perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KAJIAN PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM ATAS TINDAK
PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI
DALAM PERADILAN IN ABSENTIA
(Studi Kasus Putusan Nomor : 08 – K / PM II – 11 / AD / I / 2011 Pengadilan
Militer Yogyakarta)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Vincentius A.A.R
NIM. E0007238
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM ATAS TINDAK
PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI
DALAM PERADILAN IN ABSENTIA
(Studi Kasus Putusan Nomor : 08 – K / PM II – 11 / AD / I / 2011 Pengadilan
Militer Yogyakarta)
Oleh
Vincentius A.A.R
NIM. E0007238
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 20 Juli 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM ATAS TINDAK
PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI
DALAM PERADILAN IN ABSENTIA
(Studi Kasus Putusan Nomor : 08 – K / PM II – 11 / AD / I / 2011 Pengadilan
Militer Yogyakarta)
Oleh
Vincentius A.A.R
NIM. E0007238
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 24 Juli 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Vincentius A.A.R
NIM : E0007238
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
KAJIAN PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM ATAS TINDAK
PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI DALAM
PERADILAN IN ABSENTIA (Studi Kasus Putusan Nomor : 08 – K / PM II –
11 / AD / I / 2011 Pengadilan Militer Yogyakarta) adalah betul-betul karya
sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi
tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari
terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya
peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 20 Juli 2012 yang membuat pernyataan
Vincentius A.A.R NIM: E0007238
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Vincentius A.A.R, E0007238.2012. KAJIAN PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM ATAS TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI DALAM PERADILAN IN ABSENTIA (Studi Kasus Putusan Nomor : 08 – K / PM II – 11 / AD / I / 2011 Pengadilan Militer Yogyakarta). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana desersi berdasarkan pihak yang berwenang, argumentasi yuridis pelaksanaan peradilan in absentia, serta hambatan-hambatan pelaksanaan penegakan hukum dan pelaksanaan peradilan in absentia.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dengan sifat penelitian deskriptif. Jenis data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data primer yaitu melakukan penelitian langsung ke lokasi. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer berupa Putusan Pengadilan Militer Yogyakarta NOMOR : 08 – K / PM II – 11 / AD / I / 2011, UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Bahan hukum sekunder berupa dokumen, buku, makalah dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Bahan hukum tersier berupa data dari internet. Teknik pengumpulan data yang digunakan dengan cara wawancara dan studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder. Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan. Aturan hukum yang digunakan dalam pelaksanaan penegakan hukum dan peradilan in absentia bagi terdakwa desersi diatur dalam UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Para pihak yang berwenang dalam pelaksanaan penegakan hukum bagi terdakwa desersi adalah kesatuan, denpom, oditur militer, dan pengadilan militer. Argumentasi yuridis pelaksanaan peradilan in absentia adalah memberi kepastian hukum bagi terdakwa, dan terdakwa telah meninggalkan tugas selam enam bulan sejak berkas perkara masuk ke pengadilan militer dan telah dipanggil tiga kali secara sah. Hambatan dalam pelaksanaan penegakan hukum ada tiga yaitu karena faktor personal, kesatuan komando, dan pencarian terdakwa. Sedang hambatan peradilan in absentia adalah kehadiran terdakwa di persidangan dan pemanggilan para saksi. Upaya pencegahan yang bisa dilakukan untuk mengurangi desersi adalah memberi pendidikan hukum kepada para anggota TNI dan para komandan memberikan nasehat kepada para bawahannya tentang kesadaran hukum.
Kata kunci : desersi, in absentia, anggota TNI.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Vincentius A.A.R, E0007238.2012. THE STUDY OF CRIME LAW ENFORCEMENT OF DESERTION BY MEMBER TNI IN JUSTICE IN THE ARMY IN ABSENTIA (Case Study Decision Number: 08 - K / PM II - 11 / AD / I / 2011 Military Court Yogyakarta). Law Faculty of Sebelas Maret University.
This study aims to determine the implementation of law enforcement against the perpetrators of the crime of desertion by the authorities, legal arguments the administration of justice in absentia, as well as obstacles to the implementation of law enforcement and the administration of justice in absentia. This study is an empirical legal research with descriptive nature of the study. The type of data used is the primary data and secondary data. The primary data source that is doing research directly to the site. Secondary data sources used include primary legal materials, legal materials and secondary legal materials tertiary. The primary legal materials in the form of Yogyakarta Military Court Decision NUMBER: 08 - K / PM II - 11 / AD / I / 2011, Law no. 31 of 1997 on Military Justice, Law Book of the Military Penal Code (KUHPM), Law no. 48 Year 2009 regarding Judicial Power. Secondary legal materials include documents, books, papers and literature related to the problem under study. Tertiary legal materials in the form of data from the internet. Data collection techniques used by interview and literature study, namely the collection of secondary data. Techniques of data analysis is done using the method of qualitative analysis. Based on the results of research and discussion of the resulting conclusions. The rule of law which are used in the implementation of law enforcement and justice in absentia for desertion the accused set forth in Law no. 31 of 1997 on Military Justice. The authorities in the implementation of law enforcement for desertion the accused is unity, denpom, military prosecutors and military courts. Legal arguments the administration of justice in absentia is to provide legal certainty for defendant, and defendant had left the job for six months from entry into the court docket and the military have been called three times legally. Obstacles in the implementation of law enforcement are three, because personal factors, unity of command, and search the defendant. Trial in absentia was obstacle is the presence of the defendant in court and call witnesses. Prevention efforts can be done to reduce desertions is to give legal education to members of the TNI and the commanders to give advice to his subordinates on legal awareness. Keyword: desertion, in absentia, a member of Indonesian Army.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan, Yesus dengan anugerah dan karunia-Nya, penulis
dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini dengan baik. Penulisan hukum
ini membahas mengenai kajian pelaksanaan penegakan hukum atas tindak pidana
desersi yang dilakukan oleh anggota TNI dalam peradilan in absentia (Studi
Kasus Putusan Nomor : 08 – K / PM II – 11 / AD / I / 2011 Pengadilan Militer
Yogyakarta)..
Penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat memberikan referensi
mengenai bahan yang terkait. Penulisan hukum ini tidak lepas dari bantuan yang
telah diberikan oleh pihak lain kepada penulis, oleh karena itu penulis
mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih,S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta;
2. Bapak Edy Herdyanto,S.H.,M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Acara
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta; Pembimbing
Akademik; dan Dosen Pembimbing I Penulisan Hukum, yang telah
meluangkan waktu dan membimbing penulis hingga penulisan hukum ini
dapat diselesaikan dengan baik;
3. Bapak Muhammad Rustamaji,S.H.,M.H, selaku Dosen Pembimbing II
Penulisan Hukum, yang telah membimbing penulis hingga penulisan
hukum ini dapat diselesaikan dengan baik;
4. Ibu Wida Astuti, S.H., M.H, selaku Ketua Pengelola Penulisan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
5. Para dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta di semua
bagian untuk ilmu yang tak akan terputus, semoga berguna bagi penulis;
6. Segenap staf administrasi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah banyak membantu penulis selama masa perkuliahan;
7. Letnan Kolonel CHk. Slamet Sarwo Edy, S.H., M.Hum selaku Ketua
Pengadilan Militer Yogyakarta yang telah memberikan izin dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian hukum di instansi
Pengadilan Militer Yogyakarta.
8. Mayor Hari Aji Sugianto, S.H., selaku hakim, Kapten CHk. Reza Yanuar
S.E., S.H., M.H. selaku Ketua Panitera dan seluruh keluarga besar di
Pengadilan Militer Yogyakarta yang telah memberikan saran dan masukan
kepada penulis demi kelancaran penyelesaian penulisan hukum.
9. Drs. Andreas Budi Rustomo M.Si dan Rosaria Martina Sri Mulyani S.Pd.,
M.Pd, selaku orang tua penulis yang selalu memberikan kasih sayang,
dukungan dan memenuhi kebutuhan baik lahir maupun batin bagi penulis
dalam menempuh pendidikan;
10. Oscar dan Yuanita, kedua saudara penulis yang selalu memberi semangat
dan motivasi kepada penulis;
11. Artian Githa DRA, teman yang selalu memberikan semangat, motivasi dan
waktu kepada penulis ;
12. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
angkatan 2007 yang senantiasa menjaga persahabatan dengan baik;
13. Teman-teman kantin Fakultas Hukum, terimakasih canda, tawa, susah, dan
sedihnya. Tetap kompak selalu.
14. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu, semoga Tuhan membalas semua bantuan yang
telah diberikan.
Semoga Penulisan Hukum ini bermanfaat bagi pihak yang membaca, menjadi
referensi dan dicatat sebagai amal kepada penulis dan seluruh pihak yang telah
membantu sampai selesainya penyusunan Penulisan Hukum ini.
Surakarta, 20 Juli 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ....................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv
ABSTRAK………………………………………………………………….....
ABSTRACT.......................................................................................................
v
vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 5
E. Metode Penelitian .......................................................................... 5
F. Sistematika Penulisan Hukum ....................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ............................................................................. 12
A. Tinjauan tentang Tindak Pidana Militer................................... 12
1. Pengertian Tindak Pidana Militer.................................... 12
a. Tindak Pidana Militer Murni……...……………
b. Tindak Pidana Militer Campuran........................
12
12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
B. Tinjauan tentang Kejahatan Ketidak Hadiran dan Desersi...... 13
1. Pengertian Kejahatan Ketidak Hadiran........................... 13
2. Pengertian Desersi........................................................... 15
C. Tinjauan Peradilan In Absentia................................................ 22
1. Pengertian Peradilan In Absentia.................................... 22
2. Dasar Hukum Peradilan In Absentia...............................
3. Syarat-syarat Persidangan In Absentia............................
a. Panggilan Berbentuk Surat Panggilan.................
b. Panggilan Harus Disampaikan.............................
22
24
24
24
D. Tinjauan tentang Kekuasaan Kehakiman...………………... 23
1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman.................................. 23
2. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman........................
3. Kekuasaan Peradilan Militer............................................
a. Kompetensi Pengadilan Militer...........................
b. Susunan Peradilan Militer...................................
27
28
28
29
B. Kerangka Pemikiran…………………………………………….. 33
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Pelaksanaan Penegakan Hukum atas Tindak Pidana Desersi yang
Dilakukan Kopda S Berdasarkan Tugas Para Pihak yang
Berwenang....................................................................................
a. Kesatuan...........................................................................
b. Denpom............................................................................
c. Oditur Militer...................................................................
d. Pengadilan Militer............................................................
44
46
47
49
50
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
2. Argumentasi Yuridis dalam Pelaksanaan Peradilan In Absentia
Bagi Terdakwa Kopda S dalam Kasus Nomor : 08–K / PM II – 11
/ AD / I /2011
a. Memberi Kepastian Hukum Terhadap anggota Tentara
Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana........
b. Terdakwa Telah Desersi lebih dari Enam Bulan dan Telah
Dipanggil Tiga Kali Berturut-turut.................................
3. Hambatan yang Dihadapi dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum
Tindak Pidana Desersi dan Pelaksanaan Peradilan In Absentia
a. Hambatan Pelaksanaan Penegakan Hukum.....................
b. Hambatan Pelaksanaan Peradilan In Absentia.................
55
57
59
60
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ………………………………………………………...
B. Saran…………………………………………………………….
63
65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mencermati pentingnya sebuah pengamanan negara, dibutuhkan pertahanan
negara yang kuat. Dalam rangka menciptakan pertahanan negara yang kuat
dibutuhkan pembangunan kekuatan militer guna menjalankan tugas pertahanan
negara secara profesional (Connie Rahakundini Bakrie, 2007: 5). Pertahanan
tersebut tentunya dibangun dengan cara memperkuat alutsista yang dioperasikan
oleh para anggota militer yang dalam hal ini adalah Tentara Nasional Indonesia
yang memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap pimpinan dan perintahnya. Namun
demikian, kenyataannya adalah tidak semua prajurit Tentara Nasional Indonesia
itu memiliki loyalitas dan kepatuhan yang tinggi atas kewajibannya melaksanakan
tugas dari pimpinan, melanggar tugas dan pokok fungsi Tentara Nasional
Indonesia yang tersirat dalam Sapta Marga dan Sumpah Prajurit dan tidak jarang
ada anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana.
Dari segi hukum, anggota militer mempunyai kedudukan yang sama dengan
anggota masyarakat biasa, artinya sebagai warga negara baginyapun berlaku
semua aturan hukum yang berlaku, baik hukum pidana, hukum perdata, acara
pidana dan acara perdata (Moch. Faisal Salam, 2004: 20). Dalam rangka
mendukung peran dan tugas anggota TNI harus diatur suatu peraturan-peraturan
khusus yang berlaku bagi anggota TNI dikarenakan ada beberapa perbuatan yang
hanya dapat dilakukan oleh tentara saja bersifat asli militer dan tidak berlaku bagi
umum, misalnya : menolak perintah dinas, melawan perintah atasan
(insubordinasi), dan desersi (Supriyadi, 2008: 192).
Dilihat dari perspektif hukum pidana, KUHPM dapat dikategorikan sebagai
hukum pidana khusus. Hal tersebut disebabkan karena hukum pidana khusus
didefinisikan sebagai hukum pidana yang dibentuk dan diberlakukan bagi orang-
orang tertentu saja (P.A.F. Lintang, 1996: 12). Dengan demikian, hukum pidana
khusus merupakan hukum pidana yang ditetapkan untuk golongan orang khusus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
atau yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan khusus, termasuk didalamnya
adalah KUHPM ( Soedarto, 1986: 61 ).
Salah satu contoh yang tindak pidana asli militer yang sering terjadi adalah
tindak pidana Desersi. Desersi merupakan tindak pidana yang pergi dengan
maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya,
menghindari bahaya perang, menyeberang ke musuh atau memasuki dinas militer
pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu, dan yang
karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam
waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, dalam waktu perang lebih lama
dari empat hari.
Salah satu kajian yang peneliti angkat adalah kasus desersi Kopda S, yang
pada tanggal 16 April 2010 tidak melaksanakan apel pagi dan selanjutnya pergi
selama 134 hari atau telah lebih dari 30 hari secara berturut-turut meninggalkan
dinas dan kesatuannya tanpa ijin dari kesatuannya atau atasan lain yang
berwenang dalam masa damai. Hal ini terjadi karena antara Kopda S dan
isterinya sedang mengalami hubungan yang tidak harmonis.
