Download - geoekonomi korea selatan
Dian Kartika Putri (071012090)
Era Brilliana Largis (071012008)
Yudo Satryo P. (070710177)
Putri Kurniati (071012053)
GQ 1, Kelompok 1. Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Airlangga
Perkembangan Perekonomian Korea Selatan dan Penyebaran Korean Wave
Korea Selatan merupakan salah satu negara di kawasan Asia Timur yang mengalami
perkembangan ekonomi cukup pesat. Perekonomian Korea Selatan mulai tumbuh secara
signifikan di era 1990-an pasca terjadinya krisis Asia tahun 1997. Setelah krisis,
perekonomian Korea Selatan mulai berkembang sejak tahun 1998 melalui dana bantuan dari
IMF serta program dari pemerintah yang berganti di tahun yang sama (Ito, 2007). Pergantian
kepala pemerintah Korea Selatan ini kemudian tidak dapat dipisahkan dari proses pemulihan
ekonomi Korea Selatan yang pesat jika dibandingkan dengan sejumlah negara yang terkena
krisis pada tahun 1997. Jika dilihat dari data GDP negara Korea Selatan pada tahun 1996
sebesar 557 juta dolar yang kemudian menurun pada tahun 1997 menjadi 516 juta dolar dan
semakin menurun pada tahun 1998 yang mencapai angka 345 juta dolar
(http://data.worldbank.org/, t.t., diakses pada 8 Oktober 2013) maka dapat dilihat bagaimana
krisis membuat perekonomian Korea Selatan memburuk. Pasca pergantian presiden di awal
tahun 1998, diberlakukan sejumlah kebijakan untuk memulihkan kondisi ekonomi Korea
Selatan dan mempersiapkan Korea Selatan dalam kompetisi global.
Meski dalam hal ini tahun 1998 dipandang sebagai puncak dari perkembangan ekonomi
Korea Selatan bukan berarti kondisi ekonomi Korea Selatan tidak mengalami perkembangan
pada periode sebelumnya. Perekonomian Korea Selatan telah terlihat sejah periode tahun
1960-an (Chun, 2010). Pada masa tersebut, pertumbuhan GDP di Korea Selatan dari tahun ke
tahun bertahan pada angka di atas 5%. Hal tersebut terus terjadi hingga priode 1980-an.
Pertumbuhan ekonomi dalam periode tersebut tidak terlepas dari langkah pemerintah Korea
Selatan untuk melakukan perbaikan kondisi ekonomi Korea Selatan pasca Perang Korea.
Pada periode tersebut, industri di Korea Selatan mulai tumbuh.
Saat ini Korea Selatan adalah anggota G20, namun pada era tahun 1960, dengan tidak adanya
sumber daya alam atau industri, korea selatan merupakan salah satu negara miskin pada basis
pendapatan perkapita dibandingkan Irak, Liberia dan Zimbabwe. Dari semua negara Asia
yang cepat pertumbuhan ekonominya, Korea Selatan mengalami peningkatan terbesar dalam
GDP per kapita sejak pertengahan 1960-an (Schuman, 2010). Jika mengecualikan OPEC dan
centrally planned economy, Korea Selatan memiliki tingkat pertumbuhan GNP tertinggi
kelima di dunia pada tahun 1960an dan semakin meningkat pada 1970-an dan terjadi sedikit
penurunan pada 1980an (Sung, 1986 dalam Lau, 1990).
Menurut Cowen (2012) pertumbuhan ekonomi seperti Korea Selatan yang awalnya bukan
merupakan negara dengan tingkat perekonomian yang tinggi, tipe pertumbuhan ekonominya
bersifat catching up, dimana tipe pertumbuhan semacam ini tidak harus mempunyai ide,
teknologi, atau metode manajemen baru, akan tetapi hanya tinggal mengadopsi, belajar,
meningkatkan hal-hal (ide, teknologi, manajemen) yang telah dilakukan oleh negara yang
mempunyai perekonomian maju. Tujuan dari pertumbuhan tipe catching up ini adalah untuk
meutupi adanya kesenjangan ekonomi dengan negara maju (Cowen, 2012). Biasanya,
perubahan ekonominya disebabkan karena adanya perubahan pandangan dalam pemerintahan
terhadap kondisi ekonomi, kemudian berusaha memperbaikinya melalui kebijakan. Karena
kondisi ketersediaan modal pada masa tersebut sedikit maka pemerintah umumnya
mengambil kebijakan yang bersifat restrictive terhadap capital flow dan berusaha untuk
mengoptimalkan tabungan domestik melalui perubahan dalam sistem perbankan-nya (Cowen,
2012).
