GAMBARAN RELASI IBU DENGAN ANAK YANG MENGALAMI
GANGGUAN AUTIS (TINJAUAN TEORI PARENT-CHILD RELATIONSHIPS)
Renny Widyasmara
Enjang Wahyuningrum
Krismi D. Ambarwati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
i
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana relasi yang antara ibu dan
anak autis, di mana partisipan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ibu rumah
tangga yang mengasuh anak tanpa bantuan baby sitter. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif di mana wawancara dilakukan berdasarkan aspek-aspek parent-child
relationships yang dikemukakan oleh Gerard (1994). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ibu yang memiliki anak autis membutuhkan dukungan dari pasangan dan
anggota keluarga yang lain agar dapat menerima kondisi anak dan tidak menyalahkan
dirinya sendiri. Keterlibatan ibu dalam pengasuhan anak memungkinkan ibu untuk
mengetahui kebutuhan dan perkembangan anak meskipun ketidakmampuan anak untuk
berkomunikasi menjadi hambatan bagi ibu dalam memahami apa yang diinginkan anak.
Ibu perlu bersikap tegas dan konsisten terhadap perintah dan rutinitas yang
diterapkannya sehingga anak dapat belajar tentang kemandirian dan kedisiplinan, serta
mendorong anak untuk dapat mengambil keputusan. Keberadaan ayah sebagai figur
yang ditakuti dan dibutuhkan oleh anak dalam pengasuhan juga membantu ibu dalam
menerapkan aturan. Hasil lain menunjukkan bahwa ketebatasan pengetahuan yang
dimiliki ibu mengenai gangguan autis mengakibatkan ibu kurang memberikan
penanganan yang tepat sesuai kebutuhan anak.
Kata kunci: gangguan autis, relasi ibu dan anak.
ii
ABSTRACT
This research aims to see how the relationship between mother and child with
autism, in which participants used in this study is a housewife who care for children
without the help of a baby sitter. This research uses qualitative methods in which
interview were conducted based on the aspects of parent-child relationships from
Gerard (1994). The results showed that mothers of children with autism need support
from spouses and other family members in order to receive the child’s condition and not
blame himself. Maternal involvement in childcare allow mothers to know the needs and
development of children despite the inability of the child to communicate become
obstacles for women in understanding what the child wants. Mothers need to be firm
and consistent in the application of commands and routines so that children can learn
about self-reliance and self-discipline and encourage the child to be able to make
decisions. Existence as a father figure to be feared and needs of children in care also
helps mothers in applying the rules. Other results show that the limited knowledge
about the mothers of autistic disorders result in the mother failed to give appropriate
treatment according to the needs of children. Some suggestions for parents who have
children with autism is, couples and family members should provide support to the
mother so that she can receive the child’s condition and cope with stress.
Keyword: autism disorder, mother-child relationship.
1
PENDAHULUAN
Memiliki seorang anak merupakan harapan bagi setiap pasangan suami istri
karena anak tidak hanya dapat menjadi penerus atau pewaris keluarga, namun juga
dapat membuat sebuah keluarga menjadi lebih hidup dan harmonis (Nurmala, 2013).
Sering kali orang tua mengharapkan anaknya dapat terlahir normal, namun ada pula
kemungkinan hadirnya seorang anak dengan gangguan autis dalam sebuah keluarga.
Autism spectrum disorder (ASD) merupakan sebuah gangguan yang sangat
kompleks dan membingungkan. Kompleksitas ini dikontribusikan oleh fakta bahwa
autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal (Dempsey & Foreman, 2001). Konseptualisasi
autisme sebagai gangguan spektrum menunjukkan bahwa gangguan tersebut ada pada
sebuah kontinuum penurunan, dengan gangguan autisme yang mewakili presentasi
paling parah dari gangguan tersebut (Chlebowski, Green, Barton, & Fein, 2010).
Gangguan autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif dengan onset sebelum
3 tahun dan ditandai dengan keterlambatan dalam komunikasi, interaksi sosial dan pola
perilaku yang terbatas (Wing, 1996 dalam Rodger, Keen, Braithwaite, & Cook, 2008).
Anak laki-laki lebih banyak didiagnosa mengalami gangguan ini dibandingkan anak
perempuan (Dempsey & Foreman, 2001) dengan prevalensi berkisar antara 2 : 1 sampai
13 : 1 (Cumine, Leach, & Stevenson, 2000). Gangguan ini bersifat menetap dan tidak
dapat disembuhkan, namun dapat diminimalisasi dengan pemberian terapi. Artinya,
kelainan yang terdapat di dalam otak tidak dapat diperbaiki, namun gejala-gejala yang
ada dapat dikurangi semaksimal mungkin sehingga anak dapat berbaur dengan anak
seusianya yang lain (Prishelly, 2014). Diperkirakan 50% anak-anak yang mengalami
gangguan seperti ini akan berlangsung sampai remaja atau bahkan dewasa (Mufadhilah,
2014). Walaupun demikian tidak semua anak dengan gangguan autis menunjukkan
2
gejala yang sama (Nixon & Mariyanti, 2012). Diagnosis dini sangat diperlukan guna
mendapatkan akses yang tepat terhadap layanan intervensi dini yang berharga bagi
anak-anak dan keluarga. Intervensi dini diperlukan karena defisit awal mungkin akan
kumulatif dan menghambat fungsi sosial serta komunikasi anak (Hwang & Hughes,
2000 dalam Rodger, Keen, Braithwaite, & Cook, 2008). Selain itu, dengan adanya
intervensi dini, orang tua dapat mengatasi kemungkinan frustrasi dan tantangan yang
dihadapi ketika mengasuh anak autis (Rodger, Keen, Braithwaite, & Cook, 2008).
Diperkirakan prevalensi anak-anak yang mengalami gangguan autis berkisar 5
kasus per 10.000 anak (APA, 2000), dan sudah meningkat menjadi 60 kasus per 10.000
anak-anak usia 18 tahun atau lebih muda (Fombonne, 2003 dalam Altiere & von Kluge,
2009) yang mana sebanyak 35%-40% anak autis tidak mengembangkan kemampuan
bahasa (Heflin & Alaimo, 2007). Sampai saat ini belum ada data resmi mengenai
jumlah anak autistik di Indonesia, namun terjadi peningkatan yang drastis setiap
tahunnya. Penelitian pada tahun 1987 menunjukkan rasio penderita autis yaitu 1 : 5000.
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1997 rasio penderita autis menjadi 1 : 500. Tahun
2000 penderita autis menjadi 1 : 150 dan terakhir pada tahun 2001 penderita autis
menjadi 1 : 100 (Asmika, Andarini, & Rahayu, 2006). Lembaga sensus Amerika Serikat
melaporkan bahwa pada tahun 2004 jumlah anak dengan ciri-ciri autistik atau gangguan
spektrum autis di Indonesia mencapai 475.000 orang (Kompas, 20 Juli 2005 dalam
Ginanjar, 2007).
Secara fisik, anak autis memang tidak memiliki perbedaan yang mencolok
dengan anak-anak pada umumnya. Hanya saja yang membedakan anak autis dengan
anak lain adalah dalam hal interaksi dengan orang lain secara timbal balik, kurang
kontak mata, ekspresi wajah yang kurang ceria atau hidup serta gerak-gerik anggota
3
tubuh yang kurang tertuju untuk dapat bermain dengan teman sebaya sehingga anak
terlihat sendiri atau cenderung menjadi penyendiri bahkan tidak dapat berempati atau
merasakan apa yang dirasakan orang lain (Salman, 2014).
Orang tua yang memiliki anak-anak autistik diketahui memiliki tingkat stres
yang lebih tinggi dari orang tua anak dengan perkembangan biasa dan orang tua anak-
anak dengan cacat perkembangan lainnya (Davis & Carter, 2008). Keluarga ini juga
melaporkan rendahnya fungsi keluarga (adaptasi dan kohesi) dan rendahnya
kebahagiaan pernikahan dibanding kelompok norma. Orang tua anak-anak autis dua kali
lebih mungkin untuk bercerai dibandingkan orang tua anak tanpa autis. Resiko
perceraian orang tua anak tanpa autis mengalami penurunan ketika anak mencapai akhir
masa kanak-kanak dan dewasa awal, sementara resiko perceraian orang tua dengan anak
autis tetap tinggi hingga anak menjadi remaja dan dewasa awal (Solomon & Chung,
2012). Oleh karena itu, penerimaan orang tua sangat mempengaruhi perkembangan
anak autis. Sikap orang tua yang tidak dapat menerima kenyataan bahwa anaknya
memiliki gangguan autis akan sangat buruk dampaknya, karena hal tersebut akan
membuat anak merasa tidak dimengerti dan tidak diterima apa adanya serta dapat
menimbulkan penolakan dari anak yang kemudian termanifestasi dalam bentuk perilaku
yang tidak diinginkan (Marijana, 2003 dalam Rachmayanti & Zulkaida, 2007).
