Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 2; Mei 2013
Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan
Journal of Business and Entrepreneurship
Volume 1, No 2, Mei 2013
Contents
STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIA, 2005-2008,
DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS SEM (STRUCTURE EQUATION MODELING) Pulung Peranginangin
ANALISIS PENGARUH ALIRAN MODAL DAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP
TERM STRUCTURE INTEREST RATE OBLIGASI PEMERINTAH INDONESIA (SUN)
Pardomuan Sihombing, Hermanto Siregar, Adler H. Manurung, Perdana W. Santosa
PENGUKURAN KINERJA OPERASIONAL MELALUI IMPLEMENTASI TOTAL
PRODUCTIVE MAINTENANCE DI PT. XYZ Nur Ainul Malik dan Mohammad Hamsal
PENGARUH MODAL INTELEKTUAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN
Selvi Meliza Salim dan Golrida Karyawati
PENGARUH MARKET BASED CAPABILITIES TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN
STUDI KASUS KOMODITAS GULA PASIR DI PERUM BULOG
Adi Yanuar dan Ahdia Amini
Sampoerna School of Business Building D. Mulia Business Park Jl. Letjen MT. Haryono Kav. 58-60 Jakarta 12780 Telepon + 62 21 794 2340 Fax + 62 21 794 2330 [email protected]
www.ssb.ac.id
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 2; Mei 2013
ISSN: 2302 4119
Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan Volume 1, Nomor 2, Mei 2013
Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan diterbitkan atas kerjasama Sampoerna School of Business, dengan frekuensi terbit tiga kali setahun, pada bulan Januari, Mei, Oktober.
Editor In Chief
Prof. Dr. Adler Haymans Manurung Sampoerna School of Business
Managing Editor Romora Edward Sitorus, M.Sc. Sampoerna School of Business
Advisory Board
Budi Widjaja Soetjipto, Ph.D Sampoerna School of Business Dr. Chandra Alamsyah Sampoerna School of Business Prof. Dr. Paulina Pannen Universitas Siswa Bangsa Internasional Prof. Rositsa Bateson Universitas Siswa Bangsa Internasional
Peer Reviews
Prof. Ferdinand D. Saragih Universitas Indonesia Hilda Rosieta Argawal Ph.D Universitas Indonesia Bambang Setiono, Ph. D Sampoerna School of Business Dr. Siti Nurwahyuningsih Harahap Universitas Indonesia Tatang Ary Gumanti, Ph.D University of Jember Dr. Koes Pranowo, SE., MSM PT Transocean Maritime Dr. Andam Dewi PT Bursa Berjangka, Jakarta Wahyu Soedarmono, S.Si, DEA Ph.D Sampoerna School of Business Ir. Muhril Ardiansyah, M.Sc., Ph.D Sampoerna School of Business Hoetomo Lembito, MBA., PT. United Total Support Dr. Pulung Peranginangin PT Vivere Multi Kreasi Dr. Arlan Septia A. R. PT. Reka Raga Resources Dr. Sjamsul Arifin Bank Indonesia Editorial Board
Ir. Hilarius Bambang Winarko, MM. Sampoerna School of Business Lufina Mahadewi, S.Kom, MM, M.Sc. Sampoerna School of Business Nuruzzaman Arsyad, M.Sc. Sampoerna School of Business Anugraha Dezmercoledi, M.Sc. Sampoerna School of Business Editorial Office
Redaksi Bisnis dan Kewirausahawan
Sampoerna School of Business Building D. Mulia Business Park Jl. Letjen MT. Haryono Kav. 58-60 Jakarta 12780 Telepon + 62 21 794 2340 Fax + 62 21 794 2330 [email protected]
www.ssb.ac.id
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 2; Mei 2013
Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan
Journal of Business and Entrepreneurship
Volume 1, Nomor 2, Mei 2013
STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIA, 2005-2008,
DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS SEM (STRUCTURE EQUATION MODELING) Pulung Peranginangin
ANALISIS PENGARUH ALIRAN MODAL DAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP
TERM STRUCTURE INTEREST RATE OBLIGASI PEMERINTAH INDONESIA (SUN)
Pardomuan Sihombing, Hermanto Siregar, Adler H. Manurung, Perdana W. Santosa
PENGUKURAN KINERJA OPERASIONAL MELALUI IMPLEMENTASI TOTAL
PRODUCTIVE MAINTENANCE DI PT. XYZ Nur Ainul Malik dan Mohammad Hamsal
PENGARUH MODAL INTELEKTUAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN
Selvi Meliza Salim dan Golrida Karyawati
PENGARUH MARKET BASED CAPABILITIES TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN
STUDI KASUS KOMODITAS GULA PASIR DI PERUM BULOG
Adi Yanuar dan Ahdia Amini
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 2; Mei 2013
i
Dari Redaksi
Perkenankan kami dari Journal of Business and Entrepreneurship mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak atas terbitnya jurnal yang kedua untuk volume yang pertama ini.
Akademisi dan peneliti yang memiliki minat terhadap jurnal ini sudah mulai banyak dengan
adanya tulisan yang masuk secara konsisten sehingga jurnal ini bisa terbit dengan pada
waktunya. Topik yang menjadi pembahasan dalam jurnal ini sangat beragam mengingat nama
jurnal juga mengandung semua aspek.
Pada Jurnal terbitan ini, kami memuat lima tulisan yang dimulai oleh Sdr. Pulung
Peranginangin dari PT PT Vivere Multi Kreasi dan juga Dosen di Sampoerna School of Business
dengan judul yaitu: STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN TEKSTIL DAN GARMEN
INDONESIA, 2005-2008, DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS SEM (STRUCTURE
EQUATION MODELING). Penelitian ini ingin melihat gambaran perusahaan tekstil dan
garmen Indonesia pada bulan September 2008 sampai November 2008. Penelitian dilakukan
berdasarkan kuesioner diadopsi dan dikembangkan dari penelitian terdahulu lalu dikirim ke
pimpinan (CEO, Direktur/GMs atau Manajer Senior) menanyakan keadaan perusahaan dalam 3
tahun terakhir, lalu dianalisis dengan menggunakan SEM (Structure Equation Modeling). Dari
Model-1 Penelitian ini ditemukan ditemukan, Kebijakan Teknologi berpengaruh terhadap
Kinerja Perusahaan dan Ketidakpastian Lingkungan berpengaruh (negatif) terhadap Kinerja
Perusahaan sedangkan Strategi Bisnis berpengaruh terhadap Kebijakan Teknologi. Dari Model-
2 Penelitian ini ditemukan, Ketidakpastian Lingkungan berpengaruh terhadap strategi Cost-
Leadership yang berimplikasi positif terhadap Kebijakan Process Automation dan Kinerja
Perusahaan. Disamping itu strategi Specialty Product, Marketing Intensity dan Product Line
Breadth, ketiga-tiganya berpengaruh terhadap Kebijakan Innovation and R&D.
Tulisan kedua berjudul “ANALISIS PENGARUH ALIRAN MODAL DAN
FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP TERM STRUCTURE INTEREST RATE
OBLIGASI PEMERINTAH INDONESIA (SUN)” ditulis oleh Sdr. Pardomuan Sihombing,
Hermanto Siregar, Adler H. Manurung, Perdana W. Santosa. Tulisan ini mempunyai tujuan
untuk melakukan investigasi terhadap aliran modal dan faktor eksternal mana yang berperan
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 2; Mei 2013
ii
penting mempengaruhi pergerakan term structure interest rate pada obligasi pemerintah
Indonesia (SUN). Adapun temuan dari penelitian ini yaitu perkembangan yield spread obligasi
pemerintah Indonesia (SUN) selama periode penelitian mengalami fluktuasi yang disebabkan
oleh faktor makro ekonomi, faktor aliran modal dan faktor eksternal. Yield spread SUN selama
periode penelitian mengalami tren penurunan, hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian
Indonesia sedang mengalami pertumbuhan. Penelitian ini menemukan yield spread dipengaruhi
oleh suku bunga The Fed (FFR) secara positif. Peningkatan YS (yield spread) disebabkan yield
obligasi jangka panjang lebih berfluktuasi dibanding yield obligasi jangka pendek ketika FFR
mengalami kenaikan. Temuan dalam penelitian ini menambah wawasan mengenai faktor aliran
modal dan faktor eksternal yang mempengaruhi pergerakan yield spread obligasi pemerintah
(SUN), sehingga diharapkan bermanfaat bagi investor dan emiten dalam membuat kebijakan
investasi dan keputusan pembiayaan.
Tulisan ketiga ditulis oleh Sdr. Nur Ainul Malik dan Mohammad Hamsal dengan judul
“PENGUKURAN KINERJA OPERASIONAL MELALUI IMPLEMENTASI TOTAL
PRODUCTIVE MAINTENANCE DI PT. XYZ”. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi TPM yang berkaitan dengan produktivitas
dan pengaruhnya terhadap pengembangan pekerja, continuous improvement, perubahan
organisasi, dan manajemen kualitas khususnya di area injeksi plastik. Mengetahui dan mengerti
operational performance menggunakan Overall Equipment Effectiveness (OEE) dan Total
Effectiveness Equipment Performance (TEEP) dalam kaitannya dengan efektivitas mesin dan
peralatan, untuk melakukan manajemen aset, serta penggunaanya dalam proses manufaktur
khususnya di area injeksi plastik. Penelitian ini menjelaskan implementasi Total Productive
Maintenance (TPM) pada area injeksi plastik di PT. XYZ yang diukur dengan menggunakan
Overall Equipment Effectiveness (OEE) dan Total Effectiveness Equipment Performance (TEEP)
untuk mengukur efektivitas dari peralatan atau mesin injeksi sebagai strategi untuk
meningkatkan produktivitas dan kinerja manufaktur. Rata-rata nilai OEE di area mesin injeksi
adalah 68.42% dan rata-rata nilai TEEP adalah 57.96%, nilai tersebut merupakan level Fairly
Typical. Menerapkan dan menjaga konsistensi implementasi TPM sangat penting untuk
meningkatkan kinerja operasional di area mesin injeksi dan menerapkan pemeliharaan proaktif
sebagai aktivitas perbaikan secara terus menerus.
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 2; Mei 2013
iii
Tulisan keempat berjudul “PENGARUH MODAL INTELEKTUAL TERHADAP
KINERJA KEUANGAN” ditulis Sdr. Selvi Meliza Salim dan Golrida Karyawati. Tulisan ini
bertujuan untuk meneliti hubungan antara intellectual capital dengan profitabilitas terhadap
kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan data dari perusahaan yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia (BEI). Kinerja keuangan perusahaan akan diukur dengan Return on Equity
(ROE) dan Earnings Per Share (EPS). Intellectual capital diukur dengan menggunakan model
Pulic, yaitu VAIC™ (Value Added Intellectual Coefficient). Studi ini menemukan bahwa modal
intelektual mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan. Bukti empiris menunjukan hubungan
antara ketiga komponen intelectual capital dengan salah satu atau kedua proksi kinerja
keuangan yakni ROE dan EPS. Capital Employed Efficiency berpengaruh positif terhadap
profitabilitas perusahaan, baik dengan return on equity (ROE) maupun dengan EPS. Walapun
dalam model ROE bukti empiris menunjukan bahwa Human Capital Efficiency berpengaruh
signifikan terhadap return on equity (ROE), namun dengan model EPS bukti empiris belum
menunjukan pengaruh signifikan HCE terhadap EPS. Analisa atas Structural Capital Efficiency
juga menunjukan hasil yang tidak konsisten antara model ROE dan model EPS. Pada model EPS
bukti empiris menunjukan pengaruh signifikan SCE terhadap EPS, namun dengan model ROE
Structural Capital Efficiency belum terbukti signifikan terhadap return on equity (ROE).
Tulisan kelima berjudul “PENGARUH MARKET BASED CAPABILITIES
TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN, STUDI KASUS KOMODITAS GULA PASIR
DI PERUM BULOG” yang ditulis oleh Sdr. Adi Yanuar dan Ahdia Amini. Tujuan paper ini
adalah: Pertama, mengetahui pengaruh pengembangan produk baru terhadap kinerja perusahaan.
Kedua, memahami pengaruh manajemen konsumen terhadap kinerja perusahaan. Ketiga, melihat
pengaruh manajemen rantai pasok terhadap kinerja perusahaan. Penelitian ini menemukan
beberapa hal, yaitu: Pertama, sebagai salah satu perusahaan BUMN, diharapkan Perum Bulog
tidak hanya melakukan penugasan pemerintah sebagai stabilitator harga pangan tetapi sudah
fokus untuk mendapatkan keuntungan melalui kegiatan komersial. Kedua, Perum Bulog harus
melakukan pengamatan keadaan lingkungannya baik secara makro dan industri dengan melihat
pola dan tren yang mulai terbentuk serta melakukan ramalan (forecast) dari tren tersebut
sehingga dapat membantu menghadapi perubahan yang terjadi. Ketiga, Dalam pengembangan
produk baru, Perum Bulog diharapkan melakukan inovasi dari produk gula kristal putih (GKP)
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 2; Mei 2013
iv
menjadi produk yang unik serta susah ditiru oleh pesaing dengan melibatkan dari seluruh unit
internal perusahaan. Keempat, Perum Bulog sudah harus membina hubungan dengan konsumen,
baik yang berpotensial memberikan keuntungan yang tinggi bagi perusahaan (high value
customer) maupun konsumen biasa. Kelima, Perum Bulog menerapkan manajemen rantai pasok
yang baik, agar dapat menyeimbangkan kebutuhan akan permintaan dan persediaan sehingga
dapat meningkatkan efesiensi dari operasional perusahaan.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang bisa membantu
terbitnya jurnal ini secara on-time. Kami juga meminta dengan sangat agar teman-teman peneliti,
pengajar, dan praktisi dapat mengirimkan tulisan untuk dipublikasikan pada jurnal yang akan
datang.
Hormat kami, Prof. Dr.Adler Haymans Manurung Chief Editor
Journal of Business and Entrepreneurship
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 2; Mei 2013
v
Daftar Isi
DARI REDAKSI ……………………………………………………………………… i – ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….. iii
STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIA, 2005-2008,
DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS SEM (STRUCTURE EQUATION MODELING)
Pulung Peranginangin...............................................................................................................6 - 33
ANALISIS PENGARUH ALIRAN MODAL DAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP
TERM STRUCTURE INTEREST RATE OBLIGASI PEMERINTAH INDONESIA (SUN)
Pardomuan Sihombing, Hermanto Siregar, Adler H. Manurung, Perdana W. Santosa.....…34 - 50
PENGUKURAN KINERJA OPERASIONAL MELALUI IMPLEMENTASI TOTAL
PRODUCTIVE MAINTENANCE DI PT. XYZ
Nur Ainul Malik dan Mohammad Hamsal…….............................................................……51 - 73
PENGARUH MODAL INTELEKTUAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN
Selvi Meliza Salim dan Golrida Karyawati…........................................................................74 - 91
PENGARUH MARKET BASED CAPABILITIES TERHADAP KINERJA
PERUSAHAAN STUDI KASUS KOMODITAS GULA PASIR DI PERUM BULOG
Adi Yanuar dan Ahdia Amini………........................................…..........................…...…..92 - 115
6
Studi Empirik Perusahaan Tekstil dan Garmen Indonesia, 2005-2008,
dengan Menggunakan Analisis SEM (Structure Equation Modeling)
Pulung Peranginangin Komisaris Utama PT. Gema Grahasarana Tbk (VIVERE Group)
Peneliti dan Pengamat Pertekstilan
This study was conducted between September 2008 and November 2008 based on
questionaires sent to corporate leaders (CEO, Directors, Senior Manager) to seek
information about the condition of textile and garment firms for the previous three years. The
data were then analysed using ANOVA and SEM (Structure Equation Modeling). The study
has several findings. From the first model in the study, it showed that technology policy
influence firm performance, environment uncertainty affected (negatively) firm performance,
and business strategy affected technology policy. The second model revealed that
environment uncertainty influence cost-leadership which has positive implication toward
automation process policy and firm performance. Moreover, strategies consisting specialty
product, marketing intensity and product line breadth, all has impact upon innovation and
R&D policy.
Keywords: ketidakpastian lingkungan, strategi bisnis, kebijakan teknologi, kinerja
perusahaan, product-market, cost leadership dan process automation.
7
STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIA, 2005-2008
DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS SEM
(STRUCTURE EQUATION MODELING)
Latar Belakang Penelitian
Lingkungan eksternal selalu ditandai ketidakpastian (Khandwalla, 1970) dan kinerja
perusahaan akan optimal tercapai apabila organisasi mampu merespon ketidakpastian
lingkungan secara efektif (Ansoff, 1965; Dill, 1976; Emery dan Trist, 1965; Lawrence dan
Lorsch, 1967; Pfeffer dan Salancik, 1978; Thompson, 1967). Argumentasi yang lebih tajam
terlihat di literatur teori organisasi industri, yang mengemukakan bahwa kekuatan-kekuatan
dalam industri secara langsung menentukan kinerja perusahaan (Porter, 1981; Scherer, 1980).
Keunggulan daya saing dan kinerja superior bertumpu pada kesesuaian antara sumber daya
atau kapabilitas, lingkungan dan strategi (Fuchs, Mifflin, Miller, dan Whitney, 2000; Lenz,
1981; Porter, 1996; Tvorik dan McGivern, 1997; White dan Hamermesh, 1981).
Hubungan antara sumber daya dan kinerja perusahaan telah banyak menarik perhatian
para peneliti manajemen stratejik, mengapa banyak perusahaan yang sukses dalam
menggunakan kapabilitas atau sumber daya tersebut tetapi banyak juga yang tidak berhasil
memperbaiki kinerjanya (Helfat, 2000). Salah satu dari sumber daya yang dimaksudkan di
atas adalah teknologi yang merupakan satu elemen penting di dalam bisnis dan strategi
bersaing (Burgelman, Maidique dan Wheelwright, 2001) serta merupakan dimensi utama
kapabilitas stratejik (Itami dan Numagami, 1992).
Perusahaan berkompetisi tidak hanya di pasar lokal namun juga di pasar global
sehingga ada kebutuhan terhadap peningkatan peran teknologi untuk determinasi sukses
pemasaran (Council on Competitiveness, 1991; Franko, 1989; Fusfeld, 1989; Mitchell, 1990).
Sebagai respon terhadap pengakuan tersebut di atas, banyak perusahaan termasuk perusahaan
dalam industri pertekstilan (Ghemawat dan Nueno, 2006) selain meningkatkan pengadaan
teknologi maju (advanced technology) untuk proses, juga memperkenalkan produknya yang
berteknologi mutahir (technologically sophisticated products), misalnya produk tekstil untuk
kesehatan. Perubahan yang terjadi ini merupakan sinyal tentang perlunya kebijakan teknologi
(technology policy) yang konsisten dan sesuai dengan strategi bisnis (Clark dan Hayes, 1985;
Collier, 1985).
8
Strategi adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan kinerja
perusahaan (Hambrick, 1980; Hatten dan Schendel, 1977; Hatten, Schendel dan Cooper,
1978; Parnell, 1997, 2002, 2006;Porter, 1980, 1985, 1996; Schendel dan Patton, 1978), oleh
sebab itu paling banyak mendapat perhatian (Ghobadian, O’Regan, Gallear, dan Viney,2004;
Hambrick, 1980; Henderson dan Mitchell, 1997; Parnell, Wright dan Tu, 1996; Parnell, 1997,
2002, 2006). berperan dalam menjelaskan pengaruh strategi terhadap kinerja perusahaan
(Henderson dan Mitchell, 1997; Parnell, 2002, 2006).
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah, sebagai berikut: (1) untuk mempelajari pengaruh
ketidakpastian lingkungan terhadap strategi bisnis dan kebijaksanaan teknologi serta
pengaruh masing-masing variabel tersebut terhadap kinerja perusahaan tekstil dan garmen
Indonesia baik secara finansial maupun non-finansial disamping mempelajari pengaruh
masing-masing dimensi strategi bisnis terhadap dimensi kebijakan teknologi dan implikasinya
terhadap kinerja perusahaan; (2) untuk mengisi gap of knowledge melalui perluasan
(extention) studi Zahra dan Covin (1993) tentang Business Strategy –Technology Policy –
Performance dengan memasukkan faktor ketidakpastian lingkungan (Tan dan Litschert, 1994)
yang belum memperhitungkan variabel kebijakan teknologi.
Sebenarnya tersedia banyak jenis industri yang dapat dipilih dan relevan menjadi
subyek penelitian, namun perusahaan pertekstilan dipilih karena pertimbangan sebagai
berikut:
(1) Industri pertekstilan memiliki lingkup industri dan pasar yang sangat besar serta
mempunyai dampak luas pada masyarakat karena menyerap tenaga kerja langsung sebanyak
1.19 juta orang dan dengan nilai perdagangan ekspor dan domestik sebesar US$10.03 miliar
dan US$1.97 miliar (BPS dan API, 2007). Industri pertekstilan memiliki struktur yang
terintegrasi dari industri hulu (up stream industry) yakni: pembuatan serat, pemintalan atau
pembuatan dan pencelupan benang; industri antara (mid stream industry), yang terdiri dari:
pertenunan, perajutan, non-woven dan penyempurnaan (finishing) dan industri tekstil hilir
(down stream industry) yang terdiri dari: garmen (pakaian jadi) dan industri lainnya, seperti
home-interior textiles, technical textiles, geotextiles, medical textiles dan travelling textiles.
(2) Keunggulan daya saing dan kinerja perusahaan pertekstilan Indonesia secara
relatif menurun bila dibandingkan dengan pesaingnya dari negara lain, terutama sesudah
9
mengalami krisis ekonomi tahun 1998. Kecenderungan penurunan daya saing dan kinerja
perusahaan pertekstilan tersebut secara fluktuatif terlihat pada pangsa pasar Indonesia di
perdagangan pertekstilan dunia, yakni 2.32%, 2.66%, 2.50%, 2.22% dan 1.78% ditahun
1999, 2000, 2001, 2002 dan 2003 (CIC Consulting Group, 2005).
(3) Ketidakpastian lingkungan industri pertekstilan lebih meningkat lagi berhubung
kuota perdagangan tekstil dan garmen yang berlaku sejak 1 Januari, 1974 dalam Multi Fibres
Arrangement (MFA) dihapuskan dan diintegrasikan ke dalam WTO. Dengan demikian pasar
ekspor captive Indonesia hilang sesuai jadwal pemberlakuan aturan WTO sehingga semua
pengusaha berkompetisi tanpa kuota di pasar global. Selain itu ketidakpastian terjadi karena
industri pertekstilan Indonesia dipersepsikan oleh sebagian stakeholders sebagai yang telah
uzur (sunset) walaupun kenyataannya menurut data Textile Intelligence, BPS dan API yang
diolah (2006), nilai perdagangan tekstil dunia terus meningkat sekitar 3% pertahun.
Tinjauan Literature
Pembahasan tentang pengaruh lingkungan persaingan (eksternal) terhadap strategi dan
implikasinya pada kinerja perusahaan termasuk di dalamteori utama dalam ranah manajemen
stratejik yakni Market Based View (MBV), sedangkan pembahasan pengaruh kebijakan
teknologi yang merupakan kebijakan salah satu kapabilitas atau sumber daya internal serta
implikasinya pada kinerja perusahaan (DeSarbo et al., 2005; Henderson dan Micthell, 1997)
termasuk di dalamteori utama lainnya yaitu Resource Based View (RBV).
Strategi1 dan kinerja perusahaan merupakan topik yang paling banyak diteliti hingga
kini (Hambrick, 1980; Parnell, 1997, 2002, 2006). Pengaruh strategi terhadap kinerja
perusahaan menurut berbagai literatur tidak berdiri sendiri namun dipengaruhi oleh berbagai
faktor kontinjensi baik eksternal maupun internal (Ginsberg dan Venkatraman, 1985; Lenz,
1981; Parnell et al.,2000;Tvorik dan McGivern, 1997). Secara spesifik DeSarbo et al. (2005)
dan Henderson dan Mitchell (1997) menyatakan bahwa pengaruh strategi terhadap kinerja
perusahaan ditentukan oleh lingkungan dan kapabilitas.
1Strategi adalah cara bagaimana perusahaan dapat mencapai tujuan. Strategy is the psychological sense defined as a
sequence of means to achieve a goal (Miller, Galanter & Pribram, 1960).
10
Ketidakpastian Lingkungan dan Kinerja Perusahaan
Ketidakpastian lingkungan dan pengaruhnya tehadap satu perusahaan dapat dilihat
dari banyak perspektif akan tetapi baik langsung atau tidak hal tersebut pasti akan
mempengaruhi aktivitas perusahaan. Kesuksesan perusahaan dalam arti berkinerja unggul
(superior) akan tercapai bila kapabilitas internal perusahaan bisa fit dengan lingkungan
perusahaan yang kompetitif. Raynor (2007) membedakan sistem manajemen tradisional
untuk lingkungan bisnis yang stabil dan sistem manajemen fleksibel untuk lingkungan yang
berubah cepat. Teori kontinjensi berpendapat bahwa hubungan lingkungan dan strategi
menentukan kinerja perusahaan (Lawrence dan Lorsch, 1967). Namun demikian, menurut
Khandwalla (1970) lingkungan eksternal selalu ditandai ketidakpastian dan kinerja
perusahaan akan optimal tercapai apabila organisasi mampu merespon ketidakpastian
lingkungan secara efektif (Ansoff, 1965; Dill, 1976; Emery dan Trist, 1965; Lawrence dan
Lorsch, 1967; Pfeffer dan Salancik, 1978; Thompson, 1967). Salah satu strategi perusahaan
dalam merespon ketidakpastian lingkungan telah mulai dikenal dan penting dalam ilmu
manajemen stratejik akhir-akhir ini yakni paradoxical strategies (Day dan Schoemaker,
2006; Marcus, 2006; Parnell, 2005a). Paradoxical Strategies yang dimaksudkan adalah
respon stratejik perusahaan terhadap ketidakpastian lingkungan yang meningkat yang disatu
sisi harus tetap mempertahankan konsistensinya (routine) tetapi disisi lain perusahaan harus
fleksibel untuk menyesuaikan diri dengan ketidakpastian lingkungan yang meningkat.
Firmanzah (2003)2 mengemukakan bahwa dynamic competitive bukan merupakan sebuah
sumber keunggulan kompetitif berkesinambungan (SCA) di dalam ketidakpastian lingkungan
(environment pressure) karena pesaing juga melakukan hal yang sama, namun yang menjadi
SCA adalah kemampuan perusahaan mengakumulasi kapabilitas dinamis tersebut lebih cepat
dari pada yang dilakukan oleh pesaing dalam industri. Untuk lebih jelas melihat prosesnya,
berikut ini ditunjukkan matrix dari environment pressure dengan firm capability.
2 Perceived Industrial Pressure-Firm Capability: Dynamic Relation. This paper has been presented in the seminar of
‘Competitive Strategy : New Approach and New Game’ 4 November 2003 in University of Paris XII (Paris).
11
Gambar 1. Perceived Environment Pressure - Firm Capability Matrix
Perceived
Environment
Pressure
High
Adaptive Process
(I)
Dialog Process
(II)
Low
Introduction Process
(IV)
Domination Process
(III)
Low High
Firm Capability
Sumber: Firmanzah (2003). Perceived Industrial Pressure-Firm Capability:Dynamic Relation
Kebijakan Teknologi dan Product-Market
Suatu teknologi dapat digunakan untuk produk tertentu namun juga tidak tertutup
kemungkinan menggunakan satu teknologi saja untuk semua produk yang dipasarkan pada
segmen yang berbeda. Di dalam literatur diungkapkan bahwa perusahaan yang menawarkan
dan membawa produk dan jasanya (products) ke pasar (market) harus didukung oleh
teknologi3 yang digunakan (Burgelman, Maidique dan Wheelwright, 2001; Sriram dan
3a). Hard technology (Engineering and Manufacturing function of the firms):
Suatu perangkat atau sistem yang melekat (embodied) di mesin atau peralatan yang berfungsi untuk
memacu produktifitas, out-put, kualitas dan keakuratan hasil.
b). Technology (extends beyond Engineering and Manufacturing function of the firms):
12
Anikeeff, 1991). Untuk lebih jelasnya, di Figur dibawah ini ditunjukkan bagaimana hubungan
(matrix) teknologi dengan product-market tersebut.
