HUKUM PELAKSANAAN SALAT JUMἉT SELAIN DI MASJID
(Analisis Fatwa MUI NO. 53 Tahun 2016)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh :
RIZQI AMALIA
NIM. 1113043000003
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Rizqi Amalia. NIM 1113043000003. Hukum Pelaksanaan Salat Jumʻat Selain Di
Masjid (Analisis Fatwa MUI No. 53 Tahun 2016). Program Studi Perbandingan
Madzhab, Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqih, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana hukumnya
melaksanakan salat jumʻat selain di masjid. Untuk dapat mengetahui bagaimana
pandangan para Ulama Mazhab tentang pelaksanaan salat jumʻat selain di masjid.
Begitu pula faktor yang melatarbelakangi Majelis Ulama Indonesia menetapkan
fatwa tentang Salat Jumʻat, Dzikir dan Kegiatan Keagamaan Di Tempat Selain
Masjid.
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian
normatif, jenis penelitian ini adalah kualitatif yang berdasarkan studi kepustakaan
(library research) Adapun sumber data primernya yaitu Fatwa Majelis Ulama
Indonesia dibidang Keagamaan. Sumber data sekunder dalam penelitian ini bahan
yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti kitab-kitab
tentang shalat, kitab ibadah, hasil-hasil penelitan, hasil karya ilmiah para sarjana,
dosen dan pendapat para ulama terdahulu yang relevan yang berkaitan dengan
fatwa tersebut.
Hasil penelitian ini bahwasanya Majelis Ulama Indonesia menetapakan
fatwa tentang pelaksanaan salat jumʻat selain di masjid tersebut telah sesuai
dengan metode istinbath hukum Islam karena MUI telebih dahulu merujuk kepada
Al-Qur’an dan Sunnah. MUI memperhatikan maqashid al-syariah (tujuan –
tujuan ditetapkanya hukum); yang meliputi lima perkara, yaitu memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, menjaga keturunan, memelihara harta.
Perbedaan pendapat para Imam Mazhab yaitu Imam Abu Hanifa, Imam Asy-
Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambali sepakat akan tentang kebolehnaya
melaksanakan salat jumʻat selain di masjid dan tidak termasuk syarat sahnya salat
jumʻat. Hanya Imam Malik yang mewajibkan pelaksanaan salat jumʻat harus di
masjid karena masjid termasuk syarat sahnya salat jumʻat dalam Mazhab Maliki.
Hukum pelaksanaan salat jumʻat selain di masjid itu diperbolehkan dan sah
hukumnya, asalkan tempat tersebut harus terjamin kekhusyukan dan kesucian
tempatnya dari najis baik yang terlihat maupun tidak. Yang harus di garis bawahi
disini bahwasanya jika selama tidak ada udzur yang benar-benar mendesak untuk
melaksanakan salat jumʻat selain di masjid maka hukumnya wajib harus di masjid.
Kata kunci :Salat Jumʻat, Tempat Pelaksanaan Salat Jumʻat,
Perbedaan Pendapat di kalangan Ulama Mazhab dan
Hukum Melaksanakan Salat Jumʻat Selain Di Masjid.
Pembimbing : Prof. Dr. H. Abd Wahab Abd Muhaimin, Lc, MA.
Daftar Pustaka : 1984 s.d. 2017
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan rasa syukur yang mendalam penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.
karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya maka skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik. Salam dan shalawat semoga selalu tercurahkan pada
Baginda Rasulullah Muhammad Salallahu’ ‘alaihi wa sallam.
Selanjutnya penulis ingin sampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga
kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik berupa
dorongan moril maupun materiil. Penulis yakin jika tanpa bantuan dan dukungan
tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis secara khusus ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., selaku Ketua Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., MA., selaku Sekretaris
Program Studi Perbandingan Madzhab;
3. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA., selaku Dosen Penasehat
Akademik Penulis;
4. Bapak Prof. Dr. H. Abd Wahab Abd Muhaimin, Lc, MA., selaku Dosen
Pembimbing Skripsi yang telah memberikan arahan, saran dan ilmunya hingga
penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan mengajarkan ‘Ilmu dan
Akhlaq yang tidak ternilai harganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi
di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta;
6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta;
vii
7. Kedua orang tua tercinta Ayahanda H. Alimin Tirta Burhan dan Ibunda Hj.
Maryanih, serta Adik-adik tersayang M. Rizqi Alfariz dan Rizky Hanifa yang
telah mencintai penulis dengan segenap jiwa dan raga, baik doa maupun dukungan
dan dengan penuh kesabaran sehingga dengan ridha mereka penulis mampu
berada pada titik seperti saat ini;
8. Keluarga Besar Pondok Pesantren Al-Mukhlishin Ciseeng, Parung-Bogor.
9. Keluarga Besar PMH angkatan 2013 dan Ladies PMH 2013 yang telah menemani
serta memberi dukungan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini
dengan baik dan semua yang pernah kenal baik semoga Allah melimpahkan
keberkahan kepada kehidupan kalian semua (Aamiin).
10. Kepada KH. Nurhaimi,SQ dan Ust. Farid Wadzi,S.H.,MA terimakasih penulis
ucapkan sedalam-dalamnya atas ilmu yang diberikan kepada penulis, semoga
Allah selalu memberikan keberkahan dunia dan akhirat kepada beliau (Amiin).
11. Kepada teman saya Ahmad Syarofuddin Firdaus, Ahmad Faiz, Ahmad Rinaldi,
Ahmad Fauzi dan Nasrullah terimakasih telah menjadi guru saya. Semoga Allah
selalu memberikan Keberkahan kepada kalian (Amiin).
12. KKN GENCAR yang telah memberikan sumbangsih kepada penulis dalam ilmu
dan nasihat-nasihatnya. Terimakasih telah menjadi sahabat yang baik.
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan balasan
yang berlimpah bagi kita semua Amiin.
Jakarta, 29 Maret 2018
Penulis
RIZQI AMALIA
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ·····································································i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ··································· ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ····································· iii
LEMBAR PERNYATAAN ···························································· iv
ABSTRAK ················································································· v
KATA PENGANTAR ·································································· vi
DAFTAR ISI ·············································································· viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ······················································· x
BAB I : PENDAHULUAN ·························································· 1
A. Latar Belakang Masalah ················································ 1
B. Permasalahan ····························································· 8
1. Identifikasi Masalah ·················································· 8
2. Pembatasan Masalah ················································· 9
3. Perumusan Masalah ·················································· 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ········································· 9
D. Review Kajian Terdahulu ··············································· 10
E. Metode dan Teknik Penelitian ·········································· 12
F. Sistematika Penulisan ···················································· 14
BAB II: KETENTUAN UMUM TENTANG SALAT JUMἉT ·············· 16
A. Pengertian Salat ·························································· 16
B. Pengertian Salat Jumʻat ················································· 20
ix
C. Hukum Melaksanakan Salat Jumʻat ··································· 22
D. Syarat-Syarat Salat Jumʻat ·············································· 25
E. Syarat-Syarat Tempat Melaksanakan Salat Jumʻat ·················· 37
F. Tempat Yang Dilarang Melaksanakan Salat Jumʻat ················ 41
BAB III: MUI DAN PENETAPAN FATWA ····································· 44
A. Pengertian Fatwa ························································· 44
B. Kedudukan Fatwa ························································ 50
C. Peranan MUI Dalam Menetapkan Fatwa ····························· 52
D. Metode MUI Dalam Menetapkan Fatwa ····························· 56
BAB IV: FATWA MUI TENTANG PELAKSANAAN SALAT JUMἉT
SELAIN DI MASJID ······················································ 60
A. Pandangan Ulama Fikih Tentang Pelaksanaan Salat Jumʻat
Selain Di Masjid ························································· 60
B. Analisis Fatwa MUI Tentang Pelaksanaan Salat Jumʻat Selain
Di Masjid ·································································· 64
C. Faktor Yang Melatarbelakangi MUI Mengeluarkan Fatwa
Tentang Pelaksanaan Salat Jumʻat Selain di Masjid ················ 75
BAB V : PENUTUP ··································································· 78
A. Kesimpulan ······························································ 78
B. Saran ······································································ 79
DAFTAR PUSTAKA ··································································· 80
LAMPIRAN ·············································································· 86
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama
bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah
Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j Je ج
h ha dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
xi
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
ع koma terbalik di atas hadap kanan
gh ge dan ha غ
f ef ف
q Qo ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
ء apostrop
y Ya ي
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
xii
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
a fathah ــــــــــ
i kasrah ــــــــــ
u dammah ــــــــــ
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
ي___ ai a dan i
و___ au a dan u
c.Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
â a dengan topi diatas ـــــا
î i dengan topi atas ـــــى
û u dengan topi diatas ـــــو
c. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan
lam( ال ), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya:
اإلجثهاد = al-ijtihâd
الرخصة = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah
xiii
d. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
al-syuî ‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah = الشفعة
e. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi
huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
syarî ‘ah شزيعة 1
al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشزيعة اإلسالمية 2
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3
f. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam
transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa
jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata
sandangnya. Misalnya, البخاري = al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama
xiv
tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
g. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan
berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
-al-darûrah tubîhu al الضرورة تبيح احملظورات 1
mahzûrât
al-iqtisâd al-islâmî اإلقتصاد اإلسالمي 2
usûl al-fiqh أصول الفقه 3
-al-‘asl fi al-asyyâ’ al األصل يف األشياء اإلباحة 4
ibâhah
al-maslahah al-mursalah املصلحة املرسلة 5
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia menurut Al-Qur‟an mempunyai tiga unsur, yaitu badan
(jasad), nyawa (nafs) dan roh (ruh). Ketika manusia masih terdiri atas
anggota badan dan nyawa, belumlah sempurna sebagai manusia. Roh
sebagai unsur ketiga (khalaqan akhar), diinstal ke dalam diri manusia
ketika berumur 120 hari.1 Dengan adanya roh, manusia menjadi makhluk
biologis sekaligus sebagai makhluk spiritual. Adapun arti dari makhluk
spiritual adalah makhluk yang membutuhkan agama di dalam dirinya,
tanpa agama maka hidup di yakni tidak akan seimbang.
Agama adalah hak setiap warga negara Indonesia. Setiap warga
negara Indonesia diperbolehkan untuk memeluk suatu agama yang
diyakininya dan negara menjamin kebebasan untuk memeluk agama
tersebut. Hal ini tercantum dalam UUD 1945 Pasal 29. Seseorang yang
memeluk suatu agama tersebut melaksanakan kewajiban yang ada dalam
agama tersebut yang dimana ibadah tersebut merupakan sarana hubungan
antara manusia dengan Tuhannya.2
Agama di Indonesia memegang
peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam
Ideologi bangsa Indonesia yakni Pancasila : “ Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap
pertumbuhan Ekonomi,Sosial dan Budaya. Menurut hasil sensus yang
1 Hasanuddin Umar, Islam Fungsional Revitalisasi & Reaktualisasi Nilai-
nilai Keislaman, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014), hal 24. 2 Afrizal Nurdin, Keringanan Puasa Bagi Penerbang di Bulan Ramadhan
(Analisa Fatwa MUI Tentang Puasa Bagi Penerbang). Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, hal 1.
2
telah dilakukan pada tahun 2010, 87,18% dari ±237.641.326 juta jiwa
penduduk Indonesia adalah Pemeluk Agama Islam, 6,96% Protestan, 2,9%
Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% Agama
lainya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak dinyatakan.3
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada
di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari
itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam
hubungan antar kelompok maupun golongan.
Di samping sebuah keyakinan, agama juga merupakan gejala
sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah
kehidupan bersama. Kadang-kadang perilaku tersebut mempengaruhi satu
sama lain. Norma-norma dan nilai-nilai agama diduga sangat berpengaruh
pada kehidupan sosial4.
Agama islam kaya akan tuntunan hidup bagi umatnya. Selain
sumber hukum utama yakni Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Islam juga
mengandung aspek penting yakni fiqh. Fikih Islam sangat penting dan
dibutuhkan oleh umat Islam, karena ia merupakan sebuah manual book
dalam menjalankan praktik ajaran Islam itu sendiri, baik dari sisi ibadah,
muamalah, syariah dan sebagainya.
Dalam agama Islam itu sendiri terdapat ibadah wajib dan ibadah
sunnah yang dimana jika ibadah wajib itu adalah perbuatan yang wajib di
lakukan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan akan
mendapatkan ganjaran bagi pelakunya. Lain halnya dengan ibadah sunnah
jika dikerjakan akan mendapatkan pahala namun jika tidak di kerjakan
tidak mendapatkan siksa. Salat dalam islam menempati posisi yang tidak
3
https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia di akses pada 23
Februari 2017. Pukul 15:12 WIB 4 Mastuhu, Metode Penelitian Agama; Teori dan Praktik, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006), hal 127.
3
bisa disamai dengan ibadah yang lain. Salat adalah tiang agama, yang
dengan tanpa salat, Islam tidak dapat berdiri. Rasulullah sallalahu‟ „alaihi
wassallam bersabda,
رضي اهلل عنو قال: قلت يارسول اهلل أخربين بعمل معاذبن جبل عنيدخلن اجلنةوي باعدين عنالنار قال لقدسألت عن عظيم وإنو ليسرعلى
ره اهلل عليو:ت عبداهلل والتشرك بو شيئاوتقيم الصالةوت ؤيت من يسالبيت.ث قال:أالأدلك على أب واب الزكاةوتصوم ر اخلري؟ مضان وتج
الصوم جنة والصدتطفئ اخلطيئة كمايطفئ ادلاءالناروصالةالرجل يف أال أخربك برأس األمركلو وعموده وذروة : قالجوفالليل.ث
سالم وعموده رأس األمر اإلل اهلل قال:سنامو؟قلت:بلى يا رسو الة وذ 5)سنن الرتمذي( يف سبيل اهلل د روة سنامو اجلهاالص
Artinya: “DariMu‟adz bin Jabal RA, ia mengatakan, Aku bertanya Wahai
Rasulullah,beritahukan kepadaku tentang amalan yang akan
memasukkan ku ke dalam surga dan menjauhkanku dari
neraka.” Beliau bersabda, Sungguh kamu bertanya tentang
sesuatu yang besar, dan sesungguhnya itu sangat mudah bagi
siapa yang dimudahkan oleh Allah: yaitu kamu menyembah
Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun,
mendirikan shalat,menunaikan zakat,berpuasa Ramadhan, dan
berhaji ke Baitullah. Kemudian beliau bersabda, “Maukah aku
tujukan kepadamu tentang pintu-pintu kebajikan? Puasa adalah
perisai, sedekah menghapuskan kesalahan sebagaimana
memadamkan api, dan shalat yang dilakukan seseorang di
tengah malam. Kemudian beliau bertanya, Maukah aku
beritahukan kepadamu tentang pokok urusan, tiangnya dan
puncaknya?Aku menjawab Tentu Wahai Rasulullah, Beliau
Bersabda “Pokok setiap sesuatu adalah islam, dan tiangnya
adalah salat dan puncaknya adalah berjuang di jalan Allah.”
(HR. Tirmidzi)
5 Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Gharb al
Islami, 1998 M), Juz 4. Hal 308.
4
Beberapa waktu yang lalu Indonesia mengalami sebuah kasus
yang dimana sangat terbilang menyinggung hati umat muslim di Indonesia
yakni pernyataan seorang gubernur yang menistakan salah satu ayat yang
ada di dalam Al-Qur‟an di dalam kampanyenya. Hal tersebut mengundang
banyak reaksi dikalangan umat muslim Indonesia dan masyarakatpun
mengadakan aksi pada 2 Desember 2016, yang disebut dengan aksi 212
yang di mana acara ini semacam kegiatan unjuk rasa dari masyarakat
muslim Indonesia terhadap kasus penistaan agama tersebut .
Bahkan sebelum terjadinya aksi 212 tersebut yang dimana
kegiatan unjuk rasa telah terlebih dahulu berlangsung pada aksi 4
November 2016 yang dalam aksinya umat islam menyampaikan kepada
pemerintah agar memberikan hukuman yang adil untuk kasus ini.
Pada penyelenggaran aksi damai 212 ini umat islam bertepatan
pada hari Jumʻat yang akan diadakanya kegiatan dzikir dan do‟a serta
Salat Jumʻat berjamaah di Lapangan Monas. Sebab diadakanya salat
Jumʻat berjamaah ini di Lapangan Monas/jalan-jalan sekitarnya
dikarenakan jumlah jamaʻah yang sangat banyak dan sehingga tidak
tertampung jika dilaksanakan di Masjid Istiqlal, maka dipilihlah tempat
pelaksanaan Salat Jumʻat ini di Lapangan Monas dan sekitarnya.
Salat Jumʻat adalah ibadat yang bersifat fardhu „ain (wajib) dan
bukan sebagai pengganti Salat Dzuhur. Bahkan dianggap kafir orang yang
mengingkarinya karena berdasarkan dalil-dalil yang jelas. 6 Salat Jumʻat
hukumnya wajib bagi setiap muslim laki-laki yang mukallaf (baligh dan
berakal sehat) di manapun mereka tinggal, didasarkan atas firman Allah
SWT:
6 Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, jilid 1 (Beirut: Dar
al-Fikri, 1984M), BAB Shalat, hal 375.
5
7
Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
salat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah
dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui”. (QS. Al-Jumuʻah:9)
Sedangkan dalam Hadist Nabi Muhammad bersabda:
على ب اج و ق ح ة ع م : اجل ملسو هيلع هللا ىلصقال رسول اهلل اب ه الش ن ب ق ار ط ن ع )رواهاومريض. صبي و ا أوامرأة كلو م عبد ة ع ب ر ا اال ىف مجاعة م ل س م ل ك
8ابودود واحلاكم( Artinya: “Dari Thariq bin Shihab ra sesungguhnya Rasulullah SAW,
bersabda: Shalat jum‟at itu adalah wajib atas setiap muslim,
dilakukan secara berjama‟ah, kecuali terhadap empat orang,
yaitu hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang sakit.” (HR.
Abu Daud dan Hakim).
Salat Jumʻat, seperti halnya salat lima waktu, sama dalam rukun,
syarat dan adabnya. Namun Salat Jumʻat lebih dikhususkan pada syarat-
syarat yang mewajibkanya. Salat Jumʻat diwajibkan kepada semua orang
yang sudah mampu melaksanakanya namun ditambahkan empat syarat lagi
yaitu laki-laki (tidak diwajibkan Salat Jumʻat untuk perempuan), merdeka
( tidak diwajibkan bagi hamba sahaya), tinggal di tempat dilaksanakanya
Salat Jumʻat dan tidak mendapat halangan.
7 QS. Al-Jumuʻah:9
8 Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Sajistani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar al-
Kitab al-„Arabi, T.th) Juz 1. Hal 412 Dan Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-
Naisaburi, al-Mustadrak „ala al-Shahihain, (al-Qahirah: Dar al-Haramain, 1197) juz 1.hal
416.
6
Dengan adanya kegiatan Salat Jumʻat berjamaah yang
dilaksanakan di Lapangan Monas dan sekitarnya banyak sekali kalangan
masyarakat menanyakan bagaimana hukumnya mengenai Salat Jumʻat di
lapangan/ tempat selain di masjid tersebut. Sebab dengan melihat adanya
kondisi banyaknya masyarakat yang ikut dalam aksi tersebut. Pelaksanaan
Salat Jumʻat ini salah satu syarat sahnya adalah tempat pelaksanaanya.
Dalam firman Allah Subhanahu‟ wa ta‟ala yang menegaskan tanggung
jawab orang beriman untuk memakmurkan masjid.
9
Artinya: “hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-
orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta
tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut
(kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-
orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (QS.At-Taubah:18)
Jika ditinjau dari ayat ini maka sudah jelas bahwasanya salat itu
dilaksanakan di masjid. Masjid merupakan salah satu syarat sah Salat
Jumʻat karena selain kebersihan dari najisnya, pun terjaga kekhusyukanya.
Para ahli fikih memberikan tiga pendapat yaitu yang pertama.10
Menurut
pendapat Imam Malik mendirikan Salat Jumʻat di masjid jami‟ merupakan
syarat sah Salat Jumʻat. Di samping itu Imam Malik juga mengajukan dua
syarat lagi yaitu harus berada di suatu daerah 11
dan yang kedua adanya
izin pemerintah setempat. Syarat sah yang pertama tadi didahulukan
9 QS. At-Taubah:18
10 Huri yasin husain, Fikih Masjid, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2011)
hal 186. 11
Yakni daerah luas yang dihuni oleh penduduk, minimal seluas kelurahan.
7
karena terkait langsung dengan salat, sementara dua syarat yang terakhir
tidak terkait langsung dengan salat. 12
Kedua, masjid merupakan syarat
wajib Salat Jumʻat bukan syarat sahnya; pendapat ini dikemukakan oleh
sebagian ulama Mazhab Syafiʻi dan Zaidiyyah. 13
Ketiga, masjid bukan merupakan syarat wajib ataupun syarat sah
Salat Jumʻat; pendapat ini diusung oleh jumhur ahli fikih. Dengan
demikian apabila Salat Jumat dilakukan di luar masjid menurut pendapat
Imam Malik hukumnya tidak sah. Sedangkan pendapat jumhur ulama
menyebutkan bahwa mendirikan Shalat Jum´at di tempat mana saja di
suatu daerah tetap sah, meskipun di tanah lapang atau tanpa atap. 14
Dalil kelompok pertama dan kedua yang berpendapat bahwa
masjid merupakan syarat wajib dan syarat sah Salat Jumʻat adalah
perbuatan Rasulullah shalallahu „alaihi wa sallam dan para sahabat
sepeninggal beliau yang melakukan Salat Jumʻat di masjid. Karena itulah
mereka menjadikan masjid jami‟ sebagai syarat sah Salat Jumʻat. 15
Kelompok ketiga (jumhur ulama) juga berdalil dengan
perbuatan Rasulullah shalallahu „alaihi wa sallam dan para sahabat beliau.
Hanya saja, menurut mereka, itu tidak menjadikan masjid sebagai syarat
wajib atau syarat sahnya Salat Jumʻat, melainkan hanya menunjukan
keutamaan. 16
12
Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihaya Wal Muqtashid, (Darul:al-
Maʻrifat, 595H). Jilid I, hal 154. 13
Abu Bakar bin al-„Atiki Al-Bazzar, Al- Bahr Az-Zukhar III/11-12; An-
Nawawi, Al-Majmu‟ IV/498. Lihat Huri yasin husain, Fikih Masjid (Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar, 2011) 14
Huri yasin husain, Fikih Masjid, hal 188. 15
Huri yasin husain, Fikih Masjid, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2011), hal 187. 16
Huri yasin husain, Fikih Masjid, hal 188.
8
Selain itu, Allah Subhanahu wa ta‟ala memerintahakan kaum
muslimin segera Salat Jumʻat ketika mendengar adzan, tanpa
mengisyaratkan harus ada di masjid. Jadi syarat suatu ibadah harus ada
dalilnya, sementara tidak ada dalil shahih yang menunjukan syarat itu. 17
Maka dengan dikeluarkanya fatwa oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) terkait tentang pelaksanaan Salat Jumʻat dan dzikir di
selain masjid. diharapkan agar masyarakat bisa memahaminya.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik mengkaji lebih dalam
mengenai “HUKUM PELAKSANAAN SALAT JUMʻAT SELAIN DI
MASJID (Analisis Fatwa MUI No. 53 Tahun 2016)”.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas,
ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a. Apa hukumnya melaksanakan Salat Jumʻat ?
b. Bagaimana hukumnya jika seorang laki-laki tidak melaksanakan
Salat Jumʻat?
c. Apa saja syarat sah Salat Jumʻat ?
d. Bagaimana pandangan ulama mazhab tentang hukum Salat Jumʻat
di masjid ?
17
Hasyim Jamil Abdullah, Masa‟il Al-Fiqh Al-Muqarin, (Jami‟ah Baghdad;
Baitul Hikmah), Cet. Ke 1, 1409 H/1989 M, hal 139.
9
e. Dalil apa yang dipakai oleh kelompok ulama yang berpendapat
bahwa masjid sebagai syarat untuk melaksanakan Salat Jumʻat?