Parent-child relationships atau yang dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai
relasi orang tua-anak, merupakan dasar biologis yang dipengaruhi oleh perkembangan
dan kondisi kontekstual, dan hubungan ini juga mempengaruhi perkembangan individu
di luar masa kanak-kanak dan remaja (Trommsdorff, 2006). Parent-child relationships
yang positif dapat diketahui ketika orang tua dapat mengelola stres, berkomunikasi
dengan baik ketika frustrasi, menangani konflik tanpa kekerasan fisik, dan
4
mempertimbangkan perasaan anak. Anak-anak belajar bagaimana cara mengatasi stres
dengan melihat apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Jika reaksi orang tua adalah
dengan berteriak, memukul, dan memanggil nama; orang tua mengajar mereka
kebalikan dari apa yang orang tua ingin mereka lakukan. Stres dan frustrasi memberikan
kesempatan kepada orang tua untuk dapat menjadi panutan bagi anak. Ketika orang tua
dapat mengatasi stres dan frustrasi dengan baik, orang tua menunjukkan kepada anak
bagaimana mengatasi stres dan frustrasi mereka sendiri (Durrant, 2012).
Ibu sebagai agen penting dalam pengasuhan menunjukkan rendahnya tingkat
stres yang dapat mengakibatkan munculnya masalah somatik dan simptom depresi
(Altiere & von Kluge, 2009). Hal ini dikarenakan ketidakmampuan anak dalam
berkomunikasi sering mengakibatkan ibu tidak memahami apa yang diinginkan anak
sehingga anak marah dan tantrum (Noor, Indriati & Elita, 2014). Anak dengan
gangguan autis juga kesulitan dalam mematuhi norma-norma sosial yang ada (Altiere &
von Kluge, 2009) sehingga mereka sering menyebabkan masalah. Kondisi tersebut yang
membuat ibu harus selalu waspada untuk mengawasi anak. Selain itu perasaan kecewa,
sedih dan bingung yang dirasakan oleh ibu ketika mengetahui kondisi anaknya yang
mengalami gangguan autis, menyebabkan ibu merasa malu dan memilih untuk
bersembunyi bahkan menutupi kondisi anak dan mengucilkan anaknya dari lingkungan
sosial ketimbang mencari keterangan/informasi yang sesuai dengan gangguan yang
dialami anak (Salma, 2014). Meskipun demikian, penelitian melaporkan bahwa dengan
memiliki anak autis, orang tua lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga dan
besarnya toleransi terhadap ambiguitas. Penelitian lain juga menemukan bukti bahwa
ibu menemukan makna dan pengalaman perrtumbuhan positif pada anak-anak
penyandang cacat (Phetrasuwan & Miles, 2009).
5
Dukungan dari keluarga akan membantu meningkatkan kepercayaan diri ibu
agar lebih mampu merawat dan memenuhi kebutuhan emosional anak, mampu bersikap
responsif dan berempati terhadap anak-anak mereka (Shilihah, 2010 dalam Utami &
Naviati, 2012) sehingga ibu tidak berperilaku kasar terhadap anak bahkan
menelantarkan anak (Hidayati, 2013). Selain itu, perubahan suasana lingkungan
keluarga juga dapat membantu mengurangi perilaku mengganggu dan meningkatkan
perkembangan anak (Azizah, 2015). Penelitian menunjukkan bahwa dengan adanya
dukungan perilaku positif yang diberikan ibu terhadap anaknya yang mengalami
gangguan autis dapat mengurangi berbagai gejala ketidakmampuan yang dialami anak
(Indahwati, 2014). Ketika ibu memberikan penerimaan terhadap anak dengan gangguan
autis, ibu memberikan kesempatan kepada anak agar dapat mengembangkan dirinya dan
menjalin interaksi sosial. Selain itu, dukungan yang diberikan oleh ibu dapat membuat
anak menjadi lebih berani untuk mengembangkan kemampuannya (Ekawati &
Wandasari, 2012).
Parent-child relationships yang positif dapat diukur dengan adanya parental
support yang berkaitan dengan tingkat dukungan emosional dan sosial yang diterima
oleh orang tua; satisfaction with parenting yang menilai tingkat kenikmatan dan
kepuasan ketika menjadi orang tua; involvement atau tingkat interaksi orang tua dengan
anak dan pengetahuannya terhadap anak; communication yang mengukur kualitas
komunikasi yang terjalin antara orang tua dengan anak; limit setting yang berfokus pada
pengalaman orang tua dalam melaksanakan aturan-aturan; autonomy orang tua yang
diberikan guna mendorong kemandirian anak; dan role orientation mengenai sikap
orang tua terhadap peran gender dalam pengasuhan. Dengan mengukur aspek-aspek
6
interaksi orang tua-anak, memungkinkan untuk memverifikasi hipotesis klinis dari
gangguan individu dan keluarga berdasarkan latar belakang objektif (Gerard, 1994).
Orang tua sebagai agen sosialisasi utama bagi anak (Webster-Stratton, Reid, &
Beauchaine, 2011) perlu bersikap sensitif terhadap isyarat yang ditunjukkan oleh anak,
responsif, dan peduli sehingga anak-anak dapat mengembangkan keterampilan yang
mereka butuhkan untuk bertahan hidup, terutama sikap ibu sebagai orang yang secara
langsung memiliki hubungan dan berinteraksi dengan anak autis (Indahwati, 2014).
Semakin dini ibu membangun hubungan yang positif dengan anak, semakin besar
dampak yang dapat dirasakan, meliputi kesejahteraan emosional anak, dasar untuk
coping dan kemampuan memecahkan masalah, serta kemampuan menjalin hubungan
(The National Center on Parent, Family, and Community Engagement (NCPFCE),
2013).
Penelitian mengenai relasi ibu dan anak autis di Indonesia masih belum banyak
dibahas. Permasalahan tersebut penting untuk diungkapkan melalui suatu penelitian
karena dukungan dan penerimaan dari setiap anggota keluarga, terutama ibu akan
memberikan energi dan kepercayaan dalam diri anak untuk lebih berusaha
meningkatkan setiap kemampuan yang dimilikinya. Sebaliknya, penolakan dari orang-
orang terdekat dalam keluarganya akan membuat mereka semakin rendah diri dan
menarik diri dari lingkungannya (Hendriani, Handariyati, & Sakti, 2006). Selain itu,
penelitian mengenai parent-child relationships yang telah dilakukan di negara Amerika,
Jerman maupun China akan berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Indonesia
karena adanya pola yang berbeda dalam hubungan orang tua-anak antara budaya yang
satu dengan budaya yang lain. Hubungan orang tua-anak dalam budaya Jawa dapat
dijelaskan oleh pepatah mikul dhuwur mendhem jero, yang artinya anak harus
7
mengangkat kehormatan orang tua dan menanggung kesalahan dan perasaan malu orang
tua yang sangat bertolak belakang dengan paham Latin-Amerika yang sering kali
diterapkan di negara Amerika maupun budaya negara Cina yang mengharuskan orang
tua memiliki hubungan dekat dengan anak karena adanya hubungan darah (Lestari,
Faturochman, & Kim, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian
guna mengungkap bagaimana gambaran relasi ibu dengan anak yang mengalami
gangguan autis, dengan tinjauan teori parent-child relationships yang dikemukakan oleh
Gerard (1994).
METODE
Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif, di mana peneliti menggunakan latar alamiah untuk dapat
menafsirkan fenomena yang terjadi, serta melibatkan berbagai metode yang ada. Secara
khusus, penelitian ini menggunakan penelitian studi kasus yang salah satu strategi dan
metode analisisnya menekankan pada kasus khusus yang terjadi pada objek analisis.
Partisipan
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui gambaran parent child
relationships dalam keluarga dengan anak autis, maka karakteristik partisipan pada
penelitian ini adalah ibu rumah tangga yang memiliki anak dengan gangguan autis.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ibu rumah tangga merupakan wanita yang
mengatur penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumah tangga; istri (ibu) yang
hanya mengurusi berbagai pekerjaan rumah tangga (misalnya tidak bekerja di kantor).
Hal ini yang menyebabkan peneliti memilih ibu sebagai pusat dari penelitian. Dengan
8
harapan ibu rumah tangga mengetahui perkembangan yang dialami oleh anak dengan
gangguan autis. Adapun identitas partisipan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Partisipan 1 Partisipan 2
Inisial Nama E A
Usia Ibu 30 tahun 38 tahun
Pendidikan S-1 S-1
Inisial Nama Anak NSH GAP
Usia Anak 6 tahun 14 tahun
Table 1. Gambaran Umum Partisipan Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan teknik wawancara, yaitu depth interview di mana sebelumnya peneliti
sudah membuat interview guide berdasarkan aspek-aspek parent-child relationships
yang dikemukakan oleh Gerard (2014). Pada partisipan 1, wawancara dilaksanakan
pada tanggal 29 Oktober 2014, 20 November 2014, dan 13 Desember 2014. Sedangkan
wawacara dengan partisipan 2 dilaksanakan pada tanggal 17 Februari 2015, 25 Februari
2014, 16 Maret 2015 dan 19 Maret 2015.
