1
GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 SEKOLAH DASAR
Martha Emma Fredrika dan Wuri Prasetyawati, S.Psi., M.Psi.
ABSTRAK
Kecurangan akademik adalah perilaku yang menggunakan cara-cara tidak sah untuk mencapai hasil yang sah yaitu mendapatkan keberhasilan akademik atau menghindari kegagalan akademik (Bowers, 1966). Sejak penelitian Bowers, penelitian-penelitian tentang kecurangan akademik memberikan konfirmasi bahwa kecurangan akademik terus terjadi di negara-negara di seluruh dunia dan berada pada tingkat yang membahayakan (McCabe 2005; Lin & Wen, 2007; Lambert, Ellen, & Taylor 2006; Diekhoff, Labeff, Shinorhara, & Yasukawa, 1999; McCabe, Feghali, & Abdallah, 2008). Selama ini penelitian tentang kecurangan akademik banyak dilakukan di tingkat universitas dan sekolah menegah. Belum ada penelitian kecurangan akademik pada siswa Sekolah Dasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran kecurangan akademik pada siswa kelas 6 Sekolah Dasar di Indonesia. Penelitian melibatkan 60 siswa kelas 6 SD yang terdiri atas 26 siswa SD swasta dan 34 siswa SD negri. Penelitian menemukan bahwa kecurangan akademik sudah terjadi pada siswa kelas 6 SD dan berada pada level moderat. Secara umum partisipan penelitian mendapat skor yang sedang untuk kecurangan akademik (Mean=23,81) dari skor minimum 16 dan maximum 38.
Kata Kunci: Kecurangan Akademik, Disiplin, Disiplin Sekolah, Sekolah Dasar
ABSTRACT
Cheating is a manifestation of using illegitimate means to achieve a legitimate end, in this case academic success or at least the avoidance of academic failure (Bowers, 1966). Studies about academic dishonesty conducted since Bowers’ confirmed that academic dishonesty persists at an alarming rate in countries all over the world (McCabe 2005; Lin & Wen, 2007; Lambert, Ellen, & Taylor 2006; Diekhoff, Labeff, Shinorhara, & Yasukawa, 1999; McCabe, Feghali, & Abdallah, 2008). There are many research on academic dishonesty among university or high school students. None has conduct study of academic dishonesty among elementary school 6th grader until now. The objective of this reseach is to give a description of academic dishonesty among the elementary school 6th grader in Indonesia. The research involved 60 elementary school 6th grader, 26 from private school and 34 from public school. The finding is: Academic dishonesty has occured among the 6th grader at the moderate level. Overall participants got medium score for academic dishonesty (M = 23,81) from minimum score of 16 to maximum score of 38. Keywords: Academic Dishonesty, Discipline, School Discipline, Elementary School
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
2
Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan, prestasi akademik yang tinggi dianggap sebagai gerbang menuju
kehidupan yang lebih baik: peningkatan status sosial – ekonomi, kehormatan, kekayaan, dan sukses.
Siswa berkompetisi secara ketat untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Inilah esensi dari kesuksesan
siswa di zaman sekarang, kesuksesan diukur dari mendapatkan nilai yang baik, yang akan menolong
siswa diterima di sekolah atau universitas yang mempunyai reputasi terhormat, mendapat pekerjaan
yang baik, dan seterusnya (Khawaja dalam Khan & Khan, 2011).
Ketatnya persaingan untuk berprestasi, membuat masyarakat sering melupakan bahwa tujuan
utama dari pendidikan bukan hanya menjadikan anak cerdas tapi juga berkarakter baik. Sepanjang
sejarah dan pada banyak negara di dunia, pendidikan memiliki dua tujuan besar yang utama: untuk
menolong anak menjadi cerdas dan menjadi baik (Lickona, 1991).
Dengan tujuan untuk dapat diterima pada sekolah atau universitas dengan reputasi terhormat
dan mendapat pekerjaan yang baik, siswa melakukan malpraktek dalam ujian. Segala bentuk
kecurangan yang secara langsung atau tidak langsung memalsukan kemampuan siswa disebut sebagai
malpraktek (Anon dalam Khan & Khan, 2011). Nama lain dari malpraktek adalah kecurangan
akademik. Bowers mendefinisikan kecurangan akademik sebagai perilaku yang menggunakan cara-
cara tidak sah untuk mencapai hasil yang sah yaitu untuk mendapatkan keberhasilan akademik atau
menghindari kegagalan akademik. Ada tekanan-tekanan untuk berbuat curang yang mempengaruhi
perilaku siswa. Diantara tekanan-tekanan itu adalah tuntutan-tuntutan dan kewajiban-kewajiban
akademik. Mereka yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan peran sebagai siswa
akibat dari kebiasaan belajar yang buruk dan nilai-nilai akademik yang rendah, akan lebih cenderung
untuk berbuat curang dibandingkan siswa yang baik (Bowers, 1966).
Masalah kecurangan akademik dapat menghancurkan sebuah bangsa dan landasan dari
perilaku di masa depan dimulai sejak usia remaja (Akaniwor dalam Khan & Khan, 2011). Masalah
kecurangan akademik tidak dimulai di tingkat universitas. Sebuah survey yang dilakukan oleh
Josephson Institute of Ethics menemukan bahwa 74% dari 12.000 siswa sekolah menengah atas
pernah berbuat curang dalam ujian paling tidak sekali dalam jangka waktu setahun. Survey yang
sama mengindikasikan bahwa dibandingkan masa lalu, saat ini siswa lebih cenderung untuk
berbohong kepada orangtua dan guru, bahkan mencuri (Taylor dalam Ferguson, 2010). Lebih dari 35
% siswa sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama setuju dengan pernyataan, “Saya
akan bersedia berbuat curang ketika ujian jika itu bisa menolong saya masuk universitas” (Gomez
dalam Levy & Rakovski, 2006).
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
3
Data statistik menunjukkan bahwa perilaku kecurangan akademik di kalangan siswa sekolah
menengah dan sekolah tinggi di AS meningkat secara dramatis sepanjang 50 tahun terakhir. Tidak
hanya di Amerika Serikat, fenomena kecurangan akademik sudah terjadi di seluruh dunia (McCabe,
Feghali, & Abdallah, 2008). Peneliti juga menemukan informasi yang mengungkapkan fenomena
kecurangan akademik di Indonesia. Beberapa mahasiswa Fakultas Psikologi UI telah meneliti tentang
kecurangan akademik di kalangan mahasiswa. Yakin (2001) meneliti 70 mahasiswa program
Ekstensi UI dan menyimpulkan bahwa kecurangan akademik di kalangan mahasiswa program
ekstensi tergolong tinggi dan rata-rata partisipan melakukan 24 kecurangan akademik dalam kurun
waktu setahun. Kamarudin (2004) juga mengadakan penelitian kecurangan akademik dengan sampel
mahasiswa Strata 1 Fakultas Psikologi dan Fakultas Ekonomi baik yang berasal dari perguruan tinggi
swasta maupun negri. Dari 172 kuesioner yang terpakai, didapatkan data bahwa rata-rata mahasiswa
melakukan kurang lebih 10 perilaku kecurangan akademik, dan sebanyak 40,7% mahasiswa memiliki
skor rata-rata kecurangan akademik yang tinggi. Pada tahun 2011, Indrianita melakukan penelitian
terhadap mahasiswa UI dari berbagai Fakultas (Psikologi, Hukum, FIB, FISIP, Teknik, FIK, FKM,
MIPA, Fasilkom, dan Ekonomi). Dari 178 data partisipan didapatkan bahwa sebagian besar
mahasiswa berada dalam kategori kecurangan akademik yang tinggi, yakni dengan prosentasi sebesar
53,4%.
Tidak hanya di kalangan mahasiswa, kecurangan akademik di Indonesia juga terjadi di tingkat
Sekolah Menengah. Majalah remaja HAI edisi 28 Maret – 3 April 2011 memuat artikel hasil
investigasi tentang kebocoran soal Ujian Negara (UN). HAI mengulas proses atau alur terjadinya
kebocoran soal UN dan harga paket soal yang diyakini berisi soal-soal UN. Dibandingkan tahun-
tahun sebelumnya, untuk mendapatkan sumber bocoran soal tergolong mudah dan cukup terbuka.
