IMAN PERSPEKTIF NURCHOLISH MADJID
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Persyaratan Meraih Gelar Strata Satu (S 1)
Oleh:
DIANA LESTARI
NIM: 1110033100035
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2017 M.
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط a a ا
ẓ ẓ ظ b b ب
„ „ ع t t ت
gh gh غ ts th ث
f f ف j j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك kh kh خ
l l ل d d د
m m م dz dh ذ
n n ن r r ر
w w و z z ز
h h ه s s س
‟ ‟ ء sy sh ش
y y ي ṣ ṣ ص
h h ة ḍ ḍ ض
VOKAL PANJANG
Arab Indonesia Inggris
ā ā آ
ī ī إي
ū ū أو
v
ABSTRAK
Penelitian ini fokus kepada pandangan Nurcholish Madjid tentang iman
dan hubungannya dengan tiga hal, yakni iman dan amal saleh, sekularisasi dan
desakralisasi, dan pluralisme agama.
Penelitian ini merupakan studi kepustakaan dengan menggunakan metode
analisis-deskriptif. Data yang terkumpul dari berbagai referensi kemudian
dideskripsikan dan dianalisis secara cermat untuk menyimpulkan tiga masalah di
atas. Tulisan ini menyimpulkan bahwa amal saleh, sekularisasi dan desakralisasi,
dan titik temu agama-agama atau pluralisme dibangun atas dasar iman.
Dalam soal amal saleh, Nurcholish Madjid memandang bahwa iman
memiliki hubungan yang erat dengan perbuatan manusia. Hubungan antara iman
dan amal saleh ditandai dengan sikap “apresiasi Ketuhanan” atau taqwā yang
secara logis mendorong seseorang untuk selalu berbuat baik.
Dalam soal sekularisasi dan desakralisasi, bagi Nurcholish Madjid itu
merupakan sebuah sikap yang secara ontologis “membedakan” hal-hal yang
bersifat duniawi dan ukhrawi. Karena secara ontologis duniawi dan ukhrawi itu
berbeda, maka secara epistemologis juga membutuhkan pendekatan yang berbeda.
Hal tersebut juga dibangun atas dasar keimanan. Karena, keimanan yang kuat
menjadi dasar untuk membedakan hal-hal yang bersifat duniawi dan ukhrawi
tersebut.
Dalam masalah pluralisme, Nurcholish Madjid mendasarkan
pandangannya terhadap reinterpretasi makna Islam. Al-Islām tidak sekedar berarti
instansi keagamaan, melainkan sebuah sikap tunduk, patuh, dan pasrah
sepenuhnya kepada Tuhan sehingga al-Islām menjadi ciri dari agama-agama yang
benar. Dalam konteks al-Islām itulah agama-agama memiliki titik temu. Al-Islām
dalam arti sikap tunduk, patuh, dan pasrah kepada Tuhan tidak dapat dipisahkan
dari keimanan kepada Tuhan itu sendiri. Di sinilah “titik temu” tersebut tidak
terpisah dari iman.
Kata kunci: Iman, amal saleh, sekularisasi-desakralisasi, titik temu agama-agama
vi
Abstract
This research is focused on the Nurcholish Madjid's view of faith and its
relationship with three things, namely faith and „amal ṣāliḥ, secularization-
desacralization, and the equality of religions. This research is a literature study
by using descriptive-analysis method. The data are collected from various
references described and analyzed to conclude the research thesis.
This paper concludes that faith, secularization and desacralization, and
equality of religions are built on the basis of faith In the term of „amal ṣāliḥ,
Nurcholish Madjid sees that faith has a close relation with human behavior. The
relation between faith and „amal ṣāliḥ is characterized by an attitude of
"apresiasi ketuhanan" or taqwā that logically encourages one to always do good.
In the matter of secularization and desacralization, According to
Nurcholish Madjid it is an attitude that ontologically “distinguish” things that are
worldly and ukhrāwī. Because the ontologically mundane and ukhrāwī are
different, then epistemologically also requires a different approach. It is also
built on the basis of faith. Because, a strong faith becomes the basis for
distinguishing things that are worldly and ukhrāwī.
In the matter of equality of religions, Nurcholish Madjid based his view on
the reinterpretation of the meaning of Islam. Al-Islām is not merely a religious
institution, but an attitude of submission, obedience, and fully surrender to God so
that al-Islām is the hallmark of true religions. In the context of al-Islām these
religions have common ground. Al-Islām in the sense of submission, obedience,
and submission to God can not be separated from faith to God. This is where the
“equality” is not separate from the faith.
Keywords: faith, „amal ṣāliḥ, secularization-desacralization, equality of religions
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan rasa syukur kepada Allah Swt yang atas izin-Nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana Agama (S. Ag) pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam untuk Nabi
Muhammad Saw yang telah menuntun manusia kejalan yang benar, dari zaman
kegelapan menuju zaman terang benderang.
Skripsi yang berjudul “Konsep Iman Menurut Nurcholish Madjid” ini
mampu penulis selesaikan dengan bantuan banyak pihak. Karya ini
dipersembahkan untuk ibunda tercinta Dedeh Ratnasari yang senantiasa
mendo‟akan dan menyemangati, ayahanda tersayang almarhum Mustaqim Insya
Allah sudah tenang di alam sana.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Masri Mansoer,
M.A., selaku dekan Fakultas Ushuluddin. Terima kasih kepada Dra. Tien
Rahmatin M.A., selaku Ketua Prodi Aqidah dan Filsafat Islam. Terima kasih
kepada Dr. Abdul Hakim Wahid, M.A., selaku sekretaris Prodi Aqidah dan
Filsafat Islam. Terima kasih juga kepada segenap dosen serta seluruh staf dan
karyawan yang berada di lingkungan Fakultas Ushuluddin yang semuanya telah
memberi dukungan dengan berbagai fasilitas kepada penulis. Khusus untuk
penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Dosen Pembimbing, Dr. Asep Muhammad Romli, M. Hum. Beliau telah
memberi bimbingan, arahan, kritik, dan mengoreksi tulisan ini berulang-ulang
dengan sangat cermat demi kesempurnaan skripsi ini.
viii
Terima kasih juga kepada Ayahanda mertua tersayang Drs. H. Zarkasih
Nur yang senantiasa mendoa‟akan, dosen pembimbing Bapak Muhammad Asep
Romli, M.Hum. yang senantiasa sabar membimbing dan memotivasi, suami
tercinta Ir. H. Iman Hilmansyah yang banyak sekali membantu dalam
penyelesaian karya tulis ini, juga do‟a, cinta, semangat dan bimbingannya, buah
hatiku Salbiya Amina Hakimunnisa yang sabar dan ceria apabila sedang diajak ke
kampus, kakak-kakak yang mendo‟akan dan menyemangati Taufik, Irwan,
Sugardian, Eka, Fajri, Norma dan adikku Rosima. Selanjutnya untuk segenap
civitas UIN, teman-teman seperjuangan Aqidah dan Filsafat Islam 2010 yang luar
biasa.
Ciputat, 17 Oktober 2017
Diana Lestari
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Permasalahan ................................................................................ 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 8
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 9
E. Metode Penelitian ........................................................................ 10
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 12
BAB II BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID
A. Riwayat Pendidikan ...................................................................... 14
B. Karya-Karya ................................................................................. 26
BAB III IMAN DAN BEBERAPA ASPEKNYA A. Makna Iman .................................................................................. 29
B. Moral ............................................................................................ 32
C. Ilmu Pengetahuan ......................................................................... 36
D. Pluralisme ..................................................................................... 39
BAB IV HUBUNGAN IMAN DENGAN AMAL SALEH,
SEKULARISASI DAN DESAKRALISASI, DAN
PLURALISME AGAMA
A. Hakikat Iman ............................................................................... 46
B. Amal Saleh .................................................................................. 51
C. Sekularisasi dan Desakralisasi ...................................................... 55
D. Pluralisme .................................................................................... 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 63
B. Saran-Saran ................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 67
BIODATA PENULIS ....................................................................................... 70
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Aspek terpenting dalam teologi ialah hal-hal yang menyangkut
kepercayaan manusia kepada Tuhan. Di dalam Islam, hal-hal yang menyangkut
keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan dan pembicaraan menyangkut
hubungan manusia dengan Tuhan dibahas dalam ilmu tawḥīd atau ilmu aqīdah
yang dalam kajian Islam kontemporer sering disebut dengan istilah “teologi
Islam”. Sebelum berbicara lebih jauh, perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud
dengan istilah teologi Islam dalam tulisan ini tidak lain menyangkut hubungan
manusia dangan Tuhan berdasarkan perspektif Islam. Lebih jauh tulisan ini akan
membahas pandangan Nurcholis Madjid tentang konsepsi iman dan hubungan
dengan amal saleh, sekularisasi dan desakralisasi, dan titik temu agama-agama.
Tidak seorang pun menyangkal bahwa kepercayaan atau keyakinan adalah
inti dari ajaran setiap agama. Dalam Islam, persoalan yang berkenaan dengan
konsep ini sangat penting karena masalah tersebut berkenaan dengan esensi dan
eksistensi ajaran Islam sebagai suatu agama. Di samping itu, secara historis
pembicaraan mengenai konsep kepercayaan menandai titik awal dari semua
pemikiran yang terdapat di dalam Islam.1
Di dalam Islam hal yang menyangkut kepercayaan dan keyakinan disebut
iman. Para pemikir Islam dari zaman klasik hingga kontemporer memiliki
1 Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman
dan Islam, terj. Agus Fahri Husain(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), 1. Ditinjau dari aspek
historis, perdebatan awal yang muncul dalam Islam adalah masalah teologi yang secara umum
berbicara persolan iman.
2
perspektif yang berbeda-berbeda dalam memaknai iman. Persoalannya adalah
apakah pengertian iman dari sudut pandang tertentu cukup untuk dijadikan
pijakan dalam memahami pengertian iman secara menyeluruh?
Persoalan yang muncul selanjutnya dalam memaknai iman justru kadang-
kadang bertentangan dengan nilai-nilai esensial yang terdapat dalam ajaran Islam
sendiri.2 Misal, tidak jarang terdapat orang yang mengaku dirinya sebagai orang
beriman justru menjadikan “makna iman” sebagai ujung tombak hingga
menimbulkan perpecahan dan konflik sosial. Tidak jarang pula kita temui
beberapa orang—yang mengaku beriman—bersikap eksklusif dan sangat tertutup
untuk menerima perbedaan. Di antara mereka ada pula yang menutup diri dari
pandangan pembaruan dengan bertitik tolak terhadap konsepsi iman yang
diyakini.
Dari aspek sosial, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana sebenarnya
mengaplikasikan iman dalam kehidupan? Persoalan tersebut tentu sangat penting
dibahas menyangkut keberlangsungan manusia dalam beragama, dan berinteraksi
dengan lingkungan dan sosial. Semestinya, iman yang dimiliki seseorang dapat
teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan menerapkan iman sebagai
tolok ukur beramal saleh atau perbuatan baik serta membebaskan diri dari
kungkungan yang membelenggu ketertutupan dari perkembangan dan kemajuan.
Dalam menjawab persoalan ini muncul berbagai tanggapan. Pembahasan ini
menjadi persoalan yang sangat penting yang dihadapi umat Islam.3
2 Mahamad Wahyuni Nafis, Konflik Agama atau Politik” dalam dalam Nur Achmad
(ed.), Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Kergaman (Jakarta: Kompas, 2001), 86. 3 Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, 65.
3
Permasalahan-permasalahan di atas sangat disadari oleh para pemikir-
pemikir Islam mulai dari zaman klasik hingga kontemporer, termasuk pemikir-
pemikir Islam di Indonesia. Di antara mereka berusaha memberikan sumbangan
pemikiran dan berusaha memberikan solusi alternatif untuk menjawab
permasalahan-permasalahan menyangkut konsepsi dasar tentang iman tersebut.
Salah satu tokoh intelektual Islam Indonesia yang memberikan perhatian terhadap
persoalan iman dan hubungannya dengan aspek sosial adalah Nurcholish Madjid.
Ia adalah salah satu pembaru pemikiran Islam Indonesia yang berusaha
menghubungkan sudut pandang teologis dengan sudut pandang ilmu pengetahuan
dan sosial.
Pembaruan yang diusung oleh Nurcholish Madjid sangat menarik karena
berpangkal pada aspek teologis sebagai pijakan utamanaya, yakni dengan
melakukan penerjemahan kembali konsep dan doktrin keimanan yang sebelumnya
sudah dianggap baku. Tujuan utama pembaruan yang dilakukan oleh Nurcholish
Madjid ialah mengubah pola pikir masyarakat Muslim menjadi lebih maju,
toleran, dan terbuka. Nurcholish Madjid memandang bahwa agar ajaran agama
relevan dengan kehidupan modern dan dapat mengefektifkan fungsinya sebagai
makna hidup, maka diperlukan suatu bentuk reinterpretasi dan reaktualisasi
terhadap ajaran agama.4 Reinterpretasi paling dasar terhadap ajaran Islam tersebut
meliputi pemaknaan kembali terhadap konsepsi iman.
Sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa fokus tulisan ini adalah
membahas pandangan Nurcholish Madjid mengenai iman dan hubungannya
4 Bj. Habibie, Nurcholish Madjid, dkk, Membangun Masyarakat Indonesia Abad XXI,
(Jakarta: ICMI, 1991), 215.
4
dengan tiga hal, yakni hubungan iman dengan amal saleh, hubungan iman dengan
desakralisasi, dan hubungan iman dengan titik temu agama-agama. Sebagai
pendahuluan, kiranya perlu disampaikan sepintas tentang tiga hal tersebut dalam
pandangan Nurcholish Madjid. Mengenai hubungan iman dan amal saleh,
Nurcholish Madjid mengatakan,
Iman yang pribadi itu membawa akibat adanya amal saleh yang
memasyarakat. Sebab, kebenaran bukanlah semata-mata persoalan
kognitif.5
Kutipan di atas jelas menunjukkan bahwa meskipun pada dasarnya iman
merupakan hal yang bersifat individu dalam setiap orang, akan tetapi pada
sejatinya iman harus memiliki implikasi positif terhadap lingkungan sosial yang
menyangkut hubungan manusia dengan alam atau hubungan manusia dangan
sesama manusia. Implikasi positif itulah yang oleh Nurcholish Madjid disebut
dengan “amal saleh.” Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam pandangan
Nurcholish Madjid semestinya kepercayaan kepada Tuhan memiliki dampak
kepada perbuatan yang baik.
Perbuatan baik atau amal saleh yang dimaksud tidak hanya berlaku untuk
hal-hal yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, tetapi juga harus
teraplikasikan pada cara pandang manusia terhadap alam. Bagi Nurcholish Madjid
hal demikian itu juga memiliki landasan teologis yang sangat kuat di dalam Islam
dan ini sangat erat kaitannya dangan konsepsi dasar tentang iman. Mengenai
bagaimana cara pandang orang beriman terhadap dunia Nurcholish Madjid
mengatakan,
5 Nurchlolish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1988),
157.
5
Dengan tawḥīd seorang animis—yakin terhadap satu Tuhan—
diajarkan untuk melihat semua benda-benda ini sebagaimana
adanya...Benda-benda itu dengan demikian diduniawikan atau
disekularisasikan.6
Inti dari sekularisasi yang diinginkan oleh Nurcholish Madjid,
sebagaimana diungkapkan oleh H.M. Rasjidi, ialah memahami masalah-masalah
dunia dengan rasio. Sementara itu, Nurcholish Madjid juga memandang bahwa
terdapat konsistensi antara rasionalisasi dengan desakralisasi.7 Dengan demikian,
Nurcholish Madjid berusaha menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat
antara tawḥīd—konsepsi iman—dengan sekularisasi dan desakralisasi yang
dimaksud. Kata kunci terpenting dari pemikiran Nurcholish Madjid di atas adalah
bagaimana hubungan antara iman dengan gagasan sekularisasi dan desakralisasi
yang dia gagas.
Pada dasarnya, sekularisasi dan desakralisasi yang diinginkan oleh
Nurcholish Madjid merupakan gagasan epistemologis agar masyarakat Islam,
khususnya di Indonesia, menyadari bahwa ada pemisah yang tegas antara
epistemologi keagamaan dan cara memahami hal-hal yang bersifat duniawi.
Sebenarnya, tulisan mengenai gagasan Nurcholish Madjid di atas—khususnya
tentang sekularisasi—sudah sangat banyak ditulis. Akan tetapi, di antara beberapa
tulisan yang ditemui banyak yang menyoroti hal tersebut dari aspek epistemologi
dan politik yang seakan-akan lepas dari sentuhan teologis. Padahal, Nurcholish
Madjid sendiri berusaha menghubungkan gagasan sekularisasi dan desakralisasi
6 Nurcholish Madjid, Isalam Kemodernan dan Keindonesiaan, 225.
7 H.M. Rasjidi merupakan tokoh penting yang menolak gagasan Nurcholish Madjid
tenatang seklularisasi dan desakralisasi. Oleh karena itu, H.M. Rasjidi memberikan kritik tajam
atas pandangan Nurcholish Madjid. H.M. Rasjidi berusaha menyimpulkan gagasan-gagasan yang
dibangun oleh Nurcholish Madjid. Baru kemudian memberikan kritik. H.M. Rasjidi, Koreksi
terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), 22-3.
6
yang dimaksud dengan aspek teologis. Dengan kata lain, Nurcholish Madjid
memandang bahwa sekularisasi dan desakralisasi dibangun atas dasar tawḥīd yang
kuat. Barangkali ranah inilah yang sangat sedikit disentuh oleh para pemerhati
pemikiran tokoh pembaru ini.