Gambar 2. Product/Technology Matrix
Product A Product B ••• Product N
Technology 1
Technology 2
•
Technology K
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sumber: Fusfeld, “How to Put Technology into Corporate Planning,”Technology Review, May 1978 dalam Burgelman,
Maidique dan Wheelwright (2001).
Dari matrix diatas dapat dijelaskan bahwa setiap produk yang hendak dibuat dan
dipasarkan yang terdiri mulai dari Produk-A sampai Produk-N sebenarnya mempunyai pilihan
teknologi yang mendukungnya yakni mulai Teknologi-1 sampai Teknologi-K.. Teknologi
yang dipakai tersebut seharusnya dapat dibandingkan (bench-marked) dengan teknologi yang
dipakai oleh rival dan juga dengan teknologi yang paling canggih (state-of-the-art)
disegmennya (market segment).
Konsep Kapabilitas dan Kebijakan Teknologi
Kapabilitas teknologi adalah salah satu dari dimensi utama kapabilitas stratejik selain
dimensi kapabilitas manajemen/ sumber daya manusia dan dimensi kapabilitas pemasaran,
serta teknologi merupakan faktor paling utama dalam menentukan aturan persaingan atau
rules of competition (Porter, 1983). Disamping itu diungkapkan juga bahwa firm’s value
activities sangat dipengaruhi oleh teknologi (Porter, 1985) dan technological know-how dapat
meningkatkan firm’s value (Robins dan Wiersema, 1995). Sejak tahun 1980 peneliti
(1) Refers to the theoretical and practical knowledge, skillsand artifacts that can be used to developed products and
services as well as their production and delivery systems (Burgelman, Maidique dan Wheelwright, 2001).
(2) The process by which organization transforms labor, capital, materialsand information into products and services
(Christensen dan Bower, 1996).
Definisi (b) nomor 1 dan 2: merupakan definisi teknologi yang digunakan dalam penelitian ini.
13
manajemen stratejik mulai mengenal teknologi sebagai satu elemen penting di dalam bisnis
dan strategi bersaing (Burgelman, Maidique dan Wheelwright, 2001). Selain itu, teknologi
diketahui sebagai satu dimensi yang esensial di dalam bisnis dan tercatat sebagai satu
karakter yang menambah kedinamisan dunia bisnis karena suatu teknologi yang digunakan
cepat atau lambat akan digantikan oleh teknologi lain (Abell, 1980). Konsep Value-Chain
yang dikemukakan pertama kali oleh Porter yang terdiri dari aktivitas utama (prime activities)
dan aktivitas pendukung (support activities) juga mempunyai komponen dan dipengaruhi oleh
teknologi yang dipilih dan digunakan oleh perusahaan.
Teori RBV4 mengatakan keunggulan daya saing dan kinerja superior bertumpu pada
kapabilitas spesifik perusahaan (Barney, 1991; Dierickx dan Cool, 1989; Penrose, 1959;
Prahalad dan Hamel, 1990;Wernerfelt, 1984). Sekalipun para peneliti menggunakan berbagai
terminologi yang berbeda untuk kapabilitas, namun semuanya memiliki pengertian yang
mirip satu sama lain (Lenz, 1980; Stalk, Evansdan Shulman, 1992) yaitu kemampuan yang
memberikan keunggulan daya saing dan kinerja unggul (superior) bagi perusahaan. Barney
(1991, 2002) mengemukakan sumber daya yang merupakan kapabilitas tersebut dengan
rerangka (frameworks) VRIO5. Kapabilitas bukan hanya menjadi basis keunggulan daya saing
dan kinerja superior tetapi juga merupakan basis dalam menentukan strategi perusahaan
(Barney, 1991; Collis, 1991; Conner, 1991; Grant, 1991;Lawless, Berg dan Wilsted, 1989).
Sehubungan sifat teknologi sama dengan resources maka teknologi tersebut tersedia
juga di luar perusahaan dalam arti tidak harus dikembangkan sendiri secara internal akan
tetapi dapat diakses langsung (Hunt, 1995). Teknologi produk maupun proses pada umumnya
juga dapat diperoleh melalui proses ‘make’ or ‘buy’ (Capon dan Glazer, 1987; Khalil, 2000).
Karena proses persaingan sifatnya dinamis dan terus menerus maka kapabilitas termasuk
teknologi yang dibangunpun seharusnya juga dinamis (Teece, Pisano dan Shuen, 1997).
4Teori Resource Based View (RBV) diperkenalkan melalui karya seminal Penrose (1959) yakni Teori Pertumbuhan
Perusahaan (Theory of the Growth of the Firm), berpandangan bahwa keunggulan daya saing dan kinerja perusahaan
bertumpu pada sumber daya atau kapabilitas perusahaan (Barney, 1991; Penrose, 1959; Wernerfelt, 1984).Ini disanggah
oleh Rugman dan Verbeke (2002) dan uraian tentang RBV dapat dilihat di Barney (1991, 2002); Mahoney dan Pandian
(1992); Peteraf (1993) dan Collies dan Montgomery (1995).
5VRIO berarti:bernilai (Valuable), langka (Rare), tidak bisa ditiru sepenuhnya (Imitable imperfectly) dan tidak bisa digantikan
karena secara kombinasi melekat di organisasi (Organizational combined capabilities).
14
Dinamika Persaingan dan Kebijakan Teknologi
Salah satu dimensi utama dari kapabilitas stratejik adalah teknologi (Itami dan
Numagami, 1992). Perubahan teknologi adalah salah satu forces penting yang mempengaruhi
kinerja dan posisi daya saing perusahaan (Afuah, 2000; Khalil, 2000; Kilmann, 1991;
Narayanan, 2001). Oleh sebab itu inovasi dan perubahan teknologi yang pada mulanya
dilakukan oleh satu perusahaan (technology leader), apabila berhasil akan dapat merubah
lanskap persaingan karena akan terjadi dinamika kompetisi (Teece, Pisano dan Shuen, 1997)
berupa aksi dan reaksi antar pelaku bisnis (competitive dynamics). Banyak inovasi yang
terjadi berbasis teknologi, seperti contoh: disposable diapers dalam bidang tekstil kesehatan
(non-woven medical textiles), electronic fuel injections untuk otomotif dan personal
computers, disamping inovasi yang terjadi difasilitasi oleh teknologi, yakni penemuan dan
pengembangan produk baru melalui kegiatan R&D, antara lain dalam bisnis retail dan
services, yaitu teknologi elektronika dan data processing atau EDP (Maidique, Burgelman
dan Wheelwright, 2001).
Karena perusahaan berkompetisi secara global maka ada kebutuhan terhadap
peningkatan peran teknologi untuk determinasi sukses persaingan bidang pemasaran (Council
on Competitiveness, 1991; Franko, 1989; Fusfeld, 1989; Mitchell, 1990). Sebagai respon
terhadap situasi tersebut, maka perusahaan tekstil dan garmen pun sudah banyak
menggunakan teknologi terkini (advanced technology) untuk teknologi proses maupun
produk.Teknologi pertekstilan bukan termasuk dalam kategori teknologi high-tech (Dickens,
2003) namun perubahan yang terjadi tersebut merupakan indikator atau sinyal tentang
perlunya kebijakan teknologi perusahaan (firm technology policy) yang konsisten dan sesuai
dengan strategi bisnis (Clark dan Hayes, 1985; Collier, 1985). Beberapa alasan perlu
dipertimbangkan dalam menetapkan kebijakan teknologi dalam perusahaan (firm technology
policies), yaitu memilih dan menentukan jenis ataupun cakupan teknologi apa yang relevan
bagi perusahaan sehingga perlu dituangkan dalam corporate planning.
Implikasi kepemimpinan dalam teknologi (technology leadership) telah dieksplorasi
terlebih dahulu dalam teknologi dan strategi antara lain oleh: Ansoff dan Stewart (1967) serta
Maidique dan Patch (1979). Keagresifan dalam postur teknologi (aggressive technology
posture) sering dihubungkan dalam hal timing of entry dari pengadaan dan penggunaan
teknologi yang dimaksud secara komersial relatif terhadap pesaing dalam bisnis. Julukan
pemimpin dalam teknologi didapatkan oleh satu perusahaan sebagai hasil dari pada komitmen
15
untuk selalu berperan sebagai “pioneer” dalam mengembangkan teknologinya (Rosenbloom
dan Cusumano, 1987). Pemimpin teknologi mempunyai kapasitas untuk selalu menjadi yang
pertama (to be first movers) untuk mendapatkan first mover advantages- FMA, namun dia
juga dapat memilih untuk tidak melakukannya. Insentif sebagai first-movers (Hitt, Hoskisson
dan Ireland, 2007) yakni bisa mendapatkan; (1) customers loyalty karena pelanggan akan
tetap (committed) pada produk atau jasa yang pertama mereka dapatkan yaitu dari first-
movers, (2) pangsa pasar (market share) yang telah didapat oleh first-movers dalam kompetisi
selanjutnya akan sulit direbut oleh followers atau late-entrants terutama bila first-movers terus
mempertahankan posisinya sehingga mencapai level unggul berkesinambungan (sustainable
competitive advantage- SCA). Para first-movers atau technology leaders akan dapat
mempertahankan posisinya bila dapat menaikkan entry-barriers, antara lain dengan; (a)
beroperasi pada skala-ekonomi (economies of scale) menjadikan biaya per unit produk sangat
rendah (lowest-cost) sehingga tidak tertandingi, (b) mempertinggi tingkat keunikan
(differentiation) produk yang ditawarkan, (c) Switching-cost dibuat setinggi mungkin
sehingga perlu biaya mahal untuk mensubstitusi produk yang sudah dipasok first-movers, (d)
Membangun distribution channel yang kuat sehingga pesaing sulit mendapatkan akses pasar,
(e) Mendaftarkan “paten” proses, teknologi dan brand produk kepada pemerintah sehingga
sampai waktu tertentu terlindungi dan tidak dapat ditiru (costly to imitate) dan (f) melakukan
inovasi dan R&D terus menerus, bahkan kalau perlu melakukan apa yang disebut Schumpeter
(1934) sebagai ‘creative-destruction’ agar sulit dikejar oleh pesaing. Schumpeter
menggunakan kata creative-destruction untuk menjelaskan siklus hidup dari inovasi (the life
cycle of innovations) yang dari perspektif dinamis mengartikan bahwa inovasi-baru akan
menggantikan/ menghilangkan yang lama (new innovations drive-out old ones) termasuk
sumber daya, profesi, keuntungan bahkan perusahaan dari pengusaha sebelumnya (previous
entrepreneur). Tingkat keuntungan akan mengalir mengikuti siklus kontinual (continual
cycle) yang tinggi pada tahap inovasi lalu menurun pada waktu imitasi mulai merebak dan
diikuti siklus declining.
Sebagai first-movers disamping mempunyai insentif namun juga mempunyai resiko,
yakni biaya untuk melakukan inovasi dan R&D yang signifikan jumlahnya belum tentu sesuai
dengan apa yang diharapkan didapatkan dari penjualan dan apabila hasil inovasi gagal
dipasarkan maka cadangan dana (slack) yang sebelumnya selalu tersedia akan berkurang
sehingga kemampuan melakukan inovasi selanjutnya menurun dan tak mampu seterusnya
16
menjadi first-movers (Hitt, Hoskisson dan Ireland, 2007). Disamping itu second-movers dapat
memanfaatkan jalan yang telah dibuka oleh first-mover yang telah melakukan customer’s
education tentang produk sehingga memudahkan bagi second-mover untuk memasuki
persaingan. Sebagai contoh first-mover yang pernah kehilangan keunggulan kompetitifnya
pada tahun 1980-an adalah Macintosh PC dari Apple Computer (Yoffie dan Slind, 2008).
Selanjutnya persaingan akan terjadi kalau ada pesaing yang bereaksi terhadap first-movers
dengan strategi imitasi dan perbaikan fitur (imitated and improved).
17
Model dan Metode Penelitian
Tabel 1. Definisi dan dimensi dari konstruk penelitian
KONSTRUK DEFINISI DIMENSI
Strategi Bisnis Proses menetapkan tujuan bisnis
dan bagaimana mencapainya.
• Menawarkan produk spesial (specialty product).
• Pemasaran intensif (marketing intensity)
• Terendah (unggul) dalam biaya (cost leadership)
• Beragam produk / layanan (product line breadth)
Kebijakan
Teknologi
Proses pemilihan, pengembangan
dan penempatan teknologi
termasuk mengkombinasikannya
untuk mendukung pencapaian tujuan
perusahaan sesuai dengan
strateginya.
• Postur teknologi yang agresif (aggressive
teechnology posture).
• Otomatisasi proses (process automation).
• Inovasi proses dan produk serta R&D (Innovation
and R&D).
Ketidakpastian
lingkungan
Suatu ketidakpastian informasi dan /
atau sumber daya yang terjadi
lingkungan luar perusahaan.
• Kompleksitas/heterogenitas; tingkat
keanekaragaman dan diversiti masing-masing
elemen lingkungan (environmental complexity).
• Dinamika; tingkat variabilitas perubahan dan
prediktibilitas masing-masing elemen lingkungan
(environmental dynamics).
• Hostilitas; tingkat kepentingan dan kapasitas
sumber daya masing-masing elemen lingkungan
(environmental hostility).
Kinerja
Perusahaan
Hasil yang dibandingkan terhadap
target dan / atau dibandingkan
dengan kinerja pesaing.
• Kinerja finansial, dibandingkan dengan tujuan dan/
atau kinerja pesaing
• Kinerja non-finansial, kepuasan yang dicapai
dibandingkan relatif terhadap tujuan dan/ atau
kinerja pesaing.
Sumber: Diolah oleh penulis dari: Miller, G., Galanter, E dan Pribram, K.H. (1960); Zahra dan Covin (1993); Tan dan Litschert
(1994); Morgan dan Strong (2003) dan Venkatraman dan Ramanujam (1986)
18
Gambar 3. Model Penelitian Lengkap dengan Variabel dan Dimensinya
Source,
-
vinco (1993)
H4
Source, -
Morgan & Strong (2003)
-
Tan & Litschert (1994)
-
Tan & Tan (2005)
-
Venkatraman &
Ramanujam (1986)
Source: Zahra &
Covin (1993)
Tan & Litschert
(1994)
Specialty Products Marketing
Intensity
Cost
Leadership
Product Line
Breadth
EU Dynamics
EU
Complexity
EU
Hostility
Aggresive
Technology Posture
Process Automation Innovation a nd
R&D Source: Zahra & Covin
(1993)
Financial
Performance
Non- Financial
Performance H2
H5
H1 H3
Firm
Performance
Environmental
Uncertainty
(EnvUnc)
Business
Strategy
Technology
Policies
H6
19
Tabel 2. Hipotesis-hipotesis yang diuji dalam studi ini
Tabel 2. HIPOTESIS
1 H1 Strategi bisnis berpengaruh positif terhadap Kinerja perusahaan
2 H1a Strategi Specialty product berpengaruh positif terhadap Kinerja perusahaan
3 H1b Strategi Marketing intensity berpengaruh positif terhadap Kinerja perusahaan
4 H1c Strategi Cost leadership berpengaruh positif terhadap Kinerja perusahaan
5 H1d Strategi Product line breadth berpengaruh positif terhadap Kinerja perusahaan
6 H2 Kebijakan teknologi perusahaan berpengaruh positif terhadap Kinerja perusahaan
7 H2a Kebijakan Aggressive technology posture berpengaruh positif terhadap Kinerja
perusahaan 8 H2b Kebijakan Process automation berpengaruh positif terhadap Kinerja perusahaan
9 H2c Kebijakan Innovation and R&D berpengaruh positif terhadap Kinerja perusahaan
10 H3 Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Strategi bisnis
11 H3a Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Strategi Specialty product
12 H3b Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Strategi Marketing intensity
13 H3c Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Strategi Cost leadership
14 H3d Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Strategi Product line breadth
15 H4 Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Kebijakan teknologi perusahaan
16 H4a Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Kebijakan Aggressive technology
posture
17 H4b Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Kebijakan Process automation
18 H4c Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Kebijakan Innovation and R&D
19 H5 Ketidakpastian lingkungan berpengaruh negatif terhadap Kinerja perusahaan
20 H5a Ketidakpastian lingkungan berpengaruh negatif terhadap Kinerja perusahaan
21 H6 Strategi bisnis berpengaruh positif terhadap Kebijakan teknologi perusahaan
22 H6a1 Strategi menawarkan specialty product berpengaruh positif pada Kebijakan aggressive
technology posture
23 H6a2 Strategi menawarkan specialty product berpengaruh positif pada Kebijakan innovation
and R&D
20
24 H6b1 Strategi marketing intensity berpengaruh positif pada Kebijakan aggressive technology
posture
25 H6b2 Strategi marketing intensity berpengaruh positif pada Kebijakan innovation and R&D
26 H6c1 Strategi cost-leadership berpengaruh positif pada Kebijakan aggressive technology
posture
27 H6c2 Strategi cost-leadership berpengaruh positif pada process automation
28 H6d Strategi product line breadth berpengaruh positif pada Kebijakan innovation and R&D
Gambaran Umum Penelitian dan Profil Responden
Tahap awal penelitian lapangan adalah melakukan Pre-Test dengan mengukur
validitas instrumen utama penelitian yakni kuesioner yang berjumlah 80 buah pertanyaan,
yang masing-masing pertanyaan mewakili dimensi dari variabel laten serta variabel terukur
model penelitian. Pertanyaan kuesioner dinilai valid jika nilai Standard Loading Factor
(SLF)> 0.50. Jika nilai SLF <0.50, maka pertanyaan kuesioner tersebut tidak valid atau dapat
dikatakan tidak mengukur apa yang ingin diukur pada penelitian ini. Hasil dari Pre-Test
terdapat 5 buah pertanyaan yang tidak valid sehingga tersisa 75 buah pertanyaan kuesioner
yang valid untuk selanjutnya digunakan sebagai instrumen penelitian ini.
Survei penelitian ini dilakukan mulai bulan September 2008 sampai dengan November
2008 terhadap 580 perusahaan tekstil dan garmen diseluruh Indonesia dengan mengirimkan
kuesioner yang dipakai sebagai instrumen.
Dari 580 kuesioner yang dikirim ada 3 perusahaan yang mengatakan mereka tidak
bersedia berpartisipasi. Total pengembalian 158 dengan 5 kuesioner dijawab tetapi kurang
lengkap sehingga ada 153 sampel yang dapat diolah selanjutnya. Tingkat pengembalian
kuesioner yang mencapai lebih 26 % dapat dikatakan sangat baik bila dibandingkan dengan
tingkat pengembalian survei penelitian manajemen stratejik dengan target responden adalah
pimpinan perusahaan sebagai key informant yang berkisar 20 – 25 % (Barringer dan
Bluedorn, 1999; Kreiser et al., 2002b; Miller dan Friesen, 1982; Morgan dan Strong, 2003;
Robinson dan Pearce, 1988).
Jumlah sampel yang berkisar antara 100- 200 untuk penelitian yang bila mengolah
data dengan SEM adalah jumlah yang baik (appropriate) khususnya dari segi overall fit
21
measures yang fundamental yakni likelihood-ratio chi-square statistic (Hair et al., 1998).
Profil perusahaan dan responden ditunjukkan di Tabel berikut ini.
Tabel 3. Profil Responden Perusahaan tekstil dan garmen
Deskripsi Frekuensi Persentase
Aset Perusahaan
10 – 100 Miliar rupiah 61 40%
>100 – 500 Miliar rupiah 63 42%
>500 Miliar rupiah 28 18%
Jumlah 152 100%
Penjualan Pertahun
10 – 100 Miliar rupiah 51 34%
>100 – 500 Miliar rupiah 79 52%
>500 Miliar rupiah 22 14%
Jumlah 152 100%
Bidang Usaha
Terintegrasi (mixed tekstil dengan garmen) 22 15%
Tekstil saja 95 62%
Garmen saja 34 23%
Jumlah 151 100%
Jumlah pegawai
30- 300 orang 42 28%
>300 – 3000 orang 97 64%
>3000 orang 12 8%
Jumlah 151 100%
Usia Perusahaan
3 – 10 tahun 21 14%
22
>10 – 20 tahun 73 48%
>20 tahun 57 38%
Jumlah 151 100%
Area Pemasaran
Domestik dan Ekspor (mixed) 117 76%
Domestik 100% 27 18%
Ekspor 100 % 9 6%
Jumlah 153 100%
Kontribusi Pemasaran
Total Domestik NA 58%
Total Ekspor NA 42%
Jumlah NA 100%
Jabatan Responden
Manajer Senior 64 42%
GM/Direktur 76 50%
Presiden Direktur 12 8%
Jumlah 152 100%
Jenis Kelamin Responden
Laki-laki 132 86%
Perempuan 21 14%
Jumlah 153 100%
Sumber: Diolah oleh penulis dari data-data survei (2008)
Hasil Penelitian dan Analisisnya
Analisis “Structural Equation Modeling” (SEM)
Sebanyak 153 buah kuesioner yang kembali dan terisi (lihat Tabel 5.1) diolah dengan
menggunakan teknik statistik Structural Equation Modeling (SEM) melalui dua tahap yang
dikenal dengan “two step approach” (Wijanto, 2007) yakni meliputi:
23
1) Analisis Model Pengukuran (Measurement Model) dengan menggunakan
Confirmatory Factor Analysis (CFA). Analisis ini dilakukan untuk memastikan
apakah berbagai indikator atau variabel teramati yang ditentukan secara teoritis dapat
dimasukkan dalam kelompok masing-masing variabel laten seperti dalam model
penelitian. Tahap selanjutnya, sesuai rule of the thumb (Wijanto, 2008), bahwa satu
variabel terukur minimal memerlukan 5 responden ketika menggunakan estimasi
Maximum Likelihood (MLE) atau 10 responden kalau menggunakan estimasi
Weighted Least Square (WLS), maka dengan sampel data yang hanya berjumlah 153
(seharusnya minimal sampel untuk MLE adalah 5 x 75 = 375), model pengukuran
perlu disederhanakan dengan tahap sebagai berikut;
a) Melakukan analisis model pengukuran dari model penelitian dengan sekaligus
menghitung Latent Variabel Score (LVS) dari variabel-variabel laten yang
diperlukan sehingga model hanya mengandung model pengukuran tingkat
pertama,
b) Melakukan analisis terhadap model pengukuran dari model penelitian yang
telah disederhanakan tersebut.
2) Analisis Model Struktural (Structural Model) dilakukan untuk menganalisis
pengaruh antar semua variabel laten yang telah disederhanakan.
Analisis Model Pengukuran (Measurement Model)
Analisis model pengukuran meliputi 3 tahap yang meliputi: pengujian kecocokan
keseluruhan model yang dilihat dari hasil Goodness of Fit Index (GOFI) yang dihasilkan,
analisis validitas dan reliabilitas. Tingkat kecocokan model dapat dilihat dari nilai uji
dibandingkan dengan standar nilai GOFI. Setelah diperoleh kecocokan yang baik dari
keseluruhan model maka langkah berikutnya yaitu melakukan pengujian validitas dari model
pengukuran. Menurut Wijanto (2008), ukuran sebuah variabel laten atau memiliki validitas
dan reliabilitas yang baik adalah sebagai berikut:
a) Nilai-t (t-value) ≥ 1.96
b) Nilai muatan faktor standar (Standardized Loading Factor/ SLF) ≥ 0.50
24
Reliabilitas dari model pengukuran menggunakan dua kriteria yaitu Construct
Reliability (CR) dan Variance Extracted (VE) yang nilainya dapat dihitung dengan rumus
(Formula-5.1 untuk CR dan Formula-5.2 untuk VE), seperti berikut ini:
2
2
2
( S tandard ized Loading)C R =
( S tandardized Loading) E rror
S tandardized LoadingV E =
N
di m ana N adalah banyaknya variabel teram ati
Σ
Σ + Σ
Σ
Kriteria reliabilitas model pengukuran yang baik adalah jika CR ≥ 0.70 dan VE ≥ 0.50.
Tabel 4. Pengujian Hipotesis dengan Nilai-t terhadap: H1-H6
Hipo-
tesis
Variabel Laten Nilai-t ≥1.96
(Signifikan)
Signifikansi Kesimpulan
H1 Strategi Bisnis→ Kinerja
Perusahaan
0.90 Tidak
Signifikan
Data tidak mendukung
model.
H2 Kebijakan Teknologi →
Kinerja Perusahaan
2.64 Signifikan
(Positif)
Data mendukung
model.
H3 Ketidakpastian
Lingkungan→
Strategi Bisnis
0.89 Tidak
Signifikan
Data tidak mendukung
model.
H4 Ketidakpastian
Lingkungan→
Kebijakan Teknologi
-0.44 Tidak
Signifikan
Data tidak mendukung
model.
H5 Ketidakpastian
Lingkungan→
Kinerja Perusahaan
-2.51 Signifikan
(Negatif)
Data mendukung
model.
H6 Strategi Bisnis→
Kebijakan Teknologi
4.88 Signifikan
(Positif)
Data mendukung
model.
Sumber: Hasil Pengolahan data penelitian (2008)
25
Gambar 4. Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian H1-H6
Tabel 5. Pengujian: Hipotesis dengan Nilai-t terhadap: H1a-H1d, H2a-H2d, H3a- H3d,
H4a-H4c, H5 dan H6a1-H6a2, H6b1-H6b2, H6c1-H6c2 dan H6d.
Variabel
Laten
Hipo-
tesis
Variabel Laten Nilai-t ≥ 1.96
(Signifikan)
Signifikansi Kesimpulan
BStrat
�
Firm-perf
H1a Specialty Product→ Kinerja
Perusahaan
1.21 Tidak
Signifikan
Data tidak
mendukung model.
H1b Marketing Intensity → Kinerja
Perusahaan
0.63 Tidak
Signifikan
Data tidak
mendukung model.
H1c Cost Leadership→
Kinerja Perusahaan
2.03 Signifikan
(Positif)
Data mendukung
model.
H1d Prod Line Breadth→
Kinerja Perusahaan
0.20 Tidak
Signifikan
Data tidak
mendukung model.
Tech-Pol
�
Firm-perf
H2a Aggr. Tech Posture→
Kinerja Perusahaan
1.88
Tidak
Signifikan
Data tidak
mendukung model.
H2b Process Automation→
Kinerja Perusahaan
2.24 Signifikan
(Positif)
Data mendukung
model.
H2c Innovation and R&D→
Kinerja Perusahaan
1.44 Tidak
Signifikan
Data tidak
mendukung model.
H1
H2+
H4
H3
H5-
Environment
Uncertainty
(EnvUnc)
Business Strategy
(BStrat)
Technology Policy
(TechPol)
Firm Performance
(FirmPerf)
H6+
26
Env-unc
�
BStrat
H3a Ketidakpastian Lingkungan →
Specialty Product
-0.60 Tidak signifikan Data tidak
mendukung model.
H3b Ketidakpastian Lingkungan→
Marketing Intensity
-0.23 Tidak signifikan Data tidak
mendukung model.
H3c Ketidakpastian Lingkungan→
Cost Leadership
2.53 Signifikan
(Positif)
Data mendukung
model.
H3d Ketidakpastian Lingkungan→
Product Line Breadth
1.19 Tidak signifikan Data tidak
mendukung model.
Env-unc
�
Tech-pol
H4a Ketidakpastian Lingkungan→
Aggr Techno Posture
-0.52 Tidak signifikan Data tidak
mendukung model.
H4b Ketidakpastian Lingkungan →
Process Automation
-0.38 Tidak signifikan Data tidak
mendukung model.
H4c Ketidakpastian Lingkungan→
Innovation and R&D
0.31 Tidak
Signifikan
Data tidak
mendukung model.
Env-unc
�
Firmperf
H5a
Ketidakpastian Lingkungan→
Kinerja Perusahaan
-2.30 Signifikan
(Negatif)
Data mendukung
model.
Bstrat�
Tech-pol
H6a1 Specialty Product →Aggr.
Tech Posture
3.72 Signifikan
(Positif)
Data mendukung
model.
H6a2 Specialty Product →
Innovation and R&D
3.07 Signifikan
(Positif)
Data mendukung
model.
H6b1 Marketing Intensity
→Aggr.Tech Posture
1.21 Tidak signifikan Data tidak
mendukung model.
H6b2 Marketing Intensity →
Innovation and R&D
3.11
Signifikan
(Positif)
Data mendukung
model.
H6c1 Cost Leadership →Aggr.Tech
Posture
1.80
Tidak
Signifikan
Data tidak
mendukung model.