Mencermati kasus Kopda S yang lebih dari 30 hari secara berturut-turut
meninggalkan dinas dan kesatuannya tanpa ijin dari kesatuannya atau atasan lain
yang berwenang dalam masa damai muncul sebuah pertanyaan, ketika seorang
anggota militer melakukan desersi atau tidak melaksanakan tugasnya dengan baik,
sedangkan pada saat bersamaan militer tersebut adalah sebuah kesatuan, maka
secara tidak langsung tindak pidana desersi akan merampas kesatuan kemiliteran
dimana Kopda S bertugas.
Kajian tentang desersi menjadi lebih komplek ketika di dalam Kitab
Undang-Undang hukum Pidana Militer ( KUHPM ) diatur bahwa ketika desersi
anggota militer yang meninggalkan tugas dalam masa damai atau dalam masa
perang itu ada ketentuan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer mengatur adanya mekanisme peradilan in absentia.
Peradilan in absentia adalah mengadili terdakwa tanpa dihadiri oleh terdakwa
sendiri sejak mulai pemeriksaan sampai dijatuhkannya putusan oleh pengadilan.
Mekanisme peradilan in absentia ini merupakan kekhasan tersendiri dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
penegakan hukum dibidang militer sehingga sangatlah perlu untuk diteliti dan
dikaji lebih lanjut mengapa mekanisme peradilan in absentia ini diterapkan
utamanya dalam tindak pidana desersi.
Desersi digolongkan sebagai kejahatan terhadap aturan disiplin prajurit,
karena desersi penting untuk menjadi tolak ukur tingkat kedisiplinan dan ketaatan
dalam kehidupan militer. Padahal tingkat kedisiplinan dan ketaatan mutlak
diperlukan dalam tata cara kehidupan militer, tanpa adanya kedisiplinan dan
ketaatan, Tentara Nasional Indonesia tentu akan sulit menyelenggarakan
fungsinya dalam kehidupan bernegara yaitu untuk menjaga keamanan dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentara Nasional Indonesia yang
lahir dari rakyat dan untuk rakyat sesungguhnya harus menjadi suri tauladan bagi
masyarakat, karena jika tidak makan akan berdampak buruk terhadap perilaku
kehidupan masyarakat yang lain terutama masyarakat sipil.
Dari latar belakang tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengadakan
penelitian atau studi kasus yang lebih mendalam mengenai penegakan hukum atas
Tindak Pidana Desersi di Pengadilan Militer II/11 Yogyakarta. Untuk itu penulis
memilih judul :
“KAJIAN PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM ATAS TINDAK
PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI DALAM
PERADILAN IN ABSENTIA (Studi Kasus Putusan Nomor : 08 – K / PM II –
11 / AD / I / 2011 Pengadilan Militer Yogyakarta)”
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan hukum ini, perlu adanya perumusan masalah yang akan
membantu serta memudahkan penulis dalam membahas dan memecahkan
masalah yang akan diteliti, oleh karena itu penulis merumuskan masalahnya
sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan penegakan hukum atas tindak pidana desersi yang
dilakukan Kopda S berdasarkan tugas para pihak yang berwenang dalam
perkara putusan Nomor : 08–K / PM II – 11 / AD / I /2011 ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
2. Bagaimana argumentasi yuridis dalam pelaksanaan peradilan in absentia bagi
kopda S pada kasus putusan Nomor : 08–K / PM II – 11 / AD / I /2011 ?
3. Bagaimana hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan penegakan hukum
tindak pidana desersi dan pelaksanaan peradilan in absentia di Pengadilan
Militer Yogyakarta ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan merupakan target yang ingin dicapai sebagai pemecahan atas
berbagai masalah yang diteliti (tujuan obyektif) dan untuk memenuhi kebutuhan
perorangan (tujuan subyektif). Tujuan penelitian ini diperlukan karena berkaitan
erat dengan perumusan masalah dalam penelitian untuk memberikan arah yang
tepat dalam penelitian, sehingga penelitian dapat berjalan sesuai dengan apa yang
dikehendaki. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana
desersi.
b. Untuk mengetahui argumentasi yuridis pelaksanaan peradilan in absentia.
c. Untuk mengetahui hambatan pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana
desersi dan pelaksanaan peradilan in absentia .
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis khususnya di bidang
penulisan ilmiah.
b. Untuk mendalami teori dan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama
menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
c. Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar Strata Satu
dalam bidang ilmu hukum pada Universitas Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
D. Manfaat Penelitian
Pemilihan masalah dalam penelitian ini bertujuan agar hasil penelitian ini
dapat bermanfaat, karena nilai dari sebuah penelitian ditentukan oleh besarnya
manfaat yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang penulis
harapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya
dan hukum acara pidana pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah referensi di bidang
karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas
permasalahan yang diteliti dan dapat memberi sumbangan pemikiran
kepada para pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait langsung
dengan penelitian ini.
b. Menjadi wadah bagi peneliti untuk mengembangkan penalaran dan
membentuk pola pikir sekaligus untuk mengetahui kemampuan peneliti
dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
E. Metode Penelitian
Metode berasal dari kata dasar metode dan logi. Metode artinya cara
melakukan sesuatu dengan teratur (sistematis), sedangkan logi artinya ilmu yang
berdasarkan logika berpikir. Metodologi artinya ilmu tentang cara melakukan
sesuatu dengan teratur. Metodologi penelitian artinya ilmu tentang cara
melakukan penelitian dengan teratur (sistematis) (Abdulkadir Muhammad, 2004 :
57).
Suatu penelitian ilmiah harus disusun dengan berpedoman pada metode
yang tepat. Peneliti harus cermat dalam menggunakan metode agar hasil
penelitian sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Metode penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada didalam penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Adapun metode penelitian yang penulis
gunakan adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan penulis termasuk dalam jenis penelitian
hukum empiris. Pada penelitian empiris, maka yang diteliti pada awalnya
adalah data sekunder, kemudian dilanjutkan dengan penelitian pada data
primer di lapangan, atau terhadap masyarakat (Soerjono Soekanto, 2010 : 52).
Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian data primer di lapangan
yaitu Pengadilan Militer Yogyakarta.
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
deskriptif yaitu penelitian yang bersifat melukiskan dengan maksud
menguraikan, menjelaskan dan menggambarkan mengenai pelaksanaan
penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Desersi dalam peradilan in
absentia dari bahan-bahan, data-data serta fakta yang diperoleh selama
melakukan penelitian sehingga mudah dipahami
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah
pendekatan kualitatif yaitu suatu cara penelitian yang menghasilkan data
deskriptif analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis
atau lisan dan juga perilakunya yang nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai
sesuatu yang utuh.
4. Lokasi Penelitian
Dalam pendekatan ini penulis memilih lokasi di Pengadilan Militer
II/11 Yogyakarta.
5. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer yaitu suatu data yang diperoleh secara langsung dari
sumber data. Data ini diperoleh dari hasil wawancara penulis lakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
dengan responden di Pengadilan Militer II/11 Yogyakarta agar penelitiann
memperoleh hasil sebenarnya dari obyek yang diteliti.
b. Data Sekunder
Merupakan data yang diperoleh untuk mendukung data primer, data
sekunder ini diperoleh dari berkas-berkas perkara, literatur-literatur,
himpunan peraturan Undang-Undang yang berkaitan dengan penelitian ini.
6. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Sumber Data Primer yang digunakan adalah hasil penelitian/ riset di
lokasi penelitian di Pengadilan Militer II/11 Yogyakarta dengan
melakukan wawancara dengan hakim Pengadilan Militer II/11 Yogyakarta.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder berasal dari berkas putusan serta beberapa buku yang
dipergunakan sebagai panduan. Data sekunder terdiri dari :
1) Bahan Hukum Primer
Berkas Putusan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer.
2) Bahan Hukum Sekunder
Merupakan bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan
hukum primer dan dapat membantu dan memahami dan menganalisis
bahan hukum primer yang terdiri dari :
a) Jurnal dan/atau Makalah
b) Buku ilmiah di bidang hukum
3) Bahan Hukum Tersier
Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder (Soerjono
Soekanto, 2010 : 52). Bahan hukum tersier ini meliputi Majalah /
Surat kabar, Internet (Cyber Media), maupun ensiklopedia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
7. Teknik pengumpulan Data
Merupakan suatu cara untuk mengumpulkan dan memperoleh data yang
diperlukan. Dalam penelitian ini, tehnik untuk mengumpulkan data yang
dipergunakan adalah :
a. Wawancara
Yaitu suatu usaha untuk mengumpulkan informasi dengan
mengajukan sejumlah pertanyaan lisan dan tertulis kepada hakim di
Pengadilan Militer II/11 Yogyakarta.
b. Dokumentasi
Yaitu suatu cara untuk mengumpulkan data mengenai hal-hal yang
berupa catatan, buku, surat kabar, majalah
8. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
analisis kualitatif dengan interaktif model yaitu komponen reduksi data dan
penyajian data dilakukan bersama dengan pengumpulan data, kemudian
setelah data terkumpul maka tiga komponen tersebut berinteraksi dan bila
kesimpulan dirasakan kurang, maka perlu ada verifikasi dan penelitian
kembali mengumpulkan data lapangan (H.B. Sutopo, 2002 : 8). Menurut H.
B. Sutopo, ketiga komponen tersebut adalah :
a. Reduksi Data
Merupakan proses seleksi, penyederhanaan dan abstraksi dari data.
b. Penyajian Data
Merupakan suatu realita organisasi informasi yang memungkinkan
kesimpulan penelitian dapat dilakukan, sajian data dapat meliputi berbagai
jenis matriks, gambar atau skema, jaringan kerja, kaitan kegiatan dan juga
tabel.
c. Kesimpulan atau Verifikasi
Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi
pencatatan–pencatatan, peraturan, pernyataan–pernyataan konfigurasi–
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
konfigurasi yang mungkin, alur sebab – akibat, akhirnya peneliti
menarik kesimpulan (HB. Sutopo, 2002: 37).
Teknik analisis kualitatif model interaktif dapat digambarkan dalam
bentuk rangkaian yang utuh antara ketiga komponen diatas (reduksi data,
penyajian data, serta penarikan kesimpulan dan verifikasinya) sebagai
berikut:
(2)
(1)
(3)
Gambar 1. Model Analisis Interaktif
Dengan memperhatikan gambar tersebut, maka prosesnya dapat
dilihat secara jelas bahwa pada waktu pengumpulan data, peneliti membuat
reduksi data dan sajian data. Artinya, data yang berupa catatan lapangan
yang terdiri dari bagian deskripsi dan refleksinya adalah data yang telah
digali dan dicatat. Dari dua bagian data tersebut, peneliti menyusun rumusan
pengertiannya secara singkat, berupa pokok-pokok temuan yang penting
dalam arti inti pemahaman segala peristiwa yang dikaji, yang disebut
reduksi data. Kemudian dilakukan penyusunan sajian data yang berupa
cerita sistematis dan logis supaya makna peristiwanya menjadi lebih jelas
dipahami. Dari sajian data tersebut dilakukan penarikan simpulan
(sementara) dilanjutkan dengan verifikasinya.
Reduksi dan sajian data harus disusun pada waktu peneliti sudah
mendapatkan unit data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam penelitian.
Sajian Data
Pengumpulan Data
Penarikan Kesimpulan / Verifikasi
Reduksi Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Pada waktu pengumpulan data telah berakhir, peneliti mulai melakukan
usaha dalam bentuk pembahasan (diskusi) untuk menarik simpulan dan
verifikasinya berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun
sajian datanya.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika Penulisan Hukum digunakan untuk mendapatkan gambaran
menyeluruh mengenai bahasan penulisan hukum ini. Adapun sistematika
penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis menguraikan pendahuluan yang terdiri dari
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka terbagi atas dua bagian, yaitu kerangka teori
dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi tinjauan tentang
tindak pidana militer, tinjauan tentang kejahatan ketidak hadiran dan
desersi, tinjauan tentang peradilan in absentia, tinjauan tentang
kekuasaan kehakiman. Kerangka pemikiran merupakan gambaran
logika hukum berbentuk bagan dan disertai deskripsi singkat guna
mempermudah alur pemikiran dalam menjawab permasalahan yang
diteliti.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis memaparkan pembahasan mengenai
penegakan hukum atas perbuatan desersi yang dilakukan terdakwa
dalam peradilan in absentia, argumentasi yuridis pelaksanaan
peradilan in absentia dan hambatan pelaksanaan penegakan hukum
dan peradilan in absentia.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini penulis menguraikan simpulan dan saran mengenai
masalah yang diteliti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Kerangka Teori
A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Militer
1) Pengertian Tindak Pidana Militer
Tindak pidana militer yang pada umumnya terdapat dalam
KUHPM dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Tindak pidana militer murni ( zuiver militaire delict )
Tindakan-tindakan terlarang/diharuskan yang pada
prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh seorang militer, karena
kedudukannya yang bersifat khusus atau karena suatu kepentingan
militer menghendaki tindakan tersebut ditentukan sebagai tindak
pidana. Disebutkan “pada prinsipnya”, karena seperti akan ternyata
nanti dalam uraian-uraian tindak pidana tersebut ada perluasan
subyek militer tersebut. Contoh Tindak pidana militer murni
adalah:
(1) Seseorang militer dalam keadaan perang dengan sengaja
menyerahkan seluruhnya atau sebagian dari suatu pos yang
diperkuat kepada musuh tanpa ada usaha mempertahankannya
sebagaimana dituntut dari padanya. ( Ps.73 KUHPM );
(2) Kejahatan desersi ( Ps.87 KUHPM );
(3) Meninggalkan pos penjagaan ( Ps.118 KUHPM ).
b) Tindak pidana militer campuran (gemengde militaire delict)
Tindakan terlarang atau diharuskan yang pada pokoknya
sudah ditentukan dalam perundang-undangan lain, tetapi diatur
lagi dalam KUHPM karena adanya suatu keadaan yang khas
militer atau karena adanya suatu sifat yang lain sehingga
diperlukan ancaman pidana yang lebih berat bahkan mungkin
lebih berat dari ancaman pidana pada kejahatan semula dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
pemberatan tersebut dalam pasal 52 KUHP. Alasan pemberatan
tersebut adalah karena ancaman pidana dalam KUHP itu itu
dirasa kurang memenuhi keadilan mengingat hal-hal khusus yang
melekat pada seseorang militer.
B. Tinjauan Tentang Kejahatan Ketidak Hadiran dan Desersi
Dalam KUHPM disebutkan bahwa desersi termasuk dalam BAB III
yaitu kejahatan-kejahatan yang disebabkan karena anggota tentara
menghindarkan diri untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dinasnya.
