Download - hematology disorder
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Chronic Myeloblatic Leukemia (CML) merupakan kondisi leukemia kronik
dengan progresivitas yang berlangsung secara perlahan-lahan ditandai dengan
meningkatnya sel mieloid pada sel darah perifer dan hiperplasia mieloid di
sumsum tulang. Peningkatan produksi prekursor mieloid yang tidak terkontrol
mengakibatkan peningkatan pada jumlah sel granulosit, eritrosit, serta trombosit.
Sejumlah besar granulosit yang diproduksi pada kondisi fisiologis seharusnya
berguna untuk melawan infeksi. Namun, pada CML, sumsum tulang membentuk
terlalu banyak sel tersebut dan tetap mengalami maturasi. Terjadinya Chronic
Myeloblatic Leukemia (CML) muncul akibat kelainan pada sel hematopoiesis 1,2
CML termasuk salah satu jenis leukemia yang paling sering muncul di Indonesia
dengan prevalensi 15-20% dari total jenis leukemia yang ada. Insiden kejadian
CML diperkirakan 2 diantara 100.000 penduduk. Penderita CML predomian pada
laki-laki dibandingkan dengan perempuan yakni dengan rasio 1,4:1. CML dapat
diderita oleh semua kelompok umur dan insidennya meningkat perlahan dengan
meningkatnya umur. Puncak kejadian CML terjadi pada kelompok usia 50-60
tahun sedangkan kejadian CML pada kelompok anak-anak jarang ditemukan
yakni sekitar 2-3% dari total kasus CML. Penyakit CML lebih sulit diobati
dibandingkan dengan Acute Myeloid Leukemia (AML) karena perjalanan
penyakitnya yang bersifat kronik. Perjalanan penyakit CML diawali dengan fase
kronik yang jinak berjalan perlahan-lahan dan dapat berkembang dengan cepat
dalam hitungan minggu ke arah krisis blastik yang bersifat fatal dan menyerupai
gejala klinik Acute Myeloid Leukemia (AML). Oleh karena perjalanan CML yang
progresif dan tidak diiringi dengan gejala tidak khas, maka perlu dilakukan kajian
mengenai CML dan strategi terapi sangat diperlukan untuk menghambat
perkembangan dari penyakit ini terutama pada kelompok yang beresiko.1,2,3
1.2 Rumusan Masalah
1
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Apakah definisi dan etiologi dari Chronic Myeloblatic Leukemia
(CML)?
2. Bagaimanakah patogenesis dari Chronic Myeloblatic Leukemia
(CML)?
3. Bagaimanakah gejala klinik dari Chronic Myeloblatic Leukemia
(CML)?
4. Apa kelainan laboratorik yang dapat ditemukan pada penderita
Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)?
5. Bagaimanakah tanda-tanda transformasi akut yang muncul pada
penderita Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)?
6. Bagaimana terapi yang dapat diberikan kepada penderita Chronic
Myeloblatic Leukemia (CML)?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dri penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui definisi dan etiologi dari Chronic Myeloblatic Leukemia
(CML)
2. Mengetahui patogenesis dari Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)
3. Mengetahui gejala klinik dari Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)
4. Mengetahui kelainan laboratorik yang dapat ditemukan pada penderita
Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)
5. Mengetahui tanda-tanda transformasi akut yang muncul pada penderita
Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)
6. Mengetahui terapi yang dapat diberikan kepada penderita Chronic
Myeloblatic Leukemia (CML)
1.4 Manfaat Penulisan
2
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini adalah:
1. Memperkaya khazanah medis Indonesia mengenai Chronic
Myeloblatic Leukemia (CML) sehingga dapat memberikan pelayanan
kesehatan yang tepat guna meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
2. Melaksanakan Tri Dharma perguruan tinggi negeri sebagai salah satu
kewajiban civitas akademika
3
BAB II
ISI
2.1 Definisi dan Etiologi
Chronic Myeloblastic Leukemia (CML) adalah penyakit klonal sel induk
pluripoten dan digolongkan sebagai salah satu penyakit mieloproliferatif. CML
merupakan neoplasma pada sel tunas hematopoietik yang berpotensi
menimbulkan proliferasi progenitor granulositik. Sedangkan menurut sumber lain,
CML merupakan leukemia kronik dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan
sel leukemia berasal dari transformasi sel induk myeloid.
