KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) MENGGUNAKAN
DUKUNGAN PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) DI KOTA PONTIANAK
ASMADI
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DANSUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Parameter Keberadaan Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Menggunakan Dukungan Penginderaan Jauh (Remote Sensing) di Kota Pontianak adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2010
Asmadi
NRP P052080071
ABSTRACT
ASMADI. Study Parameters Existence Of Vectors Dengue Haemorrhagic Fever(DHF) Using Remote Sensing Support in the Pontianak Urban Areas. Under direction of AKHMAD ARIF AMIN, SRI BUDIARTI, and MACHMUD A. RAIMADOYA.
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) transmission dynamic is naturally influenced by fluctuating environmental conditions that could be locally specific even at the level of urban areas. Remote sensing technology is increasingly recognized as a powerful tool to scan DHF endemic areas and could be used to monitor DHF vectors fluctuation and the related biogeographical environment. A study was conducted to estimate the DHFtransmission intensity in four endemic distric in Pontianak urban areas West Borneo. The estimation was based on environmental condition and the most of the data were obtained through remote sensing using the satellite IKONOS and NOAA. The study subjects were the environmental conditions of the urban areas considered as the risk factors for DHF transmission. Data werecollected either through field observations and remote sensing. Data set was analyzed with the discriminant analysis module using the SPSS 17.0. The results of the study showed that there were predictor variables of the environment risk factors should be considered in the estimation of DHF transmission intensity in certain DHF endemic distric. Those variables included: (1) air temperature, (2) mosquito vector density, (3) relative humidity and (4) building density. Linear discriminant function was obtained to predict the incidence of DHF outbreak. Applying this model, DHF transmission intensity in certain distric could be estimated with a high accuracy. The result showed that the assessment model could be built following the formula:Y = 237.490 + 113.474 x (vector) – 121.828 x (temperature) – 98.999 x (relative humidity) + 78.782 x (building) that could be as high accuracy as 90.9 %.
Keywords: Remote sensing technology, Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), DHF transmission intensity, IKONOS, NOAA
RINGKASAN
ASMADI. Kajian Parameter Keberadaan Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Menggunakan Dukungan Penginderaan Jauh (Remote Sensing) di Kota Pontianak. Dibimbing oleh AKHMAD ARIF AMIN, SRI BUDIARTI, dan MACHMUD A. RAIMADOYA.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat, umumnya terjadi di daerah perkotaan namun saat ini juga sudah menyebar sampai daerah pedesaan, dengan sirkulasi serotype virus beragam dan endemik khususnya di negara-negara tropis dan subtropis seperti Indonesia.Hampir semua wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DBD, sebab baik virus dengue penyebab maupun nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penularnya sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum diseluruh Indonesia. Penginderaan jauh (remote sensing) berupa citra satelit mampu menyajikan kenampakan permukaan bumi sesuai dengan kenampakan sebenarnya di lapangan sehingga beberapa parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap habitat perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegyptidan Aedes albopictus sebagai penular penyakit DBD seperti suhu, kelembaban relatif, curah hujan, badan air, penutupan lahan vegetasi, ketinggian tempat, pola perumahan, dan kepadatan pemukiman dapat disadap dan diinterpretasi. Melalui analisis data kondisi lingkungan yang diperoleh dengan dukungan teknologi penginderaan jauh satelit, dan mengintegrasikannya dengan data hasil survey lapangan, diharapkan akan dapat diperoleh informasi tentang intensitas penularan DBD di suatu wilayah tertentu. Peranan penginderaan jauh (remote sensing)sangat besar di dalam sistem informasi data dan pengelolaannya serta diharapkan dapat membantu memecahkan masalah-masalah kesehatan yang terkait erat dengan lingkungan, melalui tiga macam pendekatan, yakni pendekatan keruangan (spasial), kelingkungan (ekologis), dan kewilayahan (regional).
Penelitian ini dilakukan di 5 (lima) wilayah yaitu, kecamatan Pontianak Barat, Pontianak Kota, Pontianak Selatan dan kecamatan Pontianak Tenggara. Keempat Kecamatan tersebut digunakan untuk pembuatan model, sedangkan wilayah kecamatan Pontianak Utara digunakan untuk menguji model yang telah dihasilkan di 4 kecamatan tersebut. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama (prediktor) adalah data yang digunakan untuk mendeteksi faktor resiko lingkungan penyebab DBD yaitu; data tutupan lahan dari citra satelit IKONOS tahun 2003 dan 2008 dan data iklim (suhu, kelembaban, dan curah hujan) dari citra satelit NOAA tahun 2005-2009 dan data keberadaan vektor. Data kelompok kedua (prediktan) adalah data sebaran penderita positif DBD tahun 2005-2009 di Kecamatan penelitian yang diperoleh dari Dinas Kesehatan dan rumah sakit di Kota Pontianak.Keseluruhan data yang diperoleh dari data primer dan sekunder kemudian diintegrasikan dan dianlisis dengan analisis diskriminan untuk mengetahui variabel prediktor keberadaan vektor dan intensitas penularan DBD. Model analisis statistik yang diaplikasikan adalah analisis regresi linear berganda yang merupakan model analisis data dari software SPSS versi 17.0. Nilai signifikasi yang diambil adalah 95%, jika nilai F hitung mempunyai tingkat signifikan < 95%
maka variabel lingkungan tersebut tidak mempengaruhi intensitas penularan DBD dan sebaliknya.
Hasil investigasi pemeriksaan vektor jentik nyamuk Aedes aegypti pada 270 rumah penduduk yang diperiksa diperoleh 46 rumah positif ditemukan jentik (17.03 %). Pada 690 container yang diperiksa 73 ditemukan positif jentik (10.58 %) di lokasi kasus positif DBD kota Pontianak. Hous Indeks (HI) tertinggi di kecamatan Pontianak Selatan (21.33 %), sedangkan Container Indeks (CI) tertinggi di kecamatan Pontianak Barat (12.50 %). Hasil pemasangan Ovitrapuntuk deteksi keberadaan telur nyamuk Aedes aegypti di lokasi kasus positif DBD di Kota Pontianak, diperoleh Indeks ovitrap (IO) di luar rumah rata-rata 11.35%.Hasil pemeriksaan telur berdasarkan proses kolonisasi di laboratorium, jumlah keseluruhan telur nyamuk 993 butir dengan rata-rata 58 butir. Jumlah stadium pupa hasil kolonisasi terbanyak 45 ekor dengan total 391 ekor atau rata-rata 23 ekor. Sedangkan persentase tertinggi 46.67% dengan rata-rata 39.37%. Hasil kolonisasi didominasi spesies Ae.aegypti sedangkan Ae.albopictus hanya 5 ekor. Secara epidemiologis dan berdasakan uji statistik kepadatan vektor > 10% ini berpengaruh signifikan terhadap insiden penularan DBD.
Berdasarkan Hasil analisis digitasi pada citra IKONOS tahun 2008 di lokasi penelitian diperoleh hasil tutupan lahan oleh vegetasi 21.22% (1 303.78 ha), namun setelah dilakukan uji statistik ternyata tutupan lahan oleh vegetasi belum berpengaruh terhadap keberadaan vektor dan intensitas penularan/KLB DBD di kota Pontianak, karena nilai F hitung signifikasinya 0.963 masih jauh di atas 0.05. Selain tutupan lahan oleh vegetasi yang diduga berpengaruh pada keberadaan vektor dan intensitas penularan DBD adalah kepadatan bangunan. Berdasarkan analisis digitasi citra satelit IKONOS tahun 2003 dan 2008 diperoleh hasil tutupan lahan oleh bangunan mencapai 61.29% (> 60%) dari luas wilayah. Hasil uji statistik diperoleh bahwa tutupan lahan oleh kepadatan bangunan berpengaruh signifikan terhadap keberadaan vektor dan intensitas penularan/KLB DBD di kota Pontianak, karena nilai F hitung signifikansinya 0.014 (di bawah 0.05).
Data iklim hasil analisis penginderaan jauh citra satelit NOAA tahun 2005-2009 kota Pontianak, suhu berkisar antara 31-350C, kelembaban berkisar antara 55-70%, dan curah hujan berkisar antara 107-485 mm/bln. Secara umum, data curah hujan dan suhu udara yang dihasilkan berdasarkan model pengukuran penginderaan jauh satelit NOAA dengan pengukuran curah hujan dan suhu udara oleh stasiun BMG Supadio Pontianak polanya memiliki kesamaan, namun kisaran nilainya yang berbeda. Data kelembaban hasilnya berbeda baik polanya maupun kisaran nilainya jika dibandingkan dengan data pengukuran BMG. Berdasarkan hasil observasi langsung di lapangan pada bulan Desember 2009 dan Januari 2010 sebagai pembanding (validasi) diperoleh pola dan kisaran nilai suhu udara dan kelembaban yang sama dengan model pengukuran penginderaan jauh satelit NOAA. Nilai suhu udara di kota Pontianak berkisar 31-340C dan kelembaban relatif berkisar antara 60-77%. Hasil penelitian ini diperoleh adanya perbedaan nilai parameter suhu udara optimal untuk perkembangbiakan vektor nyamuk DBD, dimana hasil penelitian di kota Pontianak suhu optimal diperoleh berkisar antara 31-340C, sedangkan Depkes RI (2004) menyebutkan bahwa suhu optimal adalah 25-270C.
Berdasarkan data penelitian yang diperoleh secara langsung melalui survey keberadaan vektor dan data DBD di lapangan, dan secara tidak langsung melalui analisis citra penginderaan jauh satelit IKONOS dan NOAA, ada 6 parameter yang diduga berpengaruh secara epidemiologi terhadap keberadaan vektor dan intensites penularan DBD yaitu; (1) kepadatan bangunan; (2) vegetasi; (3) suhu udara; (4) kelembaban udara; (5) curah hujan; dan (6) keberadaan vektor (CI, HI, dan IO). Dari 6 variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83.34%) diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh. Hanya data keberadaan vektor (CI, HI, dan IO) yang diperoleh dari survei vektor DBD di lapangan, ini membuktikan bahwa data penginderaan jauh dapat mendukung kegiatan pengamatan DBD berbasis lingkungan. Dari 6 parameter yang diduga berpengaruh terhadap intensitas penularan DBD menurut statistik hanya ada 4 variabel prediktor yang cukup bermakna mengakibatkan penularan/KLB DBD di kota Pontianak, yaitu keberadaan vektor, suhu udara, kelembaban relatif dan kepadata bangunan. Oleh karena itu variabel yang digunakan sebagai variabel prediktor adalah vektor, suhu udara, kelembaban, dan kepadatan bangunan, maka model persamaam intensitas penularan DBD dalam penelitian ini adalah : Y = 237.490 + 113.474 x (vektor) – 121.828 x (suhu) – 98.999 x (kelembaban) + 78.782 x(bangunan)
Hasil prediksi dari 60 data yang dikumpulkan menunjukkan 16 data mengindikasikan KLB DBD sedangkan 44 data mengindikasikan tidak terjadi KLB DBD, dimana 5 data salah prediksi dan 55 data benar prediksinya. Tingkat signifikansi dari model ini adalah 90.9%. Ketelitian hasil prediksi terjadinya KLB DBD di Kecamatan Pontianak Utara adalah 93.3% lebih teliti jika dibandingkan dengan model di 4 Kecamatan Kota Pontianak yaitu 90.9%. Ketelitian lebih dari 90% untuk prediksi penularan/KLB DBD dengan faktor keberadaan vektor, suhu udara, kelembaban relaif, dan kepadatan bangunan ini cukup tinggi, artinya faktor keberadaan vektor, suhu udara, kelembaban relaif, dan kepadatan bangunanberpengaruh signifikan terhadap terjadi KLB DBD.
Secara keseluruhan pada penelitian ini diketahui bahwa, parameter prediktor keberadaan vektor dan tingkat intensitas penularan/KLB DBD dapat diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh (satelit IKONOS dan NOAA) sebesar 83.34%. Keberadaan vektor, suhu udara, kelembaban relatif, dan kepadatan bangunan merupakan parameter prediktor yang signifikan pengaruhnya terhadap terjadinya peningkatan penularan/KLB DBD di kota Pontianak. Adanya perbedaan nilai parameter suhu udara untuk perkembangbiakan vektor DBD, dimana di kota Pontianak berbeda dengan pernyataan Depkes RI (suhu optimal diPontianak berkisar antara 31-34 0C, sedangkan Depkes RI menyebutkan bahwa suhu optimal adalah 25-27 0C).
Kata kunci: penginderaan jauh (remote sensing), demam berdarah dengue(DBD), intensitas penularan DBD, IKONOS, NOAA
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN PARAMETER KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) MENGGUNAKAN
DUKUNGAN PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) DI KOTA PONTIANAK
ASMADI
TesisSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains padaProgram Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dra. Maryani Hartuti, M.Sc (LAPAN)
Judul Tesis : Kajian Parameter Keberadaan Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Menggunakan Dukungan Penginderaan Jauh (Remote Sensing) di Kota PontianakNama : AsmadiNRP : P052080071Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. drh. Akhmad Arif AminKetua
Dr. dr. Sri Budiarti Ir. Machmud A.Raimadoya, M.Sc Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPBSumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo, M.S. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 29 April 2010 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Dengan mengucapkan Alhamdulillaahirobbil’alamin kehadirat Allah SWT
atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya
ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
Oktober 2009 sampai Maret 2010 ini adalah penyakit berbasis lingkungan, dengan
judul ”Kajian Parameter Keberadaan Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Menggunakan Dukungan Penginderaan Jauh (Remote sensing) di Kota
Pontianak”.
Penulis menyadari tanpa bantuan berbagai pihak tidak mungkin penulisan
karya ilmiah ini terselesaikan, oleh karenanya pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Dr. drh. Akmad Arif Amin selaku ketua komisi pembimbing,
2. Ibu Dr. dr. Sri Budiarti selaku anggota komisi pembimbing,
3. Bapak Ir. Machmud A. Raimadoya, M.Sc selaku anggota komisi
pembimbing,
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo selaku ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam (PSL-IPB).
5. Kepala Deputi Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi
Penginderaan Jauh (Pusbangja) LAPAN Pekayon Jakarta,
6. Ibu Parwati, M.Sc yang telah banyak membantu dan membimbing
penulis selama magang di LAPAN dan Bapak Totok Suprapto, MT, ibu
Maryani, M.Sc, Bapak Wiji serta teman-teman di LAPAN Pekayon
Jakarta (Dini, Lintang, Fitria dan Litha) yang telah banyak membantu
penulis dalam proses pengolahan data citra satelit NOAA dan IKONOS,
7. Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian karya
ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ibunda dan ayahnda, serta istri dan anak-
anakku atas segala pengorbanan, doa restu dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan
dan bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, April 2010
Asmadi
RIWAYAT HIDUP
Penulis anak pertama dari enam bersaudara dilahirkan pada tanggal 24 Agustus 1969 dari ibu Rasiah dan ayah Bachtiar di Merabuan, Sekura Kabupaten Sambas Propinsi Kalimantan Barat.
Pendidikan tinggi yang pernah penulis ikuti adalah D-III Pendidikan Ahli Madya Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan Depkes di Purwokwrto tamat pada Tahun 1997, Tugas Belajar di Fakultas Teknik Program Studi Teknik Lingkungan (S1 FT-TL) Universitas Diponegoro Semarang Tamat tahun 2003, dengan meraih gelar Sarjana Teknik Lingkungan (ST).
Tahun 1992, pertama kali diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, Pada tahun 1993 ditugaskan di Puskesmas Telaga Arum Kec.Teluk Batang Kab.Ketapang. Pada Tahun 1998–2001 ditunjuk sebagai PLH. Kepala Puskesmas Telaga Arum Kabupaten Ketapang. Tahun 2001 pindah tugas ke AkademiKesehatan Lingkungan (D-III AKL Depkes) Pontianak. Mulai tahun 2004 aktif memberikan kuliah sebagai staf pengajar di Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Depkes Pontianak dan sebagai pengajar tidak tetap di Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) Universitas Muhammadiyah Pontianak.
Diktat dan modul bahan kuliah yang sudah penulis tulis antara lain Prinsip Dasar Penyediaaan Air bersih dan Pengelolaan Air Bersih, Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL), Prinsip Dasar Pengelolaan Air Limbah, Penyehatan, Pengawasan, Pengendalian dan Pemantauan Pencemaran Udara untuk kalangan sendiri di Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Depkes Pontianak. Sebuah artikel jurnal ilmiah juga telah diterbitkan dengan judul Reduksi Cromium (Cr) dari proses Penyamakan Kulit menggunakan senyawa Alkali CaOH2, NaOH dan NaCO2 yang diterbitkan pada jurnal Air Indonesia (JAI) volume 5, nomor 1, Juni 2009 oleh Pusat Teknologi Lingkungan BPPT Jakarta.
Pelatihan yang pernah penulis ikuti diantaranya; Pengawasan Kualitas Air tahun 2000, Pengembangan Metodelogi Pembelajaran 2005, Metodelogi Penelitian Bagi Dosen Muda tahun 2006 dan Pengolahan Air Limbah di BPPTtahun 2006, Pengelolaan Air Minum dan Limbah Cair di Poltekkes Jakarta tahun2007.
Aplikasi bidang ilmu yang sudah penulis lakukan adalah mendesain Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) metode Biofilter Anaerob-Aerob pada Rumah Sakit dr. Rubini Mempawah tahun 2006, Disain IPAL Laboratorium Lingkungan Kapedalda Kota Pontianak tahun 2007, Desain IPAL RSU Daerah Ngabang tahun 2007, dan Disain IPAL RSUD dr.Abd.Aziz Singkawang tahun 2008.
Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke program Magister Sains (M.Si) di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan(PSL-IPB). Penulis menyusun tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Sains dengan judul ”Kajian Parameter Keberadaan Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Menggunakan Dukungan Penginderaan Jauh (Remote sensing) di Kota Pontianak” dibimbing oleh Dr. drh. Akhmad Arif Amin sebagai ketua dan Dr. dr. Sri budiarti serta Ir. Machmud A.Raimadoya sebagai anggota komisi pembimbing.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. i
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………. iii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………........ iv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………. v
1. PENDAHULUAN …… ………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………. 3
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………….. 4
1.4 Kerangka Pemikiran Penelitian ………………………………………. 4
1.5 Manfaat Penelitian ……………………………………………………. 5
1.6 Hipotesis …………………………………………………………........ 5
2. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………... 7
2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) ……………………………………. 7
2.2 Vektor ………………………………………………………………… 8
2.3 Mekanisme Transmisi Virus Dengue …………………………............ 13
2.4 KLB Demam Berdarah Dengue………………………………………. 16
2.5 Ovitrap (Perankap telur nyamuk) ……………………………………. 17
2.6 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) ……………………………....... 18
2.7 IKONOS ……………………………………………………………… 23
2.8 NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) ……….. 25
3. METODE PENELITIAN ………………………………………………… 30
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………………….. 30
3.2 Rancangan Penelitian ………………………………………………… 31
3.3 Alat dan Bahan Penelitian …………………………………………… 32
3.4 Tahapan Penelitian …………………………………………………… 33
3.5 Metode Analisis Data ………………………………………………… 35
4. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………… 37
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……………………………........ . 37
4.2 Hasil Surveilans Keberadaan Vektor DBD …………………………... 38
4.3 Hasil Analisis Citra Satelit Penginderaan Jauh ……………………… 43
4.4 Model Prediksi Penularan DBD di Kota Pontianak …………………. 51
4.5 Penerapan Model Prediksi Penularan DBD di Kecamatan
Pontianak Utara ………………………………………………………. 61
5. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………… 64
5.1 Kesimpulan …………………………………………………………… 64
5.2 Saran …………………………………………………………….......... 64
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………....... 65
LAMPIRAN ………………………………………………………………….. 71
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Resolsi spasial pada citra satelit IKONOS…………………………………. 24
2 Karakteristik satelit IKONOS ……………………………………………... 25
3 Karakteristik sensor infra merah termal NOAA-AVHRR............................ 27
4 Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan penduduk kota PontianakBerdasarkan kecamatan tahun 2009 ………………………………………. 38
5 Hasil survey investigasi keberadaan vektor jentik nyamuk Ae. aegyti Pada container di lokasi kasus positif DBD kota Pontianak, Desember
2009 – Januari 2010………………………………………………………… 40
6 Hasil pemasangan Ovitrap untuk deteksi keberadaan telur nyamukAedes aegypti di lokasi kasus positif DBD kota Pontianak, Desember2009-2010 …………………………………………………………………. 41
7 Distribusi jumlah telur Ae. aegyti hasil kolonisasi di laboratorium Mikrobiologi Jurusan Kesling Poltekkes Depkes Pontianak……………… 42
8 Hasil analisis digitasi tutupan lahan citra IKONOS tahun 2003 dan citra IKONOS tahun 2008, kota Pontianak……………………………………... 43
9 Cara penetapan kategori dan kode untuk masing-masing variable Lingkungan dan iklim …………………………………………………...... 52
10 Hasil analisis diskriminan, koefesien dan konstanta variable parameter Prediktor intensitas penularan DBD ……………………………………. 53
11 Koefisien korelasi R dan koefesien determinan (R2) KLB DBD ………. 59
12 Nilai cut off point KLB DBD menurut analisis diskriminan ……………. 60
13 Matrik co-ocurance hasil prediksi intensitas penularan DBD di 4 (empat) kecamatan kota Pontianak ……………………………………… 61
14 Matrik co-ocurance hasil prediksi intensitas penularan DBD di Kecamatan Pontianak Utara ……………………………………………. 62
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran penelitian……………………………………………. 6
2 Marfologi telur Aedes spp ………………………………………………… 8
3 Nyamuk dewasa Ae.aegypti pada dorsal dada ada corak putih bentuk Siku ……………………………………………………………………….. 9
4 Larva nyamuk Ae.aegypti mempunyai gigi sisir dengan duri samping ….. 10
5 Skematis perjalanan arbovirus pada nyamuk…………………………...... 14
6 Skematis waktu perjalanan perjalanan arbovirus pada nyamuk …………. 14
7 Ovitrap dengan kertas saring ……………………………………………. 18
8 Pemasangan ovitrap …………………………………………………….... 18
9 Rangkaian komponen dalam system pengideraan jauh ………………….. 19
10 Proses perolehan suhu dan kelembaban udara dari data NOAA ………. 28
11 Proses perolehan curah hujan dari data satelit lingkungan dan cuaca …. 29
12 Peta cakupan lokasi penelitian, citra ikonos kota Pontianak 2008 ………. 30
13 Alat dan bahan penelitian lapangan ….…………………………………... 32
14 Alat dan bahan penelitian laboratorium ………………………………….. 32
15 Pelaksanaan pemeriksaan jentik dan pemasangan ovitrap ……………..... 33
16 Pelaksanaan penelitian di laboratorium ………………………………….. 34
17 Peta kota Pontianak ………………………………………………………. 38
18 Penentuan lokasi titik pemasangan ovitrap ………………………………. 39
19 Peta penyebaran sampel kasus positif DBD ……………………………. 40
20 Citra IKONOS 2003 dan hasil digitasi citra IKONOS 2003 …………….. 44
21 Citra IKONOS 2008 dan hasil digitasi citra IKONOS 2008 …………….. 44
22 Gafik data iklim hasil analisis penginderaan jauh citra satelit NOAA dan Kasus DBD tahun 2005- 009, kota Pontianak ………………………… 47
23 Grafik perbandingan kelembaban hasil pengukuran penginderaan jauh Satelit NOAA dengan kelembaban pengukuran BMG ………………….. 48
24 Grafik perbandingan curah hujan hasil pengukuran penginderaan jauh Satelit NOAA dengan curah hujan pengukuran BMG ………………….. 48
25 Grafik perbandingan suhu udara hasil pengukuran penginderaan jauh Satelit NOAA dengan suhu udara pengukuran BMG …………………… 49
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Prediksi tingkat penularan DBD di 4 (empat) Kecamatan Kota Pontianak ………………………………………………………………… 71
2 Prediksi tingkat penularan DBD di Kecamatan Pontianak Utara ……….. 73
3 Hasil uji statistik …………………………………………………………. 75
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue famili flaviviridae, dengan genusnya flavivirus.