H6c2 Cost Leadership →Process
Automation
5.00 Signifikan
(Positif)
Data mendukung
model.
27
Sumber: Hasil Pengolahan data penelitian (2008)
Gambar 5. Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian H1a-H6d
H6d Product Line Breadth→
Innovation and R&D
2.58 Signifikan
(Positif)
Data mendukung
model.
Business
Strategy
Technology
Policy
H6d H6b1
H5a- Firm
Performance Environment
Uncertainty
H1a H1b H1c+ H1d
H2a H2b+ H2c
H3a
H3b H3+c
H3d
H4a H4b
H4c
H6b2+
H6a1+
H6a2+
H6c1
H6c+2
Specialty Products Marketing
Intensity
Cost
Leadership
Product Line
Breadth
Agg Technology
Posture
Process
Automation
Innovation and
R&D
Legend:
Berpengaruh
signifikan
28
Kesimpulan
Berdasarkan kombinasi interaksi dari seluruh variabel dan dimensi penelitian ini,
dapat dikemukakan beberapa kesimpulan akhir sebagai berikut:
Pertama, ketidakpastian lingkungan, strategi cost leadership dan kebijakan teknologi
mempengaruhi signifikan kinerja perusahaan tekstil dan garmen Indonesia namun
ketidakpastian lingkungan mempengaruhi kinerja secara negatif sedangkan strategi cost
leadership dan kebijakan teknologi mempengaruhi kinerja secara positif.
Kedua, dalam ketidakpastian lingkungan yang meningkat (turbulen), kebijakan
teknologi dan ketidakpastian lingkungan itu sendiri memiliki peran dan pengaruh lebih
dominan dibandingkan peran strategi bisnis terhadap kinerja perusahaan walaupun pengaruh
dimensi strategi cost leadership secara tunggal juga mempunyai pengaruh signifikan.
Ketiga, strategi bisnis dan seluruh dimensinya mempengaruhi secara signifikan positif
kebijakan teknologi dan dimensi tertentu dari kebijakan teknologi tersebut yakni process
automation berpengaruh signifikan positif terhadap kinerja perusahaan.
Daftar Pustaka
Afuah, A. (2000); How much do your co-opetitors capabilities matter in the face of
technological change?; Strategic Management Journal, Special Issue, 21, 387-404.
Ansoff, I.(1965); Corporate Strategy: An Analytical Approach to Business Policy for Growth
and Expansion; McGraw Hill, New York.
Barney, J. B. (1991); Firm resources and sustained competitive advantage; Journal of
Management, 17: 99-120.
Barringer, B. R., dan Bluedorn, A. C. (1999); The relationship between corporate
entrepreneurship and strategic management; Strategic Management Journal, 20: 421-
444.
Bourgeois, L. J. III. (1980); Strategy and environment: a conceptual integration; Academy of
Management Review, 5(1): 25-39.
Burgelman, R. A., Maidique, M. A., dan Wheelwright, S.C. (2001); Strategic Management of
Technology and Innovation; McGraw-Hill Irwin, Singapore.
Christensen, R., Andrews, K., dan Bower, J. (1978); Business Policy, Richard Irwin, Illinois.
Capon, N., dan Glazer, R. (1987); Marketing and Technology: A strategic coalignment;
Journal of Marketing, 51: 1-14.
29
CIC Consulting Group. (2005); Studi tentang Industri Tekstil dan Produk Tekstil; The CIC
Consulting Group, Jakarta.
Clark, K., dan Hayes, R. (1985); ‘Exploring factors affecting innovation and productivity
growth within the business unit’, Dalam K. Clark and C. Lorenz (eds.), The Uneasy
Alliance: Managing the Productivity Technology Dilemma; Harvard Business School
Press, Boston, MA, 365-384.
Collis, D. (1991); A resource-based analysis of global competition: the case of the bearings
industry; Strategic Management Journal, 12: 49-68.
Conner, K. R. (1991); A historical comparison of resource-based theory and five schools of
thought within industrial organization economics: do we have a new theory of the
firm?; Journal of Management, 17(1): 121-154.
Council on Competitiveness, (1991); Gaining New Ground: Technology Priorities for
America’s Future; Council on Competitiveness, Washington, DC.
Day, G. S., dan Reibstein, D. J. (1997); Wharton on Dynamic Competitive Strategy; John
Wiley & Son, Inc.
DeSarbo, W., Di Benedetto, C. A., Song, M., dan Sinha, I. (2005); Revisiting the Miles and
Snow strategic framework: Uncovering interrelationships between strategic types,
capabilities,environmental uncertainty and firm performance; Strategic Management
Journal, 26:47-74.
Dicken, P. (2003); Global Shift, Reshaping the Global Economic Map in the 21st Century;
4th ed., The Guilford Press, New York.
Dill, W. R. (1976); Environment as an influence on managerial autonomy; Administrative
Science Quarterly, 409-443.
Emery, F. E., dan Trist, E. L. (1965); The causal texture of organizational environments;
Human Relations, 18: 21-31.
Firmanzah. (2003); Perceived Industrial Pressure – Firm Capability: Dynamic Relation; This
paper has been presented in the seminar of ‘Competitive Strategy : New Approach and
New Game’ 4 Novembre 2003 in University of Paris XII (Paris).
Franko, L.G. (1989); Global corporate competition: Who’s winning, who’s losing and the
R&D factor as one reason why; Research Management, 29 (4): 17-20.
Fusfeld, A. (1978); Technology Review; MIT Alumni Association.
30
Ghobadian, A., O’Regan, N., Gallear, D., dan Viney, H. (2004); Strategy and Performance
Achieving Competitive
Fuchs, P. H., Mifflin, K. E., Miller, D., dan Whitney, J. O. (2000); Strategic
integration:competing in the age of capabilities; California Management
Review,42(3): 118-147; Advantage in the Global Markets, Palgrave, New York.
Ghemawat, P., dan Nueno, J. L. (2006); ZARA: Fast Fashion; Harvard Business School
Publishing, Boston, MA.
Ginsberg, A., dan Venkatraman, N. (1985); Contingency perspectives of organizational
strategy: a critical review of the empirical research; Academy of Management
Review, 10(3): 421-434.
Hair, J. F., Tatham, R. L., Anderson, R. E., dan Black, W. (1998); Multivariate Data
Analysis(5th Edition); Prentice Hall, New Jersey.
Hambrick, D. (1980); Operationalizing the concept of business-level strategy in research;
Academy of Management Review, 5(4): 567- 575.
Hatten, K. J., dan Schendel, D. E. (1977); Heterogenenity within industry: firm conduct in
the U.S brewing industry, 1952-71; The Journal of Industrial Economics, 26(2): 97-
113.
Hatten, K. J., Schendel, D. E., dan Cooper, A. C. (1978); A strategic model of the U.S.
brewing industry: 1952-1971; Academy of Management Journal, 21(4): 592-610.
Helfat, CE. (2000); Guest editor’s introduction to the special issue; the evoloution of firm
capacities; Strategic Management Journal, Special issue 21 (10-11): 955-959.
Henderson, R., dan Mitchell, W. (1997); The interactions of organizational and competitive
influences on strategy and performance; Strategic Management Journal, 18: 5-14.
Hitt, M. A., Hoskisson, R. E., dan Ireland, R. D. (2007); Management Strategy: Concepts and
Cases; Thomson South-Western, Mason.
Hunt, S. D., dan Morgan, R.M. (1995); The Comparative Advantage Theory of Competition;
Journal of Marketing, 59(4): 1-15.
Itami, H., dan Numagami, T. (1992); Dynamic Interaction Between Strategy and
Technology; Strategic Management Journal 13 (Winter, 1992): 119-136.
Khandwalla, P. (1970); Environment and its impact on the organization, 297-313.
Khalil, T. M. (2000); Management of Technology:The Key to Competitiveness and Wealth
Creation; Singapore: McGraw-Hill Companies Inc.
31
Kilmann, R. H; Kilmann, I and Associates. (1991); Making organizations competitive:
Enhancing networks and relationships accross tradidional boundaries; California:
Jossey- Bass Inc.
Lawrence, P., dan Lorsch, J. (1967); Organization and Environment; Harvard University
Press, Boston.
Lawless, M. W., Bergh, D., dan Wilsted, W. D. (1989); Performance variations among
strategic group members: an examination of individual firm capability; Journal of
Management, 15(4): 649-661.
Lenz, R. T. (1980); Strategic capability: a concept and framework for analysis; Academy of
Management Review, 5(2): 225-234.
Lenz, R. T. (1981); ‘Determinants’ of organizational performance: an interdisciplinary
review; Strategic Management Journal, 2: 131-154.
Maidique, M,A., dan Patch, P. (1988); ‘Corporate strategy and technology policy’; Dalam
M.L. Tushman., dan W.L. Moore (eds), Reading in management of Innovation (2nd
ed), Balringer, Cambridge, MA: 236-248.
Marcus, A. A. (2006); Big Winner and Big Loosers; Upper Saddle River, New Jersey:
Wharton School Publishing.
Miller, G., Galanter, E dan Pribram, K.H. (1960); Plans and the Structure of Behavior,
London, Holt.
Mitchel, G. (1990); ‘Alternative frameworks for technology strategy’; European Journal of
Operational Research, 47 (4):153-161.
Morgan, R., dan Strong, C. (2003); Business performance and dimensions of strategic
orientation; Journal of Business Research, 56: 163-176.
Narayanan, V. K. (2001); Managing technology and Innovation for competitive advantage;
New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Parnell, J. A. (1997); New evidence in the generic strategy and business performance debate:
a research notes; British Journal of Management, 8:175-181.
Parnell, J. A. (2002); Competitive strategy research; Journal of Management Research, 2(1):
1-12.
Parnell, J. A. (2006); Generic strategies after two decades: A re-conceptualization of
competitive strategy; Management Decision, 44(8): 1139-1154.
32
Parnell, J. A, Wright, P., dan Tu, H. S. (1996); Beyond the strategy-performance linkage: the
impact of the strategy-organization-environment fit on business performance;
American Business Review, June: 41-50.
Penrose, E. (1959); The Growth of the Firm; Basil Blackwell, Oxford.
Pfeffer, J., dan Salancik, G. (1978); The External Control of Organization; Stanford Business
Book, California.
Porter, M. (1980); Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and
competitors; Free Press, New York.
Porter, M., (1983); ’ The technological dimension of competitive strategy’ dalam R.S.
Rosenbloom (ed); Research on Technological Innovation, Management and Policy, 1,
JAI Press, Greenwich, CT: 1-33.
Porter, M. (1985); Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance;
Free Press, New York.
Porter, M. (1996); On Competition; Harvard Business Review Book, Boston.
Raynor, M. E. (2007); The Strategy Paradox; Random House, New York.
Robins, J. A., dan Wiersema, M. (1995); A resource-based approach to the multibusiness
firm: emprical analysis of portfolio interrelationships and corporate financial
performance; Startegic Management Journal, 24 (1): 39-59.
Robinson Jr., R. B.., dan Pearce, J. A. (1988); Planned patterns of strategic behavior and their
relationship to business-unit performance; Strategic Management Journal, 9: 43-60.
Schendel, D., dan Patton, G. R. (1978); A simultaneous equation model of corporate strategy;
Management Science, 24(15): 1611-1621.
Schumpeter, J. A. (1934); The Theory of Economic Development; Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Tan, J dan Litschert, R. (1994); Environment-strategy relationship and its performance
implications: an empirical study of the Chinese electronics industry; Strategic
Management Journal, 15: 1-20.
Tan, J., dan Tan, D. (2005); Environment-strategy co-evolution and co-alignment: a staged
model of Chinese SOEs under transition; Strategic Management Journal, 26: 141-157.
Teece, D. J., Pisano, G., dan Shuen, A. (1997); Dynamic capabilities and strategic
management; Strategic Management Journal, 18(8): 509-533.
Thompson, J.(1967); Organizations in Action; Transaction Publisher, New Brunswick.
33
Tvorik, S., dan McGivern, M. (1997); Determinants of organizational performance;
Management Decision, 35(6): 417-435.
White, R., dan Hamermesh, R. (1981); Toward a model of business unit performance: an
integrative approach; Academy of Management, 6(2): 213-223.
Wijanto, S, H. (2007); Structural Equation Modeling dengan Lisrel 8.8; Konsep & Tutorial:
Graha Ilmu, Yogyakarta.
Zahra, S. A., dan Covin, J. G. (1993); Business Strategy, Technology Policy and Firm
Performance; Strategic ManagementJournal, 14: 451-478.
34
Analisis Pengaruh Aliran Modal dan Faktor Eksternal Terhadap Term
Structure Interest Rate Obligasi Pemerintah Indonesia (SUN)6
Pardomuan Sihombing7, Hermanto Siregar8, Adler H. Manurung9, Perdana W. Santosa10
Indonesian government bond market has developed so rapidly, this study aimed to
investigate the effect of capital flows and external factors on the term structure of interest rate
Indonesian government bonds (SUN). Yield spreads in this study using a long-term
government bonds (10 years) and short-term (3 months). This study uses a portion of foreign
investor ownership (FP), reserves (CD), Hang Seng Index (HSI), DOW Jones index (DOW),
oil prices (OIL), and the Federal Funds Rate (FFR) as a proxy of capital flows and external
factors for the period July 2003 to December 2011. The research shows that YS influenced by
the FFR.
Keywords: yield spread, capital flows, external factors, Indonesian government bonds
6 Makalah ini adalah bagian dari Disertasi yang disampaikan pada seminar Sekolah Pascasarjana IPB
7 Mahasiswa Program Doktor Manajemen dan Bisnis IPB
8 Dosen Program Doktor MB IPB
9 Dosen Program Doktor MB IPB
10 Dosen Program Doktor MB IPB
35
ANALISIS PENGARUH ALIRAN MODAL DAN FAKTOR EKSTERNAL
TERHADAP TERM STRUCTURE INTEREST RATE OBLIGASI PEMERINTAH
INDONESIA (SUN)
Pendahuluan
Latar Belakang
Pasar obligasi memerankan peran penting sebagai salah satu alternatif sumber
pembiayaan di masa pertumbuhan ekonomi dunia dewasa kini. Setelah krisis keuangan Asia
pada 1997, pemerintah Indonesia telah memulai secara aktif utilisasi obligasi sebagai sumber
utama bagi pembiayaan jangka panjang. Pendanaan melalui obligasi dalam negeri berguna
untuk penguatan sistem keuangan suatu negara dan mengurangi potensi guncangan krisis
keuangan di masa mendatang (Fabella dan Madhur, 2003). Pemerintah Indonesia memandang
perlu untuk menutup defisit anggaran belanja pemerintah melalui pinjaman yang bersumber
dari dalam negeri. Mengingat tingkat fleksibilitas dan dependensi yang tinggi terhadap negara
donor, menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah Indonesia untuk beralih dari pembiayaan
luar negeri ke pembiayaan dalam negeri.
Pembiayaan dalam negeri dilakukan dengan penerbitan obligasi pemerintah (SUN).
Dengan penerbitan obligasi, pemerintah turut membentuk dan memajukan pasar obligasi di
Indonesia. Pemerintah memandang perlu untuk terus-menerus mengembangkan pasar obligasi
di Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Surat Utang dan Bapepam. Hal ini
tercermin dari upaya pemerintah mengembangkan pasar obligasi secara bertahap dengan
mempersiapkan aturan hukum dan infrastruktur penunjang pasar untuk mencapai kondisi
pasar obligasi yang likuid dan efisien. Pemerintah setiap tahunnya menerbitkan obligasi untuk
pendanaan yang berdampak terhadap peningkatan outstanding (jumlah) obligasi pemerintah
di pasar obligasi dalam negeri. Tahun 2005 pemerintah hanya menerbitkan Rp. 47 triliun,
dengan jumlah obligasi sebesar Rp. 399,86 triliun. Sedangkan pada tahun 2011, obligasi
pemerintah diterbitkan sebesar Rp. 207,1 triliun dangan jumlah obligasi yang beredar sebesar
Rp. 723,61 triliun. Perkembangan obligasi pemerintah yang sangat pesat dapat dilihat pada
gambar 1.
36
Gambar 1. Perkembangan Obligasi Pemerintah (SUN) Indonesia
399.86 418.75477.75
525.70581.75
641.22723.61
47.0 61.0100.0 126.2
148.5 167.6 207.1
0100200300400500600700800
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Outstanding Obligasi Pemerintah
Penerbitan Obligasi Pemerintah
(Rp. Triliun)
Sumber: Publikasi DMO, Depkeu
Data DMO Depkeu menyebutkan bahwa pada Desember tahun 2011 proporsi
kepemilikan obligasi pemerintah Indonesia oleh perbankan di Indonesia adalah sebesar
36,63% (Rp. 265,03 trilyun), sedangkan proporsi kepemilikan obligasi pemerintah oleh non
bank adalah sebesar 62,29% (Rp. 450,75 triliun). Hal ini menunjukkan bahwa pihak bank
maupun non bank (lihat tabel 1) memandang asset obligasi sebagai investasi yang
menguntungkan. Obligasi pemerintah dipilih karena dipandang memiliki risiko investasi yang
lebih rendah jika dibandingkan dengan obligasi korporasi. Dengan demikian hampir sebagian
besar investor lebih memilih untuk menjadikan obligasi pemerintah sebagai salah satu
komponen asset-nya. Berbagai pihak yang berperan sebagai investor atas obligasi pemerintah
berinvestasi guna memperoleh pendapatan bunga (interest income) dan keuntungan dari
selisih harga beli-jual obligasi (capital gain).
37
Tabel 1. Kepemilikan SBN yang dapat diperdagangkan (Rp. Triliun)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Bank: 289.65 269.11 268.65 258.75 254.36 217.27 265.0
Bank BUMN Rekap 154.5 152.76 154.67 144.72 144.19 131.72 148.64
Bank Swasta Rekap 85.38 80.79 72.63 61.67 59.98 54.93 67.33
Bank Non Rekap 32.4 32.78 35.37 45.17 42.40 26.26 42.84
BPD Rekap 1.18 2.78 5.97 6.5 6.02 1.41 4.32
Bank Syariah 0.00 0.00 0.00 0.69 1.77 2.95 1.90
Bank Indonesia* 10.52 7.54 14.86 23.01 22.50 17.42 7.84
Non-Banks: 99.67 142.1 194.24 243.93 304.89 406.53 450.75
Reksadana 9.12 21.43 26.33 33.11 45.22 51.16 47.22
Asuransi 32.3 35.04 43.47 56.95 72.58 79.30 93.09
Asing 31.09 54.92 78.16 86.02 108.00 195.76 222.86
Dana Pensiun 22.02 23.08 25.5 33.41 37.50 36.75 34.39
Sekuritas 0.46 1.00 0.28 0.63 0.46 0.13 0.14
Lain-lain 4.68 6.63 20.5 33.60 41.12 43.43 53.05
Total 399.84 418.75 477.75 534.89 581.75 641.21 723.61 Sumber: Publikasi DMO, Depkeu
Pedoman umum yang digunakan oleh para investor dan pelaku pasar untuk dapat
memantau perkembangan nilai portfolio obligasi pemerintah yang dimiliki adalah dengan
memantau perkembangan pergeseran term structure interest rate. Yield curve yang diproxikan
dengan yield spread bergerak ditentukan faktor fundamental ekonominya (Min, 1998).
Penelitian ini melanjutkan studi yang dilakukan Sihombing et al. (2012) yang
sebelumnya menganalisis pengaruh makro ekonomi terhadap term structure interest rate pada
obligasi pemerintah Indonesia (SUN). Sihombing et al. (2012) menemukan adanya tren
penurun yield spread pada obligasi pemerintah Indonesia (SUN) mengikuti pertumbuhan
ekonomi yang terjaga baik. Kondisi fundamental ekonomi yang membaik, membuat investor
asing akan masuk dan terjadi aliran modal (capital inflow). Capital inflow ini pada akhirnya
akan menyebabkan mata uang rupiah menguat dan sebagian capital inflow akan
diinvestasikan dalam portofolio obligasi.
Dalam era globalisasi dengan tidak jelasnya lagi batasan negara membuat bursa antar
negara dan faktor eksternal saling terkait. Gejolak pasar keuangan yang terjadi pada tahun
2008 (kasus subprime mortgage di Amerika Serikat) adalah contoh bahwa pasar keuangan
saling berhubungan secara signifikan. Sebagaian besar emerging market sangat dipengaruhi
oleh volatilitas pasar global Marcilly (2009). Sehingga penelitian pengaruh aliran modal dan
faktor eksternal menjadi penting untuk dilakukan.
38
Bagi pemerintah mengetahui pengaruh aliran modal dan faktor eksternal yang
mempengaruhi yield curve obligasi pemerintah dapat menjadi strategi untuk mengembangkan
pasar obligasi dan memperoleh pendanaan dengan cost of fund yang murah. Analisa terhadap
pergerakan yield curve menjadi hal yang penting untuk dipahami oleh para investor dan
pelaku pasar untuk meningkatkan kinerja portfolio investasinya.
Tujuan Penelitian
Perkembangan obligasi pemerintah Indonesia (SUN) dan pergerakan term structure
interest rate yang mendorong penelitian ini untuk melakukan investigasi terhadap aliran
modal dan faktor eksternal mana yang berperan penting mempengaruhi pergerakan term
structure interest rate pada obligasi pemerintah Indonesia (SUN).
Tinjauan Literature
Tinjauan Teoritis
Menurut Fabozzi (2002), imbal hasil atau yield obligasi adalah ukuran tingkat
pengembalian potensial dari obligasi tersebut. Menurut Martelli, Priaulet, dan Priaulet (2003),
Imbal Hasil atau Term Structure of Interest Rate (TSIR) merupakan serangkaian tingkat
bunga yang diurut berdasarkan waktu jatuh tempo tertentu. Nilai dan kondisi dari tingkat
bunga akan menentukan nilai dan kondisi dari struktur waktu yang pada akhirnya akan
menghasilkan kurva imbal hasil. Menurut Nawalkha dan Soto (2009) istilah TSIR, disebut
juga dengan kurva imbal hasil (yield curve), didefinisikan sebagai hubungan antara hasil
investasi (imbal hasil) dengan jatuh tempo investasi.
Kurva imbal hasil biasanya diestimasi dengan menggunakan imbal hasil obligasi
diskonto yang disetahunkan kemudian dihitung dengan metode bunga berbunga (continuously
compounded). Kurva imbal hasil tidak dapat diobservasi secara langsung akibat tidak adanya
obligasi diskonto yang memiliki tanggal jatuh tempo yang berkelanjutan. Sebagai
konsekuensinya, kurva imbal hasil biasanya diestimasi dengan menerapkan metode struktur
waktu yang membentuk obligasi yang memiliki kupon dengan waktu jatuh tempo yang
berbeda-beda. Terdapat 4 (empat) teori yang menjelaskan terbentuknya kurva imbal hasil
(Martelli, Priaulet dan Priaulet, 2003) yaitu:
1. The Pure Expectations Theory, kurva imbal hasil pada suatu waktu tertentu
menggambarkan ekspektasi tingkat bunga jangka pendek di masa yang akan datang.
39
Peningkatan/penurunan pada imbal hasil merupakan peningkatan/penurunan pada tingkat
bunga jangka pendek.
2. The Pure Risk Premium Theory, terdapat dua versi dalam menggambarkan bentuk dari
resiko premium yaitu The Liquidity Premium dan The Preferred Habitat. The Liquidity
Premium mengemukakan bahwa investor lebih tertarik untuk mempertahankan obligasi
dengan masa jatuh tempo yang lebih lama dengan harapan obligasi memberikan tingkat
pengembalian yang tinggi (pada tingkat risiko premium tertentu) sehingga mampu
menyeimbangkan volatilitas yang tinggi dari obligasi tersebut. The Preferred Habitat,
mengemukakan bahwa investor tidak selalu berniat untuk melikuidasi investasinya secepat
mungkin, biasanya dipengaruhi oleh kondisi kewajiban investor.
3. The Market Segmentation Theory, dalam kerangka pemikiran teori ini, ada beberapa
kategori investor yang terdapat di pasar dengan kondisi masing-masing investor
berinvestasi pada segmen tertentu sesuai dengan kewajibannya tanpa pernah berpindah ke
segmen lain.
4. The Biased Expectations Theory, merupakan kombinasi dari Pure Expectations Theory dan
Risk Premium Theory. Teori ini menyimpulkan bahwa kurva imbal hasil mencerminkan
ekspektasi pasar akan tingkat bunga di masa yang akan datang dengan tingkat likuiditas
yang tidak tetap dari waktu ke waktu.
Penelitian Terdahulu
Penelitian sebelumnya yang membahas tentang determinan yield spread di negara
berkembang dan utang luar negeri adalah Min (1998), Eichengreen dan Mody (1998),
Ferrucci (2003), Baek et al. (2005), Grandes (2007), Baldacci et al (2008), Gibson et al.
(2011), dan Sihombing et al (2012). Yield spread yang mencerminkan premi risiko,
diperlukan untuk mendorong debitor untuk meminjamkan kepada peminjam, biasanya
dimodelkan sebagai fungsi dari probabilitas default dan kerugian yang diantisipasi. Hal ini
pada gilirannya akan berhubungan dengan kondisi fundamental yang dapat dikelompokkan ke
dalam tiga kategori besar, ekonomi makro, guncangan eksternal, dan aliran modal. Secara
umum, literatur terdahulu menemukan dukungan untuk masing-masing determinan yield
spread.
Min (1998) menganalisa determinan dari yield spreads obligasi dari 11 negara
berkembang dalam kurun waktu 1991 sampai dengan 1995. Min (1998) menyimpulkan
40
bahwa kemampuan mengakses pasar luar negeri sangat ditentukan faktor fundamental dalam
negeri dan faktor eksternal. Oleh karena itu disarankan agar negara-negara berkembang yang
ingin mencari akses yang lebih besar terhadap pasar obligasi internasional harus
meningkatkan fundamental makro ekonominya.
Sihombing et al. (2012) melakukan penelitian terhadap obligasi pemerintah Indonesia
(SUN) dengan menggunakan data dari Juli 2003 sampai Desember 2011. Penelitian tersebut
menemukan adanya tren penurunan dari yield spread obligasi pemerintah Indonesia selama
periode penelitian akibat faktor fundamental ekonomi Indonesia yang terjaga baik. Faktor
makro ekonomi consumer price index (CPI) berpengaruh positif terhadap yield spread
obligasi pemerintah Indonesia dan suku bunga Bank Indonesia (BI rate) berpengaruh negatif
terhadap yield spread.
Eichengreen dan Mody (1998) menegaskan arti penting faktor eksternal selain faktor
fundamental dalam analisis sentimen pasar. Dengan menganalisis hampir 1.000 data obligasi
negara berkembang yang diterbitkan antara tahun 1991 sampai dengan tahun 1996, ditemukan
bahwa yield spreads obligasi bergantung pada issue size, credit rating issuer, debt to GDP,
dan debt service to export ratio. Kesimpulan utama dari penelitian ini bahwa perubahan
dalam sentimen pasar, tidak hanya bergantung pada fundamental makroekonomi, tetapi juga
faktor pasar atau faktor eksternal.
Gibson et al. (2011) menyatakan risiko likuiditas atau aliran modal berkaitan dengan
kemampuan suatu negara untuk mengakses mata uang asing yang dibutuhkan untuk menjual
obligasinya, seperti pertumbuhan ekspor dan rasio cadangan devisa terhadap PDB yang
berpengaruh negatif terhadap yield spread. Sedangkan, debt service ratio (pembayaran
hutang/ekspor) berpengaruh positif terhadap yield spread. Marcilly (2009) menemukan
adanya partisipasi investor asing di obligasi mata uang lokal, yield spread obligasi pemerintah
dan nilai tukar di pasar obligasi negara berkembang terutama Indonesia dan Malaysia.
Peiris (2010) melakukan penelitian mengenai partisipasi investor asing terhadap
obligasi domestik di 10 negara berkembang periode 2000-2009. Hasil penelitian menemukan
bahwa meningkatnya kepemilikan investor asing akan menurunkan yield jangka panjang
secara signifikan. Hasil penelitian juga menemukan dengan meningkatnya kepemilikan
investor asing tidak serta merta meningkatkan volatilitas yield obligasi di negara-negara
berkembang.
41
Untuk ekonomi emerging market, harga minyak (oil price) dan suku bunga
internasional cenderung menjadi sumber yang paling penting dari guncangan eksternal
Gibson et al. (2011). Tingkat suku bunga biasanya ditunjukkan oleh tingkat bunga yang
berdenominasi dolar AS, karena dominasi utang emerging market dalam mata uang dolar.
