HUKUM PEMBERIAN NAMA DAN PEMANGGILAN NAMA
PERSPEKTIF ISLAM DAN ADAT KEBIASAAN
DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Muhtadin Khoerudin
NIM: 111004310001
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H / 2017 M
ii
HUKUM PEMBERIAN NAMA DAN PEMANGGILAN NAMA
PERSPEKTIF ISLAM DAN ADAT KEBIASAAN
DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Muhtadin Khoerudin
NIM: 1110043100018
Pembimbing:
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINAGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “HUKUM PEMBERIAN NAMA DAN PEMANGGILAN
NAMA PERSPEKTIF ISLAM DAN ADAT KEBIASAAN DI INDONESIA”
telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program
Studi Perbandingan Mazhab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tanggal 7 Juni 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum.
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu pernyataan memperoleh gelar sarjana Strata 1 di Universitas Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
v
ABSTRAK
HUKUM PEMBERIAN NAMA DAN PEMANGGILAN NAMA
PERSPEKTIF ISLAM DAN ADAT KEBIASAAN INDONESIA adalah
skripsi hasil karya Muhtadin Khoerudin, NIM 110043100018, pada konsentrasi
Perbandingan Mazhab Fikih, Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017
M/1438 H.
Skripsi ini bertujuan untuk meneliti segi maslahah dalam hukum
pemberian nama dan pemanggilan nama menurut perspektif Islam dan Adat
Kebiasaan Indonesia. Selanjutnya, penulis membandingkan dengan review studi
terdahulu yang membahas mengenai pemberian nama kontroversial. Sebagai
pembeda, penulis mencoba menggabungkan aspek pemberian nama dengan
pemanggilan nama secara hukum baik dalam perpektif Islam maupun adat
kebiasaan Indonesia.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menekankan
kualitas data. Pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah deskriptif-analisis
yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan cara mengumpulkan data,
menyusun, mengklasifikasikan, menganalisa, mengevaluasi, dan
menginterpretasikannya. Pengumpulan data dengan kajian kepustakaan dari
berbagai buku, artikel, berita dan literatur yang dipandang mewakili dan berkaitan
dengan objek penelitian.
Hasil penelitian menunjukan adanya perbedaan hukum dalam pemberian
nama dan pemanggilan dimana (1) pemberian nama berhukum mubah/boleh
termasuk panjang atau pendeknya nama, (2) waktu pemberian nama terbagi
menjadi tiga; pada hari kelahiran, sebelum atau sesudah hari ketujuh kelahiran,
dan pada hari ketujuh kelahiran, (3) pihak paling berhak memberi nama adalah
Ayah, (4) pemberian dan pemanggilan nama terdiri dari tiga: haram untuk nama
ma’rifat ketuhanan secara tunggal dan penisbatan nama penghambaan kepada
selain Allah; makruh untuk nama malaikat, al-quran dan surratnya; mubah untuk
nama yang tidak mengandung negatif larangan atau makruh.
Kata Kunci : Pemberian Nama, Nama Kontroversial, Pemanggilan
Nama
Pembimbing : Prof. Dr. H. Abd. Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA.
Daftar Pustaka : Tahun 1978 s.d Tahun 2017
vi
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, puji serta syukur penulis ucapkan dan panjatkan
kehadirat Ilahi Rabbi, Allah SWT, yang telah memberikan nikmat dan
kemudahan, sehingga dengan izin-Nya Penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Sholawat beserta salam penulis haturkan kepada baginda Rasulullah
SAW, beserta keluarga dan sahabatnya. Allâhumma salli wa sallim wa bârik
‘alaihi.
Dan penulis juga mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada
seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung penulis baik langsung
maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis
ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum dan Ibu Siti Hanna, S.Ag,
Lc. M.A selaku Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab.
3. Bapak Prof. Dr. H. Abd. Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA Selaku dosen
pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, serta
memberikan arahan dalam membimbing penyusunan skripsi ini.
4. Bapak dan ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
ilmu kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang
vii
bermanfaat dan bapak dan ibu selalu mendapat pahala serta rakmat Allah
SWT.
5. Seluruh staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, staf perpustakaan
Sekolah Pascasarjana, dan staf perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Ungkapan terima kasih, yang mungkin tidak bisa penulis ungkapkan dengan
kata, kepada kedua orang tua penulis: Ayah H. Jajam Jamhari dan Ibu Hj.
Masih. Dan juga kepada adik dan kakak tercinta Badriah Budiarti dan Maja
Zaenudin . Kalian yang terbaik.
7. Teman-teman kelas PMF A 2010, yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu.
8. Teman-teman KKN SOS 2013, atas pengalaman berharga bersosialisasi
dengan warga selama satu bulan dan terimakasih atas segala tawa dan
semangatnya.
9. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan untuk para pembaca yang budiman, meskipun masih
terdapat banyak kekurangan dalam isi maupun penulisan skripsi ini. Dan semoga
amal baik kita diterima oleh Allah SWT. Amiin.
Jakarta : 07 Juni 2017 M
12 Ramadhan 1438 H
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ....................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 4
C. Pembatasan Masalah .................................................................. 5
D. Perumusan Masalah .................................................................. 5
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 5
F. Studi Review/Penelitian Terdahulu............................................ 6
G. Metode Penelitian..................................................................... 10
1. Pendekatan Penelitian ........................................................ 10
2. Jenis Penelitian ................................................................... 11
3. Sumber, Kriteria Data Penelitian ....................................... 11
4. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 12
5. Subjek-Objek Penelitian..................................................... 12
6. Teknik Pengolahan dan Metode Analisis Data .................. 12
7. Teknik Penulisan ................................................................ 12
ix
H. Sistem Penulisan ...................................................................... 13
BAB II : KAJIAN KEPUSTAKAAN ........................................................... 14
A. Definisi Nama ......................................................................... 14
B. Waktu Pemberian Nama ......................................................... 15
C. Yang Berhak Memberi Namas ................................................. 20
D. Perbedaan antara Nama, Kunyah dan Laqab ........................... 21
E. Hubungan antara Arti Sebuah Nama dan Pemiliknya.............. 28
BAB III : DATA PENELITIAN/PEMBERIAN DAN PEMANGGILAN
NAMA DALAM BUDAYA ISLAM ............................................ 30
A. Nama dengan Penamaan Nama Katuhanan ............................. 30
B. Nama dengan Penamaan Nama Malaikat ................................ 32
C. Nama dengan Penamaan Nama al-Qur’an dan Surah-Surahnya
.................................................................................................. 34
D. Nama dengan Penamaan Nama Para Nabi ............................... 35
E. Nama dengan Penamaan Nama Kontroversial ......................... 38
BAB IV : ANALISIS DATA PENELITIAN FILOSOFI HUKUM ISLAM
DALAM PEMBERIAN NAMA DAN PRAKTEKNYA DI
INDONESIA .................................................................................. 43
A. Filosofi Hukum Islam dalam Pemberian Nama dan Prakteknya
di Indonesia .............................................................................. 43
B. Bahasa Arab dan Nama ............................................................ 46
C. Filosofi Praktek Pemberian dan Pemanggilan Nama ............... 50
x
D. Hukum Penggunaan Nama dan Pemanggilannya yang tidak
sesuai dengan Filosofi Hukum Islam ....................................... 51
E. Tradisi Nama di Indonesia ...................................................... 59
BAB V : PENUTUP ...................................................................................... 63
A. Kesimpulan ............................................................................. 63
B. Saran-Saran ............................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nama adalah alat untuk mengenali suatu benda, tempat, merk, bahkan
manusia. Tanpa nama maka manusia akan mendapat kesusahan untuk
membedakan satu sama lain. Setiap manusia yang ada di bumi ini pastilah
memiliki sebuah nama, walaupun William Shakespeare berkata: “Apalah arti
sebuah nama? Andai kata aku memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap
mempesona dan akan berbau wanginya”, namun sebuah nama tetaplah menjadi
identitas setiap manusia, bahkan banyak diantara manusia selalu termotivasi untuk
menyesuaikan kepribadiannya dengan nama yang mereka miliki.
Setiap budaya dan bahasa memiliki ciri khas dalam menyusun sebuah
nama yang dalam penyusunannya terdiri dari beberapa kombinasi, seperti nama
marga, nama pemberian, nama ayah, nama ibu, penggabungan antara nama ayah
dan ibu, nama baptis, nama muallaf, nama kota, dan lain-lain.
Dalam Islam, pemberian nama sangatlah sakral dan diatur secara detail;
tentu Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya untuk memberi nama
terhadap anak mereka dengan nama yang baik, seperti dalam hadits Riwayat
Sunan Imam Abu Daud dengan Sanad Munqathi beliau yang berbunyi:
2
Artinya :“Diceritakan dari Amr bin „Aun berkata, menceritakan kepada kami dari
Musaddad, ia berkata menceritakan kepada kami Husyaim, diceritakan
dari Daud bin Amr dari Abdullah bin Zakaria al-Khaza‟i dari Abi
Darda‟, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya pada
hari kiamat, kamu sekalian akan dipanggil dengan namamu dan nama
ayahmu. Buatlah nama-namamu yang baik” (HR. Imam Abu Daud
dengan sanad hasan).2
Dalam hadits lainnya riwayat Imam Abu Daud yang juga diriwayatkan
oleh Imam an-Nasaí dan Imam Ahmad dari Abu Wahab al-Jusyami, dia berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Diceritakan dari Harun bin Abdullah, menceritakan kepada kami dari
Hisyam bin Sa‟id al-Thalqani, menceritakan kepada kami dari
uhammad bin al- uhajir al-Ans ori ia berkata: Diceritakan kepada
„Aqil bin Syabaib dari Abu Wahab al-Jusyami, bahwa dari Suhbah ia
berkata: Rasulullah SAW bersabda: Berilah nama dengan nama para
nabi. Nama yang paling disukai Allah adalah Abdullah dan Abdur-
Rahman. Nama yang paling benar adalah Harits dan Hammam, dan
nama yang paling buruk adalah Harb dan urrah” (HR. Imam Abu
Daud).3
1 Hafiz Abu Tahir Zubair Áli Zai, Sunan Imam Abu Daud (Riyadh: Maktaba Dari-us-
Salam, 2008, Cet. Pertama), h. 895
2 Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Fiqih Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar (Jakarta: Dar
al-Fikr, 2007, Cet. Pertama), h. 158
3 Abdul Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam (Jakarta: Pustaka Amani, 2007,
Jilid I), h. 78
3
Abu Muhammad bin Hazm berkata: “Para ulama sepakat menganggap
baik nama-nama yang dikaitkan (mudhaf) kepada Allah, seperti Abdullah, Abdur-
Rahman dan sejenisnya. Namun, para fuqaha berselisih pendapat tentang nama-
nama yang paling disukai oleh Allah. Menurut jumhur ulama, nama yang paling
disukai Allah adalah Abdullah dan Abdur-Rahman. Adapun menurut Said bin Al-
Musayyib, nama yang paling disukai Allah adalah nama para Nabi. Namun, hadits
shahih menunjukkan nama yang paling disukai Allah Abdullah dan Abdur-
Rahman.4
Dalam Islam, juga mengatur tentang nama panggilan, Allah SWT
berfirman:
ٱلألقبتنابزوا بولا
Artinya: “Janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk”
Tidak ada perselisihan diantara para ulama tentang haramnya memanggil
seseorang dengan panggilan yang tidak disukai terlepas panggilan itu memang
benar-benar ada pada dirinya atau tidak. Adapun jika orang itu memang sudah
dikenal dan masyhur dengan panggilan tertentu, terpaksa panggilan seperti itu
digunakan.5
Lalu bagaimana adat kebiasaan dalam pemanggilan nama di Indonesia?
Dalam kehidupan sehari – harinya, masyarakat Indonesia sering menyingkat
bahkan mengubah nama panggilan seseorang seperti Joko Sulilo dipanggil Jo,
4 Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Fiqih Bayi, (Jakarta: Dar al-Fikr, 2007, Cet. Pertama), h.
159.
5 Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Fiqih Bayi, (Jakarta: Fikr, 2007, Cet. Pertama), h. 196
4
Ismail dipanggil Mail, Mufakkir dipanggil Fakir, Yusuf dipanggil Ucup,
Rizaluddin dipanggil Udin termasuk dalam memanggil nama – nama berikut ini :
Abdul Ghafur, Abdur-Rahman dan Abdul Malik. Dalam prakteknya, ketiga nama
tersebut oleh masyarakat Indonesia tidak dipanggil secara lengkap namun hanya
dipanggil kata kedua dari nama tersebut yaitu Ghafur, Rahman, Malik;
permasalahannya terletak pada makna dari panggilan tersebut yang mana
panggilan tersebut merupakan salah satu nama asmaul husna. Oleh sebab itu,
untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan latar belakang diatas,
maka penulis mencoba memaparkan sebuah penelitian dalam bentuk skripsi yang
berjudul “HUKUM PEMBERIAN NAMA DAN PEMANGGILAN NAMA
PERSPEKTIF ISLAM DAN ADAT KEBIASAAN DI INDONESIA”
B. Identifikasi Masalah
Mendasarkan pada latar belakang masalah diatas dapat ditarik kesimpulan
atas identifikasi masalah dalam penelitian yaitu;
1. Ada dan banyaknya penamaan yang kontroversial secara hukum Islam.
2. Hukum pemberian nama dan pemanggilan nama kontroversial dalam
prespektif Islam.
3. Hukum pemberian nama dan pemanggilan nama kontroversial dalam
perspektif adat kebiasaan di Indonesia.
C. Pembatasan Masalah
Untuk memperjelas pokok masalah yang akan dibahas dan diuraikan
dalam skripsi ini, yaitu tentang Hukum Pemberian dan Pemanggilan Nama
Perspektif Islam dan Adat Kebiasaan di Indonesia, dan agar terfokus
5
pembahasannya, maka penulis membatasi pembahasannya hanya seputar hukum
pemberian nama, adat kebiasaan di Indonesia dalam memanggil nama dan
kesesuaian filosofi hukum Islam dalam memberi nama dengan adat kebiasaan di
Indonesia.
D. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana hukum pemberian nama dalam Islam?
2. Bagaimana adat kebiasaan di Indonesia dalam memanggil nama?
3. Bagaimana kesesuaian filosofi hukum Islam dalam memberi nama dengan
adat kebiasaan di Indonesia?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun maksud dari tujuan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui hukum pemberian nama dalam Islam
b. Mengetahui adat kebiasaan di Indonesia dalam memanggil nama
c. Mengetahui kesesuaian filosofi hukum Islam dalam memberi nama dengan
adat kebiasaan di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini terdiri dari:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis
dan akademisi lainnya tentang hukum pemberian dan pemanggilan nama
perspektif Islam dan adat kebiasaan di Indonesia
6
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat menjadi acuan bagi masyarakat dalam pemberian
nama dan pemanggilan nama.
