Download - Gangguan konversi
BAB I
PENDAHULUAN
Kondisi somatoform meliputi diagnosis berikut : gangguan somatisasi,
gangguan konversi, gangguan nyeri somatoform, hypochondriasis, gangguan
dismorfik tubuh berubah menjadi somatoform-illnes. Batasan dari gangguan ini
sangat halus, dan baru- baru ini telah diusulkan bahwa empat dari gangguan
kondisi somatisasi, hypochondriasis, dan penyakit somatoform diklasifikasikan
dalam gangguan somatik kompleks.1
Gangguan konversi merupakan suatu kondisi dimana pasien mengeluhkan
gejala sensorik atau motorik sebagai manifestasi dari stres atau konflik tak sadar
yang tidak dapat dikaitkan dengan proses patofisiologis. Histeria masih dianggap
stigma yang sering dikaitkan dengan perilaku berbohong atau berpura-pura sakit.
Namun, defenisi ini telah lama ada, tetapi ini masih gagal dipahami dokter,
paramedis dan keluarga pasien (serta orang- orang dari populasi umum).
Gangguan konversi tidak sama dengan dengan berpura- pura sakit yang biasanya
gejala atau gangguan yang dibuat-buat.1, 2
Slater dan Glithero menyatakan penyakit organik ditemukan 2 kasus dari 3
kasus dalam 10 tahun terakhir. Stone, dkk. menunjukkan pada kenyataannya
bahwa tingkat kesalahan diagnostik menurun dari waktu ke waktu. Namun,
peningkatan dari diagnosis kurang berhubungan dengan kemajuan di bidang
kedokteran (seperti pengembangan dari neuroimaging) dari peningkatan kriteria
studi metodologi dan evaluasi. Dengan demikian tingkat misdiagnosis saat
1
gangguan konversi ditegakkan 4%, sebanding dengan tingkat kesalahan diagnosis
untuk skizofrenia (8%). 2
Gangguan konversi lebih sering terjadi pada wanita dan anggota kelompok
sosial dengan ekonomi rendah. Onsetnya biasa dimulai pada masa remaja, dan
tidak berkelanjutan. Salah satu gangguan konversi yang tidak biasa adalah
pesudocyesis atau “Hysterical Pregnancy”, yang meliputi gejela fisik kehamilan
(bahkan amenore) tanpa adanya suatu kehamilan yang benar.1
2
BAB II
GANGGUAN KONVERSI
2.1 DEFENISI
Gangguan konversi adalah gangguan pada fungsi tubuh yang tidak sesuai
dengan konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf dan tepi. Hal ini secara
terjadi dengan adanya stres dan menuculkan disfungsi berat. Kumpulan gejala
yang saat ini disebut dengan gangguan konversi dengan gangguan somatisasi,
dikenal dengan sebutan histeria, reaksi konversi atau reaksi disosiatif.3
2.2 EPIDEMIOLOGI
Beberapa gejala- gejala konversi yang tidak cukup parah untuk dapat
didiagnosis sebagai gangguan konversi dapat terjadi pada 1/3 populasi umum
pada suatu hari dalam hidupnya. Satu komunitas melaporkan insiden tahunan 22
per 100.000 orang. Beberapa penelitian melaporkan terdapat 5%-15% kasus
gangguan konversi pada konsultasi psikiatrik di rumah sakit umum, dan 25% -
30% dari pasien yang dirawat di sebuah rumah sakit veteran (Amerika). DSM-IV-
TR memberikan kisaran dari yang paling rendah 11 kasus sampai yang tertinggi
500 kasus gangguan konversi per 100.000 populasi.3
Rasio wanita dibanding pria 2:1 sampai 10:1. Pada anak-anak, anak
perempuan juga lebih tinggi angka kejadiannya dibandingkan anak laki- laki. Pria
dengan gangguan ini sering kali mengalami kecelakaan kerja atau kecelekaan
militer. Awitan gangguan konversi dapat terjadi kapan pun, dari usia kanak-
kanak sampai usia tua, namun yang tersering pada remaja dan dewasa muda.
Gangguan ini juga banyak terjadi pada populasi pedesaan, individu dengan strata
3
pendidikan yang rendah, tingkat kecerdasan rendah, kelompok sosioekonomi
rendah, dan anggota militer yang pernah terpapar dengan situasi peperangan.
Gangguan ini sering berkormobiditas dengan gangguan depresi, gangguan cemas,
skizofrenia, dan frekuensinya meningkat pada keluarga yang anggotanya
menderita gangguan konversi.3
2.3 ETIOLOGI
Gangguan konversi mengacu pada hipotesis berdasarkan etiologi
psikologis. Bahkan secara historis, faktor psikologis dan emosional, seperti
trauma, konflik atau tekanan sebagai faktor penyebab gangguan konversi.