Seorang yang beragama—beriman—juga harus memiliki sifat menghargai
sikap keberagamaan orang lain.8 Perbedaan agama tidak harus disikapi dengan
rasa benci yang nantinya akan menimbulkan perpecahan. Menurut Nurcholish
Madjid pada dasarnya setiap agama menuju satu kebenaran. Nurcholish Madjid
mengatakan,
Begitulah ajaran tentang hubungan dan pergaulan berdasarkan
bahwa setiap agama dengan cara dan jalannya sendiri-sendiri
mencoba berjalan menuju kebenaran.9
Melihat ungkapan di atas, sepintas kita akan menganggap bahwa bagi
Nurcholish Madjid iman itu bersifat inklusif dan terbuka untuk menerima
keyakinan orang lain sebagai sebuah kebenaran. Dengan kata lain, semua agama
itu adalah sama, yakni menuju kebenaran. Inilah sebenarnya hal yang juga cukup
penting untuk diungkap lebih jauh, karena banyak orang menuding bahwa dalam
pandangan Nurcholish Madjid semua agama itu adalah benar dan setiap orang
bisa memilih agama mana yang dikehendaki. Padahal kita harus ekstra hati-hati
untuk menyimpulkan persoalan di atas. Jika memang demikian, hal yang harus
kita pahami secara serius adalah dalam konteks apakah setiap agama dapat
dipandang memiliki satu titik temu. Apakah dalam hal yang bersifat teologis, atau
8 Ruslani, “Cak Nur, Islam, dan Pluralisme” dalam Nur Achmad (ed.), Pluralitas Agama,
45-50. 9 Nurcholish Madjid, “Etika Beragama dari Perbedaan Menuju Persamaan” dalam Nur
Achmad (ed.), Pluralitas Agama, 4.
7
dalam hal yang bersifat sosiologis. Lepas dari dua kemungkinan tersebut, yang
jelas Nurcholish Madjid lagi-lagi mendasarkan pandangan tersebut pada prinsip
iman.
Beberapa masalah yang telah disinggung di atas—amal saleh, sekularisasi
dan desakralisasi, dan titik temu agama-agama—menunjukkan bahwa tiga
masalah tersebut memiliki hubungan yang sangat erat dengan prinsip iman.
Dengan kata lain bahwa Nurcholish Madjid ingin menunjukkan bahwa pandangan
tersebut dibangun atas prinsip iman dalam Islam. Tiga persoalan di atas jelas
bukan tema yang asing ketika membicarakan pemikiran Nurcholish Madjid. Akan
tetapi, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, dalam batas-batas tertentu,
masalah tersebut tidak pernah selesai untuk diperbincangkan.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Pertama, pokok pembahasan dalam tulisan ini menganalisis konsepsi iman
Nurcholish Madjid. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan secara lebih jauh dalam
tulisan ini menganalisis dan membandingkan pemikiran Nurcholish Madjid dengan
pemikiran aliran-aliran kalām yang ada dalam Islam. Kedua, dan yang terpenting, yaitu
menganalisis alur pemikiran Nurcholish Madjid tentang hubungan iman dengan amal
saleh, sekularisasi dan desakralisasi, dan titik temu agama-agama.
2. Batasan Masalah
Pertama, keterkaitan iman dengan amal saleh. Persoalan yang dibahas apakah
betul bahwa amal saleh merupakan konsekuensi logis dari keberadaan iman. Kedua,
keterkaitan iman dengan sekularisasi dan desakralisasi, yakni menganalisis pemikiran
Nurcholish Madjid secara lebih jauh bahwa sekularisasi dan desakralisasi dibangun atas
8
dasar prinsip iman. Karena, dalam anggapan bahwa konsepsi yang dibangun oleh
Nurcholish tersebut dianggap bertentangan dengan iman. Ketiga, hubungan iman dengan
titik temu agama-agama. Hal paling fundamental untuk diungkap adalah bagaimana
pandangan Nurcholish Madjid bahwa atas dasar iman seseorang akan sampai pada
pemahaman titik temu agama-agama. Apakah “titik temu” yang dimaksud merupakan
kenyataan teologis atau sebagai keniscayaan pluralitas sosial.
3. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah
di atas, selanjutnya permasalahan penelitian ini dirumuskan dalam tiga pertanyaan
berikut:
1. Bagaimana pandangan Nurcholish Madjid mengenai hubungan iman dan amal
saleh?
2. Bagaimana Nurchlolis Madjid memandang hubungan iman dengan sekularisasi
dan desakralisasi?
3. Bagaimana peran iman dalam memahami pluralisme?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian dan penulisan ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, berkenaan
dengan persyaratan akademis untuk menyelesaikan Studi Tingkat Sarjana Program Strata
Satu (S1) pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kedua, untuk memahami
salah satu persoalan terpenting dalam teologi Islam, yakni tentang iman, khususnya
konsepsi iman Nurcholish Madjid. Lebih dari sekedar tujuan di atas, tulisan ini berusaha
memberi penjelasan yang lebih mendetail mengenai beberapa pandangan Nurcholish
9
Madjid yang oleh beberapa kalangan masih dipandang tabu, kontradiktif, bahkan
dianggap bertentangan dengan akidah Islam.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan persepsi baru dan berusaha
memberikan penjelasan yang bertanggungjawab mengenai pemikiran Nurcholish Madjid
tentang prinsip amal saleh, sekularisasi dan desakralisasi, serta titik temu agama-agama,
yang mana Nurcholish Madjid mendasarkan tiga persoalan tersebut pada prinsip dasar
dalam Islam, yaitu iman.
Memahami relevansi antara iman dengan amal saleh begitu pula hubungan antara
iman dan konsepsi titik temu agama dapat menumbuhkan sikap dan pandangan bahwa
ḥabl min Allāh dan ḥabl min al-nās merupaka sesuatu yang tidak dapat disahkan dalam
kehidupan sosial-religius. Sementara pemahaman yang mendalam terhadap hubungan
iman dengan sekularisasi dan desakralisasi dapat menumbuhkan sikap kritis bagi umat
Islam dalam memahami dunia. Dengan demikian, masyarakat dapat melahirkan temuan-
temuan baru di bidang ilmu pengetahuan yang nanti sangat bermamfaat untuk
perkembangan kehidupan manusia.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian pemikiran Nurcholish Madjid bukanlah hal yang baru. Kajian
dan eksplorasi terhadap figur intelektual Muslim Indonesia ini telah berlangsung
sejak lama. Banyak sekali peminat untuk mendalami pemikiran-pemikirannya.
Beberapa karya yang terdapat di dalam dunia akademisi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang berupa skripsi antara lain yang pertama, oleh Anwar Sodik berjudul
“Tauhid dan Nilai-nilai Kemanusiaan dalam Pandangan Nurcholish Madjid”
(Skripsi, UIN Jakarta, 2008). Anwar Sodik memfokuskan skripsinya terhadap
konsep tauhidnya Nurcholish Madjid yang mengaitkan dengan nilai-nilai
10
kemanusiaan. Kedua, karya Sutisna yang berjudul “Gagasan Pluralisme dalam
Pemikiran Nurcholish Madjid” (Skripsi, UIN Jakarta, 2004). Sutisna pun masih
membahas tentang teologi Pluralisme Nurcholish Madjid. Banyak pula buku yang
ditulis mengenai pemikiran Nurcholish Madjid, salah satunya adalah yang ditulis
oleh Sukidi berjudul Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2001), dalam buku tersebut Sukidi menguraikan bagaimana pemikiran
teologi Cak Nur berdasarkan perspektif filsafat perennial, kemudian Sukidi
mengistilahkan dengan Teologi Inklusif Cak Nur berangkat dari asumsi bahwa
Islam adalah sebagai sikap pasrah kehadirat Tuhan, di mana sikap pasrah inilah
menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Sangat terlihat sekali
Sukidi hanya melihat Tauhid Nurcholish Madjid dari sisi inklusifnya saja terhadap
agama-agama lain.
Kajian yang sangat populer tentang Nurcholish Madjid adalah disertasi
yang ditulis oleh Budhy Munawwar Rachman “Titik Temu Agama-Agama:
Analisis atas Islam Inklusif Nurcholish Madjid” (Jakarta: Disertasi Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara, 2014). Tetapi, dalam karya tidak pembahasan secara
khusus mengenai pandangan Nurcholish Madjid tentang iman dengan hubungan
tiga masalah yang menjadi pokok pembahasan dalam skripsi ini.
Dari beberapa judul skripsi dan buku di atas ternyata yang membahas
mengenai “Iman Perspektif Nurcholish Madjid” belum ada. Oleh karena itu sudah
pasti tulisan ini berbeda dari skripsi yang telah ada. Di sini penulis menekankan
kepada iman perspektif Nurcholish Madjid. Dengan demikian penulis merasa
yakin bahwa skripsi ini belum ditulis orang lain.
11
E. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif
yang artinya berdasarkan data yang didapat dalam sumber data penelitian yang
bersifat kualitatif.
2. Sumber Data
Sumber data penelitian pada karya akademik ini disesuaikan dengan
teknik pengumpulan data, yakni studi kepustakaan, maka sumber-sumber yang
penulis gunakan adalah buku-buku yang ditulis oleh Nurcholish Madjid dan buku-
buku lain yang memuat tentang figur Nurcholish Madjid.
Dalam penelitian skripsi ini, penulis mengacu kepada beberapa karya primer
Nurcholish Madjid dan beberapa karya sekunder yang berkaitan dengan penelitian ini.
Sebagian karya Nurcholish Madjid yang menjadi rujukan utama dalam penelitian ini
adalah Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1995), Islam Kemoderenan dan
Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 2008),Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di
Indonesia (Jakarta: Paramadina,1997) dan beberapa karya lain yang ditulis olehnya. Di
samping itu penulis menggunakan beberapa karya lainnya sebagai pendukung yang
memiliki relevansi terhadap penelitian skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis untuk mendukung
terciptanya karya akademik ini adalah menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research). Metode ini berupaya mengumpulkan data-data
12
yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas, melalui berbagai literatur,
baik sumber primer maupun sekunder.
4. Analisis Data
Adapun pendekatan metodologi penelitian ini bersifat deskriptif dan
analitis kritis. Pendekatan deskriptif ini mengandaikan sebuah uraian yang cermat
dan objektif berdasarkan beberapa sumber yang digunakan. Artinya penelitian ini
ingin mengungkapkan falsafah iman Nurcholish dan peran iman dalam beberapa
aspek kehidupan.
Sedangkan analitis kritis adalah menganalisa serta menilai secara kritis
keseluruhan data yang telah diperoleh melalui pendekatan deskriptif tersebut
sehingga akan teungkap bagaimana iman dalam menghadapi tantangan
modernisme menurut pandangan Nurcholish Madjid.
Teknik penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah tahun 2007 yang diterbitkan oleh CeQda. Sementara
transliterasi mengacu kepada jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan oleh
HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin).
F. Sistematika Penulisan
Pembahasan tentang iman perspektif Nurcholish Madjid dalam penelitian
ini dibagi dalam beberapa bab.
Bab I merupakan pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian dan teknik penulisan, tinjauan pustaka dan sistematika
penulisan.
13
Bab II mejelaskan tentang biografi Nurcholish Madjid yang mencakup
tentang latar belakang keluarga, riwayat pendidikan dan karya-karya.
Bab III membahas tentang pemikiran Nurcholish Madjid mengenai iman
dan beberapa aspeknya seperti; makna iman, moral, ilmu pengetahuan, dan
pluralisme.
Bab IV membahas tentang bagaimana Nurcholish Madjid menanggapi
hakikat iman, prinsip amal saleh, sekularisasi dan desakralisasi, dan titik temu
agama-agama.
Bab V berisi tentang kesimpulan pemikiran Nurcholish Madjid dan saran-
saran yang mungkin diperlukan untuk bahan perbaikan dan pembahasan lebih
lanjut berkaitan dengan tema penelitian ini.
14
BAB II
BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID
A. Riwayat Hidup
Pemikiran seorang tokoh tidak lepas dari pengaruh lingkungan keluarga,
sosial, dan pengalaman intelektual yang melatar-belakanginya. Begitu juga
dengan tokoh yang sedang kita analisis pemikirannya saat ini, yakni Nurcholish
Madjid. Oleh karena itu, biografi Nurcholish Madjid sangat perlu dikemukakan
sebelum menganalisis pemikirannya secara lebih jauh. Akan tetapi, tidak semua
hal yang menyangkut riwayat hidupnya diungkapkan secara luas dalam tulisan ini,
kecuali beberapa hal yang dirasa cukup penting.
Nurcholish Madjid dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret
1939 yang bertepatan dengan 26 Muḥarrām 1358 H. Nurcholish Madjid
dilahirkan dan dibesarkan di tengah keluarga dan lingkungan pesantren yang
sangat sederhana. Ayahnya bernama H. Abdul Madjid,1seorang Kiai alim alumni
pesantren Tebuireng yang diasuh oleh Kiai Hasyim Asy„ari—pendiri Nahdhatul
Ulama (NU)—dan termasuk ke dalam keluarga besar NU, yang secara pribadi
memiliki hubungan dekat dengan Kiai Hasyim Asy„ari.2 Namun, meskipun Abdul
Madjid berasal dari lingkungan NU, secara politik dia memilih berafiliasi kepada
1 Sebenarnya pendidikan resmi Abdul Madjid hanya tamatan Sekolah Rakyat (SR), tetapi
dia memiliki pengetahuan yang luas. Fasih dalam bahasa Arab dan mengakar dalam tradisi
pesantren. Abdul Madjid seringkali dipanggil “Kiai Haji” sebagai ungkapan penghormatan bagi
ketinggian ilmu keislaman yang dimilikinya. Dia sendiri secara pribadi tidak pernah menyebut
dirinya sebagai Kiai dan tidak pernah secara resmi bergabung dengan kalangan “ulama”. Lih. Greg
Barton, Gagasan IslamLiberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid,
Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta:
Paramadina, 1999), 72. 2 Kiai Hasyim Asy„ari yang dimaksud adalah salah satu pendiri NU, organisasi Islam
tradisionalis terbesar di Indonesia ini. Lih. Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim,
Zaman Baru Islam Indonesia:Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais,
Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), 122.
15
partai politik Islam modernis, yaitu Masjumi.3 Ibunya bernama Fathonah yang
merupakan anak dari Kiai Abdullah Sajad, pendiri Pesantren Gringging, Kediri
Jawa Timur.4
Abdul Madjid sendiri merupakan santri dari Kiai Hasyim Asy„ari di
Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, yang dipimpinnya. Lebih dari
sekedar santri, Abdul Madjid menjadi murid yang sangat dipercaya oleh Kiai
Hasyim Asy‟ari karena prestasi belajarnya, terutama di bidang ilmu naḥw dan ṣarf
(ilmu tatabahasa Arab) dan ilmu ḥisāb (ilmu hitung atau matematika). Waktu
menjadi santri di Tebu Ireng, Kiai Hasyim Asy„ari memberikan nama Muhammad
Thahir. Nama Abdul Madjid digunakannya setelah usai melaksanakan ibadah haji
pada tahun 1927. Kedekatan Abdul Madjid dan gurunya, Kiai Hasyim Asya„ari,
dibaratkan hubungan seorang anak dan bapak.5
Karena kedekatan pribadi di atas itulah, Kiai Hasyim Asy„ari
menjodohkan Abdul Madjid dengan cucunya sendiri, Halimah. Pernikahan
Halimah dengan Abdul Madjid berlangsung selama 12 tahun. Akan tetapi,
pernikahan mereka tidak dikaruniai anak. Akhirnya mereka berpisah. Kiai Hasyim
Asy„ari lalu menjodohkan Abdul Madjid dengan Fathonah, putri Kiai Abdullah
Sajad. Fatonah merupakan adik dari Imam Bahri, santri dari Kiai Hasyim Asy„ari
3 Komitmen Abdul Madjid untuk tetap berafiliasi kepada partai Masjumi tidak
tergoyahkan meskipun banyak dari saudara-saudaranya yang berpindah ke NU setelah NU keluar
dari Masjumi. Lih. Greg Fealy dan Virginia Hooker (editor), Voices of Islam in Southeast Asia: a
ContemporarySourcebook (Singapore: ISEAS Publications, 2006), 220. 4 Lih. Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid:Jalan Hidup Seorang Visioner
(Jakarta: Kompas, 2010), 2. 5 Sewaktu Abdul Madjid menjadi murid Kiai Hasyim Asy„ari, Abdul madjid kerap
diminta mengambilkan uang di kantung jas yang ada di Kamar Kiai Hasyim Asy„ari. Ini
merupakan hal yang tidak biasa, terutama bagi masyarakat Jawa, dan hanya bisa terjadi karena
kedekatan pribadi. Abdul Madjid juga sering terlihat sedang memijad tubuh Kiai Hasyim Asy„ari.
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, 2.
16
di Pesantren Tebu Ireng. Melalui Imam Bahri itulah Kiai Hasyim mengatur
perjododohan Abdul Madjid dan Fathonah.6
Setelah memasuki tahun kedua dari pernikahan mereka, maka lahirlah
Nucholish Madjid. Pasangan H. Abdul Madjid dan Fathonah memberikan nama
kepada anak sulungnya itu Abdul Malik. Perubahan nama menjadi Nurcholish
Madjid kemudian terjadi pada usia 6 tahun karena Abdul Malik kecil sering sakit-
sakitan. Sebagaimana dalam tradisi Jawa, anak kecil yang sering sakit dianggap
“kebotan jeneng” atau keberatan nama. Karena alasan itulah kemudian Abdul
Malik diganti nama menjadi Nurcholish Madjid. Di samping alasan itu,
Nurcholish Madjid sendirilah yang meminta agar namanya diganti. Akan tetapi,
tidak ada keterangan yang jelas dari mana nama Nurcholish Madjid diambil.
Yang jelas, Madjid, adalah nama belakang dari Ayahnya.7 Belum Nurcholish
berumur dua tahun, dia memiliki seorang adik yang diberi nama Mukhlishah.
Kemudian menyusul lahir adik perempuan lagi bernama Qani„ah—tetapi ia
meninggal pada usia 15 tahun. Nucholish Madjid kemudian memiliki dua orang
adik laki-laki bernama Saifullah Madjid dan Muhammad Adnan. Sebagaimana
Nurchlish Madjid, kedua adik laki-lakinya itu juga menempuh pendidikan di
Gontor. Akan tetapi, mereka menempuh jalan yang berbeda dari Nurcholish
Madjid yang sangat tertarik pada dunia pemikiran Islam. Saifullah Madjid dan
6 Lih. Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 2. Lih. juga Dedy Djamaluddin
Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia:Pemikiran dan Aksi Politik
Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat (Bandung:
Zaman Wacana Mulia, 1998), 122. 7 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, 2.