F. Studi Review/Penelitian Terdahulu
Tinjauan pustaka berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan di
teliti tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau sama sekali belum pernah
diteliti. Oleh karena itu, untuk menjaga keaslian penelitian ini, penulis telah
melakukan review kepustakaan terlebih dahulu. Ada beberapa penelitian terdahulu
yang mengangkat pembahasan yang hampir sama dengan yang diteliti oleh
penulis jika dilihat secara umum, namun jika ditelusuri lebih mendalam tentu ada
perbedaan dari sudut pembahasan maupun objek kajian di dalam penelitian ini.
Adapun penelitian tersebut di antaranya:
1. Tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial menurut hukum
pidana yang ditulis oleh Asmu’i, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2014. Skripsi ini membahas putusan hakim No. 225
PK/PID.SUS/2011 terhadap tindak pencemaran nama baik melalui media
sosial dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, dan untuk
menjelaskan argumentasi Hakim dalam mengadili tindak pidana pencemaran
nama baik melalui media sosial. Skripsi ini pada kesimpulannya yaitu bahwa
dalam putusan No. 225 PK/PID.SUS/2011 majelis hakim membebaskan Prita
Mulyasari yang didakwa oleh jaksa penuntut umum dengan Pasal 27 ayat 3
UU IT. Dalam hal ini penulis sependapat dengan putusan majelis hakim yang
membebaskan Prita. Karena menurut penulis perbuatan yang dilakukan prita
7
merupakan kritikan atau pengawasan terhadap pelayan publik, perbuatan Prita
tersebut dilindungi oleh Undang-undang, diantaranya adalah UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 23, UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4, dan UU No. 29 tahun 2004 tentang
Praktek Kedokteran Pasal 45 dan dalam pandangan hukum Islam perbuatan
Prita yang mengirim email kepada teman-temannya yang dalam email tersebut
ada tulisan “Saya informasikan kepada dr. Hengky yang praktek di RS Omni
Internasional, email tersebut tidak mengatakan RS Omni Internasional buruk,
tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini”. Dalam
pandangan hukum Islam perbuatan yang dilakukan oleh Prita Mulyasari
termasuk dalam kategori perbuatan ghibah.
2. Pemberian Nama dalam Perspektif Islam dan Implikasinya dalam Mendidik
Kesalehan Anak oleh Himatul Aliyati Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam
Negeri Walisongo Semarang, 2005. Skripsi ini membahas tentang (1)
pemberian nama dalam perspektif Islam dan (2) Implikasi pemberian nama
dalam perspektif Islam dalam mendidik kesalehan anak. Penelitian yang
digunakan menggunakan metode riset perpustakaan (library research) dengan
metode deduktif dan dinduktif yang analisisnya menggunakan pendekatan
logika telfektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang dimaksud
pemberian nama dalam Islam adalah kegiatan menyambut kelahiran bayi
dengan memiliki nama untuk panggilan agar anak dikenal dengan menetapkan
tujuan pemberian nama sesuai perintah Allah yang disunnahkan pada hari ke-7
bersamaan dengan aqiqah dengan kategori 5 golongan nama yaitu; nama
8
wajib, nama Sunnah, nama mubah, nama makruh dan nama haram. Implikasi
dari pemberian nama dapat; membentuk identitas muslim, sebagai do’a dan
harapan akan kesalehan dan langkah mendidik anak setelah lahir.
3. Analisis Pemberian Nama pada Anak Usia 5 Tahun ke Bawah di Desa
Pengkol Rt 02/RW V, Nguter Sukoharjo oleh Suci Subarni, Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2011. Penelitian
mendeskripsikan jenis Bahasa yang digunakan dalam pemberian nama pada
anak, harapan pemberian nama anak, dan hal-hal yang melatarbelakangi dalam
pemberian nama pada anak usia 5 tahun ke bawah. Metode penelitian yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa
pemberian nama pada anak di usia 5 tahun ke bawah menggunakan jenis
Bahasa Indonesia, Jawa, Arab, Inggris dan Gabungan. Makna yang muncul
dari arti serta harapan antara lain; nama yang bermakna menuruni sifat tokoh,
menjadi anak yang sholeh/sholehah, anak yang cerdas, dan agar anak yang
berperilaku baik. Hal yang melatarbelakangi pemberian nama diantaranya;
agar seperti sifat tokoh, alasan nama orang tua dan keinginan agar menjadi
anak sholeh, karena merupakan anak pertama, karena merupakan anak
terakhir, karena kapan dilahirkan, karena anak laki-laki, karena menggunakan
bapak, karena tempat dilahirkan sang anak, dan karena nama mempunyai arti
yang baik dan nama adalah harapan.
Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian terdahulu dapat dijelaskan
sebagai berikut:
9
- Penelitian pertama berkaitan dengan tindak pidana pencemaran nama baik
melalu media sosial yang dikaitkan dengan hukum pidana. Pendekatan
penelitian adalah putusan regulasi pemerintah Indonesia atau hukum positif
yang disanding dengan hukum negatif terkait peradilan pencemaran nama
baik melalui media sosial.
- Penelitian kedua berkaitan dengan (1) perspektif hukum pemberian nama dan
(2) implikasinya dalam mendidik kesalehan anak. Penelitian ini menjelaskan
maksud dan tujuan pemberian nama sesuai perintah Allah pada waktu yang
disunnahkan yaitu hari ke-7 bersamaan dengan aqiqah yang menentukan
kategori golongan hukum nama. Penelitian juga menjelaskan tentang
implikasi pemberian nama terkait pembentukan identitas muslim dan sebagai
do’a harapan serta langkah mendidik kesalehan anak.
- Penelitian ketiga berbicara tentang budaya dan alasan pemberian nama pada
anak usia 5 tahun ke bawah di lokasi tertentu untuk mengkaji (1) jenis Bahasa
yang digunakan dalam pemberian nama anak dan (2) alasan pemberian nama
anak sesuai budaya yang ada.
Sementara penelitian penulis adalah berkisar pada tiga aspek yaitu; (1)
hukum pemberian nama perspektif Islam, (2) hukum pemangggilan nama
perspektif Islam, dan (3) adat kebiasaan pemberian nama di Indonesia.
Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian pertama adalah pada
hukum positif dan hukum perspektif Islam, sementara perbedaan dengan
penelitian kedua adalah pada implikasi pemberian nama. Perbedaan dengan
10
penelitian ketiga ada pada jenis Bahasa dan budaya pemberian nama pada anak
yang mendasarkan pada aspek kebahasaan.
Adapun kemiripan penelitian penulis dengan penelitian lainnya cenderung
memiliki kemiripan dengan penelitian kedua untuk poin pertama yaitu (1)
perspektif hukum pemberian nama. Kemiripan penelitian lainnya adalah dengan
penelitian ketiga untuk poin alasan pemberian nama sesuai budaya yang ada. Hal
ini berarti penelitian yang penulis lakukan mencoba mengkombinasikan penelitian
kedua poin pertama dan penelitian ketiga poin kedua.
G. Metode Penelitian
Metode yang dalam hal ini diartikan sebagai salah satu cara yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu,
sedangkan penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan,
dan menguji suatu pengetahuan, usaha dimana dilakukan dengan menggunakan
metode-metode tertentu. Adapun metode yang akan penulis gunakan antara lain
adalah:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian pada skripsi ini adalah penelitian yuridis
normatif dengan metode dekriptif, yaitu penelitian yang disusun dengan
meneliti data sekunder dan bahan pustaka.6Penelitian yang bertujuan
mendeskripsikan hukum pemberian dan pemanggilan nama perspektif Islam
dan adat kebiasaan di Indonesia. Penelitian ini berusaha memberikan
6 Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas
Atmajaya (PUAJ), 2007), h. 28
11
pemecahan masalah dengan cara mengumpulkan data, menyusun,
mengklasifikasikan, menganalisa, mengevaluasi, dan menginterpretasikannya
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan
(library reseach). Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mencari data
melalui buku-buku sebagai literatur yang berkaitan dengan persoalan yang
dibahas, seperti karya tulis skripsi, majalah, koran serta bahan-bahan lainnya
yang dapat mendukung judul skripsi ini. Adapun metode yang dipakai adalah
metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.7
3. Sumber, Kriteria Data Penelitian
Adapun data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah jenis
data primer dan data sekunder.8Adapun data primer yang digunakan oleh
peneliti adalah buku pustaka berupa al-Qur’an, Hadits dan Kitab-kitab.
Adapun data sekunder terdiri dari: kitab fiqih, skripsi, jurnal hukum,
majalah, koran dan bahan lainnya yang berkaitan dengan fokus pembahasan
yang diteliti oleh penulis.
7 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005, Cet. Kesepuluh), h. 4.
8 Zainuddin Ali, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas Atmajaya
(PUAJ), 2009), h. 47
12
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan penulis
adalah studi kepustakaan. Dalam pengumpulan data, Penulis menganalisis
buku-buku, dokumen, naskah (studi pustaka) yang menjelaskan tentang teori
pemberian nama dan pemanggilan nama.
5. Subjek-Objek Penelitian
Objek Penelitian adalah Kajian tentang penggunaan nama
kontroversial yang kemudian dianalisis dalam perspektif hukum Islam dan
Adat Kebiasaan di Indonesia.
6. Teknik Pengolahan dan Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif, yaitu
mendalami masalah hukum pemberian dan pemanggilan nama perspektif
Islam dan adat kebiasaan di Indonesia
7. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi” Yang Diterbitkan Oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan
Mutu (PPJM) Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2012.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini disusun dalam lima bab, dimana pada tiap-tiap
bab terdiri dari beberapa sub bab. Sistematika penulisan merupakan variasi
ringkasan secara garis besar mengenai hal pokok yang dibahas guna
13
mempermudah dalam memahami dan melihat hubungan satu bab dan lainnya.
Adapun uraian dalam setiap bab adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode
Penelitian, Studi Review Terdahulu, Teknik Penulisan, Sistematika
Penulisan.
Bab II Waktu Pemberian Nama, Pergantian Nama Karena Suatu
Maslahat, Perbedaan antara Nama, Kunyah dan Laqab, Hubungan
antara Arti Sebuah Nama dan Pemiliknya.
Bab III Nama dengan Penamaan Nama Ketuhanan, Nama dengan
Penamaan Al-Qur’an dan Surah-Surahnya, Pemberian Nama
dengan Nama Para Nabi, Nama dengan Penamaan Kontroversial.
Bab IV Filosofi Hukum Islam Dalam Pemberian Nama, Analisis Pengaruh
Pengetahuan Bahasa Arab Terhadap Pemanggilan Nama, Analisis
Kesesuaian antara Filosofi Pemberian Nama dengan Pemanggilan
Nama dalam Prakteknya, Hukum Pemberian Nama yang Dalam
Pemanggilannya tidak sesuai dengan Filosofi Hukum Islam.
Bab V Kesimpulan dan Saran
14
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Definisi Nama
Dasar definisi nama adalah sebuah kata untuk menyebut atau memanggil
orang (tempat, barang, binatang dan sebagagainya). Begitulah istilah nama yang
ada di Indonesia sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ketika terdengar, nama
lebih banyak berkesan untuk penamaan orang atau manusia. Penamaan ini
memiliki waktu tertentu secara ritual. Nama cenderung memiliki nilai,
karenanya bagi sebagian orang nama memiliki sebuah arti, makna dan doa.
Mengingat nama merupakan simbol dari sebuah arti, maka seharusnya
antara sebutan nama dan arti mempunyai hubungan yang sesuai. Karena dapat
memberi pengaruh terhadap orang yang diberi nama, baik nama itu mempunyai
arti yang baik, buruk, kuat, sedih, dan lain sebagainya.1
Nama manusia di Indonesia cukup variatif ada yang terdiri dari satu suku
kata ataupun lebih. Nama yang mengandung lebih dari satu kata cenderung
terbagi kepada nama depan dan nama keluarga (marga) contohnya Ali Wijaya,
dimana Ali adalah nama depan sedangkan Wijaya adalah marganya.
Mendasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa nama
adalah sebutan atau label yang diberikan kepada apapun baik benda, manusia
tempat dan lainnya untuk membedakan satu dari lainnya.
1 Khadijah A.Q al-Mutawakkil, Nama-nama Indah untuk Anak Anda, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 1991, cet. 1), h. 15-16
15
B. Waktu Pemberian Nama
Pemberian nama pada anak yang terlahir ke dunia disunnahkan. Perihal
waktu pemberian nama, terdapat beberapa pendapat waktu pemberian nama
tersebut yang setidaknya terdiri dari 3 pendapat yaitu (1) pemberian nama pada
hari kelahiran, (2) pemberian nama pada sebelum hari ketujuh dari kelahiran
atau sesudah kelahiran, dan (3) pemberian nama pada hari ketujuh kelahiran. Hal
ini seirama dengan pendapat Kasmuri dalam bukunya yang menjelaskan bahwa
memberikan nama bagi bayi dapat dilakukan pada hari kelahirannya atau tiga
hari sesudah kelahirannya. Jika masih belum diberi nama dapat ditunda sampai
pelaksanaan aqiqah. Berdasarkan keterangan di atas maka para ulama fikih
berpendapat bahwa memberikan nama kepada anak harus dilakukan sama ada
pada hari pertama, hari ketiga, hari ketika aqiqah ataupun beberapa hari selepas
itu.2 Berikut dijelaskan beberapa pendapat waktu pemberian nama tersebut:
1. Pemberian nama pada hari kelahiran anak
Pendapat ini menjelaskan bahwa anak yang baru lahir ke dunia
disunnahkan diberi nama sesegera mungkin pemberian pada hari
kelahirannya. Dalil yang mensunnahkan nama anak pada hari kelahirannya
terlihat pada kitab Matan al-Bukhari3:
2 Selamat Kasmuri, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan
Perkawinan), (Jakarta: Kalam Mulia, 1998) h.220
3 Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz, Fatwa Lajnah Daimah, (Beirut: Darul Ifta, Juz
11), h.. 450
16
Artinya:”Dari Sahal ia berkata, Mundzir Ibnu Abu Usaid dibawa kepada
Nabi Muhammad SAW pada hari kelahirannya, maka Nabi SAW
meletakkannya di atas pahanya, sedangkan Abu Usaid (ayah
bayi) duduk. Nabi SAW disibukkan oleh sesuatu dihadapannya.
Lalu beliau memerintahkan Abu Usaid (untuk mengambil
anaknya). Kemudian bayi itu diangkat dari paha Nabi SAW, lalu
beliau memulangkannya. Ketika Nabi SAW selesai dari
kesibukannya, beliau bertanya, “kemanakah bayi tadi?” Abu
Usaid menjawab, “Fulan”, Nabi SAW bersabda (jangan) dan
tetapi namailah dia al-Mundzir”, sejak saat itu nama bayi
tersebut adalah al-Mundzir”. (HR. Al-Bukhari)4.
Dari hadits di atas nampaklah bahwa Rasulullah SAW mengajarkan
kita untuk memberi nama pada anak yang lahir sesaat setelah kelahirannya.
