Daftar IsIPROLOG 1
VISI DAN MISI 2
KATA PENGANTAR MENTERI KEUANGAN 4
BAB I PENDAHULUAN 20
BAB II REfORMASI BIROKRASI KEMENTERIAN KEUANGAN 24
BAB III KEBIJAKAN PENGELOLAAN EKONOMI MAKRO 38
BAB IV KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENDAPATAN NEGARA 52
BAB V KEBIJAKAN PENGELOLAAN BELANJA PEMERINTAH PUSAT 92
BAB VI KEBIJAKAN PENGELOLAAN TRANSfER KE DAERAH DAN KEUANGAN DAERAH 114
BAB VII KEBIJAKAN PENGELOLAAN PEMBIAYAAN 136
BAB VIII KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA 168
BAB IX KEBIJAKAN PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA, PIUTANG NEGARA, DAN LELANG 190
BAB X KEBIJAKAN PENGAWASAN PASAR MODAL DAN INDUSTRI KEUANGAN NON BANK 210
BAB XI KEBIJAKAN PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN INTERNAL 232
BAB XII KEBIJAKAN HUBUNGAN DAN KERJASAMA INTERNASIONAL 250
BAB XIII KEBIJAKAN HUBUNGAN KELEMBAGAAN DENGAN INSTANSI PEMERINTAHAN 274
BAB XIV KEBIJAKAN SUMBER DAYA MANUSIA 286
BAB XV PELAKSANAAN TUGAS KEMENTERIAN KEUANGAN SEBAGAI KEMENTERIAN/LEMBAGA 294
BAB XVI PENUTUP 308
LAMPIRAN 312
PEJABAT KEMENTERIAN KEUANGAN 10PROfIL PEJABAT KEMENTERIAN KEUANGAN 12BAGAN ORGANISASI KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 16
Kementerian Keuangan mendapatkan mandat yang sangat penting dan strategis, yakni mengelola keuangan negara sebagai unsur utama pelaksanaan fungsi Pemerintahan dalam mendorong pembangunan dan melayani masyarakat.
Implementasi prinsip-prinsip tata kelola yang baik serta peningkatan kualitas kelembagaan terus digulirkan, sehingga optimalisasi pengelolaan dapat terwujud.
Melalui Reformasi Birokrasi, Kementerian Keuangan terus berbenah dan mengolah diri untuk menjadi lebih bernilai bagi kemajuan bangsa.
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 3
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
2
VISI :Menjadi Pengelolaan Keuangan Dan Kekayaan Negara Yang Dipercaya Dan Akuntabel Untuk Mewujudkan Indonesia Yang Sejahtera, Demokratis, Dan Berkeadilan.
MISI :Untuk mewujudkan visi tersebut, Kementerian Keuangan mempunyai 4 misi, yaitu:
(i) Misi Fiskal Mengembangkan kebijakan fiskal yang sehat, berkelanjutan,
hati-hati (prudent), dan bertanggungjawab.
(ii) Misi Kekayaan Negara Mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal
sesuai dengan asas fungsional, kepastian hukum, transparan, efisien dan bertanggungjawab.
(iii) Misi Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Mewujudkan industri pasar modal dan lembaga keuangan
non bank sebagai penggerak dan penguat perekonomian nasional yang tangguh dan berdaya saing global.
(iv) Misi Penguatan Kelembagaan 1. Membangun dan mengembangkan organisasi berlandaskan
administrasi publik sesuai dengan tuntutan masyarakat. 2. Membangun dan mengembangkan SDM yang amanah,
profesional, berintegrasi tinggi dan bertanggungjawab. 3. Membangun dan mengembangkan teknologi informasi
keuangan yang modern dan terintegrasi serta sarana dan prasarana strategis lainnya.
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 5
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
4
Agus D. W. Martowardojo Menteri Keuangan R.I.
SAMBUTANMENTERI KEUANGANREPUBLIK INDONESIA
Sesuai dengan amanat UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Presiden RI selaku
pemegang kekuasaan pemerintahan di bidang keuangan negara memberikan mandat kepada
Menteri Keuangan sebagai pengelola fiskal, wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara
yang dipisahkan dan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN). Mandat tersebut selanjutnya
dijabarkan menjadi serangkaian tugas yang harus dilaksanakan oleh Menteri Keuangan dengan
dukungan segenap jajaran Kementerian Keuangan. Semua tugas yang diemban ditujukan untuk
mengoptimalkan jalannya administrasi pemerintahan, fasilitasi pembangunan, dan pelayanan
publik yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Ruang lingkup tugas Kementerian Keuangan sangat luas dan mempunyai posisi yang sangat
strategis. Mulai dari pengalokasian anggaran dan sumber-sumber pendanaan dalam rangka
membiayai tugas umum pemerintahan dan pembangunan baik di tingkat pusat maupun di
daerah. Keuangan negara yang dikelola secara efektif dan efisien, transparan, serta akuntabel
menjadi prasyarat untuk mengatasi persoalan pembangunan yang bersifat multidimensi, seperti
pengangguran, kemiskinan, dan disparitas pendapatan antargolongan masyarakat maupun
antarwilayah.
Menyadari kondisi tersebut, Kementerian Keuangan telah menjadi pelopor dalam implementasi
Reformasi Birokrasi di kalangan instansi pemerintah, yaitu sejak tahun 2006, dan terus dilanjutkan
hingga saat ini. Substansi Reformasi Birokrasi adalah dilakukannya penyempurnaan secara
fundamental pada aspek kelembagaan, ketatalaksanaan, dan manajemen sumber daya manusia.
Hasilnya telah terlihat dengan nyata berupa perbaikan secara signifikan pada kinerja unit-unit di
lingkungan Kementerian Keuangan, baik di tingkat pusat maupun daerah, meskipun masih banyak
tantangan dan kendala yang harus dihadapi, serta belum seluruh persoalan dapat terselesaikan.
Penyusunan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro merupakan tugas Kementerian Keuangan.
Tugas ini telah dijalankan secara terencana, terukur, dan berkesinambungan, sehingga dapat
menghasilkan kondisi indikator ekonomi makro Indonesia yang stabil dan berkelanjutan yang
dibutuhkan untuk menunjang proses pembangunan. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010
relatif tinggi yang disertai dengan inflasi yang cukup rendah dan nilai tukar rupiah yang terus
menguat terhadap mata uang asing. Selain itu, investasi domestik dan asing, perdagangan
internasional, serta pasar keuangan mengalami peningkatan.
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 7
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
6
Kondisi ekonomi makro Indonesia pada tahun 2010 terbukti stabil ditengah-tengah perekonomian
dunia yang masih sangat rapuh dan labil. Nilai tukar rupiah cenderung menguat, inflasi relatif
rendah, kinerja ekspor dan impor merambah naik, dan cadangan devisa Indonesia terus meningkat.
Sebaliknya, di banyak negara lain, khususnya di negara-negara maju, terjadi gejolak di pasar uang,
pasar modal, maupun harga komoditas yang berfluktuasi cukup tajam, dengan indikasi menuju
keseimbangan yang sangat lambat. Stabilnya perekonomian nasional tidak dapat dilepaskan
dari upaya-upaya yang ditempuh pemerintah dengan memasukkan faktor-faktor risiko tersebut
sebagai pertimbangan dalam menyusun kebijakan fiskal. Tingkat kepercayaan terhadap kebijakan
fiskal semakin meningkat dan hal ini berarti terpenuhinya prasyarat bagi pembangunan ekonomi
Indonesia yang berkualitas secara berkelanjutan.
Kementerian Keuangan telah belajar dari pengalaman krisis ekonomi dunia yang masih terjadi pada
saat ini maupun pada periode-periode sebelumnya. Fenomena krisis menunjukkan pentingnya
kekuatan ekonomi domestik dan regional sebagai tumpuan kinerja perekonomian Indonesia.
Globalisasi dan pemberlakukan pasar bebas harus dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik,
sehingga tidak lagi menjadi ancaman dan risiko bagi upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan fiskal oleh karenanya diarahkan untuk menjadi sumber daya yang mendukung aktivitas
pembangunan di segala bidang dengan mengakselerasi sektor-sektor ekonomi agar dapat bergerak
lebih cepat, efektif, dan efisien.
Tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2010 adalah “Pemulihan Perekonomian Nasional dan
Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat”. Tema ini menjadi pedoman bagi Kementerian Keuangan
dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2010 sebagai instrumen
kebijakan fiskal. Pada sisi pendapatan negara, pemerintah memberikan insentif perpajakan,
menaikkan tarif cukai hasil tembakau dan alkohol, menyederhanakan golongan batasan produksi,
serta mengenakan bea keluar untuk ekspor biji kakao. Selain itu, dilakukan optimalisasi Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk penerimaan sumber daya alam (SDA), terutama dari minyak dan
gas bumi, serta peningkatan kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan penerimaan PNBP dari
Kementerian/Lembaga.
Sebagai hasilnya, realisasi pendapatan negara dan hibah pada tahun 2010 tercatat mencapai
Rp 1.014,0 triliun. Angka ini setara dengan 102,2 persen dari yang ditargetkan dan 16,0 persen dari
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Kontribusi penerimaan perpajakan diketahui mencapai
Rp 744,1 triliun, sedangkan PNBP sebesar Rp 267,5 triliun dan hibah sebanyak Rp 2,4 triliun.
Pada sisi belanja negara, kebijakan yang ditempuh diarahkan untuk melancarkan transmisi
keuangan negara dalam menjalankan program-program prioritas pembangunan di pusat maupun
daerah. Belanja negara diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai dan mendukung
operasional pemerintahan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik. Selain itu, yang
tidak kalah pentingnya adalah belanja negara untuk meningkatkan ketersediaan infrastruktur,
melindungi masyarakat miskin, dan mengurangi kesenjangan fiskal.
Aktivitas pembangunan yang berlangsung semakin dinamis di segala bidang membutuhkan
dukungan keuangan yang disusun dalam APBN. Kualitas belanja pemerintah pusat senantiasa
diperbaiki untuk meningkatkan dampak positif dari setiap rupiah yang digunakan. Pada tahun
2010, realisasi anggaran tercatat sebesar 93,5 persen dari anggaran yang tersedia sebanyak
Rp 1.053,5 triliun pada APBN-Perubahan (APBN-P). Jumlah anggaran ini setara dengan 16,6 persen
dari PDB Indonesia.
Seiring dengan itu, transfer dana ke daerah juga terus meningkat dan menuntut pengelolaan
keuangan daerah yang semakin baik. Realisasi transfer ke daerah telah mencapai 100 persen
dari dana yang dialokasikan sebesar Rp 344,7 triliun pada APBN-P. Proporsi transfer ke daerah
diketahui setara dengan 5,4 persen dari PDB dan terus meningkat, sehingga menunjukkan
semakin pentingnya kedudukan daerah dalam menudukung kinerja pembangunan nasional.
Secara bertahap, kesenjangan vertikal maupun horizontal dapat dikurangi, sehingga kualitas
pembangunan nasional dewasa ini telah merupakan fenomena akumulatif dari pembangunan
daerah.
Keseimbangan primer pada tahun 2010 diketahui sebesar Rp 48,9 triliun dan terjadi defisit
anggaran sejumlah Rp 39,5 triliun. Jumlah ini relatif kecil, yaitu hanya 0,6 persen dari PDB Indonesia.
Untuk menutupi defisit tersebut, telah ditempuh pembiayaan yang bersumber dari dalam maupun
luar negeri.
Pelaksanaan anggaran memerlukan mekanisme layanan unggulan yang memenuhi kaidah kehati-
hatian, namun ramah terhadap pengguna. Untuk itu, fungsi bendahara umum negara yang
mempunyai rentang kendali sangat luas telah disempurnakan secara terus-menerus. Beragam
inovasi ditempuh untuk memperbaiki pelayanan perbendaharaan, seperti pemberlakuan treasury
single account dan standar akuntansi pemerintah yang berbasis akrual. Kesemuanya dalam rangka
mendukung implementasi pendekatan pengganggaran terpadu, penganggaran berbasis kinerja,
dan kerangka pengeluaran jangka menengah. Di samping itu, penataan dan pembinaan secara
sistematis telah pula ditempuh dalam rangka meningkatkan kualitas laporan keuangan pemerintah
yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
Untuk memenuhi kebutuhan belanja negara, maka Menteri Keuangan melaksanakan pemungutan
pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang. Jenis pendapatan negara yang
dimaksud meliputi perpajakan, kepabeanan dan cukai, serta PNBP. Setiap tahunnya, kebijakan
pendapatan negara selalu diperbaiki serta diikuti oleh upaya ekstensifikasi dan intensifikasi dengan
tetap memperhatikan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Upaya-upaya yang
dilaksanakan telah menunjukkan hasilnya berupa peningkatan rasio pendapatan negara terhadap
potensi yang tersedia.
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 9
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
8
Semakin meningkatnya kebutuhan dana untuk memenuhi seluruh fungsi pemerintahan
mengakibatkan adanya defisit anggaran, meskipun masih dalam batas yang dapat ditolerir.
Defisit anggaran ditutup melalui pembiayaan yang bersumber dari utang maupun non utang.
Untuk meminimalkan risiko fiskal dan sekaligus meningkatkan kemandirian, maka Kementerian
Keuangan lebih memprioritaskan pembiayaan APBN yang bersumber dari potensi domestik. Selain
itu, penerimaan pembiayaan yang bersumber dari asset recovery yang tersisa dari waktu lampau
juga terus diupayakan penyelesaiannya.
Sebagai wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, Kementerian
Keuangan berupaya secara optimal mengelola kekayaan negara, piutang negara, dan lelang.
Penataan kekayaan negara perlu dilakukan dengan serius, karena aspek ini menjadi kendala dalam
memperbaiki laporan keuangan pemerintah. Pada saat yang sama, outstanding piutang negara yang
terdapat pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), instansi pemerintah, dan lembaga negara juga
diupayakan penyelesaiannya sesegera mungkin. Adapun kegiatan lelang semakin diintensifkan
untuk menarik minat masyarakat.
Tugas lainnya di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang yang dijalankan
oleh Kementerian Keuangan adalah pengawasan pasar modal dan industri keuangan non bank.
Tugas ini sangat penting mengingat industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank telah
bertumbuh pesat sebagai respons terhadap globalisasi dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Globalisasi mendorong semakin tingginya transaksi keuangan lintas negara, sehingga aliran modal
asing yang mengalir ke pasar modal Indonesia semakin deras. Sedangkan peningkatan likuiditas
masyarakat meningkatkan investasi pada beragam produk yang ditawarkan oleh lembaga
keuangan non bank.
Selain melaksanakan hubungan kelembagaan yang sinergis dengan instansi pemerintahan di
dalam negeri, Kementerian Keuangan telah melakukan hubungan dan mengembangkan kerjasama
internasional di bidang-bidang yang terkait. Kerjasama internasional yang berlangsung bersifat
bilateral, multilateral, maupun dengan organisasi internasional. Banyak manfaat yang diperoleh
dari jaringan kerjasama global yang dibangun, sehingga perlu terus ditingkatkan pada tahun-tahun
yang akan datang.
Kementerian Keuangan juga melaksanakan tugas-tugas yang sama dengan Kementerian lainnya,
yaitu sebagai suatu Kementerian/Lembaga Pemerintah. Pelaksanaan tugas-tugas ini maupun tugas-
tugas di bidang keuangan negara ditunjang oleh sistem pengawasan dan pengendalian internal
yang mumpuni. Di samping itu, sumber daya manusia di lingkungan Kementerian Keuangan terus
ditingkatkan kompetensinya melalui pendidikan dan pelatihan secara berjenjang, baik di dalam
maupun luar negeri.
Seluruh kebijakan, program, dan kegiatan pada tahun 2010 dilaksanakan oleh segenap jajaran
Kementerian Keuangan dengan memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang
baik. Dari uraian-uraian di atas, terlihat jelas bahwa banyak penyempurnaan yang telah dilakukan,
baik secara internal maupun eksternal, sehingga pengelolaan keuangan negara menjadi semakin
baik. Kebijakan, program, dan kegiatan yang dimaksud disajikan secara terbuka di dalam Buku
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010, sehingga semua pemangku kepentingan dapat
mengikutinya dengan seksama.
Pada kesempatan ini, saya secara khusus ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada Ibu Sri Mulyani Indrawati atas kontribusi yang beliau berikan selama
memimpin Kementerian Keuangan. Banyak hal positif telah beliau wujudkan, sehingga citra
Kementerian Keuangan semakin baik di mata publik domestik maupun komunitas internasional.
Pondasi yang telah beliau letakkan akan terus saya sempurnakan untuk menghadapi dinamika dan
beragam tantangan yang semakin besar di masa mendatang.
Akhirnya, saya menyambut baik inisiatif penyusunan buku ini dan berharap agar dapat terus
disempurnakan di tahun-tahun mendatang dengan juga mendapatkan masukan dari para
pemangku kepentingan. Terima kasih kepada semua pihak yang telah mencurahkan waktu serta
segenap pikiran dan tenaga untuk menyelesaikan buku yang sangat bermanfaat ini.
Jakarta, 2011
Menteri Keuangan Republik Indonesia
Agus D. W. Martowardojo
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 11
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
10
PEJABAT KEMENTERIAN KEUANGAN
1. Agus D.W. Martowardojo Menteri Keuangan
2. Anny Ratnawati Wakil Menteri Keuangan dan Dirjen Anggaran
3. Mulia Panusunan Nasution Sekretaris Jenderal
4. Hekinus Manao Inspektur Jenderal
5. R.B. Permana Agung Daradjatun Kepala Badan Pendidikan Pelatihan
Keuangan dan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Hubungan Ekonomi Keuangan
Internasional
6. Herry Purnomo Dirjen Perbendaharaan
7. Mochamad Tjiptardjo Dirjen Pajak
8. Hadiyanto Dirjen Kekayaan Negara
78 6 5 4 3 1 2 9 10 11 12 13
9. Rahmat Waluyanto Dirjen Pengelolaan Utang
10. Agus Suprijanto Kepala Badan Kebijakan Fiskal dan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan Negara
11. Thomas Sugijata Dirjen Bea Cukai
12. A. Fuad Rahmany Ketua Badan Pengawas Pasar Modal & Lembaga Keuangan
13. Mardiasmo Dirjen Perimbangan Keuangan
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 13
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
12
Beliau memulai karir perbankan di Bank of America, kemudian pada tahun 1986 Beliau bergabung dengan Bank Niaga dan terakhir menduduki posisi sebagai Vice President – Corporate Banking Head, Corporate Banking Group.
Pada tahun 1995, Beliau diminta untuk menjadi Direktur Utama PT. Bank Bumiputera dan kemudian pada tahun 1998 ditugaskan sebagai Direktur Utama PT. Bank Ekspor Impor Indonesia. Selama kurun waktu tahun 1999 sampai dengan 2002, Beliau bertugas sebagai Managing Director Bank Mandiri yang membawahi berbagai bidang termasuk Risk Management & Credit Restructuring, Retail Banking & Operations dan terakhir memimpin bidang Human Resources & Support Services.
Pada bulan Oktober 2002, setelah menjabat sebagai Penasehat untuk Ketua BPPN, Beliau ditugaskan menjadi Direktur Utama PT. Bank Permata Tbk., dan semenjak Mei 2005 hingga Mei 2010,Beliau diminta memimpin PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. sebagai Direktur Utama. Pada tanggal 20 Mei 2010 Beliau dilantik sebagai Menteri Keuangan oleh Presiden RI.
Pada tahun 2009 Asiamoney menempatkan Beliau sebagai Indonesia’s Best Executive in 2009. Kemudian pada tahun 2010 Beliau memperoleh The Indonesian Banker Leadership Achievement Award 2010 dari The Asian Banker.
PROFIL PEJABAT KEMENTERIAN KEUANGAN
Anny Ratnawati Wakil Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Anggaran
Lahir di Yogyakarta, 24 Februari 1962. Menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan sejak Juli 2008 dan juga sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. Pendidikan Sarjana Agribisnis ditempuh di Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1985, disusul Magister Ekonomi Pertanian tahun 1989 di IPB dan Doktor Ekonomi Pertanian dari universitas yang sama tahun 1996.
Agus D.W. Martowardojo Menteri Keuangan
Lahir pada tahun 1956 dan menyelesaikan pendidikan serta memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia. Selain itu Beliau juga menyelesaikan berbagai course dibeberapa institusi: State University of New York, Harvard Business School, Standford University dan Wharton Executive Education.
Hekinus Manao
Inspektur Jenderal Lahir di Bawomataluo Nias, Juli 1956. Menjabat sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan sejak tahun 2008. Merupakan alumnus STAN tahun 1984. Kemudian meraih gelar Master of Accountancy dari Case Western Reserve University, Ohio, AS tahun 1990 dan gelar Doctor of Business Administration dari Cleveland State University, Ohio, AS tahun 1995.
Mulia P. Nasution Sekretaris Jenderal
Lahir di Panyabungan, 27 Agustus 1951. Memimpin Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan sejak tahun 2006. Pendidikan S1 ditempuh di Institut Ilmu Keuangan (IIK), Jakarta tahun 1980, kemudian meraih master di bidang Public Administration dari Universite de Paris II, Sorbonne Perancis tahun 1986 dan terakhir S3 Keuangan Negara pada universitas yang sama tahun 1989.
Thomas SugijataDirektur Jenderal Bea dan Cukai
Lahir di Yogyakarta, 21 Juni 1951. Menjalankan tugasnya sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai sejak tahun 2009. Gelar yang diperolehnya: Sarjana Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tahun 1978, Magister Manajemen dari Universitas Diponegoro, Semarang tahun 2002.
Mochammad Tjiptardjo Direktur Jenderal Pajak
Lahir di Tegal, 28 April 1951. Resmi dilantik menjadi Direktur Jenderal Pajak sejak tahun 2009. Pendidikan terakhir yang ditempuh adalah Master of Arts di bidang ekonomi dari Williams College Massachussets, AS tahun 1984.
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 15
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
14
MardiasmoDirektur Jenderal Perimbangan Keuangan
Lahir di Solo, 10 Mei 1958. Menjabat sebagai Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan sejak tahun 2006. Gelar yang diraihnya: Sarjana Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1981, Master of Business Administration dari University of Bridgeport, Connecticut, AS tahun 1989 dan gelar Ph.D dari University of Birmingham, Inggris tahun 1999.
Rahmat WaluyantoDirektur Jenderal Pengelolaan Utang
Lahir di Metro, Lampung 3 Oktober 1956. Menjabat sebagai Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan sejak tahun 2006. Gelar yang diraihnya: Sarjana Akuntansi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1983, Master of Business Administration dari University of Denver, Colorado, AS tahun 1992 dan gelar Ph.D dari University of Birmingham, Inggris tahun 1997.
Ahmad Fuad RahmanyKetua Bapepam-LK
Lahir di Singapore, 11 November 1954. Memimpin Bapepam-LK sejak tahun 2006. Gelar yang diraihnya: Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1981, Master of Arts dari Duke University, North Carolina, AS tahun 1987, dan Doktor di bidang ilmu ekonomi Vanderbilt University, Tennesee, AS tahun 1997.
Agus SuprijantoKepala Badan Kebijakan Fiskal dan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan Negara
Lahir di Yogyakarta, 14 Agustus 1953. Menjalankan tugasnya sebagai Pejabat Sementara (Pjs.) Kepala Badan Kebijakan Fiskal sejak 27 Mei 2010, serta sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan Negara sejak tahun 2008. Gelar yang diperolehnya: Sarjana Hukum dari Universitas Udayana, Denpasar tahun 1985, Master of International Economics dari University of Colorado, AS tahun 1991, dan Doctor of International Monetary/Econometrics, dari universitas yang sama tahun 1995.
Permana Agung Daradjatun Kepala Badan Pendidikan Pelatihan Keuangandan Staf Ahli Menteri Menteri Keuangan Bidang Hubungan Ekonomi Keuangan Internasional
Lahir di Cakranegara-Lombok, 27 Oktober 1952. Tahun 1999-2002 menjalankan tugasnya sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Badan Pendidikan Pelatihan Keuangan sejak Juni 2010 serta menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Hubungan Ekonomi Keuangan Internasional sejak 2008. Gelar yang diraihnya: M.Sc dari University of Illinois, Urbana Champaign, AS tahun 1985; MA dari University of Notre Dame, Indiana AS tahun 1987; dan Ph.D dari University of Notre Dame, Indiana, AS tahun 1989.
Herry Purnomo Direktur Jenderal Perbendaharaan
Lahir di Ciamis, 8 Mei 1953. Sejak tahun 2006 memimpin Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan. Pendidikan S1 ditempuh di Institut Ilmu Keuangan (IIK), Jakarta tahun 1980 dan meraih gelar Master of Social Science dari University of Birmingham, Inggris tahun 1989.
Hadiyanto Direktur Jenderal Kekayaan Negara
Lahir di Ciamis, 10 Oktober 1962. Memimpin Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan sejak tahun 2006. Gelar Sarjana Hukum diperolehnya dari Universitas Padjadjaran Bandung tahun 1986, disusul gelar Master of Law dari Harvard University, AS tahun 1993.
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 17
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
16
Direktorat JenDeral PerbenDaharaan
Direktorat JenDeral anggaran
Direktorat JenDeral PaJak
Direktorat JenDeral kekayaan negara
Direktorat JenDeral bea Dan Cukai
Direktorat JenDeral Perimbangan
keuanganbaDan kebiJakan
FiskalDirektorat JenDeral Pengelolaan utang
baDan Pengawas Pasar moDal Dan
lembaga keuangan
baDan PenDiDikan Dan Pelatihan
keuangan
menteri keuangan
wakilmenteri keuangan
staF ahli menteristaF khusus insPektorat JenDeral sekretariat JenDeral
BAGAN ORGANISASIKEMENTERIAN KEUANGANREPUBLIK INDONESIA
Transformasi Berkelanjutan
Melanjutkan Proses Reformasi Dalam Birokrasi Yang Berkualitas, Transparan, Dan Efisien
TRANSFORMATION
Continuing The Reform Process In The Quality, Transparent, And Efficient Bureaucracy.
Sustainable Transformation
TrANSforMASI
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 21
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
20
Buku Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 disusun sebagai salah satu upaya
mewujudkan prinsip transparansi dan akuntabilitas di kalangan lembaga Pemerintah, khususnya di
bidang pengelolaan keuangan negara. Isi buku terdiri dari 14 bab utama yang didahului oleh Bab
I Pendahuluan serta diakhiri dengan Bab XVI Penutup. Ke-14 bab utama merefleksikan kebijakan,
program, dan kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing unit kerja di lingkungan Kementerian
Keuangan beserta hasil-hasil yang telah dicapai di sepanjang tahun 2010. Di samping itu, di sajikan
pula hal-hal yang masih menjadi tantangan untuk diselesaikan pada tahun-tahun yang akan datang.
Bab II berisi tentang implementasi Reformasi Birokrasi di Kementerian Keuangan. Uraian diawali
dengan latar belakang Reformasi Birokrasi, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai
sasaran dan pencapaian Reformasi Birokrasi. Tiga pilar Reformasi Birokrasi merupakan sub bab
selanjutnya yang diikuti oleh pembahasan tentang transformasi kelembagaan, pengukuran kinerja,
pendukung Reformasi Birokrasi, serta pengembangan teknologi informasi dan komunikasi. Bab ini
diakhiri dengan simpulan.
Bab III mengulas mengenai kebijakan pengelolaan ekonomi makro yang terutama digunakan
sebagai landasan dalam penyusunan Nota Keuangan serta Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Kandungan bab ini terdiri dari latar belakang serta perkembangan kebijakan
dan realisasi pengelolaan ekonomi makro. Indikator ekonomi makro yang dibahas meliputi
pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, inflasi, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan,
harga dan lifting minyak, neraca pembayaran, serta pengangguran dan kemiskinan. Uraian pada
setiap sub bab dilengkapi dengan data yang disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
Bab IV adalah bagian yang menguraikan tentang kebijakan pengelolaan pendapatan negara.
Arah dan strategi kebijakan pengelolaan pendapatan negara merupakan sub bab yang pertama
dan memuat mengenai bidang perpajakan, kepabeanan dan Cukai, serta penerimaan negara
bukan pajak (PNBP). Sub bab selanjutnya membahas mengenai perkembangan realisasi
pendapatan negara. Setelah uraian mengenai peluang dan tantangan yang dihadapi dalam
rangka meningkatkan pendapatan negara, maka pada bagian akhir diulas tentang pengawasan
dan pengendalian pendapatan negara serta summary.
Muatan Bab V berupa kebijakan pengelolaan belanja Pemerintah pusat. Pembahasan pada
bab ini diawali dengan penyusunan APBN dan dilanjutkan dengan pengalokasian anggaran.
Reformasi penganggaran merupakan pokok bahasan selanjutnya yang diikuti dengan uraian
mengenai realisasi belanja Kementerian/Lembaga. Sub bab berikutnya mengulas mengenai tingkat
penyerapan anggaran Kementerian Keuangan pada tahun 2010 serta pengadaan barang dan jasa
sebagai penutup.
Bab VI memuat substansi bahasan yang dewasa ini menjadi semakin penting, yaitu mengenai
kebijakan pengelolaan transfer ke daerah dan keuangan daerah. Dimulai dengan penjelasan
tentang arah dan strategi kebijakan transfer ke daerah yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi
mengenai pelaksanaan kebijakan anggaran transfer ke daerah.
Kementerian Keuangan merupakan institusi Pemerintah yang mendapatkan mandat untuk
mengelola keuangan negara. Mandat ini memiliki kedudukan yang sangat penting dan strategis,
karena keuangan negara merupakan salah satu unsur utama dalam pelaksanaan fungsi administrasi
Pemerintahan, fasilitasi pembangunan, dan pelayanan masyarakat. Pengelolaan keuangan negara
secara optimal di tingkat pusat dan daerah akan mendorong pelaksanaan pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan rakyat di segala bidang. Sebaliknya, pengelolaan keuangan negara yang
tidak optimal menyebabkan persoalan pengangguran, kemiskinan, dan disparitas tidak teratasi.
Fungsi keuangan negara pada dasarnya meliputi alokasi, stabilisasi, dan distribusi. Fungsi alokasi
ditujukan untuk membiayai barang dan jasa publik yang sulit disediakan oleh swasta. Fungsi
stabilitasi bertujuan untuk menjaga kestabilan harga, pertumbuhan ekonomi, dan kesempatan
kerja. Adapun fungsi distribusi ditujukan untuk menjamin efisiensi dan keadilan dalam alokasi
sumber daya untuk mengurangi kesenjangan. Selain ketiga fungsi tersebut, keuangan negara juga
memiliki fungsi otorisasi, perencanaan, dan pengawasan.
Kementerian keuangan setiap tahun melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, di samping tugas-
tugas lainnya yang relevan. Tugas dan fungsi dijalankan oleh masing-masing unit kerja terkait
di lingkungan Kementerian Keuangan yang berada di tingkat pusat maupun daerah. Sebagai
suatu sistem pengelolaan keuangan negara yang terjalin dari beragam sub sistem, maka aktivitas
setiap unit kerja akan berkontribusi terhadap kinerja Kementerian Keuangan. Selain itu, dengan
implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal secara luas, maka kontribusi Pemerintah
Daerah dalam mendukung fungsi keuangan negara telah menjadi semakin signifikan.
PENDAHULUANBAB I
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 23
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
22
Sub bab berikutnya mengenai laporan keuangan transfer ke daerah serta tantangan formulasi,
alokasi dan penghitungan transfer ke daerah. Dua sub bab lain yang tidak kalah pentingnya pada
bab ini adalah mengenai pajak daerah dan retribusi daerah serta pinjaman, hibah, dan kapasitas
daerah.
Bab VII berisi uraian tentang kebijakan pengelolaan pembiayaan dan mengandung 10 sub
bab. Sub bab yang pertama adalah tentang Latar Belakang dan Kondisi Tahun 2010, kemudian
disusul oleh ulasan mengenai arah dan strategi kebijakan pembiayaan. Sub bab ketiga dan
keempat masing-masing adalah sumber dan penggunaan pembiayaan non utang serta sumber
dan penggunaan pembiayaan utang. Uraian dilanjutkan dengan pokok bahasan mengenai
pengelolaan utang dan inisiatif pendukung pengelolaan utang. Sub bab yang ketujuh membahas
tentang kelembagaan pengelolaan utang yang diteruskan dengan topik mengenai manajemen
investasi sebagai sub bab kedelapan. Dua sub bab yang menutup bab ini adalah tentang risiko
fiskal serta kendala dan tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan pembiayaan.
Bab VIII mengandung uraian mengenai kebijakan pengelolaan perbendaharaan negara. Pada
awal bab dijelaskan tentang arah dan strategi kebijakan pengelolaan perbendaharaan negara serta
perkembangan pengelolaan perbendaharaan negara. Selanjutnya diulas mengenai implementasi
fungsi perbendaharaan serta transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Pembahasan pada
bab ini diakhiri dengan uraian singkat mengenai pending matters dan tindak lanjut.
Bab IX mengulas tentang kebijakan pengelolaan kekayaan negara, piutang negara, dan lelang.
Penjelasan dimulai dengan arah dan strategi pengelolaan kekayaan negara, piutang negara, dan
lelang. Sub bab selanjutnya berisikan materi tentang barang milik negara (BMN) dan kekayaan
negara yang dipisahkan. Diskusi kemudian dilanjutkan dengan pokok bahasan mengenai kekayaan
negara lain-lain dan perkembangan pengurusan piutang negara. Pada sub bab berikutnya disajikan
mengenai perkembangan lelang serta diakhiri dengan peluang dan tantangan.
Bab X membahas mengenai kebijakan pengawasan pasar modal dan industri keuangan non
bank. Seperti pada bab-bab yang lain, uraian pada bab ini diawali dengan arah dan strategi
kebijakan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan. Selanjutnya diikuti oleh sub bab yang
menguraikan tentang kinerja pasar modal dan lembaga keuangan. Bab ini ditutup dengan uraian
mengenai peluang dan tantangan yang dihadapi dalam pengawasan pasar modal dan lembaga
keuangan.
Bab XI memuat substansi mengenai kebijakan pengawasan dan pengendalian internal. Arah dan
strategi pengawasan dan pengendalian internal merupakan sub bab yang pertama, kemudian
diikuti oleh sub bab mengenai akuntabilitas kinerja dan keuangan. Pembahasan dilanjutkan dengan
sub bab evaluasi dan analisis pencapaian sasaran serta pengawasan dan pengendalian internal
di Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Sub bab berikutnya
menjelaskan tentang pengawasan dan pengendalian internal di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
(DJBC) serta pengawasan dan pengendalian internal di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pada
bagian akhir disajikan penjelasan mengenai peluang dan tantangan dalam pengawasan dan
pengendalian internal.
Bab XII menguraikan tentang kebijakan hubungan dan kerjasama internasional yang dijalankan
oleh Kementerian Keuangan. Uraian diawali dengan kerjasama multilateral dan sub bab
berikutnya menjelaskan mengenai kerjasama yang dijalin antarkawasan (interregional). Pada
sub bab ketiga dijelaskan tentang kerjasama kawasan ASEAN, diikuti sub bab keempat yang
menguraikan mengenai kerjasama bilateral. Isu jasa keuangan dijelaskan pada sub bab kelima,
sedangkan sub bab keenam menjelaskan tentang kerjasama organisasi tentang perpajakan,
kepabeanan dan Cukai. Sub bab ketujuh membahas tentang kerjasama di bidang pendidikan
dan pelatihan, kemudian ditutup oleh peluang dan tantangan.
Bab XIII merupakan bab yang menjelaskan tentang kebijakan hubungan kelembagaan di antara
Kementerian Keuangan dengan instansi Pemerintah lainnya. Sub bab yang pertama menguraikan
mengenai arah, strategi, dan kebijakan hubungan kelembagaan. Sub bab selanjutnya memaparkan
berbagai upaya yang telah dilakukan dalam menata hubungan kelembagaan dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan lembaga non DPR. Peluang dan tantangan merupakan sub bab
ketiga, sedangkan sebagai penutup adalah uraian mengenai proyeksi hubungan kelembagaan
pada tahun 2011.
Kebijakan sumber daya manusia (SDM) merupakan muatan yang dipaparkan pada Bab XIV.
Rincian penjelasan dimulai dengan arah kebijakan pengelolaan dan pengembangan kapasitas
SDM. Selanjutnya dijelaskan mengenai beragam upaya yang telah dilakukan dan pengembangan
kapasitas SDM yang diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK). Pada
bagian akhir bab ini diulas tentang pengembangan kapasitas SDM yang diselenggarakan oleh Unit
Eselon I di luar BPPK.
Bab XV adalah substansi yang terakhir dan berisi mengenai pelaksanaan tugas Kementerian
Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga. Uraian diawali oleh Rencana Strategis 2010-2014 dan
Rencana Kerja Kementerian Keuangan 2010. Sub bab berikutnya menjelaskan mengenai alokasi
anggaran dan realisasi belanja pada tahun 2010 serta laporan keuangan. Mengakhiri bab ini
diuraikan tentang pelaksanaan tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga dan
Sekretariat Pengadilan Pajak.
Materi-materi yang terkandung di dalam buku ini secara internal dapat menjadi cermin bagi
unit-unit kerja di lingkungan Kementerian Keuangan untuk menatap tahun 2011 dan tahun-
tahun selanjutnya dengan kinerja yang lebih tinggi. Adapun secara eksternal, buku ini dapat
memberikan gambaran bagi stakeholder Kementerian Keuangan mengenai upaya-upaya yang
telah ditempuh di sepanjang tahun 2010. Dengan demikian, buku ini dapat menjadi sumber
informasi dan sekaligus media publikasi untuk meningkatkan citra Kementerian Keuangan.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 25
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
24
Tugas FKRB berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 65/KMK.01/2010 adalah
mengkoordinasikan, mengarahkan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan Program
Reformasi Birokrasi yang dilaksanakan oleh seluruh unit organisasi di Kementerian Keuangan
serta mengkaji dan menyiapkan terbentuknya Badan Transformasi Birokrasi di Kementerian
Keuangan. FKRB menjadi penyelaras Program Reformasi Birokrasi yang melebur ke dalam tugas
pokok dan fungsi (tupoksi) unit terkait.
Gambar 2.1. Forum Koordinasi Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan
1. Assessment Center2. Pola Mutasi3. SIMPEG4. Penataan Pegawai
1. Penataan Organisasi2. AEJ3. SOP4. ABK
1. Monitoring & Evaluasi2. Penetapan IKU3. Kombik (website reform)4. Survei Opini
1. Diklat Berbasis2. Kompetensi
Koordinator Program SDM:Staf Ahli Bid.
Penerimaan Negara
Wakil:Karo SDM
Sekretaris:Tenaga Pengkaji
Sumber Daya Aparatur
Sekretaris:Tenaga Pengkaji
Perencanaan Strategis
Sekretaris:Sekretaris BPPK
Wakil:Karo Organta
Wakil:Kepala Pusdiklat
PSDM
Wakil:Kepala Pushaka
dan Karo Humas
Sekretaris:Inspektur VII
Kepala Pusat LPSE
Koordinator Program OTL:Staf Ahli Bid.
Pengeluaran Negara
Koordinator Program Monev dan Komblik:
Staf Ahli Bid. Makro Ekonomi dan
Keuangan Internasional
Koordinator Program Diklat:Staf Ahli Bid. Kebijakan
dan Regulasi Jasa Keuangan dan
Pasar Modal
Pengarah:Menteri Keuangan
Wakil Ketua I:Inspektur Jenderal
Ketua:Sekretaris Jenderal
Kepala Pelaksana Harian:Staf Ahli Bid. Organisasi
Birokrasi dan Teknologi Informasi
Wakil Ketua II:Kepala BPPK
Sekretariat:Tenaga Pengkaji
Sumber Daya Aparatur
TRB Unit
Sumber: FKRB Kementerian Keuangan.
2.2. SASARAN DAN PENcAPAIAN REFORMASI BIROKRASI
Sasaran dan pencapaian Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan selama tahun 2010 meliputi
peningkatan tata kelola Pemerintahan yang baik, kinerja birokrasi, dan pelayanan publik.
2.2.1. Peningkatan Good GovernanceTerciptanya good governance adalah Visi Reformasi Birokrasi yang hendak dicapai oleh Kementerian
Keuangan. Upaya untuk mencapai visi ini dituangkan ke dalam misi berikut ini.
(1) Membentuk dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum
tata kelola Pemerintahan yang baik.
2.1. LATAR BELAKANG REFORMASI BIROKRASI
Kementerian Keuangan menempati posisi strategis dalam Pemerintahan Republik Indonesia.
Hampir seluruh aspek perekonomian negara berhubungan langsung dengan kebijakan yang
dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan. Kebijakan dimaksud meliputi perencanaan, penyusunan
dan pengelolaan APBN, perpajakan, kepabeanan dan Cukai, pengelolaan kekayaan negara,
perimbangan keuangan pusat dan daerah, pengelolaan utang, serta pasar modal dan lembaga
keuangan non bank. Dengan kedudukannya yang strategis, maka penataan kelembagaan
merupakan prasyarat agar Kementerian Keuangan dapat menjalankan tugas pokok dan
fungsinya secara optimal.
Sebagai suatu organisasi yang menangani permasalahan yang sangat kompleks, Kementerian
Keuangan memerlukan harmonisasi untuk mencapai sinergi dalam mewujudkan visi dan misinya.
Sebuah langkah fenomenal telah diambil oleh pimpinan Kementerian Keuangan dengan
melakukan Reformasi Birokrasi. Reformasi Birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk
melakukan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan Pemerintahan, terutama
menyangkut aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (proses bisnis), dan sumber daya
manusia (SDM).
Reformasi Birokrasi di Kementerian Keuangan telah dimulai sejak tahun 2006. Hingga tahun 2009,
pelaksanaan Reformasi Birokrasi ditangani oleh Tim Reformasi Birokrasi Pusat (TRBP). Selanjutnya,
pada tahun 2010, pelaksanaan Reformasi Birokrasi dikoordinasikan oleh Forum Koordinasi
Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan (FKRB) yang dibentuk oleh Menteri Keuangan dan Tim
Reformasi Birokrasi Unit (TRBU) yang dibentuk oleh pimpinan masing-masing Unit Eselon I.
REFORMASI BIROKRASI KEMENTERIAN KEUANGAN
BAB II
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 27
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
26
(2) Memodernisasi birokrasi Pemerintahan dengan mengoptimalkan pemakaian teknologi
informasi dan komunikasi.
(3) Mengadakan relokasi dan meningkatkan kualitas SDM, termasuk menetapkan indikator kinerja
utama (IKU) dan perbaikan sistem remunerasi.
(4) Menyederhanakan sistem, prosedur, dan mekanisme kerja.
(5) Mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif.
2.2.2. Peningkatan Kinerja BirokrasiPeningkatan kinerja birokrasi Kementerian Keuangan yang berorientasi kepada hasil dilakukan
melalui perubahan secara terencana, bertahap, dan terintegrasi. Langkah aktual yang ditempuh
adalah dengan meningkatkan profesionalisme dan integritas birokrasi melalui:
(1) penguatan peraturan perundang-undangan;
(2) perubahan perilaku;
(3) penataan organisasi dan tatalaksana;
(4) penerapan budaya organisasi;
(5) penataan manajemen SDM;
(6) penguatan akuntabilitas;
(7) peningkatan kualitas pelayanan publik, serta
(8) penerapan sistem monitoring, evaluasi, dan pengawasan kinerja birokrasi yang semakin
melibatkan partisipasi masyarakat.
2.2.3. Peningkatan Pelayanan PublikReformasi Birokrasi dimaksudkan agar birokrasi Kementerian Keuangan dapat melayani
stakeholders yang heterogen sesuai dengan prinsip efisiensi, efektivitas, produktivitas, transparansi,
dan akuntabilitas. Seluruh proses pelayanan publik dijalankan dengan sungguh-sungguh
dan rasional. Untuk mengadaptasi dinamika masyarakat, maka konsep dan sistem yang digunakan
dievaluasi dan disempurnakan secara terus-menerus.
Reformasi Birokrasi yang dijalankan mencakup pula pelayanan publik di Pusat Pembinaan Akuntan
dan Jasa Penilai Kementerian Keuangan untuk menciptakan birokrasi yang efektif dan efisien,
sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang prima. Langkah yang sudah ditempuh antara
lain dengan:
(1) mempercepat waktu penyelesaian dokumen perizinan Akuntan Publik, Penilai Publik, Kantor
Akuntan Publik, dan Kantor Jasa Penilai Publik;
(2) membina profesi Akuntan Publik dan Penilai Publik melalui penyusunan kebijakan dan regulasi
yang efektif; serta
(3) mengawasi kegiatan Kantor Akuntan Publik dan Kantor Jasa Penilai Publik.
2.3. TIGA PILAR REFORMASI BIROKRASI
Program Reformasi Birokrasi di Kementerian Keuangan terdiri dari 3 pilar utama, yaitu:
(1) Penataan Organisasi;
(2) Penyempurnaan Proses Bisnis; serta
(3) Peningkatan Manajemen SDM.
Gambar 2.2. Pilar Reformasi Birokrasi
Pelayanan Publik
Kepercayaan Publik
Peningkatan Kinerja
Good Governance
Reformasi Keuangan Negara
Indikator Kinerja Utama
Penataan Organisasi
Remunerasi
Peningkatan Manajemen
SDM
Penyempurnaan Proses Bisnis
Sumber: FKRB Kementerian Keuangan.
2.3.1. Penataan OrganisasiPenataan organisasi dilakukan untuk membangun organisasi yang mampu beradaptasi dengan
dinamika lingkungan. Tujuan penataan organisasi adalah mewujudkan organisasi yang lebih
efektif, efisien, responsif, transparan, akuntabel, check and balances, dan right sizing, sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan masyarakat dan kemajuan teknologi serta mewujudkan tata kelola
Pemerintahan yang baik dan memberikan pelayanan yang terbaik bagi stakeholders.
Target yang ditetapkan oleh Bidang Penataan Organisasi pada tahun 2010 meliputi:
(1) penataan organisasi Kantor Pusat Kementerian Keuangan;
(2) modernisasi 11 Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean; dan
(3) pembentukan Sekretariat Komite Pengawas Perpajakan.
Upaya yang telah ditempuh untuk mencapai target tersebut adalah:
(1) pengumpulan data dan analisis;
(2) pembahasan internal Kementerian Keuangan;
(3) penyusunan usulan Menteri Keuangan;
(4) persetujuan Menteri Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; serta
(5) penetapan Keputusan Presiden dan Menteri Keuangan.
Untuk mencapai target tersebut, telah dilakukan serangkaian kegiatan berikut ini.
(1) Pembentukan Sekretariat Komite Pengawas Perpajakan dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 133/PMK.01/2010.
(2) Modernisasi 11 KPPBC Tipe Madya Pabean (Juanda, Jakarta, Dumai, Pontianak, Tangerang,
Palembang, Ngurah Rai, Bandar Lampung, Balikpapan, Sunda Kelapa, dan Makassar) dengan
PMK No. 134/PMK.01/2010.
(3) Penataan Organisasi Kantor Pusat Kementerian Keuangan sesuai PMK No. 184/PMK.01/2010
Penataan organisasi meskipun secara prinsip telah disetujui oleh Kementerian PAN dan RB,
namun masih dalam proses untuk mendapatkan persetujuan tertulis. Penataan organisasi yang
dilakukan meliputi:
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 29
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
28
(1) pembentukan Tenaga Pengkaji Bidang PNBP pada DJA;
(2) Pembentukan Tenaga Pengkaji Bidang Perbendaharaan pada Ditjen Perbendaharaan;
(3) pembentukan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Diklat Kepemimpinan di Magelang
(Pengalihan Bagian Penyelenggaraan pada Pusdiklat Pengembangan SDM); dan
(4) pembentukan Kantor Pengelolaan TIK dan BMN (peningkatan peran GKN dan Sekretariat
Perwakilan Kementerian sebagai UPT pada Pusintek).
2.3.2. Penyempurnaan Proses BisnisPenyempurnaan proses bisnis dilakukan melalui penyempurnaan analisis dan evaluasi jabatan,
pemutakhiran standard operating procedure (SOP), dan analisis beban kerja (ABK).
2.3.2.1. Analisis dan Evaluasi JabatanKegiatan yang dilakukan adalah menetapkan Pedoman Penilaian Kinerja Individu yang akan
diberlakukan kepada seluruh pemangku jabatan struktural, fungsional, dan pelaksana di lingkungan
Kementerian Keuangan. Selain itu, dilakukan penyempurnaan PMK No. 190/PMK.01/2008 serta
mengadakan evaluasi peringkat jabatan untuk mengkaji kesesuaian peringkat jabatan struktural,
fungsional, dan pelaksana dengan uraian jabatan. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah adanya
hubungan di antara pemberian tunjangan dengan kinerja masing-masing pejabat/pegawai.
2.3.2.2. Pemutakhiran Standar Operating ProceduresSemua Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan telah menyusun standard operating
procedure (SOP) untuk memastikan bahwa setiap keputusan, tindakan, dan penggunaan fasilitas
telah sesuai dengan tupoksi. Penataan dan penyempurnaan proses bisnis dilakukan secara terus-
menerus sejalan dengan dinamika organisasi dan perubahan kebijakan. Pada tahun 2010 telah
dilakukan penyempurnaan SOP atau pembuatan SOP baru untuk unit-unit yang mengalami
perubahan proses bisnis. Inisiatif baru hanya dilakukan dalam penyusunan SOP Link antarUnit
Eselon I serta penyempurnaan dan pengembangan SOP Layanan Unggulan.
Tujuan yang ingin dicapai melalui pemutakhiran SOP adalah mewujudkan continuous improvement
di dalam penataan dan penyempurnaan proses bisnis organisasi serta menciptakan proses bisnis
atau tatalaksana organisasi yang lebih valid dan reliable dalam pelaksanaan tupoksi Kementerian
Keuangan. Adapun target yang ingin dicapai adalah berikut ini.
(1) Tersusunnya SOP Link antar Unit Eselon I
Dalam rangka meningkatkan kinerja dan capaian output Kementerian Keuangan sebagai bentuk
koordinasi dan kontribusi dari masing-masing Unit Eselon I, perlu dilakukan identifikasi dan
inventarisasi SOP yang mempunyai aspek sinergi. Hasil kegiatan ini adalah pendokumentasian
ke dalam bentuk KMK mengenai SOP Link Kementerian Keuangan.
(2) Penyempurnaan dan Pengembangan SOP Layanan Unggulan
Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan layanan
publik sesuai dengan azas-azas umum ke Pemerintahan yang baik dan berorientasi kepada
efisiensi dan pengguna jasa sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, Kementerian Keuangan selaku penyelenggara dan organisasi penyelenggara
pelayanan publik menciptakan Program Layanan Unggulan yang meliputi seluruh bidang tugas
pelayanan Kementerian Keuangan. Hasil dari kegiatan ini adalah SOP Layanan Unggulan yang
telah disempurnakan dan dikembangkan.
Kegiatan yang dapat direalisasikan pada tahun 2010 terutama terkait dengan pengembangan
metode dan tahapan dari seluruh kegiatan yang meliputi:
(1) kajian dan telaahan data-data internal dan eksternal;
(2) identifikasi dan inventarisasi prosedur;
(3) wawancara;
(4) pengamatan di lapangan;
(5) studi banding;
(6) diskusi;
(7) penyusunan konsep dan prosedur;
(8) pembahasan konsep dengan unit-unit terkait;
(9) perbaikan;
(10) simulasi dan uji coba;
(11) pengabsahan; serta
(12) distribusi.
Telah diidentifikasi 46 jenis layanan yang mempunyai keterkaitan aktivitas antar Unit Eselon I. Hasil
yang dicapai dalam pelaksanaan SOP Layanan Unggulan adalah bertambahnya jenis Layanan
Unggulan dari semula berjumlah 35 menjadi 102 sebagaimana ditetapkan dalam KMK No. 186/
KMK.01/2010. Jenis-jenis Layanan Unggulan tersebut terkait dengan penganggaran, perpajakan,
kepabeanan dan Cukai, perbendaharaan, kekayaan negara, pengelolaan utang, perimbangan
keuangan, pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan, pengaduan masyarakat,
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, serta kesekretariatan.
Hal-hal yang akan dilakukan pada tahun-tahun mendatang adalah continuous improvement pada
Unit Eselon I yang belum menyampaikan konfirmasi dan usulan SOP Link, termasuk pembahasan
sampai dengan penetapan hasilnya serta review dan evaluasi SOP Layanan Unggulan pada
Sekretariat Jenderal, termasuk sosialisasi kepada stakeholders.
2.3.2.3. Analisis Beban KerjaSetiap unit organisasi diharapkan melakukan pengukuran dan analisis beban kerja (ABK). Hal ini
dimaksudkan untuk membangun proses bisnis yang lebih akuntabel, transparan, efektif, efisien,
dan modern, sesuai perkembangan lingkungan terkini. Hasil ABK digunakan untuk mengetahui
beban kerja jabatan atau unit, kebutuhan pegawai atau pejabat, efisiensi dan efektivitas jabatan
atau unit, serta standar norma waktu.
2.3.3. Peningkatan Manajemen Sumber Daya ManusiaUntuk meningkatkan manajemen SDM telah ditempuh penataan pegawai, manajemen talenta,
pengembangan Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian (SIMPEG), Human Capital Development
Plan (HCDP), serta pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi.
2.3.3.1. Penataan PegawaiPenataan pegawai dimaksudkan untuk mewujudkan kesesuaian di antara jumlah, komposisi, dan
kompetensi pegawai dengan kebutuhan organisasi dan optimalisasi kinerja birokrasi, di samping
untuk mengakselerasi penerapan manajemen kinerja dan meningkatkan kualitas SDM.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 31
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
30
Kementerian Keuangan menginginkan yang terbaik bagi organisasi dan pegawai, sehingga
penataan pegawai dijalankan dengan mempertimbangkan kebutuhan kedua belah pihak. Sejak
tahun 2009 telah dikembangkan konsep penataan pegawai yang menghasilkan 9 kuadran,
sehingga pada tahun 2010 diperlukan suatu pedoman penataan pegawai yang dapat menjadi
acuan bagi Unit Eselon I.
Target yang ingin dicapai melalui penataan pegawai meliputi penyempurnaan konsep pedoman
umum penataan pegawai, penyusunan konversi kuadran pemetaan pegawai, dan penyusunan
konsep perhitungan Golden Hand-Shake (GHS). Untuk mencapai target tersebut telah dilaksanakan
sejumlah kegiatan berikut ini.
(1) Penyempurnaan Konsep Pedoman Umum Penataan Pegawai
(2) Penyusunan Konversi Kuadran
(3) Penyusunan Konsep Perhitungan GHS
Gambar 2.3. Kuadran Pemetaan Pegawai
IXDevelopment Strategy
VIIIDevelopment Strategy
VDevelopment/
Freeze Strategy
Tinggi
VIIDevelopment Strategy
VIDevelopment/
Freeze Strategy
IVDevelopment/Exit Strategy
Sedang
85
IIIDevelopment/Exit Strategy
IIExit Strategy
IExit Strategy
Rendah
50
Rend
ah >_ 7
0
Seda
ng
>_ 9
7
KOM
PETE
NSI
/PO
TEN
SI
KINERJA
Ting
gi
Sumber: FKRB Kementerian Keuangan.
2.3.3.2. Program Manajemen TalentaProgram ini bertujuan untuk memilih, mengembangkan, dan memposisikan SDM yang memiliki
kompetensi dan berkinerja tinggi agar berkontribusi lebih baik terhadap organisasi. Target yang
ingin dicapai adalah tersusunnya konsep Grand Design Manajemen Talenta melalui serangkaian
kegiatan, yaitu:
(1) Studi banding ke PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. dan PT. Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk.;
(2) Workshop Konsep Grand Design Manajemen Talenta di seluruh Unit Eselon I; serta
(3) penyampaian Konsep Grand Design Manajemen Talenta ke seluruh Unit Eselon I untuk dimintai
tanggapan.
2.3.3.3. Program Pengembangan SIMPEGSalah satu kunci utama pembinaan aparatur adalah sistem manajemen yang didukung tools yang
handal dan mampu mendukung proses pembinaan SDM.
Tools yang banyak diaplikasikan dewasa ini adalah sistem informasi manajemen SDM yang
terintegrasi. Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian (SIMPEG) yang tengah dikembangkan
dapat menunjang kegiatan pembinaan kepegawaian, sehingga akurasi dan kecepatan pelayanan
dapat ditingkatkan. Dengan perbaikan secara kontinyu diharapkan kualitas informasi yang
disajikan akan meningkat dan dapat digunakan secara luas sebagai dasar pengambilan keputusan
dan kebijakan kepegawaian.
Tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan SIMPEG adalah penyempurnaan SIMPEG yang
merupakan bagian dari Program Inti Reformasi Birokrasi dan sebagai pendukung penataan pegawai
serta peningkatan kualitas sistem informasi manajemen SDM dalam rangka Reformasi Birokrasi di
Kementerian Keuangan.
2.3.3.4. Program Human Capital Development PlanHuman Capital Development Plan (HCDP) adalah program bersama Kementerian Keuangan dan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang berkaitan dengan peningkatan
kualitas SDM di sektor Pemerintahan. Substansi HCDP mencakup usulan rencana pengembangan
SDM masing-masing Unit Eselon I yang dirangkum ke tingkat kementerian. HCDP diadopsi sebagai
model pengembangan SDM strategis dan data yang dihasilkan akan dimanfaatkan sebagai acuan
dalam mengembangkan SDM di lingkungan Kementerian Keuangan.
2.3.3.5. Program Diklat Berbasis KompetensiUntuk mengetahui peran human capital bagi perkembangan organisasi telah dilakukan pemetaan
kompetensi SDM Kementerian Keuangan yang menghasilkan Standar Kompetensi Jabatan (SKJ).
SKJ merupakan standar minimum kebutuhan soft competency yang harus dipenuhi oleh para
pemangku jabatan di Kementerian Keuangan. Berdasarkan hasil asesmen diketahui bahwa
terdapat kesenjangan di antara kompetensi yang seharusnya dengan kompetensi yang dimiliki
oleh pemangku jabatan. Oleh karena itu, Program Diklat Berbasis Kompetensi (DBK) perlu
dilanjutkan sebagai salah satu sarana untuk mengisi gap kompetensi yang dimilki dengan
kompetensi yang dinginkan sesuai SKJ.
DBK bagi Pejabat Eselon III dan IV bertujuan untuk mengisi kesenjangan profil kompetensi pejabat
yang diperoleh dari hasil asesmen yang dilaksanakan oleh Assesment Center Biro SDM dan beberapa
Unit Eselon I yang kemudian dibandingkan dengan SKJ. Target yang ingin dicapai pada tahun 2010
adalah terlaksananya DBK bagi 463 orang Pejabat Eselon III dan 50 orang Pejabat Eselon IV.
Pada tahun 2010 tercatat sebanyak 408 orang telah mengikuti DBK III dalam 4 angkatan dan 49
orang telah mengikuti DBK IV dalam 1 angkatan. Materi diklat terdiri atas leadership best practices,
transformational leadership, serta 8 kompetensi untuk DBK III dan 9 kompetensi untuk DBK IV. Hal-
hal yang masih perlu ditindaklanjuti adalah perbaikan dan peningkatan kualitas penyelenggaraan
diklat yang meliputi kurikulum, fasilitator, dan fasilitas.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 33
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
32
2.4. TRANSFORMASI KELEMBAGAAN
Reformasi Birokrasi merupakan sebuah proses dan bukan sebuah tujuan akhir. Reformasi Birokrasi
di Kementerian Keuangan telah menghasilkan banyak perbaikan, namun harus terus meningkatkan
target dan capaiannya. Dalam hal pelayanan masih terdapat beberapa aspek yang perlu dibenahi
dengan meningkatkan profesionalisme birokrat dan pemutakhiran teknologi informasi. Selain itu,
efisiensi kerja masih perlu ditingkatkan melalui transformasi kelembagaan.
Transformasi kelembagaan dapat dilakukan dengan berbagai langkah, antara lain melalui
pembenahan organisasi serta peningkatan koordinasi antarindividu dan antarorganisasi yang terus
berkembang mengikuti tuntutan masyarakat. Dalam transformasi kelembagaan terjadi perubahan
nilai-nilai dari organisasi. Transformasi kelembagan bukan berarti merubah total hal-hal yang sudah
baik, melainkan menyempurnakan yang masih kurang. Tujuan akhir dari transformasi kelembagaan
adalah menciptakan kepercayaan publik. Agar transformasi kelembagaan dapat berlangsung
secara optimal diperlukan SDM yang berkompeten, yaitu yang mempunyai kemampuan hardskill
maupun softskill serta mampu menyesuaikan diri dengan ekspektasi institusi dan stakeholders.
Pada tahun 2011, Program Reformasi Birokrasi perlu diperluas menjadi Program Reformasi Birokrasi
dan Transformasi Kelembagaan, sehingga FKRB seyogyanya berubah bentuk menjadi Tim Reformasi
Birokrasi dan Transformasi Kelembagaan (TRBTK).
2.5. PENGUKURAN KINERJA
Pengembangan sistem manajemen berbasis kinerja di Kementerian Keuangan yang dimulai sejak
Oktober 2007 telah berdampak pada perbaikan organisasi secara sistemik. Pencapaian sasaran
strategis dan IKU dimonitor secara terus-menerus, sehingga setiap unit organisasi berusaha
memenuhinya sesuai dengan target dan waktu yang ditetapkan. Hal ini diharapkan dapat
membentuk budaya organisasi yang berorientasi pada strategi untuk meningkatkan kinerja
organisasi maupun individu. Tujuan yang ingin dicapai adalah:
(1) terbangunnya sistem manajemen kinerja berbasis BSC pada tingkat Eselon III dan unit pilot
project sebagai kelanjutan sistem manajemen kinerja yang telah disusun pada level di atasnya;
(2) terbangunnya budaya pengelolaan kinerja yang berfokus pada strategi; serta
(3) sosialisasi dan pelatihan konsep dan aplikasi BSC.
2.6. PENDUKUNG REFORMASI BIROKRASI
Kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat harus selalu ditingkatkan, dimonitor, dan
dievaluasi. Kementerian Keuangan senantiasa berusaha mengkomunikasikan hal-hal yang perlu
diketahui oleh masyarakat melalui media publikasi, seperti website atau program yang dilakukan
oleh FKRB. Dengan demikian, opini yang berkembang di masyarakat mengenai komitmen
Kementerian Keuangan dalam melaksanakan Reformasi Birokrasi dapat dikelola dengan baik.
Tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan beragam program komunikasi publik yang terpadu dan
berkesinambungan adalah:
(1) sebagai sarana dalam menyampaikan informasi mengenai kebijakan, program, dan pelaksanaan
Reformasi Birokrasi;
(2) sebagai sarana pembelajaran mengenai pola pertanggungjawaban pengelolaan keuangan
negara;
(3) untuk mengetahui persepsi atau opini stakeholder terhadap kualitas layanan; serta
(4) untuk memberikan rekomendasi bagi perbaikan layanan.
2.7. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mempunyai peran yang sangat penting dalam
mendukung pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Tujuan utama penggunaan TIK adalah mendukung
terlaksananya tupoksi Kementerian Keuangan dalam mengelola keuangan dan kekayaan negara.
Pemanfaatan TIK telah merata di seluruh Unit Eselon I. Namun, saat ini Kementerian Keuangan
belum mempunyai kerangka arsitektur TIK (ICT architecture framework), sehingga setiap Unit Eselon
I dalam mengembangkan TIK hanya untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagai akibatnya, banyak
sistem aplikasi dan infrastruktur TIK yang tidak terintegrasi.
Dengan tidak terintegrasinya sistem aplikasi dan infrastruktur TIK, maka banyak kendala yang
harus dihadapi, seperti dalam melakukan rekonsiliasi data, integritas data yang rendah, dan adanya
redundansi data. Demikian pula dengan masalah keamanan data, dengan munculnya solusi-solusi
unified communications dan mobile commuters, hal ini akan membuka lubang pada sistem keamanan.
Lubang keamanan baik pada lapisan sistem operasi, aplikasi, atau perangkat jaringan, merupakan
titik kelemahan yang dapat ditembus secara internal maupun eksternal. Kondisi ini terjadi akibat
perkembangan TIK yang cepat tidak diimbangi dengan regulasinya. Untuk mengatasinya, dilakukan
integrasi TIK secara bertahap disertai dengan penyusunan regulasinya.
2.7.1. Kinerja TIK Berbagai upaya berikut ini telah ditempuh untuk mengoptimalkan kinerja TIK pada tahun 2010.
(1) Penyusunan Perangkat Kebijakan TIK
Perangkat kebijakan diperlukan sebagai payung hukum dalam mengelola TIK di lingkungan
Kementerian Keuangan;
(2) Pembangunan dan Pengembangan Infrastruktur TIK
Pengembangan akses intranet pada 56 kantor vertikal di lingkungan DJKN (512 Kbps), 14
kantor vertikal di lingkungan BPPK (1 Mbps), 18 GKN (1 Mbps), akses perbankan (512 Kbps),
interkoneksi antar kantor pusat di luar lingkungan Lapangan Banteng (10 Mbps) dan 5 lokasi
ekstranet (512 Kbps) yang menerapkan dynamic routing protocol bersifat full mesh;
(3) Pembangunan Infrastruktur SPAN
Membangun data center SPAN dan service desk yang merupakan single point of contact (SPOC);
(4) Pengamanan Aset Informasi
Pengamanan aset informasi sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan keamanan yang
mungkin timbul baik pada lapisan (layer) sistem operasi, aplikasi, atau perangkat jaringan;
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 35
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
34
(5) Penyelenggaraan Data Interchange
Merupakan fasilitas yang disediakan untuk dimanfaatkan oleh setiap Unit Eselon I dalam rangka
memenuhi kebutuhan data antar Unit Eselon I di dalam lingkungan Kementerian Keuangan;
(6) Pembangunan dan Pengembangan Aplikasi dan Basis Data
Aplikasi dan basis data dibangun dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing
Unit Eselon I; serta
(7) Pembentukan Komite Pengarah TIK (KPTIK)
KPTIK merupakan wadah koordinasi seluruh unit TIK di lingkungan Kementerian Keuangan, untuk
memastikan pelaksanaan Tata Kelola TIK sudah selaras dengan proses bisnis Kementerian Keuangan.
2.7.2. Penerapan e-ProcurementTIK adalah salah satu solusi untuk memperbaiki birokrasi dan mencapai tata Pemerintahan yang
baik, yaitu Pemerintahan yang bersih, transparan, dan berwibawa. e-Government merupakan
salah satu bentuk pemanfaatan TIK untuk mendukung aktivitas Pemerintahan dan memberikan
pelayanan yang prima kepada masyarakat. Peran TIK di dalam Reformasi Birokrasi adalah
mempercepat proses kerja serta modernisasi administrasi melalui otomatisasi administrasi
perkantoran dan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat. Penggunaan TIK menjanjikan
kerja yang reformis, karena bersifat demokratis, tidak diskriminasi, tepat waktu, terukur, dan
mempunyai standar yang jelas.
Salah satu penerapan TIK yang dikoordinasikan oleh Sekretariat Jenderal adalah pelaksanaan
pengadaan barang/jasa secara elektronik atau e-Procurement. e-Procurement adalah pengadaan
barang/jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Penerapan e-Procurement menghasilkan manfaat
yang signifikan dalam rangka efisiensi APBN dan mewujudkan tata pemerintahan yang baik.
Pelaksanaan e-Procurement di lingkungan Kementerian Keuangan telah dimulai sejak tahun 2008
sebagai bagian dari Reformasi Birokrasi. Upaya ini bukan hanya terkait dengan perbaikan proses
bisnis pengadaan, melainkan membawa perubahan pada pola dan perilaku kerja yang lebih baik.
Lelang dapat dilakukan secara terbuka melalui fasilitas internet yang dapat diakses dari berbagai
tempat, sehingga dapat meminimalisir kontak fisik di antara panitia pengadaan dengan penyedia
barang/jasa. Perubahan ini diharapkan dapat memperbaiki budaya kerja organisasi dalam proses
pengadaan barang/jasa Pemerintah, yaitu terciptanya transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi.
e-Procurement memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh penyedia barang/jasa untuk mengikuti
proses lelang di lingkungan Kementerian Keuangan. e-Procurement memungkinkan terjadinya kompetisi
secara sehat dalam memenangkan tender pengadaan barang/jasa. Dengan demikian, dapat dijaga
persaingan yang sehat untuk mendukung tumbuh kembangnya perekonomian.
Layanan e-Procurement secara fungsional dikelola oleh Pusat Layanan Pengadaan Secara
Elektronik (LPSE) Kementerian Keuangan yang ditetapkan melalui PMK No. 73/PMK.01/2009
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK No. 184 Tahun 2010. Pusat LPSE mempunyai
tugas merumuskan kebijakan, mengelola sistem, dan melayani pengadaan secara elektronik
kepada Kementerian/Lembaga (K/L), serta membina dan mengawasi pelaksanaan pengadaan
Kementerian Keuangan.
Berdasarkan tugas tersebut, maka Visi Pusat LPSE adalah menjadi Pengelola Layanan Pengadaan
Barang/Jasa Secara Elektronik yang Profesional, Terpercaya, dan Akuntabel.
Layanan e-Procurement telah digunakan oleh Satuan Kerja (Satker) di lingkungan Kementerian
Keuangan, baik pada lingkup kantor pusat maupun instansi vertikal. Pada tahun 2010,
e-Procurement telah diimplementasikan di seluruh Satker instansi vertikal Kementerian Keuangan
di Pulau Jawa dan secara bertahap pada seluruh provinsi sampai akhir tahun 2011. Layanan
e-procurement juga dapat digunakan oleh K/L atau komisi lainnya. Sampai dengan akhir tahun
2010, layanan e-Procurement Kementerian Keuangan telah digunakan oleh beberapa K/L lainnya, yaitu:
(1) Sekretariat Negara;
(2) Kementerian Kelautan dan Perikanan;
(3) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
(4) Badan Kepegawaian Negara (BKN);
(5) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
(6) Komisi Yudisial;
(7) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPBJP);
(8) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
(9) Lembaga Sandi Negara (LSN); dan
(10) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
2.8. SIMPULAN
Pada tahun 2010, Program Reformasi Birokrasi di Kementerian Keuangan telah dilaksanakan
melalui 3 Program Inti dan 2 Program Pendukung.
(1) Program Inti terdiri dari:
i. Penataan Pegawai yang meliputi:
- pengembangan Assessment Center;
- penyempurnaan pola mutasi; dan
- pengembangan SIMPEG;
ii. Penataan Organisasi dan Ketatalaksanaan yang meliputi:
- penataan organisasi;
- analisis dan evaluasi jabatan;
- penyempurnaan SOP; serta
- analisis beban kerja;
iii. Pengembangan SDM dalam bentuk pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi.
(2) Program Pendukung terdiri dari:
i. monitoring, evaluasi, dan penetapan IKU;
ii. Komunikasi publik, survei kepuasan stakeholder, dan website reform; serta
iii. implementasi e-Procurement sebagai bentuk reformasi riil di dalam proses bisnis/
ketatalaksanaan pengadaan barang/jasa di lingkungan Kementerian Keuangan yang
bahkan juga diimplementasikan di K/L lain.
Ketiga program telah dilaksanakan sesuai dengan target yang ditetapkan, meskipun masih
terdapat hal-hal yang perlu disempurnakan.
Bijak Mengelola
Mengelola Kebijakan Fiskal Dengan Baik Guna Optimalisasi Penggunaan Anggaran
WISE
Managing Good Fiscal PolicyTo Optimize Budget Utilization
Manage Prudently
BIJAK
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 39
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
38
Selain itu, tingkat inflasi daerah mencerminkan perkembangan ekonomi daerah, karena
menunjukkan seberapa besar tingkat konsumsi masyarakat daerah terhadap produk barang
dan jasa. Menyadari pentingnya pengendalian inflasi di daerah, maka Pemerintah Pusat telah
menawarkan insentif bagi daerah yang berhasil menjaga laju inflasinya lebih rendah dibandingkan
rata-rata inflasi nasional.
Laju inflasi dapat bersumber dari sisi penawaran (cost push), sisi permintaan (demand pull), maupun
dari ekspektasi inflasi. Variabel yang dapat memicu inflasi dari sisi penawaran diantaranya adalah
depresiasi nilai tukar, inflasi impor, meningkatnya harga komoditas yang diatur Pemerintah
(administered price), dan gangguan stok bahan makanan akibat bencana alam maupun distorsi
dalam rantai distribusi. Faktor yang berpengaruh dari sisi permintaan diantaranya tingginya
permintaan barang dan jasa yang melebihi tingkat ketersediaannya. Kondisi demikian digambarkan
sebagai permintaan total (aggregate demand) yang lebih besar dari pada kapasitas perekonomian
atau output riil yang melebihi output potensialnya.
Kestabilan nilai tukar rupiah juga perlu dijaga untuk memberikan kepastian bertransaksi ekonomi
bagi Pemerintah, pelaku usaha khususnya eksportir dan importir, serta segenap komponen
masyarakat lainnya. Terciptanya kepastian dapat memberikan nilai tambah bagi perekonomian dan
bisa menjadi sentimen positif bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas
dalam rangka mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Dalam praktiknya, pergerakan nilai tukar rupiah dipengaruhi sekurangnya oleh tiga faktor, yaitu:
(1) tingkat investasi asing di sektor riil (foreign direct investment);
(2) lalu lintas arus dana asing di pasar finansial (capital flow) dalam berbagai instrumen, seperti
saham, obligasi Pemerintah (Surat Berharga Negara), dan obligasi korporat; serta
(3) nilai perdagangan internasional antara Indonesia dengan berbagai negara lain dalam bentuk
barang maupun jasa.
Dalam rangka menciptakan dan menjaga stabilitas ekonomi makro secara berkesinambungan,
Pemerintah sebagai otoritas fiskal dan Bank Indonesia selaku otoritas moneter senantiasa
meningkatkan sinergi, koordinasi, dan harmonisasi dalam implementasi kebijakan fiskal, moneter,
perbankan, dan lalu lintas devisa. Selain itu, dilakukan pula penguatan kelembagaan dengan
Pemerintah Daerah melalui pembentukan Tim Pengendalian Inflasi (TPI) dengan penekanan pada
penyelesaian persoalan struktural dan penguatan diseminasi kepada masyarakat daerah untuk
meredam ekspektasi inflasi.
Pelaksanaan analisis di bidang kebijakan fiskal menjadi tugas pokok Badan Kebijakan Fiskal
(BKF) sebagaimana diatur dalam pasal 1783 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 184/
PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan. Dalam melaksanakan
tugas pokok tersebut, BKF menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
(1) Penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program analisis di bidang kebijakan fiskal;
(2) Pelaksanaan analisis dan pemberian rekomendasi di bidang kebijakan fiskal;
(3) Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan analisis di bidang kebijakan fiskal; dan
3.1. LATAR BELAKANG
Tugas utama Pemerintah dalam penyelenggaraan negara adalah memajukan kesejahteraan dan
kemakmuran seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam alinea keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah melaksanakan program
pembangunan nasional secara terencana, terukur, dan berkelanjutan dalam berbagai dimensi dan
sektor kehidupan. Pembangunan nasional dapat terlaksana dengan baik apabila didukung kondisi
ekonomi makro yang stabil dan berkesinambungan.
Salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan adalah stabilitas nilai tukar rupiah. Kestabilan
rupiah terhadap barang dan jasa tercermin dari tingkat inflasi, sedangkan kestabilan rupiah
terhadap mata uang negara lain dapat dilihat dari nilai tukar. Laju inflasi perlu terus dijaga
stabilitasnya dalam level yang rendah, karena:
(1) tingginya inflasi berpotensi menggerus pendapatan riil, sehingga menurunkan daya beli dan
kualitas hidup masyarakat;
(2) inflasi yang tidak stabil menciptakan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam pengambilan
keputusan; dan
(3) tingkat inflasi Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan negara lain menjadikan suku bunga
domestik riil tidak kompetitif, sehingga dapat memicu pelarian modal asing dan memberikan
tekanan terhadap rupiah.
Pentingnya menjaga stabilitas inflasi diperlukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah. Tingkat inflasi seringkali menjadi gambaran keberhasilan pembangunan di daerah dan
sekaligus mencerminkan kualitas pemimpinnya.
KEBIJAKAN PENGELOLAAN EKONOMI MAKRO
BAB III
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 41
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
40
(4) Pelaksanaan administrasi badan Kebijakan Fiskal.Dalam pelaksanaannya, BKF selalu bersinergi
dan berkoordinasi dengan instansi lain dalam lingkup internal maupun eksternal Kementerian
Keuangan. Hal ini ditempuh dalam rangka akselerasi penciptaan stabilitas ekonomi makro
secara berkesinambungan untuk mempercepat upaya Pemerintah dalam meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Dalam pelaksanaannya, BKF selalu bersinergi dan berkoordinasi dengan instansi lain dalam lingkup
internal maupun eksternal Kementerian Keuangan. Hal ini ditempuh dalam rangka akselerasi
penciptaan stabilitas ekonomi makro secara berkesinambungan untuk mempercepat upaya
Pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
3.2. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN DAN REALISASI PENGELOLAAN EKONOMI MAKRO
3.2.1. Pertumbuhan Ekonomi
Sebagai suatu negara dengan perekonomian terbuka (open economy), stabilitas ekonomi makro
Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global yang bersifat linier dan positif. Jika
perkembangan ekonomi global berlangsung dengan baik, maka akan berpengaruh positif
terhadap perekonomian Indonesia, dan demikian pula sebaliknya. Pada tahun 2010, ekonomi
global telah menunjukkan pemulihan. Kinerja ekonomi negara-negara maju (advanced economies)
maupun negara-negara berkembang (developing countries) menunjukkan perbaikan. Pertumbuhan
ekonomi negara-negara maju mencapai 3,0 persen pada tahun 2010 setelah pada tahun 2009
masih berkontraksi sebesar 3,4 persen. Untuk negara-negara berkembang, khususnya dengan
perekonomian yang prospektif (emerging economies), kinerja ekonomi pada tahun 2010 mampu
tumbuh 7,4 persen. Pencapaian ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan
pada tahun 2009 sebesar 2,8 persen.
Tabel 3.1.Realisasi Asumsi Ekonomi Makro Tahun 2005-2010
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Uraian APBN APBN-P LKPP APBN APBN-P LKPP APBN APBN-P LKPP APBN APBN-P RealisasiDok.
StimulusAPBN-P
Real-isasi
APBN APBN-PReal-isasi
Pertumbuhan Ekonomi (%)
5,4 6,0 5,7 6,2 5,8 5,5 6,3 6,3 6,3 6,8 6,4 6,01 4,4 4,3 4,58 5,5 5,8 6,1
Inflasi (%) 5,5 8,6 17,1 8,0 8,0 6,6 6,5 6,0 6,6 6,0 6,5 11,1 6,0 4,5 2,8 5,0 5,7 6,96
Nilai Tukar (Rp/US$1) 8,600 9,800 9,075 9,900 9,300 9,020 9,300 9,050 9,140 9,100 9,100 9,692 11,000 10,500 10,480 10,000 9,500 9,087
Harga Minyak ICP (US$/barel)
24,00 54,00 51,80 57,00 64,00 56,80 63,00 60,00 69,69 60,00 95,00 97,02 45,00 61,00 61,60 65,00 77,00 79,40
Produksi Minyak (MBCD)
1,125 1,075 0,999 1,050 1,000 0,900 1,000 0,950 0,899 1,034 0,927 0,931 0,960 0,960 0,952 0,965 0,965 0,954
Rata-rata Suku Bunga SBI 3 Bulan (%)
6,5 8,4 9,1 9,5 12,0 9,8 8,5 8,0 8,0 7,5 7,5 9,34 7,6 7,5 7,59 7 6,5 6,6
Sumber: Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Sejalan dengan kinerja perekonomian global, kinerja ekonomi Indonesia juga sangat positif pada
tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi mencapai 6,1 persen (yoy) yang berarti meningkat dibandingkan
tahun 2009 sebesar 4,6 persen dan 6,0 persen pada tahun 2008. Tingginya pertumbuhan ekonomi
terutama ditopang oleh semakin membaiknya kinerja investasi dan perdagangan internasional.
Gambar 3.1. Sumber Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2007-2010
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
-5.0
-10.0
-15.0
-20.0
Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah PMTB Impor Ekspor
2007 2008 2009 2010
Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik
Investasi tumbuh sebesar 8,5 persen pada tahun 2010 seiring dengan membaiknya iklim investasi
global dan semakin kuatnya fundamental ekonomi domestik. Kinerja investasi pada tahun 2010
jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya tumbuh 3,3 persen. Sementara
itu, ekspor dan impor pada tahun 2010 juga tumbuh cukup tinggi pada level masing-masing 14,9
persen dan 17,3 persen. Angka ini meningkat dibandingkan performa tahun 2009 yang masih
berkontraksi sebesar masing-masing 9,7 persen dan 15,0 persen. Pertumbuhan ekonomi tahun
2010 juga didukung pertumbuhan konsumsi masyarakat yang mencapai 4,6 persen dan konsumsi
Pemerintah sebesar 0,3 persen.
Dari sisi penawaran (supply-side), seluruh sektor ekonomi mencatatkan pertumbuhan positif
pada tahun 2010. Bahkan, tiga sektor ekonomi mengalami akselerasi jika dibandingkan dengan
tahun 2009, yaitu Sektor Industri Pengolahan, Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran, serta
Sektor Keuangan. Sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi di tahun 2010 adalah Sektor
Pengangkutan dan Komunikasi, sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada Sektor Pertanian,
Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 43
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
42
Tabel 3.2.Pertumbuhan PDB Sektoral Tahun 2007-2010
(%, yoy)
No USAHA PERTUMBUHAN
2007 2008 2009 2010
1. PERTANIAN, PETERNAKAN, 3.5 4.8 4.0 2.9
2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN 1.9 0.7 4.4 3.5
3. INDUSTRI PENGOLAHAN 4.7 3.7 2.2 4.5
4. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH 10.3 10.9 14.3 5.3
5. KONSTRUKSI 8.5 7.6 7.1 7.0
6. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 8.9 6.9 1.3 8.7
7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 14.0 16.6 15.5 13.5
8. KEUANGAN, REAL ESTATE & JASA PERSH 8.0 8.2 5.1 5.7
9. JASA-JASA 6.4 6.2 6.4 6.0
PRODUK DOMESTIK BRUTO 6.3 6.0 4.6 6.1
Sumber: BPS
3.2.2. Nilai Tukar Rupiah
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih berfluktuasi sepanjang tahun 2010 dengan
kecenderungan menguat. Kondisi ini tidak terlepas dari membaiknya kondisi perekonomian
global yang dimotori oleh pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia (emerging Asia). Selain itu,
penguatan rupiah juga ditopang oleh semakin kuatnya perekonomian Indonesia seiring dengan
akselerasi ekonomi yang terjadi di sepanjang tahun 2010.
Pada paruh pertama 2010, rata-rata nilai tukar rupiah bergerak pada kisaran Rp9.193 per dolar AS.
Angka ini mengalami apresiasi 17,0 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2009
sebesar Rp11.083 per dolar AS. Tren penguatan terus berlanjut hingga 6 bulan terakhir tahun 2010,
dengan rata-rata Rp8.982 per dolar AS. Secara tahunan, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil pada
kisaran Rp9.087 per dolar AS atau mengalami apresiasi 12,69 persen dibandingkan tahun 2009.
Gambar 3.2.Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Tahun 2009–2011
12,500
12,000
11,500
11,000
10,500
10,000
9,500
9,000
8,500
Jan-09
Mar-09
May-09Ju
l-09
Sep-09
Nov-09
Jan-10
Mar-10
May-10Ju
l-10
Sep-10
Nov-10
Jan-11
Mar-11
Sumber: Diolah dari Bank Indonesia.
Untuk menjaga stabilitas dan volatilas nilai tukar rupiah, Pemerintah dan Bank Indonesia senantiasa
melakukan koordinasi dan inovasi dalam perumusan kebijakan fiskal, moneter, dan pengawasan
lalu lintas devisa. Tujuannya adalah agar kestabilan nilai tukar rupiah dapat terus dijaga pada level
yang menguntungkan tidak hanya dari sisi ekonomi makro, moneter, dan finansial, namun juga dari
sisi fiskal dan sisi mikro bagi kepentingan seluruh masyarakat Indonesia.
Selain itu, stabilitas nilai tukar rupiah dijaga pada level yang memberikan kenyamanan bagi investor
global agar tetap berinvestasi dan menanamkan modalnya di Indonesia. Arus masuk modal asing
(capital inflow) dalam bentuk investasi sektor riil (foreign direct investment) maupun investasi sektor
keuangan (portfolio investment) berkontribusi positif terhadap perekonomian nasional. Investasi di
sektor riil berkontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja baru, diharapkan bisa menurunkan
angka pengangguran dan kemiskinan. Sedangkan investasi di sektor finansial berpotensi
meningkatkan cadangan devisa (foreign reserves) yang berpengaruh positif dengan pemenuhan
kebutuhan impor dan pembayaran hutang luar negeri.
3.2.3. Inflasi
Inflasi sangat penting untuk dijaga dan dikendalikan dalam pengelolaan ekonomi makro. Dalam
10 tahun terakhir, inflasi di Indonesia pada umumnya dipengaruhi oleh pergerakan harga properti,
komoditas pangan, dan harga energi di pasar internasional terutama minyak mentah. Harga
minyak mentah dalam beberapa tahun terakhir cenderung meningkat seiring semakin tingginya
permintaan global dan berkurangnya produksi secara alamiah. Disamping itu, minyak mentah
dewasa ini dijadikan sebagai salah satu instrumen di pasar derivatif global yang cenderung
spekulatif.
Pergerakan inflasi di Indonesia lebih didominasi oleh komoditas pangan yang harganya bergejolak
(volatile foods) seperti beras, bumbu-bumbuan, dan sayuran. Pada tahun 2010 lalu, laju inflasi
volatile foods mencapai 17,74 persen (yoy) yang jauh lebih tinggi dibandingkan komponen lain.
Untuk komoditas yang harganya diatur Pemerintah (administered price), kenaikan harganya lebih
dipicu oleh kenaikan harga minyak mentah dunia yang memang di luar kuasa Pemerintah.
Kenaikan harga minyak mentah dunia menjadi pemicu (trigger) kenaikan harga minyak mentah
Indonesia (Indonesian Crude Oil Price). Ketika harga minyak melambung tinggi dan subsidi Bahan
Bakar Minyak (BBM) dirasakan telah jauh melampaui alokasi dalam APBN, maka Pemerintah perlu
menyesuaikan harga BBM bersubsidi. Meskipun menjadi pilihan yang sulit, namun penyesuaian
harga BBM bersubsidi perlu dilakukan untuk menjaga ketersediaan subsidi serta sustainabilitas
fiskal agar APBN tetap sehat dan mampu membiayai pembangunan nasional. Implikasi kenaikan
harga BBM bersubsidi dapat bersifat langsung (first-round effect) maupun tidak langsung (second
round effect) terhadap kenaikan harga makanan, minuman, dan sandang.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 45
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
44
Pada tahun 2010, terjadi peningkatan laju inflasi jika dibandingkan tahun 2009. Laju inflasi di tahun
2010 terjadi hampir di setiap bulan, kecuali pada bulan Maret yang mengalami deflasi 0,14 persen
(mtm). Dari pemantauan Badan Pusat Statistik (BPS) di 66 kota di Indonesia, sampai akhir tahun
2010 tercatat laju inflasi tahunan mencapai 6,96 persen (yoy) atau meningkat dibandingkan tahun
2009 sebesar 2,78 persen. Namun, laju inflasi tahunan pada tahun 2010 masih lebih rendah apabila
dibandingkan dengan tahun 2008 yang mencapai 11,06 persen.
Gambar 3.3. Perkembangan Inflasi Tahun 2007-2010
12
10
8
6
4
2
0
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
-0.5
Inflasi Tahunan (LHS) Inflansi Bulanan (RHS)
2007 2008 2009 2010 2011
Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik
Gambar 3.4. Perkembangan Inflasi Tahunan (yoy)
Berdasarkan Komponen Tahun 2007-2011
20
15
10
5
0
-5 Core Administered Volume
2007 2008 2009 2010 2011-01
Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik
3.2.4. Suku Bunga SBI 3 Bulan
Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan selama Januari-Oktober 2010 cenderung stabil
dengan pergerakan rata-rata 6,57 persen atau lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang
sama tahun 2009 sebesar 7,79 persen. Dari perspektif kepemilikan SBI 3 bulan, di sepanjang 2010
kepemilikan asing cenderung meningkat. Per bulan Oktober 2010, posisi outstanding dana asing
pada SBI mencapai Rp72,31 triliun dengan komposisi pada SBI 3 bulan sebesar Rp40,34 triliun, pada
SBI 6 bulan sebesar Rp30,19 triliun, dan sisanya sebesar Rp2,1 triliun pada SBI 9 bulan.
Gambar 3.5.Perkembangan SBI 3 Bulan, BI Rate, dan Inflasi Tahun 2007-2011
14%
12%
10%
8%
6%
4%
2%
0%
2007 2008 2009 2010 2011
BI Rate SBI 3 Bulan Inflasi y0y
Sumber: Diolah dari Bank Indonesia.
Sejak bulan Nopember 2010, Bank Indonesia (BI) menghentikan pelelangan SBI 3 bulan untuk
sementara dengan tujuan untuk mengalihkan ekses likuiditas ke instrumen bertenor lebih panjang.
Sebagai penggantinya, ditawarkan SBI 6 bulan dan 9 bulan. Selain itu, BI juga menawarkan
instrumen moneter berupa term deposit berjangka waktu 1 dan 2 bulan. Kebijakan ini dilakukan
untuk mempermudah pengelolaan ekses likuiditas dalam sistem keuangan, karena term deposit
merupakan instrumen moneter non-securities atau instrumen pengelolaan likuiditas tanpa underlying
surat berharga yang dapat dibeli oleh bank umum, namun tidak dapat dipindahtangankan atau
diperjualbelikan ke pihak lain, kecuali kepada BI. Term deposit berjangka waktu 1 bulan sebenarnya
sudah ditawarkan sejak bulan Juli 2010. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk implementasi
dari 6 (Enam) Paket Kebijakan Moneter yang diterbitkan BI pada bulan Juni 2010 yaitu:
(1) pelebaran koridor suku bunga Pasar Uang AntarBank overnite (PUAB O/N) yang
diimplementasikan mulai 17 Juni 2010;
(2) penerapan minimum one month holding period SBI yang diimplementasikan mulai Juli 2010;
(3) penambahan instrumen moneter non-securities dalam bentuk term deposit yang mulai berlaku
pada Juli 2010;
(4) penyempurnaan ketentuan mengenai Posisi Devisa Netto (PDN) yang mulai berlaku pada Juli 2010;
(5) penerbitan SBI berjangka waktu 9 bulan dan 12 bulan yang masing-masing dimplementasikan
pada bulan Agustus dan September 2010; serta
(6) penerapan mekanisme three party repurchase (repo) Surat Berharga Negara (SBN) yang
diimplementasikan pada tahun 2011.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 47
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
46
3.2.5. Harga dan Lifting Minyak
Konsumsi rata-rata minyak dunia mengalami peningkatan dari 86,3 juta barel per hari pada tahun
2007 menjadi 86,7 juta barel per hari pada tahun 2010. Peningkatan konsumsi minyak dunia
terutama disebabkan oleh kenaikan konsumsi di negara-negara non-OECD (Organisation for
Economic Cooperation and Development) yang naik menjadi 46,0 juta barel per hari pada tahun
2010. Penyebab lainnya adalah meningkatnya permintaan negara-negara OECD seiring dengan
datangnya musim dingin (heating oil).
Gambar 3.6.
Perkembangan Produksi Minyak Dunia Tahun 2007-2010
90.0
60.0
30.0
0.0
2007 2008 2009 2010
Opec Non-Opec Total Produksi
(MBCD)
84.5
50.2
34.4
85.5
49.8
35.7
84.3
50.5
33.9
86.4
51.6
34.8
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Dari sisi produksi, terjadi peningkatan produksi minyak dunia berkisar 2,2 persen, yaitu dari rata-
rata 84,5 juta barel per hari pada tahun 2007 menjadi 86,4 juta barel per hari pada tahun 2010.
Peningkatan produksi ini bersumber dari negara-negara anggota OPEC (Organization of Petroleum
Exporting Countries) maupun non-OPEC.
Gambar 3.7.Perkembangan Konsumsi Minyak Dunia Tahun 2007-2010
90.0
60.0
30.0
0.0
2007 2008 2009 2010
Non-Opec OECD Total Konsumsi
(MBCD)
86.3
49.3
37.0
85.8
47.6
38.2
84.3
45.4
38.9
86.7
46.0
40.7
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Harga minyak mentah dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) yang merupakan jenis minyak
benchmark cenderung terus meningkat seiring terjadinya pemulihan ekonomi global dan naiknya
permintaan. Peningkatan harga WTI telah memicu kenaikan harga Indonesian Crude Oi Price (ICP)
menjadi US$79,4 per barel di tahun 2010 atau naik 27,2 persen jika dibandingkan dengan tahun
2009.
Gambar 3.8.Perkembangan Harga Minyak Indonesia Tahun 2007-2010
WTI Brent ICP
160.00
140.00
120.00
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0
Jan-07
US$
per
bar
el
Mar-07
May-07
May-09
May-10Ju
l-07
Jul-0
9Ju
l-10
Sep-07
Sep-09
Sep-10
Nov-07
Nov-09
Nov-10
Jan-08
Jan-10
Mar-08
May-08Ju
l-08
Sep-08
Nov-08
Jan-09
Mar-09
Mar-10
Sumber: Kementerian ESDM.
Sementara itu, realisasi lifting minyak Indonesia sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2010
terus menunjukkan peningkatan, yaitu dari 899 ribu barel per hari menjadi 954 ribu barel per hari.
Namun, realisasi tersebut masih lebih rendah dari target yang ditetapkan dalam APBN. Beberapa
kendala yang dihadapi diantaranya adalah penurunan produksi minyak secara alamiah karena
sumur-sumur minyaknya sudah tua, tertundanya pembangunan fasilitas produksi dan pengadaan
fasilitas produksi apung, serta terjadinya kebocoran pipa dan kerusakan pada anjungan Kontraktor
Kontrak Kerjasama (KKKS) akibat terjadinya tabrakan dan kelalaian manusia.
Gambar 3.9.Perkembangan Lifting Minyak Indonesia Tahun 2007-2010
(ribu barel per hari)
2007 2008 2009 2010 2011
APBN P Realisasi
950
931
944
970
899
927
960954
965
883
Sumber: Kementerian ESDM.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 49
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
48
3.2.6. Neraca Pembayaran
Neraca pembayaran Indonesia cenderung membaik dalam 5 tahun terakhir yang ditunjukkan oleh
surplus pada transaksi berjalan (current account) maupun transaksi modal dan finansial (capital
and financial account). Hal ini terutama disebabkan oleh peningkatan kinerja ekspor dan semakin
tingginya arus masuk modal asing (capital inflow) ke Indonesia, baik pada investasi langsung (foreign
direct investment) maupun pada investasi portofolio (portfolio investment).
Pada tahun 2010, neraca transaksi berjalan mencatatkan surplus sebesar US$6,3 miliar yang
didorong oleh surplus pada neraca perdagangan dan transfer. Untuk neraca perdagangan
mengalami surplus US$31,1 miliar atau lebih tinggi dibandingkan surplus tahun 2009 yang sebesar
US$30,1 miliar, sedangkan neraca transfer pada tahun 2010 juga mengalami surplus sebesar US$5,0
miliar. Sementara itu, neraca jasa dan neraca pendapatan mencatatkan defisit masing-masing
sebesar US$9,5 miliar dan US$20,3 miliar.
Tabel 3.3.Neraca Pembayaran Indonesia Tahun 2007-2011
(USD Miliar)
ITEM 2007 2008 2009 2010 2011A. TRANSAKSI BERJALAN 10,5 0,1 10,2 6,3 4,2
1. Neraca Perdagangan 32,5 22,9 30,1 31,1 37,0a. Ekspor, fob 118,0 139,6 119,6 158,2 196,0b. Impor, fob -85,3 -116,7 -89,5 -127,1 -159,0
2. Jasa-jasa -11,8 -13,0 -9,7 -9,5 -12,03. Pendapatan -15,5 -15,2 -15,1 -20,3 -25,94. Transfer berjalan 5,1 5,4 4,9 5,0 5,2
B. TRANSAKSI MODAL DAN FINANSIAL 3,6 -1,8 5,0 26,2 18,0- Neraca Modal 0,5 0,3 0,1 0,0 0,0- Neraca Finansial 3,0 -2,1 4,9 26,2 18,0
a. Investasi Langsung 2,3 3,4 2,6 9,8 10,0b. Investasi portofolio 5,6 1,8 10,3 15,2 13,3c. Investasi lainnya -4,8 -7,3 -8,1 1,1 -5,3
C. TOTAL (A + B) 14,1 -1,7 15,2 32,5 22,2D. SELISIH YANG BELUM DIPERHITUNGKAN -1,4 0,2 -2,7 -2,2 0,6E. KESEIMBANGAN UMUM (C+D) 12,7 -1,9 12,5 30,3 22,9
cadangan devisa 56,9 51,6 66,1 96,2 120,9Sumber: Bank Indonesia
Neraca transaksi modal dan finansial pada tahun 2010 mencatat surplus sebesar US$26,2 miliar.
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan surplus pada tahun 2009 yang hanya sebesar US$5,0
miliar. Surplus terutama bersumber dari tingginya investasi portofolio dan investasi langsung yang
sejalan dengan membaiknya persepsi risiko investasi di Indonesia, sehingga dana asing yang masuk
ke Indonesia pun semakin besar.
Seiring membaiknya kinerja neraca pembayaran, cadangan devisa (foreign reserves) Indonesia
semakin lama juga semakin besar. Pada tahun 2010, cadangan devisa mencapai US$96,2 miliar atau
merupakan pencapaian tertinggi dalam sejarah ekonomi Indonesia.
3.2.7. Pengangguran dan Kemiskinan
Semakin membaiknya kondisi perekonomian nasional memberikan sentimen positif terhadap
akses penciptaan lapangan kerja baru, penyerapan tenaga kerja, dan penurunan pengangguran.
Sejak tahun 2007 hingga 2010, angka pengangguran terbuka tercatat terus mengalami penurunan
baik secara absolut maupun secara relatif. Pada tahun 2007, jumlah pengangguran terbuka masih
sebesar 10,0 juta orang atau sekitar 9,1 persen dari total angkatan kerja. Angka ini kemudian
turun pada tahun 2008 menjadi sekitar 9,39 juta orang atau 8.39 persen. Pada tahun 2009, jumlah
pengangguran terbuka turun lagi menjadi 8,96 juta orang atau sekitar 7,87 persen dan pada tahun
2010 jumlah pengangguran terbuka tercatat turun menjadi 8,32 juta orang atau sebesar 7,14 persen.
Gambar 3.10.Angkatan Kerja dan Pengangguran Terbuka Tahun 2004-2010
Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik
Berdasarkan komposisi pekerja menurut lapangan kerja utama, terdapat beberapa sektor
yang mengalami peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja diantaranya Sektor Pertanian,
Perdagangan, Keuangan, dan Jasa Kemasyarakatan. Jika dibandingkan dengan kondisi bulan
Agustus 2010, jumlah penduduk yang bekerja pada Februari 2011 mengalami kenaikan terutama
di Sektor Jasa Kemasyarakatan yang naik sebesar 1,1 juta orang (6,70 persen) dan Sektor Pertanian
sebesar 980 ribu orang (2,36 persen). Sebaliknya, sektor-sektor yang mengalami penurunan dalam
penyerapan tenaga kerja adalah Sektor Industri sebesar 110 ribu orang (0,80 persen) dan Sektor
Transportasi, Pergudangan, dan Komunikasi sebesar 40 ribu orang (0,71 persen).
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 51
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
50
Gambar 3.11.Komposisi Lapangan Kerja Tahun 2009 dan 2010
Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik
Tingginya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh program pemberdayaan
masyarakat dan strategi pembangunan pro poor terbukti efektif dalam menurunkan tingkat
kemiskinan. Berdasarkan data BPS, tingkat kemiskinan pada Maret 2009 adalah 14,1 persen (sekitar
32,5 juta orang). Angka ini menurun jika dibandingkan dengan kondisi kemiskinan pada bulan
Maret 2008 yang masih sebesar 15,4 persen (34,9 juta orang). Untuk tahun 2010, tingkat kemiskinan
berhasil ditekan menjadi 13,3 persen.
Gambar 3.12.Jumlah Penduduk Miskin dan Tingkat Kemiskinan Tahun 2004-2010
Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik
Untuk mengefektifkan upaya pengurangan kemiskinan, pada tahun 2010, Pemerintah telah
menjalankan berbagai program penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan pemberdayaan
masyarakat yang terdiri dari:
(1) program koordinasi pengembangan kebijakan kesejahteraan rakyat;
(2) program pemberdayaan masyarakat dan Pemerintah desa;
(3) program pembinaan upaya kesehatan: dan
(4) program pembinaan dan pengembangan infrastruktur permukiman
Selain itu, terkait dengan belanja bantuan sosial, Pemerintah juga telah menjalankan beberapa
program seperti
(1) untuk bidang pendidikan, bantuan sosial diberikan dalam bentuk bantuan operasional
sekolah (BOS), beasiswa untuk siswa dan mahasiswa miskin, serta bantuan pembangunan dan
rehabilitasi gedung sekolah;
(2) untuk bidang kesehatan, bantuan sosial diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan
penduduk miskin di Puskesmas serta di kelas III rumah sakit Pemerintah/rumah sakit swasta
yang ditunjuk Pemerintah melalui asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin (Askeskin) atau
jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas);
(3) untuk bidang pemberdayaan masyarakat, bantuan sosial diberikan dalam bentuk Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) perdesaan dengan kecamatan (PNPM perdesaan),
penanggulangan kemiskinan perkotaan (PNPM perkotaan), program peningkatan infrastruktur
perdesaan (PPIP), PNPM daerah tertinggal dan khusus, serta PNPM infrastruktur sosial ekonomi
wilayah;
(4) untuk program keluarga harapan (PKH), bantuan sosial ditujukan untuk meningkatkan kualitas
sumber daya masyarakat miskin melalui pemberdayaan kaum ibu dan mendorong agar anaknya
tetap sehat dan bersekolah; dan
(5) untuk program penanggulangan bencana alam (pascabencana), bantuan sosial disalurkan untuk
kondisi darurat yang timbul dalam hal terjadi bencana. Pemberian bantuan bisa dilakukan
dalam tahapan prabencana, saat tanggap darurat bencana, maupun pascabencana.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 53
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
52
4.1. ARAH DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENDAPATAN NEGARA
Dalam rangka mencapai target penerimaan negara pada tahun 2010, Pemerintah menjalankan
berbagai kebijakan baik di bidang Perpajakan, Kepabeanan dan Cukai, maupun Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP). Kebijakan Perpajakan secara umum adalah melanjutkan kebijakan
tahun sebelumnya meliputi program ekstensifikasi perpajakan, program intensifikasi perpajakan,
program kegiatan pasca sunset policy, serta program reformasi perpajakan jilid II.
