Download - Diktat Penj.mutu
I. MUTU BAHAN PANGAN
Bahan pangan adalah bahan yang digunakan untuk menghasilkan pangan. Sedangkan
produk pangan adalah hasil penanganan atau pengolahan bahan pangan. Meskipun
kondisinya jauh berbeda, keduanya mengalami proses penurunan mutu. Bahan pangan
mengalami penurunan mutu dari sejak dipanen atau ditangkap hingga ke tangan konsumen,
baik konsumen akhir maupun antara. Konsumen akhir merupakan konsumen yang langsung
menangani bahan bangan tersebut untuk dikonsumsi. Konsumen antara menangani bahan
pangan untuk dikirim kepada konsumen akhir (pedagang) atau ditangani dan diolah lebih
dahulu menjadi produk pangan (industri) bagi kebutuhan konsumen akhir. Meskipun
keduanya adalah konsumen antara, mempengaruhi penurunan mutu, dan upaya yang dapat
dilakukan untuk menghambat penurunan mutu tersebut
I.1 Sifat bahan pangan
Berdasarkan jenisnya, sifat dari bahan pangan dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu sifat
fisik, kimiawi, dan biologis.
I.1.1 Sifat fisik
Sifat fisik yang memiliki hubungan erat dengan sifat dari bahan pangan antara lain
sifat alometrik, tekstur, kekenyalan, koefisien gesek, dan konduktivitas panas. Sifat
fisik memiliki kaitan sangat erat dengan mutu bahan pangan karena dapat digunakan
sebagai informasi dasar dalam menentukan tingkat metode penanganan dan atau
bagaimana mendesain peralatan pengolahan terutama peralatan pengolahan yang
bersifat otomatis.
Sifat Alometrik
Kekuatan, ukuran, bentuk bahan pangan merupakan sifat fisik penting yang berperan
dalam pengolahan. Sifat fisik tersebut dapat menentukan metode penanganan dan
disain peralatan pengolahan. Ukuran dan bentuk fisik merupakan sifat dasar yang
penting. Pada kerang-kerangan, dimensi kerang, rasio dimensi kerang, rasio volume
ruang dengan volume total dan berat kerang dapat membantu dalam penetuan
peralatan penanganan dan potensi daging per wadah. Informasi mengenai ukuran dan
bentuk bahan pangan dapat membantu dalam pembuatan alat seleksi (Gambar 1.1.).
Jenis bahan pangan, kondisi pertumbuhan, tempat hidup dan faktor lingkungan
lainnya akan berpengaruh terhadap dimensi bahan pangan dan dengan sendirinya akan
berpengaruh terhadap rasio dimensi peralatan.
1
Gambar 1.1. Alat sortasi buah
Tekstur
Tekstur dapat dinyatakan sebagai manifestasi sensoris dari struktur pangan dan
bagaimana struktur bereaksi terhadap gaya yang dikenakan, rasa khusus terlibat yang
terlihat, kinestetis dan pendengaran (Szczesniak, 1990).
Tekstur adalah kumpulan dari sifat-sifat (atribut) yang timbul dari elemen struktur
pangan dan bagaimana dia akan mendaftar rasa fisiologis (Sherman, 1970).
Tekstur bahan pangan beraneka ragam, mulai dari yang tekstur halus hingga kasar.
Tekstur bahan pangan berkaitan dengan perlindungan alami dari bahan pangan
tersebut. Namun dari sisi sebagai bahan pangan, tekstur memiliki kaitan erat dengan
cara penanganan dan pengolahan bahan pangan. Pengujian tekstur bahan pangan
sudah banyak dilakukan dengan menggunakan alat penggunting atau penusuk.
Informasi yang diperoleh akan berguna untuk menentukan berapa kekuatan yang
diperlukan apabila akan menggunakan produk tersebut.
Kekenyalan
Kekenyalan bahan pangan erat kaitannya dengan jumlah dan jenis tenunan pengikat
yang dimiliki dan tingkat kesegaran. Setiap bahan pangan akan memiliki jumlah dan
jenis tenunan pengikat yang berbeda dengan bahan pangan lainnya dan akan
mempengaruhi kekenyalannya. Daging sapi lebih kenyal daripada Pengukuran
kekenyalan bahan pangan dapat dilakukan dengan menggunakan hardness tester atau
pnetrometer. Penggunaan pnetrometer sangat mudah. Tekan tombol di bagian atas
untuk mengatur agar jarum indikator berapa pada posisi angka nol. Letakkan ujung
bagian bawah pnetrometer ke permukaan bahan pangan yang akan diukur. Tekan
pnetrometer secara perlahan hingga jarum bergerak. Apabila jarum sudah tidak
2
bergerak lagi, penekanan dihentikan dan angka yang ditunjuk oleh jarum adalah nilai
kekenyalan dari bahan pangan tersebut.
Koefisien Gesek
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap bahan pangan memiliki tekstur yang
berbeda dengan bahan pangan lainnya. Ada bahan pangan yang memiliki tekstur halus
(misalnya biji-bijian) atau kasar (nenas, durian, dan nangka). Tekstur ini berpengaruh
terhadap koefisien gesek. Bahan pangan dengan tekstur lebih kasar memiliki koefisien
gesek lebih besar dibandingkan bahan pangan dengan tekstur lebih halus. Dibutuhkan
energi lebih besar untuk menggeser bahan pangan dengan koefisien gesek besar.
Salah satu cara pananganan bahan pangan yang memanfaatkankoefisien gesek dari
bahan tersebut adalah pengangkutan dengan sistim ban berjalan. Pengangkutan buah
rambutan yang dilakukan dengan menggunakan sistem ban berjalan lebih mudah bila
dibandingkan dengan pengangkutan buah melon. Hal ini dikarenakan koefisien gesek
buah rambutan lebih besar, jadi relatif lebih sulit bergeser selama pengangkutan
dibandingkan buah melon. Tumpukan buah jeruk bali akan lebih tinggi dibandingkan
buah semangka. Bulatan jeruk bali yang kurang sempurna menyebabkan koefisien
geseknya lebih besar dibandingkan semangka yang bentuknya bulat sempurna.
Pengetahuan mengenai koefisien gesekan berbagai bahan pangan sangat penting
sebagai informasi dalam mendisain peralatan dan merancang sarana transportasi
produk selama penanganan atau pengolahan.
Konduktivitas panas
Pengertian konduktivitas panas adalah jumlah panas yang dapat mengalir per satuan
waktu melalui suatu bahan dengan luas dan ketebalan tertentu per unit temperatur.
Konduktivitas panas banyak digunakan dalam proses pendinginan atau pemanasan
karena berkaitan dengan transfer panas secara konduksi. Nilai konduktivitas panas
suatu bahan pangan akan bervariasi terhadap kandungan air dan temperatur.
Meningkatnya nilai kandungan air dan temperatur akan meningkatkan konduktivitas
panas.
Nilai konduktivitas panas bahan pangan juga dipengaruhi oleh kombinasi antara arah
aliran panas dengan arah serat bahan pangan. Besarnya aliran panas akan meningkat
bila memiliki sejajar dengan arah serat. Pada produk daging beku, perbedaan aliran
3
panas antara aliran panas yang sejajar dan tegak lurus searah serat berkisar antara 10-
20 persen.
I.1.2 Sifat Kimiawi
Sifat kimiawi dari bahan pangan ditentukan oleh senyawa kimia yang
terkandung sejak mulai dari bahan pangan dipanen/ditangkap hingga diolah.
Perubahan kandungan senyawa kimia pada bahan pangan tergantung dari tingkat
kematangan biologis, jeniskelamin, kematangan seksual, temperatur, suplai makanan
atau pupuk, stres, atau parameter lingkungan lainnya. Sebagian besar bahan pangan
memiliki kandungan air relative tinggi. Dengan kandungan air demikian, bahan
pangan tersebut merupakan media yang baik bagi mikroba pembusuk untuk tumbuh
dan berkembang. Upaya dilakukan untuk menurunkan kandungan air dalam bahan
pangan sampai batas dimana mikroba tidak dapat tumbuh dan berkembang masih
terus dikembangkan. Keberhasilan upaya ini akan dapat meningkatkan masa simpan
bahan pangan.
Pada komoditas perikanan dan beberapa bahan pangan nabati lainnya diketahui
mengandung minyak yang dapat diekstrak. Hati ikan hiu, kelapa, bunga matahari, dan
jagung merupakan sejumlah bahan pangan yang telah diketahui banyak mengandung
minyak. Minyak memiliki beberapa sifat khas, yaitu temperatur beku dan leleh,
jumlah ikatan rangkap yang menentukan tingkat kejenuhan. Jumlah minyak yang
dapat diekstrak tergantung dari jenis bahan pangan, musim, makanan yang
dikonsumsi, siklus perkawinan, dan temperature lingkungan. Tingkat kemanisan yang
dimiliki bahan pangan dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Jagung muda (baby
corn) atau ubi jalar lebih terasa manis apabila sebelum dimasak disimpan terlebih
dahulu pada suhu rendah. Pada suhu rendah, karbohidrat yang dikandung oleh jagung
muda atau ubi jalar berada dalam bentuk glukosa sehingga terasa manis. Kandungan
senyawa kimia juga akan berubah apabila bahan pangan mengalami stres menjelang
kematiannya. Ternak dan ikan yang mengalami stres berat menjelang kematiannya
akan memiliki masa simpan relatif lebih singkat dibandingkan dengan ternak dan ikan
yang tidak stres. Selama stres, ternak dan ikan banyak menggunakan energinya
sehingga cadangan energi yang dimilikinya menjadi berkurang. Energi cadangan ini
sangat diperlukan bagi ternak dan ikan untuk mempertahankan kesegaran daging
setelah kematian.
4
I.1.3 Sifat Biologis
Sifat biologis mempunyai peranan sangat penting dalam merancang proses
penanganan dan pengolahan. Sifat biologis yang utama dari bahan pangan adalah
kandungan mikrobanya. Sebagian besar bahan pangan memiliki kandungan mikroba
sejak dipanen atau ditangkap. Mikroba ini tersebar di seluruh permukaan. Sebagian
mikroba tersebut merupakan mikroba asli (flora alami) yang berasal dari alam dan
melekat pada bahan pangan. Sebagian mikroba lainnya berasal dari kontaminasi.
Kontaminasi mikroba dapat berasal dari lingkungan, pakaian yang dikenakan saat
menangani atau mengolah bahan pangan, dan dari bahan pangan yang sudah tercemar.
Bila kondisi memungkinkan, kedua jenis mikroba ini secara bersamaan akan
menurunkan tingkat kesegaran bahan pangan.
I.2 Mutu dan Kualitas Bahan
Apa sesungguhnya mutu itu ?
Pertanyaan ini sangat banyak jawabannya, karena maknanya akan berlainan bagi setiap
orang dan tergantung pada konteksnya. Mutu sendiri memiliki banyak kriteria yang berubah
secara terus menerus. Mutu akan sulit didefinisikan dengan tepat.
Dari beberapa definisi diatas intisari elemen elemen mutu (Tjiptono dan Diana, 1995),
dipahami adalah sebagai berikut ::
• Mutu meliputi usaha memnuhi atau melebihi harapan pelanggan
• Mutu mencakup produk, jasa manusia, proses dan lingkungan
• Mutu merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya yang dianggap bermutu saat
ini mungkin dianggap kurang bermutu pada masa datang)
Mutu adalah gabungan dari sejumlah atribut yang dimiliki oleh bahan atau produk
pangan yang dapat dinilai secara organoleptik. Atribut tersebut meliputi parameter
kenampakan, warna, tekstur, rasa dan bau (Kramer dan Twigg, 1983). Menurut Hubeis
(1994), mutu dianggap sebagai derajat penerimaan konsumen terhadap produk yang
dikonsumsi berulang (seragam atau konsisten dalam standar dan spesifikasi), terutama sifat
organoleptiknya. Mutu juga dapat dianggap sebagai kepuasan (akan kebutuhan dan harga)
yang didapatkan konsumen dari integritas produk yang dihasilkan produsen. Berdasarkan
ISO/DIS 8402 – 1992, mutu didefinsilkan sebagai karakteristik menyeluruh dari suatu wujud
apakah itu produk, kegiatan, proses, organisasi atau manusia, yang menunjukkan
kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan (Fardiaz, 1997).
5
Kramer dan Twigg (1983) telah mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan pangan
menjadi dua kelompok, yaitu : (1) karakteristik fisik atau karakteristik tampak, meliputi
penampilan yaitu warna, ukuran, bentuk dan cacat fisik; kinestika yaitu tekstur, kekentalan
dan konsistensi; flavor yaitu sensasi dari kombinasi bau dan cicip, dan (2) karakteristik
tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis. Mutu berbeda dengan kualitas.
Pisang batu mempunyai kualitas lebih baik sebagai bahan baku rujak gula, namun pisang
yang bermutu baik adalah Cavendish karena memiliki sejumlah atribut baik. Hanya satu
karakteristik baik yang dimiliki oleh pisang batu, yaitu daging buahnya berbiji sehingga
cocok untuk rujak. Pisang cavendish memiliki sejumlah karakteristik baik, yaitu rasa yang
manis, kulitnya mulus, bentuknya menarik, dan tekstur daging buahnya lembut. Dengan
demikian, cavendish merupakan buah pisang yang bermutu baik sedangkan pisang batu
merupakan pisang berkualitas baik untuk dibuat rujak. Istilah kualitas berbeda pengertiannya
antara satu orang dengan lainnya. Kualitas bahan pangan dapat dikatakan baik hanya karena
karakter ukuran, jenis, atau kesegarannya. Harga jual bahan pangan yang mahal dianggap
lebih berkualitas dibandingkan dengan harga jual yang lebih murah. Sebagai contoh, durian
monthong dari Thailand dianggap lebih berkualitas dibandingkan durian lokal yang harganya
relative murah.
I.3 Faktor yang mempengaruhi mutu
Mutu dari bahan pangan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik internal maupun
ekternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari bahan pangan itu sendiri, yaitu jenis
kelamin, ukuran, spesies, perkawinan, dan cacat. Faktor eksternal berasal dari lingkungannya,
seperti jarak yang harus di tempuh hingga ke tempat konsumen, pakan yang diberikan, lokasi
penangkapan atau budidaya, keberadaan organisme parasit, kandungan senyawa beracun,
atau kandungan polutan.
I.3.1 Spesies
Spesies ternak atau ikan mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap bahan
pangan. Spesies yang satu dapat diterima atau banyak diminta oleh konsumen
dibandingkan spesies yang lain. Demikian pula harga spesies yang satu dapat lebih
mahal bila dibandingkan spesies lainnya. Penerimaan konsumen terhadap bahan
pangan dipengaruhi oleh kecocokan kenampakan, rasa, adanya tulang halus atau
duri,tabu menurut agama, atau kebiasaan sosial.Bahan pangan yang cocok untuk
dibuat produk tertentu dianggap lebih berkualitas bila dibandingkan dengan bahan
pangan lainnya. Sebagai contoh yang khas, nenas Bogor yang rasanya manis paling
6
enak dibuat selai nenas, sehingga nenas Bogor dianggap lebih berkualitas sebagai
bahan baku pembuatan selai nenas manis dibandingkan nenas yang berasal dari
Palembang atau si madu dari Subang.
Spesies yang satu lebih diterima oleh masyarakat di suatu daerah, sedangkan di
daerah lain spesies tersebut kurang diterima oleh konsumen. Contoh yang paling khas
adalah cumi-cumi. Di wilayah Propinsi Jawa Barat, cumi-cumi disukai dan harganya
mahal, namun di Sumatera Utara cumi-cumi ini banyak digunakan sebagai umpan
pancing. Lokasi tempat tinggal juga dapat menentukan mutu dari bahan pangan.
Masyarakat yang tinggal ditepi laut menganggap ikan lebih berkualitas dibandingkan
dengan daging ternak atau tumbuhan, namun berlaku sebaliknya bagi masyarakat
yang tinggal disekitar pegunungan.
Banyak jenis salak yang sudah dikenal, namun masyarakat lebih menyukai salak
yang berasal dari daerah Pondoh atau pulau Bali. Sebagian masyarakat menyukai
daging ayam negeri (ras) karena dagingnya dianggap lebih lunak, namun sebagian lagi
menyukai ayam kampung (buka ras) yang aroma dagingnya lebih enak. Masyarakat
ada yang menyukai sate ayam madura, namun ada pula yang cenderung mencari sate
kambing dari Brebes karena menggunakan daging kambing muda sebagai bahan
bakunya. Beberapa penggemar sate lebih menyukai sate padang yang memiliki ciri
khas menggunakan jeroan sapi sebagai bahan baku dan bubur sebagai kuahnya.
I.3.2 Ukuran
Ukuran bahan pangan juga dapat mempengaruhi mutu. Bahan pangan yang
memiliki ukuran besar dianggap lebih bermutu dibandingkan dengan bahan pangan
berukuran lebih kecil. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli bahan pangan
berukuran besar lebih banyak dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk
membelibahan pangan sejenis namun memiliki ukuran relatif lebih kecil. Bahan
pangan berukuran besar dianggap dapat memberikan citarasa lebih baik, bagian yang
dapat dimakan (edible part) lebih banyak, dan biaya penanganan per unit berat lebih
murah . Untuk membuat sayuran cap cay lebih disukai jagung muda (baby corn)
karena lebih manis dan mudah dikunyah.
I.3.3 Jarak ke konsumen
7
Untuk beberapa jenis bahan pangan yang mudah mengalami proses penurunan
mutu, jarak antara tempat produksi bahan pakan ke tempat dimana konsumen berada
akan berpengaruh terhadap mutu. Indonesia yang memiliki suhu dan kelembaban
lingkungan relatif tinggi, sehingga jarak ke konsumen berpengaruh nyata terhadap
penurunan mutu bahan pangan. Bahan pangan yang mudah rusak sebaiknya diangkut
menggunakan sarana transportasi yang dilengkapi unit pendingin atau menggunakan
pesawat terbang untuk mempersingkat waktu. Di Sulawesi Tengah dan Selatan, ikan
laut dipasarkan sampai ke daerah pegunungan dengan mengendarai sepeda motor
yang dilengkapi sarana pengangkut berupa kotak berlapis stirofom. Stirofom tersebut
berperan sebagai isolator. Kotak yang diberi lapisan stirofom akan mampu
mempertahankan suhu di dalam lingkungan kotak tetap rendah, sehingga penurunan
kesegaran ikan dapat dihambat. Mahalnya harga ikan di daerah pegunungan tersebut
bukan karena mutunya yang baik tetapi lebih sebagai pengganti biaya untuk
mengangkut ikan tersebut ke pegunungan.
I.3.4 Pakan
Pakan yang diberikan kepada ikan atau ternak akan berpengaruh terhadap
citarasa ikan dan hewan ternak. Ikan yang diberi pelet akan menghasilkan daging
dengan citarasa seperti pelet, demikian pula bandeng yang memakan ganggang
tertentuakan memiliki rasa seperti lumpur. Tomat yang diberi pupuk dengan
komposisi tertentu dapat dikendalikan citarasanya, apakah mau manis, terasa asam,
atau tawar.Ikan mas di Jepang diberi pakan berupa kepompong ulat sutra, di Israel
diberi ampas kacang dan tepung darah, sedangkan di Indonesia menggunakan pelet.
Dengan pemberian jenis pakan yang berbeda, ketiga ikan tersebut memiliki
aroma daging yang spesifik dan berbeda antara ikan yang satu dengan lainnya.
I.3.5 Lokasi
Lokasi budidaya atau penangkapan ikan maupun ternak akan berpengaruh
terhadap mutu ikan atau ternak. Kondisi lingkungan seperti angin, gelombang, kondisi
air, dan pola migrasi akan mempengaruhi jenis dan kelimpahan makanan ikan
sehingga berpengaruh terhadap citarasa ikan. Hasil ikan yang diperoleh di daerah
dimana sedang musim perkawinan, memiliki mutu lebih rendah dibandingkan ikan
yang sama tetapi ditangkap di daerah lain. Tanaman yang dipanen di daerah Cipanas
Bogor memiliki citarasa dan penampilan berbeda dengan tanaman yang jenisnya sama
8
tetapi dipanen di daerah Lembang. Demikian pula halnya apabila dibandingkan
dengan penampilan tanaman yang dipanen di tepi jalan raya yang ramai dilalui
kendaraan atau di sisi rel kereta api.
Tanaman kangkung darat dapat dianggap memiliki mutu lebih baik
dibandingkan kangkung air, terutama yang dipanen dari perairan yang tercemar
limbah.
I.3.6 Jenis kelamin dan masa perkawinan
Ikan dan ternak memiliki jenis kelamin dan masa perkawinan. Jenis kelamin
akan berpengaruh terhadap cita rasa dagingnya. Kepiting biru di Amerika yang
berjenis kelamin jantan lebih disukai karena rasa dagingnya menyerupai aroma daging
sapi. Kepiting Bakau lebih disukai yang berjenis kelamin betina, terutama yang masih
memiliki telur. Udang galah berjenis kelamin jantan dengan capitnya yang besar
dianggap memiliki kualitas lebih rendah dibandingkan betinanya.
Bagian daging yang dapat dimakan dari udang galah jantan lebih kecil
dibandingkan udang galah betina. Masa perkawinan juga berpengaruh terhadap mutu
daging atau ternak. Energi yang banyak dikeluarkan melakukan perkawinan
menyebabkan citarasa daging ikan atau ternak mengalami perubahan.
I.3.7 Organisme parasit
Organisme parasit yang menyerang akan berpengaruh nyata terhadap mutu
bahan pangan. Parasit dapat berupa bakteri, jamur, protozoa, serangga cacing. Bakteri
dan jamur banyak menimbulkan kerugian karena kemampuannya merusak bahan
pangan. Selain penampakan bahan pangan menjadi tidak menarik, serangan bakteri
dan jamur sering disertai dengan timbulnya bau busuk.
Protozoa sering menyerang ikan dan ternak. Serangan protozoa dapat
mengakibatkan jaringan daging melunak atau luka pada kulit. Serangga juga sering
menyerang bahan pangan, baik ikan, ternak, maupun hasil pertanian. Serangga
cenderung meletakkan telurnya pada bahan pangan dan efek dari serangannya baru
terlihat setelah telur menetas.
I.3.8 Kandungan senyawa racun
9
Kasus keracunan makanan sudah sering terjadi, baik yang dialami buruh pabrik
hingga polisi dan pengacara. Keracunan dapat disebabkan oleh tiga cara, yaitu
kimiawi, biologis, dan mikrobiologis. Berdasarkan penyebabnya, ada beberapa faktor
yang dapat menyebabkan timbulnya keracunan makanan, yaitu sifat bahan pangan itu
sendiri, cara pengolahan atau penyimpanannya, dan bisa pula karena pengaruh dari
luar. Menurut Supardi dan Sukamto (1999), penyakit yang timbul karena
mengonsumsi makanan dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu infeksi
makanan dan intoksikasi (keracunan makanan). Infeksi adalah peristiwa dimana
seseorang mengkonsumsi bahan pangan atau minuman yang mengandung bakteri
patogen yang tumbuh dalam saluran usus dan menimbulkan penyakit. Contoh dari
bakteri patogen tersebut adalah Clostridium perfringens, Vibrio dan
parahaemolyticus, Salmonella. Intoksikasi dapat terjadi karena mengkonsumsi bahan
pangan mengandung senyawa beracun yang diproduksi oleh bakteri atau jamur. Jadi,
peristiwa keracunan terjadi karena menelan bahan pangan yang mengandung racun
(toksin) yang dihasilkan oleh mikroba. Mungkin mikroba tersebut sudah mati setelah
memproduksi racun pada bahan pangan. Beberapa jenis racun tidak dapat dirusak oleh
proses pemasakan, sehingga orang yang mengkonsumsi bahan pangan tersebut akan
tetap mengalami keracunan. Mikroba patogen yang telah diketahui dapat
menyebabkan bahan pangan menjadi beracun adalah Stapilococcus aureus,
Clostridium botulinum, dan Bacillus cereus. Sebagian besar ikan aman untuk
dikonsumsi namun ada beberapa jenis ikan yang secara alami mengandung racun,
baik karena keseluruhan badannya memang mengandung racun maupun bagian
tertentu saja. Racun yang dikandung ikan tersebut dapat menyebabkan keracunan atau
mengakibatkan kematian bagi yang mengkonsumsinya. Sebagian besar ikan beracun
tersebut hidup di perairan tropis dan sub tropis.
I.3.9 Kandungan polutan
Akhir-akhir ini marak diberitakan penggunaan senyawa formalin (formaldehid)
sebagai pengawet bahan dan produk pangan. Senyawa formalin memiliki gugus
CH2OH yang mudah mengikat air dan gugus aldehid yang mudah mengikat protein.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melarang penggunaan senyawa
formalin sebagai pengawet bahan pangan dan badan ini juga telah menginformasikan
bahwa 56 persen produk pangan yang beredar ternyata mengandung formalin. Produk
tersebut terutama pada mie, tahu, ikan segar, dan ikan asin. Sebelumnya telah
10
diketahui penggunaan bahan pewarna non pangan dan boraks. Penggunaan kedua
bahan ini menjadi sumber polutan dalam bahan pangan. Sumber polutan dapat berasal
dari lingkungan yang mencemari, penggunaan bahan-bahan kimia non pangan, dan
penggunaan bahan-bahan yang memiliki efek samping mencemari. Polutan banyak
berasal dari lingkungan yang tercemar. Media tumbuh, peralatan dan wadah yang
digunakan dapat menjadi sumber polutan.
I.3.10 Cacat
Beberapa bahan pangan memiliki penampilan cacat sehingga terlihat kurang
menarik. Penampilan cacat ini dapat disebabkan oleh sifat genetis, faktor lingkungan,
atau serangan organisme lain.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, Edi. 2008. Pengawasan Mutu Produk/Bahan Pangan 1. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Departemen Pendidikan Nasional.
Anonim. 2010. Interaksi bahan pangan dengan kemasan. Didownload di www. ocw.usu.ac.id tanggal 1 Februari 2012.
Arpah, M. 1993. Pengawasan Mutu Pangan. Penerbit Tarsito, Bandung.
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Status regulasi cemaran dalam produk pangan. Buletin Kemanan Pangan. Nomor 6. halaman 4-5.
Winarno, FG. Keamanan Pangan 2. 2004. M Brio Press. Bogor
11
II. JAMINAN MUTU HASIL PERTANIAN
II.1 Keamanan Pangan
Keamanan Pangan penting dalam menjamin pangan yang aman dan layak
dikonsumsi. Suplai pangan yang aman tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat
Indonesia, tetapi juga meningkatkan kualitas generasi muda kita dengan pangan yang aman
dan layak dikonsumsi. Pemerintah Indonesia berkeinginan untuk terus menerus
meningkatkan mutu dan keamanan pangan dan menumbuhkan kesadaran di kalangan
masyarakat mengenai pentingnya keamanan pangan, sehingga kasus keracunan yang sering
terjadi di kalangan masyarakat dapat dihindari.
Keamanan pangan merupakan syarat penting yang harus melekat pada pangan yang
hendak dikonsumsi oleh semua masyarakat Indonesia. Pangan yang bermutu dan aman
dapat dihasilkan dari dapur rumah tangga maupun dari industri pangan. Oleh karena itu
industri pangan adalah salah satu faktor penentu beredarnya pangan yang memenuhi standar
mutu dan keamanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Keamanan pangan bukan hanya
merupakan isu dunia tapi juga menyangkut kepedulian individu. Jaminan akan keamanan
pangan adalah merupakan hak asasi konsumen. Pangan termasuk kebutuhan dasar
terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia. Walaupun pangan itu menarik,
nikmat, tinggi gizinya jika tidak aman dikonsumsi, praktis tidak ada nilainya sama sekali.
Keamanan pangan selalu menjadi pertimbangan pokok dalam perdagangan, baik
perdagangan nasional maupun perdagangan internasional. Di seluruh dunia kesadaran
dalam hal keamanan pangan semakin meningkat. Pangan semakin penting dan vital
peranannya dalam perdagangan dunia. Dalam modul ini akan dibahas berbagai aturan yang
melingkupi aspek keamanan pangan, analisis bahaya keamanan pangan dan berbagai
peluang untuk menguranginya.
II.2 Penyimpangan Mutu Pangan
Penyimpangan mutu adalah penyusutan kualitatif dimana bahan mangalami
penurunan mutu sehingga menjadi tidak layak dikonsumsi manusia. Bahan pangan rusak
mengalami perubahan cita rasa, penurunan nilai gizi atau tidak aman lagi dimakan karena
mengganggu kesehatan. Pada kondisi ini maka makanan sudah kadaluarsa atau melewati
masa simpan (shelf life).
12
Penyusutan kuantitatif mengakibatkan kehilangan jumlah atau bobot hasil pertanian,
dan ini disebabkan oleh penanganan yang kurang baik atau karena gangguan biologi (proses
fisiologi, serangan serangga dan tikus). Susut kuantitatif dan kualitatif ini penting dalam
pengemasan, dan susut kualitatif lebih penting dari kuantitatif. Pengemasan dapat
mempengaruhi mutu pangan antara lain melalui: perubahan fisik dan kimia karena migrasi
zat-zat kimia dari bahan kemas (monomer plastik, timah putih, korosi). perubahan aroma
(flavor), warna, tekstur yang dipengaruhi oleh perpindahan uap air dan O2.
Mutu hasil pertanian pangan akan dapat mengalami penyimpangan sebagai akibat
kegiatan fisiologis dari komoditas tersebut, terutama akan cepat tampak perubahannya pada
komoditas yang bersifat cepat rusak. Penanganan yang kurang baik setelah dipanen dapat
mengakibatkan terjadinya kontaminasi dengan hama dan penyakit tertentu, yang selanjutnya
dapat merubah kondisi atau tingkat kesegaran atau kesempurnaan bahan pangan tersebut.
Mikrobia adalah penyebab yang paling banyak terjadi yang akan mengakibatkan
penyimpangan mutu. Perlakuan fisik dan atau mekanis selama penanganan segar, dapat
menyebabkan luka atau memar pada bahan pangan tertentu. Luka atau memar akan
menimbulkan adanya kontaminasi atau proses pelayuan dan pembusukan berlangsung lebih
cepat.
Penggunaan bahan-bahan kimia baik sebelum ataupun sesudah panen, seringkali
meninggalkan residu pada bahan pangan. Residu kimia banyak yang bersifat racun, yang
tentunya akan berdampak pada gangguan kesehatan manusia. Hasil pertanian pangan
setelah dipanen biasanya disortir untuk memperoleh keseragaman dalam satu atau beberapa
hal tertentu, misalnya ukuran berat, keseragaman bentuk, warna, tingkat kematangan, dan
lain sebagainya. Sortasi dapat dilakukan pula dengan tujuan untuk memperoleh keutuhan
secara fisik (tidak cacat), yang disebabkan oleh adanya serangan hama atau penyakit
sebelum panen atau sebelum disortasi. Pada komoditas serealia, keseragaman bentuk,
ukuran, dan tingkat kematangan biji sangat dipentingkan. Pada beras, mutu beras dibedakan
menjadi : beras kepala, beras pecah (broken), dan menir. Tingkat kematangan yang seragam
pada buah-buahan dapat ditunjukkan oleh warna kulit buah yang seragam. Seperti telah
dikemukakan sebelumnya, penyimpangan mutu dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara
lain akibat hama dan penyakit sebelum dipanen, pada waktu penyimpanan di gudang,
kerusakan fisik, kerusakan mekanis, dan kerusakan fisiologis. Kerusakan dapat pula terjadi
oleh karena “salah simpan” misalnya buah-buahan terlalu lama disimpan di lemari
pendingin.
13
Hama tanaman atau hama gudang akan meninggalkan bekas pada buah atau biji,
serangan mikroba juga akan menimbulkan tandatanda tertentu seperti bercak-bercak hitam
atau abu-abu, atau ada pula yang mengakibatkan pangan tersebut mengalami proses
pembusukan. Pembusukan ini pada gilirannya menyebabkan kerusakan fisiologis.
II.3 Pengembangan Sistem Jaminan Mutu
Pengembangan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan sektor Pertanian
mengacu sepenuhnya kepada Peraturan Pemerintah Nomor 102 tahun 2000 tentang
Standardisasi Nasional. Secara teknis, seluruh operasional standardisasi tersebut sudah
dituangkan dalam Sistem Standardisasi Nasional (Surat Keputusan Kepala BSN
No.3401/BSN-l/HK.71/11/2001) yang mengatur tentang Kelembagaan, Sumber Daya
Manusia, Sistem Mutu dan proses Sertifikasi dan Akreditasi.
Ruang lingkup Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan ini meliputi Produk
Pangan dan Non Pangan untuk komoditi Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan
Peternakan dengan mengadopsi berbagai sistem mutu yang berkembang terutama Sistem
Mutu ISO 9001:2000, Sistem Mutu Lingkungan ISO 14000 : 1997 dan Sistem Mutu
berdasarkan Sistem HACCP. Di samping itu pengembangan Sistem Pangan Organik,
Sistem Jaminan Varietas dan Registrasi/Pendaftaran Produk Pangan yang beredar baik yang
berasal dari produksi dalam negeri maupun produk pangan impor.
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1) Sistem Jaminan Mutu Pangan Hasil Pertanian selanjutnya disebut Sistem Jaminan
Mutu adalah tatanan dan upaya untuk menghasilkan produk yang aman dan bermutu
sesuai standar atau persyaratan teknis minimal.
2) Pangan hasil pertanian adalah pangan segar yang berasal dari tumbuhan dan hewan
yang belum mengalami pengolahan, yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang
dapat menjadi bahan baku pengolahan pangan.
3) Bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk
mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.
4) Program Keamanan Pangan berdasarkan Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP) adalah suatu konsepsi manajemen mutu untuk memberikan jaminan
keamanan dari produk pangan dengan menerapkan SNI.
5) Jaminan varietas adalah keterangan yang menunjukan kebenaran kemurnian keaslian
varietas yang dinyatakan dalam label.
14
6) Good Agriculture Practices (GAP)/Good Farming Practices (GFP) adalah suatu
pedoman yang menjelaskan cara budidaya tumbuhan/ternak yang Baik agar
menghasilkan pangan bermutu, aman, dan layak dikonsumsi.
7) Good Handling Practices (GHP) adalah suatu pedoman yang menjelaskan cara
Penanganan Pasca Panen Hasil Pertanian yang Baik agar menghasilkan pangan
bermutu, aman, dan layak dikonsumsi.
8) Good Manufacturing Practices (GMP) adalah suatu pedoman yang menjelaskan cara
Pengolahan Hasil Pertanian yang Baik agar menghasilkan pangan bermutu, aman, dan
layak dikonsumsi.
9) Inspektor adalah orang memenuhi kriteria tertentu dan ditunjuk oleh lembaga penilai
untuk melakukan penilaian kesesuaian kepada pelaku usaha yang melaksanakan
operasi produksi jaminan keamanan pangan suatu unit usaha.
