Download - Case tifoid + tb
Laporan kasus
LATAR BELAKANG
Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara
berkembang. Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, ditopang dengan
bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus
multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe, dan Peyer’s patch.
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan,
sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang
masih rendah. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian
tiap tahun. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/
tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
Selain demam tifoid, tuberkulosis paru juga banyak terdapat di negara berkembang
dibandingkan negara maju. Pada penelitian didapatkan kasus TB < 15 tahun adalah 15% di
negara bekembang, sedangkan 5-7% di negara maju. Di Indonesia, TB anak terbanyak pada usia
12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi < 12 bulan (16,5%).
Selain itu, United Nations Children’s Fund (UNICEF) juga melaporkan Indonesia berada
di peringkat kelima dunia untuk negara dengan jumlah anak yang terhambat pertumbuhannya.
Kondisi gizi salah terutama diderita oleh anak-anak yang sedang tumbuh dengan pesat yaitu
kelompok balita (bawah lima tahun) dimana prevalensinya pada anak balita masing tinggi + 30-
40%.
1 Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
RSPI PROF DR SULIANTI SAROSO
IDENTITAS MAHASISWA
Nama : Sulistio Anita
NIM : 406148124
Periode : 14 Desember 2015 – 20 Februari 2016
Pembimbing : dr Dedet Sp.A
Topik : Demam Tifoid + TB Paru + Gizi Buruk
2 Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
IDENTITAS PASIENNama : An. WW
Jenis Kelamin : Laki – Laki
Umur : 4 tahun
BB : 11 Kg
Alamat : Jl. Budi Mulia RT 10/12 Pademangan
IDENTITAS ORANG TUANama Ayah : Tn. Sapramin
Umur : 29 tahun
Pekerjaan : Pedagang
Pendidikan : SMP
Alamat : Jl. Budi Mulia RT 10/12 Pademangan
Agama : Islam
Bangsa/ Suku : Madura
Nama Ibu : Ny. Asriatun
Umur : 20 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMP
Alamat : Jl. Budi Mulia RT 10/12 Pademangan
Agama : Islam
Bangsa/ Suku : Madura
Hubungan dengan orang tua : anak kandung.
3 Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
ANAMNESATanggal masuk rumah sakit : 21 Desember 2015 Pukul 03.00 WIB
Tanggal pemeriksaan : 21 Desember 2015 Pukul 10.00 WIB
Diambil dari : Allo anamnesa (Ibu dan ayah os)
Keluhan Utama : Demam
Keluhan Tambahan : mencret, susah BAB, sakit perut, batuk, keringat malam
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANGOs datang ke IGD dengan membawa hasil darah tanggal 20 Desember 2015. Sejak 5 hari
sebelum masuk rumah sakit (smrs) ibu os mengeluh os demam, demam dirasakan naik turun,
naik terutama pada malam hari dan turun menjelang pagi hari namun tidak kembali ke suhu
normal. Suhu ketika demam pada malam hari sempat mencapai 40,4°C. Ibu os mengaku selama
sebulan terakhir badan os memang sering hangat namun hilang timbul dan sering sembuh
sendiri. Tidak disertai dengan kejang.
Keluhan lain yang juga dirasakan adalah mencret sebanyak 1 kali 5 hari sebelumnya, ada
ampas sedikit, jumlah lumayan banyak, berwarna kuning kecoklatan, tidak ada lendir dan darah.
Sekarang pasien susah BAB sejak 5 hari SMRS.
Ibu os juga mengeluh os mulai batuk sejak 1 hari smrs. Batuk tidak berdahak, tidak ada
darah dan tidak disertai dengan sesak nafas. Ibu os mengaku os memang sering batuk – batuk
namun batuk tidak terlalu mengganggu dan sering hilang sendiri tanpa diberi obat dan dapat
muncul kembali secara tiba - tiba.
Kadang – kadang os mengalami keringat pada malam hari ketika sedang tidur, keluarga
os mengira keringat pada malam hari tersebut dikarenakan rumah mereka tidak memiliki ac
maupun kipas angin.
Nafsu makan os juga beberapa hari ini semakin menurun namun tetap minum air putih
dengan banyak. Ibu os menyangkal adanya penurunan berat badan. BAK os lancar, dengan
warna air kemih kuning jernih. Os sudah dibawa ke puskesmas dekat rumah oleh kedua
orangtua, sudah diberi obat dari puskesmas tersebut berupa antibiotik dan obat penurun panas
(paracetamol), namun keluhan tidak membaik juga. Os ke poli anak RSPI Sulianti Saroso 1 hari
smrs dan disarankan untuk melakukan pengecekan darah.
4 Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Os belum pernah dirawat di rumah sakit dan tidak pernah mengalami keluhan seperti ini
dahulu. Riwayat kejang, asma, alergi makanan, alergi obat dan penyakit paru disangkal.
RIWAYAT KELUARGA
Os merupakan anak pertama. Ayah os bernama Tn. Sapramin berusia 29 tahun, bekerja
sebagai pedagang warung kecil - kecilan. Ibu os bernama Ny. Asriatun berusia 20 tahun bekerja
sebagai ibu rumah tangga. Ayah mengaku dahulu didiagnosa flek paru, pernah di periksa dahak
namun tidak tahu hasil BTA nya positif atau negatif, hingga sekarang tidak melakukan
pengobatan OAT, hanya melakukan pengobatan tradisional saja. Ibu os mengaku sehat dan
sedang tidak menderita penyakit apapun.
DATA PERUMAHAN
Os tinggal bersama kedua orangtua di rumah kecil dengan tepat depan rumah adalah
warung mereka, dengan ukuran 4x4 meter dengan 1 kamar tidur dan 1 kamar mandi. Keadaan
ventilasi kurang dan pencahayaan kurang, sinar matahari kurang dapat masuk ke dalam rumah.
Keadaan lingkungan sangat padat. Sumber air bersih berasal dari air PAM.
RIWAYAT KEHAMILAN DAN PERSALINAN
Kehamilan
Ibu os memeriksakan kehamilannya ke bidan namun tidak rutin, dan tidak mengalami
kelainan atau gangguan selama kehamilan.
Kelahiran
Tempat kelahiran : Rumah
Penolong persalinan : Paraji
Cara persalinan : Spontan pervaginam
Masa gestasi : Cukup bulan (40 minggu)
5 Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Keadaan bayi
Berat badan lahir : 3000 gram
Panjang badan lahir : 49 cm
Lingkar kepala : Tidak tahu
Langsung menangis : Langsung menangis
Nilai APGAR : Tidak tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada
RIWAYAT PERTUMBUHAN
Ibu os tidak rutin memeriksakan os ke puskesmas untuk kontrol. Os pergi ke
puskesmas/rumah sakit hanya pada saat jadwal imunisasi dan bila sakit saja. Menurut ibu os
pertumbuhan anaknya cukup baik, namun berat badan dan tinggi badan tidak sesuai dengan usia
os. Ibu os mengaku karena selama ini os sering susah makan oleh karena itu berat badan os
tergolong lebih kecil dari anak lain seusianya.
RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi pertama : 9 bulan
Gangguan perkembangan mental dan emosi (-)
Psikomotor :
Tengkurap : usia 3 bulan
Duduk : usia 7 bulan
Berdiri Sendiri : usia 9 bulan
Berjalan : usia 9 bulan
Berbicara : usia 12 bulan
6 Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
RIWAYAT IMUNISASI DASAR
Imunisasi dilakukan di posyandu sesuai dengan jadwal posyandu.
