DAFTAR ISI
RUANG REDAKSI -1
Scriptura
ESAI -2
Seni dan Mahasiswa
(Ragil Sukriwul)
CERPEN -7
Carlos
(Januario Gonzaga)
Dua Wanita, Dua Cinta
(Diana D. Timoria)
Dua Rupa
(Derry Saba)
PUISI -28
Mario F Lawi
Hiro Nitsae
Cecilia Novianti Salsinha
Lauh Sutan Kusnandar
Kiki Sulistyo
Saddam HP
KUSU-KUSU -39
Hanya Tuhan Sa yang Tau...
(Amanche Franck Oe Ninu)
PROFIL_____ -41
Joko Pinurbo
Dari Celana hingga Puitwit
RESENSI -43
Krisis Manusia Modern
(Mezra E. Pellondou)
KARIKATUR -52
ISSN: 2252-7931
Scriptura : Cebongan, Sleman
Perang yang sia-sia adalah umpama belaka sebab kita senantiasa mencoba mengacuhkan penaklukan dengan bongkahan doa yang sabar dari dalam kobaran hati yang remuk redam. Bertahun-tahun kita belajar membiarkan garis tangan menentukan arah takdir, namun sekuat itu jemari kita menerka-hitung denyut kehidupan di titik nadir. Waktu yang kita timbun dalam tong kosong tentulah pernah berbunyi lebih nyaring daripada suara letupan dan titik api di ujung laras. Kita adalah sekumpulan orang yang paling lihai menyembunyikan kematian dengan senyum, menafikan luka dengan sebotol keberuntungan, atau sebaliknya, sedangkan di belakang kita, para pelayat telah menunggu acara penguburan dilangsungkan. Hidup dalam kehampaan adalah menyusun requiem dengan nada-nada yang tiada pernah kita petik dari keabadian tapi dengan begitu tinggi kita unjukkan nyanyiannya ke puncak menara api. Senantiasa, kita mungkin tak lebih dari sekadar umpama, tapi betapa kita adalah lembaran-lembaran kitab yang jelas dibaca oleh segala yang berlalu dan segala yang kemudian.
(Naimata, 2013)
RUANG REDAKSI
SANTARANG
Jurnal Sastra
Diselenggarakan dan diterbitkan oleh Komunitas Sastra Dusun Flobamora
Pelindung/ Penasehat:
Rm. Sipri Senda, Pr & Dr. Marcel Robot
Penanggungjawab:
Amanche Franck OE Ninu, Pr. & Patris Allegro Neonnub, Pr.
Pemimpin Redaksi: Mario F Lawi|Pengasuh Rubrik: Esai:
Januario Gonzaga|Cerpen: Djho Izmail|Puisi: Christian Dicky Senda|
Kusu-kusu: Amanche Franck|Profil: Arky Manek|Resensi: Saddam HP|
Lay-out: Abdul M. Djou|Karikatur: Etho Kadji|Ilustrasi Isi: Mando|
Email redaksi: [email protected]
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esai, resensi, cerpen dan
puisi. Lampirkan biodata narasi di akhir tulisan yang dikirim.
RUANG REDAKSI
Edisi April 2013 1
Seni dan Mahasiswa (Sekelumit Dinamika Kesenian Malang Kontemporer)
Ragil Sukriwul
Pengantar
Esai ini dapat digunakan sebagai refleksi bagi dinamika kesenian NTT
yang kini sedang marak bergerak dan bertumbuh, khususnya basis-basis
komunitas kesenian yang dibangun oleh kaum muda dan mahasiswa (red.)
Kesenian modern Indonesia yang berkembang dalam situasi
kontemporer saat ini seperti selalu berada dalam kondisi terpuruk,
sepi sendiri dan terkesan sangat berjarak dari situasi masyarakat
umum di mana ia berpijak. Bentuk-bentuk seni kontemporer yang
sebenarnya lahir dan terinspirasi dari refleksi-refleksi kemanusiaan
atas kondisi masyarakat kekinian malah sepertinya selalu kehilangan
audiens: karena bahasa ekspresi seninya yang semakin rumit dan
penuh simbolisasi, dianggap tidak komunikatif dan menghibur.
Budaya media dan entertainment, dengan sokongan kapital yang
kuat, sekarang lebih merasuk ke dalam kesadaran publik. Segala
macam hiburan siap saji telah disiapkan stasiun-stasiun televisi dan
production house, yang mampu untuk membetahkan setiap orang
selama berjam-jam di depan televisi. Materi kesenian semisal seni
pertunjukan teater ataupun tari, yang sebenarnya juga merupakan
materi hiburan yang lebih mendidik (edutainment), hanyalah menjadi
kebutuhan rekreasi yang keseratus-sekian dari agenda hidup
kesehariannya. Promosi acara-acara seni pun, yang biasanya hanya
didukung dengan pendanaan yang sangat kecil, pasti akan terus jadi
pecundang ketika harus dikompetisikan dengan iklan-iklan produk
perusahaan-perusahaan besar.
Lumpuh dan mandulnya infrastruktur-infrastruktur kesenian serta
raibnya ruang-ruang publik berkesenian di kota-kota, seperti Malang
misalnya, juga menjadi salah satu faktor pelemah dinamika kesenian
ESAI
KREATIF DAN INSPIRATIF 2
kita. Semakin berkurangnya ruang presentasi dan sosialisasi seni yang
mudah diakses oleh segala lapisan masyarakat, turut memperparah
kondisi keterpurukan ini. Gedung-gedung pertunjukan yang ada
malah beralih rupa menjadi pusat-pusat perdagangan dan bisnis.
Lahan-lahan strategis yang sebenarnya lebih efektif dan baik ekses
sosialnya apabila dibangun menjadi pusat-pusat aktivitas publik dalam
bidang kepemudaan, kemasyarakatan dan tentunya kesenian pun,
malah kembali direnggut oleh kepentingan-kepentingan ekonomi:
seakan-akan, hidup yang hanya sekali di dunia ini hanya demi urusan
ekonomi semata!
Dari sinyalemen dan fenomena kekinian seperti di atas itu
kemudian, di kepala kita masing-masing pasti akan terbersit
pertanyaan: apakah kesenian modern, khususnya di kota Malang ini
telah betul-betul lumpuh dan mati suri? “Oh…tentu tidak!!” jawab
teman saya, seorang seniman muda. Maraknya kemunculan
komunitas-komunitas seni dan ruang-ruang alternatif berkesenian di
sudut-sudut kota Malang serta terus intensnya aktifitas dari unit-unit
kegiatan mahasiswa (UKM) bidang seni di banyak kampus menjadi
penanda jelas bagi denyut nadi kesenian dan salah satu penopang
utama dinamika berkesenian di Malang.
Seni, dalam masyarakat kontemporer yang telah terpolarisasi oleh
ragam ideologi dan selera gaya hidup, pada akhirnya harus terjebak
juga dalam suatu lingkungan spesifik demi menyokong
keberlangsungan eksistensinya. Lingkungan masyarakat kritis dan
terpelajarlah, salah satunya seperti Kampus dengan para
mahasiswanya, yang kemudian memang menjadi segmen potensial
sebagai konsumen tetapnya.
Untuk lebih menikmati dan mencintai seni memang dibutuhkan
lebih dari sekedar selera subyektif yang alakadarnya. Dibutuhkan
sedikit pengetahuan awal tentang bentuk-bentuk seni maupun
sekelumit sejarahnya sehingga kita bisa merengkuh penghayatan dan
pemahaman akan arti dan makna yang cukup utuh dari suatu bentuk
Edisi April 2013
Esai
3
ekspresi kesenian modern. Dan, dalam dinamika pembelajaran di
ruang-ruang akademiklah kebutuhan akan pengetahuan ini sedikit
banyak dapat terpenuhi. Bisa lewat materi-materi intrakurikuler
maupun ekstrakurikuler.
Ragam kampus, dengan unit-unit aktifitas kesenian mahasiswanya
(UKM) yang rutin menggelar acara-acara seni-budaya, terbukti
mampu menciptakan dan menyediakan banyak audiens/penikmat seni
yang sangat apresiatif. Sekaligus juga turut mendukung lahirnya para
seniman dan pekerja seni muda yang militan, yang embrio awalnya
sudah tentu datang dari posisi sebagai apresian yang aktif tersebut.
Malang, yang disebut sebagai kota pendidikan, dengan berpuluh-
puluh universitasnya mengindikasikan dengan jelas opini di atas. Ia
menjadi salah satu kota di Indonesia yang berlahan subur sebagai
tempat bersemainya para seniman muda.
Mereka (baca: mahasiswa) yang aktif dalam kantong-kantong
kesenian kampuslah yang saat ini memiliki peran cukup penting
dalam meramaikan dinamika kesenian kota Malang. Sebagai contoh,
Dalam acara Malang Art Festival 2006 yang pernah diselenggarakan
oleh Dewan Kesenian Kota Malang, peran penting mereka ini terbukti
jelas: sebagai penyaji dominan dalam pertunjukan tunggal, “kuli
gratis” (volunteer) untuk teknis panggung, dan lewat venue acara yang
terbagi ke beberapa kampus. Sehingga, dalam takaran tertentu,
tanggung jawab para aktivis kesenian kampus ini dari tugas yang
diemban mereka dalam acara tersebut malah terkesan jauh melampui
tanggung jawab dan kewajiban yang harusnya datang dari
pemerintah kota Malang sendiri sebagai penanggung jawab acara (?).
Pun hari-hari ini dalam peta dinamika kesenian nasional,
khususnya dalam seni Teater, yang lebih banyak dikenali di luaran
sebagai teater Malang adalah kelompok-kelompok teater kampus
yang ada di beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta di kota
Malang. Kelompok ini diantaranya seperti, Teater Gebog (UNISMA),
Teater Nisbi (UNIGA), Teater K2 (UIN), Teater Hampa (UNM) dan
KREATIF DAN INSPIRATIF
Esai
4
Komunitas-Teater UMM, mereka inilah yang beberapa kali mewakili
dan mengharumkan nama Malang (sekaligus almamaternya) dalam
event-event kesenian skala regional maupun nasional. Belum lagi
kalau kita mau menghitung ragam prestasi dari bidang seni lainnya
seperti sastra, seni lukis, tari dan musik maka daftarnya akan sangat
panjang.
Marak bermunculanya komunitas-komunitas seni/sanggar umum
di Malang yang bergerak dalam bidang Visual-art (seni rupa/lukis,
fotografi, film, etc), Sastra maupun Seni Pertunjukan seperti teater
dan tari kontemporer juga banyak dimotori dan digawangi oleh
alumni dan para eksponen UKM-UKM kesenian. Dari kampuslah,
para seniman-seniman muda ini memperoleh basic-basic dan idealisme
berkesenian mereka yang telah cukup terasah dan terinternalisasi
dengan baik. Kemudian secara automatis digunakan sebagai modal
awal mereka dalam mengembangkan kreatifitas berkarya dan
menghidupi komunitasnya secara independent. Dan akhirnya
kesenian pun menjadi bagian organis dari eksistensi hidup mereka
saat ini.
Yang perlu dicatat kembali, semua perolehan ini tentunya terlebih
hanya lewat proses pembelajaran dan pembacaan mereka sendiri baik
secara komunal dalam unit aktifitasnya maupun secara personal
terhadap dinamika wacana dan perkembangan seni budaya
kontemporer. Bukan karena sistim pembinaan kemahasiswaan yang
ketat dan terarah dari lembaga universitasnya masing-masing.
Pada titik inilah di mana kita mendapati bahwa kelangsungan
derap dinamika kesenian kontemporer saat ini (khususnya Malang)
masih akan sangat tergantung terhadap dinamika kemahasiswaan itu
sendiri: terutama dari UKM-UKM seni dan individu mereka-mereka
yang militan dalam aktifitas berkesenian.
Kalau kita bersepakat dan sepaham bahwasannya Seni harus tetap
hidup dan berkembang untuk terus mewarnai kebudayaan masyarakat
kontemporer saat ini; sebagai penyeimbang jiwa dari kecendrungan
Edisi April 2013
Esai
5
hidup matrealistis,-hedonis dan akibat-akibat dari demoralisasi
prilaku; sebagai salah satu media refleksi manusia demi mendapatkan
makna hidup yang lebih baik maka, di tangan jiwa-jiwa muda yang
kritis dan energik inilah kita menitipkan harapan.