Instrument yang Digunakan
Untuk memperoleh gambaran parent-child relationships yang positif dapat
diukur dengan adanya parental support yang berkaitan dengan tingkat dukungan
emosional dan sosial yang diterima oleh orang tua; satisfaction with parenting yang
menilai tingkat kenikmatan dan kepuasan ketika menjadi orang tua; involvement atau
tingkat interaksi orang tua dengan anak dan pengetahuannya terhadap anak;
communication yang mengukur kualitas komunikasi yang terjalin antara orang tua
9
dengan anak; limit setting yang berfokus pada pengalaman orang tua dalam
melaksanakan aturan-aturan; autonomy orang tua yang diberikan guna mendorong
kemandirian anak; dan role orientation mengenai sikap orang tua terhadap peran gender
dalam pengasuhan. Dengan mengukur aspek-aspek interaksi orang tua-anak,
memungkinkan untuk memverifikasi hipotesis klinis dari gangguan individu dan
keluarga berdasarkan latar belakang objektif (Gerard, 1994).
Proses Pengambilan Data
Wawancara pertama dengan partisipan 1 dilaksanakan pada tanggal 29 Oktober
2014. Peneliti datang ke rumah partisipan pukul 08.10 WIB dan disambut oleh kakak
partisipan yang bertempat tinggal dekat dengan partisipan. Tak lama kemudian
partisipan keluar sambil menggendong anak keduanya. Partisipan meminta agar peneliti
menunggu terlebih dahulu sementara ia hendak memandikan anaknya. Setelah itu
sekitar 15 menit kemudian, partisipan keluar dan peneliti pun berusaha membangun
rapport dengan partisipan terlebih dahulu. Pukul 08.30 wawancara pun dilaksanakan.
Peneliti mengajukan beberapa pertanyaan yang sebelumnya sudah dibuat (interview
guide) dan partisipan pun dapat menceritakan dengan baik bagaimana kondisi putranya
yang mengalami gangguan autis, sesuai dengan pertanyaan yang diberikan sambil
mengasuh putrinya. Pada penelitian yang pertama ini, terjadi beberapa kali gangguan
karena partisipan yang berusaha meminta tolong kepada suaminya untuk menjaga
putrinya, kemudian suami partisipan yang menyerahkan kembali anak kepada partisipan
karena hendak bersiap-siap menjemput anak sulungnya ke sekolah, dan ketika
partisipan hendak memberikan uang kepada pengantar susu. Meskipun demikian, proses
pengambilan data tetap dilakukan sampai selesai, yaitu pukul 09.55 WIB.
10
Selanjutnya, wawancara kedua dan ketiga dengan partisipan 1 dilaksanakan di
sekolah anak berkebutuhan khusus “Rumah Pintar”. Hal ini dikarenakan partisipan
merasa lebih nyaman melakukan wawancara di tempat tersebut di bandingkan di rumah,
dengan alasan dapat lebih leluasa untuk bercerita sambil tetap mengasuh anak. Oleh
karena itu, pada tanggal 20 November 2014 peneliti datang ke sekolah pukul 08.00 WIB
dan bertemu dengan kepala sekolah untuk meminta ijin terlebih dahulu melakukan
pengambilan data sambil menyerahkan surat ijin penelitian. Setelah mendapatkan ijin,
peneliti beserta partisipan masuk ke mushola untuk melakukan wawancara kedua.
Selama wawancara kedua berlangsung, partisipan sesekali harus menenangkan anaknya
yang mulai rewel dan ingin keluar dari ruangan tersebut. Meskipun demikian, partisipan
tetap berusaha memberikan keterangan hingga wawancara selesai. Begitu pula ketika
wawancara ketiga dilaksanakan pada 13 Desember 2014, peneliti datang ke sekolah
pada pukul 08.15 WIB. Pada penelitian kali ini, peneliti dan partisipan melakukan
wawancara di ruang tamu. Tidak banyak kesulitan yang dihadapi ketika pengambilan
data berlangsung. Partisipan tetap berusaha bercerita sambil mengasuh anaknya.
Walaupun begitu, anak subjek tidak rewel dan bisa bermain sendiri di area yang lebih
luas sehingga penelitian dapat berlangsung dengan baik.
Dalam proses pengambilan data dengan partisipan 2, terlebih dahulu peneliti
datang ke sekolah pada tanggal 9 Februari 2015 untuk meminta ijin kepada kepala
sekolah dan menyerahkan surat ijin penelitian. Kemudian pada tanggal 17 Februari
2015 wawancara pertama pun dapat dilaksanakan, diikuti tanggal 25 Februari 2015; 16
Maret 2015 dan 19 Maret 2015 untuk wawancara kedua, wawancara ketiga dan
wawancara keempat. Pada wawancara pertama, peneliti datang pukul 08.30 WIB dan
wawancara baru dilaksanakan pukul 08.40 WIB karena peneliti perlu menjalin rapport
11
terlebih dahulu dengan partisipan. Oleh karena itu, partisipan tampak tergesa-gesa dan
gelisah selama wawancara berlangsung karena harus segera menemui putranya yang
beristirahat pukul 08.45 WIB. Meskipun demikian, partisipan tetap bersabar menjawab
pertanyaan peneliti hingga wawancara selesai pukul 09.00 WIB. Untuk wawancara
kedua, ketiga dan keempat, peneliti datang ke sekolah lebih awal yaitu pukul 08.00 WIB
sehingga partisipan tidak perlu merasa gelisah selama wawancara berlangsung karena
jam istirahat masih cukup lama. Walaupun begitu, karena pengambilan data dilakukan
di halaman sekolah, ada banyak gangguan yang dihadapi oleh peneliti, yaitu suara-suara
dari sekitar, seperti suara orang tua murid yang sedang menunggu anaknya dan suara
kendaraan yang keluarr-masuk area sekolah.
Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
kualitatif. Adapun beberapa tahap dalam analisis data kualitatif yakni menelaah seluruh
data yang tersedia, melakukan reduksi data, melakukan kategorisasi, dan melakukan
penafsiran data (Moleong, 2010). Untuk menguji keabsahan data dalam penelitian ini,
digunakan teknik triangulasi sumber dengan narasumber orang tua partisipan.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada kedua partisipan, diketahui
bahwa ibu sangat membutuhkan parental support dari pasangan untuk membantu
merawat dan mengasuh anak yang mengalami gangguan autis. Partisipan 1 merasa
sangat terbantu ketika suaminya bersedia terlibat dalam pengasuhan anak dan menjalin
interaksi dengan anak meskipun aktivitas yang mereka lakukan terbilang sederhana. Hal
ini menunjukkan adanya kelekatan yang mulai terjalin antara anak dengan sang suami.
Demikian halnya dengan partisipan 2 yang merasa bahwa keberadaan suami sangat
12
membantu dalam pengasuhan, terutama dalam perawatan anak autis. Kerja sama yang
dibina oleh partisipan dan suami dapat membuat mereka menjadi lebih produktif untuk
mencapai hasil yang maksimal.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Biasanya itu, ya itu, kalau sama ayahnya
kan tabletnya itu, biasanya sama ayahnya
main tabletnya itu. Kalau nggak, dia itu
kalau main itu lho, sukanya yang gulat.
Jadi sama ayahnya.”
“Kalau punya anak seperti itu memang
istilahnya harus bersama-sama gitu ya.
Istilahnya saling, itu semua dilakukan
bersama-sama tentunya hasilnya lebih
optimal. Memang kalau satu orang sendiri
kan istilahnya, kemampuannya tetap
terbatas kan. Harus bersama-sama.”
Dukungan yang lain tampak dari adanya penerimaan yang diberikan oleh orang tua
kedua partisipan terhadap kondisi anak yang mengalami gangguan autis. Orang tua
kedua partisipan bersedia membantu mengawasi dan merawat anak mereka. Meskipun
tidak bisa dipungkiri bahwa ayah mertua partisipan 1 masih mengalami kesulitan untuk
menerima kondisi tersebut.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Iya. Sama Eyang Putri. Apa-apa Eyang
Putri. Dulukan belum bisa ditinggal sama
sekali, jadinya misalnya saya tinggal
sholat gitu, nanti Eyang Putrinya yang
mengawasi. Saya tinggal ke belakang,
Eyang Putrinya yang mengawasi.”
“Enggak komentar sih karena dia, gitulah.
Embah kan jauh ya waktu itu, jadi ya,
istilahnya member info „ati-ati‟ gitu ke
aku. Dulu cenderungnya malah embah
kakung yang lebih care gitu. Embah
kakungnya kan sudah tidak ada
sekarang.”
Selain itu, partisipan 1 juga memperoleh dukungan dari cerita orang tua anak
berkebutuhan khusus yang lain ketika berada di sekolah. Sedangkan partisipan 2 merasa
tidak sendirian ketika ia melihat ada banyak anak yang senasib dengan putranya,
meskipun ia sendiri belum memiliki teman dekat untuk mencurahkan isi hatinya.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Makanya kalau seperti ini kan, kalau kita
kumpul di sekolah itu kan untuk
“Aku kebetulan belum kalau seperti itu.