Ferruci (2003) menemukan yield spread dipengaruhi secara positif oleh faktor eksternal
(risiko pasar) dengan menggunakan proxy indeks saham S&P 500. Arora dan Cerisola (2000),
Min et al. (2003), dan Ferrucci (2003) menemukan bahwa tingkat suku bunga The Fed sangat
berpengaruh terhadap yield spread.
Baek et al. (2005) membuat indeks risk appetite untuk negara maju dan berkembang
berdasarkan rangking koefisien korelasi antara return pasar dan volatilitas. Ditemukan
korelasi positif terhadap return pasar dan volatilitas bagi risk-seeking dan korelasi negatif bagi
risk-avoiding. Risk appetite yang lebih besar diharapkan akan negatif terkait dengan
keseluruhan tingkat yield spread. Ukuran alternatif dari penghindaran risiko global yang
digunakan oleh Grandes (2007) adalah indeks obligasi korporasi AS yang ratingnya dinilai
BB (junk bonds).
Faktor tambahan yang dianggap mempengaruhi yield spread di pasar negara
berkembang adalah risiko politik (Baldacci et al., 2008). Makna potensi variabel ini berasal
dari penelitian Eaton dan Gersovitz (1981), yang menarik adalah pada pentingnya kesediaan
untuk membayar dan bukan hanya kemampuan untuk membayar sebagai penentu
kemungkinan default. Baldacci et al. (2008) mengukur risiko politik dengan mengunakan
komponen first principal World Bank Governance Index dan indeks kebebasan ekonomi
Heritage Foundation. Hasilnya ditemukan signifikan positif determinan yield spread (yaitu,
peningkatan risiko politik mempengaruhi kenaikan yield spread).
Penelitian sebelumnya juga menyelidiki sejauh mana pengaruh krisis ekonomi
terhadap pergerakan yield spread di negara berkembang. Grandes (2007), dalam studinya
tentang negara Amerika latin untuk periode 1993-2001, menggunakan variabel dummies
untuk melihat pengaruh krisis dari Meksiko, Rusia dan Brasil. Ketiga dummies yang
ditemukan sangat signifikan. Sebaliknya, Min (1998) tidak menemukan bukti bahwa krisis
Meksiko mempengaruhi pergerakan yield spread di negara-negara berkembang.
42
Metode Penelitian
Pengumpulan Data dan Metode Analisis
Data penelitian ini merupakan data sekunder berbentuk time-series bulanan mulai Juli
2003 hingga Desember 2011 yang bersumber sebagai berikut:
Tabel 2. Operasional Variabel dan Sumber Data
Variabel Sumber Tipe Periode
YS Bloomberg Bulanan Juli 2003-Desember 2011
FP DMO Bulanan Juli 2003-Desember 2011
CD Bank Indonesia Bulanan Juli 2003-Desember 2011
HSI Bloomberg Bulanan Juli 2003-Desember 2011
DOW Bloomberg Bulanan Juli 2003-Desember 2011
OIL Bloomberg Bulanan Juli 2003-Desember 2011
FFR Bloomberg Bulanan Juli 2003-Desember 2011
Semua variabel tersebut dalam berbentuk logaritma (log), kecuali variabel yield
spread (YS) yang dinyatakan dalam persentase.
Model Empiris
Berdasarkan tinjauan literatur di atas, model faktor aliran modal dan faktor eksternal
yang mempengaruhi pergerakan yield spread adalah berikut ini :
DYSt = β0 + β1 D(LOG(FP))t + β2 D(LOG(CD))t + β3 D(LOG(HSI))t + β4
D(LOG(DOW))t + β5 D(OIL)t + β6 D(LOG(FFR))t + εt (1)
keterangan:
YS : Yield Spread obligasi pemerintah 10 tahun dengan 3 bulan (%)
FP : Porsi Kepemilikan Asing di Obligasi Pemerintah (Rp. Triliun)
CD : Cadangan Devisa (USD Miliar)
HSI : Indeks Hang Seng (Nominal)
DOW : Indeks Dow Jones (Nominal)
OIL : Harga Minyak Dunia (USD/barrel)
FFR : Suku Bunga The Fed (Persentase)
εt : Residual
43
Metodologi Penelitian
Sebelum dianalisis, untuk setiap kelompok data, akan dilakukan uji stasioneritas
dengan tes unit root. Jika data sudah stasioner, akan langsung dilakukan estimasi parameter
dengan menggunakan ordinary least square (OLS). Untuk memastikan model yang diperoleh
sudah layak, akan dilakukan pengujian asumsi-asumsi klasik dalam OLS. Model dilakukan
tes untuk menghindari pelanggaran terhadap asumsi multikolinieritas, otokorelasi,
heteroskedastisitas. Uji otokorelasi akan dilakukan dengan tes Durbin Watson (DW) untuk
residual. Uji multikolinieritas akan dilakukan dengan melihat matriks korelasi. Untuk asumsi
homoskedastisitas, penulis akan melakukan uji white untuk mengujinya.
Hasil dan Pembahasan
Perkembangan Term Structure Interest Rate Obligasi Pemerintah (SUN)
Yield spread (YS) obligasi pemerintah Indonesia selama periode penelitian
mengalami fluktuasi akibat pengaruh dari faktor domestik, aliran modal dan eksternal.
Pada Awal tahun 2004 yield spread mengalami peningkatan akibat adanya agenda
pemilu pada Mei 2004. Ekspektasi peningkatan risiko menjelang pemilu diantisipasi
dengan peningkatan yield spread. Selanjutnya, yield spread cenderung turun, bahkan
sampai pada level 0,71% pada Agustus 2005. Hal ini dikarenakan kenaikan harga
minyak dunia hingga USD 51,76/barel, yang sebelumnya hanya USD 33,05/barel.
Kenaikan harga minyak membuat inflasi meningkat mencapai level tertingginya sebesar
7,20% pada bulan Juli 2005. Kenaikan inflasi mendorong Bank Indonesia menaikkan BI
rate.
Sepanjang tahun 2006 hingga pertengahan tahun 2008 yield spread mengalami
sideways dengan kecenderungan menurun akibat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
terus meningkat. Tahun 2008, Amerika Serikat mengalami krisis subprime mortgage
yang diikuti kenaikan harga minyak dunia yang mencapai USD 140/barel pada bulan
Juni 2008. Guncangan krisis yang terjadi di Amerika Serikat membuat fund manager
internasional menjual asset investasi mereka yang ada di negara berkembang termasuk
Indonesia. Kepemilikan investor asing di obligasi pemerintah mengalami penurunan dari
Rp. 106,66 triliun menjadi Rp.79,83 triliun. Penjualan obligasi oleh investor asing
berdampak kepada penurunan cadangan devisa sebesar USD 9,99 miliar. Kondisi ini
44
berdampak terhadap kurs rupiah mengalami pelemahan hingga Rp. 12.151/US dolar,
akibat adanya capital outflow.
Gambar 2. Pergerakan Yield Spread Obligasi Pemerintah (SUN) Indonesia
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
YS (Yield Spread)
(%) Inflasi 4,60%(27/2/2004)
Kenaikan BBM, Inflasi 18,38%(29/08/05)
Krisis AS, Oil USD 140/barel, Inflasi 12,14%
(22/08/08)
Sumber: Bloomberg dan diolah kembali
Krisis yang terjadi di Amerika Serikat berdampak terhadap kenaikan harga
minyak dunia, sehingga berpengaruh terhadap kenaikan inflasi yang mencapai 12,14%
pada bulan September 2008. BI rate kembali meningkat mengikuti kenaikan inflasi
hingga ke level 9,50%. Kenaikan BI rate kembali di respon oleh yield jangka pendek
dengan kenaikan yang lebih besar dibandingkan yield obligasi jangka panjang. Namun,
yield spread pada tahun 2008 tidak mengalami negatif spread. Setelah tahun 2008
sampai akhir tahun 2011 yield spread cenderung stabil akibat faktor domestik, aliran
modal dan eksternal cenderung stabil.
Pembahasan mengenai perkembangan yield spread selama periode penelitian
memberikan informasi bahwa yield spread sangat dipengaruhi oleh faktor makro
ekonomi, aliran modal dan faktor eksternal. Pertumbuhan ekonomi Indonesia membuat
yield spread cenderung menurun di masa ekonomi ekspansi dan begitu sebaliknya, hal ini
sesuai dengan temuan dari Min (1998) dan Sihombing et al. (2012). Faktor aliran modal dan
faktor ekternal juga berpengaruh terhadap pergerakan yield spread sesuai dengan penelitian
Gibson et al. (2011), Min (1998), dan Eichengreen dan Mody (1998).
45
Hasil dan Analisis
Statistik Deskriptif
Tabel 3 menunjukkan variabel yield spread (YS) memiliki nilai rata-rata (mean)
dan nilai tengah (median) yang positif. YS memiliki nilai mean 2,92%, nilai maksimum
dari yield spread sebesar 5,64%. Sedangkan nilai minimum YS sebesar 0,39%. Standar
deviasi digunakan untuk mengukur risiko dari suatu asset, YS memiliki standar deviasi
tertinggi sebesar 1,27%.
Tabel 3. Statistik Deskriptif Data Penelitian
YS FP CD HSI DOW OIL FFR
Mean 2.92 84.55 57.23 18,299.91 10,959.50 70.07 2.09
Median 2.95 79.33 50.90 18,351.54 10,796.96 69.67 1.25
Maximum 5.64 248.87 124.64 31,352.58 13,930.01 140.00 5.25
Minimum 0.39 4.23 30.32 10,134.83 7,062.93 29.11 0.25
Std. Dev. 1.27 69.49 25.30 4,554.69 1,411.42 23.83 1.92
Skewness -0.07 0.81 1.21 0.29 -0.11 0.39 0.57
Kurtosis 2.68 2.66 3.48 2.37 2.90 2.88 1.75
Observations 102 102 102 102 102 102 102
Faktor Aliran Modal Faktor Eksternal
Statistik deskriptif menunjukkan nilai rata-rata (mean) dari data porsi kepemilikan
investor asing di Obligasi Pemerintah (FP) sebagai proksi aliran modal sebesar Rp. 84,55
triliun, sedangkan kepemilikan tertinggi sebesar Rp. 248,87 triliun dan kepemilikan terendah
sebesar Rp. 4,23 triliun. Data cadangan devisa (CD) memiliki nilai rata-rata sebesar USD
57,23 miliar, sedangkan posisi tertinggi sebesar USD 124,64 miliar dan terendah USD 30,32.
Selama periode penelitian indeks Hang Seng (HSI) sebagai bursa utama Asia memiliki nilai
rata-rata sebesar 18.299,91. HSI sempat menguat ke level 31.352,58 dan melemah sampai
level 10.134,83.
Indeks Dow Jones (DOW) sebagai bursa utama dunia rata-rata sebesar 10.959,50
selama 8 tahun, dengan level teringgi 13.930,01 dan level terendah 7.062,93. Harga minyak
dunia (OIL) selama periode penelitian memiliki nilai tertinggi sebesar USD 140,00 dan
terendah USD 29,11, dengan nilai rata-rata USD 70,07/barrel. Suku Bunga The Fed (FFR)
selama periode penelitian rata-rata sebesar 2,09% dengan level tertinggi 5,25% dan level
terendah 0,25%.
46
Hasil Tes Unit Root
Pada tahap pertama, yang dilakukan adalah uji akar unit (stasioneritas). Menurut
Gujarati (2003) kondisi stasioner terpenuhi apabila satu rangkaian data runtut waktu (time
series) memiliki nilai rata-rata (mean) dan variance (variance) yang konstan sepanjang waktu.
Semua data yang digunakan dipilih dalam bentuk logaritma (log) kecuali data yang sudah
dalam bentuk persentase, alasannya adalah untuk menyerderhanakan analisis. Hasil uji akar
unit tersaji dalam tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Hasil Tes Unit Root
Variabel Level First Differentiation
YS -3.211955** -12.01435***
log(FP) -1.608931 -7.720546***
log(CD) 0.71938 -8.086007***
log(HSI) -2.286705 -8.671682***
log(DOW) -2.79401* -8.396881***
log(OIL) -2.210842 -7.719198***
log(FFR) -0.746016 -4.411052***
Berdasarkan hasil pengujian unit root seperti yang di sajikan pada tabel 4, terlihat
bahwa data variabel stasioner pada nilai first difference dengan α= 1%. Karena data sudah
stasioner, maka estimasi model seperti persamaan (1) dapat dilakukan.
Hasil Pengolahan Data
Hasil regresi menunjukkan bahwa hanya FFR berpengaruh signifikan pada level
α=10% terhadap pergerakan term structure interest rate obligasi pemerintah. Variabel
lainnya tidak berpengaruh signifikan terhadap pergerakan term structure interest rate.
Tabel 5. Hasil regresi terhadap term structure interest rate obligasi pemerintah Dependent Variable: D(LOG(YS))
Method: Least Squares
Date: 10/27/12 Time: 09:56
Sample (adjusted): 2003M08 2011M12
Included observations: 101 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(LOG(CD)) 1.581583 1.082693 1.460786 0.1474
D(LOG(FP)) -0.293801 0.393909 -0.745860 0.4576
D(LOG(HSI)) 1.177430 0.842160 1.398107 0.1653
D(LOG(DOW)) -1.342514 1.283142 -1.046271 0.2981
D(LOG(OIL)) -0.752523 0.484388 -1.553555 0.1236
D(LOG(FFR)) 0.447062 0.238921 1.871170 0.0644 R-squared 0.070603 Mean dependent var -0.002898
47
Adjusted R-squared 0.021687 S.D. dependent var 0.378588
S.E. of regression 0.374461 Akaike info criterion 0.930909
Sum squared resid 13.32098 Schwarz criterion 1.086263
Log likelihood -41.01090 Hannan-Quinn criter. 0.993800
Durbin-Watson stat 2.367268
Untuk melihat kelayakan model, maka dilakukan uji multikolinieritas,
heterokedastisitas dan autokorelasi.
Hasil Pengujian Multikolinieritas
Uji multikolinieritas bertujuan untuk mengetahui apakah antar variabel bebas saling
berhubungan secara linier. Pengujian ini dilakukan dengan melihat dari nilai koefisien
korelasi antar variabel bebas dalam model regresi. Hasil uji multikolinieritas dapat dilihat
pada tabel 6.
Tabel 6. Matriks Korelasi Variabel D(LOG(YS)) D(LOG(CD)) D(LOG(FP)) D(LOG(HSI)) D(LOG(DOW)) D(LOG(OIL)) D(LOG(FFR))
D(LOG(YS)) 1.00000 0.10369 -0.03677 0.07403 -0.00310 -0.04202 0.14113
D(LOG(CD)) 0.10369 1.00000 0.26836 0.28666 0.32643 0.29109 0.06707
D(LOG(FP)) -0.03677 0.26836 1.00000 0.25093 0.26966 0.20963 0.12804
D(LOG(HSI)) 0.07403 0.28666 0.25093 1.00000 0.70056 0.48811 0.18997
D(LOG(DOW)) -0.00310 0.32643 0.26966 0.70056 1.00000 0.36963 0.20091
D(LOG(OIL)) -0.04202 0.29109 0.20963 0.48811 0.36963 1.00000 0.35909
D(LOG(FFR)) 0.14113 0.06707 0.12804 0.18997 0.20091 0.35909 1.00000
Berdasarkan matriks koefisien korelasi pada tabel 6 di atas, tidak didapatkan nilai
koefisien korelasi yang lebih besar dari +0,8 atau lebih kecil dari -0,8 (Gujarati, 2003).
Karena itu, dapat dikatakan tidak ada masalah antar ariable dengan multikolinieritas.
Hasil Pengujian Heteroskedastisitas
Uji heterokedastisitas juga dilakukan pada penelitian ini. Uji yang digunakan adalah
uji White Heterocedasticity. Hasil uji heterokedastis menunjukkan bahwa model sudah
homokedastis. Hal ini terlihat dari nilai F-statistic yang lebih besar dari α=5%.
Tabel 7. Hasil uji White Heteroscedasticity Heteroskedasticity Test: White
F-statistic 1.068242 Prob. F(27,73) 0.3989
Obs*R-squared 28.60392 Prob. Chi-Square(27) 0.3804
Scaled explained SS 63.28977 Prob. Chi-Square(27) 0.0001
48
Hasil Pengujian Otokorelasi
Autokorelasi dapat dideteksi dengan menggunakan uji Durbin-Watson (DW). Model
terbebas dari autokorelasi jika nilai DW terletak didaerah penerimaan no autocorrelation (1,5
≤ DW ≤ 2,5). Pada hasil output menunjukkan bahwa nilai DW sebesar 2,36, sehingga hasil
regresi tidak memiliki masalah otokorelasi.
Pembahasan Hasil Penelitian
Model telah melewati pengujian multikolinieritas, heterokedastisitas, dan autokorelasi
menunjukkan bahwa model sudah memenuhi asumsi BLUE (best liniear unbiased estimates).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap pergerakan
YS adalah FFR dengan signifikansi pada level α=10%. Sedangakan CD, FP, HSI, DOW, dan
OIL tidak berpengaruh terhadap pergerakan YS. FFR memiliki koefisien positif terhadap YS.
Hasil ini konsisten dengan penelitian Arora dan Cerisola (2000), Min et al. (2003), Ferrucci
(2003), dan Gibson et al. (2011). FFR merupakan proxy dari faktor eksternal. Kenaikan FFR
mengindikasikan adanya peningkatan risiko perekonomian dunia, sehingga membuat YS
(yield spread) meningkat.
.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan menginvestigasi perkembangan yield spread pada obligasi
pemerintah (SUN) Indonesia dan pengaruh faktor aliran modal dan faktor eksternal yang
mempengaruhinya. Adapun temuan dari penelitian ini, perkembangan yield spread obligasi
pemerintah Indonesia (SUN) selama periode penelitian mengalami fluktuasi yang disebabkan
oleh faktor makro ekonomi, faktor aliran modal dan faktor eksternal. Yield spread SUN
selama periode penelitian mengalami tren penurunan, hal ini mengindikasikan bahwa
perekonomian Indonesia sedang mengalami pertumbuhan. Penelitian ini menemukan yield
spread dipengaruhi oleh suku bunga The Fed (FFR) secara positif. Peningkatan YS (yield
spread) disebabkan yield obligasi jangka panjang lebih berfluktuasi dibanding yield obligasi
jangka pendek ketika FFR mengalami kenaikan. Temuan dalam penelitian ini menambah
wawasan mengenai faktor aliran modal dan faktor eksternal yang mempengaruhi pergerakan
yield spread obligasi pemerintah (SUN), sehingga diharapkan bermanfaat bagi investor dan
emiten dalam membuat kebijakan investasi dan keputusan pembiayaan.
49
Implikasi Manajerial
Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi investor atau portfolio manajer dalam
mengambil keputusan investasi di obligasi pemerintah Indonesia (SUN). Dengan mengetahui
pengaruh faktor aliran modal dan faktor ekternal terhadap pergerakan yield spread, investor
dan portfolio manager dapat membentuk portfolio investasi dengan return yang lebih baik.
Bagi pembuat kebijakan (policy maker) dapat memperhatikan faktor aliran modal dan faktor
ekternal yang berpengaruh terhadap yield spread dalam rangka membangun pasar obligasi
pemerintah yang baik sebagai alternatif pembiayaan ekonomi nasional yang memiliki
fleksibilitas, biaya lebih murah, dan risiko yang minimal.
Saran
Penelitian ini terbatas hanya meneliti pengaruh faktor aliran modal dan faktor ekternal
terhadap yield spread obligasi pemerintah dengan 10 (sepuluh) tahun terhadap tenor 3 bulan.
Saran terhadap penelitian berikutnya adalah dapat dilakukan penelitian terhadap pengaruh
terhadap faktor aliran modal dan faktor eksternal terhadap yield spread obligasi korporasi.
Penelitian selanjutnya juga dapat dilakukan pengujian terhadap yield spread dengan jangka
waktu 10 tahun terhadap 6 dan 12 bulan.
Daftar Pustaka
Arora, V., dan Cerisola, M. (2001); How Does U.S. Monetary policy Influence Sovereign
Spreads in Emerging market?; Vol. 48 (3) pp. 474-498. IMF Staff Papers.
Baek, I., Bandopadhyaya, A., dan Du, C. (2005); Determinants of market-assessed sovereign
risk: economic fundamentals or market risk appetite?; Vol. 24, pp. 533-48. Journal of
International Money and Finance.
Baldacci, E., Gupta, S., dan Mati, A. (2008); Is It (Still) Mostly Fiscal? Determinants of
Sovereign Spreads In Emerging Markets; No. 259. IMF Working Paper.
DMO. (2012); Buku Perkembangan Utang Negara; Edisi Juli 2012.
Eaton, Jonathan. dan Gersovitz, Mark. (1981); Debt with Potential Repudiation: Theoretical
and Empirical Analysis; Vol. 48 (2), pp. 289-309. Review of Economic Studies.
Eichengreen, Barry dan Mody, Ashoka. (1998); Lending Booms, Reserves, and the
Sustainability of Short-Term Debt: Inferences from the Pricing of Syndicated Loans;
Vol. 63, No. 1, pp. 5–44. Journal of Development Economics.
50
Fabozzi F.J., Fabozzi T.D., dan Pollack I.M. (2002); The Handbook of Fixed Income
Securities. Dow Jones–Irwin.
Fabella, R., dan Madhur, S. (2003); Bond Market Development In East Asia: Issues and
Challenges; No. 35. ERD Working Paper.
Ferucci, G. (2003); Empirical Determinants of Emerging Market Economies’ Sovereign Bond
Spreads; No. 205. Bank of England Working Paper.
Gibson, H., G., Hall, Stephan G., dan Tavlas, George S. (2011); The Greek Financial Crisis:
Growing Imbalances and Sovereign Spreads; Bank of Greece Working Paper.
Gujarati, Damodar N. (2003); Basic Econometrics; 4th edition. McGraw-Hill.
Grandes, M. (2007); The Determinants of Sovereign Bond Spreads: Theory and Facts from
Latin America; Vol. 44, pp. 151-81.Cuadernos de Economia.
Martellini L., Priaulet P., dan Priaulet S. (2003); Fixed Income Securities; Wiley
Marcilly, Julien, (2009); Foreign Participation in Emerging Asia’s Local Currency Debt
Markets and its Links with Bond Yields: An empirical Study.
Min, H. G. (1998); Determinants of emerging market bond spread: Do economic
fundamentals matter?; World Bank Policy Research Working Paper No. 1899.
Washington DC: The World Bank.
Min, H.G., D-H. Lee, C. Nam, M-C. Park, and S-H. Nam. (2003); Determinants of Emerging
Market Bond Spreads: Cross-Country Evidence; Vol. 14 pp. 271-86; Global Finance
Journal
Nawalkha, Sanjay K., dan Soto, Gloria M.. (2009); Term Structure Estimation.
Peiris, S.J. (2010); Foreign Participation in Emerging Markets’ Local Currency Bond
Markets; IMF working Paper 10/88. Washington: International Monetary Fund.
Sihombing P., Siregar H., Manurung A.M., dan Santosa P.W. (2012); Analisis Pengaruh
Makro Ekonomi Terhadap Term Structure Interest Rate Obligasi Pemerintah (SUN)
Indonesia; Vol.1, No.2, Journal of Capital market and Banking. Adler Manurung
Press, Jakarta.
51
PENGUKURAN KINERJA OPERASIONAL MELALUI
IMPLEMENTASI TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE DI PT. XYZ
Nur Ainul Malik dan Mohammad Hamsal
Magister Manajemen - Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
This study describes the implementation of Total Productive Maintenance (TPM) in
the area of of plastic injection PT. XYZ are measured using the Overall Equipment
Effectiveness (OEE) and Total Equipment Effectiveness Performance (TEEP) to measure the
effectiveness of injection equipment or machinery as a strategy to improve manufacturing
productivity and performance. The average value of OEE in the area of the injection machine
is 68.42% and the average was 57.96% TEEP value, that value is Fairly Typical level.
Implement and maintain the consistency of implementation of TPM is essential for improving
the operational performance in the area of the injection machine and implement proactive
maintenance as a continuous improvement activity.
Keywords: Total Productive Maintenance (TPM), Overall Equipment Effectiveness (OEE),
Total Effectiveness Equipment Performance (TEEP).
52
PENGUKURAN KINERJA OPERASIONAL MELALUI IMPLEMENTASI TOTAL
PRODUCTIVE MAINTENANCE DI PT. XYZ
Pendahuluan / Latar Belakang
PT. XYZ adalah perusahaan manufaktur sepeda motor dengan kapasitas per tahun
sebanyak 4,4 juta motor (tahun 2012), dan terus akan menambah kapasitasnya menjadi 5,3
juta motor lebih pada tahun berikutnya. Kenaikan ini menjadi tantangan bagi manufaktur
untuk mengikuti keinginan pasar. Harapannya dengan tingkat produksi yang tinggi dapat
menjaga tingkat pemborosan yang terjadi rendah bahkan mencapai titik nol. Saat ini tingkat
produk cacat menjadi perhatian khusus, karena jika hasil produksi tidak sesuai dengan yang
diinginkan maka unit produksi yang sudah direncanakan tidak tercapai secara kapasitas.
Dalam proses manufaktur injeksi plastik di perusahaan otomotif khususnya sepeda
motor, tiap mesin merupakan aset perusahaan yang diharapkan dapat menghasilkan keluaran
maksimal. Mesin injeksi plastik memiliki karakteristik tersendiri, manufaktur injeksi plastik
merupakan proses produksi hulu (upstream) yang sangat mempunyai keterbatasan waktu
produktif, sehingga waktu produktif dari mesin injeksi plastik sangat diperhatikan dan
menjadi fokus dalam melakukan perencanaan unit produksi.
Produktivitas yang tinggi maka aktivitas pemeliharaan menjadi hal yang menjadi
prioritas, karena waktu yang hilang (loss time), kinerja, dan kerugian produksi yang
diakibatkan oleh kerusakan peralatan menjadi hal yang sangat ditakuti karena mengganggu
jalannya produksi unit motor. Aktivitas pemeliharaan tidak berjalan sesuai dengan rencana
karena berbagai macam hal, diantaranya karena pencapaian produksi tidak mencapai target
maka proses produksi terus dilakukan untuk mencapai target, waktu yang tersedia untuk
melakukan pemeliharaan sangat sedikit, sehingga pemeliharaan yang dilakukan adalah
pemeliharaan korektif saat proses produksi berlangsung.
Faktor-faktor yang mendukung untuk tercapainya produktivitas seperti, pencapaian
produksi, efisiensi waktu produktif untuk menghasilkan keluaran, waktu siklus, kinerja
operator, penanganan kerusakan dan kegagalan proses, menjadi perhatian bagi perusahaan
tetapi tidak dalam satu indikator kinerja sehingga pemahaman pross bisnis dan proses
manufaktur menjadi terpisah, sehingga target pencapaian target menjadi bias.
Produktivitas yang belum optimal sehingga tidak tercapainya kapasitas terpasang yang
telah ditetapkan, akibat permintaan pasar yang tinggi menyebabkan permintaan akan unit
53
motor tinggi, tetapi banyak kendala yang ada untuk dapat mencapai tingkat kapasitas yang
diinginkan. Terdapat indikator kinerja yang telah diimplementasikan pada lantai produksi,
tetapi indikator tersebut tidak dapat menunjukkan kapabilitas proses yang dihasilkan dari aset
perusahaan terhadap permintaan yang diharapkan. Adanya tingkat utilisasi mesin dan
peralatan yang belum optimal terhadap target yang telah ditetapkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi TPM
yang berkaitan dengan produktivitas dan pengaruhnya terhadap pengembangan pekerja,
continuous improvement, perubahan organisasi, dan manajemen kualitas khususnya di area
injeksi plastik. Mengetahui dan mengerti operational performance menggunakan Overall
Equipment Effectiveness (OEE) dan Total Effectiveness Equipment Performance (TEEP)
dalam kaitannya dengan efektivitas mesin dan peralatan, untuk melakukan manajemen aset,
serta penggunaanya dalam proses manufaktur khususnya di area injeksi plastik.