Menurut narasumber HAI yang lulus ujian SMP dengan mengandalkan bocoran soal, setelah SMA, ia
juga mencoba cara yang sama. Demikian juga ada dugaan bahwa kecurangan akademik di Indonesia
sudah terjadi di tingkat Sekolah Dasar, seperti peristiwa dugaan contek massal yang terjadi di SDN
Gadel, Surabaya pada tanggal 16 Juni 2011.
Penelitian ini dikhususkan pada siswa kelas 6 SD (Sekolah Dasar) karena melihat fenomena
yang terjadi pada murid kelas 6 SD di Indonesia. Dari hasil wawancara dengan tiga orangtua murid
kelas 6 SD dan dua orang Kepala Sekolah SD di Depok dan Jakarta diperoleh informasi bahwa Ujian
Nasional merupakan momen pertama yang menjadi sumber kekhawatiran dan distres bagi siswa kelas
6 SD, orangtuanya, dan pihak sekolah. Siswa kelas 6 SD yang ingin masuk Sekolah Menengah
Pertama (SMP) negeri yang prestisius dan bermutu baik harus mempunyai standar prestasi akademis
yang cukup tinggi sesuai dengan persyaratan penerimaan di SMP tersebut. Prestasi akademik siswa
diukur dari nilai-nilai rapor mulai dari kelas 4 sampai 6 SD dan batas minimal NEM. Sebagai contoh,
dari SDN siswa yang ingin melanjutkan ke SMPN favorit maka harus memiliki NEM minimal 27
(rata-rata 9). Siswa kelas 6 SD yang ingin masuk SMP RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional)
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
4
harus memiliki prestasi akademis yang baik, memenuhi persyaratan minimal NEM tertentu, dan lolos
beberapa tahap ujian serta wawancara sebelum bisa diterima. Selain itu orangtua siswa SMP RSBI
juga harus lebih mampu secara ekonomi untuk membayar uang sekolah. Dari data di atas dapat
dilihat adanya tekanan dan tuntutan yang relatif tinggi terhadap siswa kelas 6 SD untuk berprestasi
baik dan mendapatkan nilai-nilai yang tinggi. Bukan hanya siswa, orangtunya juga ikut merasakan
tekanan ini.
Utami Munandar dalam Hamidah (2001) mengatakan bahwa sesuai rentang usianya yaitu
antara 10 – 13 tahun maka anak kelas 6 SD termasuk pada masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar
sehingga mereka bersifat amat realistis, ingin tahu, ingin belajar, dan memandang nilai sebagai ukuran
yang tepat terhadap prestasi belajar. Anak kelas 6 SD juga sedang berada dalam tahap perkembangan
psikososial keempat, yaitu Industry versus Inferiority (rentang usia antara 6 tahun sampai masa
pubertas). Erikson mengatakan bahwa pada tahap ini anak-anak mulai memasuki dunia yang lebih
besar tentang pengetahuan dan kerja. “I am what I learn”. Event besarnya adalah memasuki dunia
sekolah. Pengalaman keberhasilan membuat anak merasa kompeten dan ahli, sementara kegagalan
membuat anak merasa tidak mampu dan inferior (rendah diri). Anak berjuang untuk bekerja dengan
baik dan menyelesaikan apa yang sudah ia mulai. (Erikson dalam Miller, 2011 hal 153)
Nilai-nilai akademik adalah representasi yang terlihat dari prestasi akademik siswa. Jika
mendapat nilai-nilainya bagus, siswa dapat memenangkan pengakuan dan penghargaan dari orangtua,
guru, dan teman selingkungannya. Nilai-nilai bagus juga menambah kesempatan siswa untuk
mendapatkan sekolah yang lebih tinggi dan untuk kesempatan kerja di masa depan (Bowers, 1966).
Perasaan untuk berkompetisi yang sangat besar dan perasaan takut akan kegagalan dapat
mengakibatkan siswa kelas 6 SD mengambil keputusan untuk melakukan kecurangan akademik.
Siswa menuntut ilmu di sekolah. Sekolah adalah institusi yang mempunyai aturan-aturan
yang berlaku di dalamnya, yaitu tata tertib sekolah. Untuk mempertahankan keteraturan di sekolah
maka dibutuhkan suatu sistem yang terdiri dari peraturan-peraturan, hukuman-hukuman dan strategi-
strategi perilaku yang sesuai dengan regulasi anak (Dantje, 1990). Pendisiplinan berhubungan erat
dengan tingkah laku siswa yang menyimpang atau salah. Untuk membuat seseorang menjadi disiplin
maka dilakukan intervensi. (Knoff dalam Dantjie, 1990). Tingkah laku yang menyimpang adalah
tingkah laku seperti terlihat dan dinilai oleh orang lain, misalnya guru atau petugas administrasi di
sekolah yang berada dalam posisi sebagai otoritas. (Charles, 1985, dalam Dantjie, 1990). Kecurangan
akademik yang dilakukan di sekolah dipandang sebagai suatu bentuk pelanggaran dari peraturan-
peraturan yang telah ditentukan atau suatu bentuk pelanggaran dari situasi-situasi standar dalam
melakukan tugas-tugas sekolah dan ujian-ujian yang ada (Cizek dalam Kamarudin, 2004). Dengan
demikian maka siswa yang melakukan kecurangan akademik dikatakan sebagai pelanggar disiplin
sekolah.
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
5
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kecurangan akademik pada siswa kelas
6 SD dan kaitannya dengan peraturan tentang kecurangan akademik di sekolah.
Landasan Teori
Bowers (1966) mendefinisikan kecurangan akademik sebagai perilaku yang menggunakan
cara-cara tidak sah untuk mencapai hasil yang sah yaitu untuk mendapatkan keberhasilan akademik
atau menghindari kegagalan akademik. Melanjutkan penelitian Bowers, tahun 1993 McCabe dan
Trevino mengukur 12 jenis perilaku kecurangan akademik dengan instrumen Academic Integrity
Survey. Keduabelas jenis perilaku tersebut adalah:
1. Menyimpan catatan contekan saat ujian
2. Mencontek dari siswa lain saat ujian
3. Menggunakan metode yang tidak adil untuk mempelajari bahan ujian, sebelum
ujian diberikan.
4. Mencontek jawaban dari siswa lain saat ujian tanpa sepengetahuannya.
5. Membantu orang lain mencontek saat ujian
6. Mencontek saat ujian dengan menggunakan berbagai cara lainnya
7. Menjiplak materi dari sumber lain dan menyatakannya sebagai karya sendiri.
8. Fabrikasi atau memalsukan bibliografi
9. Menyerahkan hasil pekerjaan orang lain (dan mengakui sebagai karya sendiri)
10. Menerima bantuan yang tidak diperbolehkan dalam jumlah besar dalam
menyelesaikan tugas.
11. Bekerja sama dalam menyelesaikan tugas, saat pengajar meminta tugas
dikerjakan secara individual.
12. Menjiplak kalimat-kalimat dari sumber yang sudah diterbitkan tanpa membuat
catatan kaki. (Whitley & Keith-Spiegel, 2002)
Hollinger & Lanza-Kaduce dalam Whitley & Keith-Spiegel (2002) menambahkan 3 dimensi
perilaku kecurangan akademik yaitu: misrepresentasi yaitu menyediakan informasi yang salah kepada
guru mengenai tugas akademik, tidak ikut berkontribusi pada tugas kelompok yaitu tidak ikut
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
6
memberikan sumbang pikiran dan tidak memberikan porsi kerja secara adil dalam tugas kelompok,
dan melakukan sabotase yaitu melakukan aksi-aksi untuk mencegah siswa lain menyelesaikan
tugasnya. Definisi kecurangan akademik yang menjadi dasar dalam penelitian ini adalah definisi
kecurangan akademik Bowers (1966).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecurangan Akademik
Bowers (1966) dan McCabe & Trevino (1997) mengadakan penelitian untuk melihat faktor-
faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku kecurangan akademik. Faktor-faktor ini dibagi menjadi 2
kelompok:
1. Faktor individual: Berdasarkan pada perbedaan individual.Variabel demografis seperti usia, gender,
dan prestasi akademik telah diteliti dengan luas. Walaupun temuan dari penelitian beragam,
kebanyakan mengemukakan bahwa variabel demografis dapat memberikan pengaruh penting pada
kecurangan akademik. Variabel demografis itu antara lain usia, gender, prestasi akademik, pendidikan
orangtua, dan partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler. Variabel-variabel ini tercakup dalam
Academic Integrity Survey yang dibuat oleh McCabe.