Kebijakan di bidang Kepabeanan diarahkan kepada pelayanan yang lebih sistematis, sehingga
menjadi murah, mudah, dan cepat dalam rangka memfasilitasi perdagangan internasional dan
diharapkan dapat meningkatkan daya saing industri dalam negeri. Sementara itu, kebijakan di
bidang cukai disesuaikan dengan prinsip dasar pengenaan cukai atas Barang Kena Cukai sesuai
Undang-Undang Cukai. Untuk cukai hasil tembakau, kebijakannya juga disesuaikan dengan skala
prioritas pada aspek penerimaan, kesehatan, dan tenaga kerja.
Selanjutnya, kebijakan di bidang PNBP antara lain optimalisasi penerimaan sumber daya alam (SDA)
terutama dari sektor minyak dan gas bumi (migas), peningkatan kinerja BUMN dan PNBP lainnya,
serta pendapatan Badan Layanan Umum (BLU).
4.1.1. Bidang Perpajakan
4.1.1.1.Penyempurnaan Kebijakan Perpajakan
a. Ketentuan Perpajakan di Bidang KUP
Selama tahun 2010 telah diterbitkan beberapa peraturan baru maupun penyempurnaan atas
peraturan-peraturan yang telah ada. Hal-hal yang diatur antara lain berikut ini.
(1) Penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran
PPN, karena adanya ketentuan mengenai batas waktu pembayaran dan penyetoran PPN
berdasarkan Pasal 15A UU PPN, yaitu paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya
Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa PPN disampaikan.
(2) Pengaturan prosedur penerbitan kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP.
(3) Pengaturan mengenai tata cara pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak, perubahan data dan pemindahan wajib pajak dan/atau Pengusaha
Kena Pajak.
(4) Penyempurnaan ketentuan mengenai bentuk formulir Surat Setoran Pajak.
(5) Penyempurnaan ketentuan mengenai bentuk dan isi Nota Penghitungan, Surat Ketetapan
Pajak dan Surat Tagihan Pajak.
(6) Pengaturan tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang berkaitan dengan Surat Penetapan Tarif
dan/atau Nilai Pabean (SPTNP) atau Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean
(SPKTNP), Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. dan
(7) Pengaturan tata cara pelaksanaan pengembangan dan analisis Informasi, Data, Laporan, dan
Pengaduan.
b. Ketentuan Perpajakan di Bidang PPN dan PPnBM
Sehubungan dengan telah diundangkannya UU No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah pada tanggal 15 Oktober 2009 dan berlaku sejak tanggal 1 April 2010, maka telah
diterbitkan beberapa peraturan pelaksanaan. Di samping itu, terdapat beberapa kebijakan yang
dikeluarkan untuk memberikan kepastian dalam pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN.
Kebijakan yang diterbitkan selama tahun 2010 adalah berikut ini.
(1) Penambahan objek PPN, yaitu atas ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud dan ekspor Jasa
Kena Pajak dikenai PPN dengan tarif 0%.
(2) PPN atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, baik seluruhnya maupun sebagian,
dapat dikurangkan dari PPN yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pembatalan.
(3) Penyesuaian pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan dalam menghitung PPN
yang harus disetor (Deemed Pajak Masukan).
(4) Pembayaran Kembali Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan barang modal yang telah
dikreditkan dan telah diberikan pengembalian bagi Pengusaha Kena Pajak yang mengalami
gagal berproduksi.
(5) Pemberian restitusi pembayaran pajak dengan cara pengembalian pendahuluan tanpa melalui
proses pemeriksaan terlebih dahulu kepada Pengusaha Kena Pajak tertentu yang mempunyai
kriteria risiko rendah.
(6) Orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing) dapat meminta kembali PPN yang
telah dibayar atas barang bawaan yang dibawa keluar negeri melalui bandar udara tertentu.
(7) Pengaturan Pengusaha Kena Pajak tidak dikenai sanksi apabila menerbitkan Faktur Pajak tanpa
mengisi:
a. identitas pembeli; atau
b. identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual, dalam hal penyerahan dilakukan
oleh Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran.
KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENDAPATAN NEGARA
BAB IV
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 55
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
54
(8) Pendefinisian ulang Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran.
(9) Pemberlakuan formulir baru SPT Masa PPN 1111 dan SPT Masa PPN 1111 DM.
(10) Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi dan
Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi
untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan PPN dan PPnBM, serta tata cara pemungutan,
penyetoran, dan pelaporannya.
(11) Batasan dan tata cara pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri.
(12) Penerbitan beberapa penegasan mengenai perlakuan PPN atas:
a. jasa angkutan umum di jalan;
b. kegiatan usaha perbankan;
c. sewa guna usaha dengan hak opsi dan sale and lease back;
d. penyerahan Barang Kena Pajak dan hak atas Barang Kena Pajak yang berada di luar Daerah Pabean;
e. retur Barang Kena Pajak atau pembatalan Jasa Kena Pajak atas Faktur Pajak yang tidak
mencantumkan identitas pembeli;
f. jasa perdagangan; dan
g. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud/Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.
(13) Prosedur pemusatan tempat PPN terutang cukup dengan menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis oleh Pengusaha Kena Pajak kepada Kepala Kanwil dengan tembusan kepada
Kepala KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat PPN terutang yang akan dipusatkan.
(14) Penambahan bukan objek PPN yang meliputi:
a. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan
dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak;
b. daging, telur, susu, sayuran, dan buah-buahan segar;
c. barang dan jasa yang sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah;
d. jasa di bidang keuangan.
(15) Perubahan ketentuan saat penyetoran dan pelaporan PPN yaitu:
a. penyetoran PPN dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa
pajak, sebelum SPT Masa PPN disampaikan;
b. SPT Masa PPN disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
c. Ketentuan Perpajakan di Bidang PPh
Beberapa peraturan pelaksanaan yang diterbitkan selama tahun 2010 dalam rangka
menyempurnakan peraturan di bidang PPh adalah berikut ini.
(1) Zakat atau sumbangan keagamaan yang bersifat wajib dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto serta tata cara pembebanannya.
(2) Biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan PPh di bidang usaha hulu minyak dan
gas bumi.
(3) Tarif pemotongan dan pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang menjadi beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
(4) Sumbangan penanggulangan bencana nasional, sumbangan penelitian dan pengembangan,
sumbangan fasilitas pendidikan, sumbangan pembinaan olahraga, dan biaya pembangunan
infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
(5) Penghitungan Pengusaha Kena Pajak dan pelunasan PPh dalam tahun berjalan.
(6) Biaya promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
(7) Penetapan organisasi internasional dan pejabat perwakilan organisasi internasional yang tidak
termasuk subjek PPh.
(8) Tata cara pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat
pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.
(9) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
(10) Tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas dividen yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
(11) Tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas bunga simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi kepada anggota orang pribadi.
(12) Penetapan kembali besarnya penghasilan yang diperoleh wajib pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
(13) Penetapan Wajib Pajak sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian saham atau
aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian
(special purpose company) yang mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain dan
terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
(14) PPh Ditanggung Pemerintah atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang diterima atau diperoleh masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo
untuk tahun anggaran 2010.
(15) Pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
(16) Tata cara pemotongan PPh Pasal 21 bagi pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS),
anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan
pensiunannya, atas penghasilan yang menjadi beban APBN atau APBD.
d. Ketentuan Perpajakan di Bidang PBB dan BPHTB
Beberapa ketentuan perpajakan di bidang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan BPHTB yang
diterbitkan pada tahun 2010 antara lain mengatur hal-hal berikut ini.
(1) Persiapan pengalihan BPHTB sebagai pajak daerah melalui Peraturan Bersama antara Menteri
Keuangan dan Menteri Dalam Negeri.
(2) Persiapan pengalihan PBB perdesaan dan perkotaan sebagai pajak daerah melalui Peraturan
Bersama antara Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri.
(3) Penyempurnaan klasifikasi Nilai Jual Objek Pajak Bumi untuk sektor perkebunan, sektor
perhutanan, dan sektor pertambangan, yang dilakukan dalam rangka memberikan kepastian
hukum, keadilan bagi Wajib Pajak dan memberikan stabilitas dalam penentuan Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP).
(4) Pengaturan tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi BPHTB dan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan
BPHTB atau Surat Tagihan BPHTB, yang tidak benar.
(5) Pengaturan Nomor Objek Pajak PBB yang merupakan objek PBB yang bersifat unik, tetap, dan standar.
(6) Tata cara persiapan pengalihan BPHTB sebagai pajak daerah.
(7) Tata cara persiapan pengalihan PBB perdesaan dan perkotaan sebagai pajak daerah.
(8) Pengaturan mengenai pengenaan PBB sektor perkebunan.
(9) Pengaturan mengenai tata cara penatausahaan PBB pertambangan minyak dan gas bumi.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 57
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
56
4.1.1.2. Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak
a. Ekstensifikasi
a.1. Perluasan Basis Subjek Pajak
Pelaksanaan ekstensifikasi wajib pajak orang pribadi tahun 2010 dilakukan dengan menggunakan
dua pendekatan, yaitu pendekatan pemberi kerja/bendahara Pemerintah dan pendekatan properti.
Sasaran utama ektensifikasi melalui pendekatan pemberi kerja/bendahara Pemerintah adalah
karyawan yang meliputi pemegang saham, komisaris, direksi, staf serta PNS dan pejabat negara.
Sedangkan sasaran utama ekstensifikasi melalui pendekatan properti adalah orang pribadi yang
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas objek PBB dengan tetap memperhatikan
syarat objektif dan syarat subjektif untuk diberikan NPWP.
Kegiatan ekstensifikasi yang dilaksanakan selama tahun 2010 menghasilkan penambahan wajib
pajak sebanyak 3.201.014 wajib pajak, terdiri dari 3.019.396 wajib pajak orang pribadi, 151.771 wajib
pajak badan, dan 29.847 wajib pajak bendahara.
Penambahan jumlah wajib pajak yang cukup signifikan tersebut antara lain dikarenakan:
a. pengaturan mengenai kewajiban memiliki NPWP dalam rangka pengalihan hak atas tanah dan/
atau bangunan; dan
b. himbauan yang disampaikan melalui PT Taspen (Persero) kepada para pensiunan yang memiliki
penghasilan di atas PTKP untuk memiliki NPWP.
Tabel 4.1.
Jumlah Wajib Pajak Terdaftar di Indonesia Tahun 2005-2010
Wajib Pajak 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Orang Pribadi 2.959.006 3.251.753 5.431.689 8.807.666 13.861.253 16.880.649
Bendaharawan 274.478 327.258 360.782 392.509 441.986 471.833
Badan 1.124.530 1.226.279 1.344.552 1.481.924 1.608.337 1.760.108
Total 4.358.014 4.805.290 7.137.023 10.682.099 15.911.576 19.112.590
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak.
a.2. Perluasan Basis Objek Pajak melalui Pendataan
Perluasan basis objek pajak dilakukan melalui kegiatan pendataan yaitu kegiatan pemeliharaan
dan pembentukan data objek dan subjek PBB yang terdapat dalam Sistem Informasi Manajemen
Objek Pajak (SISMIOP) dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Tujuan dari kegiatan pendataan adalah
menciptakan basis data objek dan subjek PBB yang akurat dan up to date sehingga dapat tercipta
pengenaan pajak yang lebih adil dan merata, peningkatan pokok ketetapan, peningkatan tertib
administrasi, dan peningkatan penerimaan PBB serta dapat memberikan pelayanan yang lebih baik
kepada wajib pajak.
Tabel 4.2. Basis Data Objek PBB di Indonesia Tahun 2006-2010
TahunJumlah Jumlah SISMIOP Peta Digital
Desa Objek Pajak Desa % Objek Pajak % Desa %
2006 71,724 90.972.987 38.917 54,3 64.046.203 70.40 18.374 25,6
2007 71.766 93.560.990 41.746 58,2 69.459.676 74.24 24.935 34,7
2008 74.147 97.173.501 47.958 64,7 77.230.806 79.48 31.172 42,0
2009 75.800 100.157.307 51.688 68,2 83.262.201 83.13 35.420 46,7
2010 77.033 103.562.165 55.281 71,8 89.088.086 86.02 38.798 50,4
Keterangan: Data per akhir tahun, 31 Desember tahun yang bersangkutan Sumber: Direktorat Jenderal Pajak.
b. Intensifikasi
Kebijakan dan strategi intensifikasi yang dilaksanakan selama tahun 2010 adalah berikut ini.
(1) Penggalian potensi penerimaan dari Wajib Pajak Orang Pribadi baru.
(2) Penggalian potensi penerimaan berbasis profil.
(3) Intensifikasi penggalian potensi menggunakan Aplikasi Optimalisasi Pemanfaatan Data
Perpajakan (OPDP).
(4) Law enforcement terhadap Wajib Pajak potensial yang telah dihimbau, namun tidak
menggunakan Sunset Policy, sehingga dilakukan pemeriksaan, penagihan, atau penyidikan.
(5) Peningkatan compliance dari penurunan tarif yang disertai pemantapan, pembinaan, dan
pelayanan terhadap Wajib Pajak yang telah memanfaatkan Sunset Policy agar membayar pajak
dengan benar melalui tax education bagi Wajib Pajak baru dan penyuluhan.
(6) Penggalian potensi sektor tertentu, seperti pertambangan, perkebunan, dan industri pengolahan.
(7) Pembinaan Wajib Pajak Orang Pribadi potensial melalui pemberian respon terhadap 1000 SPT
Tahunan PPh.
Masih dalam lingkup intensifikasi, khususnya di bidang PBB, pada tahun 2010 telah dilakukan juga
usaha meningkatkan kualitas Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) melalui:
(1) pembuatan dan penyempurnaan program aplikasi Form Data Masukan sektor perkebunan
dalam rangka tertib administrasi data perkebunan;
(2) penyusunan konsep pengembangan aplikasi SISMIOP sektor pertambangan dan perhutanan
untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan objek pajak sektor tersebut;
(3) penilaian individu objek PBB potensial yang meliputi objek khusus seperti PLTU sebanyak 4
objek, dan tambang emas serta PLTA masing-masing 1 objek;
(4) pelaksanaan exercise valuation untuk bahan penyusunan petunjuk teknis penilaian dengan
jumlah 5 objek yaitu pertambangan timah, batubara, emas, bauksit dan nikel;
(5) analisis Assessment Sales Ratio (ASR) bumi untuk mengevaluasi NJOP bumi terhadap harga
transaksi pasar. ASR terhadap NJOP bumi tahun 2010 adalah 86,06 persen yang artinya rata-rata
penerapan NJOP bumi adalah 86,06 persen dari harga pasar tahun 2010;
(6) penyesuaian NJOP bangunan terhadap nilai pasar (analisis ASR bangunan) untuk menjaga
keseimbangan NJOP bangunan. ASR NJOP bangunan tahun 2010 adalah sebesar 81 persen
dengan demikian rata-rata penerapan NJOP bangunan sudah mencapai 81 persen dibandingkan
harga pasar bangunan tahun 2010;
(7) penyeimbangan NJOP antarwilayah untuk menjaga akuntabilitas dan keadilan penerapan NJOP.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 59
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
58
4.1.1.3. Layanan, Sosialisasi, Edukasi, dan Kehumasan
a. Layanan Unggulan
Salah satu komitmen DJP dalam upaya meningkatkan kepastian pelayanan kepada masyarakat
adalah dengan menetapkan layanan unggulan. Komitmen tersebut diwujudkan melalui
penambahan jumlah layanan unggulan yang pada tahun sebelumnya ditetapkan sebanyak 8
layanan menjadi 16 layanan pada tahun 2010.
Tabel 4.3.Daftar Layanan Unggulan DJP Tahun 2010
Jenis Layanan
1 Penyelesaian Permohonan Pendaftaran NPWP Tepat Waktu
2 Penyelesaian Permohonan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak Tepat Waktu
3 Penyelesaian Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran PPN Tepat Waktu
4 Penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak Tepat Waktu
5 Penyelesaian Permohonan Keberatan Penetapan PPh, PPN, dan PPnBM Tepat Waktu
6 Penyelesaian Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemungutan PPh Pasal 22 Impor Tepat Waktu
7 Penyelesaian Permohonan Pengurangan PBB Tepat Waktu
8 Pendaftaran Objek Pajak Baru dengan Penelitian Kantor Tepat Waktu
9 Penyelesaian Mutasi Seluruhnya Objek dan Subjek PBB Tepat Waktu
10 Penyelesaian Permohonan SKB Pemotongan PPh Pasal 23 Tepat Waktu
11 Penyelesaian Permohonan SKB Pemotongan PPh atas Bunga Deposito dan Tabungan Serta Diskonto SBI yang Diterima atau Diperoleh Dana Pensiun yang Pendiriannya telah Disahkan oleh Menteri Keuangan Tepat Waktu
12 Penyelesaian Permohonan SKB PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan Tepat Waktu
13 Penyelesaian Permohonan SKB PPN atas Barang Kena Pajak Tertentu Tepat Waktu
14 Penyelesaian Permohonan Keberatan PBB Tepat Waktu
15 Penyelesaian Permohonan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Tepat Waktu
16 Penyelesaian Permohonan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang Tidak Benar Tepat Waktu
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak.
b. Layanan Penyelesaian Sengketa Pajak
b.1. Permasalahan dalam Layanan Penyelesaian Sengketa Pajak
Pada tahun 2002, DJP memulai program Reformasi Perpajakan Jilid Satu yang dikenal dengan
Modernisasi yang meliputi reformasi di bidang administrasi, kebijakan, serta intensifikasi dan
ekstensifikasi. Reformasi Perpajakan Jilid Satu ditutup dengan selesainya penerapan administrasi
modern di seluruh KPP di luar Jawa dan Bali pada akhir tahun 2008. Reformasi Perpajakan Jilid Satu
cukup sukses dari aspek penerimaan perpajakan dan tingkat kepuasan Wajib Pajak.
Namun demikian, masih banyak ketidaksempurnaan atau pekerjaan yang belum terselesaikan.
Menurunnya tingkat kepercayaan dan reputasi DJP sebagai akibat pemberitaan kasus-kasus
penyalahgunaan wewenang oleh oknum aparat pajak. Masyarakat semakin apatis terhadap
kredibilitas dan integritas DJP dalam menghimpun dana pembangunan.
Salah satu contoh adalah keluhan masyarakat yang terkait dengan pemeriksaan pajak dan
penyelesaian keberatan, karena sering merasa tidak diperlakukan secara fair oleh aparat pajak. DJP
belum mempunyai sistem dan manajemen SDM yang komprehensif dan lebih fair berupa sistem
pengukuran kinerja, manajemen pola karir, serta reward and punishment system untuk mendukung
produktivitas aparat pajak.
Untuk mengatasi masalah menurunnya kepercayaan masyarakat, di tahun 2010, DJP meluncurkan
program perbaikan jangka pendek (crash program) yang difokuskan pada 9 bidang, yaitu:
(1) tata nilai dan budaya kerja;
(2) pemeriksaan;
(3) keberatan;
(4) banding;
(5) ekstensifikasi;
(6) pengawasan kepatuhan;
(7) sumber daya manusia;
(8) teknologi informasi dan komunikasi; serta
(9) organisasi.
Kesembilan bidang merupakan hasil identifikasi DJP berdasarkan arahan Menteri Keuangan dan
masukan dari stakeholders yang terdiri dari DPR, asosiasi pengusaha dalam negeri (KADIN), kalangan
pengusaha asing (Jakarta Japan Club, International Business Chambers), Wajib Pajak, institusi
internasional (IMF dan World Bank), Komisi Pengawasan Perpajakan, serta jajaran Kementerian
Keuangan lainnya.
Terkait penyelesaian keberatan, proses yang ada saat ini belum sepenuhnya mampu memberikan
rasa keadilan kepada Wajib Pajak. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya penolakan berkas
keberatan Wajib Pajak oleh Kantor Pusat DJP ataupun Kantor Wilayah yang disebabkan oleh 6
faktor sebagai berikut:
(1) Wajib Pajak belum memahami tata cara dan persyaratan pengajuan keberatan;
(2) Wajib Pajak belum memahami ketentuan perpajakan atas koreksi fiskal yang dilakukan oleh
pemeriksa;
(3) jawaban konfirmasi dari pihak ketiga (ekternal DJP) sampai dengan keputusan keberatan
diterbitkan belum diterima;
(4) Wajib Pajak tidak meminjamkan dokumen-dokumen secara lengkap sampai surat keputusan
keberatan diterbitkan;
(5) adanya multitafsir dari suatu ketentuan; serta
(6) lemahnya pengawasan atas proses penyelesaian keberatan dan evaluasi atas keputusan
keberatan.
Dalam hal Banding, DJP sering mengalami kekalahan pada sidang di Pengadilan Pajak dikarenakan
beberapa penyebab berikut ini.
(1) Tidak dapat dilaksanakannya Putusan Pengadilan Pajak oleh KPP, karena objek sengketa bukan
merupakan ketetapan pajak, tetapi merupakan produk hukum dari Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai (DJBC), sehingga Wajib Pajak tidak mendapatkan haknya berupa pengembalian pajak.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 61
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
60
(2) Majelis tetap memperhitungkan dokumen yang tidak diberikan Wajib Pajak pada saat
pemeriksaan dan keberatan, namun baru disampaikan pada saat persidangan. Hal ini
disebabkan karena belum sejalannya ketentuan dalam pasal 26A UU KUP dengan pasal 78 UU
Pengadilan Pajak, sehingga koreksi pemeriksa dibatalkan karena uji bukti di persidangan.
(3) Lemahnya kemampuan litigasi petugas DJP dalam beracara di persidangan, sehingga belum
optimal dalam berargumen untuk meyakinkan Majelis.
(4) Putusan Pengadilan Pajak tidak mempertimbangkan fakta di persidangan, karena kejadian
selama persidangan tidak dicatat secara lengkap dan benar oleh Pengadilan Pajak, sehingga
Putusan Majelis tidak sesuai dengan uji bukti yang dilakukan dan fakta yang terungkap dalam
persidangan.
(5) Majelis Hakim kurang cermat di persidangan yang dibuktikan dari putusan yang menggunakan
dasar hukum yang tidak tepat atau sudah tidak berlaku lagi, sehingga putusan menjadi tidak
tepat.
(6) Data tentang permohonan hingga penyelesaian banding dan gugatan tidak sinkron dengan DJP.
Tidak adanya aplikasi administrasi dan database yang terkoneksi antara DJP dan Pengadilan Pajak
menjadi penyebab utama dari permasalahan ini, sehingga tahap-tahap persiapan persidangan
yang harus dilakukan oleh DJP sebagai pihak Terbanding/Tergugat tidak maksimal.
b.2. Kinerja Layanan Penyelesaian Sengketa Pajak
Penyelesaian keberatan, pembetulan, pengurangan, penghapusan, dan pembatalan ketetapan
pajak karena permohonan maupun secara jabatan selama tahun 2010 dapat disimak pada Tabel
4.4. Jenis layanan penyelesaian sengketa pajak yang paling banyak adalah pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi, kemudian diikuti oleh keberatan, baik terhadap PPh maupun
PPN/PPnBM. Adapun jenis layanan yang paling sedikit adalah pembatalan hasil pemeriksaan pajak/
SKP hasil pemeriksaan.
Tabel 4.4.Jumlah Penyelesaian Keberatan, Pembetulan, Pengurangan, Penghapusan dan Pembatalan SKP PPh
dan PPN/PPnBM Tahun 2010
Jenis Layanan PPh PPN/PPnBM
Pembetulan 805 558Keberatan 2.090 3.101Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi 4.595 4.961Pengurangan atau Pembatalan SKP 961 891Pengurangan atau Pembatalan STP 567 486Pembatalan Hasil Pemeriksaan Pajak/SKP Hasil Pemeriksaan 9 18
Total 9.027 10.015
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak.
Untuk PBB, jenis layanan penyelesaian sengketa pajak yang terbanyak dijumpai pada pengurangan
pokok, keberatan, dan pembetulan. Adapun untuk BPHTB, pembatalan hasil pemeriksaan pajak/
SKP hasil pemeriksaan merupakan jenis layanan penyelesaian sengketa pajak yang paling banyak
dilakukan.
Tabel 4.5.Jumlah Penyelesaian Keberatan, Pembetulan, Pengurangan, Penghapusan
dan Pembatalan SKP PPB dan BPHTB Tahun 2010
Jenis Layanan PBB BPHTB
Pembetulan 6.762 7Keberatan 7.331 2Pengurangan Pokok 17.435 1Pengurangan Sanksi 1.550 59Pengurangan atau Pembatalan SKP 4.837 43Pengurangan atau Pembatalan STP 0 56Pembatalan Hasil Pemeriksaan Pajak/SKP Hasil Pemeriksaan 0 1736
Jumlah 37.915 1.904
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak.
Pengajuan banding atau gugatan ke Pengadilan Pajak yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim
dan telah diterima putusannya oleh DJP selama tahun 2010 berjumlah 2.806 putusan dengan
rincian sebagai berikut:
Tabel 4.6.Jumlah Distribusi Putusan Banding dan Gugatan
Berdasarkan Amar Putusan yang Diterima DJP Tahun 2010
Amar Putusan Banding Gugatan Jumlah
Menolak 268 214 482Mengabulkan Sebagian 728 11 739Mengabulkan Seluruhnya 792 162 954Membatalkan 40 52 92Tidak Dapat Diterima 226 225 451Menambah 2 0 2Membetulkan Salah Tulis/Hitung 65 10 75Dihapus dari Daftar Sengketa 3 6 9
Jumlah 2.124 682 2.806 Sumber: Direktorat Jenderal Pajak.
Pengajuan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung oleh DJP disampaikan dalam bentuk Memori
PK. Atas Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung yang diajukan oleh Wajib Pajak, DJP wajib
menjawab dalam bentuk Kontra Memori PK. Selama tahun 2010, DJP telah melakukan pengajuan
Memori PK berjumlah 829 dan Kontra Memori PK berjumlah 185. Memori PK maupun Kontra
Memori PK yang diajukan didominasi oleh PPN dan PPh, dan relatif terbatas untuk PBB dan BPHTB.
Tabel 4.7. Jumlah Pengajuan PK dan Kontra Memori PK Ke MA Tahun 2010
Jenis Pajak Memori PK Kontra Memori PK Jumlah
PPh 354 86 440
PPN 464 97 561
PBB dan BPHTB 11 2 13
Jumlah 829 185 1.014
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 63
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
62
Selama tahun 2010, DJP telah menerima 235 Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung
atas permohonan yang diajukan oleh DJP maupun Wajib Pajak. Dari jumlah ini, 228 putusan masuk
dalam kategori ditolak dan hanya 7 keputusan yang mengabulkan. Bahkan, dari 90 usulan PK yang
diajukan dari DJP, hanya 1 yang dikabulkan.
Tabel 4.8.Jumlah Distribusi Putusan PK dari MA yang Diterima DJP Tahun 2010
Pemohon PK Menolak Mengabulkan Jumlah
DJP 89 1 90
Wajib Pajak 139 6 145
Jumlah 228 7 235
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak.
b.3. Sosialisasi dan Edukasi
Dalam rangka meningkatkan pemahaman dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk
memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya, maka sosialisasi dan edukasi mutlak diperlukan.
Pada tahun 2010, sosialisasi tidak dilakukan secara masif, karena mempertimbangkan kondisi sosial
sebagai akibat terjadinya beberapa kasus oleh oknum pegawai DJP. Sosialisasi lebih menitikberatkan
untuk menjaga kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya dan difokuskan kepada
asosiasi-asosiasi dan bendahara Pemerintah.
Rincian sosialisasi dan edukasi yang dilaksanakan selama tahun 2010 adalah berikut ini.
(1) Talkshow radio interaktif untuk memberikan pengetahuan perpajakan melalui media radio yang
dikemas melalui dialog interaktif untuk memudahkan pendengar memahami perpajakan. Telah
dilakukan 49 talkshow melalui radio dengan berbagai topik bahasan.
(2) Live report untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kegiatan yang dilakukan
oleh DJP, seperti sosialisasi ketentuan terbaru, pojok pajak, kampanye sadar pajak, dan
meningkatkan citra positif DJP di masyarakat. Telah dilakukan 30 kali live report.
(3) Penyuluhan melalui media televisi sebanyak 39 kali tayangan.
(4) Penyuluhan melalui Airport TV Bandara Internasional Soekarno-Hatta melalui media airport
teve, neon box standteve, dan neon box public tv.
(5) Pencetakan buku cerita anak dengan tema manfaat pajak untuk mendidik anak usia sekolah
memahami pentingnya pajak bagi dirinya, keluarga, masyarakat, dan negara. Targetnya
adalah anak sekolah dasar berusia 6-12 tahun. Buku ini dicetak sebanyak 1.000 buah dan telah
digunakan sebanyak 150 buah untuk sosialisasi di Kidzania.
(6) Telah diterbitkan 6 judul buku, 9 judul booklet, dan 65 judul seri leaflet perpajakan untuk
menunjang sosialisasi dan edukasi perpajakan.
(7) Pembuatan situs online katalog buku perpustakaan (Online Public Access Catalogue).
b.4. Kehumasan
Adanya kasus yang melibatkan oknum pegawai pajak mengakibatkan DJP menjadi sorotan publik.
Oleh karena itu, fokus utama kehumasan DJP pada tahun 2010 dititikberatkan pada pengembalian
kepercayaan publik terhadap DJP.
Berbagai upaya yang telah ditempuh dalam rangka meningkatkan citra DJP adalah berikut ini.
(1) Publikasi positif tentang DJP secara terus menerus. Kegiatan ini bertujuan untuk mengimbangi
pemberitaan di media massa cetak maupun elektronik yang sering menyudutkan DJP.
(2) Penyuluhan dalam rangka kunjungan mahasiswa atau pelajar. Kegiatan ini bertujuan
memberikan informasi perpajakan sejak dini kepada para mahasiswa atau pelajar yang
melakukan kunjugan atau praktik kerja lapangan di DJP.
(3) Penyebaran informasi perpajakan kepada pihak internal dan eskternal. Informasi kepada
pegawai DJP disebarkan melalui e-Magazine, yaitu majalah elektronik yang diterbitkan setiap
bulan. Sedangkan informasi untuk masyarakat disampaikan melalui situs www.pajak.go.id.
4.1.2. Bidang Kepabeanan dan cukai
4.1.2.1. Kepabeanan
a. Arah Kebijakan dan Strategi di Bidang Impor
Kebijakan kepabeanan di bidang impor diarahkan pada pelayanan yang lebih murah, mudah,
dan cepat dalam rangka memfasilitasi perdagangan internasional dan meningkatkan daya saing
industri dalam negeri. Pelayanan tersebut dilakukan tanpa mengesampingkan aspek pengamanan
terhadap hak-hak negara dan perlindungan kepada masyarakat dan kepentingan nasional.
Langkah / strategi kebijakan yang diterapkan pada tahun 2010 adalah berikut ini.
(1) Perbaikan Sistem dan Prosedur Pelayanan di Bidang Impor yang lebih mudah, cepat dan murah
sesuai standar internasional.
(2) Penyesuaian Tarif Umum berdasarkan masukan atau usulan Pembina sektor dan pola kenaikan
atau penurunan tariff sesuai program Harmonisasi Tariff.
(3) Penyesuaian Tarif Khusus yang diterapkan sebagai akibat dari praktik perdagangan yang
merugikan industry dalam negeri. Tahun 2010 diterapkan BM Anti Dumping untuk produk
Uncoated Writing and Printing Paper, produk H and I section dan produk Polyester Staple Fiber.
Gambar 4.1.Skema Tarif Khusus Bea Masuk Anti Dumping
Bea Masuk Imbalan (Coun-tervailing Duties)
Bea Masuk Anti Dumping (Antidumping)
Bea Masuk Tindakan Pengamanan (Safeguards)
Bea Masuk Pembalasan (Retaliation)
Tarif Khusus
Sumber: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(4) Penyesuaian Tariff dalam rangka Free Trade Agreement (FTA) dan Economic Partnership Agreement
(EPA). Sejak tanggal 8 September 2010 telah diberlakukan ASEAN-India FTA (AI-FTA).
(5) Perbaikan mekanisme penetapan dan evaluasi Nilai Pabean melalui mekanisme pelayanan
konsultasi, Quality Assurance atau kendali mutu dan eksaminasi, serta mekanisme Voluntary
Payment.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 65
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
64
b. Arah Kebijakan dan Strategi di Bidang Ekspor
Arah kebijakan pelayanan di bidang ekspor diselaraskan dengan program Pemerintah untuk
selalu mendorong peningkatan volume dan nilai ekspor. DJBC berupaya menciptakan sistem dan
prosedur pelayanan ekspor yang semudah mungkin bagi masyarakat usaha. Namun, kemudahan
sistem dan prosedur ekspor dijalankan dengan tetap menjaga hak-hak negara.
Strategi pelayanan di bidang ekspor adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi yang
tersedia seoptimal mungkin. Di samping itu, diciptakan suatu prosedur pelayanan yang tidak
menghambat arus barang ekspor apabila pengguna jasa telah memberitahukan jumlah dan jenis
barang dengan benar.
b.1. Sistem dan Prosedur
(1) Optimalisasi pemeriksaan fisik barang ekspor berdasarkan manajemen resiko.
(2) Pembatasan penyampaian PEB (paling cepat 7 hari) untuk akurasi data dan antisipasi pemanfaatan
tenggang waktu penetapan harga ekspor dan tarif Bea Keluar dengan masa berlakunya.
(3) Otomasi sistem pembayaran PNBP dan Bea Keluar terutama untuk pengguna jasa yang
beroperasi di Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok.
(4) Optimalisasi pelayanan dengan penyempurnaan Sistem Aplikasi Kepabeanan Ekspor yang lebih
mudah.
(5) Peningkatan validitas data ekspor dengan penyusunan mekanisme pemeriksaan dokumen
atas perubahan PEB.
(6) Otomasi pelayanan dalam Pemberitahuan Konsolidasi Barang Ekspor (PKBE).
(7) Penerapan mekanisme rekonsiliasi data PEB dengan Outward Manifest untuk menghindari ekspor fiktif.
(8) Intensifikasi pengawasan ekspor dengan proses scanning (Gamma-Ray).
b.2. Ekstensifikasi Pengenaan Bea Keluar
Pengenaan Bea Keluar terhadap barang ekspor bertujuan untuk menjamin terpenuhinya
kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumber daya alam, mengantisipasi kenaikan
harga yang cukup drastis dari komoditi tertentu di pasaran internasional, serta menjaga stabilitas
harga komoditi tertentu di dalam negeri. Terhitung sejak bulan April 2010, ekspor Biji Kakao dikenai
Bea Keluar dengan tarif progresif sesuai persentase harga ekspor (ad valorem). Dalam tahun 2010
juga telah dibahas beberapa kemungkinan ekstensifikasi Bea Keluar lainnya, namun sampai dengan
akhir tahun 2010 masih dalam taraf pengkajian bersama instansi terkait di bawah koordinasi BKF.
4.1.2.2. Arah Kebijakan dan Strategi di Bidang cukai
Arah kebijakan di bidang Cukai pada tahun 2010 tetap ditekankan dalam upaya memenuhi target
penerimaan Cukai berdasarkan pada prinsip pengenaan Cukai atas barang kena Cukai sebagaimana
diamanahkan dalam UU No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang
Cukai. Kebijakan juga disesuaikan dengan Road Map Industri Hasil Tembakau (IHT) Tahun 2010 yang
berorientasi pada aspek penerimaan, kesehatan, dan tenaga kerja. Langkah-langkah yang diambil
dalam upaya melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut adalah berikut ini.
(1) Penyusunan atau penyesuaian tarif Cukai Hasil Tembakau.
(2) Penetapan atau penyesuaian terhadap tarif Etil Alkohol (EA), Minuman Mengandung Etil Alkohol
(EA), dan Konsentrat Mengandung Etil Alkohol.
(3) Pengkajian ekstensifikasi Barang Kena Cukai.
(4) Otomasi pelayanan di bidang Cukai dalam rangka optimalisasi pelayanan terhadap pengguna
jasa dan pengawasan ci bidang Cukai dengan cara perluasan mandatory Sistem Aplikasi Cukai
(SAC) Sentralisasi.
(5) Pengkajian rencana pelekatan pita Cukai atau tanda pelunasan Cukai lainnya untuk MMEA
Golongan A.
(6) Penyempurnaan fitur tanda lunas Cukai dari aspek kertas, hologram, dan cetakannya.
(7) Intensifikasi pengawasan untuk meningkatkan kepatuhan pengusaha dalam proses produksi,
pelekatan pita Cukai, dan pencatatan atau pembukuan.
(8) Intensifikasi pengawasan terhadap peredaran barang kena Cukai illegal, pita Cukai palsu, dan
kemungkinan pelanggaran lainnya.
4.1.3. Bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak
Kebijakan dan strategi di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) diarahkan untuk
mengoptimalkan pemanfaatan potensi penerimaan negara selain pajak serta kepabeanan dan
Cukai. Sumber-sumber penerimaan negara yang dimaksud terdiri dari PNBP SDA migas dan
nonmigas, bagian Pemerintah atas laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PNBP lainnya, serta
pendapatan Badan Layanan Umum (BLU).
4.1.3.1. Sosialisasi PNBP
Pada tahun 2010 telah dilakukan 7 kali sosialisasi peraturan perundang-undangan di bidang PNBP
yang meliputi Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri keuangan (PMK), dan Keputusan
Menteri Keuangan (KMK) di Kota Banjarmasin, Palembang, Jakarta, Manado, dan Balikpapan.
4.1.3.2. Penyusunan Peraturan
Pada tahun 2010 telah diselesaikan penyusunan 30 peraturan perundang-undangan di bidang
PNBP, yang terdiri dari 6 Peraturan Pemerintah, 2 PMK, dan 11 KMK. Peraturan Pemerintah yang
ditetapkan terkait dengan jenis dan tarif jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian/Lembaga.
Sementara itu, 4 RPP tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian/
Lembaga telah selesai diproses dan disampaikan kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk
dilakukan harmonisasi, yaitu PP Jenis dan Tarif PNBP yang berlaku pada Badan Tenaga Nuklir
Nasional, Kementerian Perdagangan, KementerianPerindustrian, Peraturan Menteri Keuangan.
Pada tahun 2010 telah pula disusun 9 Rancangan PMK, di mana 2 RPMK diantaranya telah
ditetapkan menjadi PMK, yaitu PMK No. 35/PMK.02/2010 tentang Mekanisme Pajak Penghasilan
Ditanggung Pemerintah dan Penghitungan PNBP atas Hasil Pengusahaan Sumber Daya Panas
Bumi untuk Pembangkit Energi/Listrik Tahun Anggaran 2010 dan PMK No. 34/PMK.02/2010
tentang tata Cara penyetoran PNBP dari Dividen dan Sisa Surplus Bank Indonesia. Sedangkan 7
Rancangan PMK masih dalam proses penetapan oleh Menteri Keuangan. Selain itu, telah disusun
pula 11 Keputusan/Surat Menteri Keuangan tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana PNBP
pada Kementerian/Lembaga:
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 67
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
66
4.2. PERKEMBANGAN REALISASI PENDAPATAN NEGARA
4.2.1. Penerimaan Perpajakan
Perekonomian global dan domestik mengalami tekanan yang berat pada tahun 2010. Hal ini
antara lain dipicu oleh peningkatan harga minyak dunia yang mendorong naiknya harga-harga
komoditas. Untuk mengantisipasinya, Pemerintah melakukan perubahan pada APBN 2010 sejalan
dengan situasi perkonomian terkini.
Pada pertengahan tahun 2010, target penerimaan pajak yang awalnya sebesar Rp611,2 triliun
sesuai UU No. 47 Tahun 2009 tentang APBN Tahun Anggaran 2010, diubah menjadi Rp606,1 triliun
melalui UU No. 2 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU Nomor 47 Tahun 2009.
Untuk merealisasikan target tersebut, Pemerintah melanjutkan pemberian stimulus fiskal di bidang
perpajakan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, menjaga daya tahan dunia usaha, serta
meningkatkan daya saing dunia usaha dan industri.
Realisasi penerimaan pajak neto DJP tanpa PPh Migas tahun 2010 sebesar Rp569,02 triliun tumbuh
sebesar Rp74,52 triliun atau 15,07 persen dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun 2009
sebesar Rp494,49 triliun. Realisasi tersebut mencapai 93,88 persen dari rencana APBN-P 2010
sebesar Rp606,12 triliun. Sementara realisasi penerimaan pajak neto DJP termasuk PPh Migas tahun
2010 sebesar Rp627,89 triliun dengan pertumbuhan sebesar Rp83,36 triliun atau 15,31 persen
dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun 2009 sebesar Rp544,5 triliun. Realisasi tersebut
mencapai 94,92 persen dari rencana APBN-P 2010 sebesar Rp661,50 triliun.
Tabel 4.9.Realisasi Penerimaan Pajak Neto Sampai Dengan Desember 2010 (dalam juta Rupiah)
Jenis pajak Rencana Realisasi % Pencapaian
A. PPh NON MIGAS 306,836,640.0 297,859,844.9 97.071. PPh Pasal 21 61,573,360.0 55,177,935.3 89.612. PPh Pasal 22 5,433,280.0 4,737,719.3 87.203. PPh Pasal 22 Impor 23,913,640.0 23,599,840.4 98.694. PPh Pasal 23 19,961,450.0 16,315,311.6 81.735. PPh Pasal 25/29 OP 4,295,860.0 2,934,577.6 68.316. PPh Pasal 25/29 Badan 126,655,400.0 131,951,082.3 104.187. PPh Pasal 26 22,865,390.0 22,984,856.0 100.528. PPh Final 42,098,690.0 40,115,519.5 95.299. PPh FLN 39,570.0 11,467.0 28.9810. PPh Non Migas Lainnya - 31,535.9 -
B. PPN dan PPnBM 262,962,990.0 230,580,363.5 87.69
1. PPN Dalam Negeri 159,943,630.0 133,844,913.6 83.682. PPN Impor 90,083,020.0 84,164,279.3 93.433. PPnBM Dalam Negeri 8,369,060.0 7,609,492.0 90.924. PPnBM Impor 4,161,100.0 4,790,569.5 115.135. PPN/PPnBM Lainnya 406,180.0 171,109.0 42.13
C. PBB dan BPHTB 32,474,680.0 36,606,952.4 112.721. Pendapatan PBB 25,319,150.0 28,580,613.7 112.882. Pendapatan BPHTB 7,155,530.0 8,026,338.7 112.17
Tabel 4.9. (lanjutan)Jenis pajak Rencana Realisasi % Pencapaian
D. Pendapatan atas PL dan PIB 3,841,930.0 3,968,340.3 103.291. Bea Meterai 1,371,670.0 952,367.0 69.432. Penjualan Benda Materai 2,288,670.0 2,387,872.3 104.333. PTLL 8,910.0 912.5 10.244. Bunga Penagihan PPh 110,830.0 365,673.2 329.945. Bunga Penagihan PPN 60,720.0 260,977.7 429.816. Bunga Penagihan PPnBM 220.0 443.8 201.717. Bunga Penagihan PTLL 910.0 93.8 10.30
E. PPh Migas 55,382,380.0 58,872,742.5 106.30JUMLAH (A + B + c + D) 606,116,240.0 569,015,501.0 93.88
JUMLAH (A + B + c + D + E) 661,498,620.0 627,888,243.6 94.92
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak
Faktor-faktor yang menyebabkan tidak tercapainya target penerimaan pajak pada tahun 2010
antara lain adalah:
(1) Penerimaan PPh Pasal 21 tidak mencapai target karena adanya kenaikan PTKP dan terdapat
perubahan ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan tidak ada lagi setoran kurang
bayar dari SPT Tahunan PPh Pasal 21 di tahun 2010;
(2) Penerimaan PPh Pasal 22 tidak mencapai target antara lain karena tidak tercapainya penyerapan
anggaran tahun 2010 dan menurunnya tingkat produksi rokok tahun 2010;
(3) Penerimaan PPh Pasal 23 tidak mencapai target antara lain disebabkan karena adanya penurunan
tarif PPh Pasal 23 terutama terhadap sewa dan penggunaan harta, serta penurunan pembagian
dividen dari beberapa perusahaan dengan tujuan untuk ekspansi usaha dan investasi;
(4) Penerimaan PPh Final tidak mencapai target antara lain disebabkan karena tingkat suku bunga
2010 (6,5 persen) relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat suku bunga 2009 (8,75
persen - 6,75 persen);
(5) Penerimaan PPh Fiskal Luar Negeri tidak mencapai target antara lain disebabkan karena
bertambahnya jumlah kepemilikan NPWP dan berlakunya ketentuan bebas fiskal bagi wajib
pajak orang pribadi yang memiliki NPWP;
(6) Penerimaan PPN Dalam Negeri tidak mencapai target di antaranya disebabkan karena tidak
tercapainya penyerapan anggaran tahun 2010;
(7) Penerimaan PPN Impor tidak mencapai target di antaranya disebabkan karena terjadi penurunan
terhadap kebutuhan bahan baku produksi yang harus diimpor.
Tabel 4.10.Kinerja DJP Tahun 2006-2010 (dalam miliar Rupiah)
No. Uraian 2006 2007 2008 2009 2010
1. Pertumbuhan Ekonomi 5.60% 6.30% 6.01% 4.55% 6.10%
2. Inflasi 6.80% 6.60% 11.06% 2.78% 6.96%
3. Rencana Penerimaan Tanpa Migas 333,017.8 395,248.7 480,880.9 528,353.3 606,116.2
4. Rencana Penerimaan Plus Migas 371,703.8 432,516.2 534,530.8 577,386.8 661,498.6
5. Realisasi Penerimaan Tanpa PPh Migas 314,859.4 382,220.8 494,084.5 494,485.3 569,015.5
6. Realisasi Penerimaan Plus PPh Migas 358,049.5 426,225.2 571,103.5 544,529.1 627,888.2
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 69
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
68
Tabel 4.10. (lanjutan)
No. Uraian 2006 2007 2008 2009 2010
7. Surplus (shortfall) Penerimaan Tanpa Migas (18,158.4) (13,027.8) 13,203.6 (33,868.0) (37,100.7)
8. Surplus (shortfall) Penerimaan Plus Migas (13,654.3) (6,291.0) 36,572.7 (32,857.7) (33,610.4)
9. Pertumb.dari faktor ekonomi (pertumbuhan alami) 12.78% 13.32% 17.73% 7.45% 13.48%
10. Pertumbuhan Penerimaan Tanpa Migas 19.56% 21.39% 29.27% 0.08% 15.07%
11. Pertumbuhan Penerimaan Plus PPh Migas 20.01% 19.04% 33.99% (4.65%) 15.31%
12. Peningkatan Kinerja Pen.DJP Tanpa Migas (Extra Effort) 6.78% 8.08% 11.53% (7.37%) 1.59%
13. Peningkatan Kinerja Pen.DJP Plus Migas (Extra Effort) 7.23% 5.73% 16.26% (12.11%) 1.82%
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak.
4.2.2. Penerimaan Kepabeanan dan cukai
DJBC merupakan unsur pelaksana tugas pokok dan fungsi Kemeneterian Keuangan di bidang
kepabeanan dan Cukai. Fungsi yang dijalankan terkait dengan kelancaran arus barang dari transaksi
perdagangan internasional (trade facilitation), membantu menciptakan iklim usaha yang kondusif
bagi pertumbuhan industri dan investasi melalui pemberian fasilitas kepabeanan dan Cukai serta
pencegahan unfair trading (industrial assistance), dan menjamin perlindungan kepada masyarakat
terhadap ekses yang timbul sebagai akibat dari masuknya barang-barang pembatasan dan
larangan serta narkotika (community protection). Selain itu, DJBC juga menjalankan fungsi dalam
pengamanan dan pemungutan penerimaan negara dari kegiatan impor, ekspor, dan pemungutan
Cukai (revenue collection).
Sesuai dengan UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 17 Tahun 2006, pengenaan Bea Masuk terhadap barang impor lebih diutamakan untuk
kepentingan penerimaan negara, sedangkan pengenaan Bea Keluar dimaksudkan untuk
melindungi kepentingan nasional dan bukan untuk membebani biaya yang berakibat mengurangi
daya saing komoditas ekspor Indonesia di pasar internasional. Tujuan pengenaan Bea Keluar sesuai
pasal 2A ayat (2) UU No. 17 Tahun 2006 adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri,
melindungi kelestarian sumber daya alam, mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari
komoditi ekspor tertentu di pasar internasional, dan menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di
dalam negeri.
Dalam UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang telah diubah dengan UU No. 39 Tahun 2007,
Cukai merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang yang mempunyai
sifat atau karakteristik tertentu dan disebut Barang Kena Cukai (BKC). Barang yang dikenakan Cukai
mempunyai sifat atau karateristik: konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi,
pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup dan
pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
4.2.2.1. Target
Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2010 pentang Perubahan UU No. 47 Tahun 2009 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010, telah ditetapkan target penerimaan DJBC
pada tahun 2010 sebesar Rp83.827,3 miliar, yang terdiri dari Bea Masuk Rp17.106,8 miliar (termasuk
BM-DTP Rp2.000 miliar), Cukai Rp59.265,9 miliar, dan Bea Keluar Rp5.454,6 miliar. Jika dibandingkan
dengan tahun 2009, target penerimaan yang dibebankan kepada DJBC pada tahun 2010 mengalami
penurunan 0,89 persen. Hal ini terutama disebabkan penurunan yang signifikan dari target Bea
Keluar sebesar 87,46 persen, sedangkan target Bea Masuk dan Cukai mengalami kenaikan masing-
masing 1,91 persen dan 19,31 persen.
4.2.2.2. Realisasi dan Analisis Pencapaian Penerimaan
Sampai dengan 31 Desember 2010, DJBC telah dapat menghimpun penerimaan dari pajak
perdagangan internasional berupa Bea Masuk dan Bea Keluar, serta pajak dalam negeri berupa
Cukai senilai Rp95.080,74 triliun atau berhasil mencapai 116,20 persen dari target yang ditetapkan.
Tabel 4.11.Realisasi Penerimaan Bea dan cukai Per 31 Desember 2010 (dalam miliar Rupiah)
No Jenis Penerimaan “Target APBN-P”
Realisasi 2010 Surplus (Defisit)
Nominal Pencapaian % Nominal %
1 2 3 4 5 = (4/3) 6 = (4-3) 7 = (6/3)1 Bea Masuk 17,106.81 20,016.77 117.01 2,909.96 17.01
a. Riil 15,106.81 19,757.08 130.78 4,650.27 30.78b. DTP 2,000.00 259.69 12.98 (1,740.31) (87.02)
2 Bea Keluar 5,454.56 8,898.05 163.13 3,443.49 63.133 Cukai 59,265.92 66,165.92 111.64 6,900.00 11.64
a. HT 55,865.92 63,295.28 113.30 7,429.36 13.30b. MMEA 2,980.76 2,697.25 90.49 (283.51) (9.51)c. EA 419.24 145.87 34.79 (273.37) (65.21)d. Denda Administrasi dan Cukai Lainnya - 27.52 27.52
Total 81,827.29 95,080.74 116.20 13,253.45 16.20
Sumber data: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
a. Bea Masuk
Penerimaan Bea Masuk terdiri dari Bea Masuk Riil dan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BM-DTP).
Realisasi penerimaan Bea Masuk hingga 31 Desember 2010 sebesar Rp20.016,77 miliar (117.01
persen dari target), yang terdiri dari Bea Masuk Riil Rp19.757,08 miliar (130.78 persen dari target)
dan BM-DTP Rp 259,69 miliar (12,98 persen dari target). Tercapainya target penerimaan bea masuk
antara lain disebabkan oleh hal-hal berikut ini.
(1) Perekonomian dunia telah pulih dari krisis, sehingga transaksi perdagangan berjalan dengan
baik. Kinerja importasi ditunjukkan oleh nilai devisa bayar sebesar USD110.37 miliar yang
melebihi perkiraan sebesar USD90.72 miliar. Nilai tersebut mengalami pertumbuhan 41,93
persen dari tahun 2009.
(2) Pertumbuhan ekonomi nasional berada pada kisaran 5,9-6,0 persen yang berarti lebih tinggi
dibandingkan dengan asumsi makro APBN-P 2010 sebesar 5,8 persen. Hal ini mencerminkan
tingkat konsumsi dalam negeri yang cukup baik, sehingga berpengaruh positif terhadap impor.
(3) Nilai tukar rupiah mengalami penguatan terhadap Dollar Amerika. Rata-rata nilai tukar rupiah
sepanjang tahun 2010 sebesar Rp9.099,80 untuk USD1.00, sehingga mendorong impor. Nilai
tukar tersebut mengalami penguatan 12,38 persen jika dibandingkan dengan tahun 2009.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 71
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
70
(4) Tarif rata-rata jenis komoditi yang diimpor adalah sebesar 2,01 persen. Angka ini lebih tinggi
dari asumsi pengenaan tarif rata-rata tahun 2010 sebesar 1,81 persen, sehingga menaikkan nilai
bea masuk.
(5) Internal effort DJBC dalam meningkatkan pelayanan dan pengawasan di bidang kepabeanan,
seperti intensifikasi pemeriksaan dokumen dan fisik barang, pemberantasan penyelundupan,
dan tindak lanjut hasil audit.
b. Bea Keluar
Realisasi penerimaan Bea Keluar sampai dengan 31 Desember 2010 adalah Rp 8.898,05 miliar atau
163,13 persen dari target APBN-P. Kontribusi terbesar berasal dari produk CPO dan turunannya.
Nilai Bea Keluar dipengaruhi oleh besaran volume ekspor, tarif, nilai kurs, dan Harga Patokan Ekspor
(HPE). Tarif Bea Keluar dan HPE produk CPO dan turunannya sangat tergantung pada harga referensi
bulanan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Tercapainya penerimaan Bea Keluar didukung oleh beberapa faktor berikut ini.
(1) Pada triwulan pertama, tarif CPO dan produk turunannya berada pada kisaran 3 persen dan HPE
pada kisaran USD748,25 per ton. Pada bulan April-Juli, harga referensi meningkat dan berada di
atas USD800,00 per ton, sehingga tarifnya menjadi 4,5 persen dengan HPE rata-rata USD748,25
per ton. Pada bulan Agustus, penerimaan Bea Keluar menurun, karena harga referensi hanya
USD 736,00 per ton dengan tarif 3 persen dan HPE USD725,00 per ton.
(2) Sejak bulan September-Desember harga referensi CPO terus meningkat seiring naiknya harga
minyak mentah dunia, sehingga tarif yang berlaku terus meningkat dari 4,50 persen pada
September menjadi 6,00 persen pada Oktober, 10,00 persen pada November, hingga 15 persen
pada Desember. Kenaikan tarif diikuti oleh kenaikan HPE setiap bulan, sehingga realisasi
penerimaan Bea Keluar berada pada top performance.
(3) Pencapaian tertinggi terjadi pada bulan Desember, yaitu sebesar Rp2.732,65 miliar yang dipicu
oleh meningkatnya ekspor bulan Desember untuk menghindari naiknya tarif Bea Keluar CPO
bulan Januari 2011 sebesar 20 persen.
(4) Sejak bulan April juga dikenakan Bea Keluar terhadap Biji Kakao yang merupakan program
ekstensifikasi dalam rangka pelaksanaan UU Kepabeanan yang berakibat pada naiknya
penerimaan negara.
c. cukai
Realisasi penerimaan cukai hingga 31 Desember 2010 tercatat sebesar Rp66.165,92 miliar atau 111,64
persen dari target APBN-P. Terlampauinya target penerimaan Cukai antara lain disebabkan oleh:
(1) kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau sebesar 4-10 persen yang didistribusikan secara proporsional
ke seluruh jenis SKT, SKM, dan SPM (rata-rata 5,9 persen) mulai 1 Januari 2010 melalui PMK No.
99/PMK.011/ 2010;
(2) kenaikan tarif Cukai EA dan MMEA yang berlaku mulai 1 April 2010 melalui PMK No. 62/
(3) PMK.011/2010;
(4) respon pemesanan pita cukai dari pabrik, karena adanya Rencana Kebijakan Tarif Cukai Tahun
2010 melalui PMK No. 190/PMK.011/2010;
(5) intensitas pelaksanaan kemudahan di bidang cukai, yaitu penundaan pembayaran cukai hasil;
(6) intensifikasi pengawasan administrasi pembukuan dan pelaporan BKC; serta
(7) internal effort DJBC dalam peningkatan pelayanan dan pengawasan di bidang cukai, antara lain
dengan implementasi SAC di KPPBC, pemberantasan atas peredaran rokok polos/tanpa pita
cukai, pita cukai palsu, dan pita cukai tidak sesuai peruntukannya.
Realisasi penerimaan bea dan cukai pada tahun 2010 meningkat 26,12 persen dibandingkan
dengan tahun 2009. Bea Masuk mengalami kenaikan sebesar Rp1883,83 miliar (naik 10.39 persen),
cukai sebesar Rp9.464,12 miliar (naik 16,69%), dan Bea Keluar sebesar Rp8,344.95 miliar (naik
1.508,76 persen).
Tabel 4.12.Penerimaan Bea dan cukai Tahun 2010 dan Tahun 2009 (dalam miliar Rupiah)
No “Jenis Penerimaan”
2009 2010 GrowthAPBN-P Realisasi % APBN-P Realisasi % Nominal %
1 Bea Masuk 18,623.50 18,132.94 97.37 17,106.81 20,016.77 117.01 1,883.83 10.392 Bea Keluar 1,399.60 553.10 39.52 5,454.56 8,898.05 163.13 8,344.95 1508.763 Cukai 54,545.04 56,701.79 103.95 59,265.92 66,165.92 111.64 9,464.12 16.69
Total 74,568.14 75,387.83 101.10 81,827.29 95,080.74 116.20 19,692.90 26.12Sumber: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
4.2.3. Penerimaan Negara Bukan Pajak
Pencapaian target PNBP yang diukur dari APBN-P dengan realisasinya mengalami peningkatan dari
81,29 persen di tahun 2005 menjadi 108,98 persen di tahun 2010. Realisasi PNBP dalam kurun waktu
tersebut terus mengalami peningkatan dari Rp146,89 triliun menjadi Rp269,37 triliun. Peningkatan
terbesar terjadi pada tahun 2008, yaitu mencapai Rp320,60 triliun. Pencapaian ini terutama
disebabkan oleh tingginya harga minyak mentah dunia, termasuk harga rata-rata minyak mentah
Indonesia yang mencapai US$101,44 per barrel.
Tabel 4.13.Penerimaan Negara Bukan Pajak Tahun 2010 (dalam miliar Rupiah)
Uraian APBN APBN-P Jumlah Realisasi
% Real Thd APBN-P
I. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) 205.411,30 247.176,37 269.374,72 108,98
A. Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) 132.030,21 164.726,73 170.084,03 103,25
1. SDA Migas 120.529,75 151.719,87 152.733,24 100,67
a. Minyak Bumi 89.226,51 112.515,09 111.814,92 99,38
b. Gas Alam 31.303,24 39.204,78 40.918,31 104,37
2. SDA Non Migas 11.500,46 13.006,86 17.350,79 133,40
a. Pertambangan Umum 8.231,62 9.738,03 13.895,20 142,69
b. Kehutanan 2.874,42 2.874,42 3.019,81 105,06
c. Perikanan 150,00 150,00 92,00 61,33
d. Pertambangan Panas Bumi 244,42 244,42 343,79 140,65
B. Bagian Laba BUMN 24.000,00 29.500,00 30.064,55 101,91
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 73
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
72
Uraian APBN APBN-P Jumlah Realisasi
% Real Thd APBN-P
C. PNBP Lainnya 39.894,22 43.462,76 59.019,81 135,79
1. Pendapatan Penjualan dan Sewa 13.949,50 13.628,12 15.474,49 113,55
- Pendapatan Penjualan Hasil Produk/Sitaan 6.971,51 5.573,00 5.281,53 94,77
- Pendapatan Penjualan Hasil Tambang 6.861,42 5.462,90 4.881,87 89,36
- Pendapatan Penjualan Aset 44,20 44,20 263,26 595,66
- Pendapatan Sewa 92,86 92,86 146,84 158,13
- Pendapatan Bersih Hasil Penjualan BBM 0,00 0,00 401,67
- Pendapatan Minyak Mentah DMO 6.840,93 7.918,07 9.225,10 116,51
- Pendapatan Lainnya dari Keg. Hulu Migas 0,00 0,00 156,10
2. Pendapatan Jasa 19.501,46 20.719,69 25.010,97 120,71
3. Pendapatan Bunga 1.674,74 3.174,74 8.001,03 252,02
4. Pendapatan Kejaksaan dan Pengadilan 27,65 27,65 167,09 604,41
5. Pendidikan 4.150,84 4.150,84 2.991,65 72,07
6. Pendapatan Gratifikasi dan Uang Sitaan Hasil Korupsi 49,02 49,02 213,91 436,37
7. Pendapatan Iuran dan Denda 526,80 526,80 704,33 133,70
8. Pendapatan Lain-lain 14,22 1.185,90 6.456,33 544,42
- Sisa Surplus Bank Indonesia 0,00 0,00 0,00
D. PNBP Lainnya 9.486,88 9.486,88 10.206,33 107,58
II. Penerimaan Migas (SDA + PPh) 174.394,09 215.020,32 220.987,44 102,78
1. SDA Migas 120.529,75 151.719,87 152.733,24 100,67
2. PPh Migas 47.023,41 55.382,38 58.873,01 106,30
3. Pen. Minyak Mentah DMO 6.840,93 7.918,07 9.225,10 116,51
4. Pendapatan Lainnya dari Keg. Hulu Migas 0,00 0,00 156,10
III. 1. PPh DTP Panas Bumi -
2. PBB Panas Bumi -
3. PBB Migas -
IV. Pembayaran Subsidi 106.526,70 143.997,10 139.952,94 97,19
1. SDA Migas 68.726,70 88.890,80 82.351,32 92,64
2. PPh Migas 37.800,00 55.106,30 57.601,62 104,53
a. Tahun 2010 37.800,00 55.106,30 55.106,30 100,00
b. Carry Over 2009
c. Carry Over 2007
Sumber: Direktorat Jenderal Anggaran.
Pencapaian PNBP per tanggal 31 Desember 2010 mencapai Rp269.374,72 miliar rupiah atau 108,98
persen dari target yang ditetapkan dalam APBN-P Tahun 2010 sebesar Rp247.176,36 miliar rupiah.
Secara rinci capaian PNBP tahun 2010 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.14. Target dan Realisasi PNBP Yang Dikelola Oleh Direktorat PNBP Tahun 2010
No. Jenis PNBPPNBP TA 2010 (Rp miliar)
APBN-P Realisasi (%)
1. SDA Migas 151.719,87 152.733,24 100,67
a. Minyak Bumi 112.515,09 111.814,92 99,38
b. Gas Alam 39.204,78 40.918,31 104,37
2. SDA Non MigasPertambangan Panas Bumi
244,42 343,79 140,66
3. Bagian Pemerintah atas Laba BUMN 29.500,00 30.097,33 102,02
4. Pendapatan Minyak Mentah DMO 7.918,07 9.225,10 116,51
5. Pendapatan Lainnya dari Kegiatan Hulu Migas - 156,14 -
Jumlah (1+2+3+4+5) 189.382,36 192.555,59 101,68
Sumber: Direktorat PNBP, Direktorat Jenderal Anggaran.
4.2.3.1. Subsidi Energi
Subsidi energi yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) adalah jenis bahan bakar
minyak (BBM) Tertentu (BBM dan Bahan Bakar Nabati/BBN), Liquefied Petroleum Gas (LPG) tabung
3 kg dan subsidi listrik.
Tabel 4.15. Target dan Realisasi Pembayaran Subsidi Energi Tahun Anggaran 2010 (dalam triliun Rupiah)
Jenis SubsidiPagu Anggaran 2010 Realisasi
PembayaranAPBN APBN-P Revisi DIPA
Jenis BBM Tertentu dan LPG Tabung 3 Kg 68,73 88,89 83,18 82,35
Murni TA 2010 65,80 85,96 76,32 75,49
Kekurangan subsidi Tahun Yang Lalu 2,93 2,93 6,86 6,86
Listrik, terdiri dari : 37,80 55,10 57,60 57,60
Murni TA 2010 35,30 51,10 53,60 53,60
Kekurangan TA 2009 2,50 4,00 4,00 4,00
Sumber: Direktorat PNBP, Direktorat Jenderal Anggaran.
a. Subsidi Jenis BBM Tertentu dan LPG Tabung 3 Kg
Asumsi yang digunakan dalam perhitungan subsidi Jenis BBM Tertentu dan LPG Tabung 3 Kg Tahun
Anggaran 2010 (APBN, APBN-P, Revisi DIPA, dan Perkiraan Realisasi) disajikan pada Tabel 4.16.
Tabel 4.13. (lanjutan)
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 75
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
74
Tabel 4.16. Asumsi Perhitungan Subsidi Jenis BBM Tertentu
dan LPG Tabung 3 Kg Tahun Anggaran 2010 (dalam miliar Rupiah)
Subsidi/Jenis Asumsi
Besaran Asumsi
APBN 2010 APBN-P 2010 Revisi DIPA Realisasi
Pembayaran
Subsidi Jenis BBM Tertentu & LPG Tabung 3 Kg
ICP (US$/bbl)- Jan s.d Des 2010- Des 2009 s.d Nop 2010
65,00 80,00 79,2878,0879,36
Nilai Tukar (Rp/US$1) 10.000,00 9.200,00 9.043,23 9.041,28
Volume Jenis BBM Tertentu (KL)- Premium dan Biopremium- Minyak Tanah- Minyak Solar dan Biosolar
36.504.77921.454.104
3.800.00011.250.675
36.504.77921.454.104
3.800.00011.250.675
38.379.50123.129.873
2.389.76512.859.863
38.221.80723.040.205
2.350.57112.831.031
Volume LPG Tabung 3 Kg (M ton) 2.973.342 2.973.342 2.716.254 2.693.705
Alpha BBM (Rp/liter) 556,00 556,00 556,00 556,00
Catatan: Nilai tukar dan ICP dalam perkiraan realisasi pembayaran sampai dengan tanggal 20 Desember 2010.
Sumber: Direktorat PNBP, Direktorat Jenderal Anggaran.
Dalam APBN-P Tahun Anggaran 2010, pagu subsidi Jenis BBM Tertentu dan LPG Tabung 3 Kg
ditetapkan sebesar Rp88,89 triliun dengan asumsi antara lain ICP sebesar US$80,00/barel dan nilai
tukar Rp9.200,00 per US$ 1. Berdasarkan perkembangan realisasi harga produk BBM internasional
(Mid Oil Platt’s Singapore/MOPS) yang menjadi salah satu dasar perhitungan subsidi Jenis BBM
Tertentu yang lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan MOPS dalam APBN-P Tahun 2010,
maka dalam tahun anggaran 2010 telah dilakukan Revisi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
Berdasarkan asumsi perhitungan ICP US$79,28/barel dan nilai tukar Rp9.043,23,00/US$, maka pagu
subsidi Jenis BBM Tertentu dan LPG Tabung 3 Kg disesuaikan menjadi Rp83,18 triliun. Revisi DIPA
tersebut telah mencakup alokasi anggaran untuk pembayaran kekurangan subsidi BBM Tahun Yang
Lalu (2003-2009) sebesar Rp6,69 triliun dan pembayaran kekurangan subsidi LPG Tahun Yang Lalu
(2007-2009) sebesar Rp0,18 triliun.
Realisasi pembayaran subsidi Jenis BBM Tertentu dan LPG Tabung 3 Kg Tahun Anggaran 2010
menjadi sebesar Rp82,35 triliun atau 92,64 persen dari pagu dalam APBN-P 2010 atau 99,00 persen
dari pagu dalam Revisi DIPA. Perhitungan tersebut didasarkan pada realisasi ICP sebesar US$78,08/
barel untuk periode Januari-Desember 2010 atau US$79,36/barel untuk periode Desember
2009-Nopember 2010 dan nilai tukar Rp9.041,28 per US$1.
Perkiraan besaran subsidi Jenis BBM Tertentu dan LPG Tabung 3 Kg Tahun Anggaran 2010 mengacu
pada hasil audit oleh auditor yang berwenang. Selain pembayaran subsidi Jenis BBM Tertentu dan LPG
Tabung 3 Kg, dalam tahun 2010 terdapat Penerimaan Kembali Belanja Lainnya sebesar Rp0,20 triliun.
Pendapatan yang diperoleh tersebut berasal dari pengembalian sisa dana cadangan subsidi BBM
dan LPG TA 2009 yang terdiri dari sisa dana cadangan subsidi LPG sebesar Rp0,12 triliun dan sisa
dana cadangan subsidi minyak tanah sebesar Rp0,08 triliun. Sisa dana cadangan subsidi/PSO
tersebut telah disetorkan ke Rekening Nomor 502.00000 Bendahara Umum Negara (BUN) pada
bulan Februari 2010 sebagai PNBP dengan akun Penerimaan Kembali Belanja Lainnya Rupiah Murni
Tahun Anggaran yang Lalu (MAP 423913).
Dalam tahun 2010 terdapat 3 badan usaha penyedia dan pendistribusi Jenis BBM Tertentu dan LPG
Tabung 3 Kg, yaitu PT. Pertamina (Persero) sebagai badan usaha utama untuk Jenis BBM Tertentu
dan LPG Tabung 3 Kg dan 2 badan usaha pendamping penyedia dan pendistribusi Jenis BBM
Tertentu, yaitu PT. AKR Corporindo Tbk (BBM Jenis Minyak Solar) dan PT. PETRONAS Niaga Indonesia
(BBM Jenis Premium). Rincian realisasi pembayaran subsidi Jenis BBM Tertentu dan LPG Tabung 3 Kg
Tahun Anggaran 2010 berdasarkan badan usaha pelaksana PSO adalah sebagai berikut:
(1) PT. Pertamina (Persero) sebesar Rp82,29 triliun;
(2) PT. AKR Corporindo Tbk. sebesar Rp0,04 triliun; dan
(3) PT. PETRONAS Niaga Indonesia sebesar Rp0,02 triliun.
b. Subsidi Listrik
Perhitungan subsidi listrik dilakukan dengan menggunakan asumsi yang berbeda dengan
perhitungan subsidi BBM, BBN, dan LPG.
Tabel 4.17. Asumsi Perhitungan Subsidi Listrik Tahun Anggaran 2010
No. Parameter APBN TA 2010 APBN-P TA 2010
1. ICP (US$/bbl) 65.00 80.00
2. Kurs (Rp/US$) 10,000 9,200
3. Growth Sales (%) 6.00 6.60
Energy Sales (TWH) 145.89 143.25
4. Losses (%) 9.95 9.41
5. Fuel Mix
HSD (juta KL) 4.41 3.94
IDO (juta KL) - -
MFO (juta KL) 1.77 2.48
Batubara (juta ton) 30.88 30.3
Gas (juta BBTU) 0.33 0.32
Panas Bumi (TWH) 3.61 3.12
Bio Diesel (juta KL) 90.40 0.01
6. Margin (%) 5 8
7. TDL (%) 20% 10%
Sumber: Direktorat PNBP, Direktorat Jenderal Anggaran.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 77
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
76
Dalam APBN-P Tahun Anggaran 2010, pagu subsidi listrik ditetapkan sebesar Rp55.106,3 miliar.
Dalam perkembangannya, realisasi subsidi listrik tahun 2010 diperkirakan mencapai Rp62.808,78
miliar. Tambahan pagu sebesar Rp7.702,48 miliar terutama disebabkan oleh hal-hal berikut ini.
(1) Kenaikan biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik, karena kenaikan biaya BBM sebesar
Rp19.435,1 miliar.
(2) Penurunan pokok penyediaan tenaga listrik, karena penurunan biaya bahan bakar batubara,
gas alam, pemeliharaan, pembelian listrik swasta, beban pinjaman dan lain-lain sebesar
Rp12.062,00 miliar.
(3) Kenaikan BPP digunakan sebagai input dalam formula subsidi listrik dengan menggunakan
marjin sebesar 8 persen yang akan menghasilkan tambahan alokasi subsidi listrik sebesar
Rp7.702,48 miliar.
Pada Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR dengan Pemerintah dalam rangka pembahasan pembicaraan
tingkat I/pembahasan RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2010 pada tanggal 20 Agustus hingga
17 September 2009 dan Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI dengan Pemerintah dalam rangka
pembicaraan tingkat I/pembahasan RUU tentang perubahan atas UU No. 47 Tahun 2009 tentang
APBN Tahun Anggaran 2010 beserta nota perubahannya pada tanggal 9 April hingga 1 Mei 2010,
telah disimpulkan antara lain bahwa:
(1) pembayaran subsidi listrik dilakukan sesuai realisasi dengan mempertimbangkan kemampuan
anggaran; dan
(2) penyediaan cadangan risiko fiskal guna mengantisipasi kekurangan pasokan gas untuk PT PLN
(Persero).
Dalam APBN-P 2010 telah dialokasikan dana cadangan risiko fiskal tahun 2010 sebesar Rp6.000,00
miliar yang antara lain diperuntukan bagi cadangan risiko perubahan harga gas PT. PLN
(Persero) sebesar Rp2.500,00 miliar. Dengan perkiraan kebutuhan subsidi listrik tahun 2010 dan
memperhatikan telah tersedianya dana cadangan risiko fiskal untuk perubahan harga gas
PT PLN (Persero) sebesar Rp2.500,00 miliar, maka pagu subsidi listrik dalam APBN-P 2010 sebesar
Rp55.106,30 miliar kembali direvisi dengan menambahkan pagu murni subsidi listrik tahun 2010
sebesar Rp2.500,00 miliar, sehingga total pagu subsidi listrik setelah revisi menjadi Rp57.606,30
miliar. Penambahan pagu dilakukan dengan pertimbangan:
(1) penambahan alokasi subsidi listrik tersebut akan mengurangi beban fiskal subsidi listrik pada
tahun berikutnya; dan
(2) alokasi fiskal yang disediakan dalam APBN-P 2010 untuk perubahan harga gas PT. PLN (Persero)
hanya sebesar Rp2.500,00 miliar.
Sesuai hasil audit BPK, masih terdapat kekurangan subsidi listrik tahun 2009 sebesar Rp8.580,47
miliar Kekurangan tersebut telah dibayar pada tahun 2010 sebesar Rp4 triliun sehingga
kekurangan yang belum dibayarkan kepada PT. PLN (Persero) adalah sebesar Rp4.580,47 miliar.
c. Monitoring dan Evaluasi
Pada tahun 2010 telah dilaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap 40 subyek PNBP, yang terdiri
dari 16 BUMN, 8 Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS), 10 Kantor Pelayanan Pajak (KPP), dan 6 Wilayah
Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi. Selain itu, telah dilakukan pula uji petik dalam rangka verifikasi
data/dokumen pendistribusian/penjualan Jenis BBM Tertentu dan LPG Tabung 3 Kg.
c.1. Badan Usaha Milik Negara
Pada tahun 2010 telah dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap 16 BUMN, yaitu PT. Semen
Gresik, PT. Krakatau Steel, PT. Semen Baturaja (Persero), PTPN VI (Persero), PTPN VII (Persero), PTPN
VIII (Persero), PTPN IX (Persero), PT. Dahana (Persero), PT. LEN Industri (Persero), PT. INTI (Persero),
PT. Pindad (Persero), Perum Jasa Tirta I (Persero), Perum Jasa Tirta II (Persero), PT. Pos Indonesia
(Persero), PT. Kereta Api (Persero), dan PT. Dirgantara Indonesia (persero).
c.2. Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)
Pada tahun 2010 telah dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap 8 KKKS, yaitu PT. Pertamina EP,
PT. Pertamina EP Field Pangkalan Susu, PT. Pertamina EP Field Rantau, PT. Medco EP, PT. Kideco,
PT. BOB BSP Pertamina Hulu, PT. Kondur Petroleum, dan PT. Vico.
c.3. Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Pada tahun 2010 telah dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap 10 KPP, yaitu KPP Pratama
berlokasi di Garut, Sukabumi, Tigaraksa, Bogor, Cilegon, Bangka, dan Bandung, serta KPP Madya di
Bekasi dan Bandung.
Di samping monitoring dan evaluasi PNBP serta penyaluran Jenis BBM Tertentu dan LPG Tabung
3 Kg, telah dilakukan pula monitoring terhadap kegiatan usaha hilir migas. PNBP dari kegiatan
usaha hilir migas yang disampaikan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas pada tahun 2010 mencapai
Rp459,39 miliar. Apabila dibandingkan dengan target PNBP dari BPH Migas dalam APBN-P 2010
sebesar Rp433,30 miliar, maka realisasi PNBP dari BPH Migas pada tahun 2010 melampaui target
sebesar 6,02 persen. PNBP dari BPH Migas bersumber dari penyetoran iuran dari 39 badan usaha
yang bergerak di bidang pendistribusian BBM dan pengangkutan gas bumi melalui pipa.
Tabel 4.18.PNBP dari BPH Migas TA 2010 (dalam Rupiah)
No. Uraian Target (APBN-P) Realisasi %
1. BBM 345.385.413.651 365.403.000.729 105,80
2. Gas Bumi 87.915.415.927 93.987.176.082 106,91
Jumlah (1+2) 433.300.829.578 459.390.176.811 106,02
Sumber: Direktorat PNBP, Direktorat Jenderal Anggaran.
4.2.3.2. Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara
Sampai dengan Desember 2010, Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (BIAD PPN) yang
berhasil dipungut sebesar Rp68,113 miliar yang terdiri dari Piutang Negara Perbankan sebanyak
Rp33,42 miliar (49,07 persen) dan Piutang Negara Non-Perbankan sebanyak Rp34,69 miliar (50,93
persen). Realisasi BIAD tersebut mencapai 100,54 persen dari target yang ditetapkan untuk tahun
2010 sebesar Rp67,75 miliar.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 79
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
78
Tabel 4.19. Realisasi Pencapaian Biaya Administrasi Tahun 2006-2010 (dalam miliar Rupiah)
TahunBIAD
Target Realisasi
2006 82,080.00 66,045.86
2007 50,786.00 37,805.37
2008 42,269.00 61,473.06
2009 61,550.00 46,834.35
2010 67,750.00 68,113.66
4.2.3.3. Bea Lelang
Realisasi Bea lelang pada tahun 2010 sebesar Rp83,84 miliar Jumlah ini telah melampaui target yang
ditetapkan sebesar Rp44,05 miliar Beberapa faktor yang mendukung pencapaian tersebut adalah:
(1) terdapat beberapa lelang yang hasilnya cukup tinggi, yaitu lelang aset sitaan Pengadilan Negeri,
lelang PUPN, lelang eksekusi Pengadilan Negeri, lelang eksekusi Hak Tanggungan, lelang aset
BUMN, dan lelang kepailitan;
(2) peningkatan frekuensi lelang Hak Tanggungan dan fidusia dari bank BUMN setelah berlakunya
PP No. 33 Tahun 2006;
(3) peningkatan frekuensi lelang eksekusi Pengadilan Negeri; serta
(4) penggalian potensi lelang dan upaya meningkatkan minat masyarakat terhadap lelang.
Gambar 4.2. Realisasi Bea Lelang Tahun 2006-2010 (dalam ribuan Rupiah)
2006 2007 2008 2009 2010
90.000.000
80.000.000
70.000.000
60.000.000
50.000.000
40.000.000
30.000.000
20.000.000
10.000.000
0
4.2.3.4. Pendapatan Badan Layanan Umum
Satker Badan Layanan Umum (BLU) mendapatkan penerimaan yang digunakan untuk membiayai
pengeluaran melalui 4 sumber, yaitu:
(1) Operasional, yaitu pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada
masyarakat sesuai fungsi satker;
(2) Non Operasional, yaitu pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada
masyarakat di mana jasa layanan tersebut merupakan pelengkap dari tugas dan fungsi utama;
(3) pendapatan yang bersumber dari APBN; serta
(4) Hibah, yaitu pendapatan yang terikat maupun tidak terikat dari masyarakat atau badan lain.
Penerimaan yang mencerminkan kinerja keuangan Satker BLU sesungguhnya adalah penerimaan
Operasional dan Non Operasional. Semakin meningkat jumlah kedua penerimaan ini menunjukkan
kinerja keuangan Satker BLU semakin baik.
Satker BLU menurut fungsi pelayanan yang diberikan kepada masyarakat terdiri atas 6 klaster, yaitu:
(1) Rumah Sakit dan Layanan Kesehatan;
(2) Pendidikan di bawah Kementerian Agama;
(3) Pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan Nasional;
(4) Pendidikan di bawah Kementerian Kesehatan;
(5) Pendidikan lainnya; serta
(6) Non Rumah Sakit dan Pendidikan.
Tabel 4.20. Jumlah Pendapatan Satker BLU (dalam juta Rupiah)
Jenis Layanan Per Klaster
Jumlah Satker 2008 2009 2010
s.d 31 Des 2010 Operasional Non Ops Operasional Non Ops Operasional Non Ops
BLU RS dan Layanan Kesehatan 36 2.759.066 357.366 2.813.270 58.835 4.150.973 826.815
BLU Pendidikan di bawah KEMENDIKNAS 20 1.311.688 4.076 2.292.965 839.669 2.855.937 388.082
BLU Pendidikan di bawah KEMENAG 13 116.742 22.070 186.578 14.177 359.171 21.744
BLU Pendidikan di bawah KEMENKES 7 - - - - 55.854 -
BLU Pendidikan Lainnya 11 10.272 55 94.596 5.141 167.616 5.836
BLU Non RS dan Pendidikan 22 895.729 445.150 1.406.941 593.080 1.702.011 658.847
Sumber: Direktorat PPK-BLU, Ditjen Perbendaharaan
4.2.3.5. Pendapatan Perbendaharaan
Dalam tahun anggaran 2010, Ditjen Perbendaharaan menghasilkan PNBP dari beberapa kegiatan
berikut ini yang menjadi tugas dan fungsinya.
(1) Penerapan Treasury Single Account (TSA) Pengeluaran pada tahun 2010 menghasilkan
remunerasi sebesar Rp 65,33 miliar.
(2) Pelaksanaan Treasury Notional Pooling (TNP) sampai dengan akhir tahun 2010 menghasilkan
PNBP sebesar Rp118,38 miliar.
(3) Total remunerasi yang diterima oleh Pemerintah atas pendapatan dari penempatan uang
negara sejak awal hingga akhir tahun 2010 (20 Desember 2010) adalah Rp2.362,54 miliar di
Bank Indonesia dan Rp858,95 miliar di Bank Umum.
Total PNBP yang dihasilkan oleh Ditjen Perbendaharaan selama tahun 2010 adalah Rp3.405,20 miliar.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 81
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
80
4.3. PELUANG DAN TANTANGAN MENINGKATKAN PENDAPATAN NEGARA
4.3.1. Bidang Perpajakan
(1) Peluang dalam Pencapaian Target Penerimaan Pajak
i. Dukungan stakeholder, dukungan Pemerintah, momentum reformasi, peran strategis DJP;
ii. Indonesia merupakan emerging market pertumbuhan ekonomi;
iii. Tax gap masih lebar;
iv. Perkembangan/Kemajuan IT;
v. Perhatian negara/agen donor; dan
vi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia positif.
(2) Tantangan atau Kendala dalam Pencapaian Penerimaan Pajak
i. Komitmen perubahan pada level Middle Management lemah;
ii. Database kualitasnya kurang akurat;
iii. Human Resources Management kurang berkualitas;
iv. Peraturan Perpajakan yang tidak jelas dan tidak konsisten;
v. SOP belum memadai;
vi. Koordinasi lemah (internal dan eksternal);
vii. Kualitas auditor lemah;
viii. Pengawasan internal lemah;
ix. Kualitas pelayanan perpajakan belum merata di seluruh wilayah Indonesia;
x. Efektivitas penyuluhan dan kehumasan yang belum optimal;
xi. Ekstensifikasi dan intensifikasi pajak belum optimal; dan
xii. Efektivitas pengawasan dan penegakan hukum terhadap WP belum optimal.
xiii. Lemahnya koordinasi antar institusi penegak hukum;
xiv. Ketidakharmonisan peraturan pajak dengan peraturan lainnya;
xv. Persaingan perpajakan internasional;
xvi. Interest group/intervensi politik;
xvii. Skema penghindaran dan atau pelanggaran pajak yang canggih;
xviii. Pengeluaran Pemerintah yang tidak efisien;
xix. Perkembangan transaksi e-commerce;
xx. Kesadaran masyarakat untuk membayar pajak rendah; dan
xxi. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi perpajakan turun.
4.3.2. Bidang Kepabeanan dan cukai
4.3.2.1 Peluang dan Tantangan Kepabeanan
(1) Peluang dalam Pencapaian Target Penerimaan Bea Masuk dan Bea Keluar
i. Perekonomian dunia semakin pulih dari krisis ekonomi global, sehingga transaksi
perdagangan bertumbuh dengan baik.
ii. Perekonomian dalam negeri yang relatif stabil, sehingga konsumsi dan sektor riil dapat
mendukung pertumbuhan ekonomi dan menggairahkan ekspor dan impor, sehingga
berimplikasi pada peningkatan penerimaan Bea Masuk dan Bea Keluar dan devisa negara.
iii. Pelaksanaan program reformasi dan pencanangan gerakan reformasi lanjutan DJBC
diharapkan mendukung keberhasilan pencapaian target penerimaan negara.
iv. Perbaikan sistem dan prosedur pelayanan ekspor dan impor dapat lebih menjamin
kepastian hukum dalam berusaha.
v. Otomasi sistem pelayanan ekspor dan impor untuk menghilangkan hambatan-hambatan,
sehingga memudahkan kegiatan ekspor dan impor.
vi. Ekstensifikasi pengenaan Bea Keluar terhadap ekspor biji kakao yang mulai diterapkan
pada tahun 2010 dan kajian pengenaan Bea Keluar pada tahun berikutnya terhadap ekspor
produk pertambangan.
vii. Intensifikasi pengawasan tarhadap praktik penyelundupan ekspor dan impor serta
optimalisasi pelaksanaan audit kepabeanan.
viii. Sosialisasi kepada pengguna jasa untuk memberikan pemahaman agar berperilaku patuh
terhadap ketentuan yang berlaku.
(2) Tantangan atau Kendala dalam Pencapaian Penerimaan Bea Masuk dan Bea Keluar
i. Penyesuaian tarif umum Bea Masuk Umum atau Most Favourable Nation (MFN) yang cenderung
menurunkan tarif efektif rata-rata importasi, sehingga mendistorsi penerimaan Bea Masuk.
ii. Konskuensi dari komitmen kerjasama perdagangan internasional dalam rangka Free Trade
Agreement (FTA) melalui skema AFTA, AC-FTA, AK-FTA, IJ-EPA, dan AI-FTA, yang menurunkan
tarif hingga menjadi nol persen akan mendistorsi penerimaan Bea Masuk.
iii. Pemberian berbagai fasilitas pembebasan dan keringanan Bea Masuk, seperti KB, KITE,
dan BKPM.
iv. Kebijakan non tarif yang berorientasi pada pengendalian barang impor dan penggunaan
produksi dalam negeri, seperti SNI, SKA, dan Lartas.
v. Implementasi Free Trade Zone (FTZ) di Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) dan
rencana penerapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
vi. Kebijakan Bea Keluar bukan merupakan instrumen untuk memperoleh penerimaan negara.
vii. Besaran tarif Bea Keluar dan HPE sangat tergantung pada harga Crude Pal Oil (CPO) dunia
(CIF Rotterdam).
4.3.2.2 Peluang dan Tantangan cukai
(1) Peluang dalam Pencapaian Target Penerimaan Cukai
i. Kenaikan tarif Cukai atas hasil tembakau mulai 1 Januari 2010 dan penyesuaian tarif pada
tahun-tahun berikutnya.
ii. Kenaikan tarif Cukai EA dan MMEA mulai 1 April 2010 dan penyesuaian tarif pada tahun-
tahun berikutnya.
iii. Pelaksanaan program reformasi dan pencanangan gerakan reformasi lanjutan DJBC.
iv. Perbaikan sistem dan prosedur di bidang Cukai untuk menjamin kepastian hukum dalam
berusaha.
v. Otomasi sistem pelayanan Cukai melalui SAC Sentralisasi yang mempermudah pelayanan
dan pengawasan di bidang Cukai.
vi. Intensifikasi proses pengawasan terhadap praktik pelanggaran dan peningkatan sistem
audit di bidang Cukai.
vii. Peningkatan kepatuhan pengusaha di bidang Cukai terhadap ketentuan melalui program
kemitraan, sosialisasi, maupun law enforcement.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 83
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
82
(2) Tantangan atau Kendala dalam Pencapaian Target Penerimaan Cukai
i. Pemulihan perekonomian dunia, khususnya di Amerika Serikat dan Eropa yang belum optimal.
ii. Fatwa haram rokok dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan PP Muhamadiyah.
iii. RUU Penyiaran (pembatasan iklan rokok).
iv. RUU Pengendalian Dampak Tembakau;
v. Peraturan Daerah tentang larangan merokok di tempat umum.
vi. PMK tentang larangan merokok di gedung atau kantor.
vii. Upaya dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menyuarakan gerakan anti rokok.
viii. Luas wilayah pengawasan di bidang Cukai dan faktor geografis wilayah.
ix. Masih kurangnya sinergi penegak hukum dengan petugas DJBC.
x. Rendahnya pemahaman stakeholders akan ketentuan di bidang Cukai.
xi. Pembebasan Cukai untuk BKC dari Luar Daerah Pabean dan MMEA buatan dalam negeri ke
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
4.3.3 Bidang PNBP
Peluang di bidang PNBP antara lain realisasi PNBP dari sektor perikanan masih bisa ditingkatkan
mengingat luas lautan Indonesia yang mencakup dua pertiga wilayah. Selain itu kinerja PNBP dari
pertambangan panas bumi masih bisa dioptimalkan mengingat pemanfaatan potensi SDA panas
bumi hingga saat ini baru 4%. Permasalahan yang dihadapi bidang PNBP antara lain:
(1) Belum sinkronnya UU PNBP dengan UU di bidang Keuangan Negara dan peraturan
perundangan lainnya
(2) Belum efektifnya ketentuan mengenai sanksi dalam pengelolaan PNBP
(3) Masih lemahnya monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan PNBP pada K/L
(4) Kurangnya pemanfaatan riset di bidang PNBP dan subsidi energi dalam perumusan kebijakan
dan peraturan
(5) Rendahnya kepatuhan K/L dalam pengelolaan PNBP.
(6) Adanya PNBP yang digunakan secara langsung diluar mekanisme APBN.
(7) Realisasi PNBP dari SDA Migas sangat dipengaruhi oleh parameter diluar kendali Kementerian
Keuangan antara lain: ICP, Kurs dan Lifting.
4.4. PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PENDAPATAN NEGARA
4.4.1. Bidang Perpajakan
4.4.1.1. Pemeriksaan
Kinerja pemeriksaan diukur dari kuantitas penyelesaian pemeriksaan dan kualitas hasil pemeriksaan.
Kinerja pemeriksaan dengan pendekatan kuantitas dapat diukur berdasarkan realisasi jumlah
pemeriksaan terhadap target penyelesaian pemeriksaan, sedangkan kinerja pemeriksaan dengan
pendekatan kualitas dapat diukur dengan menghitung nilai refund discrepancy dan realisasi
penerimaan dari hasil pemeriksaan. Refund discrepancy merupakan jumlah pajak yang bisa
dipertahankan oleh pemeriksa atas permohonan pengembalian (restitusi) yang disampaikan oleh
Wajib Pajak melalui SPT Tahunan/Masa. Sementara realisasi penerimaan pajak dari hasil pemeriksaan
dihitung dari pembayaran ketetapan pajak dalam kurun waktu sebelum dilakukan penagihan.
Tabel 4.21Jumlah Pemeriksa Pajak Tahun 2007-2010
2007 2008 2009 2010
2.226 orang 3.098 orang 3.031 orang 4.159 orang
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak.
Pada tahun 2007 realisasi penyelesaian pemeriksaan mencapai 68.017 laporan hasil pemeriksaan
(LHP) dan mengalami penurunan drastis menjadi 21.178 LHP pada tahun 2008 karena adanya
Sunset Policy. Selanjutnya kinerja realisasi penyelesaian pemeriksaan kembali naik menjadi 69.195
LHP pada tahun 2009. Dalam tahun 2010, realisasi penyelesaian pemeriksaan mencapai 64.988 LHP.
Tabel 4.22.Kinerja Pemeriksaan Lainnya Tahun 2010 (dalam Rupiah)
Uraian
Realisasi Penerimaan Nasional 569,02 triliun
Target Penerimaan dari Hasil Pemeriksaan 9 triliun
Realisasi Penerimaan dari Hasil Pemeriksaan 9,05 triliun
Refund Discrepancy 7,43 triliun
Pemindahbukuan 2.28 triliun
Total Hasil Pemeriksaan 16.48 triliun
Persentase Kontribusi Pemeriksaan terhadap Penerimaan Nasional* 2,90%
Persentase Realisasi Penerimaan terhadap Target Penerimaan dari Hasil Pemeriksaan* 100.56%
Jumlah Pemeriksa 4.159
Rata-rata Pemeriksa 4,51 miliar
*) tidak memperhitungkan angka Pemindahbukuan
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak.
Walaupun terjadi penurunan realisasi penyelesaian pemeriksaan, pada tahun 2010 telah dihasilkan
refund discrepancy sebesar Rp7,43 triliun dan penerimaan dari hasil pemeriksaan sebesar Rp9,05
triliun. Kinerja pemeriksaan dicapai melalui berbagai upaya dan strategi berikut ini:
(1) Penyempurnaan beberapa peraturan di bidang pemeriksaan.
(2) Peningkatan kemampuan SDM terkait teknik dan metode pemeriksaan melalui pelatihan atau
workshop, seperti workshop pemeriksaan pajak dan In House Training for Tackling International
Tax Avoidance.
(3) Pengendalian mutu pemeriksaan melalui review atas hasil pemeriksaan dan peer review atas
proses pelaksanaan pemeriksaan unit pelaksana pemeriksaan.
(4) Pengadaan dan pengembangan sistem dan infrastrukstur pendukung pemeriksaan.
(5) Kerjasama pemeriksaan dengan BPKP di dalam suatu Tim Optimalisasi Penerimaan Negara
(TOPN) dan dengan DJBC di dalam wadah Komite Pemeriksaan Bersama DJP-DJBC (KPB DJP-
DBC).
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 85
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
84
4.4.4.2. Penyidikan
Penyidikan tindak pidana perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik
untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana
dibidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Sedangkan Penyidik adalah
pejabat PNS tertentu di lingkungan DJP yang diberi wewenang khusus untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai ketentuan peraturan per undang-undangan.
Keberhasilan penyidikan sangat bergantung dari analisis Informasi Data Laporan dan Pengaduan
(IDLP) yang kemudian ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Gambar 4.3.Usul Penyidikan Tahun 2010
Penerbitan Faktur Pajak Bermasalah
Pengguna Faktur Pajak Bermasalah
Penggelapan Omzet
Bendahara Pemotong Tidak Menyetor
Lain-lain
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak.
Untuk memperkuat penyidikan di sepanjang tahun 2010, DJP telah melakukan kerjasama dan
koordinasi dengan beberapa instansi penegakan hukum berikut ini.
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia
(2) Kejaksaan Agung
(3) Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
(4) Instansi Penegak Hukum Lain
Tabel 4.23.Kinerja Penyidikan Perpajakan Tahun 2010
No. Keterangan 2007 2008 2009 2010
I. Berkas Diserahkan ke Kejaksaan
A Berkas telah P-19 0 24 19 14
Kerugian Negara 0 1,412 triliun 162 miliar 233 miliar
Tersangka 0 13 16 12
B Berkas telah P-21 17 11 24 19
Kerugian Negara 514 miliar 131 miliar 329 miliar 509 miliar
Tersangka: 21 11 18 16
II. Berkas Sudah Divonis
Jumlah sudah divonis 8 13 18 13
Kerugian Negara 100 miliar 463 miliar 288 miliar 409 miliar
Denda Pidana 6,8 miliar 115 miliar 633 miliar 301 miliar
Terdakwa 9 17 14 11
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak.
4.4.4.3. Penagihan
Fokus penagihan pada tahun 2010 adalah membenahi administrasi data dan informasi piutang
pajak dan pencapaian target pencairan tunggakan pajak nasional.
(1) Administrasi Penagihan
Pembenahan administrasi data dan informasi piutang pajak dilakukan dengan penataan berkas
Wajib Pajak, penyempurnaan laporan rutin penagihan, rekonstruksi dan pemetaan data piutang
pajak, pengawasan migrasi berkas Wajib Pajak pindah, dan pengawasan ketetapan mulai tahun
pajak 2008.
(2) Strategi Penagihan
Strategi penagihan dijalankan dengan membedah piutang 100 penunggak pajak terbesar,
membuat profil Wajib Pajak/Penanggung Pajak tersebut lengkap dengan upaya hukum yang
telah dan tengah dilakukan, serta membuat daftar harta kekayaan yang masih dimiliki yang
dilengkapi dengan pohon kepemilikan dalam hal perusahaan yang bersangkutan dimiliki oleh
grup perusahaan. Prioritas tindakan penagihan atas 100 penunggak pajak terbesar didasarkan
pada profil Wajib Pajak.
Strategi khusus diarahkan pada penagihan atas piutang yang mendekati daluwarsa dan
penagihan atas piutang Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang nonkooperatif terutama Wajib
Pajak yang termasuk dalam 100 penunggak pajak terbesar. Terhadap 100 Wajib Pajak/Penunggak
Pajak nonkooperatif tindakan penagihan difokuskan pada penyitaan atas harta kekayaan yang
tersimpan pada bank, pencegahan, dan penyanderaan. Penagihan perlu didukung pengawasan
secara intensif dan melaksanakan hak mendahului atas piutang pajak terhadap Wajib Pajak
yang dinyatakan pailit, bubar, atau likuidasi, dengan melakukan koordinasi dengan kurator,
likuidator, orang atau badan yang ditugasi melakukan pemberesan, segera setelah diperoleh
informasinya.
(3) Target Pencairan Piutang Pajak
Target pencairan piutang pajak selama tahun 2010 dibedakan menjadi dua, yaitu target pencairan
untuk piutang PPh dan PPN serta target pencairan untuk piutang PBB dan BPHTB. Target
pencairan piutang PPh dan PPN secara nasional ditetapkan berdasarkan saldo awal piutang
pajak tahun 2010 setelah dikurangi dengan cadangan piutang, dengan memperhitungkan
pencapaian IKU tahun 2009, dan perkiraan penambahan piutang pajak pada tahun berjalan.
Sedangkan target pencairan piutang PBB dan BPHTB ditetapkan minimal 85 persen dari saldo
awal piutang.
Target pencairan piutang pajak tahun 2010 ditetapkan sebesar Rp16,4 triliun dan realisasi
pencairan piutang pajak sebesar Rp22,56 triliun atau mencapai 137,56 persen dari target.
Tabel 4.24.Rincian Pencairan Piutang Per Jenis Pajak Tahun 2010 (dalam miliar Rupiah)
No. Jenis Pajak Pencairan
1. PPh Pasal 25 Orang Pribadi 79,402. PPh Pasal 25 Badan 5.570,403. PPh Pasal 21 254,154. PPh Pasal 22 15,875. PPh Pasal 23 517,67
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 87
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
86
Tabel 4.24 (lanjutan)No. Jenis Pajak Pencairan6. PPh Pasal 26 702,167. PPh Pasal 4 (2) 183,388. PPN 10.244,189. PPnBM 41,59
10. Bunga Penagihan 811,8711. Pajak Tidak Langsung Lainnya 4,4412. PBB Sektor Perdesaan 482,5713. PBB Sektor Perkotaan 2.224,2814. PBB Sektor Perkebunan 700,9215. PBB Sektor Kehutanan 218,8516. PBB Sektor Pertambangan dan Non Migas 269,5117. PBB Sektor Pertambangan Migas -18. BPHTB 240,51
Jumlah 22.561,77
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak.
Tabel 4.25.Perkembangan Piutang Pajak Selama Tahun 2010 (dalam miliar Rupiah)
No. Jenis Pajak Saldo Piutang (Rp)1. PPh Pasal 25 Orang Pribadi 1.011,932. PPh Pasal 25 Badan 14.375,143. PPh Pasal 21 1.266,414. PPh Pasal 22 483,965. PPh Pasal 23 2.203,946. PPh Pasal 26 1.707,437. PPh Pasal 4 (2) 756,668. PPN 13.758,559. PPnBM 279,74
10. Bunga Penagihan 2.016,0311. Pajak Tidak Langsung Lainnya 2,2412. PBB Sektor Perdesaan 1.617,4313. PBB Sektor Perkotaan 9.391,4314. PBB Sektor Perkebunan 388,2015. PBB Sektor Kehutanan 617,9516. PBB Sektor Pertambangan dan Non Migas 154,7517. PBB Sektor Pertambangan Migas 3.875,0418. BPHTB 101,22
Jumlah 54.008,06
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak.
4.4.2. Bidang Kepabeanan dan cukai
4.4.2.1. Arah dan Strategi Kebijakan
Pengawasan dan pengendalian pendapatan negara di bidang kepabeanan dan Cukai diarahkan
untuk mengoptimalkan kegiatan pengawasan impor melalui kegiatan intelijen, penindakan, dan
penyidikan, serta pengawasan setelah impor melalui kegiatan audit. Kedua upaya berorientasi
untuk mengamankan hak keuangan negara dan meningkatkan penerimaan negara.
4.4.2.2. Kinerja Pengawasan
Jumlah penindakan pelanggaran kepabeanan dan Cukai di seluruh Indonesia sejak bulan Januari
hingga Desember 2010 sebanyak 3.680 kasus dan menghasilkan temuan sebanyak 2.473 kasus.
Kasus penindakan ini meningkat 75,99 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 2.091 kasus. Khusus
untuk NPP, penindakan tercatat mencapai 158 kasus, dengan total barang bukti seberat 412.512,28
gram dan 3.165 mililiter.
Tabel 4.26.Penindakan Narkotika Psikotropika Prekursor Berdasarkan Jenis Barang Tahun 2010
No. Jenis NPP Jumlah Satuan
1. Amphetamin 292,50 gram
2. Cocaine 203,00 gram
3. Ekstasi 18.384,85 gram
4. Ganja 3.706,76 gram
5. Erimin Five / Happy Five 10.748,00 gram
6. Hashish 5.987,00 gram
7. Heroin 19.213,68 gram
8. Ketamine 101.903,60 gram
9. Ephedrine 2.011,60 gram
10. Methamphetamine cair 3.165,00 mililiter
11. Methamphetamine 250.038,29 gram
Jumlah 412.512,28 3.165
grammililiter
Sumber: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Kegiatan penyidikan pada tahun 2010 mencapai 158 kasus yang berarti mengalami penurunan
sekitar 38 persen dibandingkan tahun 2009. Penurunan ini mengindikasikan tingkat kepatuhan
pelaku usaha terkait kepabeanan dan Cukai semakin meningkat. Dari 158 kasus, sejumlah 113 kasus
atau 71,5 persen telah diserahkan kepada Kejaksaan. Pencapaian ini telah melampaui target yang
ditentukan (50 persen).
Sementara itu, kegiatan audit kepabeanan dan Cukai yang telah dilakukan pada tahun 2010 meliputi:
(1) penerbitan 38 Daftar Rencana Obyek Audit (DROA) dengan total auditees sebanyak 595 perusahaan;
(2) penerbitan Nomor Penugasan Audit (NPA) sebanyak 772 surat;
(3) pelaksanaan audit Non DROA sebanyak 666 surat tugas; dan
(4) penerbitan 1.261 Laporan Hasil Audit (LHA).