Tinjauan Teoritis
Tujuan dari kegiatan TPM adalah untuk memperkuat bisnis utama perusahaan dengan
menghilangkan semua kerugian melalui pencapaian tidak ada cacat (zero defect), tidak ada
gagal proses (zero breakdown), dan tidak ada kecelakaan (zero accident). Dari pencapaian
tersebut, pencapaian tidak ada gagal proses (zero breakdown) adalah yang paling signifikan,
karena kegagalan proses secara langsung mengarah pada produk yang cacat dan rasio
pengoperasian peralatan yang lebih rendah, yang pada gilirannya menjadi faktor utama untuk
kecelakaan (Shirose, 1996).
TPM dalam skenario manufaktur masa kini memanfaatkan partisipasi seluruh karyawan
untuk meningkatkan ketersediaan peralatan produksi (availability), kinerja (performance),
kualitas (quality), kehandalan (reability), dan keamanan (security). TPM mencoba untuk
memanfaatkan "hidden capacity" atau kemampuan tersembunyi secara kapasitas mesin dan
peralatan untuk proses yang tidak efektif.
TPM dapat di definisikan dengan mempertimbangkan tujuan berikut:
a. Meningkatkan efektivitas peralatan, ini berarti melihat ke six big losses (enam kerugian
besar) yang dibagi dari tiga kerugian utama:
1. Down time losses: di definisikan sebagai kerusakan peralatan dan setup dan
penyesuaian (slowdown).
54
2. Speed losses: yang dapat ditemukan sebagai pengurangan atau perlambatan waktu
proses yang terjadi dan penghentian jangka pendek dan persiapan produksi.
3. Defect atau Quality Losses: segala hal mengenai cacat produksi, pengerjaan ulang, dan
rejek awal.
Untuk mencapai efektivitas peralatan secara keseluruhan, TPM bekerja untuk
menghilangkan "Six Big Losses" yang menjadi kendala dalam menghasilkan efektivitas
dari operasional peralatan.
b. Melibatkan operator dalam melakukan perawatan harian, ini berarti untuk mencapai
autonomous maintenance. Para pekerja yang mengoperasikan peralatan tersebut
mengambil tanggung jawab untuk beberapa kegiatan pemeliharaan seperti:
• Tingkat Perbaikan: operator mengambil tindakan untuk memperbaiki mesin dan
peralatan sesuai dengan cek item.
• Tingkat Pencegahan: operator akan mengambil tindakan korektif untuk mencegah
timbulnya masalah.
• Tingkat Improvement: operator tidak akan dibebankan pada proses improvement, karena
operator akan mengambil langkah tindakan korektif pada saat kegagalan proses terjadi.
c. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemeliharaan, artinya memiliki pendekatan
sistematis untuk semua kegiatan pemeliharaan. Hal ini melibatkan identifikasi sifat dan
tingkat pemeliharaan preventif yang diperlukan untuk masing-masing peralatan,
penciptaan standar untuk condition-based maintrenance (kondisi berbasis perawatan), dan
pengaturan tanggung jawab masing-masing pekerja untuk kegiatan operasi rutin dan staf
pemeliharaan.
d. Mendidik dan melatih personil, tugas ini merupakan salah satu yang paling penting dalam
pendekatan TPM, dengan melibatkan semua orang di perusahaan operator diajarkan cara
kerja pada mesin dan peralatan mereka dan cara mempertahankan dalam kondisi mesin dan
peralatan yang siap untuk melakukan proses produksi dengan benar. Karena operator akan
melakukan beberapa pemeriksaan, penyesuaian mesin dan peralatan secara rutin, dan
tugas-tugas pencegahan lainnya, pelatihan tersebut melibatkan operator mengajarkan
melakukan inspeksi tersebut dan cara kerja dengan personil pemeliharaan dalam suatu tim
kecil (partnership). Juga yang terlibat adalah pelatihan pengawas mengenai bagaimana
mengawasi cara kerja tim di dalam TPM.
55
e. Merancang dan mengelola mesin dan peralatan untuk melakukan pemeliharaan preventif.
Peralatan ini mahal dan harus dipandang sebagai aset produktif untuk seluruh
kelangsungan hidup perusahaan. Merancang peralatan yang lebih mudah untuk
dioperasikan dan dipelihara daripada desain sebelumnya merupakan bagian mendasar dari
TPM. Saran dari operator dan teknisi pemeliharaan membantu engineering desain,
menentukan, dan pengadaan peralatan yang lebih efektif.
Overall Equipment Effectiveness (OEE)
Hasil strategis implementasi TPM adalah terjadinya penurunan kegagalan proses dan
kerusakan mesin dan peralatan tak terduga yang mengganggu produksi dan mengakibatkan
kerugian, yang bisa melebihi jutaan dolar setiap tahunnya (Gosavi, 2006). Overall Equipment
Effectiveness (OEE) merupakan metodologi yang menggabungkan metrik dari semua
peralatan manufaktur menjadi pedoman untuk sistem pengukuran yang membantu manufaktur
dan operasi tim dalam meningkatkan kinerja mesin dan peralatan untuk mengurangi mesin
dan peralatan cost of ownership (COO).
TPM menggunakan OEE sebagai metrik kuantitatif untuk mengukur kinerja suatu sistem
yang produktif. OEE adalah inti metrik untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan program
TPM (Jeong dan Phillips, 2001). Tujuan keseluruhan dari TPM adalah untuk meningkatkan
efektivitas peralatan secara keseluruhan (Shirose, 1989, Huang et al, 2002; Juric et al, 2006).
OEE dihitung dengan menghasilkan produk dari ketersediaan peralatan, efisiensi kinerja
proses dan tingkat kualitas produk (Dal et al, 2000; Ljungberg, 1998.):
OEE = Availability (A) x Performance efficiency (P) x (1)
Rate of quality (Q)
Dengan :
(1) Availability (A)
= Loading time – Downtime x 100 (2)
Loading time
(2) Performance efficiency (P)
= Processed amount x 100 (3)
Operating time/theorical cycle time
56
(3) Rate of quality (R)
= Process amount – defect amount x 100 (4)
Process amount
Berikut adalah nilai rasio OEE dengan tingkat pencapain tertentu :
• Nilai rasio OEE mencapai 100% merupakan proses produksi yang sempurna : proses
manufaktur yang menghasilkan hanya produk sesuai standar dan tidak ada cacat produk,
kecepatan produksi yang tinggi dengan sesuai waktu siklus dan kapasitas terpasang, tidak
ada downtime.
• Nilai rasio OEE mencapai 85% merupakan tingkat kelas dunia (world class level) untuk
perusahaan dengan proses produksi secara otomatisasi dengan karakteristik pabrikan
tertentu merupakan perusahaan tingkat global, untuk banyak perusahaan nilai rasio ini
menjadi target jangka panjang.
• Nilai rasio OEE mencapai 60% merupakan pencapaian dengan tingkat yang wajar (fairly
typical level), dan terindikasi banyak ruang perbaikan yang harus dilakukan untuk
mencapai tingkat perusahaan kelas dunia.
• Nilai rasio OEE mencapai 40% merupakan tingkat pencapaian yang rendah yang biasanya
di dapatkan oleh perusahaan yang baru mulai dan memiliki sistem yang baru, dan terus
melakukan perbaikan dalam mengidentifikasi kinerja perusahaannya.
Salah satu tujuan utama dari TPM adalah untuk menghilangkan atau meminimalkan
kerugian dari semua yang berhubungan dengan sistem manufaktur untuk meningkatkan
efektivitas produksi secara keseluruhan. Perhitungan OEE dengan mempertimbangkan
dampak dari six big losses pada sistem produksi ditunjukkan pada Gambar 1. (McKellen,
2005).
57
Gambar 1. Perhitungan OEE berdasarkan Six Major Production Losses
Sumber : Journal TPM; Ahuja et al, 2008.
OEE adalah peningkatan produktivitas secara proses yang dimulai dengan peningkatan
kesadaran manajemen untuk memulai TPM dan komitmen mereka untuk fokus pada
peningkatan kompetensi karyawan untuk bekerja dengalan melakukan pelatihan kerja tim dan
lintas-fungsional dalam hal pemecahan masalah peralatan.
Total Effectiveness Equipment Performance (TEEP)
TEEP diperkenalkan oleh Ivanincic (1998), metoda ini sangat mirip dengan OEE.
Perbedaan yang utama dengan OEE adalah memasukkan 2 parameter yaitu planned downtime
di dalam total planned time horizon. Parameter tersebut mempertimbangkan kontribusi dari
proses pemeliharaan kedalam produktivitas lantai produksi dari sebuah proses manufaktur.
Perbedaan yang sangat jelas untuk parameter planned downtime dan unplanned downtime.
Meminimalisasi uplanned downtime, kadang disebut dengan technical downtime, ini adalah
tujuan yang umum di dalam pemeliharaan. Unplanned downtime adalah sebuah fungsi dari
sejumlah breakdown yang terjadi antara waktu periode yang spesifik dan hubungannya diukur
sebagai MTBF (Mean Time Between Failure), dan MTTR (Mean Time To Repair) (Pintelon et
al. 2000). MTBF dan MTTR diklaim sebagai parameter untuk mengukur pencapaian mesin
dan peralatan yang sangat berhubungan dengan tujuan proses manufaktur seperti kinerja
secara fungsional dan proses kapabilitas (Wilson, 1999).
58
Gambar 2. Parameter Yang Digunakan Dalam Perhitungan TEEP
Sumber : International Journal of Production Research; Muchiri P., 2008
Gambar 3. TEEP Diagram Dan Parameter Perhitungannya
Sumber : International Journal of Production Research; Muchiri P., 2008
Metode Penelitian
Langkah 1 adalah Focus Improvement, yaitu peningkatan kinerja mesin yang lebih
tinggi menuju level kinerja dan ketersediaan waktu produktif yang dinginkan. Langkah 2
Autonomous Maintenance, Planned Maintenance, Quality Maintenance, yaitu menjaga
kinerja dan ketersediaan mesin yang tinggi sesuai yang dinginkan. Berikut adalah model
pengolahan data :
59
Gambar 4. Efektivitas Kinerja Mesin dan Peralatan Model
Hasil Penelitian
Availability - Dalam memperhitungkan ketersediaan (availability) untuk mendapatkan
availability ratio, mempertimbangkan faktor seperti working time, total planned shutdown
yang terdiri dari meeting pagi (P5M), pengecekan utility dan pembersihan area kerja
(clean/check), waktu break (10 menit) dan waktu istirahat (40 menit), dan planned
maintenance yaitu preventive maintenance yang direncanakan berdasarkan ratio work order
maintenance yang dibagi dalam jumlah proses pengerjaan maintenancenya dalam 1 tahun.
Kemudian loading time, waktu setup dan adjustment, breakdown, sehingga mendapatkan
waktu downtime, dan akhirnya di dapat operating time yang kemudian dibagi dengan working
timenya.
Performace - Mengukur tingkat kinerja (performance) dari mesin injeksi. Dalam
prhitungannya mempertimbangkan faktor total unit yang diproduksi dan ideal cycle timenya
untuk mendapatkan net oprating time yang dibandingkan dengan operating timenya.
Quality - Diukur untuk mengetahui total hasil keluaran dengan kualitas yang telah ditetapkan
dan dihasilkan dari suatu proses produksi berlangsung, berikut adalah tabel perhitungan
quality rate dari proses produksi mesin injeksi :
Tahap 2 : Analisis Six Big Losses
(kondisi mesin dan aktivitas
pemeliharaan)
Metoda Fishbone
Tahap 3 : Perbaikan
Perbaikan setup and changeover
Tahap 4 : Melakukan Teknik
Pemeliharaan Proaktif
Autonomous maintenance, Planned
maintenance, Quality maintenance
Tahap 1 : Pengukuran Efektivitas
Metoda OEE (Overall Equipment
Effectiveness) dan TEEP (Total
Effectiveness Equipment Performance)
60
Overall Equipment Effectiveness (OEE) - Setelah menghitung availability, performance, dan
quality ratio, selanjutnya menghitung Overall Equipment Effectiveness (OEE). Berikut adalah
perhitungan OEE dari lantai produksi mesin injeksi :
Tabel 1. Perhitungan OEE Mesin Injeksi Bulan Sept 2011 - Sept 2012
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
Perhitungan Mean Time Between Failure (MTBF) dan Mean Time To Repair (MTTR)
Mesin Injeksi - Data yang dibutuhkan untuk menghitung MTBF adalah data waktu operasi
mesin (Operating time) dan data frekwensi kerusakan (Frekwensi Breakdown) untuk setiap
bulan, sedangkan untuk menghitung MTTR adalah data waktu kerusakan mesin (Breakdown
– m/c trouble) dan data frekwensi kerusakan (Frekwensi Breakdown) untuk setiap bulan.
Berikut adalah tabel hasil perhitungan MTBF dan MTTR :
Tabel 2. Perhitungan MTBF dan MTTR Mesin Injeksi Bulan Sept 2011 - Sept
2012
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
61
Total Effectiveness Equipment Performance (TEEP) - Dengan mempertimbangkan faktor
maintenance yaitu menggunakan nilai MBTF dan MTTR, maka perhitungan TEEP dilakukan
untuk mengukur pencapaian produktifitas mesin injeksi terkait dengan tujuan peningkatan
produktifitas seperti kinerja fungsional (functional performance) dan kemampuan proses
(process capability). Berikut adalah tabel perhitungan TEEP :
Tabel 3. Perhitungan Total TEEP Mesin Injeksi Bulan Sept 2011 - Sept 2012
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
Pembahasan
Analisis Nilai Overall Equipment Effectiveness (OEE)
Berdasarkan hasil perhitungan sebelumnya, maka didapatkan hasil perhitungan OEE
yang disimulasikan di dalam grafik berikut :
Grafik 1. Perbandingan Tren Data Aktual OEE Mesin Injeksi Dengan World
Class OEE dan Fairly Typical OEE dan Low OEE
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
62
Faktor yang mempengaruhi nilai OEE aktual dibandingkan dengan nilai world class
sebagai nilai target yang harus dipenuhi.
Grafik 2. Perbandingan Tren Data Aktual Availability Ratio Dengan World
Class Availability Ratio
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
Grafik 3. Perbandingan Tren Data Aktual Performance Ratio Dengan World
Class Performance Ratio
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
Grafik 4. Perbandingan Tren Data Aktual Quality Ratio Dengan World Class
Quality Ratio
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
63
Dari gambar grafik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
• Dari Grafik 1 menunjukkan nilai OEE di perusahaan PT.XYZ adalah 68.42%.
Dari nilai rata-rata tersebut dapat di analisis bahwa effectiveness dari mesin injeksi
masuk dalam kategori Fairly typical OEE berdasarkan Japan Institute for Plant
Maintenance (JIPM). Pada bulan desember 2011 terlihat bahwa nilai OEE data
aktual drop hingga 47%, disebabkan jadwal perencanaan produksi untuk mesin
injeksi tidak seimbang, sehingga tidak semua mesin memiliki tipe part yang akan
diproduksi sama, banyak mesin injeksi yang idle dan sangat mempengaruhi nilai
OEE keseluruhan, dan terjadinya pergantian model yang memerlukan waktu
penyesuaian. Terjadinya perubahan permintaan pasar secara aktual tidak dapat
dihindari sehingga terjadi efek bullwhip di manufaktur hulu. Efek ini terjadi
karena pembesaran dari variabilitas dari permintaan pelanggan dengan produsen.
• Grafik 2 menunjukkan bahwa nilai availability dari mesin injeksi masih dibawah
level world class yaitu 90%, rata-rata nilai availability dari line mesin injeksi
adalah 83,29%, faktor yang paling besar mempengaruhi dari availability ini
adalah waktu terjadinya breakdown mesin terhadap downtime yang terjadi, dan
setting adjustment akibat idle dan running produksi.
• Grafik 3 menunjukkan bahwa nilai performance ratio dari mesin injeksi jauh
dibawah level world class yaitu 95%, rata-rata dari performance ratio dari mesin
injeksi adalah 82.21%, artinya deviasinya hingga 12.79% menunjukkan masih
banyak ruang perbaikan untuk meningkatkan rasio dari performance mesin
injeksi, faktor yang sangat mempengaruhi performance ratio ini adalah stabilitas
aktual waktu siklus untuk setiap siklus menghasilkan part, perbedaan setiap siklus
aktual yang terjadi dengan ideal cycle time yang sudah ditetapkan mengakibatkan
hilangnya potensi untuk mendapatkan hasil keluaran sesuai dengan yang
diharapkan, adanya aktivitas persiapan alat-alat produksi seperti kantong plastik,
cutting tools dan pengaturan box untuk penyimpanan part.
• Grafik 4 menunjukkan bahwa pencapaian hasil keluaran dengan kualitas yang
baik sesuai dengan standar kualitas tinggi, dari nilai level world class quality yaitu
99.99% rata-rata pencapaian aktual secara pencapaian hasil keluaran yang sesuai
dengan standar kualitas adalah 99.95%, artinya hasil keluaran sudah sesuai
dengan level world class.
64
• Kestabilan proses manufaktur menjadi perhatian khusus dalam proses pencapaian
kebutuhan unit yang sudah direncanakan oleh perusahaan sehingga unit motor
yang dihasilkan dari sebuah perencanaan produksi unit tidak terganggu.
Analisis Nilai Total Effectiveness Equipment Performance (TEEP) - Berdasarkan Tabel 6
perhitungan Total Effectiveness Equipment Performance (TEEP) untuk seluruh mesin injeksi
periode selama 1 tahun, dapat digambarkan pada grafik berikut yang dibandingkan dengan
nilai OEE-nya :
Grafik 5. Perbandingan nilai TEEP Ratio Dengan OEE Ratio
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
Dari gambar grafik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
• Dengan mempertimbangkan faktor pemeliharaan korektif saat terjadi breakdwon yang
dihitung dengan menggunakan MTBF dan MTTR sebagai nilai waktu pemeliharaan yang
tidak terjadwal, memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap total nilai kerugian
utama, jika kumulatif dari total nilai waktu pemeliharaan yang tidak terjadwal dibagi
dengan total kerugian utama menghasilkan nilai 57.96%, hal tersebut mempengaruhi nilai
tren dari TEEP terhadap OEE.
• Dari tren tersebut terdapat potensi untuk ditingkatkan dengan menurunkan nilai MTTR,
dan nilai MTBF untuk digunakan dalam manajemen spare part pemeliharaan dalam
peningkatan produktivitas terhadap penurunan waktu breakdown.
65
Analisis Six Big Losses - Berikut adalah Grafik 6 menggambarkan diagram pareto dari 6
kerugian besar (six big losses) :
Grafik 6. Diagram Pareto 6 Kerugian Besar (Six Big Losses) di Line Mesin
Injeksi
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
Dari gambar grafik diatas dapat dijelaskan bahwa kerugian terbesar dari gamar grafik diatas
adalah speed losses, dengan prosentase 56.85%, potensi perbaikan terbesar yang terjadi
adalah saat terjadi speed losses, oleh karena itu perlu ditingkatkan operator awareness.
Diagram Fishbone - Berikut adalah diagram fishbone yang mengambarkan faktor-faktor
sebab akibat dari rasio kinerja dengan level Fairly Typical dari mesin injeksi (OEE) pada
implementasi TPM :
Gambar 5. Diagram Fishbone Penyebab Nilai OEE Pada Level Fairly Typical
66
Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa :
• Pencapaian nilai OEE sebesar 68.42% yang berada diantara level fairly typical sebesar
60% dan level world class sebesar 85% disebabkan oleh faktor-faktor dari mesin dengan
breakdown relatif tinggi sangat mempengaruhi nilai downtime karena terjadinya
kerusakan-kerusakan berat tetapi tidak memiliki tren tertentu. Proses pengerjaan kerusakan
berat membutuhkan waktu yang lama juga man power yang lebih dari 1 orang. Selain itu
loss time akibat setup yaitu pergantian model atau adanya mesin idle mulai dari 1 shift off
sampai pada 3 shift off, sesuai dengan karakter mesin injeksi, dan adjustment saat terjadi
trouble atau masalah kualitas sampai pada kualitas part standar.
• Breakdown yang relatif tinggi sangat besar kemungkinan terjadi karena pemeliharaan
preventif tidak berjalan dengan semestinya, sehingga ada beberapa pekerjaan pemeliharaan
preventif yang tidak dilakukan sehingga berpotensi sampai terjadi breakdown.
• Faktor penyebab lainnya yaitu manusia (man power), operator mesin yang hanya
melakukan proses produksi saja, karena secara sistem, produksi tidak melakukan aktivitas
pemeliharaan, sehingga jika terjadi indikasi masalah operator sulit untuk menentukan
apakah masalah tersebut akan berpotensi menjadi breakdown. Operator jarang sekali
mengetahui kondisi mesin saat mesin itu akan dipakai produksi, seharusnya operator
melakukan pengecekan setiap kali akan dilakukan proses produksi, maka sebelum
breakdown terjadi sudah dilakukan perbaikan.
• Metoda sistem informasi masalah yang terjadi memiliki hambatan karena secara struktural
poduksi sebagai pembuat part, engineering sebagai personel pemeliharaan, dan bagian
pendukung lain, memiliki jalur struktural yang berbeda, sehingga secara hierarki pelaporan
menjadi sangat struktural, maka waktu penyelesaian atau analisis masalah menjadi sangat
lama, dan kontribusi terhadap nilai OEE ratio negatif.
• Tidak adanya indikator operational performance untuk dijadikan dasar continuous
improvement, sehingga mulai dari level operator sampai ke manajemen puncak kurang
memiliki perhatian dalam menjaga level performance, hingga meningkatkan produktivitas
dalam memenuhi target production unit.
Maintainability Improvement
1. Analisis Mean Time Between Failure (MTBF) - Berikut adalah menggambarkan tren data
selama 1 tahun nilai MTBF dari area injeksi plastik :
67
Grafik 7. Tren Data Aktual Mean Time Between Failure (MTBF) Dengan Nilai Rata-
Ratanya Selama 1 Tahun
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
Dari gambar grafik diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
• Secara umum proses produksi mesin injeksi di PT.XYZ mempunyai waktu kerusakan
rata-rata setiap 457 menit antar kerusakan atau setara dengan 7.62 jam dengan jam kerja
1 hari selama 3 shift (24 jam).
• Jika dilihat dari grafik diatas selama 1 tahun tren data menunjukkan nilai MTBF pada
bulan September 2011 dan Oktober 2011 rendah sehingga kejadian antar breakdown
mempunyai rentang waktu yang cepat, tetapi pada bulan November 2011 dan Desember
2011 tinggi yang artinya rentang waktu antar kerusakan lebih lama, kemudian menurun
rendah pada bulan Januari 2012 dan Februari 2012. Pada bulan Mei 2012 dan April
2012 kembali tinggi, sisa bulan sampai dengan September 2012 kemudian bergerak
rendah.
• Tren tersebut dipengaruhi oleh loading mesin pada bulan yang sama menunjukkan
bahwa karakter mesin injeksi dalam manufaktur injeksi plastik mempunyai tren bahwa
semakin mesin injeksi mempunyai loading tinggi tetapi pola produksi yang sering sekali
idle kemudian running, menyebabkan sering terjadinya kerusakan pada mesin injeksi,
hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu mesin injeksi sangat memerlukan
kondisi dimana panas dari barrel yang berfungsi sebagai proses melting material stabil
dengan deviasi suhu + 5oC, jika hal tersebut tidak tercapai akan mempengaruhi kinerja
mesin injeksi dengan terjadi breakdown.
• Analisis MTBF ini digunakan untuk memperkirakan kecenderungan kapan mesin
injeksi akan mengalami kerusakan, sehingga bisa dilakukan aktivitas pemeliharaan
preventif misalnya penggantian komponen, servis ringan dan sebagainya, serta
68
memprioritaskan perbaikan pada mesin yang memiliki nilai MTBF yang paling rendah
dengan tujuannya agar frekuensi kerusakan dapat berkurang.
Analisis Mean Time To Repair (MTTR)
Berikut adalah Grafik 8. menggambarkan tren data selama 1 tahun nilai MTBF dari area
injeksi plastik :
Grafik 8. Tren Data Aktual Mean Time To Repair (MTTR) Dengan Nilai
Rata-Ratanya Selama 1 Tahun
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
Dari gambar grafik diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
• Secara umum mesin injeksi plastik memiliki waktu rata-rata perbaikan yaitu 45 menit
setiap terjadinya kerusakan.
• Pola data tren yang terjadi pada kondisi di Grafik 4.8. menunjukkan beberapa bulan
mengalami kerusakan yang memang sangat berat sehingga hal tersebut seharusnya
dapat diatasi dengan adanya pelatihan atau peningkatan kompetensi dari pekerja
pemeliharaan dalam hal ini adalah bagian engineering, sehingga pola kerusakan tersebut
dapat di antisipasi dengan penentuan target penyelesaian kerusakan (breakdown).
• Semakin lamanya rata-rata waktu perbaikan tersebut menunjukkan bahwa mesin
mengalami kerusakan yang cukup berat. Peristiwa ini dapat terjadi karena kurangnya
antisipasi perawatan yang lebih intensif baik dari pihak pemeliharaan maupun dari
operator. Tindakan yang dapat dilakukan yaitu dengan mengidentifikasi jenis kerusakan
yang terjadi serta dengan melakukan perubahan kebijakan pemeliharaan preventif.
69
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data dan pembahasan berupa analisa faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja injeksi plastik dalam implementasi TPM untuk peningkatan
produktivitas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Total efektivitas mesin injeksi untuk mengetahui level kinerja operasional area injeksi
plastik:
a. Availability dari line mesin injeksi adalah 83.29%, angka tersebut dibawah level
world class yaitu 90%. Peningkatan availability ratio dapat dilakukan dengan
menekan downtime, melakukan secara intensif autonomous maintenance,
b. Performance ratio dari mesin injeksi adalah 82.21%, rasio tersebut masih dibawah
level performance ratio world class yaitu 95%. Peningkatan nilai performance ratio
ini dapat dilakukan dengan mengurangi speed loss, yaitu dengan mengurangi
ketidakstabilan proses dengan mampu menghasilkan keluaran part.
c. Quality ratio dari proses injeksi mencapai 99.95% sangat dekat dengan level world
class ratio yaitu 99.99%. Jadi untuk quality ratio dapat dipertahankan sehingga
mampu untuk tetap menghasilkan keluaran dengan level tinggi.
d. OEE ratio dari proses injeksi adalah 68.42%, dari hasil tersebut masih dibawah level
world class yaitu 85%, yang artinya masih banyak ruang perbaikan yang bisa
dilakukan di dalam manufaktur injeksi plastik sehingga dapat dicapai level world
class manufacture.
e. TEEP ratio dari proses injeksi adalah 57.96%, dengan mempertimbangkan faktor
pemeliharaan korektif saat terjadi breakdown yang dihitung dengan menggunakan
MTBF dan MTTR sebagai nilai waktu pemeliharaan yang tidak terjadwal,
memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap total nilai main losses.
Dari hasil analisa nilai OEE ratio maka kinerja operasional dari injeksi plastik pada level
Fairly Typical, rasio tersebut menggambarkan masih banyak ruang untuk melakukan
perbaikan yaitu dengan perbaikan terus menerus untuk meningkatkan produktivitas.
2. Nilai OEE tiap mesin dan nilai OEE secara keseluruhan dipengaruhi oleh perbedaan shift
kerja dan proses produksi dengan proses pengambilan part manual, pencapaian tertinggi
dicapai oleh shift 1, dan paling rendah di shift 3, dipengaruhi oleh kondisi kerja. Pada
malam sampai dini hari tingkat kinerja operator cenderung menurun menyebabkan nilai
OEE untuk shift 3 rendah.
70
3. Setelah dilakukan pengukuran operational performance maka diidentifikasi faktor-faktor
penyebab penyebab nilai OEE pada level fairly typical dengan menggunakan diagram
fishbone.
4. Analisa MTBF mendapatkan hasil waktu kerusakan rata-rata setiap 457 menit antar
kerusakan atau setara dengan 7.62 jam dengan jam kerja 1 hari selama 3 shift (24 jam).
Analisa MTBF ini digunakan untuk memperkirakan kecenderungan kapan mesin injeksi
akan mengalami kerusakan, sehingga bisa dilakukan kegiatan pemeliharaan preventif,
serta memprioritaskan perbaikan pada mesin yang memiliki nilai MTBF yang paling
rendah dengan tujuannya agar frekuensi kerusakan dapat berkurang.