Sebersit terang dari cahaya harap ini telah membentang kalau kita
seksama mencermati sedikit fenomena yang telah saya ungkapkan di
atas. Sekarang tinggal bagaimana respon balik dari pihak-pihak
terkait dalam menyongsong sinar terang ini, termasuk dari lembaga-
lembaga universitas itu sendiri dalam memberikan sokongan
pembinaan yang semoga semakin lebih baik dari yang kemarin.
Apakah salah jikalau seorang sarjana ekonomi akhirnya harus jadi
pelukis atau teaterawan? Tentu tidak bukan?! Sedangkan seorang
Putu Wijaya itu ternyata bergelar sarjana Hukum. Ataukah mereka
ini lebih baik harus jadi penyanyi, pelawak atau presenter acara
sehingga lebih marketable dan bergengsi?! Ini soal pilihan personal
tentunya…
Yang jelas, siapa pun yang akan membicarakan dan melakukan
pembacaan atas peta perkembangan kesenian kontemporer Malang
saat-saat ini pasti tak‟kan bisa begitu saja melupakan peran dan jasa
para aktivis seni dan seniman muda dari kampus-kampus ini. Viva
pekerja seni kampus!
*) Ragil Sukriwul, lahir di Kupang, 25 Januari 1979. Hadir dan membacakan puisi-puisinya pada Temu Sastrawan Indonesia II 2009 (TSI), di Pangkalpinang; TSI III, di Tanjungpinang 2010; Temu Sastra Mitra Praja Utama (MPU) 2009, di Solo; MPU 2011, di Surabaya; dan Forum Penyair Internasional Indonesia (FPII) 2012, yang dihelat di Magelang, Pekalongan, Malang dan Surabaya. Sajak-sajaknya telah terbit di beberapa media cetak lokal, nasional dan internet. Juga, telah terangkum dalam beberapa buku antologi puisi antara lain, Looser Lost Time (2006), Mereka yang Katanya Dekat dengan Tuhan (DKJT, 2007), Kemayaan dan Kenyataan (ebook Fordisastra, 2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa (TSI,2009), Lingua Franca (TSI, 2010), Jurnal Puisi Amper #1 (2011), What’s Poetry (FPII & HenkPublika, 2012). Buku puisi pertamanya adalah Avontur (Mozaik Books, 2012).
KREATIF DAN INSPIRATIF
Esai
6
Carlos Januario Gonzaga
Ibu bilang kalau uang fotokopi buku di sekolah berasrama itu
dikirim dari uang Carlos menjual batu mangan. Bahkan uang untuk
membeli potongan seragam yang mahal itu, dikumpulkan sendiri oleh
Carlos dengan membelah lagi celengan dan mengirimnya untuk saya.
Atas bantuan inilah hari ini saya bisa menyelesaikan tahap demi tahap
pendidikan saya di sekolah berasrama. Mama paling kuat ingatannya
pada uang yang dikumpulkan Carlos. Biasanya dia akan menanyakan,
kakak sudah melunasi seragamnya atau belum? kakak sudah
memfotokopi diktat yang kemarin ia sebut itu? Aduh, kakak kalau
sekolah di kota besar seperti itu harus ada celana training untuk
olahraga, harus ada flashdisk untuk tugas-tugasnya yang semuanya
diketik dengan komputer. Semua yang ia sebutkan itu akan
dihitungnya satu per satu lalu ia menulis selembar kertas dan akan
mengirimkan beberapa uang—dengan catatan—untuk keperluan
kakak di sekolah berasrama itu. Ingatan ibu ini seringkali diceritakan
dengan suara terbata-bata pada saya setiap kali libur.
* * *
Akhir-akhir ini ayah sering kembali sesudah lonceng Angelus.
Sepeda motor tuanya Honda GL 100, yang berhasil dibawa saat
meletus perang tahun sembilan-sembilan, dipelan-pelankan—yang
seringkali justru menimbulkan gelisah yang besar. Apalagi untuk ibu
yang menyimpan semua berita yang beredar ke sana kemari tentang
perebutan lahan di kepala, baru-baru ini. Ibu selalu bilang kalau itu
perebutan lahan. Tetapi tidak untuk saya. Mungkin ayah juga seiya
dengan apa yang sedang saya pikirkan sehingga ia tidak
mencemaskan kecemasan istrinya sendiri yang menunggu sambil
melihat ke ujung jalan setiap lewat jam enam sore.
Hari itu tiba-tiba seperti sebuah musibah yang terlalu mendadak.
Edisi April 2013
CERPEN
7
Di desa Naibonat, kami sekeluarga hidup. Di tempat ini hidup juga
keluarga-keluarga eks Timor Timur. Memang sampai dengan tahun
2006 nama kami masih disebut sebagai pengungsi. Tetapi setelah itu,
entah atas dasar apa, saya sendiri mendengar di kantor-kantor lurah
dan kecamatan, kami dipanggil warga eks. Dan tentu saja eks berarti
bekas. Mungkin bekas warga Timor Timur, dulu. Tidak adil juga
menceritakan di dalam kisah ini kejadian-kejadian yang berhubungan
dengan masalah kepengungsian itu. Lebih-lebih karena saya secara
pribadi telah menganggap tidak ada yang perlu dibedakan, antara
saya dan teman-teman saya yang lahir dan hidup di tanah Indonesia.
Apalagi separuh hidup saya sudah membentang seperti lajur
timbangan di daerah pertiwi ini.
Namun, begitu degilkah hati saya bila saya sampai lupa pada ayah
yang malam ini belum juga tiba? Tidak timbulkah iba pada adik
bungsu saya yang bersama teman-temannya siang tadi pergi mencari
batu hitam, si mangan jahanam itu, sampai sudah seharian penuh
belum juga pulang? Maka saya memang menyakiti perasaan ini
sendiri, ketika sesudah menulis, kisah ini kupersembahkan sebagai
hadiah ulang tahun ketujuh belas untuk seorang temanku yang
ayahnya adalah pegawai pertanahan.
Menit yang paling panjang itu selesai ketika motor butut GL 100
yang masih berplat DF—mengapa ayah tak mau merevisi surat tanda
nomor kendaraannya ini, yang dipanjangkan sebagai Daerah Fretelin
(DF)? Entahlah—muncul. Ibu yang menggendong adik kecil saya
menyambar ayah dengan kata-kata asli orang Dili dialek Tetun yang
tentu saja tanpa huruf „G‟ pada akhir kata, ditarik panjang, cepat dan
mencipratkan beberapa titik sirih pinang. Kayu api diturunkan di
gelap depan rumah, dan beberapa ikat daun ubi masih hijau dalam
gendongan mama.
“Bapak! Kenapa sudah diingatkan, masih keras kepala juga?
Sekarang ini kita sedang dalam masalah.” Ayah, sebagaimana
kesannya dihampiri masalah, memilih diam. Saya membereskan kayu
KREATIF DAN INSPIRATIF
Cerpen
8
kayu kering tadi di dapur untuk tujuan yang sama. Ibu mengeratkan
daun-daun ubi ke dalam dapur. Ayah tetap saja diam. Kepada
wajahnya yang beku—hampir selalu demikian—itulah saya
memberanikan diri bertanya.
“Ayah, ke mana Carlos?” Dengan terkejut begitu, ayah tentu iba!
“Saya mendengar berita yang tidak baik. Kenapa dia? Mudah-
mudahan ini tidak benar.”
Saya membuntut, entah paniknya ayah, entah waspada.
Setelah kepergian adik saya dan teman-temannya melewati 24 jam,
cemas saya merasakan keadaan ini mulai mengeja naluri. Memang
biasanya lahan-lahan yang jauh sampai ke perbatasan daerah seberang
sungai mereka jejaki untuk mengumpulkan si batu jahanam berwarna
hitam tadi. Dan berkarung-karung mangan akan mereka bawa pulang,
sedikit demi sedikit untuk ditimbang dengan harga 4000 rupiah per
kilogram.
Pagi itu, saya bergegas menuju lahan. Mendapati begitu banyak
keluarga yang sudah ramai membersihkan rumput di antara jagung
yang mulai besar, benar-benar seperti musim dan tradisi menanam
tanpa peduli dentuman kematian lahir di lahan-lahan kecil yang bukan
milik pengungsi. Biasanya saya langsung menuju lahan kami. Namun
pagi itu saya tidak bisa beralih dari sebuah keributan yang
memekakkan telinga. Beberapa tuan tanah—yang tentu saja saya
kenali dari bahasa Indonesia lisan—dan sebuah keluarga eks—yang
juga saya kenali dari logat berbahasa Indonesia mereka—ribut.
Pertengkaran itu jika tidak dilerai secepatnya pasti akan berakibat
buruk, untuk tidak menafikan kejengkelan-kejengkelan terpendam.
Saya mencoba mendekat dan mendengar pembicaraan mereka.
Beberapa orang tua di lahan sebelah yang mendengar keributan ini
sudah tiba sebelum pertengkaran benar-benar parah. Saya yang
merekam semua pembicaraan itu berlari melalui jalan pintas di antara
lorong-lorong pembatas lahan, meloncati pagar dari pelepah gewang
yang masih bergerigi dan tiba di lahan milik kami. Di sana ayah
Edisi April 2013
Cerpen
9
sedang menunduk dengan ikat kepalanya—sebuah handuk bekas
berwarna coklat tua.
“Bapak, apakah benar kalau lahan-lahan di sini dikerjakan dengan
berbagi hasil?”
Ayah mengerutkan keningnya?
“Maksud kamu, berbagi hasil dengan para tuan tanah di sini?”
“Iya, Ayah!”
“Apakah betul begitu?”
“Tentu saja! Ini kan lahan mereka, tanah mereka. Kita tidak
sanggup membeli lahan di tempat ini. Walaupun dulu sekali banyak
dikisahkan kalau sebelum kita menempati tanah-tanah ini, wilayah di
pinggir jalan sana saja takut dihuni oleh orang. Namun sekarang, ya
beginilah situasinya. Tetapi ayah kenapa pertengkaran itu...” Sebelum
menghabiskan pembicaraan, ayah sudah memotong,
“Nak, kamu „kan baru kembali dari asrama, jadi banyak soal yang
belum tuntas kamu ketahui. Tetapi baiklah ini jadi pelajaran buat
kamu supaya bisa belajar tentang arti dari penderitaan saudara-
saudarimu. Pertengkaran soal tanah di tempat ini sebenarnya bukan
menjurus kepada perebutan tanah. Di sini pertengakaran terjadi
karena pembagian hasil yang tidak seimbang.”
“Maksud ayah?”
“Kamu lihat tanaman di kebun kita ini?” Saya mengangguk pada
batang-batang pepaya dengan pucuk yang serabutan bunganya.
“Jangan kamu mengharapkan yang lebih banyak kamu bawa
pulang ke asrama nanti, biar dari jagung-jagung ini sekalipun.
Mungkin kamu hanya akan makan satu dua bulir lalu berak dan
meninggalkan bekas untuk anjing.”
“Ah, tetapi ayah „kan yang menanam, membersihkan dan merawat
tanaman-tanaman ini? Apa salah nanti saya menunjukkan ke teman-
KREATIF DAN INSPIRATIF
Cerpen
10
teman di asrama kalau keluarga saya juga sudah terbiasa dengan
menanam.”
“Nah karena protes demi protes dikumpulkan itulah maka
seringkali muncul pertengkaran yang tak terduga. Dan yang baru saja
kamu lihat itu sama. Para tuan tanah itu seringkali muncul hanya
pada waktu jagung sudah mulai bertumbuh dan pada waktu panen
tiba. Mereka akan datang untuk memetak mana jagung yang nanti
dipanen untuk mereka dan mana jagung untuk kita. Dan kalau kau
menjagoi rumus matematika, maka petak-petak itu tidak disebut
sebagai angka kali angka yang tentu saja adil atau sama dengan,
tetapi kongkalikong. Setelah dipetak, mereka akan muncul lagi pada
saat panen nanti dengan mobil-mobil pick-up dan truck berpantat
tertutup untuk memuat bagian mereka—ah tepatnya bukan bagian,
sebab kata bagian berasal dari kata bagi yang berarti setengah-
setengah, maka lebih tepat jarahan mereka.”
Ayah kembali menunduk membersihkan rumput di antara jagung
yang nanti tidak akan dicicipinya. Keringat ayah menetes pada lembar
jagung. Saya ikut membersihkan beberapa meter di samping ayah.
Malam ini, tepatnya sudah dua malam Carlos si adik bungsu saya itu
pergi. Ibu memang tidak terlalu mempersoalkan lamanya Carlos
pergi. Karena memang sejak ia putus sekolah, saat saya akan
memasuki sekolah berasarama itu, ibu sudah mempercayakan tugas
membantu ayah mencari uang. Dia lihai sekali untuk urusan itu.