Kan aku baru setahun mbak. Ya paling
13
refreshing, untuk cerita, cerita tentang
kondisi anak-anak seperti itu…..Kalau
yang siang, biasanya kita sharing gitu
lho.”
aku berpikir bahwa banyak juga anak-
anak yang seperti itu. Jadi tidak
sendirian.”
Gambaran satisfaction with parenting dapat diketahui dari bagaimana reaksi
awal kedua partisipan ketika mengetahui kondisi anaknya yang didiagnosa mengalami
gangguan autis. Kedua partisipan berusaha menyalahkan dirinya sendiri, merasa
terpukul, tidak percaya, menolak dan menyangkal fakta bahwa anaknya tergolong anak
autis.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Tapi terus berpikir, terus akhirnya saya
coba ke dokter. Ke dokter katanya
memang, Ibu Ambar langsung bilang
“Maaf ya, ini termasuk anak berkebutuhan
khusus. Ya tetap harus dianu,” lha kan Bu
Ambar, waktu itu langsung makbrek dulu,
ya sudah.”
“Karena sempat apa ya, nggak percaya
ya. Kadang-kadang ada deny ya,
maksudnya penolakan. Terus kita masukin
ke, TK-nya sudah bisa ya TK biasa.
Karena memang kebetulan di TK itu satu
kelas gurunya, jadi 5 orang diampu 1 guru
gitu, jadi bisa.”
Partisipan 1 merasa bingung dengan pelaksanaan metode pembelajaran yang selama ini
ia terapkan untuk mendidikan anak yang cenderung keras dan memaksa. Perilaku
tersebut sering kali membuatnya merasa menyesal, bimbang dan menyalahkan dirinya
sendiri karena belum dapat memberikan penanganan yang tepat sedini mungkin guna
mengatasi keterlambatan yang dialami anaknya. Perasaan bingung dan bimbang yang
dirasakan oleh partisipan 1 ternyata juga dirasakan oleh partisipan 2. Ia sempat merasa
bingung ketika anaknya sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit ketika dikhitan.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Apa itu, kadang ya bingung ya. Terus
apa tidak harus dipaksa? Tapi kalau tidak
begitu, tidak jalan gitu. Kadang kan
katanya anak harus nyaman dulu. Lha tapi
kalau seperti SNH, terus kapan nanti dia
mengejar ketinggalannya kalau begitu?”
“Tidak itu mbak. Kan waktu itu dia nggak
minta memang. Tapi terus bapaknya apa,
bius total jadi nggak berasa. Sakit juga
nggak. Maksudnya nggak, nggak apa ya
merintih, kesakitan juga nggak. Biasa gitu,
nggak pernah ngeluh. Makanya suka
“Sakit nggak sih sebenernya le?” Tapi
14
diem aja.”
Partisipan 1 sering merasa lelah dan pesimis selama pengasuhan anak. Namun ia
berusaha untuk memotivasi dirinya sendiri dengan pemikiran-pemikiran positif
sehingga anaknya tidak akan merasa diabaikan. Cara ini membuat partisipan 1 dapat
menerima kondisi anak meskipun sang suami masih kesulitan untuk membuka diri
dengan anaknya dan sering marah ketika anak menyebabkan masalah ketika berada di
tempat umum. Begitu pula halnya dengan partisipan 2 yang awalnya sempat
menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang dialami anak. Akan tetapi, seiring
berjalannya waktu partisipan 2 beserta suaminya berusaha menerima kondisi anak dan
memberikan yang terbaik untuk perkembangan anak.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Kadang memang ada sisi, kadang kita
capek gitu. Capek. Yang paling parah itu
pesimis, mau jadi apa seperti itu. Tapi
kalau kembali ke situ, kita juga
berpikirnya anak ini menjadi dirinya
sendiri saja susah. Kalau dia bisa
memilih, dia juga ingin main seperti
teman-temannya.”
“Kalau dulu juga “Kenapa kok saya?”
Pernah seperti itu. Memang kalau seperti
itu, mau apa lagi. Memang harus
menerima apapun….. Aku sudah bisa
menerima lah. Tinggal kita bagaimana
mengoptimalkan kemampuannya saja.”
Ketidakmampuan partisipan 1 dalam mengelola emosi menyebakan ia menjadi cepat
marah ketika anaknya tidak konsentrasi belajar sementara ia masih harus menjaga
anaknya yang lain. Begitu pula halnya dengan partisipan 2, ketika anak tantrum dan
menyebabkan orang lain terluka, ia kurang mampu mengontrol emosinya dan
melampiaskan kemarahannya dengan memukul anak. Hal tersebut yang pada akhirnya
membuat partisipan merasa bersalah kepada anak.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Merasanya masih, sabarnya yang belum
ada. Kontrol sabarnya…..Jadi kalau N
memang kalau dia tidak konsentrasi
“Ya sebenarnya nyesal juga ya. Pada saat
itu aku nggak bisa nahan marah gitu kan.
Terus anaknya juga, mungkin pada saat
15
seperti itu, saya sampai pukul meja.
“Dilihat!” Kadang matanya kemana-mana
seperti itu. Apalagi masih harus menjaga
adiknya juga. Jadi kadang memang capek,
emosinya jadi seperti itu.”
tantrum kan nggak ngerti apa ya.
Istilahnya karena memang dorongan
untuk marahnya lebih kenceng ketimbang
nalarnya gitu.”
Ketika anak menunjukkan perkembangan, partisipan 1 merasa cukup puas dengan usaha
yang sudah dilakukannya. Berbeda dengan partisipan 2 yang merasa bahwa anaknya
belum mengalami perkembangan, terkait dengan pendeknya konsentrasi yang dimiliki
anak.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Ya belum berhasil. Memang ada apa
namanya, ada perkembangannya. Dulu
yang awalnya semaunya sendiri,
sembarangan….. Tapi sekarang sudah
bisa. Misalnya sudah dipakai lagi,
dirapikan. Seprei juga mau merapikan.
Walaupun belum rapi, tapi sudah
mengerjakan.”
“Tapi ya, memang kaya gitu itu tidak bisa
berkembang ya. Maksudnya untuk
konsentrasinya jangka, jangkanya masih
pendek. Tidak bisa panjang seperti itu.”
Gambaran involvement yang ditunjukkan oleh kedua partisipan tampak dari
bagaimana mereka berusaha meluangkan waktu untuk berkumpul dengan anak mereka
dan melakukan aktivitas bersama-sama, seperti pergi berbelanja atau hanya sekedar
jalan-jalan bersama.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Biasanya kalau, kalau pas ayahnya
longgar, nggak, nggak nunggu, pas dia
sudah di sini kan tidak menunggu hari
Sabtu. Jadi misalnya keluar. Paling cuma
di Ramayana….. Kalau tidak ya cuma
mutar tok gitu.”
“Paling aku hari Minggu kan, hari libur.
Paling nanti jalan-jalan. Dari rumah ke
JB kan dekat. Rumah saya di batas kota
itu mbak. Dari rumah jalan-jalan sampai
JB. Cuma istilahnya, beli bubur ayam.
Terus balik lagi jalan. Paling itu, yang
ringan. Terus nanti agak siangan kita
belanja bareng.”
Kedua partisipan sama-sama memiliki pengetahuan mengenai perkembangan yang
dialami oleh anaknya. Partisipan 1 mengetahui bahwa anaknya memiliki trauma akibat
16
diperiksa oleh dokter THT sehingga partisipan memutuskan untuk tidak membawa
anaknya ke dokter supaya ketakutan yang dialami anak tidak terulang kembali.
Demikian pula dengan partisipan 2 yang melihat bahwa anak pernah mengalami
ketakutan bertemu dengan temannya setelah ia disakiti.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Terus sama Bu Ambar disuruh THT,
dokter Yuni itu. Ya udah ke sana. Nah itu
tho, gara-gara di situ, dia jadi takut sama
dokter soal itu tho dibersihkan. Sejak saat
itu kan dia ke tempat, rumah sakit atau
dokter, takut gitu.”
“Dia paling, waktu di sana ya kebetulan.
Kalau di sini temannya baik-baik semua.
Di sana itu, jadi, paling turun dari aku
antar kan waktu itu, ketemu ZD langsung
gini (menundukkan kepalanya), udah.
Nggak pernah bales, nggak pernah apa
langsung gini (menunduk). Jadi kaya
orang ketakutan, dirinya sendiri gitu kan.
Udah gitu aja.”