2. Faktor kontekstual: Perilaku kelompok di lingkungan (Peer behavior): Bowers (1964) dan
McCabe dan Trevino (1993) menemukan perilaku kelompok di lingkungan sebagai pengaruh penting
pada kecurangan akademik. Hubungan ini didukung oleh teori social learning (Bandura, 1986) dan
teori differential association (Sutherland, 1947). Teori ini menekankan bahwa perilaku manusia
dipelajari melalui pengaruh dari contoh dan perilaku menyimpang dipelajari dari asosiasi yang dekat
dengan orang yang terlibat dalam penyimpangan. Jadi, melihat kelompok teman selingkungan
berhasil berlaku curang akan meningkatkan kecenderungan observer untuk berperilaku sama.Perilaku
peer juga menyediakan dukungan normatif untuk berbuat curang. Berperilaku curang akhirnya
dipandang sebagai cara-cara yang dapat diterima untuk bisa bertahan dan maju (McCabe & Trevino,
1993).
Faktor-faktor kontekstual lainnya: Ketidaksetujuan kelompok selingkungan (Peer
disapproval), pengaduan teman selingkungan (Peer reporting), berat-ringannya hukuman yang
diterima (The severity of penalties for cheating). Untuk faktor yang disebutkan terakhir, teori
Deterrence juga mengatakan bahwa peningkatan pada konsekuensi beratnya suatu hukum yang untuk
perilaku menyimpang akan mengurangi jumlah individu yang mau meresikokan dirinya (Zimring &
Hawkins, 1973). Argumentasinya adalah, jika hukuman cukup berat maka potensi konsekuensi aksi
akan mengalahkan potensi keuntungan yang diperoleh pelaku kecurangan. Michaels& Miethe (1989)
menunjukkan bahwa logika ini dapat diterapkan pada persepsi siswa tentang berat-ringannya
hukuman bagi perilaku kecurangan akademik. Selain itu ada pula faktor pengertian pihak fakultas /
sekolah dan dukungan mereka atas kebijakan integritas akademik (the faculty understanding and
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
7
support of these policies). Banyak institusi pendidikan tinggi punya kebijakan tentang integritas
akademik. Beberapa dari kebijakan ini, yang ditemukan pada institusi dengan honor codes yang kuat,
diinformasikan secara luas dan dimengerti oleh anggota dari komunitas akademik, dan menjadi bagian
yang terintegrasi dalam budaya kampus. Ada juga kebijakan yang hanya tercantum dalam buku
pegangan kampus yang jarang dibaca oleh siapapun, baik pihak fakultas / sekolah maupun siswa.
McCabe & Trevino (1993) menyatakan bahwa persepsi siswa akan efektivitas kebijakan-kebijakan ini
berhubungan dengan derajat dimana mereka merasa pihak fakultas / pihak sekolah mengerti dan
mendukung mereka.
Faktor Individual Lain
Ada sebagian siswa yang tidak dengan sengaja terlibat dalam perilaku yang dianggap sebagai
kecurangan akademik. (Whitley & Keith-Spiegel, 2002)
Ada dua alasan mengapa mereka melakukannya: Pertama, kurangnya pengertian akan apa
yang dilarang (lack of understanding of what is prohibited) dan kedua, ketidak sanggupan untuk
menghindari perilaku yang dilarang (inability to avoid prohibited behaviors)
Disiplin dan Disiplin Sekolah
Kata disiplin berasal dari kata bahasa Inggris disciple yang berasal dari kata disciplus dalam
bahasa latin. Webster’s New International Dictionary menyatakan bahwa seorang yang disiplin
adalah seorang yang menerima instruksi dari orang lain, seorang pelajar, khususnya orang yang
menerima doktrin-doktrin dari gurunya dan menolong menyebarkannya, seorang pengikut. Pengertian
disiplin lainnya menurut Webster: Suatu sistem yang berisi aturan-aturan atau metode berperilaku.
Sekolah adalah suatu institusi yang mempunyai aturan-aturan yang berlaku di dalamnya, yaitu
tata tertib sekolah. Untuk mempertahankan keteraturan di sekolah maka dibutuhkan suatu sistem yang
terdiri dari peraturan-peraturan, hukuman-hukuman dan strategi-strategi perilaku yang sesuai dengan
regulasi anak (Dantje, 1990).
Anak kelas 6 SD berada dalam tahap perkembangan keempat, yaitu Industry versus
Inferiority (rentang usia antara 6 tahun sampai masa pubertas). Erikson mengatakan bahwa pada usia
6 tahun sampai pubertas anak-anak mulai memasuki dunia yang lebih besar tentang pengetahuan dan
kerja. “I am what I learn” Event besarnya adalah memasuki dunia sekolah. Pengalaman keberhasilan
membuat anak merasa kompeten dan ahli, sementara kegagalan membuat anak merasa tidak mampu
dan rendah diri (Erikson dalam Miller, 2011 hal 153). Mahone dalam Hamidah (2001) mengatakan
bahwa adanya harapan-harapan yang tidak realistis yang menuntut anak untuk memenuhi standar
yang diharapkan dan di luar batas kemampuannya, dapat membuat anak merasa tidak berdaya.
Karena ingin diterima dalam kelompok teman sebaya serta perasaan berkompetisi yang sangat besar,
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
8
anak cenderung akan melakukan usaha-usaha untuk mencapai tujuan tersebut walaupun tidak sesuai
dengan kemampuannya. Salah satu usahanya adalah dengan melakukan kecurangan akademik untuk
meningkatkan prestasi akademiknya dengan mendapatkan nilai-nilai yang baik (tinggi) serta
menghindari kegagalan berprestasi di sekolah.
Metode Penelitian
Masalah Konseptual: Bagaimana gambaran kecurangan akademik pada siswa kelas 6 SD?
Masalah Operasional: Berapakah mean total skor skala kecurangan akademik pada siswa kelas 6
SD?
Variabel Penelitian: Variabel dalam penelitian ini adalah kecurangan akademik. Variabel ini diukur
dengan menggunakan alat ukur Academic Integrity Survey.
Definisi Konseptual: Kecurangan akademik adalah perilaku menggunakan cara-cara tidak sah untuk
mencapai hasil yang sah yaitu untuk mendapatkan keberhasilan akademik atau menghindari
kegagalan akademik.
Definisi Operasional: Definisi operasional dari kecurangan akademik adalah skor total yang
diperoleh dari jawaban masing-masing partisipan berdasarkan enam belas subskala kecurangan
akademik. (Tabel dimensi yang hendak diukur dan indikator-indikatornya berupa item PL1 – PL16
terdapat di lampiran.)
Tipe/Desain Penelitian: Tipe penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian non
eksperimental studi lapangan (ex post facto field study). Artinya penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif, dimana data yang diperoleh berupa angka yang akan dianalisis secara statistik.
Pada penelitian ini tidak dilakukan manipulasi dan kontrol terhadap variabel penelitian, dilakukan
dalam situasi alamiah (pada keadaan sehari-hari). Berdasarkan tujuannya, penelitian ini digolongkan
dalam penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-
sifat individu, keadaan, gejala, atau adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain di
masyarakat. Penelitian ini menjelaskan atau mendeskripsikan kecurangan akademik pada siswa kelas
6 SD kemudian menjelaskan hasil temuan serta kaitannya dengan landasan teori yang ada.
Populasi, Sampel dan Karakteristik Partisipan: Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah
siswa kelas 6 Sekolah Dasar. Sampelnya diambil dari dua Sekolah Dasar yang ada di Depok, yang
terdiri dari satu SD negri (34 siswa) dan satu SD swasta (26 siswa). Keseluruhan partisipan adalah 60
siswa kelas 6 SD, terdiri atas 31 laki-laki dan 29 perempuan yang mempunyai rentang usia antara 10 –
13 tahun dan berada pada masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar (fase kanak-kanak akhir). Anak kelas
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
9
6 SD juga sedang berada pada tahap perkembangan psikososial ke-4 sesuai teori Erikson yaitu berada
pada fase industry versus inferiority.