Keun Lee (2009) lebih jauh menjelaskan dalam artikelnya tentang proses catching up dari
perekonomian Korea Selatan yang terdiri dari beberapa fase yang bisa dikatakan hampir
serupa dengan fase pertumbuhan ekonomi milik W.W.Rostow. fase yang pertama adalah
tahun 1960an sampai pertengahan 1970an, dimana keadaan Korea Selatan pada waktu itu
masih mempunyai kapabilitas teknologi dan sumber daya manusia yang rendah (Lee,2009).
sehingga usaha untuk catching up pada masa itu adalah dengan melakukan peningkatan
dalam bidang pendidikan dan peningkatan human capital masyarakat Korea Selatan yang
ditunjukkan dengan adanya peningkatan tingkat pendidikan di tahun 1965, dan pada tahun
1972 pemerintah Korea Selatan mendirikan universitas KAIS (The Korean Advanced
Institute of Science) (World Bank, 2005 dalam Lee, 2009). Sedangkan pada bidang
teknologinya diusahakan awalnya melalui sistem import lisensi dan turnkey-based tecnology
untuk mulai mempelajari dan memperbaiki kemampuan dalam bidang teknologi dari negara
maju yang didukung oleh kebijakan pemerintah melalui Foreign Capital Inducement Act
1966 (Lee,2009).
Pada tahun 1961 juga, dalam segi pemerintahan Park Chung-hee memimpin kudeta militer
dan membentuk dasar intervensi negara yang bertujuan pada industrialisasi. Park memimpin
hingga terjadi pembunuhan tahun 1979, periode ini merupakan periode kunci di mana Korea
Selatan dipromosikan dari kelas ekonomi 'Dunia Ketiga'. Sepanjang periode itu, sampai
berbagai perubahan pada 1980-an dan 1990-an, negara merupakan mesin pertumbuhan
ekonomi dalam mengalokasikan sumber daya untuk investasi, terutama pada penetapan harga
dan modal investasi luar negeri (Amsden, 1989). Economic Planning Board (EPB) yang
merupakan badan perencanaan ekonomi negara diberi kekuasaan yang besar meskipun sistem
yang ada masih menggambarkan dirinya berdasarkan pasar bebas (Choi, 1987). Lima bulan
setelah kudeta, Park menasionalisasi sistem perbankan pemerintah dan pada tahun 1970 telah
menguasai 96,4% dari aset keuangan yang ada. Pengguasaan atas aset keuangan
menyebabkan EPB dapat lebih leluasa dalam perencana distribusi sumber daya untuk bidang
industri yang dianggap penting bagi pertumbuhan ekonomi (Woo, 1991).
Di periode 1960-an, industri baja di Korea Selatan mulai dikembangkan oleh pemerintah
melalui program rencana pembangunan lima tahunan periode kedua (Chun, 2010). Sebagai
bukti serius dari pemerintah kemudian dibentuk Korea International Steel Association
(KISA) pada tahun 1967 dan satu tahun kemudian disusul dengan pendirian Pohang Iron and
Steel Co., Ltd. (POSCO). Industri baja ini kemudian turut menyokong pertumbuhan dari
industri-industri lain di Korea Selatan seperti industri mobil dan pelayaran.
Industri lain yang menjadi sasaran program pemerintah Korea Selatan pada periode 1960-an
adalah industri pelayaran. Pada periode 1960-an, pemerintah melakukan sejumlah persiapan
dan rencana pengembangan industri ini yang kemudian membuat industri ini mulai berjalan
dengan dukungan dari pemerintah melalui kebijakan serta promosi bagi industri
pelayarannya. Industri ini semakin berkembang pesat seiring dengan masuknya perusahaan-
perusahaan swasta yang turut mengembangkan industri pelayaran Korea Selatan.
