Download - HALUSINASI docx
TUGAS KEPERAWATAN JIWA
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO
UNGARAN
2012
HALUSINASI
1. Pengertian
Halusinasi adalah pengalaman sensorik tanpa rangsangan eksternal terjadi
pada keadaan kesadaran penuh yang menggambarkan hilangnya kemampuan
menilai realitas (Sunaryo, 2004).
Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera tanpa
adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana
terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan
tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari
dalam diri individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang
tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan (Nasution,
2003).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca
indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu
persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis,
2005).
Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan
(stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya
padahal tidak ada sumber dari suara bisikan itu (Isaacs, 2002).
Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses diterimanya rangsang sampai
rangsang itu disadari dan dimengerti oleh penginderaan atau sensasi: proses
penerimaan rangsang (Stuart, 2007).
Halusinasi yaitu terjadinya persepsi tanggapan indera terhadap rangsangan
yang datang dari luar, dimana rangsangan tersebut dapat berupa rangsangan
penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecapan dan perabaan. Interpretasi
(tafsir) terhadap rangsangan yang datang dari luar itu dapat mengalami gangguan
sehingga terjadilah salah tafsir (missinterpretation). Salah tafsir tersebut terjadi
antara lain karena adanya keadaan afek yang luar biasa, seperti marah, takut,
excited (tercengang), sedih dan nafsu yang memuncak sehingga terjadi gangguan
atau perubahan persepsi (Triwahono, 2004).
2. Etiologi
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
a) Faktor predisposisi
1) Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh
penelitian-penelitian yang berikut :
a)Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang
lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal,
temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
b)Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang
berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin
dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
c)Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan
terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak
klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel,
atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan
kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
2) Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan
kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat
mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan
kekerasan dalam rentang hidup klien.
3) Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:
kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan
kehidupan yang terisolasi disertai stress.
b) Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah
adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna,
putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah
koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006),
sedangkan menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan
halusinasi adalah :
1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus
yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2) Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
3. Tanda dan gejala
Menurut Hamid (2002), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah
sebagai berikut :
a) Data Subjektif :
1) Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan
stimulus nyata.
2) Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus nyata.
3) Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus.
4) Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya.
b) Data Objektif :
1) Klien bicara dan tertawa sendiri.
2) Klien bersikap seperti mendengar atau melihat sesuatu.
4. Tahapan/Tingkatan Halusinasi
Menurut Stuart dan Laraia (2003), terdiri dari 4 fase :
a) Fase I (Conforting):
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa
bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang
menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa
yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang
cepat, diam dan asyik sendiri.
b) Fase II (Condeming) :
Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas
kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber
yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom
akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung,
pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan
kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.
c) Fase III (Controlling):
Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan
orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain
dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan
berhubungan dengan orang lain.
d) Fase IV (Conquering):
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu
berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih
dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.
5. Klasifikasi Halusinasi
Menurut Stuart ( 2007), adapun halusinasi diklasifikasikan menjadi :
a) Halusinasi pendengaran
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara orang,
biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang
sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
b) Halusinasi penglihatan
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran
cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas dan
kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
c) Halusinasi penghidu
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang
menjijikkan seperti : darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau
harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
d) Halusinasi peraba
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus
yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati
atau orang lain.
e) Halusinasi pengecap
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan
menjijikkan.
f) Halusinasi sinestetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir
melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
6. Rentang Respon
Menurut Stuart dan Laraia (2002), halusinasi merupakan salah satu respon
maladaptif individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi.
1) Pikiran logis yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren.
2) Persepsi akurat yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang
didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu
yang ada di dalam maupun di luar dirinya.
3) Emosi konsisten yaitu manifestasi perasaan yang konsisten atau afek keluar
disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak lama.
4) Perilaku sesuai/perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian
masalah masih dapat diterima oleh norma-norma social dan budaya umum yang
berlaku.
5) Hubungan sosial harmonis yaitu hubungan yang dinamis menyangkut hubungan
antar individu dan individu, individu dan kelompok dalam bentuk kerjasama.
6) Proses pikir kadang terganggu (ilusi) yaitu menifestasi dari persepsi impuls
eksternal melalui alat panca indra yang memproduksi gambaran sensorik pada
area tertentu di otak kemudian diinterpretasi sesuai dengan kejadian yang telah
dialami sebelumnya.
7) Emosi berlebihan atau kurang yaitu menifestasi perasaan atau afek keluar
berlebihan atau kurang.
