183
BAB V
UPACARA MAPPANRETASI SEBAGAI REALITAS
KEBERAGAMAAN WARGA NELAYAN BUGIS PAGATAN
A. Upacara Mappanretasi Warga Nelayan Bugis Pagatan dari Waktu
Ke Waktu
1. Pengertian dan Asal-usul Upacara
Mappanretasi berasal dari bahasa Bugis yang terdiri dari dua kata;
Mappanre dalam bahasa Indonesia berarti memberi makan, dan tasi artinya laut.
Oleh karena itu, upacara Mappanretasi diartikan sebagai memberi makan laut.1
Pada Tahun 1980an, nama Mappanretasi mengalami perubahan menjadi To
Mappanre ri Tasie yang berarti bersama-sama makan di laut, yang dimaksudkan
agar tidak menjadi perselisihan pendapat terhadap pengertiannya, tetapi karena
kesulitan terhadap pengucapan kalimat tersebut, pada tahun-tahun selanjutnya
masyarakat lebih senang dan mudah dengan ucapan Mappanretasi.2 Upacara
Mappanretasi yang dilaksanakan oleh masyarakat Bugis Pagatan Kecamatan
Kusan Hilir ini merupakan tradisi, selain ditujukan untuk memohon perlindungan
keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keselamatan para Nelayan
Bugis selama mencari nafkah melaut (berusaha di laut), juga untuk menyatakan
rasa syukur kepada-Nya atas segala hasil yang berasal dari laut.3 Upacara
1Kanwil XII Depparpostel Kalsel, Pesta Laut Mappanretasi Pagatan, (Tahun 1994/1995), 2. 2Syakerani, “Upacara To Mappanre Ri Tasie Suku Bugis di Kusan Hilir Pagatan Kabupaten Kotabaru” (Skripsi, IAIN Antasari Banjarmasin, 1986), 93. 3Kanwil XII Depparpostel Kalsel, Pesta Laut., Ibid. 2-3.
184
Mappanretasi merupakan suatu kegiatan ritual keagamaan untuk mewujudkan
rasa syukur kepada Tuhan yang dilaksanakan sekali setahun oleh warga Nelayan
Bugis Pagatan, masyarakat serta pemerintah setempat dengan memberikan
berbagai macam makanan atau sesajen di laut pada waktu dan tempat yang
ditentukan yaitu setiap bulan April.4
Salah seorang Sandro yang bernama La Dekka, menyatakan mengenai
pengertian upacara ini,5 yaitu:
Mappanretasi batuanna massorongritasi’e ‘olo yarengnge pakkonroanna tasi’e yeenatu nabi Khaidir nabianna wade pakkampi bale, suruonna Puangngallah Ta’ala. Harapanna patasi’e supaya idiyamaneng narekki asalamareng sibawa dalle’ maraja. (Mappanretasi artinya menyuguhkan makanan ke laut yang diperuntukkan kepada Nabi Khaidir yang ditugaskan oleh Allah SWT sebagai penjaga laut serta pengembala ikan. Semoga Allah SWT dapat memberikan keselamatan dan rezeki yang banyak bagi warga Nelayan).
Subjek penelitian yang lain, seorang Sandro yang menjadi pelaku utama
upacara warga Nelayan Bugis Pagatan ini sejak tahun 2008 sampai sekarang
sebagai penerus dan menggantikan Sandro sebelumnya (Pua La Dekka) bernama
Sandro Pua Jafri (Jafriansyah), ia mengungkapkan sebagai berikut:6
Mappanretasi batuanna massorongritasie yarengnge pakkonruonna tasie yeenatu nene’ta saweregading, supaya idiyamana pattasie yarekki assalamaren nannia dalle’ maraja. (Mappanretasi sama artinya dengan Massorongritasi, mempersembahkan ‘Olo (sesajen) kepada Saweregading sebagai leluhur suku Bugis yang dipercaya sebagai Penguasa Laut dengan harapan mendapatkan keselamatan dan rezeki yang melimpah bagi Nelayan ketika melaut).
4Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kal-Sel, Upacara Adat Mappanretasi, Tahun 2008. 9. 5La Dekka (84), Wawancara, Desa Pejala, 3 Juni 2010. La Dekka salah seorang Sandro (pemimpin) dalam aktivitas ritual keagamaan warga Nelayan Bugis Pagatan sejak tahun 1980an. 6Jafriansyah (58), Wawancara, Desa Pejala, 12 Juni 2010. Jafri mengatakan bahwa menurut cerita keturunannya yang selalu menyatakan tentang adanya Saweregading. Tetapi ia juga tidak menyangkal terhadap Nabi Khaidir yang diberi kuasa menjaga laut dan menjadi nabi nawewe (Nabinya air).