Pada awal 1970an, pemerintah Korea Selatan mulai meninggalkan manufaktur ringan menuju
manufaktur berat dan industri kimia. Perubahan menuju manufaktur berat dan industri kimia
dipengaruhi oleh faktor geopolitik. Pada masa itu Presiden Nixon menarik mundur divisi
tempur AS (sebesar 24 000 orang) dari tugas di Korea Selatan. Kemudian, Presiden Carter
menyatakan niatnya untuk menarik sisanya pada akhir decade. Pemilihan pada industri berat
dan Kimia sebagian besar berhubungan dengan pertahanan: baja dan petrokimia, logam,
elektronik dan pembuatan kapal (Bello & S Rosenfeld, 1992). Sebelumnya, bantuan AS
merupakan faktor penting bagi Korea Selatan. Bentuan AS kemudian menurun tajam pada
tahun 1960. Untuk mendanai industrialisasi yang pesat, pemerintah Park memberikan
penjaminan pembayaran Hukum Kredit pada bulan Juli 1962 yang mana pinjaman itu harus
disetujui terlebih dahulu oleh Menteri Keuangan serta Gubernur Bank of Korea dan Bank
Rekontsruksi Korea. Akibatnya, aliran pinjaman luar negeri ke chaebol dipercepat dan
investasi naik hingga 36,6% pada awal 1970an (Chiu, 1992).
Lebih jauh dalam tulisannya ‘The state and the financing of industrialisation in East Asia’,
Chiu memberikan Contoh pada masa pemerintahan Park adalah bagaimana cara Foreign
Direct Investment secara khusus dibatasi dan diatur oleh negara. Basis kepemilikan industri
perekekonomian berada ditangan Korea Selatan. Sejak tahun 1966, sebagian besar FDI
terbatas pada sektor berorientasi ekspor dan industri berat, kimia serta batas kepemilikan
saham asing ditetapkan sebesar 50%. Pemerintah Park cenderung lebih terobsesi pada ekspor,
terkait dengan sistem militer, perusahaan besar diberikan target dan target ekspor dipandang
oleh perusahaan sebagai "perintah" atau "misi" (Song, 1994). Pada tahap pertama (1965-
1973) eksportir Korea Selatan diuntungkan oleh pasca-perang panjang di negara maju dan
dari perang Vietnam, yang keduanya menyediakan pangsa pasar. Terdapat keuntungan bagi
perusahaan swasta yang menunjukan prestasi baik, yaitu Antara 1961-1972 eksportir
mendapat pemotongan pajak 50% untuk pendapatan ekspor serta kemudahan kredit bagi
perusahaan besar (Bello & Rosenfeld, 1992).
Kemudian fase yang kedua pertengahan 1970an sampai pertengahan 1980an merupakan awal
dari fase catching up yang mulai diintensifkan (Lee,2009). Fase ini mempunyai karakterisitik
dengan aktifnya impor teknologi asing oleh perusahaan Korea Selatan yang mulai didominasi
para chaebol untuk kepentingan Imitative innovation (Kim, 1997 dalam Lee, 2009).pada
tahun 1980an, Korea Selatan juga mulai melakukan investasi terhadap perbaikan R&D
(research and development) untuk mengembangkan kemampuan teknologi Korea Selatan
sendiri sehingga tidak hanya mengadopsi dari teknologi lain, oleh karena itu kemudian Korea
Selatan mulai melakukan produksi dalam bidang elektronik (Lee,2009). Promosi ekspor 1973
bisa dipandang relatif mudah bagi pemerintah karena situasi eksternal yang kondusif, hal
yang berbeda terjadi pada sisa tahun 1970-an. Guncangan harga minyak dan resesi 1973-
1974 dan naiknya suku bunga pada akhir tahun 1970 menimbulkan masalah ekonomi bagi
Korea Selatan yang berbasis di ekspor dan pinjaman internasional (Amsden, 1989).
Dalam situasi yang lebih sulit, intervensi negara yang luas sangat penting untuk
mengakumulasi modal agar lebih cepat. Pada bulan Januari 1974, pemerintah dengan cepat
memperluas kredit dalam negeri, pinjaman keluar menjadi lebih besar dan menurunkan
kepemilikan cadangan devisanya. Hasilnya, pada saat sebagian besar negara-negara penghasil
non-minyak lainnya mengalami resesi yang serius, perekonomian Korea Selatan terus
mencatat pertumbuhan yang baik dengan tingkat pertumbuhan 7,7%-dari GNP pada tahun
1974, 6,9% pada tahun 1975 dan 14,4% pada 1976 (Amsden, 1989) . Bantuan Pemerintah
juga memberikan peran penting. Bantuan kepada perusahaan galangan kapal Hyundai Heavy
Industries (HHI) merupakan contoh penting. HHI mulai membangun kapal pertamanya di
bulan Maret 1973, tetapi mengalami kesulitan akibat pembatalan pesanan. Pemerintah,
sebagai satu-satunya pemilik kilang minyak di Korea Selatan merespons dengan meminta
semua pengiriman minyak mentah menggunakan kapal Korea Selatan yaitu dari Hyundai
Merchant Marine Company- yang kapalnya disediakan oleh HHI. Satu dekade kemudian
HHI menjadi perusahaan kapal terbesar di dunia (Amsden, 1989).