2. Pembatasan Masalah
Secara substantif, pembahasan mengenai fatwa MUI (Majelis
Ulama Indonesia) sangat luas cakupanya. Untuk menghidari
kesalahpahaman dalam kajian ini, maka penulis membatasi kepada
permasalahan hukum pelaksanaan Salat Jumʻat, ditempat selain
masjid dan fatwa MUI.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka penulis
merumuskan permasalahan dalam skripsi ini sebagai berikut:
a. Bagaimana pandangan ulama fikih tentang pelaksanaan Salat
Jumʻat selain di Masjid?
b. Analisis fatwa MUI tentang pelaksanaan Salat Jumʻat selain di
Masjid?
c. Faktor apa yang melatarbelakangi Majelis Ulama Indonesia
menetapkankan fatwa tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Penelitian ini selain bertujuan untuk memenuhi tugas
akademik guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Strata 1 Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
10
Jakarta, juga didorong beberapa tujuan yang berkaitan dengan dengan
isi pembahasan di dalamnya:
a. Untuk dapat mengetahui pandangan ulama fikih tentang
pelaksanan Salat Jumʻat selain di masjid.
b. Untuk mengetahui Fatwa MUI Tentang Hukum Pelaksanaan Salat
Jumʻat Selain di Masjid.
c. Untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi Majelis Ulama
Indonesia menetapkan fatwa tentang pelaksanaan Salat Jumʻat,
dzikir dan kegiatan keagamaan di tempat selain masjid.
2. Manfaat penelitian
Adapun manfaat penelitian ini diharapkan sebagai berikut :
a. Dapat dijadikan acuan hukum oleh masyarakat jika ada
pelaksanaan Salat Jumʻat selain di masjid.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi penikiran
atau informasi awal bagi penelitian selanjutnya.
c. Penulis berharap, dengan penulisan skripsi ini menambah wawasan
khususnya penulis dan pada umumnya pembaca, masyarakat dan
tokoh masyarakat.
D. Kajian Terdahulu (Study Review)
Setelah dilakukan evaluasi terhadap beberapa artikel, buku,
skripsi ataupun jurnal yang erat kaitanya dengan pembahasan yang akan
dijadikan pokok pembahasan dalam skripsi ini, ditemukan beberapa materi
yang berhubungan dengan pelaksanaan salat selain di masjid diantaranya:
11
Artikel yang berjudul Bolehkah shalat di gereja ketika tidak ada
masjid? Yang ditulis oleh Prof. Dr. Khalid Almuslih18
. Dalam artikel ini
Prof. Khalid memaparkan telah dinukil ijma ulama bahwa orang yang
shalat di gereja pada tempat yang suci (tidak terdapat najis) maka
hukumnya boleh dan shalatnya sah, ijma ini dinukil oleh Ibnu Abdil Barr
dalam kitab At Tamhid. Namun jika di lihat dari segi lainya terdapat khilaf
dalam permsalahan ini yaitu pendapat pertama menjelekasan makruh
hukumnya shalat di gereja karena di dalamnya ada patung ini adalah
pendapat dari Umar dan Ibnu Abbas dan pendapat sejumlah ulama
hanafiyah, Imam malik, Mazhab syafiʻi dan Hambali. Alasanya karena di
gereja terdapat patung .
Pendapat yang kedua yaitu boleh shalat di gereja ini adalah
pendapat Al-Hasan, Umar bin Abdul Aziz, Ast-Sya‟bi yang merupakan
mazhab hanabilah dengan syarat tidak ada patung (atau gambar makhluk
hidup) di dalamnya. Pendapat yang ketiga yaitu haram shalat di gereja
karena merupakan tempat syetan-syetan yang menurut ulama hanafiyah
shalat di gereja merupakan bentuk penghormatan terhadap mereka. Dan
pendapat yang lebih kuat yaitu hukumnya dimakruhkan shalat di gereja
jika ada patung-patung yang dimana berpedoman kepada Al-Qur‟an yang
terdapat dalam QS. Annur :36.
Selanjutnya Skripsi yang berjudul Analisis Sanad dan Matan
Hadis Shalat Diatas Kendaraan Yang di tulis oleh M.Ghozali19
. Dalam
skripsi ini M.Ghozali mengkaji dua hadits yang berkenaan dengan shalat
18
Khalid Almuslih, “ Bolehkah Shalat di Gereja Ketika Tidak Ada Masjid?”
artikel diakses pada 08 Maret 2017 dari : http://muslim.or.id/20097-fatwa-ulama-
bolehlah-shalat-di-gereja-ketika-tidak-ada-masjid.html
19 M.Ghozali “Analisis Sanad dan Matan Hadis Shalat Diatas Kendaraan”
(Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta,2015)
12
diatas kendaraan yang terdapat dalam kitab hadits yaitu Sunan Al-Tirmidzi
dan Shahih Al-Bukhari. Maka berdasarkan penelitian melalui kritik sanad
dan matan , penulis berkesimpulan bahwa hadits shalat di atas kendaraan
yang terhimpun dalam shahih al-Bukhari berkualitas shahih karena telah
memenuhi kaidah keshahihan hadits baik secara sanad dan juga matan.
Sehingga hadits tersebut dapat diamalkan untuk menjadi landasan
dilakukanya shalat diatas kendaraan.
Kitab Al Muhalla yang dikarang oleh Ibnu hazm pada bab
seseoarang diharamkan melaksanakan shalat di toilet di jelakan oleh
Ibnu Hazm bahwa duharamkan melaksanakan shalat di tolilet(kamar
mandi) , baik di depan pintu, di setiap sudut yang berdekatan dengan
kamar mandi yang berpedoman kepada sabda Nabi SAW yang artinya
“Seluruh permukaan bumi adalah sujud (masjid), kecuali toilet dan
kuburan”.
Fatwa yang dikemukakan oleh Syaikh Abdul aziz bin Abdullah
bin Baz di jelaskan diperbolehkan shalat sementara di pesawat disaat rute
penerbangannya dan sebelum mendarat di salah satu airport, maka para
ahlul ilmi telah sepakat akan wajibnya pelaksanaan shalat sesuai
kemampuan dalam ruku‟ yang berdasarkan firman Allah Subhanahu wa
ta‟ala dalam QS. At-Taghabun:16.
Dari sekian banyak pembahasan yang membahas permasalah
pelaksanaan tentang shalat jum´at tidak ada yang mebahas secara langsung
dan sesuai yang akan penulis teliti lebih fokus pada menganalisis fatwa
MUI tentang pelaksanaan shalat Jum‟at selain di masjid.
F. Metode dan Teknik Penelitian
1. Jenis Penelitian
13
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adlaah metode
penelitian kualitatif, perundang-undangan dan normatif yaitu
penelitian kepustakaan (library research) berdasarkan data sekunder.
Penelitian kualitatif dilakukan terhadap banyaknya studi dokumenter
yang ada, sehingga penulis mengedepankan penelitian ini terhadap
kualitas isi dari segi jenis data.
Pada dasarnya penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan, yang kajianya dilaksanakan dengan menelaah dan
menelusuri berbagai literatur. Kualitatif bersifat deskriptif, yaitu data
yang terkumpul berbentuk kata-kata bukan angka.
2. Jenis Data
Data-data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini
dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Primer
Yaitu semua sumber yang berhubungan langsung dengan objek
penelitian. Dalam hal ini adalah kitab-kitab, buku-buku, dalam
penelitian ini menjadi bahan hukum primernya adalah Fatwa
Majelis Ulama Indonesia
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti kitab-kitab tentang shalat, kitab ibadah , hasil-hasil
penelitan, hasil karya ilmiah para sarjana atau pendapat para
ulama yang relevan yang berkaitan dengan fatwa tersebut.
c. Bahan Hukum Tersier
14
Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum preimer dan sekunder seperti kamus,
ensiklopedia dan media elektronik.
3. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini adalah mnggunakan metode
pengumpulan data dan dihadirkan bersifat analisis data kualitatif.
seluruh data yang diperoleh pada penafsiran komprehensif dan
argumentasi rasional untuk kemudian penulis uraikan dalam bentuk
narasi sehingga menjadi kalimat yang jelas dan dapat difahami.
4. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan Buku
Pedoman Penulisan Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas
Syariah dan Hukum Tahun 2017 yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah
dan Hukum.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran
materi yang terdapat dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan
sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I Merupakan pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang
Masalah, Permasalahan yang terdiri dari Identifikasi Masalah,
Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Review Kajian Terdahulu, Metode dan
Teknik Penelitian serta Sistematika Penulisan.
15
Bab II Ketentuan umum salat jum´at. Adapun fokus kajianya adalah
Pengertian salat secara umum, Pengertian Salat Jumʻat, Hukum
melaksanakan Salat Jumʻat, Syarat-syarat Salat Jumʻat, Syarat-
syarat tempat melaksanakan Salat Jumʻat, Tempat yang dilarang
melaksanakan Salat Jumʻat.
Bab III MUI dan Penetapan Fatwa. Bab ini tentang fatwa yang
mencakup kepada pengertian fatwa, kedudukan fatwa, Peranan
MUI dalam mentapkan fatwa dan Metode MUI dalam
menetapkan fatwa.
Bab IV Fatwa MUI tentang pelaksanaan salat jumʻat selain di masjid.
Bab ini terdiri dari Pandangan ulama fikih tentang pelaksanaan
salat Jumʻat selain dimasjid, fatwa MUI tentang pelaksanaan
salat jumʻat selai di masjid dan faktor yang melatarbelakangi
MUI mengeluarkan fatwa tentang pelaksananaan Shalat Jum´at
selain di masjid.
Bab V Penutup yang terdiri dari dua sub bab, yang pertama
Kesimpulan dan yang kedua saran.
16
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG SALAT JUMʻAT
A. Pengertian Salat
Dalam rukun islam Salat merupakan rukun yang kedua, yang
dimana hakikat salat ialah menampakan hajat dan keperluan kita kepada
Allah yang kita sembah dengan perkataan atau dengan pekerjaan.1
Penyembahan Allah berupa salat merupakan kewajiban bagi setiap orang
islam baik laki-laki maupun perempuan. Makna salat secara umum
menurut Bahasa berarti doʻa atau meminta kebaikan, sebagaimana firman
Allah SWT.
...
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar
lagi Maha mengetahu” (QS. At-Taubah:103)
Sedangkan pengertian salat menurut istilah dapat dilihat dari
definisi berikut: “Salat adalah suatu ibadah yang terdiri dari perkataan dan
perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan
memberi salam. 3
Salat merupakan sarana penghubung seorang hamba kepada
penciptanya, Salat dapat menjadikan media pertolongan dalam
1 Abdul Manan, Jangan Asal Shalat (Bandung: Pustaka Hidayah, 2011) Cet
ke IV, hal. 31-34. 2 QS.At-Taubah:103
3 Al- Sayyid Sabiq, Fiqh As- Sunnah (Mesir: Dar Fath Li al-Ἁlami al-Ἁrabi‟,
1971M), BAB Shalat. hal. 78.
17
menyingkirkan segala bentuk kesulitan yang ditemui manusia dalam
perjalanan hidupnya. 4
Ibadah salat mulai diwajibkan (difhardukan) pada malam isra’
yaitu lima tahun sebelum hijrah menurut pendapat masyhur dikalangan
ahli sejarah. Pendapat ini berdasarkan hadits riwayat sahabat Anas
radiallahu’ ʻanhu dia menyatakan, “Salat difardhukan kepada Nabi
Muhammad Salallahu’ ʻalaihi wa sallam pada malam isra’ dengan lima
puluh waktu, kemudian dikurangi menjadi lima waktu “Wahai
Muhammad, sesungguhnya keputusan-Ku tidak berubah; sesungguhnya
lima waktu ini bagimu sama pahalanya dengan lima puluh waktu salat.” 5
Dalil Sunnah yang diriwayatkan oleh Bukhori antara lain sebagai berikut:
ث ناعب يداهلل بن موسى قال أخب رناحن ظلةبن أيب سفيان عن عكرمة بن حدالنيب صلى اهلل عليو وسلم أن عنهما قال رضي اهللعن ابن عمر خالد أن ال إلو إالاهلل، وأن حممدارسوالهلل اإلسلم على خس شهادة بن قال
إليو سبيل. ع من استطا رمضان وصوم ج ال و وإيتاء الزكاة الصلة م إقاو 6البخري( ها)رو
Artinya: “telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Musa dia berkata,
telah mengabarkan kepada kami Hanzhalah bin Abu Sufyan
dari Ikrimah bin Khalid dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah
Shalallahu’ alaihi wasallam bersabda: Islam dibangun diatas
lima (landasan); persaksian tidak ada selain Allah dan
4 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas.
Penerjemah Kamran As‟ at Irsyady dan Ahsan Taqwim. Al-Wasiiytu fii Al-Fiqh Al-
Ibadah. (Jakarta: Amzah,2010), hal.145. 5Dalam Kitab Fiqh Ibadah diriwayatkan oleh Imam Ahmad , an-Nasa‟I dan
dishahihkan oleh Tirmidzi. Dalam shahih al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa
“ Allah mewajibkan kepada umatku pada malam isra‟, supaya melakukan salat lima puluh
waktu. Aku bolak balik menghadap kepad-Nya untuk memohon keringanan, sehingga Dia
menjadikan kewajiban shalat itu lima waktu dalam sehari semalam.” 6 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari. (Kairo: Al-Maktab as-Syuruqi Dauliyyah),
Jilid I, hal.18
18
sesugguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, haji dan puasa ramadhan” (HR. Bukhari)
Sedangkan argumentasi ijma’ ialah bahwa kesepakatan umat
semenjak dulu sampai sekarang menyatakan kewajiban salat lima waktu
sehari semalam. Tidak ada satupun bantahan dari kaum muslimin terhadap
kewajiban ini. Salat-salat yang lain pun tidak ada yang diwajibkan kecuali
salat yang dinazarkan. Jadi salat merupakan salah satu rukun islam yang
menurut kesepakatan ulama bagi orang yang mengingkari kewajibanya
dipandang kafir atau murtad. 7
Secara bahasa Masjid (arab: مسجد) yang diambil dari kata
sajada- yasjidu (arab:سجد) yang artinya bersujud. Disebut masjid, karena
menjadi tempat untuk bersujud, kemudian makna ini meluas sehingga
masjid diartikan sebagai tempat berkumpulnya kaum muslimin untuk
melaksanakan salat. Az-Zarkasyi mengatakan,8
ولما كان السجود أشرف أفعال الصلة، لقرب العبد من ربو، اشتق اسم املكان منو فقيل: مسجد، ومل يقولوا: مركع
“Mengingat sujud adalah gerakan yang paling mulia dalam
shalat, karena kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya
(ketika sujud), maka nama tempat shalat diturunkan dari kata
ini, sehingga orang menyebutnya: “Masjid”, dan mereka tidak
menyebutnya: “Marka” (tempat rukuk).
Masyarakat muslim memahami bahwa kata msjid hanya khusus
untuk tempat yang disiapkan untuk shalat lima waktu. Sehingga tanah
lapang tenpat berkumpul untuk salat Ied ata semacamnya tidak dihukumi
sebagai masjid.
7 Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah.(Jakarta: Gaya Media Pratama,
2002), hal. 88. 8
https://konsultasisyariah.com/21540-perbedaan-masjid-dan-mushola.html
diakses pada Tanggal 04 April 2018 pada Pukul 20:00 WIB
19
Di dalam ilmu sharaf kata masjid dan mushola berbeda wazan
namun sama-sama menunjukan isim makan (menunjukan kata tempat)
yang berarti masjid (tempat sujud) dan mushola (tempat salat). di dalam
KBBI (kamus besar Bahasa Indonesia) kata Mushola ber artikan: tempat
salat, langgar atau surau. Definisi surau atau langgar diartikan oleh
masyarakat Indonesia yakni definisi sesuai dengan ʻurf yang ada di
masyarakat Indonesia yakni masjid kecil, tempat mengaji,tempat salat
tetapi tidak dilakukan salat jumʻat di dalamya. Di zaman Rasulullah
Salallahu’ ʻalaihi wa sallam yang dimanakan mushola adalah salat yang
dilaksanakan di tanah lapang yang dijadikan tempat untuk salat
ied.Bahwasanya Rasulullah Salallahu’ ʻalaihi wa sallam pada hari raya
idul fitri dan idul adha keluar keluar ke mushola untuk melaksnakan salat
ied di tempat tersebut.
Faedah keagamaan dari salat adalah membangun hubungan yang
baik antar manusia dengan Tuhannya. Hal ini disebabkan dengan
menjalankan salat maka kelezatan munajat kepada Pencipta akan terasa
dan melakukan salat juga seseorang dapat memperoleh keamanan,
kedamaian dan keselamatan dari-Nya. 9 Salat juga akan mengantarkan
seseorang menuju kesuksesan, kemenangan, serta pengampunan dari
segala kesalahan. Allah Subhanahu Wa Taʻala berfirman dalam surat Al-
Mu‟minuun
Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu)
orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya”(QS. Al-
Mu‟minuun: 1-2)
9 Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani,dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2010), Jilid I, hal.544. 10
QS. Al-Mu‟minuun:1-2
20
B. Pengertian Salat Jumʻat
Salat jumʻat adalah salat dua rakaʻat yang dikerjakan secara
berjamaʻah pada waktu dzuhur di hari jumʻat dengan didahului dua
khutbah yang dilaksanakan di masjid ataupun tempat lain yang disepakati
oleh jamaʻah. 11
Diberi nama dengan jumʻat karena berkumpulnya
kebaikan pada hari ini. Atau, karena penciptaan nabi Adam ʻalaihi sallam ,
terhimpun di hari ini atau karena berkumpulnya Adam dan Hawwa di
bumi. Pada hari ini dan adapula nama lain untuk hari jumʻat pada zaman
jahiliyah dulu adalah hari ʻArubah, yaitu jelas dikatakan „hari ar-Rahmah’.
12
Salat Jumʻat merupakan satu dari beberapa tuntunan syariat
yang dikhususkan untuk umat Nabi Muhammad Salallahu’ ʻalaihi
wasallam. Tidak pernah ada dalam sejarah nabi sebelum Rasulullah
Salallahu’ ʻalaihi wasallam tuntutan melakukan salat jumʻat. Kewajiban
jumʻat dimulai saat Rasulullah masih berada di Mekkah, tepatnya pada
waktu malam Isra‟ Mi‟raj. Namun belum pernah dilaksanakan di sana
karena belum terpenuhinya standar jumlah orang yang merupakan salah
satu syarat wajibnya jumʻat. Di sisi lain pada waktu itu dakwah Nabi
Salallahu’ ʻalaihi wasallam masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi
sehingga belum memungkinkan untuk dilakukan. Ibnu Hajar Al-„Asqalani
menegaskan bahwa beberapa hadits shahih yang menunjukan salat jumʻat
di fardhukan di Madinah. Pendapat sang maha guru para ulama‟ hadits ini
tidak bertentangan dengan keterangan di atas. Pendapatnya diarahkan
bahwa kewajiban Jumʻat baru tercapai secara sempurna di Madinah karena
telah terpenuhinya syarat-syarat kewajiban menjalankanya tidak menutup
kemungkinan sebelum di Madinah salat jumʻat sudah diwajibkan namun
11
Zurinal dan Aminuddin, Fiqih Ibadah. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), hal. 94. 12
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani,dkk. Jilid II, hal. 374.
21
masih terdapat udzur-udzur yang menggugurkan kewajibanya. 13
Salat
jumʻat sudah diwajibkan ketika Nabi masih berada di Makkah, sebelum
terjadi hijrah. Orang pertama yang melakukan salat jumʻat adalah Mushʻab
bin „Umair.14
Masjid Jumʻat ( مسجد الجمعة Masjid Al-Jum'ah), adalah sebuah
masjid yang terletak di Madinah, Arab Saudi yang berdiri di tempat yang
dipercayai sebagai lokasi Nabi Muhammad Salallahu’ ʻalaihi wasallam
bersama para sahabatnya. Dalam perjalanan hijrah Nabi dari Mekkah ke
Madinah, Pada hari senin 12 Rabiul Awwal Tahun 1 Hijriah atau 623
Masehi Nabi Muhammad Salallahu’ ʻalaihi wasallam bersama Abu Bakar
singgah di Quba selama 4 hari. Di Quba Nabi dan para sahabatnya
mendirikan Masjid Quba. Kemudian pada hari jumʻat paginya , 16 Rabiul
Awwal Rasulullah bersama sahabatnya yaitu Abu Bakar melanjutkan
perjalanan menuju Yastrib, yakni Madinah sekarang. Rasulullah beserta
rombonganya berhenti di wilayah Wadi Ranuna‟. Namun, karena
waktunya sudah menjelang salat zuhur berarti sudah tiba waktunya untuk
melaksanakan salat jumʻat. Bersama para sahabat dan kaum muslimin
yang ada pada saat itu Rasulullah Salallahu’ ʻalaihi wasallam mengajak
mereka untuk mendirikan salat jumʻat. Salat jumʻat itu dilaksanakan
Rasulullah di sebuah Wadi (lembah) yang terletak di kampung Bani
Sulaim. Letaknya tidak terlalu jauh dari Masjid Quba. Di lokasi inilah di
bangun Masjid Jumʻat oleh para sahabat sebagai saksi sejarah salat jumʻat
pertama Rasulullah Salallahu’ ʻalaihi wasallam setelah hijrah ke Yastrib.15
Beberapa hadits yang menyatakan bahwa hari jumʻat merupakan
hari yang terbaik di antara hari-hari yang lain dalam seminggu. Dari Abu
13
Pensyariatan Shalat Jum‟at, http://www.nu.or.id/post/read/82412/sejarah-
pensyariatan-dan-dalil-kewajiban-shalat-jumat diakses pada Pukul 11:16WIB Pada
tanggal 01/04/2018. 14
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, hal. 376
15 Sejarah Salat Jum‟at diakses pada Tanggal 01/04/2018 Pada pukul 14:00
WIB http://nabimuhammad.info/masjid-jumat/
22
Hurairah radiallahu’ anhu., Rasulullah Salallahuʻalaihi wa sallam
bersabda:
ري وم طلعت فيو الشمس ي وماجلمعة السلم،وفيو و : فيو خلق آدم علي خي )رواه يف ي وماجلمعة عة إال أدخل اجلنة، وفيو أخرج منها، والت قوم السا
16مسلم، ابودود، النساء و الرتميذ(Artinya: “Sebaik-baik hari ketika matahari terbit adalah hari jum’at.
Pada hari itu, Adam diciptakan dan pada hari itu dia
dimasukkan ke dalam surga serta pada hari itu pula dia
dikeluarkan dari surga. Hari kiamat pin tidak akan terjadi
melainka pada hari jumʻat.” (HR. Muslim, Abu Daud, Nasa‟i,
dan Tirmidzi)
Hukum melaksanakan salat jumʻat adalah fardhu ʻain bagi tiap-
tiap orang muslim mukallaf, laki-laki, baligh, berakal dan sehat. Allah
mensyariatkan bagi umat islam dengan jama‟ah untuk menguatkan
hubungan dan menjalin keakraban diatara umat manusia. Hari jumʻat suatu
hari yang spesial bagi orang islam, sebab salat yang dilaksanakan memiliki
nilai mulia disisi Allah Subhanahu wa Taʻala.
C. Hukum Melaksanakan Salat Jumʻat
Kewajiban salat jumʻat bagi setiap individu sudah disepakati
oleh masyoritas ulama, karena salat jumʻat sebagai pengganti salat dzuhur.
17 Salat jumʻat hukumnya fardhu ʻain (wajib)
18 dan dianggap kafir orang
yang mengingkarinya karena telah ditetapkan dengan dalil-dalil yang jelas.
Namun ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa salat jumʻat itu
16
HR. Muslim, kitab al-Jumu’ah, bab Fadhl al-Jumu’ah. (18) Jilid II, hal.,
585. Abu Daud, dalam sebuah hadits yang panjang kitab ash-Shalah, bab Fadhl Yawm al-
Jumu’ah wa Laylah al-Jumu’ah (1046), Jilid I, hal., 634-645. Tirmidzi dalam Abwab ash-
Shalah, bab Ma Jaa fi Fadhl al-Jumu’ah (488), Jilid II, hal., 359. Nasai, kitab al-jumu‟ah,
bab Dzikr Fadhl Yawm al-Jumu’ah, (1373), jilid III, hal: 89 dan 90. Lihat Al Sayyid
Sabiq, Penerjemah Khairul Amru Harahap, Mashrukin ,Fiqh Sunnah.( Jakarta: Cakrawala
Publishing) Jilid 2, hal 1. 17
Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihaya Wal Muqtashid, (Darul:al-
Maʻrifat, 595H) Jilid I, hal 154. 18
Syamsuddin Muhammad bin Khotib as-Sarbiniyy, Mughni al-Muhtaaj,
(Kairo; Maktabah Darbul al-Atrἁk) jilid I, hal 89.