RIWAYAT MAKANAN
Os mendapatkan ASI sejak lahir hingga usia 2,5 tahun,namun tidak eksklusif. Os diberi
susu formula untuk menambahkan ASI sejak lahir, lalu secara bertahap os mengkonsumsi
biskuit, bubur susu, nasi tim dan makanan untuk dewasa. Os sering kali makan tidak teratur dan
susah bila disuruh makan . Os lebih sering jajan sembarangan, mengonsumsi cemilan seperti
snack dan permen dari warung. Ibu os juga mengaku bahwa sekarang os tidak suka minum susu
sehingga sangat jarang minum susu. Saat ini setiap hari os makan nasi dengan frekuensi ± 1-
2x/hari, porsi cukup
Makanan yang dikonsumsi saat ini
7 Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Vaksin
Usia (bulan)
0 1 2 3 4 9
BCG +
Hepatitis B + + + +
DPT + + +
Polio + + + +
Campak +
Jenis Makanan Frekuensi
Nasi putih 2x/hari
Sayur Jarang
Daging Jarang
Ikan Sering
Telur Sering
Tempe / Tahu Jarang
Susu Jarang
Laporan kasus
P EMERIKSAAN
Dilakukan pada tanggal : 21 Desember 2015 Pukul 10.30 WIB
PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (GCS= 15)
Tekanan darah : 100/60 mmHG
Suhu : 37,4 °C
Frekuensi Nadi : 98 x/mnt, teraba kuat angkat, isi cukup, dan teratur
Frekuensi napas : 28x/mnt
DATA ANTOPOMETRI
Berat badan : 11 kg
Tinggi badan : 96 cm
BMI : 11,94
Berdasarkan Z - score :
o Tinggi badan terhadap umur (TB/U) : di atas SD -2 (Normal)
o Berat badan terhadap umur (BB/U) : di bawah SD -3 (Gizi buruk)
o Berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB) : di bawah SD -3 (Sangat kurang)
o BMI terhadap umur (IMT/U) : di bawah SD -3 (Sangat kurang)
8 Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
9 Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
10
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
PEMERIKSAAN FISIK
Kulit : ikterik -, sianosis -, sedikit anemis
Kepala : normosefal, warna rambut agak kecoklatan
Mata : ca -/- si -/- cekung -/- edem -/-
Mulut : Bibir kering -, mukosa merah muda, faring hiperemis (-)
Telinga : serumen -/- sekret -/- membran timpani intak +/+
Hidung : sekret -/- deviasi septum nasi –, nafas cuping hidung -
Tenggorokan : Tonsil T1-T1 tenang, dinding posterior faring tidak hiperemis
Leher : KGB tidak teraba membesar
Thorax : Simetris kanan dan kiri, retraksi suprasternal dan intercostal -
Cor : BJ I-II normal, reguler, murmur -, gallop -
Paru : Inspeksi : Simetris dalam diam dan pergerakan nafas
Palpasi : Stem fremitus kanan-kiri sama kuat
Perkusi : Sonor, batas paru - hepar di ICS VI midclavicula
line dextra
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, wheezing -/-, ronki -/-
Abdomen : Inspeksi : Cembung, retraksi epigastrium -
Auskultasi : Bising usus (+) normal, 7x/m
Palpasi : Dinding perut supel
Hati Tidak teraba membesar
Limpa Tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat ke empat ekstremitas. CRT<2 detik
Pemeriksaan laboratorium tanggal 20 Desember 2015 jam 10.44
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL SATUAN
HEMATOLOGI
Leukosit 4,9 5,5 – 15,5 10^3/µL
Eritrosit 4,89 3,70 – 5,70 10^6/µL
Hemoglobin 11,1 10,8 – 15,6 g/dL
Hematokrit 34 31-43 %
11
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Trombosit 184 217-497 10^3/µL
M.C.V 69 72 – 88 fL
M.C.H 23 23 – 31 pg
M.C.H.C 33 26 – 34 g/dL
Pemeriksaan laboratorium tanggal 21 Desember 2015 jam 03.45
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL SATUAN
HEMATOLOGI
Leukosit 4,3 5,5 – 15,5 10^3/µL
Eritrosit 4,78 3,70 – 5,70 10^6/µL
Hemoglobin 10,8 10,8 – 15,6 g/dL
Hematokrit 32 31-43 %
Trombosit 172 217-497 10^3/µL
M.C.V 66 72 – 88 fL
M.C.H 23 23 – 31 pg
M.C.H.C 34 26 – 34 g/dL
Tes Tuberkulin dilakukan pada tanggal 21 Desember 2015 jam 10.00 dan hasilnya akan
dibaca tanggal 24 Desember 2015 jam 10.00
A : Suspek demam tifoid + suspek Tb paru + Gizi buruk
P :RL 1000cc/24 jam
Paracetamol sirup 3 x 1 Cth
Ambroxol sirup 2 x ½ Cth
Cetrizine 1 x 1/3 Tab
Periksa DL, UL, FL, Gula darah, dan thorax foto PA
FOLLOW UP22 Desember 2015 (rawat hari ke- 2 ) pukul 07 . 0 0
12
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
S: Os masih demam tadi malam hingga sekarang, bab cair 1x, ampas +, lemas, rewel dan
menangis terus. Batuk + mual – muntah -. Bak lancar.
O: KU / KES : TSS / CM
BB : 11 kg
Nadi : 120 x/menit
RR : 27 x/menit
Suhu : 39,7 oC
Kepala : normosefal, rambut kecoklatan
Mata : CA - / -, SI - / -
Hidung : sekret - / - , nafas cuping hidung (-)
Mulut : bibir kering (-), sianosis -
THT : tidak ada kelainan
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : Cor : BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : SDV + / +, rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : cembung, supel, timpani, BU (+) meningkat, NT (-), turgor
kembali cepat. Hepar dan lien tidak teraba.
Ekstermitas : akral hangat (+) , edem (-), CRT<2”
Kulit : turgor kembali cepat, sedikit anemis
Pemeriksaan Foto Thorax PA tanggal 21 Desember 2015 jam 15.06
13
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Cor besar normal
Infiltrat paracardial kanan + kiri
Hilus tebal
Corakan bronkovaskular kasar
Sinus, diafragma, baik
Kesan Pemeriksaan : TB Paru
Pemeriksaan laboratorium tanggal 21 Desember 2015 jam 19.19
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL SATUAN
HEMATOLOGI
Leukosit 3,5 5,5 – 15,5 10^3/µL
Eritrosit 4,93 3,70 – 5,70 10^6/µL
Hemoglobin 10,9 10,8 – 15,6 g/dL
Hematokrit 33 31-43 %
Trombosit 167 217-497 10^3/µL
M.C.V 66 72 – 88 fL
M.C.H 22 23 – 31 pg
M.C.H.C 33 26 – 34 g/dL
14
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Basofil 0 0 – 1
Eosinofil 0 1 – 5
Batang 2 3 – 6
Segmen 62 25 – 60
Limfosit 32 25 – 50
Monosit 4 1 – 6
LED 19 0 – 10
PEMERIKSAAN HASIL
SEROLOGI-IMUNOLOGI
IgM Salmonella typhi Positif negatif
IgG Salmonella typhi Negatif negatif
ELEKTROLIT
Gula darah sewaktu 127 74 - 106 mg/dL
Natrium darah 132 135 - 147 mmol/L
Kalium darah 3.34 3.5 - 5 mmol/L
Klorida 99 95 - 105 mmol/L
Skoring TB tanggal 22 Desember 2015
15
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
A : Demam tifoid + TB paru + gizi buruk
P : Kaen 3B 1000cc/24 jam
Paracetamol sirup 3 x 1 Cth
Ambroxol sirup 2 x ½ Cth
Cetrizine 1 x 1/3 Tab
Ceftriaxone IV x 750mg
23 Desember 2015 (rawat hari ke- 3 ) pukul 09 . 1 0
S: Saat ini demam turun. Tadi malam demam sempat mencapai 40oC, hari ini belum BAB,
BAK lancar jernih. Ibu os mengeluh os tidak nafsu makan, dari kemarin hanya makan
pisang 1 biji, lemas, rewel dan menangis terus, perut kembung, minum dan makan susah
O: KU / KES : TSS / CM
BB : 11 kg
16
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Nadi : 111 x/menit
RR : 25 x/menit
Suhu : 36,7oC
Mata : CA - / -, SI - / -
Hidung : sekret - / - , nafas cuping hidung (-)
Mulut : bibir kering (+), sianosis -
THT : tidak ada kelainan
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : Cor : BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : SDV + / +, rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : cembung, supel, timpani, Bising usus normal, NT (-), turgor
kembali cepat. Hepar dan lien tidak teraba.
Ekstermitas : akral hangat (+) , edem (-), CRT<2”
Kulit : turgor kembali cepat,sedikit anemis
A : Demam tifoid + TB paru + gizi buruk
P : Kaen 3B 1000cc/24 jam
Paracetamol sirup 3 x 1 Cth
Ambroxol sirup 2 x ½ Cth
Cetrizine puyer 1 x 1 pulv
Ceftriaxone IV x 750mg
Ulang DL dan elektrolit besok pagi
Konsul dokter spesialis gizi klinik
24 Desember 2015 (rawat hari ke- 4 ) pukul 07 . 20
S: Demam masih naik turun, belum BAB dari kemarin, BAK lancar jernih. Os susah untuk
makan dan minum obat, nyeri menelan -
O: KU / KES : TSS / CM
BB : 11 kg
Nadi : 96 x/menit
RR : 28 x/menit
17
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Suhu : 38oC
Mata : CA - / -, SI - / -
Hidung : sekret - / - , nafas cuping hidung (-)
Mulut : bibir kering (+), sianosis -
THT : tidak ada kelainan
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : Cor : BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : SDV + / +, rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : cembung, supel, timpani, Bising usus normal, NT (-), turgor
kembali cepat. Hepar dan lien tidak teraba.