185
Dalam pandangan seorang tokoh masyarakat Pagatan (Abd. Ganie Habe),
Mappanretasi adalah sekumpulan orang makan di laut bukan berarti memberi
makan laut. Dia mencontohkan kata makan siang bukan berarti kita makan di
siang hari tetapi tetap makan nasi.7 Menurut Pua Pusiah (Fauziah), Mappanretasi
diartikan sebagai wujud atau ungkapan rasa syukur warga Nelayan Bugis Pagatan
yang dilakukan di tengah laut kepada Tuhan atas nikmat yang diberikan melalui
kekayaan hasil laut berupa ikan yang dapat meningkatkan kesejahteraan
ekonomi.8
Pua Saide (Musaid AN) sebagai salah seorang tokoh Nelayan dan juga
Penata Adat Ogi (Bugis) Pagatan bertempat tinggal di Desa Wiritasi
berpandangan bahwa Mappanretasi pada awalnya dengan sebutan
Massorongritasi yang berarti menyuguhkan makanan ke laut dengan meyakini
adanya Penunggu laut, yang dilakukan oleh kelompok Nelayan tertentu secara
sederhana dan sembunyi-sembunyi, karena adanya kebutuhan bersama para
Nelayan waktu itu, yaitu keinginan mendapatkan penghasilan dan hidup dari laut,
dan setelah enam bulan bekerja mencari nafkah di laut, maka untuk mewujudkan
rasa syukur secara bersama-sama, mereka melaksanakan upacara di laut.9
7TIM Peneliti Fak. Dakwah IAIN Antasari, Pandangan Ulama terhadap Pesta Laut (Mappanresati) di Kecamatan Kusan Hilir Kabupaten Kotabaru, (Banjarmasin, 1996), 8. Abd. Gani Habe merupakan salah seorang ulama kharismatik di Pagatan, perannya cukup signifikan dalam memberikan perubahan pada upacara Mappanretasi ini, di antaranya ialah perubahan dari unsur-unsur mistik berupa mantra-mantra berbahasa Bugis dalam upacara tersebut ke arah pembacaan do’a secara Islami. Faisal Batennie, Wawancara, Kotabaru, 12 Maret 2010. 8Pua Pusiah (Fauziah; 68 Th), Wawancara, Sesepuh Adat di Desa Pakkatelu (Rantau Panjang Hilir), 12 November 2010. 9Musaid AN (65 Th), Wawancara, Ds. Wiritasi, 20 November 2010. Menurut Pua Saide, Massorong selain dilaksanakan di laut, juga dilakukan di darat, namun sekarang sudah mengalami perubahan, di mana Massorong hanya dilakukan di laut. Massorong di darat pada kebiasaan warga Nelayan Bugis di Pagatan ini dilakukan di rumah, di sawah dan di tempat lainnya, pada waktu ketika ada nadzar, ataupun terjadi suatu peristiwa yang mengaharuskan melakukan Massorong.
186
Pua Konding (Zainuddin S) mengatakan bahwa upacara Mappanretasi
merupakan sebutan pada masa sekarang, sedangkan waktu dulu disebut dengan
Maccera’tasi yang berarti mengalirkan atau meneteskan darah binatang (ayam
atau kerbau) yang dipotong di laut. Upacara ini dilaksanakan oleh warga Nelayan
Pagatan dengan biaya atau dana dari Nelayan sendiri yang dilakukan pada waktu
tertentu yaitu pada masa-masa peceklik ikan setelah musim Barat (waktu itu ikan
tidak sepi, tetapi sulit untuk naik atau ditangkap), dan tanda-tanda bahwa apa yang
dilakukan oleh warga Nelayan tersebut diterima adalah setelah beberapa hari
kemudian Nelayan dapat kembali dengan mudah menghasilkan tangkapan ikan
dalam jumlah yang besar.10
Wa’ Mannu (Aminuddin)11 yang merupakan tokoh agama di Pagatan juga
mengutarakan bahwa upacara Mappanretasi ini sebagai upacara adat yang
ditradisikan secara turun temurun dari warga Nelayan Bugis Pagatan, upacara ini
diperuntukkan kepada penghuni, penunggu sekaligus penjaga laut yang disebut
warga Nelayan Bugis Pagatan dengan Pemmanatasi’e yaitu Nabi Khaidir (Nabi
Khaidir sebagai penjaga air, dan anaknya yang bernama Balyaton sebagai penjaga
ikan dengan sebutan kam yam nafis). Tokoh agama lainnya di Pagatan, Idham
Mansur mengatakan bahwa Mappanretasi merupakan selamatan kesyukuran
warga Nelayan atas hasil yang melimpah dari laut. Pada saat itu atau di masa-
masa penyelenggaraan Mappanretasi ini seakan-akan seperti hari raya bagi umat
Islam, di mana rumah-rumah Nelayan di sepanjang pantai Pagatan ini terbuka
10Zainuddin S (91Th), seorang Sandro yang dipercayakan warga Nelyan Bugis Pagatan untuk memimpin upacara Massorongritasi sekitar tahun 1960-1970an, Wawancara, Desa Juku Eja, 14 Desember 2010. 11Aminuddin (71Th), Wawancara, Desa Pejala, 27 April 2010.