Bahkan hal ini diperjelas ketika anak Abu Usaid yang baru lahir dan belum
diberi nama oleh ayahnya. Saat itu nabi langsung memberinya nama al-
Mundzir. Dasn sebagaimana terusan dari hadits tersebut bahwa penamaan
bayi tersebut dengan al-Mundzir sebagai ganti “fulan”, atau kata ganti nama
seseorang, sehingga diharapkan dengan penetapan nama sejak dini akan
lebih melekatkan nama dan makna nama tersebut pada bayi, tanpa terlebih
dahulu diawali dengan kata ganti yang tidak jelas (fulan), sehingga
pembiasaan ini akan membawa dampak yang lebik baik yaitu lebih
menyatunya nama dengan sang anak, dan sosialisasi anak dengan nama
terhadap orang-orang di sekitarnya pun akan lebih cepat terlaksana.
4 Abu Abdullah Bin Ismail al-Bukhori, Matan al-Bukhori, Juz 4 (Indonesia: Dar
Ihya‟al-Kitab al-Arabiyah, t.th.), h. 79-80
17
2. Pemberian nama pada sebelum hari ketujuh dari kelahiran anak atau
sesudahnya.
Pendapat ini didasarkan pada kitab Fath al-Qarib al-Mujib yang
menerangkan bahwa:
Artinya: “Dan diperbolehkan memberi nama pada anak pada sebelum hari
ketujuh dan atau sesudahnya.”5
Pendapat Ibnu Qasim tentang diperbolehkannya (jiwaz) memberi
nama pada sebelum atau sesudah hari ketujuh oleh Imam Nawawi diperkuat
dengan alasan hal ini dilakukan bila tidak mungkin dilaksanakan aqiqah
(penyembelihan hewan pada kelahiran bayi).
Kemudian apabila tidak mungkin dilaksanakan aqiqah maka menurut
Imam Nawawi, sang bayi hendaknya diberi nama sesegera mungkin setelah
kelahirannya.
Berikut kutipan Imam Nawawi dalam kitab “Tausikh ala Ibnu
Qasim”:
Artinya: “Dan diperbolehkan memeberi nama bayi sebelum hari ketujuh
kelahiran atau setelahnya, dan jika tidak memungkinkan untuk
dilaksanakan aqiqah, hendaknya diberi nama sesegera setelah
kelahirannya6”
5 Imam Ahmad bin al-Husain al-Syuhairi, Fath al-Qarib al-Mujib, (Semarang: Pustaka
Alawiyah, t.th.) hlm. 63.
6 Muhammad Umar al-Jaawi Nawawi, Tausikh Ala Ibnu Qasim, (Beirut: Maktabah
Muhammad Bin Syarif, t.th.) h. 273
18
Menurut hemat penulis ini merupakan keluwesan syari‟at Islam yang
memberi batasan bahwa jika ada kemungkinan dilaksanakannya aqiqah
walaupun setelah hari ketujuh maka diperbolehkan pemberian nama pada
hari aqiqah tersebut (setelah hari ketujuh kelahiran bayi). Namun hal ini
sekiranya jangan sampai terlalu lama (berhari-hari), karena hal ini
menyangkut menyatunya nama terhadap pribadi sang bayi juga sosialisasi
nama bayi terhadap orang-orang dilingkungannya. Apabila terlalu lama
dipanggil dengan kata ganti (misalnya: “fulan” (Bahasa Arab), atau “anak,
anak kecil, bayi” (Bahasa Indonesia) dan bila panggilan tersebut terlanjur
menyatu dengan pribadi bayi, maka semakin lama hal ini akan sulit
dihilangkan, atau diganti dengan nama bayi (yang disahkan).
3. Pemberian nama pada hari ketujuh kelahiran bayi.
Hukum sunnah memberi nama pada hari ketujuh berlandaskan pada
hadits yang diriwayatkan di dalam kitab Imam al-Turmudzi:
Artinya: “Dari Umur bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata,
“Nabi SAW memerintahkan untuk memberi nama bayi yang baru
lahir pada hari ketujuh, begitu pula melenyapkan kotoran dan
mengaqiqahinya”. (HR. al-Turmudzi)7
7 Abi Isa Muhammad bin Saurah, Sunan Turmudzi Juz IV, Beirut Darul Fikra, t.t., hlm.
380
19
Hal ini dijadikan pedoman dalam menentukan kesunahan pemberian
nama pada hari ketujuh kelahiran, kemudian dihilangkan kotorannya dan
diaqiqahi.
Pendapat ini seirama dengan pendapat Imam Nawawi yang
menyebutkan:
Artinya: “Disunnahkan memberi nama pada anak yang baru lahir pada
hari ke tujuh kelahirannya walaupun bayi itu dalam keadaan
gugur8”.
Kemudian mengenai kandungan yang gugur ) سقطا ( bagi orang tetap
dituntut untuk memberi nama. Disunnahkan memberi nama sesuai dengan
jenis kelaminnya, namun apabila jenis kelaminnya belum teridentifikasi
maka disunnahkan memberi nama dengan nama yang dapat dipakai untuk
laki-laki dan perempuan seperti Asma‟, Hunaidah, Kharijah, Thalhah,
Umairah, Zur‟ah dan nama lain yang dapat dipakai oleh dua jenis kelamin9.
Pendapat ini memberikan kesimpulan bahwa pemberian nama
disunahkan tepat pada hari ketujuh seiring pelaksanaan aqiqah dan
pembersihan kotoran. Pemberian nama juga berlaku untuk bayi yang gugur
baik sudah diketahui jenis kelaminnya atau belum.
8 Muhammad Umar al-Jaawi Nawawi, Tausikh Ala Ibnu Qasim, (Beirut: Maktabah
Muhammad Bin Syarif, t.th.) hlm. 272
9 Idem, 273
20
C. Yang Berhak Memberi Nama
Adapun yang berhak memberikan nama secara umum bebas dilakukan
oleh ibu maupun ayah dari sang anak. Ibnu Qoyyim menyebutkan bahwa hak
ayah lebih besar dibandingkan ibu. Hal ini dapat dijelaskan bahwa jika terjadi
pertengkaran antara ayah dan ibu dalam memberi nama anak mereka, pemberi
nama anak itu menjadi hak ayah. Pendapat ini mendasarkan pada firman Allah
Ta‟ala berfirman;
(5:
Artinya: “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah.”
Pendapat yang sama juga diutarakan oleh Ibnu Qayim10
dimana beliau
mendasarkan pada hadits Sunan Abu Daud dengan sanad yang baik dari Abu ad-
Darda‟, Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam bersabda,
Artinya: ”Dari Abdullah bin Zakariya ia berkata, Rasulullah SAW
bersabda:“Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada Hari Kiamat
dengan nama nama kalian dan nama-nama ayah kalian. Karenanya,
perbaguslah nama kalian!”(HR. Abu Daud)11
Ibnu Qoyyim mencoba menguatkan hikmah mengapa beberapa hadits
mencerminkan hak ayah lebih kuat dibanding ibu bahwa memang anak itu
10
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Kado Menyambut Si Buah Hati, Terj. Hidayat, Mahfud
(Jakarta: Al-Kautsar, 2007, Cet. Pertama) h. 241
11 Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Jiil, t.th, Juz IV), h. 289.
21
mengikuti ibunya dalam soal kemerdekaan dan kehambaannya, tetapi ia
mengikuti ayahnya dalam soal nasab karena memberi nama berarti pula
memperkenalkan nasab dan orang yang dinisbatkan. Adapun dalam soal agama,
anak itu mengikuti agama yang terbaik di antara agama kedua orang tuanya12
.
Dan untuk mengukuhkan kebenaran hubungan keluarga itu, serta untuk
mengumumkannya kepada orang banyak, Islam memerintahkan agar pernikahan
itu dipersaksikan dengan dua orang saksi yang adil, sebagaimana Islam pun
menganjurkan agar pernikahan itu diumumkan dengan mengadakan perayaan.13
D. Perbedaan antara Nama, Kunyah dan Laqob
Terdapat beberapa hal yang memiliki makna serupa dengan “nama”.
Nama cenderung disbanding dengan kata Kunyah dan Laqab. Ketiga istilah ini,
meskipun sama-sama mengarah pada objek orang yang sama, tetapi dari sisi
lain terdapat perbedaan di antara satu dengan yang lainnya. Ibnu Qoyyim
menyebutkan bahwa ketiga kata itu sama-sama memperkenalkan seseorang
tetapi di sisi lain sebenarnya tidaklah sama.14
1. Nama
Nama adalah ciri atau tanda, maksudnya adalah orang yang diberi
nama dapat mengenal dirinya atau dikenal oleh orang lain. Pendapat ini
memberikan pemahaman bahwa nama adalah tanda pengenal dan atau agar
dikenal. Oleh sebab itu apabila seseorang tidak diberi nama, maka ia akan
12
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqh Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar (Jakarta: Fikr,
2007, Cet. Pertama) h.195
13 Rauf Syalabi, Wahai Bapak Didiklah Keluargamu dengan Baik, (Bandung: Gema
Risalah Press, 1994, cet. 6), h. 140
14 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqh Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar (Jakarta: Fikr,
2007, Cet. Pertama) h.195
22
menjadi seorang yang majhul (tidak dikenal) oleh masyarakat. Oleh karena
itu ayah dan ibu si bayi adalah pihak yang memilih nama indah untuk
bayinya. Jika keduanya tidak sepakat tentang salah satu nama untuk bayi
keduanya, maka hak pemberian nama menjadi milik ayah si bayi.15
Dalam al-Qur‟anul Karim disebutkan:
ۥۥ
Artinya: “Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira
kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya,
yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang
serupa dengan dia”
Ayat tersebut menjelaskan tentang perlu dikenalnya seseorang dalam
hal ini Yahya (nama) putra dari Nabi Zakaria.
Nama memiliki dampak psikologis atas kepribadian dari satu
individu. Seluruh kepribadiannya berkembang di bawah bayang-bayang arti
dan kesan dari namanya. Lebih dari itu jelas bahwa kita suka nama-nama
yang mempunyai efek suara yang menyenangkan dan arti yang baik. Oleh
karena itu, kita hendaknya selalu berhati-hati ketika memberi nama untuk
anak-anak kita. Hendaknya memberi nama-nama yang menyenangkan,
pendek dan penuh arti yang secara mudah dimengerti dan dipahami16
. Ibnu
Qoyyim menyebutkan bahwa syarat nama adakalanya mengandung pujian,
15
Yusuf al-Arifi, Tips Islami Menyambut Kelahiran Bayi (Jakarta: al-Nadwah, 2002,
Cet. Pertama), h. 51
16 Husain, Akhlaq Menjadi Orangtua (Muslim) Terhormat, (Surabaya: Risalah Gusti,
2000, Cet. Pertama), h. 137
23
celaan atau tidak mengandung keduanya17
. Jika mengandung salah satunya,
maka bukanlah nama.
2. Kunyah
Ibnu Qoyyim menyebutkan bahwa istilah “Kunyah” adalah bagian
dari istilah yang dikenal di kalangan bangsa Arab dan berlaku dalam
pembicaraan di kawasan Arab. Ibnu Qoyyim mencontohkan beberapa nama
seperti Fulanuddin, Izzuddaulah, Baha‟uddaulah, atau sejenisnya
sebenarnya tidak dikenal bangsa Arab, nama-nama itu justru berasal dari
„Ajam (non arab)18
. Hal ini berarti bahwa ada istilah-istilah tertentu dalam
Kunyah yang dominan berasal dari Arab dan ada juga sebagian yang dari
non arab.
Kunyah didefinisikan oleh sebagainama yang diawali Abu (bapak)
atau Ummu (ibu), maka itu berarti kunyah, seperti Abu Fulan dan Ummu
Fulan. Sedangkan, yang tidak diawali oleh Abu atau Ummu, maka itu
berarti ism (nama), seperti Zaid dan Amr19
.
Definisi Kunyah tersebut memberikan arti bahwa kunyah cenderung
dilakukan untuk anak dengan nama Abu Fulan atau nama ayah tertentu. Hal
ini merupakan kebiasaan yang terjadi di kawasan Arab sebagaimana
disebutkan dalam Shahih Imam Bukhari dan Imam Muslim,
17
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqh Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar (Jakarta: Fikr,
2007, Cet. Pertama) h.195
18 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqh Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar (Jakarta: Fikr,
2007, Cet. Pertama) h.197
19 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Kado Menyambut Si Buah Hati, Terj. Hidayat, Mahfud
(Jakarta: al-Kautsar, 2007, Cet. Pertama) h. 233
24
ada sebuah hadits dari „Anas radhiyallahu „anhu bahwa ia berkata,
Nabi shallallahu „alahi wa sallam adalah orang yang terbaik budi pekertinya.
Saya punya seorang saudara bernama Abu „Umair. Jika Nabi shallallahu
„alaihi wa sallam datang, beliau memanggilnya, Hai Abu „Umair! Apa yang
dilakukan Nughair? Maksudnya seekor burung yang menjadi teman
bermainnya. Perawi berkata, “Saya kira waktu itu Abu „Umair (masih kecil)
seumur anak sapihan.20
Menurut Ibnu Qoyyim, memberi kunyah juga boleh dilakukan
kepada seseorang yang mempunyai beberapa anak dengan selain anaknya
karena Abu Bakar adalah seorang yang tidak mempunyai anak bernama
Bakar. Begitu pula „Umar tidak punya anak bernama Hafsh meskipun
dipanggil Abu Hafsh. Abu Dzar tidak punya anak bernama Dzar. Khalid
pun tidak punya anak yang bernama Sulaiman, tetapi dia dipanggil Abu
Sulaiman. Demikian pula halnya Abu Salamah dan banyak tokoh-tokoh lain
yang tidak terhitung jumlahnya.
Ibnu Qoyyim juga menyimpulkan atas dasar kisah atsar tersebut
bahwa memberi kunyah kepada seseorang tidaklah dipersyaratkan orang itu
harus mempunyai anak dan tidak pula kunyah harus mengambil nama
anaknya. Pada prinsipnya, memberi kunyah adalah penghormatan,
pengagungan, dan pemuliaan terhadap orang yang diberi kunyah seperti
dikatakan seorang penyair,
20
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisburi, Shahih Muslim (Riyadl:
Darul Haya, 1953), h. 1030
25
Kusebut kunyah-nya saat memanggilnya,
demi menghormatinya.
