Download - EPISTEMOLOGI ILMU
EPISTEMOLOGI ILMUoleh: anin
Pengarang : Elvira Syamsir
Summary rating: 2 stars (283 Tinjauan)
Kunjungan :19337
kata:600
More About : epistemologi filsafat
http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1786495-epistemologi-ilmu/
Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi
tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. 1. Ontologi
(hakikat apa yang dikaji) Ontologi membahas keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit secara
kritis. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalsime dan empirisme.
Secara ontologis, objek dibahas dari keberadaannya, apakah ia materi atau bukan, guna
membentuk konsep tentang alam nyata (universal ataupun spesifik). Ontologi ilmu meliputi apa
hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan
ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada”.
Persoalan yang didalami oleh ontologi ilmu misalnya apakah objek yang ditelaah ilmu?
Bagaimana wujud hakiki objek tersebut? Bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya
tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan?
Pemahaman ontologik meningkatkan pemahaman manusia tentang sifat dasar berbagai benda
yang akhimya akan menentukan pendapat bahkan keyakinannya mengenai apa dan
bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicarinya. 2. Epistemologi
(filsafat ilmu) Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia
merupakan cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sum-ber
pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan,
validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Perbedaan landasan ontologik menyebabkan
perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan
yang benar. Akal, akal budi, pengalaman, atau kombinasi akal dan pengalaman, intuisi,
merupakan sarana mencari pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga
dikenal model-model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, rasionalisme kritis,
positivisme, fenomenologi dan sebagainya. Epistemologi juga membahas bagaimana menilai
kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan
(ilmiah), seperti teori koherensi, korespondesi pragmatis, dan teori intersubjektif. Pengetahuan
merupakan daerah persinggungan antara benar dan diperca-ya. Pengetahuan bisa diperoleh
dari akal sehat yaitu melalui pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan
kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan, cenderung bersifat kabur
dan samar dan karenanya merupakan pengetahuan yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan (sains)
diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah)
menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika dan
statistika. Metode ilmiah mengga-bungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi
jembatan penghu-bung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara
empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif,
sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang
tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau ju-ga naluri) dapat diuji, apakah
sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Kebenaran pengetahuan dilihat dari kesesuaian
artinya dengan fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui kebenarannya
dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia. Jika
seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan maka cara, sikap, dan sarana
yang digunakan untuk membangun pengetahuan tersebut harus benar. Apa yang diyakini atas
dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah.
Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita
mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-
ubah dan berkembang. 3. Aksiologi ilmu (nilai kegunaan ilmu) Meliputi nilai-nilai kegunaan yang
bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan yang dijumpai
dalam seluruh aspek kehidupan. Nilai-nilai kegunaan ilmu ini juga wajib dipatuhi seorang
ilmuwan, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
EPISTEMOLOGI FILSAFAT AL-GHOZALI - EPISTEMOLOGI FILSAFAT AL-GHOZALI by gieb
genre
Religion & Spirituality
description:tafsir
chapters
chapter 1: EPISTEMOLOGI FILSAFAT AL-GHOZALI
EPISTEMOLOGI FILSAFAT AL-GHOZALI
chapter 1 — updated May 11, 2008 — 15698 characters — 2 people liked this writing
EPISTEMOLOGI FILSAFAT AL-GHOZALI http://www.goodreads.com/story/show/12243-epistemologi-filsafat-al-ghozali
Tidaklah berlebihan ketika Nicholson menyampaikan angan-angannya bahwa seandainya ada seorang nabi setelah Muhammad, maka Al-Ghozali-lah orangnya (R.A Nicholson,1976), pernyataan ini meskipun tak sepenuhnya dapat dibenarkan, tetapi setidaknya jika salah satu sifat seorang nabi itu adalah cinta akan ilmu pengetahuan dan kebenaran, maka keterlibatan Al-Ghozali dalam hampir semua diskursus
keilmuan, seperti; ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf, cukup bisa dijadikan sebagai salah satu alasan untuk menguatkan pernyataan tersebut . Sebab, dengan alasan serupa yang membuat Al-Ghozali tak pernah lepas dari pertimbangan siapapun yang berusaha memahami Agama Islam secara luas dan mendalam (Nurcholis Madjid, 1996).
Kendati demikian, ibarat kata pepatah tiada gading yang tak retak, kebesaran reputasi Al Ghozali itu bukan tanpa cacat. Justru keterlibatannya dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman tersebut dipandang oleh sebagian pengamat sejarah sebagai salah satu faktor penyebab hilangnya rasionalisme, yang pada gilirannya nanti menjadi faktor penting bagi kemunduran dunia Islam. Misalnya, pertama, usahanya dalam mempertahankan afiliasi kalamnya (Asy’ariah) sebagai ideologi resmi penguasa Abbasyiah, paling tidak semakin menambah kebencian umat Islam terhadap aliran Mu’tazilah, kalau bukan justru menegasikan sama sekali terhadap aliran teologi Islam yang rasionalis tersebut, sehingga semangat rasional yang terdapat didalamnya dengan sendirinya juga ditinggalkan oleh umat Islam. Kedua, magnum opusnya dibidang filsafat, Tahafut al Falasifah, sering dipahami oleh beberapa pengamat sebagai penyebab hilangnya rasionalisme di dunia Islam, sehingga meskipun perlahan tapi pasti, Islam berangsur-angsur mulai mengalami kemunduran. Ketiga, dua penilaian diatas semakin lengkap dengan lahirnya karya sensasional Al-Ghozali dibidang sufisme, Ihya’ Ulum Al-Din, yang pada kenyataannya memang telah menjadi teman akrab umat Islam dalam melaksanakan praktek-praktek romantisme dengan Tuhan melalui pemberdayaan rasa (Dzauq) dan bukan nalar (akal). Dari sudut pandang ini, bila rasio itu memang dapat dipahami sebagai salah satu kunci kejayaan Islam, maka tak mengherankan bila ada beberapa pengamat seringkali melekatkan nama Al-Ghozali dengan kemunduran dunia Islam.
Walaupun begitu, terlepas dari penilaian kontroversial terhadap hujjatul Islam tersebut, yang pasti dia telah ikut aktif dalam mengisi lembaran sejarah umat ini. Karya-karya besar yang diciptakannya dalam berbagai diskursus ke-Islaman merupakan bukti penting bahwa Al-Ghozali, baik dalam kapasitasnya sebagai teolog , filosof, mapun seorang sufi. Sebab jangan-jangan kemunduran dunia Islam itu bukan semata-mata disebabkan olehnya, tetapi justru dikarenakan umat Islam sendiri yang terlalu fanatik terhadap Al-Ghozali, sehingga yang diwarisi bukan bangunan epistemologinya dan semangat pencariannya akan kebenaran yang hakiki, tetapi sekedar produk pemikirannya secara taken for granterd .
Sekilas tentang Epistemologi
Sebagai derivasi dari kata Yunani Episteme: pengetahuan dan logos: ilmu, maka secara sederhana epistemologi dapat dimaknai dengan teori pengetahuan. Epistemologi, sebagai ditegaskan Amin Abdullah, sedikitnya membahas tiga persoalan mendasar; pertama, sumber pengetahuan; dari mana dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang benar. Kedua, sifat pengetahuan ;apakah segala sesuatu itu bersifat fenomenal (tampak) ataukah essensial (hakiki)?. Ketiga, validitas (kebenaran) suatu pengetahuan; bagaimana pengetahuan yang benar dan yang salah dapat dibedakan.
Sedikitnya ada dua paradigma pemikiran dalam menjawab persoalan epistemlogi tersebut. Pertama,
idealisme atau nasionalisme menitikberatkan pada pentingnya peranan ide, kategori atau bentuk-bentuk yang terdapat pada akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato ( 427-347 SM), seorang bidan bagi lahirnya janin idealisme ini, menegaskan bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah (Amin Abdullah;1996). Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat dipercayai kebenarannya. Karena itu suatu ilmu pengetahuan agar dapat memberikan kebenaran yang kokoh, maka ia mesti bersumber dari hasil pengamatan yang tepat dan tidak berubah-ubah. Hasil pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari suatu alam yang tetap dan kekal. Alam inilah yang disebut oleh guru Aristoteles itu sebagai "alam ide", suatu alam dimana manusia sebelum ia lahir telah mendapatkan ide bawaannya (S.E Frost;1966). Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu sehingga lahirlah ilmu pengetahuan. Orang tinggal mengingat kembali saja ide-ide bawaan itu jika ia ingin memahami segala sesuatu. Karena itu, bagi Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan alam inderawi bukanlah alam sesungguhnya.
Paradigma selanjutnya adalah empirisme atau realisme, yang lebih memperhatikan arti penting pengamatan inderawi sebagai sumber sekaligus alat pencapaian pengetahuan (Harold H. Titus dkk.;1984). Aristoteles (384-322 SM) yang boleh dikata sebagai bapak empirisme ini, dengan tegas tidak mengakui ide-ide bawaan yang dibawakan oleh gurunya, Plato. Bagi Aristoteles, hukum-hukum dan pemahaman itu dicapai melalui proses panjang pengalaman empirik manusia. (Amin Abdullah;1996).
Dalam paradigma empirisme ini, sungguhpun indra merupakan satu-satunya instrumen yang paling absah untuk menghubungkan manusia dengan dunianya, bukan berarti bahwa rasio tidak memiliki arti penting. Hanya saja, nilai rasio itu tetap diletakkan dalam kerangka empirisme (Harun Hadiwiyoto;1995). Artinya keberadaan akal di sini hanyalah mengikuti eksperimentasi karena ia tidak memiliki apapun untuk memperoleh kebenaran kecuali dengan perantaraan indra, kenyataan tidak dapat dipersepsi (Ali Abdul Adzim;1989). Berawal dari sinilah, John Locke berpendapat bahwa manusia pada saat dilahirkan, akalnya masih merupakan tabula (kertas putih). Di dalam kertas putih inilah kemudian dicatat hasil pengamatan Indrawinya (Louis O. Katsof;1995).
Epistemologi Filsafat Al-Ghazali
Al-Ghazali, seperti telah disinggung sekilas di atas, sering secara tidak adil dituduh sebagai biang keladi kemunduran Islam hanya karena ia lebih mengedepankan afiliasi dalam ‘tradisional’ Asy’ariahnya dibanding aliran ‘nasionalnya’ Mu’tazilah, dan terutama karena serangan terhadap filsafat melalui kitabnya, Tahafut al-Falasifah,serta keberpihakannya terhadap tasawuf yang lebih mengutamakan olah rasa daripada nalar sebagai satu-satunya jalan yang paling absah menuju kebenaran hakiki.
Dengan pola pemahaman yang sangat sederhana, barangkali, Al-Ghazali memang memberikan kesan seperti itu, namun dalam telaah yang lebih luas dan mendalam, Al-Ghazali bukanlah penyebab kemunduran dunia Islam. Orang telah lupa bahwa sesungguhnya Asy’ariah seringkali dinilai sebagai suatu bentuk aliran teologi yang bersifat tradisional, bukan berarti dia menafikan akal atau penalaran dalam berbagai pemahamannya. Sedangkan terkait dengan serangannya terhadap filsafat, kalau kita
mengetahui sisi filsafat mana yang diserangnya , maka akan kita dapati bahwa tuduhan di atas sangatlah tidak mendasar. Sebab, Al-Ghazali bukannya menyerang keseluruhan bangunan filsafat, tetapi hanya bagian metafisikanya saja. Itupun, yang diserangnya bukan objek kajiannya, tetapi lebih pada kesalahan struktur argumentasi para filosof.
Kecuali itu, apabila kita lihat apa yang mendorong Al-Ghazali mempelajari falsafah dan kemudian menulis bukunya, Maqodis Al Falasifah dan Tahafut Al Falasifah, maka kita dapati bahwa adanya aliran dan madhab dalam Islam serta pengakuannya masing-masing bahwa pendapatnyalah yang paling benar sedangkan pendapat lain yang salah inilah yang memotivasi Al-Ghazali semenjak muda senantiasa mencari kebenaran yang hakiki. (Harun Nasution, 1996).
