GAYA BAHASA PERBANDINGAN DALAM KUMPULAN
PUISI HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO
DAMONO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI
SEKOLAH MENENGAH ATAS
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
(S.Pd.)
t
Oleh
Titih Sundari
1112013000052
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
ABSTRAK
Titih Sundari (1112013000052). “Gaya Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Atas”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana penggunaan gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif-deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan yakni teknik studi dokumentasi. Data dalam penelitian ini diperoleh dari membaca dan memahami isi puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 59 penggunaan gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Penggunaan gaya bahasa perbandingan yang dominan yaitu personifikasi sebanyak 30 data. Penggunaan lainnya yaitu metafora sebanyak 10 data; simile sebanyak 9 data; epitet sebanyak 6 data; depersonifikasi sebanyak 2 data; dan parabel dan alusi sebanyak 1 data; serta tidak ditemukan penggunaan gaya bahasa perbandingan alegori, eponim, dan simbolik. Penelitian ini dapat digunakan oleh guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia dengan materi unsur-unsur puisi salah satunya gaya bahasa di Sekolah Menengah Atas yang tercantum dalam kurikulum 2013 revisi 2016 dengan kompetensi dasar 3.16, 3.17, 4.16, dan 4.17 untuk memberikan pemahaman belajar yang lebih baik dengan menampilkan contoh gaya bahasa perbandingan yang beragam dari kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono
Kata kunci: gaya bahasa, gaya bahasa perbandingan, puisi, Sapardi Djoko Damono
i
ABSTRACT
Titih Sundari (1112013000052). “Comparative Language Style in a poems collection Rain in June by Sapardi Djoko Damono and Its Implications for Learning Literature in Senior High School.” Indonesian Language and Literature Education. Faculty of Tarbiyah and Teaching Science. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2019.
This study aims to describe how the use of comparative language style in a collection of Rain in June by Sapardi Djoko Damono. This study uses qualitative-descriptive research methods. Data collection techniques used are documentation study techniques. The data in this study were obtained from reading and understanding the contents of the poems contained in a poem collections of Rain in June by Sapardi Djoko Damono
The results showed that there were 59 uses of comparative language styles in a collection of June Rain poems by Sapardi Djoko Damono. The use of the dominant comparison language style is 30 personifications. Other uses are 10 data metaphors; 9 data similes; 6 data epithets; 2 data depersonifications; and 1 data parable and alution; and no allegory, eponym, and symbolic comparative language styles have been found. This study can be used by teachers in learning Indonesian language with the material of poetry elements, one of which is the style of language in senior high schools listed in the 2016 revised 2013 curriculum with basic competencies 3.16, 3.17, 4.16, and 4.17 to provide better learning understanding with show examples of diverse language styles from a collection of June Rain poems by Sapardi Djoko Damono
Keywords: language style, comparative language style, poetry, Sapardi Djoko Damono
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas ke hadirat Allah SWT., atas segala rahmat dan karunia-Nya
kepada penulis, akhirnya buah dari perjuangan degan penuh kesabaran telah
terselesaikan. Salawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan
kita Nabi Muhammad Saw., keluarga, para sahabat, dan pengikutnya sampai akhir
zaman.
Penyusunan skripsi ini tidak lain guna memenuhi syarat mmenyandang
gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini bukan hanya karya penulis semata, sebab di belakangnya begitu
banyak pendukung yang turut membantu penulisan ini hingga titik di halaman
terakhir. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih kepada:
1. Allah SWT., Tuhan semesta alam yang telah memberikan kenikmatan
tak terhingga kepada penulis.
2. Dr. Sururin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen
pembimbing skripsi yang telah sabar dalam membimbing, mengarahkan
dan memberikan motivasi selama penyusunan skripsi.
4. Rosida Erowati, M. Hum., selaku dosen penasihat akademik Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah berbagi pengetahuan seluas-luasnya
selama penulis menempuh studi.
6. Alm. Bapak Jamaludin dan Almh. Ibu Titin Suprihatin, kedua orang
tua penulis. Terima kasih telah memberikan kasih sayang, motivasi, dan
doa tiada henti.
iii
iv
Semoga Bapak dan Mama diberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Aamiin.
7. Nenek tersayang, Nenek Hayatun yang sudah dengan ikhlas menjadi
ayah dan ibu bagi penulis dan adik-adik selama ini. Semoga Allah
membalas segala kebaikan yang telah nenek berikan kepada kami.
8. Kakak tersayang Erlin, Ridwan, dan Soelihat serta adik tersayang
Mustiqa Ningrum, Sarah Wiranti, dan Rahayu Nuraini terima kasih
selalu mengingatkan dan memberikan semangat dalam menyelesaikan
skripsi ini.
9. Paman dan bibi tercinta, Mang Herman dan Bibi Nung yang
menggantikan sosok ayah dan Ibu terima kasih selalu ada memberikan
kasih sayang kepada penulis.
10. Nyimas Karina, sahabat sepermainan sejak kecil, terima kasih untuk
doa, nasihat, semangat dan dukungannya, serta terima kasih sudah sabar
dan setia menjadi tempat keluh kesah penulis
11. Teman seperjuangan PBSI Angkatan 2012, khususnya untuk sahabat
yang selalu ada dan tidak pernah bosan untuk mengingatkan dan
memberikan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih
Hasna Puspita Sari, Bernika Liana, Aufalina Husna, Siti Sarah Ismiani,
Haiza Hazrina, Anis Rozanah, dan Saadah Abadiyyah.
12. Terima kasih untuk Bapak Ali dan Ibu Yana yang sudah seperti orang
tua bagi penulis, terima kasih atas tempat tinggal yang diberikan selama
penulis menjalankan PPKT. Semoga kalian selalu sehat.
13. Terima kasih untuk sahabat saya, Wirda Makiyah dan Puji Ayu Lestari,
teman seperjuangan yang selalu menemani mengerjakan skripsi dan
tidak pernah bosan untuk menyemangati dalam menyelesaikan skripsi
ini.
14. Terima kasih untuk Fatimah, sahabat saya sejak SMK hingga berkuliah
di jurusan yang sama, PBSI, yang selalu memberikan semangat untuk
penulis dalam penulisan skripsi ini.
v
15. Terima kasih untuk teman-teman SMK Tunas Harapan, Eka, Ifa, Kak
Nur, Kak Yuni, Yike, Kak Intan, Kak Septi, Fay, Amel, dan Eky yang
selalu menyemangati dan memberikan dukungan kepada penulis.
16. Terima kasih untuk siswa-siswa ekstrakulikuler Ruang Sastra SMK
Tunas Harapan yang selalu menyenangkan jika diajak diskusi tentang
sastra. Semangat untuk kalian!
17. Semua pihak yang terlibat dalam pembuatan skrispsi ini yang tidak bisa
saya sebutkan satu per satu, semoga Allah selalu membalas kebaikan
kalian dengan pahala yang berlipat ganda.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna, sehingga penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang berguna
untuk perbaikan laporan. Penulis berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi
penulis khususnya serta pihak yang membutuhkan umumnya.
Jakarta, 5 April 2019
Penulis,
Titih Sundari
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... i
ABSTRACT ...................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 3
C. Pembatasan Masalah ................................................................ 4
D. Perumusan Masalah ................................................................. 4
E. Tujuan Penelitian ..................................................................... 4
F. Manfaat Penelitian ................................................................... 4
BAB II KAJIAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori ......................................................................... 6
1. Pengertian Puisi ………..................................................... 6
2. Stilistika ............................................................................. 8
3. Gaya Bahasa ...................................................................... 9
4. Fungsi dan Kedudukan Gaya Bahasa ………………...…. 10
5. Ragam Gaya Bahasa ………………………………..…… 12
6. Jenis-Jenis Gaya Bahasa Perbandingan ............................ 13
7. Metafora dalam Semantik ................................................. 19
8. Pengajaran Sastra di Sekolah ............................................ 20
B. Penelitian yang Relevan ........................................................... 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian .................................................................... 28
B. Data dan Sumber Data Penelitian ............................................ 29
C. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 30
D. Langkah Analisis Data ........................................................... 31
vi
vii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Temuan Penelitian ................................................... 33
B. Implikasi terhadap Pembelajaran …..........................................62
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................. 64
B. Saran ......................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 66
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Data Puisi
Lampiran 2 : Rencana Perencanaan Pembelajaran (RPP)
Lampiran 3 : Lembar Uji Referensi
Lampiran 4 : Surat Bimbin
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa dalam kehidupan masyarakat saat ini bukan hanya berfungsi
sebagai alat komunikasi melainkan juga sebagai alat untuk menyampaikan
gagasan, pikiran, ataupun pendapat baik secara lisan maupun tulisan. Begitu
pula terhadap karya sastra, pengarang menyampaikan ide dan pikirannya
dengan gaya masing-masing. Sastra sebagai cabang seni merupakan bagian
integral dari kebudayaan. Sastra telah menjadi bagian dan pengalaman hidup
manusia, baik dari aspek manusia yang memanfaaatkannya bagi pengalaman
hidupnya, maupun dari aspek penciptaannya, yang mengekspresikan
pengalaman batinnya dalam karya sastra.1 Bahasa yang digunakan dalam setiap
karya sastra pun berbeda terutama pada karya sastra puisi. Puisi adalah sebuah
struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana
kepuitisan. Puisi tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa mengetahui dan
menyadari bahwa puisi itu karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti,
bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna.2 Oleh sebab itu, Bahasa dalam
puisi memiliki kekhasan tersendiri yang biasa kita kenal dengan bahasa puitik
ataupun bahasa kesastraan dengan mengandung citra, majas, metafor, dan
simbol.
Sepanjang zaman puisi selalu mengalami perubahan dan perkembangan
baik secara struktur maupun segi bahasanya. Hal ini mengingat hakikatnya
sebagai karya seni yang selalu terjadi ketegangan antara konvensi dan
pembaharuan (inovasi). Puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera
dan perubahan konsep estetiknya.3
1 Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), h. 2.
2 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014), h. 3.
3 Ibid.
1
2
Berdasarkan konteks tersebut, kita dapat melihat betapa pentingnya
imajinasi dalam merealisasikan ide, gagasan ataupun pikiran pengarang yang
nantinya akan dituangkan melalui teks-teks sastra, dengan tujuan teks-teks
tersebut dapat dipahami oleh pembaca. Pada akhirnya, perkembangan dan
perubahan yang terjadi pada puisi juga akan menjadikan bahasa sebagai
kekuatan sebuah karya, jika pengarang tersebut memiliki cara tersendiri dalam
menyampaikan gagasannya melalui karya yang dibuatnya.
Penyair di Indonesia banyak yang sudah menggunakan bahasa sebagai
kekuatan dalam karya mereka, terutama karya sastra puisi, sebut saja Chairil
Anwar yang mencoba memberontak konvensi puisi dengan menghadirkan
sesuatu yang baru dalam karya sastra Indonesia, W.S Rendra yang tetap
menggunakan bahasa sehari-hari dalam menulis puisinya, atau Sapardi Djoko
Damono yang menyuntik kita dengan kata-kata penuh romantisme dalam
karyanya. Gaya kepenyairan yang berbeda-beda tersebut tentunya akan
membuat sastra Indonesia semakin beragam.
Kekuatan bahasa yang dimiliki oleh karya-karya penyair tersebut
memang sangat mempengaruhi keindahan dan kenikmatan seseorang
membacakan puisinya. Tak heran nama Chairil Anwar dan W.S Rendra
merupakan nama populer termasuk di antara mereka yang bukan pecinta puisi.
Namun, kita tidak bisa melupakan begitu saja satu nama yang juga populer
seperti halnya Chairil Anwar dan W.S Rendra, yaitu Sapardi Djoko Damono.
Beliau dikenal sebagai penyair yang dapat merangkai kata-kata dengan baik.
Karya-karyanya menggunakan pilihan kata yang sederhana namun sarat akan
makna.
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
(Bait I dalam puisi Hujan Bulan Juni, 1989)
3
Puisi Sapardi Djoko Damono menghasilkan tafsiran yang luas bagi
para pembacanya. Bait I dalam puisi Hujan Bulan Juni , salah satu bukti
bahwa penyair tersebut menggunakan kata-kata yang dekat dengan keseharian
namun dengan kemampuannya merangkai kata demi kata, kata-kata yang
dihadirkan dalam puisinya menjadi indah dan bermakna. Penggunaan gaya
bahasa perbandingan dalam puisi penyair tersebut tak luput dari perhatian
penulis. Selain Sapardi Djoko Damono, banyak penyair yang sering
menggunakan gaya bahasa perbandingan dalam puisinya, salah satu penyair
tersebut yaitu Goenawan Mohamad dan Abdul Hadi WM.
Pembelajaran sastra di sekolah terutama tentang gaya bahasa sering
sekali kurang menjadi perhatian guru untuk mempelajarinya lebih dalam. Hal
ini dikarenakan contoh gaya bahasa yang digunakan dalam pembelajaran
tersebut merupakan gaya bahasa yang itu-itu saja dan terkesan menggunakan
sumber puisi yang menggunakan bahasa yang sulit dan kurang familiar bagi
siswa di sekolah. Puisi Sapardi Djoko Damono berbeda, seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya beliau menggunakan bahasa keseharian sehingga dapat
mempermudah guru melakukan pembelajaran sastra.
Berdasarkan hal di atas, peneliti memutuskan memilih judul “Gaya
Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni Karya
Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya terhadap Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas”
B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, penelitian ini akan
membahas gaya bahasa kiasan dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya
Sapardi Djoko Damono. Berdasarkan latar belakang tersebut dapat
disimpulkan berbagai masalah yang diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Gaya bahasa memiliki kekuatan tersendiri dalam menghasilkan efek
estetis dalam puisi
4
2. Gaya bahasa sebagai media bagi penulis menyampaikan
ide/gagasannya terhadap pembaca
3. Gaya bahasa yang digunakan Sapardi Djoko Damono memiliki
kekhasan tersendiri
4. Puisi Sapardi Djoko Damono menggunakan berbagai jenis gaya
bahasa
5. Penggunaan contoh gaya bahasa dari sumber puisi yang kurang
beragam dalam pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini, yaitu pembahasan mengenai
gaya bahasa perbandingan dalam karya sastra puisi dalam kumpulan puisi
Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penggunaan gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan
puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono?
2. Bagaiamana implikasi penggunaan gaya bahasa perbandingan dalam
kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono
terhadap pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas?
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penggunaan gaya bahasa perbandingan yang
terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko
Damono.
2. Untuk mengetahui implikasi penggunaan gaya bahasa perbandingan
dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono
terhadap pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas
5
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoretis
Peneliti berharap hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat
a. Bagi para guru khususnya guru bahasa Indonesia dapat
menjelaskan penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra
b. Bagi siswa yang sedang mempelajari gaya bahasa, dapat lebih
mengerti tentang gaya bahasa khususya yang digunakan dalam
karya sastra
c. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah wawasan baru
mengenai stilistika terutama gaya bahasa perbandingan dalam
karya sastra.
2. Manfaat praktis
a. Bagi guru dapat menjadi bahan tambahan dalam menyampaikan
materi tentang gaya bahasa dalam karya sastra
b. Bagi mahasiswa bidang bahasa dan sastra dapat menjadi sarana
dalam memahami stilistika dalam puisi
c. Bagi peneliti dapat memahami lebih jauh makna dalam kumpulan
puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Puisi
Kata puisi berasal dari bahasa Yunani poeisis yang berarti penciptaan.
Tetapi arti tersebut semakin lama dipersempit ruang lingkupnya menjadi “hasil
seni sastra”, yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan
menggunakan irama, sajak, dan kata-kata kiasan.4
Dalam bahasa Inggris padanan kata puisi adalah poetry yang erat
berhubungan dengan kata –poet dan kata –poem. Kata poet berasal dari kata
Yunani yang berarti membuat; mencipta. Dalam bahasa Inggris kata poet ini
disebut maker. Dalam bahasa Yunani kata poet berarti orang yang mencipta
melalui imajinasinya, orang yang hampir menyerupai dewa atau yang amat
suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang
suci; yang sekaligus merupakan seorang filsuf, negarawan, guru, orang yang
dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.5 Sedangkan menurut Ralph
Waldo Emerson, puisi merupakan upaya abadi untuk mengekspresikan jiwa
sesuatu, untuk menggerakkan tubuh yang kasar dan mencari kehidupan dan
alasan yang menyebabkannya ada. Menurutnya ide atau gagasan merupakan
bagian vital dari puisi.6
Puisi sebagai jenis sastra memiliki susunan bahasa yang relatif lebih
padat dibandingkan dengan prosa. Pemilihan kata atau diksi dalam cipta puisi
dapat dikatakan sangat ketat. Kehadiran kata-kata dalam puisi diperhitungkan
dari berbagai segi: makan, kekuatan citraraan, rima, dan jangkauan
simboliknya.7 Puisi juga merupakan ekspresi pengalaman batin (jiwa) penyair
mengenai kehidupan manusia, alam, Tuhan sang pencipta, melalui media
bahasa yang estetik yang secara padu dan utuh, dalam bentuk teks.
4 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 4 5 Ibid. 6 Ibid. 7 Sumardi dan Abdul Rozak Zaidan, Pedoman Pengajaran Apresiasi Puisi SLTP & SMA,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 3
6
7
Puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah
dan kaya makna. Keindahan sebuah puisi disebabkan oleh diksi, majas, rima,
dan irama yang terkandung dalam karya sastra itu.8 Leight Hunt
mengungkapkan, “Poetry is imaginative passion” (puisi merupakan luapan
perasaan yang imajinatif). Di balik kata-katanya yang ekonomis, padat dan
padu tersebut puisi berisi potret kehidupan manusia. Puisi menyuguhkan
persoalan-persoalan kehidupan manusia dan juga manusia dalam hubungannya
dengan alam dan Tuhan sang pencipta. Masalah kehidupan yang disuguhkan
penyair dalam puisinya tentu saja bukan sekadar refleksi realitas melainkan
cenderung mengekspresikan hasil renungan penyair tentang dunia metafisis,
gagasan-gagasan baru ataupun sesuatu yang belum terbayangkan dan
terpikirkan oleh pembaca, sehingga puisi sering dianggap mengandung suatu
misteri.9 Oleh karena itu, kata-kata dalam puisi tidak semata-mata berfungsi
sebagai alat penyampai gagasan atau pengungkap rasa, tetapi juga berfungsi
sebagai bahan.10
Sebagai alat, kata-kata dalam puisi harus mampu diboboti oleh gagasan
yang ingin diutarakan oleh penyair. Di samping itu, kata-kata puisi harus
mampu membangkitkan tanggapan rasa para pembacanya.11
Sebagai bahan, kata-kata dalam puisi dapat diolah sedemikian rupa
sehingga dapat menjelmakan pengalaman jiwa yang senyata-nyatanya dalam
diri pembaca. Penyimpangan bahasa dalam penciptaan puisi dimungkinkan,
bahkan lebih ekstrem lagi “dihalalkan”, karena memang kata-kata itu menjadi
bahan yang harus ditata, diolah, sedemikian rupa dengan memperhatikan
keselarasan bunyi, makna dan citraan yang didukungnya.12
Puisi terdiri atas dua bagian besar, yakni struktur fisik dan struktur
batin. Secara tradisional struktur fisik disebut elemen bahasa puisi dan struktur
8 E. Kosasih, Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h. 97
9 Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), h. 51
10 Sumardi. Op. Cit. 11 Ibid. 12 Ibid., h. 4
8
batin disebut makna puisi. Elemen bahasa puisi ada 4, yakni 1) Diksi; 2)
Bahasa kias; 3) Pencitraan; dan 4) Persajakan. Sedangkan elemen makna puisi
meliputi 1) Tema; 2) Nada; 3) Suasana; 4) Perasaan; dan 5) Amanat.13
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa puisi adalah
karya sastra yang mengutamakan keindahan, di mana pengarang menggunakan
gaya bahasa sesuai dengan ciri khas masing-masing. Gaya bahasa merupakan
unsur utama pembangun puisi, karena gaya bahasa paling dominan dalam
mempengaruhi pembaca memaknai puisi tersebut.
B. Stilistika
Stilistika berkaitan erat dengan stile. Bidang garapan stilistika adalah
stile, bahasa yang dipakai dalam konteks tertentu, dalam ragam bahasa tertentu.
