I. Apa yang dimaksud dengan sinusitis maksilaris kronis?
Embriologi
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung, dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan.
Sinus maksilla telah ada saat bayi lahir.1
Anatomi
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir
sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat
dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.1
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah
permukaan fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya
adalah permukaan iinfra-temporal maksila, dinding medialnya ialah lateral
rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya
ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semiluminaris melalui
infundibulum etmoid.1
1
Gambar 1 dan 2. Sinus paranasal dan ostiumnya
Definisi sinusitis maksilaris kronis
Rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi
virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Dikatakan sinusitis
kronis, apabila terdapat gejala sinusitis lebih dari 8 minggu atau 4 kali episode
serangan sinusitis akut dalam setahun pada dewasa, dan lebih dari 12 minggu
atau 6 kali episode serangan sinusitis akut pada anak-anak.1,4
Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang
sering terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2)
letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase
dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila
adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus
medius , disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.5
Gambaran patologik sinusitis kronik adalah kompleks dan irreversibel.
Mukosa umumnya menebal, membentuk lipatan-lipatan atau psudopolip.
Epitel permukaan tampak deskuamasi, regenrasi, metaplasia atau epitel biasa
dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan histologis yang sama.
Pembentukan mikroabses, dan jaringan granulasi bersama-sama dengan
pembentukan jaringan parut. Secara menyeluruh terdapat infiltrat sel bundar
dan polimorfonuklear dalam laoisan submukosa.2
Etiologi sinusitis maksillaris kronik
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan sinusitis kronik diantaranya
adalah pneumatisasi yang tidak memadai, makanan yang tak memadai, reaksi
atopik, lingkungan kotor, sepsis gigi dan variasi anatomi.6
Variasi anatomi memegang peranan lebih besar mekanisme etiologi
sinusitis kronis. Variasi anatomi yang sering ditemukan deviasi septum, 2
prosessus unsinatus melengkung ke lateral, konka media mengalami
pneumatisasi, bula etmoid sel dan etmoid yang meluas.5
Berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi rhinogenik dan
dentogenik/odontogenik. Rhinogenik berasal dari kelainan atau masalah di
hidung yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan
sinusitis. Contohnya rinitis akut (influenza), polip, dan septum deviasi.
Sedangkan dentogenik/odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar dan
molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus
influenza, Steptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella
catarhatis.
Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar
gigi pre molar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan problem
klinis seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke
atas dan menimbulkan infeksi sinus. Sinusitis maksila diawali dengan
sumbatan ostium sinus akibat proses inflamasi pada mukosa rongga hidung.
Proses inflamasi ini akan menyebabkan gangguan aerasi dan drainase sinus.
Keterlibatan antrum unilateral seringkali merupakan indikasi dari keterlibatan
gigi sebagai penyebab. Bila hal ini terjadi maka organisme yang bertanggung
jawab kemungkinan adalah jenis gram negatif yang merupakan organisme
yang lebih banyak didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram positif
yang merupakan bakteri khas pada sinus.
Penyakit gigi seperti abses apikal, atau periodontal dapat menimbulkan
gambaran radiologi yang didominasi oleh bakteri gram negatif, karenanya
menimbulkan bau busuk. Pada sinusitis yang dentogennya terkumpul kental
akan memperberat atau mengganggu drainase terlebih bila meatus medius
tertutup oleh oedem atau pus atau kelainan anatomi lain seperti deviasi, dan
hipertropi konka. Akar gigi premolar kedua dan molar pertama berhubungan
3
dekat dengan lantai dari sinus maksila dan pada sebagian individu
berhubungan langsung dengan mukosa sinus maksila. Sehingga penyebaran
bakteri langsung dari akar gigi ke sinus dapat terjadi.
Kegagalan mengobati sinusitis akut atau berulang secara adekuat akan
menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap,
akibatnya terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus, dan oleh karena itu
menciptakan predisposisi infeksi. Sumbatan drainase dapat pula ditimbulkan
oleh perubahan struktur ostium sinus, atau oleh lesi dalam rongga hidung
misalnya, hipertrofi adenoid, tumor hidung dan nasofaring dan suatu septum
deviasi. Akan tetapi, faktor predisposisi yang paling lazim adalah polipolis
nasal yang timbul pada rinitis alergika, polip dapat memenuhi rongga hidung
dan menyumbat total ostium sinus.2
Alergi juga dapat merupakan predisposisi infeksi karena terjadi edema
mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat
ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut,
yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya
berulang.2
Patofisiologi
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal
antara lain (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3)
membantu keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam
perubahan tekanan udara dan (6) membantu produksi mukus untuk
membersihkan rongga hidung.7,8
Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pertahanan mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan tubuh
baik lokal maupun sistemik.6,8,9 Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus
juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia
4
bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya
mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.
Gambar 3. Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus
5
Gambar 4. Perubahan silia pada sinusitis
Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya
berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan
lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi
didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di produksi
mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk
tumbuhnya bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi
hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob.1
Bakteri yang sering ditemukan pada sinusitis kronik adalah Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Streptococcus B
hemoliticus, Staphylococcus aureus, kuman anaerob jarang ditemukan.1
Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista.7,8,9
Gambar 5. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi
6
Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas.