Yang dimaksud Al-Ghazali dengan kebenaran hakiki adalah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya; tak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya. Demikian tegas Al-Ghazali :
Jika kuketahui bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga, lantas ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dapat diubah menjadi ular dan hal itu memang terjadi, bahwa memang kusaksikan sendiri, maka kejadian itu tidak akan membuatku ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal itu sekali-kali tidak akan pernah membuat aku bimbang terhadap pengetahuanku". (Al-Ghazali, 1961).
Itulah bentuk kebenaran hakiki sebagai suatu hasil pengetahuan yang meyakinkan, yang oleh Al-Ghazali keyakinan itu disimbolkan sampai ke tingkat yang sangat matematis, sehingga ia tidak akan tergoyahkan lagi oleh bentuk intimidasi apapun. (Dzurkani Jahja, 1996).
Seseorang, demikian Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan indrawi (hissiyat) dan pemikiran yang pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961). Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma empirisme dan rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan itu tetap dilakukan secara hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa diantar keduanya.
Terhadap hasil pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa :
"Tentang hal ini aku ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat dipercaya, penglihatan mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti menipu. Engkau misalnya, melihat bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat sesaat ternyata ia bergerak sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga melihat bintang tampaknya kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur menunjukkan bahwa bintang lebih besar daripada bumi. Hal-hal seperti itu disertai dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat indera menunjukkan bahwa hukum-hukum inderawi dapat dikembangkan oleh akal dengan bukti-bukti yang tidak dapat disangkal lagi". (Al-Ghazali,1961).
Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang lebih bertumpu pada
hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai bentuk pengetahuan yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat tidak tetap atau berubah-ubah.
Kredibilitas akal, karena itu, juga tidak luput dari kuriositas Al-Ghazali terhadap hakikat yang sedang dicari-carinya. Kredibilitas akal diragukan, karena kekhawatirannya, jangan-jangan pengetahuan aqliyah itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang bermimpi, seakan-akan ia mengalami sesuatu yang sesungguhnya, tetapi ketika ia siuman nyatalah bahwa pengalamannya tadi bukanlah yang sesungguhnya terjadi." (Al-Ghazali,1961).
Sampai di sini, dikarenakan kebenaran hakiki yang dicari-carinya belum juga ketemu, akhirnya Al-Ghazali dihinggapi oleh sikap skeptis, suatu keadaan dimana hujjatul Islam ini didera oleh keadaan yang luar biasa, sehingga ia tidak mampu lagi untuk mengingat pengetahuan-pengetahuan yang pernah diperolehnya, bahkan untuk sekedar berbicarapun ia tak mampu. Masa-masa kritis bagi pengembangan pengetahuannya ini berlangsung selama dua bulan hingga ia menemukan kesadarannya kembali. Dengan dipenuhi segala rasa aman dan yakin, Al-Ghazali akhirnya dapat menerima pengertian aksiomatis (awalli) dari akal.
"Mungkin tidak ada yang dapat dipercaya selain pengertian-pengertian aksiomatis (pengetahuan yang bersifat asasi), seperti pengertian bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; atau
bahwa negasi dan afirmasi tidak akan dapat berkumpul dalam satu perkara; tidak ada yang baru dan pada saat yang sama ia juga dahulu; tidak ada sesuatu yang ada dan pada saat itu juga ia tidak ada; atau sesuatu yang bersifat pasti dan ia juga bersifat mustahil pada saat yang sama." (Al-Ghazali, 1961). "……dengan perasaan sama dan yakin ia dapat menerima kembali segala pengertian aksiomatis dari akal. Semua itu tidak terjadi dengan mengatur alasan ataupun menyusun penjelasan, tetapi dengan nur yang dipancarkan Allah kedalam batinku……kita hendaklah mencari sekuat tenaga apa yang harus dicari sampai pada sesuatu yang tidak usah kita cari lagi, karena ia memang sudah ada. Kalau kita mencari terus sesuatu yang telah ada niscaya ia akan menjadi samar dan membingungkan." (Al-Ghazali, 1961).
Dengan berbekal keyakinan aksiomatis inilah Al-Ghazali mencoba meneliti kebenaran hakiki yang ditawarkan melalui jalan kalam, batiniyah, filsafat dan sufisme. Selama pengembaraannya didunia ilmu kalam, batiniyah ataupun filsafat tidak ada yang didapatnya kecuali hanya pengetahuan-pengetahuan yang akan mengantarnya kepada kebenaran yang masih menimbulkan keraguan-keraguan dan pertanyaan-pertanyaan baru.
Akhirnya hanya di jalan sufisme-lah, Al-Ghazali mulai mendapatkan jalan terang menuju pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu seperti yang dicarinya selama ini, yakni dibukakannya rahasia ke-Tuhanan dan aturan-aturan tentang segala yang ada, sehingga tampaklah secara langsung Al-Ghazali sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata ataupun tidak pernah terdengar oleh telinga.
"……Apa yang dikatakan orang tentang suatu jalan yang dimulai dengan membersihkan hati, sebagai syarat pertama, mengosongkan sama sekali dari segala sesuatu selain Allah, dan kunci pintunya laksana
takbirotul ihrom dalam sholat ialah tenggelamnya hati dalam dzikir kepada Allah dan akhirnya fana sama sekali dengan-Nya……Diawal perjalan ini dimulailah peristiwa-peristiwa mukasyafah (terbukanya rahasia-rahasia) dan musyahadah (penyaksian langsung)……"(Al-Ghazali, 1961).
Pengetahuan terakhir inilah yang Al-Ghazali disebut dengan Al-Kasyf, yang merupakan puncak dari bangunan epistomologis. Hanya melalui Al-Kasyf inilah seseorang akan mencapai hakikat pengetahuan yang kokoh, karena apa yang diperolehnya melalui jalan kasyf ini sekali-kali tidak akan pernah membuatnya bimbang ataupun ragu, sebab pengetahuan ini dilahirkan dari suatu sikap (tingkah laku dan pemahaman yang selalu diterangi oleh cahaya kenabian).
Catatan Akhir
Dari sekilas uraian tentang epistemologis Al-Ghazali diatas, agaknya pengaruh paradigma rasionalisme dan empirisme memiliki ruang yang cukup luas dalam bangunan epistemologis hujjatul Islam tersebut, walaupun akhirnya ia sendiri tetap menempatkan secara hierarkis kedua paradigma pengetahuan Yunani itu, dari yang paling bawah empirisme, menyusul rasionalisme, dan akhirnya kasyf sebagai puncak tangga epistemologinya.
Berbeda halnya dengan Al-Ghazali, Imanuel Kant (1724-1804), meskipun ia juga melakukan beberapa kritik terhadap sikap eksklusif dari kedua arus pemikiran (empirisme dan rasionalisme) yang bersifat antagonis tersebut, Kant mampu memberikan perspektif baru dalam kajian epistemologinya, sehingga melahirkan filsafat ilmu (philosophy of science) yang sangat mempunyai arti penting bagi lahirnya ilmu pengetahuan yang multi dimensional di Barat dewasa ini.
Sementara kajian epistemologi dalam literatur Barat terus berkembang, didunia Islam sendiri, khususnya yang berbasis massa Sunni, kecenderungan arah epistemologinya justeru beringsut lebih tajam kepada batas wilayah idealisme dan kasyf, serta tidak peduli lagi dengan masukan-masukan yang diberikan oleh empirisme, sehingga semangat kritis dan pluralisme yang tersimpan dibalik paradigma empirisme tersebut tidak terwarisi masyarakat muslim. Sebaliknya mereka justru mendapatkan watak idealisme yang monistik. Karena itu, tidak berlebihan kesan yang ditangkap Amin Abdullah dari implikasi paradigma epistemologi yang seperti itu membuat alam pemikiran muslim menjadi terlalu rigid, puritan dan dikotomis dalam memecahkan masalah.
Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)Posted on 4 December 2008 by Asep Sofyan
http://bermenschool.wordpress.com/2008/12/04/epistemologi-filsafat-pengetahuan/
PEMBAGIAN PENGETAHUAN
Saat ini pembagian pengetahuan yang dianggap baku boleh dikatakan tidak
ada yang memuaskan dan diterima semua pihak. Pembagian yang lazim
dipakai dalam dunia keilmuan di Barat terbagi menjadi dua saja, sains
(pengetahuan ilmiah) dan humaniora. Termasuk ke dalam sains adalah ilmu-
ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences), dengan
cabang-cabangnya masing-masing. Termasuk ke dalam humaniora adalah
segala pengetahuan selain itu, misalnya filsafat, agama, seni, bahasa, dan
sejarah.
Penempatan beberapa jenis pengetahuan ke dalam kelompok besar
humaniora sebenarnya menyisakan banyak kerancuan karena besarnya
perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu, baik dari segi ontologi,
epistemologi, maupun aksiologi. Kesamaannya barangkali terletak pada
perbedaannya, atau barangkali sekadar pada fakta bahwa pengetahuan-
pengetahuan humaniora itu tidak dapat digolongkan sebagai sains.
Humaniora itu sendiri, pengindonesiaan yang tidak persis dari kata Inggris
humanities, berarti (segala pengetahuan yang) berkaitan dengan atau
perihal kemanusiaan. Tetapi kalau demikian, maka ilmu-ilmu sosial pun
layak dimasukkan ke dalam humaniora karena sama-sama berkaitan dengan
kemanusiaan.
Perlu diketahui bahwa akhir-akhir ini kajian epistemologi di Barat
cenderung menolak kategorisasi pengetahuan (terutama dalam humaniora
dan ilmu sosial) yang ketat. Pemahaman kita akan suatu permasalahan
tidak cukup mengandalkan analisis satu ilmu saja. Oleh karena itu
muncullah gagasan pendekatan interdisiplin atau multidisplin dalam
memahami suatu permasalahan. Bidang-bidang kajian yang ada di
perguruan tinggi-perguruan tinggi Barat tidak lagi hanya berdasarkan jenis-
jenis keilmuan tradisional, tetapi pada satu tema yang didekati dari
gabungan berbagai disiplin. Misalnya program studi Timur Tengah, studi
Asia Tenggara, studi-studi keislaman (Islamic studies), studi budaya
(cultural studies), dll.
Tema-tema yang dahulu menjadi monopoli satu ilmu pun kini harus didekati
dari berbagai macam disiplin agar diperoleh pemahaman yang lebih
komprehensif. Wilayah-wilayah geografis tertentu, misalnya Jawa, suku
Papua, pedalaman Kalimantan, atau Maroko dan Indian, yang dahulu
dimonopoli ilmu antropologi, kini harus dipahami dengan menggunakan
berbagai macam disiplin (sosiologi, psikologi, semiotik, bahkan filsafat).
Pendekatan interdisiplin ini pun kini menguat dalam kajian-kajian
keislaman, termasuk dalam fikih. Untuk menentukan status hukum
terutama dalam permasalahan kontemporer, pemakaian ilmu fikih murni
tidak lagi memadai. Apalagi jika fikih dimengerti sebagai fikih warisan
zaman mazhab-mazhab. Ilmu-ilmu modern saat ini menuntut untuk lebih
banyak dilibatkan dalam penentuan hukum suatu masalah. Sekadar contoh,
untuk menentukan hukum pembuatan bayi tabung, diperlukan pemahaman
akan biologi dan kedokteran. Untuk menghukumi soal berbisnis di bursa
saham, ilmu ekonomi harus dipahami. Dll.
