Download - Daur Ulang Sampah
DAUR ULANG SAMPAH DAN
PEMBUATAN KOMPOS
Oleh : Ir Martin Darmasetiawan MSi Penerbit :
EKAMITRA ENGINEERING
Ekamitra Engineering didirikan pada tahun 1993, sebagai perusahaan nasional yang bergerak dalam bidang jasa konsultasi, perusahaan ini dikelola oleh tenaga-tenaga yang profesional dan telah terbina dalam prinsip-prinsip efisiensi yang mengutamakan kualitas .
Sejak berdirinya hingga saat ini, Ekamitra Engineering telah banyak mendapat kepercayaan baik dari instansi pemerintah maupun swasta untuk
berperan serta secara proaktif dalam penanganan bidang-bidang pekerjaan yang meliputi perencanaan, manajemen, dan pelatihan peningkatan
sumberdaya manusia.
Dengan kemampuan manajemen yang dimilikinya Ekamitra Engineering telah mempunyai tenaga ahli yang profesional dan peralatan yang memadai sebagai penunjang dalam melayani pekerjaan yang akan
ditangani, terutama dalam bidang-bidang yang dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
• Pengembangan Kota
• Pengembangan infrastruktur kota:
• Air Minum
• Air Limbah dan Sanitasi
• Persampahan
• Drainase
• Konservasi Lingkungan
• Pemetaan
Adapun lingkup yang dikerjakan meliputi:
• Studi kelayakan
• Rekayasa dan rancang bangun
• Supervisi Konstruksi
• Bantuan teknis monitoring dan evaluasi
• Manajemen dan pelatihan
• Pengembangan sumberdaya manusia
• Sistem Informasi dan Manajemen
Alamat Keresponden:
Jl Kerinci 1/12 Jakarta Selatan
Kebayoran Baru 12120
Tilp 021 725 4302
FAX 021 725 4008
Website : http://Ekamitra.cjb.net Email: [email protected]
KATA PENGANTAR Selain dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah juga
dapat diadur ulang. Pada saat iniliteratur mengenai daur ulang
sampah yang komprehensif yang dapat dipakai sebagai panduan
dalam perencanaan maupun operasional masih terbatas. Umumnya
yang ada sebagian besar merupakan modul modul training dan
panduan operasional yang sifatnya parsial.
Oleh sebab itu kami memberanikan diri untuk merangkum literatur
dan tulisan tersebut dalam suatu buku yang lebih komprehensif dan
dapat dipakai sebagai panduan prsoses belajar, panduan untuk
perencanaan maupun untuk pelaksanaan di lapangan.
Adapun tulisan yang menjadi referensi utama dalam buku ini adalah
materi training yang dikeluarkan Departemen Kimpraswil pada tahun
1997, yang isi tujuannya adalah untuk melatih para operator
persampahan dan TPA di lapangan.
Secara garis besar buku ini berisi mengenai :
• Konsep Zero Waste
• Pembuatan Kompos
• Pengelolaan Pembuatan Kompos
• Pembiayaan Pengkomposan
Kami berharap buku ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa , praktisi
maupun halayak ramai yang ingin memahami Persampahan dan
Pengelolaannya.
Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ir Elisabet
Pasaribu dan Ir Agus Riadi yang telah membantu menyelesaikan
buku ini.
Di akhir kata, kami menyadari bahwa perangkuman ini masih jauh
dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan masukan demi
berkembangnya ilmu persampahan sangat kami harapkan.
Jakarta, Juni 2004
Ir Martin Darmasetiawan MS
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Umum
Masalah sampah sebagai hasil aktivitas manusia di daerah perkotaan
memberikan tekanan yang besar terhadap lingkungan, terutama bila
tidak sampai terangkut dan akhirnya terakumulasi di tempat-tempat
terbuka maupun badan air. Selain itu sampah yang diamankan di
TPA, ternyata tidak mampu mengamankan lingkungan sekitarnya
akibat pengelolaan yang kurang baik. Permasalahannya antara lain
adalah:
Sampah yang dibuang di TPA 60-70% adalah materi organik yang
mudah terurai. Sampah organik akan terdekomposisi dan dengan
adanya limpasan air hujan terbentuk leachate (lindi/air sampah) yang
akan mencemari sumber daya air baik air tanah maupun permukaan
sehingga mungkin saja sumur-sumur penduduk di sekitarnya ikut
tercemar.
Lindi yang terbentuk mengandung nilai BOD (Biological Oxygen
Demand = Kebutuhan Akan Oksigen Biologis) mencapai ribuan
bahkan puluhan ribu ppm. Selain itu dalam lindi juga mengandung
bibit penyakit patogen, seperti tifus, hepatitis, dan sebagainya.
2
Lindi mungkin juga mengandung logam berat, mengingat sampah
yang diamankan di TPA tersebut masih tercampur antara sampah
domestik B3 seperti batu baterai dengan sampah domestik biasa.
Proses dekomposisi yang terjadi di TPA bersifat anaerobik, sehingga
terbentuk gas-gas berbahaya seperti metan, H2S, dan gas-gas
merkaptan lainnya. Kebakaran yang sering terjadi di TPA, salah satu
pencetusnya adalah karena keberadaan gas-gas tersebut yang
kemudian disulut oleh hal-hal kecil seperti puntung rokok yang masih
menyala.
Kebakaran yang biasanya sulit untuk dipadamkan, akan meluas dan
menimbulkan asap disertai bau yang menyengat, sehingga
menyebabkan gangguan pernapasan baik petugas maupun
masyarakat sekitar.
Kepulan asap hasil pembakaran sampah harus dicermati, mengingat
kemungkinan mengandung zat berbahaya lainnya yaitu dioksin, zat
karsinogenik penyebab kanker yang merupakan hasil pembakaran
tidak sempurna dari sampah plastik.
Selain masalah-masalah teknis seperti di atas, masalah non teknis
pun menjadi kendala bagi pengelola sampah kota, antara lain:
Keterbatasan lahan, terutama bagi kota-kota raya dan besar, sering
menimbulkan masalah, karena itu sampah harus dibuang ke wilayah
tetangga.
3
Masalah kebersihan belum menjadi program prioritas di daerah. Hal
ini berdampak pada alokasi biaya kebersihan yang masih sangat
terbatas.
Masyarakat masih belum memahami bahwa masalah kebersihan
adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah dengan
masyarakat.
Hukum dan peraturan perundang-undangan belum dilaksanakan atau
ditegakkan.
1.2. Paradigma Pengelolaan Sampah
Semua permasalahan di atas terjadi akibat hampir semua pemerintah
daerah di Indonesia, masih menganut paradigma lama pengelolaan
sampah kota, yang menitikberatkan hanya pada pengangkutan dan
pembuangan akhir. TPA dengan sistem lahan urug saniter (sanitary
landfill) yang ramah lingkungan, ternyata tidak ramah dalam aspek
pembiayaan, karena membutuhkan biaya yang tinggi untuk investasi,
konstruksi, operasi dan pemeliharaan.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, sudah saatnya
pemerintah daerah mau merubah pola pikir yang lebih bernuansa
lingkungan. Konsep pengelolaan sampah yang terpadu sudah
waktunya diterapkan, yaitu dengan meminimasi sampah serta
maksimasi kegiatan daur-ulang dan pengomposan disertai dengan
TPA yang ramah lingkungan. Paradigma baru yang diharapkan dapat
mulai dilaksanakan adalah dari orientasi pembuangan sampah ke
4
orientasi daur-ulang dan pengomposan. Melalui paradigma baru ini
pengelolaan sampah tidak lagi merupakan satu rangkaian yang
hanya berakhir di TPA (one-way street), tetapi lebih merupakan satu
siklus yang sejalan dengan konsep ekologi. Energi baru yang
dihasilkan dari hasil penguraian sampah maupun proses daur-ulang
lainnya tidak hilang percuma. Berdasarkan perhitungan Direktorat
Bintek-Dept. PU (1999), bila konsep pengelolaan sampah terpadu
dengan strategi 3-M (mengurangi, menggunakan kembali, mendaur-
ulang) dilaksanakan, maka sampah yang akan masuk ke TPA berupa
residu hanya sebesar 15%. Sampah yang dapat dikomposkan ±
40%, didaur-ulang (20%), dan dibakar dengan menggunakan
insinerator 25%. Gambar 1 di bawah ini menunjukkan paradigma
lama pengelolaan sampah.
GAMBAR 1.1. PARADIGMA LAMA PENGELOLAAN SAMPAH
Sumber Sampah
Pewadahan
Pengumpulan
dan Pemindahan
Pengangkutan
Pembuangan Akhir
5
Keberhasilan penerapan paradigma baru ini dapat tercapai tentu
melalui koordinasi yang baik dengan instansi terkait seperti Dinas
Pertamanan, Dinas Pasar, Bapedalda, Kelurahan, dsb. Masyarakat
tentu saja harus terlibat aktif, misalnya dalam kegiatan pemilahan dan
pengumpulan sampah di sumber.
GAMBAR 1.2. PARADIGMA BARU PENGELOLAAN SAMPAH
Sumber Sampah
Pewadahan pemilahan
dan pengolahan di rumah tangga
: kompos,
daur-ulang
Pengumpulan, Pemindahan, pengolahan
skala kawasan:
Pengangkuta
Pembuangan Akhir
Pengolahan: -Daur-ulang -Kompos -Pembakaran -Pemadatan
6
1.3. MINIMASI SAMPAH
Minimasi limbah/sampah adalah upaya untuk mengurangi volume,
konsentrasi, toksisitas, dan tingkat bahaya limbah yang berasal dari
proses produksi dengan reduksi dari sumber dan/atau pemanfaatan
limbah.
Pada dasarnya minimasi limbah/sampah merupakan bagian dari
pengelolaan limbah dan dapat mengurangi penyebaran limbah di
lingkungan, meningkatkan efisiensi produksi dan dapat memberikan
keuntungan ekonomi, antara lain:
a. Mengurangi biaya pengangkutan ke pembuangan akhir;
b. Mengurangi biaya pembuangan akhir;
c. Meningkatkan pendapatan karena penjualan dan
pemanfaatan limbah.
Usaha minimisasi limbah di Indonesia telah dimulai di sektor industri
pada tahun 1995 dengan membuat suatu komitmen nasional dalam
penerapan strategi produksi bersih dalam proses industri. Walaupun
demikian usaha serupa belum dimulai di sektor domestik/rumah
tangga dan baru terbatas pada kegiatan pengumpulan dan sedikit
daur-ulang.
Salah satu bagian dari minimasi limbah yang perlu diperhatikan
adalah limbah atau sampah padat yang dihasilkan dari pengemasan
(packaging) karena jumlah yang dihasilkan akan semakin meningkat
7
di masa mendatang. Upaya minimisasi limbah padat rumah tangga
antara lain melalui kegiatan daur-ulang dan produksi kompos.
Sangat disayangkan bahwa Pemerintah Daerah belum memiliki
komitmen yang kuat mengenai minimisasi limbah rumah tangga.
Komitmen ini sudah seharusnya dituangkan dalam kebijaksanaan
Pemda dan diperkuat dengan peraturan daerah. Di tingkat Pusat
kegiatan 3-M (Mengurangi, Menggunakan kembali, Mendaur-ulang)
sudah dibakukan melalui kebijaksanaan, strategi dan dijabarkan
dalam pelaksanaan kegiatan yang lebih konkrit. Pelaksanaan
kegiatan tersebut antara lain berupa pemberian paket bantuan proyek
perintisan UDPK (Usaha Daur-ulang dan Produksi Kompos) di 50
kota Dati II di Indonesia. Petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan dan
tata cara tentang kegiatan 3-M sudah disusun dan disebarluaskan
melalui diseminasi-diseminasi oleh Ditjen Cipta Karya Dept. PU.
Tetapi harapan untuk dapat merangsang Pemda melakukan kegiatan
pengomposan dan daur-ulang sehingga dapat mengefisienkan biaya
pengelolaan sampah kota ternyata belum dapat tercapai.
1.4. Penanganan Sampah 3-M
Penanganan sampah 3-M adalah konsep penanganan sampah
dengan cara mengurangi (M1), menggunakan kembali (M2), dan
mendaur-ulang sampah (M3) mulai dari sumbernya (Dit, Bintek
DJCK, 1999). Penanganan sampah 3-M sangat penting untuk
dilaksanakan dalam rangka pengelolaan sampah padat perkotaan
yang efisien dan efektif sehingga diharapkan dapat mengurangi biaya
pengelolaan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
8
Berdasarkan perhitungan di atas kertas, bila sampah kota dapat
ditangani melalui konsep 3-M, maka sampah yang akan sampai di
TPA hanya ± 20% saja. Hal itu berarti akan sangat mengurangi biaya
pengangkutan dan pembuangan akhir. Penanganan sampah 3-M
akan lebih baik lagi bila dipadukan dengan siklus produksi dari suatu
barang yang akan dikonsumsi.
Gambar 2.3. Potensi 3-M Dalam Pengelolaan Sampah (Bintek DJCK,1999)
Langkah-langkah pengerjaan penanganan sampah 3-M dapat
disesuaikan dengan sumber penghasil sampah, seperti daerah
perumahan, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan daerah komersial.
SAMPAH 100 %
Sampah Anorganik
± 28% B3
± 2% Sampah Organik
± 70%
Pemanfaatan Lain ±
2%
Pengomposan
± 38% Residu ± 30%
Residu ± 8%
Daur-ulang
± 20%
Pembakaran
± 25% Residu
± 4%
Residu
± 2,5%
TPA
± 5% ± 10%
9
Tabel 1,2, dan 3 berikut menjelaskan tentang upaya penanganan
sampah 3-M di beberapa sumber sampah.
Tabel 2.1. Upaya 3-M di Daerah Perumahan dan Fasilitas
Sosial
Penanganan
3-M
Cara Pengerjaan
M-1
� Hindari pemakaian dan pembelian produk yang
menghasilkan sampah dalam jumlah besar � Gunakan produk yang dapat diisi ulang � Kurangi penggunaan bahan sekali pakai � Jual atau berikan sampah yang telah terpilah kepada pihak
yang memerlukan.
M-2
� Gunakan kembali wadah/kemasan untuk fungsi yang sama
atau fungsi lainnya � Gunakan wadah/kantong yang dapat digunakan berulang-
ulang. � Gunakan baterai yang dapat diisi kembali.
M-3
� Pilih produk dan kemasan yang dapat didaur-ulang dan
mudah terurai � Lakukan penanganan untuk sampah organik menjadi
kompos dengan berbagai cara yang telah ada (sesuai ketentuan) atau manfaatkan sesuai dengan kreatifitas masing-masing.
� Lakukan penanganan sampah anorganik menjadi barang yang bermanfaat.
10
Tabel 2.2. Upaya 3-M di Fasilitas Umum
Penanganan
3-M
Cara Pengerjaan
M-1
� Gunakan kedua sisi kertas untuk penulisan dan fotokopi. � Gunakan alat tulis yang dapat diisi kembali. � Sediakan jaringan informasi dengan komputer (tanpa
kertas) � Maksimumkan penggunaan alat-alat penyimpan elektronik
yang dapat dihapus dan ditulis kembali. � Khusus untuk rumah sakit, gunakan insinerator untuk
sampah medis. � Gunakan produk yang dapat diisi ulang. � Kurangi penggunaan bahan sekali pakai.
M-2
� Gunakan alat kantor yang dapat digunakan berulang-
ulang. � Gunakan peralatan penyimpan elektronik yang dapat
dihapus dan ditulis kembali.
M-3
� Olah sampah kertas menjadi kertas kembali. � Olah sampah organik menjadi kompos.
11
Tabel 2.3. Upaya 3-M di Daerah Komersial (Pasar, Pertokoan, Restoran, Hotel) Penanganan
3-M
Cara Pengerjaan
M-1
� Berikan insentif oleh produsen bagi pembeli yang mengembalikan kemasan yang dapat digunakan kembali.
� Berikan tambahan biaya bagi pembeli yang meminta kemasan/bungkusan untuk produk yang dibelinya.
� Memberikan kemasan/bungkusan hanya pada produk yang benar-benar memerlukannya.
� Sediakan produk yang kemasannya tidak menghasilkan sampah dalam jumlah besar.
� Kenakan biaya tambahan untuk permintaan kantong plastik belanjaan.
� Jual atau berikan sampah yang telah terpilah kepada yang memerlukannya.
M-2
� Gunakan kembali sampah yang masih dapat dimanfaatkan untuk produk lain, seperti pakan ternak.
� Berikan insentif bagi konsumen yang membawa wadah sendiri, atau wadah belanjaan yang diproduksi oleh swalayan yang bersangkutan sebagai bukti pelanggan setia.
� Sediakan perlengkapan untuk pengisian kembali produk umum isi ulang (minyak, minuman ringan).
M-3
� Jual produk-produk hasil daur-ulang sampah dengan lebih menarik.
� Berilah insentif kepada masyarakat yang membeli barang hasil daur-ulang sampah.
� Olah kembali buangan dari proses yang dilakukan sehingga bermanfaat bagi proses lainnya,
� Lakukan penanganan sampah organik menjadi kompos atau memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan.
� Lakukan penanganan sampah anorganik.
12
1.5. Daur-Ulang dan Pengomposan
Secara garis besar, sampah dapat dibagi menjadi dua golongan,
yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik dapat
terurai secara alamiah karena banyak berasal dari sisa daun-daunan,
buah-buahan, sayuran, dan sisa makanan lainnya. Sementara itu
sampah anorganik berasal dari bahan sintetis yang sukar terurai.
Kedua golongan sampah mempunyai potensi yang tinggi untuk
didaur-ulang. Sampah organik didaur-ulang menjadi kompos, dan
sampah anorganik didaur-ulang dalam proses selanjutnya pada
industri daur-ulang.
Daur-ulang menggunakan prinsip 2-M dari 3-M yang ada yaitu
menggunakan kembali (reuse) dan mendaur-ulang (recycle).
1.5.1. Menggunakan Kembali
Barang-barang yang habis dipakai dan tidak bermanfaat lagi disebut
sampah. Anggapan ini berbeda bila benda-benda yang dianggap
sampah karena sifat dan karakteristiknya dapat dimanfaatkan
kembali tanpa melalui proses produksi. Sebagai contoh: berbagai
jenis botol, perabotan rumah tangga, dan lainnya yang sudah tidak
terpakai lagi. Melalui proses pencucian, perbaikan, maupun sedikit
penggantian, benda-benda tersebut dapat digunakan kembali seperti
semula. Dengan demikian fungsi benda-benda tersebut sebagai
sampah menjadi tertunda. Sehingga pada saat itu jumlah sampah
13
akan berkurang sebesar jumlah benda yang dapat dimanfaatkan
kembali.
1.5.2. Mendaur-ulang
Sampah didaur-ulang (recycled) untuk dijadikan bahan baku industri
(raw material) dalam proses produksi (reprocessing dan
remanufacture). Dalam proses ini, sampah sudah mengalami
perubahan baik bentuk maupun fungsinya. Sebagai contoh sampah
plastik, karet, kertas, besi, tembaga, alumunium, dengan melalui
proses mengalami perubahan bentuk dan fungsi menjadi produk
akhir yang dapat digunakan kembali.
Kegiatan daur-ulang dan pengomposan dengan sampah perkotaan
sebagai bahan baku mempunyai banyak keuntungan dan dapat
diuraikan sebagai berikut :
1.5.3. Membantu meringankan beban pengelolaan sampa h
perkotaan.
Komposisi sampah di Indonesia sebagian besar terdiri atas sampah
organik, sekitar 50% sampai 60% dapat dikomposkan sedangkan
sampah anorganik sekitar 20% dapat didaur-ulang. Apabila hal ini
dapat direalisasikan sudah tentu dapat membantu dalam pengelolaan
sampah di perkotaan, yaitu :
� Memperpanjang umur tempat pembuangan akhir (TPA), karena
semakin banyak sampah yang dapat dikomposkan, semakin
sedikit sampah yang dikelola.
14
� Meningkatkan efisiensi biaya pengangkutan sampah, disebabkan
jumlah sampah yang diangkut ke TPA semakin berkurang.
� Meningkatkan kondisi sanitasi di perkotaan.