Metode Pengambilan Sampel: Partisipan penelitian dipilih dengan menggunakan desain random /
probability sampling. Adalah penting bahwa tiap elemen di dalam populasi memiliki kesempatan
yang setara dan independen untuk dipilih sebagai sampel. Setara artinya bahwa kemungkinan
(probabilitas) pemilihan dari tiap elemen dalam populasi adalah sama; yaitu pemilihan dari sebuah
elemen pada sampel tidak dipengaruhi pertimbangan lain, seperti pemilihan pribadi (personal
preference). Konsep independen artinya pemilihan dari satu elemen tidak bergantung pada pemilihan
akan elemen lainnya dalam sampling; yaitu pemilihan atau penolakan dari satu elemen tidak
mempengaruhi inklusi atau eksklusi dari sampel lainnya (Kumar, 2005). Awalnya sampel penelitian
akan diambil pada siswa kelas 6 dari 4 SD. Namun pada pertengahan Desember sebagian SD sudah
memasuki masa liburan Natal, pada akhirnya hanya didapatkan sampel dari 2 SD di Depok, yaitu SD
swasta X dan SDN X. Sampel penelitian terdiri dari seluruh siswa kelas 6 SD swasta X dan siswa
kelas 6 SD negri X. Pada penelitian ini seluruh siswa kelas 6 SDS X dan SDN X mendapat
kesempatan yang sama untuk dipakai sebagai sampel.
Alat Ukur: Alat ukur yang digunakan adalah adaptasi dan modifikasi dari Academic Integrity Scale
(AIS) karya Prof. Donald McCabe. Dari korespondensi dengan beliau diketahui bahwa landasan teori
dari pembuatan alat ukur ini adalah teori William Bowers (1966) tentang kecurangan akademik.
McCabe sudah memberikan izin adaptasi alat ukur ini (email tanggal 9 September 2012). Sesuai
dengan teori yang terdapat dalam jurnal Individual and Contextual Influences on Academic
Dishonesty: A Multicampus Investigation (McCabe dan Trevino, 1997) alat ukur dibuat untuk
mengukur faktor-faktor individual dan kontekstual yang mempengaruhi kecurangan akademik. Faktor
individual yaitu usia, gender, prestasi akademik, kegiatan ekstrakurikuler, pekerjaan orangtua (untuk
mengukur tingkat sosial ekonomi siswa) diketahui dari Data Kontrol. Faktor kontekstual yang diukur
pada alat adalah tingkat berat-ringannya hukuman untuk kecurangan akademik (perceived severity of
penalties for academic dishonesty), persepsi tingkat pengertian dan dukungan pihak fakultas / sekolah
dan siswa akan kebijakan tentang kecurangan akademik (perception of degree of faculty and student
understanding and support for campus academic integrity policies), Peer cheating, Peer reporting of
cheating, Peer disapproval, persepsi tingkat kecurangan (Perception of level of cheating), dan
kecurangan akademik (academic dishonesty). AIS mengukur banyak dimensi persepsi dan perilaku.
AIS diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lalu item-item diadaptasi dan dimodifikasi sesuai
dengan konteks sosial dan budaya anak kelas 6 SD di Indonesia. Sesuai kebutuhan untuk melihat
gambaran kecurangan akademik maka diambil hasil olah data yang mengukur perilaku kecurangan
akademik. Ada bagian-bagian item yang tidak relevan dengan siswa kelas 6 SD, seperti fabrikasi
(memalsukan daftar pustaka) atau memalsukan hasil penelitian. Items yang tidak relevan tidak
dimasukkan dalam alat ukur. Diadakan uji keterbacaan pada beberapa anak SD yang berusia antara
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
10
10-12 tahun. Didapatkan masukan akan bahasa pada beberapa item yang digunakan masih agak sulit
dimengerti oleh siswa SD, karena item pertanyaan tersebut sebelumnya ditujukan untuk mahasiswa.
Maka gaya bahasa item disesuaikan dengan bahasa yang kira-kira dapat dimengerti oleh siswa SD.
Pembimbing Skripsi 1 dan Pembimbing Skripsi 2 memberi masukan tentang bahasa pada items, lalu
dibuatkan revisi items.
Tabel 3.6.1
Kisi-Kisi Item Kecurangan Akademik
Dimensi No Item Jumlah Item
Mencontek PL3, PL4, PL13, 3
Plagiarisme PL6, PL9, PL10 3
Menggunakan metode yang tidak adil untuk
mendapat nilai bagus
PL1, PL8, PL11, PL12
4
Memfasilitasi kecurangan akademik PL2 1
Menggunakan alat / teknologi untuk berbuat
curang
PL5, PL7, PL14, PL15
4
Misrepresentasi (berbohong untuk
mendapat dispensasi)
PL16
1
Total Item 16
Data Kontrol: Survey juga menyertakan data kontrol berupa: usia, jenis kelamin, nilai rata-rata dan
kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti siswa. Selain itu ditanyakan juga kepada siswa apakah ada
peraturan tentang kecurangan akademik di sekolahnya.
Tahap Persiapan: Sebelum penelitian, yang pertama dilakukan adalah mencari teori dari berbagai
literatur mengenai permasalahan yang akan diteliti lalu dibuatkan latar belakang masalahnya. Setelah
itu mengumpulkan teori-teori yang relevan dengan penelitian. Selanjutnya mencari alat ukur yang
sesuai dengan tujuan penelitian. Kemudian menghubungi sekolah-sekolah untuk meminta izin dan
waktu bagi pelaksanaan penelitian.
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
11
Tahap Pelaksanaan: Setelah didapatkan persetujuan PS maka diadakan pengambilan data pada hari
Senin, tanggal 17 Desember 2012. Pengambilan data di SDS X mendapat 26 partisipan. Penelitian
dimulai pukul 09.10 pagi dan berakhir sekitar pukul 09.30. Rata-rata siswa mengisi survey dalam
jangka waktu 15 menit. Setelah kertas survey diperiksa, ditemukan kalau satu data invalid karena ada
jawaban-jawaban yang dikosongkan atau dijawab asal-asalan oleh siswa laki-laki tersebut. Maka data
ini dikeluarkan. Total data terpakai diperoleh 25. Pada hari Kamis tanggal 21 Desember 2012
diadakan pengambilan data lagi di SDN X, Depok. Didapatkan 34 partisipan siswa kelas 6 SD.
Penelitian dimulai pukul 09.00 pagi dan berakhir sekitar pukul 09.30. Setelah kertas survey diperiksa
didapatkan 34 data terpakai. Izin untuk mengambil data diminta kepada Kepala Sekolah di sekolah-
sekolah tujuan. Saat pengambilan data terlebih dulu disampaikan kepada partisipan tujuan penelitian
dan prosedur pengisian survey. Partisipan juga diberi kesempatan untuk bertanya jika ada hal-hal
yang kurang jelas. Dari 60 kuesioner survey yang diedarkan pada kedua SD, didapatkan total 59 data
terpakai.
Metode dan Prosedur Pengolahan Data: Total keseluruhan item pengukur perilaku kecurangan
akademik (PL) berjumlah 16. Item diukur dengan 3 poin skala likert yaitu Tidak Pernah – Pernah
Sekali – Lebih dari Sekali. Untuk jawaban Tidak Pernah diberikan skor 1, untuk jawaban Pernah
Sekali diberi skor 2 dan untuk jawaban Lebih dari Sekali diberi skor 3. Tabel cara perhitungan skor
terdapat pada lampiran skripsi ini. Total 59 data siswa diinput ke dalam program Excel for Windows
sesuai skoring items pada tabel. Kemudian diolah dengan menggunakan SPSS 21.0 for Windows.
Teknik statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif yaitu untuk mengetahui mean, frekwensi
dan prosentase partisipan berdasarkan data partisipan dalam penelitian. Hasil pengambilan data
pertama di SDS pada tanggal 17 Desember 2012 merupakan data terpakai, karena ternyata setelah
dilakukan olah data, uji reliabilitas dan validitas pada ke-16 item mendapatkan bahwa keseluruhan
item alat ukur perilaku kecurangan akademik reliabel dan valid. Hasil uji realibilitas menunjukkan
bahwa instrumen untuk perilaku kecurangan akademik memiliki angka reliabilitas yang baik
(Cronbach’s Alpha = 0.780). Demikian juga pada saat uji validitas didapatkan bahwa semua indikator
(item) nilai signifikansinya < 0.05 yang berarti indikator-indikator (items) pengukur variabel perilaku
kecurangan akademik dinyatakan valid untuk digunakan sebagai alat ukur (tabel reliabilitas dan
validitas instrumen terlampir). Dengan demikian untuk alat ukur dimensi perilaku kecurangan
akademik pada AIS tidak perlu ada perubahan item. Item-item yang sama dipakai pada pengambilan
data kedua di SDN pada tanggal 21 Desember 2012.