187
untuk siapa pun yang datang, dan mereka disiapkan serta disuguhi dengan
berbagai hidangan makanan Bugis Pagatan.12
Menurut Pua Pesal (Faisal Batennie), Mappanretasi adalah suatu
penyelenggaraan berbagai kegiatan atraksi budaya dan ritual agama warga
Nelayan Bugis Pagatan yang puncaknya adalah acara ritual Massorongritasie
yaitu Sandro menyuguhkan atau melarutkan makanan (‘Olo) ke laut yang
dipersembahkan kepada Penjaga laut yaitu Nabi Khaidir. Oleh karena itu,
penyelenggaraan Mappanretasi diisi dengan berbagai seremoni atraksi budaya
dan ditutup dengan acara ritual Massorongritasie. Ritual Mappanretasi ini
dilaksanakan di tengah laut dipimpin oleh Sandro, digiring dan diikuti oleh kapal-
kapal para Nelayan, setelah selesai rombongan Sandro kemudian kembali ke darat
untuk saling silaturrahim dengan para pengunjung dan keluarga, sekaligus
menerima ucapan selamat atas terlaksananya upacara Mappanretasi.13
Abdul Aziz Hasbol yang juga berperan sebagai Penata Adat mengatakan
bahwa Mappanretasi bukanlah diartikan secara leterlek sebagai memberi makan
laut, tetapi diartikan bahwa makan bersama di laut, sebagaimana kita makan
malam, apakah kita memberi makan kepada malam, hanya kita makan di waktu
12Idham Mansur (74 Th), Wawancara, Ds. Pasar baru, 26 Mei 2010. Idham juga menceritakan pada sekitar tahun 1950an, Pagatan terkenal dengan alat penangkapan ikan Bellat, dan menjadi salah satu daerah pengekspor terbesar ikan laut ke luar daerah di Kalimantan Selatan bahkan sampai ke pulau Jawa. Pernah, katanya, suatu ketika pada tahun 1953an, ikan Peda di Pagatan menjadi gunungan di pinggir pantai lautnya karena begitu banyaknya panen ikan Nelayan waktu itu, dan ikan sempat beburukan (tidak termakan lagi), bahkan ia juga pernah mengalamn tertidur pada gunungan ikan tersebut. Oleh karena itu, Nelayan Pagatan patut bersyukur kepada Allah atas rezeki yang begitu melimpah. 13Faisal Batennie, “Sejarah Mappanretasi Warga Nelayan Bugis Pagatan,” Makalah (Juku Eja, 2005), 2. Pua Peisal mengungkapkan bahwa Sandro sebagai pimpinan upacara tersebut merupakan sosok yang berakhlak mulia, adabnya baik, pemahaman ritual dan amaliyah agamanya juga baik, mereka puasa sunnah, dll. Dalam tradisi Ogi (Bugis) Pagatan, sebutan untuk laki-laki ialah Sandro Burani, dan untuk perempuan ialah Sandro Makunrai. Faisal Batennie, Wawancara, Kotabaru, 13 Maret 2010.
188
malam. Oleh karena itu, upacara Mappanretasi diberikan pengertian sebagai
upacara adat sebagai bentuk saling menghargai antar sesama makhluk yang
diciptakan, menjadi media untuk mewujudkan terima kasih Nelayan kepada Nabi
Khaidir yang dilakukan di laut, karena Khaidir diberikan tugas dan dikuasakan
oleh Allah menjaga laut dan Nelayan mencari sesuatu di laut, maka untuk
menghargai Nabi Khaidir Nelayan harus berterima kasih dengan gaya dan cara
upacara yang sesuai dengan keadaannya, upacara ini dipimpin oleh Sandrotasi
yang memang mempunyai garis keturunan dan memiliki kemampuan untuk
meminpin upacara warga Nelayan di tengah laut.14
Padly Zour sebagai tokoh budaya yang sangat masyhur tidak hanya di
Pagatan tetapi juga di Kalimantan Selatan, memberikan pandangannya tentang
upacara ini, yaitu bahwa Mappanretasi merupakan ruang budaya yang tertanam
sejak dulu di kultur masyarakat Pagatan dan khususnya di hati para Nelayan
Pagatan sebagai bentuk terima kasih secara bersama-sama, di mana waktu-waktu
pelaksanaannya digunakan dan diisi dengan berbagai atraksi budaya maupun
perlombaan seni Bugis Pagatan.15
Mengenai asal usul dari pelaksanaan upacara yang dilakukan warga
Nelayan Bugis Pagatan ini, sebagaimana yang terdapat dalam naskah Disbudpar
Kalimantan Selatan bahwa terdapat dua versi mengenai asal usul upacara 14Abdul Aziz Hasbol (50 Th), Wawancara, Kota Pagatan, 17 Mei 2011. Bagi Abdul Aziz, Sandro yang dapat memimpin upacara warga Nelayan ini bukanlah yang sering dikatakan kebanyakan orang dengan ‘dukun’, dukun memang Sandro dalam bahasa sederhananya, tetapi Sandrotasi belum tentu dukun, dan Sandrotasi merupakan tokoh yang menguasai kebiasaan upacara itu. 15Padly Zour (72 Th), Wawancara, Kota Pagatan, 13 Mei 2011. Padly yang sejak tahun 1972an tinggal di Pagatan, telah banyak mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak yang menghargai talentanya sebagai seorang budayawan maupun seniman, di mana ia telah banyak menciptakan lagu-lagu daerah di Kalimantan Selatan. Dalam upacara Mappanretasi sumbangan pemikirannya yang sangat populer ialah ciptaannya tentang tarian Mappanretasi dan beberapa teater yang digelar pada saat upacara tersebut.
189
Mappanretasi menurut cerita yang diriwayatkan secara oral tradition (cerita
mulut ke mulut) di masyarakat Nelayan Bugis Pagatan.16 Pertama, diungkapkan
oleh Masnah,17 dengan versi Saweregading yang berasal dari sebuah legenda
tentang adanya Penguasa Laut atau Dewa Laut yang keluar atau lahir dari dalam
bambu (aur kuning) yang tumbuh di bawah gunung Wona Karaeng di Sulawesi.