17
Muhammad Adnan lebih tertarik pada dunia bisnis setelah menyelesaikan
pendidikannya.8
Sebagai anak dari tokoh yang memiliki wawasan cukup luas dalam bidang
agama Islam, Nurcholish Madjid memiliki kesempatan besar untuk banyak belajar
dari orang tuanya yang secara otomatis banyak memberikan pengaruh kepada
Nurcholish Madjid, baik dalam hal keilmuan ataupun motivasi dalam menuntut
ilmu. Hal ini seperti dituturkan sendiri oleh Nurcholish Madjid bahwa orang
tuanya telah mewarisi semangat hobi membaca kepadanya.
Membaca buku bagi saya merupakan hobi. Setiap mau tidur saya
selalu membaca dan ini saya warisi dari ayah saya. Waktu kecil
saya sering tidur di samping ayah, sebelum tidur dia selalu
membaca sambil merokok. Cara ayah mensosialisasikan kebiasaan
membaca pada saya tersebut, terulang pada anak-anak saya
(kecuali tidak sambil merokok).9
Disamping mewarisi kegemaran membaca, ayah Nurcholish Madjid juga
menurunkan sifat disiplin, religius, moralis, dan kritis.10
Karena Nurcholish
Madjid sangat gemar membaca tidak heran apabila Ahmad Wahib—sahabat
Nurcholish Madjid—menyatakan bahwa buku adalah pacar pertama Nurcholish
Madjid.11
Berkat hobi membacanya ini, Nurcholish Madjid memiliki “bekal” yang
cukup kuat untuk menganalisis berbagai sumber ilmu pengetahuan, baik Islam
maupun Barat, yang sangat berpengaruh terhadap pemikirannya.
Nurcholish Madjid mendapatkan pendidikan dasar di Sekolah Rakyat (SR)
Mojoanyar. Selain belajar di SR, dia juga belajar di Madrasah Ibtidaiyah al-
8 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, 3
9 Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, 126.
10 Marwan Saridjo, Nurcholish Madjid: di antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia
tetap Berjilbab (Jakarta: Ngali Aksara dan Paramadina, 2005), 5. 11
Djohan Effendi dan Ismed Natsir (penyunting), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan
Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, 1981, 160-67.
18
Wathaniyah yang dikelola oleh orang tuanya sendiri di Mojoanyar, Jombang.
Pada masa pendidikan dasar inilah Nurcholish Madjid sudah menampakkan
kecerdasannya dengan berkali-kali menerima penghargaan atas prestasinya. Hal
ini menimbulkan rasa malu dan rasa kagum ayahnya karena kedudukan sang ayah
saat itu sebagai pendiri dan pengajar di Madrasah al- Wathaniyah.12
Madrasah al-Wathaniyah pada awalnya merupakan sekolah pelengkap
untuk membekali anak-anak dengan pendidikan yang memadai yang tidak didapat
di SR. Untuk tujuan itu, Nurcholish mengenyam pendidikan rangkap. Pagi hari
dia sekolah di SR dan sore hari belajar di sekolah al-Wathaniyah. Guru-guru di
SR semuanya beragama Kristen. Karena itu, salah seorang pamannya pernah
melarang Nurcholish Madjid belajar di SR, tapi dia tidak memberikan solusi. Oleh
karena itu, ayahnya berusaha mengimbangi arus pendidikan sekuler dengan
mendirikan al-Wathaniyah, tanpa berusaha untuk menyainginya. Atas
pertimbangan itu, Abdul Madjid tetap membiarkan Nurcholish Madjid bersekolah
di SR. Bagaimanapun ia memandang pengetahuan umum tetap penting. Ia juga
tidak melihat anaknya kesulitan untuk menjalani pelajaran pagi dan sore hari. Hal
ini terlihat dari nilainya yg rata-rata baik, terutama ilmu hitung atau aljabar yang
selalu mendapat nilai tinggi. Pada saat yang sama Nurcholish Madjid juga mampu
dengan mudah menguasai pelajaran di madrasah seperti tata-bahasa Arab (nahw
dan sarf). Di SR Nurcholish belajar ilmu bumi dan ilmu umum lainnya. Pada saat
12
Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, 123.
19
yang sama dia tidak merasa kesulitan untuk menghafal beberapa kitab seperti ‘A
īdah al-‘Awwām dan al-‘Imriṭī.13
Berdasarkan latar belakang pendidikan di atas, dapat diketahui bahwa
sejak kecil Nurcholish Madjid telah menerima dua sistem pendidikan, yaitu
pendidikan umum yang di dapatkan di SR dan pendidikan agama yang didapatkan
di madrasah al-Wathaniyah yang dikelola oleh ayahnya sendiri. Dengan demikian,
Nurcholish Madjid sangat mudah beradaptasi dengan dua macam bidang
keilmuan sekaligus, yaitu pengetahuan umum dan agama. Sistem pendidikan ini
tentu sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemikirannya selanjutnya.
Setelah tamat dari sekolah dasar pada tahun 1955—usia Nurcholish
Madjid saat itu kurang lebih 14 tahun—ayahnya menganjurkan agar Nurcholish
Madjid melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum Rejoso, Jombang. Pesantren
Darul Ulum adalah sebuah pesantren yang didirikan oleh rekan ayahnya waktu di
pesantren Tebu Ireng, yaitu Kiai Romli Tamim. Ketika Nurcholish Madjid belajar
di pesantren tersebut, waktu itu ada salah seorang Kiai di sana sering menyindir
Nurcholish Madjid. Katanya “Wah rupanya ada anak Masyumi yang kesasar”.
Nurcholish Madjid kemudian menceritakan hal tersebut kepada ayahnya. Kiai
Madjid menanggapi ini sangat serius. Ia kemudian memanggil Nyai Fathanah,
istrinya, lalu menerangkan alasannya mengapa ia tetap bergiat di Masyumi justru
karena “fatwa” Kiai Hasyim Asy„ari. Menurut Abdul Madjid, Kiai Hasyim
Asy„ari sebelum meninggal pada tahun 1947 pernah mengeluarkan fatwa bahwa
satu-satunya partai politik Islam di Indonesia yang sah adalah Masyumi. Dan Kiai
13
Ahmad Gaus AF, Api Islam, 7-8.
20
Hasyim tidak pernah mencabut fatwa tersebut sampai wafatnya. Sebab itulah Kiai
Madjid tidak ikut keluar dari Masyumi pada saat NU tahun 1952 memutuskan
kembali ke khiṭṭah agar tidak berpolitik praktis dengan cara keluar dari partai
Masyumi.
Setelah kira-kira Nurcholish Madjid belajar dua tahun di Darul Ulum,
akhirnya Nurcholish Madjid dipindahkan oleh ayahnya ke Pondok Modern Darus
Salam Gontor di Ponorogo, Jawa Timur.14
Waktu itu Gontor dicitrakan sebagai
pesantren Masyumi. Jadi pilihan Abdul Madjid cukup alami, karena memang ia
mengira pesantren tersebut adalah pesantren Masyumi. Padahal ternyata pesantren
itu bukanlah pesantren Masyumi. Para pendirinya bukan dari orang-orang
Masyumi para siswanya juga berasal dari berbagai macam golongan. Sangat
heterogen dan majemuk. Pesantren tersebut dikenal sebagai institusi pendidikan
yang menghargai pluralitas mazhab dan juga sistem pendidikan satu-satunya di
pulau Jawa yang telah menerapkan pendidikan sistem modern yang sesuai dengan
zaman, yang mengajarkan dua bahasa bertaraf Internasional yakni bahasa Inggris
dan bahasa Arab.
Dengan menimba ilmu di lembaga pendidikan yang mengajarkan dua
metode pendidikan, sebagaimana yang dia peroleh pada masa pendidikan
dasarnya, maka Nurcholish Madjid memiliki kelebihan dalam penguasaan
khazanah ilmu-ilmu keislaman dan umum. Selain itu, penguasaannya terhadap
bahasa Arab dan bahasa Inggris memudahkannya untuk mempelajari buku-buku
asing—baik Arab maupun Inggris—dan kitab-kitab klasik (kitab kuning). Hal ini
14
Selain ideologi politik, alasan lainnya adalah faktor kesehatan (Nurcholish Madjid,
Dialog Keterbukaan, 271.
21
sangat membantu Nurcholish Madjid dalam mengembangkan wawasan
keilmuannya karena khazanah keilmuan Islam umumnya ditulis dengan bahasa
Arab dan ilmu-ilmu modern ditulis dengan bahasa Inggris. Di Gontor Nurcholish
Madjid juga belajar kitab-kitab fikih klasik yang menampilkan wawasan
perbandiangan madzhab seperti kitab fikih karya failasuf dari Spanyol, Ibn Rusyd,
yang berjudul Bidāyah al-Mujtahid.15
Di sinilah Nurcholish Madjid terlatih untuk
berpikir komparatif dalam memandang ilmu-ilmu keislaman dan tidak mudah
terjebak dalam fanatisme madzhab.
Karena kecerdasannya di Gontor, pada tahun 1960, pimpinan Pesantren
Gontor, KH. Zarkasyi, bermaksud mengirim Nurcholish Madjid ke Universitas
Al-Azhar, Kairo, ketika dia telah menamatkan belajarnya. Tetapi karena di Mesir
saat itu sedang terjadi krisis Terusan Suez, keberangkatan Nurcholish Madjid
mengalami penundaan. Sambil menunggu keberangkatan ke Mesir itulah,
Nurcholish Madjid mengajar di Gontor selama satu tahun lebih. Namun, waktu
yang ditunggu-tunggu Nurcholish Madjid untuk berangkat ke Mesir ternyata tak
kunjung tiba. Belakangan terdengar kabar bahwa kala itu di Mesir sulit
memperoleh visa, sehingga tidak memungkinkan Nurcholish Madjid pergi ke
Mesir. Nurcholish Madjid sendiri memang sempat kecewa. Tetapi, KH. Zarkasyi
bisa “menghibur”-nya dan rupanya dia tidak kehilangan akal. Lalu dia mengirim
surat ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN sekarang UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta dan meminta agar Nurcholish Madjid bisa diterima di lembaga pendidikan
tinggi Islam tersebut. Maka, berkat bantuan salah seorang alumni Gontor yang ada
15
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, 17.
22
di IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid kemudian diterima sebagai mahasiswa di
sana, meskipun tanpa menyandang ijazah negeri.16
Di IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid kemudian memilih memasuki
Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab yang pada waktu itu program pokoknya
adalah sastra Arab dan sejarah pemikiran Islam.17
Dengan memilih IAIN sebagai
tempat kuliahnya, Nurcholish Madjid memiliki akses yang luas terhadap sumber-
sumber khazanah intelektual Islam karena IAIN merupakan salah satu lembaga
pendidikan tinggi Islam terpenting di Indonesia.
Selama menjadi mahasiswa, Nurcholish Madjid sempat bergaul dengan
Buya Hamka. Hal ini bisa terjadi disebabkan dia tinggal di asrama Masjid Agung
al-Azhar di mana Buya Hamka berada dan biasa menjadi imam di masjid itu. Di
samping itu, Nurcholish Madjid pernah beberapa tahun menjadi staf editor Panji
Masyarakat yang didirikan dan diasuh oleh Buya Hamka.18
Dia sempat menjalani
hubungan dekat dengan Buya Hamka selama lebih kurang 5 tahun.19
Kedekatan
hubungannya dengan Buya Hamka nampak dalam perkataannya, “Beliau (Buya
Hamka) tempat saya berdiskusi dan menyelesaikan problem pribadi.”20
Pergaulan
yang cukup lama dengan Buya Hamka secara tidak langsung membawa dampak
16
Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, 123-24. 17
Komaruddin Hidayat, “Kata Pengantar” dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama dan
Peradaban, xiii. 18
Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim,
Penerjemah: Ahmadie Thaha (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), 153. 19
Komaruddin Hidayat mengungkapkan tentang kedekatan dan kekaguman Nurcholish
Madjid terhadap Buya Hamka. Dalam berbagai forum obrolan maupun dalam perkuliahan di
Paramadina, berulang kali Nurcholish Madjid mengemukakan rasa hormat dan kekagumannya
pada Buya Hamka yang dinilai mampu mempertemukan pandangan kesufian, wawasan budaya,
dan semangat Alquran sehingga dakwah dan paham keislaman yang ditawarkan Buya Hamka
sangat menyentuh dan efektif untuk masyarakat Islam kota. Lihat Komaruddin Hidayat “Kata
Pengantar”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), vi. 20
Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, 129.
23
kepada perkembangan wawasan pemikiran Nurcholish Madjid karena selama
pergaulan itulah terjadi tukar-pikiran atau diskusi antara Nurcholish Madjid
dengan Buya Hamka. Pergaulan itu nampaknya juga menyebabkan Nurcholish
Madjid menjadi lebih akrab dengan permasalahan umat Islam
Buya Hamka pada saat itu dikenal sebagai salah satu tokoh umat Islam
yang memiliki pengaruh besar. Dikarenakan besarnya jasa Buya Hamka
kepadanya sangat wajar apabila Nurcholish Madjid berkata, “Saya berterima kasih
sekali kepada Buya.”21
Selama menjalani masa studinya di IAIN Jakarta,
Nurcholish Madjid juga berusaha mengembangkan kemampuan bahasanya, selain
bahasa Arab dan bahasa Inggris yang telah dikuasainya. Untuk itu dia mengambil
kursus bahasa Prancis di Alliance Francaise dan selesai tahun 1962. Selain bahasa
Arab, Inggris, dan Prancis, dia juga fasih dalam bahasa Persia yang diajarkan
dalam perkuliahan di IAIN.22
Dengan beragam bahasa yang dikuasainya dan hobi
membaca yang dimilikinya, maka dia mampu membaca buku yang tidak hanya
terbatas kepada buku-buku keislaman saja (buku berbahasa Arab), seperti buku
tulisan Ibn Taymiyyah, al-Mawdūdī, al-Kindī, al-Ghazālī, Hasan al-Bannā, dan
lain-lainnya, tetapi juga banyak membaca karya-karya ilmuwan Barat dalam
bidang filsafat, sosiologi, dan politik seperti karya Karl Marx, Karl Meinheim,
Arnold Toynbee, Robert N. Bellah, Harvey Cox, Talcott Parson, dan lain-lainnya.
Pada tahun 1968, Nurcholish Madjid menyelesaikan Sarjana Lengkap (Drs.),
dengan judul skripsi: al-Qur’ān: ‘Arabiyyun Lughatan wa ‘Alamiyyun Ma‘nan,
maksudnya adalah al-Qur‟ān dilihat secara bahasa bersifat lokal (bahasa Arab),
21
Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, 129. 22
Lih. Barton, Gagasan Islam, 78.
24
tetapi dari segi makna bersifat universal.23
Karya ini bisa dibilang luar biasa
dilihat dari perspektif yang terdapat di dalamnya. Dari karya tersebut dapat
diketahui bahwa Nurcholish Madjid dengan berani melakukan analisis filosifis
terhadap al-Qur‟ān sebagai sumber utama ajaran Islam. Hasilnya, adalah
pandangan bahwa secara bahasa al-Qur„ān tidak lepas dari “pengaruh budaya”,
tetapi kandungan maknanya bersifat universal.
Tamat dari IAIN Jakarta Nurcholish Madjid memperoleh kesempatan
melanjutkan studinya ke Chicago, pada tahun 1974. Perjalanan Nurcholish Madjid
didanai oleh Ford Foundation. Ketika itu Fazlur Rahman dan Leonard Binder
berkunjung ke Indonesia untuk pertama kalinya, bertujuan untuk mencari peserta
program seminar dan lokakarya di The University of Chicago.24
Sebenarnya pada awal kedatangannya bukan Nurcholish Madjid yang
dicari oleh Fazlur Rahman dan Leonard Binder, melainkan H.M Rasjidi. Tetapi
atas pertimbangan usia yang terlalu tua akhirnya dibatalkan. Kemudian Leonard
Binder mengambil inisiatif untuk mendorong Nurcholish Madjid mengikuti
seminar dan lokakarya sebagai peninjau yang diselenggarakan oleh University of
Chicago. Di Universitas Chicago Nurcholish Madjid meminta kepada Leonard
Binder agar ia dapat kembali lagi dengan status mahasiswa setelah penelitian
berakhir. Tetapi Nurcholish harus kembali dulu ke Jakarta untuk ikut ambil bagian
dalam pemilu 1977. Maret 1978 Nurcholish Madjid kembali lagi ke Amerika
untuk mengambil program Pasca Sarjana di University of Chicago,di sana Fazlur
Rahman mengajaknya untuk mengambil penelitian di bidang kajian keislaman
23
Komaruddin Hidayat, “Kata Pengantar”, xiii 24
Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid (Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2004), 30.
25
(dibawah bimbingannya) daripada kajian Ilmu Politik (dibawah bimbingan
Leonard Binder) yang sejak awal telah direncanakan Nurcholish Madjid.25
Di Chicago, Nurcholish Madjid memperoleh gelar Doktor antara tahun
1978-1984, dengan disertasi yang berjudul ”Ibn Taymiyyah on Kalām and
Falsafah: a Problem of Reason and Revelation (Ibn Taymiyyah dalam Kalām dan
Filsafat: antara Akal dan Wahyu dalam Islam).26
Pada 15 Agustus 2005, Nurcholish Madjid dirawat di RS Pondok Indah
karena mengalami gangguan pada pencernaan. Sebelumnya, pada 23 Juli 2004 dia
sempat menjalani operasi transplantasi hati di RS Taiping, Provinsi Guangdong,
China. Pada hari Senin 29 Agustus 2005, bertepatan dengan 24 Rajab 1426, pukul
14.05 WIB, di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, di hadapan istrinya
Omi Komariah, putrinya Nadia Madjid, putranya Ahmad Mikail, menantunya
David Bychkon, sahabatnya Utomo Danandjaja, Sekretarisnya Rahmat Hidayat,
stafnya Nizar, keponakan dan adiknya, akhirnya Nurcholish Madjid
menghembuskan nafas terakhirnya. Jenazah Rektor Universitas Paramadina itu
disemayamkan di Auditorium Universitas Paramadina di Jalan Gatot Subroto,
Jakarta. Kemudian jenazah penerima Bintang Mahaputra Utama itu
diberangkatkan dari Universitas Paramadina setelah upacara penyerahan jenazah
dari keluarga kepada negara yang dipimpin Menteri Agama, Maftuh Basyuni,
untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata pada hari Selasa,
30 Agustus 2005, pukul 10.00 WIB. Sementara, acara pemakaman secara
kenegaraan di TMP Kalibata dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang
25
Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid, 32. 26
Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid, 32.