Virus ini mempunyai empat serotype yang dikenal dengan Den-1, Den-2, Den-3
dan Den-4 yang masuk ke tubuh manusia melalui gigitan vektor nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus. Seluruh wilayah tropis di dunia saat ini telah
menjadi hiperendemis dengan ke-empat serotype virus secara bersama-sama
diwilayah Amerika, Asia Pasifik dan Afrika. Indonesia, Myanmar, Thailand
masuk kategori A yaitu : KLB/wabah siklus terulang pada jangka waktu antara 3
sampai 5 tahun (WHO, 2001).
Penyakit DBD merupakan masalah kesehatan masyarakat, umumnya terjadi
di daerah perkotaan namun saat ini juga sudah menyebar sampai daerah pedesaan,
dengan sirkulasi serotype virus beragam dan endemik khususnya di negara-negara
tropis dan subtropis seperti Indonesia (Chakravarti dan Kumaria, 2005). Hampir
semua wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DBD,
sebab baik virus dengue penyebab maupun nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor
penularnya sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum
diseluruh Indonesia (Handayani, 2006).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2007) menyebutkan bahwa lebih dari
50 juta orang di dunia terinfeksi virus DBD setiap tahunnya, dan tiap 20 menit ada
satu anak meninggal karena DBD. Secara nasional morbiditas DBD di Indonesia
pada tahun 2008 tercatat 136 399 kasus, dan angka mortalitas 1 170 korban jiwa
yang kebanyakan terjadi pada anak di bawah umur 15 tahun (Ginanjar, 2008).
Kasus DBD di Kalimantan Barat tertinggi di Kota Pontianak, dimana
sampai akhir Desember 2009 jumlah kasus positif DBD tercatat 3 893 orang dan
yang meninggal 71 orang dengan case fatality rate (CFR) 1.82% masih di atas
1%. Terjadi peningkatan kasus lebih dari 13 (tiga belas) kali lipat, mengingat pada
tahun 2008 kasus DBD di kota Pontianak hanya tercatat 282 orang dan meninggal
20 orang (CFR 7%), sehingga sudah dinyatakan KLB (Kejadian Luar Biasa) oleh
Walikota Pontianak (Dinkes Kota Pontianak, 2009).
Kota Pontianak merupakan salah satu kota endemis DBD di Indonesia,
terletak di garis khatulistiwa merupakan dataran rendah (1 m dpl) dengan
temperatur rata-rata 280C, curah hujan rata-rata 2 500 mm/tahunnya, jumlah
penduduk lebih dari 500 ribu jiwa. Sebagian besar masyarakat Pontianak memiliki
kebiasaan menyimpan air hujan sebagai cadangan di tempayan/tempat penyimpan
air lainnya untuk memenuhi kebutuhan air minum, serta tingkat mobilitas
penduduk tinggi karena merupakan jalur lalulintas antar negara yaitu Malaysia
dan Brunei Darussalam. Dengan karakteristik wilayah seperti di atas kota
Pontianak berpotensi sebagai habitat Aedes aegyti sebagai vektor utama DBD.
Perubahan komponen lingkungan iklim seperti curah hujan, suhu,
kelembaban, dan kemarau panjang akan mempengaruhi pertumbuhan, persebaran,
kepadatan, kebiasaan reproduksi, usia hidup dan perkembangbiakan serta
ketangguhan dari vektor Aedes aegypti dan Aedes alpopictus (Aron et al. 2001).
Terjadinya pemanasan global, dimana terjadi kenaikan suhu bumi rata-rata sekitar
1– 3.5 0C juga berdampak pada meningkatnya berbagai kasus penyakit termasuk
DBD (McMichael, 2003).
Sumunar (2008) menyatakan bahwa penginderaan jauh (remote sensing)
berupa citra satelit mampu menyajikan kenampakan permukaan bumi sesuai
dengan kenampakan sebenarnya di lapangan, sehingga beberapa parameter
lingkungan yang berpengaruh terhadap habitat perkembangbiakan vektor nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai penular penyakit DBD, seperti badan
air, penutupan lahan vegetasi, ketinggian tempat, pola perumahan, dan kepadatan
pemukiman dapat disadap dan diinterpretasi. Melalui analisis data kondisi
lingkungan yang diperoleh dengan dukungan teknologi penginderaan jauh satelit,
dan mengintegrasikannya dengan data hasil survey vektor di lapangan, diharapkan
akan dapat diperoleh informasi tentang intensitas penularan DBD.
Perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus sebagai
vektor penyakit DBD berkaitan erat dengan lingkungan, maka peranan
penginderaan jauh sangat besar di dalam sistem informasi data dan
pengelolaannya serta diharapkan dapat membantu memecahkan masalah-masalah
kesehatan yang terkait erat dengan lingkungan, melalui tiga macam pendekatan
yakni, pendekatan keruangan (spasial), kelingkungan (ekologis), dan kewilayahan
(regional) (Hagget, 1983).
1.2 Rumusan Masalah
Pelaksanaan survaillance DBD di Indonesia saat ini masih belum
optimal, salah satu penyebabnya antara lain adalah karena kegiatan
pengamatan (surveillance) DBD yang dikembangkan program DBD sekarang
ini belum dapat berjalan dengan semestinya. Kendalanya karena cara
pendekatan pengamatannya masih menitikberatkan pada penemuan kasus
baru DBD dan belum memanfaatkan kondisi lingkungan secara maksimal.
Cara pendekatan seperti ini sulit untuk dilaksanakan di beberapa daerah di
Indonesia, karena terbatasnya petugas surveillance DBD di lapangan dan
luasnya wilayah endemis DBD yang perlu dipantau (Holani et al. 2003).
Agar kegiatan pengamatan DBD berjalan dengan semestinya dan
mencapai tujuannya, maka cara pendekatan pengamatannya perlu
dikembangkan, yaitu dengan menitikberatkan pengamatannya pada
perubahan-perubahan yang terjadi pada kondisi spesifik lingkungan.
Eksplorasi data didukung dengan aplikasi teknologi penginderaan jauh
satelit (remote sensing). Beberapa peneliti di luar negeri banyak
melaporkan tentang kemampuan penginderaan jauh untuk mengobservasi
dan mengidentifikasi kondisi lingkungan yang terkait dengan penularan
penyakit berbasis lingkunan. Berdasarkan data kondisi lingkungan yang
diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh tersebut, kemudian
diestimasi kondisi DBDnya (Beck et al. 1997).
Adapun pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Seberapa besar dukungan hasil kajian deteksi parameter lingkungan (suhu
udara, kelembaban, curah hujan, kepadatan bangunan, vegetasi) menggunakan
dukungan penginderaan jauh dan keberadaan vektor DBD yang diperoleh dari
survey vektor Aedes aegypti dalam menentukan tingkat intensitas penularan
DBD.
2. Parameter apasaja yang berpengaruh terhadap keberadaan vektor DBD
berdasarkan hasil kajian deteksi menggunakan dukungan penginderaan jauh
dalam menentukan tingkat intensitas penularan DBD di kota Pontianak.
3. Bagaimana model pendekatan perhitungan estimasi intensitas penularan DBD
berdasarkan kajian deteksi parameter lingkungan dan keberadaan vektor DBD
yang diperoleh dari dukungan penginderaan jauh.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:
1. Mengetahui seberapa besar dukungan penginderaan jauh (remote sensing)
dalam mendeteksi parameter keberadaan vektor DBD dalam menentukan
tingkat intesitas penularan DBD.
2. Mengetahui parameter apasaja yang mempengaruhi keberadaan vektor DBD
yang diperoleh menggunakan dukungan penginderaan jauh dan investigasi
vektor Aedes aegypti, terhadap intensitas penularan DBD
3. Diperolehnya pendekatan perhitungan estimasi jumlah penderita DBD
berdasarkan kajian deteksi parameter lingkungan dan keberadaan vektor DBD
menggunakan dukungan penginderaan jauh.
1.4 Kerangka Pemikiran Penelitian
Pada tahun 1980 WHO telah memberikan model pengelolaan lingkungan
untuk tujuan pengendalian vektor virus DBD melalui modifikasi dan manipulasi
lingkungan serta mengubah kebiasaan dan perilaku manusianya untuk mengurangi
kontak vektor–inang–pathogen. Keberhasilan di dalam mengelola vektor
tergantung dari pemahaman manusia terhadap eksistensi dan esensi vektor sebagai
penular penyakit DBD yang kehidupannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan
dan inang sehat ataupun sakit (Supartha, 2008).
Penanganan vektor dan kasus DBD tidak bisa lepas dari kegiatan
surveillance untuk mendapatkan informasi segar dalam penyusunan program
strategis selanjutnya baik berkaitan dengan penelitian, pengembangan teknologi,
advokasi, edukasi masyarakat maupun pengadaan bahan teknologi sebagai
antisipasi bila terjadi keadaan luar biasa (KLB). Berdasarkan hasil surveillance
tersebut, indikator angka bebas jentik (ABJ) yang dilakukan melalui investigasi
pemantauan jentik dan pemasangan ovitrap (perangkap telur dan larva nyamuk),
khususnya untuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sehingga dapat diketahui
peta penyebaran, dan status Aedes hubungannya dengan kasus DBD (Supartha,
2008).
Perkembangan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) yang saat ini
mulai berkembang di Indonesia memungkinkan pengumpulan data geografis
menjadi lebih menyingkat waktu, menghemat biaya dan tenaga jika dibandingkan
dengan menggunakan metode terestrial (lapangan). Pengumpulan data dapat
dilakukan melalui bermacam-macam citra (image) seperti foto udara, citra satelit
dan citra radar. Foto udara yang memiliki resolusi spasial mampu memberikan
informasi yang rinci dan mampu menggambarkan wujud dan letak objek yang
mirip dengan wujud dan letaknya di permukaan bumi, serta meliputi daerah yang
luas dan permanen (Sutanto, 1994).
Dengan keunggulan inilah maka citra satelit dapat dijadikan sebagai wadah
yang tepat untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penentuan lokasi
tingkat kerentanan terhadap perkembangbiakan nyamuk vektor DBD. Peranan
penginderaan jauh sangat besar di dalam sistem informasi data dan
pengelolaannya (Sutanto, 1994). Secara skematis, kerangka konsep penelitian ini
dapat dilihat pada gambar 1.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi hasil survaillance keberadaan vektor DBD
menggunakan dukungan penginderaan jauh sebagai dasar untuk langkah-
langkah preventif KLB DBD pada daerah/wilayah yang beresiko sehingga
membantu dalam menghemat waktu dan dana.
2. Dapat mengestimasi kecenderungan tingkat intensitas penularan DBD dalam
rangka mengantisipasi kejadian KLB DBD.
3. Bagi pemerintah daerah (Dinas Kesehatan), hasil penelitian ini diharapkan
menjadi data dasar untuk tindakan pencegahan dan penanggulangan DBD dan
dapat dijadikan pertimbangan dalam mengambil kebijakan khususnya tentang
pengendalian DBD, serta sebagai upaya sistem kewaspadaan dini (SKD)
mencegah terjadinya KLB DBD.
1.6 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Dukungan penginderaan jauh (remote sensing) sangat besar dan berpengaruh
signifikan dalam mendeteksi parameter keberadaan vektor DBD.
2. Parameter lingkungan (kepadatan bangunan, vegetasi) dan iklim (suhu,
kelembaban, curah hujan) yang diperoleh dari dukungan penginderaan jauh
berpengaruh signifikan terhadap keberadaan vektor dan intensitas penularan
DBD.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
DATA CITRA SATELIT IKONOS
DATA CITRA SATELIT NOAA
Ekstraksi Liputan Lahan yang diperkirakan
penyebab DBD
Ekstraksi parameter lingkungan yang diperkirakan
penyebab DBD
Analisis Diskriminanlag 1 bulan
Faktor-faktor lingkungan yang diperkirakan penyebab DBD
Faktor resiko penularan DBD
Informasi Intensitas Penularan DBD
Ketelitian Estimasi KLB DBD
Estimasi KLB
Info KLB Actual
MODEL ESTIMASI
Surveillance Keberadaan Vektor DBD
Investigasi vektor Aedes aegypti
Pemantauan Jentik Pemasangan Ovitrap
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue (Flaviviridae: Flavivirus Group); virus ini terdiri dari 4 serotip
: Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4. Penyakit ini ditularkan oleh salah satu nyamuk
rumah, Aedes aegypti, sebagai vektor utama, dan nyamuk kebun Aedes albopictus
sebagai vektor kedua. Nyamuk Aedes aegypti umumnya lebih dominan
populasinya di perkotaan dan sebaliknya Aedes albopictus di pedesaan (WHO,
2001).
Gejala penyakit DBD adalah demam mendadak, berlangsung 2-7 hari,
wajah kemerahan, nyeri kepala, punggung dan ulu hati. Perkembangan klinis
dapat sangat cepat, yaitu dengan disertai perdarahan bawah kulit dan mukosa
hidung dan usus dengan komplikasi, dan bisa berakhir fatal. Tingkat kematian
untuk pasien yang berlanjut dengan Dengue Shock Syndrome (DSS) berkisar 2-
10% (Mardihusodo, 2005).
Penyakit DBD, awalnya muncul di Filipina pada tahun 1953, kemudian pada
tahun-tahun berikutnya DBD menyebar ke banyak negara di Asia Tenggara dan
Pasifik Barat. Kini, demam berdarah (DB) dan DBD menjadi semakin meningkat
arti pentingnya dalam kesehatan masyarakat di daerah tropis dan subtropis seperti
di daerah Mediteranian Barat, Afrika dan Amerika (Mardihusodo, 2005).
Demam berdarah dengue sudah ada selama empat puluh tahun lamanya di
Indonesia semenjak tahun 1968, hingga saat ini jumlah kasus dan daerah yang
terjangkit terus meningkat. Kejadian Luar Biasa (KLB) demam berdarah dengue
terjadi setiap tahun di beberapa Provinsi dan KLB “Besar” terjadi pada tahun
1998 dan 2004 (jumlah kasus 79 480, jumlah kematian 800 orang). Pada tahun
2006 tercatat ada 113 640 kasus dengan 1 184 kematian. Incidence Rate (IR) = 52,
Case fatality Rate (CFR) = 1%. Tahun 2007, dari bulan Januari sampai dengan
bulan Mei tercatat 66 365 kasus dengan 738 kematian (CFR = 1.1%). Provinsi
tertinggi adalah DKI Jakarta, diikuti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah,
Sumatera Selatan dan Lampung (Kusriastuti, 2007).
Kusriastuti (2007) menyatakan mengapa laju kejadian demam berdarah
dengue terus meningkat, karena beberapa faktor yaitu; industrialisasi dimana
memakai bungkus sekali pakai, mobilitas manusia yang cepat, urbanisasi yang tak
terkendali, jumlah kapasitas nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
meningkat, pelayanan publik dan perilaku kebersihan kurang, serta limbah ban
dan plastik yang sulit hancur.
2.2 Vektor
Secara taksonomi Aedes sp termasuk filum Arthropoda (berkaki buku);
kelas: Hexapoda (berkaki enam); ordo: Dipteria (bersayap dua); subordo
Nematocera (antena filiform, segmen banyak); famili: Culicidae (keluarga
nyamuk); Subfamili : culicinae (termasuk tribus Anophelini dan Toxorynchitini);
tribus: Culicini (termasuk Generaculex dan Mansonia); Genus: Aedes (Stegomya);
spesies : Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Telur berwarna putih saat pertama
kali dikeluarkan, lalu menjadi coklat kehitaman. Telur berbentuk oval, panjang
kurang lebih 0.5 mm, dan diletakkan di dinding wadah (Service, 1996).
Gambar 2 Morfologi telur Aedes spp (Cutwa dan O’Meara, 2006)
Penelitian epidemiologi dan laboratoris masih ada beberapa jenis Aedes sp
yang dapat menyebarkan dengue, tetapi sampai saat ini Aedes aegypti dan Aedes
albopictus tetap merupakan vektor yang utama (Soegijanto, 2004).
Virus dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes
(Ae.) dari subgenus Stegomyia. Aedes aegypti merupakan vektor epidemi yang
paling utama, namun spesies lain seperti Aedes albopictus, Ae. polynesiensis,
anggota dari Ae. Scutellaris complex, dan Ae. (Finlaya) niveus juga dianggap
sebagai vektor sekunder. Kecuali Ae. aegypti semuanya mempunyai daerah
distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas. Meskipun mereka merupakan
host yang sangat baik untuk virus dengue, biasanya mereka merupakan vektor
epidemi yang kurang efisien dibanding Aedes aegypti (WHO, 2001).
2.2.1 Nyamuk Aedes aegypti
Aedes aegypti bersifat antropofilik yaitu senang sekali pada manusia, dan
karbohidrat tumbuh-tumbuhan, karbohidrat diduga untuk sintesis energi yang
digunakan untuk kehidupan sehari-hari, sedangkan darah manusia untuk
reproduksi. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple-
biters) dan menggigit pada siang hari (day biting mosquito). Nyamuk betina
menghisap darah pada umumnya tiga hari setelah kawin dan mulai bertelur pada
hari keenam. Dengan bertambahnya darah yang dihisap, bertambah pula telur
yang diproduksi (Judson, 1968).
Dalam ruang gelap nyamuk beristirahat hinggap pada kain yang
bergantungan. Nyamuk tertarik oleh cahaya terang, pakaian dan adanya manusia.
Perangsang jarak jauh karena bau dan zat-zat dan asam amino, suhu hangat dan
lembab. Jumlah telur yang dikeluarkan sekali waktu adalah sekitar 100-400 butir
(Brown, 1983).
Gambar 3 Nyamuk dewasa Aedes aegypti pada dorsal dada ada corak putih bentuk siku (Cutwa dan O’Meara, 2006)
Aedes aegypti mempunyai skutelum trilobipalpus pada yang betina lebih
pendek daripada probosis, ujung abdomen nyamuk betina biasanya runcing, cerci
menonjol, tubuh berwarna gelap, thorax sering dengan noda-noda putih sewaktu
istirahat probosis dan badan dalam dua sumbu sisik sayap sempit panjang dengan
ujung runcing, mempunyai gambaran pita putih seperti alat musik harpa (lyre
shape) (Service,1996).
Telur Aedes aegypti pada suhu kamar yaitu 7.62 hari dan 9.62 hari
(Soekiman et al.1984). Dari telur sampai menjadi nyamuk tergantung situasi
lingkungan. Secara umum telur diletakkan pada dinding tandon air. Jika tidak ada
genangan air, telur akan bertahan beberapa minggu sampai beberapa bulan. Telur
menetas menjadi larva dalam dua hari. Umur larva 7-9 hari, kemudian menjadi
pupa. Umur pupa dua hari, lalu menjadi nyamuk. Umur nyamuk betina 8-15 hari,
nyamuk jantan 3-6 hari. Di laboratorium telur tersebut dapat menetas dalam 10
hari pada temperatur 28°C dan penelitian di lapangan ternyata dapat menetas lebih
lama yaitu sekitar 20 hari.
Larva Aedes aegypti mempunyai sisir pada ruas ke-8 abdomen yang terdiri
dari gigi-gigi yang bergerigi (duri lateral) (Service,1996).