Tidak kusebut julukannya,
karena terdengar buruk julukannya.21
Berdasarkan informasi tersebut bahwa kunyah dapat dilakukan pada
nama-nama sahabat karena kebaikannya. Adapun memberikan kunyah
dengan menggunakan kunyah nabi maka hukumnya adalah cenderung
makruh. Ibnu Qoyyim mencoba menyebutkan salah satu hadist Shahih
Muslim tentang seorang anak yang diberi nama seperti nama nabi yaitu
“Muhammad”.22
21
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqih Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar Sitanggal
(Jakarta: Dar al-Fikr, 2007, Cet. Pertama) h. 193-194
22 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Kado Menyambut Si Buah Hati, Terj. Hidayat, Mahfud
(Jakarta: Al-Kautsar, 2007, Cet. Pertama) h. 225
23 Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisburi, Shahih Muslim (Riyadl:
Darul Haya, 1953) h. 1023
26
Artinya: “Dari Ishaq bin Rahawain. Ia berkata, Jarir telah mengabarkan
kepada kami, dari Manshur, dari Salim bin Abu Al-Ja’d, dari
Jabir, ia berkata, “Di kalangan kami ada seorang pria yang
dikaruniai anak laki-laki. Ia memberinya nama Muhammad.
Kaumnya protes, “Kami tidak akan membiarkanmu memberi
nama anakmu dengan nama Rasulullah.” Maka pria itu pun
menemui Rasulullah sambil menggendong anaknya. “Wahai
Rasulullah,” katanya, “Aku dikaruniai seorang anak laki-laki.
Aku memberinya nama Muhammad. Kemudian kaumku berkata,
bahwa mereka tidak akan membiarkanku memberi nama yang
sama dengan nama Rasulullah.” Maka Rasulullah SAW pun
bersabda: “Berilah nama seperti namaku dan jangan memberi
kunyah seperti kunyah-ku. Akulah Qasim (pembagi). Aku
membagi di antara kamu sekalian.”24
Setelah para ulama sepakat mengenai bolehnya memberi nama
dengan nama Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam dan melarang pemberian
Kunyah dengan Kunyah Nabi, selanjutnya mereka berselisih pendapat.
Dalam mazhab Ahmad terdapat dua riwayat: Pertama, makruh hukumnya
menggabungkan nama Nabi dan kunyahnya, jika salah satu saja, maka tidak
makruh. Kedua, makruh hukumnya membuat kunyah seperti kunyah Nabi,
baik menggabungkannya dengan nama atau berdiri sendiri-sendiri.25
3. Laqab
Sebuah nama, adakalanya dipahami sebagai pujian, celaan, atau
tidak dipahami salah satu dari keduanya. Jika dipahami sebagai pujian atau
24
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqh Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar (Jakarta: Fikr,
2007), h. 199
25 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Kado Menyambut Si Buah Hati, Terj. Hidayat, Mahfud
(Jakarta: Al-Kautsar, 2007, Cet. Pertama) h. 226
27
celaan, maka itu berarti laqab26
. Kebanyakan laqab digunakan untuk celaan.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman:
Artinya: “Janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang
buruk.”
Tidak terdapat perbedaan pendapat mengenai haramnya
menyandangkan gelar yang tidak disukai oleh orang yang diberi gelar, baik
gelar tersebut memang sesuai dengan kenyataannya maupun tidak. Adapun
gelar buruk yang sudah diketahui oleh orangnya dan ia masyhur dengan
gelar tersebut, seperti al-A’masy (yang kabur penglihatannya), al-Asytar, al-
As ham (yang tuli), dan al-A’raj (yang pincang), maka penggunaannya
masih diperselisihkan oleh para ulama dari dulu sampai sekarang. Imam
Ahmad sendiri membolehkan27
.
Pemberian gelar yang baik kepada bayi tentunya menjadi hal yang
sangat terpuji agar semenjak kecil lagi ia memberikan motivasi kepadanya
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur. Memberi gelar adalah
merupakan penghargaan kepada anak, sekaligus menumbuhkan kepribadian
yang sesuai dengan gelar yang dipakai. Karena nama itu merupakan do‟a
dan harapan bagi orang yang memberikannya.
26
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqh Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar (Jakarta: Dar
al-Fikr, 2007, Cet. Pertama) h.195
27 Ibnu Qayyim al-Jauziyah , Kado Menyambut Si Buah Hati, Terj. Hidayat, Mahfud
(Jakarta: al-Kautsar, 2007, Cet. Pertama) h. 222-223
28
Oleh sebab itu dalam memberi gelar untuk anak, Kasmuri Selamat
menyarankan agar pemberian gelar dengan menggunakan gelar-gelar yang
baik dari nama-nama tokoh Islam yang cemerlang bukan dengan nama dan
gelar yang makruh apalagi yang haram, agar tidak menimbulkan kesan
negatif terhadap kepribadian anak.28
E. Hubungan antara Arti Sebuah Nama dan Pemiliknya
Nama yang diberikan kepada seseorang memiliki arti, arti sebuah nama
terkadang memiliki hubungan dengan pemilik nama bahkan memiliki hubungan
dengan perilaku dan perbuatan. Ibnu Qoyyim menyebutkan bahwa secara umum,
akhlak, perilaku, dan perbuatan yang buruk mengarah pada nama-nama yang
buruk juga. Sebaliknya, perilaku yang bagus mengarah pada nama-nama yang
bagus pula29
. Sebagaimana yang terjadi pada nama-nama berupa kata sifat,
terjadi pula pada nama-nama berupa kata benda. Ibnu Qoyyim mencontohkan
pula hubungan ini dengan Rasulullah SAW dinamai Muhammad dan Ahmad
melainkan karena beliau banyak melakukan hal-hal yang terpuji. Karenanya,
Liwa al-h amd (bendera pujian) berada dalam genggamannya. Umat beliau pun
disebut al-H ammadu n (orang-orang yang terpuji), beliau adalah makhluk
Allah yang paling agung.
Untuk melihat pengaruh nama terhadap pemilik nama tersebut, ada
hadits hadits yang diriwayatkan oleh Sa‟id bin al-Musayyab, dari ayahnya, dari
28
Selamet Kasmuri, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan
Perkawinan), (Jakarta: Kalam Mulia, 1998) h.223-223
29. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Kado Menyambut Si Buah Hati, Terj. Hidayat, Mahfud
(Jakarta: al-Kautsar, 2007, Cet. Pertama) h. 222
29
kakeknya yang berkata, “Aku mendatangi Nabi SAW, lalu beliau bersabda,
“Siapa namamu?” aku menjawab, “H azn (sedih).” Beliau bersabda, “Engkau
Sahl (mudah).” Orang itu menjawab, “Aku tidak akan mengganti nama yang
diberikan oleh ayahku.” Ibnul Musayyab berkata, “Ternyata orang itu selalu
tanpak bersedih setelah itu.”30
(HR. Bukhari dalam shahihnya 619).
Pada prakteknya, pemilik nama yang baik boleh jadi akan merasa malu
berbuat buruk. Selain itu, kadang nama mendorong pemiliknya berbuat sesuatu
sesuai namanya dan meninggalkan yang berlawanan dengannya. Oleh karena itu,
Ibu Qoyyim berani menyebutkan perihal banyaknya orang yang hina itu
mempunyai nama sesuai dengan perilaku mereka.31
30
Jamal Abdurrahman, Islamic Parenting Pendidikan Anak Metode Nabi (Solo:
Aqwam, 2010) h. 54
31 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqh Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar, (Jakarta: Dar
al-Fikr, 2007, Cet. Pertama), h. 212
30
30
BAB III
DATA PENELITIAN/PEMBERIAN DAN PEMANGGILAN NAMA
DALAM BUDAYA ISLAM
A. Nama dengan Penamaan Nama Ketuhanan
Memberi nama dengan nama-nama seperti l- h l- hamad, al-
Khaliq, atau al-Raziq yang merupakan nama-nama khusus bagi Allah Tabaraka
w T ‟ l adalah dilarang. Begitu pula tidak boleh menyebut para raja dengan
gelar l- hir l- h hir l- r l- ut k ir l- ww l l- khir l-
thin „ ll mul hu u b, dan nama-nama Allah lainnya1. Hal tersebut
menjelaskan bahwa terdapat larangan menggunakan nama Allah sebagaimana
yang termuat dalam asma’ul husna (nama-nama baik Allah)
Terkait dengan ini, Al-Subky dalam buku Fiqih Keluarga mencoba
menceritakan sebuah kisah Sebagaimana peringatan Rasulullah SAW tidak
memberikan nama dengan nama-nama yang khusus kepada Allah SWT dalam
perintahnya. Sungguh telah diriwayatkan bahwa salah satu utusan yang
menghadap Rasulullah SAW di Madinah, ia menjadi kepalanya bernama Abu al-
akam Lalu Rasulullah memanggilnya dan erkata kepadanya:
Sesungguhnya llah S T adalah al- akam kepadanyalah hukum kem ali ia
tidak di eri gelar u al- akam?”
1 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqh Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar (Jakarta: Dar al-
Fikr, 2007, Cet. Pertama) h. 180
31
Lalu ia erkata: Sesungguhnya kaumku jika mereka erselisih dalam
sesuatu lalu mereka datang kepadaku dan aku menetapkan hukum antara mereka
berdasarkan perkiraan dalam masing-masing kelompok ” Lalu Rasulullah S
erkata: Sungguh agus ini! pakah engkau tidak memiliki anak?” Ia erkata:
ku memiliki anak Syuraih Muslim dan dullah ” Rasulullah erkata: Maka
siapakah yang ter esar dari mereka?” Ia erkata: Syuraih ” Lalu Rasulullah
mengatakan: Jadi engkau adalah u Syuraih ” ( R u Daud dalam
sunannya).2
Kisah yang sama juga diceritakan oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya Kado
Menyambut Buah Hati dimana beliau membawakan hadits Abu Daud dalam
Sunannya erkata ahwa Ra i’ in Nafi’ telah menceritakan kepada kami dari
Yazid bin al-Miqdam bin Syuraih, dari ayahnya, dari kakeknya (Syuraih), dari
ayahnya ( ani’) ahwa ketika ia ersama kaumnya diutus untuk menemui
Rasulullah h ll ll hu „ l ihi w ll m ke Madinah, beliau mendengar mereka
menyebut seseorang dengan kunyah Abu al-Hakam. Maka beliau langsung
memanggil orangnya seraya bersabda yang artinya: “ esungguhn ll h l h
al- k m h ij ks n ep - l h hukum ke il n ikem lik n
en p k mu mem k i kun h u l- k m?”
Orang itu menjawa Sesungguhnya kaumku jika menemukan
perselisihan, mereka selalu datang kepadaku untuk kemudian aku selesaikan.
Kedua belah pihak (yang erselisih) pun dapat menerimanya”
2 Ali Yusuf al-Subki, Fiqh Keluarga (Jakarta: Amzah, Cet. Pertama, 2010) h. 269
32
Lalu Rasulullah kem ali erkata Sungguh bagus keputusanmu. Apakah
k mu mempun i n k?” Ia menjawa nakku ernama Syuraih Maslamah
dan dullah ” “ i p ng p ling es r?” tanya eliau Syuraih jawa ku
Kemudian Rasulullah menetapkan i k mu l h u ur ih ”3
Telah disebutkan pula sebuah hadits shahih:
Artinya: “Tel h mencerit k n kep k mi uh mm in R fi Tel h
mencerit k n kep k mi „ ur R q Tel h meng rk n kep
k mi ‟m r ri mm m in un ih i erk t nil h ng
tel h icerit k n oleh u ur ir h kep k mi ri R sulull h
s ll ll hu „ l ihi w s ll m l lu i men e utk n e er p
hadits yang i nt r n R sulull h s ll ll hu „ l ihi w s ll m
ers :“Or ng ng p ling i enci n p ling uruk i sisi ll h
pada hari kiamat, adalah orang yang dinamakan Malik al-Amlak
r j i t s r j ren ti k r j sel in ll h ” (HR.
Bukhari dan Muslim)5
B. Nama dengan Penamaan Nama Malaikat
Mengenai memberikan nama anak kita dengan nama-nama malaikat
seperti Jibril, Mikail, Israfil dan lain-lain, masih ada dua pendapat dari pada
ulama. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain melarangnya. Rasulullah
3 Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Kado Menyambut si Buah Hati, (Jakarta; Pustaka al-Kautsar;
2007), Cetakan Pertama, Penerjemah Mahmud Hidayat, Hal, 205
4 Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisburi, Shahih Muslim (Riyadl:
Darul Haya, 1953) h. 1027
5 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam (Jakarta: Pustaka Amani, Cet.
Ke-3, 2007) h. 76
33
tidak menyukai nama-nama yang buruk. Apakah nama orang, nama tempat, nama
kota ataupun nama gunung. Buktinya beliau merubah ibu kota pemerintahan
Islam Madinah yang semula bernama Yatsrib, dirubah menjadi Thabah.6
Ibnu Qoyyim telah menjelaskan perbedaan pendapat ini dengan
menguraikan beberapa menceritakan kisah syha yang erkata Malik diajukan
pertanyaan mengenai pemberian nama dengan nama Jibril. Malik pun
memakruhkannya ” l-Qadhi Iyadh erkata Se agian ulama memakruhkan
pemberian nama dengan nama-nama malaikat. Ini adalah pendapat Harits bin
Miskin. Menurutnya, Malik telah memakruhkan pemberian nama dengan Jibril
dan Yasin. Sementara ulama yang lainnya malah membolehkannya. Abdurrazzaq
dalam kitabnya al-Jami’ dari Ma’mar ia erkata ku ertanya kepada ammad
bin Abu Sulaiman, bagaimana menurut anda tentang penamaan dengan nama
Ji ril dan Mika’il?” Ia pun menjawa Tidak masalah ”7
Imam Bukhari mengatakan dalam Tarikh-nya bahwa Imam Ahmad bin
Harits berkata, Imam Abu Qatadah al-Syami (bukan al-Harrani, meninggal tahun
164 H) telah menceritakan kepada kami Dia erkata ‘ dullah in Jarad telah
menceritakan kepada kami, katanya bahwa ada seseorang dari Muzainah
menemaniku Orang itu ersama saya datang kepada Na i Shallallahu ‘ laihi wa
Sallam katanya Ya Rasulullah! Saya dikaruniai seorang anak. Nama apakah
yang ter aik untuknya?”
6 Selamat Kasmuri, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan Perkawinan),
(Jakarta: Kalam Mulia, 1998, h. 221
7 Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Kado Menyambut si Buah Hati, (Jakarta; Pustaka al-Kautsar;
2007, Cet. Pertama), Penerjemah Mahmud Hidayat, Hal, 195
34
Rasul menjawab,
rtinya: Sesungguhnya nama yang terbaik bagi kamu sekalian adalah Harits
dan Hammam. Seindah-in h n m l h „ ull h n
„ urr hm n eril h n m eng n n m p r n i n j ng n
mem eri n m eng n n m p r m l ik t ”8
C. Nama dengan Penamaan Nama Al-Qur’an dan Surah-Surahnya
Memberi nama seseorang dengan nama-nama al-Qur’an dan surah-
surahnya (seperti Thaha, Yasin, Hamim) pun dilarang. Imam Malik telah
menyatakan makruh memberi nama dengan Yasin seperti disebut Imam as-
Suhaili.