10)Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan
dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
11)Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau
membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak
12)Label pangan yang selanjutnya disebut label adalah setiap keterangan mengenai
pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang
disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan
bagian kemasan pangan.
13)Laboratorium penguji adalah Laboratorium penguji mutu dan keamanan pangan hasil
pertanian.
14)Lembaga Penilai Kesesuaian yang selanjutnya disebut LPK adalah lembaga yang
melakukan penilaian atau pengujian kesesuaian terhadap suatu standar.
15)Lembaga sertifikasi adalah lembaga yang menerbitkan sertifikat jaminan mutu pangan
hasil pertanian.
16)Mutu adalah nilai pangan yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan,
kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan
minuman.
17)Lembaga Sertifikasi Organik yang selanjutnya disebut LSO adalah Lembaga
independen yang bertanggung jawab untuk melakukan sertifikasi organik kepada unit
usaha yang menghasilkan produk dengan menerapakan sistem organik.
15
18)Lembaga Sertifikasi Jaminan Varietas yang selanjutnya disebut LSJV adalah
Lembaga independen yang bertanggung jawab untuk melakukan sertifikasi jaminan
atas produk dari varietas kepada unit usaha yang menerapkan sistem jaminan varietas.
19)Otoritas Kompeten Keamanan Pangan yang dalam hal ini disebut OKKP adalah unit
kerja di lingkup Kementerian Pertanian atau Pemerintah Daerah yang sesuai dengan
tugas dan fungsinya diberikan kewenangan untuk melaksanakan pengawasan sistem
jaminan mutu pangan hasil pertanian.
20)Pangan organik adalah pangan yang berasal dari suatu pertanian organik yang
menerapkan SNI Sistem Pangan Organik.
21)Pangan produk rekayasa genetik adalah pangan yang diproduksi atau menggunakan
bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari proses
rekayasa genetik.
22)Standar adalah spesifikasi atau persyaratan teknis yang dibakukan, termasuk tata cara
dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan
memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman perkembangan
masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-
besarnya.
23)Sertifikat hasil uji adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh laboratorium yang telah
diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang telah memenuhi standar yang
dipersyaratkan.
24)Sertifikat jaminan mutu adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga yang
telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa proses dan/atau produk telah memenuhi
standar yang dipersyaratkan
25)Ketelusuran adalah kemampuan untuk menelusur informasi pangan segar hasil
pertanian sampai pada tahapan budidaya, pasca panen, pengolahan, pengemasan dan
distribusinya, melalui skim pencatatan yang dapat diakses oleh pihak yang
berkepentingan.
26)Setiap orang adalah orang-perseorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan
hukum maupun tidak.
Menurut Hubeis (1999), konsep mutu yang berlaku umum maupun khusus pada
bidang pangan erat kaitannya dengan era mutu, dimulai dengan inspeksi atau
16
pengawasan pada tahun 1920-an yang menekankan pada pengukuran. Pada tahun 1960
mengarah kepengendalian mutu dengan pendekatan teknik statistika berupa grafik,
histogram, tabel, diagram pencar dan perancangan percobaan. Tahun 1980-an
berorientasi pada jaminan mutu (quality assurance) dan tahun 1990-an terfokus pada
manajemen mutu total (Total Quality Management atau TQM). Masih dalam Hubeis
(1999), dikatakan pula bahwa permasalahan mutu bukan sekedar masalah pengendalian
mutu atas barang dan jasa atau standar mutu barang (product quality), tetapi sudah
bergerak kepenerapan dan penguasaan TQM menuju world class performance yang
dimanifestasikan dalam ISO (International Standar’s Organization)
Sistem mutu menurut ISO 9000 dalam Kadarisman (1994) mencakup :
• Mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh produk atau jasa, yang
menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan yang ditentukan (tersurat)
maupun yang (tersirat)
• Kebijakan Mutu adalah keseluruhan maksud dan tujuan organisasi (perusahaan)
yang berkaitan dengan mutu yang secara formal dinyatakan oleh pimpinan puncak
• Manajemen Mutu adalah seluruh aspek fungsi manajemen yang menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mutu yang telah dinyatakan oleh pimpinan puncak
• Pengendalian Mutu, teknik teknik dan kegiatan kegiatan operasional yang digunakan
untuk memenuhi persyaratan umum. Pengendalian mutu meliputu monitoring suatu
proses, melakukan tindakan koreksi bila ada ketidaksesuaian den menghilangkan
penyebab timbulnya hasil yang kurang baik pada tahapan rangkaian mutu yang
relevan untuk mencapai efektivitas yang ekonomis
• Jaminan Mutu adalah seluruh perencanaan dan kegiatan sistematis yang diperlukan
untuk memberikan suatu keyakinan yang memadai bahwa suatu produk atau jasa akan
memenuhi persyaratn tertentu.
II.4 Manajemen Mutu Terpadu
Salah satu upaya untuk memenangkan persaingan dagang di pasar internasional
adalah memasarkan produk berkualitas baik. Komoditas yang ditawarkan harus memiliki
mutu lebih baik dibandingkan produk sejenis dari negara lain. Untuk menghasilkan bahan
pangan dengan mutu yang baik, pemerintah telah menerapkan konsep Manajemen Mutu
Terpadu (MMT). Setiap industri pangan diharuskan menerapkan MMT.
17
Memasuki era perdagangan bebas, setiap negara berusaha untuk dapat memperluas
pangsa pasar bagi komoditas yang dihasilkannya. Berbagai upaya terus dilakukan guna
mengatasi sejumlah hambatan yang menghadangnya. Pemasaran bahan pangan dapat
dilakukan di pasar lokal maupun pasar manca negara. Sebagai negara dengan penduduk lebih
dari 200 juta orang, Indonesia merupakan kawasan potensial bagi negara lain untuk
memasarkan produknya. Produsen dari berbagai negara berusaha untuk menguasai pasar
Indonesia bagi produknya.
ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah wujud dari kesepakatan negara-negara di
Asia Tenggara dan kawasan sekitarnya untuk membentuk kawasan perdagangan bebas guna
meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN sebagai basis produksi dunia
serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya.
Berdasarkan perjanjian AFTA, akan dilakukan penghapusan hambatan tarif (bea
masuk) dan non tarif bagi negara-negara ASEAN. Setiap negara harus mengijinkan produk
dari negara lain untuk memasuki wilayahnya, apabila negara tersebut tidak memiliki produk
sejenis. Dengan demikian, apabila tidak memiliki produk sejenis dengan kualitas yang sama,
maka negara kita akan kebanjiran produk yang berasal dari negara lain. Hal ini sudah terasa
pada komoditas buah-buahan, barang elektronik, obat-obatan, dan kosmetik. Dalam
perdagangan bebas antar negara telah dikenal dua jenis hambatan pemasaran, yaitu hambatan
tarif dan non tarif. Bila tidak dipenuhi, maka produk dari negara produsen tidak dapat
dipasarkan ke negara konsumen. Hambatan tarif antara lain berupa penentuan harga, pajak
dan kuota. Harga komoditas yang berlaku di negara tujuan ekspor, besarnya nilai pajak yang
harus dibayar ke negara tujuan, dan pembatasan kuota merupakan hambatan tarif yang dapat
mempengaruhi perdagangan antar negara.
Hambatan non tarif merupakan syarat yang spesifik dari setiap negara konsumen,
sehingga perlu dicermati agar komoditas dapat dipasarkan ke negara tersebut. Syarat yang
diajukan oleh negara konsumen dapat berkaitan dengan negaranya atau negara produsen.
Hambatan non tarif antara satu bahan pangan dengan lainnya berbeda.
Untuk menghasilkan bahan atau produk pangan yang bermutu tinggi, pemerintah
telah menerapkan konsep Manajemen Mutu Terpadu (MMT) untuk berbagai industri pangan.
Landasan hukum yang mendasari penerapan MMT di setiap industri berbeda. Misalnya,
landasan hukum penerapan MMT dalam bidang industri perikanan adalah : (a) landasan
hukum internasional yang meliputi Code of Conduct for Responsible Fisheries, HACCP
Regulation US-FDA, Own Check UE–HACCP, dan HACCP plus– Canada; dan (b) landasan
18
hukum nasional yang berupa : Undang-Undang Perikanan No. 9 tahun 1985; Peraturan
Pemerintah No. 12 tahun 1991; dan Keputusan Presiden No. 15 tahun 199.
Secara umum penerapan PMMT bertujuan untuk menghasilkan produk pangan
bermutu tinggi. Secara khusus, penerapan MMT bertujuan untuk : (a) mengevaluasi cara
memproduksi produk pangan untuk mengetahui bahaya yang mungkin terjadi; (b)
memperbaiki cara memproduksi bahan pangan dengan memberikan perhatian khusus
terhadap tahap-tahap proses atau mata rantai produksi yang dianggap kritis; (c) memantau
dan mengevaluasi cara menangani dan mengolah pangan serta menerapkan sanitasi dalam
memproduksi pangan; dan (d) meningkatkan pemeriksaan secara mandiri terhadap industri
pangan oleh operator dan karyawan.
Di samping tujuan yang telah diuraikan di atas, penerapan MMT dapat memberikan
manfaat khususnya bagi industri/produsen antara lain sebagai berikut : (a) memberikan dan
meningkatkan jaminan mutu (keamanan) produk yang dapat lebih dipercaya; (b) menekan
kerusakan produk karena cemaran; (c) melindungi kesehatan konsumen dari bahaya dan
pemalsuan; (d) menekan biaya pengendalian mutu dan kerugian lainnya; (e) memperlancar
pemasaran sehingga dapat mencegah terjadinya kehilangan pembeli atau pasar; (f) mencegah
penarikan produk dan pemborosan biaya produksi atau kerugian; dan (g) membenahi dan
membersihkan tempat-tempat produksi (pabrik).
Untuk memenangkan persaingan dalam era perdagangan bebas diperlukan bahan
atau produk pangan yang bermutu. Banyak bahan dan produk pangan yang belum memenuhi
standar mutu seperti ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI). Sebagian besar
produsen bahan atau produk pangan ternyata masih belum menjadikan mutu sebagai
orientasi. Hal ini dapat terjadi karena modalnya relatif kecil, rendahnya tingkat pengetahuan,
dan tuntutan masyarakat. Sebagian besar produsen bahan pangan masih belum menjadikan
mutu sebagai tujuan akhir. Hal ini dapat dimengerti karena modal yang dimiliki relatif kecil,
rendahnya tingkat pengetahuan, dan rendahnya tuntutan masyarakat.
Rendahnya tuntutan dari masyarakat akan mutu pangan telah berpengaruh terhadap
rendahnya orientasi mutu dari produsen. Sebagian produsen bahan pangan adalah home
industry (industri rumah tangga) yang memiliki modal terbatas sehingga perlu menerapkan
skala prioritas. Berdasarkan MMT, bagi produsen yang berskala industri rumah tangga
diwajibkan untuk menerapkan GMP secara benar di setiap proses produksinya. Dengan
demikian diharapkan kualitas bahan pangan yang dihasilkan memiliki daya tarik dan daya
saing lebih baik.
19
Susut produksi bahan pangan dapat mencapai 20-30 persen. Susut bobot ini dapat
berasal dari limbah pasar/industri, kesalahan penanganan, dan pasar yang tidak memiliki
kemampuan untuk menyerap bahan pangan yang dihasilkan. Penerapan MMT diharapkan
dapat menekan susut bobot dengan cara menghasilkan produk sesuai prosedur yang berlaku.
Persyaratan mutu produk pangan yang ditetapkan dalam perdagangan bebas
cenderung makin ketat. Negara produsen yang mampu secara terus menerus meningkatkan
mutu akan memenangkan persaingan. Sebagai contoh, batas maksimum kandungan antibiotik
chloramphenicol yang diperkenankan dalam bahan pangan adalah 0.3 ppm Dengan
ditemukan alat pendeteksi yang lebih akurat, maka batas maksimum senyawa tersebut telah
diturunkan menjadi 0.1 ppm.
Negara berkembang tidak memiliki kemampuan untuk membuat alat pendeteksi
tersebut sehingga harus membelinya dari negara maju. Harga satu unit pendeteksi tersebut
mencapai 1 miliar. Dari fenomena di atas, terlihat bahwa produsen dari negara berkembang
harus mengeluarkan biaya dahulu untuk dapat memasarkan produknya ke negara maju.
Dengan kata lain, berapa udang yang harus diekspor ke Amerika agar keuntungan
yang diperoleh dapat menutupi biaya pembelian alat pendeteksi tersebut.
II.5 Pelaksanaan MMT
Kondisi industri pangan di negara Indonesia masih beragam, baik dari teknologi
yang digunakan maupun skala usahanya. Berdasarkan keragaman tersebut, penerapan MMT
di industri pangan dilakukan secara bertahap. Pada dasarnya, MMT merupakan gabungan
dari dua kegiatan utama, yaitu kelayakan dasar dan Hazard Analisys and Critical Control
Point (HACCP). Dalam pelaksanaan MMT, penerapan HACCP dapat dilakukan apabila
produsen tersebut sudah melaksanakan kelayakan dasar secara baik. Kelayakan dasar yang
dimaksud adalah Good Manufacturing Practice (GMP) atau cara memproduksi yang baik
dan Standard Sanitation Operasional Procedure (SSOP).
20
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, Edi. 2008. Pengawasan Mutu Produk/Bahan Pangan 1. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Departemen Pendidikan Nasional.
Anonim. 2010. Interaksi bahan pangan dengan kemasan. Didownload di www. ocw.usu.ac.id tanggal 1 Februari 2012.
Cahyono, Budi. ____ . Food Safety dan Implementasi Quality System Industri Pangan di Era Bebas. BAPPENAS.
Rachmawan, Obin. 2001. Pengelompokan dan Penyimpangan Mutu Hasil Pertanian. Departemen Pendidikan Nasional.
WHO 1998 Food Safety Programmes in The South East Asia Region, Overview and Perspective. WHO Regional Office South East Asia, New Delhi, India
21
III.SIFAT DAN KERUSAKAN FISIK HASIL PERTANIAN
3.1 Sifat Fisik Hasil Pertanian
Hasil pertanian atau pangan mempunyai sifat yang dapat dibau, berwarna, berasa
dan memiliki perilaku mekanis. Pangan akan bereaksi dengan cara tertentu jika suatu gaya
menekan dan menghancurkannya. Pangan dapat keras, lunak, empuk atau liat, renyah atau
lembek, halus atau kasar. Selain itu pangan juga mempunyai sifat mudah atau sukar
mengalir.
Perilaku pangan ini dapat diketahui dengan dua cara yaitu pendekatan sensoris dan
pendekatan fisik. Pangan dapat disentuh, diperas, digigit, dikunyah dan lain-lain setelah itu
penguji akan memberi pendapat tentang produk tersebut. Penilaian sensoris ini bervariasi
tergantung pada subjektivitas perorangan. Sifat sensoris dapat diealuasi oleh panelis yang
menempatkan pangan pada tingkat tertentu atau kesukaan.
Dalam analisa fisik, pengetahuan dasar dan pengertian –pengertian dasar yang
mendukung analisa perlu dipahami. Hal ini ditujukan untuk memeudahkan analisa serta
pengembangan metode analisa lain.
III.1.1 Rheologi
Rheologi berasal dari bahasa yunani yaitu rheo dan logos. Rheo berarti mengalir dan
logos berarti ilmu. Sehingga rheologi adalah ilmu yang mempelajari tentang aliran zat cair
dan deformasi zat padat. Rheologi erat kaitannya dengan viskositas. Viskositas merupakan
suatu pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir. Viskositas dinyatakan dalam
symbol “ƞ”.
Dalam mempelajari rheologi ada dua kesulitan dalam pengelompokan bahan. Jenis-
jenis pangan sangat banyak dan pada umumnya dikelompokkan dalam pangan padat dan cair.
Tetapi dari beberapa produk pangn, pengelompokan ini juga relatif sulit, sebagai contohnya
adalah susu, krim, mentega dan lain-lain tentunya sangat sulit mengelompokkan padat atau
cair.
Kesulitan pengelompokkan juga karena sifat pangan memunyai perilaku yang
berbeda pada kondisi berbeda. Dalam rheologi, beberapa pengertian dasar yang banyak
digunakan dan berhubungan erat dengan pengujian fisik bahan.
22
Gaya, tarikan dan tekanan.
Gaya merupakan sutu kekuatan ntuk menghasilkan percepatan. Selain dapat
menghasilkan percepatan, gaya juga dapat merubah bentuk bahan (deformasi). Dalam
analisa, gaya (F) bukan merupakan kriteria yang berguna. Sebagai ilusrasi, dua produk tahu
yang beratnya sama, yang satu diletakkan di atas meja, sedangkan yang lain ditaruh diatas
meja, sedangkan yang lain ditaruh di atas paku. Gaya yang bekerja pada tahu adalah sama
besar yaitu sebesar berat tahu, tetapi luas permukaan yang kontak dengan tahu sangat
berbeda. Akibat yang ditibulkannya juga sangat berbeda. Dengan demikian, gaya dibagi
dengan luas permukaan kontak lebih berarti daripada gaya itu sendiri yang biasa disebut
dengan tekanan. Untuk kasus lain, dapat juga disebut dengan tarikan jika gaya menarik
bahan per satuan luas.
Deformasi dan Strain
Gaya yang bekerja pada bahan akan mengakibatkan terjadinya keadaan tertekan
(stress) dan bahan mengalami perubahan ukuran/bentuk (deformasi) yaitu bertambah panjang
atau menjadi lebih pendek. Pengukuran deformasi yang sangat berguna adalah pengukuran
deformasi relatif. Sebagai contoh adalah produk dodol yang mempunyai panjang mula-mula
L dan mengalami pertambahan panjang l etika diterapkan gaya. Panjang dodol akhir adalah
sebesar L + l sehingga l/L adalah deformasi relatif atau disebut strain.
Adanya stress menyebabkan strain, tetapitingkatnya bergantung pada jenis bahan
yang diuji. Dengan stress yangsama pada produk dapat menunjukkan strain yang lebih besar
atau lebih kecil. Untuk beberapa material denan strain yang sedang, penelitian menunjukkan
bahwa stress secara numerik sama dengan strain yang dikalikan dengan satuan konstanta
(modulus elastisitas).
Stress = Strain x Modulus
Aliran dan laju strain
Deformasi yang terjadi produk-produk cair biasanya disebut dengan aliran (flow).
Dalam perhitungan ini waktu sangat menentukan dalam pengukuran. Seagai contoh jiika ada
dua cairan, air dan saus tomat dimasukan dalam corong yang berukuran sama, begitu corong
dibuka maka cairan akan mengalir ke bawah. Waktu yang diperlukan untuk cairan melalui
corong berbeda-beda. Jika dalam deformasi elastis, hanya tingkat dformasi yang
23
diperhatikan sedangkan dalam viskositas, tingkat deforasi dibagi waktu yang perlu
diperhatikan. Dengan kata lain pada bahan cair, laju deformasi merupakan pertimbangan
utama.
Jika pada produk elastis, strss dan strain dimasukan dalam perhitungan, maka pada
produk cairan, keadaan yang menghubungkan stress dan strain adalah laju strain. Jika pada
produk padat, elatis konstanta disebut modulus, sedangkan pada produk cair disebut
koefisien viskositas. Dengan demikian persamaannya adalah :
Stress = laju strain x koefisien viskositas
III.1.2 Kelembaban
Kelembapan adalah konsentrasi uap air di udara. Angka konsentasi ini dapat
diekspresikan dalam kelembapan absolut, kelembapan spesifik atau kelembapan relatif.
Alat untuk mengukur kelembapan disebut higrometer. Sebuah humidistat digunakan
untuk mengatur tingkat kelembapan udara dalam sebuah bangunan dengan sebuah
pengawalembap (dehumidifier). Dapat dianalogikan dengan sebuah termometer dan termostat
untuk suhu udara. Perubahan tekanan sebagian uap air di udara berhubungan dengan
perubahan suhu. Konsentrasi air di udara pada tingkat permukaan laut dapat mencapai 3%
pada 30 °C (86 °F), dan tidak melebihi 0,5% pada 0 °C (32 °F).
Kelembapan absolut mendefinisikan massa dari uap air pada volume tertentu
campuran udara atau gas, dan umumnya dilaporkan dalam gram per meter kubik (g/m3).
Kelembapan spesifik adalah metode untuk mengukur jumlah uap air di udara dengan rasio
terhadap uap air di udara kering. Kelembapan spesifik diekspresikan dalam rasio kilogram
uap air, mw, per kilogram udara, ma . Rasio tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
III.1.3 Warna
Warna merupakan paramater fisik pangan yang sangat penting. Kesukaan
konsumen terhadap produk pangan juga ditentukan olah warna. Konsumen telah mempunyai
gambaran tertentu tentang produk dari warnanya. Sebagai contoh, pada umumnya warna
daging sapi yang menarik adalah merh cerah, kalau warnanya berubah menjadi lebih gelap,
maka penerimaan konsumen juga berkurang.
24
Walaupun merupakan parameter penting, pernyataan warna lebih banyak dinyatakan
dalam bentuk kata. Dengan menyatakan dalam verbal, pernyataan warna merupakan bagian
paling sulit. Beda orang akan memberikan pertanyaan yang berbeda tentang warna. Sebagai
contoh warna merah, ada yang menyatakan merah saja, ada yang menyatakan merah darah,
merah gelap dan lain-lain. Kondisi ini akan dipersulit jika faktor yang menentukan warna
tidak diperhatikan. Sebagai contoh, warna apel yang sama dapat menjadi berbeda pada
sumber cahaya yang berbeda. Dengan demikian , faktor-faktor yang menentukan warna
adalah :
- Sumber cahaya
- Individu
- Ukuran
- Latar belakang
- Sudut pandang
Jika warna dinyatakan dalam bentuk verbal, pada umumnya dinyatakan dalam
bentuk warnanya sendiri (merah, kuning dan lain-lain). Sedangkan ntuk menyatakan warna
yang lebih sistematis dapat diikuti dengan kata tambahan di belakang warna itu sendiri
seperti merah cerah, hijau muda dan lain-lain. Walaupun demikinan pernyataan ini juga
sangat relatif bergantung siapa yang menyatakan. Untuk itu penggunaan alat ukur warna
akan memudahkan dalam menyatakan warna. Aplikasi alat ukur warna akan memudahkan
dalam menyatakan warna.
3.1 Kerusakan Fisik Hasil Pertanian
Faktor-faktor fisik/mekanis yang dapat merusak bahan-bahan hasil pertanian segar
dan bahan pangan olahan adalah :
a. Stress atau tekanan fisik, yaitu kerusakan yang diakibatkan karena jatuh atau oleh
adanya gesekan.
b. Vibrasi (getaran), yang dapat mengakibatkan kerusakan pada bahan atau kemasan
selama dalam perjalanan atau distribusi.
Untuk menanggulanginya dapat digunakan bahan anti getaran. Jenis perlindungan yang dapat
diberikan kepada bahan pangan atau kemasan bahan pangan untuk mencegah kerusakan
mekanis tergantung dari model dan jumlah tumpukan barang atau kemasan, jenis transportasi
(darat, laut atau udara) dan jenis barang. Kemampuan kemasan untuk melindungi bahan yan
25
dikemasnya dari kerusakan mekanis tergantung pada kemampuannya terhadap kerusakan
akibat tumpukan di gudang atau pada alat transportasi, gesekan dengan alat selama
penanganan, pecah atau patah akibat tubrukan selama penanganan atau getaran selama
transportasi. Beberapa bahan pangan misalnya buah-buahan yang segar, telur dan biskuit
merupakan produk yang sangat mudah rusak dan memerlukan tingkat perlindungan yang
lebih tinggi untuk mencegah gesekan antara bahan, seperti penggunaan kertas tissue,
lembaran plastik, kertas yang dibentuk sebagai kemasan individu (misalnya karton untuk
telur, wadah buah dan lain-lain). Bahan-bahan pangan lain, dilindungi dengan cara
mengemasnya dengan kemasan yang kaku dan pergerakannya dibatasi dengan dengan
kemasan plastik atau stretch/shrink film yang dapat mengemas produk dengan ketat. Peti
kayu atau drum logam merupakan kemasan dengan perlindungan mekanis yang baik
Kemasan ini sekarang sudah digantikan dengan bahan komposit yang lebih murah yang
terbuat dari kotak serat (fiberboard) dan polipropilen.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. ____. Kelembaban. Didownload di www.wikipedia.org. Pada tanggal 1 Februari 2012.
Mulier, HG. 1973. An Introduction to Food Rheology. Heinemann. London.
Rachmawan, Obin. 2001. Pengelompokan dan Penyimpangan Mutu Hasil Pertanian. Departemen Pendidikan Nasional.
Yuwono, Sudarminto. 2001. Pengujian Fisik Pangan. UNESA Press. Surabaya.
26
IV. PENYIMPANGAN PENGGUNAAN
BAHAN TAMBAHAN MAKANAN KIMIA
IV.1 Bahan Tambahan Makanan
Bahan makanan dan hasil pertanian umumnya, pada hakikatnya merupakan bahan
kimiawi alam yang tidak menyimpang dari kaidah-kaidah kimiawi bahan lainnya.
Demikian juga sifat-sifat fisisnya tak menyimpang dari benda-benda alam lainnya.
Pengertian bahan tambahan pangan secara umum adalah bahan yang biasanya
tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas
makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja
ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan
penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan (Cahyadi, 2006).
Peraturan pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan
pada bab 1 pasal 1 menyebutkan, yang dimaksud dengan bahan tambahan pangan adalah
bahan yang ditambahkan kedalam makanan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk
pangan atau produk pangan.
Menurut FAO (1980), bahan tambahan pangan adalah senyawa yang sengaja
ditambahkan kedalam makanan dengan jumlah dan ukuran tertentu dan terlibat dalam
proses pengolahan, pengemasan, dan atau penyimpanan. Bahan ini berfungsi untuk
memperbaiki warna, bentuk, cita rasa, dan tekstur, serta memperpanjang masa simpan,
dan bukan merupakan bahan (ingredient) utama. Menurut Codex, bahan tambahan
pangan adalah bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan, yang dicampurkan
secara sengaja pada proses pengolahan makanan.
Bahan tambahan makanan ada yang memiliki nilai gizi dan ada yang tidak
(Saparinto, 2006). Pemakaian Bahan Tambahan Pangan di Indonesia diatur oleh
Departemen Kesehatan. Sementara, pengawasannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan (Dirjen POM).
Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan atau
mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih
mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan. Pada umumnya bahan
tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut:
1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja kedalam makanan,
dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat
27
mempertahankan kesegaran, cita rasa dan membantu pengolahan, sebagai contoh
pengawet, pewarna dan pengeras.
2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang tidak
mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik
dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi,
pengolahan, dan pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau
kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan
mentah atau penanganannya yang masih terus terbawa kedalam makanan yang
akan dikonsumsi. Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah
residu pestisida (termasuk insektisida, herbisida, fungisida, dan rodentisida),
antibiotik, dan hidrokarbon aromatic polisiklis.
Bahan tambahan pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila:
1. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dalam pengolahan;
2. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak
memenuhi persyaratan;
3. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara
produksi yang baik untuk pangan;
4. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan.
Penggunaan bahan tambahan pangan sebaiknya dengan dosis dibawah ambang batas
yang telah ditentukan. Jenis BTP ada 2 yaitu GRAS (Generally Recognized as Safe), zat ini
aman dan tidak berefek toksik misalnya gula (glukosa). Sedangkan jenis lainnya yaitu ADI
(Acceptable Daily Intake), jenis ini selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya (daily
intake) demi menjaga/ melindungi kesehatan konsumen. Di Indonesia telah disusun peraturan
tentang Bahan Tambahan Pangan yang diizinkan ditambahkan dan yang dilarang (disebut
Bahan Tambahan Kimia) oleh Depertemen Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1168/MenKes/Per/X/1999.
28
IV.2 Jenis Bahan Tambahan Makanan
Berdasarkan sumbernya terbagi menjadi alami dan buatan sedangkan berdasarkan
fungsinya dapat di golongkan sebagai berikut :
IV.2.1 Penyedap Rasa
1. Pemanis
Alami
Merupakan bahan pemberi rasa manis yang diperoleh dari bahan-bahan
nabati maupun hewani. Contoh : gula tebu, gula merah, madu dan kulit kayu
manis.
Buatan
Adalah senyawa hasil sintetis laboratorium yang merupakan bahan tambahan
makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan. Pemanis
buatan tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi. Sebagaimana pemanis
alami, pemanis buatan juga mudah larut dalam air. Beberapa pemanis buatan
yang beredar di pasaran di antaranya adalah aspartam, sakarin, siklamat,
sorbitol,dan assesulfam K
2. Penguat rasa dan aroma
Alami
Bahan penyedap dari bahan alami selalu terdapat di dalam setiap makanan.
Jenis bahan penyedap ini banyak sekali. Biasanya bahan-bahan ini
dicampurkan bersama-sama sebagai bumbu makanan, Contoh: bawang,
merica, terasi, daun salam, jahe, cabai, daun pandan dan kayu manis dll.
Buatan
Penyedap buatan yang paling banyak digunakan dalam makanan adalah
vetsin atau monosodium glutamat (MSG) yang sering juga disebut sebagai
micin. MSG tidak berbau dan rasanya merupakan campuran rasa manis dan
asin yang gurih. Mengonsumsi MSG secara berlebihan akan menyebabkan
timbulnya gejala-gejala yang dikenal sebagai Chinese Restaurant Syndrome.
Tanda-tandanya antara lain berupa munculnya berbagai keluhan seperti
pusing kepala, sesak napas, wajah berkeringat, kesemutan pada bagian leher,
rahang, dan punggung.
IV.2.2 Konstituen
Alami
29
a) Agar-agar adalah zat yang biasanya berupa gel yang diolah dari rumput laut
atau alga.
b) Gelatin merupakan protein yang diperoleh dari hidrolisis Kolagen yang secara
alami terdapat pada tulang atau kulit binatang.
1. Gom Arab adalah salah satu produk getah (resin) yang dihasilkan dari
penyadapan getah pada batang tumbuhan legum
Buatan
1. Aluminium amonium sulfat (pada acar ketimun botol)
2. Kalium glukonat (pada buah kalengan)
3. Aluminium silikat (untuk susu bubuk)
4. Kalsium aluminium silikat (untuk garam meja)
IV.2.3 Pewarna
Pewarna adalah bahan yang dapat memberikan atau memperbaiki warna pada
makanan. Dengan menggunakan pewarna, makanan bisa tampak lebih menarik dan
menjadi lebih bervariasi. Berikut ini adalah jenis-jenis pewarna alami dan buatan
yang sering di gunakan :
Alami :
1. Anato (oranye), antara lain digunakan untuk es krim keju dan lain-lain.
2. Karamel (coklat hitam), biasanya digunakan dalam proses pembuatan selai,
jeli,atau jamur kalengan .
3. Beta-karoten (kuning), terdapat dalam wortel.
4. Kapsaisin (merah), terdapat dalam cabai merah.
5. Klorofil (hijau), terdapat dalam daun suji dan daun pandan biasanya
6. digunakan pada saat proses pembuatan kue.
7. Kunyit (kuning)
Buatan :
1. Tartazine (kuning-jingga)
2. Sunset Yellow (merah-jingga)
3. Carmoisine (merah)
4. Quinoline Yellow
5. Ponceau 4R (merah terang)
6. Brilliant Blue FCF, biasanya digunakan untuk es krim
7. Eritrosit (merah
30
IV.2.4 Pengawet
Alami
Bagaimana cara nelayan menjaga agar sisa ikan yang tidak terjual dalam keadaan
segar tidak cepat membusuk dan tetap laku di pasaran? Yah, mereka
menggunakan garam sebagai bahan pengawet untuk membuat ikan asin.
Meskipun rasanya sudah berbeda dengan ikan segar, ikan asin masih tetap
berprotein tinggi. Contoh-contoh pengawet alami adalah gula merah, garam,
kunyit, kulit kayu manis, cengkih, gulatebu.
Buatan
Pengawet buatan ini ada berbagai macam, antara lain benzoat, sulfit, propil galat,
garam nitrit, asam asetat, propionat, dan sorbat
IV.3 Penyimpangan Penggunaan Bahan Tambahan Makanan
Aturan penggunaan bahan tambahan makanan di Indonesia telah dituangkan di dalam
Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988. Bahan tambahan makanan yang dilarang
adalah sebagai berikut :
1. Natrium Tetraborat (Boraks)
2. Formalin (Formaldehyd)
3. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated Vegetable Oils)
4. Kloramfenikol (Chlorampenicol)
5. Kalium Klorat (Pottasium Chlorate)
6. Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate)
7. Nitrofuranzon (Nitrofuranzone)
8. P-Phenetilkarbamida (p-Phenethycarbamide, Dulcin, 4-ethoxyphenyl urea)
9. Asam Salisilat dan garamnya (Salilicylic Acid and its salt)
Selain bahan tambahan diatas masih ada bahan tambahan kimia yang dilarang seperti
rhodamin B (pewarna merah), methanyl yellow (pewarna kuning), dulsin (pemanis sintesis),
dan kalsium bromat (pengeras).
Walaupun sudah terdapat larangan yang pasti tentang penggunaan bahan tambahan
makanan tersebut, dewasa ini masih banyak terdapat penyimpangan penggunaan bahan
tambahan makanan yang dilakukan oleh seorang produsen maupun penjual makanan.
Tujuan mereka semata-mata hanya untuk meningkatkan keuntungan semata tanpa
memandang kesehatan konsumen.
31
Menurut Syah (2005) pengaruh bahan tambahan makanan terhadap kesehatan
umumnya tidak langsung dapat dirasakan atau dilihat, maka produsen sering kali tidak
menyadari bahaya penggunaan bahan makanan yang tidak sesuai dengan peraturan.
Penyimpangan atau pelanggaran mengenai penggunaan bahan tambahan makanan yang
sering dilakukan oleh produsen makanan, yaitu :
o Menggunakan bahan makanan yang dilarang penggunaannya untuk makanan. Misalnya :
Pengawet makanan menggunakan formalin, Pewarna makanan menggunakan rodamin
(pewarna pakaian)
o Menggunakan bahan tambahan makanan melebihi dosis yang diizinkan.
Misalnya pada konsentrasi tinggi, sakarin akan menimbulkan rasa pahit-getir (nimbrah)
dan bisa menyebahkan mual dan pusing.
Badan POM secara rutin mengawasi pangan yang beredar di Indonesia untuk
memastikan apakah pangan tersebut memenuhi syarat. Dari hasil analisis sampel yang
dikirimkan oleh beberapa laboratorium Balai POM antara Februari 2001 hingga Mei 2003,
dapat disimpulkan bahwa masih ada pangan olahan yang menggunakan bahan kimia
berbahaya, seperti :
· Rhodamin B
· Boraks
· Formalin
Di Indonesia, industri kecil, menengah dan besar diawasi oleh tenaga inspektur
pangan yang profesional untuk memastikan produk yang dihasilkan memenuhi syarat dan
aman. Sedangkan untuk industri pangan yang tidak terdaftar, tidak rutin dikunjungi oleh
inspektur pangan dan produsen mungkin tidak sadar hukum atau bahaya yang ditimbulkan
oleh bahan kimia yang mereka gunakan.