Partisipan 1 menyadari kesulitan yang dihadapi anak ketika harus beradaptasi pada
lingkungan/situasi yang baru. Partisipan juga mengetahui bagaimana reaksi negatif yang
akan ditunjukkan oleh anak (seperti berteriak) setiap kali mendengar suara yang keras
karena kepekaannya terhadap suara. Begitu pula dengan partisipan 2 yang menyadari
bahwa anaknya kesulitan jika harus berinteraksi dengan orang baru, ia cenderung
menghindar dan tidak ingin berrtemu. Partisipan juga merasa bahwa anak belum mampu
mengungkapkan keinginan dan perasaannya dengan baik kepada orang lain. Hal ini
yang mengakibatkan anak sering merasa malu dan tidak percaya diri ketika diminta
untuk maju di depan kelas. Selain itu, partisipan 2 sering khawatir karena anak tidak
segera mengungkapkan permasalahan yang dirasakannya (terutama ketika ia merasakan
sakit) sehingga partisipan harus selalu waspada jika sewaktu-waktu ia melihat bahwa
anak terluka.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Cuma kemarin, kalau dia sudah takut
dengan suara, itu tidak bisa kalau
“Sakit gitu kadang juga diem aja. Nanti
kalau panas gitu kan, panas istirahat gitu.
17
dipegang….. Bingung, dia bingung.
Biasanya dia lari ke depan, saya tutup
kamarnya, saya pegangi, tidak bisa. Dia
berputar-putar di dalam kamar. Masih
belum anu, bingung dia.”
Tapi dia nggak ngomong yang sakit yang
mana gitu lho. Sempat kaya gitu. Terus
akhirnya dicek gitu kan. Baru 3 hari, baru
ngomong „Iniku (sambil memegang leher),
buat menelan sakit.‟ Lha kan berarti
faringitis gitu.”
Partisipan 1 merasa bahwa saat ini respon anak ketika menolak perintahnya sudah
mengalami perubahan karena anak sudah mulai terbiasa dengan aktivitas yang
dilakukannya sehingga respon anak yang sering memukul ketika marah sudah
mengalami penurunan dan anak tidak sering marah-marah lagi. Lain halnya dengan
partisipan 2 yang merasa bahwa kemarahan anak muncul karena anak tidak memperoleh
apa yang diinginkannya sehingga anak menjadi tantrum. Meskipun demikan, hukuman
fisik yang pernah diberikan partisipan menjadi pembelajaran tersendiri bagi anak
sehingga anak lebih mendengarkan peringatannya.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Sekarang sudah mulai tidak. Awalnya
dulu kan, sambil marah-marah, teriak-
teriak seperti itu. Sekarang sudah mulai
tidak. Sempat semalam saya, karena dia
rewel, „Sini belajar aja!‟ terus dia
belajar.”
“Ehm kalau itu ada. Tapi nggak-nggak
sampai, kalau marah dulu kan suka teriak-
teriak gitu kan. Sekarang ehm „Mas!‟ aku
keras seperti itu aja, dia diam.”
Partisipan 1 melihat bahwa perkembangan motorik anak sudah mengalami peningkatan
meskipun anak masih belum dapat memusatkan konsentrasi pada gambar dibandingkan
dengan tulisan. Sedangkan partisipan 2 merasa bahwa anaknya memiliki memori yang
baik. Partisipan melihat bahwa anaknya dapat mengingat surat Al-Qur’an yang
dibacakan ayahnya dan instruksi yang diberikan sehingga sudah bisa menjalankan
rutinitas dengan baik. Selain itu, partisipan juga mengetahui bahwa anak sudah dapat
membaca dan menulis sendiri meskipun masih mengalami kesulitan jika harus
membaca susunan kata yang mengandung konsonan. Walaupun begitu, partisipan 2
18
merasa bahwa anaknya masih sangat pasif, ia lebih suka melihat atau mendengar
(seperti menonton TV atau mendengarkan musik) daripada terlibat langsung dalam
sebuah aktivitas (seperti bermain bersama teman).
Partisipan 1 Partisipan 2
“Anaknya masih belum anu, belum apa
namanya, belum ada perkembangan yang
kelihatan gitu lho. Kalau mewarnai masih,
ya kadang, oh… dia masih gini sih, tidak,
tidak, ada gambar tidak dianu.”
“Kalau GAP baca sudah bisa, cuma kalau
ada misal apa ya? Tengahnya ada
konsonannya agak susah. Jadi harus yang,
misalnya yang „makan‟, „batu‟, „buta‟ gitu
kan. Kalau misalnya ditengahnya ada,
kayak „miskin‟ gitu kurang. Jadi masih
seperti itu. Kalau menulis, sudah bisa.
Cuma tulisannya gede-gede.”
Partisipan 1 juga mengetahui bagaimana cara bermain anak yang cenderung repetitive,
yaitu dengan menyusun mainannya. Sedangkan partisipan 2 mengetahui sejak kecil
anaknya sudah memiliki kebiasaan meremas sapu tangan atau lab, dan kebiasaan
tersebut masih sulit dihilangkan sampai saat ini. Partisipan merasa bahwa anaknya tidak
pernah mengeluh apabila partisipan lupa memberikan penghargaan kepadanya karena
berhasil melakukan sesuatu. Partisipan juga mengetahui bahwa diusia anak yang
menginjak remaja ini, anak belum memiliki ketertarikan dengan lawan jenis seperti
anak pada umumnya.
Kedua partisipan menunjukkan gambaran yang berbeda terhadap aspek
communication. Partisipan 1 merasa sangat kesulitan untuk berkomunikasi dengan anak
mengingat penguasaan bahasa anak yang masih terbatas. Oleh karena itu, partisipan 1
perlu tegas dan mengulang-ulang setiap perkataan yang ia ucapkan sehingga anak dapat
memahami dan terbiasa melakukan aktivitas tersebut. Lain halnya dengan partisipan 2
yang tidak mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan anak. Ia bahkan selalu
menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan anaknya selama jam istirahat
berlangsung. Selain itu, partisipan 2 juga melihat bahwa anak bisa memberikan respon
19
yang tepat ketika ada orang yang hendak berkomunikasi dengannya. Anak juga bisa
bercerita kepada neneknya meskipun ada perkataan yang sering ia ucapkan secara
berulang. Bahkan ketika partisipan 2 menampar anaknya, partisipan bisa langsung
meminta maaf dan menasehatinya agar tidak mudah emosi karena dapat melukai
temannya atau justru ia yang juga akan terluka karena ditampar oleh ibunya.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Sebenarnya sudah mulai paham sih. Tapi
harus tegas. Kalau tidak boleh, ya harus
tegas…..Dulu dia mulai, geraknya
sembarangan. Sering kena adiknya. Saya
marahi. Nah dari situ, dia sudah mulai
mengerti kalau itu tidak boleh. Memang
keras nada saya dengan SNH.”
“‟Mas, yang ada olahraganya tennis,‟ gitu
kan. Ya udah itu yang ada, yang lain
dicari nggak ada. „Nanti kalau ada pasti
ada sendiri‟gitu kan. Kalau ibu-bapak
nggak bisa kasih pilihan yang lain.
Karena yang ada cuma itu. Ya paling
disela apalah. Bosen, misalnya dia mau
setel musik atau alternatif yang lain.”
Kedua partisipan juga menjalin kerja sama dengan guru di sekolah sehingga partisipan
dapat memperoleh bantuan dalam mengawasi anak, serta memperoleh informasi terkait
perkembangan anak di sekolah.
Metode penerapan limit setting yang dimiliki kedua partisipan tergolong
berbeda. Partisipan 1 berusaha menerapkan aturan secara berulang-ulang, tegas dan
konsisten kepada anak sehingga ia terbiasa melakukan hal-hal yang diajarkan oleh
partisipan, meskipun ada saat dimana anak berusaha memberikan respon negatif
terhadap perintah tersebut. Sebisa mungkin, partisipan 1 menghindari untuk memukul
anak ketika ia sulit didisiplinkan. Namun hal tersebut tidak dapat dihindari karena
partisipan 1 merasa ketika ia menerapkan aturan secara tegas dan diikuti dengan
perilaku nonverbal (seperti memukul), anak menjadi lebih memahami perkataan
partisipan. Berbeda dengan partisipan 2 yang hanya perlu mengucapkan aturan tersebut
satu kali dan anak sudah dapat melaksanakannya secara mandiri. Namun ketika anaknya
20
menolak untuk tidur siang, partisipan 2 masih harus mengingatkannya hingga akhirnya
anak pun melaksanakan perintah tersebut. Partisipan 2 berusaha untuk tetap
mempertahankan rutinitas yang dilakukan anak agar ia dapat belajar mengenai
kedisiplinan.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Kalau dulu kan, sebelum umur 5 tahun
itu kalau dimarahin blas sama sekali tidak
mengerti. Kan makanya sejak apa, sejak
umur 4 tahun kurang itu mulai tak
kerasin…..Tapi memang menghindari
memukul, hanya nada keras. Kalau saya
begitu.”
“Paling ini kalau tidur siang. Agak
“nanti…, nanti…” Tapi akhirnya juga
tidur, meskipun tidurnya biasanya
setengah dua tapi molor. Tapi dia tidur.
Walaupun jamnya melenceng….. Paling
rutinitas itu kita kondisikan seperti itu biar
anaknya belajar disiplin. Yang simple lah.
Aku melatih dia itu aja.”
Partisipan 1 sering kali memaksa anak untuk melakukan perintahnya karena hal tersebut
ia lakukan demi perkembangan anak. Sedangkan partisipan 2 menjadi lebih longgar
dalam menerapkan peraturan karena sikap anak yang cenderung pasif. Partisipan juga
berpesan kepada anak agar tidak takut membalas perilaku teman yang keterlakuan
padanya meskipun anak berani menolak untuk melakukan hal tersbut.
