Download - Biografi K. H. Hasyim Asy'Ari
Pemikiran Pendidikan K. H. Hasyim Asy’ar
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak pertengahan abad ke-19 telah banyak para pemuda Indonesia yang belajar di
Mekkah dan Madinah untuk menekuni agama Islam di pusat-pusat studi di Timur
Tengah, terutama di Mekkah, karena di sana banyak bertebaran berbagai literatur
ke-Islaman. Realitas ini sangat memungkinkan bagi mereka untuk mencapai tingkat
pengetahuan yang lebih luas serta pandangan yang lebih terbuka mengenai sosok
Islam.
Diantara mereka yang berhasil dalam mengkaji Islam adalah Syekh Nawawi
al Bantani dari Banten, Jawa Barat, Syekh Mahfudz Attarmisi dari Pacitan Jawa
Timur, serta Syekh Ahmad Chatib Sambas dari Kalimantan. Kesuksesan mereka ini
ditandai dengan kedalaman ilmu yang mereka miliki, hal ini bukan saja diakui oleh
masyarakat Tanah Suci Mekkah saja, tapi juga diakui oleh masyarakat Arab pada
umumnya.
Ketokahan K. H. Hasyim Asy’ari sering kali dicampurkan dalam persoalan
sosial politik. Hal ini dapat dipahami karena sebagian dari sejarah kehidupan K. H.
Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan bangsa Indonesia
melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih organisasi yang
didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-usaha
sosial politik.
Akan tetapi, K. H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai
dalam gerakan dan pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan bahwa
K. H. Hasyim Asy’ari bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang
mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa.
BAB II
BIOGRAFI KH. HASYIM ASY’ARI
A. KELAHIRAN DAN MASA KECIL Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari lahir pada hari Selasa Kliwon, 24
Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M di Desa
Gedang, satu kilometer sebelah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ayahnya
bernama Kiai Asy’ari berasal dari Demak, Jawa Tengah. Ibunya bernama Halimah,
puteri Kiai Utsman, pendiri Pesantren Gedang.
Dilihat dari garis keturunan itu, beliau termasuk putera seorang pemimpin
agama yang berkedudukan baik dan mulia. KH .M. Hasyim Asy’ari merupakan
keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI (Lembupeteng). Garis keturunan ini
bila ditelusuri lewat ibundanya sebagai berikut: Muhammad Hasyim bin Halimah binti
Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambu bin Pangeran
Nawa bin Joko Tingkir alias Mas Karebet bin Prabu Brawijaya VI. Ada yang
mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari
perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng(BrawijayaVII).
Semenjak masih anak-anak, Muhammad Hasyim dikenal cerdas dan rajin
belajar. Mula-mula beliau belajar agama dibawah bimbingan ayahnya sendiri.
Otaknya yang cerdas menyebabkan ia lebih mudah menguasai ilmu-ilmu
pengetahuan agama, misalnya: Ilmu Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadits dan Bahasa Arab.
Karena kecerdasannya itu, sehingga pada umur 13 tahun ia sudah diberi izin oleh
ayahnya untuk mengajar para santri yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.
Disamping cerdas, Hasyim kecil juga dikenal rajin bekerja. Watak
kemandirian yang ditanamkan sang kakek, mendorongnya untuk berusaha
memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya,
Hasyim kecil selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah
dengan bertani dan berdagang. Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan
untuk bekal menuntut ilmu.
B. MENCARI ILMU Kemauan yang keras untuk mendalami ilmu agama, menjadikan diri
Muhammad Hasyim sebagai musyafir pencari ilmu.Kerinduan akan tanah suci
mengetuk hati Kiai Hasyim untuk pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M,
beliau berangkat kembali ke Mekah.
Kiai Hasyim juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar dan
mengambil berkah dari mereka. Guru-guru Kiai Hasyim selama di Mekkah, antara
lain: Syeikh Syuaib ibn Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Turmusi, Syekh Khatib al-
Minagkabawi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-
Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal.