� Semakin banyak sampah yang dibuat kompos, diharapkan
semakin sedikit pula masalah kesehatan lingkungan masyarakat
yang timbul. Dalam proses pengomposan, panas yang dihasilkan
dapat mencapai 600C, sehingga kondisi ini dapat memusnahkan
mikroorganisme patogen yang terdapat dalam masa sampah.
a. Dari segi sosial kemasyarakatan, daur-ulang dan pengomposan
dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan
sampah kota dan meningkatkan pendapatan keluarga.
b. Daur-ulang dan pengomposan berpotensi mengurangi
pencemaran lingkungan perkotaan, karena jumlah sampah yang
dibakar atau dibuang ke sungai menjadi berkurang. Selain itu
aplikasi kompos pada lahan pertanian berarti mencegah
pencemaran karena berkurangnya kebutuhan pemakaian pupuk
buatan dan obat-obatan yang berlebihan.
c. Membantu melestarikan sumber daya alam. Pemakaian kompos
pada perkebunan akan meningkatkan kemampuan lahan kebun
dalam menahan air, sehingga lebih menghemat kandungan air.
Selain itu pemakaian humus sebagai media tanaman dapat
digantikan oleh kompos, sehingga eksploatasi humus hutan
dapat dicegah. Selain itu pemenuhan bahan baku pabrik dari
hasil pemulungan sampah menyebabkan penggunaan bahan
15
baku yang berasal dari alam menjadi berkurang dan dapat
ditekan
e. Pengomposan juga berarti menghasilkan sumber daya baru
dari sampah, yaitu kompos, yang kaya akan unsur hara mikro.
1.6. KEBIJAKSANAAN
Dalam rangka meningkatkan upaya daur-ulang dan pengomposan,
maka Pemerintah dalam Agenda 21 Indonesia mengusulkan
kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pengelolaan sampah dalam
periode 1998-2020 sebagai berikut:
1.6.1. Tahap I : 1998 – 2003
Meningkatkan komitmen pemerintah pada kegiatan daur-ulang dan
pengomposan dengan cara:
• Menetapkan daur-ulang dan pengomposan sebagai salah satu
tujuan utama dalam strategi pengelolaan limbah padat;
• Memantapkan kebijakan dan mengembangkan program proaktif
untuk kegiatan daur-ulang dan pengomposan dalam program
pengelolaan sampah nasional;
• Mengembangkan program daur-ulang untuk kemasan dan
memberi perhatian khusus kepada bahan yang limbahnya menjadi
masalah yang aktual, seperti botol plastik;
• Menetapkan target nasional untuk daur-ulang dan pengomposan.
16
1. Memberi contoh perwujudan komitmen Pemerintah pada
kegiatan daur-ulang dan pengomposan dengan mendorong
instansi Pemerintah dan Badan Usaha Pemerintah untuk
menggunakan produk-produk daur-ulang/pengomposan.
2. Mengkoordinasikan dan/atau mengintegrasikan kegiatan daur-
ulang sektor informal seperti pemulung, pengusaha UDPK,
dengan sektor formal seperti Pemerintah Daerah, dan juga
Pemerintah Pusat. Kegiatan-kegiatannya dapat berupa:
• Menyebarluaskan informasi tentang manfaat kegiatan
koordinasi tersebut;
• Melakukan analisis terhadap alternatif struktur koordinasi
atau kerjasama yang sesuai;
• Melakukan pendekatan terhadap terhadap anggota DPR,
Walikota, dan lembaga terkait lannya;
• Memantapkan kriteria daur-ulang dan pengomposan
dalam penilaian kebersihan kota Nasional;
• Memperbolehkan kegiatan daur-ulang dan pengomposan
di lokasi TPS dan TPA, dan mengkoordinasikan rute
transportasi dengan lokasi daur-ulang dan pengomposan;
• Mengupayakan subsidi bagi kegiatan daur-ulang yang
didasarkan pada analisis penghematan biaya
transportasi;
• Mempertimbangkan kemungkinan subsidi oleh Pemda
untuk pembentukan badan usaha atau koperasi yang
melakukan kegiatan daur-ulang dan pengomposan.
17
3. Meneruskan pemberian dukungan secara berkelanjutan
kepada pelaku sektor informal seperti pemulung dan lapak
dengan memberikan akses pinjaman untuk pengadaan
peralatan pembuat kompos dan daur-ulang.
4. Mengembangkan program pendidikan dan penyadaran
masyarakat yang:
• Mempromosikan pemakaian produk yang menggunakan
bahan daur-ulang melalui kampanye nasional, seminar,
dan pemberitaan oleh media massa, dan;
• Menumbuhkan peran serta aktif masyarakat dalam
kegiatan daur-ulang dan pengomposan pada tingkat rumah
tangga seperti pemisahan pada sumber sampah untuk
sampah basah/organik dan sampah kering/anorganik.
5. Mengembangkan dan menerapkan strategi pemasaran yang
dapat meningkatkan jumlah pemakai kompos. Strategi ini
dapat dibedakan atas strategi untuk pemakai jumlah besar
seperti pertanian, perkebunan, pembibitan, dan sebagainya,
dan pemakai jumlah kecil seperti rumah tangga.
6. Meninjau kembali kebijakan impor limbah untuk memastikan
bahwa impor tadi tidak mengganggu industri daur-ulang lokal.
7. Melakukan penelitian untuk mengidentifikasi produk-produk
baru yang dapat dihasilkan melalui usaha daur-ulang.
18
8. Menyediakan insentif bagi konsumen yang menggunakan
produk hasil daur-ulang dan produsen yang mengemas
produknya secara minim melalui instrumen seperti subsidi,
product charge, dan deposit refund.
Program kegiatan yang diusulkan untuk dilaksanakan pada
tahun 2003– 2020 adalah sebagai berikut:
1.6.2. Tahap II : 2003 – 2020
1. Menerapkan sistem pengelolaan limbah yang mengintegrasikan
minimasi, daur-ulang dan pengomposan, pengumpulan, serta
pembuangan akhir yang akrab lingkungan.
2. Mengembangkan dan melaksanakan sistem pemisahan sampah,
bila layak secara ekonomis, yang memisahkan sampah ke dalam
beberapa kategori seperti bahan organik, gas, kertas, logam, dan
sebagainya.
3. Melanjutkan penelitian tentang pemakaian dan pemasaran produk
daur-ulang.
4. Menganalisis kelayakan ekonomi, keuangan, dan teknologi serta
menerapkannya bila layak, seperti pemisahan/pemilahan mekanik
berskala besar dan peralatan mekanik pembuatan kompos.
5. Mengevaluasi dan memperbaiki insentif dan disinsentif untuk daur
ulang dan pengomposan sampah yang diterapkan di periode
sebelumnya.
19
6. Melanjutkan dan memperbaiki program penataan dan penyuluhan
masyarakat secara berkesinambungan yang mempromosikan
pemakaian produk yang menggunakan bahan daur-ulang dan
kompos.
Menyikapi dan sebagai tindak lanjut dari Agenda 21 Indonesia, Ditjen
PUOD Depdagri mengeluarkan Draft Kep.Mendagri tentang
Pengelolaan Sampah (April 1997) yang menetapkan dasar hukum
dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam rangka pelayananan
sampah/kebersihan kota. Kepmen ini antara lain merekomendasikan
sektor informal daur-ulang sampah (SIDUS) terdiri atas pemulung,
lapak, dan bandar harus diintegrasikan ke dalam sistem pengelolaan
sampah kota dan SIDUS diperbolehkan untuk menggunakan fasilitas
kebersihan yang ada, seperti TPS-TPS yang ada.
Selain itu kerjasama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta
juga diatur dalam Kepmen ini. Prinsip utamanya adalah kerjasama
yang seimbang akan menghasilkan keuntungan yang berkualitas.
Target daur-ulang sampah kota adalah sebagai berikut:
- Daur-ulang 50% dari berat sampah sampah tahun 2000 dan 75%
sampai dengan tahun 2005.
- Pembuatan kompos diharapkan dapat mencapai 25% dari total
sampah organik sampai tahun 2000 dan 50% sampai tahun 2005.
1.7. SARANA PELAKSANAAN
Menurut Agenda 21 Indonesia, sarana pelaksanaan sangat
dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan program daur-ulang dan
20
pengomposan. Sarana-sarana tersebut meliputi aspek pendanaan,
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengembangan
sumber daya manusia, serta kelembagaan dan instrumen hukum.
1.7.1. Aspek Pendanaan
Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah melalui otonomi daerah,
maka pembiayaan dari Pemerintah Daerah sangat dibutuhkan
terutama untuk program kampanye, pemasaran, pelatihan dan
pemberian akses kepada pinjaman untuk unit pengomposan. Untuk
kegiatan daur-ulang
1.7.2. Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
• Mengembangkan teknologi tepat guna daur-ulang dan
pengomposan.
• Mengembangkan teknologi tepat guna untuk pemilahan sampah
• Mengembangkan pengetahuan mengenai ekonomi lingkungan
untuk mengetahui instrumen ekonomi dan hukum seperti apa
yang dapat mendorong pengurangan volume kemasan dan
limbah dalam proses produksi.
1.7.3. Pengembangan Sumberdaya Manusia
• Memasukkan sistem daur-ulang dan pengomposan ke dalam
program pelatihan bidang pengelolaan sampah untuk aparat
pemerintah daerah.
21
• Melakukan pelatihan yang berkaitan dengan pembiayaan,
teknologi, operasi dan pemasaran produk daur-ulang dan
pengomposan terhadap pelaku sektor informal seperti pemulung
dan lapak, masyarakat dan aparat pemda terkait.
• Mengembangkan berbagai program penyuluhan dalam usaha
mempromosikan penggunaan produk daur-ulang dan
pengomposan.
1.7.4. Kelembagaan dan Instrumen Hukum
Meningkatkan kemampuan dan peran Pemda untuk mendukung
pelaku sektor informal dan komersial, dengan cara misalnya:
- Meningkatkan koordinasi di antara aparat Pemda terkait,
sehingga dapat mengembangkan sistem koordinasi yang tepat
antara sektor formal dan informal;
- Meningkatkan pengetahuan aparat Pemda mengenai sistem
daur-ulang dan pengomposan;
- Menyediakan forum pertemuan dan diskusi antara pelaku dan
instansi terkait.
Mendukung koperasi pemulung dan LSM yang bergerak di bidang
daur-ulang dan pengomposan melalui misalnya pemberian akses
terhadap pinjaman untuk pembelian peralatan daur-ulang dan
pengomposan.
1
BAB II
PENERAPAN KONSEP ZERO WASTE DALAM PENGELOLAAN
SAMPAH PERKOTAAN
2.1. Umum
Masalah sampah perkotaan merupakan masalah yang selalu hangat
dibicarakan baik di Indonesia maupun kota – kota di dunia, karena
hampir semua kota menghadapi masalah persampahan.
Meningkatnya pembangunan kota, penambahan penduduk, tingkat
aktifitas dan tingkat sosial ekonomi masyarakat, diiringi dengan
meningkatnya jumlah timbulan sampah dari hari ke hari serta sarana
dan prasarana pemerintah yang terbatas akan menambah
permasalahan sampah yang semakin kompleks. Terlebih lagi dengan
masa krisis yang melanda Indonesia saat ini.
Dari hasil evaluasi kebersihan kota – kota di Indonesia bahwa tidak
seluruh sampah dapat diangkut oleh kendaraan pengangkut sampah
untuk dibuang ke TPA. Hal ini disebabkan masih terbatasnya sarana
dan prasarana yang dipunyai oleh Pemerintah Daerah, sehingga
pada beberapa wilayah atau kawasan masih tampak sampah
berceceran tidak terangkut yang apabila dibiarkan akan menimbulkan
berbagai dampak negatif baik dari segi lingkungan, kebersihan, dan
pada akhirnya berpengaruh pada kesehatan masyarakat. Dilain pihak
2
lahan untuk pembuangan akhir sampah di perkotaan semakin
terbatas dan semakin mahal. Dengan demikian diperlukan suatu
upaya terobosan pengelolaan sampah efektif dalam rangka
meningkatkan efesiensi dan pengurangan sampah semaksimal
mungkin melalui pemanfaatan sampah melalui teknologi pengolahan
tepat guna secara terintegrasi dan sedekat mungkin dari sumbernya.
2.2. Sampah Sebagai Limbah
Sampah sebagai sumber pencemar lingkungan apabila tidak dikelola
dengan baik akan mengakibatkan pengotoran lingkungan,
pencemaran air, tanah, tempat berkembangnya bibit penyakit,
penyumbat saluran air yang menyebabkan banjir. Selain itu sering
pula timbunan sampah merusak keindahan kota dan menimbulkan
bau yang kurang enak.
Pengertian sampah diatas, sampah dapat diartikan sebagai
limbah pada sisa aktivitas manusia/masyarakat, tidak terpakai, dapat
bersifat organik maupun anorganik; karena membahayakan
kesehatan lingkungan harus dibuang/ disingkirkan/dikelola dari
lingkungan. Dengan demikian diperlukan biaya yang tidak sedikit
untuk mengelola sampah perkotaan.
2.3. Sampah Sebagai Sumberdaya
Dilain pihak terdapat pengertian bahwa sampah merupakan potensi
sumberdaya yang dapat dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai
3
tambah sebagai produk daur ulang maupun produk baru. Dengan
demikian diharapkan dapat menghasilkan pendapatan.
Penerapan konsep zero waste dalam pengelolaan sampah
dalam hal ini mengikuti pengertian pada butir kedua yaitu
memanfaatkan sampah semaksimal mungkin dengan cara
pengolahan yang terintegrasi, sedekat mungkin dari sumber
sampah, dan dapat menghasilkan produk baru atau bahan daur
ulang dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
2.4. Komposisi dan Karakteristik Sampah
Komposisi dan karakteristik sampah merupakan hal yang terpenting
dalam memilih teknologi pengolahan sampah. Komposisi sampah
rata – rata di Indonesia mayoritas adalah organik dengan komposisi
73.98%, selanjutnya diikuti oleh bahan anorganik 26.48%.
Tabel 2.1. Komposisi dan karakteristik sampah rata – rata
No Komponen % Kadar Air
(%)
N. Kalor
(kkal/kg)
1 Organik 73.98 47.08 674.57
2 Kertas 10.18 4.97 235.55
3 Kaca 1.75
4 Plastik 7.86 2.28 555.46
5 Logam 2.04
6 Kayu 0.98 0.32 38.28
4
7 Kain 1.57 0.63 42.64
8 Karet 0.55 0.02 7.46
9 Baterai 0.29
10 Lain – lain 0.86
Total 100 55.3 1553.96
Sumber : Studi Komposisi Dan Karakteristik BPPT, 1994
Dari penelitian yang pernah dilakukan, komposisi sampah bervariasi
antara 70 – 80 %, nilai kalor sampah bervariasi antara 1000 – 2000
kkal/kg dan kadar air bervariasi antara 50 – 70 %. Dari data tersebut
maka komponen organik masih merupakan komponen terbesar dan
menyebabkan sampah kota mempunyai kadar air yang cukup tinggi.
Karakteristik sampah diatas, maka sehari saja sampah dibiarkan
menumpuk, maka akan terjadi kegiatan mikroorganisme anaerobik
yang menyebabkan sampah berbau tidak sedap. Disisi lain sampah
yang tidak terkelola dengan baik akan mengakibatkan
berkembangnya vektor penyakit.
2.5. Penerapan Teknologi Pengolhan dan Pemanfaatann ya
dalam Pengelolaan Sampah
Salah satu untuk mengurangi jumlah sampah di perkotaan dan
menunjang penerapan zero waste adalah dengan melakukan
pengolahan sampah. Saat ini pengurangan/reduksi sampah hanya
dilakukan melalui kegiatan pemulungan sampah (daur ulang) yang
secara sporadis telah dilakukan oleh sektor informal (pemulung).
Pengomposan sampah baru dilakukan dalam tahap skala kecil
melalui Unit Daur Ulang dan Produksi Kompos (UDPK) yang ada
5
umumnya terletak di TPA, sehingga merupakan beban dan tugas
yang harus dilakukan oleh Pemda untuk mengangkut sampah ke
TPA.
Program daur ulang di Indonesia yang telah dilaksanakan di
Indonesia sejak tahun 1986 baru dapat mencapai 1,8 %, kondisi ini
belum cukup untuk mengurangi laju pertumbuhan jumlah sampah
yang akan meningkat lima kalinya pada tahun 2020.
Dengan demikian penerapan teknologi pengolahan sampah sudah
waktunya untuk dimulai, sehingga sampah sisa yang harus dibuang
ke lahan pembuangan akhir hanya sedikit dan penggunaan lahan
pembuangan akhir lebih lama, selain itu pencemaran lingkungan
dapat ditekan.
Ada tiga jenis teknologi yang saat ini banyak diterapkan yaitu
teknologi pengomposan sampah, teknologi pembakaran sampah dan
teknologi daur ulang sampah.
2.5.1. Pengomposan Sampah
Pengomposan merupakan salah cara dalam mengolah bahan
padatan organik untuk menjadi kompos yang secara nasional
ketersediaan bahan organik dalam sampah kota cukup melimpah
yaitu antara 70 – 80 %. Sayangnya, sebagian besar sampah kota
belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai kompos. Pada
dasarnya pengomposan merupakan proses degradasi materi organik
menjadi stabil melalui reaksi biologis mikroorganisme dalam kondisi
6
yang terkendali. Teknologi pengomposan sampah yang dilakukan
saat ini sangat beragam ditinjau dari segi teknologi maupun kapasitas
produksinya antara lain :
− Pengomposan dengan cara aerobik,
− Pengomposan dengan cara semi aerobik,
− Pengomposan dengan reaktor cacing, dan
− Pengomposan dengan menggunakan additive.
Kompos sebenarnya mempunyai nilai pasar, akan tetapi studi BPP
Teknologi pada tahun 1990 menemukan bahwa hanya 4% dari
pedagang tanaman hias yang menjual kompos karena kompos ini
kurang populer pada masyarakat.
Kompos yang dihasilkan dari pengomposan sampah ini dapat
digunakan untuk :
− Menguatkan struktur lahan kritis;
− Menggemburkan kembali tanah pertanian;
− Menggemburkan kembali lahan pertamanan;
− Sebagai bahan penutup sampah di TPA;
− Reklamasi pantai, pasca penambangan ;
− Sebagai media tanaman, mengurangi pupuk kimia.
2.5.2. Pembakaran Sampah
7
Teknologi pembakaran sampah dalam skala besar/skala kota
dilakukan di instalasi pembakaran yang disebut juga dengan
insinerator. Dengan teknologi ini, pengurangan sampah dapat
mencapai 80 % dari sampah yang masuk, sehingga hanya sekitar
20% yang merupakan sisa pembakaran yang harus dibuang ke TPA.
Sisa pembakaran ini relatif stabil dan tidak dapat membusuk lagi,
sehingga lebih mudah penanganannya.
Keberhasilan penerapan teknologi pembakaran sampah sangat
tergantung dari sifat fisik dan kimia sampah serta kemampuan dana
maupun manajemen dari Pemerintah Daerah. Sifat fisik dan kimia
sampah yang sesuai diolah dengan teknologi ini menurut instalasi-
instalasi yang sudah beroperasi terdahulu adalah :
− Nilai kalor sampah campuran antara 950 – 2.100 kkal/kg,
− Kadar air antara 35 – 55 % dan
− Kadar abu antara 10 – 30 %.
Pemanfaatan sisa abu hasil pembakaran ini dapat digunakan
antara lain :
− Sebagai pengganti tanah penutup lahan TPA, pasca
penambangan.
− Sebagai tanah urug.
− Sebagai campuran bahan konstruksi (batako, paving block,
dsb).
8
− Sebagai campuran kompos.
2.5.3. Daur Ulang Sampah
Kegiatan daur ulang sampah sudah dimulai sejak beberapa tahun
terakhir ini yang dilakukan oleh sektor informal. Para pemungut
barang bekas yang disebut pula dengan pemulung, melaksanakan
kegiatan pemungutan sampah dihampir seluruh subsistem
pengelolaan sampah. Komponen sampah yang mempunyai nilai
tinggi untuk dimanfaatkan kembali, berdasarkan penelitian BPP
Teknologi tahun 1990, adalah sampah kertas, logam dan gelas.