26
Kesejahteraan Rakyat, Alwi Shihab.27
Nurcholish Madjid meninggalkan
pemikiran-pemikiran keislaman yang akan menjadi bahan renungan bagi generasi
intelektual Muslim setelahnya. Pemikiran-pemikirannya itu tidak dapat dipungkiri
memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan umat Islam di
Indonesia. Sebagai sosok yang mencetuskan gagasan Islam kultural pada saat
umat Islam menginginkan terlaksananya syariat Islam atau diakuinya Piagam
Jakarta oleh negara, sosok Nurcholish Madjid terkesan “menyimpang” dari arus
utama aspirasi umat Islam sehingga menimbulkan pro dan kontra dalam umat
Islam. Namun, sebagai manusia gagasan-gagasan Nurcholish Madjid itu tidak
pernah sempurna. Oleh karena itu, gagasan Nurcholish Madjid senantiasa akan
mendapat perhatian dan kritikan dari umat Islam, baik itu yang pro atau pun yang
kontra dengan pemikirannya.
B. Karya-Karya
Sebagai seorang cendikiawan Muslim yang produktif, kita dapat
menelusuri karya-karya ilmiah yang pernah ia tulis, mulai dari yang berbentuk
artikel sampai bebentuk buku yang sering kali dicetak ulang. Dalam tulisan ini
tidak diuraikan karya Nurchlish Madjid secra keseluruhan. Fokus yang ditekankan
dalam tulisan ini lebih pada karya-karyanya yang dianggap mewakili gagasan
sentralnya. Di antara karya-karya Nurcholish Madjid yang telah beredar antara
lain:
27
Dikutip dari berbagai sumber seperti Kompas cetak online, www.kompas.com, dan
www.tokohindonesia.com, Selasa, 30 Agustus 2005, Tempo, 11 September 2005.
27
Pertama, Khasanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1984).Karya ini ditulis oleh Nurcholish Madjid dimaksudkan untuk
memperkenalkan salah satu segi kejayaan Islam di bidang pemikiran, khususnya
yang berkaitan dengan falsafat dan teologi. Nurcholish Madjid dalam buku
tersebut, memperkenalkan tokoh-tokoh Muslim klasik seperti al-Kindī, al-Asy„arī,
alFarābī, al-Afghānī, Ibn Sīnā, al-Ghazālī, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyyah, Ibn
Khaldūn, dan Muḥammad „Abduh. Buku ini merupakan sebuah pengantar untuk
membuka wawasan dan kajian yang lebih luas secara lebih mendalam tentang
khazanah kekayaan pemikiran Islam.
Kedua, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1988).
Dalam buku ini kita bisa melihat gagasan-gagasan Nurcholish Madjid yang
didasarkan kepada sumber utama ajaran Islam yang kemudian melahirkan sebuah
pandangan bahwa Islam selalu mendorong umatnya untuk selalu berkembang dan
dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam buku ini pula Nurcholish
Madjid menyuguhkan perspektif dan sikap masyarakat Indonesia selaku pemeluk
agama Islam.
Ketiga, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992).
Buku ini berisi tentang hakikat tauhid dan emansipasi harkat manusia, disiplin
ilmu keislaman tradisional, membangun masyarakat etis serta universalisme Islam
dan kemodernan.
Keempat, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna Relevansi
Doktrin Islam dan Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995) Dalam tulisannya
28
Nurcholish menuangkan pemikirannya tentang makna dan implikasi penghayatan
iman terhadap perilaku sosial.
Kelima, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi Visi Baru Islam
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995) Buku ini berusaha menghadirkan Islam
dengan wajah yang lebih humanis, adil, inklusif dan egaliter. Hanya saja
Nurcholish Madjid menghadirkannya dengan gaya yang lebih universal serta
mempertimbangkan aspek kultural paham-paham keagamaan yang berkembang.
Keenam, Masyarakat Religius (Jakarta: Paramadina, 1997). Buku berisi
tentang Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi dan sosial, konsep
keluarga Muslim, prinsip medis dan kesehatan keluarga muslim serta konsep
mengenai eskatologis dan kekuatan supraalami.
Ketujuh, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam Dalam Wacana
Sosial Politik Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 1998). Buku ini merupakan
hasil wawancara, dengan tema yang beragam dan spontan yang meliputi
permasalahan politik, budaya dan pendidikan.
Kedelapan, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina,
1999). Isi dari buku ini adalah gagasan pembaruan yang pernah dilontarkan
Nurcholish Madjid dalam berbagai transformasi nilai-nilai al-Qur‟ān dalam
mewujudkan masyarakat Madani.
Karya-karya yang pernah ditulis Nurcholish Madjid, berangkat dari
berbagai pengalaman dan refleksi sosial-filosofis terhadap kondisi umat Islam.
Nurcholish Madjid berusaha menyuguhkan alternatif agar Islam menjadi agama
yang benar-benar melekat dan memiliki fungsi dalam kehidupan baik secara
29
individu maupun sosial. Sehingga menurut Nurcholish Madjid Al-Qur‟ān dan
Sunnah perlu diinterpretasikan secara kreatif, kritis namun tetap dengan sikap
yang bertanggung jawab serta dipahami secara keseluruhan dengan menerapkan
metode filosofis sehingga nilai-nilai universal yang dikandungnya mampu
menjadi landasan bagi kehidupan umat, dan dapat dimanifestasikan secara konkret
dalam hidup ini.
29
BAB III
IMAN DAN BEBERAPA ASPEKNYA
A. Makna Iman
Sebelum lebih jauh menganalisis pemikiran Nurcholish Madjid tentang
iman sebagaimana telah kita lihat pada rumusan masalah, dalam bab ini kita
membahas beberapa landasan teoritis tentang iman dan beberapa aspekyang
berkaitan dengan masalah yang diangkat untuk dijadikan alat dalam menganalisis
pemikiran Nurcholish Madjid secara lebih jauh.
Secara terminologi, iman berasal dari bahasa Arab īmān, yang merupakan
bentuk ism maṣdar dari kata āmana-yu’minu-īmān. Dalam kamus, kata āmana
bihi disepadankan dengan kata ṣaddaqahu dan wastiqa bihi yang artinya
“mempercayai” atau “beriman kepada sesuatu.”1 Dengan demikian, kata īmān
berarti sebuah “kepercayaan” terhadap sesuatu yang dalam hal ini merupakan
kepercayaan dan keyakinan terhadap Tuhan. Berdasarkan pengertian tersebut,
maka orang yang beriman disebut Mu‘min.
Di dalam al-Qur‟ān banyak sekali kata yang mengandung arti iman seperti
‘āmanū, yu’minūn, mu‘minūn dan sebagainya. Ungkapan tersebut memiliki
konteks yang berbeda-beda. Kitika kita meerujuk makna iman di dalam al-Qur‟ān
tentu memiliki banyak aspek, yang dalam hal ini tidak dijelaskan semua di sini.
Di antara ayat yang paling penting berbicara tentang iman adalah,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang
percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya.2
1 A.W. Munawwir, Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif: 1997), hal. 41.
2 Al-Hujurāt (49): 15.
30
Ayat di atas secara tandas menyebutkan bahwa iman yang dimaksud
adalah keyakinan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Hal ini juga sejalan dengan apa
yang terkandung dalam Ḥadīts masyhur berikut. Suatu ketika Muḥammad ditanya
tentang iman. Nabi menjawab,
Iman ialah jika engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya,
para Rasul-Nya, hari akhirat, beriman kepada qadar yang baik dan
yang buruk.3
Ḥadīts di atas menunjukkan bahwa terdapat hal tertentu yang menjadi
objek yang harus diimani. Objek tersebut adalah (1) beriman kepada Allah, (2)
beriman kepada para malaikat, (3) beriman kepada para Rasul, (4) beriman kepada
kiba-kitab Allah, (5) beriman terhadap keberadaan hari akhir, dan (6) beriman
bahwa taqdir baik dan buruk datang dari Allah. Dalam madzhab Ahl al-Sunnah
wa al-Jamā„ah enam perkara tersebut adalah rukun iman yang dianggap mutlak
dan tak dapat diganggu gugat.4 Dengan kata lain, mengingkari salah satu dari
enam hal tersebut bisa dipandang sebagai orang yang tidak beriman.
Di samping pengertian di atas, definisi iman yang paling umun juga
didasarkan kepada Ḥadīts berikut,
Iman adalah meyakini dengan hati, menetapkan dengan lidah, dan
melaksanakan dengan anggota badan.5
Pengertian di atas menunjukkan bahwa iman adalah kepercayaan yang
diyakini dalam hati, diikrarkan dengan lidah atau dengan kata lain orang bisa
dikatakan beriman apabila dia menegaskan dengan ucapan dan perbuatannya.
3 Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim (Riyadh: Bayt al-Afkār al-Dawliyyah, 1998), 37.
4 Muḥammad al-Ghazālī, ‘Aqīdah al-Muslim (Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, 1983), 108-09.
5 Ḥadīts ini diriwayatkan oleh Ibn Mājah dari „Alī ibn Abī Tālib, Ḥadīts ke-65 pada bab
tentang iman. Akan tetapi, dari segi kualitas Ḥadīts ini dipandang palsu. Ibn Mājah, Sunan Ibn
Mājah (Riyadh: Maktabah al-Ma„arif, Tt. ) Cet. I, 26.
31
Dalam pengertian ini, iman adalah sebuah konsepsi yang kemudian harus diikuti
oleh tindakan.
Dalam perkembangan sejarah teologi Islam, persoalan iman, yakni
pembahasan menyangkut Mu‟min dan kafir sudah lama diperbincangkan. Salah
satu kelompok dari golongan Khawārij memandang bahwa yang dianggap kafir
dan tidak beriman bukan hanya orang yang tidak percaya kepada Allah, tetapi
pelaku dosa besar—seperti membunuh dan berzina—juga dianggap kafir dan
keluar dari Islam.6 Artinya, konsep iman dan kafir dalam pandangan mereka tidak
hanya diukur dari kepercayaannya yang ada dalam hatinya, tetapi juga diukur dari
perbuatannya. Ada pula dari golongan Khawārij yang memandang bahwa iman itu
tempatnya dalam hati, bukan terletak pada ucapan dan perbuatan. Seseorang boleh
menyembunyikan—taqiyyah—keimanannya untuk melindungi diri.7
Jadi,
seseorang boleh mengucapkan kata-kata dan melakukan perbuatan yang
menunjukkan lahiriah bukan Islam, tetapi pada hakikatnya mereka beriman.
Mengenai pelaku dosa besar, kelompok Murji„ah memandang bahwa dia
tetap dipandang mu‟min dan tidak keluar dari Islam. Adapun masalah
hukumannya terserah kepada Allah.8 Menurut Abu Ḥanīfah—yang dipandang
sebagai salah satu tokoh Murji„ah—iman adalah pengetahuan dan pengakuan
tentang Tuhan, tentang Rasul-Rasul-Nya dan semua apa yang datang dari Tuhan.
Iman juga tidak memilki sifat berkurang atau bertambah. Golongan Murji„ah yang
6 Pendapat ini dikemukakan oleh al-Muḥakkimah—salah satu kelompok dari golongan
Khawārij. Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta:
UI Press, 2010), 16. 7 Pandangan ini dikemukakan oleh kelompok al-Najdah yang juaga merupakan salah satu
golongan dari kelompok Mu„tazilah. Menurut Harun Nasution, kelompok inilah yang pertama
membawa paham taqiyyah dalam sejarah teologi Islam. Harun Nasution, Teologi Islam, hal. 19. 8 Harun Nasutio, Teologi Islam, 25-6.
32
agak ekstrim berpendapat, orang Islam yang percaya kepada Tuhan dan
menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah kufur. Menurutnya, iman dan
kufur tempatnya di dalam hati, tidak berada di bagian lain dari tubuh.9 Semua
pendapat Murji„ah ini menunjukkan, iman atau tidaknya seseorang tidak dapat
diukur dari perbuatannya, melainkan dari keyakinan yang ada dalam hati.
Pandangan serupa di atas juga dikemukakan oleh kelompok Asy„ariyyah.
Abū Ḥasan al-Asy„arī—sebagai pendiri aliran Asy„ariyyah—berpendapat, iman
adalah pengakuan dalam hati tentang keesaan Tuhan dan tentang kebenaran
Rasul-Rasul-Nya serta segala apa yang diajarkannya. Ungkapan secara lisan dan
pelaksanaan rukun Islam merupakan cabang dari iman. Pendosa besar hukumnya
tergantung Tuhan. Boleh jadi Tuhan mengampuni dosanya dan boleh jadi tidak,
tetapi ia disiksa sesuai dengan perbuatannya. Baru kemudian Tuhan memasukkan
ke surga, karena ia tidak mungkin kekal di dalam neraka.10
Pandangan ini juga
menunjukkan bahwa iman tidak sepenuhnya dapat dipandang dari perbuatan.
Secara konseptual, Asy„ariyyah memandang bahwa iman merupakan taṣdīq atau
menerima kebenaran tentang keberadaan Tuhan sebagai kebenaran.11
Dengan kata
lain, kewajiban beriman itu hadir setelah datangnya wahyu.
Berbeda dengan itu, menurut Mu‟tazilah, mengetahui Tuhan (ma‘rifah)
belum cukup dikatakan beriman. Al-Qāḍī „Abd al-Jabbār, sebagaimana
Mu„tazilah berpendapat, orang yang mengetahui Tuhan tetapi melawan kepada-
Nya, bukanlah mu‟min. Iman harus ditunjukkan dengan ‘amal sebagai akibat dari
mengetahui Tuhan. Artinya, iman lebih dari sekedar taṣdīq, ma‘rifah dan ‘amal.
9 Harun Nasution, Teologi Islam, 27-8.
10 Harun Nasution, Teologi Islam, 31.
11 Harun Nasution, Teologi Islam, 148
33
Pandangan ini tampak berbeda dengan pandangan-pandangan sebelumnya. Bagi
Mu„tazilah, hususnya seperti yang telah di kemukakan al-Qāḍī „Abd al-Jabbār,
iman bukan sekedar pengakuan, tapi juga perbuatan, dalam arti melaksanakan
segala perintah Tuhan.12
B. Moral
Pengertian iman di atas menunjukkan kepada kita bahwa dalam konteks
teologis, iman selalu dihubungkan dengan perbuatan manusia. Pembahasan
mengenai keterkaitan iman dan perbuatan manusia sangat diperlukan untuk
menganalisis pandangan Nurcholis Madjid tentang hubungan iman dan amal saleh
yang merupakan bagian dari perbuatan manusia. Pembahasan tentang perbuatan
manusia menyangkut baik dan buruk disebut moral atau etika.
Secara umum pengertian moral13
sering disinonimkan dengan etika,14
yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara
berfikir. Dalam kajian filsafat, moral atau etika memiliki banyak definisi. Akan
tetapi, dalam konteks ini kita memandang dengan sangat sederhana bahwa
pengertian yang dimaksud berkenaan dengan perilaku manusia menyangkut baik
atau buruk.
12
Harun Nasution, Teologi Islam, 147. 13
Moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya mores, yang
artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral
diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai
rumusan pengertian moral, yang dari segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan. 14
Etika, berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani Kuno, yang berarti
kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara berfikir. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia etika diartikan sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak, dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
34
Terdapat banyak teori dalam etika yang mempersoalkan pengertian baik
atau buruk. Tetapi kita hanya mengambil salah-satunya, yaitu apa yang dimaksud
dengan etika teologis. Aliran ini berpendapat bahwa yang menjadi ukuran dari
baik buruk perbuatan manusia didasarkan atas dasar ajaran Tuhan15
sebagaimana
terdapat dalam Kitab Suci. Pengertian ini memang masih ambigu, mengingat kita
dihadapkan dengan beragam agama yang mempunyai Kitab Suci sendiri-sendiri,
yang antara satu dengan yang lain berbeda, bahkan boleh jadi bertentangan.
Masing-masing penganut agama mengakui dirinya bersandarkan ajaran Tuhan.
Sebagai jalan keluar dari kesamaran di atas yaitu dengan mengaitkan etika
teologis pada agama tertentu, misalnya etika teologi Islam, Kristen, Yahudi dan
sebagainya. Berdasarkan pandangan ini, maka yang disebut baik dalam Islam
ialah apabila sesuai dengan perintah wahyu atau al-Qur‟ān. Sebaliknya, yang
disebut buruk dalam Islam ialah suatu perbuatan yang tidak sejalan dan
bertentangan dengan wahyu atau al-Qur‟ān. Sekalipun interpretasi baik dan buruk
yang di dasarkan pada al-Qur‟ān itu bentuknya tetap berbeda-beda, corak tersebut
tetap dikategorikan etika teologis karena ukuran baik dan buruk didasarkan
kepada kitab suci, terlepas dari perbedaan interpretasi yang terdapat di dalamnya.
Selanjutnya, bagaimana hubungan perbuatan manusia dengan iman?
Seperti sudah kita lihat sebelumnya, golongan Murji„ah sangat menekankan
makna iman dari segi i‘tiqād atau keyakinan dalam hati seseorang. Oleh karena
itu, menurut mazhab ini, iman itu letaknya di dalam hati. Kalau seseorang sudah
bertekad bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muḥammad adalah utusan
15
Marzelah Maksin, Sains Pemikiran & Etika (Kuala Lumpur: PTS Professional, 2006),
30.