Sejumlah sayyid juga menjadi gurunya, antara lain: Sayyid Abbas al-Maliki,
Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin
Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan
Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Di antara mereka,
ada tiga orang yang sangat mempengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu
Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-
Turmusi.
Setelah ilmunya dinilai mumpuni, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di
Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-
Bantani, Syekh Anmad Khatib al-Minakabawi, dll. Di sana beliau mempunyai banyak
murid dari berbagai negara. Diantaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di
Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Mekkah), Al-Syihab Ahmad ibn
Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), K.H.R.
Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan
KH. Shaleh (Tayu).
Sepulangnya ke tanah air beliau tinggal di Kediri selama beberapa bulan.
Menurut sumber lainnya, Kiai Hasyim langsung menuju pesantren Gedang yang
diasuh oleh Kiai Usman, dan tinggal di sana membantu sang kakek. Setelah itu
beliau membantu ayahnya, Kiai Asy’ari, mengajar di Pondok Keras.
KH. M. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang luar biasa. Hampir
seluruh kiai di Jawa mempersembahkan gelar “Hadratus Syekh” yang artinya “Maha
Guru” kepadanya, karena beliau adalah seorang ulama yang secara gigih dan tegas
mempertahankan ajaran-ajaran madzhab. Dalam hal madzhab, beliau memandang
sebagai masalah yang prinsip, guna memahami maksud sebenarnya dari Al Quran
dan Hadits. Sebab tanpa mempelajari pendapat ulama-ulama besar khususnya
Imam Empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali, maka hanya akan menghasilkan
pemutar balikan pengertian dari ajaran Islam itu sendiri.
C. PENDIRIAN PESANTREN TEBUIRENGDalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan umat, maka KH. Hasyim
Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, Jombang pada tahun 1899 M. Dengan
segala kemampuannya, Tebuireng kemudian berkembang menjadi “pabrik” pencetak
kiai. Sehingga pemerintah Jepang perlu mendata jumlah kiai di Jawa yang “dibikin” di
Tebuireng. Pada tahun 1942 Sambu Bappang (Gestapo Jepang) berhasil menyusun
data tentang jumlah kiai di Jawa mencapai dua puluh lima ribu kiai. Kesemuanya itu
merupakan alumnus Tebuireng.
Dari sini dapat dilihat betapa besar pengaruh Tebuireng dalam
pengembangan dan penyebaran Islam di Jawa pada awal abad XX. Ribuan kiai di
Jawa hampir seluruhnya hasil didikan Tebuireng. Karena itu tidaklah heran bila
kemudian juga tumbuh ribuan pesantren dipimpin para kiai yang gigih
mempertahankan madzhab. semua itu dapat dipahami sebagai hasil pengabdian
Hadratus Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari dalam perjalanan yang cukup
panjang.
D. PENDIDIK SEJATISelain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur
kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-
persoalan aktual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika
masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama
ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari
solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-
kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama
Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.
Kiai Hasyim juga dikenal sangat mencintai para santri. Keadaan ekonomi
bangsa yang masih sangat lemah, secara otomatis mempengaruhi kemampuan
ekonomi santri. Ada yang mondok hanya dengan bekal sekarung beras, bahkan ada
yang tanpa bekal sedikitpun.
Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia pendidikan terlihat dari pesan yang selalu
disampaikan kepada setiap santri yang telah selesai belajar di Tebuireng: ”Pulanglah
ke kampungmu. Mengajarlah di sana, minimal mengajar ngaji.”
E. SEPAK TERJANG KH. HASYIM DILUAR DUNIA PESANTREN Pengabdian Kiai Hasyim bukan saja terbatas pada dunia pesantren,
melainkan juga pada bangsa dan negara. Sumbangan beliau dalam membangkitkan
semangat nasionalisme dan patriotisme pada saat jiwa bangsa sedang terbelenggu
penjajah, tidaklah bisa diukur dengan angka dan harta. Memang cukup sulit
mengelompokkan mana yang pengabdian terhadap agama, dan yang mana pula
pengabdian beliau terhadap bangsa dan negara. Sebab ternyata kedua unsur itu
saling memadu dalam diri Kiai Hasyim. Di satu pihak beliau sebagai pencetak ribuan
ulama atau kiai di seluruh Jawa, di lain pihak belaiu seringkali ditemui tokoh-tokoh
pejuang nasional seperti Bung Tomo maupun Jenderal Soedirman guna
mendapatkan saran dan bimbingan dalam rangka perjuangan mengusir penjajah.
