
sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas. Pasal 15
UUJN telah menentukan wewenang Notaris64. Wewenang ini
merupakan suatu batasan, bahwa Notaris tidak boleh melakukan
suatu tindakan di luar wewenang tersebut. Sebagai contoh apakah
Notaris dapat memberikan Legal Opinion secara tertulis atas
permintaan para pihak? Jika dilihat dari wewenang yang tersebut
dalam Pasal 15 UUJN, pembuatan Legal Opinion ini tidak termasuk
wewenang Notaris. Pemberian Legal Opinion merupakan pendapat
pribadi Notaris yang mempunyai kapasitas keilmuan bidang hukum
dan kenotarisan, bukan dalam kedudukannya menjalankan tugas
jabatan sebagai Notaris, sehingga jika dari Legal Opinion
menimbulkan permasalahan hukum, harus dilihat dan diselesaikan
tidak berdasarkan kepada tatacara yang dilakukan oleh Majelis
Pengawas atau Majelis Pemeriksa yang dibentuk oleh Majelis
Pengawas, tapi diserahkan kepada prosedur yang biasa, yaitu jika
64 Kewenangan Notaris yang lainnya yaitu:(2) Notaris berwenang pula:a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus;b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus;c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan
yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
akta;f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; ataug. membuat akta risalah lelang.(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), Notaris mempunyai kewe-nangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
56
menimbulkan kerugian dapat digugat secara perdata. Hal ini harus
dibedakan dengan kewajiban Notaris dapat memberikan
penyuluhan hukum yang berkaitan dengan akta yang akan dibuat
oleh atau di hadapan Notaris yang bersangkutan. Hal yang sama
dapat terjadi ketika Notaris membuat Surat Keterangan Waris
(SKW)65 yang bukan wewenang Notaris, sehingga ketika terjadi
permasalahan, misalnya ada ahli waris yang tidak dimasukkan 65 Dalam praktik Notaris di Indonesia telah biasa membuat Surat
Keterangan Waris (SKW) untuk mereka yang termasuk ke dalam etnis Cina. Praktek Notaris seperti ini tidak pernah ada pengaturannya dalam PJN, tapi hanya merupakan kebiasaan Notaris yang sebelumnya, kemudian diikuti secara langsung oleh Notaris yang datang kemudian, tanpa mencari maksud dan tujuannya, tanpa bertanya, kenapa pembuatan bukti ahli waris di Indonesia harus dibedakan berdasarkan etnis ? Hal semacam ini merupakan bentuk diskriminasi dalam pembuatan bukti ahli waris. Meskipun telah menjadi kebiasaan bagi para Notaris untuk membuat SKW, ternyata kebiasaan tersebut tidak dimasukkan dalam UUJN,karenatidakdimasuk-kan sebagai bagian dari UUJN, maka kebiasaan seperti itu sudah tidak dapat dilakukan lagi oleh para Notaris. Jika Notaris masih mempraktekkan seperti itu dalam pembuatan bukti waris membuktikan bahwa Notaris bukan agen pembaharuan hukum, tapi mempraktekkan atau bertindak diskriminasi untuk Warga Negara Indonesia berdasarkan etnis, dan juga pembuatan SKW tersebut termasuk suatu tindakan diluar wewenang atau tidak sesuai dengan wewenang Notaris berdasakan Pasal 15 UUJN. Diskriminasi dalam pembuatan bukti sebagai ahli waris yang masih berdasarkan etnis (suku/golongan penduduk Indonesia) juga masih terdapat dalam: (a) Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jen-deral Agaria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster), tanggal 20 Desember 1969, nomor Dpt/12/637 12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan, dan (b) Pasal 111 ayat (1) hurufc Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan NasionalNo.3Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sebagai sebuah negara kesatuan, sudah saatnya diskriminasi dalam pembuatan bukti sebagai ahli waris seperti tersebut di atas untuk diakhiri, dengan mencabut aturan hukum tersebut atau untuk tidak memberlakukan aturan hukum tersebut, karena bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi, yaitu bahwa status sebagai Warga Negara Indonesia sudah tidak lagi berdasarkan etnis (Pasal 2 dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 12Tahun 2006).Notaris wajib menempatkan diri sebagai satu-satunya pejabat yang dapat membuat bukti sebagai ahli waris dalam bentuk akta pihak untuk seluruh Warga Negara Indonesia tanpa berdasarkan etnis tertentu. Tindakan Notaris ini sesuai dengan wewenang Notaris dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, dan Pasal 2 dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, yang menegaskan bahwa yang dimaksud dengan bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewaraganegaraan negara lain atas kehendak sendiri.
57
karena pihak yang menghadap Notaris menyembunyikan salah
satu ahli warisnya. Secara materil para ahli waris wajib
bertanggungjawab,tapi bagi Notaris tidak mungkin untuk mencabut
atau menganulir SKW tersebut, dan dengan alasan apapun Notaris
tidak dapat melakukannya, karena jika dilakukan ada kemungkinan
mereka yang telah ditetapkan sebagai ahli waris akan meng-gugat
Notaris yang bersangkutan ke pengadilan. Meskipun dalam hal ini
SKW yang dibuat oleh Notaris didasarkan dari bukti-bukti dan
keterangan atau pernyataan para pihak yang menghadap Notaris.
Suatu hal yang tidak logis, jika Notaris menganulir atau
membatalkan SKW yang dibuatnya sendiri, karena dalam
pembuatan SKW Notaris harus menarik kesimpulan dan kemudian
menetapkan siapa ahli waris dari siapa, dan hal ini merupakan
pendapat pribadi Notaris sendiri. SKW seperti ini meskipun dibuat
di hadapan Notaris, tidak termasuk kedalam sifat dan bentuk akta
otentik, karena tidak memenuhi sifat dan bentuk akta, dan syarat
akta, dari segi fungsi hanya mempunyai pembuktian dengan
kualitas sebagai surat di bawah tangan, yang penilaian
pembuktiannya diserahkan kepada hakim, jika hal tersebut
diperiksa atau menjadi objek gugatan di pengadilan negeri66. Hal
tersebut akan berbeda jika bukti untuk para ahli waris dibuat
dalam bentuk, sifat dan syarat sebagai akta otentik dalam akta
pihak. Jika setelah akta untuk bukti para ahli waris dibuat
66 Dalam Pasal Wet op het Notarisamb (1999) dalam Arikel 47.1. ditegaskan bahwa Notaris Belanda berwenang untuk membuat Surat Keterangan Waris (Verklaring van Erfrechtj di bawah tangan, dan surat semacam ini mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana akta otentik.