23
termasuk fardhu kifayah. Bahkan ada pendapat kontroversial yang dikutip
dari Imam Malik, bahwa hukum salat jumʻat itu sunnah. 19
Sebab
perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini ialah, karena salat
jumʻat identik dengan salat ied. Sementara dalil-dalil yang mewajibkanya
tersendiri, sebagaimana Allah Subhanahu Wa Taʻala berfirman.
20
Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui”. (QS. Al-Jumuʻah:9)
Dalam ayat ini diperintahkan bersegera dan perintahnya
menuntut keharusan. Sementara dalil-dalil dari sunnah, diantaranya sabda
Rasulullah Salallahu ʻalaihi wa sallam.
يقول وسلم وعا النيب صلي اهلل عليوعن ايب ىريرة وابن عمر أن هما س أوليختمن اهلل جلمعات ي أق وام عن ودعهم لينته ،على اعواد منب
21)رواه مسلم(. على ق لوبم ث ليكونن من الغافلي
Artinya: “Dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar bahwa mereka sungguh-
sungguh mendengarkan Nabi Saw bersabda dengan
berpegangan pada tiang-tiang mimbarnya: Demi Allah,
berhentilah para lelaki yang sering meninggalkan salat jumʻat
atau Allah akan mengunci hati mereka dan menjadikanya
orang-orang yang lalai”. (HR Muslim)
Kewajiban untuk bersegera melaksanakan salat jumʻat menurut
mayoritas ulama dimulai ketika adzan berkumandang dihadapan khatib
jumʻat. Sementara menurut mazhab Hanafi, dimulai dari adzan pertama
19
Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihaya Wal Muqtashid, Penerjemah
Abdul Rasyad Shiddiq. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Jakarta: Akbar
Media, 2012) Jilid I, hal 215. 20
QS. Al-Jumuʻah:9 21
Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,
T.th) Juz 3 ,hal.10
24
ketika matahari tergelincir, kecuali jika rumahnya jauh dari masjid maka
diharuskan untuknya lebih awal pergi ke masjid. 22
berangkat lebih awal
untuk melaksanakan salat jumʻat memiliki beberapa derajat pahala,
Rasulullah Salallahu ʻalaihi wa sallam bersabda:
حدثنا عبد اهلل بن يوسف قال :أخبنا مالك عن سي موىل أيب بكر : ان سمان عن أيب ىريرة رضي اهلل عنوعن أيب صاحل المحن بن عبد الر
ث اغتسل ي وم اجلمعة غسل اجلنابة، ن م رسول اهلل عليو وسلم قال: ا ا ق رب بدنة ومن راح ف الساعة الثانية فكأن ق رب ب قرة راح فكأن
اومن را ق رب كبشا أق رن ومن راح ف الساعة ح ف الساعة الثالثة فكأنا ا الرابعة فكأن ق رب ق رب دجاجة ومن راح ف الساعة اخلامسة فكأن
عة اة يستمعون الذ كر)رواه اجلمخرج اإلمام حضرة المل ئك ب يضة. فإذا 23(إال ابن ماجو
Artinya: “Barang siapa yang mandi di pagi hari jumʻat, seperti mandi
besar, lalu pergi untuk menunaikan salat jumʻat seakan-akan ia
berkurban dengan seekor unta yang gemuk. Siapa yang
berangkat pada gelombang kedua, ia seperti berkurban dengan
seekor sapi. Siapa yang berangkat pada gelombang ketiga, ia
seperti berkurban dengan seekor domba kibas jantan. Siapa
yang berangkat pad gelombang keempat, ia seperti berkurban
dengan seekor ayam, serta siapa yang berangkat pada
gelombang kelima, ia seperti berkurban dengan sebutir telur.
Jika imam telah keluar (untuk siap berkhotbah) maka para
malaikat akan datang dan mendengarkan dzikir”. (HR. Jama‟ah
kecuali Ibnu Majah)
22
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, hal.377. 23
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardzibah, Shahih
al-Bukhari , (Kairo: Daar el-Hadits, 2010) Jilid II, hal. 3
25
اهلل عليو وسلم قال لقوم ي تخلفون عن عن ابن مسعود أن النيب صلى مر رجل يصل ي بالناس ث أحر ق على رجل آلقد همت أن اجلمعة:,,
24 )رواه امحد و مسلم(.ي تخلفون عن اجلمعة ب يوت هم
Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi Saw bersabda kepada suatu
kaum yang meninggalkan salat jumʻat: Aku berniat menyuruh
para lelaki untuk salat berjama’ah, lalu aku aka bakar rumah-
rumah orang yang meninggalkan salat jumʻat”.(HR. Ahmad dan
Muslim)
Tetapi harus diketahui bahwa untuk melakukan setiap kewajiban
melaksanakan salat jumʻat memerlukan keberadaan syarat-syaratnya, yang
kalau syarat syarat dalam melakssanakan salat jumʻat tersebut belum
terpenuhi maka syarat-syaratnya maka tidak sah hukumnya.25
D. Syarat-syarat Salat Jumʻat
Syarat-syarat salat jumʻat terbagi menjadi dua yakni syarat
wajib dan syarat sah nya salat jumʻat sebagai berikut:
1. Hal-hal yang dijadikan syarat wajib salat jumʻat
Salat jumʻat seperti halnya salat lima waktu, sama dalam rukun,
syarat dan adab-adabnya. Namun, salat jumʻat lebih dikhususkan pada
syarat-syarat yang mewajibkanya syarat sahnya, hal-hal yang
mengharuskanya dan adab-adabnya.
Persayaratan salat jumʻat lainya diwajibkan kepada semua orang
yang sudah mampu melaksanakan perintah agama (baligh dan berakal),
merdeka, laki-laki, menetap dan bukan musafir , tidak sedang sakit atau
halangan lainya dan mendengar azan, serta tidak diwajibkan kepada bayi,
orang gila, dan lain-lainya seperti budak, wanita, anak-anak,26
musafir,
orang sakit, orang yang sedang ketakutan dan orang buta meskipun ada
24
Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi,
Shahih Muslim (Kairo: Daar el-Hadits, 2010) Jilid II, hal. 123 25
Husain Hidayatullah, Salat Dalam Mazhab Ahlulbait. (Jakarta:
Lentera,2007) Cet ke II.,hal. 226. 26
Al- Sayyid Sabiq, Fiqh As- Sunnah (Mesir: Dar Fath Li al-Ἁlami al-Ἁrabi‟,
1971M), BAB Salat jumʻat, hal. 171.
26
yang menuntun ini menurut pendapat Abu Hanifah. 27
Orang buta wajib
melakukan salat jumʻat jika ada yang menuntunya menurut pendapat
mazhab maliki, syafi‟i sedangkan menurut Hambali tetap wajib meskipun
tidak ada orang yang menuntunya.
Semua orang yang dalam keadaan berhalangan yang diberi
keringanan oleh syariat islam untuk meninggalkan salat berjamaah, Bagi
orang yang diwajibkan salat jumʻat atas mereka diharuskan dalam keadaan
sehat, merasa aman, merdeka, dapat melihat, mampu berjalan, tidak
sedang hujan lebat,berlumpur, hujan salju dan sebagainya. Tidak
diwajibkan salat jumʻat bagi orang yang sakit karena ia tidak mampu
untuk melaksanakanya. Tidak diwajibkan pula bagi perawat yang menjaga
orang sakit karena jika ia pergi dapat menyebabkan pasienya kabur
ataupun meninggal. 28
Jika mereka yang disebutkan diatas datang dan salat berjamaah
jumʻat dengan orang-orang mereka mendapat pahala atas waktu yang
diwajibkanya, sebab mereka mengahadapi kesulitan. Pahala tidak
diwajibkan salat jumʻat atas mereka pada waktu itu maka salat jumʻat nya
juga tetap sah menurut kesepakatan ulama. 29
Sebab, jika seseorang yang tidak punya alasan jika melakukan
salat jumʻat akan mendapat pahala, apalagi bila seseorang yang memiliki
alasan untuk meninggalkanya tetapi ia tetap melakukanya maka ia lebih
berhak mendapatkanya. Disyaratkan untuk melaksanakan salat jumʻat
seperti syarat dalam bersuci dan salat lainya, yaitu ada tiga menurut
mayoritas jumhur ulama; Islam, Baligh dan Berakal. Namun menurut
imam malik ada sepuluh; Islam. Baligh, Berakal, Tidak dalam keadaan
haidh atau nifas, Masuknya waktu salat, Tidak tidur, Tidak lupa, tidak
membencinya, Adanya air untuk dataran tinggi dan mampu melakukanya
27
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, jilid II (Beirut: Dar
al-Fikri, 1984M), BAB Salat jumʻat, hal.1285. 28
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu hal. 384 29
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani,dkk. Jilid II, hal. 380
27
sesuai kemampuan.30
Kemudian, ditambah empat syarat lagi yakni 31
: laki-
laki, merdeka, tinggal di tempat dilaksanakanya salat jum‟at. Menurut
mazhab Hanafi diisyaratkan bagi seseorang itu menetap di suatu kota atau
di daerah yang luas. Diwajibkan juga salat jumʻat bagi yang berada di
halaman sebuah kota atau sisi wilayahnya, yaitu bila luasnya mencapai
satu Farsakh (5.544m).32
Sementara orang yang berada diluar kota, diwajibkan
melakukan salat jumʻat bila mendengar adzan yang suaranya jelas hal ini
merupakan sabda Nabi Muhammad Salallahu’ ʻalaihi wa sallam. Karena
itu, tidak diwajibkan salat jumʻat bagi seseorang yang bermukim di tepi
kota, dimana dipisah antara dirinya dan kota tersebut oleh jarak seperti
pertanian dan sebagainya, meskipun ia mendengar adzan. Adapun ukuran
jauhnya adalah sejauh lemparan anak panah, yaitu jarak yang bisa dicapai
anak panah (sekitar empat ratus hasta)33
atau satu mil.
Salat jumʻat diwajibkan bagi siapapun yang tinggal disebuah
kota atau wilayah. Salat jumʻat juga diwajibkan kepada musafir yang
berniat untuk menetap selama lima belas hari dan menjadi penduduk tetap
bukanlah syarat wajib melaksanakan salat jumʻat. Menurut mazhab Maliki,
salat jumʻat diwajibkan kepada musafir yang niat untuk menetap selama
empat hari penuh atau lebih, meskipun tidak jadi melakukanya.
Diwajibkan pula bagi orang yang menetap di wilayah yang menjadi tempat
pelaksanaan salat jumʻat. Diwajibkan pula bagi orang yang menetap dari
wilayah tempat pelaksanaan dengan jarak satu Farsakh dan tidak boleh
lebih dari itu.
30
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, hal.1285. 31
Ad-Dur al-Mukhtaar, jilid I, hal., 762-764. Al-Badaa‟i, jilid I, hal.,256.
Fathul Qadiir, jilid I, hal., 714. Bidayah al-Mujtahid, jilid I, hal., 298. Mughni Al-Muhtaj,
jilid I hal.,276 dan al-Mughniiy, jilid II, hal., 327-332. Lihat Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh
al-Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,dkk. (Jakarta: Gema Insani,
2010), Jilid II, hal. 381. 32
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, hal.1286. 33
Penjelasan: Dziraa‟ adalah ukuran panjang zaman dulu, satu Dziraa‟
panjangnya sekitar 18 inch.
28
Sedangkan menurut mazhab Syafi‟i salat jumʻat diwajibkan bagi
yang bermukim di suatu daerah, baik itu dikota maupun didesa, bisa
mendengar adzan maupun tidak dan diwajibkan juga salat jumʻat bagi
orang yang berada diluar daerah tersebut jika mendengar adzan, sesuai
sabda Rasulullah Salallahu’ ʻalaihi wa sallam.
قبيصة حدثنا سفيان عن حممد حدثنا حممد بن حيي بن فارس حدثنا ع الن داء )رواه ابو بن 34(ود دارقطنداجلمعة على من س
Artinya: “Salat jumʻat diwajibkan bagi setiap muslim yang mendengar
adzan.” (HR. Abu Daud dan Daruquthni)
Maka tidak diwajibkan salat jumʻat bagi orang-orang yang
berkerja diladang, kecuali jika mereka mendengar adzan35
Terkadang jumlah sebagian kaum muslimin di wilayah tertentu
hanya sedikit dan mereka pun tidak bisa bergabung dengan kaum
muslimin lainya untuk melaksanakan salat jumʻat karena jarak yang sangat
jauh sedangkan alat transportasi tidak memadai atau karena tugas dan
pekerjaan. Para ulama bebrbeda pendapat dalam menentukan jumlah
minimal yang harus dipenuhi dalam salat jumʻat, diantara mereka adalah
sebagai berikut: pendapat ini dianut oleh Mazhab Syafi‟I dan Mazhab
Hambali yaitu empat puluh orang termasuk diantaranya musafir. 36
Salat
Jumʻat semua ulama sepakat bahwa salat jumʻat harus dilakukan secara
berjamaah. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang batasan minimal yang
disebut jama’ah kata sebagian mereka, jamaah minimal seorang imam dan
seorang makmum inilah pendapat ath-Thabari. 37
Ada yang mengatakan minimal tiga puluh orang makmum.
Tetapi ada juga yang tidak diberikan jumlah tertentu. Yang menimbulkan
34
Sulaiman bin al Asy‟ats bin Syaddad bin amrin bin amir, Sunan Abi Daud
(Kairo: Daar el-Hadits, 2010) jilid I, hal. 278 35
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani,dkk. Jilid II, hal. 382 36
Dr. fahad Salim Bahamam, Fikih Modern Praktis 101 Panduan Hidup
Muslim Sehari-hari, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama ), hal 84. 37
Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihaya Wal Muqtashid, Penerjemah
Abdul Rasyad Shiddiq. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Jakarta: Akbar
Media, 2012) Jilid I, hal 219
29
perselisihan pendapat di antara ulama-ulama tersebut disini adalah
perselisihan mereka dalam menentukan batasan minimal kata jamaah tiga,
empat atau hanya dua orang saja. Selain itu apakah hanya dua orang saja.
Ulama-ulama yang menganggap batas minimal jamaah adalah tiga orang,
dan tidak memasukkan imam, mereka mengatakan bahwa jamaah cukup
dengan tiga orang makmum dan seorang imam.38
Mazhab Maliki memandang jumlah minimal adalah 12 orang
dalil mereka yakni dari Jabir radiayallahu’ anhu ia berkata: “ Ketika kami
sedang melaksanakan salat (jumʻat) bersama Rasulullah Salallahu’ ʻalaihi
wa sallam tiba-tibda datanglah satu kafilah dagang dengan membawa
makanan sehingga sebagian yang hadir pada saat itu meninggalkan salat
dan yang tersisa hanya 12 orang. 39
2. Syarat-syarat Sah Salat Jumʻat
Untuk sahnya salat jumʻat di syaratkan adanya penambahan dari
syarat-syarat salat fardhu yang sebelumnya berjumlah sebelas, yaitu ada
tujuh syarat tambahan, menurut mazhab Hanafi dan Syafi‟i. namun, hanya
adala lima syarat tambahan, menurut mazhab Maliki dan empat syarat
menurut mazhab Hambali.
a. Waktu Zhuhur
Salat jumʻat hanya sah bila dilakukan pada waktu ini dan tidak
sah dilakukan setelahnya. Salat jumʻat tidak bisa diqadha meskipun
waktunya sempit, serta diharamkan oleh para ulama menggantinya dengan
salat dzuhur. Tidak sah, menurut mayoritas ulama selain mazhab Hambali,
jika dilaksanakan sebelum waktunya atau sebelum tergelincirnya matahari.
Anas radiallahu’ berkata
38
Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihaya Wal Muqtashid hal. 220 39
Dr. fahad Salim Bahamam, Fikih Modern Praktis 101 Panduan Hidup
Muslim Sehari-hari, hal. 84
30
يصلي اجلمعة حي متيل ملسو هيلع هللا ىلصقال أنس رضي اهلل عنو: كان رسول اهلل40دوالبخاري و أبوداودوالرتمذي(الشمس )رواه امح
Artinya: “Rasulullah salallahu’ ʻalaihi wa sallam biasa melakukan salat
jumʻat ketika matahari mulai condong”. (HR. Ahmad, Bukhari,
Abu Daud dan at-Tirmidzi)
ثنا ف ليح بن سليمان، عن عثمان حدثنا سريج بن الن عمان قال: حد، عن أنس بن مالك رضي اهلل عنو : بن عبد الرمحن بن عثمان التيمي
41 اجلمعة حي متيل الشمس )رواه البخاري(لي كان يص ملسو هيلع هللا ىلصأن النيب Artinya: “Suraij bin Nu’man menyampaikan kepada kami dari Fulaih
bin Sulaiman dari Utsman bin Abdurrahman bin Utsman at-
Taimi dari Anas bin Malim bahwa Nabi Salallahu’ ʻalaihi wa
sallam salat jumʻat ketika matahari mulai condong”. (HR. Al-
Bukhari)
Karena itulah, para Khulafa Rasyidin dan para sahabat
melaksanakan salat jumʻat setelah tergelincirnya matahari, karena salat
jumʻat dan zhuhur adalah dua salat fardhu yang ada dalam waktu yang
bersamaan maka waktunyapun tidak berbeda, seperti halnya salat di
tempat dan salat dalam perjalanan. 42
Menurut mazhab Hambali, boleh melakukan salat jumʻat
sebelum tergelincirnya matahari, sedang awal waktunya ialah boleh
dilakukanya salat Ied, sesuai dengan perkataan Abdullah bin Saidan as-
Sullamy radialallahu’ anhu “Aku pernah mengikuti salat jumʻat bersama
Abu Bakar radialallahu’ anhu pada waktu itu, salat dan khotbahnya
silakukan sebelum masuk tengah hari. Salat jumʻat boleh dilaksanakan
sebelum tengah hari atau karena sebab tertentu, namun wajib dilakukan
ketika matahari namun wajib dilakukan ketika matahari tergelincir. Bila
40
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardzibah, Shahih
al-Bukhari , (Kairo: Daar el-Hadits, 2010) Jilid I, hal. 7 41
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari , Shahih Al-Bukhari –
Kutubu sittah, Penerjemah Masyhar dan Suhadi Muhammad, Ensiklopedia Hadits
(Jakarta: Almahira, 2011, Cet. Pertama) hal 198. 42
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, hal. 1292
31
dilakukan setelah tergelincirnya maka lebih utama, seperti yang
diriwayatkan oleh Salamah bin Akwa
)راؤه ت الشمس ث ن رجع ن تبع الفيء إذازال ملسو هيلع هللا ىلصاهللكنانم ع مع رسول 43البخاري ومسلم(
Artinya: “Dari Salamah bin Al Akwa’, ia menuturkan, “Kami salat
jumʻat bersama Rasulullah Salallahu’ alaihi wa sallam ketika
matahari telah tergelincir, kemudian kami pulang dengan
mengikuti bayangan”.(HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak sah salat jumʻat jika dikerjakan sebelum atau setelah
berakhir waktu jumʻat, seperti halnya salat fardhu yang lain dan waktu
salat jumʻat adalah wakyu salat dzuhur.44
b. Perkampungan
Salat jumʻat dilaksanakan di masjid besar atau mushola kota
menurut mazhab Hanafi yaitu semua tempat yang memiliki gubernur dan
hakim yang melaksanakan hukum dan menerapkan hukuman, Pendapat ini
yang termashyur dalam mazhab hanafi. Akan tetapi pendapat yang diikuti
oleh sebagian besar pegikut hanafi bahwa tidak di wajibkan salat jumʻat
kepada penduduk dusun yang tidak termasuk dalam satu kota tidak sah
melaksanakan salat jumʻat disana. Adapun dalil yang diriwayatkan oleh
Abdurrazaq dari Ali bin Abi Thalib dengan sanad mauquf, “Tidak sah salat
jumʻat dan salat Id, kecuali dilaksanakan di masjid kota.”45
Menurut Mazhab Maliki syarat sah dan wajib yaitu masjid
tersebut harus berada di tengah-tengah penduduk, yaitu sebuah daerah atau
kampung. Sementara menurut mazhab syafi‟i hendaknya salat jumʻat
didirikan di batas sebuah daerah atau kampung, jika tidak bisa
dilaksanakan dimasjid jangan pula melakssanakan salat jumʻat ditengah
43
Muslim bin al Hajjaj bin muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi,
Shahih Muslim, (Kairo: Daar el-Hadits, 2010) Jilid III, hal. 9 44
Abdullah Bahammam, Fiqih Ibadah Bergambar, (Jakarta: Mutiara
Publishing, 2014) Cet. Pertama, hal. 132 45
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani,hal. 388
32
para penghuni kemah, meskipun mereka menetap dipadang pasir tersebut
selamanya, karena mereka seperti dalam keadaan musafir yang hendak
bersiap-siap melakukan perjalanan.
Sedangkan menurut Mazhab Hambali mensyaratkan, hendaknya
orang-orang yang melakukan salat jumʻat adalah orang-orang yang
diwajibkan untuk melaksanakanya. Mereka berjumlah empat puluh orang
atau lebih dari penghuni tetap dikampung.
Mendirikan salat jumʻat menurut mayoritas ulama harus
dilaksanakan di suatu kota atau sebuah kampung. Kampung tersebut luas
daerahnya, namun ada perbedaan pendapat mengenai luas kampung untuk
mendirikan salat jumʻat menurut mayoritas mazhab hanafi maka tidak
diwajibkan salat jumʻat bagi penduduk yang desanya kecil, dalam hal ini
mazhab hanafi mengharuskan pelaksanaan salat jumʻat disebuah kota,
sedangkan menurut mazhab-mazhab yang lain tidak disyaratkan harus
dilakukan dikota, karena sebuah kampung atau sebuah daerah dianggap
sama.46
c. Jamaah
Jumlah jamaah salat jumʻat paling sedikit menurut imam Abu
Hanifah dan Muhammad adalah tiga orang selain imam meskipun mereka
sedang dalam perjalanan atau sakit.47
Sedangkan kata jumʻat sendiri berasal dari kata jamaah, jika
jamaah meninggalkan imam atau mereka pergi setelah takbiratul ihram
sebelum sujud maka salat jumʻatnya batal. Menurut mazhab Maliki,
diisyaratkan adanya dua belas orang laki-laki untuk salat dan khotbah.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir radiallahu ʻanhu bahwa Nabi
Muhammad Salallahu’ ʻalaihi wa sallam berkhotbah sambil berdiri di hari
jumʻat, lalu segerombolan unta yang membawa barang dagangan dari
negeri syam datang lantas mengerumuni gerombolan unta tersebut
46
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani,hal.389 47
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, hal. 1295
33
sehingga jamaah salat yang tersisa tinggal dua belas orang laki-laki saja.
Sesuai dengan firman Allah subhanahu’ wa ta’ala
48
Artinya:“Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan,mereka
bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu
sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi
Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan
Allah Sebaik-baik pemberi rezeki. (QS. Al-Jumu‟ah: 11)
Mazhab Syafi‟i dan Hambali berpendapat, salat jumʻat bisa
dilaksanakan dengan kehadiran empat puluh orang lebih jamaah termasuk
imam dan penduduk kampung yang diwajibkan atas merek aslat jumʻat,
merdeka, laki-laki dan penduduk tetap. 49
Maka jika dilihat dari uraian di atas bahwa pelaksanaan salat
jumʻat membutuhkan sebuah kehadiran jamaah. Dimanapun
berkumpulnya jamaah yang banyak sesuai adatnya maka diwajibkan untuk
mendirikan salat jumʻat dan salatnya dianggap sah. Tidak ditemukan nash
syar‟i yang mensyaratkan jamaah dalam jumlah tertentu. Namun, adanya
kehadiran jamaah dalam salat jumʻat merupakan syarat yang disepakati
oleh para ulama, sebab telah ditetapkan dalam syariat bahwa pembahasan
tentang jamaah ada di dalam bagian salat.
d. Gubernur atau wakilnya boleh menjadi imam
Mazhab Hanafi menyaratkan dua hal dalam masalah ini.