Gambar 4 Larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai gigi sisir dengan duri samping (Cutwa dan O’Meara, 2006)
Tempat kebiasaan bertelur dari dua vektor utama dengue agak berbeda.
Aedes aegypti bertelur di bak air jernih terutama bak air di kamar kecil (WC), bak
mandi, bak atau gentong tandon air minum. Aedes albopictus lebih senang
bertelur di kaleng yang dibuang. Hal itu sesuai dengan sifat Aedes aegypti yang
mempunyai kecenderungan sebagai nyamuk rumah (Brown,1983).
2.2.2 Ekologi Nyamuk Aedes aegypti
Wilayah Indonesia mempunyai iklim yang bervariasi dua musim,
temperatur, kelembaban, dan kecepatan angin berkaitan dengan siklus kehidupan
vektor penyakit DBD. Basil Loh dan Ren Jin Song (2001) cit Sucipto (2008)
melaporkan bahwa ada hubungan berarti antara populasi tempat kehidupan larva
positif Aedes aegypti dan Aedes albopictus dengan curah hujan. Hubungan yang
paling nyata terlihat pada faktor kelembaban, temperatur dengan jumlah jentik
Aedes sp.
Curah hujan; sangat penting untuk kelangsungan hidup nyamuk Aedes
aegypti, dan posisi Indonesia adalah sebagai wilayah tropis yang curah hujannya
sangat tinggi dibandingkan dengan wilayah non tropis. Iklim hujan tropis
mempengaruhi peningkatan kehidupan arthropoda. Hujan akan memepengaruhi
naiknya kelembaban nisbi udara dan menembah jumlah tempat perkembangan
nyamuk Aedes sp di luar rumah. Telur-telur yang diletakan oleh nyamuk Aedes sp
yang pernah menghisap darah penderita DBD atau seseorang yang dalam
darahnya mengandung virus dengue (virDen) disebut viraemia pada akhir musim
hujan sebelumnya berpotensi untuk terinfeksi virDen secara transovarial dari
induknya pada musim hujan berikutnya. Suhu yang panas menyebabkan daur
hidup arthropoda menjadi pendek sama dengan memendeknya periode inkubasi
patogen, termasuk juga ketersediaan air sebagai tempat hidup larva. Banyak
spesies dengan berbagai jenis termasuk vektor dan patogennya, hidup di daerah
tropis sangat baik.
Pengaruh suhu/temperatur; nyamuk adalah binatang berdarah dingin dan
karenanya proses-proses metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung pada
suhu lingkungan. Nyamuk tidak dapat mengatur suhunya sendiri terhadap
perubahan di luar tubuhnya. Suhu rata-rata optimum untuk perkembangan
nyamuk adalah 25-270C, pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali pada
suhu kurang dari 100C atau lebih dari 400C (Depkes RI, 2004). Penularan virDen
pada umunya terjadi di daerah tropis dan sub tropis, karena temperatur yang
dingin selama musim dingin membunuh telur dan larva Aedes aegypti.
Selain itu temperatur mempengaruhi reflikasi pathogen, maturasi, dan
periode infeksitas. Masa inkubasi ekstrinsik akan semakin pendek secara linier
dengan meningkatnya temperatur. Temperatur yang meningkat dapat
memperpendek masa harapan hidup nyamuk dan menggangu perkembangan
pathogen. Telur Aedes aegypti yang menempel pada permukaan dinding tempat
penampungan air yang lembab dapat mengalami proses embrionisasi yang
sempurna pada suhu 25-300C selama 72 jam. Telur yang telah mengalami
embrionisasi ini tahan terhadap kekeringan selama lebih dari satu tahun, dan akan
menetas menjadi larva dalam beberapa menit jika tergenang air (WHO, 1997).
Suhu optimum untuk propagasi virus pada nyamuk Aedes aegypti di
laboratorium adalah 280C. Mourya dan Joushi (2002) membuktikan bahwa
semakin lama telur yang berasal dari nyamuk Aedes aegypti invektif virDen pada
suhu kamar, maka indek transmisi transovarialnya semakin tinggi. Adapun Thu et
al.(1998) membuktikan bahwa suhu dan kelembaban optimum untuk propagasi
virDen pada nyamuk Aedes aegypti di laboratorium adalah suhu dan kelembaban
yang di sesuaikan dengan suhu dan kelembaban pada musim hujan di Nyangon
dan Singapura.
Pengaruh kelembaban nisbi udara; adalah banyaknya kandungan uap air
dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen (%). Kebutuhan kelembaban
yang tinggi mempengaruhi nyamuk untuk mencari tempat yang lembab dan basah
sebagai tempat hinggap atau istirahat. Pada kelembaban kurang dari 60% umur
nyamuk menjadi pendek (Depkes RI, 2004), sehingga tidak cukup untuk siklus
perkembang biakan virDen dalam tubuh nyamuk
Faktor kepadatan penduduk; juga sangat tinggi di beberapa negara daerah
tropis, yang menyebabkan kontak vektor dengan manusia sangat sering sekali.
Kepadatan penduduk atas dasar luas administratif, luas perkotaan, luas
pemukiman dan luas bangunan rumah mukim, dapat disusun hasil kepadatan
penduduk yang mengacu pada keputusan Menteri Pekerjaan Umum (anonim,
1979). Kepadatan dikategorikan dalam lima kelas, yaitu; dikategorikan sangat
tinggi > 400 jiwa/Ha; dikategorikan tinggi 300-400 jiwa/Ha; dikategorikan sedang
200-300 jiwa/Ha; dikategorikan rendah 100-200 jiwa/Ha; dikategorikan sangat
rendah < 100 jiwa/Ha.
Inang; berhubungan dengan infeksi virDen ke manusia dan beberapa
spesies primata yang lebih rendah (kera), namun manusia merupakan inang
utama. Sumber penularan yang paling berbahaya adalah pengidap virus yang tidak
menunjukan gejala atau hanya memperlihatkan gejala demam ringan karena
mereka bisa pergi kemana-mana, sehingga mobilitas yang tinggi di daerah
perkotaan memainkan peranan penting dalam penularan virDen dari pada
mobilitas Aedes aegyptisendiri (WHO, 2001).
Sebagian besar (90%) kasus DBD diderita oleh anak-anak di bawah usia 15
tahun, kematian akibat DBD mencapai kira-kira 25 000 jiwa per tahun dengan
Case Fatality Rate (CFR) rata-rata 5% (WHO,2001), namun sejak tahun 1996-
2004 mengalami pergeseran di Indonesia, DBD diderita juga pada golongan usia
> 15 tahun (Kusriastuti, 2005 ). Menurut Malvige et al. (2004) angka kesakitan
dan angka kematian akibat kasus DBD paling banyak diderita anak-anak dan
resiko kematian akibat DBD pada anak-anak 15 kali lipat dari pada orang dewasa,
selain itu kasus DBD sering dilaporkan pada wanita dari pada pria. Faktor
malnutrisi bukan merupakan predoposisi kejadian DBD, tapi kasus DBD sering
dilaporkan pada pasien-pasien penyakit kronis seperti diabetes mellitus dan asma
bronchial.
2.3 Mekanisme Transmisi Virus Dengue
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada transmisi infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara yaitu nyamuk Aedes aegypti
sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai covektor (Mardihusodo et al.
2007).
Mekanisme transmisi virDen berlangsung secara horisontal dan vertikal
yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Transmisi virDen secara horisontal berlangsung dari nyamuk vektor kedalam
tubuh vertebrata (manusia dan kelompok kera tertentu) dan sebaliknya dari
vertebrata ke dalam tubuh vektor. Nyamuk mendapatkan virus pada saat
melakukan gigitan pada manusia (vertebrata) yang pada saat itu sedang
mengandung virDen di dalam darahnya (viraemia). Virus yang sampai ke dalam
lambung nyamuk akan mengalami replikasi (memecah diri atau berkembang
biak), kemudian akan migrasi yang akhirnya akan sampai di kelenjar ludah. Virus
yang berada di lokasi ini setiap saat siap untuk dimasukkan ke dalam kulit tubuh
manusia melalui gigitan nyamuk. Mekanisme transmisi vertikal dalam tubuh
nyamuk. Arbovirus tersebut dapat ditularkan oleh nyamuk betina ke pada telurnya
(transovarial), yang nantinya akan menjadi nyamuk, tingkat infeksi ini melebihi
80% (Beaty et al. 1996).
Gambaran ultra struktur menunjukkan virus pertama kali mengalami
replikasi di dalam usus tengah nyamuk vektornya. Virus sesampai di haemocoel
dan haemolymph, kemudian menyebar ke jaringan-jaringan antara lain sistem
saraf, kelenjar ludah, usus depan, usus tengah, badan lemak, sel-sel epidermis,
ovarium, bagian dalam dinding sel nyamuk. Virus tidak dijumpai di muskulus,
usus belakang, dan tubuli malfigi (Malvige et al. 2004).
Gambar 5 Skematis perjalanan arbovirus pada nyamuk, Beaty et al. (1996)
A=usus depan; B= lumen usus tengah; C= membran sel epitel lambung;
D=jaringan epitel lambung/usus tengah; E= hemocoel; F= tubuli malfigi; G=
toraks; H= kelenjar saliva
Menurut Beaty et al. (1996) virus mengalami replikasi di usus tengah
selama 3 hari dari mulai masuknya virus ke nyamuk, selanjut pada hari ke-3-6
menyebar ke haemocoel, hari ke-6-9 menyebar kejaringan saraf, badan lemak,
jantung, sel perikardium dan ovarium, hari ke-9-12 virus berada pada kelenjar
ludah dan siap untuk ditularkan.
Gambar 6 Skematis waktu perjalanan arbovirus pada nyamuk (Beaty et al.1996)
Khin dan Than (1983), melakukan penelitian pertama kali tentang
transovarial di alam dengan metode direct fluorescence antibody test (DFAT)
A
B
C
D
E
F
G
H
E
dengan menginjeksikan virus pada nyamuk Toxorynchites splendens virDen
serotip 2 (Den-2) yang diisolasi dari kumpulan larva Aedes aegypti di Yangoon,
Myanmar, transmisi diperkirakan juga bisa tejadi secara vertikal (transovarial).
Menurut Leake (1984) mekanime transmisi transovarial arbovirus pada
nyamuk ada tiga macam :
1. Nyamuk betina yang belum terinfeksi mengisap darah inang viremia, virus
replikasi dalam nyamuk dan telur terinfeksi menghasilkan larva yang infeksius.
2. Nyamuk betina yang belum terinfeksi kawin dengan nyamuk jantan yang
terinfeksi secara transovarial dan selama nyamuk kawin terjadi transmisi secara
seksual (venereal), sebagai akibatnya ovarium nyamuk betina terinfeksi virus.
3. Nyamuk betina mengalami infeksi virus jaringan ovariumnya dan terpelihara
sampai generasi berikutnya secara genetik.
Transmisi transovarial virDen pada awalnya dianggap tidak berperan bagi
epidemiologi dengue. Informasi terakhir menunjukkan bahwa transmisi
transovarial virus Dengue pada nyamuk Aedes albopictus terdeteksi 7-41 hari
sebelum kasus Dengue pertama kali dilaporkan, sedangkan transmisi transovarial
virDen pada nyamuk Aedes aegypti berperan dalam meningkatkan dan
mempertahankan epidemik dengue (Lee & Rohani, 2005).
Penelitian di Thailand oleh Watt et al. (1985) pada nyamuk Aedes aegypti
dan Aedes albopictus di wilayah perkotaan dan pedesaan menunjukkan hasil
negatif; virus Dengue tidak terisolasi dari 5 766 ekor larva, 39 pupa, atau 85
Aedes aegyptijantan. Tetapi virDen-2 berhasil diisolasi dari 14 ekor nyamuk
betina Aedes aegyptiyang dikoleksi dari 8 rumah (dari 35 rumah yang disurvei) di
Bangkok. Peneliti lain, Jousset (1981) pada penelitian eksperimental di
laboratorium menunjukkan bahwa virDen-2 dapat ditularkan secara transovarial
oleh 4 strain nyamuk Aedes aegypti meskipun kisarannya rendah, 0.3-1.2%.
Rosen et al. (1983) dalam studi eksperimental juga menunjukkan ada bukti bahwa
nyamuk Aedes aegypti berkemampuan menularkan virus Den-1 secara
transovarial. Belum lama ini, Joshi et al.(2002) melaporkan eksperimentasinya di
laboratorium bahwa virDen-3 secara persisten ditularkan secara transovarial yang
meningkat frekuensinya sampai F-7 kemudian tetap (persisten) infeksinya pada
generasi-generasi (F) berikutnya. Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa
transmisi transovarial berpotensi sebagai pendukung pemeliharaan endemisitas
DBD, dengan nyamuk Aedes aegypti berlaku sebagai reservoir virDen sepanjang
waktu.
Transmisi transovarial virDen di Indonesia di alam dibuktikan oleh
Umniyati (2004) di Kelurahan Klitren, Yogyakarta dengan metode
Imunositokimia-imunoperoksidase streptavidin biotin complex (IISBC) pada
sediaan pencet kepala (head squash), yang kemudian metode ini dibakukan oleh
Umniyati. Penelitian selanjutnya dengan metode yang sama oleh Widiarti et
al.(2006) di Kota Semarang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Sukoharjo, dan Kota
Salatiga ditemukan adanya transmisi DBD secara transovarial dengan persentase
angka infeksi (infection rate) berkisar 0.66-8.77%, dan juga oleh Mardihusodo et
al.(2007) di beberapa kelurahan Kota Yogyakarta juga ditemukan telah terjadi
transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk, dengan angka infeksi 38.5-70.2%.
Menurut Mardihusodo et al.(2007) transmisi juga tejadi secara vertikal
(transovarial), yaitu dari nyamuk Aedes aegyptibetina gravid yang terinfeksi
virDen sebagai induk ke ovum (telur) dalam uterus nyamuk itu, yang akhirnya
berpropagasi dalam embrio dalam telur, selanjutnya virDen menggunakan larva
sampai imagonya sebagai medium hidup untuk perbanyakannya. Manusia bisa
terinfeksi virus Dengue sewaktu pertama kali nyamuk yang muncul dari pupanya
dalam air menggigit dan mengisap darah.
2.4 KLB Demam Berdarah Dengue
Kejadian berjangkitnya demam berdarah dengue di suatu tempat dapat
menimbulkan ledakan jumlah penderitanya. Dalam ukuran tertentu, ledakan
jumlah penderita di suatu wilayah dibandingkan dengan jumlah kejadian di tempat
yang sama pada kurun waktu yang sama tahun sebelumnya, di Indonesia kejadian
itu disebut sebagai Kejadian Luar Biasa. Departemen Kesehatan mendefinisikan
Kejadian Luar Biasa sebagai berikut: “Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah suatu
kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok
penduduk dalam kurun waktu tertentu” (Peraturan Menteri Kesehatan No.
949/Menkes/SK/VIII/2004).
Kriteria penetapan KLB Demam Berdarah Dengue adalah sebagai berikut:
(1) timbulnya penyakit demam berdarah dengue (DBD) yang sebelumnya tidak
ada di suatu daerah Tingkat II, (2) Adanya peningkatan kejadian kesakitan DBD
dua kali atau lebih dibandingkan jumlah kesakitan yang biasa terjadi pada kurun
waktu yang sama tahun sebelumnya (Peraturan Menteri Kesehatan No.
1202/Menkes/SK/VIII/2002).
2.5 Ovitrap (perangkap telur nyamuk)
Salah satu upaya untuk memutus siklus perkembangan nyamuk itu bisa
dengan menggunakan ovitrap, atau perangkap telur dan larva nyamuk, khususnya
untuk Aedes aegypti. Ovitrap telah umum digunakan dan diproduksi secara massal
di Singapura dan Malaysia. Di sana, ovitrap dikenal dengan nama Mosquito
Larvae Trapping Device (MLTD). Ovitrap berarti perangkap telur (ovum= telur,
trap= perangkap) terbukti menekan pertumbuhan nyamuk hingga 50%. Ovitrap
memang merupakan sebuah metode yang diterapkan di Taiwan (dan sebenarnya
memang bukan metode yang baru di Indonesia) sebagai salah satu bentuk
surveillance untuk mengetahui distribusi dan kepadatan vektor nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus (Nusa, 2005).
Perangkap telur nyamuk (Ovitrap) yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebuah gelas volume 250 ml dicat hitam bagian luarnya, diisi air hujan
sepertiganya, lalu dipasangi kertas pita kertas saring berukuran 5 cm x 20 cm
dipasang melingkar penuh di dalam gelas sebatas permukaan air sebagai ovistrip.
Untuk keperluan survailans ovitrap dipasang di dalam rumah sebanyak 3 buah dan
3 buah di luar rumah untuk tiap rumah. Setelah seminggu pemasangan, ovitrap
diperiksa adanya telur pada kertas saring. Ovitrap digunakan juga untuk
mendeteksi adanya Aedes aegypti dan Aedes albopictus dimana kepadatan
populasinya rendah dan survey jentik kebanyakan tidak produktif. Ovitrap dapat
digunakan untuk mengevalusi keberhasilan pengendalian vektor dan
memperkirakan kepadatan populasi nyamuk (Mardihusodo et al. 2007). Gambar 7
dan 8 adalah Ovitrap yang digunakan dalam penelitian.
Gambar 7 Ovitrap dengan kertas saring Gambar 8 Pemasangan Ovitrap
2.6 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)
Menurut Lillesand dan Kiefer (1979) Penginderaan jauh adalah ilmu dan
seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan
menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak
langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji.
Penginderaan jauh bisa dikatakan sebagai Ilmu karena memiliki berbagai
karakteristik yang jelas. Karakteristik yang jelas itu antara lain terdapat pada
lingkup studinya, konsepsi dasarya, metodologi, serta filosofinya. Bila
Peninginderaan jauh digunakan oleh pakar lain untuk menopang penelitian atau
pekerjaannya, maka penginderaan jauh merupakan teknik bagi mereka. Misalnya
seorang pakar lingkungan hidup yang menggunakan bantuan citra satelit untuk
mengetahui kerusakan hutan.
2.6.1 Sistem Penginderaan Jauh dan Komponennya
Sistem penginderaan jauh ialah serangkaian komponen yang digunakan untuk
penginderaaan jauh. Rangkaian komponen itu berupa tenaga, obyek, sensor, data,
dan pengguna data (Prahasta, 2008). Gambar 9 menunjkana rangkaian komponen
dalam sistem penginderaan jauh.
Gambar 9 Rangkaian komponen dalam system penginderaan jauh
a. Sumber tenaga
Dalam penginderaan jauh harus ada sumber tenaga, baik sumber tenaga
alamiah (sistem pasif) maupun sumber tenaga buatan (sistem aktif). Tenaga ini
mengenai objek di permukaan bumi yang kemudian dipantulkan ke sensor.
Jumlah tenaga matahari yang mencapai bumi dipengaruhi oleh waktu (jam,
musim), lokasi, dan kondisi cuaca. Jumlah tenaga yang diterima pada siang
hari lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah pada pagi atau sore hari.
Kedudukan matahari terhadap tempat di bumi berubah sesuai dengan
perubahan musim. Pada musim di saat matahari berada tegak lurus di atas
suatu tempat, jumlah tenaga yang diterima lebih besar bila dibanding dengan
pada musim lain di saat matahari kedudukannya condong terhadap tempat itu.
Di samping itu, jumlah tenaga yang diterima juga dipengaruhi oleh letak
tempat di permukaan bumi. Tempat-tempat di ekuator menerima tenaga lebih
banyak bila dibandingkan terhadap tempat-tempat di lintang tinggi.
Kondisi cuaca juga berpengaruh terhadap jumlah sinar yang mencapai bumi.
Semakin banyak penutupan oleh kabut, asap, dan awan, maka akan semkin
sedikit tenaga yang dapat mencapai bumi.
b. Atmosfer
Sebelum mengenai obyek, energi yang dihasilkan sumber tenaga merambat
melewati atmosfer. Atmosfer membatasi bagian sektrum elektromagnetik yang
dapat digunakan dalam penginderaan jauh. Pengaruh atmosfer merupakan
fungsi panjang gelombang dan bersifat selektif terhadap panjang gelombang
c. Interaksi antara tenaga dan Obyek.
Tiap obyek mempunyai karakteristik tertentu dalam memantulkan atau
memancarkan tenaga ke sensor. Pengenalan obyek pada dasarnya dilakukan
dengan menyidik (tracing) karakteristik spektral objek yang tergambar pada
citra.
d. Sensor.
Tenaga yang datang dari objek di permukaan bumi diterima dan direkam oleh
sensor. Tiap sensor mempunyai kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum
elektromagnetik. Di samping itu juga kepekaan berbeda dalam mereka obyek
terkecil yang masih dapat dikenali dan dibedakan terhadap obyek lain atau
terhadap lingkungan sekitarnya. Kemampuan sensor untuk menyajikan
gambaran obyek terkecil ini disebut resolusi spasial. Semakin kecil obyek yang
dapat direkam oleh sensor menandakan semakin baik kualitas sensor tersebut.
Berdasarkan proses perekamannya, sensor dibedakan menjadi sensor fotografik
dan sensor elektronik. Sensor fotografik proses perekamannya berlangsung
secara kimiawi. Tenaga elektromagnetik diterima dan direkam pada lapisan
emulsi film yang bila diproses akan menghasilkan foto. Sedangkan sensor
elektronik menggunakan tenaga elektrik dalam bentuk sinyal elektrik. Sinyal
elektrik yang direkam pada pita magnetik ini kemudian dapat diproses menjadi
data visual maupun menjadi data digital yang siap dikomputerkan.