Stilistika menunjuk pada pengertian studi tentang stile, kajian terhadap
performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam teks-teks
kesastraan. Jika berbicara tetang stilistika, kesan yang muncul selama ini mesti
terkait dengan kesastraan. Artinya, bahasa sastra, bahasa yang dipakai dalam
berbagai karya sastra itu yang menjadi fokus kajian. 14
Analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu
yang pada umumnya dalam dunia kesastraan untuk menerangkan hubungan
bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya. Penjelasan fungsi artistik, fungsi
keindahan, bentuk-bentuk kebahasaan tertentu dalam sebuah teks. Dengan kata
lain, kajian stilistika dimaksudkan untuk menjelaskan fungsi keindahan
penggunaan bentuk kebahasaan tertentu mulai dari aspek bunyi, leksikal,
struktur, bahasa figuratif, sarana retorika, sampai grafologi. Hal ini dapat
dibanding sebagai bagian terpenting dalam analisis bahasa sebuah teks dengan
pendekatan stilistika.15
13 Tajuddin Noor Ganie, Buku Induk Bahasa Indonesia Pantun, Puisi, Syair, Peribahasa, Gurindam, dan Majas, (Yogyakarta: Araska, 2015), h. 65-68
14 Burhan Nurgiyantoro, Stilistika, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014), h. 74-75
15 Ibid., h. 75-76
9
Menurut Sudjiman, stilistika mengkaji wacana sastra dengan orientasi
linguistik. Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi (dalam arti
memanfaatkan) potensi dan kaidah yang terdapat di dalam bahasa serta
memberikan efek tertentu. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa
dalam wacana sastra; stilistika meneliti fungsi puitik suatu bahasa. 16
Kajian tentang stilistika terutama berfokus pada gaya bahasa pemaparan
seorang pengarang. Gaya di sini dimaksudkan untuk menyebut bagaimana
pengarang memanfaatkan potensi-potensi bahasa guna memaparkan atau
mengekspresikan gagasan, peristiwa, atau suasana tertentu untuk mencapai
efek-efek tertentu atau mendatangkan efek tertentu bagi pembacanya.
Gaya bahasa yang menjadi tumpuan stilistika pada umumnya bertumpu
pada bentuk cara pemaparan gagasan, peristiwa atau suasana tertentu pada
sebuah karya sastra dengan mengkaji potensi-potensi bahasa yang
diekspoloitasi pengarang untuk tujuan tertentu. Dengan sudut pandang
demikian, sebenarnya adanya kekhususan atau keunikan sebagai suatu wujud
pengeksploitasian potensi-potensi bahasa oleh pengarang sebenarnya
merupakan kesengajaan atau intensi pengarang dalam proses kreatifnya.17
Jadi, penggunaan bahasa dalam karya sastra berbeda dengan
penggunaan bahasa pada karya ilmiah. Jika dalam penulisan karya ilmiah
dibutuhkan bahasa yang baik dan jelas, maka dalam karya sastra penggunaan
tersebut tidak akan mampu menampilkan kekayaan makna, menimbulkan
emotif tertentu bagi pembacanya.
C. Gaya Bahasa
1. Pengertian Gaya Bahasa
Gaya atau khususnya gaya bahasa dalam retorika dikenal dalam
retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata stilus , yaitu
semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian
menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada
16 D. Edi Subroto, dkk, Telaah Stilistika Novel Berbahasa Jawa Tahun 1980-an, (Jakarta: Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, 1999), h. 26
17 Ibid., h. 1
10
lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada
keahlian menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan
dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara
indah.18
Walaupun kata style berasal dari bahasa Latin, orang Yunani
sudah mengembangkan sendiri teori-teori mengenai style itu. Ada dua
aliran yang terkenal yaitu:
a. Aliran Platonik: menganggap style sebagai kualitas suatu
ungkapan; menurut mereka ada ungkapan yang memiliki style,
ada juga yang tidak memiliki style.
b. Aliran Aristoteles: menganggap bahwa gaya adalah suatu
kualitas yang inheren, yang ada dalam tiap ungkapan.
Bila kita lihat gaya secara umum, kita dapat mengatakan bahwa
gaya adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa,
tingkaha laku, berpakaian, dan sebagainya. Gaya bahasa
memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan
seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gaya
bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya; semakin
buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian diberikan
padanya.19
Gaya bahasa bisa menghidupkan kalimat. Gaya bahasa
menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan suatu tanggapan
pikiran kepada pembaca. Tiap pengarang mempunyai gaya bahasa
sendiri. Hal ini sesuai dengan sifat dan kegemaran masing-masing
pengarang.20
18 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 112
19 Ibid., h. 113 20 Pradopo, Op. Cit., h. 94
11
Akhirnya style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).21
Menurut Edgar Dale, “gaya bahasa adalah bahasa indah yang
dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan
serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertetu dengan benda
atau hal lain yang lebih umum. Singkatnya, penggunaan gaya bahasa
tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu.”22
Slamet Muljana berpendapat bahwa majas atau gaya bahasa adalah
susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup
dalam hati penulis yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam
hati pembaca,23 Sedangkan menurut Falah, Gaya bahasa adalah cara
seorang pengarang dalam melukiskan suatu hal dengan menggunakan
bahasa sebagai alat untuk melahirkan perasaan dan pikiran, sehingga
dapat menimbulkan efek estetis.24 Jadi, Gaya bahasa adalah cara
menuangkan perasaan yang terdapat dalam jiwa pengarang dengan
menggunakan media bahasa untuk mendapatkan efek keindahan dan
menimbulkan tanggapan dan perasaan terhadap pembaca.
2. Fungsi dan Kedudukan Gaya Bahasa dalam Karya Sastra
Gaya bahasa paling mendominasi struktur puisi. Dengan kalimat
lain, puisi seolah-olah merupakan struktur gaya bahasa. Puisi pada
dasarnya tidak menampilkan cerita, puisi hanya melukiskan tema,
irama, rima, dan gaya bahasa.25 Gaya Bahasa, baik intensitas
pemakaiannya maupun fungsi dan kedudukannya dalam struktur
totalitas karya berbeda sesuai dengan genre sastra. Dominasi gaya
21 Op. Cit. 22 Henry Guntur Tarigan, Pegajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 5 23 Ernawati Waridah, Kumpulan Majas, Pantun, dan Peribahasa Kesusastraan Indonesia,
(Bandung: Ruang Kata, 2014), h. 2 24 M. Zainal Falah, Gejala dan Gaya Bahasa Indonesia, (Karyono: Yogyakarta, 1996), h.
34 25 Nyoman Kutha Ratna, Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra dan Budaya,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 56-57
12
bahasa terkandung dalam puisi dengan pertimbangan keterbatasan
medium penampilannya, sehingga unsur yang ditonjolkan adalah
bahasa. Bahasa dalam puisi sekaligus merupakan alat dan tujuan.
Tujuan utama gaya bahasa adalah menghadirkan aspek keindahan.
Tujuan ini terjadi baik dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa
sebagai sistem model pertama, dalam ruang lingkup linguistik, maupun
sebagai sistem model kedua, dalam ruang lingkup kreativitas sastra. 26
Gaya bahasa bukan sekadar saluran, tetapi alat yang
menggerakkan sekaligus menyusun kembali dunia sosial itu sendiri.
Gaya bahasa bagi penulis dan pembaca berfungsi untuk mengeksplorasi
kemampuan bahasa, khususnya bahasa yang digunakan. Gaya bahasa
membuat kata-kata seolah-olah berjiwa, memiliki energi untuk menarik
semua partikel proses penikmatan.27 Kekuatan gaya di satu pihak
mendorong proses kreatif, sedangkan di pihak lain gaya mendorong
kualitas estetis yang menunjukkan bahwa dalam struktur instrinsik gaya
memegang peranan penting. Lebih-lebih dalam puisi, gaya merupakan
unsur utama.28
3. Ragam Gaya Bahasa
Henry Guntur Tarigan dalam Pengajaran Gaya Bahasa membagi
gaya bahasa yang beraneka ragam menjadi empat kelompok.
Ada sekitar 60 buah gaya bahasa yang akan termasuk ke dalam
empat kelompok tersebut di atas; yaitu:
a. Gaya bahasa perbandingan;
b. Gaya bahasa pertentangan;
c. Gaya bahasa pertautan;
d. gaya bahasa perulangan.29
26 Ibid., h. 67 27 Ibid., h, 84-85 28 Ibid., h. 90 29 Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, Op.Cit., h. 6
13
Dalam hal ini peneliti fokus terhadap gaya bahasa perbandingan
yang nantinya akan penulis rincikan lagi dalam bahasan selanjutnya.
D. Jenis-jenis Gaya Bahasa Perbandingan
Gaya bahasa perbandingan adalah gaya bahasa yang dibentuk
berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan
sesuatu hal lain, yang berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang
menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut.30 Perbandingan
sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk
gaya bahasa yang polos atau langsung, dan perbandingan yang termasuk
dalam gaya bahasa kiasan. Kelompok (1) merupakan contoh dari gaya bahasa
langsung dan kelompok (2) merupakan contoh dari gaya bahasa kiasan.
(1) Dia sama pintar dengan kakaknya
Kerbau itu sama kuat dengan sapi
(2) Matanya seperti bintang timur
Bibirnya seperti delimah merekah
Keraf menggunakan istilah lain untuk menyatakan gaya bahasa
perbandingan, yaitu gaya bahasa kiasan. Adapun gaya bahasa yang termasuk
gaya bahasa tersebut, yaitu: (a) Persamaan atau simile; (b) Metafora; (c)
Alegori, parabel, dan fable; (d) Personifikasi; (e) Alusi; (f) Eponim; (g)
Epitet; (h) Sinekdoke; (i) Metonimia; (j) Antonomasia; (k) Hipalase; (l) Ironi,
Sinisme, dan Sarkasme; (m) Satire; (n) Inuendo; (o) Antifrasis; dan (p) pun
atau paranomasia.31
Tarigan membagi 10 gaya bahasa yang termasuk gaya bahasa
perbandingan. Gaya bahasa tersebut meliputi: (a) Perumpamaan atau simile;
(b) Metafora; (c) Personifikasi; (d) Depersonifikasi; (e) Alegori; (f) Antitesis;
30 Keraf, Op. Cit., h. 136 31 Keraf, Op. Cit., h. 138-145
14
(g) Pleonasme dan Tautologi; (h) Perifrasis; (i) Antisipasi; dan (j) Koreksi
atau epanortosis.32
Pradopo menggunakan istilah yang sama dengan Tarigan untuk
menyebut gaya bahasa perbandingan menjadi gaya bahasa kiasan. Adapun
gaya bahasa yang termasuk ke dalam gaya bahasa tersebut, yaitu: (a)
Perumpamaan atau simile; (b) Metafora; (c) Perumpamaan epos; (d) Allegori;
(e) Personifikasi; (f) Metonimia; dan (g) sinekdoke.33
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut penulis menyimpulkan gaya
bahasa yang termasuk ke dalam gaya bahasa perbandingan sedikitnya ada
sepuluh gaya bahasa, sebagai berikut:
1. Perumpamaan atau Simile
Kata ‘simile’ berasal dari bahasa Latin yang bermakna
‘seperti’. Perumpamaan atau simile adalah perbandingan dua hal yang
berlainan dan sengaja kita anggap sama. Itulah sebabnya maka sering
pula kata ‘perumpamaan’ disamakan saja dengan ‘persamaan’.
Perbandingan itu secara eksplisit dijelaskan oleh pemakaian kata
seperti, serupa, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana.34
Gaya bahasa ini sudah dimanfaatkan sejak lama, karena gaya
bahasa ini relatif sederhana. Gaya bahasa simile sering dijumpai
sebagai ucapan ungkapan berbahasa masyarakat. Ungkapan-ungkapan
seperti rambutnya bak mayang terurai, wajahnya seperti bulan empat
belas hari adalah ungkapan-ungkapan yang menggunakan gaya
bahasa simile,35 Contoh: Seperti Kabut karya Sapardi Djoko Damono
(1) aku akan menyayangimu seperti kabut yang raib di cahaya
matahari.
32 Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, Op. Cit., h. 9 33 Pradopo, Op. Cit., h. 63-80 34 Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, Op. Cit., h. 9-10 35 Hasanuddin , WS, Membaca dan Menilai Sajak, (Bandung: Angkasa, 2012), h. 108
15
2. Metafora
Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua
hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Metafora
sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata: seperti,
bak, bagai, bagaikan. 36 Metafora adalah gaya yang melukiskan suatu
benda dengan membandingkan langsung pada benda lain yang
mempunyai sifat yang sama dengan benda itu.37
Metafora terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term
pokok (principal term) dan term kedua (secondary term). Term pokok
disebut juga tenor, term kedua disebut juga vehicle. Term pokok atau
tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedangkan term kedua
atau vehicle adalah hal yang untuk membandingkan. Misalnya ‘Bumi
adalah perempuan jalang’: ‘Bumi’ adalah term pokok, sedangkan
‘perempuan jalang’ term kedua.38
Seringkali penyair langsung menyebutkan term kedua tanpa
menyebutkan term pokok atau tenor. Metafora semacam ini disebut
metafora implisit (implied metaphor). Misalnya ‘Hidup ini mengikat
dan mengurung’: Hidup diumpamakan sebagai tali yang mengikat dan
juga sebagai kurungan yang mengurung,39Contoh: Lirik untuk Lagu
Pop karya Sapardi Djoko Damono
(1) Pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri mawar
3. Personifikasi
Personifikasi berasal dari bahasa Latin persona (‘orang,
pelaku, actor, atau topeng yang dipakai dalam drama’) + fic
(‘membuat’). Karena itulah maka apabila kita mempergunakan gaya
bahasa personifikasi, kita memberikan ciri-ciri atau kualitas, yaitu
kualitas pribadi orang kepada benda-benda yang tidak bernyawa
36 Keraf, Op. Cit. 37 Falah, Op. Cit., h. 36 38 Pradopo, Op. Cit., h. 67 39 Ibid., h. 68
16
ataupun kepada gagasan-gagasan.40 Personifikasi mempersamakan
benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat,
berpikir, dan sebagainya.41
Menurut Keraf, seperti halnya dengan simile dan metafora,
personifikasi mengandung suatu unsur persamaan. Kalau metafora
(sebagai istilah umum) membuat perbandingan dengan suatu hal yang
lain, maka dalam penginsanan hal yang lain itu adalah benda-benda
mati yang bertindak dan berbuat seperti manusia, atau perwatakan
manusia. Pokok yang dibandingkan itu seolah-olah berwujud manusia,
baik dalam tindakan, perasaan dan perwatakan manusia lainnya.42
Menurut Falah, personifikasi adalah gaya melukiskan suatu benda
mati seolah-olah benda bernyawa. Pelukisan di sini diumpamakan
manusia yang mempunyai sifat dan bentuk yang sama.43
Berdasarkan beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa
personifikasi merupakan gaya bahasa yang menggambarkan benda-
benda mati seolah-olah memiliki sifat yang dimiliki manusia, Contoh:
(1) Mentari mencubit wajahku
(2) Pepohonan tersenyum riang
4. Depersonifikasi
Gaya bahasa depersonifikasi atau pembendaan, adalah
kebalikan dari gaya bahasa personifikasi atau penginsanan. Kalau
personifikasi menginsankan atau memanusiakan benda-benda, maka
depersonifikasi justru membedakan manusia atau insan. Biasanya
gaya bahasa depersonifikasi ini terdapat dalam kalimat pengandaian
yang secara eksplisit memanfaatkan kata kalau, jika, jikalau, bila
(mana), misalkan, dan sebagainya,44 Contoh:
40 Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, Op. Cit., h. 17 41 Pradopo, Op. Cit., h. 76 42 Keraf, Op. Cit., h. 141 43 Falah, Op. Cit., h. 35 44 Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, Op. Cit., h. 21
17
(1) Kalau dikau menjadi samudra, maka daku menjadi bahtera
Dalam contoh di atas jelas terlihat pembendaan insan, sebagai
berikut:
a. Dikau Samudra
b. Daku Bahtera
5. Alegori
Alegori berasal dari bahasa Yunani allegorein yang berarti
“berbicara secara kias”; diturunkan dari allos ‘yang lain’ + agoreuein
‘berbicara’. Alegori adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-
lambang; merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan,
tempat atau wadah objek-objek atau gagasan-gagasan yang
diperlambangkan.45
Menurut Pradopo, Alegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan
kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengiaskan hal lain atau
kejadian lain. Alegori merupakan metafora lanjutan.46
6. Parabel
Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh
biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Istilah
parable dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif di dalam Kitab
Suci untuk menyampaikan suatu kebenaran moral atau kebenaran
spiritual. Contoh parable adalah kisah Ramayana.47
7. Alusi
Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan
kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Biasanya, alusi ini
45 Ibid., h. 24 46 Pradopo, Op. Cit., h. 72 47 Keraf, Op. Cit., h. 140
18
adalah suatu referensi yang eksplisit atau implisit kepada peristiwa-
peristiwa, tokoh-tokoh dalam kehidupan nyata, mitologi atau dalam
karya-karya sastra yang terkenal.48 Gaya bahasa ini menggunakan
kata-kata yang telah lazim dipakai atau menggunakan peribahasa,49
Contoh:
(1) Banyak turis berkunjung ke Bandung yang dikenal dengan Paris
van Java
8. Eponim
Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya
begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu
dipakai untuk menyatakan sifat itu,50 Contoh: belajarlah yang giat
agar kelak pintar seperti Pak Habibie
9. Epitet
Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau
ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal,51 Contoh: Putri
malam untuk bulan
(1) Putri malam itu ditemani ribuan bintang malam ini
10. Simbolik
Simbolik adalah gaya yang melukiskan suatu maksud dengan
mempergunakan simbol atau lambang, Contoh:
(1) Banyak tikus berkeliaran di gedung rakyat (Tikus merupakan
simbol bagi koruptor)
(2) Kupu-kupu malam berterbangan di malam hari mencari mangsa
(Kupu-kupu malam merupakan simbol bagi wanita tuna susila).52
48 Ibid., h. 141 49 Falah, Op. Cit., h. 43 50 Ibid. 51 Keraf, Op. Cit., h. 141 52 Waridah, Op. Cit., h. 15-16
19
E. Metafora dalam Semantik
“metaphor has traditionally been viewed as the most important form of figurative language use, and usually seen as reaching its most sophisticated forms in literary or poetic language.”53 Metafora secara tradisional dipandang sebagai bentuk yang paling
penting dari penggunaan bahasa kiasan, dan biasanya dilihat sebagai
pencapaian bentuk-bentuk yang paling canggih dalam bahasa sastra atau
bahasa puitik.
Metafora, dalam semantik kognitif, merupakan proses kognitif dari
konseptualisasi yang bergantung pada pemetaan antara dua bidang, atau tiga
menurut Lakoff yaitu source domain (tenor), biasanya konkret dan familiar;
target domain (vehicle), lebih abstrak; dan set of mapping relation atau
korespondensi. Korespondensi yang terdapat dalam metafora ini, menurut
Lakoff terdiri dari dua macam, yaitu korespondensi ontologis dan
korespondensi epistemis. Korespondensi ontologis mengacu pada sifat dasar
dari dua entitas yang dihubungkan tersebut, sedangkan korespondensi
epistemis mengacu pada pengetahuan kita yang menghubungkan kedua
entitas tersebut.54 Berikut beberapa contoh metafora
1. HEALTH AND LIFE ARE UP; SICKNESS AND DEATH ARE DOWN
(KESEHATAN DAN KEHIDUPAN ADA DI ATAS; PENYAKIT
DAN KEMATIAN ADA DI BAWAH)
a. He’s at the peak of health (Dia berada di puncak kesehatan)
b. He’s in top shape (Dia dalam kondisi prima)
c. He came down with the flu (Dia terserang flu)
d. His health is declining (Kesehatannya menurun)
53 John I. Saeed, Semantics, (Unite Kingdom: Blackweel Publishing, 2003), h. 345 54Makyun Subuki, Semantik, (Jakarta: Trans Pustaka, 2001), h. 197-198
20
2. HAPPY IS UP; SAD IS DOWN (KEBAHAGIAAN DI ATAS;
KESEDIHAN DI BAWAH)
a. I’m feeling up (Aku merasa bersemangat)
b. You’re in high spirits (Kamu bersemangat tinggi)
c. I’m feeling down (Aku merasa terpuruk)
d. He’s really low these days (Dia benar-benar terpuruk akhir-akhir
ini)
F. Pengajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah
Sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata,
maka pengajaran sastra harus kita pandang sebagai sesuatu yang penting yang
patut menduduki tempat yang selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan
dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan
sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang
cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat.55
Masalah yang dihadapi sekarang adalah menentukan bagaimana
pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan maksimal untuk pendidikan
secara utuh. Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh
apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu keterampilan
berbahasa, meningkatkan kemampuan budaya, mengembangkan cipta dan
rasa, dan menunjang pembentukan watak.56
1. Membantu keterampilan berbahasa
Pengajaran sastra dapat melatih ketrampilan siswa dalam
menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh
guru, teman atau lewat pita rekaman. Siswa dapat melatih
keterampilan berbicara dengan ikut berperan dalam suatu drama.
