Download - Fraktur Pada Tulang Hidung_Blok7_David
Fraktur pada Tulang HidungOleh:
David Christian RonaldTho (102012210)
Fakultas Kedokteran Universitas Krida WacanaJl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email : [email protected]
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Fraktur pada tulang hidung merupakan salah satu jenis fraktur terbuka yang sering
terjadi pada manusia akibat dari benturan langsung pada wajah. Bentuk dan struktur dari
hidung yang menonjol serta rapuh mengakibatkan hidung sangat rentan dan mudah untuk
mengalami fraktur karena benturan, hal inilah yang menyebabkan fraktur tulang hidung
sering terjadi.Olah raga, jatuh kecelakaan dan perkelahian merupakan penyebab benturan
yang paling sering pada sebagian besar fraktur tulang hidung, dengan konsumsi alkohol
menjadi faktor pendukung dalam banyak kasus. Angka kejadian pada pria sekitar dua kali
lebih sering dibandingkan wanita baik di populasi usia dewasa dan anak- anak. Fraktur
nasal menduduki peringkat ketiga dari senua angka kejadian fraktur yang terjadi pada
manusia. Angka kejadian dari fraktur ini berkisar 40 % dari semua jenis fraktur
tulang..Meskipun cedera ini sering terlihat bukan merupakan cedera yang berat dan
mengancam jiwa namun kesalahan dalam menangani trauma hidung dapat menyebabkan
masalah jangka panjang yang signifikan.1
Struktur Makroskopis
Hidung secara anatomi dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Hidung bagian luar
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian- bagiannya yaitu pangkal hidung,
dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan rongga hidung (nares anterior).
Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan. Kerangka tulang
terdiri dari sepasang os nasalis, processus nasalis os frontalis, sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terdiri dari sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor) dan tepi anterior kartilago septum nasi.
Kerangka tulang dan tulang rawan ini dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot
yang berfungsi untuk pergerakan dari nasal tip ala nasi.1,2
Gambar 1. Hidung bagian luar
2. Hidung bagian dalam
Hidung bagian dalam dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kavum nasi kiri yang
dipisahkan oleh septum nasi. Lubang dari hidung bagian belakang disebut nares posterior
atau koana. Bagian dari rongga hidung yang letaknya sesuai dengan ala nasi disebut
vetibulum yang dilapisi oleh kulit yang mempunyai kelenjar keringat, kelenjar sebasea
dan rambut- rambut yang disebut vibrissae. Rongga hidung dilapisi oleh membran
mukosa yang melekat erat pada periosteum dan perikondrium, sebagian besar mukosa dan
kelenjar keringat serosa dan ditutupi oleh epitel thorax berlapis semu bersilia.1,2
Kavum nasi terdiri dari:1,2
1. Dasar hidung
Dibentuk oleh prosesus palatine os maxila dan prosesus horizontal os palatum.
2. Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, processus frontalis os nasal, os
maksila, korpus etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk
oleh lamina fibrosa
3. Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam processus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os
palatum dan lamina pterigoides medial.
4. Konka
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu konka inferior, konka media, konka
superior, dan konka suprema. Konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan konka yang terbesar dan merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila. Sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari etmoid.
5. Meatus nasi
Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.
Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara ductus nasolacrimalis. Meatus media
terletak diantara konka media terdapat muara sinus maxila, frontalis dan etmoid anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang antara konka superior dan konka media
terdapat sinus etmoid posterior dan sphenoid.1,2
6. Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi
Gambar 2. Hidung bagian dalam
Sinus paranasalis terdiri atas frontalis, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries. Sinus
berfungsi untuk meringankan tulang kranial, memberi area permukaan tambahan pada saluran
nasal untuk menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk, memproduksi mukus, dan
memberi efek resonansi dalam produksi wicara.1,2
a. Sinus frontalis. Letak kedua sinus frontalis di sebuah posterior terhadap arcus superficialis,
antara tabula externa dan tabula interna os.frontale. Pendarahan disuplai oleh cabang-cabang A.