Autonomy yang besar ditunjukkan oleh kedua partisipan untuk mendorong
anak mereka melakukan sesuatu. Partisipan 1 memberikan anak reward berupa
makanan yang ia sukai ketika ia mau melakukan aktivitas sehari-harinya, meskipun
pada akhirnya makanan tersebut membuat anak ketergantungan dan emosinya semakin
meledak-ledak. Sedangkan partisipan 2 memberikan pujian kepada anaknya ketika ia
mampu melakukan aktivitas sederhana secara mandiri, meskipun pujian tersebut tidak
diberikan secara konsisten.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Biasanya kadang anu, kalau dulu bikin
PR, besok beli jajan. Begitu biasanya.
“Suka misalnya, dia mengerjakan sesuatu
yang ringan, sikat gigi dia sudah bisa gitu
21
Kadang mau. “Dek SNH beli jajan,” dia
mulai mau. Kadang “SNH makan es
krim,” gitu lalu dia mau….. Setelah itu dia
gampang marah-marah itu.”
kan, paling pujian. Kadang aku sendiri
kurang sabar, jadi suka lupa. Itu kan
sebenarnya itu ya, karena hal-hal yang
kecil, sering dipuji kan dia jadi semangat
gitu ya. Cuma ya itu, aku sendiri yang
kurang apa ya, apresiatif gitu ya.”
Partisipan 1 berusaha untuk memperlakukan anak seperti anak seusianya yang lain. Hal
ini yang membuat partisipan 1 tidak merasa khawatir apabila anak terluka ketika jauh
dari pengawasannya. Selain itu, partisipan 1 selalu membiarkan anak menenangkan
dirinya sendiri ketika ia merasa takut dan gelisah ketika mendengar suara yang keras,
serta ketika anak marah karena perintah yang diberikan oleh partisipan. Sedangkan
partisipan 2 dan suaminya berusaha untuk tidak memaksakan kehendak mereka pada
anak agar ia dapat bersekolah di sekolah umum. Partisipan 2 dan suami juga yang perlu
mengingatkan anak bungsunya agar tidak mengganggu kakaknya mengingat
ketidakmampuan anak dalam mengungkapkan perasaannya, serta pengambilan
keputusan orang tua dalam pendidikan seksual yang akan diterima anak. Meskipun
demikian, partisipan 2 berusaha memberikan pilihan alternatif kepada anak, terutama
ketika anak tidak memperoleh apa yang diinginkannya. Partisipan 2 juga mengaku
belum bisa meninggalkan anak sendirian bersama dengan orang lain karena khawatir
apabila anaknya tantrum dan sulit diatasi.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Biasanya nunggu sampai dia, sampai
suaranya hilang sendiri….Kalau masih
ada suaranya, ya teriak-teriak. Sambil
bingung. Nanti kalau suaranya sudah
berhenti, dia diam. Kalau ada lagi, ya
sudah. Sampai saya suruh membiarkannya
saja, supaya dia menenangkan diri sendiri.
Lha bagaimana karena dipegang saja
juga tidak bisa. Diberi tahu tidak apa-apa,
atau gini-gini, dia juga tidak mengerti.
Jadi biarkan dia menenangkan diri
“Aku kan baru setahun ya di sini, jadi aku
belum bisa melepas GAP. Misalnya aku
pergi sama suami, terus aku titipin gitu,
aku belum bisa. Masih, kalau pergi ya
udah bareng gitu, semua diajak. Belum
bisa mengatasi kalau tantrum kan. Jadi,
ya udah dari pada ngerepotin istilahnya,
aku bawa semua.”
22
sendiri, ya begitukan.”
Walaupun begitu, kedua partisipan memiliki harapan yang besar akan masa depan
anaknya. Partisipan 1 berharap bahwa pada akhirnya nanti anak bisa sembuh, dapat
bersekolah seperti anak seusianya yang lain, dapat membaca dan menulis, serta bisa
mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Begitu pula halnya dengan partisipan 2
yang berharap agar kemampuan motorik anaknya bisa menjadi lebih baik, anak bisa
membaca dan menulis, bahkan bisa membuka lapangan kerja sendiri bersama dengan
adiknya.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Harapannya itu tadi, pengen bisa apa
namanya, bisa sekolah seperti anak
normal.Tapi misalnya kalau dia ternyata
akademiknya tidak bagus, bisa mandiri
saja tidak masalah.Tidak bergantung pada
orang lain.”
“Satu sisi, motoriknya harus bagus ya
istilahnya. Yang penting terutamanya
baca-tulisnya aja. Aku sih nggak muluk-
muluk. Baca, nulis gitu ya…..Ya
keterampilan khusus gitu ya misalnya.
Kita punya angan-angan suatu saat dia
bisa punya bisnis sendiri sama adiknya.”
Kedua partisipan memiliki gambaran role orientation yang sama dalam
pengasuhan anak. Partisipan 1 merasa wajar apabila suaminya sulit untuk menerima
kondisi anak, mengingat perannya sebagai kepala rumah tangga yang harus mencari
nafkah sehingga jarang terlibat dalam pengasuhan. Partisipan 1 berusaha memenuhi
keinginan suaminya agar anak bisa patuh kepada orang tua, melalui perintah-perintah
yang selalu ia ajarkan. Selain itu, partisipan 1 juga ingin agar anak dapat menjadikan
figur ayah sebagai contoh yang baik baginya. Demikian halnya dengan partisipan 2
yang melihat suaminya sebagai sosok yang sangat perhatian dan selalu bersedia
membantu, serta mau memahami kondisi anak. Partisipan 2 merasa bahwa suaminya
selalu berusaha mengajarkan kebiasaan-kebiasaan yang baik kepada anak (seperti
23
beribadah). Hal ini pula yang membuat anak menjadi jauh lebih patuh terhadap perintah
ayahnya dibanding perintah partisipan.
Partisipan 1 Partisipan 2
“Ayahnya itu maunya, anak tidak boleh
semaunya sendiri. Soalnya, walaupun
jarang ketemu, anak laki-laki pasti
melihat figur ayahnya, seperti itu. Supaya
lebih banyak mendengar ayahnya. Marah-
marah kan bisa dicontoh.”
“Dia cukup perhatianlah. Mau melakukan
hal-hal kecil menurutku. Itu yang bisa
membantu. Cukup membantulah mbak.
Allhamdullilah”.
Partisipan 2 melihat bahwa peran ayah sangat penting bagi anaknya yang mulai
menginjak usia remaja, terutama dalam hal pendidikan seksual.
PEMBAHASAN
Ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis mengalami beberapa hambatan
dalam menjalin relasi dengan anak. Hambatan tersebut muncul akibat ketidakmampuan
anak untuk terlibat dalam interaksi sosial dan mengembangkan keterampilan
berkomunikasi. Ibu sering kali merasa kebingungan akibat ketidakmampuan anak untuk
mengungkapkan perasaan dan pemikirannya sehingga ketika ibu tidak bisa memenuhi
keinginan anaknya, anak mengekspresikan emosinya tersebut dengan cara tantrum.
Selain itu, anak juga menunjukkan respon negatif terhadap peraturan yang diterapkan
oleh ibu, meskipun ada hukuman yang tegas ketika anak tidak mau melaksanakannya.
Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi tersebut memicu tingginya tingkat
stres orang tua, terutama ibu anak usia prasekolah dan yang lebih tua (Davis & Carter,
2008).
Parental support merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh kedua partisipan
dalam membesarkan anak autis. Dukungan yang diberikan oleh pasangan dan anggota
keluarga serta teman dekat (Milyawati & Hastuti, 2009) membuat partisipan merasa
sangat bersyukur. Partisipan merasa bahwa ia tidak hanya menerima dukungan
24
emosional, melainkan juga kesediaan keluarga dalam membantu merawat dan
mengasuh anaknya. Ini menunjukkan bahwa penerimaan dari keluarga terhadap kondisi
anak yang mengalami gangguan autis dapat membantu ibu memperbaiki persepsi
terhadap dirinya sendiri dan terhadap anaknya, serta menumbuhkan penerimaan
terhadap perbedaan yang mereka miliki (Solomon & Chung, 2012). Ketika partisipan
memperoleh parental support, terutama dari pasangan, ibu menjadi lebih produktif
dalam memberikan pendidikan dan layanan kesehatan bagi anaknya. Hal ini
menunjukkan bahwa besarnya dukungan yang diterima oleh ibu dapat mempengaruhi
tingkat stres ibu anak autis (Altiere & von Kluge, 2009). Partisipan 1 juga memperoleh
banyak dukungan emosional melalui cerita dari orang tua lain yang juga memiliki anak
berkebutuhan khusus sedangkan partisipan 2 merasa tidak sendirian ketika melihat
bahwa ada banyak anak yang mengalami kekhususan. Hal ini menunjukkan bahwa
dukungan emosional, informasi maupun materi, yang diberikan oleh orang lain dapat
membantu meningkatkan kemampuan diri ibu untuk bertahan dari pengaruh-pengaruh
yang merugikan (Malecky & Demoray, 2003 dalam Hidayati, 2013).