Mulai dari menanam sayur di kebun, menjual sendiri daun-daun ubi
waktu malam hari di pasar Oesao, menggali bengkuang dan
menjualnya di toko-toko Cina, hingga memancing ikan di laut dan
menjualnya di antara barak-barak pengungsian. Pekerjaan-pekerjaan
yang mendatangkan uang sudah hampir semua ditempuhnya. Dan
yang terakhir, ia bersama beberapa temannya menjadi penggali si
batu jahanam itu—batu mangan. Cukup menjanjikan memang. Uang
yang didapat juga besar jumlahnya. Asalkan ada beberapa kilogram
saja pasti sudah bisa mencukupi keperluan uang sekolah. Dan lebih
dari separuh hasil keringat Carlos itu akan dikirim untuk saya di
Edisi April 2013
Cerpen
11
sekolah berasrama itu.
Ke jalan-jalan, semua anak muda berhambur seperti recehan koin.
Ada yang berteriak dengan suara keras. Di tangan mereka antara lain
batu, parang dan busur-busur anak panah. Mereka semakin banyak.
Tepat di depan rumah. Saya dan ibu yang baru sadar di jam empat
dini hari itu ikut melongok ke jalan. Dan semakin terang semakin
banyak pemuda, orang tua yang berkumpul di jalan.
“Ita nia oan sira ema oho!”1 Teriakan dari orangtua-orangtua
membuat saya kaget.
Ayah meloncat dari tempat tidurnya dan berlari keluar. “Lalais !”2
Saya bertanya kepada salah seorang teman dalam kerumuman itu.
Dia menyarankan saya untuk pergi mengambil parang. Saya tetap
diam! Ayah dan ibu sudah menangis.
“Carlos ema oho!”3 Saya yang mendengar kalimat, lebih-lebih nama
itu, langsung pening dan menangis. Saya mengikuti ibu ke dalam
rumah. Ibu menangis sambil menggendong adik bungsu saya. Mereka
membawa teman-teman Carlos yang bersama-sama mencari mangan
ke dalam rumah. Ibu benar-benar tidak bisa menerima kejadian ini.
Maka mereka dengan tenang menjelaskan kepada ibu.
“Ama,4 kami berlima sejak hari pertama menempuh perjalanan
hampir tiga puluh kilometer dan mengumpulkan banyak karung berisi
mangan. Pada hari kedua ketika kami akan pulang, ada sejumlah
kelompok yang menahan kami. Mereka menyuruh kami untuk
meninggalkan karung-karung itu di situ. Kami melawan. Batu-batu
mangan ini sudah kami gali dengan mempertaruhkan nyawa di antara
celah-celah lubang dan batu karang. Mereka terus mendesak. Kami
pun tetap tidak mau menyerahkan karung-karung yang jumlahnya
lebih dari lima belas itu. Mereka semakin banyak mengurumuni kami
berlima. Kami ditangkap dengan ancaman parang dan anak panah-
anak panah yang diarahkan dengan busur ke tubuh kami. Kami
dengan terpaksa melepaskan karung-karung itu. Namun Carlos masih
KREATIF DAN INSPIRATIF
Cerpen
12
terus berbicara. Ia bilang kakaknya ada di sekolah berasrama yang
mahal dan setiap pulang libur seperti sekarang ia butuh uang untuk
biaya fotokopi dan seragam lokalnya. Karena terus beradu mulut
maka sebuah linggis dihantam ke mulut Carlos.”
Air mata—karena setahunya hantaman sekeras apa linggis itu—
ibu semakin deras dan tangannya dikatupkan ke dada. Ibu langsung
jatuh dan pingsan.
“Seorang teman mencoba melawan, tetapi gagal. Anak panah
melesat ke dalam perutnya dan ia seketika itu juga mati. „Hei, kalian
dengar! Ini bukan tanah kalian. Ini bukan tanah nenek moyang kalian.
Kalian tidak membawa tanah datang ke daerah kami ini, supaya ingat!‟
Sambil menunjuk ke arah kami dan memaki-maki kami. Yang lain
berteriak, „Kalian hanya menumpang dan harusnya makan dari sisa-
sisa kami.‟ Saya sempat memberontak. Mereka mengikat kami
berempat. Namun malamnya mereka membawa Carlos dan Antoni
pergi. Kami berdua yang ditinggalkan sendiri dalam rumah itu
mencari akal. Kami akhirnya lolos setelah beberapa yang mengejar
tidak mendapatkan kami. Sepanjang 30 kilometer itu tanpa sedikitpun
beristirahat, kami terus berlari.”
Ibu terus menangis. Ia yakin bahwa Carlos belum meninggal. Hari
itu juga rombongan kami pergi mencari di tempat kejadian
diceritakan. Namun Carlos dan Antoni tidak ditemukan. Hanya bekas
yang mereka tinggalkan. Sobekan celana SMP dan topi milik Carlos
masih tersimpan dekat tungku api dalam rumah. Sepanjang minggu
itu pencarian belum juga berhasil hingga nama mereka, Carlos dan
Antoni tercatat dalam Daftar Orang Hilang. Entahlah!
Ibu mengambil uang dari celengan Carlos. “Ini untuk uang
seragam dan foto kopimu.”
“Aih, biar uang ini untuk mencari Carlos saja.”
“Tidak, Nak! Lihat tulisan ini.”
Dari atas celengan berwarna putih ibu mengambil sebuah kertas
Edisi April 2013
Cerpen
13
dan menyodorkannya untuk saya: Ini untuk uang Seragam kakak yang
belum dibayar, fotokopi dan flashdisk supaya kakak bisa mengerjakan tugas
dengan ketik pada komputer seperti teman-teman.
Air mata saya tumpah saat ibu membelah celengan itu dan
memasukkan isinya ke dalam tas saya di depan bus yang sedang
menunggu.
“Carlos, o iha nebe?”5 Dalam bathin yang tak tuntas dan kacau saya
meracau.*
Januari tahun ini berakhir di Assumpta
Keterangan:
1. “Anak-anak kita sudah dibunuh orang!”
2. “Cepat!”
3. “Carlos orang bunuh!”
4. “Mama,”
5. “Carlos, kau di mana?”
*) Januario Gonzaga bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Bekerja
sebagai Kuli Tinta. Sejumlah tulisannya tersiar di beberapa media massa cetak
di NTT. Cerpennya Wanita Sepotong Kepala menjadi judul antologi cerpen
Komunitas Sastra Filokalia.
KREATIF DAN INSPIRATIF
Cerpen
14
Dua Wanita, Dua Cinta Diana D. Timoria
“Bagaimana Ma?” Rian sedikit memelankan suaranya. Setengah
berbisik seraya berharap yang dimaksudnya dapat mendengar apa
yang dikatakannya. Tatapannya lurus, langsung tertuju pada sang
Mama. Rian mengawasi setiap gerakan Mamanya, selain helaan dan
hembusan nafas Mama, Rian tidak menangkap gerakan lainnya.
Bahkan mata Mama tak bergerak. Wajah beliau tetap tertuju pada
secangkir kopi pekat di pangkuannya. Entah apa yang ada di
pikirannya. Sikap tenang Mama membuat Rian tak bisa menebaknya.
Tak ada ekspresi di wajah Mama. Datar. Tak ada kata dari mulut
Mama. Diam. Padahal Rian inginkan lebih dari pada sekedar diam.
“Ma,” ulang Rian dengan suara yang agak keras. Berharap kerja
gelombang di udara berfungsi dengan baik agar suaranya terhantar
jelas di telinga Mama. Dan ternyata fungsi gelombang masih baik
karena Mama segera mengangkat wajahnya. Telunjuk Mama
menggesek-gesek mulut cangkir.
Rian menatap tak sabar wajah di depannya. Kerutan di wajah
Mama sudah cukup untuk memahami betapa beliau melewatkan hidup
yang keras. Membesarkan anak lelaki semata wayangnya seorang diri
bisa mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan, bahkan sebentar
lagi akan menyelesaikan studinya. Tatapan matanya yang terlihat
cerdas masih bersinar seolah tak ada alasan untuk redup meski
terkadang pekat menuntutnya untuk bekerja lebih keras lagi. Meski
tatapan tajam menghujam Rian, tapi tetap meneduhkan, lembut dan
penuh kedamaian. Mata itu sudah mengajarkan Rian bagaimana
memahami perjuangan, kejujuran, ketulusan, dan cinta.
Perlahan tangan Mama mengangkat cangkir kopinya. Aroma kopi
yang tercium dari kepulan asap itu begitu dinikmatinya.
“Hmmm... kopi selalu membuat Mama merasa pulang ke rumah.”
Edisi April 2013
Cerpen
15
Rian tahu, Mama sengaja mengalihkan pembicaraan, tapi Rian
tetap diam. Mungkin Mamanya sedang rindu pulang ke kampung
halamannya, jauh di Selatan Nusantara, melintasi lautan mahaluas. Di
sana, di pulau Sumba, di situlah rumah Mama. Mama sudah terlalu
lama di Jakarta, hampir seusiaku yang sudah 24 tahun ini. Mama tak
pernah pulang. Itu sebabnya Rian membiarkan Mamanya menikmati
khayalan tentang rumah yang sudah lama ditinggalkan. Mama bukan
tak ingin pulang, tapi tak bisa pulang. Adat yang menuntut Mama
menikah dengan anak dari seorang kerabat Mama—yang tak lain
adalah sepupu Mama—membuat Mama nekad meninggalkan Sumba
bersama lelaki yang Mama cintai. Sayangnya Ayah Rian meninggal
saat Rian berusia 3 tahun. Saat itu Rian belum sempat mengukir
wajah Ayahnya dalam memorinya. Dalam kesendiriannya, Mama
berhasil melawan kerasnya hidup. Dan Rian tidak akan pernah
mengabaikan perjuangan mamanya.
Rian masih menunduk. Namun, tanpa melihat, ia tetap tahu bahwa
Mama baru saja meletakkan cangkir kopi ke tatakannya yang masih di
pangkuan Mama. Rian masih bisa menangkap dengan jelas bunyi
cangkir yang bergesekan dengan tatakannya, meski Mama selalu
menyimpannya dengan lembut, selembut hati Mama.
“Rian,” panggil Mama.
Rian mengangkat wajahnya. Didapatinya senyum di wajah Mama.
Seperti biasa, selalu mendamaikan hati.
“Apakah kamu yakin?” Rian sudah terbiasa menatap mata Mama.
Karena di sanalah Rian selalu merasa nyaman, tenang dan
terlindungi. Satu-satunya pelarian ternyaman yang dimiliki Rian.
Tapi entah kenapa, ditanya seperti itu membuat Rian tak sanggup
membalas tatapan Mama. Rian menunduk. Merasa terhakimi. Ia
hanya memandang hamparan taplak coklat di depannya. Jaraknya
dengan Mama hanya seukuran meja ruang tamunya, tapi tatapan dan
pertanyaan Mama membuatnya merasa jauh dari Mama bahkan jauh
dari dirinya sendiri. Rian seperti mendapati area kosong dalam
KREATIF DAN INSPIRATIF
Cerpen
16
pikiran dan hatinya.
“Ada apa Rian? Apa kamu ragu? Bukankah kamu yang
memilihnya?”
Suara Mama yang selembut ini membuat Rian tiba-tiba merasa
pening. Di kepalanya seperti terdengar suara seorang wanita cerewet
yang sedang memanggil namanya, yang sedang bercanda dengan
suara riangnya, yang sedang membicarakan sesuatu dengan ceplas-
ceplos, terdengar lucu.
Rian masih terdiam, tapi terlihat gelisah. Ia meremas-remas
jemarinya. Bukan takut pada Mamanya, tapi takut pada penolakan
Mama, karena Rian tahu, ia tak „kan pernah mampu membantah
Mamanya.
***
“Ambu, kamu suka bunga nggak?”
“Tidak. Saya lebih suka pohon. Lebih kokoh dan tangguh.”
“Kalau kucing?”
“Lebih bagus anjing, lebih perkasa.”
“Kamu suka gerimis?”
“Tidak.”
“Tapi kok kalo mendung kamu seperti tak sabar?”
“Iya, saya lebih suka hujan, lebih total basahnya, tidak setengah-
setengah.”
“Kalo motor sama mobil kamu lebih suka mana?”
“Kuda aja deh...”
“Kok kuda?”
“Aku „kan dibesarkan di daerah yang banyak kudanya. He he he...”
“Aku serius, aku butuh jawabanmu.”