Pada akhir April 1942, KHM. Hasyim Asy’ari ditangkap dan dijebloskan ke
dalam penjara di Jombang. Hal ini disebabkan karena beliau menentang kebijakan
jepang dalam menerapkan budaya ‘ saikerei’ di tanah air. Kemudian beliau dipindah
ke Mojokerto, dan akhirnya ditawan bersama-sama serdadu Sekutu di dalam penjara
Bubutan, Surabaya.
Selama dalam tawanan Jepang, Kiai Hasyim disiksa habis-habisan hingga
jari-jemari kedua tangannya remuk dan tak lagi bisa digerakkan. Namun berkat
pertolongan Allah, kekejaman dan kebiadaban tentara Jepang itupun luluh karena
serbuan damai ribuan santri dan unjuk rasa para kiai alumni Tebuireng. Beberapa
kiai dan santri meminta dipenjarakan bersama-sama Kiai Hasyim sebagai tanda setia
kawan dan pengabdian kepada guru dan pemimpin mereka yang saat itu telah
berusia 70 tahun. Peristiwa itu cukup membakar dunia pesantren dalam memulai
gerakan bawah tanah menentang dan menghancurkan Jepang. Pihak pemerintah
Jepang agaknya mulai takut, hingga kemudian pada 6 Sya’ban 1361 H bertepatan
dengan tanggal 18 Agustus 1942, Kiai Hasyim dibebaskan.
Pada tanggal 7 Ramadlan 1366 bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947,
KHM. Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmayullah. Atas jasa beliau, pemerintah
Indonesia menganugerahi gelar “Pahlawan Nasional”.
BAB III
KARYA KH.HASYIM ASY’ARI
Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga
penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari,
antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar
yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.
Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai
problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham
persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah,
diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah,
Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti
Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’.
Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah
fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum
mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang
masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum
muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan
bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dll.
Diantara karya beliau adalah :
1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi
tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial (1360
H).
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan
undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’ (1971 M).
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk
memperkuat pegangan atas madzhab empat.
4. Mawaidz (Beberapa Nasihat). Berisi tentang fatwa dan peringatan bagi umat
(1935).
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. Berisi 40 hadis
Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin (Cahaya pada Rasul), ditulis
tahun 1346 H.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-
peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan
kemungkaran, tahun 1355 H.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa
Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang
hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan
sunnah dan bid’ah.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani.
Catatan seputar nazam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara
Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir.
10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang
menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i; hukum-
hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar
dalam menerangkan 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh KH
Tholhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim, diterbitkan oleh percetakan
Menara Kudus.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh
Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan
Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H/1937 M.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang
ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa.
14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih
wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan
pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari
Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-
Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan
Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn
Jama’ah.
Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH
Hasyim Asy’ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al- Islam
Zakariya al-Anshari.
2. Ar-Risalah at-Tawhidiyah.
3. Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id
4. Al-Risalah al-Jama’ah
5. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
6. Al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
7. Manasik Shughra
BAB IV
PEMIKIRAN KEPENDIDIKAN KH.M. HASYIM ASY’ARI
Hasyim Asy’ari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren,
serta banyak menuntut ilmu dan berkecimpung secara langsung di dalamnya, di
lingkungan pendidikan agama Islam khususnya. Dan semua yang dialami dan
dirasakan beliau selama itu menjadi pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan
pandangannya dalam masalah-masalah pendidikan.
Salah satu karya monumental Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang
pendidikan adalah kitabnya yang berjudul Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj
ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wama Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih,
Pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih beliau tekankan pada masalah
etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya.