58
berdasarkan bukti dan keterangan serta pernyataan para pihak,
ternyata ada salah satu ahli waris yang tidak disebutkan di dalam
akta, maka hal tersebut dapat dibatalkan oleh para pihak sendiri,
dengan segala akibat hukum yang telah terjadi menjadi
tanggungjawab para pihaksendiri. Jika para pihak tidak mau
membatalkannya, maka mereka yang namanya tidak dimasukkan
sebagai ahli waris tersebut dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan negeri, untuk didegradasikan dan dibatalkan oleh
hakim pengadilan negeri, dan kemudian hakim menetapkan sendiri
siapa ahli waris dari siapa.
Tindakan Notaris di luar wewenang yang sudah ditentukan
tersebut, dapat dikategorikan sebagai perbuatan di luar wewenang
Notaris. Jika menimbulkan permasalahan bagi para pihak yang
menimbulkan kerugian secara materil maupun immateril dapat
diajukan gugatan ke pengadilan negeri. Untuk permasalahan
seperti ini, maka Majelis Pengawas atau Majelis Pemeriksa yang
dibentuk oleh Majelis Pengawas tidak perlu turut serta untuk
menindaknya sesuai wewenang Majelis Pengawas Notaris. Majelis
Pengawas Notaris dapat turut serta untuk menyelesaikanya, jika
tindakan Notaris sesuai dengan wewenang Notaris.
2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang)
untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang)
untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Meskipun Notaris dapat
membuat akta untuk setiap orang, tapi agar menjaga netralitas
59
Notaris dalam pembuatan akta, ada batasan bahwa menurut Pasal
52 UUJN Notaris tidak diperkenankan untuk membuat akta untuk
diri, sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai
hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan
maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah
dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke
samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk
diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan
perantaraan kuasa.
Mengenai orang dan untuk siapa akta dibuat, harus ada
keterkaitan yang jelas, misalnya jika akan dibuat akta pengikatan
jual beli yang diikuti dengan akta kuasa untuk menjual, bahwa
pihak yang akan menjual mempunyai wewenang untuk menjualnya
kepada siapapun. Untuk mengetahui ada keterkaitan semacam itu,
sudah tentu tentu Notaris akan melihat (asli surat) dan meminta
fotocopy atas indentitas dan bukti kepemilikannya, Salah satu
tanda bukti yang sering diminta oleh Notaris dalam pembuatan
akta Notaris, yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan sertifikat
tanah sebagai bukti kepemilikannya. Ada kemungkinan antara
orang yang namanya tersebut dalam KTP dan sertifikat bukan
orang yang sama, artinya pemilik sertifikat bukan orang yang
sesuai dengan KTP, hal ini bisa terjadi (di Indonesia), karena
banyak kesamaan nama dan mudahnya membuat KTP, serta dalam
sertifikat hanya tertulis nama pemegang hak, tanpa ada
penyebutan identitas lain. Dalam kejadian seperti ini bagi Notaris
60
tidak menimbulkan permasalahan apapun, tapi dari segi yang lain
Notaris oleh pihak yang berwajib (kepolisian/penyidik) dianggap
memberikan kemudahan untuk terjadinya suatu tindak pidana.
Berkaitan dengan identitas diri penghadapdan bukti
kepemilikannya yang dibawa dan aslinya diperlihatkan ternyata
palsu, maka hal ini bukan tanggungjawab Notaris,
tanggungjawabnya diserahkan kepada para pihak yang
menghadap.
3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana
akta itu di buat.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana
akta itu di buat. Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris
harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap Notaris
sesuai dengan keinginannya mempunyai tempat kedudukan dan
berkantor di daerah kabupaten atau kota (Pasal 19 ayat [1 ] UUJN).
Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah
propinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat [2] UUJN).
Pengertian pasal-pasal tersebut bahwa Notaris dalam menjalankan
tugas jabatannya tidak hanya harus berada di tempat
kedudukannya, karena Notaris mempunyai wilayah jabatan seluruh
propinsi, misalnya Notaris yang berkedudukan di Kota Surabaya,
maka dapat membuat akta di kabupaten atau kota lain dalam
wilayah Propinsi Jawa Timur. Hal ini dapat dijalankan dengan
ketentuan:
61
a. Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya (membuat akta)
di luar tempat kedudukannya, maka Notaris tersebut harus
berada di tempat akta akan dibuat. Contoh Notaris yang
berkedudukan di Surabaya, akan membuat akta di Mojokerto,
maka Notaris yang bersangkutan harus membuat dan
menyelesaikan akta tersebut di Mojokerto.
b. Pada akhir akta harus disebutkan tempat (kota atau
kabupaten) pembuatan dan penyelesaian akta.
c. Menjalankan tugas jabatan di luar tempat kedudukan Notaris
dalam wilayah jabatan satu propinsi tidak merupakan suatu
keteraturan atau tidak terus-menerus (Pasal 19 ayat [2] UUJN).
Ketentuan tersebut dalam praktik memberikan peluang kepada
Notaris untuk merambah dan melintasi batas tempat kedudukan
dalam pembuatan akta, meskipun bukan suatu hal yang dilarang
untuk dilakukan, karena yang dilarang menjalankan tugas
jabatannya di luar wilayah jabatannya atau di luar propinsi (Pasal
17 huruf a UUJN), tapi untuk saling menghormati sesama Notaris di
kabupaten atau kota lain lebih baik hal seperti itu
untuktidakdilakukan, berikan penjelasan kepada para pihak untuk
membuat akta yang diinginkannya untuk datang menghadap
Notaris di kabupaten atau kota yang bersangkutan. Dalam keadaan
tertentu dapat saja dilakukan, jika di kabupaten atau kota tersebut
tidak ada Notaris.
62
1. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan
akta itu. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu
pembuatan akta itu. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya
harus dalam keadaan aktif,artinya tidak dalam keadaan cuti atau
diberhentikan sementara waktu. Notaris yang sedang cuti, sakit
atau sementara berhalangan berhalangan untuk menjalankan
tugas jabatannya. Agar tidak terjadi kekosongan, maka Notaris
yang bersangkutan dapat menunjuk Notaris Pengganti (Pasal 1
angka 3 UUJN)67. Seorang Notaris dapat mengangkat seorang
Notaris Pengganti, dengan ketentuan tidak kehilangan
kewenangannya dalam menjalankan tugas jabatatannya, dengan
demikian dapat menyerahkan kewenangannya kepada Notaris
Pengganti, sehingga yang dapat mengangkat Notaris Pengganti,
yaitu Notaris yang cuti, sakit atau berhalangan sementara, yang
setelah cuti habis protokolnya dapat diserahkan kembali kepada
Notaris yang digantikannya, sedangkan tugas jabatan Notaris
dapat dilakukan oleh Pejabat Sementara Notaris68 hanya dapat
67 Cuti dengan alasan tertentu, misalnya untuk berlibur atau diangkat untuk jabatan lain yang tidak bisa dirangkap dengan Jabatan Notaris selain jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),sedangkan sakit sepanjang Notaris secara jasmani dan rohani masih dapat melakukan tindakan hukum secara sadar.