Ekstermitas : akral hangat (+) , edem (-), CRT<2”
Kulit : turgor kembali cepat, sedikit anemis
Pemeriksaan laboratorium tanggal 24 Desember 2015 jam 08.06
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL SATUAN
HEMATOLOGI
Leukosit 2,4 5,5 – 15,5 10^3/µL
Eritrosit 4,42 3,70 – 5,70 10^6/µL
Hemoglobin 10 10,8 – 15,6 g/dL
Hematokrit 31 31-43 %
Trombosit 145 217-497 10^3/µL
M.C.V 70 72 – 88 fL
M.C.H 23 23 – 31 pg
M.C.H.C 32 26 – 34 g/dL
Basofil 0 0 – 1
Eosinofil 0 1 – 5
Batang 2 3 – 6
Segmen 53 25 – 60
Limfosit 41 25 – 50
Monosit 4 1 – 6
LED 28 0 – 10
18
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
PEMERIKSAAN HASIL
ELEKTROLIT
Natrium darah 129 135 - 147 mmol/L
Kalium darah 4,12 3.5 - 5 mmol/L
Klorida 99 95 - 105 mmol/L
Hasil tes mantoux: indurasi 1mm, kesan: negatif
A : Demam tifoid + TB paru + gizi buruk
P : terapi lanjut
25 Desember 2015 (rawat hari ke- 5 ) pukul 07 . 00
S: Demam maish naik turun. Batuk +, pilek -, masih malas makan, , Bab cair 1x, ampas +,
masih tidak mau makan, malas minum.
O: KU / KES : TSS / CM
BB : 11 kg
Nadi : 120 x/menit
RR : 30 x/menit
Suhu : 36,5 oC
Mata : CA - / -, SI - / -
Hidung : sekret - / - , nafas cuping hidung (-)
Mulut : bibir kering (+), sianosis -
THT : tidak ada kelainan
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : Cor : BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : SDV + / +, rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : cembung, supel, timpani, Bising usus normal, NT (-), turgor
kembali cepat. Hepar dan lien tidak teraba.
19
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Ekstermitas : akral hangat (+) , edem (-), CRT<2”
Kulit : turgor kembali cepat
Pemeriksaan Feses tanggal 25 Desember 2015 jam 13.40
Parasitologi Hasil Nilai normalMakroskopis
Warna Kuning -Konsistensi Lunak -
Lendir - -Darah - -
MikroskopisSisa pencernaan - -
Lemak + -Karbohidrat - -Serat-serat - -Leukosit 1 0-2/LPBEritrosit - 0-2/LPBParasit - Negatif
Telur cacing - NegatifJamur + Negatif
Pemeriksaan urin tanggal 25 Desember 2015 jam 13.40
Urinalisa Hasil Nilai normalBerat Jenis 1.015 1.015 – 1.025
pH 7.5 4.8 – 7.4Leukosit Esterase - Negatif / uL
Nitrit - NegatifAlbumin - Negatif / mg/dLGlukosa - Negatif / mg/dLKeton - Negatif / mg/dL
Urobilinogen + <=1 mg/dLBilirubin - Negatif / mg/dL
Urinalisa Hasil Nilai normalDarah - Negatif / mg/dL
Sedimen MikroskopisEritrosit 1 <3 / uLLeukosit - Negatif / uLSilinder - 0 – 1 / LPKEpitel + Negatif
Bakteri - NegatifKristal - Negatif
20
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
MakroskopisWarna Kuning -
Kejernihan jernih -Lain - lain - -
A : Demam tifoid + TB paru + gizi buruk
P : Ambroxol 2 x ½ Cth
Cetrizine 1x1 bks
Ceftriaxone 1x750 mg
Paracetamol drip 4 x 125 mg
Proris supp extra
26 Desember 2015 (rawat hari ke- 6 ) pukul 06 . 30
S: Sekarang demam-. Batuk berkurang, masih malas makan, Belum BAB, sudah mulai mau
makan dan minum cukup. Ada muncul sariawan di pipi bagian dalam sebelah kiri
O: KU / KES : TSS / CM
BB : 11 kg
TD : 110/80
Nadi : 115 x/menit
RR : 30 x/menit
Suhu : 36,8 oC
Mata : CA - / -, SI - / -
Hidung : sekret - / - , nafas cuping hidung (-)
Mulut : bibir kering (+), sianosis - , sariawan + pipi dalam kiri
THT : tidak ada kelainan
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : Cor : BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : SDV + / +, rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : cembung, supel, timpani, Bising usus normal, NT (-), turgor
kembali cepat. Hepar dan lien tidak teraba.
Ekstermitas : akral hangat (+) , edem (-), CRT<2”
21
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Kulit : turgor kembali cepat
Pemeriksaan laboratorium tanggal 20 Desember 2015 jam 10.44
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL SATUAN
HEMATOLOGI
Leukosit 4,1 5,5 – 15,5 10^3/µL
Eritrosit 4,89 3,70 – 5,70 10^6/µL
Hemoglobin 9,6 10,8 – 15,6 g/dL
Hematokrit 30 31-43 %
Trombosit 199 217-497 10^3/µL
M.C.V 71 72 – 88 fL
M.C.H 23 23 – 31 pg
M.C.H.C 32 26 – 34 g/dL
A : Demam tifoid + TB paru + gizi buruk
P : terapi lanjut
Abothyl s.u.e
27 Desember 2015 (rawat hari ke- 7 ) pukul 06 . 30
S: Demam-. Batuk berkurang, nafsu makan mulai membaik, minum sedikit tapi sering. Bab
cair -, bak lancar. Sariawan di pipi bagian dalam sebelah kiri mengecil
O: KU / KES : TSS / CM
BB : 11 kg
Nadi : 98 x/menit
RR : 28 x/menit
Suhu : 36,5 oC
Mata : CA - / -, SI - / -
Hidung : sekret - / - , nafas cuping hidung (-)
Mulut : bibir sedikit kering (+), sianosis - , sariawan + pipi dalam kiri
THT : tidak ada kelainan
22
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : Cor : BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : SDV + / +, rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : cembung, supel, timpani, Bising usus normal, NT (-), turgor
kembali cepat. Hepar dan lien tidak teraba.
Ekstermitas : akral hangat (+) , edem (-), CRT<2”
Kulit : turgor kembali cepat
Pemeriksaan laboratorium tanggal 27 Desember 2015 jam 7.37
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL SATUAN
HEMATOLOGI
Leukosit 5,03 5,5 – 15,5 10^3/µL
Eritrosit 4,36 3,70 – 5,70 10^6/µL
Hemoglobin 9,6 10,8 – 15,6 g/dL
Hematokrit 30 31-43 %
Trombosit 210 217-497 10^3/µL
M.C.V 69 72 – 88 fL
M.C.H 22 23 – 31 pg
M.C.H.C 32 26 – 34 g/dL
A : Demam tifoid + TB paru + gizi buruk
P : PCT sirup 3 x 1 p.r.n demam
Ambroxol 2 x ½ Cth
Cefixime 2 x ½ tab dijadikan pulv 2 x 1 pulv untuk 3 hari
Obat OAT mulai masuk tanggal 1 Januari 2016
OAT : INH 1 x 100 mg
Rifampisin 1x150mg
Pirazinamid 1x 250mg
28 Desember 2015 (rawa t hari ke – 8) : Os diperbolehkan pulang.
RESUME
23
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Telah diperiksa seorang anak perempuan berusia 4 tahun, datang dengan keluhan:
Demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS), demam dirasakan naik turun,
naik terutama pada malam hari dan turun menjelang pagi hari namun tidak kembali ke
suhu normal
Mencret sebanyak 1 kali 5 hari sebelumnya, ada ampas sedikit, jumlah lumayan banyak,
berwarna kuning kecoklatan, tidak ada lendir dan darah. Sekarang pasien susah BAB
sejak 5 hari smrs.
Batuk sejak 1 hari smrs. Batuk tidak berdahak, tidak ada darah dan tidak disertai dengan
sesak nafas. Ibu os mengaku os memang sering batuk – batuk namun batuk tidak terlalu
mengganggu dan sering hilang sendiri tanpa diberi obat dan dapat muncul kembali secara
tiba - tiba.
Keringat pada malam hari ketika sedang tidur, keluarga os mengira keringat pada malam
hari tersebut dikarenakan rumah mereka tidak memiliki ac maupun kipas angin.