opthalmica, yakni A. supraorbitalis, dan A. ethmoidalis anterior. Darah balik bermuara ke dalam
vena anastomotik pada incisura supraorbitalis yang menghubungkan vena-vena supraorbitalis
dan opthalmica superior. Persarafannya disuplai oleh N. supraorbitalis. 1,2
b. Sinus ethmoidalis. Tersusun sebagai rongga-rongga kecil tak beraturan, sehingga disebut juga
cellulae ethmoidales. Rongga-rongga kecil ini berdinding tipis di dalam labyrinth ossis
ethmoidalis, disempurnakan oleh tulang-tulang frontale, maxilla, lacrimale, sphenoidale, dan
palatinum. Pendarahan disuplai oleh Aa. ethmoidales anterior dan posterior serta A.
sphenopalatina. Pembuluh baliknya lewat vena-vena yang senama dengan arteri. Persarafannya
oleh, Nn. Ethmoidales anterior dan posterior serta cabang orbital ganglion pterygopalatinum.1,2
c. Sinus sphenoidalis. Kedua sinus ini terletak di sebelah posterior terhadap bagian atas rongga
hidung, di dalam corpus ossis sphenoidalis, bermuara ke dalam recessus spheno-ethmoidalis.
Pendarahan disuplai oleh A. ethmoidalis posterior dan cabang pharyngeal A. maxillaries interna.
Persarafannya oleh N. ethmoidalis posterior dan cabang orbital ganglion pterygopalatinum.1,2
d. Sinus maxillaries. Sebagian besar sinus ini menempati tulang maxilla. Berbentuk pyramid,
berbatasan dengan dinding lateral rongga hidung. Puncaknya meluas ke dalam processus
zygomaticus ossis maxillae. Atap berbatasan dengan dasar orbita, sedangkan lantai berbatasan
dengan processus alveolaris ossis maxillae. Pendarahan disuplai oleh A. facialis, A. palatine
major, A. infraorbitalis yang merupakan lanjutan A. maxillaries interna dan Aa. alveolaris
superior anterior dan posterior cabang A. maxillaris interna. Persarafannya oleh N. infraorbitalis
dan Nn. Alveolaris superior anterior, medius dan posterior.1,2
Faring adalah tabung muskular berukuran 12,5 cm yang merentang dari bagian dasar tulang
tengkorak sampai esophagus. Faring terbagi menjadi nasofaring, orofaring, dan laringofaring.1,2
1. Nasofaring adalah bagian posterior rongga nasal yang membuka ke arah rongga nasal
melalui melalui dua naris internal (koana). Dua tuba eustachius menghubungkan nasofaring
dengan telinga tengah. Tuba ini berfungsi untuk menyetarakan tekanan udara pada kedua sisi
gendang telinga. Amandel faring adalah penumpukan jaringan limfatik yang terletak di dekat
naris internal. Pembesaran adenoid dapat menghabat aliran udara. 1,2
2. Orofaring dipisahkan dari nasofaring oleh palatum lunak muskular, suatu perpanjangan
palatum keras tulang. Uvula adalah prosessus kerucut kecil yang menjulur ke bawah dari
bagian tengah tepi bawah palatum lunak. Amandel palatinum terletak pada kedua sisi
orofaring posterior. 1,2
3. Laringofaring mengelilingi mulut esophagus dan laring, yang merupakan gerbang untuk
sistem respiratorik selanjutnya.
Gambar 3. Pharynx potongan Sagital
Laring merupakan saluran udara yang bersifat sphincter dan juga organ pembentuk suara,
membentang antara lidah sampai trachea. Laring berada di antara pembuluh-pembuluh besar
leher dan di sebelah ventral tertutup oleh kulit, fascia-fascia dan otot-otot depressor lidah lidah.
Laring juga menghubungkan faring dengan trachea. Laring ditopang oleh kartilago, tiga kartilago
berpasangan dan tiga kartilago tidak berpasangan.1,2
1. Kartilago tidak berpasangan1,2
a. Kartilago tiroid terletak di bagian proksimal kelenjar tiroid. Biasanya berukuran lebih besar
dan lebih menonjol pada laki-lakiakibat hormon yang di sekresi saat pubertas.
b. Kartilago krikoid adalah cincin anterior yang yang lebih kecil dan lebih tebal, terletak di
bawah kartilago tiroid.
c. Epiglotis adalah katup kartilago elastic yang melekat pada tepian anterior kartilago tiroid.
Saat menelan, epiglotis secara otomatis menutupi mulut laring untuk mencegah masuknya
makanan dan cairan.