35
Allah, dia sudah beriman sampai dia mengubah tekadnya tersebut.16
Perkara amal
saleh atau dosa yang diperbuatnya, itu terpisah dari keimanan. Jadi, sekalipun
orang tersebut melakukan perbuatan buruk atau dosa besar, hal itu tidak
memberikan bekas dan muḍārah terhadap keimanannya. Dengan kata lain,
perbuatan fisik terpisah dari iman yang diyakini dalam hati.
Pandangan ini sama sekali berbeda dengan pandangan Khawārij yang
berpendapat bahwa iman harus mendapat legitimasi dari perbuatan fisik.
Konsekuensinya, seorang yang berbuat dosa besar dianggap telah kafir dan tidak
lagi disebut Mu‟min.17
Iman dalam pandangan Khawārij tidak semata-mata
percaya kepada Allah. Mengerjakan segala kewajiban agama juga merupakan
bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang bersifat religius merupakan bagian
dari keimanan (al-‘amal juz‘ al-īmān). Dengan demikian, siapapun yang
menyatakan beriman kepada Allah dan Nabi Muḥammad adalah utusannya-Nya,
tetapi tidak melaksanakan kewajiban dan malah melakukan dosa, maka mereka
dipandang kafir atau tidak beriman.18
Mu„tazilah memilki pandangan yang berbeda dari kedua pandangan di
atas. Pandangan Mu„tazilah tentang hubungan iman dan moral dapat kita lihat dari
pandangannya tentang kebebasan manusia dan keadilah Tuhan. Bagi Mu„tazilah,
di samping akal dapat mengetahui Tuhan (ma‘rifah Allah), akal juga dapat
mengetahui baik dan buruk (ma‘rifah al-ḥusn wa al-qubḥ) dan kewajiban
mengerjakan perbuatan baik serta kewajiban menjauhi perbuatan jahat (wujūb
16
Lih. Harun Nasution, Teologi Islam, 25. 17
Harun Nasution, Teologi Islam, 9. 18
Abdur Rozak dan Rosihon Anwar, Imu Kalm (Bandung, Pustaka Setia, 2011), hal. 143.
36
i‘tināq al-ḥasan wa ijtināb al-qabīḥ).19
Karena kemampuan akal tersebut, manusia
memiliki kebebasan dalam menentukan tindakannya sehingga secara logis
manusia bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Hal ini sejalan dengan
ajaran Mu„tazilah tentang keadilan Tuhan (al-‘adl) serta janji dan ancaman Tuhan
(al-wa‘d wa al-wa‘dī). Bagi Mu„tazilah, Allah tidak dikatakan adil apabila tidak
memberi pahala bagi orang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum orang
yang berbuat jahat.20
Keadilan menghendaki agar orang yang bersalah diberi
hukuman dan orang yang berbuat baik diberi upah sebagaimana telah dijanjikan
Tuhan.21
Menurut Asy„ariyyah baik dan buruk tidak dapat diketahui oleh Akal.
Baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui wahyu.22
Dengan demikian,
penilaian baik atau buruknya perbuatan manusia hanya dapat diukur dari sesuai
atau tidaknya dengan ajaran al-Qur‟ān.
Dari uraian di atas ada beberapa hal yang perlu kita garis-bawahi
menyangkut keterkaitan iman dengan amal saleh. Pertama, iman tidak memiliki
keterkaitan dengan perbuatan manusia sehingga amal saleh bukan bagian dari
iman. Kedua, iman harus juga tampak dalam perbuatan sehingga amal saleh
merupakan bagian dari iman. Ketiga, perbuatan baik atau amal saleh merupakan
konsekuensi logis dari keimanan.
C. Ilmu Pengetahuan
19
Untuk mengetahui lebih rinci pandangan Mu„tazilah tentang hal-hal yang dapat
diketahui oleh akal, lih. Harun Nasution, Kedudukan Akal dalam Islam (Jakarta: Inti Idayu Press,
1979), hal. 22-6. 20
Harun Nasution, Teologi Islam, 56. 21
Harun Nasution, Teologi Islam, 56. 22
Harun Nasution, Teologi Islam, 87.
37
Iman—di samping memiliki hubungan dengan perbuatan manusia—sering
dihubungkan dengan cara pandang manusia terhadap ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan yang dimaksud, yakni sains yang pada dasarnya bersifat empiris.
Secara etimologi, ilmu dalam bahasa Inggris disebut sebagai science, yang
merupakan serapan dari bahasa latin scientia, yang merupakan turunan dari kata
scire, dan mempunyai arti mengetahui (to know), yang juga berarti belajar (to
learn).23
Science juga bermakna pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-
tanda, dan syarat-syarat yang khas.
Ilmu pengetahuan merupakan sebuah usaha pemahaman manusia yang
disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, bagian-bagian, dan
hukum-hukum tentang hal-ihwal yang diselidiki (alam, manusia, dan agama)
sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran yang dibantu penginderaan yang
kebenarannya diuji secara empiris, riset, dan eksperimen.24
Sains atau ilmu pengetahuan dikatakan bersifat empiris karena sistem
epistemologinya dibangun atas dasar empirisme. Empirisme adalah aliran
epistemologi yang menganggap bahwa realitas terbatas pada objek-objek yang
hanya dapat diobservasi melalui “pengalaman” indrawi. Aliran ini meyakini
bahwa pengalaman (empiris) merupakan satu-satunya sumber pengetahuan.
Sistem epistemologi ini kemudian mendapat tempat yang sangat subur dalam
proyek pengembangan Ilmu pengetahuan di Barat. Sistem epistemologi ini pada
dasarnya berpihak pada positifis-empiris yang mengesampingkan keberadaan
sebuah konsepsi yang kebenarannya tidak dapat diverifikasi secara ilmiah—dalam
23
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2000), 87. 24
Endang Saefuddin Anshori, Ilmu, Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), 50.
38
arti positifis. Oleh karena itu, hal-hal yang berkenaan dengan metafisika dan
keyakinan keagamaan (faith of religion) kadang-kadang sangat dikesampingkan.
Berbeda dari Barat, Islam meyakini berbagai pengetahuan keagamaan—misal
wahyu dan konsepsi keimanan—sebagai otoritas yang diyakini kebenarannya.
Secara ontologis, iman dan ilmu pengetahuan merupakan dua objek yang
berbeda. Keimanan bersifat abstrak-metafisik yang “keberadaan objeknya” dan
“kebenarannya” tidak bisa diverifikasi secara ilmiah dalam arti positif-empiris,
sementara objek ilmu pengetahuan—dalam arti sains—bersifat material yang
pengamatannya dapat dilakukan dan diverifikasi secara indrawi, dan empiris.
Oleh karena itu, jelas bahwa keimanan dan ilmu pengetahuan memerlukan
pendekatan epistemologis yang berbeda.
Persoalan iman—terutama tentang kepercayaan terhadap Tuhan—
merupakan sebuah keyakinan yang tidak menghendaki pembuktian secara ilmiah.
Pada dasarnya secara epistemologis, mutakallim sepakat menempatkan wahyu
sebagai sumber utama pengetahuan religius. Oleh karena, perbedaan epistemologi
dalam ilmu kalām hanya terletak pada perbedaan porsi dan peran akal dalam
menafsirkan teks-teks keagamaan yang sudah dianggap mutlak.
Di samping aspek epistemologi, hubungan iman dan ilmu pengetahuan
juga dapat lihat dari paham sunnatullāh seperti yang dianut oleh Mu„tazilah.
Sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, kaum Mu„tazilah menganut paham
bahwa tiap-tiap benda memiliki natur atau hukum alam sendiri dan mempunyai
sifat serta natur sendiri yang menimbulkan efek tertentu menurut natur masing-
masing. Efek yang ditimbulkan tiap benda ialah seperti gerak, diam, warna, rasa,
39
bau, panas, dingin, basah, dan kering timbul dari masing-masing natur dari benda
yang bersangkutan. Sebenarnya efek yang ditimbulkan tiap benda itu bukan
perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan hanyalah menciptakan benda-benda yang
memiliki natur tertentu. Dengan demikian, kaum Mu„tazilah percaya pada hukum
alam atau Sunnah Allāh yang menganut perjalan kosmos dan dengan demikian
menganut paham determinisme. Determinisme ini bagi Mu„tazilah tidak berubah-
ubah sama dengan keadaan Tuhan. Sesuatu yang ada dalam alam semesta berjalan
menurut Sunnah Allāh dan Sunnah Allāh tersebut dibuat Tuhan sedemikian rupa
sehingga sebab yang terdapat di dalamnya memiliki hubungan yang erat. Bagi tiap
sesuatu Tuhan menciptakan sunah tertentu. Misalnya sunah yang mengatur hidup
manusia berbeda dengan sunah yang mengatur tumbuhan.25
Dengan demikian,
paham ini memandang bahwa Tuhan telah menciptakan alam beserta sunnahnya
dan berjalan secara mekanis di mana dalam hal ini Tuhan tidak lagi ikut campur
tangan dalam hukum-hukum alam yang sudah ditetapkannya. Hal ini berbanding
terbalik dengan faham jabariyyah atau fatalisme yang memandang bahwa
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tetap berlaku secara penuh terhadap
kebebasan manusia dan hukum alam dan memandang bahwa Tuhan tetap
memiliki campur tangan secara mutlak.
D. Pluralisme
Pada dasarnya semua agama membawa peraturan-peraturan atau hukum-
hukum yang harus dipatuhi oleh setiap pemeluknya. Di dalamnya terdapat
kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan dan larangan-larangan yang harus
25
Harun Nasution, Teologi Islam, 120-21.
40
ditinggalkan. Peraturan dan hukum tersebut berfungsi untuk mengatur kehidupan
umat manusia. Hal inilah yang kemudian menimbulkan pandangan bahwa dari
segi moral secara umum setiap agama memiliki tujuan yang sama, yaitu menyeru
kepada kebaikan dan mencegah keburukan atau kejahatan. Dari pengertian ini,
muncul sebuah konsepsi bahwa semua agama memiliki satu cita-cita universal,
yakni “kebaikan” melalui kepercayaan terhadap Tuhan.
Tulisan ini akan meninjau konsepsi “kesatuan” tersebut lebih ditekankan
dari sudut pandang Islam. Hal ini untuk menganalisis pemikiran Nurcholish
Madjid mengenai konsepsi iman dan pandangannya tentang kesatuan agama-
agama. Sebab, argumen-argumen yang dikemukakan Nurcholish Madjid
didasarkan atas pemaknaannya terhadap “Islam.” Oleh karena itu, Islam di sini
terlebih dahulu perlu didefinisikan baik secara etimologis, maupun terminologis.
Secara etimologi, kata Islam berasal dari bahasa Arab yaitu kata salima
yang berarti “selamat.” Dari kata tersebut maka terbetuk kata aslama-yuslimu-
islāmān yang memiliki arti “pasrah, tunduk, patuh, dan taat.” Kata islām
merupakan bentuk maṣdar, sementara fā‘lnya adalah muslimun. Oleh karena itu,
orang yang memeluk agama Islam disebut Muslīm. Di samping itu, dikatakan
bahwa Islam berasal dari kata isti’lamu yang berarti “menyerahkan diri” (Q.s. 3:
83). Islam adalah sikap menyerahkan diri kepada Allah. Manusia harus tunduk
dan menyerahkan diri atas apa yang telah ditentukan oleh Allah. Dikatakan pula
bahwa Islam berasal dari kata al-salām yang berarti “keselamatan” (Q.s. 5: 16).
Artinya agama Islam menjadi sebuah jalan bagi setiap pemeluknya agar
mendapat keselamatan baik keselamatan duniawi, maupun ukhrawi. Dikatakan
41
pula berasal dari al-silm yang berarti “damai” (Q.s. 2:208). Artinya bahwa Islam
membawa kedamaian bagi setiap pemeluknya dan merupakan rahmat bagi
seluruh alam. Dikatakan pula bahwa Islam berasal dari kata sālim yang artinya
“bersih” (Q.s. 26:88-89). Islam selalu menyerukan kebersihan baik kebersihan
fisik (jasmani), maupun kebersihan batin (rohani).26
Dari serangkaian pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa Islam berarti
tunduk dan berserah diri kepada Allah, baik secara jasmani maupun rohani,
dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dengan jalan itulah manusia dapat memperoleh kedamaian dan keselamatan baik
di dunia, maupun di akhirat.
Pengertian Islam yang paling umum disandarkan kepada sebuah Ḥadīts
masyhur bahwa suatu ketika Nabi Muḥammad ditanya oleh malaikat Jibrīl
mengenai Islam. Kemudian Nabi Menjawab:
Islam ialah jika engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa Muḥammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan salat,
berpuasa Ramaḍān, engkau mengeluarkan zakat, melaksanakan haji ke
Bayt al-Ḥarām jika mampu.27
Ḥadīts di atas menunjukkan ciri apa yang disebut dengan Islam. Ciri
tersebut merujuk kepada seperangkat praktik dan ritual yang bersifat lahiriyah.
Artinya, terdapat pengakuan, tindakan, dan ibadah tertentu yang mutlak harus
dilaksanakan. Ciri tersebut adalah: (1) syahādah, yakni pengakuan bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Nabi Muḥammad adalah utusan Allah, (2) melaksanakan
26
Amiem Tohari (ed.), Islam Rahmat bagi Alam Semesta (Ciputat: Alifia Books), 168. 27
Ibn Taymiyyah, Al-Iman, 2.
42
salat, (3) mengeluarkan zakat, (4) melaksanakan puasa pada bulan Ramaḍān, dan
(5) menunaikan ibdah haji bagi yang mampu.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa terdapat usur-unsur yang harus
dilaksanakan sehingga seseorang dapat dikatakan Muslim. Unsur baku tersebut
ialah apa kita kenal dengan sebutan “rukun Islam”. Menurut Ibn Taymiyyah,
Ḥadīts tersebut secara tegas menunjukkan bahwa Islam yang didirikan atas lima
perkara di atas merupakan Islam itu sendiri. Artinya, jika Islam dibangun atas
dasar di luar lima perkara di atas, maka hal tersebut tidak sesuai dengan
pengertian dan kaidah Islam yang dibawa Rasul. Bagi Ibn Taymiyyah “rukun
Islam” yang disebut tadi adalah hakikat Islam itu sendiri.28
Dari segi historis, Islam adalah agama wahyu yang diturunkan Allah
kepada Nabi Muḥammad. Islam merujuk kepada sebuah instansi yang mana Nabi
Muḥammad menjadi tokoh sentral sebagai pembawa ajaran tersebut, sementara
kitab al-Qur„ān merupakan sumber utama ajarannya. Singkatnya, Islam adalah
agama yang dibawa oleh Nabi Muḥammad dan al-Qur‟ān merupakan kitabnya.
Kosekuensinya, selain agama yang dibawa Nabi Muḥammad—seperti Kristen dan
Yahudi, meskipun dikategorikan sebagai agama wahyu—tidak bisa disebut Islam.
Secara teologis, setiap pemeluk agama memiliki kecenderungan untuk
mengklaim bahwa hanya agama yang dipeluknyalah yang paling benar, sementara
agama lain dipandang salah bahkan sesat dan tidak akan membawa keselamatan.
Reaksi tersebut muncul dari setiap penganut agama, tidak terkecuali agama Islam.
Reaksi semacam itu kemudian menjadi salah satu pemicu terjadinya ketegangan
28
Ibn Taymiyyah, Al-Iman, 3.
43
antar umat beragama. Berdasarkan latar belakang tersebut, muncul beberapa
upaya untuk memberikan solusi alternatif terhadap ketegangan tersebut. Salah
satu upaya yang dilakukan adalah memberikan interpretasi baru terhadap teks-teks
keagamaan dengan tujuan untuk membangun kesadaran pluralitas keagamaan,
menemukan titik temu agama-agama, dan menunjukkan sikap inklusif dalam
memandang agama lain.
Di Barat, ide-ide inklusifisme sudah lama diperbincangkan, seperti bisa
dilihat dari gagasan-gagasan yang dibangaun oleh Frithjof Schuon. Schuon
mengetengahkan pembahasan tentang kesatuan agama-agama pada wilayah
transenden. Schuon mengemukakan bahwa dalam kesadaran eksistensial, manusia
senantiasa akan merindukan “Dia” yang Absolut. Nama-Nya yang agung bisa
ditemukan dalam setiap bahasa, namun seringkali tereduksi oleh berbagai ritual
manusia dalam memuja-Nya. Hal itulah yang disebut Schuon sebagai dimensi
eksoterik, yaitu dimensi agama di mana ritual, dogma, ajaran dan tradisi yang
membedakan agama satu dengan lainnya. Sementara, inti dari agama itu sendiri
adalah dimensi esoteris, yaitu inti spiritualisme untuk menemukan Dia Yang
Abadi. Tapi, sisi ini sering terlupakan oleh hiruk-pikuk keberagamaan manusia.
Pada level inilah menurut Schuon, agama-agama itu menemukan titik temunya.29
Pandangan Schuon di atas turut pula menginspirasi para intelektual
Muslim, seperti Sayyed Hosein Nasr dalam menyuarakan konsepsi kesatuan titik
29
Dari sekian banyak tulisan Schuon berkaitan dengan Filsafat Perennial, karyanya yang
secara khusus membahas tentang kesatuan transenden agama-agama adalah The Transcendent
Unity of Religion (Illinois: Theosopichal Publishing House, 1984). Lih. Abdullah Muslich Rizal
Maulana “Kesatuan Transenden Agama-Agama dalam Perspektif Tasawuf: Kritik atas Pemikiran
Frithjof Schuon” dalam JURNAL KALIMAH, Vol. 12, No. 2, September 2014, Gontor: UNIDA,
199.
44
temu agama. Sayyed Hossein Nasr menyatakan bahwa titik temu atau kesatuan
agama merupakan kesatuan transendental yang bersifat metafisik dan melampaui
setiap bentuk dan manifestasi lahiriah.30
Pandangan yang dikemukan oleh Frithjof Shoun dan Sayyed Hosein Nasr
di atas berdasarkan pendekatan filsafat perenial.31
Kalau teori di atas ditarik ke
dalam persoalan titik temu agama-agama, maka dapat disimpulkan bahwa secara
teologis semua agama memiliki satu tujuan untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan, meskipun melalui agama yang berbeda-beda dan praktik ritual yang
berbeda-beda.