Sebelum membahas mengenai desersi, maka terlebih dahulu dibahas
mengenai:
1) Kejahatan Ketidak-hadiran
Diluar organisasi militer tindakan ketidakhadiran pada
umumnya bukan merupakan suatu kejahatan. Dalam militer hal itu
perlu ditentukan karena kedisiplinan merupakan akar dari kehidupan
militer. Kejahatan tanpa izin dan desersi termasuk dalam delik
berlanjut (Voortdurende Misdrijven).
Ciri-ciri utama dari kejahatan ini adalah ketidakhadiran tanpa
izin yang dilakukan oleh seorang militer pada suatu tempat yang
ditentukan baginya , dimana seharusnya dia seharusnya berada untuk
melaksanakan kewajiban dinas. Cara untuk ketidakhadiran tersebut
seperti bepergian, menyembunyikan diri, membuat dirinya tidak hadir
atau tertinggal dengan sengaja atau karena salah/ culpa (Pasal 95
KUHPM).
Ketidakhadiran tanpa izin dalam Undang-Undang dibedakan
menjadi :
a) Ketidakhadiran tanpa izin karena salahnya (Pasal 85 KUHPM);
b) Ketidakhadiran tanpa izin dengan sengaja (Pasal 86 KUHPM);
c) Ketidakhadiran tanpa izin dengan sengaja dan dengan keadaan
yang memberatkan (Pasal 86 jo 88 KUHPM);
d) Desersi (Pasal 87 KUHPM);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
e) Desersi dengan keadaan yang memberatkan (Pasal 87 jo 88
KUHPM);
f) Desersi istimewa (Pasal 89 KUHPM);
g) Ketidakhadiran dengan suatu perbuatan yang menyesatkan (Pasal
90 KUHPM);
h) Perbuatan tertentu yang dapat memungkinkan ketidakhadiran
(Pasal 91-93 KUHPM).
Unsur-unsur umum dari kejahatan ketidakhadiran adalah:
a) Subyek
Subyek yang dimaksud dalam BAB III ini adalah anggota
militer. Akan tetapi apabila terjadi koneksitas maupun karena
perkembangan perundang-undangan subyek dari kejahatan tersebut
dapat berkembang sehingga tidak terbatas pada militer saja.
b) Kesalahan (Schuld)
Unsur kesalahan (dolus dan culpa) memegang peranan yang
penting dalam perumusan pasal-pasal kejahatan ini. Semua pasal
kejahatan dalam BAB III KUHPM. Selain Pasal 85 semuanya
memiliki unsur dolus.
c) Bersifat melawan hukum
Meski unsur melawan hukum tidak dirumuskan dalan
kejahatan-kejahatan tersebut, akan tetapi dalam pasal-pasal yang
bersangkutan tersirat melawan hukum. Hal ini sesuai
denganrumusan dari tindak pidana yaitu selalu ada sifat melawan
hukum
d) Tindakan terlarang
Tindakan terlarang yang tersirat secara umum adalah
ketidakhadiran tanpa izin atau yang memungkinkan ketidakhadiran
tanpa izin.
e) Waktu, tempat dan keadaan (unsur obyektif lainnya)
(1) Keadaan
(a) dalam waktu damai;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
(b) dalam waktu perang.
(2) Lama ketidakhadiran:
(a) 4 atau 30 hari;
(b) lebih dari 4 atau 30 hari;
(c) tidak mempersoalkan lamanya.
2) Desersi
Desersi dalam kamus hukum bahasa Indonesia memiliki arti: 1.
(perbuatan) lari meninggalkan dinas ketentaraan; 2. Pembelotan
kepada musuh; (perbuatan) lari dan memihak pada musuh. In military
law, it is the abandonment of (or failure to arrive at) a place of duty
without leave; in time of war, especially in the face of the enemy
(Jason Phillips, 2007: 4). Desersi diatur dalam Pasal 87-89 KUHPM.
Pasal 87 KUHPM, yaitu:
a) Diancam karena desersi, militer:
Ke-1: “yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya
dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya
perang, menyebrang ke musuh atau memasuki dinas militer
pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan
untuk itu”.
Yang dimaksud dengan pergi (verwijderen) adalah perbuatan
sebagai berikut:
(1) Menjauhkan diri dari
(2) Menyembunyikan diri dari
(3) Meneruskan ketidakhadiran pada atau
(4) Membuat diri sendiri tertinggal untuk sampai pada suatu tempat
atau tempat-tempat dimana suatu militer itu seharusnya berada
untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dinas yang ditugaskan
kepadanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Dari perumusan Pasal 87 dapat disimpulkan mengenai dua
bentuk desersi yaitu:
(1) Bentuk desersi murni (Pasal 87 ayat 1 ke-1);
(2) Bentuk desersi sebagai peningkatan dari kejahatan ketidak-
hadiran tanpa izin (Pasal 87 ayat 1 ke-2 dan ke-3).
Ada empat macam cara atau keadaan yang dirumuskan
sebagai bentuk desersi murni (Pasal 87 ayat 1 ke-1) yaitu:
(1) Anggota militer yang pergi dengan maksud (oogmerk) untuk
menarik diri selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya;
Arti menarik diri selamanya adalah tidak akan kembali
ketempat tugasnya. Dari kewajiban-kewajiban dinasnya,
pengertiannya adalah bahwa pelaku tidak ada
kehendak/maksud lagi untuk melakukan kewajiban-kewajiban
dinas dan bahwa pelaku tidak ada maksud lagi untuk kembali
kedalam kesatuannya.
(2) Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk menghindari
bahaya perang;
Dalam Pasal 87 ayat 1 ke-1 tidak dipersoalkan mengenai
keadaan, sehingga pasal ini bisa diterapkan dalam waktu
perang.
(3) Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk
menyeberang ke musuh;
Untuk menyeberang kemusuh merupakan maksud dan tujuan
pelaku, yang baru dinyatakan dengan perbuatan pergi. Apabila
belum tercapai karena telah ditangkap maka tujuan yang telah
terkandung dalam hati tersebut dapat dibuktikan dengan
kesaksian teman pelaku yang mengetahui maksud dan tujuan
pelaku secara langsung lewat percakapan, maka karena itu
pelaku dianggap telah melakukan desersi.
(4) Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk memasuki
dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
dibenarkan untuk itu. Maksud kekuasaan lain adalah pelaku
memasuki pasukan atau partisipan dan lain sebagainya dari
suatu organisasi pemberontak.
Ke-2: “yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan
ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama
dari 30 (tiga puluh) hari, dalam waktu perang lebih lama
dari empat hari”.
Ketidakhadiran melebihi 30 hari dalam waktu damai dan 4
hari dalam waktu perang, dengan sengaja . Apabila jumlah
ketidakhadiran tidak sampai pada batas waktu, maka untuk
mengatasi hal ini adalah dengan menerapkan delik berlanjut.
Ke-3: “yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin
dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau
seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti
yang diuraikan dalam Pasal 85 ke-2”.
Ketidakhadiran dengan sengaja dan karenanya tidak
mengikuti suatu perjalanan. Perjalanan yang diperintahkan adalah
perjalanan ke suatu tempat diluar pulau dimana dia sedang berada.
Dalam sub ayat ini tidak ditegaskan mengenai keadaan kehadiran
itu sehingga dapat diterapkan dalam masa damai ataupun dalam
masa perang.
b) Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan
pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan.
c) Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan
pidana pencara maksimum delapan tahun enam bulan.
Pasal 88 KUHPM, menegaskan tentang desersi dengan
keadaan yang memberatkan. Untuk lebih jelasnya Pasal 88 ayat (1)
berbunyi :
Maksimum ancaman pidana yang diterapkan pada Pasal 86-87 di dua kalikan: Ke-1:Apabila melakuka kejahatan itu belum lewat lima tahun,
sejak petindak telah menjalani seluruhnya atau sebagian dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
pidana yang dijatuhkan kepadanya dengan putusan, karena melakukan desersi atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin atau sejak pidana itu seluruhnya dihapuskan baginya atau apabila melakukan kejahatan itu hak menjalankan pidana tersebut belum kadaluarsa.
Ke-2: Apabila dua orang atau lebih masing-masing untuk diri sendiri dalam melakukan salah satu kejahatan tersebut dalam pasal 86 dan 87, pergi secara bersama-sama atau sebagai satuan dari pemufakatan jahat.
Ke-3: Apabila petindak adalah militer pemegang komando. Ke-4: Apabila dia melakukan kejahatan itu sedang dalam
menjalankan dinas. Ke-5: Apabila dia pergi ke atau diluar negeri. Ke-6: Apabila dia melakukan kejahatan itu dengan menggunakan
suatu perahu laut, pesawat terbang dan kendaraan yang termasuk pada angkatan perang.
Ke-7: Apabila dia melakukan kejahatan itu dengan membawa serta suatu binatang yang digunakan untuk kebutuhan angkatan perang atau amunisi.
Dengan pengertian, bahwa maksimum ketentuan ancaman
pidana tersebut pada Pasal 86 dan 87 ayat ketiga dinaikkan jadi
lima belas tahun.
Pasal 88 ayat (2) menjelaskan, “Apabila kejahatan tersebut
dalam Pasal 86 atau kejahatan desersi dalam waktu damai
dibarengi dengan dua atau lebih keadaan-keadaan dalam ayat
pertama ke-1 sampai dengan ke-7, maka maksimum ancaman
pidana yang ditentukan pada ayat tersebut ditambah dengan
setengahnya”.
Pasal 88 (1) ke-1, dalam KUHPM sistem pemberatan
ancaman pidana yang dianut adalah pengulangan antara sejenis
tindak pidana atau sistem pengulangan khusus. Tenggang waktu
yang dimaksud dalam Pasal 88 adalah:
a) Belum lewat lima tahun, artinya setelah sebagian atau seluruh
pidana yang dijatuhkan kepadanya dijalani dan setelah saat
penghapusan seluruh pidana baginya; atau
b) Selama hak untuk menjalankan pidana belum daluarsa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Pasal 88 (1) ke-2, pemberatan dengan ancaman pidana
masing-masing untuk diri sendiri apabila kejahatan desersi atau
ketidakhadiran dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-
sama atau karena pemufakatan jahat. Kata-kata “masing-masing
untuk diri sendiri” menjelaskan kemungkinan persamaan awal dari
kejahatan dan berbeda untuk kejahatannya yang berupa
ketidakhadiran dan kejahatan desersi, karena tidak sama lamanya
waktu ketidakhadiran.
Pasal 88 (1) ke-3, Apabila kejahatan desersi dilakukan
pemegang komando maka diadakan pemberatan ancaman pidana
karena seorang pimpinan seharusnya memberi contoh yang baik
kepada anak buahnya.
Pasal 88 (1) ke-4, Sedang menjalankan dinas pengertiannya
adalah bahwa diantara banyak prajurit yang dinas, seseorang yang
disebutkan “sedang menjalankan dinas” itu yang benar-benar
secara fisik melaksanakan tugas pokok. Contohnya adalah : Regu
jaga Ksatrian secara bergiliran menempatkan seseorang di pos jaga,
sedangkan selebihnya dirumah jaga. Orang yang berada di pos jaga
itulah yang disebut sedang menjalankan dinas. Apabila dia
melarikan diri dari pos jaga maka kepadanya dapat dikenakan
ketentuan pasal Pasal 88 (1) ke-4.
Pasal 88 (1) ke-5, Seseorang petindak dalam rangka
melakukan kejahatan Pasal 86 atau 87 pergi keluar negeri atau
sementara berada diluar negeri baik dalam hubungan dinas atau
diluar hubungan dinas “menghilang” di luar negeri tersebut.
Ditentukannya hal tersebut sebagai keadaan yang memberatkan
ialah karena bagi petindak hal itu tidak termasuk dalam perjanjian
penyerahan penjahat. Karenanya perlu diperberat agar dia berpikir
sebelum melakukan kejahatan tersebut dan sekaligus pencegahan
bagi petindak untuk mencari suatu pekerjaan diluar negeri. Desersi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
yang dilakukan denagan cara pergi keluar negeri berkaitan dengan
adanya ketidakcocokan antara petindak dengan ideologi bangsa.
Pasal 88 (1) ke-6, Pemberatan ancaman pidana dipasal ini
didasarkan pada kerugian yang diderita oleh angkatan perang, yaitu
berupa selain daripada kepergiannya sendiri, juga berupa perahu,
kapal terbang atau kendaraan yang termasuk angkatan perang yang
dapat mengakibatkan dibawanya alat-alat tersebut maka dapat
mengurangi mobilitas satuan tersebut.
Pasal 88 (1) ke-7, yang dimaksud dengan binatang adalah
yang digunakan untuk kebutuhan angkatan perang, binatang
tersebut tidak harus milik angkatan perang, dapat juga berupa
sewaan atau pinjaman. Apabila orang yang melakukan desersi itu
membawa serta suatu senjata meskipun senjata tersebut tidak
digunakan untuk kebutuhan perang tetapi digunakan untuk
penyelewengan dan untuk mempertahankan diri dari usaha
penangkapan terhadap dirinya. Hal ini juga dapat digunakan untuk
memperberat ancaman pidana.
Pasal 88 ayat 2, pemberatan maksimum ancaman pidana
terjadi lagi untuk kedua kalinya apabila kejahatan tersebut
dibarengi dengan dua atau lebih keadaan-keadaan tersebut pasal 88
ayat 1. Sebagai contoh adalah seorang militer pemegang komando
yang melakukan kejahatan ketidakhadiran dalam waktu perang
dengan membawa serta jeep militer bahakan dengan senjata yang
ada padanya, maksimum pidananya adalah sebagai berikut (2 x 2
tahun 8 bulan) + (1/2 x 2 tahun 8 bulan)= 6 tahun 8 bulan.
Pasal 89 KUHPM, menjelaskan tentang desersi ke musuh.
Untuk lebih jelasnya Pasal 89 KUHPM tersebut berbunyi:
Diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun : Ke-1: Desersi ke musuh Ke-2: Desersi dalam waktu perang dari satuan pasukan, perahu laut
atau pesawat terbang yang ditugaskan untuk dinas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
pengamanan ataupun dari suatu tempat atau pos yang diserang atau terancam oleh musuh.
Pasal 89 ke-1, pengertian desersi ke musuh tidak sama
dengan pengertian desersi ke daerah musuh. Untuk desersi ke
musuh harus selalu berkaitan dengan kekuatan bersenjata dari
musuh. Menurut hukum perang, yang berperang bukan orang
perorangan melainkan negara atau kekuatan lain dengan kekuatan
senjatanya. Sebagai contoh adalah seorang militer yang berasal dari
Minahasa pada tahun 1960 melarikan diri dari satuannya, lalu
bergabung dengan pemberontak PERMESTA. Tindakan seperti
inilah yang dimaksud dengan desersi ke musuh.