Prosentase sampah tersebut (dari jumlah awal) yang diambil oleh
pemulung adalah seperti pada Tabel berikut ini :
Tabel 2.1. Prosentase Pengambilan Sampah Oleh Pemul ung
No. Komponen Sampah %
1. Kertas 71,20
2. Plastik 67,05
3. Logam 96,09
4. Gelas 85,05
Beberapa pemanfaatan sampah kering yang dapat dihasilkan dari
pengolahan sampah untuk daur ulang dan mempunyai nilai ekonomis
antara lain :
9
A. Sampah Kertas
Jenis kertas bekas serta produk daur ulang yang dapat
dihasilkan dari hasil pengolahan kertas dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
No. Jenis Kertas Bekas Sumber Produk Recycling
1. Kertas komputer dan
kertas tulis
Perkantoran,
percetakan dan
sekolah
Kertas komputer, kertas
tulis dan art paper
2. Kantong kraft Pabrik, pasar dan
pertokoan
Kertas kraft dan art
paper
3. Karton dan box Pabrik, pertokoan
dan pasar
Karton dan art paper
4. Koran, majalah dan buku Perkantoran, pasar
dan rumah tangga
Kertas koran dan art
paper
5. Kertas bekas campuran Rumah tangga,
perkantoran, LPS/
TPA dan Pertokoan
Kertas tissue, kertas
tulis kualitas rendah
dan art paper
6. Kertas pembungkus
makanan
Pertokoan, rumah
tangga dan
perkantoran
Tidak dapat di daur
ulang
7. Kertas tissue Rumah tangga,
perkantoran, rumah
makan dan
pertokoan
Kertas tissue (tetapi
sangat jarang yang
dapat didaur ulang
kembali)
Sumber : Kajian Pengelolaan Kertas, Dep. PU, DTW, 1999
10
B. Sampah Plastik
Pada umumnya sampah plastik sebagian besar dapat diolah
baik menjadi:
a. Produk baru ; alat rumah tangga seperti ember, bak tali
plastik.
b. Digunakan kembali seperti pembungkus, pot tanaman,
tempat bumbu.
c. Sebagai bahan industri daur ulang seperti pellet, biji
plastik.
C. Logam
Logam yang dihasilkan dari sampah kota dapat dimanfaatkan antara
lain :
− Digunakan kembali seperti kaleng susu.
− Dijadikan produk baru, seperti tutup botol kecap, mainan.
− Sebagai bahan tambahan atau bahan baku industri seperti
industri logam.
D. Bahan lain
Bahan lain seperti, gelas, karet mempunyai prosentase yang
cukup kecil dalam komponen sampah kecuali pada kasus
tertentu. Oleh karena itu dalam skala kecil tidak ekonomis untuk
diolah.
11
Aplikasi teknologi pengolahan sampah, sedikitnya dapat memberikan
solusi pada permasalahan kesulitan lahan untuk TPA. Akan tetapi,
ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dengan matang untuk
menerapkan teknologi diatas. Teknologi yang saat ini digunakan
untuk pengolahan sampah skala besar, baik itu pengomposan
maupun pembakaran sampah, rata-rata menggunakan teknologi
yang cukup canggih, melalui sistem mekanis/hidrolis yang bekerja
semi atau bahkan otomatis penuh. Instalasi pengolahan tersebut
biasanya memerlukan dana yang cukup besar untuk operasi maupun
investasi dan sumber daya manusia yang mempunyai keahlian
tertentu.
Beberapa pertimbangan tersebut antara lain :
− Dana yang cukup, baik untuk investasi maupun operasi instalasi
pengolahan.
− Dana untuk pengembangan dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia dari tingkat masyarakat sampai tingkat
pengelolaan kota.
− Kelembagaan yang sudah mapan termasuk didalamnya sumber
daya manusia.
− Sarana dan prasarana yang memadai sebagai pendukung
kelancaran operasi sistem pengelolaan sampah.
− Partisipasi masyarakat dalam sistem pengelolaan persampahan
termasuk didalamnya kesediaan membayar iuran sampah,
menjaga kebersihan lingkungan dan lain-lain.
− Perangkat hukum dan peraturan.
12
Secara umum penerapan teknologi pengolahan sampah
perkotaan dan pemanfaatannya dapat dilihat gambar
dibawah ini :
GAMBAR 2.1 DIAGRAM PENERAPAN TEKNOLOGI
PENGOLAHAN SAMPAH PERKOTAAN DAN PEMANFAATANNYA
SAMPAH
KOTA
ORGANIK
AN- ORGANIK
TPS
TPS
COMPOSTING
SISA
DAUR
SANITARY
GAS
KOMPOS
TEPUNG PROTEIN
GAS
SARANA REKREAS
I
BAHAN BAKU
INDUSTRI
PENAMBAHAN LUAS
DARATAN
KUALITAS AIR YANG TIDAK
ENERGI
REKLAMASI
SISA YANG
TIDAK
DAPAT
ATMOSFER
SISA YAN
G
SISA
GAS BERSIH
INSTALASI
PEMBAKARAN
Pengumpulan
Pengumpulan
Pengangkutan
Pengangkutan
13
2.6. Penerapan Zero Waste dalam Industri Daur Ulang
Sampah ( Model Kawasan 2 – 4 Ton/Hari )
Sejalan dengan Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Pembangunan
Bidang Persampahan yaitu ditekankan perlunya melakukan proses
pengurangan volume sampah dan penanganan sampah sedekat
mungkin dengan sumbernya, maka konsep ini dilakukan dengan
mendirikan industri kecil daur ulang sampah di daerah kawasan
melalui pemberdayaan masyarakat sekitar untuk diajak berperan aktif
dalam membentuk usaha daur ulang.
Pemberdayaan masyarakat dalam industri daur ulang sampah
merupakan salah satu sistem pelayanan dari, oleh dan untuk
masyarakat dengan menggunakan sistem pengolahan secara
terpadu yaitu menerapkan beberapa jenis pengolahan secara
simultan untuk menghasilkan produk maupun bahan daur ulang.
2.6.1. Teknologi Pengolahan Sampah
Sampah yang dihasilkan dari setiap sumber di kawasan tersebut
diangkut menuju ke lokasi industri, selanjutnya dilakukan pemisahan
sampah organik dan anorganik.
Proses pengolahan yang dilakukan adalah pengomposan (windrow/
vermi/additive), daur ulang kertas, plastik dan logam. Sisa bahan
yang tidak dapat didaur ulang direduksi dengan instalasi pembakaran
skala kecil. Sisa abu hasil pembakaran diproses sebagai bahan
14
konstruksi maupun campuran kompos untuk menaikkan karbon pada
produk tertentu.
Dibawah ini digambarkan material balance pengolahan sampah
secara terpadu skala kawasan dengan kapasitas 2 ton (10 m3)
sampah perhari dalam industri kecil daur ulang sampah
Gambar.2.2. Diagram sistem pengelolaan sampah skala pelayanan 1000 KK (2 ton/hari)
Pengenalan Ke Masyarakat gratis di DP
0.08 ton(4%)
Sumber sampah
Pemukiman 2 ton (100%)
Organik
1,6 ton (80%)
An-organik
0.4 ton (20%)
Dimanfaatkan
0.28 ton (14%)
Sisa daur ulang
0.12 ton (6%)
Berat hilang
0.96 ton
Sisa proses
0.24 ton (12%)
Kompos/Vcompost
0.4 ton (20%) Keperluan
Pemda, Pertanian,
Perkebunan, Komersial
0.3 ton (16%)
Instalasi Pembakaran
Sampah
0.36 ton
Camp. kompos 0.07 ton
Sisa
0.07 ton (3.5%)
Terbakar
0.29 ton
15
2.6.2. Produk yang dihasilkan
Produk yang dihasilkan industri kecil daur ulang sampah skala
kawasan dengan kapasitas 10 m3 sampah adalah :
A. Kompos/ Vermi Compost 0,4 ton/hari atau 12 ton/bln.
1. Bahan daur ulang 0,28 ton/hari atau 84 ton/bln yang terdiri dari
kertas karton, biji plastik dan logam.
2. Cacing tanah sebagai reaktor sampah.
B. Kemana Produk Akan Diserap
Untuk menampung dan memasarkan produk daur ulang dan cacing
tanah dari industri kecil tersebut antara lain :
− Industri dapat memasarkan sendiri produknya.
− Terdapatnya lembaga penyangga produk daur ulang yang
bertugas untuk mengembangkan dan mengatur, menampung dan
menyalurkan hasil produk daur ulang dengan menyusun jaringan
pemasaran nasional dan internasional. Lembaga penyangga
dalam hal ini dapat berbentuk koperasi atau forum komunikasi
yang dapat mengakomodasi antara produk dan permintaan
pasar, serta salah satu pemberi masukan ke Pemerintah guna
menunjang keberhasilan dalam bidang kebersihan lingkungan,
dan pemberdayaan masyarakat kecil menengah dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
16
C. Lokasi Industri Kecil Daur Ulang Sampah
Wilayah kegiatan penerapan zero waste dapat dilakukan di setiap
kawasan pelayanan sampah seperti permukiman, komersial, industri,
perkantoran dan pasar.
Besar kecilnya kapasitas produksi industri kecil daur ulang sampah
tergantung pada luas lahan dan kondisi setempat yang terdapat di
kawasan tersebut. Pada umumnya untuk satu depo sampah yang
telah disediakan oleh Pemda adalah 250 – 500 m2 untuk melayani
5000 – 8000 jiwa (1000 KK) dengan kapasitas sampah masuk adalah
10 – 20 m3 perhari.
Industri kecil daur ulang sampah daerah kawasan ini akan melakukan
pengolahan sampah dengan kapasitas tampung minimal 10 m3/hari
dengan kebutuhan lahan minimal 400 m2 per modul.
D. Organisasi
Organisasi pengelola industri kecil ini terdiri dari Pemda, masyarakat
dan pemulung yang berada di depo tersebut.
Dalam satu industri daur ulang terdiri dari :
• 1 orang kepala unit
• 4 orang bidang teknik
17
• 1 orang administrasi dan keuangan
• 4 orang tenaga lepas/pemulung (disesuaikan)
E. Pendanaan
Untuk menjalankan industri kecil daur ulang sampah ini dana yang
didapat meliputi :
1. Dana investasi awal berasal antara lain Pemda, swasta, koperasi
maupun dari sumber lain.
2. Dana untuk menjalankan industri daur ulang yang secara bergulir
dapat dikembangkan dapat berasal dari iuran kebersihan warga
yang telah berjalan, sebagian dana penghematan operasional
Pemda, hasil penjualan produk daur ulang bahan anorganik,
kompos/kacing (vermicompost) dan cacing.
Beberapa keuntungan dan kendala dalam penerapan industri kecil
dalam pengolahan sampah terpadu model kawasan antara lain :
Keuntungan :
1. Mengatasi permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh
sampah kota.
2. Mengurangi beban Pemda dalam penanganan sampah kota.
18
3. Melakukan pengolahan sampah kota untuk diolah menjadi produk
yang mempunyai nilai jual.
4. Mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA.
5. Menciptakan usaha pengolahan sampah dalam suatu industri
kecil daur ulang dan kompos.
Kendala yang dihadapi :
1. Kurang populernya kompos di masyarakat menyebabkan kompos
sebagai produk utama merupakan faktor yang perlu
diperhitungkan dalam tujuan komersial.
2. Telah terdapatnya mata rantai penjualan bahan daur ulang
anorganik hasil pemulung.
2.7. Kesimpulan
Dari uraian singkat diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
− Masalah pembuangan sampah sudah merupakan masalah yang
cukup pelik bagi Pemerintah Daerah, terutama dalam penyediaan
lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
− Aplikasi beberapa jenis teknologi pengolahan sampah secara
terpadu seperti pengomposan dan pembakaran dapat
mengurangi kebutuhan lahan TPA dan efisiensi pengangkutan
sampah.
− Penerapan industri kecil daur ulang merupakan salah satu
alternatif penciptaan produk dari sampah perkotaan yang dapat
19
dikembangkan menjadi usaha komersial yang dapat dilakukan
oleh masyarakat maupun swasta dalam rangka meningkatkan
pendapatan masyarakat.
− Dengan belum populernya kompos pada masyarakat, sistem
pengolahan terpadu dapat menjembatani dengan
mendistribusikan sebagian kompos kemasyarakat.
1
BAB III
PEMILAHAN SAMPAH PERKOTAAN
3.1. Umum
Pemilahan sampah adalah langkah yang sangat penting dalam
proses pembuatan kompos. Tujuan utamanya adalah untuk
memperoleh bahan baku atau material sampah yang baik untuk
dibuat kompos. Keuntungan dari pemilahan yang baik adalah proses
pembuatan kompos dapat berlangsung lebih cepat, karena bahan
yang terpilih untuk pengomposan sesuai dengan kondisi yang ideal,
sehingga dengan sendirinya kualitas komposnyapun menjadi lebih
baik.
Apabila dalam suatu tumpukan bahan yang akan dikomposkan
mengandung bahan berbahaya seperti obat-obatan kadaluarsa,
bahan kimia, logam berat, dan sebagainya yang dapat membunuh
jasad renik pengurai, maka proses pembuatan kompos tidak dapat
berjalan dengan baik bahkan dapat terhenti sama sekali. Kompos
yang dihasilkan, apabila ada, mungkin sudah tercemar, sehingga
kualitasnya menjadi rendah atau tidak dapat digunakan karena dapat
membahayakan lingkungan termasuk manusia. Selain bahan atau
material sampah yang berbahaya, sampah organik yang berserat
tinggi seperti batang pohon, pelepah pisang, kulit durian,
tempurung/sabut kelapa, dan sebagainya dapat menghambat proses
2
pengomposan karena keras dan sukar terurai. Sampah jenis ini
digolongkan ke dalam sampah residu.
Untuk mendapatkan proses dan hasil pengomposan yang baik, perlu
diketahui jenis material sampah yang dapat dikomposkan dengan
cepat. Jenis bahan yang memerlukan waktu lama untuk membusuk,
maupun yang membahayakan proses pengomposan perlu dikenali,
karena harus dihindarkan.
Proses pemilahan dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung
pada proses pengolahan sampah selanjutnya. Pada proses
pengomposan atau daur-ulang sampah skala besar, biasanya
pemilahan sampah dilakukan secara mekanik, sedangkan untuk
pembuatan kompos skala lingkungan (misalnya: skala kelurahan,
RT/RW) dan skala rumah tangga, pemilahan dilakukan secara
manual dengan menggunakan tenaga manusia. Proses pemilahan
sampah memerlukan ketelitian dan keterampilan yang dapat
dikembangkan melalui pengalaman dan kebiasaan.
3.2. Klasifikasi Sampah
Sampah rumah tangga dapat dipisahkan menjadi 3 (tiga) bagian
besar, yaitu:
A. Barang Lapak
Barang lapak adalah barang/benda/sampah yang masih dapat
dimanfaatkan atau diperjualbelikan, sehingga merupakan salah satu
3
sumber penghasilan bagi pengusaha kompos atau ibu rumah tangga.
Jenis sampah yang termasuk golongan ini adalah: segala jenis
kertas, karton, besi bekas, kaleng, plastik, botol, berbagai jenis karet,
dll. Barang-barang ini dapat disimpan dalam suatu wadah sebelum
dijual atau diberikan kepada yang memerlukan.
B. Bahan organik yang dapat dikomposkan
Sampah yang termasuk dalam ketegori ini adalah material organik
yang mudah atau cepat membusuk. Contoh bahan organik yang
dapat dikomposkan adalah sebagai berikut: rumput, daun-daunan,
sisa makanan, buangan dapur, sisa sayuran, sisa buah-buahan,
serbuk gergaji, dll.
C. Residu
Jenis sampah yang termasuk dalam kelompok ini adalah material
yang tidak kita butuhkan lagi, baik untuk pengomposan maupun
sebagai bahan lapak (dapat didaur-ulang). Termasuk di dalam
kategori ini adalah material organik yang sukar terurai, seperti: kulit
telur, kulit durian, dsb. Selain itu adalah barang lain yang tidak
termasuk bahan lapak, dan barang-barang yang dianggap
berbahaya, seperti batu baterai, pecahan lampu neon, dsb.
4
Gambar 3.1. Material sampah yang dapat dipilah
3.3. Metode Pemilahan Sampah
3.3.1. Pemilahan sampah pada sumbernya
Pemilahan sampah di sumber sampah misalnya di rumah tangga,
sangat membantu proses pengolahan sampah selanjutnya, di lain
pihak juga memudahkan pemulung untuk mengambil benda-benda
yang masih bernilai ekonomis tanpa merusak/mengganggu sistem
5
pewadahan, misalnya sampah dibongkar kembali sehingga
berserakan dan pada akhirnya mengurangi nilai estetika lingkungan.
Pemilahan sampah di sumbernya diharapkan dapat berjalan baik
dengan syarat pola pengelolaan sampah juga harus dirubah. Sistem
pengumpulan sampah, diatur sedemikian rupa sehingga sampah
organik dan anorganik dapat dikumpulkan dan diangkut pada hari
yang berbeda.
Masyarakat penghasil sampah dan pemulung harus diberi informasi
terlebih dahulu mengenai tata cara pemilahan sampah antara lain
melalui penyuluhan. Apabila tidak ada pemberitahuan awal, para
pemulung akan tetap mengacaukan sistem pewadahan di rumah
tangga. Informasi untuk pemulung dapat diberikan melalui ketua
kelompok, bandar (lapak), atau mereka dapat langsung dikumpulkan
di suatu tempat dan diberi penjelasan. Pemilahan di sumber sampah
juga merupakan cara yang baik bagi pemulung untuk melindungi
kesehatan mereka dari kemungkinan terkontaminasi penyakit yang
berasal dari sampah.
Salah satu cara meningkatkan peranserta masyarakat adalah melalui
pemberian insentif, bila mereka telah melakukan pemilahan dengan
baik dan benar. Pemberian insentif dapat berupa potongan
pembayaran iuran kebersihan atau bentuk-bentuk lain yang dapat
meningkatkan minat ibu-ibu rumah tangga akan pemilahan sampah.
Metode ini diterapkan untuk memisahkan benda-benda yang sukar
dipilah dengan mesin. Fasilitas yang dibutuhkan antara lain:
6
• Ban berjalan (conveyer belt), para pekerja berdiri di salah satu
atau kedua sisi ban berjalan sambil mengambil barang/benda
yang telah ditentukan.
• Kontainer/wadah khusus untuk menampung benda-benda yang
masih bernilai.
• Fasilitas keamanan dan sanitasi, seperti sarung tangan, masker,
dll.
Sistem ventilasi yang baik dalam ruangan pemilahan sangat
dibutuhkan oleh para pekerja dan juga pengaturan waktu istirahat
serta pergantian waktu kerja (shift) sangat diperlukan untuk menjaga
kondisi kesehatan mereka.
3.4. Pemilahan Sampah di Lokasi Pengolahan
Proses pemilahan sampah di lokasi pengolahan sampah pada
umumnya dilakukan secara mekanis, yaitu antara lain dengan
menggunakan tenaga angin, tenaga magnetik, getaran, perbedaan
densitas, dll. Selain itu dapat juga dikombinasikan dengan tenaga
manusia (manual) dengan tujuan untuk memisahkan sampah yang
sukar dipilah secara mekanik.
3.5. Pemilahan Sampah Berdasarkan Ukuran Partikel
Proses ini dilaksanakan berdasarkan ukuran partikel sampah. Cara
ini dapat lebih efektif apabila sebelum dipisahkan, sampah diproses
terlebih dahulu dengan cara memperkecil ukuran partikel sampah.
7
Apabila biaya yang ada terbatas, biasanya pemrosesan awal dapat
diabaikan. Terdapat dua tipe pemisahan berdasarkan ukuran
partikel, yaitu pemisahan dengan getaran (vibrating screen), dan
pemisahan pemutaran alat tapis berlubang (rotary screen). Kedua
cara pemisahan ini merupakan cara yang sangat sederhana
pengoperasiannya. Rotary screen berbentuk seperti drum dengan
lubang-lubang dengan ukuran bervariasi di dindingnya. Sampah yang
berukuran lebih kecil dari lubang akan lolos dan ditampung dengan
bin/kontiner di bawahnya. Demikian pula yang terjadi pada vibrating
screen yang cara kerjanya berdasarkan atas timbulnya getaran.
Gambar 3.2. Vibrating Screen
Screer deck
reject
Spreader deck
motion
Spring mounting
Vibrator motors
loading
8
Gambar 3.3. Rotary Screen (Trommel)
3.6. Pemisahan Sampah Berdasarkan Densitas
Pemisahan sampah berdasarkan densitas disebut juga pemisahan
dengan metode zig-zag. Cara pemisahan ini merupakan salah satu
cara yang umum digunakan untuk memisahkan sampah berdasarkan
atas densitas (berat jenis) sampah. Material yang sifatnya ringan
akan terbawa aliran udara yang dialirkan dari dasar alat ke atas,
sedangkan material yang berat akan jatuh dan dikumpulkan di dasar
alat (lihat Gambar. 3).