68 Dalam Pasal 62 UUJN dalam pengangkatan Pejabat Sementara Notaris di samping alasan-alasan tersebut di atas, ada alasan yang tidak tepat untuk dimasukkan sebagai alasan untuk mengangkat Pejabat Sementara Notaris, yaitu diangkat menjadi pejabat negara atau jabatan-jabatan lain yang tidak dapat dirangkap dengan jabatan Notaris. Alasan seperti ini harus dimasukkan sebagai alasan untuk mengangkat Notaris Pengganti karena berhaiangan sementara. Ketika seorang Notaris diangkat untuk memegang suatu jabatan yang tidak dirangkap dengan jabatan Notaris, sudah diketahui sebelumnya mengenai jabatan barunya, sehingga perlu dipersiapkan sebelumnya.
63
dilakukan untuk Notaris yang kehilangan kewenangannya dengan
alasan:
a. meninggal dunia;
b. telah berakhir masa jabatannya;
c. minta sendiri;
d. tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk
melaksanakan tugas jabatan sebagai Notaris secara terus
menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;
e. pindah wilayah jabatan;
f. diberhentikan sementara, atau g. diberhentikan dengan tidak
hormat;
Untuk Notaris Pengganti Khusus berwenang untuk membuat akta
tertentu saja yang disebutkan dalam surat pengangkatannya,
dengan alasan Notaris yang berada di kabupaten atau kota yang
bersangkutan hanya terdapat seorang Notaris, dan dengan alasan
sebagaimana tersebut dalam UUJN tidak boleh membuat akta yang
dimaksud. Ketidakbolehan tersebut dapat didasar-kan kepada
ketentuan Pasal 52 UUJN, terutama mengenai orang dan akta yang
akan dibuat.
Dengan demikian kedudukan akta Notaris sebagai akta otentik
atau otensitas akta Notaris, karena:
1. akta dibuat oleh (door; atau di hadapan (ten overstaan) seorang
Pejabat Publik,69
69 Untuk memahami kedudukan Notaris dari Pejabat Umum ke Pejabat Publik dapat dibaca dalam buku: Habib Adjie, Sanksi Perdata dan
64
2. akta dibuat dalam bentuk dan tata cara (prosedur) dan syarat yang
ditentukan oleh undang-undang,
3. Pejabat Publik oleh - atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Karakter yuridis akta Notaris, yaitu:
1. Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan
oleh undang-undang (UUJN).
2. Akta Notaris dibuat karena ada permintaan para pihak, dan bukan
keinginan Notaris;
3. Meskipun dalam akta Notaris tercantum nama Notaris, tapi dalam
hal ini Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama
para pihak atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta.
4. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapa pun
terikat dengan akta Notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain
yang tercantum dalam akta tersebut.
5. Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas
kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika
ada yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus
mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta yang
bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu
yang dapat dibuktikan.
Aspek lahiriah dari akta Notaris dalam yurisprudensi Mahkamah
Agung bahwa akta Notaris sebagai alat bukti berkaitan dengan tugas
AdministratifTerhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Adhitama, Bandung, 2007.
65
pelaksanaan tugas jabatan Notaris70, yang menegaskan bahwa dalam
amar putusannya membatalkan Akta Notaris, hal ini tidak dapat
dibenarkan, karena Pejabat Notaris fungsinya hanya mencatatkan
(menuliskan) apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para
pihak yang menghadap Notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi
Notaris untuk menyelidiki secara materil apa-apa (hal-hal) yang
dikemukakan oleh penghadap Notaris tersebut71.
Berdasarkan pada putusan Mahkamah Agung tersebut dapat
disimpulkan bahwa:
1. Akta Notaris tidak dapat dibatalkan.
2. Fungsi Notaris hanya mencatatkan (menuliskan) apa-apa yang
dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap
Notaris tersebut.
3. Tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk menyelidiki secara materil
apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap tersebut.
Dengan demikian bertentangan dengan inti dari akta Notaris,
jika akta Notaris yang dibuat atas kehendak para pihak dibatalkan oleh
putusan pengadilan, tanpa ada gugatan dari para pihak yang tersebut
dalam akta untuk membatalkan akta Notaris. Pembatalan akta Notaris
hanya dapat dilakukan oleh para pihak sendiri.
70 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 702 K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973.
71 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 702 K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973, M. All Boediarto, op.cit., hlm. 148.
66
Akta Notaris berisi keterangan, pernyataan para pihak dan
dibuat atas kehendak atau permintaan para pihak, dan Notaris
membuatnya dalam bentuk yang sudah ditentukan menurut undang-
undang, dan juga Notaris bukan pihak dalam akta tersebut,
pencantuman nama Notaris dalam akta karena perintah undang-
undang. Membatalkan akta Notaris berarti secara lahiriah tidak
mengakui akta tersebut, dengan demikian akta tersebut bukan akta
Notaris. Penilaian akta Notaris secara lahiriah bukan suatu akta
Notaris, maka harus dibuktikan dari awal sampai dengan akhir akta
Notaris ada yang tidak dipenuhi syarat mengenai bentuk akta Notaris.
Jika dapat dibuktikan bahwa akta Notaris tersebut tidak memenuhi
syarat sebagai sebuah akta Notaris, maka tersebut akan mempunyai
nilai pembuktian sebagaimana akta di bawah tangan, yang penilaian
pembuktiannya tergantung kepada penga-kuan para pihak dan hakim.
Perkara pidana dan perdata akta Notaris senantiasa
dipermasalahkan dari aspek forma/terutama mengenai:
a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap.
b. Pihak (siapa) yang menghadap Notaris.
c. Tanda tangan yang menghadap.
d. Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta.
e. Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta.
f. Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi minuta akta
dikeluarkan.
67
Perkara pidana yang berkaitan dengan aspek formal akta
Notaris, pihak penyidik, penuntut umum dan hakim akan memasukkan
Notaris telah melakukan tindakan hukum:
1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat
palsu/yang dipalsukan (Pasal 263 ayat [1], [2] KUHP).
2. Melakukan pemalsuan (Pasal 264 KUHP).
3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik
(Pasal 266 KUHP).
4. Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan
(Pasal 55 jo Pasal 263 ayat [1] dan [2] atau 264 atau 266 KUHP).
5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan
menggunakan surat palsu/yang diplasukan (Pasal 56 ayat [1] dan
[2] jo Pasal 263 ayat [1] dan (2) atau 264 atau 266 KUHP.