Pasal 89 ke-2, disebutkan bahwa desersi dilakukan pada saat
pelaksanaan dinas pengamanan atau saat terjadinya serangan atau
ancaman serangan oleh musuh dalam keadaan perang.
Menurut S.R Sianturi dalam KUHP, ditemukan beberapa
pasal yang mengatur mengenai desersi seperti Pasal 124 (3) ke-2,
Pasal 165 (1), Pasal 236 KUHP.
Pasal 124 (3) ke-2 KUHP, antara lain menyebutkan pidana mati atau pidana seumur hidup atau sementara dua puluh tahun diancam jika petindak menggerakkan atau menganjurkan desersi dalam masyarakat militer. Pasal ini berada dalam BAB tentang kejahatan terhadap keamanan negara, jadi jika seorang militer melakukannya maka ia telah melakukan suatu pengkhianatan.
Pasal 165 (1) KUHP, mengancam pidana maksimum 9 bulan, bagi barang siapa yang mengetahui adanya niat untuk desersi dalam waktu perang, dengan sengaja untuk tidak memberitahukannya kepada penguasa yang berwenang. Pasal ini berada dalam BAB kejahatan terhadap ketertiban umum.
Pasal 236 KUHP, mengancam pidana bagi barangsiapa yang menggerakkan seorang militer dengan memakai salah satu cara tersebut Pasal 55 ke-2 KUHP untuk melakukan kejahatan desersi atau menganjurkannya dengan salah satu cara tersebut pasal 56 KUHP dapat dituntut dalam Pasal 93 KUHPM (S.R. Sianturi, 1985:280).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
C. Tinjauan Peradilan In Absentia
1) Pengertian Peradilan In Absentia
In Absentia berasal dari bahasa latin “In Absentia” atau
“absentium”, yang dalam istilah lain dan peribahasa latin berarti
dalam keadaan tidak hadir atau ketidakhadiran. (Andi Hamzah, 1986 :
98).
Hal ini sesuai dengan istilah yang lazim digunakan dalam
hukum pidana, yaitu istilah peradilan In Absentia dan putusan In
Absentia. Secara fomal kata In Absentia dipergunakan dalam Undang-
undang No 11/Pnps/1963 yang perumusannya terdapat pada Pasal 11
ayat (1). Kata in absentia diartikan dengan mengadili di luar kehadiran
terdakwa. Kata In Absentia dalam rumusan tersebut sebenarnya
menunjuk pada pengertian peradilan In Absentia yang mencakup
pemerikasaan sampai dengan putusan pengadilan di luar kehadiran
terdakwa. Pengertian di atas sesungguhnya mempunyai cakupan yang
sempit, dalam arti bahwa pengertian tersebut hanya didasarkan pada
terjemahan masing-masing kata yang membentuknya, yaitu kata
peradilan dan kata In Absentia
(http://medizton.wordpress.com/2011/06/14/160/[2 April 2012 pukul
20.20] ).
2) Dasar Hukum Peradilan In Absentia
Secara umum peradilan in absentia secara umum diterapkan
terhadap pemeriksaan perkara perdata yang dalam pelaksanaannya
hanya dihadiri oleh wakil atau kuasa hukum pihak-pihak yang
berperkara, dan yang bersangkutan sendiri tidak perlu hadir dalam
pemeriksaan sidang tersebut. Hakim dapat mengadili dan menjatuhkan
putusan tanpa hadirnya penggugat dan tergugat setelah dilakukan
pemanggilan secara sah menurut ketentuan yang berlaku.
Dalam perkara pidana, hadirnya terdakwa dalam pemeriksaan
persidangan merupakan suatu keharusan karena untuk memberi ruang
kepada hak-hak asasi terdakwa sebagai manusia yang berhal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
membela diri dan mempertahankan hak-hak kebebasan, harta benda
dan kehormatannya.
Sebagaimana telah diatur dalam pasal 12 ayat 1 Undang-Undang
nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan bahwa : “Pengadilan memeriksa,mengadili dan memutus
perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali Undang-Undang
menentukan lain”
Dalam UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer hal
mengenai Peradilan In Absentia diatur dalam pasal :
a) Pasal 124 ayat (4) menyatakan: ” Dalam hal berkas perkara desersi
yang Tersangkanya tidak diketemukan, berita acara pemeriksaan
Tersangka tidak merupakan persyaratan lengkapnya suatu berkas
perkara.”.
b) Pasal 125 ayat (1) menyatakan: ” Kecuali perkara desersi yang
Tersangkanya tidak diketemukan sesudah meneliti berkas perkara,
Oditur membuat dan menyampaikan pendapat hukum kepada
Perwira Penyerah Perkara yang dapat berupa permintaan agar
perkara diserahkan kepada Pengadilan atau diselesaikan menurut
Hukum Disiplin Prajurit, atau ditutup demi kepentingan hukum,
kepentingan umum, atau kepentingan militer.”
c) Pasal 141 ayat (10) menyatakan: “Dalam perkara desersi yang
Terdakwanya tidak diketemukan, pemeriksaan dilaksanakan tanpa
hadirnya Terdakwa.”
d) Pasal 143 menyatakan: “Perkara tindak pidana desersi sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer,
yang Terdakwanya melarikan diri dan tidak diketemukan lagi
dalam waktu 6 (enam) bulan berturut-turut serta sudah diupayakan
pemanggilan 3 (tiga) kali berturut-turut secara sah, tetapi tidak
hadir di sidang tanpa suatu alasan, dapat dilakukan pemeriksaan
dan diputus tanpa hadirnya Terdakwa. ”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Pasal 196 dan 214 KUHAP mengandung pengaturan terbatas
mengenai peradilan in absentia. Peradilan in absentia harus memenuhi
beberapa unsur, antara lain: karena terdakwa tinggal atau pergi ke luar
negeri; adanya usaha pembangkangan dari terdakwa (misalnya
melarikan diri); atau terdakwa tidak hadir di sidang pengadilan tanpa
alasan yang jelas walaupun telah dipanggil secara sah (pasal 38 UU RI
No 31 Tahun 1999) ( http://id.wikipedia.org/wiki/In_absentia [2 April
2012 pukul 20.20]).
3) Syarat-syarat persidangan in absentia
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menganut prinsip
hadirnya terdakwa di pengadilan karena untuk memberi ruang kepada
hak-hak asasi terdakwa sebagai manusia yang berhak membela diri
dan mempertahankan hak-hak kebebasan, harta benda dan
kehormatannya. Terdakwa jika akan disidangkan secara in absentia
maka ketentuan mengenai syarat-syarat pemanggilan dalam Pasal 145
dan 146 KUHAP harus diperhatikan, yaitu:
a) Panggilan berbentuk Surat Panggilan Sesuai dengan ketentuan Pasal 145 ayat (1), panggilan terhadap terdakwa atau saksi harus berbentuk surat panggilan. Selain itu Pasal 146 ayat (1) menentukan pula hal-hal yang harus dipenuhi surat panggilan, yang mana harus memuat : (1) Tanggal, hari serta jam sidang; (2) Tempat persidangan; (3) Alasan pemanggilan (dalam perkara atau tindak pidana yang
didakwakan). b) Panggilan harus disampaikan.
(1) Bagi terdakwa yang berada diluar tahanan: (a) panggilan disampaikan secara langsung kepada terdakwa
di alamat tempat tinggalnya; (b) surat panggilan disampaikan ditempat kediamannya
terakhir, apabila tempat tinggalnya terdakwa tidak diketahui;
(c) surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum di tempat tinggal atau tempat kediaman terakhir terdakwa (Pasal 145 ayat 2);
(d) surat panggilan ditempelkan pada papan pengumuman di pengadilan yang mengadili perkara tersebut apabila tempat tinggal atau tempat kediaman terakhir terdakwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
tidak diketahui atau dikenal, mengacu pada Pasal 145 ayat (1).
(2) Bagi terdakwa yang berada di dalam tahanan atau jika sebelumnya terdakwa ditahan. Bagi terdakwa yang sedang berada dalam tahanan, surat pemanggilan sidang dilakukan melalui pejabat rutan atau pejabat rumah tahanan negara (Pasal 145 ayat 3).
(3) Surat tanda penerimaan Pasal 145 ayat 4 mengatur juga, bahwa setiap orang yang menerima surat panggilan, baik terdakwa atau saksi, harus menandatangani surat tanda penerimaan.
(4) Tenggang waktu penyampaian surat panggilan Setiap panggilan sudah diterima selambat-lambatnya tiga hari sebelum hari persidangan dimulai
(5) Apabila tempat tinggalnya tidak dikenal untuk perkara dalam proses penuntutan ditempelkan di papan pengumuman pengadilan yang berwenang mengadilinya, sedangkan dalam proses penyidikan untuk memudahkan seyogyanya pemanggilan dapat dilakukan melalui media cetak nasional dan lokal. (Marwan Effendi,2012: 23-28).
D. Tinjauan Tentang Kekuasaan Kehakiman
1) Pengertian Kekuasaan Kehakiman
Sebagai esensi utama dari negara hukum adalah kekuasaan
kehakiman. UUD 1945 menetapkan adanya kekuasaan kehakiman
sebagai salah satu kekuasaan dalam negara hukum disamping
kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif yang saling mempunyai
hubungan dan dibagi. Hubungan antara negara hukum dengan
pembagian kekuasaan sangat erat disamping pembagian kekuasaan
merupakan salah satu unsur penting negara hukum juga pembagian
kekuasaan dalam suatu negara hukum harus diatur secara tegas
melalui aturan hukum terutama dalam konstitusi untuk menjamin
kepastian hukum.
Kekuasaan kehakiman, dalam konteks negara Indonesia, adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Menurut Pasal
24 ayat 1 Undang-Undang Dasar pasca Amandemen Kekuasaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
kehakiman merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman hanya akan terjamin apabila
terlaksananya prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum
(Rechtstaat atau The Rule of Law) (Bagir Manan, 1998: 9). Meskipun
Pasal 24 ayat (1) tidak menjelaskan secara detail tetapi dalam
penjelasannya menyebutkan “ Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan
yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang
tentang kedudukan para hakim.”
Untuk semakin menegaskan prinsip negara hukum tersebut,
maka setelah reformasi, ketentuan negara hukum itu ditegaskan lagi
dalam perubahan ketiga UUD 1945 pada\tahun 2001. Pada pasal 1
ayat (3) UUD 1945, ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara
hukum. Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang
merdeka sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum telah
dilakukan perubahan atas Undang-Undang nomor 14 tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan
Undang-Undang nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, lalu diubah lagi dengan undang-
Undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun,
belum diatur secara komprehensif penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman seperti diatur dalam UUD 1945 dan adanya Keputusan
Mahkamah Konstitusi nomor 005/PUU/2006 yang salah satu amarnya
membatalkan pasal 34 undang-Undang nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan membatalkan ketentuan pengawasan
hakim menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial, oleh karena itu dibuatlah Undang-Undang nomor 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang bisa memberikan
dasar yang benar bagi peradilan di Indonesia agar mandiri dan berdiri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
sendiri tanpa adanya campur tangan dari pemerintah atau campur
tangan kekuasaan lain.
2) Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada
badan badan peradilan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam
ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-
badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Adapun badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung meliputi: Badan Peradilan Umum; Badan Peradilan
Agama; Badan Peradilan Militer; Badan Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam penyelenggaraan peradilan di Indonesia, maka
wewenang dan tanggung jawab badan-badan peradilan tersebut telah
diatur dalam beberapa Undang-Undang yaitu:
a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 yang mengubah Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 yang mengubah Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
c) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang mengubah Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara;
d) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
e) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Keseluruhan badan peradilan tersebut bekerja dalam lingkungan
masing-masing, yang mempunyai tugas dan fungsi memeriksa,
mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara sesuai kekuasaannya.
Sasaran penyelenggaraan kekuasaan kehakiman adalah untuk menumbuhkan kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan peradilan yang berkualitas. Kemandirian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
para penyelenggara dilakukan dengan meningkatkan integritas, ilmu pengetahuan dan kemampuan, sedangkan peradilan yang berkualitas merupakan produk dari kinerja para penyelenggara peradilan tersebut (Jimly Asshiddiqie, 2005:29).
3) Kekuasaan Peradilan Militer
Pelanggaran terhadap berbagai peraturan terkait yang pelakunya
anggota TNI dapat diselesaikan melalui sistim peradilan pidana militer
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
tenang Peradilan Militer (Toetik Rahayuningsih, 2002: 3).
a) Kompetensi Pengadilan Militer
Kompetensi absolut peradilan militer dijelaskan Pasal 9
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Pada pokoknya menyatakan:
(1) Mengadili Tindak Pidana Militer
Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang
pada waktu melakukan adalah:
(a) Prajurit;
(b) Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan
prajurit;
(c) Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau
yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit
berdasarkan undang-undang;
(d) Seseorang yang tidak termasuk prajurit atau yang ber-
dasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit
atau anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau
yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit ber-
dasarkan undang-undang; tetapi atas keputusan Panglima
dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh
suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
(2) Tata Usaha Militer.
Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Angkatan Bersenjata. Wewenang ini berada pada Pengadilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama dan
Pengadilan Militer Utama sebagai pengadilan tingkat banding
(3) Peradilan militer juga memiliki kompetensi absolut untuk
menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara
pidana bersangkutan atas permintaan dari pihak dirugikan
sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang
menjadi dasar dakwaan dan sekaligus memutus kedua perkara
tersebut dalam satu putusan.
Kompetensi relatif merupakan kewenangan pengadilan
sejenis untuk memeriksa suatu perkara. Menurut Pasal 10 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer :
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili tindak
pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 1 yang:
(1) Tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau
(2) Terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di daerah
hukumnya. Pasal 11 menegaskan : “Apabila lebih dari 1 (satu)
pengadilan berkuasa mengadili suatu perkara dengan syarat-
syarat yang sama kuatnya, pengadilan yang menerima perkara
itu lebih dulu harus mengadili perkara tersebut”.
b) Susunan Peradilan Militer
Susunan peradilan dalam lingkungan peradilan militer
dijelaskan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer terdiri dari Pengadilan Militer; Pengadilan
Militer Tinggi; Pengadilan Militer Utama dan Pengadilan Militer
Pertempuran.
Kekuasaan Pengadilan Militer dijelaskan dalam Pasal 40
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Pengadilan Militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama
perkara pidana yang terdakwanya adalah:
(1) Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
(2) Mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b
dan huruf c yang terdakwanya ‘ termasuk tingkat kepangkatan’
Kapten ke bawah; dan
(3) Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili
oleh Pengadilan Militer“.
Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi diatur dalam Pasal 41
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
pada tingkat pertama:
(1) Memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya
adalah;
(a) Prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat Mayor ke
atas;
(b) Mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1
huruf b dan huruf c yang terdakwanya atau salah satu
terdakwanya ‘termasuk tingkat kepangkatan’ Mayor ke
atas; dan
(c) Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus
diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi.
(2) Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Angkatan Bersenjata.
(3) Pengadilan Militer Tinggi memeriksa dan memutus pada
tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh
Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan
banding.
(4) Pengadilan Militer Tinggi memutus pada tingkat pertama dan
terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan
Militer dalam daerah hukumnya “.
Kekuasaan Pengadilan Militer Utama telah diatur dalam
Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer. Pasal 42 menjelaskan: “Pengadilan
Militer Utama memutus pada tingkat banding perkara pidana dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang telah diputus pada
tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi yang dimintakan
banding”.
Pasal 43 ayat (1) menjelaskan bahwa Pengadilan Militer
Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa
tentang wewenang mengadili:
(1) Antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum
Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan;
(2) Antar Pengadilan Militer Tinggi; dan
(3) Antar Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.
Pasal 43 ayat (2) menjelaskan bahwa Sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terjadi apabila 2 (dua) pengadilan atau
lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara yang
sama dan apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya
tidak berwenang mengadili perkara yang sama.
Pasal 43 ayat (3) menjelaskan bahwa Pengadilan Militer
Utama memutus perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah
Perkara dan Oditur tentang diajukan atau tidaknya suatu perkara
kepada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”.
Di samping itu, Pengadilan Militer Utama mempunyai fungsi
pengawasan yang diatur Pasal 44 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, pada pokoknya
Penyelenggaraan peradilan baik Pengadilan Militer; Pengadilan
Militer Tinggi; dan Pengadilan Militer Pertempuran.
Tingkah laku dan perbuatan para hakim dalam menjalankan
tugasnya : Untuk itu Pengadilan Militer Utama berwenang meminta
keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis
peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan
Pengadilan Militer Pertempuran. Kemudian memberi petunjuk,
teguran atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer
Pertempuran tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa
dan memutus perkara. Selanjutnya, Pengadilan Militer Utama juga
berfungsi untuk meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi,
peninjauan kembali dan grasi kepada Mahkamah Agung.
Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran diamanatkan
dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer adalah:
“Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus
pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan
oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di
daerah pertempuran”.
.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Kopda S, seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di
Akmil Magelang melakukan tindakan pidana desersi atau melarikan diri dari
tugasnya sebagai Tentara Nasional Indonesia, tetapi hal tersebut tidak
membuatnya bebas dari tanggung jawab hukum atas perbuatannya tersebut.
Walaupun terdakwa melarikan diri dan belum ditemukan tetapi penegakan
hukum terhadap terdakwa tidak serta merta dihentikan, dan bahkan kasus
terdakwa terdakwa bisa disidang secara in absentia atau persidangan yang tanpa
dihadiri terdakwa, yang tentu saja berbeda dari peradilan biasa yang lazimnya
dihadiri oleh terdakwa. Pelaksanaan penegakan hukum dan pelaksanaan peradilan
Kopda S
Tindak Pidana Desersi
Peradilan in absentia
Penegakan Hukum (Putusan Nomor : 08–K
/ PM II – 11 / AD / I /2011
Argumentasi Yuridis Peradilan In Absentia
Hambatan penegakan hukum dan in absentia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
in absentia ini bisa dilaksanakan karena telah diatur di dalam UU Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Pelaksanaan penegakan hukum dan pelaksanaan peradilan in absenia
walaupun telah diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
tetapi dalam pelaksanaannya masih ditemui berbagai hambatan dan kendala
karena di dalam prakteknya proses penyidikan dan persidangan di Pengadilan
Militer tidak dihadiri oleh terdakwa, sehingga sulit untuk mendapatkan fakta-fakta
atas tindak pidana desersi tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Identitas pelaku :
Nama lengkap : S
Pangkat / NRP : Kopda / 31970335291177
Jabatan : Tabancuk I regu SMR Tonban Kima Dedemlat
Kesatuan : Akmil Magelang
Tempat, tanggal lahir : Purworejo, 22 Nopember 1977
Jenis kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat tempat tinggal : Jl. Irian nomor 53, Panca Arga III komplek AKMIL
Desa Banyurojo, Kecamatan Mertoyudan,
Kabupaten Magelang.
2. Kasus Posisi
Terdakwa pada waktu - waktu dan tempat - tempat dibawah ini , ialah
sejak tanggal 16 April 2010 sampai dengan tanggal 27 Agustus 2010, atau
setidak - tidaknya pada waktu – waktu lain dalam bulan April sampai dengan
bulan Agustus tahun 2100 di Markas Akademi Militer Magelang atau setidak -
tidaknya di suatu tempat yang termasuk daerah hukum Pengadilan Militer II -
11 Yogyakarta telah melakukan tindak pidana :
”Militer, yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidak
hadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari ”
Yang dilakukan dengan cara - cara sebagai berikut :
Kopda S pada tanggal 16 April 2010 tidak melaksanakan apel pagi dan
selanjutnya petugas piket melakukan pengecekan ke rumah Kopda S tetapi
dari istrinya diperoleh keterangan bahwa Kopda S tidak berada di rumah dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
isterinya tidak mengetahui keberadaan Kopda S. Menurut keterangan dari
saksi I Sertu T. Siyo, saksi II Serda Suwisno dan saksi III Kopda Sukardi
bahwa yang menyebabkan Terdakwa meninggalkan dinas tanpa ijin
Komandan Kesatuan atau Atasan lain yang berwenang karena adanya
permasalahan rumah tangga yang tidak harmonis.
Ketika diketahui bahwa Kopda S telah meninggalkan kesatuan tanpa
ijin, maka Kesatuan berupaya melakukan pencarian terhadap Terdakwa di
tempat rekan – rekan yang se ring dikunjungi, dirumah orang tuanya dan
dirumah mertuanya yang beralamat di Desa Kalijambe Kab. Purworejo tetapi
Terdakwa tidak diketahui keberadaannya selanjutnya Kesatuan Dendemlat
Akmil melaporkan ke Komando atas yaitu Gubernur Akmil.
Dengan demikian Terdakwa telah meninggalkan Kesatuan tanpa ijin
Komandan Kesatuan atau Atasan lain yang berwenang sejak tanggal 16 April
2010 sampai dengan perkara Terdakwa dilapor kan di Subdenpom IV/2 - 1
Magelang pada tanggal 27 Agustus 2010 atau selama 134 ( seratus tiga puluh
empat ) hari atau lebih lama dari 30 ( tiga puluh ) hari secara berturut - turut.
Selama Terdakwa meninggalkan dinas tanpa ijin dari Kesatuan atau Atasan
lain yang berwenang , Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan
damai atau tidak dinyatakan dalam keadaan darurat perang oleh pejabat yang
berwenang dan Terdakwa maupun Kesatuan terdakwa tidak sedang
dipersiapkan tugas operasi militer.
3. Dakwaan
Menurut oditur pada pokoknya Terdakwa didakwa sebagai berikut :
Terdakwa pada waktu - waktu dan tempat - tempat dibawah ini , ialah sejak
tanggal enam belas bulan April tahun 2010 sampai dengan tanggal dua puluh
tujuh bulan Agustus 2010 , atau setidak - tidaknya pada waktu – waktu lain
dalam bulan April sampai dengan bulan Agustus tahun 2010 di Markas
Akademi Militer Magelang atau setidak - tidaknya disuatu tempat yang
termasuk daerah hukum Pengadilan Militer II - 11 Yogyakarta telah
melakukan tindak pidana :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
”Militer, yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidak
hadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari”
Yang dilakukan dengan cara - cara sebagai berikut :
a) Bahwa Terdakwa adalah Prajurit TNI AD aktif yang berdinas di Tonban
Kima Dendemlat Akmil Magelang, dengan pangkat Kopda dan sampai
dengan sekarang belum ada keputusan diberhentikan dari dinas militer
oleh pejabat yang berwenang.
b) Bahwa Terdakwa pada tanggal 16 April 2010 tidak melaksanakan apel
pagi, selanjutnya petugas piket melakukan pengecekan dirumahnya tetapi
dan dari istrinya diperoleh keterangan bahwa Terdakwa tidak berada
dirumah dan isterinya tidak mengetahui keberadaan Terdakwa.
c) Bahwa yang menyebabkan Terdakwa meninggalkan dinas tanpa ijin
Komandan Kesatuan atau Atasan lain yang berwenang karena adanya
permasalahan rumah tangga yang tidak harmonis.
d) Bahwa dari Kesatuan telah berupaya melakukan pencarian terhadap
Terdakwa ditempat rekan-rekan yang sering dikunjungi, dirumah
orangtuanya dan dirumah mertuanya yang beralamat di Desa Kalijambe
Kab. Purworejo tetapi Terdakwa tidak diketahui keberadaannya
selanjutnya Kesatuan Dendemlat Akmil melaporkan ke Komando atas.
e) Bahwa selama Terdakwa meninggalkan dinas tanpa ijin dari Komandan
Satuan atau Atasan lain yang berwenang, Terdakwa tidak pernah
memberitahu tentang keberadaannya kepada Kesatuan baik melalui
telepon maupun melalui surat.
f) Bahwa dengan demikian Terdakwa telah meninggalkan Kesatuan tanpa
ijin Komandan Kesatuan atau Atasan lain yang berwenang sejak tanggal
16 April 2010 sampai dengan perkara Terdakwa dilaporkan di Subdenpom
IV/2 - 1 Magelang pada tanggal 27 Agustus 2010 atau selama 134 (
seratus tiga puluh empat ) hari atau lebih lama dari 30 ( tiga puluh ) hari
secara berturut - turut.
g) Bahwa selama Terdakwa meninggalkan dinas tanpa ijin dari Kesatuan atau
Atasan lain yang berwenang, Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
keadaan damai atau tidak dinyatakan dalam keadaan darurat perang oleh
pejabat yang berwenang dan Terdakwa maupun Kesatuan terdakwa tidak
sedang dipersiapkan tugas operasi militer.
Berpendapat : Bahwa perbuatan Terdakwa tersebut telah cukup
memenuhi unsur - unsur tindak pidana sebaga imana dirumuskan dan diancam
dengan pidana yang tercantum dalam Pasal 87 (1 ) ke - 2 yo (2 ) KUHPM.
4. Pemeriksaan Saksi
Saksi-saksi yang dihadapkan dipersidangan menerangkan sebagai
berikut :
a) Saksi - I :
Nama lengkap : T. SIYO.
Pangkat / Nrp. : Sertu / 3920657690872.
Jabatan : Bamin Kima Dendemlat.
Kesatuan : Akmil Magelang
Tempat, tanggal lahir : Wonosobo , 1 Agustus 1972.
Jenis Kelamin : Laki - laki.
Kewarganegaraan : Indonesia.
Agama : Islam.
Alamat tempat tinggal : Jl . Jawa No. 70 Panca Arga III Komplek Akmil,
Desa Banyurojo, Kec. Mertoyudan, Kab. Magelang.
Pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :
(1) Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa sejak 1 Juli 2003, semenjak
Terdakwa masuk menjadi anggota Dendemlat Akmil dalam
hubungan antara Atasan dengan bawahan dan tidak ada hubungan
keluarga.
(2) Bahwa Saksi mengetahui Terdakwa meninggalkan kesatuan tanpa
ijin sejak tanggal 16 April 2010 pada waktu apel selanjutnya petugas
piket melakukan pengecekan ke rumah Terdakwa , dan dari isterinya
diperoleh keterangan kalau Terdakwa tidak berada dirumah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
(3) Bahwa penyebab Terdakwa tidak masuk dinas tanpa ijin Komandan
Kesatuannya karena adanya permasalahan kehidupan rumah
tangganya yang tidak harmonis.
(4) Bahwa dari Kesatuan sudah berusaha untuk mencari Terdakwa di
rumah orang tuanya maupun dirumah mertuanya di Ds. Kalijambe
Kab. Purworejo namun Terdakwa tidak berhasil diketemukan.
(5) Bahwa selama Terdakwa tidak masuk dinas tanpa ijin Komandan
Kesatuannya, Negara Kesatuan republik Indonesia dalam keadaan
damai dan Terdakwa tidak sedang disiapkan untuk tugas opersi.
b) Saksi – II :
Nama lengkap : SUWISNO.
Pangkat / Nrp. : Serda / 31930847401271.
Jabatan : Danru SMR Tonban Kima Dendemlat.
Kesatuan : Akmil Magelang
Tempat, tanggal lahir : Pemalang, 02 Desember 1971.
Jenis Kelamin : Laki - laki.
Kewarganegaraan : Indonesia.
Agama : Islam.
Alamat tempat tinggal : Jl. Belitung No. 19 Panca Arga III Komplek
Akmil Desa Banyurojo, Kec. Mertoyudan, Kab. Magelang.
Pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :
(1) Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa sekitar tahun 2003 sejak
Terdakwa masuk menjadi anggota Dendemlat Akmil pindahan dari
Kopasus dalam hubungan antara atasan dengan bawahan dan tidak
ada hubungan keluarga.
(2) Bahwa Saksi mengetahui Terdakwa telah meninggalkan Kesatuan
tanpa ijin dari Komandan Kesatuannya sejak tanggal 16 April 2010
dan selaku Danru Saksi berusaha mencari keberadaan Terdakwa.
Menurut keterangan dari istrinya Terdakwa tidak berada dirumah
dan hingga sekarang belum kembali ke Kesatuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
(3) Bahwa Saksi mengetahui yang menyebabkan Terdakwa tidak masuk
dinas tanpa ijin Komandan Kesatuannya karena ada persoalan dalam
rumah tangganya yang tidak harmonis.
(4) Bahwa selama Terdakwa meninggalkan Kesatuan tanpa ijin dari
Komandan Kesatuannya Terdakwa tidak memberitahukan
keberadaannya kepada Kesatuan maupun rekan-rekan yang lain baik
melalui surat maupun melalui telepon.
(5) Bahwa dari Kesatuan sudah berusaha untuk mencari Terdakwa di
rumah orangtuanya dan di rumah mertuanya di Ds. Kalijambe Kab.
Purworejo, namun Terdakwa tidak diketemukan.
(6) Bahwa selama Terdakwa tidak masuk dinas tanpa ijin Komandan
Kesatuannya, Negara Kesatuan republik Indonesia dalam keadaan
damai dan Terdakwa tidak sedang disiapkan untuk tugas operasi.
c) Saksi - III :
Nama lengkap : SUKARDI.
Pangkat / Nrp. : Kopda / 613434 .