Pertama, imam salat jumʻat dan khatibnya adalah seorang sultan, Kedua,
memberi izin kepada khalayak, yaitu hendaknya pintu-pintu masjid dibuka
dan orang-orang diizinkan masuk dengan bebas. Akan tetapi, selain
mazhab Hanafi tidak mensyaratkan dua hal ini. Tidak diisyaratkan adanya
48
QS. Al-Jumuʻah:9
49 Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, hal. 1296
34
izin imam sebagai syarat sahnya salat jumʻat dan tidak pula mengharuskan
ia hadir disana. 50
e. Adanya imam dan dilaksanakan dimasjid
Mazhab maliki mensyaratkan dua hal, yaitu salat jumʻat harus
dipimpin oleh seorang imam yang bermukim dan tidak sah dilakukan
sendiri-sendiri. Imam diharuskan seorang yang bermukim bukan seorang
musafir, meskipun bukan penduduk setempat. Hendaknya ia sendiri yang
menjadi khatib, kecuali ada halangan yang membolehkanya mencari
pengganti. Namun, tidak disyaratkan imam haruslah seorang pemimpin,
berbeda halnya dengan mazhab hanafi.
Kedua, salat harus dilaksanakan disebuah masjid yang
selamanya digunakan untuk berjamaah maka tidak sah bila dilakukan di
dalam rumah, dihalaman rumah, dihotel atau ditanah lapang. Secara umum
salat jumʻat tidak boleh dilakukan ditempat-tempat yang kotor seperti
tempat buang air dan tempat dosa. Dibolehkan salat dihalaman masjid,
yaitu bagian luar dari bangunan masjid yang mengelilinginya untuk
perluasan. Dibolehkan juga dijalan-jalan menuju masjid yang bersambung
dengan rumah-rumah, pertokoan atau tempat yang dilarang. Akan tetapi,
hukumnya salat dihalaman masjid jika tidak dalam kondisi mendesak mala
hukumnya makruh. 51
f. Tidak boleh terlalu banyak pelaksanaan salat jumʻat di suatu daerah
tanpa sebab tertentu
Mazhab Syafi‟I mensyaratkan untuk sah nya salat jumʻat tidak
boleh didahului salat jumʻat di suatu tempat kecuali jika daerah itu sangat
besar dan sulit untuk mengumpulkan jamaah di satu tempat. 52
Adapun
dalil dari syarat ini, yaitu Rasulullah Salallahu’ alaihi wa sallam, para
sahabat, khulafa rasyidin dan para tabi‟in tidak pernah melakukan salat
jumʻat berbilang dalam satu daerah. Jika ada pelaksanaan salat jumʻat di
50
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, hal. 1297 51
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, hal. 1299 52
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani,hal.391
35
suatu masjid yang mendahului pelaksanaan salat jumʻat lainya pada masjid
yang berbeda maka salat jumʻat yang pertama itulah yang sah, sedangkan
pelaksanaan salat yang kedua tidak sah. 53
Karena, pelaksanaan salat jumʻat tidak boleh lebih dari satu
sedangkan jika dua pelaksanaan salat jumʻat dimulai bersamaan mka
keduanya batal. Menurut mazhab Maliki memutuskan dilarang mendirikan
salat jumʻat secara berbilang di dua masjid atau lebih dalam satu kota.
Adapun menurut mazhab Hanafi memiliki pendapat dan
fatwanya sendiri, mereka mengatakan boleh melaksanakan salat jumʻat
lebih dari satu dalam sebuah kota dibeberapa tempat untuk menghindari
kesulitan yang terjadi. 54
g. Khotbah salat jumʻat
Para ahli fikih sepakat bahwa khotbah adalah syarat dalam salat
jumʻat dan tidak sah bila salat jumʻat dilakukan tanpanya. Sesuai firman
Allah Subhanahu’ wa ta’ala dalam surat Al-Jumu‟ah: 9
55
Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui”. (QS. Al-Jumu‟ah : 9)
Menurut Mazhab Hanafi imam berkhotbah setelah masuk hari
sebelum salat dengan dua khotbah ringan. Ukuranya sama dengan
membaca satu surah yang panjang dibagi dua. Diisyaratkan pula untuk
tidak memberi jarak yang panjang. Jika ditemukan hal seperti ini maka
khotbahnya diulangi karena dapat membatalkan khotbah pertama. 56
53
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani,hal.392 54
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani,hal.394 55
QS. Al-Jumuʻah: 9 56
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani,hal.395
36
Menurut mazhab Maliki memberikan sembilan syarat untuk
khotbah jumʻat yaitu:57
Hendaknya khatib berdiri, khotbah dilakukan
setelah masuk tengah hari, hendaknya khotbah jumʻat itu sesuai dengan
khotbah orang arab meskipun hanya berisi dua prosa seperti kalimat
“ Bertakwalah kamu kepada Allah dari apa yang telah diperintahkan-Nya,
berhentilah dari apa yang telah dilarang dan ditolak-Nya”, khotbah
dilaksanakan didalam masjid layaknya salat jika khatib menyampaikan
khotbahnya diluar masjid maka tidak sah khotbahnya, khotbah dilakukan
sebelum salat maka tidak sah salat jumʻat yang dilakukan sebelum
melaksanakan kedua khotbah tersebut, khotbah harus dihadiri oleh jamaah
minimal dua belas orang laki-laki, hendaknya khotbah dilakukan dengan
suara keras dan berbahasa arab meskipun jamaahnya bukan orang arab.58
Menurut mazhab Syafi‟i dalam khotbah jumʻat terdapat lima
rukun yaitu rukun pertama memuji Allah, rukun kedua menyebut
Rasulullah, rukun ketiga cukuplah khotbah menunjukan hal-hal yang baik,
boleh panjang ataupun pendek, rukun keempat menyampaikan baik itu
ayat tentang janji, ancaman ataupun hukum dan rukun yang kelima
hendaknya yang hidup di zaman sekarang meniru tradisi salaf.
Mazhab Hambali mengatakan diisyaratkanya sebelum
melaksanakan salat jumʻat ada dua khotbah, dua khotbah ini sebagai
pengganti dua rakaat, sesuai dengan riwayat dari hadits Umar dan Aisyah
radiallahu anha akan tetapi keduanya tidak boleh dikatakan sebagai
pengganti salat dzuhur karena salat jumʻat bukanlah pengganti salat
dzuhur. Bahkan, salat dzuhur itu sebagai pengganti salat jumʻat jika
pelaksanaanya telah lewat. 59
Diisyaratkan beberapa hal sebagai syarat sahnya khotbah: yaitu
mengucap hamdalah dengan lafadz Alhamdulillah, kemuian shalawat atas
57
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Al-Jami’ Asy-Syarh
ash-Shagiir, (Beirut: Al Maktabah Al Islami) jilid 1 hal 499 58
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, hal. 1305 59
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani,hal. 389
37
Nabi karena setiap ibadah membutuhkan dzikir kepada Allah dan dzikir
kepada Rasulullah Salallahu’ ʻalaihi wa sallam, wajib hukumnya
membaca ayat al-Qur‟an dengan lengkap. Panjang dan pendeknya jarak
yang memisahkan dikembalikan kepada kebiasaan. Jika khatib ingin
bersuci lalu melanjutkan khotbahnya selama tidak memakan waktu yang
terlalu panjang. Diisyarakan pula bagi khatib untuk berniat khotbah sesuai
dengan perintah Hadits
اال 60(مسلمعمال بالن يات)رواه ابو دود خباري و إن
Artinya:“Sesungguhnya nilai dari sebuah perbuatan tergantung niatnya.”
(HR Abu Daud, Bukhari dan Muslim)
Bila khatib berkhotbah tanpa berniat terlebih dahulu maka
khotbahnya dianggap tidak ada, menurut mazhab Hambali dan Hanafi,
akan tetapi mazhab Maliki tidak mengharuskan niat terlebih dahulu begitu
juga dengan Mazhab Syafi‟i. Namun mereka mensyaratkan khatib tidak
boleh keluar dari khotbah.
Khotbah diharuskan berbahasa arab, bagi mereka yang
wilayahnya berbahasa arab. Dibolehkan menggunakan Bahasa selain arab,
jika para hadirin tidak memahami Bahasa arab. Tetapi , ketika membaca
ayat dan hadis dianjurkan berbahasa arab. Dan di bolehkan khatib
menyampaikan khotbah dengan Bahasa arab kemudian diterjemahkan
dalam Bahasa lain setelah melaksanakan salat jumʻat. 61
E. Syarat-syarat Tempat Melaksanakan Salat Jumʻat
Salat jamaah bisa dilakukan di masjid atau selain di masjid.
Masjid adalah rumah Allah Subhanahu wa taʻala yang didalamnya di
ibadahi, masjid dibangun untuk melaksanakan salat, dzikir, membaca Al-
Qur‟an dan kegiatan ibadah lainya. Tujuan salat jumʻat adalah agar kaum
60
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardzibah, Shahih
al-Bukhari , (Kairo: Daar el-Hadits, 2010) Jilid I, hal. 6 61
Dr. fahad Salim Bahamam, Fikih Modern Praktis 101 Panduan Hidup
Muslim Sehari-hari, hal. 81
38
muslimin dapat berkumpul di satu tempat dan beribadah kepada Allah
dengan khusyuk sehingga ikatan persaudaraan diantara mereka semakin
kuat. Itulah salah satu tujuan mensyariatkan kaum muslim untuk
berjamaah dalam melaksanakan ibadah. Dalam konteks itu adanya masjid
menjadi kebutuhan tersendiri bagi umat islam, orang yang akan melakukan
salat haruslah memenuhi syarat-syarat salat dan apabila jika salah satu
syarat tidak dilaksnakan /terpenuhi maka salatnya batal (tidak sah) begitu
pula pada pelaksanaan salat jumʻat sebab syarat sah salat adalah suci dari
berbagai najis baik najis tersebut terletak pada pakaian, badan maupun
tempat. Sebagian ulama memperbolehkan salat di semua tempat yang
tidak terkena najis62
meskipun tempat salat itu sempit ini adalah pendapat
yang shahih dikalangan ulama mazhab Hanafi. Sahnya salat dihalaman
sempit tersbeut dikarenakan tempat tersebut tidak terkena najis dan
maknanya orang yang salat tidak membawa benda terkena najis. 63
Jika salat diatas tanah yang ada najis namun di berikan kain atau
benda yang suci dan seseorang melakukan salat diatasnya maka ulama
sepakat bahwa salat orang tersebut adalah sah. Karena orang yang salat itu
tidak terkena najis. Ulama Hanafi mengatakan bahwa salat diatas
permadani tebal yang permukaanya suci dan bagian bawahnya ada najis
maka salatnya tetap sah. Jika terdapat najis di dalam rumah atau diatas
padang pasir dan diketahui tempat najis tersebut dengan pasti, maka orang
yang akan melakukan salat hendaknya mencari tempat yang lain yang suci
inilah pendapat ulama mazhab Hanafi64
. Adapun menurut pendapat ulama
mazhab Syafi‟i jika kawasan itu luas seperti padang pasir, maka seseorang
boleh melakukan salat ditempat manapun di kawasan tersebut. Karena,
tempat yang terkena najis itu tidak diketahui secara pasti dan karena
62
Menurut salah satu versi pendapat Imam Ahmad, pendapat Imam Malik
Imam Abu Hanifa dan Imam Syafi‟i 63
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani, Jilid 1, BAB Shalat , hal.613 64
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani, Jilid 1, BAB Shalat , hal 613
39
memang pada asalnya tempat tersbut adalah bersih dan tidak ada
kemampuan untuk membasuh semua kawasan tersebut .
Jika seseorang dikurung pada suatu tempat yang penuh dengan
najis seperti kandang maka dia tetap wajib melakukan salat menurut
pendapat jumhur ulama. Apabila ia hendak melaksanakan salat maka
hendaknya renggangkan dahulu benda-benda yang najis dan usaha ini
dilakukan sesuai dengan kemampuanya. Pendapat ini berdasarkan sabda
Rasulullah Salallahu’ ʻalaihi wa sallam
بن صحر رضياهلل عنو قال: سعت رسوالهلل عن أيب ىريرة عبدالرمحن صلي اهلل عليو و سلم يقول: ما ن هيتكم عنو فاجتنبوه وما أمرتكم بو
لكم كث رة مسائلهم فأتوا منو ما استطعتم،فإنا أ ىلك الذين من ق ب 65ئهم )رواه البخاري و مسلم(واختلف هم على أنبيا
Artinya: “Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Sakhr Rasulullah
Salallahu’ ʻalaihi wa sallam bersabda: Apa yang aku larang
hendaklah kalian menghindarinya dan apa yang aku
perintahkan maka hendaklah kalian laksanakan semampu
kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian
adalh karena banyaknya pertanyaan mereka (yang tidak
berguna) dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka”.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Menurut pendapat yang shahih ia tidak boleh melakukan sujud
diatas tanah (lantai), karena, salatnya sudah sah bila dilakukan dengan cara
isyarat dan tidak sah apabila terkena najis. Pendapat ini juga berdasarkan
qiyas kepada orang sakit kepada orang yang tidak mampu
menyempurnakan sebagian rukun salat.
Para ulama mazhab berebeda pendapat tentang pelaksanaan salat
jumʻat di tanah lapang itu sendiri diantaranya: 66
65
Muslim bin al Hajjaj bin muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi,
Shahih Muslim, (Kairo: Daar el-Hadits, 2010) Jilid VII, hal. 91 66
Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab al-fiqh al-Madzahib al-Arba’ah,
Penerjemah Syarif Hademasyah, Luqman junaidi. Kitab Shalat Fikih Empat Mazhab
(Jakarta: Mizan Publika) Jilid I, Bab Shalat jumʻat, hal 369
40
a. Mazhab Malikiyah berpendapat salat jumʻat itu tidak sah
dilaksanakan di rumah-rumah dan di tanah lapang, jadi harus
dimasjid.
b. Mazhab Hambaliyah berpendapat salat jumʻat itu sah
hukumnya jika dilaksanakan ditanah lapang jika tanah
lapang itu dekat dengan pemukiman. Jika tanah lapang itu
tidak dekat dengan pemukiman maka slaatnya tidak sah, jika
imam hendak melaksanakan salat di padang pasir hendaklah
ia mencari pengganti orang lain agar salat bersama ornag-
orang yang lemah.
c. Mazhab Syafi‟iyah berpendapat salat jumʻat itu sah
dilaksanakan di tanah lapang apabila tanah lapang itu dekat
dengan pemukiman. Batas jarak disini adalah jarak tempat
yang tidak sah bagi musafir untuk menqashar salat ketika
sampat ditempat itu.
d. Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa sah nya salat jumʻat
itu tidak diisyaratkan harus dilaksanakan di dalam masjid,
jadi sah dilaksanakan ditanah lapang dengan syarat jarak
jauhnya dari kota tidak lebih satu farsakh.
Para ulama berbeda pendapat mengenai salat ditempat ibadah
kaum yahudi dan gereja. Sebagian mereka menghukumi makruh, sebagian
yang lain menghukumi mubah. 67
sebagian yang lain membedakan antara
tempat-tempat yang ada patung dan gambar-gambar dan tempat-tempat
yang tidak ada patung dan gambar-gambarnya inilah pendapat Ibnu
Abbas.68
Para ulama sepakat tentang salat diatas tanah. Yang mereka
perselisihkan ialah salat diatas permadani dan tempat-empat lain yang
67
Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihaya Wal Muqtashid, Penerjemah
Abdul Rasyad Shiddiq. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Jakarta: Akbar
Media, 2012) Jilid I, hal 68
Menurut Ibnu Abu Syaibah dalam Mushannaf Ibni Abi Syaibah, makruh
hukumnya kalua di dalamnya ada gambar-gambar. Pendapat yang sama dikutip dari
Imam Malik. Alasanya, karena ada gambar dank arena najis ditelapak kaki mereka .
Sebaiamana Ibnu Rusyd mengkutip Kitab al-Madunah al-Kubra Jilid I hal 190, Lihat al-
Kafi Jilid I hal 206.
41
biasa digunakan sebagai tempat duduk. Mayoritas mereka
memperbolehkan sujud diatas tikar dan sebagainya, meskipun hal itu
hukumnya makruh inilah pendapat Imam Malik bin Anas.69
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum salat
berjamaah di selain masjid menjadi tiga bagian yaitu Pendapat pertama
mengatakan boleh salat berjamaa selain di masjid ini merupakan pendapat
Imam Malik, Imam Syafi‟i, salah satu riwayat dari Ahmad serta Mazhab
Hanafiyah. Pendapat kedua seorang laki-laki tidak boleh salat berjamaah
kecuali dimasjid pendapat ini adalah salah satu riwayat dai Imam Ahmad
dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah merajihkan pendapat ini di kitab ash-Shalat,
“ Barang siapa yang memperhatikan as-Sunnah dengan benar maka akan
jelas baginya bahwa melakukan salat berjamah di masjid hukumnya
fardhu ain kecuali karena ada udzur yang dibolehkan baginya
meninggalkan salat jumʻat dan salat berjamah”. 70
F. Tempat Yang Dilarang Melaksanakan Salat Jumʻat
Beberapa syarat sahnya shalat diantaranya adalah memakai
pakaian yang suci dari najis, menghadap ke kiblat dan tempat yang suci,
boleh saja seseorang menjalankan shalat ditempat manapun asalkan tempat
tersebut suci dari najis, entah di rumah, di sekolahan, apartemen, kos-
kosan dan lain-lain. Perihal pelaksanaan salat jumʻat dihalaman masjid dan
dijalan hukumnya makruh apabila tidak dalam kondisi yang mendesak.
Tidak boleh pula melaksanakan salat jumʻat diatap masjid. Tetapi ada
beberapa tempat yang dikecualikan untuk tidak menjalankan shalat
69
Seolah-olah Imam Malik, dilarang salat diatas sesuatu yang bukan
ditumbuhkan oleh tanah. Contohnya seperti kulit, buku, rambut dsb. Padahal tidak begitu,
karena ada pendapat darinya dalam al-Madunah uang menyatakan bahwa boleh salat
diatas segala sesuatu, termasuk kulit binatang buas, atau diatas buku atau rambut bangkai,
baikm yang diambil dalam keadaan hidup-hidup atau sudah mati. Tetapi makruh
hukumnya slat diatas kulit bangkai yang meskipun sudah disamak demikian pula dengan
kullit keledai. Sebagaima Ibnu rusyd mengkutip Kitab al-Madunah Jilid I hal. 191 70
Abdul Manan, Jangan Asal Shalat hal 66-70.
42
ditempat tersebut, sebagaimana yang telah di nash dalam sebuah hadits
riwayat dari Ibnu Umar 71
أن النيب صلى اهلل عليو و سلم هني أن يصلي فيمواطن: املزبلة، واجلزرة، واملقبة،وقارعة الطريق، والمام، ومعاطناإلبل، وفوق ظهربيت
72( اجوالرتمذى و ابن ماهلل تعاىل )رواه Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw melarang menunaikan shalat
tujuh tempat; tempat pembuangan sampah, tempat
penyembelihan (hewan), kuburan, di tengah-tengah jalan, di
kamar mandi, di kandang unta dan di atas(bangunan)
ka'bah.(HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Larangan shalat di tujuh tempat ini tentunya memerlukan alasan,
bagaimana tempat-tempat tersebut mendapat larangan dari syara' yaitu:
Pertama adalah larangan shalat ditempat pembuangan sampah,
tempat penyembelihan hewan, kamar mandi dan kandang unta
dikarenakan terdapat banyak najisnya; seperti kotoran-kotoran, darah,
tempat berkumpulnya para setan yang bisa mengganggu kekhusyuan
dalam shalat dan lain-lain, sehingga tempat tersebut terkena najis dan
menjadi tidak suci.
Kedua adalah larangan shalat ditengah-tengah jalan yang dilalui
oleh orang, karena bisa mempersempit jalan dan mengganggu orang-orang
yang sedang lewat. Ketiga larangan shalat di kuburan agar terhindar dari
penyembahan terhadap kuburan. Imam Bukhari, Muslim, Ahmad dan An-
Nasai‟ meriwayatkan dari Aisyah Radiallahu’ anha bahwa Rasulullah
bersabda,
71 http://www.nu.or.id/post/read/42187/tujuh-tempat-dilarang-shalat Diakses
pada Tanggal 28/09/2017 Pukul 14:03 WIB. 72
Muhammad bin isa al-Tirmidzi,, Sunan At-Tirmidzi ( Beirut; Darulal-
Gharb al-Islami, 1998 M), juz I , hal 375. Dan Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan
Ibn Majah (Beirut: Dar al-Fikr, T.th), juz 1 hal. 246.
43
طفق يطره ملسو هيلع هللا ىلصاهلل باس قاال ملان زل برسول أن عائشةوعبداهلل بن عيصةلو على وجهو، فإذا اغتم با كشفها عن وجهو، فقال وىو خ
ور أنبيائهم مساجد اهلل عل الي هود والنصارى اتذوا ق ب كذلك: لعنة 73)راوه خباري و مسلم و امحد و النسائ(
Artinya: Bahwasanya Aisyah dan Abdullah bin Abbas berkata: Ketika
sakit yang diderita Rasulullah bertambah parah, beliau sering
meletakkan kain yang beliau miliki diatas wajahnya, jika
merasa sesak nafasnya akibat itu beliau membukanya dari
wajahnya, lalu dalam keadaan demikian beliau bersabda:
“Allah melaknat atas kaum yahudi dan nashrani yang telah
menjadikan makam-makam nabi mereka sebagai masjid
(tempat ibadah)”. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dan An-
Nasai‟).
73
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardzibah. Shohih
al-Bukhori (Kairo: Daar el-Hadits, 2010) Jilid I, hal. 95
44
BAB III
MUI DAN PENETAPAN FATWA
A. Pengertian Fatwa
Berbicara tentang urgensi fatwa dalam kehidupan umat Islam
tidak terlepas dari seberapa jauh kemanfaatan fatwa dalam kehidupan umat
manusia. Berikut adalah pengertian fatwa secara etimologi fatwa berasal
dari kata afta, jamaknya fatawἁ yang mempunyai arti petuah, nasihat dan
jawaban pertanyaan hukum. Secara terminologis fatwa berarti pendapat
mengenai suatu hukum dalam Islam yang merupakan tanggapan atau
jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa dan jawaban
tersebut tidak mempunyai daya ikat baik si peminta fatwa baik itu
perorangan, lembaga maupun masyarakat luas.1 Berikut adalah beberapa
pengertian fatwa dari berbagai pakar ilmu:
Fatwa dalam sistem hukum Islam, yaitu secara etimologis kata
fatwa berasal dari bahasa Arab al-Fatawa. Menurut Ibnu Manzhur kata
fatwa ini merupakan bentuk mashdar dari kata fata, yaftu, fatwan, yang
bermakna muda, baru, penjelasan, penerangan. Pendapat ini hampir sama
dengan pendapat al-Fayumi, yang mengatakan bahwa al-fatawa berasal
dari kata al-fata yang artinya pemuda yang kuat. Sehingga seorang yang
mengeluarkan fatwa dikatakan sebagai mufti, karena orang tersebut
diyakini mempunyai kekuatan dalam memberikan penjelasan (al-bayan)
1 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar baru
Van Hoeve, 1994), cetakan ke III, hal 6. Sebagaimana dikutip oleh Afrizal Nurdin,
Keringanan Puasa Bagi Penerbang di Bulan Ramadhan (Analisa Fatwa MUI Tentang
Puasa Bagi Penerbang). Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, hal 1.
45
dan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya sebagaimana
kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda.2
Definisi fatwa menurut Majelis Ulama Indonesia adalah suatu
perkataan dari bahasa Arab yang memberi arti pertanyaan hukum
mengenai sesuatu masalah yang timbul kepada siapa yang ingin
mengetahuinya. Barang siapa yang ingin mengetahui sesuatu hukum
syara‟ tentang masalah agama, maka perlu bertanya kepaada orang yang
dipercayai dan terkenal dengan keilmuanya dalam bidang ilmu agama
(untuk mendapat keterangan mengenai hukum tentang masalah itu).