Uji Reliabilitas dan Validitas Item-Item AIS: Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh
mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan atau menunjukkan konsistensi suatu
alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama. Kaplan & Saccuzzo dalam Mulyaningsih (2011)
menyatakan bahwa perkiraan reliabilitas yang berada pada rentang 0.7 dan 0.8 merupakan reliabilitas
yang baik untuk kebanyakan tujuan dalam penelitian dasar. Hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
12
bagian AIS yang mengukur Kecurangan Akademik memiliki angka reliabilitas yang baik yaitu
Cronbach’s Alpha = 0.780. Uji validitas konstruk dilakukan untuk mengukur sah atau valid-tidaknya
suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan kuesioner mampu untuk
mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Untuk menguji validitas
kuesioner digunakan dengan melakukan korelasi antara skor butir pertanyaan dengan total skor
konstuk atau variabel. Berdasarkan tabel hasil olah data (pada lampiran) semua indikator (item) nilai
signifikansinya < 0.05 yang berarti indikator-indikator (items) kuesioner variabel Kecurangan
Akademik dinyatakan valid untuk digunakan sebagai alat ukur.
Temuan
Kecurangan akademik sudah terjadi pada siswa kelas 6 SD dan berada pada level moderat.
Secara umum partisipan penelitian mendapat skor yang moderat (sedang) untuk perilaku kecurangan
(Mean=23,81) dari skor minimal 16 dan maximal 38. Skor yang moderat (sedang) dilihat dari
pembagian skor total mulai dari yang paling kecil 16 (16 x 1) dan paling besar 48 (16 x 3). Nilai
tengahnya adalah 32. Skor 16 – 23 tergolong rendah. Skor 24 – 31 tergolong moderat. Skor 32 – 39
tergolong tinggi. Skor 40 – 48 tergolong sangat tinggi. Mean 23,81 mendekati 24. Mean = 24 masuk
dalam golongan moderat.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perilaku kecurangan akademik sudah terjadi
pada siswa kelas 6 SD tetapi pada level moderat (M = 23, 81) dari skor minimal 16 dan maksimal 38.
Grafik 4.1.6.1
Total Skor Kecurangan Akademik
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
13
Dari 16 jenis perilaku kecurangan yang diukur, ditemukan 5 jenis perilaku yang paling
banyak dilakukan siswa, yaitu: menjiplak PR siswa lain (74,6%), mencontek jawaban siswa lain
dengan diam-diam waktu ujian (62,7%), mencontek jawaban siswa lain dengan sepengetahuan siswa
yang dicontek waktu ujian (61%), menerima bantuan yang tidak diperbolehkan dalam menyelesaikan
tugas (55,9%) dan menolong orang lain mencontek waktu ujian (54,2%). Hal ini menunjukkan bahwa
jenis perilaku kecurangan yang terbanyak dilakukan siswa kelas 6 SD adalah jenis perilaku
kecurangan tradisional seperti di masa lalu yaitu menjiplak PR siswa lain dan saling mencontek saat
ujian. Sementara untuk jenis perilaku yang berada pada lima urutan terbawah (paling jarang dilakukan
siswa) adalah: menjiplak PR atau tugas dari siswa lain dengan menggunakan SMS,/BBM/email
(22%), menyimpan contekan atau rumus dalam handphone / kalkulator untuk mencontek saat
ujian/ulangan (20,4%), membeli soal ujian (Ujian Nasional) (15,3%), menggunakan teknologi melalui
SMS/BBM/Chat untuk mendapatkan bantuan yang tidak diperbolehkan ketika ujian/ulangan (11,9%)
dan menggunakan alat elektronik / digital sebagai alat bantu yang tidak diperbolehkan saat
ujian/ulangan. Misalnya menggunakan kalkulator saat ujian/ulangan Matematika. (11,9%).
Sehubungan dengan penegakan disiplin sekolah yang berkaitan dengan peraturan sekolah
tentang kecurangan akademik, didapatkan informasi bahwa sebanyak 45,8 % siswa mengatakan tidak
ada / tidak tahu peraturan tentang kecurangan akademik di sekolahnya, sementara 54,2 % mengatakan
ada peraturan tentang kecurangan akademik. Jadi kesimpulannya hampir separuh dari siswa tidak tahu
tentang / menganggap bahwa tidak ada peraturan tentang kecurangan akademik. Ini terlihat pada tabel
4.1.5.1.
Tabel 4.1.5.1
Gambaran Pengetahuan Siswa tentang Peraturan Kecurangan Akademik di Sekolah
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
Tidak/Tidak tahu 27 45.8 45.8 45.8
Ya 32 54.2 54.2 100.0
Total 59 100.0 100.0
Sebanyak 42,4 persen siswa mengatakan tidak pernah diinformasikan tentang peraturan
kecurangan akademik, sementara 57,6 % mengatakan pernah. Jadi hampir separuh dari siswa
menganggap dirinya tidak pernah diinformasikan tentang peraturan kecurangan akademik. Ini terlihat
pada tabel 4.1.5.2.
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
14
Tabel 4.1.5.2
Gambaran Informasi tentang Peraturan Kecurangan Akademik di Sekolah
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
Tidak 25 42.4 42.4 42.4
Ya 34 57.6 57.6 100.0
Total 59 100.0 100.0
Diskusi
Informasi yang didapat dari jurnal dan skripsi baik dalam dari dan luar negeri selama ini
hanya menunjukkan perilaku kecurangan yang terjadi di tingkat universitas dan sekolah menengah.
Belum ada penelitian tentang kecurangan akademik pada siswa kelas 6 SD. Dari hasil temuan
didapatkan konfirmasi bahwa perilaku kecurangan akademik sudah terjadi dan dimulai di tingkat SD.
Temuan tentang terjadinya kecurangan akademik pada siswa kelas 6 SD ini dapat menjadi
sumber informasi penting bagi pihak sekolah untuk mencari cara pencegahan agar perilaku ini tidak
terjadi pada anak usia 10 – 13 tahun. Jika fakta ini tidak ditindaklanjuti maka dikhawatirkan semakin
lama semakin banyak terjadi perilaku ini di kalangan siswa SD. Ini bisa menjadi awal terbentuknya
habit berbuat curang di kalangan siswa mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, universitas bahkan di
pekerjaannya nanti setelah dewasa. Sebab keputusan siswa untuk berperilaku curang berhubungan
dengan keputusan untuk terlibat dalam perilaku tidak etis di dunia kerja. Siswa yang terbiasa berlaku
curang akan terus berlaku curang dengan semakin tingginya tingkat pendidikannya bahkan sampai
bekerja. (Sims dalam Whitley dan Keith-Spiegel, 2002). Penipuan adalah suatu metode yang dipakai
untuk menghadapi tuntutan dan tanggung jawab sosial, dan ini yang akan dibawa individu dari satu
konteks sosial kepada konteks sosial lainnya. Orang-orang yang meyakini hal ini akan melihat
kecurangan di tingkat college sebagai ancaman terhadap masyarakat yang lebih besar.
Bagaimanapun, orang-orang yang pernah kuliah lebih besar kemungkinannya untuk menempati
posisi kepemimpinan dan memegang tanggung jawab dalam masyarakat. Orang-orang seperti inilah
yang akan membuat standar-standar yang akan dipakai orang lain dan akan memberikan teladan-
teladan yang diikuti orang lain. Maka, kecurangan di tingkat college membawa kepada kecurangan
setelah college dan akan terjadi di antara anggota masyarakat yang terkemuka melalui teladan dan
pengaruh mereka, menyebar kepada masyarakat yang lebih luas (Bowers, 1966).
Pandangan Bowers ini juga sejalan dengan hasil beberapa penelitian yang menemukan
hubungan antara tingkat kecurangan di kampus (the level of college cheating) dan index korupsi
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
15
negara (Magnus et al. dalam McCabe, Feghali dan Abdallah, 2008). Karena tindak korupsi dan
kurangnya penerapan etika dalam berbisnis telah menjadi penghalang bagi pertumbuhan, maka
mengangkat isu integritas akademis menjadi penting, khususnya di negara-negara berkembang
(Wilhelm dalam McCabe, Feghali, & Abdallah, 2008). Indonesia adalah termasuk negara berkembang
dan memiliki index korupsi yang tinggi. Akar masalahnya dapat ditelusuri dengan meneliti perilaku
kecurangan akademik di kalangan siswa dan mahasiswa di Indonesia. Ada urgensi untuk melakukan
sesuatu yang dapat menjadi katalisator perubahan untuk memperbaiki situasi dan kondisi Indonesia,
yaitu melalui jalur pendidikan.