Laporan food watch ini menjelaskan tentang masalah penggunaan BT (bahan
tambahan) yang dilarang oleh produsen pangan, menggambarkan hasil analisisnya dan
menyediakan informasi tentang BTP yang aman.
Rhodamin B
Rhodamin B adalah pewarna merah terang komersial, ditemukan bersifat racun dan dapat
menyebabkan kanker. Bahan ini sekarang banyak disalahgunakan pada pangan dan
kosmetik di beberapa negara. Kelebihan dosis bahan ini dapat menyebabkan keracunan,
berbahaya jika tertelan, terhirup atau terserap melalui kulit. Gejala keracunan meliputi
32
iritasi pada paru-paru, mata, tenggorokan, hidung dan usus. Rhodamin B tersedia di pasar
untuk industri tekstil. Bahan tersebut biasanya dibeli dalam partai besar, dikemas ulang
dalam plastik kecil dan tidak berlabel sehingga dapat terbeli oleh industri kecil untuk
digunakan dalam pangan.
Boraks
Boraks disalahgunakan untuk pangan dengan tujuan memperbaiki warna, tekstur dan flavor.
Boraks bersifat sangat beracun, sehingga peraturan pangan tidak membolehkan boraks
untuk digunakan dalam pangan. Boraks (Na2B4O7.10H2O) dan asam borat (H3BO3)
digunakan untuk deterjen, mengurangi kesadahan, dan antiseptik lemah. Ketika asam borat
masuk ke dalam tubuh, dapat menyebabkan mual, muntah, diare, sakit perut, penyakit
kulit, kerusakan ginjal, kegagalan sistem sirkulasi akut, dan bahkan kematian. Jika tertelan
5-10g boraks oleh anak-anak bisa menyebabkan shock dan kematian.
Formalin
Formalin adalah larutan formaldehida dalam air dan dilarang digunakan dalam industri
pangan sebagai pengawet. Formaldehida digunakan dalam industri plastik, anti busa, bahan
konstruksi, kertas, karpet, tekstil, cat dan mebel. Formaldehida juga digunakan untuk
mengawetkan mayat dan mengontrol parasit pada ikan. Formalin diketahui dapat
menyebabkan kanker dan bila terminum dapat menyebabkan rasa terbakar pada
tenggorokan dan perut. Sedikitnya 30 mL (sekitar 2 sendok makan) formalin dapat
menyebabkan kematian.
Hasil yang akan dipaparkan berikut ini mungkin tidak menggambarkan keamanan
pangan yang beredar secara akurat. Karena proses pengambilan sampel dilakukan oleh
inspektur pangan yang mengumpulkan sampel untuk melihat apakah produk tersebut
memenuhi syarat (MS) atau tidak memenuhi syarat (TMS). Mereka menggunakan
ketrampilan dan pengalaman untuk menyeleksi sampel yang akan dianalisis yang diduga
mengandung BT yang dilarang. Beberapa pangan ditemukan mengandung rhodamin B,
boraks atau formalin Hasil analisis sampel yang TMS adalah rhodamin B (dari 315 sampel,
155 sampel mengandung rhodamin-B / 49%), boraks (dari 1222 sampel, 129 sampel
mengandung boraks /11%) serta formalin (dari 242 sampel 80 sampel mengandung
ormalin / 33%). Berikut ini adalah data hasil survei pangan yang mengandung maupun tidak
mengandung bahan berbahaya. Data MS berarti sampel tidak mengandung bahan
berbahaya. Pangan yang mengandung rhodamin B di antaranya kerupuk, makanan ringan,
terasi, kembang gula, sirup, biskuit, minuman ringan, cendol, manisan, dawet, bubur,
33
gipang, ikan asap dan es cendol. Produk yang terbanyak ditemukan mengandung rhodamin
B adalah kerupuk, terasi dan makanan ringan ( Tabel 1).
Seperti yang terlihat pada Tabel 2, pangan yang paling banyak mengandung boraks adalah
mie basah, bakso, makanan ringan dan kerupuk. Lebih dari 99% sampel mie kering tidak
mengandung boraks.
Tabel 3 menunjukkan lebih dari separuh sampel mie (51%) dan lebih dari 1/5 (22%) tahu
yang dianalisis mengandung formalin. Hanya satu sampel pangan yang lain (bakso)
engandung formalin. Sebanyak 13 sampel mie basah mengandung formalin dan boraks.
34
DAFTAR PUSTAKA
BSN.1995.SNI Bahan Tambahan Makanan SNI No01.0222.1995. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Cahaya, S. 2003 . Bahan Tambahan Makanan, Manfaat dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. Jurnal Info Kesehatan. USU. Medan.
Departemen Kesehatan Republik Indanesia, 1979. Peraturan Menteri Kesehatan 235/Men.Kes/PerNU1979. Tentang Bahan Tambahan Makanan, Jakarta.
Depmmen Kesehatan RepubIik Indonesia, 1985. Peraturan Menteri Kesehatan 235&kn.Kes/Per/V/l985. Tentang Zat Pewama Tertentu Yang Berbahaya, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000. Buku Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup bersih dan Sehat Ditatanan Tempat;Tempat Umum. Penyuluhan Kesehatan masyarakat, Jakarta.
35
V. BAHAYA MIKROBIOLOGI PADA PRODUK PERTANIAN
5. 1 Salmonella
Salmonella adalah jenis bakteri yang pertama diisolasikan oleh Theobald Smith
taahun 1885 dari isolate babi. Nama jenis Salmonella diturunkan dari nama terakhir dari
Daniel Edward Salmon adalah ahlipatologi Amerika. Walaupun sebenarnya rekannya
Theobald Smith (yang terkenal akan hasilnya pada anafilaksis) yang pertama kali
menemukan bacterium tahun 1885 pada tubuh babi. Bentuk bakteri Salmonella adalah
berbentuk batang dengan diameter 0,7- 1,5um, panjang 2 – 5 um, flagellated, gram stain –
negative, tidak menghasilkan spora . Hampir seluruh Salmonella mampu menghasilkan
Hydrogen sulfide yang dapat dengan mudah dideteksi dengan cara menumbuhkan pada
media yang mengandung ferrous sulfate. Salmonella yang tumbuh disekitarnya akan
berwarna hitam pada area pertumbuhannya. Salmonella dapat menyebabkan penyakit pada
manusia , hewan dan burung (unggas). Henis Salmonella sebanyak 2.500 tipe.
Gejala-gejala salmonella
Salmonella adalah penyebab utama dari penyakit yang disebarkan melalui makanan. Penyakit
yang disebabkan Salmonella disebut salmonellosis. Ciri-ciriorang yang mengalami serangan
salmonellosis adalah , diare, keram perut dan demam dalam waktu 8 -72 jam setelah makan
makanan yang terkontaminasi oleh salmonella. Gejala lainnya adalah demam, sakit kepala,
mual dan muntah-muntah. . Tiga serotype utama jenis S. enteric adalah S. typhi, S.
typhimurium dan S. entiritidis. S. typhi menyebabkan penyakit demam tifus ( Typhoid fever),
karena invasi bakteri kedalam pembuluh darah dan gastroenritis, yang disebabkan keracunan
makanan/intoksikasi. Gejalam dema tifus meliputi demam, mual-mual, muntah dan kematian
( karena dehidrasi). S. typhi hanya menyerang pada manusia dan tidak ada inang yang lain.
Infeksi Salmonella dapat berakibat fatal terhadap bayi, balita, ibu hamil dan kandungannya
serta orang lanjut usia.. hal ini disebabkan karenakekebalan tubuh ( imun) mereka yang
menurun.
36
Pencegahan
Kontaminasi Salmonella dapat dicegah dengan mencuci tangan dengan menggunakan
air panas, sabun , terutama setelah menangani telur-telur , unggas dan daging mentah serta
menjaga kebersihan makan yang dikonsumsi.. Penggunaan sabun anti bakteri telah
direkomendasikan oleh beberapa penyelidik. Dan memakan makan yang mentah atau
setengah matang sepertitelur, daging atau yang lain. Menghindari kontak langsung dengan
carrier hewan dari Salmonella ( contohnya kura-kura, ular, babi) juga mungkin mencegah
Otoritas kesehatan publik melaksanakan peraturan perundangan kebersihan rumah
makan atau restoran dan dilengkapi dengan tempat cuci tangan, pengeriing atau tisutelah
membantupencegahan adanya penyakit salmonella.Otorita-otoritas kesehatan juga melakukan
penarikan-penarikan produk ketika produk-produk tercemar Salmonella atau organisme yang
mengeluarkan racun. Pada tahun 2009, ada penarikan makanan yang mengandung kacang
( peanut bytter, coolies, crakers) . Pada bulan bmaret 2009 di California ada penarikan
produk-produk dari kacang-kacang pistachiodan juga untuk tomat pada tahun 2008.
Peneliti sudah dapat menemukan beberapavaksi musalkan Ty21 untuk demam
typhoid untuk bentik oral dan suntikan (Vicps). Demikian juga untuk hewan dan unggas.
Peneliti juga sedang berusaha untuk mengembangkan vaksin-vaksin lain untuk semua tipe
infeksi salmonella.
Media tumbuh
Untuk menumbuhkan Salmonella dapat digunajan berbagai macam media, salah
satunya adalah media Hektoen Enteric Agar . media yang lain dapat digunakan adalah SS
agar, bismuth sulfide agar, brilliant green agar, dan xylose-lisine-deoxycholate (XLD) agar.
HEA merupakan media selektif-diferensial. Media ini tergoong selektif karena terdiri dari
bile salt yang berguna untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan beberapa
gram negative, sehingga diharapkan bakteri yang tumbuh hanya Salmonella.Media ini
digolongkan menjadi media defrensial karena dapat membedakan bakteri Salmonella dengan
bakteri lainnya dengan cara memberikan tiga jenis karbohidrat padamedia, yaitu laktosa,
glukosa san salisin, dengan komposisi laktosa yang paling tinggi. Salmonella tidak dapat
memperfermentasi laktosa, sehinggaasam yang dihasilkan hanya sedikit karena hanya berasal
dari fermentasi glukosa saja. Halini menyebabkan koloni Salmonella akan berwarna hijau-
37
kebiruan karena asam yang dihasilkannya bereaksi dengan indikatror yang ada pada media
HEA, yaitu fuksin asam dan bromtimol blue.
5. 2 Escherichia coli ( E. Coli)
Pengertian
E. coli merupakan bakteri negative yang berbentuk batang yang hidup nya pada usus
manusia dan binatang. Yang menemukan adalah Theodor Escherichia coli, pada tahun
1885berbentuk batang (coccobasi) gram negative, ukuran kuman 0,4 – 0,7 µm x 1.4 µm.
Bakteri tersebut dapat digunakan sebagai indicator sanitasi karena hidup pada tinja yang
dapat menyebabkan diare, mutaber atau maslah pencemaran lainnya. E. Coli merupakan flora
normal didalam usus manusia dan akan menimbulkan penyakit bila masuk kedalam organ
atau jaringan lain. Dapat menimbulkan pneumonia, endocarditis, infeksi pada luka, abses
pada berbagaiorgan, menigtis dan dapat menyebabkan diare (Enjang I, 2003).
Kebanyakan strain E.Coli tidak berbahaya , tetapi E. coli (EHEC) OUO4:H2I mampu
menghasilkan toksin (verotoxin) mapu menyebabkan kerusakan pada sel-sel darah dan ginjal
. Jenis bakteri ini menyebabkan wabah di jerman. Escherichia coli OIO4:H4 adalah starain
langka dasi baktreri E. coli . Meskipun stain kaebanyakan tidak berbahaya dan tinggal di usus
manusia sehat dan hewan , strain ini menhasilkan racun yang kuat dan dapat menyebabkan
penyakit yang serius seperti sidrom uremik hemolitik. Kombinasi huruf dan anggka dalam
nama bakteri mengacu pada penanda spesifikm ditemukan pada permukaan dan
membedakannya dengan jenis lain E.Coli
Escherichia coli OIO4:H4 menyebakan wabah serupa dengan Escherichia coli OI57:H7
strain memproduksi toksin Shiga. Shiga racun bertindak dengan menghambat sintesis protein
dalam sel target dengan mekanisme yang mirip dengan racun risin dihasilkan oleh Ricinus
communis. Setelah masuk sel , fungsi protein sebagai glikosidase-N, membelah nukleobasa
terdiri beberapa RNA sintentis, protein ribosom demikian berhenti, juga disebut SLTEC
( Inggris coli toksin Shiga seperti coli) SLTEC adalah penyebab paling umum gejala
gastrointestinal dan diare.
38
Konsumen dapat mencegah infeksi dengan Escherichia coli OI57:H7pnfeksi dengan
memasak daging sapi, susu yang di pasturesasi dean mecico tangan dengan hati-hati. Sumber
lain yang mudah terinfeksi adalah taoge, slada , susu dan jus. Maka bahan-bahan tersebut
sebelum di konsumsi perlu dilakukan perlakuan misalkan dengan pemanasan .
Klasifikasi ilmiah Escherichia coli
Domain : Bacteria
Phylum : Protebacteria
Order : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Spesies : Escherichia coli
Pemeriksaan laboratorium
1. Media Pemupuk
Spesimen ditanam pada media Escherichia coli broth, dimana media tersebut
meningkatkan E . coli. Setelah diinkubasikan 18 – 24 jam, dimana pada media
differensial dan selektif
2. Media Differential dan selektif ( Soemarnom 2000)
Blood Agar Plate : Koloni sedang, abu-abu, smooth, keeping, haemolytis atau
anhaemolytis
Mac Conkey : koloni sedang, merah bata atau merah tua, metallic, smooth, keeping
atau sedikit cembung
EMB Agar : koloni sedang, smooth, keeping kehijauan – hijauan, metallic
Endo Agar : Koloni besar, bulat, smooth, merah – merah tua, metallic.
39
Epidemiologi
Dalam air yang kotor, bakteri golongan coliform terdapat dalam kepekaan yang secara
kasar menyampai tingkat [encemaran tinja. Dengan kata lain bilamana anggota bakteri
golongan coliform ditemukan dalam air, kemungkinan bakteri penyebab penyakit juga
terdapat didalam air tersebut, misalnya Salmonella dan vibrio cholera (Jawatz, melnick dan
Adelberg’s, 2005)
Diagnose Laboratorium
Diagnose laboratorium penyakit diare yang disebabkan oleh E. coli masih sulit
dilakukan secara rutin , karena pemeriksaan secara tradisional dan serologi seringkali tidak
mampu mendeteksi kuman penyebabnya. Deteksi sebagian besar strain E. coli pathogen
memerlukan metode khusus untuk mengidentifikasi toksin yang dihasilkan. Sampai saat ini
metode yang ada masih memerlukan tes dengan binatang percobaan dan kultur jaringan yang
cukup mahal dan nkurang praktis. Beberapa metode baru berdasarkan tes imunologi dan
teknik hibridasi DNA sudah dikembangkan , tetapi belum beredar di pasaran luas. Misalnya
tes Elisa ( Anzyme –linked immunosorbent assay). Particle agglunation methods Co-
agglutination dengan protein A Staphylococus aureus yang telah berikatan dengan
antibodyterhadap enterotoksin E. coli, hibridasi DNA – DNA pada kolonikuman atau
langsung pada specimen tinja ( Karsinah, H.M. lucky, Suharto dan H>W.
Mardiastuti, 1994)
Pengobatan
Kuman E. coli yang diisolasi dari onfeksi di dalam masyarakat biasanya sensitive
terhadap-obat antimikroba yang digunakan untuk organism gram negative, meskipun terdapat
juga strain- strain resisten, terutama pada pasien dengan riwayat pengobatan antibiotika
sebelumnya. Pada pasien yang terkena diare, perlu dijaga keseimbangan cairan dan
elektrolitnya (Karsinah, H.M. lucky, Suharto dan H>W. Mardiastuti, 1994)
Antibiotik tidak boleh digunakan atau obat anti diare comoloperamida untuk wabah ringan.
Untuk diare menyarakan konsumsi banyak cairan dan menghindari hidrasu
40
Pencegahan
Untuk menhindari supaya tidak tertular E. coli, berikut cara pencegahan yang bias
dilakukan adalah :
1. Pemberian air susu Ibu (ASI) secara eklusif, sampai umur 4 – 6 bulan. Pemberian ASI
mempunyai banyak keuntungan bagi bayi atau ibunya. Bayi yang mendapat ASI lebih
sedikit dan lebih ringan episode diarenya dan lebih rendah resiko kematiaanya jika
disbanding bayi yang tidak mendapat ASI. Dalam 6 bulan pertama, kehidupan resiko
mendapat diare yang membutuhan perawatan dirumah sakit mencapai 30 kali lebih
besar pada bayi yang tidak disusui daripada bayi yang mendapat ASI penuh. Hal ini
disebabkan karena ASI tidak membutuhkan botol, dot dan air yang mudah
terkontaminasi dengan bakteri yang mungkin menyebabkan diare. ASI juga
mengundang antibody yang melindungi bayi terhadap infeksi yeruttam diare, yang
tidakterdapat pada susu sapi atau formula
2. Konsumsi buah dan sayuran mentah
Cuci buah dan sayur nyaman dengan air, konsumsi direkomendasikan dalam kasus
buah-buah dan sayur-sayuran tanpakulit. . pencucian diharapkan selama 5 menit dan
dalam air ditambahkan sodium hipoklorit air minu yang aman ( 70 ppm) . kemudian
buah atau sayur dicuci dengan air mengalir
Hindari terjadi kontaminasi silang, seperti penggunaan khusus pisau , piring,
permukaan dll, sehingga dapat mencegah kontaminasi produk disanitasi produk tidak
cocok untuk konsumsi.
3. Air yang cukup, biisa membantu membiasakan hidup bersih seperti cuci tangan,
mencuci peralatan makan, membersihkan WC dan kamar mandi.
4. Mencuci tangan ( sesudah buang air besar dan membuang tinja bayi, sebelum
menyiapkan makanan atau makan)
5. Disinfeksi permukaan dan peralatan, dengan menggunakan sodium hipoklorit, garam
kaurtener, dll dan telah disetujui untuk digunakan dalam industry makanan.
6. Membuang tinja yang benar. Karena tinja merupakan sumber infeksi yang dapat
menyebabkan diare.
41
VI. STANDAR SANITASI OPERATIONAL PROCEDURE (SSOP)
Standar Sanitasi Operaional adalah suatu prosedur standar operastional sanitasi yang harus dipenuhi oleh produsen untuk mencegah terjadi kontaminasi terhadap bahan panganm Kontaminasi dapat didefinisikan sebagai pecemar an yang disebabkan oleh unsure dari luar, baik berupa bahan asing maupun mahluk asing. Mahluk yang sering menyebabkan pencemaran adalah mikroba, protozoa, cacing, serangga dan tikus.
Kontaminasi bahan pangan dapat terjadi sebelum bahan pangan dipanen atau ditangkap, Setelah dipanen atau ditangkap, proses kontaminasi dapat berlangsung disetiap tahapan penanganan, pengolahan hoiingga bahan pangan dikonsumsi oleh konsumen. Kontaminasi bahan pangan dapat terjadi karena bahan pangan merupakan media yang baik bagi mikrobia . Sebagin besar unsure yang terdapat di dalam bahan pangan merupakan unsure yang dibutuhkan oleh mikrobia untuk tumbuh dan berkembang.
Kontaminasi dapat terjadi karena bahan pangan bersentuhan dengan sumber kontaminasi yang ada pada tubuh hewan. Selama penanganan, bagian daging yang bersinggungan dengan saluran pecernaan tau kukit ajan mengalami kontaminasi karena kuduanya nerupakan sumber pencemar mar. . kulit dan saluran pencemaran merupakan sumber utama mikrobia.
Akibat yang ditimbulkan karena kontaminasi adalah bahan pangan menjadi tidak baik dan mengalami susut bobo, mutu, kesehatan , ekomi, maupun sosial. Untuk mencegah terhadinya kerugian tersebut diatas, sebaikknya pemilihan bahan pangan harus memperhatikan tingkat segerannya, lokasi tempat asal bahan pangan tersebut dan hindari pemilihan bahanpangan yang beracun atau tercemar.
Untuk mencegah pencemaran bahan pangan, pr5odusen harus memperhatikan sanitasii lingkungan. Ada beberapa komponen yang harus diperhatikan dalam dalam melakukan sanitasi lingkungan
KOMPONEN- KOMPONEN SANITASI
1. Air
Air merupakan komponenpenting karena dapat melarutkan bahan kontaminan yang terdapat pada bahan atau alat . Maka air yang digunakan hrus memenuhi syarat baik dari fisdsik, kimia maupun mikrobiologis. Secara fisik dari warna, kekeruhan, baua , rasa. Kimia keasaman harus netral dengan ph sekitar 7, Mikrobiologi tidak terdapat mikrobia terutama mikrobia pathogen. Maka air yang tidak bersih menyebakan kontaminasi terhadap bahan atau alat yang dibersihkan dengan air
Sebaiknya digunakan air bersih dan mengalir agar kotoran dari bahan pangan sebelumnya ridak dicemari bahan pangan yng dicuci kemudian.. Padas beberapa industry apangan air yang digunakan dicamopur dengan es, fungsinya untuk menurunkan suhu . Hal ini digunakan terhadap bahan yang mudah mengalami
42
penurunan mutu.. Sumber air yang dapat digunakan dapat berasal dari PAM, air sumur atau air laut. Apabila air berasal dari sungai perlu dilakukan perlakuan misalkan dilakukan pengendapan, penyaringan secara bertahap kemudian dilakakun pemberian tawas, kaporit sehingga air akan terbebas dari mikrobia terutama patogen Untuk menjamin kebersihan air tersebut perlu dilakukan monitoring secara berkala setiap hari.
2. Peralat dan pakian
Peralat dan pakuian kerja yang digunakanoleh pekerja dalam menangani atau mengolah bahan pangan dapat menjadi sumber kontaminansi. Peralatan akan kontak langsung terhadap bahan pangan atau produk pangan harus mudah dibersihkan, tahan karat (korosi), tidak merusak, dan tidak bereaksi dengan bahan.
Peralatan harus dicuci dengan air hangat untuk memudahkan untuk menghilangkjan kerak atau minyak yang melekat pada alat dan kemudian dibersihkan dengan air bersih, kemudian dijemur dengan panas matahari. Setelah kering dilanjutkan dengan proses sterilisasi dapat menggunakan pada peralatan dapat digunakan air denngan kandungan klorin berkisar 100 – 150 ppm. Untuk mencegah terjadinya kontaminasi ulang, peralatan yang sudah dicuci harus ditiriskan dan disimpan ditempat yang bersih.
Peralatan yang digunakan untuk membersihkan peralatan pengolah dan mendesinfeksinya sebaiknya tersedia dalam jumlayh memadai. Peralat yang digunakan untuk bahan pangan semuanya harus dijaga kebersihan setiap saat
Berbagai bahan yang digunakan sebagai pelumas peralatan atau mesin pengolah dan berbagai bahan kimia untuk memversihkan dan mendesinfeksi harus dibei label yang jelas. Hal ini untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam penggunaan.
Pakaian kerja yang digunakan dalam industry pangan harus dijamun kebersihannya. Pakian kerja meliputi sepatu boot, jas kerja, sarung tangan, masker , pakian kerja dan tutup rambut . Pkian kerja harus dicuci setiap hari kemudian dikeringkan dan disimpan ditempat yang bersih.. Sepatu harus dicuci dan disikat kemudian dicuci dengan air yang dicampur dengan klorun 150 ppm.
3. Pencegahan kontaminan silang
Kontaminan silang adalah kontaminasi yang terjadi karena adanya kontak langsung atau tidak langsungn antara bahan pangan yang sudah bersih dengan bahan pangan yang masih kotor. Kontaminasi silang dapat terjadi dalam industry pangan .
Beberapa factor yang mempengaruhi terjadinya proses kontaminasi silang adalah :
a. Konstruksi, disain dan lay out pabrik pangan.
43
Kontruksi, desain bangunan, dan lay out pabrik pangan dapat menjadi penyebab kontaminasi silang bahan pangan. Bangunan industry oangan akan mempengaruhi penempatan sarana dan prasarana yang digunakan.
Fasilatas untuk penerimaan bahan pangan harus selalu dalam keadaan bersih, bebas dari kerikil atau bahan lain yang dapat dimanfaatkan seranggadan hama untuk tinggal. Fasilitas penerimaan sebainya ditutupdengan aspal atau semen atau bahan lainnya dan dilengkapim dengan drainase yang memadai.
Untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang, penempatan sarana dan prasarana di ruangan penangnan atau pengolahan harus dapat memisahkan alur antara bahan yang belum bersih dengan alur bahan yang telah bersih . Pemisahan tersebut harusnya berjauhan untuk menghindari terjadinya kontak.
Pintu masuk dan keluar harusn selalu tertutup dan dapat dibuka padasaat keryawan, bahan baku, produk pangan , peralatan dan bahan lainnya akan masuk atau keluar meninggalkan ruangan,
Bangunandurancang sedemikian rupa sehingga mampi untuk mengeluarjan udara dari ruangan . Bangunan garus naoy nebcegahnya nasuknya serangga dan tikus
Jendelakacaharus diperhatikan jumlahnya. Jumlah jendela akan akn berpengaruh intensitas masuknya sinar matahari sehingga akan mempengaruhi suhu ruangan. Selain juga akan berpengaruh kerjadari AC , intensitas matahari juga akan berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan mikrobia pencemar.
b. Kebersihan karyawan
Karyawan yang terlibar dalam kegiatan penganganan dan pengolahanbahan pangan akan berpengaruh terhadap kontaminasi silang. Pakaian seragam yang tidak bersih dapat sebagai sarana mikrobia penyebab kontaminasi silang.. Karyawan yang kurang sehatjuga merupakan sumber kontamisasi sehingga harus dilarang untuk bekerja.
Sebelum melakukan penanganan atau pengolahanbahan pangan, kedua tangan harus dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan sabun . Lakukan disinfektan yerhadap tangan atau penutup tangan apabila akan menyentuh bahan pangan. Gunakan baju pelindung yang tahan air.
Apabila prosesprodiksi tekah sekesai cucilah ttangan dengan sabun khusun cuci dan keringkan pakaian pelindungyang tahan air. Dan apabila perlu dilakukan disenfejsi terhadap tangan atau penutup tangan. Segera tinggalkan ruang oenangan atau pengolahan, buka pakian pelindung kemudian disimpan pada tempat untuk mencegah terjadinya kontaminasi
44
c. Aktivitas dan perilaku karyawan
Aktivitas dan perilaku karyawan sebaiknya disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang sedang dikerjakan karena dapat menyebabkan kontaminasi silang. Kebiasaan menggaruk dan bersenda gurau dapat menjadi sumber kontaminasu. Bahan pangan yang jatuh ke lantai jangan diambil dndisatukan bahan pangan lainnya meskipun jatuhnya belum lima menit.
Selama bekerja jangan ada satupun karyawan yang merokok meludahm, makan , mengunyah permen karet atau menyimpan makanan di ruang pengolahan. Konsentrasi selama bekerja akan memperkecil resiko kecelakaan kerja. Biasakan untuk membuang sampah pada tempatnya.
d. Pisahkan bahan baku dengan produk pangan
Bahan baku kemungkinan masih mengandung bmikrobia pencemar, sedangkan produk pangan sudah tidak mengandungmikrobia. Tindakan yang dilakukanuntuk memisahkan antara bahan baku dan produk pangan dapat memperkecil peluang terjadinya kontaminasi silang.
Pemisahan bahan baku dengan produk pangan yang dihasilkan dapat dilakukan dengan mengatur alur proses sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kontak langsung n diantara keduanya maupun kontak tidak langsung melalui pekerja Oleh kerenanya, karyawan yang bekerja dibagiuan bahan baku sebaiknya tidak berada ndibagian produk akhir.
e. Kondisi sanitasi ruang kerja dan peralatan yang digunakan
Ruang kerja dan peralatan yang tidak terjaga sanitasinya, dapat menjadi sumber terjadinya kontaminasi. Ruang kerja harus selalu dibersihkan agar tidak menjadi sumber penyebab kontaminasi silang. Harus juga diperhatikan sanitasi disekitar ruang kerja yang data mempengaruhi sanitasi ruang kerja
Peralatan kerja harus tersedia dalam jumlah memada, tergantung volume pekerjaan . Penggunaan satu peralatan untuk satu jenis bahan atau produk pangan harus dilaksanakan dengan ketat. Peminjama peralatan dari bagaian bahan baku untuk digunakan di bagaian produk akhir tidak boleh dilakukan agar tidak terjadi kontaminasi silang.
f. Penyumpanan dan perawatan bahan pengemas
Bahan pengemas harus disimpan dalam ruang penyimpanan yang bersih dan terjaga suhu maupun kelembaban udaranya. Kelembaban dan suhu udara akan berpengaruh terhadap pertumbuhan mikrobia. Jamur biasanya tumbuhy baik pada kemasan dari karton yang lembab.Demikian pulaterhadap serangga yang kecil.
Bahan pengemas yang sudah rusak harus dikeluarkan dari ruang penyimpanan karena berpengaruh terhadap bahan pengemas lainnya. Jamur yang sudah tumbuh
45
pada bahan pengemas akan berusaha tumbuh dan menyebarkan diri ke bahan pengemasan yang ada disekitarnya. Bahan pengemas yang sudah rusak dimakan serangga atau tikus sebaiknya dibuang. . Demikian pula bahan pengemas yang sudah kena iar seni atau kotoran tikus. Bila ada potongan tubuh, air seni, atau kotoran serangga maupun tikus maka sebaiknya ruang penyimapanan bahan pengemas segera dibersihkan.
Selama penyimpanan, bahan pengemas harus dikemas secara baik . Pengemasan ditujukan untuk mencegah pencemarandan memudahkan penggunaan produk pangan . Kemasan harus mampu mengatasi gangguan terhadap produk pangan, baik yang disebabkan oleh serangan jamur serangga atau tikus.
g. Cara penyimpanan dan kondisi ruang penyimpanan produk
Cara penyimpanan dan kondisi ruang tempat penyimapoapanan dapat mempengaruhi terjadinya proses konytaminasi silang. Kondisi ini sangat terasa pada industry sekala besar, dimana pengiriman produkdilakukan dalam partai besar sehingga kangkala produk perlu disimpan dahulu sebelum tiba wktu pengiriman.
Produk yang disimpan pertama kali harus dikeluarkan lebih awal dibandingkan produk yang disimpan kemudian . Proses penyimpanan yang kur4ang baik bapat menyebakan produk sudah kedaluarsaseelum keluar dari ruang penyimpanan. Cara penyimpanan produk harus diatur sedemukian rupa untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang. Tata letak penyimpanan harus memperhatikan dan menjaga serkulai udara diantara produk-produk yang disimpan. Sirkulasi udara yang kuranglancar sering menyebabkan peningkatan suhu maupun kelembaban udara pada titik-titik tertentu.
Peningkatan suhu dan kelembaban udara akan memicu pertumbuhan mikrobia atau serangga tertentu pada bahan pangan. Penyimppanan bahan pangan harus dilakukan dengan cara yang benar dan menggunakan peralatan yang sesuai.
Kondisi lingkungan penyimpanan juga diperhatikan. Suhu dan kelembaban udara serta adanya cahaya matahari secara langsung dapat mempengaruhi penurunan mutu bahan atau produk pangan yang disimpan. Penurunan mutu bahan pangan biasaya diikuti dengan serangan mikrobia pecemar. Kondisi demikian pada akhirnya dapat menjadi sumber kontaminasi silang.
Penyimpanan bahan mentah dan produk pangan dilakukan dengan menyimpannya pada tempat yang telah disediaakan. Selalu hindari kontak dengan sumberkontaminan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Perhatikan lama penyimpanan, karena bahan mentah memiliki masa simpan terbatas.
Apabila penggunakan ruang yang dilengkapi sarana pendingin untuk penyimpanan bahan pangan atau produk olahan nya harus diperhatikan suhunya. Suhu lingkungan penyimpanan bahan hewani yang sudah dibekukan diruang
46
dingain ( cold storage) harus dipertahan suhunya [ada -18oC atau lebih rendah lagi. Suhu ruang pendingin untuk penyimpan bahan pangan asal hewani suhunya diatur berkisar 4oC hingga -1oC.
h. Penanganan Limbah
Limbah bahan pangan dikumpulkan dalam satu wadah khusus yang memiliki tutup. Limbah harus segera dibuang. Apabila akan dibuang, tidak boleh menarik perhatian serangga maupun binatang lainnya. Tutuplah wadah limbah dengan benar agar tidak tumpah dan baunya tidak mencemari ruang kerja atau menyebabkan kontaminasi.
Untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan, pembuangan limbah bahan pangan harus selalu dimonitor oleh seseorang operator karyawan yang khususnya ditugaskan menangani limbah.
4. TOILET
Toilet adalah tempat keryawan untuk buang air dengan demikian harus selalu bersih . Toilet harus dilengkapi dengan sabun, tissue dan tempat sampah. Ventilasi toilet harusn diatur sedemikian rupa agar tidak mencemari bahan pangan. Pintu toilet harus tidak menyerapair dan bersifat anti karat.
Kebersihan toilet harus selalu dijaga . Toilet yang tidak terjaga kebersihannya akan menjadi sumber kontaminasi yang dapat mencemari bahan pangan, baik melalui perantaraan karyawan atau binatang.
Toilet selain bersih, jumlah toilet harus memadahau dengan jumlah karyawan yang ada. Sebagai patokan , satu toilet maksimal diperuntukkan bagi 15 Karyawan.
5. Tempat Cuci Tangan dan Kaki
Tempat untuk karyawan mencuci tangan harus tersedia dalam jumlah memadai dan ditempatkan pada tempat yang mudah dijangkau. Tempat cuci tangan biasanya terletak disekitar toilet, pintu masuk, atau di disekitar cuci kaki. Tempat cuci tangan harus dilengkapi dengan sarana pembersih tangan dan dan pengering. Bahan yang digunakan sebagai pembersih tangan harus bahan yang tidak memiliki bau agar tidak mencemari bahan pangan yang dihasilkan. Tempat untuk mencuci tangan yang terletak dibagian awal dari alur proses dilengkapi dengan sabun.