Nafsu makan os juga beberapa hari ini semakin menurun
Os sudah dibawa ke puskesmas dekat rumah oleh kedua orangtua, sudah diberi obat dari
puskesmas tersebut berupa antibiotik dan obat penurun panas (paracetamol), namun
keluhan tidak membaik juga. Os ke poli anak RSPI Sulianti Saroso 1 hari smrs dan
disarankan untuk melakukan pengecekan darah.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (GCS= 15)
BB : 11 kg
Tekanan darah : 100/60 mmHG
Suhu : 37,4 °C
Frekuensi Nadi : 98 x/mnt, teraba kuat angkat, isi cukup, dan teratur
Frekuensi napas : 28x/mnt
Kulit : ikterik -, sianosis -, anemis –
Kepala : normosefal, warna rambut agak kecoklatan
Mata : ca -/- si -/- cekung -/- edem -/-
Mulut : Bibir kering -, mukosa merah muda, faring hiperemis (-)
24
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Telinga : serumen -/- sekret -/- membran timpani intak +/+
Hidung : sekret -/- deviasi septum nasi –, nafas cuping hidung -
Tenggorokan : Tonsil T1-T1 tenang, dinding posterior faring tidak hiperemis
Leher : KGB tidak teraba membesar
Thorax : Simetris kanan dan kiri, retraksi suprasternal dan intercostal -
Cor : BJ I-II normal, reguler, murmur -, gallop -
Paru : Inspeksi : Simetris dalam diam dan pergerakan nafas
o Palpasi : Stem fremitus kanan-kiri sama kuat
o Perkusi : Sonor, batas paru - hepar di ICS VI midclavicula line dextra
o Auskultasi : Suara dasar vesikuler, wheezing -/-, ronki -/-
Abdomen : Inspeksi : Cembung, retraksi epigastrium -
Auskultasi : Bising usus (+) normal, 7x/m
Palpasi : Dinding perut supel
Hati Tidak teraba membesar
Limpa Tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat ke empat ekstremitas. CRT<2 detik
Status gizi : Gizi buruk
Skoring TB : 7
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan:
No Tanggal Jam Hb Ht Trombosit Leukosit Lain-lain
1 20-12- 2015 10.44 11,1 34,3 184 4,9 S.Typhi IgM +
2 21-12-2015 06.47 10,8 32 172 4,3
3 21-12-2015 19.19 10,9 33 167 3,5
4 24-12-2015 21.54 10 31 145 2,4
5 26-12-2015 07.26 9,6 30 199 4,1
Pemeriksaan Feses (25/12/2015) : Jamur +
Urinalisa : (25/12/2015)
Leukosit : 1
25
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Epitel : +
Pemeriksaan foto thorax AP dan lateral (21/12/2015)
Cor besar normal
Infiltrat perihilar, paracardial kanan, kiri
Hilus tebal
Corakan bronkovaskular kasar
Sinus, diafragfma baik
Kesan pemeriksaan : TB Paru
Pemeriksaan mantoux (24/12/2015) : negatif
DIAGNOSADiagnosa : Demam Tifoid
Diagnosa tambahan :
TB paru
Gizi buruk
Diagnosa banding :
Demam Dengue
ISPA
PENGOBATANNon Medikamentosa :
Tirah baring
Asupan makanan dan minuman yang adekuat
Seluruh keluarga yang serumah agar diperiksa sputum BTA
Monitor BB 1x selama seminggu hingga BB mencapai 13 -14 kg.
Dikonsulkan ke dokter spesialis gizi dengan jawaban konsul:
Edukasi orangtua tentang makanan anak sehat dan gizi seimbang
Bentuk makanan lembek (Nasi tim) extra pisang 2x1buah,
26
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Motivasi anak dan orangtua agar dapat makan secara teratur dan bervariasi jika sudah
sembuh.
Medikamentosa :
IVFD RL KAEN 3B 1000cc/24jam
Paracetamol sirup 3 x 1 Cth p.r.n demam
Ambroxol 2 x ½ Cth
Cetrizine 1x1 bks
Ceftriaxone 1x750 mg 5 hari dilanjutkan cefixime 100mg 2 x 1 selama 3 hari
Paracetamol drip 4 x 125 mg
Proris supp extra
INH, Rifampisin, Pirazinamid (FDC)
INH 100 mg/hari
Rifampisin 150 mg/hari
Pirazinamid 250 mg/hari
PROGNOSA Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : bonam
ANALISA KASUS
27
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Demam Tifoid
Teori Kasus
Epidemiologi
Demam tifoid merupakan masalah
kesehatan di negara berkembang.
Diperkirakan angka kejadian
900/100.000/tahun di Asia. Indonesia
merupakan salah satu negara endemis
tifoid dengan 91% kasusnya terjadi
pada anak usia 3-19 tahun.
Pasien tinggal di Indonesia yang
merupakan negara endemis tifoid.
Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh
Salmonella typhi, bakteri gram negatif.
Penularan Salmonella typhi sebagian
besar melalui minuman / makanan
yang tercemar oleh kuman.
Pada kasus, pasien suka jajan atau
makan makanan sembarangan.
Gejala klinik
Demam tifoid dipertimbangkan jika
demam lebih dari 7 hari. Demam tifoid
merupakan demam step–ladder–
temperature–chart yang ditandai
dengan demam timbul insidius,
kemudian naik secara bertahap tiap
harinya dan mencapai titik tertinggi
pada akhir minggu pertama, setelah itu
demam akan bertahan tinggi dan pada
minggu ke-4 demam turun perlahan
secara lisis.
Ibu os mengatakan os mengalami
demam sejak 5 hari SMRS. Demam
muncul hilang timbul dan dirasakan
naik turun, sempat mencapai 40OC pada
hari ke 3 – 4 demam.
Pada pasien dengan demam tifoid, Pasien mengalami demam naik turun,
28
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
banyak dilaporkan bahwa demam lebih
tinggi saat sore dan malam hari,
dibandingkan dengan pagi harinya.
dirasakan lebih tinggi saat sore
menjelang malam hari dan turun
menjelang pagi hari.
Nyeri kepala
Malaise
Anoreksia
Nausea
Muntah
Myalgia
Nyeri perut
Kembung
Gejala gastrointestinal, pada kasus
demam tifoid sangat bervariasi.
Pasien dapat mengeluh diare,
obstipasi, atau obstipasi kemudian
disusul episode diare.
Nyeri kepala (-)
Os tampak lemah
Riwayat nafsu makan menurun
sejak sakit
Nausea dan muntah (-)
Myalgia (-)
Nyeri perut (-)
Kembung (+)
Os BAB dengan konsistensi cair
pada hari ke-1 bersamaan dengan
demam, frekuensi 1xi, warna
kuning coklat ampas (+), lendir (-),
dan darah(-) kemudian obstipasi
selama 5 hari, pada hari ke 6
kembali diare 1x.
Pemeriksaan Fisik
-Kondisi anak tampak jelas sakit dan
lemah
-Lidah tampak kotor dengan putih di
tengah, sedangkan tepi dan ujungnya
kemerahan
-Hepatomegali
-Spenomegali
-Bradikardi relatif
-Rose spot
-Pasien jelas tampak sakit dan lemah.
-Pada pasien tidak ditemukan lidah
kotor maupun hepatosplenomegali.
-Hepatomegali (-)
-Spenomegali(-)
-Bradikardi relatif(-)
-Rose spot (-)
Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosa demam Pemeriksaan yang bermakna pada
29
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
tifoid, gold standar pemeriksaan adalah
ditemukannya S.typhi dari kultur
(darah, sum sum tulang, urin, feses).
Darah tepi : leukopenia, eosinophilia,
trombositopenia, anemia
Serologi :
-IgM Salmonella (+)
-Tes Widal (+) bila titer O aglutinin ≥
1/200 atau pada titer sepasang terjadi
kenaikan 4 kali
pasien:
Darah tepi: anemia, leukopenia,
trombositopenia
Serologi : IgM Salmonella (+)
Widal tidak diperiksa
Tatalaksana 2
DOC 1st line : kloramfenikol 50-
100mg/kg/hari dibagi 4 dosis PO / IV
selama 10-14 hari.
DOC 2nd line : amoksisilin
100mg/kg/hari dibagi 4 dosis PO
selama 10 hari atau kotrimoksazol
6mg/kg/hari PO selama 10 hari
Jika klinis tidak ada perbaikan
seftriakson 80mg/kg/hari dibagi 1-2
dosis, IM/IV, selama 5 hari atau
sefiksim 10mg/kg/hari dibagi 2 dosis
selama 10 hari.
Pada pasien diberi :
Ceftriaxon IV 1x750mg sampai hari
ke-5 (21/8/2015) 26/12/2015
Cefixime 100mg PO 2 x 1pulv selama
3 hari
TUBERKULOSIS
EpidemiologiTeori KasusBanyak terdapat di negara berkembang dibandingan negara majuPada penelitian didapatkan kasus TB < 15 tahun adalah 15% di negara bekembang, sedangkan 5-
Pasien tinggal di indonesia yaitu termasuk negara yang sedang berkembang.