Hasil penelitian juga menemukan bahwa hampir separuh partisipan mengatakan tidak tahu
dan tidak diinformasikan tentang adanya peraturan tentang kecurangan akademik di sekolahnya. Dari
sini dapat disimpulkan bahwa pengetahuan akan peraturan dan penegakan disiplin sekolah yang
berhubungan dengan kecurangan akademik masih rendah. Pihak sekolah belum memasukkan
kecurangan akademik sebagai bagian dari peraturan tata tertib sekolah. Walaupun sudah
diinformasikan melalui poster, namun apa itu kecurangan akademik dan peraturan serta hukumannya
belum diinformasikan dengan jelas. Buktinya hampir separuh siswa mengatakan tidak tahu atau
belum diinformasikan peraturan kecurangan akademik. McCabe dan Trevino (1993, 1997) meneliti
hubungan antara kecurangan akademik dan persepsi akan pengertian dan penerimaan terhadap
peraturan tentang kecurangan akademik di kampus. Persepsi siswa tentang pengertian dan
penerimaan terhadap peraturan kampus penting sebab sulit bagi siswa untuk mengikuti peraturan jika
mereka tidak mengerti akan peraturan itu sendiri atau, menganggap peraturan itu tidak adil dan tidak
efektif. McCabe dan Trevino menemukan hubungan yang kuat antara kecurangan akademik dan
persepsi tentang pengertian / penerimaan terhadap peraturan. (McCabe, Trevino, dan Butterfield,
2002). McCabe & Trevino (1993) juga mengatakan sejauh mana peraturan sebuah institusi
dimengerti dan diterima oleh pihak sekolah berpengaruh penting bagi perilaku siswa. Satu isu yang
mereka temukan bahwa ada keengganan anggota pengajar untuk menerapkan peraturan ketika mereka
melihat siswa berbuat curang. Bahkan menurut penelitian Jendrek dan Nuss dalam McCabe &
Trevino (1993) diketahui bahwa ada pengajar yang memilih untuk menangani kasus mencontek antara
si pengajar dan siswanya saja. Akibatnya siswa menganggap pengajarnya lunak dan toleran. Siswa
juga tahu kalau insiden perilaku curangnya tidak tercatat dalam rapor atau laporan prestasi
akademiknya.
Sekolah Dasar adalah pendidikan dasar yang merupakan fondasi siswa sebelum melanjutkan
pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Dobson (1992) menyatakan bahwa penegakan peraturan
yang terstandardisasi dan masuk akal perlu dikembalikan ke sekolah-sekolah yang selama ini kurang
menegakkan disiplin. Kelas dapat dibuat menyenangkan, namun juga terstruktur. Guru SD berada
pada posisi pertama untuk membentuk dasar-dasar sikap positif. Anak-anak yang berada di rentang
usia enam tahun pertama pendidikan (6 – 12/13 tahun) sangat terpengaruh sikapnya oleh otoritas di
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
16
sekolah yaitu para guru dan iklim pendidikannya. Otoritas para guru dan iklim pendidikan di sekolah
menengah pertama, sekolah menengah atas, dan seterusnya dasarnya adalah di tingkat Sekolah Dasar.
(Dobson, 1992).
Whitley dan Keith-Spiegel dalam bukunya: Academic Dishonesty, an Educator’s Guide hal.
154 (2002) memberikan saran-saran tentang apa yang institusi pendidikan (pihak sekolah) dapat
lakukan untuk meningkatkan kejujuran akademik. Semua institusi harus mempunyai peraturan
tentang kecurangan akademik. Peraturan-peraturan ini harus menyatakan posisi institusional tentang
integritas akademik dan memberi informasi terperinci tentang perilaku-perilaku apa saja yang
dilarang; tanggung jawab para pengajar, siswa, dan administrator (para kepala sekolah); prosedur
untuk menyelesaikan kasus dugaan kecurangan akademik dan hukuman untuk ketidakjujuran,
bagaimana rekam kejadian (record) disimpan; dan tindakan-tindakan yang bisa diambil untuk
mencegah kecurangan akademik. Program integritas akademik lebih dari sekedar pernyataan yang
membahas isu cara mengkomunikasikan peraturan, pelatihan para pengajar, desain kurikulum, dan
bantuan untuk para pengajar dan siswa. Institusi harus berjuang untuk mengembangkan sebuah ethos
yang mempromosikan integritas akademik dengan menekankan kepada integritas institusi,
lingkungan yang berorientasi pada pembelajaran (learning-oriented environments), dan kurikulum
yang berorientasi pada values (values-oriented curricula). Mengubah budaya institusi dengan cara ini
adalah tidak mudah, tetapi jerih payah yang dilakukan tidak akan sia-sia.
Sebagai tambahan informasi dari penelitian terlihat tiga jenis siswa pelaku kecurangan. Jenis
pertama adalah siswa yang berbuat curang karena kurangnya pengertian akan apa yang dilarang (lack
of understanding of what is prohibited) (Whitley dan Keith-Spiegel, 2002). Roth dan McCabe (1995)
menekankan pentingnya ada kesepakatan antara siswa dan pihak sekolah tentang perilaku-perilaku
apa saja yang termasuk dalam kecurangan akademik karena ada sebagian siswa yang tidak mengerti
atau tahu jenis perilaku apa saja yang dilarang. Karena itu harus dibuat aturan-aturan yang jelas
tentang perilaku yang diperbolehkan dan yang dilarang. Hal ini dapat mengurangi kasus kecurangan
akademik (Whitley dan Keith-Spiegel, 2002).
Jenis kedua adalah siswa yang tahu bahwa perilaku tertentu tergolong dalam kecurangan
akademik, tapi memilah-milah perilaku sebagai “curang tidak serius (kecil)” dan “curang serius
(besar)”. Hal ini mengakibatkan siswa cenderung untuk melakukan perilaku yang dianggapnya
sebagai “curang kecil” karena merasa perilaku itu tidak separah “curang besar”. Lim dan See (2001)
meneliti prevalensi dan persepsi tingkat kecurangan di Singapura. Hampir semua siswa mengaku
pernah berbuat curang. Mencontek waktu ujian dipersepsikan sebagai lebih serius (besar) tingkat
kecurangannya dibandingkan dengan plagiarisme. Pelanggaran (kecurangan) yang dipersepsikan
kurang serius (besar) dilakukan lebih sering (McCabe, Feghali dan Abdallah, 2008). Sama halnya
dengan siswa jenis pertama, pada siswa jenis kedua ini pihak sekolah harus menginformasikan dengan
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
17
jelas tentang jenis-jenis perilaku kecurangan dan menyatakan bahwa semua perilaku kecurangan
dianggap sama seriusnya (sama besarnya). Pihak sekolah mengajar siswa bahwa perilaku curang
adalah perilaku curang tanpa membedakan tingkat keseriusan atau besar-kecilnya tingkat kecurangan
perilaku tersebut.
Jenis ketiga adalah siswa yang berbuat curang dengan konsisten walaupun ia sudah tahu kalau
perilakunya melanggar aturan. Ini karena siswa tersebut mendapatkan reward yaitu nilai-nilai
(prestasi) akademik yang tinggi tanpa harus bersusah payah belajar. Sesuai teori perkembangan moral
Kohlberg, banyak siswa beroperasi pada level preconventional. Mereka mematuhi aturan untuk
menghindari hukuman, bukan karena memikirkan hak-hak orang lain atau level pemikiran yang lebih
tinggi daripada itu (Evans, Forney, & Guido-DiBrito dalam McCabe & Trevino, 2002). Maka perilaku
mereka lebih sering dipengaruhi oleh seberapa besar kemungkinan perilaku kecurangan mereka
ketahuan dan dihukum.
Gibbs dalam McCabe dan Trevino (2002) membuat suatu teori yang dinamakan sebagai the
deterrence theory (teori pencegahan): Untuk mencegah perilaku yang salah, pertama, pelaku
kesalahan harus mempersepsikan bahwa mereka akan ditangkap dan kedua, hukuman yang berat akan
diberikan atas perilaku yang salah itu. Teori ini menjadi salah satu dasar pembuatan alat ukur
Academic Integrity Survey. Tittle dan Rowe dalam McCabe dan Trevino (2002) telah
mendemonstrasikan sebelumnya bahwa ancaman tertangkapnya dan dihukumnya pelaku kecurangan
mencegah perilaku curang di antara mahasiswa. McCabe dan Trevino (1993, 1997) juga melaporkan
dukungan akan hubungan ini.