Penjelasan ini juga kembali tercermin dalam berbagai hal alternatif yang digunkan
untuk menggambarkan gangguan konversi seperti psikologis, psikogenik,
psikosomatis, atau bahkan histeria. 4
Faktor psikodinamik 3
1. Teori psikoanalisis, (1895/1982), Breuer dan freud : gangguan konversi
disebabkan oleh represi konflik-konflik intrapsikik yang tak disadari dan
konversi dari kecemasan ke dalam gejala fisik. Konflik terjadi antara
dorongan intink (agresi atau seksual) melawan larangan untuk
mengekspresikan hal tersebut.
2. Teori pembelajaran, : Menurut conditioned learning theory, gejala
konversi dapat dilihat sebagai perilaku yang dipelajari secara klasik
conditioning. Gejala- gejala penyakit yang dipelajari sejak masa kanak,
akan digunakan sebagai coping dalam situasi yang tak disukainya.
4
3. Teori biologi, Brain imaging: hipometabolisme pada hemisphere
dominan sehingga komunikasi antar hemisfer terganggu akibatnya
terjadilah gangguan konversi, peningkatan aktivitas corteks serebral, dan
neuro psychologik test: ada gangguan pada komunikasi verbal, memori,
vigilance (kewaspadaan), perhatian.
4. Teori behavioral, Ullman&Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring,
2004), terjadi karena individu mengadopsi simtom untuk mencapai suatu
tujuan. Individu berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan
mereka mengenai bagaimana seseorang dengan penyakit yang
mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik, akan bereaksi.
Faktor biologis
Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipometabolisme di
daerah hemisfer dominan dan hipermetabolisme di hemisfer nondominan, yang
berdampak pada terganggunya komunikasi antar hemisfer sehingga menimbulkan
gejala konversi. 3
Gejala dapat disebabkan karena area kortikal terangsang berlebihan
sehingga menimbulkan umpan balik negatif antara korteks serebral dan formasi
retikuler batang otak. Sebaliknya output kortifugal yang meningkat akan
menghambat kesadaran pasien akan sensasi tubuh, yang menjelaskan mengapa
pada pasien konversi terdapat defisit sensorik Tes neuropsikologis kadang-
kadang menunjukkan gangguan serebral ringan dalam komunikasi, daya ingat,
kewaspadaan, afek, dan atensi pada pasien gangguan konversi. 3
5
2.4 GAMBARAN KLINIS
Gejala gangguan konversi yang paling sering muncul adalah paralisis, buta
dan dan mutisme. Gangguan konversi sering kali berkaitan dengan gangguan
kepribadian pasif-agresif, dependen, antisosial, dan histrionik. Gejala depresi dan
cemas sering menyertai gejala gangguan konversi, dan pasien- pasien ini berisiko
tinggi mengalami bunuh diri.3
Gejala sensosrik yang sering timbul adalah anastesi dan parastesi, terutama
pada ekstremitas. Gejala gangguan konversi dapat melibatkan organ sensorik
khusus dan menimbulkan ketulian, kebutaan dan penglihatan terowongan (tunnel
vision). Gejala dapat unilateral maupun bilateral, namun evaluasi neurologis
menunjukkan jaras sensorik yang intak. Pada gangguan konversi dengan
kebutaan, pasien berjalan tanpa menabrak atau mencederai diri, pupil bereaksi
terhadap cahaya, dan bangkitan potensial kortikal juga normal. 3
Gejala motorik terdiri atas gerak abnormal, gangguan gaya berjalan,
kelemahan dan paralisis. Mungkin terdapat tremor ritmik kasar, gerak koreoform,
tik, dan menghentak- hentak. Gerakan tersebut memburuk bila pasien mendapat
perhatian. Gangguan motor yang sering adalah paralisis dan paresis yang
mengenai dua atau seluruh anggota tubuh, meskipun demikian distribusi dari otot
yang terlibat tak sesuai dengan jaras persarafan. Refleks tetap normal, tidak
terdapat fasikulasi maupun atrofi otot, kecuali setelah paralisis konversinya terjadi
sudah lama. 3
6
Gejala bangkitan berupa pseudo-seizures merupakan gejala yang mungkin
didapat pada gangguan konversi. Namun sekitar 1/3 pasien dengan pseudo-
seizures juga disertai dengan epilepsi. 3
Keuntungan primer (primary gain) merupakan keadaan dimana pasien
memperoleh keuntungan primer dengan mempertahankan konflik internal di luar
kesadarannya. Gejala memiliki nilai simbolik, yang mencerminkan konfilik
psikologis di bawah sadar. 3
Keuntungan sekunder (secondary gain) keadaan dimana pasien
memperoleh keuntungan nyata menjadi sakit, misalnya : dibebaskan dari
kewajiban dalam situasi kehidupan yang sulit, mendapat dukungan dan bimbingan
dalam situasi normal tak akan didapatkannya, dapat mengontrol perilaku orang
lain. 3
2.5 DIAGNOSIS
Diagnosa gangguan konversi sangat sulit. Stone, dkk melaporkan kasus
gangguan konversi 4% positif palsu dan gangguan konversi kombinasi dengan
gangguan somatik 10 – 25% kasus.