2. Kartilago berpasangan1,2
a. Kartilago aritenoid terletak di atas dan di kedua sisi kartilago krikoid. Kartilago ini melekat
pada pita suara sejati, yaitu lipatan berpasangan dari epithelium squamosa bertingkat.
b. Kartilago kornikulata melekat pada bagian ujung kartilago aritenoid.
c. Kartilago kuneiform berupa batang-batang kecil yang membantu menopang jaringan lunak.
Gambar 4. Larynx tampak Anterior
Trachea adalah tuba dengan panjang 10 cm-12 cm dan diameter 2,5 cm serta terletak di atas
permukaan anterior esophagus. Tuba ini merentang dari laring pada area vertebra serviks keenam
sampai area vertebra toraks kelima tempatnya membelah menjadi dua bronkus utama. Trachea
dapat tetap terbuka karena adanya 16-20 cincin kartilago berbentuk C. Ujung posterior mulut
cincin dihubungkan oleh jaringan ikat dan otot sehingga memungkinkan ekspansi esophagus.
Trachea juga dilapisi oleh epithelium respiratorik yang mengandung banyak sel goblet.1,2
Bronkus primer kanan berukuran lebih pendek, lebih tebal, dan lebih lurus dibandingkan
bronkus primer kiri karena arcus aorta membelokkan trachea bawah ke kanan. Objek asing yang
masuk ke dalam trachea kemungkinan ditempatkan dalam bronkus kanan. Setiap bronkus primer
bercabang 9-12 kali untuk membentuk bronki sekunder dan tertier dengan diameter yang
semakin kecil. Saat tuba semakin menyempit, batang atau lempeng kartilago mengganti cincin
kartilago. Bronki disebut juga ekstrapulmonar sampai memasuki paru-paru, setelah itu disebut
intrapulmonar. Struktur mendasar dari kedua paru-paru adalah percabangan bronchial yang
selanjutnya bronchi, bronchiolus, bronchiolus terminal, bronchiolus respiratorik, duktus alveolar,
dan alveoli.1,2
Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot dan
rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua bagian
yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri (pulmo
sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut
pleura. Selaput bagian dalam yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura
visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk
disebut pleura luar (pleura parietalis).1,2
Antara selaput luar dan selaput dalam terdapat rongga berisi cairan pleura yang berfungsi
sebagai pelumas paru-paru. Cairan pleura berasal dari plasma darah yang masuk secara
eksudasi. Dinding rongga pleura bersifat permeabel terhadap air dan zat-zat lain.1,2
Gambar 5. Bagian Sistem Pernapasan
Gambar 6. Paru Bagian Dalam
MUKOSA HIDUNG
Rongga hidung dilapisi oleh selaput lendir. Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa
epitel toraks bersilia, bertingkat palsu, berbeda-beda pada berbagai bagian hidung. Pada ujung
anterior konka dan septum sedikit melampaui os internum masih dilapisi oleh epitel berlapis
gepeng tanpa silia, lanjutan epitel kulit vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi
epitel menjadi toraks, silia pendek agak ireguler. Sel- sel meatus media dan inferior yang
terutama menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang tersusun rapi.1,2
VASKULARISASI
Pendarahan pada hidung berasal dari arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna
yang memperdarahi septum dan dinding lateral hidung.1,2
1. Pendarahan arteri carotis interna
Arteri oftalmika yang berasal dari arteri karotis interna bercabang menjadi arteri
etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior masuk ke kavum nasi. Arteri etmoidalis
posterior memperdarahi septum bagian superior posterior dan dinding lateral hidung.1,2
2. Pendarahan arteri carotis eksterna
Arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna kemudian bercabang
menjadi arteri sphenopalatina dan arteri palatina mayor. Arteri sphenopalatina masuk ke
dalam rongga hidung bagian belakang ujung posterior konka medial melalui foramen
sphenopalatina. Di dalam rongga hidung arteri sphenopalatina bercabang menjadi arteri
facialis lalu menjadi arteri labialis superior.1,2
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang- cabang arteri
sphenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatine mayor
yang disebut plexus kieselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma
sehingga menjadi sumber pendarahan hidung.1,2
Gambar 7. Vaskularisasi hidung
PERSARAFAN
Bagian anterosuperior septum nasi mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n. Nasosiliaris yang berasal dari n.