Dukungan untuk bisnis swasta sangat berbeda dengan negara berkembang lainnya atupun
dengan negara maju. Penghargaan diberikan bagi mereka yang menyesuaikan dan
menunjukan hasil baik dengan rencana negara, namun konsekuensi juga diberikan bagi
mereka yang tidak. Contoh tindakan pemerintah meliputi: produsen mobil Shinjin yang
asetnya milik pemerintah seperti bankir dipindahkan ke Daewoo Motors, Asia Motors yang
dibiarkan bangkrut, kelompok Taihan yang gagal pada divisi elektronik dipindahkan ke
Daewoo Electronics, dan konstruksi perusahaan Kyungnam dan Samho yang digabung
menjadi Daewoo dan diambil alih oleh Daelim Engineering (Amsden, 1989).
Hal ini kemudian menandakan fase ketiga catching up perekonomian Korea Selatan, yang
terjadi pada pertengahan 1980an dan 1990an yang disebut Keun Lee (2009) sebagai fase
rapid catch up. hal ini ditandai dengan mulai meningkatnya teknologi dan juga produk
teknologi yang dihasilkan Korea Selatan dan mulai dijual ke luar negeri terutama
Asia(Lee,2009). fase keempat adalah maturing of the cathing up, sekitar pertengahan 1990an
hingga sekarang. Ditandai dengan Korea Selatan telah memiliiki tingkat ekonomi yang tinggi
hingga masuk dalam salah satu negara OECD (Organization of Economic Cooperation and
Development) tahun 1997, dan bahkan perekonomiannya semakin meningkat paska krisis,
karena adanya restrukturisasi, liberalisasi pasar dan ekonomi yang terbuka (Lee,2009).
Lantas kemudian jika pada periode 1960-an catching up pertumbuhan ekonomi Korea
Selatan sudah terjadi mengapa titik pertumbuhan yang diambil adalah pada tahun 1998? Pada
pertumbuhan yang terjadi pada periode tahun 1960-an, terjadi sejumlah perubahan dalam
pemerintah Korea Selatan pada akhir periode 1980-an. Pada tahun 1987 hingga tahun 1992,
terjadi transisi demokrasi di Korea Selatan yang kemudian menjadikan pemerintah Korea
Selatan pada periode 1993-1998 yang dipimpin oleh Young-Sam Kim menjadi pemerintahan
pertama yang dipilih secara demokratis (Lee, 2009). Dalam periode kepemimpinan Kim ini,
peran chaebol di Korea Selatan meningkat. Hal tersebut kemudian membuat chaebol muncul
sebagai kekuatan baru di Korea Selatan yang berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah.
Namun pada akhir periode kepemimpinan Kim, terjadi krisis Asia yang turut berdampak pada
turunnya perekonomian Korea Selatan.
Pada tahun 1997, krisis yang melanda Korea Selatan pada awalnya ditandai dengan
menurunnya nilai tukar Won (Ito, 2007). Pada periode awal krisis, tercatat Korea Selatan
mengalami defisit sebesar 4% dengan pertumbuhan GDP yang telah menurun dari tahun
1994-1995 menjadi 6%. Hal tersebut kemudian disusul dengan kegagalan sejumlah institusi
finansial yang dikuasai oleh konglomerat Korea Selatan (chaebol). Kondisi krisis semakin
buruk hingga akhir tahun 1997. Hal tersebut kemudian memicu penolakan pinjaman terhadap
Korea Selatan dari institusi-institusi finansial. Banyaknya jumlah pinjaman jangka pendek
dari bank terhadap dana asing cadangan.
Pasca terpilihnya Kim Dae Jung sebagai presiden baru bagi Korea Selatan, sejumlah
perubahan dalam ekonomi Korea Selatan mulai terjadi. Pada awal terjadi krisis di Korea
Selatan, sejumlah institusi sulit untuk memberikan dana pinjaman bagi Korea Selatan dengan
dibayangi oleh sejumlah kekhawatiran seperti kekhawatiran mengenai kemampuan Korea
Selatan dalam mengembalikan dana tepat waktu dan isu-isu politik saat pemilihan presiden
yang menyebutkan bahwa Kim Dae Jung tidak terlalu berfokus pada urusan finansial (Ito,
2007). Namun hal tersebut kemudian runtuh dengan pemberian dana pinjaman dari IMF yang
digunakan untuk pemulihan kondisi krisis Korea Selatan. Kim Dae Jung ini kemudian
melakukan perubahan radikal dalam kebijakan ekonomi dengan mengadopsi neoliberal dan
memperkenalkan industri informasi dan industri informasi dan budaya.