Menurut kamus Lisἁn al-‘Arabiy, memberi fatwa tentang sesuatu perkara
berarti menjelaskan kepadanya. Dengan demikian pengertian fatwa berarti
menerangkan hukum-hukum Allah Subhanahu’ wa taʻla berdasarkan pada
dalil-dalil syariah secara umum dan menyeluruh. Keterangan hukum yang
telah diberikan itu dinamakan fatwa. Orang yang meminta fatwa disebut
mustafti, sedang yang dimintakan untuk fatwa disebut mufti.3
Menurut Yusuf Qaradhawi, fatwa adalah menerangkan hukum
syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan yang
diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) baik secara perorangan atau
kolektif. Dari beberapa pengertian diatas ada dua hal yang perlu dicatat: 4
1. Fatwa bersifat responsive, ia merupakan jawaban hukum (legal
opininon) yag dikeluarkan setela adanya suatu pertaanyaan atau
permintaan fatwa. Pada umumnya fatwa dikeluarkan sebagai
jawaban atas pertanyaan yang merupakan peristiwa atau kasus
yang telah terjadi atau nyata. Seorang pemberi fatwa (mufti)
boleh menolak memberikan fatwa atas pertanyaan tentang
2 Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta: elSAS, 2008)
cetakan pertama, Bab II, hal 19. 3
Dewan Syariah Nasonal MUI, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah
(jakarta: Erlangga) hal. 7-8 4 Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam , hal. 20-21
46
peristwa yang belum terjadi. 5 walaupun begitu, seorang mufti
tetap disunnahkan untuk menjawab pertanyaan seperti itu,
sebagai langkah hati-hati agar tidak termasuk orang yang
menyembunyikan ilmu. 6
2. Dari segi kekuatan hukum, fatwa sebagai jawaban hukum (legal
opininon) tidaklah bersifat mengikat. Dengan kata lain, orang
yang meminta fatwa (mustafti), baik perorangan, lembaga
maupun masyarakat luas tidak harus megikuti isi atau hukum
yang diberikan kepadanya.
Kaidah-kaidah fikih dalam berfatwa pada era modern yang di
sebutkan oleh Dr. Husain bin Abdul Aziz Alu Syaikh, bahwa ada beberapa
kaidah-kaidah fikih kontemporer diantaranya: 7
kaidah pertama: kewajiban berfatwa berlandaskan pada ilmu-
ilmu syar‟i termasuk kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama dan
diharamkan berfatwa tanpa ilmu syar‟i berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa taʻala dalam Syrat Al-Isra‟ (17): 36
8
Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.
Dan Hadits Rasulullah Salallahu’ ʻalaihi wa sallam: Barang
siapa yang mengatakan (suatu perkataan) yang Aku tidak mengatakanya,
maka dia telah mengambil satu rumah di Jahannam. Barang siapa yang
5 Mustafa al-Suyuthi al-rahibani al-Hanbali, Mathalib Uli al-Nuha fi Syarh
Ghayah al-Muntaha, (Maktab Al-Islamiyah:T.th) Lihat Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam
Sistem Hukum Islam , hal. 20 6 Mustafa al-Suyuthi al-rahibani al-Hanbali, Mathalib Uli al-Nuha fi Syarh
Ghayah al-Muntaha, (Maktab Al-Islamiyah:T.th , Mathalib Uli al-Nuha fi Syarh Ghayah
al-Muntaha Lihat Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam , hal. 21 7 Dr. Mardani, Ushul Fiqh (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2013) Cetakan
Petama, hal. 377. 8 QS. Al-Isra‟:36
47
berfatwa tanpa ilmu, maka dosanya ditanggung oleh yang berfatwa.
Barang siapa yang menunjukan kepadanya suatu permasalahan (yang
salah), sedangkan ia mengetahui bahwa yang benar ada pada selain itu,
maka sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah tidak akan beruntung. (HR. Ahmad dan Bukhori). 9
Kaidah kedua: kewajiban memastikan kebenaran, tidak tergesa-
gesa dan bermusyawarah. Kaidah ketiga: bersemangat dalam menjaga
kwaran dalam berfatwa sebisa mungkin. Kaidah keempat: tidak tergesa-
gesa dalam menafikan. Kaidah kelima: memerhatikan maqashid al-
syariah dalam berfatwa, yang dimaksud maqashid al-syariah menurut Dr.
Yusuf Hamid Al-„Alim sebagimana dikutip oleh Dr. Husain bin Abdul
Azis Alu Syaikh adalah maksud yang disyariatkanya hukum-hukum
tersebut untuk mewujudkan syariat tersebut, cara mendapatkanya baik
dengan jalan mendatangkan manfaat atau dengan jalan menolak
kemudharatan.10
Kaidah keenam: kaidah memehartikan akibat0akibat
selanjutnya dimana seorang mufti wajib memerhatikan akibat-akibat dari
perkataan dan perbuatan di dalam segala bentuk tindakan.
Kaidah ketujuh: jika diketahui bahwa itu benar maka dituntut
untuk menyebarkanya, walaupun itu termasuk ilmu syariat. Kaidah
kedelapan: seorang mufti harus berhatihati dalam menjawab pertanyaan
orang yang bertanya berdasarkan ijtihad, tidak diperbolehkan mengatakan
ini hukum Allas Subhanahu’ wa taʻala. Kaidah kesembilan: sebisa
mungkin seorang mufti bersemangat untuk menggunakan kata-kata yang
jelas dalam berfatwa. Kaidah kesepuluh: seorang mufti wajib
menggambarkan pertanyaan yang ditanyakan dengan gambaran yang
menyeluruh di segala sisinya sebelum dia berfatwa. Kaidah kesebelas:
seorang mufti memerhatikan kondisi manusia sebisa mungkin. Kaidah
9 Husain bin Abdul Aziz Alu Syaikh, Kaidah-Kaidah Fatwa Kontemporer,
Penerjemah Said Yai, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010), hal. 14. Lihat Dr. Mardani,
Ushul Fiqh, hal. 378. 10
Husain bin Abdul Aziz Alu Syaikh, Kaidah-Kaidah Fatwa Kontemporer,
Penerjemah Said Yai, hal. 14. Lihat Dr. Mardani, Ushul Fiqh, hal. 380
48
kedua belas: memerhatikan apa-apa yang belum terjadi dan perkataan-
perkataan ulama dalam mentadzhir pertanyaan tetang sesuatu yang belum
terjadi. Kaidah ketiga belas: wajib bagi seorang yang awam untuk
bertanya dan meminta fatwa kepada ulama tentang hal yang menjadi
masalah baginya.
Fatwa adalah bagian dari khazanah kekayaan intelektual islam
dalam aspek penetapan hukum. Fatwa lahir seiring berkembangnya ajaran
Islam. Fenomena dan realita permintaan fatwa sudah ada dan umum
berlaku sejak awal perkembangan Islam. Pada zaman Nabi Muhammad
Salallahu’ ʻalaihi wa sallam para sahabat banyak yang bertanya kepada
beliau dalam berbagai permasalahan. Di dalam Al-Qur‟an secara eksplisit
mempergunakan terminologi fatwa dapat ditemukan pada ayat-ayat berikut
11:
a. QS. An-Nisa (4): 127
Artinya: Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita.
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka,
dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga
memfatwakan) tentang Para wanita yatim yang kamu tidak
memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka,
sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak
yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu)
supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan
kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya
Allah adalah Maha mengetahuinya.
b. QS. An- Nisa (4): 176
11
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam , hal. 22
49
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka
bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu
dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan,
Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak
bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Setelah wafatnya Nabi maka yang menjadi penerus penyebaran
Islam adalah para sahabat, mereka dianggap lebih mengetahui beberapa
permasalahan yang berkaitan dengan agama. Untuk itu, kaum muslimin
dalam berbagai perosoalan agama selalu bertanya kepada mereka.
Anggapan ini memang berdasarkan kenyataan bahwa para sahabat adalah
orang yang lebih mengetahui agama Islam karenaa mereka memperoleh
langsung dari Rasulullah Shalallahu’ ʻalaihi wa sallam. Ketetapan mereka
ini lebih dikenal dalam Fatawa al-Shahabiyah (fatwa sahabat) atau ada
pula yang mengatakanya dengan Qaul Shahabiy (perkataan sahabat).
Demikian pula pada masa tabi’in, tabi’it tabi’in merekalah yang
menggantikan posisi sebagai penerus generasi sahabat karena dianggap
lebih dekat kepada generasi sebelumnya. Pada masa setelah dua geberasi
50
diatas, posisi Ulama sebagai penerus syiar penyebaran ajaran Islam dan
otoritas pemberi fatwa.12
Qada' adalah putusan hukum diantara dua orang yang
berperkara, penyelesaian pertentangan di antara mereka dengan jalan
mengharuskan satu pihak untuk menunaikan kewajibannya kepada pihak
lain. Kedudukan qada' adalah kekuasaan yang berhubungan dengan
kehidupan manusia dan mengharuskan mereka untuk melaksanakan
hukum-hukum.Wilayah wewenang qada' adalah kemaslahatan dunia saja
seperti transaksi-transaksi, kepemilikian-kepemilikan, dan
penggadaian.Ini mengandung makna bahwa qada’ hanya terbatas pada
persoalan hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dan ia
tidak memasuki wilayah hubungan antara manusia dengan Tuhannya.
Dengan kata lain qada’ hanya berkaitan dengan bidang mu‟amalah dan
tidak berkaitan dengan bidang ibadah.13
Lain halnya dengan Qadha’ Jika dilihat lebih seksama
perbedaan antara Fatwa dan Qadha’ sangat jelas jika fatwa itu adalah
putusan hokum yang dikeluarkan oleh ahli agama dan Qadha’ adalah
putusan yang diperkarakan oleh para pemohon kepada pengadilan.
B. Kedudukan Fatwa
Mengingat betapa pentingnya keberadaan fatwa bagi orang
awam dalam menjalankan amal ibadahnya, maka setiap orang yang telah
memenuhi syarat untuk mengeluarkan fatwa tidak boleh menolak apabila
dimintai fatwa. 14
Dalam konteks pemerintahan Islam, baik dalam bentuk
negara maupun kerajaan Islam, posisi fatwa berperan penting dalam sistem
12
Dzulkifli Noor, “Fatwa Dewan Syariah Nasional Relevansinya Dengan
Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia”, Jurnal Kordinat, Volume VIII, No. 1,
(April:2007), hal. 79 13
A.A Miftah, Teori Diyani dan Qadha’I Dalam Pembangunan Hukum
Islam Kontemporer, Google Scholar. www. Goggle Scholar.com Diakses Pada Tanggal
05/04/2018. Pada Pukul 20:00 WIB 14
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam , hal. 31
51
pemerintahan. Perkembangan fatwa pada masa sekarang tetap berlanjut,
pemberian fatwa dilakukan oleh ulama, baik secara individu maupun
organisasi keagamaan. Perkembanganya di Indonesia pada saat ini, fatwa
ditetapkan berdasarkan hasil kajian para ulama yang tergabung di dalam
suatu organisasi, seperti NU melalui Lajnah Bahsul Masail,
Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih, Majelis Ulama Indonesia melalui
Komisi Fatwa dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama. 15
Kedudukan fatwa dalam hukum Islam sangatlah penting dan
tidak bisa dengan mudah diabaikan apalagi digugurkan. Pertama, fatwa-
fatwa MUI ternyata memiliki makna penting di tengah-tengah masyarakat
Indonesia, khususnya kaum muslim. Meskipun fatwa MUI tidak mengikat
secara hukum tetapi dalam praktiknya memberikan pengaruh bagi tatanan
sosial kemasyarakatan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kedua,
kuatnya pengaruh fatwa MUI bagi masyarakat tersebut menuntut MUI
untuk responsif terhadap dinamika dan dan kecenderungan di masyarakat,
sehingga fatwa-fatwa yang dikeluarkan sejalaan dengan kemaslahatan
masyarakat. 16
Pada masa kini fatwa menduduki fungsi amar ma’ruf nahi
munkar, karena ia menyampaikan pesan-pesan agama yang harus
dikerjakan. Oleh karena itu, hukum berfatwa itu menurut asalnya adalah
fardhu kifayah yang dimana jika ada seorang atau pihak yang menanyakan
hukum suatu masalah maka wajib bagi orang yang mempunyai kompetensi
berfatwa untuk menjawabnya. Jika ada orang lain yang mempunyai
kemampuan berfatwa maka menjawab hukum pada suatu masalah yang
dipertanyakan hukumya fardhu kifayah. 17
Bila dalam satu wilayah hanya
ada seorang mufti yang ditanya tentang suatu masalah hukum yang sudah
15
Dzulkifli Noor, “Fatwa Dewan Syariah Nasional Relevansinya Dengan
Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia”, Jurnal Kordinat, Volume VIII, No. 1,
(April:2007), hal.80 16
Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, (jakarta: Erlangga,2016) hal. 4 17
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam , hal. 31
52
terjadi dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hukum
berfatwa atas mufti tersebut adalah fardhu ‘ain. 18
C. Peranan MUI Dalam Penetapan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri pada tanggal 17 Rajab
1395 Hijriah bertepatan tanggal 26 Juli 1975 Miladiah.19
MUI hadir ke
pentas sejarah ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase
kebangkitan kembali, setelah tiga puluh tahun sejak kemerdekaan energi
bangsa lebih banyak terserap dalam perjuangan politik di dalam negeri
maupun forum Internasional, sehingga kesempatan untuk membangun
menjadi bangsa yang maju dan berakhlak mulia kurang diperhatikan. 20
Pendirian MUI dilatarbelakangi adanya kesadaran kolektif
pimpinan umat Islam bahwa Indonesia memerlukan seuatu landasan kokoh
bagi pembangunan masyarakat yang maju dan berakhlak. Karena itu,
keberadaan organisasi para ulama, zuama dan cendekiawan muslim ini
merupakan konsekuensi logis dan prasyarat bagi berkembangnya
hubungan yang harmonis anatar pelbagai potensi yang ada untuk
kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia. Sebagai organisasi yang dilahirkan
oleh para ulama, zu'ama dan cendekiawan muslim serta tumbuh
berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia adalah
gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak
berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan
umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi
semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian,
dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh, kepada pihak-pihak lain di
18
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (jakarta: PT Kencana Prenada Media
Group,2009) Cet. Ke 5, hal. 461 19
Lihat 20 Tahun Majelis Ulama Indonesia (jakarta: Sekretariat MUI, 1995).
Sebagaimana juga termaktub dalam Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia, sebagai
hasil rumusan penyempurnaan pada Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII, 25-28 Juli
2005. Sebagaimana dikutip oleh Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia, (jakarta: Erlangga,2016) hal. 69 20
Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, hal. 69
53
luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan
mengambil keputusan atas nama organisasi.21
Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di
kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak
dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi
organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi meletakkan
posisi dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan
keragaman umat Islam. Majelis Ulama Indonesia, sesuai niat kelahirannya,
adalah wadah silaturrahmi ulama, zu'ama dan cendekiawan Muslim dari
berbagai kelompok di kalangan umat Islam.
Kemandirian Majelis Ulama Indonesia tidak berarti
menghalanginya untuk menjalin hubungan dan kerja sama dengan pihak-
pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri, selama dijalankan
atas dasar saling menghargai posisi masing-masing serta tidak
menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia.
Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama
Indonesia bahwa organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa
yang sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang
harus hidup berdampingan dan bekerjasama antarkomponen bangsa untuk
kebaikan dan kemajuan bangsa. Sikap Majelis Ulama Indonesia ini
menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh
alam.
Sejalan dengan perkembangan dalam kehidupan kebangsaan
pada era reformasi dewasa ini yang ditandai dengan adanya keinginan kuat
untuk membangun suatu masyarakat Indonesia baru yang adil, sejahtera,
demokratis dan beradab. Maka suatu keharusan Majelis Ulama Indonesia
untuk meneguhkan jati diri dan itikad dengan suatu wawasan untuk
21
https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia Diakses pada
tanggal 25 Oktober 2017, Pukul 20:00 WIB
54
menghela proses perwujudan peradaban Islam di dunia, dan khususnya
perwujudan masyarakat indonesia baru, yang tidak lain adalah masyarakat
madani (khair al-ummah), yang menekan nilai-nilai persamaan (al-
musawah), keadilan (al-adalah) dan demokrasi (al-syura).22
Dalam khitah pengabdian MUI telah dirumuskan memiliki peran
utama yaitu : 23
1. Sebagai Ahli Waris Tugas Para Nabi (Waratsat al-anbiya)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai ahli waris tugas-
tugas para Nabi. Yaitu menyebarkan ajaran islam serta memperjuangkan
terwujudnya suatu kehidupan sehari-hari secara arif dan bijaksana
berdasarkan Islam. Sebagai warasatu al-anbiya (ahli waris tugas-tugas
para nabi), Majelis Ulama Indonesia menjalankan fungsi kenabian (an-
nubuwwah) yakni memperjuangkan perubahan kehidupan agar berjalan
sesuai ajaran islam, walaupun dengan konsekuensi menerima kritik,
tekanan dan ancaman karena perjuanganya bertentangan sebagai tradisi,
budaya dan peradaban manusia.24
2. Sebagai Pemberi Fatwa (Mufti)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pemberi fatwa bagi
umat Islam baik diminta maupun tidak diminta. Sebagai lembaga pemberi
fatwa Majelis Ulama Indonesia mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi
umat Islam Indonesia yang sangat beragam alitan paham pemikiran serta
organisasi kegamaanya.
3. Sebagai Pembimbing dan Pelayan Umat (Ra’iy wa Khadim al-
Ummah)
22
Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan Musyawarah
Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, ( Jakarta:Sekretariat MUI, 2005),
hal.20 23
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5837dfc66ac2d/kedudukan-
fatwa-mui-dalam-hukum-indonesia diakses pada tanggal 23 November 2017 pada Pukul
17:00 WIB. 24
Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan Musyawarah
Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, hal. 24
55
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelayan umat yaitu
melayani umat dan bangsa dalam memenuhi harapan, aspirasi dan
tuntunan mereka. Dalam kaitan ini, Majelis Ulama Indonesia senantiasa
berikhtiar memenuhi permintaan umat, baik langsung maupun tidak
langsung akan bimbingan dan fatwa keagamaan. Begitu pula, Majelis
Ulama Indonesia berusaha memperjuangkan aspirasi umat dan bangsa
dalam hubunganya dengan pemerintah. 25
4. Sebagai Penegak Amar Makruf dan Nahyi Munkar
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai wahana penegak
amar makruf nahyi munkar, yaitu dengan menegaksakan kebenaran
sebagai kebenaran dengan penuh hukmah dan istiqamah. Dengan demikian
Majelis Ulama Indonesia juga merupakan wadah perhidmatan bagi
pejuang dakwah (mujtahid dakwah) yang senantiasa berusaha merubah
dan memperbaiki keadaan masyarakat dan bangsa dari kondisi yang tidak
sejalan dengan ajaran agama islam menjadi masyarakat dan bangsa yang
berkualitas (khairu ummah). 26
5. Sebagai Pelopor Gerakan Pembaruan (al-Tajdid)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelopor tajdid yaitu
gerakan pembaruan pemikiran Islam. 27
6. Sebagai pelopor Gerakan Ishlah
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai juru damai terhadap
perbedaan yang terjadi di kalangan umat. Apabila terjadi perbedaan
pendapat di kalangan umat Islam maka Majelis Ulama Indonesia dapat
menempuh jalan al-jam’u wat taufiq (kompromi dan persesuian) dan tarjih
(mencari hukum yang lebih kuat). Dengan demikian diharapkan tetap
25
Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan Musyawarah
Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, hal. 25 26
Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan Musyawarah
Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, hal. 25 27
Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan Musyawarah
Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, hal.26
56
terpelihara semangat persaudaraan (ukhuwwah) di kalangan umat Islam
Indonesia.
D. Metode MUI Dalam Menetapkan Fatwa
Salah satu syarat menetapkan fatwa adalah harus memenuhi
metodologi (manhaj) dalam berfatwa, karena menetapkan fatwa tanpa
mengindahkan manhaj termasuk yang dilarang oleh agama. Menetapkan
fatwa yang didasarkan semata karena adanya kebutuhan (li al-hajah), atau
karena adanya kemaslahatan (li al-mashlahah) atau karena intisari ajaran
agama (li maqashid as-syari’ah) dengan tanpa berpegang pada nushus
syari’ah , termasuk kelompok yang kebablasan (ifrathi).28
Oleh karenanya, dalam berfatwa harus tetap menjaga
keseimbangan dengan tetap memakai manhaj yang telah disepakati para
ulama, agar dapat memberikan fatwa tanpa pertimbangan hukum yang
jelas. Dasar umum penetapan fatwa didasarkan pada Al-Qur‟an, Sunnah
(hadits), ijma’ dan Qiyas serta dalil-dalil yang mu’tabar.29
Sedangkan
sumber lain, seperti istishan, sadd adz-dzari’ah dipersilisihkan oleh para
ulama mengenai validitasnya sebagai hukum (meskipun demikian metode
istinbath hukum istishan dan sadd adz-dzariah tetap digunakan dalam
fatwa MUI melalui pendekatan manhaji).30
Jumhur ulama menyepakati
validitas Al-Qur‟an, hadits, ijma‟ dan qiyas sebagai sumber-sumber
hukum syariah, berdasarkan firman Allah Subhanahu’ wa taʻala di dalam
Al-Qur‟an Surat An-Nisa: 59 sebagai berikut:
28
Komisi Fatwa MUI, Pedoman dan prosedur Penetapan Fatwa Majelis
Ulama ,(Jakarta: Sekretariat MUI, 2001). Lihat Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem
Hukum Islam , hal. 246 29
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, (Jakarta:
Erlangga) hal. 5 30
Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, hal. 123
57
31
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS
An-Nisa:59)
Al-qur‟an hadits, dan ijma‟ dianggap sebagai sumber hukum
yang berdiri sendiri karena tidak membutuhkan pihak lain dalam
menetapkan suatu hukum. Sedangkan qiyas tidak dianggap sebagai sumber
hukum yang berdiri sendiri karena membtuhkan analog hukum yang
terdapat di dalam Alqur‟an dan hadits, dengan menggali dan mencocokan
‘illah (sebab) pada hukum asal. Dengan demikian, sebagai dalil qiyas tidak
independen, namun terikat dengan ‘illah yang terdapat dalam nash Al-
qur‟an maupun hadits. 32
Sedangkan secara metodologi, Prosedur
penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia memiliki lima tahapan
diantaranya sebgaia berikut:33
Tahapan Pertama, setiap keputusan fatwa harus mempunyai
dasar di dalam Al-qur‟an dan hadits yang mu’tabar serta tidak
bertentangan dengan kemaslahatan umat. Sebelum fatwa ditetapkan akan
ditintau terlebih dahulu pendapat para imam mazhab tentang masalah yang
31
QS. An-Nisa‟:59 32
Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, hal. 124 33
Ibid hal 124
58
akan difatwakan tersebut, secara seksama berikut dalil-dalilnya. 34
Tahapan Kedua, untuk masalah-masalah yang telah jelas hukumnya (al-
ahkam al-qath’iyyat), maka dismapaikan sebagaimana adanya. Hal ini
sebagai manifestasi dari penggunaan pendekatan nash qath’i, di samping
qawli, dan manhaji.35
Tahapan ketiga terkait dengna masalah-maslaah
yang diperselisihkan (khilafiah) di kalangan mazhab, maka akan ditempuh
dalam dua cara:
1) Menemukan titik temu diantara pendapat pelbagai mazhab
melalui metode al-jam’u wa at-tawfiq (menggabung dan
menyesuaikan persamaan); dan
2) Jika upaya al-jam’u wa at-tawfiq tidak berhasil dilakukan
maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih (memilih
pendapat yang argumentasinya paling kuat diantara
argumentasi yang telah ada) melalui metode muqaran al-
mazahib menggunakan kaidah –kaidah ushul al-fiqh al-
muqaran (ushul fikih perbandingan).