Notaris wajib menjamin kepastian hari, tanggal, bulan, tahun
dan pukul menghadap yang tercantum atau disebutkan pada bagian
awal akta Notaris, sebagai bukti bahwa para pihak menghadap dan
menandatangani akta pada hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul yang
tersebut dalam akta dan semua prosedur pembuatan telah dilakukan
sesuai aturan hukum yang berlaku dalam hal ini UUJN. Jika pihak yang
tersebut dalam akta merasa menghadap Notaris dan menandatangani
akta di hadapan Notaris pada saat yang diyakininya benar, tapi
ternyata dalam salinan dan minuta akta tidak sesuai dengan
kenyataan yang diyakininya, maka pihak yang bersangkutan
melakukan tindakan pengingkaran terhadap kepastian hari, tanggal,
bulan, tahun dan pukul menghadap yang tercantum dalam akta.
68
Dalam kaitan ini diperlukan pembuktian dari pihak yang melakukan
pengingkaran tersebut dan Notaris yang bersangkutan. Jika semacam
itu dikategorikan sebagai suatu tindak pidana, maka Notaris
dikualifikasikan melakukan tindak pidana Pasal 263,264,266 jo 55 atau
56 KUHP.
Menurut beberapa putusan pengadilan72, bahwa pembuatan
akta pihak, Notaris hanya sekedar mengkonstatir saja apa yang
diinginkan atau dikehendaki oleh penghadap yang bersangkutan,
dengan cara mencatat, kemudian menyu-sunnya agar sesuai dengan
peraturan hukum yang berlaku, dan kalau sudah selesai dengan
kehendak penghadap, maka penghadap diminta untuk membubuhkan
tanda tangannya serta menulis nama terangnya, hal ini merupakan
prosedur pembuatan akta Notaris akta pihak73.
Jika kemudian ternyata terbukti bahwa yang menghadap Notaris
tersebut bukan orang yang sebenarnya atau orang yang mengaku asli,
tapi orang yang sebenarnya tidak pernah menghadap Notaris,
sehingga menimbulkan kerugian orang yang sebenarnya.
Pertanggungjawaban pidana dalam kejadian seperti tersebut di atas,
72 Putusan Pengadilan Negeri Surabaya, nomor 260/1981/Pidana, tanggal, 1 Januari 1984, Pengadilan Tinggi Surabaya, nomor 127/Pid/1984/PT. Sby, tanggal 5 Juli 1984 dan Mahkamah Agung nomor 9427 Pid/1984, tanggal 28 September 1985, serta Pengadilan Tinggi Surabaya, nomor 270/Pid/1984/PT. Sby, tanggal 14 April 1986.
73 Sisi lain dari putusan badan peradilan tersebut merupakan contoh bentuk penyimpangan atau kurangnya kemampuan para Notaris, baik karena kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan tugas jabatan Notaris, meskipun dalam hal ini kelalaian tersebut apabila dilihat dari sudut pandang, masih harus dibuktikan kebenarannya, Liliana Tedjosaputro, "Tinjauan Malpraktek Di Kalangan Notaris Dan Pejabat PembuatAkta Tanat\Dari Sudut Hukum Pidana", Tesis, Fakultas Pascasarjana KPK- Ul, Universitas Diponegoro, Semarang, 1990, hlm. 89-90.
69
tidak dapat dibebankan kepada Notaris, karena unsur kesalahannya
tidak ada, dan Notaris telah melaksanakan tugas jabatan sesuai aturan
hukum yang berlaku, sesuai asas tiada hukum tanpa kesalahan, dan
tiada kesalahan yang dilakukan oleh Notaris yang bersangkutan, maka
Notaris tersebut harus dilepas dari tuntutan.
Dalam pembuatan akta pihak ataupun akta relaas harus sesuai
dengan tata cara yang sudah ditentukan. Akta pihak Notaris hanya
mencatat, dan membuatkan akta atas kehendak, keterangan atau
pernyataan para pihak yang kemudian ditanda-tangani oleh para pihak
tersebut, dan dalam akta relaas, berisi pernyataan atau keterangan
Notaris sendiri atas apa yang dilihat atau didengarnya, dengan tetap
berlandaskan bahwa pembuatan akta relaaspun haru ada permintaan
dari para pihak.
Pemeriksaan terhadap Notaris selaku tersangka atau terdakwa
harus didasar-kan kepada tata cara pembuatan akta Notaris, yaitu:
1. melakukan pengenalan terhadap penghadap, berdasarkan
identitasnya yang diperlihatkan kepada Notaris;
2. menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan
atau kehendak para pihak tersebut (tanya-jawab);
3. memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau
kehendak para pihak tersebut;
4. memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi
keinginan atau kehendak para pihak tersebut;
70
5. memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta Notaris,
seperti pembacaan, penandatatanganan, memberikan salinan, dan
pemberkasan untuk minuta;
6. melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan
tugas jabatan Notaris.
Dalam memeriksa Notaris yang berkaitan dengan akta yang
dibuat atau dibuat oleh Notaris yang bersangkutan, parameternya
harus kepada prosedur pembuatan akta Notaris, dalam hal ini UUJN.
Jika semua prosedur sudah dilakukan, maka akta yang bersangkutan
tetap mengikat mereka yang membuatnya di hadapan Notaris.
Mempidanakan Notaris dengan alasan-alasan pada aspek formal
akta, tidak akan membatalkan akta Notaris yang dijadikan objek
perkara pidana tersebut, dengan demikian akta yang bersangkutan
tetap mengikat para pihak74. Dalam perkara perdata pelanggaran
terhadap aspek formal dinilai sebagai suatu tindakan melanggar
hukum dan hal ini dilakukan dengan mengajukan gugatan terhadap
Notaris yang bersangkutan. Pengingkaran terhadap aspek formal ini
harus dilakukan oleh penghadap sendiri, bukan oleh Notaris atau pihak
lainnya.
74 Hal ini dapat disejajarkan dengan orang yang membuat dan mempergunakan surat palsu untuk melakukan perkawinan. Jika terbukti yang bersangkutan membuat atau mempergunakan surat palsu untuk dasar perkawinan, dan oleh pengadilan dihukum, padahal perkawinan sudah terjadi, maka penjatuhan pidana kepada yang bersangkutan tidak merubah status perkawinan mereka, dan mereka tetap suami-isteri sepanjang tidak dilakukan pembatalan oleh yang berkepentingan. Misalnya oleh orang tua salah satu pihak.
71
Aspek materil dari akta Notaris, segala hal yang tertuang harus
dinilai benar sebagai pernyataan atau keterangan Notaris dalam akta
relaas, dan harus dinilai sebagai pernyataan atau keterangan para
pihak dalam akta partij (pihak), hal apa saja yang harus ada secara
materil dalam akta harus mempunyai batasan tertentu, Menentukan
batasan seperti itu tergantung dari apa yang dilihat, didengar oleh
Notaris atau yang dinyatakan, diterangkan oleh para pihak di hadapan
Notaris.