Bowers (1966) membagi 3 bentuk pengaturan untuk pengendalian kecurangan yang
diterapkan di kampus: Honor system, dimana tanggung jawab kontrol ada di tangan siswa karena
mereka telah berjanji untuk mematuhi peraturan, Faculty-centered control (pengendalian yang
sepenuhnya di tangan pihak pihak sekolah), Judiciary body with students (kombinasi kontrol antara
pihak fakultas dan siswa: organisasi / mahkamah siswa). Selama ini yang terjadi pada banyak institusi
pendidikan di Indonesia adalah pengendalian atau penegakan disiplin yang sepenuhnya di tangan
pihak sekolah (faculty-centered control). Yang disarankan oleh Bowers adalah penerapan honor
system. Sistem honor atau honor codes meletakkan semua siswa pada posisi berkomitmen untuk
bertanggung jawab atas perilakunya. Honor code meminta siswa untuk mengaku bersalah dan lapor
diri jika melakukan kecurangan, atau dalam banyak kasus, untuk melaporkan siswa lain yang
melanggar komitmen ini. McCabe dan Trevino (1993) meneliti pengaruh honor codes pada
kecurangan akademik dan menemukan hal-hal berikut: Pada sistem ini perilaku yang salah lebih jelas
didefinisikan. Ketika definisi dari perilaku yang salah diinformasikan dengan jelas, akan lebih sulit
bagi siswa yang suka berbuat curang untuk merasionalisasi atau menjustifikasi perilaku curangnya.
Hasilnya, insiden kecurangan akademik berkurang.
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
18
Satu hal lagi yang mungkin menjadi faktor yang berpengaruh pada perilaku curang adalah
konteks budaya. Ada budaya individualistik seperti pada negara-negara barat, dan ada budaya
kolektivistik seperti pada negara-negara timur. Budaya Indonesia adalah budaya kolektivistik
sehingga diduga sebagian siswa melihat perilaku kecurangan akademik sebagai bentuk kerjasama dan
saling menolong dengan temannya. Kita tahu bahwa perilaku kecurangan akademik adalah bentuk
kerjasama dan saling tolong yang tidak benar. Sehubungan dengan budaya kolektivistik pada
masyarakat Indonesia, sekolah dapat menyesuaikan pada bentuk dan bahan ujiannya. Ujian yang
selama ini banyak mengandalkan kemampuan menghafal individu dapat divariasikan dalam bentuk
ujian berkelompok, dimana siswa bekerjasama dengan siswa lain untuk menyelesaikan ujian bersama
dan mendapat nilai yang sama.
Saran Metodologis
Berkaitan dengan pelaksanaan penelitian, maka ada beberapa hal yang dapat dijadikan saran
untuk penelitian selanjutnya. Dalam memilih sampel siswa kelas 6 SD harus diperhatikan waktu
pengambilan sampel yang tepat sesuai dengan jadwal masa belajar, musim ujian, dan jadwal liburan
siswa di sekolah. Ketika diambil data pada pertengahan bulan Desember, siswa kelas 6 SD baru saja
menjalani ujian akhir semester dan bersiap-siap untuk memasuki masa liburan. Akibatnya dari empat
SD yang dimintakan izin penelitian, hanya dua SD yang bersedia. Karena pengambilan data
dilakukan menjelang liburan sekolah maka ada beberapa siswa kelas 6 SD yang absen (tidak hadir) di
sekolah. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya dicari tahu terlebih dulu tentang jadwal-jadwal siswa
agar pengambilan data dapat berjalan lancar dan data siswa yang diperoleh lebih banyak. Dengan
perencanaan dan pengaturan waktu yang baik maka bisa didapat pula data siswa yang lokasi
sekolahnya di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia.
Pada saat penelitian ada hal yang belum dilakukan yaitu mengadakan debrief kepada para
partisipan setelah selesai pengisian survey. Pada items pengukuran perilaku kecurangan akademik ada
jenis-jenis perilaku yang mungkin dapat memberikan ide kepada siswa kelas 6 SD untuk ditiru. Apa
yang tadinya tidak terpikir olehnya untuk dilakukan, dapat saja menjadi terpikir untuk dilakukan
akibat membaca item pada pengukuran perilaku kecurangan. Contohnya: pada item PL 14 tertulis:
Menyimpan contekan atau rumus dalam handphone / kalkulator untuk mencontek saat ujian/ulangan.
Disarankan untuk penelitian selanjutnya, setelah survey diberikan bimbingan kepada partisipan bahwa
perilaku-perilaku di dalam survey tidak patut ditiru dan melanggar peraturan.
Pada saat penelitian, dibagikan AIS lengkap yang mengukur seluruh faktor individual dan
kontekstual penyebab perilaku kecurangan akademik. Pada akhirnya data yang diambil dan diolah
untuk mendapatkan gambaran kecurangan akademik siswa hanyalah hasil pengukuran perilaku
kecurangan akademik. Untuk penelitian selanjutnya, terutama pada siswa SD, disarankan untuk
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
19
mengedarkan bagian AIS yang khusus mengukur apa yang hendak peneliti ukur saja, misalnya pada
bagian perilaku kecurangan akademik saja. Alasannya karena item-item pada AIS lengkap awalnya
didesain untuk mahasiswa sehingga terlalu panjang untuk dikerjakan oleh siswa kelas 6 SD. Waktu
pengisian yang dibutuhkan siswa SD untuk mengisi kuesioner AIS lengkap adalah paling lama 25
menit. Jika ingin meneliti kecurangan akademik pada siswa SD sebaiknya items AIS yang diberikan
lebih difokuskan kepada faktor (faktor-faktor) tertentu yang ingin diukur peneliti saja.
Dari disertasi Bowers (1966) dan jurnal penelitian McCabe & Trevino (1993) didapatkan
bahwa ada faktor kontekstual yang diukur, yaitu persepsi akan perilaku kecurangan teman
selingkungan (perception of peer cheating behavior). Jika ada yang akan melanjutkan penelitian ini,
disarankan untuk mengukur faktor ini karena dapat menunjang fakta tentang perilaku kecurangan
akademik yang dilakukan oleh siswa itu sendiri. Bowers (1966) juga mengatakan bahwa perasaan
teman selingkungan efektif untuk mengurangi perilaku curang siswa. Hal ini diukur dengan faktor
persepsi ketidaksetujuan teman selingkungan (perception of peer disapproval). Siswa yang
mempersepsikan teman selingkungannya sangat tidak setuju dengan perilaku curang cenderung untuk
tidak berperilaku curang dibandingkan dengan siswa yang yakin kalau teman selingkungannya
bertoleransi terhadap perilaku curang. Jika ingin meneliti tentang persepsi siswa tentang penegakan
disiplin di sekolah terhadap kecurangan akademik maka dianjurkan untuk mengukur faktor persepsi
siswa terhadap tingkat berat-ringannya hukuman untuk berperilaku curang (the severity of penalties
for cheating) dan persepsi siswa terhadap pengertian dan dukungan pihak sekolah terhadap peraturan
kecurangan akademik (the faculty understanding and support of academic dishonesty policies).
Saran Praktis
1. Pihak sekolah mulai melakukan tindakan yang dapat mencegah atau mengurangi perilaku
kecurangan akademik. Antara lain: membuat dan memasukkan peraturan khusus tentang
kecurangan akademik (tertulis dalam buku tata tertib) lalu menginformasikan dengan jelas
dan mensosialisasikan peraturan ini kepada seluruh siswa dan jajaran pengajar serta staf
sekolah. Selain dikomunikasikan di setiap awal tahun ajaran, pihak sekolah juga bekerjasama
dengan para guru dan pengawas ujian untuk kembali mengulang informasi ini setiap musim
ujian, sebelum ujian dimulai. Dengan ini diharapkan siswa sadar, tahu, dan mengerti tentang
kecurangan akademik dan konsekuensi perilakunya.
2. Berkaitan dengan kecanggihan teknologi yang dapat digunakan sebagai alat melakukan
kecurangan akademik maka sebaiknya pihak sekolah melarang siswa untuk menggunakan
handphone dan kalkulator selama ujian.
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
20
3. Pihak sekolah mengadakan pelatihan khusus untuk segenap staf sekolah tentang kecurangan
akademik dan cara menanganinya.