Dalam hal ditemukan kekurangan pembayaran pungutan negara, maka akan diterbitkan surat
penetapan dan/atau surat tindak lanjut hasil audit. Telah dilakukan monitoring terhadap jumlah
tagihan beserta realisasinya.Tabel 4.27.
Tagihan Audit dan Realisasi Pelunasan Tahun 2009-2010 (dalam Rupiah)
No. Uraian 2009 2010
1. Tagihan 196.360.839.266 516.060.699.618
2. Realisasi Tagihan 42.031.096.342 422.854.087.134
Sumber: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 89
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
88
4.5. SuMMAry
4.5.1. Bidang Perpajakan
Realisasi penerimaan pajak neto DJP tanpa PPh Migas pada tahun 2010 mencapai sebesar Rp569,02
triliun atau 93,88 persen dari rencana APBN-P 2010. Sementara realisasi penerimaan pajak neto
DJP termasuk PPh Migas pada tahun 2010 tercatat sebesar Rp627,89 triliun atau 94,92 persen dari
rencana APBN-P 2010.
Dalam tahun 2010, kebijakan reguler di bidang perpajakan yang dilaksanakan dalam rangka
optimalisasi penerimaan dalam negeri meliputi reformasi di bidang administrasi, peraturan
perundang-undangan dan pengawasan serta penggalian potensi. Sementara itu, upaya extra effort
yang telah dilaksanakan antara lain meliputi peningkatan efisiensi pemeriksaan dan penagihan
pajak, penyempurnaan mekanisme atas keberatan dan banding dalam proses pengadilan pajak,
dan perbaikan sistem informasi.
4.5.2. Bidang Kepabeanan dan cukai
Sampai dengan 31 Desember 2010, DJBC telah menghimpun penerimaan dari pajak perdagangan
internasional berupa Bea Masuk dan Bea Keluar, serta pajak dalam negeri berupa Cukai senilai
Rp95,019 triliun atau 116,12 persen dari target yang ditetapkan. Realisasi tahun 2010 ini meningkat
26 persen dibandingkan tahun 2009. Penerimaan Bea Masuk meningkat Rp1.847,8 miliar atau 10,2
persen, Cukai meningkat Rp9.446,4 miliar atau 16,7 persen, dan Bea Keluar meningkat Rp8.335
miliar atau 1.481,1 persen.
Penerimaan Bea Masuk antara lain dipengaruhi oleh kecenderungan penurunan tarif efektif
rata-rata sehubungan dengan konskuensi kerjasama FTA. Bea Keluar dipengaruhi oleh kebijakan
Pemerintah yang berkenaan dengan harga referensi CPO dan biji kakao yang menentukan tarif dan
HPE. Sedangkan penerimaan Cukai sangat dipengaruhi oleh Road Map Industri Hasil Tembakau dan
kampanye anti rokok di dalam maupun luar negeri.
Hal-hal yang telah dikaji dan menjadi prioritas dalam pelaksanaan tugas pada tahun berikutnya
meliputi upaya ekstensifikasi pengenaan Bea Keluar terhadap ekspor komoditi pertambangan untuk
menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian SDA, mengantisipasi
kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasar internasional dan
menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri, serta mendukung program hilirisasi
industri. Demikian halnya dengan upaya ekstensifikasi Barang Kena Cukai, sehingga penerimaan
Cukai tidak hanya tergantung pada penerimaan dari hasil tembakau yang selama ini merupakan
kontributor terbesar.
4.5.3. Bidang PNBP
Pencapaian target PNBP yang diukur dari APBN-P dengan realisasinya mengalami peningkatan dari
81,29 persen di tahun 2005 menjadi 108,98 persen di tahun 2010. Realisasi PNBP dalam kurun waktu
tersebut terus mengalami peningkatan dari Rp146,89 triliun menjadi Rp269,37 triliun. Peningkatan
terbesar terjadi pada tahun 2008, yaitu mencapai Rp320,60 triliun. Pencapaian ini terutama
disebabkan oleh tingginya harga minyak mentah dunia, termasuk harga rata-rata minyak mentah
Indonesia yang mencapai USD101,44 per barrel.
Selain itu, untuk mengoptimalkan PNBP, pada tahun 2010 telah diselesaikan penyusunan 30
peraturan perundang-undangan di bidang PNBP, yang terdiri dari 6 Peraturan Pemerintah, 2 PMK,
dan 11 KMK. Hal penting lainnya adalah dengan melakukan sosialisasi serta monitoring dan evaluasi
kepada instansi terkait PNBP.
Nilai Cermat
Mengelola Nilai Anggaran yang Tepat Sasaran dan Berimbang
PRECISE
Managing Accurate And Balanced Budget Quantity
Accurate Value
CerMAT
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 93
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
92
5.1.1. Penyusunan APBN Tahun 2011
Penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2011 dimulai dengan penyusunan dan penetapan
asumsi dasar ekonomi makro tahun 2011 sebagai basis perhitungan resource envelope dan pagu
indikatif. Kegiatan ini dimulai pada bulan Februari hingga Maret 2010. Pada saat yang bersamaan,
Kementerian Keuangan cq. Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) menyusun bahan RKP untuk
dikompilasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Setelah melalui beberapa
kali penyempurnaan, RKP dan pagu indikatif Kementerian/Lembaga (K/L) tahun 2011 ditetapkan
dengan Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas
No. 0181/M.PPN/04/2010 dan Menteri Keuangan No. SE-120/MK/ 2010 tanggal 6 April 2010.
Dalam Sidang Paripurna DPR tanggal 20 Mei 2010, Pemerintah telah menyampaikan Kerangka
Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2011. Dokumen ini bersama-sama dengan RKP
2011 dibahas dengan DPR dalam rangka Pembicaraan Pendahuluan RAPBN 2011. Pemerintah
kemudian menyesuaikan pagu indikatif dengan perkiraan kemampuan fiskal sesuai asumsi makro
dan kebijakan fiskal yang disepakati bersama untuk menjadi pagu sementara dan didistribusikan
ke seluruh K/L melalui Surat Edaran Menteri Keuangan. Pagu sementara RAPBN 2011 ditetapkan
dengan Surat Edaran Menteri Keuangan No. SE-294/MK.02/2010 tanggal 24 Juni 2010 tentang Pagu
Sementara Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2011.
Gambar 5.1.Siklus Penyusunan APBN Tahun 2011
JANUARI-APRIL MEI-AGUSTUS SEPTEMBER-DESEMBER
DPR
KABINET/PRESIDEN
KEMENTE-RIAN PEREN-cANAAN
KEMEN-TERIAN KEUANGAN
KEMENTERI-AN NEGARA/LEMBAGA
Pembahasan Pokok-pokok
Kebijakan Fiskal & RKP
KebijakanUmum dan
PrioritasAnggaran
SEB PRIORITASPROGRAM DANINDIKASI PAGU
SE PAGUSEMENTARA
RenstraKL
RancanganRenja KL
RKA-KL
PENELAAHANKONSISTENSIDENGAN RKP
LAMPIRANRAPBN
(HIMPUNANRKAKL)
PENELAAHANKONSISTENSI
DENGAN PRIORITASANGGARAN
RANCANGANKEPPRES TTG
RINCIANAPBN
KONSEPDOKUMEN
PELAKSANAANANGGARAN
DOKUMENPELAKSANAAN
ANGGARAN
PENGESAHAN
NOTAKEUANGANRAPBN DANLAMPIRAN
KEPPRESTENTANG
RINCIAN APBN
Pembahasan RKA-KL
PEMBAHASAN RAPBN UU APBN
(9)(8)(4)
(7) (11)
(13)(10)(6)
(2)
(3)(12) (14)
(1)
(5)
Sumber: Direktorat Jenderal Anggaran.
5.1. PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
Penyusunan Rancangan APBN (RAPBN) berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
dan ditujukan untuk mewujudkan tujuan bernegara. Berdasarkan pasal 15 UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, RAPBN dalam bentuk RUU tentang APBN beserta Nota Keuangan dan
dokumen-dokumen pendukungnya diajukan oleh Pemerintah untuk dibahas bersama DPR. Setelah
melalui pembahasan, DPR menetapkan undang-undang tentang APBN selambat-lambatnya dua
bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan. APBN disusun berdasarkan azas:
(1) kemandirian, yaitu meningkatkan sumber penerimaan dalam negeri;
(2) penghematan atau peningkatan efesiensi dan produktivitas;
(3) penajaman prioritas pembangunan; serta
(4) menitikberatkan pada azas-azas dan undang-undang negara.
Siklus APBN pada dasarnya terdiri dari tahap-tahap:
(1) persiapan anggaran oleh eksekutif dan perangkat-perangkatnya;
(2) persetujuan oleh legislatif;
(3) pelaksanaan APBN;
(4) laporan akhir tahun oleh eksekutif kepada legislatif; serta
(5) pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
KEBIJAKAN PENGELOLAAN BELANJA PEMERINTAH PUSAT
BAB V
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 95
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
94
Berdasarkan surat edaran tersebut, K/L kemudian menyusun RKA-KL dan menyampaikannya
kepada Kementerian Keuangan c.q. DJA. RKA-KL dihimpun dan menjadi dasar penyusunan Nota
Keuangan dan RAPBN 2011 beserta RUU-nya yang disampaikan oleh Presiden kepada DPR di
depan Sidang Paripurna Luar Biasa DPR tanggal 16 Agustus 2010. Pada tanggal 24 Agustus 2010,
fraksi-fraksi menyampaikan Pemandangan Umum atas RUU APBN 2011 dan Pemerintah kemudian
menyampaikan tanggapan atas pemandangan fraksi-fraksi tersebut pada tanggal 31 Agustus 2010.
Setelah melalui pembahasan, Nota Keuangan dan RAPBN 2011 beserta RUU-nya disetujui untuk
disahkan menjadi UU APBN 2011 pada tanggal 26 Oktober 2010. Setelah itu, Pemerintah menyusun
Rincian Anggaran Belanja (RAB) K/L hingga paling lambat akhir November 2010. RAB K/L ditetapkan
dengan Peraturan Presiden dan menjadi lampiran dari UU APBN 2011.
Tahap akhir dari penyusunan APBN 2011 adalah penetapan dokumen pelaksanaan anggaran berupa
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) pada tanggal 20 Desember 2010. Penyerahan DIPA tahun
2011 dilakukan lebih awal agar APBN 2011 dapat segera dilaksanakan pada awal tahun 2011.
RUU APBN yang diajukan oleh Pemerintah dibahas bersama Badan Anggaran DPR. Badan Anggaran
mengadakan rapat kerja dengan Pemerintah dan Gubernur Bank Indonesia dalam rangka
Pembicaraan Tingkat I/ Pembahasan RUU tentang APBN 2011 pada tanggal 31 Agustus sampai
dengan 25 Oktober 2010. Untuk membahas RUU APBN dibentuk 3 Panitia Kerja (Panja) dan Tim
Perumus (Timus) Draft RUU. Panja yang dibentuk meliputi:
(1) Panja Asumsi, Pendapatan, Defisit, dan Pembiayaan;
(2) Panja Belanja Pemerintah Pusat; serta
(3) Panja Transfer ke Daerah.
Keseluruhan hasil Panja dan Tim Perumus telah disinkronisasikan dalam Rapat Internal Badan
Anggaran pada tanggal 22 Oktober 2010 serta dilaporkan dan disahkan dalam Rapat Kerja tanggal
25 Oktober 2010.
Dalam pembahasan Asumsi Dasar Ekonomi Makro RAPBN 2011, Pemerintah dan Panja Asumsi,
Pendapatan, Defisit, dan Pembiayaan telah melakukan pembahasan dari tanggal 22 September
sampai dengan 6 Oktober 2010. Berdasarkan hasil pembahasan, telah disepakati besaran Asumsi
Dasar Ekonomi Makro dalam APBN 2011 sebagaimana disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1.Asumsi Ekonomi Makro Tahun 2011
No. URAIAN RAPBN APBN Deviasi (%)
1 Pertumbuhan ekonomi (%) 6,3 6,4 1,6
2 Inflasi (%) y-o-y 5,3 5,3 0,0
3 Tingkat bunga SBI 3 bulan (%) 6,5 6,5 0,0
4 Nilai tukar (Rp/US$1) 9.3 9.25 0,5
5 Harga minyak (US$/barel) 80,0 80,0 0,0
6 Liting minyak (MMBOPD) 0,970 0,970 0,0
Sumber: Badan Kebijakan Fiskal.
Pemerintah dengan Panja menyepakati Pendapatan Negara dan Hibah dalam APBN 2011 sebesar
Rp1.104.902,0 miliar, yang terdiri dari:
(1) penerimaan perpajakan nonmigas Rp794.701,9 miliar;
(2) penerimaan migas Rp215.336,0 miliar;
(3) PNBP Sumber Daya Alam (SDA) Perikanan Rp150,0 miliar;
(4) PNBP SDA Kehutanan Rp2.908,1 miliar;
(5) PNBP SDA Pertambangan Umum Rp10.365,2 miliar;
(6) PNBP SDA Pertambangan Panas Bumi Rp356,1 miliar;
(7) Bagian Pemerintah atas Laba BUMN Rp27.590,4 miliar;
(8) PNBP Lainnya Rp 45.166,6 miliar;
(9) pendapatan BLU Rp15.030,8 miliar; dan
(10) hibah Rp3.739,5 miliar.
Tabel 5.2.Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2011 (dalam miliar Rupiah)
Uraian RAPBN APBN Selisih
A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH 1.086.369,7 1.104.902,0 18.532,4
I. PENERIMAAN DALAM NEGERI 1.082.630,2 1.101.162,5 18.532,4
1. Penerimaan Perpajakan 839.540,5 850.255,5 10.715,1
Tax Ratio (% thd PDB) 12,0 12,1 0,1
a. Pajak Dalam Negeri 816.422,4 827.246,2 10.823,8
1) Pajak Penghasilan 414.498,1 420.493,8 5.995,7
- PPh Non Migas 360.313,5 364.940,2 4.626,7
- PPh Migas 54.184,6 55.553,6 1.369,0
2) Pajak Pertambahan Nilai 309.335,1 312.110,0 2.774,9
3) Pajak Bumi dan Bangunan 27.676,2 27.682,4 6,2
4) BPHTB - - -
5) Cukai 60.711,5 62.759,9 2.048,5
6) Pajak Lainnya 4.201,5 4.200,1 (1,5)
b. Pajak Perdagangan Internasional 23.118,1 23.009,3 (108,7)
1) Bea Masuk 17.988,0 17.902,0 (86,0)
2) Bea Keluar 5.130,1 5.107,3 (22,8)
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 243.089,7 250.907,0 7.817,2
a. Penerimaan SDA 158.173,7 163.119,2 4.945,5
1) SDA Migas 145.261,2 149.339,8 4.078,6
2) SDA Non Migas 12.912,5 13.779,4 867,0
b. Bagian Laba BUMN 26.590,4 27.590,4 1.000,0
c. PNBP Lainnya 43.429,8 45.166,6 1.736,7
d. Pendapatan BLU 14.895,8 15.030,8 135,0
II. HIBAH 3.739,5 3.739,5 - Sumber: Direktorat Jenderal Anggaran.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 97
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
96
Pemerintah dan Panja Badan Anggaran DPR menyepakati Belanja Pemerintah Pusat dalam APBN
2011 sebesar Rp836.578,2 miliar yang mengacu pada hasil kesepakatan bersama dalam Pembicaraan
Pendahuluan RAPBN Tahun 2011. Jenis Belanja Pemerintah Pusat terdiri dari:
(1) belanja pegawai sebesar Rp180.624,1 miliar;
(2) belanja barang sebesar Rp132.422,9 miliar;
(3) belanja modal sebesar Rp121.881,1 miliar;
(4) pembayaran bunga utang sebesar Rp115.209,2 miliar;
(5) subsidi sebesar Rp187.624,3 miliar;
(6) belanja hibah sebesar Rp771,3 miliar;
(7) bantuan sosial sebesar Rp60.956,6 miliar; dan
(8) belanja lain-lain sebesar Rp15.261,0 miliar.
Tabel 5.3.Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis Tahun 2011 (dalam miliar Rupiah)
Uraian RAPBN APBN Selisih
A. Belanja Pegawai 180.624,1 180.824,9 200,8
B. Belanja Barang 131.533,4 137.849,7 6.316,3
C. Belanja Modal 121.658,7 135.854,2 14.195,5
D. Pembayaran Bunga Utang 116.402,8 115.209,2 (1.193,6)
1. Bunga Utang Dalam Negeri 80.396,0 79.396,0 (1.000,0)
2. Bunga Utang Luar Negeri 36.006,8 35.813,2 (193,6)
E. Subsidi 184.816,8 187.624,3 2.807,5
1. Subsidi Energi 133.806,7 136.614,2 2.807,5
a. BBM, LPG dan BBN 92.785,6 95.914,2 3.128,6
b. Listrik 41.021,1 40.700,0 (321,1)
2. Subsidi Non Energi 51.010,1 51.010,0 (0,1)
a. Pangan 15.267,0 15.267,0 -
b. Pupuk 16.377,0 16.377,0 -
c. Benih 120,3 120,3 -
d. PSO 1.877,5 1.877,5 -
e. Bunga Kredit Program 2.618,2 2.618,2 -
f. Pajak DTP 14.750,0 14.750,0 -
F. Belanja Hibah 771,3 771,3 -
G. Belanja Sosial 61.525,9 63.183,5 1.657,5
H. Belanja Lain-lain 26.293,9 15.261,0 (11.032,9)
Total 823.626,9 836.578,1 12.951,2 Sumber: Direktorat Jenderal Anggaran.
Alokasi anggaran yang ditetapkan untuk belanja K/L mencapai Rp432,8 triliun yang setara dengan
6,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan alokasi belanja untuk Non K/L
(Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara) ditetapkan sebesar Rp403,8 triliun atau 5,8 persen
terhadap PDB.
Pemerintah dan Panja juga menyepakati Transfer ke Daerah sebesar Rp 392.980,3 miliar, yang terdiri
dari:
(1) Dana Perimbangan sebesar Rp334.324,0 miliar, yang terdiri dari:
i. Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp83.558,4 miliar;
ii. Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp225.532,8 miliar; dan
iii. Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp25.232,8 miliar;
(2) Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian sebesar Rp58.656,3 miliar, yang terdiri dari:
i. Dana Otonomi Khusus sebesar Rp 10.421,3 miliar; dan
ii. Dana Penyesuaian sebesar Rp 48.235,0 miliar.
Tabel 5.4.Transfer Ke Daerah Tahun 2011 (dalam miliar Rupiah)
Uraian RAPBN APBN Selisih
I. Dana Perimbangan 329.099,3 334.324,0 5.224,7
A Dana Bagi Hasil 81.994,3 83.558,4 1.564,1
B Dana Alokasi Umum 221.872,2 225.532,8 3.660,6
C Dana Alokasi Khusus 25.232,8 25.232,8 -
II. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian 49.319,9 58.656,3 9.336,5
A Dana Otonomi Khusus 10.274,9 10.421,3 146,4
B Dana Penyesuaian 39.045,0 48.235,0 9.190,0
Jumlah 378.419,2 392.980,3 14.561,1
Sumber: Direktorat Jenderal Anggaran.
Berdasarkan selisih antara Pendapatan Negara dan Hibah sebesar Rp1.104.901,9 miliar dengan
Belanja Negara sebesar Rp1.229.558,4 miliar, maka defisit anggaran tahun 2011 disepakati sebesar
Rp124.656,5 miliar atau 1,8 persen terhadap PDB. Untuk menutup defisit anggaran telah disepakati
pembiayaan sebesar Rp124.656,5 miliar yang bersumber dari pembiayaan non utang sebesar
Rp2.387,9 miliar dan pembiayaan utang Rp127.044,4 miliar.
5.1.2. Penyusunan Laporan Semester I dan Prognosis Semester II Pelaksanaan APBN 2010
Pemerintah menyusun Laporan Semester I Pelaksanaan APBN 2010 yang dimulai pada akhir Juni
2010 dan disampaikan ke DPR pada tanggal 16 Juli 2010. Laporan disusun untuk memenuhi
ketentuan dalam UU No. 17 Tahun 2003, UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD,
serta UU No. 47 Tahun 2009 tentang APBN Tahun Anggaran 2010 sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 2 Tahun 2010 tentang APBN-P 2010.
Realisasi APBN-P 2010 sampai dengan semester I menunjukkan surplus Rp47.905,0 miliar. Pencapaian
tersebut bersumber dari realisasi Pendapatan Negara dan Hibah sebesar Rp443.682,5 miliar atau 44,7
persen dari yang ditargetkan dalam APBN-P 2010. Sedangkan realisasi Belanja negara pada periode
yang sama mencapai Rp395.777,5 miliar atau 35,1 persen.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 99
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
98
Tabel 5.5.Realisasi APBN-P 2010 Semester I (dalam miliar Rupiah)
Uraian APBN-P Semester I % thd
A. Pendapatan Negara dan Hibah 992.398,8 443.682,5 44,7
I. Penerimaan Dalam Negeri 990.502,3 443.469,4 44,8
1. Penerimaan Perpajakan 743.325,9 337.576,2 45,4
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 247.176,4 105.893,2 42,8
II. Hibah 1.896,5 213,0 11,2
B. Belanja Negara 1.126.146,4 395.777,6 35,1
I. Belanja Pemerintah Pusat 781.533,5 234.188,0 30,0
II. Transfer ke Daerah 344.612,9 161.589,5 46,9
C. Surplus/Defisit Anggaran (133.747,6) 47.904,9 (35,8)
D. Pembiayaan 133.747,7 54.668,2 40,9
I. Pembiayaan Dalam Negeri 133.903,2 65.131,1 48,6
II. Pembiayaan Luar Negeri (155,5) (10.462,9) 6.728,6
Sumber: Direktorat Jenderal Anggaran.
5.1.3. Penyusunan APBN Perubahan 2010
APBN Perubahan (APBN-P) tahun 2010 diajukan oleh Pemerintah lebih awal dari yang biasanya
disampaikan setelah Laporan semester I pelaksanaan APBN. Pengajuan APBN-P lebih awal dilakukan
untuk:
(1) menampung perkembangan perekonomian nasional terkini, khususnya besaran ekonomi
makro yang mengalami perubahan cukup signifikan; dan
(2) mengakomodasi tambahan belanja prioritas yang belum terakomodasi dalam UU APBN 2010.
Hal ini dilakukan sesuai dengan pasal 27 UU No. 47 Tahun 2009 tentang APBN 2010. Setelah
dilakukan pembahasan yang cukup intensif, dalam sidang paripurna DPR tanggal 3 Mei 2010, RUU
APBN-P disetujui untuk disahkan menjadi UU. Selanjutnya, APBN-P 2010 ditetapkan dengan UU
No.2 Tahun 2010 tanggal 25 Mei 2010 tentang Perubahan atas UU No. 47 tahun 2009 tentang APBN
2010.
Agar menjadi lebih realistis, telah dilakukan penyesuaian asumsi dasar ekonomi makro sebagai
berikut:
(1) pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8 persen;
(2) tingkat inflasi sebesar 5,3 persen;
(3) rata-rata suku bunga SBI-3 bulan sebesar 6,5 persen;
(4) nilai tukar sebesar Rp9.200 per USD1;
(5) harga minyak mentah Indonesia rata-rata sebesar US$80,0 per barel; dan
(6) lifting minyak sebesar 0,965 juta barel per hari.
Tabel 5.6.Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2010
Uraian APBN APBN-P
Produk Domestik Bruto (miliar Rp) 5.981.373,1 6.253.789,5
Pertumbuhan ekonomi (%) 5,5 5,8
Inflasi (%) y-o-y 5,0 5,3
Tingkat bunga SBI 3 bulan (%) 6,5 6,5
Nilai tukar (Rp/US$ 1) 10.000 9.200
Harga minyak (US$/barel) 65 80
Lifting minyak (ribu barel/hari) 965 965
Sumber: Badan Kebijakan Fiskal.
Pendapatan negara dan hibah dalam APBN-P 2010 ditetapkan sebesar Rp992.398,8 miliar atau 15,9
persen terhadap PDB. Berarti terjadi kenaikan 4,5 persen jika dibandingkan dengan APBN 2010
sebesar Rp949.656,1 miliar. Pendapatan negara dan hibah tersebut terdiri atas penerimaan dalam
negeri sebesar Rp990.502,3 miliar dan hibah sebesar Rp1.896,5 miliar.
Tabel 5.7.Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2010 (dalam miliar Rupiah)
Uraian APBN APBN-P % thd APBN
Pendapatan Negara dan Hibah 949.656,1 992.398,7 104,5
A. Penerimaan Dalam Negeri 948.149,3 990.502,2 104,5
1. Penerimaan Perpajakan 742.738,0 743.325,8 100,1
i. Pajak Penghasilan 350.958,0 362.219,0 103,2
ii. Pajak Pertambahan Nilai 269.537,0 262.963,0 97,6
iii. Pajak Bumi dan Bangunan 26.506,4 25.319,1 95,5
iv. BPHTB 7.392,9 7.155,5 96,8
v. Cukai 57.289,2 59.265,9 103,5
vi. Pajak Lainnya 3.851,0 3.841,9 99,8
vii. Bea Masuk 19.569,9 17.106,8 87,4
viii. Bea Keluar 7.633,6 5.454,6 71,5
2. PNBP 205.411,3 247.176,4 120,3
i. PNBP SDA 132.030,2 164.726,7 124,8
ii. Bagian Laba BUMN 24.000,0 29.500,0 122,9
iii. PNBP Lainnya 39.894,2 43.462,8 108,9
iv. Pendapatan BLU 9.486,9 9.486,9 100,0
B. Hibah 1.506,8 1.896,5 125,9 Sumber: Direktorat Jenderal Anggaran.
Anggaran belanja dalam APBN-P 2010 ditetapkan sebesar Rp1.126.146,5 miliar atau 18,0 persen
terhadap PDB dengan mempertimbangkan new initiative programs, kebijakan stabilisasi harga, dan
perubahan asumsi dasar ekonomi makro. Jumlah ini meningkat Rp78.480,5 miliar atau 7,5 persen
dibandingkan dengan dengan pagu dalam APBN 2010 sebesar Rp1.047.666,0 miliar. Sekitar 69,4
persen dari APBN-P 2010 dialokasikan untuk belanja Pemerintah pusat dan 30,6 persen untuk
transfer ke daerah.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 101
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
100
Perubahan pendapatan negara dan hibah serta belanja negara mengakibatkan terjadinya
perubahan defisit anggaran, yaitu dari Rp98.009,9 miliar atau 1,6 persen terhadap PDB pada APBN
2010 menjadi Rp133.747,7 miliar atau 2,1 persen terhadap PDB pada APBN-P 2010.
Tabel 5.8.Belanja Negara Tahun 2010 (dalam miliar Rupiah)
Uraian APBN APBN-P % thd APBN
I. Belanja Pemerintah Pusat 725.242,9 781.533,5 107,8
1. Belanja Pegawai 160.364,3 162.659,0 101,4
2. Belanja Barang 107.090,0 112.594,0 105,1
3. Belanja Modal 82.175,5 95.024,6 115,6
4. Pembayaran Bunga Utang 115.594,6 105.650,2 91,4
5. Subsidi 157.820,3 201.263,0 127,5
6. Belanja Hibah 7.192,0 243,2 3,4
7. Bantuan Sosial 64.291,2 71.172,8 110,7
8. Belanja Lainnya 30.715,0 32.926,7 107,2
II. Transfer ke Daerah 322.423,0 344.612,9 106,9
1. Dana Perimbangan 306.023,4 314.363,3 102,7
2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian 16.399,6 30.249,6 184,5
Jumlah 1.047.665,9 1.126.146,4 107,5
Sumber: Direktorat Jenderal Anggaran.
5.2. PENGALOKASIAN ANGGARAN
5.2.1. Penyusunan Pagu
Sesuai dengan siklus penyusunan dan penelaahan anggaran K/L, pada bulan Maret 2010 telah
dilakukan penyusunan Pagu Indikatif 2011. Selanjutnya, pada bulan Juni dan Oktober 2010
dilakukan penyusunan Pagu Sementara dan Pagu Definitif 2011 yang diselingi dengan penyusunan
APBN-P 2010 pada K/L yang mengalami perubahan anggaran. Beberapa kebijakan yang diterbitkan
dalam pengalokasian anggaran negara adalah:
(1) SEB Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas No. 0181/M.PPN/04/2010
dan Menteri Keuangan No. SE-120/MK/2010 tanggal 6 April 2010 tentang Pagu Indikatif dan
Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2011;
(2) SE Menteri Keuangan No. 294/MK.02/2010 tanggal 24 Juni 2010 tentang Pagu Sementara K/L
Tahun Anggaran 2011;
(3) SE Menteri Keuangan No. SE-676/MK.02/2010 tentang Pagu Definitif K/L tahun anggaran 2011; dan
(4) SE Menteri Keuangan No. SE-224/MK.02 Tahun 2010 tentang Perubahan Anggaran Belanja K/L
dalam APBN-P Tahun 2010.
5.2.2. Himpunan RKA-KL Tahun 2011
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-KL) merupakan salah satu dokumen
yang disusun dalam rangka pengelolaan keuangan negara. Anggaran K/L dilaksanakan dengan
prinsip-prinsip dalam pasal 3 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003. Penyelesaian himpunan RKA-KL tahun
2011 ditandai dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 26 Tahun 2010 tentang Rincian Anggaran
Belanja Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2011.
5.2.3. Revisi Anggaran
Berdasarkan PMK No. 180/PMK.02/2010 tentang Perubahan atas PMK No. 69/PMK.02/2010 tentang
Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2010, revisi anggaran adalah perubahan RAB Pemerintah Pusat
yang telah ditetapkan berdasarkan APBN/APBN-P Tahun Anggaran 2010 dan ditetapkan dalam
Satuan Anggaran Per Satuan Kerja (SAPSK) dan/atau DIPA Tahun Anggaran 2010. Sampai dengan
31 Desember 2010, telah diselesaikan usulan revisi anggaran sebanyak 1.082 revisi yang diajukan
oleh K/L secara tepat waktu.
5.2.4. Penyelesaian SBK
Standar Biaya Khusus (SBK) merupakan besaran biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan
sebuah keluaran kegiatan yang merupakan akumulasi biaya komponen masukan kegiatan, yang
ditetapkan sebagai biaya keluaran kegiatan. Pada tahun 2010, DJA telah menyelesaikan 2.874 SBK
secara tepat waktu.
5.2.5. Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan dan Realisasi Anggaran K/L
Monitoring dan evaluasi dilaksanakan dalam dua tahap. Pada tahap I dilaksanakan monitoring
dan evaluasi penganggaran K/L sampai dengan Triwulan I 2010, dengan tujuan mengukur akurasi
data pagu dan realisasi anggaran Satker K/L terhadap database SAPSK, serta mengidentifikasi
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan anggaran. Pada tahap II, fokus
kegiatan selain mengukur akurasi data pagu dan realisasi anggaran (sampai dengan Triwulan II
2010), juga memonitor pemahaman K/L dan pelaksanaan norma-norma penganggaran yang telah
dikeluarkan oleh DJA, berupa PMK mengenai Juknis Penyusunan RKA-KL, Juknis Revisi dan Standar
Biaya Umum. Untuk mencapai tujuan tersebut, jumlah Satker responden telah diperbanyak, di
samping penyempurnaan kuesioner. Hasil monitoring dan evaluasi dijadikan sebagai rekomendasi
dan masukan bagi DJA dalam membuat dan menyusun kebijakan baru di masa yang akan datang.
5.2.6. Bagian Anggaran BUN Belanja Subsidi dan Belanja Lain-lain
Pada tahun 2010 telah diterbitkan 11 PMK tentang tata cara penyediaan dan pencairan BA BUN
serta 1 PMK tentang realokasi BA BUN. Total pagu Belanja Subsidi dan Belanja Lain-lain (BSBL) adalah
sebesar Rp332.492,82 miliar. Dari jumlah tersebut, anggaran yang dialokasikan kepada K/L selama
tahun 2010 sebesar Rp303.601,20 miliar atau 91 persen dari pagu anggaran atau lebih rendah dari
target yang ditetapkan sebesar 99 persen dari pagu anggaran BSBL.
Penyelesaian dokumen SP RKA-KL khusus BA BUN (selain BA 999.05) pada tahun 2010 adalah
sebanyak 256 SP RKA-KL secara tepat waktu. Di samping itu, telah diselesaikan pula 22 revisi
anggaran BA BUN khusus BSBL.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 103
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
102
5.2.7. Usul Persetujuan Kontrak Tahun Jamak
Pada tahun 2010, telah diselesaikan 2 usulan kontrak tahun jamak, yaitu dari Kejaksaan Agung dan
Kementerian Hukum dan HAM secara tepat waktu.
5.3. REFORMASI PENGANGGARAN
5.3.1. Pemantapan Reformasi Penganggaran
Reformasi penganggaran yang dilaksanakan sejak tahun 2005 merupakan amanat UU No. 17 Tahun
2003. Tujuannya adalah memperbaiki proses penganggaran di sektor publik. Perbaikan tersebut
mengharuskan Pemerintah untuk fokus kepada pencapaian kinerja sesuai perencanaan anggaran
yang efisien, efektif, dan dapat dipertanggungjawabkan. Perbaikan terhadap proses penganggaran
dilaksanakan dalam tiga fase, yaitu:
(1) Fase 1: Pengenalan, yang dilaksanakan dalam kurun waktu 2005-2009;
(2) Fase 2: Pemantapan, yang dilaksanakan dalam kurun waktu 2010-2014; dan
(3) Fase 3: Penyempurnaan, yang dijadwalkan mulai tahun 2015.
Fase 1 difokuskan pada penerapan penerapan Penganggaran Terpadu atau unified budget melalui:
i. integrasi sistem anggaran rutin dan anggaran pembangunan;
ii. penyatuan dokumen anggaran dari semula berupa DIK, DIP, dan SKO menjadi DIPA;
iii. penerapan klasifikasi anggaran menurut fungsi, organisasi, dan jenis belanja; serta
iv. penegasan Satker sebagai unit pelaksana dan penanggung jawab kegiatan.
Fase 2 difokuskan pada penajaman penerapan pendekatan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK)
atau performance based budgeting dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) atau
medium term expenditure framework. Adapun Fase 3 difokuskan pada penyempurnaan penerapan
pendekatan penganggaran, sehingga harmonis dan dapat dilaksanakan.
Tahun 2010 merupakan awal dari fase kedua, di mana fokus penerapan ditekankan pada
pemantapan penerapan reformasi penganggaran. Beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan
pada tahun 2010 yang sejalan dengan arah pengembangan sistem penganggaran antara lain:
(1) restrukturisasi program dan kegiatan untuk seluruh K/L, termasuk rumusan outcome, output,
dan indikator kinerja dengan pendekatan struktur organisasi dan fungsi masing-masing unit
organisasi secara spesifik;
(2) penetapan pagu APBN dan pagu K/L dalam jangka menengah;
(3) penerapan reward and punishment system, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan
stimulus fiskal pada tahun 2009;
(4) pengembangan teknologi informasi dalam pengelolaan keuangan melalui proyek SPAN (Sistem
Perbendaharaan dan Anggaran Negara);
(5) penyempurnaan format RKA-KL dengan mengintegrasikan informasi kinerja, di samping
informasi keuangan yang diterapkan mulai tahun anggaran 2011.
Pengembangan sistem penganggaran yang telah dilaksanakan pada tahun 2010 adalah:
(1) pemantapan penerapan PBK dan KPJM;
(2) percepatan penerapan PBK dan KPJM; serta
(3) monitoring dan evaluasi kinerja K/L.
Ruang lingkup pemantapan penerapan PBK dan KPJM meliputi penyusunan petunjuk penyusunan
RKA-K/L dan Tata Cara Revisi Anggaran. Ruang lingkup percepatan penerapan PBK dan KPJM
difokuskan pada ‘transfer knowledge’ para pemangku kepentingan sistem penganggaran dan
perluasan cakrawala berpikir para pengambil kebijakan pengembangan sistem penganggaran.
Sedangkan fokus monitoring dan evaluasi diarahkan pada penyiapan perangkat (peraturan dan
SOP) dalam mendukung penerapan PBK dan KPJM sebagai sutau rangkaian sistem penganggaran,
seperti penyusunan pedoman evaluasi atau mekanisme reward dan punishment.
5.3.2. Percepatan Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja
Untuk mempercepat penerapan PBK telah dilakukan:
(1) perumusan output dan sosialisasinya;
(2) workshop KPJM pada seluruh K/L; serta
(3) monitoring dan evaluasi kinerja K/L.
5.3.3. Standar Biaya Tahun Anggaran 2010
Sesuai dengan pasal 5 ayat (3) PP No. 90 Tahun 2010, penyusunan RKA-KL dilakukan dengan
menggunakan indikator kinerja, standar biaya, dan evaluasi kinerja. Indikator kinerja merupakan
alat ukur untuk menilai capaian kegiatan Satker dalam satu tahun anggaran. Penilaian atas
pelaksanaan kegiatan dilakukan melalui evaluasi kinerja yang didukung oleh standar biaya
yang ditetapkan pada permulaan siklus tahunan penyusunan anggaran sebagai dasar untuk
menentukan anggaran untuk tahun yang direncanakan.
Berdasarkan PMK No. 100/PMK.02/2010 tentang Standar Biaya Tahun Anggaran 2011, Standar Biaya
dibedakan menjadi Standar Biaya Umum (SBU) dan Standar Biaya Khusus (SBK). SBU adalah satuan
biaya berupa harga satuan, tarif, dan indeks yang digunakan untuk menyusun biaya komponen
masukan kegiatan, yang ditetapkan sebagai biaya masukan. Sementara yang dimaksud dengan
SBK adalah besaran biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah keluaran kegiatan yang
merupakan akumulasi biaya komponen masukan kegiatan, yang ditetapkan sebagai biaya keluaran.
Pada bulan Juni 2010 juga telah ditetapkan PMK No. 141/PMK.02/2010 tentang Perubahan atas PMK
No. 123/PMK.02/2010 tentang Standar Biaya Khusus Tahun Anggaran 2011.
5.3.4. Kebijakan Penganggaran
a. Angka Dasar Tunjangan Luar Negeri
Penghasilan take home staff di luar negeri telah ditetapkan melalui Surat Menteri Keuangan No.
S-705/MK.02/2010 tanggal 29 Desember 2010 tentang Persetujuan Angka Dasar Tunjangan
Luar Negeri Baru Bagi Perwakilan RI. Surat ini menggantikan Surat Menteri Keuangan No. S-422/
MK.02/2006 tanggal 27 September 2006 mengenai Angka Dasar Tunjangan Luar Negeri.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 105
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
104
b. Proyeksi Anggaran Belanja Pegawai Yang Akurat
Proyeksi belanja pegawai yang akurat mengarah kepada belanja pegawai yang tertutup. Beberapa
permasalahan utama ang dijumpai dalam penentuan pagu belanja pegawai yang tertutup adalah:
(1) pengelolaan database belanja pegawai, termasuk sumber, validitas, koordinasi dengan instansi
terkait, dan penyusunan SOP database;
(2) pengembangan infrastruktur pengelolaan database; serta
(3) reformulasi peran DJA sebagai pemelihara data atau pengambil data.
c. Penyusunan Pola Pembiayaan Program Pensiun dan THT PNS
(1) Penyelesaian Unfunded Past Service Liability (UPSL)
Dalam rangka penyelesaian UPSL 2007-2010 telah dilakukan penilaian kewajaran nilai UPSL
oleh akturaris independen. Perhitungan tersebut menggunakan data, asumsi, dan metodologi
yang telah disepakati oleh Kementerian Keuangan dan PT. Taspen (Persero). Saat ini telah
disusun Rancangan PMK tentang Tata Cara Pengakuan, Perhitungan, Penyediaan, Pencairan
dan Pertanggungjawaban Past Service Liability Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil
Pada PT. Taspen (Persero). PMK tersebut akan menjadi dasar hukum penyelesaian UPSL.
(2) Perubahan Formula Manfaat Program THT PNS
Unfunded PSL timbul karena Program THT PNS menggunakan formula manfaat pasti. Untuk itu,
telah disusun formula baru yang merupakan gabungan antara manfaat pasti dan iuran pasti.
Dengan formula baru diharapkan Program THT PNS tidak lagi menimbulkan unfunded PSL.
Selain itu, berdasarkan exercise yang telah dilakukan, manfaat THT yang diterima PNS tidak
mengalami penurunan, tetapi bahkan mengalami kenaikan.
Formula tersebut dituangkan dalam RPMK Formula Manfaat THT PNS sebagai pengganti KMK
No. 478/KMK.06/2002 yang telah diubah dengan KMK No. 500/KMK.06/2004.
d. Penyelenggaraan Program Pensiun PNS Eks Dephub pada PT KAI
Untuk memenuhi pasal 11 PP No. 64 Tahun 2007 tentang Penyesuaian Pensiun Eks PNS Dephub
pada PT. Kereta Api (Persero), Menteri Keuangan telah menyampaikan surat kepada Menteri
BUMN untuk meminta pendapat tentang proporsi pendanaan bersama. Merespons surat
tersebut, Menteri BUMN menyampaikan bahwa porsi pendanaan bersama atas kekurangan
pembayaran manfaat untuk tahun anggaran 2010 diharapkan sama dengan tahun 2009, yakni
porsi APBN sebesar 68 persen dan PT. Kereta Api (Persero) sebesar 32 persen.
Setelah melalui pembahasan yang melibatkan Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN,
PT. Taspen (Persero), dan PT. KAI (Persero), serta mengingat pendapat dari Kementerian BUMN,
dapat ditetapkan besaran kontribusi APBN dalam pendanaan bersama. Kontribusi APBN dalam
Pendanaan Bersama Tahun Anggaran 2011 adalah sebesar 68 persen atau senilai Rp226,57
miliar sedangkan kontribusi PT. Kereta Api (Persero) sebesar 32 persen atau senilai Rp106,62
miliar.
e. Penyempurnaan Sistem Penganggaran Belanja Barang dan Modal Tahun 2010
Kebijakan belanja barang dan belanja modal selama ini masih belum ideal, karena masih bersifat
insidentil dan belum mempertimbangkan kesinambungan anggaran untuk jangka panjang.
Berbagai pengeluaran negara belum melalui penilaian yang tepat, sehingga berpotensi
menimbulkan inefisiensi. Hal ini dikarenakan dukungan data dan informasi yang belum lengkap
dan akurat. Di samping itu, sistem dan persyaratan lainnya yang diperlukan oleh DJA belum
tersedia secara lengkap.
Tabel 5.9.Daftar Pagu dan Realisasi Belanja Barang (dalam Rupiah)
Tahun Pagu Realisasi Persentase
2007 71,410,085,673,000 54,105,790,686,608 76
2008 56,070,618,413,951 68,024,845,049,000 82
2009 95,423,354,378,000 81,804,856,230,229 86
Sumber: Direktorat Jenderal Anggaran.
Realisasi belanja barang 3 tahun terakhir belum bisa mencapai 100 persen dan bahkan kurang dari
90 persen. Hal ini mengindikasikan perencanaan yang belum baik, sistem penganggaran belanja
barang yang belum memadai, atau kesulitan dalam pelaksanaan anggaran belanja barang tersebut.
f. Evaluasi dan Harmonisasi Kebijakan Bidang Penganggaran
Kegiatan yang dilakukan dalam melaksanakan evaluasi dan harmonisasi penganggaran meliputi:
(1) penetapan Bagian Anggaran terkait peran dan fungsi Pengguna Anggaran/ Kuasa Penggunan
Anggaran;
(2) penyusunan RPP perubahan atas PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan RKA-KL;
(3) evaluasi penyusunan pagu Belanja Pegawai Tahun Anggaran 2011;
(4) PMK No. 56/PMK.02/2010 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak
(Multiyears Contract) dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
(5) kajian peluang investasi Barang Milik Negara (BMN) Kementerian Luar Negeri di luar negeri;
serta
(6) kebijakan pengenaan pajak penghasilan pasal 21 untuk Pejabat Negara/PNS/TNI/POLRI/Pejabat
pada lembaga non struktural (LNS).
Beberapa kegiatan masih perlu ditindaklanjuti dan dikoordinasikan dengan stakeholder dan
instansi terkait, seperti penetapan BA, pagu belanja pegawai tahun anggaran 2011, revisi PMK No.
56/PMK.02/2010, pembahasan kajian peluang investasi BMN di luar negeri, dan pengenaan PPh 21
untuk Pejabat Negara/PNS/TNI/POLRI/Pejabat pada LNS.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 107
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
106
5.4. REALISASI BELANJA KEMENTERIAN/LEMBAGA
Realisasi belanja K/L pada tahun 2010 mencapai 89,71 persen atau Rp332,9 triliun dari pagu
APBN-P tahun 2010 sebesar Rp371,1 triliun. Pola penyerapan anggaran K/L selama tahun 2010,
sebagaimana juga terjadi pada tahun-tahun anggaran sebelumnya, meningkat drastis di bulan
Desember mencapai 150 persen apabila dibandingkan bulan-bulan lainnya.
Gambar 5.2.Tren Penyerapan Anggaran Tahun 2010
Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Penyerapan anggaran yang meningkat drastis di bulan Desember dapat memicu terjadinya inflasi
dan menghambat pemerataan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, penyerapan anggaran secara
proporsional sepanjang tahun akan memberikan stimulus bagi pertumbuhan, stabilitas, dan
pemerataan ekonomi. Untuk itu penyerapan anggaran harus direncanakan, dimonitor, dievaluasi,
dan dilakukan koreksi manakala penyerapan tidak sesuai dengan rencana.
Gambar 5.3.Penyerapan Anggaran Kementerian/Lembaga Berdasarkan Bidang Tahun 2010
Ja Fe Ma Ap Ju Ju Ag Se Ok No De
35.000.000.000.000
30.000.000.000.000
25.000.000.000.000
20.000.000.000.000
15.000.000.000.000
10.000.000.000.000
5.000.000.000.000
0
Kementerian lembaga di bidang kesejahteraan rakyat Kementeraian lembaga di bidang politik hukum dan keamanan Kementerian lembaga di bidang perekonomian
Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Permasalahan rendahnya daya serap pada periode awal tahun anggaran dan menumpuknya
tagihan pada akhir tahun anggaran merupakan fenomena yang telah lama terjadi. Bahkan enam
tahun setelah diterapkan paket UU Keuangan Negara, masalah tersebut tetap terjadi. Oleh karena
itu, diperlukan langkah bersama, baik di lingkungan Kementerian Keuangan selaku Pengelola
Fiskal dan BUN, maupun K/L selaku Pengguna Anggaran untuk menemukan penyelesaian atas
masalah tidak proporsionalnya penyerapan anggaran.
Gambar 5.4.Tren Penyerapan Anggaran 5 Kementerian/Lembaga
Dengan Anggaran Terbesar Tahun 2010
Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Berdasarkan hasil survei pada 15.092 Satker di seluruh provinsi yang dilakukan oleh Direktorat
Pelaksanaan Anggaran, Ditjen Perbendaharaan, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang
menyebabkan rendahnya penyerapan anggaran pada awal tahun anggaran.
(1) Terdapat DIPA yang masih perlu direvisi (26,99 persen) yang disebabkan adanya jenis belanja
yang tidak sesuai, perubahan volume kegiatan, alokasi anggaran yang dibintang/diblokir, dan
waktu penyelesaian revisi DIPA yang terlalu lama.
(2) Persiapan pelaksanaan kegiatan yang belum matang (15,96 persen) yang disebabkan oleh
keterlambatan penunjukan pejabat perbendaharaan (KPA, PPK, PP-SPM dan Bendahara).
(3) Proses pengadaan barang dan jasa yang terlambat (24,65 persen) yang disebabkan oleh
terlambatnya penunjukan Panitia Pengadaan, kurangnya sertifikasi panitia pengadaan, proses
pengadaan yang bermasalah, dan permasalahan pengadaan tanah.
(4) Kendala teknis di lapangan (30,21 persen) yang disebabkan oleh dukungan peralatan kurang
memadai, kondisi lapangan tidak memungkinkan, adanya pihak ketiga yang tidak segera
mengajukan tagihan, dan sebab-sebab lain, sehingga kegiatan tidak dapat dilaksanakan.
(5) Terjadinya bencana alam dan masalah sosial (2,19 persen).
Usaha-usaha yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan selaku Chief Financial Officer (CFO) untuk
meningkatkan penyerapan anggaran adalah berikut ini:
(1) Merumuskan pola ideal penyerapan belanja negara. Pola ideal belanja negara diketahui dari
rencana kerja dan rencana penarikan dana Satker yang terdapat pada Halaman III DIPA. Dari
rencana penarikan dana pada DIPA, BUN dapat menyusun rencana penyediaan dana dan
proyeksi penyerapan anggaran. K/L diharuskan konsisten melaksanakan kegiatan dan penarikan
dana sesuai rencana.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 109
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
108
(2) Untuk memastikan bahwa seluruh alokasi anggaran diserap dalam pelaksanaan kegiatan, maka
telah dirumuskan mekanisme revisi dokumen anggaran yang lebih fleksibel tanpa mengurangi
good governance.
(3) Merumuskan sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan anggaran yang dapat
menginformasikan pencapaian kinerja dari setiap realisasi belanja. Dengan sistem tersebut,
BUN dapat menyajikan informasi penyerapan anggaran sekaligus pencapaian kinerja dari
Satker.
(4) Melakukan penyempurnaan sistem dan prosedur pembayaran dan pencairan dana yang dapat
memastikan proses penggunaan anggaran berjalan secara efektif, efisien, dan akuntabel.
Penerapan SOP KPPN Percontohan, Layanan Unggulan Kanwil Ditjen Perbendaharaan, dan
pengaturan batas waktu penyelesaian tagihan pada Satker merupakan contoh penerapan
langkah tersebut.
Sedangkan selaku Chief Operational Officer (COO) dan Pengguna Anggaran, langkah-langkah yang
diperlukan untuk mempercepat penyerapan anggaran, adalah berikut ini.
(1) Pada saat penyusunan DIPA, Pengguna Anggaran harus:
i. menyusun jadwal pelaksanaan kegiatan dan pencairan dana;
ii. penetapan pejabat perbendaharaan; serta
iii. memulai proses pengadaan barang dan jasa.
(2) Menerapkan disiplin penggunaan anggaran dengan selalu berpedoman pada rencana kegiatan
dan penarikan dana. Dalam hal terjadi penyesuaian, segera dilakukan updating dan review
terhadap pencapaian kinerja.
(3) Menjamin keterkaitan penggunaan anggaran dengan pencapaian kinerja. Setiap proses
penyelesaian tagihan dan pembayaran harus terkait dengan target kinerja yang telah ditetapkan.
(4) Melaksanakan sistem monitoring dan pengendalian internal yang konsisten, sehingga dapat
memastikan proses penggunaan anggaran dilakukan sesuai rencana. Dalam anggaran yang
berorientasi kinerja, setiap keterlambatan realisasi akan mengakibatkan penundaan pencapaian
kinerja.
(5) Langkah-langkah yang ditempuh oleh Kementerian Keuangan dan K/L harus dilakukan secara
sinergis. Perlu diyakini bahwa pelaksanaan anggaran bukan hanya mencairkan anggaran, tetapi
dilakukan dengan memperhatikan ketepatan waktu dan tercapainya sasaran kinerja yang telah
ditetapkan.
Ditjen Perbendaharaan selaku Kuasa BUN bertugas untuk mendorong percepatan realisasi
penyerapan anggaran pada K/L dalam mencapai sasaran program dan kegiatan. Untuk
meningkatkan penyerapan anggaran K/L, telah diterbitkan PMK No. 170/PMK.05/2010 tentang
Percepatan Penyelesaian Tagihan pada Satuan Kerja. PMK ini mengatur mengenai kepastian waktu
penyelesaian tagihan di Satker, sejak hak tagih muncul, permintaan pembayaran oleh Satker, hingga
perintah pembayaran. Dalam PMK ini diatur pula kepatuhan terhadap norma waktu penyelesaian
tagihan yang menjadi bagian dari Sistem Pengendalian Internal di Satker K/L.
Usaha lain yang telah dilakukan adalah monitoring dan evaluasi, karena rendahnya penyerapan
anggaran mengindikasikan adanya permasalahan dari sisi teknis maupun regulasi. Melalui
monitoring dan evaluasi dapat diketahui permasalahannya dan sekaligus memberikan rekomendasi
untuk mengatasi setiap hambatan yang dihadapi. Monitoring dan evaluasi diwujudkan melalui
penyusunan Petunjuk Teknis Monitoring dan Evaluasi Penyerapan Anggaran dalam rangka proses
penyerapan anggaran lebih tertib melalui Keputusan Dirjen Perbendaharaan Nomor KEP-199/
PB/2010.
Monitoring adalah proses pengumpulan dan analisis data dan informasi berdasarkan indikator
yang ditetapkan dan dilakukan secara sistematis dan kontinyu terhadap suatu kegiatan untuk
memastikan berjalannya sesuai dengan rencana. Hasil monitoring adalah serangkaian data yang
akan digunakan sebagai bahan evaluasi, sehingga dapat dilakukan koreksi dan penyempurnaan.
Monitoring penyerapan anggaran meliputi pengumpulan, pengelompokan, pengolahan data pagu
dan realisasi anggaran serta permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan penyerapan
anggaran pada K/L. Sumber data menggunakan data dari database pada Kantor Pusat Ditjen
Perbendaharaan.
Evaluasi adalah proses untuk mengukur dan menilai secara obyektif dan valid manfaat pelayanan
yang diberikan secara efektif dan efisien. Evaluasi penyerapan anggaran ditujukan untuk
memperoleh:
(1) rumusan/kesimpulan tentang penyebab rendahnya penyerapan anggaran dan cara
penyelesaiannya. Identifikasi permasalahan dibagi menjadi beberapa kategori, sub kategori,
dan rincian masalah; serta
(2) rekomendasi/tindakan/kebijakan untuk internal Ditjen Perbendaharaan dan Satker/KPA, melalui
desiminasi/sosialisasi, rapat kerja, bimbingan teknis dan konsultasi maupun kegiatan lain.
Pelaksanaan evaluasi penyerapan anggaran dilaksanakan menggunakan pendekatan evaluasi
formatif, yaitu penilaian terhadap realisasi penyerapan anggaran selama proses kegiatan
dilaksanakan. Evaluasi normatif dilaksanakan secara berkala (per bulan, triwulan, dan semester).
Sedangkan di akhir tahun, dilaksanakan dengan evaluasi sumatif, yaitu penilaian realisasi
penyerapan anggaran selama satu tahun anggaran.
Dalam rangka mewujudkan disiplin dalam penyerapan anggaran telah dilakukan monitoring dan
evaluasi penyerapan anggaran Satker dengan tujuan:
(1) mengetahui tingkat penyerapan anggaran pada tahun berjalan dan membandingkannya
dengan periode sebelumnya;
(2) mengetahui keterkaitan di antara permasalahan dengan rendahnya penyerapan anggaran
yang disajikan dalam bentuk data sebagai bahan evaluasi; serta
(3) mengidentifikasi hal-hal yang mempengaruhi rendahnya penyerapan anggaran.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 111
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
110
Indentifikasi terhadap faktor-faktor yang paling mempengaruhi rendahnya penyerapan anggaran
mempermudah penentuan langkah-langkah yang perlu dilakukan. Langkah-langkah yang
dilakukan disesuaikan dengan kewenangan penanganannya oleh KPPN, Kanwil, dan Kantor Pusat
Ditjen Perbendaharaan. Sedangkan permasalahan yang tidak dapat langsung ditangani akan
disampaikan kepada instansi yang berwenang untuk penyelesaiannya.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain:
(1) memberikan rekomendasi kepada Satker, K/L, dan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam upaya percepatan penyerapan anggaran;
(2) melaksanakan sosialisasi dan bimbingan teknis bagi pelaku kegiatan; (3) melakukan koordinasi dengan Pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam rangka percepatan
penyerapan anggaran; serta
(4) konsultasi secara berjenjang, dari tingkat kabupaten/kota ke tingkat provinsi, dan selanjutnya
provinsi ke tingkat pusat.
Laporan monitoring dan evaluasi penyerapan anggaran disusun setiap akhir bulan secara
berjenjang. Tim Monitoring KPPN menyampaikan laporan kepada Tim monitoring Kantor Wilayah
dan diteruskan kepada Tim Monitoring Kantor Pusat.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pada tahun 2010 dilaksanakan di tiga Kanwil Ditjen
Perbendaharaan (Banten, Jakarta dan Jawa Barat) dengan sampel 940 Satker. Hasil yang diperoleh
memperlihatkan bahwa terdapat 5 permasalahan besar. Permasalahan Penganggaran dan
Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DIPA dan POK) menempati posisi tertinggi (87 persen dari
sampel) yang dihadapi Satker dalam menyerap anggaran.
Tabel 5.10.Permasalahan Utama Penyerapan Anggaran K/L tahun 2010
Kode Uraian Kategori Jumlah %
1 Penganggaran & Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DIPA dan POK)
815 87
2 Peraturan, Petunjuk Pelaksanaan dan Panitia Pengadaan
736 78
3 Pelaksanaan Kegiatan 702 75
4 Persiapan Pelaksanaan Kegiatan 582 62
5 Bencana Alam dan Masalah sosial 84 9
Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Berdasarkan perkembangan pelaksanaan anggaran dapat dipetakan sejumlah aspek yang
difokuskan untuk mewujudkan disiplin anggaran, yaitu:
(1) memantau perkembangan realisasi penyerapan melalui mekanisme monitoring dan evaluasi;(2) mengidentifikasi hal-hal yang mempengaruhi rendahnya penyerapan awal tahun dan
penumpukan tagihan di akhir tahun;(3) melakukan langkah-langkah percepatan pelaksanaan kegiatan dan penyerapan anggaran;
serta
(4) meningkatkan akurasi rencana kegiatan yang dikaitkan dengan rencana penarikan dana.
Manfaat yang diharapkan dari monitoring dan evaluasi penyerapan anggaran adalah:
(1) sebagai bahan masukan dalam penyusunan laporan realisasi pelaksanaan anggaran;
(2) sebagai bahan dalam penyusunan kebijakan percepatan penyerapan anggaran.
(3) sebagai bahan penyusunan regulasi di bidang pelaksanaan anggaran bagi Kementerian
Keuangan selaku BUN dan K/L selaku Pengguna Anggaran;
(4) sebagai dasar untuk melaksanakan pembinaan kepada Satker, sehingga diperoleh pemahaman
yang sama atas regulasi dan kebijakan terkait pelaksanaan anggaran; serta
(5) sebagai pendorong disiplin dalam pelaksanaan anggaran.
Gambar 5.5.Skema Monitoring Penyerapan APBN
MONITOrING DAN EVALUASI PENYERAPAN APBN
PA KANWIL KPPN (Kab/Kota) SATKER K/L
Database1. Pagu dan
Realisasi Nasional
2. Kuisioner
Pagu dan Realisasi K/L per-Propinsi
Pagu dan Realisasi Satker per Wilayah
Kerja
Pagu dan Realisasi K/L
Analisis satker realisasi rendah
Analisis realisasi nasional
Analisis penyebab rendahnya realisasi
Analisis penyebab rendahnya realisasi
Analisis Satker realisasi rendah
Bimbingan Teknis Bimbingan Teknis
Kebijakan Pelaksanaan
Anggaran Sosialisasi Teknis
Isi Kuesioner
1a 1b 1c
2 4
5
10
7a8
9
63
117b
11
12.a
Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Evaluasi terhadap penyebab rendahnya penyerapan anggaran dilakukan melalui tahap
pengumpulan/pengelompokan data lapangan, analisis data, dan perumusan/kesimpulan. Evaluasi
dilakukan oleh:
(1) KPPN untuk Satker di Kabupaten/Kota sesuai wilayah kerjanya;
(2) Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan untuk provinsi wilayah kerjanya dan Satker yang
pembayarannya dilakukan di KPPN Provinsi;
(3) Tim Monitoring Kantor Pusat untuk tingkat nasional berdasarkan data kuisioner dan laporan dari
Kanwil.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 113
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
112
5.5. TINGKAT PENYERAPAN ANGGARAN KEMENTERIAN KEUANGAN TAHUN 2010
Penyerapan anggaran Kementerian Keuangan pada tahun 2010 mencapai Rp12.975,84 miliar
atau 84 persen dari pagu Rp15.401,88 miliar. Pola penyerapan anggaran Kementerian Keuangan
menunjukan pola yang cukup stabil di awal tahun, dengan sedikit meningkat di akhir semester
pertama, dan kembali menurun hingga stabil sampai dengan bulan November. Penyerapan
anggaran mengalami peningkatan tajam di akhir tahun anggaran. Kenaikan tertinggi terjadi pada
bulan Desember yang mencapai hingga 100 persen dibandingkan dengan rata-rata penyerapan di
bulan lainnya. Tabel 5.11.
Pola Penyerapan Anggaran Kementerian Keuangan Tahun 2010
Pagu Total Rp 15,401,878,733,000.00
Januari 914,241,423,722.00
Februari 668,729,661,155.00
Maret 773,656,518,628.00
April 865,193,368,050.00
Mei 859,726,546,244.00
Juni 1,008,827,347,245.00
Juli 1,290,540,160,118.00
Agustus 1,138,893,621,880.00
September 922,114,318,997.00
Oktober 1,007,759,130,358.00
November 1,134,497,351,258.00
Desember 2,391,657,867,560.00
Total Realisasi Rp 12,975,837,315,215.00
Sumber: Direktorat Pelaksanaan Anggaran. Ditjen Perbendaharaan.
Gambar 5.6.Pola Penyerapan Anggaran Kementerian Keuangan Tahun 2010
5.6. PENGADAAN BARANG DAN JASA
Pengadaan barang/jasa di lingkungan organisasi Pemerintahan merupakan aktivitas yang sangat
penting. Pembangunan nasional bagi kesejahteraan rakyat dapat dilaksanakan dengan baik
apabila sarana/prasarana Pemerintahan dalam menjalankan negara tercukupi. Pembangunan
sarana transportasi, telekomunikasi, listrik, perumahan rakyat, dan berbagai sarana/prasarana lain
dicukupi melalui kegiatan pengadaan barang/jasa. Dibutuhkan proses pengaturan yang baik agar
kegiatan ini berhasil dijalankan dengan baik.
Besarnya dimensi dan aktivitas sebuah negara membutuhkan proses pengadaan barang dan jasa
yang lebih teratur dan didukung oleh banyak lembaga/organisasi pemasok/penyedia barang dan
jasa. Dalam kenyataannya, pengadaan barang dan jasa di lingkungan organisasi Pemerintahan
menghadapi berbagai kendala dan negara seringkali.
Data Komisi Penanggulangan Kemiskinan (KPK) menunjukkan bahwa dari 59 kasus korupsi yang
ditangani, 33 diantaranya merupakan kasus yang berkenaan dengan pengadaan barang dan jasa
Pemerintah. Berarti lebih dari 55 persen merupakan kasus korupsi dalam pengadaan barang dan
jasa Pemerintah. Sekitar Rp240 triliun dana APBN untuk belanja barang dan modal dilaksanakan
melalui proses pengadaan barang dan jasa Pemerintah. Besarnya potensi penyelewengan pada
sistem pengadaan barang dan jasa nasional diperkirakan mencapai Rp60-100 triliun.
Rendahnya tata kelola Pemerintahan yang baik mendorong dilakukannya berbagai pembenahan
aktivitas pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintahan. Salah satu pembenahan dilakukan
dalam pengadaan barang dan jasa Pemerintah adalah dengan menyelenggarakan pelaksanaan
lelang pengadaan barang dan jasa secara elektronik (e-Procurement). Penerapan e-Procurement
diharapkan dapat menjadi katalisator dalam proses perbaikan tata kelola Pemerintahan. Sifat dan
karakter elektronik yang meminimalisasi tatap muka dalam pengadaan barang dan jasa diharapkan
mampu mengurangi potensi munculnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Terdapat beberapa manfaat berikut ini dari implementasi e-Procurement.
(1) Terjadi efisiensi dalam penggunaan APBN. Penghematan anggaran pada proses pengadaan
barang dan jasa sebesar 23,5 persen, sedangkan pada Harga Penetapan Sendiri (HPS) didapatkan
penghematan rata-rata 20 persen.
(2) Proses pengadaan barang dan jasa lebih cepat dari cara konvensional. Cara konvensional
membutuhkan waktu 36 hari, sedangkan dengan menggunakan e-Procurement bisa dilakukan
dalam jangka waktu 20 hari.
(3) Persaingan yang sehat, karena transparansi terjaga, akuntabilitas terjaga, tidak ada kontak fisik
dengan penyelenggara lelang, fair, dan meningkatkan persaingan usaha yang sehat bagi para
peserta pelelangan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, pelaksanaan e-Procurement di lingkungan Kementerian Keuangan
bukan hanya terkait perbaikan dengan bisnis pengadaan saja, melainkan mendukung tata kelola
Pemerintahan yang baik yang sejalan dengan Reformasi Birokrasi. Agar pelaksanaan dapat berjalan
dengan optimal, maka pelaksanaan e-Procurement telah didukung oleh dasar hukum dan landasan
operasional di lapangan
Selain itu, telah diimplementasikan beberapa aplikasi berikut ini untuk mendukung pelaksanaan
pengadaan barang/jasa secara elektronik.
(1) e-Selection
(2) e-Audit
(3) Aplikasi Buku Tamu, Registrasi Offline, dan Helpdesk
(4) Pemisahan Server Aplikasi dan Database
(5) Utilisasi Data e-Procurement
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 115
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
114
Dana perimbangan merupakan komponen terbesar dalam alokasi transfer ke daerah, sehingga
berperan sangat penting dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi
daerah. Dana ini merupakan transfer dana yang bersumber dari APBN ke daerah, berupa Dana
Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pengalokasian dana
perimbangan bertujuan mengurangi ketimpangan sumber pendanaan di antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah, serta mengurangi kesenjangan pendanaan Pemerintahan antardaerah.
6.1.1. Kebijakan Dana Bagi Hasil Tahun 2010
Perhitungan dan penetapan alokasi DBH kepada daerah diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 dan
PP No. 55 Tahun 2005. Kebijakan yang ditempuh adalah menyempurnakan proses perhitungan,
penetapan alokasi, dan ketepatan waktu penyaluran. Penyempurnaan dilakukan melalui koordinasi
dengan institusi pengelola Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), seperti Kementerian Kehutanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian
Dalam Negeri, dan Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan (Direktorat Jenderal Anggaran,
Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan). Melalui koordinasi diharapkan
tersedia data yang lebih akurat.
6.1.1.1. Penyaluran DBH-SDA Tahun 2010
Realisasi semua jenis DBH-SDA pada tahun 2010 yang mencakup DBH-SDA Migas, Pertambangan
Umum, Kehutanan, Perikanan, maupun Panas Bumi mencapai 97,74 persen dari pagu alokasi
sebesar Rp45.165,72 miliar.
Tabel 6.1.Penyaluran DBH-SDA Tahun 2010
Jenis Dana Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Persen (%)
DBH Migas 35.196.362.157.004 34.305.535.065.522 97,47
DBH Pertamb. Umum 7.790.420.800.000 7.752.229.657.199 99,51
DBH Kehutanan 1.753.104.639.304 1.707.377.243.179 97,39
DBH Perikanan 120.000.000.000 73.172.669.307 60,98
DBH Panas Bumi 305.837.001.838 305.837.001.838 100,00
Total 45.165.724.598.146 44.144.151.637.045 97,74
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
6.1.1.2. Penyaluran DBH Pajak Tahun 2010
Realisasi DBH Pajak yang terdiri DBH PPh, DBH PBB, dan DBH BPHTB mencapai Rp45.763,80 miliar
atau 99,54 persen dari pagu alokasi pada tahun 2010 sebesar Rp45.976,43 miliar. Dari ketiga jenis
dana transfer tersebut, hanya DBH PBB yang realisasinya tidak mencapai 100 persen.
6.1. ARAH DAN STRATEGI KEBIJAKAN TRANSFER KE DAERAH
Arah kebijakan transfer ke daerah ditujukan untuk mendukung program dan kegiatan prioritas
nasional. Upaya tersebut dilakukan dengan menjaga konsistensi dan keberlanjutan desentralisasi
fiskal untuk menunjang penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab.
Pada tahun 2010, arah kebijakan transfer ke daerah secara umum adalah:
(1) mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance) serta
antardaerah (horizontal fiscal imbalance);
(2) meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan
publik antardaerah;
(3) meningkatkan kapasitas daerah dalam menggali potensi ekonomi;
(4) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional;
(5) meningkatkan sinergi perencanaan pembangunan pusat dan daerah;
(6) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas alokasi transfer ke daerah; serta
(7) mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro.
Guna mendukung arah kebijakan tersebut, telah dirumuskan tiga strategi pengelolaan anggaran
transfer ke daerah, yaitu:
(1) penajaman perumusan kebijakan di masing-masing komponen anggaran transfer ke daerah;
(2) perumusan kebijakan untuk mendorong peningkatan kualitas pengelolaan keuangan daerah;
dan
(3) reorganisasi institusi yang sejalan dengan Reformasi Birokrasi.
Kebijakan transfer ke daerah diharapkan dapat menjadi pilar pendukung kesinambungan fiskal
nasional, stimulus pembangunan di daerah, dan instrumen utama desentralisasi fiskal secara
proporsional dan akuntabel.
KEBIJAKAN PENGELOLAAN TRANSFER KE DAERAH DAN KEUANGAN DAERAH
BAB VI
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 117
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
116
Tabel 6.2.Penyaluran DBH Pajak Tahun 2010
Jenis Dana Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Persen (%)
DBH PPh 10.931.465.581.702 10.931.465.581.702 100,00
DBH PBB 27.764.170.840.255 27.147.179.013.193 97,78
DBH BPHTB 7.280.797.076.074 7.685.155.546.080 105,55
Total 45.976.433.498.031 45.763.800.140.975 99,54
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
6.1.2. Kebijakan DAU Tahun 2010
Kebijakan yang menyangkut DAU diarahkan untuk mewujudkan fungsinya sebagai equalization
grant. Kebijakan-kebijakan yang dimaksud adalah:
(1) melakukan pegging (pemancangan) alokasi dasar dengan persentase di bawah 50 persen dari
DAU Nasional agar memberikan porsi alokasi yang lebih besar untuk menutup celah fiskal,
sehingga rata-rata gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) per daerah dihitung di bawah 100
persen;
(2) melakukan pembobotan pada setiap variabel kebutuhan fiskal dengan asumsi bahwa
pemanfaatan dana transfer ke daerah adalah untuk pelayanan kepada penduduk dan
pengelolaan wilayah, sehingga bobot untuk penduduk seimbang dengan bobot untuk wilayah;
serta
(3) menetapkan persentase tertentu dalam menghitung variabel kapasitas fiskal untuk
mendapatkan indek pemerataan yang terbaik yang dicerminkan dari semakin rendahnya
Williamson Index (WI).
Sejak tahun 2007, upaya mempercepat perhitungan DAU per daerah dengan WI yang terbaik telah
dilakukan dengan menggunakan dynamic model. Aplikasi ini merupakan pengembangan dari pola
arbitary atau try and error theory dalam memperlakukan variabel perhitungan DAU. Perilaku dan
pengaruh setiap variabel dalam formula DAU dapat langsung terlihat dan terkontrol, sehingga
memudahkan operator dan pejabat pengambil keputusan untuk mengintegrasikan kebijakan
pemerataan antardaerah berdasarkan WI dan coefficient of variation yang berbasis akademik.
Tabel 6.3.Perkembangan Pembobotan Komponen Formula DAU Tahun 2006-2010
No. KomponenProv
2006 2007 2008 2009 2010
K/K Prov K/K Prov K/K Prov K/K Prov K/K Prov
A. Bobot Kebutuhan Fiskal1. Persentase
Alokasi Dasar Terhadap DAU Nasional 50,0 50,0 44,6 44,6 45,0 45,0 45,0 45,0 48,0 45,25
Atau rata-rata gaji PNSD per daerah 100,0 100,0 100,0 100,0 88,8 86,6 80,4 72,3 79.8 68.4
Tabel 6.3. (lanjutan)
No. KomponenProv
2006 2007 2008 2009 2010
K/K Prov K/K Prov K/K Prov K/K Prov K/K Prov
B. Bobot Kebutuhan Fiskal
2. Penduduk 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
3. Wilayah Darat 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
4. Wilayah Laut - - 25 25 25 35 30 35 30 35
5. IKK 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
6. IPM 10 10 10 10 10 10 10 10 10 11
7. PDRD 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15,75
c. Bobot Kapasitas Fiskal
1. PAD 50 100 50 75 50 75 50 70 50 93
2. DBH Pajak 100 100 75 75 75 75 95 73 73 100
3 DBH SDA 100 100 50 50 41,25 50 70 100 95 100
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
6.1.2.1. Penyaluran DAU
Pada tahun anggaran 2010, total pagu alokasi DAU adalah Rp203.606,48 miliar, yang terdiri dari
DAU Murni Rp192.490,34 miliar, Tunjangan Profesi Guru (TPG) PNSD Rp10.994,89 miliar, dan lainnya
Rp121,25 miliar. Dari pagu tersebut telah diterbitkan sebanyak 545 SPM dengan nilai Rp203.573,14
miliar atau 99,98 persen.
Tabel 6.4.Penyaluran DAU Tahun 2010
Jenis Dana Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Persen (%)
DAU Propinsi (Murni) 19.249.034.200.000 19.249.034.200.000 100,00
DAU Kabupaten/Kota (Murni) 173.241.307.800.000 173.241.307.800.000 100,00
Tunjangan Profesi Guru PNSD 10.994.892.500.000 10.961.543.035.400 99,70
Koreksi DAU Indramayu 121.250.000.000 121.250.000.000 100,00
Total 203.606.484.500.000 203.573.135.035.400 99,98
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Selama tahun 2010, terdapat penundaan DAU sebesar 25 persen dari pagu bulan Mei dan Juni
terhadap dua daerah yang terlambat menyampaikan Perda APBD, yaitu Kabupaten Puncak dan
Kabupaten Bulukumba. Namun, dana yang tertunda telah disalurkan kembali seluruhnya pada
bulan Juni 2010.
Selain penundaan DAU sebagai sanksi bagi daerah yang terlambat menyampaikan Perda APBD,
juga telah dikenakan sanksi kepada daerah-daerah yang terlambat menyampaikan Laporan
Realisasi Penggunaan Dana Tambahan Penghasilan (Tamsil) bagi Guru PNSD tahun anggaran 2009.
Penundaan DAU sebesar pagu Tamsil 2009 dilaksanakan pada bulan Mei 2010. Apabila daerah telah
menyampaikan laporan realisasi penggunaan, maka DAU yang ditunda akan disalurkan kembali
pada saat transfer DAU bulan berikutnya. Adapun bagi daerah yang sampai batas waktu akhir tahun
tidak juga menyampaikan laporan, maka dikenakan sanksi potongan.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 119
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
118
6.1.3. Kebijakan DAK Tahun 2010
Dalam rangka mengkaitkan bidang-bidang DAK dengan prioritas nasional, maka kepada menteri/
pimpinan lembaga diberikan kewenangan untuk menyusun kebijakan penggunaan DAK masing-
masing bidang dan indikator teknisnya. Adapun perhitungan DAK ditetapkan oleh Menteri Keuangan
berdasarkan indikator teknis yang disusun oleh menteri/pimpinan lembaga.
Perhitungan DAK per daerah pada tahun 2004-2008 ditentukan oleh kriteria umum dan kriteria
khusus, terutama dalam menentukan daerah yang layak menerima DAK, sedangkan kriteria teknis
digunakan untuk mengukur alokasi per daerah. Sejak tahun 2009, pola perhitungan DAK ditempuh
dengan menggunakan ketiga kriteria secara bersama-sama, baik dalam menentukan daerah yang
layak menjadi penerima DAK maupun besaran alokasi. Pola ini memungkinkan daerah yang tidak
layak dari kriteria umum dan kriteria khusus mendapatkan DAK sepanjang nilai kriteria teknisnya
cukup tinggi untuk menjadi layak mendapatkan DAK pada bidang tertentu.
Alokasi DAK mengalami penurunan dari Rp24,8 triliun pada tahun 2009 menjadi Rp21,1 triliun pada
tahun 2010. Sejak tahun 2010, apabila terdapat sisa DAK di kas daerah, maka Pemerintah Daerah
dapat melaksanakan sisa DAK tersebut di tahun berikutnya untuk bidang yang sama dengan Petunjuk
Teknis (Juknis) tahun sebelumnya ataupun Juknis tahun berjalan.
6.1.3.1. Penyaluran DAK Tahun 2010
Alokasi DAK pada tahun anggaran 2010 sebesar Rp21.138,39 miliar yang terdiri dari DAK Murni
Rp21.133,38 miliar dan lainnya Rp5 miliar. Total alokasi DAK tahun 2010 mengalami penurunan
Rp3.681,20 miliar atau 14.8 persen jika dibandingkan dengan alokasi DAK pada tahun anggaran
2009 sebesar Rp24.819,59 miliar.
Tabel 6.5.Penyaluran DAK Tahun 2010
Tahap Pagu Realisasi (Rp) Persen (%) Jumlah Daerah
DAK I (30%) 6.340.014.750.000 6.340.014.750.000 100,00 518
DAK II (45%) 9.510.022.125.000 9.462.751.785.000 99,50 513
DAK III (25%) 5.283.345.625.000 5.023.625.318.000 95,08 486
DAK Pendidikan 124.916.615.000 2,36 19
DAK Indramayu 5.002.700.000 5.002.700.000 100,00 1
Total 21.138.385.200.000 20.956.311.168.000 99,14
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
DAK tahun anggaran 2010 dialokasikan untuk mendanai 14 bidang. Dari pagu yang dialokasikan,
terealisasi penyaluran sebesar Rp20.956,31 miliar atau 99,14 persen. Tingkat penyaluran yang tidak
mencapai 100 persen disebabkan terdapat 32 daerah yang tidak menyampaikan laporan realisasi
penyerapan DAK sebagai persyaratan bagi pencairan DAK tahap berikutnya sampai dengan batas
akhir penyampaian laporan.
UU No. 2 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No. 47 Tahun 2009 tentang APBN Tahun Anggaran
2010 mewajibkan pelaksanaan DAK Pendidikan dari yang semula dengan mekanisme swakelola/hibah
menjadi pengadaan barang dan jasa (lelang). Menginggat perubahan kebijakan pada pertengahan tahun
akan berakibat pada tertundanya penyelesaian pekerjaan, maka Menteri Keuangan telah menerbitkan
PMK No. 200/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan Penyaluran DAK Bidang Pendidikan Tahun 2010. PMK
ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada daerah bahwa dana DAK Pendidikan yang telah
dialokasikan akan tersalur seluruhnya.
6.1.4. Kebijakan Dana Otonomi Khusus Tahun 2010
Sesuai peraturan perundang-undangan, besaran Dana Otonomi Khusus (Otsus) adalah 2 persen
dari DAU Nasional. Oleh karena itu, penetapan besaran DAU Nasional dalam setiap APBN secara
langsung berdampak pada perubahan besaran Dana Otsus, baik untuk Provinsi Papua, Papua
Barat, maupun Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Kebijakan yang diambil untuk mengoptimalkan
pemanfaatan Dana Otsus antara lain dengan mensyaratkan rekomendasi dari Menteri Dalam
Negeri pada setiap tahap penyaluran agar pemanfaatan Dana Otsus direncanakan dengan baik dan
menghasilkan output yang bermanfaat bagi peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Pada tahun 2010, Dana Otsus untuk Provinsi Aceh adalah Rp3.849,8 miliar atau setara dengan 2
persen dari DAU Nasional. Sedangkan Dana Otsus bagi Provinsi Papua sebesar Rp2.694,9 miliar (70
persen) dan Papua Barat sebesar Rp1.154,9 miliar (30 persen). Dana Tambahan Infrastruktur dalam
rangka Otsus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat diutamakan untuk mendanai pembangunan
infrastruktur, sesuai dengan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua. Besaran Dana
Tambahan Infrastruktur tersebut sebesar Rp1.400 miliar dengan pembagian untuk Provinsi Papua
sebesar Rp800 miliar dan untuk Papua Barat sebesar Rp600 miliar. Jumlah Dana Otsus pada tahun
2010 adalah Rp 9.099,6 miliar.
6.1.5. Kebijakan Dana Penyesuaian Tahun 2010
Kebijakan yang diambil menyangkut Dana Penyesuaian (DP) pada tahun 2010 adalah berikut ini.
(1) Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF dan PPD).
Dana ini dialokasikan untuk 276 daerah sebesar Rp7,1 triliun dengan tujuan mendukung
percepatan pembangunan daerah melalui penyediaan dan pengembangan bidang infrastruktur
dan non infrastruktur, serta sarana pendukung lainnya yang menjadi urusan daerah.
(2) Dana Insentif Daerah (DID). DID digunakan dalam rangka pelaksanaan fungsi pendidikan
yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan memperhatikan kriteria-kriteria antara lain
daerah yang berprestasi, mengalami koreksi wilayah, dan mengalami dampak pemekaran. DID
dialokasikan sebagai dana penyeimbang untuk menjaga kesinambungan dan stabilitas fiskal
daerah. Besaran alokasi DID adalah Rp1.387,8 miliar.
(3) Tambahan tunjangan guru PNSD dialokasikan untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan
Guru PNSD. Besaran alokasi Tambahan Tunjangan Guru PNSD adalah Rp5.800 miliar.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 121
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
120
6.2. PELAKSANAAN KEBIJAKAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH
Pada tahun 2010 telah dilakukan perubahan mekanisme penyaluran anggaran transfer ke daerah
yang diatur dalam PMK No. 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban
Anggaran Transfer Ke Daerah sebagai pengganti PMK No. 21/PMK.07/2009. Perubahan dilakukan
berdasarkan empat prinsip, yakni:
(1) mendorong transfer ke daerah secara tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat sasaran/penggunaan;
(2) mendorong percepatan penetapan Perda APBD secara tepat waktu;
(3) mendorong percepatan penyerapan dana pada kas daerah guna mendanai kegiatan yang telah
ditetapkan dalam APBD; dan
(4) mendukung pencapaian laporan keuangan transfer ke daerah yang berkualitas.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan treasury single account (TSA), daerah-daerah yang sebelumnya
membuka rekening kas daerah dengan nama rekening yang berbeda-beda (lebih dari 40 variasi
nama) untuk menampung dana transfer ke daerah, dengan adanya PMK No. 126/PMK.07/2010 telah
merubah nama rekeningnya dengan menggunakan nama depan Rekening Kas Umum Daerah yang
diikuti dengan nama daerah yang bersangkutan.
Tabel 6.6.Perubahan Standarisasi Nama Rekening Kas Daerah Tahun 2010-2011
Nama Depan Rekening Kas DaerahProvinsi Kabupaten Kota Jumlah
Juni 2010
Maret 2011
Juni 2010
Maret 2011
Juni 2010
Maret 2011
Juni 2010
Maret 2011
Rekening Kas Umum Daerah 8 30 95 317 36 76 139 423
Kas Umum Daerah 15 3 182 82 36 16 233 101
Lain-lain 10 0 122 0 20 0 152 0
Jumlah 33 33 399 399 92 92 524 524
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
6.2.1. Penyaluran Transfer ke Daerah Tahun 2010
Pelaksanaan penyaluran anggaran transfer ke daerah selama Tahun Anggaran 2010 sebagian besar
dilakukan berdasarkan berdasarkan PMK No. 21/PMK.07/2009, karena masih dalam masa transisi
peralihan ketentuan. Sebagian transfer lainnya dilakukan berdasarkan PMK No. 126/PMK.07/2010
tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.
Tabel 6.7.Mekanisme Penyaluran Anggaran Transfer ke Daerah
No Uraian Transfer Pola Penyaluran
I Dana Bagi Hasil Pajak
A DBH PBB
a. DBH PBB Bagian Pusat (10%) secara triwulanan dari realisasi penerimaan
b. DBH PBB Bagian Daerah (81%) secara mingguan dari realisasi penerimaan
c. DBH Biaya Pemungutan PBB Bagian Daerah (9%)
secara mingguan sebesar 9 % dari realisasi penerimaan
B DBH BPHTB
a. DBH BPHTB Bagian Pusat (20%) Secara bertahap (III Tahap)
b. DBH BPHTB Bagian Daerah (80%) secara mingguan dari realisasi penerimaan
C DBH PPh
a. DBH PPh Pasal 21 secara triwulanan dari realisasi penerimaan
b. DBH PPh Pasal 25/29 secara triwulanan dari realisasi penerimaan
II DBH Cukai Hasil Tembakau secara triwulanan dari realisasi penerimaan
III Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam
A Minyak dan Gas Bumi secara triwulanan dari realisasi penerimaan
B Pertambangan Umum
C Kehutanan
D Perikanan
E. Panas Bumi
F. Alokasi kurang bayar DBH SDA Pertambangan MIGAS TA 2008
Diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku
IV Dana Alokasi Umum
- Dana Alokasi Umum Tiap bulan sebesar 1/12 dari alokasi
- DAU tambahan untuk tunjangan profesi guru Penyaluran dalam 2 tahap per semester
V Dana Alokasi Khusus (murni) 1. Penyaluran tahap I (30% dari total DAK)
2. Penyaluran Tahap II (45%) dan Tahap III
VI Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian
A Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrastruktur
Penyaluran dilaksanakan secara bertahap setelah mendapat pertimbangan dari Mendagri
B Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD TA 2010
Penyaluran dilakukan dalam 2 tahap, per semester tahap I sebesar 50% dan tahap II sebesar 50%
C Kurang Bayar DAK Tahun 2008 Penyaluran dilaksanakan sekaligus paling lambat bulan Desember 2010
D Kurang Bayar DISP Tahun 2008 Penyaluran dilaksanakan sekaligus paling lambat bulan Desember 2010
E Dana Insentif Daerah Penyaluran dilaksanakan jika daerah sudah menyampaikan perda APBD 2010 dan surat pernyataan, disalurkan sekaligus
F Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF-PPD) T.A. 2010
Penyaluran bertahap setelah daerah menyampaikan persyaratan adminstratif dan laporan realisasi penyerapan tahap sebelumnya
G Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah (DPIPD)
E Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pendidikan (DPPIP)
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 123
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
122
Anggaran transfer ke daerah diberikan kepada semua daerah yang berhak berdasarkan perhitungan
tertentu. Jumlah daerah penerima dana transfer ke daerah meningkat dari 446 pada tahun 2005
menjadi 524 pada tahun 2010, atau meningkat 58 daerah selama 5 tahun.
Tabel 6.8.Perkembangan Jumlah Daerah dan Besaran Transfer Tahun 2005-2010
No. Daerah 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 Provinsi 32 33 33 33 33 33
2 Kabupaten/Kota 434 434 434 451 477 491
3 Jumlah 466 467 467 484 510 524
4 Realisasi Transfer (triliun rupiah) 150,5 226,2 253,3 292,6 303,1 345,7
5 % Kenaikan 16,04 50,30 11,98 15,51 3,59 14.1
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
6.2.2. Perkembangan Dana Bagi Hasil Tahun 2006-2010
Pelaksanaan DBH mengacu pada UU No. 33 Tahun 2004 yang mengatur bagian Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah dengan persentase tertentu dari realisasi penyetoran ke kas negara dari
penerimaan negara pajak (PNP) dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pada tahun 2005-2008
telah dilaksanakan 7 jenis dari 8 jenis DBH, sedangkan 1 jenis DBH, yaitu Panas Bumi dilaksanakan
mulai tahun 2009. Untuk pertama kalinya DBH Panas Bumi pada tahun 2009 dibagikan kepada
daerah di Provinsi Jawa Barat, yaitu DBH dari PNBP tahun 2006-2009. Tertundanya pelaksanaan
DBH Panas Bumi dikarenakan peraturan mengenai perpajakan atas pengusahaan panas bumi
baru ditetapkan pada tahun 2008, yaitu PMK No. 165/PMK.03/2008 tentang Mekanisme Pajak
Penghasilan Ditanggung Pemerintah dan Perhitungan PNBP atas Hasil Pengusahaan Sumber Daya
Panas Bumi untuk Pembangkitan Energi/Listrik pada tanggal 4 November 2008.
Tabel 6.9.Perkembangan Alokasi DBH per Komponen Tahun 2006-2010 (dalam triliun Rupiah)
No. Komponen 2006 2007 2008 2009 2010
A. Pajak
1. PBB 18,73 21,79 22,37 22,8 27,116
2. BPHTB 3,08 4,29 7,35 7,65 7,69
3. PPh 6,07 7,94 9,98 10,09 10,93
4. Cukai HT 0,2 0,96 1.202
Sub jumlah (A) 27,88 34,02 39,9 41,5 46,94
% kenaikan 19,30% 22,02% 17,28% 4,01% 13.11%
B. Sumber Daya Alam
1. Pertambangan Umum 2,39 2,85 4,24 6,98 7,79
2. Kehutanan 1,16 1,52 1,71 1,51 1,75
3. Minyak Bumi & Gas Bumi 27,13 24,46 23,44 17,6 35,196
4. Perikanan 0,33 0,20 0,16 0,12 0,12
5. Panas Bumi - - - 0,26 0,305
Sub jumlah (B) 31,01 29,03 29,55 26,82 45,165
% kenaikan 167,56% (6,39)% 1,79% (9,24)% 68,4%
c.Total (A+B) 58,89 63,05 69,45 68,32 92.1
% Kenaikan 68,45% 7,06% 10,15% (1,63)% 34,81%
Catatan :- DBH SDA TA 2010 mengacu pada Revisi APBN 2010.- DBH Pajak TA 2008, 2009 dan 2010 belum termasuk Biaya Pemungutan PBB bagian Daerah.
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Pada tahun 2008 dikenal DBH Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) berdasarkan UU No. 39 Tahun 2007
tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1999 tentang Cukai. Pada Tahun 2008 dan 2009 DBH-CHT
diberikan kepada 5 provinsi penghasil CHT, yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, D. I.
Yogyakarta, dan Jawa Timur. Berbeda dengan DBH-SDA pada umumnya yang bersifat block grant,
DBH Cukai bersifat specific grant.
Dalam rangka melaksanakan pasal 35 UU No. 33 Tahun 2004, mulai tahun 2009 DBH SDA Migas
dibagikan kepada daerah dengan porsi 15,5 persen dari PNBP Minyak Bumi dan 30,5 persen dari
PNBP Gas Bumi. Tambahan 0,5 persen adalah specific grant untuk menambah anggaran pendidikan
dasar di daerah dengan pembagian untuk provinsi/daerah penghasil/daerah lainnya masing-
masing sebesar 0,1 persen, 0,2 persen, dan 0,2 persen.
6.2.3. Perkembangan Dana Alokasi Umum Tahun 2006-2010
Alokasi DAU yang bersifat block grants ditujukan untuk:
(1) memeratakan kemampuan keuangan antardaerah (equalization grant);
(2) mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi; dan
(3) mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah dengan mempertimbangkan
kebutuhan dan potensi daerah.
Tabel 6.10.Perkembangan Alokasi DAU Tahun 2006-2010
No. Komponen2006 2007 2008 2009 2010
Prov K/K Prov K/K Prov K/K Prov K/K Prov K/K
1. Prov/Kab/Kot 168,9 131,1 16,5 148,3 17,9 161,6 18,6 167,8 19,2 173,0
2. Nasional 145,66 164,78 179,50 186,41 192,49
3. % Kenaikan 64,00 13,13 8,93 3,85 3,26
4. % Thd PDNN 26 26 26 26 26
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Nilai dan persentase DAU mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan sangat dipengaruhi oleh
Pendapatan Dalam Negeri Neto (PDNN) APBN. PDNN adalah penerimaan negara yang berasal dari
pajak dan PNBP setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah.
Antara tahun 2005-2007, pagu DAU nasional sekurang-kurangnya 25,5 persen dari PDNN, sesuai pasal
107 UU No. 33 Tahun 2004. Adapun sejak tahun 2008, sesuai pasal 27, besaran DAU menjadi sekurang-
kurangnya 26 persen dari PDNN.
Alokasi DAU berdasarkan Perpres dan Dana Penyeimbang sesuai dengan Permenkeu mulai tahun
anggaran 2006 hingga 2010 mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Kenaikan alokasi
DAU setiap tahun diimbangi dengan penurunan Dana Penyeimbang secara bertahap yang
merupakan indikator bahwa DAU dapat mengurangi kesenjangan fiskal. Penurunan alokasi Dana
Penyeimbang menunjukkan komitmen Pemerintah untuk menerapkan formula DAU secara murni
dengan meminimalkan hold harmless hingga menjadi nol agar dapat meningkatkan pemerataan
kemampuan keuangan antardaerah.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 125
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
124
6.2.4. Perkembangan Dana Alokasi Khusus Tahun 2006-2010
Pada tahun 2008 hingga 2010 penambahan bidang DAK dikaitkan dengan pasal 108 UU No. 33
Tahun 2004, yaitu bahwa kegiatan K/L yang merupakan kewenangan daerah dialihkan secara
bertahap ke DAK. Penambahan bidang DAK pada tahun 2008 ditandai dengan pengalihan anggaran
Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) dan Departemen Kehutanan, sedangkan pada
tahun 2009 dialihkan anggaran dari Departemen Perdagangan dan Kementerian Pembangunan
Daerah Tertinggal (PDT). Selanjutnya, pada tahun 2010 telah dilakukan pengalihan anggaran dari
Kementerian Pekerjaan Umum (PU).
Sejak tahun 2006 sampai dengan 2010 telah terjadi penambahan jumlah bidang dalam DAK, yaitu
dari 5 bidang menjadi 14 bidang.
Tabel 6.11.Perkembangan Jumlah Bidang DAK Tahun 2006-2010
No. Bidang2006 2007 2008 2009 2010
Prov K/K Prov K/K Prov K/K Prov K/K Prov K/K
1. Pendidikan - - - - -
2. Kesehatan - - - - - - -
3. Jalan
4. Irigasi
5. Air Bersih
6. Pras. Pem
7. Pertanian
8. Lingk. Hidup
9. Kelautan dan Perikanan
10. Kel. Berencana
11. Kehutanan
12. PDT
13. Perdagangan - -
14. Sanitasi -
Pagu DAK (Rp Triliun) 11,57 17,09 21,20 24,82 21,13
% Kenaikan 188,53 47,71 24,05 17,08 -14,85
Keterangan: - Bidang yang tahun sebelumnya sudah ada.- Bidang baru pada tahun yang bersangkutan.
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
6.2.5. Perkembangan Dana Penyesuaian Tahun 2005-2010
Dana Penyesuaian dialokasikan untuk keperluan tertentu di luar Dana Perimbangan dan Dana Otsus
berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah Pusat dengan DPR. Dana Penyesuaian merupakan
satu kesatuan kebijakan anggaran transfer ke daerah dalam UU tentang APBN.
Tabel 6.12.Perkembangan Penggunaan Nomenklatur Dana Penyesuaian Tahun 2005-2010
NO. Nomenklatur 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1. DP Murni
2. DP DAU
3. Dana Penyeimbang DAU
4. Dana Tunjangan Kependidikan
5. Dana Tambahan DAU
6. DP Ad Hoc
7. DP Infrastruktur Jalan dan Lainnya
8. DP Infrastruktur Sarana dan Prasarana
9. DPDF dan PPD
10 Dana DAU Tambahan
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Dana Penyesuaian yang alokasikan pada tahun 2010 tercatat sebesar Rp21.150 miliar. Jumlah ini
mengalami peningkatan tajam apabila dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar Rp6.936,04 miliar
dan tahun 2009 sebesar Rp14.882 miliar.
Tabel 6.13.Perkembangan Alokasi Dana Penyesuaian Tahun 2005-2010 (dalam miliar Rupiah)
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Alokasi Dana Penyesuaian 5.467,30 562,86 5547,4 6.939,00 14.882 21.150
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
6.2.6. Penyaluran Dana Otsus dan Penyesuaian Tahun 2010
Pada tahun 2010, total pagu Dana Otsus dan Penyesuaian sebesar Rp28.625,09 miliar. Dari jumlah
tersebut, telah diterbitkan 511 SPM senilai Rp28.025,23 miliar atau 97,90 persen, yang terdiri dari:
(1) Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrastruktur ;
(2) Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD;
(3) Kurang Bayar DAK Tahun 2008;
(4) Kurang Bayar DISP Tahun 2008;
(5) Dana Insentif Daerah;
(6) Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF-PPD);
(7) Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah (DPIPD);
(8) Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pendidikan (DPPIP);
Tabel 6.14.Penyaluran Dana Otsus dan Penyesuaian Tahun 2010
Jenis Dana Pagu Realisasi Persen (%)
Dana Otsus PAPUA 2.694.864.788.000 2.694.864.788.000 100,00
Dana Otsus PAPUA BARAT 1.154.942.052.000 1.154.942.052.000 100,00
Dana Otsus NAD 3.849.806.840.000 3.849.806.840.000 100,00
Dana Otsus T. Infras. Papua 800.000.000.000 800.000.000.000 100,00
Transfer Dana Tamb. Infras. Papua Barat 600.000.000.000 600.000.000.000 100,00
Total 9.099.613.680.000 9.099.613.680.000 100,00
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 127
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
126
6.3. LAPORAN KEUANGAN TRANSFER KE DAERAH
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) selaku penanggung jawab anggaran transfer ke
daerah bertugas menyusun Laporan Keuangan Transfer ke Daerah (LKTD). Sampai dengan tahun
2007, pendapat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap LKTD adalah disclaimer, karena dalam
setiap laporan PA/KPA tidak dapat menunjukkan dokumen sumber secara lengkap (DIPA, SPM, dan
SP2D) atas realisasi anggaran transfer ke daerah. LKTD merupakan bentuk pertanggungjawaban
pelaksanaan anggaran Bagian Anggaran (BA) 999.05. Bagian anggaran ini merupakan hasil
penggabungan BA 070, Dana Perimbangan BA 071, dan Dana Penyesuaian yang dimulai
pelaksanaannya pada tahun anggaran 2009.
Dengan diberlakukannya pola baru penyaluran transfer ke daerah, maka dokumen sumber (DIPA,
SPM, dan SP2D) atas pelaksanaan BA transfer ke daerah dapat disediakan. Dokumen sumber
diperlukan dalam rangka penyusunan LKTD sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP). Penerapan pola baru menghasilkan perkembangan yang cukup menggembirakan dalam
peningkatan kualitas LKTD. Pada LKTD 2008, BA 070 mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian
(WDP) dan BA 071 mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sedangkan pada pemeriksaan
tahun 2010, BPK memberi opini WTP terhadap LKTD Tahun Anggaran 2009.
6.4. TANTANGAN FORMULASI, ALOKASI DAN PENGHITUNGAN TRANSFER KE DAERAH
Reformulasi kebijakan transfer ke daerah dilakukan setiap tahun. Upaya ini melibatkan akademisi
dan seluruh stakeholder terkait dengan tetap mengacu pada UU No. 33 Tahun 2004 dan PP No.
55 Tahun 2005. Reformulasi memberikan landasan yang kokoh bagi terlaksananya alokasi dan
perhitungan yang transparan, kredibel, dan akuntabel bagi seluruh daerah. Namun, tantangan dan
hambatan harus dihadapi, baik secara politis di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun oknum-
oknum lain yang tidak bertanggungjawab.
Sebagaimana diketahui bahwa transfer ke daerah terdiri dari DBH, DAU, DAK, Dana Otsus, dan
Dana Penyesuaian. Pada tahun 2010 muncul berbagai isu bahwa besaran alokasi dana per daerah
dapat diatur (negotiable) melalui lobi dan pengajuan proposal. Isu ini memanfaatkan jalur-
jalur informasi pada saat pembahasan transfer ke daerah di Badan Anggaran DPR yang belum
resmi atau bahkan sudah disahkan, tetapi belum ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres)
dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Dengan memanfaatkan time lag informasi tersebut,
oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab menawarkan dan menjanjikan kepada daerah
untuk dapat mengurus penambahan dana atau alokasi yang lebih besar dari tahun sebelumnya.
Syaratnya, pejabat daerah bersedia menyediakan sejumlah dana kepada oknum tersebut. Image
Kementerian Keuangan menjadi kurang baik oleh sejumlah oknum ini.
Untuk menjawab tantangan tersebut, perlu dilakukan sosialisasi dan bimbingan teknis secara
intensif dan berkelanjutan untuk memberikan pemahaman secara utuh kepada daerah bahwa UU
No. 33 Tahun 2004 dan PP No. 55 Tahun 2005 menjamin bahwa setiap daerah mempunyai “cetakan
untuk menakar transfer ke daerah”. DAU dengan alokasi dasar, kebutuhan fiskal, dan kapasitas fiskal.
DAK dengan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis, sedangkan DBH dengan persentase
tertentu dari realisasi PNP dan PNBP yang dibagihasilkan kepada daerah. Sementara itu, Dana Otsus
berdasarkan UU Otsus untuk Papua, Papua Barat, dan Aceh, sedangkan Dana Penyesuaian melalui
kebijakan pusat antara lain terkait dengan tambahan penghasilan guru dan kebijakan percepatan
pembangunan daerah dengan kriteria-kriteria tertentu yang disepakati di Badan Anggaran DPR.
Pihak-pihak yang memanipulasi perhitungan dan penyaluran transfer ke daerah berusaha
memanipulasi data dasar formula, kriteria, maupun realisasi dan persentasenya. Hal ini tidak
mungkin dilakukan oleh pegawai DJPK. Terbukti dari audit BPK yang tidak menemukan adanya
penyimpangan secara sengaja dari perhitungan dan penyaluran transfer ke daerah.
Sampai dengan tahun 2010, modus oknum yang menawarkan janji menambah atau menaikkan
alokasi sudah jauh berkurang sejalan dengan berkurangnya intensitas daerah yang melaporkan
adanya indikasi penipuan tersebut. Kuncinya adalah sosialisasi yang dilakukan secara transparan
agar dapat dipahami oleh daerah, antara lain dengan:
(1) membuka perhitungan transfer ke daerah kepada daerah secara umum atau secara detail bagi
yang membutuhkan penjelasan;
(2) menjelaskan secara runtut kepada daerah yang merasa alokasinya lebih kecil dari daerah di
sekitarnya dengan potensi dan kebutuhan yang relatif setara;
(3) menegaskan bahwa data perhitungan transfer ke daerah disediakan oleh instansi independen
penyedia data dasar dan instansi teknis terkait; serta
(4) data dasar dan cara perhitungan setiap daerah diaudit oleh BPK.
Setiap daerah sudah mempunyai cetakannya masing-masing untuk menakar transfer ke daerah,
sehingga kedekatan daerah dengan pejabat Kementerian Keuangan tidak akan mempengaruhi
besaran transfer ke daerah, karena sudah well designed by law.
Sebagai contoh, penggunaan aplikasi komputer yang selalu dikembangkan dan ditingkatkan
akurasinya (Dynamic Model) membuat perhitungan DAU per daerah tidak dapat direkayasa secara
manual. Aplikasi DAU ini telah digunakan dalam pembahasan transfer ke daerah dengan DPR.
Untuk menjaga kesahihan perhitungan, setiap simulasi perubahan data dasar dalam formula DAU
selalu dikerjakan lebih dari satu orang, bahkan hingga empat orang. Hasil perhitungan dianggap
benar dan akurat apabila perhitungan yang dilakukan oleh empat orang tersebut menghasilkan
angka yang sama persis dan disajikan secara real time dalam forum pembahasan transfer ke daerah
antara Pemerintah dengan DPR.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 129
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
128
6.5. PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
Perubahan UU No. 34 tahun 2000 dengan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah menuntut Pemerintah Pusat untuk segera menyelesaikan evaluasi Perda tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Perda PDRD yang dibuat berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000
hanya berlaku sampai dengan 31 Desember 2011 dan jumlah Perda PDRD berdasarkan UU No. 34
tahun 2000 yang telah diterima oleh Pemerintah Pusat namun belum dievaluasi masih cukup besar,
sehingga diperlukan percepatan.