Dalam kaitan ini putusan Mahkamah Agung75, menegaskan
bahwa suatu akta otentik (atau akta di bawah tangan) hanya berisi
satu perbuatan hukum. Bila ada akta mengandung dua perbuatan
hukum (misalnya pengakuan hutang dan pemberian kuasa untuk
menjual), maka akta ini telah melanggar adagium tersebut, dan akta
seperti ini tidak memiliki kekuatan eskekusi (executorial title) ex Pasal
244 HIR, bukan tidak sah76. Dalam praktik Notaris banyak dilakukan
beberapa tindakan hukum dibuat dalam satu akta saja, berdasarkan
putusan Mahkamah Agung tersebut batasan akta secara materil, yaitu
satu akta Notaris harus memuat satu perbuatan hukum saja.
Kehendak penghadap yang tertuang dalam akta secara materil
merupakan kehendak atau keinginan para pihak sendiri, bukan
kehendak Notaris, dan tugas Notaris hanya memberi saran saja,
kalaupun kemudian saran tersebut diikuti dan dituangkan dalam akta,
maka hal tersebut tetap merupakan keinginan atau kehendak 75 Putusan Mahkamah Agung nomor 1440 K/Pdt/1996, tanggal 30 Juni 1998.76 M. All Boediarto, op.cit., hlm. 166.
72
penghadap sendiri. Jika penghadap mendalilkan bahwa akta Notaris
yang berisi keterangan atau perkataannya di hadapan Notaris, tidak
dikehendaki oleh penghadap, kemudian penghadap mengajukan
gugatan dengan gugatan untuk membatalkan akta tersebut77. Maka
hal tersebut harus dapat dibuktikan bahwa akta dibuat dalam keadaan
terpaksa, kekhilafan atau penipuan, jika tidak dapat dibuktikan maka
gugatan seperti itu harus ditolak, karena dalam hal ini semua prosedur
untuk pembuatan akta telah dilakukan oleh Notaris. Jika secara materil
isi akta tidak sesuai dengan keinginan penghadap, maka atas hal
tersebut dapat diajukan gugatan ke pengadilan, dengan kewajiban
untuk membuktikan dalil gugatannya.
Secara materil akta isi akta merupakan keinginan para pihak,
tapi dalam keadaan atau dengan alasan tertentu, akta tersebut batal
demi hukum, yaitu jika materi akta tersebut bertentangan dengan
aturan hukum78. Dengan demikian secara materil akta Notaris tidak
mempunyai kekuatan eksekusi dan batal demi hukum dengan putusan
pengadilan, jika dalam akta Notaris:
1. memuat lebih dari 1 (satu) perbuatan atau tindakkan hukum;
2. materi akta bertentangan dengan hukum yang mengatur
perbuatan atau tindakan hukum tersebut.
77 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat, nomor 102/Pdt/G/1986, tanggal 13 November 1986, Pengadilan Tinggi Daerah Khusus Ibukota nomor 16/Pdt/1987, tanggal 21 Pebruari 1987 dan Mahkamah Agung nomor 2827/K/Pdt./l 987, tanggal 24 Pebruari 1987,
78 Putusan Pengadilan Negeri Surabaya nomor 80/Pdt.G/l987/PN. Sby, tanggal 30 April 1987, Pengadilan Tinggi Jawa Timur nomor 58/Pdt/1988/PT. Sby, tanggal 28 Pebruari 1988 dan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 1462 K/Pdt/1989, tanggal 29 November 1993.
73
3.2.2. Akta Notaris Sebagai Alat Bukti
Dalam Hukum (Acara) Perdata. alat bukti yang sah atau yang
diakui oleh hukum, terdiri dari:79
a. bukti tulisan;
b. bukti dengan saksi-saksi;
c. persangkaan-persangkaan;
d. pengakuan;
e. sumpah.
Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan
otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan80. Tulisan-
tulisan otentik berupa akta otentik, yang dibuat dalam bentuk yang
sudah ditentukan oleh undang-undang, dibuat di hadapan pejabat-
pejabat (pegawai umum) yang diberi wewenang dan di tempat dimana
akta tersebut dibuat81. Akta otentik tidak saja dapat dibuat oleh
Notaris, tapi juga oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)82. Pejabat
Lelang dan Pegawai Kantor Catatan Sipil.Tulisan di bawah tangan atau
disebutjuga akta di bawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak
ditentukan oleh undang-undang, tanpa perantara atau tidak di
79 Pasal 138, 165, 167 HIR, 164,285 - 305 Rbg.S. 1867 nomor 29, Pasal 1867- 1894 B.W.Menurut Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, dengan Putusan tanggal 10 April 1957, nomor 213 K/Sip/1955, bahwa penglihatan hakim dalam persidangan atas alat bukti tersebut, adalah merupakan pengetahuan hakim sendiri yang merupakan usaha pembuktian. M. Ali Boediarto, loc cit., hlm. 157.
80 Pasal 1867 B.W.81 Pasal 1868 B.W.
82 Akta PPAT dikategorikan sebagai akta otentik, meskipun sampai saat ini belum ada perintah undang-undang yang mengatur mengenai Akta PPAT. Menurut Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, putusan tanggal 22 Maret 1972, nomor 937 K/Sip/1970, bahwa akta jua! beli tanah yang dilaksanakan di hadapan PPAT dianggap sebagai bukti surat yang mempunyai kekuatan bukti sempurna, M. Ali Boediarto, loc.cit, hlm. 146.
74
hadapan Pejabat Umum yang berwenang83. Baik akta otentik maupun
akta di bawah tangan dibuat dengan tujuan untuk dipergunakan
sebagai alat bukti84.
Dalam kenyataan ada tulisan yang dibuat tidak dengan tujuan
sebagai alat bukti, tapi dapat dipergunakan sebagai alat bukti, jika hal
seperti ini terjadi agar mempunyai nilai pembuktian harus dikaitkan
atau didukung dengan alat bukti yang lainnya. Perbedaan yang penting
antara kedua jenis akta tersebut, yaitu dalam nilai pembuktian, akta
83 Pasal 1874B.W.84 Karena akta Notaris berfungsi sebagai alat bukti, maka setidaknya
material yang dipakai untuk menerakan tulisan tersebut haruslah memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya:
a. Ketahanan akan jenis material yang dipergunakan.Hal ini berkaitan dengan (diantaranya) kewajiban bagi Notaris untuk membuat minuta akta dan menyimpan minuta akta yang dibuatnya. Pasal 28 ayat 3 Notariswet di Nederland telah mensyaratkan jenis kertas tertentu untuk pembuatan akta yang digunakan oleh para Notaris. Dengan demikian kertas dianggap memenuhi syarat material untuk daya tahan penyimpanan arsip.
b. Ketahanan terhadap pemalsuan.Perubahan yang dilakukan terhadap tulisan di atas kertas dapat diketahui dengan kasat mata atau dengan menggunakan cara yang sederhana. Ini berarti bahwa para pihak akan terjamin apabila perbuatan hukum di antara mereka telah dilakukan dengan akta yang menggunakan jenis kertas tertentu.
c. Originalitas.Untuk mniuta akta hanya ada satu akta aslinya, kecuali untuk akta yang dibuat in original! Dibuat dalam beberapa rangkap yang semuanya asli.
d. Publisitas.Untuk hal-hal tertentu pihak ketiga yang berkepentingan dapat dengan mudah melihat akta asli atau minta salinan daripadanya.
e. Dapat segera atau mudah dilihat (waarneembaarheid).Data yang terdapat pada kertas dapat dengan segera dilihat tanpa diperlukan tindakan lainnya untuk dapat melihatnya.
f. Mudah dipindahkan.Kertas dan sejenisnya dapat dengan mudah dipindahkan.