4. Ada siswa yang berbuat curang tetapi belum mengetahui apa yang ia lakukan termasuk
kategori kecurangan. Bagi siswa semacam ini penanganannya lebih kepada teguran dan
bimbingan bahwa jenis perilaku yang dilakukannya itu termasuk kecurangan akademik.
Beritahukan siswa apa yang benar untuk dilakukan. Diharapkan siswa yang semacam ini tidak
mengulangi lagi perilaku curang setelah diberitahu dan dibimbing mengenai mana perilaku
yang curang dan mana yang tidak. Ada pula siswa yang memilah-milah perilaku kecurangan
sebagai curang kecil (kurang serius) dan curang besar (serius). Siswa ini terbiasa melakukan
kecurangan yang dianggapnya kecil dan tidak mau melakukan kecurangan yang dianggapnya
besar. Pada siswa jenis ini diinformasikan bahwa semua perilaku kecurangan dikategorikan
sebagai kecurangan tanpa membedakan besar-kecilnya tingkat kecurangan. Diharapkan
setelah mendapat bimbingan perilaku curangnya dapat berkurang. Jenis ketiga adalah siswa
yang sudah tahu perilakunya termasuk curang tetapi mempunyai kecenderungan untuk terus
menerus berbuat curang. Bagi siswa semacam ini sebaiknya dicegah dengan cara ditakuti
ancaman hukuman. Jika ketahuan berbuat curang maka diberikan hukuman yang
sepantasnya. Diharapkan hal ini dapat mencegahnya untuk mengulangi perilaku kecurangan
akademik. Siswa pelaku kecurangan akademik juga dapat dijadikan sebagai contoh bagi peer
(teman sekelasnya) tentang ketegasan pihak sekolah yang tidak mentoleransi perilaku
kecurangan. Dengan melihat ketegasan pihak sekolah maka peer dari si pelaku juga akan ikut
menahan diri dari berperilaku curang.
5. Mengadaptasi model honor system atau honor codes seperti di Amerika Serikat (Bowers;
McCabe & Trevino; McCabe & Pavela, 2004). Honor codes adalah perjanjian antara pihak
sekolah dan siswa yang baru masuk ke sekolah untuk mematuhi aturan-aturan sekolah. Sudah
menjadi tanggung jawab pihak sekolah untuk menegakkan disiplin sekolah termasuk di
dalamnya disiplin tentang kecurangan akademik, namun siswa juga diberi kesempatan untuk
mengambil tanggung jawab dalam mematuhi peraturan. Di awal tahun ajaran siswa sudah
diinformasikan dengan jelas aturan-aturan dan konsekuensi yang ditanggungnya bila
melanggar peraturan. Siswa menandatangani pernyataan berjanji untuk bertanggung jawab
dalam mematuhi aturan. Dengan adanya honor codes, diharapkan kecenderungan siswa untuk
melanggar peraturan, termasuk peraturan tentang kecurangan akademik akan berkurang.
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
21
Daftar Pustaka
Bourassa, Mark J. (2011). Academic Dishonesty: Behaviors and Attitudes of Students at Church-related
Colleges and Universities (Disertasi, The University of Toledo)
Bowers, William Joseph.(1966). Student Dishonesty and Its Control in College. (Disertasi,Columbia
University). Retrieved from ProQuest Research Library.
Dantjie, Benyamin A.M. (1990). Hubungan antara Perilaku Disiplin Siswa di Sekolah dengan Kematangan
Perkembangan Moral dari Kohlberg (Suatu Studi yang Dilakukan pada Siswa SMAN 70, Jakarta).
(Skripsi, Universitas Indonesia).
Dobson, James Dr. (1992). The New Dare to Discipline. USA: Tyndale House Publishers, Inc.
Ferguson, Lauren M. (2010). Student Self-Reported Academically Dishonest Behavior in Two-Year College in
the State of Ohio. (Disertasi, The University of Toledo)
Ghozali, H. Imam. (2006). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Graves, Sharron M., Stephen, F. (2008). Student Cheating Habits: A Predictor of Workplace Deviance. Journal
of Diversity Management.
Hamidah, Siti. (2001). Hubungan antara Persepsi Mengenai Harapan Orangtua terhadap Orientasi Belajar
dengan Goal Orientation pada Siswa Sekolah Dasar.(Skripsi, Universitas Indonesia)
Indrianita, Wenti. (2011). Hubungan antara Orientasi Religius dan Kecurangan Akademis pada
Mahasiswa. (Skripsi, Universitas Indonesia)
Kamarudin, Felicia. (2004). Hubungan antara Moral Judgement dan Kecurangan Akademis pada Mahasiswa
Fakultas Ekonomi dan Fakultas Psikologi Swasta dan Negeri di Jakarta dan Depok. (Skripsi,
Universitas Indonesia)
Khan, Iqbal & Khan, Mohammad J. (2011). Socio-economic Status of Students and Malpractices Used in
Examinations in Urban Areas of District Peshawar. European Journal of Scientific Research. Vol. 49
No. 4, pp 601-609
Kumar, Ranjit. (2005). Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners. London, UK: Sage
Publications Ltd.
Lenny, M. Margareta. (1990). Perbandingan Persepsi Guru dan Persepsi Murid tentang Kualitas yang Perlu
Dimiliki seorang Guru. (Skripsi, Universitas Indonesia)
Levy, Elliot S., Rakovski, Carter C. (2006). Academic Dishonesty: A Zero Tolerance Professor and Student
Registration Choices. Research in Higher Education. Vol. 47, No. 6 (September). Retrieved from
Springer.
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013
22
Lickona, Thomas (1991) Educationg for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility.
USA: Bantam.
McCabe, Donald L., Trevino, Linda K. (1993) Academic Dishonesty: Honor Codes and Other Contextual
Influences. Journal on Higher Education, Vol. 64.
McCabe, Donald. L., Trevino, Linda K. (1997). Individual and Contextual Influences on Academic
Dishonesty: A Multicampus Investigation. Research in Higher Education, Vol. 38, No.3.
McCabe, Donald. L., Trevino, Linda K., Butterfield, Kenneth D. (2001) Dishonesty in Academic Environments:
The Influence of Peer Reporting Requirements. The Journal of Higher Education. Jan/Feb 2001; 72,1;
Retrieved from ProQuest Research Library
McCabe, Donald. L., Trevino, Linda K. (2002) Honesty and Honor Codes. American Association of University
Professor. Academe, Vol. 88, No. 1 (Jan – Feb, 2002), pp.37 – 41
McCabe, Donald. L., Trevino, Linda K., Butterfield, Kenneth D. (2002) A Replication and Extension to
Modified Honor Code Settings. Research in Higher Education, Vol. 43, No. 3, June 2002.
McCabe, Donald L., Pavela, Gary. (2004) Ten Updated Principles of Academic Integrity. May/June 2004.
Retrieved from JSTOR.
McCabe, Donald. L., Feghali, Tony, Abdallah, Hanin. (2008) Academic Dishonesty in The Middle East:
Individual and Contextual Factors. Res. High Educ (2008) 49: 451 – 467
Miller, Patricia.H. (2011). Theories of Developmental Psychology (5th Ed.). New York: Worth Publishers.
Mulyaningsih, Sri A. (2011). Gambaran Respek pada Anak Usia 10 – 12 tahun Berdasarkan Urutan Kelahiran
dalam Keluarga. (Skripsi, Universitas Indonesia).
Papalia, Diane E., Olds, Sally W., Feldman, Ruth D. (2007). Human Development (10th Ed.). USA: McGraw-
Hill
Peterson, Christopher, Seligman, Martin E.P. (2004). Character Strenght and Virtues: A Handbook and
Classification. UK: Oxford University Press.
Pulvers, Kim & Diekhoff, George M. (1999). The Relationship between Academic Dishonesty and College
Classroom Environment. Springer collaboration with JSTOR retrieved from JSTOR.
Short, Rick Jay, Short, Paula M.(1994). An Organizational Perspective on Student Discipline. retrieved from
source address is missing.
Tim Wartawan majalah HAI edisi XXXV/13/2011 tanggal 28 Maret – 3 April 2011, judul artikel: Ujian
Negara Bocor! Delapan Puluh Persen Pasti Benar.
Whitley Jr., Bernard E., Keith-Spiegel, Patricia. (2002). Academic Dishonesty: Educator’s Guide. Lawrence
Erlbaum Associates Inc, Publishers.
Yakin, Eky Kusnul. (2001). Hubungan antara Sikap Moral Permisif dan Kecurangan Akademis.
(Skripsi, Universitas Indonesia)
Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013