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Konversi menurut DSM-IV-TR :
Satu atau lebih gejala/defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau
sensorik yang mengarah pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain,
disertai dengan kejang/konvulsi.
7
Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala/defisit
karena awal atau eksaserbasi dari gangguan ini biasanya didahului oleh
konflik atau stresor lain.
Tidak ditimbulkkan secara sengaja atau dibuat-buat
Gejala atau defisit (setelah penelitian yang diperlukan) tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek langsung
suatu zat, atau sebagai perilaku atau pengalaman yang diterima secara
kultural.
Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau
memerlukan pemeriksaan medis.
Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak
terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak dapat
diterangkan dengan lebih baik oleh gangguan mental lain.
Dalam PPDGJ-III gangguan konversi mengarah pada gangguan
disosiatif. Gangguan konversi dipertimbangkan sebagai mekanisme
pertahanan diri menghadapi trauma psikologik. Gangguan Konversi adanya
kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (dibawah kendali
kesadaran) antara:5
- ingatan masa lalu,
- kesadaran akan identitas dan peng-indera-an segera (awareness of identity
and immediate sensations), dan
- kontrol terhadap gerakan tubuh.
8
Untuk diagnosis pasti maka hal-hal berikut ini harus ada :
1. Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang
tercantum pada F44.
2. Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala
tersebut.
3. Bukti adanya penyebab psikologis dalam bentuk hubungan waktu yang
jelas dengan problem dan peristiwa yang stressful atau hubungan
interpersonal yang terganggu (meskipun disangkal pasien).
F44.0 Amnesia Disosiatif
Ciri utama adalah hilangnya daya ingat, biasanya mengenal kejadian
penting yang baru terjadi yang bukan disebabkan karena gangguan mental
ogranik atau terlalu luas untuk dijelaskan. Pada Amnesia disosiatif biasanya
didapati gangguan ingatan yang spesifik saja dan tidak bersifat umum.
Informasi yang dilupakan biasanya tentang peristiwa yang menegangkan atau
traumatik, dalam kehidupan seseorang.
Bentuk umum dari amnesia disosiatif melibatkan amnesia untuk identitas
pribadi seseorang, tetapi daya ingat informasi umum adalah utuh.
Diagnostik pasti memerlukan :
1. Amnesia, baik total maupun persial, mengenai kedian baru yang bersifat
stress atau traumatik.
2. Tidak ada gangguan mental organik
F44.1 Fugue Disosiatif
9
Memilih semua ciri amnesia disosiatif ditambah gejala perilaku
melakukan perjalanan meninggalkan rumah. Pada beberapa kasus, penderita
mungkin menggunakan identitas baru. Perilaku seseorang pasien dengan
fugue disosiatif adalah lebih bertujuan dan terintegrasi dengan amnesianya
dibandingkan pasien dengan amnesia disosiatif. Pasien dengan fugue disosiatif
telah berjalan jalan secara fisik dari rumah dan situasi kerjanya dan tidak dapat
mengingat aspek penting identitas mereka sebelumnya (nama, keluarga,
pekerjaan). Pasien tersebut seringkali, tetapi tidak selalu mengambil identitas
dan pekerjaan yang sepenuhnya baru, walaupun identitas baru biasanya
kurang lengkap dibandingkan kepribadian ganda yang terlihat pada gangguan
identitas disosiatif.
Untuk diagnosis pasti harus ada :
1. Ciri-ciri amnesia disosiatif
2. Dengan sengaja melakukan perjalanan tertentu melampaui jerak yang
biasa dilakukannya sehari-hari.
3. Tetap memepertahankan kemampuan mengurus diri yang mendasar dan
melakukan interaksi sosial sederhana dengan orang yang belum
dikenalnya.