Edisi April 2013
Cerpen
17
“Memangnya untuk apa, sih? Jangan-jangan kamu suka bunga,
kucing dan gerimis, ya? Ya ampun, Rian, itu „kan cewek banget. Plis
deh, gentle dikit dong.”
“Bukan itu maksudku, tapi „kan biasanya cewek suka yang begitu,
kok kamu nggak?”
“Hmmmm... Tiap orang „kan berbeda Rian.”
“Tapi aku selalu menyukai wanita yang menyukai itu semua?”
“Siapa?”
“Mama.”
“Maksud kamu?”
“Aku selalu menyayangi Mama yang menyukai hal-hal itu, tapi
kamu...”
“Maaf, Rian, aku pergi dulu.”
“Loh, kenapa?”
“Aku hanya ingin kau tahu, aku bukan Mamamu. Aku Ambu. Aku
memang terlahir dari rahim seorang perempuan, tapi bukan
Mamamu. Aku memang paham cinta seorang Mama, tapi bukan cinta
Mamamu. Aku dan Mamamu adalah dua orang yang berbeda,
bagaimana bisa kau menemukan sosok Mamamu dalam diriku?
Bagaimana bisa kau berharap aku menjadi seperti Mamamu yang tak
pernah kutemui satu kali pun dalam hidupku? Bagaimana bisa kau
menuntut aku memberikan cinta dengan cara Mamamu? Demi Tuhan
Rian, aku bingung dengan jalan pikiranmu, aku dan Mamamu
memang perempuan, sama-sama mencintai kamu, tapi dengan cara
berbeda. Kalau kau menginginkan cinta seperti Mamamu, cintai saja
Mamamu, tapi kalau kau masih mau rasakan bentuk cinta yang lain,
buka hatimu Rian, bersiaplah untuk setiap kejutan cinta yang belum
pernah kau temukan, sekali pun itu dari cinta Mamamu. Maaf Rian,
kau membuatku merasa bukan sebagai cewek yang mencintaimu, tapi
KREATIF DAN INSPIRATIF
Cerpen
18
seorang ibu yang mencintai anaknya.”
Rian masih terpaku. Ia tak sempat mengejar Ambu yang saat itu
sudah berlari meninggalkannya. Ambu bukanlah tipe gadis yang
jalannya anggun, ia gesit. Tubuhnya tak seperti toko berjalan yang
penuh dengan aksesoris, ia hanya memakai sebuah gelang di
tangannya, berwarna orange, katanya terbuat dari batu. Gelang itu
pemberian Mamanya. Benda berharga yang berasal dari daerahnya.
Ambu berasal dari salah satu pulau di Selatan Nusantara. Pulau
sumba, sama seperti Mama Rian. Di Jawa, pulau itu tak terlalu
dikenal. Ketika Ambu memperkenalkan diri berasal dari Sumba,
teman-teman selalu bertanya Sumba itu di mana? Atau Sumba itu
Sumbawa ya? Ambu tidak akan marah, ia malah akan tertawa dan
dengan sabar menjelaskan pada teman-temannya. Pernah sekali Rian
dan teman-temannya iseng mengerjai Ambu, mereka bertanya pada
Ambu di mana letak pulau Sumba. Meski Ambu sudah menjelaskan
berulang kali, mereka tetap bertanya. Hingga akhirnya Ambu pergi,
mereka pikir Ambu marah. Tapi ternyata, Ambu datang lagi dengan
cengar-cengir memamerkan senyum khasnya yang tak pernah hilang
dari wajahnya. Ia membawa sesuatu di tangannya. Sebuah gulungan
peta. Mereka semua terkejut, lalu tanpa menunggu reaksi mereka,
Ambu mulai menjelaskan posisi pulau Sumba. Ia seperti guru SD yang
sedang menjelaskan geografi. Rian dan kawan-kawannya merasa lucu.
Namun sesaat kemudian,mereka mendengar suara seorang dosen di
belakang mereka. Ambu menyerahkan gulungan peta itu, sambil
mengucapkan terima kasih. Sang dosen lalu memandang Rian dan
kawan-kawannya dengan bingung, seolah sedang berhadapan dengan
bayi raksasa yang tak memiliki pengetahuan.
Entah kenapa Rian merasa malu di hadapan Ambu. Sejak saat itu,
Rian tertarik pada Ambu. Gadis cerdik yang tahu bagaimana
membuat orang menerima ganjaran atas perbuatannya. Setelah
mengetahui bahwa Rian juga berasal dari Sumba meski telah lama
berada di Jakarta, Ambu pun tertarik padanya. Dan terjalinlah kisah
Edisi April 2013
Cerpen
19
cinta mereka.
Rian menyukai Ambu yang selalu cepat dalam berpikir dan
bertindak. Walaupun kadang pikirannya ngawur dan tindakannya
menyebabkan sedikit kekacauan. Rian menyukai Ambu yang selalu
tertawa dan berjalan sambil bersenandung, meski kadang ia sendiri
yang membuat kekonyolan dan pada akhirnya ia yang akan
ditertawakan. Rian menyukai Ambu yang selalu bicara ceplas-ceplos
dan apa adanya, meski terkadang Ambu mengungkapkan kejujuran
yang menyakitkan. Rian menyukai Ambu yang selalu membuatnya
tidak menyesali keterlambatan, atau kesalahan. Rian belajar
menikmati bentuk lain dari penyesalan, karena Ambu selalu
memberikan hal-hal yang tak diduganya. Semua tentang Ambu adalah
kejutan bagi Rian. Dan Rian sangat menyukainya. Sangat
mencintainya.
Hal ini yang membuat Rian bertanya-tanya, kenapa ia menyukai
cewk seperti Ambu? Yang tak selembut Mama, tak sewibawa Mama,
yang tak seayu Mama. Ia malah terjebak dalam cinta Ambu yang
sifatnya berlawanan dengan Mamanya. Padahal Rian juga sangat
menyayangi Mamanya. Mengapa ia menyukai dua wanita dengan sifat
yang berbeda? Namun setelah mendengar perkataan Ambu tadi, Rian
mengakui kebenarannya. Bersama Mama, Rian memang merasa
damai, merasa tenang, selalu menjadi tempat ternyaman untuk
pulang. Menjadi seorang anak. Bersama Ambu, Rian selalu dikejutkan
dengan tingkah yang menuntut Rian untuk selalu melindungi dan
membela Ambu dari tingkahnya yang kadang sangat menyusahkan
orang lain, terlebih Rian. Rian merasa menjadi seorang pria. Dan
yang terpenting Rian dapat memahami bahwa dirinya sedang dicintai
dan mencintai dua orang wanita.
Setelah berhasil mendapatkan maaf dari Ambu yang sore itu
merasa tersinggung oleh pertanyaan dan pernyataannya, Rian lalu
membawa Ambu bertemu dengan Mamanya. Seperti biasa, Ambu
susah mengontrol sikapnya hingga beberapa kali ia berbuat ceroboh
KREATIF DAN INSPIRATIF
Cerpen
20
di depan Mama Rian. Rian merasa tak enak hati pada Mamanya
karena kelakuan Ambu. Namun anehnya, Mamanya malah terus
tersenyum, apalagi waktu Mama dan Ambu minum kopi bersama.
Rasanya Ambu seperti pulang ke Sumba. Dari mata kedua wanita
yang Rian cintai itu, ia bisa membaca sebentuk rindu yang sama.
Rindu pada Sumba.
***
“Kamu yakin Rian?” Ulang Mama. Rian menatap Mamanya.
Sambil tersenyum ia mengangguk.
“Ya, Ma, Rian yakin.”
Sore itu, setelah Ambu pulang, Rian meminta pendapat Mamanya.
Rian dan Ambu sama-sama sudah dewasa, sedikit lagi mereka akan
diwisuda dari kampus mereka. Sudah sewajarnya jika mereka serius
dengan hubungan mereka. Ambu memang ingin kembali ke Sumba
untuk mengamalkan ilmu yang didapatnya di bangku kuliah. Dan
Rian merasa memang sudah sudah waktunya ia kembali ke tanah
nenek moyangnya. Sudah saatnya Mama pulang dan bertemu dengan
keluarga besarnya. Rian yakin, waktu telah membuat semuanya
berubah. Begitu pula dengan amarah dari keluarga Mama. Mama
pasti sudah termaafkan. Sudah terlalu lama Mama memendam rindu
pada pulau itu. Pada keluarga Mama.
Yang Rian takutkan adalah penolakan Mamanya.
“Lalu apa yang membebani pikiranmu, Nak?”
“Aku bingung Ma, entah kenapa. Kalau dekat Mama, aku seperti
merasa ragu dengan Ambu.”
“Kenapa? Karena sifatnya?”
Rian mengangguk. Setelah itu, barulah ia menyesal, ia merasa malu
mengakui hal itu di depan Mama.
“Dengar Rian, kamu sudah dewasa, kamu sudah harus tahu apa
Edisi April 2013
Cerpen
21
yang terbaik buat kamu. Jika kamu mencari Mama dalam diri Ambu,
kamu tidak akan menemukannya. Kalau kamu mencari cinta seorang
ibu, mama bisa memberikannya, tapi kalau kamu mencari sebentuk
cinta lain, kau menemukannya dalam diri Ambu. Pernahkah Ambu
menuntut kamu seperti ayahnya?”
Tanpa perlu waktu lama, Rian menggelengkan kepala.
“Seharusnya kau bangga pada Ambu kerena dia mencintai kamu
apa adanya, dengan segala sifat yang kamu punya, hasil dari
pengalaman hidupmu. Selain itu, Ambu juga tumbuh menjadi dirinya
sendiri, tanpa harus serupa dengan orang lain hanya untuk kamu
cintai, sekalipun itu adalah Mama. Dia tumbuh seperti itu adanya, dan
juga ingin diterima seperti itu. Dia bukan Mama, dia Ambu.”
Rian terdiam. Berusaha mencerna kata-kata Mama. Perlahan
Mama meletakkan cangkir kopinya di atas meja. Nyaris tanpa bunyi.
Mama memang orang yang lembut. Mama beranjak mendekati
jendela. Menatap di luar sana, seolah di sana terdapat hal yang paling
Mama rindukan.
“Ambu tumbuh di lingkungannya, membuat ia menjadi seperti itu.
Ceroboh tapi menyenangkan, bicaranya ceplas-ceplos tapi hatinya
lembut, gerakannya lincah, senyumnya manis. Sumba betul-betul
melahirkan wanita perkasa. Seperti itulah seorang gadis Sumba Rian,
kuat dan tegar.”
Rian melihat Mamanya seperti sedang membanggakan sesuatu.
Ada kerinduan yang diam-diam menjalar dalam hati Rian. Kerinduan
yang tertular dari tatapan mata Mamanya. Begitu bangga Mama pada
Sumba.
“Dari lebar langkahnya dapat kulihat sabana mahaluas, mungkin
dulu ia banyak menghabiskan waktunya untuk berlarian di sabana.
Melihat caranya melangkah seperti melihat dan mendengar gemuruh
hentakan kuda yang berlari menuruni bukit. Melihat caranya tertawa
mengingatkan Mama pada wanita-wanita Sumba yang menenun
KREATIF DAN INSPIRATIF
Cerpen
22
sambil memamah sirih pinang. Rian, melihat Ambu, membuat Mama
merindukan Sumba. Mama...” Mama terdiam. Tak sanggup
melanjutkan kata-katanya. Berat rasanya untuk mengucapkannya.
Seolah kata itu terlalu sakral untuk diucapkan.
“Mama,” panggil Rian.
“Mama ingin pulang, Rian.” Akhirnya kesucian kata yang selama
ini terjaga sudah ternoda. Dua puluhan tahun kata itu hanya tertahan
di tenggorokan Mama. Hari ini, Rian akhirnya mendengar
permintaan paling diinginkan Mama. Tanpa terasa air mata Mama
jatuh. Ya Tuhan, sehebat inikah rindu? Atau memang Sumba yang
tak pernah rela dilupakan, hingga kenangan tentangnya tidak pernah
hilang.
Rian terdiam. Tidak tau harus berbuat apa. Betapa besar keinginan
Mamanya untuk pulang. Mungkinkah bila ia bisa mewujudkan
keinginan mamanya? Membawa pulang mama ke Negeri Sandel itu.
“Rian,” Rian menoleh ke arah Mamanya. Tak ada lagi air mata di
wajah renta itu. Tapi matanya masih basah. Menyelimuti rindu yang
kian terbaca jelas. Lalu Rian mendapati senyum di wajah Mama
“Mama kangen Ambu, sering-seringlah ajak ia ke sini.”