Tempat untuk cuci tangan berikutnya dapat berupa wadah berisi air yang telah ditambahkan senyawa klorin sebagai anti mikrobia. Konsentrasi senyawa klorin yang digunakan sebagai senyawa anti mikrobia adalah 50 ppm
Tempat untuk mencuci tangan dilengkapi dengan peralatan pengering ( hand drying). Tempat untuk mencuci tangan juga dapat dilengkapi dengan tissue untuk mengeringkan tangan atau bagian tubuh laiinya Sediakan tempat sampah yang memiliki tutup. Keberadaan tempat sampah diperlukan untuk mempertahankan
47
kondisi higienes. Tempat sampah diletakkan didekat toilet, tempat untuk mencuci tangan, atau sekitar tempat unit pengolahan. Buanglah tisu dan kotoran lainnya ke tempat sampah yang telah tersedia.
Tempat untuk mencuci kaki ( sepatu) dibutuhkan untuk mencegah masuknyamikrobia dan bahan pencemar lainnya melalui kaki. Fasilitas cuci kaki biasanya terletak berdekatan dengan tempat mencuci tangan atau kamar mandi. Tempat mencuci kaki berupa genangan air yang telah ditambahkan klorin sebagai anti mikroba. Konsentrasi klorin berkisar 100 – 200 ppm.
6. Bahankimia Pembersih dan Sanitiser
Jenis bahan kimia pembersih dan sanitiser yang digunakn dalam industry pangan harus sesuai persyaratan yang ditetapkan. Bahan kimia harus mampu mengendalikan pertumbuhan bakteri (anti mikroba). Senyaw antimikroba adalah senyawa kimia yang dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba.
Antimikroba ddapat dikelompokkan menjadi antiseptic dan desinfekta. Antiseptik adalah pembunuh mikroba dengan daya rendah dan biasanya dibunakan pada kulit, misalnya alcohol dan deterjen. Desinfektam adalah senyawa kimia yangdapat membunuh mikroba dan biasanya digunakan untuk pembersih meja, lantai dan peralatan. Contoh desinfektan yang digunakan adalah senyawa klorin, hipolcorit, dan tembaga sulfat.
Bahan kimia yang umum digunakan sebagai pembersih atau sanitiser mengandung klorin sebagai bahan aktifnya.
Bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba disebut bahan pengawet (preservative). Bahan pengawet yang banyak digunakan pada makanan daan tidak beracun
Bahan Pengawet makanan yang umum digunakan
Bahan Pengawet
Konsentrasi Penggunaan
Asam propionate
0.32 % Senyawa anti jamur pada roti dan keju
Asam sorbet 0.2 % Senyawa anti jamur pada jeli, sirup dan keju
Asam Benzoat 0,1 % Senyawa anti jamur pada margarine, cuka dan minuman ringan
Na diasetat 0.32 % Senyawa anti jamur pada roti
Asam laktat Tidak diketahui
Senyawa anti jamur pada susu, yoghurt, acar dan keju
48
Sulfur dioksida,
Sulfite
200 – 300 Senyawa anti jamur pada pada buah kering,anggur, molasess
Na nitrit 200 ppm Senyawa anti bakteri pada daging dan ikan olahan
Na klorida Unknown Mencegah bakteri pembusuk pada daging dan ikan
Gula Tidak diketahui
Mencegah mikroba pembusuk pada selai, sirup, jeli
Asap Kayu Tidak diketahui
Mencegah mikroba pembusuk pdaging, ikan dan lainnya
7. Pelabelabelan, penggunaan dan penyimpanan bahan beracun
a. Pelabelan bahan beracun
Untuk mencegah kesalahan dalam penggunaan, bahan kimia untuk pembersih dan sanitasi harus diberi label secara jelas. Pemberian label yang kurang jelas memungkinkan terjadinya kesalahan penggunaan
Pemberian label untuk bahanberacun dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pelabelan pada wadah asli dan wadah yang isinya akan segera digunakan. Label pada wadah asli harus memperhatikan naman dan alamat produsen, nomor register, dan intruksi cara penggunaan secara benar.
Label padawadah bahan kimia yang siap digunakan harus tertera secara jelas memperlihatkan naman bahan atau larutan dan intruksi cara penggunaan secara benar
b. Penggunaan bahan beracun
Penggunaan bahan kimia beracun, pembersih, dan sanitasi dalam industry pangan harus disesuaikan dengan petunjuk dan persyaratan pabrik
Senyawa anti septic dan Desinfektan
49
Senyawa Kimia Mekanisme Pengerusakan Penggunaan
Etanol
(50 % – 70 %)
Denaturasi protein dan kelarutanlemak
Sebagai antiseptic padakulit skin
Isopropanol
(50 %– 70 %)
Denaturasi protein dan kelarutan lemak
Sebagai antiseptic padakulit skin
Formaldehide ( 8 %) Reaksi dengan NH2, SH dan gugus COOH
Disinfectant,kills endospores
Yodium Tincture
(2% 12 in70% alcohol)
Mengahambat aktivitas protein
Antisepticdigunakan di kulit
Gas Klorin
(Cl2) gas
Membentuk asam Hipoklorous Forms hypochlorousacid ( HClO) a Sebagai antiseptic padakulit skin sstrong oxidizing agent
Disinfektan pada air minum
Ag nitrat (Ag No3) Pengumpalan protein Antiseptik umum yang digunakan untuk mata bayi yang baru lahir
Hg Klorida Inactivates proteins by reacting with sulfide groups
Detergen ( e.g
Quarternary ammonium
Compounds)
Disrupts cell membranes Desenfiktan dan antiseptic pada kulit
Senyawa fenol (e.g asam kabolonat, lisol, hexylresorsinol, hexakhlorophen)
Denature proteins and disrupt cell membranes
Antiseptik pada konsentrasi rendah dan disinfektan pada konsentrasi tinggi
Gas etilen oksida Alkylating agent Sebagai disinfektan pada bahan sterilisasi bahan yang tidak tahan panas, seperti karet dan plastik
Prosedur penggunaan bahan beracun harus dapat mencegah pencemarn pada bahan pangan
50
c. Penyimpanan bahan beracun
Bahan kimia pembersih harus disimpan di tempat yang khusus dan terpisah dai bahan lainnya. Demikian pula dengan bahan kimia untuk sanitasi
Bahan beracun harus disimpan diruang dengan akses terbatas. Hanya karyawan yang diberi kewenangan dapat memasuki ruangan penyimpanan tersebut.
Pisahkan bahan kimia yang digunakan untuk pangan dan non pangan. Jauhkan dari peralatan dan benda lain yang kontak dengan bahan pangan.
8. Kesehatan Karyawan
Kondisi kesehatan setiap karyawan yang bekerja harus selalu dimonitor oleh oihak oerusahaan. Karyawan yang menderita sakit dan diduga dapat mencermari bahan atau produk pangan dilarang bekerja di unit penangan atau pengolahan
Jenis penyakit yang dapat menjadi pencemar dan mengkontaminasi bahan dan produk pangan antara lain batuk, flu, diare dan penyakit kulit.
Pekerja yang mengalami luka pada telapak tangannya juga harus dilarang bekerja di unit penangan dan pengolahan. Rambut pekerja sebaiknya dipotong pendek agar tidak mencemari produk pangan. Bila tidak dipotong, sebaiknya menggunakan topi pelindung. Rambut yang tidak tertutup dapat menjadi sumber mikroba pencemar.
9. Pengendalian hama
Hama harus dicegah agar tidak masuk dalam penagan atau pengolahan. Hama dapat mencemari bahan pangan dengan kotorannya maupun potongan tubuhnya. Hama juga dapat menjadi hewan perantara bagi mikroba pencemar.
Rodentia pembawa Salmonella, dan parasit. Lalat dan kecoa merupakan serangga pembawa Staphylococcus, Shhigella, Clostridium perfrigens dan C. Botulinum Sedangkan burung ia.
Pada biji-bijian, serangga menyimpan telurnya di dalam biji dan menutup lubang tersebut dengan lapisan khusus untuk melindungi telurnya dari kemungkinan gangguan. Setelah telur menetas menjadi larva , maka larva akan memakan biji tersebut dari bagian dalam. Setelah dewasa serangga tersebut meninggalkan biji yang telah berongga.
Ujntuk mengatasi serangan hama sebaiknya disiapkan program pemusnahan hama secara berkala. Fumigasi merupakan salah satu cara yang banyak digunakan untuk mengatasi serangan hama digudang penyimpanan
VII. SANITASI DAN FITOSANITASI
51
7. 1 Hygiene dan Sanitasi
Dalam kesehatan ada dua kata yang mempunyai arti yang hampir sama pengertiannya
yaitu hygiene dengan sanitasi. Kedua kata tersebut membahas tentang kebersihan agar
supaya kesehatan tetap terjaga. Sanitasi merupakan bahan atau lingkungan yang sehat untuk
mendapatkan manusia, hewan atau tumbuhan yang sehat. Sanitasi menitikberatkan pada
kegiatan dan tindakan untuk membebaskan dari hal-hal yang dapat menimbulkan bahaya dan
dapat menggangu atau merusak kesehatan. Sedangkan hygiene adalah upaya kesehatan
dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan. Hygiene dan sanitasi mempunyai
hubungan erat dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Kedua hal tersebut
merupakan usaha kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit
pada manusia, hewan dan tumbuhan
7.2 Sanitasi dan Fitosanitasi (SPS)
Dalam globalisasi perdagangan dan perjalanan internasional telah mengalami
perluasan secara signifikan dalam kurun waktu 50 tahun terakhir. Hal ini berakibat
meningkatnya perpindahan produk dari suatu negara ke negara lain, terutama pertanian arti
luas yang selanjutnya dapat meningkatkan risiko kesehatan pada manusia, hewan atau
tumbuhan. Dalam perdagangan internasional (Word trade organistion,WTO) anggota-
anggotanya diwajibkan mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku. Tidak hanya
melindungi dari risiko yang disebabkan oleh masuknya hama, penyakit, dan gulma
(selanjutnya disebut organisme penganggu tumbuhan, OPT). Tetapi juga untuk
meminimalkan efek negatif dari ketentuan SPS terhadap perdagangan. Sehingga WTO akan
dapat melindungi kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan dengan menerapkan ketentuan-
ketentuan SPS untuk mengelola risiko yang berhubungan dengan impor. Ketentuan tersebut
biasanya dalam bentuk persyaratan karantina atau keamanan pangan.
Pada perdagangan internasional dikenal dengan sanitasi yang terkait dengan
kehidupan manusia atau hewan. Sedangkan Fitosanitasi merupakan kehidupan untuk
tumbuhan. Dalam aspek perdagangan internasional secara prinsip diwajibkan melindungi
kesehatan, pada manusia, hewan dan tumbuhan baik secara ekspor maupun impor
Aspek perdagangan internasional ada kesepakatan SPS, secara prinsip berarti bahwa
dalam usaha melindungi kesehatan. Anggota WTO tidak seharusnya menggunakan ketentuan
52
SPS yang tidak diperlukan, tidak berdasarkan pada pertimbangan ilmiah, tidak mengada-ada
atau secara tersembunyi ( tersamar) sehingga akan membatasi perdagangan internasional
Dalam kesepakatan SPS terdapat 14 pasal dan 3 lampiran , berisi tentang hak dan
kewajiban yang telah disetujui oleh anggota WTO
Hak dan kewajiban dasar yang terletak pada pasal 2 antara lain :
1. Anggota akan menjamin bahwa ketentuan sanitasi dan fitosanitasi yang diperlukan
untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan selama
ketetuan tersebut tidak bertentangan dengan persyaratan yang ada dalam kesepakatan
ini
2. Angggota akan menjamin bahwa ketentuan sanitasi dan fitosanitasi yang diterapkan
hanya untuk kepentingan menjaga kehidupan atau kesehatan manusia, hewan dan
tumbuhan didasarkan pada kaidah-kaidah ilmiah , dan tidak diberlakukan tanpa
adanya bukti ilmiah yang cukup.
3. Anggota akan menjamin bahwa ketentuan sanitasi dan fitosanitasi tidak sewenang-
wenang atau tidak dibenarkan melakukan diskriminasi diantara anggota apabila
kondisi yang sama terpenuhi, termasuk antara wilayahnya sendiri dengan wilayah
anggota lain. Ketentuan sanitasi dan fitosanitasi yang tidak akan diterapkan adalah
dengan tujuan tersembunyi untuk membatasi perdangangan inernasional
4. Ketentuan sanitasi dan fitosanitasi yang sesuai dengan persyaratan relevan dalam
Kesepakatan ini akan dijalankan sesuai dengan kewajiban anggota sepeti tertulis
dalam persyaratan GATT 1994 yang terkait dengan penggunaan ketentuan sanitasi
dan fitosanitas,khususnya persyaratan pada pasal 20b.
Kesepakatan SPS dijalankan oleh Komite Ketentuan Sanitasi dan Fitosanitasi , dimana
semua anggota WTO dapat berpartisipasi. Komite sanitasi dan fitosanitasi merupakan
konsultasi anggota WTO, secara reguler bertemu untuk berdiskusi tetang ketentuan SPS dan
efeknya terhadap perdagangan, mengawasi pelaksanaan Kesepakatan SPS dan mencari cara
untuk menghindari terjadinya potensi perbedaan pendapat . Anggoa WTO memperoleh
manfaat dengan berpastisipasi aktif dalam komite SPS. Komite ini mempunyai berbagai
aktifitas untuk membantu anggota dalam mengimplementasikan Kesepaktan SPS.
RESIKO KOMODITI
53
Kesepakatan SPS diterapkan pada dasarnya untuk seluruh ketentuan yang perlu
dilkukan oleh anggota WTO dalam melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan
atau tumbuhan diwilayahnya dari resiko tertentu dan yang mungkin mempengaruhi
perdagangan internasional,
Resiko bagi kehidupan atau kesehatan hewan datang dari : Masuk, mapan, atau
menyebarnya OPT, organisme pembawa penyakit, organisme penyebab penyakit atau aditif,
kontaminan ( termasuk residu atau obat ternak , serta bahan-bahan dari luar) toksin atau
organisme penyebab penyakit dalam bahan pakan . Oleh karena itu impor makanan,
tumbuhan ( termasuk produk tumbuhan ) dan hewan ( termasuk produk hewan) adalah tiga
jalur masuk saling beresiko, tetapi resiko tidak hanya terdapat pada makanan dan komoditas
pertanian OPTK kelas I misalnya dari Amareka Selatan untuk menanggulangi penyakit hawar
daun Amarika Selatan.
SUMBERDAYA YANG DIBUTUHKAN UNTUK MENERAPKAN Kesepakatan SPS
Tanggung jawab dalam penerapkan Kesepakatan SPS umumnya terletak pada
departemen pemerintah dan institusi nasional yang mempunyai keahlihan dan informasi yang
terkait dengan kesehatan tumbuhan dan hewan , serta hal-hal yang terkait dengan keamanan
pangan. Organisasi yang menerapkan diantaranya termasuk Organisasi Perlindungan
Tumbuhan ( National Plant Protection Organizatiton, NPPO) dan otoritas setara untuk
kesehatan hewan dan keamanan pangan.
Maka koleksi, referensi hama dan penyakit adalah sangat penting dalam determinasi
dan demotrnsi status kesehtan tumbuhan .
Kerangka kerja kelembagaan domestik diperlukan untuk mengatur ruang lingkup
kerja, tanggung jawab dan kewenangan dari masing-masing lembaga penyusun. Di samping
itu, sistem untuk menegakkan kepatuhan terhadap ketentuan yang ada harus tersdia. Hal ini
akan meningkatkan kepercayaan dalam proses evaluasi dan penerbitan sertifikasi terkait
dengan ketentuan SPS.
Penetapan status kesehatan hewan atau tumbuhan dan pengembangan ketentuan SPS
yang tepat memerlukan pengumpulan berbagai macam informasi dari berbagai macam
sumber. Informasi tersebut mempunyai nilai jangka panjang sehingga penting untuk ditata,
dikelompokan dan disimpan dalm format yang mudah diambil apabila diperlukan.
54
Untuk mengidentifikasi resiko dan untuk melakukan penelitian, pengembangan dan
penerapan ketentuan SPS yang didasarkan pada kaidah ilmiah , anggota WTO perlua akses
untuk mendapatkan pelatihan di bidang keahlihan yang sesuai. Akses ke bidang keahlihan
dideteksi dan diaknosis hama dan penyakit tumbuhan serta hewan diperlukan untuk
mendukung perdagangan komoditas pertanian, termasuk ketrampilan di bidang entomologi,
fitopatologi , patologi hewan, epidomologi dan taksonomi. Petugas karantina dan petugas
inspeksi yang terlatih di bidang teknik pengambilan sampel dan pendeteksian dibutuhkan
pada pintu-pintu masuk (impor) dan keluar (ekspor).
Negara-negara berkembang yang menerapkan standar internasional mampu menjaga
bahkan meningkatkan akses ke pasar untuk komoditas pertanian dan mereka dalam kondisi
yang menguntungkan untuk terus melakukannya.
PRINSIP UTAMA DALAM KESEPAKATAN SPS.
Prinsip Utama yang dimuat secara khusus dalam sepakatan SPS adalah
1. Harmonisasi
Anggota WTO berhak menetapkan ketentuan SPS untuk negara masing-masing dengan
mengacu pada persyaratan yang ada di dalam Kesepakatan SPS. Namun demikian,
anggotaWTO dalam menetapkan ketentuan SPS diharapkan tetap ada dan berpedoman
pada standar internasional sehingga pedomandan rekomendasi yang ada agar prinsip
harmonisasi dapat tercapai. Komite SPS mempromosikan dan memantau harmonisasi
internasional .
Ada tiga lembaga yang international yang diperlukan dan secara spesifik dimuat dalam
kesepaktan SPS. Ketiga lembaga tersebut sering disebut sebagai “tiga bersaudara” ( Three
Sister) antara laian :
a. Konvensi Perlindungan Tumbuhan Internasional ( International Plant Protection
Convention , IPPC) yang menangani masalah kesehatan Tumbuhan.
b. Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan ( Word Organisation for Animal Health,
OIE) yang mengani masalah kesehatan Hewan.
c. Komisi Kodeks Alimentarius (Codex Alimentarius Commsion, Codex) yang
menangani masalah keamanan pangan.
55
Konvesi Perlindungan Tumbuhan Inernational (IPPC) adalah lembaga resmi yang
menangani masalah kesehaan tumbuhan dan dibentuk oleh Organisasi Pertanian dan Pangan
( Food and Agriculture Organization, FAO) tetapi dilaksanakan melalui kerjasama antara
pemerintah negara anggota dan Organisasi Perlindungan Tumbuhan Regional (Regional
Plant Protection Organization).
Tujuan dari IPPC adalah untuk mengkoordinasikan pekerjaan mencegah menyebarannya
danmasuknya OPT dan OPT pascapanen, dan untuk mempromosikan metode pengendalian
yang sesuai dengan efek negatif terhadap perdagangan seminal mungkin. IPPC
mengembangkan standar Inernational untuk Ketentuan Fitosanitasi (International Standar for
Phytosanitasi Measures, ISPMs). Lebih dari 25 ISPMs telah dipublikasikan sampai saat ini
termasuk : ISPMs 1 yang mencangkup prinsip-prinsip dalam perlindungan tumbuhan dan
penerapan ketenuan fitosanitasi dalam perdagangan international , 5 yang merupakan
glosarium istilah-istilah yang digunakan dalam fitosanitasi. Daftar lengkap tetang ISPMs
dapat ditemukan pada Portal Fitosanitasi Internasional (International Phytosanitary 6, yang
merupakan forum untuk melaporkan dan bertukar informasi diantara pemerintah.
Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan
Organisasi Kesehatan Hewan (OIE) dibentuk berdasarkan kesepakatan international pada
tahun 1924 dengan 28 negara anggota. Organisasi ini telah berkembang menjadi 167 negara
anggota.
Tujuan organisasi ini di antaranya meliputi pemberian jaminan tetang transparansi tetang
situasi zoonosis dan penyakit hewan global, publikasi standar kesehatan untuk perdagangan
hewan dan produk hewan, peningkatan ketrampilan di bidang peternakan, peningkatan
keamanan pangan yang berasal dari hewan dan peningkatan kesejahteraan hewan ( animal
welfare) melaui pendekatan berdasarkan kaidah ilmiah.
Standar, pedoman dan rekomendasi OIE dimuat dalam Peraturan Kesehatan Hewan Darat
(Terrestrial Animal Health Code) Petunjuk Uji Diagnosis dan Vaksin untuk Hewan Darat
( Manual of Diagnostic Test and Vacciens for Terrestral Animals), Peraturan Kesehatan
Hewan Air ( Aquatic Animal Health Code) dan Petunjuk Uji Diagnosis untuk Hewa Air
( Manual of Diagnostic Test for Aquatic Animals)
Komisi Kodeks Alimentarius
56
Komisi Kodeks Alimentarius ( the food code, Peraturan Pangan ) adalah suatu lembaga
gabungan antara Program Standar Pangan ( Fod Standards Programme) dari Organisasi
Pangan dan Pertanian ( FAO) dan Organisasasi Kesehatan Dunia (World health
Organization). Codex mengembangkan dan mendoron implementasi standar , aturan
praktek, pedoman, dan rekomendasi yang memuat semua aspek keamanan pangan, termasuk
penanganan dan distribusi. Dalam menetapkan standar international untuk pangan, Codex
mempunya dua mandat yaitu melindungi kesehatan konsumen dan untuk menjamin untuk
diterapkannya perdagangan pangan yang adil. Codex telah mengembangkan berbagai
macam naskah khusus yang mencangkup berbagai aspek keamanan dan kulitas pangan yang
dapat ditemukan pada situs internet Codex.
2. Kesetaraan
Kesepakatan SPS mensyaratkan bahwa negara mengimpor anggota WTO menerima
ketentuan SPS dari negara peekspor anggota WTO untuk menjaga kesetaraan selam
negara peekspor secar obyektif menunjukkan pada negara pengimpor bahwa semua
ketentuan SPS yang dijalnkan mencapai ALOP negara peimpor. Kesepahaman
tentang kesetaraan dapat dicapai melalui konsultasi bilateral dn berbagai informasi
teknis.
3. Tingkat perlindungan yang sesuai ( appropriatelevel of protection, ALOP)
Menurut kesepakatan SPS, tingkat perlindungan yang sesuai (ALOP) adlah
tingkatperlindungan yang dianggap sesuai oleh anggota WTO untuk melindungi
kehidupan atau kesehatan mnusia, ewan, atu tumuhan dalam wilayahnya. Pemahaman
dan peningkatan kesejahteraan hewantentang perbedaan antara ALOP yang ditetapkan
oleh anggota WTO dan ketentuan SPS adalah penting. ALOP adalah suatu tujuan umum,
sedangkan ketentuan SPS yang ditetapkan untuk mencapai tujuan tsb. Determinasi
ALOP, semestinya dilakukan sebelum ditetapkannya ketentuan SPS. Masig-masing
anggota WTO mempunyai hak untuk menetapkan ALOP bagi negaranya. Namun
demikian, setiap anggota perlu pertimbangkan untuk minimalkan efek negatifnya
terhadap perdagangan . Lebih dari itu, anggota WTO disyaratkan untuk menerapkan
konsep ALOP secara konsisten; misalnya, mereka harus menghindari pembedaan yang
57
bersifat mengada - ada atau tidak dapat dipertanggung jawabkan yang akhirnya bersifat
diskrimiatif atau pembatasan yang tersembunyi dalam perdangan international.
Pengembangan kapasitas untuk implemtasi ketentuan SPS dapat juga menguntungkan
bagi ndustri pertanian demostik.
PENILAIAN RISIKO
Kesepakatan SPS mensyarakatan anggota WTO untuk mendasarkan ketentuan SPS
mereka pada hasil enilaian resiko sesuai dengan kondsi ang ada. Dalam pelaksanaan
penilan resiko, anggota WTO disyarakatkan untuk menggunakan teknik penilaian resiko
yang dikembangkan oleh organisasi international yang relevan. Alasan anggota WTO
melakukan penilain risiko adalah untuk menetapkan ketentuan SPS yang diperlukan
pada suatu barang impor memenuhi ALOP mereka. Namun demikian, ketentuan SPS
yang diadopsi anggota WTO harus ditujukan hanya untuk memenuhi ALOP mereka dan
bukan untuk pebatasan perdagangan, perlu dipertimbangkan juga kelayakan secara teknis
dan ekonomis.
Penilaian risiko dalam kesepakatan SPS didefinisikan sebagai : Evaluasi kemungkinan
masuk, menyebar atau menetapnya suatu OPTdalam wilayah anggota WTO pengimpor
menurut ketentuan SPS yang diterapkan, dan konsekuensi potensi biologis dan ekonomis
yang terkait dengan masuk, menyebar , atau menetapnya OPT tersebut. Evaluasi potensi
efek yang merugikan pada kesehatan manusia atau hewan yang muncul akibat adanya
bahan aditif, kontaminan, toksin, atu organisme penyebab penyakit dalam makanan,
minuman, atau bahan pakan.
Pengertian praktisnya, penilaian resiko adalah suatu proses pengumpulan bukti ilmiah
dan faktor ekonomis yang relevan tentang risiko karena diijinkannya suatu barang impor
tertentu masuk ke dalam suatu negara. Suatu negara pengimpor seyogyanya mencari
informasi hal-hal terkait, misalnya OPT yang mungkin berasosiasi dengan komoditas
yang ijin impornya sedang diproses dan mencari informasi apakah OPT tersebut ada pada
pengekspor
Jenis pertanyan yang perlu dicari jawababnya adlah
Apakah OPT tersebut ada di negara anda ?
Apakah OPT tersebut telah dikendalikan ?
58
Apakah OPT tersebut hanya ada terbatas di bagian wilayah tertentu dari negara anda ?
Sebarangan efektif prosedur yang telah diterapkan dapat menjamin produk ekspor
tersebut bebas dari OPT dan kontaminan lainnya ?
IPPC telah mengeluarkan tiga standar yangsecara khusus terkait dengan analisis risiko :
1. ISPM 2 Petunjuk untuk analisis risiko OPT (pest risk analysis, PRA)
2. ISPM 11 PRA untk OPT karantina (OPTK) termasuk analisis risiko bagi lingkungan
3. ISPM 21 PRA untuk OPT non Karantina yang perlu diatur
Analisisrisiko yang terkait dengan tangungjawab OIE dimuat dalam Buku pegangan
tetang analisis risiko untuk impor hewan dan produk hewan (Handbook on import risk
analysis for animals and animal products ) dan peraturan kesehatan hewan darat dan
air. Codex telah mempublikasikan Prinsip dan pedoman untuk penlain resiko
mikrobiologis dan Pisip untuk analisis risiko pangan hasil dari bioteknologi modern
Anggota WTO mungkin akan mengadopsi ketentuan PS ketika bukti ilmiah untuk
menyelesaikan penilaian risiko belum tercukupi. Dalam kondisi tersebut anggota WTO
disyaratkan untuk mencari dan mendapatkan informasi tambahan yang diperlukan
untuk dapat melakukan penilaian risiko secara obyektif dalam kurun waktu yang dapat
diterima.
4. Kondisi regional
Kondisi regional dalam Kesepakatn SPS diartikan sebagai krakeristik SPS dari suatu
wilayah dari suatu negara, atau seluruh atau sebagian dari beberapa negara. Halitu
dapat memengaruhi besar kecilnya risiko bagi kehidupan atau kesehatan manusia,
hewan atau tumbuhan . Kesepakatan SPS mensyaratkan anggota WTO untuk
menyusaikan ketentuan SPS mereka dengan kondisi regional darimana produk itu
berasal dan kemana produk tersebu ditujukan. Secara khusus, anggota WTO
disyratkan untuk menyampaikan nformasi tetang konsep area bebas OPT atau area
kejdian OPT rendah harus menunjukkan kepada negara pengimpor anggota WTO
bahwa area tersebut masih atau kemungkinan besar meruakan area bebas OPT atau
area dengan kejadian OPT rendah.
PENETAPAN AREA BEBEBAS OPT
59
OIE dan IPPC telah mengembakan standar untuk rea bebas OPT (PFAs). Standar yang
dipublikasikan IPPCmemberikan pedoman secara lengkap penetapan PFA untuk OPT.
ISM2 dan ISPM 4 memberikan untuk menangani pertanyaan seputar SPS pedoman
tetang survei spesifik utnuk mediteksi suatu OPTatau ntukmemetakan batas kejadian
OPT. ISMP 6 memberikan pedoman ntuk surveleinsi. ISMP 8 memberikan secara
lengkap informasi tentak teknik untuk menetapkan status OPT ada suatu area
berdasarkan catatan OPT. Pemerintah Australia baru-baru ini mempublikasikn
Pedoman surveilensi organisme peganggu tumbuhan di Asia dan Fasifik
4. Transparansi
Prinsip transparansi dalam Kesepakaan SPSmensaratkan anggota WTO untuk
menyediakan informasi tetang ketentuan SPS meekadan menyampaikan apbila ada
perubahan dalm ketentuan SPS mereka. Anggota WTO juga disyaratkan untuk
mempublikasikan peraturan SPSmereka . Persyaratan notifikasi dapat dilakukan melalui
otoritas notifikasi nasional. Masing-masing aggota WTO juga harus menominasikan suatu
lembaga nasional untuk menangani pertanyaan seputar SPS dari anggota WTO lain. Satu
lembaga mungkin bisa menjalankan dua fungsi yaitu notifikasi dan menjawab pertanyaan.
VIII. ISO MASALAH PANGAN
60
Standar adalah kesepakatan-kesepakatan yang telah didokumentasikan yang di
dalamnya terdiri antara lain mengenai spesifikasi-spesifikasi teknis atau kriteria-kriteria yang
akurat yang digunakan sebagai peraturan, petunjuk, atau definisi-definisi tertentu untuk
menjamin suatu barang, produk, proses, atau jasa sesuai dengan yang telah dinyatakan. Salah
satu contohnya adalah penetapan standar ukuran dan format kartu kredit, atau kartu-kartu
“pintar” (smart) lainnya yang telah mengikuti standar internasional ISO dan dapat digunakan
di berbagai mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di seluruh dunia, dan banyak contoh-contoh
lainnya. Dengan demikian standar internasional telah membantu kehidupan manusia menjadi
lebih mudah, serta lebih meningkatkan keandalan dan kegunaan barang dan jasa.
8.1 Pengertian ISO
Organisasi Standar Internasional (ISO) adalah suatu asosiasi global yang terdiri dari
badan-badan standardisasi nasional yang beranggotakan tidak kurang dari 140 negara. ISO
merupakan suatu organisasi di luar pemerintahan (Non-Government Organization/NGO)
yang berdiri sejak tahun 1947. Misi dari ISO adalah untuk mendukung pengembangan
standardisasi dan kegiatan-kegiatan terkait lainnya dengan harapan untuk membantu
perdagangan internasional, dan juga untuk membantu pengembangan kerjasama secara global
di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan kegiatan ekonomi. Kegiatan pokok ISO adalah
menghasilkan kesepakatan-kesepakatan internasional yang kemudian dipublikasikan sebagai
standar internasional.
Nama ISO
Banyak pihak melihat adanya suatu ketidakcocokan antara nama lengkap “International
Organization for Standardization” dengan kependekannya ‘ISO’, dimana ‘IOS’ dianggap
lebih tepat. Anggapan itu benar bila penetapan nama didasarkan pada kependekannya. Yang
sebenarnya, istilah ISO bukan merupakan kependekan, tapi merupakan nama dari organisasi
internasional tersebut. “ISO” berasal dari Bahasa Latin (Greek) “isos” yang mempaunyai arti
“sama” (equal). Awalan kata “iso-“ juga banyak dijumpai misalnya pada kata “isometric”,
“isomer”, “isonomy”, dan sebagainya.
Dari kata “sama” (equal) menjadi “standar” inilah “ISO” dipilih sebagai nama organisasi
yang mudah untuk dipahami. ISO sebagai nama organisasi juga dalam rangka menghindari
penyingkatan kependekannya bila diterjemahkan ke dalam bahasa lain dari negara anggota,
misalnya IOS dalam bahasa Inggris, atau OIN (Organisation Internationale de Normalisation)
61
dalam bahasa Perancis, atau OSI (Organsiasi Standardisasi Internasional) dalam bahasa
Indonesia. Dengan demikian apapun bahasa yang digunakan, organisasi ini namanya tetap
ISO.
8.2 Kebutuhan Standar Internasional
Dengan adanya standar-standar yang belum diharmonisasikan terhadap teknologi
yang sama dari beberapa negara atau wilayah yang berbeda, kiranya dapat berakibat
timbulnya semacam “technical barriers to trade (TBT)” atau “hambatan teknis perdagangan”.
Industri-industri pengekspor telah lama merasakan perlunya persetujuan terhadap standar
dunia yang dapat membantu mengatasi hambatan-hambatan tersebut dalam proses
perdagangan internasional. Dari timbulnya permasalahan inilah awalnya organisasi ISO
didirikan.
Standardisasi internasional dibentuk untuk berbagai teknologi yang mencakup
berbagai bidang, antara lain bidang informasi dan telekomunikasi, tekstil, pengemasan,
distribusi barang, pembangkit energi dan pemanfaatannya, pembuatan kapal, perbankan dan
jasa keuangan, dan masih banyak lagi. Hal ini akan terus berkembang untuk kepentingan
berbagai sektor kegiatan industri pada masa-masa yang akan datang.
Perkembangan ini diperkirakan semakin pesat antara lain karena hal-hal sebagai berikut :
• Kemajuan dalam perdagangan bebas di seluruh dunia
• Penetrasi teknologi antar sektor
• Sistem komunikasi di seluruh dunia
• Standar global untuk pengembangan teknologi
• Pembangunan di negara-negara berkembang
Standardisasi industri adalah suatu kenyataan yang diperlukan di dalam suatu sektor
industri tertentu bila mayoritas barang dan jasa yang dihasilkan harus memenuhi suatu
standar yang telah dikenal. Standar seperti ini perlu disusun dari kesepakatan-kesepakatan
melalui konsensus dari semua pihak yang berperan dalam sektor tersebut, terutama dari pihak
produsen, konsumen, dan seringkali juga pihak pemerintah. Mereka menyepakati berbagai
spesifikasi dan kriteria untuk diaplikasikan secara konsisten dalam memilih dan
mengklasifikasikan barang, sarana produksi, dan persyaratan dari jasa yang ditawarkan.
Tujuan penyusunan standar adalah untuk memfasilitasi perdagangan, pertukaran, dan alih
teknologi melalui :
Peningkatan mutu dan kesesuaian produksi pada tingkat harga yang layak
62
Peningkatan kesehatan, keamanan dan perlindungan lingkungan, dan pengurangan
limbah
Kesesuaian dan keandalan inter-operasi yang lebih baik dari berbagai komponen
untuk menghasilkan barang maupun jasa yang lebih baik
Penyederhanaan perancangan produk untuk peningkatan keandalan kegunaan barang
dan jasa
Peningkatan efisiensi distribusi produk dan kemudahan pemeliharaannya
Pengguna (konsumen) lebih percaya pada barang dan jasa yang telah mendapatkan jaminan
sesuai dengan standar internasional. Jaminan terhadap kesesuaian tersebut dapat diperoleh
baik dari pernyataan penghasil barang maupun melalui pemeriksaan oleh lembaga
independen.
