DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN:
MENYUSURI JEJAK KOTA SATUI
DALAM LINTASAN SEJARAH
Tim Peneliti PSP Sejarah FKIP Unlam
DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN:
MENYUSURI JEJAK KOTA SATUI
DALAM LINTASAN SEJARAH
~ iv ~
Tim Peneliti PSP Sejarah FKIP Unlam :
1. DR. Herry Porda N.P., M.Pd
2. Drs. M. Zaenal Arifin Anis, M. Hum
3. Mansyur, S.Pd, M.Hum
4. Heri Susanto, S.Pd, M.Pd
DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN:
MENYUSURI JEJAK KOTA SATUI DALAM LINTASAN SEJARAH
Cover Design : Syamsudinor, S.Pd
Lay Out : Mansyur, S,Pd, M.Hum & Syamsudinor, S.Pd
Jumlah Hlm. : 136 hlm
Ukuran : 14 x 20cm
ISBN :
Tahun : 2013
Cover : Peta “Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld Onder
Leiding Van Dr. A.W. Nieuwenhuis”, dibuat dan
dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun 1902.
Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
~ v ~
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga Tim Peneliti
bisa menyelesaikan penyusunan dan penulisan bukuini.
Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi dan Rasul yang
telah membawa ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin dan
menjadi teladan bagi ummatnya.
Tim Peneliti menyadari bahwa selesainya penulisan
bukuini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini Tim Peneliti
mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang tidak terhingga
kepada semua pihak yang sudah memberikan kontribusinya,
sebagai berikut:
1. Bapak Camat Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Eryanto
Rais, S.H, M.M, yang telah memberikan kepercayaan
sekaligus “pendelegasian” kepada Tim Peneliti untuk
meneliti dan mengumpulkan fakta serta sumbersumber
sejarah tentang Hari Jadi Kecamatan Satui.
2. Bapak H. Abidin, H.H., Tokoh Masyarakat Satui, atas segala
petuah dan nasehatnya, kemudian bantuan informasinya
~ vi ~
tentang Sejarah Satui sekaligus memberikan masukan dan
pertimbangan kepada Tim Peneliti dalam penentuan Hari
Jadi Satui dan penyusunan bukuHari Jadi Satui.
3. Bapak Bambang Sucipto, Ketua Tim Pencari Fakta
Terbentuknya Kecamatan Satui yang telah memberikan
bantuan moril dan materiil kepada Tim Peneliti dalam
proses penelitian sampai penulisan bukuHari Jadi
Kecamatan Satui.
4. Bapak Kapolsek Satui, AKP Ibnu Yulianto, atas bantuannya
dan masukannya dalam penulisan bukuHari Jadi Satui.
5. Bapak Danramil 100417 Satui, Kapten Inf. Aries Purwanto
Handoyo atas masukan dan sarannya dalam penulisan
bukuHari Jadi Satui.
6. Bapak H. Ismail (H. Aloy) yang telah memberikan banyak
bantuan informasi mengenai sejarah Kecamatan Satui.
7. Pembina Tim Pencari Fakta Terbentuknya Kecamatan
Satui, Bapak M. Fajar Syahrani, Bapak H. Tajuddin Noor,
Bapak Drs. H. Sulaiman, Bapak H.M. Saleh, atas segala
bantuan dan sumbangsarannya dalam proses penulisan
bukuHari Jadi Satui.
~ vii ~
8. Sekretaris Tim Pencari Fakta Terbentuknya Kecamatan
Satui, Bapak Hery Kurbiansyah, S.Sos, Bendahara Ibu Hj.
Ernawaty serta anggota Tim Pencari Fakta Terbentuknya
Kecamatan Satui,Bapak H.M. Fahmi, Bapak H.Ramli, Bapak
M. Rafi’ie, Bapak H. Salmanudin, Bapak H. Husni Thamrin,
Bapak Fathurrahman serta seluruh Kepala Desa di
Kecamatan Satui atas segala bantuan dan informasinya
dalam proses penulisan BukuHari Jadi Satui.
9. Semua narasumber, dari Pemerintah Kabupaten Tanah
Bumbu serta masyarakat Satui pada umumnya, atas
informasi dan datadata yang telah diberikan pada Tim
Peneliti yang sangat bermanfaat untuk penulisan bukuini.
10. Bapak Drs. H. A. Sofyan, M.A, Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin, atas segala bantuannya hingga bukuini dapat
terselesaikan.
11. Bapak Dr. Herry Porda, N.P., M.Pd, Ketua Jurusan PIPS
FKIP Unlam, atas kontribusi dan bantuannya dalam
penelitian dan penulisan buku ini.
~ viii ~
12. Bapak Drs. M Zaenal Arifin Anis, M.Hum, Ketua Program
Studi Pendidikan Sejarah, FKIP Unlam, atas ijin akses ke
Perpustakaan Prodi FKIP Unlam.
13. Terima kasih juga disampaikan kepada Arsip Nasional RI
Jakarta, Perpustakaan Nasional RI Jakarta, Perpustakaan
dan Arsip Daerah (Perpusda) Kalimantan Selatan,
Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Koninklijk
Instituut voor Taal, Land-en Volkenkunde(KITLV) Jakarta
dan Leiden, Tropen Museum serta Perpustakaan
Universitas Leiden yang koleksi arsipnya didownload
oleh Tim Peneliti.
Dalam penulisan buku ini, tim penulis menyadari bahwa
masih terdapat kekurangannya terutama dalam hal isi atau
esensinya. Tak ada gading yang tak retak, semoga kehadiran
dan keberadaan buku ini, memiliki nilai manfaat sesuai
dengan apa yang diharapkan. Wassalam.
Banjarmasin, Juni 2013
Tim Penulis
~ ix ~
PENGANTAR DARI CAMAT SATUI
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, akhirnya
proses penyusunan buku berjudul “Dari Distrik ke Kota
Kecamatan: Menyusuri Jejak Satui Dalam Lintasan Sejarah”,
dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan buku ini telah
dilakukan melalui studi dan penelitian arsip yang cukup
melelahkan sehingga bisa tersusun dalam buku monumental.
Sebelum dilakukannya penelitian dan penulisan buku ini
oleh Tim Peneliti, masyarakat Satui pada khususnya belum
tahu kapan peringatan Hari Jadi daerahnya. Karena itulah dari
pihak Pemerintah Kecamatan Satui, didukung kelompok
pemuda, Muspika, dan tokoh masyarakat di Satui berinisiatif
untuk “mencari” Hari Jadi Satui.
Inisiatif ini ditindaklanjuti dengan penelitian. Tidak ada
aspek politis yang melandasi penulisan buku ini, tapi lebih
sematamata adanya “panggilan hati putra daerah” Satui untuk
menulis sejarah daerah ini.
Sejarah suatu masyarakat pada hakekatnya merupakan
catatan kolektif atas berbagai jawaban yang diberikan oleh
~ x ~
setiap generasi terhadap permasalahan yang mereka hadapi.
Generasi sekarang hanya akan melihat sejarah sebagai suatu
catatan peristiwa. Dinamika ini akan hilang jika sejarah hanya
dilihat dari kondisi makro atau nasional saja. Karena dinamika
yang khas itulah maka sejarah lokal perlu diberikan tempat
tersendiri.
Buku yang sedang kita baca sekarang ini kita harapkan
mampu mengisi celahcelah yang kosong dalam buku sejarah
dewasa ini. Buku ini akan bercerita tentang bagaimana
“kehadiran” Satui dalam lintasan sejarah di Kalimantan
Selatan sekaligus memberikan rekomendasi Hari Jadi Satui.
Buku ini diharapkan dapat mewariskan semangat melalui
sebuah buku sejarah yang baik bagi generasi mendatang maka
generasi itu akan dikenang bukan saja sebagai generasi
pembuat sejarah tetapi juga dikenal sebagai generasi yang
mewariskan pengetahuan tentang sejarah sekaligus semangat
sejarah kepada para pewarisnya.
Kepada semua kelompok pemuda, Muspika, dan tokoh
masyarakat di Satui serta semua fihakfihak yang telah
memberi bantuan serta partisipasinya bagi penerbitan buku
ini, sekali lagi kami ucapkan terima kasih. Semoga Allah S.W.T.
~ xi ~
dapat membalasnya. Semoga kita sebagai generasi penerus
bangsa senantiasa mendapat petunjuk, bimbingan dan
kekuatan dalam mempersembahkan karya terbaik kepada
bangsa dan negara yang kita cintai ini.
Sungai Danau, Juni 2013
Eryanto Rais, S.H, M.M
~ xii ~
~ xiii ~
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................... v
PENGANTAR DARI CAMAT SATUI ........................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xvii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1
A. Pentingnya Ilmu Sejarah dan Studi
Perkotaan. ................................................................. 1
B. Dasar Penentuan “Hari Jadi Kota” Tidak
Sebarangan! .............................................................. 4
C. Sejarah Satui : Berangkat dari Masalah
sampai ke Tujuan .................................................... 8
BAB II RUJUKAN DAN TEORITEORI SEJARAH
PERKOTAAN ..................................................................... 11
A. “Pembanding” Penulisan Sejarah Satui .......... 11
B. Asumsi Teori Sejarah Kota .................................. 14
1. Munculnya Kota & Perkembangannya ..... 14
2. Perkembangan Kotakota di Indonesia .... 19
~ xiv ~
3. Penentuan Hari Jadi Kota di Indonesia .... 35
4. Kota Kecamatan ................................................. 43
BAB III METODE YANG DITERAPKAN DALAM
PENELITIAN ...................................................................... 51
A. Heuristik atau Pengumpulan “Serpihan”
Sumber ......................................................................... 53
B. Kritik, Tidak Asal “Ambil Data” ......................... 59
C. Sumber Sejarah Itu Ditafsirkan, Itulah
GunanyaInterpretasi .............................................. 64
D. Historiografi, “Terminal Terakhir”
Penulisan Sejarah .................................................... 65
BAB IV “JEJAKJEJAK” SATUI DALAM LINTASAN
SEJARAH DI KALIMANTAN SELATAN .................. 69
A. Satui Tertulis Dalam Sumber Sejarah Sejak
Abad ke17 ................................................................. 69
B. “Menelusuri Jejak Sejarah” dan Alternatif
Hari Jadi Kota Satui................................................. 83
1. Moment Satui diusulkan menjadi Tanah
Erfact (tanah Sewaan) ................................... 83
2. Tahun 1915, Inskripsi Makam Tertua
~ xv ~
di Wilayah Satui................................................ 92
3. Terbitnya Staatsblad van Nederlandisch
Indie voor Het- Jaar 1849 .............................. 98
4. Terbitnya Staatsblad van Nederlandisch
Indie voor Het-Jaar 1898 ............................... 99
5. Tanggal Kelahiran “Putra Daerah” &
Pahlawan Nasional Idham Chalid ............. 102
6. Penetapan Satui Menjadi Distrik Tanggal
1 Mei 1877 .......................................................... 106
7. Kiai Mohamad Jasin Memimpin Satui,
21 April 1877 .................................................... 112
8. Tahun Penulisan Hikayat Banjar,
Tarikh1663 M .................................................. 116
BAB V KESIMPULAN HARI JADI KOTA SATUI .................. 123
A. Tanggal 27 Agustus: Kelahiran Pahlawan
Nasional Idham Chalid .......................................... 123
B. Dasar Penentuan Tarikh Hikayat Banjar
Tahun 1663 Sebagai “HariJadi” Satui .............. 125
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 129
~ xvi ~
~ xvii ~
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kota Tradisional Banjarmasin Pada
Abad ke19 ................................................................. 22
Gambar 2 Kota Batavia pada Abad ke18 .......................... 29
Gambar 3 Sudut Kota Banjarmasin Tahun 1950an ...... 32
Gambar 4 Keraton Yogyakarta Tempo Dulu ..................... 40
Gambar 5 Koleksi Arsip Kolonial, Arsip Nasional RI .... 56
Gambar 6 Penulisan Sejarah oleh Wartawan
Rosihan Anwar ......................................................... 66
Gambar 7 Beberapa versi Buku Hikayat Banjar .............. 73
Gambar 8 Borneo Kaart ............................................................. 79
Gambar 9 Kaart Van Het Eiland Borneo ............................. 80
Gambar 10 Kaart van Nederlandsh Indie ............................. 81
Gambar 11 Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo .......... 82
Gambar 12 “PutraDaerah” Satui, Idham Chalid .................. 103
Gambar 13 Koran De Locomotief, 1877 Memuat
Penetapan Satui Menjadi Distrik, ..................... 108
Gambar 14 Koran De Locomotief, 1877Memuat
Pemberian Gelar “Kiai” Kepada
Mohamad Jasin, ....................................................... 113
~ xviii ~
~ 1 ~
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pentingnya Ilmu Sejarah dan Studi Perkotaan
Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang
mengkaji secara sistematis keseluruhan perkembangan
proses perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat
dengan segala aspek kehidupannya yang terjadi di masa
lampau.1 Bidang kajian sejarah cukup luas, satu diantaranya
adalah tema sejarah kota. Sejarah perkotaan atau urban
history pada dasarnya merupakan bidang studi internasional
yang ingin mencoba menjawab beberapa pertanyaan dasar
mengenai nature of our societies, dengan menggunakan
pendekatannya yang cenderung multidisiplin.2
Sejarah perkotaan mempunyai hubungan erat dengan
sejarah lokal ataulocal history, dan studi tersebut difokuskan
pada masalah lokal, atau beberapa aspek dari kehidupan di
komunitas lokal yang berhubungan dengan aktivitas manusia
maupun lingkungan.
1Ludwig Von Mises, Theory and History An Interpretation of Social and
Economic Evolution (Alabama: von Mises Institute, 2007), hlm. 257 & 323. 2Dieter Schott, “Urban Environmental History: What Lessons are There to
be Learnt?”, dalam Boreal Environment Research, 2004, hlm. 521.
~ 2 ~
Konteks sejarah suatu wilayah perkotaan memiliki
banyak aspek. Satu diantaranya adalah sejarah yang
berhubungan dengan penentuan Hari Jadi daerah. Penentuan
hari jadi suatu daerah berkaitan dengan sejarah daerah itu
sendiri. Sejarah daerah merupakan gambar rangkaian
kejadiankejadian yang melibatkan para pemimpin dan
masyarakat warga daerah tersebut. Dengan kata lain bila
mempelajari sejarah suatu daerah berarti mempelajari
sejarah masyarakat daerah itu. Dalam hal ini sejalan dengan
bidang garapan sejarah, yang membatasi diri terhadap
pembahasan dinamika manusia secara perorangan dan
masyarakat. Dinamika masyarakat dari satu masa ke masa
berikutnya merupakan sejumlah kejadian yang begitu
banyak, sebanyak “pasir” yang pernah ditemui.3
Sejarah akan memilih kejadiankejadian yang
merupakan hasil karya manusia sesuai dengan konsep yang
telah ditentukan sasarannya. Sasaran itu merupakan kejadian
yang menarik pada masa lalu untuk untuk kepentingan masa
kini dan masa yang akan datang. Kejadian yang merupakan
3Taufik Abdullah, “Wisata Budaya: Sekitar Penentuan Hari Jadi Unit
Adminitratif”, makalah disampaikan dalam Seminar Sejarah Kaji Ulang Hari Jadi Majalengka di Majalengka tanggal 30 Agustus 2005, yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, hlm.12.
~ 3 ~
fakta sejarah itu merupakan rangkaian hubungan yang saling
berkaitan. Rangkaian fakta itu disusun sedemikian rupa
dengan penafsiran yang berpedoman pada pendapat dan
timbangan yang kritis, sambil melahirkan tanggapan sejarah
dalam jiwanya, sehingga faktafakta yang semula terpisah
dan terpecahpecah, disusunlah suatu gambaran yang bulat
dan merupakan faktafakta yang saling berhubungan
sehingga mudah dipahami.4
Meskipun telah bermula sejak tahun 1950an, tetapi
kecenderungan kotakota untuk mencari “hari jadi mereka”
barulah menjadi gejala umum pada masa pemerintahan Orde
Baru. Jika telah ditetapkan oleh DPRD dan Walikota maka
hari jadi itupun dirayakan dengan berbagai cara. Melihat
gejala ini sangat menarik untuk untuk mengetahui bagaimana
kotakota tersebut “mendapatkan hari jadi mereka”.
Bukankah umumnya kota hanya tumbuh saja tanpa diketahui
kapan dan prosesnya.
4Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto
(Jakarta: UI Press, 1975), hlm. 32.
~ 4 ~
B. Dasar Penentuan “Hari Jadi Kota” Tidak Sembarangan!
Menentukan Hari Jadi Kota tentunya tidak asal atau tidak
sembarangan. Menurut pendapat sejarawan Taufik Abdullah,
Pembahasan tentang kapan temporal munculnya kota dapat
dilacak dari beberapa kasus yang menjadi landasan
penentuan Hari Jadi kotakota di Indonesia. Pertama, Hari
Jadi biasanya dikaitkan dengan nilai sejarah dan makna
simbolik, sesuatu yang berdasarkan subjektivisme kolektif,
tetapi dengan gaya kotakota itu mendapatkan Hari Jadi
mereka pun berbedabeda. Paling sederhana ialah kalau Hari
Jadi itu terkait dengan pendirian keraton, benteng, atau apa
saja yang memang bisa dianggap sebagai awal dari peranan
sebuah settlement menjadi "kota" dalam pengertian
sosiologis, yaitu sebagai pusat jaringan dari berbagai aktivitas
sosial bagi wilayah sekitarnya.5
Hal ini mungkin saja terjadi karena yang dianggap
sebagai Hari Jadiitu masih berada dalam ingatan kolektif
masyarakat setempat ataupun terekam dalam cacatan. Jika
mengikuti istilah Bernard Lewis, kasus ini bisa disebut
sebagai remembered history. Makna simbolik dari “tanggal”
ini terletak pada fakta pemahaman tentang dinamika kota itu
5Taufik Abdullah, loc.cit.
~ 5 ~
berdiri, sebab yang dipentingkan adalah sifat historicity atau
kesejarahannya. Misalnya, Hari Jadi Kota Yogyakarta dengan
mudah bisa dikaitkan saja dengan didirikannya keraton oleh
Mangkubumi setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755
ditandatangi. Dengan Hari Jadi,bukan saja kelahiran sebuah
kesultanan/keraton, kepahlawanan Mangkubumi melawan
intervensi Veerenigne oost Indische Compagnie (VOC) bisa
juga diperingati.6
Kasus kedua malah sangat bertentangan dengan kasus
yang pertama. Makna simboliknyalah yang lebih lebih
dipentingkan, tetapi sialnya peristiwa yang sesuai bisa saja
tidak ada, maka dengan begini Hari Jadi pun didapatkan
berdasarkan penggabungan tahun terjadinya peristiwa
tertentu (seperti didirikannya benteng). Sementara tanggal
dan bulan berdasarkan hari lahir pemimpin yang dikagumi.
Jadi tanggal hanyalah alat untuk merayakan suatu simbol
yang bermakna. Kasus ini boleh disebut sebagai invented atau
prefabricated history. Kepastian sejarah hanyalah sekadar
penentuan waktu saja sebab yang penting adalah nilai yang
ingin dilekatkan pada Hari Jadi itu.
6 Ibid.
~ 6 ~
Kasus ketiga paling sering terjadi dengan kotakota di
Jawa dan sebagian Sumatera (khususnya Palembang) yang
mempunyai peninggalan prasasti yang mempunyai angka
tahun. Hari jadi kota diambil saja berdasarkan penanggalan
dari prasasti yang ditemukan itu. Karena itu , maka terdapat
kotakota yang mengklaim diri telah berumur ratusan tahun.
Jika kaitan antara kota dan prasasti itu bisa
dipertanggungjawabkan, meskipun sering agak meragukan
juga, hal ini bisa disebut sebagai recovered history.7
Paling menarik ialah kasus keempat. Sebuah peristiwa
yang membanggakan yang terjadi di daerah atau sekitar
daerah perkotaan diambil sebagai Hari Jadi Kota. Misalnya
Kota Jakarta. Kemenangan Fatahillah melawan Portugis dan
menukar nama Kalapa menjadi Jayakartaatau kota
kemenangan, dijadikan sebagai Hari Jadi Kota. Bahwa tanggal
pasti penggantian nama Kalapa menjadi Jayakarta itu masih
bisa diperdebatkan, almarhum Husein Djajadiningrat
umpamanya menyangsikan ketetapan tanggal yang diusulkan
Prof. Dr. Sukanto, yang telah terlanjur disetujui DPRD Jakarta,
tidak menjadi halangan karena peristiwanya cocok dengan
hasrat simbolik Jakarta sebagai kota kemenangan. Beberapa
7 Ibid.
~ 7 ~
kota di Sumatra, juga memakai pendekatan ini. Sebuah
peristiwa membanggakan dipakai sebagai Hari Jadi Kota.
Taufik Abdullah menyebutnya sebagai sejarah berdasarkan
persetujuan.8
Berdasarkan pendapat tersebut, bisa menjadi
pertimbangan penentuan Hari Jadi Kecamatan Satui,
Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Dalam
pemilihan fakta itulah kita akan mencari suatu tonggak
sejarah di Kecamatan Satui yang akan dijadikan sebagai Hari
Jadi. Mencari satu fakta sejarah tersebut tentunya harus
meneliti “serpihan” faktafakta sejarah di Kecamatan Satui
yang saling berangkaian sehingga memiliki makna, cukup
berkesan dan memiliki daya aspiratif yang prospektif-
konstruktif serta sejalan dengan dasardasar kehidupan
masyarakat Satui pada khususnya dan Bangsa Indonesia pada
umumnya.
Sejarah selalu berazaskan kausalitas dan kondisionalitas,
maka pemilihan fakta sejarah akan merupakan penulisan
kembali dalam penafsiran, sejalan dengan pemikiran generasi
yang mempelajarinya. Fakta itu sendiri tak akan berubah,
tetapi penafsiran akan diwarnai oleh dasar dasar pemikiran
8 Ibid.
~ 8 ~
generasi tersebut. “Mereka”akan bertanya tentang masa lalu.
Mendekati masa lalu hanya mungkin dengan bertolak dari
masa kini, masa kini adalah ujung masa lalu. Bertolak dari
ujung akan sampai ke pangkal. Sebab itu sejarah tidak akan
selesaiselesai, sejalan dengan “patah tumbuh hilang
berganti”nya satu generasi ke generasi, dengan memahami
masa lalu, sejarah dapat membekali penentuan masa yang
akan datang.
Dalam penentuan fakta sejarah tentunya harus
mengikatkan diri kepada keobyektifan pemikiran, dalam arti
memilih fakta sejarah dengan penafsiran yang didasari atas
pengabdian terhadap pembangunan generasi mendatang
baik mental spiritual ataupun fisik materiil. Menyelusuri
tonggak sejarah yang bernilai aspiratif, prospektif-konstruktif
bagi penentuan Hari Jadi Kecamatan Satui, akan memberi
cerminan dinamika masyarakat Satui sebagai pengisi sejarah
itu sendiri. Ini berarti tonggak yang dapat di manfaatkan pada
masa kini untuk menentukan politik masa mendatang.
C. Sejarah Satui: Berangkat dari Masalah Sampai keTujuan
Dari narasi yang dipaparkan di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa fokus yang akan dikupas dalam buku
~ 9 ~
ini. Fokus masalah itu meliputi perkembangan Wilayah Satui
abad ke19 dan abad ke20 dan penentuan Hari Jadi
Satui.Berdasarkan narasi tentang fokus masalah tersebut,
maka ada dua permasalahan yang muncul dalam upaya
mengungkap tentang Hari Jadi Kecamatan Satui, Kabupaten
Tanah Bumbu. Permasalahan itu meliputi bagaimana
perkembangan wilayah Satui abad ke19 dan abad ke20,
kemudian bagaimana faktafakta sejarah yang mendukung
penentuan Hari Jadi Kecamatan Satui.
Adapuntujuan utama penulisan buku ini untuk
mengungkapkan Sejarah Kecamatan Satui. Kemudian
mengungkapkan faktafakta sejarah yang mendukung
penentuan Hari Jadi Kecamatan Satui, serta mengungkap
lintasan perkembangan Kota Satui abad ke19 dan abad ke
20. Penulisan buku ini juga diharapkan dapat menunjang
penulisan sejarah lokal di wilayah Satui khususnya dan
Kabupaten Tanah Bumbu pada umumnya. Dalam arti yang
luas adalah pengembangan dari penulisan sejarah kota yang
juga bermanfaat untuk penulisan sejarah lokal.
Penulisan buku ini juga bermanfaat praktis yakni sebagai
masukan bagi pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu tentang
“pendidikan kebijakan”, agar transformasi dan rekayasa
~ 10 ~
sosial berjalan sesuai dengan apa yang masyarakat kenal
dengan baik.Manfaat lainnya, bagi pengembangan Program
Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unlam, hasil penelitian ini
dapat digunakan sebegai rujukan untuk pengembangan
sejarah lokal dengan tema sejarah kota. Hasil ini diharapkan
dapat menjadi masukan dalam pengembangan penelitian
perkembangan kota, khususnya perkembangan ekologi dan
dinamika perkotaan.
~ 11 ~
BAB II
RUJUKAN DAN TEORI-TEORI SEJARAH PERKOTAAN
A. “Pembanding” Penulisan Sejarah Satui
Sumber tertulis tentang wilayah Satui memang cukup
minim. Terlebih tentang Hari Jadi dan dinamika sejarah
wilayah Satui. Informasi tentang Satui hanya terdapat di
beberapa catatancatatan awal para peneliti pada masa
Pemerintahan Hindia Belanda. 9 Kepustakaan yang erat
dengan topik penelitian ini diperoleh dari sebuah buku
tentang kotakota di Jawa, yang berisikan sekumpulan
artikel persembahan kepada Prof. Djoko Suryo, Guru Besar
IlmuSejarah pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu
9Catatan awal tentang wilayah Satui terdapat dalam artikel H. van
Lokhorst, “Schets Eener Geneeskundige Plaatsbeschrijving de Afdeeling Tanah Laut (Zuid en Oosterafdeeling van Borneo)”, terbitan tahun 1863. Lokhorst menuliskan Distrik Satui, Distrik Pleihari dan Distrik Maluka merupakan wilayah Afdeeling Tanah Laut. Distrik Satui berada di wilayah utara Afdeeling tanah laut dan banyak mengandung berlian. Kemudian dari laporan eksplorasi von Dewall dan van Gaffron, yang ditulis Theodore Posewitz, dalam “Borneo: Its Geology and Mineral Resources” tahun 1892 menyebutkan Satui adalah wilayah perbukitan bagian dari rantai pegunungan di tenggara Kalimantan dengan ketinggian 4.200 kaki dari permukaan laut.
~ 12 ~
Budaya,Universitas Gadjah Mada sebagai “kado ulang
tahun”nya yang ke70 pada 30 Desember 2009 lalu.10
Dari kumpulan artikel tersebut, terdapat tiga artikel,
masing karya dari Susanto yang membahas tentang Jati Diri
Koto Solo: Problem Sebuah Kota di Jawa. Susanto dalam
karyanya menggunakan buku, koran, arsip, naskah dan
wawancara. Hematnya, kelahiran dan perkembangan kota
Solo mengalami keunikan. Keunikan menjadi “tidak unik”,
ketika pada tahun 1980an kota Solo mengalami
modernisasi yang mengutamakan pembangunan fisik
memunculkan hedonisme yang menggeser nilainilai hidup
yang awalnya sebagai penanda keunikan kota itu seperti
kotakota lainnya.11
Kemudian tulisan Prima Nurrahmi Mulyasari,
Runtuhnya Sebuah Kejayaan:Kota Banyumas 1900-1937.
Artikel ini menggunakan sumber arsip yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan, buku, artikel, skripsi dan tesis.
Hematnya, berbanding terbalik dengan kotakota di Jawa
lainnya, justru kota Banyumas pada awal abad ke20 tidak
10Prima Nurrahmi Mulyasari dkk, Kota-Kota di Jawa; Identitas, Gaya
Hidup, dan Permasalahan Sosial (Yogyakarta: Ombak, 2010). 11Ibid, hlm. 3548.
~ 13 ~
berkembang. Ketiadaan sarana transportasi sebagai faktor
utama dalam pendukung mobilitas ekonomi tidak dinikmati
oleh masyarakat.12
Berikutnya, tulisan Sarjana Sigit Wahyudi, Urbanisasi
dan Migrasi di Kersidenan Surabaya Akhir abad XIX dan Awal
Abadke-20. Sumber yang digunakan dalam artikel lebih
banyak menggunakan buku. Hematnya, perkembangan kota
di Surabaya sejak abad 19 dan awal abad 20 diiringi oleh
perkembangan infrastruktur dan meluasnya investasi
membuat pertumbuhan ekonomi perkotaan. Pertumbuhan
ekonomi Surabaya menggiurkan, sehingga terjadi urbanisasi
khususnya orangorang Madura ke Kota Surabaya.13
Dari artikel di atas tentang sejarah perkotaan,
tampaknya isu yang dilontarkan oleh para penulis sangat
dipengaruhi oleh Kuntowijoyo dalam bukunya tentang
metodologi sejarah, khususnya pada Bab 4 yang membahas
tentang sejarah kota. Hemat Kuntowijoyo, mendiskusikan
tentang sejarah kota permasalahan antara lain, (1)
perkembangan ekologi, (2) transformasi sosial ekonomis,
(3) sistem sosial, (4) problem sosial, dan (5) mobilitas sosial.
12Ibid, hlm. 1934. 13Ibid, hlm. 189109.
~ 14 ~
B. Asumsi Teori Sejarah Kota
1. Munculnya Kota dan Perkembangannya
Munculnya kota selalu dikaitkan dengan peradaban.
Maka lirikan tertuju pada peradaban Asia Barat Daya di
daerahdaerah yang membentang dari Lembah Sungai Nil
hingga Sungai Tigris dan Eufrat. Katakan saja dengan
munculnya Kota Mesopotania (di daerah Irak bagian
selatan) sekitar abad 3500 Sebelum Masehi. Kota
dirancang untuk difungsikan sebagai benteng sekaligus
sebagai pusat perdagangan hasil pertanian. Mesopotania
sebagai kota tidak muncul begitu saja, melainkansecara
bertahap. Tahapan perkembangan dapat disamakan
dengan teori evolusi. Dalam teori evolusi, perkembangan
kota selalu dikaitkan dengan desa.
Kaum evolusioner beranggapan, bahwa desa
mewakili masyarakat yang bersahaja (tradisional),
sedangkan kota mewakili masyarakat modern.
Pandangan di atas bila dikaitkan dengan Bahasa
Sansekerta tampaknya menjadi kesatuan yang terpadu.
Dalam Bahasa Sansekerta, kota dilawankan dengan desa,
yang berarti daerah pedalaman, daerah, mukim, tempat,
daerah momongan atau daerah yang diperintah. Desa
~ 15 ~
apabila diartikan secara lentur, merupakan sebuah kata
yang menerangkan tentang permukiman di pedalaman,
dunia kaum tani, penyewa tanah dan kaum jelata.
Dikotomi antara kota dan desa juga mengisyaratkan
adanya dua bentuk masyarakat, yaitu masyarakat
tradisional dan modern, seperti yang disebut oleh
Tonnies, yaitu gemainschaft dan gesellschaft, kemudian
Durkheim mengistilahkannya dengan solidaritas mekanis
dan solidaritas organis, serta Redfield yakni masyakat folk
dan urban.
Perkembangan suatu wilayah menjadi kota, menurut
paradigma evolusionis ditandai oleh istilah yang berbeda
antar tahapan. Seperti pandangan E.EBergel: 14
a. Village (desa),sebutan untuk setiap tempat
permukiman para petani. Ciri utama satu desa dengan
desa lainnya tidak saling mendominasi.
b. Town (kota kecil), suatu pemukiman perkotaan yang
mendominasi lingkungan desa. Karekteristik town; (a)
mendominasi desa; (b) memiliki derajathomogenitas
yang menyerupai desa sekitar;
14Purnawan Basundoro, “Penduduk dan Hubungan Antaretnis di Kota
Surabaya Pada Masa Kolonial”, Jurnal Paramita, vol. 22, No.1, 2012. hlm.20.
~ 16 ~
c. City (kota besar), cirinya antara lain; (a) perbedan city
dan town sangat gradual, yaitu perbedaan jumlah
tingkatan; (b) bersifat lebih kompleks; (c) mempunyai
tingkat diferensiasi yang tinggi; (d) cerminan lengkap
dari konsentrasi manusia dalam suatu ruang.
d. Metropolis (kota hidup) dulu jenis kota ini ditandai
secara kuantitatif yaitu jumlah penduduknya lebih
1.000.000 jiwa, akan tetapi banyak kota yang memiliki
penduduk lebih dari 1.000.000 namun tidak memiliki
kualitas urban. Pada saat ini, katagori metropolis
ditandai arti internasional atau supranasional.
Pandangan kaum evolusioner di atas memperlihatkan
perkembangan dari sebuah desa menjadi sebuah kota.
Lebih lanjut kaum evolusioner menerangkan setelah
menjadi kota ia pun berkembang lagi, seperti yang
ditawarkan oleh Lewis Mumford. 15 Rumusan tentang
perkembangan kota, sebagai berikut:
a. Eopolis, kota merupakan satu pusat dari daerahdaerah
pertanian,mempunyai adat istiadat bercorak kedesaan;
15S.Menno dan Mustawin Alwi, Antropologi Perkotaan (Jakarta: Rajawali
Pers,1992), hlm. 27.
~ 17 ~
b. Polis, kota sebagai pusat kehidupan beragama dan
pemerintahan;
c. Metropolis, kota yang bercirikan wilayah yang kurang
luas dan penduduknya beragam etnis dan ras. Secara
fisik jenis kota metropolis memamerkan kemegahan,
tetapi sebaliknya secara sosial mempertontonkan dua
kutub berbeda antara kelompok kaya dan miskin;
d. Megapolis, jenis kota ini dari pada dasarnya
merupakan perluasan dari metropolis. Dalam konteks
ini, fenomena sosio-patologi sangat tinggi, birokrasi
kuat menopang munculnya kekayaan dan kekuasaan,
tetapi kemiskinan merajalela membuat masyarakat
mengalami depresi, sehingga mendorong terjadinya
pemberontakan massa.
e. Tiranopolis, jenis kota ini ditandai dengan tingkat
perkembangan sehingga terjadinya merosotnya moral
penduduk, maraknya kejahatan dan kemaksiatan,dan
munculnya kekuatan kaum proletariat yang sewaktu
waktu dapat menyulutkan pemberontakan yang
melanda kota;
~ 18 ~
f. Nekropolis, jenis kota ini ditandai dengan kehancuran
kotakota yang berkeping dan peradaban mengalami
keruntuhan.
Pandangan dari tahapan kota seperti yang
ditawarkan oleh kaum evolusioner kadangkadang secara
realitas tidak terbukti, katakan saja, tidak semua desa
menjadi kota. Begitu juga tahapan kota dari Mumford,
banyak kota sebelum mencapai tahapan megapolis sudah
menjadi kota mati. Menarik pandangan dari Horton dan
Hunt, setelah mereka mempelajari munculnya kotakota
peradaban besar dalam sejarah yaitu di Lembah Sungai
Nil, Tigris dan Euphrat. Ia berpendapat, munculnya kota
harus mempunyai tiga persyaratan, yaitu, surplus pangan,
penyedian air dan transportasi. Daerahdaerah subur
akan menghasilkan surplus panen dan tentunya
berdampak pada surplus pangan. Air diperlukan sebagai
kebutuhan pokok penduduk, sedangkan sungai yang lebar
dan tenang memungkinkan terselenggaranya transportasi
air untuk mobilitas penduduk dan ekonomi.16
16Lihat B. Horton & Chester L. Hunt, Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 1999),
hlm. 137.
~ 19 ~
Senada dengan Horton, Gideon Sjoberg,
mengemukakan syarat agar suatu wilayah berkembang
menjadi kota, yaitu (1) ekologi yang mendukung
mudahnya sarana air dan terpenuhinya kebutuhn pangan;
(2) teknologi terutama yang mendukung sektor
pertanian, sehingga mencapainya surplus pangan; dan (3)
adanya dukungan organisasi sosial yang ajeg. Jhonson
menambahkan, berkembangnya desa menjadi kota,
antara lain wilayah itu menjadi pusat keagamaan, daerah
pusat pemerintahan dan pusat perdagangan ataupun
industri. Faktor lain lagi berkembang sebuah kota,
khususnya di Indonesia yang tidak bisa ditampik adalah
kolonial.17
2. Perkembangan Kota di Indonesia
a. KotaKota Tradisional
Mencermati perkembangan kotakota menurut
pendapat Djoko Suryo18 dapat dibedakan atas tiga fase
perkembangan, yaitu periode awal/kuna/lama,
17Giddeon Sjoberg,ThePreindusrialCityPastandPresent (Tronto Collier
Mcmillan, 1965), hlm. 27; Basundoro, op.cit., hlm. 24. 18 Djoko Suryo, “Transformasi Masyarakat Indonesia” dalam
Historiography Indonesia Modern (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Jurusan Sejarah FIB UGM, 2009), hlm. 102.
~ 20 ~
kolonial dan modern. Tipe kotanya dapat dibedakan
antara tipe kota pedalaman atau kota agraris dan kota
pantai atau kota perdagangan. Karekteristik kotakota
itu dapat dicermati melaluipersfektif evolusioner.
Dalam konteks ini perkembangan kotakota di
Indonesia dapat dikelompokkan dalam tiga kategori,
yaitu (1) kota tradisional (kotakota pra kolonial), (2)
kota kolonial dan (3) kota pascakolonial. Munculnya
kota tradisional, hemat Sjoberg bertautan erat dengan
hadirnya golongan literati (pujangga, sastrawan dan
kaum agama). Pandangan ini mengisyaratkan, bahwa
ciri sebuah kota secara esensi munculnya pembagian
kerja.
Selanjutnya Sjoberg membagi masyarakat menjadi
tiga tipe, yaitu (1) the folk atau preliterate society; (2)
the feudal (pre-industrial civilized atau literate
preindustrial society) dan (3) the industrial urban
society. Hematnya dua masyarakat tipe terakhir ini
bertalian dengan perkembangan sebuah kota.
Berdasarkan pada pandangan di atas, bahwa kota
kota di Indonesia muncul diawali dengan muncul
Kerajaan Sriwijaya dengan basis agama Budha di
~ 21 ~
Palembang. Jenis kota ini dikategorikan kota maritim
dengan basis ekonomi perdagangan. Seiring dengan itu
muncul kota pedalaman yaitu Kerajaan Majapahit
dengan HinduBudha dengan basis perekonomian
agraris yang kuat.
Pada abad ke16 dan ke17, pasca keruntuhan
Sriwijaya dan Majapahit muncul kotakota pesisir
denganbasis agama Islamnya, seperti Demak, Aceh,
Makassar, Banten, termasuk Banjarmasin. Beriringan
dengan ramai jalur perdagangan dengan Cina, India
dan lain sebagainyakotakota pelabuhan bertemu
dengan merkantalisme Barat, yaitu Portugis, Spanyol,
Inggris dan Belanda.
Gambar 1. Kota Tradisional Banjarmasi
Sumber: Lukisan “Bestand: Rivier bij Bandjermasin”, Karya 1852, koleksi commons.wiki
Patut diketengahkan dalam tulisan ini, bahwa
pada tahun
pedagang santri, ulama, wali dan
penting dalam syiar agama dan kebudayaan Islam.
Umumnya mereka tinggal di kota
mampu menciptakan tradisi di kota
~ 22 ~
Gambar 1. Kota Tradisional Banjarmasin Pada Abad ke
Sumber: Lukisan “Bestand: Rivier bij Bandjermasin”, Karya Schwaner pada tahun commons.wiki-media.org.
Patut diketengahkan dalam tulisan ini, bahwa
tahun 14001700, peranpara santri pedagang,
pedagang santri, ulama, wali dan mubaligh
penting dalam syiar agama dan kebudayaan Islam.
nya mereka tinggal di kotakota pelabuhan dan
mampu menciptakan tradisi di kota
n Pada Abad ke-19
Schwaner pada tahun
Patut diketengahkan dalam tulisan ini, bahwa
1700, peranpara santri pedagang,
mubaligh berperan
penting dalam syiar agama dan kebudayaan Islam.
kota pelabuhan dan
mampu menciptakan tradisi di kotakota lama
~ 23 ~
Indonesia. Kelak kotakota selalu ditandai dengan
kehadiran pasar, masjid dan pemerintahan. Hal ini
dapat dikatakan, bahwa kota bukan saja sebagai pusat
politik dan kebudayaan bagi masyarakatnya, tetaapi
juga berfungsi sebagai pusatpusat magis kerajaan itu
sendiri, atau oleh Gertz disebut sebagai
doctrineoftheexemplary.19
Struktur pemerintah yang berkembang baik masa
Hindu/Budha dan Islam, yaitu struktur pemerintah
patrimonial. Struktur pemerintah model ini, anggota
birokrasinya atau kaum elitenya merupakan kerabat
kepala negara. Para kepala negara sesuai dengan jiwa
zaman pada masa itu membangun simbolsimbol
berujud mitos, bahwa ia sebagaiperpanjangan para
dewa (devaraja).
Konsep deva-raja secara hakiki pada masa era
Islam tidak berubah, cuma istilah yang berubah, yaitu
para kepala negara selalu memakai gelar khalifah. Raja
atau Sultan sebagai pemegang jabatan tertinggi dalam
hierarki kerajaan, mempunyai kekuasaan yang sangat
19Clifford Geertz, Negara, The Theatre State in Nineteenth Century Bali
(New Jersey: Princeton University Press, 1980), hlm.16.
~ 24 ~
besar. Hal ini terlihat dengan terdapatnya atribut
atribut kerajaan atau kingship, seperti bendabenda
pusaka, gelar, ataupun geneologi yang berfungsi
sebagai legitimasi Sultan sebagai penguasaa. Dalam
konteks ini, pemegang jabatan yang tertinggi
memegaangjabatan yang dualistis, yaitu sebagai
pemimpin duniawi dan rokhani (manunggal). Konsep
pemegang kekuasaan dunia dan rokhani berpengaruh
besar terhadap kotakota tradisional.
Pada periode 14001700, kotakota di Nusantara
berfungsi sebagai wadah dalam dinamika kebudayaan.
Kotakota itu menjadi tempat pengalihan dan
penerimaan unsur budaya dari luar, sekaligus menjadi
pusat dialog budaya luar dan lokal yang menghasilkan
sintesa budaya bagi pengayaan kebudayan lokal dalam
arti sempit dan kebudayaan nasional dalam arti luas.
Unsurunsur budaya hasil dari dialog budaya, menjadi
pondasi lokal yang kelak menjadi akar budaya
Indonesia baru. Dalam sisi lain kota sudah berperan
sebagai pusat dinamika kebudayaan telah berlangsung
dalam waktu panjang, diawali pada masamasa awal
pertumbuhan kotakota di Indonesia.
~ 25 ~
b. Kota Kolonial
Mendiskusikan siapa, kapan dan dimana,
pemerintah kolonial membangun kotakotanya di
Nusantara, tampaknya harus melacak sejarah. Dalam
catatan sejarah, orangorang Eropa yaitu Portugis dan
Belanda mendarat di kotakota tradisional yang sudah
maju dan terletak di pantai. Dalam artian, bahwa
mereka mendarat di kotakota tradisional yang sudah
ada kekuasaan formal, yaitu kerajaankerajaan pesisir.
Dalam konteks ini, kota yang dibangun oleh
pemerintah kolonial adalah Batavia, yaitu pada tahun
1619. Sebelum membangun Batavia, Belanda telah
membuat sebuah rancangan yang disebut
plandeBatavia.20
Ciriciri kota yang dibangun oleh pemerintah
kolonial Belanda pada awal abad ke17, mengikuti gaya
bangunan di Eropa yang memiliki empat musin dengan
mengimitasi ke kawasan tropis. Kotakota di tepi
pantaidibuat dengan bangunan pola berkotak dengan
jalan dan kanal sebagai batas antar blok. Katakan saja
bangunanbangunan adalah pospos perdagangan,
20Basundoro, op.cit., hlm.91.
~ 26 ~
benteng militer, dan kota yang dilindundungi oleh
benteng. Tipologi ini menurut P.J.M Nas merupakan
refleksi perasaan paranoid orang Eropa, karena
diserang oleh penduduk lokal. Kota Surabaya dan
Makassar merupakan contohnya.
Kotakota masa yang dibangun pada masa kolonial
di Indonesia mengalami perkembangan yang berarti
pada awal abad ke19 pada masa Pemerintah Kolonial
Belandadi bawah Daendels (18081811). Daendels
melancarkan apa yang disebut reorganisasi
administrasi pemerintahan dalam bentuk prefektur.
Kebajikan kemudian diteruskan pada masa Raffles
(18111816) dengan membentuk sistem residen dan
kabupaten. Fakta sejarah ini dapat ditafsirkan sebagai
sebuah tanda kelahiran kotakota administrasi baru di
tanah jajahan.
Menurut tulisan Paulina Dublin Milone,21 pada
tahun 1854 wilayah teritorial Belanda terbagi atas
wilayah administratif non-otonom yang disebut, gewest
(wilayah administrasi yang dikepalai oleh Gubernur
atau Residen), afdeling (bagian wilayah) dikepalai oleh
21Djoko Suryo, op.cit., hlm.109.
~ 27 ~
Asisten Residen; kabupaten dikepalai oleh bupati;
onderafdeeling dikepalai oleh controleur; district
dikepalai oleh Asisten Wedana atau Camat; desa/wijk
dikepalai oleh lurah atau wijksmester untuk penduduk.
Penduduk kota dibuat sesuai dengan stratifikasi etnis.
Pembagian pemisahan ini diatur oleh regering
reglement 1894. Masyarakatpada masa ini terbagi atas
3 golongan, yaitu, (1) Golongan Eropa, (2) Golongan
Orang Asing Timur dan (3) Golongan Pribumi.
Jenjang golongan sekaligus terwujud dalam
pembagian tata ruang kota, yang sengaja memisahkan
antar kelompok etnis. Hal ini terlihat, bahwa di kota
kota terbangun kawasan khusus untuk orang Eropa,
Pecinan untuk orang Tionghoa, Perkampungan
Arabuntuk orang Arab dan terakhir kawasan Kampung
Melayu, khusus untuk pemukiman pribumi.
Pemukiman untuk pribumi pun dibagi lagi dalam
kawasan tertentu, misalnya Kampung Bugis, Kampung
Jawa, Kampung Ambon, Kampung Melayu, Kampung
Banjar dan sebagainya Kawasan etnis ini sengaja
dibangun berdasarkan etnis agar pemerintah kolonial
dengan mudah mengontrolnya.
~ 28 ~
Pada tahun 1855, pemerintah kolonial Belanda
membentuk lembaga Direktorat Pekerjaan Umum yang
mandiri bernama Burgelijke Openbare Warken yang
melatih para arsitek sipil dan mengerjakan beragam
pekerjaan sipil di perkotaan.22 Misalnya membangun
pasar, rumah sakit, sekolahan, sarana olah raga,
makam, tempattempat hiburan dan lain sebagainya.
Puncak perencanaan kota terjadi pada tahun 1903
ketika Pemerintah kolonial mengeluarkan Undang
Undang.
Berdasarkan UndangUndang muncul kotakota
otonom untuk menyelenggarakan pemerintahan
secara mandiri tidak tergantung pada pemerintah
pusat. Kotakota otonom itu diberi status gemeente dan
berkembang menjadi statusstadsgemeente. Kotakota
gemeente itu antara lainnya adalah Batavia, Meester
Cornelis (sekarang menjadi Jatinegara di Jakarta),
Bogor, Surabaya, Blitar, Pekalongan, Magelang, Kediri,
Bandung, Malang dan lain sebagainya.
22Nash dalam Basundoro, op.cit., hlm.21.
Gambar
Sumber :Kaart van het oude Batavia
Hemat Djoko Suryo, kota
menjadi pusat modernisasi, pusat birokrasi
pemerintah,
mulai berkembang, munculnya budaya
mezzo-culture
Indonesia baru, ahirnya golongan elite Indonesia baru
~ 29 ~
Gambar 2. Kota Batavia pada Abad ke
oude Batavia, Koleksi Tropen Museum, Netherland.
Hemat Djoko Suryo, kotakota kolonial kelak
menjadi pusat modernisasi, pusat birokrasi
pemerintah, segreragasi penduduk dan spesialisasi
mulai berkembang, munculnya budaya
culture yang kelak mendasari terbentuknya kota
Indonesia baru, ahirnya golongan elite Indonesia baru
. Kota Batavia pada Abad ke-18
, Koleksi Tropen Museum, Netherland.
kota kolonial kelak
menjadi pusat modernisasi, pusat birokrasi
penduduk dan spesialisasi
mulai berkembang, munculnya budaya indies atau
ak mendasari terbentuknya kota
Indonesia baru, ahirnya golongan elite Indonesia baru
~ 30 ~
dan kelak memunculan kesadaran sejarah dan
kesadaran kebangsaan.23
c. Kota Indonesia Baru
Proklamasi 17 Agustus 1945, merupakan penanda
berakhirnya masa kolonialis Belanda di bumi
Indonesia. Katakan saja perubahan kebudayaan Indises
ke kebudayaan Indonesia. Masa itu juga dapat
dikatakan telah terjadinya perubahan sosial dari
masyarakat yang terjajah menjadi masyarakat yang
merdeka. Beriringan dengan perubahan sosial itu telah
terjadi pula perubahan beragam dimensi kehidupan,
baik politik, pendidikan, administrasi pendidikan, ilmu
pengetahuan, teknologi, sosial dan kebudayaan.
Katakan saja telah terjadi perubahan kebudayaan
Indises ke kebudayaan Indonesia.
Pasca kemerdekaan, kotakota di Indonesia dapat
dikenali dari “tandatanda” menurut statusnya dalam
struktur tatanegara dan administrasi pemerintahan.
Kotakota kecil umumnya merupakanibukota
kabupaten dan kecamatan. Di atas ibukota kabupaten
adalah kotamadya (kotapraja) sejajar dengan daerah
23Djoko Suryo, op.cit., hlm. 110.
~ 31 ~
otonom tingkat II. Kotamadya dengan
predikatnyaberstatus otonom, ia berhak mengatur dan
menata sesuai dengan sumbersumber yang dimiliki.
Sebagian kotamadya ada yang menjadi ibukota
provinsi, ada juga yang tidak. Misalnya kota Bogor,
Parepare, Banjarbaru dan lain sebagainya. Di atas
kotamadya dan merupakanjenjang kota yang lebih
tinggi adalah kota metropolitan (Jakarta) yang
menyandang predikat sebagai daerah otonom tingkat I
(provinsi) sekaligusberkedudukan sebagai ibukota
Republik Indonesia. Status kotametropolitan tidak
hanya diperuntukan untuk kota Jakarta sebagai
Ibukota Republik Indonesia. Sesuai dengan
perkembangannya kotakota besar seperti Semarang,
Surabaya, Bandung, Medan dan Makassar mempunyai
potensi menjadi kotametropolitan. Selain itu, ada juga
kotakota yang mempunyai predikat daerah istimewa,
karena keunikan dalam proses sejarah. Misalnya
Daerah Istimewa Jakarta, Yogyakarta dan Aceh.
Pergeseran era yang dimulai pasca kemerdekaan
sampai era reformasi (1950 sampai kekinian) juga
diikuti dengan perkembangan kotakota. Misalnya, dari
kotaIndies
menjadi pusat transformasi budaya perkotaan di
Indonesia yang menjadi pusat kebudayaan Indonesia
baru pada era kekinian.
Gambar 3. Sudut Kota
Sumber: Koleksi Arsip Nasional Museum Lambung Mangkurat.
Pergeseran ini memunculkan kecenderungan baru
dalam simbolisme perkotaan. Fakta
keberadaan maraknya kegiatan industri pertunjukan,
24 Ibid, hlm. 111.
~ 32 ~
menjadi kota Indonesia baru, sekaligus
menjadi pusat transformasi budaya perkotaan di
Indonesia yang menjadi pusat kebudayaan Indonesia
baru pada era kekinian.24
Gambar 3. Sudut Kota Banjarmasin Tahun 1950
Sumber: Koleksi Arsip Nasional Museum Lambung Mangkurat.
Pergeseran ini memunculkan kecenderungan baru
dalam simbolisme perkotaan. Fakta
keberadaan maraknya kegiatan industri pertunjukan,
menjadi kota Indonesia baru, sekaligus
menjadi pusat transformasi budaya perkotaan di
Indonesia yang menjadi pusat kebudayaan Indonesia
Banjarmasin Tahun 1950-an
Pergeseran ini memunculkan kecenderungan baru
dalam simbolisme perkotaan. Faktafakta tentang
keberadaan maraknya kegiatan industri pertunjukan,
~ 33 ~
penerbitan buku, majalah, suratkabar, super mall, mall,
perumahan elite, mobilmobilbaru yang menghiasi
jalanjalan di kota, media audio visualfilm,ragam
musik, radio dan telivisi, sastra, media massa, bioskop,
yang kesemuanya itu merupakan simbolsimbol
perkotaan buah dari proses ekspansi pasar.
Pada abad 21 dampak dari perkembangan kota
kota baru yang tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan kota induk dan kotakota sekitar
berdampak terbentuknya sistem metropolitan, yaitu
satu kelompok kota yang terdiridari kota induk dan
satelitnya. 25 Hal ini mengisyaratkan adanya saling
ketergantungan antara kota induk dengan kotakota
baru di sekitarnya. Misalnya kotametropolitan Jakarta
dengan kotakota satelitnya, yaitu Tanggerang,
Serpong, Bekasi dan Depok. Fenomena ini menarasikan
kotakota itu sangat tergantung kepada Jakarta sebagai
kota induk, karena ia merupakan pusat kegiatan sosial
dan ekonomi yang sudah ajeg. Hal ini juga membuat
Jakarta selalu diminati oleh para migrant untuk
25Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Oppset, 2007), hlm.28.
~ 34 ~
mengadu nasib, sehinggaterjadi proses urbanisasi
besarbesaran ke kota itu.
Menarik juga dicermati pendapat Irwan
Abdullah, 26 bahwa pengembangan permukiman di
kotakota baru oleh para pengembangnya hanya untuk
para professional muda kota, karena kelompok ini
yang mampu membelinya. Hal ini mengisyaratkan,
bahwa penduduk kotakota baru terdiri dari
komunitas professional dan kelompok yang menguasai
kapital ekonomi tinggi, tidak diperuntukan untuk para
migrant dari desa. Fenomena ini, mengisyaratkan,
bahwa kaum profesionalis tidak menyukai tinggal di
pusatpusat industri, ia memilih pemukiman yang hijau
dan tenang.
Fenomena era reformasi menarik juga dicermati
dengan munculnya kebijakan tentang perubahan
predikatkota. Perubahan ditandai dengan muncul
kebijaksanaan tentang pemakaran wilayah. Katakan
saja, kota administratif menjadi kotamadya, Banten
yang dulunya sebuah kota di provinsi Jawa Barat
berubah statusnya menjadi ibukota Provinsi Banten.
26Ibid, hlm. 32.
~ 35 ~
Paling menarik lagi adalah desa yang berubah menjadi
ibukota kecamatan, katakan saja Desa Sungai Danau
yang menjadi Kota Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah
Bumbu.
3. Penentuan Hari Jadi Kota-Kota di Indonesia
Menurut Taufik Abdullah, adanya kebebasan dalam
menentukan Hari Jadi. Semua bisa diatur asal saja
disetujui semua pihak, tetapi harus disadari bahwa kota
memang mempunyai kebebasan relatif untuk
menentukan Hari Jadinya. Walaupun kehadiran kota
sebagai kesatuan administratif ditentukan oleh keputusan
politik, tetapi kota lebih daripada sekadar kesatuan
administratif. Disamping sebuah wilayah tempat tinggal
dengan segala infrastrukturnya, kota adalah pula pusat
dari berbagai jaringan/networks mulai pemerintahan,
pasar, pendidikan, dan sebagainya, bagi wilayah
sekitarnya. Jadi tanpa keputusan politik untuk
menentukan statusnya sebagai kota atau
kotapraja/gemeente, kota itu telah “kota” juga dari sudut
perannya.27
27Taufik Abdullah,op.cit., hlm. 2 ; lihat juga Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu
Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), hlm. 37.
~ 36 ~
Kebebasan relatif yang dipunyai kota/kotapraja
untuk menentukan Hari Jadi ini tidak dipunyai oleh
propinsi. Sebab besar atau kecil, otonom atau tidak,
propinsi tak lebih daripada kesatuan wilayah
administratif yang kehadiran dan batasbatasnya
ditentukan oleh keputusan politik pemerintah pusat. Kota
bisa tumbuh dengan sendirinya, dengan atau tanpa hak
administratif “kekotaan” yang diberikan oleh pusat
pemerintahan, sedangkan eksistensi propinsi sepenuhnya
ditentukan oleh keputusan politik dan administrasi
pemerintahan modern. Jadi boleh dikatakan secara
teoretis penentuan Hari Jadi propinsi mempunyai
kebebasan yang terbatas. Kebebasan hanya mungkin
dalam memilih tanggal yang ditentukan oleh rezim yang
mana, kolonial atau pemerintah nasional.28
Propinsi tidak bisa mempunyai klaim sejarah apa
apa dari masa sebelum kekuasaan kolonial. Propinsi
adalah pembagian wilayah yang modern, bermula ketika
kekuasaan kolonial telah bercokol dan sistem birokrasi
modern telah diperkenalkan. Propinsi murni merupakan
kesatuan administratif yang ditentukan kebijaksanaan
28 Ibid.
~ 37 ~
pusat pemerintahan. Bahwa dalam menentukan batas
batas itu pemerintah pusat memperhitungkan faktor
faktor sejarah, kebudayaan, dan sebagainya adalah suatu
kebijaksanaan belaka. Propinsi bagaimanapun juga
adalah sebuah unit administratif yang kehadirannya dan
batasbatasnya ditentukan sistem kekuasaan negara.29
Jika demikian halnya sudah bisa dipastikan bahwa
“umur propinsi” masih sangat muda. Umurnya tak
mungkin, bahkan sangat tak masuk akal, sampai ratusan
tahun. Juga sangat tak mungkin kalau tanggal dan tahun
berdirinya sebuah dinasti atau kerajaan dipakai sebagai
Hari Jadi. Mana mungkin Hari Jadi dari sebuah kesatuan
politik kekuasaan tradisional, dengan klaim tradisional
pula dipakai sebagai Hari Jadi dari daerah yang
merupakan bagian dari negarabangsa modern. Jika hal
ini terjadi maka bukan saja berhadapan dengan
anakronisme sistem pemikiran tetapi memperkenalkan
klaim tradisional primordial dalam konteks negara
modern yang nasional. Akibatnya bisa diperkirakan, yaitu
29 Ibid.
~ 38 ~
disintegrasi pemikiran dalam konteks integrasi nasional,
tak terelakkan.30
Akan tetapi, bagaimana kalau dihilangkan kata
"propinsi"? Kalau demikian halnya tak lagi berhadapan
dengan sejarah yang menyangkut manusia, tetapi sejarah
geologis. Maka tanggalnya tidak akan pernah diketahui,
meskipun umurnya telah bisa diperkirakan sekian ribu
tahun yang lalu. Sayangnya pula umur itu bersifat proses
yang panjang. Bukankah “garis pantai” sampai sekarang
masih berubah?
Kalau argumen ini dilanjutkan maka Hari Jadi
propinsi hanya mungkin berdasarkan pada tanggal
penetapan daerah tertentu itu sebagai propinsi oleh
pemerintah pusat atau kalau sekadar kebebasan ingin
dipakai, tanggal ketika Gubernur pertama dilantik oleh
pemerintah pusat.
Memang selalu ada discrepancy waktu antara
keputusan pemerintah pusat dengan realitas di lapangan.
(Sekarang malah bisa dilihat adanya perbedaan waktu
antara keputusan DPR, penandangan UndangUndang
30Ibid, lihat juga Dada Meuraxa, Sejarah Hari Jadinya Kota Medan, 1 Juli
1590 (Medan: Sasterawan, 1975), hlm. 4.
~ 39 ~
oleh Presiden, dan pelantikan Gubernur pertama dari
propinsi baru). Jika dibandingbanding bahkan kabupaten
pun bisa mempunyai kebebasan simbolik yang lebih
besar dari propinsi dalam penentuan Hari Jadi ini.
Kemungkinan pertama, hari jadi bisa saja diambil
berdasarkan keputusan pemerintah pusat. Tetapi
kemungkinan kedua lebih beragam dan tentu saja
masalahnya lebih pelik. Di Jawa banyak kabupaten yang
telah ada sejak kekuasaan pusat berada di tangan
penguasa yang berada di keraton.31
Dalam konteks sistem politik tradisional Jawa yang
bersifat multikeraton, kabupaten bukan saja bawahan
dari keratonpusat, tetapi secara potensial adalah juga
pesaingnya. Bukankah sejarah masa pra kolonial Jawa,
khususnya Jawa Tengah dan Timur bisa juga dilihat
sebagai kisah perpindahan pusatpusat kekuasaan?
Tetapi dengan berpindah kontinuitas legitimasi dijaga
juga. Seperti kisah Kadiri Singahasari, Majapahit, Demak,
Pajang dan akhirnya Mataram, yang kemudian pecah dua,
sampai akhirnya pecahan Surakarta mempunyai pecahan
31 Lihat Samsul Muarief, Peduli Generasi Suku Using, (Banyuwangi:
Satubuku, 2001), hlm. 27; Sri Adi Oetomo, Menelusuri dan Mencari Hari Jadi Kota Banyuwangi (Pasuruan: Garoeda Buana Indah, 1993), hlm. 7.
baru Mangkunegaran d
pecahan Pakulaman.
Gambar 4. Keraton Yogyakarta Tempo Dulu
Sumber : koleksi http://www.pojokejogja.com.
Maka bisa dibayangkan bekas kadipaten/kabupaten,
yang merupakan bawahan/taklukan keraton, tetapi
sekaligus calon pengganti keraton
merupakan kabupaten dari sebuah provinsi, bisa
mempunyai klaim kelahiran pada awal didirikan keraton
kecil kabupaten itu. Atau lebih mungkin ketika wilayah itu
~ 40 ~
baru Mangkunegaran dan Yogyakarta mempunyai
pecahan Pakulaman.
Gambar 4. Keraton Yogyakarta Tempo Dulu
Sumber : koleksi http://www.pojokejogja.com.
Maka bisa dibayangkan bekas kadipaten/kabupaten,
yang merupakan bawahan/taklukan keraton, tetapi
sekaligus calon pengganti keratonpusat, yang kini telah
merupakan kabupaten dari sebuah provinsi, bisa
mempunyai klaim kelahiran pada awal didirikan keraton
ecil kabupaten itu. Atau lebih mungkin ketika wilayah itu
an Yogyakarta mempunyai
Gambar 4. Keraton Yogyakarta Tempo Dulu
Maka bisa dibayangkan bekas kadipaten/kabupaten,
yang merupakan bawahan/taklukan keraton, tetapi
pusat, yang kini telah
merupakan kabupaten dari sebuah provinsi, bisa
mempunyai klaim kelahiran pada awal didirikan keraton
ecil kabupaten itu. Atau lebih mungkin ketika wilayah itu
~ 41 ~
diberi Raja/Sultan kepada bangsawan yang dipercayainya
sebagai tanah lungguh. Jika Bupati dan DPRD mau tanggal
kejadian ini bisa dipakai. Hal ini tentu dimungkinkan juga
oleh fakta bahwa Bupatibupati pada masa awal
pemerintahan kolonial biasanya adalah keturunan bupati
dari masa kerajaan tradisional.32
Di Sulawesi Selatan (sebelum pemekaran) sebagian
besar kabupaten mempunyai batas yang sama dengan
wilayah kerajaan tradisional, yang dibiarkan “terus
hidup” pada masa kolonial. Sebagai catatan dapat
dikatakan juga bahwa pedalaman Sulawesi Selatan
barulah pada awal abad 20 “dimasuki” Hindia Belanda.
Beberapa kabupaten di Sumatra Timur dan Riau daratan,
kerajaankerajaan lama juga adalah unit kabupaten dalam
konstelasi negara kolonial dan kemudian nasional.33
Kemungkinan lainnya, kalau pemerintah/DPRD
kabupaten memilih tanggal atau perkiraan tanggal
terjadinya peristiwa yang membanggakan yang dianggap
sebagai simbol yang sesuai bagi eksistensi kabupaten.
32Ibid. 33Taufik Abdullah,op.cit., hlm. 2 ; Amiruddin Maula & Muh. Iqbal Latief,
Posisi Makassar Dalam Bisnis Global (Makassar: Yayasan Lentera 21, 2000), hlm.10.
~ 42 ~
Biasanya yang terjadi ialah kabupaten tidak akan
mengambil, umpamanya, kisah kepahlawanan waktu
revolusi, meskipun membanggakan, juga pasti bukan
tanggal kelahiran seorang pahlawan dan sebagainya, jika
kejadian itu masih berada dalam ingatan kolektif. Para
tokoh Kabupaten biasanya cenderung untuk memilih
bukan peristiwa atau kejadian yang teringat dan tercatat
tetapi yang masih hidup dalam tradisi lisan, ingatan yang
turun temurun tentang sesuatu yang terjadi “kirakira
abad sekian”.
Semakin tua kejadian itu diperkirakan terjadinya
maka semakin mungkin akan dipilih, seakanakan
ketuaan adalah ukuran dari kebesaran. Tentu saja hal ini
boleh saja, tetapi masalahnya kepastian sejarahnya akan
selalu diperdebatkan. Benarkah hal itu betulbetul terjadi
dan kalau begitu kapan terjadinya. Jika kredibilitas
kejadian dan tanggal dimasalahkan nilai Hari Jadi itu
hanya akan dianggap keperluan seremoni saja.34
Setiap ikatan sosial, apakah yang diikat oleh ideologi,
kepentingan, keluarga atau apa saja dan tentu saja daerah
tentu memerlukan mitos, yang telah menggabungkan
34 Ibid.
~ 43 ~
sejarah dengan praduga dan hasrat kultural. Masalah
baru muncul kalau mitos itu disahkan sebagai “sumber
sejarah” yang secara teoretis dan metodologi harus bisa
dipertanggungjawabkan kehadirannya. Kalau telah
begini keabsahan “sejarah” itu akan selalu diuji. Jika saja
dianggap gagal dalam ujian, nilainya sebagai sejarah,
bahkan sebagai mitos pun jadi merosot. Dan masyarakat
pun akan kehilangan sebuah mitos yang selama ini telah
berfungsi sebagai “alat pengikat” dan “alat pengingat”
akan nilainilai luhur yang dipancarkannya.35
4. Kota Kecamatan
Penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan diatur
dalam Undangundang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Undangundang ini mengatur
pokokpokok proses penyelenggaraan pemerintahan di
daerah, di dalamnya menguraikan pula mengenai konsep
kecamatan. Untuk pengaturan lebih teknis mengenai
organisasi perangkat daerah, maka telah dibuat peraturan
teknisnya. Misalnya dengan dikeluarkanya Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman
Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun
35 Ibid.
~ 44 ~
2003 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4262) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 158
Tahun 2004 tentang Pedoman Organisasi Kecamatan.
Secara konseptual pengertian kecamatan telah
diuraikan dalam undangundang No. 32 tahun 2004 pada
pasal 126, ayat (1) dan (2) tertulis: (1) Kecamatan
dibentuk di wilayah Kabupaten/Kota dengan perda
berpedoman pada Peraturan Pemerintah. (2) Kecamatan
dipimpin oleh Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya
memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati atau
Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi
daerah. 36 Proses terbentuknya kecamatan itu sendiri
memerlukan proses yang cukup panjang. Berawal dari
usulan masyarakat, pembetukan kecamatan baru melalui
tahap pembahasan oleh pihak eksekutif dan legislatif,
kajian akademik, dan untuk selanjutnya menghasilkan
Peraturan Daerah (Perda) mengenai pembentukan
kecamatan lalu mendapat registrasi dari Kementerian
Dalam Negeri.
Dinamika masyarakat yang menonjol pada masa
kekinian sangat ditandai oleh arus urbanisasi yang besar.
36Lembaran Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 126.
~ 45 ~
Sudah barang tentu proses urbanisasi itu diiringi oleh
persoalan sosial yang menyertainya dan berdampak pada
pembangunan nasional. Memahami persoalan sosial tidak
hanya dilihat dari fenomena relasi sosial dalam
masyarakat tetapi juga harus mengikuti tentang sejarah
perkembangan kota, baik ekologi, fungsi dan unsurunsur
sosial di dalamnya.
Nama kota begitu akrab, persoalannya adalah apa
defenisi kota. Mendiskusikan tentang defenisi kota, maka
harus menjenguk bahasa sansekerta. Sebab, konsep
negara (nagara, nagari, negri) dalam bahasa sansekerta
bermuasal dari kota. Dalam Bahasa Indonesia, negara
juga berarti istana, ibukota, negara, wilayah kekuasaan,
dan lagi kota. Geertz menafsirkan konsep kota dalam
bahasa sansekerta merujuk kepada peradaban klasik.
Pandangan dan kutipan Geertz diperkuat oleh
Wiryomartono (1995) ketika ia menyamakan konsep kota
yang berada di Jawa.
Hematnya, di Jawa konsep awal tentang kota
tercermin dalam negara dan konsep kuta atau kitha. Kuta
secara harafiah dapat diartikan daerah permukiman yang
dilindungi oleh dinding berbentuk persegi. Dinding ini
~ 46 ~
juga merupakan batas yang kuat.Dalam bahasa lain, kota
dalam peradaban merupakan pancaran dari tradisi besar,
dan identik dengan pusat sistem wewenang politik yang
tinggi dan tentunya peradaban dalam bertatakrama.
Konsep kutagara sebagaimana lain dari kuta atau kota
kemudian berkembang menjadi sebutan resmi dari
sebuah wilayah yang bercirikan kota yang sejajar dengan
istilah city.37
Pusat politik berdomisili di kota. Wewenang politik
bersinggungan dengan kekuasaan. Pancaran kekuasaan
akan tampak ketika ada kelompok elite sebagai kelompok
minoritas dengan wewenang yang dimilikinya berkuasa
terhadap kelompok mayoritas. Relasi kekuasaan elite dan
non-eliteakan tampak nyata dipancarkan di kota sebagai
pusat pemerintahan. Tentunya kota sebagai pusat
pemerintahan akan ditandai oleh beragam permukiman
dan beragam kelompok.
Pandangan sebenarnya bukan sesuatu yang baru,
katakan saja pendapat kota, menurut Marx Weber. Hemat
Weber, satu elemen yang muncul dari berbagai batasan
37 Purnawan Basundoro, PengantarSejarahKota, (Yogyakarta; Ombak,
2012), hlm.28.
~ 47 ~
mengenai kota, adalah adanya kumpulan tempat tinggal
yang terpisah namun dalam satu permukiman yang
tertutup. Di dalam ruang yang tertutup inilah, tercampur
aspek kekuasaan bersenjata/ militeristik sebuah kota
(karena sejatinya kota adalah juga benteng) dan aspek
pasar di mana berbagai komoditas dipertukarkan dan
transformasi/interaksi antarkultur dipertemukan.38
Weber juga menambahkan, bahwa hanya kotakota
di Eropa Barat yang memenuhi kriteria untuk disebut
kota, karena memiliki pertahanan kota, pasar, mahkamah
pengadilan, struktur politik lokal dan otonomi yang besar.
Mengacu pada pandangan Weber maka kota berfungsi
juga sebagai pusat pelayanan. Kota sebagai pusat
pelayanan tampaknya juga selaras dengan pandangan
Sirjamaki. 39 Hematnya kota merupakan pusatpusat
komersil dan industri, sekumpulan penduduk dengan
tingkat pemerintahan sendiri yang diatur oleh
pemerintah kota. Kota juga merupakan pusatpusat untuk
belajar serta tempat kemajuan peradaban. Lebih lanjut
38 Sartono Kartodirdjo (editor), MasyarakatKuno&Kelompokkelompok
Sosial (Jakarta: Bulu Obor, 1977), hlm.89. 39Basundoro, op.cit., hlm. 16); Nash, P.J.M, Kota di Dunia Ketiga (Jakarta:
Aksara, 1984), hlm. 27.
~ 48 ~
Sirjamaki menjelaskan, dilihat dari sejarah, kota
merupakan tempat kelahiran peradaban dunia dan
tempat penggodokan peradaban yang lebih tinggi.40
Defenisi kota yang patut diangkat kepermukaan
adalah pandangan dari Wirth. Ia merumuskan kota
sebagai permukiman yang relatif besar, padat dan
permanen, dihuni oleh orangorang yang heterogen
dalam posisi sosialnya. Pandangan ini juga menarasikan,
bahwa komonitas penghuni mempunyai sifat
kehetorogenan sosial membuat relasi sosial sangat
longgar. Pandangan Wirth tampaknya merupakan
pemahaman tentang kota yang diajukan Mumford. 41
Hematnya, kota merupakan suatu tempat pertemuan
yang berorientasi keluar.
Dari banyak pendapat tentang kota, menarik disimak
pendapat P.J. M Nas yang dilontarkannya pada 1986. Nas
memberikan 5 aspek besar yang tersurat dalam sebuah
kota, yaitu; (1) suatu lingkungan material buatan
manusia, (2) suatu pusat produksi, (3) suatu komunitas
40Ibid. 41Ibid, hlm.28. Nash, op.cit., hlm. 29.
~ 49 ~
sosial, (4) suatu komunitas budaya dan (5) suatu
masyarakat yang terkontrol.42
Narasi di atas mewartakan tentang beragamnya
pandangan para ahli tentang kota. Dari keberagaman itu,
mengisyaratkan, bahwa para para pakar tersebut belum
meneropongnya dari aspek keruangaan (spasial).
Realitasnya, bahwa kotatentunya berlainan karakternya
dengan desa (rural) yang memang tidak bisa
dibandingkan satu dengan lain. Aspek ruang kota tidak
hanya mengedepankan lokasi bagi terjadinya perubahan
sosial.
Dalam teropongan sejarah, aspek ruang kota dilihat
dari pertanyaan bagaimana ruang kota diproduksi dan
direproduksi dari masa ke masa karena bagaimana pun
struktur dan pola ruang kota tidaklah akan terlepas dari
sejarah pembentukannya. Apabila pentingnya hubungan
antara dinamika masyarakat dan dinamika ruang kota
sudah dapat menjadi dasar penting dalam melihat
perkembangan struktur dan pola ruang kota, pertanyaan
yang pantas diajukan pada saat ini adalah akan dibawa ke
mana pola perkembangan kota di masa mendatang?
42Basundoro, op.cit., hlm. 18.
~ 50 ~
~ 51 ~
BAB III
METODE YANG DITERAPKAN DALAM PENELITIAN
Dalam penelitian dan penulisan tentang Hari jadi Kota
Satui ini, tim penulis menggunakan Metode Sejarah. Metode
sejarah yakni metode untuk mengkaji dan menganalisa secara
kritis rekaman dari peninggalan masa lampau.43 Metode sejarah
juga didefenisikan sebagai suatu perangkat aturanaturan atau
prinsipprinsip yang secara sistematis dipergunakan untuk
mencari atau menggunakan sumbersumber sejarah, kemudian
menilai sumbersumber itu secara kritis dan menyajikan hasil
hasil dari penelitian itu umumnya dalam bentuk tertulis dari
hasilhasil yang telah dicapai. Menurut Louis Gottschalk, metode
sejarah dapat merekonstruksi sebanyakbanyaknya peristiwa
masa lampau manusia.44
Dalam mendeskripsikan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah
tentunya harus didukung oleh metode dan teknik mendapatkan
data yang akurat. Karena itulah, Tim Penulis melakukan
43 Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah,terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 27; Muhammad Gade Ismail,“Museum Sebagai Sumber Sejarah Dalam Kaitan Dengan Metode Sejarah”, dalam Bulletin Rumoh Aceh, Informasi dan Komunikasi Museum, No.03/1999, Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Aceh 1999, hlm. 3.
44 ibid, hlm. 32.
~ 52 ~
pengumpulan sumber yang didasarkan pada seleksi dan akurasi
akan melahirkan suatu tulisan yang ilmiah serta dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Penggunaan metode sejarah dalam penyusunan penulisan
penelitian inisecara tidak langsung sesuai dengan tujuan dari
hasil akhir penulisan adalah ingin mendeskripsikan peristiwa
yang terjadi di masa lampau. Metode sejarah yang telah
dipaparkan di atas, yang bertumpu pada beberapa tahapan yang
disusun secara sistematis yang harus dilalui oleh penulis sejarah
yang tidak boleh ke luar dari kaedah ilmu sejarah diharapkan
dapat menghasilkan penulisan yang bernilai ilmiah. Langkah
awal yang dilakukan adalah menentukan judul, topik,
mengumpulkan sebanyak mungkin sumbersumber sejarah
yang diperlukan dan berkaitan dengan penelitian. Metode
penelitian sejarah kritis terdiri dari empat tahapan pokok yaitu
heuristik, kritik sumber, interpretasi fakta dan historiografi,
yang akan dijabarkan sebagai berikut.45
45Nugroho Notosusanto, Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah (Jakarta:
Mega Book Store, 1984), hlm. 2223.
~ 53 ~
A. Heuristik atau Pengumpulan “Serpihan” Sumber
Tahap pertama adalah heuristik, berasal dari bahasa
Yunani hueriskein artinya memperoleh. 46 Heuristik
merupakan suatu proses untuk mencari dan mengumpulkan
sumbersumber sejarah, baik sumber primer maupun
sumber sekunder. Sumbersumber yang dicari dan
dikumpulkan ialah sumbersumber yang relevan dengan
tema yang diteliti. Heuristik juga dikategorikan sebagai ilmu
pengumpulan bahanbahan historis atau usaha memilih
obyek dan mengumpulkan informasi mengenainya.47
Dalam tahap heuristik, Tim Penulis melakukan kegiatan
menghimpun data dari jejakjejak kehidupan masa lampau
48Kemudian Tim Penulis juga mencari untuk menemukan
sumbersumber sejarah, atau pengumpulan bahanbahan
historis atau usaha memilih suatu obyek dan mengumpulkan
informasi mengenai objek tersebut.49 Adapun sumber data
46 G.J. Renier, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, terj. Muin Umar
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 113. 47 Louis Gottchalk, 1985, op.cit, hal. 19. 48G.J. Renier, loc.cit. 49Helius Syamsuddin, Metodologi Sejarah (Jakarta: Proyek Pendidikan
Tenaga Akademik, 1996), hlm 14.
~ 54 ~
yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber
primer dan sumber sekunder.
Sumber primer merupakan sumber data yang
didapatkan secara langsung dari narasumber tentang objek
yang diteliti. Dalam hal ini, Tim Penulis menggunakan
sumbersumber sejarah lisan, dengan metode wawancara.
Wawancara dilakukan dengan narasumber “tetua”, tokoh
dan masyarakat umum di Desa Sungai Danau dan desadesa
sekitarnya tentang sejarah Kota Satui. Tim penulis juga
melakukan observasi ke Makammakam Tua, Pemukiman
Lama serta sungai di wilayah Satui.
Kemudian terdapat sumber primer tertulis yang
dikumpulkan melalui metode kepustakaan. Dalam tahap
heuristik ini, Tim Penulis mengumpulkan beberapa naskah
lokal seperti Hikayat Banjar dan Hikayat Lembu Mangkurat
yang menuliskan tentang keberadaan wilayah
Satui.50Hikayat Banjar dan Hikayat Lambung Mangkurat
50Salah satu sumber sejarah adalah hikayat atau cerita, sekalipun harus di
pisahkan lebih dahulu mana yang fakta dan mana yang khayal. Penyaringan isi hikayat untuk menjadi sumber sejarah adalah tugas dari sejarah. Para pengarang hikayat kebiasaannya selalu membubuhi hikayat itu dengan ramuanramuan khayal agar menarik para pembacanya, sehingga sejarawan harus jeli menentukan fakta sejarah dari suatu hikayat. Hikayat, berasal dari India dan Arab, berisikan cerita kehidupan para dewi, peri, pangeran, putri kerajaan, serta rajaraja yang memiliki kekuatan gaib. Kesaktian dan kekuatan luar biasa yang dimiliki seseorang, yang diceritakan dalam hikayat kadang tidak masuk akal. Sebagai
~ 55 ~
termasuk bentuk karya sastra Prosa Lama.51Kemudian Tim
peneliti juga mengumpulkan beberapa dokumen dan arsip
arsip masa Hindia Belanda, kemudian sumber tertulis lain
berupa buku, majalah, artikel yang berhubungan dengan
objek penelitian. Misalnya arsiparsip dari Arsip Nasional
Republik Indonesia (ANRI) berupa arsip Algemene Secretarie
(AS), Binnenlandsch Bestur (BB), Memorie van Overgave
(MvO), Koloniaal Verslag (KV), Regerings Almanak (RA),
Staatsblad van Nederlandsch Indie (Stb), arsip ANRI bundel
Borneo Zuid en Oosterafdeeling (BZO), arsip Surat-Surat
Perjanjian Antara Kesultanan Banjarmasin Dengan
Pemerintahan VOC, Bataafshe Republik, Inggris dan Hindia
Belanda 1635–1860, arsip Kontrak Perjanjian, Laporan
Politik danDagregister (Catatan Harian).
Kendala dalam penelitian ini, terutama dalam proses
pencarian data di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)
referensi perbandingan lihat ChamamahSoeratno, Hikayat Iskandar Zulkarnain: Analisis Resepsi (Jakarta: Balai Pustaka, 1991); kemudian tulisan Teuku, Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad (Jakarta: Libra, 1996); J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography (The Hague: Martijnus Nijhof, 1968).
51Prosa adalah suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi karena
variasi ritme (rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Kata prosa berasal dari bahasa Latin "prosa", artinya "terus terang". Jenis tulisan prosa biasanya digunakan mendeskripsikan suatu fakta atau ide.
Jakarta, adalah pencarian arsip ”asli” seperti
Nederlandisch Indie Voor Het Jaar 1898
katalog ANRI tetapi setelah ditelusuri sesuai nomor
arsipnya, sumber sejarah ter
menurut keterangan petugas ANRI yang membidangi koleksi
arsip Hindia Belanda, arsip tersebut dinyatakan hilang.
Gambar 5. Koleksi A
Sumber : Koleksi Pribadi, 2013.
~ 56 ~
Jakarta, adalah pencarian arsip ”asli” seperti
Nederlandisch Indie Voor Het Jaar 1898, memang terdapat di
katalog ANRI tetapi setelah ditelusuri sesuai nomor
arsipnya, sumber sejarah tersebut tidak ada. Bahkan
menurut keterangan petugas ANRI yang membidangi koleksi
arsip Hindia Belanda, arsip tersebut dinyatakan hilang.
Gambar 5. Koleksi Arsip Kolonial, Arsip Nasional RI (ANRI)
Sumber : Koleksi Pribadi, 2013.
Jakarta, adalah pencarian arsip ”asli” seperti Staatsblad van
, memang terdapat di
katalog ANRI tetapi setelah ditelusuri sesuai nomor
sebut tidak ada. Bahkan
menurut keterangan petugas ANRI yang membidangi koleksi
arsip Hindia Belanda, arsip tersebut dinyatakan hilang.
rsip Kolonial, Arsip Nasional RI (ANRI)
~ 57 ~
Untuk mengatasi kendala arsip “hilang”, tim peneliti lalu
mencari arsip dalam kurun waktu yang hampir sama sebagai
pembanding atau komparasi dengan “arsip asli” yang
dinyatakan hilang tersebut. Kendala lain yakni sumber
sumber berbahasa Belanda tersebut berbahasa Belanda
dengan aksen abad ke 19 sehingga tim peneliti harus
bekerja keras untuk menerjemahkan arsip tersebut sesuai
dengan “jiwa zaman”nya. Alhamdulillah, semua kendala ini
bisa diatasi berkat bantuan semua pihak dan kerjasama Tim
Penulis.
Sementara sumber sekunderTim Penulis dapatkan dari
studi kepustakaan berupa bukubuku yang relevan dengan
objek penelitian ini yakni membahas tentang perkembangan
kota Satui. Dalam hal ini, tim penulis menggunakan buku
buku yang berfungsi sebagai acuan yang kemudian
dikembangkan dalam tulisan. Studi kepustakaan ini sangat
penting untuk mendukung datadata yang diperoleh di
lapangan. Sumber sekunder diperoleh melalui riset
kepustakaan meliputi bukubuku karangan ilmiah yang
ditulis oleh para ahli yang relevan dengan masalah yang
diteliti.
~ 58 ~
Hal ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa melalui
penelusuran dan penelaahan kepustakaan tersebut, dapat
dipelajari bagaimana mengungkapkan buah pikiran secara
sistematis dan kritis.52 Data juga diperoleh dari internet dan
majalah atau jurnal yang terkait dengan permasalahan
permasalahan yang dikaji. Sumber sekunder digunakan
untuk membantu dalam melengkapi data yang tidak
diperoleh dari sumber primer.
Perkembangan historiografis pada beberapa tahun
terakhir dan perubahan politik yang terjadi di negaranegara
berkembang telah membawa “angin segar” bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya sejarah.
Perkembangan ilmu sejarah menuju ke arah yang lebih baik
seiring dengan munculnya pendekatan baru dalam
memahami peristiwa sejarah. Definisi sejarah yang diperluas
telah membuka kesempatan untuk menulis tematema baru
dalam kajian sejarah masa kini. Kajian sejarah juga telah
memperluas penggunaan sumber untuk menulis sejarah.
Sebelumnya, sumber sejarah hanya didominasi oleh sumber
52 Irawati Singarimbun, “Pemanfaatan Perpustakaan”, dalam Masri
Singarimbun dan Sofyan Effendy, Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 45.
~ 59 ~
dokumen yang mengakar pada pendapat no document no
history seperti yang dikemukakan oleh von Ranke.
Pendapat Ranke tersebut pada perkembangan mutakhir
tidak dapat dipertahankan. Menguatnya pendekatan
struktural, hermeunetik, posmodernisme dan subalten
history telah memperluas penggunaan sumber sejarah. Saat
ini sejarah yang ditulis, bisa menggunakan sumber lisan
(wawancarainterview), sumber tradisional seperti hikayat,
tambo, babad, dan mithos, meskipun harus mencermati
sumber itu secara ketat dan selektif. Artinya tidak semua
unsur karya itu menjadi sumber sejarah yang valid. Kritik
sumber, verifikasi, interpretasi dan analasis yang ketat
untuk menemukan fakta dalam sumber tradisional menjadi
syarat utama. Hal itu terjadi karena banyak unsur yang
menyertai rekonstruksi dari lahirnya naskahnaskah
tradisional.
B. Kritik, Tidak Asal “Ambil Data”
Kritik sumber adalah penilaian atau pengujian terhadap
sumbersumber yang telah dikumpulkan. Dalam tahap ini
penulis melakukan dua jenis kritik, yaitu kritik ekstern dan
kritik intern. Kritik intern yang dilakukan menyangkut
~ 60 ~
penilaian isi sumber tersebut untuk mendapatkan
kredibilitas sumber. 53 Misalnya sumber tertulis tentang
perkembangan Kota Satui pada umumnya, apakah memang
ditulis oleh penulis kompeten dan mengetahui tentang Kota
Satui. Kemudian membandingkannya dengan buku lain
sehingga bisa didapatkan bahan tulisan yang benarbenar
sesuai dan mendukung objek yang diteliti.
Dalam tahap kritik ini, kritik intern diaplikasikan ketika
tim penulis mendapatkan sumber, tim penulis harus dapat
melihat dan menyelidiki isi dari sumber yang diperolehnya
itu. Dalam hal ini sumbersumber yang telah terkumpul
dikaji, apakah pernyataan yang dibuat dalam sumber itu,
merupakan fakta historis yang meliputi isi, bahasa, situasi
dan lain sebagainya.
Kritik ekstern adalah penyelidikan terhadap sumber
yang diperoleh dengan meneliti keadaan luar dari sumber
sumber yang digunakan, apakah sumber yang digunakan itu
otentik atau tidak. Kritik intern penting untuk menentukan
apakah sumber yang digunakan kredibel, dapat dipercaya
53Lihat Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer,
Suatu Pengalaman(Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), hlm. 38.Penafsiran atau interpretasi (interpret), merupakan hal utama dalam mengeksplanasi sejarah. Dorongan ini menuntut analisis apapun orientasinya dan proposisinya yaitu deskriptif, naratif dan analisis semuanya akan bermuara pada sintesis.
~ 61 ~
atau tidak. Kritik ini dilakukan terhadap informasi yang
diperoleh dari para informan, yang kemudian dibandingkan
dengan data dari berbagai sumber tertulis yang relevan dan
telah diseleksi, begitu pula sebaliknya dilakukan kritik
dengan membandingkan data dari sumber tertulis dengan
keterangan yang diperoleh dari informan. Kritik juga
dilakukan terhadap berbagai arsip atau dokumen yang telah
diperoleh, antara lain seperti peta, fotofoto dan sebagainya.
Sementara itu, kritik ekstern yang dilakukan
menyangkut keaslian (otentisitas) sumber dengan
memeriksa pembuat sumber, yaitu apakah sumber dibuat
oleh orang yang berwenang atau terlibat langsung atau
sebagai saksi langsung peristiwa.
Contoh kritik sumber, misalnya keberadaan Hikayat
Banjar sebagai sumber penulisan Sejarah dan Penentuan
Hari jadi Satui memang memiliki konsekuensi historiografis,
yakni menjadi sebuah analisis hermeunetik. Seperti
kebanyakan naskahnaskah pribumi yang dihasilkan
intelektual tradisional khususnya karya yang dihasilkan di
dalam istana cenderung bersifat istana-sentris. Penulisan
sejarah tradisional atau historiografi tradisional, seperti
babad, silsilah, tambo, dan hikayat termasuk Hikayat Banjar,
~ 62 ~
tidaklah bersifat kritis ilmiah dan “tidak lulus” sebagai karya
sejarah dalam pengertian modern, karena isinya banyak
menceritakan halhal yang tidak logis.54
Walaupun demikian, penulisan sejarah (historiografi),
yang pada mulanya lebih merupakan ekspresi kultural dari
usaha untuk merekam masa lampau yang berkenaan dengan
masyarakat yang menghasilkannya. Dalam konteks ini,
makna dan fungsi sejarah lebih berarti daripada peristiwa
peristiwa yang diungkapkan dari “kelampauan” tersebut.
Dengan demikian, yang menjadi tujuan utamanya bukanlah
kebenaran historis, tetapi pedoman dan penegakan nilai
yang perlu didapatkan. Oleh karena itu, dalam hal ini hikayat
“diposisikan” sebagai ekspresi kultural, isinya erat dengan
unsurunsur sastra sebagai karya imajinatif, mitologi, dan
54Lihat Wajidi, Hikayat Lambung Mangkurat Dalam Perspektif Sejarah
Modern, dalam website http://bubuhanbanjar.wordpress.com/2009/03/19/ hikayatlambungmangkuratdalamperspektifsejarahmodern/ Maret 19, 2009; Lihat juga Soenarto Timoer, Hikayat Panji Sebagai Sumber Penelitian Sejarah: Sebuah Studi Analisis Cerita Rakyat (Yayasan Ilmu Pengetahuan & Kebudayaan Panunggalan Lembaga Javanologi, 1984), hlm 2.; Herman C. Kemp, Oral Traditions of Southeast Asia and Oceania: A Bibliography, Volume 18 dari “Seri Tradisi Lisan Nusantara” (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), hlm. 118.
~ 63 ~
pandangan hidup yang dihasilkan dengan unsurunsur
faktual dari peristiwa masa lalu.55
Sebagai tradisi lisan, suatu gambaran realitas tidaklah
identik dengan realitas atau peristiwa itu sendiri, tetapi
sumber hikayat memperlihatkan bagaimana peristiwa itu
dimengerti oleh masyarakatnya, sehingga “yang dimengerti”
itulah yang dianggap sebagai realitas baru atau yang
sebenarnya. Alam pikiran religio magis, pergeseran masa
dan pertukaran waktu, dapat menimbulkan metamorfosa
(perubahan bentuk) peristiwa. Begitu pula sebuah norma
dapat mengalami personifikasi, norma atau ide bisa menjadi
tokoh historis yang sebenarnya tidak ada.56
Hikayat termasuk mitos yang berhubungan dengan
peristiwa sejarah dikenal sebagai sastra sejarah. Sastra
sejarah adalah bayangan sejarah, karena realibilitas data
sejarahnya diragukan, maka penggunaannya harus melalui
kritik sejarah. Untuk memahami dan menggunakan hikayat
sebagai sumbersumber dalam merekonstruksi sejarah,
55Ibid, Hikayat dan sejenisnya pada mulanya juga dihasilkan oleh
pujangga istana yang mendapat tugas khusus untuk menyusun kronik dan daftar silsilah. Para pujangga menentukan rajanya dalam pusat sejarahnya, dipujanya sebagai dewa sehingga dapat menambah kesaktian raja di mata rakyatnya.
56Ibid
~ 64 ~
maka dalam tahap kritik hikayat harus terlebih dahulu
“dibersihkan” dari unsurunsur tidak logis dan
membandingkannya dengan sumbersumber lain. Dalam
memahaminya dengan konsep berpikir sejarah historical
mindedness, yakni bagaimana pikiran, jiwa dan hati kita
masuk ke dalam “kelampauan”nya, dan hal itu dapat
diperoleh dengan jalan memiliki kesadaran dan
pengetahuan mendalam tentang latar belakang kultural
masyarakat yang menghasilkannya.57
C. Sumber Sejarah Ditafsirkan, Itulah Gunanya Interpretasi.
Setelah melakukan kritik terhadap berbagai sumber
maka tim peneliti menghimpun informasiinformasi suatu
periode sejarah yang diteliti. Tahap ini dinamakan tahap
interpretasi, yaitu menafsirkan dan menyusun faktafakta
sehingga menjadi keseluruhan yang masuk akal dan relevan
dengan masalah yang diteliti.58Disini fakta disintesiskan
dalam bentuk katakata dan kalimat, sehingga dapat dibaca
dan dimengerti. Dalam hal ini, Tim Penulis melakukan
penafsiran terhadap faktafakta yang yang telah diperoleh
57 Ibid 58 Ibid, hlm. 46.
~ 65 ~
melalui kritik sumber, yaitu dengan cara mencari dan
menyusun hubungan antar faktafakta yang sama dan
sejenis, kemudian disusun secara kronologis dan dalam
hubungan sebab akibat.
D. Historiografi, “Terminal Terakhir” Penulisan Sejarah
Yaitu suatu proses tahapanpenelitian sejarah yang
berkenaan dengan penulisan sejarah secara deskriptif
analitis berdasarkan sistematika dan kronologis, menurut
Veyne dan Tosh menulis sejarah merupakan suatu kegiatan
intelektual dan ini merupakan suatu cara utama untuk
memahami sejarah,59Historiografi merupakan suatu proses
tahapan penelitian sejarah yang berkenaan dengan
penulisan sejarah secara deskriptif analitis berdasarkan
sistematika dan kronologi60
Dalam tahap ini, Tim Penulis melakukan “kegiatan”
menyajikan, mengisahkan atau menuliskan hasil penelitian
menjadi tulisan atau karya sejarah. Tentunya, kemampuan
imajinasi dan seni menulis sangat diperlukan dan
59Helius Syamsuddin, 1996, loc. cit, Gottchalk, 1985, op. cit. hal 32. 60R. Moh. Ali, Penentuan Arti Sedjarah dan Pengaruhnja dalam Metodologi
Sedjarah Indonesia (Djakarta: Bhratara, 1966), hlm. 10.
menentukan hasil akhir penelitian. Oleh karena itu
Penulis berusaha menggunakan bahasa ba
sehingga mudah dimengerti
kesalahan penafsiran. Dalam tahap ini merupakan bagian
proses penulisan kembali peristiwa sejarah. Fakta yang
sudah disintesiskan dan dianalisis dipaparkan dalam tulisan
dengan bahasa yang
Gambar 6. Penulis Sejarah
Sumber: koleksi http://johnnery.wordpress.com/2010/07/09/grand
~ 66 ~
menentukan hasil akhir penelitian. Oleh karena itu
berusaha menggunakan bahasa baku, baik dan b
sehingga mudah dimengerti dan tidak menimbulkan
kesalahan penafsiran. Dalam tahap ini merupakan bagian
proses penulisan kembali peristiwa sejarah. Fakta yang
sudah disintesiskan dan dianalisis dipaparkan dalam tulisan
dengan bahasa yang baik, sehingga dipahami pembaca.
Sejarah, Wartawan Rosihan
http://johnnery.wordpress.com/2010/07/09/grand
menentukan hasil akhir penelitian. Oleh karena itu Tim
ku, baik dan benar
dan tidak menimbulkan
kesalahan penafsiran. Dalam tahap ini merupakan bagian
proses penulisan kembali peristiwa sejarah. Fakta yang
sudah disintesiskan dan dianalisis dipaparkan dalam tulisan
baik, sehingga dipahami pembaca.
Wartawan Rosihan Anwar
http://johnnery.wordpress.com/2010/07/09/grandoldmen/.
~ 67 ~
Dalam kerangka historiografi, metode yang digunakan
oleh Tim Penulis dalam penulisan ini adalah deskriptif
dengan penalaran induktif, yaitu menggambarkan secara
rinci data yang telah dikumpulkan untuk selanjutnya di
generalisasikan atau di sintesiskan, sehingga dapat
menjelaskan gejalagejala yang tampak pada obyek yang
diteliti. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir kekeliruan
yang dapat saja terjadi pada saat penulisan.
Hal ini juga ditujukan untuk membahas secara rinci
obyek yang akan ditulis sehingga tidak menimbulkan
beberapa penafsiran yang dapat mempengaruhi interpretasi.
Suatu tulisan sejarah tentu saja tidak akan sulit untuk
dicerna atau dipahami apabilapenulisnya memahami tata
cara atau aturan yang baku dalam historiografi. Demikianlah
pentingnya historiografi sehingga setiap sejarawan dituntut
sebelum memasuki tahap historiografi maka harus benar
benar memahami tahaptahap sebelumnya maupun
aplikasinya.
~ 68 ~
~ 69 ~
BAB IV
“JEJAK-JEJAK” SATUI DALAM LINTASAN SEJARAH
DI KALIMANTAN SELATAN
A. SatuiTertulis Dalam Sumber Sejarah Sejak Abad ke-17
Nama Satui terdapat dalam beberapa sumber, baik
dalam naskah lokal maupun sumber kolonial.Naskah lokal
pertama dan paling tertua yang memuat nama Satui yaitu
Hikayat Banjar yang ditulis (bertarikh) tahun 1663 M. Dalam
Hikayat Banjar tertulis bahwa pada saat terjadinya
pertikaian antara Pangeran Tumenggung dengan
keponakannya sendiri, Pangeran Samudra, maka Patih
Masih mengirim utusan ke wilayah lain untuk mengabarkan
bahwa Pangeran Samudra menjadi raja di Banjarmasih. Satu
diantara daerah tujuan utusan tersebut adalah Satui.61Dalam
kutipan yang lebih lengkapnya sebagai berikut:
“Maka Patih Masih menyuruh orang memberitahu ke Kintap, ke Satui, ke Sawarangan, ke Hasam-Hasam, ke Laut Pulau, ke Pamukan, ke Pasir, ke Kutai, ke Barau, ke Karasikan, dan memberitahu ke Biadu, ke Sabangau, ke Mandawai, ke Sampit, ke Pambuang, ke Kota Waringin,
61 Johannes Jacobus Ras, 1990, Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti
Hawa Salleh (Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS Ampang/Hulu KelangSelangor Darul Ehsan, Malaysia), hlm. 312.
~ 70 ~
ke Sukadana, ke Lawai, ke Sambas: Pangeran Samudra menjadi raja di Banjarmasih.”62 (“Patih Masih mengirim utusan untuk menyampaikan pemberitahuan ke daerah Kintap, Satui, Sawarangan (swarangan), HasamHasam (AsamAsam), Laut Pulau (Pulau Laut), Pamukan, Pasir, Kutai, Barau (Berau), Karasikan, kemudian ke wilayah lain seperti wilayah Biadu, Sabangau (Sebangau), Mandawai (Mendawai/Mandomai?), Sampit, Pambuang (Kuala Pembuang), Kota Waringin (Kotawaringin), Sukadana, Lawai, Sambas, isi pemberitahuan tersebut, bahwa Pangeran Samudra menjadi raja Banjarmasih (Banjarmasin),”).
Interpretasi dari hikayat tersebut bahwa orang Satui,
orang Laut Pulau (Pulau Laut), orang Pamukan (Dayak
Samihin) dan orang Paser maupun orangorang Dayak Bukit
yang tinggal di pegunungan Meratus adalah penduduk asli di
wilayah Kalimantan bagian tenggara. Selain kutipan
sebelumnya, terdapat pernyataan lain dalam Hikayat Banjar
yang menuliskan tentang keberadaan orang Satui. Adapun
kutipannya sebagai berikut:
“…..Maka orang yang takluk tatkala Maharaja Suryanata sampai kepada zaman Maharaja Sukarama itu, seperti Negeri Sambas dan Negeri Batang Lawai dan Negeri Sukadana dan Negeri Kota Waringin dan
62 Ibid.
~ 71 ~
Pembuang dan Sampit, Mandawai dan Sabangau dan Barau dan Pasir dan Pamukan dan orang Laut Pulau dan Satuidan Hasam-Hasam dan Kintap dan Sawarangan dan orang Tambangan Laut dan Takisung dan Tabuniau, sekaliannya itu sudah sama datang serta senjatanya serta persembahnya. Sama suka hatinya merajakan Pangeran Samudra itu. …….”63
(“…..Wilayahwilayah taklukan sejak masa pemerintahan Maharaja Suryanata sampai masa pemerintahan Maharaja Sukarama itu, seperti negeri Sambas, negeri Batang Lawai, negeri Sukadana, negeri Kota Waringin (Kotawaringin), Pembuang (Kuala Pembuang), Sampit, Mandawai (Mendawai atau Mandomai?), Sabangau (sebangau), Barau (Berau), Pasir, Pamukan, orang Laut Pulau (Pulau Laut), orangSatui, orang Hasam Hasam (AsamAsam),orang Kintap,orang Sawarangan (Swarangan), orang Tambangan Laut, Takisung, Tabuniau (Tabanio), utusanutusan dari wilayah tersebut berdatangan dengan membawa senjata dan sekaligus upeti untuk Kerajaan Banjarmasih. Utusan tersebut juga bersuka ria merayakan pengangkatan Pangeran Samudera menjadi raja…….”)
Sumber tertulis lain yang mencatat tentang wilayah
dan namaSatui yaitu Hikayat Lembu Mangkurat(Lambung
Mangkurat) yang ditulis “sezaman” dengan Hikayat
63 Ibid, hlm. 323. Dalam indeks teks Hikayat Banjar berbahasa Melayu, namaSatui terdapat di baris 3013 dan 4150. Mengenai orang Satui terdapat pada baris 3326.
~ 72 ~
Banjaryakni tahun 1663.64 Dalam kurun waktu tersebut
Satui adalah wilayah “desa”. Secara lebih lengkap kutipan
tersebut adalah:
“Ketika Kiai Martapura pergi ke Makassar, maka Karaeng Patingaloang yang memerintah di sana, memohon kepada Marhum Panembahan supaya diperkenankan meminjam dan berdagang di Pasir. Raja memperkenankan permohonan itu dan selain daripada itu menyerahkan pula desa-desa Satui, Asem-Asem, Kintap, Sawarangan,.…”65 (“Ketika Kiai Martapura diutus ke Makassar, maka Karaeng Patingaloang yang memerintah di sana (Kerajaan GowaTallo, Sulawesi Selatan), memohon secara lisan kepada Raja Marhum Panembahan supaya diperkenankan meminjam dan berdagang di wilayah Pasir. Raja kemudian memperkenankan permohonan itu dan menyerahkan pula wilayahwilayah lain (untuk ditempati oleh orang BugisMakassar sebagai wilayah perdagangan) seperti desadesa Satui, AsemAsem/AsamAsam, Kintap, Sawarangan/Swarangan…”)
64 Gusti Mayur, Hikayat Lembu Mangkurat, (Banjarmasin: CV Rapi, 1974), hlm. 4243. Informasi tentang Satui tersebut khususnya di bab. 3, tentang masa pemerintahan Marhum Panembahan.; lihat juga Kiai Amir Hasan Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, (Banjarmasin: MAI Pertjetakan Fadjar, 1953), hlm. 8.
65 Ibid.
~ 73 ~
Gambar 7. Beberapa versi Buku Hikayat Banjar
Sumber : Koleksi Pribadi, 2013.
Selain sumber Hikayat Banjar dan Hikayat Lembu
Mangkurat, tidak terdapat sumber naskah lokal lain yang
menulis tentang keberadaan wilayah Satui. Sementara
menurut keterangan sumber lisan dari tokoh masyarakat
Satui, H. Abidin, H. H., Satui berasal dari Satua/ Satwa karena
dahulunya daerahSatui merupakan padang tempat berburu
binatang. Demikian halnya diungkapkan tetua dan
~ 74 ~
pemukamasyarakat Satui, H. Ismail (H. Aloy) Satui berasal
dari kata Satu, atau dalam ejaan lama Satoe berarti satu.66
Berbeda dengan sumber lokal tertulis yang terbilang
langka, nama wilayah Satui malah lebih banyak tercatat
dalam sumber kolonial. Sumber pertama adalah lampiran
peta arsip Arsip Surat-Surat Perjanjian Antara Kesultanan
Banjarmasin Dengan Pemerintahan VOC, Bataafshe Republik,
Inggris dan Hindia Belanda 1635 – 1860. Dalam peta wilayah
KeradjaanBandjarmasin tahun 18261860 tersebut, 67
wilayah Gebergte Satoi, termasuk dalam wilayah kerajaan
Banjarmasin sebelum diserahkan kepada Pemerintahan
Hindia Belanda tahun 1860.
Beberapa sumber lainnya adalah ensiklopedi tentang
wilayah Hindia Belanda yang disusun oleh Pieter Johannes
Veth dalam Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van
Nederlandsch Indie, menyebut wilayah distrik Satui dengan
66 Wawancara H. Abidin , H.H. di Kantor Kecamatan Satui, Sungai Danau,
Juni 2013.; Wawancara H. Ismail (H. Aloy) di Kantor Kecamatan Satui, Sungai
Danau, Februari 2013.
67 ANRI, “Alteratie en ampliate Op Het Contract Met Den Sulthan Van Bandjarmasin, Van 1 Januarij 181713 September 1823”, Arsip Surat-Surat Perjanjian Antara Kesultanan Banjarmasin Dengan Pemerintahan VOC, Bataafshe Republik, Inggris dan Hindia Belanda 1635–1860 (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1965), hlm. lampiran. Peta tersebut berskala 1 : 250.000.
~ 75 ~
Satoi.68Sementara dalam tulisan J.J. De Hollander, Andleiding
bij de Beoefening der Land en Volkenkunde van Nederlansch
Oost Indie (1898),69wilayah Satui tertulis dengan namaG.
(Gebergte) Satoei.
Selanjutnya tulisan H. van Lokhorst, dalam artikelnya
Schets Eener Geneeskundige Plaatsbeschrijving de Afdeeling
Tanah Laut (Zuid en Oosterafdeeling van Borneo), yang
diterbitkantahun 1863 wilayah Satui tertulis dengan
namaSatoei. Demikian halnya dituliskan oleh Theodore
Posewitz, dalam bukunya Borneo: its Geology and Mineral
Resources, 70 wilayah Satui tertulis dengan
namaSatoei.Kemudian dalam laporan J.J. Hollander, Borneo’s
Zuider en Ooster Afdeeling, tentang nama gunung dan sungai
di wilayah Afdeeling Tanah Bumbu tahun 1866, wilayah
68Pieter Johannes Veth, Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van
Nederlandsch Indie (Amsterdam: Van Kampen, 1869), hlm. 257. 69J. J. De Hollander, dalam Andleiding Bij De Beoefening Der Land- En
Volkenkunde Van Nederlansch Oost Indie (1898), Tweede Deel, door R. van Eck, Koninkhjks Militairs Academie,1898, hlm. 118119.
70Theodore Posewitz, Borneo:Geologi and Mineral Resources (London:
Edward Stanford, 1892), hlm. 68.
~ 76 ~
Satui disebut dengan namaGebergte Satoei, merupakan
wilayah dalam landschap(bentang alam) Kusan.71
Selanjutnya sumber lainnya yang menuliskan tentang
wilayah Satui terdapat dalam peta Borneo, Koleksi David
Rumsey Historical Map tahun 1827.,72 Satui tertulis dengan
nama G. (Gebergte) Satoi. Selanjutnyadalam Kaart Van Het
Eiland Borneo/Samengesteld Onder Leiding van Dr. A.W.
Nieuwenhuis, yangdibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh
E. J. Brill, Tahun 1902, 73 (Peta Versi Kedua), Satui ditulis G.
(Gebergte) Satoi.
Kesimpulannya, mengenai sumber nama Kecamatan
Satui yang dipakai sekarang, memiliki dua versi. Versi
pertama dari Sumber lokal dan kolonial yang mengalami
“metamorfosa” atau perubahan. Dari namaSatui kemudian
menjadi Satoei, Satoi dan terakhir kembali menjadi nama
Satui. Versi yang kedua berasal dari Satua/Satwa dan
71 J.J. Hollander, Borneo’s Zuider en Ooster Afdeeling (Handleiding Bij De
Beoefening Der Land en Volkenkunde Van Nederlansch Oost Indie, Koninklijke Militaire Akademie, 1864), hlm.2829.
72Pelukis peta aslinya adalah Philippe Vandermaelen, tahun 1827. Peta
dipublikasikan oleh Ph. Vandermaelen Bruxelles, Tipe Peta: Peta Atlas, Peta asli berukuran 47 cm x 57 cm dengan skala 1 : 1.641.836, berdasarkan pada Garis Meridian Paris.
73Peta asli berskala 1:2.000.000., berukuran 75 cm x 65 cm.
~ 77 ~
Satuyang kemudian mengalami perubahan nama menjadi
menjadi Satui.Satui resmi menjadi Kecamatan pada tahun
1950. Pada zaman kolonial Hindia Belanda, Satui berstatus
Distrik Satui bagian dari Onderafdeeling Tanah Laut
menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178. Distrik Satui
berbatasan di Timur dengan Lansekap Sabamban dan di
sebelah Barat dengan Distrik Pleihari. Dalam tahun 1902,
Satui masih merupakan bagian dari onderafdeeling Tanah
Laut.Tahun 1950 Satui digabung ke Kabupaten Kotabaru.74
Pada tanggal 4 April 1950 Dewan Kalimantan Tenggara
dibubarkan dan dimasukkan ke dalam wilayah Republik
Indonesia (Yogyakarta) lewat Keputusan Presiden Republik
Indonesia Serikat Nomor 137 dan nomor 138, kemudian
pada tanggal 29 Juni 1950 dikeluarkan surat keputusan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang
pembentukan wilayahwilayah Pemerintah yaitu
KabupatenKabupaten, DaerahDaerah Swapraja dalam
propinsi Kalimantan. Maka daerah Kalimantan Tenggara
dulu diubah menjadi Kabupaten Kotabaru dengan
ibukotanya adalah Kotabaru, sedang yang diangkat sebagai
74Idwar Saleh, Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional
(1900-1942) di Kalimantan Selatan, (Jakarta: Depdikbud, 1986), hlm. 22.
~ 78 ~
kepala Daerah adalah M. Yamani. Sesudah itu keluar
Peraturan Pemerintah tanggal 30 Juni 1950 sebagai
pengganti Undangundang No. 2 tahun 1950 tentang
Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara
dan Dewan Pemerintahnya untuk seluruh daerah Republik
Indonesia. Yang kemudian diikuti dengan surat Keputusan
Gubernur Kalimantan tanggal 14 Agustus 1950 No.
186/OPB/92/14 di dalam Bab II pasal 4 menyatakan bahwa
BadanBadan Pemerintah Kabupaten terdiri dari Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Pemerintah Daerah.75
Wilayah Kabupaten Kotabaru menurut undangundang
darurat Nomor 3 tahun 1953 tentang pembentukan (Resmi)
Daerah Otonomi Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat
Kabupaten dan Kota Besar dalam lingkungan Daerah
propinsi Kalimantan menyatakan bahwa wilayah Kabupaten
Kotabaru meliputi Kawedanankawedanan Pulau Laut,
Tanah Bumbu Selatan, Tanah Bumbu Utara dan Pasir.
Kemudian dengan UndangUndang Darurat No. 3 Tahun
1953 sebagai undangundang dan menyatakan bahwa
wilayah Kabupaten Kotabaru dikurangi Kawedanan Pasir.76
75Ibid.
76Ibid.
Gambar
Sumber: “Borneo Kaart, Koleksi David Rumsey Historical Map tahun 1827”,
Pelukis peta aslinya adalah Philippe Vandermaelen, tahun 1827. Peta dipublikasikan oleh Ph. Vandermaelen Bruxelles, Tipe Peta: Peta Atlas, Peta asli berukuran 47 cm x 57 cm dengan skala 1: 1.641.836, berdasarkan pada Garis Meridian Paris.
~ 79 ~
Gambar 8. Borneo Kaart
Borneo Kaart, Koleksi David Rumsey Historical Map tahun 1827”, aslinya adalah Philippe Vandermaelen, tahun 1827. Peta
dipublikasikan oleh Ph. Vandermaelen Bruxelles, Tipe Peta: Peta Atlas, Peta asli berukuran 47 cm x 57 cm dengan skala 1: 1.641.836, berdasarkan pada Garis Meridian Paris. Koleksi ANRI.
Borneo Kaart, Koleksi David Rumsey Historical Map tahun 1827”, aslinya adalah Philippe Vandermaelen, tahun 1827. Peta
dipublikasikan oleh Ph. Vandermaelen Bruxelles, Tipe Peta: Peta Atlas, Peta asli berukuran 47 cm x 57 cm dengan skala 1: 1.641.836,
Koleksi ANRI.
Gambar 9
Sumber: “Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W.
Nieuwenhuis”, dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun 1902, Koleksi ANRI.
Dalam peta yang sama berjudul
Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W.
Nieuwenhuis, yang dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh
E. J. Brill, Tahun 1902
tertulis dengan nama
77Peta asli berskala 1:2.000.000., peta asli berukuran 75 x 65 cm.
~ 80 ~
9. Kaart Van Het Eiland Borneo
“Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W. Nieuwenhuis”, dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun
ANRI.
Dalam peta yang sama berjudul Kaart Van Het Eiland
Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W.
, yang dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh
E. J. Brill, Tahun 190277 (Peta Versi Pertama) wilayah Satui
tertulis dengan nama G. (Gebergte) Satoewi. Kemudian dalam
Peta asli berskala 1:2.000.000., peta asli berukuran 75 x 65 cm.
. Kaart Van Het Eiland Borneo
“Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W. Nieuwenhuis”, dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun
Kaart Van Het Eiland
Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W.
, yang dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh
(Peta Versi Pertama) wilayah Satui
. Kemudian dalam
Peta asli berskala 1:2.000.000., peta asli berukuran 75 x 65 cm.
dua peta berikutnya yakni
diterbitkan di Amsterdam oleh J.H. de Bussy, Tahun 1893.
Kemudian dalam peta
Topograpische Inrichting Batavia, 1909 (Bijgewert Tot
1914),79 wilayah Satui
Gambar 10
Sumber: “Kaart van Nederlandsh Indie, diterbitkan di amsterdam oleh J.H.De
Bussy”, Tahun 1893. Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp dengan skala 1: 5.000.000.
78 Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp dengan skala 1: 5.000.000. 79 Skala peta 1: 2.000.000.
~ 81 ~
erikutnya yakni Kaart van Nederlandsh Indie
diterbitkan di Amsterdam oleh J.H. de Bussy, Tahun 1893.
Kemudian dalam peta Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo
Topograpische Inrichting Batavia, 1909 (Bijgewert Tot
wilayah Satui ditulis G. (Gebergte) Satoei.
10. Kaart van Nederlandsh Indie
Nederlandsh Indie, diterbitkan di amsterdam oleh J.H.De Bussy”, Tahun 1893. Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp dengan skala 1: 5.000.000.Koleksi ANRI.
Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp dengan skala 1: 5.000.000.
Skala peta 1: 2.000.000.
Kaart van Nederlandsh Indie,
diterbitkan di Amsterdam oleh J.H. de Bussy, Tahun 1893.78
Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo
Topograpische Inrichting Batavia, 1909 (Bijgewert Tot
) Satoei.
. Kaart van Nederlandsh Indie
Nederlandsh Indie, diterbitkan di amsterdam oleh J.H.De Bussy”, Tahun 1893. Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp dengan
Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp dengan skala 1: 5.000.000.
Gambar 11. Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo
Sumber: “Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo Topograpische Inrichting Batavia, 1909 (Bijgewert Tot 1914)”, Skala peta 1: 2.000.000. Koleksi ANRI.
Berdasarkan sumber lokal
diinformasikan bahwa nama
wilayah Kecamatan Satui dengan ibukota Sungai Danau,
Kabupaten Tanah Bumbu
Gunung/pegunungan
lain berdasarkan sumber tertuli
~ 82 ~
11. Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo
Sumber: “Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo Topograpische Inrichting Batavia, 1909 (Bijgewert Tot 1914)”, Skala peta 1: 2.000.000. Koleksi ANRI.
Berdasarkan sumber lokal dan kolonial
diinformasikan bahwa nama Satui yang sekarang menjadi
wilayah Kecamatan Satui dengan ibukota Sungai Danau,
Kabupaten Tanah Bumbu berasal dari nama wilayah
Gunung/pegunungan atau Gebergte Satui atau dalam ejaan
lain berdasarkan sumber tertulis naskah lokal, sumber lisan
11. Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo
Sumber: “Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo Topograpische Inrichting Batavia,
1909 (Bijgewert Tot 1914)”, Skala peta 1: 2.000.000. Koleksi ANRI.
dan kolonial tersebut dapat
yang sekarang menjadi
wilayah Kecamatan Satui dengan ibukota Sungai Danau,
berasal dari nama wilayah
atau dalam ejaan
s naskah lokal, sumber lisan
~ 83 ~
(lokal) dansumber tertulis masa kolonial yaitu Satoei, Satoi,
Satoe, Satu dan Satoewi.
B. “Menelusuri Jejak Sejarah” dan Alternatif Hari Jadi Satui
1. MomentSatui Diusulkan Menjadi Tanah Erfacht
(Tanah Sewaan)
Alternatif pertama yang bisa dijadikan Hari Jadi Satui
adalah tanggal pengusulan wilayah Satui sebagai tanah
erfacht (tanah sewaan), tahun 1891 dan tahun 1892.
Adapun lengkapnya tanggal pengusulan tersebut sebagai
berikut:
a. Tanggal 11 Januari 1889, wilayah Satui Maluka,
Pelaihari dan Tabanio diajukan sebagai tanah erfacht
(tanah sewaan), oleh pemodal (investor) Hindia
Belanda yang bernama B.J.F.M. van der Linden.
b. Tanggal 3 Juni 1890, wilayah Satui, diajukan sebagai
tanah erfacht (tanah sewaan) untuk kedua kalinya oleh
pemodal (investor) Hindia Belanda bernama B.J.W.E.
Broers.80
80 Handelingen der StatenGeneral. Bijlagen 18921893, Overzicht
Betreffende de in Erfpacht Aangevraagde Gronden op Java en Madura en in de Buitenbezittingen, die Gedurende 1891 aan de Aanvragers Geweigerd Werden., dalam Koloniaal Verslag van 1892, (Nederland Oost Indie, Bijlage L.), hlm.7.
~ 84 ~
Data tentang pengajuan sewa tanah tersebut
dirangkum dalam Laporan Kolonial tahun 1892,
khususnya dalam Bijlage L, tentang “Gambaran Penerapan
Sewa Tanah di Wilayah Jawa dan Madura dan Wilayah
Luar serta Lamaran Sewa Tanah yang Ditolak Pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1891”.
Dalam laporan tersebut juga dijelaskan bahwa
wilayah Satui adalah daerah District (setingkat Kecamatan)
yang berada di wilayah Regentchappen (Setingkat
kabupaten) Martapura. Luas wilayah Satui pada tahun
1891 tersebut berdasarkan pengukuran dari Comissie van
Onderzoek (Komisi Investigasi) Pemerintah Hindia
Belanda adalah 10.000 bouwe.81Pada Surat Keputusan
Hindia Belanda Tanggal 29 Agustus 1891 dan 21
Desember 1891, pengajuan tanah erfacht atau sewaan ini
81 Ukuran tanah berdasarkan bahu atau bau (dari bouw, kata bahasa
Belanda, berarti "garapan") dalam agraria adalah satuan luas lahan yang dipakai di beberapa tempat di Indonesia, terutama di Jawa. Ukuran bahu agak bervariasi, namun kebanyakan adalah 0,70 hingga 0,74 hektare (70007400 meter persegi) dan ada pula yang menyamakannya dengan 0,8 ha. Seperempat bahu disebut satu iring dan seperdelapannya adalah satu sidu. Dalam ukuran yang disepakati secara nasional, satu bahu adalah 500 ubin (Satu ubin/ru/tumbak setara dengan 14,0625 meter persegi). Satuan bahu banyak digunakan untuk areal pertanian (sawah atau ladang) dan telah dipakai sejak zaman HindiaBelanda. Menurut Cultuurstelsel, 1 bouw adalah 7096,5 meter persegi. Lihat S. Padmo, Politik Agraria Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah di DIY: Sebuah Refleksi Historis. Artikel pada situs Jurusan Sejarah, FIB UGM, 2007; A.G. Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 2007).
~ 85 ~
akhirnya ditolak oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan
alasan pengajuan tanah sewaan ini terlalu beresiko
(rentan) dan belum tepat, dan karena masih terdapat
wilayah wilayah luas (banyak hamparan besar tanah) yang
belum jelas pemiliknya/tak bertuan. Alasan penolakan
sewa tanah ini sama “kasusnya” dengan penolakan hak
sewa tanah di Distrik Lampung (Lampongsche Districten)
dan Palembang, pada tahun yang sama.
Walaupun pengusulan ini ditolak, akan tetapi dari
bukti tertulis tersebut menunjukkan bahwa wilayah Satui
sejak tahun 1889, menjadi salah satu wilayah penting
dengan bahan tambangnya dan mengandung banyak
sumber daya alam lainnya. Seperti dituliskan H. van
Lokhorst, dalam artikelnya Schets Eener Geneeskundige
Plaatsbeschrijving de Afdeeling Tanah Laut (Zuid en
Oosterafdeeling van Borneo), pada tahun 1863.
Lokhorst menuliskan bahwa pada tahun 1863, Distrik
Satui, Distrik Pleihari dan Distrik Maluka merupakan
wilayah Afdeeling Tanah Laut. Distrik Satui berada di
wilayah utara Afdeeling Tanah Laut dan banyak
mengandung berlian. Kemudian dari laporan hasil
eksplorasi von Dewall dan van Gaffron, yang dirangkum
~ 86 ~
Theodore Posewitz dalam tulisannya tahun 1892,Borneo:
Its Geology and Mineral Resources.Dalam tulisan tersebut
“menyinggung” tentang wilayah Satui,yang merupakan
perbukitan, bagian dari rantai pegunungan di bagian
tengga Kalimantan dengan ketinggian 4.200 kaki dari
permukaan laut.82Satui juga adalah nama sungai dan desa
(dorp) di wilayah Afdeeling Kalimantan bagian tenggara,
termasuk landschap Tanah Lautdi perbatasan bagian
utara.83
Sebagai perbandingan, pada dua dekade terakhir abad
ke19 dan awal abad ke20, tanahtanah di wilayah
Karesidenan Kalimantan Bagian Selatan dan Timur,
khususnya Afdeeling Tanah Bumbu dan daerah sekitarnya
dibagi atas dua yakni hak atas tanah bagi modal partikelir
di daerah pemerintahan tidak langsung yang dinamakan
concessie dan untuk daerah pemerintahan langsung
disebut erfpacht. Erpacht juga adalah istilah hak sewa
secara turun temurun untuk tidak lebih dari 75 tahun,
untuk perkebunan dan pertanian yang luas maupun
82 H. van Lokhorst, loc.cit.; Theodore Posewitz, loc.cit. 83 Lihat Pieter Johannes Veth, Aardrijkskundig en statistisch woordenboek
van Nederlandsch Indie (Amsterdam: Van Kampen, 1869), hlm. 257.
~ 87 ~
kecil.84Karena itulah di wilayah Tanah Bumbu terdapat
pemilikan tanah yang bersifat dualistis, yaitu wilayah
wilayah yang status tanahnya dikuasai hukum Eropa dan
hukum adat (kesultanan).
Perbandingan lain sebagai bahan informasi, pada
abad 18 sampai awal abad 20, pola pemilikan tanah di
wilayah Pagatan, Batulicin, Cantung, Bangkalaan,
Sampanahan, Manunggal dan Cengal dikuasai oleh
84 Adolf Mieremet, De Hedendaagsche Inheemsche Rechtspraak in
Nederlandsch Indië en Haar Regeling (De Haan, 1919), hlm.16; lihat juga Dutch East Indies. Dienst van den Mijnbouw Netherlands, Departement van Kolonien, Jaarboek van het mijnwezen in Nederlandsch-Indië, Bagian 1,Volume 50 (Amsterdam: J.G. Stemler, 1922), hlm.45. Mieremet tidak menjelaskan hukum adat yang dimaksud. Menurut penulis, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu hukum adat mengenai tata negara. Kemudian hukum adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan. Kemudian hukum adat menganai delik (hukum pidana). Kemungkinan yang dimaksud hukum adat oleh Mieremet adalah hukum hukum tak tertulis yang bersifat pidana dan pemberian sanksi bagi pelaku kejahatan akan diadili atau diberikan sanksi oleh pemerintah Hindia Belanda. Sementara itu, mengenai masalah perselisihan perdata antara masyarakat pribumi yang beragama Islam di wilayah Karesidenan Borneo bagian Selatan dan Timur akan diselesaikan oleh kepala adat menurut hukum agama atau hukum adat. Bagi golongan hukum Indonesia asli dan timur asing berlaku hukum adat mereka. Lihat arsip ANRI, Reglement op de Godsdienstige Rechtspraak Voor Een Gedeelte van de Residentie Zuider- en Oosterafdeling van Borneo (Ordonantie. van 21 Dec. 1937.) S. 37638, bundel Borneo Zuid Oosterafdeling (BZO), No.265, hlm.1. Mengenai masalah investasi di Hindia Belanda, Clifford Gerrtz berpendapat bahwa setelah terbitnya Undang Undang Tanah Agraria pada tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda telah mengikuti arus imperialism modern dengan membuka diri terhadap masuknya modal swasta. Lihat Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Jakarta: Bhatara Karya aksara, 1983), hlm 8788; Tim Penulis, Sejarah Banjar (Banjarmasin: Pemprov Kalsel, 2003), hlm. 241.
~ 88 ~
penguasa atau raja raja lokal. Dalam hal ini, menurut
Lenggono, dalam hukum tanah berdasar sistem feodal, di
mana segala isi negeri (terutama tanah) adalah milik
mutlak penguasa. Tanah dikuasai raja dan rakyat yang
mengerjakan dengan kewajiban menyerahkan hasilnya,
akibatnya rakyat menjadi alat untuk kekuasaan dan
kehormatan sang raja.85
Dalam sistem pemilikan tanah feodal di Kalimantan
bagian tenggara, pihak raja atau Arung/Pangeran/Aji,
mempunyai hak monopoli atas seluruh wilayah
kekuasaannya. Dalam hal ini termasuk monopoli atas
semua gua sarang burung (wallet), penggalian emas dan
intan, serta pengambilan hasilhasil hutan. Walaupun
demikian rajaraja di wilayah Tanah Bumbu saat itu tidak
menganggap diri mereka memiliki kekuasaan atas tanah
secara absolut, mengingat luasnya wilayah kerajaan dan
minimnya jumlah penduduk. Dengan demikian tanah
bukan menjadi sesuatu yang sangat berharga dan berarti
sebagai unsur pembobot bagi sebuah kekuasaan.86
85P. Setia Lenggono, Ponggawa dan Patronase Pertambakan di Delta
Mahakam, Teori Pembentukan Ekonomi Lokal, (Disertasi Pada Program Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2011), hlm.97.
86Ibid.
~ 89 ~
Pada tahun 1800 hingga tahun 1900an, umumnya
sistem kepemilikan tanah di wilayah kedaulatan Kerajaan
Pagatan dan kerajaan kerajaan kecil lainnya di Tanah
Bumbu, hanya dilakukan dengan satu cara. Cara tersebut
adalah para pendatang (migran) tersebut meminta izin
pada penguasa kerajaan (Arung/Sultan) melalui Pua adu
dimana tanah tersebut berada, untuk mendapatkan hak
membuka tanah, dengan jalan pewarisan dan memindah
tangankan menurut hukum adat.87
Pada dasarnya setiap penduduk yang berdiam di
wilayah kerajaan ini berhak untuk memiliki tanah
perorangan. Tanah yang akan dimiliki tersebut syaratnya
haruslah “tanah bebas”, artinya belum dimiliki oleh orang
lain atau telah berpindah tangan karena dijual atau
diberikan. Tanah kerajaan yang diberikan sebagai tanah
hak milik perorangan, adalah tanah kosong atau telah
87Lihat Jacob Mallinckrodt, Het Adatrecht van Borneo, volume. 2 (M.
Dubbeldeman, 1928), hlm. 190191. Walaupun secara politis, pemerintah Hindia Belanda telah menandatangani kontrak dengan kesultanan Pagatan (Landschap Tanah Pagattan/Koessan) seperti Besluit 19 Junij 1838 no.8, Besluit 21 Junij 1839 no.10, Besluit 6 Maart 1841 no.8, Besluit 3 November 1841 no.14 dan Besluit 16 Mei 1842 no.10, tetapi belum mencampuri urusan tentang pemilikan dan hak atas tanah. ANRI, Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda Tahun 1839-1848 (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1973), hlm. 180185.
~ 90 ~
ditinggalkan oleh penggarapnya sampai berpuluhpuluh
tahun hingga sudah menjadi hutan rimba kembali.88
Perbandingan lainnya adalah pola kepemilikan tanah
bagi Suku Bugis yang tidak berpengaruh pada tanahtanah
yang dimiliki suku asli yakni suku bangsa Dayak.
Alasannya, karena orang orang Bugis hanya menguasai
tanahtanah di wilayah pesisir dan sekitar muara seperti
Sungai Pagatan dan Batulicin, sedangkan orang Dayak
umumnya tidak mau berbaur dengan pendatang dan
menempati daerahdaerah hulu sungai (Sungai
Kusan).Selanjutnya, pola pemilikan tanah orang Bugis,
berbeda dengan masyarakat Dayak. Pola pemilikan tanah
pada suku bangsa Dayak disebuthak bubuhan. Tanah
tanah di sekitar pemukiman mereka adalah tanah bubuhan
atau persekutuan yang tidak hanya dikuasai tetapi juga
diatur penggunaannya. Penguasaan atas tanah diperoleh
setelah seseorang pertama kali membuka hutan untuk
pahumaan (ladang).89
88 Lenggono, op.cit., hlm.97. 89 Lebih lengkapnya lihat Charles Hose & William Mc Dougall, Pagan
Tribes Of Borneo, Volume I (Kessinger Publishing, 2004), hlm.520. Lihat juga Bernard Sellato, Nomads of the Borneo Rainforest: The Economics, Politics and Ideology of Settling Down (USA: University of Hawaii Press, 1994), hlm. 817.
~ 91 ~
Perangkat hukum yang mengatur tentang pertanahan
(agraria) di wilayah Hindia Belanda pada tahun 1870
sampai 1900, sebenarnya sudah diatur dengan Agrarische
Wet yang diterbitkan pada tahun 1870. Meskipun
demikian peraturan ini belum diberlakukan di luar Jawa
dan Madura. Hal tersebut menyebabkan sejumlah
perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Tanah
Bumbu pada kurun waktu tersebut, harus meminta izin
atau konsesi dari penguasa lokal (Arung/Aji/Pangeran),
jika ingin menggarap tanah atau hutan di wilayahnya.90
Konsekuensi dari penghapusan Kerajaan Pagatan
tersebut menurut Mieremet, hukum adat di wilayah
Pagatan dan Kusan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Selanjutnya kebijakan penghapusan hukum adat di
Pagatan ini, menjadi dasar pijakan Pemerintahan Kolonial
Belanda pada awal tahun 1913an untuk memantapkan
hegemoni penguasaan dan pengaturan pertanahan di
wilayah jajahan. Hal tersebut dilakukan pemerintah
kolonial untuk menjamin kelancaran investasi modal
90 Dualisme tanah ini terlihat dari munculnya permintaan konsesi
pertambangan dan pembukaan pertambangan batubara di Pagatan. Lihat ANRI, Arsip "Pegatan en Koesan Suppletoir Contract" dalam Overe enkomsten met Inlandsche vorsten in den Oost- Indischen Archipel (I66.7), bundel Borneo Zuid Oosterafdeling (BZO), No. 122, hlm. 3.
~ 92 ~
modal partikelir, khususnya di bidang perdagangan dan
perekonomian. Tentunya hal ini berdampak pada status
pemilikan tanah di wilayah Tanah Bumbu, khususnya
sebelum dan pasca tahun 1912.
2. Tahun 1915, Inskripsi Makam Tertua di Satui
Alternatif kedua yang bisa dijadikan Hari Jadi Kota
Satui adalah “pertanggalan” makam tertua di wilayah
Satui yakni tahun 1915 Masehi atau 1329 Hijriyah.
Sayangnya, tidak terdapat tanggal pada nisan tersebut
sehingga perlu dicarikan alternatif tanggal yang sesuai
dan bisa melengkapi tahun tersebut. Adapun nama nama
pada nisan dengan inskripsi Huruf Lontara Bugis
Makassar yang ada di wilayah Satui adalah :
1) Nisan bertuliskan inskripsi emsn airaim (Mesana
Iraima = Nisannya Raima) yang berada dalam satu
makam dengan nisan yang bertuliskan inskripsiauw ln
(Uwa Lana).
2) Nisan kedua yang bertuliskan inskripsi rnn (Ranana).
3) Nisan ketiga yang bertuliskan inskripsilposi (Laposi).
Berdasarkan analisa nama (toponim) pemakaian
gelar auw ln (Uwa Lana) hampir sama dengan
~ 93 ~
penyebutan gelar “Uwa” bagi tokohtokoh Tolotang.91 Jadi,
kemungkinan besar nama Uwa Lana yang ada di wilayah
Satui adalah orang Bugis yang bermigrasi
(pelarian/eksodus) dari Sidenreng Rappang (Sidrap),
Sulawesi Selatan dan daerah sekitarnya, karena di Sidrap
mereka dianggap sebagai komunitas kelas paling bawah,
sekelas hamba sahaya.
Sementara nama kedua lposi (Laposi), jika dianalisa
nama lposi, nama depan “La” pada depan namanya
tersebut menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah
Bangsawan (lakilaki) Bugis. Contoh namaLa yang dipakai
orang Bugis yang hampir sezaman adalah Pambakala
(Kepala Kampoeng) La Suke pada tahun 19201955 di
91 Komunitas Tolotang menggunakan bahasa Bugis seharihari dengan
dialek SidenrengRappang. Tradisi mereka adalah tradisi yang berasal dari latar belakang Bugis Wajo. Dalam perkembangan berikutnya situasi berubah. Mereka dipinggirkan dan memperoleh perlakuan tak mengenakkan setelah rajaraja Islam Wajo berkuasa. Penghinaan dan penyingkiran ini mereka terima karena budaya dan keyakinan mereka dianggap menyimpang, sesat, dan seterusnya. Komunitas Tolotang dikenal memiliki tradisi dan keyakinan yang banyak berbeda dengan ajaran agama resmi, khususnya Islam yang dianut mayoritas masyarakat Bugis. Mereka disingkirkan, sehingga bermigrasi ke daerah Sidenreng Rappang (Sidrap), dan daerah sekitarnya, sisanya ada yang menetap di Wajo. Di Sidrap mereka dianggap sebagai komunitas kelas paling bawah, sekelas hamba sahaya. Karena itulah, penyebutan “Uwa” diperuntukkan bagi tokohtokoh Tolotang. Lihat http://www.desantara.or.id /032008/411/pelanggaranham hinduisasi tolotang/, diakses 20 Mei 2013.
~ 94 ~
wilayah Pagatan. La Suke adalah Kepala KampoengPedjala
dan putra dari La Upe.92
Munculnya orang orang Bugis di wilayah Satui
memang sangat dimungkinkan karena arus migrasi Bugis
ke luar Sulawesi Selatan yang terjadi pada abad ke17
hingga abad ke20 menjadi salah satu fenomena diaspora
yang menonjol dalam sejarah Indonesia. Orang Bugis
memandang konteks diasporadalam kerangka
hubungannya dengan migrasi atau msoep (massompe’).
Massompe’ sejalan dengan filosofi orang Bugis yang
berbunyi ekgisi moro soer lopiea kositu tomlbu eseGer
(kegisi monro sore’ lopie’, kositu tomallabu se’ngereng)
yang artinya: “di manaperahu terdampar, disana
kehidupan ditegakkan”.93
Orang Bugis mulai bermigrasi secara intensif pada
awal abad ke17 bukan sematamata karena faktor
92 Tim Penulis, Upacara Adat Mappanre Tasi’ di Pagatan Kabupaten Tanah
Bumbu, Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Disbudpar Pemprov Kalimantan Selatan, 2008), hlm.10. Setelah La Suke meninggal digantikan oleh Pambakala La Saing pada tahun 19551970.
93Mansyur, Diaspora Suku Bugis di Wilayah Tanah Bumbu, Karesidenan
Borneo Bagian Selatan dan Timur Tahun 1842-1942, Tesis pada Program Studi Magister Ilmu Sejarah, Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro Semarang 2012, hlm.15. Lihat juga Andi Ima Kesuma, Migrasi dan Orang Bugis: Penelusuran Kehadiran Opu Daeng Rilakka Pada Abad XVIII di Johor (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm 67.
~ 95 ~
ekonomi, tetapi juga karena faktor nonekonomi, antara
lain tidak adanya ketenteraman jiwa, karena peperangan,
kehilangan kemerdekaan, dan juga karena filosofi yang
dipegang, khususnya orang Bugis dari Wajo yang tertuang
dalam ungkapan mredk to wjoea aedmi npopuw
(Maradeka to-Wajo’e ade’mi napopuwang:Rakyat Wajo itu
merdeka hanya hukumlah yang menjadi tuan). Dengan
bahasa lain, jika dalam penyelenggaraan pemerintahan
hukum tidak bisa ditegakkan, maka orang Bugis dan
Makassar akan bermigrasi atau berpindah ke daerah lain.
Memang sejak abad ke18 hingga abad ke20 salah
satu lokasi yang menjadi tujuan migrasi Suku Bugis
adalah wilayah Tanah Bumbu di Kalimantan bagian
tenggara dan sekitarnya karena lokasinya sangat
strategis, terutama memiliki banyak lahan yang bisa
digarap menjadi area pertanian dan perkebunan kelapa,
serta memiliki potensi perikanan yang melimpah. Secara
bertahap, akhirnya para migran Bugis berhasil
membangun daerah pesisir tenggara Kalimantan yang
berpusat di wilayah Pagatan. Pengaruh Bugis juga
~ 96 ~
terdapat di beberapa distrik yakni Batulicin, Cantung,
Bangkalaan, Sampanahan, Manunggal dan Cengal.94
Menurut Linneton, munculnya pengaruh Bugis ke
wilayah pesisir di beberapa wilayah di Nusantara karena
adanya daya tarik tersendiri. Hal utama yang paling
signifikan yang mempengaruhi migrasi Bugis ke daerah
daerah lain dalam empat dekade pertama abad kedua
puluh adalah boom tanaman pertanian dan perkebunan
primer khususnya padi dan karet dan kopra. Sebagian
besar imigran Bugis ke Kalimantan dan Malaya terlibat
dalam penanaman karet dan kelapa untuk kopra serta
tidak lagi menanam tanamantanaman untuk produksi
pertanian subsistensi seperti di wilayah Sulawesi Selatan.
Hingga tahun 1930, lebih dari sepuluh persen dari etnis
Bugis berdomisili di luar Sulawesi Selatan.95
Dalam sumber kolonial, hasil sensus penduduk yang
dirangkum dalamNederlandsch-Indie Uitkomsten der in de
94 J.J.Hollander, Borneo’s Zuider en Ooster Afdeling, (Handleiding Bij De
Beoefening Der Land en Volkenkunde Van Nederlansch Oost Indie, Koninklijke Militaire Akademie,1864), hlm.143.
95Lihat juga Jacqueline Linneton, “Passompe’ Ugi’: Bugis Migrants and
Wanderers”, dalam Archipel, volume.10, 1973, hlm..181.
~ 97 ~
Maand November 1920,96menggambarkan bahwa migrasi
keluar dan persebaran etnik Bugis ke Kalimantan adalah
50.189 jiwa atau sekitar 41,26 persen dari total migrasi
suku Bugis ke seluruh daerah kepulauan di Nusantara
seperti pulau Jawa, Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara
serta wilayah Maluku dan Irian Jaya. Jumlah migrasi suku
bangsa Bugis ini lebih besar dibandingkan dengan jumlah
migrasi suku Makassar yang hanya mencapai 595 jiwa
atau 6,13 persen.
Bila dibandingkan dengan migrasi ke daerah
lainnya, jumlah migrasi suku bangsa Bugis ke Kalimantan
ini menempati urutan kedua, di bawah jumlah migrasi
Suku bangsa Bugis ke wilayah Sulawesi Utara dan Tengah
yang mencapai 53.710 jiwa atau 44,15 persen dari jumlah
total migrasi suku bangsa Bugis ke seluruh wilayah
Nusantara. Data tersebut juga memperlihatkan bahwa
hanya suku Bugis dan Makassar yang melakukan migrasi
ke wilayah Kalimantan, sedangkan suku bangsa Mandar
dan Toraja, tidak terdata melakukan migrasi ke
Kalimantan.
96 NederlandschIndie Uitkomsten der in de Maand November 1920,
Gehouden, Volkstelling, Deel I (Drukkerijen Ruygrok & Co., 1922). hlm. 130259.
~ 98 ~
Diperkirakan di wilayah Satui berasal dari “embrio”
Kampung Bugis yang pada umumnya sama dengan
KampungKampung Bugis di Sulawesi Selatan umumnya.
Biasanya dipimpin oleh Matoa yang berarti orang yang
dituakan (dalam bahasa Bugis). Asal mula munculnya
kampung nelayan ini karena masyarakat Bugis dalam
kegiatan perekonomiannya adalah nelayan dan melaut
serta bertani. Masyarakat Bugis mahir membuat
konstruksi perahu layar dengan model dan tipe yang
menarik. Para migran Bugis membentuk permukiman
kampung nelayan untuk memudahkan aksesibilitas
terhadap kegiatan seharihari.97
3. Terbitnya Staatsblad van Nederlandisch Indie Voor
Het Jaar 1849
Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun
1849,98 wilayah Satui termasuk wilayah distrik dalam
97 Andi Nuralang, “Pesta Adat Mappanretasi: Obyek Wisata Laut di
Kotabaru, Kalimantan Selatan”, (tulisan tidak diterbitkan koleksi Balai Arkeologi Banjarmasin, 2007).
98 Lembaran Negara dikenal dengan istilah Staatsblad, dimana
dirumuskan ketentuan UndangUndang hukum perdata yang dapat dibaca oleh umum. Sementara afdeeling adalah sebuah wilayah administratif pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Administratornya dipegang oleh seorang asisten residen. Afdeeling merupakan bagian dari Karesidenan. Suatu afdeeling dapat terdiri dari beberapa onderafdeeling (setingkat kabupaten pada masa
~ 99 ~
onderafdeeling Tanah Laut, Borneo Zuid Ooster
Afdeeling(Afdeeling Borneo Selatan dan Timur)
berdasarkan Besluit van den Minister van Staat,
Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie Nomor 40,
yang ditetapkan pada tanggal 27 Agustus 1849. Tanggal
ini bisa dijadikan alternatif Hari Jadi Kota Satui, karena
pada tanggal ini adalah penetapan pertama dan tertua
wilayah Satui secara administratif menjadi wilayah
distrik. Wilayah Borneo Zuid Ooster Afdeeling (Afdeeling
Borneo Selatan dan Timur) beribukota di Banjarmasin.99
4. Terbitnya Staatsblad van Nederlandisch Indie Voor
Het Jaar 1898
Sejak tahun 1898, terjadi perubahan pembagian
wilayah lokal administratif, seperti yang terdapat dalam
sekarang). Onderafdeeling adalah suatu wilayah administratif yang diperintah oleh seorang controleur/kontrolir (wedana bangsa Belanda). Sebuah onderafdeeling terdiri atas beberapa landschap (setingkat kecamatan). Dalam perkembangannya tahun 1863 daerah Tanah Laut menjadi Afdeeling TanahLaut.
99 Pembagian wilayah Borneo ini berdasarkan “Besluit van den Minister
van Staat, GouverneurGeneraal van NederlandschIndie”, pada tanggal 27 Agustus 1849 No. 8, lihat Staatsblad van Nederlandisch Indie Voor Het Jaar 1849 (Batavia: Ter Lands Drukkerij, 1849), hlm.12. Sebagai arsip pembanding adalah “De Minister van Staat, Gouverneur Generaal van Nederlandsc Indie”, dalam L.J.A. Tollens, Verzameling van Wetten, Besluiten, Bepalingen, Kennisgaven, enz, Over de Jaren 1808-1856, Tweede Deel (Batavia: Lange & Co, 1856), hlm.160. Lihat juga “Het Eiland Borneo en Zijne Bewoners”, dalam J.B.J. van Dooren, Bijragen tot de Kennis van Verschillende Overzeesche Landen, Volken, enz, Eesrste Deel (Amsterdam: J.D. Sybrandi, 1860), hlm. 241.
~ 100 ~
Staatblad no. 178 tahun 1898 pada wilayah Residentie
Borneo’sZuid en Oosterafdeeling (Karesidenan Borneo
bagian Selatan dan Timur)100Menurut Staatblaad tahun
1898 no. 178 Tanah Laut menjadi salah satu
onderafdeeling di dalam Afdeeling Martapoera yaitu
Onderafdeeling Tanah Laoet terdiri dari Distrik Pleihari,
Distrik Maluka, Distrik Satui. Berdasarkan staatblad atau
lembaran negara tersebut, Satui berstatus Distrik Satui
bagian dari Onderafdeeling Tanah Laut. Menurut
Staatblaad tahun 1898 no. 178. tersebut, Distrik Satui
berbatasan di Timur dengan Landskap Sabamban dan di
sebelah Barat dengan Distrik Pleihari.
Khusus Afdeeling Martapura dipimpin oleh Asisten
Residen E.A. Klerks. Untuk Onderafdeeling Tanah Laut,
Controleur-nyaadalah J.W.J.Wellan. Jabatan Letnan Cina
yang juga bertempat di Pelaihari dipegang oleh Gho Hiap
Seng sejak tahun 1871. Distrik Pelaihari dipinpin oleh
Kiai Mohamad Jusuf dan Distrik Maluka oleh Kiai
100 M. Suriansyah Ideham, et.al. (ed), Sejarah Banjar (Banjarmasin:
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, 2003), hlm. 233. Lihat juga R.A.Leirissa et.al. (ed), Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jarahnitra, 1983/1984), hlm. 96.
~ 101 ~
Ahmad.101 Secara umum, menurut Staatsblad (Lembaran
Negara) Tahun 1898 Nomor 178, pembagian wilayah
administratif di Karesidenan Borneo bagian Selatan dan
Timur sebagai berikut:
1) Afdeeling Banjarmasin en Ommelanden (daerah
sekitarnya)
2) Afdeeling Martapura
3) Afdeeling Kandangan
4) Afdeeling Amuntai
5) Afdeeling Doesoenlanden (Tanahtanah Dusun)
6) Afdeeling Dayaklanden (Tanahtanah dayak)
7) Afdeeling Sampit
8) Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, Pulau
Kalimantan dikenal dengan sebutan Borneo. Di akhir
abad ke19 dan permulaan abad ke20 Kalimantan
Selatan, yang juga meliputi daerah Kalimantan Tengah,
saat itu dimasukkan bersamasama dengan Kalimantan
Timur dalam satu daerah administratif, dan dikenal
dengan sebutan Residentie Zuider en Ooster Afdeeling Van
101 M. Idwar Saleh, Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional
(1900-1942) di Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat, 1977/1978), hlm. 15.
~ 102 ~
Borneo dengan Banjarmasin sebagai pusat pemerintahan
daerah. Dengan demikian Zuider en Ooster Afdeeling van
Borneo adalah nama untuk menyebutkan daerah selatan
dan timur Kalimantan, yaitu Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah, yang
dipimpin oleh seorang Residen sampai tahun 1938.
Secara hierarkis pemerintahan Keresidenan
Borneo bagian Selatan dan Timur langsung berada di
bawah pemerintahan pusat yang berkedudukan di
bawah Batavia/Bogor. Hubungan Banjarmasin dengan
Batavia adalah sebagai pemerintahan daerah dengan
pemerintahan pusat yang meliputi segi politik, militer,
ekonomi, keuangan, pendidikan, kepolisian dan
sebagainya. Pemerintah pusat di Batavia menjalankan
politik sentralisasi dalam bidang pemerintahan atas
daerahdaerah luar Jawa yang dikuasainya.
5. Tanggal Kelahiran “Putra Daerah Satui” &Pahlawan
Nasional Idham Chalid
Tokoh Idham Chalid adalah seorang “putra daerah”
yang lahir di Satui, 27 Agustus 1921. Idham adalah
Pahlawan Nasional Indonesia dari Kalimantan
Selatan,salah satu politikus dan menteri Indonesia yang
berpengaruh pada masa
Gambar 12. “Putra Daerah” Satui, Idham Chalid
Sumber : Koleksi www.ma
Selain sebagai politikus Idham Chalid aktif dalam
kegiatan keagamaan dan beliau pernah menjabat Ketua
Tanfidziyah Nahdlatul Ulama tahun 1956
berkiprah dari remaja, karier Idham di PBNU menanjak.
Ketika NU masih bergabung dengan Masyumi (1950), ia
~ 103 ~
salah satu politikus dan menteri Indonesia yang
berpengaruh pada masa tahun 19501970 an
Gambar 12. “Putra Daerah” Satui, Idham Chalid
darulmaarif.sch.id
Selain sebagai politikus Idham Chalid aktif dalam
kegiatan keagamaan dan beliau pernah menjabat Ketua
Tanfidziyah Nahdlatul Ulama tahun 1956
berkiprah dari remaja, karier Idham di PBNU menanjak.
tika NU masih bergabung dengan Masyumi (1950), ia
salah satu politikus dan menteri Indonesia yang
1970 an.
Gambar 12. “Putra Daerah” Satui, Idham Chalid
Selain sebagai politikus Idham Chalid aktif dalam
kegiatan keagamaan dan beliau pernah menjabat Ketua
Tanfidziyah Nahdlatul Ulama tahun 19561984.Sejak
berkiprah dari remaja, karier Idham di PBNU menanjak.
tika NU masih bergabung dengan Masyumi (1950), ia
~ 104 ~
menjadi ketua umum Partai Bulan Bintang Kalimantan
Selatan. Sementara itu, ia juga menjadi anggota DPR RIS
(19491950). Dua tahun kemudian, Idham terpilih
menjadi ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif NU (1952
1956). Kemudian, dipilih menjadi orang nomor satu NU
pada 1956. Idham merupakan orang terlama menjabat
ketua umum PBNU.102
Di bidang eksekutif,Idham Chalid beberapa kali jadi
menteri, baik saat masa Orde Lama maupun Orde Baru.
Ketika Bung Karno jatuh pada 1966, Idham Chalid
menjadi anggota presidium Kabinet Ampera I dan
Kabinet Ampera II dan setelah itu ia diangkat menjadi
ketua MPR/DPR pada periode 19711977. Jauh
sebelumnya, pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II,
Idham Chalid juga menjabat sebagai wakil PM. Dalam
pemerintahan, beliau pernah juga mengemban tugas
Ketua DPA.Idham Chalid diangkat menjadi Pahlawan
Nasional Indonesia, bersama dengan enam tokoh lain,
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 113/TK/Tahun
102 Lihat Ahmad Muhajir, Idham Chalid, Guru Politik Orang NU,
(Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2007), hlm. 2737.; bandingkan dengan Arief Mudatsir Mandan (ed), Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid, Tanggung Jawab Politik NU Dalam Sejarah, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2008), hlm. vvi.
~ 105 ~
2011 tanggal 7 November 2011. Idham Chalid meninggal
di Jakarta, 11 Juli 2010 pada usia 88 tahun.103
Alternatif dasar penentuan Hari Jadi Satui
berdasarkan Hari kelahiran tokoh Idham Chalid, 27
Agustus 1921, bisa dijadikan berdasarkan pendapat
sejarawan nasional Taufik Abdullah. Menurut Taufik
Abdullah, dalam penentuan Hari Jadi Daerah, terdapat
alternatif yakni makna simboliknyalah yang lebih lebih
dipentingkan, tetapi “sialnya” peristiwa yang sesuai bisa
saja tidak ada, maka Hari Jadi pun didapatkan
berdasarkan penggabungan tahun terjadinya peristiwa
tertentu (seperti didirikannya benteng). 104
Penentuan tanggal dan bulan Hari Jadi Daerah bisa
juga berdasarkan hari lahir pemimpin yang dikagumi.
Jadi tanggal hanyalah alat untuk merayakan suatu simbol
yang bermakna. Kasus ini boleh disebut sebagai invented
atau prefabricated history. Kepastian sejarah hanyalah
103 Ibid. 104Taufik Abdullah, “Wisata Budaya: Sekitar Penentuan Hari Jadi Unit
Adminitratif:, makalah disampaikan dalam Seminar Sejarah Kaji Ulang Hari Jadi Majalengka di Majalengka tanggal 30 Agustus 2005, yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, hlm.12.
~ 106 ~
sekadar penentuan waktu saja sebab yang penting
adalah nilai yang ingin dilekatkan pada Hari Jadi itu. 105
6. Penetapan Satui Menjadi Distrik Tanggal 1 Mei 1877.
Alternatif lain yang bisa dijadikan menjadi Hari Jadi
Kota Satui adalah tanggal penetapan Satui menjadi
Distrik, di bawah Afdeeling Martapoera tanggal 1 Mei
1877. Penetapan tanggal ini berdasarkan Peraturan
Tentang Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda, pada
masa jabatan Komisaris Pemerintah Komisaris T. N.
Nieuwenhutjzen pada 11 Juni 1860 yang diterbitkan
dengan Proklamasi (pernyataan).
Berdasarkan Surat Keputusan Pasal 20, 29, 31 dan
83 tentang Peraturan Tentang Kebijakan Pemerintah
Hindia Belanda, diwakili Komisaris Pemerintah Komisaris
T. N. Nieuwenhutjzen, dimana wilayah otonom
Bandjarmasin (Kerajaan Banjar) dinyatakan berakhir
(dihapuskan) dan wilayah wilayah yang ada dinyatakan
berada di bawah pemerintahan langsung Gubernur
Jenderal Hindia Belanda. Dalam Proklamasi tersebut telah
105 Ibid.
~ 107 ~
disetujui beberapa ketentuan yang diterapkan dalam
beberapa pasal.106 Adapun pasal tersebut adalah:
Pada pasal 1, dijelaskan bahwa Karesidenan Borneo
bagian Selatan dan Timur (Borneo Zuider en
Oosterafdeeling) dibagi atas enam wilayah Afdeeling:
a) Bandjermasin en Ommelanden,
b) Amoentai,
c) Martapoera,
d) Doeson dan Dajaklauden,
e) Sampit dan,
f) Koetei dan Pantai Timur Kalimantan. 107
106Penetapan tersebut diberitakan oleh Koran/Surat kabar De Locomotief,
Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 35., hlm. 2. Koran De Locomotief adalah koran pertama yang terbit di Semarang pada zaman Hindia Belanda, berdiri pada tahun 1845. De Locomotief pernah dipimpin oleh Pieter Brooshooft, seorang aktivis politik etis. Awalnya harian ini bernama Semarangsch Nieuws en Advertentieblad. Pada tahun 1863, Koran ini berganti nama menjadi De Locomotief, bersamaan dengan berjalannya kereta api pertama di Semarang. Koran ini sempat ditutup, dan kemudian pada tahun 1947 harian De Locomotief berdiri kembali. Pada tahun 1956, harian tersebut ditutup dan gedung diambil alih oleh Bank Bumi Daya setelah direnovasi.
107 Ibid.
Gambar 13. Koran De Locomotief, Penetapan Satui Menjadi Distrik, 1 Mei 1877
Sumber: Koran/Surat kabar
Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 35
~ 108 ~
Koran De Locomotief, 1877 Penetapan Satui Menjadi Distrik, 1 Mei 1877
Koran/Surat kabar De Locomotief, Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 35
Yang Memuat Penetapan Satui Menjadi Distrik, 1 Mei 1877
, Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag
~ 109 ~
Selanjutnya pada pasal 2, dijelaskan bahwa
pemimpin dari empat wilayah pertama yang disebutkan
pada pasal 1 (Bandjermasin en Ommelanden, Amoentai,
Martapoera, dan Doeson dan Dajaklauden) dan Afdeeling
terakhir (Koetei dan Pantai Timur Kalimantan), adalah
pejabat dengan pangkat Asisten Residen,sedangkan di
Afdeeling Sampit diangkat seorang Inspektur dengan
pangkat/status sebagai Pegawai Negeri yang diangkat
oleh pemerintah, semua wilayah ini bawahan Residen
Borneo Bagian Selatan dan Timur.108
Berikutnya pada pasal. 3, dijelaskan Afdeeling
Banjarmasin terdiri atas daerah daerah yang sudah
terdaftar, serta daerah sekitarnya. Pembagian wilayah
Afdeeling Martapoera, terdiri atas Distrik Martapoera,
Marga Sari, Benoea Ampat, Riam Kiwa, Riam Kanan,
Tabanio, Pleihari, Maloeka dan Satoei.109
Kemudian pembagian wilayah Afdeeling Amoentai
terdiri atas Distrik Amoentai, Batang Alai, Laboean Amas,
Balangan, Amandit, Negara, Tabalong dan Kloewa.
Afdeeling Doeson en Dajaklanden dari Distrik Bakoempai,
108 Ibid. 109 Ibid.
~ 110 ~
Boven Doeson, Beneden Doeson (termasuk Onderdistrict
Siang Murung), Oost Doeson (termasuk wilayah District
Siong, Patai, Pakoe, Dagoe, dan Karau), Mengkatib, Dayak
Besar (yang menghubungkan Afdeeling Kahayan Bawah,
Tengah dan Atas, dan Dayak Kecil (menghubungkan
Onderdistrik Kapuas Bawah, Tengah dan Atas).
Selanjutnya, dalam pembagian wilayah tersebut juga
dijelaskan bahwa Afdeeling Sampit (menghubungkan
Onderdistrik Tjampaga, Mantaja dan Kwajan), Mendawe
(yang menghubungankan Onderdistrik Katingan dan
Samba) dan Pemboeang (Termasuk Onderdistrik
Semboeloe dan Soerajau), diurus oleh penguasa setempat
dariKota Waringin termasuk landschap Koemai dan
landschap Djelei. 110
Wilayah Koetei dan Pantai Timur Kalimantan diurus
oleh penguasa setempat dari Boeloengen, (termasuk
wilayah Tidongsche dan pulaupulau Tarrakan, dan
Noenoekan, Sabittik dengan pulaupulau kecil lainnya),
Goenoeng Tabur (yang menghubungkan antara pulau
RaboeRaboe, Pulu Pandjang, Manimbora, Darawan,
Semamakh, SinggaLaki, Maratoea, Bakoengan, Poelaoe
110 Ibid.
~ 111 ~
Kokokh, Tengeman, Beelakh, Noesa Kokokh, Belingisan,
Tengalas, Poeloa Samoet, Oemagi, Pendan, Pendananan
Balambangan), Sambalioeng (termasuk wilayah Samsit,
Kakaban, Bilang Bilangan, Kamoengan Basar, Kamoengan
Ketjil, Balikh Koekoep, Manimbora dan Mataka), Koetei
(yang menghubungkan pulau Miang, BirahBirahan dan
Sitabakh), Pasir, Pegatan dan Koesan, serta landskap yang
dipimpin oleh pemimpin asli (dari daerah sendiri), seperti
Tjingal, Manoengoel, Bangkallan, Sampanahan, Tjantoeng,
Batoe Litjin, Sebambang, Poelaoe Laoaet, termasuk pulau
Saboekoe, semua daerah ini dalam satu landschap yang
disebut Tanah Boemboe. 111
Pada pasal 4, dijelaskan Afdeeling Martapoera,
Amoentai dan Doesoen dan Dajaklanden dijadikan
wilayah Onderafdeeling, yang dikepalai inspektur
binnenlandschur (inspektur yang diangkat oleh Negara),
bawahan Asisten Residen seperti Afdeeling Martapura dan
tigaOnderafdeeling lainnya yakni Benoea Ampat dan
Margasari, Riam Kiwa dan Riam Kanan dan Tanah Laoet;
Afdeeling Amoentai yang dibagi tiga Onderafdeeling yaitu
Batang Alai, Laboean Amas dan Balangar; Amandit dan
111 Ibid.
~ 112 ~
Negara, dan Tabalong dan Kloewa; Afdeeling Doeson dan
Dayaklanden, dibagi menjadi 3 Onderafdeeling Doeson
dan Dayaklanden. Terakhir pada pasal 5, peraturan ini
berlaku pada 1 Mei 1877. 112
7. Pemberian Gelar “Kiai” Kepada Mohamad
Jasin,Pemimpin Satui, 21 April 1877
Alternatif lain yang bisa dijadikan menjadi Hari Jadi
Kota Satui adalah tanggal Penetapan dan Penunjukan
Mohamad Jasin sebagai Kiai (setingkat kepala
desa/distrik) yang membawahi wilayah Satui, 21 April
1877. Pemberian gelar tersebut diposkan dengan layanan
telegraph. Ditetapkan 21 April 1877, dan dinyatakan
berlaku efektif sejak tanggal tersebut, dirilis G.E.van
derGeugtendari DinasNegara Komisi Kelas Ketiga, untuk
itu ditunjuk petugas untuk Komisi Kelas Ketiga,
yakniM.A.Mayes, dibantu Pengawas/Kurator William III,
dan Sekretaris Pemerintah, J. H. Pannekock. 113
112 Ibid. 113Penetapan tersebut diberitakan oleh Koran/Surat kabar De Locomotief,
Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 116., artikelhlm. 2.
Gambar 14. Koran De LocomotiefPemberian Gelar “Kiai” Kepada Mohamad Jasin, Pemimpin Satui, 21 April 1877
Sumber: Koran/Surat kabar Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 116.,
~ 113 ~
Gambar 14. Koran De Locomotief, 1877 Pemberian Gelar “Kiai” Kepada Mohamad Jasin, Pemimpin Satui, 21 April 1877
Koran/Surat kabar De Locomotief, Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 116., artikel hlm. 2.
Yang Memuat Pemberian Gelar “Kiai” Kepada Mohamad Jasin, Pemimpin
Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag
hlm. 2.
~ 114 ~
Untuk pemerintah (pegawai) pribumi, diberikan
titel/gelar Radhen untuk Mas Toemenggoeng Soeria
Kasoema dan Ronggo untuk pegawai pribumi di wilayah
Afdeeling Bandjermassin en Ommelanden (Karesidenan
Borneo Bagian Selatan dan Timur), diberikan hadiah gelar
atas jasanya kepada negara, dengan lisensi untuk diri
mereka sendiri. Selanjutnyanama beliau ditulis dengan
nama RadhenToemenggoengSoeriaKasoema. Selain
pemberian gelar Radhen untuk Mas
ToemenggoengSoriaKasoema, juga diberikan ke semua
gelar Ronggo untuk Kiai (setingkat kepala desa/distrik)
yang membawahi wilayah di Afdeeling Banjarmasin dan
sekitarnya (Bandjermasin en Ommelanden), wilayah
lainnya yakni Afdeeling Martapura, Afdeeling Amuntai dan
Afdeeling Doeson en Dajaklanden. 114 Adapun daftar
pemimpin wilayah yang menerima gelar tersebut sebagai
berikut:
114 Ibid.
~ 115 ~
No Afdeeling/ Distrik Pemimpin Wilayah 1 Afdeeling Martapoera Distrik Martapoera Kiai Soeta Merta Distrik Benoea Ampat Kiai Mohamad Tajib Distrik Margasari Pangeran Koesoemo Giri Distrik Riam Kiwa Klabauw Distrik Riam Kanan Abdul Djalil Distrik Pleihari Mohamad Saleh Distrik Satoei Kiai Mohamad Jasin
Distrik Maloeka Aman Bin Hadji Brahim (Sebelumnya Kepala Distrik Tabanio
Tabanio
Doewahit Bin Pembekel Doelasan (Sebelumnya Demang Koeli Untuk Banjarmasin)
2. Afdeeling Amoentai
Distrik Amoentai Radhen Ngabehi Warga Kasoema
Batang Alai Kiai Demang Joeda Negara
Laboean dari Amas Toemenggoeng Joeda Karta Negara
Amandit Kiai Draboe Negara Kiai Haji Sahaboedin
Kloewa Toemenggoeng Tjakra Negara
Balangan Kiai Demang Soeta Negara Tabalang Kiai Tjakra Widana
3. Afdeeling Doeson en
~ 116 ~
Dajaklanden Bakompai Kiai Haji Abdul Madjid Oost Doeson, Radhen Soeta Negara Beneden Doesoen, Demang Tabat Mengkatib Demang Patih Anoem
Dayak Kecil
Radhen Johannes Karsa Negara
Dayak Besar Demang Anoem Djaja Karsa
Sumber: Koran/Surat kabarDe Locomotief, Nieuws, Handels, en
Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail NummerZaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 116, hlm. 2.
8. Tahun Penulisan Hikayat Banjar, Tarikh 1663 M
Alternatif terakhir sebagai dasar penentuan “Hari
Jadi” Satui adalah tahun 1663 M.Dalam teks ini,
sedikitnya terdapat tiga kutipan yang “menuliskan”
tentang keberadaan daerah Satui. Bagian akhir teks
sumber lokal Hikayat Banjar yang bertarikh 1663 Masehi.
Teks ini sepanjang 4,787 baris dan120 halaman.Hikayat
Banjar adalah sebuah manuskrip tua yang telah dikenal di
Daerah Kalimantan Selatan sejak zaman Kerajaan Banjar.
Manuskrip tersebut terbagi dalam beberapa bagian
dan “mendapatkan nama” yang berbeda, seperti Hikayat
Lambung Mangkurat, Tutur Candi, Hikayat Raja-Raja
~ 117 ~
Banjar dan Kota Waringin, Ceritera Lambung Mangkurat
dan Turunan Raja-Raja Banjar dan Kota
Waringin. 115 Tulisan mengenai daerah Satui, terdapat
dalam Resensi II, seperti kutipan berikut:116
baris 3362 : …….dan Pambuang dan Sampit, Mandawai dan
Sabangau dan Biaju Basar dan orang Biaju Kacil dan orang nagri Karasikan dan Kutai dan Barau dan Pasir dan Pamukan dan orang Laut-Pulau dan Satui dan Hasam-Hasam dan Kintap dan Sawarangan dan orang Tambangan Laut dan orang Takisung dan Tabuniau, sakaliannya itu sudah sama datang sarta sinjatanya sarta parsambahnya. ....
baris 3013 : ....... Sagala orang itu kira-kira anam ribu orang
nagri, dan orang yang bardagang itu sama bartulung ada orang saribu. Maka Patih Masih manyuruh orang mambari tahu ka Kintap, ka Satui, ka Sawarangan, ka Hasam-Hasam, ka Laut-Pulau, ka Pamukan, ka Pasir, ka Kutai, ka Barau, ka Karasikan; dan mambari tahu ka Biaju, ka Sabangau, ka Mandawai, ka Sampit, ka .....117
115J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, (The Hague:
Nijhoff (Koninklijk Insitituut voor Taal, Land en Volkenkunde, 1968), Bibliotheca Indonesica no.1.
116Terjemahan kutipan tersebut dalam Bahasa Indonesia terdapat pada
halaman 45, 46 dan 47 pada Laporan Penelitian ini; 117Dalam pembahasan sebelumnya dalam Laporan Penelitian ini, pada
halaman 4647, isi kutipan di atas dimasukkan ke dalam kutipan Hikayat Lambung
~ 118 ~
baris 4150 : .... anak-cucuku handak aniaya lawan nagri Banjar
mudah-mudahan dibinasakan Allah itu." Maka dipinjamkan oleh Marhum Panambahan. Itulah mulanya Pasir -- sarta dibari desa namanya Satui dan Hasam-Hasam dan Kintap dan Sawarangan itu, Banacala, Balang Pasir dan Kutai dan Barau sarta Karasikan itu -- maka tiada mahanjurkan hupati ka Martapura itu .....
Sebagai informasi, dalam Hikayat Banjar ini
disebutkan Keraton I sebagai Negara Dipa, Keraton II
sebagai Negara Daha, dan Keraton III sebagai
Bandarmasih, serta Keraton IV sebagai Kayu Tangi.
Hikayat Banjar dibagi dua bagian, bagian pertama disebut
Resensi I yang kebanyakan berisi perisitiwaperistiwa
yang menjurus pada puncak peristiwa, yaitu
pemberontakan Keraton III dan bermulanya era Islam.
Sedangkan bagian kedua yang disebut dengan Resensi II
lebih banyak menceritakan mengenai Keraton I dan II,
menceritakan tentang masa lampau yang
legendaris.118Edisi teks bersama penjelasan lanjut dari
Mangkurat (tulisan versi Gusti Mayor). Perbedaan ini terjadi karena terdapat perbedaan versi tulisan. Beberapa Sejarawan Banjar, misalnya M. Idwar Saleh menggolongkan Hikayat Lambung Mangkurat sebagai bagian dari Hikayat Banjar.
118Hikayat Banjar versi I maupun versi II, antara lain dapat dilihat dalam
buku Hikayat Lembu Mangkurat susunan Gusti Mayur (1979) berdasarkan Disertasi A.A. Cense, serta buku Tutur Canditerjemahan M. Idwar Saleh (1986).
~ 119 ~
segi konteks sejarah budaya dan kesusteraan diterbitkan
ahli filologi Belanda J. J. Ras tahun 1968.119
Pemilihan Hikayat Banjarsebagai dasar penentuan
tahun Hari Jadi Satui dengan alasan Hikayat Banjar adalah
sumber lokal. Sumber lokal sangat penting dalam
“menentukan” identitas daerah dan penulisan sejarah
lokal dan bersifat “lokalsentris”. Sejarah lokal adalah
sejarah dengan lingkup atau batasan tertentu menurut
geografi. Bisa sejarah provinsi, kabupaten atau sejarah
desa yang memiliki keunikan dan memberi kearifan
kepada masyarakat.120
Namun, jika Sejarah lokal diartikan sematamata
sebagai sejarah daerah tertentu, maka sejarah semacam
itu sudah lama berkembang di Indonesia. Bahkan sejarah
yang kita miliki sekarang bermula dari tradisi sejarah
Sebagai perbandingan lihat juga J. Hageman, Aantaekeningen it Rijk Bandjermasin, yang dimuat dalam TGB 9, 1861.
119Ibid; lihat juga Tedi Permadi, Cara Kerja Suntingan Teks yang Disajikan J.J. Rass dalam Mengedisi Naskah Hikayat Banjar, tulisan lepas, koleksi Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia, tanpa tahun, hlm. 2030.
120Singgih Tri Sulistiyono, Penulisan Sejarah Lokal Di Era Otonomi
Daerah: Metode, Masalah, dan Strategi, Makalah pada “Seminar Nasional Peningkatan Kompetensi Penelitian untuk Pengajaran Sejarah di Era Sertifikasi dan Otonomi Daerah” , Semarang, Jawa Tengah, 20 Maret 2009, hlm. 25.
~ 120 ~
Lokal seperti itu. Hal ini bisa dihubungkan dengan
berbagai sejarah daerah dengan namanama tradisional
seperti babad, tambo, riwayat, hikayat, dan sebagainya
yang dengan caracara yang khas (magis mistis)
menguraikan asal usul suatu daerah tertentu.
Informasi tambahan, mengenai penulis Hikayat
Banjar itu sendiri tidak diketahui secara pasti siapa
penulisnya. Namun diyakini Hikayat Banjar ditulis oleh
banyak orang. Hikayat Banjar juga digunakan oleh pihak
kerajaan untuk meleginitasi kekuasan. Karena itulah
terdapat bermacammacam cerita yang agak berlainan
versinya. Naskah asli Hikayat Banjar ditulis dengan
tulisan tangan dalam Bahasa Melayu serta menggunakan
huruf Arab gundul. 121
Dalam abad ke19 perhatian para sarjana Eropa
terhadap Hikayat Banjar ini cukup tinggi. Pada tahun 1825
Thomas S. Raffles, telah meminta pada Sultan Pontianak
sebuah copy darihikayat tersebut. Sultan Pontianak
mendapatkan copy tersebut dari Kotawaringin, yang
121Teks Hikayat Banjar telah ditulis dan disalin beberapa kali. Daripada
beberapa bagian yang dikekalkan; versi "Resensi II" diambil dari versi lebih lama yang berasal dari tradisi lisan (yang merupakan naskah bercorak dunia pewayangan yang sering dinamakan Tutur Candi), sementara versi lain di Leiden University Library MS. Or. 1701, mewakili versi lebih tua.
~ 121 ~
mungkin berasal dari milik kerajaaan sendiri. Dari tahun
1845 copy dari Hikayat Banjar tersebut telah menjadi milik
British Museum, Inggris.
Pada Tahun 1857, J. Hageman menulis sebuah artikel
berjudul; Bijdrage tot de Geschiesdenis van Borneo.” Dalam
tulisannya, memaparkan beberapa isi dan kutipan tentang
Hikayat Banjar. Kemudian artikel kedua, tulisan A. van der
ven tahun 1860, berjudul Aantaekeningen Pmtrent it Rijk
Bandjermasin, yang dimuat dalam TGB 9. Selain memberikan
informasi mengenai keadaan kerajaan semasa pemerintahan
Sultan Adam, ia juga memuat cerita yang berasal dari Resensi
II. Berikutnya, tahun 1861 J. Hageman kembali menulis
artikel berjudulCoschiedkundige-Aanteekeningen Outrent
Zuidelijk Borneo.Dalam tulisantersebut, dimasukkannya pula
silsilah RajaRaja Banjar, lengkap dengan angka tahunnya
yang didapatkan dari sumber lokal.122
Selanjutnya, pada tahun 1877, terbit pula artikel E.S.A
de Cleq berjudulDe Vroegste Geschiedenis van Bandjermasin,
dalam TBG 24, dengan isinya yang diambil dari Resensi I.
122A.A Cense, De Kroniek van Bandjermasin (Sanpoort, 1928); E.S.A de
Cleq, De Vroegste Geschiedenis van Bandjermasin, dalam TBG 24; J.J. Mayer, Bijdragen tot de Kennis der Geschiedenis van hot voormaling Bandjermaische Rijk,Residentie Zuid en Ooterafdeeling van Borneo, dalam Indische Gids 213, jaargang., kolom I, tahun 1899.
~ 122 ~
Barulah 22 tahun kemudian terbit karangan J.J. Mayer, yaitu;
Bij dragen tot de Kennis der Geschiedenis van hot voormaling
Bandjermaische Rijk, thans Residentie Zuid en Ooterafdeeling
van Borneo, dalam Indische Gids 213, tahun 1899.Bahan
bahan tulisannya diambil dari manuskrip miliknya sendiri
yang berisikan unsurunsur dari Resensi I dan II, sejumlah
bahasa lisan yang didapatnya dari daerah Tabalong dan
Kelua, ditambah dengan sebuah silsilah RajaRaja yang agak
terperinci.123
Namun yang terpenting dari semua itu, adalah
Dissertasi A.A Cense tahun 1928 yang berjudulDe Kroniek
van Bandjermasin,diterbitkan Sanpoort, 1928.Baru sekitar
tahun 19301931 ada penulis yang menulisnya dengan
bahasa Melayu Modern, yaitu Anang Acil, bergelar Kesumo
Negoro, yang menulis buku Lambung Mangkurat atau
Sejarah Banjar. Kemudian juga dikenal nama seperti Gusti
Mayur, SH. Yang menulis Hikayat Lembu Mangkuratdan
diterbitkan Pendidikan Umum.124
123 Ibid. 124 Ibid.
~ 123 ~
BAB V
KESIMPULAN HARI JADI SATUI
Berdasarkan pembahasan dan bukti bukti sejarah yang
telah dipaparkan pada babsebelumnya, maka Tim Penulis
merekomendasikan Hari Jadi Kota Satui, adalah tanggal 27
Agustus tahun 1663.Tanggal 27 Agustus tahun 1663ini
disetujui oleh Tim Pencari Fakta Terbentuknya Kecamatan
Satui, berdasarkan rapat tim pada tanggal 22 Oktober 2013
sehingga tanggal 27 Agustus tahun 1663secara resmi
menjadi Hari Jadi Satui. Alasan tanggal 27 Agustus diambil
dariHari Kelahiran Putra Daerah dan Pahlawan Nasional,
Idham Chalid di Satui. Kemudian tahun 1663 diambil dari
sumber lokal Hikayat Banjar (HB) yang menulis tentang
keberadaan wilayah Satui dan “orang” Satui. Hikayat ini
bertarikh (berangka tahun) 1663 Masehi.
A. Tanggal 27 Agustus : Hari Kelahiran Idham Chalid
Tokoh Idham Chalid adalah seorang “putra daerah”
yang lahir di Satui, 27 Agustus 1921. Idham adalah Pahlawan
Nasional Indonesia dari Kalimantan Selatan, salah satu
politikus dan menteri Indonesia yang berpengaruh pada
~ 124 ~
masa tahun 19501970 an. Selain sebagai politikus ia aktif
dalam kegiatan keagamaan dan beliau pernah menjabat
Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama pada tahun 19561984.
Ketika NU masih bergabung dengan Masyumi (1950),
Idham menjadi ketua umum Partai Bulan Bintang
Kalimantan Selatan. Idham Chalid menjadi anggota DPR RIS
(19491950). Dua tahun kemudian, Idham terpilih menjadi
ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif NU (19521956).
Kemudian, Idham dipilih menjadi orang nomor satu NU pada
1956. Bahkan, Idham merupakan orang terlama yang
menjadi ketua umum PBNU.
Dalam bidang eksekutif, Idham beberapa kali jadi
menteri, baik saat masa Orde Lama maupun Orde Baru.
Ketika Bung Karno jatuh pada 1966, Idham menjadi anggota
presidium Kabinet Ampera I dan Kabinet Ampera II dan
etelah itu ia diangkat menjadi ketua MPR/DPR pada periode
19711977. Jauh sebelumnya, pada masa Kabinet Ali
Sastroamidjojo II, Idham juga menjabat sebagai wakil PM.
Dalam posisi pemerintahan, beliau pernah juga mengemban
tugas sebagai Ketua DPA.Idham Chalid diangkat menjadi
Pahlawan Nasional Indonesia, bersama dengan enam tokoh
lain, berdasarkan Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011
~ 125 ~
tanggal 7 November 2011. Idham Chalid meninggal di
Jakarta, 11 Juli 2010 pada usia 88 tahun.
B. Tahun 1663 : Tarikh Penulisan Hikayat Banjar
Rekomendasi berikutnya untuk dasar penentuan “Hari
Jadi” Satui adalah angkatahun 1663 M.Dalam teks ini,
sedikitnya terdapat tiga kutipan yang “menuliskan” tentang
keberadaan daerah Satui. Bagian akhir teks sumber lokal
Hikayat Banjar yang bertarikh dari 1663 Masehi. Teks ini
sepanjang 4,787 baris atau 120 halaman.Hikayat Banjar
adalah sebuah manuskrip tua yang telah dikenal di Daerah
Kalimantan Selatan sejak zaman Kerajaan Banjar.
Manuskrip tersebut terbagi dalam beberapa bagian dan
“mendapatkan nama” yang berbeda, seperti Hikayat
Lambung Mangkurat, Tutur Candi, Hikayat Raja-Raja Banjar
dan Kota Waringin, Ceritera Lambung Mangkurat dan
Turunan Raja-Raja Banjar dan Kota Waringin. Tulisan
mengenai daerah Satui, terdapat dalam Resensi II.
Sebagai informasi, dalam Hikayat Banjar ini
disebutkan Keraton I sebagai Negara Dipa, Keraton II
sebagai Negara Daha, dan Keraton III sebagai Bandarmasih,
serta Keraton IV sebagai Kayu Tangi. Hikayat Banjar dibagi
~ 126 ~
menjadi dua bagian, bagian pertama disebut Resensi I yang
kebanyakan berisi perisitiwaperistiwa yang menjurus
pada puncak peristiwa, yaitu pemberontakan Keraton III
dan bermulanya era Islam. Sedangkan bagian kedua yang
disebut dengan Resensi II lebih banyak menceritan
mengenai Keraton I dan II, menceritakan tentang masa
lampau yang legendaris. Edisi teks bersama penjelasan
lanjut dari segi konteks sejarah budaya dan kesusteraan
diterbitkan ahli filologi Belanda J. J. Ras tahun 1968.
Pemilihan Hikayat Banjarsebagai dasar penentuan
tahun Hari Jadi Satui dengan alasan Hikayat Banjar adalah
sumber lokal. Sumber lokal sangat penting dalam
“menentukan” identitas daerah dan penulisan sejarah lokal
dan bersifat “lokalsentris”. Sejarah lokal adalah sejarah
dengan lingkup atau batasan tertentu menurut geografi.
Bisa sejarah provinsi, kabupaten atau sejarah desa yang
memiliki keunikan dan memberi kearifan kepada
masyarakat.
Sejarah lokal sebagai salah satu cabang dari studi
sejarah sangat menarik untuk diperbincangkan terutama
menyangkut batasan pengertian dan metodologi maupun
dalam hak aspek pengajaran sejarah lokal di sekolah
~ 127 ~
sekolah. Istilah sejarah lokal di indonesia kerap digunakan
pula sebagai sejarah daerah, sedangkan di Eropa disamping
dikenal istilah local history juga community history, atau
neighborhood history, maupun nearby history. Sebelumnya
sejarah lokal kurang mendapat perhatian dari berbagai
fihak, mungkin ini berhubungan dengan semangat
persatuankesatuan Indonesia yang diperjuangkan sejak
lama (kemerdekaan sebagai bangsadan negara Indonesia).
”Kebangkitan” kembali dari sejarah lokal ini harus disikapi
dengan arif sebagai salah satu bidang kajian sejarah biasa,
bukan untuk menonjolkan dinamikakelokalan semata.
~ 128 ~
~ 129 ~
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku/Majalah/Buletin/Jurnal/Tulisan Lepas
Abdullah, Taufik, “Wisata Budaya: Sekitar Penentuan Hari Jadi Unit Adminitratif:, makalah disampaikan dalam Seminar Sejarah Kaji Ulang Hari Jadi Majalengka di Majalengka, 30 Agustus 2005, diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.
Abdullah, Irwan, 2007, Konstruksi dan Reproduksi
Kebudayaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Oppset).
Ali, R. Moh., 1966, Penentuan Arti Sedjarah dan Pengaruhnja dalam Metodologi Sedjarah Indonesia, (Djakarta: Bhratara, 1966).
Basundoro, Purnawan, 2012, Pengantar Sejarah Kota,
(Yogyakarta; Ombak.
, “Penduduk dan Hubungan Antaretnis di Kota Surabaya Pada Masa Kolonial”, Jurnal Paramita, vol. 22, No.1.
Bondan, Kiai Amir Hasan, 1953, Suluh Sedjarah Kalimantan,
(Banjarmasin: MAI Pertjetakan Fadjar).
Geertz, Clifford, 1983, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara).
~ 130 ~
Gottschalk, Louis, 1975, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press).
Hollander, J. J. De, 1898, Handleiding bij de Beoefening der
land-en Volkenkunde Van Nederlansch Oost Indie, Tweede Deel, door R. van Eck, Koninkhjks Militairs Academie.
1864, Borneo’s Zuider en Ooster
Afdeeling (Handleiding Bij De Beoefening Der Land en Volkenkunde Van Nederlansch Oost Indie, Koninklijke Militaire Akademie).
Horton, B.& Chester L. Hunt, 1999, Sosiologi, (Jakarta:
Erlangga).
Hose, Charles & William McDougall, 2004, Pagan Tribes Of Borneo, Volume I (Kessinger Publishing).
Ideham, M. Suriansyah, dkk. (ed), 2003, Sejarah Banjar,
(Banjarmasin: Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan).
Ismail, Muhammad Gade 1999, “Museum Sebagai Sumber
Sejarah Dalam Kaitan Dengan Metode Sejarah”, dalam Bulletin Rumoh Aceh, Informasi dan Komunikasi Museum, No.03/1999, Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Kartodirdjo, Sartono (editor), 1977, Masyarakat Kuno &
Kelompok-kelompok Sosial (Jakarta: Bulu Obor).
~ 131 ~
Kuntowijoyo, 2005, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang).
Kesuma, Andi Ima, 2004, Migrasi dan Orang Bugis:
Penelusuran Kehadiran Opu Daeng Rilakka Pada Abad XVIII di Johor, (Yogyakarta: Ombak).
Linneton, Jacqueline, 1973, “Passompe’ Ugi’: Bugis Migrants
and Wanderers”, dalam Archipel, volume.10. Leirissa, R.A. dkk. (ed), 1983/1984, Sejarah Sosial Daerah
Kalimantan Selatan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jarahnitra).
Maula, Amiruddin & Muh. Iqbal Latief, 2000, Posisi Makassar
Dalam Bisnis Global, (Makassar: Yayasan Lentera 21). Mallinckrodt, Jacob, 1928, Het Adatrecht van Borneo, volume.
2 (Batavia: M. Dubbeldeman). Mandan, Arief Mudatsir (ed), 2008, Napak Tilas Pengabdian
Idham Chalid, Tanggung Jawab Politik NU Dalam Sejarah, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu).
Mansyur, Diaspora Suku Bugis di Wilayah Tanah Bumbu,
Karesidenan Borneo Bagian Selatan dan Timur Tahun 1842-1942, Tesis pada Program Studi Magister Ilmu Sejarah, Universitas Diponegoro Semarang, 2012.
Mayur,Gusti, 1974, Hikayat Lembu Mangkurat, (Banjarmasin:
CV Rapi).
~ 132 ~
Mises, Ludwig von, 2007, Theory And History An Interpretation of Social and Economic Evolution (Alabama: von Mises Institute).
Mieremet, Adolf, 1919, De Hedendaagsche Inheemsche
Rechtspraak in Nederlandsch Indië en Haar Regeling, (Batavia: De Haan).
Muhajir, Ahmad, 2007, Idham Chalid, Guru Politik Orang NU,
(Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara). Mulyasari, Prima Nurrahmi dkk, 2010, Kota-Kota Di Jawa;
Identitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial, (Yogyakarta: Ombak).
Menno, S. & Mustawin Alwi, 1992, Antropologi Perkotaan,
(Jakarta: Rajawali Pers) Muarief, Samsul, 2001, Peduli Generasi Suku Using,
(Banyuwangi: Satubuku). Meuraxa, Dada, 1975, Sejarah Hari Jadinya Kota Medan, 1 Juli
1590, (Medan: Sasterawan). Nash, P.J.M, 1984, Kota di Dunia Ketiga, (Jakarta: Aksara). Nuralang, Andi, 2007, “Pesta Adat Mappanretasi: Obyek
Wisata Laut di Kotabaru, Kalimantan Selatan”, (tulisan tidak diterbitkan koleksi Balai Arkeologi Banjarmasin).
~ 133 ~
Notosusanto, Nugroho, 1984, Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah (Jakarta: Mega Book Store).
, 1978, Masalah Penelitian Sejarah
Kontemporer (Suatu Pengalaman, (Jakarta:Yayasan Idayu).
Oetomo, Sri Adi, 1993, Menelusuri dan Mencari Hari Jadi Kota
Banyuwangi (Pasuruan: Garoeda Buana Indah). Posewitz,Theodore, 1892, Borneo: Geologi and Mineral
Resources, (London: Edward Stanford). Pringgodigdo, A.G., 2007, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta:
Kanisius). Ras, Johannes Jacobus, 1990, Hikayat Banjar diterjemahkan
oleh Siti Hawa Salleh (Malaysia: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS Ampang/Hulu KelangSelangor Darul Ehsan).
Renier, G.J., 1997, History Its Purpose and Method, terj. Muin
Umar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar). Saleh, M. Idwar, 1977/1978, Sejarah Daerah Tematis Zaman
Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat).
Singarimbun, Masri & Sofyan Effendy, 1982, Metode
Penelitian Survai, (Jakarta: LP3ES).
~ 134 ~
Syamsuddin, Helius, 1996, Metodologi Sejarah, (Jakarta: Proyek Pendidikan Tenaga Akademik).
Suryo, Djoko, 2009, TransformasiMasyarakat Indonesia dalam
Historography Indonesia Modern (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Jurusan Sejarah FIB UGM).
Sellato, Bernard, 1995, Nomads of the Borneo Rainforest: The
Economics, Politics and Ideology of Settling Down (USA: University of Hawaii Press).
Schott, Dieter, 2004, “Urban Environmental History: What
Lessons Are There to be Learnt?”, dalam Boreal Environment Research, 2004.
Sjoberg, Giddeon, 1965, The Preindusrial City Past and
Present, (Tronto CollierMcmillan). Tim Penulis, 2003, Sejarah Banjar, (Banjarmasin: Pemprov
Kalsel). Tim Penulis, 2008, Upacara Adat Mappanre Tasi’ di Pagatan
Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Disbudpar Pemprov Kalsel)
Veth, Pieter Johannes, 1869, Aardrijkskundig en statistisch
woordenboek van Nederlandsch Indie (Amsterdam: Van Kampen).
~ 135 ~
B. Sumber Arsip dan Koran
ANRI, “Besluit van den Minister van Staat, GouverneurGeneraal van NederlandschIndie”, 27 Agustus 1849 No. 8, dalam Staatsblad van Nederlandisch Indie Voor Het Jaar 1849 (Batavia: Ter Lands Drukkerij, 1849).
ANRI, “De Minister van Staat, Gouverneur Generaal van
Nederlandsc Indie”, dalam L.J.A. Tollens, Verzameling van Wetten, Besluiten, Bepalingen, Kennisgaven, enz, Over de Jaren 18081856, Tweede Deel (Batavia: Lange & Co, 1856).
ANRI,“Het Eiland Borneo en Zijne Bewoners”, dalam J.B.J. van
Dooren, Bijragen tot de Kennis van Verschillende Overzeesche Landen, Volken, enz, Eesrste Deel (Amsterdam: J.D.Sybrandi, 1860).
ANRI, “Handelingen der StatenGeneral. Bijlagen 18921893,
Overzicht Betreffende de in Erfpacht Aangevraagde Gronden op Java en Madura en in de Buitenbezittingen, die Gedurende 1891 aan de Aanvragers Geweigerd Werden.”, dalam Koloniaal Verslag van 1892, (Nederland Oost Indie, Bijlage L.).
ANRI, “Alteratie en ampliate Op Het Contract Met Den Sulthan
Van Bandjarmasin, Van 1 Januarij 181713 September 1823”, Arsip SuratSurat Perjanjian Antara Kesultanan Banjarmasin Dengan Pemerintahan VOC, Bataafshe Republik, Inggris dan Hindia Belanda 1635–1860 (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1965).
~ 136 ~
ANRI, Reglement op de Godsdienstige Rechtspraak Voor Een Gedeelte van de Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo (Ordonantie. van 21 Dec. 1937.) S. 37638, bundel Borneo Zuid Oosterafdeling (BZO), No.265.
ANRI, Dutch East Indies. Dienst van den Mijnbouw
Netherlands, Departement van Kolonien, Jaarboek van het mijnwezen in NederlandschIndië, Bagian 1,Volume 50 (Amsterdam: J.G. Stemler, 1922).
ANRI, “Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda Tahun 1839
1848”, (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1973).
ANRI, Arsip "Pegatan en Koesan Suppletoir Contract" dalam
Overe enkomsten met Inlandsche vorsten in den Oost Indischen Archipel (I66.7), bundel Borneo Zuid Oosterafdeling (BZO), No. 122.
ANRI, NederlandschIndie Uitkomsten der in de Maand
November 1920, Gehouden, Volkstelling, Dee1 I (Drukkerijen Ruygrok & Co., 1922).
ANRI Koran/ Surat kabarDe Locomotief, Nieuws, Handels, en
Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 116.
ANRI, Koran/Surat kabarDe Locomotief, Nieuws, Handels, en
Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 35.
~ 137 ~
PERPUSNAS, “Lembaran UndangUndang No. 32 Tahun 2004”, Pasal 126.
C. Sumber Website
S. Padmo, “Politik Agraria Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah di DIY: Sebuah Refleksi Historis”, Artikel pada situs Jurusan Sejarah, FIB UGM, 2007.
Anonim, “Pelanggaran HAM Hinduisasi Tolotang”, dalam
http://www. desantara.or.id /032008/411/pelanggaranhamhinduisasi tolotang/, diakses 20 Mei 2013.
D. Sumber Peta
ANRI, “Borneo Kaart, Koleksi David Rumsey Historical Map tahun 1827”, Pelukis peta aslinya adalah Philippe Vandermaelen, tahun 1827. Peta dipublikasikan oleh Ph. Vandermaelen Bruxelles, Tipe Peta: Peta Atlas, Peta asli berukuran 47 cm x 57 cm dengan skala 1: 1.641.836, berdasarkan pada Garis Meridian Paris.
ANRI, “Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W. Nieuwenhuis”, dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun 1902, Peta asli berskala 1:2.000.000., berukuran 75 cm x 65 cm. (Peta Versi Kedua).
ANRI, “Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld Onder
Leiding Van Dr. A.W. Nieuwenhuis”, dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun 1902,
~ 138 ~
Peta asli berskala 1:2.000.000., peta asli berukuran 75 x 65 cm. (Peta Versi Pertama).
ANRI, “Kaart van Nederlandsh Indie, diterbitkan di amsterdam oleh J.H.De Bussy”, Tahun 1893. Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp dengan skala 1: 5.000.000.
ANRI, “Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo Topograpische
Inrichting Batavia, 1909 (Bijgewert Tot 1914)”, Skala peta 1: 2.000.000.