Pada tahun 1998 Korea Selatan disebut mulai memasuki fase post-developmental state atau
market-driven state (Lee, 2009). Dalam fase ini, hubungan antara negara dan chebol
mengalami transisi menjadi satu hubungan yang mulai saling bergantung. Perubahan tersebut
dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari perubahan yang dilakukan pada periode
kepemimpinan Young-Sam Kim. Pada pemerintahan Kim, pemerintah Korea Selatan
memulai proyek KII (Korean Information Infrastucture). Proyek tersebut bertujuan untuk
mengubah perekonomian Korea Selatan berbasis pada pengetahuan (Lee, 2009). Proyek
tersebut dimulai pada tahun 1995 dan berakhir pada tahun 2005. Realisasi proyek ini pada
periode kepemimpinan Kim pada tahun 1995-1997 lebih mengrah pada pembentukan
jaringan dasar.
Fase kedua berlangsung pada tahun 1998-2000 pada pemerintahan Kim Dae Jong berfokus
pada penyelesaian jaringan yang dimulai pada fase sebelumnya (Lee, 2009). Pada
pemerintahan ini, diharapkan terjadi liberalisasi dan terciptanya masyarakat yang
berkompetisi dengan basis ilmu pengetahuan. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah
melanjutkan program KII dengan menjalankan Cyber Korea 21 yang diharapkan akan
berlanjut pada e-Korea Vision 2006. Tujuan utama dari program Cyber Korea 21 tersebut
adalah menciptakan lapangan kerja baru yang berbasis pada teknologi informasi. Sedangkan
tujuan dari e-Korea Vision 2006 adalah untuk meningkatkan infrastuktur teknologi informasi.
Melalui kebijakan yang dibuat, Kim Dae Jong berhasil mengubah pandangan mengenai
industri informasi dan budaya yang kemudian menjadi prioritas dalam perekonomian
nasional (Lee, 2009). Hal tersebut diwujudkan dengan melakukan pengembangan perangkat
lunak dan konten media. Keberadaan Cyber Korea 21 yang disebutkan sebelumnya kemudian
turut berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang berbasis pengetahuan, meningkatkan
persaingan nasional dan kualitas hidup masyarakat. Dengan implementasi tersebut, budaya
dan teknologi informasi kemudian semakin diyakini menjadi elemen penting dalam
meningkatkan dolar asing dan menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Sejumlah alasan tersebut kemudian menjadikan alasan mengapa tahun 1998 dapat dikatakan
sebagai masa pertumbuhan ekonomi Korea Selatan. Pada masa tersebut, mulai tumbuh sektor
industri informasi teknologi dan budaya yang kemudian mampu mengatasi kondisi krisis.
Kerja sama antara pemerintah dengan chaebol sejak tahun 1998 turut mengubah pola
ekonomi Korea Selatan menjadi negara yang berbasis pada pasar. Keberadaan chaebol yang
menjadi kekuatan ekonomi pasca krisis tidak dapat dipisahkan pula dengan perbaikan
ekonomi Korea Selatan pasca Krisis 1997.
Selain terdapat peningkatan ekonomi setelah restrukturisasi paska krisis, ekonomi Korea
Selatan juga diikuti dengan adanya reevaluasi oleh pemerintah pada saat itu, mengenai
tingkat vulnerability dan keuntungan dari sistem ekonomi yang manufaktur terhadap krisis,
sehingga pemerintah Korea Selatan memutuskan untuk juga mengembangkan sektor
industrinya melalu high value added culture industry (Yang, 2012). Perubahan pemikiran ini
disikapi pemerintah Korea Selatan dengan memberntuk Culture Industry Bureau dalam
kementrian budaya dan pariwisatanya pada tahun 1994 juga dengan adanya Motion Pictures
Promotion Law tahun 1995, yang akhirnya mebuat para Chaebol tertarik untuk berinvestasi
dalam industri budaya (Yang, 2012). Paska krisis 1997 juga menyebabkan sistem ekonomi
Korea Selatan menjadi lebih terbuka karena diadopsinya sistem Neoliberal, yang juga turut
merubah kebijakan ekonomi dari pemerintah. Adanya dorongan restrukturisasi, liberalisasi
dari badan badan internasionals seperti IMF dan World Bank dengan kondisi pasar dunia
yang semakin terbuka, membuat industri budaya (culture industry) yang di rancang oleh
pemerintah Korea Selatan, turut serta memberikan dorongan atas meningkatnya penyebaran
dari produk budaya Korea di dunia yang disebut dengan Korean wave atau Hallyu (Yang,
2012).