Dengan diterbitkannya UU No. 28 Tahun 2009, struktur penerimaan daerah mengalami perubahan
dan peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam APBD meningkat secara signifikan. Selama tahun
2010, DJPK telah melakukan evaluasi terhadap 546 Perda atau 1,8 Perda per hari dan seluruhnya
disetujui, karena telah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan yang lebih
tinggi.
Tabel 6.15.Rekapitulasi Evaluasi Perda PDRD Tahun 2010
No. Uraian s.d. 2006 2007 2008 2009 2010 Jumlah
1. Diterima 9.418 862 1.129 2.213 1 13.623
2. Dievaluasi 5.045 1.575 1.599 4.858 546 13.623
a. Ditolak 859 717 1.023 2.106 0 4.741
b. Revisi 148 (4) 0 0 0 144
c. Setuju 4.038 862 576 2.752 546 8.738
3. Dalam Proses 4.373 3.660 3.190 545 0
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Pada tahun 2010, DJPK telah melakukan evaluasi terhadap 687 Raperda atau 2,9 Raperda per hari.
Sebanyak 32 Raperda disetujui, 611 Raperda direvisi, dan 44 Raperda ditolak, karena bertentangan
dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Jika dibandingkan
dengan tahun 2009, jumlah Raperda yang dievaluasi mengalami kenaikan sekitar 50 persen. Alasan
utama kenaikan evaluasi Raperda tersebut adalah adanya UU PDRD yang baru, sehingga daerah
banyak menerbitkan Raperda untuk menyesuaikan dengan ketentuan perundangan-undangan
yang terbaru.
Tabel 6.16.Rekapitulasi Evaluasi Raperda PDRD Tahun 2010
No. Uraian s.d. 2006 2007 2008 2009 2010 Jumlah
1. Diterima 826 712 764 338 871 3511
2. Dievaluasi 638 885 703 399 687 3312
a. Ditolak 73 130 88 35 44 370
b. Revisi 316 463 433 224 611 2047
c. Setuju 249 292 182 140 32 895
3. Dalam Proses 188 15 76 15 199 199
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Untuk membantu kelancaran evaluasi Perda dan Raperda, DJPK telah menyusun tata cara evaluasi
Perda PDRD. Tujuannya agar terdapat standar evaluasi yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk
menyamakan pemahaman dan tindakan berbagai pihak dalam menilai suatu Perda PDRD.
Pada tahun 2010, DJPK juga telah melakukan beberapa studi mengenai PDRD berikut ini.
(1) Analisis Kelayakan Pengenaan Retribusi atas Perpanjangan Izin Memperkerjakan Tenaga Asing
(IMTA).
(2) Studi Peningkatan PAD melalui Pajak Hotel dan Restoran.
(3) Studi Optimalisasi Penerimaan Pajak Reklame.
Untuk mempersiapkan pengalihan BPHTB menjadi pajak kabupaten/kota, telah dilakukan berbagai
langkah berikut ini.
(1) Melakukan sosialisasi kepada seluruh Pemda dan pemangku kepentingan lainnya untuk
menyampaikan kebijakan baru di bidang PDRD.
(2) Memberikan bimbingan teknis dan fasilitasi kepada seluruh Pemda untuk membantu daerah
dalam rangka pemungutan BPHTB. Kegiatan pelatihan, bimbingan teknis, konsultasi, dan
penyediaan e-learning dilaksanakan dengan melibatkan tidak hanya instansi Pemerintah di
pusat, tetapi juga Kantor Wilayah DJP, Kantor Pelayanan Pajak Pratama, dan Balai Pendidikan
dan Pelatihan Keuangan (BDK) yang ada di daerah.
(3) Membentuk Tim Persiapan Pengalihan BPHTB yang bertugas mempersiapkan berbagai hal
yang berkaitan dengan pengalihan BPHTB dari pusat ke daerah. Di samping itu, mempersiapkan
peraturan pelaksanaan BPHTB (PMK No. 147/PMK.07/2010 tentang Pengecualian lembaga
internasional dari pengenaan BPHTB serta Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri
Dalam Negeri No. 186/PMK.07/2010 dan No. 53 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan
Pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah). Tim ini juga berfungsi sebagai “Help-Desk” untuk
membantu daerah mengatasi berbagai masalah dalam proses pengalihan BPHTB.
(4) Membantu daerah dalam melakukan persiapan pemungutan BPHTB dengan menyediakan
template Perda BPHTB, template SOP BPHTB, dan menginformasikan spesifikasi komputer yang
diperlukan untuk membaca Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) dalam rangka validasi pembayaran
BPHTB. Organisasi dan tata kerja DJP yang selama ini mengelola BPHTB dapat digunakan oleh
Pemda untuk menyusun SOTK.
(5) Menyusun dan menyerahkan aplikasi pembaca NJOP kepada Pemda.
(6) Sejumlah langkah lainnya dilakukan untuk mendorong daerah mempercepat persiapan
pemungutan BPHTB.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 131
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
130
6.6. PINJAMAN, HIBAH, DAN KAPASITAS DAERAH
6.6.1. Pinjaman
Pada tahun 2010 telah disusun kebijakan pemberian pinjaman dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah. Kegiatan ini bertujuan untuk merumuskan konsep kebijakan pemberian
pinjaman dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Telah disusun draft revisi PMK No.
129/PMK.07/ 2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sanksi Pemotongan DAU dan/atau DBH dalam
Kaitannya dengan Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat. Penyusunan draft revisi PMK tersebut
adalah dalam rangka menyempurnakan peraturan yang sudah ada dan menjaga kolektibilitas
pinjaman kepada Pemerintah Daerah.
Untuk mengendalikan fiskal nasional, setiap bulan Agustus tahun anggaran yang bersangkutan,
Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal defisit APBD dan batas kumulatif pinjaman
daerah untuk tahun anggaran yang akan datang. Berkenaan dengan hal tersebut, DJPK (Direktorat
Pembiayaan dan Kapasitas Daerah dan Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan
Daerah), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dan Direktorat Jenderal Keuangan Daerah (Kemendagri) telah
menyusun PMK No. 149/PMK.07/2010 tentang Batas Maksimal Defisit APBD dan Batas Maksimal
Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2011.
Sepanjang tahun 2010 telah dilaksanakan pemantauan pinjaman daerah dan defisit APBD dalam
rangka perumusan rekomendasi kebijakan. Pemantauan bertujuan untuk memetakan status dan
posisi pinjaman daerah serta defisit APBD secara tepat dan akurat dalam rangka pengelolaan
administrasi pinjaman daerah yang lebih baik. Pemantauan dilakukan terhadap 45 Pemda dan
dihasilkan beberapa rekomendasi berikut ini.
(1) Pemerintah perlu menyediakan alternatif sumber pinjaman, selain yang bersumber dari
penerusan pinjaman luar negeri, karena pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah
Pusat tetap menjadi pilihan utama bagi Pemerintah Daerah untuk menutup defisit APBD.
(2) Kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan pinjaman dari Pemerintah Pusat adalah prosedur
yang panjang, sehingga tidak efektif dan efisien. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat perlu
mempermudah prosedur pemberian pinjaman menjadi lebih singkat dan sederhana.
(3) Beberapa kebijakan yang diatur dalam pinjaman daerah sudah tidak relevan, sehingga perlu
dilakukan perubahan atau revisi atas peraturan pinjaman.
(4) Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebagai lembaga Pemerintah Pusat diharapkan dapat
membantu Pemerintah Daerah dalam menyediakan dana untuk membangun sarana dan
prasarana daerah.
6.6.2. Hibah Daerah
Pada tahun 2010 telah dilakukan pemantauan hibah kepada Pemerintah Daerah dengan tujuan:
(1) memperoleh data dan informasi mengenai pengelolaan hibah daerah yang mencakup
perencanaan, pelaksanaan, penganggaran, dan penyaluran hibah;
(2) mengidentifikasi permasalahan atas pelaksanaan kegiatan hibah daerah tahun 2010; serta
(3) menyusun rekomendasi penyelesaian permasalahan terhadap pelaksanaan hibah daerah.
Program hibah yang telah dilaksanakan di tahun 2010 diantaranya adalah Local Basic Education
Capacity (L-BEC) dari Pemerintah Belanda melalui Commision of the European Communities dan The
Netherlands Minister for Development Cooperation. Tujuan dari program hibah ini adalah mendukung
Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan kualitas pendidikan secara menyeluruh sebagaimana
tertuang dalam Rencana Strategis Pendidikan Nasional. Hibah ini diberikan kepada 50 kabupaten/
kota yang masing-masing menerima Rp2,5 miliar dan daerah diharuskan menyediakan dana
pendamping sebesar 20 persen dari total hibah yang diterima. Dari total pagu hibah Program L-BEC
sebesar Rp125 miliar, pada tahun 2010 telah dilakukan pencairan dana sekitar Rp24 miliar. Closing
date untuk program ini adalah bulan April 2012.
Selain itu, terdapat pula Program Hibah Air Minum dan Hibah Air Limbah Terpusat dari Pemerintah
Australia melalui AusAID. Program Hibah Air Minum merupakan salah satu upaya untuk mencapai
sasaran 10 juta sambungan baru. Tujuan Program Hibah Air Minum adalah meningkatkan akses
bagi keberlanjutan pelayanan air minum untuk masyarakat berpenghasilan rendah di Indonesia
dalam upaya mencapai target Millennium Development Goals (MDGs). Adapun Program Hibah Air
Limbah Terpusat bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap sistem pengelolaan air
limbah terpusat.
Kedua program dilaksanakan pada tahun anggaran 2010 sampai dengan 2014. Program Hibah
Air Minum diberikan kepada 35 daerah, sedangkan Program Hibah Air Limbah diberikan kepada
5 daerah. Pada tahun 2010 telah dilakukan pencairan kepada 12 daerah sebesar Rp45,473 miliar
dengan rincian 10 daerah untuk Program Hibah Air Minum sebesar Rp37,373 miliar dan 2 daerah
untuk Program Hibah Air Limbah sebesar Rp8,1 miliar.
DJPK juga melakukan pemetaan hibah yang diterima Pemerintah Daerah dan pemberian hibah
dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah dapat memberikan hibah
kepada Pemerintah Pusat, baik kepada instansi induk (K/L) maupun kepada instansi vertikal yang
ada di daerah. Hibah dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat bertujuan untuk menunjang
peningkatan penyelenggaraan Pemerintahan di daerah.
Pada tahun 2010 telah pula dilakukan penyusunan PMK tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah.
Tujuannya adalah untuk mengklasifikasikan daerah berdasarkan kemampuan keuangan masing-
masing daerah. Pengelompokan dilakukan berdasarkan indeks kapasitas fiskal (tinggi, sedang,
dan rendah). Pengelompokan ini digunakan sebagai dasar pemberian hibah kepada daerah yang
sumbernya dari pinjaman luar negeri.
Seiring dengan perkembangan arah kebijakan pemberian dan penyaluran hibah daerah, yaitu
dengan revisi PP No. 2 Tahun 2006 yaitu tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan
Penerimaan Hibah dan PP No. 54 Tahun 2006 tentang Pinjaman Daerah, perlu dilakukan revisi
atas PP No. 57 Tahun 2005. Perubahan PP No. 57 Tahun 2005 merupakan satu kesatuan dengan
pokok-pokok perubahan PP No. 2 Tahun 2006, sehingga perlu diupayakan sinkronisasi. Proses
pembahasan revisi PP No. 57 Tahun 2005 telah memasuki tahap akhir di Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia untuk kemudian akan diproses lebih lanjut dan disahkan.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 133
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
132
Terkait dengan revisi PP No. 57 Tahun 2005, maka PMK No. 168 Tahun 2008 dan PMK No. 169
Tahun 2008 juga akan direvisi. Revisi PMK dimaksudkan untuk mengakomodasi skema penyaluran
hibah yang saat ini sangat bervariasi, sehingga dapat terakomodasi dalam suatu peraturan dan
pelaksanaannya sesuai dengan mekanisme APBN dan APBD.
6.6.2.1. Penyaluran Dana Hibah ke Daerah
Sejak diterbitkannya PMK No. 169 Tahun 2008 tentang Tatacara Mekanisme Penyaluran Dana Hibah
kepada Pemerintah Daerah, maka penyaluran hibah uang yang bersumber dari APBN dilakukan
melalui pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah
(RKUD). Adapun penyaluran hibah uang yang bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri
dan/atau penerusan hibah luar negeri dilakukan melalui pemindahbukuan dari Rekening Khusus
(Reksus) ke RKUD. Sebagai contoh adalah Hibah L-BEC, Hibah Air Minum, dan Hibah Air Limbah
Terpusat.
Perubahan mendasar pada pola penyaluran hibah mencakup hal-hal berikut ini.
(1) Semula hibah dalam APBN dialokasikan menyatu dalam anggaran K/L terkait dan Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) juga pada K/L dimaksud. Saat ini dialokasikan dalam Bagian
Anggaran Bendahara Umum Negara (BA-BUN) Pengelola Hibah (999.02).
(2) Semula KPA berada pada K/L. Saat ini dialihkan kepada Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan yang berperan sebagai KPA Hibah kepada Pemerintah Daerah (KPA-HPD).
(3) Semula institusi yang menyalurkan dana hibah adalah Kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara (KPPN) langsung kepada pengguna/pihak ketiga. Saat ini KPPN hanya berfungsi
memindahbukukan dana hibah dari RKUN ke RKUD dan untuk penarikannya menggunakan
mekanisme yang berlaku di daerah. Pendapatan hibah di daerah dibukukan sebagai lain-lain
pendapatan yang sah.
Berdasarkan DIPA No. 0309/999-02.1/-/2010 tanggal 3 September 2010 dan DIPA Revisi I tanggal
12 November 2010, yaitu Rp155,993 miliar, telah dilaksanakan penyaluran hibah kepada daerah
dengan realisasi sebesar Rp70 miliar untuk Hibah L-BEC, Hibah Air Minum, dan Hibah Air Limbah
Terpusat.
Hibah Air Minum kepada Pemerintah Daerah digunakan untuk mendanai kegiatan percontohan
pembangunan sambungan air minum yang diberikan berdasarkan capaian kinerja (output-
based). Demikian halnya Hibah Air Limbah Terpusat juga diberikan berdasarkan sistem capaian
kinerja (output-based). Hibah diberikan berdasarkan capaian kinerja atas pelaksanaan kegiatan
pemasangan Sambungan Rumah (SR) baru yang dilakukan terlebih dahulu oleh Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) dan telah berfungsi baik minimal 2 bulan sejak pemasangan berdasarkan hasil
verifikasi Kementerian Pekerjaan Umum.
Hibah Air Minum diberikan dalam 3 tahap, yaitu:
• Tahap I : Rp106,15 miliar untuk 22 Pemerintah Daerah;
• Tahap II : Rp29,5 miliar untuk 8 Pemerintah Daerah; dan
• Tahap III : Rp9,4 miliar untuk 5 Pemerintah Daerah.
Adapun Hibah Air Limbah Terpusat diberikan dalam 2 tahap, yaitu:
• Tahap I : Rp13 miliar untuk 3 Pemerintah Daerah; dan
• Tahap II : Rp10 miliar untuk 2 Pemerintah Daerah.
Tabel 6.17.Realisasi Hibah Tahun Anggaran 2010
No. Program/Kegiatan Tahun Anggaran 2010 (Rp)
APBN DIPA Realisasi
1. Local Basic Education Capacity (L-BEC) 80.080.000.000 75.500.000.000 24.535.777.575
2. Mass Rapid Transit (MRT) 34.386.000.000 -
3. Hibah Air Minum 106.150.000.000 61.547.000.000 37.373.000.000
4. Hibah Air Limbah Terpusat 10.000.000.000 9.100.000.000 8.100.000.000
5. Water and Sanitation Project-D (Wasap-D)
12.602.000.000 9.846.700.000 -
Total 243.218.000.000 155.993.700.000 70.008.777.575
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Realisasi penyaluran Hibah Air Limbah Terpusat mencapai Rp8,1 miliar atau 89,01 persen dari target
Rp9,1 miliar. Adapun realisasi penyaluran Hibah Air Minum mencapai Rp37,4 miliar untuk 10 daerah
atau 60,81 persen dari target Rp61,5 miliar untuk 22 daerah.
Sebaran daerah yang telah menerima dana hibah mencapai 81,33 persen, yaitu 61 daerah dari total
75 daerah. Adapun jumlah realisasi hibah baru mencapai 27 persen dari yang ditargetkan sebesar
Rp243,22 miliar yang meliputi dana Hibah L-BEC, Hibah Air Minum, dan Hibah Air Limbah Terpusat.
Rendahnya realisasi penyaluran dana hibah disebabkan terlambatnya pengesahan DIPA Hibah ke
Daerah. DIPA baru disahkan pada Oktober 2010, sehingga daerah terlambat mengajukan permintaan
penyaluran hibah yang berdampak pada rendahnya penyerapan anggaran hibah ke daerah dalam
APBN 2010. Walaupun daerah telah mendapatkan pagu dana hibah, namun mengingat terbatasnya
waktu pelaksanaan, maka terdapat beberapa daerah yang menunda pengajuan permintaan
hibah. Bahkan, terdapat pula daerah yang mengundurkan diri, karena merasa tidak mampu untuk
melengkapi persyaratan yang ditentukan.
6.6.2.2. Laporan Realisasi Anggaran Hibah ke Daerah
Sebagaimana telah diatur dalam PMK No. 40 Tahun 2009 tentang Sistem Akuntansi Hibah
(Sikubah), DJPK bertindak sebagai Unit Akuntansi KPA BUN (UAKPA-BUN) atas transaksi belanja
hibah kepada daerah yang bersumber dari pinjaman dan/atau hibah. Selaku UAKPA-BUN, DJPK
wajib menyampaikan Laporan Keuangan kepada Unit Akuntasi Pembantu BUN (UA-PBUN), yaitu
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU), pada setiap akhir semester.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 135
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
134
6.6.3. Penataan Daerah
Pada tahun 2010 telah dilakukan monitoring terhadap kinerja keuangan daerah pemekaran.
Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum penyelenggaraan Pemerintahan daerah
otonom baru dan daerah induk, serta untuk mengetahui kinerja Pemerintah daerah otonom baru
dan daerah induk dalam mengelola keuangan daerahnya. Berdasarkan hasil monitoring, terdapat
beberapa rekomendasi yang diberikan untuk menjadi pertimbangan.
(1) Kinerja keuangan daerah pemekaran masih memerlukan perhatian yang lebih serius dari
Pemerintah Pusat melalui berbagai upaya pembinaan secara komprehensif, terukur, dan
berkesinambungan agar secara bertahap kinerja pengelolaan keuangan daerah menjadi lebih
baik.
(2) Masih banyak ditemukan permasalahan sehubungan dengan kewajiban hibah/bantuan
pendanaan dari daerah induk/provinsi yang merupakan amanat dari undang-undang
pembentukan daerah yang belum sepenuhnya terealisasi.
(3) Perlu adanya kegiatan lanjutan untuk melengkapi dan menyempurnakan berbagai variabel dan
indikator kinerja secara lebih komprehensif.
Telah pula disusun pola pendanaan daerah pemekaran yang bertujuan untuk menyusun peraturan
pelaksanaan mengenai mekanisme pemotongan/ pengalihan DAU daerah induk/provinsi yang
belum/tidak menyerahkan hibah dan bantuan pendanaan kepada daerah pemekarannya. Hal
tersebut merupakan kewajiban daerah induk kepada daerah pemekarannya sebagaimana diatur
dalam undang-undang pembentukan daerah otonom baru.
Kegiatan ini dilakukan karena banyaknya permasalahan di daerah dan permintaan fasilitasi
penyelesaian dari beberapa daerah otonom baru sehubungan dengan kewajiban hibah/bantuan
pendanaan dari daerah induk/provinsi yang belum direalisasikan. Output yang dihasilkan adalah
draft PMK tentang Tatacara Pemotongan DAU dan/atau DBH Bagi Daerah Induk/Provinsi yang Tidak
Memenuhi Kewajiban Hibah/Bantuan Pendanaan Kepada Daerah Otonom Baru.
6.6.4. Dana Darurat
Sebagai tindak lanjut pasal 46 UU No. 33 Tahun 2004, Pemerintah Pusat mengalokasikan dana
darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional
dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan
sumber APBD. Untuk itu, telah disusun draft Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Dana
Darurat dan telah disampaikan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk proses
lebih lanjut. RPP tersebut diharapkan dapat diharmonisasi dan diselesaikan pada tahun 2011.
6.6.5. Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah
Dalam rangka mendukung peningkatan kapasitas aparat Pemerintah Daerah di bidang
desentralisasi fiskal dan pengelolaan keuangan daerah, Kementerian Keuangan pada tahun 2010
kembali menyelenggarakan kegiatan Latihan Keuangan Daerah (LKD), Kursus Keuangan Daerah
(KKD), dan Kursus Keuangan Daerah Khusus Penatausahaan/Akuntansi Keuangan Daerah (KKDK).
LKD, KKD, dan KKDK tahun 2010 dilaksanakan oleh DJPK bekerjasama dengan 7 perguruan tinggi,
yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Hasanuddin (Unhas),
Universitas Andalas (Unand), Universitas Brawijaya (Unibraw), Universitas Sam Ratulangi (Unsrat),
dan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Adapun peserta kursus pada tahun 2010 berjumlah
1.174 orang dari 327 Pemerintah Daerah.
Tabel 6.18.Peserta LKD, KKD, dan KKDK Tahun 2010
No. Tempat PenyelenggaraanJumlah Peserta (Orang)
LKD KKD KKDK Jumlah
1. Universitas Indonesia 60 70 80 210
2. Universitas Gadjah Mada 60 70 80 210
3. Universitas Hasanuddin - 70 80 150
4. Universitas Andalas - 70 79 149
5. Universitas Brawijaya - 70 80 150
6. Universitas Sam Ratulangi - 70 80 150
7. Sekolah Tinggi Akuntansi Negara - - 155 155
Jumlah 120 420 634 1.174
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 137
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
136
7.1. LATAR BELAKANG DAN KONDISI TAHUN 2010
Beberapa negara di Eropa mengalami krisis keuangan pada awal tahun 2010, sehingga berpotensi
mengganggu perekonomian global. Banyak negara mengantisipasinya dengan menyediakan
stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan melakukan konsolidasi fiskal melalui
efisiensi belanja. Penyediaan stimulus fiskal juga ditempuh oleh Pemerintah Indonesia dengan
menerapkan anggaran defisit untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Penerapan anggaran defisit perlu didukung oleh pembiayaan yang bersumber dari utang dan non
utang yang masing-masing memiliki konsekuensi. Penetapannya sumber pembiayaan dilakukan
berdasarkan pertimbangan:
(1) ketersediaannya dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan;
(2) trade-off biaya dan risiko pada masing-masing sumber pembiayaan; dan
(3) konsekuensi di masa yang akan datang.
Sumber pembiayaan defisit anggaran pada tahun 2010 masih didominasi oleh utang, yaitu melalui
penerbitan surat berharga dan pengadaan pinjaman Pemerintah. Di samping untuk menutup
defisit anggaran, utang juga dimanfaatkan untuk membiayai investasi Pemerintah dan penjaminan.
Dengan demikian, jumlah utang dapat lebih tinggi dari besaran defisit anggaran.
KEBIJAKAN PENGELOLAAN PEMBIAYAAN
BAB VII
7.2. ARAH DAN STRATEGI KEBIJAKAN PEMBIAYAAN
Pembiayaan melalui utang merupakan salah satu konsekuensi dari implementasi kebijakan
anggaran defisit.
Meski demikian, dalam hal kebijakan anggaran surplus sekalipun, utang dapat tetap dilakukan
pada kondisi tertentu, yaitu:
(1) dalam rangka membiayai utang yang jatuh tempo;
(2) untuk menciptakan benchmark risk free asset di pasar keuangan dan mengelola portofolio utang
Pemerintah; serta
(3) sebagai konsekuensi atas perjanjian dengan pemberi pinjaman pada periode sebelumnya dan
masih berlangsung masa penarikannya.
Pengelolaan utang perlu dilakukan secara efektif, efisien, dan akuntabel. Untuk mencapainya, telah
disusun suatu pedoman pengelolaan utang jangka menengah 2010-2014. Dokumen ini memuat target
portofolio dan risiko utang yang hendak dicapai pada akhir periode dan disertai pernyataan strategis.
Kebijakan pengelolaan utang pada tahun 2010-2014 dititikberatkan pada upaya untuk meningkatkan
efisiensi dengan tetap memperhatikan risiko. Untuk itu, telah disusun kebijakan pengelolaan Surat
Berharga Negara (SBN) dan pinjaman. Pengelolaan SBN difokuskan pada peningkatan likuiditas dan
daya serap pasar domestik melalui pengembangan pasar perdana dan sekunder, serta memperkuat
basis investor. Adapun pengelolaan pinjaman diarahkan pada penarikan dana secara lebih tepat
waktu, peningkatan kualitas proses bisnis, serta perbaikan data dan informasi.
Untuk melaksanakan kebijakan jangka menengah telah disusun strategi jangka pendek yang
bersifat operasional dalam bentuk strategi pembiayaan tahunan. Strategi pembiayaan pada tahun
2010 difokuskan untuk memenuhi target pembiayaan APBN melalui utang dan membiayai kembali
utang yang jatuh tempo dengan biaya yang efisien dan risiko yang terkendali. Strategi umum
ini diterjemahkan ke dalam strategi operasional dengan prinsip-prinsip proteksi terhadap posisi
keuangan Pemerintah, pengembangan pasar, dan penguatan kinerja kelembagaan pengelolaan
utang. Operasionalisasi strategi diwujudkan melalui instrumen SBN dan pinjaman. Pengelolaan SBN
dilakukan melalui:
(1) penerapan shortening duration;
(2) penyiapan penerbitan Sukuk dengan underlying project untuk memperkaya alternatif instrumen
pembiayaan;
(3) penerapan buyback dan debt switching untuk pengelolaan risiko dan stabilisasi pasar; serta
(4) penerapan front loading secara terukur.
Adapun pengelolaan pinjaman dijalankan dengan:
(1) pemilihan kreditur dengan terms and conditions yang favorable;
(2) pemilihan jenis suku bunga tetap;
(3) pemilihan mata uang dengan volatilitas rendah;
(4) pemilihan metode anuitas dan jangka waktu pinjaman yang lebih panjang; serta
(5) peningkatan daya serap pinjaman.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 139
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
138
7.3. SUMBER DAN PENGGUNAAN PEMBIAYAAN NON UTANG
Pembiayaan melalui non utang mencakup seluruh pembiayaan yang memanfaatkan kekayaan (net
worth) yang dimiliki Pemerintah yang tidak menimbulkan kewajiban di masa yang akan datang atau
pembiayaan yang bukan merupakan kewajiban saat ini, karena adanya manfaat yang diperoleh di
masa lalu. Sumber-sumber pembiayaan non-utang yang bersifat inflow dan dimanfaatkan untuk
membiayai APBN meliputi:
(1) penggunaan saldo rekening Pemerintah yang merupakan akumulasi surplus tunai APBN tahun-
tahun anggaran sebelumnya;
(2) hasil penjualan aset tetap dan aset keuangan (asset recovery) yang pengelolaannya dilakukan
oleh PT. Perusahaan Pengelolaan Aset; dan
(3) hasil privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
7.3.1. Penjualan Aset
Di samping penggunaan dana tunai di rekening Pemerintah, pembiayaan non utang dalam APBN
juga dapat dilakukan melalui penjualan aset tetap dan aset keuangan. Penerimaan pembiayaan
dari asset recovery berasal dari penyelesaian aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN),
Bank Dalam Likuidasi (BDL), dan PT. Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA). Dengan berakhirnya tugas
BPPN, maka seluruh kekayaannya menjadi milik negara yang dikelola oleh Menteri Keuangan
melalui Tim Pemberesan dan PT. PPA. Saat ini, seluruh aset eks BPPN telah dikelola oleh Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dengan tujuan untuk mengembalikan keuangan negara yang
pernah disalurkan kepada bank-bank dalam pengawasan BPPN dan dapat dimanfaatkan untuk
penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga. Selain aset eks BPPN, DJKN juga
mengelola aset eks BDL yang telah diserahkan oleh Tim Likuidasi kepada Kementerian Keuangan.
Pengelolaan aset BDL bertujuan untuk mengembalikan uang negara yang telah disalurkan
di masa lalu melalui penjualan dan pemanfaatan aset properti, serta penyerahan aset kredit
kepada PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara). Realisasi penerimaan kembali yang berasal dari
pengeluaran APBN pada tahun 2010 sebesar Rp771,45 miliar atau 220,41 persen dari target awal
sebesar Rp350 miliar dan 192,86 persen dari target revisi sebesar Rp400 miliar.
Tabel 7.1.Penyelesaian Aset Tahun 2010
No. Uraian Jumlah (Rp)
1. Penyelesaian Aset Eks BDL 205.423.230.235,74
2. Penyelesaian Aset Eks Kelolaan PT. PPA 219.988.204.041,10
3. Penyelesaian Aset Eks BPPN 346.036.004.970,01
Jumlah 771.447.439.246,85
Sumber: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Target dapat tercapai melalui debtor tracing dan asset tracing yang menghasilkan:
(1) kompensasi hak dengan Pemda DKI sebesar Rp88,9 miliar;
(2) hasil likuidasi aset PT. Bank Dagang Bali sebesar Rp75 miliar;
(3) hasil lelang aset jaminan obligor sebesar Rp76,9 miliar; serta
(4) pelunasan/pembayaran salah satu obligor PKPS dan hasil pengurusan piutang negara aset
kredit eks BPPN.
7.3.2. Penyiapan Nilai BMN sebagai Aset Surat Berharga Syariah Negara
Sejak pertama kali diterbitkannya Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) pada tahun 2008, DJKN
telah menyampaikan usulan Daftar Nominasi Aset SBSN sebesar Rp117 triliun. Hal ini merupakan
amanat UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 04/PMK.08/2008 tentang Pengelolaan Aset Surat Berharga Syariah Negara yang
Berasal dari Barang Milik Negara. DJKN ditugaskan menyiapkan Barang Milik Negara (BMN) sebagai
underlying asset SBSN dengan Skema Ijarah.
Gambar 7.1.Usulan Daftar Nominasi Aset SBSN Tahun 2008-2010
2008 2009 2010
45,00
40,00
35,00
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5.00
0
12,0
6,4
27,7
Usulan I Usulan II
0,8
22,7
4,6
22,7
20,4
Tanah Bangunan
Sumber: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
7.4. SUMBER DAN PENGGUNAAN PEMBIAYAAN UTANG
7.4.1. Peran Utang Dalam Pembiayaan Defisit APBN
Utang merupakan instrumen yang digunakan oleh negara untuk menutup defisit anggaran.
Di negara-negara yang pasar keuangannya telah berkembang, pembiayaan defisit anggaran
dilakukan melalui penerbitan surat berharga. Adapun negara-negara berkembang lebih banyak
menggunakan fasilitas dari lembaga kreditor multilateral dan bilateral untuk membiayai defisit
anggarannya.
Sebagai negara dengan situasi pasar keuangan yang masih berkembang, pembiayaan defisit
anggaran di Indonesia dilakukan dengan memanfaatkan kedua instrumen. Hal ini dilakukan
mengingat kapasitas daya serap pasar keuangan untuk mengakomodasi target pembiayaan melalui
penerbitan SBN relatif masih terbatas. Di samping itu, tersedia sumber pembiayaan dari pinjaman
lembaga keuangan domestik dan internasional.
Peran pembiayaan yang bersumber dari utang semakin dominan dalam APBN Tahun 2005-2010.
Dalam periode tersebut, peran pembiayaan dari utang utamanya yang berasal dari penerbitan
SBN meningkat sangat signifikan yang menunjukkan adanya perubahan pola pembiayaan dari
conventional bank based financing menjadi market based financing.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 141
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
140
Namun, penerbitan SBN belum dapat dilakukan dalam jumlah yang besar, khususnya ketika
terjadinya krisis keuangan, sehingga diperlukan pengembangan daya serap pasar domestik yang
berkelanjutan.
Gambar 7.2.Pembiayaan APBN Tahun 2005-2010
2005 2006 2007 2008 2009 2010
150
100
50
0
-50
3.0%
2.0%
1.0%
0.0%
-1.0%
1429
50
4
89
47
230.5% 36
0.9% 57
1.3%86
(% terhadap pdb)(triliun rupiah)
defisit/(surplus) APBN SBN - Neto
pinjaman dn. & In. - Neto non-utang - Neto
defisit/(surplus) APBN
0.1%
99
1.6%91
0.7%
(10)(27) (24)
(18) (16)(4)(1)
209
1729
5
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang.
Konsekuensi dari penggunaan SBN sebagai instrumen pemenuhan pembiayaan dari sumber utang
secara lebih dominan adalah makin tingginya eksposur risiko pasar dalam pengelolaan APBN. Oleh
karena itu, diperlukan disiplin pasar dalam pengelolaan utang agar proses pengambilan keputusan
dapat berlangsung secara hati-hati, cepat, tepat, dan efisien, dengan memperhatikan prinsip-
prinsip tata kelola yang baik.
Realisasi tambahan total utang neto relatif rendah selama tahun 2005–2010, yaitu rata-rata masih
di bawah 1,0 persen terhadap PDB. Peningkatan sumber pembiayaan dari utang membawa
konsekuensi langsung pada pengelolaan fiskal Pemerintah, yaitu:
(1) alokasi belanja yang makin besar untuk pembayaran bunga utang;
(2) diperlukannya pengelolaan kas yang semakin baik;
(3) kebutuhan refinancing utang yang semakin meningkat dan harus diimbangi dengan
peningkatan kapasitas pasar SBN; serta
(4) kerentanan APBN dan pengelolaan fiskal terhadap dinamika pasar.
Konsekuensi tersebut menjadi pertimbangan bagi Pemerintah untuk menjaga kesinambungan fiskal
dalam pemenuhan kebutuhan pembiayaan. Hal ini diupayakan Pemerintah melalui pengelolaan
utang dan kas secara lebih efisien, serta dengan meningkatkan koordinasi untuk menjamin
ketersediaan pembiayaan secara tepat waktu dan cost-efficient dengan risiko yang minimal.
7.4.2. Sumber Pembiayaan Melalui Utang
Secara garis besar, sumber pembiayaan melalui utang dapat dibagi menjadi surat berharga dan
pinjaman. Penerbitan SBN dapat berbentuk tunai atau terkait dengan proyek dengan mata uang
rupiah atau mata uang asing yang tingkat bunganya tetap atau mengambang, dan memiliki jangka
waktu pendek sampai panjang, serta metode pembayaran pokok utangnya secara bullet payment.
Pembiayaan yang diperoleh dari pinjaman berbentuk tunai atau terkait dengan proyek dengan mata
uang rupiah dan/atau mata uang asing, tingkat bunganya tetap dan/atau mengambang, memiliki
jangka waktu menengah sampai panjang, dan metode pembayaran pokok pada umumnya secara
amortisasi (prorata dan annuity).
Outstanding utang Pemerintah per 31 Desember 2010 tercatat sebesar Rp1.677 triliun.
Tabel 7.2.Portofolio Utang Pemerintah Per 31 Desember 2010
“dalam miliar rupiah” “dalam juta usd”Surat Berharga Negara 1,064,406 118,386
Surat Utang Negara 1,020,062 113,454 Surat Perbendaharaan Negara 29,795 3,314 Obligasi Negara Rupiah 834,135 92,774
Fixed Rate - Reguler 399,724 44,458 Fixed Rate - Ori/Ritel 40,672 4,524 Variable Rate 142,795 15,882 Zero Coupon 2,512 279 SU dan SRBI (Non-Tradable) 248,432 27,631
Obligasi Negara Valas 156,132 17,365 Global Bond, Gmtn 145,654 16,200 Samurai Bond 10,478 1,165
Surat Berharga Syariah Negara 44,344 4,932 SBSN Jangka Pendek - Sdhi 12,783 1,422
Sdhi (Non-Tradable) 12,783 1,422 SBSN Jangka Panjang 25,717 2,860
IFR 12,127 1,349 Sukuk Ritel 13,590 1,512
SBSN Valas 5,844 650 Pinjaman 612,753 68,152
Pinjaman Dalam Negeri 477 53 Pinjaman Luar Negeri 612,276 68,099
Bilateral 320,203 35,614 Multilateral 207,722 23,103 Komersial 5,227 581 Kredit Ekspor 79,124 8,800
Total Utang 1,677,159 186,538 Asumsi Nilai Tukar Rupiah 8,991
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang.
Instrumen dalam portofolio utang Pemerintah akan terus berkembang mengikuti kebutuhan dan
perkembangan regulasi di pasar keuangan, seperti index-linked bond, Sukuk with project underlying,
Islamic saving bond, Islamic T-bill, dan structured financing lainnya.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 143
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
142
7.4.3. Penggunaan Pembiayaan Melalui UtangPengadaan utang ditujukan untuk membiayai defisit APBN, memenuhi kebutuhan kas jika terjadi cash mismatch, membiayai kegiatan prioritas, dan mengelola portofolio utang.
7.4.3.1. Pembiayaan Defisit APBNDefisit APBN merupakan selisih kurang antara penerimaan dengan belanja negara yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan belanja untuk mencapai target ekonomi makro dengan mempertimbangkan kemampuan pembiayaan secara wajar, mengingat terbatasnya sumber pembiayaan non utang, maka pembiayaan utang menjadi dominan untuk membiayai defisit APBN. Pemerintah dapat menerbitkan SBN dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) maupun SBSN dalam jangka pendek dan panjang, serta pinjaman program (pinjaman tunai).
7.4.3.2. Pemenuhan Kebutuhan Kas Pada suatu saat kondisi kas Pemerintah dapat mengalami kekurangan dana akibat ketidaksesuaian penerimaan dan belanja. Ketidaksesuaian dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah atau waktu kas masuk dengan kas keluar. Instrumen yang dapat digunakan untuk menutup cash mismatch adalah utang jangka pendek, yaitu SPN, SBSN, dan pinjaman luar negeri (liquid fund).
7.4.3.3. Pembiayaan Kegiatan PrioritasKegiatan prioritas Pemerintah yang dibiayai melalui APBN terdiri dari kegiatan Kementerian/Lembaga (K/L), BUMN, atau Pemerintah Daerah (Pemda). Pembiayaan kegiatan K/L menjadi bagian dari defisit APBN, sedangkan pembiayaan kegiatan BUMN atau Pemda dilakukan melalui mekanisme penerusan pinjaman dan tidak mempengaruhi besaran defisit. Instrumen utang yang digunakan untuk membiayai kegiatan prioritas meliputi pinjaman kegiatan (proyek) dari sumber luar negeri maupun dalam negeri, dan SBSN berbasis proyek.
7.4.3.4. Pengelolaan Portofolio UtangPortofolio utang dikelola untuk meminimalkan biaya pada tingkat risiko yang terkendali. Tujuan tersebut dicapai melalui pengaturan pengadaan utang baru, restrukturisasi, dan reprofiling utang. Instrumen yang fleksibel digunakan untuk mengelola portofolio utang adalah SBN, karena berasal dari investor di pasar keuangan dan dapat diperdagangkan sesuai dengan kebutuhan. Adapun instrumen pinjaman kurang fleksibel, walaupun terdapat peluang untuk restrukturisasi melalui negosiasi dengan kreditur.
Tabel 7.3.Instrumen Utang dan Pemanfaatannya
Intrumen Utang Pengelolaan Kas
Pembiayaan Defisit
Pembiayaan Kegiatan
Pengelolaan Portofolio
Lain-Lain/Umum
SuratBerhargaNegara
Surat Utang Negara: Surat Perbendaharaan Negara - - - - Obligasi Negara - - -
Surat Berharga Syariah Negara:Jangka Pendek - - - - Jangka Panjang - -
Pinjaman Luar Negeri - Tunai:Program - - - Tunai Lainnya - - -
Luar Negeri - Kegiatan - - - - Dalam Negeri - - - -
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang.
7.5. PENGELOLAAN UTANG
Sepanjang tahun 2005-2010 terjadi peningkatan kebutuhan pembiayaan melalui sumber utang yang berdampak pada peningkatan outstanding utang Pemerintah. Kondisi ini menimbulkan risiko, khususnya yang disebabkan oleh utang dengan tingkat bunga mengambang dan utang dalam mata uang asing. Sebagai upaya untuk mengurangi dampak fluktuasi suku bunga dan nilai kurs terhadap outstanding utang, Pemerintah memprioritaskan penerbitan SBN, terutama yang berbunga tetap, dan pengadaan pinjaman dalam negeri.
Dua dari tiga risiko keuangan yang terkait dengan utang Pemerintah mengalami perbaikan selama kurun waktu 2005-2010. Interest rate risk semakin membaik dengan porsi fixed rate yang hampir mencapai 80 persen dari total nilai utang. Demikian pula currency risk, di mana porsi utang dalam rupiah telah lebih dari 50 persen. Sementara itu, refinancing risk mengalami kenaikan secara perlahan yang disebabkan oleh shortening duration, khususnya pada tahun 2009, untuk mengurangi beban
biaya akibat terjadinya krisis.
Tabel 7.4.Perkembangan Indikator Risiko Utang Tahun 2005-2010
Indikator Risiko 2005 2006 2007 2008 2009 2010Outstanding (Rp milliar) 1,313,309 1,302,166 1,389,411 1,636,741 1,589,781 1,676,682
Pinjaman 620,234 559,438 586,352 730,246 610,322 612,276
Surat Berharga Negara 693,076 742,728 803,059 906,495 979,458 1,064,406
Interest rate risk (%)Rasio variable rate 31.68 28.73 26.70 22.89 22.11 20.29
Refixing rate 35.10 32.40 30.23 28.16 28.15 26.08
Average time to refixing 7.75 6.60 6.90 7.10 8.01 8.95
Exchange rate risk (%)Rasio utang valas thd. PDB 23.60 18.24 16.48 17.22 13.42 12.05
Rasio utang valas thd. Total Utang 49.83 46.77 46.95 52.11 47.39 46.18
Komposisi mata uang(%)- IDR 50.17 53.23 53.05 47.89 52.61 53.82
- JPY 20.22 17.85 17.59 20.89 17.36 17.69
- USD 16.76 16.74 18.95 21.91 21.93 21.72
- EUR 7.10 7.00 7.12 6.36 5.02 3.86
- Lainnya 5.75 5.19 3.29 2.94 3.09 2.91
refinancing risk (%)Jatuh tempo dalam 1 thn. 5.37 5.65 6.79 6.41 7.53 7.06
Jatuh tempo dalam 3 thn. 19.18 18.48 19.36 18.64 20.25 20.82
Jatuh tempo dalam 5 thn. 32.32 29.95 30.62 31.05 33.13 34.15
Average time to maturity (thn.)Loan 7.79 7.63 7.58 7.41 7.56 7.58
SBN 12.74 12.69 12.44 12.00 9.09 8.98
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 145
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
144
Dari sisi biaya utang, khususnya SUN, terjadi penurunan yield selama tahun 2005-2010. Selama
periode tersebut, portofolio utang Pemerintah cukup resilient yang ditunjukkan oleh cepatnya yield
terkoreksi kembali ke tingkat yang lebih rendah.
Gambar 7.3.Perkembangan Yield SUN Selama Tahun 2005-2010
Dec-06 Dec-07 Dec-08 Dec-09 Dec-10
%
23
21
19
17
15
13
11
9
7
5
0
%
23
21
19
17
15
13
11
9
7
5
0
Sun 2 Thn Sun 5 Thn Sun 10 Thn Sun 15 Thn
krisis reksadana yang diawali oleh lonjakan inflansi karena kenaikan BBM
krisis keuangan global yang didahului oleh krisis subprime mortgage
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang.
7.5.1. Pengelolaan Pinjaman
Pengelolaan pinjaman memperlihatkan kinerja yang membaik pada tahun 2010. Pengelolaan
pinjaman yang di masa lalu lebih pasif dan terfokus pada sisi administratif, kini telah lebih aktif
dalam memperbaiki struktur portofolio pinjaman dan menyerap pinjaman untuk mengurangi
biaya. Selama tahun 2005-2010 terjadi perubahan komposisi penarikan pinjaman luar negeri dari
yang semula didominasi oleh pinjaman kegiatan menjadi pinjaman program. Kondisi ini antara lain
disebabkan oleh:
(1) jumlah komitmen pinjaman kegiatan yang ditandatangani sampai dengan tahun 2005 relatif
rendah; dan
(2) jumlah komitmen pinjaman program mulai tahun 2006 cukup besar untuk memenuhi
kebutuhan pembiayaan defisit dan antisipasi dampak krisis keuangan global pada tahun 2008.
Perubahan komposisi menjamin terpenuhinya target pembiayaan utang tunai dan memberikan
dampak positif pada program reformasi. Di samping itu, mekanisme single disbursement dalam
pinjaman program mengurangi biaya komitmen yang dapat digunakan sebagai alternatif sumber
pembiayaan bagi kas Pemerintah secara fleksibel. Pada tahun 2010, Pemerintah telah melakukan
disbursement pinjaman program sebesar ekuivalen Rp28,97 triliun atau 98,48 persen dari target
APBN yang bersumber dari World Bank dan Asian Development Bank (ADB). Pencapaian ini belum
optimal yang disebabkan oleh penyerapan pinjaman program yang bersifat refinancing modality,
selain karena adanya perbedaan di antara asumsi dengan realisasi kurs. Disamping itu, mekanisme
penarikan single disbursement akan mempercepat penurunan kapasitas pinjaman terhadap kreditur
tertentu (single country limit). Namun demikian, pengadaan pinjaman program memerlukan
pertimbangan mendalam mengingat pemanfaatannya tidak diarahkan pada kegiatan tertentu
yang hasilnya dapat langsung dirasakan.
Meskipun menunjukkan perbaikan, realisasi penarikan pinjaman kegiatan selama periode 2005-
2010 belum dapat memenuhi target yang ditetapkan. Pada tahun 2010, pinjaman kegiatan terserap
sebesar ekuivalen Rp25,82 triliun atau sekitar 65,0 persen dari target APBN-P. Relatif rendahnya
penarikan antara lain disebabkan oleh:
(1) lambatnya pelaksanaan proyek;
(2) masih perlu ditingkatkannya ownership di kalangan executing agency; serta
(3) kurangnya koordinasi dan komunikasi dalam perencanaan kegiatan, pengusulan anggaran, dan
persiapan pelaksanaan kegiatan.
Gambar 7.4.Perkembangan Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri Tahun 2005-2010
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang.
Peningkatan realisasi penarikan pinjaman dapat dipengaruhi oleh meningkatnya kinerja
pelaksanaan kegiatan atau akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.
Gambar 7.5.Perkembangan Pemanfaatan Pinjaman Kegiatan Tahun 2005-2010
APBN-P Realisasi % Penyerapan (rhs)
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 147
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
146
Untuk mengantisipasi kesulitan pembiayaan APBN tahun 2009 pasca krisis global tahun 2008,
Pemerintah mengadakan Pinjaman Siaga. Fasilitas ini berasal dari 3 kreditur, yaitu World Bank, ADB,
dan Pemerintah Australia dengan skema Public Expenditure Support Facility (PESF), serta 1 kreditur,
yaitu Japan Bank for International Cooperation (JBIC) yang menggunakan skema Market Access
Suport Facility (MASF). Total komitmen Pinjaman Siaga adalah USD5.5 miliar yang eligible sampai
dengan akhir tahun 2010.
Skema PESF merupakan back stop facility yang hanya dapat ditarik jika syarat penarikan terpenuhi
dan tidak sebagai substitusi dari alternatif pembiayaan yang telah ada. Persyaratan threshold adalah
target penerbitan SBN dalam satu triwulan tertentu yang telah direncanakan tidak dapat dipenuhi
dan yield obligasi Pemerintah yang diterbitkan melampaui threshold tertentu.
Adapun skema MASF merupakan fasilitas yang disediakan dalam bentuk penjaminan atas
penerbitan obligasi Pemerintah di pasar keuangan Jepang.
Di sisi operasionalisasi pengelolaan portofolio pinjaman, sejak tahun 2002 telah dilakukan upaya
pengurangan pinjaman melalui program debt swap. Program debt swap yang dilakukan pada
umumnya bersifat bilateral dalam bentuk konversi program debt for development swap/debt
redirection. Selama periode 2005-2010 Pemerintah telah melakukan program debt swap dengan
empat negara kreditur, dengan program yang diarahkan untuk sektor kesehatan, sektor pendidikan
dan sektor lingkungan hidup. Pada tahun 2010 dilakukan debt swap dengan Pemerintah Australia
dalam program Debt to Health Swap untuk pemberantasan tuberculosis. Debt swap ini berpotensi
mengurangi pinjaman hingga AUD 75 juta, dengan mekanisme 1 for 2, untuk repayment sejumlah
AUD 37,5 juta. Tabel berikut menggambarkan debt swap yang pernah dilakukan Pemerintah.
Tabel 7.5Program Debt Swap Yang Dilakukan Pemerintah
Negara Nama Kegiatan Jumlah Komitmen (dalam juta)
EUR USD AUD Jerman Debt Swap I Elementary education 25.6
Debt Swap II Junior secondart education 23.0 Debt Swap IIIa Financial assistance for environmental
investments for micro and small enterprises poject
12.5
Debt Swap IIIb Strengthening the development of national parks in fragile ecosystems
12.5
Debt Swap IV School reconstruction and rehabilitation in earthquake area in Yogyakarta and Central Java
20.0
Debt Swap V Global fund to fight AIDS, tubercolusis and malaria (GFATM)
50.0
Italia Debt Swap I Housing and settlement 5.7 Housing and settlement 24.2
USA Debt to Development Swap
Tropical forest conservation act / TFCA 22.0
Australia Debt Swap Debt to health 75.0 Total 149.3 46.2 75.0
Sumber : Ditjen. Pengelolaan Utang, Kementerian Keuangan
7.5.2. Pengelolaan Surat Berharga Negara
Pengelolaan SBN mengalami perkembangan yang cukup signifikan selama kurun 2005-
2010 sebagai hasil dari penerapan berbagai strategi. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
peningkatan likuiditas pasar yang mendukung kondisi pasar SBN yang aktif dan likuid untuk
mengurangi beban utang Pemerintah, terutama dari penerbitan SBN baru. Langkah aktual yang
ditempuh meliputi pengembangan metode penerbitan, pengumuman waktu penerbitan, dan
operasi di pasar sekunder.
Metode penerbitan SBN dilakukan melalui lelang dan non lelang. Lelang dilakukan melalui
penerbitan seri-seri baru (new issuance) maupun seri-seri yang sebelumnya telah diterbitkan
(reopening), yang difokuskan pada penerbitan seri-seri benchmark. Penerapan lelang SBN di pasar
perdana dilakukan melalui 18 Primary Dealers yang terdiri atas 14 bank dan 4 perusahaan sekuritas.
Sementara metode non lelang dilakukan melalui private placement dan book building.
Gambar 7.6.Volume dan Frekuensi Transaksi SBN Tahun 2005-2010
500
450
400
350
250
200
150
100
50
0
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
volume rata-rata per-hari volume rata-rata setahun frekuensi (rhs)
triliun rupiah (frekuensi)
Jan-05 Jan-06 Jan-07 Jan-08 Jan-09 Jan-10
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang.
Pemerintah mempunyai fleksibilitas dalam menentukan strategi penerbitan SBN sejak tahun
2007 dengan dicantumkannya jumlah SBN neto dalam pembiayaan APBN. Penerbitan SBN dapat
dilakukan dengan lebih aktif, di mana Pemerintah menyusun kalender penerbitan dan jenis SBN
yang akan diterbitkan setiap tahun. Untuk potensi demand investor, penerbitan SBN domestik
selama tahun 2010 cukup baik yang terlihat dari bid to cover ratio rata-rata 3,1 kali. Terdapat
kencenderungan minat pelaku pasar atas SBN yang cukup bervariasi pada tenor jangka pendek
dan jangka panjang.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 149
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
148
Dalam penerapan metode non lelang di pasar perdana melalui book building, Pemerintah menjual
surat berharga dengan mengumpulkan seluruh pesanan pembelian dari investor. Penetapan harga
dan penjatahan pada yield tertentu dilakukan setelah pengumpulan tersebut oleh penjamin emisi
yang ditunjuk. Metode ini mulai diterapkan pada tahun 2002 untuk penerbitan Obligasi Negara
seri FR0021 yang diikuti dengan penerbitan Obligasi Negara dalam valuta asing dan Obligasi Ritel.
Penjualan secara non lelang SUN di pasar perdana juga dilakukan melalui private placement
yang ditujukan kepada investor tertentu dengan terms and conditions yang disepakati. Selama
periode 2005-2010, telah dilaksanakan satu kali private placement pada bulan Februari 2009 untuk
penerbitan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) sebesar Rp500 miliar dengan seri SPNNT20090430
yang sifatnya non-tradable (tidak diperdagangkan di pasar sekunder) dan berjangka waktu 3 bulan.
Gambar 7.7.Bid to Cover ratio Penerbitan SBN Domestik Tahun 2010
500
450
400
350
250
200
150
100
50
0
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
bid awarded bid to cover ratio (rhs)
triliun rupiah (kali)
spn ori/sukuk ritel fr/ifr 5 y fr/ifr 7 y fr/ifr 10 y fr/ifr >15 y
4.1 x
121 5715 34
112
30 26
5 11
50
8 8
1.0 x
2.2 x
3.1 x 3.1 x
2.5 x
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang.
Operasional di pasar sekunder dilakukan melalui pembelian kembali (buyback) SUN dengan cara
penukaran (switching) maupun pembelian secara tunai (cash buyback). Melalui switching dan cash
buyback, utang Pemerintah diharapkan tidak terkumpul di tahun tertentu. Dengan demikian,
maturity profile utang dapat terdistribusi secara merata yang mengurangi refinancing risk dan
meringankan beban dalam pembayaran kembali SUN pada saat jatuh tempo.
Sejak awal tahun 2003 hingga akhir tahun 2010, telah dilakukan 27 kali lelang buyback SBN yang
mendekati jatuh tempo. Buyback dimanfaatkan untuk menjaga stabilisasi harga SUN di pasar
sekunder. Pada saat krisis keuangan global di bulan Oktober 2008, buyback di pasar sekunder
mampu meredam tren penurunan harga SUN seri benchmark. Buyback dilakukan dengan hati-hati
dan dalam jumlah yang relatif kecil. Untuk lebih mengoptimalkan buyback diperlukan peningkatan
proyeksi ketersediaan kas dan pengalokasian dana di dalam DIPA.
Selama tahun 2005-2010, Pemerintah melakukan 35 kali penukaran obligasi negara yang akan
jatuh tempo dengan obligasi negara yang baru dengan tenor lebih panjang. Pelaksanaan debt
switching ini berkaitan dengan kondisi pasar keuangan. Dalam kondisi likuiditas yang cukup tinggi,
pasar keuangan yang stabil, dan kecenderungan spread tingkat bunga jangka pendek yang rendah,
investor menyambut baik debt switching. Besarnya obligasi negara yang menjadi sasaran program
debt switching pada tahun 2008 dan 2009 lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini disebabkan oleh krisis keuangan global pada pertengahan tahun 2008 yang menyebabkan
investor cenderung memilih instrumen jangka pendek.
Tabel 7.6.Perkembangan Operasionalisasi Lelang Debt Switching Tahun 2005-2010
Tahun Frekuensi Jumlah seri yang di-buyback
“Tenor seri yang di-buyback” Tenor seri penukar Volume yang
diterima (miliar Rp)
2005 1 x 9 seri 1 - 4 thn. 15 thn. 5,673
2006 13 x 21 seri 1 - 5 thn. 5 - 19 thn. 31,179
2007 9 x 21 seri 1 - 6 thn. 11 - 20 thn. 15,782
2008 2 x 31 seri 1 - 4 thn. 14 dan 15 thn. 4,571
2009 6 x 28 seri 1 - 4 thn. 5 - 15 thn. 2,938
2010 4 x 22 seri 1 - 7 thn. 10 dan 20 thn. 3,920
Total 35 x 64,063
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang.
Pemerintah juga melakukan perluasan basis investor dan mengembangkan instrumen utang secara
bertahap sepanjang tahun 2005-2010. Pengembangan instrumen dilakukan untuk mengakomodasi
preferensi yang lebih beragam dan basis yang lebih luas dari investor institusi maupun individu.
Pengembangan instrumen SBN dibagi menjadi SUN dan SBSN yang pertama kali diterbitkan pada
tahun 2008. Pengembangan instrumen SUN antara lain melalui SPN, Zero Coupon Bond, Obligasi
Ritel, SUN berdenominasi Yen (Shibosai), dan SPN Non-Tradable (SPNNT). Adapun pengembangan
instrumen SBSN antara lain melalui SBSN Ritel (SR), SBSN Valas (SNI) dan Sukuk Dana Haji Indonesia
(SDHI).
SDHI yang mulai dikembangkan pada tahun 2009 merupakan implementasi dari penerbitan SBSN
dengan cara penempatan langsung (private placement) Dana Haji dan Dana Abadi Umat (DAU) yang
dikelola oleh Kementerian Agama. Jenis akad SBSN yang digunakan dalam penerbitan SBSN Seri
SDHI 2010 adalah Ijarah Al Khadamat yang non-tradable dan tanpa menggunakan BMN sebagai
underlying, namun berdasarkan penyediaan jasa layanan haji.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 151
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
150
Realisasi penerbitan SBN pada tahun 2010 mencapai 99,61 persen dari target penerbitan bruto,
dengan komposisi SBN valas sebesar Rp25,04 trilliun atau 15,41 persen dan SBN domestik Rp136,86
triliun atau 84,20 persen dari total penerbitan SBN. Realisasi penerbitan SBN domestik (tradable)
untuk setiap instrumen telah melebihi 90 persen dari target indikatif yang disebabkan oleh
pengurangan/peralihan target penerbitan SPN ke instrumen yang memiliki tenor lebih panjang
demi mengurangi risiko refinancing.
Pada tahun 2010 Pemerintah telah menerbitkan SBN domestik yang bersifat non-tradable (SDHI)
sebesar Rp12,80 triliun. Adapun SBN valas telah diterbitkan sebesar Rp25,04 triliun dengan
komposisi penerbitan obligasi negara dengan format GMTN sebesar USD2.0 miliar (eq. Rp18,55
triliun) dan Samurai Bond sebesar JPY60,0 miliar (eq. Rp6,59 triliun).
Gambar 7.8.Target dan Realisasi Penerbitan SBN Tahun 2010
150%
125%
100%
75%
50%
60
50
40
30
20
10
0
apbn-p realisasi % thp. apbn-p (rhs)
triliun rupiah (kali)
spn ori/sukuk ritel fr/ifr 5 y fr/ifr 7 y fr/ifr 10 y fr/ifr >15 y
32.5 16.0 9.85.5
10.3 51.1 12.8 24.6
29.8
16.013.0
4.8
11.0
49.5
12.8
25.0
92%
100%
133%
87%
107%
97% 100% 102%
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang.
7.5.3. Pengelolaan Rating Kredit Indonesia
Pengelolaan utang tidak dapat dilepaskan dari rating kredit (Indonesian Sovereign Credit Rating).
Rating kredit Indonesia pernah berada pada posisi tertinggi sebelum krisis moneter tahun 1998,
yakni investment grade. Rating yang ditetapkan oleh Standard & Poor berada pada level BBB, rating
Fitch’s berada pada level BBB-, dan rating Moody’s berada pada level Baa3. Namun, kondisi ini tidak
bertahan lama. Krisis moneter pada tahun 1998 yang disertai krisis sosial, politik, dan keamanan
telah menurunkan rating kredit Indonesia. S&P bahkan menggolongkan peringkat utang Indonesia
ke dalam Selective Default (SD) yang berarti setiap kredit yang diberikan kepada Pemerintah
Indonesia akan berpotensi gagal bayar.
Seiring proses rekapitalisasi perbankan serta perbaikan kualitas sistem keuangan, khususnya jaringan
perbankan, maka rating kredit Indonesia mulai membaik pada tahun 2002. Kenaikan rating kredit
terus berlanjut hingga tahun 2010 dengan membaiknya beberapa indikator risiko utang. Pada tahun
2010, dua lembaga rating menaikkan posisi rating Indonesia masing-masing 1 notch, yakni Fitch’s dari
BB menjadi BB+ dan S&P dari BB- menjadi BB. Hal ini tidak terlepas dari ketahanan perekonomian
Indonesia terhadap krisis keuangan global dan pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil.
Gambar 7.9.Hasil Assessment Lembaga atas Rating Kredit Pemerintah Indonesia Tahun 1997-2010
BBB+BBB
BBB-BB+
BBBB-B+
BB-
CCC+CCC
CCC-CC
R/CSD/DD
D
Baa1
Baa2
Baa3
Ba1
Ba2
Ba3
B1
B2
B3
Caa1
Caa2
Caa3
Ca
C
S&P FITCH MOODY’S (RHS)
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang.
7.6. INISIATIF PENDUKUNG PENGELOLAAN UTANG
7.6.1. Transaksi Langsung SUN di Pasar Sekunder
Dalam rangka mengurangi refinancing risk, Pemerintah mengupayakan transaksi cash buyback dan
debt switching. Buyback dan debt switching dilakukan untuk mengelola risiko dengan memanfaatkan
idle cash di awal tahun dan early redemption terhadap seri SBN yang kurang likuid. Sementara
stabilisasi pasar dilakukan melalui targeted buyback terhadap seri SBN yang mengalami koreksi
harga yang cukup dalam.
Transaksi cash buyback dan debt switching dapat dilakukan melalui lelang atau dealing room.
Transaksi langsung melalui dealing room mulai dilaksanakan pada akhir tahun 2009 dan dilanjutkan
pada tahun 2010. Mekanisme transaksi secara langsung adalah menjual SUN di pasar perdana
atau membeli kembali SUN di pasar sekunder. Transaksi ini dilakukan Pemerintah dengan Primary
Dealers, Bank Indonesia, atau Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Transaksi secara langsung untuk stabilisasi harga hanya dilakukan apabila terdapat indikasi
penurunan harga yang signifikan pada SUN seri benchmark atau terdapat perbedaan harga yang
lebih rendah dan signifikan dari rata-rata kuotasi harga Primary Dealers. Adapun transaksi SUN
secara langsung sebagai upaya mengelola portofolio dilakukan untuk mengurangi jumlah nominal
seri SUN yang kurang likuid dan restrukturisasi profil jatuh tempo SUN. Selain itu, transaksi SUN
secara langsung yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pencapaian jumlah SBN neto dalam
APBN suatu tahun berjalan dilakukan apabila terjadi kelebihan atau kekurangan pencapaian jumlah
SBN neto pada tahun anggaran tersebut sebesar maksimal Rp500 miliar.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 153
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
152
Pada tahun 2009 telah dilakukan transaksi SUN secara langsung untuk pengelolaan portofolio
sebanyak 1 kali dengan nominal yang di-buyback sebesar Rp10 miliar. Pada tahun 2010 dilaksanakan
transaksi secara langsung sebanyak 10 kali dengan nominal yang di-buyback mencapai Rp2,33 triliun
dengan tujuan yang sama. Dengan transaksi secara langsung, diharapkan pasar SUN dapat lebih
aktif dalam jangka panjang, karena menambah confidence pelaku pasar, mengingat Pemerintah
setiap saat dapat masuk ke pasar dalam kondisi yang bergejolak. Transaksi SUN secara langsung
diharapkan pula memudahkan Pemerintah dalam mengelola kebutuhan kas untuk mengatasi
mismatch.
7.6.2. Akselerasi Pembayaran Pinjaman Luar Negeri
Sejak tahun 2008, Indonesia tidak eligible lagi untuk memperoleh pinjaman lunak melalui skema
International Development Association (IDA) dari World Bank, karena telah digolongkan ke dalam
Middle Income Country. Gross National Product (GNP) per capita Indonesia telah melebihi threshold
sebesar USD1,135 selama 3 tahun berturut-turut dan telah memenuhi kriteria untuk menerima
pinjaman IBRD. Berdasarkan ketentuan Loan Agreement, Pemerintah melakukan percepatan
pembayaran pinjaman untuk menambah availability pinjaman IDA yang dipinjamkan kepada
negara miskin dan berkembang yang membutuhkan.
Dari 2 pilihan akselerasi pinjaman IDA, yaitu Principal Option dan Interest Option, Pemerintah memilih
Principal Option yang mengubah tenor pinjaman menjadi lebih pendek dengan meningkatkan
pembayaran pokok dua kali lipat dari pembayaran dengan jadwal normal. Terdapat 30 pinjaman IDA
yang eligible untuk diakselerasi dengan outstanding USD2,22 miliar yang merupakan 3 persen dari
outstanding pinjaman luar negeri. Dengan mekanisme ini, Pemerintah akan membayar tambahan
cicilan pokok sebesar USD186 juta selama tahun 2012-2014 atau rata-rata USD62 juta per tahun dan
tenor pelunasan pinjaman bertambah pendek dari tahun 2042 menjadi 2030 (12 tahun).
Akselerasi yang mulai efektif dilakukan per 1 Juli 2011 akan berdampak pada meningkatnya biaya
efektif portofolio pinjaman Pemerintah, karena berkurangnya porsi pinjaman lunak. Namun,
akselerasi mengurangi jumlah utang dan potensi biaya pinjaman di masa mendatang. Adapun
tambahan alokasi pembayaran pinjaman dalam APBN tidak signifikan dan masih mampu dipenuhi
Pemerintah. Sebagai tindak lanjut akselerasi di tahun-tahun berikutnya, alokasi pos pembayaran
pinjaman luar negeri di dalam APBN dan sistem informasi pembayaran pinjaman pada back office
unit pengelola utang (DJPU) akan disesuaikan berdasarkan jadwal baru.
7.6.3. Dukungan Pengelolaan Utang Dalam Pengelolaan Capital Inflow
Perekonomian dunia pada tahun 2010 ditandai dengan masih lambatnya pemulihan ekonomi
setelah krisis keuangan global di akhir tahun 2008. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat,
Jepang, dan negara-negara Eropa masih mengalami masalah dalam pemulihan ekonomi. Kondisi
yang berbeda terjadi di negara-negara emerging market dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
yang relatif bertahan dan cepat pulih dari krisis.
Kondisi perekonomian Indonesia yang sangat baik dengan pertumbuhan ekonomi dan tingkat
bunga nominal yang cukup tinggi serta nilai tukar rupiah yang menguat merupakan daya tarik bagi
masuknya capital inflow. Pada tahun 2010, capital inflow yang masuk ke aset keuangan (portofolio
investment) tercatat sebesar Rp134,88 triliun (ekuivalen USD15 miliar), dengan jumlah penempatan
di SBN sekitar 64 persen atau Rp86 triliun.
Gambar 7.10.Kepemilikan SUN oleh Bank dan Non Bank Tahun 2005-2010
35%
30%
25%
15%
10%
5%
0
700
600
500
400
300
200
100
0
perbankan asing non perbankan % asing thp. total (rhs)
Jan-05 Jan-06 Jan-07 Jan-08 Jan-09 Jan-10
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang.
Capital inflows membawa manfaat bagi perekonomian, karena menambah investasi di sektor riil,
menurunkan yield SBN, menambah likuiditas pasar keuangan, meningkatkan cadangan devisa, dan
memperkuat nilai tukar rupiah. Namun, terdapat potensi bahaya yang cukup besar apabila tidak
dikelola secara baik, yakni asset bubble sebagai akibat tidak tersedianya supply asset (saham dan
obligasi), menguatnya rupiah secara berlebihan, serta pembalikan secara tiba-tiba (sudden reversal)
yang mengancam stabilitas pasar keuangan.
Untuk mengantisipasi risiko sudden reversal, Pemerintah telah menyiapkan langkah-langkah untuk
menenangkan pasar obligasi dengan membentuk Bond Stabilization Framework (BSF). BSF dibentuk
dengan memanfaatkan dana buyback SUN, penempatan kas dan investasi Pemerintah, dana Saldo
Anggaran Lebih (SAL), serta dana BUMN, khususnya yang terkait dengan pasar keuangan. Dipilihnya
BUMN untuk menyerap SUN memberikan dua keuntungan, yaitu sebagai alternatif investasi bagi
BUMN dan sekaligus membantu Pemerintah dalam menjaga stabilitas harga SUN.
Pemerintah senantiasa mewaspadai potensi sudden reversal dengan menerapkan Crisis Management
Protocol (CMP) yang berfungsi sebagai trigger bagi BUMN untuk mulai masuk ke pasar obligasi
dengan membeli SUN. Pembelian SUN oleh BUMN dilakukan ketika harga SUN telah mencapai
batas bawah. BSF pernah dilakukan di Korea Selatan pada saat krisis tahun 1999 dengan jumlah
dana sebesar KRW30 triliun.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 155
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
154
7.6.4. Pengaturan Mekanisme Sukuk Project
Pemerintah mempersiapkan penerbitan Sukuk dengan underlying project (Sukuk Project) dalam
rangka pengembangan instrumen SBN. Pengembangan instrumen ini memperluas underlying
penerbitan SBSN dari BMN menjadi kegiatan. Upaya ini dilatarbelakangi oleh kendala penerbitan
Sukuk dengan underlying BMN yang memiliki keterbatasan dalam hal jumlah BMN yang tersedia
dibandingkan dengan menggunakan underlying project yang jumlahnya jauh lebih besar.
Penerbitan Sukuk Project bertujuan untuk membuka dan memperkaya alternatif pembiayaan
APBN melalui utang serta mengembangkan pasar Sukuk dengan basis investor syariah. Selain itu,
instrumen ini akan memperjelas pemanfaatan APBN untuk membiayai kegiatan pembangunan
tertentu daripada digunakan untuk membiayai defisit APBN.
Penerbitan Sukuk Project memerlukan koordinasi dengan seluruh pihak terkait agar desainnya dapat
diselaraskan dengan kebutuhan pembiayaan, mekanisme kerja, dan prinsip syariah. Koordinasi
yang dilakukan dengan unit perencana pembangunan nasional meliputi jenis, nilai, dan waktu
pelaksanaan proyek yang merupakan bagian dari program APBN.
Gambar 7.11.Konsep Pembiayaan Sukuk Project
Kementerian Keuangan
Satker(KL / UP3)O&M, Kontraktor,
Pengguna Terakhir
BUMN, Pemda, BLU
EPC Contractors
Project Underlying
Kontrak Pengadaan/ Pembangunan
Pelaksanaan Pembangunan/
Konstruksi
Pengelolaan Paska
Konstruksi
InvestorSukukProceeds
Pelaksanaan KontrakPenerusan PinjamanPemanfaatan
sesuai kontrak
PengembalianDana APBN
LaporanPengelolaan
BMN
Pembayaran Imbalan & Nilai Nominal Sukuk
Pemanfaatan sesuai PP 6/06 Kontrak Penerusan
Pinjaman
Usulan PembiayaanProyekPelaksanaan
APBN
Keterangan:
Alur Kegiatan/Proyek yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga(K/L)
Alur Kegiatan/Proyek yang dilakukan oleh selainK/L
Alur proceeds, bunga dan pokok Sukuk
Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang.
Sasaran pembiayaan Sukuk Project adalah kegiatan Pemerintah Pusat yang dibiayai dari SBSN atau
belum mendapatkan sumber pembiayaan rupiah murni, dan kegiatan pihak lain, seperti BUMN,
Pemda, dan Badan Layanan Umum (BLU). Secara sektoral, pembiayaan Sukuk project ditujukan
untuk proyek pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan umum, pemberdayaan industri
dalam negeri, dan investasi Pemerintah. Proyek infrastruktur yang dibiayai terdiri dari sektor energi,
telekomunikasi, perhubungan, pertanian, industri manufaktur, dan perumahan rakyat.
7.6.5. Pengelolaan Asset-Liability Management
Dalam rangka pengelolaan keuangan negara yang lebih baik, Pemerintah menginisiasi pengelolaan
aset dan kewajiban Pemerintah melalui asset-liability management (ALM). Penerapan ALM ditujukan
untuk meningkatkan efisiensi keuangan negara, memperbaiki pengelolaan risiko fiskal, dan
meningkatkan pengelolaan risiko utang. Fokus perhatian dalam penerapan ALM diantaranya
adalah restrukturisasi terhadap Surat Utang Pemerintah (SUP) dan optimalisasi hubungan di antara
unit pengelola utang dengan unit-unit terkait lainnya.
Restrukturisasi SUP dilakukan dengan mengubah struktur jatuh tempo obligasi negara Special Rate
Bank Indonesia (SRBI) dari bersifat utuh (bullet) pada tahun 2033 menjadi secara angsuran (amortize).
SRBI merupakan salah satu seri surat utang yang diterbitkan Pemerintah kepada Bank Indonesia
(non-tradeable) dalam rangka penyelamatan perbankan dari krisis tahun 1998 akibat pemberian
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada perbankan. Restrukturisasi SUP memperbaiki
neraca Bank Indonesia melalui konversi SUP dengan SBN tradeable yang dapat digunakan sebagai
instrumen pengelolaan moneter dan mengembalikan ketentuan permodalan minimal Bank
Indonesia dari 3 persen atas kewajiban moneter menjadi Rp2 triliun.
Optimalisasi hubungan di antara unit pengelola utang dengan unit-unit lain, khususnya Bank
Indonesia, dilakukan dalam perspektif suatu negara. Neraca bank sentral merupakan bagian dari
neraca negara secara keseluruhan, sehingga biaya pengelolaan moneter secara tidak langsung
ditanggung oleh Pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah berkewajiban menjaga kecukupan
modal Bank Indonesia agar dapat menjalankan fungsi moneternya dengan baik.
Hal lain yang dicakup dalam pengelolaan keuangan negara dengan penerapan pendekatan ALM
adalah berikut ini.
(1) Pengelolaan Currency Risk Pemerintah
(2) Pengelolaan Idle Cash serta Biaya dan Risiko Utang
(3) Pemenuhan target pembiayaan APBN tahun berjalan.
(4) Antisipasi kondisi pasar SBN.
(5) Siklus kas terkait pola realisasi anggaran.
(6) Remunerasi kas pada berbagai instrumen.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 157
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
156
7.6.6. Pemanfaatan Sumber Pinjaman Dalam Negeri
Pinjaman Dalam Negeri (PDN) merupakan salah satu bentuk instrumen utang yang dapat menjadi
alternatif sumber pembiayaan, khususnya pembiayaan kegiatan. PDN mulai dimanfaatkan
sejak tahun 2010 untuk mendukung pemberdayaan industri dalam negeri dan pembangunan
infrastruktur. Instrumen ini dikembangkan sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi
ketergantungan terhadap pinjaman komersial luar negeri serta mendukung pengembangan
produk-produk yang dihasilkan oleh industri di dalam negeri. Pada tahap awal, pemanfaatan PDN
masih difokuskan kepada pelaksanaan kegiatan pada Kementerian Pertahanan dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan target penarikan sebesar Rp1 triliun.
Terdapat 2 proses yang dilakukan secara paralel dalam PDN, yaitu pengadaan barang yang
dilaksanakan di K/L dan pengadaan pinjaman yang dilaksanakan di Kementerian Keuangan. Kedua
proses dilakukan secara terpisah dalam rangka mempercepat pelaksanaan kegiatan, meskipun
eksekusi atas kegiatan yang direncanakan tidak berkurang kualitasnya. Dalam pelaksanaannya
diperlukan komunikasi dan koordinasi yang intensif di antara K/L dengan Kementerian Keuangan.
Penyerapan pembiayaan dari kegiatan yang dibiayai melalui PDN belum dapat memenuhi target
pada tahun 2010. Dari jumlah dana yang disediakan sebesar Rp1 triliun, hanya dapat terserap
Rp476,7 miliar hingga akhir Desember 2010. Sisa dana pinjaman yang belum tertarik di tahun 2010
akan dilanjutkan pada tahun 2011.
7.8. MANAJEMEN INVESTASI
7.8.1. Penyelesaian Piutang Negara Yang Bersumber Dari SLA/RDI Pada BUMN Atau Perseroan
Terbatas
Program Penyelesaian Piutang Negara yang bersumber dari Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman
(NPPP/SLA) dan Perjanjian Pinjaman Rekening Dana Investasi (PP RDI) pada BUMN atau Perseroan
Terbatas pada tahun 2010 telah memasuki tahun keempat. Program Penyelesaian Piutang Negara
merupakan upaya Pemerintah dalam meringankan beban pembayaran kewajiban BUMN/PT
dalam rangka penyehatan BUMN/PT dengan meminimalkan berkurangnya penerimaan negara.
Keputusan mengenai cara penyelesaian piutang negara dilaksanakan melalui Komite Penyelesaian
Piutang Negara yang bersumber dari NPPP dan PP RDI pada BUMN/PT yang terdiri dari unit-unit
pada Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN.
Untuk mempercepat pelaksanaan program ini, pada tahun 2010 dilakukan penambahan cara
penyelesaian, yaitu melalui pembayaran dengan aset. Cara ini melengkapi cara-cara penyelesaian
sebelumnya, yaitu penjadualan kembali, perubahan persyaratan, Penyertaan Modal Negara (PMN),
dan penghapusan sebagaimana diatur di dalam PMK No. 17/PMK.05/2007 tentang Penyelesaian
Piutang Negara yang bersumber dari Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman dan Perjanjian
Pinjaman Rekening Dana Investasi pada Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas. Sampai
dengan tanggal 31 Desember 2010, jumlah BUMN yang mengikuti restrukturisasi adalah 51 BUMN.
Tabel 7.7.Jumlah BUMN Yang Mengikuti Program Restrukturisasi Per 31 Desember 2010
No. Uraian Jumlah BUMN
1. Telah disetujui oleh Menteri Keuangan 20
2. Menunggu persetujuan Menteri Keuangan 3
3. Masih dibahas di Komite Kebijakan 5
4. Masih dibahas di Komite Teknis 2
5. Masih dibahas di Komite Tim Kerja 10
6. Masih menunggu kelengkapan dokumen 11
Jumlah Permohonan 51
Sumber: Direktorat SMI, Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Ke-20 BUMN/PT yang telah menyelesaikan proses restrukturisasi melakukan pembayaran utang ke
rekening Bendahara Umun Negara (BUN) dengan lancar. Posisi piutang Pemerintah sampai dengan
tanggal 31 Desember 2010 mencapai Rp55.058 miliar, sedangkan total tunggakan mencapai
Rp6.339 miliar. Tunggakan pokok tercatat sebesar Rp2.415 miliar dan tunggakan non pokok sebesar
Rp3.923 miliar.
Sementara itu, terdapat beberapa penyelesaian Piutang Negara yang diselesaikan tersendiri, yaitu
piutang pada Bank Beku Operasi (BBO)/Bank Beku Usaha Operasi (BBKU) dan Bank Dalam Likuidasi
(BDL) yang sudah mulai diproses melalui koordinasi dengan DJKN dan Biro Hukum.
Tabel 7.8. Posisi Piutang Pemerintah Pada BUMN per 31 Desember 2010 (dalam miliar Rupiah)
Sumber Pendanaan Piutang Tunggakan Pokok
Tunggakan Non Pokok Tunggakan
RDI dan RPD 7.875 1.338 2.624 3.963
SLA 47.141 1.077 1.298 2.376
Non SLA 42 0 0 0
Jumlah 55.058 2.415 3.923 6.339
Sumber: Direktorat SMI, Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
7.8.2. Penyelesaian Piutang Negara Yang Bersumber Dari SLA/RDI/RPD Pada PDAM
Ditjen Perbendaharaan melaksanakan pengelolaan piutang negara pada 205 PDAM. Dari jumlah
tersebut, 30 PDAM masuk dalam kategori lancar, sedangkan 175 PDAM tercatat memiliki tunggakan.
Ditjen Perbendaharaan telah merestrukturisasi utang PDAM sebagaimana diatur dalam PMK No.
120/PMK.05/2008 tentang Penyelesaian Piutang Negara Yang Bersumber Dari Penerusan Pinjaman
Luar Negeri, Rekening Dana Investasi, dan Rekening Pembangunan Daerah Pada Perusahaan
Daerah Air Minum. Dari 175 PDAM yang mempunyai tunggakan, sampai dengan akhir tahun 2010,
telah diterima 114 permohonan restrukturisasi.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 159
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
158
Jumlah piutang Pemerintah kepada PDAM per 31 Desember 2010 tercatat sebesar Rp6.044 miliar
dengan total tunggakan sebanyak Rp3.581 miliar. Tunggakan terdiri dari tunggakan pokok sebesar
Rp699 miliar dan tunggakan non pokok sebesar Rp2.882 miliar.
Per 31 Desember 2010, tunggakan PDAM yang telah diselesaikan sebanyak Rp3.099 miliar,
USD89.89, dan DM681.21. Penyelesaian tunggakan tersebut mencakup tunggakan pokok maupun
tunggakan non pokok.
7.8.3. Percepatan Penyelesaian Piutang Negara Pada Pemda
Ditjen Perbendaharaan melaksanakan pengelolaan piutang negara pada 194 Pemda. Dari jumlah
tersebut, 87 Pemda masuk kategori lancar, sedangkan 107 Pemda memiliki tunggakan. Ditjen
Perbendaharaan telah melaksanakan restrukturisasi utang Pemda sebagaimana diatur dalam
PMK No. 153/PMK.05/2008 tentang Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Penerusan
Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi dan Rekening Pembangunan Daerah pada
Pemerintah Daerah dengan fokus pada 60 Pemda yang memiliki tunggakan di atas Rp100 juta.
Jumlah Pemda yang mengajukan permohonan mengikuti program ini sampai dengan 31 Desember
2010 adalah 107 Pemda.
Jumlah piutang Pemerintah kepada Pemda sampai dengan tanggal 31 Desember 2010 tercatat
sebesar Rp1.172 miliar dan total tunggakan mencapai Rp861 miliar. Tunggakan pokok sebanyak
Rp307 miliar dan tunggakan non pokok sebesar Rp554 miliar.
7.8.4. Penyaluran Dana Kepada Kepada Pusat Investasi Pemerintah (PIP)
UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengamanatkan Pemerintah untuk
melakukan investasi jangka panjang dengan tujuan memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan
manfaat lainnya. Investasi Pemerintah dilakukan oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP), sedangkan
regulator atas pelaksanaan investasi diljalankan oleh Ditjen Perbendaharaan cq. Direktorat Sistem
Manajemen Investasi. Sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 telah disalurkan dana APBN ke
PIP sebesar Rp5.427,5 miliar.
Dana investasi Pemerintah disalurkan dari APBN kepada PIP untuk dikelola berdasarkan PP No.
1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah. Dana tersebut dialokasikan untuk mendukung
pembangunan infrastruktur dan bidang lainnya. Pada tahun 2010, PIP juga menerima penugasan
untuk menyalurkan investasi kepada PT. PLN (Persero) sebesar Rp7.500 miliar dan dana amanah
berupa Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN) sebesar Rp1.000 miliar.
Jenis-jenis penyaluran investasi Pemerintah, termasuk didalamnya investasi untuk pembangunan
infrastruktur yang telah dilaksanakan sampai dengan tahun 2010 terdiri dari investasi reguler dan
investasi mandatory.
a. Investasi Reguler
(1) Penyediaan dana talangan pembebasan lahan yang akan digunakan untuk percepatan
pembangunan jalan tol trans java dan ruas jalan tol lainnya. Penyaluran dana dilakukan dengan
mekanisme dana bergulir dan total dana yang telah diinvestasikan mencapai Rp1.444 miliar.
(2) Pemberian pinjaman (bridging financing) untuk pembangunan bandar udara baru Medan di
Kualanamu sebesar Rp194,6 miliar.
(3) Pemberian pinjaman untuk proyek rehabilitasi bendungan Situ Gintung di Tangerang Selatan
dan proyek irigasi Batang Anai di Sumatera Barat sebesar Rp29 miliar, serta pembangunan
terminal LPG Pressurized di Tanjung Sekong Banten sebesar Rp50 miliar.
(4) Saat ini sedang dilakukan pengkajian untuk investasi proyek-proyek infrastruktur, namun
hingga akhir tahun 2010 belum tersalurkan.
b. Investasi Mandatory
(1) Pinjaman Lunak kepada PT. PLN (Persero)
Melalui UU No. 2 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 47 Tahun 2009 tentang APBN TA
2010, Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp7,5 triliun untuk pinjaman lunak kepada
PT. PLN (Persero). Pinjaman ini diberikan untuk menutup financing gap akibat pengadaan dan
penggantian trafo, penguatan instalasi transmisi dan distribusi, serta investasi lainnya. Pencairan
dana oleh PIP dari APBN ke Rekening Induk Dana Investasi (RIDI) telah dilaksanakan. Pada saat
ini sedang dilakukan pembahasan secara intensif untuk menyelesaikan Rancangan Peraturan
Presiden dan rancangan PMK mengenai pemberian pinjaman lunak tersebut.
(2) Pengelolaan Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN)
DPPN sebesar Rp1 triliun merupakan bagian dari anggaran pendidikan yang dialokasikan dalam
bentuk endowment fund dan dana cadangan pendidikan. Dana tersebut untuk sementara
dikelola PIP hingga terbentuknya BLU Bidang Pendidikan.
7.9. RISIKO FISKAL
Risiko fiskal didefinisikan sebagai potensi tambahan defisit APBN yang disebabkan oleh sesuatu
di luar kendali Pemerintah. Kesadaran akan adanya risiko fiskal yang dapat membebani APBN dan
pencapaian tujuan kebijakan fiskal mendorong Pemerintah untuk mengungkapkan risiko fiskal di
dalam Nota Keuangan yang diajukan bersamaan dengan pengajuan APBN ke DPR setiap tahun.
Pengungkapan risiko fiskal diperlukan untuk:
(1) meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan dalam pengelolaan kebijakan fiskal;
(2) meningkatkan keterbukaan fiskal;
(3) meningkatkan tanggung jawab fiskal; dan
(4) menciptakan kesinambungan fiskal.
Pengungkapan risiko fiskal di dalam Nota Keuangan telah dimulai sejak APBN Tahun 2008 dan
terus berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2010, risiko fiskal dikelompokkan ke
dalam 4 kategori, yaitu Analisis Sensitivitas, Risiko Utang Pemerintah Pusat, Kewajiban Kontinjensi
Pemerintah Pusat, dan Desentralisasi Fiskal.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 161
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
160
7.9.1. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh indikator-indikator ekonomi makro
terhadap APBN. Indikator-indikator ekonomi makro secara langsung mempengaruhi pendapatan,
belanja, dan pembiayaan yang bermuara pada perubahan defisit APBN dan secara tidak langsung
berpengaruh melalui kontribusi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terhadap APBN.
7.9.1.2. Sensitivitas Asumsi Ekonomi Makro
Risiko fiskal akibat variasi kondisi ekonomi makro dapat digambarkan dalam bentuk analisis
sensitivitas parsial terhadap angka baseline defisit APBN. Analisis sensitivitas parsial digunakan
untuk melihat dampak perubahan atas satu variabel ekonomi makro terhadap defisit APBN, dengan
mengasumsikan variabel lainnya tidak berubah (ceteris paribus). Analisis sensitivitas tersebut
menghasilkan risiko fiskal berupa tambahan defisit yang berpotensi muncul dari variasi variabel
ekonomi makro yang digunakan untuk menyusun asumsi APBN-P Tahun 2010.
Tabel 7.9.Sensitivitas Defisit APBN-P 2010 terhadap Perubahan Asumsi Ekonomi Makro
No. UraianSatuan
Perubahan Asumsi
2010*
Asumsi Potensi Tambahan Defisit (Rp Triliun)
1. Pertumbuhan Ekonomi (%) -1 5,8 4,1 s. d. 4,52. Inflasi (%) +0,1 5,3 Tidak langsung3. Tingkat Suku Bunga SBI 3 Bulan (%) +0,25 6,5 0,3 s. d. 0,54. Nilai Tukar (Rp/USD) +100 9.200 0,44 s. d. 0,565. ICP (USD/barel) +1 80 -0,3 s. d. 0,06. Lifting Minyak Mentah (ribu barel per hari) -10 965 3,00 s.d 3,347. Konsumsi BBM Domestik (juta kiloliter) +0,5 36,5 1,33 s. d. 1,46
* Defisit APBN-P Tahun 2010 adalah Rp133,7 triliun.Sumber: Badan Kebijakan Fiskal.
7.9.1. Sensitivitas Variabel Ekonomi Makro terhadap Risiko Fiskal BUMN
Perubahan harga minyak, nilai tukar, pertumbuhan ekonomi, dan suku bunga dapat mempengaruhi
kinerja keuangan BUMN dan kontribusinya terhadap APBN. Penurunan kontribusi BUMN merupakan
bagian dari risiko fiskal. Untuk mengetahui dampak perubahan variabel ekonomi makro terhadap
risiko fiskal BUMN, Pemerintah telah melakukan pengujian sensitivitas atau macro stress test
dengan menggunakan indikator kontribusi bersih BUMN terhadap APBN, utang bersih BUMN, dan
kebutuhan pembiayaan bruto BUMN. Pengujian sensitivitas dapat memberikan gambaran tentang
magnitude risiko dari BUMN yang memengaruhi APBN, informasi dini risiko fiskal, dan gambaran
risiko sektoral, sehingga dapat diambil tindakan dini terhadap gejala tersebut.
7.9.2. Risiko Utang Pemerintah Pusat
Risiko yang dihadapi dalam pengelolaan risiko utang Pemerintah dapat muncul dari lingkungan
eksternal maupun internal organisasi. Risiko-risiko dimaksud antara lain risiko keuangan, yaitu risiko
tingkat bunga, nilai tukar, dan refinancing, serta risiko operasional. Jenis-jenis risiko memiliki dampak
langsung terhadap efisiensi dan efektifitas pengelolaan utang.
7.9.3. Kewajiban Kontinjensi Pemerintah Pusat
Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu dan
keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa atau lebih
pada masa datang yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali Pemerintah. Kewajiban kontinjensi
Pemerintah Pusat yang menjadi risiko fiskal bersumber dari pemberian dukungan dan/atau jaminan
atas proyek-proyek infrastruktur, kewajiban yang timbul akibat program pensiun dan tabungan
hari tua PNS, kewajiban Pemerintah untuk menambahkan modal jika modal beberapa lembaga
keuangan, yaitu Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Lembaga Pembiayaan
Ekspor indonesia (LPEI), di bawah jumlah yang diatur dalam undang-Undang, tuntutan hukum
kepada Pemerintah oleh pihak ketiga, keikutsertaan dalam organisasi dan lembaga keuangan
internasional, dan bencana alam.
7.9.3.1. Proyek Pembangunan Infrastruktur
Risiko fiskal yang terkait dengan proyek pembangunan infrastruktur berasal dari dukungan dan/atau
jaminan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap proyek percepatan pembangunan pembangkit
tenaga listrik 10.000 MW, proyek pembangunan jalan tol trans Jawa, proyek pembangunan jalan tol
Jakarta Outer Ring Road II (JORR II), proyek pembangunan monorail Jakarta, percepatan penyediaan
air minum, dan dukungan Pemerintah untuk model IPP PLTU Jawa Tengah.
7.9.3.2. Program Pensiun dan Tabungan Hari Tua PNS
Risiko fiskal yang berasal dari Program Pensiun PNS terutama berasal dari peningkatan jumlah
pembayaran manfaat pensiun dari tahun ke tahun, karena sejak tahun anggaran 2009, pendanaan
pensiun PNS seluruhnya menjadi beban APBN. Beberapa faktor yang memengaruhi kenaikan
pembayaran manfaat pensiun diantaranya adalah jumlah PNS yang mencapai batas usia pensiun,
meningkatnya gaji pokok PNS, meningkatnya pensiun pokok PNS, dan adanya pembayaran Dana
Kehormatan sesuai dengan PP No. 24 Tahun 2008 tentang Dana Kehormatan Veteran Republik
Indonesia.
Risiko fiskal yang berasal dari Progam Tabungan Hari Tua (THT) PNS terutama berasal dari unfunded
liability. PT Taspen mencatat adanya akumulasi unfunded liability yang timbul akibat kebijakan
Pemerintah menaikan gaji pokok PNS sejak tahun 2007 hingga 2010. Pemerintah belum mengakui
secara nominal unfunded liability Program THT PNS, namun Pemerintah bertanggung jawab penuh
untuk membayar/melunasi unfunded liability secara tunai atau dengan instrumen lain.
7.9.3.3. Sektor Keuangan
Kewajiban kontinjensi Pemerintah pada sektor keuangan terutama berasal dari kewajiban
Pemerintah untuk menambah modal lembaga keuangan, yaitu Bank Indonesia, LPS, dan LPEI, jika
modal lembaga-lembaga keuangan tersebut lebih rendah dari modal yang dimiliki.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 163
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
162
7.9.3.4. Tuntutan Hukum kepada Pemerintah
Pemerintah menghadapi gugatan-gugatan hukum yang sebagian diantaranya menimbulkan
potensi pengeluaran negara. Terkait dengan perkara yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
dan fungsi Kementerian Keuangan, tuntutan ganti rugi yang dihadapi Pemerintah pada tahun 2010
sebesar Rp909,5 miliar, yang terdiri dari tuntutan ganti rugi materiil sebesar Rp212,9 miliar dan
immateriil sebesar Rp696,5 miliar. Sementara itu, terdapat 2 jenis perkara yang menyangkut eks-
BPPN, penanganan perkara eks-BPPN dan pendampingan kepada mantan pejabat dan karyawan
BPPN yang diminta keterangannya sebagai saksi oleh pejabat terkait.
Pada perkara perdata eks-BPPN terdapat perkara yang berhubungan dengan Program Penjaminan
Pemerintah dan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Untuk perkara yang terkait
Program Penjaminan Pemerintah, terdapat beberapa perkara yang mewajibkan Pemerintah
membayar dan yang berpotensi membayar.
Perkara yang berkaitan dengan PKPS, BPPN (dan Bank Indonesia) diharuskan membayar Rp23,5
miliar. Namun, penggugat masih mempunyai kewajiban kepada negara, yaitu Jumlah Kewajiban
Pemegang Saham (JKPS) sebesar Rp88,2 miliar (sebelum dikurangi dengan setoran penggugat dan
penjualan group loan).
7.9.3.5. Keanggotaan pada Organisasi dan Lembaga Keuangan Internasional
Keanggotaan Indonesia pada organisasi dan lembaga keuangan internasional dapat menimbulkan
risiko fiskal yang terkait dengan komitmen Pemerintah untuk memberikan kontribusi dan penyertaan
modal. Untuk tahun 2010, jumlah dana yang harus dipersiapkan untuk membayar kontribusi dan
penyertaan modal pada organisasi dan lembaga keuangan internasional sebesar Rp1.094,7 miliar.
Kontribusi kepada organisasi internasional yang disalurkan melalui DIPA Kementerian Luar Negeri
sebagaimana diatur dalam Keppres No. 64 Tahun 1999 berjumlah kurang lebih Rp300 miliar.
Sementara kontribusi, penyertaan modal, dan trust fund pada organisasi dan lembaga keuangan
internasional yang dialokasikan pada DIPA Kementerian Keuangan sebesar Rp794,7 miliar.
7.9.3.6. Bencana Alam
Indonesia merupakan negara yang terletak pada titik rawan bencana di bumi, sehingga sering
terjadi gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan
kebakaran hutan. UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah meletakkan
tanggung jawab kepada Pemerintah untuk menanggulangi bencana dalam bentuk perlindungan
masyarakat dari dampak bencana, pemulihan kondisi dari dampak bencana, dan pengalokasian
anggaran penanggulangan bencana dalam APBN. Anggaran tersebut diperuntukkan untuk
kegiatan-kegiatan tahap pra bencana, saat tanggap darurat bencana, dan pasca bencana.
Pada APBN Tahun 2010, Pemerintah mengalokasikan kontinjensi bencana alam sebesar Rp3,0 triliun,
sedangkan pada APBN-P Tahun 2010 meningkat menjadi sebesar Rp3,8 triliun. Besaran alokasi ini
didasarkan pada pengalaman kebutuhan bantuan Pemerintah untuk daerah-daerah yang sering
mengalami bencana alam, namun dengan skala yang relatif kecil. Pengalaman dari bencana besar
yang terjadi selama beberapa tahun terakhir ini juga menunjukan pembiayaan rehabilitasi dan
rekonstruksi atas bencana-bencana besar semakin meningkat, sehingga tidak dapat dipenuhi hanya
dari anggaran dana cadangan bencana alam.
Dengan pola pembiayaan saat ini, di mana APBN menjadi tumpuan utama, maka bencana alam
berpotensi memberikan tekanan pada kesinambungan APBN pada saat setiap kejadian bencana.
Oleh karena itu, perlu dilakukan diversifikasi pembiayaan risiko bencana.
7.9.4. Desentralisasi Fiskal: Pemekaran Daerah
Kebijakan desentralisasi fiskal dilakukan dengan tujuan mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat.
Desentralisasi fiskal juga diarahkan untuk meningkatkan daya saing daerah dengan memerhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penerapan kebijakan ini selain menghasilkan
hal-hal positif sebagaimana yang diharapkan ternyata juga berpotensi menimbulkan risiko fiskal.
Risiko fiskal bersumber dari pemekaran daerah, formula penghitungan Dana Bagi Hasil (DBH), dan
bertambahnya bidang baru pada Dana Alokasi Khusus (DAK).
Penambahan daerah otonom baru memiliki dampak terhadap APBN berupa meningkatnya Dana
Alokasi Umum (DAU), DAK, dan kebutuhan pada instansi vertikal. Dampak tersebut diantaranya
dapat bersumber dari perubahan harga minyak dan gas bumi (migas) yang berpengaruh terhadap
sisi penerimaan maupun belanja negara. Setiap tambahan penerimaan negara akibat perubahan
harga migas sebagian besar akan ditransfer ke daerah melalui mekanisme DBH migas dan DAU
dengan jumlah yang sudah diformulasikan. Namun, seluruh tambahan belanja ditanggung oleh
Pemerintah Pusat. Sebagai contoh adalah kenaikan subsidi BBM akibat kenaikan harga minyak.
Setiap tambahan penerimaan akan didistribusikan ke daerah, tetapi setiap tambahan belanja
hanya ditanggung oleh Pemerintah Pusat. Jika metode pembagiannya tetap dipertahankan seperti
ini, maka Pemerintah Pusat berpotensi menanggung beban yang signifikan ketika harga migas
mengalami kenaikan yang pesat, seperti yang terjadi pada tahun 2007 dan 2008. Di samping itu,
penambahan bidang baru pada DAK, yakni bidang perdagangan untuk pasar tradisional dan
bidang pembangunan daerah tertinggal untuk sarana dan prasarana pedesaan juga mengharuskan
Pemerintah Pusat menyediakan dana tambahan.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 165
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
164
7.9.5. Anggaran Risiko Fiskal
Untuk mengantisipasi risiko fiskal, Pemerintah telah mengalokasikan anggaran dalam APBN
dan APBN-P 2010. Pada tahun 2010, anggaran risiko fiskal dialokasikan dalam pos Belanja Lain-
Lain dan Pembiayaan Nonperbankan Dalam Negeri. Alokasi dalam Belanja Lain-Lain antara lain
Risiko Perubahan Asumsi Ekonomi Makro, Risiko Kenaikan Harga Tanah untuk Proyek Jalan Tol,
cadangan stabilisasi harga pangan, serta risiko fiskal lainnya yang meliputi alokasi anggaran untuk
mengantisipasi kekurangan pasokan gas untuk PT PLN dan risiko penurunan pendapatan apabila
lifting tidak tercapai, dan dana kontinjensi bencana alam. Alokasi pada Pembiayaan Nonperbankan
Dalam Negeri antara lain cadangan kewajiban penjaminan pada PT PLN dan PDAM. Cadangan
kewajiban penjaminan dialokasikan ke dalam pembiayaan, karena merupakan dana talangan jika
PT PLN atau PDAM tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada kreditur.
Tabel 7.10.Alokasi Anggaran Risiko Fiskal Tahun 2010 dan Realisasinya (dalam miliar Rupiah)
Alokasi Anggaran Risiko Fiskal2010
APBN APBN-P RealisasiAlokasi dalam Belanja Lain-Lain
Risiko Perubahan Asumsi Ekonomi Makro 2.800,0 - -Risiko Kenaikan Harga Tanah untuk Proyek jalan Tol (Land capping) 1 1.200,0 1.000,0 353,0Cadangan Stabilisasi Harga Pangan 2 1.000,0 1.000,0 229,0Risiko Fiskal Lainnya 3 3.625,0 4.000,0 4.000,0Dana Kontinjensi Bencana Alam 3.000,0 3.792,8 2.862,0
Jumlah Alokasi dalam Belanja Lain-Lain 11.625,0 9.792,8 Alokasi dalam Pembiayaan Nonperbankan Dalam Negeri
Cadangan Kewajiban Penjaminan pada PT PLN 4 1.000,0 1.000,0 -Cadangan Kewajiban Penjaminan pada PDAM 5 50,0 50,0 -
Jumlah Alokasi pada Pembiayaan Nonperbankan DN 1.050,0 1.050,0
Sumber: Badan Kebijakan Fiskal.
Keterangan:1 Rendahnya realisasi alokasi dana land capping dikarenakan belum ada kesepakatan nilai ganti rugi pembebasan tanah untuk jalan tol, badan
usaha tidak memiliki dana yang cukup untuk pembebasan tanah, dan badan usaha belum memenuhi kewajiban untuk membebaskan tanah sebesar 110 % dari nilai yang disepakati dalam perjanjian pengusahaan jalan tol antara badan usaha dan Kementerian Pekerjaan Umum.
2 Stabilisasi harga pangan di luar kendali Kementerian Keuangan.3 Kesepakatan Panitia Kerja A DPR dalam pembahasan APBN-P 2010 menyepakati tambahan belanja untuk cadangan risiko fiskal sebesar Rp4
triliun dengan rincian untuk mengantisipasi kekurangan pasokan gas untuk PT PLN Rp2,5 triliun dan risiko penurunan pendapatan apabila lifting tidak tercapai sebesar Rp1,5 triliun.
4 Tidak ada realisasi cadangan kewajiban penjaminan kepada PT PLN, karena masih mampu memenuhi kewajibannya kepada kreditur secara tepat waktu.
5 Tidak ada realisasi cadangan kewajiban penjaminan pada PDAM, karena belum ada proses pemberian jaminan yang selesai di tahun 2010.
7.10. KENDALA DAN TANTANGAN PENGELOLAAN PEMBIAYAAN
Posisi Indonesia yang telah menjadi middle income country berdampak pada berkurangnya alokasi
pinjaman lunak (concessional) dari kreditur bilateral dan multilateral. Hal ini dapat dimaklumi
mengingat keterbatasan dana pinjaman concessional dan besarnya kebutuhan dana bagi poor dan
lower income countries untuk mendukung pembangunan. Kondisi ini menyebabkan Pemerintah
lebih tereksposes pada dinamika pasar keuangan.
Pemerintah dituntut untuk lebih piawai dalam mencari sumber pembiayaan pinjaman dan
mengelola portofolio pinjaman yang favorable pada tingkat risiko yang terkendali. Pemerintah
dapat mengembangkan instrumen pembiayaan pinjaman melalui structured products, melakukan
restrukturisasi portofolio pinjaman, khususnya terhadap pinjaman dengan biaya yang mahal, serta
memperbaiki kinerja penyerapan pinjaman.