F.44.2 Stupor Disosiatif
Perilaku individu memenuhi kriteria untuk stupor, akan tetapi dari
pemeriksaan tidak didapatkan adanya tanda penyebab fisik. Seperti juga pada
gangguan-gangguan konversi lain, didapat bukti adanya penyebab psikogenik
dalam bentuk kejadian-kejadian yang penuh stress ataupun masalah sosial atau
10
interpersonal yang menonjol. Stupor Disosiatif bisa didefinisikan sebagai
sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan –gerakan voulunter dan respon
normal terhadap rangsangan luar, seperti misalnya cahaya, suara, dan
perabaan ( sedangkan kesadaran dalam artian fisiologis tidak hilang ).
Untuk diagnosis pasti harus ada :
1. Stupor, seperti yang sudah disebutkan tadi.
2. Tidak ditemukan adanya gangguan fisik atau gangguan psikiatrik lain
yang dapat menjelaskan keadaan stupor tersebut.
3. Adanya masalah atau kejadian-kejadian baru yang penuh stress.
F44.3 Gangguan Trans dan Kesurupan
Merupakan gangguan-gangguan yang menunjukkan adanya kehilangan
sementara penghayatan akan identitas diri dan kesadaran terhadap
lingkungannya; dalam beberapa kejadian, individu tersebut berperilaku
seakan-akan dikuasai oleh kepribadian lain, kekuatan gaib atau malaikat.
Gangguan trans yang terjadi selama suatu keadaan skizofrenik atau psikosis
akut disertai halusinasi atau waham atau kepribadian multiple tidak boleh
dimasukkan dalam kelompok ini.
F44.4 Gangguan Motorik Disosiatif
Bentuk yang paling lazim dari gangguan ini adalah kehilangan
kemampuan untuk menggerakkan seluruh atau sebagian dari anggota gerak.
Pralisis dapat bersifat parsial dengan gerakan yang lemah atau lambat atau
total. Berbagai bentuk inkoordinasi dapat terjadi, khusussnya pada kaki
dengan akibat cara jalan yang bizarre. Dapat juga terjadi gemetar.
11
F44.5 Konvulsi Disosiatif
Dapat menyerupai kejang epileptic dalam hal gerakannya akan tetapi
jarang disertai lidah tergigit, luka serius karena jatuh saat serangan dan
inkontinensia urin, tidak dijumpai kehilangan kesadaran tetapi diganti dengan
keadaan seperti stupor atau trans.
F44.6 Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif
Bagian kulit yang mengalami anestesi sering kali mempunyai batas
yang tegas yang menjelskan bahwa hal tersebut lebih berkaitan dengan
pemikiran pasien mengenai fungsi tubuhnya daripada dengan pengetahuan
kedokterannya. Meskipun ada gangguan penglihatan, mobilitas pasien serta
kemampuan motoriknya sering kali masih baik. Tuli disosiatif dan anosmia
jauh lebih jarang terjadi dibandingkan dengn hilang rasa dan penglihatan.
F44.7 Gangguan Konversi Campuran
Campuran dari gangguan-gangguan tersebut di atas.
F44.8 Gangguan Konversi lainnya
Sindrom ganser
Ciri-ciri dari gangguan ini adalah “jawaban kira-kira”, yang biasanya
disertai beberapa gejala disosiatif lainnya, sring kali dalam keadaan yang
menunjukkan kemungkinan adanya penyebab yang bersifat psikogenik dan
harus dimasukkan di sini.
Gangguan kepribadian multiple
12
Ciri utama adanya dua atau lebih kerpibadian yang jelas pada satu
individu dan hanya satu yang tampil untuk setiap saatnya. Masing-masing
kepribadian tersebut adalah lengkap, dalm arti memiliki ingatan, perilaku dan
kesenangan sendiri-sendiri yang mungkin sangat berbeda dengan kepribadian
pramorbidnya.
Gangguan konversi sementara terjadi pada masa kanak dan remaja
Gangguan Disosiatuf lainnya YDT
F44.9 Gangguan Konversi YTT
Tabel 1. Perbandingan antara gangguan somatik, gangguan somatoform,
gangguan tiruan dan malingering.
gangguan somatik
gangguan somatoform
gangguan tiruan
malingering
Gejala subjektif
+ + + +
Gejala objektif
+ - (+) -
Volunter - - + +Benefit ? Internal
EksternalInternal Eksternal
Zumbrunen R, Psychiatric de liaison, Masson ed., Paris, 1992
Dalam gangguan somatoform yang sudah disebutkan di atas semua
berkaitan dengan keluhan-keluhan fisik yang berkaitan dengan fungsi psikologik.