Kedua, versi Muhammad Saleh yang diceritakan oleh Konding (Wa’ Konding).18
Saweregading, dalam versi yang diceritakan oleh Nurmasnah, hidup
sezaman dengan Nabi Nuh As, yang mengaku sebagai Tuhan dan disembah oleh
pengikutnya, demikianlah kepercayaan masyarakat sampai suatu ketika
Saweregading bertemu dengan Nabi Nuh. Nabi Nuh menyeru kepada
Saweregading dan pengikutnya agar beriman atau mempercayai bahwa Tuhan itu
adalah Allah SWT. Seruan tersebut tidak diindahkan oleh Saweregading dan
pengikutnya, bahkan Nabi Nuh diejeknya dan menjadi musuhnya. Saweregading
bersama pengikutnya, menjadikan kapal Nabi Nuh sebagai tempat pembuangan
hajat hingga pada akhirnya penuh dengan kotoran manusia. Semua manusia
membuang hajat di kapal tersebut, tetapi Nabi Nuh tidak juga berhenti dengan
seruannya, Saweregading pun makin marah. Salah seorang yang sudah tua renta
tidak kuat lagi untuk berjalan dipaksanya naik gunung menuju kapal Nabi Nuh
untuk membuang hajat. Dengan tertatih-tatih, orang tua tersebut melaksanakan
perintah Saweregading. Orang tua itu bukannya berhasil membuang hajat, tetapi
16Kanwil XII Depparpostel Kalsel, Pesta Laut., 18-26. 17Nurmasnah sebagai Penilik Kebudayaan Pagatan Kec. Kusan Hilir waktu diterbitkannya naskah Disbudpar Kalsel ini yaitu pada tahun 1994-1995. Ketika Penelitian ini dilakukan, Nur Masnah tidak berada di Pagatan. 18Wa’ Konding (Zainuddin S) seorang tokoh Nelayan Bugis Pagatan, yang juga pernah menjadi Sandrotasi pada tahun 1980an bertempat di Desa Juku Eja.
190
ia terjatuh ke dalam kapal yang penuh kotoran manusia tersebut. Namun yang
terjadi, orang tua tersebut bukannya berlumuran dengan kotoran tetapi berubah
menjadi pemuda gagah, sehat dan kuat, maka para pengikut Saweregading pun
berlomba-lomba mendapatkan kotoran mereka sendiri, sebab kotoran tersebut
ternyata mujarab untuk mengobati segala macam penyakit. Dalam waktu yang
singkat, kapal Nabi Nuh As bersih kembali. Peristiwa tersebut berlanjut dengan
pudarnya kepercayaan masyarakat dengan Saweregading dan beralih kepercayaan
mengikuti seruan Nabi Nuh As. Saweregading bukannya sadar akan kebesaran
dan kekuasaan akan Allah SWT, ia bahkan menentang Nabi Nuh dengan
menyabung ayam, dan tantangan itupun diterima oleh Nabi Nuh As. Pada hari
yang telah ditetapkan Saweregading membawa ayam besar tegap dan berwarna
merah, Nabi Nuh membawa ayam berwarna putih. Saweregading yakin akan
menang, mengingat ayamnya adalah ayam petanding pilihan yang tidak ada
duanya. Tapi, kenyataannya tidak sebagaimana yang diharapkan oleh
Saweregading, sebab begitu pertandingan akan dimulai, Malaikat Jibril datang
membawa petunjuk untuk Nabi Nuh As, agar ia menghentakkan kakinya ke bumi.
Begitu perintah dilaksanakan, bumipun terbelah dua. Nabi Nuh beserta
pengikutnya naik ke kapal beserta ayamnya, dan Saweregading beserta
pengikutnya yang tersisa dan ayamnya tenggelam di laut.
Cerita tersebut akhirnya menimbulkan kepercayaan bahwa Saweregading
adalah penguasa laut. Saweregading bukan mati karena tenggelam ditelan laut,
tetapi ia tetap hidup dan menjadi “Dewa Laut”. Di laut Saweregading menguasai
segala penghuninya, terutama ikan-ikan. Kepercayaan tersebut terus berkembang
191
yang akhirnya membawa konsekuensi, apabila ingin mendapatkan tangkapan ikan
di laut, maka haruslah menghormati penguasa laut dengan jalan memberi sesajen
ke laut. Dengan kata lain memberi makan laut atau dalam bahasa Bugisnya
disebut Mappanretasi, yaitu sebagai sikap tunduk para Nelayan kepada penguasa
laut dengan tujuan agar sumber rezeki mereka dapat digali terus menerus.
Akhirnya kepercayaan tersebut dimanifestasikan setiap tahun hingga sekarang,
meskipun mayoritasnya masyarakat Pagatan Suku Bugis itu beragama Islam.