Hallyu atau Korean Wave merupakan terminologi yang dikemukakan oleh jurnalis di China
pada tahun 1997an atas pesatnya penyebaran produk budaya Korea Selatan seperti drama
televisi, musik pop (K-pop) dan juga Movies yang mulai banyak ditemukan di Asia Timur
pada saat itu (Yang, 2012). Hallyu ini ikut meningkatkan ekonomi Korea Selatan melalui
peningkatan turisme ke Korea Selatan, peningkatan permintaan dan penjualan produk-produk
yang berhubungan dengan Hallyu. Hallyu ini menurut Shim (2006) dan Kim (2009 dalam
Yang, 2012) merupakan bentuk dari industri budaya Korea yang mengambil kesempatan atas
adanya perubahan situasi dalam pasar dunia. Dikatakan juga sebagai versi Korea dari
American commercial culture yang merupakan perpanjangan dari industri ekspor Korea
(Cho-han, 2003 dalam Yang, 2012). Sehingga bisa dikatakan adanya peningkatan ekonomi
dari sektor industri budaya saat itu didukung tidak hanya oleh keadaan internasional paska
krisis, intervensi restrukturisasi dari IMF, dan diadopsinya neoliberal tetapi juga merupakan
akibat dari perubahan orientasi ekonomi dan sistem ekonomi domestik oleh Pemerintah
Korea Selatan.
Akan tetapi kemudian faktor kondisi yang telah disebutkan sebelumnya belum bisa secara
efektif menjelaskan mengapa peningkatan ekonomi dan produk budaya Korea Selatan terjadi
secara pesat, dan hanya dialami oleh Korea Selatan saja bukan negara yang lain. Hal ini
kemudian membuat beberapa ilmuwan melihat dari aspek budaya yang tersebar itu sendiri.
Pada awal 1997an Hallyu banyak tersebar di negara-negara Asia Timur seperti China, Jepang
dan Taiwan, hal ini dikatakan oleh Hong-xi Han (2005 dalam Yang, 2012) dan Yang (2012)
dapat dijelaskan karena aspek budaya yang tersebar mempunyai kesamaan elemen yaitu
elemen nilai tradisional dan nilai konfusius, terutama dalam produk Film dan Drama Korea.
Dimana penerimaan atas produk suatu budaya akan lebih mudah masuk jika negara yang
dituju mempunyai budaya yang hampir sama dibandingkan dengan negara yang budayanya
cukup berbeda (Yang, 2012). Dalam hal ini produk budaya Korea Selatan hampir
mempunyai kandungan etika Konfusius, nilai tradisional Asia Timur seperti menjunjung
tinggi kekeluargaan, berbasis kelompok, harmoni, moralitas yang kuat ditambah lagi ciri-ciri
rasial dan fisik yang sama akan menimbulkan sense of Asianness (Yun, 2009; Kim, 2007
dalam Yang, 2012). Selain itu, faktor lain yang membuat Hallyu ini terus menyebar ke
seluruh dunia, tidak lagi hanya di Asia Timur, tetapi juga ke negara-negara Asia lain seperti
Indonesia, Malaysia, Thailand walaupun mereka memliki nilai tradisional dan ciri fisik yang
berbeda adalah keunikan dari Hallyu yang merupakan budaya campuran antara budaya Barat
dan Asia, yang kemudian menyediakan alternatif bagi budaya barat yang dianggap modern
akan tetapi dengan tidak melepaskan budaya Asia-nya (Gim, 2007; Hong-Xi Han, 2005
dalam Yang, 2012).
Terbukanya Korea Selatan atas pengaruh dari budaya dunia luar yang kemudian
mempengaruhi percampuran produk budayanya tercermin dari terus meningkatnya jumlah
impor Movies dari Amerika Serikat dan negara lain, yang terus meningkat diiringi dengan
peningkatan Impor Korea Sendiri dari tahun 1999 sampai 2011 (KOFIC, 2011dalam Shim,
2008). Shim (2008) juga mengatakan bahwa ekspor film Korea Selatan mengalami
peningkatan sebanayak 525% dari tahun 1997 ke 1998 sebanyak 492,000 menjadi 3,073,750.