TIGA ASPEK PENGETAHUAN
Ada tiga aspek yang membedakan satu pengetahuan dengan pengetahuan
lainnya, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi
Ontologi adalah pembahasan tentang hakekat pengetahuan. Ontologi
membahas pertanyaan-pertanyaan semacam ini: Objek apa yang ditelaah
pengetahuan? Adakah objek tersebut? Bagaimana wujud hakikinya?
Dapatkah objek tersebut diketahui oleh manusia, dan bagaimana caranya?
Epistemologi
Epistemologi adalah pembahasan mengenai metode yang digunakan untuk
mendapatkan pengetahuan. Epistemologi membahas pertanyaan-
pertanyaan seperti: bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya
suatu pengetahuan? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus
diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Lalu benar
itu sendiri apa? Kriterianya apa saja?
Aksiologi
Aksiologi adalah pembahasan mengenai nilai moral pengetahuan. Aksiologi
menjawab pertanyaan-pertanyaan model begini: untuk apa pengetahuan itu
digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan pengetahuan
tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara
metode pengetahuan dengan norma-norma moral/profesional?
Perbedaan suatu pengetahuan dengan pengetahuan lain tidak mesti
dicirikan oleh perbedaan dalam ketiga aspek itu sekaligus. Bisa jadi objek
dari dua pengetahuan sama, tetapi metode dan penggunaannya berbeda.
Filsafat dan agama kerap bersinggungan dalam hal objek (sama-sama
membahas hakekat alam, baik-buruk, benar-salah, dsb), tetapi metode
keduanya jelas beda. Sementara perbedaan antar sains terutama terletak
pada objeknya, sedangkan metodenya sama.
SUMBER PENGETAHUAN
Indera
Indera digunakan untuk berhubungan dengan dunia fisik atau lingkungan di
sekitar kita. Indera ada bermacam-macam; yang paling pokok ada lima
(panca indera), yakni indera penglihatan (mata) yang memungkinkan kita
mengetahui warna, bentuk, dan ukuran suatu benda; indera pendengaran
(telinga) yang membuat kita membedakan macam-macam suara; indera
penciuman (hidung) untuk membedakan bermacam bau-bauan; indera
perasa (lidah) yang membuat kita bisa membedakan makanan enak dan
tidak enak; dan indera peraba (kulit) yang memungkinkan kita mengetahui
suhu lingkungan dan kontur suatu benda.
Pengetahuan lewat indera disebut juga pengalaman, sifatnya empiris dan
terukur. Kecenderungan yang berlebih kepada alat indera sebagai sumber
pengetahuan yang utama, atau bahkan satu-satunya sumber pengetahuan,
menghasilkan aliran yang disebut empirisisme, dengan pelopornya John
Locke (1632-1714) dan David Hume dari Inggris. Mengenai kesahihan
pengetahuan jenis ini, seorang empirisis sejati akan mengatakan indera
adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya, dan
pengetahuan inderawi adalah satu-satunya pengetahuan yang benar.
Tetapi mengandalkan pengetahuan semata-mata kepada indera jelas tidak
mencukupi. Dalam banyak kasus, penangkapan indera seringkali tidak
sesuai dengan yang sebenarnya. Misalnya pensil yang dimasukkan ke dalam
air terlihat bengkok, padahal sebelumnya lurus. Benda yang jauh terlihat
lebih kecil, padahal ukuran sebenarnya lebih besar. Bunyi yang terlalu
lemah atau terlalu keras tidak bisa kita dengar. Belum lagi kalau alat indera
kita bermasalah, sedang sakit atau sudah rusak, maka kian sulitlah kita
mengandalkan indera untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.
Akal
Akal atau rasio merupakan fungsi dari organ yang secara fisik bertempat di
dalam kepala, yakni otak. Akal mampu menambal kekurangan yang ada
pada indera. Akallah yang bisa memastikan bahwa pensil dalam air itu tetap
lurus, dan bentuk bulan tetap bulat walaupun tampaknya sabit. Keunggulan
akal yang paling utama adalah kemampuannya menangkap esensi atau
hakikat dari sesuatu, tanpa terikat pada fakta-fakta khusus. Akal bisa
mengetahui hakekat umum dari kucing, tanpa harus mengaitkannya dengan
kucing tertentu yang ada di rumah tetangganya, kucing hitam, kucing
garong, atau kucing-kucingan.
Akal mengetahui sesuatu tidak secara langsung, melainkan lewat kategori-
kategori atau ide yang inheren dalam akal dan diyakini bersifat bawaan.
Ketika kita memikirkan sesuatu, penangkapan akal atas sesuatu itu selalu
sudah dibingkai oleh kategori. Kategori-kategori itu antara lain substansi,
kuantitas, kualitas, relasi, waktu, tempat, dan keadaan.
Pengetahuan yang diperoleh dengan akal bersifat rasional, logis, atau
masuk akal. Pengutamaan akal di atas sumber-sumber pengetahuan
lainnya, atau keyakinan bahwa akal adalah satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar, disebut aliran rasionalisme, dengan pelopornya
Rene Descartes (1596-1650) dari Prancis. Seorang rasionalis umumnya
mencela pengetahuan yang diperoleh lewat indera sebagai semu, palsu, dan
menipu.
Hati atau Intuisi
Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak diketahui
dengan pasti; ada yang menyebut jantung, ada juga yang menyebut otak
bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi muncul berupa pengetahuan yang
tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran, tanpa melalui proses penalaran yang
jelas, non-analitis, dan tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul kapan saja
tanpa kita rencanakan, baik saat santai maupun tegang, ketika diam
maupun bergerak. Kadang ia datang saat kita tengah jalan-jalan di trotoar,
saat kita sedang mandi, bangun tidur, saat main catur, atau saat kita
menikmati pemandangan alam.
Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi
hadir begitu saja secara tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke
sembarang orang, melainkan hanya kepada orang yang sebelumnya sudah
berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah
memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami kemacetan, lalu ia
mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, pada saat itulah
intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering disebut
supra-rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya
berfungsi jika rasio sudah digunakan secara maksimal namun menemui
jalan buntu.
Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni
pengalaman emosional dan spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh
kategori-kategori sehingga hal ini, menurut Immanuel Kant (1724-1804),
membuat akal tidak pernah bisa sampai pada pengetahuan langsung
tentang sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena. Akal
hanya bisa menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena), sementara
hati bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa terhalang oleh apapun,
tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan)
dan spatialisasi (meruang-ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti
keunikan-keunikan dari kejadian sehari-hari. Hati dapat memahami
pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman eksistensial, yakni
pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung, bukan lewat
konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa cinta, hatilah yang
merasakannya. Bagi akal, satu jam di rutan salemba dan satu jam di pantai
carita adalah sama, tapi bagi orang yang mengalaminya bisa sangat
berbeda. Hati juga bisa merasakan pengalaman religius, berhubungan
dengan Tuhan atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman
menyatu dengan alam.
Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya
dibanding sumber lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim
memercayai kelebihan hati atas akal. Puncaknya adalah Suhrawardi al-
Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi
(iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat,
intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.
Selain itu, ada sumber pengetahuan lain yang disebut wahyu. Wahyu adalah
pemberitahuan langsung dari Tuhan kepada manusia dan mewujudkan
dirinya dalam kitab suci agama. Namun sebagian pemikir Muslim ada yang
menyamakan wahyu dengan intuisi, dalam pengertian wahyu sebagai jenis
intuisi pada tingkat yang paling tinggi, dan hanya nabi yang bisa
memerolehnya.
Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran
empirisisme dan rasionalisme. Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih
memegang kendali dengan kuatnya kecenderungan positivisme di kalangan
ilmuwan Barat. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, pertentangan kuat
terjadi antara aliran rasionalisme dan intuisionisme (iluminasionisme,
‘irfani), dengan kemenangan pada aliran yang kedua. Dalam kisah
perjalanan Nabi Khidir a.s. dan Musa a.s., penerimaan Musa atas tindakan-
tindakan Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai
kemenangan intuisionisme. Penilaian positif umumnya para filosof Muslim
atas intuisi ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk memberikan status
ontologis yang kuat pada wahyu, sebagai sumber pengetahuan yang lebih
sahih daripada rasio.
LOGIKA
Logika adalah cara berpikir atau penalaran menuju kesimpulan yang benar.
Aristoteles (384-322 SM) adalah pembangun logika yang pertama. Logika
Aristoteles ini, menurut Immanuel Kant, 21 abad kemudian, tidak
mengalami perubahan sedikit pun, baik penambahan maupun pengurangan.
Aristoteles memerkenalkan dua bentuk logika yang sekarang kita kenal
dengan istilah deduksi dan induksi. Logika deduksi, dikenal juga dengan
nama silogisme, adalah menarik kesimpulan dari pernyataan umum atas hal
yang khusus. Contoh terkenal dari silogisme adalah:
- Semua manusia akan mati (pernyataan umum, premis mayor)
- Isnur manusia (pernyataan antara, premis minor)
- Isnur akan mati (kesimpulan, konklusi)
Logika induksi adalah kebalikan dari deduksi, yaitu menarik kesimpulan
dari pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus menuju pernyataan
umum. Contoh:
- Isnur adalah manusia, dan ia mati (pernyataan khusus)
- Muhammad, Asep, dll adalah manusia, dan semuanya mati (pernyataan
antara)
- Semua manusia akan mati (kesimpulan)
TEORI-TEORI KEBENARAN
Korespondensi
Sebuah pernyataan dikatakan benar bila sesuai dengan fakta atau
kenyataan. Contoh pernyataan “bentuk air selalu sesuai dengan ruang yang
ditempatinya”, adalah benar karena kenyataannya demikian. “Kota Jakarta
ada di pulau Jawa” adalah benar karena sesuai dengan fakta (bisa dilihat di
peta). Korespondensi memakai logika induksi.
Koherensi
Sebuah pernyataan dikatakan benar bila konsisten dengan pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar. Contoh pernyataan “Asep akan mati”
sesuai (koheren) dengan pernyataan sebelumnya bahwa “semua manusia
akan mati” dan “Asep adalah manusia”. Terlihat di sini, logika yang dipakai
dalam koherensi adalah logika deduksi.
Pragmatik
Sebuah pernyataan dikatakan benar jika berguna (fungsional) dalam situasi
praktis. Kebenaran pragmatik dapat menjadi titik pertemuan antara
koherensi dan korespondensi. Jika ada dua teori keilmuan yang sudah
memenuhi kriteria dua teori kebenaran di atas, maka yang diambil adalah
teori yang lebih mudah dipraktikkan. Agama dan seni bisa cocok jika diukur
dengan teori kebenaran ini. Agama, dengan satu pernyataannya misalnya
“Tuhan ada”, adalah benar secara pragmatik (adanya Tuhan berguna untuk
menopang nilai-nilai hidup manusia dan menjadikannya teratur), lepas dari
apakah Tuhan ada itu sesuai dengan fakta atau tidak, konsisten dengan
pernyataan sebelumnya atau tidak.
***
Setelah mengemukakan hal-hal penting yang menjadi dasar pengetahuan,
berikutnya kita akan meninjau aspek ontologis, epistemologis, dan
aksiologis dari tiga macam pengetahuan yang paling berpengaruh dalam
kehidupan manusia, yakni filsafat, agama, dan sains.
FILSAFAT
Sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu. Pernyataan ini
tidak salah karena ilmu-ilmu yang ada sekarang, baik ilmu alam maupun
ilmu sosial, mulanya berada dalam kajian filsafat. Pada zaman dulu tidak
dibedakan antara ilmuwan dengan filosof. Isaac Newton (1642-1627)
menulis hukum-hukum fisikanya dalam buku yang berjudul Philosophie
Naturalis Principia Mathematica (terbit 1686). Adam Smith (1723-1790)
bapak ilmu ekonomi menulis buku The Wealth of Nations (1776) dalam
kapasitasnya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.