Dalam pandangan mereka, Mappanretasi telah merupakan adat turun menurun
yang harus dilaksanakan, dan jika tidak maka sumber kehidupan para Nelayan
akan menjadi kering dan peceklik ikan.19
Mengenai asal muasal upacara yang terkait dengan cerita di atas, dalam
pandangan Sandro Jafri yang memang melakukan upacara sebagai Massorongri
Saweregading ini karena para zuriat keturunannya yang terdahulu melakukannya,
dan senantiasa ditradisikan, diperlihatkan dan bahkan diajarkan kepada generasi
selanjutnya. Karena selain dari pengalaman dalam kehidupannya sebagai nelayan,
Jafri juga merupakan salah satu generasi penerus keturunan anak cucu Sandro dari
pelaku utama tahun 1920an (Wa Iccu). Bagi Jafri, sebagaimana yang disampaikan
dan diajarkan kepadanya bahwa Saweregading ialah seorang Dato Nelayan yang
menjadi Penunggu Laut dan menjadi perantara bagi para Nelayan yang dapat
menyampaikan permohonannya kepada Allah, sehingga apabila sampai waktunya
(satu tahun) Nelayan pun harus melakukan Massorongritasi’e sebagai wujud
terima kasih. Namun, Jafri tidak menyampaikan lebih lanjut, menurut
19Kanwil XII Depparpostel Kalsel, Pesta Laut., 18-21.
192
pengetahuannya mengenai sosok Saweregading ini. Ia hanya yakin bahwa
Saweregading merupakan Dato (leluhur) Nelayan yang juga dapat menjaga dan
membantu para Nelayan dari peristiwa spontan dan tidak terduga yang dapat
membahayakan dan mencelakakan Nelayan di mana medan laut, kondisi laut tidak
dapat ditebak bahkan dapat terjadi suatu kejadian yang tidak diperkirakan sebelum
Nelayan turun melaut.20
Menurut Pua Gani (Abd. Ganie Habbe), Saweregading yang dipercayai di
kalangan masyarakat Bugis Pagatan itu adalàh dari legenda seorang raja yang
berkuasa di sebelah Timur Pagatan. Ia berkuasa pada abad ke-5 Masehi atau
sebelum Nabi Muhammad SAW lahir ke dunia. Saweregading adalah raja
keturunan angin, sehingga kalau ia ingin bepergian ke mana saja cukup dengan
menggunakan angin yang berhembus, ia bisa sampai ke tempat tersebut.21
20Jafriansyah (58), Wawancara, Desa Pejala, 26 April 2011. Sandro Jafri merupakan keturunan ke 4 (empat) dari Wa Cendra. Wa’ Cendra ialah Sandro generasi kedua setelah Sandro Wa’ Iccu, dan garis keturunan yang ketiga ialah Wa’ Rahing (H. Abdurrahim). Bagi Jafri, keyakinan terhadap Saweregading sebagai Penunggu laut di samping tidak lepas dari pengaruh para nenek moyangnya terdahulu, juga dari pengalaman yang didapatkannya dalam kehidupannya. Ia menceritakan suatu saat pada tahun 2005, tepatnya malam jum’at pukul 01.00 an Wita, seorang perempuan bernama (Suaibah) dirasuki/kesurupan (dimasuki) Penunggu Laut. Pada pagi harinya pukul 8.00 Jafri diminta bertemu dengan perempuan tersebut, ia kemudian melakukan dialog dengan Penunggu Laut tersebut yang sedang marasuki di dalam diri perempuan tersebut: “dewelo’ tarima’i pa’berena salaing iko Jafri” (bahwa Penunggu laut tersebut tidak dapat menerima Massorong yang dilakukan orang lain selain Pua Jafri, karena ia termasuk dari zuriat/asbahnya), dan Penunggu laut tersebut meminta kepada Pua Jafri untuk bisa menjadi Sandrotasi, sebab kalau Jafri tidak berkenan maka ia tidak akan kembali ke tempat asalnya, dan Jafri pun memenuhi permintaan tersebut. Setelah itu, Jafri bertemu dengan Sesepuh Adat untuk minta kesepakatan untuk dijadikan Sandrotasi pada Mappanretasi berikutnya (2006). Dan hari jum’at tahun 2005 juga pada pukul 9.30, Jafri melakukan Massorongritasi yang pertama dengan beberapa warga Nelayan untuk memenuhi permitaan Penunggu laut tersebut. ‘Olo waktu itu hanya 2 ekor ayam laki dan betina. Namun, pada tahun 2006 sampai pada tahun 2007, Penata Adat belum memberikan kesempatan kepada Jafri untuk menjadi Sandrotasi, dan perempuan (Saibah) tersebut kembali dirasuki (masuk ke dalam dirinya) Penunggu laut dengan permintaan seperti peristiwa pertama. 21Tim Peneliti Fakultas Dakwah IAIN Antasari Banjarmasin, Pandangan Ulama terhadap Pesta Laut (Mappanretasi) di Kecamatan Kusan Hilir (1995), 9. Dalam penelitian ini, menurut cerita bahwa Saweregading datang sendiri dan tidak dilahirkan, ia keluar dari bambu aur kuning yang tumbuh di bawah gunung Wonokaraung di Sulawesi. Upacara Mappanretasi diperuntukkan kepada Saweregading tersebut.