Siswa juga dapat meningkatkan ketrampilan membaca dengan
membacakan puisi atau prosa dan karena sastra itu menarik, siswa
55 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 15 56 Ibid., h. 16
21
dapat mendiskusikannya dan kemudian menuliskan hasil
diskusinya sebagai latihan ketrampilan menulis.57
2. Meningkatkan pengetahuan budaya
Setiap sistem pendidikan kiranya perlu disertai usaha untuk
menanamkan wawasan pemahaman bagi setiap anak didik.
Pemahaman budaya dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan rasa
ikut memiliki. Bagaimanapun, sastra sering berfungsi untuk
menghapus kesenjangan pengetahuan dari sumber-sumber yang
berbeda itu dan menggalangnya menjadi suatu gambaran yang
lebih berarti.58
3. Mengembangkan cipta dan rasa
Setiap guru hendaknya menyadari bahwa setiap siswa
adalah seorang individu dengan kepribadiaannya yang sangat khas,
kemampuan, masalah dan kadar perkembangannya yang khusus.
Oleh karena itu penting sekali kiranya memandang pengajaran
sebagai proses pengembangan individu secara keseluruhan.
Kecakapan yang perlu dikembangkan dalam pengajaran sastra
adalah kecakapan yang bersifat indra; yang bersifat penalaran; yang
bersifat afektif; dan yang bersifat sosial; serta dapat ditambahkan
lagi yang bersifat religius. Pengajaran sastra yang dilakukan
dengan benar akan dapat menyediakan kesempatan untuk
mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut lebih dari apa yang
disediakan oleh mata pelajaran yang lain, sehingga pengajaran
sastra tersebut dapat lebih mendekati arah dan tujuan pengajaran
dalam arti sesungguhnya.59
4. Menunjang pembentukan watak
Pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan
dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa
yang antara lain meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan
57 Ibid., h. 16-17 58 Ibid., h. 18 59 Ibid., h. 19
22
penciptaan. Sastra sanggup memuat berbagai medan pengalaman
yang luas.60
Salah satu penyebab ketidakberhasilan pengajaran apresiasi sastra
belum ditetapkannya alokasi waktu untuk pengajaran apresiasi sastra
Indonesia sebagai mata ajar yang mandiri. Sampai kini sastra diajarkan
sebagai sambilan dalam mengajarkan bahasa Indonesia.61
Dalam pembelajaran bahasa atau sastra pada khususnya, siswa
bukan hanya dituntut memahami teori-teori sastra tetapi siswa lebih
dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mengapresiasi karya sastra.
Untuk mewujudkan tujuan pembelajaran apresiasi sastra ini, kehadiran
buku-buku sastra mutlak harus dipenuhi, agar siswa memiliki kesempatan
untuk berakrab dengan karya sastra. Pengalaman membaca sastra
merupakan penentu dalam mengapresiasi karya sastra.62
Pengalaman yang kita lihat tentang pengajaran puisi di sekolah-
sekolah sangat membosankan, sehingga pengertian puisi sebagai karya
seni yang harus dihayati, telah dikaburkan dengan berbagai istilah dan
seribu satu persoalan misalnya: persoalan apa pengertia gurindam, jenis-
jenis pantun, perbedaan puisi lama dan baru, serta berapa baris tiap bait
dan sebagainya, yang harus dihafalkan oleh anak-anak. Akhirnya, jadilah
puisi sebagai materi pelajaran aljabar yang penuh dengan rumus-rumus,
sehingga fungsi puisi sebaai pembangkit daya perasaan, imajinasi, dan
intuisi telah berubah.63
Berbeda dengan materi lain dalam mata pelajaran bahasa
Indonesia, di mana pengajar cukup hanya dengan memberikan teori
tentang materi itu, maka tidak demikian halnya dengan puisi.64 Sedikit-
dikitnya membutuhkan kecintaan terhadapnya. Pengajaran puisi tidak
60 Ibid., h. 24 61 Widjojoko, Op. Cit., h. 98 62 Ibid. 63 Pesu Aftararudin, Pengantar Apresiasi Puisi, (Bandung: Angkasa, 1984), h. 41 64 Ibid., h. 40
23
sekadar menyodorkan materi saja, melainkan siswa juga dikenalkan
dengan riwayat hidup penyairnya dan melakukan apresiasi terhadap puisi
tersebut.
Apresiasi puisi pada dasarnya merupakan sikap jiwa pembaca
terhadap puisi yang dibacanya sesuai dengan kadar seni dan kandungan
isinya. Kemampuan mengapresiasi puisi terwujud dalam berbagai bentuk,
antara lain kegemaran membaca puisi dan keterampilan
mendeklamasikannya. Kemampuan dan merumuskan makna puisi bisa
dicapai kalau kita telah berulang-ulang terlibat dalam pengalaman puitis,
pengalaman membaca dan menikmati puisi secara langsung, bukan
melalui teori atau kaidah-kaidah umum yang diutarakan buku pelajaran.65
Oleh sebab itu, pengajaran puisi di sekolah harus dilakukan dengan
tepat agar siswa dapat memahami isi dari puisi tersebut. Pemilihan bahan
pengajaran puisi hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan aspek
bahasa, kematangan, atau perkembangan jiwa siswa dan latar belakang
budaya. Tujuan pengajaran puisi di sekolah adalah agar siswa memperoleh
kesadaran yang lebih terhadap dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan
sekitar dan agar siswa memperoleh kesenangan dari membaca dan
mempelajari puisi.66 Dalam pengajaran pemahaman puisi di sekolah, guru
berperan sebagai pembimbing dan fasilitator. Tugas guru membimbing
siswanya dalam memahami puisi dan bukan mendiktekan pemahaman
puisi. Siswalah yang aktif untuk menafsirkan dan memahami puisi
tersebut.67
Berdasarkan kurikulum 2013 revisi 2016 materi tentang puisi
tercantum dalam kompetensi dasar 3.16, 3.17, 4.16, dan 4.17 yang
diajarkan di kelas X Sekolah Menengah Atas. Pengajaran puisi meliputi
pengajaran makna, tema, diksi, dan gaya bahasa dalam puisi. Khusus
untuk pengajaran gaya bahasa harus dibuat lebih menarik sehingga siswa
65 Sumardi, Op. Cit., h. 7 66 Emzir dan Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra, (Jakarta: Rajawali Pers,
2015), h. 248 67 Ibid., h. 249
24
bisa mencapai imajinasi penyair. Oleh sebab itu, pentingnya sumber
belajar yang menampilkan penggunaan gaya bahasa yang beragam.
Dalam pengajaran gaya bahasa, seorang guru dapat menjadikan
pengajaran gaya bahasa sebagai sarana penunjang bagi siswa, di
antaranya:
1. Menunjang pengembangan kosakata
2. Menunjang keterampilan menulis
3. Menunjang keterampilan membaca
4. Menunjang keterampilan berbicara
5. Menunjang keterampilan menyimak
6. Menunjang pemahaman dan penghayatan karya sastra68
Pengajaran sastra memang memiliki banyak hambatan termasuk
dalam pengajaran puisi. Usaha guru dalam mengajarkan bagaimana cara
menikmati puisi memiliki dua macam hambatan yang sangat mengganggu.
Hambatan pertama adalah adanya anggapan bahwa secara praktis puisi
sudah tidak ada gunanya lagi. Hambatan kedua adalah prasangaka bahwa
mempelajari puisi sering tersandung pada ‘pengalaman pahit’. Pandangan
semacam ini mungkin sekali berasal dari para siswa yang berkemauan
keras untuk melakukan yang terbaik dengan berusaha memahami dan
menikmati sajak-sajak terkenal yang ditulis oleh para penyair terkenal
yang sering menggunakan simbol, kiasan dan ungkapan-ungkapan tertentu
yang membingungkan.
Walaupun sumber kesulitan itu kadang-kadang berasal dari sifat
dasar puisi itu sendiri, namun untuk keperluan pengajaran puisi banyak
pula ditemukan puisi yang sangat mengesankan dan cukup mudah untuk
dinikmati dan dipahami oleh siswa sesuai degan tingkat kemampuannya.
Puisi karya Sapardi Djoko Damono, sebagai contoh dapat menjadi bahan
68 Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, Op. Cit., h. 4
25
pembelajaran karena isi dan diksi yang digunakan dekat dengan
keseharian. 69
Demikianlah, pada hakikatnya pembelajaran apresiasi sastra
Indonesia ialah memperkenalkan kepada siswa nilai-nilai yang dikandung
karya sastra dan mengajak siswa menghayati pengalaman-pengalaman
yang disajikan. Pembelajaran apresiasi sastra bertujuan mengembangkan
nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai keagamaan, nilai sosial
secara sendiri-sendiri atau gabungan keseluruhan seperti yang tercermin
dalam karya sastra. Pada hakekatnya pengajaran sastra dalah menciptakan
situasi siswa membaca dan merespon karya sastra serta membicarakannya
bersama dalam kelas.70
G. Penelitian Relevan
Adapun penelitian yang terkait dengan penelitian yang peneliti
ambil pernah dilakukan sebelumnya oleh Tri Windusari, Mahasiswa
jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dengan judul “Gaya Bahasa dalam Kumpulan Puisi Hujan Bulan
Juni Karya Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra di SMP”. Perbedaan antara penelitian tersebut dengan
penelitian yang diambil oleh peneliti adalah dalam objek penelitiannya
secara rinci yaitu jika penelitian Tri Windusari menggunakan 25 puisi
yang berkaitan dengan hujan yang terdapat dalam Hujan Bulan Juni.
Sedangkan penulis menggunakan 20 naskah puisi dalam Kumpulan Puisi
Hujan Bulan Juni yang pembahasannya hanya terfokus pada gaya bahasa
perbandingan.
Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Ayu Rizqi Pramulya
Ningrum, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan judul “Penggunaan Gaya Bahasa Berdasarkan
Langsung Tidaknya Makna dalam Kumpulan Puisi Mata Pisau Karya
69 Ibid., h. 44-46 70 Widjojoko, Op. Cit.
26
Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa
dan Sastra di Sekolah.” Perbedaan dari penelitian ini adalah objek
penelitiannya di mana peneliti tersebut menggunakan kumpulan puisi
Mata Pisau, sedangkan penulis mengambil kumpulan puisi Hujan Bulan
Juni.
Penelitian lain yang terkait adalah penelitian yang dilakukan oleh
Dian Meilawati Yesianda. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Universitas Jember dengan judul “Stilistika Kumpulan
Sajak Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono”. Perbedaan dari
penelitian ini adalah subjek penelitiannya di mana peneliti secara lebih
luas membahas tentang majas, diksi dan citraan yang terdapat dalam
Hujan Bulan Juni, sedangkan penulis hanya terfokus pada gaya bahasa
perbandingan yang terdapat dalam kumpulan puisi tersebut.
Berdasarkan penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian
yang peneliti ambil merupakan pengembangan dari penelitian yang
dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Tri Windusari melakukan
penelitian terhadapa gaya bahasa pada kumpulan puisi Hujan Bulan Juni
karya Sapardi Djoko Damono dengan data puisi sebagai berikut Sajak
Desember; Sehabis Mengantar Jenazah; Hujan Turun Sepanjang Jalan;
Dalam Doa: I; Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang; Kupandang
Kelam yang Merapat ke Sisi Kita; Pertemuan; Hujan dalam Komposisi, 1;
Hujan dalam Komposisi, 2; Hujan dalam Komposisi, 3; Di Beranda Waktu
Hujan; Kartu Pos Bergambar; Jembatan Golden Gate, San Fransisco;
Cahya Bulan Tengah Malam; Catatan Masa Kecil 2; Sajak I; Percakapan
Malam Hujan; Ku Hentikan Hujan; Sihir Hujan; Hujan Bulan Juni;
Sepasang Sepatu Tua; Pada Suatu Pagi Hari; Puisi Cat Air untuk Rizki;
Lirik untuk Lagu Pop; Dalam Doaku; Hujan, Jalak dan Daun Jambu.
Dari 25 puisi tersebut, semuanya berbeda dengan apa yang peneliti ambil
sebagai data penelitian. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Ayu
Rizqi membahas tentang gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya
makna yang terdiri dari gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan
27
terhadap kumpulan puisi Mata Pisau karya Sapardi Djoko Damono.
Kemudian penelitian yang dilakukan Diam Meilawati membahas secara
lebih luas tentang majas, diksi, dan citraan yang terdapat dalam puisi
Hujan Bulan Juni.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang mencoba memahami fenomena dalam seting
dan konteks naturalnya di mana peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi
yang diamati.71 Penelitian kualtitaif berusaha menggali dan memahami
pemaknaan akan kebenaran yang berbeda-beda oleh orang yang berbeda.72
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status
sekelompok manusia, suatu objek, set kondisi, sistem pemikiran, atau kelas
peristiwa pada masa sekarang. Metode tersebut bertujuan untuk membuat
gambaran, deskripsi secara sistematis faktual dan akurat mengenai fakta-fakta
dan hubungan antar fenomena yang diselidiki.73
Menurut Bodgan dan Taylor, metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-rang dan perilaku yang dapat diamati.74
Jadi, metode deskriptif kualitatif adalah metode yang dilakukan untuk
mendeskripsikan fakta dan fenomena yang diselidiki untuk menggali dan
memahami pemaknaan akan kebenaran yang berbeda-beda dari tiap-tiap
orang.
Penelitian ini menggunaan metode deskriptif kualitatif dikarenakan
data yang peneliti ambil adalah karya sastra yang berupa teks puisi karya
Sapardi Djoko Damono untuk mengidentifikasi penggunaan gaya bahasa
71 Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar, (Jakarta: PT. Indexs, 2012), h. 7 72 Ibid., h. 8 73 Moh. Nazir, Metode Peneitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 54 74 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif , (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1993), h. 4
28
29
perbandingan dalam puisi tersebut. Kemudian penelitian ini dilanjutkan
dengan mendeskripsikan hasil penelitian berdasarkan teori.
B. Data dan Sumber Data Penelitian
Data adalah semua keterangan seseorang yang dijadikan responden
maupun yang berasal dari dokumen-dokumen atau bentuk lainnya guna
keperluan penelitian.75 Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana
data dapat diperoleh. Sumber data dimaksudkan semua informasi baik yang
merupakan benda nyata, sesuatu yang abstrak, peristiwa/gejala.76
Data yang dijadikan objek penelitian adalah puisi-puisi yang terdapat
dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono.
Sumber data pada penelitian ini dibedakan menjadi sumber data primer dan
data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data utama. Sumber data
primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa puisi-puisi dalam
Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Puisi-puisi
tersebut meliputi:
1. Di Pemakaman
2. Pada Suatu Malam
3. Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati
4. Berjalan di Belakang Jenazah
5. Lanskap
6. Sonet: Hei! Jangan Kau Patahkan
7. Ziarah
8. Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka
9. Iring-iringan di Bawah Matahari
10. Malam itu Kami di Sana
11. Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago
12. Tentang Matahari
75 P. Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), h. 87
76 Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 44
30
13. Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari
14. Telur, 2
15. Muara
16. Di Banjar Tunjuk, Tabanan
17. Bunga 1
18. Bunga 2
19. Benih
20. Aku Ingin
Alasan peneliti mengambil 20 data dari kumpulan puisi Hujan Bulan
Juni karya Sapardi Djoko Damono tersebut yaitu sebagian besar puisi
tersebut mengandung kata “matahari” dan “malam” yang merupakan kata
yang paling banyak penyair gunakan setelah kata “hujan” yang berjumlah 42
kali penggunaan. Dalam puisi yang penulis pilih, terdapat 23 penggunaan
kata “matahari” dari penggunaan kata tersebut di seluruh puisi yang
berjumlah 34 kali penggunaan. Sedangkan, penggunaan kata “malam”
berjumlah 12 kali penggunaan dari jumlah keseluruhan 37 kali penggunaan.
Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh atau berasal dari
kepustakaan untuk melengkapi data primer. Sumber data sekunder dalam
penelitian ini adalah buku, jurnal, dan artikel yang berkaitan dengan objek
penelitian.
C. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah suatu proses pengadaan data dengan
prosedur yang sistematis.77 Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh
data dan informasi dalam rangka mencapai tujuan penelitian.78 Teknik
pengumpulan data yang lazim digunakan dalam pendekatan kualitatif, adalah
observasi, wawancara, studi dokumentasi, dan lain-lain.79
77 Nazir, Op. Cit., h. 174 78 W. Gulo, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Grasindo, 2010), h. 110 79 Rully Indrawan dan R. Poppy Yaniawati, Metodologi Penelitian, (Bandung: Refika
Aditama, 2014), h. 133
31
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik studi dokumentasi. Studi dokumentasi diartikan sebagai upaya untuk
memperoleh data dan informasi berupa catatan tertulis/gambar yang
tersimpan berkaitan dengan masalah yang diteliti.80 Dokumentasi hanyalah
nama lain dari analisis tulisan atau analisis terhadap isi visual dari suatu
dokumen.81 Menurut Guba dan Lincoln, tingkat kredibilitas suatu hasil
penelitian kulaitatif sedikit banyaknya ditentukan pula oleh penggunaan dan
pemanfaatan dokumen yang ada.82
Studi dokumentasi dilakukan terhadap objek yang berupa kumpulan
puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono dengan membaca dan
memahami isi yang ada dalam puisi serta didukung dengan sumber-sumber
tambahan seperti buku, jurnal, artikel, dan sebagainya sehingga dapat
memperoleh gambaran yang jelas.
D. Langkah Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengatur urutan data,
mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.83
Analisis data kualitatif dilakukan terhadap data yang berupa informasi, uraian
dalam bentuk bahasa prosa kemudian dikaitkan dengan data lainnya untuk
mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya, sehingga
memperoleh gambaran baru atau menguatkan gambaran yang sudah ada.
Bentuk analisisnya merupakan penjelesan-penjelasan, bukan berupa angka-
angka statistik atau bentuk angka lainnya.84 Miles dan Huberman
mengemukakakn tiga tahapan yang harus dikerjakan dalam menganalisis data
peneltian kualitatif, yaitu (1) reduksi data (data reduction); (2) paparan data
(data display); (3) penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion
drawing/verifying).85 Langkah analisis data sesuai dengan judul “Gaya
80 Ibid., h. 139 81 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 176 82 Ibid., h. 178 83 Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2001), h. 221 84 Subagyo, Op. Cit., h. 106 85 Gunawan, Op. Cit., h. 210
32
Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi
Djoko Damono dan Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah
Menengah Atas” sebagai berikut:
1. Reduksi Data
Setelah data terkumpul, peneliti membaca secara kritis untuk
merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan, dan
mengidentifikasi puisi yang dijadikan data dalam penelitian dan gaya
bahasa perbandingan yang terdapat dalam puisi tersebut, dalam hal ini
kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono.
2. Pemaparan Data
Teknik selanjutnya ialah pemaparan data. Seluruh data dalam
puisi dianalisis dan ditafsirkan maknanya secara keseluruhan. Data
penelitian ini disajikan dalam bentuk uraian.
3. Penarikan Kesimpulan
Teknik terakhir ialah penarikan kesimpulan. Penarikan
kesimpulan merupakan hasil penelitian yang menjawab fokus
penelitian berdasarkan hasil analisis data. Hasil analisis data dalam
puisi disusun sistematis sehingga memudahkan dalam
mendeskripsikan makna setiap unsur yang terkandung dalam
kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono.