Di antara pemikiran beliau dalam masalah pendidikan adalah:
a. Signifikansi PendidikanBeliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah
mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat
sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus
diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : Pertama, bagi murid hendaknya berniat
suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan
jangan melecehkannya atau menyepelekannya. Kedua, bagi guru dalam
mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak
mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di
atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah
satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah
“niat yang baik dan lurus”.
Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang
mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-
nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan.
Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju
kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya
mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma
Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju
dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan
nilai dan norma-norma Islam.
b. Tugas dan Tanggung Jawab Murid
1) Etika yang harus diperhatikan dalam belajar Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniaan
Membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan
qanaah
Pandai mengatur waktu
Menyederhanakan makan dan minum
Berhati-hati (wara’)
Menghindari kemalasan
Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
Meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.
Dalam hal ini terlihat, bahwa Hasyim Asy’ari lebih menekankan kepada
pendidikan ruhani atau pendidikan jiwa, meski demikian pendidikan jasmani tetap
diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur makan, minum, tidur dan sebagainya.
Makan dan minum tidak perlu terlalu banyak dan sederhana, seperti anjuran
Rasulullah Muhammad saw. Serta jangan banyak tidur, dan jangan suka bermalas-
malasan. Banyakkan waktu untuk belajar dan menuntut ilmu pengetahuan, isi hari-
hari dan waktu yang ada dengan hal-hal yang bermanfaat.
2) Etika seorang murid terhadap guru Hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan guru
Memilih guru yang wara’
Mengikuti jejak guru
Memuliakan dan memperhatikan hak guru
Bersabar terdapat kekerasan guru
Berkunjung pada guru pada tempatnya dan minta izin lebih dulu
Duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru
Berbicara dengan sopan dan lembut dengan guru
Dengarkan segala fatwa guru dan jangan menyela pembicaraannya
Gunakan anggota kanan bila menyerahkan sesuatu pada guru.
Etika seperti tersebut di atas, masih banyak dijumpai pada pendidikan
pesantren sekarang ini, akan tetapi etika seperti itu sangat langka di tengah budaya
kosmopolit. Di tengah-tengah pergaulan sekarang, guru dipandang sebagai teman
biasa oleh murid-murid, dan tidak malu-malu mereka berbicara lebih nyaring dari
gurunya. Terlihat pula pemikiran yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih maju.
Hal ini, misalnya terlihat dalam memilih guru hendaknya yang profesional,
memperhatikan hak-hak guru, dan sebagainya.
3) Etika murid terhadap pelajaran Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain
Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama
Mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar pada orang yang dipercaya
Senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu
Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan
Pancangkan cita-cita yang tinggi
Kemanapun pergi dan dimanapun berada jangan lupa membawa catatan
Pelajari pelajaran yang telah dipelajari dengan continue (istiqamah)
Tanamkan rasa antusias dalam belajar.
Penjelasan tersebut di atas seakan memperlihatkan akan sistem pendidikan
di pesantren yang selama ini terlihat kolot, hanya terjadi komunikasi satu arah, guru
satu-satunya sumber pengajaran, dan murid hanya sebagai obyek yang hanya
berhak duduk, dengar, catat dan hafal (DDCH) apa yang dikatakan guru. Namun
pemikiran yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih terbuka, inovatif dan progresif.
Beliau memberikan kesempatan para santri untuk mengambil dan mengikuti
pendapat para ulama, tapi harus hati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama.
Hal tersebut senada dengan pemikiran beliau tentang masalah fiqh, beliau
meminta umat Islam untuk berhati-hati pada mereka yang mengklaim mampu
menjalankan ijtihad, yaitu kaum modernis, yang mengemukakan pendapat mereka
tanpa memiliki persayaratan yang cukup untuk berijtihad itu hanya berdasarkan
pertimbangan pikiran semata. Beliau percaya taqlid itu diperbolehkan bagi sebagian
umat Islam, dan tidak boleh hanya ditujukan pada mereka yang mampu melakukan
ijtihad.
c. Tugas Dan Tanggung Jawab Guru
1) Etika seorang guru Senantiasa mendekatkan diri pada Allah
Takut pada Allah, tawadhu’, zuhud dan khusu’
Bersikap tenang dan senantiasa berhati-hati
Mengadukan segala persoalan pada Allah
Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih dunia
Tidak selalu memanjakan anak
Menghindari tempat-tempat yang kotor dan maksiat
Mengamalkan sunnah Nabi
Mengistiqamahkan membaca al- Qur’an
Bersikap ramah, ceria dan suka menabur salam
Menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu
Membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.
Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran
dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika atau statement
yang terakhir, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan
meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan
dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau.
2) Etika guru dalam mengajar Jangan mengajarkan hal-hal yang syubhat
Mensucikan diri, berpakaian sopan dan memakai wewangian
Berniat beribadah ketika mengajar, dan memulainya dengan do’a
Biasakan membaca untuk menambah ilmu
Menjauhkan diri dari bersenda gurau dan banyak tertawa
Jangan sekali-kali mengajar dalam keadaan lapar, mengantuk atau marah
Usahakan tampilan ramah, lemah lembut, dan tidak sombong
Mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuai dengan profesional yang
dimiliki
Menasihati dan menegur dengan baik jika anak didik bandel
Bersikap terbuka terhadap berbagai persoalan yang ditemukan
Memberikan kesempatan pada anak didik yang datangnya terlambat dan ulangilah
penjelasannya agar tahu apa yang dimaksudkan
Beri anak kesempatan bertanya terhadap hal-hal yang belum dipahaminya.
Terlihat bahwa apa yang ditawarkan Hasyim Asy’ari lebih bersifat pragmatis,
artinya, apa yang ditawarkan beliau berangkat dari praktik yang selama ini
dialaminya. Inilah yang memberikan nilai tambah dalam konsep yang dikemukakan
oleh Bapak santri ini.Terlihat juga betapa beliau sangat memperhatikan sifat dan
sikap serta penampilan seorang guru. Berpenampilan yang terpuji, bukan saja
dengan keramahantamahan, tetapi juga dengan berpakaian yang rapi dan memakai
minyak wangi.
Agaknya pemikiran Hasyim Asy’ari juga sangat maju dibandingkan
zamannya, ia menawarkan agar guru bersikap terbuka, dan memandang murid
sebagai subyek pengajaran bukan hanya sebagai obyek, dengan memberi
kesempatan kepada murid-murid bertanya dan menyampaikan berbagai persoalan di
hadapan guru.
3) Etika guru bersama murid Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu
Menghindari ketidak ikhlasan
Mempergunakan metode yang mudah dipahami anak
Memperhatikan kemampuan anak didik
Tidak memunculkan salah satu peserta didik dan menafikan yang lain
Bersikap terbuka, lapang dada, arif dan tawadhu’
Membantu memecahkan masalah-masalah anak didik
Bila ada anak yang berhalangan hendaknya mencari ihwalnya.
Kalau sebelumnya terlihat warna tasawufnya, khususnya ketika membahas
tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendidik. Namun kali ini gagasan-
gagasan yang dilontarkan beliau berkaitan dengan etika guru bersama murid
menunjukkan keprofesionalnya dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari
rangkuman gagasan yang dilontarkannya tentang kompetensi seorang pendidik,
yang utamanya kompetensi profesional.
Hasyim Asy’ari sangat menganjurkan agar seorang pendidik atau guru perlu
memiliki kemampuan dalam mengembangkan metode dan memberi motivasi serta
latihan-latihan yang bersifat membantu murid-muridnya memahami pelajaran. Selain
itu, guru juga harus memahami murid-muridnya secara psikologi, mampu memahami
muridnya secara individual dan memecahkan persoalan yang dihadapi murid,
mengarahkan murid pada minat yang lebih dicendrungi, serta guru harus bersikap
arif.