30
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
7% di negara maju.Di Indonesia, TB anak terbanyak pada usia 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi < 12 bulan (16,5%).
Pasien berusia 4 tahun
AnamnesisTeori Kasus1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau
BB tidak naik dengan adekuat atau tidak naik dalam 1bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, ISK, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi.
3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda/ intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive).
5. Lesu/ malaise, kurang aktif bermain.6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) tidak
sembuh dengan pengobatan baku diare.
1. Berat badan pasien tidak naik dengan adekuat dan menurut ibu pasien, nafsu makan pasien memang sedikit.
2. Pasien sering mengalami demam berulang tanpa penyebab yang jelas dan tidak tinggi.
3. Pasien juga sering mengalami batuk berulang sejak kurang lebih 1 bulan terakhir.
4. Nafsu makan kurang, gizi termasuk gizi buruk
5. Pasien lesu dan agak rewel.6. Pasien mengalami obstipasi.
Pemeriksaan fisikTeori KasusPada sebagian besar kasus, tidak dijumpai kelainan fisis yang khas. Antropometri : gizi kurang dengan grafik berat
badan dan tinggi badan pada posisi didaerah bawah atau di bawah P5.
Suhu subfebris dapat ditemukan pada sebagian pasien.
Kelainan pada pemeriksaan fisis baru jumpai jika Tb mengenai organ tertentu. TB vertebra : gibbus, kifosis, paraparesis atau
paraplegia TB koksae atau TB genu : jalan pincang, nyeri
pada pangkal paha atau lutut Pembesaran KGB mutipel, tidak nyeri tekan,
dan konfluens (saling menyatu) Meningitis TB : kaku kuduk dan tanda
rangsang meningeal lain Sklofuroderma : ulkus kulit dengan skinbridge
biasanya terjadi di daerah leher, axilla atau
Pada pasien didapatkan: Antropometri : gizi buruk dengan
grafik berada dibawah <-3SD. Selama perawatan suhu pasien:
21/12/2015 : 37,4o C 22/12/2015 : 39,7 o C 23/12/2015 : 36,7o C 24/12/2015 : 38o C 25/12/2015 : 36.5o C 26/12/2015 : 36.8o C 27/12/2015 : 36.5o C
Tidak dijumpai kelainan fisik yang lain, KGB tidak membesar.
31
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
inguinal Konjungtivitis fliktenularis yaitu bintik putih
pada limbus korne yang sangat nyeri.Pemeriksaan penunjangTeori Kasus Uji tuberkulin Foto thorax AP dan lateral kanan Pemeriksaan mikrobiologik dari bahan bilasan
lambung atau sputum untuk mencari BTA atau hasil biakan mycobacterium tuberculosis
Pemeriksaan patologi dari biopsi kelenjar, kulit, atau jaringan lain yang dicurigai TB
Fundoskopi untuk TB milier dan meningitis TB
Pungsi lumbal pada TB milier untuk mengetahui ada tidaknya meningitis TB
Foto tulang dan pungsi pleura dilakukan atas indikasi
Pemeriksaan darah tepi, LED, urin, feses untuk membantu menunjang diagnosis namun tidak berperan penting.
Uji tuberkulin dilakukan namun hasil negatif.
Foto thorax PA dilakukan dengan gambaran TB paru.
Pemeriksaan darah tepi, LED, urin, feses dilakukan.
Pemeriksaan lainnya tidak dilakukan.
DiagnosisTeori KasusSistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang TB Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi
skor 3 Penentuan status gizi:
Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC.
Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas.
Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6
Ibu pasien mengakui adanya kontak dengan pasien TB yaitu ayah pasien namun BTA masih tidak jelas.
BB/TB dan BB/U menurut kurva WHO berada di <-3 SD yaitu status gizi buruk.
Sering mengalami demam namun suhu tidak terlalu tinggi
Sering mengalami batuk dalam 1 bulan terakhir.
Gambaran foto thorax menunjukkan TB paru berupa: Infiltrat perihilar, paracardial
kanan, kiri Hilus kanan tebal Corakan bronkovaskular kasar
Skoring pada pasien : 7
32
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
(skor maksimal 13)TatalaksanaTeori KasusTerapi TB terdiri dari dua fase, yaitu: Fase intensif : 3-5 OAT selama 2 bulan awal. Fase lanjutan dengan 2 OAT (INH-
Rifampisin) hingga 6-12 bulan.
Pasien akan memasuki fase intensif dengan 3 OAT (2HRZ).
Pada anak, obat TB diberikan secara harian (daily) baik pada fase intensif maupun fase lanjutan:TB paru: INH, rifampisin, pirazinamid selama 2 bulan fase intensif dan dilanjutkan INH dan rifampisin hingga genap 6 bulan terapi (2HRZ-4HR). INH : 10 (5-15) mg/kgBB/hari Rifampisin : 15 (10-20) mg/kgBB/hari Pirazinamid : 25 (15-30) mg/kgBB/hari
Pasien mendapatkan dosis sesuai FDC: INH : 100 mg/hari Rifampisin : 150 mg/hari Pirazinamid : 250 mg/hari
GIZI BURUK
EpidemiologiTeori KasusUnited Nations Children’s Fund (UNICEF) melaporkan Indonesia berada di peringkat kelima dunia untuk negara dengan jumlah anak yang terhambat pertumbuhannya paling besar dengan perkiraan sebanyak 7,7 juta balita.
Pasien tinggal di indonesia.
Kondisi gizi salah terutama diderita oleh anak-anak yang sedang tumbuh dengan pesat yaitu kelompok balita (bawah lima tahun) dimana prevalensinya pada anak balita masing tinggi + 30-40%.
Pasien berusia 4 tahun.
DiagnosisTeori Kasus BB/TB: < -3 SD dan atau; Terlihat sangat kurus dan atau; Adanya Edema dan atau; LILA < 11,5 cm untuk anak 6-59 bulan
BB/TB <-3 SD Terlihat kurus Tidak terdapat edema LILA tidak diperiksa
AnamnesisTeori KasusAnamnesis awal (untuk kedaruratan): Kejadian mata cekung yang baru saja muncul Lama dan frekuensi diare dan muntah serta
tampilan dari bahan muntah dan diare (encer/darah/lendir)
Hasil anamnesis awal (untuk kedaruratan) Tidak terdapat mata cekung Diare 1 hari. Konsistensi encer. Tidak
terdapat darah dan lendir. Frekuensi
33
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Kapan terakhir berkemih Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat
mungkin anak mengalami dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya, dilakukan setelah kedaruratan ditangani): Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum
sakit Riwayat pemberian ASI Asupan makanan dan minuman yang
dikonsumsi beberapa hari terakhir Hilangnya nafsu makan Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis
paru Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir Batuk kronik Kejadian dan penyebab kematian saudara
kandung Berat badan lahir Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri,
bicara dan lain-lain Riwayat imunisasi Apakah ditimbang setiap bulan Lingkungan keluarga (untuk memahami latar
belakang sosial anak) Diketahui atau tersangka infeksi HIV
1x. Konstipasi 5 hari BAK dalam batas normal Akral hangatHasil anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya, dilakukan setelah kedaruratan ditangani): Pola makan tidak teratur, ±1-2x sehari ASI tidak eksklusif selama 2.5 tahun.
ASI + susu formula Makanan dan minuman yang
dikonsumsi beberapa hari terakhir berupa: nasi biasa dengan lauk sedikit.
Kurang nafsu makan Kontak dengan pasien susp.
tuberkulosis paru diakui. Pernah sakit campak dalam 3 bulan
terakhir (-). Batuk kronik (+) dalam 1 bulan
terakhir. Kematian saudara kandung (-). BBL : 3000 gram Riwayat tumbuh kembang normal. Riwayat imunisasi : lengkap Penimbangan dilakukan di posyandu Sosioekonomi menengah ke bawah.
Perumahan padat. Ventilasi kurang. Diketahui atau tersangka HIV (-)
Pemeriksaan fisikTeori Kasus Apakah anak tampak sangat kurus, adakah
edema pada kedua punggung kaki. Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB
Tanda dehidrasi: tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati menentukan status dehidrasi pada gizi buruk).
Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang lambat, nadi lemah dan cepat), kesadaran menurun.
Demam (suhu aksilar≥ 37.5° C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35.5° C).
Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung
Sangat pucat
Anak terlihat kurus Edem pada kedua punggung kaki (-). BB/PB menurut kurva WHO <-3SD Dehidrasi (-), turgor kembali cepat. Tanda syok (-) Demam (+), hipotermi (-) Frekuensi pernafasan normal.