Namun, gangguan somatoform yang termasuk dalam keluhan neurologis yang
berkaitan dengan faktor psikologik ialah gangguan somatisasi, gangguan konversi,
dan gangguan nyeri.
2.6 TERAPI
13
Pengobatan khusus gangguan somatoform tidak ada, namun komorbiditas
kejiwaan seperti depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan zat harus ditangani.
Penggunaan obat-obatan untuk mengobati gejala yang diyakini somatoform lebih
memenuhi prinsip-prinsip kebaikan dan non-malificence. Adapun pasien yang
mencari perawatan hanya untuk memperoleh narkotika tidak dianggap menderita
penyakit somatoform tetapi mengarah pada penyalahgunaan zat, kecanduan atau
transaksi ilegal.1
Resolusi gejala gangguan konversi biasanya spontan. Pada pasien dengan
gangguan konversi biasanya spontan. Pada pasien dengan gangguan ini dapat
dilakukan psikoterapi suportif berorientasi tilikan dan terapi perilaku. Bila pasien
menolak psikoterapi, maka dokter dapat menyarankan bahwa psikoterapi yang
dilakukan akan difokuskan pada masalah stress dan bagaimana mengatasinya.3
Hipnosis, anticemas dan terapi relaksasi sangat efektif dalam beberapa
kasus. Pemberian amobarbital atau lorazepam perenteral dapat membantu
memperoleh riwayat penyakit, terutama ketika pasien baru saja mengalami
peristiwa traumatik.3
Pendekatan psikodimanik misalnya psikoanalis dan psikoterapi
berorientasi tilikan, menuntun pasien memahami konflik intrapsikik dan simbol
dari gejala pada gangguan konversi. Psikoterapi jangka pendek juga dapat
digunakan. Semakin lama pasien menghayati peran sakit, makan pasien akan
semakin sulit.3, 6
Psikoedukasi bagi keluarga penderita gangguan konversi merupakan
pendidikan ataupun pelatihan terhadap seseorang dengan gangguan psikiatri yang
14
bertujuan untuk proses treatment dan rehabilitasi pada penderita dengan gangguan
konversi. Dimana gangguan konversi merupakan kehilangan (sebagian atau
seluruh) dari integrasi normal (dibawah kendali kesadaran) seperti ingatan masa
lalu, kesadaran akan identitas dan peng-indera-an segera serta control terhadap
gerakan tubuh. Keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam proses
kesembuhan pasien yang mengalami gangguan jiwa, yakni keluarga yang
mendukung pasien sangat membantu kesembuhan pasien dan memperpanjang
kekambuhan.7
2.7 PROGNOSIS
Hampir semua gejala awal (90%-100%) dari pasien dengan gangguan
konversi membaik dalam waktu beberapa hari sampai kurang dari sebulan.
Sebanyak 75% pasien tidak pernah mengalami gangguan ini lagi, namun 25%
mengalami episode tambahan saat mengalami tekanan. 3
Prognosis yang baik berkaitan dengan awitan yang mendadak, adanya
stresor yang bermakna, riwayat pramorbid baik, tak terdapat komorbid dengan
gangguan psikiatrik lain atau gangguan medik, tak ada proses hukum yang sedang
berlangsung.3
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Michael Glen E, Huff J. Stephen. Conversion Disorder, Psychosomatic
Illness, and Malingering. Emergency Psychiatric Disorders. Elsevier2014.
2. O. Cottencin. Conversion disorders : psychiatric and psychotherapeutic
aspects. Neurophysiol Clin. 2014;44(4):405-10.
3. Hadisukanto G. Gangguan Somatoform. In: Kusumawardhani A.A.A, Husin
Albahri, Adikusumo Arman, dkk, editors. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:
Badan Penerbit FK UI; 2014.
4. Demartini B, D'Agostino A, Gambini O. From conversion disorder (DSM-
IV-TR) to functional neurological symptom disorder (DSM-5): When a
label changes the perspective for the neurologist, the psychiatrist and the
patient. Journal of the Neurological Sciences.360:55-6.
5. Noorhana S.W. Gangguan Disosiatif. Buku Ajar Psikiatri FK UI. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI; 2014.
16
6. Bordbar, Faridhosseini. Psikoedukasi Interventi Rehabilitasi dan
Prevensi2010.
7. Wiyati R, Wahyuningsih D. Pengaruh Psikoedukasi Keluarga Terhadap
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Klien Isolasi Sosial. Keperawatan
Soedirman. 2010;5(2).
17