Ketika pertama kali mengetahui bahwa anaknya didiagnosa mengalami
gangguan autis, kedua partisipan cenderung menyalahkan dirinya sendiri, merasa
terpukul, tidak percaya, menolak dan menyangkal kondisi anaknya tersebut. Respon
tersebut merupakan reaksi yang wajar mengingat bahwa tidak ada ibu yang
menginginkan anaknya mengalami gangguan perkembangan (Aziz & Fatma, 2013).
Namun seiring berjalannya waktu, partisipan berusaha untuk menerima kondisi tersebut
dan berusaha memberikan pendidikan serta terapi yang sesuai demi perkembangan
anaknya. Hal ini dikarenakan satisfaction with parenting yang ditunjukkan ibu terhadap
kondisi anak sangat mempengaruhi perkembangan anak autis (Rachmayanti &
25
Zulkaida, 2007). Persepsi negatif dalam hubungan ibu dan anak dapat mempengaruhi
tingginya tingkat masalah perilaku-emosional anak (van Steijn, Oerlemans, van Aken,
dkk, 2013). Nurmala (2013) mengatakan bahwa keadaan di mana orang tua menyadari
dan menerima kondisi anaknya merupakan awal dari munculnya makna hidup.
Kesadaran bahwa anak sangat membutuhkan partisipan, membuat mereka mulai
mencari berbagai informasi mengenai latihan-latihan guna meningkatkan
ketidakmampuan yang dimiliki oleh anak.
Profesi kedua partisipan sebagai ibu rumah tangga, di mana pengasuhan anak
dilakukan sendiri tanpa bantuan baby sitter, tentunya membuat partisipan memiliki
banyak waktu untuk berinteraksi dengan anak. Kedua partisipan berusaha untuk
melakukan aktivitas bersama dengan anak, seperti jalan-jalan bersama atau pergi
berbelanja ke pasar atau supermarket. Selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh
Strid, Heimann, dan Thus (2013) bahwa involvement orang tua dan anak memberikan
dampak yang lebih positif pada anak autis ketika mereka berinteraksi dengan orang
dewasa. Kedua partisipan juga mengetahui bagaimana perkembangan yang dialami oleh
anak terkait dengan gangguan yang mereka alami. Hal ini menunjukkan ketika orang
tua memiliki keterlibatan yang besar dengan anak, mereka dapat lebih memahami
keadaan anak serta mengetahui kebutuhan anak (Mufadhilah, 2014). Meskipun
demikian, usaha-usaha yang dilakukan oleh ibu belum menunjukkan perubahan yang
signifikan karena keterbatasan informasi dan pengetahuan yang ibu miliki mengenai
gangguan autis.
Hambatan terbesar yang dihadapi ibu dalam mengasuh anak autis adalah ketika
ibu dituntut untuk berkomunikasi dengan anak yang memang memiliki keterbatasan
dalam penguasaan bahasa dan cenderung suka mengulang perkataan yang
26
diucapkannya. Ketidakmampuan anak untuk menggunakan informasi yang mereka
terima dari orang tua dan mengolahnya (Hillman & Snyder, 2007) membuat ibu
kesulitan untuk memahami apa yang diinginkan anak sehingga mengakibatkan anak
marah dan tantrum (Noor, Indriati & Elita, 2014). Hal ini dialami oleh partisipan 1
ketika harus memberikan peraturan kepada anak secara berulang-ulang akibat
keterbatasan penguasaan bahasa yang dimiliki anak sedangkan kesulitan dihadapi oleh
partisipan 2 harus menenangkan anak yang tantrum karena keinginannya tidak
dipenuhi. Ketika hal tersebut terjadi, partisipan menjadi lebih emosional hingga
akhirnya memukul anak. Meskipun demikian, ada saat di mana partisipan tetap dapat
menyampaikan maksud dan keinginannya kepada anak walaupun respon yang diberikan
anak sangat minim.
Dalam melaksanakan limit setting, partisipan 1 perlu mengucapkan aturan
secara berulang-ulang bahkan sering kali disertai dengan perilaku memukul sedangkan
pada pada partisipan 2, aturan hanya diucapkan sekali dan anak sudah dapat mengingat
serta dapat melaksanakannya secara mandiri. Kedua partisipan berusaha melakukan
aturan tersebut secara konsisten sehingga hal tersebut dapat menjadi rutinitas bagi
mereka sesuai dengan penelitian Noor, Indriati dan Elita (2014) bahwa konsistensi
dalam menjalankan rutinitas sangat perlu dilakukan oleh ibu sehingga anak dapat
terbiasa. Kondisi lingkungan yang konsisten ini pula yang pada akhirnya dapat
membantu anak autis untuk belajar mengenai komunikasi dan kedisiplinan.
Partisipan 1 berusaha memberikan reward untuk mendorong anak dalam
melakukan rutinitasnya sedangkan partisipan 2 memberikan pujian untuk menghargai
usaha yang dilakukan anak meskipun pujian tidak diberikan secara konsisten.
Penelitian menunjukkan bahwa reward dan pujian yang diberikan dapat membuat anak
27
autis menjadi lebih termotivasi untuk terus belajar dan mematuhi perintah yang
diberikan oleh ibu (Sitompul, 2013). Meskipun demikian, partisipan 1 berusaha
memperlakukan anaknya seperti anak seusianya yang lain dan tidak merasa khawatir
ketika anak terluka sedangkan partisipan 2 selalu berusaha memberikan kesempatan
kepada anak untuk dapat mengambil keputusan ketika ia tidak memperoleh apa yang
diinginkannya.
Role orientation ayah sangat dibutuhkan dalam pengasuhan anak. Hal ini
dikarenakan ayah merupakan tokoh otoriter yang ditakuti dan dibutuhkan oleh anak
(Mufadhilah, 2014). Partisipan 2 merasa bahwa anak jauh lebih tunduk dan taat pada
ayah dibanding dirinya. Namun ada saat dimana suami partisipan 1 belum dapat
menerima kondisi anak dan menjadi cepat marah ketika anak melakukan kesalahan.
Ketidakmampuan anak untuk mengantri dan mentaati aturan, menjadi penyebab
kemarahan ayah karena sebagai kepala keluarga, ayah menghendaki agar anaknya
tumbuh menjadi anak yang taat dan patuh pada orang tua, bukan semaunya sendiri.
Penelitian menunjukkan bahwa ayah anak autis memiliki sikap acuh yang besar
terhadap reaksi sosial, serta adanya kesulitan dalam memberikan respon dan
keterampilan sosial (Seidman, Yirmiya, Milshtein, dkk, 2012). Meskipun demikian,
kedua partisipan merasa sangat senang ketika ayah bersedia terlibat dalam pengasuhan
anak autis bersama dengan ibu dan meluangkan waktu untuk melakukan aktivitas
bersama sehingga anak menjadi lebih diperhatikan dan dimengerti oleh orang tuanya.
Selain itu bagi partisipan 2, ayah memiliki peranan dalam membantu anak ketika mandi
dan memberikan pendidikan sekual ketika anak beranjak dewasa.
28
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa kedua partisipan
mendapatkan dukungan dari pasangan dan anggota keluarga yang lain. Meskipun
demikian, partisipan 2 belum memiliki teman untuk mencurahkan isi hatinya. Berbeda
dengan partisipan 1 yang sering bertukar pengalaman bersama ibu-ibu murid
berkebutuhan khusus lainnya.
Kedua partisipan merasa sedih, menyalahkan dirinya sendiri, menolak dan
menyangkal kondisi anaknya yang didiagnosa mengalami gangguan autis. Namun
seiring berjalannya waktu, kedua partisipan merasa dibutuhkan oleh anaknya sehingga
mereka berusaha untuk menerima kondisi tersebut dan berusaha memberikan
pendidikan dan penanganan yang tepat.
Kedua partisipan juga berusaha terlibat dalam pengasuhan anak dan selalu
meluangkan waktu untuk bisa melakukan aktivitas bersama dengan anak. Akan tetapi
pengetahuan partisipan 1 dan partisipan 2 terhadap anak mereka berbeda, terkait dengan
perkembangan yang dialami oleh anak masing-masing.
Dalam menjalin komunikasi dengan anak, partisipan 1 banyak mengalami
kesulitan karena anaknya memiliki ketidakmampuan untuk menggunakan bahasa.
Sedangkan partisipan 2 tidak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan anak
karena anaknya sudah dapat berkomunikasi dan sudah memahami setiap perkataan yang
diucapkan orang lain.
Kedua partisipan juga menunjukkan cara yang berbeda dalam memberikan
aturan. Partisipan 1 memberikan aturan secara terus-menerus sampai ia merasa bahwa
anaknya sudah memahami peraturan tersebut dan bisa melakukannya secara mandiri.