Simpulan disajikan dalam bentuk deskripif objek.
BAB IV
HASIL ANALISIS DATA
A. Deskrpsi Temuan Penelitian
Pada 20 puisi yang dipilih sebagai objek penelitian ini, ditemukan
penggunaan beberapa macam gaya bahasa perbandingan. Dalam analisis
data untuk lebih memudahkan penjabarannya, maka penulis menggunakan
gaya bahasa pertama (dengan kode huruf) temuan satu dalam puisi pertama
diwakilkan dengan contoh kode data A1.P1, gaya bahasa kedua dalam puisi
pertama dengan contoh kode B1.P1 begitu pun seterusnya. Berikut adalah
penelitian yang penulis peroleh. Penulis menggunakan Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) untuk menjelaskan makna denotatif pada bagian
metafora.
1. Perumpamaan atau simile
Gaya bahasa perumpamaan atau simile adalah gaya bahasa yang
membandingkan dua hal dengan menggunakan kata bagai, bak, seperti, dll.
Berikut gaya bahasa perumpamaan atau simile yang penulis temukan.
“Barangkali Tuhan seperti kepala sekolah, pikirnya Ketika dulu ia masih di sekolah rendah. Barangkali Tuhan akan mengeluarkan dan menghukum muridnya yang nakal, membiarkannya bergelandangan dimakan iblis. Barangkali Tuhan sedang mengawasi aku dengan curiga, Pikirnya malam ini, mengawasi seseorang yang selalu gagal berdoa.” (S1.P2)86
Berdasarkan data S1.P2, ‘Ia’ mengibaratkan Tuhan seperti kepala
sekolah. Penyair menggunakan perluasan kalimat dengan menggunakan
kata”dulu” dan “masih” dalam kalimat “ketika dulu ia masih di sekolah
rendah”. Dalam kalimat tersebut penyair mencoba menjelaskan sosok ‘ia’,
pembaca bisa mengira-ngira ‘ia’ merupakan orang yang sudah dewasa.
Kepala sekolah memiliki kedudukan tertinggi di sekolah, begitu pula Tuhan
86 Kode data gaya bahasa simile (S), Puisi (P) berarti data gaya bahasa simile 1 dalam puisi kedua berkode (S1.P2), begitupun untuk data selanjutnya.
33
34
yang memiliki kedudukan tertinggi di dunia maupun di akhirat. Tuhan dan
kepalah sekolah memiliki kendali yang sama yaitu mengawasi dan
menghukum seseorang yang berbuat salah tapi dalam tingkatan dan posisi
yang berbeda. Penggambaran Tuhan seperti kepala sekolah lebih
memudahkan pembaca memahami maksud yang disampaikannya.
Penjabaran yang dilakukan penyair terhadap tindakan kepala sekolah
terhadap murid nakal memiliki konotasi yang menjelaskan bahwa Tuhan
juga akan melakukan hal serupa untuk menghukum hamba-Nya.
“bergelandangan” dalam larik tersebut memiliki makna gramatikal tak
punya arah. Kalimat “membiarkannya bergelandangan dimakan iblis”
bermakna Tuhan akan membiarkan hamba-Nya yang tidak patuh terlantar
tak punya tujuan, dimakan iblis.
Penyair melakukan pengulangan pada frasa “Barangkali Tuhan”
seolah ingin menjelaskan ‘Ia’ mengetahui bahwa Tuhan Maha Mengetahui
apa yang sedang terjadi tetapi masih dalam keraguan yang ditekankan
pada frasa tersebut. Keraguan yang terdapat pada diri seorang yang jauh
dari Tuhan tetapi masih meyakini bahwa Tuhan itu ada.
barangkali karena matanya seperti gula-gula yang dikerumuni beratus semut.” (S2.P2)
Data S2.P2 merupakan gaya bahasa simile karena mengibaratkan
kedua hal dengan kata “seperti”. Larik tersebut memiliki makna bahwa
mata perempuan itu manis seperti gula-gula. “Gula-gula” dalam larik
tersebut memiliki dua makna, yang pertama karena sifatnya yang manis
maka dapat diartikan “gula-gula” mewakilkan manis yang mengacu pada
“matanya”, yang kedua, “gula-gula” dapat diartikan perempuan yang
diperlakukan untuk bersenang-senang. Jika kita menggunakan makna
“gula-gula” yang kedua, frasa “beratus semut” secara asosiatif akan
bermakna “para lelaki” yang hendak mendekati perempuan.
Jadi, larik tersebut bermakna, matanya bisa membuat banyak
lelaki terpikat seperti semut yang digambarkan dalam puisi tersebut.
35
“bumi tak pernah membeda-bedakan seperti ibu yang baik, diterimanya kembali (S3.P3) anak-anaknya yang terkucil dan membusuk, seperti halnya bangkai binatang.” (S4.P3)
Data S3.P3 menyamakan bumi dan ibu menggunakan kata
“seperti”. Penyair menyamakan hal tersebut karena sifatnya yang hangat
dan tidak pilih kasih. Gaya bahasa simile juga terdapat pada data S4.P3 ,
anak-anak yang terkucil dan membusuk disamakan dengan bangkai
binatang. Frasa “bangkai binatang” berkonotasi negatif karena sifatnya
yang selalu dihindari orang. Kata “terkucil” pada larik tersebut secara
kontekstual bermakna sudah terasing dari dunia.
Dari kutipan bait di atas penyair mencoba menjelaskan bahwa
setiap manusia pasti akan menghadapi kematian tak peduli raja, jenderal,
atau gelandangan sekalipun ketika mereka mati bumi akan menerimanya
dan tubuh mereka sama-sama akan membusuk seperti bangkai binatang.
“dan bumi pun akan menerimanya seperti ia telah menerima seorang laknat, pendeta, atau seorang yang acuh tak acuh kepada bumi, dirinya” (S5.P3)
Data S5.P3 menegaskan meskipun penjaga kubur yang rajin itu
mati, jasadnya akan diterima bumi sama seperti jasad seorang laknat atau
jasad seorang pendeta. “seorang laknat” dan “seorang pendeta” merupakan
kata yang mewakilkan strata sosial masyarakat. Bait tersebut menjelaskan
bahwa setinggi apapun kedudukan kita di dunia, sebanyak apapun harta
kita pada akhirnya kita kembali kepada Tuhan hanya membawa amal
ibadah.
“ketika jari-jari bunga terbuka mendadak terasa: betapa sengit cinta Kita
36
cahaya bagai kabut, kabut bagai cahaya; di langit (S6.P8)
“Ketika jari-jari bunga terbuka” bermakna manusia yang selalu
meminta pertolongan kepada Tuhan. “Mendadak terasa betapa sengit cinta
Kita” , “Kita” dalam larik tersebut mewakilakn cinta antara manusia dan
Tuhan.
Data S6.P8 mengandung gaya bahasa simile ditandai dengan
penggunaan kata “bagai” untuk membandingkan cahaya dan kabut.
Pemakaian kata “cahaya” dan “kabut yang diulang agar memperjelas
pesan penyair tentang cinta manusia terhadap Tuhan. “kabut” berarti
kelam; suram; tidak nyata. Cahaya bagai kabut berarti cahaya seperti
sesuatu yang tidak nyata. Penyair menyamakan “cahaya” dengan “kabut”
karena sifatnya yang mengganggu penglihatan, “jari-jari bunga”
melambangkan kesenangan/keindahan duniawi. Jadi, ketika manusia diuji
oleh hal-hal yang bersifat duniawi, di saat itulah dapat dilihat besarnya
cinta manusia kepada Tuhan. Ketika manusia dihadapkan dengan
kesenangan duniawi, terkadang manusia mulai keluar dari jalan yang
benar terlihat dalam larik “cahaya bagai kabut”. Jika mereka tidak tergoda
dengan kesenangan duniawi maka mereka akan melihat cahaya,
sebaliknya jika tergoda, mereka akan merasa bahwa cahaya itu kabut yang
mengganggu pandangan mereka.
“Matahari di depan pintu. bayang-bayangmu, seperti bermimpi, mendengarnya kembali (bisik-bisik di balik tembok, langkah-langkah bergegas naik-turun tangga. siut angin di kain jendela, gaung detik jam: nyanyian yang menggugurkan kelopak demi kelopak bunga) nyaring sekali” (S7.P9)
Data S7.P9 mengandung gaya bahasa simile. Bait tersebut
menggambarkan manusia yang sudah meninggal merasakan suara-suara
kehidupan yang nyaring sekali. Penyair lebih memilih menggunakan kata
“nyaring” dibandingkan “keras”, karena kata “keras” bersifat lebih umum,
37
sedangkan “nyaring” hanya untuk suara karena dalam larik sebelumnya
terdapat kata “nyanyian”.
“bukankah bagai nyanyian bersama cahaya menyilaukan itu (yang selalu terucap dalam igauanmu, yang tak pernah meninggalkan jejak, yang selalu tiba-tiba gaib setiap kali kau begitu rindu)” (S8.P9)
Perbandingan dalam data S8.P9 menggunakan kata “bagai”.
Kutipan bait tersebut menggambarkan rintik hujan yang diibaratkan seperti
nyanyian bersama yang turun di tengah lantunan kalimat pujian kepada
Tuhan. Penyair menyamakan “rintik hujan” dengan “nyanyian bersama”
karena bunyinya yang membuat jiwa tenang.
“bangku-bangku yang separo kosong, beberapa wajah yang seperti mata tombak, dan dari jendela: sileut di atas dasar hitam.” (S9.P11)
Perbandingan dalam larik tersebut menggunakan kata “seperti”.
Kutipan bait tersebut menggambarkan percakapan yang terjadi antara
malaikat dengan si Aku. Posisi ‘Aku’ sedang berada dalam kondisi di
antara hidup dan mati dalam kererta bawah tanah. “beberapa wajah yang
seperti mata tombak” , pengarang menyamakan “wajah” dengan “mata
tombak” karena sifatnya yang tajam, menusuk. Larik tersebut
menggambarkan orang-orang yang berada dalam kereta tersebut menatap
tajam menyaksikan kejadian tersebut.
Berdasarkan data tersebut penulis menemukan sedikitnya sembilan
penggunaan gaya bahasa perumpamaan atau simile. Penggunaan gaya
bahasa simile ditemukan sebanyak 3 kali dalam puisi Tentang Seorang
Penjaga Kubur yang Mati; 2 kali dalam puisi Pada Suatu Malam dan
Iring-iringan di Bawah Matahari; dan 1 kali dalam puisi Ketika Jari-Jari
Bunga Terbuka dan Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago.
38
2. Metafora Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara
langsung dan biasanya memiliki persamaan. Berikut gaya bahasa metafora
yang penulis temukan.
“matahari akan menjelma api, bau kembang akan membusuk, suara burung akan menjelma terompet” (M1.P1)87
Dalam kutipan bait di atas, penyair mencoba menyampaikan hal-
hal yang akan terjadi setelah kematian menjemput. Pada data M1.P1
“matahari” sebagai source. Penyair lebih memilih menggunakan kata
“matahari” dibandingkan “mentari” karena penggunaan kata “matahari”
lebih cocok digunakan dalam puisi tersebut untuk lebih menegaskan
suasana yang lebih mencekam setelah kematian datang dan pembaca bisa
mencapai imajinasinya. Sedangkan penggunaan kata “mentari” akan
terkesan indah sehingga kurang cocok untuk manusia yang menghadapi
kematian. Sementara itu, “api” sebagai target. Matahari dan api memiliki
persamaan sifat panas, sehingga pengarang menyamakan matahari dengan
api yang dalam puisi tersebut menggambarkan azab-azab kecil yang
manusia terima ketika mereka tidak taat terhadap Tuhan.
Selanjutnya, penyair lebih memilih menggunakan kata “kembang"
dibandingkan “bunga”. Pengunaan kata “kembang” lebih terkesan sakral
dibandingkan dengan penggunaan kata “bunga” yang mengacu pada
bentuk yang indah. “bau kembang akan membusuk” memperingatkan kita
bahwa seharum apapun pakaian, nama, atau kelas sosial manusia selama di
dunia tidak akan ada artinya ketika manusia meninggal, tubuh mereka
87 Kode data gaya bahasa metafora (M), Puisi (P) berarti data gaya bahasa metafora 1 dalam puisi pertama berkode (M1.P1), begitupun untuk data selanjutnya.
39
akan tetap membusuk di dalam tanah dan tidak ada seorang pun yang bisa
menolong.
“suara burung akan menjelma terompet” , suara burung dalam puisi
tersebut menggantikan suara terompet. Jika di lautan luas kapal-kapal akan
membunyikan terompet, di pemakaman suara terompet akan digantikan
oleh suara burung. Penyair menyamakan suara burung dengan terompet
karena memiliki sifat “sebagai pemberi tanda”, sebagian masyarakat
Indonesia masih meyakini bahwa terdengarnya suara burung tertentu
pertanda bahwa orang di sekitar akan meninggal dunia, sama seperti suara
terompet kapal di lautan lepas yang menandakan keberadaan kapal
tersebut. “suara terompet” juga dapat diartikan sebagai suara terompet
sangkakala.
Dalam puisi tersebut juga terdapat penggunaan kata ‘akan’ yang
merupakan adverbia untuk menyatakan suatu tindakan atau kejadian bakal
terjadi.88 Penggunaan kata “akan” yang berulang-ulang menegaskan
bahwa setelah kematian, manusia bakal mengalami suatu kejadian.
“sunyi adalah minuman keras. Beberapa orang membawa perempuan, beberapa orang bergerombol, dan satu dua orang menyindir diri sendiri.” (M2.P2)
Kutipan bait di atas mengandung gaya bahasa metafora. Dilihat
dari data M2.P2, Penyair mengibaratkan sunyi sebagai minuman keras.
“minuman keras” merupakan frasa nomina subordinatif berstruktur
nomina + adjektiva. Dalam larik tersebut “sunyi” sebagai source dan
“minuman keras” sebagai target. Minuman keras bisa memabukkan orang,
bahkan dalam kutipan puisi di atas, pengarang menggambarkan dampak
dari meminum minuman keras adalah bisa membuat para peminum
mencela/mengejek diri sendiri , secara tidak langsung peminum minuman
keras kehilangan kontrol diri atas kenyataan yang sedang terjadi sehingga
88 Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 63
40
berdampak buruk juga bagi fungsi sosialnya. Persamaan minuman keras
dan sunyi yaitu ketidaksadaran yang ditimbulkannya. Pengarang mencoba
mewakilkan ketidaksadaran diri tersebut dengan minuman kerasa dan
sunyi. Dalam bait tersebut, penyair merasakan kesunyian yang membuat
dirinya tak sadar dan mudah tersinggung terlihat jelas dalam larik
“barangkali sejuta mata itu memandang ke arahku.”
“Ia pun berjalan ke barat, merapat ke masa lampau” dalam larik
tersebut “ia” sedang mencoba melakukan kilas balik terhadap hidupnya.
“selamat malam, gereja. Hei, kaukah anak kecil yang dahulu menangis di depan pintuku itu? ia ingat kawan-kawannya pada suatu hari natal dalam gereja itu, dengan pakaian serba baru, bernyanyi; dan ia di luar pintu. ia pernah ingin sekali bertemu yesus, tapi ayahnya bilang yesus itu anak jadah. ia tak pernah tahu apakah ia pernah sungguh-sungguh mencintai ayahnya” Dalam bait ketiga, “ia” melakukan kilas balik, dalam larik tersebut
diperlihatkan gambaran masa kecil “ia” , “ia tak pernah tahu apakah ia
pernah sungguh-sungguh mencintai ayahnya”, ayah merupakan orang tua
lelaki yang biasa menjadi teladan bagi anak-anaknya, dengan larik tersebut
dapat terlihat bahwa “ia” sejak dulu meragukan dirinya sendiri dan
kehidupan yang dijalani selama ini.
“barangkali malam ini yesus mencariku, pikirnya. tapi ia belum pernah berjanji kepada siapa pun untuk menemui atau ditemui; ia benci kepada setiap kepercayaan yang dipermainkan.”
Dalam larik di atas, penyair mencoba menyampaikan bahwa “ia”
belum pernah melakukan ibadah kepada Tuhan, diwakilkan dengan “ia
belum pernah berjanji kepada siapapun untuk menemui atau ditemui”.
41
“barangkali seluruh hidupku adalah sebuah doa yang panjang, katanya sendiri; ia merasa seperti tentram dengan jawabannya sendiri: hidup adalah doa yang panjang.” (M3.P2)
Data M3.P2 mengandung gaya metafora. ‘ia’ mengibaratkan
seluruh hidupnya sebagai doa yang panjang. Dalam larik awal pengarang
menggunakan perluasan kalimat sedangkan dalam larik akhir pengarang
lebih menyederhanakan kalimatnya. Penggunaan di awal merupakan
sebuah penjelasan, sedangkan di akhir adalah sebuah penegasan untuk
lebih meyakinkan. Dalam larik tersebut “hidup” sebagai source dan “doa”
sebagai target. Penggunaan kata “doa” yang berarti permohonan (harapan,
permintaan, pujian) kepada Tuhan menandakan bahwa ‘aku’ merupakan
seorang yang bertuhan. Pengulangan terhadap kalimat “hidup adalah doa
yang panjang” menekankan bahwa sepanjang hidupnya, sebenarnya
manusia harus selalu meminta pertolongan dan menyembah Tuhan.
Pengarang mengibaratkan ‘seluruh hidup’ dengan ‘doa yang panjang’
karena memiliki sifat yang sama yaitu berujung pada takdir Tuhan.
“barangkali karena mulut perempuan itu menyerupai penyakit lepra (M4.P2)
Data M4.P2 mengandung gaya bahasa metafora. Penyair
mengibaratkan mulut perempuan menyerupai penyakit lepra yang
merupakan pengibaratan secara langsung. “Mulut perempuan itu” sebagai
source dan “penyakit lepra” sebagai target. Penyair menyamakan ‘mulut
perempuan’ dengan ‘penyakit lepra’ karena sifat bahanyanya. Larik
tersebut memiliki makna bahwa mulut perempuan itu mudah menyebar
dan buruk seperti penyakit lepra.
42
bumi adalah pelukan yang dingin (M5.P3)
Data M5.P3 mengandung gaya bahasa metafora. Bumi diibaratkan
sebagai pelukan yang dingin. “Bumi” sebagai source dan “pelukan yang
dingin” sebagai target. Pengibaratan tersebut merupakan pengibaratan
langsung. Pelukan yang dingin memiliki makna bahwa bumi tidak
memberikan kenyamanan kepada orang-orang baik tetapi bumi selalu
menerima manusia seburuk apapun manusia.
“matahari yang di atas kepalamu itu adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu (M6.P12) waktu kau kecil, adalah bola lampu (M7.P12) yang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-surat yang teratur kau terima dari sebuah Alamat adalah jam weker yang berdering (M8.P12) saat kau bersetubuh, adalah gambar bulan yang dituding anak kecil itu sambil berkata: Ini matahari! Ini matahari!”
Kutipan larik M6.P12 mengandung gaya bahasa metafora karena
membandingkan matahari dengan balonan gas, bola lampu, dan jam weker
secara langsung. Dalam larik tersebut “matahari” sebagai source yang
memiliki tiga target yaitu “balonan gas”, “bola lampu”, dan “jam weker”.
“balonan gas” merupakan mainan anak-anak dan menjadi salah satu dunia
mereka. Penyair membandingkan “matahari” dengan “balonan gas” karena
memiliki persamaan yaitu dunia. Larik tersebut menyampaikan bahwa
matahari adalah dunia bagi hampir seluruh manusia seperti balonan gas
yang menjadi dunia bagi anak-anak. Matahari disebut dunia untuk hampir
seluruh manusia karena di siang hari orang-orang beraktivitas dan mencari
nafkah untuk kehidupan mereka.
Data M7.P12 mengandung gaya bahasa metafora. Penyair
membandingkan “matahari” dengan “bola lampu” Matahari dan bola
lampu memiliki persamaan yaitu sebagai penerang. Cahaya merupakan
sumber bagi kehidupan seperti matahari.
43
Data M8.P12 mengandung gaya bahasa metafora. Penyair
membandingkan “matahari” dengan “jam weker” karena memiliki
kesamaan sebagai penanda waktu untuk manusia. Kita bisa membedakan
pagi, siang, dan malam selama beraktivitas karena adanya matahari dan
jam.