Jelas pada saat Hasyim Asy’ari melontarkan pemikiran ini, ilmu pendidikan
maupun ilmu psikologi pendidikan yang sekarang beredar dan dikaji secara luas
belum tersebar, apalagi di kalangan pesantren. Sehingga ke-genuin-an pemikiran
beliau patut untuk dikembangkan selaras dengan kemajuan dunia pendidikan.
d. Etika Terhadap Buku, Alat Pelajaran dan Hal-hal Lain Yang Berkaitan Dengannya.
Satu hal yang menarik dan terlihat beda dengan materi-materi yang biasa
disampaikan dalam ilmu pendidikan umumnya, adalah etika terhadap buku dan alat-
alat pendidikan. Kalaupun ada etika untuk itu, namun biasanya hanya bersifat
kasuistik dan seringkali tidak tertulis, dan seringkali juga hanya dianggap sebagai
aturan yang umum berlaku dan cukup diketahui oleh masing-masing individu. Akan
tetapi bagi Hasyim Asy’ari memandang bahwa etika tersebut penting dan perlu
diperhatikan.
Di antara etika tersebut adalah:
Menganjurkan untuk mengusahakan agar memiliki buku
Merelakan dan mengijinkan bila ada kawan meminjam buku pelajaran, sebaliknya
bagi peminjam menjaga barang pinjamannya
Memeriksa dahulu bila membeli dan meminjamnya
Bila menyalin buku syari’ah hendaknya bersuci dan mengawalnya dengan basmalah,
sedangkan bila ilmu retorika atau semacamnya, maka mulailah dengan hamdalah
dan shalawat Nabi.
Kembali tampak kejelian dan ketelitian beliau dalam melihat permasalahan
dan seluk beluk proses belajar mengajar. Etika khusus yang diterapkan untuk
mengawali suatu proses belajar adalah etika terhadap buku yang dijadikan sumber
rujukan, apalagi kitab-kitab yang digunakan adalah kitab “kuning” yang mempunyai
keistimewaan atau kelebihan tersendiri. Agaknya beliau memakai dasar
epistemologis, ilmu adalah Nur Allah, maka bila hendak mempelajarinya orang harus
beretika, bersih dan sucikan jiwa. Dengan demikian ilmu yang dipelajari diharapkan
bermanfaat dan membawa berkah.
Pemikiran seperti yang dituangkan oleh Hasyim Asy’ari itu patut untuk
menjadi perhatian pada masa sekarang ini, apakah itu kitab “kuning” atau tidak,
misalnya kitab “kuning” yang sudah diterjemahkan, atau buku-buku sekarang yang
dianggap sebagai barang biasa, kaprah dan ada di mana-mana. Namun untuk
mendapatkan hasil yang bermanfaat dalam belajar etika semacam di atas perlu
diterapkan dan mendapat perhatian.
Demikian sebagian dari pemikiran mengenai pendidikan yang dikemukan
oleh Hasyim Asy’ari. Kelihatannya pemikiran tentang pendidikan ini sejalan dengan
apa yang sebelumnya telah dikemukakan oleh Imam Ghazali, misalnya saja, Hasyim
Asy’ari mengemukakan bahwa tujuan utama pendidikan itu adalah
mengamalkannya, dengan maksud agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat
sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Imam Ghazali juga mengemukakan
bahwa pendidikan pada prosesnya haruslah mengacu kepada pendekatan diri
kepada Allah dan kesempurnaan insani.
BAB V
SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN TEBUIRENG
A. Sistem Pendidikan di Masa Kiai Hasyim
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng
menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Semua bentuk
pengajaran tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan
bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar
pada materi Pengetahuan Agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya
adalah Bahasa Jawa dengan huruf pego (tulisan Arab berbahasa Jawa).
Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun ditambah,
diantaranya dengan menambah kelas musyawaroh sebagai kelas tertinggi. Santri
yang berhasil masuk kelas musyawaroh jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya
sangat ketat.
Dalam 20 tahun pertama pertumbuhan Tebuireng, Kiai Hasyim banyak dibantu oleh
saudara iparnya, KH. Alwi, yang pernah mengenyam pendidikan 7 tahun di Mekah.