Saat itu juga, di tempat itu juga. Rian berjanji akan menikahi Ambu
dan pulang ke tempat yang dirindukan Mama. Ke tempat seharusnya
ia berada bersama kedua wanita yang dicintainya dengan sepenuh
hati. Sumba.***
*) Diana D. Timoria lahir di Waingapu, 4 November 1991. Anggota Keluarga Mahasiswa Katolik St. Thomas Aquinas FKM Undana. Mahasiswa Jurusan Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Undana. “Bagi saya, kata adalah salah satu keajaiban,” ungkapnya. Ia pernah meraih Juara II Lomba Menulis Esai yang diselenggarakan Komunitas Hambila di Waingapu dalam rangka HUT Sumba Timur ke-52. Sejumlah cerpen, puisi dan opininya pernah dipublikasikan di waingapu.com, dumalana.com dan grup facebook 1000 karya puisi untuk Sumba. Akun facebook-nya: Diana Timoria.
Edisi April 2013
Cerpen
23
Dua Rupa Derry Saba
Kau memasukkan luka-luka menjijikan ke dalam matamu.
Membiarkan selaput-selaput biji mata banyak berdarah. Terlampau
parah luka yang kau sisipkan ke dalam matamu itu, sehingga
kelopaknya tak kuasa membendung darah-darah kental. Bau. Tapi kau
jilati dengan lidahmu yang seperti bara api hingga terbakar dan
lukanya bernanah. Kau padukan darah dan nanah di dalam mulutmu;
kau telan setetes demi setetes. Penuh irama dan katamu dalam hati,
“Ah... semuanya begitu rapi.”
Itu yang kau ucap dalam hati. Dan bibirmu berucap begini, “Ijinkan
aku menghapus bekas darah di wajah anak-anak terlantar, dan biarkan
aku menelannya. Lalu anak-anak sampah, datanglah dan biarkan aku
bersihkan kotoran yang menempel di tubuhmu.”
Kau bicara dengan suara yang kau ubah sedemikian rupa sehingga
terdengar begitu tegar, sedang tubuhmu sempoyongan; kau
tunjukkan matamu yang kau isi luka dan kau tumpahkan begitu
banyak darah di wajahmu. Kau bicara begitu dan kau paksa matahari
untuk bersinar lebih terang lagi supaya terang seluruh dirimu. Supaya
terang dirimu dan mereka semua melihatmu. Supaya terang dirimu
dan semakin banyak darah yang kau jilati. Supaya terang dirimu dan
mereka berkata, “Kami butuh orang yang mau jilati darah kami. Kami
butuh orang yang mau minum peluh sampah di tubuh kami. Kami
butuh orang yang mau mengecap air mata kesusahan di mata kami.”
Dan kau tegakkan kepala dengan mimik tak berdaya, dengan nafas
tak bergairah, dengan cahaya mata suram, dengan bibir kering
bergetar lemah, dan kau bilang pada mereka semua, “Aku siap...
asalkan kalian mengijinkanku untuk berdiri.”
KREATIF DAN INSPIRATIF
Cerpen
24
Mereka tersenyum dan pergi semuanya. Mereka pergi semuanya,
namun kau tahu, sesuatu yang berharga dari mereka sedang tinggal di
sini, di genggamanmu. Kau pegang erat itu dalam genggamanmu.
Semuanya begitu rapi, batinmu.
Lalu kau muntahkan adonan darah dan nanah dari mulutmu, ketika
lutut kau tekuk dan kau bersembunyi. Kau cungkil luka-luka yang
kau jejalkan di kedua matamu, setelah matahari berhasil kau rayu
untuk pergi. Kau tak „kan mengusirnya, sebab kau tahu belum tiba
saatnya. Belum saatnya mengusirnya, seperti yang pernah kau
lakukan pada teman lamamu: debu. Kala itu, kau usir dia usai dia
mendandanimu dengan „kekotorannya‟. Ia mendandanimu, dan kau
berhasil memanggil mereka, mereka yang hari ini berhasil kau curi
senyumnya. Ia mendandanimu, dan kau memenangi pertarungan
babak pertama. Kau memenangi pertarungan itu lalu kau campakkan
temanmu itu. Ia menangis dan kau menginjaknya hingga ia mati. Ada
kutuk yang diberikannya untukmu sebelum maut menjemputnya.
Tapi kau tak peduli, kau orang yang optimis. Kau bangga pada dirimu
sendiri. Kau sebut dirimu „makhluk misterius‟ yang sulit ditebak,
sebab kau punya dua rupa: rupa malam yang cemberut dan rupa siang
yang penuh cahaya.
Tapi kau membuat satu kesalahan kecil, Sobat. Kau ucapkan
rencanamu terlalu keras sehingga rembulan di atas mendengarnya.
Dari tadi ia mengintipmu dari balik pagar malam. Percayalah, ia akan
membeberkannya kepada semua orang. Pertama-tama pada roh debu,
teman lamamu. Lalu pada matahari yang baru saja menjadi temanmu.
Dan akhirnya pada semua orang yang tadi memberimu senyuman
penuh harap. Dia akan membeberkannya dan jiwa sang debu akan
menambah koleksi kata-kata makiannya untuk nanti menghujanimu
ketika akhirnya kau jatuh lagi di atas jasadnya yang sudah membusuk.
Dia tak „kan mencungkil luka dari matamu, tetapi akan menggores
luka dalam di bentangan hatimu. Dia tak „kan mengeringkan darah
Edisi April 2013
Cerpen
25
dari matamu, melainkan akan mengencingi mulutmu dengan darah
dari kesakitannya. Dan dia akan tersenyum puas, setidaknya
kematiannya tidak sia-sia. Kematiannya tidak sia-sia, sebab
meninggalkan sesuatu yang berharga bagimu, yaitu kekonyolan.
Kau akan berusaha melawannya, tapi sayang... kau hanya seorang
diri. Matahari tentu akan melawanmu juga. Dia tak „kan hanya
bersinar lebih terang untuk menjadikanmu terang, tetapi ia akan
memaksakan diri untuk bersinar seribu kali ganda lebih terang dan
kau lenyap dalam kehangusan. Dia akan menghanguskan tubuhmu,
tapi tak akan membiarkanmu berhenti bernafas. Ia ingin nuranimu
yang busuk tetap terpenjara dalam ragamu yang bejat. Percayalah,
kau akan lebih senang meminta kematian daripada tetap hidup. Kau
akan menangis, memohon pada jasad sang debu yang telah kau
bunuh. Kau akan memohon pada matahari yang telah membakar
tubuhmu. Tetapi mereka akan menertawakanmu.
Dan jangan kau berharap, semua orang akan menolongmu. Sebab
mereka akan merampas kembali senyuman mereka yang telah kau
curi. Mereka akan merampas senyum itu, sehingga yang ada pada
mereka hanyalah kegeraman dan kekejaman. Mereka akan menelan
darah dari luka-luka mereka sendiri, sebab bagi mereka lebih baik
menikmati darah kesengsaraan mereka daripada membiarkannya
dirampas oleh binatang berwajah dua yang suka bersandiwara.
Mereka akan meneguk peluh sampah dari tubuh mereka, sebab bagi
mereka lebih baik meneguknya daripada dicuri oleh malaikat berhati
iblis untuk digunakan sebagai pembersih jalan menuju takhta
kemunafikan.
Lalu mereka akan mencabik-cabik tubuhmu, melemparkan hatimu
kepada anjing jalanan yang lapar, mengunyah bibirmu yang suka
bicara dusta, dan mereka akan bersorak gembira karena telah berhasil
meniadakan satu titik dosa dari muka bumi. Dan mereka akan
menunggu lagi, makhluk-makhluk sejenismu. Kalian adalah makhluk
KREATIF DAN INSPIRATIF
Cerpen
26
paling bejad di dunia; merampas tangisan kepedihan orang-orang
miskin untuk merebut takhta duniawi, membeli luka-luka para
gelandangan untuk memesan kekuasaan. Kalian makhluk berwajah
dua. Bersandiwaralah terus, tapi sadarilah bahwa dunia tidak buta
untuk melihat.***
Di suatu siang, pertengahan September 2012
manue unus
*) Derry Saba adalah mahasiswa Fakultas Filsafat Agama Universitas Katolik
Widya Mandira, Kupang. Sejumlah tulisannya tersiar di beberapa media di NTT.
Bergiat di Komunitas Sastra St. Mikhael. Kumpulan cerpennya yang telah terbit
adalah Nyanyian Hati (2011).
Edisi April 2013
Cerpen
27
Mario F Lawi
7
Tiada lelah, aku kauragukan dengan segenggam sinis entah-apa-namanya. Hujahmu mungkin pulang mencari kembali gaung dan mataair pertama Mengajarkan langgam menggenggam mulut dan lidahku. Aku ingat pertama Kali kita belajar berbagi setangkup roti dengan bilah perjamuan anamnesis Sambil membedakan mana yang lebih dahsyat antara buku tiba-tiba menolak Dibaca atau suara adikmu dari dalam keranda meminta kehidupan ketiga. Kau lebih banyak bicara tentunya, menangkup-nangkupkan tanganmu sambil Mengingat kembali adegan paling mengharukan dalam hidupmu. Aku Terpaksa, sungguh terpaksa, meninggalkan senyummu demi hanyut ke dalam Sungai dan mencari hitam yang kauletakkan. Sebuah pilihan lebih alami Dibandingkan menyandingkan segelas senyummu dengan gemetar perempuan Suci dalam makam-makam kosong. Ayolah, sebentar saja, mari bertukar rupa! Rami atau koper. Menurutmu mana lebih baik menyembunyikan ledak gelisah Sepasang kekasih limbung? Tulah yang nikmat dengan belalang, darah dan Kematian paling sulung. Suara badai yang wahai hanya, liliput yang luput dari Takut tetapi, sepasang kekasih mendidih dan sedih telah—mewanti-wantikan Kematianmu. Bertanyalah lagi tentang seberapa jauh kau menakar jarak Rumah lewat renyai nadimu sebab ada hadir yang harus kaulengkapi dengan Takdirmu. Langit pun masih belajar menghitung detak kematian lewat lambung Orang yang paling dikasihinya. Daging merpati, anggur, roti kering dan madu Hutan adalah rasa laparmu pada keabadian. Perjamuan terakhir tak akan lebih Dari sekadar melengkapi pecahan teka-teki dengan mahkotamu yang getir, Tahtamu yang satir, doamu yang khawatir. Di titik temu yang genting, sebuah Sudut telah kita bubuhi hablur bilur sebagai amanat reranting bagi tukangkayu. Sebenarnya kita hanya rangkap gelugu bagi malam gagu. Langit beludru tak Mampu mengikrarkan akad di tubuh kita yang hikayat. Hayatmu khatam Menjemput tamat. Gamit pamitmu kubenci dengan sepenuh hati. Meski kita Telah saling meragu, sebelum—dari lekuk sudutmu—kucari ajal jauh ke kiblat Pisau yang semilir merajah tanganmu dengan anomali khianat paling kudus. (Naimata, 2011)
KREATIF DAN INSPIRATIF
PUISI
28
Bui Ihi
/1/
Usai cacah jiwa yang melelahkan, lekaslah bersila mengelilingi
potongan sirih dan pinang muda. Musim panen yang meresahkan
semoga menjadi silih bagi segala dosa dan buruk sangka. Tujuh
pasang ayam jantan akan kita lepaskan. Jiwa-jiwa yang terlepas tak
perlu gerah mengabadikan lirih dan sengsara. Syahdan, darah ayam
yang tumpah akan mengusir resah setelah Dewa Kesuburan gagal
menyembunyikan amarah. Doa musim tanam berikut meloloskan kita
dari sakit dan tulah. Ingatlah, Sayang, di kota, si Sulung sedang
belajar membetulkan letak nasib kita dalam sekolah.
Kita akan berpindah dari ladang ke ladang selama batang lontar
masih terlalu licin dan lumut-lumut di atas batu pijak belum
dibersihkan. Pagi belum usai mengusap mata dan meregangkan
badannya. Lekaskan pekerjaan ladang ini, agar sebelum petang
memanjangkan bayang-bayang, isi ha’ba yang tak akan lagi sempat
mengepulkan asap dapur dapat kauganti dengan arakan bebunga dan
dedaun di atas benang-benang panjangmu. “Ana appu ya de tape wede
pa loko pa da’i ta mahhe ri mone b’aga,” masihkah kau ingat bagaimana
sorot mata kakekmu mengucapkannya? Tak ada nyala yang akan
sanggupmenandingi pijarnya. Tapi ke dada tipisku kaurebahkan
segenap pilihan atas kelanjutanmu.