Feed
Feed
Underflow material (size 2)
Oversize material
Waste lears Oversize
material
Blades or Prongs used as bag breshers
Underflow material (size 1)
9
Gambar 3.4. Zigzag Clarifier
3.7. Pemisahan Magnetik
Pemisahan sampah dengan tenaga magnet biasanya digunakan
untuk memilah partikel-partikel metal-ferous yang terdapat dalam
komponen sampah. Terdapat dua jenis alat pemisah sampah
magnetik yang sering digunakan, yaitu:
3.7.1. Pemisah Magnetik TipeTersuspensi
Terdiri dari magnet / elektromagnet yang letaknya permanen di
bawah ban berjalan. Sampah yang mengandung metal ferous akan
ditangkap oleh magnet yang dikumpulkan dalam wadah yang telah
ditentukan.
Udara keluar
Pemisah siklon
Ban berjalan
Komponen yang ringan
Path of heavy material
Komponen yang berat
Ban berjalan
Alat pemisah dengan udara
Rotary air lock
In feed conveyor
Udara keluar
Aliran untuk komponen ringan
10
Gambar 3.5. Pemisah Magnet Tipe Tersuspensi
3.7.2. Pemisah Magnet Tipe Drum
Terdiri dari magnet/elektromagnet yang letaknya permanen di ujung
ban berjalan dan dapat langsung memisahkan partikel-partikel metal-
ferous dari komponen sampah.
Gambar 3.6. Pemisah Magnetik Tipe Drum
Suspended stationary magnet
conveyor
Ferrous material
Ban berjalan
sampah
Conveyor belt Ferrous material
Nonferrous material
Sampah
Magnet
11
Gambar 3.6. Ilustrasi Pusat Daur-ulang Sistem Terpadu
1
BAB IV
PEMBUATAN KOMPOS DAN PERMASALAHANNYA
4.1. Umum
Pengomposan didefinisikan sebagai suatu proses dekomposisi
(penguraian) secara biologis dari senyawa-senyawa organik yang
terjadi karena adanya kegiatan mikroorganisme yang bekerja pada
suhu tertentu. Pengomposan merupakan salah satu metoda
pengelolaan sampah organik menjadi material baru seperti humus
yang relatif stabil dan lazim disebut kompos. Pengomposan dengan
bahan baku sampah domestik merupakan teknologi yang ramah
lingkungan, sederhana dan menghasilkan produk akhir yang sangat
berguna bagi kesuburan tanah atau tanah penutup bagi landfill .
4.2. Keuntungan Pengkomposan
Pengomposan dengan sampah perkotaan sebagai bahan baku
mempunyai banyak keuntungan dan dapat diuraikan sebagai berikut :
A. Membantu meringankan beban pengelolaan sampah perkotaan.
Komposisi sampah di Indonesia sebagian besar terdiri atas
sampah organik, sekitar 50% sampai 60% dapat dikomposkan.
Apabila hal ini dapat direalisasikan sudah tentu dapat membantu
dalam pengelolaan sampah di perkotaan, yaitu :
1. Memperpanjang umur tempat pembuangan akhir (TPA),
karena semakin banyak sampah yang dapat dikomposkan,
semakin sedikit sampah yang dikelola.
2
2. Meningkatkan efisiensi biaya pengangkutan sampah,
disebabkan jumlah sampah yang diangkut ke TPA semakin
berkurang.
3. Meningkatkan kondisi sanitasi di perkotaan.
4. Semakin banyak sampah yang dibuat kompos, diharapkan
semakin sedikit pula masalah kesehatan lingkungan
masyarakat yang timbul. Dalam proses pengomposan, panas
yang dihasilkan dapat mencapai 600C, sehingga kondisi ini
dapat memusnahkan mikroorganisme patogen yang terdapat
dalam masa sampah.
B. Dari segi sosial kemasyarakatan, pengomposan dapat
meningkatkan peranserta masyarakat dalam pengelolaan
sampah kota dan meningkatkan pendapatan keluarga.
C. Pengomposan berpotensi mengurangi pencemaran lingkungan
perkotaan, karena jumlah sampah yang dibakar atau dibuang ke
sungai menjadi berkurang. Selain itu aplikasi kompos pada lahan
pertanian berarti mencegah pencemaran karena berkurangnya
kebutuhan pemakaian pupuk buatan dan obat-obatan yang
berlebihan.
D. Membantu melestarikan sumber daya alam. Pemakaian kompos
pada perkebunan akan meningkatkan kemampuan lahan kebun
dalam menahan air, sehingga lebih menghemat kandungan air.
Selain itu pemakaian humus sebagai media tanaman dapat
digantikan oleh kompos, sehingga eksploatasi humus hutan dapat
dicegah.
3
E. Pengomposan juga berarti menghasilkan sumberdaya baru dari
sampah, yaitu kompos, yang kaya akan unsur hara mikro.
Pengomposan merupakan salah satu solusi teknis yang baik bagi
negara berkembang dalam rangka mereduksi sampah domestik,
terutama bagi negara-negara dengan iklim arid dan mempunyai
masalah dengan tanah yang kurang subur. Selanjutnya WHO (World
Health Organization) menyatakan bahwa agar pengomposan dengan
bahan baku sampah domestik dapat berjalan dengan sukses, maka
harus dapat dicapai beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Jenis sampah sesuai untuk pengomposan;
2. Pangsa pasar untuk kompos maksimal berjarak 25 km dari
kota;
3. Dukungan dari instansi yang terkait dengan pertanian;
4. Harga kompos terjangkau oleh petani.
4.3. Prinsip Prinsip Biologis
Pada dasarnya proses pengomposan adalah suatu proses biologis.
Hal ini berarti bahwa peran mikroorganisme pengurai sangat besar.
Menurut Tchobanoglous et al. (1993) dan Polprasert (1989), prinsip-
prinsip proses biologis yang terjadi pada proses pengomposan
meliputi 1) kebutuhan nutrisi untuk mikroorganisme; 2) jenis-jenis
mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan; 3)
kondisi lingkungan ideal; dan d) fase transformasi biokimia.
4
4.3.1. Kebutuhan Nutrisi
Untuk perkembangbiakan dan pertumbuhannya, mikroorganisme
memerlukan sumber energi, yaitu karbon untuk proses sintesa
jaringan baru dan elemen-elemen anorganik seperti nitrogen, fosfor,
kapur, belerang dan magnesium sebagai bahan makanan untuk
membentuk sel-sel tubuhnya. Selain itu, untuk memacu
pertumbuhannya, mikroorganisme juga memerlukan nutrien organik
yang tidak dapat disintesa dari sumber-sumber karbon lain. Nutrien
organik tersebut antara lain asam amino, purin/pirimidin, dan vitamin.
4.3.2. Mikroorganisme
Mikroorganisme pengurai dapat dibedakan antara lain berdasarkan
kepada struktur dan fungsi sel, yaitu:
1. Eucaryotes, termasuk dalam dekomposer adalah eucaryotes
bersel tunggal, antara lain : ganggang, jamur, protozoa.
2. Eubacteria, bersel tunggal dan tidak mempunyai membran
inti, contoh: bakteri.
Beberapa hewan invertebrata (tidak bertulang belakang) seperti
cacing tanah, kutu juga berperan dalam pengurai sampah.
Sesuai dengan peranannya dalam rantai makanan, mikroorganisme
pengurai dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu :
a. Kelompok I (Konsumen tingkat I) yang mengkonsumsi
langsung bahan organik dalam sampah, yaitu : jamur, bakteri,
actinomycetes.
5
b. Kelompok II (Konsumen tingkat II) mengkonsumsi jasad
kelompok I, dan;
c. Kelompok III (Konsumen tingkat III), akan mengkonsumsi
jasad kelompok I dan Kelompok II.
Gambar 4.1 : Rantai makanan yang Terjadi dalam Tumpukan
Pembuatan Kompos (Dindal dalam Polprasert, 1989)
4.3.3. Kondisi Lingkungan Ideal
Efektivitas proses pembuatan kompos sangat tergantung kepada
mikroorganisme pengurai. Apabila mereka hidup dalam lingkungan
6
yang ideal, maka mereka akan tumbuh dan berkembang dengan baik
pula. Kondisi lingkungan yang ideal mencakup :
1. Keseimbangan nutrien ( C / N ratio );
2. Kelembaban;
3. Derajat keasaman;
4. Suhu;
5. Ukuran partikel; dan
6. Homogenitas campuran.
4.3.4. Keseimbangan Nutrien (Rasio C/N).
Parameter nutrien yang paling penting dalam proses pembuatan
kompos adalah unsur karbon dan nitrogen. Dalam proses pengurai
terjadi reaksi antara karbon dan oksigen sehingga menimbulkan
panas (CO2). Nitrogen akan ditangkap oleh mikroorganisme sebagai
sumber makanan. Apabila mikroorganisme tersebut mati, maka
nitrogen akan tetap tinggal dalam kompos sebagai sumber nutrisi
bagi makanan.
Besarnya perbandingan antara unsur karbon dengan nitrogen
tergantung pada jenis sampah sebagai bahan baku. Perbandingan C
dan N yang ideal dalam proses pengomposan yang optimum
berkisar antara 20 : 1 sampai dengan 40 : 1, dengan rasio terbaik
adalah 30 : 1.
7
4.3.5. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) ideal dalam proses pembuatan kompos
secara aerobik berkisar pada pH netral (6 – 8,5), sesuai dengan pH
yang dibutuhkan tanaman. Pada proses awal, sejumlah
mikroorganisme akan mengubah sampah organik menjadi asam-
asam organik, sehingga derajat keasaman akan selalu menurun.
Pada proses selanjutnya derajat keasaman akan meningkat secara
bertahap yaitu pada masa pematangan, karena beberapa jenis
mikroorganisme memakan asam-asam organik yang terbentuk
tersebut.
Derajat keasaman dapat menjadi faktor penghambat dalam proses
pembuatan kompos, yaitu dapat terjadi apabila :
� pH terlalu tinggi (di atas 8) , unsur N akan menguap menjadi NH3.
NH3 yang terbentuk akan sangat mengganggu proses karena
bau yang menyengat. Senyawa ini dalam kadar yang berlebihan
dapat memusnahkan mikroorganisme.
� pH terlalu rendah (di bawah 6), kondisi menjadi asam dan dapat
menyebabkan kematian jasad renik.
4.3.6. Suhu (Temperatur)
Proses biokimia dalam proses pengomposan menghasilkan panas
yang sangat penting bagi mengoptimumkan laju penguraian dan
dalam menghasilkan produk yang secara mikroorganisme aman
digunakan. Pola perubahan temperatur dalam tumpukan sampah
8
bervariasi sesuai dengan tipe dan jenis mikroorganisme. Pada awal
pengomposan, temperatur mesofilik, yaitu antara 25 – 45°C akan
terjadi dan segera diikuti oleh temperatur termofilik antara 50 - 65°C.
Temperatur termofilik dapat berfungsi untuk a) mematikan
bakteri/bibit penyakit baik patogen maupun bibit vektor penyakit
seperti lalat; b) mematikan bibit gulma. Tabel 1 menunjukkan suhu
dan waktu yang dibutuhkan untuk mematikan beberapa organisme
patogen dan parasit. Kondisi termofilik, kemudian berangsur-angsur
akan menurun mendekati tingkat ambien.
Tabel 4.1. Suhu dan Waktu yang Dibutuhkan Untuk Mematikan
Organisme Patogen
No
Organisme Patogen
Suhu dan Waktu yang Dibutuhkan
Suhu ( °°°°C) Waktu (menit) 1
2
3 4
5 6 7 8
9 10 11
12 13 14
Salmonella typhosa Salmonella sp. Shigella sp. Escerichia coli Entamoeba hystolitica Taenia saginata Trichinella spiralis sp. Brucella abortus Micrococcus pyogenes var aureus Srteptococcus pyogenes Mycobacterium tubercolosis varhominis Corynebacterium diphtheriae Necator americanus Ascaris lumbricoides (telur)
55-60 60 55 60 55 55 60 45 55 55
62-63 55 50 54 66 67
55 45 50
30 20 60
15-20 60 60
15-20 beberapa menit beberapa detik beberapa saat
3 60 10 10
15-20 Sesaat setelah
pemanasan 45 50 < 1
9
4.3.7. Ukuran Partikel Sampah
Ukuran partikel sampah yang digunakan sebagai bahan baku
pembuatan kompos harus sekecil mungkin untuk mencapai efisiensi
aerasi dan supaya lebih mudah dicerna atau diuraikan oleh
mikroorganisme. Semakin kecil partikel, semakin luas permukaan
yang dicerna sehingga pengurai dapat berlangsung dengan cepat.
4.3.8. Kelembaban Udara
Kandungan kelembaban udara optimum sangat diperlukan dalam
proses pengomposan. Kisaran kelembaban yang ideal adalah 40 –
60 % dengan nilai yang paling baik adalah 50 %. Kelembaban yang
optimum harus terus dijaga untuk memperoleh jumlah
mikroorganisme yang maksimal sehingga proses pengomposan
dapat berjalan dengan cepat. Apabila kondisi tumpukan terlalu
lembab, tentu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme
karena molekul air akan mengisi rongga udara sehingga terjadi
kondisi anaerobik yang akan menimbulkan bau. Bila tumpukan terlalu
kering (kelembaban kurang dari 40%), dapat mengakibatkan
berkurangnya populasi mikroorganisme pengurai karena terbatasnya
habitat yang ada.
4.3.9. Homogenitas Campuran Sampah
Komponen sampah organik sebagai bahan baku pembuatan kompos
perlu dicampur menjadi homogen atau seragam jenisnya, sehingga
diperoleh pemerataan oksigen dan kelembaban. Oleh karena itu
10
kecepatan pengurai di setiap tumpukan akan berlangsung secara
seragam.
4.4. TRANSFORMASI BIOKIMIA
Berdasarkan atas kebutuhan oksigen, transformasi biokimia proses
pengomposan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Transformasi Aerobik
Transformasi aerobik pada proses pengomposan dapat digambarkan
dalam persamaan reaksi sebagai berikut :
Pada prinsipnya hasil akhir proses ini adalah sel-sel baru, CO2, air,
amoniak, sulfat dan senyawa organik baru bersifat stabil yang
dinamakan kompos. Kompos biasanya mengandung unsur lignin
yang sukar terurai dalam jangka waktu singkat.
2. Transformasi Anaerobik ( Anaerobic Digestion )
Proses penguraian senyawa organik yang berasal dari sampah dapat
berlangsung dalam kondisi anaerobik menjadi gas-gas yang
mengandung karbon dioksida dan metan. Perubahan tersebut dapat
dijelaskan melalui persamaan reaksi sebagai berikut :
CHON + O2 + Nutrien →→→→ Sel – Sel Baru + CO 2 + H2O + NH3 + SO4
-2 + Panas + kompos
CHON + O2 + Nutrien →→→→ Sel – Sel Baru + CO 2 + CH4 + NH3 + H2S + Panas + Kompos
11
Pada prinsipnya produk akhir yang dihasilkan adalah karbondioksida,
gas methan, amoniak, hidrogen sulfida dan kompos. Karbondioksida
dan methan yang dihasilkan biasanya mencapai 99% dari total gas
yang diproduksi.
4.5. Teknologi Pembuatan Kompos
Berdasarkan ada tidaknya asupan udara, pembuatan kompos dapat
dibedakan menjadi pengomposan secara aerobik dan pengomposan
anaerobik yang lazim disebut digesti anaerobik. Pada pengomposan
aerobik, adanya udara dapat mempercepat proses pembusukan oleh
mikroorganisme aerobik, proses berlangsung cepat dan tidak
menimbulkan bau. Sebaliknya oksigen tidak diperlukan dalam
pengomposan anaerobik, proses berlangsung lama, biasanya
menimbulkan bau dan akhir yang terpenting adalah gas methan
sebagai sumber energi baru.
4.5.1. Berdasarkan Kebutuhan Oksigen
1. Pengomposan Aerobik
� Pengomposan Sistem Windrow
Merupakan metode yang paling sederhana dan sudah sejak
lama dilakukan. Untuk mendapatkan aerasi dan
pencampuran, biasanya tumpukan sampah tersebut dibalik
(diaduk). Hal ini juga dapat menghambat bau yang mungkin
timbul. Pembalikan dapat dilakukan baik secara mekanis
maupun manual. Sistim windrow seperti ini sudah
12
berkembang di Indonesia untuk skala kecil, disebut dengan
sistim UDPK.
� Aerated Static Pile Composting
Udara disuntikkan melalui pipa statis ke dalam tumpukan
sampah. Untuk mencegah bau yang timbul, pipa dilengkapi
dengan exhaust fan. Setiap tumpukan biasanya
menggunakan blower untuk memantau udara yang masuk.
� In-veseel Composting System
Sistim pengomposan dilakukan di dalam kontainer/tangki
tertutup. Proses ini berlangsung secara mekanik, untuk
mencegah bau disuntikkan udara, pemantauan suhu dan
konsentrasi oksigen.
� Vermicomposting
Merupakan langkah pengembangan pengomposan secara
aerobik dengan memanfaatkan cacing tanah sebagai
perombak utama atau dekomposer, inokulasi cacing tanah
dilakukan pada saat kondisi material organik sudah siap
menjadi media tumbuh (kompos setengah matang). Dikenal
4 (empat) marga cacing tanah yang sudah dibudidayakan,
yaitu Eisenia, Lumbricus, Perethima dan Peryonix (Yayasan
Kirai Indonesia, 1996: 2)
� Effective Microorganisms (EM)
EM merupakan kultur campuran dari mikroorganisme yang
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman yang dapat
13
diaplikasikan sebagai inokulan untuk meningkatkan
keragaman dan populasi mikroorganisme di dalam tanah dan
tanaman, yang selanjutnya dapat meningkatkan kesehatan,
pertumbuhan, kuantitas dan kualitas produksi tanaman. EM
dapat memfermentasikan bahan organik dan memanfaatkan
gas serta panas dari proses pembusukan sebagai sumber
energi. Manfaat yang dapat diambil dalam teknologi EM pada
pengolahan sampah kota adalah berkurangnya bau busuk
dan panas yang keluar dari tumpukan sampah, berkurangnya
lalat dan hama lain di tempat pembuangan sampah,
gundukan sampah cepat menurun sehingga daya tampung
sampah dalam lubang penampungan dapat ditingkatkan
lebih dari 30%, dan masalah-masalah lingkungan serta
kesehatan pekerja. Selain itu sampah dapat dijadikan
kompos dalam jangka waktu hanya 2 minggu. (Wididana,
1998: 5).
2. Pengomposan Anaerobik
Proses ini disebut juga dengan proses digesti anaerobik yang dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :
� Digesti Anaerobik dengan Tingkat Kepadatan Rendah
Konsentrasi kepadatan antara 4-8%, menggunakan bahan baku
sampah domestik, kotoran manusia dan hewan. Proses ini
menghasilkan gas methan dan direncanakan untuk skala besar.
� Digesti Anaerobik dengan Tingkat Kepadatan Tinggi
14
Konsentrasi kepadatan mencapai 22%. Keuntungan utama dari
proses ini ialah bahwa air yang dibutuhkan jauh sedikit dari
digesti anaerobik dengan tingkat kepadatan rendah.
Mengingat mahalnya biaya maka kedua proses di atas tidak
direkomendasikan sebagai upaya daur-ulang energi dari sampah
domestik tetapi dapat lebih baik diterapkan untuk penanganan
sampah pertanian dan peternakan.
Sistim pengubah sampah domestik menjadi energi, yaitu gas
methan merupakan salah satu alternatif reduksi sampah yang
menghasilkan sumber daya baru. Menurut Ridlo (1998: E-30), waktu
tinggal sampah organik sekitar 30 hari di dalam reaktor. Biogas yang
dihasilkan oleh reaktor didominasi oleh gas methan ± 55-60 % dan
sisanya CO2. Biogas yang dihasilkan dapat digunakan untuk
keperluan rumah tangga seperti memasak dan penerangan. Selain
menghasilkan biogas, reaktor juga menghasilkan produk samping
berupa padatan dan cairan yang memiliki kualitas seperti pupuk.
4.5.2. Berdasarkan Lokasi Pembuatan Kompos
1. Sistem Setempat (On-site System)
Merupakan pembuatan kompos yang mengambil tempat di sumber
sampah, misalnya di halaman rumah, di pasar, dan lain-lain. Sebagai
contoh adalah pengomposan dengan menggunakan komposter skala
rumah tangga, berbentuk bin/tong yang berukuran 100 - 250 liter,
ditanam di tanah ( ± 10 cm dari permukaan tanah ) atau dapat pula
yang dapat diputar, proses berlangsung secara anaerobik. Sampah
15
dapur sebagai bahan baku dapat dikombinasikan dengan sampah
kebun seperti rumput, daun-daunan, dsb. Kompos dapat dihasilkan
dalam jangka waktu 1 bulan untuk komposter aerobik dan 6 bulan
sampai dengan 1 tahun untuk komposter anaerobik.