Tahun 1916, KH. Ma’shum Ali, menantu pertamanya, mengenalkan sistem klasikal
(madrasah). Sistem madrasah merupakan sistem pengajaran yang diadopsi oleh
Hadratusy Syeikh dari Mekah.
Tahun 1916, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi
dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu
masa persiapan untuk dapat memasuki masrasah lima tahun berikutnya. Para
peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab
sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun.
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah
Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia
(Melayu), matematika, dan geografi. Lalu setelah kedatangan Kiai Ilyas tahun 1926,
pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. Tahun 1928
kedudukan Kiai Maksum sebagai kepala madrasah digantikan Kiai Ilyas, sedang Kiai
Maksum sendiri ditunjuk oleh Kiai Hasyim untuk mendirikan Pesantren Seblak
(sekitar 200 meter arah barat Tebuireng).
Meskipun sistem pengajaran di Tebuireng sudah berkembang pesat, namun
tradisi pengajian yang diasuh Kiai Hasyim tetap bertahan. Apalagi beliau terkenal
sangat disiplin dan istiqamah mengaji. Para santri tidak pernah bosan mengikuti
pengajian beliau.
Kegiatan mengajar Kiai Hasyim diliburkan 2 kali dalam seminggu, yaitu pada Hari
Selasa dan Hari Jum’at. Kiai Hasyim biasanya memanfaatkan 2 hari libur itu untuk
mencari nafkah. Beliau memantau perkembangan sawah dan ladangnya yang
berada kurang lebih 10 km sebelah selatan Tebuireng. Beliau juga memberi
kesempatan kepada para santri untuk mengadakan kegiatan kemasyarakatan seperti
jam’iyah. Sedangkan pada Hari Selasa, selain pergi ke sawah Kiai Hasyim juga
sering bersilaturrahim ke sanak famili serta para santrinya yang mulai merintis
pondok pesantren.
Hari libur ini dimanfaatkan oleh putranya, Abdul Wahid, untuk memberikan
pelajaran bahasa asing, Inggris dan Belanda, kepada para santri. Meskipun pada
awalnya Kiai Hasyim kurang setuju, namun Abdul Wahid mampu meyakinkan bahwa
materi bahasa asing sangat penting bagi santri, sehingga Kiai Hasyim akhirnya
membolehkan.
Pada bulan Ramadhan, Hadratus Syekh membacakan kitab Shahih Bukhari
(4 jilid) dan Shahih Muslim (4 jilid) secara rutin. Pengajian ini dimulai pada tanggal 15
Sya’ban dan selesai pada tanggal 27 Ramadhan (kurang lebih 40 hari). Salah
seorang gurunya bahkan pernah ikut ngaji kepada beliau. Menurut satu sumber, guru
Kiai Hasyim yang pernah ngaji ke Tebuireng adalah Kiai Kholil Bangkalan, dan
menurut sumber lainnya adalah Kiai Khozin Panji, Sidoarjo.
Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan
secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak
memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati
perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah
menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.
Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk
menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.
BAB VI
RELEVANSI PEMIKIRAN KH.HASYIM ASY’ARI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG
Relevansi pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari terhadap pendidikan sekarang
nampak pada munculnya berbagai lembaga yang dinaungi panji-panji islam atau
lebih dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren. Pesantren sampai sekarang masih
menjadi satu-satunya lembaga yang diharapkan mampu melahirkan sosok ulama
yang berkualitas, dalam arti mendalam pengetahuan agamanya, agung moralitasnya
dan besar dedikasi sosialnya. Walaupun banyak corak dan warna profesi santri
setelah belajar dari pesantren, namun figur kiai masih dianggap sebagai bentuk
paling ideal, apalagi ditengah krisis ulama sekarang ini.
KH. Ilyas Rukyat (al-Maghfurlah) mengatakan, munculnya figur santri sebagai
seorang ulama masih menjadi harapan besar pesantren. Label kiai tidak bisa
diberikan oleh pesantren, tapi oleh masyarakat setelah melihat ilmu, moral, dan
perjuangannya ditengah masyarakat. Santri tersebut mampu menyampaikan
gagasan-gagasan besar dengan bahasa sederhana yang bisa dipahami dan
dilaksanakan masyarakat luas.