193
Adapun versi Muhammad Saleh (Bugis Pagatan: Selaha) yang diceritakan
langsung oleh seorang tokoh Nelayan Pagatan Kalimantan Selatan bernama
Wa’Konding (Zainuddin S),22 sebagai berikut:
Pada awalnya Mappanretasi dilakukan oleh pihak keluarga Muhammad
Saleh sekitar tahun 1950an. Muhammad Saleh bermata pencaharian pokok
sebagai Nelayan. Pada suatu hari dia (Muhammad Saleh) menjala di laut. Bukan
ikan yang terjala, tetapi seorang bersurban putih dengan mengenakan baju dan
celana berwarna kuning. Muhammad Saleh terkejut dan mengangkat orang
tersebut ke perahu. Setelah itu keduanya berdialog. Inti dialog tersebut adalah
disepakatinya tiga hal, yaitu Pertama, orang tersebut akan menjaga Muhammad
Saleh dalam menangkap ikan. Kedua, selalu mengenang Muhammad Saleh.
Ketiga, akan selalu membantu Muhammad Saleh dalam mencari ikan. Sedangkan
sebaliknya Muhammad Saleh juga berkewajiban; Pertama, memberi makan
sebagai tanda persaudaraan. Kedua, selalu siap menerima kedatangannya kapan
saja. Ketiga, selalu mengingat orang itu baik di waktu senang maupun di waktu
susah.
Setelah disepakati, maka Muhammad Saleh pun berdiam sejenak, dan
setelah itu meneruskan perjalanannya menangkap ikan dengan jala dibentangkan
dan setelah diangkat ternyata penuh dengan ikan. Muhammad Saleh berdiam diri
dan bertanya-tanya dalam hati, siapa orang tersebut. Akhirnya Muhammad Saleh
pulang dengan perahu penuh dengan ikan. Ketika tiba di rumah ia menceritakan
kejadian itu kepada istrinya dan juga kepada anak-anaknya. Sejak itu Muhammad
22 Kanwil XII Depparpostel Kalsel, Pesta Laut., 22-26.
194
Saleh selalu berdiam diri, memikirkan tentang kejadian yang baru saja
dialaminya. Ketika keesokan harinya Muhammad Saleh turun ke laut untuk
menangkap ikan lagi, maka iapun memperoleh hasil yang banyak pula.
Demikianlah seterusnya setiap kali Muhammad Saleh turun ke laut. Maka ia
selalu kembali dengan perahu yang penuh dengan ikan.
Beberapa hari kemudian, tepatnya malam Jum’at orang tersebut datang ke
rumah Muhammad Saleh. Pada waktu ia datang tercium bau semerbak wangi.
Muhammad Saleh menyambut kedatangan saudaranya itu dengan gembira.
Namun anak dan istrinya tidak dapat melihat wujud tamunya tersebut. Setelah itu
mereka bertemu dalam mimpi pada malam hari. Dalam mimpi Muhammad Saleh
meminta berbagai permintaan. Demikian pula pada mimpi-mimpi malam
berikutnya. Setelah kejadian itupun Muhammad Saleh menemui Sandro, guna
meminta penjelasan tentang peristiwa yang dialaminya. Setelah mendengar
penjelasannya dan keterangan Muhammad Saleh, maka Sandropun menyuruh
Muhammad Saleh memberikan apa-apa yang diminta oleh saudaranya itu.
Pada malam Jum’at berikutnya, kembali Muhammad Saleh mendapat
mimpi, agar permintaan saudaranya itu diserahkan ke tempat saudaranya itu di
laut. Sejak saat itu maka pada setiap malam Jum’at Muhammad Saleh
menghidupkan dupa prapen di rumahnya, karena pada setiap malam Jum’at
saudaranya itu selalu datang menemuinya dengan tidak menampakkan wujudnya.
Muhammad Salehpun mengabulkan permintaan-permintaan tersebut dengan
bantuan Sandro. Waktu itu, yang menjadi Sandro adalah Wa’ Icu atau Pua’
Deceng adik dari istri Muhammad Saleh sendiri. Akhirnya Muhammad Saleh
195
menjadi kaya dan banyak memiliki anak buah serta beberapa buah perahu dan
kapal. Karena itulah ia pun diangkat menjadi Pimpinan atau Kepala Toa (Kepala
Desa). Setelah menjadi Kepala Toa Muhammad Saleh mengajak masyarakatnya
memberi sesajen ke laut secara bersama-sama yang dipimpin oleh Sandro. Sejak
itu pemberian makan atau sesajen tidak lagi hanya dilakukan oleh keluarga
Muhammad Saleh, tetapi sudah melibatkan para Nelayan Bugis Pagatan.
Pemberian sesajen dilakukan setelah setahun sekali, yaitu pada hari Senin
bulan Sya’ban. Pelaksanaannya dilakukan pada jam 06.00 Wita meninggalkan
rumah menuju ke laut, dan tepat jam 08.00 Wita, maka penyerahan sesajen pun
dilakukan oleh Saudara Muhammad Saleh bernama Wa’ Selli. Maka, penyerahan
sesajen setahun sekali telah menjadi tradisi masyarakat Pagatan, dalam hal ini
masyarakat Nelayan secara turun temurun hingga sekarang. Menurut kepercayaan
mereka, saudara Muhammad Saleh yang diberi sesajen itu adalah penjelmaan dari
Nabi Khaidir, yang menguasai laut dan seisinya. Upacara adat Mappanretasi ini
bertujuan memberi makan atau sesajen sebagai penghormatan kepadanya dan ia
juga makhluk Allah SWT.