Jabatan : Dancuk SMR Kima Dendemlat.
Kesatuan : Akmil Magelang
Tempat, tanggal lahir : Magelang, 05 Mei 1967.
Jenis Kelamin : Laki - laki.
Kewarganegaraan : Indonesia.
Agama : Islam.
Alamat tempat tinggal : Jl . Lingga No. 05 Panca Arga III Kab.
Magelang.
Pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :
(1) Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa sejak bulan Juli tahun 2003,
sejak Terdakwa masuk menjadi anggota Dendemlat Akmil pindahan
dari Kopasus dalam hubungan antara atasan dengan bawahan dan
tidak ada hubungan keluarga.
(2) Bahwa saksi mengetahui Terdakwa meninggalkan Kesatuan sejak
tanggal 16 April 2010 pada saat apel pagi Terdakwa tidak mengikuti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
kegiatan apel pagi, selanjutnya piket melakukan pencarian di rumah
Terdakwa dan dari istrinya diperoleh keterangan bahwa Terdakwa
tidak ada di rumah dan tidak mengetahui keberadaannya.
(3) Bahwa Saksi mengetahui Terdakwa meninggalkan kesatuan tidak
dilengkapi dengan surat jalan dan tidak membawa barang inventaris
kantor dan sampai sekarang Terdakwa belum kembali ke Kesatuan.
(4) Bahwa penyebab Terdakwa tidak masuk dinas tanpa ijin Komandan
Kesatuannya karena adanya permasalahan kehidupan rumah
tangganya yang tidak harmonis.
(5) Bahwa dari Kesatuan sudah berusaha untuk melakukan pencarian di
rumah orangtuanya dan di rumah mertuanya di Ds. Kalijambe Kab.
Purworejo, namun Terdakwa tidak berhasil diketemukan.
(6) Bahwa selama Terdakwa tidak masuk dinas tanpa ijin Komandan
Kesatuannya, Negara Kesatuan republik Indonesia dalam keadaan
damai dan Terdakwa tidak sedang disiapkan untuk tugas operasi.
5. Tuntutan
Tuntutan Pidana (Requisitoir) Oditur Militer yang diajukan kepada
Majelis yang pada pokoknya Oditur Militer menyatakan Bahwa Terdakwa
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana :
”Militer yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan
ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari”
Sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana menurut pasal : 87
ayat (1 ) ke - 2 yo (2 ) KUHPM. dan oleh karenanya Oditur Militer mohon
agar Terdakwa dijatuhi pidana :
- Pidana Pokok : Penjara selama 13 ( tiga belas ) bulan
- Pidana tambahan : Dipecat dari dinas Militer.
Menetapkan barang bukti berupa :
a) Surat - surat :
- 5 ( lima ) lembar absensi Dendemlat Akademi Militer atas nama
Terdakwa Kopda S Nrp. 31970335291177 pada bulan April 2010
sampai dengan bulan Agustus 2010.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
b) Barang- barang : Nihil.
Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa dalam perkara ini
sebesar Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah).
6. Putusan
Berikut putusan yang dijatuhkan kepada Kopda S :
M E N G A D I L I
a) Menyatakan Terdakwa tersebut diatas bernama : S, Kopda Nrp.
31970335291177 terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana : ”Desersi dalam waktu damai ”
b) Memidana Terdakwa oleh karena itu dengan :
(1) Pidana Pokok : Penjara selama 1 ( satu ) tahun
(2) Pidana Tambahan : Dipecat dari dinas TNI AD
c) Menetapkan barang - barang bukti berupa :
Surat - surat :
- 5 ( lima ) lembar absensi Dendemlat Akademi Militer atas nama
Terdakwa Kopda S Nrp. 31970335291177 pada bulan April 2010 sampai
dengan bulan Agustus 2010 tetap dilekatkan dalam berkas perkara.
d) Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp. 10.000,-
(sepuluh ribu rupiah).
e) Apabila Terdakwa tertangkap diperintahkan untuk ditahan.
7. Prosedur Penanganan Kasus
Adapun prosedur penanganan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh
Prajurit Tentara Nasional Indonesia adalah dimulai dari tahap Penyidikan lalu
ke tahap Penuntutan, kemudian apabila telah memenuhi syarat formal dan
syarat materil, baru dilimpahkan perkaranya ke tingkat persidangan di
Pengadilan Militer untuk diputus.
a. Tahap Penyidikan
Ketika diketahui adanya pelanggaran tindak pidana desersi di
kesatuan maka provost melakukan penyidikan awal dan melapor ke atasan
tersangka untuk ditindak lanjuti. Berdasarkan laporan dari provost tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
lalu atasan tersangka melapor ke atasan langsung atau ankum untuk
dilakukan pencarian dan penangkapan serta pelimpahan perkara dari
ankum ke POM. Setelah pencarian terhadap Kopda S yang desersi dan
tidak diketemukan maka POM melakukan pemeriksaan secara in absentia,
dengan memanggil para saksi untuk dimintai keterangannya dan
mengumpulkan barang bukti untuk penyusunan berkas perkara. Setelah
berkas perkara lengkap selanjutnya berkas perkara dilimpahkan ke Oditur
Militer dan Papera yaitu Gubernur Akmil.
b. Tahap Penuntutan
Setelah menerima berkas perkara, Papera mempelajari isi berkas
perkara serta Bapat dan pendapat hukum Oditur berupa permintaan
skeppera, skepkumlin atau skeptupra. Dalam kasus desersi yang pelakunya
tidak diketemukan maka Oditur meminta Papera untuk menerbitkan
skeppera, yang kemudian menjadi dasar bagi Oditur untuk melimpahkan
perkara ke Pengadilan militer untuk diadili .
c. Tahap Persidangan di Pengadilan Militer
Penyelesaian tindak pidana desersi di pengadilan militer dimulai
ketika oditur melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan militer melalui
Tata Usaha dan Urusan Dalam dan menyerahkan kepada Kepala
Pengadilan Militer (Kadilmil), kemudian turun kepada Kepala Panitera
(Katera) untuk di register. Katera atas perintah Kadilmil menunjuk Majelis
Hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut. Katera segera
menyiapkan Tapkim (Penetapan Hakim) dan Tapsid (Penetapan Hari
Sidang) dan segera menyiapkan Tapsid kepada Baotmil untuk dijadikan
dasar pemanggilan kepada Terdakwa maupun Saksi, untuk selanjutnya
dilaksanakan persidangan dan didapatkan putusan yang berkekuatan
hukum tetap terhadap Kopda S yang telah melakukan tindak pidana
desersi.
d. Tahap Eksekusi
Setelah putusan telah diputus oleh Pengadilan Militer maka Oditur
Militer bertindak sebagai pelaksana eksekusi terhadap terdakwa. Apabila
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
terpidana bersalah dan dihukum dengan hukuman penjara atau kurungan
maka dilaksanakan di Lembaga Permasyarakatan Militer atau di tempat
lain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
apabila terpidana dipecat dari dinas keprajuritan maka dilaksanakan di
Lembaga Pemasyarakatan Umum.
B. Pembahasan
1. Pelaksanaan Penegakan Hukum atas Tindak Pidana Desersi yang
Dilakukan Kopda S Berdasarkan Tugas Para Pihak yang Berwenang
Tentara Nasional Indonesia merupakan bagian dari masyarakat karena
pada awal terbentuknya adalah dari hasil seleksi masyarakat Indonesia yang
ingin masuk kedalam kesatuan Tentara Nasional Indonesia dan untuk
selanjutnya di didik secara militer sehingga memiliki kemampuan khusus
secara militer sebelum ditugaskan keseluruh pelosok Indonesia untuk menjaga
keamanan dan stabilitas negara.
Walaupun anggota Tentara Nasional Indonesia seolah-olah merupakan
golongan yang berbeda dari masyarakat umum, tetapi pada dasarnya Tentara
Nasional Indonesia adalah manusia yang dapat melakukan kesalahan sewaktu-
waktu, baik itu merupakan perbuatan pidana umum atau perbuatan pidana
militer, seperti peneliti paparkan dalam tabel dibawah ini.
Tabel.1
Rekapitulasi Perkara Pidana di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta
Tahun 2010-2011
NO Jenis Perkara 2010 2011
1 Desersi 22 23
2 Penganiyaan 10 5
3 Pencurian 9 6
4 THTI 9 18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
5 Kejahatan Kesusilaan 8 13
6 Menyebabkan Mati / Luka Karena
Alpa 7 7
7 Penipuan 7 10
8 Penggelapan 6 4
9 Penadahan 3 4
10 Tidak Menaati Perintah Dinas 3 1
11 Kejahatan Terhadap Asal-Usul
Perkawinan 3 1
12 KDRT 2 7
13 Pemalsuan Surat 2 2
14 Perjudian 2 3
15 Tindak Pidana Narkotika /
Psikotropika 1 5
16 Kejahatan Terhadap Nyawa 1 -
17 Pengerusakan - 3
18 Mengedarkan Uang Palsu - 1
19 Insubordinasi - 1
20 Perkara Dilimpahkan Ke Pengadilan
Militer Lain 3 -
Jumlah 95 114
Sumber : Buku Register Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta Tahun 2010 dan
2011
Dari tabel data diatas membuktikan bahwa tindak pidana yang sering
dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia adalah desersi, yaitu
melarikan diri dari tugas. Salah satu terdakwa desersi dari Pengadilan Militer
Yogyakarta adalah Kopda S yang berasal dari kesatuan Akmil Magelang.
Dalam rangka mengkaji pelaksanaan penegakan hukum terhadap
pelaku tindak pidana desersi di wilayah hukum Pengadilan Militer
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Yogyakarta, maka penulis kelompokkan pihak-pihak yang berwenang sebagai
penegak hukum dalam penyelesaian tindak pidana desersi.
a. Kesatuan
Tindak pidana desersi adalah tindak pidana militer dimana prajurit
Tentara Nasional Indonesia tersebut menarik dirinya dari pelaksanaan
kewajiban dinasnya. Banyak cara untuk menekan tindak pidana desersi di
kesatuan Tentara Nasional Indonesia, salah satunya adalah melakukan apel
prajurit tiga kali dalam sehari yang dilaksanakan saat pagi, siang dan
malam hari dan mengisi daftar absensi. Jadi prajurit Tentara Nasional
Indonesia bisa dikatakan desersi berdasarkan dari absensi prajurit tersebut.
Ketika diketahui adanya pelanggaran tindak pidana desersi di
kesatuan maka provos melakukan penyidikan awal karena provos
merupakan penyidik pembantu yang mempunyai wewenang penyidikan
terhadap tindak pidana yang terjadi di kesatuannya, kecuali dalam hal
pemberkasan dan penyerahan berkas perkara kepada Oditurat. Setelah
melakukan penyidikan awal segera mungkin provos melapor ke atasan
tersangka untuk ditindak lanjuti. Berdasarkan laporan dari provos tersebut
lalu atasan tersangka melapor ke atasan langsung atau ankum (Atasan
yang berhak menghukum) yang dalam hal ini adalah Gubernur Akmil.
Ankum mempunyai wewenang :
1) Melakukan penyidikan terhadap prajurit bawahannya yang ada di
bawah wewenang komandonya.
2) Menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari penyidik.
3) Menerima berkas perkara hasil penyidikan penyidik.
4) Melakukan penahanan terhadap tersangka anggota bawahannya yang
ada dibawah wewenang komandonya.
Berdasarkan wewenangnya tersebut maka untuk kepentingan
penyidikan ankum memberi perintah kepada bawahannya untuk dilakukan
pencarian dan penangkapan terhadap prajurit yang desersi. Setelah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
pencarian dilakukan dan prajurit tersebut tidak diketemukan maka ankum
melimpahkan perkara ke Polisi Militer (POM).
b. Denpom
Satuan POM melaksanakan tugas-tugas yang pada pokoknya
adalah membantu Panglima Tentara Nasional Indonesia dalam
menyelenggarakan dan melaksanakan fungsi kepolisian militer didalam
lingkungan Tentara Nasional Indonesia, yang meliputi :
1) Penyidikan kriminal dan penanganan fisik.
2) Penegakan hukum.
3) Penegakan disiplin dan tata tertib militer.
4) Pengurusan tahanan keadaan bahaya atau operasi militer, tawanan
perang dan interniran perang.
5) Pengawalan protokoler kenegaraan.
6) Pengendalian lalu lintas militer dan penyelenggaraan SIM Tentara
Nasional Indonesia.
Denpom sebagai penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap
suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang atau diduga sebagai Tersangka, mempunyai wewenang (Pasal
71 (ayat 1)):
1) menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya
suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana;
2) melakukan tindakan pertama pada saat dan di tempat kejadian;
3) mencari keterangan dan barang bukti;
4) menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai Tersangka dan
memeriksa tanda pengenalnya;
5) melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan
surat-surat;
6) mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
7) memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai Tersangka
atau Saksi;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
8) meminta bantuan pemeriksaan seorang ahli atau mendatangkan orang
ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
9) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Setelah pencarian dilakukan dan prajurit tersebut tidak
diketemukan maka ankum melimpahkan perkara ke Polisi Militer Tentara
Nasional Indonesia (POM TNI), berdasarkan laporan tersebut POM TNI
bertugas untuk melakukan proses penyidikan, dengan memanggil para
saksi untuk dimintai keterangannya dan mengumpulkan barang bukti yang
diperlukan guna penyidikan terhadap tindak pidana desersi yang dilakukan
Kopda S.
Seluruh rangkaian penyidikan yang dilakukan POM TNI jika telah
selesai maka hasil penyidikan tersebut dipelajari dan diolah. Apabila telah
lengkap, maka POM TNI akan membuat kelengkapan administratif
penyidikan yaitu dengan menyusun berita berkas perkara, yang isinya :
1) Berita acara pemberkasan.
2) Daftar isi berkas.
3) Resume.
4) Laporan dari Polisi / Ankum.
5) Daftar adanya tersangka.
6) Berita pemeriksaan tersangka.
7) Daftar adanya saksi.
8) Berita acara pemeriksaan saksi.
9) Berita acara penyumpahan.
10) Daftar adanya barang bukti.
11) Surat-surat yang ada hubungannya dengan perkara
Apabila berkas perkara telah lengkap selanjutnya POM TNI
membuat surat pengantar berkas untuk pelimpahan berkas perkara ke
Papera yaitu Gubernur Akmil dan Oditur Militer. Surat pengantar berkas
yang diterima Oditur Militer selanjutnya disertai dengan penyerahan
barang bukti kepada kekuasaan Oditur Militer.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
c. Oditur Militer
Ketentuan umum Undang-Undang No.31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer, menyatakan yang dimaksud dengan Oditurat Militer
adalah badan di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang
melakukan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan
penyidikan berdasarkan pelimpahan dari Panglima Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia.