Edisi April 2013
Puisi
29
/2/
Sorgum adalah jodoh bagi potongan-potongan daging babi dalam kualimu.
Jodoh yang akan lebih kaupertahankan daripada kisah iblis yang diusir Kristus
ke dalam sekawanan babi. Ka’bahuru tak akan cukup memberi penjelasan
terhadap lemak yang menempel di langit-langitmu bagaikan sisa dosa
peninggalan iblis. “Cukuplah kubaptis dengan segelas hangat air putih.”
Tanpa ritual dan tanda salib. Segala yang terkunci akan terbuka, lebih lebar
dari pintu Zakharia ketika kalam di hadapannya memberi salam. Hari ini kita
akan mengenang lagi Daba yang memberi harapan. Karena hati yang telah
kita matangkan akan digunakan untuk mencairkan dendam, meleburkan segala
derita ke dalam tetugalan di ladang. Ke dalam mulut para Mone Ama yang
menyiramkan rahmat dari balik merah sirih-pinang yang rebah di atas batu.
(Naimata, 2012)
*) Mario F Lawi adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Undana dengan konsentrasi minat Komunikasi Antarbudaya. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Kumpulan cerpennya yang telah terbit adalah Malaikat Hujan (2012).
KREATIF DAN INSPIRATIF
Puisi
30
Hiro Nitsae
3 NAMA, SATU DIRI
Aku lahir dari rahim aku keluar mencari ruang aku keluar mencari waktu aku adalah ruang, aku adalah waktu dan aku adalah aku
*) Hiro Nitsae adalah seorang peminat sastra. Bergiat di Komunitas Sastra St. Mikhael dan Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Sebagian puisinya tersiar di harian Timor Express, Pos Kupang serta Victory News.
Edisi April 2013
Puisi
31
Cecilia Novianti Salsinha Teorema ~ Hidup Pernah rasa bimbang menyelimutiku Saat ku dihadapkan pada beribu tujuan Dan aku harus memilih Harus Telah tersimpan rapi kehidupan lampau Segala kenangan hidupku Segala yang berarti Bahkan sangat berarti bagiku Sambil meneruskan hidupku Aku teringat pada tujuanku Inginku mencapainya Mencapai tujuan yang telah kutetapkan Kukumpulkan kembali lembaran cerita lamaku Semua yang berarti bagi tujuanku Kususun rapi satu demi satu Sambil menjejaki hidupku Kucoba hadapi semua yang akan terjadi Semuanya Berharap akhirnya sampai pada tujuanku Ah, hidup bagai teorema yang harus dibuktikan Jogja, 2013 *) Cecilia Novianti Salsinha. Dilahirkan di Ermera, 12 November 1990. Biasa disapa Novi. Hobby membaca, menulis, mendengar instrumen.
KREATIF DAN INSPIRATIF
Puisi
32
Lauh Sutan Kusnandar
Jero Nyoman Padiana “Tangan suci Maharsi Markandya telah menyerahkan peta pengabdian padaku,” katamu dalam SMS yang kubaca setelah setahun kemudian itu Jero Nyoman Padiana, layaknya perjalanan orang-orang Arya, kau tempuh Lombok-Bali sebagai jarak keranda-nyala dupa. Aku tahu, di Besakih, tak akan kau temukan munajat sesayat doaku, karena kau tak kunjung enten dari keteguhan Tri Murti Semasa kecil kita pernah sama-sama bermain dadu, mengundi keping-keping uang logam, yang menjadikan kita lega dengan sekian peluang yang ada. Di setiap destinasi Tirtayatra, kau membaiat peluang, mengundi takdir layaknya permainan masa kanak. Meski kau ber-Tirtayatra sampai ke dalam diri, tak akan kau temukan peluang yang kita legakan dulu Jero Nyoman Padiana, aku telah menggedor pura pura-puramu. Di beranda facebook ini, keteguhan mitologi-mitologi nenek moyang bertandang mengakrabi peradaban, sedang pura pura-puramu abai merenungi
28-29 Juli 2012
Edisi April 2013
Puisi
33
Fragmen Monolog Jillan di Ruang NICU “Ketika garis merah saga itu mencapai usiaku, kau menghadap pagi, mencemasi tubuhku,” ucapmu terbata. “Doa-doa berulang kau putar, dan kau amini sendiri. Cemas agungmu mengganda di atas hamparan tanda-tanda lukaku. Sedang usiamu jadi gigil digedor degup jantungku yang makin melemah. Dalam gerimis airmatamu, garis merah saga itu benar-benar menjadi alif, tegak menghadap langit. Dan ketika sayap malaikat benar-benar membawaku ke arasy, kulihat kau menemukan keteguhan iftitah di atas bentangan sajadah.” *) Lauh Sutan Kusnandar lahir di Lombok Barat, NTB, 09 Januari 1988. Karya-karyanya telah dibukukan dalam sejumlah antologi bersama, antara lain: Permata Kasih (2012), Ayat-ayat Rindu (2012), Selayang Mimpi (2012), Igau Danau: antologi puisi Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci XII 2012 (2013), bersama M. Zainul Kirom menulis antologi puisi Jemari Tinta di Pulau Lombok (2012), Lukisan Ibu Pertiwi: antologi puisi tinta emas 3 (2013), Korean Idol (2013), Mekanika Kuantum (2013), Sweet Pain of Love (2013), Simfoni Serdadu Gigi (2013), Titian Rindu (2013), Untuk Indonesia (2013), Amarah (Januari 2013), dan beberapa judul lagi yang segera terbit. Juga telah dipublikasikan di sejumlah media cetak.
KREATIF DAN INSPIRATIF
Puisi
34
Kiki Sulistyo Luka Mandalika siapa yang telah menyeret mayatmu, Mandalika di lubang matahari ini kita lihat semenanjung yang jauh matamu terbuka seperti bola api sutra hewan-hewan malam mencium bau kebangkitan sementara mereka menduga tubuhmu jadi cacing cahaya dan raja-raja gentar akan datangnya pertanda kau mengendarai ombak ke timur, menjauhi bunyi tambur setelah tergurat angka-keramat pada penanggalan kau tak mati sampai saat itu, meski tebing teramat tinggi guntur dan halimun bertukar mangsa di atas perairan hingga tak ada yang melihat sekelebat anak-panah meluncur cepat ke dadamu yang tabah setelah segalanya tenang, bulan baru terbit warnanya biru serupa laut pagi seseorang telah menyeret mayatmu ke pantai ini untukku, untuk nama suku yang punah kudekap tubuh dinginmu, Mandalika di bawah cahaya bulan yang semakin biru dari semenanjung jauh sebuah rakit jerami dikayuh akan menjemputmu, menghapus sejarahmu 2012
Edisi April 2013
Puisi
35
Orang Gawah orang gawah turun dari gunung. memanggul kayu. bergoyang-goyang sepanjang kelok-turunan tembakau pilitan. parang di pinggang. dengus babi di sebalik belukar orang gawah membayangkan rumah dulu leluhur tak perlu rumah. menghabiskan usia dengan memburu hujan. dimana ada hujan ada tanah yang berkah. untuk semusim ladang bisa ditugal sementara mereka berbiak, mengajari anak-anak cara memanah babi. cara memamah sirih musim berikutnya, atau musim berikutnya lagi akan datang masa malaria. hujan mulai kajuman. mengecup siapa saja yang berani keluar lingkaran. merasakan jutaan bibir dari langit membuat cupang di sekujur badan. seperti peta panjang kepunahan turunan semakin curam. kayu di panggulan bergoyang-goyang orang gawah membayangkan rumah di langit tak bergarit di hadapan sawah usai-panen, sapi-sapi berkalung lonceng kemudian kampung, rumah-rumah terkurung sebilang jalan dihisapnya tembakau pilitan 2012 *) Kiki Sulistyo, lahir di Ampenan, Lombok 16 Januari 1978. Menekuni puisi dan menulis esai. Bekerja pada Departemen Sastra Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
KREATIF DAN INSPIRATIF
Puisi
36
Saddam HP Sebelum Hujan Turun Lihat, kaupikir amarahmu padaku tak mengganggu cuaca?
Kejut mataku karena kutukmu mengilapkan kilat di langit. Teguh tulahmu atasku bersahut geletar guntur gemuruh.
Maka, biarlah hujan turun agar di pipiku tersamar air mata.
(Penfui, 2012)
Edisi April 2013
Puisi
37
Demi Tuhan Dengan nada pada oktaf paling tinggi mereka memuji kurban tubuh penuh maaf di kapela seperti suara litani sedang aku dengan kata paling puisi terus meramu sajak di pojok yang tak pernah layak di hadiratMu.
(Citra, 2013)
*) Saddam HP lahir di Lasiana pada 21 Mei 1991. Saat ini mahasiswa semester III Fakultas Filsafat Agama Universitas Katolik Widya Mandira Kupang. Sejumlah tulisannya dipublikasikan di Pos Kupang, Timor Express dan Victory News dan Jurnal Sastra Filokalia. Tergabung bersama Komunitas Sastra St. Mikhael Penfui dan Komunitas Sastra Dusun Flobamora.
KREATIF DAN INSPIRATIF
Puisi
38
Hanya Tuhan Sa yang Tau... Amanche Franck Oe Ninu
Dar tadi sore beta liat Naef Lipus dan Ama Titus bolak-balek pi
Mamtua Debora pung rumah tartau mo beking apa. Beta curiga.
Baptua dua ni jang-jangan ada apa-apa dengan mamtua Debora, janda
manis di katong pung dusun. Mamtua Debora ju dudu ko manangis-
manangis dari tadi siang. Beta pikir Ama Titus deng Naef Lipus ada
beking masalah deng mamtua ko mamtua manangis. Padahal beta
dapa dengar dari Om Nadab katong pung tetangga, bilang Mamtua
Debora ada manangis karna inga katong pung basudara empat orang
NTT ada dapa bunu di Yogya.
Kebetulan Mamtua Debora liat ame foto di Koran Pos Kupang
deng gambar di internet jadi mamtua dudu ko manangis. Kasian e.
Beta ju rasa bersalah karna su bacuriga Ama Titus deng Naef Lipus.
Su amper satu bulan ni, katong di NTT lagi sedih karna ini kasus
penembakan sadis di penjara Cebongan Sleman Yogya. Memang
talalu biadab. Kalopun katong pung empat basudara tu salah, na
proses dong babae to. Kanapa pi maen hakim sandiri. Memangnya ini
Negara son bisa lindungi dia pung warga ko? Sampe-sampe orang pi
kasi ancor fasilitas negara, trus bunuh katong pung sodara dalam
penjara ju rasa biasa-biasa sa. Bagitu beta tamba jengkel karna ada
berita bilang beta pung sodara empat orang ni pareman di Yogya.
“He, jadi lu pikir lu omong enak sa, abis lu bunuh sama dong deng lu
pung suka”. Mama! Coba itu orang yang omong tu, dia ada pasti beta
kasi masok dia di jambatan Temef. Memangnya pantas dong dibunuh
bagitu? Talalu e! Jangan dong pikir beta pung sodara dong ni
penjahat, ko dong beking suka-suka. Tuhan e! Beta tiap hari doa
supaya itu pelaku penyerangan dong sadar diri ko bertobat e. Tapi
memang talalu biadab. Ular Liuksaen sa masih ada dia pung hati
nurani. Ma ini pelaku LP Cebongan dong ni pasti talalu baular, bababi
deng baanjing. Beta tamba sedih karna Mamtua Debora pung
Edisi April 2013
KUSU-KUSU
39
manangis su lebe dar satu malam. Beta pi bujuk ju tar ontong. Naef
Lipus deng Ama Titus ju dapa lempar dar korsi gara-gara mo batogor
mamtua. Untung mamtua masi bisa makan ko minum aer, jadi biar
manangis ju, tapi tetap ada tenaga.
Katong memang berharap, ini kasus penembakan ni bisa dapa urus
babae dan setuntas-tuntasnya. Jang sampe terulang hal yang sama.
Ini Negara ni mo bubar ko? Kalo mo bubar na kastau babae.
Makanya katong pung aparat negara dong ni harus mampu kasi tegak
ini hukum dan undang-undang. Kalo beta son salah, katong pung
negara ni negara hukum to? Selain ini kasus yang beking katong
pung hati tairis-iris, katong ju sonde lupa korban Rokatenda. Banya
sodara yang susah karna itu gunung malatus. Beta ada baajak ana
dusun dong ko bakumpul dana untuk korban Rokatenda di Falores.