8.3 Sejarah singkat perubahan
Pre ISO 9000
Selama perang dunia ke-2, terdapat banyak sekali persoalan mutu dalam industri
teknologi tinggi di Inggris, seperti amunisi yang meledak saat masih di pabrik pembuatnya.
Solusi yang dilakukan adalah dengan mensyaratkan pabrik untuk mendokumentasikan
prosedur serta menunjukannya dengan bukti-bukti terdokumentasi untuk membuktikan
bahwa prosedur tersebut telah dilakukan sesuai dengan yang dituliskan. Nama standar itu
dikenal dengan kode BS 5750, dan diakui sebagai standar manajemen sebab ia tidak
menyatakan apa yang dibuat, tapi bagaimana mengelola proses pembuatannya. Pada tahun
1987, pemerintah Inggris meyakinkan ISO untuk mengadopsi BS 5750 sebagai standar
internasional, dan kemudian BS 5750 menjadi ISO 9000.
Versi 1987
Standar ISO tentang SMM versi 1987 memiliki struktur yang sama dengan BS 5750,
dengan 3 (tiga) model SMM, pemilihan didasarkan pada ruang lingkup aktivitas suatu
organisasi:
ISO 9001:1987 Model, untuk penjaminan mutu (QA = quality assurance) dalam
desain, pengembangan, produksi, instalasi dan pelayanan bagi organisasi yang
memiliki aktivitas menciptakan produk baru.
63
ISO 9002:1987 Model, untuk QA dalam produksi, instalasi dan pelayanan yang
dasarnya sama dengan ISO 9001:1987 namun tanpa aktivitas menciptakan produk
baru.
ISO 9003:1987 Model, untuk QA dalam pengujian dan inspeksi akhir saja.
ISO 9000:1987 dipengaruhi oleh standar militer di Amerika Serikat khususnya,
namun juga cocok diterapkan pada manufaktur. Penekanan standar ini adalah pada
kesesuaian dengan prosedur-prosedur daripada terhadap proses manajemen secara
keseluruhan.
Versi 1994
Standar ISO tentang SMM versi 1994 menekankan QA melalui tindakan preventif,
sebagai ganti dari hanya melakukan pemeriksaan pada produk akhir, namun tetap
melanjutkan pembuktian kepatuhan dengan prosedur-prosedur terdokumentasi. Dan
karenanya, seperti versi sebelumnya, organisasi cenderung menghasilkan begitu banyak
manual prosedur sehingga membebani organisasi tersebut dengan rangkaian birokrasi yang
tidak perlu.
Versi 2000
Standar ISO tentang SMM versi 2000 memadukan ketiga standar ISO 9001, 9002, and
9003 menjadi hanya satu standar yaitu 9001. Prosedur desain dan pengembangan disyaratkan
hanya jika organisasi berkaitan secara langsung dengan aktivitas penciptaan produk baru.
Versi 2000 ini membuat perubahan mendasar dalam konsep SMM ISO 9000 ini dengan
menempatkan manajemen proses sebagai landasan pengukuran, pengamatan dan peningkatan
tugas dan aktivitas organisasi, daripada hanya melakukan inspeksi pada produk akhir. Versi
2000 ini juga menuntut keterlibatan manajemen puncak dalam mengintegrasikan manajemen
mutu dengan sistem bisnis secara keseluruhan, dan juga menghindari pendelegasian fungsi-
fungsi manajemen mutu ke administrator yunior. Tujuan lainnya adalah meningkatkan
efektivitas melalui pengukuran-pengukuran statistik untuk memenuhi kepuasan pelanggan
dan peningkatan berkesinambungan.
Kritisi terhadap versi 1994, terkait dengan beban dokumentasi sistem manajemen mutu,
ditanggapi pada versi 2000 sebagai berikut:
64
Untuk membuktikan pemenuhan persyaratan ISO 9001:2000, organisasi harus mampu
menyediakan bukti objektif (tidak perlu terdokumentasi) bahwa SMM telah diterapkan secara
efektif. Analisis dari proses sebaiknya merupakan sumber untuk menetapkan jumlah
dokumen yang diperlukan bagi SMM, guna memenuhi persyaratan ISO 9001:2000. Bukan
dokumentasi yang menentukan proses. ISO 9001:2000, memberikan fleksibilitas bagi
organisasi untuk memilih pendokumentasian SMM, memungkinkan setiap organisasi
mengembangkan jumlah minimum dari dokumentasi yang diperlukan untuk
mendemonstrasikan perencanaan yang efektif, operasi dan kontrol prosesnya serta
penerapannya dan peningkatan dari efektifitas SMM.
Penekanan bahwa ISO 9001 mensyaratkan ”documented quality management system”, and
not a “system of documents”.
Versi 2008
Pada tanggal 14 Nopember 2008, ISO telah menerbitkan standar SMM versi 2008,
yaitu ISO 9001:2008, Quality management system – Requirements. Secara umum tidak
muncul adanya persyaratan baru pada standar ini dibandingkan versi sebelumnya. Revisi
yang dilakukan adalah untuk mempertegas pernyataan-pernyataan dalam standar yang
dianggap perlu untuk dijelaskan. Misalnya: jenis pengendalian yang dapat diterapkan untuk
outsourced processes, satu prosedur tunggal dapat digunakan untuk mengatur beberapa
kegiatan yang wajib didokumentasikan, dan penyelarasan dengan standar-standar terkait yang
terbit dalam periode 2000-2008, seperti ISO 9000:2005, ISO 19011:2002, dan ISO
14001:2004.
Terkait dengan masa transisi, dari ISO 9001:2000 ke ISO 9001:2008, ISO dengan IAF
(International Accreditation Forum) menyetujui skema sebagai berikut:
12 bulan setelah publikasi ISO 9001:2008, semua sertifikat yang diterbitkan (baru
maupun re-sertifikasi) harus mengacu ke ISO 9001:2008
24 bulan setelah publikasi ISO 9001:2008, semua sertifikat yang diterbitkan sesuai
ISO 9001:2000 tidak berlaku.
Meskipun dalam masa transisi, sertifikat ISO 9001:2000 mempunyai status yang sama
dengan sertifikat ISO 9001:2008, namun organisasi yang telah memiliki sertifikat ISO
65
9001:2000 sebaiknya menghubungi Lembaga Sertifikasi untuk menyetujui program untuk
menganalisa klarifikasi ISO 9001:2008 dengan SMM yang diterapkannya.
Organisasi yang sedang dalam proses sertifikasi ISO 9001:2000 sebaiknya berubah
menggunakan ISO 9001:2008 untuk sertifikasinya. Lembaga Sertifikasi yang telah
diakreditasi harus menjamin bahwa auditornya mengetahui akan klarifikasi ISO 9001:2008,
dan implikasinya, dalam melaksanakan audit sesuai ISO 9001:2008 tersebut. Konsultan dan
lembaga pelatihan disarankan untuk mengetahui akan klarifikasi ISO 9001:2008 serta
menentukan kebutuhan untuk memperbaharui program pelatihan/dokumentasi dan
perubahannya yang diperlukan untuk pelaksanaan pelatihan/konsultasi ISO 9001:2008.
8.4 Sistem Manajemen Keamanan Pangan : ISO 22000
Seiring dengan perkembangan kemajuan industri pangan, banyak ditemui masalah
yang berkaitan dengan ”food borne illness” atau penyakit yang disebabkan karena makanan.
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan adanya fakta ditemukannya makanan yang mengandung
susu beracun. Sebelum itu, kita juga dikejutkan dengan adanya penolakan China terhadap
produk ikan Indonesia karena dianggap tidak memenuhi standar keamanan pangan. Kejadian-
kejadian itu mengindikasikan butuhnya perusahaan untuk memiliki manajemen keamanan
pangan yang efektif (Anonymousa,2010).
Di negara Eropa dan Amerika, permasalahan ini telah diantisipasi dengan menerbitkan
suatu metode untuk melakukan risk analysis / analisa resiko terhadap bahaya yang
disebabkan oleh makanan dalam proses penyediaannya. Metode tersebut disebut HACCP
(Hazard Analysis & Critical Control Points) dan setiap organisasi yang menjual produknya di
Eropa dan Amerika, mereka wajib memenuhi persyaratan tersebut. Namun pada
kenyataannya, metode ini hanya sekedar berfungsi untuk risk analysis saja. Sedangkan
kebutuhan dunia industri pada umumnya dan industri makanan pada khususnya adalah
bagaimana meningkatkan produktivitas dari kinerja organisasi sehingga dapat meningkatkan
profit margin dan efisiensi organisasi.
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) menjamin dari segi keamanannya
sedangkan ISO 9001 lebih fokus dalam menjamin kualitas produk. Dengan mengaplikasikan
HACCP dengan ISO 9001 quality management system menghasilkan sistem yang lebih
efektif daripada hanya menggunakan HACCP atau ISO 9001 secara sendiri-sendiri. Hal ini
juga bertujuan untuk meningkatkan kepuasan konsumen dan memperbaiki keefektifan dalam
pengorganisasiannya.
66
Berdasarkan kebutuhan ini, dunia internasional sepakat untuk menerbitkan satu sistem
baru. ISO 22000 adalah perbaruan dari standar ISO 9000 : 9001 dan mengkombinasikan
antara standar ISO 9000 : 9001 dengan konsep HACCP ke dalam satu standar.
8.5 Definisi ISO 22000
ISO 22000 adalah suatu standar internasional yang menggabungkan dan melengkapi
elemen utama ISO 9001 dan HACCP dalam hal penyediaan suatu kerangka kerja yang efektif
untuk pengembangan, penerapan, dan peningkatan berkesinambungan dari Sistem
Manajemen Keamanan Pangan (SMKP).
ISO 22000 menjaga keselarasan dengan sistem manajemen lainnya, misalnya ISO
9001 dan ISO 14001, untuk memastikan keefektifan integrasi sistem-sistem tersebut
(Anonymousc, 2010).
ISO 22000 merupakan standar internasional yang menggambarkan kebutuhan dari
suatu sistem manajemen keamanan pangan yang mencakup semua organisasi dalam rantai
makanan dari panen sampai produk. Unsur-unsur kunci yang menentukan keamanan pangan
sepanjang rantai makanan, meliputi :
- Komunikasi interaktif
- Sistem manajemen.
- Pengendalian dari bahaya keamanan pangan ke arah persyaratan penuh dari program
dan perencanaan HACCP.
- Peningkatan yang berkelanjutan dan pembaharuan dari sistem manajemen keamanan
pangan.
TUJUAN DICIPTAKAN ISO 22000
Tujuannya adalah untuk menyediakan satu standar yang dikenal secara internasional
untuk sistem manajemen keselamatan pangan yang dapat diterapkan dalam produk pangan
(Anonymouse, 2010).
8.6 Perbedaan ISO 22000 dengan ISO dan Sistem Manajemen Keamanan Pangan Lain
67
Perbedaan yang utama antara ISO 22000 dan ISO 9000 adalah mengenai ruang
lingkupnya. Pertama dengan tujuan keamanan pangan, sedangkan yang lainnya mengarahkan
pada mutu pangan. Standar ISO 22000 dimaksud untuk menjadi bagian yang independen dan
dapat digunakan untuk semua jenis organisasi di dalam penyedia rantai makanan.
ISO 22000 lebih konsentrasi pada keamanan pangan dan prosedur instruksi
bagaimana membangun sistem keamanan pangan tersebut (Anonymousd, 2010).
Perbedaan ISO 9001:2000 HACCP ISO 22000:2005
Model SistemModel jaminan proses secara global
Analisa risiko Model jaminan proses dan analisa resiko
Lingkup Pengendalian
Mencakup ke sistem manajemen secara global tidak termasuk persyaratan teknis
Tidak mencakup ke pengendalian sistem manajemen tetapi hanya ke persyaratan teknis saja
Mencakup pengendalian terhadap sistem manajemen dan terhadap persyaratan teknis
Penerapan General. Dapat diterapkan oleh setiap jenis industri.
Spesifik. Hanya diterapkan untuk industri pangan (tidak termasuk pengendalian di industri pakan ternak yang menjadi pendukung bagi industri pangan)
Spesifik. Diterapkan di semua industri pangan dan pakan ternak yang terkait dengan industri pangan
Sertifikasi Sertifikat ISO 9001:2000
Sertifikat HACCP Sertifikat ISO 22000:2005 sudah termasuk di dalamnya ISO 9001 dan HACCP
Biaya Lebih mahal jika diwajibkan sertifikasi untuk ISO 9001 dan HACCP (2 kali sertifikasi)
Lebih mahal jika diwajibkan sertifikasi untuk ISO 9001 dan HACCP (2 kali sertifikasi)
Lebih murah karena hanya 1 kali sertifikasi sudah mencakup sistem ISO 9001 dan HACCP
Pemeliharaan Memakan waktu, tenaga dan biaya lebih besar jika diwajibkan untuk pemisahan sertifikasi antara ISO 9001 dan HACCP.Catatan : jika terpisah akan ada 2 kali internal audit, 2 kali surveillance audit dan 2 kali Rapat Tinjauan Manajemen
Memakan waktu, tenaga dan biaya lebih besar jika diwajibkan untuk pemisahan sertifikasi antara ISO 9001 dan HACCP.Catatan : jika terpisah akan ada 2 kali internal audit, 2 kali surveillance audit dan 2 kali Rapat Tinjauan Manajemen
Waktu, tenaga dan biaya lebih murah karena sistem ISO 9001 dan HACCP sudah terintegrasi
Sumber : SIEN Consultant (Anonymoush, 2008)
68
8.7 Turunan ISO 22000
Pengembangan standar ISO 22000 dimulai pada tahun 2001, dengan rekomendasi dari
Badan Standardisasi Denmark ke sekretaris ISO
Komite teknis ISO / TC 34 (Makanan Produk). ISO kemudian mengembangkan
standarisasinya dengan Codex Alimentarius Commission (Badan Internasional Bersama,
didirikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia dan Organisasi Pertanian) dan para ahli dari
industri makanan. Pada bulan Agustus 2005, rancangan akhir dengan suara bulat disetujui
oleh semua 23 badan standar nasional berpartisipasi dalam kelompok kerja. ISO 22000
kemudian dipublikasikan pada September 1, 2005 (Nygren, 2010).
Berikut adalah turunan ISO 22000 : (Anonymousd, 2009)
- ISO/TS 22004, sistem manajemen keamanan pangan: mengarah kepada aplikasi dari
ISO 22000:2005, yang dipublikasikan bulan November 2005, yang menyediakan
bimbingan penting yang dapat membantu organisasi yang mencakup perusahaan
sedang dan menengah yang ada diseluruh dunia.
- ISO/TS 22003, sistem manajemen keamanan pangan: merupakan kebutuhan dari asal
badan audit dan sertifikasi dari sistem manajemen keamanan pangan, akan memberi
bimbingan yang seimbang pada akreditasi (penerimaan) tentang ISO 22000 dengan
badan sertifikasi dan menggambarkan aturan untuk pengauditan sistem manajemen
keamanan pangan ketika menyesuaikan diri kepada standar ini. Dan akan diterbitkan
dalam kwartal pertama tahun 2006.
- ISO 22005, penerapan treaceability dalam makanan ternak dan rantai makanan: prinsip
umum dan bimbingan dari desain sistem dan pengembangan, akan segera dikeluarkan
sebagai draf standar internasional.
8.8 ISO 22003
Sistem manajemen keamanan pangan
ISO/TS 22003:2007 akan membantu untuk menciptakan kepercayaan dalam sertifikasi
keseluruh dalam persediaan rantai makanan. ISO /TS 22003 merupakan dokumen yang
terakhir dalam rangkaian ISO untuk sistem manajemen keamanan pangan, yang
menyeimbangkan kelayakan keamanan pangan dalam prakteknya di seluruh dunia. Ini
diluncurkan pada tahun 2005 dengan ISO 22000, yang didukung oleh suatu konsensus
internasional antar tenaga ahli dari pemerintah dan industri.
69
8.9 ISO 22005
Penerapan traceability dalam makanan ternak dan rantai makanan. Standarisasi ini
memperbolehkan pengoperasian pada tiap tahapan dari rantai makanan untuk :
- Melacak alir bahan (makanan ternak, makanan, ramuan dan pengemasan mereka).
- Mengidentifikasi keperluan dokumentasi dan pelacakan dari masing-masing langkah dari
produksi.
- Memastikan koordinasi yang cukup antara para pemeran yang dilibatkan secara berbeda.
- Membutuhkan masing-masing pihak yang diinformasikan langsung dari penyalur yang
paling sedikit dan pelanggan dan lain sebagainya.
Sebuah sistem traceability memperbolehkan organisasi untuk membuat dokumen dan atau
lokasi produk melalui tahapan dan dioperasikan yang dilibatkan dalam manufaktur,
pemprosesan, distribusi, dan penanganan dari makanan ternak dan makanan, dari produk
utama ke konsumen. Oleh sebab itu mendapat fasilitas untuk identifikasi penyebab dari tidak
sesuaian dari produk, dan kemampuan untuk menggambarkan dan atau mengingat kembali
itu dibutuhkan.
CARA MENDAPATKAN SERTIFIKASI ISO 22000
Kemudahan penerapan ISO 22000 tergantung pada tiga hal pokok, yaitu kelengkapan
program sistem mutu perusahaan, besar kecilnya skala usaha dan kecanggihan teknologi
proses (Anonymousi, 2010).
Berikut langkah-langkah pentingnya : (Anonymousc, 2010)
- Aplikasi permohonan pendaftaran dilakukan dengan melengkapi kuestioner SMKP Audit
ISO 22000 dilaksanakan oleh NQA dengan dua tahapan utama, yang dikenal sebagai
Audit Sertifikasi Awal
- Permohonan pendaftaran disetujui oleh NQA, berikut tahapan selanjutnya harus
dilakukan oleh klien. Pemeliharaan sertifikasi dikonfirmasikan melalui program Audit
pengawasan (surveilans) tahunan dan proses sertifikasi ulang setelah tiga tahun masa
berlakunya sertifikasi tersebut.
70
Langkah Implementasi (Anonymouse, 2010)
1. Bentuk Tim FSMS
Tim ini akan merancang dan mengembangkan FSMS dan berperan aktif dalam sistem
manajemen berkelanjutan.
2. Bentuk tim manajemen
Tim ini akan aktif pada perancangan dan pengembangan sistem serta penerapannya
dalam kegiatan sehari-hari. Tim Manajemen akan bertindak sebagai tim inti , membagi
tanggung jawab, menyediakan sumber daya dan mengkoordinasikan kegiatan. Tim
Manajemen dapat membuat tim kerja yang bekerja pada proses khusus yang dibutuhkan
dalam dokumentasi FSMS.
- Tiap tim kerja akan mengevaluasi proses yang ada dan persyaratan yang diperlukan.
- Proses baru atau yang dimodifikasi akan dibuat, didokumentasikan dan dikirim ke
tim manajemen untuk di review dan disetujui.
- Setelah tim kerja merancang dan mendokumentasikan proses. Latih seluruh
karyawan yang terlibat dalam proses untuk melaksanakan proses tersebut
- Bila semua proses telah dijalankan, lakukan internal audit dan tinjauan manajemen.
- Gunakan informasi dari internal audit dan management review untuk melakukan
improvement FSMS. Terapkan sistem dalam kurun waktu tertentu guna
mengumpulkan bukti untuk audit sertifikasi.
- Pastikan semua karyawan telah di training ISO 22000
- Lakukan audit sertifikasi.
Persyaratan Sertifikasi ISO 22000 (Anonymouse, 2010)
1. Persyaratan : Umum
- Organisasi harus membangun sistem yang efektif dan dapat memenuhi
persyaratan standar, dokumentasi, implementasi dan pemeliharaan sistem.
- Sistem harus di evaluasi dan diperbaharui.
2. Persyaratan : Manajemen
- Management harus terlibat dan berkomitmen pada FSMS. Manajemen membuat
kebijakan Keamanan Pangan dan harus dikomunikasikan dan diimplementasikan.
- Top Management harus terlibat dalam desain dan implementasi FSMS.
71
- Setelah implementasi, manajemen akan melaksanakan tinjauan manajemen untuk
memastikan keefektifan sistem.
3. Persyaratan : Sumber Daya
- FSMS harus menjelaskan sumberdaya manusia dan fisik yang dibutuhkan untuk
membuat produk yang aman.
- Selama pengembangan sistem, organisasi akan mengidentifikasikan kompetensi
personil, training yang dibutuhkan serta lingkungan kerja dan infrastruktur yang
dibutuhkan
4. Persyaratan : Pembuatan produk
- Organisasi harus merencanakan semua proses yang berkaitan dengan pembuatan
produk untuk menjamin keamanan produk.
- Program pendahuluan harus ditetapkan, diimplementasikan dan dievaluasi terus
menerus.
- Tetapkan dan dokumentasikan sistem untuk :
Pengumpulan informasi awal analisis bahaya
Lakukan analisa bahaya
Tetapkan Rencana HACCP
Laksanakan aktifitas verifikasi
Telusuri produk, material dan distribusi produk
5. Persyaratan : Produk Tidak Sesuai
- Tetapkan - dokumentasi sistem untuk pengendalian semua produk tidak sesuai
- Saat Titik Kendali Kritis terlampaui, produk berpotensi tidak aman harus
diidentifikasi, di periksa, di kendalikan dan dipisahkan. Dibuat prosedur
pemisahan produk cacat untuk memastikan tindakan dapat cepat dilakukan.
- Identifikasi tindakan perbaikan dan pencegahan yang diperlukan untuk
menghilangkan ketidaksesuaian dan penyebabnya.
6. Persyaratan : Validasi
- Tetapkan dan dokumentasikan proses untuk validasi control measure sebelum di
implementasikan.
- Pastikan semua pengukuran dan alat ukur serta metodenya mampu menghasilkan
akurasi yang diinginkan.
7. Persyaratan : Verifikasi
72
- Tetapkan dan dokumentasikan proses internal audit. Training auditors, dan
rencanakan internal audit untuk memastikan FSMS berjalan efektif dan selalu
diperbaharui.
- Implementasikan proses evaluasi serta analisa hasil verifikasi dan tindakan yang
diperlukan.
8. Persyaratan : Perbaikan
- Lakukan perbaikan berkelanjutan untuk FSMS dengan menggunakan:
o Management review/tinjauan manajemen
o Internal audits
o Tindakan Perbaikan
o Hasil verifikasi
o Hasil validasi
- Perbaharui FSMS
LEMBAGA YANG MELAKUKAN SERTIFIKASI ISO 22000
Sertifikasi ISO 22000 dilaksanakan oleh National Quality Assurance (NQA).
Lembaga tersebut merupakan lembaga jaminan mutu Amerika Serikat (Anonymousc, 2010).
KONSULTAN DAN TRAINER ISO 22000 DI INDONESIA
- ISO SIEN Consultant (Yoyo, 2010).
- PT. Bika Solusi Perdana (Anonymousf, 2010).
- QPI Quality & Productivity Improvement Consulting (Anonymousg, 2010).
APLIKASI ISO 22000
ISO 22000 dapat digunakan oleh berbagai macam organisasi yang berhubungan
secara langsung maupun tidak langsung dengan rantai makanan termasuk : (Anonymousd,
2009).
a. Produsen utama :
- Kebun.
- Peternakan
- Perikanan
- Pabrik susu
73
b. Pengolah :
- Pengolahan ikan.
- Pengolahan daging.
- Pengolahan unggas.
- Pengolahan makanan ternak
c. Manufaktur :
- Pabrikan sup.
- Pabrikan makanan kecil.
- Pabrikan roti.
- Pabrikan gandum.
- Pembalut luka pabrikan.
- Pabrikan hidangan.
- Pabrikan bumbu.
- Pabrikan pengemasan.
- Pabrikan makanan yang dibekukan.
- Pabrikan makanan kalengan.
- Pabrikan manisan.
- Pabrikan tambahan aturan makanan.
d. Penyedia layanan makanan :
- Toko bahan makanan.
- Rumah makan.
- Kafe.
- Rumah sakit.
- Hotel.
- Tempat peristirahatan.
- Perusahaan penerbangan.
- Pelayaran.
- Rumah tua.
- Rumah pengasuh anak.
e. Penyedia layanan lainnya :
74
- Penyedia layanan gudang.
- Penyedia layanan catering.
- Penyedia layanan logistic.
- Penyedia layanan transpotasi.
- Penyedia layanan distribusi.
- Penyedia layanan sanitasi.
- Penyedia layanan kebersihan.
f. Produk penyalur :
- Para penyalur perlengkapan.
- Para penyalur perkakas pertukangan.
- Para penyalur peralatan.
- Para penyalur bahan tambahan.
- Para penyalur ramuan.
- Para penyalur bahan baku.
- Para penyalur dari agen kebersihan.
- Para penyalur dari agen sanitasi.
- Para penyalur bahan pengemasan.
- Para penyalur dari bahan kontak dari makanan lain.
CONTOH PERUSAHAAN YANG TELAH MENERAPKAN ISO 22000
a. Contoh perusahaan yang menerapkan sistem manajemen mutu ISO 22000 adalah
Alltech Cina. Alltech merupakan perusahaan yang memproduksi pakan ternak.
Alltech Cina memperoleh sertifikat ISO 22000 karena perusahaan tersebut sangat
menjaga sistem quality control berdasarkan program HACCP (Hazard Analysis
and Critical Control Points) (Anonymousj, 2010).
b. Selama ini PT. CPB telah membina hubungan kemitraan dengan petambak dalam
bidang budidaya maupun penyediaan pakan udang. Dengan demikian, perusahaan
dapat mengendalikan kualitas bahan baku udang. PT. Central Pertiwi Bahari (PT
CPB) adalah salah satu anak perusahaan Charoen Phokphan Grup Indonesia yang
berlokasi di Lampung, pulau Sumatera, Indonesia. Perusahaan ini memproduksi
udang mentah dan udang masak beku. Produk akhir kemudian diekspor ke USA,
negara-negara di Eropa dan Jepang (Friana, 2006).
75
c. PT. Eastern Pearl Flour Mills (EPFM) mendapatkan sertifikat International
Organization for Standardization (ISO) 22000. Perusahaan terigu itu memiliki
tingkat keamanan pangan berkualifikasi internasional (Anonymousk, 2010).
d. GMF AeroAsia, perusahaan penerbangan internasional terbesar di kawasan Asia.
Di Indonesia pusatnya berada di Jakarta (Anonymousl, 2010).
MANFAAT PENERAPAN ISO 22000 (Anonymousc, 2010)
- Kepuasan pelanggan – melalui pengiriman produk yang secara konsisten memenuhi
persyaratan pelanggan termasuk kendali mutu, keamanan dan kepatuhan hukum
- Mengurangi ongkos-ongkos operasional – melalui peningkatan berkesinambungan dari
proses-proses yang dilalui yang berakibat pada efisiensi-efisiensi operasional
- Efisiensi-efisiensi operasional – dengan mengintegrasikan bagian awal dari
programprogram (PRP & OPRP), HACCP dengan filsafat ISO 9001 berupa Rencana-
Tindakan-Periksa-Lakukan mengenai peningkatan efektifitas dari Sistem
- Manajemen Keamanan Pangan
- Meningkatkan hubungan dengan pihak-pihak yang berkepentingan – termasuk para
karyawan, pelanggan dan rekanan
- Persyaratan kepatuhan hukum – dengan pemahaman bagaimana persyaratan suatu
peraturan dan perundang-undangan tersebut mempunyai pengaruh penting pada suatu
organisasi dan para pelanggan anda dan kebenaran pengujian produk melalui audit
internal dan tinjauan-tinjauan manajemen
- Peningkatan terhadap pengendalian manajemen resiko – dengan konsistensi secara
sungguhsungguh dan kemampu-telusuran produk dari yang diproduksi
- Tercapainya kepercayaan masyarakat terhadap bisnis yang dijalankan – dibuktikan
dengan adanya verifikasi pihak ketiga yang independen pada standar yang diakui
- Kemampuan untuk mendapatkan lebih banyak bisnis – khususnya spesifikasi pengadaan
yang memerlukan sertifikasi sebagai suatu persyaratan sebagai rekanan
KENDALA PENERAPAN ISO 22000
Pada beberapa negara maju dan berkembang termasuk Indonesia dalam menerapkan
sistem HACCP mengalami kendala dalam penerapannya terutama pada usaha kecil. Kendala
yang dihadapi usaha kecil, seperti sumber keuangan, keahlian manajemen dan teknis.
Sedangkan pada usaha katering hambatannya adalah pengetahuan, pelatihan, petinggi staf,
76
variasi produk yang besar, variasi dalam permintaan dan beban kerja, dan banyaknya pekerja
paruh waktu (Anonymousd, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Alumni. Bandung.
Kuhre, Lee, W. 1996. Sistem Pengelolaan Lingkungan. Prehalindo. Jakarta.
Pranawiyanti, Hiasinta.1999. Sanitasi, Higienis dan Keselamatan Kerja dalam Pengolahan
Makanan. Kanisius. Yogyakarta.
Srikandi, Fardiaz. 1989. Petunjuk Praktek Mikrobiologi Pangan. IPB. Bogor
77
IX. GOOD AGRICULTURAL PRACTICES (GAP)
9.1 Pendahuluan
Era globalisasi menuntut persaingan, khususnya untuk komoditi pertanian tidak dapat
dihindari lagi dalam menghadapi persaingan yang sangat ketat, apabila pengaruh era
globalisasi tersebut tidak dapat diantisipasi, maka tidak mustahil akan berakibat pada
menurunnya daya saing yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap nilai ekspor komoditi
pertanian Indonesia yang dipasarkan ke negara-negara mitra bisnis. Dalam kondisi ini
tantangan aspek mutu di sektor pertanian perlu diikuti dengan pemantapan penerapan sistem
standardisasi dalam seluruh rangkaian kegiatan pertanian sesuai dengan dinamika pasar di
tingkat internasional (Afrianto, 2008).
Pada abad 21 dunia pertanian dan budidaya tanaman akan menemukan tiga tantangan
yaitu:
1. memperbaiki ketahanan pangan, mata pencaharian di daerah dan peningkatan
pendapatan;
2. meningkatkan kepuasan dan variasi permintaan untuk makanan yang aman/keamanan
pangan dan produk lainya;
3. menjaga dan melindungi sumber alami FAO yakin bahwa GAP berpotensi membantu
mengadaptasi perubahan ini.
Di Thailand penerapan GAP pada produk buah dan sayuran segar telah dilaksanakan
beberapa tahun ini dan menjadi prioritas menteri pertanian. Hasilnya sangat signifikan
dimana produk pertanian baik buah maupun sayuran Thailand mampu menembus pasar dunia
sehingga tidak mengherankan apabila GAP akhir-akhir ini dipromosikan dan digunakan di
berbagai belahan dunia (Changchui,H.2005).
Di Indonesia sendiri sudah saatnya antisipasi akan quality system yang konsisten dan
keamanan pangan terutama di industri pangan dicermati dan diimplementasikan di era pasar
bebas ini. Kebijakan mutu akan kepentingan keamanan dan konsistensi quality system dari
pemerintah: aplikasi scientific theory dari para scientist; dan implementasi oleh para pelaku
bisnis perlu dijalani secara terpadu melalui teknik-teknik Pedoman Cara Yang Baik (Good
Practices): (1) GAP (Good Agriculture Practice)/GFP (Good Farming Practice); (2) GHP
(Good Handling Practice); (3) GMP (Good Manufacturing Practice) & GLP (Good
Laboratory Practice); (4) GDP (Good Distribution Practice); dan (5) GRP (Good Retailing
78
Practice). Pemahaman dan persamaan persepsi akan kepentingan serta sertifikasi ISO 9000 –
9002–9005; ISO-25 dan HACCP sudah sangat-sangat diperlukan agar industri pangan
Indonesia mampu bersaing dengan industri pangan luar negeri (Cahyono, 2010).
Jika harga suatu produk tergantung pada keamanannya, maka akan membuat para
petani/pengusaha mendukung sistim keamanan ini. Selain itu, pada pihak konsumen hal ini
juga menandakan bahwa tanggapan konsumen mengenai keamanan pangan mulai kritis.
Karena konsumen yang kritis adalah jika konsumen menilai keamanan pangan mulai dari
penanamannya, kemudian lingkungannya (Matsuda,2007).
Salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan adalah terjaminnya pangan yang
dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan. Hal
ini secara jelas menunjukkan upaya untuk melindungi masyarakat dari pangan yang tidak
memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Sasaran program keamanan pangan adalah: (1)
Menghindarkan masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan, yang tercermin
dari meningkatnya pengetahuan dan kesadaran produsen terhadap mutu dan keamanan
pangan; (2) Memantapkan kelembagaan pangan, yang antara lain dicerminkan oleh adanya
peraturan perundang-undangan yang mengatur keamanan pangan; dan (3) Meningkatkan
jumlah industri pangan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
(Winarno,2004).
Dengan diberlakukannya UU No. 7 tentang Pangan tahun 1996 sebuah langkah maju
telah dicapai pemerintah untuk memberi perlindungan kepada konsumen dan produsen akan
pangan yang sehat, aman dan halal. Dalam upaya penjabaran UU tersebut, telah disusun
Peraturan Pemerintah (PP) No.69/1999 tentang keamanan pangan serta label dan iklan
pangan. Demikian juga PP No.28/2004 tentang mutu dan gizi pangan serta ketahanan pangan.
Dinamika pasar konsumen menuntut produk pertanian yang aman untuk dikonsumsi,
bermutu baik, dan diproduksi dengan cara yang ramah lingkungan. Sifat produk pertanian
pada umumnya mudah rusak dan memerlukan teknik budidaya dan penanganan yang khusus.
Petani dan pelaku usaha perlu difasilitasi dengan pedoman tentang teknik budidaya yang baik
( Good Agriculture Practices ) sebagai proses belajar untuk meningkatkan produktivitas,
mutu, dan daya saing (Azril , 2007).
Masih kurangnya tanggung jawab dan kesadaran produsen dan distributor terhadap
keamanan pangan tampak dari penerapan Sistem Jaminan Mutu Pada Produksi Pertanian
dalam diagram dibawah ini :
79
9.2 Good Agricultural Practices (GAP)
GAP adalah panduan umum dalam melaksanakan budidaya tanaman buah, sayur,
biofarmaka, dan tanaman hias secara benar dan tepat, sehingga diperoleh produktivitas tinggi,
mutu produk yang baik, keuntungan optimum, ramah lingkungan dan memperhatikan aspek
keamanan, keselamatan dan kesejahteraan petani, serta usaha produksi yang berkelanjutan
(Sudiarto,2010).
GAP difokuskan pada kegiatan budidaya, pengolahan primer komoditas pertanian dan
penyimpanannya yang diperdagangkan dan digunakan dalam industri makanan, pakan, obat,
penambah rasa (flavor) dan parfum. Penerapannya telah berkembang di negara-negara
anggota Uni Eropa. GAP juga dapat diaplikasikan untuk berbagai sistem pertanian, termasuk
pertanian organik.