Lillesand dan Kiefer (1979) mengemukakan beberapa kelebihan sistem
fotografik dan sistem elektronik. Keuntungan sistem fotografik yakni: (1)
caranya sederhana, (2) tidak mahal, (3) resolusi spasialnya baik, dan (4)
integritas geometriknya baik. Sistem elektronik mempunyai kelebihan dalam
hal penggunaan spektrum elektromagnetik yang lebih luas, kemampuan yang
lebih besar dan lebih pasti dalam membedakan karakteristik spektral obyek,
dan proses analisis yang lebih cepat karena digunakannya komputer.
2.6.2 Komponen Penginderaan Jauh
a. Perolehan data
Perolehan data dapat dilakukan dengan cara manual yakni dengan interpretasi
secara visual, dan dapat pula dilakukan dengan cara numerik atau cara digital
yaitu dengan menggunakan komputer. Foto udara umumnya diinterpretasi
secara manual, sedang data hasil penginderaan secara dapat diinterpretasi
secara manual maupun secara numerik.
b. Pengguna data.
Keberhasilan aplikasi penginderaan jauh terletak pada dapat diterima atau
tidaknya hasil penginderaan jauh itu oleh para pengguna data. Kerincian,
keandalan, dan kesesuainnya terhadap kebutuhan pengguna sangat menentukan
diterima atau tidak diterimanya data penginderaan jauh oleh para penggunanya.
Berdasarkan cara pengumpulan datanya, sistem penginderaan jauh dapat
dibedakan atas tenaga dan wahana yang digunakan dalam penginderaaan.
Berdasarkan tenaga yang digunakan, sistem tersebut dibedakan atas yang
menggunakan tenaga pantulan dan yang menggunakan tenaga pancaran.
Sedang berdasarkan wahananya maka sistem penginderaan jauh dibedakan atas
sistem penginderaaan dari dirgantara (airborne system) dan dari antariksa
(spaceborne system) (Sutanto, 1994). Berdasarkan analisis datanya maka
penginderaan jauh dibedakan atas cara interpretasinya, yaitu interpretasi secara
visual dan interpretasi secara numerik.
2.6.3 Pemanfaatan Penginderaan Jauh
Kegunaan citra penginderaan jauh antra lain sebagai berikut:
a. Sebagai alat bantu dalam menyusun teori
Teori adalah serangkaian peryataan tentang hubungan antara dua gejala atau
lebih yang dibuat dengan tingkat kepercayaan tertentu. Teori tersebut disusun
berdasarkan penelitian yang dibuat dengan tingkat kepercayaan antara teori dan
fakta.
b. Sebagai atau untuk menemukan fakta.
Citra yang menyajikan gambaran lengkap merupakan sumber data yang dapat
diinterpretasi secara cepat.
c. Sebagai alat penelitian
Citra yang menyajikan gambaran sinoptik merupakan alat yang baik dalam
memberikan rekaman objek, gejala, atau daerah.
d. Sebagai dasar penjelasan
Citra yang menyajikan gambaran lengkap dengan wujud dan letak yang mirip
wujud dan letak sebenarnya merupkan alat yang baik sekali untuk memahami
letak dan susunan gejala di muka bumi.
e. Sebagai alat dalam prediksi pengendalian.
Citra merupakan alat bantu secara visual yang bermanfaat di dalam prediksi
dan pengendalian, yaitu sebagai abstraksi kondisi masa yang akan datang dan
sebagai peta kerja.
Remote sensing telah memberikan kemungkinan pemantauan berbagai
fenomena permukaan bumi dengan cepat dan akurat. Berbagai bidang ilmu yang
langsung atau tidak langsung berhubungan dengan bumi (geo, land) dapat
mengambil manfaat dari remote sensing. Alasan yang mendorong pemanfaatan ini
antara lain (Sutanto, 1994):
a. Daerah yang luas pada permukaan bumi dapat diamati dari titik pandang yang
baik (dari angkasa) dan dicitrakan dengan jelas;
b. Beberapa sensor yang dikembangkan memiliki sensitifitas untuk mengukur
gelombang elektromagnet yang tidak dapat ditangkap oleh mata manusia;
dengan demikian sifat-sifat yang “tak nampak” pada permukaan bumi pun
dapat terekam;
c. Dalam satu citra objek-objek yang tergambar dapat dipantau dalam satu
hubungan keruangan;
d. Pengambilan citra dapat dilakukan dalam waktu yang berbeda (multi-
temporal), sehingga memungkinkan untuk melihat situasi suatu daerah dimasa
lalu serta dapat melakukan penggambaran ulang (rekonstruksi) sifat-sifat
tertentu objek-objek yang diamati.
Satelit penginderaan jauh yang ada menghasilkan citra dengan berbagai
macam resolusi (resolusi spasial, spektral dan temporal). Resolusi spasial pada
citra terkait dengan objek terkecil yang dapat disajikan, dibedakan dan dikenali
pada citra. Jadi bila kita ingin mendeteksi objek yang kecil di permukaan bumi,
maka diperlukan citra satelit dengan resolusi yang tinggi. Resolusi spektral
menunjukkan sensitivitas sensor pada panjang gelombang tertentu. Ini juga
berhubungan dengan kemampuan dalam pembedaan objek. Resolusi temporal
berkaitan siklus pengulangan satelit untuk merekam daerah/objek yang sama. Ada
satelit yang mampu merekam objek dua kali dalam sehari, sedangkan satelit yang
lain hanya dapat merekam 35 hari sekali.
Sistem sensor penginderaan jauh berdasarkan sumber energi yang dipakai
berupa sensor aktif dan pasif. Sensor dikatakan pasif karena tidak memancarkan
energi sendiri. Sensor pasif mempergunakan pantulan/ pancaran energi dari objek
di permukaan bumi yang berasal dari sinar matahari. Hal ini berarti sensor hanya
dapat beroperasi di siang hari. Sensor pasif biasanya berupa sensor optik/elektro-
optik. Sebaliknya terdapat pula sistem pencitra yang aktif, seperti radar, yang
memancarkan sinyal pada panjang gelombang mikro dan merekam karakteristik
pantulan sinyal setelah mengenai permukaan bumi.
Citra Penginderaan Jauh sangat banyak digunakan dalam berbagai bidang
kehidupan seperti pemetaan penutup dan penggunaan lahan, pertanian, pemetaan
tanah, kehutanan, perencanaan kota, investigasi arkeologi, observasi militer,
survey geomorfologi, kesehatan, dan masih banyak lagi (Sutanto, 1994)
2.7 IKONOS
Tahun 1992 Kongres Amerika Serikat (AS) meloloskan Undang-undang
Penginderaan jauh daratan (US Land Remote Sensing Act). Undang-undang ini
menyebutkan industri inderaja satelit komersial sangat penting bagi kesejahteraan
rakyat AS serta mengizinkan perusahaan-perusahaan swasta mengembangkan,
memiliki, mengoperasikan serta menjual data yang dihasilkan (Danoedoro, 2004).
Sejak diluncurkan pada tanggal 24 September 1999, Citra satelit bumi Space
imagings IKONOS menyediakan data citra yang akurat, dimana menjadi standar
untuk produk-produk data satelit komersial yang beresolusi tinggi. Satelit ini
mengorbit bumi sinkron dengan matahari setinggi 681 km. Waktu revolusinya
adalah 98 menit. Resolusi spasialnya adalah 3 hari. IKONOS memproduksi citra 1
meter hitam dan putih (pankromatik) dan citra 4 meter multispektral (red, blue,
green dan near-infrared) yang dapat dikombinasikan dengan berbagai cara untuk
mengakomodasikan secara luas aplikasi citra beresolusi tinggi (Space imaging,
2004).
IKONOS dimiliki dan dioperasikan oleh Space imaging sebuah perusahaan
Observasi Bumi Amerika Serikat. Satelit komersial beresolusi tinggi lainnya yang
diketahui: Orbview-3 (OrbImage), Quickbird (EarthWatch) dan EROS-A1 (West
Indian Space). Disamping mempunyai kemampuan merekam citra multispetral
pada resolusi 4 meter, IKONOS dapat juga merekam obyek-obyek sekecil satu
meter pada hitam dan putih. Dengan kombinasi sifat-sifat multispektral pada citra
4 meter dengan detail-detail data pada 1 meter. Citra IKONOS diproses untuk
menghasilkan 1 meter produk-produk berwarna IKONOS adalah satelit komersial
beresolusi tinggi pertama yang ditempatkan di ruang angkasa.
Sensor OSA pada satelit didasarkan pada prinsip pushbroom dan dapat
secara simultan mengambil citra pankromatik dan multispektral. IKONOS
mengrimkan resolusi sapatial tertinggi sejauh yang dicapai oleh sebuah satelit
sipil. Bagian dari resolusi spasial yang tinggi juga mempunyai resolusi
radiometrik tinggi menggunakan 11-bit (Space Imaging, 2004).
Data IKONOS dapat digunakan untuk pemetaan topografi dari skala kecil
hingga menengah, tidak hanya menghasilkan peta baru, tetapi juga
memperbaharui peta topografi yang sudah ada. Penggunaan potensial lain
IKONOS adalah precision agriculture, hal ini digambarkan pada pengaturan band
multispektral, dimana mencakup band infra merah dekat (near-infrared).
Pembaharuan dari situasi lapangan dapat membantu petani untuk mengoptimalkan
penggunaan pupuk dan herbisida (Janssen dan Hurneeman, 2001).
Tabel 1 Resolusi spasial pada citra satelit IKONOS
Band Width Resolusi SpasialPanchromatic 0.45 – 0.90µm 1 meterBand 1 0.45 – 0.53µm (blue) 4 meterBand 2 0.52 – 0.61µm (green) 4 meterBand 3 0.64 – 0.72µm (red) 4 meterBand 4 0.77 – 0.88µm (near infra-red) 4 meter
Sumber: www. Satimagingcorp.Com
IKONOS dengan kemampuannya sebagai “high accuracy remote sensing
satellite” akan memberikan implikasi terhadap berubahnya konsepsi penyediaan
data dan informasi wilayah terutama karena meningkatnya kecepatan dan
keakuratan datanya (Space imaging, 2004).
Tabel 2 Karakteristik satelit IKONOS
Sistem Karakteristik IKONOSLaunch Date 24 September 1999 at Vandenberg Air Force
Base, California, USAOperational Life Over 7 yearsOrbit 98.1 degree, sun synchronousSpeed on Orbit 7.5 kilometers per secondSpeed Over the Ground 6.8 kilometers per secondRevolutions Around the Earth 14.7, every 24 hoursAltitude 681 kilometersResolution at Nadir 0.82 meters panchromatic; 3.2 meters
multispectralResolution 26° Off-Nadir 1.0 meter panchromatic; 4.0 meters
multispectralImage Swath 11.3 kilometers at nadir; 13.8 kilometers at 26°
off-nadirEquator Crossing Time Nominally 10:30 AM solar timeRevisit Time Approximately 3 days at 40° latitudeDynamic Range 11-bits per pixelImage Bands Panchromatic, blue, green, red, near IR
Sumber: www. Satimagingcorp.Com
IKONOS juga dapat dimanfaatkan untuk pemantauan cuaca dan penataan
ruang wilayah. IKONOS akan lebih bermanfaat misalnya dalam menganalisis
lahan dan identifikasi obyek. Apabila kemudian data ini dipadukan dengan data
sekunder akan memberikan pengetahuan tentang potensi suatu daerah dengan
lebih detil dan bermanfaat khususnya dalam pengambilan kebijakan pembangunan
(Janssen dan Hurneeman, 2001).
2.8 NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)
Satelit NOAA merupakan satelit lingkungan dan cuaca yang pertama kali
diluncurkan pada tahun 1970 oleh NASA Amerika Serikat. Satelit ini biasanya
dipakai dalam observasi meteorologi, hidrologi dan osenografi. Satelit NOAA
berorbit polar dimana orbit satelit sejajar dengan bumi dan melintasi kutub utara
dan kubub selatan. Satelit NOAA mengitari bumi dengan mengikuti salah satu
lintang dengan arah tetap pada ketinggian 833 kilometer sampai dengan 870
kilometer. Karena adanya rotasi bumi maka terdapat dua arah lintasan. Arah
lintasan yang menuju arah utara disebut ascend dan arah lintasan menuju arah
selatan yang disebut descend. Satelit ini tiap hari mengorbit sebanyak 14.2 kali
dan waktu tiap orbitnya adalah 102 menit. Pada tiap orbitnya satelit NOAA
merekam daerah selebar 3000 x 3000 km. Sensor yang terdapat pada satelit
NOAA diantaranya adalah:
1. Tiros Operational Vertikal Sounder (TOVS), untuk pengamatan profil (suhu
dan kelembaban) atmosfer.
2. Space Environmental Monitor (SEM), untuk deteksi proton matahari, partikel
alpha, rapat flux electron dan energi total partikel pada ketinggian satelit.
3. Data Collecting and Location System (DCS), berfungsi sebagai pengumpul dan
transmisi data cuaca global yang diterima oleh flatform di permukaan bumi.
4. Search and Rescue Satellite Aided Tracking (SARSAT), untuk keperluan SAR.
5. Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR), untuk pengamatan
lingkungan dan cuaca.
Sensor pada misi NOAA yang relevan untuk pengamatan bumi adalah
Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR). Sensor AVHRR yang
mempunyai fungsi untuk membantu pengamatan lingkungan dan cuaca dapat
memberikan informasi tentang suhu permukaan laut untuk melihat fenomena
osenografi. Sensor ini dibuat oleh Aerospace Optical Division ITT-Fortwyne dan
memiliki lima saluran (kanal) scanning radiometer dimana masing-masing saluran
mempunyai panjang gelombang dan fungsi tertentu dalam penggunaannya
(Janssen dan Hurneeman, 2001).
Satelit NOAA-AVHRR yang mengorbit polar didesain untuk dapat
memantau permukaan bumi dalam skala luas. Satelit NOAA ditargetkan dapat
meliputi seluruh permukaan bumi dengan bergerak dari selatan ke utara pada
orbitnya di satu sisi bumi (ascending pass) dan kebalikannya dari utara ke selatan
pada sisi bumi yang lainnya (descending pass). Untuk wilayah Indonesia, dalam
satu kali liputannya satelit NOAA-AVHRR dapat mencakup luasan maksimum
2048 pixel. Sebuah pixel citra satelit NOAA-AVHRR berukuran 1.1 km x 1.1 km.
Dengan demikian hanya dalam satu kali orbit luas daerah Indonesia sebesar 2/3
dapat diliput. Dalam satu hari kurang lebih 24 jam, groun station satelit NOAA-
AVHRR milik LAPAN dapat menerima minimal 2 cita dan maksimal 4 citra
untuk daerah yang berbeda yaitu dua data dari ascending orbit dan dua citra dari
descending orbit. Untuk seri satelit NOAA-18 data ascending diterima pada sore
dan malam hari, sedangkan data descending diperoleh pada saat subuh dan pagi
hari (Zudiana, 2004).
Data AVHRR terutama digunakan untuk peramalan cuaca harian dimana
memberikan data yang lebih detail daripada Meteosat. Selain itu, juga dapat
diterapkan secara luas pada banyak lahan dan perairan. Peta tutupan awan (Cloud
Cover Maps) yang berasal dari data AVHRR, digunakan untuk estimasi curah
hujan, dimana dapat menjadi input dalam model pertumbuhan tanaman. Selain itu,
hasil pengolahan lain dari data AVHRR adalah Normalized Difference Vegetation
Index Maps (NDVI). Data AVHRR sangat tepat untuk memetakan dan memonitor
penggunaan lahan regional dan memperkirakan keseimbangan energi (energy
balance) pada areal pertanian (Janssen dan Hurneeman, 2001).
Tabel 3 Karakteristik sensor infra merah termal NOAA-AVHRR
Sensor Panjang gelombang Resolusi spasial Resolusi temporal
NOAA-AVHRR
Kanal 3A: 1.57-1.64 m 3B: 3.55-3.93 m Kanal 4: 10.3-11.3 mKanal 5: 11.5-12.5 m
1.1 x 1.1 km2 2 kali sehari
Sumber: Maryani, 2008.
Sensor AVHRR yang dibawa oleh satelit NOAA adalah multi spectral
scanner dengan lima band pada panjang gelombang yang berbeda, mulai dari
sinar tampak dan infrared jauh. Saat ini terdapat 4 seri satelit NOAA yang masih
beroperasi, yaitu NOAA-15, NOAA-16, NOAA-17, dan NOAA-18 yang masing-
masing melintasi lokasi yang sama 2 kali sehari (Maryani, 2008).
2.8.1 Perolehan data suhu udara dan kelembaban dari data NOAA
Gambar 10 Proses perolehan suhu dan kelembaban udara dari data NOAA (Parwati, 2010)
2.8.2 Perolehan data curah hujan melalui satelit lingkungan dan cuaca
Pemanfaatan teknologi satelit penginderaan jauh untuk memantau kondisi
curah hujan dapat dilakukan melalui satelit lingkungan dan cuaca, seperti MTSAT
(Multifunction Transport Satellite), TRMM (Tropical Rainfall Measurement
Mission), dan data QMorph yang curah hujannya diperoleh dari kombinasi
beberapa satelit geostasioner yaitu DMSP, NOAA, Aqua dan TRMM. Data
MTSAT memberikan informasi kondisi liputan awan yang dapat
merepresentasikan peluang hujan rendah hingga tinggi.
NOAA
Koreksi geometrik & Radiometrik
Masking Awan
Penurunan Brihtness
Temperature kanal 3-4-5
Penurunan Reflektans kanal
1-2
Perhitunganindeks vegetasi
NDVI
PerhitunganSuhu permukaan
bumi (LST)
PerhitunganSuhu udara
Landuse dari Landsat7Etm
Estimasi Kelembaban Udara (RH)
DEM SRTM
Data MTSAT dapat diperoleh setiap jam dengan resolusi spasial 5 km. Data
TRMM memberikan informasi curah hujan setiap 3 jam dengan resolusi spasial
27 km, sedangkan data QMorph dapat memberikan informasi curah hujan setiap
30 menit dengan resolusi spasial 8 km. Informasi curah hujan dari data Qmorph
dapat dilihat di website: http://www.cpc.noaa.gov/products/janowiak/cmorp.html
Gambar 11 Proses perolehan curah hujan dari data satelit lingkungan dan cuaca (Parwati, 2010)
Perhitungan curah hujan harian (24 jam)
DownloadData QMORHP
Spatial subset untuk Penentuan Koordinat
Data satelit DMSP, NOAA, AQUA dan TRMM
Spectral subset band 1 dan 4
Croping daerah yang dipilih
Pengolahan data curah hujan selesai
3 METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
3.1.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di 5 (lima) wilayah yaitu, kecamatan Pontianak
Barat, Pontianak Kota, Pontianak Selatan dan kecamatan Pontianak Tenggara.
Keempat Kecamatan tersebut digunakan untuk pembuatan model karena yang
paling banyak kasus DBDnya, sedangkan wilayah kecamatan Pontianak Utara
digunakan untuk menguji model yang telah dihasilkan di 4 (empat) kecamatan
tersebut di atas. Peta cakupan penelitian dapat dilihat pada Gambar 12 di bawah
ini.
Gambar 12 Peta cakupan lokasi penelitian, citra Ikonos kota Pontianak 2008
3.1.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) bulan dari bulan Oktober 2009
sampai dengan Maret 2010.
3.2 Rancangan Penelitian
3.2.1 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi
menjadi dua kelompok, kelompok pertama (prediktor) adalah data yang
digunakan untuk mendeteksi faktor resiko lingkungan penyebab demam berdarah
dengue (DBD) yaitu; data citra satelit IKONOS tahun 2003 dan 2008, data iklim
dari citra satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)
tahun 2005-2009.
Data kelompok kedua (prediktan) adalah data sebaran penderita positif
DBD tahun 2005-2009 di Kecamatan penelitian yang diperoleh dari Dinas
Kesehatan, Puskesmas dan rumah sakit di Kota Pontianak.
3.2.2 Jenis Data dan Informasi
Jenis data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data
primer dan sekunder. Data primer melalui survey lapangan untuk pemantauan
vektor penyakit DBD, dengan melakukan investigasi pemantauan jentik dan
pemasangan ovitrap di luar rumah penduduk yang positif menderita DBD
sebanyak 15 rumah dengan radius tidak lebih dari 100 meter dari rumah penderita
positif DBD (Depkes RI, 2004).
Data sekunder diperoleh dari penginderaan jauh (remote sensing) citra
satelit IKONOS dan NOAA, sedangkan data penderita DBD diperoleh dari Dinas
Kesehatan dan Rumah Sakit di Kota Pontianak.
3.2.3 Parameter yang diamati
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah parameter prediktor
(variabel bebas) dan prediktan (variabel terikat);
1. Parameter prediktor yaitu parameter keberadaan vektor DBD berupa jentik
Aedes aegypti yang diperoleh dari pemantauan jentik dan pemasangan ovitrap,
sedangkan faktor resiko lingkungan yang diperoleh dari data penginderaan
jauh satelit IKONOS, yang diperkirakan mempengaruhi keberadaan vektor dan
intensitas penularan DBD ada 2 variabel yaitu: (1) penutupan lahan oleh
bangunan dan kepadatan perumahan, (2) vegetasi. Sedangkan faktor iklim:
suhu udara, kelembaban relatif dan curah hujan diturunkan dari data satelit
lingkungan dan cuaca NOAA.
2. Parameter prediktan yaitu jumlah kasus penderita DBD tahun 2005-2009 di
lokasi penelitian.