Oftalmicus. Sebagian kecil septum nasi pada bagian anteroinferior mendapatkan persarafan
sensoris dari cabang maksilaris n. Trigeminus.1,2
N. nasopalatina mempersarafi septum bagian tulang, memasuki rongga hidung
melalui foramen sfenopalatina berjalan ke septum bagian superior, selanjutnya ke bagian
anteroinferior dan mencapai palatum durum melalui kanalis insisivus.1,2
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribiformis dan permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfactorius
di daerah sepertiga atas hidung.1,2
Gambar 8. System persyarafan hidung
Struktur Mikroskopis
Jika dilihat pada mikroskop rongga hidung terdiri dari :3,4
Tulang
Tulang rawan hialin
Otot bercorak
Jaringan ikat
Kulit luar Hidung, secara mikroskopis nampak:3,4
Mempunyai lapisan sel yaitu Epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk
Terdiri atas Rambut -rambut halus
Mengandung Kelenjar sebasea dan kelenjar keringat
Vestibulum nasi
Secara anatomi Vestibulum nasi merupakan bagian dari cavum nasi yang terletak tepat di
belakang nares anterior.3,4
Secara histologi, vestibulum nasi terdiri atas :
Epitel berlapis gepeng
Terdapat vibrissae yaitu rambut-rambut kasar yang berfungsi menyaring udara pernafasan
Terdapat kelenjar sebasea dan kelenjar keringat.3,4
Konka nasalis
Secara anatomi Pada dinding lateral cavum nasi terdapat tiga tonjolan tulang disebut konka,
dimana ada empat buah konka yaitu Konka nasalis superior yang tersusun atas epitel khusus,
Konka nasalis media, Konka nasalis inferior dan konka nasalis suprema yang kemudian akan
rudimenter.3,4
Konka nasalis superior tersusun atas epitel khusus yaitu epitel olfaktorius untuk
penciuman
Konka nasalis media dan Konka nasalis inferior dilapisi epitel bertingkat torak bersilia
bersel goblet.
Epitel yang melapisi konka nasalis inferior banyak terdapat plexus venosus yang disebut
swell bodies yang berperan untuk menghangatkan udara yang melalui hidung. Bila alergi
akan terjadi pembengkakan swell bodies yang abnormal pada kedua konka nasalis ,sehingga
aliran udara yang masuk sangat terganggu.
Dibawah konka inferior terdapat Plexus venosus berdinding tipis ,sehingga mudah
perdarahan
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologis dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).3,4
Regio Respiratorius
Tersusun atas Epitel bertingkat torak bersilia bersel goblet:3,4
Silia berperan mendorong lendir kearah belakang yaitu nasofaring sehingga kemudian
lendir tertelan atau dibatukkan
Pada lamina propria
Terdapat glandula nasalis yang merupakan kelenjar campur dimana Sekret kelenjar
disini menjaga kelembaban kavum nasi dan menangkap partikel partikel debu yang
halus dalam udara inspirasi
Terdapat noduli limfatisi
Lamina propria ini menjadi satu dengan periosteum / perikondrium (dinding konka
nasalis) oleh karena itu membran mukosa di hidung sering disebut mukoperiosteum /
mukoperikondrium / membrana Schneider
Terdapat serat kolagen, serat elastin, limfosit, sel plasma , sel makrofag
Jadi Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh Epitel bertingkat torak bersilia bersel goblet. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir pada
permukaannya.3,4
Regio Olfaktorius3,4
Bagian dinding lateral atas dan atap posterior kavum nasi mengandung organ olfaktorius
Pada konka nasalis superior terdapat epitel khusus / epitel olfaktorius yang terdapat pada
pertengahan kavum nasi
Daerah epitel olfaktorius ini mencakup 8 – 10 mm ke bawah pada tiap sisi septum nasi
dan pada permukaan konka nasalis superior, dengan batas tidak teratur dan luas 500 mm2
dengan mukosa warna coklat kekuningan
Tunika mukosa terdapat epitel olfaktorius yang tersusun atas empat macam sel, yaitu
Sel olfaktorius
Terletak diantara sel basal dan sel penyokong
Merupakan neuron bipolar dengan dendrit kepermukaan dan akson ke lamina propria
Ujung dendrit menggelembung disebut vesikula olfaktorius
Dari permukaan keluar 6 – 8 silia olfaktorius
Akson tak bermyelin dan bergabung dengan akson reseptor lain di lamina propia
membentuk Nervus Olfaktorius / N. II
Sel sustentakuler / sel penyokong
Bentuk sel silindris tinggi dengan bagian apex lebar dan bagian basal menyempit
Inti lonjong
Pada permukaan terdapat mikrovili
Sitoplasma mempunyai granula kuning kecoklatan
Sel basal
Bentuk segitiga
Inti lonjong
Merupakan reserve cell / sel cadangan yang akan membentuk sel penyokong dan
mungkin menjadi sel olfaktorius
Sel sikat
Sel yang mempunyai mikrovili di bagian apikal
Lamina propria:
Mempunyai banyak vena
Mengandung kelenjar terutama jenis serosa / kelenjar Bowman,berperan untuk
membasahi epitel dan silia, dan juga sebagai pelarut zat – zat kimia yang dalam bentuk bau /
dapat melarutkan bau-bauan.3,4
Transpor Oksigen
Sistem pengangkut O2 di tubuh terdiri atas paru dan sistem kardiovaskular.