Adapun perkataan orang awam bahwa Yasin dan Thaha adalah sebagian
dari nama-nama Nabi Muhammad SAW tidaklah benar. Hal itu tidak ada di dalam
hadits shahih, hasan, atau mursal, dan tidak pula ada di dalam atsar yang didengar
dari salah seorang sahabat. Nama-nama itu sebenarnya hanyalah huruf-huruf
seperti halnya lif- m- i m - i m n lif- m-Ra.9
8 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqh Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar (Jakarta: Dar al-
Fikr, 2007, Cet. Pertama) h. 169
9. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqh Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar (Jakarta: Dar al-
Fikr, 2007, Cet. Pertama) h. 183
35
D. Nama dengan Penamaan Nama Para Nabi
Hukum memberi julukan dengan julukan yang pernah Rasulullah sandang
baik untuk individu maupun untuk kelompok telah ditetapkan dalam al-shahihsin,
dari hadits Muhammad I n Sirin dari u urairah ia erkata u al-Qasim
saw erkata Pakailah namaku tapi jangan memakai julukanku” 10
Ulama
berselisih pendapat tentang pemberian nama yang sama dengan nama-nama nabi.
Ada dua pendapat tentang masalah ini. Pertama, boleh. Pendapat ini lah yang
benar dan dipegang oleh mayoritas ulama. Pendapat kedua, hukumnya adalah
makruh.
Ibnu Qoyyim telah mencoba memperjelas hukum ini lebih jelas lagi adalah
keterangan yang diutarakan oleh Abu al-Qasim al-Suhaili dalam al-Raudh. Ia
erkata Dalam mazha Umar in al-Khatab, memberi nama yang sama dengan
nama-nama nabi adalah makruh ” Menurut I nu Qoyyim ulama yang
berpendapat seperti itu ingin memelihara nama-nama mereka dari hal-hal yang
hina dan sebutan yang akan timbul saat si pemanggil dalam keadaan marah atau
dalam situasi lainnya11
.
Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata dalam bab nama-nama yang
dimakruhkan l-Fadhl bin Dikkin bercerita kepada kami, dari Abu Jaldah, dari
u ‘ liyah erkata Kalian telah er uat yang le ih uruk dari hal itu yakni
kalian memberi nama anak-anak kalian dengan nama para nabi, lalu kalian
10
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Serpihan Kasih untuk Si Buah Hati, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 1995, Cet. 1), h. 120
11 Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Kado Menyambut si Buah Hati, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2007, Cet. Pertama), Penerjemah Mahmud Hidayat, h. 208
36
mencaci maki mereka ” Dan yang le ih tegas dari pada hal itu adalah apa yang
diceritakan Abu Qasim al-Suhaili dalam kitab al-Raudh erkata Di antara
madzha ‘Umar in Khaththa adalah mem enci pem erian nama dengan nama
para na i ”
Ibnu Qoyyim mengatakan, Orang yang erpendapat seperti ini
bermaksud menjaga nama para nabi dari penghinaan dan panggilan buruk yang
menimpanya saat marah serta lainnya”12 Sungguh Sa’id in Musayyi pernah
erkata Nama yang dicintai llah adalah nama para na i ” Dan dalam kitab
Tarikh Ibni Khaitsumah disebutkan bahwa Thalhah memiliki sepuluh anak,
semuanya di eri nama dengan para syuhada’ Thalhah erkata kepadanya Saya
memberi mereka nama dengan nama para nabi, sedangkan kamu memberi anak-
anakmu nama dengan nama para syuhada’ Maka Zu air erkata kepadanya
Saya amat erkeinginan agar anak-anakku kelak menjadi syuhada’ dan engkau
tentu tidak isa menginginkan anakmu menjadi na i ”13
Al-Bukhari dalam Shahihnya berkata, (Bab Tentang Orang yang Diberi
nama dengan Nama-nama Para Nabi) I nu Numair telah
menceritakan kepada kami dari I nu Bisyr dari Isma’il ia erkata ku
bertanya kepada Ibnu Abi Aufa, apakah kamu melihat Ibrahim putera Nabi? Ia
menjawab, ia (Ibrahim) telah wafat ketika kecil. Seandainya ditakdirkan ada nabi
setelah Muhammad SAW, tentu putera beliau itu akan hidup. Tetapi (buktinya)
12
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Kado Sang Buah Hati, (Solo: Al-Qowam, 2007), h. 147
13 Ibnu Abi Khaitsumah Abu Bakr Ahmad bin Zuhair bin Harb, At-Tarikh Al Kabir,
Takhrij No. 35, (Ar-Ribath Dar Al-Wathan, 2004), h. 115.
37
bahwa tidak ada nabi setelah beliau.14
Kemudian rawi mengutip hadits al-Barra,
ketika Ibrahim meninggal, Nabi ll ll hu „ l ihi w ll m ersa da Ia
(Ibrahim) mempunyai ibu susuan di surga ”15
Demikian juga Imam Muslim membuat bab dalam shahih Muslim
Ba (anjuran) mem eri nama dengan nama para na i
dan orang-orang shalih” yang mem awakan hadits
rtinya: D ri ughir h in u‟ h i erk t : etik ku ti i jr n
orang-or ng ert n kep ku:” p k h engk u mem h mi ayat ”Hai
u r perempu n run” sedangkan Musa itu hidup jauh sebelum
j m n ‟ s p k h m ksu n egini n egini?” Setelah aku
bertemu dengan Rasulullah S allalla hu ’alaihi wa sallam dan
menanyakan tentang hal tersebut, maka beliau menjawab : “ e i s n
mereka pada waktu itu memberi nama seseorang dengan nama para
nabi atau orang-or ng sh lih se elum merek ”.16
Hal ini dijelaskan juga oleh Ibnu al-Qayyim r h im hull h, beliau
berkata,
14
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisburi, Shahih Muslim. (Riyadl:
Daarul Haya, 1953), h. 1025
15 Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Kado Menyambut si Buah Hati, (Jakarta; Pustaka al-Kautsar;
2007), Cetakan Pertama, Penerjemah Mahmud Hidayat, Hal, 209
16 Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisburi, Shahih Muslim, (Riyadl:
Daarul Haya, 1953), h.1025
38
rtinya: erk t ‟i in us i : m ng p ling icint i ll h l h
nama para Nabi. Dalam kita sejarah dijelaskan bahwa sahabat
Thalhah mempunyai sepuluh anak dan setiap anak bernama dengan
nama nabi. Sahabat Az-Zubair juga memiliki sepuluh anak dan
in m k n eng n p r s uh ”17
E. Nama dengan Penamaan Nama Kontroversial
Abu Muhammad Ibnu Hazm berkata, Para ulama sepakat menganggap
baik nama-nama yang dikaitkan (mu haf) kepada llah seperti ‘ dullah
‘ durrahman dan sejenisnya Namun para fuqaha erselisih pendapat tentang
nama-nama yang paling disukai Allah.
Menurut jumhur ulama, nama yang paling disukai llah adalah ‘ dullah
dan ‘ durrahman I nu Qoyyim menye utkan pendapat Sa’id in al-Musayyib,
bahwa nama yang paling disukai Allah adalah nama para nabi18
.
Mengenai nama-nama yang makruh dan haram, Ibnu Qoyyim mengutip
perkataan Abu Muhammad bin azm Mereka sepakat ahwa setiap nama
sembahan selain Allah hukumnya adalah haram, seperti; Abd al-Uzza, Abd
Hubal, Abd Amr, Abd al-Ka’ ah dan yang serupa dengannya Kecuali d
17
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud, (Damaskus: Maktabah Darul Bayan, Cet.
I), h. 128.
18 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqh Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar (Jakarta: Dar
al-Fikr, 2007, Cet. Pertama) h. 159
39
Muthalib. Karenanya, hukumnya tidak halal memberi nama dengan; Abd Ali, Abd
al-Husain, Abd al-Ka’ ah19
.
Oleh karena itu, jika ada yang bertanya alasan para ulama sepakat
mengharamkan nama yang dihambakan kepada selain Allah, hal itu karena Nabi
Shallallahu ‘ laihi wa Sallam ersa da “Cel k l h „ u -dinar, celakalah
Abud-dirham, celakalah Abdul- h mish h cel k l h „ ul-Qathifah,”20
meskipun eliau pernah ersa da Akulah Nabi, tidak kadzib (dusta). Akulah
puter „ ul uth li ”21
Beberapa nama terlarang dalam sudut pandang Islam adalah:
1. Nama dengan Nama-nama Setan
Di antara nama-nama yang makruh adalah memberi nama dengan
nama-nama setan, seperti Khinzab, lh n ‟w r, dan j ‟. Asy-Sya’ i
erkata dari Masruq dia erkata ia ertemu ‘Umar in al-Khaththab dan ia
ertanya Siapakah kamu?” Saya jawa Masruq in al- jda’ ” ‘Umar
r i ll hu „ nhu pun erkata Saya pernah mendengar Rasulullah
S ersa da al- j ‟ adalah setan. Hadist ini dijadikan dalil kuat oleh
Ibnu Qoyyim sebagai larangan penggunaan nama dengan nama setan22
.
19
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Kado Menyambut si Buah Hati, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2007, Cet. Pertama), h, 188
20 Al-Bukhari, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,
(Kairo: Lajnah Ihya Kutubu al-Sunan, 1990), h.1603
21 Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisburi, Shahih Muslim, (Riyadl:
Daarul Haya, 1953), h. 853
22 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqh Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar (Jakarta: Dar
al-Fikr, 2007, Cet. Pertama) h. 167
40
‘Utsman in ul-‘ sh pernah mengadu kepada Rasulullah SAW
tentang waswas yang dialaminya ketika shalat, sabda beliau:
rtinya: Dari i ‘ la ahwa Utsman I nu i al-‘ shi datang kepada
Nabi SAW dan berkata: Wahai Rasulullah, sungguh setan
menghalangi antara aku dan shalatku serta bacaanku. Ia
membuatku kacau dan ragu-ragu saat membaca al- ur‟ n l m
shalat). Rasulullah SAW menjawab: Itu adalah setan yang disebut
Khinzab menjawab Itu adalah setan yang bernama Khanzab ”
2. Nama dengan Nama Orang-orang Sombong
Begitu pula nama-nama para penguasa yang zhalim, seperti
Fir’aun Qarun aman dan alid24
. Abdurrazzaq dalam kitabnya al-Jami’
erkata Ma’mar menga arkan pada kami dari al-Zuhri, ia berkata, seorang
pria ingin memberi nama anaknya dengan nama Walid. Tetapi nama itu
dilarang oleh Rasulullah ll ll hu „ l ihi w ll m, seraya bersabda:
rtinya: Nanti akan ada seorang pria bernama Walid. Pria ini berperilaku
i teng h um tku seperti peril kun Fir‟ un i teng h k umn 25
23 Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisburi, Shahih Muslim (Riyadl:
Daarul Haya, 1953), h. 1050. 24
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Kado Menyambut si Buah Hati, (Jakarta; Pustaka al-Kautsar;
2007, Cet. Pertama), h. 194
25. Ibnu Iraqi, Tanzih asy-Syariah al- rfu h „ nil-Akhbaisy- ni ‟h l- u hlu‟
)Beirut: Dar al-Kutub al-‘ lamiya 2010 Cet Pertama) h I/198
41
Hadits ini diakui sebagai hadist dhaif karena mursal sebagaimana
disinggung oleh Al Jauzqani dimana hadist ini menjelaskan bahwa terdapat
hukum singgungan perihal larangan nama dengan nama penguasa dengan
perilaku buruk.
3. Penggunaan nama Abd atau Abdul yang disandarkan kepada selain Allah
misalnya dul Ka’ ah dul Na i I nu azm menegaskan sudah menjadi
Ijma’ ulama untuk menghindari nama Abdul kepada selain Allah kecuali
Abdul Muthalib.
4. Nama dengan kesan kesombongan dan ketinggian. Hal ini sebagaimana sabda
Rasulullah saw “ ehin -hina nama di sisi Allah pada hari kiamat ialah
orang yang bernama dengan raja diraja. Ti k r j sel in ll h” R
Bukhari Muslim).
5. Nama yang merupakan sifat Allah tanpa tambahan Abdul. Termasuk di
dalamnya nama yang dikhususkan untuk llah dalam netuk ma’rifah
(menggunakan al-) seperti al-Azis, al- akim, dan sebagainnya. Namun jika
menggunakan sifat tersebut dalam bentuk nakirah (tanpa al-) diperbolehkan,
seperti Ali, Hakim, Rasyid, dan sebagainya.
6. Menggunakan nama Nabi dengan kunyahnya. Hal ini berawal dari kisah awal
mulanya diperdebatkan di kalangan Arab pada masa kenabian. Nama
Muhammad boleh digunakan sebagai nama, tetapi tidak dengan nama
kuniyah Beliau SAW. Dalam sebuah hadis, Jabir bin Abdullah RA
menceritakan Seorang lelaki dari kalangan kami aru memperoleh anak dan
ia mem eri nama anak itu ‘Muhammad’ Lalu kaumnya erkata kepadanya
42
‘Kami tidak akan mem iarkan kamu mem eri nama dengan nama Rasulullah
SAW'. Maka, lelaki ini pun pergi menemui Nabi dan ertanya ‘Ya
Rasulullah dilahirkan untukku anak dan aku menamakannya ‘Muhammad’
lalu kaumku erkata kepadaku ‘Kami tidak akan membiarkan kamu
menamakan dengan nama Rasulullah S ’ ”Lantas Na i menjawa
Berilah nama dengan namaku akan tetapi jangan me manggil dengan
panggilanku (yakni Abul-Qasim) karena sesungguhnya aku adalah Qasim di
antara kamu." (HR Muslim). Menurut Ibn Utsaimin, peberian nama dengan
Muhammad” dengan kunyah ini dilarang saat na i masih hidup adapun
sepeninggal beliau nama tersebut menjadi boleh berdasarkan adanya empat
dari anak sahabat yang dinamakan dengan Muhammad dan diberi Kunyah
u Qasim”26
.
7. Pemberian nama dengan nama mailaikat27
. Hal ini hukumnya makruh.
8. Pem erian nama dengan nama Sayyid aladu dam atau Sayyid al-Basyar”
karena gelar ini adalah hanya untuk Rasulullah SAW.28
26
Ibn Utsaimin, Syarhul Mumti’ (Riyadh; Dar Ibn al-Jauzy, 2002), hal. 7/543-545
27 Ibid; hal. 7/543-545
28 Ibid; hal. 7/543-545
43
BAB IV
ANALISIS DATA PENELITIAN/FILOSOFI HUKUM ISLAM DALAM
PEMBERIAN NAMA DAN PRAKTEKNYA DI INDONESIA
A. Filosofi Hukum Islam dalam Pemberian Nama dan Prakteknya di Indonesia
1. Memberi Nama Lebih dari Satu
Dalam perjalanan sejarah, nama-nama cenderung memiliki satu suku
kata seperti sebagian nama nabi misalnya; Adam sebagai manusia sekaligus
Nabi pertama di muka bumi, Idris, Nuh dan lainnya. Namun kemudian, dalam
pemberian nama mengalami pergeseran jumlah suku kata seperti nama para
sahabat nabi dan beberapa keluarga nabi Muhammad saw misalnya; Abdullah
Ibnu Abbas radhiallohu „anhu sebagai anak paman Nabi Muhammad saw.
