Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
65
EFEKTIFITAS Candida, sp SEBAGAI IMUNOSTIMULAN PADA IKAN LELE DUMBO
(Clarias gariepenus) TERHADAP INFEKSI Aeromonas hidrophylla
Faisol Mas‘ud *)
*) Dosen Fakultas Perikanan Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
Universitas Islam Lamongan
Abstract
The aim of the study was to know efectivity by using Candida sp. in feed as imunostimulant that
affected toward leucocyte total (neutrophyl, monocyte and lymphocyte), differential counting leucocyte and
survival rate of African catfish (Clarias gariepenus) that was infected by Aeromonas hydropila. Data of
leucocyte total counting (neutrophyl, monocyte and lymphocyte) and differential counting of leucocyte were
analyzed by Anava and followed by Duncan tests. The result showed that the highest leucocyte total was D
treatment 19.103,00 ± 829,961 cell/ml. The highest neutrophyl total was D treatment 44,5 ± 2,50 %. The lowest
one was F treatment 39,75 ± 0,95 %. The highest lymphocyte was D treatment 41,25 %. The lowest one was F
treatment 33,75 %. The highest monocyte was F treatment 21,25 ± 3,30 %. The lowest one was D treatment 6,00
± 2,82 %. Candida sp. could affected toward survival rate. The highest survival rate was D treatment 100% and
the lowest one was B treatment 50%.Candida sp. could affected toward survival rate. The highest survival rate
was D treatment 100% and the lowest one was B treatment 50%.
Key words: African catfish (Clarias gariepenus), Candida sp, Aeromonas hydrophila and haematological test
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bakteri Aeromonas hydrophila merupakan salah satu penyakit yang dapat menyerang semua ikan air
tawar dan umumnya menyerang pada jenis catfish salah satunya adalah ikan lele (Clarias gariepenus). Bakteri
ini termasuk bakteri fakultatif anaerob, yaitu bakteri yang dapat hidup dengan atau tanpa adanya oksigen dan
banyak ditemukan pada insang, kulit, hati dan ginjal. Ada juga yang berpendapat bakteri ini dapat hidup
pada saluran pencernaan (Kabata, 1985).
Dampak fatal yang diakibatkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila khususnya pada ikan lele
menyebabkan perlunya dilakukan penelitian mengenai suatu bahan alami yang mampu meningkatkan sistem
kekebalan tubuh ikan. Salah satu bahan yang mempu meningkatkan sistem kekebalan tubuh ikan yaitu Candida
sp. Zhenming et al. (2006) menyatakan bahwa Candida sp. mengandung vitamin B kompleks serta mineral yang
bermanfaat sebagai imunostimulan.
Candida sp. mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh ikan yang tahan terhadap penyakit
khususnya respon imun seluler. Fungsi respon imun seluler dari reseptor ikan lele diperankan oleh beberapa
parameter sel imun untuk menghasilkan respon yang terbentuk. MHC (Major Histocompatibility Complex)
merupakan salah satu molekul yang berperan penting dalam sistem imun ikan. Antigen jika masuk di dalam sel
inang atau tubuh ikan maka antigen tersebut akan dipresentasikan oleh MHC, antigen akan ditangkap oleh
reseptor pada sel T helper (2), dan sel T helper (2) akan mensekresikan sitokin yaitu IL-2, IL- 4, dan IL-6 yang
bertujuan untuk diferensiasi dan proliferasi sel B, diferensiasi sel B akan menghasilkan sel plasma dan sel
memori. Selanjutnya sel plasma akan mensintesis antibodi yang spesifik yang akan mengikat antigen sehingga
mencegah pergerakan antigen, dan memudahkan proses fagositosis (Baratawidjaja, 2004).
Berdasarkan kondisi tersebut, salah satu cara untuk meningkatkan produksi ikan lele dumbo adalah
dengan imunostimulan. Salah satu kemampuan imunostimulan adalah dapat meningkatkan ketahanan tubuh non
spesifik yaitu dengan meningkatnya sel-sel fagositosis. Sel–sel fagositosis ini berfungsi melakukan fagositosis
terhadap benda-benda asing yang masuk ketubuh inang. Mekanisme kerja imunostimulan adalah apabila
imunostimulan masuk ke dalam tubuh maka imunostimulan akan merangsang makrofag untuk memproduksi
interleukin yang akan menggiatkan sel limfosit yang kemudian membelah menjadi limfosit T dan limfosit B.
Selanjutnya limfosit T akan memproduksi interferon yang mampu membangkitkan kembali makrofag, sehingga
dapat memfagosit bakteri, virus, dan partikel asing lainnya yang masuk kedalam tubuh (Raa,2000)
Darah sangat bermanfaat sebagai alat diagnostik di dalam menetapkan status kesehatan ikan. Salah satu
aspek dari infeksi adalah terjadinya perubahan gambaran darah. Darah mengalami perubahan yang serius
khususnya apabila terkena penyakit infeksi. Pemeriksaan darah dapat digunakan sebagai indikator keparahan
suatu penyakit tertentu. Beberapa parameter yang dapat memperlihatkan perubahan patologi pada darah adalah
kadar hematrokit, hemaglobin, jumlah sel darah merah dan jumlah sel darah putih (Bastiawan dkk., 2001).
Tujuan penelitian ini adalah Mengetahui pengaruh pemberian Candida sp. sebagai immunostimulan
non-spesifik dalam pakan dengan konsentrasi yang berbeda terhadap jumlah leukosit (neutrofil, monosit, dan
limfosit) pada ikan lele dumbo (Clarias gariepenus) yang di infeksi Aeromonas hydrophila dan mengetahui
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
66
pengaruh perbedaan pemberian konsentrasi Candida sp. sebagai immunostimulan non-spesifik dalam pakan
terhadap Survival Rate ikan lele dumbo (Clarias gariepenus) yang di infeksi Aeromonas hydrophila.
II. MATERI DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga
Surabaya selama 21 hari pada tanggal 20 September sampai 10 Oktober 2012 dan di Laboratorium Patologi
Klinik Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya pada tanggal 10 - 13 Oktober 2012 untuk uji
hematologi.
III. Metode Penelitian
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain adalah ikan lele dumbo ukuran 15-17 cm yang
berasal dari Balai Benih Ikan (BBI) Karanggeneng di Kecamatan Karanggeneng Kabupaten Lamongan, Candida
sp. isolasi, Pakan ikan komersilmerk comfeed dengan kandungan protein 30 – 32 %, Trisodium Sitrat 10 ml,
Creasy Blue 31,3g, Aquades, kadar air 10%-12%, kapas, tisu, alcohol 70 %, darah ikan lele dumbo, es, EDTA
dan larutan dacine.
Peralatan
Peralat yang digunakan adalah Akuarium, Spuit 0,5ml, object glass, mokroskop binocular olympus
model CX21FSI dengan nomor seri : 8FI2309, hand tally counter, pinset, aerator
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dimana semua dikondisikan sama kecuali
perlakuan (Kusriningrum, 2008). Perlakuan yang digunakan sebanyak 6 (enam) perlakuan dengan empat kali
ulangan. Pemberian pakan dengan perlakuan dilakukan selama 3 minggu, pada minggu ke-3 dilakukan uji
hematologi. Perlakuan yang diberikan adalah perbedaan dosis Candida sp., dimana perbedaan dosis tersebut
adalah sebagai berikut :
A = pakan (Kontrol negatif)
B = pakan + infeksi Aeromonas hydrophyla (Kontrol positif)
C = pakan + 3% Candida sp./kg pakan + infeksi Aeromonas hydrophyla
D = pakan + 5% Candida sp./kg pakan + infeksi Aeromonas hydrophyla
E = pakan + 7% Candida sp./kg pakan + infeksi Aeromonas hydrophyla
F = pakan + 9 % Candida sp./kg pakan + infeksi Aeromonas hydrophyla
Persiapan Ikan Bandeng
Gelondongan ikan bandeng sebanyak 250 ekor berasal dari tambak di Desa Duduk Sampean,
Kecamatan Duduk, Kabupaten Gresik. Gelondongan ini kemudian diadaptasikan di laboratorium selama 7 hari
dalam bak adaptasi yang diisi 900l air bersalinitas 10 ppt. Air media yang digunakan untuk adaptasi di
laboratorium berasal air laut dengan salinitas 30 ppt yang diencerkan dengan air tawar sampai salinitas 10 ppt.
Sebelum digunakan air media adaptasi diaerasi selama 1 hari sehingga kelarutan oksigennya jenuh. Kemudian
gelondongan ikan bandeng dimasukkan ke dalam bak adaptasi. Pemberian pakan pelet dilakukan dua kali
sehari yaitu pada jam 08.00 dan jam 15.00 WIB sebanyak 3% dari biomas.
Tahap 1 Uji LD50 Aeromonas hydropila Pada Ikan Lele Dumb (Clarias gariepenus)
Tahap 1 Uji dilakukan untuk menentukan dosis Candida sp. yang akan digunakan dalam perlakuan. Isolat
Aeromonas hydrophila murni diambil dari media agar yang berasal dari Lab. Bakteriologi Fakultas Kedokteran
Hewan. Suspensi Aeromonas hydrophila 104
CFU/mL setara dengan Mc Farland no. 4, kemudian dilakukan
pengenceran 10 kali sehingga diperoleh konsentrasi 1010
, 109, 10
8, 10
7, 10
6, 10
5, 10
4, 10
3, 10
2 dan 10
1 CFU/mL.
Masing-masing pengenceran disuntikkan pada 6 ekor ikan yang berbeda. Selama 7 hari ikan tersebut diamati dan
dilakukan observasi. Ikan yang mengalami kematian dicatat seperti tabel di bawah ini dan diperoleh LD50 pada
107 CFU/mL.
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
67
No. Konsentrasi
(CFU/mL) Jumlah Ikan
Persentase Jumlah Ikan
yang Mati (%)
Persentase Jumlah Ikan
yang Hidup (%)
1 1010 6 100 0
2 109 6 100 0
3 108 6 66,7 33,3
4 107 6 50 50
5 106 6 33,3 66,7
6 105 6 0 100
7 104 6 0 100
8 103 6 0 100
9 102 6 0 100
10 101 6 0 100
Tahap 2. Uji Hematologi dan Survival Rate (SR)
Tahap 2 diawali dengan persiapan media pemeliharaan dan benih ikan lele dumbo (Clarias gariepenus)
ukuran 15-17 cm. Ikan diaklimatisasi tanpa diberi pakan selama 1 hari kemudian ikan dibiasakan dengan
pemberian pakan komersil yang digunakan dalam penelitian selama 1 hari.
Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemberian imunostimulan Candida sp. dengan
perlakuan konsentrasi yang berbeda dengan 4 kali ulangan yaitu perlakuan A = kontrol negatif (pakan),
perlakuan B = kontrol positif (pakan + infeksi Aeromonas hidrophyla), perlakuan C = pakan + 3% Candida
sp/kg pakan + infeksi Aeromonas hidrophyla, perlakuan D = pakan + 5% Candida sp/kg pakan + infeksi
Aeromonas hidrophylla, perlakuan E = pakan + 7% Candida sp/kg pakan + infeksi Aeromonas hidrophylla,
perlakuan F = pakan + 9% Candida sp/kg pakan + infeksi Aeromonas hidrophylla. Selanjutnya ikan lele dumbo
setelah 21 hari di infeksi Aeromonas hydrophila dengan dosis 107CFU/mL dan selanjutnyas dilakukan uji
hematologi yang meliputi jumlah leukosit, perhitungan leukosit dan survival rate.
Populasi dan Sampel
Benih yang digunakan sebagai hewan uji dalam penelitian ini adalah benih lele dumbo ukuran lebih
kurang 15-17cm yang memiliki ukuran relatif homogen yang sebelumnya telah diaklimatisasi dalam media
terpal di laboratorium selama dua hari. Dalam penelitian ini terdapat 6 perlakuan dengan 4 kali ulangan.
Kultur Candida sp.
Candida sp. yang berasal dari Lab. Bakteriologi FKH Unair kemudian dibiakkan pada media Sabourrud
Dextrose Agar, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 2-3 hari. Koloni yang tumbuh memiliki ciri
berwarna krem, pasty dan smooth. Kemudian dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan sederhana,
hasil pemeriksaan mikroskopis terlihat sel yang berbentuk oval dan banyak sel yang mempunyai budding,
bentukan pseudo hyfa.
Persiapan Ikan Uji
Ikan Uji yang diamati adalah benih ikan lele dumbo (Clarias gariepenus) ukuran fingerling (15-17 cm)
yang didapatkan dari Balai Benih Ikan (BBI) Kalen di Kecamatan Sukodadi, Kabupaten Lamongan. Aklimatisasi
dan pembiasan pemberian pakan dilakukan selama dua hari. Benih ikan lele ini kemudian diaklimatisasi di
laboratorium hingga benih siap diuji di media yang telah tersedia. Benih lele yang diaklimatisasi inilah yang
akan digunakan sebagai hewan uji. Pemberian pakan komersil diberikan dua kali sehari dengan perlakuan selama
21 hari dan diambil darahnya untuk uji hematologi.
Pencampuran Pakan dengan Candida sp.
Pada penelitian ini pencampuran bahan baku pakan dilakukan agar seluruh bahan baku pakan yang
dihasilkan memiliki komposisi yang sama seperti yang telah direncanakan. Menurut Wiyanto (2003), komponen
esensial (misalnya vitamin, mineral, dan Obat) mempunyai diameter yang sangat halus (mm) sehingga dapat
tercampur secara homogen dengan bahan baku lainnya. Bahan baku pakan komersil dicampur dengan Candida
sp. dengan berbagai kosentrasi diberikan kepada ikan uji. (Wiyanto, 2003).
Bakteri Uji
Bakteri uji dalam penelitian ini yaitu Aeromonas hydrophila. Koloni Aeromonas hydrophila sebanyak
20 koloni diambil dari biakan pemurnian kemudian dimasukkan pada media 200 ml Tryptose Soy Broth (TSB)
dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Hasil pertumbuhan dilakukan pencucian 3 x dengan
menggunakan larutan PBS steril dan dilakukan sentrifuge 5000 rpm selama 7 menit (Jang et al., 1978).
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
68
Kemudian dilakukan penghitungan jumlah bakteri yang terkandung dalam suspense kemudian sesuai dengan
LD50 Aeromonas hydrophila pada ikan lele yaitu 107 CFU/mL.
Uji Hematologi Ikan Lele (Clarias gariepenus)
a. Koleksi Darah Ikan
Pemeriksaan darah ikan lele dumbo dilakukan dengan metode ulas darah. Pemeriksaan ini diawali
dengan pengambilan darah ikan melalui vena caudalis. Metode pengambilan sampel darah pada ikan lele dumbo
dilakukan menurut Svobodova dan Vykusova (2008). Pengambilan darah ini dilakukan dengan menggunakan
spuit 0,5mL yang sebelumnya sudah ditambahkan Ethylene Diamine Tetra Acetatic Acid (EDTA) dengan dosis
1,50 ± 0,25 mg/mL darah (Bijanti, 2012). Selanjutnya dari sampel darah yang telah diambil dimasukkan kedalam
botol evendop dan dimasukkan kedalam sterofom yang telah di beri es, selanjutnya di bawah ke laboratorium
patologi klinik untuk dilakukan penghitungan leukosit (neurofil, monosit dan limfosit) (Bijanti R, 2010).
b. Perhitungan Leukosit
Prosedur pelaksanaan dimulai dengan membuat pengenceran darah dalam larutan Dacies (1:50).
Larutan Dacies disaring terlebih dahulu sebelum digunakan. Darah diencerkan dengan perbandingan 1:50
menggunakan larutan Dacies. Darah di campur dengan larutan Dacies secara berlahan agar tidak merusak sel.
Sebagian larutan darah yang telah diencerkan diambil menggunakan pipet Pasteur. Cara penggunaan
pipet yaitu dengan mengisap darah sampai tanda 0,5 ml dan mengisap larutan pengencer hingga tanda 11. Ujung
pipet diletakkan pada ujung kaca penutup kamar hitung Improved Neubauer. Mekanisme kapiler akan
mengalirkan larutan darah secara pasif ke kamar hitung. Cover glass diletakkan diatas kamar hitung Improved
Neubaeur dan Hemacytometer diletakkan di bawah mikroskop. Leukosit dihitung di empat kotak yang terletak
pada keempat sudut kamar hitung, area keseluruhan 0,1 mL(1/10 mL).
Pengenceran yang terjadi dalam pipet adalah 20x. Jumlah semua sel yang dihitung dalam ke empat
bidang itu dibagi 4 menunjukkan leukosit dalam 0,1 mL. Kalikan angka itu dengan 10 (untuk tinggi) dan 20
(untuk pengencer) untuk mendapat jumlah laukosit dalam 1 mL.
Rumus perhitungan jumlah leukosit adalah sebagai berikut:
Jumlah leukosit = 𝑁 x 10.000
Keterangan: N = Jumlah sel leukosit yang dihitung
Perhitungan leukosit Prosedur kerja dimulai dengan satu tetes sampel darah yang telah diberi antikoagulan heparin diambil
dan diletakkan pada slide yang kering dan bersih. Membuat hapusan darah yang tipis. Hapusan darah
dikeringkan kemudian hapusan darah difiksasi dengan menggunakan metanol 95% selama 1-2 menit. Kemudian
melakukan pengecatan pada hapusan darah yang telah difiksasi dengan pengecatan Giemsa atau May Grunwald.
Setelah itu menunggu selama 20 menit, kemudian slide dibilas dengan menggunakan air mengalir dan
dikeringkan. Hapusan darah di amati dibawah mikroskop (Bijanti R, 2010).
Pengecatan Giems
Meletakkan sediaan yang akan dipulas diatas rak tempat memulas dengan lapisan darah menghadap
keatas. Meneteskan sekian banyak metilalkohol keatas sediaan tersebut, sehingga lapisan darah tertutup
seluruhnya, dibiarkan selama dua menit atau lebih. Menuangkan kelebihan metal alkohol di atas sediaan
tersebut. Meneteskan larutan Giemsa yang sudah diencerkan dengan larutan penyangga di atas sediaan hapusan
darah secara merata, kemudian dibiarkan selama 20 menit. Membilas sediaan hapusan darah tersebut dengan air
mengalir. Meletakkan sediaan dalam posisi vertikal dan biarkan mengering pada udara. Dengan pengecatan
Giemsa akan tampak gambaran jenis jenis leukosit.
Menurut Bijanti (2010) rumus penghitungan jumlah leukosit:
𝐵asofil + Eosinofil + Monosit + Neutrofil + Limfosit = 100
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
69
Menurut Sukenda, dkk (2008) rumus prosentase Differencial leukocite :
Perhitungan Tingkat Survival Rate (SR)
Tingkat Survival rate menurut Zonneveld et al. (1991):
Parameter Pendukung
Pengukuran sifat fisika kimia air yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi suhu, pH, DO dan amoniak.
Perhitungan terhadap suhu pH, DO dilakukan setiap hari pada pagi hari agar kondisi lingkungan pemeliharaan
terkontrol. Pengukuran suhu menggunakan termometer, pengukuran pH menggunakan pH meter, dan
pengukuran DO menggunakan DO meter, Amoniak diukur dengan menggunakan tes kit pada akhir perlakuan.
Pengumpulan Data
Ikan yang telah diberi perlakuan pakan ditambahkan Candida sp. selama 3 minggu, kemudian
dilakukan uji hematologi yaitu pemberian bakteri Aeromonas hydrophila dengan kepadatan 107sel/ml.
Setelah pemberian bakteri, ikan diamati tingkah lakunya dan juga selama 2x24 jam. Ikan yang menunjukkan
gejala kematian, segera diangkat dari akuarium dan diambil darahnya untuk dilakukan uji hematologi.
Parameter fisika dan kimia air yang diukur meliputi suhu, DO, pH dan ammonia.
Analisis Data
Pengaruh pemberian Candida sp. dengan konsentrasi yang berbeda terhadap jumlah leukosit dan
penghitungan leukosit (neutrofil, monosit dan limfosit) serta survival rate (SR) dianalisis dengan menggunakan
analisis varian (ANAVA). Apabila terdapat pengaruh pemberian perlakuan terhadap hasil, maka dilakukan uji
lanjutan dengan menggunakan uji jarak berganda Duncan untuk mengetahui perbedaan dan membandingkan
antara perlakuan satu dengan perlakuan yang lain (Kusriningrum, 2008).
IV. HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN
Leukosit
Data penghitungan jumlah leukosit dapat dilihat pada Tabel dan grafik penghitungan jumlah leukosit
dapat dilihat pada Gambar di bawah ini
Perlakuan
Rata-rata Jumlah Leukosit (sel/ml) ±
SD
A (Kontrol negatif) Pakan
3.738,25 e ± 739,444
B (Kontrol positif)
Pakan + Infeksi Aeromonas hydrophila)
8.999,50 d ± 732,412
C (Pakan + 3 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila)
12.441,00 c ± 905,865
D (Pakan + 5 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila) 19.103,00 a ± 829,961
E (Pakan + 7 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila)
16.107,75 b ± 1605,564
F (Pakan + 9 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila)
11.875,00 c ± 359,398
Keterangan: Superskrip berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05)
𝑆𝑅 % = 𝐼𝑘𝑎𝑛 𝐴𝑤𝑎𝑙
𝐼𝑘𝑎𝑛 𝐴ℎ𝑖𝑟 𝑥 100%
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
70
Gambar. Grafik jumlah leukosit (sel/ml) pada ikan lele dumbo yang diberi perlakuan Candida sp. dengan dosis
yang berbedasetelah di infeksi Aeromanas hydrophila
Hasil analisis varian (ANAVA) jumlah leukosit menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan berupa
pemberian Candida sp.sebagai immunostimulan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap
pengendalian Aeromanas hydrophlla pada ikan lele dumbo (Clarias gariepenus). Hasil analisis varian (ANAVA)
yang berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Hasil pengujian tersebut diketahui bahwa
jumlah leukosit tertinggi diperoleh pada perlakuan D yaitu 19.103,00 ± 829,961 sel/ml yang berbeda nyata
(p<0,05) dengan perlakuan lainnya. Perlakuan E yaitu 16.107,75 ± 1605,564 sel/ml yang berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya (p<0,05). Perlakuan C yaitu 12.441,00 ± 905,865 sel/ml yang tidak berbeda nyata (p>0,05)
dengan perlakuan F yaitu 11.875,00 ± 359,398 sel/ml. Perlakuan B yaitu 8.999,50 ± 732,412 sel/ml yang
berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya (p<0,05). Jumlah leukosit terendah diperoleh pada perlakuan A
(Kontrol negatif) yaitu 3.738,25 ± 739,444 sel/ml yang berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya (p<0,05).
Data pada Tabel dan Gambar menunjukkan bahwa jumlah leukosit pada perlakuan A, B, C dan D terus
meningkat dan menurun pada perlakuan E dan F. Peningkatan jumlah leukosit pada perlakua C adalah 12.441,00
sel/ml. Peningkatan jumlah leukosit D adalah 19.103,00 sel/ml. Pada perlakuan E dan F terjadi penurunan
jumlah leukosit 16.107,75 sel/ml sebesar dan 11.875,00 sel/ml.
Differential Counting Leucocyte
Neutrofil
Data penghitungan jumlah neutrofil dapat dilihat pada Tabel dan grafik penghitungan jumlah neutrofil
dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
Perlakuan Rata-rata Jumlah Neutrofil
(%) ± SD
A (Kontrol negatif)
Pakan 40,75
ab ± 2,50
B (Kontrol positif)
Pakan + Infeksi Aeromonas hydrophila) 41
ab ± 4,00
C (Pakan + 3 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila) 41,25
ab ± 2,50
D (Pakan + 5 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila) 44,5
a ± 1,73
E (Pakan + 7 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila) 40,25
b ± 0,95
F (Pakan + 9 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila) 39,75
b ± 0,95
Keterangan: Superskrip berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05)
3738.25
8999.5
12441
19103
16107.5
11875
0
5000
10000
15000
20000
25000
A B C D E F
Ju
mla
h L
euk
osi
t se
l/m
l
Perlakuan
Jumlah leukosit pada ikan lele dumbo yang diberi perlakuan
Candida sp. dengan dosis yang berbeda setelah di infeksi
Aeromonas hydrophila
Jumlah Leukosit
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
71
Gambar. Grafik jumlah neutrofil (%) pada ikan lele dumbo dengan perlakuan dosis Candida sp. yang berbeda
setelah di infeksi Aeromonas hydrophila
Hasil analisis varian (ANAVA) jumlah neutrofil menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan berupa
pemberian Candida sp.sebagai immunostimulan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap
pengendalian Aeromanas hydrophila pada ikan lele dumbo (Clarias gariepenus). Hasil analisis varian (ANAVA)
yang berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Hasil pengujian tersebut diketahui bahwa
jumlah neutrofil tertinggi diperoleh pada perlakuan D yaitu 44,5 ± 2,50 % yang berbeda nyata (p<0,05) dengan
perlakuan lainnya. Perlakuan A sejumlah 40,75 ± 2,50 % yang tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan B sejumlah
41 ± 4,00 % dan C sejumlah 41,25 ± 2,50 %. Perlakuan E sejumlah 40,25 ± 0,95 % yang tidak berbeda nyata
(p>0,05) dengan F sejumlah 39,75 ± 0,95 % yang merupakan jumlah neutrofil terendah.
Data pada Tabel dan Gambar menunjukkan bahwa jumlah neutrofil pada perlakuan A, B, C dan D terus
meningkat dan menurun pada perlakuan E dan F. Peningkatan jumlah neutrofil pada perlakuan B = 41 %. Pada
perlakuan E dan F terjadi penurunan jumlah neutrofil 40,25% dan 39,75%.
Limfosit
Data penghitungan jumlah limfosit dapat dilihat pada Tabel dan grafik penghitungan jumlah limfosit
dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.
Perlakuan Rata-rata Jumlah Limfosit
(%) ± SD
A (Kontrol negatif)
Pakan
32,75c ± 2,06
B (Kontrol positif)
Pakan + Infeksi Aeromonas hydrophila) 37,75
b ± 0,50
C (Pakan + 3 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila)
40,5a ± 0,57
D (Pakan + 5 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila) 41,25
a ± 0,95
E (Pakan + 7 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila)
37,5 b ± 1,00
F (Pakan + 9 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila)
33,75c ± 2,21
Keterangan: Superskrip berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05)
40.75 41 41.25
44.5
40.2539.75
37
38
39
40
41
42
43
44
45
A B C D E FJu
mla
h N
eutr
ofi
l (s
el/1
00se
l)
Perlakuan
Jumlah neutrofil pada ikan lele dumbo yang diberi dosis
Candida sp. dengan perlakuan yang berbeda setelah di
infeksi Aeromonas hydrophila
Jumlah Neutrofil
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
72
Gambar. Grafik jumlah limfosit (%) pada ikan lele dumbo yang telah diberi dosis Candida sp dengan perlakuan
yang berbeda setelah di infeksi Aeromonas hydrophila
Hasil analisis varian (ANAVA) jumlah limfosit menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan berupa
pemberian Candida sp.sebagai immunostimulan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap
pengendalian Aeromanas hydrophila pada ikan lele dumbo (Clarias gariepenus). Hasil analisis varian (ANAVA)
yang berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Hasil pengujian tersebut diketahui bahwa
jumlah limfosit tertinggi diperoleh pada perlakuan D yaitu 41,25% yang tidak berbeda nyata (p<0,05) dengan
perlakuan C yaitu 40,5%. Perlakuan A sejumlah 32,75% yang tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan F sejumlah
33,75% yang merupakan jumlah limfosit terendah.
Data pada Table dan Gambar menunjukkan bahwa jumlah limfosit pada perlakuan A, B, C dan D terus
meningkat dan menurun pada perlakuan E dan F. Peningkatan jumlah limfosit pada perlakuan B yaitu 37,75%.
Peningkatan jumlah limfosit D sebesar 41,25%. Pada perlakuan E dan F terjadi penurunan jumlah limfosit
sebesar 37,5% dan 33,75%.
Monosit
Data penghitungan jumlah monosit dapat dilihat pada Tabel dan grafik penghitungan jumlah monosit
dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.
Perlakuan Rata-rata Jumlah Monosit (%)
± SD
A (Kontrol negatif)
Pakan 20,25
a ± 3,59
B (Kontrol positif)
Pakan + Infeksi Aeromonas hydrophila) 14,75
b ± 4,57
C (Pakan + 3 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila) 11,25
b ± 2,62
D (Pakan + 5 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila) 6
c ± 2,82
E (Pakan + 7 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila) 15
b ± 2,44
F (Pakan + 9 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila) 21,25
a ± 3,30
Keterangan: Superskrip berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05)
32.7537.75
40.5 41.2537.5
33.75
0
10
20
30
40
50
A B C D E FJu
mla
h L
imfo
sit
(se
l/100se
l)
Perlakuan
Jumlah limfosit pada ikan lele dumbo yang telah diberi dosis
Candida sp. dengan perlakuan yang berbeda setelah di infeksi
Aeromonas hydrophila
Jumlah Limfosit
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
73
Gambar . Grafik jumlah monosit (%) pada ikan lele dumbo yang telah diberi dosis Candida sp.dengan
perlakuan yang berbeda setelah di infeksi Aeromanas hydrophila
Hasil analisis varian (ANAVA) jumlah monosit menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan berupa
pemberian Candida sp.sebagai immunostimulan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap
pengendalian Aeromanas hydrophila pada ikan lele dumbo (Clarias gariepenus). Hasil analisis varian (ANAVA)
yang berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Hasil pengujian tersebut diketahui bahwa
jumlah monosit tertinggi diperoleh pada perlakuan F yaitu 21,25 sel/100sel yang tidak berbeda nyata (p<0,05)
dengan perlakuan A yaitu 20,25%. Perlakuan B yaitu 14,75% yang tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan E yaitu
15% dan perlakuan C yaitu 11,25%. Perlakuan D merupakan jumlah monosit terendah dan berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya.
Data pada Table dan Gambar menunjukkan bahwa jumlah monosit pada perlakuan A, B , C dan D
terus menurun dan meningkat pada perlakuan E dan F). Penurunan jumlah monosit pada perlakuan B yaitu
14,75%. Penurunan monosit D 6%. Pada perlakuan E dan F terjadi peningkatan jumlah monosit 15% dan
21,25%.
Survival Rate (SR)
Data penghitungan Survival Rate (SR) dapat dilihat pada Tabel dan grafik penghitungan Survival Rate
(SR) dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
Perlakuan Rata-rata Survival Rate (%) ±
SD
A (Kontrol negatif)
Pakan 91,66
a ± 16,66
B (Kontrol positif)
Pakan + Infeksi Aeromonas hydrophila) 50,00
b ± 19,24
C (Pakan + 3 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila) 91,66
a ± 16,66
D (Pakan + 5 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila) 100,00
a ± 0,00
E (Pakan + 7 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila) 91,66
a ± 16,66
F (Pakan + 9 % Candida sp./kg pakan + Infeksi
Aeromonas hydrophila) 83,33
a ± 19,24
Keterangan: Superskrip berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05)
20.25
14.75
11.25
6
15
21.25
0
5
10
15
20
25
A B C D E F
Ju
mla
h m
on
osi
t
(sel
/10
0se
l)
Perlakuan
Jumlah monosit pada ikan lele dumbo yang telah diberi dosis
Candida sp. dengan perlakuan yang berbeda setelah di infeksi
Aeromonas hydrophila
Jumlah Monosit
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
74
Gambar. Grafik Survival Rate (%) pada ikan lele dumbo yang telah diberi dosis Candida sp.dengan perlakuan
yang berbeda setelah di infeksi Aeromonas hydrophila
Hasil analisis varian (ANAVA) Survival Rate (SR) menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan
berupa pemberian Candida sp. sebagai immunostimulan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05)
terhadap pengendalian Aeromanas hydrophila pada ikan lele dumbo (Clarias gariepenus). Hasil analisis varian
(ANAVA) yang berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Hasil pengujian tersebut
diketahui bahwa Survival Rate (SR) tertinggi diperoleh pada perlakuan D yaitu 100% yang tidak berbeda nyata
(p<0,05) dengan perlakuan A, C, D, E dan F. Perlakuan terendah adalah perlakuan B yaitu 50% yang berbeda
nyata dengan perlakuan lainnya.
Kualitas Air
Pengukuran suhu air selama penelitian berkisar antara 26,94 – 27,22oC dan pH berkisar antara 7,89 -
8,07. Hasil analisis varian (ANAVA) suhu dan pH menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan berupa
pemberian Candida sp. sebagai immunostimulan non-spesifik memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
(p<0,05) terhadap pengendalian Aeromanas hydrophila pada ikan lele dumbo (Clarias gariepenus).
Rata-rata suhu ± SD Rata-rata pH ± SD
27,08 ± 0,07 7,98 ± 0,04
Pembahasan
Hasil analisis varian (ANAVA) jumlah leukosit menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan berupa
pemberian Candida sp. sebagai immunostimulan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap
pengendalian Aeromanas hydrophila pada ikan lele dumbo (Clarias gariepenus). Zhenming et al. (2006)
menyatakan bahwa Candida sp. memiliki kandungan protein 50% dari berat kering dan mengandung vitamin B
kompleks serta mineral yang bermanfaat sebagai imunostimulan pada hewan laut. Hasil penelitian Siwickia et al.
(1994) menyatakan bahwa Candida sp. memiliki kemampuan sebagai imunostimulan yang dapat mengendalikan
Aeromanas hydrophila. Peningkatan sistem imun pada ikan dapat diketahui berdasarkan peningkatan jumlah
leukosit darah ikan. Hasil penelitian Yasin (2011) menyatakan bahwa kondisi hematologi ikan dapat dijadikan
sebagai acuan tentang kondisi fisiologis ikan yang berkaitan dengan sistem imun. Hal ini disebabkan sebagian
besar komponen sistem imun diperankan oleh sel-sel darah. Beberapa parameter hematologi meliputi leukosit
dan perhitungan leukosit .
Leukosit dikerahkan untuk menghadang benda asing yang masuk ke dalam tubuhnya melalui aliran
darah (Sadikin, 2002). Pendapat ini didukung oleh Fujaya (2004) yang mengatakan, apabila ada benda asing
masuk ke dalam tubuh maka leukosit akan memberikan respon dengan meningkatkan jumlahnya sebagai bentuk
pertahanan tubuh. Dawoud dan Thalib (2011) menyatakan bahwa respon imun akan meningkat dengan cara
mengaktifkan leukosit.
β-glukan yang merupakan komponen struktural utama dinding sel Candida sp (Kogan et al., 1993)
adalah molekul PAMP yang dikenali oleh jenis leukosit baik neutrofil, eosinofil dan monosit (Akramiene et al.,
91.66
50
91.66100
91.6683.33
0
20
40
60
80
100
120
A B C D E F
Su
rviv
al
Rit
e (S
R)
%
Perlakuan
Survival Rate (SR) pada ikan lele dumbo yang telah diberi dosis
Candida sp. dengan perlakuan yang berbeda setelah di infeksi
Aeromonas hydrophila
Survival Rate (SR)
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
75
2004). β-glukan yang berikatan dengan reseptor molekul pada permukaan membran leukosit baik neutrofil,
eosinofil dan monosit akan semakin aktif dalam memfagosit (Ahmad, 2005) dan mencerna patogen dan pada
saat bersamaan sel-sel ini akan mensekresi molekul signai (sitokin) yang akan menstimulasi formasi dari sel
leukosit yang baru (Raa, 2000). Engstand dan Robertsen (1992) menyatakan bahwa pemberian β-glukan dapat
meningkatkan atau menstimulasi aktivitas pertahanan seluler.
Hasil uji jarak berganda Duncan diperoleh bahwa perlakuan perlakuan A (Kontrol negatif) merupakan
perlakuan yang menghasilkan jumlah leukosit terendah. Peningkatan total leukosit dapat digunakan sebagai
suatu tanda adanya fase pertama infeksi dan stress (Anderson, 1992). Shao et al. (2004) menyatakan bahwa
jumlah leukosit ikan Carassius auratus meningkat setelah diinfeksi oleh Aeromonas hydrophila. Perlakuan D
(merupakan dosis terbaik yang menghasilkan jumlah leukosit tertinggi setelah pemberian Candida sp. sebagai
immunostimulan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap pengendalian Aeromanas
hydrophila pada ikan lele dumbo (Clarias gariepenus). Alifuddin, M. (1999) menyatakan bahwa peningkatan
jumlah leukosit terus berlangsung bersamaan dengan meningkatnya dosis pemberian imunostimulan.
Hasil analisis varian (ANAVA) jumlah neutrofil yang berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji jarak
berganda Duncan. Hasil pengujian tersebut diketahui bahwa jumlah neutrofil tertinggi diperoleh pada perlakuan
D. Hal tersebut dikarenakan pada perlakuan tersebut diduga merupakan dosis optimal pemberian Candida sp.
untuk meningkatkan jumlah neutrofil ikan lele dumbo (Clarias gariepenus). Candida sp. mengandung β-glukan
yang dapat berikatan dengan neutrofil. Neutrofil merupakan garis pertahanan terdepan yang mampu bergerak
aktif dan dalam waktu singkat berkumpul dalam jumlah sangat banyak di area radang (Parslow et al., 2003).
Satu neutrofil dapat memfagosit 5-20 bakteri sebelum kemudian tidak aktif. Meningkatnya jumlah neutrofil
dapat diindikasikan adanya infeksi bakteri atau dapat juga karena adanya infeksi viral.
Hasil pengujian jarak berganda Duncan diketahui bahwa jumlah limfosit tertinggi diperoleh pada
perlakuan D yang tidak berbeda nyata (p<0,05) dengan perlakuan C. Hal tersebut dikarenakan pengaruh β-
glukan pada Candida sp. β-glukan yang masuk ke dalam tubuh ikan akan merangsang makrofag untuk
memproduksi interleukin yang akan menggiatkan sel limfosit yang kemudian membelah menjadi limfosit T dan
limfosit B. Limfosit T memproduksi interferon yang menggiatkan kembali makrofag sehingga dapat memakan
dan membunuh banyak bakteri, virus dan partikel asing lainnya. Masuknya glukan akan merangsang makrofag
untuk memproduksi lebih banyak lisozim dan komplemen. Interleukin juga meningkatkan limfosit B yang
terpisah dan menjadi aktif untuk memproduksi antibodi (Liliek, 2006).
Hasil pengujian jarak berganda Duncan diketahui bahwa jumlah monosit tertinggi diperoleh pada
perlakuan F. Menurut Yasin (2011) menyatakan bahwa jumlah monosit dalam darah ikan menunjukkan
penurunan setelah dilakukan infeksi. Hal ini disebabkan telah berubahnya monosit menjadi makrofag (mature
monosit) dan bermigrasi ketempat terjadinya infeksi untuk memfagositosis antigen-antigen dari Aeromanas
hydrophila. Penurunan jumlah monosit setelah infeksi juga terjadi pada ikan nila (Oreochromis niloticus) setelah
diinfeksi bakteri gram negatif lain yaitu Enterococcus sp. (Martins et al.,2009).
Hasil pengujian jarak berganda Duncan dikerahui bahwa Survival Rate (SR) tertinggi diperoleh pada
perlakuan D yang tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan perlakuan A, C, D, E dan F. Hasil tersebut diduga
disebabkan karena kandungan Candida sp. Gatesoupe (2007) menyatakan bahwa Candida sp. memiliki
kemampuan sebagai imunostimulan yang telah diteliti pada ikan raibow trout setelah diinfeksi Aeromonas
hydrophyla. Kemampuan imunostimulan dari Candida sp. berasal dari kandungan β-glucan yang ada pada
Candida sp. tersebut.
Pengamatan paramater penunjang yang berupa kualitas air menunjukkan suhu air media kultur berkisar
antara 26,94 – 27,22oC. Suhu air dalam media pemeliharaan ikan lele dumbo (Clarias gariepenus) ini masih
dalam kondisi baik untuk pertumbuhannya karena menurut pernyataan Kohlmeyer dan Kohlmeyer (1979)
menyatakan, kisaran suhu optimum ikan lele dumbo (Clarias gariepenus) 25-30 oC. Suhu air mempunyai
pengaruh yang besar terhadap proses metabolisme. Kenaikan suhu sampai batas tertentu dapat mempercepat
proses metabolisme (Suriawiria, 1985). Hasil pengukuran pH pada media pemeliharaan ikan lele dumbo (Clarias
gariepenus) selama penelitian adalah 7,91 – 8,07. Bachtiar (2006) menyebutkan bahwa pH yang baik untuk
pemeliharaan ikan lele dumbo (Clarias gariepenus) berkisar antara 6,5 - 8.
V. KESIMPULAN
Pemberian Candida sp. sebagai imunostimulan non-spesifik dalam pakan dapat meningkatkan jumlah
leukosit (neutrofil, monosit dan limfosit) pada ikan lele dumbo (Clarias gariepenus). Hasil analisis varian
(ANAVA) yang berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan dengan jumlah neutrofil tertinggi
diperoleh pada perlakuan D yaitu 44,5 ± 2,50%, jumlah limfosit tertinggi diperoleh pada perlakuan D yaitu
41,25%, dan jumlah monosit tertinggi diperoleh pada perlakuan F yaitu 21,25%. Pemberian Candida sp.sebagai
imunostimulan non-spesifik dalam pakan berpengaruh terhadap Survival Rate (SR) ikan lele dumbo (Clarias
gariepenus) yang di infeksi Aeromonas hydrophila. Pemberian 5 % Candida sp./kg pakan diperoleh Survival
Rate (SR) 100%.
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
76
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut lagi mengenai rekayasa genetika dari Candida sp. sehingga
selain dapat meningkatkan jumlah leukosit dan Survival Rate (SR) juga mampu memperbaiki kualitas
lingkungan, baik kualitas air maupun biota air lainnya yang bermanfaat dalam pemeliharan ikan lele dumbo.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, D. P.1992. Immunostimulants, Adjuvants and Vaccine Carriers in Fish: Applications to Aquaculture.
Ann. Fish. Dis. 3.(No.4) H: 95-112
Bachtiar, Y. 2006. Panduan Lengkap Budidaya Lele Dumbo. Agromedia Pustaka. Jakarta. 102 hal.
Bastiawan, D., Wahid, A., Alifuddin, M., Agustiawan, I. 2001.Gambaran darah Lele Dumbo yang Diinfeksi
Cendawan Aphanomyces spp. Pada pH yang berbeda.J. Penel. Perik. Ind.7 (No.3) Hal : 42-63
Bijanti, R. 2010. Hematologi Ikan - Teknik Pengambilan Darah dan Pemeriksaan Hematologi Ikan. Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya.
Dasilva, S. 2004 Microbial Production of Xylitol from D-Xylose using Candida Tropicalis Bio Prosess
Eng.,10.129-134
Dalimunthe, S. 2006. Penuntun Pratikum Parasit dan Penyakit Ikan Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya
Malang. Hal 25-38.
Ellis, A. E., 1978. The Immunology of Telestoi.Fish Pathology. Robert, R.J. (Ed.). Bailliere Tindall. London. 92
– 104.
Ellis, A. E. 2001. Innate Host Defense Mechanism of Fish Against Viruses and Bacteria. J. Dev. Comp.
Immunol. 25: 827-839.
Engstand, R.E.,B. Roberttsen and E. Frivold, E. 1992. Yeast Glucan Induces Increase in activity of Lysozyme
and Complement-Mediated Haemolytic Activity in Atlantic Salmon Blood. Fish Shellfish Immunol. 2 :
287-297
Hanzen, T.C., C.B. Fliermans, R.P. Hirsch and G.W.Esh, 1987. Prevalence and Distribution of Aeromonas
hydrophila in United States. Apll. Enviromental Microbiol. 36 : 731 – 738.
Jorgensen, J. B., G.J.E. Sharpt, Christoper, J. Secombes and B. Robertsen. 1993. Effect of Yest Cell Wall Glucan
on The Bacterisidal Activity of Rainbow Trout Macrophage. J. Fish. Shellfish Immunol 43 : 177-189
Kabata, Z., 1985. Parasites and Diseases of Fish Cultured in The Tropics. Taylor and Francis. London and
Philadelphia. 318 pages.
Khairuman dan K. Amri. 2005. Budidaya Lele Dumbo Secara Intensif.Agromedia Pustaka. Jakarta.
Kohlmeyer, J and E. Kohlmeyer. 1979. Marine Mycology : The Higher Fungi. Academic Press. New York.
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
77
Pengaruh Penambahan Tepung Ikan Pada Konsentrat Terhadap
Hen Day Production (HDP) Ayam Layer
Nuril Badriyah
*)
*)
Dosen Program Studi Produksi Ternak Universitas Islam Lamongan
Abstrak
Penelitian tentang pengaruh penambahan tepung ikan pada konsentrat terhadap Hen Day
production (HDP) ayam layer ini dilakukan secara eksperimental. Telur sebagai salah satu jenis
komoditi bahan makanan yang mengandung nilai protein yang cukup tinggi tersebut tentunya juga
mengalami peningkatan permintaan pasar, hal ini tentunya membuat akan bermunculan para
peternak peternak ayam petelur baru ataupun peternak ayam petelur yang lama akan
meningkatkan jumlah produksinya untuk memenuhi kebutuhan ketersediaan stock telur di pasar, dan
tentunya dapat mengoptimalisasikan keuntungannya (Anonim, 2005, dalam Mahyudin, 2013).
Dalam pemeliharaan ternak, salah satu faktor penting yang sering dihadapi adalah ketersediaan
pakan yang berkualitas dan kontinyu. Dalam hal ini tepung ikan menjadi salah satu bahan alternatif
untuk subtitusi ransum dalam pakan ayam petelur. Menurut (Darsudi 2011, dalam Martharini, 2013).
Tepung ikan menpunyai kandungan nutrisi sebagai berikut, bahan kering 93% , air 7,00%, abu
17,93%, lemak kasar 6,89%, protein kasar 59,58%, serat kasar 4,48%,. Jadi kualitas tepung ikan di
pengaruhi oleh beberapa hal antara lain bahan baku, proses pengeringan, proses pembuatan tepung
ikan dan penyiapan proses produksi. Penelitian ini dilakukan di peternakan ayam petelur Gunung
Rejo Makmur yang berada di desa Gunung Rejo, Kecamatan Kedung pring, Kabupaten Lamongan
yang merupakan salah satu daerah sentra peternakan ayam layer di Kabupaten Lamongan.
Kata Kunci : Hen Day Production (HDP) , tepung ikan, Pakan Ternak
I. PENDAHULUAN
Perkembangan usaha peternakan di Indonesia memiliki prospek bisnis yang menguntungkan,
karena permintaan selalu bertambah. Telur sebagai salah satu jenis komoditi bahan makanan yang
mengandung nilai protein yang cukup tinggi tersebut tentunya juga mengalami peningkatan
permintaan pasar, hal ini tentunya membuat akan bermunculan para peternak peternak ayam
petelur baru ataupun peternak ayam petelur yang lama akan meningkatkan jumlah produksinya
untuk memenuhi kebutuhan ketersediaan stock telur di pasar, dan tentunya dapat mengoptimalisasikan
keuntungannya (Anonim, 2005, dalam Mahyudin, 2013).
Dalam pemeliharaan ternak, salah satu faktor penting yang sering dihadapi adalah
ketersediaan pakan yang berkualitas dan kontinyu. Tepung ikan menpunyai kandungan nutrisi sebagai
berikut, bahan kering 93% , air 7,00%, abu 17,93%, lemak kasar 6,89%, protein kasar 59,58%, serat
kasar 4,48%,. Syarat mutlak dari bahan baku ransum ialah tidak mengandung rancun (toksik) yang
dapat mengganggu kesehatan dan produktivitas ayam. Zat anti nutrisi pada pakan seringkali menjadi
faktor penghambat dalam pemakaian bahan baku alternatif. Jenis zat anti nutrisi yang terdapat dalam
bahan baku tepung ikan adalah Gizzerosine dan histamine. Perkembangan teknologi pakan, bisa
ditekan atau bahkan beberapa dapat dihilangkan permasalahan anti nutrisi ini. Teknologi yang biasa
biologi lainnya (Anonim, 2008, dalam Martharini, 2013). Jadi kualitas tepung ikan di pengaruhi oleh
beberapa hal antara lain bahan baku, proses pengeringan, proses pembuatan tepung ikan dan
penyiapan proses produksi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh penambahan
tepung ikan pada konsentrat terhadap Hen Day Production (HDP) ayam layer. Penelitian ini
dilakukan di peternakan ayam petelur Gunung Rejo Makmur yang berada di desa Gunung Rejo,
Kecamatan Kedung pring, Kabupaten Lamongan yang merupakan salah satu daerah sentra peternakan
ayam layer di Kabupaten Lamongan. Adapun waktu pelaksanaannya yakni dimulai tanggal 26 Juni
2013 sampai 9 Juli 2013.
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
78
II. METODOLOGI
Waktu dan Lokasi Kegiatan
Penelitian ini dilakukan di peternakan ayam petelur Gunung Rejo Makmur yang berada di
desa Gunung Rejo, Kecamatan Kedung pring, Kabupaten Lamongan yang merupakan salah satu
daerah sentra peternakan ayam layer di Kabupaten Lamongan. Adapun waktu pelaksanaannya yakni
dimulai tanggal 26 Juni 2013 sampai 9 Juli 2013.
Metode
Penelitian tentang pengaruh penambahan tepung ikan pada konsentrat terhadap Hen Day
production (HDP) ayam layer ini dilakukan secara eksperimental.
Analisis Data
Dari data pencatatan hasil produksi telur ayam layer yang di peroleh selama 14 hari akan di
lakukan analisis data menggunakan statistik parametris yaitu t-test (Sugiyono, 2010)
t = 𝑋1 −𝑋2
𝑆1𝑁1
2+𝑆
𝑁2
2−2𝑟
𝑆1
𝑁1
𝑆2
𝑁2
Keterangan :
𝑥 = Rata-rata sampel 1
𝑥 = Rata-rata sampel 2
S1 = Simpangan baku sampel 1
S2 = Simpangan baku sampel 2
𝑆12 = Varians sampel 1
𝑆22 = Varians sampel 2
r = Korelasi antara dua sampel
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Tempat Penelitian
Keadaan Wilayah
Pelaksanaan Penelitian ini dilakukan pada tanggal 26 Juni sampai dengan 9 Juli 2014 dengan lokasi
penelitian yakni di peternakan ayam petelur GUNUNG REJO MAKMUR I dengan populasi ayam
30.000 ekor yang berada di desa Gunung Rejo, Kecamatan Kedungpring, Kabupaten Lamongan. Desa
Gunungrejo merupakan salah satu wilayah Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan Jawa
Timur yang terletak di lereng Gunung Pegat yang merupakan daerah pegunungan kapur. Berbatasan
dengan
Sebelah utara : Desa Puncak Wangi Kec.Babat Lamongan
Sebelah barat : Desa Nguwok Kec.Modo Lamongan
Sebelah selatan : Desa Mojodadi dan Desa Jatirejo Kec.Kedungpring kab.Lamongan
Sebelah timur : Desa Kradenan Rejo Kec.Kedungpring Lamongan
(Sumber: Profil Peternakan Gunung Rejo Makmur)
Penduduk dan Mata Pencaharian
Penduduk Desa Gunungrejo sebagan besar hidup dengan mata pencaharian bertani dan beternak. Desa
ini adalah salah satu daerah sentra produksi padi dan jagung di Kabupaten Lamongan, sebagai salah
satu produsen beras tentunya di desa ini tersedia banyak limbah pengolahan beras yang berupa dedak
padi dan jagung yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan pakan ayam petelur. (Sumber:
Profil Peternakan Gunung Rejo Makmur)
Analisis Proximat Pakan
berdasarkan Analisis Proximat Pakan yang di lakukan dengan menggunakan metode uji AOAC dan
SNI maka di dapatkan hasil seperti pada Tabel 3.
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
79
Tabel 3. Analisa Proximat Ransum Pakan
Sumber : Laboratorium Universitas Airlangga Surabaya (2013), Pada Tanggal 02-07-2013
Tabel 4. Analisa Proximat Pakan Tepung Ikan
No Sampel Hasil analisis %
Abu Protein kasar
1 Tepung ikan 31.6406 31.928
Sumber : Laboratorium Universitas Airlangga Surabaya (2013), dan Analisa Proximat dilakukan setelah selesai
penelitian pada tanggal, 07-08-2013.
Berdasarkan analisa proximat pakan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa ransum pakan 1
(tanpa campuran tepung ikan) mempunyai protein lebih tinggi dibandingkan ransum pakan 2 (dengan
campuran tepung ikan 2%). Hal ini sebabkan karena kualitas tepung ikan yang kurang baik . Hal ini
sesuai dengan pendapat boniran (1999) dalam Sitompul, (2004) mengatakan bahwa tepung ikan yang
baik memiliki kandungan protein 58-68%. Sedangkan pada Tabel 4 menunjukkan kandungan protein
tepung ikan adalah 31.928 %. Hal ini disebabkan karena pengaruh kondisi dan lamanya penyimpanan
karena hal itu dapat mempengaruhi kandungan histamin dalam tepung ikan. Kandungan histamin
yang tinggi pada tepung ikan dapat berpengaruh terhadap kualitas tepung ikan, yang dapat berakibat
pada penurunan kualitas telur ayam. Oleh karena itu sebelum digunakan diupayakan untuk
difermentasi terlebih dahulu menggunakan isolat produser antihistamin (Iriyanti dkk., (2008) dalam E.
Tugiyanti Dan N. Iriyanti, (Tanpa tahun) di sisi lain kandungan abu pada tepung ikan sampel adalah
31,6406 %, hal ini sangat berbeda jauh jika di bandingkan dengan hasil proximat pakan tepung ikan
Darsudi, (2011) dalam Martharini, (2013 ). yang menyatakan kandungan abu pada tepung ikan adalah
17,93%. Besarnya kandungan abu ini dikarenakan komposisi bahan baku tepung ikan lebih banyak
dari kepala ikan, Hal ini dikarenakan kepala ikan lebih banyak mengandung tulang sehingga sesuai
dengan Moeljono (1982) yang menyatakan bahwa sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan
berasal dari tulang-tulang ikan. Pada tepung badan ikan, tulang hanya berasal dari tulang tengah ikan
saja sehingga kandungan abu pada tepung badan adalah lebih rendah.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Pakan, Hen Day Production, Egg Mass.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap ayam petelur umur 26-27 minggu, diperoleh hasil
pengaruh dari penambahan tepung ikan terhadap konsumsi pakan, Hen Day Production, egg mass,
yang dapat dilihat pada Tabel 5. Konsumsi Pakan, Tabel 6. Hen Day Production , dan Tabel 7. Egg
Mass.
Konsumsi Pakan
Tabel 5. Konsumsi Pakan
Perlakuan Konsumsi pakan
(gram)
t- test Keterangan
t- hitung t- tabel
P0 128,5 ± 0,52 5,507 2,056 H0 di tolak
P1 127,36 ± 0,5
Sumber : Data primer, diolah (2013)
Dari hasil analisa statistik, Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa t hitung lebih besar dari t tabel,
( 5,507 > 2,056 ) yang berarti H0 di tolak, yaitu pemberian tepung ikan 2 % pada ransum pakan ayam
petelur berpengaruh terhadap penurunan konsumsi pakan ayam, dengan selisih konsumsi pakan antara
ransum pakan P0 dan P1 adalah 1,14 gram Hal ini disebabkan karena adanya rasa pahit karena pecahan
tulang dari tepung ikan. Karena faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan yaitu bentuk fisik pakan,
N0 Sampel
Hasil analisis %
Bahan
kering Abu
Protein
kasar
Lemak
kasar
Serat
kasar Ca BETN
ME(kcal/k
g)
1 Pakan 1 89,370 12,481 15,472 5,878 8,663 4,356 46,877 2683,75
2 Pakan 2 89,729 15,001 14,988 3,318 8,079 4,141 48,343 2535,99
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
80
bobot badan, kecepatan pertumbuhan, kandungan zat makanan dalam pakan dan lingkungan tempat
pemeliharaan (Davies, 1982 , dalam, Cahyanti, 2008).
Scott et al. (1992), dalam Cahyanti, (2008), Menyatakan bahwa pakan yang diberikan pada
ayam petelur disamping harus memenuhi faktor kualitas dan kuantitas, juga harus seimbang dan
sempurna. Pakan seimbang adalah kombinasi dari beberapa bahan pakan untuk ternak dalam
perbandingan dan jumlah tertentu yang menyebabkan fungsi fisiologis dalam tubuh dapat berjalan
normal Parakasi, (1983) dalam Cahyanti, ( 2008).
Hen Day Production Tabel 6. Hen Day Production
Perlakuan Hen day
production (%)
t- test Keterangan
t- hitung t- tabel
P0 87,93 ± 2,92 8,35 2,056 H0 di tolak
P1 78,57 ± 2,98
Sumber : Data primer, diolah (2013)
Dari hasil analisa statistik, Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa t hitung lebih besar dari t
tabel ( 8,35 > 2,056 ) yang berarti H0 di tolak, yaitu pemberian tepung ikan 2 % pada ransum pakan
ayam petelur berpengaruh terhadap penurunan Hen Day Production ayam petelur. Dengan selisih hen
day production antara ransum pakan P0 dan P1 adalah 9,36 %. Hal ini di sebabkan karena menurunya
konsumsi pakan dan rendahnya kandungan protein pada pakan ayam petelur yang menggunakan
campuran tepung ikan. Jumlah pakan yang dikonsumsi berpengaruh terhadap jumlah konsumsi protein
dan energi dalam pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Scott et al., (1992) dalam Kusumawardani,
(2008) menyatakan bahwa tinggi rendahnya konsumsi protein dan energi secara fisiologis berpengaruh
terhadap jumlah telur yang dihasilkan.
Egg Mass Tabel 7. Egg Mass
Perlakuan Berat telur
(gram)
t- test Keterangan
t- hitung t- tabel
P0 59 ± 3,30 -0,034 2,056 H0 di terima
P1 59,43 ± 1,65
Sumber : Data primer, diolah (2013)
Dari hasil analisa statistik, Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa t hitung lebih kecil dari t
tabel, ( -0,034 < 2,056 ) yang berarti H0 di terima, yaitu pemberian tepung ikan 2 % pada ransum
pakan ayam petelur tidak berpengaruh terhadap Egg Mass ayam petelur. Dengan selisih egg mass
antara ransum pakan P0 dan P1 adalah 0,43 gram. Hal ini disebabkan karena jumlah kalsium yang
kurang lebih sama dari 2 ransum yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Chowdhury dan
Smitd (2002), Oderkirk (2001) rahayu dan Ahmad, Yadalam dan Roland (2003) ; dalam Pujiwati
rahayu, dkk), (Tanpa tahun). Peningkatan kandungan kalsium dalam pakan lebih efektif untuk
meningkatkan konsumsi pakan sehingga mengoptimalkan produksi telur dan berat telur. Egg mass
merupakan rataan berat telur harian sehingga persentase produksi telur akan mempengaruhi egg mass.
Egg mass dipengaruhi oleh produksi dan berat telur, jika salah satu atau kedua faktor semakin tinggi
maka egg mass juga semakin meningkat dan sebaliknya. Cath et al. (2012) ; dalam Pujiwati rahayu,
dkk, (Tanpa tahun). Menyatakan bahwa sesuai dengan tingkat tingginya produksi telur dan berat telur,
maka masa telur juga akan tinggi dan sebaliknya. Pendapat lain yaitu Wahju (1997) yang menyatakan
bahwa berat telur ditentukan oleh banyak faktor antara lain genetik, dewasa kelamin, umur, beberapa
obat-obatan dan beberapa zat makanan dalam ransum
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
81
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa statistik uji t-tes maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada perlakuan P0
(Pakan tanpa campuran tepung ikan) dan P1 (pakan dengan campuran tepung ikan 2%) . menunjukkan
(1). Konsumsi Pakan, t hitung lebih besar dari t tabel, ( 5,507 > 2,056 ), yang berarti adanya pengaruh
negatif pada pakan yang di campuri tepung ikan 2 % karena terjadi penurunan konsumsi pakan sebesar
1,14 gram ,(2). Hen Day Production, t hitung lebih besar dari t tabel, ( 8,35 > 2,056 ), yang berarti
adanya pengaruh negatif pada pakan yang di campuri tepung ikan 2 % karena terjadi penurunan Hen
Day Production sebesar 9,36 % dan (3). Egg mass, t hitung lebih kecil dari t tabel, ( -0,034 <
2,056 ) yang berarti tidak ada pengaruh Egg Mass pada pakan yang campuri tepung ikan 2 %.
REFERENSI
Bai’ad Muh.Sahlan, 2012. Skripsi. Pengaruh Bobot Badan Pada Fase Grower Terhadap Produksi Telur
Saat Ayam Memasuki Fase Layer. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Boniran, S. Quality control untuk bahanbaku produk akhir ternak. Kumpulan makalah feed Quality
managemen workshop America soybean association dan balai penelitian ternak
Cahyanti Maylia, 2008 , Skripsi. Pengaruh Penambahan Biolife Dalam Pakan Terhadap Penampilan
Produksi Ayam Petelur. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas
Brahwijaya Malang.
E. Tugiyanti Dan N. Iriyanti. Jurnal aplikasi teknonologi pangan. Kualitas Eksternal Telur Ayam
Petelur Yang Mendapat Ransum Dengan Penambahan Tepung Ikan Fermentasi Menggunakan
Isolat Produser Antihistamin
Fatoni, Rahmadi Imam, 2008. Skripsi. Manajemen Pemeliharaan Ayam Petelur di Peternakan Dony
Fam Kabupaten Magelang. Program Diploma III Agribisnis Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret.
Gunung Rejo Makmur. 2008. Profil Peternakan Gunung Rejo Makmur.
Kusumawardani Sendy Deka. 2008. Skripsi. Pengaruh Penambahan Tepung Buah Mengkudu Dalam
Pakan Terhadap Penampilan Produksi Ayam Petelur. Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya, Malang 2008
Laboratorium Universitas Airlangga Surabaya. 2013. Analisa Proximat Pakan
Mahyuddin. 2013. Skripsi . Analisis Pendapatan Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur Pada Fase
Pemeliharaan Starter Grower Dan Layer Di Kecamatan Mattirobulu Kabupaten Pinrang
.Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar
Martharini, Dwitiya 2013. Analisa Proximat Tepung Ikan. http://dwitiya-
martharini.blog.ugm.ac.id/2012/08/13/analisis-proksimat-tepung-ikan/. Di akses pada tanggal
20 juni 2013
Moeljono, R. 1982. Pengoahan hasil hasil sampingan Ikan. Penebar Swadaya.
Jakarta
Pujiwati rahayu, woro busono, dan osfar sjofjan. Efek penggunaan beberapa sumber kalsium dalam
pakan terhadap penampilan produksi ayam petelur. Universitas brahwijaya malang.
Rose.2011.Klasifikasiayam.http://eprints.uny.ac.id/8396/3/BAB2%20_05308141038.
Pdf. Di akses pada tanggal 18 agustus 2013.
Sitompul Saulina. 2004. Analisis Asam Amino Dalam Tepung Ikan dan Bungkil Kedelai. Buletin
teknik pertanian vol 9, nomer 1. 2004.
Sudarmono, 2009. Praktikum Produksi Dan Berat Telur Pada Awal Siklus Pertama .Laboratorium
Produksi Ternak Unggas Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 90245.
Sugiyono. 2010. Buku Statistik Untuk Penelitian ; ALFABETA, cv.Bandung
Sumarno, 2009. Skripsi. Manajemen Pemeliharaan Ayam Petelur PT Sari Unggas Farm di Kabupaten
Sragen Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret surakarta
Wahju, R. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
82
Tipo-Morfologi Pola Spasial Berdasarkan Kekerabatan
Di Desa Ngadas, Tengger
Hammam Rofiqi Agustapraja
*) Dosen Program Studi teknik Sipil Universitas Islam Lamongan Email : [email protected]
Abstrak Pembentukan pola pemukiman dalam arsitektur sangat di pengaruhi oleh kondisi sosio-budaya masyarakatnya,
termasuk juga Desa Ngadas. Pemukiman ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Tengger, yang masih memiliki
kekerabatan antara penduduk satu sama lain, sehingga terbentuk sebuah kelompok-kelompok keluarga.
Kelompok-kelompok keluarga tersebut membentuk pola pemukiman pada masing-masing kelompok hunian
yang secara bersama-sama membentuk pola spasial dalam skala makro (desa).
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan tujuan untuk mendeskripsikan
dan sekaligus memahami fenomena pola spasial Desa Ngadas sebagai perwujudan hubungan kekerabatan.
Hasil analisa menunjukkan sistem kekerabatan berpengaruh terhadap pemanfaatan lahan serta pembentukan
spasial yang ada di dalamnya. Sistem kekerabatan sangat mempengaruhi pembentukan spasial dengan
memperhatikan prinsip-prinsip efektifitas ruang dimana kemudahan akses, keterbukaan ruang pandang, serta
konfigurasi ruang dalam suatu kelompik hunian dapat tercipta dengan baik.
Kata Kunci : Pola Spasial, Sistem kekerabatan, kelompok hunian
PENDAHULUAN
Desa Ngadas terletak di Kecamatan Poncokusumo kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur. Masyarakat di
Desa Ngadas Merupakan satu-satunya Suku Tengger yang berada di kawasan kabupaten Malang. Wilayah Desa
tersebut terletak dikawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, yang berada pada ketinggian 2000 meter
diatas permukaan laut. Jarak Desa Ngadas dan lautan pasir Gunung Bromo ± 12 km.
Desa Ngadas terbentuk pada tahun 1794, dan hingga saat ini, masyarakat Ngadas merupakan masyarakat
yang terisolir dari akses dan hubungan dengan desa lain. Sehingga rasa kesetempatan yang dimiliki membentuk
sebuah sistem kekerabatan yang terbentuk atas dasar kesaman teritori.
Permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena dalam menjalankan segala bentuk
aktivitasnya, manusia membutuhkan suatu tempat bernaung dan melindungi dirinya dari berbagai ancaman
bahaya seperti hujan, angin dan bahaya lain yang dapat muncul sewaktu-waktu. Menurut Dwi Ari & Antariksa
(2005: 78)
Terbentuknya lingkungan permukiman dimungkinkan karena adanya proses pembentukan hunian sebagai
wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktivitas manusia serta pengaruh setting rona lingkungan, baik yang
bersifat fisik maupun yang bersifat non fisik (sosial-budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan
dan proses pewadahanya (Rapoport; 1990 dalam Nuraini; 2004 : 11)
Selain itu bagi masyarakat Tengger khususnya di Desa Ngadas, sistem perkawinan umumnya bersifat
endogami dengan tujuan mempertahankan etnis Tengger sehingga pada aspek sosial-budaya yang ada khususnya
Desa
Nga
das
Gambar 1:Lokasi Desa Ngadas,
Sumber : Bale Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
83
pada sistem kekerabatan, masyarakat Ngadas mengenal adanya tiga macam bentuk kekerabatan yang terdiri dari
keluarga inti disebut Sa‘omah. Keluarga majemuk disebut Sa‘dulur dan kelompok kekerabatan terbesar yang
disebut Wong Tengger. Faktor sosial-budaya pada aspek hubungan kekerabatan yang ada di Desa Ngadas sangat
mempengaruhi pembentukan pola spasial mikro dan makro (desa).
Mereka juga membagi wilayah desa menjadi kepala (tempat suci:kuil), badan (tempat social: makam, balai desa,
sekolah), kaki (pemukiman)
Berdasarkan isu-isu tersebut, penelitian dilakukan dengan metode kualitatif deskriptif dengan mengobservasi
objek permukiman yang ada di Desa Ngadas, beradasarkan atas Elemen Pola Spasial, Elemen pola spasial
dalam suatu lingkungan binaan terdiri dari faktor internal yang berupa kondisi fisik serta fator eksternal yang
merupakan kondisi non fisik yang melatar belakangi terbentuknya kondisi fisik dari suatu pola spasial. Menurut
Ronald (2005 : 136) menyatkan bahwa aspek–aspek spasial pada hunian terdiri dari: arah (orientation), letak
(setting), tingkatan (hierarchy), keterbukaan (transparancy), dan besaran ruang (size). Sedangkan menurut
Sasongko (2005:2) menyatakan bahwa struktur spasial pada permukiman digambarkan melalui
pengidentifikasian tempat dan batas sebagai komponen utama, selanjutnya diorientasikan melalui jaringan jalan
atau lintasan dan hirarki.
Penelitian Deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai
fakta-fakta dan sifat-sifat pada objek kajian. Penelitian ini adalah penelitian secara kualitatif deskriptif yang
bersifat deduktif dimana tujuan dari penelitian ini dipahami dalam membuktikan suatu teori tertentu, serta
menemukan pola-pola yang mungkin dapat dikembangkan menjadi suatu teori berdasarkan data yang
dikumpulkan. (Nasution, 1988:11)
Pola Spasial Pada Kelompok Hunian
Pada kelompok hunian yang terbentuk sebagai perwujudan adanya hubungan kekerabatan di Desa
Ngadas, kelompok hunian didirikan pada lokasi dengan kondisi awal merupakan tanah ladang atau pekarangan
rumah. Rumah pertama didirikan pada lapisan pertama yang berada di tepi jalan. Perkembangan bangunan pada
lapis pertama dengan latar belakang tanah yang digunakan ialah tanah ladang, bangunan yang berada di tepi
jalan utama akan berkembang dari kanan ke kiri. Hunian paling kanan merupakan milik dari keluarga paling tua
atau biasanya urutan hunian dari kanan ke kiri disesuaikan dengan urutan dalam melangsungkan pernikahan.
Perkembangan bangunan pada lapis pertama akan dilakukan hingga batas paling kiri dari lahan yang sudah
disepakati sebelumnya.
Perkembangan selanjutnya yang terjadi pada bangunan yang didirikan pada lapis kedua akan mengarah
kebelakang membentuk pola grid hingga batas paling belakang dari setiap kelompok hunian. Perkembangan
kebelakang akan berlangsung dengan bertambahnya generasi pada setiap keluarga. Orang tua yang pada
mulanya menempati hunian pada lapis pertama akan membangun rumah baru pada pekarangan di belakang
rumah setelah salah satu anaknya menikah. Anak yang sudah menikah akan menempati hunian lama milik orang
tuanya yang berada pada lapis pertama, sedangkan orang tua akan menempati hunian baru yang berada pada
lapis kedua.
Letak bangunan milik keluarga lain dalam satu kelompok hunian akan berada di lapisan belakang.
Adanya hunian keluarga lain dalam satu kelompok hunian dikarenakan faktor ekonomi, dimana pada kelompok
Badan ( Bangunan Sosial)
Kaki ( Permukiman ) Kepala ( Bangunan Suci)
Gambar 2: Pembagian Zona Desa
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
84
hunian dengan kondisi ekonomi menengah kebawah biasanya akan menjual sebagian tanah pekarangan
belakang rumah kepada kerabat atau keluarga lain.
Pada kelompok hunian yang terbentuk sebagai perwujudan adanya hubungan kekerabatan dengan latar
belakang keluarga kaya, biasanya akan memiliki tanah pekarangan yang cukup luas. Sehingga pada
perkembangan bangunan yang didirikan di pekarangan belakang akan memiliki besaran ruang yang cukup
longgar. Serta memiliki jarak pandang yang cukup luas terhadap bangunan yang berada di lapisan pertama.
Antara bangunan pada lapis pertama dan bangunan pada lapis kedua terdapat ruang antara yang digunakan
kelompok keluarga sebagai jalur sirkulasi menuju hunian anggota kelompok keluarga yang lain. Ruang antara
juga dibuat dengan mempertimbangkan keleluasaan jarak pandang hunian pada lapis kedua terhadap bangunan
yang berada pada lapis pertama. Semakin luas pekarangan yang yang ada, tidak menentukan besaran ruang
antara yang digunakan. Bangunan yang didirikan pada lapisan kedua akan membentuk ruang antara dengan
mempertimbangkan kemudahan akses serta untuk menciptakan kesinambungan ruang yang cukup dekat dengan
ruang-ruang pada bangunan yang berada di lapisan pertama. Ruang antara ini terbentuk sebagai perwujudan
hubungan kekerabatan yang dimiliki. Pertimbangan untuk kemudahan akses serta kebutuhan akan keterbukaan
jarak pandang antar bangunan dalam satu kelompok hunian sangat diperhatikan dalam membentuk ruang antara
yang mempertimbangkan prinsip efektifitas. Pada pekarangan yang berada di belakang rumah tidak terdapat
pembatas antara milik keluarga satu dengan keluarga yang lain dalam satu kelompok hunian.
Bangunan yang berada pada lapis pertama memiliki teras rumah yang memberikan jarak antara ruang
tamu dengan jalan utama desa. Kondisi awal teras yang ada tidak terdapat pagar pembatas dengan jalan utama
dibentuk dengan batas bawah merupakan tanah tanpa adanya material penutup, serta tidak terdapat pembatas
yang jelas antara teras hunian satu dengan yang lainya dalam satu deretan rumah yang terbentuk dengan adanya
hubungan kekerabatan. Masyarakat menjunjung tinggi nilai kesetempatan yang dimiliki, akibat adanya
anggapan bahwa masyarakat di Desa Ngadas merasa berasal dari nenek moyang yang sama. Pada
perkembanganya, pagar pembatas jalan utama desa dengan teras rumah mulai dibangun oleh masyarakat di Desa
Ngadas pada tahun 1993. Akses menuju desa-desa di sekitar Desa Ngadas mulai dibuka dengan melakukan
pelebaran jalan serta memberikan fasilitas yang lebih baik. Jalur utama desa ngadas digunakan sebagai jalur
utama kendaraan yang melintasi desa tersebut. Sehingga masyarakat mulai membuat pagar pembatas rumah
dengan jalan utama desa. Penggunaan pagar lebih dikarenakan faktor kenyamanan dan keamanan penghuni
bangunan yang berada di tepi jalan utama. Meskipun demikian pagar yang digunakan memiliki ketinggian
maksimal 120 cm serta dibuat dari bahan dan bentuk yang tidak mengurangi optimalisasi jarak pandang
bangunan dari lingkungan sekitarnya.
Teras bersambung yang terbentuk sebagai perwujudan hubungan kekerabatan berfungsi sebagai ruang untuk
bersosialisasi antar anggota keluarga dalam kelompok hunian maupun dengan tetangga.
Gambar 3 : generasi tertua di A, berikutnya sampai C
Kerabat tertua di 1, berikutnya sampai 3
a
b c
1 2 3
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
85
Kelompok hunian yang terbentuk akan memiliki batas bagian paling depan lahan ialah pagar pembatas
dengan jalan utama atau kontur yang sedikit menurun, sehingga pada bangunan yang terletak pada kontur yang
lebih tinggi dari jalan utama biasanya tidak digunakan pagar pembatas dengan jalan utama. Batas bagian paling
belakang meupakan kontur merurun yang sudah dibentuk menggunakan dinding penahan. Batas samping setiap
kelompok hunian adalah ruas gang dan dinding milik kelompok keluarga lain.
Pada hunian yang tebentuk sebagai perwujudan hubungan kekerabatan, bangunan yang ada dalam suatu
kelompok hunian akan memiliki arah orientasi bangunan menuju jalan utama. Bangunan yang terletak pada lapis
kedua dan ketiga yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan kelompok besar di lingkungannya atau
masih merupakan keturunan dari pemilik hunian yang berada di lapis pertama akan memilki arah orientasi
menuju bangunan yang berada pada lapis pertama, sedangkan bangunan pada lapis kedua dan ketiga milik
kelurga lain orientasi bangunan akan menuju ruas gang yang menghubuangkan unit hunian tersebut dengan jalan
utama desa.
Jaringan jalan yang terbentuk merupakan penentu arah orientasi bangunan yang ada dibagian tepi maupun
bangunan yang berada pada lapis kedua dan ketiga. Secara umum pola jaringan jalan yang terbentuk akan
membentuk pola grid. pada bangunan yang berada di lapis pertama terdapat jaringan jalan yang tegak lurus
dengan bangunan tesebut. Bagian depan bangunan di lapisan kedua dan ketiga akan membentuk ruang antara
yang berfungsi sebagai jaringan jalan sekunder yang letaknya sejajar dengan jalan utama desa. Ruas jalan yang
terbentuk akan digunakan penghuni antar bangunan yang berada di lapis kedua dan ketiga menuju lingkungan
hunian kerabatnya. Jaringan sirkulasi kedua yang terbentuk ialah ruas-ruas gang yang antar bangunan, ruas gang
ini terbentuk tegak lurus dengan jalan utana desa. hunian yang berada di lapis kedua dan ketiga akan
menggunakan jalur sirkulasi ini sebagai jaringan jalan yang menghubungkan antara jalan utama dengan unit
hunian tersebut.
Bangunan yang sudah menglami perkembangan dengan memberikan pagar pembatas dengan jalan utama
akan terbentuk akses masuk yang digunakan secara bersama-sama melaui pintu pagar, meskipun demikian
bangunan di tepi jalan utama tersebut akan tetap memberikan kemudahan akses bagi penghuni bangunan di lapis
kedua dan ketiga agar tetap dapat memanfaatkan ruas gang yang berada di samping rumah.
Pada hunian yang tebentuk sebagai perwujudan hubungan kekerabatan, bangunan yang ada dalam suatu
kelompok hunian akan memiliki tiga tingkatan (hierarchy). Tingkat pertama merupakan unit-unit rumah yang
ada pada kelompok hunian (keluarga sa’omah) tergolong dalam tingkatan hierarchy privat. Sedangkan teras
rumah dan pekarangan yang ada di bagian belakang rumah dimanfaatkan secara bersama antar penghuni yang
ada dalam kelompok hunian ini tergolong kedalam tingkatan (hierarchy) semi privat. Dan yang terakhir ialah
ruas jalan utama serta lingkungan luar dengan batas tetangga atau orang lain (tangga-teparo) tergolong kedalam
tingkatan (hierarchy) publik.
Pola Spasial Pada Unit Hunian Hunian
Jenis ruang yang selalu ditemui pada unit hunian yang ada di Desa Ngadas ialah ruang tamu, kamar tidur
dan dapur. Tiga ruangan tersebut merupakan ruang minimal yang ada dalam satu unit hunian. Sehingga ketiga
ruang tersebut merupakan ruang utama yang ada dalam satu unit rumah tinggal. Rumah dengan ruang-ruang
utama ruang tamu – kamar – dapur merupakan upaya untuk memenuhi fungsi dasar rumah, seperti yang di
ungkapkan oleh Tjahjono ( 1992)
Ruang tamu merupakan ruang yang menghubungkan antara ruang luar yang berupa teras dan jaringan
jalan melalui bukaan pintu dan jendela. Ruang tamu merupakan ruang utama yang berfungsi sebagai tempat
menerima tamu yang bukan tergolong kerabat atau tetangga. Ruang tamu juga berfungsi sebagai tempat
berkumpul apabila luasan dapur terlalu kecil, sehingga dalam unit rumah tinggal ruang ini diupayakan ada.
Kondisi ini lebih dikarenakan fungsi ruang tamu yang fleksibel untuk berbagai keperluan yang ada. Fungsi ruang
tamu dapat berubah menjadi ruang berkumpul, ruang tidur anggota kerabat, atau fungsi yang lainya saat
diadakan acara pernikahan atau selamatan.
Gambar 4 : Pemanfaatan Pagar Sebagai
Elemen Pembatas Dengan Jalan utama Gambar 5 : Pemanfaatan Teras
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
86
Dapur pada unit hunian di Desa Ngadas juga merupakan ruang utama. Dapur yang ada pada setiap unit
hunian memiliki hubungan langsung dengan ruang luar yang berupa ruang antar huian yang berfungsi sebagai
jalur sirkulasi, ruang ini dihubungkan dengan adanya bukaan pintu dapur. Dapur memiliki fungsi yang paling
kompleks dibandingkan dengan ruang yang lainya. Dengan adanya kompleksitas fungsi ruang dapur, secara
umum dapur yang ada pada unit hunian di Desa Ngadas berukuran luas (lebih besar dari ruang tamu). Sebagai
perwujudan hubungan kekerabatan yang ada terhadap keberadaan ruang dapur. Bagi hunian yang memiliki
ukuran dapur yang luas kegiatan berkumpul dilakukan di dapur. Fungsi dapur selain sebagai tempat memasak
juga berfungsi sebagai tempat berkumpul antar anggota keluarga, antar anggota dalam kelompok kerabat, dan
ruang untuk menerima tamu yang masih tergolong kerabat atau tetangga (warga Desa Ngadas).
Pada hunian dengan latar belakang tanah atau pekarangan yang luas, ruang-ruang yang ada akan
memiliki pola yang simetris serta dapur dibagian belakang letaknya terpisah dengan bangunan inti yang ada di
bagian depan. Pola ini ditunjukan pada sampel keluarga milik Ibu marmi, milik Ibu sariti dan Bapak Muladi.
Bangunan bagian belakang pada mulanya ialah bangunan dapur yang pada perkembanganya mengalami
renovasi dan menjadi hunian milik orang tua saat terjadi perpindahan kepemilikan. Bangunan depan memiliki
pola ruang yang simetri dengan membagi ruang-ruang yang sama besar antara bagian kanan dan kiri. Bentuk
ruang yang simetris merupakan perwujudan sistem kekerabatan terhadap ruang-ruang yang ada pada unit hunian.
Dengan adanya pola ruang yang berbentuk simetris, saat bangunan depan diwariskan kepada dua anak yang
sudah menikah masing-masing akan mendapatkan bagian yang sama besar.
Pada bangunan yang berbentuk simetris, digunakan elemen yang bersifat semi permanen sebagai
pembatas antar ruang kanan dan kiri. Elemen pembatas ini dapat berupa bukaan yang berupa pintu dan jendela
atau dinding semi permanen yang dibuat dari bahan multipleks. Keinginan untuk tetap tinggal berdekatan dengan
anggota keluarga yang lain membentuk pola ruang yang simetris dengan pembatas ruang kanan dan kiri berupa
elemen semi permanen.
Fungsi pembatas ruang dengan bahan semi permanen menjadikan besaran ruang yang lebih fleksibel.
Pada kegiatan-kegiatan tertentu yang membutukan luasan ruang yang lebih besar, seperti pada kegiatan
selamatan dan acara pernikahan, pembatas semi permanen ini dapat dibuka. Sehingga terbentuk ruang yang
lebih luas dan membentuk kesinambungan ruang yang berada di sebelah kanan dan kiri. Fungsi pembatas ruang
yang berupa bukaan pintu atau jendela ialah membentuk akses yang menghubungkan ruang di sebelah kanan dan
kiri. Hal ini menunjukan pemanfaatan elemen pembatas ruang yang dibuat dari bahan semi permanen memiliki
sifat yang lebih fleksibel dan efisien dalam menciptakan kesinambungan fungsi ruang.
Antara bangunan bagian depan dan belakang terdapat ruang antara. ruang ini sering digunakan antar
anggota kelompok keluarga sebagai jalur sirkulasi menuju hunian kerabatnya yang berada di lapisan kedua.
Ruang antara bangunan depan dan belakang berjarak kurang lebih 1.5 meter. Selain berfuangsi sebagai
jalur sirkulasi ruang antara ini berfungsi untuk menciptakan keterbukaan ruang pandang yang lebih luas antara
bangunan depan dan bangunan belakang.
Pencapaian pada unit hunian yang ada di desa Ngadas memiliki pola yang sama. Pada setiap unit hunian
akan terdapat dua pencapaian yaitu melalui pintu utama yang berada di ruang tamu atau melalui pintu yang
berada di dapur. Akses masuk kedalam bangunan sedapat mungkin langsung menuju ruang tamu dan dapur.
Pintu utama yang berada di bagian depan bangunan lebih jarang digunakan oleh penghuni rumah dan tamu yang
masih merupakan kerabat atau tetangga. Pencapaian menuju bangunan lebih sering dilakukan melalui pintu
Gambar 7 : Pembatas Semi Permanen Pada
Hunian Simetris Gambar6 : Pola Ruang Simetris
Denah
Rumah
Keluarga
Bpk Muladi
Denah
Rumah
Keluarga Ibu
Sariti
Denah
Rumah
Keluarga Ibu
marmi
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
87
dapur. Akses dari jalan utama desa menuju pintu dapur akan melewati ruas gang antar bangunan yang tegak
lurus dengan jalan utama. Akses melalui jaringan jalan yang berada di samping rumah memiliki frekwensi
pemanfaatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemanfaatan akses menuju ruang tamu. Karena jaringan
jalan yang berada di samping rumah dimanfaatkan secara bersama antar penghuni dalam satu kelompok hunian
dan kerabat atau tetangga menuju unut-unit hunian tersebut.
KESIMPULAN
Hasil analisa dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan variabel yang digunakan yaitu
elemen pola spasial yang berwujud fisik. Elemen tersebut terdiri dari: Pengidentifikasian tempat dilakukan
berdasarkan aspek-aspek pembentuknya yaitu letak (setting), Besaran Ruang (size) dengan menggunakan batas
sebagai komponen utama spasialnya, arah (orientation) dideskripsikan dengan penjabaran aspek jaringan jalan
dan tingkatan (hierarchy). menunjukkan bagaimana sistem kekerabatan berpengaruh terhadap pemanfaatan lahan
serta pembentukan spasial yang ada di dalamnya. Sistem kekerabatan sangat mempengaruhi pembentukan
spasial dengan memperhatikan prinsip-prinsip efektifitas ruang dimana kemudahan akses, keterbukaan ruang
pandang, serta konfigurasi ruang dalam suatu kelompik hunian dapat tercipta dengan baik. Pemanfatan elemen-
elemen pembatas ruang yang bersifat semi permanen juga merupakan indikasi untuk menciptakan efektifitas dan
fleksibilitas pemanfaatan ruang yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, Damayanti, 1995. “Keragaman Spasial Rumah Tinggal di Daerah pinggiran Sungai Brantas kelurahan
Kotalama, Kotamadya Malang”
Amiuza, Chairil B dkk, 1996 ” Pergeseran Spasial dan Stilistika Arsitektur Vernakular Madura Barat di
Arosbaya
Darjosanjoto, Endang TS. 2006 ” Penelitian Arsitektur di Bidang perumahan dan Permukiman” ITS Press.
Surabaya.
Sasongko, Ibnu, 2005 ” Pembentukan Struktur Ruang Permukiman Berbasis Budaya ” Dimensi Teknik
Arsitektur. Volume 33. nomor 1., Juli, 2005
Pangarsa, Galih W, dkk, 1994 ” Deformasi dan Dampak Ruang Arsitektur Madura Pedalungan di Lereng Utara
tengger”
Salvina DS, Vina dkk, 2003. Potret Kearifan hidup masyarakat Samin Dan Tengger, LkiS, Yogyakarta
Hefner, Robert W, 1999 ” Geger Tengger, Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik ” LkiS Yogyakarta
Hafner, Robert W. 1983 ”hindu Javanese : Tengger Tradition and Islam. Princeton : Princeton University Press.
Jaya dinata, Johara T. 1992. Tata Guna tanah Dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan Dan Wilayah. Bandung
ITB
Tuan, Yi Fu. 1997. Space and Place, the Perpektive of Experience Minneapolis : Edward Arnold
Yudohusodo, Siswono, dkk, 1991 “ Rumah Untuk Seluruh Rakyat” Jakarta
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
88
Elastisitas Pendapatan Atas Permintaan Budidaya Pembesaran Ikan Patin Dengan
Menggunakan Probiotik Dan Tanpa Probiotik Di Desa Kedungwangi
Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan
Wachidatus Sa’adah *)
*)
Dosen Fakultas Perikanan Universitas Islam Lamongan
ABSTRAKSI
Usaha budidaya ikan patin merupakan salah satu komoditas perikanan yang berprospek cerah, karena
memiliki harga jual yang tinggi. Salah satu untuk menunjang hasil produk perikanan penggunaan probiotik
merupakan salah satu cara preventif yang dapat mengatasi penyakit. Elastisitas pendapatan atas permintaan
adalah perubahan yang diminta sebagai akibat perubahan pendapatan dari konsumen. Metode yang digunakan
untuk penentuan sampel yaitu simple random sampling. Metode ini dilakukan manakala anggota populasi benar-
benar memiliki karasteristik yang homogen. Analisis data hasil penghitungan dengan menggunakan rumus
elastisitas pendapatan atas permintaan bahwa elastisitas pendapatan budidaya pembesaran ikan patin
menggunakan probiotik adalah 0,59 dikatakan pendapatan positif, jika Ei antara 0 dan 1 (barang normal),
peningkatan pendapatan akan mengakibatkan peningkatan permintaan, dan tanpa probiotik elastisitas pendapatan
adalah 0 dikatakan pendapatan nol atau jika Ei = 0 berlaku bila peningkatan pendapatan tidak mengakibatkan
perubahan permintaan.
Kata kunci : Elastisitas pendapatan atas permintaan, budidaya pembesaran ikan patin, probiotik (Bio Multi
Guna).
A.PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha budidaya ikan patin merupakan salah satu komoditas perikanan yang berprospek cerah, karena
memiliki harga jual yang tinggi. Ikan patin juga tidak hanya populer sebagai ikan konsumsi namun juga disukai
sebagai ikan hias saat masih kecil karena bentuk, warna dan pergerakannya yang indah, sehingga dapat dijadikan
sebagai peluang usaha yang mudah dilakukan dan untungnya menggiurkan bisa lebih dari 60% dan permintaan
pasar lokal juga belum terpenuhi (Susanto, Heru dan Amri 2005).
Budidaya ikan patin telah lama dilakukan di Indonesia dan menjadi salah satu komoditas yang penting
dalam dunia perikanan. Selain banyak digemari masyarakat karena rasa dagingnya yang enak, nilai protein
daging ikan patin juga tergolong tinggi yaitu mencapai 68,6%, lemak 5,8%, abu 5% dan air 59,3%. Nilai
ekonomis ikan patin juga cukup tinggi karena dagingnya dapat diolah menjadi bahan dasar pembuatan abon ikan
dan dapat juga digunakan untuk pembuatan fillet ikan.
Salah satu upaya pengembangan usaha perikanan dalam mengantisipasi penurunan hasil tangkapan dari
perairan umum adalah melakukan pengembangan usaha budidaya perikanan secara berkesinambungan. Karena
itu beberapa rekayasa dan upaya dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan ikan dan ukuran yang seragam
dengan demikian efisiensi produksi budidaya ikan menjadi cukup baik (Rahmat, 2010). Beberapa petani ikan
menempuh cara dengan memberikan makanan berprotein tinggi dan memberikan makanan alami seperti keong,
bekicot dan lain-lain. Akan tetapi pemberian pakan alami terkendala karena tidak praktis. Pada beberapa
budidaya ikan seperti budidaya ikan patin, ikan gurami, ikan lele, ikan nila, ikan mas dan lain sebagainya,
pemberian probiotik telah dirasakan manfatnya dalam mempercepat pertumbuhan dalam budidaya ikan. karena
itu penggunaan probiotik merupakan salah satu cara preventif yang dapat mengatasi penyakit. Probiotik adalah
mikroorganisme yang memiliki kemampuan mendukung pertumbuhan dan produktivitas ikan. Probiotik
berfungsi menyeimbangkan jumlah mikroorganisme di perairan, mengurangi residu sisa pakan, membantu daya
tahan ikan, serta memacu pertumbuhan.
Elastisitas pendapatan atas permintaan disebut juga elastisitas pendapatan adalah perubahan yang diminta
sebagai akibat perubahan pendapatan dari konsumen. Koefisien yang menunjukkan sampai dimana besarnya
perubahan permintaan terhadap sesuatu barang sebagai akibat dari pada perubahan pendapatan pembeli
dinamakan elasisitas permintaan pendapatan atau secara ringkas elastisitas pendapatan (Salvatore, Dominick,
1992).
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
89
Perumusan Masalah
Perumusan masalah penelitiaan ini adalah bagaimana elastisitas pendapatan atas permintaan budidaya
pembesaran ikan patin dengan menggunakan probiotik dan tanpa probiotik di Desa Kedungwangi Kecamatan
Sambeng Kabupaten Lamongan?
Hipotesa
Hipotesa penelitiaan ini adalah diduga elastisitas pendapatan atas permintaan budidaya pembesaran ikan
patin dengan menggunakan probiotik diperoleh pendapatan positif dan tanpa probiotik pendapatan nol.
B. METODE PENELITIAAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Desa Kedungwangi Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan, pada bulan
Juni 2013.
Metode Pengambilan Sampel
Metode yang digunakan untuk penentuan sampel yaitu simple random sampling. Penentuan sampel
dilakukan secara random/acak dengan tidak memperhatikan strata yang ada dalam populasi. Metode ini
dilakukan manakala anggota populasi benar-benar memiliki karasteristik yang homogen (M. Aziz Firdaus, 2012
: 30).
Jumlah populasi yang ada di usaha pembesaran ikan patin di Desa Kedungwangi Kecamatan Sambeng
Kabupaten Lamongan berjumlah 4 obyek, yang terdiri dari 2 tambak probiotik dan 2 tambak tanpa probiotik.
Dari masing-masing tambak untuk yang tambak probiotik diberikan indikasi 1.a dan 1.b sedangkan untuk
tambak yang tanpa probiotik diberikan indikasi 2.a dan 2.b, keduanya memiliki karakteristik yang homogen,
dikatakan homogen karena dalam perlakuan pembudidayaannya sama mulai dari periapan kolam, penebaran
benih ikan, pemberiaan pakan, pemberantasan hama dan penyakit sampai dengan pemanenan. Dalam
pengambilan sampel yang memiliki karasteristik homogen tidak perlu semuanya diambil, satu sampel sudah
mewakili dari keseluruhan sampel yang ada.
Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah sample random sampling yaitu pengambilan
sampel yang dilakukan secara acak pada masing-masing objek yang ada. Oleh karena itu sampel yang diambil
dari masing-masing objek dari tambak menggunakan probiotik adalah 1.a dan tambak tanpa probiotik adalah 2.a.
Teknik Pengumpulan Data
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari pelaku kegiatan, diamati dan dicatat untuk pertama
kali (Marzuki, 1986). Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Data skunder dapat diperoleh dari beberapa data, seperti arsip adminstrasi dari lokasi penelitian
Analisis Data
Data yang didapat dari hasil penelitian adalah data kuantitatif. Analisis data kuantitatif dilakukan untuk
menganalisis elastisitas pendapatan atas permintaan budidaya pembesaran ikan patin menggunakan probiotik dan
tanpa probiotik.
Elastisitas pendapatan atas permintaan disebut juga elastisitas pendapatan (Income elasticity of demand)
adalah Koefisien yang menunjukkan sampai dimana besarnya perubahan permintaan terhadap sesuatu barang
sebagai akibat dari pada perubahan pendapatan pembeli dinamakan elasisitas pendapatan atas permintaan atau
secara ringkas elastisitas pendapatan (Salvatore, Dominick, 1992).
Untuk menghitung elastisitas pendapatan atas permintaan dengan menggunakan rumus busur sebagai
berikut.
1
12
1
12
I
II
Q
Ei
Keterangan :
Ei : Elastisitas pendapatan atas permintaa
Q1 : Jumlah yang diminta pada periode ke-1
Q2 : Jumlah yang diminta pada periode ke-2
I1 : Total pendapatan pada periode ke-1
I2 : Total pendapatan pada periode ke-2
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
90
C.Hasil Dan Pembahasan
Pedoman Teknis Budidaya Pembesaran Ikan Patin Kegiatan budidaya pembesaran ikan patin meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) persiapan
kolam (2) penebaran benih ikan (3) pemberian pakan (4) pemberantasan hama dan penyakit (5) pemanenan.
Analisis Data
Selama periode 3 kali musim panen tahun 2011 dan 2012, usaha budidaya ikan patin dengan
menggunakan probiotik dan tanpa probiotik, mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari musim ke
musim. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penambahan jumlah permintaan ikan patin, meskipun prosentasinya
tidak terlalu besar. Data pendapatan atas permintaan budidaya pembesaran ikan patin dengan menggunakan
probiotik dalam periode 3 kali musim panen tahun 2011 dan 2012 dapat ditunjukan pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Pendapatan Atas Permintaan Budidaya Pembesaran Ikan Patin Dengan Menggunakan Probiotik
Pada Tahun 2011 dan 2012
No Musim Tahun
2011
Tahun
2012
Tahun 2011 Tahun 2012
Q1 (kg) Q2 (kg) I1 (Rp) I2 (Rp)
1
2
3
Musim I
Musim II
Musim III
1568
1568
1666
1666
1764
1960
8.600.000
8.600.000
9.900.000
10.100.000
10.900.000
11.800.000
Jumlah 4.802 5.390 27.100.000 32.800.000
Sumber Data Terolah Tahun 2011 dan 2012
Berikut besaran elastisitas pendapatan atas permintaan budidaya pembesaran ikan patin dengan
menggunakan probiotik (Ei) dirumuskan dengan:
Diketahui :
Q1 = 4.802 Kg
Q2 = 5.390 Kg
I1 = 27.100.000
I2 = 32.800.000
27100000
2710000032800000
4802
48025390
Ei
27100000
5700000
4802
588
Ei
58,021,0
12,0Ei
Hasil yang diperoleh elastisitas pendapatan atas permintaan budidaya pembesaran ikan patin
menggunakan probiotik diatas diperoleh Ei = 0,59, dikatakan pendapatan positif terkait barang normal, artinya
peningkatan pendapatan akan mengakibatkan peningkatan permintaan.
Data pendapatan atas permintaan budidaya pembesaran ikan patin tanpa probiotik dalam periode 3 kali
musim panen tahun 2011 dan 2012 dapat ditunjukan pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Pendapatan Atas Permintaan Budidaya Pembesaran Ikan Patin Tanpa Probiotik Pada Tahun 2011
dan 2012
No Musim
Tahun
2011
Tahun
2012 Tahun 2011 Tahun 2012
Q1 (kg) Q2 (kg) I1 (Rp) I2 (Rp)
1
2
3
Musim I
Musim II
Musim III
1536
1536
1632
1536
1536
1632
8.600.000
8.600.000
9.900.000
10.100.000
10.900.000
11.800.000
Jumlah 4.704 4.704 27.100.000 32.800.000
Sumber Data Terolah Tahun 2011 dan 2012
Berikut besaran elastisitas pendapatan atas permintaan budidaya pembesaran ikan patin tanpa probiotik
(Ei), dirumuskan dengan :
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
91
1
12
1
12
I
II
Q
Ei
Diketahui :
Q1 = 4.704 Kg
Q2 = 4.704 Kg
I1 = 27.100.000
I2 = 32.800.000
27100000
2710000032800000
4704
47044704
Ei
27100000
5700000
4704
0
Ei
021,0
0Ei
Hasil yang diperoleh elastisitas pendapatan atas permintaan budidaya pembesaran ikan patin tanpa
probiotik diatas diperoleh Ei = 0, dikatakan pendapatan nol, berlaku bila peningkatan pendapatan tidak
mengakibatkan perubahan permintaan,
Dari hasil diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa elastisitas pendapatan budidaya pembesaran ikan patin
dengan menggunakan probiotik jika Ei = 0,59, dikatakan pendapatan positif artinya peningkatan pendapatan
akan mengakibatkan peningkatan permintaan, dan tanpa probiotik elastisitas pendapatan Ei = 0, berlaku bila
peningkatan pendapatan tidak mengakibatkan perubahan permintaan.
D. Kesimpulan Dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan beberapa penjelasan yang ditunjukkan pada bab
sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada dua usaha budidaya pembesaran ikan patin tersebut, usaha yang lebih mudah dibudidayakan,
pembesarannya lebih cepat dan lebih menguntungkan adalah usaha pembesaran ikan patin dengan
menggunakan probiotik dibandingkan tanpa menggunakan probiotik.
2. Berdasarkan data analisa elastisitas pendapatan atas permintaan kedua usaha tersebut, diperoleh hasil sebagai
berikut :
a. Bahwa elastisitas pendapatan budidaya pembesaran ikan patin dengan menggunakan probiotik Ei = 0,59
dikatakan pendapatan positif, dan tanpa probiotik Ei = 0 dikatakan pendapatan nol.
b. Hasil budidaya pembesaran ikan patin menggunakan probiotik permintaan mengalami kenaikan, dan
tanpa probiotik permintaan tetap sama.
Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, saran untuk kedua usaha tersebut adalah :
1. Dalam kegiatan budidaya pembesaran ikan patin menggunakan probiotik dikatagorikan sudah baik, karena
permintaan mengalami kenaikkan, dan tanpa probiotik permintaan tetap sama. Sehingga usaha budidaya
pembesaran ikan patin ini lebih memprioritaskan dengan menggunakan probiotik.
2. Lebih memperhatikan tingkat permintaan pendapatan konsumen terhadap budidaya pembesaran ikan patin
yang menggunakan probiotik dan tanpa probiotik.
DAFTAR PUSTAKA
M. Aziz Firdaus, 2012. Metode Penelitian. Cetakan Pertama, Jelajah Nusa. Tanggerang.
Marzuki, 1986. Metodologi Riset. Bagian Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.
Rahmat, 2010.http//www.Kepadatan Ikan Khusus_Paten.com diakses pada tanggal 01 Januari Pukul 08.00
WIB.
Salvatore, Dominick, 1992.http//www.Theori mikroekonomi.com diakses pada Tanggal 19 Pebruari 2012
pukul 03.03 WIB.
Susanto, Heru dan Amri, K . 2005. Budidaya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta.
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
92
Analisa Kinerja Arus Lalu Lintas Disimpang Tak Bersinyal
Ariful Bakhtiyar *)
*)
Dosen Program Studi Teknik Sipil Universitas Islam Lamongan
Abstrak Masalah lalu lintas sering dijumpai di kota-kota besar contohnya kota Lamongan, masalah kemacetan dan
kesemberautan lalu lintas sering terjadi pada persimpangan jalan, khususnya pada Jl. Raya Mantup – Jl.
Kembangbahu Lamongan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu semakin meningkatnya volume lalu
lintas dan banyaknya para pengendara tidak pematuh peraturan lalu lintas.
Menganalisa kapasitas dan tingkat data – data dari lapangan, berupa data geometric simpang (lebar tiap
kaki simpang), jenis dan jumlah kendaran yang melintasi persimpangan setelah dikalikan dengan angka
ekivalensi dari masing – masing kendaraan, sehingga diperoleh keseragaman dalam satuan mobil penumpang
(SMP). Kemudian dihitung kapasitas dan tingkat kinerja persimpangan yang meliputi derajat kejenuhan, dan
tundaan simpang dengan mengunakan metode Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI 1997).
Dari hasil analisa pada kondisi awal yang diperoleh kapasitas (C) nilai sebesar 251.415 smp/jam, arus lalu
lintas 1860 smp/jam, tundaan sebesar 0,528 maka tidak perlu lampu lalu lintas, nilai antrian (QP) sebesar 0,0036
- 0,0193 smp/jam sehingga menghasilkan derajat kejenuhan sebesar 0,007 smp/jam. Nilai ini jauh dari nilai
derajat kejenuhan yang disarankan oleh MKJI 1997 yaitu sebesar 0,85 oleh karena nilai DS tidak melebihi nilai
yang disarankan dalam MKJI 1997 maka hanya perlu menambahkan rekayasa perancangan berupa rambu
stop,zebra penyebrangan,dan tanda pertigaan pada persimpangan Jl. Raya Mantup – Jl. Kembangbahu
Lamongan karena dinilai cukup penting untuk mengurangi angka kecelakan.
Kata Kunci : Simpang tak bersinyal, Kinerja, Kapasitas , Arus Lalu Lintas.
1. Latar Belakang
Simpang jalan merupakan tempat terjadinya konflik lalulintas. Volume lalulintas yang dapat
ditampung jaringan jalan ditentukan oleh kapasitas simpang pada jaringan jalan tersebut. Kinerja suatu simpang
merupakan factor utama dalam menentukan penanganan yang paling tepat untuk mengoptimalkan fungsi
simpang. Parameter yang digunakan untuk menilai kinerja suatu simpangtak bersinyal mencakup ; kapasitas,
derajat kejenuhan, tundaan dan peluang antrian. Dengan menurunnya kinerja simpang akan menimbulkan
kerugian pada pengguna jalan karena terjadinya penurunan kecepatan, peningkatan tundaan, dan antrian
kendaraan yang mengakibatkan naiknya biaya operasi kendaraan dan menurunnya kualitas lingkungan. Berbeda
dengan simpang bersinyal, pengemudi di yang positif, pengemudi dengan agresif memutuskan untuk menyudahi
maneuver yang diperlukan ketika memasuki simpang.
MKJI (1997) menyatakan bahwa angka kecelakaan pada simpang tak bersinyal diperkirakan sebesar 0,60
kecelakaan / juta kendaraan, dikarena kankurangnya perhatian pengemu diterhadap rambu YIELD dan rambu
STOP (Sukarno, dkk, 2003), sehingga mengakibatkan perilaku pengemu dimelintasi simpang mempunyai
perilaku tidak menunggu celah dan memaksa untuk menempatkan kendaraan pada ruas jalan yang akan
dimasukinya, hal ini mengakibatkan konfli karus lalulintas yang mengakibatkan kemacetan lalu lintas bahkan
berpotensi untuk terjadinya kecelakaan. Pada prinsipnya pengemudi masih mempunyai rasa hormat tentang hak
prioritas untuk melalui simpang dari pengemudi yang lain di simpang tak bersinyal. Keputusan pengemudi
dalam situasi ini dan dampak pada pertimbangan kapasitas secara khas dengan arus lalu lintas di jalan yang
hirarkinya lebih tinggi. Simpang yang dianalisa pada penelitian ini adalah simpang tak bersinyal tiga lengan Jl.
Raya Mantup – Jl. Kembangbahu Lamongan. Kondisi simpang tersebut menunjang terjadinya kemacetan lalu
lintas dan kecelakaan, karena kawasan tersebut merupakan jalan menuju pusat perekonomian, pusat perkantoran,
dan rekreasi.
2. Tujuan Penelitian .
1. Mengetahui kinerja simpang tak bersinyal dengan menganalisis jumlah kendaraan yang melintas pada
simpang berdasarkan MKJI 1997.
2. Mengetahui nilai kapasitas kendaraan pada simpang tak bersinyal Jl. Raya Mantup dan Jl. Kembang bahu
Lamongan.
3. Mendapatkan rekayasa simpang yang sesuai untuk mengatasi permasalan.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di persimpangan tak bersinyal Jl. Raya Mantup dan Jl. Kembang bahu Lamongan.
1. Volume lalu lintas simpang cukup tinggi.
2. Banyaknya kendaraan dari jalan minor belok kanan untuk memasuki jalan major.
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
93
3. Tidak ada pedagang kaki lima di sekitar ruas jalan di simpang
4. Kondisi geometik simpang relative datar.
5. Jarak pandang yang cukup luas.
6. Pada jalan major tidak memiliki median.
7. simpang tiga lengan type 322
Gambar 1. Lokasi Penelitian
4. Metode Penelitian
Penelitian terhadap simpang Jl. Raya Mantup, - Jl. Kembangbahu Lamongan ini adalah untuk menganalisa
manajemen yang tepat untuk simpang tersebut. Metode yang dipakai pada penelitian ini meliputi :
a. Penentuan Subyek.
Maksud penentuan subyek ini adalah variabel yang dapat dijadikan sasaran dalam penelitian.Beberapa variable
tersebut adalah kondisi lingkungan, pengaturan lalu lintas, jumlah pendekatan fase sinyal, waktu sibuk,
klarifikasi kendaraan dan periode pengamatan.
b. Langkah Pengambilan Data.
Dalam pengambilan data yang perlu diperhatikan adalah :
1. Menyiapkan formulir data Formulir data yang perlu disiapkan untuk mencatat data, yaitu:
a) Formulir data geometric jalan, serta kondisi lingkungan.
b) Formulir data volume lalu lintas pada persimpangan dan panjang antrian.
2. Menyiapkan alat penunjang pengambilan data
a) Meteran untuk pengukuran geometric.
b) Counter untuk membantu menghitung LHR kendaraan yang lewat.
c) Alattulis (bolpoint dan pensil).
d) Papan tulis dada.
3. Menentukan waktu pengambilan data.
Pengambilan data-data survey primer dilakukan selama empat hari. Penentuan hari yang dipilih bias mewakili
volume lalu lintas yang padat. Termasuk saat jam puncak pada setiap pengambilan data volume lalu lintas.
Sebelum pengambilan data survey primer terlebih dahulu dilakukan survey pendahuluan.
D. Analisis Data untuk Simpang Tidak Bersinyal dengan MKJI 1997.
Data primer dan sekunder yang didapat dari lapangan merupakan masukan untuk perhitungan simpang tak
bersinyal dengan MKJI 1997.Analisis data untuk simpang tak bersinyal dengan menggunakan Manual Kapasitas
Jalan Indonesia (MKJI 1997) ini bertujuan untuk mengetahui kinerja simpang apakah masih layak atau
tidak.Apabila dari hasil analisis menunjukkan kinerja simpang sudah tidak layak, maka perlu adanya pemecahan
masalah.
Untuk menyelesaikan perhitungan permasalahan simpang tersebut diambil selama tiga hari ( hari senin 14 April
2014 jam 06.00-19.00 WIB, hari kamis 17 April 2014 jam 06.00-19.00 WIB,dan hari jum’at 18 April 2014 jam
06.00-19.00 WIB) dengan criteria kejenuhan untuk kinerja simpang adalah nilai derajat kejenuhan apabila lebih
besar dari 0,75, maka simpang dalam keadaan jenuh.
4. Hasil Penelitian
A. Data Penelitian Simpang.
Simpang Kembangbahu di kota Lamongan adalah simpang tiga lengan tak bersinyal yang terletak di persilangan
jalan Raya Mantup yang merupakan jalan kolektor primer dan berfungsi sebagai jalan utama/major di simpang.
Kondisi masing-masing ruas jalan terdiri dari dua arah dan dua lajur tanpa pembatas (median). Pada jalan utama
tidak memiliki trotoar pada kedua sisi dan pada jalan minor tidak memiliki trotoar pada kedua sisi jalan.
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
94
B. Kondisi Geometrik.
Data simpang Kembangbahu kota Lamongan adalah sebagai berikut:
1. Lebar jalan utama = 6,00 meter, dengan ruas = 3,00 meter.
2. Lebar jalan minor : a. Jalan Kembangbahu = 5,00 meter
3. Pemisah arah pada jalan utama merupakan marka jalan garis putus-putus yang kurang jelas
4. Pemisah arah pada kedua jalan minor tidak ada garis marka jalan
5. Kondis perkerasan baik terbuat dari lapis aspal.
6. Pada jalan minor tidak terdapat rambu STOP atau rambu YIELD.
C. Kondisi Lingkungan.
Lingkungan sekitar simpang Jalan Raya Mantup dan Jalan Kebangbahu, merupakan area pertokoan yang berdiri
sepanjang jalan arteri maupun kecamatan. Terutama pada ruas jalan Kembangbahu, hampir sepanjang ruang
mendekati persimpangan merupakan area pemukiman permanen serta pemukiman yang memiliki tingkat lalu
lintas yang tinggi. Beradsarkan MKJI 1997 tipe lingkungan ini dapat digolongkan tipe lingkungan jalan
komersial.Sementara itu fasilitas penunjang untuk lalu lintas sangat minim, walaupun untuk sarana
penyebrangan bagi pejalan kaki belum tersedia. Lampu peringatan pun belum tersedia namun rambu-rambu
penunjang yang lain belum ada. Selain semua hal tersebut diatas yang perlu diperhatikan lagi ialah hambatan
samping. Dimana hambatan samping disini banyak terdapat pada ruas jalan utara yang hilangnya marka jalan
sehingga dapat menghambat kendaran.
D. Volume Arus Lalu Lintas.
Survey lalu lintas dilakukan pada jam - jam sibuk. Waktu pelaksanaan survey dibagi menjadi tiga, pada jam
sibuk pagi antara pukul 06.00 – 09.00 WIB, jam sibuk siang antara pukul 11.00 – 14.00 WIB dan jam sibuk sore
antara pukul 16.00 – 19.00 WIB. Jenis kendaraan yang disurvey dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu:
1. KendaraanBerat(Heavy Vehicles, HV) Kendaraan berat yang dimaksud disini meliputi truck, trailer (truck
gandeng) serta container.
2. Kendaraan Ringan (Light Vehicle, LV) Kendaraan ringan yang dimaksud meliputi kendaraan pribadi, MPU
serta bus.
3. Sepeda Motor (Motor Cycle, MC)
Kendaraan yang dikategorikan sepeda motor ialah sepeda motor dan scoter. Dalam menentukan arus lalu lintas
puncak untuk setiap periode jam puncak pagi, siang dan sore, data yang diperoleh dari hasil survey pada tiap
arah lalu lintas dijumlah untuk setiap waktu satu jam dengan periode penjumlahan tiap 15 menit sesuai denga
tipe kendaraan yang melewati simpang tanpa mengikutkan kendaraan tak bermotor yang melewati simpang.
Hasil penjumlahan kendaraan ini dalam satuan kend/jam, belum bisa digunakan untuk menentukan arus lalu
lintas jam puncak. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah merubah satuan kend/jam menjadi smp/jam
dengan cara mengkalikan jumlah kendaraan dengan faktor konversi berdasarkan tipe kendaraan. Hasil yang
diperoleh kemudian waktu pagi, siang dan sore dengan menggunakan satuan smp/jam. Data dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
Tabel. Volume Lalu lintas Pada Simpang berdasarkan Arah Kendaraan.
WAKTU TIAP 30
MENIT MC (SMP)
LV
(SMP)
LH
(S
MP
)
U
M
(S
MP
)
Total
(SMP)
06.00 s/d 06.30 915 147 0 9 1071
06.30 s/d 07.00 1.027 249 0 8 1284
07.00 s/d 07.30 1.113 186 0 4 1303
07.30 s/d 08.00 1.637 111 18 9 1775
08.00 s/d 08.30 1.313 255 0 7 1575
08.30 s/d 09.00 1.185 189 21 6 1401
11.00 s/d 11.30 1.115 312 18 5 1450
11.30 s/d 12.00 1.037 414 9 2 1462
12.00 s/d 12.30 1.263 360 27 2 1652
12.30 s/d 13.00 1.290 567 0 3 1860
13.00 s/d 13.30 1.119 408 18 2 1547
13.30 s/d 14.00 1.188 295 27 5 1515
16.00 s/d 16.30 1.107 393 8 7 1515
16.30 s/d 17.00 1.230 354 9 8 1601
17.00 s/d 17.30 1.211 396 9 6 1622
17.30 s/d 18.00 1.179 225 9 5 1418
18.00 s/d 18.30 1.265 348 0 3 1616
Sumber data perhitungan dilapangan tahun 2014.
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
95
Dimana diperoleh nilai :
a. MC (Motor Cyle) dengan jumlah kendaraan sebesar 21694 smp/jam.
b. LV (Light Vehicle) dengan jumlah kendaran sebesar 5365 smp/jam.
c. LH (Heavy Vehicle) dengan jumlah kendaran sebesar 183 smp/jam.
d. UM (Unmotorozed) dengan jumlah kendaran sebesar 92 smp/jam.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan, didapatkan volume kendaraan pada simpang Jalan Raya Mantup –
Jalan Kembangbahu Lamongan didapat volume kendaraan puncak pada masing-masing waktu pagi, siang dan
sore sampai malam dengan rincian sebagai berikut:
a. Jam puncak pada pagi hari yaitu pada pukul 07.30 – 08.00 WIB dengan jumlah kendaraan sebesar 1775
smp/jam.
b. Jam puncak pada siang hari yaitu pada pukul 12.30 – 13.00 WIB dengan jumlah kendaraan sebesar 1860
smp/jam.
c. Jam puncak pada malam hari yaitu pada pukul 17.00 – 17.30 WIB malam hari yaitu sebesar 1622 smp/jam.
Sehingga volume kendaraan paling besar terjadi pada pukul 12.30 – 13.00 WIB sebesar 1860 smp/jam. Data ini
yang nantinya akan dijadikan acuan dalam melakukan analisis simpang Jalan Raya Mantup – Jalan
kembangbahu Lamongan.
E. Analisis Simpang Tak Bersinyal.
Data yang digunakan ialah pada jam puncak pukul 12.30 – 13.00 WIB dengan jumlah kendaraan sebesar 1860
smp/jam. Data ini dianggap mewakili data-data lainnya karena mempunyai volume lalu lintas tertinggi (jam
puncak tertinggi).
1. MenetukanKapasitas.
a. Kapasitas dasar (Co).
Kapasitas dasar yang diperoleh ditentukan berdasarkan jumlah lajur dan jumlah jalur yang ada
dikawasan studi. Pada simpang Jalan Raya Mantup - Jalan Kembangbahu Lamongan berupa simpang dengan 3
lengan 2 lajur dan 2 jalur sehingga tipe IT = 322 dengan nilai CO = 2700 smp/jam.
b. Faktor penyesuaian kapasitas.
1. Lebar pendekatan rata-rata (FW).
Variable masukan adalah lebar rata-rata semua pendekatan dimana W1 didapat dengan rumus :
W = (b + c/2 + d) / 3
W1 = ( 3 + 6/2 +3 )
W1 = 3
Jadi nilai W1 = 3.
Dimana :
b = lebar Jalan mayor selatan bermedian
c = lebar jalan minor tak bermedian
d = lebar jalan mayor utara bermedian
3 = jumlah lengan simpang.
Sehingga didapat nilai:
FW = 0,076W1
= 0,076 x 3
= 0,228
Nilai FW = 0,228 diperoleh dari rumus pada table 2.3 untuk tipe simpang 322, seperti gambar 2 dibawah ini.
Gambar 2. Tipe Simpang 322 (sumber MKJI 1997)
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
96
2. Median jalan utama (FM)
Jumlah median jalur utama tidak diperhitungkan karena factor penyesuaian ini hanya digunakan untuk jalan
utama dengan 2 lajur (MKJI 1997 hal 3-34).Sehingga nilai tidak diperhitungkan.
3. Ukuran Kota (FCcs)
Kota Lamongan termasuk golongan kota kecil dengan jumlah penduduk 1.305.898 jiwa maka didapa tnilai
FCcs=0,94(lihat tabel)
4. Hambatan samping (FRSU)
Factor penyesuaian hambatan samping yang dipakai untuk perhitungan adalah hambatan samping pada jalan
utama (besar). Dengan demikian tipe lingkungan jalan Raya Mantup adalah komersial, kelas hambatan samping
adalah rendah, akibat dari rasio kendaraan tak bermotor (UM).
FRSU =
= 92/1860
= 0,05
Sehingga didapat nilai FRSU = 0,88 (table )
5. Belok kiri (FLT)
Variable masukan adalah rasio belo kkiri PLT = 0,32. Batas nilai yang diberikan adalah pada grafik
gambar 2.2 atau dengan rumus:
FLT = 0,84 +1,61*PLT
FLT = 0,84 + 1,61 * 0,32
FLT = 0,78
Sehingga nilai FLT = 0,78
6. Belok kanan (FRT)
Variable masukan factor penyesuaian belok kanan PRT = 0,28. Batas simpang yang diberikan.
FRT = 1,09 – 0,922* PRT
FRT = 1,09 – 0,922 * 0,28
FRT = 0,5
Sehingganilai FRT = 0,5
7. Rasio Minor/total
Factor penyesuaian rasio arus jalan minor dengan tipe simpang 322 didapat rumus :
Fmi = 1.19 x PMI2 – 1.19 x PMI + 1.19
Dengan nilai PMI = 1 maka:
FMI = 1.19 x (12) – 1.19 x 1 + 1.19
= 1,19.
8. Kapasitas ( C )
C = Co x Fw x FCS x FRSU x FLT x FRT x FMI
= 2700 x 0,228 x 0,88 x 0.78 x 0,5 x 1,19
= 251.415 smp/jam.
Sehingga diperoleh nilai kapasitas (C) = 251.415 smp/jam.
a. Perilaku Lalu lintas.
1. Arus lalu lintas ( Q )
Arus lalu lintas total
QMV = 940 smp/jam.
2. Derajat kejenuhan( DS )
Dengan rumus untuk
QC = 940 smp/jam didapat
DS = QMV / C
= 1860 / 251.415 = 0.007
3. Tundaan ( DT )
Dengan nilai DS = 0.007 maka dapat ditentukan :
DT = 1,0504/(0,2742 – 0,2042 * 0.007 ) – (1 – 0.007 ) * 2 (rumus)
DT = 1,0504/(-0.0005 )- (-1,986 )
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
97
= 0,528
4. Peluang antrian (Qp)
Batasbawah QP % = 9,02*DS + 20,66*DS ^2 + 10,49*DS^3 (rumus ) maka:
QP % = 9,02*0,007 + 20,66*0.072 + 10,49 *0.007
3
= 0,0036
Batasatas QP % =47,71*DS - 24,68*DS^2 + 56,47*DS^3 (rumus) maka:
QP % = 47,71*0,007 – 24,68*0,0072 + 56,47*0.007
3
= 0,0193
Dengan rumus diatas didapat nilai peluang antrian QP % = 0,0036 – 0,0193
Dari hasil pada kondisi awal didapatkan nilai kapasita sebesar = 251,415 smp/jam, arus lalu lintas = 1860
smp/jam, tundaan = 0,528 smp/jam, sehingga menghasilkan derajat kejenuhan sebesar = 0,007 smp/jam. Nilai ini
jauh dari nilai derajat kejenuhan yang disarankan oleh MKJI 1997 yaitus ebesar = 0,75. Oleh karena nilai DS
tidak melebihi nilai yang disarankan dalam MKJI 1997 maka hanya perlu menambahkan rekayasa perancangan.
F. Rekayasa Perancangan.
Berdasarkan perhitungan diatas didapat bahwa nilai derajat kejenuhan hasil perhitungan dengan yang disarankan
dalam MKJI 1997 tidak memenuhi. Sehingga untuk mengurangi derajat kejenuhan pada simpang jalan Raya
Mantup – jalan kembangbahu perlu adanya suatu rekayasa lalu lintas. Dalam hal ini ada beberapa alternative
yang bias diambil diantaranya :
1. Pelebaran lengan terpadat.
2. Pengaturan ulang median.
3. Pemberian rambu dan marka jalan
a. Pelebaran Lengan Terpadat.
Untuk pelebaran lengan terpadat kurang memungkinkan mengingat kondisi kanan dan kiri jalan yang sudah
berbatasan dengan lahan penduduk. Serta kondisi jalan saat ini sudah pernah mengalami pelebaran pada tahun
sebelumnya sehingga untuk alternative ini sudah tidak mungkin untuk dilakukan. Karena apabila dilakukan bahu
jalan akan berbatasan dengan rumah maupun pertokoan yang ada disana. Apalagi jalan utama yang sebelah timur
terdapat pemukiman permanen yang harus ada jarak dengan jalan raya demi keselamatan dan kenyamanan
pengguna jalan. Sehingga untuk pelebaran jalan tidak diperhitungkan disini.
b. Pengaturan Ulang Median.
Saat ini pada simpang Jalan Raya Mantup sudah bermedian dengan tipe median masing-masing untuk dua lajur
tak terbagi yang berarti bahwa tiap bagian dari median tersebut terdiri dari dua lajur namun hanya untuk satu
jalur saja.
Namun untuk dilakukan pengaturan ulang median pun dirasa sulit, hal ini dikarenakan factor masyarakat yang
menginginkan agar median dipotong didepan jalan masuk kedesa masing-masing. Pengaturan ulang panjang
Tetap enggan jika keluar dari desa merekah arus berputar terlebih dahulu sehingga mereka memotong sendiri
median didepan jalan masuk desa masing-masing.
c. Rambu dan Marka.
Rambu Yield (Beri Kesempatan)
Saat ini pada persimpangan jalan Raya Mantup menuju jalan kecamatan Kembangbahu belum
ada rambu prioritas maka dari itu perencanaan pembuatan marka jalan sangat penting digunakan untuk
melindungi arus lalu lintas dari salah satu ruas. Jalan Raya Mantup pada ruas jalan Kembangbahu yang
saling berpotongan tanpa arus henti sama sekali, sehingga pengendara terlalu terlambat bila
dibandingkan dengan Stop Sign.
Zebra pertigaan digunakan untuk disimpang jalan Raya Mantup menuju arah barat (kecamatan
Kembangbahu), sehingga para pengemudi dapat mengatur kecepatan kendaraan jika berbelok arah dan
dilengkapi pula dengan kanalisasi untuk mengatur kendaran belok kiri pada lajur percepatan terutama
bila percepatan tersebut kurang panjang.
Rambu Stop ( Berhenti ).
Rambu stop rencana paling strategis diatur pada pertigaan jalan kembangbahu menuju jalan utama yang
bertujuan dari arah barat kearah utara, dan dari arah barat kearah selatan, karena dinilai bias mengatur
lajur kendaran agar tidak terjadi penyeberangan secara sembarangan yang bisa mengakibatkan
kecelakan lalu lintas.
Zebra Penyeberangan.
Pengaturan simpang dengan zebra penyeberangan bertujuan untuk memberi kemudahan bagi
penyebrang / pejalan kaki untuk memasuki area yang dituju.
Jurnal Ilmu Eksakta,Vol 1 No.2 September 2013
ISSN : 2302-3751
98
5. Kesimpulan.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan didapat kesimpulan sebagai berikut :
1. Kinerja simpang pada kondisi awal menunjukkan nilai derajat kejenuhan sebesar 0,007, angka ini
sangat rendah dengan yang disarankan dalam MKJI 1997 dimana nilai derajat kejenuhan suatu
simpang > 0,85. sehingga cukup dengan pembuatan rambu atau marka jalan.
2. Antrian yang terjadi pun sangat rendah. Dimana berdasarkan hasil perhitungan nilai peluang antrian
mencapai QP % = 0,0036 – 0,0193, tundaan sebesar 0,528 angka ini sangat rendah dengan yang
disarankan MKJI 1997 dimana nilai tundaan < 0,6. Maka tidak perlu adanya lampu lalu lintas.
3. Rencana pembuatan rambu dan marka jalan ( tanda petigaan, rambu stop dan zebra penyeberangan )
dinilai sangat penting untuk mengurangi jumlah kecelakan yang terjadi, dan disertai perbaikan median
pada jalan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Bina Marga-Sweroad, 1997, Manual Kapasitas Jalan Indonesia,
Direktorat Jenderal Bina Marga, Jakarta.
Juniardi, 2006, Analisis Arus Lalu Lintas Disimpang Tak Bersinyal, Jurusan Teknik Sipil
Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Ma’ruf, Al, 2009, Evaluasi Kinerja Simpang Jl. Lamongan – Sukodadi KM -57 Surabaya,
Jurusan Teknik Sipil Universitas Islam Lamongan, Lamongan.
Mufty, Rizky, 2009, Kajian Kinerja Persimpangan Tidak Bersinyal, Jurusal Teknik Sipil Program Sarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Ningsih, Tri, 2012, Analisis Kinerja Simpang Tiga Jl.Surabayan – Jl.Sukoharjo Sukodadi
Jurusan Teknik Sipil Universitas Islam Lamongan, Lamongan.
Wisnhukoro, 2008, Analisis Simpang Empat Tak Bersinyal Dengan Menggunakan
Manajemen Lalu Lintas, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik dan Perencanaan
Universitas IslamIndonesia, Yogyakarta.
http://adhimuhtadi.dosen.narotama.ac.id/bahan-ajar/. Adhi Muhtadi: Pertemua ke-6 Persimpangan),
Diakses pada hari kamis ,tgl 27 Maret 2014 jm : 14.15 WIB.
http://IndrianySylvia.dosen..ac.id/Perencanaan geometrik jalan/.Jurusan Teknik Sipil dan
Perencanaan,UniversitasMercu Buana. Diakses Pada hari Sabtu,Tanggal 29 Maret 2014, jm10.00 WIB.