Kita juga mengenal Ibnu Sina (w.1037) sebagai bapak kedokteran yang
menyusun ensiklopedi besar al-Qanun fi al-Thibb sekaligus sebagai filosof
yang mengarang Kitab al-Syifa’.
Definisi filsafat tidak akan diberikan karena para ahli sendiri berbeda-beda
dalam merumuskannya. Cukup di sini disinggung mengenai ciri-ciri dari
filsafat, sebagaimana diuraikan Suriasumantri (1998), yaitu menyeluruh
(membahas segala hal atau satu hal dalam kaitannya dengan hal-hal lain),
radikal (meneliti sesuatu secara mendalam, mendasar hingga ke akar-
akarnya), dan spekulatif (memulai penyelidikannya dari titik yang
ditentukan begitu saja secara apriori). Spekulatif juga bermakna rasional.
Objek kajian filsafat sangat luas, bahkan boleh dikatakan tak terbatas.
Filsafat memelajari segala realitas yang ada dan mungkin ada; lebih luas
lagi, segala hal yang mungkin dipikirkan oleh akal. Sejauh ini, terdapat tiga
realitas besar yang dikaji filsafat, yakni Tuhan (metakosmos), manusia
(mikrokosmos), dan alam (makrokosmos). Sebagian objek filsafat telah
diambil-alih oleh sains, yakni objek-objek yang bersifat empiris.
Objek-objek kajian filsafat yang luas itu coba dikelompokkan oleh para ahli
ke dalam beberapa bidang. Berbeda-beda hasil pembagian mereka. Jujun
Suriasumantri (1998) membagi bidang kajian filsafat itu ke dalam empat
bagian besar, yakni logika (membahas apa yang disebut benar dan apa yang
disebut salah), etika (membahas perihal baik dan buruk), estetika
(membahas perihal indah dan jelek), dan metafisika (membahas perihal
hakikat keberadaan zat atau sesuatu di balik yang fisik). Empat bagian ini
bercabang-cabang lagi menjadi banyak sekali. Hampir tiap ilmu yang
dikenal sekarang ada filsafatnya, misalnya filsafat ilmu, filsafat ekonomi,
filsafat hukum, filsafat pendidikan, dan filsafat sejarah.
Epistemologi filsafat adalah rasional murni (bedakan dengan rasionalisme).
Artinya pengetahuan yang disebut filsafat diperoleh semata-mata lewat
kerja akal. Sumber pengetahuan filsafat adalah rasio atau akal. Sumber
pengetahuan lain yang mungkin memengaruhi pikiran seorang filosof
ditekan seminimal mungkin, dan kalau bisa hingga ke titik nol. Atau
pengetahuan-pengetahuan itu diverifikasi oleh akalnya, apakah rasional
atau tidak. Misalnya seorang filosof yang beragama Islam tentu telah
memeroleh pengetahuan dari ajaran agamanya. Dalam hal ini ada dua hal
yang bisa ia lakukan: menolak ajaran agama yang menurutnya tidak
rasional, atau mencari pembenaran rasional bagi ajaran agama yang
tampaknya tidak rasional.
Filsafat bertujuan untuk mencari Kebenaran (dengan K besar), artinya
kebenaran yang sungguh-sungguh benar, kebenaran akhir. Sifat aksiologis
filsafat ini tampak dari asal katanya philos (cinta) dan sophia (pengetahuan,
kebijaksanaan, kebenaran). Seorang filosof tidak akan berhenti pada
pengetahuan yang tampak benar, melainkan menyelidiki hingga ke
baliknya. Ia tidak akan puas jika dalam pemikirannya masih terdapat
kontradiksi-kontradiksi, kesalahan-kesalahan berpikir, meskipun dalam
kenyataannya tidak ada seorang filosof pun yang filsafatnya bebas dari
kontradiksi. Dengan kata lain, tidak ada filosof yang berhasil sampai pada
Kebenaran atau kebenaran akhir itu. Semuanya hanya bisa disebut
mendekati Kebenaran.
Kebenaran yang diperoleh dari filsafat itu sebagian ada yang berkembang
menjadi ajaran hidup, isme. Filsafat yang sudah menjadi isme ini
difungsikan oleh penganutnya sebagai sumber nilai yang menopang
kehidupannya. Misalnya ajaran Aristotelianisme banyak dipakai oleh kaum
agamawan gereja; ajaran neoplatonisme banyak dipakai oleh kaum mistik;
materialisme, komunisme, dan eksistensialisme bahkan sempat menjadi
semacam padanan agama (the religion equivalen), yang berfungsi layaknya
agama formal.
AGAMA
Agama kerap “berebutan” lahan dengan filsafat. Objek agama dalam banyak
hal hampir sama dengan filsafat, hanya lebih sempit dan lebih praktis.
Seperti filsafat, agama juga membahas Tuhan, manusia, dan alam. Seperti
filsafat, agama juga menyoal metafisika, namun jawabannya sudah jelas:
hakikat segala sesuatu adalah Tuhan. Selain Tuhan, objek pokok dari agama
adalah etika khususnya yang bersifat praktis sehari-hari.
Yang membedakan agama dari filsafat terutama adalah epistemologi atau
metodenya. Pengetahuan agama berasal dari wahyu Tuhan yang diberikan
kepada Nabi, dan kita memerolehnya dengan jalan percaya bahwa Nabi
benar. Pada agama, yang harus kita lakukan adalah beriman, baru berpikir.
Kita boleh memertanyakan kebenaran agama, setelah menerima dan
memercayainya, dengan cara lain (rasional atau empiris). Tapi ujung-
ujungnya kita tetap harus percaya meskipun apa yang disampaikan agama
itu tidak masuk akal atau tidak terbukti dalam kenyataan.
Jawaban yang diberikan agama atas satu masalah bisa sama, berbeda, atau
bertentangan dengan jawaban filsafat. Dalam hal ini, latar belakang
keberagamaan seorang filosof sangat memengaruhi. Jika ia beragama,
biasanya ia cenderung mendamaikan agama dengan filsafat, seperti tampak
pada filsafat skolastik, baik filsafat Yahudi, Kristen, maupun Islam. Jika ia
tidak beragama, biasanya filsafatnya berbeda atau bertentangan dengan
agama.
Secara praktis, agama sangat fungsional dalam kehidupan manusia. Fungsi
utama agama adalah sebagai sumber nilai (moral) untuk dijadikan
pegangan dalam hidup budaya manusia. Agama juga memberikan orientasi
atau arah dari tindakan manusia. Orientasi itu memberikan makna dan
menjauhkan manusia dari kehidupan yang sia-sia. Nilai, orientasi, dan
makna itu terutama bersumber dari kepercayaan akan adanya Tuhan dan
kehidupan setelah mati. (Coba perhatikan, dalam Alquran, objek iman yang
paling banyak disebut bahkan selalu disebut beriringan adalah iman kepada
Allah dan hari kemudian).
SAINS
Ontologi
Sains (dalam bahasa Indonesia disebut juga ilmu, ilmu pengetahuan, atau
pengetahuan ilmiah) adalah pengetahuan yang tertata (any organized
knowledge) secara sistematis dan diperoleh melalui metode ilmiah
(scientific method). Sains memelajari segala sesuatu sepanjang masih
berada dalam lingkup pengalaman empiris manusia.
Objek sains terbagi dua, objek material dan objek formal. Objek material
terbatas jumlahnya dan satu atau lebih sains bisa memiliki objek material
yang sama. Sains dibedakan satu sama lain berdasarkan objek formalnya.
Sosiologi dan antropologi memiliki objek material yang sama, yakni
masyarakat. Namun objek formalnya beda. Sosiologi memelajari struktur
dan dinamika masyarakat, antropologi memelajari masyarakat dalam
budaya tertentu.
Sains atau ilmu dibedakan secara garis besar menjadi dua kelompok, yaitu
ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences).
Ilmu-ilmu alam memelajari benda-benda fisik, dan secara garis besar
dibedakan lagi menjadi dua, yaitu ilmu alam (fisika, kimia, astronomi,
geologi, dll) dan ilmu hayat (biologi, anatomi, botani, zoologi, dll). Tiap-tiap
cabang ilmu itu bercabang-cabang lagi menjadi banyak sekali. Ilmu kimia
saja, menurut Jujun Suriasumantri, memiliki 150 disiplin.
Ilmu-ilmu sosial memelajari manusia dan masyarakat. Perkembangan ilmu
sosial tidak sepesat ilmu alam, dikarenakan manusia tidak seempiris benda-
benda alam, juga karena benturan antara metodologi dengan norma-norma
moral. Namun saat ini pun ilmu-ilmu sosial sudah sangat beragam dan
canggih. Yang paling utama adalah sosiologi, antropologi, psikologi,
ekonomi, dan politik.
Epistemologi
Sains diperoleh melalui metode sains (scientific method) atau biasa
diterjemahkan menjadi metode ilmiah. Metode ini menggabungkan
keunggulan rasionalisme dan empirisisme, kekuatan logika deduksi dan
induksi, serta mencakup teori kebenaran korespondensi, koherensi, dan
pragmatik. Karena penggabungan ini, sains memenuhi sifat rasional
sekaligus empiris. Sains juga bersifat sistematis karena disusun dan
diperoleh lewat suatu metode yang jelas. Bagi kaum positivis, sains juga
bersifat objektif, artinya berlaku di semua tempat dan bagi setiap
pengamat. Namun sejak munculnya teori relativitas Einstein, apalagi pada
masa postmodern ini, klaim objektivitas sains tidak bisa lagi dipertahankan.
Secara ringkas, metode ilmiah disusun menurut urutan sebagai berikut:
Menemukan dan merumuskan masalah
Menyusun kerangka teoritis
Membuat hipotesis
Menguji hipotesis dengan percobaan (observasi, eksperimen, dll).
Menarik kesimpulan.
Kesimpulan yang diperoleh itu disebut teori. Untuk benar-benar dianggap
sahih dan bisa bertahan, sebuah teori harus diuji lagi berkali-kali dalam
serangkaian percobaan, baik oleh penemunya maupun oleh ilmuwan lain.
Pengujian ini disebut verifikasi (pembuktian benar). Sebuah teori bisa juga
diuji dengan cara sebaliknya, yaitu sebagaimana diusulkan Karl Popper,
falsifikasi (pembuktian salah). Dengan falsifikasi, jika untuk sebuah teori
dilakukan 1000 percobaan, 1 saja dari 1000 percobaan itu menunjukkan
adanya kesalahan, maka teori itu tidak perlu dipertahankan lagi. Contoh,
jika dinyatakan kepada kita bahwa semua burung gagak hitam, dan di suatu
tempat kita menemukan satu burung gagak yang tidak hitam, berarti
pernyataan itu salah.
Namun dalam sebuah teori, sebetulnya yang lebih penting bukanlah
ketiadaan salah sama sekali, karena itu sangat berat bahkan tidak mungkin
untuk teori ilmu sosial, namun seberapa besar kemungkinan teori itu benar
(probabilitas). Probabilitas benar 95 persen dianggap sudah cukup untuk
men-sahihkan sebuah teori dan memakainya untuk memecahkan masalah.
Aksiologi
Pengetahuan yang diperoleh lewat metode sains bukanlah terutama untuk
pengetahuan itu sendiri, melainkan sebagai alat untuk membantu manusia
dalam memecahkan masalah sehari-hari. Kegunaan ini diperoleh dengan
tiga cara, description (menjelaskan), prediction (meramal, memerkirakan),
dan controling (mengontrol). Penjelasan diperoleh dari teori. Dihadapkan
pada masalah praktis, teori akan memerkirakan apa yang akan terjadi. Dari
perkiraan itu, kita memersiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan
untuk mengontrol segala hal yang mungkin timbul, entah itu merugikan
atau menguntungkan.