2. Sistem Terpusat (On-site System)
Pembuatan kompos dipusatkan di suatu lokasi yang memiliki jarak
dengan sumber sampah. Sebagai contoh adalah pengomposan
dengan metode UDPK (Usaha Daur-Ulang dan Produksi Kompos).
4.6. PERMASALAHAN PEMBUATAN KOMPOS
Pengomposan dengan menggunakan bahan baku sampah organik
domestik dalam pelaksanaannya mengalami beberapa kendala.
Permasalahan yang muncul meliputi 1) dampak terhadap kualitas
lingkungan; 2) masalah pemasaran; 3) pembiayaan; 4) teknis
operasional dan 5) aplikasi secara tepat guna di negara berkembang.
4.6.1. Dampak Terhadap Kualitas Lingkungan
Permasalahan yang mungkin muncul adalah masih terdapatnya
organisme patogen/parasit, berkembangnya vektor penyakit dan
masalah estetika.
1. Organisme Patogen dan Parasit
Organisme patogen seperti virus, bakteria, protozoa, jamur yang
dapat mempengaruhi kesehatan manusia, hewan maupun tumbuhan
kemungkinan masih terkandung dalam di kompos yang disebabkan
16
oleh masalah teknis, seperti tidak tercapainya suhu yang mematikan
organisme tersebut. Permasalahan ini dapat dihindari dengan
pengawasan mutu kompos pada setiap langkah produksinya, antara
lain dengan pemantauan suhu setiap hari.
2. Vektor Penyakit
Vektor penyakit yang sering terdapat pada proses pengomposan
adalah lalat, tikus, dan kecoa. Lalat sering dijumpai pada bahan baku
kompos, yaitu sampah domestik yang tidak segar (berumur lebih dari
dua hari) sedangkan tikus dan kecoa sangat menyukai tumpukan
kompos yang tidak segera dikemas atau dipasarkan serta tumpukan
residu yang tidak segera diangkut ke TPA. Pemasokan bahan baku
dan pengangkutan residu yang teratur dan tepat waktu serta
pemeliharaan sarana/prasarana pengomposan yang memadai dapat
menghindari gangguan vektor penyakit.
3. Estetika
Bau dan kenampakan fisik yang kurang baik dari fasilitas
pengomposan merupakan masalah estetika yang sering muncul,
sehingga menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitar,
terutama masyarakat yang tinggal di sekitar fasilitas tersebut. Bau
disebabkan oleh 1) kondisi anaerobik yang terjadi akibat
pengoperasian pengomposan tidak sesuai dengan prosedur, seperti
kurangnya asupan oksigen (pekerja kurang rajin membalik tumpukan
pada pengomposan dengan sistem Windrow); 2) bahan baku kompos
tidak segar sehingga sebelum diolah, sampah tersebut sudah
mengalami pembusukan. Kenampakan visual fasilitas pengomposan
yang kurang baik, disebabkan pemeliharaan terhadap fasilitas tidak
17
dilaksanakan dengan baik, sehingga menimbulkan kesan kotor. Hal
ini dapat diantisipasi dengan pengendalian dan pemeliharaan fasilitas
dengan lingkungan luar antara lain dengan mendirikan tembok atau
pagar tanaman.
4. Logam Berat
Salah satu masalah penting adalah kemungkinan kontaminasi logam
berat dalam kompos yang diproduksi. Hal ini terjadi bila pemilahan
tidak dilaksanakan sebelumnya sehingga bahan baku masih
tercampur dengan sampah yang mengandung logam berat. Aktivitas
pemilahan sampah sebelum pengomposan dilaksanakan sangat
penting untuk dilakukan dan lebih baik lagi bila pemilahan telah
dilakukan di sumber sampah.
4.6.2. Masalah Pemasaran
Masalah pemasaran kompos muncul disebabkan sebelum
perencanaan fasilitas pengomposan tidak dilakukan studi tentang
situasi pasar terlebih dahulu. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk
mengetahui situasi pasar adalah kebutuhan akan aplikasi kompos;
jarak tempuh antara produsen kompos dengan calon pelanggan dan
informasi tentang pangsa pasar. Masalah pemasaran pupuk kimia
membuat suatu anti propaganda melawan aplikasi kompos yang
berasal dari sampah domestik. Sulitnya pemasaran kompos,
menyebabkan biaya operasi dan pemeliharaan menjadi kendala yang
sangat penting.
18
4.6.3. Masalah Pembiayaan
Dalam perencanaan suatu instalasi pengomposan di negara
berkembang biasanya terbentur pada masalah pembiayaan terutama
bagi instalasi skala besar yang banyak menggunakan peralatan
mekanis. Bagi negara berkembang instalasi pengomposan yang
murah dan tepat guna sangat baik untuk diaplikasikan, lebih baik lagi
bila instalasi tersebut masuk dalam sistem pengelolaan sampah kota.
Masalah pemasaran kompos muncul disebabkan sebelum
perencanaan fasilitas pengomposan tidak dilakukan studi tentang
situasi pasar terlebih dahulu. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk
mengetahui situasi pasar adalah kebutuhan akan aplikasi kompos;
jarak tempuh antara produsen kompos dengan calon pelanggan dan
informasi tentang pangsa pasar. Masalah pemasaran pupuk kimia
membuat suatu anti propaganda melawan aplikasi kompos yang
berasal dari sampah domestik. Sulitnya pemasaran kompos,
menyebabkan biaya operasi dan pemeliharaan menjadi kendala yang
sangat penting. Biaya investasi awal diperlukan sebesar Rp. 11,6
juta untuk instalasi skala kecil (luas lahan 450 m2) dengan modal
kerja Rp. 1,2 juta setiap bulan (CPIS, 1992: 6-14) untuk melayani 14
m3 sampah setiap hari. Pada tahun 1998, estimasi biaya meningkat
menjadi Rp. 45 juta untuk biaya investasi dan modal kerja Rp. 3 juta
setiap bulan.
4.6.4. Masalah Perencanaan dan Teknis Operasional
Kesalahan yang paling umum terjadi dalam pendirian suatu instalasi
pengomposan adalah akibat perencanaan yang salah, yaitu antara
lain mencakup kesalahan dalam melihat dan mengkaji situasi pasar,
19
kesalahan dalam menentukan lokasi instalasi pengomposan juga
penerimaan masyarakat terhadap keberadaan instalasi tersebut.
1
BAB V
PEMBUATAN KOMPOS DENGAN TEKNOLOGI
FERMENTASI
5.1. Umum
Teknologi pengolahan bahan organik dengan cara fermentasi
(peragian) pertama kali dikembangkan di Okinawa Jepang oleh
Profesor Dr. Teruo Higa pada tahun 1980. Teknologi ini dikenal
dengan teknologi EM (Effective Microorganisms).
Sebelum tahun 1980, penelitian dan penerapan proses fermentasi
masih terbatas pada proses fermentasi untuk pembuatan bahan
makanan, termasuk pakan ternak, dan belum banyak dilakukan untuk
pengolahan limbah organik serta penyuburan tanah. Di Indonesia kita
sudah mengenal proses fermentasi ini melalui proses peragian
kedelai dalam pembuatan tempe, tauco, kecap; fermentasi singkong
menjadi tape; fermentasi susu menjadi keju, yogurt; serta masih
banyak lagi produk fermentasi hasil kerja mikroorganisme fermentasi
yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Fermentasi merupakan proses penguraian atau perombakan bahan
organik yang dilakukan dalam kondisi tertentu oleh mikroorganisme
fermentatif. Kondisi lingkungan yang mendukung proses fermentasi
antara lain adalah (1) derajat keasaman atau pH rendah, antara 3-4;
(2) kadar garam dan kandungan gula yang tinggi; (3) kadar air
sedang antara 30-50%, (4) kandungan antioksidan dari tanaman
rempah dan obat, serta (5) adanya mikroorganisme fermentasi.
2
5.2. Teknologi Effective Microorganisme
Teknologi effective microorganisme adalah suatu kultur campuran
berbagai mikroorganisme yang bermanfaat bagi pertumbuhan
tanaman. Effective microorganisme diaplikasikan sebagai inokulan
untuk meningkatkan keragaman dan populasi mikroorganisme dalam
tanah. Kultur effective microorganisme tidak mengandung
mikroorganisme yang secara genetis telah dimodifikasi, melainkan
campuran berbagai spesies mikroba yang terdapat dalam lingkungan
alami.
Effective microorganisme yang diaplikasikan dengan sampah
organik kota dapat dikembalikan ke tanah dalam bentuk pupuk
organik untuk meningkatkan kualitas tanah. Effective microorganisme
bertindak sebagai agen pengendali secara biologis dengan cara
menghambat efek fitopatogenik mikroorganisme tanah dan
memfasilitasi dekomposisi senyawa beracun dalam tanah.
Teknologi fermentasi ini dapat digunakan untuk meningkatkan
keanekaragaman biologi tanah, meningkatkan kualitas air,
mengurangi kontaminasi tanah dan merangsang penyehatan dan
pertumbuhan tanaman yang semua itu berarti meningkatkan hasil.
Beberapa keuntungan aplikasi effective microorganisme adalah
bahwa EM dapat:
A. Menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen atau yang
merugikan tanah dan tanaman;
3
B. Mempercepat penguraian limbah atau sampah organik baik padat
maupun cair dan sekaligus menghilangkan bau yang ditimbulkan
dari proses penguraian bahan organik;
C. Meningkatkan ketersediaan nutrisi dan senyawa organik pada
tanaman;
D. Meningkatkan aktivitas mikroorganisme indigenus yang
menguntungkan, misalnya Mycorrhiza, Rhizobium, bakteri pelarut
fosfat, dll;
E. Mengikat nitrogen;
F. Mengurangi kebutuhan pupuk dan pestisida kimia;
G. Menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen yang selalu
merupakan masalah pada budidaya monokultur dan budidaya
tanaman senjenis secara terus-menerus (continous cropping). EM
bukanlah merupakan pestisida, tetapi lebih merupakan
pengendali biologis dalam menekan/mengendalikan
hama/penyakit tanaman melalui proses alami dengan
meningkatkan aktivitas komposisi antagonistik pada
mikroorganisme dalam inokulan EM;
H. Menghilangkan panas pada tanah dasar tambak dan gas-gas
beracun yang timbul akibat akumulasi sisa-sisa pakan dan
udang/ikan yang telah mati melalui fermentasi.
4
Hasil fermentasi bahan organik tanah dapat menciptakan kondisi
yang baik bagi pertumbuhan jamur pemangsa nematoda (cacing)
parasit, sehingga dapat menurunkan populasi cacing parasit tanaman
di dalam tanah.
5.3. Kandungan Mikroorganisme
Kandungan mikroba dalam effective microoganisme terdiri dari
mikroorganisme aerob dan anaerob yang bekerjasama menguraikan
bahan organik secara terus menerus. Hasil fermentasi bahan organik
dengan inokulasi EM dikenal dengan istilah bokashi . Istilah bokashi
sendiri berasal dari bahasa Jepang yang artinya bahan organik
terfermentasi dengan EM, tetapi dapat pula diakronimkan sebagai
Bahan Organik Kaya Akan Sumber Kehidupan. Effective
microorganisme merupakan cairan berwarna coklat dan berbau khas,
apabila muncul bau busuk menandakan bahwa mikroorganisme yang
terkandung di dalamnya telah rusak atau mati.
Effective microorganisme mengandung beberapa jenis
mikroorganisme, yaitu:
5.3.1. Bakteri Fotosintetik
Bakteri fotosintetik adalah mikroorganisme yang mandiri. Bakteri ini
membentuk senyawa-senyawa yang bermanfaat dari sekresi akar
tumbuh-tumbuhan, bahan organik dan/atau gas-gas berbahaya
seperti hidrogen sulfida, dengan dibantu sinar matahari dan panas
sebagai sumber energi. Zat-zat bermanfaat tersebut meliputi asam
5
amino, asam nukleat, zat-zat bioaktif, dan gula, yang semuanya
dapat mempercepat pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Hasil-hasil metabolisme yang dihasilkan oleh bakteri ini dapat
diserap langsung oleh tanaman dan juga berfungsi sebagai substrat
bagi mikroorganisme lain sehingga jumlahnya terus dapat
bertambah.
5.3.2. BAKTERI ASAM LAKTAT
Bakteri asam laktat menghasilkan asam laktat dari gula, dan
karbohidrat lain yang dihasilkan oleh bakteri fotosintetik dan ragi.
Bakteri asam laktat dapat menghancurkan bahan-bahan organik
seperti lignin dan selulosa, serta memfermentasikannya tanpa
menimbulkan senyawa-senyawa beracun yang ditimbulkan dari
pembusukan bahan organik.
5.3.3. Ragi
Ragi dapat menghasilkan senyawa-senyawa yang bermanfaat bagi
pertumbuhan tanaman dari asam amino dan gula di dalam tanah
yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik atau bahan organik
melalui proses fermentasi. Ragi juga menghasilkan senyawa
bioaktif seperti hormon dan enzim.
5.3.4. ACTINOMYCETES
6
Actinomycetes merupakan suatu kelompok mikroorganisme yang
strukturnya merupakan bentuk antara dari bakteri dan jamur.
Kelompok ini menghasilkan zat-zat anti mikroba dari asam amino
yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik dan bahan organik. Zat-zat
yang dihasilkan oleh mikroorganisme ini dapat menekan
pertumbuhan jamur dan bakteri yang merugikan tanaman, tetapi
dapat hidup berdampingan dengan bakteri fotosintetik. Dengan
demikian kedua spesies ini sama-sama dapat meningkatkan kualitas
lingkungan tanah dengan meningkatkan aktivitas anti mikroba tanah.
5.3.5. JAMUR FERMENTASI
Jamur fermentasi seperti Aspergillus dan Penicillium menguraikan
bahan organik secara cepat untuk menghasilkan alkohol, ester, dan
zat-zat anti mikroba. Pertumbuhan jamur ini berfungsi dalam
menghilangkan bau dan mencegah serbuan serangga serta ulat-ulat
yang merugikan dengan cara menghilangkan penyediaan
makanannya.
Setiap jenis effective microorganisme mempunyai fungsi masing-
masing dalam proses fermentasi bahan organik, namun bakteri
fotosintetik adalah pelaksana kegiatan EM yang terpenting. Bakteri ini
mendukung kegiatan mikroorganisme lain, di lain pihak bakteri ini
memanfaatkan zat-zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme lain.
5.3.6. Bokashi Sampah Kota
Bokashi sampah kota merupakan hasil fermentasi sampah organik
kota dengan menggunakan EM. Fermentasi bahan organik terjadi bila
7
kita menginokulasikan EM dalam larutan gula dengan dosis 0,1 – 1%
ke dalam tumpukan sampah sekali dalam seminggu, yang dapat
dilakukan dengan mesin penyemprot atau sprayer.
Berdasarkan pengalaman, dibutuhkan 1 liter EM dan 1 liter gula atau
molas untuk memfermentasikan 1 ton sampah organik. Untuk dapat
menekan biaya, larutan molas difermentasikan terlebih dahulu dalam
tangki fermentasi selama satu minggu. Larutan ini dikenal sebagai
FM atau Fermentasi Molas.
Cara menyiapkan Fermentasi Molas (FM) adalah sebagai berikut:
A. Siapkan 20 liter air dalam galon/tangki;
B. Campurkan 1 liter EM dan 1 liter molas dengan 20 liter air;
C. Tutup tangki/galon tersebut, dan diamkan selama 1 minggu;
D. Setelah 1 minggu kita mendapatkan 20 liter FM;
E. Untuk mendapatkan larutan 0,1% FM; 10 liter FM harus
dilarutkan ke dalam 1.000 liter air.
Gambar berikut ini adalah skema pembuatan cairan FM (Fermentasi
Molas).
Gambar 5.1. Skema Pembuatan dan Penerapan Fermentasi Molas (FM)
EM
Air
20 liter
Fermentasi Molas 20 liter
Air
1000 liter
1 lt EM + 1 lt. Molas
Fermentasi Molas
Disimpan 1 minggu di dalam tangki
Semprotkan ke dalam tumpukan sampah organik
8
Cara pembuatan bokashi sampah kota adalah sebagai berikut:
Langkah 1 : Pemilahan Sampah
Sampah yang masuk ke lokasi pengomposan dipilah terlebih
dahulu untuk mendapatkan bahan organik pilihan sebagai
bahan baku kompos. Untuk mempermudah pekerjaan, akan
lebih baik lagi bila sampah yang masuk sudah dalam keadaan
terpilah (pemilahan di sumber sampah). Satu hal yang harus
diperhatikan adalah, sampah yang akan diolah menjadi kompos
harus sampah segar dan pemilahan harus segera dilakukan.
Bila hal ini tidak dilaksanakan dengan baik, maka pembusukan
liar akan terjadi dan akan timbul bau yang dapat mengganggu
lingkungan sekitarnya.
Langkah 2 : Pemotongan Sampah Organik Pilihan
Untuk mempercepat proses pengomposan, sebaiknya ukuran
sampah diperkecil terlebih dahulu. Pemotongan sampah dapat
menggunakan alat pemotong/pencacah (shredder), dan dapat pula
dicacah secara manual.
Langkah 3 : Penumpukan Sampah Organik Pilihan
Proses pengomposan dapat berjalan dengan cepat dan baik bila
perbandingan antara kandungan karbon dan nitrogen dalam sampah
atau rasio C/N adalah 30 : 1. Secara teoritis rasio C/N sampah rumah
9
tangga adalah 15 : 1, maka untuk mendapatkan rasio C/N ideal
sampah tersebut harus dicampur dengan material yang memiliki rasio
C/N lebih tinggi, seperti serbuk gergaji. Perhitungannya adalah
sebagai berikut:
- C/N sisa makanan = 15 : 1
- C/N serbuk gergaji = 500 : 1
- X = bagian sisa makanan
- Y = bagian serbuk gergaji
(X . 15) + (Y . 500)/ X + Y = 30
X = 1
(1 . 15) + (Y . 500)/ 1 + Y = 30
15 + 500Y = 30 + 30Y
500Y - 30 Y = 30 - 15
470 Y = 15
Y = 15 : 470
Y = 0,03
Ini berarti dibutuhkan 1 bagian sisa makanan dan 0,03 bagian serbuk
gergaji untuk mencapai rasio C/N ideal 30 : 1.
Kemudian campuran sampah tersebut ditumpuk dengan ketinggian
30 - 50 cm, panjang tumpukan ± 0,75 - 1 meter, berat sampah
basah ± 1 ton.
Langkah ini dapat berlangsung selama dua hari, misalnya karena
bahan/sampah tidak mencukupi.
Langkah 4 : Inokulasi EM Melalui Penyiraman Laruta n
10
Fermentasi Molas (FM)
Larutan 0,1% FM yang telah disiapkan disiramkan secara perlahan-
lahan ke dalam adonan secara merata sampai kandungan air
mencapai ± 30%. Kemudian tumpukan tersebut ditutup dengan
karung goni. Penyemprotan dengan larutan FM dilakukan setiap
seminggu sekali.
Langkah 5 : Pemantauan Suhu
Pada tahap ini suhu tumpukan perlahan-lahan akan meningkat
mencapai 650C. Suhu setinggi ini selama 1-2 hari diperlukan untuk
mematikan gulma dan mikroba patogen, serta membantu
memperlunak bahan yang dikomposkan. Suhu tinggi ini tidak boleh
dipertahankan lama (lebih dari 2 hari), karena akan mematikan jasad
renik yang diperlukan untuk proses pengomposan. Pemantauan suhu
dilakukan setiap hari, dan dipertahankan antara 40 - 500C. Bila suhu
mencapai lebih dari 500C, maka karung penutup harus dibuka dan
gundukan adonan dibolak balik, kemudian ditutup kembali dengan
karung goni. Perlakuan ini berlangsung selama ± 2 minggu, sampai
suhu mendekati suhu kamar dan stabil.
Langkah 6 : Pematangan Kompos
Untuk meyakinkan bahwa kompos telah matang dan dapat menjamin
bahwa kompos benar-benar aman ketika dipakai oleh pengguna
kompos, maka perlu dilakukan langkah pematangan kompos.
Pematangan ini ditandai dengan suhu rata-rata tumpukan semakin
11
menurun dan stabil mendekati suhu kamar ( 27 - 300C), bahan telah
lapuk dan menyerupai tanah dengan warna coklat kehitaman. Tahap
pematangan memerlukan waktu 5 – 7 hari dan suhu tumpukan tetap
diukur.