Pengangkutan O2 menuju jaringan tertentu bergantung pada jumlah O2 yang masuk ke dalam
paru, adanya pertukaran gas di paru yang adekuat, aliran darah yang menuju jaringan, dan
kapasitas darah untuk mengangkut O2. Aliran darah bergantung pada derajat konstriksi jalinan
vaskular di jaringan serta curah jantung. Jumlah O2 di dalam darah ditentukan oleh jumlah O2
yang larut, jumlah hemoglobin dalam darah, dan afinitas hemoglobin terhadap O2.
Terdapat tiga keadaan penting yang memengaruhi kurva disosiasi hemoglobin-oksigen yaitu
pH, suhu dan kadar 2,3-bifosfogliserat (BPG; 2,3-BPG). Peningkatan suhu atau penurunan pH
mengakibatkan PO2 yang lebih tinggi diperlukan agar hemoglobin dapat mengikat sejumlah
O2. Sebaliknya, penurunan suhu atau peningkatan pH dibutuhkan PO2 yang lebih rendah untuk
mengikat sejumlah O2. Suatu penurunan pH akan menurunkan afinitas hemoglobin terhadap
O2, yang merupakan suatu pengaruh yang disebut pergeseran Bohr. Karena CO2 bereaksi
dengan air untuk membentuk asam karbonat, maka jaringan aktif akan menurunkan pH di
sekelilingnya dan menginduksi hemoglobin supaya melepaskan lebih banyak oksigennya,
sehingga dapat digunakan untuk respirasi selular.5,6
Difusi Gas
Bagi suatu gas, baik yang ada di udara maupun yang terlarut dalam air, difusi bergantung
pada perbedaan dalam suatu kuantitas yang disebut tekanan parsial (partial pressure). Gas akan
selalu berdifusi dari daerah dengan tekanan parsial yang lebih tinggi. Darah yang sampai ke
paru-paru melalui arteri pulmoner mempunyai nilai PO2 yang lebih rendah dan nilai PCO2 yang
lebih tinggi dibandingkan dengan udara di dalam ruangan alveoli. Ketika darah memasuki
hamparan kapiler di sekitar alveoli, karbon dioksida akan berdifusi dari darah ke udara di dalam
alveoli. Oksigen dalam udara akan larut dalam cairan yang melapisi epithelium dan berdifusi
menembus permukaan dan masuk ke dalam kapiler. Ketika darah telah meninggalkan paru-paru
dalam vena pulmoner, nilai PO2 nya telah naik dan PCO2 nya telah turun. Setelah kembali ke
jantung, darah tersebut dipompa melalui sirkuit sistemik. Dalam kapiler jaringan, gradient
tekanan parsial lebih menyukai terjadinya difusi oksigen keluar dari darah dan karbon dioksida
ke dalam darah. Hal ini terjadi karena respirasi seluler dengan cepat menghabiskan kandungan
oksigen dalam cairan interstisial dan menambahkan karbon dioksida ke cairan itu (melalui
difusi). Setelah darah melepaskan oksigen dan memuat karbon dioksida, darah tersebut
kemudian dipompa ke paru-paru lagi, tempat darah akan mempertukarkan gas dengan udara di
alveoli.5,6
KESEIMBANGAN ASAM-BASA TUBUH
Keseimbangan asam basa adalah homeostasis dari kadar ion hidrogen dalam tubuh Kadar normal ion hidrogen (H) arteri adalah: 4x10-8 atau pH = 7,4 (7,35 – 7,45) Asidosis = asidemia → kadar pH darah <7,35 Alkalemia = alkalosis → kadar pH
darah >7,45 Kadar pH darah <6,8 atau >7,8 tidak dapat diatasi oleh tubuh.7,8
Sistem Buffer Tubuh7,8