CML termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari pluripotent stem cell dan
tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif (myeloproliferative
disorders). Penyakit ini mencakup sekitar 15% leukemia dan dapat terjadi pada
semua usia. CML mencakup enam tipe leukemia yang berbeda, tetapi sejauh ini
tipe yang paling umum adalah CML yang disertai dengan kromosom Philadelphia
(Ph). Nama lain untuk leukemia myeloid kronik adalah Chronic myelogenous
leukemia (CML) atau Chronic myelocytic leukemia (CML).2
Penyebab leukemia myeloid kronik (CML) adalah tirosin konstitutif BCR-ABL
aktif kinase. Imatinib menghambat kinase ini, dan dalam studi jangka pendek
lebih unggul daripada interferon alfa plus sitarabin untuk baru didiagnosis CML
dalam tahap kronik. Pada CML dijumpai Phladelphia chromosom (Ph1 chr) suatu
reciprocal translocation 9,22 (t 9;22). Pada hampir 90% penderita, kromosom
Ph1 dengan translokasi t(9;22) ditemukan disemua progeni sel asal myeloid
multipoten yang sedang membelah (yaitu, prekursor granulositik, eritroid, dan
megakariositik). Pada kasus lainnya, dapat dideteksi penyusunan ulang gen BCR-
ABL. Tidak seperti leukemia akut, diferensiasi sel asal leukemik tidak terhambat
dan darah perifer mengandung sel dewasa.2,5
Pada t(9:22) terjadi translokasi sebagian materi genetik pada lengan panjang
kromosom 22 ke lengan panjang kromosom 9 yang bersifat respilokal. Sebagai
akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada lengan panjang kromosom 9
4
mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan onkogen BCR pada lengan panjang
kromosom 22. Akibatnya terjadi gabungan onkogen baru (chimeric oncogen)
yaitu BCR–ABL onkogen Gen baru akan mentranskripkan chimeric RNA
sehingga terbentuk chimeric protein (protein 210 kd).2,4,5
Timbulnya protein baru ini akan memengaruhi transduksi sinyal terutama melalui
tirosin kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi pada sel –
sel myeloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini menyebabkan proliferasi pada seri
myeloid.2
Peningkatan massa sel myeloid tubuh total dalam jumlah besar bertanggung jawab
terhadap sebagian besar gambaran klinis penyakit ini. Pada sedikitnya 70%
pasien, terjadi suatu metamorphosis terminal menjadi leukemia akut yang
seringkali didahului oleh suatu fase akselerasi.2
Secara morfologi, fase kronik menyerupai CML ekspansi jinak myelopoiesis.
Namun, fase kronik genetis tidak stabil, dan tingkat proliferatif yang tinggi
memungkinkan untuk akumulasi tambahan molekul dan kromosom kelainan,
proses ini disebut "evolusi klonal". Evolusi klonal menyebabkan penurunan nilai
hematopoietik diferensiasi, akhirnya menghasilkan akut leukemia (ledakan-fase
CML). Sekitar satu leukemia akut ketiga mirip B-keturunan akut limfositik
leukemia (ALL), sedangkan sisa kasus-kasus tersebut mirip dengan leukemia
myeloid akut (AML), sering dengan fenotipe dibeda-bedakan.6
2.2 Patogenesis
Gambaran klinis penyakit leukemia myeloblastik kronik adalah gejala yang
berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya penurunan berat badan,
kelelahan, anorexia, atau keringat malam. Splenomegali hampir selalu ada dan
seringkali bersifat massif. Pada beberapa pasien, pembesaran limpa disertai
dengan rasa tidak nyaman, nyeri, atau gangguan pencernaan. Gambaran anemia
meliputi pucat, dispnea, dan takikardia. Memar, epistaksis, menorhgia, atau
perdarahan dari tempat-tempa lain akibat fungsi trombosit yang abnormal.
Gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat pemecahan purin
5
yang berlebihan dan dapat menimbulkan masalah. Gejala yang jarang dijumpai
berupa gangguan penglihatan dan priapismus.7
Penyatuan protein BCR-ABL berinteraksi dengan 3 beta (c) subunit reseptor.
Transkrip BCR-ABL aktif secara terus-menerus dan tidak membutuhkan aktivasi
oleh protein sel yang lainnya. BCR-ABL mengaktivasi kaskade dari protein yang
mengontrol siklus sel, mempercepat pembelahan sel. Kemudian, protein BCR-
ABL menghambat perbaikan DNA, menyebabkan instabilitas gen dan
menyebabkan sel dapat berkembang lebih jauh menjadi gen yang abnormal.