8) Perilaku tidak sesuai atau biasa yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata
dalam penyelesaian masalahnya tidak diterima oleh norma – norma sosial atau
budaya umum yang berlaku.
9) Perilaku aneh atau tidak biasa perilaku individu berupa tindakan nyata dalam
menyelesaikan masalahnya tidak diterima oleh norma-norma sosial atau budaya
umum yang berlaku.
10)Menarik diri yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain.
11)Isolasi sosial menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial dalam
berinteraksi.
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Pikiran logis Persepsi akurat Emosi konsisten
dengan pengalaman Perilaku sosial Berhubungan sosial
Distorsi pikiran Ilusi Reaksi emosi
berlebihan atau kurang
Perilaku aneh/tidak biasa
Menarik diri
Gangguan pikir/Delusi Halusinasi Sulit berespon emosi Perilaku disorganisasi Isolasi Sosial
7. Pathway Halusinasi
Halusinasi
Etiologi : Faktor predisposisi
a) Biologisb) Psikologisc) Sosial budaya.
Faktor presipitasia) Biologisb) Sumber
lingkunganc) Sumber koping.
Tanda dan Gejala : Data Obyektif Data Subyektif.
Tingkatan halusinasi : Fase conforting Fase condeming Fase controlling Fase conquering
Klasifikasi halusinasi :1) Halusinasi pendengaran2) Halusinasi penglihatan3) Halusinasi penghidu4) Halusinasi peraba5) Halusinasi pengecap6) Halusinasi sinestetik.Gangguan Persepsi Sensorik :
TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya.TUK II : Klien dapat mengenal halusinasinyaTUK III : Klien dapat mengontrol halusinasinya.TUK IV : Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya.TUK V : Klien dapat mengikuti terapi aktifitas kelompok.
Rencana tindakan keperawatan
8. Psikopatologi Halusinasi
Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori
yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik
dan lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal
otak dibombardir oleh aliran stimulus yang yang datang dari dalam tubuh ataupun
dari luar tubuh. Input ini akan menginhibisi persepsi yang lebih dari munculnya ke
alam sadar. Bila input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti yang kita
jumpai pada keadaan normal atau patologis, maka materi-materi yang ada dalam
unconsicisus atau preconscious bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi.
Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan adanya
keinginan yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena sudah retaknya
kepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan
keluar dalam bentuk stimulus eksterna.
ASUHAN KEPERAWATAN HALUSINASI
A. Pengkajian
Pada tahap ini perawat menggali faktor-faktor yang ada dibawah ini yaitu :
1) Faktor predisposisi.
Merupakan faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang
dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari
pasien maupun keluarganya, mengenai faktor perkembangan, sosial kultural,
biokimia, psikologis dan genetik yaitu faktor resiko yang mempengaruhi jenis
dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi
stress.
a) Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal
terganggu maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
b) Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa
disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien di besarkan.
c) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya
stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti
Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP).
d) Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda
yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan
stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi
realitas.
e) Faktor genetik
Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui, tetapi hasil
studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2) Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya
rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam
kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga
suasana sepi/isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi
karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang
merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
3) Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan
keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba
memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakekat keberadaan
seorang individu sebagai mahkluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-
psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari dimensi yaitu :
a) Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang
eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat
ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa,
penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan
kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat
berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi
menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat
sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
c) Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada
awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan
impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak
jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
d) Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya
kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya,
seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan
interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam
dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem control oleh individu tersebut,
sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain
individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam
melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu
proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang
memuaskan, serta mengusakan klien tidak menyendiri sehingga klien
selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak
berlangsung.
e) Dimensi Spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi
dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Pada
individu tersebut cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi,
individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem
kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya
individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya.
4) Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu
dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping
dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan
masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang
mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi
strategi koping yang berhasil.
5) Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya
penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan
untuk melindungi diri.
B. Diagnosa Keperawatan
Gangguan persepsi sensori : Halusinasi (penglihatan / pendengaran / penghidu
/ perabaan / pengecapan).
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN (SP)
Halusinasi
SP 1 Pasien:
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi pasien.
2. Mengidentifikasi isi halusinasi pasien.
3. Mengidentifikasi waktu halusinasi pasien.
4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi pasien.
5. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan
halusinasi.
6. Mengidentifikasi respons pasien terhadap
halusinasi.
7. Mengajarkan pasien menghardik halusinasi.
8.Menganjurkan pasien memasukkan cara menghardik halusinasi dalam
jadwal kegiatan harian.