(R.E. van Esch, Elektronische Rechtshandelingen, dalam De Notaries en et Elektronisch Rechtsverkeer, Koninkelike Vermande, Lelystad/KNB, s'Gravemhage, 1996, hlm. 46-48 dalam Herlien Budiono, Akte Notaris Melalui Media Elektronik, Ugrading - Refreshing Course Ikatan Notaris Indonesia, Bandung, 22 - 25 Januari 2003, hlm. 5-6).
75
otentik mempunyai pembuktian yang sempurna. Kesempurnaan akta
Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa
adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis
dalam akta tersebut. Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan
pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada
penyangkalan dari salah satu pihak85, jika para pihak mengakuinya,
maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna sebagaimana akta otentik86, jika ada salah
satu pihak tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada
pihak yang menyangkal akta tersebut, dan penilaian penyangkalan
atas bukti tersebut diserahkan kepada hakim87. Baik alat bukti akta di
bawah tangan maupun akta otentik keduanya harus memenuhi
rumusan mengenai sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320
BW,dan secara materil mengikat para pihak yang membuatnya (Pasal
1338 BW) sebagai suatu perjanjian yang harus ditepatioleh para pihak
(pactasuntservanda).
Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris bentuknya sudah
ditentukan dalam Pasal 38 UUJN. Sebagai bahan perbandingan
85 Sebagai contoh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 775 K/Sip/1971, tanggal 6 Oktober 1971, menegaskan bahwa surat (surat jual beli) yang diajukan dalam persidangan, kemudian disangkal oleh pihak lawan, dan tidak dikuatkan dengan alat bukti lainnya, maka surat (jual beli tanah) tersebut dinilai sebagai alat bukti yang lemah dan belum sempurna. M. Ali Boediarto, op.cit., hlm. 145.
86 Pasal 1875 B.W.87 Peradilan Perdata di Indonesia menganut sistem hukum pembuktian
berdasar pada asasnegatifwettelijk bewijsleer. Hal ini terlihat dalam Pasal 249 jo 298 H.I.R. dan tidak memakai sistem vrij bewijsleer yang menitikberatkan pada keyakinan hakim belaka. Hal ini dilarang oleh undang-undang (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 583 K/Sip/1970, tanggal 10 Pebruari 1971), M. Ali Boediarto, op.cit., hlm. 136.
76
kerangka atau susunan akta yang tersebut dalam Pasal 38 UUJN
berbeda dengan yang dipakai dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN).
Dalam PJN kerangka akta atau anatomi akta terdiri dari88:
1. Kepala (hoofd) akta; yang memuat keterangan-keterangan dari
Notaris mengenai dirinya dan orang-orang yang datang
menghadap kepadanya atau atas per-mintaan siapa dibuat berita
acara;
2. Badan akta; yang memuat keterangan-keterangan yang diberikan
oleh pihak-pihak dalam akta atau keterangan-keterangan dari
Notaris mengenai hal-hal yang disaksikannya atas permintaan
yang bersangkutan.
3. Penutup akta; yang memuat keterangan dari Notaris mengenai
waktu dan tempat akta dibuat; selanjutnya keterangan mengenai
saksi-saksi, di hadapan siapa akta dibuat dan akhirnya tentang
pembacaan dan penandatanganan dari akta itu.
Perbedaan antara Pasal 38 dengan PJN mengenai kerangka akta
terutama dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a dan b mengenai Awal atau
Kepala akta dan Badan akta. Dalam PJN Kepala akta hanya memuat
keterangan-keterangan atau yang menyebutkan tempat kedudukan
Notaris dan nama-nama para pihak yang datang atau menghadap
Notaris, dan dalam Pasal 38 ayat (2) UUJN Kepala akta memuat judul
88 G.H.S. Lumban Tobing, op.cit., hlm. 214.
77
akta89, nomor akta, jam90, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan nama
lengkap dan tempat kedudukan Notaris. Satu perbedaan yang perlu
untuk diperhatikan, yaitu mengenai identitas para pihak atau para
penghadap. Dalam PJN identitas para pihak atau para penghadap
merupakan bagian dari Kepala akta, sedangkan menurut Pasal 38 ayat
(2) UUJN, identitas para pihak atau para penghadap bukan bagian dari
Kepala akta, tapi merupakan bagian dari Badan akta (Pasal 38 ayat [3]
huruf a), dan dalam PJN bahwa Badan akta memuat isi akta yang
sesuai dengan keinginan atau permintaan para pihak atau para
penghadap.
Adanya perubahan mengenai pencantuman identitas para pihak
atau para penghadap yang semula dalam PJN yang merupakan bagian
dari Kepala atau, kemudian dalam Pasal 38 ayat (3) huruf b UUJN
identitas para pihak atau para penghadap diubah menjadi bagian dari
Badan akta menimbulkan kerancuan dalam menentukan isi akta,
sehingga muncul penafsiran bahwa identitas para pihak dalam akta
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan isi akta.
Pencantuman identitas para pihak merupakan bagian dari formalitas
akta Notaris, bukan bagian dari materi atau isi akta. Dalam hal ini Pasal
89 Di dalam PJN tidak diatur mengenai akta Notaris harus mencantumkan judul. Jika di dalam akta tercantum judulnya, maka termasuk dalam Kepala atau Awal akta, G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hlm. 215. Dalam praktik Notaris judul sudah merupakan keharusan, karena judul mencerminkan isi akta.
90 Arti dari Jam adalah alat pengukur waktu (seperti arloji, lonceng dinding) atau waktu yang lamanys (dari sehari- semalam); Kamus Besar Bahasa Indonesia, op.cit., hlm. 397. Dengan demikian bahwa Jarr dapat berarti suatu alat untuk mengukur waktu dan juga berarti lamanya waktu tertentu (duration). Jika ingin menunjukkan waktu atau saat (moment) menghadap Notaris lebih tepat dicantumkan Puku, yang berarti saat yang menyatakan; Kamus Besar Bahasa Indonesia, ibid., hlm. 796.