Kasian e. Tapi son apa-apa, biar susah-susah katong ju bisa babantu.
Katong hanya berharap supaya katong tetap kuat walopun ada
tantangan deng banya hal yang kadang beking katong son mangarti.
Betul e. Beta jadi inga itu malam, Mamtua Debora manangis sambil
batarea bilang; hanya Tuhan sa yang tahu, katong pung susah e…
Ina, Ama. Memang batul, kadang katong son tahu apa yang akan
terjadi dalam katong pung idop, tapi Tuhan tau. Katong hanya bisa
berusaha supaya jang sampe katong pung daerah ato negara kaco,
hanya gara-gara satu dua orang pung babeking. Neu, bagitu sa e, beta
pi liat Mamtua Debora ko dia jang manangis sampe satu malam.
Bagitu sa e. Da… Salam. Palate! Palato!
*) Amanche Franck Oe Ninu, Pr. adalah penggagas sejumlah komunitas sastra di
Kupang. Dua bukunya, Humor Anak Timor (Kumpulan Humor, Pantun dan
Plesetan) dan Pesona Flobamora (Kumpulan Pantun dan Cerpen) diterbitkan
oleh Penerbit Lima Bintang, Kupang (2011). Peserta Ubud Writers and Readers
Festival 2012. bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Karyanya juga
tergabung dalam antologi Voices of the Archipelago (UWRF, 2012) dan tersiar di
sejumlah media di NTT. Kini dipercaya oleh kerabat sekomunitasnya sebagai
koordinator Komunitas Sastra Dusun Flobamora.
KREATIF DAN INSPIRATIF
Kusu-kusu
40
Edisi April 2013
PROFIL
Joko Pinurbo
Dari Celana hingga Puitwit
Pada akhir Oktober 2011, mewakili NTT, kami (saya dan Frater
Ishack Sonlay) berangkat ke Ternate untuk mengikuti Temu
Sastrawan Indonesia IV. Ini merupakan even sastra pertama yang
kami ikuti. Bagi saya, selain menuntaskan dahaga keingintahuan saya
terhadap perkembangan sastra di tanah air melalui silaturahmi
dengan teman-teman dari daerah lain, keberangkatan saya ke Ternate
adalah juga untuk melihat langsung salah satu kurator kegiatan ini
yang juga merupakan salah satu inspirasi saya dalam menulis puisi:
Joko Pinurbo (Jokpin).
S e b e l u m n y a , s a y a
mengenal puisi-puisi Jokpin
sejak duduk di bangku SMA
lewat salah satu harian
nasional yang ada di
perpustakaan kami. Tidak
dapat ditampik, pesona
Jokpin di kalangan teman-
teman penyair seangkatan
saya sangat besar. Salah satu
buktinya, waktu pertama kali
makan siang di Ternate,
Herton Maridi (seorang
teman dari Bandung)
langsung mengajak kami
untuk bergambar bersama
Jokpin dengan logat Sundanya yang kental, “Eh, ada Jokpin. Foto
bareng, yuk!”
Joko Pinurbo lahir di Sukabumi pada 11 Mei 1962. Setelah
menamatkan SMA Seminari Mertoyudan, ia melanjutkan
pendidikannya ke IKIP (sekarang Universitas) Sanata Dharma
Jokpin sedang bersantai di lobi hotel tempat
para peserta TSI IV, Ternate menginap
41
KREATIF DAN INSPIRATIF
Profil
Yogyakarta tempat ia kemudian mengajar. Jokpin merupakan salah
satu penyair yang paling penting dalam perjalanan kesusasteraan
Indonesia. Puisi-puisinya yang jenaka, terkesan ringan dan
mengejutkan membuat segala bentuk yang ditawarkan oleh generasi
kepenyairan terdahulu dipertanyakan kembali. Setelah terbit Celana
(1999), disusul kumpulan-kumpulan puisi selanjutnya: Di Bawah
Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003),
Kekasihku (2004), Pacar Senja (2005), Kepada Cium (2007) hingga
Tahilalat (2012), kekuatan Jokpin dalam mengakrabi objek keseharian
seperti kamar mandi, kopi, insomnia, celana hingga tema-tema
keagamaan sangat terasa. Ia menawarkan hal-hal yang dianggap berat
dengan cara yang seolah main-main namun selalu mengejutkan. Pada
tahun ini, ia menerbitkan kumpulan kicauannya (yang disebut puitwit
atau puisi-twitter) di dunia maya dengan judul Haduh, aku di-follow.
Efektivitas penggunaan kata dan penghadiran kejutan melalui
penggunaan citraan-citraan tertentu sangat terasa tidak hanya pada
puisi-puisi pendek Jokpin, melainkan pula pada sejumlah puisinya
yang lebih panjang. Sebagai contoh, pada puisi Celana Ibu, kejutan
dihadirkan setelah puisi tersebut disusun dengan bangunan naratif
yang mengarah pada tradisi iman tertentu: “Paskah?” tanya Maria. “Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira. Mengenakan celana cinta buatan ibunya, Yesus naik ke surga.
Karya-karyanya memenangi sejumlah penghargaan sastra dan
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Kumpulan puisi
pertamanya Celana memperoleh Hadiah Sastra Lontar 2001, dan
diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Trouser Doll (2002). Ia
juga memperoleh Sih Award untuk trilogi puisinya „Celana 1‟, „Celana
2’, dan ‘Celana 3’ (2001) serta dipilih sebagai Tokoh Sastra 2001 versi
Majalah Tempo. Menerima Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2002)
untuk kumpulan Di Bawah Kibaran Sarung, kemudian Khatulistiwa
Literary Award (2005) untuk kumpulan puisi Kekasihku. Tahilalat
dipilih sebagai Karya Sastra Terbaik 2012 Pilihan Tempo. (rio)
42
Krisis Manusia Modern
Mezra E. Pellondou
Judul : Rumah Lipatan
Penulis : Kopong Bunga Lamawuran
Tebal : iv + 84 halaman
Penerbit : Literat, Bandung
Cetakan Pertama, Oktober 2012
ISBN : 978-602-18630-1-5
Karya sastra merupakan struktur, produksi
dari strukturasi yang berlangsung secara
terus-menerus dunia subjek tertentu terhadap dunia dalam rangka
membangun keseimbangan antara subjek itu dengan lingkungan
sosial dan alamiahnya. Hubungan antara struktur internal dengan
konteks strukturasi tidak didasarkan pada kesamaan isi tetapi pada
homologi strukturalnya.
Rumah Lipatan menunjukkan kaitan erat dengan persoalan
perubahan kebudayaan dengan memilih topik Pendidikan, pengarang
bergerak melalui struktur mental (pandangan dunia pengarang)
sebagai subjek trans-individual, yang menunjukkan sikap dan
tanggung jawab individu dan lembaga pada persoalan pendidikan.
Melihat pikiran estetika maupun persoalan dunia pendidikan yang
diangkat, novel ini lahir pasca reformasi bahkan terkesan mencoba
memasuki dunia postmodern. Dalam Rumah Lipatan ini, ada
kecenderungan pilihan untuk berpihak pada pembongkaran nilai-nilai
baku namun pengarang belum berani memiliki sejumlah keberanian
untuk membebaskan diri para tokohnya dari lembaga, kekuasaan atau
kendali tokoh Prof Dorrio. Penderitaan para tokoh (aku dan para
Edisi April 2013
RESENSI
43
mahasiswa) tidak lebih dari sarana menguntungkan para dosen yang
malas dan menganggap tugas mengajar hanyalah sebuah upaya
masuk ke kelas hanya sekali, membagi-bagikan salinan materi dan
sebulan kemudian melakukan ujian akhir. Dan tidak seorang
mahasiswa pun yang mampu menunjukkan reaksi dengan terang-
terangan bahwa mereka telah dirugikan dengan tipikal dosen seperti
itu. Penderitaan para mahasiswa hanya sebatas bahan diskusi antar-
tokoh Juna Gersom dengan Bima, dengan Angel atau dengan
Amikus. Sungguh jauh dari semangat reformasi, jika benar
pengarang ingin memasuki postmodern seperti bebereapa ciri atau
karakteristik yang diupayakan pengarang diperlihatkan kepada
pembaca.
Penjelasan saya adalah Rumah Lipatan melukiskan jati diri tokoh
melalui arus pikiran, harapan dan mimpi tokoh (stream of consciousness)
seperti gambaran tentang tokoh Bima, yang dilukiskan lewat arus
pikiran tokoh aku. Harapan dan mimpi tokoh aku (Juna Gersom) yang
dilukiskan lewat aurs pikiran (monolog) tokoh aku (stream of
consciousness) berdasarkan sikap, harapan dan mimpi tokoh Bima.
Teknik penceritaan yang demikian merupakan ciri-ciri karya
postmodern. Namun tidaklah serta-merta langsung disebut demikian
pula karena beberapa kendala bahasa novel membuat novel ini
memerlukan banyak evaluasi berkaitan dengan bahasa.
Namun masih berkaitan dengan lingkungan postmodern, novel ini
mengisyaratkan kecenderungan pandangan yang menolak bingkai
lingkungan, kekuasaan dan kepercayaan yang mapan. Penolakan pada
bingkai kekuasaan ini dapat dilihat dari sikap tokoh-tokohnya.
Umumnya tokoh-tokoh seperti Juna Gersom dan Bima menganggap
kekuasaan bagi mereka sebagai sebuah ancaman yang dapat
menyebabkan penindasan terhadap eksistensi diri.
Juna Gersom (aku) menganggap bahwa memakai kemeja ke
kampus (dan sebagainya) tidak sesuai dengan eksistensi diri manusia
KREATIF DAN INSPIRATIF
Resensi
44
yang hakiki. Akhirnya tokoh Prof Dorrio terbentuk (dan sengaja
dibentuk) pengarang sebagai sekutu. Sayangnya paralelisme yang
dibangun akibat berkemeja menjadi kontradiktif diterima karena
pengarang mengatakan lewat tokoh Juna bahwa:
Aturan yang dibuat untuk keamanan ruangan itu cukup memberatkan
hati. Berkemeja. (hlm. 19).
Antara keamanan dan berkemeja, tidak paralel, gagasan yang
dimunculkan tidak cukup mendukung.
Perhatikan pula dengan pernyataan penampilan-penampilan yang
menggoda dalam kutipan selanjutnya di bawah ini, akankah sebanding
dengan bagaimana penampilan mahasiswa jika tidak berkemeja atau
jika berpakaian lebih bervariasi? Manakah penampilan menggoda yang
paling kuat dimunculkan?
Dalam waktu yang tidak lama, kampus menjadi tempat yang penuh dengan
penampilan-penampilan yang menggoda. (hlm. 19).
Inti dari eksistensi diri yang ingin diperjuangkan untuk melawan
aturan Prof Dorrio menjadi sangat kabur, yang berakibat pengarang
tidak cukup kuat membangun dan membentuk tokoh Aku (Juna)
sesuai harapan postmodernisme. Eksistensi diri manusia Juno hanya
terletak pada sikap yang tidak menjalankan aturan itu adalah sebuah
kegembiraan tersendiri. Namun itu pun tidak cukup jelas dideskripsikan
karena pengarang membangun eksistensi tersebut hanya dengan
sebuah kalimat kontradiktif yang membutuhkan kejelian dan
kecerdasan pembaca memahaminya, tidak berdasarkan teks yang
dimunculkan. Di sinilah letak kekhasan postmodernisme tidak selalu
digambarkan dari apa yang ditulis. Terkadang struktur teks tidak
mampu menjawab kebutuhan pembaca yang tidak jeli atau tidak ingin
berusaha memahami. Atau bahkan sebaliknya bagi pembaca yang
cukup jeli dan berkeinginan kuat memahaminya sehingga bagi
pembaca seperti itu teks dan struktur tidak lagi cukup untuk
menemukan eksistensi diri yang ingin disampaikan tersebut.
Edisi April 2013
Resensi
45
Berikut kutipan lengkap untuk penjelasan saya di atas:
Harus rapi, kalau tidak rapi, diusir pulang. Membanggakan! Dan satu
kegembiraan tersendiri adalah ketika tidak menjalankan aturan
itu, kita langsung diusir pulang. Aturan adalah segala-galanya sejak itu.
(hlm. 19).
Satu kegembiraan tersendiri dan tidak menjalankan aturan merupakan
sebuah kontradiktif yang paralel karena sebagai pembaca kita telah
ditanamkan oleh pengarang karakter tokoh aku yang mengarah pada
postmodern.