Tahapan keempat, terkait dengan masalah-maslah yang tidak
ditemukan pendapat hukumnya di kalangan mazhab, maka penetapan MUI
didasarkan pada hasil ijtihad jama’i (kolektif) melalui metode bayani,
ta’lili (qiyasi, istishan, ilhaqi), istilahi dan sad adz-dzari’ah. 36
Tahapan
kelima, penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan
umum (mashalih ‘ammah) dan maqashud asy-syari’ah.
Selain itu ada tiga pendekatan yang digunakan dalam proses
penetapan fatwa MUI, yaitu pendekatan nash, qath’I, qawli, dan manhaji.
Pemdekatan nash qath’i dilakukan dengan cara menggali jawaban atass
setiap persoalan hukum yang muncul berdasarkan kajian terhadap Al-
34
Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, hal. 125 35
Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, hal. 126 36
Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, hal. 129
59
Qur‟an dan hadits. Sementara pendekatan secara qawli adalah metode
penetapan hukum Islam dengan cara merujuk kepada pendapat-pendapat
(aqwal) pzra ulama terdahulu di dalam kitab-kitab standar fikih. 37
Penetapan fatwa berdasarkan keterangan nash Al-Quran dan hadits jelas
tidak memadai. Pasalnya, nash bersifat sangat terbatas, sedangkan
berbagai persoalan terjadi terus menerus dan terus berkembang. Dengan
demikian, tidak mungkin hanya berpegangan kepada aqwal ulama saja. 38
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan lain yang dapat
dijadikan acuan. Komisi Fatwa MUI tidak hanya menggunakan
pendekatan nash dan qawli, tetapi juga menggunakan pendekatan manhaji.
Pendekatan manhaji adalah penggunaan metodologi hokum islam dalam
menetapkan suatu fatwa.39
Selain itu metode ijtihad yang digunakan
Majelis Ulama Indonesia dalam menetapkan suatu fatwa yakni
menggunakan metode ijtihad insyai’ dan ijtihad intiqai.40
Yaitu dengan
cara merujuk dan mengkaji pendapat para imam mazhab harus dilakukan
secara komprehensif, menyeluruh dan seksama. Ijtihad intiqai dilakukan
untuk memilih pendapat para hali fiqh terdahulu mengenai masalah-
masalah tertentu, seperti yang tertulis dalam berbagai buku fiqh, kemudian
menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih relevan dengan
kondisi sekarang. Sedangkan Ijtihad insyai dilakukan untuk mengambil
kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa baru yang belum
diselesaikan oleh ahli fiqh terdahulu. 41
37
Ibid hal. 129 38
Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, hal. 130 39
Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, hal. 131 40
Deny Hudaeny, Aplikasi Ijtihad Intiqai dan Insyai dalam Kehidupan
Modern, (Jakarta: Pascasarjana UIN Jakarta, 2005), Tesis. Lihat Asrorun Ni‟am Sholeh,
Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 133 41
Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, hal. 136
60
BAB IV
FATWA MUI TENTANG PELAKSANAAN SALAT JUMʻAT
SELAIN DI MASJID
A. Pandangan Ulama Fikih Tentang Pelaksanaan Salat Jumʻat Selain Di
Masjid
Persoalan tentang pelaksanaan Salat Jumʻat selain di masjid
tentunya sangat penting apabila dijadikan acuan di lain waktu jika ada
kegiatan pelaksanaan Salat Jumʻat selain di masjid terlebih khususnya di
Indonesia. Dalam pembahasan di dalam ketentuan syarat Salat Jumʻat
dalam point tempat pelaksanaanya terdapat ikhtilaf di kalangan ulama
mazhab alasan terjadinya ikhtilaf di sini adalah apakah Salat Jumʻat wajib
dilaksanakan di masjid yang merupakan syarat sahnya Salat Jumʻat atau
tidak?. Setelah di teliti lebih dalam bahwa tempat pelaksanaan Salat
Jumʻat termasuk di dalam bagian syarat sahnya Salat Jumʻat
Jika di lihat dari pendapat keempat para Imam Mazhab yakni
Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi‟I, Imam Ahmad bin Hambal, dan
Imam Malik. Ketiga para ulama mazhab ini sepakat tentang kebolehnya
melaksanakan Salat Jumʻat di tanah lapang (selain dimasjid). Namun yang
terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama mazhab yakni Ulama
Malikiyah mereka berpendapat bahwa melaksanakan Salat Jumʻat itu tidak
sah kecuali di masjid 1 berikut adalah pemaparan pendapat dikalangan
ulama mazhab.
1 Syekh Abdurrahman Al-Jaziri , Al-Fiqh „Ala Mazahib Al-Arba‟ah (Kairo:
Daar al-Hadits, 1434 H-2003 M), Jilid Pertama, Bab Salat jumʻat , hal. 302.
61
Menurut Mazhab Hanafi2 syarat sahnya salat jumʻat termasuk
misir jami‟ “ tidak ada jumʻat, tasyriq, idul fitri dan idul adha melainkan di
misir jami‟, karena para sahabat ketika menaklukan berbagai negeri dan
kampung mereka tidak sibuk mendirikan mimbar dan membangun masjid
saat berada di negeri dan kampung tersebut.mereka sepakat bahwa misir
jami‟ itu syarat didirikanya syariat. Adapun batasan yang disebut misir
jami‟ adalah di dalamnya ada suatu penguasa/qadhi untuk menegakkan
hukum hudud dan menjalankan hukum syari‟at lainya.3
Mereka juga
mensyaratkan yang menjadi imam Salat Jumʻat adalah pemipinya atau
wakilnya. Jika sang pemimpin memberikan izin untuk melaksanakan Salat
Jumʻat di bangunan masjid maka diperbolehkan untuk melaksanakan di
dalam masjid.4
Di dalam mazhab hanafi mereka mengkategorikan juga bahwa
pelaksanaan Salat Jumʻat bukanlah syarat sahnya Salat Jumʻat. Mereka
berpendapat bahwa sahnya Salat Jumʻat itu tidak diisyaratkan harus
dilaksanakan di dalam masjid, melainkan sah juga hukumnya jika
dilaksanakan di tanah lapang dengan syarat jarak jauhnya dari negeri
(kota) tidak lebih dari 1(satu) farsakh dan diizinkan oleh imam (pemimpin)
untuk mendirikan Salat Jumʻat di tempat tersebut sebagaimana yang telah
dikemukakan terdahulu dalam syarat-syarat Salat Jumʻat. Berikut adalah
pendapat al-Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi yaitu: 5
وال يشرتط لصحة اجلمعة إقامتها يف البنيان. و جيوز إقامتها فيما قاربه من الصحراء , وهبذا قال أبو حنيفة
“Tidak termasuk syarat sah pelaksanaan salat jumʻat harus
dilakukan di dalam bangunan. Pelaksanaan salat jumʻat boleh
2 Syekh Abdurrahman Al-Jaziri , Al-Fiqh „Ala Mazahib Al-Arba‟ah, hal. 303
3 Abu Bakar Muhammad bin Abu Sahl Asy-Syarkhasiy, Al-Mabsuth (Daar al
kitab al ulumiyah: Beirut-Lebanon,1414H/1993M) Juz 2., hal.1201-121 4 Asy Syaikh Abdul Qadir Ar Rahbawi, Ash Sholaah „Ala Al-Mazdahib Al-
Arba‟ah Ma‟a Adillah Ahkaamiha. Penerjemah Nurdin Apud Sarbini, Lc., Shalat Empat
Mazhab .(Jakarta: Akbar Media, Cetakan pertama, Januari 2016 M), hal.339 5 Ibnu Qudamah, Al-Mughni , (Darul Amirul Kitab: Kairo juz 3, 1426H-
2005M), Bab Shalat Jum‟at., hal. 212-216
62
dilakukan di anah lapang yang dekat dengan bangunan. Ini juga
merupakan pendapat Imam Abu Hanifah”
Mazhab Hambali Mereka berpendapat bahwa Salat Jumʻat itu
sah dilaksanakan di tanah lapang bila itu dekat dengan bangunan. Yang
dimaksud dekat hendaklah disesuaikan dengan urf‟/ kedekatan ini
berdasarkan kebiasaan. Jika tanah lapang itu tidak dekat (dengan
bangunan), maka salat itu tidak sah. Jika imam hendak melasanakan salat
tersebut di padang pasir atau padang sahara maka hendaklah ia menunjuk
pengganti orang lain untuk menjadi imam yang meminpin salat bagi
makmum orang-orang yang lemah. Begitu juga dengan pendapat Ibnu
Qudamah tidak di isyaratkan untuk sahnya Salat Jumʻat untuk dilakukan di
masjid. Boleh saja jika melakukan Salat Jumʻat di tanah lapang yang dekat
dengan bangunan demikian juga pendapat ini yang di pakai oleh imam
Abu Hanifa. 6
Menurut Mazhab Syafi‟i mereka berpendapat bahwa Salat
Jumʻat itu sah jika dilaksanakan di tanah lapang apabila tanah lapang itu
dekat dengan bangunan. Batas dekat disni menurut mereka adalah (jarak)
tempat yang tidak sah bagi seorang musafir menqashar salat ketika sampai
di tempat salat itu. Yang semisal dengan tanah lapang adalah lembah yang
terdapat dalam pagar suatu negeri, jika ia berpagar. 7
Menurut pendapat Imam Nawawi yaitu:8
د ل ب ن م ة ع م اجل م هب د ق ع ن من ت أبنية يست وطن ها التصح اجلمعة إال يفو اء ف ل ال ام أي يف وال ملسو هيلع هللا ىلص اهللل رسو د ه يف ع ة ع م م اجل ق ت ل ه ن ل ة ي ر ق أو
د ل الب ل ه أ ج ر خ ن إ بدو. ف يف ت م ي ق ا أ ه ن أ ل ق ن ول ي ة ري د أوق ل يف ب إال يه ح ف ص ت م ل ن ف ط و ب س ي ل لنه ز جي ل ة ع م لوا اجل ص ف د ل الب ج ار إىل خ
6 Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah Al-
Maqdisiy, Al-Mughniy, (Daar Al-IIlmu Kiitab: Kairo, 1419H-1999M), Juz Tiga., hal.
213-124 7 Syekh Abdurrahman Al-Jaziri , Al-Fiqh „Ala Mazahib Al-Arba‟ah, hal. 303
8 Imam Abi Zakaria Muhidin bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu‟ Syarh Al-
Muhadzab, (Dar el fikr: Beirut-Lebanon, 1426H-2005 M), Juz ke empat., hal.419
63
ت ر ض ح ف ه ت ار م ى ع ل ع ه ل ه م أ قا أ ف د ل ب ال م د ه ن ا إن . و و د لب كا ة ع م اجل ان ط يست اال ع ض و يف م م ه ن ا ل ه ت ام ق إ م ه م ز ل ة ع م اجل
“Salat Jumʻat bisa sah jika dilakukan di sebuah bangunan yang
jamaahnya merupakan warga tetap di suatu negeri atau daerah
sehingga dengan jamah tersebut salat jumʻat dapat terlaksana.
Sebab, pada masa Nabi dan Khulafa‟ ar-Rasyidun salat jumʻat
hanya dilaksanakan di suatu negara atau daerah. Tidak ada
riwayat yang menyatakan bahwa salat jumʻat dilaksanakan di
padang sahara. Jika suatu warga suatu daerah
berpegian/merantau ke daerah lain, kemudian melaksanakan
salat jumʻat, maka salat jumʻat tersebut tidak dianggap sebagai
keabsahan salat jumʻat (maksudnya, salat jumʻat mereka tidak
menjadi perhitungan akan keabsahan salat
jumʻat).Sebab,mereka(yang sedang berpegian atau merantau)
itu bukan menjadi warga tetap di daerah yang dikunjungi tadi.
Maka, salat jumʻat yang hanya dilakukan oleh para perantau
tadi tidak sah layaknya seperti yang dilakukan oleh orang-
orang badui. Jika suatu daerah terjadi keruntuhan atau
kerusakan, kemudian warganya memperbaiki daerahnya itu,
sampai tiba waktu salat jumʻat maka warga tersebut
dibebankan untuk melaksanakan salat jumʻat. Sebab mereka
sudah termasuk kategori warga tetap.
Menurut Imam Taqiyudin syarat sahnya pelaksanaan Salat
Jumʻat ada 3 (tiga) salah satunya di negeri atau kota atau desa yang
dimana bangunan tersebut berupa batu atau kayu atau ranting dan
sebagainya. Persyaratan ini karena Salat Jumʻat yang didirikan pada zaman
Rasulullah Salallahu‟ „alaihi wa sallam seperti itu. Dan disyaratkan di
dalam bengunan tersebut itu menyatu dan tidak memisah. 9
Menurut Zainudin bin Muhammad Al-Ghazali menyatakan
bahwa sekalipun jika pelaksanaan Salat Jumʻat di sebuah padang yang
masih pedalaman wilayahnya maka salat tersebut tidak boleh dilaksanakan
sejauh di perbolehkanya salat qashar yakni 86 km.10
Lain halnya jika
9
Imam Taqiyudin Abi Abakar ibn Muhammad Al Husaini As Syafi‟i,
Kifayatul Akhyar, (Maktab Darul Ihya: Ttp), Jilid Satu, hal. 147
10 Zainudin bin Muhammad Al-Ghazali Al-Malibari, Fathul Mu‟in.
Penerjemah Ali As‟ad, Terjemah Fath al-Mu‟in (Menara: Kudus, 1976M), jilid I, hal. 318
64
sudah termasuk wilayah tersebut maka sudah boleh dilaksanakanya salat
qashar.
Menurut pendapat Ibnu Hajar Al-Haytami As-Syafi‟I
menjelaskan:11
سجد كماصرح
ة إقامتهاامل وابه ف لو أقاموهايف أن اجلمعة اليشت رط لصحة فضاءالعمرا ن صح
“Sesungguhnya jumʻat tidak diisyaratkan kesahannya di masjid.
sebegeimana mereka secara tegas berpendapat sekiranya
mereka melaksanakan shalat jumʻat di tempat terbuka di antara
gedung atau bangunan maka shalatnya sah.”
Menurut Ulama Mazhab Maliki mereka berpendapat bahwa
Salat Jumʻat itu tidak sah dilaksanakan di rumah, tidak pula di tanah
lapang, di halaman rumah, dan di hotel. Melainkan harus di masjid dan ini
merupakan syarat mutlaq yang harus dipenuhi agar terciptanya
kekhusukan di dalam pelaksanaan salat jumʻat.menurut Mazhab Maliki
sahnya melaksanakan salat menurut mereka harus terpenuhinya keempat
syarat yaitu Imam, Jamaah, Masjid dan Tempat duduk. Sekaligus menjadi
syarat sahnya dan syarat wajib.12
B. Analisis Fatwa MUI Tentang Pelaksanaan Salat Jumʻat Selain Di
Masjid
Pada masa modern ini seluruh umat manusia berpacu dalam
segala bidang kehidupan kehidupan, baik itu kehidupan yang bersifat
duniawi maupun kehidupan yang bersifat ukhrawi. Untuk
menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat maka diperlukan
pengetahuan yang luas, baik itu pengetahuan yang bersifat umum dan
agama.
11
Hukum shalat Jum‟at di Luar Masjid, m.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah
hukum-solat-jumat-selain-di-masjid.html di akses pada tanggal 25 januari 2018. Pukul
10.00 WIB 12
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani,dkk. Jilid II, hal. 388
65
Betapa pentingnya nilai ilmu pengetahuan tersebut baik agama
mapun umum dalam kehidupan manusia. Dengan ilmu pengetahuan
tersebut manusia akan mengalami kemajuan, kebahagiaan dan
kesejahteraan apabila ilmu pengetahuan ini dimanfaatkan dengan sebaik-
baiknya oleh manusia tersebut. Berbicara tentang urgensinya fatwa dalam
kehidupan umat manusia itu sendiri fatwa tersebut tidak bisa dipisahkan
dari kedua sumber hukum yang ada di dalam hukum islam yaitu Al-qur‟an
dan Sunnah. Al-qur‟an dan Sunnah yang bersumber dari Rasulullah
Salallahu‟ „alaihi wa sallam juga masih perlu ada penjabaran secara
mendetail terhadap masalah-masalah yang diangkat sebelumnya.
Fatwa juga sebagai bentuk pengambilan hasil keputusan hukum
syariat yang sedang diperselisihkan. Fatwa juga sebagai jalan keluar dari
kemelut perbedaan pendapat dari para ulama. 13
Fatwa juga tidak telepas
dari pembicaraan ilmu fikih dengan segala cabangnya. Persoalan fatwa
selalu berkaitan dengan masalah kehidupan.
Setiap ketetapan hukum mempunyai sumber pengambilan
hukum dalam ilmu fikih yang dikenal dengan istinbath hukum. Istinbath
(pengambilan hukum ) dalam syariat islam harus selalu mengikuti aturan
yang sudah ditetapkan oleh Nash yaitu al-Qur‟an dan Hadits. Allah
Subhanahu Wa Ta‟ala telah menurunkan agama Islam yang memuat
ajaran universal yang bersifat fleksibel untuk kemaslahatan hidup manusia,
baik di dunia maupun di akhirat.
Kemaslahatan hidup manusia merupakan tujuan dari
disyariatkanya ajaran agama Islam. Allah Subhanahu Wa Ta‟ala
menetapkan syariat dengan prinsip-prinsip kemudahan, menghindari
kesempitan dan memberikan kemudahan bagi hamba-Nya. Salah satu
prinsip penysariatan (tasyri) adalah memberikan kemudahan (at-taysir)
dan menghindari kesulitan bagi umat („adam al-haraj). Untuk hal itu,
13
Rohadi Abdul Fatah, M.Ag, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih
Islam, hal. 27
66
Allah Subhanahu Wa Ta‟ala mengutus Nabi Muhammad sebagai Rasul
yang membawa syariat untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.14
Seiring kebutuhan zaman, produk-produk hukum fikih
mengalami proses dalam setiap implementasinya. Persoalan-persoalan
lama yang begitu kompleks memerlukan jawaban praktis, upaya
semaksimal mungkin untuk mencari titik temu dan menghindari terjadinya
perbedaan pendapat di antara ulama. muraah al-khilaf adalah salah satu
perwujudan sebagai suatu pertanyaan dalam menjawab permasalahan
hukum secara kehati-hatian. Selain menjadi salah satu metode dalam
penetapan hukum, langkah ihtiyathi didasarkan pada pertimbangan
strategis. Jika kita mengambil pandangan mazhab fikih yang
mengedepankan kehatian-hatian, maka opini fikih, fatwa dan standar
hukum Islam yang dilahirkan akan diterima oleh semua pihak di kalangan
masyarakat.15
Sebagaimana yang telah tercantum dalam ilmu ushul fiqh bahwa
setiap akan menetapkan suatu fatwa terlebih dahulu harus merujuk kepada
al-Qur‟an dan Sunnah. Selanjutnya, jika ada permasalahan yang akan
difatwakan hukumnya jika tidak ditemukan dalam kedua sumber hukum
tersebut, perlu diteliti secara mendalam dan diperhatikan apakah mengenai
hal yang akan dikaji pernah ada ijma‟ dari ulama terdahulu atau tidak?.
Jika ternyata telah ada ijma‟ yang pernah membahasnya maka fatwa
tersebut harus sejalan dengan ijma‟ dan fatwa tersebut dan tidak boleh
bertentangan. Hal ini mengingat bahwa ijma‟ memiliki otoritas yang kuat,
bersifat absolut dan berlaku universal. Kemudian jika tidak ada ijma‟,
fatwa dikeluarkan setelah memalui proses ijtihad dengan menggunakan
14
Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, hal 19 15
Sambutan Kata pengantar DR. (HC) K.H. Ma‟ruf Amin Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Lihat Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (jakarta: Erlangga,2016)., hal. xxxiii
67
perangkat-perangkat ijtihad yang memadai serta berpegang pada dalil-dalil
hukum lain, seperti qiyas dan sebagainya. 16
Fatwa dan ijtihad merupakan dua hasil pemikiran ulama/ahli
fikih Islam yang patut dipertahankan sepanjang masa. Kaitan fatwa dan
ijtihad ini sangat erat sekali, sebab ijtihad itu merupakan usaha maksimal
para ahli untuk mengambil hukum-hukum tertentu. Fatwa dan ijtihad itu
memunculkan pola pikir yang dinamis dalam menegakkan ajaran-ajaran
Islam secara murni. Sebab pada masa modern ini dituntut bagi setiap
individu muslim senantiasa berpikir melakukan terobosan untuk
mempertahankan nilai-nilai ajaran Islam.17
Agar tidak terbawa oleh aliran-
aliran yang dapat menjerumuskan manusia itu sendiri.
Di Samping itu di dalam menetapkan suatu fatwa selain merujuk
kepada kedua sumber Hukum Islam yakni al-Qur‟an dan Sunnah sumber
lainya juga adalah dengan cara merujuk dan mengkaji pada pendapat
imam mazhab terdahulu. Pengkajian terhadap pendapat imam mazhab ini
harus dilakukan secara komprehensif, menyeluruh dan seksama. Artinya,
jika mengenai masalah yang akan dikaji atau difatwakan terdapat beberapa
pendapat, semua pendapat itu harus di perhatikan dan di teliti, kemudian
dikaji dalil-dalil yang dikemukakan oleh masing-masing imam mazhab.
Baru kemudian diputuskan pendapat mana yang akan ditetapkan sebagai
fatwa. Pendapat yang diambil sebagai fatwa ini sudah tentu harus
merupakan pendapat yang paling kuat dalilnya serta membawa
kemaslahatan umat.
Selanjutnya sebelum fatwa tersebut di keluarkan untuk di
jadikan pedoman bagi masyarakat. Terlebih dahulu fatwa tersebut di uji
oleh ahlinya mengenai bidang yang akan di fatwakan. Contohnya seperti,
jika masalah yang dihadapi mengenai masalah-masalah kontemporer
16
Aidilla Putri Hapsari, “Hukum Aborsi Terhadap Janin Yang Cacat (Studi
Analisis Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2005) ” ( Skripsi S-1 Fakultas Syariah, Institut
Agama Islam Negeri Surakarta, 2017), hal. 77 17
Rohadi Abdul Fatah, M.Ag, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih
Islam, hal. 108-109
68
misalnya permasalahan mengenai hukum memakan kopi luwak (kopi yang
diolah dan dihasilkan dari pencernaan hewan luwak) dan hukum memakan
daging kepiting maka, terlebih dahulu mendatangkan dan mendengarkan
penjelasan dari para ahlinya sehingga jelas letak permasalahanya. Dengan
adanya di datangkan ahli oleh lembaga tersebut maka agar lebih detail
hasil penjelasan bagi objek yang akan diteliti sebelum dijadikan/ditetapkan
menjadi suatu hukum. Maka dengan ini proses pemberlakuan berupa
metode ijtihad digunakan untuk menentukan hukumnya. 18
Dengan cara
demikian, diharapkan fatwa yang dikeluarkan mempunyai dasar dan
landasan hukum yang benar secara ilmiah dan dapat dipertanggung
jawabkan.
Menurut analisa penulis bahwa metode Majelis Ulama Indonesia
menetapakan fatwa tentang pelaksanaan Salat Jumʻat selain di masjid
adalah dengan menggunakan metode yang mendasarkan hukumnya atas
dasar kemaslahatan untuk umat yang di dalamnya terdapat maqashid al-
syariah (tujuan – tujuan ditetapkanya hukum); yang meliputi lima perkara,
yaitu memelihara agama (hifzh ad-din), memelihara jiwa (hifzh an-nafs),
memelihara akal (hifzh al„aql), menjaga keturunan (hifzh an-nasl),
memelihara harta (hifzh al-mal).
Jika memahami satu penjelasan yang diberikan oleh Bapak
Asrorun Ni‟am dalam mata perkuliahan Filsafat Hukum Islam beliau
menjelaskan bahwasanya dengan adanya maqashid al-syariah ini setiap
upaya untuk memelihara eksistensi kelima perkara tersebut dikategorikan
sebagai maslahat (manfaat). Sebaliknya, hal-hal yang dapat merusak dan
mengancam eksistensi kelima perkara tersebut dikategorikan sebagai
mafsadat (kerusakan) maka dengan hal ini dapat terhindarkan. 19
Untuk
mementukan baik-buruk suatu perbuatan, juga mengukur manfaat atau
18
Bimbingan Teknis Penyusunan Fatwa, Yang Diselenggarakan oleh
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pada Tanggal 24-25
Oktober 2016. Narasumber Prof. Dr. Hj Huzaemah Tahido Yanggo,MA 19
Al-Ghazali, al-Mustashfa min „Ilm al-Ushul (Beirut: Dar al-Fikr, 1983),
Jilid I, juz II, hal. 209. Lihat Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia, hal 51
69
mafsadatnya, serta dalam rangka mewujudkan tujuan utama pembentukan
dan pembinaan hukum, maka tolak ukurnya adalah apa yang menjadi
keperluan dasar bagi manusia.