Satu sisi yang sering diperdebatkan adalah menyangkut netralitas sains,
kaitannya dengan agama atau ideologi tertentu. Pada dasarnya sains itu
netral, atau setidaknya bermaksud untuk netral, dalam arti ia hanya
bermaksud menjelaskan sesuatu secara apa adanya. Tetapi sains dapat
mengilhami suatu pandangan dunia tertentu, dan ini tidak netral. Misalnya
teori evolusi Darwin dapat menjadi pandangan dunia yang mekanistik dan
ateistik. Dan hal ini sangat mencemaskan bagi kaum agamawan.
Lahirnya suatu teori juga ternyata tidak bisa dilepaskan dari konteks
tempat teori itu dilahirkan. Konteks meliputi pandangan dunia yang dianut
ilmuwan, latar belakang budaya, bahasa, dll. Pengaruh konteks ini terutama
sangat terasa pada sains sosial sehingga suatu sains bisa menghasilkan
beragam aliran dan perspektif. []
Referensi pokok:
Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi
Islam, Bandung: Mizan, 2003.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer, Jakarta:
Sinar Harapan, 1998.
didukung oleh
Selasa, 18 Mei 2010http://cybercounselingstaincurup.blogspot.com/2010/05/metode-penelitian-kualitatif_18.html
Metode Penelitian Kualitatif
Paradigma Penelitian Kualitatif 1. Pendahuluan Bagi mahasiswa yang menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi, demikian pula dengan staf dosennya dalam melakukan penelitian secara umum memakai metode kuantitatif. Penggunan matematika, statistika dan ekonometrika merupakan suatu pilihan yang paling utama dalam melakukan analisis terhadap masalah yang muncul. Kebiasaan penggunaan alat analisis kuantitatif sebenarnya tidak terlepas dari kedekatan ilmu ekonomi dengan ilmu eksakta, di mana pendekatan ilmu ekonomi sudah relatif sama dengan ilmu eksakta, yaitu memakai metode kuantitatif. Fenomena ekonomi dapat diketahui dengan menggunakan metode ilmu eksakta, dengan mengemulsi modelnya dan mengadopsi metaphoranya (Andres Clark, 1992). Karena terdapat anggapan tidaklah ilmiah suatu disiplin ilmu kalau tidak memakai pendekatan kuantitatif, maka tidaklah mengherankan kalau ilmu ekonomi mendapatkan julukan sebagai rajanya ilmu-ilmu sosial. Pendekatan kuantitatif yang dipakai dalam ilmu ekonomi seperti layaknya ilmu eksakta tidak terlepas dari paradigma positivisme. Keyakinan dasar dari paradigma positivisme berakar pada paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas berada (exist) dalam kenyataan
dan berjalan sesuai dengan hukum alam (natural law). Penelitian berupaya mengungkap kebenaran relitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan Melihat kepada perjalan waktu sekarang ini berkembang paradigma post-positivisme, teori kritis bahkan konstruktivisme. Paradigma post-positivisme muncul sebagai perbaikan terhadap pandangan positivisme , di mana metodologi pendekatan eksperimental melalui observasi dipandang tidak mencukupi, tetapi harus dilengkapi dengan triangulasi, yaitu penggunan beragam metode, sumber data, periset dan teori. Teori kritis dalam memandang suatu realitas penuh dengan muatan ideologi tertentu, seperti neo-Marxisme, materialisme, feminisme dan paham lainnya. Paradigma konstruktivisme secara ontologis menyatakan realitas itu ada dalam beragam bentuk konstruksi mental yang didasarkan kepada pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik serta tergantung kepada pihak yang melakukannya. Atas dasar pandangan filosofis ini, hubungan epistemologis antara pengamat dan obyek merupakan satu kesatuan subyektif dan merupakan perpaduan interaksi diantara keduanya (Agus Salim, 2006). 2. Perbedaan Paradigma Positivisme dan Alamiah Lincoln dan Guba (1985) membedakan paradigma dalam ilmu pengetahuan secara umum dalam dua kelompok, yaitu paradigma positivisme(positivist) dan alamiah (naturalist). Pengertian paradigma menurut Patton, 1978 (dalam Lincoln dan Guba ,1985) ini adalah : A paradigm is a world view, a general perspective , a way of breaking down the
complexity of the real world. As such, paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practitioners: paradigms tell them what is important, legitimate, and reasonable. Paradigms are also normative, telling the practitioner what to do without the necessity of long existential or epistemological consideration. But it is this aspect of paradigms that constitutes both their strength and their weakness-their strength in that it makes action possible, their weakness in that the very reason for action is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm.
Bogdan dan Biklen (1982 dalam Lexy J. Moleong, 1989) menyebut paradigma sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Deddy Mulyana (2003) menyebut paradigma sebagai suatu ideologi dan praktik suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan menggunakan metode serupa. Tabel 1. Contrasting Positivism and Naturalist Axioms Axioms About Positivism Paradigm Naturalist Paradigm
The nature of reality Reality is single, tangible, and fragmentable
Realities are multiple, constructed, and holistic
The relationship of knower to the known
Knower and known are independent, a dualism
Knower and known are interactive, inseparable
The possibility of generalization
Time-and context-free generalizations (nomothetic statements) are possible
Only time-and context bound working hypotheses (ideo-raphic statements) are possible
The possibility of casual linkages
There are real causes, temporally precedent to or simultaneous with their effect
All entities are in a state of mutual simultaneous shaping, so that it is impossible to distinguish causes from effects
The role of values Inquiry is value-free Inquiry is value-bound Sumber : Lincoln dan Guba, 1985 Dari Tabel 1 di atas dapat dilihat perbedaan aksioma paradigma positivisme
dan alamiah. Paradigma positivisme pada umumnya melahirkan metode penelitian kuantitatif, sedangkan paradigma alamiah melahirkan metode kualitatif. Lincoln dan Guba (1985) selanjutnya mengemukakan asumsi-asumsi dasar dalam paradigma alamiah, diantaranya :
Asumsi tentang kenyataan. Fokus paradigma alamiah terketak pada kenyataan ganda yang dapat diumpamakan sebagai susunan lapisan kulit bawang, atau seperti sarang, tetapi yang saling membantu satu dengan lainnya. Setiap lapisan menyediakan perspektif kenyataan yang berbeda dan tidak ada lapisan yang dapat dianggap lebih benar daripada yang lainnya. Fenomena tidak dapat berkonvergensi ke dalam sustu bentuk saja, yaitu bentuk ‘kebenaran’, tetapi berdiverensi dalam berbagai bentuk, yaitu ‘kebenaran ganda’. Lapisan-lapisan itu tidak dapat diuraikan atau dipahami dari segi variable bebas dan terikat secara terpisah, tetapi terkait secara erat dan membentuk suatu pola ‘kebenaran’.Pola inilah yang perlu ditelaaah dengan lebih menekankan pada verstehen atau pengertian daripada untuk keperluan prediksi dan kontrol. Peneliti alamiah cenderung memandang secara lebih berdiverensi daripada konvergensi apabila peneliti makin terjun ke dalam kancah penelitian.Asumsi tentang peneliti dan subyek Paradigma alamiah berasumsi bahwa fenomena bercirikan interaktivitas. Walaupun usaha penjajagan dapat mengurangi interaktivitas sampai ke tingkatan minimum, sejumlah besar kemungkinan akan tetap tersisa. Pendekatan yang baik memerlukan pengertian tentang kem ungkinan pengaruh terhadap interaktivitas, dan dengan demikian perlu memperhitungkannya.Asumsi tentang hakikat pernyataan tentang ‘kebenaran’ Peneliti alamiah cenderung mengelak dari adanya generalisasi dan menyetujui thick description dan hipotesis kerja. Perbedaan dan bukan kesamaan, yang memberi ciri terhadap konteks yang berbeda. Jadi, jika seseorang mendeskripsikan atau menafsirkan suatu situasi dan ingin mengetahui serta ingin mencari tahu apakah hal itu berlaku pada situasi kedua, maka peneliti perlu memperoleh sebanyak mungkin informasi tentang keduanya (yaitu thick description) guna menentukan apakah terdapat dasar yang cukup kuat untuk mengadakan pengalihan. Selanjutnya, fokus pencarian alamiah lebih memberi tekanan pada perbedaan yang lebih besar daripada persamaan. Perbedaaan yang kecil pun dirasakan jauh lebih penting daripada persamaan yang cukup besar. Dengan demikian paradigma alamiah mengacu kepada dasar pengetahuan idiografik, yaitu yang mengarah kepada pemahaman peristiwa atau kasus-kasus tertentu. Sedang di sisi lain, paradigma positivisme mengacu pada dasar pengetahuan nomotetik, yaitu yang mengacu kepada pengembangan hukum-hukum umum.
Fry (1981, dalam Ahmad Sonhadji, et al, 1996) membedakan secara lebih rinci perbandingan antara paradigma penenelitian kualitatif dan kuantitatif , seperti dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut.Tabel 2. Perbandingan paradigma kualitatif dan kualitatif Paradigma Kualitatif Paradidma KuantitatifMengajurkan penggunaan metode kualitatif
Menganjurkan penggunaan metode kuantitatif
Fenomelogisme dan verstehen dikaitkan dengan pemahaman perilaku manusia dari frame of reference aktor itu sendiri
Logika positivisme:”Melihat fakta atau kasual fenomena sosial dengan sedikit melihat bagi pernyataan subyektif individu-individu”
Observasi tidak terkontrol dan naturalistik
Pengukuran terkontrol dan menonjol
Subyektif ObyektifDekat dengan data:merupakan perspektif “insider”
Jauh dari data: data merupakan perspektif “outsider”
Grounded, orientasi diskoveri, eksplorasi, ekspansionis, deskriptif, dan induktif
Tidak grounded, orientasi verifikasi, konfirmatori, reduksionis, inferensial dan deduktif-hipotetik
Orientasi proses Orientasi hasilValid: data “real, “rich, dan “deep” Reliabel:data dapat direplikasi dan
“hard”Tidak dapat digeneralisasi:studi kasus tunggal
Dapat digeneralisasi:studi multi kasus
Holistik PartikularistikAsumsi realitas dinamik Asumsi realitis stabil 3. Proses Penelitian Kualitatif Menurut Strauss dan Corbin (2003) penelitian kualitatif dimaksud sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Selanjutnya, dipilihnya penelitian kualitatif karena kemantapan peneliti berdasarkan pengalaman penelitiannya dan metode kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif. Proses penelitian kualitatif supaya dapat mengahasilkan temuan yang benar-benar bermanfaat memerlukan perhatian yang serius terhadap berbagai hal yang dipandang perlu. Dalam memperbincangkan proses penelitian kualitatif paling tidak tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu kedudukan teori, metodologi penelitian dan desain penelitian kualitatif. Kedudukan Teori Dilihat dari aspek aksiologi tujuan ilmu (ilmu pengetahuan) adalah untuk mencari kebenaran dan membantu manusia mengatasi kesulitan hidupnya dalam rangka mencapai kesejahteraan. Suatu perguruan tinggi di mana berbagai ahli berkumpul mempunyai tujuan untuk mengembangkan ilmu di mana natinya terdapat gudang ilmu, sebenarnya yang terjadi adalah pengembangan berbagai teori (Ahmad Tafsir, 2006).
Pengertian teori menurut Marx dan Goodson (1976, dalam Lexy J. Moleong, 1989) ialah aturan menjelaskan proposisi atau seperangkat proposisi yang berkaitan dengan beberapa fenomena alamiah dan terdiri atas representasi simbolik dari (1) hubungan-hubungan yang dapat diamati diantara kejadian-kejadian (yang diukur), (2) mekanisme atau struktur yang diduga mendasari hubungan-hubungan demikian, dan (3) hubungan-hubungan yang disimpulkan serta mekanisme dasar yang dimaksudkan untuk data dan yang diamati tanpa adanya manifestasi hubungan empiris apa pun secara langsung. Fungsi teori paling tidak ada empat, yaitu (1) mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian, (2) menjadi pendorong untuk menyusun hipotesis dan dengan hipotesis membimbing peneliti mencari jawaban-jawaban, (3) membuat ramalan atas dasar penemuan, (4) menyajikan penjelasan dan, dalam hal ini, untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa’. Penelitian kualitatif dapat bertitik tolak dari suatu teori yang telah diakui kebenarannya dan dapat disusun pada waktu penelitian berlangsung berdasarkan data yang dikumpulkan. Pada tipe pertama, dikemukakan teori-teori yang sesuai dengan masalah penelitian, kemudian di lapangan dilakukan verifikasi terhadap teori yang ada, mana yang sesuai dan mana yang perlu diperbaiki atau bahkan ditolak
Penelitian kualitatif mengenal adanya teori yang disusun dari data yang dibedakan atas dua macam teori, yaitu teori substantif dan teori formal (Lexy J. Moleong, 1989 dan Mubyarto, et al, 1984). Teori substantif adalah teori yang dikembangkan untuk keperluan substantif atau empiris dalam inkuiri suatu ilmu pengetahuan, misalnya sosiologi, antropologi, psikologi dan lain sebagainya. Contoh: perawatan pasien, hubungan ras, pendidikan profesional, kenakalan, atau organisasi peneliti. Di sisi lain, teori formal adalah teori untuk keperluan formal atau yang disusun secara konseptual dalam bidang inkuiri suatu ilmu pengetahuan, misalnya sosiologi, psikologi dan sebagainya. Contoh: perilaku agresif, organisasi formal, sosialisasi, autoritas dan kekuasaan, sistem penghargaan, atau mobilitas social. Unsur-unsur teori meliputi (a) kategori konseptual dan kawasan konseptualnya dan (b) hipotesis atau hubungan generalisasi diantara kategori dan kawasan serta integrasi. Kategori adalah unsur konseptual suatu teori sedangkan kawasannya (property) adalah aspek atau unsur suatu kategori. Yang perlu ditekankan dalam penelitian kualitatif, bahwa status hipotesis ialah suatu yang disarankan, bukan sesuatu yang diuji diantara hubungan kategori dan kawasannya. Jadi, dengan demikian peneliti sejak awal penelitian lapangan akan menjadi aktif menyusun hipotesis dalam rangka pembentukan teori. Keaktifan tersebut mencakup baik penyusunan hipotesis baru maupun verifikasi hipotesis melalui perbandingan antar kelompok. Contoh unsur-unsur teori menurut jenis teori substantif maupun teori formal dapat dilihat dalam Tabel 3.Tabel. 3. Unsur-unsur Teori dan Contoh-contohnya Unsur Teori Jenis Teori Substantif FormalKategori Kerugian masyarakat karena
kematian pasienNilai sosial sesorang
Kawasan Kategori Menghitung kerugian masyara-kat atas dasar cirri pasien yang jelas dan dipelajari
Menghitung niali social seseorang atas dasar ciri-ciri yang jelas dan dipelajari
Hipotesis Makin tinggi kerugian masyarakat dari pasien yang
Makin tinggi nilai masyarakat sesorang, makin kurang
meninggal,1) makin baik
perawatannya2) makin banyak
perawat yang mengembangkan alas an kematian untuk menjelaskan kemati-nnya
penundaan pelayanan yang diterimanya dari para ahli
Sumber : Glaser dan Strauss, 1980 dalam Lexy J. Moleong, 1989 3. Pemilihan Metodologi Penelitian Penelitian kualitatif bertujuan untuk melakukan penafsiran terhadap fenomena sosial. Metodologi penelitian yang dipakai adalah multi metodologi, sehingga sebenarnya tidak ada metodologi yang khusus. Para periset kualitatif dapat menggunakan semiotika, narasi, isi, diskursus, arsip, analisis fonemik, bahkan statistik. Di sisi yang lain, para periset kualitatif juga menggunakan pendekatan, metode dan teknik-teknik etnometodologi, fenemologi, hermeneutic, feminisme, rhizomatik, dekonstruksionisme, etnografi, wawancara, psikoanalisis, studi budaya, penelitian survai, dan pengamatan melibat (participant observation) (Agus Salim, 2006). Dengan demikian, tidak ada metode atau praktik tertentu yang dianggap unggul, dan tidak ada teknik yang serta merta dapat disingkirkan. Kalau dibandingkan dengan metodologi penelitian yang dikemukakan oleh Feyerabend (dalam Chalmers, 1982) mungkin akan mendekati ketepatan, karena menurutnya metodologi apa saja boleh dipakai asal dapat mencapai tujuan yang dikehendaki. Penggunaan dan arti metode penelitian kualitatif yang berbeda-beda ini menyulitkan diperolehnya kesepakatan diantara para peneliti mengenai definisi yang mendasar atasnya. Selanjutnya Agus Salim (2006) menyatakan bila suatu definisi harus dibuat bagi pendekatan kebudayaan , maka penelitian kualitatif adalah suatu bidang antardisiplin, lintas disiplin, bahkan kadang-kadang kawasan kontradisiplin. Di sisi lain, penelitian kualitatif juga melintasi ilmu pengetahuan humaniora, sosial, dan fisika. Hal tersebut berarti penelitian kualitatif memiliki fokus terhadap banyak paradigma. Para praktisinya sangat peka terhadap nilai pendekatan multimetode. Mereka memiliki komitmen terhadap sudut pandang naturalistiuk dan pemahaman intepretatif atas pengalaman manusia. Pada saat yang sama, bidang ini bersifat politis dan dibentuk oleh beragam etika dan posisi politik. Meskipun penelitian kualitatif bersifat multi metodologi, akan tetapi seperti halnya penelitian kuantitatif perlu mempertimbangkan validitas data. Perbandingan validitas penelitian secara paralel antara penelitian kualitatif dan kuantitatif adalah sebagai berikut: Tabel 4. Padanan Validitas antara Metode Kualitatif dan KuantitatifKualitatif KuantitatifCredibility Berpadanan dengan Validitas internalTransferability Berpadanan dengan Validitas eksternal
Dependability Berpadanan dengan Realibilitas/KeajeganConfirmability Berpadanan dengan ObyektivitasSumber : Agus Salim, 2006 Menurut Denzin dan Lincoln (1994 dalam Agus Salim, 2006) secara umum penelitian kualitatif sebagai suatu proses dari berbagai langkah yang melibatkan peneliti, paradigma teoritis dan interpretatif, strategi penelitian, metode pengumpulan data dan analisis data empiris, maupun pengembangan interpretasi dan pemaparan. Disain Penelitian Kualitatif Berbeda dengan penelitian konvensional yang bersifat kuantitatif, dalam penelitian kualitatif, disain penelitian tidak ditentukan sebelumnya. Meskipun begitu, menurut Bogdan &Biklen, 1982 dalam Arief Furchan, 1996) fungsi disain tetap sama yaitu digunakan dalam penelitian untuk menunjukkan rencana penelitian tentang bagaimana melangkah maju. Lincoln dan Guba (1985) mengidentifikasi unsur-unsur atau elemen-elemen disain naturalistik sebagai berikut:Penentuan fokus penelitian (initial focus for inquiry)
Penentuan fokus penelitian dilakukan dengan memilih fokus atau pokok permasalahan yang dipilih untuk diteliti, dan bagaimana memfokuskannya: masalah mula-mula sangat umum, kemudian mendapatkan fokus yang ditujukan kepada hal-hal yang spesifik. Namun, fokus itu masih dapat berubah. Fokus sangat penting sebab tidak ada penelitian tanpa fokus, sedangkan sifat fokus tergantung dari jenis penelitian yang dilaksanakan. Misalnya, untuk penelitian fokusnya adalah masalah, untuk evaluasi fokusnya adalah evaluan, dan untuk analisis kebijakan fokusnya adalah pilihan kebijakan.Penyesuaian paradigma dengan fokus penelitian.
Pertanyaan-pertanyaan yang dapat muncul dalam penyusunan disain, diantaranya: (a) Apakah fenomena terwakili oleh konstruksi yang ganda dan kompleks (a multiciplicity of complex social contructions)?; (b) sampai di mana tingkatan interaksi antara peneliti-fenomena dan sampai di mana tingkatan ketidakpastian interaksi tersebut yang dihadapkan kepada peneliti ?; (c)sampai di mana tingkatan ketergantungan konteks?; (d) apakah beralasan (reasonable) untuk menyatakan hubungan kausal yang konvensional pada unsur-unsur fenomena yang diamati ataukah hubungan antar gejala itu bersifat mutual simultaneous shipping?; (e) sampai di mana kemungkinan nilai-nilai merupakan hal yang krusial pada hasil (context and time-bound atau context and time-free generalization)?Penyesuaian paradigma penelitian dengan teori substantif yang dipilih Kesesuaian acuan teori yang digunakan (kalau ada) dengan sifat sosial yang diacu sangat penting dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif apabila temuan-temuan dapat memunculkan teori dari bawah (grounded), maka penelitian tersebut dapat dilanjutkan. Teori yang muncul dari bawah ini hendaknya ajeg dengan paradigma metode yang menghasilkan teori tersebut.Penentuan di mana dan dari siapa data akan dikumpulkan Dalam penelitian kualitatif tidak ada pengertian populasi, samp[ling juga berbeda tafsirannya dengan metode lainnya. Dalam kualitatif, sampling merupakan pilihan peneliti tentang aspek apa, dari peristiwa pa, dan siapa yang dijadikan focus pada saat dan situasi tertentu.Oleh karena itu dilakukan terus menerus sepanjang penelitian. Artinya, tujuan sampling adalah untuk mencakup sebanyak mungkin informasi yang bersifat holistic kontekstual. Dengan kata lain, sampling tidak harus representatif terhadap populasi (penelitian kuantitatif), melainkan
representative terhadap informasi holistik. Dalam merencanakan sampling dipertimbangkan langkah-langkah berikut; (a)menyiapkan identifikasi unsure-unsur awal; (b)menyiapkan munculnya sample secara teratur dan purposif; (c)menyiapkan penghalusan atau pemfokusan sample secara terus-menerus; dan (d) menyiapkan penghentian sampling. Sebagai catatan bahwa rencana-rencana tersebut hanya bersifat sementara, sebab tidak ada satupun langkah yang dapat dikembangkan secara sempurna sebelum dimulainya penelitian di lapangan.Penentuan fase-fase penelitian secara berurutan Dalam penelitian ditentukan tahap-tahap penelitian, dan bagaimana beranjaknya dari tahap satu ke tahap yang lain dalam proses yang berbentuk siklus. Tahapan-tahapan tersebut memiliki tiga fase pokok: Pertama. Tahap orientasi dengan mendapatkan informasi tentang apa yang penting untuk ditemukan, atau orientasi dan peninjauan. Kedua, tahap eksplorasi dengan menemukan sesuatu secara eksplorasi terfokus, dan ketiga, tahap member check dengan mengecek temuan menurut prosedur yang tepat dan memperoleh laporan akhir. Penentuan instrumentasi. Instrumen penelitian tidak bersifat eksternal, melainkan bersifat internal yaitu peneliti sendiri sebagai instrument (human instrument). Bentuk-bentuk lain instrument boleh dipergunakan jika ada. Untuk semua penelitian naturalistic, evaluasi atau analisis kebijakan sangat bermanfaat apabila instrument manusia diorganisasi dalam satu tim, dengan keuntungan-keuntungan dalam hal peran, perspektif nilai, disiplin, strategi, metodologi, cek internal dan saling mendukung.Perencanaan pengumpulan data Instrumen manusia yang beroperasi dalam situasi yang tidak ditentukan, di mana peneliti memasuki lapangan yang terbuka, sehingga tidak mengetahui apa yang tidak diketahui. Untuk itu maka peneliti haruslah mengandalkan teknik-teknik kualitatif, seperti wawancara, observasi, pengukuran, dokumen, rekaman, dan indikasi non-verbal. Dalam rekaman data terbagi pada dua dimensi, yaitu fidelitas dan struktur. Fidelitas mengacu pada kemampuan peneliti untuk menunjukkan bukti secara nyata dari lapangan(fidelitas tinggi, misalnya rekaman video atau audio, sedangkan fidelitas kurang, misalnya catatan lapangan). Sedangkan dimensi struktur meliputi terstrukturnya wawancara dan observasi.Perencanaan prosedur analisis Analisis data dilakukan sepanjang penelitian dan dilakukan secara terus-menerus dari awal sampai akhir penelitian. Pengamatan tidak mungkin tanpa analisis untuk mengembangkan hipotesis dan teori berdasarkan data yang diperoleh. Analisis data merupakan proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis transkip-transkip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain agar peneliti dapat menyajikan temuannya. Analisis data melibatkan pengerjaan pengorganisasian, pemecahan dan sintesis data serta pencarian pola-pola, pengungkapan hal-hal yang penting dan penentuanapa yang dilaporkan. Karena banyaknya model analisis yang diajukan oleh para pakar, maka peneliti hendaknya memilih salah satu modfel yang dianjurkan oleh para pakar tersebut.Perencanaan logistik. Perencanaan perlengkapan (logistik) dalam penelitian kualitatif dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu: (a)mempertimbangkan kebutuhan logistic awal secara keseluruhan sebelum pelaksanaan proyek; (b)logistik untuk kunjungan lapangan sebelum, berada di lapangan; (c) logistik untuk sewaktu di lapangan; (d) logistik untuk kegiatan-kegiatan setelah kunjungan lapangan; dan (e) perencanaan logistik untuk mengakhiri dan menutup kegiatan. Rencana untuk pemeriksaan keabsahan data
Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi empat teknik. Pertama, kredibilitas (credibility)yaitu criteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan. Untuk hasil penelitian yang kredibel, terdapat tujuh teknik yang diajukan yaitu: perpanjangan kehadiran peneliti/pengamat (prolonged engagement), pengamatan terus-menerus (persistent observation), triangulasi (triangulation), diskusi teman sejawat (peer debriefing), analisis kasus negative (negative case analysis), pengecekan atas kecukupan referensial (referencial adequacy checks), dan pengecekan anggota(member checking). Kedua, transferabilitas (transferability). Kriteria ini digunakan untuk memenuhi criteria bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks (setting) tertentu dapat ditransfer ke subyek lain yang memiliki tipologi yang sama.
Ketiga, dependabilitas (dependability). Kriteria ini dapat digunakan untuk menilai apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak, dengan mengecek: apakah si peneliti sudah cukup hati-hati, apakah membuat kesalahan dalam mengkonseptualisasikan rencana penelitiannya, pengumpulan data, dan pengintepretasiannya. Teknik terbaik yang digunakan adalah dependability audit dengan meminta dependent dan independent auditor untuk mereview aktifitas peneliti.
Keempat, konfirmabilita (confirmability). Merupakan kriteria untuk menilai mutu tidaknya hasil penelitian. Jika dependabilitas digunakan untuk menilai kualitas dari proses yang ditempuh oleh peneliti, maka konfirmabilitas untuk menilai kualitas hasil penelitian, dengan tekanan pertanyaan apakah data dan informasi serta interpretasi dan lainnya didukung oleh materi yang ada dalam audit trail.
Dari berbagai uraian yang dikemukakan di atas penelitian merupakan sebuah proses yang memerlukan perhatian yang benar-benar serius seandainya ingin diperoleh hasil penelitian yang berkualitas. Perhatian Tabel 4 berikut, yang menggambarkan ringkasan penelitian kualitatif sebagai suatu proses Tabel 5. Peneltian Kualitatif sebagai Proses Fase UraianPeriset sebagai subjek penelitian yang multi kultural
Penelitian bersifat historis dan penelitian tradisi , konsep dari diri dan semuanya, tergantung pada etika dan politik penelitian
Paradigma teoritis dan interpretatif
Positivisme, post-positivisme, konstruktivisme, feminisme, model etnik, model Marxis, cultural studies
Strategi penelitian Desain studi, studi kasus, etnografi, observasi partisipasi, fenomenologi, grounded theory, metode biografi, metode histories, penelitian tindakan, dan penelitian klinis
Metode pengumpulan data dan analisis data empiris
Interviu, observasi, artefak, dokumen dan rekaman, metode visual, metode pengalaman pribadi, analisis dengan bantuan program computer, dan analisis tekstual
Pengembangan interpretasi dan pemaparan
Kritereia dan kesepakatan, seni dan politik penafsiran, penafsiran tulisan, strategi analisis,
tradisi evaluasi, dan penelitian terapan Pengunaan Metode Kualitatif dalam Ekonomi Kalau diperhatikan karya-karya klasik dalam bidang ekonomi, misalnya buku karangan Adam Smith , Wealth of Nations (1976) yang ditulis tahun 1776, maka sebagian besar narasinya berisi analisis secara kualitatif. Demikian pula, buku klasik lainnya, karya Karl Marx, Das Kapital, berisi uraian secara mendalam penggunaan berbagai disiplin ilmu untuk menggambarkan keadaan masyarakat pada waktu itu. Penggunaan alat analisis kuantitatif begitu demikian menonjol setelah munculnya aliran Neo-Klasik, yang dalam analisisnya menekankan sudut optimasi dalam kegiatan ekonomi. Walaupun dominasi penggunaan alat dan metode penelitian kuantitatif begitu menonjol, bukan berarti dalam karya ilmiah ilmu ekonomi semuanya memakai itu. Misalnya, aliran ekonomi kelembagaan awal dalam analisis ekonomi menggunakan pendekatan tidak murni, akan tetapi dibantu disiplin ilmu lainnya. Myrdal (1954) dalam karya awalnya menulis betapa pentingnya elemen politik dalam pengembangan teori ekonomi. Karya monumental Myrdal lainnya (1972) yang mengantarkannya memperoleh hadiah Nobel Ekonomi pada tahun 1974 menerangkan kegagalan pembangunan di Asia karena terlalu mengadopsi model ekonomi Neo-Klasik dan kurang memperhatikan factor-faktor non ekonomi, seperti keadaaan politik, social, budaya dan hukum. Demikian pula, Weber (dalam Taufik Abdullah, editor, 1979) kuranglah dikenal oleh mahasiswa ekonomi, meskipun hasil karyanya cukup terkenal. Menurutnya, kemajuan di dunia Barat dengan kapitalismenya, disebabkan karena factor agama yang dianut oleh pengikutnya, khususnya agama Protestan dengan aliran Calvinisme. Celakanya, meskipun Myrdal memperoleh hadiah Nobel Ekonomi akan tetapi dalam banyak buku sejarah pemikiran ekonomi tidaklah diperbincangkan, karena beliau lebih dijuluki sebagai seorang sosiolog. Penutup Metode penelitian kualitatif sebagai salah satu pilihan yang dapat dipakai para mahasiswa Fakultas Ekonomi maupun para peneliti ekonomi, di samping netode penelitian kuantitatif yang sudah biasa dipakai. Pendalaman terhadap metode penelitian kualitatif harus disesuaikan dengan bidang kajian yang digemari, seperti kalau ingin mempelajari organisasi, bisa baca buku karangan Symon dan Catherine Cassell(1998). Jika ingin mempelajari akuntansi harus merujuk metode penelitian kualitatif untuk akuntansi dan untuk ilmu ekonomi dan studi pembangunan juga pernah dilakukan, misalnya oleh Mubyarto, et al (1984). Sekiranya para peneliti ingin menggabungkan penelitian kualitatif dan kualitatif berbagai pedoman penelitian bisa dirujuk. Misalnya Brannen (1997) maupun Lili Rasjidi (1991). Menurut Capra tradisi-tradisi mistik yang terdapat dalam setiap agama dan halqah-halqah mistikal itu bisa juga ditemukan pada banyak ajaran filsafat Barat. Paralel-paralel fisika modern tidak hanya muncul pada dalam Veda Hinduisme, dalam I Ching, atau dalam sutra-sutra Budha, tetapi juga dalam fragmen-fragmen Heraclitus, dalam sufisme Ibnu Arabi, atau dalam ajaran-ajaran Don Juan, Sang Penyair.
Daftar PustakaCybercounseling STAIN Curup http://cybercounselingstain.bigforumpro.comPurbayu Budi SantosaAgus Salim 2006.Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Terj, Nuktaf Arfawie
Kurde, Imam Safe’I dan Noorhaidi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Imron Arifin. 1996. Penelitian Kualitatif dalam ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan. Editor.
Malang: Kalimasahada Lili Rasjidi. 1991. Manajemen Riset Antardisiplin, editor. Bandung: Rosda Lincoln, Yvonna S & Egon G. Guba. 1985. Naturalistic Inquiry. California: Sage Lexy J. Moleong. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Karya Mubyarto, Loekman Sutrisno dan Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Studi
Ekonomi dan Antropologi di Dua Desa Pantai. Jakarta: Rajawali. Symon, Gillian & Catherine Cassell.1998. Qualitative Methods and Analysis in Organizational
Research. A Practical Guide. New Delhi: Sage Weber, Max.1960. Sekte-sekte Protestan dan Semangat Kapitalisme dalam Taufik Abdullah,
editor. 1979. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES.Myrdal, Gunnar. 1969. The political Element in the Development of Economic Theory. New
York: Simon and Schuster.Smith, Adam. 1976. An Inquiry into tThe Wealth of Nations. Chicago: The University of
Chicago.Capra, Fritjof. 2001. Tao of Physics.Menyingkap Paralisme Fisika Modern dan Mistisisme
Timur. Terjemahan Pipit Maizer.Yogyakarta: Jalasutra.Capra, Fritjof. 2000 Titik Balik Peradaban Sains, masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan.
Terjemahan M. Thoyibi. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya.
Epistemologihttp://akaldankehendak.com/?p=80
Menggugat Epistemologi Ilmu Sosial (Bag. 2)
By Admin ⋅ March 3, 2008 ⋅ Print This Post ⋅ Kirim komentar
Oleh: GiyantoJurnal Kebebasan: Akal dan KehendakVol. II, Edisi 19, Tanggal 03 Maret 2008
(Bag. 2 – Tamat)
Tidak bermaksud menjadi kiri, tulisan ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa apa yang kita yakini dalam epistemologi yang dipakai secara umum oleh ahli ilmu sosial sebenarnya semakin menjauhi kebenaran atau realitas itu sendiri.
Dengan kata lain, saya sebenarnya lebih mengiyakan pandangan subyektfivitasnya Thomas Kuhn. Atau yang lebih kontemporer barangkalai Capra. Entitas sosial apabila dianalogikan ibarat sebuah sistem tubuh—dengan logika biologi alih-alih seperti yang sekarang dipakai ialah logika fisika. Atau bila memakai analogi Rothbard seperti jaring
laba-laba. Jadi, seandainya paradigma yang ada sekarang memakai paradigma empiris “obyektif” dengan kacamata ilmu pengetahuan alam, bukan tidak mungkin, para ahli ilmu sosial yang sekarang “menjabat” atau meneliti dan menulis di jurnal ilmiah telah melakukan sesuatu yang sia-sia dan menghabiskan waktu. Ini berarti suatu generasi yang hilang atau buta terhadap pencerahan ilmu tentang manusia.
Saya menyadari konsekuensi mengatakan yang demikian. Apabila benar-benar diterapkan mengenai paradigma yang saya yakini, bukan tidak mungkin, semua struktur kelembagaan yang ada di dunia akademis berubah total. Dan ini, menurut saya, tidak akan mungkin dilakukan karena para akademisi akan lebih mementingkan kepentingannya sendiri atau hak mereka untuk berstatus quo karena terkait dengan profesi, daripada benar-benar melakukan tanggungjawab ilmiah dalam memperjuangkan kebenaran ilmiah yang belum tentu hasilnya. Apalagi ide-ide tersebut hanya dikatakan oleh “anak kecil” seperti kita.
Akan tetapi, seperti yang dikatakan Hayek, bukankah tugas intelektual untuk “memasarkan ide” dan selalu mengingatkan setiap penyimpangan yang ada di masyarakat. Termasuk dunia akademis. Dan mengenai peran untuk mendebatkannya secara filosofis sudah dilakukan oleh orang-orang yang setidaknya sudah saya sebut dalam tulisan ini.
Begitu banyak bukti-bukti mengenai subyektvitas ilmu pengetahuan sosial. Sejarah perjuangan ideologi ataupun sejarah penemuan teori-teori di bidang ilmu alam telah dapat menjadi bukti bagi seringnya ketersesatan perjalanan menegakkan ilmu pengetahuan pada jalurnya. Nasib tragis yang dialami oleh Wegner dalam memperjuangkan Toeri Kontinental Drift bisa dijadikan bukti, atau nasib Galieo, Kopernikus, dan begitu banyak teoritikus lainnya yang bernasib sama. Dan dalam bidang ekonomi saya memprediksi pandangan-pandan Ludwig von Mises akan berdengung keras di dunia akademik ekonomi setelah penyia-nyian masyarakat akademis yang tidak lepas dari pengaruh ideologi politik yang bermain sekarang ini. Akan tetapi, saya yakin kebenaran akan berbicara dengan sendirinya entah suatu saat nanti.
Namun demikian sebuah fakta sejarah kurang lengkap apabila dipergunakan sebagai bukti ilmiah. Bukti yang ada di depan mata, ialah mandulnya peran ilmuwan sosial di masyarakat umum. Bahkan seringkali orang-orang yang memiliki pengaruh ilmiah dalam ilmu sosial biasanya orang-orang “terpinggirkan” dalam dunia akademiknya. Bukankah ini merupakan bukti kecil dari fenomena tersebut. Contoh lain barangkali bisa dilihat dari produktivitas karya-karya sosial. Dari pengamalan saya sebagai pembaca, pandangan-pandangan sosial malah sering muncul dari mulut-mulut yang bukan ahlinya. Semisal yang sering menjadi kasus di Indonesia ialah profesi wartawan, sastrawan, peneliti lepas, pebisnis dan lain sebagainya.
Sebagai tambahan, hasrat untuk menyerukan kebenaran ilmiah sebenarnya sudah menjadi bawaan bagi setiap manusia yang berpikir. Dan apabila ada yang sebagian atau bahkan kebanyakan diam itu disebabkan keberadaan mereka di struktur internal organisasi yang menerapkan paradigma yang ada. Toh apabila orang-orang yang “berpikir” tersebut mengetahui, mereka akan memilih diam daripada untuk memilih melakukan “keributan” yang barangkali akan dicap “berisik” dan membikin onar. Barangkali dalam bentuk ekstrim dituduh mencari popularitas.
Analisis lain yang saya tuduhkan kalau bisa dikatakan gugatan terkait keberadaan bangsa Indonesia yang dalam “kelahirannya” “berbarengan” atau bisa dikatakan “disebabkan” oleh pertarungan ideologi-ideologi besar. Pengaruh sosialisme dari tahun 1945-1965 dan selanjutnya pengaruh liberalisme ala aqlo saxon dari tahun 1966 sampai sekarang masih menjadi landasan “darimana” gagasan itu seharusnya muncul sehingga bisa dikatakan sahih. Apakah kesahihan sebuah ilmu hanya didasarkan pada latar belakang geografis, budaya, peradaban atau apapun itu? Saya kira pandangan tersebut menandakan kesempitan bepikir. Sebuah paradigma seharusnya bisa diterima apabila dia dapat dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada, dalam hal ini permasalahan sosial. Dan sekarang kita malah menjauhi dari idealisme tersebut.
Hal-hal di atas sebenarnya merupakan idealisme dari seorang yang frustasi. Lebih parahnya, bila melihat seretnya penerbitan berkala di dunia akademik, bisa dikatakan dunia akademik kita sebenarnya telah mati suri. Dari kasus yang sekarang saya temui, penerbitan-penerbitan jurnal malah lebih banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang secara akademik berada di luarnya. Mereka sebagian berdiri disebabkan oleh berbagai motif. Namun, tanpa menyelidiki motif tersebut, seharusnya kita patut mengapresiasinya dengan pikiran terbuka. Beberapa kasus tersebut, seharusnya menjadi refleksi semua pihak, termasuk intelektual, bahwa tanggungjawab ilmiah sebenarnya dapat diperankan oleh berbagai macam profesi, dan tidak harus sebagai filsuf yang seringkali dimimpikan oleh para intelektual jika hanya ingin meninggikan strata ilmiahnya.
Dari fakta tersebut, begitu sangat jelas, sehingga mempengaruhi keyakinan saya pribadi untuk mengambil posisi, walaupun harus tertatih-tatih dengan cara berputar-putar untuk berpindah profesi untuk hanya sekedar mencari dan terus mencari apa yang seharusnya dan patut diperjuangkan.
Selain ketersesatan penggunaan paradigma, kita juga telah kurang sesuai dalam menggunakan alur berpikir logis dalam upaya menelaah sumber permasalahan ilmu sosial.
Cerita singkat mengenai perjalanan panjang diakuinya teori continental drift barangkali bisa dijadikan inspirasi. Dari perspektif kesejarahan ilmu alam, saat Alfred Lothar Wegener menemukan Teori Continental Drift, mula-mula dia hanya sekilas melihat gambaran peta Amerika Selatan dengan garis pantai barat Afrika yang begitu identik, Wegener membayangkan bahwa kedua benua tersebut pernah menyatu. Baru kemudian dia mengumpulkan detail-detail penemuan yang ada untuk mendukung teorinya.
Padahal, penelitian geologis telah lama dilakukan oleh para geolog yang hanya mefokuskan detail-detail geologi tanpa membayangkan gambaran muka bumi secara keseluruhan. Akhirnya argumen Wegener mendapat bantahan tanpa pengujian terlebih dahulu dari para ahli geologi yang merasa paling tahu pada bidang tersebut. Namun demikian, Wegner bersikap acuh dan menikmati bidangnya dalam klimatologi. Hingga 60 tahun kemudian kebenaran ilmiah terungkap dan bukti-bukti yang mengarah bahwa benua itu bergerak semakin banyak.
Barangkali sejarah tersebut bisa terulang dengan cerita terbalik. Para ahli ilmu sosial, termasuk para ekonom, selama ini telah terlalu menyederhanakan dan terlalu menjeneralisasikan manusia melalui sederet angka-angka. Sekumpulan data administrasi yang belum tentu kesahihannya telah menjadi agregat-agregat yang dianggap mewakili manusia. Tanpa menyelidiki pada tingkat mikro apa yang sebenarnya dilakukan manusia, apa alasan mereka melakukan sesuatu, bagaimana mereka bertindak untuk mencapai tujuan tersebut, belum diselidiki sama sekali. Sehingga, hanya orang-orang jalanan atau praktisi yang mengetahui dengan jelas tapi kurang mampu menyatakannya secara argumentatif tertulis ataupun mendasarkan pada teori yang sahih untuk menjelaskan permasalahan yang dihadapinya.
Sebagai contoh, petani sering mendapati nilai harga beras mereka dibandingkan dengan barang kebutuhan konsumsi yang lain sangat rendah, apabila sekarang harga beras ditingkat dasar mencapai Rp. 4000,- bisa jadi harga di tingkat konsumen mencapai Rp. 5.000,-. Barangkali dalam mekanisme pasar hal tersebut dapat diterima karena jalur distribusi yang terlalu panjang. Namun, yang lebih memprihatinkan, dengan harga dasar Rp. 4000,- Seandainya dibandingkan dengan harga komoditas lain serta ditambah faktor-faktor produksi yang dibutuhkan dalam pertanian yang harganya terus naik, maka nilai beras dengan nominal yang demikian sangat tidak menjadi berarti. Akibatnya, dalam istilah ekonomi yang lebih keren, akan terjadi defisit anggaran yang dialami petani. Tindakan yang sering ditempuh
petani, bapak saya biasanya, dengan menyewakan salah satu sawahnya untuk menyokong biaya produksi pada tiap awal musim tanam. Dan hal tersebut terus berlarut-larut sehingga para petani tidak pernah mengalami keuntungan sama sekali disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang sifatnya inflasif. Belum lagi biaya-biaya keluarga seperti pendidikan, listrik, pajak dan lain sebagainya.
Permasalahan tindakan-tindakan manusia berdasarkan pilihan-pilihan yang demikian sulit apakah ilmuwan sosial atau ahli ekonomi mengetahuinya? Saya masih ragu hal demikian diketahui oleh ilmuwan yang duduk manis di mimbar akademik yang sangat terhormat. Dan apakah data-data yang dianggap subyektif tersebut bisa digunakan oleh pemerintah untuk mengambil kebijakan? Paling-paling yang digencarkan malah iklan pembayaran pajak agar tepat waktu! Suatu paradoks yang sering terjadi di kehidupan realitas.
Fenomena pemiskinan secara sistematis tersebut sering dianggap hal yang remeh-temeh; permasalahan sosial yang demikian dianggap terjadi secara kasuistik dan parsial. Bukti yang bisa dianggap sahih ialah pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui angka-angka. Dengan demikian laporan pertanggungjawaban pemerintahan dapat diterima oleh rakyat yang diwakili oleh anggota legislatif melalui “data-data” yang telah dianalisis oleh kementrian ekonomi. Dan sandiwara tersebut diulang berkali-kali tiap lima tahun sekali.
Memang tidak mudah menerapkan paradigma individualisme metodis dalam epistemologis ilmu sosial. Mises telah memperingatkan:
“Meyakini bahwa keseluruhan kolektif itu dapat divisualisasikan adalah suatu ilusi. Keseluruhan kolektif tidak pernah dapat dilihat; kognisinya selalu merupakan hasil dari pemahaman atas makna yang diberikan manusia pada tindakannya. Kita memang dapat melihat keramaian, misalnya kerumunan manusia. Apakah kerumunan itu hanya sekedar pertemuan ataukah sebuah badan teorganisasi atau jenis lain dari entitas sosial merupakan sebuah pertanyaan yang hanya dapat dijawab oleh pemahaman akan makna yang mereka berikan bagi keberadaan tersebut. Dan makna ini selalu merupakan makna dari individunya. Bukanlah indera kita, melainkan pemahaman kita, sebagai sebuah proses mental, yang membuat kita memahami entitas sosial.”
Mises menambahkan:
“Siapa saja yang bermaksud memulai kajian tentang tindakan manusia dari unit-unit kolektif akan mendapati rintangan tak terperi berupa kenyataan bahwa setiap individu pada saat yang sama juga dapat merupakan bagian nyata dari beragam entitas kolektif. Persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh mulitiplisitas unit-unit sosial yang berkoeksistensi dan antagonisme-antagonisme mutual mereka dapat diatasi hanya melalui individualisme metodologi.”
Singkat kata, sekarang kita tidak hanya melakukan kesalahan terbesar abad ini, namun dengan sengaja kita, masyarakat ilmiah, telah membodohi masyarakat yang seharusnya tercerahkan oleh keberadaan ilmu pengetahuan.
Salah seorang dosen saya pernah mengatakan dengan enteng bahwa: “Abad dua puluh adalah abad kuantitatif”. Namun dalam hati saya mengatakan “Abad dua puluh ialah abad kegelapan”.
Memang sangat mudah melupakan sebuah kesalahan! [ ]
(Catatan: Lanjutan ini merangkum Bagian 2 dan 3 dalam naskah asli yang diterima redaksi. Dipublikasikan di Jurnal A&K dengan penyuntingan minimum. Hak cipta ada pada penulisnya.)