Besaran tambahan utang Pemerintah masih belum dapat terkendali dengan baik dan memerlukan
reformulasi kebijakan penyusunan anggaran. Siklus anggaran saat ini perlu dikaji ulang secara lebih
komprehensif, sehingga penerimaan dapat ditingkatkan dan belanja negara dapat lebih dioptimalkan.
Kebijakan yang dapat ditempuh adalah melalui penetapan asumsi dasar dan kebijakan belanja dalam
postur APBN sebagai dasar penyusunan belanja K/L.
Pengendalian besaran tambahan utang juga tidak terlepas dari perlunya peningkatan kerjasama
dalam pengelolaan kas di antara Ditjen Perbendaharaan, DJA, dan DJPU. Hal ini terkait dengan
dengan proses bisnis yang mencakup pengelolaan fiskal, penerimaan dan pengeluaran negara,
serta penerbitan/pengadaan utang baru. Peningkatan koordinasi dapat ditempuh melalui rencana
penerimaan dan penggunaan dana secara triwulanan berdasarkan komitmen dari K/L yang dapat
dimanfaatkan sebagai acuan dalam penerbitan/pengadaan utang.
Ketelitian
Fokus Di Setiap Detil PekerjaanUntuk Hasil Yang Valid Dan Reliabel
CAREFUL
Focus In Every Working DetailFor Valid And Reliable Result
Carefulness
TeLITI
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 169
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
168
8.1. ARAH DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA
Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Ditjen Perbendaharaan) memiliki fungsi yang strategis
dalam pengelolaan keuangan negara, yaitu meliputi pelaksanaan anggaran, pengelolaan kas,
pertanggungjawaban keuangan Pemerintah, manajemen investasi Pemerintah, pembinaan
pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU), serta pengembangan sistem dan transformasi
perbendaharaan. Untuk menjalankan fungsi tersebut, Ditjen Perbendaharaan mempunyai kantor
vertikal yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, yaitu 30 Kantor Wilayah (Kanwil) dan 177 Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Pegawai Ditjen Perbendaharaan per 1 November 2010
mencapai 9.211 orang yang memberikan pelayanan kepada stakeholders.
Ditjen Perbendaharaan senantiasa berusaha mewujudkan akuntabilitas dan transparansi dalam
melaksanakan tugasnya serta secara berkesinambungan meningkatkan kinerja pelayanan
perbendaharaan. Upaya ini ditujukan untuk meningkatkan fungsi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang mencakup distribusi, stabilisasi, dan alokasi. Belanja Pemerintah yang
optimal dapat menggerakkan perekonomian nasional.
Pada tahun 2010 telah dilaksanakan berbagai kebijakan sebagai kelanjutan dari pengembagan
organisasi (hukum dan kelembagaan) dan sumber daya manusia (perubahan mind set dan perilaku).
Kebijakan dimaksud antara lain adalah penerapan Layanan Unggulan bagi seluruh Kanwil Ditjen
Perbendaharaan di 30 provinsi dan penerapan secara penuh Standard Operating Procedures (SOP)
KPPN Percontohan pada seluruh KPPN Non Percontohan. Dalam rangka meningkatkan integritas
pegawai, pada tahun 2007 telah diterbitkan buku Kode Etik Pegawai Ditjen Perbendaharaan yang
implementasi dan pengawasannya dilaksanakan secara berkesinambungan hingga saat ini.
KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA
BAB VIII
Untuk memantau kinerja pegawai dalam mencapai target yang telah ditetapkan, Ditjen
Perbendaharaan telah menerapkan balanced scorecard (BSC) hingga ke level Eselon III yang
tergambar di dalam Indikator Kinerja Utama (IKU) Depkeu Three. Sementara untuk level pelaksana
telah diujicobakan pada Direktorat Pelaksanaan Anggaran yang tercermin pada IKU Depkeu Five
dan direncanakan akan diimplementasikan secara penuh pada tahun 2011. Sebagai pelengkap
atas penerapan BSC, telah pula diadopsi kerangka kerja risk management pada seluruh Eselon II
di Kantor Pusat dan 15 Kanwil Ditjen Perbendaharaan, sedangkan untuk 15 Kanwil lainnya akan
dilaksanakan pada tahun 2011.
Untuk meningkatkan pelayanan pada Satuan Kerja (Satker) di daerah yang jauh dari KPPN, telah
dibentuk KPPN Mobile, yaitu unit pelayanan pencairan dana pada kendaraan bermotor yang
bergerak dalam suatu wilayah kerja KPPN. KPPN Mobile telah diujicobakan sejak Agustus 2010 di:
(1) Wilayah KPPN Jakarta I dengan lokasi di Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian
Komunikasi dan Informatika;
(2) Wilayah KPPN Bogor di Pengadilan Negeri Depok; serta
(3) Wilayah KPPN Denpasar di Kabupaten Jembrana.
Dalam mewujudkan fungsi pelaksanaan anggaran, pada tahun 2010 telah dimulai penyerahan
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun anggaran yang akan datang pada akhir tahun
anggaran sebelumnya. Upaya ini ditempuh agar pada hari pertama kerja awal tahun anggaran
baru seluruh Satker Kementerian/Lembaga (K/L) telah dapat mencairkan anggaran. DIPA Tahun
Anggaran 2011 telah berhasil diserahkan pada tanggal 28 Desember 2010.
Untuk fungsi pengelolaan kas, kegiatan penting yang dilaksanakan adalah Treasury Single Account (TSA)
penerimaan secara penuh pada bulan Januari 2010. Penatausahaan penerimaan negara dikelola hanya
melalui satu rekening, sehingga memudahkan pengendalian saldo dan aliran kas, meminimalisasi
uang menganggur, dan transparansi dalam pengelolaan penerimaan dan pengeluaran.
Sementara itu, pada fungsi akuntansi dan pelaporan, salah satu momentum penting adalah penerbitan
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (soft Launching).
Pemberlakuan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) berbasis akrual diharapkan dapat memberikan
informasi keuangan yang lebih baik sekalipun implementasinya lebih rumit dibandingkan SAP
berbasis kas menuju akrual yang saat ini diadopsi. Peraturan pelaksanaan dan sistem akuntansi
mengalami perubahan, sehingga kapasitas sumber daya manusia (SDM) harus ditingkatkan, yang
antara lain diejawentahkan melalui pembentukan help desk dan coaching clinic akuntansi.
Pada fungsi pembinaan pengelolaan keuangan BLU, untuk meningkatkan kualitas pelayanan Satker
Pemerintah kepada masyarakat dengan biaya yang terjangkau, maka pembinaan pengelolaan
keuangan pada satker BLU terus dilaksanakan oleh Ditjen Perbendaharaan. Pada tahun 2010 telah
dilakukan sosialisasi dan bimbingan teknis mengenai konsep BLU untuk mendorong Satker (rumah
sakit, universitas, dan lain-lain) yang telah memenuhi syarat agar segera menerapkan status BLU.
Jumlah Satker yang telah menerapkan PK-BLU hingga akhir tahun 2010 sebanyak 104 Satker.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 171
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
170
Terkait dengan fungsi manajemen investasi, pada tahun 2010 telah diselesaikan piutang Pemerintah
kepada Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas (BUMN/PT), Pemerintah Daerah (Pemda),
serta Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang bersumber dari SLA, RDI, dan RPD. Penyelesaian
piutang sangat penting mengingat komposisi tunggakan rata-rata telah mencapai 25 persen dari
total piutang Pemerintah selama tahun 2007-2009. Upaya ini akan meringankan beban pembayaran
kewajiban BUMN/PT, Permda, dan PDAM, serta meminimalkan berkurangnya penerimaan negara.
Untuk merubah budaya organisasi ke arah peningkatan produktivitas kerja telah disusun budaya
organisasi baru sebagai implementasi fungsi transformasi perbendaharaan. Kegiatan penting lainnya
yang telah dilaksanakan pada tahun 2010 terkait dengan pelaksanaan program SPAN. Pembangunan
teknologi informasi SPAN telah berada pada tahap analisis (phase analysis) dan pada tahap ini
dilaksanakan Conference Room Pilot (CRP). Study Visit telah dilakukan ke Pertamina untuk mendapatkan
pengalaman dari institusi yang telah mengembangkan sistem berbasis Enterprise Resource Planning, di
samping SPAN Roadshow 2010 dan Video Conference antara Ditjen Perbendaharaan dengan The Federal
Treasury of Russia (CMC–SPAN).
Permasalahan yang dihadapi oleh Ditjen Perbendaharaan dalam menjalankan tugas dan fungsinya
adalah:
(1) rentang kendali yang cukup panjang mengingat luasnya sebaran kantor vertikal yang berada di
hampir seluruh kabupaten di Indonesia;
(2) adanya gap kompetensi SDM;
(3) belum tersusunnya grand design/blueprint, roadmap, dan rencana srategis pengelolaan SDM;
serta
(4) awareness terhadap pengembangan SPAN yang belum merata.
8.2. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA
8.2.1. Organisasi dan SDM
8.2.1.1. Penerapan KPPN Pecontohan pada Seluruh KPPN
Dalam rangka mewujudkan good governance yang merupakan bagian dari Reformasi Birokrasi,
sejak tahun 2007 telah dibentuk KPPN Percontohan. Perbaikan yang dilaksanakan terdiri dari aspek
SDM, tata laksana, dan dukungan teknologi informasi. Perekrutan SDM pada KPPN Percontohan
dilakukan secara ketat dengan mempertimbangkan aspek penguasaan teknis pekerjaan (hard
competency) dan tes psikometrik (soft competency) untuk mengetahui integritas pegawai. Adapun
percepatan pekerjaan dilakukan melalui penyederhanaan SOP yang didukung oleh aplikasi yang
user friendly dan minimizing paper work.
Pada tahun 2007 telah dibentuk 18 KPPN Percontohan dan pada tahun 2008 sebanyak 14 KPPN
Percontohan. Pada tahun 2009 telah dioperasionalkan lagi 5 KPPN Percontohan berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor KEP-02/PB/2009 tanggal 6 Januari 2009
tentang Penetapan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Percontohan Tahap IV, yaitu KPPN
Medan I, KPPN Bandung I, KPPN Semarang I, KPPN Surabaya I, dan KPPN Makassar I.
Selanjutnya berdasarkan Surat Edaran Dirjen Perbendaharaan No. SE-31/PB/2009 tanggal 7
September 2009 tentang Penerapan Standard Operating Procedure KPPN Percontohan pada KPPN
Non Percontohan, standar pelayanan dan operasional internal KPPN Non Percontohan telah mulai
mengadopsi SOP KPPN Percontohan. Hingga akhir triwulan I tahun 2010, dari total 177 KPPN di
seluruh Indonesia, telah terbentuk 37 KPPN Percontohan dan seluruh KPPN yang belum menjadi
KPPN Percontohan telah menerapkan SOP KPPN Percontohan secara penuh.
8.2.1.2. Penerapan Konsep Kanwil Layanan Unggulan
Penerapan Kanwil Layanan Unggulan dimulai pada triwulan I 2010 dengan soft launching pada
20 Kanwil, yaitu Kanwil Medan, Pekanbaru, Palembang, Bandar Lampung, Serang, Jakarta,
Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin, Samarinda, Denpasar, Mataram, Kupang,
Makassar, Palu, Kendari, Gorontalo, dan Manado. Soft launching dilakukan berdasarkan Surat Dirjen
Perbendaharaan No. KEP-46/PB/2010 tentang Penetapan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan sebagai Pilot Project Implementasi Layanan Unggulan Kantor Wilyah Ditjen
Perbendaharaan. Sepuluh Kanwil lainnya diimplementasikan pada akhir triwulan III 2010.
Grand launching Kanwil Layanan Unggulan dilaksanakan pada tanggal 6 Mei 2010 oleh Menteri
Keuangan. Penyempurnaan layanan pada Kanwil menjadi Layanan Unggulan (Quick Win) meliputi:
(1) pembuatan SOP pada 4 SOP Layanan Unggulan dan percepatan dalam proses pelayanan yang
meliputi SOP Pengesahan DIPA, SOP Pengesahan Revisi DIPA, SOP Dispensasi Pencairan Dana,
serta SOP Rekonsiliasi Laporan SAI dan SAU; serta
(2) penyediaan Service Centre sebagai pusat layanan kepada client untuk menunjang transparansi
dalam pelayanan.
Dengan diprogramkannya Layanan Unggulan diharapkan seluruh Kanwil Ditjen Perbendaharaan
mampu memberikan layanan publik yang sekurang-kurangnya memenuhi kaidah kepastian
layanan, transparan, norma waktu yang jelas (cepat), akuntabel, dan tanpa biaya. Transformasi
kelembagaan di tingkat Kanwil menjadi pekerjaan besar bagi Ditjen Perbendaharaan dalam
melanjutkan Reformasi Birokrasi.
8.2.1.3. Penerapan Balanced Scorecard
Penerapan manajemen kinerja berbasis Balanced Scorecard (BSC) telah dimulai dengan terbitnya
KMK No. 87/KMK.01/2009 tentang Pengelolaan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Departemen
Keuangan. Ditjen Perbendaharaan menindaklanjutinya dengan menyusun Kepdirjen No. KEP-
202/PB/2009 tentang Pengelolaan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Direktorat Jenderal
Perbendaharaan. Dalam perkembangannya, dasar hukum penerapan BSC disempurnakan melalui
KMK No. 12/KMK.01/2010 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Kementerian Keuangan.
Perubahan pada KMK ini berkaitan dengan penetapan batas waktu pelaporan atas proses
pengelolaan kinerja berbasis BSC pada setiap Unit Eselon I, seperti tenggat waktu penyusunan IKU
Depkeu-One dan penandatanganan kontrak kinerja dengan Menteri Keuangan hingga batas waktu
penyampaian realiasasi capaian IKU.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 173
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
172
Menindaklanjuti KMK tersebut, Dirjen Perbendaharaan telah mengeluarkan Kepdirjen No. 70/
PB/2010 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Hal-hal
yang diatur meliputi proses pengelolaan kinerja yang dimulai dari penyusunan Strategy Map dan
IKU, penyusunan dan penetapan target, penyampaian pada unit organisasi yang lebih tinggi, hingga
penandatanganan kontrak kinerja. Kepdirjen juga mengatur tentang nomenklatur penanggung
jawab pengelolaan IKU dan struktur organisasinya.
Untuk mengefektifkan penerapan manajemen kinerja berbasis BSC, Ditjen Perbendaharaan
menyelenggarakan sosialisasi, bimbingan teknis, dan asistensi pengelolaan IKU. Di samping
itu, digunakan pula website dan Majalah Treasury Indonesia untuk memasifkan konsep BSC dan
implementasinya di lingkungan Ditjen Perbendaharaan. Hingga tahun 2010, Ditjen Perbendaharaan
telah menyelesaikan Depkeu-One dan Depkeu Two di tingkat Kantor Pusat dan Kanwil serta Depkeu-
Three. IKU Depkeu-Three telah selesai dirumuskan dan segera dikontrakkinerjakan di lingkup Eselon
III Kantor Pusat, Kanwil, maupun KPPN.
Tabel 8.1.Jumlah IKU Direktorat Jenderal Perbendaharaan Tahun 2010
No. Unit Jumlah IKU Depkeu-Two
Jumlah Unit Eselon III
Total IKU Depkeu-Three
1. Sekretariat Ditjen 27 5 40
2. Direktorat PA 17 6 63
3. Direktorat PKN 40 6 58
4. Direktorat SMI 24 6 33
5. Direktorat PPK-BLU 26 5 26
6. Direktorat APK 33 6 49
7. Direktorat SP 13 5 23
8. Direktorat TP 20 5 30
9. Kanwil 20 5 28
10. KPPN - 1 16
11. KPPN Khusus Jakarta VI - 1 19
Total 220 51 385
Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Dalam penerapan BSC hingga Depkeu-Five telah ditunjuk Direktorat Pelaksanaan Anggaran sebagai
pilot project. Pada akhir tahun 2010 telah tersusun IKU Depkeu-Five dan telah melewati proses review
di antara tim penerapan IKU Depkeu-Five Direktorat Pelaksanaan Anggaran dengan Pushaka selaku
Strategic Management Officer. Hal ini dilakukan agar tercipta keterkaitan yang utuh di antara level
IKU, sehingga sasaran strategis yang ingin dicapai sebagaimana tergambar dalam strategy map,
dapat terdistribusi secara baik hingga ke tingkat pelaksana.
Sebagai pelengkap BSC, telah diterapkan pula risk management. Beberapa kegiatan yang
dilaksanakan pada tahun 2010 meluputi Training of Trainer (ToT) kepada pejabat di Kantor Pusat dan
Kanwil yang menjadi Person in Charge (PIC) penerapan manajemen risiko di unit masing-masing.
Kegiatan lainnya adalah asistensi profil risiko bagi 15 Kanwil Ditjen Perbendaharaan. Asistensi
dimaksudkan agar penyusunan profil risiko dapat dilaksanakan secara benar, sehingga manajemen
risiko dapat terlaksana secara efektif dan efisien.
8.2.1.4. Pelaksanaan Assessment Center
Untuk meningkatkan transparansi dalam manajemen SDM, telah dilakukan beberapa terobosan
dalam proses promosi dan pengisian jabatan secara terbuka dan transparan, yaitu dengan
menerbitkan Standar Kompetensi Jabatan (SKJ) dan melaksanakan assessment dalam pengisian
jabatan baru. Pimpinan Ditjen Perbendaharaan telah menjalankan kebijakan assessment sejak tahun
2007 yang ditujukan untuk menilai kompetensi perilaku individu dibandingkan dengan kriteria
yang dipersyaratkan bagi keberhasilan dalam penyelesaian pekerjaan. Assessment dilaksanakan
oleh konsultan selaku assessor.
Assessment yang pertama kali diselenggarakan adalah untuk SDM yang mendukung Program KPPN
Percontohan. Selanjutnya, assessment diterapkan pada pengangkatan jabatan struktural Eselon IV
KPPN Percontohan, Eselon III, dan Eselon II. Melalui assessment diharapkan pengangkatan pejabat
dapat dilakukan dengan tepat sesuai dengan kompetensi yang diperlukan.
Tabel 8.2.Jumlah Peserta Assessment Ditjen Perbendaharaan Tahun 2010
No. AssessmentPelaksana Eselon IV Eselon III
L LB TL JML L LB TL JML L LB TL JML
1. Calon Eselon III Tahap XXIII-XXVI - - - - 15 17 104 136 - - - -
2. KPPN Percontohan Tahap VIII 13 8 8 29 - - - - - - - -
3. Profilling Eselon IV Tahap I - - - - - - - 333 - - - -
4. KPPN Percontohan Tahap IX 121 103 162 386 - - - - - - - -
Jumlah 134 111 170 415 15 17 104 469 0 0 0 0
Keterangan: L=Lulus, LB=Lulus Bersyarat, dan TL=Tidak Lulus.Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
8.2.1.5. Penerapan Layanan KPPN Mobile
Inovasi pelayanan kepada stakeholders dilakukan Ditjen Perbendaharaan melalui KPPN Mobile. KPPN
Mobile adalah layanan bergerak yang merupakan perpanjangan tangan Front Office KPPN. Pada
tanggal 3-6 Agustus 2010, KPPN Mobile yang berbentuk bus pelayanan berwarna biru khas Ditjen
Perbendaharaan telah memberikan pelayanan kepada beberapa Satker Kementerian Perikanan
dan Kelautan di Jakarta. Selanjutnya, pada tanggal 9-13 Agustus 2010, KPPN Mobile memberikan
pelayanan di lapangan parkir Gedung C Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian di Jakarta.
KPPN Mobile menyelenggarakan fungsi penerimaan Surat Perintah Membayar (SPM) beserta
dokumen pendukung dan Arsip Data Komputer (ADK), pengujian SPM secara substantif dan formal,
pemindaian SPM beserta dokumen pendukung, serta pelaksanaan rekonsiliasi laporan keuangan.
Keberadaan KPPN Mobile sangat membantu Satker, karena perjalanan ke KPPN seringkali memakan
waktu yang cukup lama.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 175
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
174
Petugas KPPN Mobile terdiri dari 2 orang penerima SPM, 1 orang petugas rekonsiliasi, dan 1 orang
pengemudi. KPPN Jakarta I telah ditunjuk sebagai KPPN induk dari KPPN Mobile selama uji coba
berlangsung. Adapun Satker yang dilayani merupakan Satker pada lingkup wilayah kerja KPPN Induk,
yaitu KPPN Jakarta I. Secara keseluruhan, pada tahun 2010, KPPN Mobile telah diimplementasikan di
Wilayah KPPN Jakarta I, Bogor, dan Denpasar.
8.2.1.6. Piala citra Pelayanan Prima Untuk Kantor Pelayanan Publik Terbaik
Ditjen Perbendaharaan yang diwakili oleh KPPN Gorontalo telah menerima Piala Citra Pelayanan
Prima dari Presiden RI pada tanggal 15 Desember 2010 di Istana Wakil Presiden. Piala yang
diterima merupakan pengakuan terhadap keberhasilan Reformasi Birokrasi di lingkungan Ditjen
Perbendaharaan. Piala diterima oleh Kepala KPPN Gorontalo Prestasi. Porsi penilaian terbesar dalam
pemberian penghargaan ini adalah pada kinerja para pegawai. Melalui penyerahan penghargaan
diharapkan jajaran Ditjen Perbendaharaan termotivasi untuk memberikan pelayanan yang terbaik
bagi masyarakat. Pemilihan instansi penerima penghargaan dilakukan secara transparan dan
obyektif oleh tim yang terdiri dari unsur Pemerintah, LSM, akademisi, dan media massa.
8.2.1.7. Peringkat Tertinggi Dalam Penilaian Inisiatif Anti Korupsi Tahun 2010
Sebuah penghargaan tertinggi atas komitmen seluruh pegawai Ditjen Perbendaharaan dalam
melawan korupsi dan gratifikasi diberikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam acara
Diseminasi Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK) yang diselenggarakan di Gedung KPK Jakarta, pada
tanggal 29 November 2010, KPK mengumumkan Ditjen Perbendaharaan sebagai K/L yang memiliki
inisiatif tertinggi dalam mencegah terjadinya tindak korupsi.
PIAK merupakan alat ukur untuk menilai kemajuan suatu instansi publik dalam mengembangkan
upaya pemberantasan korupsi. Ditjen Perbendaharaan meraih nilai PIAK tertinggi, yakni 8,89, dengan
skala 1 hingga 10. Nilai tertinggi diperoleh Ditjen Perbendaharaan dari aspek inovasi, karena dianggap
telah menyentuh aspek yang strategis dan menggunakan bantuan teknologi. Secara keseluruhan,
KPK mengakui bahwa Kementerian Keuangan sebagai instansi yang telah melakukan Reformasi
Birokrasi mampu menunjukkan upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di unit-unit
utamanya. Hasil ini merupakan kerja keras dari seluruh jajaran dalam menerjemahkan keinginan
seluruh elemen organisasi dalam mencegah dan melawan tindak pidana korupsi.
8.2.1.8. Indeks Kepuasan Stakeholders Tertinggi
Keberhasilan Ditjen Perbendaharaan dalam menjalankan Reformasi Birokrasi, khususnya dalam
meningkatkan kualitas pelayanan publik, telah pula mendapat apresiasi dari masyarakat luas. Suatu
survei yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) menempatkan Ditjen Perbendaharaan
sebagai Unit Eselon I dengan tingkat kepuasan pelanggan tertinggi dengan nilai 88,85 (skala 1-100)
pada tahun 2009 dan 88,57 pada tahun 2010.
Gambar 8.1. Hasil Survei Kepuasan Layanan Tahun 2009 dan 2010
Kementerian Keuangan
Setjen
DJPK
Bapepam-LK
DJKN
Ditjen Perbendaharaan
DJA
DJBC
DJP
2009 2010
67,2
70,53
67,36
88,57
80,97
76,55
67,53
68,76
73,91
72,66
71,67
83,04
88,85
74,8
71
80
0
76,23
Sumber: Laporan Survei Opini Stakeholders Kementerian Keuangan.
8.2.2. Implementasi Fungsi Perbendaharaan
8.2.2.1. Pelaksanaan Anggaran
a. Monitoring dan Evaluasi
Ditjen Perbendaharaan selaku kuasa Bendahara Umum Negara (BUN) bertugas mendorong
percepatan realisasi penyerapan anggaran untuk mewujudkan sasaran program dan kegiatan
yang menjadi tanggung jawab K/L. Rendahnya penyerapan anggaran mengindikasikan adanya
permasalahan dari sisi teknis dan regulasi. Kondisi ini memerlukan monitoring dan evaluasi atas
penyerapan anggaran, sehingga dapat diketahui permasalahan yang dihadapi dan sekaligus
memberikan rekomendasi untuk mengatasi setiap hambatan.
Tujuan kegiatan monitoring dan evaluasi adalah:
(1) mengetahui tingkat penyerapan anggaran K/L pada tahun berjalan dan membandingkan
dengan periode yang sama pada tahun-tahun sebelumnya;
(2) mengetahui keterkaitan permasalahan dengan rendahnya penyerapan anggaran yang disajikan
dalam bentuk data sebagai bahan evaluasi; serta
(3) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya penyerapan anggaran.
Untuk mengetahui secara langsung permasalahan dalam pelaksanaan di lapangan dan faktor-
faktor yang mempengaruhi rendahnya penyerapan, dilakukan pengumpulan data melalui
penyebaran kuisioner kepada Satker. Penyampaian kuisioner beserta petunjuk pengisian dan batas
waktu penyelesaian pengisian kuisioner dilakukan oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan untuk Satker
yang pembayarannya dilakukan di KPPN Provinsi. Untuk Satker yang pembayarannya dilakukan
di luar KPPN Provinsi, penyampaian kuisioner dilakukan oleh KPPN setempat sesuai dengan data
Satker yang disampaikan oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan. Pada tahun 2010 telah dilaksanakan
monitoring dan evaluasi pelaksanaan anggaran di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten,
dengan 940 Satker sebagai responden.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 177
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
176
Tabel 8.3.Satker Yang Mengalami Permasalahan Dalam Penyerapan DIPA Tahun Anggaran 2010
No. Uraian Kategori Permasalahan Jumlah Satker
1. DIPA dan POK 815
2. Peraturan, Petunjuk Pelaksanaan, dan Panitia Pengadaan 736
3. Pelaksanaan Kegiatan 702
4. Persiapan Pelaksanaan Kegiatan 582
5. Bencana Alam dan Masalah sosial 84
Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
b. Penyerahan DIPA Tahun Anggaran 2011
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyerahkan DIPA Tahun Anggaran 2011 secara simbolis
kepada para Menteri, Pimpinan Lembaga, dan Gubernur se-Indonesia pada tanggal 28 Desember
2010 di Istana Negara, Jakarta. Waktu penyerahan DIPA Tahun Anggaran 2011 lebih awal, di mana
pada tahun-tahun sebelumnya dilaksanakan pada hari pertama di awal tahun anggaran. Melalui
penyerahan DIPA lebih awal diharapkan K/L dapat memulai proses pelelangan sebagai bagian dari
proses pengadaan barang dan jasa pada akhir tahun anggaran 2010, sehingga pada awal tahun
anggaran 2011 segera dapat diadakan perikatan kontrak dengan pemenang lelang. Penyerahan
DIPA lebih dini bertujuan agar rencana kegiatan K/L dapat dilaksanakan lebih awal dan penyerapan
anggaran menjadi lebih proporsional di sepanjang tahun anggaran, sehingga target pembangunan
dapat tercapai sesuai dengan perencanaan.
c. Pendaerahan DIPA Tahun Anggaran 2011
Pendaerahan DIPA diwujudkan melalui penyusunan dan pengesahan DIPA yang selama ini
dilaksanakan oleh Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan c.q. Direktorat Pelaksanaan Anggaran
menjadi penyusunan dan pengesahan oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan. Pendaerahan
sesungguhnya telah dilaksanakan pada DIPA Tahun Anggaran 2010, namun hanya bagi Satker
Kementerian Pekerjaan Umum. Pendaerahan DIPA TA 2011 telah dilaksanakan untuk seluruh Satker
K/L yang mencakup DIPA Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan (TP), dan Urusan Bersama (UB). Tujuan
Pendaerahan DIPA adalah:
(1) menyederhanakan proses penyelesaian DIPA TP, UB, Satker Kantor Pusat di luar DKI Jakarta, dan
Satker Pusat yang berada di daerah;
(2) meningkatkan peran serta Satker K/L dan Kanwil Ditjen Perbendaharaan dalam percepatan
proses penyusunan dan pengesahan DIPA; serta
(3) memperbaiki formulasi kebijakan untuk menunjang penyerapan anggaran.
Fungsi administratif Direktorat Pelaksanaan Anggaran telah banyak berkurang dengan pendaerahan
DIPA, sehingga direktorat ini dapat lebih fokus pada pelaksanaan monitoring dan evaluasi,
penyusunan kebijakan, serta sosoialisasi terkait dengan pelaksanaan penyerapan anggaran Satker
K/L.
8.2.2.2. Manajemen Kas
a. Perencanaan Kas
Perencanaan kas bertujuan untuk memastikan ketersediaan dan kecukupan kas Pemerintah untuk
membiayai kewajiban negara dalam pelaksanaan APBN. Landasan hukum perencanaan kas adalah
PMK No. 192/ PMK.05/2009 tentang Perencanaan Kas dan Peraturan Dirjen Perbendaharaan No.
PER-03/PB/2010 tentang Perkiraan Penarikan Dana Harian Satker dan Perkiraan Pencairan Dana
Harian Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
Setiap Satker diwajibkan menyusun dan menyampaikan rencana penarikan dan penyetoran dana
yang berbasis pada Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) dengan menggunakan Aplikasi Forecasting
Satker (AFS) dan Aplikasi Forecasting KPPN (AFK). Selain itu, dalam perencanaan kas juga digunakan
metode statistik/ekonometrika berdasarkan data historis. Ditjen Perbendaharaan bersama-sama
Unit Eselon I Kementerian Keuangan sedang memformulasikan model statistik/ekonometrika yang
paling tepat untuk menyusun perencanaan kas. Sejak awal hingga akhir tahun 2010 (November
2010), perencanaan kas telah memiliki akurasi rata-rata 87,48 persen untuk cash inflows dan 88,03
persen untuk cash outflows.
b. Penerapan Secara Penuh TSA Penerimaan
TSA adalah pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara melalui satu rekening. Semua uang
negara tersimpan dalam rekening tersebut dan semua pengeluaran negara dilaksanakan melalui
rekening yang sama. TSA diimplementasikan melalui konsolidasi seluruh rekening Pemerintah
di Rekening Kas Umum Negara di Bank Indonesia dan penerapan zero balance atas rekening
Pemerintah yang berada di luar Bank Indonesia. Dengan TSA, Pemerintah dapat mengendalikan
saldo dan aliran kas yang dimiliki, meminimalisasi uang yang menganggur, dan terjadi transparansi
pengelolaan penerimaan dan pengeluaran.
TSA Pengeluaran telah dilaksanakan secara penuh di seluruh KPPN pada pertengahan tahun 2007
berdasarkan Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. PER-59/PB/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Rekening Pengeluaran KPPN Bersaldo Nihil dalam Rangka Penerapan TSA. Peraturan tersebut
diperkuat dengan SE Dirjen Perbendaharaan No. SE-12/PB/2009 tentang Pengiriman Permintaan
Kebutuhan Dana KPPN Dalam Rangka Pelaksanaan TSA Pengeluaran yang disertai dengan aplikasi
IT e-Kirana. Penerapan TSA Pengeluaran pada tahun 2010 telah menghasilkan remunerasi sebesar
Rp65.329.743.098. Sementara itu, TSA Penerimaan dilakukan secara bertahap sejak tanggal 1
November 2008 dan telah diimplementasikan secara penuh pada bulan Januari 2010.
c. Penerapan Treasury Notional Pooling
Dalam melaksanakan TSA, dana pada bendahara pengeluaran seyogyanya di-sweep ke Bank
Indonesia. Namun, hal tersebut belum dapat dilaksanakan, karena kendala teknis perbankan. Untuk
menjembataninya, dilaksanakan Treasury Notional Pooling (TNP), yaitu fasilitas yang disediakan
oleh bank umum untuk memonitor dan menghitung total saldo seluruh rekening bendaharawan
pengeluaran tanpa harus melakukan pemindahbukuan. Dengan TNP, Pemerintah dapat memonitor
seluruh rekening bendahara pengeluaran, memantau jumlah uang secara aktual, dan memperoleh
bunga.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 179
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
178
Pada saat ini, TNP telah dijalankan oleh 29 bank/pos di seluruh Indonesia. Dengan adanya PMK
No. 126/PMK.05/2009 tentang Penerapan TNP pada Rekening Bendahara Penerimaan, maka pada
Desember 2009 telah diterapkan TNP Rekening Bendahara Penerimaan di seluruh bank. Pelaksanaan
TNP sampai dengan akhir tahun 2010 menghasilkan PNBP sebesar Rp118,38 miliar.
d. Pengelolaan Kelebihan Kas di Bank Indonesia dan Bank Umum
Dalam hal pengelolaan kelebihan kas negara di Bank Indonesia, telah ditandatangani Keputusan
Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia No. 17/KMK.05/2009 dan No. 11/3/KEP.
GBI/2009 tentang Koordinasi Pengelolaan Uang Negara di Bank Indonesia. Di samping itu, telah
diterbitkan pula PMK No. 90/PMK.05/2009 tanggal 8 Mei 2009 tentang Pengelolaan Uang Negara di
Bank Indonesia. Dalam keputusan bersama antara lain disebutkan bahwa terhitung sejak tanggal
1 Januari 2009, Pemerintah mendapatkan remunerasi atas saldo pada Rekening Kas Umum Negara
dan Rekening Penempatan.
Menteri Keuangan juga telah menerbitkan PMK No. 03/PMK.05/2010 tentang Pengelolaan
Kelebihan/Kekurangan Kas Pemerintah yang mengatur jenis-jenis portofolio optimalisasi kas
seperti Penempatan di Bank Indonesia dan Bank Umum, Transaksi SBN di pasar sekunder, serta
Repo/Reverse Repo. Instrumen yang telah dijalankan adalah penempatan uang di Bank Indonesia
dan Bank Umum. Pada tahun 2011 diharapkan dapat dilaksanakan transaksi SBN di pasar sekunder
dan Repo/Reverse Repo pada tahun 2012.
Total remunerasi yang diterima oleh Pemerintah atas pendapatan dari penempatan uang negara
di Bank Indonesia dan di bank umum sejak awal hingga akhir tahun anggaran 2010 (20 Desember
2010) adalah Rp2.362,54 miliar (Bank Indonesia) dan Rp 858,95 miliar (bank umum).
e. Bank Indonesia Government Electronic Banking (BIG-eB)
Dalam rangka monitoring dan transaksi atas dana Pemerintah yang berada di Bank Indonesia,
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia telah menyepakati pengembangan BIG-eB. BIG-eB
merupakan sistem layanan sebagai media pendukung pelaksanaan TSA untuk mendapatkan
informasi dan melakukan transaksi secara elektronik dan online atas rekening Pemerintah yang
berada di Bank Indonesia. BIG-eB berbasis teknologi sebagai perubahan atas metode transaksi
yang sebelumnya melalui Biro Gilyet/Check dan perolehan informasi melalui rekening koran.
Penggunaan BIG-eB saat ini telah bersifat informational dan transactional.
8.2.2.3. Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
a. Peningkatan Kualitas Laporan Keuangan
Pemerintah berhasil mendapatkan Opini Audit Wajar Dengan Pengecualian (WDP/qualified opinion)
untuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2009. Opini tersebut merupakan prestasi
yang membanggakan, karena sejak LKPP pertama kali disusun, yaitu LKPP tahun 2004, opini audit
yang diterima selalu Tidak Memberikan Pendapat (TMP/Disclaimer). Sementara itu, opini audit
atas Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) juga menunjukkan kemajuan yang
signifikan.
Jumlah K/L yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP/unqualified opinion) meningkat
dari 7 K/L pada tahun 2006 menjadi 16 K/L pada tahun 2007, kemudian menjadi 35 K/L pada
tahun 2008, dan pada 2009 menjadi 45 K/L. Sebaliknya, jumlah K/L yang mendapat opini Tidak
Memberikan Pendapat (TMP/Disclaimer) menurun dari 36 K/L pada tahun 2006 menjadi 33 K/L pada
2007, kemudian menjadi 18 K/L pada 2008 dan pada 2009 menjadi 8 K/L.
Pada tahun 2010, kebijakan penanganan khusus ICU (Intensive Care Unit) disediakan untuk
menfasilitasi K/L yang membutuhkan dukungan khusus untuk keluar dari opini disclaimer.
Bentuk penanganan ICU berupa pemberian pelatihan khusus pada staf pengelola keuangan dan
pendampingan intensif selama proses penyusunan laporan keuangan. Terdapat 3 entitas yang
mendapat penanganan khusus ICU pada tahun 2010, yaitu Kementerian Luar Negeri, Kementerian
Kesehatan, dan Penerusan Pinjaman.
b. Peningkatan Kemampuan SDM
Rendahnya kemampuan SDM di bidang akuntansi dan pelaporan keuangan menjadi kendala dalam
peningkatan kualitas laporan keuangan Pemerintah. Peningkatan kemampuan SDM dilakukan
melalui sosialisasi SAP pada 12 Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Pemda, ToT SAP, Workshop
Penyusunan Laporan Keuangan yang Sesuai dengan SAP, dan Program Percepatan Akuntabilitas
Keuangan Pemerintah (PPAKP).
c. Pengembangan Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Dalam rangka pengembangan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan Pemerintah pusat, telah
disusun beberapa peraturan yang terkait.
d. Pembuatan Helpdesk Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Para pengguna laporan keuangan, khususnya instansi Pemerintah, sering menghadapi kesulitan
dalam menginterpretasikan dan menerapkan SAP. Untuk mengatasi permasalahan tersebut,
Helpdesk Akuntansi dan Pelaporan Keuangan dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
entitas akuntansi dan pelaporan yang berkepentingan dengan Laporan Keuangan. Helpdesk
Akuntansi dan Pelaporan Keuangan melayani konsultasi melalui sarana internet yang tersedia pada
website Ditjen Perbendaharaan (www.perbendaharaan.go.id).
Menu helpdesk dapat diakses melalui menu dropdown pada tab Pusat Bantuan dengan nama
“Ruang Konsultasi LKPP”. Ruang Konsultasi LKPP juga dapat diakses secara langsung melalui:
http://www.perbendaharaan.go.id/new/?pilih=helpdesk&aksi=tanya.
e. Soft Launching Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010
Pada tanggal 14 Desember 2010, Komite Standar Akuntansi Pemerintahan telah melaksanakan
sosialisasi PP No. 71 Tahun 2010 tentang SAP yang merupakan pengganti dari PP No. 24 Tahun 2005.
Peserta sosialisasi terdiri dari pejabat dan staf biro keuangan dan perencanaan K/L, BPK, akademisi,
dan LSM.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 181
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
180
Dengan ditetapkannya PP No. 71 Tahun 2010, maka PP No. 24 Tahun 2005 dinyatakan tidak berlaku
lagi. Namun, substansi PP No. 24 Tahun 2005 masih dilaksanakan dalam transisi penyusunan laporan
keuangan berbasis kas menuju akrual kepada penyusunan laporan keuangan berbasis akrual.
Penerapan SAP Berbasis Akrual dapat dilaksanakan secara bertahap, di mana Pemerintah dapat
menerapkan SAP Berbasis Kas Menuju Akrual paling lama 4 tahun setelah tahun anggaran 2010.
Dengan diberlakukannya SAP Berbasis Akrual, maka terjadi perubahan peraturan pelaksanaan dan
sistem akuntansi. Perubahan ini menuntut peningkatan kapasitas SDM, karena SAP Berbasis Akrual
memberikan informasi keuangan yang lebih baik, tetapi implementasinya lebih rumit.
f. Rapat Kerja Nasional Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Opini WTP oleh BPK terhadap LKPP merupakan salah satu indikator bahwa Pemerintah telah
melakusanakan pengelolaan keuangan dengan baik sesuai aturan yang berlaku dan best practices.
Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Akuntansi dan Pelaporan
Keuangan Tahun 2010 pada tanggal 27-28 Juli 2010 bertempat di Hotel Borobudur Jakarta. Rakernas
dibuka oleh Wakil Presiden RI dan ditutup oleh Dirjen Perbendaharaan mewakili Menteri Keuangan.
Jumlah peserta yang menghadiri Rakernas tercatat sebanyak 679 orang.
Pada Rakernas diberikan penghargaan kepada 45 K/L dan 13 Pemda yang mencapai opini audit baik
(WTP). Rakernas telah menghasilkan kesepakatan bersama di antara K/L, Kementerian Keuangan,
dan Pemda untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan dalam mendukung pencapaian target
opini audit WTP terhadap Laporan Keuangan Pemerintah dan pemanfaatan informasi laporan
keuangan untuk mendukung pengelolaan keuangan negara.
8.2.2.4. Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU
a. Penetapan Satker BLU
Penetapan Satker Pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU terus dilaksanakan
oleh Ditjen Perbendaharaan. Penetapan diberikan pada Satker yang layak untuk menerapkannya,
karena telah memenuhi berbagai persyaratan. Sampai dengan 31 Desember 2010, jumlah Satker
yang telah menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU adalah 104 Satker.
Gambar 8.2.Jumlah Satker BLU Per 31 Desember 2010
BLU Rumah Sakit
BLU Pendidikan Depdiknas
BLU Pendidikan Depag
BLU Pendidikan Depkes
BLU Pendidikan Lainnya
BLU Non Rumah Sakit & Pendidikan
33 BLU (32%)
22 BLU (21%)
10 BLU (10%)
6 BLU (6%)
13 BLU (13%)
20 BLU (19%)
Jumlah: 104 Satker BLU
Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
b. Pembinaan Satker BLU
Selain menetapkan Satker BLU, Ditjen Perbendaharaan juga melaksanakan pembinaan, terhadap
Satker BLU agar senantiasa melaksanakan good corporate governance dalam memberikan pelayanan
terhadap masyarakat. Pembinaan yang telah dilaksanakan selama tahun 2010 antara lain:
(1) sosialisasi pengelolaan keuangan BLU pada Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan KPPN Mitra Kerja
Satker PK BLU;
(2) bimbingan teknis penyusunan rencana bisnis dan anggaran; serta
(3) sosialisasi Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. PER-43/PB/2010 tentang Tata cara Revisi RBA
dan DIPA BLU.
8.2.2.5. Sistem Perbendaharaan
a. Peningkatan Kapabilitas Pegawai
Untuk meningkatkan kapabilitas pegawai KPPN terhadap aplikasi yang digunakan, maka pada awal
tahun anggaran 2010 diselenggarakan Bimbingan Teknis/Sosialisasi Aplikasi KPPN 2010. Kegiatan
ini bertujuan untuk mensosialisasikan sistem aplikasi KPPN 2010 kepada 178 supervisor KPPN
dan 30 staf Sub Bagian Dukungan Teknis Kanwil Perbendaharaan seluruh Indonesia. Materi yang
disampaikan meliputi Aplikasi SPM, Barcode, SP2D, serta Bendum dan Vera yang disampaikan oleh
Tim Aplikasi dari Subdit Pengembangan Aplikasi DSP. Selain itu, disampaikan pula peraturan yang
terkait dengan perubahan aplikasi oleh penyaji dari Subdit PPP DSP.
b. Peran Serta Dalam ITB Fair
Ditjen Perbendaharaan mewakili Kementerian Keuangan mengisi salah satu booth pada ITB Fair yang
diselenggarakan pada tanggal 8-9 November 2010 di ITB Bandung. Dalam even tersebut, Ditjen
Perbendaharaan menampilkan Business Intellegence, yaitu sistem penerimaan dan pengelolaan
data serta informasi realisasi penerimaan dan pengeluaran negara dengan menggunakan teknologi
informasi. Peran serta Ditjen Perbendaharaan bertujuan untuk memberikan informasi kepada
masyarakat luas mengenai pengelolaan keuangan negara yang dilakukan oleh Kementerian
Keuangan. Dalam booth Kementerian Keuangan ditampilkan beberapa LCD yang menampilkan
data penerimaan dan pengeluaran keuangan negara. Di samping itu, terdapat pegawai yang selalu
siap sedia menjawab berbagai pertanyaan dari pengunjung.
8.2.2.6. Transformasi Perbendaharaan
Dalam rangka melakukan transformasi perbendaharaan, telah ditempuh sejumlah upaya sebagai
berikut:
a. Penyusunan Budaya Organisasi Ditjen Perbendaharaan;
Budaya organisasi memberikan manfaat bagi efektivitas organisasi. Ditjen Perbendaharaan sebagai
sebuah organisasi dengan sistem birokrasi yang besar mengupayakan terbentuknya budaya
organisasi yang solid. Maknanya adalah tercipta satu kesatuan pandangan yang menciptakan
keseragaman bertindak dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, serta menjadi landasan bagi
organisasi untuk berdiri kuat dan melangkah maju secara mantap.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 183
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
182
Gambar 8.3.Budaya Organisasi Ditjen Perbendaharaan
Shared valueMAMPU
& TERPERcAYA
INOVATIF
PELAYANAN PRIMADISIPLIN
PROFESIONAL AKUNTABEL
Untuk mewujudkan budaya organisasi telah digagas penyusunan rumusan strategi implementasi
perubahan budaya organisasi yang menunjang produktivitas kerja. Dilakukan survei kuantitatif
dan kualitatif mengenai budaya organisasi yang diinginkan oleh stakeholders. Selain itu, telah
dilaksanakan pula pemetaan budaya kerja Model Quinn, perubahan orientasi budaya, serta
penentuan aspek signifikan dan krusial. Budaya organisasi Ditjen Perbendaharaan yang baru adalah
profesional, disiplin, inovatif, serta pelayanan prima dan akuntabel (PRODIPA). Langkah selanjutnya
adalah internalisasi budaya organisasi kepada seluruh lapisan organisasi dan penuangan dalam
peraturan formal.
b. SPAN Progress report, Launching Brand Image (Logo), Perkenalan Media Komunikasi
berupa SPAN Website dan SPAN Newsletter;
c. Study Visit ke Pertamina;
d. SPAN roadshow 2010;
Pembangunan dan implementasi SPAN melibatkan banyak pihak baik di lingkungan Kementerian
Keuangan maupun pihak eksternal, seperti K/L, pihak perbankan, dan lain-lain. Mengingat luasnya
cakupan SPAN dan banyaknya pihak-pihak yang terlibat, dibutuhkan kesepahaman dan dukungan
yang kuat dari seluruh stakeholders. Ditjen Perbendaharaan, sebagai salah satu pihak yang mempunyai
andil dalam pembangunan SPAN memiliki banyak kantor vertikal yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Untuk menciptakan kesepahaman dalam pembangunan dan implementasi SPAN, maka
diperlukan sosialisasi mengenai perkembangan SPAN. Dengan sosialisasi diharapkan kantor vertikal
Ditjen Perbendaharaan akan memperoleh informasi mengenai SPAN, baik perubahan pada proses
bisnis maupun Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), serta mengelola dampak perubahan
terhadap SDM serta
e. Video Conference antara Ditjen Perbendaharaan dengan The Federal Treasury of russia
(cMc – SPAN).
Reformasi keuangan negara khususnya dalam bidang perbendaharaan negara terus dilakukan
sesuai amanah dari Undang-Undang Keuangan Negara dan Perbendaharaan Negara. Salah satu
langkah strategis untuk mempercepat proses transformasi dalam berbagai kebijakan terutama
bidang perbendaharaan maka diperlukan rangkaian kajian mendalam, diantaranya dengan
melakukan riset perbandingan sistem perbendaharaan dengan negara lain.
Proses ini diharapkan mampu menjembatani transfer knowledge antara kedua belah pihak dan
mempererat hubungan kerjasama dengan negara sahabat.
Ditjen Perbendaharaan melaksanakan langkah strategis ini melalui kesepakatan dengan Rusia dalam
kerjasama teknis pengembangan treasury berdasarkan pada Memorandum Of Undertanding antara
Ditjen Perbendaharaan dan Federal Treasury Kementerian Keuangan Rusia pada bulan September 2008.
Kerjasama yang telah dilakukan antara Ditjen Perbendaharaan dengan Federal Treasury Kementerian
Keuangan Rusia berjalan dengan baik. Kerjasama yang pernah dilakukan adalah comparative study
antara sistem perbendaharaan Republik Indonesia dan Rusia, serta study visit berkaitan dengan
pengembangan treasury dari delegasi Indonesia ke Rusia dan sebaliknya. Kerjasama ini dianggap
penting dan menguntungkan kedua belah pihak.
f. Pembangunan Data Center dan Disaster recovery Center SPAN
Saat ini sedang berlangsung pembangunan Data Center SPAN di Pusintek Setjen Kementerian
Keuangan dan Data Recovery Center di Gedung Keuangan Negara (GKN) Surabaya yang mencakup
pembangunan fisik ruangan dan penyediaan infrastruktur TI (server, peralatan komunikasi data, AC,
genset, dan pengamannya). Infrastruktur ini dibutuhkan untuk menyimpan data dan sistem serta
backup-nya untuk keperluan implementasi SPAN. Kegiatan ini dilaksanakan guna mengantisipasi
terjadinya force majeure, seperti bencana alam atau sebab lain yang dapat mengancam ketersediaan
data. Saat ini pembangunan Data Recovery Center dan Data Center masih dalam tahap cabling
(pembuatan WAN) serta aplikasi, pembangunan Data Recovery Center dan Data Center dijadwalkan
berlangsung hingga bulan Maret 2011.
8.3. TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS KEUANGAN NEGARA
8.3.1. Gambaran Umum Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
Reformasi manajemen keuangan Pemerintah yang ditandai dengan lahirnya paket undang-undang
keuangan negara adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk menjawab
tuntutan publik atas perwujudan good governance dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Tiga
prinsip utama yang mendasari penerapan good governance yang berlaku secara universal adalah
partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Transparansi dan akuntabilitas publik dibangun
berdasarkan 5 komponen, yaitu sistem perencanaan strategik, sistem pengukuran kinerja, sistem
pelaporan keuangan, saluran akuntabilitas publik, dan auditing sektor publik. Salah satu wujud
dari penerapan transparansi dan akuntabilitas adalah melalui penyusunan laporan keuangan
Pemerintahan yang relevan dan andal berdasarkan SAP dan sistem akuntansi yang menyediakan
prosedur pemrosesan transaksi sampai menjadi laporan keuangan.
Pemerintah telah menerbitkan SAP yang ditetapkan melalui PP No. 71 Tahun 2010 sebagai
pengganti PP No. 24 Tahun 2005. PP tersebut telah mengakomodasikan perubahan yang signifikan
dalam akuntansi Pemerintahan di Indonesia, yaitu penerapan akuntansi berbasis akrual. Penerapan
SAP Berbasis Akrual dilaksanakan secara bertahap, di mana Pemerintah dapat menerapkan SAP
Berbasis Kas Menuju Akrual paling lama 4 tahun setelah tahun 2010.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 185
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
184
SAP perlu dituangkan ke dalam sistem akuntansi dan pelaporan keuangan untuk dapat menghasilkan
suatu laporan keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku BUN. Penyusunan laporan
keuangan dilakukan secara berjenjang dan terdesentralisasi dengan pembentukan Unit Akuntansi
Keuangan dan Unit Akuntansi Barang di masing-masing tingkat, yaitu mulai dari Satker, Wilayah,
Eselon I, hingga K/L. Laporan Keuangan K/L yang disertai dengan Ikhtisar Laporan Keuangan BUMN
dan BLU disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk dikonsolidasi dalam rangka penyusunan
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).
Sesuai dengan pasal 55 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Menteri
Keuangan selaku pengelola fiskal menyusun LKPP untuk disampaikan kepada Presiden dalam
rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. LKPP terdiri dari Laporan Realisasi
Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan Atas Laporan Keuangan. LKPP mencakup transaksi
keuangan yang berasal dari APBN, termasuk dana APBN yang dilaksanakan oleh Pemda, seperti
dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan, dan unit-unit di luar organisasi Pemerintah atau
K/L yang menggunakan dana dari APBN. Namun, LKPP tidak mencakup entitas Pemda dan Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD).
8.3.2. Upaya Peningkatan Kualitas Pertanggungjawaban Keuangan Negara
Pemerintah terus meningkatkan kualitas pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara yang
antara lain ditunjukkan dengan semakin lengkap dan andalnya informasi yang disajikan dalam LKPP.
Pemerintah Pusat telah menyusun 7 LKPP, yaitu LKPP tahun 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 dan 2010
dan berhasil mendapatkan Opini Audit WDP dari BPK untuk LKPP Tahun 2009 dan 2010. Opini audit
tersebut merupakan prestasi yang membanggakan, karena sejak LKPP pertama kali disusun, opini
audit selalu Disclaimer. Selain itu, peningkatan opini audit juga didukung oleh usaha Pemerintah untuk
menindaklanjuti temuan dan rekomendasi BPK.
Peningkatan opini LKPP 2009 dan 2010 tidak lepas dari upaya Pemerintah dalam peningkatan
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara yang pada akhirnya meningkatkan
penyajian Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL). Upaya-upaya dimaksud antara
lain meliputi:
(1) pengembangan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan, termasuk sistem teknologi
informasi;
(2) peningkatan pemahaman stakeholders terhadap akuntansi dan pelaporan keuangan K/L dan
Pengguna Anggaran BUN melalui Sosialisasi SAP dan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan;
serta
(3) peningkatan kualitas SDM di bidang akuntansi dan pelaporan keuangan di seluruh K/L dan
Pemda.
Salah satu upaya yang ditempuh untuk mengatasi kelangkaan SDM di bidang akuntansi
Pemerintahan adalah melalui Program Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah (PPAKP)
yang dimulai sejak tahun 2007. Sampai dengan tahun 2010, PPAKP telah berhasil mendidik dan
melatih 21.152 peserta yang berasal dari seluruh Satker K/L.
Upaya-upaya perbaikan tidak hanya dilakukan pada tingkat Pemerintah Pusat, namun juga pada
tingkat Satker K/L. Penyelenggaraan akuntansi dan pelaporan keuangan pada K/L mengalami
peningkatan yang cukup signifikan dalam 4 tahun terakhir. Hal ini ditunjukkan dengan opini BPK
atas LKKL yang menunjukkan kemajuan yang signifikan. Opini atas LKKL merupakan elemen utama
LKPP. Jumlah K/L yang mendapat opini WTP meningkat dari 7 K/L pada tahun 2006 menjadi 16 K/L
pada tahun 2007, kemudian menjadi 35 K/L pada tahun 2008, 45 K/L pada tahun 2009, dan menjadi
53 K/L pada tahun 2010.Tabel 8.4.
Jumlah Perolehan Opini BPK Atas LKKL dan LKBUN Tahun 2006-2010
Opini 2006 2007 2008 2009 2010
Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified) 7 16 35 45 53
Wajar Dengan Pengecualian (Qualified) 38 31 30 26 29*
Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer) 36 33 18 8 2
Tidak Wajar (Adversed) - 1 - - -
Jumlah 81 81 83 79 84
* Termasuk LK-BUN Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Laporan Keuangan BUN (konsolidasi) untuk pertama kalinya diberikan opini pada tahun 2010 dan
mendapat opini WDP. Opini audit untuk Laporan Keuangan BUN pada tahun 2010 terdiri dari 3 LK-
BUN yang mendapat opini WTP, yaitu BA 999.01 (Pengelolaan Utang), BA 999.03 (Penyertaan Modal
Negara), dan BA 999.05 (Transfer ke Daerah), LK-BUN mendapat opini WDP, yaitu BA 999.02 (Hibah),
BA 999.04 (Penerusan Pinjaman), BA 999.07 (Belanja Subsidi) dan BA 999.08 (Belanja Lain-Lain). Pada
tahun 2010, BA 999.06 (Belanja Subsidi dan Belanja Lain-Lain) dipecah menjadi BA 999.07 (Belanja
Subsidi) dan BA 999.08 (Belanja Lain-Lain).
Kemajuan dalam LKPP nampak pada:
(1) semakin menurunnya jumlah temuan, yaitu dari 57 temuan pada tahun 2004 menjadi 18
temuan pada tahun 2010;
(2) peningkatan kekayaan bersih (aset minus kewajiban) Pemerintah dari Rp104 triliun pada
tahun 2006 menjadi Rp628 triliun pada tahun 2010, serta ekuitas dana per 31 Desember 2010
(Unaudited) naik 42,25 persen dari posisi 31 Desember 2009; dan
Gambar 8.4.Perbandingan Aset, Kewajiban, Dan Ekuitas Dana Neto
Pada Neraca Tahun 2006-20102,800
2,400
2,000
1,600
1,200
800
400
-
(400)
Aset Kewajiban Ekuitas Dana
2006 2007 2008 2009 2010
16.0
1,222
1,600
2,0722,123
2,424
1,327
Trili
un R
upia
h
1,431
1,694 1,6821,796
(104)
169
378 441
628
Sumber: LKPP Tahun 2010 (Audited).
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 187
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
186
(3) semakin menurunnya selisih pencatatan belanja negara antara K/L dan BUN (Suspen) yang
mengindikasikan semakin baiknya kualitas mekanisme check and balance di antara dua sistem
pembukuan yang dijalankan dalam pengelolaan keuangan negara.
Gambar 8.5.Perkembangan Suspen Tahun 2005-2010
2000
0
-2000
-4000
2005 2006 2007 2008 2009 2010
16.0
-1986.65
916.77
-236.53
-58.72 -15.63 -16.77
Trili
un R
upia
h
Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
8.3.3. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2010
Berdasarkan LKPP Tahun 2010 (Audited), Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah adalah sebesar
Rp995.271,51 miliar atau 100,29 persen dari target APBN-P 2010 sebesar Rp992.398,79 miliar.
Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah berasal dari Penerimaan Perpajakan Rp723.306,67 miliar,
PNBP Rp268.941,86 miliar, dan Penerimaan Hibah Rp3.022,99 miliar. Realisasi Penerimaan Perpajakan
tidak termasuk Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) atas PPN tahun 2003-2009 sebesar Rp21.459,32
miliar. Pendapatan Negara dan Hibah pada tahun 2010 mengalami kenaikan Rp146.508,28 miliar
atau 17,26 persen dibandingkan tahun 2009.
Gambar 8.6. Realisasi Penerimaan Negara dan Hibah Tahun Anggaran 2006-2010
2006 2007 2008 2009 2010
1.000
900
800
700
600
500
400
300
200
100
0
408,2
491,0
858,7818,8
723,3277,2
215,1
320,8
227,2
288,8
Perpajakan PNBP
Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Realisasi Belanja Negara pada tahun 2010 adalah sebesar Rp1.042,12 triliun atau 92,54 persen
dari jumlah yang dianggarkan dalam APBN-P Tahun Anggara 2010 sebesar Rp1.126,15 triliun.
Sementara itu, realisasi Belanja Negara pada tahun 2009 adalah sebesar Rp937,38 triliun. Realisasi
Belanja Negara terdiri dari Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp697,41 triliun, Transfer ke Daerah
sebesar Rp344,73 triliun, dan Suspen sebesar minus Rp16,77 miliar.
Gambar 8.7.Perbandingan Realisasi Belanja Negara Tahun Anggaran 2006-2010
2006 2007 2008 2009 2010
1200
1000
800
600
400
200
0
440,2504,6
693,4628,8
697,4226,2
253,3
292,4308,6
344,7
Belanja Pemerintah Pusat Transfer ke Daerah
Sumber: Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Berdasarkan realisasi Pendapatan Negara dan Hibah sebesar Rp995,27 triliun dan realisasi Belanja
Negara Rp1.042,12 triliun, terjadi Defisit Anggaran pada tahun 2010 sebesar Rp46,85 triliun.
Sementara itu, realisasi Pembiayaan (neto) pada tahun 2010 adalah sebesar Rp91,56 triliun,
yang terdiri dari Pembiayaan Dalam Negeri (Neto) sebesar Rp96,12 triliun dan Pembiayaan Luar
Negeri (Neto) sebesar minus Rp4.566,51 miliar. Terjadinya Defisit Anggaran dan adanya Realisasi
Pembiayaan Neto mengakibatkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) tahun 2010 sebesar
Rp44,7 triliun.
Tabel 8.5.Ringkasan Neraca per 31 Desember 2009 dan 31 Desember 2010 (dalam Rupiah)
Uraian 31 Desember 2010 (Audited)
31 Desember 2009 (Audited)
Aset Lancar 254.779.627.714.260 231.388.713.199.864
Investasi Jangka Panjang 706.410.075.389.077 737.039.382.666.868
Aset Tetap 1.184.301.167.405.585 979.000.257.110.824
Aset Lainnya 278.197.482.029.092 175.469.125.391.757
Jumlah Aset 2.423.688.352.538.014 2.122.897.478.369.313
Kewajiban Jangka Pendek 201.343.960.842.088 187.839.287.320.918
Kewajiban Jangka Panjang 1.594.734.246.970.359 1.493.869.107.262.445
Jumlah Kewajiban 1.796.078.207.812.447 1.681.708.394.583.363
Ekuitas Dana Lancar 83.462.571.113.177 43.549.425.878.946
Ekuitas Dana Investasi 544.147.573.612.390 397.639.657.907.004
Jumlah Ekuitas Dana Neto 627.610.144.725.567 441.189.083.785.950
Jumlah Kewajiban dan Ekuitas 2.423.688.352.538.014 2.122.897.478.369.313
Sumber: LKPP Tahun 2010 (Audited).
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 189
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
188
Selama 5 tahun berturut-turut, nilai Ekuitas Dana selalu meningkat. Ekuitas Dana per 31 Desember
2010 naik 42,25 persen dari posisi 31 Desember 2009.
Gambar 8.8.Perbandingan Aset, Kewajiban, dan Ekuitas Dana Neto pada Neraca
Tahun 2006-2010
2,800
2,400
2,000
1,600
1,200
800
400
-
(400)
Aset Kewajiban Ekuitas Dana
2006 2007 2008 2009 2010
16.0
1,222
1,600
2,0722,123
2,424
1,327
Trili
un R
upia
h
1,431
1,694 1,6821,796
(104)
169
378 441
628
Sumber: LKPP Tahu 2010 (Audited).
LKPP Tahun 2010 juga menyajikan informasi penting lainnya dalam Catatan atas Laporan Keuangan,
yyaitu Tindak Lanjut Temuan BPK atas LKPP Tahun 2009, Rekening Migas, Rekening Panas Bumi,
penertiban BMN, penertiban rekening Pemerintah pada K/L, aset bersejarah, laporan keuangan
BLU, Neraca Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darusalam dan Kepulauan Nias
Provinsi Sumatera Utara (BRR-NAD-Nias), Lembaga Non Struktural dan Yayasan di Lingkungan K/L,
aset bekas milik asing/Cina, Unfunded Liability atas Program Tabungan Hari Tua (THT), Past Service
Liabilities Program Pensiun, Laporan BMN, dan kewajiban kontinjensi.
8.4. PENDING MATTErS DAN TINDAK LANJUT
Sebagai tindak lanjut atas berbagai kebijakan yang telah dilaksanakan dalam tahun anggaran 2010,
Ditjen Perbendaharaan akan memfokuskan kegiatan di tahun anggaran 2011 pada beberapa fungsi
yang dibawahinya. Beberapa kebijakan tersebut antara lain berikut ini.
(1) Di bidang pelaksanaan anggaran, Ditjen Perbendaharaan akan meningkatkan secara lebih
intens pengawasan terhadap kepatuhan, ketaatan, kualitas, dan keakuratan pelaksanaan
anggaran, khususnya yang terkait dengan belanja dalam bentuk penyerapan DIPA K/L, serta
penyusunan Rencana Penarikan Dana dan merealisasikan rencana tersebut secara tepat waktu
dan jumlah.
(2) Penguatan fungsi manajemen kas yang dilaksanakan melalui perencanaan kas yang fully
integrated, sehingga mampu melakukan deposit collections timely dan properly time disbursement
yang dapat meminimalkan cash mismatch dan mampu menyediakan dana APBN untuk
membiayai kegiatan Pemerintah. Selain itu, pelaksanaan fungsi manajemen kas Pemerintah
diarahkan untuk memperkecil opportunity cost dan risiko.
(3) Peningkatan kualitas pengelolaan investasi atau penerusan pinjaman dalam bentuk penyaluran
dana investasi atau penerusan pinjaman dan optimalisasi pengembalian penerusan pokok
maupun bunga pinjaman untuk menambah pendapatan negara. Restrukturisasi piutang
negara atas penerusan pinjaman kepada PDAM, Pemda, dan BUMN akan semakin ditingkatkan
untuk memperlancar pinjaman dan pengembalian kewajiban pembayaran di masa mendatang.
Perbaikan administrasi pengelolaan SLA ditempuh dengan meningkatkan akurasi dan validitas
data debitur serta kualitas laporan penerusan pinjaman.
(4) Peningkatan kualitas pembinaan pengelolaan keuangan kepada Satker yang sedang dalam
proses penetapan menjadi Satker BLU dan penyempurnaan pembinaan untuk peningkatan
kinerja keuangan Satker BLU.
(5) Peningkatan kualitas pertanggungjawaban pengelolaan keuangan dalam bentuk penyusunan
RUU Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN dan LKPP (unaudited) secara tepat waktu
yang didukung oleh kualitas LKKL dan LKBUN untuk meningkatkan opini BPK. Akurasi
pertanggungjawaban keuangan Pemerintah akan semakin ditingkatkan dengan penyiapan
penerapan accrual accounting secara penuh.
(6) Peningkatan dukungan sistem perbendaharaan yang handal, IT based, dan terintegrasi dalam
bentuk penyempurnaan bisnis proses dan aplikasi sesuai dengan international best practice,
serta harmonisasi peraturan dan pemantapan Jabatan Fungsional.
(7) Persiapan penerapan IT based, budaya organisasi, dan proses bisnis untuk mendukung
penerapan program SPAN yang memudahkan pelaksanaan tugas organisasi yang saat ini masih
menggunakan aplikasi dan database yang terpisah, menuju single database, serta mendukung
integrasi proses bisnis pada DJA dan Ditjen Perbendaharaan dalam perencanaan, pelaksanaan,
dan pertanggungjawaban APBN sesuai dengan tata kelola keuangan yang menggunakan
Performance Based Budgeting.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 191
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
190
9.1. ARAH DAN STRATEGI PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA, PIUTANG NEGARA, DAN
LELANG
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) selaku Unit Eselon I pemegang kewenangan
pengelolaan barang milik negara mengemban tugas untuk mewujudkan penataan dan
pengelolaan aset negara yang tertib, akuntabel, dan transparan. Banyak tantangan yang dihadapi
dalam menjalankan tugas ini, karena belum optimalnya manajemen aset negara. Pengelolaan aset
negara dengan pendekatan konvensional tidak memadai lagi, sehingga diperlukan pola baru yang
meliputi Barang Milik Negara (BMN), Kekayaan Negara Dipisahkan (KND), dan Kekayaan Negara
Lain-lain (KNL). Pola baru yang dikenal dengan “roadmap of strategic asset management” merupakan
upaya untuk mewujudkan manajemen aset negara yang sehat dan modern.
Sesuai dengan Rencana Strategis (Renstra) DJKN 2010-2014, strategi pengelolaan kekayaan negara,
piutang negara, dan lelang adalah:
(1) menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan
dan penilaian kekayaan negara, pengurusan piutang negara, dan lelang;
(2) menatausahakan kekayaan negara, piutang negara, dan lelang secara akurat dan akuntabel;
(3) meningkatkan pengamanan kekayaan negara, baik secara administrasi, fisik, dan tertib
hukum;
(4) mengintegrasikan perencanaan kebutuhan BMN dengan penganggaran;
(5) meningkatkan kualitas pelayanan pengelolaan kekayaan negara, penilaian, pengurusan
piutang negara, dan lelang;
KEBIJAKAN PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA, PIUTANG NEGARA, DAN LELANG
BAB IX
(6) mengoptimalkan pengelolaan kekayaan negara, termasuk aset idle, dan pengurusan piutang
negara;
(7) meningkatkan penerimaan kembali (recovery) yang berasal dari pengeluaran pembiayaan
APBN dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);
(8) meningkatkan kesadaran dan kemitraan dengan stakeholder dalam pengelolaan kekayaan
negara, penilaian, pengurusan piutang negara, dan lelang;
(9) meningkatkan monitoring dan evaluasi kinerja pengelolaan kekayaan negara, pengurusan
piutang negara, dan lelang; serta
(10) meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), organisasi, teknologi informasi dan
komunikasi (TIK), serta pengelolaan anggaran.
9.2. BARANG MILIK NEGARA
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
menyebutkan bahwa BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau
berasal dari perolehan lainnya yang sah. Pengelolaan BMN menjadi bagian dari fungsi keuangan
negara, sehingga memiliki kedudukan yang sama penting dengan pengelolaan uang. Kebijakan
umum penatausahaan BMN adalah:
(1) penyeragaman penggolongan dan kodefikasi barang;
(2) penyajian BMN sesuai Bagan Akun Standar (BAS);
(3) kapitalisasi BMN; serta
(4) rekonsiliasi nilai BMN.
Langkah awal yang ditempuh DJKN dalam memantapkan perannya sebagai pengelola BMN adalah
dengan mencanangkan tertib administrasi, tertib fisik, dan tertib hukum atas BMN. Ketiga tertib
diharapkan menjadi landasan yang kuat bagi DJKN untuk mencapai tahapan selanjutnya sebagai
pembuat kebijakan dalam mengelola kekayaan negara.
9.2.1. Penertiban Barang Milik Negara
Sampai dengan 31 Desember 2010 telah dilakukan inventarisasi dan penilaian BMN terhadap 22.857
satuan kerja (Satker) pada 74 Kementerian Negara/Lembaga (K/L). Inventarisasi dan penilaian
menghasilkan penambahan nilai koreksi penilaian kembali aset tetap Pemerintah Pusat sebesar
Rp410,34 triliun. Aset tersebut sebelumnya berjumah Rp390,12 triliun dan setelah dilakukan
penambahan menjadi Rp800,46 triliun. Secara keseluruhan telah dilakukan penilaian atas lebih dari
30 juta item BMN di seluruh Indonesia.
Salah satu Satker yang menjadi fokus inventarisasi dan penilaian pada tahun 2010 adalah Direktorat
Jenderal Perkeretapian Kementerian Perhubungan. Kegiatan tersebut menghasilkan total nilai
wajar sebesar Rp38 triliun yang tersebar di sepanjang Pulau Sumatra (Divisi Regional I Sumatera
Utara dan Aceh hingga Divisi Regional III.2 Tanjungkarang) dan Pulau Jawa (Daerah Operasi I Jakarta
hingga Daerah Operasi IX Jember).
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 193
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
192
Gambar 9.1.Inventarisasi dan Penilaian BMN Tahun 2010
(Dalam Rp Triliun)
Saldo Awal IP BMN Koreksi Hasil Penilaian +/_ Mutasi
Saldo Akhir IP BMN
1.000
800
600
400
200
0
390.12 410.34
800.46
Sumber: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Inventarisasi dan penilaian direalisasikan dalam bentuk penertiban BMN pada 74 K/L. Realisasi
penertiban BMN di 73 K/L telah selesai 100 persen, sedangkan di 1 K/L, yaitu Kementerian
Pertahanan, mencapai 99,7 persen.
Tabel 9.1.Realisasi Inventarisasi dan Penilaian Tahun 2009 dan 2010
Uraian Realisasi (Satker)
Satker yang selesai diinventarisasi dan dinilai wajar s.d. Desember 2010 22.857
Satker yang selesai diinventarisasi dan dinilai wajar s.d. Desember 2009 19.760
Satker yang selesai diinventarisasi dan dinilai wajar tahun 2010 3.097
Sumber: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Realisasi inventarisasi dan penilaian BMN selama tahun 2010 secara keseluruhan meliputi 3.097
Satker atau 183,58 persen dari target awal 1.687 Satker atau 103,37 persen dari target revisi
sebanyak 2.996 Satker. Jika diperhitungkan sejak tahun 2009, maka terdapat 22.857 Satker yang
telah diinventarisasi dan dinilai dengan status wajar.
9.2.2. Pengelolaan Barang Milik Negara
Pada tahun 2010, DJKN telah melaksanakan penyelesaian 1.279 permohonan pengelolaan BMN
yang terdiri dari permohonan penggunaan, pemanfaatan, penghapusan, dan pemindahtanganan
BMN. Jenis permohonan terbanyak adalah penggunaan dan pemindahtanganan BMN, kemudian
diikuti oleh pemanfaatan dan penghapusan BMN. Salah satu persetujuan pengelolaan BMN yang
bernilai signifikan adalah persetujuan penetapan status penggunaan BMN Sekretariat Negara
berupa Tanah Kompleks Gelora Bung Karno (GBK) melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor
169/KM.6/2010 tanggal 20 Agustus 2010. Tanah Kompleks GBK ditetapkan bernilai Rp 49,12 triliun.
Tabel 9.2.Penyelesaian Permohonan Pengelolaan BMN Tahun 2010
Jenis Permohonan Keputusan
Penggunaan 627
Pemanfaatan 77
Pemindahtanganan 507
Penghapusan 68
Jumlah 1.279
Sumber: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
9.2.3. Laporan Barang Milik Negara Berdasarkan Laporan Barang Pengguna Kementerian
Keuangan
a. Ruang Lingkup Laporan
Selain sebagai pemegang kewenangan pengelolaan barang milik negara yang secara fungsional
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan selaku kementerian/
lembaga memegang kewenangan penggunaan barang milik negara yang secara fungsional
dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Dalam rangka melaksanakan amanat
yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Repubik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 pasal 6 ayat 2
(m), Kementerian Keuangan selaku Pengguna Barang telah menyusun dan menyampaikan laporan
barang pengguna kepada Pengelola Barang. “Laporan Barang Pengguna Kementerian Keuangan
disusun berdasarkan Laporan Barang Pengguna Eselon I yang disampaikan oleh 12 Unit Eselon I di
lingkungan Kementerian Keuangan dengan menggunakan aplikasi Sistem Informasi Manajemen
dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN). Laporan barang pengguna ini mencakup BMN
intrakomptabel, BMN ekstrakomptabel, BMN Gabungan Intrakomptabel dan Ekstrakomptabel,
Konstruksi Dalam Pengerjaan, Aset Tak Berwujud, Barang Bersejarah, Barang Persediaan, dan Posisi
BMN di Neraca.
b. Nilai BMN Per 31 Desember 2010
b.1. BMN Intrakomptabel
BMN Intrakomptabel merupakan BMN berupa aset tetap yang memenuhi kriteria kapitalisasi dan
seluruh BMN yang diperoleh sebelum berlakunya kebijakan berlakunya kapitalisasi, dan BMN
yang diperoleh melalui transaksi transfer masuk/penerimaan dari pertukaran/pengalihan masuk
serta BMN yang dipindah bukukan dari buku barang ekstrakomptabel pada saat nilai akumulasi
biaya perolehan dan nilai pengembangannya telah mencapai batas minimum kapitalisasi. Nilai
BMN Intrakomptabel per 31 Desember 2010 pada LBP Kementerian Keuangan adalah sebesar
Rp35.611,52 miliar. Nilai ini mengalami kenaikan 6,98 persen dibandingkan tahun 2009 (audited)
sebesar Rp33.287,75 miliar.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 195
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
194
Tabel 9.3.Nilai BMN Intrakomptabel Unit Eselon I Kementerian Keuangan Tahun 2009-2010
No. Unit Eselon I 31 Desember 2009 (audited)
31 Desember 2010 (audited)
% (Kenaikan/ Penurunan)
1 SETJEN 7,902,964,922,408 8,588,275,970,406 8.67
2 ITJEN 34,393,284,046 38,779,063,173 12.75
3 DJA 38,544,860,827 53,636,536,160 39.15
4 DJP 13,550,423,756,716 13,780,931,218,909 1.70
5 DJBC 5,912,368,180,001 6,503,756,817,296 10.00
6 DJPK 20,821,859,373 25,251,007,443 21.27
7 DJPU 22,483,363,420 141,384,428,670 528.84
8 Ditjen Perbendaharaan 3,623,319,400,791 3,920,535,313,947 8.20
9 DJKN 558,142,343,097 692,736,450,729 24.11
10 BAPEPAM-LK 159,337,173,151 180,941,063,621 13.56
11 BPPK 1,427,257,331,613 1,645,310,035,637 15.28
12 BKF 37,691,784,148 39,985,802,764 6.09
Total 33,287,748,259,591 35,611,523,708,755 6.98
Sumber: Biro Perlengkapan, Sekretariat Jenderal.
b.2. BMN Ekstrakomptabel
Laporan BMN Ekstrakomptabel merupakan laporan BMN yang tidak memenuhi kriteria kapitalisasi.
Nilai BMN Ekstrakomptabel Kementerian Keuangan per 31 Desember 2010 adalah Rp46,74 miliar.
Nilai ini turun 4,45 persen dibandingkan tahun 2009.
Tabel 9.4.Nilai BMN Ekstrakomptabel Unit Eselon I Kementerian Keuangan Tahun 2009-2010
No. Unit Eselon I 31 Desember 2009 (audited)
31 Desember 2010 (audited)
% (Kenaikan/ Penurunan)
1 SETJEN 4,450,907,977 5,476,520,733 23.04
2 ITJEN 61,895,934 68,036,134 9.92
3 DJA 351,028,383 345,267,633 (1.64)
4 DJP 24,607,289,551 21,437,313,264 (12.88)
5 DJBC 7,637,738,387 7,209,929,926 (5.60)
6 DJPK 2,659,700 3,659,700 37.60
7 DJPU 174,071,920 174,071,920 0.00
8 Ditjen Perbendaharaan 6,357,932,280 6,322,870,028 (0.55)
9 DJKN 2,579,804,383 2,677,471,253 3.79
10 BAPEPAM-LK 150,933,550 145,539,550 (3.57)
11 BPPK 2,351,233,053 2,819,574,267 19.92
12 BKF 192,215,266 60,599,166 (68.47)
Total 48,917,710,384 46,740,853,574 (4.45)
Sumber: Biro Perlengkapan, Sekretariat Jenderal.
b.3. BMN Gabungan Intrakomptabel dan Ekstrakomptabel
Nilai BMN Gabungan Intrakomptabel dan Ekstrakomptabel Kementerian Keuangan per 31 Desember
2010 mencapai Rp35.658,26 miliar. Nilai ini meningkat 6,96 persen dibandingkan tahun 2009.
Tabel 9.5.Nilai BMN Gabungan Unit Eselon I Kementerian Keuangan Tahun 2009-2010
No. Unit Eselon I 31 Desember 2009 (audited)
31 Desember 2010 (audited)
% (Kenaikan/ Penurunan)
1 SETJEN 7,907,415,830,385 8,593,752,491,139 8.68
2 ITJEN 34,455,179,980 38,847,099,307 12.75
3 DJA 38,895,889,210 53,981,803,793 38.79
4 DJP 13,575,031,046,267 13,802,368,532,173 1.67
5 DJBC 5,920,005,918,388 6,510,966,747,222 9.98
6 DJPK 20,824,519,073 25,254,667,143 21.27
7 DJPU 22,657,435,340 141,558,500,590 524.78
8 Ditjen Perben-daharaan 3,629,677,333,071 3,926,858,183,975 8.19
9 DJKN 560,722,147,480 695,413,921,982 24.02
10 BAPEPAM-LK 159,488,106,701 181,086,603,171 13.54
11 BPPK 1,429,608,564,666 1,648,129,609,904 15.29
12 BKF 37,883,999,414 40,046,401,930 5.71
Total 33,336,665,969,975 35,658,264,562,329 6.96
Sumber: Biro Perlengkapan, Sekretariat Jenderal.
b.4. Laporan Posisi BMN di Neraca
Laporan Posisi BMN di neraca adalah laporan yang menggambarkan posisi BMN Kementerian
Keuangan yang terdiri atas Persediaan, Aset Tetap, dan Aset Lainnya. Nilai BMN pada neraca
Kementerian Keuangan per 31 Desember 2010 setelah dilakukan rekonsiliasi internal dengan Unit
Akuntansi Pengguna Anggaran adalah senilai Rp36.859,52 miliar.
Tabel 9.6.Nilai BMN di Neraca Kementerian Keuangan Tahun 2009-2010
Nama Barang 31 Desember 2009 (audited)
31 Desember 2010 (audited)
% (Kenaikan/ Penurunan)
Persediaan 185,815,610,344 252,720,931,918 36.01
Tanah 16,990,893,657,816 17,700,020,857,735 4.17
Peralatan dan Mesin 6,443,486,779,712 7,337,887,539,650 13.88
Bangunan dan Gedung 9,243,454,731,219 10,002,629,951,971 8.21
Jalan, Irigasi dan Jaringan 198,631,986,796 333,521,359,109 67.91
Aset Tetap lainnya 207,701,754,776 27,983,162,061 (86.53)
KDP 639,480,764,139 633,973,343,560 (0.86)
Aset Tak Berwujud 312,951,358,100 361,303,661,472 15.45
Aset Yang Tidak Dipergunakan 203,766,549,272 209,480,838,229 2.80
Total 34,426,183,192,174 36,859,521,645,705 7.07%
Sumber: Biro Perlengkapan, Sekretariat Jenderal.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 197
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
196
b.5. Laporan Persediaan
Laporan Persediaan merupakan laporan BMN berupa aset lancar dalam bentuk barang atau
perlengkapan (supplies) yang dimaksudkan untuk mendukung kegiatan operasional Pemerintah,
dan barang-barang yang dimaksudkan untuk dijual dan/atau diserahkan dalam rangka pelayanan
kepada masyarakat. Nilai Persediaan Kementerian Keuangan per 31 Desember 2010 setelah
dilakukan rekonsiliasi internal dengan Unit Akuntansi Pengguna Anggaran adalah senilai Rp252,72
miliar. Nilai ini merupakan gabungan laporan persediaan dari 12 Unit Eselon I.
Tabel 9.7.Nilai Persediaan Unit Eselon I Kementerian Keuangan Tahun 2009-2010
No. Unit Eselon I 31 Desember 2009 (Audited)
31 Desember 2010 (Audited)
% (Kenaikan/ Penurunan)
1 SETJEN 2,943,494,456 3,441,605,484 16.92
2 ITJEN 450,635,697 554,033,606 22.94
3 DJA 785,928,012 1,312,867,811 67.05
4 DJP 113,685,538,230 157,533,976,337 38.57
5 DJBC 40,342,824,191 55,740,538,953 38.17
6 DJPK 130,864,681 255,842,589 95.50
7 DJPU 649,120,771 481,327,222 (25.85)
8 Ditjen Perbendaharaan 17,097,752,335 21,547,320,090 26.02
9 DJKN 5,347,221,760 5,877,270,480 9.91
10 BAPEPAM-LK 1,680,941,000 1,616,574,329 (3.83)
11 BPPK 2,098,536,543 3,622,139,793 72.60
12 BKF 602,752,668 737,435,224 22.34
Total 185,815,610,344 252,720,931,918 36.01
Sumber: Biro Perlengkapan, Sekretariat Jenderal.
b.6. Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP)
KDP adalah aset-aset yang sedang dalam proses pembangunan pada tanggal laporan keuangan.
Nilai KDP Kementerian Keuangan per 31 Desember 2010 sebesar Rp633,97 miliar atau turun 0,86
persen dibandingkan dengan nilai KDP pada tahun 2009.
Tabel 9.8.Nilai Konstruksi Dalam Pengerjaan Unit Eselon I Kementerian Keuangan Tahun 2009-2010
No. Unit Eselon I 31 Desember 2009 (Audited)
31 Desember 2010 (Audited)
% (Kenaikan/ Penurunan)
1 SETJEN 102.262.677.724 83.776.333.161 -18,08%
2 DJP 257.182.867.791 370.523.105.948 44,07%
3 DJBC 187.566.049.394 82.350.824.488 -56,10%
4 Ditjen Perbendaharaan 39.433.513.492 37.035.568.254 -6,08%
5 DJKN 8.372.746.705 28.318.786.779 238,23%
6 BPPK 44.662.909.033 31.968.724.930 -28,42%
Total 639.480.764.139 633.973.343.560 -0,86%
Sumber: Biro Perlengkapan, Sekretariat Jenderal.
b.7. Aset Tak Berwujud
Aset tak berwujud adalah aset nonkeuangan yang dapat diidentifikasikan dan tidak mempunyai
wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan barang atau jasa atau digunakan
untuk tujuan lainnya termasuk hal atas kekayaan intelektual. Nilai Aset Tak Berwujud Kementerian
Keuangan per 31 Desember 2010 sebesar Rp361,30 miliar atau naik sebesar 15,45 persen
dibandingkan dengan nilai asset tak berwujud tahun 2009.
Tabel 9.9.Nilai Aset Tak Berwujud Unit Eselon I Kementerian Keuangan Tahun 2009-2010
No. Unit Eselon I 31 Desember 2009 (Audited)
31 Desember 2010 (Audited)
% (kenaikan/ Penurunan)
1 SETJEN 50.602.326.613 61.420.810.211 21,38%
2 ITJEN 526.634.840 4.954.284.840 840,74%
3 DJA 41.659.200 3.330.470.133 7894,56%
4 DJP 182.006.260.959 188.707.143.719 3,68%
5 DJBC 43.524.993.761 54.681.241.434 25,63%
6 DJPK 47.960.000 155.430.000 224,08%
7 DJPU 5.902.610.315 7.159.518.315 21,29%
8 Ditjen Perbendaharaan 6.661.303.280 8.112.685.830 21,79%
9 DJKN 14.124.567.726 14.520.832.726 2,81%
10 BAPEPAM-LK 4.862.926.160 6.115.169.010 25,75%
11 BPPK 999.814.750 8.116.425.122 711,79%
12 BKF 3.650.300.496 4.029.650.132 10,39%
Total 312.951.358.100 361.303.661.472 15,45%
Sumber: Biro Perlengkapan, Sekretariat Jenderal.
b.8. Aset tetap yang tidak digunakan digunakan dalam operasional pemerintah
Aset tetap yang tidak digunakan dalam operasional pemerintah merupakan seluruh aset tetap
yang secara substansi sudah tidak memenuhi definisi aset tetap, dan aset ini disajikan pada pos aset
lainnya sesuai dengan nilai tercatatnya. Nilai aset tetap yang tidak digunakan dalam operasional
pemerintah per 31 Desember 2010 sebesar Rp209,48 miliar atau mengalami kenaikan sebesar 2,80
persen dibandingkan dengan tahun 2009.
Tabel 9.10.Nilai Aset Tetap Yang Dihentikan Dari Operasional Pemerintah
Unit Eselon I Kementerian Keuangan Tahun 2009-2010No. Unit Eselon I 31 Desember 2009
(Audited)31 Desember 2010
(Audited)% (kenaikan/ Penurunan)
1 SETJEN 5.856.343.422 5.241.731.349 -10,49%
2 ITJEN 171.699.216 2.872.675.798 1573,09%
3 DJA 142.956.000 -100,00%
4 DJP 75.856.127.457 98.626.769.987 30,02%
5 DJBC 56.381.197.762 46.235.797.088 -17,99%
6 DJPK 153.297.279 153.297.279 0,00%
7 DJPB 51.688.120.892 42.729.928.081 -17,33%
8 DJKN 5.902.862.380 7.316.517.079 23,95%
9 BAPEPAM-LK 2.191.842.149 932.542.296 -57,45%
10 BPPK 5.210.143.942 5.371.579.272 3,10%
11 BKF 211.958.773 -100,00%
Total 203.766.549.272 209.480.838.229 2,80% Sumber: Biro Perlengkapan, Sekretariat Jenderal.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 199
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
198
b.9. Barang Bersejarah (Heritage Assets)
Barang Bersejarah (Heritage Assets) dibukukan dan dilaporkan dalam kuantitasnya dan tanpa
nilai karena nilai kultural, lingkungan, pendidikan, dan sejarahnya tidak mungkin secara penuh
dilambangkan dengan nilai keuangan berdasarkan harga pasar maupun harga perolehannya.
Dalam pencatatan SIMAK BMN Tahun 2010, Kementerian Keuangan memiliki satu unit BMN yang
dimasukkan dalam akun Aset Bersejarah berupa Tugu Peringatan/Prasasti di halaman KPPBC Tipe
A Samarinda.
9.3. KEKAYAAN NEGARA DIPISAHKAN
Bagian lain dari pengelolaan kekayaan negara adalah Kekayaan Negara Dipisahkan (KND). Ruang
lingkup KND meliputi Penyertaan Modal Negara (PMN), Privatisasi BUMN, dan Penetapan Nilai PMN/
Kekayaan Awal.
(1) Penyertaan Modal Negara
PMN yang menjadi lingkup tugas dan fungsi DJKN terdiri dari:
i. PMN dalam rangka pendirian BUMN
Pada tahun 2010 tidak terdapat PMN dalam rangka pendirian BUMN.
ii. PMN dalam rangka penambahan modal pada BUMN/Badan Hukum Lainnya/Lembaga
Internasional
Pada tahun 2010 telah ditetapkan penambahan PMN pada 6 BUMN/ Lembaga, yaitu:
a. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sebesar Rp2 triliun;
b. PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebesar Rp1 triliun;
c. PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) sebesar Rp1 triliun;
d. PT. Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) sebesar Rp900 miliar dan Rp220 miliar;
e. Perum Jamkrindo sebesar Rp900 miliar; dan
f. PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) sebesar Rp18,5 miliar (hibah saham dari
Bank Indonesia).
iii. PMN dalam rangka pengurangan modal pada BUMN/Badan Hukum Lainnya/Lembaga
Internasional
(2) Privatisasi BUMN
Privatisasi BUMN dapat dilakukan antara lain melalui:
i. Initial Public Offering (IPO), yaitu penawaran saham atau obligasi perusahaan untuk pertama kali kepada masyarakat umum;
ii. Secondary Public Offering (SPO), yaitu penawaran umum yang berikutnya setelah dilakukan IPO;
iii. Right Issue, yaitu hak pemegang saham lama membeli terlebih dahulu (preemtpive right)
saham baru pada harga tertentu dalam waktu kurang dari 6 bulan; serta
iv. restrukturisasi dan revitalisasi.
DJKN menyiapkan kajian, data pendukung, dan melakukan koordinasi antarunit kerja di
lingkungan Kementerian Keuangan dalam rangka pemberian rekomendasi pelaksanaan
privatisasi kepada Menteri Keuangan.
Pada tahun 2010, DJKN mengkaji dan memberikan rekomendasi atas rencana privatisasi pada
8 BUMN, yaitu PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) III (Persero), PT. Perkebunan Nusantara (PTPN)
IV (Persero), PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VII (Persero), PT. Primissima (Persero), PT. Sarana
Karya (Persero), PT. Kertas Padalarang (Persero), PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan
PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Adapun BUMN yang diprivatisasi pada tahun 2010 adalah PT.
Krakatau Steel (Persero), PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., PT. Bank Mandiri (Persero),
dan PT. Garuda Indonesia (Persero). Restrukturisasi dan revitalisasi BUMN ditandai dengan
selesainya proses restrukturisasi terhadap PT. Iglas (Persero) dan PT. Waskita Karya (Persero).
(3) Penetapan Nilai PMN/Kekayaan Awal
Pada tahun 2010 telah dilakukan Penetapan Nilai Definitif Kekayaan Negara yang belum
ditetapkan statusnya pada Perum Bulog, Penetapan Nilai PMN pada PT. Krakatau Steel (Persero),
dan Penetapan Kekayaan Awal LPP TVRI.
Kegiatan lain yang mendukung pelaksanaan tugas di bidang pengelolaan KND sepanjang tahun
2010 adalah:
(1) penyusunan Laporan Keuangan Investasi Pemerintah BA. 999.03 (PMN);
(2) penyusunan Buku Ikhtisar Laporan Keuangan BUMN dan Perseroan Terbatas Lainnya; serta
(3) penanganan BPYBDS.
9.4. KEKAYAAN NEGARA LAIN-LAIN
Selain pengelolaan Barang Milik Negara dan Kekayaan Negara dipisahkan, pengelolaan Kekayaan
Negara Lain-lain (KNL) juga memberikan peran yang sangat penting dalam mendukung
terwujudnya strategic assets management yang optimal. KNL dapat berasal dari hibah/sumbangan
atau yang sejenis, pelaksanaan kontrak/perjanjian, berdasarkan ketentuan undang-undang, atau
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada tahun 2010,
terdapat beberapa hasil yang diperoleh dari pengelolaan KNL.
(1) DJKN telah menyelesaikan 4.759 berkas KNL atau 112 persen dari target 4.250 berkas. Hal ini
terjadi, karena peningkatan penyerahan berkas kredit eks BPPN dan PT. Perusahaan Pengelola
Aset (PPA) kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan lelang (KPKNL). Di samping itu,
terjadi koordinasi yang semakin baik dengan Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Kementerian ESDM dan BPMIGAS, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Tim Asistensi
Daerah Penyelesaian ABMA/C, serta DJBC, sehingga mempermudah proses pengelolaan BMN.
(2) KNL yang diutilisasi sebesar Rp97 miliar berupa aset properti eks PT. PPA kepada Kementerian
Kesehatan.
(3) Penerimaan pembiayaan APBN yang berasal dari pengelolaan KNL sebesar Rp616 miliar dari
target Rp400 miliar (154 persen). Penerimaan ini dicapai melalui debtor tracing (investigation)
dan asset tracing yang hasilnya antara lain berbentuk kompensasi hak dengan Pemda DKI,
likuidasi aset PT. Bank Dagang Bali, lelang aset jaminan obligor, pelunasan/pembayaran obligor,
dan pengurusan piutang negara aset kredit eks BPPN.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 201
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
200
9.4.1. Aset yang berasal dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)
(1) DJKN telah memberikan persetujuan pengelolaan BMN yang berasal dari KKKS yang meliputi
penjualan (lelang), pemusnahan, hibah, penetapan status penggunaan, dan lain-lain.
Tabel 9.11.Persetujuan Pengelolaan BMN Yang Berasal Dari KKKS Tahun 2010
No. Usulan Peruntukan Disetujui
1. Penjualan (Lelang) 20
2. Pemusnahan 22
3. Hibah 4
4. Penetapan Status Penggunaan 3
5. Lain-Lain 2
Sumber: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
(2) Melakukan studi lapangan dan diskusi dalam rangka penyusunan revisi PMK No. 135/
PMK.06/2009 tentang Pengelolaan BMN dari KKKS.
(3) Penetapan PMK No. 165/PMK.06/2010 tentang Perubahan atas PMK No. 135/PMK.06/2009
tentang Pengelolaan BMN yang berasal dari KKKS.
(4) Sosialisasi PMK No. 165/PMK.06/2010 pada tanggal 11-13 Oktober 2010 di Hotel Sheraton
Bandung yang dihadiri oleh KKKS, BPMIGAS, dan Kementerian ESDM;
(5) DJKN bekerjasama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),
Kementerian ESDM, dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS)
telah melakukan inventarisasi dan penilaian BMN yang berasal dari KKKS berupa aset Harta
Modal Nomor Induk III (Harmoni III) terhadap 14 KKKS.
Tabel 9.12.Inventarisasi dan Penilaian BMN terhadap 14 KKKS Tahun 2010
1. ExxonMobil Exploration and Production Indonesia Surumana Limited
8. Elnusa Bangkanai Energy Ltd.
2. ExxonMobil Exploration and Production Indonesia (Mandar) Limited
9. Anadarko Indonesia Nunukan Company
3. JOB Pertamina-PetroChina East Java Ltd. 10. ENI Krueng Mane Ltd.
4. Kalila (Korinci Baru) Pty Ltd. 11. ENI Ambalat Ltd.
5. Kalila (Bentu) Ltd. 12. Santos (Madura) Pty Ltd.
6. Kangean Energy Indonesia Ltd. 13. Santos (Sampang) Pty Ltd.
7. Anadarko Indonesia Company 14. PT. Medco E & P Tarakan
Sumber: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Berdasarkan inventarisasi dan penilaian atas 14 KKKS diketahui terdapat 2.420 item dengan nilai
perolehan USD613,306,172.88 dan nilai wajar Rp3.126,23 miliar.
9.4.2. Barang Rampasan dan Gratifikasi
(1) Persetujuan peruntukan BMN yang berasal dari Barang Rampasan yang meliputi pemusnahan,
hibah, dan penetapan status penggunaan.
Tabel 9.13.Persetujuan Peruntukan Barang Rampasan Tahun 2010
No. Usulan Peruntukan Disetujui
1. Pemusnahan 9
2. Hibah 10
3. Penetapan Status Penggunaan 2
Sumber: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
(2) Telah dilakukan inventarisasi dan penilaian terhadap 45 unit Barang Gratifikasi yang diserahkan
kepada Menteri Keuangan c.q DJKN dengan nilai wajar hasil pemeriksaan fisik per tanggal 23
April 2010 sebesar Rp43.021.000.
(3) Telah disusun Rancangan PMK tentang Pengelolaan BMN yang berasal dari Barang Rampasan
Negara dan Barang Gratifikasi. Draft RPMK dimaksud telah disampaikan kepada Menteri Keuangan.
(4) Pembuatan dan penyempurnaan aplikasi Modul Kekayan Negara (sub modul kekayaan negara
lain lain) melalui berkoordinasi dengan Direktorat Hukum dan Informasi.
(5) Telah disusun potensi pelaksanaan lelang yang akan mengalami peningkatan, karena penyesuaian
dengan ketentuan. Database barang rampasan negara berdasarkan laporan semesteran telah
disampaikan oleh Kejaksaan Agung kepada Menteri Keuangan c.q. DJKN.
9.4.3. Aset yang berasal dari Kepabeanan/Tegahan Bea dan cukai
(1) Penerbitan 112 KMK yang menetapkan peruntukan barang yang menjadi milik negara eks
tegahan DJBC. Daftar usulan peruntukan tahun 2010 yang masih dalam proses adalah:
i. 3 berkas lelang yang diusulkan oleh KPPBC Bengkalis, KPPBC Selat Panjang, dan KPPBC
Soekarno-Hatta;
ii. 1 berkas pemusnahan yang diusulkan oleh KPPBC Soekarno-Hatta; serta
iii. 3 berkas lelang dan pemusnahan, yaitu 2 berkas oleh KPPBC Ngurah Rai dan 1 berkas oleh
KPPBC Surabaya.
Tabel 9.14.Persetujuan Peruntukan BMN Eks Tegahan DJBc Tahun 2010
No. Usulan Peruntukan Jumlah Usulan Disetujui
1. Penjualan (Lelang) 37 34
2. Pemusnahan 44 43
3. Hibah 0 0
4. Penetapan Status Penggunaan 1 1
5. Persetujuan Lelang dan Pemusnahan 37 34
Sumber: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
(2) Kegiatan monitoring atas tindak lanjut 92 surat Menteri Keuangan tentang Peruntukan BMN eks
tegahan DJBC.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 203
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
202
9.4.4. Aset yang berasal dari Aset Bekas Milik Asing/cina (ABMA/c)
(1) Pada tahun 2010, DJKN telah menyelesaikan 19 berkas KNL yang berasal dari ABMA/C dengan
memantapkan status hukumnya menjadi BMN/D.
(2) Telah ditetapkan Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 01/KN/2010 tentang
Petunjuk Teknis Penyelesaian ABMA/C.
(3) Kegiatan monitoring dilakukan terhadap 19 ABMA/C yang telah dimantapkan status hukumnya
menjadi BMN/D pada wilayah kerja Kanwil II DJKN Medan, Kanwil III DJKN Pekanbaru, Kanwil
IV DJKN Bandung, Kanwil X DJKN Surabaya, Kanwil XIII DJKN Samarinda, dan Kanwil XIV DJKN
Denpasar.
(4) Telah dilaksanakan Rapat Koordinasi Tim Penyelesaian ABMA/C Tingkat Pusat sebanyak 9 kali
bersama anggota Tim Interdep Pusat yang terdiri dari Badan Intelijen Negara (BIN), Badan
Pertanahan Nasional (BPN), Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Markas Besar
Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI), dan Biro Bantuan Hukum Kementerian Keuangan. Rapat
Koordinasi dimaksudkan untuk mendapatkan data pendukung dan masukan, serta membicarakan
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam rangka penyelesaian masalah ABMA/C.
9.4.5. Aset eks BPPN
(1) Penetapan KMK No. 95/KM.6/2010 tentang Pembentukan Tim Pengelolaan Aset Eks BPPN.
(2) Pembuatan sistem aplikasi bersama Direktorat Hukum dan Informasi dalam bentuk Modul
Kekayaan Negara II yang sampai saat ini masih dalam tahap penyempurnaan.
(3) Melaksanakan verifikasi dan penilaian berupa.
(4) Tindak lanjut atas hasil inventarisasi dan revaluasi sisa aset eks BPPN.
9.4.6. Aset eks Bank Dalam Likuidasi dan PT. Perusahaan Pengelola Aset
(1) DJKN telah menyelesaikan berkas KNL yang berasal dari aset eks BDL dan eks PT. PPA sebanyak
382 berkas.
(2) Hasil penyelesaian aset eks BDL dapat terealisasi sebesar Rp217 miliar, sedangkan eks PT. PPA
sebesar Rp220 miliar.
(3) Telah dilakukan inventarisasi atas aset eks BDL sebanyak 396 unit dan penyerahan pengurusan
piutang negara kepada KPKNL/PUPNC sebanyak 25 berkas aset kredit dengan nilai Rp18,33 miliar.
(4) PT. PPA telah mengembalikan pengelolaan atas 6 aset saham non bank dengan nilai buku
Rp19,03 miliar sehingga jumlah aset saham non bank yang ditangani pengelolaannya oleh
DJKN berjumlah 21 unit aset dengan total nilai buku Rp22,49 miliar.
(5) DJKN telah menyelesaikan pengelolaan atas 132 aset (112 aset properti dan 20 aset kredit)
dengan nilai buku aset Rp100,70 miliar.
Tabel 9.15.Realisasi Pengelolaan Aset Kredit dan Properti Tahun 2010
No. Aset Kredit/Properti Realisasi (Rp)1. Hasil penagihan aset kredit 11.290.794.0412. Hasil penjualan aset properti 119.783.200.0003. Hasil pelepasan hak atas aset properti 88.914.210.0004. Utilisasi Aset (melalui PSP) 95.870.000.000
Jumlah 315.858.204.041
Sumber: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
9.5. PERKEMBANGAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA
Pengurusan Piutang Negara yang dilakukan oleh PUPN/DJKN mendapat perhatian dari Menteri
Keuangan. Pada Position Paper Arah Kementerian Keuangan Tahun 2010-2014, Menteri Keuangan
memberikan arahan agar outstanding piutang negara per 1 Juli 2010 sebanyak 158.508 BKPN dengan
nilai Rp62,41 triliun harus dapat diselesaikan paling lambat tahun 2014. BKPN terbanyak adalah BUMN
Perbankan sejumlah 90.185 berkas, kemudian diikuti oleh BUMN Non Perbankan sebanyak 48.524
berkas. Di urutan selanjutnya adalah BKPN Instansi Pemerintah yang berjumlah 19.673 berkas dan
Lembaga Negara sebanyak 126 berkas.
Gambar 9.2.Outstanding BKPN Berdasarkan Berkas
BUMN Perbankan
BUMN Non Perbankan
Instansi Pemerintah
Lembaga Negara
90,185
126
19,673
48,524
Sumber: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Dari segi nilai, diketahui bahwa nilai BKPN Instansi Pemerintah adalah yang terbesar, yaitu mencapai
Rp40,82 triliun. Selanjutnya adalah nilai BKPN BUMN Perbankan sebesar Rp20,41 triliun dan BUMN
Non Perbankan sejumlah Rp1,18 triliun. Nilai BKPN terendah dihasilkan dari Lembaga Negara, yaitu
Rp0,01 triliun.