Memang harus diakui, saat ini, alumni pesantren yang mampu muncul
sebagai seorang kiai berkualitas baik dalam ilmu, moral, dan dedikasi sosialnya
sedikit jumlahnya. Modernisasi pesantren mempengaruhi visi seorang santri dalam
melihat masa depannya. Banyak dari mereka yang berkeinginan menjadi seorang
birokrat, kaum professional, intelektual, dan wirausahawan. Ragam profesi yang
mereka sandang ini menunjukkan elastisitas dan fleksibelitas pesantren dalam
membentuk generasi masa depan bangsa. Namun, fenomena kelangkaan ulama
menjadi masalah serius yang menarik diperbincangkan. Identitas pesantren sebagai
lembaga tafaqquh fiddin (pendalaman ilmu agama) dipertanyakan banyak pihak.
Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh, semangat santri dalam mengkaji dan
mengembangkan ilmu sekarang jauh dibanding santri zaman dulu. Sehingga
pesantren sekarang semakin sulit melahirkan ulama besar. Menurutnya, figur santri
yang mendalam pemahaman aqidah dan syari’ah masih menjadi figur ideal ditengah
goncangan pemikiran keislaman yang passifsekarangini. Disinilah tantangan besar
pesantren, bagaimana memadukan visi melahirkan seorang kiai yang berkualitas di
satu sisi dan mengakomodir modernisasi tanpa kehilangan identitasnya sebagai
lembaga tafaqquh fiddin disisi yang lain.
Modernisasi kehidupan yang menyentuh semua aspek kehidupan akibat
revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi meniscayakan semua pihak untuk
meresponnya secara aktif dan kontekstual. Masalah-masalah kontemporer yang
datang silih berganti menuntut partisipasi aktif pesantren untuk ikut memberikan
kontribusi maksimal agar mampu memandu gerak dinamika sejarah dengan nilai-
nilai sucinya. Seorang kiai atau santri dituntut untuk aktif mengikuti perkembangan
informasi dan melakukan revitalisasi tradisi intelektualnya untuk merumuskan
jawaban-jawaban sederhana yang aplikatif bagi aneka macam problem kontemporer
tersebut. Disinilah letak relevansi dan aktualitas pesantren ditengah moderasi
kehidupan.
Kalau pesantren tidak mampu merespons masalah kontemporer dengan
khazanah intelektualnya, maka krisis keilmuan pesantren akan berimbas pada krisis
identitas santri dalam menatap masa depannya. Krisis identitas ini akan menurunkan
kepercayaan diri santri dalam mengarungi masa depannya. Efeknya, semangat
santri dalam mengkaji khazanah intelektual dan wacana kontemporer sebagai modal
aktualisasi diri ditengah kehidupan sosial menjadi rendah.
Inilah masalah serius yang harus segera ditanggulangi. Karena kebutuhan
akan lahirnya ulama masa depan yang berkualitas sudah sangat mendesak supaya
kehidupan dunia modern tidak berjalan tanpa kontrol dan over action. Akhirnya, kita
berharap pesantren mampu menjawab kritik pedas selama ini tentang kelangkaan
ulama yang berkualitas tinggi, bukan sekedar ulama biasa. Yang perlu diyakini,
pesantren mampu melakukan tugas sucinya ini dengan kerja keras menuju keridloan
Allah Swt.
PENUTUP
Demikianlah makalah tentang BIOGRAFI KH. HASYIM ASY’ARI yang kami
sususn ini , semoga bermanfaat dan berguna bagi kita semua dalam mempelajari
serta untuk menambah pengetahuan. Apabila ada kekurangan maupun kesalahan
dalam penyampaian makalah ini, kami selaku penulis mohon kritik dan saran yang
membangun agar tidak terulang lagi kesalahan di kemudian hari dan juga kami
selaku penulis minta dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan
dan kesalahan dalam penyampaiannya, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah
SWT dan kesalahan hanyalah milik manusia itu sendiri.