Langkah 7 : Pemanenan dan Pengemasan
Setelah seluruh tahapan proses dilalui dan sampah sudah menjadi
kompos matang, maka kompos sudah bisa dipasarkan. Untuk itu
kompos perlu dikemas dalam ukuran yang sesuai dengan kehendak
pembeli. Untuk mendapatkan ukuran butiran kompos yang
diinginkan, maka kompos tersebut harus disaring/diayak memakai
saringan kawat dengan ukurang lubang saringan bervariasi, yaitu:
- Kompos halus : lubang saringan = 1 cm x 1 cm
- Kompos ukuran sedang : lubang saringan = 2 cm x 2 cm
- Kompos kasar : lubang saringan = 4 cm x 4 cm
Kompos yang sudah disaring dikemas ke dalam kantung/kemasan
sesuai dengan kebutuhan pemasaran. Kemasan yang biasa
digunakan saat ini, adalah:
1. Plastik kedap air, ukuran 30 cm x 25 cm untuk kompos halus
seberat ± 3 kg.
2. Plastik kedap air, ukuran 35 cm x 29 cm untuk kompos halus
seberat ± 5 kg.
3. Karung plastik kedap air, ukuran 90 cm x 60 cm untuk kompos
halus, kasar, maupun sedang seberat ± 40 kg.
12
Bagan pembuatan kompos dengan menggunakan teknologi
fermentasi dapat dilihat dalam gambar berikut:
Gambar 5.2. Proses Pengomposan Dengan Teknologi Fermentasi
PEMILAHAN SAMPAH
PEMOTONGAN /
PENCACAHAN
PENUMPUKAN SAMPAH
PENYIAPAN LAR. FM
INOKULASI EM
FERMENTASI
PEMATANGAN KOMPOS
PENYARINGAN PENGEMASAN
PEMANTAUAN SUHU
PEMASARAN
13
5.4. Kompos Rumah Tangga
Sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga di perkotaan merupakan
salah satu permasalahan yang cukup pelik, terutama apabila lokasi
perumahan tersebut belum terjangkau layanan angkutan sampah.
Hal ini menyebabkan pencemaran badan - badan air akibat
akumulasi sampah dan tersumbatnya saluran - saluran drainase yang
menyebabkan banjir di musim hujan. Seringkali sampah
dimusnahkan dengan cara sederhana dan murah tetapi berpotensi
untuk mencemari udara, yaitu langsung dibakar atau dibiarkan
menumpuk di lahan-lahan kosong.
Sebagian sampah rumah tangga terdiri atas sampah dapur, sisa-sisa
makanan, dan sampah kebun yang mengandung bahan organik
dengan kandungan air cukup tinggi. Sebagian lagi adalah sampah
non organik yang didominasi sampah kemasan seperti bekas
bungkus mie, makanan kecil anak-anak, yang biasanya sulit untuk
didaur-ulang. Sisanya merupakan sampah non organik yang dapat
didaur-ulang seperti botol, kertas koran, plastik, dan barang-barang
bekas lainnya. Rumah tangga juga menghasilkan sampah yang
mengandung bahan beracun berbahaya (B3) seperti batu baterai
bekas, lampu neon bekas, bekas kemasan pestisida, dsb.
Sampah basah dengan kandungan organik yang tinggi merupakan
sampah yang mudah terurai dan hancur secara alamiah di alam
bebas. Produk akhir disebut dengan kompos yang besar manfaatnya
terutama untuk konservasi tanah. Selain itu pembuatan kompos
dapat mengurangi beban pengelola sampah kota, yaitu antara lain
14
dapat menghemat biaya pengangkutan, efisiensi lahan tempat
pembuangan akhir sampah, dan dapat meningkatkan kondisi sanitasi
di lingkungan permukiman.
Dalam rangka mengurangi sampah organik rumah tangga, salah satu
kebijakan pemerintah adalah menganjurkan ibu-ibu rumah tangga
untuk mulai menggunakan alat pembuat kompos (komposter) skala
rumah tangga yang sangat sederhana, tepat guna dan mudah
pengoperasiannya.
5.5. Tata Cara Pembuatan Kompo Rumah tangga
5.5.1. Bahan dan Peralatan
1. Sampah organik rumah tangga , adalah sampah organik
yang mudah terurai, dihasilkan dari dapur; sisa-sisa
makanan; dan sampah kebun. Untuk mempercepat proses
dapat pula ditambahkan dedak/serbuk gergaji/kapur atau
cairan EM (effective microorganisme).
2. Komposter rumah tangga , merupakan alat yang
digunakan untuk mengolah sampah organik rumah tangga
menjadi kompos, terdiri dari 2 unit yang ditempatkan secara
berdekatan.
15
5.5.2. PERSYARATAN TEKNIS
A. Bentuk
Komposter berbentuk tabung, dan terbuat dari plastik. Bagian bawah
komposter terbuka, dan di bagian atas diberi tutup plastik. Terdapat
dua bentuk komposter (Gambar 2.1), yaitu :
a. Komposter yang seluruh tabungnya tertanam di tanah.
b. Komposter yang sebagian kecil tabungnya tertanam di tanah.
Gambar 5.3.. Jenis – Jenis Komposter Rumah Tangga
Gambar 5.4.. Jenis – Jenis Komposter Rumah Tangga
16
Gambar 5.5. Jenis – Jenis Komposter Rumah Tangga
Gambar 5.6. Jenis – Jenis Komposter Rumah Tangga
B. Ukuran
Ukuran komposter rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 2.1
berikut ini.
17
Tabel 5.1. Ukuran Komposter Rumah Tangga
JENIS
KOMPOSTER
TABUNG
(cm)
PIPA GAS
(cm)
DIAMETER LUBANG (cm)
θ
Tinggi
θ
Panjang
Penge
ring
Gas
Dop
Kasa Nyam
uk
Media Penger
ing
Komposter a
50
80
11
45
10
1
11
0,2
2 - 3
Komposter b
50
80
11
20
-
1
-
0,2
-
Untuk pemasangan satu set komposter dibutuhkan lahan seluas
2 m2. Ukuran galian tanah dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah
ini.
Tabel 5.2. Ukuran Galian Tanah
JENIS KOMPOSTER
DIAMATER (mm)
KEDALAMAN GALIAN
(mm)
Galian
Bawah
Galian Atas
Komposter a
800
1400
900
Komposter b
800
1400
400
18
5.5.3. Materi
Materi atau bahan komposter yang digunakan harus tahan korosi
dan tahan terhadap sinar matahari. Badan komposter dan
tutupnya terbuat dari plastik tebal atau dapat juga menggunakan
galon air yang banyak dijual di pasaran dengan volume 75 – 100
m3, sedangkan pipa penyaluran gas tebuat dari PVC.
5.5.4. Kinerja
− Komposter rumah tangga digunakan untuk menampung
sampah organik mudah terurai yang dihasilkan oleh 5 orang
anggota keluarga.
− Kapasitas tampung komposter maksimum 200 kg dengan waktu
tampung 7 (tujuh) bulan.
− Proses pengomposan berlangsung selama 4 – 6 bulan setelah
komposter terisi penuh dengan sampah organik.
− Sampah organik rumah tangga yang dapat dikurangi dengan
menggunakan komposter sebesar 80 – 90%.
− Untuk mempercepat proses penguraian dan meningkatkan
kualitas komposnya, dapat ditambahkan serbuk gergaji dan
atau larutan EM (Effective Microorganisme).
5.6. Cara Pemasangan Komposter
− Tanah digali berbentuk lingkaran dengan diameter bagian bawah
80 cm dan bagian atas 140 cm. Bila pada kedalaman tersebut
dijumpai air tanah, maka harus diusahakan sedemikian rupa
19
sehingga dasar komposter berada di atas muka air tanah tersebut
setinggi 30 cm. Untuk komposter jenis a kedalaman galian 90 cm,
sedangkan komposter b sedalam 40 cm (lihat Gambar 2.5.).
Gambar 5.7. Penyiapan Lahan
− Pada bagian dasar galian kerikil dimasukkan kerikil setinggi 10
cm, kemudian komposter yang terbuka di bagian dasarnya
diletakkan di tengah galian. Setelah itu ditambahkan lagi kerikil
sampai ketinggian 20 cm.
− Untuk komposter jenis a, galian ditimbun lagi dengan tanah
sampai mencapai 5 cm di bawah lubang tempat pipa udara,
selanjutnya pipa udara dipasang. Di sekeliling pipa udara yang
telah terpasang diberi kerikil secukupnya, selanjutnya timbun
kembali dengan tanah sampai mencapai 5 cm di bawah pipa
udara.
20
− Untuk komposter jenis b, setelah komposter diletakkan di tengah
galian yang memiliki kedalaman 40 cm dan diberi kerikil 20 cm,
kemudian galian ditimbun dengan tanah. Pipa udara tepat terletak
di atas permukaan tanah.
Gambar 5.8. Cara Pemasangan Komposter
5.7. Cara Pengoperasian Komposter
- Letakkan komposter di lokasi yang memungkinkan, hindari
dari curahan air hujan secara langsung masuk ke
komposter tersebut.
- Masukkan sampah organik mudah terurai yang dihasilkan
rumah tangga seperti sampah dapur, sisa makanan ke
dalam komposter. Sebelum dimasukkan ke dalam
komposter, sampah dengan ukuran besar sedapat mungkin
diperkecil/ dipotong-potong terlebih dahulu untuk
mempercepat pengomposan. Tidak semua sampah dapur
dapat dikomposkan, seperti kulit telur, kulit kacang, batok
21
kelapa, bonggol jagung, karena memerlukan waktu yang
lama untuk menguraikannya.
- Bila memungkinkan, setiap ketinggian lapisan sampah
mencapai 10 cm, ditambahkan serbuk gergaji, kapur, atau
dedak setinggi 1 cm. Dapat pula disemprotkan larutan EM
setiap hari. Serbuk gergaji/kapur/dedak dan larutan EM
dapat mengurangi bau busuk yang mungkin timbul. Bila
material tambahan tersebut sulit didapat, maka dapat
diganti dengan potongan sampah kebun seperti rumput
dan daun-daunan.
- Untuk menyeragamkan material sampah organik dan juga
untuk mendapatkan sedikit udara, dilakukan pengadukan
dengan menggunakan sekop seminggu sekali.
- Setelah komposter pertama terisi penuh, maka akan
terjadi proses penguraian selama kurang lebih 4–6 bulan,
dan operasional pengomposan berpindah ke komposter
kedua.
- Bila masa sampah sudah hancur menyerupai tanah,
berwarna coklat kehitaman dan tidak berbau lagi, maka
kompos sudah dapat dipanen dan diaplikasikan untuk
tanaman hias atau taman rumah.
22
5.8. KOMPOSTER KOMUNAL
Prinsip kerja komposter komunal hampir sama dengan komposter
rumah tangga, bedanya hanya daerah pelayanan komposter komunal
lebih luas yaitu mencakup satu RT/RW. Fungsinya hampir sama
dengan TPS, hanya jenis sampah yang ditampung khusus untuk
sampah organik rumah tangga yang mudah terurai. Komposter
komunal dapat merupakan gabungan dari beberapa komposter
rumah tangga yang diletakkan pada lokasi/lahan khusus.
Komposter komunal dapat pula mempunyai desain khusus, seperti
beberapa contoh komposter komunal yang terlihat pada gambar 5.
Komposter komunal seperti ini telah diaplikasikan di Kelurahan
Kadipaten, Kodya Yogyakarta dan akan segera diaplikasikan di
Kodya Magelang. Komposter komunal dikelola oleh RT/RW setempat
dan kompos yang dihasilkan digunakan untuk kebutuhan warga.
0 Gambar 5.9. Komposter Komunal
23
Gambar 3.2. Komposter Komunal
DAFTAR PUSTAKA:
1. Departemen Pekerjaan Umum, 1998. Spesifikasi
Komposter Rumah Tangga , Standar Nasional Indonesia,
Jakarta.
2. Yuni & Osawa, 1995. Kompos Sahabat Lingkungan Kita .
Balai Pelatihan Air Bersih dan PLP Dept. Pekerjaan Umum.
Bekasi.
1
BAB VI
DAUR ULANG DAN
PENGKOMPOSAN SAMPAH KOTA
6.1. Umum
Usaha Daur-Ulang dan Produksi Kompos (UDPK) adalah suatu unit
skala kecil yang melakukan pengolahan sampah kota dengan dua
fungsi sekaligus, yaitu daur-ulang dan penjualan sampah anorganik
yang mempunyai nilai ekonomis serta daur-ulang dan penjualan
sampah organik yang diproses menjadi kompos.
Gagasan UDPK ini dikembangkan sebagai salah satu alternatif
penanganan sampah perkotaan yang murah, efisien dan bersahabat
dengan lingkungan. Pengembangan UDPK di dalam sistem
pengelolaan sampah selain dapat menghasilkan nilai tambah
berupa kompos, juga dapat meningkatkan ketepatgunaan sektor
umum, termasuk ; penghematan biaya pengangkutan, penghematan
biaya pemadatan tanah, efisiensi penggunaan TPS dan mengurangi
jumlah sampah yang dikirim ke TPA.
Daur-ulang dan pengomposan mempunyai potensi yang besar
untuk mengurangi timbulan sampah secara berarti dan dengan
demikian dapat mengurangi biaya untuk transportasi, pengolahan
dan pembuangan akhir. Perkiraan potensi daur-ulang adalah 15-25 %
dan untuk pengomposan adalah 30-40%, yang berarti total potensi
pengurangan timbulan sampah adalah 50% yang berarti juga
2
penghematan sebesar 50% dalam biaya transportasi dan
pembuangan.
6.2. Sarana dan Prasarana UDPK
Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sebuah UDPK mencakup
perlengkapan kerja, peralatan produksi dan sarana produksi.
6.2.1. Perlengkapan Kerja
1. Helm kerja 2. Sepatu kedap air (boot) 3. Kaus tangan plastik 4. Pakaian kerja 5. Masker kain 6. Perlengkapan P3K
6.2.2. Peralatan Produksi
1. Cangkrang 2. Terowongan bambu 3. Alat tulis dan kantor 4. Termometer alkohol 5. Selang air 6. Saringan putar 7. Sekop 8. Timbangan 9. Plastik sealer (untuk pengemasan) 10. Keranjang loak 11. Papan, cat dan kuas untuk menandai tumpukan 12. Ayakan kawat dengan beberapa ukuran.
6.2.3. Sarana Produksi
1. Pompa Air 2. Tempat pemilahan 3. Tempat residu 4. Ruang penumpukan kompos
3
5. Ruang pematangan kompos 6. Ruang penyaringan 7. Ruang pengemasan 8. Kantor 9. Kamar mandi 10. Drainase 11. Kebun uji coba
Peralatan Produksi yang paling penting untuk digunakan dapat
dijelaskan fungsinya sebagai berikut :
6.3. Terowongan Bambu
Terowongan bambu terbuat dan bambu dan kayu kaso atau kayu
lainnya (tergantung dan kesediaan bahan di lokasi). Pembuatan
terowongan bambu harus sesuai ukuran yang ditentukan. Pembuatan
terowongan bambu dilakukan sebelum proses produksi dilaksanakan
dan jumlahnya disesuaikan dengan kapasitas UDPK.
GAMBAR 6.1. TEROWONGAN BAMBU
4
Terowongan bambu ini dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi
daerah dan keuangan yang ada, misalnya di Kalimantan banyak
terdapat kayu, maka aerator ini dapat dibuat dari kayu.
6.3.1. Thermometer Alkohol
Alat ini dengan mudah dapat diperoleh di apotik atau toko farmasi.
Terbuat dari kaca berisi alkohol sebagai penunjuk tingginya suhu.
Alat ini mudah pecah sehingga perlu disiapkan cadangannya.
Gambar 6.2. Thermometer alkohol 6.3.2. Keranjang Loak
Alat ini digunakan untuk mengangkut sampah yang sudah dipilah ke
atas terowongan bambu, dan untuk mengangkut barang lapak dan
residu ke lokasinya masing-masing. Alat ini dapat digantikan dengan
alat lain, misalnya tandu dan kain terpal yang dibuat sendiri.
5
Gambar 6.3 Keranjang Loak
6.3.3. Ayakan Kawat Nyamuk
Ayakan ini dipakai untuk menyaring kompos matang agar sesuai
kebutuhan konsumen yang beragam. Biasanya terdapat ayakan yang
berbeda ukuran kerapatan kawat nyamuknya. Ayakan ini dapat
dibuat sendiri karena membutuhkan ukuran yang berbeda tersebut.
Biasanya ukuran kawat nyamuk adalah sebagai berikut:
- Ukuran (5 x 5) mm untuk kompos halus
- Ukuran (5 x 5) mm s/d (10 x 10) mm untuk kompos sedang
- Ukuran (I0 x 10) mm untuk kompos kasar.
6
Gambar 6.4. Ayakan / Saringan Kawat Nyamuk
6.3.4. Ayakan Saringan Putar
Ayakan ini mempermudah dan mempercepat pekerjaan penyaringan.
Alat ini dapat dibuat sendiri atau dipesan di toko alumunium.
Gambar 6.5. Ayakan / Saringan Putar
7
Tabel 6.1 menunjukkan jumlah alat produksi dan perlengkapan kerja
yang dibutuhkan sesuai dengan skala UDPK.
Tabel 6.1. Alat Produksi dan Perlengkapan Kerja UDPK
yang Dibutuhkan dan Masa Pakai
Alat Produksi Jumlah
Masa Pakai
Keterangan
UDPK Kecil
UDPK Besar
Alat Produksi - Terowongan bambu 28-30 45-67 2 bulan - - Thermometer alkohol min. 3 min. 6 selama belum pecah - - Penusuk kayu/besi 3 3-6 - - Keranjang/loak 5 7 2 bulan - - Cangkrang 5 7 3 bulan - - Sekop 3-6 6-12 6 bulan - - Ayakan kawat min. 3 min. 6 3 bulan - - Ayakan putar 1 1 1 tahun - - Timbangan o Besar 1 1 sampai rusak - Untuk kompos
karungan - Untuk kompos 3-5 kg
o Kecil 1 1 - Plastik sealer 1 1 sampai rusak - - Lori (satu roda) 1 2 sampai rusak - - Cat dan kuas 1 unit 1 unit - - Alat tulis kantor
1 unit 2 unit -
Perlengkapan Kerja: - Topi/helm 8 12 kurang lebih 1 tahun - Sarung tangan 7 11 2 minggu - Sarung kain 7 11 2 minggu - Sarung plastik 8 12 2 minggu - Masker 8 12 2 minggu - Baju kerja 16 24 6-12 bulan - Kotak PPPK 1 unit 1 unit sampai habis
8
6.4. Kriteria Perencanaan
6.4.1. Kriteria Umum
Ketentuan umum tentang pengoperasian UDPK adalah sebagai
berikut:
� Lokasi UDPK harus sedekat mungkin dengan daerah
pelayanan.
� Luas lahan yang dibutuhkan minimal 500 m2.
� Bahan baku sampah organik dan non organik tersedia minimal
15 m2 setiap hari.
� Manajemen pengoperasian UDPK perlu didukung oleh:
− Institusi pengelola UDPK yang memadai (Lembaga
Masyarakat, Dinas Kebersihan atau Swasta).
− Biaya pengelolaan yang memadai, baik untuk biaya modal
kerja, biaya operasi maupun pemeliharaan.
− Adanya aspek peraturan yang mendukung, terutama
dalam kaitannya dengan masalah pemasaran kompos.
− Peranserta masyarakat antara lain dalam pemilahan
sampah sangat diharapkan untuk meningkatkan kinerja
UDPK.
6.4.2. Kriteria Teknis
� Ketentuan Bahan Baku
9
Proses pengomposan yang optimum membutuhkan bahan baku
organik segar yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
− Keseragaman jenis sampah organik (sisa sayuran, buah-
buahan, sisa makanan kecuali kulit telur; kulit kacang dan
tulang, sisa daging, daun-daunan, potongan rumput, dan
sebagainya);
− Sampah tidak boleh menginap di sumber sampah, maksimal
berumur 2 (dua) hari sehingga belum mengalami pembusukan
atau mengandung larva lalat;
− Kelembaban/kadar air sampah 50%;
− Nilai/rasio C/N kurang lebih 30%.
6.4.3. Pola Perletakan UDPK
Dalam merencanakan suatu lokasi pengomposan sampah kota,
dapat dilakukan dua pendekatan, yaitu:
− Mencari sumber sampah di suatu daerah tertentu dan kemudian
mencari lahan yang mencukupi untuk menangani sejumlah
sampah yang akan diolah (dikomposkan) tersebut;
− Mencari lokasi yang potensial berdasarkan kriteria pemilihan
lahan, dan ukuran lahan yang dipilih akan menentukan jumlah
sampah yang akan diolah di lokasi tersebut.