Adanya syariat islam diturunkan untuk melindungi dan
memelihara kepentingan manusia, baik kepentingan material, sprirtual,
individu maupun kepentingan sosial. Syariat Islam memelihara
kepentingan tersebut atas keadilan dan keseimbangan tanpa melewati batas
atau dapat mendatangkan kerugian. Tuntutan keperluan yang harus
dipenuhi untuk kelangsungan kehidupan umat manusia mempunyai tiga
tingkatan, yaitu yang bersifat primer (dharuriyyat) masalah-masalah
penting yang harus dipenuhi untuk kelangsungan hidup manusia apabila
hal tersebut tidak dipenuhi maka akan terjadi kerusakan dan kekacauan,
sekunder (hajiyat) adalah hal-hal yang dibutuhkan manusia untuk
mendapatkan kelapangan hidup, apabila hal tersebut tidak dipenuhi maka
manusia akan selalu dihinggapi perasaan kesempitan dan kesulitan. dan
tersier atau pelengkap (tahsiniyat). 20
Tingkatan dharuriyyat adalah
kebutuhan yang mutlak ada, yang dapat menjamin eksistensi maqashid al-
syariah untuk kepentingan untuk mewujudkan kemaslahatan baik di dunia
maupun diakhirat, sehingga tidak ada satupun hukum yang ditetapkan oleh
syara‟ yang tidak mengandung kemaslahatan. Karena pada dasarnya
penetapan suatu hukum adalah untuk menghindari kemudharatan yang ada
atau yang akan datang. Dalam masalah ibadah, hal-hal yang bersifat
dharuriyyat diantaranya salat, membayar zakat, mengerjakan puasa dan
ibadah haji. Begitu pula dalam hal shalat Kelima hal itu merupakan ibadah
pokok yang mutlak ada untuk menjaga salah satu aspek dalam maqashid
al-syariah, yakni memelihara agama (hifzh ad-din). Jika kelima ibadah itu
ditinggalkan atau ada pihak yang menghalang-halangi pelaksanaanya
sehingga tidak terlaksana, maka hancurlah agama. Karena itu, upaya untuk
20
Rohadi Abdul Fatah, M.Ag, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih
Islam, hal. 60
70
melestarikan hal-hal pokok semacam itu menjadi kebutuhan paling penting
bagi kaum muslimin.
Begitu juga pada penjelasan fatwa Majelis Ulama Indonesia
tentang Pelaksanaan Salat Jumʻat selian di masjid dalam hal ini Majelis
Ulama Indonesia tidak membenarkan mengistinbathkan suatu ketetapan
hukum dengan cara yang menduga-duga dan di dasarkan pada keinginan
dan kepentingan tertentu tanpa di dasari oleh dalil-dalil semata saja.21
Melainkan harus dengan kehati-hatian dalam menetapkan suatu hukum.
Dalil-dalil yang dijadikan landasan oleh MUI seperti yang
tertuang dalam keputusan fatwa yakni yang terdapat dalam QS. At-
Taubah: 18
22
Artinya: “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-
orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta
tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut
(kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-
orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang
mendapat petunjuk”.
Makna arti dari ayat di atas bahwasanya dapat dipahami barang
siapa saja yang benar-benar memberdayakan masjid dalam arti
memakmurkannya hanyalah orang - orang yang beirman kepada Allah dan
hari kemudian maka akan selalu di berikan petunjuk kejalan yang lurus
dan benar. Memakmurkan masjid mencakup banyak aktifitas di dalamnya
21
Nurul Muhajaro, “Analisis Tehadap Keputusan Majelis Ulama Indonesia
Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Hak Cipta.” ( Skripsi S-1 Fakultas Syariah, Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang , 2008), hal. 58 22
QS At-Taubah:18
71
antara lain membangun, beribadah dengan tekun di dalamnya. Begitu pula
dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Rasulullah Salallahu‟ ʻalaihi wa
sallam
ث نا سيار هو أبو ث نا هشيم قال حد د بن سنان قال حد ث نا مم حدث نا جابر بن عبد الله قال ث نا يزيد الفقري قال حد الكم قال حد
ق بلىي ي عطهن أحد من النبياء أعطيت خسا ل ملسو هيلع هللا ىلصرسول اهلل ا وطهورا نصرت بالرعب مسرية شهروجعلت يل الرض مسجد
الة ف ليصل واحلت يل الغ ارجل من أميت أدركته الص كان النيب نائم و وايفاعةيبعث إيل قومه خاصة وبعثت ايل الناس كاف روا ) ة واعطيت الش
23 البخاري(
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sinan berkata,
telah menceritakan kepada kami Husyaim berkata, telah
menceritakan kepada kami Sayyarah -yaitu Abu Al Hakam-
berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid Al Faqir
berkata, telah menceritakan kepada kami Jabir bin „Abdullah
berkata, “Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda:
“Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada
seorangpun dari Nabi-Nabi sebelumku; aku ditolong melawan
musuhku dengan ketakutan mereka sepanjang sebulan
perjalanan, bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan
suci; maka dimana saja seorang laki-laki dari ummatku
mendapati waktu shalat hendaklah ia shalat. Dihalalkan harta
rampasan untukku, para Nabi sebelumku diutus khusus untuk
kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia, dan aku
diberikah (hak) syafa‟at”
Rahmat Allah Subhanhu‟ Wa Ta‟ala ini merupakan kemudahan
bagi umat Islam sehingga di mana saja mereka berada mereka dapat
beribadah kepada Allah SWT. Pada sisi lain, kabar ini juga merupakan
pengingatan kepada umat Islam agar selalu mengingat Allah SWT di
manapun mereka sedang berada, apakah mereka sedang beraktivitas di
23
Muhammad Ibn ismail al-Bukhari, Shahih Bukhori ( Kairo: Daar al-Hadits)
Jilid I,. Bab Shalat,. No. 419., hal. 191
72
pasar, jalanan, sekolah, universitas, rumah, atau tempat-tempat lain.
Sungguh Allah Subhanahu‟ Wa Taʻala sangat sayang kepada manusia,
sehingga memberi kemudahan yang demikian agar kita senantiasa dekat
kepada-Nya. Sebagaimana yang tertuang dalam fatwa, dalam hal ini
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia juga menggunakan beberapa
qaidah fiqhiyah di antaranya yaitu:
الضرريدفع بقدر اإلمكان
“ Mudarat itu dicegah semaksimal mungkin”
Di sini penulis memahami arti dari qaidah yang terdapat dalam
fatwa penjeleasanya diatas adalah mudharat itu harus di cegah semaksimal
mungkin agar tidak menjadi perkara yang lebih besar lagi di lain waktu.
Yang di mana menghilangkan kemudharatan (bahaya) yang telah terjadi
adalah suatu kewajiban bagi setiap umat manusia, dan juga diwajibkan
untuk memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan oleh manusia. Sama
seperti halnya suatu hukum yang asal hukumnya haram maka hukumnya
tetap haram yang tidak bisa diubah lagi ketentuannya.
صتصرف اإلمام ع
لحة لى الرعية منوط بامل
“Tindakan pemimpin (pemegang otoritas) terhadap rakyat
harus mengikuti kemaslahatan”
Syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam kaidah ini adalah
kemaslahatan yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan maqashid
as-syar‟I, pilihlah maslahah yang terbaik di antara maslahah yang
mungkin tercapai, tutuplah dan hindari kemudharatan yang mungkin
terjadi. Kebijakan pemimpin dalam kaidah ini setidaknya bisa
menimbulkan kepastian hukum bagi masyarakatnya. Begitu pula jika kita
mengacu pada pelaksanaan Salat Jumʻat di lapangan yang telah terjadi,
73
masyarakat membutuhkan kepastian hukum dari pihak yang berwenang
apakah boleh hukumnya melaksanakan Salat Jumʻat dilapangan atau
tidak?. Dengan adanya tindakan seorang pemimpin yang selalu memegang
teguh prinsip-prinsip ke Islaman maka segala sesuatu perselisihan baik
yang besar maupun yang kecil dan berbagai perbedaan pendapat bisa
terhindari.
Dalam hal ini Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
menetapkan bahwa Salat Jumʻat merupakan kewajiban setiap muslim yang
baligh, laki-laki, mukim dan tidak ada udzur syar‟i. Pelaksanaan unjuk
rasa untuk kegiatan amar makruf nahi munkar, termasuk tuntutan untuk
penegak hukum dan keadilan tidak menggugurkan kewajiban
melaksanakan Salat Jumʻat. Salat Jumʻat hukumnya sah jika dilaksanakan
di luar masjid selama berada di area pemukiman. Apabila Salat Jumʻat
dilaksanakan di luar masjid maka harus memperhatikan terjaminya
kesucian tempat dari najis, tidak menggangu kemslahatan umum dan
terjaminya kekhusukan, dan keselamatan pelaksanaan salat selama proses
Salat Jumʻat berlangsung.
Di samping itu Majelis Ulama Indonesia juga melihat pendapat
dari al-Imam al-Ramli “ Dan makruh hukumnya salat di jalan dan di
bangunan saat orang-orang sedang lewat seperti tawaf, karena akan dapat
mengganggu kekhusyukanya, berbeda dengan di tanah lapang yang sepi
dari lalu lalang manusia (tidak makruh) sebagaimana pendapat yang
dishahihkan oleh Imam al-Nawawi dalam al-Tahqiq”. Jika dilihat dari
pendapat diatas melaksanakan Salat Jumʻat boleh di tanah lapang
dikarenakan tanah lapang sangat sepi dan jarang dilalui oleh orang. Yang
tidak diperbolehkan menurut pendapat Imam al-Ramli adalah
melaksanakan salat di jalanan. Di sini, penulis mengambil kesimpulan
tidak diperbolehkanya salat di jalan karena banyak hal-hal yang
dikhawatirkan di antaranya mengganggu pengguna jalan dan kesucian
74
dijalan tersebut. Seperti yang telah diketahui bahwa jalanan juga termasuk
ke dalam tempat yang dilarang untuk mendirikan salat.
Menurut pendapat penulis pada fatwa ini juga Majelis Ulama
Indonesia lebih banyak mengakomodir kitab-kitab karya Mazhab Syafi‟I
dan dalam fatwa ini juga sudah sejalan dengan kedua sumber Hukum
Islam yakni Al-qur‟an dan As-Sunnah.
Menurut analisa penulis jika dilihat pelaksanaan Salat Jumʻat
selain masjid itu diperbolehkan dan sah hukumnya, asalkan tempat
tersebut harus terjamin kekhusyukan dan kesucian tempatnya dari najis
yang terlihat maupun tidak. Sebab dikhawatirkan jika Salat Jumʻat di
laksanakan selain di masjid jika terdapat najis dan menggangu
kekhusyukan pada saat melaksanakan salat, maka salat pun menjadi tidak
fokus. Begitu pula adanya persamaan fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis
Ulama Indonesia dengan Dewan Syariah Malaysia yakni jika
permasalahan untuk melaksanakan sembahyang jumʻat di kawasan
kediaman masjid yang dimana masjid itu tidak dapat menampung jumlah
jamaah yang ada. Maka dengan ini majelis ulama di Malaysia
memperbolehkan sembahyang jumʻat tidak di masjid karena dilihat dari
jumlah jamaah yang tidak tertampung, mereka menjadikan pendapat imam
Abu Hanifah untuk mengeluarkan fatwa ini dan di Malaysia juga tetap
tidak memperbolehkan sembahyang jumʻat di jalanan, penjara dan pasar
sebagai tempat melaksanakan salat karena dapat mengganggu ketertiban
dan kenyamanan.24
Yang harus di garis bahwahi di sini bahwasanya jika
selama tidak ada udzur yang benar-benar mendesak untuk melaksanakan
Salat Jumʻat selain di masjid maka hukumnya wajib harus di masjid.
24
Ahmad Hidayat Buang, “Analisis Fatwa-Fatwa Syariah Di Malaysia”.
Dalam Jabatan Syariah dan Undang-undang Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya.
(Malaysia: Pusat Pungutan Zakat Majlis Agama Islam Wilayah Persekutuan, 21 Agustus
2007), hal. 163-173
75
Pada pembahasan pelaksanaan Salat Jumʻat selain di masjid itu
tidak tertulis di dalam fikih secara jelas, maka dari itu banyak menjadi
pertanyaan di kalangan masyarakat apakah boleh hukumnya Salat Jumʻat
di lapangan?. Majelis Ulama Indonesia memutuskan fatwa perihal
pelaksanaan Salat Jumʻat selain di masjid hukumnya diperbolehkan dan
sah jika dilaksanakan selain di masjid begitu pula di lapangan seperti
peristiwa yang telah terjadi. Jika Salat Jumʻat silaksanakan di luar masjid
Majelis Ulama Indonesia memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi
diantaranya yaitu: terjaminya kehkhusyukan rangkaian pelaksanaan salat
jumʻat, terjaminya kesucian tempat dari najis baik yang terlihat maupun
tidak, tidak mengganggu kemaslahatan umum dan terjaminya keamanan
dalam pelaksanaan tersebut.
Dari uraian di atas Jika semua syarat-syarat telah dipenuhi maka
sah hukumnya melaksanakan salat di lapangan. Begitu juga hal yang perlu
diingat bahwa unjuk rasa pada kegiatan amar ma‟ruf nahi munkar itu
adalah kewajiban untuk menegakan keadilan dan tidak menggugurkan
kewajiban Salat Jumʻat.
C. Faktor Yang Melatarbelakangi MUI Mengeluarkan Fatwa Tentang
Pelaksanaan Salat Jumʻat Selain di Masjid
Latar belakang di tetapkan nya fatwa ini yakni beberapa waktu
yang lalu Indonesia mengalami sebuah kasus yang di mana sangat
terbilang menyinggung hati Umat Muslim di Indonesia yakni pernyataan
seorang Gubernur yang menistakan salah satu ayat yang ada di dalam al-
Qur‟an di dalam kampanyenya. Hal tersebut mengundang banyak reaksi di
kalangan umat muslim Indonesia dan masyarakatpun mengadakan aksi
pada 2 Desember 2016, yang disebut dengan aksi 212 yang di mana acara
ini semacam kegiatan unjuk rasa dari masyarakat muslim Indonesia
terhadap kasus penistaan agama tersebut .
76
Bahkan sebelum terjadinya aksi 212 tersebut yang di mana
kegiatan unjuk rasa telah terlebih dahulu berlangsung pada aksi 4
November 2016 yang dalam aksinya Umat Islam menyampaikan kepada
pemerintah agar memberikan hukuman yang adil untuk kasus ini.
Pada penyelenggaran aksi damai 212 ini Umat Islam bertepatan
pada hari Jumʻat yang akan diadakanya kegiatan dzikir dan do‟a serta
Salat Jumʻat berjamaah di Lapangan Monas. Sebab diadakanya Salat
Jumʻat berjamaah ini di Lapangan Monas atau jalan-jalan sekitarnya
dikarenakan jumlah jamaʻah yang sangat banyak dan sehingga tidak
tertampung jika dilaksanakan di Masjid Istiqlal, maka dipilihlah tempat
pelaksanaan Salat Jumʻat ini di Lapangan Monas dan sekitarnya.
Selain pada kasus yang terjadi hal yang melatarbelakangi
dikeluarkanya fatwa ini salah satunya adalah Kepolisian Negara Republik
Indoneisa yaitu Jenderal Tito Karnavian mengemukakan bahwasanya, aksi
Bela Islam III akan digelar di Silang Monas, Jakarta Pusat, Pada tanggal
02 Desember 2016. Hal itu diungkapkan Tito setelah bertemu dengan
Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPGMUI)
di kantor MUI, Jakarta Senin 28 November 2016. Kegiatan ini dilakukan
dari Pukul 08.00 WIB hingga pukul 13.00 WIB. Aksi akan dilakukan
dalam bentuk kegiatan keagamaan seperti dzikir, tausiyah dan Salat Jumʻat
bersama.
Menurut Tito,25
awalnya para peserta aksi akan melakukan
kegiatan dzikir, tausiyah dan Salat Jumʻat di Jalan Thamrin-Sudirman
namun, kepolisisan menyampaikan argumen berdasarkan hukum
melaksanakan ibadah salat dilakukan di jalan. Aturan itu berdasarkan
Undang-Undang (UU) Nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum. pada Pasal 6 Undang-Undang
25
M.viva.co.id/berita/nasional/B53123-kapolri-aksi-bela-islam-iii-2-desember-
digelar-di-monas. Diakses Pada Tanggal 13 Desember 2017, Pukul 20.00 WIB
77
tersebut menyebutkan unjuk rasa tidak boleh menggangu ketertiban umum
dan hak orang lain. Kemudian, pada Pasal 15 Undang-Undang tu
disebutkan bahwa jika Pasal 6 dilanggar maka kegiatan unjuk rasa dapat
dibubarkan. kegiatan salat di jalan, kata Tito selain mengganggu ketertiban
umum juga bisa menimbulkan preseden buruk untuk unjuk rasa berikutnya
dengan modus yang sama dari elemen tertentu. “ Bayangkan jika setiap
keagamaan dilakukan di jalan,” ujarnya.
Dan lahirnya fatwa ini juga sangat penting yakni untuk dijadikan
pedoman dilain waktu apabila diadakanya kembali kegiatan ibadah diluar
masjid agar masyarakat tidak berselisih pendapat tentang kebolehan
melaksanakan Salat Jumʻat atau Ibadah Keagamaan selain di masjid.
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan berdasarkan rumusan masalah yang penulis
buat, ialah sebagai berikut:
1. Bahwasanya para Imam Mazhab yaitu Imam Abu Hanifa, Imam Asy-
Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambali sepakat akan tentang kebolehnaya
melaksanakan salat jumʻat selain di masjid dan tidak termasuk syarat
sahnya salat jumʻat. Hanya Imam Malik yang mewajibkan pelaksanaan
salat jumʻat harus di masjid karena masjid termasuk syarat sahnya salat
jumʻat dalam Mazhab Maliki.
2. Hasil dari analisis fatwa tersebut bahwasanya Majelis Ulama Indonesia
menetapkan fatwa tentang salat jumʻat ini sudah sesuai dengan dasar –
dasar hukum Islam yaitu Al-Quran dan Hadits. Dan telah
memperhatikan maqashid syariah yang dimana untuk mewujudkan
kemaslahatan baik di dunia maupun di akhirat. Pelakasanaan salat
jumʻat selain di masjid itu diperbolehkan dan sah hukumnya, asalkan
tempat nya harus terjamin kesucian, kenyamanan dan keamananya.
Yang harus di garis bawahi disini apabila tidak ada udzur yang benar-
benar mendesak untuk melaksanakan salat jumʻat selain di masjid maka
lebih utama di masjid.
3. Latar belakang dikeluarkanya fatwa ini adalah karena pada tanggal 2
Desember 2016 dilaksanakanya salat jumʻat di lapangan Monas karena
banyaknya jamaah yang mengikuti kegiatan Aksi Bela Islam. Sehingga
tidak tertampungnya jamaah di Masjid Istiqlal. Begitu juga atas
permintaan KAPOLRI yaitu Jendral Tito kepada GNPFMUI tentang
bagaimana hukumnya salat jumʻat di lapangan tersebut.
79
B. Saran
1. Kepada Umat Islam di seluruh Indonesia alangkah baiknya sebelum
melakukan sesuatu perbuatan yang bersifat kontemporer lebih baik
ditanyakan dahulu kepada pihak yang berwenang (Majelis Ulama
Indonesia) tentang bagaimana status hukumnya.
2. Kepada seluruh kaum muslimin jika hendak melaksanakan salat jumʻat
selain dimasjid selama tidak ada udzur yang benar-benar mendesak
untuk melaksanakan salat jumʻat selain di masjid maka hukumnya
wajib dan lebih utama di masjid.
3. Dalam penulisan skripsi ini tentunya masih banyak kekurangan dan
belum sempurna. Maka penulis sarankan untuk kedepanya supaya
pembuat skripsi selanjutnya dapat lebih baik lagi dalam berkarya.
80
DAFTAR PUSTAKA
Teks
Abdullah, Jamil Hasyim, Masa‟il Al-Fiqh Al-Muqarin. Jami‟ah Baghdad:,
Baitul Hikmah 1989 M
Albani, Muhammad Nashiruddin, Shahih Al-Jami‟ Asy-Syarh ash-Shagiir,
Jilid 1 Dar el-Hadits : Kairo, 2016 M.
Amin, Ma‟ruf, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Cet. Pertama, Jakarta:
elSAS, 2008.
Asy‟ats, Sulaiman bin bin Syaddad bin amrin bin amir, Sunan Abi Daud,
Jilid I, Kairo: Daar el-Hadits, 2010.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Al-
Wasiiytu fii Al-Fiqh Al-Ibadah Penerjemah Kamran As‟ at Irsyady
dan Ahsan Taqwim, Fiqh Ibadah, Jakarta: Amzah, 2010.
Bahammam, Abdullah, Fiqih Ibadah Bergambar, Cet. Pertama, Jakarta:
Mutiara Publishing, 2014.
Bahammam, Fahad Salim, Fikih Modern Praktis 101 Panduan 101
Panduan Hidup Muslim Sehari-hari, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, T.th.
Bukhari, Abdillah Abu bin Ismail, Shahih al-Bukhari, Jilid I, Kairo: Al-
Maktab as-Syuruqi Dauliyyah, T.th.
, Abdullah Abu Muhammad bin Ismail, Shahih Al-Bukhari –
Kutubu sittah, Penerjemah Masyhar dan Suhadi Muhammad,
Ensiklopedia Hadits Shahih Al- Bukhari , Cet. Pertama , Jakarta:
Almahira, 2011
Kementerian Urusan Agama Islam, Alqur‟an dan Terjemahnya (Wakaf
dari Raja Abdullah bin abdul Aziz Ali Saʻud), Kompleks
Percetakan Al Quran Raja Fahd: Madinah Al Munawwarah, Mei
1971.
Dewan Syariah Nasonal (DSN) MUI, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah,
jakarta: Erlangga, 2014.
81
Fatah, Abdul Rohadi, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, Cet.
Kedua, Jakarta: PT Bumi Aksara, April 2010.
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta,
Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Pusat Peningkatan dan
Jaminan Mutu Fakultas Syariah dan Hukum, 2017.
Ghazali, Zainudin bin Muhammad Al-Malibari, Fathul Muʻin. Penerjemah
Ali As‟ad, Terjemah Fath al-Mu‟in Menara: Kudus, 1976M, jilid I.
Hidayatullah, Husain, Salat Dalam Mazhab Ahlulbait. Cet. Kedua Jakarta:
Lentera,2007.
Husain, Huri Yasin, Fikih Masjid. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011.
Husaini, As Syafi‟i, Imam Taqiyudin Abi Abakar ibn Muhammad,
Kifayatul Akhyar, Maktab Darul Ihya: Ttp, Jilid Satu.
Ismail, Muhammad bin bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardzibah,
Shohih al-Bukhori , Jilid I, Kairo: Daar el-Hadits, 2010.
Isa Muhammad, Abi bin saurat al-Mutawafa, Sunan At-Tirmidzi , Jilid I,
Beirut; Darul Fikri, 1414 H.
Jaziri, Abdurrahman, Kitab al-fiqh al-Madzahib al-Arba‟ah, Penerjemah
Syarif Hademasyah, Luqman junaidi, Kitab Shalat Fikih Empat
Mazhab, Jilid I, Jakarta: Mizan Publika, 2010.
, Al-Fiqh „Ala Mazahib Al-Arba‟ah, Jilid Pertama,
Kairo: Daar al-Hadits, 1434 H-2003M.
Jamil, Hasyim Abdullah, Masa‟il Al-Fiqh Al-Muqarin, Cet. Pertama,
Jami‟ah Baghdad; Baitul Hikmah, 1409 H/1989 M.
Mastuhu, Metode Penelitian Agama; Teori dan Praktik, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006.