Gambar 9.3. Outstanding Nilai BKPN
BUMN Perbankan
BUMN Non Perbankan
Instansi Pemerintah
Lembaga Negara
20.41
1.18
0.01
40.82
Sumber: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 205
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
204
Untuk melaksanakan arahan Menteri Keuangan, telah disusun Road Map Percepatan Penyelesaian
Pengurusan Piutang Negara Tahun 2010-2014 yang terdiri dari 11 program aksi.
Gambar 9.4.Road Map Percepatan Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara
Tahun 2010-2014
1. Penertiban BKPN
2. Penyelesaian pembentukan database pengurusan piutang negara pada Program Aplikasi SIMPLe
3. Validasi Ulang outstanding piutang Negara yang diurus PUPN/DJKN
4. Estimasi tingkat ketertagihan piutang
5. Penyederhanaan Prosedur Pengurusan Piutang Negara
6. Penyusunan peraturan yang memungkinkan penyederhanaan proses/tahap pengurusan piutang negara
7. Capacity Building bagi Juru Sita, Pemeriksa, dan Pengelola (Analis) BKPN
8. Koordinasi dengan Penyerah piutang khususnya BUMN/D agar menarik pengurusan Piutang Negara dari PUPN/DJKN, baik dalam rangka restrukturisasi maupun dalam rangka penyelesaian piutang dengan mekanisme korporasi.
9. Intensifikasi pelaksanaan kewenangan pemberian keringanan penyelesaian hutang debitor
10. Intensifikasi pembinaan kepada Kantor Wilayah dan KPKNL
11. Intensifikasi pelaksanaan proses/tahap pengurusan, intensifikasi asset/debtor tracing
(Sesuai SE-01/KN/2011 Selasai di Februari 2011)
(Selesai di Semester II Tahun 2011)
(Selesai di Semester I Tahun 2011)
(Selesai di Semester I Tahun 2011)
Target Penyelesaian
Sumber: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Pengurusan piutang negara yang dilaksanakan oleh PUPN/DJKN selama tahun 2010 adalah berikut ini.
(1) Penerbitan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) PUPN/DJKN menerima penyerahan Piutang Negara sebanyak 6.773 Berkas Kasus Piutang Negara
(BKPN) dengan nilai Rp1,35 triliun. Penyerahan tersebut berasal dari pengurusan piutang milik instansi Pemerintah.
(2) Piutang Negara Dapat Diselesaikan (PNDS)
PNDS merupakan jumlah piutang negara yang dapat diselesaikan pengurusannya oleh PUPN/DJKN yang berasal dari Piutang Negara Dapat Ditagih (PNDT), Penarikan, Pengembalian KPR-BTN, Angsuran/Penarikan/ Lunas PSBDT, dan Lunas. Sampai dengan Desember 2010, PNDS yang berhasil dipungut sebesar Rp781,297,25 miliar, yang bersumber dari Piutang Negara Perbankan (55,18 persen) dan Piutang Negara Non-Perbankan (44,82 persen). Realisasi PNDS tersebut setara dengan 101,47 persen dari target yang ditetapkan sebesar Rp770 Miliar.
(3) Piutang Negara Dapat Ditagih (PNDT) PNDT merupakan jumlah uang yang dapat ditagih untuk dikembalikan kepada pihak kreditor/
penyerah piutang. Selama tahun 2010, diperoleh PNDT sebesar Rp634,90 miliar atau 81,26 persen dari seluruh PNDS. Dari PNDT tersebut, Rp521,12 miliar diantaranya merupakan angsuran debitor. Apabila dibandingkan dengan jumlah Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) sepanjang tahun 2010, maka PNDT yang dihasilkan masih sangat kecil. Hal ini terjadi, karena kualitas piutang yang diurus bukanlah piutang lancar, mengandung perkara hukum, dan ketiadaan barang jaminan.
(4) Penarikan Penarikan BKPN yang dilakukan oleh Penyerah Piutang sepanjang tahun 2010 memberikan
kontribusi terhadap piutang yang dapat diselesaikan sebesar 18,13 persen atau Rp141,68 miliar. Jika dilihat dari jumlah BKPN, maka penarikan yang telah disetujui sebanyak 1.087 BKPN atau 21,44 persen dari total berkas piutang yang dapat diselesaikan. Penarikan dimaksud terdiri dari 1.072 BKPN Perbankan sebesar Rp138,63 miliar dan 15 BKPN Non-Perbankan sebesar Rp3,04 miliar.
(5) BKPN Lunas Pelunasan BKPN sepanjang tahun 2010 mencapai 3.936 BKPN yang berasal dari Piutang Negara
Perbankan sebanyak 2.856 BKPN dan Piutang Negara Non-Perbankan (termasuk dari instansi Pemerintah) sebanyak 1.080 BKPN.
(6) Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (BIAD PPN) Hingga Desember 2010, BIAD yang berhasil dipungut sebesar Rp68,113 miliar. Kontribusi
Piutang Negara Perbankan tercatat sebanyak Rp33,42 miliar (49,07 persen), sedangkan Piutang Negara Non-Perbankan diketahui sebanyak Rp34,69 miliar (50,93 persen). Pencapaian BIAD
tersebut setara dengan 100,54 persen dari target yang ditetapkan sebesar Rp67,75 miliar.
Outstanding piutang negara sampai dengan tahun 2010 adalah sebesar 155.971 BKPN dengan nilai
Rp57,8 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp37,6 triliun atau 65 persen diantaranya merupakan piutang
non-perbankan, sedangkan Rp20,2 triliun atau 35 persen adalah piutang perbankan.
9.6. PERKEMBANGAN LELANG
Realisasi pokok lelang maupun persentase pencapaiannya atas target yang ditetapkan selalu
mengalami kenaikan sejak tahun 2006.
Tabel 9.16.Realisasi Pokok Lelang dan Bea Lelang Tahun 2006-2010
TahunPokok Lelang (Rp Ribu) Bea Lelang (Rp Ribu)
Target Realisasi % capaian Target Realisasi % capaian
2006 2.300.000.000 2.218.214.122 96,44 30.000.000 33.163.434 110,54
2007 2.377.432.568 2.583.691.428 108,68 35.661.488 48.582.474 136,23
2008 2.492.430.031 4.297.612.448 172,43 31.384.031 57.196.883 182,25
2009 2.766.291.460 5.233.660.680 189,19 38.300.000 69.748.499 182,11
2010 3.196.661.000 6.796.806.899 212,62 44.047.706 83.836.052 190,33
Sumber: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Selain itu, pengumpulan penerimaan negara dalam bentuk PNBP berupa bea lelang sebagai
pelaksanaan fungsi budgeter dari lelang juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama
periode tahun 2007-2010 dengan rincian sebagai berikut:
(1) PNBP yang diperoleh pada tahun 2007 adalah Rp48,58 miliar melalui 13.233 kali pelaksanaan lelang;
(2) PNBP yang diperoleh pada tahun 2008 adalah Rp57,20 miliar melalui 15.346 kali pelaksanaan lelang;
(3) PNBP yang diperoleh pada tahun 2009 adalah Rp69,75 miliar melalui 20.668 kali pelaksanaan
lelang; dan
(4) PNBP yang diperoleh pada tahun 2010 adalah Rp83,84 miliar melalui 27.595 kali pelaksanaan lelang.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 207
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
206
Hasil pelaksanaan lelang berupa pokok lelang dan bea lelang selalu melampaui target dalam 5 tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh:(1) terdapat beberapa lelang yang hasilnya cukup tinggi, seperti lelang aset sitaan Pengadilan
Negeri, PUPN, eksekusi Pengadilan Negeri, eksekusi Hak Tanggungan, aset BUMN, dan kepailitan;(2) peningkatan frekuensi lelang Hak Tanggungan dan fidusia dari bank BUMN setelah berlakunya
PP No. 33 Tahun 2006;(3) peningkatan frekuensi lelang eksekusi Pengadilan Negeri; serta(4) penggalian potensi lelang dan upaya meningkatkan minat masyarakat terhadap lelang.
9.7. PELUANG DAN TANTANGAN
9.7.1. PeluangBerbagai kebijakan Pemerintah dalam pendirian dan restrukturisasi aset BUMN memerlukan penegakan prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kewajaran, harga terbaik, serta memperhatikan kondisi pasar. Pelaksanaan kebijakan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai stakeholder BUMN. Hal ini harus dikelola secara cermat oleh DJKN, karena penatausahaan atas kekayaan negara merupakan salah fungsi Menteri Keuangan yang tidak dilimpahkan kepada Menteri BUMN.
Negara memiliki aset yang besar dan sedang mengarah pada manajemen aset yang lebih baik. Masih banyak aset eks-BPPN, BDL, dan kelolaan PT. PPA yang bisa diserahkan kepada instansi Pemerintah yang membutuhkan. Cara ini menghemat anggaran negara dan berpotensi mengembalikan keuangan negara dan PNBP. Peluang yang juga berasal dari aset rampasan, sitaan kepabeanan, gratifikasi, Barang Muatan Kapal Tenggelam (BMKT), ABMA/C), dan KKKS. Hingga saat ini masih banyak aset rampasan di KPK dan Kejaksaan Negeri dengan jumlah dan jenis aset yang belum diketahui secara pasti. Aset semacam itu beserta aset-aset lainnya merupakan potensi penerimaan negara.
Sesuai dengan PMK No. 100/PMK.06/2008, DJKN bertugas melakukan inventarisasi piutang K/L yang belum diserahkan kepada PUPN. Dengan telah ditetapkannya PMK No. 201/PMK.06/2010 tentang Kualitas Piutang K/L dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih, DJKN berkesempatan memberikan pemahaman kepada K/L mengenai konsep pengelolaan piutang. Interaksi dan komunikasi yang efektif menjadi penting, karena dapat membuka peluang untuk mengetahui posisi piutang K/L agar pengurusan piutang macet dapat dipercepat penyelesaiannya.
Potensi pelaksanaan lelang juga meningkat, karena jumlah penghapusan BMN diperkirakan akan meningkat seiring dengan peremajaan aset. Demikian pula dengan BMN idle yang jumlahnya cukup banyak. Apabila ditetapkan dipindahtangankan secara lelang, maka terdapat potensi Lelang Non-Eksekusi Wajib yang cukup besar.
9.7.2. TantanganDengan bertambahnya tugas, kewenangan, dan sejumlah prestasi yang telah diraih, DJKN menghadapi tantangan yang kompleks dan dengan risiko yang tinggi dari sisi hukum, reputasi, dan kerugian negara. Tantangan tersebut diantaranya adalah banyaknya tanah yang digunakan dan dikuasai oleh K/L yang belum bersertifikat, sehingga rawan untuk digugat atau dikuasai pihak lain.
Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan. Dari World Geothermal Congress 2010 terungkap bahwa Indonesia memiliki potensi panas bumi sebesar 28.000 MW atau sekitar 35 persen dari potensi dunia. Dari potensi tersebut, hanya 1.189 MW yang telah dimanfaatkan, sehingga Indonesia menempati peringkat ketiga setelah Amerika Serikat (2.687 MW) dan Filipina (1.968 MW).Kondisi ini menjadi tantangan dalam memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari sumber daya tersebut dengan tetap menjaga kelestarian ekosistem. Untuk itu, perlu dilakukan penilaian yang menyeluruh atas kelayakan eksplorasi dan eksploitasi. Tantangan DJKN dalam pengelolaan dan penilaian sumber daya alam akan semakin besar di masa mendatang.
Dalam melaksanakan kegiatan pengurusan piutang negara, DJKN dihadapkan pada berbagai tantangan. Tantangan yang paling utama adalah penyelesaian outstanding piutang negara per 1 Juli 2010 sebanyak 158.508 BKPN dengan nilai Rp62,41 triliun yang harus diselesaikan paling lambat tahun 2014, sesuai arahan Menteri Keuangan pada Position Paper Arah Kementerian Keuangan Tahun 2010-2014. Untuk menghadapi tantangan tersebut telah disusun Road Map Percepatan Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara Tahun 2010-2014 yang terdiri dari 11 program aksi untuk penyelesaian outstanding.
Pelaksanaan lelang sering terkendala adanya gugatan/perkara untuk menunda lelang atau menuntut pembatalan lelang yang telah dilakukan. Selain itu, selalu terdapat kemungkinan peserta lelang bersekongkol dalam melakukan penawaran, sehingga harga yang terbentuk menjadi kurang optimal. Hal lain adalah pembeli lelang sering mengalami kesulitan dalam menguasai objek lelang yang dibeli, karena masih dihuni oleh debitor/tereksekusi/pihak ketiga. Tantangan DJKN dalam mengatasi kendala di lapangan adalah menciptakan peraturan yang dapat mengakomodasi aspirasi masyarakat demi melindungi pengguna layanan lelang dengan sebaik-baiknya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
9.8. PENDING MATTErS
Beberapa hal/kegiatan yang masih dalam proses penyelesaian di DJKN antara lain berikut ini.(1) Penyusunan RUU tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang akan menjadi payung hukum
terintegrasi mengenai pelaksanaan tugas dan fungsi pengelolaan kekayaan negara (BMN), termasuk kekayaan negara lain-lain.
(2) Penyusunan RUU tentang Penilaian yang akan menjadi payung hukum dalam pelaksanaan penilaian.
(3) Penyusunan RUU tentang Pengurusan Piutang Negara sebagai payung hukum dalam pengurusan piutang negara/daerah.
(4) Penyusunan RUU tentang Lelang yang akan mengakomodasi kebutuhan, perkembangan, dan perubahan di bidang lelang yang terjadi pada saat ini.
(5) Integrasi perencanaan kebutuhan dan penganggaran BMN.(6) Implementasi Road Map Percepatan Penyelesaian Piutang Negara.
Meneguhkan Kepercayaan PublikMelalui Pengawasan Yang Tegas Dan Profesional
FIRM
Strengthening Public TrustThrough Distinct And Professional Supervision
TegAS
Tegas Bertindak
Act firm
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 211
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
210
10.1. ARAH DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENGAWASAN PASAR MODAL DAN
LEMBAGA KEUANGAN
Struktur dan sistem keuangan global mengalami perubahan yang cepat dan dinamis. Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) sebagai organisasi yang visioner,
siap menyongsong era dan tantangan yang terjadi dengan menjalankan proses bisnisnya. Arah dan
Strategi di bidang pasar modal dan industri keuangan non bank pada tahun 2010-2014 meliputi
aspek-aspek berikut ini.
(1) Sumber pendanaan yang mudah diakses, efisien, dan kompetitif melalui 3 strategi, yaitu:
i. mengurangi hambatan bagi dunia usaha untuk mengakses pasar modal sebagai sumber
pendanaan;
ii. meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap lembaga pembiayaan dan penjaminan;
serta
iii. menyempurnakan peran profesi, lembaga penunjang, dan penjamin emisi dalam penawaran
umum.
(2) Sarana investasi yang kondusif dan atraktif, serta pengelolaan risiko yang handal melalui 6
strategi, yaitu:
i. meningkatkan penyebaran dan kualitas keterbukaan informasi;
ii. mendorong diversifikasi instrumen pasar modal dan skema jasa keuangan non bank;
iii. mengembangkan pasar modal dan industri keuangan non bank berbasis syariah;
iv. meningkatkan kemudahan dalam bertransaksi;
v. mengembangkan skema perlindungan investor dan nasabah; serta
vi. mengembangkan pasar sekunder surat utang dan sukuk serta pengawasannya.
KEBIJAKAN PENGAWASAN PASAR MODAL DAN INDUSTRI KEUANGAN NON BANK
BAB X
(3) Industri yang stabil, tahan uji, dan likuid melalui 5 strategi, yaitu:
i. meningkatkan kualitas pelaku industri;
ii. mendorong peningkatan kualitas tata kelola perusahaan yang baik;
iii. meningkatkan kemampuan industri dalam mengelola risiko;
iv. meningkatkan kapasitas pengawasan terhadap pelaku industri; serta
v. meningkatkan basis investor domestik dan dana jangka panjang.
(4) Kerangka regulasi yang menjamin kepastian hukum, adil, dan transparan melalui 4 strategi,
yaitu:
i. meningkatkan kualitas penegakan hukum;
ii. melakukan harmonisasi regulasi antarindustri dan pemenuhan standar internasional;
iii. menyusun regulasi berdasarkan kebutuhan dan pengembangan industri; serta
iv. meningkatkan kualitas transparansi informasi keuangan pelaku industri pasar modal dan
LKNB.
(5) Infrastruktur yang kredibel, dapat diandalkan, dan berstandar internasional melalui 2 strategi,
yaitu:
i. mengembangkan sistem perdagangan efek yang terintegrasi (straight through processing);
dan
ii. mengembangkan sistem informasi yang handal.
10.2. KINERJA PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
10.2.1. Kinerja Industri Pasar Modal
10.2.1.1. Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami penguatan yang
signifikan. Pada akhir perdagangan tahun 2010, IHSG ditutup pada posisi 3.703,51 atau menguat
46,13 persen jika dibandingkan dengan hari perdagangan terakhir tahun 2009 yang berada pada
posisi 2.534,36. IHSG tertinggi selama tahun 2010 berada pada posisi 3.756,97 yang terjadi pada 10
November 2010. Sebaliknya, IHSG terendah terjadi pada 8 Februari 2010 pada posisi 2.475,57.
Gambar 10.1.IHSG di BEI Tahun 2001-2010
4,000.00
3,500.00
3,000.00
2,500.00
2,000.00
1,500.00
1,000.00
500.00
0.00
01 02 03 04 05 06 07 08 09
J F M A M J10
J A S O N D
16.0
IHSG
Periode
Sumber: Bapepam-LK.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 213
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
212
Pada tahun 2010, IHSG di BEI mempunyai kinerja indeks yang terbaik jika dibandingkan dengan
indeks-indeks saham lain di kawasan Asia Pasifik. Prestasi ini mengalami peningkatan bila
dibandingkan dengan tahun 2009, di mana IHSG di BEI menempati urutan terbaik kedua.
Tabel 10.1.Indeks Saham Bursa Utama di Asia Pasifik Tahun 2009 dan 2010
Bursa Efek Indeks Des 09 Des 10 Perubahan (%)
Indonesia Stock Exchange Indonesia Stock Exchange Composite Index
2.534,36 1) 3.703,51 46,13
Stock Exchange of Thailand Stock Exchange of Thailand Index
734,54 1) 1.032,76 40,60
Philippine Stock Exchange Philippine Stock Exchange Index
3.052,68 1) 4.201,14 37,62
South Korea Stock Market KOSPI Index 1.682,77 1) 2.051,00 21,88
Kuala Lumpur Stock Exchange
Kuala Lumpur Stock Exchange Composite Index
1.272,78 1) 1.518,91 19,34
Bombay Stock Exchange BSE Sensex 30 17.464,81 2) 20.509,10 17,43
Stock Exchange of Singapore Straits Times Index 2.897,62 2) 3.190,04 10,09
Taiwan Stock Exchange Taiwan Stock Exchange Index
8.188,11 2) 8.972,50 9,58
Hong Kong Stock Exchange Hangseng Index 21.872,50 2) 23.035,45 5,32
Shenzhen Stock Exchange Shenzen Composite Index 1.201,34 2) 1.290,87 7,45
Australia Stock Exchange S&P/ASX 200 Index 4.870,60 2) 4.745,20 -2,57
Tokyo Stock Exchange Nikkei-225 Stock Exchange
10.546,44 1) 10.228,92 -3,01
Shanghai Stock Exchange Shanghai Stock Exchange Composite Index
3.277,14 2) 2.808,08 -14,31
Keterangan:1) Penutupan tanggal 30 Desember 2010.2) Penutupan tanggal 31 Desember 2010.
Sumber: BEI dan Bloomberg.
Gambar 10.2.Kinerja Indeks Bursa Asia Pasifik
Shanghai Stock Exchange
Tokyo Stock Exchange
Australia Stock Exchange
Shenzhen Stock Exchange
Hong Kong Stock Exchange
Taiwan Stock Exchange
Stock Exchange of Singapore
Bombay Stock Exchange
Kuala Lumpur Stock Exchange
South Korea Stock Market
Philippine Stock Exchange
Stock Exchange of Thailand
Indonesia Stock Exchange
-20.00 -10.00 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00
Perkembangan Indeks (% Perubahan)
Sumber: BEI dan Bloomberg.
10.2.1.2. Nilai Kapitalisasi Pasar dan Transaksi Saham di BEI
Seiring penguatan IHSG, nilai kapitalisasi pasar saham BEI mengalami peningkatan 60,80 persen, yaitu
dari Rp2.019,38 triliun pada akhir tahun 2009 menjadi Rp3.247,10 triliun pada akhir perdagangan
tahun 2010. Total nilai transaksi saham di BEI sepanjang tahun 2010 mencapai Rp1.176,24 triliun
yang berarti meningkat 20,61 persen dari total nilai transaksi saham sepanjang tahun 2009 sebesar
Rp975,21 triliun. Demikian pula nilai transaksi rata-rata harian mengalami peningkatan dari Rp4,05
triliun per hari pada tahun 2009 menjadi Rp4,80 triliun per hari pada tahun 2010. Nilai bersih transaksi
saham yang dilakukan oleh investor asing sehingga terjadi aliran masuk dana asing (net inflow of
foreign capital) pada tahun 2010 mencapai Rp20,98 triliun atau meningkat cukup signifikan dari
Rp13,78 triliun pada tahun 2009.
Gambar 10.3.Kapitalisasi Pasar Saham di BEI Tahun 2001-2010
4,000.00
3,500.00
3,000.00
2,500.00
2,000.00
1,500.00
1,000.00
500.00
0.00
01 02 03 04 05 06 07 08 09
J F M A M J10
J A S O N D
16.0
Periode
Sumber: Bapepam-LK.
10.2.1.3. Emiten dan Perusahaan Publik
Bapepam-LK berupaya meningkatkan jumlah emiten yang melakukan penawaran umum di pasar
modal Indonesia. Pada tahun 2010, terdapat 24 perusahaan yang melakukan penawaran umum
perdana saham. Jumlah ini meningkat 84,62 persen jika dibandingkan dengan tahun 2009 yang
berjumlah 13 perusahaan. Nilai penawaran umum perdana saham pada tahun 2010 adalah
Rp29.512,13 miliar yang berarti terjadi kenaikan lebih dari 6 kali lipat jika dibandingkan dengan
tahun 2009.
Selain itu, penawaran umum saham dengan hak memesan efek terlebih dahulu kepada pemegang
saham lama (right issue) mengalami peningkatan sangat signifikan. Pada tahun 2010, jumlah
penawaran meningkat 106,67 persen menjadi 31 penawaran dari 15 penawaran di tahun 2009.
Adapun nilai emisi melonjak 210,55 persen dari Rp15.671,80 miliar pada tahun 2009 menjadi
Rp48.669,24 miliar di tahun 2010. Pada tahun 2010 terdapat pula 29 penawaran umum obligasi
dan sukuk yang dilakukan oleh 24 emiten dengan nilai mencapai Rp36.597 miliar. Berarti terjadi
peningkatan 17,71 persen jika dibandingkan dengan tahun 2009.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 215
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
214
Berdasarkan prospektus emiten dan perusahaan publik yang melakukan penawaran umum di tahun
2010, persentase terbesar dari penggunaan dana emisi adalah untuk ekspansi, yaitu 50 persen atau
sekitar Rp56 triliun. Adapun penggunaan dana untuk modal kerja tercatat sebesar 16 persen atau
sekitar Rp18 triliun, refinancing sebesar 16 persen atau sekitar Rp18 triliun, dan lain-lain sebesar 18
persen atau sekitar Rp20 triliun.
Dari Rp 56 triliun dana hasil emisi, sekitar Rp27 triliun atau 64 persen digunakan untuk penyaluran
kredit oleh emiten perbankan, terutama kredit konsumsi dan pembiayaan konsumen. Selanjutnya
sekitar Rp7 triliun atau 16 persen digunakan untuk pengembangan telekomunikasi, sedangkan
sisanya yang digunakan untuk ekspansi di bidang real estate sekitar Rp1 triliun, pembiayaan
konsumen sekitar Rp159 miliar, perdagangan dan perhubungan sekitar Rp24 miliar, serta ekspansi
usaha lainnya sekitar Rp7,5 triliun. Di samping itu, sekitar Rp13 triliun digunakan untuk sektor riil,
yaitu pengembangan usaha pertambangan dan pembangunan pabrik-pabrik manufaktur.
10.2.1.4. Kinerja Industri Pengelolaan Investasi
Perkembangan positif kondisi perekonomian dan industri pasar modal di Indonesia telah
mempengaruhi perkembangan industri pengelolaan investasi. Gross Domestic Product (GDP) atas
dasar harga berlaku mengalami peningkatan dari Rp5.613,4 triliun pada tahun 2009 menjadi
Rp6.422,9 triliun pada tahun 2010 atau meningkat 6,1 persen. Suku bunga pinjaman cenderung
stabil, yaitu 6,5 persen pada 3 Desember 2009 dan tetap bertahan hingga 3 Desember 2010.
Lembaga pemeringkat kredit internasional, Moody’s, mempertimbangkan untuk menaikkan
peringkat kredit Indonesia dari ‘Ba2’ menjadi ‘Ba1’ pada tahun 2010. Pertimbangan ini didasari oleh
fundamental ekonomi yang kuat, cadangan devisa yang terus meningkat, dan kerangka kebijakan
ekonomi yang tepat. Kinerja pengelolaan investasi juga dipengaruhi oleh pertumbuhan IHSG di BEI
yang mengalami peningkatan 46,13 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Perkembangan positif industri pengelolaan investasi tercermin dari terus meningkatnya Nilai Aktiva
Bersih (NAB). Pada akhir tahun 2010, total NAB tercatat Rp153,28 triliun atau meningkat 34,02 persen
bila dibandingkan dengan tahun 2009 sebesar Rp114,37 triliun. Meskipun meningkat, namun jika
dibandingkan dengan GDP harga berlaku tahun 2010, porsi total NAB Reksa Dana terhadap GDP
masih tergolong kecil, yakni hanya 2,4 persen dari GDP.
Peningkatan NAB sebagian besar merupakan kontribusi dari produk Reksa Dana Saham dan Reksa
Dana Terproteksi, yaitu masing-masing sebesar 31,5 persen dan 27,8 persen. Adapun NAB Reksa
Dana Pendapatan Tetap dan Reksa Dana Campuran memberikan kontribusi masing-masing 18,30
persen dan 16,82 persen. Selain itu, Reksa Dana Pasar Uang, Reksa Dana Indeks, dan Reksa Dana
yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa atau Exchange Traded Fund (ETF) memberikan
kontribusi masing-masing sebesar 5,04 persen, 0,17 persen, dan 0,27 persen.
Perkembangan Reksa Dana juga terjadi pada Unit Penyertaan (UP) yang meningkat dari 69,52 miliar
unit pada tahun 2009 menjadi 82,08 miliar unit pada tahun 2010 atau meningkat 18,07 persen.
Sementara itu, apabila dilihat dari sisi NAB, sebagian besar jenis produk Reksa Dana mengalami
peningkatan NAB di tahun 2010. Peningkatan tertinggi dialami Reksa Dana Campuran sebesar
60,51 persen, kemudian diikuti oleh Reksa Dana Pendapatan Tetap 51,26 persen, Reksa Dana Pasar
Uang 47,93 persen, Reksa Dana Saham 26,21 persen, dan Reksa Dana Terproteksi 21,05 persen.
Sebaliknya, Reksa Dana Indeks dan ETF mengalami penurunan, masing-masing sebesar 10 persen
dan 38,36 persen.
Investor Reksa Dana juga mengalami peningkatan. Jumlah nasabah pemegang UP meningkat 1,94
persen, yaitu dari 304.177 nasabah pada tahun 2009 menjadi 310.073 nasabah di tahun 2010. Arus
dana asing yang masuk melalui Reksa Dana meningkat 24,71 persen dari Rp8,11 triliun di tahun 2009
menjadi Rp10,11 triliun di tahun 2010. Peningkatan ini terjadi pada jumlah rekening perorangan
asing pemegang UP yang meningkat 142,50 persen, yaitu dari 1.779 di tahun 2009 menjadi 4.314
di tahun 2010. Adapun jumlah rekening institusi asing mengalami penurunan dari 50 di tahun 2009
menjadi 37 pada akhir Desember 2010.
Tabel 10.2.Perkembangan Produk Investasi Tahun 2009-2010
No. Jenis Produk Investasi
Tahun
2009 2010
JumlahProduk
NAB /Nilai EBA*(Rp Triliun)
Jumlah UP(Rp Miliar)
JumlahProduk
NAB / NilaiEBA*
(Rp Triliun)
Jumlah UP(Rp Miliar)
1. RD Pasar Uang 26 5,22 5,22 27 7,72 7,72
2. RD PendapatanTetap 131 18,55 12,61 109 28,06 16,18
3. RD Saham 73 38,31 11,70 73 48,35 11,74
4. RD Campuran 117 16,06 7,38 109 25,78 8,22
5. RD Terproteksi 256 35,27 32,33 294 42,69 38,05
6. RD Indeks 2 0,29 0,16 2 0,26 0,11
7. ETF 2 0,67 0,13 2 0,41 0,06
Total 607 114,37 69,52 616 153,28 82,08
8. RD KIK PenyertaanTerbatas 64 16,57 N/A 97 28,12 N/A
9. KIK-EBA 2 0,46 N/A 3 1,1 N/A
Keterangan:*NAB untuk Reksa Dana, Nilai EBA untuk KIK-EBA.Sumber: Bapepam-LK.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 217
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
216
10.2.2. Kinerja Industri Lembaga Keuangan Non-Bank
10.2.2.1. Industri Pembiayaan dan Penjaminan
a. Industri Pembiayaan
Selama tahun 2010, Bapepam-LK memberikan izin bagi pembukaan 7 Perusahaan Pembiayaan
baru dan mencabut izin 13 Perusahaan Pembiayaan. Dengan demikian, jumlah Perusahaan
Pembiayaan menurun menjadi 192 perusahaan pada tahun 2010 dari 198 perusahaan pada tahun
2009. Pencabutan izin tidak serta merta mengurangi pertumbuhan aset industri jasa pembiayaan.
Sebaliknya, pencabutan izin justru memperkuat dan menyehatkan industri jasa pembiayaan yang
ada dengan manajemen risiko yang lebih baik.
Sejalan dengan strategi untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber pembiayaan,
sepanjang tahun 2010, Bapepam-LK juga memberikan izin pembukaan 415 kantor cabang baru
bagi 34 Perusahaan Pembiayaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu, 29 Perusahaan
Pembiayaan telah melakukan perubahan modal dan 5 Perusahaan Pembiayaan telah berganti
nama. Bapepam-LK juga memproses 57 permohonan perubahan pengurus serta 139 permohonan
perpindahan alamat kantor pusat dan kantor cabang.
Berikut ini adalah beberapa kebijakan strategis pengembangan industri Perusahaan Pembiayaan
yang menjadi prioritas Bapepam-LK pada tahun 2010.
(1) Peningkatan kualitas manajemen Perusahaan Pembiayaan melalui fit and proper test terhadap Dewan Direksi dan Komisaris Perusahaan Pembiayaan.
(2) Peningkatan kualitas pengaturan dalam rangka mendukung perkembangan Perusahaan Pembiayaan yang dinamis dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian. Kebijakan ini telah dituangkan dalam rancangan perubahan PMK tentang Perusahaan Pembiayaan yang diharapkan disahkan pada tahun 2011.
(3) Peningkatan kepastian hukum bagi Perusahaan Pembiayaan dengan dimulainya kajian
penyusunan RUU tentang Perusahaan Pembiayaan.
Kebijakan yang ditempuh oleh Bapepam-LK berdampak pada kinerja keuangan Perusahaan
Pembiayaan yang menggembirakan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah aset dan
penyaluran pembiayaan di sepanjang tahun 2010.
Gambar 10.4.Perkembangan Aset Perusahaan Pembiayaan Tahun 2006-2010 (Rp Triliun)
2006 2007 2008 2009 2010
250
200
150
100
50
0
93
108
137143
186
16
20
31 32
44
Aset Pembiayaan Aset Non-Pembiayaan
Sumber: Bapepam-LK.
Penyaluran pembiayaan pada tahun 2010 masih didominasi oleh sektor konsumsi yang menyerap
pangsa pembiayaan sebesar 57 persen dan terdiri dari pembiayaan kendaraan roda dua, kendaraan
roda empat, dan konsumsi alat-alat rumah tangga. Tingginya pembiayaan sektor konsumsi berperan
dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional dengan mendorong peningkatan aktivitas ekonomi
di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2010, pangsa
PDB yang disumbangkan oleh konsumsi rumah tangga tercatat 56,7 persen, sedangkan konsumsi
Pemerintah sebesar 9,1 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 6,1 persen pada
tahun 2010 yang sebagian besar bersumber dari komponen ekspor, yakni 6,4 persen, sedangkan
konsumsi rumah tangga memberi sumbangan sebesar 2,7 persen. Di samping itu, sektor-sektor
produktif seperti sektor listrik, pertambangan, konstruksi dan industri pengolahan juga mulai
menyerap pangsa pembiayaan yang diharapkan mampu memberikan stimulus bagi aktivitas
ekonomi riil.
Gambar 10.5.Penyaluran Kegiatan Pembiayaan oleh Industri Perusahaan Pembiayaan
Per Sektor Ekonomi Tahun 2010
Pertanian
Pertambangan
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air
Konstruksi
Perdagangan
Pengangkutan
Jasa-Jasa Dunia Usaha
Jasa-jasa Sosial
Konsumsi
5%
4%
9%
5%
4%
5%
3%
4%
4%
57%
Sumber: Bapepam-LK.
b. Industri Penjaminan
Saat ini terdapat 4 Perusahaan Penjaminan di Indonesia, yaitu Perum Jaminan Kredit Indonesia
(Perum Jamkrindo), PT. Penjamin Kredit Pengusaha Indonesia (PT. PKPI), PT. Jamkrida Jatim, dan PT.
Jamkrida Bali Mandara. PT Jamkrida Bali Mandara merupakan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah
yang baru mendapatkan izin pada tahun 2010 dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP-
720/KM.10/2010 tanggal 30 Desember 2010. Selain itu, terdapat pula 11 kantor cabang dan 6 kantor
anak cabang Perusahaan Penjaminan Kredit yang tersebar di seluruh Indonesia. Selama tahun 2010,
Bapepam-LK telah memroses 3 pelaporan perubahan pengurus Perusahaan Penjaminan dan 3
pelaporan perubahan modal disetor.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 219
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
218
Total aset Perusahaan Penjaminan pada Desember 2010 sebesar Rp2,93 triliun atau naik 75,91
persen dibandingkan dengan Desember 2009 sebesar Rp1,67 triliun. Selain itu, total kewajiban
Perusahaan Penjaminan pada periode yang sama adalah sebesar Rp0,32 triliun atau naik 41,92
persen dibandingkan dengan periode sebelumnya sebesar Rp0,23 triliun. Nilai ekuitas Perusahaan
Penjaminan pada Desember 2010 mencapai Rp2,61 triliun atau meningkat 81,23 persen
dibandingkan dengan periode Desember 2009 sebesar Rp1,44 triliun. Peningkatan nilai aset dan
ekuitas Perusahaan Penjaminan dihasilkan dari penambahan PMN kepada Perum Jamkrindo dalam
rangka pelaksanaan penjaminan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp900 miliar.
Untuk menyempurnakan ketentuan Perusahaan Penjaminan, Bapepam-LK telah melakukan
penyusunan Rancangan PMK tentang perubahan atas PMK No. 222/PMK.010/2008 tentang
Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. Penyempurnaan
dilakukan terhadap ketentuan modal disetor minimum, kegiatan usaha, penguatan ketentuan
prudential, dan optimalisasi kegiatan pembinaan dan pengawasan.
c. Modal Ventura
Bapepam-LK memberikan 5 izin pembukaan perusahaan Modal Ventura baru, sehingga pada akhir
tahun 2010 jumlah perusahaan Modal Ventura menjadi 79 perusahaan. Seiring dengan itu, nilai aset
perusahaan Modal Ventura pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 7 persen menjadi
Rp3,96 triliun. Di samping itu, nilai pembiayaan Modal Ventura juga meningkat 14 persen menjadi
Rp3,28 triliun.
Kebijakan strategis yang terkait dengan pengembangan industri Modal Ventura pada tahun 2010
lebih diprioritaskan pada peningkatan kualitas pengaturan untuk memberikan kepastian hukum.
Implementasi kebijakan ini adalah dengan telah dirampungkannya Rancangan PMK tentang
Perusahaan Modal Ventura pada tahun 2010 dan diharapkan disahkan pada tahun 2011.
d. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
Tahun 2010 merupakan tahun pertama bagi Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)
beroperasi selama satu tahun penuh. Apabila dibandingkan dengan tahun 2009, posisi keuangan
LPEI pada akhir tahun 2010 telah meningkat cukup signifikan. Total aset LPEI telah mencapai
Rp20,87 triliun atau mengalami peningkatan lebih dari 50 persen dibandingkan Rp11,16 triliun
pada September 2009 dan Rp13,02 triliun Desember 2009. Peningkatan total aset terutama berasal
dari penerbitan obligasi LPEI pada bulan Juli 2010 sekitar Rp3 triliun dan penambahan modal dari
Pemerintah sebesar Rp2 triliun pada bulan Desember 2010.
Untuk meningkatkan peran LPEI dalam pemberian fasilitas asuransi dan penjaminan terkait ekspor,
telah diterbitkan PMK No. 161/PMK.010/2010 tentang Perubahan Atas PMK No. 140/PMK.010/2009
tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Selain itu, dalam PMK
tersebut juga dituangkan kebijakan transisi bagi LPEI dalam menerapkan pembentukan cadangan
kerugian penurunan nilai secara kolektif atas piutang pembiayaan.
Pada tahun 2010 telah dilakukan kajian mengenai skema Penugasan Khusus kepada LPEI (National
Interest Account) yang melibatkan stakeholders di lingkungan Kementerian Keuangan, yaitu:
(1) Direktorat Sistem Penganggaran, Direktorat Sistem Manajemen Investasi, Direktorat Penyusunan
APBN pada DJA;
(2) Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal pada BKF;
(3) Direktorat Barang Milik Negara II pada DJKN;
(4) Biro Hukum pada Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
Terdapat pemikiran untuk menggunakan skema pembiayaan atas penugasan khusus yang terdiri
dari dana bergulir, PMN, dan reimbursement.
e. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
Industri PPI hanya sedikit mengalami perkembangan pada tahun 2010 yang ditunjukkan dengan
minimnya pengajuan permohonan pendirian PPI. Jumlah PPI yang telah memperoleh izin usaha
sebanyak 2 perusahaan. Meskipun demikian, aset PPI pada tahun 2010 mengalami kenaikan jika
dibandingkan dengan tahun 2009.
Tabel 10.3.Posisi Aset Perusahan Pembiayan Infrastruktur Tahun 2009-2010 (dalam miliar Rupiah)
Keterangan Des-09 Mar-10 Jun-10 Sep-10*) Des-10
Total aset 1.063,68 1.075,18 1.083,68 1.754,87 2.123,37
Penempatan pada bank 950,76 932,99 354,35 416,05 1.137,71
Surat berharga yang dimiliki 50,15 70,15 70,15 100,68 188,91
Pinjaman yang diberikan 49,07 56,97 607,85**) 613,39**) 733,49**)
Penyertaan modal - - 40,3 40,3 36,51
Pinjaman yang diterima - - - 559,7 559,7
Ekuitas 1.057,98 1.072,75 1.081,80 1.189,99 2.100,65
Laba rugi 56,07 14,77 23,81 11,7 75,43
* Mulai periode September 2010 terdapat 2 perusahaan pembiayaan infrastruktur, yaitu PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero) dan PT. Indonesia Infrastruktur Finance (PT. IIF)
** Diantaranya adalah pinjaman sub-ordinasi kepada PT. IIF senilai Rp559,7 miliar
Sumber: Bapepam-LK.
f. Pembiayaan Sekunder Perumahan
Dalam rangka meningkatkan penyediaan rumah yang layak dan terjangkau bagi masyarakat, perlu
diupayakan tersedianya dana pembangunan perumahan yang lebih efektif dan efisien melalui
pembiayaan sekunder. Untuk itu, telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Pembiayaan Sekunder Perumahan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 1
Tahun 2008. Di dalam Perpres tersebut ditetapkan mekanisme pembiayaan sekunder perumahan
dan sekaligus pendirian PT. Sarana Multigriya Finansial (Persero) yang akan melaksanakan kegiatan
pembiayaan sekunder.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 221
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
220
Pembiayaan sekunder perumahan dilakukan melalui sekuritisasi, yaitu dengan pembelian aset
keuangan dari kreditor asal dan penerbitan efek beragun aset yang dapat dilakukan oleh PT SMF
(Persero), SPV, atau Wali Amanat. Selama tahun 2010, nilai sekuritisasi tercatat sebesar Rp750 miliar
dan PT. SMF telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp702 miliar.
Bapepam-LK berupaya melakukan persiapan dalam rangka pelaksanaan sekuritisasi dan melakukan
kajian mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh untuk meningkatkan rating Perseroan
dalam rangka menghimpun dana melalui pasar modal.
10.2.2.2. Industri Asuransi
a. Pertumbuhan Kekayaan
Kekayaan industri asuransi per 31 Desember 2010 tercatat sebesar Rp399,60 triliun yang terdiri
dari kekayaan sektor Asuransi Jiwa Rp183,1 triliun, Asuransi Umum dan Reasuransi Rp47,9 triliun,
Asuransi Sosial Rp107,2 triliun, dan Asuransi PNS/TNI/Polri Rp61,4 triliun. Kekayaan industri asuransi
tersebut tumbuh 24 persen apabila dibandingkan dengan posisi 31 Desember 2009.
Gambar 10.6.Pertumbuhan Kekayaan Industri Asuransi Tahun 2006-2010
2006 2007 2008 2009 2010*)
PM/TNI/POLRI 27.37 33.30 39.78 51.59 61.4
Sosial 51.55 63.60 66.61 87.49 107.2
Kerugian & Re 24.98 29.79 34.79 40.16 47.9
Jiwa 71.03 102.14 102.40 141.65 183.1
Growth AJ 32% 44% 0.3% 38% 29%
Growth AK&R 12% 19% 17% 15% 19%
Growth AS 28% 23% 5% 31% 23%
Growth APNS 35% 22% 19% 30% 19%
Growth Industri 28% 31% 6% 32% 24%
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
50%
45%
40%
35%
30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%
Da
lam
Tri
liu
n R
up
iah
Keterangan:*) menggunakan angka unaudited.
Sumber: Bapepam-LK.
b. Pertumbuhan Investasi
Investasi industri asuransi per 31 Desember 2010 tercatat sebesar Rp356,3 triliun, yang terdiri
dari investasi di sektor Asuransi Jiwa Rp168 triliun, Asuransi Umum dan Reasuransi Rp34,7 triliun,
Asuransi Sosial dan Jamsostek Rp103,8 triliun, dan Asuransi PNS/TNI/Polri Rp49,8 triliun. Investasi
industri asuransi tumbuh 26 persen apabila dibandingkan dengan posisi per 31 Desember 2009.
Investasi di industri asuransi masih didominasi oleh surat utang negara, deposito, reksadana, dan
saham yang masing-masing tercatat sebesar Rp81,61 triliun, Rp73,82 triliun, Rp63,94 triliun, dan
Rp62,81 triliun.
Gambar 10.7.Komposisi Investasi Industri Asuransi Tahun 2010
Reksadana
Saham
Obligasi dan MTN
Penyertaan Langsung
Properti
Pinjaman Polis
SBI
Investasi Lain
Pembiayaan Murabahah dan Mudharabah
Pinjaman Hipotik
SUN
Deposito
19.071%
19.718%
12.731%3.103%0.812%0.667%
22.237%
21.377%
0.045%0.004%0.080%
0.156%
Sumber: Bapepam-LK.
b.1. Pertumbuhan Premi, Klaim, Beban Usaha, dan Laba Industri
Total premi bruto asuransi per 31 Desember 2010 adalah Rp133,5 triliun. Jumlah ini naik 25 persen
jika dibandingkan dengan tahun 2009. Klaim bruto Asuransi Jiwa per 31 Desember 2010 tercatat
Rp52,9 triliun yang berarti naik 36 persen.
Hasil investasi Asuransi Jiwa selama tahun 2010 adalah Rp25,4 triliun atau naik 21 persen. Adapun
hasil investasi Asuransi Kerugian dan Reasuransi tercatat sebesar Rp6,749 triliun. Jumlah ini lebih
tinggi dibandingkan hasil investasi pada tahun 2009. Hasil investasi Asuransi Komersial selama
tahun 2010 adalah Rp32,16 triliun yang merupakan 40 persen dari total investasi. Jumlah ini lebih
tinggi jika dibandingkan tahun 2009. Sementara itu, laba bersih setelah pajak Asuransi Jiwa per 31
Desember 2010 adalah sebesar Rp6.347 triliun atau naik 33 persen dibandingkan tahun 2009.
b.2. Densitas dan Penetrasi Industri Asuransi
Sampai dengan 31 Desember 2010, densitas asuransi tercatat sebesar Rp472.398,06 per kapita
atau mengalami kenaikan 27,78 persen dibandingkan tahun 2009 sebesar Rp369.700 per kapita.
Demikian pula penetrasi asuransi yang mengalami kenaikan dari 1,62 persen pada 31 Desember
2009 menjadi 1,75 persen pada 31 Desember 2010.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 223
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
222
Peningkatan densitas dan penetrasi asuransi tidak terlepas dari penyempurnaan peraturan di
bidang usaha perasuransian. Penyempurnaan peraturan merupakan salah satu upaya untuk
memperkuat industri asuransi di Indonesia melalui kepastian hukum bagi para pelaku usaha dan
regulator dalam menjalankan pengawasan. Penguatan pada sisi industri meliputi:
(1) pengaturan yang lebih jelas mengenai industri asuransi syariah;
(2) penegasan mengenai ruang lingkup usaha bagi perusahaan perasuransian konvensional
maupun syariah;
(3) bentuk hukum perusahaan perasuransian;
(4) perizinan usaha, dan
(5) pengaturan mengenai penyelenggaraan usaha.
Dalam upaya meningkatkan daya saing industri asuransi Indonesia di kawasan regional
maupun internasional, adopsi atas praktik yang lazim baik pada sisi penyelenggaraan usaha dan
pengawasannya merupakan hal yang harus diupayakan. Untuk itu beberapa prinsip pengawasan
yang telah ditetapkan oleh lembaga pengawas asuransi internasional akan ditampung dalam
rancangan Undang-Undang di bidang usaha perasuransian.
Pada Oktober 2010, draft RUU Usaha Perasuransian telah melalui proses harmonisasi dan
pembahasan dengan beberapa kementerian terkait dan telah masuk dalam Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) yang akan diprioritaskan pembahasannya di DPR pada tahun 2011.
10.2.2.3. Industri Dana Pensiun
a. Pertumbuhan Jumlah Industri
Pada akhir tahun 2010, terdapat 272 Dana Pensiun di Indonesia yang berarti mengalami penurunan
1,4 persen dari tahun 2009 yang berjumlah 276 Dana Pensiun. Penurunan ini disebabkan oleh
pembubaran dari 3 DPPK dan 1 DPLK. Jumlah DPPK yang menyelenggarakan Program Pensiun
Manfaat Pasti (PPMP) masih mendominasi, yaitu 76,5 persen dari populasi industri. Sisanya sebanyak
23,5 persen menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) dalam bentuk DPPK dan DPLK.
Tabel 10.4.Pertumbuhan Industri Dana Pensiun Tahun 2006-2010
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Akumulasi Pendirian Dana Pensiun
DPPK-PPMP 311 312 313 315 315
DPPK - PPIP 52 53 56 60 60
DPLK 35 37 37 37 37
Jumlah 398 402 406 412 412
Akumulasi Pembubaran Dana Pensiun
DPPK-PPMP 68 77 88 96 98
DPPK - PPIP 23 26 26 28 29
DPLK 10 11 11 12 13
Jumlah 101 114 125 136 140
Tabel 10.4. (lanjutan)
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Akumulasi Perubahan Program Dana Pensiun
DPPK - PPMP ke DPPK - PPIP 8 9 9 9 9
Akumulasi Dana Pensiun Aktif
DPPK-PPMP 235 226 216 210 208
DPPK - PPIP 37 36 39 41 40
DPLK 25 26 26 25 24
Jumlah 297 288 281 276 272
Sumber: Bapepam-LK.
b. Pertumbuhan Jumlah Peserta Dana Pensiun
Jumlah peserta Dana Pensiun telah mencapai lebih dari 2,6 juta jiwa pada tahun 2010 yang berarti
meningkat 4,77 persen dibandingkan tahun 2009. Jumlah peserta DPLK mengalami peningkatan
10,45 persen, sedangkan jumlah peserta DPPK mengalami penurunan 0,08 persen. Penurunan jumlah
peserta DPPK disebabkan oleh pembubaran DPPK dan kebijakan beberapa pemberi kerja untuk
mengalihkan kepesertaan karyawan barunya ke DPLK. Kecenderungan tersebut juga menunjukkan
bahwa sebagian perusahaan mulai mengalihkan program pensiun karyawan ke dalam skema PPIP
sebagaimana trend yang terjadi di seluruh dunia.
c. Pertumbuhan Kekayaan Dana Pensiun
Apabila dibandingkan dengan tahun 2009, jumlah kekayaan Dana Pensiun mengalami peningkatan
15,58 persen pada tahun 2010, yaitu dari Rp112,53 triliun menjadi Rp130,06 triliun. Penurunan
jumlah peserta ternyata tidak mempengaruhi kekayaan Dana Pensiun.
d. Perkembangan Investasi Dana Pensiun
Nilai investasi Dana Pensiun pada tahun 2010 mengalami peningkatan 16,07 persen apabila
dibandingkan dengan tahun 2009, yaitu dari Rp108,06 triliun menjadi Rp125,43 triliun. Capaian
kinerja industri Dana Pensiun merupakan hasil dari kebijakan strategis yang diterapkan oleh
Bapepam-LK pada tahun 2010. Salah satu kebijakan strategis untuk mengembangkan industri Dana
Pensiun adalah Persiapan Pelaksanaan Uji Kemampuan dan Kepatutan Bagi Pengurus DPPK dan
Pelaksana Tugas Pengurus DPLK.
Perkembangan tersebut tidak terlepas dari beberapa kebijakan yang diambil. Kebijakan tersebut
antara lain PMK No. 37/PMK.010/2010 tanggal 12 Februari 2010 tentang Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan Bagi Calon Pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Calon Pelaksana Tugas Pengurus
Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Calon pengurus DPPK dengan kriteria tertentu serta seluruh
calon pelaksana tugas pengurus DPLK wajib untuk lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan
yang diselenggarakan oleh Bapepam-LK. Pada tahun 2010, Bapepam-LK melakukan kajian
mengenai kriteria bagi DPPK yang wajib lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan dan kemudian
menerbitkan Peraturan Ketua Bapepam-LK No. PER-02/BL/2010 tanggal 14 September 2010 tentang
Dana Pensiun Yang Wajib Memiliki Pengurus Atau Pelaksana Tugas Pengurus Yang Lulus Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 225
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
224
Peraturan ini menyebutkan bahwa kriteria Dana Pensiun yang wajib mengikuti uji kemampuan dan
kepatutan adalah DPPK PPMP dengan total investasi di atas Rp100 miliar, serta seluruh DPPK PPIP
dan DPLK.
Selain itu, Bapepam-LK juga telah melakukan kajian mengenai program pensiun berbasis syariah
yang memiliki potensi besar di Indonesia. Hingga saat ini belum terdapat regulasi yang secara
khusus mengatur program pensiun syariah, meskipun dalam praktiknya terdapat DPLK yang
berusaha menjalankan prinsip syariah. Kajian yang dilakukan oleh Bapepam-LK merupakan bagian
dari pembahasan Rancangan Perubahan UU Dana Pensiun yang memasukkan pengaturan baru
mengenai program pensiun syariah dan diharapkan dapat menghasilkan materi-materi pokok
dalam menentukan arah kebijakan pengembangan program pensiun berbasis syariah di Indonesia.
Dalam rangka meningkatkan daya tarik program pensiun, Bapepam-LK menyempurnakan skema
pendanaan dan pembayaran manfaat program pensiun sukarela. Upaya ini ditempuh dengan
meningkatkan fleksibilitas pembayaran manfaat pensiun, sehingga mampu mengakomodasi
penggunaan manfaat pensiun untuk memenuhi kewajiban pemberi kerja dalam program pesangon.
Untuk PPIP, perlu dibuka kesempatan bagi peserta menambah iurannya secara sukarela dan
memungkinkan Dana Pensiun membayar sendiri manfaat pensiun, serta tidak harus mengalihkannya
ke produk anuitas asuransi jiwa. Adapun untuk PPMP, pengaturan mengenai frekuensi dan cara
pembayaran manfaat pensiun perlu dibuat lebih fleksibel, sehingga sesuai dengan kebutuhan
peserta. Kajian mengenai hal ini telah selesai dilakukan dan dituangkan ke dalam draft amandemen
RUU Dana Pensiun.
Untuk memberikan perlindungan kepada para peserta dan pihak-pihak yang berhak atas manfaat
pensiun dari pihak yang memiliki kepentingan dalam penyelenggaraan Dana Pensiun, Bapepam-LK
terus mengadakan koordinasi dan kerjasama dengan asosiasi Dana Pensiun dalam pelaksanaan kajian
dan penyiapan infrastruktur pendirian lembaga mediasi Dana Pensiun.
10.2.3. Penegakan Hukum dan Penetapan Sanksi
10.2.3.1. Industri Pasar Modal
Selama tahun 2010, Bapepam-LK telah menetapkan sanksi administratif kepada para pelaku
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Bentuk sanksi yang
ditetapkan cukup beragam, yaitu:
(1) pencabutan izin usaha kepada institusi maupun perorangan;
(2) pembekuan izin usaha;
(3) denda; dan
(4) peringatan tertulis.
Tabel 10.5.Penetapan Sanksi di Bidang Pasar Modal Tahun 2010
PihakDenda
Peringatan Tertulis Pembekuan Pencabutan Rp.
(000)Jumlah Surat
Sanksi
Emiten 12.635.700 223 47 - -Perusahaan Efek 593.000 83 11 - 1Manajer Investasi 414.500 65 1 - 2Wakil Perusahaan Efek - - 2 - -Wakil Manajer Investasi - - - 1 13Wakil Penjamian Emisi Efek - - - 2 1Wakil Perantara Pedagang Efek 50 1 - 2 4Perusahaan Penilai 119.900 23 - - -Akuntan Publik 129.800 31 1 - -BAE 25.100 5 - - -Bank Kustodian 6.700 3 - - -Komisaris manajer Investasi - - 1 - -
Sumber: Bapepam-LK.
10.2.3.2. Industri Pembiayaan
Pada tahun 2010, Bapepam-LK telah memberikan sanksi berupa Surat Peringatan Pertama sampai
dengan Surat Peringatan Ketiga dan Pembekuan Kegiatan Usaha terhadap Perusahaan Pembiayaan.
Hal ini disebabkan karena sampai dengan April tahun 2010, perusahaan-perusahaan dimaksud
belum menyampaikan Laporan Keuangan Audit Tahun 2009. Pengenaan sanksi diatur di dalam
Pasal 33 PMK No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
Tabel 10.6.Jumlah Perusahaan Pembiayan Yang Terkena Sanksi
Karena Keterlambatan Penyampaian Laporan Keuangan Audit Tahun 2009
No. Jenis Sanksi Jumlah Perusahaan
1. Surat Peringatan Pertama 26
2. Surat Peringatan Kedua 4
3. Surat Peringatan Ketiga 2
4. Pembekuan Kegiatan Usaha 1
Sumber: Bapepam-LK.
Di samping itu, berdasarkan hasil analisis atas laporan periodik Perusahaan Pembiayaan, surat
pengaduan dari masyarakat, dan hasil monitoring atas pemenuhan ketentuan Perusahaan
Pembiayaan yang telah diperiksa pada tahun 2009, Bapepam-LK telah memeriksa 60 Perusahaan
Pembiayaan pada tahun 2010. Berdasarkan hasil pemeriksaan, telah diberikan sanksi berupa Surat
Peringatan Pertama sampai dengan Ketiga, Pembekuan Kegiatan Usaha, dan Pencabutan Izin
Usaha terhadap Perusahaan Pembiayaan yang telah melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 227
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
226
Tabel 10.7.Jumlah Perusahaan Pembiayaan Yang Terkena Sanksi Berdasarkan Hasil Analisis Laporan Periodik
Perusahaan Pembiayaan Tahun 2010
No Jenis Sanksi Jumlah Perusahaan
1. Surat Peringatan Pertama 13
2. Surat Peringatan Kedua 1
3. Surat Peringatan Ketiga 1
4. Pembekuan Kegiatan Usaha 1
5. Pencabutan Izin Usaha 1*)
Sumber: Bapepam-LK.*) 1 Perusahaan Pembiayaan (PT Indocitra Finance) mengembalikan izin usaha Perusahaan Pembiayaan karena perubahan
anggaran dasar perusahaan yang tidak menjadi Perusahaan Pembiayaan lagi.
Apabila ditambah dengan beberapa sanksi yang dikeluarkan sebagai tindak lanjut atas pemeriksaan
tahun 2009, maka jumlah Perusahaan Pembiayaan yang telah dikenakan sanksi selama tahun 2010
mencapai 44 perusahaan yang mendapatkan Surat Peringatan Pertama dan masing-masing 14
perusahaan dan 13 perusahaan yang mendapatkan Surat Peringatan Kedua dan Ketiga. Sedangkan
perusahaan yang mendapatkan sanksi berupa Pembekuan Kegiatan Usaha dan Pencabutan Izin
Usaha masing-masing berjumlah 10 perusahaan dan 13 perusahaan.
Tabel 10.8.Jumlah Perusahaan Pembiayaan Yang Terkena Sanksi Pada Tahun 2010
No. Jenis Sanksi Jumlah Perusahaan
1. Surat Peringatan Pertama 44
2. Surat Peringatan Kedua 14
3. Surat Peringatan Ketiga 13
4. Pembekuan Kegiatan Usaha 10
5. Pencabutan Izin Usaha*) 13
Sumber: Bapepam-LK.
10.2.3.3. Industri Perasuransian
Masih banyak perusahaan perasuransian yang dikenakan sanksi pada tahun 2010, karena belum
memenuhi ketentuan yang berlaku. Jenis sanksi yang dikenakan meliputi pengenaan, pencabutan,
dan pembatalan sanksi.
Tabel 10.9.Jumlah Perusahaan Perasuransian Yang Terkena Sanksi Pada Tahun 2010
Jenis Sanksi Total Asuransi Jiwa
Asuransi Umum
Pialang Asuransi
Pialang Reasuransi
Konsultan Aktuaria
Penilai Kerugian
Pengenaan
SP 1 188 37 74 55 10 4 8
SP 1 dan Terakhir 25 2 1 17 2 3
SP 2 41 5 14 15 3 4
SP 2 dan Terakhir 9 1 6 2
SP 3 35 4 10 14 3 4
Sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha 22 1 3 12 2 4
Penegasan SPKU 13 2 9 2
Pencabutan
SP 1 57 10 25 13 1 4 4
SP 1 dan Terakhir 2 2
SP 2 11 2 2 7
SP 2 dan Terakhir 4 4
SP 3 6 2 3 1
Sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha 5 1 4
Sumber: Bapepam-LK.
10.2.3.4. Industri Dana Pensiun
Bapepam LK telah memeriksa 44 Dana Pensiun pada tahun 2010 yang terdiri atas 39 DPPK dan
5 DPLK. Sebanyak 33 Dana Pensiun berlokasi di Jakarta, sedangkan 11 Dana Pensiun berlokasi
di luar Jakarta. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Bapepam LK mengeluarkan surat sanksi denda
kepada 40 pendiri Dana Pensiun dengan total denda dan bunga senilai Rp233.862.000. Pengenaan
sanksi disebabkan oleh keterlambatan penyampaian laporan berkala, seperti laporan keuangan
semesteran, laporan keuangan audit, laporan aktuaris, laporan investasi, dan laporan teknis.
Dari total denda dan bunga yang ditetapkan di tahun 2010, sebanyak 55,29 persen atau senilai
Rp129.300.000 telah diselesaikan oleh pendiri dana pensiun. Tingginya outstanding denda di Dana
Pensiun terutama disebabkan belum adanya dasar hukum untuk mekanisme penagihan dan
pengalihan piutang macet yang berasal dari sanksi denda keterlambatan laporan keuangan dan
laporan aktuaris ke DJKN.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 229
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
228
10.2.4. Penyempurnaan Regulasi
Sejak 4 Januari hingga 29 Desember 2010, Bapepam-LK telah melakukan serangkaian kegiatan
yang terkait dengan penyempurnaan regulasi, yaitu:
(1) memproses penerbitan 5 PMK di bidang lembaga keuangan;
(2) memproses penyempurnaan 2 PMK di bidang lembaga keuangan dan 1 PMK di bidang pasar
modal;
(3) menerbitkan 4 peraturan baru di bidang pasar modal dan 1 peraturan baru di bidang lembaga
keuangan;
(4) melakukan penyempurnaan atas 5 peraturan di bidang pasar modal;
(5) menerbitkan 1 surat edaran di bidang pasar modal; serta
(6) memberikan persetujuan terhadap perubahan 3 peraturan, 2 Anggaran Dasar, dan 1 kebijakan
SRO.
10.3. PELUANG DAN TANTANGAN DALAM PENGAWASAN PASAR MODAL DAN LEMBAGA
KEUANGAN
10.3.1. Peluang
(1) Nilai kapitalisasi pasar modal terhadap PDB Indonesia pada tahun 2010 berkisar 50,55 persen.
Kondisi ini menunjukkan bahwa potensi pasar modal sebagai penggerak perekonomian masih
perlu ditingkatkan.
(2) Meningkatnya pengetahuan dan kepercayaan investor terhadap produk pasar modal dan
terdapatnya perbedaan kebutuhan investasi memberikan peluang baru bagi pengembangan
produk investasi baru.
(3) Sebagai negara muslim terbesar, Indonesia memiliki potensi yang besar dalam mengembangkan
produk-produk pasar modal dan lembaga keuangan non bank berbasis syariah. Sampai akhir
2010, terdapat 226 saham yang masuk dalam Daftar Efek Syariah, 32 Sukuk, 48 Reksa Dana
Syariah, serta 11 Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Perusahaan asuransi syariah berjumlah
46 perusahaan.
(4) Basis pemodal domestik yang masih relatif kecil dibandingkan jumlah penduduk Indonesia
memberikan peluang bagi perluasan basis dan kualitas pemodal domestik, sehingga dapat
berperan sebagai katalisator pengembangan pasar modal Indonesia. Sampai akhir 2010,
komposisi nilai saham yang dimiliki investor asing mencapai Rp1.184,3 triliun atau 62,80 persen
dari total nilai kepemilikan saham. Adapun Rp701,5 triliun atau 37,20 persen saham dimiliki oleh
investor domestik. Investor domestik masih mendominasi kepemilikan obligasi dengan nilai
kepemilikan mencapai Rp104,7 triliun (95,61 persen), sedangkan investor asing hanya Rp4,81
triliun (4,39 persen).
(5) Potensi pengembangan industri perasuransian yang masih sangat terbuka, karena tingkat
penetrasi, yaitu perbandingan premi asuransi dengan GDP, masih sangat rendah (1,75 persen).
(6) Pangsa industri Dana Pensiun masih relatif kecil dibandingkan dengan GDP, hanya meningkat
sebesar 4,77 persen dari tahun 2009 ke tahun 2010. Di beberapa negara, porsi investasi Dana
Pensiun telah melampaui GDP, sehingga industri Dana Pensiun masih memiliki peluang yang
sangat besar untuk bertumbuh dan berkontribusi di dalam perekonomian nasional.
10.3.2. Tantangan
(1) Cross Border Trading
Bursa efek dunia terus mengalami perubahan dan membentuk aliansi untuk meningkatkan
efisiensi dan likuiditas. Pembentukan aliansi dilakukan mengikuti perkembangan arus ekuitas
lintas batas. Faktor penentu keberhasilan aliansi bursa adalah kesamaan perangkat peraturan,
teknologi, dan sistem kliring yang terintegrasi. Integrasi merupakan tantangan terbesar bagi
industri pasar modal di Indonesia dalam bersaing dengan para pelaku keuangan global
lainnya. Terdapat 3 tantangan utama yang harus dihadapi oleh pasar modal Indonesia dalam
mewujudkan integrasi.
i. Memprioritaskan dan mensinergikan pengembangan masing-masing pasar modal atas
tujuan pengembangan regional, termasuk di dalamnya pengembangan profesi penujang,
seperti Akuntan, Penilai, Konsultan Hukum, dan Notaris. Hal ini dimaksudkan untuk
menemukan keseimbangan di antara tujuan dan risiko yang dihadapi.
ii. Regulator harus menjalankan kebijakan yang jelas agar industri domestik dapat berkembang
dan berkompetisi di tingkat regional maupun global.
iii. Pengembangan teknologi dan infrastruktur industri pasar modal.
(2) Cross Border Settlement and Clearing Efek
Kerugian yang dirasakan oleh industri Settlement and Clearing Efek apabila melakukan cross
border antara lain adalah:
i. penelusuran kepemilikan aset atas suatu transaksi;
ii. penelusuran aliran asset investor;
iii. penggunaan transaksi sebagai vehicle untuk money laundering;
iv. penghindaran pajak (dengan memilih negara-negara treaty yang paling murah); dan
v. sulitnya pengawasan foreign exchange oleh Bank Indonesia.
(3) Meningkatnya kompleksitas industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank yang
dilihat dari semakin beragamnya jenis modus operandi dan kerugian yang ditimbulkan dari
pelanggaran peraturan yang ada.
10.4. capaian Kinerja
Untuk melakukan penilaian terhadap capaian kinerja, Menteri Keuangan dan para pimpinan Unit
Eselon I telah sepakat untuk menggunakan Balanced Scorecard. Pada tanggal 19 Februari 2010,
Ketua Bapepam-LK bersama Pejabat Eselon I lain di lingkungan Kementerian Keuangan telah
menandatangani Kontrak Kinerja dengan Menteri Keuangan. Bapepam-LK mengkontrakkinerjakan
seluruh 34 IKU. Adapun untuk level Depkeu-Two, Bapepam-LK melakukan penandatanganan
Kontrak Kinerja di antara Ketua dan para pimpinan Unit Eselon II pada tanggal 26 Maret 2010.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 231
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
230
Tabel 10.10.capaian Kontrak Kinerja Depkeu-One Bapepam-LK
Kode IKU Target 2010 Realisasi 2010
BL-1.1 Jumlah emiten baru sesuai target 25 26
BL-1.2 Pertumbuhan dana yang disalurkan perusahaan pembiayaan
10% 29,52%
BL-1.3 Pertumbuhan dana investasi yang dikelola oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi
6% 32,03%
BL-1.4 Pertumbuhan dana yang dikelola dana pensiun 10% 24,52%
BL-2.1 Pertumbuhan jumlah rekening investor di perusahaan sekuritas
10% -14,32%
BL-2.2 Densitas asuransi (Rp/Orang) 355.000 429.055,55
BL-2.3 Tingkat penetrasi asuransi 1,55% 1,63%
BL-2.4 Pertumbuhan jumlah peserta dana pensiun 2% 4,77%
BL-3.1 Pertumbuhan nilai transaksi harian di bursa efek 5% 4,44%
BL-3.2 Pertumbuhan frekuensi transaksi harian di bursa efek 3,5% 1,90%
BL-3.3 Perusahaan pembiayaan yang memenuhi rasio permodalan
95% 95,85%
BL-3.4 Perusahaan asuransi dan reasuransi yang memenuhi persyaratan minimum RBC (Risk Based Capital)
90% 94,89%
BL-4.1 Indeks kepuasan pelanggan hasil survei 75 75.23
BL-5.1 Regulasi di bidang Pasar Modal dan Jasa Keuangan Non Bank yang sesuai dengan rencana
100% 116,67%
BL-5.2 Regulasi di bidang Pasar Modal dan LKNB yang memenuhi asas peraturan perundang-undangan yang baik
90% 100%
BL-6.1 Pemenuhan Prinsip-prinsip dan Standar Internasional (IAS) dalam regulasi Pasar Modal sesuai rencana
90% 91%
BL-7.1 Pelaku yang terkena sanksi dan atau tindakan pembinaan Biro Teknis
9,17% 4,21%
BL-7.2 Pengurus Lembaga Keuangan Non Bank yang memenuhi standar kualifikasi
69,3% 73,2%
BL-8.1 Persentase layanan yang memenuhi target SOP 97% 98,3%
BL-9.1 Pelaksanaan program edukasi dan sosialisasi Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank sesuai target
100% 109,43%
BL-10.1 Jumlah kegagalan yang terjadi atas operasionalisasi sistem perdagangan, kliring, dan penyelesaian transaksi efek
4 1
BL-11.1 Emiten dan perusahaan publik yang menyampaikan laporan keuangan tepat waktu
86% 82,89%
BL-11.2 Laporan keuangan dari emiten dan perusahaan publik yang dianalisa sesuai dengan rencana
100% 114%
BL-11.3 Laporan kegiatan Bursa Efek, LKP, dan LPP yang tepat waktu
95% 100%
Tabel 10.10. (lanjutan)
Kode IKU Target 2010 Realisasi 2010
BL-11.4 LKNB yang menyampaikan laporan keuangan tahunan tepat waktu
88% 86,12%
BL-11.5 Pelaksanaan pemeriksaan terhadap pelaku pasar modal dan JKNB sesuai dengan rencana
100% 104,5%
BL-12.1 Sanksi administrasi atas pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yang obyektif
97% 100%
BL-12.2 Penyelesaian pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di pasar modal (yang memerlukan Surat Perintah Pemeriksaan)
65% 83%
BL-13.1 Persentase pejabat yang telah memenuhi standar kompetensi jabatannya
80% 83,84%
BL-13.2 Jumlah pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin sedang atau berat
1 1
BL-13.3 Persentase jam pelatihan pegawai Bapepam-LK terhadap jam kerja
3% 3,67%
BL-14.1 Persentase penyelesaian SOP 100% 100%
BL-15.1 Penyelesaian sistem informasi sesuai rencana 100% 100%
BL-16.1 Persentase penyerapan DIPA 85% 86.92%
Sumber: Bapepam-LK.
Terdapat 2 capaian kinerja IKU yang berwarna merah, karena capaian yang jauh dari target yang
telah ditetapkan.
(1) IKU “Pertumbuhan jumlah rekening investor di perusahaan sekuritas”.
Tidak tercapainya target ini pada tahun anggaran 2010 disebabkan adanya implementasi
peraturan KSEI yang dengan terkait rekening nasabah yang tidak aktif (dormant account).
(2) IKU “Pertumbuhan frekuensi transaksi harian di bursa efek”.
Sampai dengan Triwulan IV tahun 2010, rata-rata pertumbuhan harian frekuensi transaksi di
BEI adalah 1,90 persen. Angka ini lebih rendah dari target yang ditetapkan sebesar 3,5 persen.
Namun, rata-rata frekuensi tranksaksi bursa pada tahun 2010 mengalami kenaikan, yaitu
105.795 kali. Angka ini lebih tinggi 21,34 persen jika dibandingkan frekuensi transaksi bursa
pada tahun 2009 sebanyak 87.189 kali.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 233
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
232
11.1. ARAH DAN STRATEGI PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN INTERNAL
Visi Kementerian Keuangan Tahun 2010-2014 adalah “Menjadi Pengelola Keuangan dan Kekayaan
Negara yang Dipercaya dan Akuntabel untuk Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera, Demokratis,
dan Berkeadilan”. Dipercaya dalam arti semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat, karena
pengelolaan keuangan dan kekayaan negara dilakukan secara transparan melalui mekanisme
APBN.Akuntabel berarti pengelolaan keuangan dan kekayaan negara mengacu pada praktik
terbaik internasional yang berlandaskan asas profesionalitas, proporsionalitas, dan keterbukaan.
Untuk tercapainya Visi, sejumlah perubahan penting telah dan terus dilakukan oleh Kementerian
Keuangan yang antara lain melalui Program Reformasi Birokrasi yang telah bergulir sejak tahun
2007.
Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan (Itjen) sebagai salah satu Aparat Pengawas Internal
Pemerintah (APIP) melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi
Kementerian Keuangan yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Hal ini secara tegas diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan sebagaimana terakhir diubah dengan PMK No.
143.1/PMK.01/2009 dan telah digantikan dengan PMK No. 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Keuangan.
Tugas Itjen adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan
kementerian sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri dan berdasarkan peraturan
perundangan-undangan. Adapun fungsi yang diemban meliputi:
(1) penyiapan perumusan kebijakan kementerian di bidang pengawasan;
KEBIJAKAN PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN INTERNAL
BAB XI
(2) pelaksanaan pengawasan kinerja, pengawasan keuangan, pengawasan untuk tujuan tertentu,
dan partisipasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan kejahatan keuangan atas
petunjuk Menteri;
(3) penyusunan hasil pengawasan; serta
(4) pelaksanaan urusan administrasi dan dukungan teknis Itjen.
Dengan semakin kompleksnya aktivitas serta lingkungan internal dan eksternal yang disertai
dengan risiko yang semakin tinggi, maka optimalisasi pengawasan atas pengelolaan fiskal
memerlukan penguatan.
Berbagai kalangan telah mengakui Kementerian Keuangan sebagai motor Reformasi Birokrasi di
Indonesia. Hal ini menjadi icon bagi Kementerian Keuangan untuk meningkatkan kepercayaan
publik. Itjen sebagai pengawas internal mempunyai tugasdan fungsi yang signifikan dalam
mewujudkan kepercayaan publik ini dengan menjaga semangat Reformasi Birokrasi.
Dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah dinyatakan bahwa untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif,
efisien, transparan, dan akuntabel, menteri/pimpinan lembaga wajib melakukan pengendalian
atas penyelenggaraan kegiatan Pemerintahan. Peran intern audit menurut the Institute of Internal
Auditors adalah untuk mendorong peningkatan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan
tata kelolaorganisasi. Untuk mewujudkannya, Itjen terus melakukan transformasi proses bisnis.
Transformasi ditempuh melalui perubahan mindset dari suatu lembaga yang memiliki kemampuan
untuk menyingkap kekurangan, kelemahan, dan penyimpangan, menjadi lembaga yang
menyodorkan solusi atas masalah yang dihadapi. Peran konsultatif lebih dikedepankan Itjen dengan
memposisikan diri sebagai strategic business partner bagi Eselon I lain. Peran ini menjadi mainstream
Kebijakan Pengawasan Intern Kementerian Keuangan sejak tahun 2009 yang mengarahkan
pengawasan pada modernisasi pengawasan, pengawalan Reformasi Birokrasi, dan peningkatan
kualitas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan.
11.2. AKUNTABILITAS KINERJADAN KEUANGAN
Pada tahun 2010, Itjen telah menyusun laporan sebagai instrumen pertanggungjawaban atas
pelaksanaan kegiatan dan program sertapencapaian sasaran strategis dalam rangka mewujudkan
Visi dan Misi. Dalam Peta Strategi Balance Scorecard (BSC) tahun 2010, terdapat tiga Sasaran Strategis
dan Indikator Kinerja Utama (IKU) Itjen.
(1) Peningkatan kualitas Laporan Keuangan (LK) BA 15, LK Bendahara Umum Negara (BUN), dan LK
BA 999, dengan IKU:
i. Indeks opini BPK atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999.
(2) Pencapaian hasil pengawasan yang memberi nilai tambah, dengan IKU:
i. jumlah policy recommendation hasil pengawasan; dan
ii. persentase Unit Eselon I yang memiliki peta risiko.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 235
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
234
(3) Pengawalan Reformasi Birokrasi yang efektif dan bersih, dengan IKU:
i. jumlah peta konsistensi penerapan SOP Unggulan Kementerian;
ii. jumlah policy recommendation Reformasi Birokrasi;
iii. jumlah informasi gratifikasi, pungutan liar, kolusi, dan korupsi; serta
iv. jumlah kasus yang diserahkan kepada instansi penegak hukum sebagai bukti awal penyelidikan.
Capaian IKU Itjen tahun 2010 untuk Stakeholders Perspective dan Customer Perspective adalah berikut ini.
(1) Peningkatan Pengawasan Dan Akuntabilitas Aparatur Negara
Itjen telah melaksanakan monitoring, reviu, kajian, dan pendampingan audit BPK atasLK BA 15,
LK BA 999, serta LK BUN Tahun 2009 dan Semester I Tahun 2010. Dari kegiatan tersebut, telah
disampaikan 5 executive summary hasil reviu. Selain itu, telah dihasilkan pula executive summary
hasil reviu LK BA 15, LK BA 999, serta LK BUN Semester I dan Triwulan III Tahun 2010.
(2) Laporan Hasil Reviu Laporan Keuangan
Dari monitoring, reviu, kajian, dan pendampingan audit BPK oleh Itjen atas LK BA 15, LK BA 999,
serta LK BUN Tahun 2009 dan Semester I Tahun 2010, diperoleh 28 Laporan Hasil Reviu (LHR) LK.
Output lain adalah laporan hasil pendampingan audit BPK, laporan hasil kajian, serta laporan
hasil monitoring. Selain itu, telah dilaksanakan monitoring dan reviu LK atas BA 15, LK BA 999,
serta LK BUN Semester I dan Triwulan III Tahun 2010.
(3) Pengawasan Internal Kepada Seluruh Unit Kementerian Keuangan
Dari hasil pengawasan tematik terhadap Unit Eselon I selama tahun 2010 telah dikeluarkan 39
executive summary berupa Surat dan/atau laporan kepada Menteri Keuangan dan/atau Kepala
Unit Eselon I selaku obyek pengawasan.Ke-39 policy recommendation berisi alternatif solusi
untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi Unit-Unit Eselon I.
(4) Laporan Hasil Audit
Dari pengawasan tematik telah dihasilkan 136 Laporan Hasil Pengawasan (LHP). Jumlah LHP
ini belum termasuk laporan hasil compliance audit, laporan hasil monitoring tindak lanjut,
serta laporan lainnya dari hasil pengawasan non unggulan dan pengawasan yang dilakukan
berdasarkan instruksi pimpinan/pengaduan/permintaan.
(5) Laporan Asistensi dan Konsultasi Manajemen Risiko
Pelaksanaan pembimbingan dan konsultasi manajemen risiko dilaksanakan dalam bentuk
sosialisasi, training of trainee, pemetaan risiko, reviu peta risiko, pembimbingan, konsultasi
unit vertikal Eselon I, dan kegiatan lain sesuai permintaan Eselon I. Selama tahun 2010,
telah dilaksanakan 72 kali pembimbingan dan konsultasi manajemen risiko di lingkungan
Kementerian Keuangan. Dari kegiatan tersebut dihasilkan 51 laporan pembimbingan dan
konsultasi manajemen risiko. Pada akhir tahun 2010, seluruh Unit Eselon I telah berhasil
menyusun profil dan peta risiko.
(6) Pengawasan Internal Atas Penerapan Reformasi Birokrasi
Berdasarkan pengawasan internal atas penerapan Reformasi Birokrasi yang meliputi
peningkatan mutu layanan publik dan audit ketaatan atas penerapan SOP unggulan telah
dihasilkan 6 executive summary.
(7) Laporan Hasil Audit Pengawasan Internal atas Penerapan Reformasi Birokrasi
Dalam rangka pengawalan penerapan Reformasi Birokrasi, Itjen telah melaksanakan program
peningkatan mutu layanan publik dan berbagai compliance audit atas penerapan SOP Unggulan
untuk menyusun peta konsistensi penerapan SOP di lingkungan Kementerian Keuangan. Selama
tahun 2010, telah dihasilkan 53 laporan compliance audit dan/atau laporan hasil monitoring/
evaluasi terhadap berbagai unit di DJP, DJBC, Ditjen Perbendaharaan, DJKN, DJA, dan FKRB.
(8) Laporan Hasil Surveillance Atas Penyelewengan Dan/Atau Penyalahgunaan Wewenang
Itjen telah melaksanakan 29 kali surveillance di lingkungan Kementerian Keuangan.
(9) Laporan Hasil Investigasi Atas penyelewengan Dan/Atau Penyalahgunaan Wewenang
Itjen telah melaksanakan 66 audit investigasi. Dari pelaksanaan audit investigasi telah dihasilkan
61 laporan hasil investigasi sebagai dasar dilakukannya audit investigasi. Sebanyak 6 kasus audit
investigasi telah dilimpahkan kepada instansi penegak hukum.
11.3. EVALUASI DAN ANALISIS PENcAPAIAN SASARAN
11.3.1. Peningkatan Kualitas LK BA 15, BUN, dan BA 999
Itjen melakukan reviu atas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan (LK BA 15) sejak tahun
anggaran 2008 secara paralel dengan pelaksanaan anggaran. Monitoring, reviu, kajian, dan
pendampingan audit BPK atas LK BA 15 tahun 2008 yang dilakukan telah mendorong peningkatan
opini BPK atas LK BA 15 Tahun 2008 tersebut menjadi Qualified (Wajar Dengan Pengecualian),
setelah 3 tahun sebelumnya selalu Disclaimer (Tidak Memberikan Pendapat). Terkait dengan
peningkatan opini LK BA 999 dan LK BUN, Itjen telah memonitor dan membantu memperbaiki
setiap permasalahan sejak tahun 2009.
Berdasarkan monitoring, reviu, dan pendampingan audit BPK selama tahun 2010 atas LK Kementerian
Keuangan BA 15 tahun 2009, telah diperoleh hasil opini BPK Wajar Dengan Pengecualian (WDP)
dengan indeks opini 3,00 terealisasi sesuai target. Sementara itu, indeks opini BPK atas LK BA 15, LK
BA 999, serta LK BUN tahun 2009 terealisasi dengan indeks opini BPK 3,13 dari 3,07 yang ditargetkan.
Tabel 11.1.Hasil Opini BPK Atas Laporan Keuangan Tahun 2008 dan 2009
Kode Nama Laporan KeuanganRealisasi
Opini LK 2009 Opini LK 2008
BA 15 Kementerian Keuangan WDP WDP
Bendahara Umum Negara NA NA
BA 999.01 Pembiayaan Biaya Pinjaman dan Bunga serta Cicilan Pokok Utang WTP WTP
BA 999.02 Penerimaan Hibah WDP TMP
BA 999.03 Penanaman Modal Negara WTP WTP
BA 999.05 Transfer Dana Daerah WTP-DPP WDP untuk Dana Perimbangan dan WTP untuk Otsus
BA 999.06 Belanja Subsidi dan Belanja Lain WDP TMP untuk Belanja Lain-Lain;WTP-DPP untuk Belanja Subsidi
Keterangan: Sesuai dengan pembobotan yang dilakukan (60% untuk BA 15 dan 40% untuk LK BUN dan BA 999.01 s.d BA 999.06), maka didapatkan indeks dengan skor 3,13. Pada tahun 2010 Laporan Keuangan BUN belum diberikan opini oleh BPK.
Sumber: Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.
Peningkatan kualitas LK BA 15 dikarenakan perubahan pendekatan reviu yang dilakukan oleh Itjen
dari hanya menunggu LK BA 15 di akhir tahun menjadi pengawalan atau pendampingan proses LK
dari tahap penyusunan hingga pemeriksaan oleh BPK. Monitoring, reviu, kajian, dan pendampingan
audit BPK atas LK BA 15terus dilanjutkan dalam rangka perbaikan dan peningkatan kualitas laporan
keuangan sebagai salah satu instrumen perwujudan public trust serta dalam rangka memenuhi
target LK BA 15 dengan opini WTP di tahun 2012.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 237
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
236
Selain itu, selama tahun 2010, Itjen telah melaksanakan program dukungan peningkatan kualitas LK
K/L Lain. Upaya ini dilatarbelakangi bahwa peningkatan kualitas LK K/L merupakan salah satu target
IKU yang harus dicapai dalam kontrak kinerja masing-masing KL pada Kabinet Indonesia Bersatu
II, serta masih banyak LK K/L yang belum memperoleh opini WTP. Terdapat 15 LK K/L yang masih
memperoleh opini Disclaimer. Tahapan kegiatan terdiri dari penyiapan trainer/fasilitator, workshop
reviu laporan keuangan, dan pelayanan konsultasi reviu laporan keuangan.
Berbagai kegiatan yang terkait dengan program ini antara lain meliputi:
(1) pelayanan konsultasi reviu LK Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Sosial, dan
Kementerian Nakertrans;
(2) penyusunan modul workshop reviu LK K/L berbantuan komputer;
(3) sosialisasi PMK No.41/PMK.09/2010 tentang Standar Review atas LK MA, KPU, BPN, BNPB,
Kemenlu, Kemenkes, dan Kementerian Lingkungan Hidup;
(4) analisis permasalahan LKMA, BPN, KPU, BNPB, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian
Luar Negeri, dan Kementerian Kesehatan; serta
(5) analisis temuan hasil pemeriksaan BPK atas LK K/L Tahun 2009.
11.3.2. Pencapaian Hasil Pengawasan Yang Memberi Nilai Tambah
a. Jumlah Rekomendasi Kebijakan Hasil Pengawasan
Dalam rangka menjalankan peran Strategic Business Partner bagi Eselon I, sejak tahun 2009, Itjen
melakukan pengawasan tematik yang bersifat konsultatif dalam bentuk Tema Pengawasan Unggulan
(TPU). TPU adalah kegiatan pada Unit Eselon I yang berdasarkan hasil identifikasi dan penilaian bersama
Itjen dan auditee memerlukan perhatian dan harus segera diperbaiki kinerjanya. Pengawasan oleh
Itjen lebih mengutamakan penyelesaian masalah yang dihadapi olehUnit Eselon I. Output akhir dari
pengawasan bukan lagi sekedar jumlah temuan, namunsejumlah policy recommendation yang dapat
mengatasi permasalahan utama dari tiap TPU. Selama tahun 2009, telah dihasilkan lebih dari 30 policy
recommendation untuk mengatasi permasalahan di Unit Eselon I. Dari hasil pengawasan tematik
selama tahun 2010 telah dihasilkan 39 policy recommendation sebagai solusi untuk mengatasi
berbagai permasalahan yang dihadapi Unit Eselon I.
b. Persentasi Unit Eselon I Yang Memiliki Peta Risiko
Itjen sebagai Compliance Office for Risk Management (CORM) merupakan salah satu bentuk peran
baru pengawasan sebagai konsultan dan strategic business partner bagi Eselon I lain di lingkungan
Kementerian Keuangan. Pada awal tahun 2009, Itjen membentuk Tim Implementasi PMK No. 191/
PMK.01/2008 dan terjun ke seluruh Unit Eselon I untuk melakukan sosialisasi risk management,
serta mencoba menggugah awareness para pejabat Kementerian Keuangan. Sosialisasi
dilanjutkan dengan training of trainers (ToT) untuk merintis penerapan risk management masing-
masing Unit Eselon I.
Pada tahun 2010 telah dilaksanakan pembimbingan dan konsultansi penerapan manajemen risiko
dalam bentuk sosialisasi, ToT, pemetaan risiko, reviu peta risiko, pembimbingan dan konsultansi
unit vertikal Eselon I, dan kegiatan lain sesuai permintaan Eselon I. Total kegiatan bimbingan dan
konsultansi yang telah dilakukan sebanyak 45 kali yang dilengkapi dengan penyusunan pedoman
compliance office for risk management.
Outcome yang diharapkan adalah penerapan manajemen risiko pada Unit Eselon I yang ditandai
dengan penyusunan profil dan peta risiko. Pada akhir tahun 2010, seluruh 12 Unit Eselon I
telah memiliki profil dan peta risiko, yaitu Setjen, DJP, DJBC, DJA, DJKN, BAPEPAM-LK, Ditjen
Perbendaharaan, DJPU, BKF, BPPK, ITJEN, dan DJPK. Nilai indeks kepuasan customer terhadap
pembimbingan dan konsultansi manajemen risiko tercatat sebesar 3,93 dari skala 1-5.
Setelah semua Unit Eselon I menerapkan risk management, maka dalam rangka menjalankan peran
CORM, Itjen akan mengadakan reviu atas penerapan risk management tersebut sebagai salah satu
dasar penyusunan TPU Itjen.
11.3.3. Pengawalan Proses Reformasi Birokrasi Yang Efektif dan Bersih
a. Jumlah Peta Konsistensi Penerapan SOP Unggulan Kementerian
Dalam rangka menyusun peta konsistensi penerapan SOP Unggulan, Itjen telah melaksanakan
compliance audit. Hasilnya berupa peta konsistensi penerapan SOP unggulan pada DJP, DJBC, Ditjen
Perbendaharaan, DJKN, dan DJA.
b. Jumlah Policy recommendationReformasi Birokrasi
Dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan Reformasi Birokrasi, selama tahun 2010 telah
dilaksanakan pengawasan terhadap peningkatan mutu layanan publik dan penyusunan kebijakan
audit ketaatan atas penerapan SOP. Itjen telah menerbitkan 3 policy recommendation terkait
Reformasi Birokrasi yang telah ditindaklanjuti oleh Unit Eselon I terkait.
c. Jumlah Informasi Gratifikasi, Pungutan Liar, Kolusi, dan Korupsi
Berdasarkan hasil surveillance selama tahun 2010,telah diperoleh 6 informasi penyimpangan, yaitu:
(1) gratifikasi di KPKNL Serpong;
(2) gratifikasi di Direktorat PDRD DJPK;
(3) penerimaan gratifikasi oleh DT dan TH saat bertugas di KPP PMB;
(4) penyalahgunaan dalam pengadaan rumah dinas Kanwil DJP Sumsel dan Babel;
(5) dugaan gratifikasi yang diterima oleh oknum pejabat DJA menyangkut penganggaran dan
perjalanan dinas serta penerimaan pinjaman sepeda motor dari Bakorkamla; dan
(6) penyimpangan dalam perjalanan dinas yg dilakukan oleh oknum pejabat Kanwil XVI DJKN Manado.
Dengan demikian capaian IKU hingga akhir tahun 2010 tercatat sebesar 120 persen dari target
yang ditetapkan.
d. Jumlah Kasus Yang Diserahkan Kepada Instansi Penegak Hukum Sebagai Bukti Awal
Penyelidikan
Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan selama tahun 2010, terdapat 6 kasus yang telah
dilimpahkan kepada instansi penegak hukum, yaitu:
(1) Gammaray: SR-73/IJ/2010 tanggal 22 Maret 2010;
(2) Halliburton: SR-115/IJ/2010 tanggal 21 April 2010;
(3) Cileungsi: SR-182/IJ/2010 tanggal 22 Juni 2010;
(4) KPP PMB: SR-303/IJ/2010 tanggal 27 Oktober 2010;
(5) Gedung KPP Pratama Kotamobagu: SR-303/IJ/2010 tanggal 27 Oktober 2010; dan
(6) keberatan PT. BCA: SR-305/IJ/2010 tanggal 28 Oktober 2010.
Dengan demikian, persentase capaian IKU Itjen sampai dengan akhir tahun 2010 adalah sebesar
150 persen.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 239
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
238
11.3.4. Penanganan Yang Responsif Atas Permintaan Pengawasan
Persentase permintaan pengawasan yang direspon maksimal dalam 7hari kerja masih dibawah
target, yaitu dari 146 permintaan pengawasan, sejumlah 124 diantaranya atau 84,93 persen dapat
direspon dalam 7 hari kerja. Permintaan pengawasan, khususnya permintaan investigasi, agak
terlambat direspon, karena adanya tugas khusus dan mendesak tentang kasus yang menjadi
sorotan publik. Untuk masa yang akan datang, perlu diefektifkan koordinator yang bertugas
memonitor permintaan pengawasan agar dapat direspon dengan tepat waktu.
11.3.5. Pendampingan dan konsultasi yang berkualitas
Selama tahun 2010, Itjen telah melaksanakan 47 kali pendampingan dan konsultasi.
11.3.6. Penanganan Yang Berkualitas Atas Pelanggaran/Penyimpangan
a. Persentase Investigasi Yang Terbukti
Dari 46 laporan yang diterbitkan sebagai hasil audit investigasi Itjen sampai dengan triwulan IV
tahun 2010, seluruhnya dapat membuktikan informasi yang menjadi dasar dilakukannya audit
investigasi, sehingga realisasi capaian telah melampaui target yang ditetapkan.
b. Persentase SurveillanceYang Berhasil
Realisasi capaian sampai dengan triwulan IV tahun 2010 tercatat sebesar 41,38 persen, yaitu dari 29
hasil kegiatan surveillance yang telah dilakukan, sebanyak 12 diantaranya dilanjutkan dengan audit
investigasi.
11.3.7. Identifikasi tema pengawasan sesuai kebutuhan berbasis risiko
a. Jumlah PMK Kebijakan Pengawasan Intern
Berdasarkan hasil koordinasi perencanaan pengawasan yang dilakukan Itjen selama tahun 2010,
telah dihasilkan Rancangan PMK tentang kebijakan pengawasan intern Kementerian Keuangan.
b. Jumlah Tema Pengawasan Unggulan Yang Diusulkan Tahun Berikutnya
Sampai dengan Triwulan IV tahun 2010 telah diusulkan 76 TPU dari target 74 TPU.
11.3.8. Inovasi proses bisnis pengawasan yang efektif
Itjen telah menyusun 13 pedoman selama tahun 2010 yang meliputi:
(1) Pedoman tentang Pemeriksaan Mendadak;
(2) Pedoman tentang Beracara di PTUN;
(3) Pedoman Pelaporan Audit kepada Pimpinan Satuan Kerja yang Diaudit;
(4) Pedoman Mekanisme Pelaporan Inspektorat Jenderal;
(5) 6 Petunjuk Praktis; dan
(6) 3 Panduan Pelaksanaan.
11.3.9. Implementasi Pengawasan Yang Berkualitas
a. Nilai Rata-Rata Hasil Reviu Penerapan SAINS
Pada triwulan IV tahun 2010, telah dilakukan penilaian hasil reviu penerapan Standar Audit
Inspektorat (SAINS) terhadap masing-masing Inspektorat di Itjen dengannilai rata-rata 73,16.
Tabel 11.2.Nilai Hasil Reviu Penerapan SAINS di Inspektorat Tahun 2010
No. Unit Nilai
1. Inspektorat I 76,72
2. Inspektorat II 75,14
3. Inspektorat III 70,00
4. Inspektorat IV 72,08
5. Inspektorat V 73,46
6. Inspektorat VI 70,61
7. Inspektorat VII 75,03
8. Inspektorat Bidang Investigasi 72,21
Rata-Rata 73,16
Sumber: Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.
b. Persentase Pelaksanaan Pengawasan Sesuai Dengan Rencana
Persentase pelaksanaan pengawasan yang dilakukan telah mencapai 95,8 persen dari target yang
ditetapkan pada tahun 2010. Telah dilaksanakan 1.322 pengawasan dari rencana pengawasan
sebanyak 1380 kali. Tidak tercapainya realisasi kegiatan pengawasan disebabkan oleh:
(1) pengurangan volume kegiatan pengawasan, sampling yang dirasakan sudah mencukupi; dan
(2) pengalihan kegiatan ke compliance audit (pemeriksaan, keberatan dan banding) sesuai
permintaan Menteri Keuangan.
11.3.10. Peningkatan komunikasi pengawasan
Selama tahun 2010 telah dilaksanakan 15 kali sosialisasi dari target 9 kali.
11.3.11. Pembentukan SDM yang berintegritas dan berkompetensi tinggi
a. Persentase Pejabat Yang Telah Memenuhi Standar Kompetensi Jabatan
Berdasarkan hasil assessment centre tahun 2008 dan 2009 untuk Pejabat Eselon II, Eselon III dan
Eselon IV, rata-rata persentase pejabat Itjen yang telah memenuhi standar kompetensi jabatan (job
match ≥ 70) mencapai 78,95 persen. Jumlah pejabat Itjen yang telah memenuhi standar kompetensi
jabatan sebanyak 30 orang dari 38 orang yang telah dinilai.
Tabel 11.3.Hasil Assessment Pejabat Itjen Tahun 2008 dan 2009
No. Jabatan Hasil Assessment (%)
1. Pejabat Eselon II 77,78
2. Pejabat Eselon III 100,00
3. Pejabat Eselon IV 75,00
Rata-Rata 78,95
Sumber: Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 241
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
240
b. Persentase Pegawai Yang Memiliki Kualifikasi “Sangat Baik” Atau “Istimewa” Berdasarkan
Penilaian Individu
Persentase pegawai yang memiliki kualifikasi “sangat baik” atau “istimewa” berdasarkan data
penilaian individu tercatat sebesar 10,43 persen. Nilai ini diperoleh dari data nilai pegawai
tahun 2010, dimana jumlah pegawai yang mendapat nilai sangat baik sebanyak 43 orang dan
yang mendapat nilai istimewa sebanyak 15 orang.Dengan demikian, total jumlah pegawai yang
mendapat nilai sangat baik atau istimewa adalah 58 orang dari total pegawai Itjen yang dinilai
sebanyak 556 orang.
c. Jumlah Pegawai Yang Dijatuhi Hukuman Disiplin Sedang Atau Berat
Sampai dengan triwulan IV tahun 2010, terdapat 5 orang pegawai Itjen yang dijatuhi hukuman
sedang atau berat.
d. Persentase Jam Pelatihan Pegawai Terhadap Jam Kerja
Sepanjang tahun 2010 telah dilakukan pelatihan bagi pegawai Itjen sebanyak 40.659,2 jam
pelatihan dari total jam kerja pegawai 854.016 jam kerja (556 pegawai). Diklat yang telah diikuti
oleh pegawai Itjen adalah:
(1) Diklat Teknik Investigasi;
(2) Diklat Performance Audit;
(3) Diklat End User TeamMate;
(4) Diklat Risk Management;
(5) Diklat Forensic Audit;
(6) Diklat Perpajakan;
(7) Diklat Risk Based Audit;
(8) Diklat Psikologi Audit;
(9) Diklat Intelijen; dan
(10) Diklat Audit Berbasis Komputer dengan ACL.
11.3.12. Pengembangan Organisasi Yang Handal Dan Modern
a. Persentase Penyelesaian SOP
Pada tahun 2010 telah dilaksanakan 5 paket kegiatan dari 5 rencana paket kegiatan. Kegiatan
tersebut meliputi penyempurnaan SOP pada:
(1) Bagian Organisasi dan Tatalaksana;
(2) Bagian Perencanaan dan Keuangan;
(3) Bagian Kepegawaian;
(4) Bagian Sistem Informasi Pengawasan; serta
(5) Bagian Umum.
Kelima paket SOP yang disempurnakan telah diselesaikanpada tahun 2010.
b. Persentase penyelesaian penataan/modernisasi organisasi
Penataan/modernisasi organisasi Itjen dapat diselesaikan seluruhnya. Konsep penataan organisasi
telah dikirimkan kepada Sekretariat Jenderal, termasuk kajian akademiknya, pada tanggal 27
Januari 2010 melalui surat No. S-55/IJ/2010. Pada akhir tahun 2010 telah diterbitkan PMK No. 184/
PMK.01/2010 tetang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan.
c. Persentase UPR Yang Menerapkan Tahapan Manajemen Risiko
Itjen telah melakukan penerapan tahapan manajemen risiko pada masing-masing UPR di sepanjang
tahun 2010, yang terdiri dari:
(1) Penetapan Konteks;
(2) Identifikasi Risiko;
(3) Analisis Risiko;
(4) Evaluasi Risiko
(5) Rencana Penanganan Risiko;
(6) Monitoring; dan
(7) Pelaporan.
Dari 9 UPR di lingkungan Itjen, sebanyak 7 UPR telah melakukan penerapan tahapan manajemen
risiko mencapai 78 persen. Adapun 2 UPR lainnya sedang mempersiapkan laporan monitoring
penanganan risiko.
11.3.13. Pembangunan sistem TIK yang terintegrasi
Terkait dengan IKU Persentase implementasi Audit Management System (AMS), telah dilakukan
pengadaan aplikasi AMS dan telah dilakukan pelatihan bagi para Auditor. Sampai dengan akhir
Desember 2010, sebanyak 158 Auditor dari total auditor sebanyak 231 orang atau 68 persen yang
telah teregistrasi dan menggunakan Aplikasi TeamMate pada saat End-User Training yang diadakan
oleh Tim Implementasi Sistem Manajemen Audit TeamMate Itjen.
11.4. PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN INTERNAL DI BAPEPAM-LK
11.4.1. Penelaahan dan Penilaian Pelaksanaan Tugas
Penelaahan dan penilaian pelaksanaan tugas Unit Eselon II merupakan bagian dari kegiatan audit
internal di Bapepam-LK. Ruang lingkup penelaahan dan penilaian pelaksanaan tugas meliputi
aspek kepatuhan atas peraturan, pengendalian intern, dan efektivitas serta efisiensi proses bisnis.
Selama tahun 2010, Bapepam-LK telah melaksanakan 11 penelaahan dan penilaian terhadap Unit
Eselon II yang mencakup:
(1) pelaksanaan tugas penanganan pengaduan yang diterima;
(2) penetapan sanksi administratif selain keterlambatan penyampaian laporan;
(3) pelaksanaan tugas analisis awal, pemeriksaan dan atau penyidikan;
(4) pemeriksaan kepatuhan perusahaan efek;
(5) riset rutin dan studi;
(6) penyusunan draft peraturan, serta pengumpulan, analisis, dan penyajian data;
(7) pemantauan laporan realisasi penggunaan dana hasil penawaran umum dan pemeriksaan teknis;
(8) pemantauan proses keterbukaan informasi yang harus disampaikan kepada publik;
(9) pemrosesan pemberian izin usaha perusahaan pembiayaan;
(10) pencatatan produk asuransi baru; serta
(11) analisis risiko dana pensiun.
Selama tahun 2010 terjadi peningkatan 5 penelaahan dan penilaian jika dibandingkan dengan
dengan tahun 2009, di mana pada tahun tersebut dilaksanakan 6 penelaahan dan penilaian.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 243
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
242
11.4.2. Audit Khusus
Dalam rangka menindaklanjuti beberapa pengaduan mengenai dugaan pelanggaran kode etik,
Bapepam-LK telah melakukan konfirmasi dan meminta keterangan terhadap pihak-pihak terkait,
mengumpulkan dokumen pendukung, serta melakukan analisis berdasarkan peraturan yang
berlaku. Hasil penelaahan dan penilaian beserta rekomendasi atas penugasan tersebut telah
disampaikan kepada Ketua Bapepam-LK. Pada tahun 2010, Bapepam-LK melakukan 1 audit khusus
terhadap dugaan pelanggaran kode etik/pelanggaran disiplin PNS.
11.5. PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN INTERNAL DI DJBc
11.5.1. Arah, Strategi, dan Reformasi Kebijakan
Pengawasan dan pengendalian internal di DJBC dilaksanakan oleh Pusat Kepatuhan Internal
Kepabeanan dan Cukai (PUSKI KC). Unit ini memiliki tugas antara lain mengawasi kepatuhan
pelaksanaan tugas dan mengevaluasi kinerja di bidang pelayanan, pengawasan dan administrasi.
Selain itu, unit ini juga melakukan penelitian, pemeriksaan, penyiapan bahan tanggapan, tindak
lanjut hasil pemeriksaan aparat pengawasan fungsional, dan menangani laporan pengaduan
masyarakat.