Tindakan dari protein BCR-ABL adalah penyebab patofisiologi dari chronic
myeloblastic leukemia. Dengan pemahaman tentang protein BCR-ABL dan
tindakannya sebagai tyrosine kinase, targeted therapy dikembangkan yang secara
spesifik menghambat aktifitas dari protein BCR-ABL. Inhibitor dari tyrosine
kinase dapat menyembuhkan CML, karena BCR-ABL tersebut adalah penyebab
dari CML. Penyebab leukemia myeloid kronik (CML) adalah tirosin konstitutif
BCR-ABL aktif kinase. Imatinib menghambat kinase ini, dan dalam studi jangka
pendek lebih unggul daripada interferon alfa plus sitarabin untuk baru didiagnosis
CML dalam tahap kronik.7,8
Chronic myeloblastic leukemia adalah malignansi pertama yang dihubungkan
dengan gen yang abnormal, translokasi kromosom tersebut diketahui sebagai
Philadelphia kromosom yang merupakan translokasi kromosom 9 dan 22. Pada
CML juga ditandai oleh hiperplasia mieloid dengan kenaikan jumlah sel mieloid
yang berdiferensiasi dalam darah dan sumsum tulang.2
Pada CML dijumpai Philadelphiachromosom (Ph1 chr) suatu reciprocal
translocation 9,22 (t 9;22). Pada hampir 90% penderita, kromosom Ph1 dengan
translokasi t(9;22) ditemukan di semua progeni sel asal myeloid multipoten yang
sedang membelah (yaitu, prekursor granulositik, eritroid, dan megakariositik).
Pada kasus lainnya, dapat dideteksi penyusunan ulang gen BCR-C-ABL. Tidak
seperti leukemia akut, diferensiasi sel asal leukemik tidak terhambat dan darah
perifer mengandung sel dewasa.2,4
6
Pada t(9:22) terjadi translokasi sebagian materi genetik pada lengan panjang
kromosom 22 ke lengan panjang kromosom 9 yang bersifat resiprokal. Sebagai
akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada lengan panjang kromosom 9
mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan onkogen BCR pada lengan panjang
kromosom 22. Akibatnya terjadi gabungan onkogen baru (chimeric oncogen)
yaitu BCR–ABL onkogen Gen baru akan mentranskripkan chimeric RNA
sehingga terbentuk chimeric protein (protein 210 kd).2,4,5
Timbulnya protein baru ini akan memengaruhi transduksi sinyal terutama melalui
tyrosine kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi pada sel
– sel myeloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini menyebabkan proliferasi pada
sel myeloid.2
Peningkatan massa sel myeloid tubuh total dalam jumlah besar bertanggung jawab
terhadap sebagian besar gambaran klinis penyakit ini. Pada sedikitnya 70%
pasien, terjadi suatu metamorphosis terminal menjadi leukemia akut yang
seringkali didahului oleh suatu fase akselerasi.4
Gambar 1. Patogenesis terjadinya CML
7
2.3 Fase Perjalanan Penyakit dan Tanda-tanda Transformasi Akut
CML sering dibagi menjadi tiga fase berdasarkan karakteristik klinis dan temuan
laboratorium. Tanpa adanya intervensi, CML biasanya dimulai pada fase kronik,
dan selama beberapa tahun berkembang menjadi sebuah fase akselerasi dan
akhirnya krisis blast. Krisis blast adalah fase terminal CML dan secara klinis
tampak seperti leukemia akut. Terapi obat akan menghentikan perkembangan
tersebut jika dimulai sejak dini. Salah satu faktor perkembangan dari fase kronik
sampai akselerasi dan krisis blast adalah akuisisi kelainan kromosom baru (selain
kromosom Philadelphia). Perjalanan penyakit CML dibagi menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase kronik: fase ini berjalan selama 2-5 tahun dan responsif terhadap
kemoterapi. 85% pasien dengan CML berada pada tahapan fase kronik pada saat
mereka didiagnosa dengan CML. Selama fase ini, pasien selalu tidak
mengeluhkan gejala atau hanya ada gejala ringan seperti cepat lelah dan perut
terasa penuh. Lamanya fase kronik bervariasi dan tergantung sebearapa dini
penyakit tersebut telah didiagnosa dan terapi yang digunakan pada saat itu juga.