Di Jepang sendiri sebagai salah satu negara yang mengekspor film Korea, menunjukkan
bahwa Korea Selatan mempunyai market share atas film di Jepang, yang terus meningkat
dari tahun ke tahun, dari 3.8% di tahun 2000 hingga mencapai 10% pada 2004. Hallyu saat
ini juga sudah menyebar ke benua lain selain Asia, seperti Eropa, Amerika Serikat, Amerika
Utara dan beberapa negara di Afrika (Li, 2005 dalam Shim, 2008). Hal ini diperkuat dengan
data total ekspor dan impor program Televisi Korea ke seluruh dunia yang dilansir oleh
kementrian budaya dan pariwisata, dimana terjadi peningkatan besar-besaran dari tingkat
ekspornya dari US$5.5 juta tahun 1995 menjadi US$71,4 juta pada 2004 (Park, 2005 dalam
Shim, 2008).
Selain itu juga, adanya fenomena masuknya K-pop ke daftar lagu internasional bahkan dalam
website musik Billboard.com milik Amerika Serikat,pada tahun 2011 meluncurkan kolom
resmi bagi tangga lagu khusus K-pop (billboard.com, 2011). Belum lagi fenomena Youtube
Psy- Gangnam Style yang mencapai angka 1.5 Milliar viewers, menembus tangga lagu
internasional dan American billboard charts, dan record deal dengan Universal Public
records Amerika yang kemudian disebut oleh Kevin Chen et.all (2013) sebagai simbol
kesuksesan penyebaran Hallyu. Akan tetapi sebenarnya menurut Kevin Chen et.all (2013)
penghasilan yang didapat dari sektor ekspor showbiz (musik, Film, Broadcasting)
mempunyai sumbangan terhadap ekonomi nasional secara langsung tidak besar, hanya 0,1%
dari total ekspor barang dan Jasa walaupun Showbiz ekspornya telah mencapai $400 juta pada
2011 (Chen,2013). Hal ini bukan berarti hal tersebut menjadi tidak signifikan mempengaruhi
pertumbuhan ekonominya. Adanya Hallyu mempunyai spillover effect terhadap
perekonomian, dimana misalnya para Chaebol menjadi diuntungkan karena memberikan
sponsor terhadap Drama Korea, misalnya LG Debon yang berhasil meluaskan pasarnya ke
Vietnam karena ikut sebagai sponsor dalam salah satu pembuatan film (Chen, 2013).
Jika dihubungkan dengan penjelasan sebelumnya , maka momentum dari meningkatnya
produk budaya Korea Selatan atau dicerminkan melalui Hallyu, terjadi dan semakin
meningkat paska Krisis Asia 1997. Selain karena pada saat itu pengaruh ideologi dan kontrol
budaya dari Uni Soviet beserta komunismenya sudah hilang paska perang dingin, sehingga
menyebabkan neoliberalisme menjadi satu-satunya ideologi yang dainggap
mendominasi(Yang, 2012). Neoliberalisme selain menyebabkan perubahan dalam sistem
ekonomi, pasar yang lebih terbuka, juga merubah budaya Korea Selatan yang sebelumnya
tertutup menjadi lebih terbuka terhadap pengaruh-pengaruh modernisasi barat, sehingga
menyebabkan adanya Hybrid dalam budayanya (Yang, 2012). Ditambah lagi, dilihat dari segi
globalisasi budaya yaitu meningkatnya atau munculnya budaya global, munculnya budaya
populer barat, dominasi industri budaya multinasional dan meningkatnya pertukaran dan
interaksi budaya lintas negara (Held et al., 1999 dalam Yang, 2012). Adanya globalisasi
budaya disebutkan akan menyebabkan imperialisme budaya yang akan memunculkan tiga hal
yaitu keseragaman budaya, penemuan kembali budaya asli serta adanya budaya campuran
atau hybrid seperti yang terjadi di Korea Selatan (Appadurai, 1990; Pieterse 1995 dalam
Yang, 2012).