5. Analisa MTTR mendapatkan hasil waktu rata-rata perbaikan yaitu 45 menit setiap
terjadinya kerusakan. Semakin lamanya rata-rata waktu perbaikan tersebut menunjukkan
bahwa mesin mengalami kerusakan yang cukup berat. Peristiwa ini dapat terjadi karena
kurangnya antisipasi perawatan yang lebih intensif baik dari pihak pemeliharaan maupun
dari operator. Tindakan yang dapat dilakukan yaitu dengan mengidentifikasi jenis
kerusakan yang terjadi serta dengan melakukan perubahan kebijakan perawatan preventif.
6. Menjaga pelaksanaan yang konsisten aktivitas pemeliharaan preventif, dan
mempermudah proses analisa saat terjadinya breakdown mesin, dengan melakukan
pembagian elemen waktu dari aktivitas kerja perawatan yang dilakukan yaitu waktu
pemberitahuan saat terjadinya kerusakan dan kedatangan personel pemeliharaan, waktu
analisa kerusakan, waktu penyediaan part / komponen, waktu perbaikan. waktu
penyesuaian dan percobaan.
7. Penggunaan Overall Equipment Effectiveness (OEE) dan Total Effectiveness Equipment
Performance (TEEP) sebagai dasar dan target pencapaian dalam peningkatan
produktivitas, dengan adanya pengukuran tersebut maka manufaktur injection molding
memiliki indikator kinerja dalam implementasi TPM, dan menjadikan pencapaian
tersebut menjadi competitive advantage bagi perusahaan PT. XYZ.
Saran
Dalam peningkatan produktivitas dengan menggunakan implementasi TPM maka peneliti
menyarankan :
1. Melakukan proses pengukuran operational performance dengan mengetahui total
effectiveness dari mesin injeksi secara real time, sehingga proses monitoring dan
71
penambilan keputusan saat kinerja mesin injeksi menurun yang berdampak pada
produktivitas akan segera dilakukan upaya-upaya yang menghindari produktivitas
menjadi rendah tidak menunggu selama satu bulan atau satu tahun.
2. Melakukan pelatihan kepada setiap operator maupun personel pemeliharaan agar dapat
meningkatkan kemampuan dan keahlian operator dalam menanggulangi permasalahan
yang ada pada mesin / peralatan sehingga perusahaan dapat menerapkan pemeliharaan
mandiri yang terdiri dari seiri, seiton, seiso, seiketsu, shitsuke untuk dapat meningkatkan
produktivitas dan efisiensi produksi pada manufaktur.
3. Penanaman kesadaran kepada seluruh pekerja untuk ikut berperan aktif dalam
peningkatan produktivitas dan efisiensi untuk perusahaan dan bagi diri mereka sendiri
dan tingkat operator sampai manajemen puncak.
4. Mengembangkan metoda pemeliharaan proaktif yang sesuai dengan kondisi struktural
PT. XYZ, yaitu :
a. Personal pemeliharaan melakukan pengecekan kondisi secara kontinu dan berkala
dengan menggunakan checksheet sehingga didapatkan kondisi mesin saat itu.
Checksheet tersebut disimpan di mesin dengan tujuan operator mesin dapat
mengetahui dan mengikuti kondisi mesin, apabila terjadi indilkasi yang menyebabkan
potensi kerusakan mengakibatkan downtime, maka dengan segera operator mesin
memberitahukan personel pemeliharaan untuk melakukan analisa yang lebih dalam,
tanpa mengganggu jalannya proses produksi.
b. Adanya indikator untuk menginformasikan masalah sehingga proses pemanggilan atau
pencarian personel pemeliharaan tidak memakan waktu, sehingga secara bersama-
sama operator produksi dan personel pemeliharaan dapat segera memutuskan apakah
kerusakan yang terjadi berpengaruh pada proses produksi atau tidak saat itu, jika ya
maka akan ditentukan waktu perbaikannya. Jika tidak berpengaruh maka personel
pemeliharaan akan melakukan penjadwalan perbaikan sehingga tidak mengganggu
jalannya proses produksi.
c. Dalam penanganan perbaikan operator mesin dan personel pemeliharaan bersama-
sama menangani kerusakan, sehingga akan terjadi transfer knowledge, proses
pembelajaran bagi operator produksi akan meningkatkan kompetensi operator dan
memudahkan proses kerja dalam melakukan perbaikan oleh personel pemeliharaan.
72
d. Penetapan target-target yang feasible (target downtime perkejadian atau MTTR, target
ketersediaan, kinerja, dan kualitas) sehingga operator mesin dan personel
pemeliharaan dapat mengukur kinerja secara total untuk pencapaian produktivitas dari
keluaran yang dihasikan oleh mesin injeksi.
e. Quality build in process tetap dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan part yang
sesuai dengan standar kualitas.
Daftar Pustaka
Ahuja, I.P.S., Khamba, J.S., (2008); Total productive maintenance: literature review and
directions; International Journal of Quality & Reliability Management Vol. 25 No. 7,
2008 pp. 709-756.
Dal, B., Tugwell, P. and Greatbanks, R. (2000); Overall equipment effectiveness as a measure
for operational improvement: a practical analysis; International Journal of Operations
& Production Management, Vol. 20 No. 12, pp. 1488-502.
Gosavi, A. (2006); A risk-sensitive approach to total productive maintenance; Automatica,
Vol. 42 No. 8, pp. 1321-30.
Huang, S.H., Dismukes, J.P., Shi, J. and Su, Q. (2002); Manufacturing system modeling for
productivity improvement; Journal of Manufacturing Systems, Vol. 21 No. 4, pp. 249-
60.
Jeong, Ki-Young., Philips, Don T. (2001); Operational Efficiency and Effectiveness
Measurement; International Journal of Operation & Production Management, Vol 21
No. 11, pp 1404-1416 2001.
Juric, Z., Sanchez, A.I. and Goti, A. (2006); Money-based overall equipment effectiveness;
Hydrocarbon Processing, Vol. 85 No. 5, pp. 43-5.
Ljungberg, O. (1998); Measurement of overall equipment effectiveness as a basis for TPM
activities; International Journal of Operations & Production Management, Vol. 18 No.
5,pp. 495-507.
McKellen, C. (2005); Total productive maintenance; MWP, Vol. 149 No. 4, p. 18.
Muchiri, P.; Pintelon, L. (2008); Performance measurement using overall equipment
effectiveness (OEE): literature review and practical application discussion;
International Journal of Production Research, 46(13), pp. 3517 - 3535.
73
Nakajima, S. (1988); Introduction to Total Productive Maintenance (TPM); Productivity
Press, Portland, OR.
Pintelon, L.; Gelders, L.; Puyvelde, F.V. (2000); Maintenance Management; Acco, Leuven,
Belgium.
Shirose, K. (1989); Equipment Effectiveness, Chronic Losses, and Other TPM Improvement
Concepts in TPM Development Program: Implementing Total Productive
Maintenance; Productivity Press, Portland, OR.
Wilson, A. (1999); Asset Maintenance Management - A guide to developing strategy &
improving performance; Conference Communication.
74
Pengaruh Modal Intelektual Terhadap Kinerja Keuangan
Selvi Meliza Salim11
Golrida Karyawati12
Sampoerna School of Business
The purpose of this research is to analyze the effect of intellectual capital on company
profitability using Return on equity and earning per share. This research is using Value
Added Intellectual Coefficient (VAIC™) method as a measure of the efficiency of three
intellectual capital components recognised which are Capital Employed Efficiency(CEE), ,
Human Capital Efficiency(HCE), and Structural Capital Efficiency(SCE). This reseach
collects data from 150 firms such as manufacturing, banking, credit other bank, securities ,
and real estate sector listed on the Indonesia Stock Exchange Period 2010-2011. Multiple
linear regression model is used to examine the effect of the three components of intellectual
capital efficiency to company's financial performance both on ROE model and EPS
model.The result shows that CEE positively influence company’s profitability both on ROE
model and EPS model. HCE however, eventhough on ROE model shows significant impact on
ROE, but on EPS model do not show significant impact on EPS. Analyse of SCE also
indicates inconsistency phenomenon on both model ROE and EPS. While on model ROE
structural capital efficiency do not show significant impact on ROE, on model EPS however it
shows significant impact on EPS
Keywords: intellectual capital, capital employed eficiency (CEE), Human capital efficiency
(HCE), structural capital efficiency (SCE), profitability, return on equity, earning per share
11
Akuntan yang bekerja di perusahaan swasta
12 Dosen akuntansi pada Sampoerna School of Business
75
PENGARUH MODAL INTELEKTUAL TERHADAP KINERJA
KEUANGAN
Pendahuluan
Intellectual capital semakin menjadi aset yang sangat bernilai dalam bisnis saat ini.
Tetapi laporan keuangan tradisional belum berhasil menyajikan informasi intellectual capital.
Secara umum, teori intellectual capital telah banyak dikembangkan melalui gagasan-gagasan
dan pemikiran-pemikiran para peneliti, antara lain Bontis (1998), Firer dan Williams (2003),
Chen et al. (2005), Najibullah (2005), Margaretha dan Rakhman (2006), Ulum (2008),
Kuryanto (2008), Anugraheni (2010), Wiradinata dan Siregar (2011), dan Zuliyati (2011).
Fenomena ini menuntut mereka mencari informasi yang lebih rinci mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan pengelolaan intellectual capital. Mulai dari cara pengidentifikasian,
pengukuran sampai dengan pengungkapan intellectual capital dalam laporan keuangan
perusahaan.
Pulic (1998) memperkenalkan pengukuran intellectual capital dengan menggunakan
“Value Added Intellectual Coefficient” (VAIC™) . Metode VAIC™ dirancang untuk
menyediakan informasi mengenai efisiensi penciptaan nilai(value creation) dari aset
berwujud dan tidak berwujud yang dimiliki oleh perusahaan. Komponen utama dari VAIC™
dalam penelitian ini adalah Capital Employed Efficiency (CEE), Human Capital Efficiency
(HCE), dan Structural Capital Efficiency (SCE).
Penelitian ini meneliti hubungan antara intellectual capital dengan profitabilitas
terhadap kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan data dari perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kinerja keuangan perusahaan akan diukur dengan
Return on Equity (ROE) dan Earnings Per Share (EPS). Intellectual capital diukur dengan
menggunakan model Pulic, yaitu VAIC™ (Value Added Intellectual Coefficient).
Pengukuran intellectual capital menggunakan model pulic yang menggunakan gaji
karyawan sebagai proxi human capital (Kuryanto :2008; Anugraheni:2010, Wiradinata dan
Siregar :2011; dan Zuliyati:2011). Penelitian ini menggunakan executive salary, dengan
pertimbangan bahwa executive salary lebih mencerminkan intelectual capital dibanding
dengan total salary. Dalam banyak industri komponen salary sebagian besar mungkin
merupakan gaji buruh yang kurang mencerminkan intelectual capital. Pengertian human
capital sebagai bagian dari intelectual capital adalah pekerja yang mampu menciptakan
76
kekayaan dan nilai tambah (value added) bagi perusahaan. Pengetahuan, kompetensi,
ketrampilan, dan pengalaman seorang manajer pada umumnya termasuk kategori human
capital (Santosa dan Setiawan, 2007). Hal ini menjadi dasar menggunakan executive salary
dalam penelitian ini.
Penelitian ini dilakukan pada perusahaan manufacturing, banking dan credit agencies
selain bank, securities, dan real estate. Pengambilan sampel kriteria tersebut didasarkan
pemikiiran bahwa perusahaan pada kelompok ini termasuk perusahaan yang memiliki
karakteristik perusahaan padat intellectual capital (high IC-intensive industries).
Pengelompokan perusahaan ini berdasarkan pada Global Industrity Clasification Standard
(GCIS) dalam Woodcock dan Whiting (2009). Hal ini menjadi indikator penting bagi
perusahaan tersebut untuk mengelola sumber daya yang berkaitan erat dengan intellectual
capital, berdasarkanpertimbangan tersebut maka peneliti memilih perusahaan sektor terserbut.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadii pertimbangan Bapepam dan Ikatan Akuntan
Indonesia menciptakan standar yang lebih baik dalam pengungkapan intellectual capital.
Tinjauan Pustaka dan Pengembangan Hipotesis
Intellectual Capital
Intellectual capital merupakan kombinasi intangible asset dari nilai pasar, intellectual
property, sumber daya manusia dan infrastruktur yang memungkinkan perusahaan
menjalankan fungsinya dengan baik Brooking (1996). Intellectual Capital mencakup semua
pengetahuan karyawan, organisasi dan kemampuan perusahaan untuk menciptakan nilai
tambah dan keunggulan kompetitif. Intellectual capital adalah aset tak berwujud yang
memegang peran penting dalam meningkatkan daya saing perusahaan dan juga dimanfaatkan
secara efektif untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Intellectual Capital merupakan
landasan bagi perusahaan untuk berkembang dan mempunyai keunggulan dibandingkan
perusahaan lain.
Intellectual capital dapat dibagi menjadi komponen modal fisik, modal manusia, dan
modal struktural.
1. Modal fisik (Physical capital) merupakan modal yang dimiliki perusahaan berupa dana
keuangan dan aset fisik yang digunakan untuk membantu penciptaan nilai tambah
perusahaan (Wiradinata dan Siregar, 2011). Physical Capital menunjukkan hubungan
77
harmonis yang dengan mitranya, baik dari pemasok, pelanggan, pemerintah dan
masyarakat sekitar. Modal fisik dalam model Pulic disebut dengan capital employed (CE).
2. Human capital (HC) merupakan modal yang terkait dengan pengembangan sumber daya
manusia perusahaan, seperti kompetensi, komitmen, motivasi, dan loyalitas karyawan.
Human Capital menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mengelola sumber daya
manusia. Intelectual capital jenis ini menganggap manusia sebagai aset yang bernilai
karena pengetahuan yang dimiliki
3. Modal struktural (SC) merupakan modal yang dimiliki perusahan, meliputi pengetahuan
yang akan tetap berada dalam perusahaan. Intelectual capital jenis ini terdiri dari rutinitas
perusahaan, prosedur, sistem, budaya, dan database (Astuti dan Sabeni, 2005). Structural
Capital menunjukkan pengetahuan yang akan tetap ada dalam perusahaan yang bersifat
bukan manusia, seperti: rutinitas perusahaan, prosedur, sistem, budaya, dan database.
Hingga saat ini intelectual capital belum disajikan dalam laporan keuangan (Bontis et
al:2000). Hal ini disebabkan metode pengukuran yang tepat dan objektif atas intelectual
capital belum ditemukan hingga saat ini. Upaya memberikan penilaian terhadap modal
intelektual merupakan hal yang penting .
Hal ini merupakan tantangan akuntan saat ini dan dimasa mendatang. Bontis et al.
(2000) mengatakan bahwa intellectual capital merupakan seluruh proses dan aset, dan seluruh
intangible asset yang telah dipertimbangkan terhadap metode akuntansi yang termasuk di
dalamnya adalah kontribusi dari pengetahuan dari manusia itu sendiri sebagai sumber daya
perusahaan.
Pengukuran Intelectual Capital Dengan Value Added Intellectual Capital (VAIC™)
VAIC™ dikembangkan oleh Pulic sebagai instrumen untuk mengukur kinerja
intellectual capital perusahaan. Model ini menyajikan informasi tentang value creation
efficiency dari aset berwujud (tangible asset) dan aset tidak berwujud (intangible asset) yang
dimiliki perusahaan sebagai hasil dari intelectual capital.
Model ini bertitik tolak dari kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added
(VA) sebagai value creation. Pulic (1998) menyatakan bahwa “value creation is entirely
based on knowledge” sehingga model ini dimulai dengan kemampuan perusahaan untuk
menciptakan value added (VA). Value Added adalah indikator paling objektif untuk menilai
78
keberhasilan bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan sebagai hasil intelectual
capital. Value added dihitung sebagai selisih antara output dan input.
Model VAIC™ mengukur efisiensi intellectual capital dalam menciptakan nilai
berdasarkan hubungan ketiga komponen utama intelectual capital yaitu physical capital,
human capital, dan structural capital. VA dipengaruhi oleh efisiensi dari Capital Employee
(CE), Human Capital (HC) dan Structural Capital (SC). Hubungan VA dengan capital
employed atau dana yang tersedia (modal fisik) diformulasikan dengan CEE, hubungan VA
dan human capital diformulasikan dengan HCE, dan hubungan VA terhadap structural
capital diformulasikan dengan SCE.
1. Capital Employed Efficieny (CEE) adalah indikator efisiensi nilai tambah modal yang
digunakan. CEE merupakan rasio dari VA terhadap CE. CEE menggambarkan berapa
banyak nilai tambah perusahaan yang dihasilkan dari modal yang digunakan CEE yaitu
kalkulasi dari mengelola modal perusahaan.
2. Human Capital Efficiency (HCE) adalah indikator efisiensi nilai tambah modal manusia.
HCE merupakan rasio dari value added (VA) terhadap human capital (HC). Hubungan ini
mengindikasikan kemampuan modal manusia membuat nilai pada perusahan menghasilkan
nilai tambah setiap rupiah yang dikeluarkan pada modal manusia. HCE menunujukkan
berapa banyak (VA) dapat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk executive
salary. Human Capital merupakan hal yang penting bagi kelangsungan hidup perusahaan
karena human capital merupakan penggabungan sumber-sumber daya intangible yang
melekat dalam diri anggota organisasi, selain itu juga merupakan aset perusahaan dan
sumber inovasi serta pembaharuan.
3. Structural Capital Efficiency (SCE) adalah indikator efisiensi nilai tambah modal
struktural. SCE merupakan ratio dari SC terhadap VA. Rasio ini mengukur jumlah SC
yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari VA dan merupakan indikasi bilamana
keberhasilan SC dalam penciptaan nilai (Ulum, 2008). Structural capital meliputi seluruh
non-human storehouses of knowledge dalam organisasi. Termasuk dalam hal ini adalah
database, organizational charts, proocess manuals, strategies, routines dan segala hal
yang membuat nilai perusahaan lebih besar daripada nilai materialnya (Ulum, 2008).
Perusahaan dengan structural capital yang kuat akan memiliki dukungan budaya yang
memungkinkan perusahaan untuk mencoba sesuatu, untuk belajar, dan untuk mencoba
79
kembali sesuatu. Konsep intellectual capital memungkinkan intellectual capital untuk
diukur dan dikembangkan dalam suatu perusahaan (Anatan, 2004).
Metode Penelitian
Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan manufacturing,
banking, credit agencies other than bank, securities, insurance dan real estate yang terdaftar
di BEI (Bursa Efek Indonesia) periode 2010-2011. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode non probality sampling. Metode non probality
sampling yang digunakan yaitu judgment sampling di mana sampel yang dijadikan objek
penelitian ditentukan berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria yang ditetapkan untuk mengambil
sampel dalam penelitian adalah:
1. Laporan keuangan yang telah diaudit dan dipublikasikan pada tahun 2010-2011.
2. Bila ada ketidaktersediaan data dari salah satu variabel pada perusahaan tertentu maka
emiten tersebut tidak digunakan sebagai sampel.
3. Perusahaan tersebut tidak memiliki laba dan ROE yang negatif selama periode pengamatan
yaitu pada tahun 2010-2011.
Sampel akhir yang diperoleh dari proses seleksi sampel berdasarkan kriteria tersebut adalah
150 perusahaan setiap tahunnya seperti tersaji dalam tabel 1.
Tabel 1. Proses Seleksi Sampel Berdasarkan Kriteria
Kriteria Jumlah Sampel
Jumlah perusahaan manufacturing pada tahun 2010-2011 147
Jumlah perusahaan banking, credit agencies other than
bank, securities, insurance pada tahun 2010-2011 73
Jumlah perusahaan real estate pada tahun 2010-2011 50
Dikurangi: Emiten yang datanya tidak lengkap 72
Dikurangi: Emiten yang negatif (Laba dan ROE) 48
Dikali: Lamanya periode penelitian 2
Sampel akhir dari tahun 2010-2011 300
80
Variabel dan Pengukurannya
Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah ROE dan EPS. Kinerja keuangan perusahaan
yang diukur melalui profitabilitas perusahaan. Kinerja tersebut diwakili dengan rasio sebagai
berikut:
a. Return on Equity (ROE)
Return on Equity (ROE) merupakan rasio keuangan yang mewakili profitabilitas
perusahaan. ROE mempresentasikan return pemegang saham biasa dan biasanya
menjadi pertimbangan dan indikator keuangan yang penting bagi investor (Chen et. al,
2005). Semakin tinggi laba yang diperoleh maka akan semakin meningkatkan ROE.
ROE diformulasikan sebagai berikut:
b. Earnings per Share (EPS)
Earnings per Share merupakan suatu ukuran di mana baik manajemen maupun
pemegang saham menaruh perhatian yang besar. EPS merupakan analisis laba dari
sudut pandang pemilik dipusatkan pada laba per saham dalam suatu perusahaan. EPS
juga merupakan salah satu persyaratan dalam pengungkapan laporan keuangan bagi
perusahaan-perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, yang diperoleh dengan
cara membagi laba setelah dikurangi dividen yang dibagikan untuk pemegang saham
preferen dengan rata-rata jumlah saham yang beredar sepanjang tahun.
Variabel Independen
Variabel independen dalam penelitian ini adalah Intellectual Capital (VAIC™) yang
diproksikan berdasarkan value added yang diciptakan oleh human capital efficiency
(HCE), structural capital efficiency (SCE), dan capital employed efficiency (CEE).
Formulasi perhitungan VAIC™ adalah sebagai berikut:
ROE =
EPS =
81
a. Menghitung Value Added (VA)
di mana:
Value Added ( VA) = Selisih antara Output dan Input.
Output (OUT) = Total penjualan dan pendapatan lain-lain.
Input (IN) = Beban dan biaya-biaya (selain executive
salary).
Penelitian ini menggunakan perluasan definisi dalam mengungkapkan
VAIC™ dengan menggunakan executive salary. Penggunaan executive
salary karena dianggap dapat mencerminkan Human Capital yang lebih
baik.
b. Menghitung Capital Employed Efficiency (CEE)
di mana:
CEE = Capital Employed Efficiency
VA = Value Added
CE = Capital Employed ( modal fisik dan aset finansial)
Aset Finansial = Total Asset – Intangible Asset
c. Menghitung Human Capital Efficiency (HCE)
di mana:
HCE = Human Capital Efficiency
VA = Value Added
HC = Human Capital (executive salary)
VA = Output – Input
CEE = VA / CE
HCE = VA / HC
82
d. Menghitung Structural Capital Efficiency (SCE)
di mana:
SCE = Structural Capital Efficiency
SC = Structural Capital (SC= VA-HC)
VA = Value Added
Metode Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linear berganda
dengan model sebagai berikut :
a. Model regresi untuk variabel ROE
ROE = β0 + β1 CEE + β2 HCE + β3 SCE + Ɛ
Keterangan :
β0 = Penduga bagi intersept
β1, β2, β3 = Koefisien Regresi
ROE = Return on Equity merupakan ukuran kinerja keuangan
perusahaan
CEE = Capital Employed Efficiency
HCE = Human Capital Efficiency
SCE = Structural Capital Efficiency
Ɛ = Error
b. Model regresi untuk variabel EPS
EPS = β0 + β1 CEE + β2 HCE + β3 SCE + Ɛ
Keterangan :
β0 = Penduga bagi intersept
β1, β2, β3 = Koefisien Regresi
ROE = Earnings per Share merupakan ukuran kinerja keuangan
CEE = Capital Employed Efficiency
HCE = Human Capital Efficiency
SCE = Structural Capital Efficiency
Ɛ = Error
SCE = SC / VA
83
Hasil dan Pembahasan
Statistik Deskriptif
Perusahaan dalam penelitian ini manufacturing, banking, credit agencies other than
bank, securities, dan real estate. Dari 270 populasi, peneliti hanya menggunakan 150
perusahaan per tahunnya yang dijadikan sebagai sampel dalam melakukan penelitian karena
data yang tidak lengkap dan bernilai negatif. Data dipooling dari periode 2010-2011 setelah
melakukan kelayakan pooling dengan pengujian Chow Breakpoint Test .
Statistik Deskriptif untuk model ROE dan model EPS masing-masing disajikan pada
tabel 2 dan tabel 3. Walaupun rata-rata tingkat ROE perusahaan sampel bernilai 16.2363
namun penyebaran ROE sangat bervariasi diantara perusahaan. Terdapat 20 perusahaan yang
ROE nya kurang dari 5%, dan 17 perusahaan yang ROE nya diatas 30%. Unilever
merupakan pengahasil ROE yang tertinggi. Akan tetapi banyak perusahaan yang mengalami
peningkatan ROE dari tahun 2010. Data EPS pun menunjukan variasi yang tinggi.
Tabel 2. Hasil Analisis Statistik Deskriptif Model ROE
Tabel 3. Hasil Analisis Statistik Deskriptif Model EPS
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
ROE 300 .04 113.24 16.2363 12.80292
CEE 300 .005 4.418 .13034 .289536
LHCE 300 .192 6.697 2.92926 1.120443
SCE 300 .174 8.245 .93002 .484656
Valid N (listwise) 300
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
LEPS 300 -3.219 9.469 4.11684 1.758434
LCEE 300 -5.319 1.486 -2.58350 .989394
HCE 300 1.211 809.597 39.39031 83.531151
LSCE 300 -1.7470 2.1096 -.115548 .2585666
Valid N (listwise) 300
84
Uji Regresi Linear Berganda
Analisa regresi telah memenuhi uji asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji
multikolinieritas, uji heteroskedastisitas, dan uji auto korelasi. Walaupun uji normalitas
dengan kolmogorov Smirnov dengan alpha 5% menunjukan data ROE tidak terdistribusi
normal, namun berdasarkan teori central limit bila jumlah sampel lebih dari 30 maka data
berdistribusi normal. Model regresi berganda model ROE dan EPS adalah sebagai berikut:
Persamaan regresi linier berganda untuk model ROE dan model EPS adalah sebagai
berikut:
ROE = 2,338 + 8,748 CEE + 4,073 LHCE + 0,888 SCE
EPS = 6,071 + 0,740 LCEE + 0,001 HCE + 0,883 LSCE
Kedua model persamaan diatas berdasarkan hasil uji statistik F pada alpha 5%
menunjukan bahwa model mampu menjelaskan hubungan ketiga variabel independen (CEE,
HC and SCE) baik dengan variabel dependen ROE (tabel 4) maupun dengan variabel
dependen EPS (tabel 5).
Tabel 4. Hasil Uji Statistik F Model ROE
Tabel 5. Hasil Uji Statistik F Model EPS
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1
Regression 217.894 3 72.631 30.424 .000b
Residual 706.640 296 2.387
Total 924.534 299
a. Dependent Variable: LEPS
b. Predictors: (Constant), LSCE, HCE, LCEE
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1
Regression 10158.387 3 3386.129 25.798 .000b
Residual 38852.132 296 131.257
Total 49010.519 299
a. Dependent Variable: ROE
b. Predictors: (Constant), SCE, CEE, LHCE
85
Hasil uji koefisien determinasi (R2) menunjukan kemampuan menjelaskan variabel
CEE, HCE dan SCE cukup siginikan baik atas variabel ROE(20,7%) yang disajikan pada
tabel 6, maupun EPS(23,6%) yang disajikan pada tabel 7
Tabel 6. Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2) Model ROE
Tabel 7. Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2) Model EPS
Hasil uji koefisien regresi (Uji T) atas ketiga variabel independen baik pada model
ROE (tabel 8) maupun model EPS (tabel 9) pada alpha 5% menunjukan hasil berikut:
CEE
Pada Model ROE ditemukan bukti pengaruh positive CEE terhadap ROE. Hasil ini
sejalan dengan penelitian Najibullah (2005). Secara statistik dapat dikatakan bahwa dengan
asumsi variable lain konstan, perubahan CEE sebesar 1 basis point diasosiasikan dengan
perubahan ROE sebesar 8.748 basis point. Bukti empiris ini menunjukkan bahwa perusahaan
mengandalkan dana yang tersedia seperti ekuitas dan laba bersih yang dapat meningkatkan
nilai tambah yang akhirnya meningkatkan profitabilitas.