Sistem buffer ECF → asam karbonat-bikarbonat (NaHCO3 dan H2CO3) Sistem buffer ICF → fosfat monosodium-disodium (Na2HPO4 dan NaH2PO4) Sistem buffer ICF eritrosit → oksihemoglobin-hemoglobin (HbO2- dan HHb) Sistem buffer ICF dan ECF → protein (Pr- dan HPr)
Pertahanan pH darah normal tercapai melalui kerja gabungan dari buffer darah, paru dan ginjal
Persamaan Handerson Hasselbach:
20 [HCO3-]pH = 6,1 + log --------------------- 1PaCO2
[HCO3-] → faktor metabolik, dikendalikan ginjal PaCO2 → faktor respiratorik, dikendalikan paru pH 6,1 → efek buffer dari asam karbonat-bikarbonat Selama perbandingan [HCO3-] : PaCO2 = 20 : 1 → pH darah selalu = 6,1 + 1,3 =
7,4.7,8
Gangguan Asam Basa darah7,8
Asidosis metabolik [HCO3-] ↓ dikompensasi dengan PaCO2 ↓ Alkalosis metabolik [HCO3-] ↑ dikompensasi dengan PaCO2↑ Asidosis respiratorik PaCO2↑ dikompensasi dengan [HCO3-] ↑ Alkalosis respiratorik PaCO2↓ dikompensasi dengan [HCO3-] ↓
Asidosis Metabolik7,8
Ciri: [HCO3-] ↓ <22mEq/L dan pH <7,35 → kompensasi dengan hiperventilasi PaCO2↓, kompensasi akhir ginjal → ekskresi H+, sebagai NH4+ atau H3PO4
Penyebab: Penambahan asam terfiksasi: ketoasidosis diabetik, asidosis laktat (henti jantung atau syok), overdosis aspirin Gagal ginjal mengekskresi beban asam Hilangnya HCO3- basa → diare
Gejala Asidosis Metabolik Tidak jelas dan asimptomatis Kardiovaskuler: disritmia, penurunan kontraksi jantung, vasodilatasi perifer dan serebral Neurologis: letargi, stupor, koma Pernafasan: hiperventilasi (Kussmal) Perubahan fungsi tulang: osteodistrofi ginjal (dewasa) dan retardasi pada anak
Penatalaksanaan Asidosis Metabolik Tujuan: meningkatkan pH darah hingga ke kadar aman (7,20 hingga 7,25) dan mengobati penyakit dasar NaHCO3 dapat digunakan bila pH <7,2 atau [HCO3-] <15mEq/L
Risiko NaHCO3 yang berlebihan: penekanan pusat nafas, alkalosis respiratorik, hipoksia jaringan, alkalosis metabolik, hipokalsemia, kejang, tetani Alkalosis Metabolik Ciri: [HCO3-] ↑ >26mEq/L dan pH >;7,45 → kompensasi dengan hipoventilasi PaCO2↑, kompensasi akhir oleh ginjal → ekskresi [HCO3-] yang berlebihan.7,8
Penyebab:7,8 Hilangnya H+ (muntah, diuretik, perpindahan H+dari ECF ke ICF pada hipokalemia) Retensi [HCO3-] (asidosis metabolik pasca hiperkapnia)
Gejala Alkalosis Metabolik: 7,8
Gejala dan tanda tidak spesifik Kejang dan kelemahan otot → akibat hipokalemia dan dehidrasi Disritmia jantung, kelainan EKG → hipokalemi Parestesia, kejang otot → hipokalsemia
Penatalaksanaan Alkalosis Metabolik:7,8
Tujuan: menghilangkan penyakit dasar Pemberian KCl secara IV dalam salin 0,9% → (diberikan jika Cl- urine <10mEq/L)
menghilangkan rangsangan aldosteron → ekskresi NaHCO3 Jika Cl- urine >20mEq/L → disebabkan aldosteron yang berlebihan → tidak dapat diobati dengan salin IV, tapi dengan diuretik
Asidosis Respiratorik: 7,8
Ciri: PaCO2 ↑ >45mmHg dan pH <7,35 → kompensasi ginjal retensi dan peningkatan [HCO3-]
Penyebab: hipoventilasi (retensi CO2), inhibisi pusat nafas (overdosis sedatif, henti jantung), penyakit dinding dada dan otot nafas (fraktur costae, miastemia gravis), gangguan pertukaran gas (COPD), obstruksi jalan nafas atas