Kalau kebetulan dibawanya air dari gunung, katanya, “Inilah lambang cinta sejati, sumber denyut kehidupan.” (M9.P15)
Data M9.P15 mengandung gaya bahasa metafora yang
membandingkan secara langsung air dengan sumber denyut kehidupan.
“Air” sebagai source dan “sumber denyut kehidupan” sebagai target.
Kutipan bait tersebut menggambarkan “muara’ sebagai pikiran manusia
sedangkan “laut sebagai hati manusia. Pikiran manusia yang selalu
berubah-ubah akan mempertimbangkan kata hati. “air” sebagai
perlambangan kesamaan antara isi pikiran dan hati manusia yang dapat
menjadikan hidup manusia itu selaras.
“Cintaku padamu, Adinda,” kata Rama “adalah laut yang pernah bertahun memisahkan kita, adalah langit yang senantiasa memayungi kita , adalah kawanan kera yang di gua Kiskenda.” (M10.P19)
Data M10.P19 mengandung gaya bahasa metafora. Rama
membandingkan cintanya kepada Sita dengan laut, langit dan kawanan
kera. Dalam bait tersebut, “Cinta” Rama sebagai source yang memiliki
tiga target yaitu “laut”, “langit”, dan “kawanan kera”. “laut”
menggambarkan luasnya cinta Rama kepada Sita, “langit”
menggambarkan betapa tingginya cinta Rama kepada Sita dan cintanya
bisa melindungi Sita. Kemudian, “kawanan kera” menggambarkan betapa
besar pengorbanan Rama untuk Sita.
Berdasarkan data yang penulis temukan, sedikitnya ada sepuluh
penggunaan gaya bahasa metafora. Penggunaan gaya bahasa metafora
ditemukan 3 kali dalam puisi Pada Suatu Malam, dan Tentang Matahari;
44
dan 1 kali penggunaan dalam puisi Di Pemakaman, Tentang Seorang
Penjaga Kubur yang Mati, Muara, dan Benih.
3. Personifikasi
Personifikasi adalah gaya bahasa yang membuat benda mati seolah
memiliki sifat manusia. Berikut data gaya bahasa personifikasi yang
penulis temukan.
“Kaukah yang menyapaku selamat pagi? Kita menundukkan kepala di depan kapal-kapal yang terdampar, elang yang lelah …” (P1.P1)89
Dalam kutipan puisi di atas penyair ingin menjelaskan tentang
kematian. Data P1.P1 mengandung gaya bahasa Personifikasi. Penggunaan
kata “Kau” dalam puisi tersebut bermakna penziarah. “Kita” dalam larik
tersebut mewakili pengarang dan penziarah.“Kapal-kapal” merupakan
reduplikasi nomina. Reduplikasi merupakan peristiwa pembentukan kata
dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian,
baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi dengan afiks
maupun tidak.90 Kata tersebut termasuk ke dalam pengulangan utuh.
Penggunaan kata tersebut akan memiliki rasa berbeda jika dibandingkan
dengan penggunaan kata “kapal yang terdampar”. Penggunaan kata
“kapal-kapal yang terdampar” mengacu pada jumlah yang lebih dari satu.
Makna denotatif “kapal” adalah kendaraan pengangkut penumpang dan
barang di laut (sungai dsb) terbuat dari kayu atau besi, bertiang satu atau
lebih, bergeladak, digerakkan oleh mesin atau layar.91 Sedangkan dalam
puisi tersebut “kapal” diartikan sebagai pemakaman. Kapal dan
pemakaman memiliki persamaan yaitu terabaikan atau terasingkan dari
89 Kode data gaya bahasa Personifikasi (P), Puisi (P) berarti data gaya bahasa personifikasi 1 dalam puisi pertama berkode (A1.P1), begitupun untuk data selanjutnya.
90Masnur Muslich, Tata Bentuk Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 48 91 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 620
45
orang-orang yang sibuk dengan urusan dunia. Kapal yang terdampar tidak
memiliki aktivitas berarti. Begitupun pemakaman. Penggunaan reduplikasi
tersebut membawa pembaca dapat melihat ada banyak makam-makam
yang sedang terdampar. “elang yang lelah” merupakan klausa adjektiva di
mana elang sebagai subjek dan yang lelah sebagai predikat. Kata “Elang”
memiliki arti burung buas yang mempunyai daya penglihatan yang tajam,
paruhnya bengkok dan cengkramannya kuat, menangkap mangsanya
dengan menyambar.92 Dalam puisi tersebut penyair mencoba
menggambarkan elang sebagai manusia, manusia adalah orang-orang yang
tak mau kalah dan selalu mati-matian bersaing dengan segala kelebihan
dan kekurangannya. Persamaan sifat ‘tak mau kalah’ tersebut membuat
penyair menyamakan manusia dengan elang.“Elang yang lelah”
menggambarkan manusia yang sudah tak berdaya, tak bisa lagi
menggunakan kekuatan dan kekuasaan mereka untuk melawan takdir.
Jadi, ketika manusia dihadapkan oleh kematian yang ditunjukkan dalam
penggunaan kata “kapal-kapal yang terdampar”, mereka hanya seperti
“elang yang lelah” yang tidak berdaya melawan takdir.
Larik tersebut ingin menjelaskan bahwa “kita” yang mewakili
penyair dan penziarah dalam kondisi masih hidup sedang berziarah
menyaksikan orang-orang yang sudah meninggal menyerah pada takdir.
“Angin berhenti. Aku pun membalasmu selamat pagi dengan lirih. dan menundukkan kepala kembali. Kita tidak berhak tengadah ke matahari.” Dalam larik di atas, pennyair mencoba menggambarkan adanya
sebuah percakapan antara “aku” dan “kau”
Kalau “kita” dalam larik awal dalam kondisi masih hidup, dalam
larik di atas, “kita” sedang membayangkan kematian yang akan
menjemput semua manusia termasuk “kau” dan “aku”. “Kita tidak berhak
92 Ibid., h. 362
46
tengadah ke matahari” menunjukkan sebuah adab berziarah bahwa
penziarah harus menunduk dan tidak berhak menyombongkan dirinya.
“ia sendiri sahut-menyahut dengan malam sedang dibayangkannya sebuah kapal di tengah lautan yang memberontak terhadap kesunyian.” (P2.P2)
Kutipan bait tersebut menjelaskan tentang kesunyian yang
dirasakan ‘ia’. “Ia” dalam puisi tersebut adalah pengarang. Data P2.P2
mengandung gaya bahasa personifikasi. Kata “malam” dibuat seolah-olah
memiliki sifat manusia ditunjukkan dengan kata “sahut-menyahut”.
“sahut-menyahut” berasal dari kata dasar “sahut” yang berarti jawab. Kata
“sahut-menyahut” merupakan pengulangan yang menyatakan bahwa
‘perbuatan tersebut dilakukan oleh dua belah pihak dan saling
mengenai’93, dua belah pihak dalam larik tersebut yaitu ‘ia’ dan ‘malam’.
Dengan kata lain, pengulangan tersebut menyatakan makna saling
bersahutan. Jadi larik tersebut mengungkapkan bahwa malam sedang
melakukan perbincangan dengan ‘ia’.
“kapal di tengah lautan yang memberontak terhadap kesunyian”
juga mengandung gaya bahasa personifikasi, “kapal” melambangkan diri
‘Ia’ yang sedang merasa kesepian. Penyair memilih penggunaan kata
“memberontak” daripada “melawan” agar lebih menegaskan perjuangan
‘ia” melepaskan diri dari kesunyian.
“selamat malam langit, apa kabar selama ini? (P3.P2) Barangkali bintang-bintang masih berkedip buatku, pikirnya. Ia pernah membenci langit dahulu, (P4.P2) Ketika musim kapal terbang seperti burung menukik: dan kemudian ledak-ledakan (saat itu pulalah terdengar olehnya ibunya berdoa dan terbawa pula namanya sendiri).”
93 M. Ramlan, Morfologi, (Yogyakarta: C.V Karyono, 2009), h. 181
47
Data P3.P2 menggambarkan ‘Ia’ mencoba mengajak bicara langit
yang merupakan benda mati. Seolah-olah ‘Ia’ dan langit akan memulai
perbincangan yang hangat. “Langit” juga mewakilkan tanda kebesaran
Tuhan.
Penggunaan kata “bintang-bintang” pada data P4.P2 merupakan
reduplikasi yang berarti mengacu pada jumlah yang lebih dari satu. Kata
“berkedip” yang memiliki arti bergerak membuka dan menutup berganti-
ganti (tt kelopak mata)94 lebih merujuk kepada sesuatu yang dilakukan
manusia. Bintang-bintang lebih cenderung menggunakan kata “berkelip”
yang memiliki arti mengeluarkan cahaya kecil yang terputus-putus.95
Penyair memilih kata berkedip dibanding berkelip untuk memberi kesan
lebih hidup karena dalam larik tersebut ‘ia’ sedang sendiri dan
membutuhkan seorang teman. Dengan pertanyaan yang diajukan ‘ia’
kepada malam dan berharap adanya isyarat dari bintang akan membuat
pembaca merasakan kesepian yang dirasakan ‘ia’. Kemudian, penggunaan
kata “buatku” lebih terkesan apa adanya dibanding dengan kata “untukku”
atau “bagiku”. Penggunaan kata tersebut terkesan lebih menunjukkan diri
‘ia’ yang tak acuh.
“bumi tak pernah membeda-bedakan (P5.P3)
Data P5.P3 mengandung gaya bahasa personifikasi. Kata “membeda-
bedakan” merupakan reduplikasi. Pengulangan sebagian tersebut berasal dari
kata dasar “membedakan”, sedangkan “anak-anaknya” merupakan reduplikasi
utuh yang menyatakan jumlah lebih dari satu atau jamak. Pada larik tersebut
dapat dikatakan bahwa bumi itu adil terlihat pada kata “tak pernah membeda-
bedakan”, seolah-olah bumi memiliki sifat seperti manusia yaitu tidak pilih
kasih.
94Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit., h. 647 95Ibid., h. 657
48
“dan bumi tak pernah membeda-bedakan, tak pernah mencinta atau membenci; bumi adalah pelukan yang dingin (P6.P3) tak pernah menolak atau menanti, tak akan pernah membuat janji dengan langit.” (P7.P3)
Pada data P5.P3, kata “pelukan” berarti dekapan dengan kedua
tangan96 yang menandakan bahwa hal tersebut hanya dilakukan oleh manusia,
sedangkan bumi adalah benda mati dan menandakan bahwa kalimat tersebut
mengandung gaya bahasa personifikasi. Semua hal yang bumi lakukan dalam
kutipan tersebut (memeluk, menolak, menanti atau membuat janji) merupakan
hal yang dilakukan manusia. Kemudian data P7.P3 menjelaskan bumi dan
langit memiliki sifat yang bertentangan. Mereka memiliki dua cara yang
berbeda dalam menerima manusia yang mati.
“lelaki tua yang rajin itu mati hari ini; sayang bahwa ia tak bisa
menjaga kuburnya sendiri”
Dalam larik akhir tersebut, pengarang ingin menegaskan bahwa ketika
manusia meninggal tak ada yang bisa menolongnya sekalipun penjaga kubur
yang bersahabat dengan liang kubur semasa hidupnya. Ketika manusia
meniggal hanya ada tiga amalan yang dapat menolongnya, yaitu amal jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh/salihah.
“berjalan di belakang jenazah angin pun reda jam mengerdip” (P8.P4) tak terduga betapa lekas siang menepi, melapangkan jalan dunia.”
Data P8.P4 mengandung gaya bahasa personifikasi. Penggunaan kata
“mengerdip” berasal dari kata dasar “kerdip” yang merupakan kata tidak baku
dari “kedip”, kata “kedip” merujuk kepada tindakan yang biasanya dilakukan
manusia untuk memainkan mata. Larik tersebut menjelaskan bahwa ketika
96Ibid., h. 1042
49
orang-orang mengantar jenazah segala aktivitas di sekitarnya berhenti sejenak
yang dilambangkan dengan angin yang mereda dan waktu seolah berhenti
tetapi sebenarnya waktu terus bergulir hingga siang menepi maksudnya di
akhir siang yang berubah menjadi senja. Senja dilambangkan sebagai akhir
hayat seorang manusia. Hidup penuh dengan masalah dan kesulitan maka
ketika senja datang atau dengan kata lain manusia meninggal, ia dilapangkan
dari segala kerumitan dunia.
“di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala (P9.P4) di atas: matahari kita, matahari itu juga jam mengambang di antaranya tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya.” (P10.P4)
Data P9.P4 mengandung gaya bahasa personifikasi. Penyair lebih
memilih menggunakan kata “pohon demi pohon” dibandingkan menggunakan
reduplikasi “pohon-pohon” karena penggunaan kata tersebut lebih memiliki
kesan pohon tersebut ikut berduka. Kata “pohon demi pohon” membuat
pembaca bisa mencapai imajinasinya bahwa satu demi satu pohon yang dilalui
oleh jenazah merasakan kedukaan juga. Penyair mencoba menjelaskan dalam
larik “matahari kita, matahari itu juga” melambangkan kehidupan. Hari-hari
yang jenazah pernah lalui dan alami selama hidupnya juga dilalui oleh orang-
orang yang masih hidup. Kematian yang ia alami pun, suatu hari nanti akan
kita alami pula. Data P10.P4 mengandung gaya bahasa personifikasi yang
menggambarkan bahwa setelah waktu yang telah dilalui janganlah kesia-siaan
menghabiskan waktu kita ketika masih diberikan nafas kehidupan.
“sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua.” (P11.P5)
Dalam larik di atas, “sepasang burung” mewakilkan sepasang manusia,
“jalur-jalur kawat” merupakan waktu-waktu yang sulit yang harus dilalui
dalam hidup.
50
Data P11.P5 mengandung gaya bahasa personifikasi. Langit
digambarkan seolah-olah seperti manusia yang mengalami penambahan usia,
pernah mengalami saat muda dan kini sudah semakin tua.
“waktu hampir lengkap menunggu senja” merupaka penggambaran
manusia yang sedang menunggu kematiannya. “putih kita pun putih
memandangnya setia sampai habis semua senja” merupakan penggambaran
manusia yang berbenah diri sebelum kematian menjemputnya.
“Hei! Jangan kau patahkan kuntum bunga itu ia sedang mengembang; bergoyang-goyang dahan-dahannya yang tua yang telah mengenal baik, kau tahu segala perubahan cuaca.” (P12.P6)
Data P12.P6 mengandung gaya bahasa personifikasi. Kuntum bunga
itu seolah telah menjalin hubungan dengan perubahan cuaca , tindakan
tersebut merujuk kepada tindakan yang biasa dilakukan manusia. “kuntum
bunga” dalam larik tersebut menggambarkan seorang remaja yang sedang
memulai babak baru dalam hidupnya.
“Bayangkan: akar-akar yang sabar menyusup dan menjalar (P13.P6) hujan pun turun setiap bumi hampir hangus terbakar
Data P13.P6 mengandung gaya bahasa personifikasi. Akar-akar itu
memiliki sifat sabar seperti manusia. “akar-akar” merupakan pondasi atau
dasar si remaja yang sedang mencoba mencar jati diri. “Hujan” merupakan
perlambangan dari orang tua yang menjadi pereda ketika si remaja sedang
mengahadapi gejolak dalam hidupnya. Pengarang menambahkan kata “pun”
dalam kutipan bait tersebut untuk menguatkan kalimat tersebut, bahwa hujan
pasti mulai turun ketika bumi hampir hangus terbakar.
lihat: ia pun terkulai perlahan-lahan dengan indah sekali, tanpa satu keluhan.” (P14.P6)
51
Data P14.P6 mengandung gaya bahasa personifikasi karena pengarang
menaruh sifat mengeluh pada bunga tersebut.
Puisi tersebut mencoba menggambarkan seorang remaja yang
dilambangkan dengan “kuntum bunga” sedang mencari jati dirinya dengan
bekal akar-akar yang dimiliki, kemudian orang tua yang dilambangkan oleh
“hujan” akan menjadi solusi ketika si remaja menghadapi permasalahan yang
dihadapinya dari pergaulan yang dilambangkan oleh “matahari”. dalam larik
tersebut dijelaskan bahwa matahari bisa membuat si remaja menjadi indah
dengan memoleskannya warna-warni kehidupan tetapi juga akan membuatnya
terbunuh perlahan jika si remaja terbuai dengan pergaulan yang ia hadapi.
“betapa parah cinta Kita mabuk berjalan, di antara jerit bunga-bunga rekah.” (P15.P8)
Data P15.P8 mengandung gaya bahasa personifikasi. Penggunaan kata
“jerit” yang memiliki arti suara yang keras melengking; teriak; pekik membuat
bunga-bunga seolah memiliki sifat seperti manusia. Larik tersebut
menjelaskan cinta manusia kepada Tuhan berada dalam jalan kebimbangan
jika sudah mulai terbuai dengan nafsu terhadap kesenangan duniawi.
“kau pun tiba-tiba melepaskan topi, begitu hati-hati, sebelum menyusur gua siang sepanjang matahari, berdesakan bayang-bayang” (P16.P9)
Data P16.P9 mengandung gaya bahasa personifikasi. Penggunaan kata
“berdesakan” membuat bayang-bayang melakukan sesuatu yang biasa
manusia lakukan. Pennyair lebih memilih menggunakan kata “berdesakan”
dibandingkan menggunakan kata “bersesak-sesak” karena dalam larik tersebut
sudah terdapat penggunaan reduplikasi pada kata “bayang” sehingga kalau
menggunakan kata “bersesak-sesak bayang-bayang” maka akan terkesan
berlebihan, pennyair juga tidak menggunakan kata “berjejal” karena jika
dilihat dari nilai rasanya kata “berjejal” tidak sesuai dengan konteks yang ada
dalam puisi. Kutipan bait tersebut menggambarkan pengantar jenazah yang
52
melepaskan topi seolah-olah memberikan penghormatan terakhirnya kepada
sang jenazah serta mengucapkan selamat jalan kepada orang yang meninggal
yang pennyair gambarkan sebagai “musafir” yang bermakna setelah kematian
datang, manusia akan menjadi musafir yang akan pergi ke tempat yang jauh
dan memakan waktu yang lama hingga menemukan tempat tujuannya yaitu
surga.
“iring-iringan bunga, iring-iringan bangkai; matahari: dicucinya angkasa dari bau busuk” (P17.P9)
Data P17.P9 mengandung gaya bahasa personifikasi. Pada bait
tersebut, angkasa dicuci dari bau busuk oleh hujan yang diwakilkan oleh
kalimat “cahaya ini, memantul di keranda, memercik…” hujan tersebut turun
di tengah kalimat pujian kepada Tuhan.
“ketika kau pun harus segera menentukan pilihan: jam yang sudah ditetapkan bumi yang dulu melahirkanmu.” (P18.P9)
Data P18.P9 mengandung gaya bahasa personifikasi. Penggunaan kata
“melahirkan” pada bumi merujuk pada tindakan yang biasanya dilakukan
makhluk hidup. Kutipan bait tersebut menjelaskan bahwa kematian seseorang
sudah ditentukan oleh Sang Pencipta.
“tinggal matahari. sementara kau menoleh: isyarat-isyarat buta di batas mimpi dan juga kau pun tak menyahutnya sebab kata dipermainkan angin kemarau sebab mata berkedip di cahaya silau.” (P19.P9)
Data P19.P9 mengandung gaya bahasa personifikasi. “angin kemarau
mempermainkan kata” merujuk pada tindakan yang manusia lakukan. Kutipan
bait tersebut bermakna seseorang yang sedang berada di batas kehidupan dan
kematian diberikan isyarat-isyarat yang ia tak menegerti karena “kata yang
dipermainkan angin kemarau” bermakna kehidupan yang sulit ini
53
dipermainkan oleh kebohongan yang sia-sia. Kehidupan manusia yang dibuai
dengan kesenangan yang akhirnya menjadi dosa yang harus mereka tanggung
sendiri.
“kenapa kau bawa kemari, saudara?”; sebuah stasiun di dasar malam. Bayang-bayang putih di sudut pron menyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak letihnya meloncat, merapat ke sepi. Barangkali saja.” (P20.P 10.)
Data P20.P10 mengandung gaya bahasa personifikasi. Jarum jam
seolah memiliki sifat-sifat manusia dengan adanya penggunaan kata “letih”,
“meloncat”, dan “merapat”. Kutipan bait tersebut menggambarkan seseorang
yang sedang menunggu cinta impiannya.