Di samping pendekatan filsafat di atas, wacana pluralisme atau titik temu
agama-agama juga diupayakan dengan memberikan interpretasi “baru” terhadap
teks-teks keagamaan yang mengandung kecenderungan dipahami secara eksklusif.
Dalam konteks ini, mereka mengacu kepada al-Qur‟ān dan Ḥadīts sebagai
landasan argumennya.
Para pengusung pluralisme berpendapat bahwa perbedaan agama adalah
sebuah keniscayaan. Tuhanlah menghendaki perbedaan makhluk-Nya bukan
hanya dari segi fisikal, melainkan juga dalam ide, gagasan dan keyakinan.
Argumen tersebut didasarkan kepada ayat al-Qur‟ān.
30
M. Syaiful Rahman, “Islam dan Pluralisme” dalam Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014,
Kudus: Ushuluddin STAIN Kudus, 210. 31
Filsafat Perenial meyakini adanya kesatuan abadi yang universal yang bersandar pada
dimensi
esoteris agama-agama. Dimensi esoteris ini, secara konseptual memiliki perbedaan dengan
dimensi eksoterik, di mana dimensi esoteris adalah dimensi batin yang bersifat spiritual, dimensi
eskoterik adalah dimensi lahir agama-agama dalam bentuk ritual, ataupun cabang-cabang lain
yang bersifat sekunder dari agama-agama. Pandangan ini kemudian akan berimplikasi kepada
pemahaman terhadap keabsahan pluralisme agama dalam bentuk legitimasi sufistik. Abdullah
Muslich Rizal Maulana “Kesatuan Transenden Agama-Agama, hal. 199.
45
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat.32
Ayat di atas ditafsirkan bahwa ketunggalan dalam beragama dan
keyakinan tidaklah dikehendaki Tuhan.33
Serangkaian interpretasi dan pendekatan di atas menunjukkan kepada kita
bahwa terdapat banyak upaya yang dilakukan untuk menyatukan pemahaman
umat beragama bahwa pada dasarnya perbedaan itu merupakan sebuah
keniscayaan. Dari perbedaan tersebut terdapat dimensi-dimensi yang
menunjukkan keberadaan “titik temu” di antara agama-agama yang ada.
Nurcholish Madjid pun ikut andil dalam isu tersebut. Sebagaiman akan kita lihat
pada bab berikutnya. Beberapa pendekatan di atas dapat kita jadikan pegangan
untuk melihat seperti apa pendekatan yang dilakukan Nurcholish Madjid dalam
menyikapi isu tersebut.
32
Q.s. Hūd (11): 118. 33
Abdul Muqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, xx
46
BAB IV
HUBUNGAN IMAN DENGAN
AMAL SALEH, SEKULARISASI DAN DESAKRALISASI,
DAN TITIK TEMU AGAMA-AGAMA
A. Hakikat Iman
Sebagaimana kita tahu, bahwa inti dari ajaran Islam adalah iman. Hal ini
menyangkut kepercayaan dan keyakinan manusia terhadap Tuhan, sehingga tema
ini selalu penting untuk dibahas terkait konsep dan aktualisasinya. Di sinilah
Nurcholish Madjid berperan penting dalam mengemukakan konsepsi-konsepsi
teologis dan aktualisasinya dalam kehidupan sosial-religious.
Berdasarkan karya-karyanya, bisa dikatakan bahwa Nurcholish madjid
hampir—untuk tidak mengatakan tidak sama sekali—tidak memberikan
pengertian dan rumusan yang menyeluruh dan sistematis tentang apa sebenarnya
hakikat iman. Meskipun Nurcholish Madjid sangat intens berbicara tentang iman,
tetapi pembicaraan tersebut selalu dihubungkan dengan berbagai kasus aktual
seperti sosial, politik, pembaharuan, dan sebagainya. Pengertian hakikat iman
secara fundamental dan sistematis yang ditulis secara khusus tampak “absen” dari
karya-karyanya. Akan tetapi, tidak berarti bahwa pembahasan ini tidak mendapat
perhatian. Kenyataannya, hampir setiap tema yang diangkat dalam tulisan-
tulisannya selalu dihubungkan dengan iman.
Pandangan Nurcholish Madjid tentang hakikat iman salah satunya dapat
kita lihat dari uraiannya tentang sikap manusia berserah diri kepada Tuhan (ber-
islām) yang mengandung berbagai konsekunesi, salah satunya adalah:
Bentuk pengakuan yang tulus bahwa Tuhanlah satu-satunya sumber
otoritas yang serba Mutlak yang menjadi sumber semua wujud yang lain.
47
Maka, semua wujud yang lain adalah nisbi belaka.1 Īmān, secara harfiah
bermakna percaya kepada Tuhan. Tidak hanya dalam arti bahwa Tuhan itu
ada, tetapi lebih penting lagi ialah sikap mempercayai atau menaruh
kepercayaan kepada Tuhan.2
Tidak cukup hanya dengan percaya kepada Allah, tetapi juga harus
“percaya” kepada Allah dalam kualitasnya sebagai satu-satunya yang bersifat
keilahian atau ketuhanan dan sama sekali tidak memandang keberadaan suatu
kualitas yang lain yang diserupakan dengan-Nya. Dengan kata lain, seseorang
yang percaya kepada Allah, namun ia masih percaya terhadap sesuatu yang lain
selain Allah, seperti percaya terhadap berhala: menyembah, meminta pertolongan,
perlindungan, keselamatan kepada berhala tersebut, maka orang tersebut tidak
dapat dikatakan orang beriman. Perilaku yang demikian disebut musyrik karena
masih mempercayai sesuatu selain Allah, meskipun pada kenyataannya masih
percaya kepada Allah.3
Nurcholish Madjid juga memberikan pendekatan terminologis terhadap
makna iman tersebut. Nurcholish Madjid menjelaskan,
“Iman” memiliki akar kata yang sama “aman” (Arab: amān, yakni
kesejahteraan dan kesentosaan) dan “amanat” (Arab: amānah, yakni
keadaan bisa dipercaya, atau diandalkan, lawan dari khianat). Karena itu,
“iman” membawa rasa “aman” dan membuat orang mempunyai “amanat.”
Itu tentu lebih daripada hanya “percaya,” dalam arti sekedar percaya
keberadaan Tuhan.4
Berdasarkan pengertian di atas, rasa iman, yang pada dasarnya berada
dalam hati, semestinya memiliki dampak rasa aman bagi orang yang memiliki
iman tersebut.
1 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2008), 4.
2 Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Jakarta: Paramadina, 2008),
240. 3 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 2008), 4-5
4 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 94.
48
Nurcholish Madjid memandang bahwa iman yang terdapat pada diri setiap
orang tidaklah tetap, selalu berubah, bisa berkurang dan bisa bertambah.
Nurcholish Madjid mengatakan,
Iman pada hakikatnya adalah suatu wujud atau kategori yang dinamis,
artinya dapat berkembang atau menyusut, bertambah atau berkurang, naik
atau turun, menguat atau melemah. Orang beriman namun masih sempat
mengotori imannya dengan kejahatan adalah jelas orang yang imannya
masih lemah.5
Kutipan di atas menunjukkan bahwa menurut Nurcholish Madjid iman itu
bersifat dinamis, bisa berkurang dan bertambah seiring dan tergantung serta dapat
dilihat dari perbuatan manusia. Hal ini juga mengindikasikan bahwa Nurcholish
Madjid menolak sebuah anggapan bahwa iman bersifat tetap, dalam arti tidak
berubah dan tidak dapat ditimbang melalui perbuatan manusia yang tampak secara
lahiriah sebagaimana pendapat Murji„ah. Artinya, orang beriman yang masih
berbuat jahat, bukan berarti orang tersebut tidak beriman, akan tetapi orang
tersebut imannya masih lemah. Atau sebaliknya, iman yang ada pada setiap orang
bisa melemah atau terkotori ketika orang tersebut berbuat dosa.6 Atas dasar itulah
Nurcholis memandang bahwa iman itu bersifat dinamis bisa menguat dan
melemah yang tergantung atau berpengaruh terhadap perbuatan. Dalam hal ini
sangat nampak bahwa Nurcholish Madjid sepakat dengan pandangan
Asy„ariyyah, yakni bahwa iman bersifat dinamis dan tidak tetap.
5 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, 6.
6 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, 7.
49
Bagi Nurcholish Madjid iman lebih merupakan “penghayatan spiritual”
hasil dari “perhitungan rasional.”7 Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa iman
bagi Nurcholish Madjid bukan sekedar taṣdīq, yaitu sekedar menerima sesuatu
yang dikatakan atau disampaikan orang sebagai sebuah kebenaran. Lebih lanjut
Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa iman adalah keadaan jiwa atau rohani
yang penuh apresiasi kepada Tuhan. Apresiasi itu ditumbuhkan oleh adanya
penghayatan yang menyeluruh akan sifat-sifat Tuhan sebagaimana tersimpul
dalam al-asmā‟ al-ḥusnā.8 Sikap apresiatif kepada Tuhan merupakan inti dari
pengalaman keagamaan seseorang. Sikap itu disebut takwa. Jadi, takwa Menurut
Nurcholish Madjid adalah semangat atau rasa ketuhanan pada setiap orang yang
beriman. Ia merupakan suatu bentuk tertinggi kehidupan rohani atau spiritual.
Takwa tersebut menurut Nurcholish Madjid dapat ditumbuhkan dan diperkuat
dengan adanya kontak yang kontinyu (berkelanjutan) antara manusia dengan
Tuhan. Kontak tersebut berupa “zikir” dan ibadah formal lainnya yang menjadi
media komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Sehingga, zikir dan ibadah-
7 Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Umat Islam
Indonesia” dalam H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi
(Jakarta: Bulan Bintaang, 1972), 95. 8 Mengenai pandangan Nurcholish Madjid tentang apakah Tuhan memiliki sifat atau
tidak, kita tidak menelusuri secara lebih jauh. Misalnya, apakah Tuhan “Mengetahui melalui sifat-
Nya” atau “Mengetahui melalui esensi-Nya.” Hal ini memang sudah menjadi perdebatan klasik
antara kelompok teologi rasionalis dan kelompok teologi tradisionalis. Kelompok rasionalis
cenderung menganut paham kedua, yakni Tuhan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan melalui
sifat-Nya. Dalam salah satu tulisannya Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa jika Allah disebut
“bertindak” atau “bersifat” dengan hal-hal yang biasa ditindakkan atau ada “makhluk-Nya” seperti
“senang” (ḥubb), “murka” (ghaḍab),“dendam” (intiqām), dan seterusnya, maka tidak bisa
dibayangkan bahwa Dia bertindak atau bersifat persis seperti yang ada pada makhluk-Nya. Bagi
Nurcholish Madjid penggunaan ungkapan itu hanyalah suatu “persamaan nama” (ism musytarak,
homonim) saja, sedangkan hakekatnya sama sekali berbeda. Itulah yang menurut Nurcholish
Madjid bahwa pada hakikatnya “tindakan” atau “sifat” Tuhan itu adalah “tanpa bagaimana” (bilā
kayfa). Berdasarkan penjelasan ini, maka kita dapat melihat bahwa Nurcholish Madjid lebih
cenderung kepada pendapat kedua, yakni Tuhan “bertindak” bukan melalui “sifat,” melainkan
melalui esensi-Nya. Lih. Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, 108.
50
ibadah formal tersebut sangat ditekankan dalam Islam untuk mempererat
hubungan manusia dengan Tuhan.9
Apresiasi ketuhanan dalam intensitasnya secara lebih lanjut menumbuhkan
kesadaran ketuhanan yang menyeluruh dan meliputi, sehingga pada tahap tertentu
manusia dapat mengalami keadaan “bersatu” dengan Tuhan atau dalam bahasa
jawa dikenal dengan istilah manunggaling kawula lan Gusti (bersatunya hamba
dengan Tuhan).10
Persatuan manusia dengan Tuhan yang dimaksud bukan dalam
arti homogen, di mana manusia dan Tuhan tidak dapat dibedakan. Akan tetapi
dalam arti heterogen, di mana manusia dengan Tuhan tetap diyakini sebagai
wujud yang berbeda. Dalam tasawuf “persatuan” tersebut dikenal dengan istilah
al-ittiḥād atau mistycal union.11
Dalam konsepsi ini Allah dipandang sangat dekat
dengan manusia, bahkan dikatakan lebih dekat daripada urat nadi atau pembuluh
darahnya sendiri (aqrabu ilayhi min ḥabl al-warīd).12
Jika apresiasi ketuhanan dan
takwa itu benar-benar ada pada diri seseorang, maka ia sepenuhnya menguasai
jiwa dan sikap batinnya, dimana terdapat sumber motivasi segala kegiatan
hidupnya. Maka, sikap tersebut akan melandasi seluruh kegiatan budaya atau
9 Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, 241.
10 Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Umat Islam
Indonesia,” hal. 96; IslamKemodernan dan Keindonesiaan, 241. 11
Harun Nasution menjelaskan bahwa kebersatuan manusia dengan Tuhan bisa
mengambil bentuk al-ittiḥād yang disandarkan kepada Abū Yazīd al-Bisṭāmī (874-947 M.), al-
ḥulūl yang disandarkan kepada Ḥusayn Ibn Manṣūr al-Ḥallāj (858-922 M.), dan waḥdah al-wujūd
yang disandarkan kepada Ibn al-„Arābī (1165-1240 M.) Tiga istilah tersebut secara spesifik
mempunyai penjelasan yang berbeda. Namun Harun Nasution melihat ada kesamaan konsepsi dari
ketiga hal tersebut, yaitu bahwa seorang hamba dapat bersatu dengan Tuhan. Lih. Harun Nasution,
Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), 66-7. 12
Q.s. Qāf (59): 6. Pembuluh darah mengalir dalam tubuh manusia, sementara Allah
dikatakan lebih dekat (aqrabu) daripada sesuatu yang berada dalam diri manusia sendiri. Dengan
demikian, ungkapan yang pas untuk pengertian tersebut adalah Allah “berada dalam diri manusia”
atau “menyatu” dengan manusia. Atas dasar interpretasi inilah konsepsi al-ittiḥād dalam tasauf
menjadi tidak mustahil. Akan tetapi “penyatuan” tersebut tidak dapat dikatakan bahwa manusia
bersatu dalam diri Tuhan atau Tuhan mendiami tubuh manusia. Ungkapan tersebut sebetulnya
untuk menggambarkan bahwa manusia “sangat dekat” dengan Tuhan.
51
perilakunya. Jadi, iman, takwa atau rasa ketuhanan itu merupakan dasar hidup dan
pegangan kuat.13
Pengertian yang bercorak tasawuf inilah yamg dimaksud oleh
Nurcholish Madjid bahwa iman yang kuat akan sampai kepada keadaan bersatu
dengan Tuhan.
B. Amal Saleh
Seperti yang sudah kita lihat sebelumnya bahwa dalam pandangan
Nurcholish Madjid iman memiliki hubungan yang sangat erat dengan perbuatan
manusia. Iman pada seseorang akan mendorong orang tersebut untuk selalu
cenderung kepada perbuatan baik atau dalam bahasa Nurcholish Madjid “Iman
yang pribadi itu membawa akibat adanya amal saleh.”14
Istilah kunci yang
digunakan Nurcholish Madjid untuk menjelaskan hubungan antara iman dan amal
saleh adalah apa yang ia maksud dalam ungkapan “apresiasi Ketuhanan” atau
yang ia sebut juga dengan istilah “takwa.”
Sikap yang apresiatif kepada Tuhan itu merupakan inti pengalaman
keagamaan seseorang. Sikap itu juga disebut “takwa.” Jadi takwa adalah
semangat atau rasa ketuhanan pada seorang manusia yang beriman. Ia
merupakan suatu bentuk tertinggi kehidupan rohani atau spiritual.15
Apresiasi ketuhanan atau takwa yang ada pada seseorang akan menjadi
dasar dan pegangan hidup yang kuat. Ketika takwa itu menguasai batin beserta
sikapnya, maka dalam kesucian dan kemurnian rohani ia akan menentukan bentuk
dan dorongan batin atau motivasi bagi seluruh kegiatan hidupnya.16
Secara umum
13
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, 241. 14
Nurchlolish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, 157. 15
Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam
Indonesia”dalam H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid, 96. 16
Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam
Indonesia,” 97.
52
takwa ialah sikap patuh dan tunduk kepada Allah sehingga seseorang berupaya
untuk selalu mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangannya.17
Dalam keadaan
tersebut menyadarkan manusia bahwa Tuhan selalu menyertainya di manapun
berada.18
Secara etika (ethics) pandangan moral yang diberikan Nurcholish Madjid
memiliki karakteristik etika teologis, yaitu tindakan moral yang didasarkan pada
perspektif ketuhanan.19
Tujuan yang hendak dicapai, yaitu mencari apa yang
seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk, sesuai dengan
kehendak Allah.20
Menurut Nurcholish Madjid pada dasarnya manusia memang memiliki
kecenderungan intrinsik kepada kebaikan, kesucian, dan kebenaran. Hal tersebut
sudah merupakan fitrah diciptakannya manusia. Ini yang dimaksud oleh
Nurcholish Madjid bahwa pada dasarnya manusia itu suci atau ḥanīf sehingga
memiliki kecenderungan kepada kebaikan. Fitrah suci dan sifat ḥanīf inilah yang
menjadikan manusia mendambakan kesucian dan kebenaran mutlak, yakni Allah.
Kecenderungan manusia untuk selalu menuju kepada kebaikan yang bersifat
rohani tersebut dapat terealisasikan dalam bentuk budi sehingga dapat dikatakan
17
Secara terminologis takwa berasal dari bahasa Arab taqwā dari asal kata ittaqā-yattaqī-
ittiqā‟an yang berarti takut. Menurut al-Qusyayrī takwa merupakan seluruh kebaikan, dan
hakikatnya adalah seseorang melindungi dirinya dari hukuman Tuhan dengan ketundukan kepada-
Nya. Pada dasarnya takwa adalah menjaga dari syirik, maksiat, segala keburukan, syubhat, dan
meninggalkan hal-hal yang menyenangkan. Al-Qusyayrī, al-Risālah al-Qusyayriyyah (Lebanon,
Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1971), 142. 18
Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam
Indonesia,” 96. 19
Paul L. Lehmann, Ethics in a Christian Context (New York: Harper & Row Publishers,
1963), 25. Selain disebut dengan etika teosentris, etika yang didasarkan pada pandangan tetang
ketuhanan juga disebut dengan etika etika transenden dan etika teosentris. Lih. J.A.B. Jongeneel,
Hukum Kemerdekaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), jld. I, 15-6. 20
J. Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 17.