Menurut Pasal 49 Undang-Undang No.31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer, oditurat terdiri dari :
1) Oditurat Militer
2) Oditurat Militer Tinggi
3) Oditurat Jenderal
4) Oditurat Militer Pertempuran
Pelaksanaan penegakan hukum oditur dimulai ketika Denpom
melimpahkan berkas perkara kepada Oditur. Berkas perkara yang
dilimpahkan Denpom ke oditur akan dipelajari, selanjutnya diolah oleh
oditur, apakah berkas tersebut sudah lengkap syarat-syarat formal dan
materiilnya.
Berkas perkara yang kurang lengkap baik syarat formal ataupun
materiilnya, ada dua langkah yang ditempuh oditur. Pertama, berkas
perkara tersebut dikembalikan ke POM TNI untuk dilengkapi karena
masih banyak kelemahan dakwaan. Kedua, Oditur dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sesuai dengan tugas dan wewenangnya.
Pemeriksaan dilakukan dengan meminta keterangan saksi-saksi dan
menggali informasi yang mungkin tidak ditanyakan POM TNI,
melengkapi barang bukti yang telah ada dengan barang bukti lain dan
meminta keterangan ahli jika diperlukan. Terhadap berkas perkara desersi
yang tersangkanya tidak diketemukan, Berita Acara Pemeriksaan
tersangka bukan merupakan syarat kelengkapan berkas.
Setelah berkas perkara lengkap baik syarat formal dan materiilnya,
maka oditur sudah berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut telah terbukti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
dan nyata-nyata dilakukan maka oditur segera membuat SPH ( saran
pendapat hukum) dan bapat ( berita acara pendapat) untuk diserahkan
kepada papera. Menurut Pasal 125 KUHPM isi dari bapat sendiri yang
diberikan kepada Papera ada 3 yaitu:
a. Menyerahkan ke Pengadilan Militer.
b. Menutup Perkara demi kepentingan hukum, dan
c. Menyelesaikan secara hukum disiplin.
Dengan pertimbangan hukum bahwa perbuatan desersi yang
dilakukan tersangka adalah perbuatan pidana militer yang telah mencoreng
dan merusak citra Tentara Nasional Indonesia maka oditur meminta
papera untuk menerbitkan Skeppera ( surat keputusan penyerahan perkara)
untuk melimpahkan perkara ke pengadilan untuk dapat diadili.
Penyerahan perkara oleh Perwira Penyerah Perkara dilaksanakan
oleh Oditur dengan melimpahkan berkas perkara kepada Pengadilan yang
berwenang dengan disertai surat dakwaan.
Oditur membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda-tangani
serta berisi:
1) nama lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan,
tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan,
agama, dan tempat tinggal Terdakwa;
2) uraian fakta secara cermat, jelas, dan lengkap, mengenai tindak pidana
yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak
pidana itu dilakukan.
d. Pengadilan Militer Yogyakarta
Pengadilan militer adalah badan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi pengadilan
militer, pengadilan militer tinggi, pengadilan militer utama dan pengadilan
militer pertempuran.
Penyelesaian tindak pidana desersi yang dilakukan Kopda S
dimulai ketika berkas perkara itu dilimpahkan dari oditur militer kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
pengadilan militer Yogyakarta. Berkas perkara yang diserahkan kepada
pengadilan militer dilengkapi berkas pemeriksaan pendahuluan dan berkas
perkara penyidikan (jika ada), yang antara lain terdiri atas :
1) Berita acara pemeriksaan
2) Berita acara pendapat (bapat) oditur
3) Daftar barang bukti
4) Surat-surat lain yang terlampir sebagai alat bukti
5) Bapat oditur
6) Surat Pendapat Hukum (SPH) Kepala Oditur
7) Surat keputusan penyerahan perkara (Skeppera)
8) Surat dakwaan oditur
9) Barang-barang bukti dalam perkara.
Setelah berkas perkara dilimpahkan, tata usaha membuat disposisi
kepada Kepala Pengadilan Militer (Kadilmil), kemudian turun kepada
Kepala Panitera (Katera). Kepala Panitera akan mempelajari syarat formil
dan materiilnya, jika lengkap Kepala Panitera meregister perkara untuk
mendapatkan nomor perkara, selanjutnya merencanakan rensik (rencana
sidang). Selanjutnya Kepala Pengadilan membuat penetapan penunjukan
hakim yang terdiri atas hakim ketua dan dua hakim anggota. Hakim yang
ditunjuk lalu membuat penetapan hari sidang, yang juga menjadi dasar
bagi Oditur untuk membuat pemanggilan kepada terdakwa dan para saksi.
Penyelesaian tindak pidana desersi yang dilakukan anggota Tentara
Nasional Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer terdiri dari tahap-tahap sebagai berikut :
1) Persiapan Sidang
Dalam hal pengadilan berpendapat bahwa suatu perkara
termasuk ke dalam wewenangnya, Kepala Pengadilan Militer akan
menunjuk majelis hakim yang akan menyidangkan perkara. Hakim
ketua yang telah ditunjuk sesudah mempelajari berkas perkara tindak
pidana Desersi Kopda S segera menetapkan hari sidang dan
memerintahkan oditur memanggil terdakwa dan dan saksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
2) Penahanan
Terdakwa melakukan tindak pidana desersi dan sampai hari
sidang belum diketemukan, sehingga terdakwa tidak dalam penahanan.
3) Pemanggilan
Berdasarkan penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 136 ayat (2), Oditur mengeluarkan surat panggilan kepada
Terdakwa dan Saksi yang memuat hari, tanggal, waktu, tempat sidang,
dan untuk perkara apa mereka dipanggil. Surat panggilan harus sudah
diterima oleh Terdakwa atau Saksi paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
sidang dimulai.
Pasal 140 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1997, pemanggilan
untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah, apabila
disampaikan dengan surat panggilan kepada :
a. Terdakwa atau saksi prajurit melalui ankum atau atasan
langsungnya yang selanjutnya ia wajib memerintahkan terdakwa
atau saksi untuk menghadap ke pengadilan.
b. Terdakwa dan/atau saksi prajurit berada dalam tahanan karena
perkara lain melalui pejabat yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan penahanan tersebut.
c. Terdakwa dan/atau saksi orang sipil langsung kepada yang
bersangkutan di tempat tinggalnya atau tempat kediaman terakhir
atau apabila terdakwa dan/atau saksi sedang tidak ada di tempat
tinggalnya.
d. Terdakwa dan/atau Saksi orang sipil yang berada dalam tahanan
karena perkara lain, melalui instansi yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan penahanan dan atas izin pejabat yang memerintahkan
penahanan tersebut.
4) Pemeriksaan dan Pembuktian
Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua membuka sidang
dan menyatakan sidang perkara Desersi atas terdakwa Kopda S
terbuka untuk umum. Hakim Ketua memerintahkan supaya Terdakwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
dipanggil masuk ke ruang sidang, dan dihadapkan dengan pengawalan
tetapi dalam keadaan bebas.
Kopda S yang melakukan tindak pidana desersi sampai hari
pertama sidang dan sampai panggilan ketiganya belum diketemukan,
karena itu sesuai Pasal 143 KUHPM perkara tindak pidana desersi
yang terdakwanya melarikan diri dan tidak diketemukan lagi dalam
waktu 6 (enam) bulan berturut-turut serta sudah diupayakan
pemanggilan 3 (tiga) kali berturut-turut secara sah, tetapi tidak hadir di
sidang tanpa suatu alasan, dapat dilakukan pemeriksaan dan diputus
tanpa hadirnya terdakwa atau in absentia.
Hakim Ketua memerintahkan Oditur supaya membacakan surat
dakwaan dengan berdiri. Setelah pembacaan dakwaan selesai,
dilaksanakan pemeriksaan saksi-saksi. Hakim Ketua menanyakan
kepada Saksi tentang nama lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat,
jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin,
kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal, selanjutnya apakah ia
kenal dengan Terdakwa sebelum Terdakwa melakukan perbuatan yang
menjadi dasar dakwaan dan sebelum memberi keterangan saksi-saksi
wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-
masing bahwa ia akan memberi keterangan yang sebenarnya dan tidak
lain daripada yang sebenarnya.
Selanjutnya, hakim Ketua memperlihatkan segala barang bukti
kepada saksi dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal barang
bukti serta menanyakan sangkut pautnya barang bukti dengan perkara
untuk memperjelas tentang peristiwanya. Pertanyaan yang menjerat
serta mempengaruhi atau bertentangan dengan kehormatan prajurit
tidak boleh diajukan.
Menurut Pasal 172 UU Nomor 37 Tahun 1997, alat bukti yang
sah ialah:
a) keterangan saksi;
b) keterangan ahli;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
c) keterangan terdakwa;
d) surat; dan
e) petunjuk.
Barang bukti yang diajukan ke pengadilan dalam perkara
tindak pidana desersi Kopda S adalah 5 ( lima ) lembar absensi
Dendemlat Akademi Militer atas nama Terdakwa Kopda S Nrp.
31970335291177 pada bulan April 2010 sampai dengan bulan Agustus
2010.
Surat sebagai alat bukti yang sah, apabila dibuat diatas sumpah
jabatan atau yang dikuatkan sumpah, berupa :
a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya,
yang memuat tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat
atau dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas
tentang keterangan itu.
b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya.
5) Penuntutan
Sesudah pemeriksaan dinyatakan selesai, Oditur mengajukan
tuntutan pidana. Terhadap tuntutan yang telah dibacakan oditur,
Terdakwa atau Penasehat Hukum mengajukan pembelaannya yang
dapat dijawab oleh Oditur, dengan ketentuan bahwa Terdakwa atau
Penasihat Hukum selalu mendapat giliran terakhir. Dalam perkara ini
Kopda S melakukan tindak pidana desersi dan belum diketemukan,
sehingga tidak ada pengajuan pembelaan dari terdakwa atau penasehat
hukumnya.
6) Musyawarah dan Putusan
Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup, Hakim mengadakan
musyawarah secara tertutup dan rahasia. Musyawarah harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam
pemeriksaan di sidang.
Putusan Pengadilan terhadap tindak pidana desersi yang
dilakukan Kopda S dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga dan
Pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, Pengadilan menjatuhkan pidana.
Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, apabila Terdakwa tidak
ditahan, dapat memerintahkan supaya Terdakwa tersebut ditahan
setelah terdakwa diketemukan.
Akhir dari penyelesaian pelaksanaan penegakan hukum atas
tindak pidana desersi yang dilakukan Kopda S adalah salinan putusan
pengadilan diberikan kepada perwira penyerah perkara, oditur, polisi
militer, dan atasan yang berhak menghukum, sedangkan bagi terdakwa
diberikan atas permintaan.
2. Argumentasi Yuridis dalam Pelaksanaan Peradilan in Absentia Bagi
Terdakwa Kopda S dalam Kasus Nomor : 08–K / PM II – 11 / AD / I
/2011
Kasus desersi Kopda S harus disidangkan secara in absentia karena :
a. Memberi kepastian hukum terhadap anggota Tentara Nasional Indonesia
yang melakukan tindak pidana
Dalam pasal 1 ayat (42) UU nomor 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer disebutkan bahwa Prajurit Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia yang selanjutnya disebut Prajurit adalah warga negara yang
memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk
mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang
senjata, rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan
nasional serta tunduk kepada hukum militer. Berdasarkan ayat tersebut
maka setiap prajurit Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
pidana, baik itu tindak pidana umum atau tindak pidana militer haruslah
diadili.
Dalam kasus ini, Kopda S secara sengaja telah melakukan tindak
pidana desersi, yang mana. hal ini telah melanggar Sapta Marga dan
Sumpah Prajurit yang diucapkan saat dilantik menjadi anggota Tentara
Nasional Indonesia, yang mana isi dari Sapta Marga dan Sumpah Prajurit
tersebut adalah :
SAPTA MARGA
1. Kami Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan
Pancasila.
2. Kami Patriot Indonesia, pendukung serta pembela ideology Negara
yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah.
3. Kami Kesatria Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan.
4. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, adalah Bhayangkari Negara
dan Bangsa Indonesia.
5. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, memegang teguh disiplin,
patuh dan taat kepada Pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan
kehormatan Prajurit.
6. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, mengutamakan
keprerwiraan di dalam melaksanakan tugas, serta senantiasa siap sedia
berbakti kepada Negara dan Bangsa.
7. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, setia dan menempati janji
serta Sumpah Prajurit.
SUMPAH PRAJURIT
Demi Allah saya bersumpah/berjanji :
1. Bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Bahwa saya akan tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin
keprajuritan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
3. Bahwa saya akan taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah
atau putusan.
4. Bahwa saya akan menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa
tanggung jawab kepada Tentara dan Negara Republik Indonesia.
5. Bahwa saya akan memegang segala rahasia Tentara sekeras-kerasnya.
Oleh karena itu untuk memberi kepastian hukum dan memberi efek
jera kepada prajurit Tentara Nasional Indonesia yang lain, dan meskipun
Kopda S belum diketemukan sampai diadakan persidangan maka kasus
tindak pidana desersi ini tidak bisa dihentikan dan harus tetap
dilaksanakan walaupun secara in absentia, untuk memberi kepastian
hukum terhadap terdakwa seperti tertulis dalam Pasal 141 ayat (10)
Undang-undang No. 31 tahun 1997, “Dalam perkara desersi yang
Terdakwanya tidak diketemukan pemeriksaan dilaksanakan tanpa hadirnya
Terdakwa”..
b. Terdakwa telah desersi lebih dari 6 (enam) bulan dan telah tiga kali
dipanggil berturut-turut secara sah
Kehadiran terdakwa dalam pemeriksaan di sidang pengadilan
merupakan hal yang sangat penting. Tetapi terhadap kasus tindak pidana
desersi yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia Pasal 143
undang-undang No. 31 tahun 1997 menyatakan lain, yaitu :
“Perkara tindak pidana desersi sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Militer, yang Terdakwanya melarikan diri
dan tidak diketemukan lagi dalam waktu 6 (enam) bulan berturut-turut
serta sudah diupayakan pemanggilan 3 (tiga) kali berturut-turut secara sah,
tetapi tidak hadir di sidang tanpa suatu alasan, dapat dilakukan
pemeriksaan dan diputus tanpa hadirnya Terdakwa.”
Terdakwa yang dalam jangka waktu 6 (enam) bulan secara
berturut-turut melakukan tindak pidana desersi dan tidak diketemukan
tetapi hal itu tidak menghentikan penyidikan dan pengajuan kasus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
terdakwa ke pengadilan militer. Tenggang waktu 6 (enam) bulan tersebut
dihitung mulai tanggal pelimpahan berkas perkaranya ke pengadilan.