Sedangkan partisipan 2 hanya memberikan aturan 1 kali dan anaknya sudah bisa
29
melakukan peraturan tersebut secara mandiri pada kesempatan yang lain. Meskipun
demikian, kedua partisipan kurang memberikan dorongan kepada anak untuk mandiri
dan dapat mengambil keputusan sendiri. Sehingga ibu cenderung mendominasi setiap
aktivitas yang lakukan oleh anak. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa kedua
partisipan memainkan peranannya sebagai seorang ibu dengan baik, yang terlibat secara
aktif dalam pengasuhan dan perawatan anak autis maupun anggota keluarga yang lain.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, beberapa saran bagi pihak terkait
antara lain:
1. Bagi orang tua
a. Pasangan dan anggota keluarga yang lain hendaknya memberikan dukungan
kepada ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis sehingga ibu dapat
mengatasi stres dan menjadi lebih produktif.
b. Penerimaan ibu terhadap kondisi anak sangat diperlukan agar anak tidak
merasa diabaikan oleh orang tuanya.
c. Ibu/orang tua anak autis hendaknya mencari inforrmasi terkini mengenai
gangguan autis sehingga dapat memberikan penangan yang sesuai dengan
kebutuhan anak.
d. Orang tua perlu mengajar dan melaksanakan aturan secara konsisten
sehingga anak dengan gangguan autis menjadi lebih terarah.
e. Orang tua hendaknya berusaha mendorong anak untuk menjadi lebih mandiri
dengan memberikan alterrnatif pilihan kepada anak mengenai apa yang ingin
mereka lakukan.
30
2. Bagi penelitian selanjutnya
a. Peneliti menyarankan peneliti selanjutnya untuk lebih memperdalam metode
penelitian melalui observasi, baik observasi di rumah maupun di sekolah
sehingga dapat mengetahui gambaran spesifik relasi ibu dengan anak autis.
b. Peneliti menyarankan penelitian selanjutnya untuk mempersempit batasan
usia anak autis, misalnya anak usia 6-8 tahun.
c. Pada penelitian selanjutnya, peneliti menganjurkan untuk meneliti gambaran
relasi ayah dengan anak yang mengalami gangguan autis.
31
DAFTAR PUSTAKA
Altiere, M. J., & von Kluge, S. (2009). Family functioning and coping behaviors in
parents of children with autism. Journal of Child and Family Studies, 18, 83-92.
American Psychiatric Association (APA). (2000). Diagnostic and statistical manual of
mental disorders (4th
ed., Text rev.). Washington, DC: Author.
Asmika, Andarini, S., & Rahayu, R. P. (2006). Hubungan motivasi orang tua untuk
mencapai kesembuhan anak dengan tingkat pengetahuan tentang penanganan anak
penyandang atisme dan spektrumnya. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 22(2), 90-94.
Aziz, A., & Fatma, A. (2013). Hubungan antara dukungan sosial dengan penyesuaian
diri ornag tua yang memiliki anak autis. Talenta Psikologi, 2(2), 141-159.
Azizah. (2015). Children disruptive behavior well-being: pentingnya hubungan anak
dan orang tua. Seminar Psikologi & Kemanusiaan, 46-54.
Chlebowski, C., Green, J. A., Barton, M. L., & Fein, D. (2010). Using the childhood
autism rating scale to diagnose autism spectrum disorders. Journal of Autism and
Developmental Disorder, 40, 787-799.
Cumine, V., Leach, J., & Stevenson, G. (2000). Autism in the early years: a practical
guide. London: David Fulton Publishers.
Davis, N. O. & Carter, A. S. (2008). Parenting stress ini mothers and fathers of toodlers
with autism spectrum disorders: assocaiations with child characteristics. Journal
of Autism and Developmental Disorder, 38, 1278-1291.
Dempsey, I., & Foreman, P. (2001). A review of educational approaches for individuals
with autism. International Journal of Disability, Development and Education,
48(1), 103-115.
Durrant, J. (2012). A guide to building healthy parent-child relationships: a positive,
right-based approach. Save the Children.
Ekawati, Y., & Wandasari, Y. Y. (2012). Perkembangan interaksi sosial anak autis di
sekolah inklusi: ditinjau dari perspektif ibu. Experientia: Jurnal Psikologi
Indonesia, 1(1), 1-15.
Gerard, A. B. (1994). Parent-child relationships inventory (PCRI) manual. Los Angeles:
Western Psychological Services.
32
Hidayati, F. (2013). Pengaruh pelatihan “Pengasuhan Ibu Cerdas” terhadap stress
pengasuhan pada ibu dari anak autis. Jurnal Psikoislamika, 10(1).
Hendriani, W., Handariyati, R., & Sakti, T. M. (2006). Penerimaan keluarga terhadap
individu yang mengalmai keterbelakangan mental. Insan, 8(2), 100-111.
Indahwati, D. (2014). Kompetensi sosial anak autis ditinjau dari hubungan antara
dukungan sosial keluarga dengan sikap ibu. Jurnal Sains & Praktisi Psikologi,
2(2), 161-172.
Lestari, S., Faturochman, Kim, U. (2010). Trust in parent-child relationship among
undergraduate students: indigenous psychological analysis. Jurnal Psikologi,
37(2). 140-152.
Milyawati, L. & Hastuti, D. (2009). Dukungan keluarga, pengetahuan, dan persepsi ibu
serta hubungannya dengan strategi koping ibu pada anak dengan gangguan autism
spectrum disorder (ASD). Jur. Ilm. Kel. dan Kons., 2(2), 137-142.
Mufadhilah. (2014). Studi pengasuhan orang tua pada anak autis. Jurnal Online
Psikologi, 2(2), 256-269.
Nixon & Mariyanti, S. (2012). Gambaran kemandirian anak penyandang autisme yang
mengikuti program aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS). Jurnal Psikologi,
10(2), 91-107.
Noor, M., Indriati, G., & Elita, V. (2014). Pengalaman ibu dalam merawat anak autis
usia sekolah. Jom. Psik., 1(2), 1-12.
Nurmala, A. P. (2013). Tingkat kebermaknaan hidup dan optimism pada ibu yang
mempunyai anak berkebutuhan khusus. Developmental and Clinical Psychology,
2(2), 6-12.
Phetrasuwan, S., & Miles, M. S. (2009). Parenting stress in mothers of children with
autism spectrum disorders. Journal Compilation, 14(3), 157-164.
Prishelly, A. (2014). Instructional communication teacher of children foundation in
autistic children independent Pekanbaru. Jom Fisip, 2(1), 1-14.
Rachmayanti, S. & Zulkaida, A. (2007). Penerimaan diri orang tua terhadap anak
autisme dan perannya dalam terapi autisme. Jurnal Psikologi, 1(1).
Rodger, S., Keen, D., Braithwaite, M., & Cook, S. (2008). Mother’s satisfaction with a
home based early intervention programme for children with ASD. Journal of
Applied Research in Intellectual Disabilities, 21, 174-182.
33
Salman. (2014). Pola komunikasi orang tua dalam mengatasi kesulitan berkomunikasi
anak autis. Jom FISIP, 1(2), 1-13.
Seidman, I., Yirmiya, N., Milshtein, S., Ebstein, R. P., & Levi, S. (2012). The broad
autism phenotype questionnaire: mothers versus fathers of children with an autism
spectrum disorder. Journal of Autism and Developmental Disorder, 42, 837-846.
Sitompul, H. U. M. (2013). Proses komunikasi interpersonal antara terapis dengan anak
autis di Esya Terapi Center Sidoarjo dalam proses terapi wicara. Jurnal E-
Komunikasi, 1(3), 1-10.
Solomon, A. H., & Chung, B. (2012). Understanding autism: how family therapists can
support parents of children with autism spectrum disorder. Family Process, 51(2),
250-264.
Strid, K., Heimann, M., & Tjus, T. (2013). Pretend play, deferred imitation and parent-
child interaction in speaking and non-speaking children with auism. Scandinavian
Journal of Psychology, 54, 26-32.
The National Center on Parent, Family, and Community Engagement (NCPFCE).
(2013). Positive parent-child relationships. Boston Children’s Hospital. Retrieved
from http://eclkc.ohs.acf.hhs.gov/hslc/tta-system/family
Trommsdorff, G. (2006). Parent-child relations over the lifespan: a cross-cultural
perspective. Parenting Beliefs, Behaviors, and Parent-Child Relations. New
York: Psychology Press. 143-183.
Utami, T. & Naviati, E. (2012). Pengalaman ibu mengasuh anak dengan resiko GPPH.
Jurnal Nursing Studies, 1(1), 237-243.
Van Steijn, D. J., Oerlemans, A. M., can Aken, M. A. G., Buitelaar, J. K., & Rommelse,
N. N. J. (2013). Match or mismatch? Influence of parental and offspring ASD and
ADHD symptoms on the parent-child relationship. Journal of Autism and
Developmental Disorder, 43, 1935-1945.
Webster-Stratton, C. H., Reid, M. J., & Beauchaine, T. (2011). Combining parent and
child training for young children with ADHD. Journal of Clinical Child &
Adolescent Psychology, 40(2), 191-203.