Sandro La Dekka mengatakan bahwa asal muasalnya upacara
Massorongritasi’e ini memang telah dilakukan oleh garis keturunannya yaitu
Dato Terong, kemudian Dato Iri, kemudian Dato Cendra, kemudian
Abdurrahman, dan Wa’ Rahim (H. Abdurrahim) dan kemudian Dekka yang lebih
meyakini sesuai dengan pengetahuan yang langsung didapatkannya dari Pua
Rahing (H. Abdurrahim) bahwa Massorongritasi’e diperuntukkan kepada Heder
(Nabi Khaidir) sebagai Penjaga Laut yang diberi kuasa oleh Allah. Karena setiap
196
wilayah, Allah Ta’ala telah menentukan penjaganya, dan untuk penjaga air (laut)
ialah Nabi Khaidir. Ia diajarkan bahwa Khaidir merupakan salah satu nabi yang
diberikan kemampuan di luar batas-batas tradisi atau adat, di antara kemampuan
Khaidir ialah dapat membaca apa yang akan terjadi di masa akan datang, dan ini
sesuai dengan cerita yang disampaikan kepadanya tentang pertemuan Musa
dengan Khaidir. Dekka juga mengatakan bahwa ia diajarkan tentang Khaidir yang
tidak pernah ada riwayat kematiannya, jadi Nelayan (khususnya Dekka) meyakini
bahwa Khaidir masih hidup sampai sekarang dan menjadi Penjaga Laut. Sehingga
ketika akan melaut, Nelayan harus meminta izin, meminta maaf dan berdo’a untuk
Khaidir, dan jangan sampai lupa mensyukuri hasilnya nanti. Pada awalnya
memang hanya sebagian kecil Nelayan yang mengikuti kegiatan upacara di laut
ini, namun tahun ke tahun, semakin merasakan kebersamaan dan dapat menikmati
hasil dari laut, dan sekarang kebanyakan warga Nelayan Bugis Pagatan mengikuti
ritual upacara massorongritasi ini.23
Adapun Pua Kiramang, mengatakan dari cerita yang disampaikan
kepadanya daripada para nene’na (keturunan pendahulunya) bahwa Saweregading
merupakan anak cucu Adam juga, Sawe artinya bertambah banyak dan gading
artinya berasal dari dalam buluh (paring), dan para pendahulunya melakukan
sesuatu/ritual atas keyakinan tradisi yang berlaku waktu itu. Sedangkan Pua
Kiramang menyatakan bahwa ia lebih meyakini asal muasal dilakukannya ritual
Massorongritasi ini juga bersumber dari kisah pertemuan Nabi Musa dengan Nabi
Khaidir. Menurutnya, ketika Nabi Musa merasa sombong kerena dapat berbicara
23La Dekka (84), Wawancara, Desa Pejala, 5 Juni 2010.
197
langsung dengan Allah, Allah menegurnya dan memberitahukan kepada Musa
bahwa ada hamba Allah yang juga tinggi derajatnya di sisi Allah, kemudian Allah
menyuruh Musa mencarinya dengan membawa seekor ikan mati yang kering
dengan berperahu, ketika ikan mati tersebut meloncat hidup ke laut maka disitulah
terdapat hamba Allah yang bernama Khaidir. Dari cerita ini, Pua Kiramang
menyatakan bahwa Massorong diperuntukkan kepada Nabi Khaidir sebagai
Penjaga laut Allah. Ritual yang dilakukan lebih banyak dengan bertawassul dan
berdo’a (terutama do’anya Nabi Khaidir).24
2. Upacara Mappanretasi dari Tahun ke Tahun,
Upacara Mappanretasi bagi warga Nelayan Bugis Pagatan yang
berlangsung sejak puluhan tahun silam ini, selalu mereka selenggarakan setiap
tahun. Faisal Batennie menyatakan bahwa tidak ada catatan yang dapat dijadikan
rujukan dan bukti sejarah kapan pertama kalinya upacara Nelayan ini
dilaksanakan, tetapi yang pasti bahwa upacara ini senantiasa dilaksanakan setahun
sekali oleh warga Nelayan Bugis pagatan, yang waktu pelaksanaannya setiap
bulan April.25 Dalam naskah Depparpostel Kanwil Kalsel, upacara Mappanretasi
ini dilaksanakan oleh masyarakat Nelayan Bugis di Desa Pejala Pagatan sejak
tahun 1901, yang dipelopori oleh La Muhamma yang menjadi Kepala Toa
24Pua Kiramang (Siti Rahmah), Wawancara, Desa Paguruyng, 16 Mei 2011. Pua Kiramang, sesuai dengan ceritanya, merupakan keturunan dari nene’ Janggo anak dari Puange Petaaong dari Sulawesi. Nene’ Janggo, katanya, adalah orang yang pertama melakukan upacara Massorong ini, kemudian wa Iccu, kemudian Wa’ Cendra, Wa’ Rahim, Dekka dan terakhir Jafri. 25Pada bulan April, kegiatan melaut Nelayan Bugis Pagatan sudah mulai berkurang, atau dengan kata lain musin ikan, yaitu pada musim Barat (Oktober-April) sudah mulai berakhir dan menunggu musim ikan berikutnya. Oleh karena itu, April menjadi waktu yang tepat untuk melakukan syukuran atas segala hasil yang didapatkan dari pekerjaan melaut. Faisal Batennie, “Sejarah Mappanretasi Warga Nelayan Bugis Pagatan,” Makalah (Juku Eja, 2005), 2.