Filosofi pemberian ini didasarkan pada penunjukkan penghambaan kepada
Allah Azza wa Jalla.
Pada dasarnya, ketika tujuan memberi nama adalah untuk
memperkenalkan dan membedakan, maka satu nama untuk satu orang sudah
cukup. Memiliki satu nama adalah lebih utama. Kendati begitu, memberi
nama lebih dari satu hukumnya boleh. Sebagaimana halnya boleh bagi
seseorang memiliki nama, kunyah (nama panggilan dengan menggunakan
kata ayah atau ibu di depan namanya), dan laqab (gelar)1. Hal tersebut
banyak terjadi pada kunyah dan laqob yang disematkan pada nabi
Muhammad saw dan beberapa generasi pada zaman beliau. Imam Ahmad
1 Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Kado Menyambut si Buah Hati, (Jakarta; Pustaka al-Kautsar;
2007, Cet. Pertama), h. 234
44
berkata pula, Yazid bin Harun telah menceritakan kepada kami, dia berkata,
al-Mas‟ud telah menceritakan kepada kami dari „Amr bin Murrah, dari Abu
„Ubaidah, dari Abu Musa, dia berkata bahwa Rasulullah ll ll hu
„Al ihi w ll m pernah menyebutkan nama beliau kepada kami. Di
antaranya ada yang kami hafal dan ada pula yang tidak kami hafal. Beliau
bersabda:
Artinya: “Aku d l h Muh mm d, Ahm d, l-Muq ff ‟, l-Hasyir, Nabiyut-
Taubah, dan Nabiyul-M l him.” (HR. Imam Muslim dalam
Shahih-nya)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa nama nabi memiliki julukan
dimana sebagian adalah dengan satu suku kata dan lainnya adalah dua suku
kata. ulukan untuk satu orang pun dapat memiliki lebih dari dua julukan. al
ini sebagaimana julukan nabi ang disebutkan oleh Abul- usain bin Faris
perihal 23 nama Rasulullah SAW, yaitu Muhammad, Ahmad, al-Mahi, al-
„Aqib, al-Muqaffa‟, Nabi ur-Rahmah, Nabi ut- aubah, Nabi ul-Malah im,
al- ahi d, al-Mubas -s ir, al-Nad i r, al- hah uk, al- attal, al-
Mutawakkil, al- atih, al-Ami n, al- hati m, al-Musthafa, al-Rasul, al-
Nabi , al-Ummi , al- asim, dan al- as i r2.
Terdapat beberapa pendapat perihal jumlah maupun panjang nama
yang coba penulis kumpulkan sebagai berikut:
2 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqh Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar (Jakarta: Dar al-
Fikr, 2007, Cet. Pertama) h. 208-209
45
1. Ibnu Qayyim, mengatakan bahwa nama seseorang itu sebaiknya singkat
dan cukup hanya satu nama saja, meskipun boleh menggunakan lebih
dari satu nama.3
2. Pendapat sebagian orang perihal menyebutkan bahwa disukai
memberikan nama kepada anak dengan dua suku kata, misalnya,
Abdullah, Abdurrahman. Dasar perhitungan dua suku kata ini adalah
bahwa kedua nama tersebut sangat disukai Allah swt sebagaimana
riwayat Imam Muslim, Abu Dawud dll. Disukainya nama tersebut adalah
karena menunjukkan penghambaan kepada Allah swt, tak heran banyak
para sahabat yang memiliki nama Abdullah sehingga diduga terdapat 300
orang sahabat dengan nama Abdullah (dengan dua suku kata). Begitupun
dengan nama anak dari kalangan anshor yang pertama kali setelah hijrah
dari Madinah Nabawiyah adalah Abdullah bin Zubair ra yang memiliki
dua suku kata.
Kecenderungan nama Arab sendiri lebih banyak terdiri dari satu
kata saja, namun karena Arab menganut sistem kekerabatan patrilinear
(garis keturuan bapak), maka dalam nama seseorang juga disertakan garis
keturuan ayah dan berlanjut ke atasnya yaitu, kakek, buyut, canggah,
wareng, udheg-udheg, gantung siwur, gropak senthe (penggunaan istilah
Bahasa Jawa) yang kemudian ditulis ... bin/binti...bin....hingga beberapa
generasi yang menunjukkan leluhur orang tersebut. Misalnya,
Muhammad bin haris bin al-Abbas bin Utsman bin afi‟. Padahal nama
3 Selamat Kasmuri, Pedoman Mengayuh Bhatera Rumah Tangga (Panduan Perkawinan),
(Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 223
46
asli orang tersebut adalah “Muhammad” saja sedangkan nama
selanjutnya adalah para orang tua dan leluhurnya.
Berdasarkan beberapa rujukan diatas, dapat disimpulkan bahwa
pemberian nama dapat menggunakan satu suku kata maupun lebih dari
satu suku kata. Hal tersebut tentunya menggunakan pendekatan terbaik
sehingga pemberian jumlah suku kata memiliki padanan yang baik dan
alasan yang baik seperti, julukan, nama orang tua maupun lainnya.
B. Bahasa Arab dan Nama
Pemberian nama tidak terlepas dari lingkungan internal maupun eksternal
serta faktor demografi dimana seorang anak dilahirkan. Berbagai faktor telah
menjadi alasan utama pemberian nama, misalnya pemberian nama karena tempat
lahir, nama orang tua, nama tokoh, nama idola, nama karena makna, dan lainnya.
Pemberian nama dengan bahasa arab tentunya lebih tepat karena faktor
agama dan tempat. Faktor agama mengacu pada kenabian Muhammad saw yang
sarat bahasa al- ur‟an (kitab suci). Adapun faktor tempat adalah karena faktor
lokasi kenabian Muhammad SAW di Mekkah dan Madinah yang notabene
menggunakan bahasa Arab.
Nama-nama arab seperti dengan satu nama tidak selalu memiliki arti.
Misalnya beberapa nama nabi dan para sahabat seperti Idris, Utsman, Ibrahim,
Aisyah, dan lainnya. Beberapa nama lainnya juga memiliki nisbat kepada
keluarga maupun tempat daerah asal, klan/marga atau faham yang dianutnya
misalnya; al-Baghdadi (orang baghdad atau lahir di Baghdad), al-Hanbali (orang
47
bermadzhab Ahmad bin Hanbal) dan lainnya. Beberapa hal ini telah menjadi
ketentuan atau kaidah tersendiri dalam pemberian nama.
Pengaruh arabisme telah mempengaruhi budaya masyarakat Indonesia
baik karena pendekatan agama maupun karena budaya Arab itu sendiri. Nama-
nama tokoh Indonesia misalnya banyak yang menggunakan serapan dari kosa kata
Arab seperti; Muhammad Yamin, Natsir, as im As ‟ari, Amir Machmud,
Abdurrahman Wahid, Syafii Maarif, Amin Rais, dan lainnya.
Pemberian nama dengan bahasa Arab di Indonesia kembali kepada
masing-masing yang mengadopsi nama Arab tersebut karena penggunaan bahasa
Arab bukanlah syarat dalam pemberian nama dalam syariat. Bagi keturuan arab
dan lingkungan keluarga pesantren memiliki kekuatan lebih besar dalam memilih,
memberi dan memanggil nama.
Hanya saja, terdapat beberapa nama orang Indonesia yang memiliki
“warna Arab” tidak mengikuti pola atau kaidah penamaan tersebut serta tidak
memperhatikan makna dan arti. Kompasiana, telah mencoba mengelompokkan
beberapa nama yang cenderung tidak mengikuti pola penamaan Arab dan tidak
memperhatikan nama dimana terdapat tiga kelompok sebagai berikut:
1. Kelompok pertama adalah orang yang diberi nama dengan 'nama populer'
orang shaleh/ulama, misalnya orang yang diberi nama Imam Syafi'i,
Turmudzi, Sufyan Atstsauri, Ibnu Hajar, Bukhari, Abdul Qadir Jailani, Abu
Bakar, Nawawi, Abu Hanifah dan lainnya. Harapan orang tuanya mungkin
agar si anak dapat mengikuti keilmuan dan keshalihan orang-orang tersebut.
Ada pula orang yang diberi nama tokoh-tokoh politik di Timur Tengah,
48
seperti Saddan Husain, Husni Mubarak, Yasir Arafat, Usamah bin Laden,
Muamar Qadafi, Khomeini, dan selainnya. Entah apa maksud orang tuanya.
2. Kelompok kedua adalah orang yang diberi nama dari kosakata bahasa arab
sehingga ada/jelas artinya namun di arab sendiri (secara tradisional) tidak
umum sebagai nama orang. Contohnya Wahyu, Hidayat, Nur (ul), Anwar,
Munawar, Nawir, Taufik, Alimin, Ridwan, Isnaini, Laili, Amalia, Jannah,
Syaiful, Ulil albab, ulil absor, Fikri, Ansor, Muhajirin, Arif, dan sebagainya
dan termasuk kombinasi-kombinasinya karena nama orang arab aslinya hanya
1 kata. Nama-nama anak yang berasal dari bahasa arab yang banyak terdapat
di kamus nama anak baik buku maupun internet kebanyakan termasuk
kelompok ini. Di telinga orang arab, mungkin seperti kita orang Indonesia
mendengar seseorang bernama Cahaya Surga (=Nur Jannah), Cahaya
Matahari (=Nur Syamsi), Orang Pintar (=Alimin), Malam (=Laili), Siang
(=Nahar), kekasihku (=Habibi), Anakku (=Walidi), dsb.
3. Kelompok ketiga mirip kelompok kedua, namun memiliki makna berlebihan.
Contohnya nama-nama yang mengandung kata ....din (Zainuddin,
Nashisruddin, Muhyidin, Syamsudin, dll), khairu... (Khairunnisa, khairurijal).
Nama-nama yang mengandung makna berlebihan seperti ini dibenci
(=makruh). (Penjelasannya di sini) Demikianlah, tujuan baik dengan
memberikan nama yang baik jangan sampai malah menjadi aneh, berlebihan,
dan seterusnya. Alangkah lebih baik jika trend pemberian nama berbau arab
oleh pasangan-pasangan muda saat ini juga diimbangi dengan
pengetahuan ilmu/aturan memberi nama, agar hasilnya juga baik walaupun
49
dalam fiqih kontemporer membolehkan pemberian nama dengan nama asing4.
Dan lebih baik lagi jika orang tua juga tahu/bisa berbahasa arab, agar nama
anak juga tidak menabrak kaidah-kaidah/grammar bahasa arab (nahwu
sharaf)
Kembali kepada hukum pemberian nama dan pemanggilan dengan
nama asing selain Bahasa Arab terdapat beberapa pendapat sebagai berikut:
1. Ketua Persatuan Ulama Dunia, Syekh Yusuf Qaradhawi, menilai tidak
terlarang menggunakan nama asing untuk anak sepanjang maknanya baik.
Contoh paling dekat dalam kasus ini adalah istri Nabi SAW yang
melahirkan Ibrahim bernama Mariyah al-Qibthiyyah atau yang terkenal
dengan nama Qibthi al-Mishri dari Mesir. Syekh Qaradhawi menjabarkan
dalam nama-nama sahabat dan tabiin pun didapati beberapa nama yang
merupakan nama tumbuh-tumbuhan. Seperti Thalhah, Salmah, dan
Hanzhalah. Atau juga nama yang merupakan benda mati, seperti Bahr,
Jabal, dan Shakr.
2. Tidak menggunakan nama yang mengidentifikasi atau mencirikan secara
khusus kaum kuffar yang sifatnya tasyabbuh bil kuffar (menyerupai
budaya kafir)5.
4 Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer 2, (Jakarta: Gema Insani, 1995) h. 559
5 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqh Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar (Jakarta: Dar al-
Fikr, 2007, Cet. Pertama) h. 209
50
C. Filosofi Praktek Pemberian dan Pemanggilan Nama
Asal hukum pemberian nama adalah dibolehkan, selama tidak
mengandung makna terlarang. Namun tetap disarankan untuk nama yang bagus.
Hal ini berarti bahwa pemberian nama diluar nama Arab, atau tanpa nuansa
agamis atau pemberian nama lokal dan lainnya adalah diperbolehkan namun
pemilihan nama haruslah baik. Secara psikologis, tentunya nama yang baik akan
berbekas dalam jiwa saat pertama kali mendengarnya. Hal tersebut sebagaimana
diungkapkan oleh al-Mawardi ra dimana;
“Jika seorang bayi dilahirkan, maka penghormatan dan perlakuan baik
pertama yang seharusnya dia terima adalah menghiasnya dengan nama yang
baik. Karena nama yang baik akan berbekas dalam jiwa saat pertama kali
mendeng rny ”6. Al-Mawardi juga menyebutkan beberapa perkara yang
disunnahkan dalam masalah nama, memiliki nama yang baik, yang cocok dengan
yang diberi nama, sesuai dengan latar belakang sosial, ajaran dan kedudukan
keluarga.
Mendasarkan hal tesebut, filosofi pemberian nama adalah menisbatkan
sesuatu dengan hal baik dengan harapan baik dengan pertimbangan kesesuaian.
Adapun nama kaum muslimin atau nama dengan simbol keislaman tentu akan
lebih utama seperti pemberian dengan bahasa Arab yang notabene erat antara
Bahasa Arab dengan Islam.
6 Al-Mawardi, Nashihatul Muluk, (Kuwait, Maktabah al-Falah, 1983) hal. 167
51
D. Hukum Penggunaan Nama dan Pemanggilannya yang tidak Sesuai dengan
Filosofi Hukum Islam
Pasca pemberian nama bagi anak yang terlahir, sangat memungkinkan
terdapat kesalahan pemberian nama karena keterbatasan informasi atau karena
satu dan lain hal. Penggantian nama dapat dilakukan demi kebaikan entah karena
pengertian yang tidak baik atau tujuan baik lainnya.
Ibnu Qoyyim menyebutkan bahwa Penggantian nama juga dilakukan pada
nama-nama yang pengertiannya baik untuk tujuan yang lain (tidak hanya pada
nama yang pengertiannya tidak baik)7. Misalnya, nama Birrah menjadi; Zainab,
karena khawatir jadi pensucian. ika dikatakan, “ eluarlah seseorang dari Birrah,”
atau “Aku berada di samping Birrah,” maka ia berkata, “ idak,”8. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwa at ang men atakan, “ esungguhn a
Zainab binti Abi Salamah sebelumnya bernama Barrah. Kemudian Rasulullah
ll ll hu „Al ihi w ll m mengganti naman a dengan Zainab.” ( R.
Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah serta yang lainnya).9
Kecenderungan hukum penamaan dengan Bahasa Arab bukan pada
kualitas nama tetapi esensi nama dan kesan, hukum penggunaan nama,
pemanggilan yang yang tidak sesuai dengan Filosofi Hukum Islam terbagi
menjadi 2 (dua) kategori yaitu (1) Wajib dan Sunnah. Wajib adalah ketika
7 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Kado Menyambut Si Buah Hati, Terj. Hidayat, Mahfud
(Jakarta: Al-Kautsar, 2007, Cet. Pertama) h. 215
8 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqh Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar (Jakarta: Fikr,
2007, Cet. Pertama) h.191
9 Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: Lajnah Ihya
Kutubu al-Sunan,1990), h. 1545
52
perubahan nama terhadap nama yang mengandung sesuatu terlarang dalam hukum
haram. Adapun Sunnah adalah terhadap nama yang makruh. (2) mubah.
1. Kategori Pertama,
Pemberian nama baik agar tidak membuat sang anak kecewa saat ia
mengerti kelak, pemberian nama yang hina, bernada pesimistis, nama orang
jahat, pendurhaka. Hal tersebut berdasarkan praktek Nabi SAW yang bahkan
tak segan-segan mengganti nama-nama yang memiliki kesan buruk.
Perubahan nama dapat dari nama yang mengandung kesyirikan kepada Allah
kepada nama Islami, dari nama-nama kufur kepada nama-nama Imani. Hal
tersebut berdasarkan hadits al- irmid i dari „Ais ah yang disahihkan oleh al-
Albani yaitu:
Artinya: “ esungguhny N bi AW merub h tel h n m y ng jelek”. (HR..
Tirmizi)10
.
Beberapa praktek yang dilakukan oleh Nabi dalam merubah nama
misalnya;
a. Perubahan nama ”Ashi ah” (wanita durhaka) ang diganti menjadi
Jamilah (Wanita Cantik)11
. Hal ini sebagaimana hadist nabi dari Ibnu
„Umar, ia berkata;
10
Abu Isa Muhamamd ibn Isa al- Tirmizi, Kitab al-J mi‟ al-Tirmidzi, (Beirut; Darul
Kutub Ilmiyyah) Hadist No. 2839.
11 Fatwa Yusuf Qaradhawi disanding dengan Ibn Qayyim, Tuhfatul Mauduud, Maktabah
Darul Bayan, Cet. I, Damaskus, Syamilah h. 93-99, dan Ibn Utsaimin, arhul Mumti‟, al:
7/543-545.
53
Artinya: “D ri Uidill h meng b rk n kep d s y d ri Ibnu „Um r
bahwa Rasulullah shallallahu „ l ihi wasallam mengganti nama
„Ashiy h (artinya: wanita yang suka bermaksiat) seraya
berkata; “N m kamu adalah Jamilah (artinya: wanita yang
cantik).”( R. Muslim).
b. Perubahan nama Hazn (keras dan tidak rata atau akhlak yang keras)
menjadi Sahl (tanah lembut dan rata). Telah menceritakan kepada kami
Ibrahim bin Musa telah menceritakan kepada kami Hisyam bahwa Ibnu
Juraij telah mengabarkan kepada orang-orang, katanya; telah mengabarkan
kepadaku Abdul Hamid bin Jubair bin Syaibah dia berkata; saya duduk di
hadapan a‟id bin Musa ib maka dia menceritakan kepadaku, bahwa
kakekn a datang kepada Nabi shallallahu „alaihi wa sallam dalam keadaan
sedih, lalu beliau bertan a; “ iapakah namamu?” ia menjawab;
“Namaku a n, ” Beliau bersabda:
Artinya: “Sekarang namamu adalah Sahl.”
Namun dia berkata; “ idak, aku tidak akan merubah nama ang
pernah di berikan oleh a ahku.” Ibnu Musa ib berkata, “Sesudah itu
12
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisburi, Shahih Muslim, (Riyadl:
Daarul Haya, 1953, Jilid 1), h. 1026.
54
keluarga terus menerus dalam keadaan khuzunah.” ( R. Bukhari)13
. Ibnu
Tiin mengatakan bahwa khuzunah adalah kerasnya akhlaq. Ahli nasab
menyebutkan bahwa keturunan Hazn ini terkenal dengan akhlaknya yang
keras14
.
Husain menyebutkan bahwa dari ceritra ini membuktikan bahwa
nama mempunyai pengaruh atas orang yang memakainya. Ahli sejarah
mengatakan bahwa anggota keluarga Hazn sangat tidak sopan dan kasar,
dan tetap demikian15
.
c. Perubahan nama Ashrom (terpotong) menjadi Zur‟ah (tumbuh). al ini
sebagaimana riwayat Usamah bin Akhdari, ia berkata:
Artinya: “Ad seseorang bernama Ashrom, ia bersama sekelompok orang
mendatangi Rasulullah shallallahu „ l ihi wa sallam. Beliau
shallallahu „ l ihi wa sallam lantas bertanya, “ i p
n m mu?” Ia menjawab, “Ashrom”. Beliau bersabda,
“ ek r ng namamu berganti menjadi Zur‟ h.” (HR. Abu Daud) 17
13
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: Lajnah
Ihya Kutubu al-Sunan, Jilid 1), h. 1545
14. Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari bisyarhi al-Bukhari, h. 575
15. Husain, Akhlaq, Menjadi Orangtua (Muslim) Terhormat, (Surabaya: Risalah Gusti,
Cet. Pertama, 2000, h. 137
16 Hafiz Abu Tahir Zubair Áli Zai, Sunan Imam Abu Daud (Riyadh: Maktaba Dari-us-
Salam, 2008, Cet. Pertama), h, 895
17 Abu Daud, Sunan Abu Daud. (Beirut: Dar al-Jiil), h. 895-896
55
d. Perubahan nama Syihab menjadi Hisyam, Abdun Nabi menjadi Abdul
Ghony, Abdur Rasul menjadi Abdul Ghofur, Abdul Husain menjadi
Abdurrahman18
.
Dalam Ahkamul Fuqaha, Keputusan Muktamar ke-8 di Jakarta 12
Muharram, dijelaskan hukum wajib merubah nama haram dan sunnahnya
mengubah nama yang makruh19
sebagaimana disebutkan dalam kitab
Tanwir al-Qulub yaitu:
Artinya: “Y ng ber rti b hw mengubah nama-nama haram itu hukumnya
wajib, dan nama-nama yang makruh hukumnya sunnah.
Demikian juga disebutkan dalam Hasyiyah al-Bajuri.”
Artin a: “Dan disunahkan memperbagus nama sesuai dengan Hadis:
“K mu sek li n k n dip nggil p d h ri ki m t dengan nama-
nama kalian dan nama-nama bapak kalian, maka
perbaguskanlah nama-n m k li n”. Dim kruhk n n m -nama
yang berarti jelek, seperti himar (keledai) dan setiap nama yang
diprasangka buruk (tathayyur) penafian atau penetapannya ..
18
. Asy-Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid, Tasmiyah al-Maulud. (Riyadh; Dar al-
„Ashimah, 1995), h. 42
19. Nahdlatul „Ulama Imam Ghazali Said (Editor), Ahkamul Fuqaha – Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama,
(Jombang; Lajnah a‟lif wan Nas r, Diantama, 2012), h. 342
56
Haram menamai dengan Abdul K ‟b h, Abdul H s n t u Abdu
Ali (H mb K ‟b h, H mb H s n t u H mb Ali). Menurut
pendapat yang lebib benar wajib mengubah nama yang haram,
karena berarti menghilangkan kemungkaran, walaupun al-
Rahmani ragu-ragu apakah mengubah nama demikian, wajib
t u sun h”
Mendasarkan hadits tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesalahan
pemberian nama adalah masalah klasik yang sudah terjadi dari masa lalu
karenanya Mahmud Mahdi mengutip perkataan Imam Ibnu Qayyim yang
berkata, “ elah bertindak gegabah sebagian orang yang tidak mengerti di
dalam memberikan nama kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu, Nabi
h ll ll hu „Al ihi w ll m memberikan petunjuk kepada umatnya
dengan mencegah mereka dari hal-hal yang dapat menjebak mereka
memperdengarkan apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua itu
bertujuan agar mereka tidak terjebak dalam taklid buta dengan
memberikan nama yang tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya
mereka inginkan, kepada anak-anak mereka sehingga nantinya tidak
mendatangkan kerusakan.”20
Disisi lain, pemberian nama ang berlebihan “terlalu baik” juga
kerap kali menimbulkan masalah. Hal ini sebagaimana Ibnu Qayyim
berkata,”Memberikan nama yang baik kepada anak adalah dengan
harapan, agar memperoleh kebaikan pada seluruh sisi kehidupannya.
Sementara sebagian orang mengira, bahwa nama yang diberikan oleh
orang tuanya telah sesuai dengan sifat yang dimilikinya, sehingga ia
20
Mahmud Mahdi al-Istambuli, Kado Perkawinan, Terj. Ibnu Ibrahim, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007, Cet. Ke-21) h. 379-381
57
menjadi bangga dengannya. Mahmud Mahdi menyebutkan bahwa
persoalan lain yang juga sering terjadi adalah, bahwa seseorang menduga
kalau nama yang disandangnya itu terpuji, bahwa dirinya suci dan dapat
mengangkat kedudukan lainn a (berlaku „ujub)21
. Oleh karena itu,
Rasulullah hallallahu „Alaihi wa allam merubah nama Barrah menjadi
Zainab sera a bersabda ( ang artin a), “Janganlah engkau merasa suci,
karena Allah lebih mengetahui orang-orang yang baik di antara kalian”.
Mahmud Mahdi juga menyimpulkan bahwa memberi nama
Nuruddin, Ruknuddin dan Badruddin menurut ketentuan di atas adalah
tidak boleh/tidak tepat. Oleh karena itu, tidak dibenarkan seenaknya di
dalam memberikan nama kepada anak, sehingga menyebabkan penyesalan
pada diri sang anak di kemudian hari (setelah ia dewasa). Terlebih lagi jika
bersikap mengabaikan nama-nama para sahabat besar yang sudah dikenal
kealiman mereka, keluhuran budi mereka dan perjuangan mereka membela
agama Allah.
Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa penggantian nama juga tidak
hanya dilakukan terhadap manusia, tetapi penggantian nama apa saja22
.
Beliau memberikan contoh penggantian nama yang dilakukan oleh Nabi
h ll ll hu „Al ihi w ll m yang pernah mengubah nama kota Madinah
yang semula dinamai Yatsrib, lalu beliau ganti menjadi Thabah seperti
21
Mahmud Mahdi al-Istambuli, Kado Perkawinan, Terj. Ibnu Ibrahim, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007, Cet. Ke-21) h. 379-381
22 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqh Bayi, Terj. Sitanggal, H. Anshori Umar (Jakarta: Fikr,
2007, Cet. Pertama) h.191
58
riwayat dalam Shahih Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Humaid, dia
berkata, “ ami datang bersama Rasulullah AW dari abuk sampai kami
mendekati Madinah. Beliau bersabda, “Ini adalah habah.23
Alasan beliau
mengganti nama karena sangat tidak suka menamai Madinah dengan
Yatsrib. Allah SWT menyebutnya Yatsrib dalam al- ur‟an han a untuk
menceritakan kaum munafik. Dia berfirman:
ۥ
Artin a: “Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang
yang berpenyakit dalam hatinya berkata: "Allah dan Rasul-Nya
tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya". (Ingatlah)
ketik segolong n di nt r merek berk t , “H i penduduk
Yatsrib! Tidak ada temp t b gimu, kemb lil h k mu.”
Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa nama
bayi dapat diganti baik karena alasan (1) hukum makruh/tidak baik atau
(2) lebih baik karena pertimbangan maslahat. Penggantian nama juga dapat
dilakukan tidak hanya pada nama bayi tetapi pada apa saja.
2. Kategori kedua
a. Pendapat ini dikemukanan oleh Ibnu Baththol yang mengatakan bahwa,
أ
23
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kairo: Lajnah Ihya
Kutubu al-Sunan, 1990. h. 451
59
Artinya: “Perintah untuk memperbagus nama dan merubah nama menjadi
yang lebih baik bukanlah suatu yang wajib.”24
Kendatipun demikian, merubahnya adalah sesuatu yang lebih afdhol
(lebih baik), apalagi jika nama tersebut jelas-jelas nama yang haram untuk
digunakan.
E. Tradisi Nama di Indonesia
a. Nama dengan nama orang tua
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa lazimnya nama dicantumkan
dibelakang nama seseorang adalah nama orang tuanya, terutama bapak
kandungn a. Pencantuman itu ada kalan a dibubuhi dengan “bin”, “binti”,
atau tanpa itu semua. Ada juga yang menyandingkan namanya dengan nama
kedua orang tuanya sekaligus seperti Abdullah bin Ubay bin Salul. Yang
mana Ubay adalah nama Bapaknya, Salul nama Ibunya, sedangkan namanya
sendiri adalah Abdullah.25
Pencantuman nama orang tua di belakang nama anak biasanya dipakai
untuk sejumlah kepentingan. Salah satunya pencantuman nama itu dimaksud
untuk penegasan nasab atau hubungan biologis. Karenanya pencantuman
nama orang lain yang bukan orang tua kandung di belakang nama seseorang
terhitung aib yang sangat tercela dalam Islam seperti disebutkan Rasulullah
SAW berikut ini.
24
As-Syaikh Bakr Abu Zaid, Tasmiyatul Maulud, h. 46
25 Syeikh Sulaiman Umar al-Jamal, Al-Futuhatul Ilahiyah bi Taudhihi Tafsir Jalalain lid
D q ‟iqil Kh fiyy h, (Beirut: Darul Fikr, 2003, Juz III) h. 302
60
Artinya: “Dari Abu Dzar, ia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda,
„Tiada seorang pun yang menisbahkan diri kepada selain
b p kny deng n seng j mel ink n i menj di kufur,” (HR.
Bukhari).
Penjelasan hadits di atas diulas oleh Badruddin al- Aini dalam „Umdatu
al-Qari Syarhu Shahihi al-Bukhari berikut ini:
“(Kepada selain bapaknya) dan ( dengan sengaja) kalimat hal atau penunjuk
waktu kekinian. Artinya ia saat itu sadar bahwa nama penisbahan dibelakang
namanya itu bukanlah bapaknya. Penisbahan itu dikaitkan dengan
kesengajaan karena kesalahan dianggap dosa ketika dilakukan dengan
seng j . eb gi n n sk h menyebut, „ dalam kufur kep d All h‟ yang mana
hal ini tidak terdapat dalam riwayat Muslim. Dan tidak ada pada riwayat
sel in Abu Dz r. Tid k d ny penyebut n „kufur kep d All h‟ bis j di
dipahami sebagai kufur nikmat atau maksudnya tidak seperti yang tertera
secara harfiah. Tetapi maksudnya adalah penegasan larangan dan aib atas
penisbahan seseorang kepada orang lain yang bukan bapak kandungnya.