53
bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang berbudi. Apabila apresiasi
ketuhanan atau takwa itu sejalan dengan fitrah kemanusiaannya, maka berarti ia
memperkuat fitrah dan rasa kecenderungannya kepada kesucian. Maka dengan
alasan ini Nurcholish Madjid menyatakan bahwa agama berfungsi untuk
menyempurnakan budi manusia yang luhur, yang secara intrinsik ada padanya.21
Pandangan Nurcholish Madjid bahwa pada dasarnya manusia itu suci
sehingga selalu terdorong untuk mendekatkan diri kepada yang Maha Suci
memiliki corak yang sama dengan pandangan tentang hubungan manusia dengan
Tuhan dalam ajaran mistisisme Islam. Salah satu ajaran dalam mistisisme
mengatakan bahwa manusia yang tersusun dari badan dan roh berasal dari Tuhan
dan akan kembali kepada Tuhan. Tuhan adalah suci dan roh yang datang dari
Tuhan juga suci. Kalau jiwa manusia kotor karena perbuatan dosa, maka dia tidak
dapat kembali kepada Tuhan Yang Maha Suci. Oleh karena itu, manusia dapat
menyucikan jiwanya dengan cara terus menerus melakukan dialog dengan Tuhan
dengan cara memperbanyak ibadah dan menjauhkan diri dari dosa.22
21
Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam
Indonesia”dalam H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid, 97-8. 22
Lih. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Bulan Bintang,
2013) jld. I, hal. 24, 30. Akan tetapi, juga banyak pendapat yang mengatakan bahwa ajaran
mistisisme Islam tersebut merupakan pengaruh filsafat dan mistisisme neo-Platonisme. Menurut
neo-Platonisme roh berasal dari Zat Tuhan dan kemudian akan kembali ke Tuhan. Tetapi, dengan
masuknya roh ke dalam materi ia menjadi kotor dan untuk dapat kembali ke tempat asalnya, ia
harus terlebih dahulu disucikan. Tuhan Yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh yang
suci. Penyucian roh terjadi dengan meninggalkan hidup kematerian dan dengan mendekatkan diri
kepada Tuhan sedekat mungkin. Kalau bisa bersatu dengan Tuhan semasa berada dalam hidup di
dunia. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Bulan Bintang, 2012),
hal. 69. Para ahli mengakui bahwa tasauf Islam sangat terpengaruh oleh falsafat neo-Platonisme.
Akan tetapi pengaruh tersebut hanya tampak pada tasauf falsafi (theosophical mysticisme) yang
muncul pada kurun abad ke-3 H., sebagaimana Dzū al-Nūn al-Miṣrī atau yang serupa dengannya.
Islam mulai bersinggungan dengan falsafat Yunani sejak penerjemahan besar-besaran pada masa
pemerintahan „Abbāsiyyah. Tidak menutup kemungkinan bahwa pengaruh pemikiran-pemikiran
Yunani, khususnya falsafat neo-Platonis, meresap ke dalam Islam, termasuk ke dalam ajaran
tasawuf. Indentifikasi tersebut dimunculkan oleh para peneliti Barat, terutama penelitian-penelitian
54
Berdasarkan pemaparan di atas sudah jelas bagaimana hubungan antara
iman dan amal saleh. Nurcholish Madjid menjelaskan hubungan antara iman dan
amal saleh dengan bertitik-tolak pada “fitrah kemanusiaan yang suci” dan
“apresiasi Ketuhanan” dimana apresiasi Ketuhanan tersebut hanya dapat dibangun
atas landasan keimanan. Singkatnya, keimanan yang kuat akan membawa pada
moral yang baik atau amal saleh. Persoalannya adalah apa yang dimaksud amal
saleh. Dalam hal ini Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa yang dimaksud amal
saleh,
Tidak lain ialah tindakan-tindakan atau amal dan perbuatannya yang serasi
atau saleh dan harmonis dalam hubungannya dengan lingkungan hidup di
sekitarnya, secara menyeluruh, khususnya dalam hubungannya dengan
sesama manusia.23
Lebih lanjut Nucholish Madjid menjelaskan bahwa dengan bertitik tolak
pada budi luhur dari fitrah kemanusiaan yang suci dan diperkuat oleh rasa
apresiasi ketuhanan, maka manusia dapat menciptakan kualitas hidup yang
yang dihasilkan oleh para sarjana Inggris yang lebih menekankan pengaruh neo-Platonisme dalam
perkembangan sufisme. Argumen tersebut diperkuat dengan sebuah penelitian yang menunjukkan
bahwa paham neo-Platonisme telah meresap ke “Timur Dekat” dan karya Plotinos—apa yang
sering disebut dengan “Teologi Aristoteles,” sebenarnya adalah Enneads karya Plotinos—telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada tahun 840 M. Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik
dalam Islam, h. 8. Argumen tersebut mendapat sanggahan dari beberapa sarjana lainnya yang
salah satunya diwakili oleh al-Taftazānī. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa Islam
bersinggungan dengan tradisi Persia, Kristen, India, falsafat Yunani dan sebagainya. Akan tetapi
tidak bisa digeneralisasikan bahwa tasauf berasal dari luar Islam. Al-Taftazānī memandang bahwa
tasauf merupakan pengalaman spritual yang bisa dicapai oleh setiap orang. Tidak menutup
kemungkinan pengalaman para sufi memiliki kesamaan dengan orang lain atau dengan ajaran dan
kebudayaan lain. Oleh karena itu, keserupaan antara tasauf Islam dan mistisisme lainnya tidak
menandakan bahwa tasauf Islam mengambil ajaran mistisisme dari di luar agama Islam. Pendapat
al-Taftazānī disandarkan kepada pendapat sarjana besar dalam mistisisme Islam lainnya, seperti
Nicholson, Louis Massignon, dan Spencer Trimingham. Sebagaimana dijelaskan oleh al-Taftazānī,
mereka memandang bahwa tasauf Islam lahir dari rahim Islam sediri. Tasauf Islam tidak lain
bersumber dari al-Qur‟ān dan Ḥadīts serta nilai-nilai luhur lain yang berasal dari tradisi Islam
sendiri. Abū Wafā‟ al-Ghanīmī al-Taftazānī, Tasawuf Islam, 36-9. 23
Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam
Indonesia”dalam H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid, 98.
55
disebut “kebahagiaan,” baik kebahagian materil maupun spiritual, baik untuk
hidup di dunia sekarang ini maupun untuk di akhirat kelak.24
C. Sekularisasi dan Desakralisasi
Telah disinggung di awal bahwa pembahasan tentang sekularisasi dan
desakralisasi dalam pandang Nurcholish Madjid yang sedang kita bahas ini fokus
pada gagasan Nurcholish Madjid tentang cara pandang seorang Mukmin terhadap
dunia.
Sekularisasi secara umum diartikan sebagai sebuah sikap dari identifikasi
nilai-nilai keagamaan kepada nilai-nilai non-agama. Paham sekularisasi mengarah
kepada keyakinan bahwa perkembangan masyarakat dapat ditempuh melalui
modernisasi dan rasionalisasi sehingga nilai-nilai keagamaan menjadi hilang dari
seluruh aspek kehidupan. Konsekuensinya, seluruh hal atau institusi yang ada
dalam masyarakat seperti ilmu pengetahuan, sosial, dan politik dipisahkan dari
nilai-nilai keagamaan.25
Sekularisasi diartikan segala hal yang membawa ke arah
kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama. Memang istilah
“sekularisme” dalam pngertian tersebut tetap menjadi kontroversi. Dalam sosial-
politik, implikasi sekularisme adalah pemisahan total antara agama dan negara.
Berdasarkan pengertian di atas, maka “sekularisasi” dan “sekularisme”
dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai keislaman. Bagaimana tidak, agama
yang menurut keyakinan kita mencangkup seluruh aspek kehidupan harus
dipisahkan dari hal-hal yang berkenaan dengan dunia sehingga agama dianggap
24
Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam
Indonesia”dalam H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid, 99. 25
Pippa Norris and Ronald Inglehart, Sacred and Secular: Religion and Politics
Worldwide (Cambridge University Press, 2004), 1.
56
tidak memiliki peran bagi manusia untuk mengembangkan hal-hal yang bersifat
duniawi. Inilah yang menjadi alasan bagi sekelompok orang yang berpendapat
bahwa konsepsi dan praktik sekularisasi sama sekali tidak sesuai dengan ajaran
Islam. Oleh karena itu, tidak heran apabila gagasan “sekularisasi” yang diusung
oleh Nurcholis Madjid menjadi kontroversial dan mendapat tantangan.26
Perlu ditegaskan bahwa “sekularisasi” yang diinginkan Nurcholis Madjid
berbeda dengan pengertian “sekularisasi” dan “sekularisme” di atas. Nurcholish
Madjid juga memberikan perbedaan pengertian secara prinsipil antar sekularisasi
dan sekularisme. Nurcholis Madjid meyatakan bahwa sekularisme dalam
pengertian di atas memang tidak sesusai dengan ajaran Islam. Nurcholis Madjid
megatakan,
Sekularisme adalah suatu paham yang tertutup, suatu sistem ideologi
tersendiri dan terlepas dari agaama. Inti sekularisme ialah penolakan
adanya kehidupan di luar kehidupan duniawi ini... Jadi jelas, sekularisme
(semacam itu) tidak sejalan dengan agama, khususnya agama Islam.27
26
Tulisan Nurcholish Madjid yang memuat tentang ide sekularisasi pertama kali
dicetuskan dalam sebuah makalah dalam suatu pertemuan antara tokoh-tokoh GPI, HMI, dan PII
di aula Menteng Raya 58, pada 3 Januari 1970 dengan judul “Keharusan Pembaharuan dalam
Islam dan Masalah Integrasi Umat.” Ide tersebut kemudia melahirkan kontroversi karena dianggap
tidak sesuai dengan Islam. Guna memberikan klarifikasi dan keterangan yang lebih jelas tentang
ide tersebut kemudian naskah tersebut disampaikan kembali oleh Nurcholish Madjid sebagai
naskah pidato yang disampaikan dalam kuliah umum di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 30
Oktober 1972. Dari sekian banyak hal yang terdapat dalam makalah tersebut ysng paling banyak
menjadi sasaran kritik adalah idenya tentang “sekularisasi.” Hal tersebut juga menandai puncak
pemikriran kotroversial Nurcholis Madjid dalam menyuarakan ide pembaharuannya.
“Sekularisasi” yang sudah ia lakukan sejak permulaan tahun 1970. Atas dasar pandangan-
pandangan yang terdapat dalam naskah itulah kemudian H.M. Rasjidi memberikan kritik tajam
terhadap pandangan-pandangan Nurcholish Madjid. Di sini penulis tidak mengulas kritik H.M.
Rasjidi secara lebih luas, namun hal tersebut juga perlu diketahui, meskipun sepintas lalu. Konsep
sekularisasi yang sering didengungkan oleh Nurcholish Madjid tersebut menuai banyak
kontroversi, mengingat hal tersebut merupakan pendekatan baru dalam upaya membangkitkan
semangat pembaharuan Islam di Indonesia. H.M. Rasjidi menganggap bahwa Nurcholish
Madjid sewenang-wenang menggunakan istilah “sekularisasi” yang mau tidak mau tetap
cenderung pada sekularisme seperti yang terjadi di dunia Barat. H.M. Rasjidi mengabadikan
polemik tersebut dalam bukunya Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi. 27
Menurut Nurcholish Madjid, “sekularisme” yang tidak sesuai dengan ajaran Islam
adalah sekularisme yang merupakan perwujudan modern dari paham dzāhiriyyah seperti yang
digambarkan dalam Q.s. al-Jātsiyah (45): 24, “Mereka berkata, „Tiada sesuatu kecuali hidup
57
Bagi Nurcholish Madjid sekularisasi tidak selalu mengandung makna
negatif seperti pada penerapan sekularisme di Barat. Oleh karena itu, statement
yang sering ditegaskan oleh Nurcholish Madjid adalah “sekularisasi tanpa
sekularisme” Sekularisasi yang dimaksud bukanlah sekularisme yang mengacu
kepada desakralisasi teologis, melainkan sekularisasi yang mengacu kepada
dampak sosiologis.28
Dalam hal ini, sekularisasi yang diinginkan Nurcholis Madjid adalah
“membedakan” hukum-hukum yang bersifat duniawi dan ukhrawi, baik dari aspek
ontologi, maupun epistemologinya. Sacara ontologis, hukum-hukum yang ada di
dunia ini, di mana kita hidup sekarang ini berbeda dengan hukum-hukum
ukhrawi. Alam (natural), menurut Nurcholish Madjid memiliki pola yang tetap
yang merupakan manifestasi dari kehendak dan aturan Tuhan dan itu sudah terjadi
sejak penciptaan alam. Manusia dituntut untuk memahami hukum-hukum
tersebut.29
Pandangan bahwa alam memiliki pola yang tetap dalam teologi Islam
disebut paham Sunnah Allah. Allah telah menciptakan alam dan hukumnya
berjalan secara mekanis dan hukum sebab-akibat. Manusia telah diberikan “akal”
atau “rasio” untuk memahami hukum tersebut. Bagi Nurcholish Madjid, hal itu
duniawi kita saja—kita mati dan kita hidup—dan tidak ada yang membinasakan kita kecuali
masa.‟ Akan tetapi, sebenarnya mereka tidak mempunyai pengetahuan yang pasti tentang hal itu.
Mereka hanyalah menduga-duga saja.” Sekularisme seperti itulah yang menurut Nurcholish
Madjid tidak sejalan dengan ajaran Islam. Lih. Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan, hal. 57-8. Penerapan sekularisme dengan konsekuensi penghapusan kepercayaan
terhadap keberadaan Tuhan, jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Nurcholish Madjid, “Sekali
Lagi tentang Sekularisasi” dan H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang
Sekularisasi, 33. 28
Nurcholish Madjid, “Sekapur sirih” dalam Pradoyo, Sekularisasi dalam Polemik
(Jakarta: Grafiti, 1993), xiii-xvi. 29
Nurcholish Madjid, Islam Keindonesiaan dan Kemodernan, 246.
58
memiliki landasan teologi yang kuat di dalam Islam. Nurcholish Madjid
mengemukakan,
Dengan tawḥīd, seorang animis—percaya kepada satu Tuhan—dianjurkan
untuk melihat benda-benda sebagai mana adanya. Dia dapat mendekatinya
sebagai benda objektif, dapat mengertinya, dapat menggunakan, dan
menguasainya…Benda-benda itu dengan demikian duduniawikan dan
disekularisasikan.30
Agar manusia dapat memahami dunia, manusia harus melihat benda itu
sebagaimana adanya dan menemukan hukum-hukum dan sifat-sifat
kebendaannya. Hal ini harus terlepas dari konsep-konsep mistik yang dianggap
mengitari benda-beda tersebut. Secara epistemologis, cara pandang yang demikian
itu cenderung bersifat positivis. Akan tetapi, apa yang diinginkan oleh Nurcholish
Madjid tentu berbeda dengan positivisme yang dikembangakan di Barat.
Umumnya epistemologi Barat lebih berpihak pada positivis-empiris yang
mengesampingkan keberadaan sebuah konsepsi yang kebenarannya tidak
dapat diverifikasi secara ilmiah—dalam arti positivis. Oleh karena itu, hal-
hal yang berkenaan dengan metafisika dan keyakinan keagamaan (faith of
religion) kadang-kadang sangat dikesampingkan. Sedangkan gagasan Nurcholis
Madjid bersifat positivisme-religius, yakni sistem epistemologi positif yang
dilandaskan pada pandangan teologis. Secara aksiologis, pemahaman terhadap
hukum alam tersebut akan melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sangat bermanfaat bagi manusia untuk membangun dunia.
Karena alasan inilah Nurcholish Madjid mengatakan bahwa dengan
tawḥīd—kepercayaan kepada satu Tuhan—terjadi sekularisasi besar-besaran.
30
Nurchlish Madjid, “Sekali Lagi tentang Sekularisasi,” dalam H.M. Rasjidi, Koreksi
terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, 35.
59
Benda-denda yang sebelumnya dianggap sakral, dianggap mengandung nilai
spritual dan ukhrawi, kemudian dipandang tidak lebih dari benda duniawi belaka31
yang harus dipahami secara positivis.
Sekularisasi dalam pengertian di atas menurut Nurcholish Madjid secara
sosiologis juga mengandung arti “pembebasan,” yakni pembebasan dari sikap
penyucian yang tidak pada tempatnya. Oleh karena itu, sekularisasi juga
bermakna desakralisasi, yakni melepaskan ketabuan dan kesakralan dari objek-
objek yang semestinya tidak dipandang tabu dan sakral. Sekularisasi dan
desakralisasi menurut Nurcholish Madjid merupakan bentuk pemberantasan dari
bid„ah, khurāfat, dan syirik yang merupakan konsekuensi logis dari tawḥīd atau
keimanan yang mutlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa.32
D. Titik Temu Agama-Agama
Sebagaimana telah kita lihat pada pembahasan sebelumnya, yakni tentang
sekularisasi, tema tentang titik temu agama-agama juga menjadi tema yang sangat
kontroversial yang diusung oleh Nurcholish Madjid dan sebenarnya tema ini
memasuki ranah yang sangat sensitif. Terlepas dari pro dan kontra, di sini kita
akan mengulas argumen yang dikemukakan Nurcholish Madjid dalam
mengemukakan pandangannya tentang titik temu agama-agama. Banyak hal yang
dibicarakan Nurcholish Madjid dalam hal ini. Akan tetapi, pembahasan ini lebih
mengarah kepada landasan teologis yang dibangun Nurcholish Madjid dalam
mengemukakan pandangannya tersebut.