Pelebaran kapiler darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan
mengeluarkan fibrin dan eksudat serta migrasi leukosit menembus dinding
pembuluh darah membentuk sel-sel nanah dalam eksudat. Tetapi bilamana
terjadi pada selaput lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi terjadi
peningkatan produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi
bukan murni sebagai nanah, tetapi mukopus.6
7
Gambar 6. Sinusitis akut menjadi sinusitis kronik
Ada tiga kategori utama pada mekanisme terjadinya rhinosinusitis
kronis, yaitu: rhinosinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena
peradangan, rhinosinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas, dan
rhinosinusitis karena salah satu diatas disertai infeksi sekunder.
Rhinosinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena
peradangan biasanya mulai pada masa kanak-kanak. Serangan infeksi terjadi
berulang-ulang. Waktu antara dua serangan makin lama makin pendek.
Kekebalan makin terkalahkan dan resolusi terjadi hampir tidak pernah
sempurna. Pengaruh terhadap mukosa adalah penebalan dengan disertai
infiltrasi limfosit yang padat. Fibrosis sub epitel menyebabkan pengurangan
jumlah kelenjar karena iskemia dan bila berlangsung lebih lanjut akan
menyebabkan ulserasi mukosa. Pada tahap berikutnya periosteum akan
terkena dan hiperemia meluas ke tulang-tulang yang kemudian menjadi
osteoporosis dan akhirnya menjadi sklerotik.
Penderita rhinosinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas
memiliki salah satu dari dua tipe alergi. Pertama adalah alergi umum diatesis
yang timbul pada permulaan bersama asma, eksema, konjungtivitis dan rinitis
yang kemudian menjadi rinitis musiman (hay fever) pada anak lebih tua.
Kedua mngkin tidak didapatkan keluhan dan tanda dari alergi sampai umur 8
atau 9 tahun secara berangsur-angsurmukosa makin “penuh terisi air” yang
menyebabkan bertambahnya sumbatan dan secret hidung. Polip dapat timbul 8
karena pengaruh gaya berat terhadap selaput mukosa yang penuh dengan air
dan dapat memenuhi rongga hidung.6
Gambar 7. Mekanisme terjadinya sinusitis kronis
II. Bagaimana gejalanya?
Keluhan umum yang membawa pasien sinusitis kronis untuk berobat
biasanya adalah kongesti atau obstruksi hidung. Keluhan biasanya diikuti dengan
malaise, nyeri kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal
drip) , gangguan penciuman dan pengecapan.6,10
Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari
meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring
atau turun ke tenggorok.7
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Selama
eksaserbasi akut, gejala-gejala mirip dengan gejala sinusitis akut. Namun, diluar
masa itu, gejala berupa suatu perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan
hipersekresi yang seringkali mukopurulen. Kadang-kadang terdapat nyeri kepala, 9
namun gejala ini seringkali tidak tepat dianggap sebagai gejala penyakit sinus,
hidung biasanya tersumbat, dan tentunya ada gejala-gejala faktor predisposisi
yang menetap, seperti rinitis alergika yang menetap1,2
Kadang-kadang hanya satu atau dua dari gejala-gejala di bawah ini yaitu
sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok,
gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan ke
paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah
serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang
tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.1
Pemeriksaan penunjang
Transluminasi dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan
sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Bila pada
pemeriksaan transluminasi tampak gelap didaerah infraorbita, mungkin berarti
antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma
di dalam antrum. Bila terdapat kista yang besar didalam sinus maksila, akan
tampak terang pada pemeriksaan transluminasi.7
CT scan salah satu modalitas yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi dan mengevaluasi anatomi dan patologi sinus. 10
10
Gambar 8. CT Scan memperlihatkan penebalan mukosa sinus.
III. Apa gejala yang menonjol?
Gejala Mayor Gejala Minor
Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Sakit kepalaSekret nasal purulen Batuk Demam Rasa lelahKongesti nasal Rasa lelahObstruksi nasal HalitosisHiposmia atau anosmia Nyeri gigi
Diagnosis memerlukan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.
IV. Bagaimana penatalaksanaannya?
Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa yang adekuat merupakan pilihan terapi
untuk sinusitis maksilaris subakut dan kronis Pengobatan medikamentosa
pada sinusitis maksillaris kronik meliputi tetes hidung dekongestan (tidak
lebih dari 1 minggu), serta antibiotika dapat digunakan untuk sinusitis kronis
eksaserbasi akut dengan demam dan malaise. Terapi mukolitik juga dapat
diberukan sebagai terapi suportif. 3
Antibiotik diberikan sesuai dengan kultur dan uji sensitivitas.