3.3 Alat dan Bahan Penelitian
3.3.1 Alat dan bahan penelitian lapangan
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian lapangan untuk pemeriksaan
vektor jentik nyamuk adalah sbb; senter, ATK, form hasil pemeriksaan jentik, alat
pengukur suhu dan kelembaban, sedangkan untuk pengumpulan/koleksi telur
nyamuk Aedes aegypti sbb; ovitrap berupa gelas plastik isi 250 ml dicat hitam
pada bagian luarnya, kertas saring yang dipotong berukuran 5 x 20 cm sebagai
ovistrip, dan kertas label.
Gambar 13 Alat dan bahan penelitian lapangan
Gambar 14 Alat dan bahan penelitian laboratorium
3.3.2 Alat dan bahan penelitian laboratorium untuk kolonisasi telur nyamuk
Gambar 14 adalah alat dan bahan yang digunakan untuk kolonisasi nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus di laboratorium diantaranya : tray/nampan
plastik ukuran 20 x 12.5 x 5 cm, kertas label, gelas plastik, pipet plastik, pakan
hati ayam, larutan gula 10% (Mardihusodo, 1993).
3.4 Tahapan Penelitian
3.4.1 Penelitian lapangan
Data subjek penelitian yaitu parameter keberadaan vektor DBD dan faktor-
faktor resiko lingkungan yang berpengaruh terhadap penularan DBD diperoleh
dan dikumpulkan secara langsung (primer) melalui survey lapangan. Kegiatan
pemeriksaan jentik dilakukan terhadap container (penampungan air hujan)
penduduk pada 15 rumah di lokasi yang ditemukan kasus positif DBD. Sedangkan
untuk mendeteksi telur nyamuk Aedes aegypti menggunakan ovitrap. Ovitrap
dilabel sesuai lokasi endemis. Ovitrap dipasang di luar rumah yang diperkirakan
berpotensi menjadi tempat bertelurnya nyamuk Ae.aegypti, yaitu di tempat yang
tidak terkena langsung cahaya matahari dan air hujan (Perich et al. 2003).
Masing-masing rumah ditempatkan ovitrap sebanyak 1 buah di luar rumah.
Menurut Hasyimi et al. (1991) setelah seminggu pemasangan perangkap telur
diperiksa adanya telur pada kertas saring, kemudian ovistrip diganti dan jumlah
air ditambah jika berkurang serta dihitung ovitrap index (OI).
Gambar 15 Pelaksanaan pemeriksaan jentik dan pemasangan ovitrap
Pemasangan ovitrap dilakukan 3 kali selama penelitian di masing-masing
kelurahan lokasi penelitian. Selanjutnya ovistrip dibawa ke Laboratorium
Mikrobiologi Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Depkes Pontianak untuk
proses kolonisasi. Pengumpulan data primer di lapangan peneliti di bantu oleh 3
(tiga) orang asisten peneliti, dengan perincian setiap kecamatan 1 (satu) asisten
peneliti yang bertanggungjawab untuk melakukan pemeriksaan jentik dan
pemasangan ovitrap.
3.4.2 Penelitian Laboratorium
Pelaksanaan penelitian laboratorium dilakukan di laboratorium
Mikrobiologi Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Depkes Pontianak untuk
kolonisasi nyamuk dari telur sampai ke larva guna deteksi vektor DBD.
Kolonisasi telur nyamuk Aedes aegypti dilakukan dengan cara ovistrip yang
didapat dari lapangan yang sudah kering direndam ke dalam nampan plastik yang
berisi air hujan berdasarkan lokasi pengambilan telur sebelumnya sudah diberi
label, dibiarkan selama 1-2 hari sampai menetas menjadi larva. Proses
pemeliharaan larva agar tetap bertahan hidup diberi pakan hati ayam sebanyak
0.5 gr pada hari ke-0 dan selanjutnya dari hari pertama sampai ke lima atau
sebelum menjadi pupa sempurna diberi pakan hati ayam 1 gr. Jika terdapat buih
pada permukaan air pada nampan segera dibersihkan sebelum diberi pakan, air
diganti 2-3 kali seminggu. Umur larva menjadi pupa kurang lebih 4-5 hari
(Limsuwan et al. 1979).
Gambar 16 Pelaksanaan penelitian di laboratorium
Data yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil survey lapangan adalah data
telur nyamuk dan angka jentik vektor serta kasus positif DBD menurut
kecamatan dan data lapangan lainnya. Penelitian di laboratorium Peneliti di bantu
oleh 2 (dua) orang asisten peneliti (petugas laboratorium).
3.4.3 Analisis data citra satelit NOAA dan IKONOS
Faktor resiko lingkungan kecamatan yang berpengaruh terhadap penularan
DBD diperoleh dan dikumpulkan secara langsung (primer) melalui survey
lapangan dan tidak langsung (sekunder) melalui analisis data citra penginderaan
jauh satelit IKONOS dan satelit Lingkungan dan Cuaca NOAA.
Hasil analisis data citra penginderaan jauh (remote sensing) yang
diutamakan adalah klasifikasi beberapa variabel penutup lahan lingkungan
kecamatan (kepadatan bangunan dan perumahan, serta vegetasi) dan data iklim
(suhu, kelembaban, curah hujan) yang secara epidemiologis diperkirakan
berpengaruh terhadap penularan DBD.
Analisis citra satelit NOAA dan IKONOS menggunakan software Envi 4.1,
Ermapper 7.0 dan AcrView Gis 3.3. Berdasarkan hasil analisis citra NOAA
diperoleh data suhu, kelembaban dan curah hujan, sedangkan analisis citra
IKONOS diperoleh persentasi tutupan lahan berupa kepadatan bangunan dan
perumahan serta vegetasi yang dilakukan melalui proses digitasi.
Data yang diperoleh dari dua macam sumber (primer dan sekunder) tersebut
kemudian diintegraasikan dan dianlisis dengan analisis diskriminan dan regresi
bergada linear menggunakan software SPSS 17.0.
3.5 Metode Analisis Data
1. Keseluruhan data yang diperoleh dari data primer dan sekunder kemudian
diintegrasikan dan dianlisis dengan analisis diskriminan untuk mengetahui
variabel prediktor keberadaan vektor dan penularan DBD di lokasi penelitian.
2. Dengan aplikasi analisis statistik diskriminan, selanjutnya berdasarkan hasil
perhitungan angka intensitas penularan DBDnya, kita akan mengetahui
intensitas penularan DBD menurut kecamatan sampel penelitian.
3. Model analisis statistik yang diaplikasikan adalah analisis regresi linear
berganda yang merupakan model analisis data dari software Statistical Product
and Service Solution (SPSS) versi 17.0 (Priyatno, 2009). Secara otomatis
analisis diskriminan akan mampu menghitung dan menetapkan variabel bebas
(dalam hal ini variabel parameter faktor resiko lingkungan) yang secara
statistik cukup bermakna pengaruhnya terhadap intensitas penularan DBD.
Nilai signifikansi yang diambil adalah 95%, jika nilai F hitung mempunyai
tingkat signifikan < 95% maka variabel lingkungan tersebut tidak
mempengaruhi intensitas penularan DBD, sebaliknya jika nilai F hitung
mempunyai nilai signifikansi > 95% berarti variabel lingkungan dimaksud
berpengaruh terhadap intensitas penularan DBD.
Melalui aplikasi analisis diskriminan ini, secara langsung akan diperoleh:
(1) variabel prediktor untuk penetapan estimasi tingkat intensitas
penularan DBD; (2) nilai konstanta dan nilai fungsi masing-masing
variabel prediktor untuk persamaan regresi ganda linear yang merupakan
model perhitungan untuk estimasi tingkat intensitas penularan DBD
menurut kecamatan;
4. Prosedur analisis diskriminan yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Kompilasi data,
b. Pengelompokan nilai variabel menjadi kode 0 (tidak berpengaruh) dan 1
(berpengaruh)
c. Analisis diskriminan.
5. Persamaan kombinasi linier dari hasil analisis diskriminan untuk dua kelompok
data (prediktor dan prediktan), mempunyai bentuk umum persamaan regresi
ganda linier yang rumus umumnya menurut Hair et al. (1995) dapat ditulis
sebagai berikut : Y = C + c1X1 + c2X2 +…+ cnXn.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, dimana:
Y = intensitas penularan demam berdarah dengue (DBD),
C = bilangan konstanta dari persamaan diskriminan
c1, c2 dan cn = besarnya nilai fungsi dari masing-masing variable prediktor X1,
X2 dan Xn. Persamaan ini merupakan model pendekatan perhitungan estimasi
penularan demam berdarah dengue (DBD). Nilai c1, c2 dan cn diperoleh dari
hasil analisis diskriminan.
6. Nilai Batas (cut off point) demam berdarah (DBD)
Untuk menghitung nilai batas (cut off point) DBD menurut Santoso dan
Tjip tono (2001), rumus umum cut off point adalah sebagai berikut:
Zcu =( )
( )dimana:
Na = Jumlah wilayah yang mengalami KLB,
Nb = jumlah wilayah yang tidak mengalami KLB,
Za = nilai fungsi untuk yang KLB,
Zb = nilai fungsi untuk yang bukan KLB; nilai Za, dan Zb dapat dilihat dari
hasil analisis diskriminan.
Nilai Zcu hasil perhitungan analisis diskriminan digunakan untuk mengetahui
dan mengestimasi KLB DBD di suatu kecamatan atau kelurahan dimana, Jika
nilai Y lebih besar dari nilai cut off point maka diestimasikan akan terjadi KLB
DBD untuk 1 bulan kedepan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1 Wilayah Admininistrasi
Kota Pontianak merupakan ibukota Propinsi Kalimantan Barat, dengan luas
107.82 km2 terdiri dari 6 kecamatan dan 28 kelurahan. Kota Pontianak dilintasi
garis khatulistiwa yaitu pada 00 02 ́ 24 ́ ́ Lintang Utara sampai dengan 00 01 ́ 37 ́ ́
Lintang Selatan dan 1090 16 ́ 25 ́ ́ Bujur Barat sampai dengan 1090 23 ́ 04 ́ ́ Bujur
Timur. Ketinggian Kota Pontianak berkisar antara 0,1-1,5 meter di atas
permukaan laut (BPS kota Pontianak, 2009).
Kota Pontianak terletak pada dataran rendah dengan temperatur berkisar
antara 25-340C, kelembaban udara relatif dengan kisaran 60-90% sedangkan
curah hujan rata-rata mencapai 2 500 mm/thn sehingga termasuk kota dengan
curah hujan tinggi (BMG Supadio Pontianak, 2009). Kondisi fisik lahan di kota
Pontianak relatif datar dengan kemiringan 0-8% dan memiliki jenis tanah gambut.
Kota Pontianak dilewati dua sungai yaitu, Kapuas dan sungai Landak yang
berpotensi sebagai sarana transportasi air dan sebagai sumber air baku PDAM
bagi masyarakat di kota Pontianak
Secara administratif kota Pontianak berbatasan dengan:
a. Sebelah Barat: Kecamatan Sui Kakap Kabupaten Kubu Raya.
b. Sebelah Timur: Kecamatan Sui Ambawang Kabupaten Kubu Raya
c. Sebelah Utara: Kecamatan Siantan Kabupaten Pontianak.
d. Sebelah Selatan: Kecamatan Sui Raya Kabupaten Kubu Raya .
Lebih jelasnya mengenai wilayah administrasi Kota Pontianak dapat dilihat
pada Gambar 17.
4.1.2 Demografi
Pertambahan penduduk di kota Pontianak disebabkan 2 (dua) faktor, yaitu
faktor alami (kelahiran-kematian) dan faktor migrasi (datang-pindah). Jumlah
penduduk kota Pontianak sampai tahun 2009 sebanyak 521 569 jiwa. Laju
pertumbuhan penduduk rata-rata di kota Pontianak sebesar 3.08% per tahun (BPS
Kota Pontianak, 2009). Lebih jelasnya mengenai rincian jumlah penduduk, tingkat
kepadatan penduduk dan luas wilayah per kecamatan di kota Pontianak dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan penduduk kota Pontianak berdasarkan kecamatan tahun 2009
No KecamatanJumlah Penduduk (Jiwa) Luas
wilayah (Km2)
KepadatanPenduduk (jiwa/Ha)
Laki Perempuan Total
1 Pontianak Utara 56 489 51 802 100 291 37.62 2.6652 Pontianak Timur 36 963 33 578 70 541 8.78 8.0343 Pontianak Selatan 42 328 43 231 85 559 15.24 5.6144 Pontianak Barat 56 044 56 623 112 667 16.47 6.8405 Pontianak Kota 50 549 54 220 104 769 15.38 6.8126 Pontianak Tenggara 19 676 20 066 39 742 14.23 2.792
Kota Pontianak 262 049 259 520 521 569 107.82 4.837
Sumber: BPS Kota Pontianak, 2009.
Gambar 17 Peta kota Pontianak
4.2 Hasil Surveilans Keberadaan Vektor DBD
Penyelidikan epidemiologi (surveilans) merupakan langkah awal yang
dilakukan dalam penelitian ini, yaitu pencarian penderita positif DBD
(berdasarkan hasil pemeriksaan darah di laboratorium) dan pemeriksaaan jentik
serta pemasangan ovitrap di rumah penderita. Setiap lokasi kasus dipasang
masing-masing 1 buah ovitrap pada 15 rumah dengan radius kurang dari 100
meter di sekitar titik utama dimana pernah ada kasus positif DBD disitu
(Mardihusodo et al. 2007).
Lokasi titik utama pemasangan ovitrap dilakukan pada 17 kelurahan
dengan kriteria penderita positif DBD, anak masih di bawah umur 10 tahun
dengan asumsi penderita berasal dari lokasi setempat (indegenous), bukan
tersangka/suspect, hal ini bertujuan untuk menghindari kasus impor, dengan
pertimbangan jika penderita sudah dewasa dikhawatirkan tidak tertular di lokasi
tersebut tetapi dari luar karena mobilitas yang tinggi.
Gambar 18 Penentuan lokasi titik pemasangan ovitrap
Surveilans vektor Aedes aegypti adalah penting dilakukan untuk
menentukan distribusi, kepadatan populasi vektor, dan larva habitat utama yang
berhubungan dengan transmisi dengue, dalam rangka pengendalian vektor Aedes
aegypti. Metodologi survei yang dilakukan adalah pemeriksaan langsung terhadap
jentik nyamuk Aedes aegypti di dalam container (penampungan air hujan) dan
pemasangan ovitrap untuk mendeteksi keberadaan, mengetahui positif telur
nyamuk, serta jentik Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Lokasi kasus positif
DBD yang dipasang ovitrap tersebut dapat dilihat pada Gambar 19.
Standar ovitrap yang digunakan adalah berukuran gelas 250 ml, bercat
hitam di bagian luar. Sebagian ovitrap (3/4) diisi dengan air hujan, dalam
penelitian ini dipasang di luar rumah yang diduga berpotensi menjadi tempat
bertelurnya nyamuk Aedes aegypti, yaitu ditempat yang tidak kontak langsung
dengan sinar matahari dan air hujan (Perich et al. 2003).
Gambar 19 Peta penyebaran sampel kasus positif DBD
Setiap ovitrap diberi label sesuai lokasi penderita, masing-masing rumah
ditempatkan ovitrap 1 buah di luar rumah. Pemasangan dan pemeriksaan ovitrap
dilakukan setiap seminggu sekali selama 3 (tiga) minggu berturut-turut untuk
mengetahui keberadaan vektor nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Menurut Hasyimi et al.(1991) setelah seminggu pemasangan perangkap telur
diperiksa ada tidaknya telur pada kertas saring, kemudian ovistrip diganti untuk
mencegah jangan sampai terjadi perubahan siklus dari telur menjadi jentik sampai
nyamuk dewasa, jumlah air ditambah jika berkurang serta dihitung ovitrap index
(OI). Inokulasi dan pemeriksaan telur dilakukan di laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Depkes Pontianak.
Berdasarkan hasil survey investigasi keberadaan vektor nyamuk Aedes
aegypti di 4 (empat) kecamatan lokasi penelitian diperoleh data seperti pada Tabel
5 dan 6.
Tabel 5 Hasil survey investigasi keberadaan vektor jentik nyamuk Aedes aegypti pada container di lokasi kasus positif DBD kota Pontianak,
Desember 2009 - Januari 2010
No KecamatanHouse Indeks Container Indeks
Diperiksa Positif HI (%)
Diperiksa Positif CI (%)
1 Pontianak Selatan 75 16 21.33 225 24 10.672 Pontianak Barat 60 10 16.67 120 15 12.503 Pontianak Kota 75 12 16.00 225 23 10.224 Pontianak Tenggara 60 8 13.33 120 11 9.16
Jumlah 270 46 17.03 690 73 10.58
Menurut WHO (2007), indeks yang digunakan untuk menilai kepadatan
vektor jentik atau pupa nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut :
1. Indeks rumah (HI): adalah persentase rumah yang ditemukan jentik (larva)
dan atau pupae.
HI = 100 %
2. Container indeks (CI): persentase kontainer air yang ditemukan positif jentik
(larva) atau pupae.
CI = 100 %
Hasil investigasi pemeriksaan vektor jentik nyamuk Aedes aegypti pada 270
rumah penduduk yang diperiksa diperoleh 46 rumah positif ditemukan jentik
(HI = 17.03%). Pemeriksaan pada container diperoleh hasil dari 690 yang
diperiksa 73 ditemukan positif jentik (CI = 10.58%) di lokasi kasus positif DBD
kota Pontianak. House indeks (HI) tertinggi di kecamatan Pontianak Selatan
(21.33%), sedangkan container indeks tertinggi di kecamatan Pontianak Barat
(12.50% ).
Tabel 6 Hasil pemasangan Ovitrap untuk deteksi keberadaan telur nyamuk Aedes aegypti di lokasi kasus positif DBD di Kota Pontianak,Desember 2009 - Januari 2010
No Kecamatan
Kode kasus positif DBD
Jumlah ovitrap
Keberadaan telur Indek ovitrap
(IO)(%)
Positif Negatif
1 Pontianak Selatan AGA 15 2 13 13.332 NRN 15 1 14 6.003 NTA 15 1 14 6.004 EML 15 2 13 13.335 Pontianak Barat ADY 15 1 14 6.006 ASW 15 2 13 13.337 NDC 15 2 13 13.338 STI 15 1 14 6.009 Pontianak Kota RAH 15 2 13 13.33
10 BSR 15 4 11 26.6611 ASR 15 1 14 6.0012 NHA 15 2 13 13.3313 HNS 15 1 14 6.0014 Pontianak Tenggara VRN 15 2 13 13.3315 ARA 15 1 14 6.0016 DFI 15 0 15 0.0017 ZMH 15 1 14 6.00
Jumlah 255 26 229 11.35
Indeks ovitrap (IO) di luar rumah rata-rata 11.35%, jumlah OI terbanyak
berasal dari lokasi kasus BSR di kecamatan Pontianak kota 26.66% dan tidak
ditemukan telur nyamuk di lokasi kasus DFI di kecamatan Pontianak Tenggara.
Masih tingginya IO (> 10%) di lokasi kasus disebabkan padatnya perumahan
penduduk dan kebanyakan penampungan airnya (container) tidak tertutup.
4.2.1 Kolonisasi Telur Nyamuk Aedes aegypti
Kolonisasi telur nyamuk Aedes aegypti dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Depkes Pontianak. Telur
ditetaskan dengan cara merendam ovistrip, setelah 2 hari telur menetas menjadi
larva, setelah 7-8 hari larva berubah menjadi pupa, 3-4 hari mengalami perubahan
bentuk menjadi nyamuk dewasa. Hasil kolonisasi telur nyamuk Aedes aegypti
berasal dari lokasi penelitian seperti ditunjukan pada tabel 7.
Tabel 7 Distribusi jumlah telur Aedes aegypti hasil kolonisasi di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Kesling Poltekkes Depkes Pontianak
No Kecamatan Kode lokasi Stadium Persentasi (%)Telur Pupa/jentik
1 Pontianak Selatan AGA 78 31 39.702 NRN 56 23 41.073 NTA 42 17 40.474 EML 84 35 41.675 Pontianak Barat ADY 57 20 35.086 ASW 86 33 38.377 NDC 73 29 39.728 STI 45 12 26.679 Pontianak Kota RAH 60 28 46.67
10 BSR 105 45 42.8511 ASR 38 13 34.2112 NHA 51 20 39.2113 HNS 42 15 35.7114 Pontianak Tenggara VRN 87 38 43.6815 ARA 43 12 27.9116 DFI 0 0 0.0017 ZMH 46 14 30.43
TOTAL 993 391Rata-rata 58 23 39.37
Jumlah telur Aedes aegypti terbanyak berasal dari lokasi kasus BSR di
kecamatan Pontianak Kota sebanyak 105 butir dan tidak ditemukan telur di lokasi
kasus DFI di kecamatan Pontianak Tenggara. Jumlah keseluruhan telur nyamuk
993 butir dan rata-rata 58 butir. Jumlah stadium pupa hasil kolonisasi terbanyak
45 ekor dan ada yang tidak ditemukan pupa dengan total 391 ekor atau rata-rata
23 ekor, persentase tertinggi 46.67% dengan rata-rata 39.37%. Hasil kolonisasi
didominasi spesies Aedes aegypti, sedangkan Ae.albopictus hanya 5 ekor, hal ini
disebabkan lokasi kasus merupakan pemukiman padat penduduk dengan jarak
antar rumah rapat.
4.3 Hasil Analisis Citra Satelit Penginderaan Jauh
4.3.1 Analisis citra penginderaan jauh satelit IKONOS
Data yang diperoleh dari analisis citra penginderaan jauh satelit
menggunakan IKONOS adalah tutupan lahan (bangunan, jalan, lahan
kosong, tubuh air, dan vegetasi). Tutupan lahan yang diduga berhubungan
dan berpengaruh dengan epidemiologis keberadaan vektor DBD hanya 2
(dua) yaitu, (1) kepadatan bangunan dan perumahan, (2) indeks kerapatan
vegetasi.
Perolehan data tutupan lahan tersebut dilakukan melalui proses
digitasi menggunakan software ArcView Gis 3.3, yaitu dengan cara
membandingkan hasil analisis digitasi citra IKONOS tahun 2003 dan citra
IKONOS tahun 2008. Hasil analisis digitasi tutupan lahan citra IKONOS
kota Pontianak selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Hasil analisis digitasi tutupan lahan citra IKONOS tahun 2003 dan citra IKONOS tahun 2008, kota Pontianak
NO KlasifikasiCitra IKONOS
2003Luas (hektar)
(%)Citra IKONOS
2008Luas (hektar)
(%)
1 Bangunan 2 326.20 37.87 3 764.81 61.292 Jalan 291.17 4.74 300.85 4.903 Lahan kosong 1 233.62 20.08 455.04 7.414 Tubuh air 318.23 5.18 318.19 5.185 Vegetasi 1 973.45 32.13 1 303.78 21.22
J u m l a h 6 142.67 100 6 142.67 100
Gambar 20 dan 21 menunjukkan bahwa sudah terjadi perubahan
tutupan lahan yang diakibatkan oleh pesatnya pembangunan perumahan 5
(lima) tahun terakhir (2003-2008) seiring dengan pertumbuhan penduduk
kota Pontianak, yang ditandai dengan bertambahnya luas bangunan 1 438
hektar.
Gambar 20 Citra IKONOS 2003 dan Hasil digitasi citra IKONOS 2003
Gambar 21 Citra IKONOS 2008 dan Hasil digitasi citra IKONOS 2008
Menurut Martono (2008) persentasi vegetasi merupakan perbandingan
luas vegetasi pada suatu kawasan perumahan dengan total kawasan
perumahan. Vegetasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah (pohon
pelindung, kebun, tanaman, semak belukar, tegalan, pekarangan, dll). Pada
tahun 2003 citra satelit IKONOS lokasi penelitian memperlihatkan dengan
jelas masih besarnya tingkat indeks warna kehijauan vegetasi 1 973.45 hektar
(32.13 %), berbeda dengan citra IKONOS tahun 2008 yang sudah berkurang
tingkat indeks vegetasinya menjadi 1 303.78 (21.22 %). Sudah terjadi
penurunan tingkat kepadatan vegetasi seluas 669.67 hektar selama 5 tahun
terakhir.
Tutupan lahan oleh vegetasi secara epidemiologi diduga berpengaruh
pada keberadaan vektor dan intensitas penularan DBD. Berdasarkan UU No.
26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, bahwa suatu wilayah kota diwajibkan
memiliki ruang terbuka hijau minimal 30% dari luas kota dan minimal 20%
adalah ruang terbuka hijau publik, semakin luas vegetasi dan terdistribusi
dengan merata maka semakin baik kualitas lingkungan fisik perumahan.
Seiring terjadinya urbanisasi dan pertumbuhan jumlah penduduk di kota
Pontianak menyebabkan semakin tingginya perubahan penggunaan lahan, pada
akhirnya mengakibatkan berkurangnya jumlah tutupan lahan oleh vegetasi,
keadaan ini menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan di daerah perkotaan.
Hubungan tutupan lahan oleh vegetasi dengan vektor DBD adalah,
mengakibatkan ekosistem atau breeding places khususnya vektor nyamuk
Aedes albopictus yang habitatnya terutama tinggal di daerah ruang terbuka,
perkebunan, hutan, pohon, potongan bambu, tanaman dan semak belukar
menjadi terganggu, dan biasanya jarang terpantau di lapangan. Akibatnya
vektor nyamuk ini akan berpindah habitatnya ke pemukiman penduduk dan
menggigit untuk menghisap darah manusia, mengingat jarak terbang
nyamuk Ae.albopictus sampai 500 meter (Judarwanto, 2007).
Aedes albopictus yang dikenal sebagai vektor kedua (covektor) virus DBD
diasumsikan sebagai pemakan yang lebih generalis dibandingkan dengan Aedes
aegypti. Anggapan tersebut diperkuat oleh penemuan Watt et al. (1985) bahwa
inang nyamuk tersebut selain manusia adalah kelinci, tikus, anjing, rusa, lembu,
bajing tanah, penyu, tupai, sapi jantan, kucing, dan burung. Walaupun demikian
ada juga fakta yang menunjukkan bahwa di daerah tertentu nyamuk Aedes
albopictus hanya menjadikan manusia sebagai inang tunggalnya seperti yang
dilaporkan oleh Watt et al. (1985) dari hasil penelitiannya di sebelah selatan
Thailand pada tahun 2003 dan 2004.
Berdasarkan analisis digitasi menggunakan software ArcView Gis 3.3
pada citra IKONOS tahun 2008 di lokasi penelitian diperoleh hasil tutupan
lahan oleh vegetasi 21.22 % (1 303.78 hektar) hal ini menunjukkan kurang dari
30% dari luas wilayah, sehingga diduga berpengaruh secara epidemiologis
terhadap keberadaan vektor dan intensitas penularan DBD.
Hasil uji statistik diperoleh ternyata tutupan lahan oleh vegetasi belum
berpengaruh terhadap keberadaan vektor dan intensitas penularan DBD di kota
Pontianak, karena nilai F hitung signifikansinya 0.963 masih jauh di atas 0.05.
Selain tutupan lahan oleh vegetasi, secara epidemiologi yang diduga
berpengaruh pada keberadaan vektor dan intensitas penularan DBD adalah
kepadatan bangunan dan perumahan. Menurut Martono (2008) kepadatan
bangunan perumahan atau pemukiman adalah rasio antara luas bangunan
dalam suatu wilayah atau kawasan dengan luas total kawasan dihitung
berdasarkan persentasinya.
Kepadatan perumahan dikatakan padat apabila > 60% dari luas
wilayah. Kepadatan bangunan perumahan dan pemukiman yang tinggi
menunjukkan semakin sempitnya jarak antar bangunan, sehingga dapat
mengakibatkan sirkulasi udara tidak berlangsung dengan baik dan
mengakibatkan pemukiman menjadi lembab, sehingga merupakan media
yang baik untuk perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti. Selain
itu jarak rumah yang padat akan memperpendek jarak terbang vektor
nyamuk Aedes aegypti.
Berdasarkan analisis digitasi pada citra IKONOS tahun 2003 dan 2008
di lokasi penelitian diperoleh hasil tutupan lahan oleh bangunan sudah
mencapai 61.29% (> 60%) dari luas wilayah, sehingga secara epidemiologi
diduga akan berpengaruh secara optimal terhadap keberadaan vektor dan
intensitas penularan DBD. Hasil uji statistik diperoleh bahwa tutupan lahan
oleh kepadatan bangunan berpengaruh signifikan terhadap keberadaan vektor dan
intensitas penularan/KLB DBD di kota Pontianak, karena nilai F hitung
signifikansinya 0.014 (di bawah 0.05).
4.3.2 Analisis citra penginderaan jauh satelit NOAA
Data dan informasi yang diperoleh dari analisis citra penginderaan
jauh satelit NOAA adalah parameter lingkungan (iklim) yang diduga
berhubungan dengan epidemiologi vektor DBD yaitu, keberadaan vektor,
suhu udara, kelembaban relatif, dan curah hujan. Data hasil analisis citra
satelit NOAA menggunakan software Envi 4.1, Ermapper 7.0, dan AcrView
Gis 3.3.
0,0015,0030,0045,0060,0075,0090,00
105,00120,00135,00150,00165,00180,00195,00210,00225,00240,00255,00270,00285,00300,00315,00330,00345,00360,00375,00390,00405,00420,00435,00450,00465,00480,00495,00510,00525,00540,00555,00570,00585,00600,00
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
2005 2006 2007 2008 2009
Gambar 22 Data iklim hasil analisis penginderaan jauh citra satelit NOAAdan Kasus DBD tahun 2005 - 2009, kota Pontianak
CURAH HUJAN KELEMBABAN SUHU KASUS DBD
Gambar 23, 24, dan 25 di bawah ini memperlihatkan grafik
perbandingan hasil model pengukuran dari penginderaan jauh citra satelit
NOAA dengan data pengukuran di stasiun BMG Supadio Pontianak.
Gambar 23 Grafik perbandingan kelembaban hasil pengukuran penginderaan jauh satelit NOAA dengan kelembaban pengukuran BMG
Gambar 24 Grafik perbandingan curah hujan hasil pengukuran penginderaan jauh satelit NOAA dengan curah hujan pengukuran BMG
45,0050,0055,0060,0065,0070,0075,0080,0085,0090,0095,00
100,00
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
2005 2006 2007 2008 2009
DATA NOAA DATA BMG
10,0030,0050,0070,0090,00
110,00130,00150,00170,00190,00210,00230,00250,00270,00290,00310,00330,00350,00370,00390,00410,00430,00450,00470,00490,00510,00530,00550,00570,00590,00
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
2005 2006 2007 2008 2009
DATA BMG DATA NOAA
KELEMBABAN
HUJAN
(mm)
(%)
Gambar 25 Grafik perbandingan suhu udara hasil pengukuran penginderaan jauh satelit NOAA dengan suhu udara pengukuran BMG
Secara umum, data curah hujan dan suhu udara yang dihasilkan
berdasarkan model pengukuran penginderaan jauh satelit NOAA dengan
pengukuran curah hujan dan suhu udara oleh BMG Supadio Pontianak
polanya memiliki kesamaan, namun kisaran nilainya yang berbeda,
sedangkan data kelembaban dari model pengukuran penginderaan jauh
satelit NOAA hasilnya berbeda baik polanya maupun kisaran nilainya jika
dibandingkan dengan data pengukuran di stasiun BMG.
Berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan (observasi) yang
penulis lakukan menggunakan alat pengukur suhu udara dan kelembaban
sebagai pembanding (validasi) diperoleh pola dan kisaran nilai yang sama
dengan model pengukuran penginderaan jauh satelit NOAA pada bulan
Desember 2009 dan Januari 2010, nilai suhu udara di kota Pontianak
berkisar antara 31-340C dan kelembaban udara relatif berkisar antara 60-
77%, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Khomarudin et al.(2005) yang menyatakan bahwa suhu udara yang
dihasilkan model penginderaan jauh MODIS masih dalam kisaran nilai suhu
pengukuran, hanya saja polanya yang tidak mengikuti data observasi. Data
iklim hasil model pengukuran penginderaan jauh satelit NOAA yang
digunakan dalam penelitian ini dianggap layak digunakan untuk
memprediksi parameter keberadaan vektor dan intensitas penularan DBD.
0,005,00
10,0015,0020,0025,0030,0035,0040,00
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
jan
feb
mar ap
rm
ay jun jul
aug
sep
oct
nov
dec
2005 2006 2007 2008 2009
DATA NOAA DATA BMG
SUHU
(0C)
4.4 Model Prediksi Penularan DBD di Kota Pontianak
Studi epidemiologi retrospektif sebelumnya telah peneliti lakukan
yaitu, mengumpulkan data kasus positif DBD selama 5 tahun (2005-2009)
dan studi entomologi melalui survey langsung di lapangan dengan cara
pemeriksaan vektor jentik nyamuk dan pemasangan ovitrap di kelurahan
endemis DBD. Tujuan kedua macam kegiatan studi pendahuluan tersebut
adalah sebagai petunjuk atau informasi awal tentang macam faktor risiko
lingkungan kecamatan di wilayah penelitian.
Data bahan penelitian diperoleh secara langsung melalui survei
keberadaan vektor dan data DBD di lapangan dan secara tidak langsung
melalui analisis citra penginderaan jauh satelit IKONOS dan NOAA. Kedua
macam cara pengumpulan data tersebut diperoleh 6 (enam) parameter faktor
risiko lingkungan yang diduga secara epidemiologis langsung maupun tidak
langsung berpengaruh terhadap intensitas penularan DBD menurut
kecamatan di wilayah endemis DBD Kota Pontianak.
Ke-6 parameter faktor risiko lingkungan kecamatan yang diduga
berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung secara epidemiologi
terhadap keberadaan vektor dan intensites penularan DBD tersebut yaitu:
(1) kepadatan bangunan; (2) vegetasi; (3) suhu udara; (4) kelembaban; (5)
curah hujan; dan (6) keberadaan vektor (CI, HI dan IO). Dari 6 macam
variabel prediktor tersebut 5 data penelitian (83,34%) diperoleh dengan
dukungan penginderaan jauh yaitu; (1) kepadatan bangunan; (2) vegetasi;
(3) suhu udara; (4) kelembaban udara; dan (5) curah hujan. Hanya data
keberadaan vektor (CI, HI dan IO) diperoleh dari survei vektor DBD di
lapangan, ini membuktikan bahwa data penginderaan jauh dapat
mendukung kegiatan pengamatan DBD berbasis lingkungan.
Ke-6 macam data faktor risiko lingkungan kecamatan tersebut
kemudian dianalisis dengan analisis diskriminan guna mengetahui faktor
risiko lingkungan apa saja yang secara simultan bermakna pengaruhnya
secara statistik terhadap terjadinya intensitas penularan DBD.
4.4.1 Penetapan variabel prediktor intensitas penularan DBD berbasis
parameter lingkungan dan iklim
Prediksi tingkat intensitas penularan DBD disuatu Kecamatan pada
penelitian ini didasarkan atas kondisi faktor-faktor resiko lingkungan dan iklim
kecamatan. Faktor resiko lingkungan dan iklim sebagian besar datanya diperoleh
dari data penginderaan jauh satelit lingkungan dan cuaca. Parameter lingkungan
yang diduga mempengaruhi intensitas penularan DBD ada 2 (dua) variabel yaitu,
(1) kepadatan bangunan perumahan dan (2) penutupan lahan oleh vegetasi yang
diturunkan dari data citra satelit IKONOS, sedangkan parameter iklim suhu udara,
curah hujan dan kelembaban relatif diturunkan dari data satelit lingkungan dan
cuaca NOAA.
Keseluruhan faktor resiko lingkungan dan iklim di atas dikorelasikan
dengan kejadian luar biasa (KLB) DBD untuk 1 bulan kedepan. Model analisis
statistik yang diaplikasikan adalah analisis diskriminan yang merupakan model
analisis data dari SPSS versi 17.0. Secara otomatis analisis diskriminan akan
mampu menghitung dan menetapkan variabel bebas yang secara statistik cukup
bermakna pengaruhnya terhadap intensitas penularan DBD.
Prosedur analisis diskriminan yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Kompilasi data.
b. Pengelompokan nilai varibel menjadi kode 1 (berpengaruh) dan 0 (tidak
berpengaruh), cara pengelompokan nilai varibel dapat dilihat pada Tabel 9.
c. Analisis diskriminan.
Tabel 9 Cara penetapan kategori dan kode untuk masing-masing variabel parameter lingkungan dan iklim
No Variabel Kategori Kode Kategori Kode1 Kepadatan bangunan > 60 % Berpengaruh (1) ≤ 60 % Tidak (0)2 Indeks vegetasi < 30 % Berpengaruh (1) ≥ 30 % Tidak (0)3 Suhu udara 31 – 34 0C Berpengaruh (1) Selainnya Tidak (0)4 Kelembaban udara 60 – 80 % Berpengaruh (1) Selainnya Tidak (0)5 Curah hujan > 300 mm Berpengaruh (1) ≤ 300 mm Tidak (0)6 Keberadaan Vektor > 10 % Berpengaruh (1) ≤ 10 % Tidak (0)7 KLB DBD Ya Berpengaruh (1) Tidak Tidak (0)
Selanjutnya agar data dapat dianalisis dengan analisis diskriminan, maka
rekapan data tersebut harus diubah terlebih dahulu ke dalam Tabel kerja SPSS.
Untuk nilai variabel lingkungan dan iklim yang berperan optimal terhadap
terjadinya penularan DBD diberi nilai 1, sedangkan untuk nilai variabel
lingkungan dan iklim kecamatan yang tidak berperan optimal terhadap terjadinya
penularan DBD diberi nilai 0. Dengan dasar penetapan tersebut seperti dalam
Tabel 8, maka bentuk tabel kerja SPSS dimaksud dapat dilihat pada Lampiran 3.
Variabel prediktor (faktor risiko) penyebab KLB DBD di kecamatan
endemis DBD kota Pontianak dapat dilihat langsung hasilnya pada hasil analisis
diskriminan pada bagian variabel entered /removed. Pada bagian variabel entered
/removed itu diketahui bahwa dari 6 varibel yang semula kita anggap berpengaruh
terhadap intensitas penularan DBD, menurut statistik hanya ada 4 variabel
prediktor yang cukup bermakna mengakibatkan intensitas penularan DBD yaitu;
keberadaan vektor, suhu udara, kelembaban relatif, dan kepadatan bangunan.
Tabel 10 Hasil analisis diskriminan, koefisien dan konstanta variabel parameter prediktor intensitas penularan DBD
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig.B Std. Error Beta
1 (Constant) 237.490 36.478 6.510 .000
Vektor 113.474 21.891 .386 5.184 .000
Suhu -121.828 44.000 -.245 -2.769 .008Kelembaban -98.999 32.336 -.271 -3.062 .003
Hujan 2.381 15.595 .010 .153 .879
Vegetasi -1.101 23.856 -.004 -.046 .963
Bangunan 78.782 30.826 .226 2.556 .014a. Dependent variable: Jumlah kasus DBD
4.4.2 Persamaan Umum Intensitas Penularan DBD
Persamaan kombinasi linier dari hasil analisis diskriminan untuk dua
kelompok data (dependent dan independent), mempunyai bentuk umum
persamaan yang rumusnya sebagai berikut : Y = C + c1X1 + c2X2 +…+ cnXn.
Hasil analisis regresi ganda linier menggunakan software SPSS versi 17.0
seperti disajikan pada Tabel 10, menunjukkan bahwa ada 2 parameter yang tidak
signifikan menjadi variabel prediktor karena nilai signifikansinya jauh di atas
0.05 yaitu hujan (0.879) dan vegetasi (0.963). Jadi, variabel yang digunakan
sebagai variabel prediktor dalam penelitian ini adalah keberadaan vektor, suhu
udara, kelembaban relatif, dan kepadatan bangunan.
Pertanyaan yang menarik untuk diajukan dan dikaji disini adalah mengapa
parameter iklim dalam hal ini curah hujan tidak berkorelasi secara signifikan
terhadap intensitas penularan DBD di kota Pontianak ?
Sejauh ini, informasi dari beberapa penelitian di luar dan dalam negeri
menyatakan bahwa, iklim selain suhu dan kelembaban adalah curah hujan
berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya kasus DBD. Beberapa studi
menunjukkan bahwa di daerah tertentu dimana virus dengue hadir, kelimpahan
vektor, dan insiden penyakit DBD meningkat mencolok dengan intensitas suhu
udara dan curah hujan. Larva indeks dan distribusi vektor Aedes aegypti di India
menunjukkan tertinggi selama musim penghujan dan sesudah periode muson,
demikian juga di Banglades dan studi retrospektif di Myanmar disimpulkan
bahwa saat musim hujan dan pasca musim hujan (munson) adalah masa yang
paling berpengaruh terjadinya transmisi DBD (Chakravarti dan Kumaria, 2005).
Penelitian di Venezuela juga menunjukkan korelasi yang signifikan antara
intensitas DBD dengan jumlah curah hujan (Barrera, 2006). Irpis (1972)
menyatakan faktor curah hujan mempunyai pengaruh nyata terhadap flukstuasi
populasi Aedes aegypti.
Faktor curah hujan di Indonesia juga mempunyai hubungan erat dengan laju
intensitas populasi vektor DBD di lapang. Pada musim kemarau banyak barang
bekas seperti kaleng, gelas plastik, ban bekas, dan sejenisnya yang dibuang atau
ditaruh tidak teratur di sebarang tempat. Populasi nyamuk Aedes aegypti akan
semakin meningkat pada waktu musim penghujan, karena tempat
perkembangbiakan nyamuk pada musim kemarau semula tidak terisi air, mulai
terisi air. Bila telur yang diletakkan itu tidak mendapat sentuhan air atau kering
masih mampu bertahan hidup antara 3 bulan sampai 1 tahun. Masa hibernasi
telur-telur nyamuk itu akan berakhir atau menetas bila sudah mendapatkan
lingkungan yang cocok pada musim hujan untuk menetas, terlur nyamuk akan
menetas antara 3-4 jam setelah mendapat genangan air menjadi larva. Oleh karena
itu pada musim penghujan populasi nyamuk Aedes aegypti meningkat
(Judarwanto, 2007).
Selain itu pada musim hujan imago bertina memperoleh habitat air jernih
yang sangat luas untuk meletakkan telurnya. Setiap benda berlekuk atau lekukan
pohon atau bekas potongan pakal pohon bambu juga potensial sebagai penampung
air jernih yang dapat dijadikan tempat peletakkan telur bagi vektor terutama Aedes
albopictus yang biasa hidup di luar rumah. Terlebih lagi cuaca dalam keadaan
mendung dapat merangsang naluri bertelurnya nyamuk. Populasi nyamuk
meningkat drastis pada awal musim hujan yang diikuti oleh meningkatnya kasus
DBD di daerah tersebut (Judarwanto, 2007)
Parameter lingkungan yang menarik untuk dikaji disini adalah prediktor
curah hujan, dimana hubungannya dengan keberadaan vektor dan insiden DBD
yang ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penularan DBD di
kota Pontianak. Kenyataan ini dapat terjadi dikarenakan sebagian besar
masyarakat kota Pontianak memiliki kebiasaan menampung air hujan disaat
musim penghujan dan menyimpan air hujan sebagai cadangan untuk menghadapi
musim kemarau di tempayan/tempat penyimpan air lainnya untuk memenuhi
kebutuhan air minum dan memasak. Tempat penampunan air hujan ini apabila
tidak tertutup merupakan tempat yang paling disenangi oleh vektor nyamuk Aedes
aegypti sebagai breeding places untuk bertelur. Jadi tidak mengherankan jika
bukan musim penghujanpun intensitas penularan DBD dapat terjadi di kota
Pontianak.
Selain curah hujan parameter iklim lainnya yang juga menarik untuk dikaji
berdasarkan hasil penelitian ini adalah prediktor suhu udara. Menurut Depkes R.I
(2004) suhu udara yang dianggap optimal untuk perkembangbiakan vektor DBD
adalah 25-270C. Padahal, suhu udara di kota Pontianak berdasarkan hasil
pungukuran langsung di lapangan (observasi) dan hasil analisis penginderaan jauh
satelit NOAA diperoleh nilai suhu udara berkisar antara 31-340C, dan diduga akan
meningkat seiring dengan pengaruh global warming (pemanasan global).
Kota Pontianak adalah wilayah yang berada tepat pada garis khatulistiwa,
sehingga dalam setahun matahari melintasi ekuator sebanyak dua kali. Matahari
tepat berada di ekuator setiap tanggal 23 Maret dan 22 September. Sekitar April-
September, matahari berada di utara ekuator dan pada Oktober-Maret matahari
berada di selatan. Pergeseran posisi matahari setiap tahunnya menyebabkan
sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai dua musim, yaitu musim hujan dan
musim kemarau. Kondisi iklim tropis yang bersifat panas membuat kota
Pontianak umumnya lebih panas dibandingkan dengan kota lainnya di Indonesia
dan mengundang banyak curah hujan.
Iklim di kota Pontianak dipengaruhi oleh banyak faktor alam seperti,
topografi (0.5-1.5 m dpl), badan air, guna lahan (berkurangnya vegetasi), jumlah
penduduk, aktivitas industri dan transportasi. Faktor-faktor alam tersebut pada
akhirnya dapat mengubah iklim lokal kota Pontianak yang terus berkembang dan
mengakibatkan polusi udara. Polusi udara dapat menyebabkan perubahan
visibilitas dan daya serap atmosfer terhadap radiasi matahari akibatnya suhu
permukaan bumi menjadi panas, mengingat radiasi matahari merupakan salah satu
faktor utama yang menentukan karakteristik iklim di suatu daerah.
Penggunaan teknologi bahan yang kedap air untuk meningkatkan daya tahan
bangunan dengan kapasitas panas yang tinggi merupakan faktor lain yang
memberikan kontribusi besar terhadap pemanasan di perkotaan, apalagi saat ini
pembangunan perumahan di kota Pontianak banyak menggunakan bahan beton
yang kedap air, mengingat sulit dan mahalnya bahan kayu untuk bangunan.
IPCC (2007) menemukan bahwa, selama 100 tahun terakhir (1906-2005)
temperatur permukaan bumi rata-rata telah naik sekitar 0.740C, dengan pemanasan
yang lebih besar pada daratan dibandingkan lautan. Penelitian yang telah
dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa
ternyata makin panasnya planet bumi terkait langsung dengan efek rumah kaca
yang merupakan hasil dari penyerapan energi oleh gas-gas tertentu yang terdapat
di atmosfer (disebut gas rumah kaca karena gas-gas ini secara efektif ‘menangkap’
panas yang terdapat di atmosfer bagian bawah) dan meradiasikan kembali
sebagian dari panas tersebut ke bumi.
Menurut McMichael (2003), terjadinya pemanasan global dimana terjadi
kenaikan suhu bumi rata-rata sekitar 1-3.50C memicu meningkatnya kasus
penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah serta berubahnya pola
distribusi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui berbagai serangga dan hewan
(vektor). Pemanasan global mempengaruhi transmisi vektor DBD, karena dapat
membuat air menjadi panas dan meningkatkan suhu udara, hal ini berpengaruh
pada kecepatan perkembangbiakan nyamuk dewasa dan mempersingkat waktu
yang diperlukan untuk virus dengue dalam berkembang dan menjadi infektif.
Selain itu, nyamuk betina sebagai penular virus dengue lebih sering menggigit
pada suhu panas dan hangat. Musim dan suhu panas juga memungkinkan untuk
bertahan hidup nyamuk di daerah-daerah yang sebelumnya dingin, mengingat
nyamuk berkembang biak pada suhu lembab dan panas, dengan bertambahnya
vektor nyamuk maka kontak dengan manusia juga bertambah. Suhu yang tinggi
juga dapat membuat nyamuk Aedes aegypti untuk meningkatkan populasinya dan
membawa virus ke daerah baru (Hoop MJ, dan JA Foley, 2003).
Suhu juga berpegaruh terhadap aktifitas makan (Wu & Chang 1993), dan
laju perkembangan telur menjadi larva, larva menjadi pupa, dan pupa menjadi
imago, juga akan mempengaruhi kemampuan metabolisme vektor serangga dan
membuat serangga lebih agresif dalam memproduksi telurnya (Rueda et al. 1990).
Faktor suhu dan curah hujan berhubungan dengan evaporasi dan suhu mikro di
dalam kontainer (Barrera et al. 2006).
Berdasarkan hasil penelitian dan fakta di lapangan serta didukung dengan
beberapa laporan studi tersebut di atas maka, dapat dibuat suatu pernyataan dalam
laporan penelitian ini bahwa suhu udara yang optimal untuk perkembangbiakan
dan keberadaan vektor nyamuk Aedes aegypti sebagai penular penyakit DBD di
kota Pontianak adalah berkisar antara 31-340C, hal ini dapat dibuktikan dengan
terjadinya kasus KLB DBD pada tahun 2006 dan 2009 dengan suhu udara rata-
rata di kota Pontianak waktu itu adalah 31-320C. Jadi, suhu optimal untuk
perkembangbiakan dan keberadaan vektor nyamuk Aedes aegypti yang dinyatakan
berkisar antara 25-270C oleh Depkes R.I (2004) tidak berlaku untuk daerah
dengan geografi seperti kota Pontianak. Demikian juga halnya dengan curah hujan
yang relatif tinggi di kota Pontianak (rata-rata > 2 500 mm/tahun) ternyata tidak
berpengaruh signifikan secara statistik dengan terjadinya intensitas penularan
DBD.
Pernyataan penelitian ini didukung oleh hasil penelitian epidemiologi WHO
tahun 1998 di Nicaragua yang menyimpulkan bahwa transmisi DBD dapat
berbeda tergantung pada daerah geografi dan serotype virusnya. Laporan
penelitian lain juga di Nicaragua berdasarkan sistem surveillance DBD pada
musim penghujan (Juli s/d Desember) menyimpulkan bahwa serotype Den-3
paling dominan dan serotype Den-2 paling sedikit, sedangkan hasil penelitian di
Salta Argentina tahun 1997 disimpulkan bahwa serotype Den-2 merupakan
penyebab utama terjadinya transmisi dan wabah DBD (Barrera et al. 2006). Jadi
dapat disimpulkan bahwa transmisi DBD dapat berbeda tergantung pada daerah
geografi dan serotype virusnya.
Berdasarkan data hasil analisis diskriminant tersebut di atas veriabel
prediktor yang berpengaruh terhadap intensitas penularan DBD di kota Pontianak
adalah keberadaan vektor, suhu udara, kelembaban relatif dan kepadatan
bangunan, maka persamaam intensitas penularan DBD dalam penelitian ini
adalah: Y = 237.490 + 113.474 x (vektor) – 121.828 x (suhu) – 98.999 x
(kelembaban) + 78.782 x (bangunan)
Dimana ;
Y : Nilai prediksi intensitas penularan DBD
Kode : bernilai 0 (nol) jika tidak berperan dalam penularan/KLB DBD, dan
bernilai 1 (satu) jika berperan dalam penularan/KLB DBD.
Arti angka-angka dalam persamaan di atas adalah sebagai berikut;
a. Nilai konstanta (C) adalah; 237.490 artinya, jika keberadaan vektor, suhu
udara, kelembaban relatif dan kepadatan bangunan bernilai 0 (nol), maka
intensitas kasus DBD bernilai 237.490.
b. Nilai koefisien regresi variabel keberadaan vektor (c1) bernilai positif, yaitu
113.474; artinya, setiap intensitas keberadaan vektor sebesar 1 satuan, maka
akan meningkatkan intensitas kasus DBD sebanyak 113.474 dengan asumsi
variabel lain bernilai tetap.
c. Nilai koefisien regresi variabel suhu ( c2) bernilai negative (-121.828) artinya
setiap intensitas suhu sebesar 1 satuan, maka akan meningkatkan intensitas
kasus DBD bernilai (-121.828) dengan asumsi variabel lain bernilai tetap.
d. Nilai koefisien regresi variabel kelembaban ( c3) bernilai negatif (-98.999)
artinya setiap intensitas kelembaban sebesar 1 satuan, maka akan
meningkatkan intensitas kasus DBD bernilai (-98.999) dengan asumsi variabel
lain bernilai tetap.
e. Nilai koefisien regresi variabel kepadatan bangunan (c4) bernilai positif, yaitu
78.782; artinya, setiap intensitas keberadaan vektor sebesar 1 satuan, maka
akan meningkatkan intensitas kasus DBD sebanyak 78.782 dengan asumsi
variabel lain bernilai tetap.
Dengan memasukkan nilai kategori masing masing variabel prediktor
(apakah 0 atau 1) pada suatu saat tertentu, kita akan dapat menghitung nilai Y
(besarnya nilai intensitas penularan DBDnya). Nilai keberadaan vektor, suhu
udara, kelembaban relatif dan kepadatan bangunan bisa menjadi 1 atau 0,
tergantung dari kondisinya masing-masing saat itu apakah optimal atau tidak. Bila
kondisinya optimal kita beri nilai 1 sedangkan bila tidak optimal diberi nilai 0.
Menurut Gunawan (2003) cit Martono (2005), kriteria besarnya atau
kuatnya pengaruh beberapa variable prediktor adalah sebagai berikut :
a. Jika, R (koefisien korelasi) < 0.5 pengaruh variabel parameter keberadaan
vektor, suhu udara, kelembaban relatif dan kepadatan bangunan terhadap
intensitas penularan DBD dikatakan lemah.
b. Jika, 0.5 < R = < 0.75 pengaruh variabel parameter keberadaan vektor, suhu
udara, kelembaban relatif dan kepadatan bangunan terhadap intensitas
penularan DBD dikatakan cukup kuat.
c. Jika, 0.75 < R = < 0.90 pengaruh variabel parameter keberadaan vektor, suhu
udara, kelembaban relatif dan kepadatan bangunan terhadap intensitas
penularan DBD dikatakan kuat.
d. Jika, 0.90 < R = < 1 pengaruh variabel parameter keberadaan vektor, suhu
udara, kelembaban relatif dan kepadatan bangunan terhadap intensitas
penularan DBD dikatakan sangat kuat.
Tabel 11 Koefisien korelasi ( R) dan Koefisien determinan ( R²) intensitas penularan DBD
Model R R SquareAdjusted R
SquareStd. Error of the
EstimateDurbin Watson
1 0.905a 0.819 0.798 56.227 1.612
a. Predictors: (Constant), Hujan, vektor, kelembaban, kepadatan bangunan
b. Dependent Variable: Jumlah Kasus DBD
Berdasarkan Tabel 11, koefisien korelasi (R) dari persamaan regresi ganda
linier adalah 0.905 (mendekati nilai 1) artinya variabel prediktor yaitu keberadaan
vektor, suhu udara, kelembaban relatif dan kepadatan bangunan mempunyai
pengaruh yang sangat kuat terhadap keberadaan vektor dan intensitas penularan
DBD. Sedangkan koefisien determinasi (R square) = 0.819 yang artinya sekitar
81.90 % intensitas penularan DBD dapat dijelaskan oleh variabel keberadaan
vektor, suhu udara, kelembaban relatif dan kepadatan bangunan dan sisanya
18.10 % dijelaskan oleh sebab lainnya, diantaranya; distribusi dan kepadatan
penduduk, sanitasi lingkungan, kondisi tanah, angin, sosial ekonomi penduduk
dan lain-lain.
Hasil analisis data (melalui aplikasi analisis diskriminan) diperoleh 4
variabel prediktor yang perlu diperhitungkan kontribusinya untuk prediksi
intensitas penularan DBD di kota Pontianak, yaitu; (1) keberadaan vektor,
(2) suhu udara, (3) kelembaban relatif dan (4) kepadatan bangunan. Sedangkan
curah hujan dan vegetasi sebagai parameter faktor risiko penularan DBD
tidak diperhitungkan konstribusinya dalam hubunganya dengan
keberadaan vektor dan angka intensitas penularan DBD, karena tidak
mempunyai hubungan yang signifikan secara statistik (nilai signifikansi > 0.05),
hal ini sejalan dengan penelitian Gemiwati (2001) yang menyatakan
bahwa sebagian variabel iklim merupakan faktor risiko ABJ (angka bebas jentik)
tetapi tidak terbukti bahwa ABJ merupakan faktor risiko DBD.
4.4.3 Nilai Batas (cutoff point) DBD
Menghitung nilai batas (cutoff point) merupakan langkah berikut yang harus
dilakukan untuk menetapkan prediksi suatu kecamatan akan terjadi KLB
DBD atau tidak (berdasarkan persamaan di atas), kita perlu menghitung
nilai cut off point KLB DBDnya. Menurut Santoso dan Tjip tono (2001),
rumus umum untuk menghitung nilai batas (cutoff point) KLB DBD digunakan
rumus Zcu=
Tabel 12 Nilai cut off point KLB DBD menurut analisis diskriminan
KLBFungsi
(I)0.00 2.3811.00 -1.101
Hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Zcu = ( 18 x -1.101 +
42 x 2.381) / (18 + 42) = 1.666. Jika nilai intensitas penularan DBD < 1.666
artinya tidak terjadi KLB, dan sebaliknya jika nilainya > 1.666 maka akan terjadi
KLB DBD.
Dengan memasukkan nilai kode kategori masing-masing variabel
prediktor ke dalam persamaan tersebut, maka nilai Y yang merupakan
basis bagi prediksi tingkat intensitas penularan/KLB DBD dapat
ditetapkan. Bila nilai Y suatu kecamatan/kelurahan lebih besar dari 1.666
maka diprediksikan satu bulan kemudian kecamatan/kelurahan tersebut
akan mengalami KLB DBD. Sebaliknya bila nilai Y suatu kecamatan
lebih kecil dari 1.666 kecamatan tersebut akan aman dari KLB DBD.
4.4.4 Tingkat Signifikansi Model Prediksi Intensitas Penularan DBD
Setelah diperoleh persamaan estimasi dan nilai cutoff point maka dapat
diprediksi terjadinya KLB atau tidak terjadi KLB. Dari 60 data yang dikumpulkan
hasil prediksi menunjukkan 16 data mengindikasikan KLB sedangkan 44 data
mengindikasikan tidak terjadi KLB. Hasil perhitungan prediksi penularan DBD
pada 4 kecamatan di kota Pontianak dapat dilihat pada lampiran 1.
Matrik co-ocurance seperti dalam Tabel 13 terlihat bahwa 5 data salah
prediksi dan 55 data benar prediksinya. Tingkat signifikansi dari model ini adalah
90,9 %.
Tabel 13 Matrik co-ocurance hasil prediksi intensitas penularan DBD di 4 (empat) Kecamatan Kota Pontianak
PrediksiKLB NON
AktualKLB 11 7NON 5 37
4.5 Penerapan Model Prediksi Penularan DBD di Kecamatan Pontianak
Utara
Penerapan model hasil prediksi di 4 Kecamatan Kota Pontianak untuk
model di Kecamatan Pontianak Utara adalah sebagai berikut :
1. Hanya paramter keberadaan vektor, suhu, kelembaban relatif, dan kepadatan
bangunan yang digunakan sebagai prediktor untuk prediksi intensitas penularan
KLB DBD.
2. Kelembaban 60-80%, suhu 31-340C, keberadaan vektor > 10%, dan kepadatan
bangunan > 60% berpengaruh terhadap penularan/KLB DBD sehingga
dikodekan menjadi 1 (berpengaruh). Hasil pengkodean untuk keberadaan
vektor, suhu, kelembaban relatif, dan kepadatan bangunan dimasukkan dalam
rumus prediksi intensitas KLB DBD sbb: Y = 237.490 + 113.474 x (vektor) –
121.828 x (suhu) – 98.999 x (kelembaban) + 78.782 x (bangunan)
3. Jika nilai Y < 1.666 tidak terjadi KLB, dan sebaliknya terjadi KLB DBD.
Hasil prediksi intensitas penularan DBD di Kecamatan Pontianak Utara
dapat dilihat pada Lampiran 2. Sedangkan matrik co-ocuransinya dapat dilihat
pada Tabel 14.
Tabel 14 Matrik co-ocurance hasil prediksi intensitas penularan DBD di Kecamatan Pontianak Utara
PrediksiKLB NON
Aktual KLB 12 2NON 4 42
Ketelitian hasil prediksi terjadinya KLB DBD di Kecamatan Pontianak
Utara adalah 93.3% lebih teliti jika dibandingkan dengan model di 4 Kecamatan
Kota Pontianak yaitu 90.9%. Ketelitian lebih dari 90% untuk prediksi
penularan/KLB DBD dengan faktor keberadaan vektor, suhu udara, kelembaban
relaif, dan kepadatan bangunan ini cukup tinggi, artinya faktor keberadaan
vektor, suhu udara, kelembaban relaif, dan kepadatan bangunan berpengaruh
signifikan terhadap terjadi intensitas penularan/KLB DBD.
Ketepatan estimasi model dapat mencapai lebih dari 90% ini menunjukkan
bahwa sistim pengamatan DBD berbasis lingkungan menggunakan dukungan
penginderaan jauh layak untuk diaplikasikan. Mungkin untuk penelitian lain
angka probabilitas ketepatan ini tidak akan sama, mengingat datanya sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan setempat. Selain nilai probabilitas ketepatan
estimasinya yang tinggi, secara teknis operasional, aplikasi sistim pengamatan
DBD berbasis lingkungan ini mempunyai beberapa kelebihan dan keuntungan,
yaitu: (a) biaya operasionalnya relatif lebih murah, karena tidak memerlukan
banyak alat dan tenaga. Data citra satelit bisa diperoleh dengan mudah, murah dan
cepat di Pusat Pelayanan Data Penginderaan Jauh LAPAN Pekayon Jakarta;
(b) proses penyelenggaraannya relatif mudah dan cepat. Untuk memperoleh
informasi tingkat intensitas penularan DBD di suatu wilayah endemis DBD
tertentu dilengkapi dengan kunjungan lapangan untuk checking,(c) karena
estimasi kejadian KLB DBD dapat dilakukan dengan prosedur ini, maka
pengelola program akan mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan upaya-
upaya pencegahan yang dianggap perlu, (d) kita dapat melaksakan sistim
kewaspadaan dini (SKD DBD) berdasarkan data lingkungan spesifik terkait
penularan DBD yang datanya diperoleh melalui dukungan teknologi penginderan
jauh.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Parameter prediktor keberadaan vektor dan tingkat intensitas penularan DBD
dapat diperoleh dengan dukungan penginderaan jauh (IKONOS dan NOAA)
sebesar 83.34%.
2. Keberadaan vektor, suhu udara, kelembaban relatif, dan kepadatan bangunan
merupakan parameter prediktor yang signifikan pengaruhnya terhadap
intensitas penularan DBD di kota Pontianak.
3. Ketepatan estimasi model dapat mencapai 90.9% di 4 kecamatan kota
Pontianak tempat model dibuat, dan 93.3% di kecamatan Pontianak Utara
tempat model diterapkan.
4. Adanya perbedaan nilai parameter suhu udara optimal perkembangbiakan
vektor DBD, dimana di kota Pontianak suhu optimal diperoleh berkisar antara
31-340C, sedangkan Depkes RI menyebutkan bahwa suhu optimal adalah
25-270C.
5.2 Saran
1. Kebijakan pengamatan (surveillance) DBD berbasis lingkungan menggunakan
dukungan penginderaan jauh perlu dipertimbangkan untuk diaplikasikan, guna
mencegah terjadinya intensitas penularan DBD yang saat ini masih sering
terjadi.
2. Penelitian sejenis kiranya perlu dilakukan di daerah lain yang kondisi
lingkungannya berbeda dengan kota Pontianak dan menekankan pada aspek
yang bukan daerah perkotaan, mengingat penyebaran DBD saat ini juga sudah
menyebar di daerah pedesaan.
DAFTAR PUSTAKA
Aron JL, & Patz JA. 2001. Ecosistem Change and Public Health: A Global Persfective, Baltimore, The John Hopkins University Press.
Barrera R, M Amador & GG Clark. 2006. Ecological Factors Influencing Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) Productivity in Artificial Containers in Salinas, Puerto Rico. J. Med.Entomol. 43(3): 484-492.
Beaty BJ, Jennifer LW, and Stephen Higgs. 1996. Natural Cycles of Vector-Borne Pathogens. In B.J. Beaty and W.C. Marquardt (eds) : The Biology of Disease Vectors. University Press of Colorado.pp.51-70.