Dalam model EPS juga ditemukan bukti yang signifikan bahwa CEE berpengaruh
positif terhadap EPS. Secara statistik dapat dikatakan bahwa dengan asumsi variable lain
konstan, perubahan Log CEE (LCEE) sebesar 1 basis point diasosiasikan dengan perubahan
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 .455a .207 .199 11.45675
a. Predictors: (Constant), SCE, CEE, LHCE
b. Dependent Variable: ROE
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 .485a .236 .228 1.545089
a. Predictors: (Constant), LSCE, HCE, LCEE
b. Dependent Variable: LEPS
86
EPS sebesar 0.740 basis point.Hasil ini sejalan dengan penelitian Ritonga dan Andriyanie
(2011). Bukti empiris ini menunjukan bahwa physical capital yang dimiliki perusahaan
berperan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan serta mengindikasikan bahwa
perusahaan-perusahaan tersebut berhasil memanfaatkan dan memaksimalkan dana yang
tersedia pada perusahaan.
HCE
Pada model ROE bukti empiris menunjukan pengaruh positif HCE terhadap ROE
secara signifikan. Secara statistik dapat dikatakan bahwa dengan asumsi variable lain konstan,
perubahan Log HCE (LHCE) sebesar 1 basis point diasosiasikan dengan perubahan ROE
sebesar 4.073 basis point. Hasil penelitian Najibulla (2005) belum menemukan bukti empiris
ini. Akan tetapi Farah Margaretha (2006) menemukan bukti empiris yang sesuai dengan hasil
penelitian ini. Hasil ini mengindikasikan bahwa perusahaan yang tergabung sudah mampu
mendaya gunakan Human Capital untuk meningkatkan kinerja keuangan perusahaan.
Akan tetapi berbeda dengan model ROE, penelitian atas model EPS menemukan
bahwa HCE tidak berpengaruh signifikan atas EPS. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian
Ritonga dan Andriyanie (2011) yang menemukan pengaruh signifikan HCE terhadap EPS.
Fenomena yang ditunjukan hasil penelitian ini mungkin disebabkan hambatan infrastruktur
yang menyebabkan kurangnya motivasi untuk berinovasi dan memperbaiki proses bisnis agar
lebih efisiensi dan meningkatkan profitabilitas pemegang saham. Hal ini membutuhkan
penelitian lebih lanjut.
SCE
Pada model ROE ditemukan bahwa structural capital efficiency tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap return on equity.Hasil sejalan dengan penelitian Najibullah (2005).
Tidak berpengaruhnya SCE terhadap ROE menunjukkan perusahaan sampel belum mampu
dalam memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung kinerja bisnis
secara keseluruhan, seperti sistem operasional perusahaan, budaya organisasi, filosofi
manajemen yang dimiliki perusahaan. Dengan belum mampunya perusahaan mentransformasi
pengetahuan ke dalam pengetahuan yang melekat pada hubungan eksternal yaitu
mentransformasi pengetahuan individu ke dalam pengetahuan non manusia. Berarti
87
perusahaan belum mampu mengembangkan structural capital yang menghasilkan keunggulan
bersaing yang secara relatif dapat meningkatkan profitabilitas.
Akan tetapi pada model EPS ditemukan bahwa structural capital efficiency
berpengaruh secara positif terhadap earnings per share. Secara statistik dapat dikatakan bahwa
dengan asumsi variable lain konstan, perubahan Log SCE (LSCE) sebesar 1 basis point
diasosiasikan dengan perubahan EPS sebesar 0.883 basis point.Hasil ini juga tidak sejalan
dengan penelitian Ritonga dan Andriyanie (2011). Hasil ini menunjukkan perusahaan sampel
sudah mampu meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan structural capital yang
dimilikinya untuk mencapai keunggulan bersaing yang akan menghasilkan kinerja keuangan
yang lebih tinggi.
Tabel 8. Hasil Uji Koefisien Regresi (Uji t) Model ROE
Tabel 9. Hasil Uji Koefisien Regresi (Uji t) Model EPS
(TA
Coefficientsa
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) 2.338 2.073 1.128 .260
CEE 8.748 2.359 .198 3.708 .000
LHCE 4.073 .624 .356 6.529 .000
SCE .888 1.400 .034 .634 .526
a. Dependent Variable: ROE
Coefficientsa
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) 6.071 .272 22.309 .000
LCEE .740 .095 .416 7.783 .000
HCE .001 .001 .071 1.338 .182
LSCE .883 .355 .130 2.486 .013
a. Dependent Variable: LEPS
88
Kesimpulan
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa modal intelektual mempengaruhi kinerja
keuangan perusahaan. Bukti empiris menunjukan hubungan antara ketiga komponen
intelectual capital dengan salah satu atau kedua proksi kinerja keuangan yakni ROE dan
EPS. Capital Employed Efficiency berpengaruh positif terhadap profitabilitas perusahaan,
baik dengan return on equity (ROE) maupun dengan EPS. Walapun dalam model ROE bukti
empiris menunjukan bahwa Human Capital Efficiency berpengaruh signifikan terhadap
return on equity (ROE), namun dengan model EPS bukti empiris belum menunjukan
pengaruh signifikan HCE terhadap EPS. Analisa atas Structural Capital Efficiency juga
menunjukan hasil yang tidak konsisten antara model ROE dan model EPS. Pada model EPS
bukti empiris menunjukan pengaruh signifikan SCE terhadap EPS, namun dengan model
ROE Structural Capital Efficiency belum terbukti signifikan terhadap return on equity
(ROE).
Implikasi
Hasil temuan menunjukan semakin pentingnya modal intelektual dalam perusahaan.
Akan tetapi sebagian besar intelektual capital belum dapat disajikan dalam laporan keuangan.
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi standar setter untuk melakukan
pengkajian lebih lanjut mengenai kemungkinan penerbitan standar akuntansi sehubungan
dengan modal intelektual ini.
Hasil penelitian ini juga dapat ditindaklanjuti dengan penelitian selanjutnya sebagai
berikut:
a. Mengembangkan penelitian dengan menggunakan metode langsung dalam mengukur
intellectual capital, misalnya dengan balance score card atau real options model.
b. Memperpanjang periode penelitian. Dengan memperpanjang periode penelitian
diharapkan dapat memberikan kesimpulan yang lebih baik dan dapat mengatasi masalah
normalitas residual untuk ketiga komponen intellectual capital yaitu CEE, HCE, dan
SCE terhadap ROE.
c. Menggunakan proksi kinerja keuangan perusahaan selain yang digunakan dalam
penelitian ini. Semakin banyak proksi yang digunakan akan semakin baik dalam
menggambarkan pengaruh intellectual capital terhadap kinerja perusahaan.
89
Daftar Pustaka
Anugraheni, C. M. (2010); Pengaruh Modal Intelektual Terhadap Kinerja Perusahaan;
sumber: http://eprints.undip.ac.id/22818/1/SKRIPSI.pdf (diakses 15 Oktober 2012).
Anatan, L. (2006); Manajemen Modal Intelektual: Strategi Memaksimalkan Nilai Intelektual
dalam Technology Driven Business; Maranatha Christian University Vol.5, No. 2 pp
46-56.
Astuti, P.Dwi dan Arifin Sabeni; Hubungan Intellectual Capital dan Business Performance
dengan Diamond Specification: Sebuah Perspektif Akuntansi; SNA VIII Solo pp.
694-707.
Barney, J. B. (1991); Firm resources and sustainable competitive advantage; Jurnal of
Management, Vol 17 No 1, pp 99-120.
Bontis, Nick. (1998); Intellectual Capital : an Explaratory Study that Develops Measures and
Models; Management Decision. Vol 36, No. 2, pp 63-76.
Bontis, Nick, Willian Chua Chong Keow dan Stanlet Richardson (2000) ; Intellectual Capital
and Business Performance in Malaysian Industries; Journal of Intellectual Capital
Vol.1, No. 1, pp 85-100.
Borwerman, O’Connell, dan Murphree (2011); Business Statistics in Practice, Edisi 6; New
York: McGraw-Hill/Irwin.
Brooking, Annie (1996); Intellectual Capital : Core Asset for the Third Millennium
Enterprises; London : International Thomson Business Press.
Bursa Efek Jakarta (2011); Indonesian Capital Market Directory, Institute for Economic and
Financial Research.
Chen, M.C., S.J. Cheng. Y. Hwang. (2005); An empirical investigation of the relationship
between intellectual capital and firms’ market value and financial performance; Jounal
of Intellectual Capital. Vol 6, No. 2, pp 159-176.
Cooper, Donald R. Dan Pamela S. Schindler (2011); Business Research Method, 11th Edition;
Boston : Mc Graw-Hill.
Farah Margaretha, Arief Rakhman (2006); Analisis Pengaruh Intellectual Capital Terhadap
Market Value dan Financial Performance Perusahaan dengan Metode Value Added
Intellectual Coefficient; Jurnal Bisnis dan Akuntansi Vol. 8 No. 2 pp. 199-217.
Firer, S., and S.M. Williams (2003); Intellectual capital and traditional measures of corporate
performance; Journal of Intellectual Capital Vol.4, No. 3, pp. 348-360.
90
Hartono, B. (2001); Intellectual Capital: Sebuah Tantangan Akuntansi Masa Depan; Media
Akuntansi. Vol. 21 pp 65-72
Ihyaul Ulum et al. (2007); Intellectual Capital dan Kinerja Keuangan Perusahaan : Suatu
Analisis dengan Pendekatan Partial Least Square; Simposium Nasional Akuntansi 11.
Ihyaul Ulum et al. (2008); Intellectual Capital Performance Sektor perbankan di Indonesia:
sumber: puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/aku/article/.../17081/17034 (diakses 15
Oktober 2012)
Ihyaul Ulum (2009); Modal Inter-Relasi Antar Komponen Modal Intelektual (Human Capital,
Structural Capital, Customer Capital) dan Kinerja Perusahaan; Humanity, Vol IV,
No.2 pp 134-140.
Gozali, Iman (2006); Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Edisi 4;
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Guthrie, Damodar N. dan Dawn C.Porter (2010); Dasar-dasar Ekonometrika, Edisi 5; Jakarta:
Penerbit Salemba Empat.
Kuryanto, Benny (2008); Pengaruh Modal Intelektual Terhadap Kinerja Perusahaan; Jurnal
Akuntansi dan Keuangan. Vol. 5, No. 9.
Najibullah, S. (2005); An Empirical Investigation of The Relationship Between Intellectual
Capital and Firm’s Market and Financial Performance in Context of Commercial Bank
of Bangladesh”.
Pulic, A. (1998); Measuring the performance of intellectual potensial in knowledge
economy”. Paper presented at the 2nd McMaster Word Congress on Measuring and
Managing Intellectual Capital by the Austrian Team for Intellectual Potential.
Ramadhan, I. Ibnu. (2009); Skripsi: Pengaruh Intellectual Capital terhadap kinerja Perusahaan
Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2002-2007; Universitas Diponegoro (Tidak
Dipublikasikan).
Ritonga, K dan J. Andriyanie (2011); Pengaruh Modal Intelektual Terhadap Kinerja
Keuangan; Pekbis Jurnal, Vol. 3, No. 2 pp 467-481.
Santosa dan Setiawan (2007); Modal Intelektual dan Dampaknya bagi Keberhasilan
Organisasi; Maranatha Christian University Vol. 7, No.1 pp 1-15.
Sawarjuwono, T. (2003); Intellectual Capital : perlakuan, pengukuran, dan pelaporan (sebuah
library research); Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol. 5. No.1. pp 35-57.
91
Solikhah, B, Abdul Rohman, Wahyu Meiranto (2010); Implikasi Intellectual Capital
Performance, Growth dan Market Value; Studi Empiris dengan Pendekatan Simplistic
Specification” Simposium Nasional Akuntansi XIII Purwokerto pp 1-29.
Tan, H.P., Plowman, D. & Hancock, P. (2007) ; Intellectual Capital and Financial Returns of
companies; Journal of Intellectual Capital, Vol.8, No.1 pp. 76-95.
Widiyaningrum, A. (2004); Modal Intelektual; Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia
Vol.1 pp. 16-25.
Wiradinata dan Siregar. (2011); Pengaruh Modal Intelektual Terhadap Kinerja Keuangan
Pada Perusahaan Sektor Keuangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia; Jurnal
Akuntansi & Manajemen Vol.22, No.2 pp.107-124.
Woodcock, J., H.R. Whiting. (2009); Intellectual Capital Disclousure by Australian
Companies; Paper accepted for presentation at thr AFAANZ Conference, Adelaide,
Australia. July 2009.
Zuliyati. (2011); Intellectual Capital dan Kinerja Keuangan Perusahaan; Dinamika Keuangan
dan Perbankan Vol.3, No.1 pp 113-125.
92
Pengaruh Market Based Capabilities Terhadap Kinerja Perusahaan
Studi Kasus Komoditas Gula Pasir di Perum Bulog
Adi Yanuar dan Ahdia Amini
Magister Manajemen - Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
This study discusses how to leverage business process with market-based capabilities
perspective on commercial activities in Perum Bulog. This study is a qualitiative research
using case study approach to determine the influence of new product development, customer
management and supply chain management in commercial activities especially in the sugar
commodity at Perum Bulog.The results of this study, that Perum Bulog must make a change of
business processes using market-basec capabilities approach. As state-owned enterprise,
Perum Bulog is not only waiting for the government assignment but also begin to focus on
take profit by innovation on product development to make products needed by customers,
maintaining relationship with customers that can give the maximum contribution to the
company and be able to balance between the demand of a product and supplies in Perum
Bulog, that can improve the operational efficiency for the company.
Keywords: Case Study Approach, Market-based Capabilities, New Product Development,
Customer Management, Supply Chain Management
93
PENGARUH MARKET BASED CAPABILITIES TERHADAP KINERJA
PERUSAHAAN STUDI KASUS KOMODITAS GULA PASIR DI PERUM BULOG
Pendahuluan
Ketahanan pangan merupakan satu dari beberapa faktor yang menentukan stabilitas
nasional dari suatu negara. Hal ini yang membuat ketahanan pangan menjadi salah satu
program utama dari setiap negara, termasuk Indonesia melalui peningkatan dari produktivitas
pertanian atau pangan. Salah satu komoditi yang berperan dalam ketahanan pangan adalah
gula. Gula dimanfaatkan sebagai bahan baku dari industri makanan, minuman dan farmasi
atau juga dapat di konsumsi secara langsung. Dengan beragamnya fungsi gula, tentunya gula
menjadi suatu bahan pokok yang strategis sehingga ketersediaan gula dan stabilisasi harga
gula di pasar menjadi faktor yang penting untuk diperhatikan oleh pemerintah dan berbagai
pihak yang terkait untuk menjaga ketahanan pangan nasional.
Kebutuhan gula yang semakin tinggi dapat juga dilihat dari produksi gula dunia.
Menurut United State Department of Agricu lture (USDA) produksi gula dunia pada periode
2009/2010 sebesar 153,53 juta ton dan mengalami peningkatan sebesar 9,75 jt ton (6,8%)
dibandingkan dengan pada periode 2008/2009 yang sebesar 143,78 juta ton. Akan tetapi
konsumsi gula dunia pada periode 2009/2010 mengalami penurunan sebesar 0,64 juta ton
(0.4%) dibandingkan dengan periode sebelumnya 2008/2009. Hal ini dikarenakan kebutuhan
konsumsi gula dunia melebihi dengan produksi yang mengakibatkan terjadi defisit gula dunia
pada periode 2008/2009 dan 2009/2010.
94
Tabel 1. Produksi, Konsumsi, dan impor gula dalam negeri tahun 2003-2009
Tahun Produksi (Juta Ton) Konsumsi Selisih Impor
GKP GKR Total (Juta Ton) (Juta
Ton)
(Juta
Ton)
(1) (2) (3) (4=2+3) (5) (6=4-5) (7)
2003 1,62 0,33 1,95 3,52 -1,42 1,16
2004 2,03 0,38 2,41 3,71 -1,21 0,72
2005 2,20 0,72 2,92 3,99 -0,89 1,08
2006 2,31 1,14 3,45 4,25 -0,85 0,67
2007 2,45 1,45 3,90 4,70 -0,70 1,16
2008 2,70 1,26 3,96 4,35 -0,45 0,50
2009 2,77 1,90 4,67 4,85 -0,18 -
Sumber: Roadmap Swasembada Gula Nasional 2010-2014 (Desember 2009)
Permintaan gula domestik juga mengalami peningkatan dari periode sebelumnya. Pada
tahun 2003 produksi gula domestik sebesar 1.95 juta dan meningkat sebesar 4,67 juta ton
pada tahun 2009. Sedangkan untuk konsumsi dalam negeri juga mengalami peningkatan dari
3,52 juta ton pada tahun 2003 menjadi 4,85 juta ton pada tahun 2009. Dengan tingkat
konsumsi yang lebih dari produksi maka kekurangan kebutuhan dalam negeri diambil dari
impor untuk Gula Kristal Putih (GKP), Gula Rafinasi (GKR) dan Gula Mentah (raw sugar).
Dengan jumlah produksi gula yang lebih kecil dibandingkan dengan konsumsi gula
dalam negeri maka pemerintah harus mengambil langkah perlindungan dalam rangka
stabilisasi harga gula di tingkat petani dan konsumsi. Pemerintah telah melakukan berbagai
langkah dengan mendorong perkembangan industri gula dengan meningkatkan efesiensi
ditingkat Pabrik Gula (PG) dan petani. Selain itu juga pemerintah melindungi industri dalam
negeri dengan melakukan pembatasan impor dengan kebijakan kuota, tarif Gula Kristal Putih
(GKP) dan gula mentah (raw sugar) maupun gula rafinasi.
Salah satu bentuk perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah adalah stabilisasi
harga gula di tingkat petani dan konsumsi. Pada saat musim giling pasar GKP cenderung
membentuk pasar oligopoli karena dikuasai oleh pedagang besar sedangkan pemerintah dalam
hal ini PTPN/PT.RNI mempunyai daya tawar yang lemah dan begitu juga diluar musim giling
sudah dikuasai pedagang kuat. Hal ini dapat berakibat stabilitas harga gula dalam negeri
95
dapat mempengaruhi konsumen. Dengan kondisi seperti ini maka diperlukan campur tangan
pemerintah untuk dapat melakukan stabilisasi gejolak harga Gula Kristal Putih (GKP).
Untuk itu pemerintah mulai melakukan perbaikan tata niaga Gula Kristal Putih (GKP)
dengan melakukan kerjasama sinergi BUMN. Pada tahun 2008 dilakukan kerjasama tersebut
antara PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI)
sebagai produsen dengan Perum Bulog sebagai agen pemasaran Gula Kristal Putih (GKP).
Kerjasama ini dilakukan karena Perum Bulog mempunyai jalur distribusi yang sangat besar
karena telah memiliki aset sampai tingkat desa/kelurahan. Perum Bulog harus memanfaatkan
kerjasama ini untuk meningkatkan kegiatan komersial dengan memanfaatkan kapabilitas
berbasis pasar yaitu pengembangan produk baru, manajemen konsumen dan manajemen
rantai pasok sehingga tidak hanya fokus dalam kegiatan pelayanan publik.
Tujuan Penelitian
Pada saat ini kegiatan komersial di Perum Bulog mempunyai porsi yang sangat sedikit
yaitu sebesar 10% sehingga diperlukan suatu strategi untuk meningkatkan kegiatan usaha
komersial dengan menggunakan persepektif kapabilitas berbasis pasar pada perdagangan
komoditas gula pasir di Perum Bulog. Dari permasalahan yang terjadi di atas, penelitian ini
dilakukan dengan tujuan yaitu:
1. Mengetahui pengaruh pengembangan produk baru terhadap kinerja perusahaan.
2. Mengetahui pengaruh manajemen konsumen terhadap kinerja perusahaan
3. Mengetahui pengaruh manajemen rantai pasok terhadap kinerja perusahaan.
Tinjauan Teoritis
Beberapa tahun ini mulai ada pergeseran ekonomi dari manufaktur menjadi informasi
dan pengetahuan. Informasi dan pengetahuan merupakan aset yang tak berwujud (intagible)
yang terdiri dari market-based assets dan capabilities. Aset (asset) dapat didefinisikan sebagai
bentuk fisik, organisasi atau atribut di manusia yang memungkinkan perusahaan untuk
menghasilkan dan mengimplementasikan strategi yang dapat meningkatkan efesiensi dan
efektifitas di pasar (Srivastava 1998). Aset dapat berwujud (tangible) misalnya aset tetap (fix
asset) atau aset tak berwujud (intagible) dengan contoh adalah merek (brand), dapat
menambah atau mengurangi di neraca dan kedalam perusahaan atau keluar dari perusahaan
(Srivastava,1998).
96
Menurut Sristava (1998) sebuah aset harus dapat berkontribusi terhadap penciptaan
nilai apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Convertible yaitu bagaimana perusahaan menggunakan asetnya untuk mendapatkan
suatu kesempatan dan menghilangkan ancaman dari luar kemudian dapat diciptakan
dan ditingkatkan kegunaannya.
2. Rare yaitu jika asset tersebut telah terdapat di beberapa pesaing maka potensi asset
tersebut menjadi berkurang.
3. Imperfectly imitable yaitu sangat susah bagi pesaing untuk meniru aset tersebut
sehingga dapat meningkatkan nilai dari aset tersebut.
4. Doesn’t have perfect substitutes yaitu jika pesaing tidak memiliki aset yang strategis
dan sangat susah untuk mengembangkannya maka nilai aset tersebut akan bertambah.
Menurut Ramaswami (2009), capabilities merupakan kumpulan dari kemampuan
(skills) dan pengetahuan yang dilakukan di organisasi yang dapat menciptakan suatu
keunggulan kompetitif (competitive advantage) dan tidak mudah untuk ditiru oleh
pesaingnya.
97
Gambar 1. Keunggulan Kompetitif pada Kapabilitas dan Performa Bisnis
Sumber: Ramaswami (2009)
Hubungan antara market-based assets dan capabilities terkait dengan proses bisnis
perusahaan. Proses bisnis (business process) merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh
perusahaan untuk mencapai tujuan dari bisnis perusahaan (Ramaswami 2009). Ada 3 (tiga)
proses bisnis yang sangat penting dalam menciptakan customer value, antara lain:
a. Proses New Product Development (NPD) bertujuan untuk menciptakan solusi dari
kebutuhan dan keinginan konsumen. Proses pengembangan produk baru dilakukan
dengan melewati beberapa tahap mulai dari pengumpulan ide dan konsep produk, proses
pembuatan, pengetesan sampai diluncurkan ke pasar (Bhuiyan, 2011). Menurut
Ramaswami (2009) pada proses new product development (NPD) terdapat dua faktor
yang menentukan yaitu:
� Customer-driven Development (CDD)
CDD mengacu pada seberapa besar konsumen terlibat dalam proses pengembangan
produk
� Cross-functional Integration (CFI),
98
CFI mengacu pada seberapa besar proses pengembangan produk tersebut
berintegrasi dengan seluruh unit atau divisi dan mitra di luar perusahaan.
Kinerja dari proses NPD juga berdampak pada keuangan yang bagus di perusahaan.
Pada proses NPD menghasilkan produk baru yang diluncurkan ke pasar dengan
memberikan manfaat bagi konsumen yang membeli (Ramaswami, 2009).
b. Proses Customer Management (CM) bertujuan untuk mengetahui tentang konsumen,
pengetahuan konsumen, mempertajam persepsi konsumen tentang produk, membangun
hubungan dengan konsumen sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan keuntungan
perusahaan. Menurut Ramaswami (2009), pada proses customer management (CM)
terdapat tiga faktor yang menentukan yaitu:
� High-value customer (HVCs).
HVC adalah konsumen yang memberikan pendapatan dan keuntungan yang besar
bagi perusahaan atau memberikan kestabilan pendapatan dan keuntungan bagi
perusahaan (Ramaswami, 2009).
� Responsif (responsiveness) terhadap tujuannya.
Responsif dapat didefinisikan sebagai sejauh mana perusahaan memenuhi kebutuhan
dan tujuan dari konsumen (Ramaswami, 2009).
� Customer Asset Orientation
Perusahaan harus mengelola hubungan dengan konsumen sebagai bagian dari aset
perusahaan (Ramaswami, 2009).
Proses CM yang efektif berdampak pada perusahaan dengan mendapatkan kompetisi
yang baik dalam mencari high value customer, respon yang efektif sesuai dengan
keinginan konsumen dan memberikan nilai (value) ke konsumen.
c. Proses Supply Chain Management (SCM) bertujuan untuk mengelola input fisik dan
informasi lalu mengubah menjadi solusi bagi konsumen secara efektif dan efesien. Supply
Chain Management (SCM) adalah suatu koordiansi strategi dari fungsi bisnis dan
strategis antar lintas fungsi di perusahaan dan lintas bisnis antar rantai pasok, dengan
tujuan meningkatkan kinerja jangka panjang bagi perusahaan maupun dari semua rantai
pasok. (Esper, 2009).
� Supply Chain Leadership
99
Perusahaan harus memiliki kepemimpinan dalam melakukan koordinasi dengan
rekanan dalam suatu jaringan bisnis tersebut yaitu mempunyai kemampuan untuk
memimpin suatu rantai pasok (ability to lead supply chain).
� Sharing Info and Decision
Perusahaan dapat mengetahui dari operasional pemasok (supliers) dan dapat
mengantisipasi masalah persediaan sebelum berdampak pada perusahaan
(Ramaswami, 2009)
SCM yang efektif adalah yang memberikan biaya yang rendah pada manajemen
inventory, pergudangan dan transportasi serta dapat meningkatkan pendapatan dengan
memastikan ketersediaan produk
Marketing Framework Organization
Gambar 2. Marketing Strategy Research: An Organizing Framework
Sumber: Varadarajan (1999)
General Environment
Lingkungan umum yang tertanam di perusahaan yang terdiri dari:
100
� Perusahaan memberikan pedoman di dalam organisasi sebagai salah satu bentuk dari
perilaku perusahaan.
� Faktor makro sosial seperti budaya seperti regulasi, kebijakan
PEST Analysis
Sebuah alat bantu yang berguna untuk menganalisa lingkungan umum adalah analisa PEST
(Political, Economy, Social, Technology). Analisa PEST hanyalah salah satu alat untuk
membantu perusahaan dalam mendeteksi dan memonitor keadaan di lingkungan eksternal
perusahaan. Analisa PEST juga digunakan untuk membantu mendeteksi tren dalam
lingkungan eksternal untuk masuk ke dalam lingkungan yang lebih kompetitif.
� Faktor Politik
Faktor politik dari analisa PEST terkait dengan kebijakan pemerintah. Kebijakan
pemerintah tersebut berada dalam Undang-undang yang mencakup segala aspek hukum.
Hal ini termasuk dalam stabilitas pemerintahan, kebijakan perpajakan, dan peraturan
pemerintah.
� Faktor Ekonomi
Indikator ekonomi yang termasuk dalam faktor ekonomi adalah suku bunga, pendapatan
yang terpakai, tingkat pengangguran, inflasi, produk domestik bruto (GDP) dan nilai
tukar. Penguatan ekonomi secara umum dapat memberikan keuntungan bagi industri,
namun efek yang terjadi akan bervariasi sessuai dengan faktor ekonomi yang terkena
dampaknya.
� Faktor Sosial
Faktor sosial termasuk dalam perubahan budaya dalam lingkungan dan sering juga
disebut sosial-budaya. Tren sosial penting bagi perusahaan dan menghasilkan produk
yang diinginkan konsumen.
� Faktor Teknologi
Beberapa perubahan yang terjadi di lingkungan umum yang berdampak pada lingkungan
kompetitif adalah teknologi. Faktor teknologi meliputi tingkat usang, yaitu kecepatan
penemuan dari teknologi baru yang menggantikan teknologi lama. Perubahan dalam
teknologi dan inovasi memiliki efek menyebabkan industri-industri baru muncul dan
mengubah cara dimana antara industri yang bersaing. Kemajuan teknologi dapat berasal
dari internet, penggunaan perangkat lunak yang canggih. Akibat dari perkembangan
101
teknologi dapat menyebabkan pendatang baru masuk ke dalam industri dengan biaya
yang rendah dibandingkan perusahaan yang sudah masuk terlebih dahulu.
Industry Environment
Lingkungan industri yang sesuai dengan perusahaan yaitu supplier, konsumen, pesaing dan
channel partner. Hubungan antara industri dan stakeholders mempengaruhi tindakan untuk
mendapatkan keunggulan kompetitif. Lingkungan industri (industry environment) merupakan
lingkungan yang berpengaruh langsung terhadap operasional perusahaan. Analisa lingkungan
industri perusahaan dilakukan dengan menggunakan analisa five forces Porter. Menurut Henry
(2011), five forces merupakan sebuah alat bantu dalam menilai daya tarik suatu industri
berdasarkan kekuatan dari daya saing.