Antibiotik harus dilanjutkan sekurang-kurangnya 10 hari. Drainase diperbaiki
dengan dekongestan lokal dan sistemik. Selain itu juga dapt dibantu dengan
diatermi gelombang pendek selama 10 hari, pungsi dan irigasi sinus. Irigasi
dan pencucian sinus ini dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 atau 6
kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret purulen berarti
11
mukosa sinus sudah tidak dapat kembali normal, maka perlu dilakukan
operasi radikal.6,7,11
Bila etiologi sinusitis kronik berupa alergi, penggunaan antialergi yang
sesuai dapat diberikan seperti obat-obat stabilizer sel mast, α-simpatomimetik,
antagonis H1, steroid, serta antikolinergik. Semua pengobatan konservatif
diatas merupakan terapi simptomatik dan tidak bisa menghilangkan penyebab
sinusitis kronil, terapi definitif yang digunakan adalah pembedahan sinus.3
Pengobatan radikal
Pengobatan ini dilakukan bila pengobatan medikamentosa gagal.
Terapi radikal dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan
membuat drenase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan
operasi Caldwell-Luc. Pembedahan ini dilaksanakan dengan anestesi umum
atau lokal. Jika dengan anestesi lokal, analgesi intranasal dicapai dengan
menempatkan tampon kapas yang dibasahi kokain 4% atau tetrakain 2%
dengan efedrin 1% diatas dan dibawah konka media. Prokain atau lidokain
2% dengan tambahan ephineprin disuntika di fosa kanina. Suntikan
dilanjutkan ke superior untuk saraf intraorbital. Incisi horizontal dibuat di
sulkus ginggivobukal, tepat diatas akar gigi. Incisi dilakukan di superior gigi
taring dan molar kedua. Incisi menembus mukosa dan periosteum. Periosteum
diatas fosa kanina dielevasi sampai kanalis infraorbitalis, tempat saraf orbita
diidentifikasi dan secara hati-hati dilindungi.7,11
12
Gambar 9. prosedur Caldwell Luc
Pada dinding depan sinus dibuat fenestra, dengan pahat, osteatom atau
alat bor. Lubang diperlebar dengan cunam pemotong tulang kerison, sampai
jari kelingking dapat masuk. Isi antrum dapat dilihat dengan jelas. Dinding
nasoantral meatus inferior selanjutnya ditembus dengan trokar atau hemostat
bengkok. Antrostomi intranasal ini dapat diperlebar dengan cunam kerison
dan cunam yang dapat memotong tulang kearah depan. Lubang nasoantral ini
sekurang-kurangnya 1,5 cm dan yang dipotong adalah mukosa intra nasal,
mukosa sinus dan dinding tulang. Telah diakui secara luas bahwa berbagai
jendela nasoantral tidak diperlukan. Setelah antrum diinspeksi dengan teliti
agar tidak ada tampon yang tertinggal, incisi ginggivobukal ditutup dengan
benang plain cat gut 00. biasanya tidak diperlukan pemasangan tampon
intranasal atau intra sinus. Jika terjadi perdarahan yang mengganggu, kateter
balon yang dapat ditiup dimasukan kedalam antrum melalui lubang
nasoantral. Kateter dapat diangkat pada akhir hari ke-1 atau ke 2. kompres es
di pipi selama 24 jam pasca bedah penting untuk mencegah edema, hematoma
dan perasaan tidak nyaman.
13
Pembedahan tidak radikal
Akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan
menggunakan endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BESF). Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi
terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah
menggantikan hampir semuajenis bedah sinus terdahulu karena memberikan
hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.
Indikasi FESS/BSEF meliputi sinusitis kronik yang tidak membaik setelah
terapi yang adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang
irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.1
Prinsipnya adalah membuka dan membersihkan daerah kompleks
ostio-meatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga
ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami.
Dengan demikian mukosa sinus akan kembali normal.7
14
Daftar Pustaka
1. Wardani R. S, Mangunkusumo E. Rinorea, Infeksi Hidung, dan Sinus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2007; 145-153
2. Hilger P.A. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: BOIES, Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Minnesota: Penerbit buku kedokteran EGC, 1997; 240-262
3. Probts R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology, A step-By-Step Learning Guide. New York: Georg Thieme Verlag, 2006; 52-54
4. Hedges H. H, Pollart S.M. 2003. Acute and Chronic Sinusitis: A Practical Guide for Diagnosis and Treatment. American Academy of Family Physician (http://www.icsi.org/knowledge/detail.asp?catID=29&itemID=147. Diakses 5 April 2012)
5. Nizar W. Anatomi Endoskopik Hidung-Sinus Paranasalis dan Patifisiologi Sinusitis. Kumpulan Naskah Lengkap Pelatihan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional Juni 2000.p 8-9
6. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F, Soejak S. Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p 81-91
7. Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. Sinusitis. In: Soepardi EA, Iskandar N (eds). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. 5th Ed. Jakarta: Gaya Baru; 2001.pp.120-124.
8. Kennedy E. Sinusitis. Available from: http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm
15
9. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA, editor. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
10. Razek A. Sinusitis, Chronic, Medical Treatment. Available from: http://www.emidicine.com/ent/topic338.htm
11. Ballenger, J.J. Infeksi Sinus Paranasal dalam Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan Jilid 1 Edisi 13, halaman 232-245, Binarupa Aksara, Jakarta Indonesia 1994
16