Manan, Abdul, Jangan Asal Shalat, Cet. Keempat, Bandung: Pustaka
Hidayah, 2011.
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, Jakarta:
Erlangga, 2015.
Majelis Ulama Indonesia, “Fatwa MUI No 53 Tahun 2016 Tentang
Pelaksanaan Shalat Jum‟at, Dzikir Dan kegiatan keagamaan di
tempat selain di masjid” , Jakarta:Komisi Fatwa MUI, 2016.
Mardani, Ushul Fiqh, Cetakan Pertama, Depok: PT Rajagrafindo Persada,
2013.
82
Naisaburi, Muslim bin al Hajjaj bin muslim bin Kausyaz al-Qusyairi,
Shohih Muslim, Jilid III, Kairo: Daar el-Hadits, 2010.
Nawawi, Imam Abi Zakaria Muhidin bin Syaraf, Al-Majmu‟ Syarh Al-
Muhadzab, Dar el fikr: Beirut-Lebanon, 1426H-2005 M, Juz ke
empat.
Qazwini, Muhammad bin Yazid, Sunan Ibn Majah, juz 1 .Beirut: Dar al-
Fikr, T.th.
Qudamah, Ibnu Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, Al-
Mughni , Darul Amirul Kitab: Kairo, 1426H-2005M, juz 3.
Al-Qur‟an al- Karim dan Terjemahnya, Jakarta Timur: Cv. Darus Sunnah,
2015.
Rahbawi, Asy Syaikh Abdul Qadir, Ash Sholaah „Ala Al-Mazdahib Al-
Arba‟ah Ma‟a Adillah Ahkaamiha. Penerjemah Nurdin Apud
Sarbini, Shalat Empat Mazhab. Jakarta: Akbar Media, Januari 2016
M, Cetakan pertama.
Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002.
Rusyd, Ibnu, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihaya Wal Muqtashid, Jilid I,
Beirut: Darul al-Maʻrifat, 595H.
, Terjemah Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah Abdul Rasyad shiddiq, Jakarta Timur: Akbar Media,
2013.
Sabiq, Sayyid, Fiqh As- Sunnah, Mesir: Dar Fath Li al-Ἁlami al-Ἁrabi‟,
1971M.
Sarbiniy, Syamsuddin Muhammad bin Khotib, Mughni al-Muhtaaj, Jilid I,
Kairo; Maktabah Darbul al-Atrἁk, T.th
Sajistani, Sulaiman bin al-Asy‟ats, Sunan Abi Daud, Juz 1,Beirut: Dar al-
Kitab al-„Arabi, T.th.
Sholeh, Asrorun Ni‟am, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, jakarta: Erlangga, 2016.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid 2, Cet. Ke-7, Jakarta: Kencana, 2014
Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan Musyawarah
Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005,
Jakarta:Sekretariat MUI, 2005.
83
Syaukani, Imam, Bustaanu al-Ahbari Mukhtasaru Nailul Authar, Jilid II,
Kairo: Al Maktabah Salafiyah, 1374H.
Syarkhasiy, Abu Bakar Muhammad bin Abu Sahl, Al-Mabsuth. Daar al
kitab al ulumiyah: Beirut-Lebanon,1414H/1993M.
Tirmidzi, Muhammad bin Isa, Sunan al-Tirmidzi, Juz 4, Beirut: Dar al-
Gharb al Islami, 1998 M.
Umar, Hasanuddin, Islam Fungsional Revitalisasi & Reaktualisasi Nilai-
nilai Keislaman, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014.
Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, Jilid II, Beirut: Dar al-
Fikr,1984.
, al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu, Penerjemah: Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk., Fikih Islam Wa Adilatuhu, jilid 1, Jakarta:
Gema Insani, 2011.
Zurinal dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Jurnal
Dzulkifli Noor, “Fatwa Dewan Syariah Nasional Relevansinya Dengan
Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia”, Jurnal Kordinat,
Volume VIII, No. 1, April:2007.
Seminar
Bimbingan Teknis Penyusunan Fatwa , Yang Diselenggarakan oleh
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pada
Tanggal 24-25 Oktober 2016. Narasumber Prof. Dr. Hj Huzaemah
Tahido Yanggo,MA selaku Ketua Dewan Fatwa MUI.
Majalah Akademik
Buang, Ahmad Hidayat, “Analisis Fatwa-Fatwa Syariah Di Malaysia”.
Dalam Jabatan Syariah dan Undang-undang Akademi Pengajian
Islam Universiti Malaya. (Malaysia: Pusat Pungutan Zakat Majlis
Agama Islam Wilayah Persekutuan, 21 Agustus 2007), hal. 163-
173.
Skripsi
Hapsari, Aidilla Putri, “Hukum Aborsi Terhadap Janin Yang Cacat (Studi
Analisis Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2005) ”, Skripsi S-1 Fakultas
Syariah, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2017.
84
Muhajaro, Nurul, “Analisis Tehadap Keputusan Majelis Ulama Indonesia
Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Hak Cipta.” Skripsi S-1 Fakultas
Syariah, Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang , 2008.
M.Ghozali “Analisis Sanad dan Matan Hadis Shalat Diatas Kendaraan”
Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta,2015.
Nurdin ,Afrizal, Keringanan Puasa Bagi Penerbang di Bulan Ramadhan
(Analisa Fatwa MUI Tentang Puasa Bagi Penerbang). Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010.
Internet
“Agama-agama di Indonesia” Artikel dikases pada 23 Februari 2017.
Pukul 15:12 WIB, dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia
Khalid Almuslih, “Bolehkah Shalat di Gereja Ketika Tidak Ada Masjid?”
artikel diakses pada 08 Maret 2017, dari http://muslim.or.id/20097-
fatwa-ulama-bolehlah-shalat-di-gereja-ketika-tidak-ada-
masjid.html
Nahdatul Ulama “ Tujuh tempat yang dilarang shalat, Artikel diakses pada
28 September 2017 dari http://www.nu.or.id/post/read/42187/tujuh-
tempat-dilarang-shalat
Majelis Ulama Indonesia, Artikel diakses pada 25 Oktober 2017 Pukul
20:00 WIB dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia
Hukum Online, Artikel diakses pada 23 November 2017 Pukul 17:00 WIB
darihttp://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5837dfc66ac2d/ke
dudukan-fatwa-mui-dalam-hukum-indonesia
VIVA NEWS, Artikel diakses pada 13 Desember 2017 Pukul 20:00 WIB
dari M.viva.co.id/berita/nasional/B53123-kapolri-aksi-bela-islam-
iii-2-desember-digelar-di-monas
Hidayatullah, “Hukum shalat Jum‟at di Luar Masjid,” artikel di akses pada
tanggal 25 januari 2018. Pukul 10.00 WIB dari
m.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/hukum-solat-jumat-selain-di-
masjid.html
Nahdatul Ulama, Artikel diakses pada 01 Maret 2018 Pukul 11:16 WIB
dari http://www.nu.or.id/post/read/82412/sejarah-pensyariatan-dan-
dalil-kewajiban-shalat-jumat
85
Sejarah Salat Jum‟at, Artikel diakses pada 01 Maret 2018, Pada pukul
14:00 WIB http://nabimuhammad.info/masjid-jumat/
Makna Masjid, diakses pada Tanggal 04 April 2018 pada Pukul 20:00
WIB dari https://konsultasisyariah.com/21540-perbedaan-masjid-
dan-mushola.html
Teori Diyani dan Qadha‟I Dalam Pembangunan Hukum Islam
Kontemporer, Google Scholar. Diakses Pada Tanggal 05/04/2018.
Pada Pukul 20:00 WIB Diakses dari www. Goggle Scholar.com
86
L A M P I R A N
MMAAJJEELLIISS UULLAAMMAA IINNDDOONNEESSIIAA WADAH MUSYAWARAH PARA ULAMA ZU’AMA DAN CENDEKIAWAN MUSLIM
Jalan Proklamasi No. 51 Menteng Jakarta Pusat 10320 Telp. 021-31902666-3917853, Fax. 021-31905266 Website : http://www.mui.or.id, http://www.mui.tv E-mail : [email protected]
FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 53 Tahun 2016
Tentang
PELAKSANAAN SHALAT JUM`AT, DZIKIR, DAN KEGIATAN KEAGAMAAN DI
TEMPAT SELAIN MASJID
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :
MENIMBANG : a. bahwa di tengah masyarakat ada rencana kegiatan sosial
kemasyarakatan yang dilaksanakan dan dirangkai dengan
kegiatan keagamaan yang mengambil tempat di jalan dan
fasilitas umum, salah satunya adalah kegiatan unjuk rasa untuk
menuntut keadilan;
b. bahwa penyelenggara unjuk rasa merencanakan kegiatan dzikir
dan doa serta Shalat Jum'at secara berjamaah di fasilitas umum,
yang salah satu sebabnya adalah jumlah jamaah yang sangat
banyak sehingga tidak tertampung jika dilaksanakan di masjid,
kemudian memilih melaksanakannya di fasilitas umum yang
dapat mengganggu ketertiban umum;
c. bahwa terhadap masalah tersebut, Kepolisian Negara Republik
Indonesia mengajukan permohonan pandangan dan penjelasan
terkait dengan pelaksanaan Sholat Jum’at dan Dzikir di jalan
raya;
c. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa
tentang pelaksanaan Shalat Jum’at dan dzikir di tempat selain
masjid guna dijadikan pedoman.
MENGINGAT : 1. Al-Quran :
a. Firman Allah SWT yang menegaskan perintah untuk
melaksanakan Shalat Jum'at, antara lain:
ذين آمنوا إذا نودي للص الة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر يا أيها ال
وذروا البيع ذلكم خير ل كم إن كنتم تعلمون للا “Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat Jum`at, maka bersegeralah kalian
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (
QS Al-Jumu`ah : 9)
b. Firman Allah SWT yang menegaskan tanggung jawab
orang beriman untuk memakmurkan masjid, antara lain:
Fatwa Tentang Pelaksanaan Shalat Jum`at, Dzikir, Dan Kegiatan Keagamaan Di Tempat Selain Masjid
2
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
مساجد هللا من آمن باهلل واليوم اآلخر وأقام الص الة وآتى إن ما يعمر
كاة ولم يخش إال هللا فعسى أولئك أن يكونوا من المهتدين الز
(18 )التوبة:Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan
zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada
Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan
termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS. At-Taubah: 18)
﴾18الجن: ﴿وأن المساجد هلل فال تدعوا مع هللا أحدا Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah.
Oleh karena itu, janganlah kamu menyembah seorang pun
(di dalamnya) di samping juga (menyembah) Allah. (QS.
Al-Jin: 18)
2. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
جعلت لي األرض مسجدا وطهورا فحيثما أدركتك الصالة فصلDijadikan untukku bumi ini sebagai masjid dan suci. Maka
dimanapun kamu menemui waktu shalat, maka shalatlah.
(muttafaq alaih)
من هللا على قلوبهم ثم ليكونن أو ليختالجمعة لينتهين أقوام عن ودعهم
من الغافلين “Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan Shalat
Jum'at atau Allah akan menutup hati mereka dari hidayah
sehingga mereka menjadi orang-orang yang lalai." (HR.
Muslim)
من ترك ثالث جمع تهاونا طبع هللا على قلبه
"Orang yang meninggalkan 3 kali Shalat Jum'at karena lalai,
Allah akan menutup hatinya." (HR. Abu Daud)
عن أبي هريرة أنهم كتبوا إلى عمر يسألونه عن الجمعة فكتب جمعوا
حيث كنتم"Dari Abu Hurairah ra bahwasannya para shahabat
menulis surat kepada ‘Umar (bin Al-Khaththaab) bertanya
kepadanya tentang shalat Jum’at. Lalu ‘Umar menulis
balasan : “Shalat Jum’atlah dimana saja kalian berada”
(HR Ibnu Abi Syaibah).
3. Ijma’ Ulama mengenai kewajiban Shalat Jum'at bagi setiap
muslim yang memenuhi syarat dan kebolehan untuk tidak
melaksanakan Shalat Jum'at bagi yang memperoleh dispensasi.
4. Qaidah fiqhiyyah :
الحاجة تقدر بقدرها“Hajat itu ditentukan (kebolehannya) sesuai dengan kadarnya”
Fatwa Tentang Pelaksanaan Shalat Jum`at, Dzikir, Dan Kegiatan Keagamaan Di Tempat Selain Masjid
3
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
الضرر يدفع بقدر اإلمكان“Madarat itu dicegah semaksimal mungkin”
يتحمل الضرر الخاص لدفع ضرر عام"Kemudaratan yang khusus ditanggung untuk mencegah
kemudaratan yang umum"
للوسائل حكم المقاصد “ Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan
dituju “
ف عي ة منوط بالمصلحة تصر مام على الر اإل“ Tindakan pemimpin (pemegang otoritas) terhadap rakyat
harus mengikuti kemaslahatan “
MEMPERHATIKAN : 1. Pendapat Imam al-Nawawi dalam kitab “al-Majmu’ Syarh al-
Muhadzdzab” juz 5 halaman 648, sebagai berikut:
قال أصحابنا وال يشترط إقامتها في مسجد ولكن تجوز في ساحة مكشوفة
"بشرط أن تكون داخلة في القرية أو البلدة معدودة من خطتهاShahabat-sahabat kami (Ulama al-Syafi’iyyah) berkata:
pelaksanaan (shalat jum’at) tidak disyaratkan harus di masjid,
akan tetapi boleh dilaksanakan di area terbuka, dengan syarat
masih di tengah-tengah permukiman atau suatu wilayah
tertentu."
2. Pendapat Imam al-Khatib as-Syarbini dalam kitab “Mughni al-
Muhtaj, juz I halaman 543 sebagai berikut:
)الثاني( من الشروط )أن تقام في خطة أبنية أوطان المجمعين( بتشديد
الميم: أي المصلين الجمعة، وإن لم تكن في مسجد ألنها لم تقم في عصر
والخلفاء الراشدين إال في مواضع اإلقامة -صلى هللا عليه وسلم -النبي
"كما هو معلومSyarat kedua dari syarat sahnya sholat jum'at adalah
dilaksanakan di lokasi permukiman yang dihuni oleh orang-
orang yang wajib sholat jum'at, sekalipun sholat jum'atnya
bukan di masjid. Hal ini karena di zaman Nabi SAW dan
Khulafaur Rasyidin tidak dilaksanakan Shalat Jum'at kecuali di
tempat-tempat permukiman sebagaimana telah diketahui."
3. Pendapat al-Imam al-Ramli dalam kitab “Nihayah al-Muhtaj"
juz 2 halaman 63, sebagai berikut:
)و( في )الطريق( والبنيان وقت مرور الناس به كالمطاف؛ ألنه ....
"التحقيق الصحراء الخالي عن الناس كما صححه في يشغله بخالف
... Dan (makruh hukumnya) shalat di jalan dan di bangunan
saat orang-orang sedang lewat seperti di tempat tawaf, karena
akan dapat mengganggu kekhusyukannya, berbeda dengan di
tanah lapang yang sepi dari lalu lalang manusia (maka tidak
makruh) sebagaimana pendapat yang dishahihkan oleh Imam
al-Nawawi dalam al-Tahqiq."
4. Pendapat al-Imam al-Mardawi dalam kitab “al-Inshaf” juz 2
halaman 378 sebagai berikut:
Fatwa Tentang Pelaksanaan Shalat Jum`at, Dzikir, Dan Kegiatan Keagamaan Di Tempat Selain Masjid
4
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
قوله: ) ويجوز إقامتها في األبنية المتفرقة , إذا شملها اسم واحد ، وفيما
قارب البنيان من الصحراء ( وهو المذهب مطلقا . وعليه أكثر األصحاب
". . وقطع به كثير منهم
“Shalat Jum’at boleh dilaksanakan di beberapa bangunan yang
terpisah sepanjang masih meliputi satu tempat, boleh juga
dilaksanakan di tanah lapang dekat bangunan permukiman.
Inilah pendapat madzhab Hanbali secara mutlak, dan mayoritas
ulama Hanabilah berpendapat seperti ini, dan inilah pendapat
yang dipilih mayoritas ulama Hanabilah."
5. Pendapat al-Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi dalam kitab “al-
Mughni”, Juz 2, halaman 171, sebagai berikut:
ز إقامتها فيما قاربه ، و يجولصحة الجمعة إقامتها في البنيان وال يشترط
"، و بهذا قال أبو حنيفةمن الصحراء
“Tidak termasuk syarat sah pelaksanaan shalat Jum’at harus
dilakukan di dalam bangunan. Pelaksanaan Shalat Jum'at boleh
dilakukan di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Ini
juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah”.
6. Pendapat al-Imam Abu Husain Yahya bin Abu al-Khair Salim al-
‘Imrani al-Yamani dalam kitab “al-Bayan fi Madzhabi al-Imam
al-Syafi’i” juz 2 halaman 113 :
ال نهوال ،عنه هللا رضي - عمر لحديث ق؛الطري قارعة في ةالصال وتكره
تداس نهاوال فيها، الناس لممر ة؛الصال في الخشوع من يتمكن
صحت طهارته، تحقق فإن منها، موضع في صلى فإن .بالنجاسات
وجهان ففيه فيها، شك وإن ته،صال تصح لم نجاسته، تحقق وإن ته،صال
.المياه في ذكرهما مضىDimakruhkan shalat di jalanan karena hadis riwayat Umar ra,
juga karena tidak memungkinkannya khusyu’ dalam shalat
akibat adanya lalu lalang orang lewat, serta bisa terkena najis.
Apabila shalat di gang jalanan dan nampak jelas akan
kesuciannya maka sah shalatnya. Sebaliknya, jika nampak jelas
kenajisannya maka tidak sah shalatnya. Apabila ragu, maka ada
dua pendapat, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab miyah.
7. Pendapat Imam Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab "al-Fiqh ala
madzahib al-arba’ah" juz 1 halaman 351:
جواز على ئمةاال من ثةثال اتفق الفضاء؟ في الجمعة ةصال تصح هل
وقد المسجد في إال ( تصح ال :المالكية وقال الفضاء، في الجمعة صحة
في الجمعة تصح ال :قالوا المالكية ) ( الخط تحت المذاهب بيان ذكرنا
:قالوا الحنابلة .الجامع في تؤدي أن بد ال بل الفضاء، في وال البيوت
بحسب القرب ويعتبر البناء، من قريبا كان إذا الفضاء في ) الجمعة تصح
في ماماال صلى وإذا ة،الصال تصح فال قريبا يكن لم فإن العرف
في الجمعة تصح :قالوا الشافعية .بالضعاف يصلي من استخلف الصحراء
المكان عندهم القرب وحد البناء، من قريبا كان إذا الفضاءApakah sah shalat Jum’at di tanah lapang? Imam tiga mazhab
(Imam Abu Hanifah, Imam al-Syafii, dan Imam Ahmad) sepakat
tentang kebolehan pelaksanaan Shalat Jum'at di tanah lapang.
Ulama Malikiyah menyatakan tidak sah Shalat Jum'at kecuali di
Fatwa Tentang Pelaksanaan Shalat Jum`at, Dzikir, Dan Kegiatan Keagamaan Di Tempat Selain Masjid
5
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
masjid. Dan telah kami jelaskan penjelasan mazhab di bawah
garis. Ulama Malikiyah berkata: Shalat Jum'at tidak sah di
rumah-rumah, juga di tanah lapang. Shalat Jum’at harus
dilaksanakan di masjid Jami’. Hanabilah berpendapat sah
Shalat Jum'at yang dilaksanakan di tanah lapang apabila dekat
dengan permukiman. Kedekatan ini berdasarkan kebiasaan.
Jika tidak dekat, maka Shalat Jum'at tidak sah. Apabila Imam
shalat di padang sahara maka hendaknya ia menunjuk
pengganti untuk menjadi imam bagi makmum yang lemah.
Ulama Syafi’iyyah berpendapat sahnya Shalat Jum'at di tanah
lapang apabila dekat dengan bangunan. Patokan kedekatan di
sini adalah soal tempat.
7. Pendapat Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab "Nihayat al-
Zein" halaman 158 sebagai berikut:
لتركمعذور بمجوز رقيق وال أنثى وال مسافر وال فال جمعة على
ال يضبط نفسه تغال بتجهيز الميت واإلسهال الذيالجماعة، ومنه اإلش
معه ويخشى منه تلويث المسجد والحبس عنه إذا لم يكن مقصرا فيه، فإذا
رأى القاضي المصلحة في منعه منعه، وإال أطلقه لفعل الجمعة."Tidak wajib shalat jumat bagi hamba sahaya, wanita, musafir,
dan orang yang memiliki udzur yang memperbolehkan
meninggalkan jama’ah jumat. Termasuk orang yang udzur
adalah orang yang sibuk mengurus mayyit, orang yang
mengalami diare yang tidak bisa menahan dan takut mengotori
masjid. Apabila Qadhi memandang adanya kemaslahatan untuk
melarangnya melaksanakan shalat Jum'at, maka ia boleh
melarang. Dan jika tidak ada kekhawatiran, maka Qadhi
membiarkannya melaksanakan shalat Jum'at".
8. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang
Komisi Fatwa MUI pada tanggal 28 November 2016.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG PELAKSANAAN SHALAT JUM`AT,
DZIKIR, DAN KEGIATAN KEAGAMAAN DI TEMPAT
SELAIN MASJID
Pertama : Ketentuan Hukum
1. Shalat Jum'at merupakan kewajiban setiap muslim yang
baligh, laki-laki, mukim, dan tidak ada 'udzur syar’i.
2. Udzur syar'i yang menggugurkan kewajiban Shalat Jum'at
antara lain : safar, sakit, hujan, bencana dan tugas yang tidak
bisa ditinggalkan.
3. Unjuk rasa untuk kegiatan amar makruf nahi munkar,
termasuk tuntutan untuk penegakan hukum dan keadilan tidak
menggugurkan kewajiban Shalat Jum'at.
4. Shalat Jum'at dalam kondisi normal (halat al-ikhtiyar)
dilaksanakan di dalam bangunan, khususnya masjid. Namun,
dalam kondisi tertentu, Shalat Jum'at sah dilaksanakan di luar
masjid selama berada di area permukiman.
5. Apabila Shalat Jum'at dilaksanakan di luar masjid, maka
harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Fatwa Tentang Pelaksanaan Shalat Jum`at, Dzikir, Dan Kegiatan Keagamaan Di Tempat Selain Masjid
6
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
a. terjaminnya kekhusyukan rangkaian pelaksanaan Shalat
Jum'at
b. terjamin kesucian tempat dari najis
c. tidak menggangu kemaslahatan umum
d. menginformasikan kepada aparat untuk dilakukan
pengamanan dan rekayasa lalu lintas.
e. mematuhi aturan hukum yang berlaku
6. Setiap orang yang tidak terkena kewajiban Shalat Jum'at, jika
melaksanakan Shalat Jum'at hukumnya sah sepanjang syarat
dan rukunnya terpenuhi.
7. Setiap orang muslim yang bertugas mengamankan unjuk rasa
yang tidak memungkinkan meninggalkan tugas saat Shalat
Jum'at tiba, maka tidak wajib Shalat Jum'at dan menggantinya
dengan shalat zhuhur.
8. Kegiatan keagamaan sedapat mungkin tidak mengganggu
kemaslahatan umum. Dalam hal kegiatan keagamaan harus
memanfaatkan fasilitas umum, maka dibolehkan dengan
ketentuan :
a. penyelenggara perlu berkoordinasi dengan aparat,
b. dilakukan sesuai dengan kebutuhan
c. aparat wajib membantu proses pelaksanaannya agar tertib
9. Kegiatan keagamaan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana diatur dalam angka 8 hukumnya haram.
Kedua : Rekomendasi
1. Pemerintah perlu menjamin kebebasan beribadah warga
negara dan memfasilitasi pelaksanaannya agar aman, nyaman,
khusyuk, dan terlindungi.
2. Umat Islam perlu menjaga ketertiban dalam pelaksanaan
ibadah dan syi'ar keagamaan.
3. Aparat keamanan harus menjamin keamanan dan
kenyamanan pelaksanaan ibadah dan syi'ar keagamaan umat
Islam.
Ketiga : Ketentuan Penutup
1. Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan
jika di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan
diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat
mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk
menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 28 Shafar 1437 H
28 November 2016 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua Sekretaris
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA