Download - Dampak Dari Fluktuasi Harga Bbm
DAMPAK DARI FLUKTUASI HARGA BBM
I. Dampak Fluktuasi Harga BBM Bidang Ekonomi
Akhir-akhir ini harga minyak bumi di pasar internasional sangat fluktuatif
dengan kecenderungan yang meningkat. Pada tahun 2011 harga minyak dunia
(minyak Brent dan Indonesian Crude Oil Price atau ICP) berada pada level di atas
batas psikologis USD 100 per barel. Kenaikan harga mencapai ratarata sekitar
USD 111 per barel atau meningkat sekitar 40% dibandingkan rata-rata harga
minyak tahun 2010 yang mencapai USD 79 per barel. Lonjakan harga minyak
yang sangat tinggi ini tentu saja menjadi perhatian hampir seluruh negara di
dunia, baik negara produsen (eksportir) minyak bumi maupun negara konsumen
(importir). Hal ini disebabkan karena peranan minyak yang sangat penting sebagai
bahan bakar yang menggerakkan perekonomian. Pasokan minyak bumi
merupakan input vital dalam proses produksi industri, terutama untuk
menghasilkan listrik, menjalankan mesin produksi dan mengangkut hasil produksi
ke pasar. Disamping itu, minyak bumi juga penting bagi pembangunan ekonomi
dan sosial yang berkelanjutan.
Mengingat peranannya yang
vital tersebut, implikasi yang timbul akibat fluktuasi harga minyak juga akan
beragam. Berbagai studi yang pernah dilakukan paska krisis minyak (oil shocks)
pada dekade 1970-an mengkonfirmasi bahwa guncangan harga minyak
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Bahkan hasil studi tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar justifikasi bahwa
krisis minyak adalah penyebab resesi ekonomi, terutama yang terjadi di Amerika
Serikat dan sejumlah negara Eropa pada waktu itu (Hamilton, 1983, 1988, 1996).
Studi empiris lain juga telah dilakukan untuk melihat mekanisme transmisi oil
shocks terhadap perekonomian, mulai dari efek permintaan, penawaran, bahkan
efek nilai tukar perdagangan (terms of trade effect).
Berangkat dari fakta harga minyak internasional yang fluktuatif dan tinggi
serta merujuk pada beberapa hasil studi empiris terdahulu, kajian ini juga
mencoba mengkaji bagaimana dampak fluktuasi harga minyak di pasar
internasional terhadap perekonomian
Indonesia. Beberapa variabel ekonomi makro yang dipilih untuk melihat pengaruh
fluktuasi harga minyak adalah pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, jumlah uang
beredar, nilai tukar riil rupiah terhadap US dolar dan suku bunga.
Akhir-akhir ini harga minyak bumi di pasar internasional sangat fluktuatif dengan
kecenderungan yang meningkat. Pada tahun 2011 harga minyak dunia (minyak
Brent dan Indonesian Crude Oil Price atau ICP) berada pada level di atas batas
psikologis USD 100 per barel. Kenaikan harga mencapai ratarata sekitar USD 111
per barel atau meningkat sekitar 40% dibandingkan rata-rata harga minyak tahun
2010 yang mencapai USD 79 per barel. Lonjakan harga minyak yang sangat
tinggi ini tentu saja menjadi perhatian hampir seluruh negara di dunia, baik negara
produsen (eksportir) minyak bumi maupun negara konsumen (importir). Hal ini
disebabkan karena peranan minyak yang sangat penting sebagai bahan bakar
yang menggerakkan perekonomian. Pasokan minyak bumi merupakan input
vital dalam proses produksi industri, terutama untuk menghasilkan listrik,
menjalankan mesin produksi dan mengangkut hasil produksi ke pasar. Disamping
itu, minyak bumi juga penting bagi pembangunan ekonomi dan sosial yang
berkelanjutan.
Mengingat peranannya yang vital tersebut, implikasi yang
timbul akibat fluktuasi harga minyak juga akan beragam. Berbagai studi
yang pernah dilakukan paska krisis minyak (oil shocks) pada dekade 1970-
an mengkonfirmasi bahwa guncangan harga minyak berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bahkan hasil studi
tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar justifikasi bahwa krisis minyak
adalah penyebab resesi ekonomi, terutama yang terjadi di Amerika Serikat
dan sejumlah negara Eropa pada waktu itu (Hamilton, 1983, 1988, 1996).
Studi empiris lain juga telah dilakukan untuk melihat mekanisme transmisi
oil shocks terhadap perekonomian, mulai dari efek permintaan,
penawaran, bahkan efek nilai tukar perdagangan (terms of trade effect).
Berangkat dari fakta harga minyak internasional yang fluktuatif dan
tinggi serta merujuk pada beberapa hasil studi empiris terdahulu, kajian
ini juga mencoba mengkaji bagaimana dampak fluktuasi harga minyak di
pasar internasional terhadap perekonomian Indonesia. Beberapa variabel
ekonomi makro yang dipilih untuk melihat pengaruh fluktuasi harga
minyak adalah pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, jumlah uang beredar,
nilai tukar riil rupiah terhadap US dolar dan suku bunga.
(Sumber: Fiskal DEPKEU)
II. Pengalihan Subsidi BBM
Sumber : Detik.com
Solar Rp 6.200/Liter, Menteri ESDM: Pemerintah Untung Jualan BBM
Jakarta -Pemerintah dan Komisi VII DPR kembali melanjutkan
rapat pembahasan asumsi APBN di sektor energi. Salah satu yang dibahas
adalah, apakah pemerintah akan menurunkan harga solar subsidi.
"Sidang ini tadi malam ditunda, kita cabut skorsnya. Seperti yang
kita sepakati kemarin malam. Sudah ada yang disepakati berapa harga
alpha BBM Rp 1.000/liter, subsidi tetap Rp 1.000/liter untuk solar, dan
penetapan harga BBM setiap sebulan sekali, serta tambahan kuota BBM
harus seizin DPR. Tapi ada satu yang belum, yakni terkait harga BBM
yang turun, silahkan Pak Menteri untuk menyampaikan," ujar Ketua
Komisi VII DPR ketika membuka rapat, di Ruang Komisi VII DPR, Rabu
(4/2/2015).
Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, pemerintah mendukung
usulan Komisi VII DPR terkait penurunan harga solar. Namun melihat
kondisi harga minyak akhir-akhir ini sudah mulai naik lagi, sulit untuk
menurunkan harga solar.
"Harga minyak sudah rebound. Terkait berapa harga BBM-nya,
kami minta izin Pak Dirut Pertamina untuk menyampaikan harga BBM
kondisi saat ini," ujar Sudirman.
Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto mengungkapkan, bila
melihat patokan harga minyak (MOPS/Mean of Plats Singapore) rata-rata,
pada 25 Desember hingga 24 Januari 2015 adalah US$ 63,74 per barel,
dengan kurs Rp 12.507/US$. Sehingga harga minyak Rp 5.138 per liter.
"Namun, karena ada 40% produksi BBM dari kilang minyak dalam
negeri, produksinya lebih mahal 12,5%. Sehingga dengan komponen ini
dimasukkan, harga minyak Rp 5.258 per liter, ditambah alpha Rp 6.258
per liter. Kemudian ditambah PPN 10% dan PBBKB (pajak bahan bakar
kendaraan bermotor) 5% menjadi harga jual solar keekonomian Rp
7.194,6 per liter atau dibulatkan Rp 7.200/liter. Lalu diberi subsidi Rp
1.000/liter, maka harga solar Rp 6.200/liter. Tapi kami akan manut apa
pun yang diperintahkan pemerintah," jelas Dwi.
Namun, walaupun harga solar hari ini Rp 6.200/liter, pemerintah
mengambil sikap tidak lagi menurunkan harga solar untuk saat ini.
"Dengan pertimbangan Wakil Presiden dan diskusi dengan Menko
Perekonomian, Menteri Keuangan, dan Menteri BUMN, pemerintah
memilih untuk tetap menetapkan harga BBM saat ini Rp 6.400/liter.
Artinya ada laba bersih (keuntungan) dari penjualan BBM saat ini," kata
Sudirman.
"Laba bersih itu akan digunakan pemerintah untuk
membangun storage (tangki) dan cadangan BBM nasional. Langkah
ini juga sebagai implemtasi dukungan banyak pihak termasuk
parlemen atau DPR, agar pembangunan strategic stock BBM bisa
dilakukan." tutupnya.
Sumber : Opini Buletin Dakwah Al-Islam
Demi Rakyat?
Semua pihak, baik yang mendesak agar harga BBM dinaikkan
maupun Pemerintah yang kali ini menolak, sama-sama mengatasnamakan
rakyat.
Menko perekonomian Chaerul Tanjung mengungkapkan, pada akhir
masa jabatannya, kenaikan harga BBM tidak akan dilakukan Pemerintah
SBY. Apalagi dalam dua tahun belakangan Pemerintah sudah menaikkan
beberapa komoditas.Di antaranya: harga BBM naik 33 persen pada 2012;
tarif dasar listrik (TDL) naik pertiga bulan sejak tahun lalu; dan dalam
waktu dekat ada rencana menaikan harga gas elpiji 12 kilogram.
“Pemerintah tidak ingin membebani masyarakat,” katanya (Republika,
27/8).
Sebaliknya, dari tim Jokowi-JK di bidang Ekonomi, Arif
Budimanta, mengungkapkan alasan PDIP sepakat menaikkan harga BBM
subsidi tahun ini. Menurut dia, jika subsidi BBM ini tetap diteruskan,
pendidikan sampai 12 tahun tidak berjalan; pembangunan rumah sakit dan
penjaminan kesehatan juga tidak akan bertambah.”Kalau mau
meningkatkan kemakmuran rakyat, tinggal pilih: kita mau meningkatkan
di sektor produktivitas, pendidikan, kesehatan, infrastruktur atau hanya
sekadar memikirkan kepentingan subsidi kendaraan,” kata Arif
(Tribunnews.com, 1/9).
Tentu kita semua masih ingat, Pemerintah SBY tahun 2012
menaikkan harga BBM 33% dengan alasan demi rakyat. Alasannya,
besaran subsidi BBM telah membebani APBN. Anggaran pembangunan
pun jadi minim. Karena itu dijanjikan, pengurangan subsidi BBM akan
dialihkan untuk pembangunan. Alasan dan dalih yang sama sekarang
digunakan oleh mereka yang mendesak agar harga BBM dinaikkan.
Harus diingat, PDIP yang saat ini mendesak kenaikan harga BBM,
tahun 2012 sangat getol menolak kenaikan harga BBM, bahkan dengan
mengerahkan massa. Alasannya, kenaikan harga BBM akan menyusahkan
rakyat. Sekarang, alasan yang sama dipakai oleh Pemerintah SBY untuk
menolak desakan kenaikan harga BBM.
Semua itu membuktikan bahwa alasan ‘atas nama rakyat’ dan ‘demi
kepentingan rakyat’ itu hanya dijadikan bahan jualan saja.
Sama-Sama Rezim Neolib
Salah satu ciri rezim neo-liberal (neolib) adalah terus
mempermasalahkan (besaran) subsidi. Kebijakan rezim ini adalah
mengurangi bahkan menghapus subsidi. Jika ciri ini diterapkan pada
pemerintah lama dan pemerintah baru mendatang, jelaslah keduanya sama-
sama rezim neolib.
Pemerintah SBY telah membuktikan diri sebagai rezim neolib.
Besaran subsidi terus dikurangi. Beberapa jenis subsidi bahkan sudah
dihilangkan. Kenaikan harga BBM rata-rata 33% pada 2012 lalu
menegaskan sifat neolib itu.
Pemerintah baru, Pemerintah Jokowi, sejak awal telah menegaskan
diri sebagai rezim neolib. Belum memerintah, Jokowi dan parpol
pendukungnya telah menegaskan sifat neolib itu dengan menyetujui
bahkan mendesak Pemerintah SBY agar menaikkan harga BBM tahun ini.
Ketika desakan itu tidak dituruti, Jokowi menegaskan bahwa
pemerintahannya akan menaikkan harga BBM.
Jokowi mengatakan bahwa menaikkan harga BBM merupakan jalan
satu-satunya untuk menekan defisit anggaran. “Sudah bolak-balik saya
sampaikan bahwa untuk menekan defisit anggaran pada tahun 2015 itu
memang jalan satu-satunya di situ. Kamu harus mengerti dong, subsidi
BBM itu gede banget, 400 triliun, bahkan 433 triliun untuk tahun depan,”
ujar Jokowi (Tribunnews.com, 30/8).
Jika opsi (pilihan) ini diambil, itu akan dilakukan pada November
2014 atau setelah Januari 2015. Opsi kenaikannya antara 500-3000 rupiah
perliter (Kontan.co.id, 1/9). Boleh jadi, kenaikan harga BBM akan menjadi
‘kado pertama’ dari Jokowi-JK untuk rakyat.
Subsidi untuk Pihak Asing
Dalam pandangan Pemerintah, yang disebut subsidi BBM adalah
saat BBM dijual di bawah harga pasar internasional. Jika demikian
maknanya, maka selama ini Pemerintah terus mensubsidi pihak asing
seperti Cina, Korea, Jepang, AS dan lainnya. Mengapa? Karena
Pemerintah menjual gas tersebut jauh di bawah harga pasar internasional.
Gas Blok Tangguh sejak masa Megawati dijual ke Cina melalui kontrak
25 tahun dengan harga jauh di bawah harga internasional. Saat itu
harganya hanya US$ 2,7 per MMBTU. Lalu naik menjadi US$ 3,5 per
MMBTU. Harga internasionalnya saat itu adalah US$ 15-18 per MMBTU.
Kerugian negara atas penjualan gas murah ke Cina itu diperkirakan sekitar
Rp 500 triliun pertahun (Tribunnews.com, 12/3).
Artinya, Pemerintah Indonesia mensubsidi Cina sekitar US$ 12 per
MMBTU gas. Awal Juli lalu, Pemerintah mengklaim sukses
merenegosiasi harga gas ke Cina menjadi US$ 8 per MMBTU
(Detik.finance, 30/6). Meski naik, subsidi ke Cina masih besar sekitar US$
10 per MMBTU. Begitu juga subsidi ke Korea. Harga jual gas Tangguh ke
Korea hanya US$ 4,1 per MMBTU. Hal ini juga terjadi pada harga jual
gas ke Jepang dan AS.
Alasan Dusta!
Menaikkan harga BBM diklaim sebagai satu-satunya jalan karena
tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan APBN. Alasan itu dipakai
Pemerintahan SBY kala itu dan ditolak oleh PDIP. Sekarang, alasan yang
sama dipakai Jokowi dan PDIP. Namun, alasan dulu atau sekarang sama
saja: sama-sama dusta! Masih banyak jalan lain.
Sebelum Pilpres, menurut tim ekonomi Jokowi-JK, Darmawan
Prasodjo, untuk mengatasai masalah subsidi BBM, di antara langkah
pertama Jokowi adalah janji bahwa pemerintahannya akan fokus
mengurangi kebocoran-kebocoran akibat penyelundupan BBM ke luar
negeri. Ada kebocoran penggunaan BBM karena adanya penyelundupan
sebesar 15% atau sekitar Rp 42 triliun. Jika pengawasan kepada aparat
daerah diperkuat, setidaknya Rp 42 triliun itu bisa dihemat. Lalu pada
tahun pertama akan dimulai konversi BBM yang mahal ke gas yang
murah. Selain itu, pemborosan 20% BBM bersubsidi juga akan ditekan
dengan memperbanyak transportasi publik (Kontan.co.id, 12/6/14).
Jokowi juga berjanji akan memotong subsidi energi secara bertahap.
Contohnya adalah penggunaan bahan bakar untuk pembangkit listrik milik
PLN yang mesti diganti dari BBM ke gas atau batubara. ”Itu sudah
menghemat sekitar Rp 70 triliun,” katanya (Kompas.com, 16/8).
Pemerintahan Jokowi juga berjanji akan: memberantas mafia minyak
yang disoal banyak pihak; membeli minyak mentah dan olahan langsung
dari produsen, tidak melalui broker seperti selama ini; membangun kilang
di dalam negeri; mengurangi anggaran perjalanan yang di RAPBN 2015
sebesar 32 triliun; mengganti BBM dengan gas untuk pembankit PLN
yang selama ini memang sudah siap memakai gas; mengalihkan
pembayaran bunga utang termasuk bunga utang obligasi rekap BLBI;
mengefisienkan belanja pegawai termasuk dengan merampingkan lembaga
dan jabatan yang tumpang-tindih; dan jalan lainnya.
Pertanyaannya: seriuskah janji-janji itu akan diwujudkan?
Demi Para Kapitalis dan Pihak Asing
Yang jelas, kenaikan harga BBM pasti membuat rakyat susah. Jika
harga BBM naik, harga transportasi pasti naik; harga bahan baku naik;
harga semua kebutuhan pasti akan naik dan inflasi akan naik. Akibatnya,
daya beli rakyat turun. Yang paling terdampak adalah rakyat dengan
pendapatan pas-pasan. Kenaikan harga BBM akan menambah jutaan
jumlah orang miskin.
Jika pun benar pengurangan subsidi dialihkan untuk pembangunan
infrastruktur, yang pertama-tama untung adalah para kapitalis dan pihak
asing. Pasalnya, Jokowi senang menyerahkan pembangunan infrastruktur
kepada pihak asing. Pembangunan MRT, misalnya, diserahkan ke Jepang;
pengadaan Bus Transjakarta dan kereta monorel diserahkan ke Cina.
Pengurangan subsidi juga diklaim untuk menciptakan pertumbuhan.
Ini pun akan lebih banyak dinikmati oleh orang kaya dan para kapitalis.
Pasalnya, rasio gini terus meningkat. Pada 2012 saja rasio gini sebesar
0,41. Artinya, 1% penduduk menikmati 41% pendapatan, kekayaan atau
sumberdaya.
Jika harga BBM naik, yang langsung untung adalah pihak asing
pelaku bisnis eceran BBM. Jika harga BBM naik, orang akan belanja
BBM ke SPBU asing seperti Shell dan Total. Pembeli BBM di SPBU
Pertamina yang BUMN pasti berkurang.
Sebenarnya, pengurangan subsidi termasuk kenaikan harga BBM
adalah amanat liberalisasi dalam LoI IMF, Januari 2000. Pengurangan
subsidi sekaligus merupakan perintah Bank Dunia dan syarat pemberian
utang (Indonesia Country Assistance Strategy, World Bank, 2001).
Bank Dunia bahkan sudah mewanti-wanti: pemenang Pemilu harus
menaikkan BBM. Direktur Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo A.
Chaves mengatakan, Bank Dunia ingin agar pemerintahan yang baru bisa
mengurangi subsidi BBM. “Tidak terlalu penting siapa yang menang.
Yang diperhatikan adalah bagaimana mereka yang terpilih menerapkan
kebijakan. Salah satunya, siapa nantinya yang berani mengurangi subsidi
BBM,” ujar Chaves (Detikfinance, 21/7/2014).
Alhasil, demi para kapitalis dan pihak asinglah sesungguhnya
kenaikan harga BBM itu dilakukan meski harus dengan mengorbankan
rakyat banyak.
III. Seberapa Besar Pengaruh Kenaikan BBM Terhadap Harga Bahan
Pokok
Gejolak harga minyak dunia sebenarnya sudah mulai terlihat sejak tahun
2000. Tiga tahun berikutnya harga terus naik seiring dengan menurunnya
kapasitas cadangan. Ada sejumlah faktor penyebab terjadinya gejolak ini, salah
satunya adalah persepsi terhadap rendahnya kapasitas cadangan harga minyak
yang ada saat ini, yang kedua adalah naiknya permintaan (demand) dan di sisi lain
terhadap kekhawatiran atas ketidakmampuan negara-negara produsen untuk
meningkatkan produksi, sedangkan masalah tingkat utilisasi kilang di beberapa
negara dan menurunnya persediaan bensin di Amerika Serikat juga turut
berpengaruh terhadap posisi harga minyak yang terus meninggi (Republika
Online, Selasa 28 Juni 2005).
Hal ini kemudian direspon oleh pemerintah di beberapa negara di dunia
dengan menaikkan harga BBM. Demikian juga dengan Indonesia, DPR akhirnya
menyetujui rencana pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak pada
hari Selasa 27 September 2005 sebesar 50 %. Kebijakan kenaikan harga BBM
dengan angka yang menakjubkan ini tentu saja menimbulkan dampak yang
signifikan terhadap perekonomian sehingga kebijakan ini menimbulkan banyak
protes dari berbagai kalangan. Keputusan pemerintah menaikkan harga bensin,
solar dan minyak tanah sejak 1 Oktober 2005 akibat kenaikan harga minyak
mentah dunia hingga lebih dari 60 Dolar AS per barel dan terbatasnya keuangan
pemerintah ini direspon oleh pasar dengan naiknya harga barang kebutuhan
masyarakat yang lain. Biaya produksi menjadi tinggi, harga barang kebutuhan
masyarakat semakin mahal sehingga daya beli masyarakat semakin menurun.
Secara makro cadangan devisa negara banyak dihabiskan oleh Pertamina untuk
mengimpor minyak mentah. Tingginya permintaan valas Pertamina ini, juga
menjadi salah satu penyabab terdepresinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
(metrotvnews.com, 28 September 2005).
Lamanya waktu penantian akan kepastian naiknya harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) telah berdampak pada terdistorsinya pasar. Rencana pemerintah
untuk menaikkan harga BBM mengakibatkan ekspektasi naiknya beberapa
komoditas secara berlebihan. Kenaikan harga BBM akan berdampak luas pada
seluruh aktifitas perekonomian rakyat (kecil, menengah dan besar) dan dirasakan
oleh lapisan masyarakat yang berada diposisimenengah kebawah. Kenaikan harga
BBM telah memicu kenaikan harga-harga bahan pokok, padahal sebelumnya
bahan pokok telah melonjak harganya karena krisis pangan dunia. Demikian pula
dengan situasi Industri nasional yang sangat tergantung pada pasokan bahan bakar
BBM, akan terpukul dan tergilas dengan badai krisis. Akibatnya adalah
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal dan efisiensi. Harga BBM adalah
dasar penentuan harga komoditi lain (price list). Jadi kalau BBM naik, maka harga
komoditi lainnya pun akan ikut naik.
Kenaikan harga BBM akan selalu di ikuti dengan kenaikan harga-harga
bahan pokok yang kemudian dapat meningkatkan laju inflasi. Selain itu, kenaikan
BBM juga akan memicu para spekulan untuk melakukan penimbunan bahan
pokok, hal ini dapat memunculkan keresahan karena kelangkaan barang dan
melambungnya harga-harga bahan pokok (Yuliwidy : 2004).
Menurut Prof Sri Edi Swasono, dalam buku yang berjudul “Politik
Harga BBM Ekplorasi Politik Kebijakan Subsidi Harga BBM
Pemerintahan SBY-JK” yang ditulis oleh Debby Wage Indriyo,
mengatakan bahwa dampak kenaikan harga BBM dirasakan oleh seluruh
masyarakat. Terjadi penurunan daya beli masyarakat sampai 8 % untuk
golongan ekonomi kuat dan 30 %untuk golongan ekonomi lemah. Bagi
rakyat miskin kenaikan harga BBM terasa sangat menyakitkan.
Pemerintah tentu saja sudah mengantisipasi hal tersebut. Untuk itu setiap
kenaikan BBM diriingi dengan pemberian BLT (Bantuan Langsung Tunai)
dan program pengentasan kemiskinan sebagai ganti subsidi terhadap BBM
untuk melindungi rakyat miskin agar tidak terjerembab dalam jurang
kemiskinan.
Pemerintah menganggap subsidi BBM justru mengambil hak orang
miskin karena paling banyak dirasakan yang kaya. Karena itulah
pemerintah mengalihkannya pada dana pengentasan kemiskinan. Kenaikan
subsidi dikarenakan kenaikan harga minyak dunia. APBN dinilai
pemerintah tidak sanggup lagi mensubsidi BBM. Untuk menutup anggaran
yang begitu besar terhadap subsidi BBM maka pemerintah melakukan
pengurangan subsidi dan menaikan harga dengan kisaran rata-rata di atas
100%.
Pemerintah secara terang-terangan menyatakan merealokasikan dana
dari subsidi yang diambil itu untuk pemenuhan anggaran kebijakan lain
seperti kesehatan, pendidikan, pengembangan UKM sebagai upaya
pengentasan kemiskinan. Pemerintah mencoba mengembangkan persepsi
dengan pencabutan subsidi akan menaikkan kesejahteraan rakyat.
Dinyatakan oleh kepala Bappenas, Sri Mulyani, dan di dukung oleh
sejumlah intelektual yang tercantum dalam iklan yang dipasang Freedom
Institute, “Mengapa Kami Mendukung Pengentasan Subsidi BBM?”
(Kompas, 26 Februari 2005).
Dinyatakan bahwa dengan pencabutan subsidi BBM akan
meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana rasionalitas menurut
perhitungan yang dilakukan oleh LPEM-FEUI.
Pada tahun 2000, realisasi subsidi BBM naik secara drastis. Langkah
pengurangan subsidi ini juga dilakukan dengan jalan menaikkan harga
BBM. Upaya lain yang dilakukan seperti penghematan dan efisiensi dalam
pemerintahan tidak pernah dilakukan. Dalam pembahasan APBN 2001,
pemerintah juga menyepakati kesimpulan tentang langkah pengurangan
subsidi, sebagai berikut :
Untuk mengurangi beban Anggaran Belanja Negara, pada tahun
Anggaran 2001 sebsidi BBM akan dikurangi secara selektif, dengan
kelompok sasaran yang tepat, yaitu kelompok mesyarakat yang
berpendapatan rendah. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk
mengurangi distorsi (inefisiensi) dalam perekonomian, serta dapat
dilakukan konversi dan penghematan penggunaan energi, dengan tetap
mempertimbangkan aspek efisiensi energi dan efektivitas mekanisme
pelaksanaannya (Pembahasan APBN, “Politik Harga BBM”, 2001, hlm.
30-31).
Mengatasi masalah BBM dengan menaikkan harga karena harga
minyak dunia yang terus membumbung tinggi selalu saja mendapat
perlawanan dari masyarakat. Mereka yang kontra terhadap kenaikan BBM
menuding langkah pemerintah menaikkan harga BBM adalah penyebab
terjadinya penambahan jumlah angka kemiskinan.
Hal ini cukup masuk akal karena kenaikan BBM berdampak pada
naiknya seluruh kebutuhan pokok.
Penelitian mengenai harga, threshold dan subsidi BBM di Indonesia.
Hasilnya kenaikan BBM yang ditanggung masyarakat akibat penerapan
kebijakan pencabutan subsidi, tidak selinier keuntungan yang diperoleh
pemerintah. Pencabutan subsidi yang tidak disertai dengan pertumbuhan
ekonomi akan berdampak buruk terhadap daya beli masyarakat (Hariadi,
2004 : 4).
Penanganan Inflasi secara Makro
Kebijakan pemerintah untuk menaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) dalam negeri akan menyebabkan perubahan perekonomian secara
signifikan. Kenaikan BBM ini akan diikuti oleh meningkatnya harga
kebutuhan barang-barang dan jasa-jasa bagi masyarakat. Kenaikan harga
barang dan jasa tersebut akan menyebabkan tingkat inflasi di Indonesia
mengalami kenaikan dan kemungkinan dapat mempersulit perekonomian
rakyat utamanya masyarakat yang berpenghasilan tetap.
Apabila benar akan terjadi kenaikan harga BBM di Indonesia pada
periode Presiden terpilih saat ini, akan berpengaruh terhadap permintaan
(demand) dan penawaran (supply). Permintaan adalah keinginan yang
disertai dengan kesediaan serta kemampuan untuk membeli barang yang
bersangkutan (Salvatore). Sementara penawaran adalah banyaknya jumlah
barang dan jasa yang ditawarkan oleh produsen pada tingkat harga dan
waktu tertentu.
Permintaan dari masyarakat akan berkurang karena harga barang
dan jasa yang ditawarkan mengalami kenaikan. Begitu juga dengan
penawaran, akan berkurang akibat permintaan dari masyarakat menurun.
Harga barang-barang dan jasa-jasa menjadi melonjak akibat dari naiknya
biaya produksi dari barang dan jasa (Samuelson). Ini adalah imbas dari
kenaikan harga BBM. Hal ini sesuai dengan hukum permintaan, “Jika
harga suatu barang naik, maka jumlah barang yang diminta akan turun,
dan sebaliknya jika harga barang turun, jumlah barang yang diminta akan
bertambah”.
Masalah lain yang akan muncul akibat dari kenaikan harga BBM
adalah kekhawatiran akan terhambatnya pertumbuhan ekonomi (Mankiw).
Ini terjadi karena dampak kenaikan harga barang dan jasa yang terjadi
akibat komponen biaya yang mengalami kenaikan. Kondisi perekonomian
Indonesia juga akan mengalami masalah. Daya beli masyarakat akan
menurun, munculnya pengangguran baru, dan sebagainya.
Inflasi yang kemungkinan akan terjadi bilamana akibat adanya
kenaikan harga BBM tidak dapat atau sulit untuk dihindari, karena BBM
adalah unsur vital dalam proses produksi dan distribusi barang. Disisi lain,
kenaikan harga BBM juga tidak dapat dihindari, karena membebani
APBN. Sehingga Indonesia akan menemui kesulitan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, baik melalui variabel tingkat investasi, maupun
variabel makroekonomi lain yang dapat memajukan kondisi ekonomi
nasional.
Dengan naiknya tingkat inflasi, diperlukan langkah-langkah atau
kebijakan-kebijakan untuk mengatasinya, demi menjaga kestabilan
perekonomian nasional. Diperlukan kebijakan pemerintah, melalui Bank
Sentral yaitu Bank Indonesia untuk mengatur jumlah uang yang beredar di
masyarakat. Jumlah uang yang beredar di masyarakat tentu saja akan
berhubungan dengan tingkat inflasi yang terjadi, dan banyaknya uang yang
beredar di masyarakat ini adalah sebagai dampak konkret dari adanya
kenaikan harga BBM.
Bank Indonesia selaku lembaga yang memiliki wewenang untuk
mengatasi masalah terkait dengan kebijakan ekonomi moneter, selain
pemerintah tentunya, bertugas untuk mengatur jumlah uang yang beredar
di masyarakat. Salah satu langkah yang dilakukan untuk mengatasi inflasi
ini adalah dengan mengatur tingkat suku bunga. Kebijakan menaikan dan
menurunkan tingkat suku bunga ini dikenal dengan sebutan politik
diskonto yang merupakan salah satu instrumen kebijakan moneter.
Jika terjadi kenaikan harga BBM, maka akan terjadi inflasi.
Terjadinya inflasi ini tidak dapat dihindari karena bahan bakar, dalam hal
ini premium, merupakan kebutuhan vital bagi masyarakat, dan merupakan
jenis barang komplementer. Meskipun ada berbagai cara untuk mengganti
penggunaan BBM, tapi BBM tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat sehari-hari.
Inflasi akan terjadi apabila subsidi BBM dicabut, harga BBM akan
naik. Masyarakat mengurangi pembelian BBM. Uang tidak tersalurkan ke
pemerintah tapi tetap banyak beredar di masyarakat. Jika harga BBM naik,
harga barang dan jasa akan mengalami kenaikan pula. Terutama dalam
biaya produksi. Inflasi yang terjadi dalam kasus ini adalah “Cost Push
Inflation”. Karena inflasi ini terjadi karena adanya kenaikan dalam biaya
produksi. Ini jika inflasi dilihat berdasarkan penyebabnya. Sementara
jika dilihat berdasarkan sumbernya, yang akan terjadi adalah “Domestic
Inflation”, sehingga akan berpengaruh terhadap perekonomian dalam
negeri.
Kenaikan harga BBM berdampak pada meningkatnya inflasi. Dampak dari
terjadinya inflasi terhadap perekonomian nasional adalah sebagai berikut:
a) Inflasi akan mengakibatkan perubahan output dan kesempatan kerja
di masyarakat,
b) Inflasi dapat mengakibatkan ketidak merataan pendapatan dalam
masyarakat,
c) Inflasi dapat menyebabkan penurunan efisiensi ekonomi.
Pemerintah dapat melakukan beberapa hal untuk menangani inflasi.
Pemerintah dapat melakukan penanganan inflasi melalu kebijakan moneter
dan kebijakan fiskal.
a. Kebijakan Moneter
1. Politik Diskonto
Untuk mengatasi terjadinya inflasi, maka bank sentral harus
mengurangi jumlah uang yang beredar dengan cara bank sentral akan
menaikan tingkat suku bunga pinjaman kepada bank umum. Kebijakan
ini juga disebut dengan Rediscount Policy atau kebijakan suku bunga.
Dengan menaikkan suku bunga, masyarakat akan cenderung
berkeinginan untuk menyimpan uangnya di bank, oleh karena itu
jumlah uang yang beredar di masyarakat akan berkurang.
2. Politik Pasar Terbuka (Open Market Policy)
Dalam politik pasar terbuka, bank sentral akan menjual (jika terjadi
inflasi) atau membeli (jika terjadi deflasi) surat-surat berharga kepada
masyarakat, sehingga ada arus uang yang masuk dari masyarakat ke
bank sentral.
3. Menaikan Cash Ratio (Persediaan Kas)
Cash Ratio merupakan perbandingan antara kekayaan suatu bank
dengan kewajiban yang harus dibayarkan. Untuk mengatasi inflasi,
bank sentral akan menaikan cadangan kas bank-bank umum sehingga
jumlah uang yang bisa diedarkan oleh bank umum kepada masyarakat
akan berkurang.
4. Kebijakan Kredit Selektif (Selective Credit Control)
Untuk mengatasi inflasi atau mengurangi jumlah uang yang beredar di
masyarakat, maka diambil kebijakan memperketat kredit atau
pinjaman bagi masyarakat.
5. Margin Requirements
Kebijakan ini digunakan untuk membatasi penggunaan untuk tujuan-
tujuan pembelian surat berharga.
b. Kebijakan Fiskal
Dalam kebijakan fiskal, untuk mengatasi inflasi pemerintah harus
mengatur penerimaan dan pengeluaran yang dilakukan pemerintah. Dalam
hal penerimaan, pemerintah bisa menaikan tarif pajak, sehingga jumlah
penerimaan pemerintah meningkat. Kebijakan yang kedua adalah
Expenditure Reducing, yakni mengurangi pengeluaran yang konsumtif,
sehingga akan mempengaruhi terhadap permintaan (Demand Full
Inflation).
Dampak fluktuasi harga BBM
Dengan kebijakan pemerintah yang baru-baru ini muncul, harga
bbm membingungkan masyarakat. Harga BBM sering kali mengejutkan
pada setiap akhir ataupun awal bulan. Tidak dapat diprediksi, tiba tiba
harga BBM khususnya jenis premium dapat naik ataupun turun pada setiap
bulannya. Harga bahan bakar minyak (BBM) sebelum masa pemerintahan
presiden Jokowi harganya selalu tetap tiap bulan, tidak seperti saat ini.
Sebelum masa pemerintahan presiden Jokowi, setiap ada kenaikan BBM,
pemerintah diharuskan untuk meendapatkan suatu persetujuan dari DPR.
Namun, saat ini harga BBM tidak dapat diprediksi setiap bulannya dan
mulai membuat masyarakat bingung. Sebenarnya mekanisme seperti ini
sudah terlebih dahulu dilaksanakan di negara tetangga seperti Malaysia
ataupun Singapura. Namun, masyarakat Indonesia sudah lebih senang
dengan harga BBM yang stabil dibanding yang berfluktuasi seperti saat
ini. Harga yang berfluktuasi dapat mengakibatkan ketidakstabilan
ekonomi. Setiap harga BBM naik, dengan kondisi psikologis masyarakat
kita yang sekarang, harga-harga kebutuhan lain pun juga akan ikut naik.
Namun, di saat harga BBM turun, kecenderungan untuk menurunkan
harga sangat sulit dilakukan. Hal ini akan menyebabkan keresahan pada
masyarakat khususnya kalangan menengah ke bawah karena mereka
belum banyak mengetahui akan mekanisme naik turunnya harga BBM
seperti saat ini.
Sebagai contoh, saat BBM naik (khususnya jenis premium), maka tarif
angkutan umum pun akan naik. Naiknya tarif angkutan umum ini berimbas pada
masyarakat golongan menengah ke bawah yang bergantung pada transportasi
publik untuk transportasi sehari-harinya. Naiknya tarif angkutan umum akan
menambah beban anggaran belanja mereka. Belum lagi, kenaikan harga BBM
biasanya juga diikuti dengan naiknya harga bahan-bahan kebutuhan pokok seperti
sayuran, beras ataupun lauk-pauk. Naiknya harga kebutuhan pokok ini disebabkan
karena ongkos kirim yang juga bertambah. Harga ongkos kirim yang naik ini
dikarenakan harga bahan bakar untuk kendaraan pengangkutnya bertambah.
Kondisi psikologis masyarakat yang masih berpikiran bahwa setiap ada kenaikan
harga BBM juga pasti diikuti harga-harga kebutuhan lain harus diubah. Memang
harga BBM memegang peran dalam penentuan harga suatu barang karena BBM
merupakan sumber energi utama untuk menggerakan roda industri. Tetapi, dengan
kenaikan harga BBM yang hanya 500 rupiah dapat menaikan harga barang lebih
dari 500 rupiah. Hal ini dirasa kurang masuk akal karena harga BBM bukan satu-
satunya penentu harga kebutuhan pokok maupun harga tarif angkutan umum.
Pemerintah diharuskan membuat suatu regulasi agar dapat menstabilkan harga
ditengah fluktuasi harga BBM.
Pengontrolan harga sembako dan tarif angkutan umum bisa dilakukan
pemerintah agar masyarakat tidak terlalu terkaget kaget setiap ada kenaikan harga
BBM. Hal-hal yang bisa dilakukan pemerintah adalah:
1. Menetapkan batas atas tarif angkutan umum setiap ada
kenaikan/penurunan harga BBM.
2. Melakukan operasi pasar untuk menstabilkan harga sembako setiap ada
kenaikan ataupun penurunan harga BBM.
3. Melakukan sosialisasi sebelum adanya kenaikan harga bbm paling tidak
seminggu sebelum harga naik/turun agar masyarakat dapat dengan lebih
siap menghadapi harga BBM yang akan naik/turun.
Selain tiga poin di atas, diperlukan pula perubahan cara pandang di
masyarakat bahwa kenaikan harga BBM tidak sepenuhnya mempengaruhi
kenaikan harga-harga kebutuhan lain seperti sembako ataupun tarif angkutan
umum.
DAFTAR PUSTAKA
Mankiw, N. Gregory. (2006). Makroekonomi Edisi-6. Jakarta: Erlangga.
Salvatore Dominick, (2006) Microeconomics, Schaums Outlines, Fourth
Editions, Mc GrawHill-Inc
Samuelson, Paul A. dan William D. Nordhaus. (1986). Ekonomi Edisi Ke-12.
Jakarta: Erlangga.
Soebagyo Daryono (2012), Perekonomian Indonesia, PPE-FEB UMS
Soebagyo Daryono, (2012), Analisis Pembiayaan Defisit Anggaran di Indonesia,
Disertasi (S3), Tidak Dipublikasikan, PDIE-UB, Malang
Soebagyo Daryono (2013), Peranan Ilmu Ekonomi Sebagai Landasan
Perekonomian Bangsa dan Negara, Diskusi Eksternal HMJ Manajemen
FEB UMS, 30 September 2013 di hall FEB UMS
Wahyuningsih, Endang. (2012). Dampak Kenaikan Harga Minyak Terhadap
Kondisi Ekonomi Indonesia. [Online].