Kepatuhan internal bertujuan untuk mewujudkan kondisi yang mendukung efektivitas dan efisiensi
serta kelancaran dan ketertiban pelaksanaan tugas pelayanan, pengawasan, dan administrasi di
lingkungan DJBC. Sasaran yang ingin dicapai adalah:
(1) menekan sekecil mungkin penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan tugas yang
merugaikan orang lain, masyarakat, dan negara;
(2) menekan sekecil mungkin segala bentuk pungutan liar, pemerasan, penyuapan, korupsi, kolusi,
dan nepotisme dalam pelaksanaan tugas;
(3) meningkatkan kelancaran, ketepatan, ketertiban, kepastian, keterbukaan, tarnsparansi, dan
akuntabilitas pelaksanaan tugas pelayanan dan pengawasan kepabeanan dan Cukai, serta
tugas administrasi sesuai dengan tata kerja dan prosedur yang berlaku; serta
(4) mendorong, meningkatkan, dan menjaga kesesuaian sikap, perilaku, dan perbuatan pegawai
dalam melaksanakan tugas dan dalam pergaulan hidup sehari-hari sesuai dengan kode etik dan
peraturan disiplin pegawai.
Pelaksanaan tugas PUSKI KC berorientasi kepada visi untuk menjadi unit kerja yang berwibawa,
bermartabat, dan memiliki komitmen yang solid dan konsisten untuk mewujudkan aparatur DJBC
yang berintegritas, disiplin dan professional. Misi yang diemban adalah mewujudkan aparatur
DJBC yang berintegritas, disiplin, dan profesional melalui upaya pencegahan terhadap perbuatan
pelanggaran kode etik dan peraturan disiplin pegawai, serta penindakan terhadap aparatur yang
melakukan pelanggaran dan pembinaan sikap perilaku pegawai.
Untuk melaksanakan kebijakan tersebut ditempuh strategi berikut ini.
(1) Pengawasan Melekat yang dilakukan oleh pemimpin masing-masing unit kerja dan atasan
langsung terhadap pegawai bawahannya.
(2) Pengawasan kepatuhan pelaksanaan tugas dilakukan oleh Unit Kerja Kepatuhan Internal (UKKI)
masing-masing instansi vertikal dan/atau PUSKI.
(3) Evaluasi kinerja yang dilakukan oleh UKKI masing-masing instansi vertikal dan/atau PUSKI.
(4) Penelitian, pemeriksaan, penilaian, serta penyiapan bahan tanggapan dan tindak lanjut hasil
pemeriksaan aparat pengawasan fungsional.
(5) Penelitian, pemeriksaan, penilaian, serta penyiapan bahan tanggapan dan tindak lanjut
terhadap laporan pengawasan atau pengaduan masyarakat.
(6) Pembinaan personil oleh atasan langsung, UKKI pada masing-masing instansi vertikal dan/
atau PUSKI.
Sebagai tindak lanjut pengawasan dan evaluasi kinerja, PUSKI menyampaikan rekomendasi
peningkatan pelaksanaan tugas yang dapat berupa:
(1) tindakan administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian;
(2) pemberian penghargaan kepada pegawai yang memiliki prestasi;
(3) tuntutan perbendaharaan, penyempurnaan aparatur Pemerintahan di bidang kelembagaan,
kepegawaian, dan ketatalaksanaan; serta
(4) peningkatan daya dan hasil guna terhadap fungsi pengendalian maupun pemanfaatan berbagai
sumber daya yang ada agar dapat terselenggara dan tercapai hasil kerja sebaik-baiknya dan
optimal.
11.5.2. Perkembangan Pola Pendekatan Pengawasan dan Pengendalian Internal
Sebagai UKKI di tingkat pusat, terdapat 3 target utama pelaksanaan tugas PUSKI, yaitu pencegahan
kepatuhan internal, penegakan kepatuhan internal, dan pembinaan kepatuhan internal.
a. Pencegahan Kepatuhan Internal
Pencegahan kepatuhan internal terbagi atas 2 sasaran strategis, yaitu internalisasi kepatuhan
internal dan manajemen kinerja yang efektif serta koordinasi pelaksanaan kepatuhan internal
yang optimal. Terkait dengan internalisasi kepatuhan internal, pada tahun 2010 telah dilaksanakan
kegiatan-kegiatan berikut ini.
(1) 4 kegiatan internalisasi Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. P-23/BC/2010 tentang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tugas Unit Kerja Kepatuhan Internal di Lingkungan DJBC.
(2) Pembekalan Kantor Madya pada 8 KPPBC yang dimodernisasi menjadi KPPBC Tipe Madya.
(3) Pelaksanaan Program Pembinaan Keterampilan Pegawai (PPKP) terkait pelaksanaan tugas
di bidang evaluasi kinerja, khususnya tentang BSC di Direktorat Teknis Kepabeanan dan
Direktorat Cukai.
(4) Pelaksanaan workshop cascading Kementerian Keuangan Three KPPBC Palembang, Pontianak,
dan Manado.
(5) Pembuatan dan penyebaran leaflet UKKI.
Selain internalisasi kepatuhan internal, diperlukan juga koordinasi. Tujuan koordinasi pelaksanaan
kepatuhan internal adalah upaya pencegahan (preventif ) di bidang kepatuhan internal melalui
kerjasama dengan unit kerja kepatuhan internal di instansi vertical DJBC, sehingga pelanggaran
kode etik dan disiplin pegawai dapat diminimalisir. Telah dilakukan koordinasi di antara pejabat
PUSKI dengan pejabat KPU BC Tanjung Priok, Kanwil DJBC Jakarta, KPPBC MP Soekarno Hatta, KPPBC
MP Merak, KPPBC MP Bekasi, KPPBC MP Purwakarta, KPPBC MP Bandung, KPPBC MP Bogor, dan
Kanwil DJBC Jawa Barat. Selain itu, telah dilaksanakan pula Rapat Koordinasi UKKI pada tanggal 18-
19 November 2010 di Kantor Pusat DJBC. Kegiatan lainnya adalah Survei Indeks Persepsi Kepatuhan
Internal Semester I dan Semester II Tahun 2010.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 245
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
244
b. Penegakan Kepatuhan Internal
Dalam rangka pelaksanaan tugas penegakan kepatuhan internal, terdapat 3 sasaran srategis yang
hendak dicapai, yaitu:
(1) tingkat penegakan kepatuhan pelaksanaan tugas yang optimal;
(2) tingkat penyelesaian investigasi internal yang tinggi; dan
(3) tingkat pengelolaan evaluasi kinerja yang efektif.
c. Pembinaan Kepatuhan Internal
Untuk pelaksanaan pembinaan kepatuhan internal, telah ditetapkan 3 sasaran strategis yaitu:
(1) tingkat penyelesaian pengaduan yang tinggi;
(2) tingkat pemberian rekomendasi kepatuhan pelaksanaan tugas yang efektif; dan
(3) tingkat tindak lanjut hasil pemeriksaan aparat pengawasan fungsional yang optimal.
Selain ketiga sasaran strategis, PUSKI KC juga telah melakukan perumusan dan legalisasi prosedur
kerja di bidang Kepatuhan Internal berupa penyusunan peraturan di bidang Kepatuhan Internal.
Sampai dengan bulan Desember 2010 telah disusun 4 peraturan di bidang Kepatuhan Internal.
11.6. PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN INTERNAL DI DJP (KITSDA)
11.6.1. Pembangunan Sistem Kepatuhan Internal
DJP berupaya menciptakan suatu tata kelola yang menerapkan prinsip-prinsip good governance
melalui upaya-upaya berikut ini.
(1) Mengembangkan sistem whistleblowing melalui pembuatan saluran pengaduan internal bagi
pegawai DJP, baik melalui e-mail maupun telepon, dan pembukaan sarana pengaduan dari
masyarakat melalui call center (Kring Pajak 500200) dan e-mail [email protected].
(2) Memberdayakan sistem pengawasan melekat dari atasan kepada bawahan sesuai ketentuan
kepegawaian yang berlaku.
(3) Menerapkan manajemen risiko di setiap unit pemilik risiko di DJP agar bisa mengantisipasi
masalah-masalah yang mungkin terjadi dan lebih siap dalam menghadapi ketidakpastian.
(4) Mengawasi pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Pegawai DJP
yang wajib menyampaikan LHKPN pada tahun 2010 berjumlah 5.420 orang dengan tingkat
kepatuhan 96,35 persen.
(5) Melaksanakan pengujian kepatuhan dan menyusun rekomendasi perbaikan terhadap berbagai
sistem dan prosedur yang dilakukan oleh Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi
Sumber Daya Aparatur (KITSDA);
(6) Membentuk Tim Kepatuhan Internal di tingkat Kantor Wilayah DJP, dengan pertimbangan
perlunya dilakukan upaya serius untuk meningkatkan efektivitas fungsi pencegahan dan
penindakan atas pelanggaran kode etik dan disiplin PNS di unit vertikal DJP.
(7) Menyusun prosedur penanganan dini terhadap PNS di lingkungan DJP yang terkait dengan
proses pemeriksaan perkara pidana atau diduga melakukan pelanggaran disiplin. Ketentuan
tersebut dibuat dalam rangka deteksi dini untuk mengetahui ada tidaknya dugaan pelanggaran
disiplin yang dilakukan oleh PNS.
(8) Mengkampanyekan secara luas program anti korupsi melalui website internal, poster, banner,
flyer, dan media lainnya. Usaha tersebut telah mendapatkan penilaian dari KPK dalam
Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK) dengan skor tertinggi, yaitu 9,82 dibanding unit lainnya.
Komponen penilaian promosi anti korupsi merupakan salah satu komponen dalam PIAK yang
merupakan program untuk menilai inisiatif unit utama dalam melakukan langkah nyata dalam
pemberantasan korupsi dan peningkatan kualitas layanannya. Dari 13 unit Pemerintahan yang
memperoleh nilai PIAK di atas 6, delapan diantaranya berasal dari Kementerian Keuangan. DJP
menduduki urutan 4 dengan nilai PIAK 8,18.
Tabel 11.4. Hasil Penilaian Inisiatif Anti Korupsi Tahun 2010
No. Unit Organisasi Nilai PIAK
1. Ditjen Perbendaharaan, Kementerian Keuangan 8,99
2. Ditjen Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan 8,86
3. Ditjen Anggaran, Kementerian Keuangan 8,38
4. Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan 8,18
5. Pemerintahan Kota Yogyakarta 7,88
6. Ditjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan 7,77
7. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Kementerian Keuangan 7,65
8. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan 7,23
9. Badan Kebijaksanaan Fiskal, Kementerian Keuangan 7,16
10. Sekretariat Jenderal, Kementerian Kelautan dan Perikanan 6,69
11. Ditjen Pengelolaan Utang, Kementerian Keuangan 6,34
12. Sekretariat Jenderal, Kementerian Perhubungan 6.25
13. Dirjen Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan 6,16
Sumber: Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.
11.6.2. Penegakan Disiplin
Dalam rangka pembinaan dan penegakan disiplin pegawai DJP, Direktorat KITSDA telah
melaksanakan investigasi internal dan pemeriksaan terhadap pelanggaran kode etik dan disiplin
pegawai, serta merekomendasikan pembinaan dan penjatuhan hukuman disiplin. Secara keseluruhan,
pembinaan dan penjatuhan hukuman disiplin meningkat sebesar 25,19 persen. Kenaikan tersebut juga
disebabkan oleh peningkatan pemeriksaan oleh atasan langsung sehubungan dengan berlakunya PP
No. 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS yang mengatur kewajiban atasan langsung untuk melakukan
pemeriksaan terhadap pegawai yang diduga melakukan pelanggaran disiplin.
Tabel 11.5.Penjatuhan Hukuman Disiplin dan Pembinaan Tahun 2010
No Jenis Pembinaan/Hukuman Disiplin 2010
Pembinaan
1 Surat Peringatan I 395
2 Surat Peringatan II 79
3 Surat Peringatan III 32
Subtotal Peringatan 506
Hukuman Disiplin
1 Hukuman Disiplin Ringan 61
2 Hukuman Disiplin Sedang 33
3 Hukuman Disiplin Berat 30
4 Pemberhentian Sementara (skorsing) 16
Subtotal Hukuman Disiplin 140
Total Pembinaan dan Hukuman Disiplin 646
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 247
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
246
11.7. PELUANG DAN TANTANGAN DALAM PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN INTERNAL
a. Peluang
a.1. Direktorat Jenderal Bea dan cukaiTugas yang diemban merupakan upaya perbaikan dalam mewujudkan kondisi yang mendukung efektivitas dan efisiensi serta kelancaran dan ketertiban proses pelaksanaan tugas pelayanan dan administrasi di lingkungan DJBC. Tugas ini sangat terbantu dengan adanya Reformasi Birokrasi. Adanya niat untuk melakukan perubahan dari internal DJBC merupakan starting point dalam keberhasilan pelaksanaan tugas. Komitmen untuk menjadi instansi yang lebih baik merupakan modal dasar dalam setiap langkah pencapaian kinerja yang diharapkan berkontribusi positif dalam pencapaian tujuan yang lebih besar yaitu terciptanya instansi DJBC yang bersih dan bermartabat.
a.2. Direktorat Jenderal PajakMeskipun berbagai kendala dan tantangan menghadang, langkah DJP untuk mengembangkan dan memperbaiki implementasi Sistem Pengendalian Internal (SPI) tidak surut. Penyempurnaan SPI dapat mendukung visi DJP untuk menjadi insitusi Pemerintah yang mampu menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien, dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi. Peluang tersebut semakin tinggi jika melihat kondisi umum Pemerintahan yang semakin transparan, pemberantasan korupsi yang terus-menerus digalakan, dan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi terhadap pelayanan Pemerintah, khususnya pelayanan perpajakan.
Pengembangan information technology (IT) melalui Project for Indonesian Tax Administration Reform (PINTAR) yang mencakup integrasi sistem IT di Core Tax, manajemen data dan dokumen, internal audit, serta manajemen SDM juga memberikan peluang yang lebih besar dalam mendukung pengendalian internal di DJP.
Khusus di bidang SDM, rekrutmen yang selektif, ketat, dan transparan yang dilanjutkan dengan proses On-the-Job Training dan pelatihan yang tersistem dan terstruktur diharapkan dapat menghasilkan generasi muda DJP yang profesional dengan daya juang dan integritas yang tinggi, sehingga dapat mempengaruhi lingkungannya untuk terus berkomitmen menjaga praktik good governance. Demikian juga pengembangan leadership training dan coaching yang terpadu diharapkan dapat menciptakan pimpinan DJP yang unggul, menjadi role model, serta mampu menjalankan fungsi pengawasan melekat sebagai bagian penting dari pengendalian internal DJP.
Penyempurnaan sistem Whistle Blowing memberikan peluang penguatan sistem pengendalian internal dengan melibatkan seluruh pegawai dan masyarakat dalam memberikan input, masukan dan laporan terkait terjadinya pelanggaran di lingkungan DJP. Selain itu, kerja sama dengan KPK dan Itjen dalam penyempurnaan administrasi dan database pelaporan harta kekayaan pejabat melalui LHKPN serta LP2P juga menjadi salah satu dashboard bagi pimpinan untuk memperkuat SPI DJP.
b. Tantangan
b.1. Direktorat Jenderal Bea dan cukaiKendala yang dirasakan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Kepatuhan Internal Kepabeanan dan Cukai adalah keterbatasan SDM, baik dari segi kuantitias maupun kualitas, sehingga diperlukan penambahan SDM untuk pelaksanaan tugas-tugas berikut ini.(1) Penegakan kepatuhan pelaksanaan tugas dalam rangka pelaksanaan fungsi pencegahan dan
pengawasan pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh unit kerja dan pegawai DJBC yang meliputi tugas pengawasan, pelayanan, dan administrasi.
(2) Penyelesaian pengembangan sistem manajemen kinerja berbasis BSC secara mandatory sampai dengan level Eselon III dan menyelesaikan BSC sampai dengan level pelaksana pada tahun 2011. Hal ini sejalan dengan program pengembangan sistem manajemen kinerja berbasis BSC.
(3) Pemenuhan pencapaian target penyelesaian kasus pengaduan masyarakat dan percepatan tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan aparat pengawas fungsional sesuai IKU pada PUSKI KC. Sehubungan dengan meningkatnya jumlah kasus pengaduan masyarakat yang diterima dan diproses di PUSKI KC, maka tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan aparat pengawas fungsional yang harus segera diselesaikan.
(4) Penyelesaian tugas-tugas lainnya yang diberikan oleh pimpinan dalam rangka penugasan yang memerlukan penanganan yang lebih intensif.
b.2. Direktorat Jenderal PajakPengembangan dan implementasi sistem pengendalian internal di lingkungan DJP menghadapi beberapa tantangan.(1) SDM, Kode Etik, dan Nilai-Nilai Organisasi. Sebagai Unit Eselon I dengan jumlah pegawai terbesar di Kementerian Keuangan, tantangan
utama dalam implementasi SPI di DJP adalah SDM. Dalam lingkungan pengendalian, diperlukan aturan dan etika berperilaku yang dapat mengarahkan perilaku anggota organisasi untuk patuh dan tidak melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, DJP telah menyusun Kode Etik Pegawai dan Nilai-Nilai Organisasi DJP serta senantiasa melakukan upaya-upaya untuk menginternalisasikannya kepada seluruh pegawai. Namun, mengingat jumlah pegawai yang sangat besar dan tersebar di seluruh Indonesia, serta budaya umum sebagai PNS yang telah melekat sebelum Reformasi Birokrasi, tidak mudah untuk mengubah mindset pegawai agar mengarah kepada pegawai DJP yang profesional dan berintegritas.
Perlu peningkatan awareness dari semua pegawai, role modeling oleh pimpinan DJP, penyusunan sistem dan infrastruktur yang mendukung pengembangan budaya profesional dan integritas, serta komunikasi dan edukasi yang rutin, terstruktur dan terukur agar nilai-nilai organisasi DJP dapat menjadi pagar terdepan dari lingkungan pengendalian internal.
(2) Manajemen Risiko Tantangan berikutnya adalah agar DJP mempunyai Profil dan Peta Risiko yang meliputi setiap
unit maupun fungsi yang ada di DJP. Profil dan Peta Risiko berfungsi sebagai pendukung pengambilan keputusan oleh pimpinan DJP berdasarkan profil risiko yang ada, serta dapat menjadi Early Warning System untuk mendeteksi adanya pelanggaran atau kondisi yang tidak diinginkan pada unit dan atau fungsi tertentu di DJP;
(3) Peran Unit Kepatuhan Internal Peran Direktorat KITSDA sebagai salah satu unsur terpenting dari implementasi SPI di DJP
dirasakan masih belum optimal. Hal-hal yang menyebabkan belum optimalnya fungsi Direktorat KITSDA antara lain masih adanya kendala dalam infrastruktur (legal, struktur organisasi, SOP, charter, teknologi informasi) dan SDM (jumlah, kapasitas, dan kompetensi). Tantangan berat masih dihadapi oleh DJP untuk mengoptimalkan peran Direktorat KITSDA sebagai Unit Eselon II yang mempunyai tugas untuk memastikan bahwa sistem pengendalian di DJP berjalan semestinya.
(4) Peran Stakeholder SPI di DJP tidak terlepas dari sistem perpajakan yang mencakup stakeholder di luar DJP,
seperti Wajib Pajak, institusi pengadilan pajak, institusi penegak hukum, DPR, dan sebagainya. Tantangan yang cukup besar adalah agar DJP dapat meyakinkan para stakeholder untuk mendukung pelaksanaan pengendalian internal di DJP yang antara lain dilakukan dengan ikut menerapkan praktik-praktik good governance pada saat berinteraksi dengan para pegawai DJP.
Mewarnai Harmoni
Mewarnai Percaturan InternasionalDengan Meningkatkan Kerjasama Global
HARMONY
Colouring International ConstellationBy Increasing Global Cooperation
Colouring Harmony
HArMoNI
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 251
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
250
Kementerian Keuangan menjalankan kebijakan hubungan internasional selama tahun 2010
yang meliputi Kerjasama Multilateral, Kerjasama Interregional, Kerjasama Kawasan ASEAN, dan
Kerjasama Bilateral. Selain itu melakukan kerjasama di bidang Isu Jasa Keuangan, Organisasi dan
Capacity Building.
12.1. KERJASAMA MULTILATERAL
Kerjasama Multilateral menyelenggarakan fungsi perumusan rekomendasi kebijakan, analisis,
evaluasi, koordinasi pelaksanaan, dan pemantauan kerjasama ekonomi dan keuangan dengan
institusi Bretton Woods, Bank Pembangunan dan Organisasi Konferensi Islam (OKI), Dana
Internasional dan Pembayaran Kontribusi, serta Forum Multilateral.
12.1.1. Kerjasama Institusi Bretton Woods
Kerjasama Bretton Woods yang meliputi International Monetary Fund (IMF) dan World Bank berperan
aktif dalam pertemuan G-20 yang membahas reformasi lembaga keuangan internasional.
12.1.1.1. IMF
a. Penambahan Kuota IMF
Berdasarkan hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Seoul, Korea Selatan, pada tanggal 11-12
November 2010, terjadi perubahan kuota IMF berupa pengalihan kuota negara maju ke negara
berkembang sebesar 6 persen. Dengan pengalihan ini, maka kuota suara negara berkembang
meningkat menjadi 45,5 persen dari sebelumnya 39,5 persen.
KEBIJAKAN HUBUNGAN DAN KERJASAMA INTERNASIONAL
BAB XII
b. Pembentukan FcL dan PcL
Flexible Credit Line (FCL) dan Precautionary Credit Line (PCL) adalah jenis fasilitas pinjaman yang
dikeluarkan oleh IMF. Reformasi terhadap FCL meliputi penambahan durasi pinjaman dua kali lipat,
yaitu untuk periode pinjaman 1 tahun atau 2 tahun dengan melakukan pengkajian setelah 1 tahun.
Sebelumnya, periode pinjaman FCL adalah 6 bulan atau 1 tahun dan dilakukan pengkajian setelah
6 bulan. Pada skema FCL yang baru, batas maksimal penarikan dana sebesar 1.000 persen dari
kuota tidak diberlakukan lagi. Prosedur penarikan dana juga diperkuat dengan keterlibatan Dewan
Eksekutif dalam menilai skala dan dampak penarikan pinjaman terhadap likuiditas IMF.
Pada KTT G-20 di Seoul disepakatati terbentuknya instrumen baru IMF untuk mengatasi stigma dan
sebagai bagian dari Global Financial Safety Net berupa PCL. PCL diberikan kepada negara anggota
yang mempunyai kebijakan makro dan moneter yang kuat, tetapi tidak memenuhi kualifikasi FCL,
karena memiliki kerentanan moderat terhadap krisis.
12.1.1.2. World Bank
Ada dua pertemuan penting, yaitu Pertemuan Tahunan World Bank Development Committe pada
tanggal 8-10 Oktober 2010 dan World Bank-Spring Meeting pada tanggal 24-25 April 2010. Dalam
World Bank-Spring Meeting, delegasi Indonesia turut berkontribusi menghasilkan berbagai keputusan
penting yang tercermin dalam komunike bersama Development Committee sebagai berikut:
a. Menyepakati kenaikan modal IBRD sebesar USD 86.2 miliar. Selain modal IBRD, Dewan Gubernur
juga menyetujui kenaikan modal IFC sebesar USD 200 juta.
b. Menyepakati kenaikan hak suara negara-negara berkembang dan negara-negara transisi
sebesar 3,13 persen pada IBRD dan 6,07 persen pada IFC.
c. Dalam hal strategi pasca Krisis, Dewan Gubernur mendukung penekanan kebijakan World Bank untuk:
i. memfokuskan bantuannya pada negara-negara miskin dan rentan, khususnya di wilayah
Sub Sahara Afrika;
ii. mendukung penciptaan peluang untuk pertumbuhan ekonomi dengan penekanan pada
investasi infrastruktur dan pertanian;
iii. mendukung aksi kolektif global dalam penyelesaian dampak perubahan iklim, perdagangan
produk pertanian, ketahanan pangan, enerji, air bersih, dan kesehatan;
iv. memperkuat tata kelola Pemerintahan dan upaya pemberantasan korupsi; serta
v. mempersiapkan kemungkinan krisis di masa depan.
d. Terkait reformasi operasional, Dewan Gubernur menyetujui:
i. pemberian akses baru terhadap informasi dan data yang menjadikan World Bank sebagai
pemimpin di antara lembaga-lembaga multilateral dalam hal perluasan akses terhadap data
dan informasi;
ii. reformasi kebijakan pinjaman yang memperbaiki tingkat capaian sasaran pinjaman,
kecepatan penyaluran pinjaman, dan manajemen risiko pinjaman; serta
iii. penguatan upaya perbaikan tata kelola dan pemberantasan korupsi untuk program dan
proyek yang didanai oleh World Bank.
12.1.2. Kerjasama Bank Pembangunan dan OKI
Indonesia sebagai anggota Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB), dan OKI
telah berperan menghasilkan berbagai kesepakatan dan kebijakan sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 253
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
252
12.1.2.1. Islamic Development Bank
Pertemuan Dewan Gubernur IDB ke-35 di Baku, Azerbaijan dilaksanakan pada tanggal 20-24 Juni
2010 di Gulustan Palace. Dalam sambutannya pada pembukaan sidang, Presiden IDB menyampaikan
2 hal penting berikut ini:
a. dalam mendukung anggotanya menghadapi krisis ekonomi dan keuangan, pada tahun 2009
IDB telah meningkatkan pembiayaan sebesar 25 persen atau USD7.25 miliar dibandingkan
tahun sebelumnya. Sejumlah 54 persen dari total pembiayaan tersebut diperuntukkan bagi
negara-negara anggota yang terkena dampak krisis paling serius.
b. Untuk membantu pemulihan anggotanya dari krisis ekonomi, Dewan Direktur Eksekutif IDB
telah meminta manajemen IDB untuk meningkatkan jumlah pembiayaan hingga 30 persen
selama 3 tahun ke depan.
Pada pertemuan tersebut, dihasilkan resolusi Dewan Gubernur IDB sebagai berikut:
a. menaikan subscribed capital stock IDB dari ID16 miliar menjadi ID18 miliar;
b. mengalokasikan dana sebesar 5 persen (tidak lebih dari USD5 juta) dari perkiraan laba bersih
IDB di tahun 2010 untuk technical assistance operation dalam bentuk hibah; dan
c. mengalokasikan dana sebesar 2 persen (tidak kurang dari USD2 juta) dari perkiraan laba bersih
IDB untuk membiayai Merit Scolarship Program tahun 2010.
12.1.2.2. Asian Development Bank (ADB)
ADB Annual Meeting yang ke-43 diadakan di Tashkent, Uzbekistan pada tanggal 1-4 Mei 2010.
Dalam pertemuan ini, Presiden ADB dalam sambutannya menyampaikan bahwa selama tahun
2009 ADB telah meningkatkan nilai operasionalnya hingga USD16 miliar, termasuk di dalamnya
USD2 miliar untuk Countercyclical Support Facility (CSF). Terkait pembiayaan perubahan iklim, ADB
merencanakan akan meningkatkan pembiayaan clean energy hingga USD2 miliar setiap tahunnya
sampai dengan tahun 2013. Selain itu, bekerjasama dengan donor lain, seperti Climate Investment
Fund (CIF), ADB akan meningkatkan sumber pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim. ADB juga telah menerapkan inisiatif baru, yaitu “ADB’s Asia Solar Energy Initiative” untuk
mendorong pengembangan energi surya di negara berkembang di kawasan Asia
12.1.3. Kerjasama Forum Multilateral
Isu-isu ekonomi yang menjadi perhatian dan pokok bahasan dalam forum multilateral, khususnya
dalam forum Group of 20 (G-20) meliputi:
(1) Framework for Strong, Sustainable, and Balance Growth;
(2) Global Economy;
(3) Reformasi Lembaga Keuangan Internasional;
12.2. KERJASAMA ANTAR KAWASAN (INTERREGIONAL)
Selama tahun 2010 Kementerian Keuangan berpartisipasi pada pembahasan isu ekonomi global
yang berkembang di antarwilayah (interregional).
12.2.1. APEc
Beberapa isu penting yang dibahas dalam forum Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) adalah:
(1) Growth Strategy;
(2) Infrastructure Financing;
(3) Structural Reform;
(4) Fiscal Consolidation; dan
(5) APEC Policy Initiatives.
12.2.2. ASEM
The Asia-Europe Meeting (ASEM) merupakan pertemuan serta kerjasama informal yang melibatkan
27 negara anggota perserikatan kawasan Eropa dan komisi-komisi kawasan Eropa dengan 19
negara-negara di Asia dan Sekretariat ASEAN. Pertemuan ASEM membahas masalah politik,
ekonomi, dan kebudayaan untuk memperkuat hubungan antarkedua kawasan. Beberapa aspek
yang dibahas selama tahun 2010 antara lain:
(1) Global Imbalance;
(2) Fiscal Consolidation; dan
(3) Peran dan Posisi Indonesia.
12.2.3. OEcD
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merupakan suatu forum di
mana Pemerintah bekerjasama untuk memetakan permasalahan ekonomi, sosial, dan lingkungan
yang menjadi tantangan pada era globalisasi. Melalui organisasi ini, Pemerintah Indonesia dapat
membandingkan pengalaman kebijakan yang pernah dilakukan dan sekaligus mencari jawaban
atas permasalahan yang sering muncul, mengidentifikasi langkah-langkah yang baik, serta
mengkoordinasikan kebijakan domestik dan internasional. Beberapa upaya dan isu strategis dalam
OECD antara lain:
(1) Economic Survey;
(2) Investment Policy Review;
(3) Development Center;
(4) Sustainable Development; dan
(5) Tax Policy.
12.2.4. Asia-Middle East Dialog
Asia-Middle East Dialog (AMED) merupakan kerjasama di antara negara-negara di kawasan Asia
dan Timur Tengah yang membahas mengenai permasalahan politik, ekonomi, dan sosial. Pada
tahun 2010, Kementerian Keuangan terlibat dalam pertemuan AMED yang diadakan di Bangkok,
Thailand pada tanggal 15-16 Desember 2010.
12.3. KERJASAMA KAWASAN ASEAN
12.3.1. Working Committee on Financial Services Liberalisation
Empat isu pokok bahasan dalam Working Committee on Financial Services Liberalisation (WCFSL)
pada tahun 2010 terdiri dari:
(1) The Combined Study on Assessing Financial Landscape and Formulating Milestones towards
Monetary and Financial Integration in ASEAN;
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 255
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
254
(2) Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN dengan Mitra Dialog;
(3) Safeguard Framework (Pre-agreed Flexibility); serta
(4) Negosiasi Paket Komitmen Putaran Kelima.
12.3.2. Working Committee on Capital Market Development
Pembahasan Working Committee on Capital Market Development (WC CMD) pada tahun 2010 adalah
mengenai capital market indicators dan priority action 2010-2012 yang mencakup:
(1) Capital Market Development Indicators;
(2) Medium Term Note Program;
(3) Capacity Building Program; dan
(4) Broadening Institutional Investor Base.
12.3.3 Working Committee on Capital Account Liberalisation
Tujuan liberalisasi neraca modal adalah agar terdapat aliran neraca modal yang lebih bebas pada
tahun 2020. Tujuan utama ini kemudian diterjemahkan dalam tiga tahap pelaksanaan yaitu:
(1) menjamin agar liberalisasi neraca modal konsisten dengan agenda nasional negara-negara
anggota;
(2) menjamin safeguards yang memadai atas potensi volatilitas ekonomi makro dan risiko sistemik
akibat proses liberalisasi neraca modal; serta
(3) menjamin keuntungan liberalisasi serta memfasilitasi integrasi investasi dan perdagangan
dalam wilayah ASEAN.
Beberapa pokok bahasan dalam Working Committee on Capital Account Liberalisation (WC CAL) pada
tahun 2010 adalah:
(1) Current Account Transactions Liberalisation (Adoption Article VIII IMF);
(2) Assessment and Identification of Rules Relating to the Transfer of FDI;
(3) Assessment and Identification of Rules for Liberalisation for Freer Flows of Portfolio Investment; dan
(4) Facilitation of Flows of Capital.
12.3.4. ASEAN Infrastructure Fund
ASEAN Infrastructure Fund (AIF) adalah suatu inisiatif yang diusulkan oleh ADB untuk membentuk
sumber pembiayaan proyek-proyek infrastruktur di ASEAN dengan memanfaatkan domestic
resources dan kelebihan likuiditas di kawasan Asia. AIF dapat didanai dari penyertaan modal negara-
negara ASEAN, Plus Three (Jepang, Cina, dan Korea), dan ADB yang dialokasikan dari cadangan
devisa atau anggaran Pemerintah. Adapun pokok-pokok pembahasan AIF pada tahun 2010 di
Manila adalah mengenai penjelasan ADB tentang pilihan struktur pembiayaan untuk memenuhi
kebutuhan dana awal AIF sebesar USD800 juta
12.3.5. ASEAN Capital Market Forum
The ASEAN Capital Markets Forum (ACMF) merupakan forum regulator pasar modal negara ASEAN
yang didirikan tahun 2004 dengan dukungan dari ASEAN Finance Ministers. Pada awalnya ACMF
berfokus pada harmonisasi peraturan dan regulasi sebelum beralih pada isu yang lebih strategis
untuk mencapai integrasi pasar modal regional di tahun 2015.
Pada putaran pertama (2004-2008), Bapepam-LK telah ditunjuk sebagai koordinator Working Group
On Distribution Rules yang bertujuan untuk mengharmonisasikan peraturan yang terkait dengan
pasar modal khususnya dalam hal crossborder offering. Dari putaran pertama ini, ACMF telah meng-
hasilkan ASEAN Plus Standards Schemes pada tahun 2008, yang merupakan standar yang disepakati
oleh Negara ASEAN dalam rangka pelaksanaan integrasi pasar modal ASEAN. Isi dari ASEAN Plus
Standards Scheme adalah:
1) ASEAN Equity Securities Disclosure Standard;
2) ASEAN Debt Securities Disclosure Standard;
3) Equity Securities Distribution Time Line;
4) Debt Securities Distribution Time Line; dan
5) Supporting Documents Required to Submit to the Regulator.
Kemudian, dalam rangka melaksanakan kesepakatan pada putaran pertama tersebut, ACMF mem-
bentuk 4 working group baru (putaran kedua), yaitu:
1) WG on Investor Categorization (Thailand bertindak selaku koordinator);
2) WG on Listing Rules and Corporate Governance Requirements (Malaysia bertindak selaku koordinator)
3) WG on Mutual Recognitions of Market Professionals (Singapura bertindak selaku koordinator); dan
4) WG on Cross Border Enforcement and Dispute Resolutions (Indonesia bertindak selaku koordinator).
Sampai akhir tahun 2010, kesepakatan yang telah dihasilkan dalam forum ACMF, antara lain:
1) Mutual Recognition Guidelines merupakan prinsip-prinsip dasar yang akan mengatur pelaksa-
naan dari Mutual Recognition dan program harmonisasi, serta membantu para negara-negara
anggota ASEAN dalam mempersiapkan diri menuju hal tersebut.
2) Dispute Resolution Mechanism Guidelines merupakan inisiatif awal dalam menyusun prinsip-
prinsip dasar terkait perlindungan investor di kawasan ASEAN. Guidelines ini nantinya diharap-
kan dapat menjadi dasar dalam melakukan penyelesaian sengketa dan penegakan hukum
pasar modal lintas batas.
12.3.6. Kerjasama Ekonomi Sub Regional
Kerjasama ekonomi subregional di ASEAN dibangun atas dasar enlightened self interest yang bertitik
tolak dari pengakuan adanya kepentingan bersama, tetapi selanjunya akan sangat bergantung
kepada daya tarik wilayah atau sub wilayahnya. Dalam kerangka indonesia, terdapat 4 bentuk
kerjasama subregional, yaitu Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), Indonesia-
Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMS-GT), Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-The Philipines
East Asian Growth Area (BIMP-EAGA), dan Australia-Indonesia Development Area (AIDA).
12.3.7. Kerjasama ASEAN+3
Kerja sama ASEAN Plus Three (APT) terjalin sejak tahun 1997 pada saat kawasan Asia sedang dilanda
krisis ekonomi. APT terdiri dari 10 anggota ASEAN plus China, Jepang, dan Korea Selatan. KTT APT
pertama berlangsung pada Desember 1997 di Kuala Lumpur. Dalam periode 1997-2007, terdapat 5
bidang kerjasama dalam APT, yaitu:
i. politik dan keamanan;
ii. ekonomi dan keuangan;
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 257
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
256
iii. energi, pembangunan, lingkungan hidup, perubahan iklim dan pembangunan yang
berkesinambungan;
iv. kerja sama sosial-budaya dan pembangunan; serta
v. dukungan institusional dan hubungan dengan kerangka kerjasama yang lebih luas.
Beberapa kegiatan yang menjadi agenda kerjasama ASEAN+3 antara lain:
(1) Chiang Mai Initiative Multilateralisation;
(2) ASEAN+3 Macroeconomic Research Office;
(3) Asian Bond Markets Initiative;
(4) Credit Guarantee and Investment Facility; dan
(5) Working Group on Economic and Financial Monitoring.
12.4. KERJASAMA BILATERAL
12.4.1. Kerjasama Keuangan Pemerintah Indonesia dan Australia
Bentuk kerjasama yang terjalin meliputi:
(1) AUSAID;
(2) Australia Indonesia Partnership (AIP);
(3) Indonesia Australia Partnership for Economic Governance;
(4) Deferred Drawdown Option (contingency loans) 2009-2010;
(5) Kerjasama Perubahan Iklim; dan
(6) Forum High Level Policy Dialogue.
12.4.2. Kerjasama Keuangan Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat
Kerjasama dikembangkan dalam skema sebagai berikut:
(1) Comprehensive Partnership;
(2) Investment Support Agreement; dan
(3) USAID.
12.4.3. Kerjasama Keuangan Pemerintah Indonesia dan cina
Kerjasama Keuangan di antara Pemerintah Indonesia dan Cina dilaksanakan dalam bentuk:
(1) Penandatanganan Agreed Minutes of the Meeting for Further Strengthening Economic and Trade
Cooperation; serta
(2) The 10th Indonesia-China Joint Commission on Economic, Trade and Technical Cooperation.
12.4.4. Kerjasama Keuangan Pemerintah Indonesia dan Jepang
Skema kerjasama yang dibangun terdiri dari:
(1) Indonesia-Japan Joint Economic Forum;
(2) Protokol Perubahan P3B Indonesia-Jepang;
(3) IJEPA;
(4) Kerjasama Keuangan RI-JICA; dan
(5) Kerjasama RI-JBIC.
12.4.5. Kerjasama Keuangan Pemerintah Indonesia dan Malaysia
Sebagai dua negara yang bertetangga, Indonesia dan Malaysia menjalin kerjasama keuangan dalam bentuk:
(1) ASEAN Infrastructure Fund;
(2) ASEAN Finance Ministers Investor Seminar (AFMIS);
(3) Kerjasama Ekonomi Sub Regional ASEAN (IMT-GT, BIMP EAGA);
(4) Border Trade Agreement RI-Malaysia 1970; dan
(5) Protokol perubahan penghindaran pajak berganda antara RI-Malaysia (Disahkan melalui
Peraturan Presiden RI Nomor 30 Tahun 2010).
12.4.6. Kerjasama Keuangan Pemerintah Indonesia dan Kanada
Tiga skema kerjasama di antara Pemerintah Indonesia dan Kanada adalah:
(1) Portfolio Investment;
(2) Perundingan Section A dan B pada FIPPA; serta
(3) Cakupan Own and Controlled dalam definisi Enterprise.
12.4.7. Kerjasama Keuangan Pemerintah Indonesia dan IMF terkait ROScs
Proses uji coba dan pelaksanaan ROSCs di Indonesia terkait bidang transparansi fiskal di Indonesia,
IMF berkonsultasi dengan Fiscal Affairs Department (FAD) yang bertindak sebagai advisor dalam
pelaksanaan ROSCs. Tahapan-tahapan pelaksanaan ROSCs antara lain:
(1) Penyampaian kuisioner dari IMF kepada Pemerintah Indonesia pada Januari 2005.
(2) Pendalaman jawaban kuisioner pada November 2005 dimana misi ROSCs IMF hadir dalam
rangka follow up jawaban kuisioner yang telah mereka sampaikan sebelumnya.
(3) Tahap preliminary, IMF menyusun dan mengkompilasi draft laporan ROSCs berdasarkan
jawaban kuisioner yang diterima dari responden.
(4) Pembahasan draft laporan ROSC, misi ROSCs IMF kembali hadir untuk membahas draft secara
lebih mendalam, dilakukan dengan diskusi dan review secara terpisah dengan masing-masing
instansi terkait. Hasilnya digunakan untuk finalisasi draft ROSCs.
(5) Finalisasi ROSCs, misi ROSCs hadir untuk ketiga kalinya guna melaporkan hasil final draft ROSCs
kepada Menteri Keuangan sekaligus mensosialisasikan hasilnya kepada seluruh instansi terkait.
Misi ROSCs juga meminta persetujuan Menkeu untuk mempublikasikan laporan tersebut di
website ROSCs.
(6) Publikasi Modul Transparansi Fiskal Indonesia di website IMF.
12.5. ISU JASA KEUANGAN
12.5.1. Forum Perundingan Jasa WTO
Selama tahun 2010, World Trade Organization (WTO) beberapa kali mengadakan pertemuan. Dalam
setiap pertemuan terdapat beberapa working group atau komite yang membahas aturan dan akses
pasar yang terkait dengan liberalisasi perdagangan, yaitu:
(1) Working Party on Domestic Regulation;
(2) Working Party on GATS Rules;
(3) Committee on Trade in Financial Service;
(4) Committee on Specific Commitments; dan
(5) Bilateral Indonesia-EU.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 259
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
258
12.5.2. Kerjasama Jasa Non-Keuangan ASEAN
12.5.2.1. AEc Blueprint
ASEAN Economy Community (AEC) Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara anggota
ASEAN untuk menciptakan kawasan komunitas ekonomi di tahun 2015. ASEAN diwujudkan dalam
bentuk pasar tunggal dengan basis produksi internasional dan elemen aliran bebas barang, jasa,
investasi, tenaga kerja terdidik, dan modal. Diselenggarakan beberapa pertemuan komite kerja,
seperti Coordinating Committees/Working Groups yang merupakan pertemuan teknis setingkat
pejabat Eselon 2 atau pejabat Eselon 3 di instansi terkait masing-masing negara anggota ASEAN.
Saat ini terdapat 22 Coordinating Committee/Working Groups di bidang ekonomi. Salah satunya
adalah CCS yang difokuskan untuk menyusun komitmen bersama negara-negara ASEAN dalam
mewujudkan liberalisasi bidang jasa. Komitmen tersebut disusun dalam suatu daftar komitmen
ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS).
AFAS bertujuan meliberalisasi perdagangan jasa dengan memperdalam tingkat dan cakupan
liberalisasi jasa dalam GATS. Liberalisasi jasa yang dimaksud dilakukan dalam bentuk pengurangan
hambatan 4 mode of supply, yaitu cross-border supply, consumption abroad, commercial presence,
dan movement of natural person. Sejak disepakatinya AFAS pada tahun 1995, negara-negara
ASEAN telah menyepakati 7 paket komitmen. Dalam setiap paket komitmen, negara anggota
mengajukan offer dan request ke negara lain. Offer dan request dimaksud berupa kesediaan untuk
secara bertahap menghapus hambatan terhadap keempat mode of supply jasa. Untuk menunjukan
tingkat komitmen suatu negara dalam menghapus hambatan terhadap suatu sektor jasa tertentu,
digunakan istilah None, Bound, dan Unbound.
12.5.2.2. AFAS 7 & AFAS 8
Selama tahun 2010 berlangsung pembahasan paket AFAS 7 dan AFAS 8. Untuk AFAS 7, seluruh
negara anggota ASEAN telah menyelesaikan komitmen AFAS Paket 7. Meskipun demikian, Indonesia
mempertanyakan komitmen Filipina di mana dalam paket komitmennya, Filipina menggunakan
‘unbound’ pada moda 1 dalam 7 sektor. Hal ini tidak sesuai dengan parameter liberalisasi moda 1
untuk AFAS 7 yang seharusnya ‘none’.
Dalam AEC Blueprint disebutkan paket AFAS 8 harus mencakup 80 sub-sektor. Disepakati
bahwa penyampaian komitmen AFAS 8 dilakukan secara bertahap, kecuali Thailand yang akan
menyampaikannya secara keseluruhan, karena harus mendapatkan persetujuan dari Parlemennya.
Dalam penyampaian Offers AFAS Paket ke-8, hanya 8 negara yang telah menyampaikan initial offers
dan hanya Singapura yang telah lolos threshold assesment (batas pencapaian minimum). Negara
anggota lainnya diminta berupaya untuk memenuhi level maksimum pencapaian threshold pada
tahun 2011.
12.5.3. ASEAN dan Mitra Dialog
12.5.3.1. ASEAN-china
Perundingan ASEAN-China FTA dan ASEAN-China Trade Negotiating Committee (ACTNC) dimulai
sejak tahun 2002 dan berakhir pada tahun 2007 (25 putaran).
Akhir perundingan ditandai dengan ditandatanganinya “Perjanjian Perdagangan Jasa dalam
Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Negara-Negara
Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat China” beserta Paket Komitmen
Pertama oleh para menteri ekonomi masing-masing negara.
Setelah selesainya komitmen paket pertama, pada awal tahun 2008 negara-negara ASEAN
dan China sepakat melaksanakan putaran kedua perundingan. ASEAN dan China menyepakati
dibukanya kembali mekanisme perundingan request dan offer guna lebih memperdalam dan
memperluas cakupan komitmen negara-negara ASEAN dan China.Penyelesaian perundingan Paket
Kedua ASEAN China-Trade Agreement in Services (AC-TIS) dilakukan pada akhir tahun 2009. ASEAN
dan China akan segera menyampaikan notifikasi perundingan ASEAN-China FTA kepada WTO.
12.5.3.2. ASEAN-Korea
ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) merupakan kesepakatan antara negara-negara anggota
ASEAN dengan Korea Selatan untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas. Selama tahun 2010
AKFTA melaksanakan dua kali pertemuan. Pertemuan kedua AKFTA-IC membahas penyelesaian
masalah administratif terkait ratifikasi dan notifikasi oleh ke-10 negara ASEAN dan Korea Selatan.
Proses notifikasi perdagangan jasa ke WTO telah dirampungkan dengan penggunaan pasal V GATS
mengenai Economic Integration. Namun, proses notifikasi perjanjian perdagangan barang AKFTA ke
Sekretariat WTO terkendala oleh ketidaksepakatan pihak ASEAN dan Korea Selatan dalam pemilihan
Enabling Clause atau pasal 24 GATT. Indonesia menginginkan agar notifikasi AKFTA perdagangan
barang ke WTO menggunakan Enabling Clause, sedangkan Korea menginginkan penggunaan pasal
24 GATT.
Enabling Clause merupakan skema di mana negara-negara maju memberikan perlakuan berbeda
dan lebih menguntungkan bagi negara-negara berkembang, misalkan pemberian perlakuan khusus
tidak timbal balik (Bea Masuk impor rendah bahkan nol persen) kepada jenis-jenis produk yang
berasal dari negara-negara berkembang. Ketidaksepakatan ini menjadi ganjalan dalam notifikasi
perjanjian AKFTA secara keseluruhan mengingat notifikasi perjanjian AKFTA harus mencakup sektor
barang dan jasa. Hingga saat ini pihak ASEAN dan Korea Selatan belum menyampaikan notifikasi
AKFTA ke Sekretariat WTO. Pihak ASEAN dan Korea Selatan akan segera menyampaikan informasi ke
Sekretariat WTO mengenai alasan penundaan penyampaian notifikasi tersebut.
12.5.3.3. ASEAN-India
ASEAN-India Trade Negotiating Committee (TNC) and Related Meeting merupakan pertemuan yang
membahas kerangka kerjasama ekonomi menyeluruh di antara negara-negara anggota ASEAN
India. Selama tahun 2010 telah dilaksanakan 3 kali pertemuan ASEAN-India Trade Negotiating
Committee-Working Group on Services (AITNC-WGS).
Isu yang masih diperdebatkan adalah draft trade in services agreement, annex/chapter movement of
natural person, dan annex of financial services. Terdapat beberapa hal yang belum dapat disepakati
dalam isu-isu tersebut dan akan dibahas pada pertemuan selanjutnya. Kesepakatan perdagangan
jasa ASEAN-India diharapkan dapat ditandatangani pada bulan Maret 2011.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 261
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
260
12.5.4. Jasa APEc
Konferensi negara-negara kawasan Asia Pasifik atau “Asia Pacific Ekonomic Cooperation” (APEC)
merupakan forum antarPemerintah Asia Pasifik. APEC bertujuan untuk menciptakan sistem
perdagangan dan investasi yang bebas, terbuka dan adil dikawasan Asia pasifik. Pada tataran kerja,
proyek dan aktivitas APEC dilaksanakan oleh komite tingkat tinggi di bawah panduan para pejabat
tinggi yang mewakili ke-21 negara APEC. Terdapat 5 Komite Tingkat Tinggi APEC, yaitu Budget and
Management Committee, Economic Committee, Committee on Trade and Investment, SOM Steering
Committee on Economic and Technical Cooperation, dan Other Group. Pelaksanaan kegiatan dan
proyek-proyek di masing-masing komite tinggi dibantu oleh unit-unit di bawahnya.
Group on Services (GOS) merupakan salah satu kelompok kerja yang mengatur soal jasa dan menjadi
sub-forum di bawah Committee on Trade and Investment (CTI). Selama tahun 2010, APEC mengadakan
3 kali pertemuan CTI dan Economic Committee) pada rangkaian APEC SOM and its Related Meetings.
Dalam setiap pertemuan, terdapat sub-forum GOS yang membahas permasalahan jasa menuju
liberalisasi di Asia Pasifik.
(1) Pertemuan Committee on Trade and Investment dan Economic Committee pada rangkaian
APEC SOM I and its related Meetings tanggal 22 Februari-7 Maret 2010 di Hiroshima, Jepang
Pada pertemuan ini dibahas tindak lanjut dari berbagai program yang telah diselesaikan pada
tahun 2009. Beberapa program tersebut di antaranya adalah APEC Services Initiative (ASI),
Environmental Services Survey, dan Seminar on Trade in Health Services.
(2) Pertemuan Committee on Trade and Investment dan Group on Services pada rangkaian
APEC SOM (Senior Officials Meeting) II and its related Meeting tanggal 29 Mei-3 Juni 2010
di Sapporo, Jepang.
Pada pertemuan CTI dan subfora GOS ini dibahas beberapa program, di antaranya adalah Apec Legal
Service Initiative, APEC Service Database Project, dan Draft APEC Principle for Entry and Temporary Stay of
Natural Persons for Business Purposes. Dalam membahasa beberapa isu di forum APEC, Kementerian
Kuangan didampingi oleh kementerian lain, seperti Kementerian Hukum dan HAM.
(3) Pertemuan dan Seminar Group on Services
Pertemuan dan seminar GOS dan CTI pada rangkaian APEC SOM (Senior Officials Meeting) III
and its Related Meetings berlangsung pada tanggal 15-26 September 2010 di Sendai, Jepang.
Pertemuan ini membahas 12 proposal/ inisiatif yang terkait dengan kerjasama sektor jasa yang
disampaikan oleh beberapa negara penanggung jawab proyek.
12.5.5. Jasa Bilateral
Indonesia-European Comprehensive Partnership Agreement
Kerjasama Indonesia-Uni Eropa diawali dengan gagasan Long Term Vision for Trade and Investment
Cooperation. Kerjasama ini dicetuskan Presiden RI dan Presiden European Community, Jose Manuel
Barosso, pada pertemuan bilateral tanggal 14 Desember 2009 di Brussels. Gagasan kedua Presiden
kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan joint study antara tim pakar kedua negara dalam
kerangka Long Term Vision for Trade and Investment Cooperation pada saat pertemuan ke-2 Working
Group on Trade and Investment Indonesia-EU tanggal 25-26 Maret 2010 di Brussels. Tim pakar dari
kedua belah pihak bertemu untuk melakukan joint study yang bertujuan untuk mempelajari lebih
jauh hubungan Indonesia dan UE, serta membangun jejaring dan kerjasama di bidang perdagangan
dan investasi yang saling menguntungkan dan berkelanjutan. Saat ini Joint Study Group Indonesia-
European Comprehensive Partnership Agreement (IE-CEPA) telah selesai dilaksanakan.
Pembahasan kini telah masuk dalam tahap perundingan draft text kerjasama IE-CEPA untuk seluruh
sektor barang, jasa dan investasi. Pembahasan dilakukan pada tahap modalities dan draft text agreement.
12.6. KERJASAMA ORGANISASI
12.6.1. Kerjasama Internasional di Bidang Perpajakan
12.6.1.1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Selama tahun 2010, DJP telah melakukan 5 kali perundingan P3B dengan negara mitra. Sebanyak
3 kali perundingan untuk pembentukan P3B baru dan 2 kali perundingan merupakan renegosiasi
P3B lama dengan Jepang dan India. Rincian pelaksanaan perundingan P3B sepanjang tahun 2010
adalah sebagai berikut:
(1) Indonesia-Hongkong (Hongkong, 10-12 Februari 2010);
(2) Indonesia-Serbia (Jakarta, 22-24 Maret 2010);
(3) Indonesia-Laos (Laos, 13-16 Juli 2010);
(4) Indonesia-Jepang (Jakarta, 15-17 Desember 2010); dan
(5) Indonesia-India (Jakarta, 21-23 Desember 2010).
Beberapa ketentuan dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Pajak diterbitkan pada tahun 2010
dalam rangka memberikan kepastian dalam penerapan P3B dan juga untuk mengakomodasi
kebutuhan aturan pelaksanaan atas transaksi hubungan istimewa, termasuk tata cara untuk
melakukan corresponding adjustment, Mutual Agreement Procedur (MAP), dan Advance Pricing
Agreement (APA).
12.6.1.2. Persetujuan dan Pelaksanaan Pertukaran Informasi Perpajakan
Pembentukan Perjanjian Pertukaran Informasi Perpajakan atau yang biasa disebut dengan Tax
Information Exchange Agreement (TIEA) merupakan tindak lanjut dari komitmen Pemerintah
Indonesia berdasarkan hasil pertemuan para pimpinan negara-negara G-20 di London pada bulan
April 2009 yang menyepakati penerapan standar transparansi informasi di bidang keuangan. DJP
juga telah melakukan inisiasi revisi pasal pertukaran informasi dengan beberapa negara mitra P3B
Indonesia guna memenuhi standard OECD.
Dalam rangka pembentukan TIEA dengan negara bukan mitra P3B (non tax treaty) yang dikategorikan
oleh OECD sebagai jurisdiksi yang menjadi pusat kedudukan kegiatan finansial dunia dengan tarif
pajak penghasilan rendah (low income tax jurisdictions), DJP sepanjang tahun 2010 telah melaksanakan
perundingan TIEA sekaligus penandatanganan dengan 8 negara/jurisdiksi yaitu:
(1) Jersey (London, 29 Maret 2010);
(2) Guernsey (London, 30 Maret 2010);
(3) Isle of Man (London, 31 Maret 2010);
(4) Bermuda (Bermuda, 9 Juni 2010);
(5) San Marino (San Marino, 27 September 2010);
(6) Costa Rica (Costa Rica, 8 desember 2010);
(7) Cayman Islands (Cayman Island, 10 Desember 2010); dan
(8) Bahamas (Bahama, 13 Desember 2010).
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 263
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
262
DJP juga secara aktif telah melakukan pertukaran informasi dengan negara-negara mitra P3B.
Informasi yang dipertukarkan antara lain kebenaran status hukum, status kepemilikan saham,
substansi transaksi keuangan, dan kasus-kasus transfer pricing.
12.6.1.3. Daftar Jaringan Tax Treaty 2010
Sampai dengan tahun 2010, Indonesia telah memiliki jaringan tax treaty (P3B) yang berlaku efektif
dengan 59 negara.
Tabel 12.1.Daftar P3B Indonesia yang Berlaku Efektif
Negara Saat Berlaku Efektif
Algeria 01-01-2001
Australia 01-07-1993Austria 01-01-1989Bangladesh 01-01-2007Belgium- Renegosiasi
01-01-197501-01-2002
Brunei Darussalam 01-01-2003Bulgaria 01-01-1993Canada- Renegosiasi
01-01-198001-01-1999
Czech 01-01-1997China 01-01-2004Korea, Republic of 01-01-1990Korea, Democratic People’s Republic of
01-01-2005
Kuwait 01-01-1999Luxembourg 01-01-1995Malaysia- Renegosiasi
01-01-198701-09-2010
Mexico 01-01-2005Mongolia 01-01-2001Netherlands- Renegosiasi- Renegosiasi II
01-01-197101-06-199401-01-2004
New Zealand 01-01-1989Norway 01-01-1991Pakistan 01-01-1991Philippines, The 01-01-1983Poland 01-01-1994Portugal 01-01-2008Qatar 01-01-2008Romania 01-01-2000Russia 01-01-2003Saudi Arabia 01-01-1989Seychelles 01-01-2001Singapore 01-01-1992
Negara Saat Berlaku Efektif
Denmark 01-01-1987
Egypt 01-01-2003Finland 01-01-1990France 01-01-1981Germany 01-01-1992Hungary 01-01-1994India 01-01-1988Italy 01-01-1996Japan 01-01-1983Jordan 01-01-1999Slovak 01-01-2002South Africa 01-01-1999Spain 01-01-2000Sri Lanka 01-01-1995Sudan 01-01-2001Sweden 01-01-1990Switzerland 01-01-2010Syria 01-01-1999Taiwan 01-01-1996Thailand- Renegosiasi
01-01-198301-01-2004
Tunisia 01-01-1994Turkey 01-01-2001U.A.E 01-01-2000Ukraine 01-01-1999United Kingdom- Renegosiasi
01-01-197601-01-1995
United States- Renegosiasi
01-02-199101-02-1997
Uzbekistan 01-01-1999Venezuela 01-01-2001Vietnam 01-01-2000
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak.
12.6.1.4. Partisipasi DJP dalam Forum Internasional
Partisipasi aktif DJP dalam kerjasama internasional selama tahun 2010, baik berupa seminar,
konferensi, maupun forum adalah:
(1) The Sixth Meeting of the OECD FTA;
(2) OECD Global Forum; dan
(3) Organization Economic Cooperation and Development.
12.6.2. Kerjasama Internasional di Bidang Kepabeanan dan cukai
12.6.2.1. Strategi dan Kebijakan dan Kerjasama Keuangan Internasional
Sesuai dengan visi DJBC untuk menjadi Administratur Kepabeanan dan Cukai dengan Standar
Internasional, maka kebijakan hubungan dan kerjasama internasional di bidang kepabeanan
diarahkan untuk menciptakan harmonisasi antara implementasi sistem dan prosedur pelayanan
serta pengawasan di bidang kepabeanan yang berlandaskan ketentuan peraturan perundang-
undangan nasional dengan kesepakatan internasional di bidang kepabeanan dan/atau international
customs best-practices. Strategi yang diterapkan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan
mengefektifkan keikutsertaan DJBC pada berbagai forum kerjasama multilateral, kerjasama
regional dan kerjasama bilateral, yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus di bidang
kepabeanan, yang diarahkan untuk meningkatkan peran aktif dan kepemimpinan Indonesia dalam
berbagai forum kerjasama internasional tersebut, sehingga kepentingan nasional Indonesia dapat
terakomodir dan terlindungi.
12.6.2.2. Realisasi Kerjasama Internasional
(1) Kerjasama Bilateral
Dalam rangka kerjasama antaradministrasi kepabeanan dalam lingkup bilateral, pada tahun 2010
telah dilakukan negosiasi dan pengkajian kerjasama dalam bentuk Customs Mutual Administrative
Assistance (CMAA).
i. Tahap negosiasi:
- CMAA Indonesia-Azerbaijan, posisi counter draft pada DJBC;- CMAA Indonesia-Jordania, posisi masih menunggu kesiapan dari pihak Jordania;- CMAA Indonesia-Thailand, posisi counter draft pada Thailand;- CMAA Indonesia-Turki, posisi counter draft pada Turki; dan
- CMAA Indonesia-India, posisi counter draft pada DJBC.
ii. Tahap pengkajian:
- CMAA Indonesia-Suriah, inisiatif dari pihak Suriah;- CMAA Indonesia-Georgia, inisiatif dari pihak Georgia;- CMAA Indonesia-Mexico, inisiatif dari pihak Mexico; dan
- CMAA Indonesia-Hongkong, inisiatif dari pihak Hongkong.
Negosiasi dan pengkajian kerjasama dalam bidang perdagangan meliputi:
i. IJ-EPA, contact person DJBC adalah Direktur Teknis Kepabeanan untuk bidang prosedur
kepabeanan umum serta Direktur Penindakan dan Penyidikan untuk bidang intelijen;
ii. Indonesia-Tunisia FTA, saat ini sedang dalam tahap studi;
iii. Indonesia-Pakistan FTA, saat ini sedang dalam tahap negosiasi;
iv. Indonesia-Iran FTA, saat ini sedang dilakukan studi lebih lanjut mengingat Iran bukan anggota WTO; serta
v. Indonesia-Chile FTA, saat ini sedang dalam tahap studi.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 265
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
264
Kerjasama terkait dengan perjanjian mengenai perbatasan kedua negara (Border Trade Agreement)
dengan focal point Kementerian Perdagangan meliputi:
i. Indonesia-Malaysia Border Trade Agreement, telah ditandatangani pada tahun 1970 dan saat ini
sedang mengalami revisi;
ii. Indonesia-PNG Border Trade Agreement, sedang dalam tahap implementasi; dan
iii. Indonesia-Timor Leste Border Trade Agreement, sedang dalam tahap implementasi.
Kerja sama dalam hal capacity building berupa technical assistance (training) di bidang kepabeanan,
antara lain bidang pengawasan dan prosedur, meliputi:
i. Japan Customs and Tariff Bureau (JCTB);
ii. bantuan teknis training yang tercakup dalam platform program Japan’s Official Development
Assistance (ODA), seperti IPR, Risk Management, Customs Valuation, Laboratory Analysis, dan
Rules of Origin;
iii. Malaysian Technical Cooperation Program (MTCP);
iv. kerjasama dalam bentuk training program di Akademi Kastam Diraja Malaysia (AKMAL);
v. US Customs and Border Protection; serta
vi. kerjasama pelatihan di bidang pengawasan di Indonesia maupun Amerika Serikat.
Selain itu, terdapat kerjasama dalam kerangka AIDA yang bertujuan untuk meningkatkan
pembangunan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hal ini ditindaklanjuti dengan Memorandum
of Cooperation (MoC) di antara DJBC dengan Department of Asian Relation and Trade of Northern
Territory of Australia, dengan menempatkan 2 pegawai DJBC di Darwin untuk bertugas selama 6 bulan.
(2) Kerjasama ASEAN
Di bidang kepabeanan, Kementerian Keuangan melalui DJBC pada Tahun 2010 terus berperan aktif
dalam forum:
i. ASEAN Director General of Customs (ASEAN DG’s of Customs);
ii. Coordinating Committee on Customs (CCC);
iii. Customs Procedures and Trade Facilitation Working Group (CPTFWG);
iv. ASEAN Customs Transit System (ACTS);
v. Customs Enforcement and Compliances Working Group (CECWG);
vi. Customs Capacity Building Working Group (CCBWG);
vii. ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature Task Force (AHTN-TF); serta
viii. Forum lainnya, seperti:
- Senior Economic Official Meeting (SEOM);- negosiasi persiapan dan evaluasi implementasi ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA); serta
- negosiasi persiapan dan evaluasi implementasi ASEAN FTA.
(3) Kerjasama Regional
Dalam forum kerjasama regional di bidang kepabeanan, DJBC telah mengikuti beragam forum
berikut ini di sepanjang tahun 2010.
i. APEC
- Pertemuan rutin Administrasi Pabean APEC, yang terdiri dari:
a. APEC Customs Directors-General / Commissioners Meeting;
b. Sub Committee on Customs Procedures (SCCP); dan
c. APEC Customs Business Dialogue (ACBD).
- Key Performance Indicators (KPI) APEC / Trade Facilitation Action Program.
- Counter Terrorism Action Plan (CTAP).
ii. ASEM
- ASEM Customs DG-Commissioner Meeting; diadakan 2 tahun sekali.
- ASEM Working Group on Customs Matter (AWC) Meeting.
iii. BIMP-EAGA
iv. IMT- GT
(4) Kerjasama Multilateral
Di bidang kepabeanan, Kementerian Keuangan melalui DJBC terus meningkatkan peran dan
partisipasi aktif dalam forum World Customs Organization (WCO), WTO, maupun organisasi lainnya.
Kerjasama multilateral pada tahun 2010 dalam forum WCO meliputi kegiatan di bidang:
i. Harmonized System;
ii. Procedures and Facilitation;
iii. Enforcement;
iv. Capacity Building;
v. Customs Valuation; dan
vi. Origin
Kerjasama multilateral pada tahun 2010 dalam forum WTO meliputi kegiatan di bidang:
i. Negotiating Group on Trade Facilitation (NGTF);
ii. Committee on Trade and Environment (CTE); dan
iii. Non-Agricultural Market Access (NAMA).
Adapun kerjasama multilateral pada tahun 2010 di dalam forum lainnya meliputi kegiatan di bidang:
i. Global System on Trade Preferences (GSTP);
ii. OECD; dan
iii. Developing 8 (D-8).
12.7. KERJASAMA INTERNASIONAL DI BIDANG CAPACITy BuILDING
12.7.1. Capacity Building oleh BPPK
Pada tahun 2010, Kementerian Keuangan melalui Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK)
melakukan kerjasama dengan beberapa lembaga di dalam maupun luar negeri dalam rangka
peningkatan kualitas pelayanan dan pengembangan/inovasi dalam penyelenggaraan pendidikan
dan pelatihan (diklat) yang diselenggarakan oleh BPPK. Lembaga-lembaga tersebut antara lain:
12.7.1.1. Global Development Learning Network
GDLN merupakan kemitraan pusat pembelajaran global yang menggunakan teknologi informasi
dan komunikasi (TIK) untuk menghubungkan lembaga-lembaga publik dan swasta yang bekerja
dalam pembangunan di seluruh dunia. Diluncurkan oleh World Bank pada bulan Juni tahun
2000, jaringan ini dibangun untuk menyediakan link di seluruh dunia, menawarkan program
pembelajaran, berbagi pengetahuan, dan kegiatan koordinasi yang akan meningkatkan kapasitas
kebutuhan pembangunan masyarakat.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 267
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
266
Afiliasi GDLN terdapat di lebih dari 80 negara di seluruh dunia. Fasilitas afiliasi termasuk ruang kelas
atau ruang pertemuan dengan akses ke video conference dan sumber daya internet berkecepatan
tinggi (seperti email dan instant messenger). Teknologi ini digabungkan dengan teknik fasilitasi dan
pembelajaran yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan individu pengguna. Melalui teknologi,
GDLN afiliasi memungkinkan kliennya di seluruh dunia untuk berkomunikasi satu sama lain untuk
konsultasi, koordinasi, dan pelatihan secara tepat waktu serta hemat biaya.
Pada tahun 2010, BPPK telah menjadi affiliasi (anggota aktif ) GDLN Asia Pasifik. Tujuannya adalah
untuk leading suatu program internationally maupun take advantage dari capacity building program
negara anggota (afiliasi) GDLN lainnya. Bentuk kerjasama yang telah dilakukan oleh BPPK dengan
GDLN adalah sebagai berikut:
(1) pertemuan GDLN business meeting di Manila dan di Bali;
(2) pemberian capacity building program bagi Distance Learning Center; dan
(3) on-line learning “Rapid Design Learning” bagi pegawai BPPK.
Di masa mendatang, BPPK akan aktif mengikuti program-program capacity building yang
diselenggarakan oleh GDLN dan mendiseminasikannya kepada para pegawai Kementerian Keuangan.
12.7.1.2. Indonesian Higher Education Network
INHERENT adalah jaringan TIK yang menghubungkan setiap perguruan tinggi di Indonesia
yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) pada tahun 2006. Jaringan ini
dirancang untuk menghubungkan seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia pada masa yang
akan datang. Awalnya, jaringan ini menghubungkan 32 perguruan tinggi yang berlokasi di setiap
propinsi di Indonesia dan Dikti Jakarta.
BPPK adalah salah satu lembaga Pemerintah di luar universitas yang menjadi anggota INHERENT.
BPPK terintegrasi di INHERENT sejak tahun 2010 dengan tujuan untuk edukasi publik dan
memperluas network dalam rangka pemanfaatan fasilitas video conference di universitas-universitas
serta capacity building/sosialisasi kepada pegawai Kementerian Keuangan di daerah. Bentuk kerja
sama yang telah dilakukan BPPK dengan INHERENT adalah:
(1) capacity building bagi anggota INHERENT yang diikuti oleh universitas negeri maupun swasta; dan
(2) mengikuti program seminar lingkungan hidup yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia
yang diikuti oleh anggota INHERENT lainnya.
12.7.1.3. International Monetary Fund-Singapore regional Training Institute
IMF-STI berlokasi di Singapura dan berfungsi sebagai pusat pelatihan regional IMF untuk wilayah
Asia-Pasifik. IMF-STI memberikan pelatihan manajemen ekonomi makro dan keuangan, masalah
hukum, serta statistik yang terkait kepada para pegawai dan pejabat Pemerintah dari 37 negara.
Sebagian besar pelatihan dilakukan dalam bentuk seminar selama dua minggu atau durasi yang
lebih pendek untuk para pejabat senior.
STI merupakan perusahaan patungan dari IMF dan Pemerintah Singapura yang menyelenggarakan
program pelatihan dan mengkoordinasikan sumber daya yang tersedia di Singapura untuk
bantuan teknis ke negara lain. Setiap tahun lebih dari 700 pejabat berpartisipasi dalam acara STI
dan 100 lainnya menghadiri program nasional atau regional yang dilaksanakan pada tempat lain
di wilayah ini.
BPPK merintis kerjasama dengan STI-IMF sejak tahun 2009 dengan koordinasi bersama BKF dan
Bank Indonesia. Implementasi kegiatan dilakukan pada bulan Maret 2010, yaitu kerjasama BPPK-
IMF-SRTI-Bank Indonesia untuk menyelenggarakan Course on Macroeconomic Management and
Financial Sector Issues. Peserta course berasal dari unit-unit Kementerian Keuangan, BAPPENAS, dan
Bank Indonesia. Saat ini, sedang dilakukan mitigasi untuk kerjasama pada tahun 2011 dan 2012.
12.7.1.4. National Information Society Agency-Korea
NIA adalah lembaga yang mendukung pengembangan kebijakan nasional Korea Selatan dalam
teknologi yang berhubungan dengan TIK untuk negara di dunia. Sejak awal dibentuk pada tahun
1987, NIA telah memberikan bantuan kepada negara-negara lain dalam bidang TIK dengan
melakukan proyek-proyek, seperti pembangunan jaringan telekomunikasi, infrastruktur informasi
berkecepatan tinggi, dan sistem telekomunikasi. NIA berupaya mewujudkan bangsa dan masyarakat
yang lebih informatif.
NIA memberikan bantuan kepada Indonesia, di mana salah satunya melalui BPPK untuk mendorong
pengembangan TIK BPPK dalam rangka mengurangi kesenjangan di antara Indonesia dan Korea.
BPPK merintis kerjasama dengan NIA sejak tahun 2009. Bantuan dilakukan dalam bentuk pemberian
pelatihan selama 4 minggu bagi para pengelola TIK BPPK oleh para junior expert dari Korea Selatan.
Implementasinya berupa diklat di bidang TIK dalam 2 angkatan selama 2 minggu yang diselenggarakan
pada tanggal 1-30 Agustus 2010. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Sekretariat BPPK dan dilaksanakan oleh
Pusdiklat Keuangan Umum.
12.7.1.5. Australia Indonesia Partnership for Economic Governance
AIPEG merupakan kemitraan antara Pemerintah Indonesia dengan Australia melalui AusAID. AIPEG
bertujuan untuk meningkatkan kualitas manajemen ekonomi, memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi, dan pengurangan kemiskinan. AIPEG akan memperkuat kemampuan
Pemerintah dalam hal kebijakan, koordinasi perumusan, dan implementasi anggaran nasional,
serta kinerja ekonomi makro.
Kerjasama dengan AIPEG adalah kelanjutan dari kerjasama dengan Technical Assistance Management
Facility (TAMF) pada tahun 2009. BPPK merintis kerjasama dengan AIPEG sejak tahun 2010 dalam
bentuk technical assisstance yang didanai oleh AusAid. Pada tahun 2010, BPPK telah mendapatkan
approval untuk technical assisstance di bidang “redefinisi organizational culture” dari organisasi BPPK.
Melalui kerangka Aus Aid, Australia setiap tahunnya memberikan lebih dari 300 beasiswa untuk
warga Indonesia melanjutkan pendidikan pasca sarjana di Australia.
(1) Australian Development Scholarships (ADS) dengan nilai bantuan: A$ 40 juta dalam kurun waktu:
2009-2010 - fase III ;
(2) Australian Leadership Awards dengan nilai Bantuan: 150 beasiswa pertahun di seluruh Asia
Pasifik dan dalam kurun waktu: 2007-2011;
(3) Beasiswa Kemitraan Australia dengan nilai Bantuan: A$ 66 juta dalam kurun waktu: 2005-2010.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 269
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
268
12.7.1.6. Nederland Education Support Office
NESO didirikan pada tahun 1952 sebagai suatu lembaga independen yang berbasis di Den Haag.
NESO mendukung internasionalisasi pendidikan tinggi di Belanda dan luar negeri dan membantu
meningkatkan akses ke pendidikan tinggi di seluruh dunia. NESO memainkan peran penting dalam
mengembangkan kerjasama internasional dalam pendidikan tinggi antara Belanda dan negara
lainnya. Peran NESO di Indonesia adalah sebagai fasilitator perguruan tinggi dan membawa lembaga
akademik Belanda dan Indonesia bersama-sama untuk pertukaran informasi dan dukungan teknis.
Selain itu, NESO juga bertujuan untuk mempromosikan Belanda dan sistem pendidikannya untuk
calon mahasiswa Indonesia.
BPPK merintis kerjasama dengan NESO sejak tahun 2010. Bantuan yang diberikan NESO melalui
framework for the bilateral relations between the Netherlands government with Indonesia telah
dituangkan di dalam the Multi-Annual Strategic Plan 2008-2011 (MASP) untuk peningkatan kapasitas
policy maker di Indonesia. Program yang dilakukan dalam bentuk pemberian short course mengenai
tailor made training in instructional design untuk pejabat/ pegawai/widyaiswara dengan output yang
terukur dan dampak yang berkesinambungan. Program ini bekerjasama dengan Vrije Universiteit
Amsterdam dan diimplementasikan pada tahun 2011.
12.7.1.7. ASEAN Secretariat
Kerjasama dilakukan melalui pemberian bantuan tenaga pengajar dari ASEAN Secretariat untuk
membantu diklat Diplomasi Ekonomi yang diselenggarakan BPPK. Kerjasama ini telah dilaksanakan di
tahun 2010 yang dikoordinasikan oleh Sekretariat BPPK dan diselenggarakan oleh Pusdiklat Keuangan
Umum. Representatif ASEAN Secretariat membawakan materi tentang ASEAN Free Trade Area (AFTA).
12.7.1.8. Japan International Cooperation Agency
Program kerjasama Kementerian Keuangan yang dilaksanakan oleh BPPK dengan JICA dikelola oleh
Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia, (PSDM). Bentuk kerjasama yang diberikan adalah
Program Beasiswa S2/S3 yang dikenal dengan Proyek Pengembangan Sumber Manusia (PPSDM)
atau Professional Human Resources Development Project (PHRDP) yang telah dilaksanakan dalam tiga
fase. PHRDP Fase I dan II telah dilaksanakan pada periode 1990-1998 dan 1995-2003. Sedangkan
PHRDP Fase III berlangsung dari tahun 2006-2013.
Tabel 12.2.
Pelaksanaan Professional Human resources Development Project
Proyek Tahun Sumber Dana Alumni (orang)
TotalPhD Master Reguler Master Linkage Master Domestic
PHRDP Fase I 1990 s.d. 1998 OECF, IBRD I37 739 - 44 820*
PHRDP Fase II 1995 s.d. 2003 OECF II, IBRD II, ADB
PHRDP Fase III 2006 s.d. 2013 JBIC/JICA - 50 51 101 202*** Jumlah Fase I dan II ** Per 31 Desember 2010Sumber: BPPK.
PHRDP Fase III dengan sumber dana pinjaman luar negeri dari Pemerintah Jepang (JBIC/JICA) telah
dilaksanakan sejak tahun 2006. Sampai dengan akhir tahun 2010, Pusdiklat PSDM telah melaksanakan
seleksi penerimaan sebanyak 5 kali yang tidak hanya diikuti oleh pegawai Kementerian Keuangan,
tetapi juga pegawai yang berasal dari:
(1) Kementerian Perindustrian;
(2) Kementerian Perdagangan;
(3) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian;
(4) Badan Koordinasi Penanaman Modal;
(5) Pemerintah Daerah Nangro Aceh Darussalam; dan
(6) Universitas Syah Kuala Aceh.
Program pendidikan pascasarjana yang dikelola oleh Pusdiklat PSDM untuk dana JICA terdiri dari
Program Gelar dan Program Nongelar. Program Nongelar adalah program pelatihan (shortcourse) di
Jepang, sedangkan Program Gelar terdiri dari:
(1) Program Doktor Luar Negeri;
(2) Program Master Luar Negeri;
(3) Program Master Linkage (tahun pertama di Indonesia dan tahun kedua di Jepang); serta
(4) Program Master Dalam Negeri.
Tabel 12.3. Realisasi peserta penerima Program Beasiswa S2/S3 untuk PHRDP Fase III
Program Target (orang)
Realisasi (orang)
% Realisasi
Sedang Studi Alumni Sedang Predep.
Training
Program Gelar
Doktor Luar Negeri 6 6 100 4 - 2
Master Luar Negeri 161 159 99 73 50 36
Master Linkage 132 144 109 63 51 30
Master Dalam Negeri 300 216 72 115 101
Jumlah program gelar (1) 599 525 88 255 202
Shortcourse (2) 140 117 84 - 117
Jumlah (1) +(2) 739 642 87 255 319 68
Sumber: BPPK
Terkait dengan target-target yang belum tercapai, berdasarkan rencana penerimaan Program
Beasiswa S2/S3 dan potensi peserta seleksi sampai dengan tahun 2012, diprediksi target tersebut
akan terpenuhi pada tahun 2012.
Program Doktoral Luar Negeri dilaksanakan di Hiroshima University dan Ritsumeikan Asia Pasific
University. Sedangkan untuk program Master Luar Negeri dilaksanakan di:
(1) Hiroshima University;(2) Hitotsubashi University;(3) International University of Japan (IUJ);(4) Nagaoka University of Technology;(5) Nagoya University;(6) Ritsumeikan-Asia Pasific University (Rits-APU);(7) Takushoku University;(8) Tokyo International University;(9) Tsukuba University;(10) Waseda University;(11) Yokohama National University;(12) Ritsumeikan University; dan
(13) Meiji University.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 271
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
270
Untuk Program Master Linkage dilaksanakan di universitas yang berada di Indonesia dan di Jepang.
Universitas di Indonesia yang dipilih adalah Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan
Universitas Brawijaya. Sedangkan Universitas di Jepang yang dipilih dalam program ini adalah
Hiroshima University, International University of Japan, Kobe University, National Graduate Institute for
Policy Studies (GRIPS), Ritsumeikan University, Takushoku University, dan Yokohama National University.
Untuk Program Master Dalam Negeri, beberapa universitas di Indonesia yang dilibatkan adalah:
(1) Universitas Indonesia;
(2) Universitas Gadjah Mada;
(3) Institut Teknologi Bandung;
(4) Universitas Padjadjaran;
(5) Universitas Brawijaya;
(6) Universitas Airlangga; dan
(7) Institut Pertanian Bogor.
12.7.1.9. World Bank
Pada tahun 2010, BPPK mendapat loan dari World Bank untuk program beasiswa yang akan dimulai
pada tahun 2011-2017. Program ini disebut dengan Scholarship Program for Strengthening the
Reforming Institutions (SPIRIT). BPPK, dalam hal ini Pusdiklat PSDM adalah Project Implementing Unit
(PIU) khusus untuk pegawai Kementerian Keuangan, sedangkan Pusat Pembinaan, Pendidikan dan
Pelatihan Perencana (Pusbindiklaren) Bappenas adalah PIU untuk Bappenas yang membawahi 10
Kementerian/Lembaga, yaitu:
(1) Bappenas;
(2) Kementerian Dalam Negeri;
(3) Kementerian Luar Negeri;
(4) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
(5) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM);
(6) Kementerian Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi;
(7) Badan Kepegawaian Negara (BKN);
(8) Lembaga Administrasi Negara (LAN);
(9) Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP); dan
(10) Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Program pendidikan pascasarjana yang dikelola oleh Pusdiklat PSDM untuk dana World Bank terdiri
dari program Doktor, Master Luar Negeri, dan Master Linkage. Jumlah target penerima beasiswa
adalah sebanyak 290 orang. Berdasarkan hasil seleksi penerimaan pada akhir tahun 2010, terdapat
kandidat sebanyak 63 orang (Batch 1 untuk dana World Bank) yang akan mengikuti Predeparture
Training pada semester II tahun 2011.
Tabel 12.4.Target Penerima Scholarship Program for Strengthening the Reforming Institutions
Program Target penerima beasiswa Batch 1 % Realisasi
Program Doktor Luar Negeri 20 3 15%Program Master Luar Negeri 140 34 24%Program Master Linkage 130 26 20%
Jumlah 290 63 22%
Sumber: BPPK.
12.7.2. Capacity Building oleh BKF
Salah satu tugas pokok Badan Kebijakan Fiskal adalah menangani hal-hal yang terkait dengan
kegiatan Kerja Sama Teknik Luar Negeri (KTLN). KTLN adalah suatu kerja sama Pemerintah RI cq.
Kementerian Keuangan dengan mitra luar negeri dalam bentuk bantuan teknik yang dibiayai
dengan grant/hibah luar negeri. Kegiatan KTLN yang dilaksanakan sepanjang tahun 2010 dapat
digolongkan menjadi kelompok kegiatan, yaitu: capacity Building dengan grant/ hibah, technical
assistance, dan misi asing.
12.7.2.1. Capacity Building dengan grant
Berdasarkan jenis programnya, pengiriman pegawai Kementerian Keuangan ke luar negeri
dibedakan atas program degree dan non-degree. Program degree terdiri atas program Master (S2)
dan program Doktoral (S3), sedangkan program non-degree meliputi (1) Seminar; (2) Conference/
Meeting/Symposium; (3) Kursus/Workshop/Training; (4) Studi Banding; dan (4) Lain-lain meliputi
Staff Placement, Working Group, Exchange Program, Capacity Building, Secondment Program, Diskusi,
Narasumber, dan menerima penghargaan (Tabel 12.5).
Tabel 12.5. Peserta Program capacity Building dengan Hibah Tahun 2010
JENIS PROGRAM 2010Degree 58a. S2 44b. S3 14Non-Degree 496Seminar 17Conference/Meeting/Symposium 47Kursus/Workshop/Training 314Studi Banding 62Lain-lain 56TOTAL 554
12.7.2.2. Technical Assistance
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan pengurusan tenaga ahli luar negeri (expert)
tersebut meliputi pengajuan permintaan/penempatan expert dan/atau perpanjangan tugas
expert yang ditugaskan di Kementerian Keuangan kepada Sekretariat Negara (Setneg), termasuk
pengurusan dokumen-dokumen yang diperlukan. Selama tahun 2010, tercatat 8 orang expert
ditempatkan di unit-unit di lingkungan Kementerian Keuangan (Tabel 12.6).
Tabel 12. 6. Daftar Expert Luar Negeri tahun 2010
No Sponsor Jumlah Instansi Penugasan Keahlian
1 GPF, Australia 2 orang BKF Economic
2 JICA, Jepang 3 orang BKF, DJP, dan DJKN Macroeconomic, Tax, Asset Management
3 IMF 1 orang DJP Tax 4 World Bank 2 orang Bapepam – LK dan Sekretariat Jenderal Social Security
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 273
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
272
12.7.2.3. Misi asing
Kegiatan KTLN lainnya adalah pendampingan misi asing yang mengadakan kunjungan ke
Indonesia. Selama tahun 2010 ini, dari data yang tercatat sementara ini terdapat 12 misi asing yang
mengadakan kunjungan ke Indonesia (Tabel 12.7).
Tabel 12.7. Daftar Misi Asing tahun 2010
No Misi Asing Asal1 KSP (Knowledge Sharing Program) Korea2 IDB (Islamic Development Bank) Jeddah3 APEC Australia4 IDB (Islamic Development Bank) Jeddah5 APEC Australia6 GPF(Government Partnership Fund) Australia
No Misi Asing Asal7 WB (World Bank) AS8 Hitotsubashi University Jepang9 IDB (Islamic Development Bank) Jeddah
10 Misi dari Thailand Thailand11 Misi dari Korea Korea 12 Misi dari India India
Gambar 12.1. Kerangka Kerjasama Internasional Kementerian Keuangan
Financial Service Liberalization Capital Market Development Capital Account Liberalization ASEAN Sub-regional Coorporation ASEAN+3 Coorperation
Bretton Woods
Bank Pembangunan
Forum Multilateral
Asia Pasifik
Asia Eropa
Utara SelatanAsia-Timur Tengah
Isu-isu
Negara
Org.Internasional
WTO
FTA ASEAN
Bapepam-LKDJPDJBCItjenPushaka
Loan
Grant
G20
IDB
IMF
ADB
WB
APEC
ASEM
OECDAMED
Australia, China, Jepang,
IMF (ROSCs)
BPPK
BKF
Multilateral
Antar Kawasan (Interregional)
Kawasan ASEAN
Kebijakan Hubungan
& Kerjasama Internasional
Bilateral
Isu Jasa Keuangan
Kerjasama Organisasi
Capacity Building
12.8. PELUANG DAN TANTANGAN DALAM PENGELOLAAN KERJASAMA KEUANGAN
INTERNASIONAL
12.8.1. Peluang
Kerjasama keuangan internasional merupakan salah satu forum yang dapat dimanfaatkan Indonesia
antara lain untuk:
(1) Meningkatkan profil dan kontribusi Indonesia di berbagai forum kerjasama yang menentukan
arah dan kebijakan ekonomi dunia.
(2) Memperjuangkan kepentingan ekonomi Indonesia sehingga kebijakan ekonomi dunia dapat
selaras dan bermanfaat secara optimal pada ekonomi Indonesia.
(3) Memperluas dan mempererat jaringan kerja (networking) internasional dengan berbagai
stakeholders dunia sehingga dapat membuka berbagai peluang ekonomi yang berimbas pada
perbaikan ekonomi Indonesia.
(4) Meningkatkan kapasitas SDM Kementerian Keuangan dengan berperan aktif dalam mengikuti
berbagai jenis program peningkatan kapasitas dan belajar langsung dari praktek-praktek
terbaik di bidang ekonomi dan keuangan.
12.8.2. Tantangan
Tantangan yang dihadapi dalam kerjasama internasional antara lain adalah:
(1) tuntutan untuk berperan aktif di berbagai forum kerjasama internasional, sehingga selalu
memiliki informasi terkini tentang berbagai ketentuan dan international best practices;
(2) dituntut agar memiliki kemampuan analisis yang memadai agar dapat memberikan masukan
yang tepat kepada jajaran pimpinan terkait kebijakan internasional yang sejalan dengan
kepentingan nasional; serta
(3) dituntut untuk mempunyai kemampuan komunikasi dan negosiasi yang baik dalam berbagai
forum kerjasama dan dialog Internasional.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 275
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
274
13.1. ARAH, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN HUBUNGAN KELEMBAGAAN
Sesuai ketentuan dalam UU No. 17 Tahun 2003, Menteri Keuangan mendapatkan kuasa dari
Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Kuasa yang diberikan Presiden terkait dengan kewenangan
dalam pengelolaan keuangan negara, yaitu sebagai pengelola fiskal, menjadi wakil Pemerintah
dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, dan sebagai pengguna anggaran/barang.
Kebijakan yang ditempuh Kementerian Keuangan sangat terkait dengan tugas Menteri Keuangan
selaku pemegang otoritas fiskal untuk menghasilkan kebijakan yang memberi ruang gerak
bagi peningkatan perekonomian nasional secara berkesinambungan. Kementerian Keuangan
berupaya mengelola kondisi ekonomi nasional serta memformulasikan kebijakan ekonomi demi
terwujudnya stabilitas perekonomian nasional dan mengantisipasi dinamika global. Pengelolaan
kondisi ekonomi nasional dilakukan dengan dukungan reformasi di berbagai bidang, penguatan
dan pengaturan jasa keuangan, perlindungan dana masyarakat, serta peningkatan komunikasi
dengan para pemangku kepentingan.
Pemangku kepentingan dari Kementerian Keuangan mencakup Lembaga Negara, Komisi-Komisi
Negara, Kementerian Negara, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Pemerintah Daerah
(Pemda), asosiasi non Pemerintah, media massa, media asing, dan komunitas internasional. Dalam
merealisasikan tugas sebagai pengelola keuangan dan kekayaan negara, Kementerian Keuangan
terus meningkatkan komunikasi dan mengakomodasi kepentingan pemangku kepentingan
sebagai bentuk pelayanan kepada publik. Sebagaimana tahun sebelumnya, pada tahun 2010,
hubungan kerja yang terjalin di antara Kementerian Keuangan dengan pemangku kepentingannya
terutama berkaitan dengan masalah keuangan dan kekayaan negara. Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) menduduki peringkat pertama dari semua pemangku kepentingan yang melakukan
hubungan kerja dengan Kementerian Keuangan, karena lebih dari 6 bulan dalam setahun dilakukan
hubungan kerja yang intensif.
KEBIJAKAN HUBUNGAN KELEMBAGAANDENGAN INSTANSI PEMERINTAHAN
BAB XIII
Hal tersebut sejalan dengan tugas dari DPR sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu menyetujui atau menolak Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN) yang diajukan oleh Pemerintah.
Bentuk hubungan kerja Kementerian Keuangan dengan para pemangku kepentingannya
antara lain berupa rapat kerja, kunjungan kerja, sosilalisasi, seminar, diskusi, sarasehan, talk
show, konferensi pers, dan pameran yang terkait dengan informasi keuangan negara, kekayaan
negara, kebijakan fiskal, serta kegiatan komplementer lainnya. Dalam melaksanakan hubungan
kerja tersebut, Kementerian Keuangan tetap bersikap profesional dengan berpedoman kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dilandasi dengan semangat Reformasi
Birokrasi. Diutamakan pola hubungan kerja berdasarkan kepentingan kedua belah pihak atau lebih
dan dengan kedudukan yang setara, meskipun dengan kepentingan yang beragam.
13.1.1. Arah Hubungan Kelembagaan
Kementerian Keuangan menjalankan tugas dan fungsinya dengan menerapkan prinsip koordinasi,
integrasi, dan sinkronisasi di dalam lingkungan sendiri maupun dengan lembaga terkait. Prinsip ini
diterapkan oleh Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan cq. Biro Hubungan Masyarakat (Biro
Humas), khususnya dalam melaksanakan peran sebagai unit pelayanan informasi publik di bidang
keuangan dan kekayaan negara, serta pembangun citra positif. Koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi di
antara Kementerian Keuangan dengan lembaga terkait diterapkan oleh Biro Humas melalui pembinaan
hubungan kelembagaan yang dinamis dan harmonis, dengan mengedepankan profesionalisme dan
akuntabilitas, serta membentuk opini publik yang positif.
Kegiatan pembinaan hubungan kelembagaan yang dilakukan antara lain:
(1) memfasilitasi rapat Pimpinan, rapat koordinasi, rapat kerja, rapat pembahasan, rapat dengar
pendapat, rapat konsultasi, dan rapat paripurna;
(2) memberikan layanan informasi dan data publik, serta mengkomunikasikan hal-hal yang terkait
dengan keuangan negara, kekayaan negara, serta kebijakan fiskal dan hasil pelaksanaannya
kepada Lembaga-Lembaga Negara, Komisi-Komisi Negara, Kementerian Negara, Lembaga
Pemerintah Non Kementerian, Pemda, serta media massa dan nirmassa;
(3) memberikan pelayanan dalam kunjungan kerja DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Kementerian Negara, Lembaga Pemerintah non
Kementerian, dan Komisi-Komisi Negara di lingkungan Kementerian Keuangan;
(4) melakukan kerjasama kehumasan dengan humas Pemerintah pusat melalui forum Badan
Koordinasi Kehumasan Pemerintah (Bakohumas), yaitu dengan melaksanakan kegiatan edukasi
publik mengenai keuangan negara, kekayaan negara, dan kebijakan fiskal; serta
(5) mengharmonisasikan tugas kehumasan dengan unit in charge kehumasan pada Unit Eselon I
Kementerian Keuangan.
Dinamisnya hubungan kelembagaan tidak terlepas dari upaya Biro Humas dalam
menindaklanjuti setiap masalah atau program kerja dan kegiatan dengan cepat dan tepat,
meskipun dalam penerapannya dimungkinkan adanya pemangku kepentingan yang merasa
kepentingannya belum terakomodasi.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 277
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
276
13.1.2. Strategi Hubungan Kelembagaan
Sejalan dengan tuntutan keterbukaan informasi publik, strategi hubungan kelembagaan dimulai dari
peningkatan kinerja Biro Humas yang berkaitan dengan pengelolaan citra Kementerian Keuangan.
Beberapa upaya yang telah dilakukan Biro Humas pada tahun 2010 adalah:
(1) memperbaiki sistem informasi kehumasan yang terintegrasi;(2) memperbaharui database pemangku kepentingan internal maupun eksternal;(3) mengenal person in charge kehumasan dari setiap pemangku kepentingan;(4) menyusun laporan program kerja dan kegiatan kehumasan;(5) melakukan evaluasi terhadap program kerja dan kegiatan kehumasan;(6) melakukan update berita melalui website; serta
(7) memberikan pelayanan informasi publik secara optimal.
13.1.3. Kebijakan Hubungan Kelembagaan
Tugas dan fungsi Biro Humas dalam menjalankan hubungan kelembagaan sepanjang tahun 2010
adalah berikut ini.
13.1.3.1. Sebagai Fasilitator
Bentuk kegiatan yang difasilitasi oleh Biro Humas selaku fasilitator dalam hubungan kelembagaan
dengan pemangku kepentingan meliputi:
(1) rapat paripurna, rapat kerja, rapat dengar pendapat, dan rapat konsultasi Pimpinan Kementerian Keuangan dengan DPR atau DPD;
(2) pertemuan Pimpinan Kementerian Keuangan dengan Pimpinan MPR, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Bank Indonesia (BI);
(3) rapat paripurna DPR mengenai Penyampaian RUU, Pemandangan Umum DPR, dan Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum DPR terhadap RUU APBN;
(4) rapat pembahasan terhadap RUU APBN, RUU Perubahan APBN, dan RUU Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN dengan Panitia Anggaran DPR;
(5) rapat Pembicaraan Pendahuluan RAPBN dan Rapat Pembahasan Laporan Semester Pelaksanaan APBN;
(6) rapat Paripurna DPR Pengambilan Keputusan atas RUU APBN, RUU Perubahan APBN, dan RUU Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN;
(7) kunjungan kerja Komisi DPR (khusus Komisi XI yang merupakan pasangan kerja Kementerian Keuangan ke daerah);
(8) rapat dan pertemuan Pimpinan Kementerian Keuangan dengan Pimpinan DPD, Kementerian Negara, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Komisi-Komisi Negara, Pemda dan DPRD;
(9) kunjungan kerja Pemda dan DPRD ke Kementerian Keuangan;(10) komunikasi dua arah antara media massa dengan Pimpinan Kementerian Keuangan dan nara
sumber lainnya;(11) komunikasi dua arah antara media asing dengan Pimpinan Kementerian Keuangan dan nara
sumber lainnya;(12) rapat dan pertemuan Pimpinan Kementerian Keuangan dengan lembaga asing dan komunitas
internasional;(13) rapat Pimpinan Kementerian Keuangan dengan organisasi kemasyarakatan dan organisasi
profesi; serta
(14) pertemuan dengan media asing dalam rangka kunjungan Menteri Keuangan ke luar negeri.
13.1.3.2. Sebagai Administrator
Sebagai administrator dalam hubungan kelembagaan dengan para pemangku kepentingan, pada
tahun 2010, Biro Humas telah melakukan beberapa kegiatan sebagai berikut:
(1) menyampaikan data dan informasi keuangan negara, kekayaan negara, serta kebijakan fiskal
dan hasil pelaksanaannya kepada Lembaga-Lembaga Negara, Kementerian Negara, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Komisi-Komisi Negara, Pemda, dan DPRD;
(2) memberikan layanan informasi keuangan negara, kekayaan negara, serta kebijakan fiskal dan hasil pelaksanaannya kepada masyarakat;
(3) melaksanakan desk information Kementerian Keuangan;(4) memberikan data dan informasi keuangan negara, kekayaan negara, serta kebijakan fiskal dan
hasil pelaksanaannya kepada media massa yang berkaitan dengan pemberitaan; (5) memberikan data dan informasi keuangan negara, kekayaan negara, serta kebijakan fiskal dan
hasil pelaksanaannya kepada media massa yang berkaitan dengan non pemberitaan; (6) merencanakan, membuat design, dan memproduksi bahan publikasi informasi keuangan dan
kekayaan negara, serta kebijakan fiskal dan hasil pelaksanaannya dalam bentuk multimedia, video shooting dan publikasi elektronik lainnya; serta
(7) melakukan updating content portal Kementerian Keuangan mengenai data dan informasi
keuangan negara, kekayaan negara, serta kebijakan fiskal dan hasil pelaksanaannya.
13.1.3.3. Sebagai Edukator
Biro Humas juga merupakan edukator dalam hubungan kelembagaan dengan pemangku
kepentingan. Beberapa kegiatan edukasi yang dilaksanakan pada tahun 2010 adalah sebagai berikut:
(1) diskusi dan dialog dengan DPD dalam rangka mengenal APBN;(2) pembekalan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kementerian Keuangan lulusan Program
Diploma III Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN);(3) kuliah umum pada Universitas Padjajaran;(4) kuliah interaktif mahasiswa Universitas Syah Kuala;(5) kuliah interaktif mahasiswa Universitas Brawijaya;(6) pembekalan CPNS Kementerian Keuangan (lulusan Sarjana Strata 1);(7) Inhouse Training Teknik Presentasi;(8) Inhouse Training Teknik Persuasi;(9) Workshop Peningkatan Kompetensi Kehumasan;(10) pelatihan kompetensi kehumasan di Makassar dan Balikpapan;(11) pelatihan Power Interpersonal Communication Skill; (12) menerima kunjungan studi mahasiswa dari Universitas Padjajaran, Universitas Jayabaya,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Forum Pelajar Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro, dan Sekolah Menengah Atas 5 Tangerang;
(13) APBN Quiz on TV melalui stasiun Televisi Republik Indonesia;(14) Olimpiade APBN; serta
(15) lomba karya tulis bagi wartawan;
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 279
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
278
13.1.3.4. Sebagai Koordinator
Sebagai pelaksana kebijakan hubungan kelembagaan, Biro Humas bertugas sebagai koordinator bagi
unit in charge kehumasan pada setiap Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan. Misalnya
dalam kegiatan press conference, pengembangan materi website, dan pameran di bidang keuangan
negara.
Melalui koordinasi ini diharapkan terwujud harmonisasi dan sinergi dalam menjalankan tugas dan
fungsi kehumasan untuk selanjutnya secara bersama-sama mendukung suksesnya program kerja
dan kegiatan, serta mewujudkan citra Kementerian Keuangan sebagai institusi Pemerintah yang
dipercaya publik.
13.2. UPAYA YANG TELAH DILAKUKAN
Upaya yang dilakukan oleh Biro Humas dalam melaksanakan hubungan kelembagaan sepanjang
tahun 2010, antara lain adalah:
(1) menjembatani komunikasi Unit Eselon I dengan pemangku kepentingan;
(2) mengelola opini publik; dan
(3) membuat strategi komunikasi.
13.2.1 Hubungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat
DPR merupakan pemangku kepentingan dalam peringkat pertama yang diakomodasi
kepentingannya oleh Kementerian Keuangan. Hal ini dikarenakan tugas DPR yang sangat
menentukan dalam menyetujui atau menolak RAPBN yang diajukan oleh Pemerintah. Tugas
Kementerian Keuangan adalah merumuskan kebijakan fiskal yang tercermin dalam penyusunan
APBN. Dalam jangka waktu 1 tahun selama tahun 2010, diperlukan waktu lebih dari 6 bulan oleh
Kementerian Keuangan untuk melakukan hubungan kerja dengan DPR. Hubungan yang dilakukan
berbentuk rapat kerja, rapat konsultasi, rapat dengar pendapat, pertemuan konsultasi, maupun
rapat paripurna dengan Pimpinan, Komisi, dan Fraksi DPR. Terdapat 4 Undang-Undang yang
berhasil ditetapkan pada tahun 2010.
Tabel 13.1. Undang-Undang Yang Disetujui DPR Tahun 2010
No. Nomor Undang-Undang Judul
1. Nomor 1 Tahun 2010 Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2008
2. Nomor 2 Tahun 2010 Perubahan atas UU No. 47 Tahun 2009 tentang APBN Tahun Anggaran 2010
3. Nomor 7 Tahun 2010 Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2009
4. Nomor 10 Tahun 2010 APBN Tahun Anggaran 2011
Sumber: Biro Humas, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
Selain Undang-Undang yang telah ditetapkan, sampai dengan akhir tahun 2010, masih terdapat 8
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang belum selesai dibahas.
Tabel 13.2.Rancangan Undang-Undang Yang Belum Selesai Dibahas Tahun 2010
No. Judul RUU Pengusul Status Keterangan
1. Mata Uang DPR Pembicaraan Tingkat I
Kementerian Keuangan sebagai leader dalam pembahasan
2. Akuntan Publik Pemerintah Pembicaraan Tingkat I
Kementerian Keuangan sebagai leader dalam pembahasan
3. Otoritas Jasa Keuangan Pemerintah Pembicaraan Tingkat I
Kementerian Keuangan sebagai leader dalam pembahasan
4. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
DPR Pembicaraan Tingkat I
Kementerian Keuangan sebagai leader dalam pembahasan
5. Lembaga Keuangan Mikro DPR Pembicaraan Tingkat I
Kementerian Keuangan sebagai leader dalam pembahasan
6. Bantuan Hukum DPR Pembicaraan Tingkat I
Kementerian Keuangan ikut membahas, namun bukan sebagai leader
7. Penanganan Fakir Miskin DPR Pembicaraan Tingkat I
Kementerian Keuangan ikut membahas, namun bukan sebagai leader
8. Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shodaqoh
DPR Pembicaraan Tingkat I
Kementerian Keuangan ikut membahas, namun bukan sebagai leader
Sumber: Biro Humas, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
13.2.2. Hubungan dengan Lembaga non DPR
Selain dengan DPR, pada tahun 2010, Kementerian Keuangan juga melakukan hubungan
kelembagaan dengan:
(1) DPD;
(2) BPK;
(3) Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK);
(4) Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat;
(5) Kementerian Luar Negeri;
(6) Kementerian Kelautan;
(7) Kementerian Pemuda dan Olahraga;
(8) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional;
(9) Bank Indonesia;
(10) Lembaga Pertahanan Nasional;
(11) Lembaga Administrasi Negara;
(12) Badan Pusat Statistik;
(13) Mabes Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut;
(14) Kepolisian Republik Indonesia;
(15) Pemda; dan
(16) DPRD.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 281
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
280
13.3. PELUANG DAN TANTANGAN
Peluang dan tantangan merupakan hal yang juga dipertimbangkan oleh Biro Humas dalam
melaksanakan hubungan kelembagaan dengan pemangku kepentingan Kementerian Keuangan.