Tanpa adanya pengobatan yang adekuat, penyakit dapat berkembang menuju ke
fase akselerasi.
2. Fase Akselerasi atau transformasi akut :
a) Pada fase ini perangai klinik CML berubah mirip leukemia akut
b) Sekita 2/3 menunjukan sel blast seri mieloid, sedangkan 1/3 menunjukan
seri limfoid
c) Pada fase akselerasi hitung leukosit menjadi sulit dikendalikan dan
abnormalitas sitogenik tambahan mungkin timbul. Kriteria diagnosa
dimana fase kronik berubah menjadi tahapan fase akselerasi bervariasi.
Kriteria yang banyak digunakan adalah kriteria yang digunakan di MD
Anderson Cancer Center dan kriteria dari WHO. Kriteria WHO untuk
mendiagnosa CML, yaitu :
10-19% myeloblasts di dalam darah atau pada sumsum tulang.
>20% basofil di dalam darah atau sumsum tulang.
Trombosit 100.000, tidak respon terhadap terapi.
8
Evolusi sitogenik dengan adanya abnormal gen yaitu kromosom
philadelphia.
Splenomegali atau jumlah leukosit yang meningkat
3. Fase Krisis Blastik10
Krisis Blastik adalah tahap akhir dalam evolusi CML dan gejalanya seperti
leukemia akut, dengan perkembangan yang cepat dan kelangsungan hidup pendek.
Krisis Blastik didiagnosis jika salah satu dari pernyataan berikut terdapat pada
pasien dengan CML:
a) Blast 20% dari leukosit pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti.
b) Proliferasi blast ekstrameduler.
c) Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang.2
2.4 Gejala Klinik
Penyakit leukemia mieloid kronik terjadi pada kedua jenis kelamin baik laki-laki
maupun perempuan, akan tetapi memiliki rasio yang berbeda (rasio pria : wanita,
sebesar 1,4:1), paling sering terjadi pada orang tua dengan rentangan usia 40 – 60
tahun, akan tetapi tidak menutup kemungkinan penyakit ini juga pada anak,
neonatus, dan pada orang yang sangat tua.5
Dalam perjalanan penyakitnya, leukemia mieloid kronik dapat dibagi menjadi 3
tahap yaitu fase kronik, fase akselerasi, dan fase krisis blast. Pada fase kronik,
pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau merasa cepat kenyang akibat
adanya desakan limpa terhadap lambung. Sering juga muncul gejala non spesifik,
seperti rasa cepat lelah, badan lemah, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat
malam. Penurunan berat badan biasanya terjadi setelah penyakit berlangsung
dalam waktu yang cukup lama. Semua keluhan penyakit ini terjadi akibat adanya
hipermetabolisme karena proliferasi sel-sel leukemia. Setelah mencapai waktu 2-3
tahun, beberapa orang yang menderita penyakit ini mengalami progress atau
akselerasi.2
9
Gambaran Klinis pada penyakit leukemia mieloid kronik antara lain adalah:2
1. Gejala-gelaja yang berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya
penurunan berat badan, kelelahan, anoreksia, dan berkeringan dimalam hari.
2. Hampir selalu terjadi splenomegali, dan seringkali bersifat massif. Pada
beberapa penderita splenomegali disertai dengan rasa tidak nyaman yang dapat
berupa rasa nyeri dan gangguan saluran percernaan, seperti cepat merasa
kenyang.
3. Pasien akan mengalami sindrom anemia pada umumnya yaitu pucat, dyspnea,
dan takikardia.
4. Pasien akan mengalami memar, epitaksis, menorrhagia, atau pendarahan di
tempat-tempat lain akibat adanya trombositopenia.
5. Gout atau gangguan ginjal akan dialami oleh pasien penderita leukemia
mieloid kronik, hal ini disebabkan oleh adanya hiperurikemia akibat
pemecahan purin yang berlebihan.
6. Ada gejala yang jarang ditemui pada penderita leukemia mieloid kronik, akan
tetapi ada kemungkinan ditemukan juga pada penderita leukemia mieloid
kronik, yaitu gangguan penglihatan dan priapismus.
7. Pada 50% kasus yang terdiagnosis, merupakan ketidak sengajaan, yaitu dari
pemeriksaan darah rutin.