“tetapi manakah yang lebih deras denyutnya, jantung manusia atau arloji (yang biasa menghitung nafas kita)” (P21.P11)
Data P20.P11 mengandung gaya bahasa personifikasi. Denyut berarti
gerakan turun naik (pada urat nadi, ubun-ubun, dan sebagainya). 97
Penggunaan kata denyut untuk menggambarkan bunyi arloji seharusnya hanya
digunakan untuk jantung maupun nadi makhluk hidup. Penggunaan kata yang
lebih tepat untuk arloji adalah “detak”. Detak berarti tiruan bunyi detik, tiruan
bunyi debar jantung yang memukul keras.98
“Waktu aku berjalan ke barat waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang”
Dalam larik tersebut, “barat” melambangkan arah kiblat, larik tersebut
menjelaskan ia membelakangi matahari pagi hari yang terbit di timur yang
97 Ibid, h. 317 98Ibid, h. 321
54
juga menandakan ia sedang melakukan ibadah atau salat duha. “matahari”
juga bisa dilambangkan sebuah perbuatan baik.
“aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan”
“Aku” melambangkan manusia, sedangkan “bayang-bayang”
mewakilkan hati nurani manusia.
“aku dan matahari tidak pernah bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang aku dan bayang-bayang tidak pernah bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan” (P22.P13)
Data P22.P13 menggambarkan matahari dan bayang-bayang seolah-
olah seperti manusia yang dapat bertengkar. Penggunaan kata “aku dan
matahari” , “aku dan bayang-bayang” menunjukkan adanya hubungan antara
aku, matahari, dan bayang-bayang. Matahari dan bayang-bayang seolah
memiliki emosi yang hanya dimiliki oleh manusia.
Dalam puisi 14, “telur” melambangkan sebuah benih, “burung”
sebagai sesuatu/hasil yang baik. Mengapa harus burung? Ya, karena burung
dapat terbang ke langit setinggi-tingginya. Langit yang tinggi diidentikkan
dengan sebuah kesuksesan. Sedangkan “engkau” diharapkan menjadi manusia
yang baik.
“silau matahari memecah udara dingin memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai merindukan telur.” (P23.P14)
Data P23.P14 mengandung gaya bahasa personifikasi. Penggunaan
kata “memecah” yang silau matahari perbuat kepada udara dingin merupakan
perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh makhluk hidup. Puisi tersebut
memiliki makna bahwa manusia berasal tanah meskipun mereka telah melalui
55
jalan kehidupan berbeda, mereka akan sama-sama kembali ke tanah. Dalam
larik tersebut, pengarang ingin menjelaskan perjuangan manusia untuk
menjadi pribadi baik yang diharapkan.
“Muara yang tak pernah pasti sifatnya selalu mengajak laut bercakap. (P24.P15)
Data P24.P15 mengandung gaya bahasa personifikasi. Penggunaan
kata “bercakap” pada muara dan laut membuat mereka seolah seperti manusia
yang sedang mengobrol.
“Dan ketika pada suatu hari ada bangkai manusia terapung di muara itu, di sana sini timbul pusaran air, dan tepi-tepi muara itu tiba-tiba bersuara ribut.” (P25.P15)
Data P25.P15 mengandung gaya bahasa personifikasi. Tepi-tepi muara
yang bersuara ribut seolah seperti manusia karena penggunaan kata “ribut”
tersebut. Kutipan bait tersebut menjelaskan hati yang berbicara dan melakukan
tindakan. “bangkai manusia” sebagai perlambangan dari jiwa manusia yang
berantakan karena tidak didukung oleh pikiran. Pada akhir puisi terdapat larik
“lubuk-lubukku, dan juga lubuk-lubukmu tidaklah sedalam…”
menggambarkan tidak adanya keselarasan antara hati dan pikiran manusia
yang akan menimbulkan gejolak-gejolak yang sedikitnya merugikan manusia
tersebut. Bermula dari muara yaitu pikiran yang membawa bermacam-macam
hal menuju hati yang dilambangkan oleh “laut” tetapi sebenarnya hanya “air”
yang melambangkan keselarasan antara hati dan pikiran yang sangat
dibutuhkan.
“Bahkan bunga rumput itu pun berdusta . (P26.P17) Ia rekah di tepi padang waktu hening pagi terbit; siangnya cuaca berdenyut ketika nampak sekawanan gagak terbang (P27.P17) berputar-putar di atas padang itu; malam hari ia mendengar seru serigala Tapi katanya, “Takut? Kata itu milik kalian saja, para
56
manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!”
Data P26.P17 mengandung gaya bahasa personifikasi. Bunga rumput
digambarkan memiliki sifat dusta seperti manusia. Data P27.P17 juga
mengandung gaya bahasa personifikasi. Penggunaan kata “denyut” pada cuaca
siang kurang tepat karena “denyut” digunakan untuk jantung atau nadi
makhluk hidup. Bait tersebut menjelaskan meskipun kenyataan tidak sesuai
dengan harapan yang digambarkan oleh data P25.P17 tetapi ita harus tetap
menghadapinya. Itulah hidup yang tidak melulu kenyataan harus sesuai
dengan harapan.
“ mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik taman memetiknya hari ini.” (P28.P18)
Data P28.P18 mengandung gaya bahasa personifikasi. Dalam kutipan
tersebut, mawar digambarkan seolah bisa bicara seperti manusia. Puisi
tersebut menjelaskan tentang dua insan yang sebenarnya saling mencintai
digambarkan oleh “mawar” dan “wanita”, namun karena keduanya tidak
memberikan isyarat. Satu di antara mereka menyangka cintanya bertepuk
sebelah tangan dan akhirnya menyerah untuk mencintai orang tersebut.
“aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu” (P29.P20)
Data P29.P20 mengandung gaya bahasa personifikasi. Kayu dibuat
seolah bisa bicara. “aku ingin mencintaimu dengan sederhana”
menggambarkan pengakuan seseorang yang ingin mencintai dengan segala
kekurangan dan kelebihnannya, dengan dirinya apa adanya.
“aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.” (P30.P20)
57
Data P.30.P20 mengandung gaya bahasa personifikasi. Awan dibuat
bisa menyampaikan isyarat kepada hujan. Pengulangan kata “aku ingin
mencintaimu dengan sederhana” membuktikan ketulusan cintanya dalam
kesederhanaan begitu besar. “kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada
api” dan “isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan”
menggambarkan bahwa cintanya tidak perlu banyak bicara, akan tetapi
ketulusan dan pengorbanannya dibuktikan melalui tindakan.
Berdasarkan data tersebut, penulis menemukan sedikitnya tiga puluh
penggunaan gaya bahasa personifikasi. Penggunaan gaya bahasa personifikasi
ditemukan 4 kali dalam puisi Iring-iringan di Bawah Matahari; 3 kali dalam
puisi Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati, Berjalan di Belakang
Jenazah, dan Ziarah; 2 kali dalam puisi Pada Suatu Malam, Muara, Bunga, 1,
dan Aku Ingin; 1 kali dalam puisi Di Pemakaman, Sonet: Hei Jangan Kau
Patahkan!, Ketika Jari-jari Bunga Terbuka, Malam itu Kami di Sana, Dalam
Kereta Bawah Tanah, Chicago, Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari, Telur, 2,
dan Bunga, 2.
4. Depersonifikasi
Depersonifikasi adalah gaya bahasa yang membuat manusia seperti
benda mati. Depersonifikasi lebih mudah dipahami gaya bahasa yang
berlawanan dari personifikasi. Berikut gaya bahasa depersonifikasi yang
penulis temukan.
“perempuan itu setangkai bunga; apakah ia juga pernah bertemu yesus atau barangkali pernah juga dikeluarkan dari sekolahnya dulu.” (D1.P2)99
Data D1.P2 mengandung gaya bahasa depersonifikasi. “perempuan
itu setangkai bunga” merupakan kalimat tunggal yang mengibaratkan
99 Kode data gaya bahasa depersonifikasi (D), Puisi (P) berarti data gaya bahasa depersonifikasi 1 dalam puisi kedua berkode (D1.P2), begitupun untuk data selanjutnya.
58
perempuan dengan setangkai bunga yang merupakan benda mati.
Persamaan perempuan dengan setangkai bunga, yaitu setangkai bunga bisa
memiliki makna yang berbeda tergantung dari jenis dan warnanya, begitu
pula dengan perempuan memiliki karakter yang berbeda tergantung
bagaimana orang melihatnya. Namun, perempuan tetaplah indah seperti
bunga.
“pada suatu saat seorang gadis adalah bunga, tetapi di lain saat menjelma sejumlah angka yang sulit.” (D2.P2)
Data D2.P2 mengandung gaya bahasa depersonifikasi karena gadis
diibaratkan seperti bunga yang merupakan benda mati. Gadis diibaratkan
seperti bunga yang indah yang bisa membuai orang dengan visualisasinya
tetapi terkadang sikap dan pikiran mereka sulit ditebak dan dipecahkan
seperti sejumlah angka yang sulit.
Berdasarkan data tersebut, penulis menemukan sedikitnya dua
penggunaan gaya bahasa depersonifikasi. Penggunaan gaya bahasa
depersonifikasi ditemukan dua kali dalam puisi Pada Suatu Malam.
5. Parabel
Parabel adalah gaya bahasa yang mengandung makna dan biasanya
diambil dari cerita populer. Berikut penggunaan gaya bahasa parabel yang
penulis temukan.
“pemukul gendang itu membayangkan dirinya Rama yang mengiringkan Sita memasuki hutan pemukul gendang itu membayangkan dirinya Garuda yang mencengkram Sita di antara kuku-kukunya pemukul gendang itu membayangkan dirinya Rawana yang memperkosa Sita di Taman Raja” (Pb1.P16)100
100 Kode data gaya bahasa parabel (Pb), Puisi (P) berarti data gaya bahasa parabel 1 dalam puisi keenam belas berkode (Pb1.P16), begitupun untuk data selanjutnya.
59
Data Pb1.P16 mengandung gaya bahasa parabel. Puisi tersebut
menggunakan cerita Ramayana yang sangat populer. Puisi tersebut
bermakna kita yang dilambangkan dengan “pemukul gendang” seharusnya
tidak hanya membayangkan atau bermimpi tapi mulailah bergerak dari diri
sendiri karena jika hanya bermimpi tanpa adanya tindakan, kita akan
tertinggal oleh orang-orang yang lebih giat berusaha dan kita hanya akan
menjadi tumpukan batu di dasar laut yang tidak diketahui keberadaannya
bahkan keindahannya.
Berdasarkan data tersebut, penulis menemukan sedikitnya satu
penggunaan gaya bahasa parabel dalam puisi Di Banjar Tunjuk, Tabanan.
6. Alusi
Alusi adalah gaya bahasa yang menyebutkan sesuatu dengan nama
lain dan diketahui oleh orang banyak. Berikut gaya bahasa alusi yang
penulis temukan.
Ketika musim kapal terbang seperti burung (A1.P2) menukik: dan kemudian ledak-ledakan (saat itu pulalah terdengar olehnya ibunya berdoa dan terbawa pula namanya sendiri).”
Data A1.P2 mengandung gaya bahasa alusi. Penyair menjelaskan
bahwa doa sudah ada sejak dulu bahkan ketika musim kapal terbang
seperti burung yaitu sekitar tahun 875 masehi, ketika seorang ilmuwan
muslim di Spanyol melakukan percobaan ‘terbang sepeti burung’,
pengarang menggunakan kalimat tersebut bermaksud ingin menekankan
bahwa orang-orang sudah melantunkan doa-doa sejak dulu.
“kadang ia ingin ke langit, kadang ia ingin mengembara saja ke tanah-tanah yang jauh; pada suatu saat yang dingin ia ingin lekas kawin, membangun tempat tinggal.”
60
Larik di atas menggambarkan bahwa “ia” ingin mengatur sendiri
kehidupannya sejak dulu, hanya saja berdasarkan bait sebelumnya “ia”
masih ragu dengan kehidupan yang selama ini dijalaninya.
Berdasarkan data tersebut, penulis menemukan sedikitnya satu
penggunaan gaya bahasa alusi dalam puisi Pada Suatu Malam.
7. Epitet
Epitet adalah gaya bahasa yag menyatakan sifat atau ciri khusus
dari seseorang atau suattu hal. Berikut gaya bahasa epitet yang penulis
temukan.
“tetapi disaksikannya: berjuta orang sedang berdoa, Para pengungsi yang bergerak ke kerajaan Tuhan.” (E1.P2)101
Data E1.P2 mengandung gaya bahasa epitet. Kata “kerajaan”
berarti wilayah kekuasaan seorang raja.102 “Para pengungsi” secara
konotatif berarti manusia. Dengan begitu, larik tersebut bermakna setiap
manusia yang sedang bergerak atau melakukan aktivitas dan beribadah ke
wilayah kekuasaan Tuhan yang berarti dunia ini atau juga lingkup yang
menunjukkan bahwa manusia berada dalam agama tertentu dan taat
beribadah kepada Tuhannya.
“dan merkarlah bunga itu perlahan-lahan dengan gaib, dari rahim Alam (E2.P6) Matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diam membunuhnya dengan hati-hati sekali dalam kasih sayang, dalam rindu-dendam alam (E3.P6)
Data E2.P6 mengandung gaya bahasa epitet. Penggunaan kata
“rahim Alam” sebagai pengganti penggunaan kata bumi/tanah. “Matahari”
101 Kode data gaya bahasa epitet (E), Puisi (P) berarti data gaya bahasa epitet 1 dalam puisi keduaa berkode (E1.P2), begitupun untuk data selanjutnya.
102Departemen Pendidikan Nasional, Op Cit, h. 1133
61
dalam larik tersebut bermakna pergaulan. Data E3.P6 mengandung gaya
bahasa epitet. Pengarang menggunakan kalimat tersebut agar mencapai
titik estetika dari puisi tersebut, sebenarnya kalimat tersebut merupakan
penjabaran dari perubahan cuaca. Penggunaan kata “sekali” juga memberi
kesan bahwa matahari membunuh bunga itu sangat perlahan dan lembut.
“tak ada bau kemenyan tak ada bunga-bunga; mereka telah tidur sejak abad pertama, Semenjak Hari Pertama itu.” (E4.P7)
Data E4.P7 mengandung gaya bahasa epitet. Hari Pertama itu
merujuk pada hari pertama nenek moyang kita pergi meninggalkan kita.
“di tangan kita berkas-berkas rencana, di atas kepala
Sang Surya.” (E5.P7)
Data E5.P7 mengandung gaya bahasa epitet. Sang Surya
merupakan kata lain yang mewakili matahari.
“ampunilah hamba-Mu ini di balik pintu terkunci” (E6.P9)
Data E6.P9 mengandung gaya bahasa epitet. Penggunaan kata “di
balik pintu terkunci” memiliki makna di dalam kubur bersama dengan
dosa-dosa yang telah diperbuat semasa hidup. Manusia yang sudah
meninggal memohon ampunan terhadap Sang Maha Kuasa.
Berdasarkan data tersebut, penulis menemukan sedikitnya enam
penggunaan gaya bahasa epitet. Penggunaan gaya bahasa epitet ditemukan
2 kali dalam puisi Ziarah dan Jari-jari Bunga Terbuka; dan 1 kali dalam
puisi Pada Suatu Malam dan Iring-iringan di Bawah Matahari.
62
B. Implikasi terhadap Pembelajaran
Pengajaran sastra di sekolah pada dasarnya melatih siswa memiliki
kepekaan rasa terhadap dirinya sendiri dan lingkungan melalui karya sastra.
Dengan membaca karya sastra siswa diharapkan dapat mengambil pesan-
pesan yang terdapat dalam karya tersebut. Bidang pengajaran sastra mencakup
aspek yang sangat luas seluas aspek kehidupan manusia itu sendiri, sebab
wilayah kesusastraan adalah wilayah yang dihuni oleh manusia.103 Pengajaran
sastra ini perlu dipertimbangkan untuk diarahkan pada pembimbingan
apresiasi sastra, dalam kaitan ini adalah pembimbingan apresiasi puisi.
Melalui bimbingan apresiasi puisi ini, anak didik dilatih untuk lebih peka
terhadap nilai-nilai keindahan yang terkadung dalam puisi, khususnya dalam
mempelajari gaya bahasa. Di samping itu, puisi sebagai pengentalan nilai-nilai
hidup yang diolah dari pengalaman konkret penyairnya dengan sendirinya
akan mengandung nilai-nilai kehidupan yang bermanfaat untuk dikaji dan
direnungkan.104
Dalam pembelajaran puisi di sekolah, siswa diminta untuk
mengapresiasi puisi. Berdasarkan silabus pembelajaran kurikulum 2013 revisi
2016. Siswa mendapatkan pembelajaran tentang puisi pada kelas X dan
diminta untuk dapat mengapresiasinya dengan mengidentifikaasi suasana,
makna dan tema dalam beberapa puisi (KD. 3.16 da 3.17). Siswa ditugaskan
untuk memahami puisi Sapardi Djoko Damono “Berjalan ke Barat Waktu Pagi
Hari” dan “Aku Ingin”, kemudian menentukan suasana, makna, dan tema puisi
tersebut, serta menganalisis unsur pembangun puisi. Siswa diminta untuk
dapat memahami gaya bahasa yang ada dalam karya puisi. Selanjutnya, siswa
diminta untuk memahami cara pembacaan puisi yang baik dan membuat
musikalisasi puisi dari beberapa puisi sastrawan terkenal Indonesia (KD.
4.16). Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk membuat musikalisasi
puisi dari sastrawan terkenal Indonesia. Kemudian tahapan terkahir, siswa
diminta untuk menulis puisi dengan memperhatikan unsur pembangunnya
103 Sumardi, Op Cit, h. 13 104 Ibid, h. 8
63
(KD. 4.17). Siswa ditugaskan menulis puisi dengan menggunakan beberapa
gaya bahasa yang sudah diajarkan dan memperhatikan diksi, rima, dan
tipografi.
Dalam pengajaran apresiasi puisi akan mencapai tujuan jika guru dapat
menumbuhkan kecintaan siswa terhadap karya sastra khususnya puisi,
sehingga siswa memiliki minat untuk menganalisis karya tersebut lebih dalam
lagi. Penguasaan guru terhadap materi juga sangat penting dan pemilihan
bahan pembelajaran yang mudah dan menarik juga akan mempengaruhi
pemahaman siswa. Oleh sebab itu, penulis menggunakan buku kumpulan puisi
“Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono sebagai bahan ajar karena
selain bahasa yang mudah dimengerti, tidak terlalu berat untuk pemahaman
siswa sekolah menengah, kumpulan puisi tersebut juga mengandung gaya
bahasa yang beragam sehingga dapat menambah wawasan siswa tentang gaya
bahasa yang mungkin selama ini hanya mengenal beberapa gaya bahasa saja.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan analisis dan deskripsi data yang penulis lakukan, dapat
disimpulkan bahwa gaya bahasa perbandingan yang terdapat dalam kumpulan
puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono ditemukan gaya bahasa
metafora, personifikasi, simile, depersonifikasi, epitet, dan parabel.
Pada penelitian ini, penulis memilih 20 puisi dan ditemukan sebanyak
59 penggunaan gaya bahasa perbandingan. Penggunaan gaya bahasa
perbandingan yang dominan yaitu personifikasi sebanyak 30 data. Penggunaan
lainnya yaitu metafora sebanyak 10 data; simile sebanyak 9 data; epitet
sebanyak 6 data; depersonifikasi sebanyak 2 data; dan parabel dan alusi
sebanyak 1 data; serta tidak ditemukan penggunaan gaya bahasa alegori,
eponim, dan simbolik.
Penelitian ini dapat digunakan oleh guru dalam pembelajaran bahasa
Indonesia dengan materi unsur-unsur puisi salah satunya gaya bahasa di
Sekolah Menengah Atas yang tercantum dalam kurikulum 2013 revisi 2016
dengan kompetensi dasar 3.16, 3.17, 4.16, dan 4.17 untuk memberikan
pemahaman belajar yang lebih baik dengan menampilkan contoh gaya bahasa
perbandingan yang beragam dari kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya
Sapardi Djoko Damono.