13.3.1. Peluang
Beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Biro Humas dalam menunjang hubungan
kelembagaan selama tahun 2010 adalah citra Kementerian Keuangan sebagai intitusi negara yang
dapat dipercaya, program komunikasi publik Reformasi Birokrasi, dan hubungan harmonis dengan
para pemangku kepentingan.
13.3.1.1. citra Kementerian Keuangan
Dengan kasus perpajakan pada tahun 2010, Kementerian Keuangan terus berupaya mempertahankan
citranya sebagai intitusi negara yang dapat dipercaya, yaitu dengan membangun opini publik yang
positif terhadap kinerja pelaksanaan tugas, fungsi, dan output. Dengan demikian, citra Kementerian
Keuangan terbentuk bukan semata-mata karena kepentingan para pemangku kepentingan. Kasus
perpajakan merupakan permasalahan yang disebabkan oleh perilaku menyimpang pegawai
tertentu dan bukan karena sistem yang ada. Namun, upaya pembenahan dan pengawasan sistem
perpajakan terus dilakukan, antara lain dengan dibentuknya Komite Pengawasan Perpajakan
pada tahun 2008 dan menerbitkan PMK No. 133/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Komite Pengawas Perpajakan. Upaya lainnya adalah Kementerian Keuangan secara
simbolis mencanangkan penerapan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah dengan tujuan mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Output yang dihasilkan berorientasi kepada kepentingan rakyat dan dapat meningkatkan citra
Kementerian Keuangan.
13.3.1.2. Program Komunikasi Publik Reformasi Birokrasi
Kementerian Keuangan terus berusaha mengawal Reformasi Birokrasi yang diinisiasi melalui KMK
No. 30/KMK.01/2007 tentang Reformasi Birokrasi di Lingkungan Kementerian Keuangan. Program
Reformasi Birokrasi merupakan peluang yang sangat besar bagi pembentukan citra Kementerian
Keuangan. Melalui Program Komunikasi Publik Reformasi Birokrasi, Biro Humas telah melakukan
berbagai kegiatan.
Tabel 13.3.Kegiatan dalam Program Komunikasi Publik Reformasi Birokrasi Tahun 2010
No. Kegiatan Nama Media Keterangan
1. Artikel di Media Massa
64 Tahun Hari Keuangan Reformasi Birokrasi Jalan Terus
Kompas 26 Oktober 2010
Sisteen Prefential Free Tax Services Jakarta Globe 25 Oktober 2010Bertambah SOP Layanan Unggulan Kementerian Keuangan
Suara Pembaruan 27 Oktober 2010
2. Radio, TV, dan Web Insert
Progress Reformasi Birokrasi Radio Elshinta FM 2 Desember 2010Progress Reformasi Birokrasi Radio Republik
Indonesia Pro 3 FM4 Desember 2010
Progress Reformasi Birokrasi Metro TV 6 Desember 20103. Survei
Opini Publik
Survei Opini Stakeholder Responden 8 (delapan) Unit Eselon I, kecuali BPPK, DJPU, dan Itjen.
Sumber: Biro Humas, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
13.3.1.3. Hubungan Harmonis dengan Pemangku Kepentingan
Posisi yang sejajar dengan mengesampingkan prinsip superioritas dan tanpa memaksakan
kepentingan tetap diperhatikan oleh Kementerian Keuangan dalam melaksanakan hubungan
kelembagaan dengan pemangku kepentingan. Dengan demikian, hubungan kerja yang harmonis
dapat tetap terjalin, meskipun Kementerian Keuangan tidak berada dalam posisi sebagai pihak yang
membutuhkan. Sebagai contoh adalah hubungan kelembagaan dengan Humas Pemerintah dalam
forum Bakohumas. Melalui Bakohumas, setiap Kementerian Negara dan Lembaga Pemerintah Non
Kementerian dapat menginformasikan kebijakannya dan mengedukasi Kementerian Negara dan
Lembaga Pemerintah Non Kementerian lainnya, serta masyarakat. Pada tahun 2010, Biro Humas
telah mewakili Kementerian Keuangan dalam kegiatan Bakohumas Pemerintah.
Tabel 13.4. Kegiatan Bakohumas Pemerintah Tahun 2010
No. Tema Kegiatan Penyelenggara
1. Kebijakan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi dan Resi Gudang Kementerian Perdagangan
2. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Badan Narkotika Nasional 3. Kewajiban Penggunaan Helm Standar Nasional Indonesia bagi Pengendara Sepeda
MotorBadan Standar Nasional
4. Informasi Kebijakan tentang Pengembangan Kluster Industri Petrokimia, Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit, dan Revitalisasi Industri Pupuk dan Industri Gula
Kementerian Perindustrian
5. Kesiapan Keterbukaan Informasi Publik, Internet Sehat, dan Sensus Penduduk 2010 Kementerian Kominfo 6. Defence Image Building Kementerian Pertahanan 7. Sensus Penduduk 2010 untuk Indonesia yang Berkualitas Badan Pusat Statistik 8. UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
KeluargaBadan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
9. Strategi Penurunan Emisi Sektor Kehutanan dan Indo Green Foresty Expo II 2010 Kementerian Kehutanan 10. Peningkatan Transparansi melalui Implementasi UU No. 14 tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi PublikBadan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
11. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia oleh Pemerintah melalui Program Goverment to Goverment
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan tenaga Kerja Indonesia
12. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Mendukung atau Menghambat Investasi
Kementerian Lingkungan Hidup
13. Reformulasi Pelayanan Informasi Pendidikan Nasional melalui Portal Layanan Prima Pendidikan Nasional
Kementerian Pendidikan Nasional
14. Rancangan Undang-Undang Komponen Cadang Kementerian Pertahanan15. Kredit Usaha Rakyat dan Gerakan Masyarakat Sadar Koperasi Kementerian Koperasi dan UKM16. Program Quick Wins Polisi Republik Indonesia pada Rencana Strategi Tahap II Tahun
2010-2014Kepolisian Republik Indonesia
17. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal
18. Kunjungan Lapangan ke Pulau Peucang di Taman Nasional Ujung Kulon Kementerian Kehutanan19. Program Jaminan Sosial Penyandang Cacat Berat Kementerian Sosial20. Seminar Nasional Dimensi Penduduk dan Pembangunan Berkelanjutan Badan Pusat Statistik21. Pembangunan Karakter Bangsa melalui Gerakan Nasional Cinta Museum Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata22. Kerukunan Beragama dalam Menciptakan Kerukunan Kementerian Agama23. Implementasi Piagam ASEAN menuju Pembentukan Komunitas ASEAN 2015 Kementerian Luar Negeri24 UU No. 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2011Kementerian Keuangan
Sumber: Biro Humas, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 283
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
282
13.3.2. Tantangan
Kementerian Keuangan terus memperhatikan dan berupaya melakukan kajian terhadap tantangan-
tantangan berikut ini yang dimungkinkan dapat berdampak kepada hubungan kelembagaan.
13.3.2.1. Koordinasi dengan Unit Internal dan Eksternal
Masalah koordinasi merupakan tantangan, karena berkaitan dengan tujuan dari program kerja dan
kegiatan. Selain koordinasi yang bersifat formal, Kementerian Keuangan juga melakukan koordinasi
informal dengan unit internal dan eksternal, dengan tetap memperhatikan prinsip akuntabilitas.
Pertimbangan dilakukannya komunikasi dan koordinasi informal karena dapat membantu
percepatan terealisasi koordinasi formal yang kadang membutuhkan waktu yang tidak sebentar
dan melalui birokrasi yang panjang.
13.3.2.2. Sumber Daya Manusia dan Budaya Kerja
Pada tahun 2010, Kementerian Keuangan telah melakukan rekruitmen terhadap lulusan Program
Diploma STAN serta Sarjana Strata 1 dan 2. Meningkatnya jumlah SDM Kementerian Keuangan
merupakan tantangan, karena perlu diimbangi dengan kualitas yang dapat mendukung tugas
fungsi dan kepentingan Kementerian Keuangan. Sejak awal perlu diperkenalkan dan ditanamkan
budaya kerja di Kementerian Keuangan, selain perlu diupayakan pendidikan dan pelatihan
yang dapat meningkatkan kualitas SDM, sehingga kepentingan Kementerian Keuangan dapat
dikomunikasikan dengan pemangku kepentingan secara lebih cermat dan tepat.
13.3.2.3. Infrastruktur (Sarana dan Prasarana)
Portal Kementerian Keuangan sebagai salah satu media komunikasi resmi Kementerian Keuangan
telah mengalami beberapa pengembangan, terutama terkait dengan kedinamisan konten. Untuk
tahun 2010, Biro Humas sebagai pengelola portal Kementerian Keuangan telah melakukan beberapa
penajaman fitur-fitur di portal tersebut. Sebagai contoh yaitu fitur news portal Kementerian Keuangan
sudah dapat diupdate minimal 8 berita dalam 1 hari. Selain itu, dilakukan penambahan infrastruktur
yang dapat mendukung hubungan kelembagaan Kementerian Keuangan, seperti pengadaan Light
Emmited Diode (LED) Display. Dengan penambahan infrastruktur dimaksud, diharapkan kebijakan
Kementerian Keuangan dapat terpublikasikan dan menjangkau khalayak yang lebih luas. Untuk
itu, telah dilakukan kerjasama dengan semua Unit Eselon I Kementerian Keuangan untuk bersama-
sama memanfaatkan dan ikut mengawasi informasi publik yang disampaikan.
13.3.2.4. Perencanaan Hubungan Kelembagaan
Tantangan lainnya adalah mengkondisikan hubungan kelembagaan antara Kementerian Keuangan
dengan pemangku kepentingannya agar tetap ideal. Dengan tingginya dinamika hubungan
kelembagaan, maka terkadang perlu dilakukan hubungan kelembagaan yang sebelumnya tidak
direncanakan. Untuk itu, perlu disusun term of reference yang fleksibel, efisien, efektif, dan akuntabel,
yang dapat menjadi bahan pertimbangan disetujuinya kegiatan dan anggaran yang diusulkan.
13.4. PROYEKSI TAHUN 2011
Terdapat beberapa kegiatan hubungan kelembagaan berikut ini yang perlu direalisasikan pada
tahun 2011.
(1) Pembahasan RUU di bidang keuangan negara yang termasuk dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) tahun 2011.
Tabel 13.5. Daftar Rancangan Undang-Undang di Bidang Keuangan Negara Tahun 2011
No. Judul Rancangan Undang-Undang Keterangan
1. Mata Uang RUU luncuran tahun 2010
2. Akuntan Publik RUU luncuran tahun 2010
3. Otoritas Jasa Keuangan RUU luncuran tahun 2010
4. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial RUU luncuran tahun 2010
5. Lembaga Keuangan Mikro RUU luncuran tahun 2010
7. Penanganan Fakir Miskin RUU luncuran tahun 2010
8. Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shodaqoh RUU luncuran tahun 2010
9. Jaring Pengaman Sistem Keuangan Tahun 2011
10. Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Tahun 2011
11. Pengurusan Piutang Negara dan Daerah (Perubahan UU No. 49/PRP/1960 tentang PUPN) Tahun 2011
12. Perubahan UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia Tahun 2011
13. Perubahan atas UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Tahun 2011
14. Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Tahun 2011
15. Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Tahun 2011
16. APBN Tahun Anggaran 2010 Tahun 2011
Sumber: Biro Humas, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
(2) Pelaksanaan kegiatan kehumasan melalui forum Bakohumas Pemerintah terkait dengan peraturan
perundang-undangan dan/atau kebijakan di bidang keuangan dan kekayaan negara.
(3) Kegiatan edukasi publik terkait dengan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan yang terdiri dari:
i. kuliah umum bagi mahasiswa program pascasarjana dan civitas akademika Institut Pertanian
Bogor (IPB) dan Fiscal Mini Expo;
ii. kuliah umum pada Dies Natalis Universitas Negeri Semarang;
iii. kuliah umum bagi mahasiswa dan civitas akademika Universitas Sam Ratulangi (Unsrat);
iv. kuliah umum bagi mahasiswa dan civitas akademika Universitas Sumatera Utara (USU);
v. kunjungan studi Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi
Universitas Atmajaya Yogyakarta;
vi. kunjungan studi mahasiswa Fakultas Ekonomi Politeknik Negeri Malang;
vii. kunjungan studi mahasiswa Universitas Budi Luhur;
viii. kunjungan studi mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Padjajaran (Unpad);
ix. kunjungan studi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Unpad;
x. kunjungan pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) Pelita Harapan; serta
xi. pameran infrastruktur Asia.
(4) Memaksimalkan saluran komunikasi yang dimiliki untuk mensosialisasikan tugas dan fungsi
Kementerian Keuangan.
(5) Redesain portal Kementerian Keuangan.
(6) Penambahan 1 (satu) unit LED Display.
Terampil Dan Profesional
Menciptakan Aparatur Negara Yang Cakap, Profesional, Dan Berintegritas Tinggi
COMPETENT
Creating Capable, Professional, And High Integrity State Apparatus
Competent And Professional
TerAMPIL
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 287
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
286
14.1. ARAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN KAPASITAS SUMBER DAYA
MANUSIA
Untuk mewujudkan kePemerintahan yang baik diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur
yang memiliki kompetensi dalam penyelenggaraan negara, termasuk di bidang keuangan negara.
Kompetensi perlu dimiliki dalam rangka peningkatan profesionalisme, pengabdian, kesetiaan
kepada perjuangan bangsa, semangat kesatuan dan persatuan, dan pengembangan wawasan.
Pengembangan kapasitas PNS di lingkungan Kementerian Keuangan ditempuh melalui pendidikan
dan pelatihan (diklat) yang mengacu pada kompetensi jabatan dan merupakan bagian dari
pembinaan PNS secara menyeluruh.
Aparatur negara yang profesional dan berintegritas tinggi memerlukan sistem penempatan/
pengembangan yang berbasis kompetensi serta pola karier yang jelas dan terukur. Oleh karena itu,
perumusan strategi dan kebijakan SDM diarahkan pada bidang pengelolaan dan pengembangan
kapasitas SDM.
14.1.1. Arah Kebijakan Pengelolaan SDM
Arah kebijakan Kementerian Keuangan di bidang Pengelolaan SDM adalah:
(1) pengadaan pegawai sesuai dengan kebutuhan unit kerja, sehingga tercipta dukungan SDM
yang cukup dari segi kualitas dan kuantitas;
(2) menyelenggarakan assessment center untuk menyediakan profil Pejabat Eselon II dan III dalam
rangka mendukung mutasi/promosi pejabat;
(3) penataan pegawai untuk mewujudkan kesesuaian jumlah, komposisi, dan kompetensi pegawai
dan kebutuhan organisasi;
(4) pengembangan sistem informasi manajemen kepegawaian yang terintegrasi dalam rangka
pengelolaan data dan informasi SDM;
(5) penyelesaian administrasi kepegawaian secara tepat waktu; serta
(6) penegakan disiplin pegawai.
KEBIJAKAN SUMBER DAYA MANUSIA
BAB XIV
14.1.2. Arah Kebijakan Pengembangan Kapasitas SDM
Arah kebijakan Kementerian Keuangan di bidang Pengembangan SDM meliputi:
(1) tersedianya data kebutuhan diklat yang mutakhir;
(2) terselenggaranya program diklat yang sesuai dengan kebutuhan;
(3) terbukanya kesempatan pengembangan kompetensi diri (hard skill maupun soft skill) bagi
seluruh pegawai dengan program yang tersedia di unit penyelenggara diklat Kementerian
Keuangan;
(4) terwujudnya kualitas pelayanan prima dalam diklat;
(5) terselenggaranya evaluasi diklat yang menyeluruh dan berkelanjutan;
(6) tersedianya rekomendasi diklat yang konstruktif dan komprehensif.
14.2. UPAYA-UPAYA YANG TELAH DILAKUKAN
Perubahan paradigma kepegawaian di Kementerian Keuangan telah dimulai pada akhir tahun 2006
yang ditandai dengan kajian mengenai penajaman fungsi Biro Kepegawaian sebagai unit yang
melaksanakan pengelolaan dan pembinaan kepegawaian. Kajian meliputi perbaikan mekanisme
kerja dan desain struktur organisasi untuk mengoptimalisasikan fungsi perencanaan dan perekrutan
SDM, pembangunan pola mutasi, pembangunan system assessment center, pembangunan sistem
informasi kepegawaian yang terintegrasi, peningkatan akuntabilitas, dan peningkatan koordinasi
serta kolaborasi dengan unit pembina kepegawaian dan unit teknis terkait.
Prinsip manajemen SDM yang diterapkan adalah peningkatan kualitas, penempatan SDM yang
kompeten pada tempat dan waktu yang sesuai, sistem pola karir yang jelas dan terukur, pengelolaan
SDM berbasis kompetensi, serta keakuratan dan kecepatan penyajian informasi SDM sesuai dengan
kebutuhan manajemen. Program manajemen SDM berbasis kompetensi dilaksanakan melalui
pembangunan assessment center, penyusunan pola mutasi, pendidikan berbasis kompetensi,
peningkatan disiplin, dan pengintegrasian Sistem Informasi Managemen Kepegawaian (SIMPEG).
Dalam hal pengembangan kapasitas SDM, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK)
merupakan Unit Eselon I yang bertanggung jawab atas pengembangan kapasitas SDM Kementerian
Keuangan. Upaya-upaya yang telah dilakukan BPPK pada tahun 2010 adalah berikut ini.
14.2.1. Peningkatan Kapasitas Pengajar Diklat
Untuk meningkatkan kapasitas pengajar diklat, BPPK melakukan perekrutan widyaiswara berbasis
kompetensi dan pengembangan kompetensi widyaiswara secara terencana berdasarkan profil dari
masing-masing widyaiswara. Selain widyaiswara, pengajar diklat di BPPK merupakan para praktisi
yang berasal dari unit teknis serta para profesional di bidangnya.
14.2.2. Penyempurnaan Program Diklat
BPPK senantiasa melakukan penyempurnaan diklat klasikal yang meliputi penyempurnaan
metodologi pembelajaran, penyempurnaan kurikulum sesuai kebutuhan pengguna serta updating
modul/bahan ajar.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 289
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
288
14.2.3. Pemanfaatan TIK dalam Kediklatan
Dalam pengembangan diklat jarak jauh, BPPK telah mengembangkan e-learning sebagai upaya
pengembangan diklat dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
14.2.4. Pelayanan Prima
Untuk mewujudkan pelayanan prima, BPPK telah mengidentifikasi “11 Moment of Truth” (11 Momen
Prima) dalam penyelenggaraan diklat yang mampu menciptakan kepuasan bagi peserta diklat
sebagai publik/user, yaitu:
(1) setiap peserta memperoleh program diklat yang mutakhir sesuai dengan kebutuhan
kompetensi unit peserta;
(2) setiap peserta memperoleh informasi awal yang jelas dan lengkap mengenai diklat;
(3) setiap peserta diklat memperoleh penyambutan yang ramah dan bersahabat dari pegawai
BPPK dalam lingkungan yang bersih dan nyaman;
(4) setiap peserta diklat memperoleh penyambutan di ruang kelas oleh penyelenggara dan
didukung oleh ruang kelas yang siap pakai dan kondusif;
(5) setiap peserta memperoleh penyelenggaraan diklat yang dikemas secara inovatif dan kreatif
serta tepat waktu sesuai dengan jadwal;
(6) setiap peserta diklat memperoleh materi kurikulum dan bahan ajar yang unggul dan
berkualitas sesuai kebutuhan kompetensi dengan waktu yang efektif, pengajar yang
kompeten serta penyelenggara yang professional;
(7) setiap peserta diklat memperoleh sajian konsumsi dan snack yang sehat, seimbang dan
higienis;
(8) setiap peserta diklat memperoleh fasilitas pendukung yang baik;
(9) setiap peserta diklat memperoleh penyelenggaraan ujian yang berkualitas dan berintegritas;
(10) setiap peserta memperoleh pengumuman hasil diklat dan sertifikat diklat sesuai janji layanan;
serta
(11) setiap peserta memperoleh informasi mengenai saluran komunikasi yang dapat digunakan
untuk menyampaikan pertanyaan, kritik, maupun saran terhadap penyelenggaraan diklat
dan memperoleh respon yang cepat.
14.2.5. Peningkatan Kualitas Sarana dan Prasarana
Sebagai upaya meningkatkan pelayanan bagi peserta diklat, BPPK telah melakukan perbaikan/
pembangunan sarana dan prasarana diklat, seperti ruang kelas, asrama, ruang makan, serta
sarana dan prasarana pendukung lainnya untuk memberikan pelayanan prima pada setiap
penyelenggaraan diklat.
14.2.6. Penguatan Kerjasama Kediklatan
Untuk menambah jejaring dan meningkatkan kapasitas SDM di bidang keuangan negara, BPPK
melakukan kerjasama dengan lembaga nasional dan internasional. Di dalam negeri, BPPK menjalin
kerjasama dengan K/L, Pemda, dan Perguruan Tinggi. Sedangkan di tingkat internasional, BPPK
antara lain menjalin hubungan dengan Technical Assistance Management Facility (AIPEG) dan Global
Development Learning Network (GDLN).
14.2.7. Penerbitan Jurnal dan Kajian Ilmiah
Dalam rangka mengembangkan kajian ilmiah di bidang keuangan publik dan akuntansi Pemerintah
serta pengembangan SDM, pada tahun 2010, BPPK menerbitkan jurnal ilmiah yang diberi nama
Jurnal BPPK.
14.2.8. Penerbitan Seri Pedoman Manajemen Diklat
Sebagai standar acuan bagi setiap Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) serta Balai Diklat
Keuangan (BDK) untuk memberikan pelayanan yang maksimal bagi pengguna jasa, BPPK
telah menerbitkan 13 seri pedoman manajemen diklat yang dapat digunakan sebagai dasar
penyelenggaraan diklat.
14.2.9. Peningkatan Koordinasi dengan Unit Pengguna
BPPK melakukan “Harmonisasi Kegiatan Capacity Building bagi SDM Kementerian Keuangan”
untuk koordinasi antara BPPK sebagai unit pengelola diklat dengan seluruh Unit Eselon I sebagai
pengguna diklat dalam hal perencanaan kegiatan capacity building SDM di masing-masing Unit
Eselon I. Kegiatan harmonisasi ini dilaksanakan pada tiap akhir tahun dan tahun 2010 merupakan
tahun yang kedua.
14.3. PENGEMBANGAN KAPASITAS SDM YANG DISELENGGARAKAN BPPK
Selama tahun 2010, BPPK telah mendidik dan melatih 37.880 orang yang terdiri dari 30.426 SDM
Kementerian Keuangan dan 7.454 mahasiswa STAN (CPNS Kementerian Keuangan).
14.3.1. Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan
Diklat Prajabatan adalah diklat yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan dalam rangka
pembentukan wawasan kebangsaan, kepribadian, dan etika PNS, di samping pengetahuan
dasar tentang sistem penyelenggaraan Pemerintahan serta bidang tugas dan budaya organisasi,
sehingga mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Diklat Prajabatan
merupakan syarat pengangkatan calon PNS untuk menjadi PNS. Pada tahun 2010, Diklat Prajabatan
Golongan II diikuti oleh 2.912 CPNS Kementerian Keuangan yang diselenggarakan di Pusdiklat
Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) dan seluruh BDK. Sedangkan Diklat Prajabatan
Golongan III diikuti pleh 232 CPNS Kementerian Keuangan yang diselenggarakan di Pusdiklat PSDM
dan BDK Cimahi.
14.3.2. Pendidikan dan Pelatihan dalam Jabatan
Diklat dalam jabatan adalah dikat yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap PNS agar dapat melaksanakan tugas Pemerintahan dan pembangunan
dengan sebaik-baiknya. Terdapat 6 jenis diklat dalam jabatan, yaitu:
(1) Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (Diklatpim);
(2) Diklat Fungsional (DF);
(3) Diklat Teknis (DT);
(4) Diklat Ujian Dinas (DUD);
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 291
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
290
(5) Diklat Penyesuaian Ijazah;
(6) Diklat Penyegaran;
(7) Seminar, Workshop, Diskusi, dan Sarasehan;
(8) Ujian Sertifikasi; dan
(9) Placement Test TOEFL Preparation.
Diklat dalam jabatan dilaksanakan oleh 6 Pusdiklat di lingkungan BPPK, yaitu:
(1) Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia;
(2) Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan;
(3) Pusdiklat Bea dan Cukai;
(4) Pusdiklat Pajak;
(5) Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan; serta
(6) Pusdiklat Keuangan Umum.
Selain dilaksanakan oleh Pusdiklat, diklat-diklat tersebut juga dilaksanakan oleh BDK yang berada di
11 Propinsi di seluruh Indonesia, yaitu: BDK Medan, BDK Pekanbaru, BDK Palembang, BDK Cimahi,
BDK Yogyakarta, BDK Malang, BDK Denpasar, BDK Pontianak, BDK Balikpapan, BDK Makassar, dan
BDK Manado.
14.3.3. Pendidikan Tinggi Kedinasan
Pendidikan Tinggi Kedinasan (PTK) terdiri dari akademi, politeknik, dan sekolah tinggi yang
diselenggarakan oleh departemen atau lembaga Pemerintah non departemen yang kualifikasinya
belum dipenuhi oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau Perguruan Tinggi Swasta (PTS). PTK di
Kementerian Keuangan diselenggarakan oleh STAN.
STAN menyelenggarakan program pendidikan untuk menghasilkan SDM di bidang keuangan
negara dengan spesialisasi tertentu yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan,
serta keahlian profesional dalam memenuhi kebutuhan pegawai dan mencetak kader pengelola
keuangan negara di Kementerian Keuangan. Sejak 1 Januari 2009, status pengelolaan keuangan
STAN berubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU) sesuai dengan KMK No. 71/KMK.05/2008
tanggal 31 Maret 2008. Perubahan status ditujukan agar STAN dapat memberikan pelayanan yang
lebih prima kepada para stakeholder yang meliputi mahasiswa dan instansi pengguna.
Penyelenggaraan program pendidikan tinggi kedinasan tidak hanya diselenggarakan di kampus
STAN, tetapi juga diselenggarakan di beberapa BDK, khususnya untuk program Diploma I Keuangan
Spesialisasi Kepabeanan dan Cukai. Adapun balai diklat keuangan yang menyelenggarakan
program Diploma I tersebut adalah BDK Medan, BDK Pekanbaru, BDK Palembang, BDK Cimahi, BDK
Yogyakarta, BDK Malang, BDK Denpasar, BDK Pontianak, BDK Balikpapan, dan BDK Makassar.
Pada tahun 2010, total jumlah mahasiswa yang mengikuti Program PTK yang dilaksanakan oleh
STAN sebanyak 7.454 orang, dengan rincian:
(1) Program Diploma I Keuangan Spesialisasi Kepabeanan dan Cukai sebanyak 724 mahasiswa;
(2) Program Diploma III Keuangan Spesialisasi: Kebendaharaan Negara/ Anggaran, Perpajakan,
Penilai/Pajak Bumi dan Bangunan, Bea dan Cukai/ Kepabeanan dan Cukai, Akuntansi,
Kepiutanglelangan/Pengurusan Piutang dan Lelang Negara (PPLN) sebanyak 5.967 mahasiswa;
(3) Program Diploma III Kurikulum Khusus: Akuntansi dan Perpajakan sebanyak 371 mahasiswa;
serta
(4) Program Diploma IV Keuangan Akuntansi sebanyak 392 mahasiswa.
Tabel 14.1.Pengembangan Kapasitas SDM yang Diselenggarakan oleh BPPK Tahun 2010
No. Jenis Diklat Jumlah Peserta
1. Diklat Pengembangan Sumber Daya Manusia 9.844
2. Diklat Anggaran dan Perbendaharaan 4.930
3. Diklat Pajak 5.859
4. Diklat Bea dan Cukai 3.815
5. Diklat Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan 946
6. Diklat Keuangan Umum 5.032
7. Pendidikan Program Diploma Sekolah Tinggi Akuntansi Negara 7.454
TOTAL 37.880
Sumber: Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, LAKIP 2010
14.4. PENGEMBANGAN KAPASITAS SDM YANG DISELENGGARAKAN OLEH UNIT ESELON I
DI LUAR BPPK
Unit Eselon I lain di Kementerian Keuangan juga melaksanakan pengembangan kapasitas
pegawainya. Selain dikarenakan kebutuhan diklat yang sangat tinggi dan melampaui kapasitas
BPPK, penyebab lainnya adalah kebutuhan yang sangat spesifik bagi unit yang bersangkutan dan
merupakan kebutuhan yang mendesak sesuai tugas pokok dan fungsinya. Diklat yang dilaksanakan
berupa pelatihan teknis, in-house training, dan diklat fungsional.
Tabel 14.2.Pengembangan Kapasitas SDM yang Diselenggarakan oleh Unit Eselon I Kementerian Keuangan Tahun 2010
Unit Eselon I Jenis Diklat Jumlah Peserta
Sekretariat Jenderal 39 691 orang
Direktorat Jenderal Anggaran 127 1099 orang
Direktorat Jenderal Pajak 174 18430 orang
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai 26 873 orang
Direktorat Jenderal Perbendaharaan 67 2886 orang
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara 35 1026 orang
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan 30 302 orang
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang 22 856 orang
Inspektorat Jenderal 27 672 orang
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan 171 1231 orang
Badan Kebijakan Fiskal 35 435 orang
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan 9 320 orang
Sumber: Masing-masing Unit Eselon I Kementerian Keuangan.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 293
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
292
15.1. RENcANA STRATEGIS 2010-2014
Kementerian Keuangan telah melaksanakan ketentuan pasal 19 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dengan menetapkan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 40/KMK.01/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun
2010-2014. Renstra disusun dengan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010-2014.
Pendekatan penganggaran yang digunakan Kementerian Keuangan adalah Kerangka Pengeluaran
Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework). Berarti bahwa kebijakan dan pengambilan
keputusan dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan
implikasi biaya pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju. Selain itu, telah
dilaksanakan pula restrukturisasi program dan kegiatan, di mana setiap Unit Eselon I bertanggung
jawab untuk satu program dan setiap Unit Eselon II bertanggung jawab untuk satu kegiatan.
15.1.1. Arah Kebijakan Kementerian Keuangan 2010-2014
Arah kebijakan dan strategi Kementerian Keuangan merupakan pedoman dalam penyusunan
sasaran strategis dan program APBN yang dikelompokkan ke dalam 6 tema, yaitu pendapatan
Negara, belanja Negara, perbendaharaan Negara, pembiayaan APBN, kekayaan negara, serta pasar
modal dan lembaga keuangan non bank.
Arah kebijakan di bidang pendapatan negara adalah:
(1) optimalisasi pendapatan negara;
(2) peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat;
(3) mewujudkan keadilan dan perlindungan masyarakat; serta
(4) perbaikan citra layanan publik dalam rangka peningkatan pendapatan.
PELAKSANAAN TUGAS KEMENTERIAN KEUANGAN SEBAGAI KEMENTERIAN/LEMBAGA
BAB XV
Dalam rangka pencapaian arah kebijakan di bidang pendapatan negara, telah dilaksanakan strategi
di bidang perpajakan, kepabeanan dan Cukai, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Kebijakan di bidang belanja negara dalam 5 tahun ke depan diarahkan untuk mendukung stimulasi
perekonomian dari sisi fiskal yang mendorong pro growth, pro job, dan pro poor (triple track strategy).
Kebijakan ini dilaksanakan secara konsisten, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
evaluasi sampai dengan pengawasan.
Arah kebijakan di bidang perbendaharaan negara meliputi:
(1) efisiensi dan akurasi pelaksanaan belanja negara;
(2) optimalisasi pengelolaan kas;
(3) optimalisasi pengembalian dana investasi dan pembiayaan lainnya;
(4) peningkatan pelayanan masyarakat melalui penyempurnaan pengelolaan Badan Layanan
Umum (BLU);
(5) peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara; serta
(6) penerapan sistem perbendaharaan yang handal, terintegrasi, dan modern.
Arah kebijakan di bidang pembiayaan APBN adalah:
(1) penurunan stok utang terhadap PDB secara bertahap dan berkelanjutan;
(2) peningkatan diversifikasi instrumen pembiayaan melalui utang, termasuk menciptakan sumber-
sumber pembiayaan alternatif;
(3) pengelolaan portofolio utang untuk mencapai struktur yang optimal guna meminimalkan biaya
utang pada tingkat risiko yang semakin terkendali;
(4) pengembangan pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid untuk mengoptimalkan pendanaan
utang dari pasar domestik; serta
(5) peningkatan koordinasi dan komunikasi dengan berbagai pihak dalam rangka meningkatkan
sovereign credit rating.
Arah kebijakan di bidang pengelolaan kekayaan negara meliputi:
(1) peningkatan daya guna dan hasil guna pengelolaan kekayaan negara, dan penilaian kekayaan
negara untuk menentukan nilai ekonomi (existing value) serta nilai potensial (potential value)
kekayaan negara; serta
(2) pengamanan kekayaan negara secara administratif, hukum, dan fisik, sehingga keberadaan
aset dalam keadaan utuh, tidak rusak, tidak hilang, dan dapat dipergunakan serta dapat
dipertanggungjawabkan melalui sertifikasi nasional atas tanah dan bangunan milik negara.
Arah kebijakan di bidang pasar modal dan lembaga keuangan non bank adalah:
(1) terwujudnya regulator pasar modal dan lembaga keuangan yang amanah dan profesional;
(2) terwujudnya pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai sumber pendanaan yang
mudah diakses, efisien, dan kompetitif;
(3) terwujudnya pasar modal sebagai sarana investasi yang kondusif dan atraktif serta pengelolaan
risiko yang handal;
(4) terwujudnya industri yang stabil, tahan uji, dan likuid;
(5) tersedianya kerangka regulasi yang menjamin kepastian hukum, adil, dan transparan; serta
(6) tersedianya infrastruktur yang kredibel, dapat diandalkan, dan berstandar internasional.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 295
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
294
Kementerian Keuangan sebagai pelopor Reformasi Birokrasi telah melakukan banyak perubahan
aspek kerja. Dalam melaksanakan Reformasi Birokrasi, telah ditetapkan arah kebijakan yang terbagi
dalam 3 bidang, yaitu:
(1) bidang organisasi dan ketatalaksanaan;
(2) bidang pengelolaan SDM; serta
(3) bidang informasi dan teknologi keuangan.
Arah kebijakan di bidang organisasi dan ketatalaksanaan diarahkan pada terwujudnya organisasi
yang dinamis, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, perkembangan kebijakan keuangan negara,
dan dinamika administrasi publik. Dengan berorientasi pada aspirasi publik, organisasi Kementerian
Keuangan tidak bersifat massive dan senantiasa melakukan self reinventing sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Penataan terus dilakukan untuk mewujudkan organisasi birokrasi yang peka terhadap
tuntutan pelayanan dan menghasilkan kebijakan yang adil dan rasional.
Arah kebijakan di bidang pengelolaan SDM adalah:
(1) pengadaan pegawai sesuai kebutuhan unit, sehingga tercipta dukungan SDM yang cukup dari
segi kualitas dan kuantitas bagi unit kerja;
(2) assessment center untuk menyediakan profil pejabat Eselon II dan III di lingkungan Kementerian
Keuangan dalam rangka mendukung mutasi/promosi pejabat;
(3) penataan pegawai guna mewujudkan kesesuaian antara jumlah, komposisi, dan kompetensi
pegawai, serta kebutuhan organisasi;
(4) pengembangan Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian yang terintegrasi dalam rangka
pengelolaan data dan informasi SDM;
(5) penyelesaian administrasi kepegawaian secara tepat waktu; serta
(6) penegakan disiplin pegawai.
Arah kebijakan di bidang informasi dan teknologi keuangan ditekankan pada aspek integrasi
sumber daya informasi yang mencakup infrastruktur, sistem aplikasi, serta SDM pengelola teknologi
informasi dan komunikasi (TIK). Untuk mencapai tingkat integrasi yang diinginkan, Kementerian
Keuangan telah mengembangkan TIK pada tata kelola, sistem aplikasi, dan infrastruktur.
15.1.2. Program dan Kegiatan Prioritas
Berdasarkan visi, misi, tujuan, sasaran, dan kebijakan yang telah ditetapkan, serta dengan mengacu
kepada RPJM Nasional Tahun 2010-2014, Kementerian Keuangan menetapkan 12 program dengan
sejumlah kegiatan prioritas/pokok.
Tabel 15.1.Program Kementerian Keuangan Tahun 2010
No. Program Tujuan1. Perumusan Kebijakan Fiskal Mewujudkan kebijakan fiskal yang sustainable dengan beban
risiko fiskal yang terukur dalam rangka stabilisasi dan mendorong pertumbuhan perekonomian.
2. Peningkatan dan Pengamanan Penerimaan Pajak
Peningkatan penerimaan pajak yang optimal.
Tabel 15.1 (lanjutan)No. Program Tujuan3. Pengawasan, Pelayanan
dan Penerimaan di Bidang Kepabeanan dan Cukai
a. Menciptakan administrator kepabeanan dan Cukai yang memberikan fasilitasi kepada industri.
b. Perdagangan, perlindungan masyarakat, dan optimalisasi penerimaan.
c. Mewujudkan profesionalisme SDM kepabeanan dan Cukai.d. Mewujudkan pelayanan yang efisien dan pengawasan yang efektif.
4. Pengelolaan Anggaran Negara
Terlaksananya fungsi penganggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kebijakan Pemerintah.
5. Peningkatan Pengelolaan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
a. Peningkatan efektifitas dan efisiensi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah.
b. Terciptanya tata kelola yang tertib sesuai peraturan perundang-undangan, transparan, kredibel, akuntabel, dan profesional dalam pelaksanaan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
6. Pengelolaan Perbendaharaan Negara
Meningkatkan pengelolaan perbendaharaan negara secara profesional, transparan, dan akuntabel sesuai dengan ketentuan.
7. Pengelolaan dan Pembiayaan Utang
a. Mengoptimalkan pengelolaan SBN dan pinjaman untuk mengamankan pembiayaan APBN.
b. Mendukung pengembangan pasar keuangan dalam rangka meningkatkan kapasitas daya serap dan efisiensi pasar.
8. Pengelolaan Kekayaan Negara, Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara dan Pelayanan Lelang
Terselenggaranya pengelolaan kekayaan negara, penyelesaian pengurusan piutang negara, dan pelayanan lelang yang profesional, tertib, tepat guna, dan optimal, serta mampu membangun citra baik bagi stakeholder.
9. Pengaturan, Pembinaan, dan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank
a. Terwujudnya Bapepam-LK sebagai lembaga yang memegang teguh prinsip transparansi, akuntabilitas, independensi dan integritas.
b. Terwujudnya industri pasar modal dan jasa keuangan non bank sebagai penggerak perekonomian nasional dan berdaya saing global.
10. Pengembangan SDM Keuangan dan Kekayaan Negara yang Profesional Melalui Pendidikan dan Pelatihan
a. Meningkatkan pemahaman masyarakat dan pelaku ekonomi akan penyelenggaraan pengelolaan keuangan negara.
b. Meningkatkan pemahaman masyarakat dan pelaku ekonomi akan fungsi Kementerian Keuangan.
c. Mengembangkan SDM yang berintegritas dan berkompetensi tinggi.
11. Pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas Aparatur Kementerian Keuangan
Terwujudnya pengawasan yang memberi nilai tambah melalui peningkatan efektivitas proses manajemen risiko, pengendalian, dan tata kelola serta peningkatan akuntabilitas aparatur.
12. Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Kementerian Keuangan
a. Terwujudnya tata kelola yang baik dan kualitas layanan dan dukungan yang tinggi pada semua Eselon I.
b. Tingkat kepercayaan stakeholders (internal dan eksternal) yang tinggi.
Sumber: Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
Dalam melaksanakan program-program tersebut, terdapat beberapa fokus prioritas berikut ini.
(1) Fokus Prioritas 1: Perumusan kebijakan fiskal, pengelolaan pembiayaan anggaran, dan pengendalian resiko, dengan kegiatan prioritas:i. perumusan kebijakan APBN;ii. pengelolaan risiko fiskal dan sektor keuangan;iii. perumusan kebijakan ekonomi;iv. perumusan kebijakan pajak, kepabeanan, Cukai, dan PNBP;v. penyusunan Rancangan APBN;vi. pengelolaan pinjaman;vii. pengelolaan Surat Utang Negara (SUN);viii. pengelolaan pembiayaan Syariah;ix. pengelolaan strategi dan portofolio utang; sertax. pelaksanaan evaluasi, akuntansi, dan settlement utang.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 297
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
296
(2) Fokus Prioritas 2: Peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara, dengan kegiatan prioritas:i. pengelolaan PNBP dan subsidi;ii. peningkatan efektivitas pemeriksaan dan optimalisasi pelaksanaan penagihan;iii. perumusan kebijakan di bidang PPN, PBB, BPHTB, KUP, PPSP, dan Bea Materai;iv. perumusan kebijakan di bidang PPh dan perjanjian kerjasama perpajakan internasional;v. peningkatan kualitas pelayanan serta efektivitas penyuluhan dan kehumasan;vi. perencanaan, pengembangan, dan evaluasi di bidang teknologi, komunikasi, dan informasi
perpajakan;vii. pelaksanaan reformasi proses bisnis;viii. pengelolaan data dan dokumen perpajakan;ix. perumusan kebijakan dan peningkatan pengelolaan penerimaan bea dan Cukai;x. perumusan kebijakan dan pengembangan teknologi informasi kepabeanan dan Cukai;xi. perumusan kebijakan dan bimbingan teknis bidang kepabeanan;xii. perumusan kebijakan dan bimbingan teknis fasilitas bidang kepabeanan;xiii. pelaksanaan pengawasan dan penindakan atas pelanggaran peraturan perundangan serta
intelijen dan penyidikan tindak pidana kepabeanan dan Cukai; sertaxiv. peningkatan pengawasan dan pelayanan kepabeanan dan Cukai di daerah.
(3) Fokus Prioritas 3: Peningkatan ketahanan dan daya saing sektor keuangan, dengan kegiatan prioritas:i. perumusan peraturan, penetapan sanksi, dan pemberian bantuan hukum;ii. riset pasar modal dan lembaga keuangan non bank serta pengembangan teknologi informasi;iii. pemeriksaan dan penyidikan di bidang pasar modal;iv. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan bidang pengelolaan investasi;v. pengaturan, pembinaan dan pengawasan bidang transaksi, dan lembaga efek;vi. penelaahan dan pemantauan perusahaan emiten dan perusahaan publik sektor jasa;vii. penelaahan dan pemantauan perusahaan emiten dan perusahaan publik sektor riil;viii. pengaturan dan pengawasan di bidang lembaga pembiayaan dan penjaminan;ix. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan bidang perasuransian; serta
x. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan bidang dana pensiun;
15.2. RENcANA KERJA KEMENTERIAN KEUANGAN 2010
Kementerian Keuangan menyusun rancangan anggaran setiap tahunnya dengan mengacu pada
dokumen perencanaan yang lebih tinggi, seperti RPJM, Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan
Renstra K/L. Berdasarkan dokumen-dokumen tersebut, telah disusun dokumen perencanaan
tahunan, yaitu Rencana Kerja (Renja) 2010. Renja menjadi dokumen anggaran yang dituangkan
dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) yang selanjutnya menjadi
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
Reformasi sistem penganggaran telah dilakukan di dalam dokumen perencanaan Kementerian
Keuangan yang meliputi Penganggaran Berbasis Kinerja/Performance Based Budgeting (PBK/PBB)
dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah/Medium Term Expenditure Framework (KPJM/MTEF).
Dalam Renstra 2010-2014 telah dilakukan restrukturisasi program dan kegiatan sebagai salah satu
langkah penerapan PBB dan pencantuman angka perkiraan anggaran jangka menengah sebagai
salah satu langkah penerapan MTEF.
Penerapan MTEF dimaksudkan untuk meningkatkan disiplin fiskal, yaitu dengan mencantumkan
angka perkiraan kebutuhan anggaran untuk tahun anggaran 2010 sampai dengan 2014 dengan
menggunakan tahun 2009 sebagai dasar. Restrukturisasi program dan kegiatan dimaksudkan untuk
meningkatkan akuntabilitas kinerja dan keuangan, yaitu dengan menerapkan 1 program untuk 1 Unit
Eselon I dan 1 kegiatan untuk 1 Unit Eselon II. Proses penyusunan Renja 2010 yang dilakukan pada
semester I tahun 2009 menyebabkan Renja Tahun 2010 masih menggunakan program dan kegiatan
versi lama, karena proses restrukturisasi program dan kegiatan baru dilaksanakan di awal tahun 2010.
Di dalam Renja 2010 terdapat 13 program sebagai berikut:
(1) Peningkatan Penerimaan dan Pengamanan Keuangan Negara;
(2) Peningkatan Efektifitas Pengeluaran Negara;
(3) Pengelolaan dan Pembiayaan Utang;
(4) Pemantapan Pelaksanaan Sistem Penganggaran;
(5) Pengelolaan dan Pembiayaan Utang;
(6) Pembinaan Akuntansi Keuangan Negara;
(7) Stabilisasi Ekonomi dan Sektor Keuangan;
(8) Pengembangan Kelembagaan Keuangan;
(9) Penerapan KePemerintahan Yang Baik;
(10) Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur Negara;
(11) Pendidikan Tinggi;
(12) Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur; serta
(13) Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara.
15.2.1. Arah Kebijakan Tahun 2010
Arah kebijakan Kementerian Keuangan yang tertuang dalam dokumen RKP dan Renja Tahun 2010
terbagi menjadi dua, yaitu bidang pengelolaan APBN yang berkelanjutan dan bidang ketahanan
sektor keuangan.
Kebijakan pengelolaan APBN pada tahun 2010 diarahkan untuk memberikan dorongan terhadap
perekonomian, dengan tetap menjaga konsolidasi fiskal. Keberlanjutan ketahanan fiskal diupayakan
melalui penurunan stok utang Pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dengan meningkatkan
penerimaan negara yang terutama berasal dari perpajakan, serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi
belanja negara melalui penerapan anggaran berbasis kinerja.
Pada bidang ketahanan sektor keuangan, arah kebijakan yang terkait dengan stabilitas ekonomi
adalah meningkatkan ketahanan sektor keuangan melalui:
(1) pemantapan koordinasi kebijakan fiskal, moneter, sektor riil, serta pasar modal dan lembaga keuangan,
termasuk kerjasama dengan otoritas pasar modal dan lembaga jasa keuangan di negara lain;
(2) penerapan standar internasional untuk pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan
dan pengembangan sistem peringatan dini sektor keuangan;
(3) perkuatan kualitas manajemen dan operasional lembaga jasa keuangan dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan kemudahan bertransaksi serta pelaporan di bidang pasar modal/
lembaga jasa keuangan; dan
(4) perkuatan perlindungan bagi konsumen/investor lembaga jasa keuangan termasuk pemantapan
koordinasi penegakan hukum di bidang pasar modal dan lembaga jasa keuangan
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 299
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
298
15.3. ALOKASI ANGGARAN DAN REALISASI BELANJA TAHUN 2010
Kementerian Keuangan setiap tahunnya menyusun rencana anggaran untuk menjalankan tugas
pokok dan fungsinya selaku pengguna anggaran/ pengguna barang. Penyusunan anggaran
dilakukan berdasarkan usulan dari unit-unit kerja di lingkungan Kementerian Keuangan. Pada tahun
2010, alokasi anggaran yang dikelola oleh Kementerian Keuangan adalah sebesar Rp15.391 miliar
yang dapat diklasifikasikan berdasarkan sumber dana dan jenis belanja.
15.3.1. Alokasi dan Realisasi Anggaran Berdasarkan Sumber Dana
Alokasi anggaran Kementerian Keuangan dibagi dalam 3 sumber dana, yaitu Rupiah Murni yang
terdiri dari Rupiah Murni dan Rupiah Murni Pendamping, Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN)
yang terdiri dari Loan dan Grant, dan PNBP yang terdiri dari PNBP murni dan PNBP BLU. Porsi rupiah
murni mendominasi sumber pendanaan Kementerian Keuangan. Hal itu sejalan dengan komitmen
Pemerintah untuk meningkatkan kemandirian pembangunan dengan mengurangi ketergantungan
terhadap pinjaman dan hibah luar negeri.
Tabel 15.2.Alokasi dan Realisasi Anggaran Kementerian Keuangan Tahun 2010
Berdasarkan Sumber Dana (Ribuan Rupiah)
No.
Unit Eselon I
Rupiah Murni PHLN
Pagu Realisasi % Pagu
1 SETJEN 6.079.246.352 5.468.850.659 89,96 34.451.405
2 ITJEN 94.609.000 88.167.012 93,19 2.455.077
3 DJA 101.648.599 94.870.847 93,33 869.470
4 DJP 3.638.388.051 2.996.300.607 82,35 239.662.205
5 DJBC 1.963.695.497 1.576.892.710 80,30 52.296.241
6 DJPK 118.934.395 105.753.464 88,92 6.190.378
7 DJPU 218.191.511 184.086.998 84,37 -
8 Ditjen Perbendaharaan 1.381.295.028 1.240.016.404 89,77 86.056.681
9 DJKN 630.610.593 496.544.125 78,74 -
10 BAPEPAM LK 161.886.721 144.949.115 89,54 5.520.000
11 BPPK 372.478.977 315.077.207 84,59 74.833.844
12 BKF 117.583.333 104.377.738 88,77 10.960.84
TOTAL 14.878.568.057 12.815.886.884 86,14 513.296.141 PRESENTASE 96,67
Sumber: Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
15.3.2. Alokasi Anggaran Berdasarkan Jenis Belanja
Alokasi penganggaran berdasarkan jenis belanja dikelompokkan menjadi belanja pegawai, belanja
barang, dan belanja modal. Belanja pegawai dialokasikan untuk membiayai kompensasi dalam
bentuk uang dan barang yang diberikan kepada pegawai Pemerintah yang bertugas di dalam dan
di luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan yang meliputi gaji pokok,
tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, honorarium, dan vakasi. Belanja barang dimaksudkan untuk
membiayai pengeluaran atas pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi
barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan. Pengalokasian anggaran untuk
belanja barang mengacu pada standar biaya yang telah ditetapkan. Jenis belanja modal dialokasikan
untuk membiayai pengeluaran dalam rangka pembentukan modal yang menambah aset dengan
kewajiban menyediakan biaya pemeliharaan.
PHLN Jumlah
Realisasi % Pagu Realisasi %
6.087.506 17,67 6.113.697.757 5.474.938.165 89,55
1.821.051 74,17 97.064.077 89.988.063 92,71
616.387 70,89 102.518.069 95.487.235 93,14
0 0,00 3.878.050.256 2.996.300.607 77,26
49.764.696 95,16 2.015.991.738 1.626.657.406 80,69
0 0,00 125.124.773 105.753.464 84,52
0 0,00 218.191.511 184.086.998 84,37
22.056.529 25,63 1.467.351.709 1.262.072.933 86,01
0 0,00 630.610.593 496.544.125 78,74
842.719 15,27 167.406.721 145.791.833 87,09
52.576.068 70,26 447.312.821 367.653.274 82,19
5.325.822 48,59 128.544.173 109.703.560 85,34
139.090.779 27,10 15.391.864.198 12.954.977.663 84,173,33 100
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 301
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
300
Tabel 15.3.Alokasi dan Realisasi Anggaran Kementerian Keuangan Tahun 2010
Berdasarkan Jenis Belanja (Ribuan Rupiah)
No. Unit Eselon I Belanja Pegawai Belanja Barang
Pagu Realisasi % Pagu1 SETJEN 5.151.508.959 4.777.024.866 92,73 511.514.455
2 ITJEN 23.000.000 21.705.541 94,37 64.691.342
3 DJA 36.057.218 35.170.309 97,54 58.789.841
4 DJP 1.230.963.284 1.226.814.761 99,66 1.958.308.123
5 DJBC 459.821.818 414.828.169 90,21 968.315.925
6 DJPK 18.084.284 15.719.807 86,93 79.170.737
7 DJPU 13.452.491 12.858.850 95,59 52.471.910
8 Ditjen Perbendaharaan 442.981.942 434.145.170 98,01 673.790.221
9 DJKN 148.583.159 144.180.403 97,23 362.937.179
10 BAPEPAM LK 38.425.735 35.069.169 91,26 84.379.406
11 BPPK 45.398.302 41.628.607 91,70 242.687.628
12 BKF 18.590.656 18.323.029 98,56 104.936.792
TOTAL 7.6263567.848 7.177.468.681 94,11 5.161.993.559 PRESENTASE 49,55
Sumber: Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
Kementerian Keuangan sebagai pengguna anggaran harus menyusun dokumen pelaksanaan
anggaran setiap tahun. Dokumen tersebut merupakan panduan dalam merealisasikan belanja
menurut ketiga jenis belanja secara efisien dan efektif. Realisasi belanja pegawai dalam tahun
anggaran 2010 tercatat sebesar 94,11 persen. Realisasi ini meningkat dibandingkan dengan
rata-rata realisasi tahun 2004-2009 sebesar 86,59 persen per tahun. Fakta ini menunjukkan
bahwa kemampuan Kementerian Keuangan dalam merencanakan alokasi belanja pegawai telah
meningkat.
Berbeda dengan belanja pegawai, realisasi belanja barang dalam dalam periode yang sama
diketahui sebesar 76,09 persen. Angka ini turun dari realisasi beberapa tahun sebelumnya yang
rata-rata sebesar 79,86 persen per tahun. Kondisi ini disebabkan penyerapan pagu untuk kegiatan
yang dibiayai dari PHLN relatif rendah sebagai akibat persyaratan yang diberikan oleh negara/
lembaga pemberi pinjaman dalam hal penarikan PHLN cukup rumit dan memerlukan waktu cukup
panjang. Penyebab lainnya adalah penghematan yang dilakukan oleh masing-masing Unit Eselon I.
Realisasi belanja modal relatif stabil, namun cukup rendah, yaitu 71,06 persen. Realisasi ini
meningkat dari rata-rata 67,19 persen per tahun selama kurun waktu 2004-2008. Realisasi belanja
modal yang belum optimal antara lain disebabkan oleh penundaan pembangunan kantor
operasional di berbagai daerah, karena permasalahan pengadaan tanah yang melalui proses yang
memakan waktu lama. Penyebab yang lain adalah penerapan sistem e-procurement yang ternyata
cukup efektif dalam menghemat belanja modal.
Realisasi belanja K/L di akhir tahun telah dievaluasi oleh Direktorat Jenderal Anggaran (DJA). Evaluasi
dilakukan untuk mengklasifikasikan sisa anggaran menjadi hasil optimalisasi, penghematan, atau
tidak dapat dijelaskan. Hasil evaluasi selanjutnya dijadikan sebagai dasar memberikan penghargaan
(reward) atau hukuman (punishment). Reward diberikan apabila hasil optimalisasi lebih besar dari
sisa anggaran yang tidak dapat dijelaskan. Sebaliknya, punishment diberikan jika hasil optimalisasi
lebih kecil dari sisa anggaran yang tidak dapat dijelaskan. Evaluasi terhadap pelaksanaan anggaran
Kementerian Keuangan tahun 2010 menghasilkan keputusan bahwa Kementerian Keuangan
memperoleh reward sebesar Rp 19,4 Miliar Rupiah dalam bentuk tambahan alokasi anggaran tahun
berikutnya.
15.3.3. Pengembangan Sistem Penganggaran
Reformasi keuangan negara sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 17 Tahun 2003 masih terus
dilakukan di tahun 2010. Reformasi tersebut berupa pengembangan sistem penganggaran yang
meliputi penganggaran terpadu (unified budgeting), PBK, dan KPJM. Penganggaran terpadu telah
diterapkan sejak tahun 2005, sedangkan penerapan PBK melalui restrukturisasi program/kegiatan
dan identifikasi output telah dilakukan pada tahun 2009. Pada tahun 2010 dilakukan KPJM dan
penerapan PBK secara penuh.
Belanja Barang Belanja Modal JumlahRealisasi % Pagu Realisasi % Pagu Realisasi %
372.00.709 72,73 450.674.343 325.912.590 72,32 6.113.697.757 5.474.938.165 89,55
59.055.166 91,29 9.372.735 9.227.357 98,45 97.064.077 89.988.063 92,71
52.942.233 90,05 7.671.010 7.374.693 96,14 102.518.069 95.487.235 93,14
1.427.222.820 72,88 688.778.849 342.263.020 49,69 3.878.050.256 2.996.300.601 77,26
765.787.468 79,08 587.853.995 446.041.769 75,88 2.015.991.738 1.626.657.406 80,69
70.326.662 88,83 27.869.752 19.706.995 70,71 125.124.773 105.753.464 84,52
49.964.548 95,22 152.267.110 121.263.599 79,64 218.191.511 184.086.998 84,37
538.068.760 79,86 350.579.546 289.859.003 82,68 1.467.351.709 1.262.072.933 86,01
251.317.364 69,25 119.390.255 101.046.358 84,64 630.610.593 496.544.125 78,74
69.036.435 81,82 44.601.580 41.686.230 93,46 167.406.721 145.791.833 87,09
185.210.313 76,32 159.226.891 140.814.355 88,44 447.312.821 367.653.274 82,19
86.623.599 82,55 5.016.725 4.756.931 94,82 128.544.173 109.703.560 85,34
3.927.556.077 76,09 2.603.302.791 1.849.952.899 71,06 15.391.864.198 12.954.977.657 84,1733,54 16,91 100
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 303
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
302
Gambar 15.1.Pengembangan Sistem Penganggaran Tahun 2004-2010
• UU 17/2003• UU 25/2004
• Anggaran Terpadu
• Restrukturisasi Program/Kegiatan
• Anggaran Berbasis Kinerja
• KPJM
2004 2009
2005 2010
Sumber: Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
15.3.3.1. Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja
Sesuai dengan pasal 3 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 ditetapkan bahwa penyusunan anggaran harus
mengacu pada anggaran berbasis kinerja. Berarti bahwa penyusunan anggaran harus bertitik-tolak
dari keluaran (output) yang ingin dicapai sesuai dengan arahan kebijakan Kementerian Keuangan.
Setelah keluaran ditetapkan sebagai target yang ingin dicapai, maka dialokasikan sejumlah dana
yang diperlukan. Pengalokasian dana mempertimbangkan efisiensi, sehingga target dapat dicapai
dengan optimal. Penerapan ABK ini menuntut perubahan pola pikir, karena sistem anggaran yang
berlaku masih bertitik-tolak pada tersedianya dana (input based) untuk mencapai target tertentu.
Dalam penerapan ABK telah dilakukan restrukturisasi program dan kegiatan. Setiap Unit Eselon I
hanya mempunyai 1 program yang mencerminkan tugas pokoknya disertai dengan tanggung
jawab yang diemban. Pada tataran kegiatan juga dilakukan redefinisi, di mana perumusan kegiatan
dan penanggung jawab mengacu pada tugas pokok Unit Eselon II. Hal lain yang telah dilakukan
adalah perumusan kinerja utama untuk masing-masing Unit Eselon I yang telah diakomodir di
dalam Renja Kementerian Keuangan Tahun 2010.
15.3.3.2. Penyusunan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah
Untuk menerapkan KPJM dengan baik diperlukan kerangka konseptual yang meliputi:
(1) penerapan sistem anggaran bergulir (rolling budget);
(2) penetapan angka dasar (baseline);
(3) penetapan parameter;
(4) adanya mekanisme penyesuaian angka dasar; dan
(5) adanya mekanisme untuk pengajuan usulan dalam rangka tambahan anggaran bagi kebijakan
baru (additional budget for new initiatives).
KPJM yang efektif terdiri atas 3 pendekatan berikut ini.
(1) Pendekatan Top Down dalam menentukan besaran sumber daya anggaran (resource envelope)
yang berperan sebagai batas pendanaan tertinggi (hard budget constraint) bagi setiap institusi/
sektor Pemerintahan.
(2) Pendekatan Bottom-Up dalam melakukan estimasi kebutuhan sumber daya anggaran, baik
kebutuhan di tahun anggaran saat ini maupun dalam jangka menengah, untuk membiayai
kebijakan yang tengah dilakukan saat ini dan terus dilaksanakan beberapa tahun ke depan
sesuai dengan amanat perencanaan yang telah diputuskan.
(3) Kerangka kerja anggaran yang menghasilkan kesesuaian antara kebutuhan dan ketersediaan
sumber daya anggaran dalam jangka menengah.
Implementasi KPJM memberikan perkiraan alokasi anggaran untuk periode 3 tahun ke depan.
Penyusunan anggaran tahun 2011 yang dilakukan pada tahun 2010 memberikan informasi indikasi
kebutuhan anggaran untuk tahun 2012-2014. KPJM membedakan suatu kegiatan menjadi kegiatan
yang on going (berlanjut) dan terminating (tidak berlanjut). Kumpulan kegiatan yang on going akan
dialokasikan menjadi baseline (kebutuhan dasar) anggaran, sedangkan kegiatan baru dikategorikan
sebagai new initiative (usulan baru).
15.4. LAPORAN KEUANGAN
Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 1 Tahun 2004, setiap K/L wajib mempertanggungjawabkan
pelaksanaan anggarannya dalam bentuk Laporan Keuangan (LK). Laporan keuangan tersebut
selanjutnya akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan akan menghasilkan 4 kategori
penilaian, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak
Memberikan Pendapat (Disclaimer) atau Tidak Wajar (Adverse).
LK yang disusun terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, dan Catatan atas Laporan
Keuangan (CaLK). LRA menyajikan informasi tentang pendapatan dan belanja dibandingkan
dengan anggarannya untuk suatu tahun anggaran. Neraca menyajikan informasi tentang posisi
aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu. Adapun CaLK menyajikan informasi tentang
kebijakan fiskal, ekonomi makro, ikhtisar capaian kinerja keuangan, kebijakan akuntansi yang
digunakan, penjelasan pos-pos laporan keuangan, dan informasi penting lainnya yang diperlukan
dalam rangka penyajian yang wajar atas kondisi keuangan kementerian.
Kementerian Keuangan mulai menyusun LK sejak tahun anggaran 2004. LK Kementerian Keuangan
senantiasa dapat diselesaikan tepat waktu, yaitu paling lambat dua bulan setelah berakhirnya
tahun anggaran. Sesuai ketentuan yang berlaku, Menteri Keuangan selaku pengguna anggaran/
pengguna barang telah melengkapi LK dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 305
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
304
LK yang diajukan mencakup pula dua Satuan Kerja (Satker) yang menerapkan pola pengelolaan
keuangan BLU, yaitu Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).
Sesuai dengan ketentuan pasal 55 UU No. 1 Tahun 2004, LK BLU disampaikan sebagai lampiran LK
Kementerian Keuangan. Dalam Ketentuan Peralihan UU No. 17 Tahun 2003 disebutkan bahwa LK
Kementerian Keuangan diperiksa dan diberikan opini oleh BPK mulai Tahun Anggaran 2006.
Opini atas penyajian LK Kementerian Keuangan pada Tahun Anggaran 2006 dan 2007 adalah
Disclaimer. Opini ini mengindikasikan bahwa BPK belum meyakini kewajaran penyajian LK yang
diajukan oleh Kementerian Keuangan. Meskipun demikian, jumlah temuan terus menurun sejalan
dengan upaya-upaya perbaikan yang telah dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Untuk tahun
2008 dan 2009, pemeriksaan atas LK Kementerian Keuangan telah selesai dilakukan oleh BPK dan
hasilnya menunjukkan peningkatan opini dari Disclaimer menjadi WDP. Berdasarkan penilaian BPK,
Laporan Keuangan Kementerian Keuangan tahun 2010 juga memperoleh opini WDP.
LK Kementerian Keuangan disusun dengan menggunakan Sistem Akuntansi Instansi (SAI). Sistem ini
diselenggarakan secara berjenjang, mulai dari tingkat Satker, wilayah, Eselon I, hingga kementerian.
SAI secara substantif terdiri dari Sistem Akuntansi Keuangan (SAK) serta Sistem Informasi Manajemen
dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK BMN). Kedua sistem telah diselenggarakan secara penuh
di Kementerian Keuangan sejak tahun anggaran 2008.
Penerapan SAI di Kementerian Keuangan belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan harapan.
Kendala yang dihadapi adalah belum tersedianya SDM dengan kompetensi yang sesuai dalam
jumlah yang cukup pada setiap Satker. Kendala lainnya adalah PNBP yang belum sepenuhnya
dicatat dan dilaporkan sesuai dengan ketentuan, khususnya pendapatan dari panas bumi. Salah
satu penyebabnya adalah belum lengkapnya petunjuk teknis untuk penyelesaian perhitungan
sampai tahun anggaran 2007. Penyempurnaan juga perlu dilakukan dalam klasifikasi anggaran,
karena belum mencakup seluruh kebutuhan K/L.
Perbaikan di bidang administrasi dan kelembagaan diawali dengan penyusunan peraturan terkait,
seperti akuntansi piutang pajak dan pengaturan rekonsiliasi penerimaan pajak serta pembentukan
Tim Peningkatan Kualitas Laporan Keuangan untuk memberikan asistensi dalam penyusunan
laporan keuangan. Pembinaan penyelenggaraan SAI juga dilakukan dengan disertai pendampingan
pada saat penyusunan LK dari tingkat Satker hingga kementerian. Di samping itu, Inspektorat
Jenderal (Itjen) telah melakukan review secara bersamaan dengan proses penyusunan LK.
Kementerian Keuangan telah berupaya meningkatkan kompetensi SDM akuntansi melalui pelatihan
Program Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah (PPAKP). Selain itu, telah dilakukan pula
inventarisasi dan penilaian terhadap BMN dan koreksi neraca mulai tahun 2007. Kedua kegiatan
telah diselesaikan pada tahun 2010, sehingga Kementerian Keuangan telah memiliki neraca aset
dengan nilai wajar sesuai dengan harga pasar. Penyempurnaan penatausahaan penerimaan
merupakan upaya lainnya yang ditempuh dalam rangka meningkatkan keandalan angka
penerimaan perpajakan maupun PNBP.
15.5. PELAKSANAAN TUGAS KEMENTERIAN KEUANGAN SEBAGAI KEMENTERIAN/ LEMBAGA
Salah satu penunjang penting dalam pelaksanaan tugas Kementerian Keuangan sebagai K/L
adalah penerapan pengadaan barang dan jasa melalui e-procurement. e-Procurement mempunyai
peran yang sangat penting dalam efisiensi belanja negara, karena merupakan transformasi proses
pengadaan barang dan jasa di lingkungan instansi Pemerintah yang lebih transparan dan akuntabel,
serta diharapkan dapat mewujudkan terjadinya efisiensi dalam penggunaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Rata-rata penghematan anggaran yang dapat diperoleh dari pendekatan
e-Procurement dibanding dengan cara konvensional berkisar 23.5 persen. Sedangkan pada HPS
(Harga Penetapan Sendiri) dapat dilakukan penghematan rata-rata 20 persen. Biaya pengumuman
pengadaan dan pengumuman pemenang lelang juga dapat diminimalisir karena menggunakan
pengumuman secara on line yang lebih mudah diakses. Apabila pendekatan pengadaan barang
dan jasa melalui e-Procurement ini diikuti oleh sebagian besar atau seluruh lembaga Pemerintah/
Negara diseluruh Indonesia, maka penghematan anggaran yang dilakukan masing-masing lembaga
Pemerintah/Negara maka akan berdampak besar pada penghematan APBN.
Selama tahun 2010, efisiensi belanja Pemerintah melalui e-Procurement Kementerian Keuangan
mencapai Rp312,34 miliar dari pagu anggaran sebesar Rp2.211,98 miliar.
Tabel 15.4.Tabel Nilai Pagu, Hasil dan Penghematan Lelang 2008-2010
Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010Pagu Lelang 32.541.351.000 1.327.887.896.769 2.211.981.887.226
Nilai Lelang 26.390.964.270 1.087.445.622.080 1.899.638.798.011
Penghematan 6.150.386.730 240.442.274.689 312.343.089.215
Sumber: Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
Bila dirinci lebih lanjut, realisasi kinerja e-Procurement melalui LPSE Kementerian Keuangan
pada tahun 2010 terdiri dari pengadaan untuk belanja modal dan belanja barang di lingkungan
Kementerian Keuangan dan Kementerian/Lembaga yang telah menjadi pengguna sistem LPSE
Kementerian Keuangan adalah sebagai berikut:
Tabel 15.5.Rincian Pengadaan untuk Modal dan Barang Tahun 2010
pada LPSE Kementerian Keuangan
Barang Modal JumlahKementerian Keuangan:
Pagu Lelang 1.047.251.875.739 925.578.617.991 1.972.830.493.730
Nilai Lelang 932.928.208.305 762.543.619.981 1.695.471.828.286
Penghematan 114.323.667.433 163.034.998.010 277.358.665.443
Non Kementerian Keuangan:
Pagu Lelang 60.988.304.607 178.163.088.889 239.151.393.496
Nilai Lelang 56.405.116.554 147.761.853.170 204.166.969.724
Penghematan 4.583.188.053 30.401.235.718 34.984.423.771
Sumber: Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 307
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
306
15.6. SEKRETARIAT PENGADILAN PAJAK
15.6.1. Penyelesaian perkara
Penyelesaian perkara yang melalui Sekretariat Pengadilan Pajak, jumlah permohonan banding/
gugatan pada tahun 2010 tercatat mengalami penurunan, sedangkan jumlah putusan mengalami
peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2009.
Gambar 15.2.Perkembangan Arus Berkas Tahun 2002-2010
8000
6000
4000
2000
0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
16.0
IHSG
Tahun
Perm. Bidang Gugatan
Putusan
Sumber: Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
Dari jumlah sengketa yang harus diselesaikan pada tahun 2010 sebanyak 16.520 berkas, sengketa
pajak yang telah diputus selama tahun 2010 berjumlah 7.054 perkara yang terdiri dari 6.297 banding
dan 757 gugatan. Penyelesaian perkara pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 51,70
persen. Pada tahun 2009 terdapat 4.650 sengketa yang telah diputus, sedangkan pada tahun 2010,
jumlah sengketa yang diselesaikan mencapai 7.054 berkas.
Tabel 15.6.Penyelesaian Sengketa Pajak Tahun 2010
Jenis Sengketa Sisa Tahun 2009
Berkas Baru Tahun 2010 Jumlah Putusan
Tahun 2010 Sisa
Banding 9.262 5.755 15.017 6.297 8.720
Gugatan 561 942 1.503 757 746
Jumlah 9.823 6.697 16.520 7.054**) 9.466
Keterangan: **) Termasuk 40 Keputusan Pencabutan Banding/Gugatan.Sumber: Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
Meskipun jumlah sengketa yang harus diselesaikan lebih besar, namun jumlah sisa berkas pada akhir
tahun 2010 menunjukkan angka yang lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2009. Pada tahun 2009
sisa sengketa yang belum diselesaikan sebanyak 9.823 berkas, sedangkan pada tahun 2010 adalah
9.466. Berarti terjadi penurunan sisa berkas sebesar 3,8 persen.
15.6.2. Permohonan Peninjauan Kembali
Jumlah permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan
Pajak pada tahun 2010 tercatat sebanyak 1.275 berkas. Berarti terjadi kenaikan 43,26 persen jika
dibandingkan dengan tahun 2009 yaitu sebanyak 890 berkas. Peningkatan permohonan Peninjauan
Kembali pada tahun 2010 terutama dipengaruhi oleh peningkatan jumlah permohonan Peninjauan
Kembali yang diajukan oleh DJP.
Gambar 15.3.Peninjauan Kembali Berdasarkan Pemohon Tahun 2002-2010
900
800
700
600
500
400
300
200
100
0
-100
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
16.0
Tahun
WP
Pemda DJBC
Sumber: Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
Permohonan Peninjauan Kembali oleh DJP meningkat 237,35 persen pada tahun 2010, yaitu
mencapai 840 permohonan jika dibandingkan dengan tahun 2009 yang berjumlah 249 permohonan.
Sebaliknya, Peninjauan Kembali oleh Wajib Pajak mengalami penurunan 33,59 persen dari 640
permohonan pada tahun 2009 menjadi 425 permohonan pada tahun 2010. Adapun Peninjauan
Kembali oleh DJBC pada tahun 2010 tercatat sebanyak 10 permohonan.
Tabel 15.7.Penyelesaian Permohonan Peninjauan Kembali Sampai Dengan Tahun 2010
No. Tahun JumlahPermohonan Dikirim ke MA Belum dikirim
ke MADiterima
Putusan dari MABelum diterima
Putusan dari MA
1. s.d. 2005 449 449 - 357 92
2. 2006 205 205 - 138 67
3. 2007 262 262 - 165 97
4. 2008 352 352 - 98 254
5. 2009 890 797 93 109 688
6. 2010 1.275 180 1.095 1 179
Jumlah 3.433 2.245 1.188 951 1.294
Sumber: Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 309
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
308
Kementerian Keuangan senantiasa berupaya mengoptimalkan pengelolaan keuangan negara.
Untuk mewujudkannya, pada tahun 2010 telah dilaksanakan serangkaian kebijakan, program, dan
kegiatan. Upaya ini tidak saja ditempuh untuk mengoptimalkan pengelolaan keuangan negara,
namun sekaligus dalam rangka meningkatkan citra Kementerian Keuangan di tingkat domestik
maupun dalam konstelasi global.
Fondasi dari semua upaya yang dijalankan oleh unit-unit di lingkungan Kementerian Keuangan
adalah Reformasi Birokrasi. Sebagai pelopor reformasi di kalangan instansi Pemerintah, Kementerian
Keuangan secara konsisten sejak tahun 2006 menata struktur organisasi, menyempurnakan proses
bisnis, dan meningkatkan manajemen sumber daya manusia (SDM). Hasilnya dapat dilihat dengan
nyata berupa sejumlah perbaikan, sehingga Reformasi Birokrasi terus dilanjutkan pada tahun 2010
melalui Forum Koordinasi Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan (FKRB) dan Tim Reformasi
Birokrasi Unit (TRBU).
Perbaikan yang terjadi secara signifikan diantaranya adalah peningkatan good governance, kinerja
birokrasi, dan pelayanan publik. Meskipun demikian, masih diperlukan pembenahan melalui
peningkatan profesionalisme dan pemutakhiran teknologi informasi, di samping transformasi
kelembagaan. Transformasi merupakan prasyarat yang dibutuhkan untuk mengembangkan nilai-
nilai dasar organisasi agar dapat memenuhi ekspektasi dan menciptakan kepercayaan publik
terhadap Kementerian Keuangan.
Reformasi Birokrasi telah menjadikan Kementerian Keuangan sebagai institusi yang tangguh dalam
mendorong penguatan indikator-indikator ekonomi makro. Indonesia mencapai pertumbuhan
ekonomi yang relatif tinggi dan stabil dalam beberapa tahun terakhir yang diikuti oleh nilai
tukar rupiah yang cenderung menguat terhadap dollar Amerika Serikat. Sebaliknya, inflasi dapat
dikendalikan pada tingkat yang rendah dan tingkat bunga SBI 3 bulan yang relatif stabil. Meskipun
harga minyak terus meningkat dan lifting minyak belum sesuai harapan, namun neraca pembayaran
Indonesia senantiasa mengalami perbaikan yang direpresentasikan oleh surplus transaksi berjalan,
transaksi modal, dan transaksi keuangan. Selain itu, tingkat pengangguran dan kemiskinan
mengalami penurunan setiap tahun.
Dalam pengelolaan pendapatan negara telah dilakukan reformasi di bidang perpajakan,
kepabeanan dan Cukai, serta PNBP. Upaya tersebut mampu meningkatkan pendapatan negara
yang sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara serta menjaga kemandirian
dan keberlanjutan fiskal. Namun, di sepanjang tahun 2010 masih terdapat beragam peluang yang
belum dimanfaatkan secara optimal maupun tantangan yang masih harus diselesaikan. Di samping
itu, pengawasan dan pengendalian pendapatan negara masih perlu terus ditingkatkan.
Penyempurnaan juga dilakukan untuk memperbaiki kualitas pengelolaan belanja Pemerintah Pusat.
Proses penyusunan dan pengalokasian APBN telah diperbaiki melalui pengenalan, pemantapan,
dan penyempurnaan proses penganggaran. Implementasi tiga pendekatan peganggaran, yaitu
penganggaran terpadu, penganggaran berbasis kinerja, dan kerangka pengeluaran jangka
menengah terus diupayakan secara intensif. Sementara itu, realisasi belanja, tingkat penyerapan
anggaran, serta proses pengadaan barang dan jasa juga terus disempurnakan.
Dengan semakin besarnya dana yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, maka keuangan daerah berperan
penting dalam mendukung pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk itu, formulasi,
alokasi, perhitungan, dan mekanisme transfer dana ke daerah terus diperbaiki agar ketimpangan fiskal
secara vertikal dan horizontal dapat diminimalisir. Aspek penting lainnya adalah pelaksanaan pajak
daerah dan retribusi daerah yang diharapkan dapat memperbaiki kontribusi PAD di dalam APBD dan
kapasitas fiskal daerah serta perbaikan mekanisme pinjaman dan hibah kepada daerah.
Belanja Pemerintah Pusat dan transfer dana ke daerah yang lebih besar jika dibandingkan dengan
penerimaan negara membawa konsekuensi terhadap keseimbangan APBN berupa defisit. Pada
tahun 2010, Kementerian Keuangan telah menjalankan berbagai upaya untuk menangani defisit
anggaran melalui pengelolaan pembiayaan yang bersumber dari utang maupun non utang.
Pengelolaan pembiayaan dari utang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan kas, membiayai
kegiatan prioritas, dan mengelola portofolio utang, sedangkan pembiayaan non utang terkait
dengan penjualan aset. Beberapa inisiatif pendukung pengelolaan utang juga telah dijalankan,
seperti melakukan transaksi langsung SUN di pasar sekunder, akselerasi pembayaran pinjaman
luar negeri, pengelolaan capital inflow, pengaturan mekanisme sukuk project, pengelolaan asset-
liability management, dan pemanfaatan sumber pinjaman dalam negeri. Aspek yang tidak kalah
pentingnya dan telah dijalankan dengan seksama pada tahun 2010 adalah manajemen investasi
dan pengelolaan risiko fiskal.
Pelaksanaan anggaran membutuhkan pengelolaan perbendaharaan yang optimal. Dengan rentang
kendali yang sangat luas, maka transparansi dan akuntabilitas merupakan prinsip yang dipegang
teguh dalam mengelola kas, menata akuntansi dan pelaporan, membina pengelolaan keuangan BLU,
maupun dalam memperbaiki manajemen investasi. Selain rentang kendali yang luas, pengelolaan
perbendaharaan negara dihadapkan pula pada tantangan yang terkait dengan kompetensi dan
manajemen SDM serta belum meratanya kepedulian terhadap pengembangan SPAN.
Pengelolaan kekayaan negara, piutang negara, dan lelang merupakan bidang tugas dan fungsi
lainnya yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan pada tahun 2010. Pengelolaan BMN
mendapatkan perhatian yang serius, karena selama ini menjadi penentu kualitas LKPP yang dinilai
oleh BPK. Di samping itu, kekayaan negara yang dipisahkan, kekayaan negara lain-lain, pengurusan
piutang negara, dan lelang telah pula ditangani dengan cermat, meskipun beberapa rancangan
undang-undang yang terkait hingga akhir tahun 2010 masih dalam proses penyelesaian.
PENUTUP
BAB I Pendahuluan
BAB II Reformasi Birokrasi
BAB III Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro
BAB IV Pengelolaan Pendapatan Negara
BAB V Kebijakan Pengelolaan Penganggaran
BAB VI Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah
BAB VII Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan
BAB VIII Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara
BAB IX Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara, Piutang Negara, dan Lelang
BAB X Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank
BAB XI Pengawasan dan Pengendalian Internal
BAB XII Kebijakan Hubungan dan Kerjasama Internasional di Bidang Keuangan
BAB XIII Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara-Pemerintahan
BAB XIV Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan
BAB XV Pelaksanaan Tugas Kementerian Keuangan sebagai Kementerian-Lembaga
Penutup
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 311
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
310
Tugas Kementerian Keuangan berkaitan pula dengan pasar keuangan global yang semakin dinamis
dan intensitas transaksi lintas batas negara yang semakin tinggi. Oleh karena itu, pengawasan
terhadap pasar modal dan lembaga keuangan non bank memiliki kedudukan yang strategis. Kinerja
industri pasar modal dan lembaga keuangan yang tumbuh pesat perlu diimbangi dengan strategi
yang tepat. Pada tahun 2010, Kementerian Keuangan telah melakukan serangkaian strategi yang
meliputi pengembangan sumber pendanaan yang mudah diakses, efisien, dan kompetitif, serta
sarana investasi yang kondusif dan atraktif yang diikuti oleh pengelolaan risiko yang handal. Selain
itu, industri pasar modal dan lembaga keuangan diarahkan agar menjadi stabil, tahan uji, dan
likuid dengan didukung oleh kerangka regulasi yang mampu menjamin kepastian hukum, adil, dan
transparan, serta infrastruktur yang kredibel, dapat diandalkan, dan berstandar internasional.
Implementasi kebijakan, program, dan kegiatan oleh unit-unit di lingkungan Kementerian Keuangan
sangat ditentukan oleh komitmen dari SDM. Komitmen ini telah didukung oleh pengawasan
dan pengendalian internal yang kokoh. Langkah yang ditempuh meliputi pengawasan kinerja,
pengawasan keuangan, dan pengawasan untuk tujuan tertentu. Di samping itu, unit pengawasan
dan pengendalian internal juga berpartisipasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan
kejahatan keuangan atas petunjuk Menteri Keuangan. Penindakan diupayakan seminimal mungkin
melalui pengawalan atas disiplin dalam implementasi Reformasi Birokrasi yang lebih mengarah
pada langkah preventif dan konsultasi. Dengan pengawasan dan pengendalian internal secara
optimal, maka dapat dicapai akuntabilitas kinerja dan keuangan serta kualitas laporan keuangan
yang semakin baik.
Dalam menjalankan tugasnya, Kementerian Keuangan melakukan interaksi dengan lembaga-
lembaga internasional, termasuk dalam kapasitas mewakili Pemerintah Indonesia. Kerjasama yang
dilakukan sepanjang tahun 2010 sangat beragam yang meliputi kerjasama multilateral, kerjasama
bilateral, kerjasama antarkawasan (interregional), kerjasama kawasan ASEAN, dan kerjasama teknis,
seperti di bidang perpajakan, kepabeanan dan Cukai, serta pendidikan dan pelatihan. Keterlibatan
di dalam berbagai forum kerjasama internasional sangat penting dan strategis, karena banyak
manfaat yang dapat diperoleh dan sekaligus meningkatkan eksistensi Indonesia di dalam konstelasi
internasional.
Di dalam negeri, Kementerian Keuangan terus mengembangkan hubungan yang sinergis dengan
para pemangku kepentingan yang mencakup Lembaga Negara, Komisi-Komisi Negara, Kementerian
Negara, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Pemerintah Daerah, asosiasi non Pemerintah,
media massa, media asing, dan komunitas internasional. DPR adalah pemangku kepentingan
yang paling intensif melakukan hubungan kerja dengan Kementerian Keuangan, karena terkait
dengan pengesahan RAPBN. Beragam kepentingan dari para pemangku kepentingan senantiasa
diakomodasi oleh Kementerian Keuangan sebagai bentuk pelayanan publik, khususnya yang
berkaitan dengan aspek keuangan dan kekayaan negara.
Kinerja Kementerian Keuangan dalam menjalankan tugas dan fungsinya dipengaruhi oleh
kuantitas dan kualitas SDM. Kebijakan, program, dan kegiatan manajemen SDM yang tepat akan
meningkatkan kemampuan SDM dalam menjalankan tugas dan fungsinya, dan demikian pula
sebaliknya. Langkah yang ditempuh oleh Kementerian Keuangan dalam manajemen SDM diawali
dengan pengadaan pegawai sesuai dengan kebutuhan unit kerja, sehingga tercipta dukungan SDM
yang cukup dari segi kualitas dan kuantitas. Selanjutnya, telah dikembangkan assessment center
untuk menyediakan profil pejabat dalam rangka mendukung mutasi/promosi pejabat. Jumlah,
komposisi, dan kompetensi pegawai juga telah ditata agar sesuai dengan kebutuhan organisasi.
Di samping itu, dikembangkan sistem informasi manajemen kepegawaian yang terintegrasi dalam
rangka pengelolaan data dan informasi SDM. Penyelesaian administrasi kepegawaian dilakukan
secara tepat waktu yang dilengkapi dengan penegakan disiplin pegawai.
Semua kebijakan dan strategi yang ditempuh oleh Kementerian Keuangan pada tahun 2010 tetap
mengacu pada enam sasaran strategis dan program APBN, yaitu pendapatan negara, belanja negara,
perbendaharaan negara, pembiayaan APBN, kekayaan negara, serta pasar modal dan lembaga
keuangan non bank. Untuk melaksanakannya, telah ditetapkan 12 program yang masing-masing
memiliki kegiatan prioritas dan dapat dikelompokkan menjadi tiga fokus. Fokus yang pertama
adalah perumusan kebijakan fiskal, pengelolaan pembiayaan anggaran, dan pengendalian resiko.
Fokus kedua adalah peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara. Adapun fokus yang ketiga
adalah peningkatan ketahanan dan daya saing sektor keuangan. Kesemuanya dimaksudkan agar
kinerja pengelolaan keuangan negara semakin optimal dalam mendukung pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 313312
Daftar Gambar Daftar Gambar
Gambar Keterangan Halaman
2.1. Forum Koordinasi Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan 25
2.2. Pilar Reformasi Birokrasi 27
2.3. Kuadran Pemetaan Pegawai 30
3.1. Sumber Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2007-2010 41
3.2. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Tahun 2009–2011 42
3.3. Perkembangan Inflasi Tahun 2007-2010 44
3.4. Perkembangan Inflasi Tahunan (yoy) Berdasarkan Komponen Tahun 2007-2011 44
3.5. Perkembangan SBI 3 Bulan, BI Rate, dan Inflasi Tahun 2007-2011 45
3.6. Perkembangan Produksi Minyak Dunia Tahun 2007-2010 46
3.7. Perkembangan Konsumsi Minyak Dunia Tahun 2007-2010 46
3.8. Perkembangan Harga Minyak Indonesia Tahun 2007-2010 47
3.9. Perkembangan Lifting Minyak Indonesia Tahun 2007-2010 (ribu barel per hari) 47
3.10. Angkatan Kerja dan Pengangguran Terbuka Tahun 2004-2010 49
3.11. Komposisi Lapangan Kerja Tahun 2009 dan 2010 50
3.12. Jumlah Penduduk Miskin dan Tingkat Kemiskinan Tahun 2004-2010 50
4.1. Skema Tarif Khusus Bea Masuk Anti Dumping 63
4.2. Realisasi Bea Lelang Tahun 2006-2010 (dalam ribuan Rupiah) 78
4.3. Usul Penyidikan Tahun 2010 84
5.1. Siklus Penyusunan APBN Tahun 2011 93
5.2. Tren Penyerapan Anggaran Tahun 2010 106
5.3. Penyerapan Anggaran Kementerian/Lembaga Berdasarkan Bidang Tahun 2010 106
5.4. Tren Penyerapan Anggaran 5 Kementerian/Lembaga Dengan Anggaran Terbesar Tahun 2010 107
5.5. Skema Monitoring Penyerapan APBN 110
5.6. Pola Penyerapan Anggaran Kementerian Keuangan Tahun 2010 112
7.1. Usulan Daftar Nominasi Aset SBSN Tahun 2008-2010 139
7.2. Pembiayaan APBN Tahun 2005-2010 140
7.3. Perkembangan Yield SUN Selama Tahun 2005-2010 144
7.4. Perkembangan Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri Tahun 2005-2010 145
7.5. Perkembangan Pemanfaatan Pinjaman Kegiatan Tahun 2005-2010 145
7.6. Volume dan Frekuensi Transaksi SBN Tahun 2005-2010 147
7.7. Bid to Cover Ratio Penerbitan SBN Domestik Tahun 2010 148
7.8. Target dan Realisasi Penerbitan SBN Tahun 2010 150
7.9. Hasil Assessment Lembaga atas Rating Kredit Pemerintah Indonesia Tahun 1997-2010 151
7.10. Kepemilikan SUN oleh Bank dan Non Bank Tahun 2005-2010 153
7.11. Konsep Pembiayaan Sukuk Project 154
8.1. Hasil Survei Kepuasan Layanan Tahun 2009 dan 2010 175
8.2. Jumlah Satker BLU Per 31 Desember 2010 180
8.3. Budaya Organisasi Ditjen Perbendaharaan 182
8.4. Perbandingan Aset, Kewajiban, Dan Ekuitas Dana Neto Pada Neraca Tahun 2006-2010 185
8.5. Perkembangan Suspen Tahun 2005-2010 186
8.6. Realisasi Penerimaan Negara dan Hibah Tahun Anggaran 2006-2010 186
8.7. Perbandingan Realisasi Belanja Negara Tahun Anggaran 2006-2010 187
8.8. Perbandingan Aset, Kewajiban, dan Ekuitas Dana Neto pada Neraca Tahun 2006-2010 188
Gambar Keterangan Halaman
9.1. Inventarisasi dan Penilaian BMN Tahun 2010 (Dalam Rp Triliun) 192
9.2. Outstanding BKPN Berdasarkan Berkas 203
9.3. Outstanding Nilai BKPN 203
9.4. Road Map Percepatan Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara Tahun 2010-2014 204
10.1. IHSG di BEI Tahun 2001-2010 211
10.2. Kinerja Indeks Bursa Asia Pasifik 212
10.3. Kapitalisasi Pasar Saham di BEI Tahun 2001-2010 213
10.4. Perkembangan Aset Perusahaan Pembiayaan Tahun 2006-2010 (Rp Triliun) 216
10.5. Penyaluran Kegiatan Pembiayaan oleh Industri Perusahaan Pembiayaan Per Sektor Ekonomi Tahun 2010 217
10.6. Pertumbuhan Kekayaan Industri Asuransi Tahun 2006-2010 220
10.7. Komposisi Investasi Industri Asuransi Tahun 2010 221
12.1. Kerangka Kerjasama Internasional Kementerian Keuangan 272
15.1. Pengembangan Sistem Penganggaran Tahun 2004-2010 302
15.2. Perkembangan Arus Berkas Tahun 2002-2010 306
15.3. Peninjauan Kembali Berdasarkan Pemohon Tahun 2002-2010 307
Tabel Nama Tabel Halaman
3.1. Realisasi Asumsi Ekonomi Makro Tahun 2005-2010 40
3.2. Pertumbuhan PDB Sektoral Tahun 2007-2010 (%, yoy) 42
3.3. Neraca Pembayaran Indonesia Tahun 2007-2011(USD Miliar) 48
4.1. Jumlah Wajib Pajak Terdaftar di Indonesia Tahun 2005-2010 56
4.2. Basis Data Objek PBB di Indonesia Tahun 2006-2010 57
4.3. Daftar Layanan Unggulan DJP Tahun 2010 58
4.4. Jumlah Penyelesaian Keberatan, Pembetulan, Pengurangan, Penghapusan dan Pembatalan SKP PPh dan PPN/PPnBM Tahun 2010 60
4.5. Jumlah Penyelesaian Keberatan, Pembetulan, Pengurangan, Penghapusan dan Pembatalan SKP PPB dan BPHTB Tahun 2010 61
4.6. Jumlah Distribusi Putusan Banding dan Gugatan Berdasarkan Amar Putusan yang Diterima DJP Tahun 2010 61
4.7. Jumlah Pengajuan PK dan Kontra Memori PK Ke MA Tahun 2010 61
4.8. Jumlah Distribusi Putusan PK dari MA yang Diterima DJP Tahun 2010 62
4.9. Realisasi Penerimaan Pajak Neto Sampai Dengan Desember 2010 (dalam juta Rupiah) 66
4.10. Kinerja DJP Tahun 2006-2010 (dalam miliar Rupiah) 67
4.11. Realisasi Penerimaan Bea dan Cukai Per 31 Desember 2010 (dalam miliar Rupiah) 69
4.12. Penerimaan Bea dan Cukai Tahun 2010 dan Tahun 2009 (dalam miliar Rupiah) 71
4.13. Penerimaan Negara Bukan Pajak Tahun 2010 (dalam miliar Rupiah) 71
4.14. Target dan Realisasi PNBP Yang Dikelola Oleh Direktorat PNBP Tahun 2010 73
4.15. Target dan Realisasi Pembayaran Subsidi Energi Tahun Anggaran 2010 (dalam triliun Rupiah) 73
4.16. Asumsi Perhitungan Subsidi Jenis BBM Tertentu dan LPG Tabung 3 Kg Tahun Anggaran 2010 (dalam miliar Rupiah) 74
Daftar Tabel
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010 www.depkeu.go.id 315314
Daftar Tabel Daftar Tabel
Tabel Nama Tabel Halaman
7.5 Program Debt Swap Yang Dilakukan Pemerintah 146
7.6. Perkembangan Operasionalisasi Lelang Debt Switching Tahun 2005-2010 149
7.7. Jumlah BUMN Yang Mengikuti Program Restrukturisasi Per 31 Desember 2010 157
7.8. Posisi Piutang Pemerintah Pada BUMN per 31 Desember 2010 (dalam miliar Rupiah) 157
7.9. Sensitivitas Defisit APBN-P 2010 terhadap Perubahan Asumsi Ekonomi Makro 160
7.10. Alokasi Anggaran Risiko Fiskal Tahun 2010 dan Realisasinya (dalam miliar Rupiah) 164
8.1. Jumlah IKU Direktorat Jenderal Perbendaharaan Tahun 2010 172
8.2. Jumlah Peserta Assessment Ditjen Perbendaharaan Tahun 2010 173
8.3. Satker Yang Mengalami Permasalahan Dalam Penyerapan DIPA Tahun Anggaran 2010 176
8.4. Jumlah Perolehan Opini BPK Atas LKKL dan LKBUN Tahun 2006-2010 185
8.5. Ringkasan Neraca per 31 Desember 2009 dan 31 Desember 2010 (dalam Rp) 187
9.1. Realisasi Inventarisasi dan Penilaian Tahun 2009 dan 2010 192
9.2. Penyelesaian Permohonan Pengelolaan BMN Tahun 2010 193
9.3. Nilai BMN Intrakomptabel Unit Eselon I Kementerian Keuangan Tahun 2009-2010 194
9.4. Nilai BMN Ekstrakomptabel Unit Eselon I Kementerian Keuangan Tahun 2009-2010 194
9.5. Nilai BMN Gabungan Unit Eselon I Kementerian Keuangan Tahun 2009-2010 195
9.6. Nilai BMN di Neraca Kementerian Keuangan Tahun 2009-2010 195
9.7. Nilai Persediaan Unit Eselon I Kementerian Keuangan Tahun 2009-2010 196
9.8. Nilai Konstruksi Dalam Pengerjaan Unit Eselon I Kementerian Keuangan Tahun 2009-2010 196
9.9. Nilai Aset Tak Berwujud Unit Eselon I Kementerian Keuangan Tahun 2009-2010 197
9.10. Nilai Aset Tetap Yang Dihentikan Dari Operasional Pemerintah 197
9.11. Persetujuan Pengelolaan BMN Yang Berasal Dari KKKS Tahun 2010 200
9.12. Inventarisasi dan Penilaian BMN terhadap 14 KKKS Tahun 2010 200
9.13. Persetujuan Peruntukan Barang Rampasan Tahun 2010 201
9.14. Persetujuan Peruntukan BMN Eks Tegahan DJBC Tahun 2010 201
9.15. Realisasi Pengelolaan Aset Kredit dan Properti Tahun 2010 202
9.16. Realisasi Pokok Lelang dan Bea Lelang Tahun 2006-2010 205
10.1. Indeks Saham Bursa Utama di Asia Pasifik Tahun 2009 dan 2010 212
10.2. Perkembangan Produk Investasi Tahun 2009-2010 215
10.3. Posisi Aset Perusahan Pembiayan Infrastruktur Tahun 2009-2010 219
10.4. Pertumbuhan Industri Dana Pensiun Tahun 2006-2010 222
10.5. Penetapan Sanksi di Bidang Pasar Modal Tahun 2010 225
10.6. Jumlah Perusahaan Pembiayan Yang Terkena Sanksi Karena Keterlambatan Penyampaian Laporan Keuangan Audit Tahun 2009 225
10.7. Jumlah Perusahaan Pembiayaan Yang Terkena Sanksi Berdasarkan Hasil Analisis Laporan Periodik Perusahaan Pembiayaan Tahun 2010 226
10.8. Jumlah Perusahaan Pembiayaan Yang Terkena Sanksi Pada Tahun 2010 226
10.9. Jumlah Perusahaan Perasuransian Yang Terkena Sanksi Pada Tahun 2010 227
10.10. Capaian Kontrak Kinerja Depkeu-One Bapepam-LK 230
11.1. Hasil Opini BPK Atas Laporan Keuangan Tahun 2008 dan 2009 235
11.2. Nilai Hasil Reviu Penerapan SAINS di Inspektorat Tahun 2010 239
11.3. Hasil Assessment Pejabat Itjen Tahun 2008 dan 2009 239
11.4. Hasil Penilaian Inisiatif Anti Korupsi Tahun 2010 245
11.5. Penjatuhan Hukuman Disiplin dan Pembinaan Tahun 2010 245
Tabel Nama Tabel Halaman
4.17. Asumsi Perhitungan Subsidi Listrik Tahun Anggaran 2010 75
4.18. PNBP dari BPH Migas TA 2010 (dalam Rupiah) 77
4.19. Realisasi Pencapaian Biaya Administrasi Tahun 2006-2010 (dalam miliar Rupiah) 78
4.20. Jumlah Pendapatan Satker BLU (dalam juta Rupiah) 79
4.21 Jumlah Pemeriksa Pajak Tahun 2007-2010 83
4.22. Kinerja Pemeriksaan Lainnya Tahun 2010 (dalam Rupiah) 83
4.23. Kinerja Penyidikan Perpajakan Tahun 2010 84
4.24. Rincian Pencairan Piutang Per Jenis Pajak Tahun 2010 (dalam miliar Rupiah) 85
4.25. Perkembangan Piutang Pajak Selama Tahun 2010 (dalam miliar Rupiah) 86
4.26. Penindakan Narkotika Psikotropika Prekursor Berdasarkan Jenis Barang Tahun 2010 87
4.27. Tagihan Audit dan Realisasi Pelunasan Tahun 2009-2010 (dalam Rupiah) 87
5.1. Asumsi Ekonomi Makro Tahun 2011 94
5.2. Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2011 (dalam miliar Rupiah) 95
5.3. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis Tahun 2011 (dalam miliar Rupiah) 96
5.4. Transfer Ke Daerah Tahun 2011 (dalam miliar Rupiah) 97
5.5. Realisasi APBN-P 2010 Semester I (dalam miliar Rupiah) 98
5.6. Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2010 99
5.7. Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2010 (dalam miliar Rupiah) 99
5.8. Belanja Negara Tahun 2010 (dalam miliar Rupiah) 100
5.9. Daftar Pagu dan Realisasi Belanja Barang (dalam Rupiah) 105
5.10. Permasalahan Utama Penyerapan Anggaran K/L tahun 2010 111
5.11. Pola Penyerapan Anggaran Kementerian Keuangan Tahun 2010 112
6.1. Penyaluran DBH-SDA Tahun 2010 115
6.2. Penyaluran DBH Pajak Tahun 2010 116
6.3. Perkembangan Pembobotan Komponen Formula DAU Tahun 2006-2010 116
6.4. Penyaluran DAU Tahun 2010 117
6.5. Penyaluran DAK Tahun 2010 118
6.6. Perubahan Standarisasi Nama Rekening Kas Daerah Tahun 2010-2011 120
6.7. Mekanisme Penyaluran Anggaran Transfer ke Daerah 121
6.8. Perkembangan Jumlah Daerah dan Besaran Transfer Tahun 2005-2010 122
6.9. Perkembangan Alokasi DBH per Komponen Tahun 2006-2010 (dalam triliun Rupiah) 122
6.10. Perkembangan Alokasi DAU Tahun 2006-2010 123
6.11. Perkembangan Jumlah Bidang DAK Tahun 2006-2010 124
6.12. Perkembangan Penggunaan Nomenklatur Dana Penyesuaian Tahun 2005-2010 125
6.13. Perkembangan Alokasi Dana Penyesuaian Tahun 2005-2010 (dalam miliar Rupiah) 125
6.14. Penyaluran Dana Otsus dan Penyesuaian Tahun 2010 125
6.15. Rekapitulasi Evaluasi Perda PDRD Tahun 2010 128
6.16. Rekapitulasi Evaluasi Raperda PDRD Tahun 2010 128
6.17. Realisasi Hibah Tahun Anggaran 2010 133
6.18. Peserta LKD, KKD, dan KKDK Tahun 2010 135
7.1. Penyelesaian Aset Tahun 2010 138
7.2. Portofolio Utang Pemerintah Per 31 Desember 2010 141
7.3. Instrumen Utang dan Pemanfaatannya 142
7.4. Perkembangan Indikator Risiko Utang Tahun 2005-2010 143
Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010316
Tabel Nama Tabel Halaman
12.1. Daftar P3B Indonesia yang Berlaku Efektif 262
12.2. Pelaksanaan Professional Human Resources Development Project 268
12.3. Realisasi peserta penerima Program Beasiswa S2/S3 untuk PHRDP Fase III 269
12.4. Target Penerima Scholarship Program for Strengthening the Reforming Institutions 270
12.5. Peserta Program Capacity Building dengan Hibah Tahun 2010 271
12.6. Daftar Expert Luar Negeri tahun 2010 271
12.7. Daftar Misi Asing tahun 2010 272
13.1. Undang-Undang Yang Disetujui DPR Tahun 2010 278
13.2. Rancangan Undang-Undang Yang Belum Selesai Dibahas Tahun 2010 279
13.3. Kegiatan dalam Program Komunikasi Publik Reformasi Birokrasi Tahun 2010 280
13.4. Kegiatan Bakohumas Pemerintah Tahun 2010 281
13.5. Daftar Rancangan Undang-Undang di Bidang Keuangan Negara Tahun 2011 283
14.1. Pengembangan Kapasitas SDM yang Diselenggarakan oleh BPPK Tahun 2010 291
14.2. Pengembangan Kapasitas SDM yang Diselenggarakan oleh Unit Eselon I Kementerian Keuangan Tahun 2010 291
15.1. Program Kementerian Keuangan Tahun 2010 294
15.2. Alokasi dan Realisasi Anggaran Kementerian Keuangan Tahun 2010 Berdasarkan Sumber Dana (Ribuan Rupiah) 298
15.3. Alokasi dan Realisasi Anggaran Kementerian Keuangan Tahun 2010 Berdasarkan Jenis Belanja (Ribuan Rupiah) 300
15.4. Tabel Nilai Pagu, Hasil dan Penghematan Lelang 2008-2010 305
15.5. Rincian Pengadaan untuk Modal dan Barang Tahun 2010 pada LPSE Kementerian Keuangan 305
15.6. Penyelesaian Sengketa Pajak Tahun 2010 306
15.7 Penyelesaian Permohonan Peninjauan Kembali Sampai Dengan Tahun 2010 307