Sehingga bisa dikatakan momentum dari menyebarnya Hallyu ini dapat terjadi karena adanya
kontak dengan budaya lain yang dibarengi dengan adanya globalisasi budaya, yang terjadi
ketika Korea Selatan mulai terbuka terhadap budaya luar sekitar tahun 1992-1997. Sehingga
bisa disimpulkan bahwa peningkatan ekonomi Korea Selatan dan kemudian munculnya
Hallyu yang menjadi economic booster tampak jelas ketika krisis Asia 1997 berakhir. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu diadopsinya nilai Neoliberalisme paska perang dingin,
liberalisasi, keterbukaan dan restrukturisasi paska krisis yang didorong oleh IMF, perubahan
orientasi industri dan kebijakan ekonomi pemerintah Korea Selatan, serta masuknya
modernisasi dan nilai budaya barat.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan diatas adalah bisa dikatakan bahwa proses
dari pertumbuhan ekonomi Korea Selatan telah dipersiapkan dan dimulai sejak tahun 1960an
dan merupakan pertumbuhan ekonomi yang bersifat catching up dengan perekonomian
negara yang sudah maju. Terdapat beberapa fase yang mencerminkan perubahan yang
gradual dari proses tersebut dari tahun ketahun, yang kemudian mencapai titik keemasan
pada fase keempat atau pada tahun 1990an paska krisis Asia. Penulis mengambil tahun 1998
sebagai timing yang paling mencerminkan hasil dari perkembangan ekonomi Korea Selatan,
karena selain mencerminkan adanya peningkatan dalam bidang ekonomi,hasil produk budaya
Korea Selatan juga kemudian menjadi suatu aspek dan komoditas baru yang menjadi booster
ekonomi dimana pada fase sebelumnya belum terlalu menonjol.
Referensi:
Amsden, A, 1989. Asia’s Next Giant: South Korea and Late Industrial ization , New York:
Oxford University Press.
Bello & S Rosenfeld, 1992. Dragons in Distress: Asia’s Miracle Economies in Crisis,
London: Penguin.
Chun, Seung-Hun,2010. Strategy for Industrial Development and Growth of Major
Industries in Korea, [pdf] tersedia dalam diakses pada 8 Oktober 2013.
Chiu, S, 1992. ‘The state and the financing of industrialisation in East Asia: historical
origins of comparative divergences’ , PhD thesis, Princeton University, pp 86–87.
Choi, BS, 1989. ‘The structure of economic policy-making institutions in Korea and the
strategic role of the Eeconomic Planning Board (EPB)’, The Korean Journal of
Policy Studies, 2.
Cowen, Tyler et.all, 2012. “Modern priciples of MacroeconomiesS: Growth, Capital
Accumulation and the Economics of Ideas: Catching Up vs. the Cutting Edge”. Worth
Publishers.
Ito, Takatoshi, 2007. Asian Currency Crisis and the International Monetary Fund, 10 Years
Later: Overview, dalam Asian Economic Policy Review (2007) 2, pp.16–49.
Lee, Keun.2009. “How Can Korea be a Role Model for Catch-up Development?”. UNU
WIDER Research Paper No.2009/34.
Lee, Kwang-Suk,2009. A final flowering of the developmental state : the IT policy
experiment of the Korean information infrastructure, 1995-2005, dalam The
government information quarterly 26(4), 2009, pp.567-576.
Yang, Jonghoe, 2012. “The Korean Wave [Hallyu] in East Asia: A comparison of Chinese,
Japanese, and Taiwanese Audiences Who Watch Korean TV Dramas”. Development
and Society Journals. Vol. 41. No.1. June 2012. 103-147
Kim, Eun Mee & Jiwon Ryoo. 2007. “South Korean Culture Goes Global: K-pop and the
Korean Wave”.Korean Social Science Journal. No (1) 2007. 117- 152
Chen, Kevin et al., 2013. “Korean Showbiz Cluster”. Microeconomics competitiveness:
Harvard Business School
Shim, Doobo. 2008. “The Growth of Korean Cultura; Industries and the Korean Wave”. East
Asian Pop Culture. Hongkong University Press.
Song, BN, 1994. The Rise of the Korean Economy, Oxford: Oxford University Press.
Sung, YK, 1986. ‘The economic development of the Republic of Korea, 1965–1981’, in L Lau
1990, (ed), Models development in South Korea’, in White, Developmental States in
East Asia, San Francisco, CA: ICS Press.
World Bank, t.t.,GDP (Current US$), [online] tersedia dalam
http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?page=3 diakses pada 8
Oktober 2013.
World Bank, t.t.,GDP (Current US$), [online] tersedia dalam
http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?page=2 diakses pada 8
Oktober 2013.
Woo, JE, 1991. Race to the Swift: State and Finance in Korean Industrialization , New York:
Columbia University Press.