Beck LR, Rodriguez MH, Dister SW, Robert DR, Washino RK, and Spanner MA. 1997. Assessment of Remote Sensing: Based model for Predicting Malaria Transmission Risk in Villages of Chiapas. Mexico, American Journal of Tropical Medicine and Hygiene: pp 99-/06.
BMG Supadio Pontianak. 2009. Data Iklim Kota Pontianak.
BPS Kota Pontianak. 2009. Kota Pontianak Dalam Angka.
Brown HW. 1983. Dasar Parasitologi Klinis. PT Gramedia. Jakarta.
Chakravarti A, dan Kumaria R. 2005. Eco-Epidemiologi Analisis Dengue Infectious. Departement Microbiology. Maulana Azad Medical College New Delhi. India.
Chu M, GB Jenning, C Na’roef, H Wulur and TK Samsi,1992. A study of Human Peripheral Blood Leucocyte from Dengue Immune Person; Relation Ship betwen Fc Receptor Expression and Virus Growth. Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus.No.81.72.
CRISP. 2004. Images acquired and processed by CRISP. National University of Singapore IKONOS image.
Cutwa M, O’Mcora GF. 2006. Photografic Guide to Common Mosquites of Florida. FloridaMedical Entomology Laboratory. University of Florida.Florida.
Danoedoro P. 2004. Satelit Mata-mata untuk Lingkungan. Kompas online: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/13/inspirasi/307922.htm (20-11-2009)
Depkes RI. 1995. Daur Hidup Nyamuk Ae. aegypti. Ditjen PPM dan PLP. Jakarta.pp.35-37
Depkes RI. 200I. Rekapitulasi laporan tahunan Direktorat P2B2, Ditjen PPM-PLP Depkes Rl. Jakarta.
Depkes RI. 2004. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue.Jakarta.
Dinkes Kota Pontianak. 2009. Data Sureveilans DBD Tahun 2008.
Gemiwati W. 2002. Hubungan Faktor-Faktor Iklim, Angka Bebas Jentik dan Angka Insiden Demam Berdarah Dengue di Kota Pekanbaru Tahun 1995 Sampai dengan 2001, Universitas Indonesia. Jakarta.
Ginanjar. 2008. Ketika Nyamuk Menyambut Hujan. dalam; Majalah Ilmiah Farmacia; Ethical Update, Wahana Komunikasi Lintas Spesialis, Volume .7, No. 7. Februari 2008. Hal 37. Jakarta.
Haget, Petter. 1983. Geography: A Modern Synthesis (3rd ed). New York: Prentice Hall.
Hair JF, Anderson ER, Tatham RL and Black WE. 1995. Multivariate Data Analysis, Fourth Edition. Prentice Hal, Hinglewood. New Jersey.
Handayani N. 2006. Analisa Kecenderungan Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) Tabun 2001-2005 untuk Peramalan Tahun 2006-2010 Di RSU Dr. Pirngadi Medan.
Hasyimi M, Eny W, Lestari, Supratman S. 1992. Kesenangan Bertelur Aedes sp, Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, Jakarta, dibawakan pada Kongres Entomologi IV, di Yogyakarta.
Holani A, Mardihusodo SJ, Sutanto, Hartono, dan Kusnanto H. 2003.Estimasi Tingkat Intensitas Penularan Malaria DenganDukungan Penginderaan Jauh (Studi Kasus Di Daerah Endemis Malaria Pegunungan Menoreh Wilayah Perbatasan Provinsi Jawa Tengah Dan Daerah Istimewa Yogyakarta). Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 2 No. I April 2003: 157 – 164.
Hopp MJ, and JA Foley. 2003. “Worldwide fluctuation in dengue fever cases related to climate variability,”in Clim Res 25:85-94; National Research Council (NRC) Division on Earth and Life Studies Board on Atmospheric Sciences and Climate Committee on Climate, Ecosystems, Infectious Disease and Human Health. Washington. DC.
(IPCC) Intergovermental Panel on Climate Change. 2007. Climate Change and Water. USA: Cambridge University Press.
Irpis M. 1972. Seasonal changes in the larval populations of Aedes aegypti in two biotopes in Dar es Salaam, Tanzania. Bull. World Health Organ. 47: 245-255.
Keputusan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 1091/Menkes/SK/X/2004.TentangPetunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Jakarta.
Janssen LFL, and Hurneman CG. 2001. Principles of Remote Sensing. ITC Educational Texbooks Series. ITC, Enshede, Netherlands.
Joshi V, Mourya DT, Sharma RC. 2002. Persistence of Dengue-3 Virus Through Transovarial Transmission Passage In Successive Generations of Aedes aegypti Mosquitoes. Am.J.Trop.Med.Hyg.,67 :158 –161.
Jousset FX. 1981. Geographic Aedes aegypti Strains and Dengue-2 virus: Susceptiblity. Ability To Transmit To Vertebrates And Transovarial Transmission. Ann Virol (Inst Paseur).132E: 357-70.
Judarwanto W. 2007. Profil Nyamuk Aedes dan Pembasmiannya.http://www.indonesiaindonesia.com/f/13744-profil-nyamuk-aedes-pembasmiannya.
Kusriastuti R. 2005. Epidemiologi penyakit Demam Berdarah Dengue & Kebijaksanaan Penanggulangannya di Indonesia. Dalam Seminar. Dengue Control Up-date, Pusat Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. pp :1-12
Kusriastuti R. 2007. Kebijaksanaan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Dalam Simposium Nasional Demam Berdarah Dengue, Aspek biologi Molekuler,Pathogenesis, Manajemen, Dan Pencegahan Kejadian Luar Biasa. Pusat Studi Bioteknologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 16 Mei 2007.
Khin MM, Than KA. 1983. Transovarial trasmision of Dengue-2 Virus by Aedes aegypti in nature. Am. J.Trop Med Hyg; 32: 590 – 4.
Khomarudin MR, Roswintiarti O, dan Tjahjaningsih A. Estimasi Unsur-Unsur Cuaca untuk Mendukung Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan dengan Data Modis. LAPAN. Jakarta.
Leake CJ. 1984. Transovarial Transmission of Arbovirus by Mosquitoes. In MA. Mayo and KA Harrap (eds) Vector in Virus Biology. 197 (33): 159-74.
Lee HL, & Rohani A. 2005. Transovarial Transmission Of Dengue Virus In Aedes aegypti And Aedes albopictus In Relation to Dengue Outbreak In An Urban Area In Malaysia. Dengue Bulletin. 29 : 106-111.
Lillesand TM, & Kiefer RW. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra (Terjemahan Dulbahri, dkk), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Limsuwan S, Rongsriyam Y, Kerdpibule V, Apiwathnasorn C, Chiang GL, & Cheong, WH. 1997. Rearing Techniques for Musquito MRC-Tropmed Thailand. pp.53-54.
Malvige GN, Fernando S, & Seneviratne SL. 2004. Dengue Viral In Infection. Postgraduate Medical Journal. 80 : 588-601.
Mardihusodo SJ. 1993. Laporan Penelitian Deteksi Dini Resistensi Aedes aegypti terhadap Malathion dan Temephos. Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Mardihusodo SJ. 2005. Manajemen Pengendalian Vektor Demam Dengue. Dalam Simposium Dengue Control Update. Pusat Kedokteran Tropis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Mardihusodo SJ, Satoto, TBT, Mulyaningsih B, Umniyati SR, dan Ernaningsih. 2007. Bukti Adanya Penularan Virus Dengue Secara Transovarial Pada Nyamuk Aedes aegypti Di Kota Yogyakarta. Simposium Nasional Aspek Biologi Molekuler, Patogenesis, Manajemen dan Pencegahan KLB, Pusat Studi Bioteknologi UGM, Yogyakarta, 16 Mei 2007.
Martono DN. 2008. Model Kualitas Lingkungan Fisik Kawasan Perumahan Terencana dan Swadaya Berbasis Spasial. Pusdata. LAPAN. Jakarta.
Maryani. 2008. Penentuan Suhu Permukaan Laut dari Data NOAA-AVHRR. Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, PUSBANGJA LAPAN. Jakarta
McMichael AJ, Campbell-Le Ndrum, DH Corvalan, CF Ebi, KL Githeko, AKScheraga, JD, Woodward A. 2003. “Climate Change And Human HealthRisk and Response”, WHO, Geneva.
Merrit RW, & KW Cummins (Eds). 1978. An Inroduction to The Aquatic Insects of North America. Kendall/Hunt Publishing Company. 441p.
Nusa R. 2005. Perangkap Telur dan Larva nyamuk “Ovitrap”. Litbang Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang (P2B2). Depkes R.I. Ciamis.
Parwati. 2010. Manual dan Prosedur Pengolahan Data Citra Satelit NOAA. LAPAN. Jakarta.
Perich MJ, Kardec A, Braga IA, Portal LF, Burge R, Zeichner BC, Brogdon WA, Wirtz RA. 2003. Field Evaluation of a Lethal Ovitrap Against DenguenVector in Brazil, Medical Veterinary Entomology, Brazil, 205-209, www.blackwell-synergy.com, Download 05 Maret 2009.
Prahasta E. 2008. Remote Sensing, Praktis Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Digital dengan Perangkat Lunak ER Mapper. Informatika. Bandung.
Priyatno D. 2009. 5 Jam Belajar Olah Data Dengan SPSS 17. Andi. Yogyakarta.
Rosen L, Shroyer DA, Tesh RM, Frier JE, Lien JC. 1983. Transovarial transmission of dengue viruses by mosquitoes Aedes albopictus and Aedes aegypti. Am J Trop Med. Hyg. 32: 1108-19.
Rueda LM, KJ Patel, RC Axtell, & RR Stinner. 1990. Temperature-dependentdevelopment and survival rates of Culex quinquefasciatus and Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). J. Med. Entomol. 27: 892-898.
Santoso S, dan Tjiptono P. 2001. Riset Pemasaran Konsep dan Aplikasi dengan SPSS. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Schlesselman JI. 1982. Case Control Studies. Oxford University Press. Oxford.
Service MW. 1996. Medical Entomology for Students, First edition, Chapman &Hall, London.
Soegijanto S. 2004. Demam Berdarah Dengue ( Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003). pp : 11-13, 99-110. Airlangga University Press. Surabaya.
Soekiman S, Machfudz, Subagyo, Soewigjo Adipoetro, Hiroshi Yamanishi and Takeo Matsumura, 1984. Comparative Studies On the Buology of Aedes aegypti and Aedes albopictus in a room condition ICMR Annals 4:143-151.
Space Imaging. 2004. http://www.spaceimaging.com/products/ikonos/index.htm,Download 22 Oktober 2009.
Sucipto CD. 2008. Indeks Transmisi Transovarial (ITT) virus Dengue pada nyamuk Ae.aegypti serta hubungannya dengan angka kasus DBD di Kota Pontianak Kalimantan Barat.
Sumunar DRS. 2008. Penentuan Tingkat Kerentanan Wilayah Terhadap Perkembangbiakan Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus Dengan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi, Universitas Lampung.
Supartha IW. 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae). Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar.
Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid I. Yogyakarta; Gadjah Mada Universiti Press.
Sutaryo. 2004. Dengue. Penerbit Medika. Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta. pp : 17-76.
Umniyati SR. 2004. Prelimenary investigation on the transovarial transmission of Dengue Virus in the population of Aedes aegypti in the well. Dalam Seminar Hari Nyamuk IV, 21 Agustus 2004 di Surabaya.
UU No. 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Watt DM, Harisson BA, Pantuwatana S, Klein TA, Burke DS, 1985. Failure to Detect Natural infection by Dengue viruses of Aedes aegypti and Aedes albopictus (Diptera: Culicidae). J Med Entomol 1985; 22: 261-265.
WHO. 1997. Dengue haemorhagic fever, diagnosis, treatment, prevention and control, 2nd Ed. WHO,Geneva.
WHO. 2001. Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever, Comprehensif Guideline, diterjemahkan oleh Palupi W, Penerbit EGC, Jakarta.
WHO. 2007. Case Fatality Rate dari DF dan DHF di wilayah Asia Tenggara.
Widiarti, Boewono DT, Widyastuti U, Mujiono dan Lasmiati, 2006. Deteksi virus Dengue pada induk dan progeny vektor demam berdarah Aedes aegypti di beberapa daerah endemis di Jawa Tengah. Dalam Seminar sehari strategi pengendalian vektor dan reservoir penyakit pada kedaruratan bencana alam di era desentralisasi, Salatiga 20 September 2006.
Wu HH, and NT Chang. 1993. Influence of temperature, water quality andpHvalue on ingestion and development of Aedes aegypti and Aedes albopictus (Diptera: Culicidae) larvae. Chin. J. Entomol. 13: 33-44.
www. Satimagingcorp. Com/svc/ikonos, download 25-01-2010.
www.cpc.noaa.gov/products/janowiak/cmorph_description.html, download 15-02-2010.
Zudiana. 2004. Aplikasi Teknologi Remote Sensing (NOAA) Dalam Penentuan Fishing Ground. IPB Bogor.
Lampiran 1 Prediksi tingkat penularan DBD di 4 (empat) Kecamatan Kota Pontianak
Tahun Bln Vektor Suhu Kelembaban BangunanKLB Lag 1
ActualKLB
Prediksi
2005 Jan 0 1 1 0 0 TidakFeb 0 1 1 0 0 TidakMar 0 1 1 0 0 TidakApr 0 1 1 0 0 TidakMay 0 1 1 0 0 TidakJun 0 1 1 0 0 TidakJul 0 1 1 0 0 TidakAug 0 1 1 0 0 TidakSep 0 1 1 0 0 TidakOct 0 1 1 0 0 TidakNov 1 1 1 0 0 YaDec 1 1 1 0 0 Ya
2006 Jan 0 1 1 0 0 TidakFeb 0 1 1 0 0 TidakMar 0 1 1 0 0 TidakApr 0 1 1 0 0 TidakMay 0 1 1 0 0 TidakJun 1 1 1 0 1 YaJul 0 1 1 1 0 TidakAug 1 1 1 0 1 YaSep 0 1 1 0 1 TidakOct 1 1 1 0 1 YaNov 1 1 1 0 1 YaDec 1 1 1 0 0 Ya
2007 Jan 0 1 1 0 0 TidakFeb 0 1 1 0 0 TidakMar 0 1 1 0 0 TidakApr 0 1 1 0 0 TidakMay 0 1 1 0 0 TidakJun 0 1 1 0 0 TidakJul 0 1 1 0 0 TidakAug 0 1 1 0 0 TidakSep 0 1 1 0 0 TidakOct 0 1 1 0 0 TidakNov 0 1 1 0 0 TidakDec 0 1 1 0 0 Tidak
2008 Jan 0 1 1 0 0 TidakFeb 0 1 1 0 0 TidakMar 0 1 1 0 0 TidakApr 0 1 1 0 0 TidakMay 0 1 1 0 0 TidakJun 0 1 1 0 0 TidakJul 0 1 1 0 1 TidakAug 0 1 1 0 1 TidakSep 0 1 1 0 1 TidakOct 0 1 1 0 1 TidakNov 0 1 1 0 1 TidakDec 0 1 1 1 1 Tidak
Lanjutan
2009 Jan 0 1 1 0 0 TidakFeb 0 1 1 0 0 TidakMar 0 1 0 0 0 YaApr 0 1 0 0 0 YaMay 1 1 0 1 1 YaJun 1 0 0 1 1 YaJul 1 0 0 1 1 YaAug 1 0 0 0 1 YaSep 1 0 0 1 1 YaOct 1 1 0 1 1 YaNov 1 1 1 1 1 YaDec 0 1 1 1 0 Tidak
Lampiran 2 Prediksi tingkat penularan DBD di Kecamatan Pontianak Utara
Tahun Bln Vektor Suhu Kelembaban Bangunan Penderita KLB Aktual KLB prediksi
2005 Jan 0 1 1 0 1 0 TidakFeb 0 1 1 0 1 0 TidakMar 0 1 1 0 0 0 TidakApr 0 1 1 0 1 0 TidakMay 0 1 1 0 3 0 TidakJun 0 1 1 0 1 0 TidakJul 0 1 1 0 3 0 Tidak
Aug 0 1 1 0 4 0 TidakSep 0 1 1 0 7 0 TidakOct 0 1 1 0 8 0 TidakNov 1 1 1 0 6 0 YaDec 1 1 1 0 17 1 Ya
2006 Jan 0 1 1 0 1 0 TidakFeb 0 1 1 0 7 0 TidakMar 0 1 1 0 9 0 TidakApr 0 1 1 0 7 0 TidakMay 0 1 1 0 13 1 TidakJun 1 1 1 0 12 1 YaJul 0 1 1 1 9 0 Tidak
Aug 1 1 1 0 11 1 YaSep 0 1 1 0 8 0 TidakOct 1 1 1 0 25 1 YaNov 1 1 1 0 22 1 YaDec 1 1 1 0 13 0 Ya
2007 Jan 0 1 1 0 7 1 TidakFeb 0 1 1 0 2 0 TidakMar 0 1 1 0 0 0 TidakApr 0 1 1 0 0 0 TidakMay 0 1 1 0 0 0 TidakJun 0 1 1 0 0 0 TidakJul 0 1 1 0 2 0 Tidak
Aug 0 1 1 0 1 0 TidakSep 0 1 1 0 0 0 TidakOct 0 1 1 0 1 0 TidakNov 0 1 1 0 0 0 TidakDec 0 1 1 0 0 0 Tidak
2008 Jan 0 1 1 0 0 0 TidakFeb 0 1 1 0 0 0 TidakMar 0 1 1 0 1 0 TidakApr 0 1 1 0 0 0 TidakMay 0 1 1 0 0 0 TidakJun 0 1 1 0 0 0 TidakJul 0 1 1 0 0 0 Tidak
Aug 0 1 1 0 1 0 TidakSep 0 1 1 0 1 0 TidakOct 0 1 1 0 2 0 TidakNov 0 1 1 0 5 0 TidakDec 0 1 1 1 7 1 Tidak
Lanjutan
2009 Jan 0 1 1 0 5 0 TidakFeb 0 1 1 0 2 0 TidakMar 0 1 0 0 7 0 YaApr 0 1 0 0 4 0 YaMay 1 1 0 1 15 1 YaJun 1 0 0 1 55 1 YaJul 1 0 0 1 80 1 Ya
Aug 1 0 0 0 84 1 YaSep 1 0 0 1 73 1 YaOct 1 1 0 1 121 1 YaNov 1 1 1 1 47 1 YaDec 0 1 1 1 9 0 Tidak
Lampiran 3 Hasil uji statistik
Descriptive Statistics
Mean Std. Deviation N
Kasus DBD 77.2500 125.25535 60
Vektor .2333 .42652 60
Suhu .9333 .25155 60
Kelembaban .8667 .34280 60
Hujan .5000 .50422 60
Vegetasi .2000 .40338 60
Bangunan .1500 .36008 60
Correlations
Kasus DBD Vektor Suhu Kelembaban Hujan Vegetasi Bangunan
Pearson Correlation
Kasus DBD 1.000 .755 -.715 -.739 -.133 .418 .685
Vektor .755 1.000 -.484 -.479 -.158 .315 .541
Suhu -.715 -.484 1.000 .681 .267 -.200 -.449
Kelembaban -.739 -.479 .681 1.000 .098 -.417 -.522
Hujan -.133 -.158 .267 .098 1.000 .000 .047
Vegetasi .418 .315 -.200 -.417 .000 1.000 .607
Bangunan .685 .541 -.449 -.522 .047 .607 1.000
Sig. (1-tailed) Kasus DBD . .000 .000 .000 .156 .000 .000
Vektor .000 . .000 .000 .115 .007 .000
Suhu .000 .000 . .000 .019 .062 .000
Kelembaban .000 .000 .000 . .228 .000 .000
Hujan .156 .115 .019 .228 . .500 .362
Vegetasi .000 .007 .062 .000 .500 . .000
Bangunan .000 .000 .000 .000 .362 .000 .
N Kasus DBD 60 60 60 60 60 60 60
Vektor 60 60 60 60 60 60 60
Suhu 60 60 60 60 60 60 60
Kelembaban 60 60 60 60 60 60 60
Hujan 60 60 60 60 60 60 60
Vegetasi 60 60 60 60 60 60 60
Bangunan 60 60 60 60 60 60 60
Variables Entered/Removed
ModelVariables Entered
Variables Removed Method
1 Bangunan, Hujan, Suhu, Vektor, Vegetasi, Kelembabana
. Enter
a. All requested variables entered.
Lanjutan
Model Summaryb
Model R R SquareAdjusted R
SquareStd. Error of the
Estimate Durbin-Watson
1 .905a .819 .798 56.22733 1.612
a. Predictors: (Constant), Bangunan, Hujan, Suhu, Vektor, Vegetasi, Kelembaban
b. Dependent Variable: Kasus DBD
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 758085.098 6 126347.516 39.964 .000a
Residual 167560.152 53 3161.512
Total 925645.250 59
a. Predictors: (Constant), Bangunan, Hujan, Suhu, Vektor, Vegetasi, Kelembaban
b. Dependent Variable: Kasus DBD
Coefficientsa
Model
Unstandardized CoefficientsStandardized Coefficients
t Sig.B Std. Error Beta
1 (Constant) 237.490 36.478 6.510 .000
Vektor 113.474 21.891 .386 5.184 .000
Suhu -121.828 44.000 -.245 -2.769 .008
Kelembaban -98.999 32.336 -.271 -3.062 .003
Hujan 2.381 15.595 .010 .153 .879
Vegetasi -1.101 23.856 -.004 -.046 .963
Bangunan 78.782 30.826 .226 2.556 .014
a. Dependent Variable: Kasus DBD