Tujuan dari penerapan GAP diantaranya; (1) Meningkatkan produksi dan produktivitas,
(2) Meningkatkan mutu hasil termasuk keamanan konsumsi, (3) Meningkatkan efisiensi
produksi dan daya saing, (4) Memperbaiki efisiensi penggunaan sumberdaya alam, (5)
Mempertahankan kesuburan lahan, kelestarian lingkungan dan sistem produksi yang
berkelanjutan, (6) Mendorong petani dan kelompok tani untuk memiliki sikap mental yang
bertanggung jawab terhadap kesehatan dan keamanan diri dan lingkungan, (7) Meningkatkan
peluang penerimaan oleh pasar internasional, dan (8) Memberi jaminan keamanan terhadap
konsumen. Sedangkan sasaran yang akan dicapai adalah terwujudnya keamanan pangan,
80
jaminan mutu, usaha agribisnis hortikultura berkelanjutan dan peningkatan daya saing
(Anonim, 2009)
Prinsip GAP adalah menyelaraskan secara bijaksana pengendalian hama terpadu
(integrated pest management/IPM) dan pengelolaan tanaman terpadu (integrated crop
management).
Penerapan GAP melalui Standar Operasional Prosedur (SOP) yang spesifik lokasi,
spesifik komoditas dan spesifik sasaran pasarnya, dimaksudkan untuk meningkatkan
produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan petani agar memenuhi kebutuhan
konsumen dan memiliki daya saing tinggi dibandingkan dengan produk padanannya dari luar
negeri. Dasar hukum penerapan GAP di Indonesia adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor
: 61/Permentan/OT.160/11/2006, tanggal 28 November 2006 untuk komoditi buah,
sedangkan untuk komoditas sayuran masih dalam proses penerbitan menjadi Permentan.
Dengan demikian penerapan GAP oleh pelaku usaha mendapat dukungan legal dari
pemerintah pusat maupun daerah (Anonim, 2009).
Pendekatan pengelolaan ini penting untuk perbaikan dan berkelanjutan produksi
pertanian jangka panjang. Fitur kuncinya adalah penggunaan yang hati-hati terhadap produk
agrokimia termasuk insektisida, fungisida, herbisida, dan zat pengatur tumbuh. Karena itu,
GAP memanfaatkan pengendalian hama, penyakit dan gulma (tumbuhan pengganggu)
sampai taraf aman yang dikehendaki, yaitu pada batas biaya yang ekonomis bagi petani
dengan bahaya minimal bagi operator, orang lain di sekitarnya, dan lingkungan hidup.
Penggunaan pestisida dan herbisida hasil industri kimia sedapat mungkin dihindari.
Selain itu, kehati-hatian ditujukan juga pada penggunaan pupuk kimia dan air irigasi agar
optimal untuk pertumbuhan tanaman, minimal terhadap degradasi tanah dan lingkungan dan
mengonservasikan sumber daya air.
81
9.3 Ruang Lingkup Penerapan GAP
Kegiatan dasar yang perlu dilakukan pada program GAP secara umum adalah :
1. Produsen memiliki pengetahuan proses produksi yang juga mempertimbangkan
pencegahan kontaminasi yang tidak dikehendaki terhadap produk terutama
kontaminasi dari mikroba dan pestisida.
2. Perlindungan terhadap pencemaran lingkungan terutama pada air dan tanah.
3. Pemahaman produsen terhadap penggunaan pestisida yang benar.
4. Peningkatan kapasitas produsen melalui pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga
yang terpercaya.
Pencegahan kontaminasi terhadap produk hortikultura dilakukan melalui :
Lingkungan lokasi produksi bebas dari penggunaan pestisida yang telah dilarang.
Perlindungan produk dari kontak dengan kotoran hewan, binatang dan material lain
yang berpotensi membawa mikroba berbahaya.
Menghindari penggunaan air, untuk irigasi, perlindungan tanaman dan pasca panen,
yang mengandung patogen/parasit yang berbahaya bagi manusia.
Pencegahan kontaminasi mikroba pada tahap pasca panen mulai dari penanganan
awal sampai pengepakan dan transportasi. Kegiatan yang dilakukan adalah sanitasi
terhadap peralatan/bahan yang digunakan oleh pekerja, kontainer packing yang
terlindung dari serangan binatang (tikus, burung), dan tempat penyimpanan dijaga
tetap mampu menurunkan aktivitas mikroba. Peralatan/bahan yang perlu disanitasi
misalnya pisau, kaus tangan, keranjang, air untuk mencuci dan sebagainya. Alat-alat
sanitasi harus mencukupi, layak beroperasi, dan tersedia pada lokasi yang mudah
dijangkau serta pekerja mampu mengoperasikan secara benar.
Pencegahan terhadap kontaminasi pestisida dilakukan melalui penerapan teknologi
pengendalian yang meminimalkan penggunaan pestisida.
82
Pencemaran air dimaksudkan adalah adanya kontaminasi mikroba tertentu dalam
jumlah tertentu dalam air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan tanaman.
Tindakan yang bisa dilakukan adalah melindungi sumber air dari kontaminasi yang
berasal dari adanya run off permukaan atau kotoran hewan yang masuk kedalam
sumber air tersebut.
Penggunaan pestisida yang benar diarahkan pada tujuan untuk meminimalkan
residu pada produk hortikultura, menjaga keselamatan pekerja, dan mengurangi
pencemaran terhadap lingkungan. Meminimalkan residu dapat dilakukan dengan cara
mengurangi interval aplikasi melalui penggunaan pestisida berdasarkan kebutuhan dan
yang memiliki sifat mudah terdegradasi. Kedua strategi ini juga berdampak pada
pengurangan pencemaran terhadap lingkungan. Keselamatan pekerja dapat terjaga bila
pedoman aplikasi pestisida dan cara operasionalnya diterapkan secara baik dan
konsisten.
Kiat GAP untuk menjamin hasil panen dan pengolahan primer bermutu tinggi,
aman, efisien, berwawasan lingkungan dapat dikatakan berorientasi pendekatan
pemakaian input eksternal rendah untuk pertanian berkelanjutan atau low external input
(for) sustainable agriculture (LEISA).
Pedoman GAP disusun untuk dijadikan acuan praktis prinsip dan tata cara
pencapaiannya mulai dari :
(1) bahan tanaman (varietas, identitas botani).
(2) budidaya, termasuk pemilihan lahan dan pemupukan, pengairan, pemeliharaan,
dan pengendalian organisme pengganggu.
(3) Panen antara lain dilakukan pada kondisi tanaman memberikan kualitas hasil
terbaik dari kondisi cuaca yang memungkinkan dan tidak merusak hasil dan
mutunya.
(4) Pengolahan primer termasuk menghilangkan tanah dan bagian tanaman yang tidak
dibutuhkan secara dibasuh dengan air bersih, perajangan, pengeringan, dan
penyulingan.
(5) Pengepakan harus higienis dan menggunakan bahan pengemasan yang baru, bersih
dan kering.
(6) Penyimpanan dan pengiriman harus sesuai dengan kebutuhan untuk menjaga
kualitas hasil, terlindung dari antara lain hama, burung, tikus dan ternak.
83
(7) Peralatan yang digunakan harus mudah dibersihkan untuk mengelimansi risiko
kontaminasi.
(8) Personel dan fasilitas untuk personel sebaiknya yang sudah terlatih, sehat dan
higienis serta mendapat fasilitas kebersihan yang memadai termasuk toilet,
perlindungan terhadap hasil tanaman yang bersifat alergi dan fasilitas
kesejahteraan terjamin.
Kriteria GAP dibagi menjadi dua kategori. Pertama, kriteria yang dikehendaki
(required), di mana 100 persen pemenuhan target yang tercantum dalam kriteria ini
harus dicapai. Kegagalan dari pemenuhan 100 persen target yang dicantumkan
memerlukan tindakan koreksi. Kedua, kriteria dianjurkan (encourage).
Kriteria ini bersifat rekomendasi tetap tidak wajib. Untuk setiap tahapan kegiatan
disusun uraian kriteria yang dikehendaki dan yang direkomendasikan, mulai dari
perjanjian dengan petani (termasuk kewajibannya), penentuan dan riwayat lokasi
budidaya, persyaratan dan sistem penomoran batch, rencana dari setiap tahapan
budidaya sampai penyimpanan, inspeksi, pelaporan, higienis, pelatihan, dan sebagainya.
Untuk lokasi budidaya dikehendaki disertai data catatan tentang batas-batas
lahan, nama desa, kecamatan, dan kabupaten. Lebih dihargai apabila batas-batas lahan
budidaya dilengkapi koordinat secara geografis dengan memakai alat Global
Positioning System (GPS).
9.3 Pelaksanaan Penerapan GAP
Untuk melakukan penerapan dan pelaksanaan GAP dilakukan melalui,
1.Sosialisasi GAP dan SOP budidaya
2.Koordinasi antar instansi dalam penerapan GAP dan SOP
3.Penyusunan,penyempurnaan, dan perbanyakan SOP budidayakomoditas
4.Penerapan GAP / SOP budidaya
5.Penerapan system pencatatan / traceability system
6.Identifikasi kebun / lahan usahatani
7 Penilaian kebun / lahan usahatani
8.Pencatatan / regestrasi kebun / lahan usahatani
84
9.Pemberian penghargaan untuk kebun / lahan usahatani yang menerapkan
GAP katagori Prima 3, Prima 2, dan Prima 1.
10.Labelisasi produk prima
Kunci keberhasilan dalam penerapan GAP antara lain,
1.Sumber daya manusia petani dan petugas dalam memahami
GAP,SOP,dan Buku Kerja.
2.Sistem pencatataan yang baik.
3.Komitmen petani dan petugas pendamping / Pembina
4.Jaminan pasar dan kemitraan
5.Pendampingan penerapan SAP, SOP, dan pencatataan dalam buku kerja
GAP adalah tata cara bertani yang baik sehingga akan menghasilkan produk
yang berkualitas. GAP mencakup penerapan teknologi yang ramah lingkungan,
penjagaan kesehatan dan peningkatan kesejateraan pekerja, pencegahan penularan OPT
dan prinsip traceability ( suatu produk dapat ditelusuri asal-usulnya, dari pasar sampai
ke kebun).
Tujuan yang akan dicapai dari penerapan GAP adalah
1. Meningkatan produksi dan produktivitas tanaman hortikultura/pangan/perkebunan
dan ternak.
2. Meningkatan mutu hasil pertanian dan peternakan
3. Meningkatkan efisiensi produksi dan daya saing
4. Memperbaiki effisiensi penggunaan sumberdaya alam
5. Mempertahankan kesuburan lahan, kelestarian lingkungan dan system produksi
yang berkelanjutan
6. Mendorong petani dan kelompok tani untuk memiliki sikap mental yan
bertanggungjawab terhadap kesehatan dan keamanan diri dan lingkungan
7. Meningkatkan peluang penerimaan oleh pasar internasional
8. Memberi jaminan keamanan terhadap konsumen
85
Contoh GAP : PEDOMAN BUDIDAYA BUAH DAN SAYUR YANG BAIK(GOOD AGRICULTURE PRACTICES FOR FRUIT AND VEGETABLES) LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIANNOMOR : 48/Permentan/OT.140/2009TANGGAL : 19 Oktober 2009
PEDOMAN BUDIDAYA BUAH DAN SAYUR YANG BAIK(GOOD AGRICULTURE PRACTICES FOR FRUIT AND VEGETABLES)
I. PENDAHULUANA.Latar Belakang
Pada era perdagangan global yang tidak lagi mengandalkan hambatan tarif tetapilebih menekankan pada hambatan teknis berupa persyaratan mutu, keamananpangan, sanitary dan phytosanitary. Kondisi ini menuntut negara-negara produsenuntuk meningkatkan daya saing produk antara lain buah dan sayur.Menghadapi tuntutan persyaratan tersebut, dan dalam rangka menghasilkanproduk buah dan sayur aman konsumsi, bermutu dan diproduksi secara ramahlingkungan serta menindaklanjuti amanat Pasal 4 ayat (2) Peraturan PemerintahNomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, maka perludisusun ketentuan cara berproduksi buah dan sayur yang baik, mengacu kepadaketentuan Good Agriculture Practices (GAP) yang relevan dengan kondisiIndonesia (Indo-GAP). GAP mencakup penerapan teknologi yang ramahlingkungan, pencegahan penularan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT),penjagaan kesehatan dan meningkatkan kesejahteraan petani, dan prinsippenelusuran balik (traceability).
B. MaksudMaksud diterbitkannya Pedoman Budidaya Buah dan Sayur Yang Baik (GoodAgriculture Practices for Fruit and Vegetables) ini sebagai panduan dalamkegiatan budidaya tanaman buah dan sayur secara baik.
C. TujuanTujuan penerapan Pedoman Budidaya Buah dan Sayur Yang Baik untuk:1. meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman;2. meningkatkan mutu hasil termasuk keamanan konsumsi;3. meningkatkan efisiensi produksi;4. memperbaiki efisiensi penggunaan sumber daya alam ;5. mempertahankan kesuburan lahan, kelestarian lingkungan dan system produksi yang berkelanjutan;6. mendorong petani dan kelompok tani untuk memiliki sikap mental yang bertanggung jawab terhadap produk yang dihasilkan, kesehatan dan keamanan diri dan lingkungan;7. meningkatkan daya saing dan peluang penerimaan oleh pasar internasional maupun domestik;8. memberi jaminan keamanan terhadap konsumen; dan9. meningkatkan kesejahteraan petani.
D. Ruang LingkupRuang Lingkup Pedoman Budidaya Buah dan Sayur Yang Baik, meliputi:1. Kriteria2. Registrasi dan Sertifikasi3. Lahan4. Penggunaan Benih dan Varietas Tanaman5. Penanaman6. Pupuk7. Perlindungan Tanaman8. Pengairan
86
9. Panen10. Penanganan Panen dan Pasca Panen11. Alat dan Mesin Pertanian12. Pelestarian Lingkungan13. Pekerja14. Fasilitasi Kebersihan dan Kesehatan Pekerja15. Kesejahteraan Pekerja16. Tempat Pembuangan17. Pengawasan, Pencatatan dan Penelusuran Balik18. Pengaduan19. Evaluasi Internal20. Penutup
E. PengertianDalam Pedoman ini yang dimaksud dengan:1.Tanaman buah adalah tanaman budidaya yang terdiri atas tanaman buah
pohon, tanaman buah merambat dan semusim, tanaman buah terna, dantanaman buah perdu.a. Tanaman buah pohon yaitu tanaman tahunan berbentuk pohon, antaralain mangga, durian, manggis;b. Tanaman buah merambat dan/atau semusim yaitu tanaman yangtumbuh merambat dan/atau tanaman semusim yang berumur di bawah 1tahun, antara lain melon, semangka, markisa, strawbery;c. Tanaman buah terna yaitu tanaman yang memiliki batang lunak, antaralain pepaya, pisang, nenas; dand. Tanaman buah perdu yaitu tanaman yang tumbuh berbentuk perdu,antara lain jeruk, salak, sirsak, jambu biji.
2.Tanaman Sayur adalah tanaman budidaya yang terdiri atas tanamansayuran buah, tanaman sayuran daun, tanaman sayuran umbi, dan jamur.a. Tanaman sayuran buah yaitu tanaman berbentuk buah, antara lain cabemerah, tomat, terong, kacang panjang, ketimun, paprika;b. Tanaman sayuran daun yaitu tanaman berbentuk daun, antara lainkubis, sawi, kangkung, bayam, selada, bawang daun;c. Tanaman sayuran umbi yaitu tanaman berbentuk umbi, antara lainkentang, bawang merah, bawang putih, wortel, lobak; dand. Jamur yaitu golongan tanaman yang tidak berdaun, tidak berbunga, tidakberakar dan tidak berklorofil serta dikembangbiakan melalui spora,antara lain jamur tiram, jamur kuping, jamur merang.
3. Benih tanaman yang selanjutnya disebut benih adalah tanaman atau bagiannya yang digunakan untuk memperbanyak dan/atau mengembangbiakan tanaman.
4.Varietas adalah bagian dari suatu jenis yang ditandai oleh bentuk tanaman,pertumbuhan, daun, bunga, buah, biji, dan sifat-sifat lain yang dapatdibedakan dalam jenis yang sama.
5.Varietas unggul adalah varietas yang telah dilepas oleh pemerintah baik berupa varietas baru maupun varietas lokal yang mempunyai kelebihan dalam potensi hasil dan/atau sifat-sifat lainnya.
6. Perlindungan tanaman adalah segala upaya untuk mencegah kerugianpada budidaya tanaman buah dan sayur yang diakibatkan oleh organismepengganggu tumbuhan.
7. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah upaya pengendalian populasiatau tingkat serangan organisme pengganggu tumbuhan denganmenggunakan teknik pengendalian yang dikembangkan dalam suatukesatuan untuk mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dankerusakan lingkungan hidup
8. Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) adalah semua organisme yangdapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematiantumbuhan.
9. Pestisida adalah zat atau senyawa kimia, zat pengatur tumbuh danperangsang tumbuh, bahan lain, serta organisme renik, atau virus yangdigunakan untuk melakukan perlindungan tanaman.
10. Pupuk adalah bahan kimia atau organisme yang berperan dalam penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung atau tidak
langsung. 11. Perwilayahan komoditas adalah penentuan wilayah yang diperuntukan bagi
pengembangan suatu komoditas karena dinilai sesuai dengan
87
pertimbangan agreokologi, sosio ekonomi dan pemasaran serta persediaanprasarana, sarana dan teknologinya.
12. Registrasi kebun/lahan usaha adalah proses penomoran atau pengkodean kebun/lahan usaha yang telah memenuhi persyaratan 13. Kebun/lahan usaha adalah tempat diusahakannya budidaya tanaman buah dan sayur yang ada batas-batasnya. 14. Pelaku usaha adalah petani, kelompok tani, gabungan kelompok tani,
asosiasi, atau badan usaha yang bergerak dibidang budidaya buahdan/atau sayur.
II KRITERIAKriteria yang digunakan dalam Pedoman Budidaya Buah dan Sayur yang baik adatiga kelompok, yaitu:1. Dianjurkan/A (*) yaitu dianjurkan untuk dilaksanakan; atau2. Sangat dianjurkan/SA (**) yaitu sangat dianjurkan untuk dilaksanakan; atau3. Wajib/W (***) yaitu harus dilaksanakan.
III REGISTRASI DAN SERTIFIKASI1. Kebun/Lahan Usaha yang dinilai dan memenuhi persyaratan GAP diberi nomor registrasi.2. Registrasi dilakukan oleh Dinas Provinsi yang membidangi tanaman hortikultura.3. Kebun/Lahan usaha yang telah diregistrasi siap untuk disertifikasi.4. Sertifikasi dilakukan oleh lembaga sertifikasi terakreditasi atau yang ditunjuk.
IV LAHANA. Pemilihan Lokasi
1. Lokasi kebun/lahan usaha sesuai dengan RUTR /RDTRD dan petapewilayahan komoditas. A2. Lahan bebas dari cemaran limbah bahan berbahaya dan beracun. W3. Kemiringan lahan <30% untuk komoditas sayur dan buah semusim.W4. Kemiringan lahan <30% untuk komoditas buah dan sayur tahunan/pohon.SA
B. Riwayat LokasiAda catatan riwayat penggunaan lahan. A
C. Pemetaan Lahan1. Terdapat rotasi tanaman pada tanaman semusim. A2. Tersedia peta penggunaan lahan. A
D. Kesuburan Lahan1. Tingkat kesuburan lahan cukup baik. A2. Dilakukan tindakan untuk mempertahankan kesuburan lahan. SA
E. Penyiapan Lahan1. Penyiapan lahan/media tanam dilakukan dengan cara yang dapat memperbaiki atau memelihara struktur tanah. SA2. Penyiapan lahan dilakukan dengan cara yang dapat menghindarkan erosi. SA3. Pemberian bahan kimia untuk penyiapan lahan dan media tanam tidak mencemari lingkungan. SA
F. Media Tanam1. Media tanam diketahui sumbernya. A2. Media tanam tidak mengandung cemaran bahan berbahaya dan beracun (B3). W
G. Konservasi LahanTindakan konservasi dilakukan pada lahan miring. W
V PENGGUNAAN BENIH DAN VARIETAS TANAMANA. Mutu Benih
1. Benih yang ditanam merupakan varietas unggul komersial. SA2. Benih bersertifikat. SA3. Label benih disimpan. A
B. Perlakuan BenihBahan kimia untuk perlakuan benih sesuai anjuran. SA
VI PENANAMANPenanaman sudah dilakukan sesuai dengan teknik budidaya anjuran. SA
VII PUPUKA. Jenis
1. Pupuk organik dan anorganik terdaftar atau diijinkan oleh pejabat yangberwenang. SA2. Pupuk organik telah mengalami dekomposisi dan layak digunakan. SA
88
B. Penggunaan1. Pemupukan sesuai anjuran. SA2. Kotoran manusia tidak digunakan sebagai pupuk.W
C. Penyimpanan1. Pupuk disimpan pada tempat yang aman, kering, terlindung dan bersih. A2. Pupuk disimpan pada tempat yang terpisah dari pestisida. SA3. Pupuk disimpan dengan cara yang baik dan mengurangi risiko pencemaranair dan lingkungan. SA4. Pupuk disimpan terpisah dari produk pertanian. W
D. KompetensiPelaku usaha mampu menunjukkan pengetahuan dan keterampilan pemupukan.SA
VIII PERLINDUNGAN TANAMANA. Prinsip Perlindungan Tanaman
1. Pengendalian OPT sesuai prinsip PHT. SA2. Penggunaan pestisida sesuai dengan anjuran rekomendasi dan aturanpakai. SA
B. KompetensiPelaku usaha mampu menunjukkan pengetahuan dan keterampilanmengaplikasikan pestisida.W
C. Pestisida1. Pestisida yang digunakan terdaftar dan diijinkan. SA2. Pestisida yang digunakan tidak kadaluwarsa. W
D. Penyimpanan Pestisida1. Pestisida disimpan di lokasi yang layak, aman, berventilasi baik, memilikipencahayaan baik dan terpisah dari materi lainnya. SA2. Pestisida disimpan terpisah dari produk pertanian.W3. Pestisida tetap berada dalam kemasan asli. SA4. Pestisida cair diletakkan terpisah dari pestisida bubuk. SA5. Tempat penyimpanan pestisida mampu menahan tumpahan. A6. Terdapat fasilitas untuk mengatasi keadaan darurat. SA7. Terdapat pedoman/tata cara penanggulangan kecelakaan akibat keracunan pestisida yang terletak pada lokasi yang mudah dilihat. SA8. Tanda-tanda peringatan potensi bahaya pestisida diletakkan pada tempat yang mudah dilihat dan strategis. SA
E. Penanganan Wadah Pestisida1. Wadah bekas pestisida ditangani dengan benar agar tidak mencemarilingkungan. SA2. Wadah bekas pestisida dirusakkan agar tidak digunakan untuk keperluanlain. SA3. Kelebihan pestisida dalam tabung penyemprotan digunakan untukpengendalian ditempat lain. SA
F. Peralatan1. Peralatan aplikasi pestisida dirawat secara teratur agar selalu berfungsidengan baik. A2. Peralatan aplikasi pestisida dikalibrasi secara berkala untuk menjagakeakurasiannya. SA3. Tersedia peralatan yang memadai untuk menakar dan mencampurpestisida. SA4. Tersedia panduan penggunaan peralatan dan aplikasi pestisida. A
IX PENGAIRAN1. Ketersedian air sesuai dengan kebutuhan tanaman. SA2. Air yang digunakan untuk irigasi tidak mengandung limbah bahan berbahaya danberacun (B3).W3. Terdapat fasilitas pengelolaan air limbah. A4. Penggunaan air pengairan tidak bertentangan dengan kepentingan umum. A
X PANEN1. Tersedia pedoman cara menghindari kontaminasi terhadap produk segar. SA2. Pemanenan dilakukan dengan cara yang dapat mempertahankan mutu produk. SA3. Wadah hasil panen yang akan digunakan dalam keadaan baik, bersih dan tidak
terkontaminasi.WXI PENANGANAN PANEN DAN PASCA PANENA. Perlakuan Awal
Hasil panen diletakkan pada tempat yang ternaungi dan diperlakukan secara
89
hati-hati. SAB. Pembersihan Hasil Panen
1. Hasil panen dibersihkan dari cemaran. SA2. Pencucian hasil panen menggunakan air bersih.W
C.Sortasi dan Pengkelasan Dilakukan sortasi dan pengkelasan terhadap hasil panen. AD. Pengepakan atau pengemasan
1. Pengemasan atau pengepakan yang dilakukan bisa melindungi produk dari kerusakan dan kontamina 2. Tempat pengemasan bersih, bebas kontaminasi dan terlindung dari hama dan pengganggu lainnya. A
3. Kemasan diberi label yang menjelaskan identitas produk.WE. Pemeraman Pemeraman dilakukan pada lokasi distribusi terakhir. AF. Penyimpanan Ruang penyimpanan mampu melindungi produk dari kerusakan dan kontaminan.SAG. Penggunaan Bahan Kimia diijinkan
1. Bahan kimia yang digunakan dalam proses pasca panen terdaftar dan SA2. Penggunaan bahan kimia dalam proses pasca panen sesuai dengan anjuran.SA3. Pelaku usaha mampu menunjukkan pengetahuan dan keterampilan mengaplikasikan bahan kimia. SA
H. Tempat PengemasanTempat/areal pengemasan terpisah dari tempat penyimpanan pupuk danpestisida.W
XII ALAT DAN MESIN PERTANIAN1. Penggunaan alsintan untuk pengolahan lahan sesuai rekomendasi. A2. Peralatan dan mesin pertanian dirawat secara teratur. A3. Peralatan dan mesin yang terkait dengan pengukuran dikalibrasi secara berkala.SA
XIII PELESTARIAN LINGKUNGANKegiatan budidaya memperhatikan aspek usaha tani yang berkelanjutan, ramahlingkungan dan keseimbangan ekosistem. SA
XIV PEKERJAA. Kualifikasi Pekerja
1. Pekerja telah mendapat pelatihan sesuai bidang dan tanggung jawabnya. SA2. Pekerja memahami risiko tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. SA3. Pekerja memahami mutu dan keamanan pangan dari produk yangdihasilkan. SA
B. Keselamatan dan Keamanan Pekerja1. Pekerja telah mendapat pelatihan penggunaan alat dan/atau mesin. A2. Tersedia prosedur penanganan kecelakaan. SA3. Tersedia fasilitas P3K di tempat kerja. A4. Pekerja memahami tata cara penanganan P3K di tempat kerja. SA5. Peringatan bahaya terlihat jelas. SA6. Pekerja memahami bahaya pestisida dalam keselamatan kerja. SA7. Pekerja menggunakan perlengkapan pelindung sesuai anjuran. SA8. Pakaian dan peralatan pelindung ditempatkan secara terpisah dari kontaminan. SA9. Pekerja yang menangani pestisida mendapatkan pengecekan kesehatan secara berkala. A
XV FASILITAS KEBERSIHAN DAN KESEHATAN PEKERJA1. Tersedia tata cara/ aturan tentang kebersihan bagi pekerja. A2. Tersedia toilet dan fasilitas cuci tangan di sekitar tempat kerja. A3. Toilet dan fasilitas cuci tangan selalu terjaga kebersihannya dan dapat berfungsibaik. A4. Pekerja memiliki akses terhadap air minum, tempat makan, tempat istirahat. A
XVI KESEJAHTERAAN PEKERJAPekerja dapat berkomunikasi dengan pihak pengelola. A
XVII TEMPAT PEMBUANGANTersedia tempat untuk pembuangan sampah dan limbah. SA
XVIIIPENGAWASAN, PENCATATAN DAN PENELUSURAN BALIK1. Tersedia sistem pencatatan yang memudahkan penelusuran. SA2. Tersedia catatan penggunaan benih; kegiatan pemupukan; stok pestisida dan penggunaan pestisida; kegiatan pengairan; kegiatan pasca panen dan
90
penggunaan bahan kimia dalam kegiatan pasca panen; pelatihan pekerja; perlakuan untuk tanah/media tanam. SA3. Catatan disimpan selama minimal 2 tahun. SA4. Seluruh catatan dan dokumentasi selalu diperbaharui. SA
XIX PENGADUAN1. Tersedia catatan tentang keluhan/ ketidakpuasan konsumen. A2. Tersedia catatan mengenai langkah koreksi dari keluhan konsumen. A3. Terdapat dokumen tindak lanjut dari pengaduan. A
XX EVALUASI INTERNAL1. Tersedia bukti bahwa evaluasi internal dilakukan secara periodik. A2. Tersedia catatan tindakan perbaikan sesuai hasil evaluasi. A
XXI PENUTUPPedoman Budidaya Buah dan Sayur Yang Baik (Good Agriculture Practices for Fruitand Vegetables) bersifat umum, belum spesifik komoditi, dan bersifat dinamis yangakan disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi.Pedoman Budidaya Buah dan Sayur Yang Baik (Good Agriculture Practices for Fruitand Vegetables) agar disosialisasikan kepada pemangku kepentingan dan pelakuusaha untuk dapat menerapkan dan meregistrasi kebun atau lahan usaha dalambudidaya buah dan sayur.
MENTERI PERTANIAN,
ttd
ANTON APRIYANTONO
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, Edi dkk. 2008. Pengawasan Mutu Bahan/Produk Pangan Jilid 1.
Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Anonim. (2009). Peranan GAP dalam agribisnis di Indonesia www.magri.undip.ac.id
Azril, A, 2008 . Sanitation Standar Operating Procedure (SSOP). Ditjen P2HP
Deptan, Jakarta
Cahyono, Budi. ____ .Food Safety dan Implementasi Quality System Industri Pangan di Era
Pasar Bebas. Diakses di www.bappenas.go.id pada tanggal 24 April 2010
91
Changchui, H. (2005). FAO-THAILAND Joint Workshop on Good Agricultural
Practices (GAP) for Fresh Fruit and Vegetables in Thailand
www.fao.org/world/regional/rap/speeches/2005/20050914.html
Deptan. 2009. Permentan Nomor : 48/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Pedoman
Budidaya Buah dan Sayur Yang Baik (Good Agriculture Practices For Fruit
And Vegetables)
Latifah, Siti. ___. Sistem Manajemen Lingkungan untuk Menyongsong Era Ramah
Lingkungan. Diakses di www.library.usu.ac.id pada tanggal 1 Mei 2010.
Matsuda, T. (2007). GAP as a Baseline, Traceability As a Pipeline to Build Consumer
Confidence. www.agnet.org/library/bc/54001/bc54001.pdf
Sudiarto. 2010. Praktek Pertanian yang Baik untuk Antisipasi Pasar Global. Diakses di
http://www.litbang.deptan.go.id/artikel pada tanggal 7 Juni 2010.
Winarno, FG. 2004. Keamanan Pangan Jilid 1. M.Brio Press. Bogor.
X. GOOD HANDLING PRACTICES (GHP), GOOD MANUFACTURING
PRACTICES (GMP) & GOOD DISTRIBUTION PRACTICES (GDP)
10.1 Pendahuluan
Era globalisasi menuntut persaingan, khususnya untuk komoditi pertanian tidak dapat
dihindari lagi dalam menghadapi persaingan yang sangat ketat, apabila pengaruh era
globalisasi tersebut tidak dapat diantisipasi, maka tidak mustahil akan berakibat pada
menurunnya daya saing yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap nilai ekspor komoditi
pertanian Indonesia yang dipasarkan ke negara-negara mitra bisnis. Dalam kondisi ini
tantangan aspek mutu di sektor pertanian perlu diikuti dengan pemantapan penerapan sistem
standardisasi dalam seluruh rangkaian kegiatan pertanian sesuai dengan dinamika pasar di
tingkat internasional (Afrianto,2008)
92
Salah satu tahapan produksi yang penting dalam bidang pertanian adalah pada
kegiatan penanganan pasca panen dan pengolahan hasil. Dua kegiatan ini dilakukan untuk
menghasilkan pangan yang berkualitas dan tetap terjaga aspek mutunya. Penanganan pasca
panen dan pengolahan hasil pangan organik bertujuan untuk menjaga kualitas dan
meningkatkan daya simpan produk, meningkatkan nilai tambah, menjaga kualitas pangan
yang dihasilkan dan memberikan kemudahan bagi konsumen (Chairul, 2007).
Keamanan pangan, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu industri pangan
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen, yang saat ini
sudah harus memulai mengantisipasinya dengan implementasi sistem mutu pangan. Karena
di era pasar bebas ini industri pangan Indonesia mau tidak mau sudah harus mampu bersaing
dengan derasnya arus masuk produk industri pangan negara lain yang telah mapan dalam
sistem mutunya (Cahyono, 2010).
Menurut Cahyono 2010, salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan adalah
terjaminnya pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang
berbahaya bagi kesehatan. Hal ini secara jelas menunjukkan upaya untuk melindungi
masyarakat dari pangan yang tidak memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Sasaran
program keamanan pangan adalah: (1) Menghindarkan masyarakat dari jenis pangan yang
berbahaya bagi kesehatan, yang tercermin dari meningkatnya pengetahuan dan kesadaran
produsen terhadap mutu dan keamanan pangan; (2) Memantapkan kelembagaan pangan, yang
antara lain dicerminkan oleh adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur
keamanan pangan; dan (3) Meningkatkan jumlah industri pangan yang memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Di Indonesia sendiri sudah saatnya antisipasi akan quality system yang konsisten dan
keamanan pangan terutama di industri pangan dicermati dan diimplementasikan di era pasar
bebas ini. Kebijakan mutu akan kepentingan keamanan dan konsistensi quality system dari
pemerintah: aplikasi scientific theory dari para scientist; dan implementasi oleh para pelaku
bisnis perlu dijalani secara terpadu melalui teknik-teknik Pedoman Cara Yang Baik (Good
Practices): (1) GAP (Good Agriculture Practice)/GFP (Good Farming Practice); (2) GHP
(Good Handling Practice); (3) GMP (Good Manufacturing Practice) & GLP (Good
Laboratory Practice); (4) GDP (Good Distribution Practice); dan (5) GRP (Good Retailing
Practice). Pemahaman dan persamaan persepsi akan kepentingan serta sertifikasi ISO 9000 –
93
9002–9005; ISO-25 dan HACCP sudah sangat-sangat diperlukan agar industri pangan
Indonesia mampu bersaing dengan industri pangan luar negeri (Cahyono, 2010).
Salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan adalah terjaminnya pangan yang
dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan. Hal
ini secara jelas menunjukkan upaya untuk melindungi masyarakat dari pangan yang tidak
memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Sasaran program keamanan pangan adalah: (1)
Menghindarkan masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan, yang tercermin
dari meningkatnya pengetahuan dan kesadaran produsen terhadap mutu dan keamanan
pangan; (2) Memantapkan kelembagaan pangan, yang antara lain dicerminkan oleh adanya
peraturan perundang-undangan yang mengatur keamanan pangan; dan (3) Meningkatkan
jumlah industri pangan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
(Winarno,2004).
Dengan diberlakukannya UU No. 7 tentang Pangan tahun 1996 sebuah langkah
maju telah dicapai pemerintah untuk memberi perlindungan kepada konsumen dan
produsen akan pangan yang sehat, aman dan halal. Dalam upaya penjabaran UU tersebut,
telah disusun Peraturan Pemerintah (PP) tentang keamanan pangan serta label dan iklan
pangan. Demikian juga PP tentang mutu dan gizi pangan serta ketahanan pangan.
Masih kurangnya tanggung jawab dan kesadaran produsen dan distributor terhadap
keamanan pangan tampak dari penerapan Good Agricultural Practice (GAP) dan teknologi
produksi berwawasan lingkungan yang belum sepenuhnya oleh produsen primer, penerapan
Good Handling Pratice (GHP) dan Good Manufacturing Pratice (GMP) serta Hazard
Analysis Critical Control Point (HACCP) yang masih jauh dari standar oleh
produsen/pengolah makanan berskala kecil dan rumah tangga.
Penerapan Sistem Jaminan Mutu terhadap keamanan pangan pada Produksi Pertanian
tampak dalam diagram dibawah ini :
94
Pemeriksaan terhadap sarana produksi makanan/minuman skala rumah tangga
menengah dan besar menemukan sekitar 33,15% - 42,18% sarana tidak memenuhi
persyaratan higiene dan sanitasi. Sedangkan pengawasan di tempat pengolahan makanan
(TPM) yang mencakup jasa boga, restoran/rumah makan dan TPM lainnya hanya sekitar
19,98% yang telah mempunyai izin penyehatan makanan dan hanya sekitar 15,31% dari
rumah makan/restoran yang diawasi yang memenuhi syarat untuk diberi grade A, B dan C
(Afrianto, 2008).
Distributor pangan umumnya juga belum memahami Good Distribution Practice
(GDP). Pemeriksaan terhadap sarana distribusi produk pangan dalam hal sanitasi, bangunan
dan fasilitas yang digunakan, serta produk yang dijual menemukan sekitar 41,60% - 44,29%
sarana yang tidak memenuhi syarat sebagai distributor makanan. Banyak terjadi kasus
keracunan makanan yang sebagian besar belum dilaporkan dan belum diidentifikasi
penyebabnya.
Rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan
(produsen bahan baku, pengolah dan distributor) tentang mutu dan keamanan pangan, yang
ditandai dengan ditemukannya sarana produk dan distribusi pangan yang tidak memenuhi
persyaratan (GAP, GHP, GMP, GDP, dan GRP), terutama pada industri kecil/rumah tangga
serta rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang disebabkan
95
pengetahuan yang terbatas dan kemampuan daya beli yang rendah, sehingga mereka masih
membeli produk pangan dengan tingkat mutu dan keamanan yang rendah.
10.2 Good Handling Practices, Good Manufacturing Practices dan Good Distribution
Practices
Produksi Pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan,
mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau
mengubah bentuk pangan.
Good Handling Practices (GHP) adalah cara penanganan pascapanen yang baik
yang berkaitan dengan penerapan teknologi serta cara pemanfaatan sarana dan
prasarana yang digunakan. Bagian ini berisi tentang tata cara, bangunan dan
lingkungan, lokasi serta persyaratan dalam penanganan pangan pada setiap tahapan
kegiatan penanganan pasca panen.
Good Handling Practices (GHP) ini meliputi pelaksanaan kegiatan penanganan
pasca panen produk pertanian secara baik dan benar, sehingga mutu produk dapat
dipertahankan, menekan kehilangan karena penyusutan, kerusakan dan memperpanjang
daya simpan dengan tetap menjaga status produk yang ditangani.
Penanganan pasca panen sangat menentukan terhadap mutu hasil produksi
komoditi tanaman, maka dalam penanganan proses harus memperhatikan dan
menerapkan teknologi pemanenan dan penanganan pasca panen yang baik dan benar
yang berbasis GHP (Good Handling Practices)
Dalam globalisasi ternyata hasil panen Indonesia kerap kalah bersaing di
pasaran internasional, karena mutu hasil rendah yang disebabkan terkontaminasi dengan
kotoran dan bahan asing, pengeringan kurang sempurna sehingga perjalan sampai
konsumen sering berbau dan berjamur. Maka hal ini mengindikasikan bahwa
penanganan pasca panen belum dilaksanakan dengan baik dan benar. Kegiatan
penanganan pasca panen hasil pertanian khususnya baik perkebunan, hortikultura,
tanaman pangan terutama pada kelompok tani maupun pedagang pengumpul umumnya
dilakukan secara tradisional dengan peralatan sederhana.
Panen juga sering dilakukan tidak tepat waktu sehingga mempengaruhi mutu
hasil. Maka perlu terus menerus dilakukan pembinaan kepada petani/ kelompok petani
oleh petugas/penyuluh /pendamping agar dapat menerapkan teknologi pemanenan dan
penanganan pasca panen yang baik dan benar yang berbasis GHP (Good Handling
Practices).
96
Informasi tentang pasca panen dapat digunakan sebagai pegangan/pedoman bagi
para petugas penyuluh/ pendamping dan kelompoktani dalam menyusun Standar
Prosedur Operasional (SPO) masing komoditas hasil pertanian sehingga dapat
melaksanakan penanganan panen dan pasca panen hasil pertanian dengan baik dan
benar sehingga mutu hasil memenuhi standar mutu yang berlaku seperti Standar
Nasional Indonesia (SNI). Pemahaman pengetahuan tentang pasca panen yang baik dan
benar yang dapat disebarluaskan terutama pengetahuan tentang manfaat pasca panen
perkebunan antara lain untuk :
- Mempertahankan dan meningkatkan mutu hasil pertanian
- Meminimalkan kehilangan atau susut hasil peternakan
- Memudahkan dalam pengangkutan
- Meningkatkan efisiensi usaha pasca panen hasil pertanian
- Meningkatkan nilai tambah dan hasil
- Meningkatkan daya saing
Untuk memberikan acuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka
Good Handling Practice dan Good Manufacturing Practices diperlukan panduan.
Panduan ini dibuat untuk memberikan pedoman bagi pelaku produksi pangan organik
dalam menyusun sistem produksi pangan organik yang baik.
Salah satu faktor yang menentukan daya saing suatu produk dalam perdagangan
bebas yaitu adanya jaminan mutu dan keamanan (safety) pangan bagi konsumen dalam
mengkonsumsi/menggunakan produk yang bersangkutan. Sebagai suatu upaya minimal
harus dilakukan oleh setiap pelaku usaha yang bersangkutan untuk terciptanya jaminan
mutu dan keamanan bagi konsumen produk olahan hasil-hasil pertanian dengan
menerapkan Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Pengolahan yang Baik
(CPB) .
Good Manufacturing Practices (GMP), merupakan serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk memproduksi suatu produk olahan antara lain mencakup lokasi,
bangunan, ruang dan sarana pabrik, proses pengolahan, peralatan pengolahan,
penyimpanan dan distribusi produk olahan, kebersihan dan kesehatan pekerja, serta
penanganan limbah dan pengolahan lingkungan. Hal tersebut diupayakan untuk dapat
mencegah terjadinya kontaminasi/pencemaran oleh mikro organisme, benda/bahaya
97
fisik dan senyawa manusia dan masyarakat serta menjaga kesehatan dan keselamatan
pekerja. Untuk mendapatkan suatu produk yang berkualitas dalam proses produksi hasil
pertanian maupun hasil peternakan berpedoman pada Good Manufacturing Practice
(GMP).
Good Manufacturing Practice (GMP) adalah cara berproduksi yang baik dan
benar untuk menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa GMP adalah kelayakan dasar yang harus dapat
dilaksanakan secara baik sebelum dapat menerapkan HACCP. Adapun ruang lingkup
GMP meliputi kegiatan disaat pra panen, pemanenan atau penangkapan, penanganan
awal, cara pengangkutan ke tempat konsumen, cara penanganan bahan baku dan cara
pengolahan menjadi produk pangan, cara pengemasan, cara penyimpanan, cara
distribusi, dan cara pemasaran produk pangan, serta cara pengendalian kondisi
lingkungan.
Tujuan utama penerapan GMP adalah menghasilkan produk pangan sesuai
standar mutu dan memberikan jaminan keamanan pangan. Untuk mencapai tujuan
tersebut, semua tahapan dalam kegiatan produksi pangan harus dilaksanakan secara
baik dan benar, berdasarkan prinsip GMP. Untuk dapat melaksanakan GMP secara
benar perlu dilandaskan dengan ilmu pengetahuan dan standar yang telah ditetapkan
oleh pemerintah Indonesia. Ilmu pengetahuan mutlak diperlukan agar proses
penanganan dan pengolahan bahan pangan menjadi produk pangan dapat dilakukan
dengan benar. Sedangkan standar diperlukan dalam menentukan apakah hasil pekerjaan
sudah baik. Indonesia telah memiliki standar yang dapat digunakan, yaitu Standar
Nasional Indonesia (SNI). Menurut Afrianto (2008), prinsip dari praktek produksi yang
baik ada empat, yaitu :
(a) Cepat.
Beberapa bahan dan produk pangan perlu sesegera mungkin ditangani atau
diolah,terutama bila bahan dan produk pangan cepat mengalami proses pembusukan.
Pada bahan pangan demikian, proses penanganan dan pengolahan harus dilakukan
sesegera mungkin agar dapat menghambat penurunan mutu;
(b) Cermat.
98
Penanganan dan pengolahan bahan baku atau penanganan produk pangan harus
dilaksanakan secara cermat. Hindari cara penanganan dan pengolahan yang dapat
menyebabkan bahan atau produk.
Usaha Industri kecil atau usaha rumah tangga pada umumnya masih kurang memperhatikan
hal-hal yang akan mempengaruhi kualitas produk, seperti faktor lingkungan kerja ataupun
penggunaan bahan kimia yang seringkali tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Oleh
karena itu, Persyaratan dan Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara
Pengolahan Hasil Pertanian Asal Tumbuhan yang Baik ini perlu disosialisasikan secara luas
untuk diterapkan oleh setiap pelaku usaha pengolahan hasil pertanian asal tumbuhan.
Good Distribution Practices (GDP) atau Cara Distribusi Pangan yang Baik adalah cara
distribusi yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara :
a. melakukan cara bongkar muat pangan yang tidak menyebabkan kerusakan
pada pangan;
b. mengendalikan kondisi lingkungan, distribusi dan penyimpanan pangan
khususnya yang berkaitan dengan suhu, kelembaban, dan tekanan udara;
c. mengendalikan sistem pencatatan yang menjamin penelusuran kembali
pangan yang didistribusikan.
Transportasi dan distribusi merupakan kegiatan-kegiatan yang berada pada satu
rangkaian untuk peredaran atau perdagangan buah. Tahapan ini mengambil waktu yang
cukup lama dari masa simpan buah, sekitar 50-75% masa simpan buah berada pada
transportasi dan distribusi (Cantwell, 2007). Oleh karena itu, menjaga kualitas buah selama
transportasi dan distribusi menjadi bagian penting dalam penanganan buah. Kondisi kritis
yang sangat berpengaruh pada kualitas buah adalah suhu. Mempertahankan suhu buah berada
pada kondisi dingin (optimal) yang sesuai jenis buah dan mencegah pengaruh suhu
lingkungan luar kemasan yang umumnya lebih tinggi harus dilakukan. Dengan kata lain,
sangat penting untuk menjaga rantai dingin selama transportasi dan distribusi.
Upaya mempertahankan kualitas buah tersebut terkait dengan pengelolaan suhu,
yaitu mempertahankan suhu buah tetap berada pada kisaran optimal untuk menghambat
kemunduran mutu. Dari uraian di atas, jelas bahwa mempertahankan rantai dingin selama
99
transportasi, distribusi dan ritel adalah hal terbaik. Gambar berikut adalah penanganan saat
distribusi, dan penanganan di tingkat pengecer.
9.3 Ruang Lingkup Good Handling Practices, Good Manufacturing Practices dan Good
Distribution Practices
Contoh 1 : Panduan GHP untuk Tanaman Pangan Organik
100
Panduan Penyusunan Cara Penanganan Pasca Panen Pangan Organik yang Baik (GHP Pangan Organik) disusun mengikuti sistematika sebagai berikut (Deptan , 2007) :
■ Bab I. Pendahuluan
■ Bab II. Definisi dan Lingkup Kegiatan Penanganan Pasca Panen
■ Bab III. Penanganan Pasca Panen
■ Bab IV. Keselamatan Kerja
■ Bab V. Pengelolaan Lingkungan
■ Bab VI. Pengawasan dan Pembinaan
Bab I. Pendahuluan Bagian ini memuat mengenai latar belakang, maksud dan tujuan panduan yang disusun.
Bab II. Definisi dan Lingkup Kegiatan Penanganan Pasca Panen Bagian ini berisi uraian tentang definisi dan lingkup kegiatan penanganan pasca panen yang dilakukan.
Bab III. Penanganan Pasca Panen Bagian ini berisi tentang tata cara, bangunan dan lingkungan, lokasi serta persyaratan dalam penanganan pangan organik pada setiap tahapan kegiatan Uraian ini meliputi pelaksanaan kegiatan penanganan pasca panen produk organik secara baik dan benar, sehingga mutu produk dapat dipertahankan, menekan kehilangan karena penyusutan, kerusakan dan memperpanjang daya simpan dengan tetap menjaga status organik produk yang ditangani.
3.1. Bangunan dan Lingkungan Bagian ini menjelaskan persyaratan bangunan dan lingkungan pada kegiatan pasca panen 3.1.1. Lokasi
Bagian ini memuat syarat lokasi yang digunakan untuk penanganan pasca panen pangan organik. Syarat lokasi yang utama adalah bebas pencemaran dan berada pada tempat yang layak.
3.1.2. Bangunan Bagian ini memuat syarat bangunan yang digunakan untuk kegiatan penanganan pasca panen pangan organik. 3.1.2.1. Bangunan dan Lingkungan Sekitar
Bagian ini memuat penjelasan mengenai bangunan yang digunakan dan kondisi lingkungan sekitar bangunan penanganan pasca panen. Penjelasan meliputi persyaratan teknik dan higiene, lay out, penerangan dan suasana kerja
3.1.3. Fasilitas Sanitasi Bagian ini memuat penjelasan tentang syarat sanitasi yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene. Fasilitas sanitasi meliputi sarana penyediaan air bersih, sarana pembuangan, sarana toilet dan bak pencucian tangan (wastafel)
3.2. Alat Penanganan Pasca Panen Bagian ini menjelaskan mengenai persyaratan alat penanganan pasca panen yang digunakan pada kegiatan pasca panen produk organik. Alat penanganan harus dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknis bagi produk organik dan hygiene.
3.2.1. Lingkungan dan Sarana Prasarana Bagian ini memuat penjelasan tentang persyaratan sarana prasarana pasca panen yang digunakan, termasuk untuk pengemasan dan penyimpanan.
3.2.2. Peralatan dan Bahan-bahan Bagian ini memuat penjelasan tentang persyaratan untuk peralatan dan bahan-bahan yang kontak dengan produk yang ditangani.
3.2.3. Pembersihan dan Pengendalian Hama Bagian ini memuat penjelasan tentang pembersihan dan pengendalian hama yang meliputi instruksi tertulis untuk pembersihan wadah, sanitasi dan penggunaan perangkap-perangkap hama 3.3. Proses Penanganan Pasca Panen
Bagian ini menjelaskan proses penanganan pasca panen yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene produk organik.
3.3.1. Pengumpulan
101
Bagian ini menjelaskan kegiatan pengumpulan yang dilakukan. Pada kegiatan pengumpulan dijelaskan cara pengumpulan dan wadah yang digunakan
3.3.2. Sortasi Bagian ini menjelaskan kegiatan sortasi yang dilakukan. Pada kegiatan sortasi dijelaskan cara pemisahan kotoran dan pemisahan produk yang tidak layak
3.3.3. Pembersihan Bagian ini menjelaskan kegiatan pembersihan yang dilakukan. Pada kegiatan pembersihan dijelaskan cara pembersihan, alat dan bahan yang digunakan. Bila menggunakan air, perlu dijelaskan persyaratan air yang digunakan, pengeringan air dan pewadahannya
3.3.3. Grading Bagian ini menjelaskan kegiatan grading yang dilakukan. Pada kegiatan grading dijelaskan teknik dan alat yang digunakan
3.3.4. Pemeraman Bagian ini menjelaskan kegiatan pemeraman yang dilakukan. Kegiatan pemeraman menggunakan bahan-bahan yang diijinkan dalam pertanian organik.
3.3.5. Pengemasan Bagian ini menjelaskan kegiatan pengemasan yang dilakukan. Pada kegiatan pengemasan dijelaskan teknik, alat dan bahan yang digunakan 3.3.5.1. Jenis Kemasan
Bagian ini memuat jenis kemasan yang digunakan untuk pengemasan produk organik.
3.3.5.2. Syarat kemasan Bagian ini memuat syarat kemasan yang digunakan. Syarat ini mencakup desain bahan kemasan dan kualitas kemasan.
3.3.5.3. Cara Pengemasan Bagian ini memuat cara pengemasan yang dilakukan
3.3.5.4. Alat Bagian ini memuat alat kerja yang digunakan untuk membantu proses pengemasan
3.3.5.5. Operator Bagian ini memuat operator yang melaksanakan proses pengemasan
3.4. Pelabelan Bagian ini menjelaskan ketentuan pelabelan produk pangan organik 3.4.1. Label Produk
Bagian ini menjelaskan label yang dicantumkan dalam kemasan yang berkaitan dengan produk seperti nama komoditi, nama produsen, alamat produsen, tanggal produksi, berat atau volume produk dan kadaluarsa.
3.4.2. Label organik Bagian ini menjelaskan label organik yang didapatkan oleh produk bersangkutan.
3.5. Pengangkutan Bagian ini menjelaskan proses pengangkutan produk pangan organik 3.5.1. Alat Pengangkut Bagian ini menjelaskan alat angkut yang digunakan 3.5.1. Teknik Pengangkutan Bagian ini menjelaskan ketentuan mengenai teknik pengangkutan untuk produk organik. 3.5.2. Operator Bagian ini menjelaskan persyaratan dan tugas operator yang melaksanakan pengangkutan
Bab IV. Keselamatan Kerja Bagian ini berisi penjelasan tentang keselamatan kerja pada saat melakukan penanganan pasca panen. Keselamatan kerja berkaitan dengan penyediaan, pengaturan, dan penggunaan alat-alat pelindung diri untuk menjaga keselamatan kerja.
Bab V. Pengelolaan Lingkungan Bagian ini berisi penjelasan mengenai pengelolaan lingkungan yang dilakukan pada saat penanganan pasca panen dilakukan. A. Minimisasi Pencemaran Pengelolaan lingkungan ini mengedepankan minimisasi kerusakan, dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan pasca panen. B. Pengelolaan Gangguan Lingkungan
102
Bagian ini berisi penjelasan tentang pengelolaan gangguan lingkungan karena aktivitas produksi dan transportasi C. Pengendalian Hama Bagian ini berisi ketentuan mengenai teknik dan persyaratan pengendalian hama yang dilakukan dalam rangka penanganan pasca panen pertanian organik yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6729-2002 tentang Sistem Pangan Organik..
Bab VI. Pengawasan dan Pembinaan Bagian ini berisi ketentuan-ketentuan dalam sistem pengawasan dan pembinaan penanganan pasca panen pertanian/pangan organik baik yang dilakukan oleh pelaku usaha yang bersangkutan maupun oleh pihak eksternal (instansi Dinas terkait).
Contoh 2 : Panduan GHP untuk Tanaman Pangan Organik
Panduan Penyusunan Pengolahan Hasil Pangan Organik Yang Baik (Good Manufacturing Practices/GMP Pangan Organik)Disusun mengikuti sistematika sebagai berikut (Deptan , 2007)■ Bab I. Pendahuluan ■ Bab II. Definisi dan Lingkup Kegiatan Pengolahan Hasil Pangan Organik ■ Bab III. Pengolahan Hasil ■ Bab IV. Keselamatan Kerja ■ Bab V. Pengelolaan Lingkungan ■ Bab VI. Kesehatan dan Kebersihan Pekerja ■ Bab VII. Pengawasan dan Pembinaan Uraian setiap Bab dari Panduan Penyusunan Cara Pengolahan Pangan Organik yang Baik (GMP Pangan Organik) adalah sebagai berikut: Bab I. Pendahuluan
Bagian ini memuat mengenai latar belakang, maksud dan tujuan panduan pengolahan pangan organik. Bab II. Definisi dan Lingkup Kegiatan Pengolahan Hasil Pangan Organik
Bagian ini berisi uraian tentang definisi dan lingkup kegiatan pengolahan hasil pangan organik yang dilakukan. Bab III. Pengolahan Hasil Pangan Organik
Bagian ini berisi tentang tata cara, bangunan dan lingkungan, lokasi serta persyaratan pada setiap tahapan kegiatan pengolahan hasil pangan organic. Uraian ini meliputi pelaksanaan kegiatan pengolahan hasil pangan organik secara baik dan benar, sehingga mutu produk dapat dipertahankan, menekan kehilangan hasil, kerusakan dan meningkatkan nilai tambah serta menjaga kelestarian lingkungan dengan tetap mempertahankan integritas produk yang bersangkutan sebagai pangan organik. 3.1. Bangunan dan Lingkungan
Bagian ini berisi tentang persyaratan bangunan dan lingkungan untuk pengolahan pangan organik. 3.1.1. Lokasi
Bagian ini memuat syarat lokasi yang digunakan pada pengolahan pangan organik. Syarat lokasi yang utama adalah bebas pencemaran dan berada pada tempat yang layak.
3.1.2. Bangunan Bagian ini memuat syarat bangunan yang digunakan untuk kegiatan pengolahan pangan organik.
3.1.2.1. Bangunan dan Lingkungan Sekitar Bagian ini memuat bangunan yang digunakan dan kondisi lingkungan sekitar bangunan pengolahan pangan organik
3.1.2.2. Saluran Air Bagian ini memuat syarat dan kondisi saluran air yang terdapat di dalam dan sekeliling bangunan pengolahan
3.1.2.3. Sarana Penanganan Sampah Bagian ini memuat syarat dan kondisi penanganan sampah di dalam dan sekeliling bangunan pengolahan 3.1.2.3.1. Lokasi
Bagian ini memuat lokasi penempatan sarana penanganan sampah
3.1.2.3.2. Jenis Bagian ini memuat jenis sarana penanganan sampah
3.1.2.3.3. Operator Bagian ini memuat ketentuan mengenai operator yang menangani sarana penanganan sampah
3.1.2.4. Sarana Penanganan Limbah Bagian ini memuat syarat dan kondisi penanganan limbah di dalam dan sekeliling bangunan pengolahan 3.1.2.4.1. Lokasi
Bagian ini memuat lokasi penempatan sarana penanganan limbah 3.1.2.4.2. Jenis
103
Bagian ini memuat jenis sarana penanganan limbah 3.1.2.4.3. Operator
Bagian ini memuat ketentuan mengenai operator yang menangani sarana penanganan limbah
3.1.2.5. Tata Letak Bagian ini memuat tata letak peralatan pengolahan 3.1.2.5.1. Ruangan
Bagian ini memuat ketentuan menganai ruangan yang digunakan untuk penempatan peralatan pengolahan
3.1.2.5.2. Pencahayaan Bagian ini memuat syarat pencahayaan pada ruangan-ruangan pengolahan
3.1.2.6. Lantai Bagian ini memuat syarat lantai yang digunakan pada bangunan pengolahan 3.1.2.6.1. Lantai Ruang Produksi
Bagian ini memuat syarat lantai ruang produksi 3.1.2.6.2. Lantai Ruang Cuci
Bagian ini memuat syarat lantai ruang pencucian 3.1.2.6.3. Lantai Lorong dan Tangga
Bagian ini memuat syarat lantai lorong dan tangga 3.1.2.7. Dinding
Bagian ini memuat syarat dinding yang digunakan pada bangunan pengolahan 3.1.2.7.1. Dinding Ruang Produksi
Bagian ini memuat syarat dinding ruang produksi 3.1.2.7.2. Dinding Ruang Cuci
Bagian ini memuat syarat dinding ruang pencucian 3.1.2.8. Atap
Bagian ini memuat syarat atap yang digunakan pada bangunan pengolahan 3.1.2.9. Langit-langit
Bagian ini memuat syarat langit-langit yang digunakan pada bangunan pengolahan 3.1.2.10. Pintu
Bagian ini memuat syarat pintu yang digunakan pada bangunan pengolahan 3.1.2.11. Jendela
Bagian ini memuat syarat jendela yang digunakan pada bangunan pengolahan3.1.2.12. Penerangan
Bagian ini memuat syarat penerangan dan peralatan penerangan yang digunakan pada bangunan pengolahan
3.1.2.13. Ventilasi Bagian ini memuat syarat ventilasi yang digunakan pada bangunan pengolahan
3.1.3. Fasilitas Sanitasi Bagian ini memuat fasilitas sanitasi yang digunakan untuk kegiatan pengolahan pangan organik.
3.1.3.1. Air Bersih Bagian ini memuat air bersih yang digunakan pada pengolahan pangan organik 3.1.3.1.1. Kualitas Air
Bagian ini memuat syarat kualitas air yang digunakan 3.1.3.1.2. Sumber Air
Bagian ini memuat sumber air yang digunakan untuk memenuhi kuantitas dan kualitas air yang diperlukan
3.1.3.1.3. Peralatan Bagian ini memuat peralatan yang digunakan dalam penyediaan dan pendistribusian air bersih
3.1.3.2. Fasilitas Pencucian Bagian ini memuat fasilitas pendudian yang digunakan
3.1.3.3. Sarana Pembuangan Bagian ini memuat fasilitas pembuangan limbah padat, cair dan gas 3.1.3.3.1. Limbah Cair
Bagian ini memuat sarana pembuangan limbah cair yang digunakan 3.1.3.3.2. Limbah Padat
Bagian ini memuat sarana pembuangan limbah padat yang digunakan 3.1.3.3.3. Limbah Gas
Bagian ini memuat sarana pembuangan limbah gas yang digunakan 3.1.3.4. Toilet
Bagian ini memuat syarat dan sarana toilet yang digunakan 3.1.3.5. Peringatan-peringatan
Bagian ini memuat peringatan-peringatan yang dibuat dan disosialisasikan oleh perusahaan kepada karyawannya 3.1.4. Gudang dan Ruang Penyimpanan
Bagian ini memuat fasilitas penyimpanan berupa gudang atau ruang-ruang tertentu untuk penyimpanan bahan dan produk hasil olahan organik.
104
3.1.4.1. Lokasi Bagian ini memuat lokasi gudang
3.1.4.2. Ventilasi Bagian ini memuat sistem dan peralatan ventilasi yang digunakan
3.1.4.3. Pengelolaan Hewan dan Serangga Bagian ini memuat pengelolaan hewan dan serangga yang dilakukan 3.1.4.3.1. Alat
Bagian ini memuat alat yang digunakan pada pengelolaa hewan dan serangga 3.1.4.3.2. Bahan
Bagian ini memuat bahan yang digunakan pada pengelolaa hewan dan serangga 3.1.4.3.3. Pengoperasian
Bagian ini memuat operasional alat dan bahan yang digunakan pada pengelolaan hewan dan serangga
3.1.4.3.4. Operator Bagian ini memuat operator yang melaksanakan pengelolaan hewan dan serangga
3.1.4.4. Pembersihan Bagian ini memuat tatacara pembersihan gudang 3.1.4.4.1. Alat
Bagian ini memuat alat yang digunakan pada pembersihan gudang 3.1.4.4.2. Bahan
Bagian ini memuat bahan yang digunakan pada pembersihan gudang 3.1.4.4.3. Pengoperasian
Bagian ini memuat operasional alat dan bahan yang digunakan pada pembersihan gudang
3.1.4.4.4. Operator Bagian ini memuat operator yang melaksanakan pembersihan gudang
3.2. Mesin dan Alat Pengolahan Bagian ini memuat mesin dan alat yang digunakan pada proses pengolahan pangan organik 3.2.1. Mesin
Bagian ini memuat mesin-mesin yang digunakan pada proses pengolahan pangan organik 3.2.1.1. Jenis
Bagian ini memuat ketentuan mengenai jenis mesin yang digunakan 3.2.1.2.Fungsi
Bagian ini memuat ketentuan mengenai fungsi-fungsi yang dapat dimekanisasi pada produk organik.
3.2.1.3.Tata Letak Bagian ini memuat penjelasan tata letak mesin yang digunakan
3.2.1.4.Operator Bagian ini memuat ketentuan mengenai operator yang melakukan tugas mengoperasikan mesin-mesin yang ada
3.2.2. Peralatan Bagian ini memuat ketentuan peralatan yang digunakan pada proses pengolahan pangan organik 3.2.2.1. Jenis dan Bahan
Bagian ini memuat ketentuan mengenai jenis dan persyaratan peralatan yang digunakan. 3.2.2.2. Fungsi
Bagian ini memuat ketentuan mengenai fungsi-fungsi peralatan yang digunakan 3.2.2.3. Tata Letak
Bagian ini memuat ketentuan tata letak peralatan yang digunakan 3.2.2.4. Operator Bagian ini memuat ketentuan bagi operator yang melakukan tugas mengoperasikan peralatan pengolahan produk organik. 3.3. Pemeliharaan Bagian ini memuat ketentuan menganai pemeliharaan terhadap gedung, mesin dan peralatan 3.3.1.Pemeliharaan Gedung Bagian ini memuat ketentuan mengenai pemeliharaan gedung 3.3.1.1. Alat Bagian ini memuat ketentuan mengenai alat yang digunakan pada pemeliharaan gedung 3.3.1.2. Bahan Bagian ini memuat ketentuan mengenai bahan yang digunakan pada pemeliharaan gedung 3.3.1.3. Pengoperasian Bagian ini memuat ketentuan operasional penggunaan alat dan bahan yang digunakan pada pemeliharaan gedung 3.3.1.4.Waktu Bagian ini memuat jadwal waktu pemeliharaan gedung 3.3.1.5. Operator
105
Bagian ini memuat ketentuan bagi operator yang melaksanakan pemeliharaan gedung 3.3.2. Pemeliharaan Mesin
Bagian ini memuat ketentuan mengenai pemeliharaan mesin 3.3.2.1. Alat
Bagian ini memuat ketentuan mengenai alat yang digunakan pada pemeliharaan mesin 3.3.2.2. Bahan
Bagian ini memuat ketentuan mengenai bahan yang digunakan pada pemeliharaan mesin 3.3.2.3. Pengoperasian
Bagian ini memuat ketentuan operasional pemeliharaan alat dan pengunaan bahan yang digunakan dalam pemeliharaan mesin
3.3.2.4. Waktu Bagian ini memuat ketentuan mengenai jadwal waktu pemeliharaan mesin
3.3.2.5. Operator Bagian ini memuat operator yang melaksanakan pemeliharaan mesin
3.3.3. Pemeliharaan Peralatan Bagian ini memuat ketentuan mengenai pemeliharaan peralatan
3.3.3.1. Alat Bagian ini memuat ketentuan mengenai alat yang digunakan pada pemeliharaan peralatan
3.3.3.2. Bahan Bagian ini memuat ketentuan mengenai bahan yang digunakan pada pemeliharaan peralatan
3.3.3.3. Pengoperasian Bagian ini memuat ketentuan operasional pemeliharaan alat dan bahan yang digunakan pada pemeliharaan peralatan
3.3.3.4.Waktu Bagian ini memuat ketentuan mengenai jadwal waktu pemeliharaan peralatan
3.3.3.5. Operator Bagian ini memuat ketentuan mengenai operator yang melaksanakan pemeliharaan peralatan
3.4. Bahan Bagian ini memuat ketentuan mengenai bahan yang digunakan dalam pengolahan pangan organik 3.4.1. Bahan Baku
Bagian ini memuat ketentuan mengenai bahan baku yang digunakan 3.4.1.1. Jenis
Bagian ini memuat ketentuan jenis dan persyaratan bahan baku yang digunakan 3.4.1.2. Jumlah
Bagian ini memuat ketentuan mengenai jumlah bahan baku yang digunakan 3.4.1.3. Asal bahan
Bagian ini memuat ketentuan mengenai asal bahan baku yang digunakan 3.4.1.4. Status bahan
Bagian ini memuat ketentuan mengenai status keorganikan bahan baku yang digunakan 3.4.1.5. Penyimpanan
Bagian ini memuat ketentuan mengenai penyimpanan bahan baku 3.4.1.6. Pelabelan
Bagian ini memuat ketentuan mengenai pelabelan bahan baku 3.4.2. Bahan Tambahan Pangan
Bagian ini memuat ketentuan mengenai bahan tambahan pangan yang digunakan 3.4.2.1. Jenis
Bagian ini memuat ketentuan mengenai bahan tambahan pangan yang digunakan 3.4.2.2. Jumlah
Bagian ini memuat jumlah bahan tambahan pangan yang digunakan 3.4.2.3. Asal bahan tambahan
Bagian ini memuat ketentuan mengenai asal bahan tambahan pangan yang digunakan 3.4.2.4. Status bahan tambahan
Bagian ini memuat ketentuan mengenai status keorganikan bahan tambahan pangan yang digunakan 3.4.2.5. Penyimpanan
Bagian ini memuat ketentuan mengenai penyimpanan bahan tambahan pangan 3.4.2.6. Pelabelan
Bagian ini memuat ketentuan mengenai pelabelan bahan tambahan pangan 3.4.3. Air
Bagian ini memuat ketentuan mengenai air yang digunakan 3.4.3.1. Jenis
Bagian ini memuat ketentuan mengenai jenis air yang digunakan 3.4.3.2. Jumlah
Bagian ini memuat ketentuan mengenai jumlah air yang digunakan 3.4.3.3. Asal bahan
106
Bagian ini memuat ketentuan mengenai asal air yang digunakan 3.4.1.3.4. Kualitas Air
Bagian ini memuat ketentuan mengenai kualitas air yang digunakan 3.4.1.3.5. Penyimpanan
Bagian ini memuat ketentuan mengenai penyimpanan air 3.4.1.3.6. Pengaliran Air
Bagian ini memuat ketentuan mengenai pengaliran air 3.5. Proses Produksi
Bagian ini berisi ketentuan-ketentuan yang terkait dengan proses produksi pengolahan pangan organik. 3.5.1. Penyiapan Bahan
Bagian ini memuat ketentuan-ketentuan yang terkait dengan penyiapan bahan yang dilakukan dalam rangka pengolahan pangan organik 3.5.1.1. Bahan Baku
Bagian ini memuat penjelasan ketentuan mengenai penyiapan bahan baku 3.5.1.1.1. Alat
Bagian ini memuat ketentuan mengenai jenis dan persyaratan alat yang digunakan 3.5.1.1.2. Bahan
Bagian ini memuat ketentuan mengenai bahan yang digunakan 3.5.1.1.3. Proses
Bagian ini memuat ketentuan mengenai proses yang dilakukan 3.5.1.1.4. Operator
Bagian ini memuat ketentuan mengenai operator yang melaksanakan penyiapan bahan baku
3.5.1.2. Bahan Tambahan Pangan Bagian ini memuat ketentuan-ketentuan mengenai penyiapan bahan tambahan pangan 3.5.1.2.1. Alat
Bagian ini memuat ketentuan mengenai jenis dan persyaratan alat yang digunakan 3.5.1.2.2. Bahan
Bagian ini memuat ketentuan mengenai bahan yang digunakan 3.5.1.2.3. Proses
Bagian ini memuat ketentuan mengenai proses yang dilakukan 3.5.1.2.4. Operator
Bagian ini memuat ketentuan mengenai operator yang melaksanakan penyiapan bahan tambahan pangan
3.5.2. Proses Pengolahan Bagian ini memuat ketentuan-ketentuan terkait dengan pengolahan yang dilakukan dalam rangka pengolahan pangan organik 3.5.2.1. Alat
Bagian ini memuat ketentuan mengenai jenis dan persyaratan alat yang digunakan 3.5.2.2. Bahan
Bagian ini memuat ketentuan mengenai bahan yang digunakan 3.5.2.3. Proses
Bagian ini memuat ketentuan mengenai proses pengolahan yang dilakukan 3.5.2.4. Operator
Bagian ini memuat ketentuan mengenai operator yang melaksanakan pengolahan 3.5.3. Pengemasan
Bagian ini memuat ketentuan-ketentuan yang terkait dengan kegiatan pengemasan produk pangan organik 3.5.3.1. Alat
Bagian ini memuat ketentuan mengenai alat yang digunakan untuk pengemasan 3.5.3.2. Bahan
Bagian ini memuat ketentuan mengenai jenis dan persyaratan bahan yang digunakan untuk pengemasan
3.5.3.3. Proses Bagian ini memuat ketentuan mengenai tentang proses pengemasan
3.5.3.4. Operator Bagian ini memuat ketentuan mengenai operator yang melaksanakan proses pengemasan
3.5.4. Penyimpanan Produk Bagian ini berisi penjelasan tentang ketentuan-ketentuan terkait dengan penyimpanan produk pangan organik 3.5.4.1. Lokasi
Bagian ini memuat ketentuan mengenai lokasi penyimpanan produk pangan organik 3.5.4.2. Teknik
Bagian ini memuat ketentuan mengenai teknik penyimpanan produk pangan organik 3.5.4.3. Operator
107
Bagian ini memuat ketentuan mengenai operator yang bertanggung jawab pada penyimpanan produk pangan organik
Bab IV. Keselamatan Kerja Bagian ini berisi penjelasan ketentuan-ketentuan terkait dengan keselamatan kerja pada saat melakukan pengolahan pangan organik. Keselamatan kerja berkaitan dengan penyediaan, pengaturan, dan penggunaan alat-alat pelindung diri untuk menjaga keselamatan kerja. 4.1. Alat Pelindung Diri
Bagian ini berisi tentang ketentuan mengenai alat pelindung diri bagi karyawan untuk menjaga keselamatan kerja 4.1.1. Jenis
Bagian ini memuat ketentuan mengenai tentang jenis alat yang digunakan 4.1.2. Fungsi
Bagian ini memuat ketentuan mengenai fungsi alat pelindung diri
4.1.3. Pengguna Bagian ini memuat ketentuan mengenai pengguna alat pelindung diri
4.1.4. Peringatan-peringatan Bagian ini memuat ketentuan mengenai peringatan-peringatan yang diperlukan untuk penggunaan alat pelindung diri
Bab V. Pengelolaan Lingkungan Bagian ini berisi ketentuan-ketentuan mengenai pengelolaan lingkungan yang dilakukan. 5.1. Pengelolaan Limbah
Bagian ini berisi ketentuan-ketentuan mengenai pengelolaan limbah. Pengelolaan limbah terdiri dari pengelolaan limbah padat, cair dan gas 5.1.1. Limbah Padat
Bagian ini memuat ketentuan mengenai pengelolaan limbah padat 5.1.2. Limbah Cair
Bagian ini memuat ketentuan mengenai pengelolaan limbah cair 5.1.3. Limbah Gas
Bagian ini memuat ketentuan mengenai pengelolaan limbah gas 5.2. Pengelolaan Gangguan Lingkungan
Bagian ini berisi ketentuan mengenai pengelolaan gangguan lingkungan karena aktivitas produksi dan transportasi
5.3. Pengendalian Hama Bagian ini berisi ketentuan mengenai pengendalian hama yang dilakukan Bab VI. Kesehatan dan Kebersihan
Pekerja Bagian ini berisi ketentuan-ketentuan mengenai pengelolaan kesehatan dan kebersihan 6.1. Pengelolaan Kesehatan Pekerja
Bagian ini berisi ketentuan mengenai pengelolaan kesehatan pekerja 6.2. Pengelolaan Kebersihan Pekerja
Bagian ini berisi ketentuan mengenai pengelolaan kebersihan pekerja 6.2.1. Sarana
Bagian ini memuat ketentuan mengenai sarana kebersihan pekerja 6.2.2. Peraturan
Bagian ini memuat ketentuan mengenai peraturan dan pengaturan kebersihan pekerja Bab VII. Pengawasan dan Pembinaan
Bagian ini berisi ketentuan mengenai sistem pengawasan dan pembinaan produksi pangan organik 7.1. Pengawasan
Bagian ini berisi ketentuan mengenai sistem pengawasan 7.2. Pembinaan
Bagian ini berisi ketentuan mengenai sistem pembinaan
108
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, Edi dkk. 2008. Pengawasan Mutu Bahan/Produk Pangan Jilid 1.
Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Anonim, 2008 . Pedoman Teknis Pengembangan Agroindustri Tepung Terigu Lokal.
Ditjen P2HP Deptan, Jakarta
Cahyono, Budi. ____ .Food Safety dan Implementasi Quality System Industri Pangan di Era
Pasar Bebas. Diakses di www.bappenas.go.id pada tanggal 24 April 2010
Cantwell, M. 2007. Pendinginan dan Penyimpanan. Lokakarya Teknologi Penanganan
Pascapanen Hortikultura. USAID – AMARTA, Jakarta.
Chairul, R. 2007. Panduan Penyusunan Cara Penanganan Pasca panen dan Pengolahan Hasil
Tanaman Organik yang Baik Ditjen P2HP Deptan, Jakarta.
Deptan. 2004. Cara Penanganan Pasca Panen yang Baik, Good Handling Practice Produk
Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta.
Deptan. 2007. Panduan Penyusunan Cara Penanganan Pasca Panen dan Pengolahan Hasil
Tanaman Organik yang Baik. (Good Handling & Manufacturing Practices).
Departemen Pertanian. Jakarta.
Deptan. 2008. Permentan Nomor : 35/Permentan/OT.140/7/2008 tentang Persyaratan
Penerepan Cara Pengolahan Hasil Pertanian yang Baik (Good Manufacturing
Practices)
Winarno, FG. 2004. Keamanan Pangan Jilid 1. M.Brio Press. Bogor.
109
XI. HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT (HACCP)
XI.1 Pendahuluan
Keamanan pangan masih merupakan masalah penting dalam bidang pangan di
Indonesia, dan perlu mendapat perhatian khusus dalam program pengawasan pangan.
Penyakit dan kematian yang ditimbulkan melalui makanan di Indonesia sampai saat ini masih
tinggi, walaupun prinsip -prinsip pengendalian untuk berbagai penyakit tersebut pada
umumnya telah diketahui.
Pengawasan pangan yang mengandalkan pada uji produk akhir tidak dapat
mengimbangi kemajuan yang pesat dalam industri pangan, dan tidak dapat menjamin
keamanan makanan yang beredar di pasaran. Pendekatan tradisionil yang selama ini
dilakukan dapat dianggap telah gagal untuk mengatasi masalah tersebut.
Oleh karena itu dikembangkan suatu sistem jaminan keamanan pangan yang disebut
Analisis Bahaya dan PengendalianTitik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point
/HACCP) yang merupakan suatu tindakan preventif yang efektif untuk menjamin keamanan
pangan. Sistem ini mencoba untuk mengidentifikasi berbagai bahaya yang berhubungan
dengan suatu keadaan pada saat pembuatan, pengolahan atau penyiapan makanan, menilai
risiko risiko yang terkait dan menentukan kegiatan dimana prosedur pengendalian akan
berdaya guna. Sehingga, prosedur pengendalian lebih diarahkan pada kegiatan tertentu yang
penting dalam menjamin keamanan makanan.
Pendekatan HACCP ini akan membantu dalam perencanaan berbagai kegiatan
keamanan makanan dan pendidikan kesehatan yang memusatkan perhatian pada berbagai
bahaya yang berhubungan dengan jenis makanan yang dikonsumsi dan makanan yang diolah
dan disiapkan.
Pangan tradisional adalah makanan dan minuman yang biasa dikonsumsi oleh
masyarakat tertentu, dengan cita rasa khas yang diterima oleh masyarakat tersebut. Bagi
masyarakat Indonesia umumnya amat diyakini khasiat aneka pangan tradisional, seperti
tempe, bawang putih, madu, kunyit, jahe, kencur, temu lawak, asam jawa, sambiloto, daun
110
beluntas, daun salam, cincau, dan aneka herbal lainnya. Jamu sebagai racikan aneka herbal
berkhasiat juga sangat popular di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Minuman jamu dapat
dibuat dan disajikan secara sederhana di tingkat rumah tangga yang kemudian dijual sebagai
“jamu gendong”. Pada umumnya proses penyiapan jamu ini menggunakan peralatan
sederhana dan tingkat sanitasi dan higinitasyang kurang memadai. Hal ini masih ditambah
lagi dengan rendahnya tingkat sanitasi penggunaan peralatan maupun kemasan selama proses
penyiapan jamu tersebut. Proses penyiapan “jamu gendong” yang seadanya tersebut
merupakan faktor penyebab turunnya mutu jamu yang dihasilkan, dan tentunya ini dapat
berdampak terhadap mutu mikrobiologis jamu yang dihasilkan.
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya keamanan pangan
mengakibatkan meningkatnya perhatian terhadap masalah ini. Permasalahan mendasar
keamanan pangan tradisional pada umumnya terletak pada kelemahan dalam hal jaminan
keamanannya terhadap bahaya biologi atau mikrobiologi, kimia, dan fisik. Adanya bahaya
atau cemaran tersebut seringkali ditemukan karena rendahnya mutu bahan baku, teknologi
pengolahan, belum diterapkannnya praktek sanitasi dan higinitas yang memadai, dan
kurangnya kesadaran pekerja maupun produsen yang menangani pangan tradisional (Dewanti
dkk, 2001).
Kejadian atau kasus keracunan makanan (foodborne diseases) karena mengkonsumsi
makanan yang tidak aman sering terjadi di masyarakat. Kejadian-kejadian ini menunjukkan
bahwa keamanan pangan di masyarakat masih menjadi masalah utama yang harus dihadapi.
Seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran akan kesehatan terhadap
pangan yang dikonsumsi, mengkonsumsi pangan yang aman merupakan hal yang harus
diperhatikan oleh produsen dan konsumen. Berdasarkan UU RI No. 7 Tahun 1996 tentang
Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Dengan demikian dapat didefinisikan
bahwa pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya biologi atau
mikrobiologi, bahaya kimia, dan bahaya fisik, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
111
Gambar 2. Sumber kontaminan bahan pangan (Sumber: Rahayu, 2008)
Berdasarkan laporan BP-POM tahun 2008 yang dikutip Rahayu (2008), kasus
sumber-sumber kontaminan bahan pangan terdiri dari kontaminan biologi/mikrobiologi,
kimia, dan unknown (penulis sebutkan sebagai kontaminan fisik). Kontaminan-kontaminan
tersebut dapat mencemari pangan sejak masih berupa bahan mentah sampai siap dikonsumsi.
Dalam perkembangannya kontaminan atau cemaran dapat mengalami perubahan
khususnya bahaya biologi/mikroorganisme karena berbagai faktor seperti terjadinya mutasi
peningkatan ketahanan terhadap antibiotika atau kondisi pada saat penanganan atau
pengolahan makanan sehingga mengakibatkan terbentuklah mikroorganisme yang lebih
virulen atau lebih tahan selama pengolahan atau pengobatan. Aspek yang juga perlu
mendapat perhatian adalah adalah meningkatnya paparan manusia dengan kontaminan atau
cemaran karena perubahan pola hidup/makan, seperti kebiasaan makan di luar, bepergian,
atau kembali ke alam dapat meningkatkan paparan terhadap mikroorganisme patogen.
Peningkatan paparan ini juga akan berdampak terhadap peningkatan resiko berbagai penyakit
yang diakibatkan oleh pangan.
Keamanan pangan, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu industri pangan
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen, yang saat ini
sudah harus memulai mengantisipasinya dengan implementasi sistem mutu pangan. Karena
di era pasar bebas ini industri pangan Indonesia mau tidak mau sudah harus mampu bersaing
dengan derasnya arus masuk produk industri pangan negara lain yang telah mapan dalam
sistem mutunya (Cahyono, 2010).
Menurut Cahyono 2010, salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan adalah
terjaminnya pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang
berbahaya bagi kesehatan. Hal ini secara jelas menunjukkan upaya untuk melindungi
masyarakat dari pangan yang tidak memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Sasaran
program keamanan pangan adalah: (1) Menghindarkan masyarakat dari jenis pangan yang
112
berbahaya bagi kesehatan, yang tercermin dari meningkatnya pengetahuan dan kesadaran
produsen terhadap mutu dan keamanan pangan; (2) Memantapkan kelembagaan pangan, yang
antara lain dicerminkan oleh adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur
keamanan pangan; dan (3) Meningkatkan jumlah industri pangan yang memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bahaya biologis atau mikrobiologis terdiri dari parasit (protozoa dan cacing), virus,
dan bakteri patogen yang dapat tumbuh dan berkembang di dalam bahan pangan, sehingga
dapat menyebabkan infeksi dan keracunan pada manusia. Beberapa bakteri patogen juga
dapat menghasilkan toksin (racun), sehingga jika toksin tersebut terkonsumsi oleh manusia
dapat menyebabkan intoksikasi. Intoksikasi adalah kondisi ketika toksin sudah terbentuk di
dalam makanan atau bahan pangan, sehingga mengindikasikan keadaan berbahaya. Sekalipun
makanan atau bahan pangan sudah dipanaskan sebelum disantap, toksin yang sudah terbentuk
masih tetap aktif dan bisa menyebabkan keracunan meski bakteri tersebut sudah tidak
terdapat dalam makanan.
Adanya virus dan protozoa dalam makanan atau bahan pangan masih belum banyak
yang diteliti dan diidentifikasi. Namun informasi tentang virus hepatitis A dan protozoa
Entamoeba hystolitica telah diketahui dapat mencemari air. Cacing diketahui terdapat pada
hasil-hasil peternakan, misalnya Fasciola hepatica yang ditemukan pada daging atau hati sapi.
Adanya cemaran cacing tersebut akan mengakibatkan infeksi pada manusia jika
mengkonsumsi daging atau hati sapi yang tidak dimasak dengan baik.
Bahaya kimia pada umunya disebabkan oleh adanya bahan kimia yang dapat
menimbulkan terjadinya intoksikasi. Bahan kimia penyebab keracunan seperti logam berat
(timbal/Pb dan raksa/Hg) umumnya berasal dari cemaran industri, residu pestisida, hormon,
dan antibiotika. Terbentuknya toksin akibat pertumbuhan dan perkembangan jamur atau
kapang penghasil toksin juga termasuk dalam bahaya kimia. Beberapa jamur atau kapang
penghasil toksin (mikotoksin) adalah Aspergillus sp., Penicllium sp., dan Fusarium sp., yang
dapat menghasilkan aflatoksin, patulin, okratoksin, zearalenon, dan okratoksin. Termasuk
dalam bahaya kimia adalah penggunaan bahan tambahan pangan yang melebihi kadar yang
telah ditetapkan oleh instansi terkait dan penggunaan bahan tambahan yang dilarang untuk
makanan/pangan.
Bahaya fisik terdiri dari potongan kayu, batu, logam, rambut, dan kuku yang
kemungkinan berasal dari bahan baku yang tercemar, peralatan yang telah aus, atau juga dari
para pekerja pengolah makanan. Meskipun bahaya fisik tidak selalu menyebabkan terjadinya
penyakit atau gangguan kesehatan, tetapi bahaya ini dapat menjadi pembawa atau carier
113
bakteri-bakteri patogen dan tentunya dapat mengganggu nilai estetika makanan yang akan
dikonsumsi.
Kontaminasi bahan pangan dapat terjadi dimulai saat penanaman/budidaya, produksi,
distribusi/transportasi, retail, dan pengemasan sampai dengan penyajian dan konsumsi
(Gambar 3). Oleh karena itu, untuk menghasilkan produk yang aman, produsen dituntut
menjalankan proses produksi yang baik, yang berujung pada penerapan Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP) (Taylor, 2008) atau Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik
Kritis seperti telah disebutkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan No. 01-4852-
1998.
HACCP; HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT
GAP = Good Agriculture Practice GDP = Good Distribution Practice
GHP = Good Handling Practice GRP = Good Retailing Practice
GMP = Good Manufacturing Practice GCP = Good Catering Practice
Gambar 3. Kaitan HACCP dengan Good Practices dalam rantai pangan
(Sumber: Raspor, 2008)
HACCP adalah suatu sistem yang dianggap rasional dan efektif dalam penjaminan
keamanan pangan dari sejak dipanen sampai dikonsumsi. HACCP adalah suatu sistem yang
mampu mengidentifikasi hazard (bahaya) atau cemaran yang potensial dapat
mengkontaminasi bahan pangan seperti biologi/mikrobiologi, kimia, dan fisik (Taylor, 2008).
Manajemen keamanan pangan tersebut diharapkan dapat diterapkan pada setiap rantai proses
114
pengolahan pangan, termasuk di dalamnya pangan tradisional untuk menghindari kasus-kasus
keamanan pangan yang sering ditemukan.
Keberhasilan penerapan aplikasi HACCP memerlukan komitmen dan keterlibatan
penuh dari manajemen dan seluruh tenaga kerja yang terlibat dalam proses pengolahan
makanan. Walaupun saat ini aplikasi HACCP baru dilaksanakan oleh industri-industri besar,
tapi prinsip-prinsip dasarnya dapat diterapkan untuk industri kecil sebagai penopang industri
pangan tradisional di tanah air.
XI.2 Pengertian HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point )
HACCP adalah suatu alat (tools) yang digunakan untuk menilai tingkat bahaya,
menduga perkiraan risiko dan menetapkan ukuran yang tepat dalam pengawasan, dengan
menitikberatkan pada pencegahan dan pengendalian proses dari pada pengujian produk akhir
yang biasanya dilakukan dalam cara pengawasan tradisional (Suklan, 1998).
Hazard Analysis, adalah analisis bahaya atau kemungkinan adanya risiko bahaya yang
tidak dapat diterima. Bahaya disini adalah segala macam aspek mata rantai produksi pangan
yang tidak dapat diterima karena merupakan penyebab masalah keamanan pangan.
Bahaya tersebut meliputi :
- keberadaan yang tidak dikehendaki dari pencemar biologis, kimiawi, atau
fisik pada bahan mentah.
- Pertumbuhan atau kelangsungan hidup mikroorganisme dan hasil perubahan
kimiawi yang tidak dikehendaki (misalnya nitrosamin) pada produk antar atau
produk jadi, atau pada lingkungan produksi.
- Kontaminasi atau kontaminasi ulang ( cross contamination) pada produk
antara atau jadi, atau pada lingkungan produksi.
Critical Control Point (CCP atau titik pengendalian kritis), adalah langkah dimana
pengendalian dapat diterapkan dan diperlukan untuk mencegah atau menghilangkan bahaya
atau menguranginya sampai titik aman (Bryan, 1995). Titik pengendalian kritis (CCP) dapat
berupa bahan mentah, lokasi, praktek, prosedur atau pengolahan dimana pengendalian dapat
diterapkan untuk mencegah atau mengurangi bahaya. Ada dua titik pengendalian kritis:
115
- Titik Pengendalian Kritis 1 (CCP-1), adalah sebagai titik dimana bahaya dapat
dihilangkan
- Titik Pengendalian Kritis 2 (CCP-2), adalah sebagai titik dimana bahaya
dikurangi.
Meskipun aplikasi HACCP pada umumnya dilakukan di dalam industri pengolahan
pangan, tetapi pada prinsipnya dapat dilakukan mulai dari produksi bahan baku sampai
pemasaran dan distribusi. Hal ini disebabkan beberapa kontaminasi, misalnya logam berat,
pestisida, dan mikotoksin yang mungkin mencemari bahan baku pada waktu produksi, sangat
sulit dihilangkan dengan proses pengolahan. Oleh karena itu pengawasan terhadap bahan -
bahan berbahaya tersebut harus dimulai dari saat produksi bahan baku. HACCP tidak hanya
diterapkan dalam industri pangan modern, tetapi juga diterapkan dalam produksi makanan
katering/jasa boga, makanan untuk hotel dan restoran, bahkan dalam pembuatan makanan
jajanan.
Bagaimana Melakukan Studi HACCP ?
Secara singkat, HACCP terdiri dari elemen -elemen sebagai berikut
1. Identifikasi bahaya
Pada bagian ini mempelajari jenis -jenis mikroorganisme, bahan kimia dan benda asing
terkait yang harus didefinisikan. Untuk dapat melakukan ini, tim harus memeriksa
karakteristik produk serta bahaya yang akan timbul waktu dikonsumsi oleh konsumen.
Terdapat tiga bahaya (hazard) yang dapat menyebabkan makanan menjadi tidak aman
untuk dikonsum si, yaitu hazard fisik, kimia, dan biologi. Bahaya fisik termasuk benda -
benda seperti pecahan logam, gelas, batu, yang dapat menimbulkan luka di mulut, gigi
patah, tercekik ataupun perlukaan pada saluran pencernaan. Bahaya kimia antara lain
pestisida, zat pembersih, antibiotik, logam berat, dan bahan tambahan makanan. Bahaya
biologi antara lain mikroba patogen (parasit, bakteri), tanaman, dan hewan beracun. Hal-
hal penting yang perlu dipertimbangkan adalah:
a. Formulasi; adalah bahan mentah dan bahan baku ya ng dapat mempengaruhi
keamanan dan kestabilan produk.
b. Proses; adalah parameter proses pengolahan yang dapat mempengaruhi bahaya.
116
c. Kemasan; adalah perlindungan terhadap kontaminasi ulang dan pertumbuhan
mikroorganisme
d. Penyimpanan/penanganan; adalah waktu dan kondisi suhu serta
e. penanganan di dapur dan penyimpanan di etalase.
f. Perlakuan konsumen; digunakan oleh konsumen atau ahli masak professional.
g. Target grup; yaitu pemakai akhir makanan tersebut (bayi, orang dewasa, lanjut
usia)
Semua faktor ini harus dipertimbangkan untuk menentukan risiko serta tingkat bahaya
yang dikandungnya. Tiap -tiap pengawasan/studi harus memeriksa mikroorganisme
tertentu, bahan kimia atau pencemar fisik yang mungkin mempengaruhi keamanan
produk tertentu. Pengendalian dapat didefinisi kan secara tepat dengan cara ini.
Membuat Diagram Alir
Diagram tersebut harus menjelaskan bahan mentah/baku, tahap pengolahan dan
pengemasan, serta mencakup data yang diperlukan untuk analisis bahaya
mikrobilogis, kimia, dan benda -benda asing termasuk informasi tentang
kemungkinan terjadinya kontaminasi.
2. Aktivitas Penentuan Titik Pengendalian Kritis (CCP)
Setelah diagram alir tersedia kemudian mengenali titik -titik yang berpotensi untuk
menimbulkan, menghilangkan atau mengurangi bahaya. CCP ditetapkan pada setiap
tahap proses mulai dari awal produksi suatu makanan hingga sampai ke
konsumsi.Pada setiap tahap ditetapkan jumlah CCP untuk bahaya mirobiologis, kimia,
maupun fisik. Pada beberapa produk pangan, formulasi makanan mempengaruhi tingkat
keamanan nya, oleh karena itu CCP pada produk semacam ini diperlukan untuk
mengontrol beberapa parameter seperti pH, aktivitas air (aw), dan adanya bahan
tambahan makanan.
No Jenis CCP Pengendalian yang dapat
Dicapai Secara Efektif
117
1 Pasteurisasi susu Membunuh sel vegetatif
2 Penggunaan wadah yang tepat pada makanan berasam tinggi
Mencegah keracunan logam
No Jenis CCP Pengendalian yang Dapat
Dicapai Sebagian
1 Pencucian dan Sanitasi peralatan Mengurangi pencemaran produk selama pengemasan
2 Sortasi kacang tanah dengan peralatan yang terkontrol
Mengurangi cemaran mikotoksin pada produk-produk kacang tanah
3. Spesifikasi Batas Kritis
Batas kritis adalah nilai yang memisahkan antara nilai yang dapat diterima dengan
nilai yang tidak dapat diterima pada setiap CCP. Titik pengendalian kritis (CCP) dapat
merupakan bahan mentah/baku, sebuah lokasi, suatu tahap pengolahan, praktek atau
prosedur kerja, namun harus spesifik, misalnya:
- Tidak adanya pencemar tertentu dalam bahan mentah/baku.
- Standar higienis dalam ruangan pemasakan /dapur
- Pemisahan fasilitas yang digunakan untuk produk mentah dan yang
untuk produk jadi/masak.
Kriteria yang sering digunakan adalah suhu, waktu, kelembaban, pH, water activity
(aw), keasaman, bahan pengawet, konsentrasi garam, viskositas, adanya zat klorin,
dan parameter indera(sensory) seperti penampilan dan tekstur.
4. Aktivitas Penyusunan Sistem Pemantauan
Dalam sistem HACCP, pemantauan atau monitoring didefinisikan sebagai
pengecekan bahwa suatu prosedur pengolahan dan penanganan pada CCP dapat
dikendalikan atau pengujian dan pengamatan yang terjadwal terhadap efektivitas
proses untuk mengendalikan CCP dan limit kritisnya dalam menjamin keamanan
produk. Biasanya perlu juga dicantumkan frekuensi pemantauan yang ditentukan
118
berdasarkan pertimbangan praktis. Lima macam pemantauan yang penting
dilaksanakan antara lain: pengamatan, evaluasi, sensorik, pengukuran sifat fisik,
pengujian kimia, pengujian mikrobiologi.
5. Pelaksanaan Tindakan Perbaikan.
Tindakan perbaikan adalah kegiatan yang dilakukan bila berdasarkan hasil
pengamatan menunjukkan telah terjadi penyimpangan dalam CCP pada batas kritis
tertentu atau nilai target tertentu atau ketika hasil pemantauan menunjukkan
kecenderungan kurangnya pengendalian. Sebagai contoh adalah klorinasi air
pendingin dan pasteurisasi susu. Pada titik pengendalian kritis (CCP) dimana tingkat
khlorin air pendingin sangat kritis, maka bila konsentrasi klorin kurang dari 1 ppm
harus segera disesuaikan dengan cepat, jika tidak mengandung klorin, maka hasil
olahan harus diperiksa lebih lanjut. Pada proses pasteurisasi suhu yang turun sampai
di bawah 71,50 C harus dilakukan pasteurisasi kembali. Secara umum, data tentang
pemantauan harus diperiksa secara sistematis untuk menentukan titik dimana
pengendalian harus ditingkatkan atau apakah modifikasi lain diperlukan. Dalam hal
ini, sistem dapat beradaptasi terhadap perubahan kondisi dengan cara penyesuaian
yang berkesinambungan.
6. Aktivitas Sistem Verifikasi
Sistem verivikasi mencakup berbagai aktifitas seperti inspeksi, penggunaan
metode klasik mikrobiologis dan kimiawi dalam menguji pencemaran pada produk
akhir untuk memastikan hasil pemantauan dan menelaah keluhan konsumen. Contoh
produk yang diperiksa dapat digunakan untuk memeriksa keefektifan sistem. Namun
demikian verivikasi tidak pernah menggantikan pemantauan. Verifikasi hanya dapat
memberikan tambahan informasi untuk meyakinkan kembali kepada produsen bahwa
penerapan HACCP akan menghasilkan produksi makanan yang aman (ILSI-Eropa,
1996).
7. Penyimpanan Data atau Dokumentasi
Penyimpanan data merupakan bagian penting pada HACCP. Penyimpanan data
dapat meyakinkan bahwa informasi yang dikumpulkan selama instalasi, modikasi,
dan operasi sistem akan dapat diperoleh oleh siapapaun yang terlibat proses, juga dari
119
pihak luar (auditor). Penyimpanan data membantu meyakinkan bahwa sistem tetap
berkesinambungan dalam jangka panjang. Data harus meliputi penjelasan bagaimana
CCP didefinisikan,pemberian prosedur pengendalian dan modifikasi sistem,
pemantauan, dan verifikasi data serta catatan penyimpangan dari prosedur normal.
XI.3 Penggolongan Karakteristik Bahaya (Hazard) dan Tingkat Risiko
Penggolongan Karakteristik Bahaya (Hazard)
Berdasarkan National Advisory Committee on Microbiology Criteria for
Food (1989), karakteristik hazard bisa dikelompokkan menjadi (USDA, 1993).
Hazard A: merupakan kelompok yang dapat menyebabkan produk yang
didesain dan ditujukan untuk kelompok berisiko (bayi, lanjut usia, orang sakit,
ataupun orang dengan daya tahan tubuh rendah) menjadi tidak steril.
Hazard B: produk mengandung bahan yang sensitif terhadap Hazard
mikrobiologi.
Hazard C: proses yang dilakukan tidak diikuti dengan langkah
pengendalian yang efektif untuk merusak mikroorganisme yang berbahaya.
Hazard D: produk terkontaminasi ulang setelah pengolahan dan sebelum
pengepakan.
Hazard E: terdapat bahaya yang potensial pada penanganan saat distribusi
atau penanganan oleh konsumen sehingga menyebabkan produk berbahaya jika
dikonsumsi.
120
Hazard F: tidak ada proses pemanasan akhir setelah proses pengepakan
atau ketika dimasak di rumah. Pengukuran Tingkat Risiko Berdasarkan
Karakteristik Hazard
Berdasarkan National Advisory Committee on Microbiology Criteria for
Food (1989), karakteristik hazard bisa dikelompokkan menjadi:
Kategori VI: jika produk makanan mengandung hazard A atau ditambah dengan
hazard yang lain
Kategori V: jika produk makanan mengandung lima karakteristik hazard
(B,C,D,E,F).
Kategori IV: jika produk makanan mengandung empat karakteristik hazard (antara
B - F).
Kategori III: jika produk makanan mengandung tiga karakteristik hazard (antara B
- F).
Kategori II: jika produk makanan mengandung dua karakteristik hazard (antara B -
F).
Kategori I: jika produk makanan mengandung satu karakteristik hazard (antara B -
F).
Kategori 0: jika tidak terdapat bahaya (USDA, 1993).
XI.4 Manfaat HACCP
Terdapat beberapa keuntungan pokok yang diperoleh pemerintah dan instansi
kesehatan serta konsumen dari penerapan HACCP sebagai alat pengatur keamanan makanan:
1. HACCP adalah suatu pendekatan yang sistematis yang dapat diterapkan pada semua
aspek dari pengamanan makanan, termasuk bahaya secara biologi, kimia, dan fisik
pada setiap tahapan dari rantai makanan mulai dari bahan baku sampai penggunaan
produk akhir.
121
2. HACCP dapat memberikan dasar nuansa statistik untuk mendemonstrasikan kegiatan
yang dapat atau mungkin dilakukan untuk mencegah terjadi bahaya sebelum
mencapai konsumen.
3. Sistem HACCP memfokuskan kepada upaya timbulnya bahaya dalam proses
pengolahan makanan.
4. Penerapan HACCP melengkapi sistem pemeriksaan oleh pemerintah sehingga
pengawasan menjadi optimal.
5. Pendekatan HACCP memfokuskan pemeriksaan kepada tahap kegiatan yang kritis
dari proses produksi y ang langsung berkaitan dengan konsumsi makanan.
6. Sistem HACCP meminimalkan risiko kesehatan yang berkaitan dengan konsumsi
makanan.
7. Dapat meningkatkan kepercayaan akan keamanan makanan olahan dan karena itu
mempromosikan perdagangan dan stabilitas usaha makanan (Suklan, 1998).
HACCP adalah suatu pendekatan sistem dalam pengamanan makanan. Dengan
pendekatan HACCP ini, maka pengawasan keamanan makanan baik yang dikelola oleh
perusahaan makanan, jasa boga, rumah makan, restoran, maupun yang dikelola sebagai
makanan jajanan dan makanan rumah tangga, dapat lebih terjamin
DAFTAR PUSTAKA
Bryan, Frank L. (1995). Analisis Bahaya dan Pengendalian itik Kritis. (Diterjemahkan oleh Ditjen PPM dan PLP). Jakarta: Depkes RI
Cahyono, Budi. ____ .Food Safety dan Implementasi Quality System Industri Pangan di Era Pasar Bebas. Diakses di www.bappenas.go.id pada tanggal 24 April 2010
Dewanti-Hariyadi, R & Nuraida, L. 2001. Keamanan Pangan Fungsional dan Suplemen Berbasis Pangan Tradisional. Prosiding Seminar Nasional Pangan Tradisional: Basis bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen, 54-63.
ILSI-Eropa. (1996). Petunjuk Ringkas untuk Memahami dan Menerapkan Konsep Analisis Bahaya pada Titik Pengendalian Kritis. Jakarta
Rahayu, W. P. 2008. KLB Keracunan Pangan Tahun 2008: Laporan Tahunan Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM RI, Jakarta.
122
Raspor, P. 2008. Total food chain safety: how good practice can contribute? Trend in Food Sci. Tech 19, 405-412.
Sudarmaji. 2005. Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis, Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol 1, No. 2. IPB Bogor
Suklan, H. (1998). Pedoman Pelatihan System Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) untuk Pengolahan Makanan. Jakarta: Depkes RI
Taylor, E. 2008. A new method of HACCP for the catering and food service industry. Food Control 19, 126-134.
USDA. (1993). HACCP Principles for Food Production. USDA.
Winarno, FG. 2004. Keamanan Pangan Jilid 1. M.Brio Press. Bogor.
123