Pernafasan reguler. Pucat (+) Pembesaran hati dan ikterus (-) Perut kembung (+), BU (+)
meningkat, asites (-), abdominal splash (-).
34
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Pembesaran hati dan ikterus Adakah perut kembung,bising usus
melemah/meninggi, asites, adanyasuara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)
Pemeriksaan penunjangTeori Kasus Kadar gula darah, darah tepi lengkap, urin
lengkap, feses lengkap, elektrolit serum, protein serum (albumin, globulin), feritin.
Tes mantoux Radiologi (dada, AP dan Lateral) EKG
Darah tepi lengkap Urin lengkap Feses lengkap Elektrolit serum Tes mantoux Radiologi thorax AP dan lateral
TatalaksanaTeori Kasus Pengobatan gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit Rehidrasi secara oral dengan Resomal,
secara parenteral hanya pada dehidrasi berat atau syok
Atasi/ cegah hipoglikemi Atasi gangguan elektrolit Atasi/ cegah hipotermi Antibiotika: Bila tidak jelas ada infeksi, berikan
kotrimoksasol selama 5 hari Bila infeksi nyata: ampisilin IV selama 2 hari,
dilanjutkan dengan oral sampai 7 hari ditambah dengan gentamisin IM selama 7 hari
Atasi penyakit penyerta yang ada sesuai pedoman
Vitamin A (dosis sesuai usia, yaitu <6 bulan : 50.000 SI, 6-12 bulan : 100.000 SI, >1 tahun : 200.000 SI) pada perawatan dan hari ke-15 atau sebelum pulang.
Multivitamin-mineral, khusus asam folat hari pertama 5 mg, selanjutnya 1 mg per hari.
Pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan normal
Antibiotik diberikan: Ceftriaxone 1 x 750 mg IV Cefixime 100mg PO 2 x 1 pulv
Nutrisi/dietetik: Fase Stabilisasi :
Energi : 80 – 100 kkal/kgBB/hari Protein : 1 – 1,5 /kgBB/hari Cairan : 100-130 ml/kgBB/hari. Bila ada
edema berat : 100 kkal/kgBB/hari Fase Transisi :
Energi : 100 – 150 kkal/kgBB/hari Protein : 2 – 3 g/kgBB/hari Cairan : bebas sesuai kebutuhan energi
Asupan diberikan 2500 kkal/hari Protein 45 g/hari
35
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Fase Rehabilitasi: Energi : 150 – 220 kkal/kgBB/hari Protein : 4 – 6 g/kgBB/hari
36
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
KESIMPULAN
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi dengan manifestasi klinis berupa demam, gangguan pencernaan, dan dapat pula
mengakibatkan gangguan kesadaran. Pada os ini terjadi demam yang semakin hari semakin
tinggi, dirasakan lebih tinggi saat sore menjelang malam hari dan turun menjelang pagi hari. Os
juga mengalami gangguan pencernaan yang berupa konstipasi.
Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi paru yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberkulosis dengan gejala batuk lama, suhu tubuh subfebris, keringat malam dan penurunan
berat badan. Tuberkulosis dapat di diagnosa dengan scoring TB. Pada os skoring Tb adalah oleh
karena itu perlu diberikan pengobatan OAT selama 6 bulan.
Gizi buruk merupakan salah satu masalah terbanyak di Indonesia. Melalui grafik Z-
Score dari WHO maka os dinyatakan mempunyai status gizi buruk.
37
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM TIFOID
Pendahuluan
Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara
berkembang Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, ditopang dengan
bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus
multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s
patch.
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam
enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid
namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya disebabkan oleh spesies Salmonella
enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid.
Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai pada penderita
yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Penyakit ini juga merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan
urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta
standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran.
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health
38
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus
demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan
sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit.
Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/
tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
Etiologi
Demam tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Etiologi
demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B (S.
Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida,, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin.
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik.
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural reservoir).
Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran
nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada
diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam air, es, debu,
atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang
dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp
63°C). Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang
tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama
– sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalurr oro-fekal). Dapat juga terjadi transmisi
transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah
39
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses
kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.
Gambar 1. Salmonella typhi
Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism,
yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4)
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal.
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati
namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejunum dan ileum. Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M, merupakan sel epitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang
40
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium. Pada anak- anak, gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau.
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S. typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus,
dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi,
dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem
41
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis.
Gambar 2. Patogenesis
42
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Gambar 3. Patofisiologi demam tifoid
43
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Manifestasi klinik
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Pada anak, masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 5 –
40 hari, dengan rata-rata 10-14 hari.
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya, seperti demam lebih dari 1 minggu, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah
minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid,
pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan
sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa,
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa step ladder pattern, dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 – 41o C).
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain, putih di bagian tengah, di bagian tepi lebih kemerahan. Rose spot, suatu ruam
makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah
abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan
ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3
hari.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah tepianemia (eritrosit normokrom normositer), LED meningkat,
hitung leukosit dapat leukopenia, dalam batas normal dan dapat pula leukositosis,
terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung
jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to
the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali
meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh.
44
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
2. Uji serologis
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji widal adalah untuk menentukan adanya antigen dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini. Apabila titer O aglutinin ≥ 1/200 atau pada titer sepasang
terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H
banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi
aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).
Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat
dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti
biakan darah positif.
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit). Tes ini digunakan dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi
antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
c) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi.
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
45
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum. Isolasi bakteri
dari aspirasi sum sum tulang memiliki sensitivitas 90%. Berkaitan dengan patogenesis
penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang
pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas
yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari)
serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan
tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dilihat dari gejala klinis, dan ditunjang
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.
Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat
menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia.
Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis,
infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada
demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis
banding.
Penatalaksanaan
I.1. Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
b) Nutrisi
Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak,
dan nasi tim.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
46
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
d) Kompres air hangat
I.2. Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Paracetamol
dengan dosis 10-15 mg/kg/kali minum dapat diberi 3 kali.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah
DOC 1st line : kloramfenikol 50-100mg/kg/hari dibagi 4 dosis PO / IV selama 10-14 hari.
DOC 2nd line : amoksisilin 100mg/kg/hari dibagi 4 dosis PO selama 10 hari atau kotrimoksazol
6mg/kg/hari PO selama 10 hari
Jika klinis tidak ada perbaikan seftriakson 80mg/kg/hari dibagi 1-2 dosis, IM/IV, selama 5 hari
atau sefiksim 10mg/kg/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok dapat diberikan
kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1
mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat berupa: perdarahan usus, perforasi usus, peritonitis,
komplikasi neuropsikiatri, miokarditis, typhoid ensefalopati, meningitis, DIC.
Vaksinasi
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:
Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali
dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita
hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik,
dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Lama
proteksi dilaporkan 6 tahun.
47
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung
kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-12
tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval 4
minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan
adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan.
Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada
pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang
ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.
Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya
proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun.
Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3
tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui,
sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.
Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan.
TUBERKULOSIS
A. Definisi dan Epidemiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak
usia 0-14 tahun.
48
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Cara Penularan:
Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.
Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya, kecuali anak
tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.
Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan,
daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif.
Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB.
Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan
hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan
foto Toraks positif adalah 17%.
Tuberkulosis anak merupakan suatu masalah penting terutama dinegara berkembang
karena jumlah usia anak berusia kurang dari 15 tahun sekitar 40-50% jumlah populasi.
Sekurang-kurangnya 500.000 anak menderita TB setiap tahun
200 anak di dunia meninggal setiap hari akibat TB, 70.000 anak meninggal setiap tahun
akibat TB
Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya alat diagnostik yang
“child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB anak.
Diperkirakan banyak anak menderita TB tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat
dan benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS. Kondisi ini akan memberikan
peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan mortalitas anak.
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus
TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2%
pada tahun 2012. Karena itu, kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada
level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-
14 tahun, dengan jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari
kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4%
dari semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012
menjadi 6%.
49
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
B. Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam percik
renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan terhirup dan dapat
mencapai alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik.
Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada
individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil
kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag,
dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis)
dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus
bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus
(perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah
kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis
dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya
kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12
minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman
berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas selular.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat
diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin
positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang,
50
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup
dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke
dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated
immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis
dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di
jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB. Kompleks primer dapat juga
mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di
paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus
sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan
hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism).
Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan
nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa
inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan
hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga
terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB
disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
51
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal,
dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif
(tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru
saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar
kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB
diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar
serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak
bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua tahun. Bentuk penyebaran yang jarang
terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu
fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga
sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB
52
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic
spread.