Lokasi yang terpilih harus diukur dengan seksama, selanjutnya harus
ditentukan letak daerah untuk penerimaan sampah, pemilahan,
10
penumpukan residu, tumpukan pengomposan aktif, penyaringan dan
pengepakan, serta untuk kantor dan gudang tempat penyimpanan
peralatan kerja. Prosentase luas daerah yang akan digunakan untuk
kegiatan ini adalah sebagai berikut:
− Kegiatan pengomposan aktif : 50 – 60%
− Pemilahan dan penumpukan residu : 15%
− Penyaringan dan pengepakan : 15%
− Gudang dan kantor : 15%.
Angka-angka ini bervariasi tergantung ukuran lahan, besarnya
kegiatan pengomposan, frekuensi pengiriman kompos untuk
pemasaran dan pengangkutan residu, keberadaan lapak, dan
sebagainya. Secara diagramatis perletakan kegiatan tersebut dapat
dijelaskan pada gambar 6.5.
11
Gambar 6.5.. Rencana Perletakan UDPK
Keterangan: sirkulasi hasil pemilahan
sirkulasi produksi
sirkulasi sampah dan residu
Lokasi
Pengomposan
Aktif
Penyaringan dan Pengemasan ± 15%
Gudang ± 10%
Pemilahan ± 10% Kantor
± 10%
Lapak ± 5%
Penumpukan Residu ± 10%
km/wc
BAHAN
12
6.5. Perhitungan Kapasitas Pengomposan
Setelah rancangan pembagian ruang dibuat, dapat ditentukan
jumlah maksimum dari bahan baku kompos yang mampu
ditampung. Setelah itu kita bisa menentukan jumlah sampah yang
bisa ditampung di lokasi UDPK, serta jumlah residu yang harus
diangkut keluar UDPK secara teratur.
Beberapa hal yang harus diperhitungkan dalam menentukan
kapasitas UDPK adalah sebagai berikut:
− Ukuran tumpukan sampah yang ideal adalah tinggi (T) maksimum
: 1,5 M; lebar (L) maksimum : 1,75 M, dan panjang (P)
maksimum : 2 M.
− Jumlah sampah yang dapat dikomposkan adalah 60 – 70%
sampah organik.
− Volume setiap tumpukan sampah adalah V m3,
− Dimana V = P x L x T
− Jumlah volume seluruh tumpukan = A m3, dimana:
� A = n x V ➔ n = jumlah tumpukan
Dalam menentukan jumlah maksimum tumpukan, harus ada jarak
minimal 1,5 M antara tumpukan memanjang. Jarak antara tumpukan
tersebut memungkinkan para pekerja memantau suhu dan
memudahkan pembalikkan sampah.
13
− Kebutuhan minimum pasokan sampah selama 60 hari proses
adalah :
− P = (100/60) x A m3
− Pasokan sampah per hari = P/60
− Perhitungan hasil produksi diperkirakan sebesar 25% dari jumlah
tumpukan awal, karena penyusutan bahan organik yang terjadi
selama proses pengomposan adalah sebanyak 75%.
Ketentuan peletakan tumpukan pada areal pengomposan dapat
dilihat pada gambar 6.6.
Gambar 6.6. Perletakan Tumpukan Pada Lokasi Pengom posan
Sirkulasi 1,00 m
Panjang tergantung
jumlah
Jumlah tumpukan bisa bervariasi tergantung volume sampah yang tersedia
Lokasi tumpukan, lebar = 1,75 m
Jarak kerja antar tumpukan minimal 1,50 m
14
6.6. Penentuan Jumlah dan Jadwal Pemasukan Sampah
Setelah jumlah sampah yang dapat dijadikan kompos ditentukan,
maka jumlah masukkan sampah yang dapat dikirim ke lokasi dapat
dihitung berdasarkan asumsi bahwa 60 – 70% sampah kota dapat
dikomposkan, dengan catatan bahwa hal ini tergantung daerahnya.
Daerah berpenduduk padat perkotaan hanya 30% organik, dan
daerah dengan banyak penghijauan bisa mencapai 70-80%.
Bila jumlah seluruh kebutuhan masukkan sampah (100%) telah
ditentukan, maka jumlah residu dapat dihitung, yaitu sebesar jumlah
seluruh sampah dikurangi volume barang lapak yang masih dapat
didaur-ulang.
6.7. Cara Kerja
Langkah-langkah pengoperasian UDPK dilaksanakan sebagai
berikut:
6.7.1. Pemilahan Sampah
Sampah yang masuk ke lokasi UDPK dipilah untuk mendapatkan
bahan organik pilihan sebagai bahan baku kompos. Barang-barang
yang masih dapat didaur-ulang dikumpulkan sesuai dengan kategori
masing-masing, seperti botol, plastik, kaleng, besi, dan sebagainya.
Demikian pula barang-barang berbahaya, seperti batu baterei harus
diamankan. Sisa pemilahan disebut residu, yang secepatnya harus
dikeluarkan dari lokasi pengomposan sehingga tidak menyita ruang
15
dan mengurangi pencemaran. Pemilahan sebaiknya segera
dilakukan sehingga bahan yang mudah rusak tidak membusuk
secara liar dan menimbulkan bau serta lalat. Pemilahan di sumber
sampah seperti rumah tangga sangat diharapkan, sehingga dapat
mempercepat proses dan membantu pekerja.
6.7.2. Penumpukan Bahan Baku Kompos
Sampah organik pilihan sebagai hasil pemilahan, kemudian disusun
menjadi tumpukan di atas terowongan udara. Seperti telah dijelaskan
di bab sebelumnya, tumpukan ideal adalah 1,5 M (T) x 1,75 M (L) x 2
M (P). Ukuran ini setara dengan ± 2-3 ton sampah. Langkah ini dapat
berlangsung 2-3 hari, misalnya karena bahan tidak mencukupi atau
karena pemilahan tidak selesai pada hari itu. Berikut gambar
tumpukan ideal dari bahan baku kompos.
Gambar 6.7. Tumpukan Ideal Bahan Baku Kompos
16
6.7.3. Pemantauan Suhu Selama 2-4 Hari Pertama
Setelah bahan baku telah selesai ditumpuk dan mencapai ukuran
ideal, maka suhu tumpukan perlahan-lahan akan meningkat sampai
mencapai 650C atau lebih. Suhu setinggi ini memang diperlukan
selama beberapa hari guna mematikan mikroorganisme patogen,
bibit gulma yang tidak dikehendaki dan membantu memperlunak
bahan yang sedang dikomposkan. Tetapi suhu yang tinggi ini tidak
boleh dibiarkan terlalu lama, karena dapat mematikan bakteri atau
mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan.
Akibatnya adalah proses akan terhenti, dan bahan baku tidak akan
berubah menjadi kompos. Maka bila suhu terlalu tinggi lebih dari 4
(empat) hari, maka tumpukan harus segera dibalik.
6.7.4. Memberikan Perlakuan Berdasarkan Suhu dan
Kelembaban
Kondisi tumpukan harus terus dijaga dan terpelihara agar kegiatan
pelapukan bahan oleh jasad renik dapat berlangsung dengan baik.
Hal ini dilakukan dengan memberikan perlakuan pada tumpukan
bahan. Kondisi tumpukan dapat diketahui dengan mengamati suhu
dan kelembaban.
A. Pemantauan Suhu
Suhu yang diinginkan selama proses pelapukan berkisar antara 45-
650C. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer
alkohol, yang ditancapkan pada 3 hingga 5 tempat pada sisi
17
tumpukan, dan kemudian dihitung rata-ratanya. Mula-mula sisi-sisi
tumpukan dilubangi/ditusuk dengan alat bantu berupa besi atau
kayu/bambu. Kedalaman lubang/tusukan adalah 2/3 tinggi dari tebal
tumpukan tersebut. Kemudian termometer dimasukkan pada lubang-
lubang tersebut, dan lubang ditutup kembali sehingga yang terlihat
hanya tali pengikat termometernya saja. Setelah 1-2 menit temometer
dicabut dengan cara menarik tali pengikatnya. Penunjukan suhu oleh
termometer harus segera dibaca dengan cepat. Kalau lambat dibaca,
maka pembacaan menjadi salah karena tinggi cairan alkohol akan
cepat turun akibat terpengaruh dengan suhu kamar/udara yang relatif
jauh lebih rendah.
Gambar 6.7. Cara Pengukuran Suhu Tumpukan
B. Pemeriksaan Kelembaban
Kelembaban ideal yang diperlukan dalam proses pengomposan
berkisar 50%. Cara memeriksa kelembaban bahan secara
sederhana adalah dikepal dengan tangan. Bahan di bagian dalam
18
tumpukan diambil, kemudian diremas dengan kepalan tangan.
Apabila:
− Dari remasan tidak keluar air sama sekali dan buyar bila
dilepaskan berarti tumpukan kering dan harus dilakukan
penyiraman;
− Air mengalir cukup banyak dari sela-sela jari, berarti tumpukan
terlalu basah atau kelembaban terlalu tinggi. Maka, pembalikan
tumpukan harus dilakukan dengan segera;
− Hanya muncul sedikit tetesan air dari sela-sela jari, maka
kelembaban yang diinginkan telah tercapai.
Gambar6.8. Memeriksa Kelembaban Tumpukan
19
C. Perlakuan Yang Diberikan Kepada Tumpukan
Bentuk perlakuan-perlakuan pada proses pengomposan adalah
melakukan pembalikan dan penyiraman. Pada waktu pembalikan
tumpukan tidak jarang dilakukan penyiraman secara bersamaan.
a. Pembalikan Tumpukan
Pembalikan tumpukan bertujuan:
− Membuang panas yang berlebihan (menurunkan suhu);
− Memasukkan udara segar ke dalam tumpukan bahan;
− Meratakan proses pelapukan di setiap bagian tumpukan;
− Meratakan pemberian air (bila sambil menyiram tumpukan);
− Membantu penghancuran bahan menjadi partikel yang lebih kecil.
Ada dua macam pembalikan, yaitu pembalikan ganda dan
pembalikan tunggal. Gambar 6.9. dan 6.10 menunjukkan kedua cara
pembalikan tersebut.
Gambar 6.9. Pembalikan Ganda
20
Keuntungan dari pembalikan ganda adalah bisa menghemat tempat
dan pengaruh pembalikan lebih merata. Namun tenaga dan waktu
yang dikeluarkan lebih banyak, sehingga berpengaruh terhadap
biaya.
Pembalikan tunggal menuntut lahan yang lebih luas, tetapi waktu dan
tenaga kerja yang dibutuhkan lebih sedikit. Bila luas lahan
pengomposan tidak menjadi masalah, maka pembalikan tunggal
dapat diterapkan.
Gambar 6.10. Pembalikan Tunggal
b. Penyiraman Tumpukan
Penyiraman tumpukan dilakukan bila diketahui tingkat kelembaban
tersebut terlalu rendah atau tidak mencukupi. Penyiraman umumnya
dikerjakan pada saat pembalikan.
21
C. Pematangan Kompos
Setelah waktu berjalan kurang lebih selama 35-40 hari, akan terlihat
suhu rata-rata tumpukan semakin menurun. Bahan telah lapuk dan
menyerupai tanah, berwarna coklat tua atau kehitaman. Kondisi fisik
ini menunjukkan bahwa bahan baku telah berubah menjadi kompos.
Kompos masuk pada tahap pematangan yang memerlukan
pematangan selama 14 hari. Hal ini bertujuan untuk meyakinkan
bahwa kompos telah benar-benar matang dan untuk dapat menjamin
bahwa kompos benar-benar telah aman untuk digunakan. Selama 14
hari tumpukan perlu diberi perlakuan agar mencapai tingkat
kematangan yang baik. Suhu tumpukan tetap diukur selama proses
pematangan berlangsung.
Untuk menguji apakah kompos sudah benar-benar matang,
tumpukan perlu dibalik (pematangan hari pertama). Pada hari
berikutnya ternyata suhu tetap rendah seperti hari pertama, maka
tumpukan dibalik lagi (pematangan hari kedua). Apabila suhu tetap
berada di bawah 450C, maka dapat dipastikan kompos telah matang.
Tetapi bila suhu kembali meningkat di atas 450C dalam masa
pematangan, maka tumpukan perlu dibalik dan juga disiram kalau
kondisi tumpukan terlalu kering.
Cara lain untuk menguji kematangan kompos, yaitu dengan menutup
tumpukan dengan sehelai plastik transparan. Bila dalam satu hari
terlihat adanya titik-titik uap air pada plastik tersebut, maka hal
tersebut menandakan masih terjadi proses penguraian bahan
22
organik, atau dengan kata lain kompos belum benar-benar matang.
Biasanya, bila kompos belum matang betul, ketika plastik dibuka
maka akan timbul bau busuk yang menyengat yang menandakan
jasad renik masih aktif.
Parameter yang biasa dipakai untuk menentukan kematangan adalah
rasio karbon : nitrogen (rasio C/N) dari produk akhir. Selama proses
berjalan, kandungan karbon menurun karena berubah menjadi
karbon dioksida. Bila bahan telah menjadi kompos, rasio C/N
biasanya menjadi kurang dari 20 : 1. Rasio-rasio lain antara 15 : 1
sampai 30 : 1, diusulkan sebagai batasan untuk menentukan
kematangan kompos.
Ciri-ciri kompos yang telah matang adalah sebagai berikut:
− bentuk fisik tumpukan telah hancur, dan tumpukan terlihat lebih
mengecil (penyusutan berat dapat mencapai 50-60% dari
awalnya);
− warna tumpukan coklat tua kehitaman menyerupai tanah;
− selama beberapa hari suhunya tetap sama atau di bawah 450C.
− Berbau tanah (tidak menimbulkan bau busuk).
6.8. Pemanenan dan Pengemasan
Bila kompos telah matang, maka kemudian dilakukan pemanenan.
Kompos dipisahkan (diayak) untuk mendapatkan butiran-butiran
kompos yang kita inginkan yaitu dari butiran halus sampai kasar. Hal
ini juga sekaligus menyingkirkan serpihan plastik dan bahan lain yang
tidak berguna. Langkah pengayakan dan pengemasan lebih
23
tergantung kepada selera atau kemauan dari pasar (pemakai atau
pembeli). Ukuran butiran kompos sangat tergantung pada ukuran
lubang saringan (ayakan). Bilamana digunakan ukuran lubang yang
lebih kecil lagi (misalnya 1 x 1 mm), maka akan diperoleh butiran
kompos yang lebih halus lagi.
Penyaringan dapat dilakukan di mana saja; artinya, saringan dapat
dipindah sesuai dengan letak tumpukan yang akan disaring. Caranya
adalah sebagai berikut:
− Dirikanlah saringan dengan menggunakan penopang kayu,
sampai bidang saringan tegak kurang lebih 70 derajat.
− Kemudian, dari jarak 1 meter, lemparkanlah satu sekop kompos
ke bagian atas saringan. Lemparan harus cukup kuat, sehingga
bahan dapat terdorong melalui lubang saringan.
− Lakukanlah berkali-kali, sampai diperoleh sejumlah kompos hasil
saringan di satu sisi, dan sejumlah lain yang tidak lolos di sisi lain.
− Kompos yang tidak lolos lubang saringan dapat dikumpulkan, lalu
ditumpuk menjadi tumpukan kompos baru, atau dicampurkan ke
dalam tumpukan yang belum matang untuk dipanen kemudian.
24
Penyaringan kompos dapat dilihat pada gambar 6.11. berikut:
Gambar 6.11. Cara Penyaringan Kompos
Kompos yang sudah disaring dikemas ke dalam kantong sesuai
dengan kebutuhan pasar. Kantong yang lazim digunakan saat ini di
pasaran adalah sebagai berikut:
− Plastik kedap air, ukuran 30 cm x 25 cm untuk kompos halus
seberat ± 3 kg.
− Plastik kedap air, ukuran 35 cm x 29 cm untuk kompos halus
seberat ± 5 kg.
− Karung plastik, berukuran 90 cm x 60 cm, untuk kompos jenis
halus, kasar maupun sedang seberat ± 40 kg.
Kemasan kecil biasanya untuk melayani kebutuhan rumah tangga
melalui penjual eceran maupun di pasar-pasar swalayan. Sedangkan
25
kemasan besar, terutama untuk melayani kebutuhan besar seperti
pertamanan, pertanian, reklamasi, dan sebagainya.
Berat kompos akan mengalami penyusutan sesuai dengan
kandungan airnya. Untuk kemasan yang menggunakan karung (tidak
kedap air), maka air yang terkandung di dalamnya akan mengalami
penguapan, sehingga kompos akan menjadi kering dan berkurang
beratnya. Untuk mencegah hal ini, maka kompos dalam karung
tersebut sebaiknya ditumpuk di gudang yang terlindung dari sinar
matahari. Selain itu, untuk penyimpanan yang cukup lama diperlukan
penyiraman untuk mempertahankan kelembaban kompos.
Kompos dalam kemasan harus disimpan dalam gudang agar aman
dari pencurian. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pencatatan
barang masuk-keluar, untuk memudahkan pengelolaan usaha.
6.9. Potensi Pasar Kompos
Pada umumnya, sesuai dengan kegunaannya, kompos dapat
dipasarkan kepada kalangan yang cukup luas. Secara garis besar,
kalangan ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
6.9.1. Pencinta Tanaman
Kelompok ini umumnya memanfaatkan kompos sebagai media
tumbuhan pada taman yang dikelola secara amatir atau sebagai
kegemaran/hobi. Pertimbangan utamanya adalah kualitas kompos
dan tidak terlalu pada pertimbangan harga. Kelompok ini antara lain
26
adalah pemilik tanaman hias, tanaman pot, kebun, dan taman rumah
tangga.
6.9.2. Pengusaha Profesional
Kelompok ini menggunakan kompos sebagai salah satu masukkan
dalam kegiatan usahanya. Oleh karena itu, kelompok ini umumnya
sangat berkepentingan dengan harga dan kelanggengan hubungan,
selain jumlah dan kualitas yang baik dan stabil. Kelompok ini terdiri
dari pengusaha-pengusaha dalam bidang:
- Pembibitan tanaman hias, hutan industri;
- Pertanian sayur-mayur, buah-buahan, palawija, padi dan rumput;
- Perkebunan tanaman keras seperti kopi, coklat;
- Tambak udang dan ikan;
- Penyewaan tanaman hias;
- Pertamanan;
- Padang golf dan lapangan olah raga;
- Pengembang permukiman.
6.9.3. Pemerintah
Kelompok yang tidak kalah pentingnya adalah dinas-dinas
pemerintah daerah, serta instansi pemerintah yang terkait dengan
hal-hal sebagai berikut:
- Taman kota dan jalur hijau;
- Tempat rekreasi dan lapangan olah raga;
27
- Kebun raya;
- Usaha pemulihan tanah kritis;
- Usaha/proyek penghijauan;
- Usaha reklamasi lahan;
Kelompok pencinta tanaman merupakan pangsa pasar skala kecil.
Bila kompos menjadi populer di kalangan ini, maka pasarannya
menjadi potensial karena pasar relatif stabil dan pembeli tidak sensitif
terhadap harga. Dengan kemasan yang baik, pelayanan yang
memuaskan dan diversifikasi produk untuk berbagai jenis
penggunaan kompos, harga jual dengan mudah dapat dinaikkan.
Margin keuntungan per unit dari pangsa pasar ini dapat besar.
Kelompok pengusaha profesional dan pemerintah merupakan pangsa
pasar skala besar karena mampu menyerap kompos dalam jumlah
besar, namun sensitif terhadap harga.
Kompos banyak memiliki manfaat bagi masing-masing pangsa
pasar tersebut di atas. Manfaat kompos terhadap beberapa
usaha terutama agrobisnis adalah sebagai berikut:
6.9.4. Produksi Rumput
Petani rumput memiliki potensi yang agak rendah karena sensitif
terhadap harga dan daya belinya lemah. Sedangkan pengusaha
lapangan golf dan usaha rancang taman memiliki potensi cukup tinggi
karena tidak terlalu sensitif terhadap harga dan daya beli kuat.
28
Manfaat agronomisnya adalah dengan pemakaian kompos, rumput
dapat tumbuh lebih cepat, sedangkan manfaat ekonominya adalah
penghematan pemakaian air dan dapat mencegah pembelian rumput
baru pada saat musim kering.