Gambar 3 Porter’s Five Forces
Sumber: Henry (2011)
Pada model Porter diatas, lima kekuatan yang dapat mempengaruhi kuatnya persaingan
didalam industri, yaitu:
• The Threat of New Entrants
Analisa ancaman pendatang baru melihat sejauh mana pesaing baru memutuskan
untuk masuk kedalam suatu industri dan dapat mengurangi keuntungan dari
perusahaan yang sudah ada
Threat of substitute
product or service
Barganing
power of
buyer
Threat of new
entrants
Suppliers
Potential Entrants
Substitutes
Buyers
Industry Competitiors
Rivalry among existing
firm
Barganing
power of
suppliers
102
• The Bargaining Power of Buyers
Pembeli dapat mempengaruhi suatu industri dengan kemampuannya dalam menekan
harga, memiliki posisi tawar yang lebih tinggi di kualitas atau pelayanan yang lebih
baik (Henry 2011).
• The Bargaining Power of Suppliers
Pemasok dapat mempengaruhi suatu industri dengan kemampuannya dalam menaikan
harga dan mengurangi kualitas dari produk atau jasa.
• The Threat of Subtitute Product and Services
Ancaman produk substitusi merupakan produk atau jasa lain yang dapat memberikan
kepuasan yang sama sehingga konsumen dapat berganti produk dikarena lebih mudah
diperoleh
• The Intensity of Rivalry among Competition in an Industry
Pembeli dapat mempengaruhi suatu industri dengan kemampuannya dalam menekan
harga, memiliki posisi tawar yang lebih tinggi di kualitas atau pelayanan yang lebih
baik.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu suatu metode
penelitian eksplorasi yang tidak terstruktur dan menggunakan sampel yang kecil yang
memberikan wawasan dan pemahaman dari suatu masalah (Maholtra, 2009). Menurut Bodgan
dan Taylor (1992:21-22) mendefinisikan sebagai suatu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif dapat berupa kata-kata yang tertulis atau lisan berasal dari orang
atau perilaku yang diamati (Basrowi dan Suwandi, 2008 p 11).
Metode penelitian yang digunakan untuk penulisan karya akhir ini adalah dengan
menggunakan pendekatan case study. Menurut teori dari Yin (1991), case study merupakan
penelitian yang modern yaitu fenomena empiris dalam kehidupan nyata dimana batas antara
fenomena dan konteks tidak jelas terlihat dan menggunakan beberapa sumber pembuktian
(Wahyuni, 2003, p. 85). Menurut Ghauri dan Grounhaug (2002), penelitian studi kasus (case
study) sangat berguna ketika fenomena yang diteliti sulit untuk di pelajari diluar kebiasaan
dan juga ketika konsep dan variabel yang di teliti sulit untuk di ukur. (Wahyuni, 2003, p, 85).
Ada tiga alasan dalam menggunakan penelitian studi kasus (case study) yaitu:
1. Tipe dari pertanyaan
103
Pada studi eksplorasi, pertanyaan yang dibuat lebih luas dalam mengeksplor dan tidak
mencoba untuk menggambarkan kejadian atau fenomena. Metode studi kasus sejalan
dengan apa yang diteliti yaitu bagaimana mengetahui kegiatan komersial di Perum Bulog
khususnya perdagangan gula pasir.
2. Kedalaman analisis
Dengan pendekatan studi kasus dapat memberikan keuntungan dalam fleksibilitas yang
lebih besar di penelitian (Wahyuni, 2003, p. 86). Dalam melakukan penelitian ini
menggunakan wawancara kualitatif (qualitative interviewing). Menurut Rubun dan Rubin
(1995), dengan melakukan wawancara kualitatif dapat memperkaya data untuk
membangun teori-tori yang menjelaskan pengaturan atau fenomena. (Wahyuni, 2003, p
.86). Perbedaan yang mendasar antara qualitative interviewing dan survey interviewing
adalah pada survey interviewing mencoba untuk melakukan generalisasi dengan
informasi yang relatif sederhana, sedangkan pada qualitative interviewing bukan untuk
penyerderhanaan, akan tetapi untuk mendapatkan segala informasi dan kompleksitas dari
permasalahan dan menjelaskannya secara komprehensif.
3. Perspektif proses
Bagaimana dengan menggunakan metode studi kasus dapat menjelaskan dari sejarah dari
proses yang diteliti. Hal ini dapat menjelaskan bagaimana sejarah dari perdagangan gula
pasir di Perum Bulog sampai dengan kondisi saat ini.
Tahapan Penelitian
Untuk melakukan penelitian ini perlu diketahui tahapan-tahapan yang dilakukan,
antara lain :
Tahap Pralapangan
Pada tahap pralapangan dilakukan penyusunan rancangan penelitian dan pengumpulan
informasi awal dengan melakukan kegiatan survey pendahuluan. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui kondisi secara umum tentang kegiatan komersial secara umum dan kegiatan
perdagangan komoditi gula pasir di Perum Bulog. Selain itu juga mencari informasi perihal
struktur organisasi Perum Bulog beserta orang yang berperan dalam pengelolaan kegiatan
komersial khususnya untuk perdagangan komoditi gula pasir. Setelah itu peneliti melakukan
beberapa persiapan yang diperlukan untuk melakukan penelitian yaitu menentukan jadwal
104
penelitian, ijin penelitian di Perum Bulog, persiapan dokumen penelitian, rancangan
pengumpulan data dan peralatan yang dibutuhkan untuk penelitian. Pada tahap pralapangan
dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2012 sampai dengan 9 November 2012.
Tahap Pekerjaan Lapangan
Pada tahap pekerjaan lapangan dilakukan dari tanggal 12 November 2012 sampai
dengan 7 Desember 2012 dengan melakukan wawancara secara mendalam (depth interview).
Sebelum melakukan wawancara sudah di buat janji terlebih dahulu dengan narasumber.
Narasumber yang dipilih adalah Direktur SDM dan Umum, Kepala Divisi Investasi, Kepala
Divisi Analisa Harga dan Pasar, Kepala Subdivisi Pemasaran dan Kepala Subdivisi Non
Perberasan. Narasumber tersebut dipilih bukan berdasarkan jabatan yang sedang dipegang,
melainkan berdasarkan pengalaman dan keahlian di bidang komersial dan perdagangan gula
pasir di Perum Bulog.
Wawancara dilakukan satu persatu dengan tipe setengah terstruktur dan fokus secara
detail tentang keadaan komersial dan perdagangan gula pasir di Perum Bulog serta tentang
kapabilitas berbasis pasar. Walaupun sudah ada pertanyaan standarnya, narasumber bebas
untuk mengembangkan jawabannya supaya mendapatkann hal-hal yang diluar dugaan perihal
permasalahan yang diteliti. Karena itu daftar pertanyaan yang diberikan kepada narasumber
hanya sebagai pedoman dalam wawancara tersebut. Pertanyaan yang dibuat berdasarkan hal-
hal yang didapatkan pada tahap pra lapangan, studi literatur dan sesuai dengan tujuan dari
penelitian.
Selain itu pada saat melakukan wawancara dapat direkam dengan terlebih dahulu
meminta ijin kepada narasumber. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam melakukan
transkrip dan analisa hasil wawancaran. Akan tetapi ada beberapa narasumber yang menolak
untuk dipublikasikan rekaman tersebut dengan alasan kerahasiaan perusahaan.
Tahap Analisis Data
Menurut Rosman (1989), analisa data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar (Wahyuni, 2003, p.
92). Data-data yang digunakan pada saat penelitian berasal dari wawancara mendalam (deep
interview), dokumen perusahaan, website. Setelah data-data yang dibutuhkan terkumpul
dalam jumlah yang cukup maka analisis data dapat dilakukan.
105
Data hasil wawancara yang telah dikumpulkan dibuat transkrip hasil wawancara dan
mulai dilakukan pengelompokan data sesuai dengan kategori varibel yang berasal dari model
kapabilitias berbasis pasar. Serta dianalisa dengan dokumen perusahaan dan website sebagai
data pendukung hasil analisa.
Hasil Penelitian
General Environment
Analisa lingkungan umum (general environemt) dari pasar gula di dunia maupun
domestik dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi dan dapat digunakan untuk
menganalisa dan mengevaluasi dampaknya bagi perusahaan. Analisa ini dilakukan dengan
menggunakan analisa PEST (Political, Economy, Social, Technology) yang dapat melakukan
eksplorasi dari situasi pasar gula dunia, pasar gula domestik serta faktor-faktor yang
mempengaruhi dari produksi, konsumsi dan harga gula.
Gambar 4. PEST Analysis
Industrial Environment
Setiap perubahan yang terjadi di lingkungan umum berpotensial berdampak pada
lingkungan industri yang kompetitif. Untuk itu penting bagi perusahaan untuk melakukan
pengamatan dan pemantauan untuk mengetahui dampak ke lingkungan industri. Analisa
lingkungan industri perusahaan dilakukan dengan menggunakan analisa five forces Porter.
Menurut Porter (1980), five forces merupakan sebuah alat bantu dalam menilai daya tarik
106
suatu industri berdasarkan kekuatan dari daya saing. Adapun lima kekuatan tersebut dapat
dilihat dari gambar di bawah ini (Henry, 2011 p 66).
Gambar 5. Five Forces Porter Analysis
Firm Environment
Analisa dari lingkungan perusahaan dan sumber daya perusahaan (firm environment
and resources). Tujuan dari analisa ini adalah untuk mengetahui informasi dan perkembangan
dari perdagangan gula pasir antara Perum Bulog dan PTPN/PT. RNI. Analisa dilakukan
dengan menggunakan analisa SWOT (Strength, Weakness, Oportunities, Threats).
107
Gambar 6. SWOT Analysis
Pembahasan
Dalam melakukan perdagangan gula pasir, Perum Bulog harus selalu melihat kondisi
di eksternal dan internal perusahaan yang dapat digunakan untuk mendeteksi keadaan tersebut
sehingga dapat digunakan untuk menganalisa dan mengevaluasi dampak yang terjadi bagi
perusahaan. Untuk itu, Perum Bulog harus mengetahui situasi pasar gula dunia karena akan
mempengaruhi situasi pasar gula domestik. Produksi gula dunia pada periode 2009/2010
mengalami kenaikan sebanyak 6,8% dibandingkan tahun sebelumnya, akan tetapi konsumsi
pada periode yang sama mengalami kenaikan sehingga terjadi defisit gula dunia. Permintaan
gula dunia yang cenderung meningkat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu peningkatan
jumlah penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat dan perkembangan industri dengan
bahan baku gula.
Produksi gula domestik juga mengalami peningkatan, akan tetapi konsumsi gula
domestik juga mengalami kenaikan sebesar 3,52 juta ton pada tahun 2003 menjadi 4,85 juta
ton di tahun 2009. Hal ini mengakibatkan defisit gula sehingga kekurangan kebutuhan dalam
negeri diprnuhi dengan melakukan impor. Pemerintah Indonesia juga terus berusahan untuk
meningkatkan produksi gula domestik dengan mendorong perkembangan di industri gula
pasir melalui peningkatan efesiensi ditingkat Pabrik Gula (PG) dan petani. Terdapat tiga jenis
108
gula yang merupakan diperdagangkan di Indonesia yaitu (i) Gula Kristal Merah (raw sugar)
yang digunakan sebagai bahan baku industri rafinasi; (ii) Gula Kristal Rafinasi (Refined
Sugar) yang digunakan sebagai bahan baku di industri makanan minuman dan farmasi; (iii)
Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) yang digunakan untuk konsumsi langsung
masyarakat.
Dengan sering terjadinya defisit di gula domestik, pemerintah melakukan
perlindungan yaitu dengan melakukan stabilisasi harga ditingkat petani dan konsumen yang
disebabkan PTPN/PT.RNI mempunyai daya tawar yang lemah karena pasar oligopoli yang
dikuasai oleh pedagang besar, melakukan perbaikan tata niaga gula kristal putih (GKP)
dengan melakukan kerjasama sinergi BUMN antara PTPN/PT.RNI sebagai produsen dengan
Perum Bulog sebagai agen pemasaran gula kristal putih (GKP). Hal ini dilakukan karena
Perum Bulog mempunyai jaringan yang luas dan gudang yang ada di seluruh Indonesia
sehingga dapat mewujudkan sistem pemasaran yang efesien dan menyebar diseluruh daerah
sehingga distributsi dapat lebih merata.
Pada perdagangan gula kristal putih (GKP), Perum Bulog dan PTPN/PT.RNI
menggunakan pola keagenan dimana Perum Bulog mempunyai tugas untuk mengendalikan
stok GKP yang selama ini telah dikuasai oleh pedagang besar. Perum Bulog membeli GKP ex
PTPN/PT.RNI melalui skema lelang dan melakukan penyimpanan GKP di gudang sampai
tingkat kabupaten. Pedagang bisa membeli langsung ke gudang Bulog tanpa harus melalui
perantara distributor pedagang besar di pusat sehingga mata rantai dari distribusti GKP bisa
lebih pendek dan membuat harga GKP tidak menjadi lebih mahal.
Dalam mengembangkan kegiatan komersial di perdagangan GKP, Perum Bulog tidak
selau langsung menjual GKP, akan tetapi dapat juga mengembangkan proses bisnis dengan
melihat kapabilitas berbasis pasar. Yang pertama adalah pengembangan produk baru (new
product development) dari GKP dimana produk GKP tidak hanya langsung dijual melainkan
dikembangkan menjadi produk yang unik dan berbeda dari pesaing. Beberapa contoh yang
dapat dikembangkan antara lain dengan membuat kemasan GKP dengan ukuran lebih kecil
dan menarik untuk konsumen akhir, membuat bentuk GKP menjadi kotak, bulat yang
digunakan untuk target café dan warung kopi, membuat GKP dengan kualitas premium.
Yang kedua dengan mengoptimalkan manajemen konsumen yaitu dengan membina
hubungan dengan konsumen (customer relationship) baik yang berpotensial memberikan
keuntungan yang tinggi bagi perusahaan (high value customer) maupun konsumen biasa. Hal
109
ini bisa dilakukan dengan mengembangkan sistem manajemen konsumen (customer
relationshop management) berbasis tehnologi informasi (IT based) sehingga perusahaan
mendapatkan loyalitas dari konsumen (customer loyalty) dan dapat meningkatkan reputasi
dan image perusahaan.
Terakhir adalah penerapan manajemen rantai pasok (supply chain management) yang
terintegerasi dari hulu ke hilir dimana Perum Bulog harus dapat menyeimbangkan kebutuhan
supply dan demand (demad supply integration) dengan menerapkan sistem manajemen rantai
pasok berbasis TI melalui pengembangan informasi dari rencana permintaan (demand plan)
yang menggunakan strategi branding, positioning, peluncuran produk baru, iklan,
pemanfaatan public relations sebagai corporate media. Selain itu juga dengan pengembangan
informasi dari rencana operasional (operational plan) yaitu rencana strategis yang nyata
seperti pembelian GKP dari PTPN/PT.RNI melalui skema lelang, produksi GKP dengan
proses inovasi , melakukan efesisensi dalam inventory cost, melakukan proses just in time
(JIT), serta transportasi untuk mengirimkan GKP ke seluruh gudang Bulog di Indonesia
sebagai antisipasi dalam kesenjangan dalam distribusi (distribution gap). Hal ini juga harus
didukung dengan mendirikan anak perusahaan sebagai unit bisnis di sektor hulu dan hilir
dimana manajemen anak perusahaan tersebut sudah harus terpisah dari kegiatan pelayanan
publik(PSO).
110
Tabel 2. Proses Bisnis Dengan Perspektif Kapabilitas Berbasis Pasar
Komponen Kutipan Tujuan Rekomendasi
Customer-driven
Development (NPD)
Tidak ada keterlibatan dari konsumen pada
perdagangan gula pasir (Subali, 2012)
Pengembangan produk baru yang unik dan
susah ditiru serta mempunyai kelebihan di
banding pesaingnya.
Consumer oriented
Voice of customer
Cross-Funtional
Integration
(NPD)
Hanya terbatas pada dukukngan finansial
dan fungsi perawatan (Subali, 2012)
Efektifitas operasional produk, winning
new product, mengurangi waktu siklus
produk (cycle time).
Manajemen pengetahuan dari
pemasok dalam untuk melengkapi
pengetahuan
RnD Intensity Belum ada kerjasama dengan Divisi RnD
dalam pengembangan produk (Suyanto,
2012).
Pengembangan produk baru melalui
kerjasama dengan RnD
Integrasi dengan Divisi terkait
Customer Asset
Orientasion (CM)
Merupakan aset bagi Bulog tetapi
pengolahan masih dilakukan secara sama
(Agung, 2012)
Customer retention Implementasi CRM berbasis TI,
memelihara konsumen.
Focus on High
Customer (CM)
Hanya bekerjasama dengan distributor
besar (D1) (Pelitasari, 2012)
Customer Loyalty Fokus memilih HVC,
pengembangan produk kualitas
premium.
Responsiveness to
customers (CM)
Harus lebih tanggap kepada konsumen
(Subali, 2012)
Customer relationship, meningkatkan
reputasi dan image perusahaan.
Meningkatkan kapasitas dalam
merespon kebutuhan pelanggan,
cross selling produk
111
Sharing info (SCM) Hubungan dengan supplier gula masih di
tahapan penugasan pemerintah yaitu
sinergi BUMN (Suyamto, 2012)
Menyeimbangkan demand dan supply Sistem SCM berbasis TI
Supply chain
management
Pentingnya strategi aliansi khususnya pada
perdagangan gula pasir (Kodir, 2012)
Menyeimbangkan antara demand dan
supply, meningkatkan efesiensi dari
operasional sehingga biaya lebih rendah
Efesiensi :inventory cost,
implementasi just in time (JIT),
memperhatikan permintaan yang
sering berubah.
112
112
Kesimpulan
Berdasarkan teori, fakta uraian dan analisa di bab-bab dari hasil penilitian diperoleh
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Sebagai salah satu perusahaan BUMN, diharapkan Perum Bulog tidak hanya melakukan
penugasan pemerintah sebagai stabilitator harga pangan tetapi sudah fokus untuk
mendapatkan keuntungan melalui kegiatan komersial.
b. Perum Bulog harus melakukan pengamatan keadaan lingkungannya baik secara makro dan
industri dengan melihat pola dan tren yang mulai terbentuk serta melakukan ramalan
(forecast) dari tren tersebut sehingga dapat membantu menghadapi perubahan yang terjadi.
c. Dalam pengembangan produk baru, Perum Bulog diharapkan melakukan inovasi dari
produk gula kristal putih (GKP) menjadi produk yang unik serta susah ditiru oleh pesaing
dengan melibatkan dari seluruh unit internal perusahaan.
d. Perum Bulog sudah harus membina hubungan dengan konsumen, baik yang berpotensial
memberikan keuntungan yang tinggi bagi perusahaan (high value customer) maupun
konsumen biasa
e. Perum Bulog menerapkan manajemen rantai pasok yang baik, agar dapat menyeimbangkan
kebutuhan akan permintaan dan persediaan sehingga dapat meningkatkan efesiensi dari
operasional perusahaan.
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas dapat diketahui implikasi manajerial yang dapat membantu untuk
mengembangkan perusahaan dalam meningkatkan kinerja perusahaan yaitu:
a. Perum Bulog harus menerapkan strategi yang tepat dan didukung sepenuhnya oleh
manajemen dalam meningkatkan kegiatan komersial yaitu
� Strategi perusahaan yang dilakukan Perum Bulog harus sudah berubah dari berorientasi
kepada produk (product oriented) menjadi berorientasi kepada pasar (market oriented)
sehingga perusahaan dapat fokus mencari peluang pasar dibandingkan menunggu dari
penugasan pemerintah atau sinergi BUMN.
113
113
� Strategi bisnis diterapkan sejalan dengan strategi perusahaan yang melihat kebutuhan
konsumen sehingga dapat mendapatkan dan memelihara keunggulan kompetitif
(competitive advantage).
b. Perum Bulog harus melakukan integerasi dengan divisi atau unit kerja yang melakukan
pengamatan secara berkala keadaan di eksternal perusahaan sehingga dapat melakukan
antisipasi apabila terjadi perubahan.
c. Pengembangan produk baru dari gula kristal putih (GKP) dapat dilakukan dengan
melakukan inovasi produk (GKP) yaitu
� Menambah kemasan dari gula pasir menjadi lebih menarik bagi konsumen dengan
memberikan logo Bulog sebagai bagian dari produk yang berbeda.
� Membuat gula pasir dengan bentuk yang menarik misalnya dengan bentuk kotak, bulat
dan dengan kemasan yang kecil. Misalnya untuk di warung atau café
� Membuat kategori produk gula pasir dengan kualitas premium dengan target pasar
konsumen premium.
d. Manajemen pelanggan dibutuhkan dengan membina pelanggan yang dalam rangka
mendapatkan loyalitas dari konsumen.
� Mencari konsumen yang berpontensial pada segmen konsumen premium gula.
� Mengetahui kebutuhan konsumen dari suara pelanggan.
� Dukungan dari sistem manajemen pelanggan berbasis tehnologi informasi
e. Manajemen rantai pasok digunakan untuk memberikan informasi yang tepat dalam
menyeimbangkan antara permintaan dan persediaan:
� Dukungan dari sistem manajemen rantai pasok berbasis TI dalam membantu perusahaan
untuk meningkatkan kinerja perusahaan.
� Bekerjasama dengan PG swasta baik didalam dan luar negeri dalam meningkatkan
pasokan GKP
� Bekerjasama dengan toko ritel, koperasi, hypermarket dengan produk GKP yang sudah
dikemas ulang.
� Membuat anak perusahaan sebagai unit bisnis di sektor hulu dan hilir yang manajemennya
harus bernar terpisah dari kegiatan pelayanan publik (PSO).
114
114
Daftar Pustaka
Annesya, Devanna (2011); Tehnik pengumpulan data: Wawancara dan FGD ;
http://frenndw.wordpress.com/2011/03/15/teknik-pengumpulan-data-wawancara-dan-
fgd-forum-group-discussion/.
Assauri, Sofjan (2012); Strategic Marketing Sustaining Lifetime Customer Value; Jakarta.
Basrowi, Suwandi (2008); Memahami penelitian kualitatif; Jakarta.
Belch (2012); Advertising and Promotion. An Integrated Marketing Communications
Perspective; McGraw Hill. New York
Best, Roger J (2009); Market-Based Management. Strategies for Growing Customer Value and
Profitability; Person International Edition.
Bhuiyan, Nadia (2011); A framework for successful new product development; Journal of
Industrial Engineering and Management.746-770.
Cooper, Robert G (2011); Winning at New Products; United State of America.
Divisi Perdagangan (2009); Laporan hasil kerja panitia kerja swasembada gula Komisi VI DPR
RI. Periode 2009-2014. Jakarta.
Divisi Perdagangan (2010); Roadmap swasembada gula 2010-2014; Jakarta
Divisi Perdagangan (2010); Business Plan off-taker GKP; Jakarta
Divisi Perdagangan (2011); Standar Operasional Prosedur Keagenan Pemasaran Gula Kristal
Putih (GKP) Milik PTPN/PT.RNI; Jakarta.
Doyle, Peter (2000); Value-Based Marketing – Marketing Strategies for Corporate Growth and
Shareholder Value; England.
Esper, Terry L. et al (2009); Demand and supply integration: a conceptual framework of value
creation through knowledge management; Journal of the Academy Marketing Science,
38: 5-18.
Henry, Anthony E (2011); Understanding Strategic Management; Oxford New York
115
115
Malshe, Avinash. Sohi, Ravipreet (2009); What makes strategy makin across the sales-marketing
interface more successful?; Journal of the Academy of Marketing Science, 37:400-421.
Monsef, Sanaz. Ismail, Wan (2012); The impactof open innovation in new product development
process; International Journal of Fundamental Psychology & Social Sciences, Vol 2,
No. 1 pp. 7-12.
Mullins, Jhon W. Orville. Walker (2010); Marketing Management. A Strategic Decision-Making
Approach; McGraw Hill. New York
Permana, Krisman Hadi (2011); Gula Rafinasi http://ambhen.wordpress.com/ 2011/10/18/gula-
rafinasi/
Ramaswami, S and Srivastava, R (2009); Market-based capabilities and financial performance of
firms: insight into marketing’s contribution to firm value; Journal of the Academy of
Management Science, Vol. 37 pp. 97 -116.
Srivastava, R. Shervani, T. Faley, L (1998); Market-based assets and shareholder value: A
framework for analysis; Journal of Marketing, Vol. 62, 2-18
Suksmantri, Eko., Yulianto, Djumali (2012); BULOG dalam bingkai ketahanan pangan; Jakarta.
Tim Penyusun Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada (2010); Evaluasi
Keagenan Pemasaran Gula Kristal Putih (GKP) Milik PTPN/PT. RNI; Yogyakarta.
Tim Penyusun RJPP (2011); Rencana Jangka Panjang Perusahaan 2012-2016; Jakarta
Tzokas, Nikolaos. Hutlink, Erik Jan. Hart, Susan (2003); Navigating the new product
development process; Jurnal of Industrial Marketing Management, 33, 619-626.
Varadarajan, P. Rajan. Jayachandaran, Satish (1999); Marketing strategy: An Assesment of the
state of the field and outlook; Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 27,
pages 120-143.
Wahyuni, Sari (2003); Strategic Alliance Development, A Study on Alliances between Competing
Firms; Nederlands
http://www.bps.go.id
http://www.bulog.co.id
http://www.rni.co.id/
116
116
KETENTUAN PENULISAN JURNAL
1. Substansi Artikel. Artikel yang diserahkan merupakan tulisan ilmiah dengan desain kuantitatif
maupun kualitatif berupa: studi pustaka, studi empiris, ataupun studi kasus, sebagai hasil pengembangan Ilmu Bisnis dan Kewirausahaan. Artikel yang disumbangkan adalah artikel orisinil yang belum pernah dipublikasikan di media lain dan menggunakan pustaka acuan mutakhir, proposi terbitan 15 tahun terakhir.
2. Gaya penulisan. Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baku. Artikel memuat judul, nama penulis beserta keterangan dan alamat kerja yang jelas. Penulisan abstrak dibatasi maksimum sampai 300 kata, untuk artikel Indonesia, abstrak ditulis Inggris dan sebaliknya, disertai kata kunci (keyword). Bagian utama artikel ditulis dengan sistematika: Pendahuluan, Tujuan Penelitian, Tinjauan Teori, Metodologi, Analisis dan Pembahasan, Kesimpulan, Saran, Daftar Pustaka. Setiap judul baik sub judul tulisan perlu diberikan HURUF TEBAL SEMUA. Penyajian Gambar, tabel, bagan, dan pendukung lain harus disertai dengan nomor urut, judul, dan sumber yang konsisten.
2.1 Contoh Daftar Pustaka
Andrew Winton and Yerramilili, Y. (2008). Entrepreneurial Finance: Bank versus venture
capital, Journal of Financial Economics, Vol.88, Issue 1, Published by Elsevier. Manurung, Adler Haymans, (2011). Metode Riset: Keuangan, Investasi dan Akuntansi Empiris, PT Adler Manurung Press, Jakarta.
3. Seleksi Artikel. Artikel yang masuk ke redaksi akan diseleksi dan direview oleh anggota dewan redaksi dan ada kemungkinan untuk diedit dan/atau dikembalikan untuk diperbaiki dan/atau dilengkapi. Artikel yang tidak dimuat tidak dikembalikan. Artikel yang dimuat merupakan hak redaksi dan dapat ditampilkan dalam media lain untuk akademik. Isi artikel di luar tanggung-jawab redaksi.
4. Penyerahan Artikel. Artikel yang akan dimuat dapat dikirim/diserahkan berupa print-out ketikan dan dalam bentuk file Microsoft Word yang bisa dibuka dengan baik. Artikel dicetak pada kertas A4 atau folio, spasi ganda, huruf dengan Times New Roman 12, dimana jumlah halaman 15- 45 halaman. Adapun alamat Redaksi Jurnal sebagai berikut:
Redaksi Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan
Staff Sirkulasi & Administrasi
Editorial Office
Redaksi Bisnis dan Kewirausahawan Sampoerna Shool of Business Building D. Mulia Business Park Jl. Letjen MT. Haryono Kav. 58-60 Jakarta 12780 Telepon + 62 21 794 2340 Fax + 62 21 794 2330