2.5 Kelainan Laboratorik
Pada kasus CML dapat dijumpai kelainan laboratorium berikut:2
1. Darah tepi
a) Leukositosis berat 20.000-50.000 pada permulaan kemudian biasanya
lebih dari 100.000/mm3
b) Apusan darah tepi: menunjukkan spektrum lengkap seri granulosit mulai
dari myeloblast sampai neutrofil, dengan komponen paling menonjol ialah
10
segmen neutrofil dan mielosit. Stab, metamielosit, promielosit, dan
myeloblast juga dijumpai. Sel blast kurang dari 5%
c) Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut, bersifat
normokromik normositer
d) Trombosit dapat meningkat, normal, atau turun. Pada fase awal lebih
sering meningkat.
e) Fosfatase alkali neutrofil (neutrophil alkaline phospatase) selalu rendah
2. Sumsum Tulang
Hiperseluler dengan granulosit dominan. Gambarannya mirip dengan apusan
darah tepi, Menunjukkan spektrum lengkap seri mieloid dengan komponen
paling banyak ialah neutropil dan mielosit. Sel blast kurang dari 30%.
Megakariosit pada fase kronik normal atau meningkat
(a) (b)
Gambar 2. hapusan sumsum tulang penderita leukemia granulositik/mielositik kronik dengan pewarnaan giemsa (a) perbesaran 200x (b) perbesaran 1000x.9
3. Sitogenetik dijumpai adanya kromosom Philadelphia (Ph1) pada 95% kasus
4. Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat
5. Pemerikaan PCR (Polymerase Chain Reaction) dapat mendeteksi adanya
chimeric protein BCR-ABL pada 99% kasus
6. Kadar asam urat serum meningkat
Tabel 1. Gambaran laboratorik penderita CML9
11
Gambaran Laboratorik Frekuensi Persentase (%)Anemia 19 100Leukositosis 19 100Trombositosis 10 52,63Trombositopeni 2 10,53Neutropilia segmen 12 63,16Neutroplia staf 16 84,21Eosinofilia 10 52,63Basofilia 5 26,32Limfopeni 18 94,73Monositopeni 18 94,73Peningkatan asam urat 4 21,05
Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa semua penderita CML mengalami anemia
dan leukositosis. Peningkatan terjadi pada jumlah trombosit (52,63%), basofil
(26,32%), eosinofil (52,63%), netrofil staf (63,16%) dan kadar asam urat dalam
darah (21,05%). Gambaran laboratorik lain yang ditemukan adalah limfopenia
(94,73%), netropeni segmen (84,21%) dan monositopeni (63,16%).9
2.6 Terapi
Terapi Chronic Myeloid Leukemia (CML) tergantung dari fase penyakit, yaitu:2,5
1. Fase kronik:
a. Busulphan (Myleran), dosis: 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit diperiksa
tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit menurun
setengahnya. Obat dihentikan jika leukosit 20.000/mm³. Terapi dimulai
jika leukosit naik menjadi 50.000/mm³. efek samping dapat berupa aplasia
sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya timbulnya leukemia
akut.
b. Hydroxiurea, memerlukan pengaturan dosis lebih sering, tetapi efek
samping minimal. Dosis mulai ditrasi dari 500 mg sampai 2000 mg.
Kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-
15.000/mm³. Efek samping lebih sedikit dan bahaya, keganasan sekunder
hampir tidak ada.
c. Interferon α biasanya diberikan setelah jumlah leukosit terkontrol oleh
hidroksiurea. Pada CML fase kronik interferon dapat memberikan remisi
hematologic pada 80% kasus, tetapi remisi sitogenik hanya tercapai 5-10%
12
kasus. Interferon-α biasanya digunakan bila jumlah leukosit telah
terkendali oleh hidroksiurea dan saat ini merupakan obat terpilih untuk
fase kronik walaupun mungkin akan digantikan oleh inhibitor tirosin
kinase. Regimen yang lazim digunakan adalah 3 sampai 9 megaunit yang
diberikan injeksi subkutan. Tujuannya adalah untuk mempertahankan
jumlah leukosit tetap rendah.
2. Terapi fase akselerasi: sama dengan terapi leukemia akut, tetapi respon sangat
rendah.
3. Transplantasi sumsum tulang: bersifat alogenik atau autolog merupakan satu-
satunya pengobatan kuratif yang memberikan harapan penyembuhan jangka
panjang terutama untuk penderita yang berumur kurang dari 40 tahun.