B. Saran
Penelitian yang sederhana ini tidak banyak memberikan kontribusi
terhadap persoalan bahasa di Indonesia, namun tulisan ini bermanfaat bagi
para pelajar, mahasiswa, dan pengguna bahasa lainnya agar lebih
mendalami tentang gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan puisi “Hujan
Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono. Ada beberapa saran yang penulis
ajukan, yakni:
64
65
1. Bagi para pendidik sebaiknya dalam kegiatan belajar mengajar
menggunakan contoh gaya bahasa yang beragam dari puisi sastrawan
Indonesia dan mudah dipahami siswa.
2. Bagi peneliti lain, diharapkan untuk melibatkan lebih banyak komponen
yang memengaruhi pemahaman siswa tentang gaya bahasa perbandingan.
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan implikasi terhadap dunia
pendidikan, khususnya dalam pembelajaran gaya bahasa di Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, sehingga mutu pendidikan dapat
ditingkatkan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Aftarudin, Pesu. Pengantar Apresiasi Puisi. Bandung: Angkasa, 1984.
Alwi, Hasan, dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta:
Balai Pustaka, 2003.
Chaer, Abdul. Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Damono, Sapardi Djoko. Hujan Bulan Juni Sepilihan Sajak. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2013.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Emzir dan Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajawali Pers,
2015.
Falah, M. Zainal. Gejala dan Gaya Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Karyono,
1996.
Ganie, Tajuddin Noor. Buku Induk Bahasa Indonesia Pantun, Puisi, Syair ,
Peribahasa, Gurindam, dan Majas. Yogyakarta: Araska, 2015.
Gulo, W. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Grasindo, 2010
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara, 2013
Indrawan, Rully dan R. Poppy Yaniawati. Metodologi Penelitian. Bandung:
Refika Aditama, 2014.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Kosasih, E. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya,
2012.
Moloeng, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993.
Muhammad. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2001.
Muslich, Masnur. Tata Bentuk Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2013.
66
67
Nazir, Moh. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Nurgiyantoro, Burhan. Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2014.
Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2014.
Rahmanto, B. Metode Pembelajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Ramlan, M. Morfologi. Yogyakarta: CV Karyono, 2009.
Ratna, Nyoman Kutha. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Saeed, John I. Semantics. United Kingdom: Blackwell, 2003.
Sarosa, Samiaji. Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar. Jakarta: PT Index, 2012.
Subagyo, P. Joko. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta, 2015.
Subroto, D. Edi, dkk. Telaah Stilistika Novel Berbahasa Jawa Tahun 1980-an.
Jakarta: Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, 1999.
Subuki, Makyun. Semantik. Jakarta: Trans Pustaka, 2011.
Sukandarrumidi. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2012.
Sumardi dan Abdul Rozak Zaidan. Pedoman Pengajaran Apresiasi Puisi SLTP &
SMA. Jakarta. Balai Pustaka, 1997.
Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa, 1985.
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung; Angkasa, 1993.
Waridah, Ernawati. Kumpulan Majas, Pantun, dan Peribahasa Kesusastraan
Indonesia. Bandung: Ruang Kata, 2014.
Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung:
UPI Press, 2006.
WS, Hasanuddin. Membaca dan Menilai Sajak. Bandung: Angkasa, 2012.
LAMPIRAN 1
Data Puisi
1. Di Pemakaman
Kaukah yang menyapaku selamat pagi? Kita menundukkan kepaladi depan kapal-kapal yang terdampar, elang yang lelah,Angin berhenti. Aku pun membalasmu selamat pagidengan lirih.dan menundukkan kepala kembali. Kita tidak berhak tengadah kematahari,kita hanya akan menyihir alam: matahari akan menjelma api,bau kembang akan membusuk, suara burung akan menjelmaterompetdari lembah orang mati. Kita adalah tukang sihir, menunduklah,kita tak berhak tengadah ke matahariKini, saat ini, kau dan aku adalah orang-orang asing terkucildari alam. Kita bukan bagian dari suara dan warna,dan mesti menunduk. Pengembara-pengembara tak dikenal,dan tidak juga mau mengerti. Selamat pagi, katamu105
(1963)2. Pada Suatu Malam
Ia pun berjalan ke barat. Selamat malam, Solo,katanya sambil menunduk.seperti didengarnya sendiri suara sepatunyasatu per satu.barangkali lampu-lampu ini masih menyala buatku, pikirnya.kemudian gambar-gambar yang kabur dalam cahayaia sendiri saja, sahut-menyahut dengan malam,sedang dibayangkannya sebuah kapal di tengah lautanyang memberontak terhadap kesunyian.
sunyi adalah minuman keras. Beberapa orang membawaperempuan,beberapa orang bergerombol, dan satu-dua orangmenyindir diri sendiri; kadang memang tak ada lelucon lain.barangkali sejuta mata itu memandang ke arahku, pikirnya;ia pun berjalan ke barat, merapat ke masa lampau.
selamat malam, gereja. Hei, kaukah anak kecil
105 Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni Sepilihan Sajak , (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 3
yang dahulu menangis di depan pintuku itu? ia ingat kawan-kawannya pada suatu hari natal dalam gereja itu, dengan pakaian serba baru, bernyanyi; dan ia di luar pintu. ia pernah ingin sekali bertemu yesus, tapi ayahnya bilang yesus itu anak jadah. ia tak pernah tahu apakah ia pernah sungguh-sungguh mencintai ayahnya
barangkali malam ini yesus mencariku, pikirnya. tapi ia belum pernah berjanji kepada siapa pun untuk menemui atau ditemui; ia benci kepada setiap kepercayaan yang dipermainkan.
ia berjalan sendiri di antara orang ramai. seperti didengarnya seorang anak berdoa; ia tak pernah diajar berdoa ia pun suatu saat ingin meloloskan dirinya ke dalam doa, tetapi tak pernah mengetahui awal dan akhir sebuah doa; ia tak pernah tahu kenapa. barangkali seluruh hidupku adalah sebuah doa yang panjang, katanya sendiri; ia merasa seperti tentram dengan jawabannya sendiri: hidup adalah doa yang panjang. pagi tadi ia bertemu seseorang, ia sudah lupa namanya, lupa wajahnya: berdoa sambil berjalan …. ia ingin berdoa malam ini, tapi tak bisa mengakhiri, tak bisa menemukan kata penghabisan.
ia selalu merasa sakit dan malu setiap kali berpikir tentang dosa; ia selalu akan pingsan kalau berpikir tentang mati dan hidup abadi. barangkali tuhan seperti kepala sekolah, pikirnya ketika dulu ia masih di sekolah rendah. barangkali tuhan akan mengeluarkan dan menghukum murid yang nakal, membiarkannya bergelandangan dimakan iblis. barangkali tuhan sedang mengawasi aku dengan curiga, pikirnya mala mini, mengawasi seorang yang selalu gagal berdoa. apakah kamu juga pernah berdoa, tanyanya ketika berpapasan dengan seorang perempuan. Perempuan itu setangkai bunga; apakah ia juga pernah bertemu yesus, atau barangkali pernah juga dikeluarkan dari sekolahnya dulu.
selamat malam, langit, apa kabar selama ini? barangkali bintang-bintang masih berkedip buatku, pikirnya. Ia pernah membenci langit dahulu,
ketika musim kapal terbang seperti burung menukik: dan kemudian ledakan-ledakan (saat itu pulalah terdengar olehnya ibunya berdoa dan terbawa pula namanya sendiri). kadang ia ingin ke langit, kadang ia ingin mengembara saja ke tanah-tanah yang jauh; pada suatu saat yang dingin ia ingin lekas kawin, membangun tempat tinggal.
ia pernah merasa seperti si pander menghadapi angka-angka …. Ia pun tak berani memandang dirinya sendiri ketika pada akhirnya tak ditemukannya kuncinya. pada suatu saat seorang gadis adalah bunga. tetapi di lain saat menjelma sejumlah angka yang sulit. Ah, ia tak pernah berani berkhayal tentang biara.
ia takut membayangkan dirinya sendiri. Ia pun ingin lolos dari lampu-lampu dan suara-suara malam hari, dan melepaskan genggamannya dari kenyataan; tetapi disaksikannya: berjuta orang sedang berdoa, para pengungsi yang bergerak ke kerajaan tuhan, orang-orang sakit, orang-orang penjara, dan barisan panjang orang gila. ia terkejut dan berhenti, lonceng kota berguncang seperti sedia kala rekaman senandung duka nestapa.
seorang perempuan tertawa ngeri di depannya, menawarkan sesuatu ia menolaknya. ia tak tahu kenapa mesti menolaknya. barangkali karena wajah perempuan itu mengingatkannya kepada sebuah selokan, penuh dengan cacing; barangkali karena mulut perempuan itu menyerupai penyakit lepra; barangkali karena matanya seperti gula-gula yang dikerumini beratus semut. dan ia telah menolaknya, ia bersyukur untuk itu kepada siapa gerangan tuhan berpihak, gerutunya.
ia menyaksikan orang-orang berjalan, seperti dirinya, sendiri; atau membawa perempuan, atau bergerombol, wajah-wajah yang belum ia kenal dan sudah ia kenal, wajah-wajah yang ia lupakan dan ia ingat sepanjang zaman, wajah-wajah yang ia cinta dan ia kutuk, semua sama saja. barangkali mereka mengangguk padaku, pikirnya; barangkali mereka melambaikan tangan padaku setelah lama
berpisah atau setelah terlampau sering bertemu. Ia berjalan ke barat.
selamat malam. Ia mengangguk, entah kepada siapa; barangkali kepada dirinya sendiri. Barangkali hidup adalah doa yang panjang, dan sunyi adalah minuman keras. ia merasa Tuhan sedang memandangnya dengan curiga; ia pun bergegas. barangkali hidup adalah doa yang …. barangkali sunyi adalah …. barangkali Tuhan sedang menyaksikannya berjalan ke barat.106
(1964)
3. Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati
Bumi tak pernah membeda-bedakan. seperti ibu yang baik, diterimanya kembali anak-anaknya yang terkucil dan membusuk, seperti halnya bangkai binatang; pada suatu hari seorang raja, atau jenderal, atau pedagang, atau klerek --- sama saja;
dan kalau hari ini si penjaga kubur, taka da bedanya. Ia seorang tua yang rajin membersihkan rumputan, menyapu nisan, mengumpulkan bangkai bunga dan daunan; dan bumi pun akan menerimanya seperti ia telah menerima seorang laknat, atau pendeta, atau seorang yang acuh tak acuh kepada bumi, dirinya.
Toh akhirnya semua membusuk dan lenyap. yang mati tanpa genderang, si penjaga kubur ini, pernah berpikir: apakah balasan bagi jasaku kepada bumi yang telah kupelihara dengan baik; barangkali sebuah sorga atau ampunan bagi dusta-dusta masa mudanya. Tapi sorga belum pernah terkubur dalam tanah.
dan bumi tak pernah membeda-bedakan, tak pernah mencinta atau membenci; bumi adalah pelukan yang dingin, tak pernah menolak atau menanti, tak akan pernah membuat janji dengan langit.
lelaki tua yang rajin itu mati hari ini; sayang bahwa ia tak bisa menjaga kuburnya sendiri.107
106 Ibid, h. 5
(1964)
4. Berjalan di Belakang Jenazah
berjalan di belakang jenazah angin pun redajam mengerdiptak terduga betapa lekassiang menepi, melapangkan jalan dunia
di samping: pohon demi pohon menundukkan kepaladi atas: matahari kita, matahari itu jugajam mengambang di antaranyatak terduga begitu kosong waktu menghirupnya.108
(1967)
5. Lanskap
Sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tuawaktu hari hampir lengkap, menunggu senjaputih kita pun putih memandangnya setiasampai habis semua senja.109
(1967)
6. Sonet: Hei! Jangan Kau Patahkan!
Hei! Jangan kau patahkan kuntum bunga ituia sedang mengembang; bergoyang-goyang dahan-dahannya yang tuayang telah mengenal baik, kau tahu,segala perubahan cuaca.
Bayangkan: akar-akar yang sabar menyusup dan menjalarhujan pun turun setiap bumi hampir hangus terbakardan mekarlah bunga itu perlahan-lahandengan gaib, dari Rahim Alam.
Jangan; saksikan saja dengan telitibagaimana Matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diam
107 Ibid, h. 10-11 108 Ibid, h. 15 109 Ibid, h. 17
membunuhnya dengan hati-hati sekali dalam kasih sayang, dalam rindu-dendam Alam; lihat: ia pun terkulai perlahan-lahan dengan indah sekali, tanpa satu keluhan.110
(1967)
7. Ziarah
Kita berjingkat lewat jalan kecil ini dengan kaki telanjang; kita berziarah ke kubur orang-orang yang telah melahirkan kita. Jangan sampai terjaga mereka! Kita tak membawa apa-apa. Kita tak membawa kemenyan ataupun bunga kecuali seberkas rencana-rencana kecil (yang senantiasa tertunda-tunda) untuk kita sombongkan kepada mereka. Apakah akan kita jumpai wajah-wajah bengis, atau tulang-belulang, atau sisa-sisa jasad mereka di sana? Tidak, mereka hanya kenangan. Hanya batang-batang cemara yang menusuk langit yang akar-akarnya pada bumi keras. Sebenarnya kita belum pernah mengenal mereka; Ibu-bapa kita yang mendongeng tentang tokoh-tokoh itu, nenek moyang kita itu, tanpa menyebut-nyebut nama. Mereka hanyalah mimpi-mimpi kita, kenangan yang membuat kita merasa pernah ada. Kita berziarah; berjingkatlah sesampai di ujung jalan kecil ini: sebuah lapangan terbuka
batang-batang cemara angin.
Tak ada bau kemenyan tak ada bunga-bunga; mereka telah tidur sejak abad pertama, semenjak Hari Pertama itu. Tak ada tulang-belulang tak ada sisa-sisa jasad mereka Ibu-bapa kita sungguh bijaksana, terjebak kita dalam dongengan nina bobok.
110Ibid, h. 21
Di tangan kita berkas-berkas rencana, di atas kepala
sang Surya.111
(1967)
8. Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka
Ketika jari-jari bunga terbukamendadak terasa: betapa sengitcinta Kitacahaya bagai kabut, kabut cahaya; di langit
menyisih awan hari ini; di bumimeriap sepi yang purba;ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata, suatu pagidi sayap kupu-kupu, di sayap warna
suara burung di ranting-ranting cuaca,bulu-bulu cahaya: betapa parahcinta Kitamabuk berjalan, di antara jerit bunga-bunga rekah112
(1968)
9. Iring-Iringan di Bawah Matahari
/1/Matahari di depan pintu. bayang-bayangmu,seperti bermimpi, mendengarnya kembali(bisik-bisik di balik tembok, langkah-langkahbergegas naik-turu tangga. siut anginadi kain jendela, gaung detik jam:nyanyian yang menggugurkankelopak demi kelopak bunga) nyaring sekali
kau pun tiba-tiba melepaskan topi, begituhati-hati, sebelum menyusur gua siangsepanjang matahari, berdesakan baying-bayang
111 Ibid, h. 22-23 112 Ibid, h. 27
“selamat jalan, musafir, barangkali di antara kita menghalang sudah sorga itu semenjak hari ini
ketika upacara dimulai semakin jauh bintang kecil di langit yang tinggi, semakin asing surat-surat cinta, tersesat di bawah matahari purba.
/2/ Iring-iringan bunga, iring-iringan bangkai; matahari: dicucinya angkasa dari bau busuk mimpimu siang ini, dan tak diajaknya bercakap kau perihal cuaca. diam-diam kau pun mengancingkan leher bajumu : alangkah dingin cahaya ini, memantul di keranda, memercik…
bukankah bagai nyanyian bersama cahaya menyilaukan itu (yang selalu terucap dalam igauanmu, yang tak pernah meninggalkan jejak, yang selalu tiba-tiba gaib setiap kali kau begitu rindu)
/3/ Tiba-tiba angina kemarau debu dan sobekan-sobekan kertas (barangkali surat kelahiran, barangkali Lelayu, barangkali….) tiba-tiba saja Sempurna lingkaran itu
tiba-tiba kau pun menjelma sunyi ruang kosong antara bumi dan matahari; sebelum tikungan ada yang bertanya, “tapi kau pergi ke mana, saudara?”
(“kapan kau berangkat, saudara?” “hai, ini sudah jam berapa?” “kalau hujan sudah jatuh nanti” “ya, tapi…” seseorang berdiri di ambang pintu kemarin: menunggu, atau ditunggu,
atau menunggu, atau…. “hei, ini hari apa, saudara?”)
/4/ sebelum tikungan itu harus kau kerjakan sesuatu: melihat arloji, atau menerka letak matahari, atau memungut bunga yang rontok dari peti mati; ya, sebelum tikungan harus tersusun kembali pikiranmu yang keriput di bawah matahari, gugup di antara gumam iring-iringan ini
tetapi tiada nina bobok hari ini hanya cahaya gilang gemilang yang sejak dulu menyisir debu, sobek-sobekan kertas, menyisir rambutmu yang mulai memutih di pelipis itu
tiba-tiba kau merasa dahaga sekali sebelum tikungan itu
/5/ Barangkali terdengar gerit engsel pintu menutup ketika kau pun harus memilih, ketika kau pun harus segera menentukan pilihan: jam yang sudah ditetapkan bumi yang dulu melahirkanmu dan berturutan suara pintu, menutup di belakangmu, di depanmu, di atasmu (seperti ada yang mengajakmu bercakap, yang menyentuh-nyentuh bahumu yang mengulang-ulang pertanyaan itu yang nafasnya di telingamu) ketika kau tiba-tiba mengerti sudah sepenuhnya berdiri di anak tangga penghabisan - tiba-tiba sepenuhnya mengerti harus memilih dongengan itu
(daun terakhir pohon kedondong gugurlah di puncak kemarau, tanda bahwa segera bermuatan bunga-bunga – ketika ia berkata: “kutinggalkan Rumah itu Setelah tak berjumpa Siapa pun di sana; barangkali kau ingat Pembunuhan itu ya, berkas darah di telapak tangan kita:
barangkali memang tak ada janji itu”
telanjang ia ketika bayang-bayangnya rebah siap bermuat bunga-bunga)
/6/ tinggal matahari. dicucinya angkasa dari bau busuk sementara kau menoleh lupa akan namamu sendiri yang kemarin, yang kemarin dulu, yang selalu mencoretkan lambang-lambang gaib di kalender tua itu: yang senantiasa kau tolakkan dan kau terima kembali dalam gelap utuh dan lengkap
“ampunilah hamba-Mu ini antara pasti dan tak pasti beranjak dari tepi ke tepi tiba di sini”
tinggal matahari. sementara kau menoleh: isyarat-isyarat buta di batas mimpi dan jaga kau pun tak menyahutnya sebab kata dieprmainkan angin kemarau sebab mata berkedip di cahaya silau
“ampunilah hamba-Mu ini di balik pintu terkunci”
kini matahari. kau sepenuhnya sendiri113 (1969)
10. Malam itu Kami di Sana
“kenapa kau bawa aku kemari, Saudara?”; sebuah stasiun di dasar malam. Bayang-bayang putih di sudut peron menyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak letihnya meloncat, merapat ke Sepi. Barangkali saja
Kami sedang menanti kereta yang biasa tiba setiap kali tiada seorang pun siap memberi tanda-tanda;
113 Ibid, h. 39-43
barangkali saja kami sekadar ingin berada di sini ketika tak ada yang bergegas, yang cemas, yang menanti-nanti;
hanya nafas kami, menyusur batang-batang rel, mengeras tiba-tiba; sinyal-sinyal kejang, lampu-lampu kuning yang menyusut di udara sementara bayang-bayang putih di seluruh ruangan, “Tetapi katakan dahulu, Saudara, kenapa kau bawa aku kemari?”114
(1970)
11. Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago
“siapakah namamu?” barangkali aku setengah tertidur waktukau tanyakan itu lagi. Bangku-bangku yang separo kosong,beberapa wajah yang seperti mata tombak, dan dari jendela:siluet di atas dasar hitam. Aku pun tak pernah menjawabmu,bahkan ketika kau tanyakan jam berapa saat kematianku, sebabkau toh tak pernah ada tatkala aku sepenuhnya terjaga.
Baiklah, hari ini kita namakan saja ia ketakutan, atau apa sajalah. Disaat lain barangkali ia menjadi milik seorang pahlawan, atauseorang budak, atau Pak Guru yang mengajaranak-anak bernyanyi – tetapi manakah yang lebih derasdenyutnya, jantung manusia atau arloji (yang biasamenghitung nafas kita), ketika seorang membayangkansepucuk pestol teracu ke arahnya? Atau tak usah saja kitanamakan apa-apa; kau pun sibuk mengulang-ulangpertanyaan yang itu-itu juga, sementara aku hanya separoterjaga.
Seandainya –115
(1971)
12. Tentang Matahari
Matahari yang di atas kepalamu ituadalah balonan gas yang terlepas dari tanganmuwaktu kau kecil, adalah bola lampuyang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
114 Ibid, h. 46 115 Ibid, h. 51
yang teratur kau terima dari sebuah Alamat, adalah jam weker yang berdering saat kau bersetubuh, adalah gambar bulan yang dituding anak kecil itu sambil berkata: “Ini matahari! Ini matahari!” – Matahari itu? Ia memang di atas sana supaya selamanya kau menghela bayang-bayangmu itu.116
(1971)
13. Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari
Waktu aku berjalan ke barat waktu pagi matahari mengikutikudi belakangaku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjangdi depanaku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kamiyang telah menciptakan bayang-bayangaku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antarakami yang harus berjalan di depan.117
(1971)
14. Telur, 2
dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burungsemoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yangsenantiasa terbang menembus silau matahari memecah udaradingin memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungaimerindukan telur118
(1973)
15. Muara
116 Ibid, h. 54 117 Ibid, h. 55 118 Ibid, h. 67
Muara yang tak pernah pasti sifatnya selalu mengajak laut bercakap. Kalau kebetulan dibawanya air dari gunung, katanya, “Inilah lambang cinta sejati, sumber denyut kehidupan.” Kalau hanya sampah dan kotoran yang dimuntahkannya ia berkata, “Tentu saja bukan maksudku mengotori hubungan kita yang suci, tentu saja aku tak menghendaki sisa-sisa ini untukmu.” Dan ketika pada suatu hari ada bangkai manusia terapung di muara itu, di sana-sini timbul pusaran air, dan tepi-tepi muara itu tiba-tiba bersuara ribut, “Tidak! Bukan aku yang memberinya isyarat ketika ia tiba-tiba berhenti di jembatan itu dan tanpa memejamkan mata, membiarkan dirinya terlempar ke bawah dan, sungguh, aku tak berhak mengusutnya sebab bahkan lubuk-lubukku, dan juga lubuk-lubukmu, tidaklah sedalam …”119
(1973)
16. Di Banjar Tunjuk, Tabanan
pemukul gendang itu membayangkan dirinya Rama yang mengiringkan Sita memasuki hutan pemukul gendang itu membayangkan dirinya Garuda yang mencengkram Sita di antara kuku-kukunya pemukul gendang itu membayangkan dirinya Rawana yang memperkosa Sita di Taman Raja ketika gong dipukul keras di tengah cerita ia tiba-tiba merasa beratus-ratus kera berloncatan mengepungnya dan merobek-robek tubuhnya dan menguburkannya di bawah tumpukan batu di dasar laut.120
(1973)
17. Bunga, 1
(1) Bahkan bunga rumput itu pun berdusta . Ia rekah di tepi padang waktu hening pagi terbit; siangnya cuaca berdenyut ketika nampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu; malam hari ia mendengar seru serigala Tapi katanya, “Takut? Kata itu milik kalian saja, para
119 Ibid, h. 69 120 Ibid, h. 71
manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!”
(2) Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia kembang di
sela-sela geraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apapun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangkai dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api …
Teriaknya, “Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!”121
(1975)
18. Bunga, 2
mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin berkata jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isyaratnya – tak ada alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan menjelma pendar-pendar di permukaan kolam.122 (1975)
19. Benih
“Cintaku padamu, Adinda,” kata Rama “adalah laut yang pernah bertahun memisahkan kita, adalah langit yang senantiasa memayungi kita , adalah kawanan kera yang di gua Kiskenda. Tetapi…,” Sita yang hamil itu tetap diam sejak semula, “kau telah tinggal dalam sangkar raja angkara itu bertahun lamanya, kau telah tidur di ranjangnya, kau bukan lagi rahasia baginya.” Sita yang hamil itu tetap diam: pesona. “Tetapi Raksaksa itu ayahandamu sendiri, benih yang menjadikanmu, apakah ia juga yang membenihimu, apakah…” Sita yang hamil itu tetap diam, mencoba menafsirkan kehendak para dewa.123
121 Ibid, h. 75 122 Ibid, h, 76 123 Ibid, h. 92
(1981)
20. Aku Ingin
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:dengan kata yang tak sempat diucapkankayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:dengan isyarat yang tak sempat disampaikanawan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(1989)
LAMPIRAN 2
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Satuan Pendidikan : SMK Tunas Harapan
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : XI/2
Materi Pokok : Puisi
Pertemuan Ke : 12-16
Jumlah Pertemuan : 4 x pertemuan
Alokasi Waktu : 4 x 45 menit
A. Kompetensi Inti
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,
peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan
pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial
dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam
pergaulan dunia
3. Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan
faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan
humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan
peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan
pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan
bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
4. Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah
abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah
secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan
B. Kompetensi Dasar
3.16 Mengidentifikasi suasana, tema, dan makna beberapa puisi yang
terkandung dalam antologi puisi yang diperdengarkan atau dibaca.
4.16 Mendemonstrasikan (membacakan atau memusikalisasikan) satu puisi
dari antologi puisi atau kumpulan puisi dengan memerhatikan vokal,
ekspresi, dan intonasi (tekanan dinamik dan tekanan tempo)
3.17 Menganalisis unsur pembangun puisi.
4.17 Menulis puisi dengan memerhatikan unsur pembangunnya
C. Indikator Pencapaian Kompetensi
1. Menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah dan konteks untuk
mempersatukan bangsa sebagai tanda syukur atas anugerah Tuhan akan
keberadaan bangsa Indonesia
2. Menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi dalam
memahami, menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis
melalui teks observasi, teks eksplanasi, teks negosiasi, teks biografi, puisi
dan ulasan karya.
3. Menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi dalam
mengolah, menalar, dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui
teks observasi, teks eksplanasi, teks negosiasi, teks biografi, puisi dan
ulasan karya.
4. Menunjukkan perilaku tidak menjiplak pada kegiatan menulis teks
observasi, teks eksplanasi, teks negosiasi, teks biografi, puisi dan ulasan
karya
5. Menganalisis unsur pembangun puisi
6. Menyimpulkan makna, suasana, tema dari puisi yang dibaca.
7. Menanggapi salah satu pembacaan puisi dari kumpulan puisi sastrawan.
D. Tujuan Pembelajaran
1. Siswa terbiasa menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah dan
konteks
2. Siswa dapat mengenali unsur yang terdapat dalam puisi
3. Siswa dapat menyimpulkan makna, suasana dan tema dalam puisi
4. Siswa dapat menanggapi pembacaan puisi.
5. Siswa dapat membuat puisi dan membacakannya di depan kelas.
6. Siswa dapat mengidentifikasi unsur pembangun puisi
E. Materi Pembelajaran
1. Contoh puisi
2. Unsur dan jenis-jenis puisi
F. Model/Metode Pembelajaran
1. Pendekatan Pembelajaran Scientific
2. Model Pembelajaran Berbasis Penemuan (Discovery Based Learning)
3. Metode Diskusi, Penugasan
G. Media Pembelajaran
1. Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono
H. Sumber Belajar
Buku Bahasa Indonesia Kelas X, KBBI V offline, Internet
I. Langkah-langkah Pembelajaran
Pertemuan ke-1: (2 x 45 menit)
Kegiatan Alokasi
Waktu
A. Pendahuluan/Kegiatan awal 15 menit
1. Orientasi
a. Melakukan pembukaan dengan salam pembuka dan berdoa
untuk memulai pembelajaran
b. Memeriksa kehadiran peserta didik sebagai sikap disiplin
c. Menyiapkan fisik dan psikis peserta didik dalam mengawali
kegiatan pembelajaran.
2. Apersepsi
a. Mengaitkan materi pembelajaran yang akan dilakukan dengan
pengalaman peserta didik dengan tema sebelumnya, yaitu :
Materi Pelajaran Kelas X: Puisi
b. Mengingatkan kembali materi prasyarat dengan bertanya.
Mengajukan pertanyaan yang ada keterkaitannya dengan
pelajaran yang akan dilakukan.
3. Motivasi
a. Memberikan gambaran tentang manfaat mempelajari
pelajaran yang akan dipelajari.
b. Apabila materi ini dikuasai dengan baik, maka peserta didik
diharapkan dapat menjelaskan tentang :
1) Unsur-unsur dalam puisi
2) Tema, suasana, makan dalam puisi
c. Menyampaikan tujuan pembelajaran pada pertemuan yang
berlangsung
d. Mengajukan pertanyaan.
4. Pemberian Acuan;
a. Memberitahukan materi pelajaran yang akan dibahas pada
pertemuan saat itu.
b. Memberitahukan tentang standar kompetensi, kompetensi
dasar, indikator, dan KKM pada pertemuan yang berlangsung
c. Pembagian kelompok belajar
d. Menjelaskan mekanisme pelaksanaan pengalaman belajar
sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran.
B. Kegiatan Inti
1. Peseta didik mengamati contoh puisi
2. Peserta didik diarahkan untuk memahami dan mempelajari tema,
suasana dan makna puisi dari sumber belajar lain yang relevan
3. Peserta didik diberi kesempatan menanyakan hal-hal yang kurang
jelas seputar tema, suasana, dan makna puisi
4. Peserta didik dan guru mendiskusikan jawaban terkait materi
5. Guru memberikan soal terkait tema, suasana dan makna puisi
untuk dikerjakan secara individu
60 menit
C. Kegiatan penutup
1. Guru memberikan arahan kegiatan berikutnya dan tugas
pengayaan
(Siswa ditugaskan mencari satu puisi dari kumpulan puisi Hujan
Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono)
15 menit
Pertemuan ke-2: (2 x 45 menit)
Kegiatan Alokasi Waktu
A. Pendahuluan/Kegiatan awal
1. Orientasi
a. Melakukan pembukaan dengan salam pembuka dan berdoa
untuk memulai pembelajaran
b. Memeriksa kehadiran peserta didik sebagai sikap disiplin
c. Menyiapkan fisik dan psikis peserta didik dalam
mengawali kegiatan pembelajaran.
15 menit
2. Apersepsi
a. Mengaitkan materi pembelajaran yang akan dilakukan
dengan pengalaman peserta didik dengan pelajaran
sebelumnya
b. Mengingatkan kembali materi prasyarat dengan bertanya.
c. Mengajukan pertanyaan yang ada keterkaitannya dengan
pelajaran yang akan dilakukan.
3. Motivasi
a. Memberikan gambaran tentang manfaat mempelajari
pelajaran yang akan dipelajari.
b. Menyampaikan tujuan pembelajaran pada pertemuan yang
berlangsung
c. Mengajukan pertanyaan.
4. Pemberian Acuan;
a. Memberitahukan materi pelajaran yang akan dibahas pada
pertemuan saat itu.
b. Memberitahukan tentang standar kompetensi, kompetensi
dasar, indikator, dan KKM pada pertemuan yang
berlangsung
c. Pembagian kelompok belajar
d. Menjelaskan mekanisme pelaksanaan pengalaman belajar
sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran.
B. Kegiatan Inti
1. Peseta didik mengamati penjelasan guru tentang
menginterpretasi makna, suasana dan tema puisi
2. Peserta didik diarahkan untuk memahami makna puisi yang
sudah dibaca
3. Peserta didik diberi kesempatan menanyakan hal-hal yang
kurang jelas seputar materi yang dijelaskan
60 menit
4. Peserta didik membuat pertanyaan seputar tema, suasana, dan
makna puisi yang sudah dibaca.
C. Kegiatan penutup
1. Guru memberikan arahan kegiatan berikutnya dan tugas
pengayaan
(peserta didik menentukan makna, tema, dan puisi Sapardi
Djoko Damono berjudul ‘Aku Ingin’ dan ‘Berjalan ke Barat
Waktu Pagi Hari)
15 menit
Pertemuan ke- 3: (2 x 45 menit)
Kegiatan Waktu
A. Pendahuluan/Kegiatan awal
1. Orientasi
a. Melakukan pembukaan dengan salam pembuka dan
berdoa untuk memulai pembelajaran
b. Memeriksa kehadiran peserta didik sebagai sikap
disiplin
c. Menyiapkan fisik dan psikis peserta didik dalam
mengawali kegiatan pembelajaran.
2. Apersepsi
a. Mengaitkan materi pembelajaran yang akan dilakukan
dengan pengalaman peserta didik dengan pelajaran
sebelumnya
b. Mengingatkan kembali materi prasyarat dengan
bertanya.
c. Mengajukan pertanyaan yang ada keterkaitannya
dengan pelajaran yang akan dilakukan.
15 menit
3. Motivasi
a. Memberikan gambaran tentang manfaat mempelajari
pelajaran yang akan dipelajari.
b. Menyampaikan tujuan pembelajaran pada pertemuan
yang berlangsung
c. Mengajukan pertanyaan.
4. Pemberian Acuan;
a. Memberitahukan materi pelajaran yang akan dibahas
pada pertemuan saat itu.
b. Memberitahukan tentang standar kompetensi,
kompetensi dasar, indikator, dan KKM pada pertemuan
yang berlangsung
c. Pembagian kelompok belajar
d. Menjelaskan mekanisme pelaksanaan pengalaman
belajar sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran.
B. Kegiatan Inti
1. Peseta didik mengamati penjelasan guru tentang unsur-unsur
dalam puisi
2. Peserta didik diarahkan untuk memahami unsur-unsur tersebut
3. Peserta didik membahas unsur-unsur dalam puisi termasuk
diksi dan gaya bahasa
4. Peserta didik diberi kesempatan menanyakan hal-hal yang
kurang jelas seputar materi yang dijelaskan
60 menit
C. Kegiatan penutup
1. Guru memberikan arahan kegiatan berikutnya dan tugas
pengayaan
(peserta didik diberi tugas membuat satu buah puisi di rumah
dengan menyertakan minimal 3 buah gaya bahasa
perbandingan)
15 menit
Pertemuan ke-4 : (2 x 45 menit)
Kegiatan Alokasi Waktu
A. Pendahuluan/Kegiatan awal
1. Orientasi
a. Melakukan pembukaan dengan salam pembuka dan berdoa
untuk memulai pembelajaran
b. Memeriksa kehadiran peserta didik sebagai sikap disiplin
c. Menyiapkan fisik dan psikis peserta didik dalam
mengawali kegiatan pembelajaran.
2. Apersepsi
a. Mengaitkan materi pembelajaran yang akan dilakukan
dengan pengalaman peserta didik dengan pelajaran
sebelumnya
b. Mengingatkan kembali materi prasyarat dengan bertanya.
c. Mengajukan pertanyaan yang ada keterkaitannya dengan
pelajaran yang akan dilakukan.
3. Motivasi
a. Memberikan gambaran tentang manfaat mempelajari
pelajaran yang akan dipelajari.
b. Menyampaikan tujuan pembelajaran pada pertemuan yang
berlangsung
c. Mengajukan pertanyaan.
4. Pemberian Acuan;
a. Memberitahukan materi pelajaran yang akan dibahas pada
pertemuan saat itu
b. Memberitahukan tentang standar kompetensi, kompetensi
15 menit
dasar, indikator, dan KKM pada pertemuan yang
berlangsung
c. Menjelaskan mekanisme pelaksanaan pengalaman belajar
sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran.
B. Kegiatan Inti
1. Peseta didik menyerahkan tugas membuat puisi
2. Peserta didik dan guru membahas cara membuat puisi yang
baik
3. Peserta didik diberi kesempatan menanyakan hal-hal yang
kurang jelas seputar materi yang dijelaskan
60 menit
C. Kegiatan penutup
1. Guru memberikan arahan kegiatan berikutnya dan tugas
pengayaan
15 menit
J. Penilaian
1. Teknik penilaian: pengamatan dan tes tertulis
2. Prosedur penilaian:
a. Penilaian Proses
No. Aspek yang
Dinilai
Teknik
Penilaian
Waktu
Penilaian
Instrumen
Penilaian
Ket.
1. Religius Pengamatan Selama
pembelajaran
dan saat
diskusi
Lembar
Pengamatan 2. Tanggung
jawab
3. Imajinatif
4. Responsif
5. Santun
b. Penilaian Hasil
1) Tes Tertulis (pengetahuan)
Indikator Pencapaian
Kompetensi
Teknik
Penilaian
Bentuk
Penilaian
Instrumen
Memahami tema, suasana,
dan makna dalam puisi
Tes tertulis Isian Jelaskan makna yang
terkandung dalam puisi
tersebut!
Pedoman Penskoran
Soal nomor 1
2) Tes praktik-proyek ( keterampilan )
Interpretasilah makna puisi terlampir!
Aspek Skor
Siswa menjawab benar 100
Siswa menjawab tidak lengkap 60
Siswa menjawab salah 20
No. Aspek Deskripsi Ya Tidak
1. Ketepatan
interpretasi
makna puisi
Sudah tepatkah interpretasi
makna puisi?
Rubrik Penilaian Keterampilan menginterpretasi makna puisi
Mengetahui, Jakarta, April 2019
Kepala SMK Tunas Harapan Guru Mata Pelajaran
Winartono, S.H. Titih Sundari
2. Ketepatan
penggunaan
bahasa dan ejaan
Apakah penggunaan bahasa dalam
menginterpretasi makna makna puisi
sesuai dengan kaidah kebahasaan?
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(1989)
Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari
waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku
di belakang
aku berjalan mengikuti baying-bayangku sendiri yang memanjang
di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami
yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara
kami yang harus berjalan di depan
(1971)
A. Pengertian Puisi
Puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan
kaya makna. Keindahan sebuah puisi disebabkan oleh diksi, majas, rima dan
irama yang terkandung dalam karya sastra tersebut.
Puisi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
1. Terdapat pemadatan segala unsur kekuatan bahasa
2. Memperhatikan irama dan bunyi
3. Berisi ungkapan pikiran dan perasaan penyair berdasarkan pengalaman
dan bersifat imajinatif.
4. Bahasa bersifat konotatif.
Unsur-unsur dalam puisi
1. Nada dan suasana dalam puisi
2. Tema puisi
3. Makna puisi
B. Mendemonstrasikan Teks Puisi
1. Membacakan Teks Puisi
a. Pelafalan
b. Intonasi
c. Ekspresi
2. Musikalisasi Puisi
C. Unsur Bahasa Teks Puisi
1. Diksi atau Pilihan Kata
2. Imajinasi/Pengimajian
3. Kata Konkret
4. Majas atau Bahasa Figuratif
5. Rima dan Ritma
D. Menulis Teks Puisi
1. Tentukan tema puisi.
2. Tuliskan apa yang ada di hati sejelas mungkin sesuai dengan tema
yang dipilih.
3. Kembangkan pilihan kata yang sudah Anda pilih ke dalam larik-larik
beraturan.
4. Susunlah larik-larik puisi menjadi bait dengan memperhatikan rima
atau persamaan bunyi.
5. Berilah judul puisi yang Anda buat.
BIODATA PENULIS
Titih Sundari, NIM 1112013000052.
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2019.
Penulis lahir di Jakarta, 3 Januari 1995.
Bertempat tinggal di Jalan Sumur Batu RT
003/07, Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan
Kemayoran, Jakarta Pusat. Penulis
merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Orang tua penulis adalah
Almarhum Bapak Jamaludin dan Almarhumah Ibu Titin Suprihatin. Sejak
duduk di bangku SD, penulis sudah gemar menulis puisi. Oleh karena itu,
ketika mulai mengajar penulis adalah orang yang menggagas ekstrakulikuler
baru bernama “RUANG SASTRA” di SMK Tunas Harapan, Grogol
Petamburan, Jakarta Barat.
Riwayat Pendidikan penulis, SD Negeri Cempaka Baru 06 petang, lulus
tahun 2006, SMP Negeri 228 Jakarta, lulus tahun 2009, SMK Negeri 44
Jakarta, Jurusan Administrasi Perkantoran, lulus tahun 2012, dan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.