53
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
DIAGNOSIS TB PADA ANAK
A. Penemuan Pasien TB Anak
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :
1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering
bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah terutama pasien TB
yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB
dewasa. Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam
pembahasan pada bab profilaksis TB pada anak.
2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering terkena
adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai
organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena
gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat
atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi.
Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak
disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to
thrive).
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku
diare.
54
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
B. Gejala klinis spesifik terkait organ
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena, misalnya
kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit, adalah sebagai berikut:
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri,
dan kadang saling melekat atau konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di
daerah panggul.
Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.
Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
4. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).
5. Tuberkulosis mata:
Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila
ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
55
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
C. Pemeriksaan fisik
Pada sebagian besar kasus, tidak dijumpai kelainan fisis yang khas.
Antropometri : gizi kurang dengan grafik berat badan dan tinggi badan pada posisi
didaerah bawah atau di bawah P5.
Suhu subfebris dapat ditemukan pada sebagian pasien.
Kelainan pada pemeriksaan fisis baru jumpai jika Tb mengenai organ tertentu.
TB vertebra : gibbus, kifosis, paraparesis atau paraplegia
TB koksae atau TB genu : jalan pincang, nyeri pada pangkal paha atau lutut
Pembesaran KGB mutipel, tidak nyeri tekan, dan konfluens (saling menyatu)
Meningitis TB : kaku kuduk dan tanda rangsang meningeal lain
Sklofuroderma : ulkus kulit dengan skinbridge biasanya terjadi di daerah leher, axilla
atau inguinal
Konjungtivitis fliktenularis yaitu bintik putih pada limbus korne yang sangat nyeri.
D. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak
Uji tuberkulin
Foto thorax AP dan lateral kanan
Pemeriksaan mikrobiologik dari bahan bilasan lambung atau sputum untuk mencari
BTA atau hasil biakan mycobacterium tuberculosis
Pemeriksaab patologi dari biopsi kelenjar, kulit, atau jaringan lain yang dicurigai TB
Fundoskopi untuk TB milier dan meningitis TB
Pungsi lumbal pada TB milier untuk mengetahui ada tidaknya meningitis TB
Foto tulang dan pungsi pleura dilakukan atas indikasi
Pemeriksaan darah tepi, LED, urin, feses untuk membantu menunjang diagnosis namun
tidak berperan penting.
56
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Cara Mendapatkan sampel pada Anak
1. Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang mampu mengeluarkan dahak.
Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.
2. Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada anak yang tidak
dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan selama 3 hari berturut-
turut pada pagi hari.
3. Induksi Sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur,
dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan
lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan
pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melaksanakan metode ini.
Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan sebagai
tempat masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB sebagai akibat
terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui saluran nafas (inhalasi). Atas dasar hal
tersebut maka baku emas cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB adalah
dengan cara menemukan kuman dalam sputum. Namun upaya untuk menemukan
kuman penyebab TB pada anak melalui pemeriksaan sputum sulit dilakukan oleh karena
sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya pengambilan spesimen sputum.
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak dapat
dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB
menular merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber
penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB
dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi
hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak
langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau
anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum tentu
menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang
57
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien
tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi
TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu
mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta menunjukkan
gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan radiologis TB anak sangat tidak
spesifik, karena gambarannya dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena
itulah diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto
toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada
anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji
tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-
23 2 TU dari Staten Serum Institute Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji
tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Cara melaksanakan
uji tuberkulin terdapat pada lampiran.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks.
Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada
penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan
untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran
radiologis yang menunjang TB adalah sebagai berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya
selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma
E. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
58
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat dikerjakan,
namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan
suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut
dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli yang IDAI,
Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk
mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama di fasilitas pelayanan kesehatan
dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam
mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan
dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai
tertinggi yaitu 3.
Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB
pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat
OAT.
Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat terhadap respon
klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat
dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien
segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut.
59
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
60
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan:
1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas
2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahaya:
Kejang, kaku kuduk
Penurunan kesadaran
Kegawatan lain, misalnya sesak napas
Catatan:
Parameter Sistem Skoring:
Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil
laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau dari hasil
laboratorium.
Penentuan status gizi:
Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk anak
usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk anak usia >5
tahun merujuk pada kurva CDC 2000 (lihat lampiran).
Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.
Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah diberikan
pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa: pembesaran
kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi
segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.
61
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Penegakan Diagnosis
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas pelayanan
kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter, pelimpahan wewenang terbatas dapat
diberikan pada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis
dan tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman Nasional.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)
Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji
tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi
INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut. Foto toraks bukan merupakan alat
diagnostik utama pada TB anak
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka
pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada
fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan
dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila
terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.
Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai telah
terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji tuberkulin
dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem skoring tetap
dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat skor ≥ 6 dari total skor 13.
Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya
diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan
diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan
kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke
RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang
ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.
62
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
63
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
PENGOBATAN TB ANAK
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis
(pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB diberikan
pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB
(profilaksis sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:
Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.
Pemberian gizi yang adekuat.
Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.
A. Paduan OAT Anak
Prinsip pengobatan TB anak:
OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler
Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain
untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan
Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3
macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya
penyakit.
Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk
mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak
diminum setiap hari.
Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal
seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan.
Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison)
dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone
64
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis
penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian
steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.
Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:
Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan
dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
65
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan tabel
tabel berikut ini:
Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,
paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu
pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu
rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan,
yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada
tabel berikut.
66
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi
dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan berat
badan saat itu
Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur). Tabel
Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)
Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau
dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh digerus
bersama dan dicampur dalam satu puyer
B. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak
Pemantauan pengobatan pasien TB Anak
Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi
dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan.
Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon
pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat
badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan
67
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon
pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien
harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk
diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan
evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks. Pemeriksaan
tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan,
karena uji tuberkulin yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun
gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai
perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan
selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA
positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang
sesuai dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos.
Efek Samping pengobatan TB Anak
Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin
(vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg
tiap 100 mg INH.
Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/ hari
direkomendasikan diberikan pada
bayi yang mendapat ASI eksklusif,
pasien gizi buruk,
anak dengan HIV positif.
Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada buku Pedoman
Nasional Pengendalian TB.
Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi.
Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase lanjutan
DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal.
68
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan
DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.
Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan risiko terjadinya TB
kebal obat.
Pengobatan ulang TB anak
Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan
gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi dapat
dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem
skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan
dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus Kambuh. Pada
pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan
uji tuberkulin ulang.
PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PADA ANAK
Vaksinasi BCG pada Anak
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari Mycobacterium
bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program Pengembangan Imunisasi diberikan
pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan
uji tuberkulin. Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman Program
Pemberian Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan vaksin BCG efektif untuk
mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB meningitis yang sering didapatkan
pada usia muda. Saat ini vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan karena tidak
terbukti memberi perlindungan tambahan.
Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu :
1. Bayi terlahir dari ibu pasien TB BTA positif
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada trimester 3
kehamilan berisiko tertular ibunya melalui placenta, cairan amnion maupun hematogen.
Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien TB BTA positif selama masa neonatal
69
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
berisiko tertular ibunya melalui percik renik. Pada kedua kondisi tersebut bayi
sebaiknya dilakukan rujukan
2. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidak dianjurkan
diberikan imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan rujukan untuk pembuktian apakah
bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak.
Sejumlah kecil anak-anak (1-2%) mengalami komplikasi setelah vaksinasi BCG.
Komplikasi paling sering termasuk abses lokal, infeksi bakteri sekunder, adenitis
supuratif dan pembentukan keloid lokal. Kebanyakan reaksi akan sembuh selama
beberapa bulan. Pada beberapa kasus dengan reaksi lokal persisten dipertimbangkan
untuk dilakukan rujukan. Begitu juga pada kasus dengan imunodefisiensi mungkin
memerlukan rujukan.
Skrining dan Manajemen Kontak
Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang dilakukan secara aktif
dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu (1) anak yang mengalami paparan dari pasien
TB BTA positif, dan (2) orang dewasa yang menjadi sumber penularan bagi anak yang
didiagnosis TB.
Latar belakang perlunya Investigasi Kontak:
1. Konsep infeksi dan sakit pada TB.
2. Anak yang kontak erat dengan sumber kasus TB BTA positif sangat berisiko infeksi TB
dibanding yang tidak kontak yaitu sebesar 24.4– 69.2%.
3. Bayi dan anak usia < 5 tahun, mempunyai risiko sangat tinggi untuk berkembangnya
sakit TB, terutama pada 2 tahun pertama setelah infeksi, bahkan pada bayi dapat terjadi
sakit TB dalam beberapa minggu.
4. Pemberian terapi pencegahan pada anak infeksi TB, sangat mengurangi kemungkinan
berkembangnya sakit TB.