6.9.5. Konstruksi dan Pemeliharaan
Pengusaha lapangan golf memiliki potensi yang tinggi karena tidak
terlalu sensitif terhadap harga dan memiliki daya beli kuat.
Manfaat agronomisnya adalah antara lain:
- Aliran air dan udara menjadi lebih baik;
- Mencegah erosi;
- Menahan air lebih lama;
- Mencegah kerusakan rumput di musim kering;
- Tidak berbau dan mudah dipakai;
- Bebas gulma dan jamur.
Manfaat ekonomisnya adalah dengan pemakaian kompos dapat
menghemat penyiraman, karena rumput mampu menahan dan
menyimpan air.
6.9.6. Pembibitan Padi
Petani memiliki potensi yang cukup tinggi tetapi sensitif terhadap
harga. Petani padi biasanya membutuhkan kompos dalam jumlah
29
besar, sehingga perlu dipertimbangkan lokasi penumpukan dan
penyimpanannya.
Manfaat agronomisnya antara lain adalah bibit siap ditanam
seminggu lebih cepat dan secara signifikan mengurangi lamanya
waktu pembibitan. Dengan demikian manfaat ekonomisnya adalah
siklus produksi dapat dipercepat.
6.9.7. Sayur, Buah, Bunga dan Rempah.
Petani sayur, buah, bunga dan rempah-rempah memiliki potensi
tinggi karena membutuhkan kompos dalam jumlah besar dengan
daya beli yang cukup tinggi. Tetapi banyak pesaing pupuk organik
lain, seperti pupuk kandang.
Manfaat agronomisnya adalah:
• Kompos dapat mencegah penyakit akar dan hama pada tanaman
palawija, lada, vanili, cabe, tomat, jahe, alpokat.
• Aerasi dan drainase yang lebih baik membuat akar tumbuh lebih
besar dan lebih sehat, seperti tanaman umbi jahe, kunyit, bawang
putih, dsb.
Penggunaan kompos pada jenis tanaman-tanaman di atas secara
ekonomis dapat mengurangi pemakaian pupuk kimia.
30
6.9.8. Tanaman Pot dan Masa Perkecambahan,
Jenis usaha yang memiliki potensi tinggi adalah usaha hortikultura,
usaha tanaman (pembibitan, sewa tanaman, rancang tanaman),
penggemar tanaman hias, hutan tanaman industri, dan usaha bunga
potong. Hal ini disebabkan jenis-jenis usaha di atas mampu
menyerap dalam jumlah besar dan memiliki daya beli tinggi.
6.9.9. Percepatan Masa Produksi
Kompos dapat mempengaruhi masa produksi. Pangsa pasar yang
baik untuk ini adalah pengusaha tambak udang. Karena
penyerapannya sangat tinggi.
Manfaat agronomisnya adalah:
• Masa pertumbuhan benur udang lebih cepat setengah bulan;
• Fisik udang lebih besar dan sehat karena lahan tambak sehat;
• Meningkatkan pertumbuhan plankton sebagai makanan udang
dan plankton tumbuh stabil;
• Ketahanan hidup udang bertambah;
• Berat badan udang naik dan kebutuhan makanan menurun.
Manfaat ekonomisnya adalah sebagai berikut:
• Pemakaian kompos pada tambak udang dapat mengurangi input
bahan kimia;
• Udang menjadi lebih besar dan sehat sehingga harga meningkat;
31
• Mencegah kerusakan lahan tambak;
• Dengan menambah input kompos sekitar Rp. 50.000,- per 0,5 ha
tambak, keuntungan bertambah minimal Rp. 500.000,-.
6.10. PESAING KOMPOS
Agar mampu menerobos pasar, diperlukan suatu pengetahuan
mengenai keunggulan dan kelemahan dari produk yang akan dijual,
maupun yang menjadi pesaing. Sampai saat ini belum terdapat suatu
keseragaman pengertian mengenai kompos. Banyak penjual media
tanamam yang menawarkan kompos dengan variasi yang sangat
luas, baik dalam arti mutu, campuran bahan serta harganya.
Sampai saat ini terdapat dua macam produsen kompos pesaing,
yaitu kompos pesaing resmi (formal) dan yang tidak resmi (informal).
Kompos hasil produsen informal beraneka ragam. Kompos ini dapat
hilang dan timbul, dan muncul dengan nama baru. Kandungannya
dapat berupa tanah bakar, sampah kebun yang dipendam, pupuk
kandang yang dicampur tanah. Standar mutunya tidak dapat dijamin
karena kandungannya dapat berubah tergantung bahan yang
tersedia. Pesaing kompos lainnya adalah humus hutan yang
biasanya dipakai oleh kebanyakan pembibitan tanaman hias di
Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Tabel berikut ini adalah ciri-ciri dan
pesaing kompos.
32
Tabel 6.2. Ciri-ciri Kompos dan Pesaing Kompos
URAIAN
KOMPOS UDPK
HUMUS
PUPUK KANDANG
TANAH BAKAR
Asal
Sampah kebun, sisa makanan dan sampah organik lain yang telah diseleksi
Tanah hutan
Kotoran hewan
Sampah kebun yang dibakar tanpa dipilih, kadang dicampur pupuk kandang, tanah, pasir, pupuk kimia, dsb
Kandungan
Zat hara mikro, sedikit zat hara makro
Murni alami: Kaya zat hara makro dan mikro
Mengandung N cukup banyak dapat membunuh benih yang peka dalam perkecambahan
Tidak tentu tergantung campuran.
Bahaya Pencemaran
Ada pemilahan sampah, pencemaran dapat dihindari
Pupuk organik terbaik, murni alami dan tidak tercemar
Tidak tercemar selama murni pupuk kandang
Kemungkinan tercemar logam berat dan bahan beracun
Harga
Relatif mahal
Relatif murah
Relatif murah
Murah
Kegunaan
Pembibitan, konservasi tanah, taman, RT, tambak udang, penghijauan, reklamasi, dsb
Segala jenis tanaman pada segala tahap di dalam dan di luar rumah
Tanaman di kebun, untuk di dalam rumah pupuk kandang harus betul-betul matang
Karena mutunya rendah, tidak dapat dijamin akibatnya pada tanaman
(CPIS, 1994)
1
BAB VII
PEMBIAYAAN DAUR ULANG
6.1. Umum
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi aspek pembiayaan
pembuatan kompos dan daur ulang atau dapat juga disebut sebagai
variabel ongkos produksi adalah sebagai berikut :
• Sampah sebagai bahan baku.
• Lahan / lokasi.
• Teknologi.
• Tenaga kerja.
• Bangunan dan perlengkapan.
• Strategi pemasaran.
• Harga jual kompos dan materi daur ulang.
6.1.1. Sampah Sebagai Bahan Baku
Ongkos produksi pembuatan kompos dan atau daur ulang akan
dipengaruhi oleh kondisi sampah, yaitu :
• Kompos memerlukan sampah dengan komposisi organik tinggi
(rata-rata di Indonesia adalah 60 - 80 %) dan kadar air tinggi (50
- 60 %). Selain itu C / N ratio sampah juga akan berpengaruh
pada proses fermentasinya.
2
• Sumber sampah, kualitas sampah yang berasal dari sumbernya
akan jauh lebih baik daripada sampah di TPA (sampah di TPA
telah tercampur dan kotor). Kondisi ini akan mempengaruhi
kualitas kompos.
• Pemilahan sampah, sampah yang telah dipilah dari sumbernya
akan jauh lebih baik dari sampah tanpa pemilahan. Sampah
organik dan atau anorganik terpilih dapat langsung dibawa ke
tempat UDPK sedangkan sisanya (residu) diangkut ke TPA.
• Jumlah sampah akan menentukan kapasitas produksi dan
daerah layanan UDPK.
6.1.2. Lahan / Lokasi
Lahan / lokasi unit produksi kompos berpengaruh dalam perhitungan
ongkos produksi, yaitu :
• Lahan dekat dengan daerah pelayanan secara teknis lebih baik
karena tidak memerlukan biaya transportasi, tetapi biasanya
harganya relatif lebih mahal. Sedangkan lahan di TPA biayanya
relatif murah namun masih memerlukan biaya transportasi.
• Luas lahan yang tersedia akan mempengaruhi kapasitas
produksi, luas lahan yang disarankan untuk skala kawasan
adalah 500 m2 (sulit mendapatkan lahan yang luas di perkotaan).
3
6.1.3. Teknologi Pembuatan Kompos Dan Daur Ulang
Pemilihan teknologi pembuatan kompos dan daur ulang penting
dipertimbangkan sebagai upaya mencari ongkos produksi yang relatif
tidak mahal, seperti :
• Mesin mekanis pembuatan kompos akan lebih mahal
dibandingkan cara yang konvensional (manual).
• Proses daur ulang menggunakan alat mekanis (magnetic
separator) akan lebih mahal dibandingkan dengan cara manual.
• Penggunaan media lain (cacing, bakteri) sebagai upaya
mempercepat proses pengomposan perlu diperhitungkan
dengan cermat.
6.1.4. Tenaga kerja
Tenaga kerja yang mengoperasikan unit produksi kompos
merupakan salah satu komponen biaya O/P. Dengan demikian maka
jumlah tenaga kerja perlu diperhitungkan sesuai dengan kapasitas
produksinya. Jumlah tenaga kerja yang terlalu banyak maupun terlalu
sedikit akan tidak efisian. Untuk itu produktivitas para tenaga kerja
sangat menentukan biaya produksi.
6.1.5. Bangunan Dan Perlengkapan
Luas dan jenis bangunan serta perlengkapan pada unit produksi
kompos berpengaruh pada perhitungan biaya investasi. Usia teknis
4
bangunan dan perlengkapan juga perlu dipertimbangkan dalam
perhitungan biaya penggantian (depresiasi).
6.1.6. Strategi Pemasaran
Keberhasilan pemasaran kompos maupun materi daur ulang
merupakan kunci kesinambungan produksi. Untuk itu sebelum unit
produksi dibangun perlu dibuat studi pemasaran terlebih dahulu atau
minimal koordinasi dengan instansi terkait seperti Dinas Kebersihan,
Dinas Pertamanan, Dinas Pertanian dan Perkebunan, Dinas
Pertambangan dan lain-lain.
6.1.7. Harga Jual
Harga jual kompos dan materi daur ulang akan mempengaruhi
kesinambungan produksi. Unit cost agar dihitung berdasarkan kaidah
ekonomi yang berlaku serta kepentingan aspek lingkungan (kompos
dapat digunakan untuk memperbaiki struktur tanah dan dapat
digunakan sebagai tanah penutup TPA serta dapat mengurangi
volume sampah yang dibuang ke TPA).
6.2. Model Pembiayaan
Perhitungan pembiayaan produksi kompos dan daur ulang terdiri dari
beberapa komponen, yaitu :
• Biaya investasi dan depresiasi.
• Biaya operasi dan pemeliharaan.
5
• Bunga pinjaman.
• Unit cost.
6.2.1. Komponen Biaya Investasi
Model biaya investasi unit produksi kompos diberikan untuk beberapa
tipe pembuatan kompos seperti UDPK, vermikompos dan kompos
dengan bakteri EM-4, sebagai berikut :
• UDPK
Biaya investasi pembangunan UDPK dan perlengkapannya untuk
kapasitas 15 m3 / hari adalah sebagai berikut :
• Biaya pembebasan lahan (luas 500 m2), harga lahan sangat
tergantung pada letak lokasi dan kota.
• Biaya pembuatan bangunan yang meliputi kantor, kamar mandi,
gudang, areal pemilihan, areal pengomposan, pagar, instalasi
pompa air, instalasi listrik, saluran drainase, penyiapan lahan dan
lain-lain. Biaya investasi ditentukan oleh jenis bangunan
(permanen atau semi permanen), bentuk bangunan areal
pengomposan (dengan atau tanpa dinding), jenis pagar (besi,
tembok atau kayu).
• Biaya pembelian perlengkapan, meliputi keranjang, cangkrang,
sekop, golok, termometer, terowongan bambu, saringan, masker,
sepatu boot, sarung tangan, timbangan, selang, kemasan (karung
atau kantong plastik), lembaran plastik dan lain-lain.
6
• Kompos dengan bakteri EM-4
Biaya investasi unit produksi kompos dengan bakteri EM-4 (kapasitas
15 m3 / hari) adalah meliputi :
• Biaya pengadaan lahan (luas 200 m2). Harga lahan sangat
tergantung pada letak lokasi dan kota.
• Biaya pembuatan bangunan (bangunan kantor, gudang, areal
pemilahan, areal pengomposan, pagar, saluran drainase,
instalasi air, instalasi listrik dan lain-lain).
• Biaya pengadaan perlengkapan seperti keranjang, wadah
pengomposan, selang, saringan kawat, perlengkapan kerja,
timbangan, karung kemasan atau kantong plastik dan lain-lain.
• Biaya pembelian biakkan bakteri EM - 4. Selanjutnya bakteri
dapat dibiakkan sendiri.
6.2.2. Komponen Biaya Operasi Dan Pemeliharaan
Komponen biaya operasi dan pemeliharaan untuk unit produksi
kompos / daur ulang secara umum adalah terdiri dari :
• Biaya upah tenaga kerja, yang minimal sesuai dengan UMR yang
berlaku. Besarnya biaya ini sangat tergantung pada jumlah
tenaga kerja yang digunakan. Untuk unit dengan kapasitas
produksi 15 m3 / hari, rata-rata diperlukan 6 - 10 tenaga kerja.
• Biaya sewa tanah (apabila tidak mungkin membeli). Besarnya
biaya sewa ini sangat tergantung pada letak lokasi yang dipilih.
7
• Biaya air dan listrik, besarnya tergantung pada pemakaian air
dan listrik.
• Biaya pemeliharaan dan pergantian peralatan, berupa perbaikan
bangunan, pergantian peralatan yang rusak dan lain-lain.
• Biaya budidaya cacing (untuk unit produksi vermikompos). Biaya
ini diperlukan untuk pembelian media bagi cacing.
• Biaya pengembang biakkan bakteri (untuk unit produksi kompos
dengan bakteri EM-4). Biaya ini diperlukan untuk pembelian
media pertumbuhan bakteri EM-4.
• Biaya pengangkutan residu ke TPA.
• Biaya kantor, seminar, diklat pekerja, promosi dan lain-lain.
• Biaya tak terduga. Biaya ini diperlukan untuk hal-hal diluar
perhitungan.
6.2.3. Bunga Pinjaman
Apabila biaya investasi berasal dari dana pinjaman, maka bunga
pinjaman harus diperhitungkan sebagai salah satu komponen dalam
menentukan ongkos produksi dan penentuan harga jual kompos.
Besarnya bunga pinjaman tergantung dari mana sumber dana
tersebut (dana BLN atau pinjaman bank), besarnya antara 10 - 20 %.
6.3. Unit Cost
Perhitungan unit cost produksi kompos dihitung berdasarkan hal-hal
sebagai berikut :
8
• Biaya produksi, meliputi biaya depresiasi (biaya investasi dibagi
dengan umur teknisnya), biaya operasi dan pemeliharaan serta
bunga pinjaman. Biaya ini dihitung untuk satu tahun.
• Kapasitas produksi kompos dihitung berdasarkan asumsi 25 %
dari sampah curah atau 50 % dari sampah organik. Sebagai
contoh apabila kapasitas sampah curah adalah 15 m3 / hari maka
produksi komposnya diperkirakan akan menjadi 3 - 4 m3 perhari.
Produksi kompos ini kemudian dihitung untuk 1 tahun.
• Unit cost dihitung dari pembagian biaya produksi terhadap jumlah
produksi kompos, sehingga didapat unit cost per m3 kompos atau
per kilogram kompos.
Contoh model biaya usaha unit produksi kompos
6.4. Contoh Perhitungan Biaya Pendirian UDPK (Studi CPIS di
Jakarta, 1993)
Berikut ini adalah contoh perhitungan biaya yang dibutuhkan untuk
mendirikan UDPK skala kawasan, dengan kriteria sebagai berikut :
1. Luas lahan 500 M2, dengan perincian :
• Areal pengomposan : 275 m2
• Areal pemilahan : 35 m2
• Areal penumpukan residu : 20 m2
• Areal pengayakan : 30 m2
9
• Bangunan : 50 m2
• Areal batas : 85 m2
2. Pasokan sampah 15 m3 / hari.
3. Jumlah tenaga kerja :8 orang (tenaga untuk proses pengomposan
saja).
4. Produksi kompos total : 600 - 700 kg .
5. Waktu proses pengomposan rata-rata 60 hari.
Berdasarkan asumsi tersebut diatas, maka kebutuhan biaya yang
dihitung berdasarkan eskalasi dari harga-harga di Jakarta tahun
1993 adalah sebagai berikut :
1. Investasi bangunan dan areal pengomposan : Rp. 20.000.000,-
2. Biaya pengadaan peralatan / perlengkapan : Rp. 2.000.000,-
3. Biaya modal kerja (3 bulan) : Rp. 5.400.000,-
Jumlah total : Rp. 30.000.000,-
Perkiraan hasil usaha UDPK tersebut diatas adalah sebagai berikut
No Komponen Biaya Biaya (Rp. )
I
I.1
I.2.
I.3.
Pengeluaran
Modal :
� Investasi
� Modal Biaya O /P (3 bulan)
Depresiasi / tahun
Operasional / tahun
� supply sampah
� penumpukan residu
20.000.000,-
5.400.000,-
5. 080.000,-
-
1.000.000,-
10
No Komponen Biaya Biaya (Rp. )
I.4.
I.5.
� Tenaga kerja
� Sewa lahan
� Peralatan
Pemeliharaan / tahun
Bunga pinjaman (bila menggunakan jasa bank)
18.750.000,-
3.750.000,-
5.250.000,-
300.000,-
3.710.000,- (rata-rata 15 %)
Total Pengeluaran / tahun 38.160.000,-
II
II.1.
II.2.
Penerimaan / tahun
Penjualan barang lapak
Penjualan kompos
1.300.000,-
37.700.000,-
Total Penerimaan 39.000.000,-
III Perkiraan Keuntungan 840.000,-
Sumber : CPIS, 1993 & eskalasi (investasi 100 %, O/P 50 % dan penerimaan 30 %)
6.5. Contoh Perhitungan Biaya Pembuatan Kompos
dengan Bakteri EM-4
Berikut ini adalah contoh perhitungan biaya yang dibutuhkan untuk
mendirikan unit produksi vermikompos skala kawasan (hasil
penelitian Puslitbang Permukiman, Departemen Pekerjaan Umum,
1998/1999), dengan kriteria sebagai berikut :
• Luas lahan : 100 m2.
• Lokasi di TPA.
• Kapasitas 2,5 m3 / hari.
11
• Jumlah tenaga kerja : 4 orang.
• Waktu proses pengomposan rata-rata 21 - 30 hari.
• Proses menggunakan bakteri EM-4.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka biaya yang dibutuhkan
untuk pembuatan kompos dengan Bakteri EM-4 adalah sebagai
berikut :
No Komponen Biaya Biaya (Rp.)
I
1.1.
1.2.
1.3.
Pengeluaran
Investasi :
� Bangunan
� Peralatan
� Pengadaan Bakteri EM-4 per tahun
Operasional / Pemeliharaan per tahun
� Gaji / upah
� Air
� Listrik
� Packing
� Sewa lahan
� Pemeliharaan
Bunga
10.000.000,-
500.000,-
4.013.000,-
10.203.300,-
200.000,-
75.000,-
27.700,-
150.000,-
1.600.000,-
1.300.000,-
II Penerimaan
Hasil penjualan kompos
2.340.000,-
Sumber : Hasil Penelitian Puslitbangkim , 1998 / 1999 Catatan : - Biaya produksi per kg sampah adalah Rp. 85,-
- Biaya produksi per kg kompos adaalah Rp. 250,-
Diagram Penerapan Teknologi
Pengolahan Sampah Perkotaan dan Pemanfaatannya
SAMPAH
KOTA
ORGANIK
AN- ORGANIK
TPS
TPS
COMPOSTING
SISA
DAUR
SANITARY
GAS
KOMPOS
TEPUNG PROTEIN
GAS
SARANA
REKREASI
BAHAN BAKU
INDUSTRI
PENAMBAHAN LUAS
DARATAN
KUALITAS AIR YANG TIDAK
MELAMPAUI
AMBANG
ENERGI
REKLAMASI
SISA YANG TIDAK DAPAT
ATMOSFER
SISA
YANG
DAP
SISA
GAS BERSIH
INSTALASI
PEMBAKARAN LIMBAH SAMPA
H
Pengumpulan
Pengumpulan
Pengangkutan
Pengangkutan