Hadits itu juga bisa dipahami bahwa penisbahan itu merupakan perilaku
y ng serup deng n perbu t n or ng k fir,”26
26
Badruddin al-Aini, „Umdatu al-Qari Syarhu Shahihi al-Bukhari, Juz 24, h. 35
61
Di Indonesia penyebutan nama bapak dibelakang nama lebih
cenderung digunakan untuk kebutuhan khusus seperti zakat, qurban, akad
nikah, pengumuman kematian, doa untuk yang meninggal dan beberapa
lainnya. Hal ini seirama dengan pola yang ada.
Adapun dalam dunia perbankan, kata kunci kedua dalam merujuk
akun rekening sesorang lebih pada nama ibu kandung dari pada nama ayah
kandung. Tujuan ini dan alasan ini belum dapat diungkapkan secara
gamblang.
b. Pemanggilan Nama Istri dengan Nama Suami
Budaya di Indonesia pada sebagian daerah adalah ketika memanggil
nama seorang wanita yang telah menikah adalah dengan memanggilnya
dengan nama suami misalnya; Nyonya Haris sebagai penghormatan kepada
suami dimana Haris adalah nama suami, contoh lainnya adalah Ibu Presiden,
Ibu Wahyu, dan lainnya. Secara filosofi hukum Islam, belum diperoleh
informasi hukum memanggil nama seseorang dengan nama orang lain yang
hidup dengannya (suami). Hal ini berarti bahwa pemanggilan nama dengan
nama suami tidak terlarang walaupun bagi sebagian orang berpendapat
bahwa secara psikologis penghormatan lebih ditekankan kepada suami, disisi
lain memungkinkan untuk melupakan nama asli dari ibu kandung.
c. Pemanggilan nama dengan Julukan Baik & Buruk.
Tidak hanya Indonesia, negara lain pun memiliki julukan julukan
tertentu untuk nama orang dengan karakter atau sifat tertentu yang unik adn
melekat padanya baik memiliki kesan baik ataupun kesan buruk. Sebut saja
62
julukan umum untuk orang yang sering tidur bukan pada waktunya dengan
julukan “pelor”, julukan untuk orang yang berkulit putih tidak pada umumnya
kulit warga Indonesia dengan julukan “si bule”, julukan untuk orang yang
sering alergi makan telur dengan julukan “telur” atau “endog”, julukan untuk
orang berkulit hitam dengan da a tarik dengan julukan “hitam manis”,
“jangkis” untuk anak ang kurus, “kancil” untuk ang berpostur kecil,
“gendut” untuk ang berpostur besar, dan berbagai julukan lainn a ang amat
sangat banyak sekali.
Terkait dengan ini dan merujuk pada dasar hukum laqob adalah haram,
hukum haram tentunya akan berlaku jika melukai perasaan atau berimplikasi
kepada hal negatif yang kemudian menjadi hukum turunan tambahan karena
akibatnya. Adapun menurut fatwa Syeikh Utsaimin hukum pemanggilan
laqab adalah tidak terkena hukum haram, sekalipun tidak terkena hukum,
tidak semestinya orang-orang yang memiliki kepribadian kemanusiaan untuk
saling memanggil dengan julukan-julukan yang buruk sekalipun dalam
rangka bercanda karena barangkali bercanda bisa memunculkan perselisihan
dan pertengkaran di masa yang akan datang dan bisa jadi pula ada orang lain
yang mendengarkannya lantas menggunakan julukan tersebut dan
mengungkapkannya kepada orang yang dijuluki itu secara sungguh-sungguh
bukan untuk bercanda oleh karena itu hukum fatwa terbaik adalah agar
dihindari27
.
27
Syeikh Ibn Utsaimin, Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 3, (Jakarta; Dar al-Haq), h. 532
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada pembahasan tentang pemberian nama dan pemanggilan nama
menurut perpektif Islam dan Adat Kebiasaan Indonesia, dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Nama merupakan sebutan atau label yang diberikan kepada apapun baik
benda, manusia tempat dan lainnya untuk membedakan satu dari lainnya.
Nama memilkii panjang tertentu sesuai keinginan pemberian nama. Di
Indonesia, nama hanyalah nama, adapun di kalangan bangsa arah terdapat
istilah Kunyah/julukan sebagai implikasi dari kebiasaan sekaligus
pengormatan terhadap sesuatu entah karena turunan atau penisbatan kepada
sesuatu. Nama yang dipahami sebagai pujian atau celaan disebut dengan
laqob atau “julukan” dalam budaya Indonesia. Hukum julukan ini adalah
haram.
2. Pemberian nama merupakan salah satu cara untuk mengenali dan
membedakan sesuatu dari lainnya. Motif pemberian nama juga cenderung
dianggap memiliki nilai yang mempengaruhi nilai sosial baik untuk sebuah
arti, makna, doa dan lainnya.
3. Waktu pemberian nama dalam Islam dan dalam budaya Indonesia terdiri dari
3 yaitu; (1) pada hari kelahiran/ditemukan/dihasilkannya sesuatu, (2) sebelum
hari ketujuh atau sesudah kelahiran, dan (3) pada hari ketujuh kelahiran.
64
Waktu ini sifatnya pilihan berdasarkan sejarah dan rujukan dasar/dalil yang
akan digunakan.
4. Dalam keluarga, pihak yang paling berhak memberikan nama kepada seorang
anak adalah seorang Ayah. Hal ini berdasarkan pemanggilan manusia pada
hari kiamat adalah dengan nama seseorang dan nama ayahnya.
5. Dasar hukum pemberian nama adalah boleh/mubah, begitupun dengan
kunyah. Adapun laqob dasar hukumnya adalah haram.
6. Hukum turunan pemberian nama terbagi sebagai berikut:
a. Mubah/boleh dengan nama yang ketika penyebutan atau pemanggilannya
tidak mengandung atau mempengaruhi aspek negatif baik secara lokal
maupun keagamaan. Bahasa dalam nama tidak menjadi permasalahan
dalam pemberian dan pemanggilan nama karena asal hukum nama adalah
mubah.
b. Haram untuk (1) nama Tuhan hukumnya haram kecuali dengan
penambahan imbuhan dengan ma’rifah atau murni nakiroh, (2) nama
yang dinisbatkan atau dihambakan kepada sembahan selain Allah, nama
setan, nama orang sombong, nama dengan kesan sombong atau
ketinggian berlebih, nama dengan gelar khusus yang peruntukkan para
nabi,
c. Makruh untuk nama malaikat; alquran dan surat-suratnya, nama nabi,
7. Adat pemanggilan nama di Indonesia berkisar pada; pemberian nama lebih
dari satu suku kata, nama bersumber dari bahasa lokal-latin-arab-asing,
penggunaan nama popoler seperti (artis, tokoh dll) dengan harapan dapat
65
mengikuti kebaikan dari tokoh, menggunakan bahasa arab namun di arab
sendiri tidak diberikan untuk mnama orang, menggunakan nama bermakna
berlebihan, pemanggilan nama istri dengan nama suami, pemanggilan nama
dengan julukan yang ada padanya (laqob) baik berkesan baik maupun buruk.
8. Perihal panjang nama terdapat 2 pendapat utama yaitu; (1) sebaiknya singkat
padat dan hanya satu suku kata, (2) dua suku kata yang disukai allah
(Abdurrahman, Abdullah) dan penghormatan atas keturunan.
9. Hukum pemberian nama kontroversial yang tidak sesuai dengan filosofi
hukum Islam berimplikasi pada (1) wajib diganti bagi nama yang
mengandung sesuatu terlarang atau haram, (2) sunnah diganti terhadap nama
yang dimakruhkan, (3) mubah atau boleh bagi nama lokal yang pada
lingkungannya tidak mengandung sesuatu yang dimakruhkan atau
mengandung arti atau makna negatif.
B. Saran-Saran
Berdasarkan dari hasil penelitian yang berjudul “Hukum Pemberian Nama
dan Pemanggilan Nama menurut Perspektif Islam dan Adat Kebiasaan Indonesia”
maka penulis dapat memberikan saran sebagai berikut :
1. Perlunya sosialisasi lebih terhadap masyarakat mengenai Nama, agar
masyarakat benar-benar mengenal istilah dan makna nama yang akan dipilih
serta pendekatan dalam pemberian dan pemanggilan nama.
2. Perlunya peran para Ulama dalam sosialisasi nama baik dan nama tidak baik
di Indonesia.
66
DAFTAR PUSTAKA
A. Kitab-kitab
Al-Quran al-Karim.
Al-Sunnah Rasulullah SAW
B. Buku
Abdurrahman, Jamal, Islamic Parenting Pendidikan Anak Metode Nabi. Solo:
Aqwam, 2010
Al-Aini, Badruddin, ‘Umdatu al-Qari Syarhu Shahihi al-Bukhari, Juz 24
Al-Arifi, Yusuf, Tips Islami Menyambut Kelahiran Bayi (Jakarta: al-Nadwah,
2002, Cet. Pertama)
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fath al-Baari bisyarhi al-Bukhari
Al-Bukhari, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari, Kairo:
Lajnah Ihya Kutubu al-Sunan, 1990.
__________, Abi Abdullah Muhammad bin Ismail. Matan al-Bukhori, Indonesia:
Dar Ihya’Al-Kitab Al-Arabiyah, Juz 4
Ali, Zainuddin. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Atmajaya
(PUAJ), 2007
Al-Istambuli, Mahmud Mahdi. Kado Perkawinan, Terj. Ibrahim, Ibnu. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007, Cet. Ke-21
Al-Jamal, Syeikh Sulaiman Umar, Al-Futuhatul Ilahiyah bi Taudhihi Tafsir
Jalalain lid Daqa’iqil Khafiyyah, Beirut: Darul Fikr, 2003, Juz III
Al-Jauziyah, Ibnu Qoyyim, Kado Sang Buah Hati. Solo: Al-Qowam, 2007
__________, Ibnu Qayyim. Fiqih Bayi. Penerjemah H. Anshori Umar Sitanggal.
Jakarta: Dar al-Fikr, 2007
__________, Ibnu Qayyim. Kado Menyambut Si Buah Hati, Terj. Hidayat,
Mahfud. Jakarta: Al-Kautsar, 2007, Cet. Pertama
__________, Ibnu Qayyim, Serpihan Kasih untuk Si Buah Hati, Jakarta: Pustaka
Azzam, 1995, Cet. 1
Al-Mawardi, Nashihatul Muluk. Kuwait: Maktabah al-Falah, 1983
67
Al-Mutawakkil, Khadijah A.Q, Nama-nama Indah untuk Anak Anda, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 1991, Cet. 1)
Al-Naisburi, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim.
Riyadl: Daarul Haya, 1953
Al-Tirmizi, Abu Isa Muhamamd ibn Isa, Kitab al-Jami’ al-Tirmidzi, (Beirut;
Darul Kutub Ilmiyyah) Hadist No. 2839.
As-Syuhairi, Imam Ahmad bin al-Husain. Fath al-Qarib al-Mujib. Semarang:
Pustaka Alawiyah, t.th.
As-Subki, Ali Yusuf. Fiqh Keluarga. Jakarta: Amzah, 2010, Cet. Pertama
Baz, Abdul Aziz bin Abdullah Bin. Fatwa Lajnah Daimah. Beirut: Darul Ifta, Juz
11
Daud, Abu. Sunan Abu Daud. Beirut: Dar al-Jiil, t.th. Juz IV.
Ibn Qayim, Tuhfatul Maudud, Maktabah Darul Bayan, Cet. I, Damaskus,
Syamilah.
Fatwa Yusuf Qordhowi Disanding dengan Ibn Qayyim, Tuhfatul Mauduud.
Maktabah Darul Bayan, Cet. I, Damaskus, Syamilah hal: 93:99, dan Ibn
Utsaimin, Syarhul Mumti’
Halawi, Muhammad Abdul Aziz, Fatwa dan Ijtihad Umar Bin Khatab
Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fikih. Surabaya: Risalah Gusti, Cet.
Pertama, 2009
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2011.
Haq , Hamka, Falsafat Usul Fiqh. Ujung Pandang: Yayasan Al-Ahkam, 1998.
Haroen , Nasrun, Usȗ l al-Fiqh. Pamulang Ciputat: Logos Publising House, 1996.
Harb,Ibnu Abi Khaitsumah Abu Bakr Ahmad bin Zuhair bin, At-Tarikh Al Kabir,
Takhrij No. 35, Ar-Ribath Dar Al-Wathan, 2004
Husain, Akhlaq, Menjadi Orangtua (Muslim) Terhormat. Surabaya: Risalah Gusti,
Cet. Pertama,
Iraqi, Ibnu, Tanzih asy-Syariah al-Marfuah ‘anil-Akhbaisy-Syania’h al-Maudhlu’
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiya, 2010, Cet. Pertama
Jumantoro, Totok Samsul Munir Amin. Kamus Usul al-Fiqh, Jakarta: Amzah,
2009. Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin. Kamus Usul al-Fiqh,
Jakarta: Amzah, 2009.
68
Kasmuri, Selamet, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan
Perkawinan). Jakarta: Kalam Mulia, 1998
Khallâf , Abd Al-Wahâb. Ilmu Usȗ l al-Fiqh, T.tp., Dar al-Qolam, karya, 2005.
Meleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005, Cet. Ke Kesepuluh
Nawawi, Muhammad Umar Al-Jaawi. Tausikh Ala Ibnu Qasim. Beirut: Maktabah
Muhammad Bin Syarif, t.th.
Purwaka, Tommy Hendra. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Atmajaya (PUAJ), 2007.
Qaradhawi,Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer 2. Jakarta:Gema Insani, 1995
Saurah, Abi Isa Muhammad bin. Sunan Turmudzi, Juz IV. Beirut Darul Fikra, t.t.h
Syalabi, Rauf, Wahai Bapak Didiklah Keluargamu dengan Baik. Bandung: Gema
Risalah Press, 1994, Cet. 6
Syalwan, Yahya bin Sa’ide Alu, Fatawa Ath-Thiflul Muslim, Edisi Indonesia 150
Fatwa Seputar Anak Muslim. Griya Ilmu, Al-Arabiyah, Juz 4.
Ulwan, Abdul Nashih, Pendidikan Anak dalam Islam. Jakarta: Pustaka Amani,
Jilid I, 2007.
Utsaimin, Syeikh Ibnu, Fatwa-Fatwa Terkini, Jilid 3, (Jakarta; Dar al-Haq), h.
532
Zahrah, Muhammad Abu. Usȗ l al-Fiqh. Penerjemah Saefullah Ma’sum, Slamet
Basyir dkk, Pasar Minggu: Pustaka Firdaus, 2014.
Zaí, Hafiz Abu Tahir Zubair Áli. Sunan Imam Abu Daud. Riyadh: Maktaba Dari-us-
Salam, 2008. Cet. Pertama.
Zaid, As-Syaikh Bakr Abu, Tasmiyatul Maulud