Selanjutnya untuk membuktikan kebenaran bahwa benar Terdakwa
sudah tidak diketemukan lagi, harus dikuatkan dengan surat keterangan
dari Komandan Kesatuannya. Dalam hal kasus terdakwa diajukan dan
diterima pengadilan maka sebelum sidang pertama dimulai dilakukan
pemanggilan secara sah terhadap terdakwa untuk datang di persidangan,
jika pada sidang pertama terdakwa tidak hadir maka sidang ditunda untuk
sidang kedua dan dilakukan pemanggilan secara sah kepada terdakwa
untuk hadir dalam persidangan kedua. Apabila dalam saat sidang kedua
dimiulai dan terdakwa tidak hadir lagi, maka pengadilan militer memberi
kesempatan sekali lagi kepada terdakwa dengan melakukan pemanggilan
secara sah untuk datang pada sidang ketiga. Apabila sidang ketiga dimulai
dan terdakwa tidak hadir maka Hakim melaksanakan sidang itu secara in
absentia atau tanpa kehadiran terdakwa.
3. Hambatan yang Dihadapi dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum Tindak
Pidana Desersi dan Pelaksanaan Peradilan in Absentia
Tindak desersi merupakan salah satu tindak pidana yang sering
dilakukan anggota Tentara Nasional Indonesia, yaitu prajurit Tentara Nasional
Indonesia tersebut menarik diri dari melaksanakan kewajiban dinasnya. Hal
ini tentu saja sangat mengganggu stabilitas pertahanan dan keamanan negara,
karena tugas seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia adalah menjaga
pertahanan dan keamanan negara. Oleh karena tugas yang sangat penting
tersebut maka terhadap prajurit Tentara Nasional Indonesia yang melakukan
tindak pidana desersi maka harus diadakan penegakan hukum atau diadili.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap terdakwa prajurit
Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana desersi kadang
para pihak yang berwenang mendapat beberapa hambatan-hambatan, antara
lain :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
a. Hambatan pelaksanaan penegakan hukum
1) Faktor personal
Tindak pidana desersi mencerminkan betapa buruknya mental
prajurit Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana
desersi, karena tindakan tersebut melanggar sumpah prajurit yang
diucapkannya sebelum dilantik menjadi anggota Tentara Nasional
Indonesia dan buruknya kesadaran untuk menjaga stabilitas pertahanan
dan keamanan negara.
Bagaimanapun juga anggota Tentara Nasional Indonesia yang
melakukan desersi sudah pasti tidak betah untuk kembali bekerja
dalam lingkup Tentara Nasional Indonesia. Banyak hal yang
mempengaruhi prajurit Tentara Nasional Indonesia melakukan tindak
pidana desersi, antara lain adalah :
a) Masalah rumah tangga yang tidak harmonis
b) Masalah hutang
c) Melakukan tindak pidana
d) Gaji yang diberikan kurang, sehingga perlu mencari penghasilan
tambahan
e) Takut kepada senior
f) Dan faktor-faktor lain.
2) Pencarian terdakwa
Pencarian terdakwa yang telah meralikan diri dari dinas atau
desersi tentunya memerlukan peranan dari Kesatuan, Ankum, Oditur
Militer dan Polisi Militer (POM) untuk menemukannya agar dapat
disidangkan dalam persidangkan, seperti yang sudah dilakukan
Kesatuan Akmil Magelang berusaha untuk mencari Terdakwa di
rumah orang tuanya maupun dirumah mertuanya di Ds. Kalijambe
Kab. Purworejo namun Terdakwa tidak berhasil diketemukan.
Dalam pencarian anggota Tentara Nasional Indonesia yang
desersi tersebut tidak mudah dan memerlukan dana, karena anggota
Tentara Nasional Indonesia yang desersi tersebut belum tentu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
melarikan diri di suatu tempat yang mudah ditemukan dan mungkin
ada di seluruh wilayah Indonesia. Jadi untuk menemukannya Oditur
membuat Berita Pencarian Orang (BPO) yang diserahkan kepada PM
diseluruh wilayah militer atau bila perlu diseluruh wilayah indonesia.
Untuk kepentingan seperti itu biasanya memerlukan dana yang tidak
sedikit, dan kesatuan tidak memiliki dana yang di alokasikan untuk hal
tersebut sehingga hal ini sangat membebani kesatuan.
3) Struktur Kesatuan Komando Tentara Nasional Indonesia
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa di lingkungan Tentara
Nasional Indonesia dikenal adanya struktur komando yang mengatur
perilaku atau tata kehidupan militer atau lembaga-lembaga militer,
sehingga diharapkan lembaga-lembaga militer atau anggota Tentara
Nasional Indonesia untuk dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya
sesuai dengan struktur dan jalur komando sesuai yang telah diatur
dalam Undang-Undang. Oleh karena struktur komando tersebut,
sehingga tidak dapat serta merta dilakukan penyidikan, dan harus
dikoordinasikan dengan Ankum atau Papera.
Terkadang ada kasus yang mana Ankum/ paperanya berasal
dari Kodam yang berbeda dengan Denpom yang melakukan
penyidikan. Hal ini akan sangat merugikan Denpom karena proses
penyidikan menjadi lama karena terkadang Ankum dari kesatuan
tersangka/ saksi tidak bersedia menyerahkan anggotanya.
Berlarut-larutnya penyelesaian penyelesaian perbuatan pidana
ini akan sangat merugikan denpom karena target untuk melakukan
proses penyidikan terganggu dan memperlamban dalam penegakan
hukum terhadap tersangka sehingga perkara menjadi terbengkalai.
b. Hambatan pelaksanaan peradilan in absentia
1) Hadirnya terdakwa dipengadilan
Hadirnya terdakwa dalam pemeriksaan perkara pidana disidang
pengadilan merupakan hal yang sangat penting, sebagaimana telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa “Pengadilan
memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara pidana dengan
hadirnya terdakwa, kecuali Undang-Undang menentukan lain.”
Prinsip hadirnya terdakwa di sidang pengadilan diatur pula
dalam ketentuan Pasal 1 sub 26 UU Nomor 37 Tahun 1997, bahwa
“Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan
diadili di sidang Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau
Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.”
Berdasarkan ketentuan tersebut maka Pengadilan harus
menunggu dan memberi kesempatan kepada terdakwa desersi untuk
hadir di pengadilan, tetapi tentu saja Pengadilan tidak bisa selamanya
menunggu untuk itu, maka diaturlah Pasal 143 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun1997 yang berbunyi “Perkara tindak pidana desersi
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Militer, yang Terdakwanya melarikan diri dan tidak diketemukan lagi
dalam waktu 6 (enam) bulan berturut-turut serta sudah diupayakan
pemanggilan 3 (tiga) kali berturut-turut secara sah, tetapi tidak hadir di
sidang tanpa suatu alasan, dapat dilakukan pemeriksaan dan diputus
tanpa hadirnya Terdakwa.”
Tenggang waktu 6 (enam) bulan tersebut dihitung mulai
tanggal pelimpahan berkas perkaranya ke pengadilan. Selanjutnya
untuk membuktikan kebenaran bahwa benar Terdakwa sudah tidak
diketemukan lagi, harus dikuatkan dengan surat keterangan dari
Komandan Kesatuannya.
Syarat dalam waktu 6 (enam) bulan menurut Letnan Kolonel
Slamet Sarwo Edy S.H., M.H merupakan salah satu penghambat dalam
proses pemeriksaan di pengadilan karena waktu 6 (enam) bulan dirasa
terlalu lama dalam pemeriksaannya yang mengakibatkan pengadilan
menunggu selama waktu tersebut baru perkara yang sudah
dilimpahkan ke pengadilan dapat diperiksa dan disidangkan secara in
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
absentia. Karena menunda-nunda keadilan, sama dengan meniadakan
keadilan itu sendiri (justice delayed is justice denied).
2) Pemanggilan saksi dalam pemeriksaan persidangan
Pemanggilan saksi dalam pemeriksaan persidangan kadang bisa
menjadi penghambat dalam pelaksanaan peradilan in absentia. Bisa
saja jika pada saat sidang pertama saksi hadir tetapi sidang ditunda dan
dilanjutkan sidang yang akan datang, mungkin saja di sidang yang
akan datang saksi tidak bisa hadir karena ada tugas kantor atau hal
lain. Mungkin juga saksi tidak bisa datang sekaligus sehingga
pemeriksaan saksi untuk mengungkap fakta dan kejadian tentang
tindak pidana desersi tidak bisa diselesaikan dalam satu (1) kali sidang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan penegakan hukum atas tindak pidana desersi yang dilakukan
Kopda S berdasarkan para pihak yang berwenang
a. Kesatuan
Ketika diketahui adanya pelanggaran tindak pidana desersi di kesatuan
maka provos melakukan penyidikan awal. Setelah melakukan
penyidikan awal segera mungkin provos melapor ke atasan tersangka
untuk ditindak lanjuti. Berdasarkan laporan dari provos tersebut lalu
atasan tersangka melapor ke atasan langsung atau ankum (Atasan yang
berhak menghukum) yang dalam hal ini adalah Gubernur Akmil. untuk
kepentingan penyidikan ankum memberi perintah kepada bawahannya
untuk dilakukan pencarian dan penangkapan terhadap prajurit yang
desersi. Setelah pencarian dilakukan dan prajurit tersebut tidak
diketemukan maka ankum melimpahkan perkara ke Polisi Militer
(POM).
b. Denpom
Berdasarkan laporan Ankum tersebut POM TNI bertugas untuk
melakukan proses penyidikan, dengan memanggil para saksi untuk
dimintai keterangannya dan mengumpulkan barang bukti yang
diperlukan guna penyidikan terhadap tindak pidana desersi yang
dilakukan Kopda S. Setelah semua data lengkap, maka POM TNI akan
membuat kelengkapan administratif penyidikan yaitu dengan menyusun
berita berkas perkara, selanjutnya POM TNI membuat surat pengantar
berkas untuk pelimpahan berkas perkara ke Papera yaitu Gubernur
Akmil dan Oditur Militer. Surat pengantar berkas yang diterima Oditur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Militer selanjutnya disertai dengan penyerahan barang bukti kepada
kekuasaan Oditur Militer.
c. Oditur Militer
Berkas perkara yang dilimpahkan Denpom ke oditur akan dipelajari,
selanjutnya diolah oleh oditur, apakah berkas tersebut sudah lengkap
syarat-syarat formal dan materiilnya. Setelah berkas perkara lengkap
baik syarat formal dan materiilnya, maka oditur sudah berkeyakinan
bahwa perbuatan tersebut telah terbukti dan nyata-nyata dilakukan
maka oditur segera membuat SPH ( saran pendapat hukum) dan bapat (
berita acara pendapat) untuk diserahkan kepada papera. Penyerahan
perkara oleh Perwira Penyerah Perkara (papera) dilaksanakan oleh
Oditur dengan melimpahkan berkas perkara kepada Pengadilan yang
berwenang dengan disertai surat dakwaan.
d. Pengadilan Militer Yogyakarta
Berkas perkara itu dilimpahkan dari oditur militer kepada pengadilan
militer Yogyakarta. Setelah berkas perkara dilimpahkan, tata usaha
membuat disposisi kepada Kepala Pengadilan Militer (Kadilmil),
kemudian turun kepada Kepala Panitera (Katera). Kepala Panitera akan
mempelajari syarat formil dan materiilnya, jika lengkap Kepala Panitera
meregister perkara untuk mendapatkan nomor perkara, selanjutnya
merencanakan rensik (rencana sidang). Selanjutnya Kepala Pengadilan
membuat penetapan penunjukan hakim yang terdiri atas hakim ketua
dan dua hakim anggota. Hakim yang ditunjuk lalu membuat penetapan
hari sidang, yang juga menjadi dasar bagi Oditur untuk membuat
pemanggilan kepada terdakwa dan para saksi
2. Argumentasi yuridis dalam pelaksanaan peradilan in absentia bagi
terdakwa Kopda S dalam kasus Nomor : 08 – K / PM II – 11 / AD / I /
2011
a. Memberi kepastian hukum terhadap anggota Tentara Nasional
Indonesia yang melakukan tindak pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Persidangan kasus tindak pidana desersi tidak bisa dihentikan dan
harus tetap dilaksanakan walaupun secara in absentia, untuk memberi
kepastian hukum terhadap terdakwa seperti tersirat dalam Pasal 141
ayat (10) Undang-undang No. 31 Tahun 1997.
b. Terdakwa telah desersi lebih dari 6 (enam) bulan dan telah tiga kali
dipanggil berturut-turut secara sah
Pasal 143 undang-undang No. 31 Tahun 1997 secara tersirat
menyatakan bahwa terhadap Terdakwa yag melarikan diri dan tidak
diketemukan lagi dalam waktu 6 (enam) bulan berturut-turut serta
sudah diupayakan pemanggilan 3 (tiga) kali berturut-turut secara sah,
tetapi tidak hadir di sidang tanpa suatu alasan, dapat dilakukan
pemeriksaan dan diputus tanpa hadirnya Terdakwa. Tenggang waktu 6
(enam) bulan tersebut dihitung mulai tanggal pelimpahan berkas
perkaranya ke pengadilan.
3. Hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan penegakan hukum tindak
pidana desersi dan pelaksanaan peradilan in absentia
a. Hambatan pelaksanaan penegakan hukum
Faktor yang menjadi penghambat penegakan hukum dalam tindak
pidana disersi yakni faktor personal, faktor pencarian terdakwa dan
struktur kesatuan komando Tentara Nasional Indonesia.
b. Hambatan pelaksanaan peradilan in absentia
Yang menjadi penghambat pelaksanaan peradilan in absentia yaitu
hadirnya terdakwa dipengadilan dan pemanggilan saksi dalam
pemeriksaan persidangan.
B. Saran
1. Seluruh anggota TNI perlu diberikan pendidikan hukum sejak menempuh
pendidikan sampai menjadi anggota TNI karena dilapangan banyak
anggota TNI yang melakukan pelanggaran hukum. Kesadaran hukum akan
membuat anggota TNI dalam bertindak dan berperilaku tetap sesuai
aturan-aturan yang berlaku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
2. Bagi setiap Ankum perlu meningkatkan pembinaan personil di wilayah
komandonya, khusus memberikan pengetahuan hukum kepada jajaran
prajurit bawahan yang dapat dilakukan pada saat apel dinas, upacara
bendera, atau pada acara-acara tertentu agar jajaran prajurit bawahan lebih
sadar hukum.