Gejala Asidosis Respiratorik Tidak spesifik Hipoksemia (dominan) → asidosis respiratorik akut akibat obstruksi nafas Somnolen progresif, koma → asidosis
respiratorik kronis Vasodilatasi serebral → meningkatkan ICV → papiledema dan pusing
Penatalaksanaan Asidosis Respiratorik Pemulihan ventilasi yang efektif sesegera mungkin → pemberian O2 dan mengobati penyebab penyakit dasar PaO2 harus ditingkatkan >60mmHg dan pH >7,2
Alkalosis Respiratorik:7,8
Ciri: penurunan PaCO2 <35mmHg dan peningkatan pH serum >7,45 → kompensasi ginjal meningkatkan ekskresi HCO3-
Penyebab: hiperventilasi (tersering psikogenik karena stress dan kecemasan), hipoksemia (pneumonia, gagal jantung kongestif, hipermetabolik (demam), stroke, stadium dini keracunan aspirin, septikemia
Gejala Alkalosis Respiratorik:7,8
Hiperventilasi (kadar gas, frekuensi nafas) Menguap, mendesak, merasa sulit bernafas Kecemasan: mulut kering, palpitasi, keletihan, telapak tangan dan kaki dingin dan
berkeringat Parastesia, otot berkedut, tetani Vasokontriksi serebal → hipoksia cerebral → kepala dingin dan sulit konsentrasi
Penatalaksanaan Alkalosis Respiratorik:7,8
Menghilangkan penyebab dasar Kecemasan dapat dihilangkan dengan pernafasan kantong kertas yang dipegang erat
disekitar hidung dan mulut dapat memulihkan serangan akut Hiperventilasi mekanik → diatasi dengan menurangi ventilasi dalam satu menit,
menambah ruang hampa udara atau menghirup 3% CO2 dalam waktu singkat.
KESIMPULAN:
Fraktur os.nasal adalah trauma tulang rawan pada nasal yang disebabkan oleh misalnya: kecelakaan, benturan hebat yang ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas dan lain-lain. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya continuitas jaringan tulang yang disebabkan oleh tekanan dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari pada yang diabsorbsinya. Fraktur nasal adalah jenis trauma wajah yang paling sering terjadi, posisinya yang berada ditengah dan proyeksi anterior pada wajah menjadi faktor predisposisi terjadinya trauma.
DAFTAR PUSTAKA
1. Veldman J. Anatomi dan Fisiologi untuk pemula. Terjemahan. Sloane E. Anatomy and Physiology : an easy learner. Jakarta : EGC. 2004. hal. 266-77.
2. Gunardi S. Anatomi sistem pernapasan. Jakarta : FKUI. 2009. hal. 2-94.3. Arifin FG. Penuntun praktikum kumpulan foto mikroskopik histologi. Jakarta:
Universitas Trisakti; 2009.h.160-9
4. Pendit B U. Buku ajar Fisiologi kedokteran. Terjemahan. Ganong W F. Review of medical Physiology. Edisi 22. Jakarta : EGC. 2008. hal. 669-83, 689-93.
5. Linardakis N M. Physiology. Singapore : McGraw-Hill. 1998. p.83-97.6. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi 2. Jakarta : EGC. 2001.7. Cameron John R, Grant Roderick M, Skofronick James G. Fisika tubuh manusia.
Edisi ke-2. Jakarta: CV. Sagung Seto; 2006.h.157-9, 171-4, 187-9.
8. Manalu W. Biologi jilid 3. Terjemahan. Campbell N A. Biology. Edisi 5. Jakarta : PT Gelora Aksara Pratama. 2004. hal. 65-8.