78
38 ayat (2) dan (3) telah mencampur-adukkan antara Komparisi dan Isi
akta91.
Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat
mereka membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 BW yang mengatur tentang
syarat sahnya perjanjian, ada syarat subjektif yaitu syarat yang
berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian,
yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan
suatu perbuatan hukum, dan syarat objektif yaitu syarat yang
berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek
yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak, yang terdiri dari
suatu hal tertentu dan sebab yang tidak dilarang92.
Dalam hukum perjanjian ada akibat hukum tertentu jika syarat
subjektif dan syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak
terpenuhi, maka perjanjian dapatdibatalkan (vernietigbaar) sepanjang
91 Dalam PJN kerangka akta terdiri dari:1. judul dari akta;2. keterangan-keterangan dari notaris mengenai para penghadap atau
atas permintaan siapa dibuat berita acara atau lazim dinamakan Komparisi.
3. keterangan pendahuluan dari para penghadap (jika ada) atau lazim dinamakan Premisse.
4. isi akta itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan;
5. penutup dari akta, yang biasanya didahului oleh perkataan-perkataan Maka akta ini dan seterusnya atau Akta ini dibuat dan seterusnya. (G.H.S. Lumban Tobing, ibid., hlm. 214).
92 Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka persetujuan tersebut tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 BW). Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tetap sah (Pasal 1336 BW).
79
ada permintaan oleh orang-orang tertentu atau yang berkpentingan93.
Syarat subjektif ini senantiasa dibayangi ancaman untuk dibatalkan
oleh para pihak yang berkepentingan dari orang tua, wali atau
pengampu. Agar ancaman seperti itu tidak terjadi, maka dapat
dimintakan penegasan dari mereka yang berkepentingan, bahwa
perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan mengikat para pihak. Jika
syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum
(nietig), tanpa perlu ada permintan dari para pihak, dengan demikian
perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun.
Perjanjian yang batal mutlak dapat juga terjadi, jika suatu perjanjian
yang dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan
untuk perbuatan hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah
ditentukan atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban
umum94, karena perjanjian sudah dianggap tidak ada, maka sudah
tidak ada dasar lagi bagi para pihak untuk saling menuntut atau
93 Pembatalan karena ada permintaan dari pihak yang berkepentingan, seperti orang tua, wali atau pengampu disebut pembatalan yang relative atau tidak mutak. Pembatalan relatif ini dibagi 2 (dua), yaitu:
a. pembatalan atas kekuatan sendiri, maka atas permintaan orang tertentu dengan mengajukan gugatan atau perlawanan, agar hakim menyatakan batal (nietig verklaard) suatu perjanjian. Contohnya jika tidak dipenuhi syarat subjektif (Pasal 1446 BW).
b. Pembatalan oleh hakim, dengan putusan membatalkan suatu perjanjian dengan mengajukan gugatan. Contohnya Pasal 1449 BW. (Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Bale Bandung "Sumur Bandung" Bandung, 1989, hlm. 121).
94 Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahwa azas kebebasan berkontrak merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat mana saja yang telah menerima budaya industri dan perdagangan, dengan kata lain apabila suatu masyarakat telah memasuki atau paling tidak telah bersentuhan dengan budaya Industri dan perdagangan, eksistensi azas kebebasan berkontrak hendaklah diterima di masyarakat tersebut, Peter Mahmud Marzuki, "Batas-batas Kebebasan Berkontrak", Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Volume 18, Nomor 3, Mei 2003, hlm. 203.
80
menggugat dengan cara dan bentuk apapun95. Misalnya jika suatu
perjanjian wajib dibuat dengan akta (Notaris atau Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT), tapi ternyata tidak dilakukan, maka perbuatan
hukum atau perjanjian tersebut batal demi hukum.
Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta
Notaris. Syarat subjektif dicantumkan dalam Awal akta, dan syarat
objektif dicantumkan dalam Badan akta sebagai isi akta. Isi akta
merupakan perwujudan dari Pasal 1338 BW mengenai kebebasan
berkontrak96 dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum
kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya97. Dengan 95 Jika perjanjian sudah tidak memenuhi syarat objektif, ternyata masih
ada yang mengajukangugatan atau tuntutan atas hal tersebut, maka hakim diwajibkan karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan, R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2005, hlm. 22.
96 Pasal 1337 B.W.97 Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahwa seseorang pada umumnya
mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian. Di dalam azas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian. Peter Mahmud Marzuki, Saras Kebebasan ..., loc.cit., hlm. 219. Meskipun demikian kebebasan berkontrak ada batas-batasnya, yaitu : (1) harus dilindungi dari korban undue influence, (2) perjanjian yang bertentangan dengan ketertiban umum (openbareorde), (3) yang bertentangan dengan kebijakan publik (publicpolicy), Peter Mahmud Marzuki, ibid.Menurut Moch. Isnaeni, bahwa azas kebebasan berkontrak menjadi kuda hitam yang sangat diandalkan, padahal kontrakyang sehat, tentunya tidak melulu berlandas pada satu azas saja. Azas-azas lain mestinya juga harus diberi peran yang seimbang, misalnya saja azas itikad baik. Azas ini sebenarnya sangat strategis perannya untuk kelahiran sebuah kontrak yang sehat, mengingat langkah awal para pihak untuk saling mengikatkan diri, lebih bermula dari niat,dan sudah tentu yang berlabel baik. Moch. Isnaeni, "Hukum Kontrak",Makalah WorkshopTeknik Perancangan & Review Kontrak-kontrak Bisnis.Law Firm Prihandono & Partners - BinaUF Conference, Surabaya, 20 -21 Oktober 2003, hlm. 9. Selanjutnya oleh Moch. Isnaeni dikemukan pula, bahwa azas itikad baik, azas kebebasan berkontrak dan konsensualisme, saling berjalin satu dengan yang lain tanpa dapat dielakkan kalau menginginkan lahirnya suatu kontrak yang sehat (fair) demi terbingkainya aktifitas bisnis dalam hidup keseharian. Moch. Isnaeni, "Jalinan Prinsip-prinsip Hukum Kontrak dalam Bisnis", Makalah Seminar Hukum
81
demikian jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang
menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif,maka atas
permintaan orang tertentu akta tersebut dapat dibatalkan98. Prof dalam
isi akta tidak memenuhi syarat objektif, maka akta tersebut batal demi
hukum99. Oleh karena Pasal 38 ayat (3) huruf a UUJN telah menentukan
bahwa syarat subjektif dan syarat objektif bagian dari Badan Akta,
maka timbul kerancuan, antara akta yang dapat dibatalkan dengan
akta yang batal demi hukum, sehingga jika diajukan untuk
membatalkan akta Notaris karena tidak memenuhi syarat subjektif,
maka dianggap membatalkan seluruh Badan Akta, termasuk
membatalkan syarat objektif. Syarat subjektif ditempatkan sebagai
bagian dari Awal akta, dengan alasan meskipun syarat subjektif tidak
dipenuhi sepanjang tidak ada pengajuan pembatalan dengan cara
gugatan dari orang-orang tertentu, maka Isi akta yang berisi syarat
objektif tetap mengikat para pihak, hal ini berbeda jika syarat objektif
tidak dipenuhi, maka akta dianggap tidak pernah ada100.