31
Nurcholish Madjid, “Sekali Lagi tentang Sekularisasi”, 35. 32
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, 259.
60
Menurut Nurcholish Madjid agama Islam adalah sebuah agama universal
bagi seluruh umat manusia. Kebenaran universal tersebut dengan sendirinya
adalah tunggal, meskipun pada kenyataannya terdapat kemungkinan adanya
perbedaan secara lahiriah. Hal ini, menurut Nurcholish Madjid, secara
antropologis melahirkan sebuah pandangan bahwa pada awalnya manusia adalah
tunggal, karena berpegang pada kebenaran yang tunggal.33
Kebenaran universal di atas dalam pandangan Nurcholish Madjid memiliki
landasan teologis yang kuat, yakni tawḥīd atau keyakinan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Konsekuensi dari tawḥīd tersebut adalah sikap “pasrah” sepenuhnya
hanya kepada Allah. Nurcholish Madjid mengatakan,
Konsekuensi terpenting tawḥīd ialah pemutusan sikap pasrah hanya
kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tanpa ada kemungkinan memberi
peluang untuk melakukan sikap serupa kepada seusatu apapun dan
siapapun selain kepada-Nya.34
Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa tugas para rasul atau utusan Allah
sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Suci ialah menyampaikan ajaran tawḥīd.
Oleh karena prinsip ajaran nabi dan rasul itu sama, maka semua pengikut nabi dan
rasul adalah umat yang satu. Dengan kata lain, konsep kesatuan dasar dan ajaran
membawa kepada konsep kesatuan kenabian dan kerasulan yang kemudian
membawa kepada konsep kesatuan umat yang beriman. “Semua agama” pada
mulanya menganut prinsip yang sama, yaitu keharusan manusia untuk berserah
33
Pandagan Nurcholish Madjid bahwa pada awalnya umat manusia itu tunggal atau
ummah wāḥidah (ummat yang satu) di dasrkan pada Q.s. Yunus (10): 19. Akan tetapi, kemudian
terjadilah perbdaan interpretasi terhadap kebenaran yang tunggal itu sehingga menimbulkan
adanya perselisihan. Lih. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 174-76. 34
Lih. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 177.
61
diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.35
Dan disitulah menurut Nurcholish Madjid
bahwa “agama-agama” memiliki “titik temu.” Berikut pernyataan Nurcholish
Madjid,
Agama-agama itu, baik karena dinamika internalnya atau karena
persinggungannya satu sama lain, secara berangsur-angsur akan
menemukan kebenaran asalnya sendiri, sehingga semuanya akan bertumpu
dalam suatu “titik pertemuan,” common flatform atau dalam bahasa al-
Qur‟ān kalimah sawā (titik pertemuan).36
Dari uraian di atas jelas bahwa menurut Nurcholish Madjid “agama-
agama” memiliki “titik temu” dalam aspek teologis, yakni bahwa agama-agama
yang dibawa dan diajarkan oleh utusan Allah sama-sama membewa ajaran tawḥīd
atau pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, meskipun pada kenyataanya
bentuk formalnya berbeda-beda.
Di samping pendekatan di atas, pandangan Nurcholish Madjid tentang titik
temu agama-agama juga didasarkan pada makna Islam itu sendiri. Dengan
menyandarkan pendapatnya kepada Ibn Taymiyyah, Nurcholish Madjid
menjelskan bahwa kata al-islām mengandung arti al-istislām, yakni “sikap
berserah diri,” al-inqiyād (tunduk patuh), dan al-ikhlās (tulus). Menurut
Nurcholish Madjid inilah al-islām yang menjadi inti sari semua agama yang
benar.37
Akan tetapi, kemudian muncul persoalan yang cukup “serius” dari dua
pendekatan—pemaknaan terhadap istilah tawḥīd dan al-islām—yang dilakukan
Nurcholish Madjid di atas. Persoalannya adalah apakah pemaknaan tawḥīd dan
35
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 178. 36
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 181. 37
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 177. Lih. Juga Nurcholish
Madjid, Pintu Pintu Menuju Tuhan, 2-3.
62
al-Islām dimaksudkan berlaku secara partikular untuk “agama-agama tertentu”
saja, atau berlaku secara general dan meliputi “semua agama” yang ada di dunia.
Pendekatan Nurcholish Madjid di atas melahirkan kesimpulan bahwa
tawḥīd dan al-islām oleh Nurcholish Madjid dimaksudkan untuk “semua agama”
sehingga dikatakan bahwa apapun agamanya, selama menganut ajaran tawḥīd,
yakni meyakini adanya satu Tuhan dan ber-islām, dalam arti pasrah dan tunduk
terhadap ajaran agamanya masing-masing, maka agama tersebut dianggap benar.
Inilah yang kemudian dijadikan pijakan sehingga banyak yang menyimpulkan
bahwa Nurcholish Madjid adalah penganut dan penggagas ajaran “pluralisme
agama” dan “teologi inklusif” yang intinya beranggapan bahwa “semua agama
adalah benar” selama menganut ajaran tawḥīd dan ber-islām.38
Umumnya, tulisan
tentang Nurcholish Madjid memberikan kesimpulan demikian. Bahkan dia
dipandang sebagai tokoh sentral dan pioner dalam menyuarakan teologi inklusif-
pluralis di Indonesia.
Tulisan ini memang tidak terlalu luas membahas teologi inklusif-pluralis
Nurcholish Madjid di atas. Sesuai dengan tujuannya, tulisan ini ingin
memerlihatkan hubungan dan titik temu agama-agama dalam pandangan
Nurcholish Madjid. Berdasarkan pemaparan di atas, jelas bahwa gagasan tentang
titik temu agama-agama yang diusung Nurcholish Madjid berpangkal kepada
konsepsi keimanan. Istilah tawḥīd dan islām secara teologis dijadikan benang
38
Terdapat banyak tulisan tentang Nurcholish Madjid yang memberikan kesimpulan
seperti di atas. Lih. Maria Ulfa, “Mencermati Inklusivisme Agama Nurcholish Madjid” dalam
Jurnal Kalimah, Vol. 11, No. 2, September 2013,Gontor: UNIDA, hal. 237-43. Tulisan yang
cukup monumental yang menberikan kesimpulan senada dengan kesimpulan di atas salah satunya
tulisan Budhy Munawwar-Rachman, “Titik Temu Agama-Agama: Analisis atas Islam Inklusif
Nurcholish Madjid” (Jakarta: Disertasi Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2014).
63
merah oleh Nurcholis Madjid untuk mengemukakan pandangannya tentang titik
temu agama-agama yang berpangkal pada pemikirannya tentang iman dan Islam
universal.
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana telah dilihat, amal saleh, sekularisasi dan desakralisasi, dan
titik temu agama-agama dalam pandangan Nurcholish Madjid memiliki hubungan
yang erat dengan iman. Hubungan tersebut tidak hanya berarti bahwa tiga
persoalan di atas dibangun atas dasar iman, melainkan dalam batas-batas tertentu
merupakan konsekuensi logis atau sebuah keniscayaan dari keberadaan iman.
Dalam persoalan amal saleh, Nurcholish Madjid memandang bahwa iman
yang berifat individual itu sejatinya harus memiliki implikasi terhadap perbuatan
baik atau amal saleh. Hubungan antara iman dan amal saleh ditandai dengan
adanya sikap “apresiasi Ketuhanan” atau taqwā yang secara logis akan
mendorong setiap orang untuk selalu berbuat baik. Dalam hal ini secara tegas
Nurcholish Madjid menunjukkan bahwa iman tidak sekedar berarti percaya
kepada Tuhan, tetapi rasa iman tersebut harus ditandai dengan timbulnya
perbuatan baik. Secara bersamaan ini juga merupakan penolakan terhadap sebuah
pandangan bahwa iman itu bersifat tetap. Dalam pandangan Nurcholish Madjid
perbuatan manusia itu dapat dipengaruhi oleh kadar keimanannya. Sebaliknya,
kualitas keimanan itu juga dipengaruhi oleh perbuatannya. Dengan kata lain, iman
memiliki hubungan timbal balik dengan perbuatan manusia. Keimanan yang kuat
secara logis menghadirkan kecederungan kepada manusia untuk selalu berbuat
baik atau beramal saleh.
64
Dalam persoalan sekularisasi dan desakralisasi, jelas bahwa ide tersebut
tidak dimaksudkan oleh Nurcholish Madjid untuk menghilangkan peran agama
dari kehidupan manusia. Sekularisasi dan desakralisasi merupakan sebuah sikap
yang secara ontologis “membedakan” hal-hal yang bersifat duniawi dan ukhrawi
atau hal-hal yang bersifat kebendaan dan sesuatu yang menyangkut ketuhanan.
Secara otomatis, benda-benda tersebut didesakralisasikan atau dilepaskan dari
unsur ketuhanan sehingga benda-benda tersebut dapat didekati dan dipahami oleh
manusia. Karena secara ontologis duniawi dan ukhrawi itu berbeda, maka secara
epistemologis juga membutuhkan pendekatan yang berbeda. Hal tersebut dalam
pandangan Nurcholish Madjid justru dibangun atas dasar keimanan. Karena,
keimanan yang kuat menjadi dasar untuk tidak mencampuradukkan hal-hal yang
bersifat duniawi dan ukhrawi tersebut.
Dalam masalah titik temu agama-agama, Nurcholish Madjid mendasarkan
pandangannya terhadap reinterpretasi makna Islam. Bagi Nurcholish Madjid, al-
islām tidak sekedar berarti sebuah instansi keagamaan, melainkan sebuah sikap
tunduk, patuh, dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan. Sehingga islām menjadi ciri
agama yang benar. Boleh jadi ciri tersebut ada pada agama tertentu atau boleh jadi
meliputi semua agama. Yang jelas, istilah al-islām menjadi kata kunci bahwa
agama-agama—dalam pengertian dan batas-batas tertentu—memiliki titik temu.
Al-islām dalam arti sikap tunduk, patuh, dan pasrah kepada Tuhan jelas tidak
dapat dipisahkan dari keimanan atau keyakinan terhadap Tuhan itu sendiri. Di
sinilah pengertian “titik temu” tersebut tidak terpisah dari iman.
65
B. Saran-Saran
Tulisan ini hanya fokus membahas konsepsi iman Nurcholish Madjid dan
hubungannya dengan tiga hal, yakni amal saleh, sekularisasi dan desakralisasi,
dan titik temu agama-agama. Artinya, secara tematis tidak semua aspek yang oleh
Nurcholish Madjid didasarkan pada konsepsi keimanan dibahas dalam tulisan ini.
Padahal, hampir setiap gagasan yang dibangun oleh Nurcholish Madjid selalu
disandarkan terhadap konsepsi teologis di dalam Islam. Misalnya, hubungan
antara iman dan ilmu pengetahuan secara menyeluruh, hubungan iman dan politik,
iman dan sejarah, dan lain sebagainya tidak semuanya disinggung dalam tulisan
ini. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi aspek lain yang bisa dikembangkan oleh
para pemerhati pemikiran Nurcholish Madjid selanjutnya.
Dalam soal amal saleh, tulisan ini sekedar menunjukkan bahwa dalam
pandangan Nurcholish Madjid iman dan perbuatan manusia memiliki hubungan
timbal balik yang tidak bisa dilepaskan. Oleh karena itu, tulisan ini menunjukkan
bahwa dari segi etika pemikiran Nurcholish Madjid memiliki corak etika teologis.
Hal ini malah melahirkan pertanyaan yang lebih jauh, seperti bagaimana
karakteristik amal saleh atau perbuatan baik dan buruk dalam pandangan
Nurcholish Madjid? Tulisan ini tidak memberikan penjabaran.
Dalam soal sekularisasi dan desakralisasi, terdapat hubungan antara iman
dan cara pandang manusia terhadap alam dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi,
tulisan ini belum memberikan rumusan epitemologis baik dalam ranah teoritis
maupun praktis menyangkut sekularisasi dan desakralisasi yang diusung oleh
Nurcholish Madjid.
66
Dalam soal titik temu agama-agama, tulisan ini menunjukkan bahwa
terdapat korelasi antara gagasan titik temu agama-agama yang dibangun oleh
Nurcholish Madjid dengan konsepsi teologis atau keimanan. Akan tetapi, tulisan
ini tidak meliputi seluruh aspek dari masalah ini. Misalnya, tulisan ini belum
memberikan penjelasan lebih jauh atau lebih tepatnya belum “cukup berani”
untuk menyimpulkan apakah “titik temu” tersebut meliputi semua agama atau
terbatas pada agama-agama tertentu. Apakah “titik temu” tersebut merupakan
kebenaran teologis yang bersifat mutlak atau hanya merupakan tinjauan sosiologis
untuk menunjukkan bahwa perbedaan agama merupakan keniscayaan. Semua
kekurangan ini menjadi “pekerjaan rumah” bagi kita semua dan meluaskan lahan
untuk terus digali oleh para peneliti selanjutnya.
Terakhir, penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini terdapat banyak
sekali kesalahan dan kekurangan, baik secara substansial maupun dari segi
penyajiannya. Oleh karena itu, kami sangat terbuka untuk menerima kritik dan
saran sebagai masukan dan pertimbangan untuk perbaikan-perbaikan selanjutnya.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa melengkapi kepustakaan yang ada, baik
untuk kalangan akademik maupun untuk umat Islam pada umumnya.
67
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Nur (ed.). Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta:
Kompas, 2001.
Anshori, Endang Saefuddin. Ilmu, Filsafat, dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu,
1987.
Barton, Greg. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme
Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman
Wahid, terj. Nanang Tahqiq. Jakarta: Paramadina, 1999.
Effendi, Djohan dan Ismed Natsir (ed). Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan
Harian Ahmad Wahib. Jakarta: LP3ES, 1981.
Fealy, Greg dan Virginia Hooker (ed.). Voices of Islam in Southeast Asia: a
Contemporary Sourcebook. Singapore: ISEAS Publications, 2006.
Gaus, Ahmad. Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner.
Jakarta: Kompas, 2010.
Ghazali, Abdul Muqsith. Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi
Berbasis al-Quran. Depok: Katakita, 2009.
al-Ghazālī, Muḥammad. ‘Aqīdah al-Muslim. Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, 1983.
Gie, Liang. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2000.
Hassan, Muhammad Kamal. Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan
Muslim, terj. Ahmadie Thaha. Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987.
Idrus, Junaidi. Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid. Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2004.
Izutsu, Toshihiko. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik
Iman dan Islam, terj. Agus Fahri Husain.Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Jongeneel, A.B. Hukum Kemerdekaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980.
Lehmann,Paul L. Ethics in a Christian Context. New York: Harper & Row
Publishers, 1963
Madjid, Nurcholish.Dialog Keterbukaan. Jakarta: Paramadina, 1998.
___________, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
___________, Islam Doktrin dan Peradaban .Jakarta: Paramadina, 2008.
___________, Pintu-Pintu Menuju Tuhan
68
___________ dkk. Membangun Masyarakat Indonesia Abad XXI. Jakarta: ICMI,
1991.
___________. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1988.
Maksin, Marzelah. Sains Pemikiran & Etika. Kuala Lumpur: PTS Professional,
2006.
Malik, Dedy Djamaluddin dan Idi Subandy Ibrahim. Zaman Baru Islam
Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien
Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Zaman
Wacana Mulia, 1998.
Maulana, Abdullah Muslich Rizal. “Kesatuan Transenden Agama-Agama dalam
Perspektif Tasawuf: Kritik atas Pemikiran Frithjof Schuon” dalam
JURNAL KALIMAH, Vol. 12, No. 2, September 2014, Gontor: UNIDA.
Munawwir, A.W. Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Nasution, Harun.Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
2010.
___________.Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jld. I. Jakarta: Bulan
Bintang, 2013.
___________. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jld. II. Jakarta: Bulan
Bintang, 2012.
___________.Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press, 2010.
Norris, Pippa dan Ronald Inglehart. Sacred and Secular: Religion and Politics
Worldwide. Cambridge: Cambridge University Press, 2004.
Rachman, Budhy Munawwar. “Titik Temu Agama-Agama: Analisis atas Islam
Inklusif Nurcholish Madjid. ”Jakarta: Disertasi Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, 2014.
Pradoyo, Sekularisasi dalam Polemik. Jakarta: Grafiti, 1993.
al-Qusyayrī, al-Risālah al-Qusyayriyyah. Lebanon: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1971.
Rahman, M. Syaiful. “Islam Dan Pluralisme”dalam Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni
2014, Kudus: Ushuluddin STAIN Kudus.
Rasjidi, H.M. Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang
Sekularisasi.Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
Rozak, Abdur dan Rosihon Anwar. Imu Kalm. Bandung, Pustaka Setia, 2011.
69
Saridjo, Marwan.Nurcholish Madjid: di antara Sarung dan Dasi& Musdah Mulia
tetap Berjilbab. Jakarta: Ngali Aksara dan Paramadina, 2005.
Schimmel, Annemarie.Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Schuon, The Transcendent Unity of Religion. Illinois: Theosopichal Publishing
House, 1984.
Taymiyyah,Ibn. A-Iman, terj. Kathur Suhardi.Bekasi: Darul Falah, 2015.
Tohari, Amiem (ed.), Islam Rahmat bagi Alam Semesta. Ciputat: Alifia Books,
2005.
Ulfa, Maria. “Mencermati Inklusivisme Agama Nurcholish Madjid” dalam Jurnal
Kalimah, Vol. 11, No. 2, September 2013,Gontor: UNIDA.
Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum, terj. Soegiarto Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1989..
70
BIODATA PENULIS
Data Pribadi
Nama :Diana Lestari
TTL. : Tangerang, 30 November 1991
Alamat :Cimanggis, RT 01/03, Kel. Cipayung, Kec. Ciputat
Email/Hp. :[email protected]/0811-395-525
Jenis Kelamin : Perempuan
Warga Negara : Indonesia
Agama Islam : Islam
Riwayat Pendidikan
1998-2004 : SDN I Bojong Kembar, Sukabumi
2004-2007 : SMPN I Cikembar, Sukabumi
2007-2010 : SMAN I Cikembar, Sukabumi