Tujuan utama skrining dan manajemen kontak adalah :
70
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
1. Meningkatkan penemuan kasus melalui deteksi dini dan mengobati temuan kasus sakit
TB.
2. Identifikasi kontak pada semua kelompok umur yang asimtomatik TB, yang berisiko
untuk berkembang jadi sakit TB
3. Memberikan terapi pencegahan untuk anak yang terinfeksi TB, meliputi anak usia < 5
tahun dan infeksi HIV pada semua umur.
GIZI BURUK
A. Epidemiologi
Kurang energi dan Protein (KEP) pada anak masih menjadi masalah gizi dan kesehatan
masyarakat di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, sebanyak 13,0%
berstatus gizi kurang, diantaranya 4,9% berstatus gizi buruk. Data yang sama menunjukkan
13,3% anak kurus, diantaranya 6,0% anak sangat kurus dan 17,1% anak memiliki kategori
sangat pendek.
Keadaan ini berpengaruh kepada masih tingginya angka kematian bayi. Menurut
WHO lebih dari 50% kematian bayi dan anak terkait dengan gizi kurang dan gizi buruk,
oleh karena itu masalah gizi perlu ditangani secara cepat dan tepat.
B. Definisi
Gizi Buruk Tanpa Komplikasi
a. BB/TB: < -3 SD
b. Terlihat sangat kurus
c. Adanya Edema
d. LILA < 11,5 cm untuk anak 6-59 bulan
Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak tampak
sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak bawah kulit
terutama pada kedua bahu, lengan, pantat dan paha; tulang iga terlihat jelas, dengan atau
tanpa adanya edema
Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin anak
tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus. Anak seperti itu tidak membutuhkan
71
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
perawatan di rumah sakit, kecuali jika ditemukan penyakit lain yang berat.
72
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Gizi Buruk dengan Komplikasi
Gizi buruk dengan tanda-tanda tersebut di atas disertai salah satu atau lebih dari tanda
komplikasi medis berikut :
a. Anoreksia
b. Pneumonia berat
c. Anemia berat
d. Dehidrasi berat
e. Demam sangat tinggi
f. Penurunan kesadaran
C. Penilaian awal anak gizi buruk
Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis terdiri
dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan):
Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan diare
(encer/darah/lendir)
Kapan terakhir berkemih
Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi dan/atau
syok, serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya,
dilakukan setelah kedaruratan ditangani):
Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit
Riwayat pemberian ASI
Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
Hilangnya nafsu makan
Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru
Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
73
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Batuk kronik
Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
Berat badan lahir
Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain
Riwayat imunisasi
Apakah ditimbang setiap bulan
Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)
Diketahui atau tersangka infeksi HIV
D. Pemeriksaan fisis
Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki. Tentukan
status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB
Tanda dehidrasi: tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati menentukan status
dehidrasi pada gizi buruk).
Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang lambat, nadi lemah dan
cepat), kesadaran menurun.
Demam (suhu aksilar≥ 37.5° C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35.5° C).
Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung
Sangat pucat
Pembesaran hati dan ikterus
Adakah perut kembung,bising usus melemah/meninggi, tanda asites, atau adanyasuara
seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)
KEP ringan
Sering ditemukan gangguan pertumbuhan:
Anak tampak kurus
Pertumbuhan linier berkurang atau terhenti
Berat badan tidak bertambah, ada kalanya bahkan turun
Ukuran lingkar lengan atas lebih kecil dari normal
Maturasi tulang terlambat
Rasio berat badan terhadap tinggi badan normal/ menurun
74
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Tebal lipatan kulit normal atau berkurang
Anemia ringan
Aktivitas dan perhatian berkurang jika dibandingkan dengan anak sehat
KEP berat
Kwashiorkor:
Perubahan mental sampai apatis
Anemia
Perubahan warna dan tekstur rambut, mudah dicabut/ rontok
Gangguan sistem gastrointestinal
Pembesaran hati
Perubahan kulit (dermatosis)
Atrofi otot
Edema simetris pada kedua punggung kaki, dapat sampai seluruh tubuh
Marasmus:
Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus
Perubahan mental, cengeng
Kulit kering, dingin dan mengendor, keriput
Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang
Otot atrofi sehingga kontur tulang terlihat jelas
Kadang – kadang terdapat bradikardi
Tekanan darah lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya
Marasmik – kwashiorkor:
Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan kwasiorkor secara bersamaan
E. Pemeriksaan penunjang
Kadar gula darah, darah tepi lengkap, urin lengkap, feses lengkap, elektrolit serum,
protein serum (albumin, globulin), feritin.
Tes mantoux
75
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Radiologi (dada, AP dan Lateral)
EKG
F. Tatalaksana
KEP berat ditatalaksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi dan rehabilitasi) dengan 10
langkah tindakan.
Medikamentosa
Pengobatan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
o Rehidrasi secara oral dengan Resomal, secara parenteral hanya pada dehidrasi berat
atau syok
Atasi/ cegah hipoglikemi
Atasi gangguan elektrolit
Atasi/ cegah hipotermi
Antibiotika:
o Bila tidak jelas ada infeksi, berikan kotrimoksasol selama 5 hari
o Bila infeksi nyata: ampisilin IV selama 2 hari, dilanjutkan dengan oral sampai 7 hari
ditambah dengan gentamisin IM selama 7 hari
Atasi penyakit penyerta yang ada sesuai pedoman
Vitamin A (dosis sesuai usia, yaitu <6 bulan : 50.000 SI, 6-12 bulan : 100.000 SI, >1
tahun : 200.000 SI) pada perawatan dan hari ke-15 atau sebelum pulang.
Multivitamin-mineral, khusus asam folat hari pertama 5 mg, selanjutnya 1 mg per hari.
76
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Suportif / Dietetik
Oral (enteral)
o Gizi kurang : kebutuhan energi dihitung sesuai RDA untuk umur TB (height-age)
dikalikan berat badan ideal.
o Gizi buruk:
Intravena (parenteral) : hanya atas indikasi tepat.
Pemantauan
Kriteria sembuh
BB/TB > -2 SD
Tumbuh Kembang
Memantau status gizi secara rutin dan berkala
Memantau perkembangan psikomotor
Edukasi
Memberikan pengetahuan pada orang tua tentang :
Pengetahuan gizi
Melatih ketaatan dalam pemberian diet
Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
G. Langkah promotif/preventif
Malnutrisi energi protein merupakan masalah gizi yang multifaktorial. Tindakan
pencegahan bertujuan untuk mengurangi insidens dan menurunkan angka kematian. Oleh
karena ada beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya masalah tersebut, maka
untuk mencegahnya dapat dilakukan beberapa langkah, antara lain :
77
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
Pola makan
Penyuluhan pada masyarakat mengenai gizi seimbang (perbandingan jumlah
karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral berdasarkan umur dan berat badan)
Pemantauan tumbuh kembang dan penentuan status gizi secara berkala (sebulan sekali
pada tahun pertama)
Faktor sosial
Mencari kemungkinan adanya pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu
yang sudah berlangsung secara turun temurun dan dapat menyebabkan terjadinya KEP.
Faktor ekonomi
Dalam World Food Conference di Roma tahun 1974 telah dikemukakan bahwa
meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan bertambahnya
persediaan bahan makanan setempat yang memadai merupakan sebab utama krisi
pangan, sedangkan kemiskinan penduduk merupakan akibat lanjutannya. Ditekankan
pula perlunya bahan makanan yang bergizi baik di samping kuantitasnya.
Faktor infeksi
Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara KEP dan infeksi. Infeksi derajat
apapun dapat memperburuk keadaan status gizi. KEP, walaupun dalam derajat ringan,
menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi.
78
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016
Laporan kasus
DAFTAR PUSTAKA
1. Sumarmo , Garna H, Hadinegoro S. Infeksi dan Pediatri Tropis. Buku Ajar edisi kedua.
IDAI. FKUI, Jakarta : 2010
2. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson B. Nelson textbook of Pediatrics, 18th ed.
Philadelphia: WB Saunders, 2007
3. WHO. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Department of Child and Adolescent
Health and Development. Switzerland: 2009.
4. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Demam Tifoid. Dalam: Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Ke-2.Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010; hal.338-46.
5. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed.
Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika,
2002:1-43.
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Tuberkulosis. Buku Ajar Respirologi. Jakarta: IDAI; 2012.
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Pelayanan Medis Jilid I. Jakarta:
IDAI; 2009. p323-28
8. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk. Jakarta:
Kemenkes RI; 2011.
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Malnutrisi Energi Protein. Pedoman Pelayanan Medis Jilid
I. Jakarta: IDAI; 2009. p183-88
79
Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Sulianti SarosoPeriode 14 Desember 2015-20 Februari 2016