Sekarang yang umum diberikan adalah allogeneic peripheral blood stem cell
transplantation. Modus terapi ini merupakan satu-satunya yang dapat
memberikan kesembuhan total.
4. Sekarang sedang dikembangkan terapi yang memakai prinsip biologi
molekuler (targeted therapy). Suatu obat baru imatinib mesylate (Gleevec)
dapat menduduki ATP-binding site of abl oncogen sehingga dapat menekan
aktivitas tyrosine kinase sehingga menekan proliferasi seri myeloid. Inhibitor
tirosin kinase. Obat ini sekarang sedang diteliti dalam percobaan klinis dan
tampaknya hasilnya menjanjikan. Zat ST1 571 adalah suatu inhibitor spesifik
terhadap protein ABL yaitu tirosin kinase dan mampu menghasilkan respons
hematologic yang lengkap pada hampir semua pasien yang ada dalam fase
kronik dengan tingkat konversi sumsum tulang yang tinggi dari Ph positif
menjadi Ph negatif. Obat ini mungkin menjadi pengobatan lini pertama pada
CML, baik digunakan sendiri atau bersama dengan interferon.
Respon terhadap pengobatan dapat diketahui berdasarkan beberapa kriteria,
diantaranya kriteria secara hematologi. Apabila leukosit kurang dari 9000/mm³,
tidak dijumpai splenomegali dan morfologi normal maka hal ini menunjukkan
adanya respon pengobatan secara keseluruhan (complete response). Bila leukosit
kurang dari 20.000/ mm³, dijumpai splenomegali maka terdapat respon
pengobatan parsial (partial respon). Dikatakan pengobatan gagal apabila leukosit
lebih dari 20.000/mm3 dan dijumpai splenomegali.2,5
13
Pengaturan pada CML fase akselerasi tergantung dari pengobatan sebelumnya dan
masalah spesifik yang dirasakan pasien. Pada pasien yang penyakitnya
berkembang menjadi fase akselerasi pada saat menunggu untuk transplantasi
sumsum tulang harus dilakukan tranplantasi secepatnya. Imatinib adalah obat
yang paling berguna untuk mengontrol penyakit ini sampai transplantasi tulang
dilakukan, untuk anak-anak yang telah relaps terhadap Imatinib dapat
menggunakan hydroxycarbamide. Manifestasi yang paling umum dari fase
akselerasi adalah splenomegali dan trombositosis. Splenectomy dapat dilakukan
untuk splenomegali yang masif. Trombositosis mungkin sulit untuk dikendalikan
karena trombositosis kadang-kadang resisten terhadap imatinib dan sering resisten
terhadap hydroxycarbamide. Untungnya, walaupun jumlah platelet meningkat
biasanya ditolerir dengan baik dengan trombosis dan pendarahan.2,5
BAB III
14
RINGKASAN
3.1 Ringkasan
Chronic Myeloblastic Leukemia merupakan kondisi leukemia kronik dengan
progresivitas yang berlangsung secara perlahan-lahan ditandai dengan
meningkatnya sel myeloid pada sel darah perifer dan hyperplasia mieloid di
sumsum tulang. Peningkatan produksi precursor mieloid yang tidak terkontrol
mengakibatkan peningkatan pada jumlah sel granulosit, eritrosit, serta trombosit.
Sejumlah besar granulosit yang diproduksi pada kondisi fisiologis seharusnya
berguna untuk melawan infeksi. Namun, pada CML, sumsum tulang membentuk
terlalu banyak sel tersebut dan tidak mengalami maturasi. Ciri khas dari penyakit
ini adalah fusion gen dari BCR-ABL. Salah satu penyebab dari penyakit ini adalah
radiasi ionisasi yang merupakan satu-satunya penyebab yang mungkin diketahui.
Diagnosis CML dapat ditegakan dengan pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan hapusan darah tepi, biopsi sumsum tulang, dan pemeriksaan
sitogenik. Terapi dari CML bertujuan untuk mengatur dari jumlah sel darah putih
yang meningkat. Terapi dari CML antara lain dengan menggunakan obat-obatan
Busulphan (Myleran), Hydroxiurea, dan Interferon gamma atau dengan terapi lain
yaitu transplantasi sumsum tulang, dan target cell.
15