Kontrak, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 13 Oktober 2004, hlm. 7.
98 Akta Notaris yang dapat dibatalkan berarti akta tersebut termasuk ex nunc, yang berarti perbuatan dan akibat dari akta tersebut dianggap ada sampai saat dilakukan pembatalan.
99 Akta Notaris yang batal demi hukum berarti akta tersebut termasuk ex tune, yang berarti perbuatan dan akibat dari akta tersebut dianggap tidak pernah ada (inexistence).
100 Meskipun pada dasarnya akibat dari perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif dianggap perjanjian tidak pernah ada, hal ini bisa berjalan jika objek perjanjian, berupa benda/barang (secara natura) masih ada pada mereka yang bersangkutan, sehingga keadaan bisa dikembalikan seperti semula dan diterima oleh para pihak dan para pihak tidak mempermasalahkannya, tapi jika ternyata benda atau barang tersebut telah mengalami perubahan atau telah beralih kepada pihak lain, hal semacam itu sangat sulit untuk dilakukan atau untuk dikembalikan seperti semua. Jika terjadi seperti ini, maka atas permohonan para pihak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan, dan hakim dapat memutuskan dan menentukan keadaan seperti itu.
82
Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan
oleh undang-undang hal ini merupakan salah satu karakter akta
Notaris. Meskipun ada ketidak-tepatan dalam Pasal 38 ayat (3) huruf a
UUJN yang telah menempatkan syarat subjektif dan syarat objektif
sebagai bagian dari Badan akta, maka kerangka akta Notaris harus
menempatkan kembali syarat subjektif dan syarat objektif akta Notaris
yang sesuai dengan makna dari suatu perjanjian dapat dibatalkan dan
batal demi hukum, oleh karena itu kerangka akta Notaris harus terdiri
dari:
1. Kepala atau Awal akta, yang memuat:
a. judul akta;
b. nomor akta;
c. pukul, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris, dan wilayah
jabatan Notaris101;
e. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan,
pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap
dan/atau orang yang mereka wakili;
f. keterangan mengenai kedudukan bertindak menghadap102;
101 Notaris berkedudukan di daerah Kabupaten atau Kota (Pasal 18 ayat [1] UUJN), dan mempunyai wilayah jabatan propinsi dari tempat kedudukanya (Pasal 18 ayat [2] UUJN).
102 Tindakkan menghadap dapat berupa:1. untuk diri sendiri;2. selaku kuasa;
83
g. nama lengkap,tempat tanggal lahir,serta pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
2. Badan akta; memuat kehendak dan keinginan dari para pihak yang
berkepentingan yang diterangkan atau dinyatakan di hadapan
Notaris atau keterangan-keterangan dari Notaris mengenai hal-hal
yang disaksikannya atas permintaan yang bersangkutan103.
3. Penutup atau akhir akta, yang memuat:
a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7);
b. uraian tentang penandatangan dan tempat penandatanganan
atau penerjemahan akta bila ada;
c. nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, pekerjaan,
jabatan, kedudukan, da'n tempat tinggal dari tiap-tiap saksi
akta, dan
d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam
pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang
dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.
3. selaku orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua untuk anaknya yang belum dewasa;
4. selaku wali;5. selaku pengampu;6. curator (kepailitan);7. dalam jabatannya.
103 Isi Badan akta ini harus sesuai dengan adagium bahwa satu akta otentik hanya berisi satu perbuatan hukum saja. Akta Notaris yang didalamnya memuat lebih dari satu perbuatan hukum, seperti (1) pengakuan hutang, dan (2) kuasa untuk menjual tanah, maka akta Notaris yang demikian tidak memiliki executorial title ex Pasal 244 HIR dan tidak sah (putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 1440 K/Pdt/1996, tanggal 30 Juni 1998), M. All Boediarto, op.cit., hlm. 152.
84
Akta Notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau tata
cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi,
dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka
akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai
akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai
pembuktiannya diserahkan kepada hakim.
Terkait dengan pemberian hak guna bangunan atas tanah hak
milik untuk pembangunan hotel, eksistensi akta notaris sebagai alat
bukti yang sempurna digunakan ketika nantinya terjadi suatu masalah
atau sengketa sehingga akta notaris dapat membantu dan
memberikan perlindungan dalam penyelesaian sengketa kepada kedua
belah pihak yang bersengketa.
85
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Berdasarkan pada uraian pembahasan hasil penelitian, maka
didapat simpulan terhadap kedua permasalahan pada skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1. Kedudukan Notaris dalam membuat akta notariil dengan objek
tanah Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik untuk
pembangunan hotel adalah memiliki tugas serta wewenang untuk
melahirkan produk hukum yang dapat menjamin perlindungan
dan kepastian hukum bagi para pihak yang melakukan tindakan
hukum pemberian hak guna bangunan atas tanah hak milik untuk
pembangunan hotel.
2. Eksistensi Akta Notariil dalam pemberian Hak Guna Bangunan
Atas Tanah Hak Milik untuk pembangunan hotel adalah sebagai
suatu produk hukum yang memiliki kekuatan hukum alat bukti
yang sempurna sehingga dapat memberikan perlindungan hukum
nantinya guna mencegah terjadinya kesewang-wenangan serta
menyelesaikan permasalahan ketika terjadi suatu sengketa.
4.2 Saran
Berdasarkan pada uraian pembahasan dan simpulan yang
disampaikan, maka beberapa saran yang dapat diajukan untuk
mendapatkan kajian lebih lanjut adalah :
86
1. Kepada notaris yang memiliki kedudukan penting dalam tatanan
Negara hukum yang memberikan legalitas berupa produk hukum
yang memiliki kekuataan hukum yang sempurna, agar
membuatkan akta notariil terlebih dahulu sebelum membuat akta
PPAT ketika akan didaftar ke Badan Pertanahan Nasional dalam
rangka mempersempit terjadinya sengketa yang akan timbul
nantinya.
2. Kepada masyarakat pada umumnya serta para pihak yang
melakukan pemberian hak guna bangunan atas tanah hak milik
untuk pembangunan hotel agar membuat akta notariil terlebih
dahulu sehingga masyarakat pada umumnya serta para pihak
yang melakukan tindakan hukum tersebut mendapatkan
kepastian dan perlindungan hukum ketika terjadi suatu sengketa.
87