Dapat dipahami bahwa kekuasaan Prof Dorrio yang dibangun
lewat aturan yang dibuatnya dan selama Dorrio menjadi Ketua
Jurusan, oleh Juna dianggap ketat (berkemeja) saat ke kampus/
berkuliah merupakan aturan yang tidak bernilai. Bagi Juna, nilai lebih
mulia dari aturan. Di mata Juna, tidak ada sebentuk nilai pun yang
dapat diperjuangkan dari sebuah aturan berkemeja ke kampus, kecuali
satu hal memperkokoh kekuasaan Dorrio, yang oleh pengarang,
Dorrio dikelaskan sebagai orang hebat, sedangkan mahasiswa yang
sepihak dan sependapat dengan Juna oleh pengarang dikelaskan
sebagai kaumku, dilihat dari sudut pandang Juna.
Sebenarnya pengelasan ini tidak memberikan sejumlah kekuatan
untuk membentuk konflik cerita mengarah pada tujuan pengarang
sejak awal yakni kecenderungan melawan kekuasaan dan menolak
bingkai kekuasaan. Namun sayangnya, sekali lagi (maaf), sejumlah
keberanian belum dimiliki pengarang untuk tujuan tersebut.
Termasuk keberanian untuk membangun silogisme estetika pada
pembaca. Pengarang menghadirkan kelas orang pintar, sebagai
pendukung kekuasaan (setuju pada aturan berkemeja), kelas orang
hebat yang tidak berpihak pada kaumku (tidak setuju pada aturan
berkemeja), namun tidak ada premis pendukung (alasan) untuk kelas
kaumku, sedangkan pada kelas orang pintar, pengarang memberikan
sejumlah premis (alasan). Itulah yang menurut pembaca lemahnya
KREATIF DAN INSPIRATIF
Resensi
46
membangun silogisme estetika membawa kecenderungan simpulan
yang tidak linear dari maksud pengarang. Sesungguhnya,
postmodernisme membuka peluang yang besar bahkan menerima
bentuk-bentuk yang tidak linear dari gagasan yang dibangun namun
jika itu diperuntukkan untuk tujuan awal menulis maka hasilnya pasti
sangat mengagumkan. Namun yang tidak linear itu akan menjadi
tidak berarti jika terkesan mementahkan tujuan cerita. Kekuasaan
akhirnya tetap dilawan, didobrak bahkan diupayakan diruntuhkan
oleh kaumku namun kaumku tidak memiliki pijakan kokoh, termasuk
keberanian untuk melakukannya. Keberanian hanya bisa muncul jika
eksistensi diri dipahami dengan baik.
Sebenarnya lukisan kekuasaan Prof Dorriio telah dibawa juga ke
jalan raya sebagai ajang pamer dan saling merendahkan. Terjadinya
pengotakan antara kaumku (istilah tokoh Juna Gersom) dengan
kekuasaan itu sendiri (diwakili oleh Prof Dorrio) telah diperkenalkan
pengarang lewat „jalan raya‟ sebagai setting pembuka. Latar yang
menarik karena untuk memasuki sebuah kekuasaan (entah untuk
mendudukinya, menaklukkan atau meruntuhkan, mendobrak atau
memihak) orang harus belajar mengenalnya terlebih dahulu.
Perkenalan yang cukup menyakitkan diawali dengan insiden kecil
(tapi cukup memicu) kemarahan kaumku (Juna Gersom) dengan
kekuasaan itu sendiri adalah ketika mobel mewah Prof Dorrio melaju
tanpa peduli pada para pejalan kaki (kaumku) yang berakibat tokoh
Juna Gersom terciprat bukan hanya air hujan jalanan raya namun
lumpur. Pertikaian terjadi diawali dengan kemarahan dan maki-maki
dari pihak Juna Gersom (kaumku). Sedangkan pihak penguasa (yang
sesungguhnya sangat marah namun merasa sangat jatuh harga
dirinya jika memarahi kaumku) terlihat sepreti menerima caci-maki
tersebut, menampung aspirasi dan makian kauku namun
sesungguhnya yang terlihat itu tidak seperti yang akan terjadi
selanjutnya. Pertikaian tersebut membentuk siklus kemarahan yang
Edisi April 2013
Resensi
47
berkelanjutan bahkan masuk pada dendam kesumat. Orang-orang
postmodern memang pandai menyimpan semua kebobrokan
menutupinya dengan rapi, namun tidak berarti terbebas perasaan
hatinya.
Secara keseluruhan semua tokoh menunjukkan adanya penurunan
kadar kepercayaan terhadap otoritas pendidikan pada umumnya dan
perguruan tinggi khususnya. Namun latar bukan tujuan cerita, latar
hanyalah sebuah alat yang dipakai untuk membentuk kelas dan
membangun konflik antarkelas akibat dari kecenderungan mendobrak
kekuasaan sebagai tujuan penulisan.
Krisis manusia modern terjadi pada keseluruhan cerita. Manusia-
manusia yang berada dalam cengkeraman modernisasi yang
cenderung permisif terhadap aturan dibandingkan kemanusiaan itu
sendiri. Nilai lebih tinggi dari aturan, bahkan sebaliknya aturan
merupakan dewa untuk membantai kemanusiaan itu sendiri. Manusia
modern dengan kecanggihannya tidak mungkin akan bertindak
seperti Galileo Galilei (1564-1642) yang untuk membuktikan
ketidakbenaran teori Aristoteles (384-322 SM) bahwa kecepatan
benda yang sejenis sebanding dengan berat benda tersebut, Galileo
harus berjuang naik ke menara miring Pisa di Italia dan melemparkan
bola-bola besi dengan berat yang berbeda. Semua bola besi tersebut
jatuh dalam waktu yang bersamaan sekali pun beratnya berbeda-beda.
Manusia modern cenderung tidak memilih naik ke menara Pisa
namun cenderung menjadi menara Pisa itu sendiri, atau ada yang
hanya menjadi penonton adegan tersebut, ada yang memilih menjadi
bola-bola besi yang siap dilemparkan dan mereka sangat
menikmatnya karena telah berfungsi dengan baik untuk membuktikan
ketidakbenaran sebuah teori, namun tidak sedikit manusia-manusia
modern yang bahkan memilih membunuh Galileo Galilei agar mereka
terus berada dalam ketidakbenaran bersama teori tersebut.
Dunia kekuasaan memiliki semua analogi tersebut. Pengarang
KREATIF DAN INSPIRATIF
Resensi
48
menggunakan kampus sebagai analogi rumah di mana hubungan
dosen dan mahasiswa selayaknya hubungan seorang ayah dengan
anaknya namun yang terjadi justru sebaliknya. Hubungan
menampakkan kampus sebagai sebuah kekuasaan, dan lama-kelamaan
manusia-manusia di dalamnya menganggap biasa hal tersebut, bukan
sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan, kecuali tokoh-tokoh
seperti Juna dan Bima dihadirkan pengarang untuk mendobrak
kekuasaan itu sendiri atau mengembalikan sesuatu pada yang
seharusnya bukan pada yang biasanya terjadi selama ini.
Dalam kekuasaan itu sendiri terdapat pula tokoh seperti Pak
Genito yang memilih jadi bola yang mungkin tidak menarik bagi
siapapun, karena begitu berbedanya dengan Prof Dorrio. Pak Genito
saat memberikan kuliah melakukan tatap muka, memberikan
penjelasan secara klasikal, tidak memakai modul yang harus dibeli
mahasiswa, sehingga perpustakaan dimanfaatkan, kreativitas
membaca tumbuh subur di kalangan mahasiswa karena terdapat
daftar buku yang harus dicari dan dibaca mahasiswa. Berbeda dengan
Prof Dorrio yang datang mengajar hanya untuk mengisi daftar hadir
mahasiswa, dan memberikan sanksi pada mahasiswa yang tidak
masuk atau menyela saat dia berbicara. Setelah mengabsen, modul
diberikan pada mahasiswa untuk diperbanyak dan langsung dilakukan
ujian pada minggu berikutnya. Dibentuknya tokoh Juna dan Bima
oleh pengarang untuk tujuan memberikan pencerahan dan
memperjuangkan dengan baik apa yang seharusnya terjadi dalam
sebuah kampus bukan apa yang biasanya terjadi. Namun sayang
ketokohan Bima dan Juna tetap mempertahankan status quo.
Mungkin itulah yang menjadi alasan judul novel ini adalah Rumah
Lipatan. Kekuasaan telah melipat-lipat kemanusiaan menjadi tidak
berbentuk, ibarat sebuah rumah atau tidak bisa ditegakkan lagi sebuah
rumah yang layak dihuni. Sebuah rumah yang tidak lagi nyaman
dalam tangan kekuasaan.
Edisi April 2013
Resensi
49
Penulis yang baik, konon bekerja mulai dari apa yang ia tahu.
Kopong Bunga Lamawuran telah bekerja dari apa yang ia tahu.
Penulis yang lebih baik mestinya memperkaya apa yang ia tahu
itu dengan banyak hal yang orang lain belum tahu, dan lewat
tulisannya mampu meyakinkan perjuangannya. Kopong teruslah
belajar meyakinkan pembaca bahwa tokoh-tokoh yang kamu ciptakan
memfungsikan perannya dengan baik, ketika struktur cerita itu
sendiri tidak mampu mengatakannya. Memang tidak seharusnya
apresiasi pembaca hanya berhenti pada sebuah struktur. Sehingga
ketika terjadi ketidaktepatan dalam penggunaan bahasa, dalam
menjalin struktur cerita, silogisme estetika mampu membangun
premis yang linear atau bahkan tidak linear sekalipun sehingga tujuan
cerita bisa ditangkap pembaca entah secara linear atau tidak linear
sekalipun. Silogisme estetis tidak bisa dipandang remeh (maaf,
silogisme estetis ini adalah istilah saya, karena penulisan kreatif
kadang menolak silogisme logika) hanya karena alasan sebuah
penulisan kreatif, maka penokohan dan karakter mungkin bisa sedikit
menolong karena sebuah struktur hendaknya dipandang sebagai
sebuah koherensi. Dengan demikian silogisme estetika mampu
membangun silogisme logika pembaca.
Akhirnya, sebagai pembaca saya mengucapkan kepada Kopong
Bunga Lamawuran, selamat datang di dunia penulisan kreatif.
Kopong telah bekerja mulai dari apa yang Kopong tahu. Teruslah
menjadi penulis yang lebih baik lagi. beberapa media kreatif bisa
menjadi ajang pengasahan diri semisal Jurnal Cerpen Indonesia, jurnal
sastra, dan berbagai media massa tanpa batasan pilihan. Khusus di
Kota Karang ini, kita telah memiliki Jurnal Sastra Santarang, Jurnal
Sastra Filokalia dengan penulis muda yang cukup berbakat dan
kreatif, yang juga memiliki komunitas sastranya sendiri namun
bersatu dalam perjuangan mengangkat peradaban bangsa lewat
menulis. Semisal, Amanche Franck yang telah menggagas Komunitas
KREATIF DAN INSPIRATIF
Resensi
50
Sastra St. Rafael dan Komunitas Sastra Dusun Flobamora.
Selanjutnya nama-nama yang bisa saya sebutkan semisal Mario F
Lawi, dan kawan-kawan yang berjuang dengan Santarang. Majalah
Loti Basastra yang akan diluncurkan oleh Kantor Bahasa juga Kelas
Menulis Inspirasi Mezra, semuanya jika berdenyut dalam persaudaraan
yang kuat maka akan mampu (maaf sebelumnya jika kata-kata berikut
saya meminjam pernyataan Amanche Franck, karena saya telah
membaca Dusun Flobamora sebagai „saya‟ dan juga „penulis‟ serta
„pecinta‟ sastra lainnya) menghidupkan dan mengembangkan Dusun
Flobamora sebagai dusun di mana orang datang dan bersaudara,
berkembang dalam tulis-menulis. Amin.
Keterangan:
Tulisan ini pernah disajikan pada acara bedah novel Rumah Lipatan di
aula PBS, FKIP Undana pada tanggal 6 April 2013.
*) Mezra E. Pellondou lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 21 Oktober 1969. Sejumlah tulisannya dipublikasikan di beberapa media lokal hingga nasional juga terangkum dalam berbagai antologi. Memenangi sejumlah penghargaan menulis tingkat nasional. Membimbing beberapa kelas penulisan kreatif dan bengkel teater. Novel-novelnya yang telah terbit: Surga Retak (2006), dwilogi Loge dan Nama Saya Tawwe Kabotta (2008) serta Perempuan dari Lembah Mutis (2012).
Edisi April 2013
Resensi
51
KREATIF DAN INSPIRATIF
KARIKATUR
52