198
(Kepala Kampung yang pertama di Pejala)26. Dan menurut versi Pua Konding
(Zainuddin S), upacara Mappanretasi ini pada awalnya dilakukan oleh pihak
keluarga Muhammad Saleh sekitar tahun 1950-an.
Pua Saide (Musaid AN) mengatakan bahwa asal mula Mappanretasi
disebut dengan Massorongritasi (menyerahkan persembahan sesajen ke laut) yang
dilaksanakan sekelompok Nelayan Bugis Pagatan yaitu pada tahun 1918, waktu
itu La Sukke sebagai Kepala kampung Pejala, yang menjadi pelopor pelaksanaan
acara Massorongritasi ini. Pada waktu itu, upacara ini dilaksanakan secara
sembunyi-sembunyi karena sangat berbau kemusyrikan dan mubajir dan dianggap
bertentangan dengan ajaran agama (baca: Islam). Para Nelayan menyatakan rasa
syukurnya mereka dengan memotong kerbau di laut yang diperuntukkan kepada
Penunggu Laut/Penguasa Laut dan sesajen tersebut benar-benar dibuang ke laut.27
Senada dengan ini, Pua Peisal dalam tulisannya juga menyatakan bahwa pada
masa pemerintahan La Sukke sebagai Kepala Kampung Pejala berikutnya (1920- 26Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kal-Sel, Upacara Adat ., 9. Riwayat tentang La Muhamma sebagai kepala kampung Pejala di Pagatan dan menjadi pelopor upacara ini dinyatakan juga oleh Padly Zour, bahwa La Muhamma lah yang berperan sebagai tokoh Nelayan waktu itu mengajak dan menghimpun Nelayan untuk melakukan upacara yang menjadi tradisi turun temurun di warga Nelayan Bugis Pagatan. Padly Zour (72 Th), Wawancara, Kota Pagatan, 13 Mei 2011. 27Musaid, Wawancara, Ds. Wiritasi, 20 November 2010. Pua Saide menceritakan bahwa pada tahun 1992an, ketika akan dilaksanakan Mappanretasi, satu hari sebelum hari puncak upacara tersebut, seorang warga datang kepadanya meminta tolong dengan Sandro untuk mengobati anaknya seorang perempuan yang sedang sakit. Anak tersebut mandi di pantai Pagatan bersama-sama dengan teman-temannya, dan ternyata ada yang merasuk ke tubuhnya. Setelah terjadi dialog antara mereka, Pua Saide dan Sandro tidak mengerti bahasa orang yang ada di dalam tubuh anak tersebut, dipanggil orang yang mengerti bahasa Jawa asli (Kraton). Setelah dapat dimengerti, dimafhumi bahwa yang ada dalam tubuh anak perempuan itu mengakui sebagai Nyi Roro Kidul, yang ingin hadir dan mengikuti upacara Mappanretasi warga Nelayan Bugis Pagatan tersebut, kalau tidak maka anak perempuan itu akan dibawanya pulang. Nyi Roro Kidul juga meminta untuk disiapkan juga 7 (tujuh) dayang-dayang yang berpakaian adat Kraton, kemudian kembang 40 macam dan ketan hitam serta panggang ayam. Setelah orang tuanya, Sandro serta Pua Saide menyetujui permintaan tersebut, maka si anak perempuan itu langsung bangun, dan ia langsung minta makan dan minum seperti sebelumnya. Waktu itu juga hadir H. Kurdi (paman anak perempuan) kepala Desa dan tokoh Muhammadiyah di Pagatan, setelah menyaksikan peristiwa tersebut, ia menyatakan setuju mempersiapkan segala yang diminta dari peristiwa tersebut dan pelaksanaan diserahkan sepenuhnya kepada Sandro dan Pua Saide.
199
1955), penyelenggaraan Mappanretasi selalu dengan memotong kerbau yang
kemudian dimasak dan dihidangkan kepada siapapun yang hadir pada waktu
upacara tersebut. Rumah para Kepala Kampung dan Punggawa terbuka untuk
siapapun, demikian juga kapal-kapal Nelayan dipenuhi makanan yang akan
disuguhkan bagi para pengunjung yang ikut ke laut untuk menyaksikan upacara
tersebut.28
Pada tahun 1960-1985 merupakan masa kejayaan para Nelayan Bugis
Pagatan, sehingga pada pelaksanaan upacara Mappanretasi juga diselenggarakan
beberapa pertunjukan dan hiburan yang bersifat perlombaan seperti lomba perahu
hias, dll. Pada tahun-tahun berikutnya, upacara Mappanretasi ini mendapat
perhatian dan support dari Pemerintah Daerah,29 sehingga di kemudian hari
pelaksanaan upacara ini selalu ditetapkan jatuh pada bulan April, menyesuaikan
dengan ketetapan Pemerintah yang menjatuhkan tanggal 6 April sebagai Hari
Nasional Nelayan.30
Upacara yang dikenal masyarakat umum di Kalimantan Selatan dengan
sebutan Pesta Laut, Pesta Pantai dan Pesta Adat31 ini merupakan salah satu
28Faisal Batennie,“Sejarah Mappanretasi., 2-3. Setiap penumpang yang mengikuti rombongan Sandro ke tengah laut disuguhi hidangan masakan Ogi (Bugis) Pagatan berupa Tombu (Lempar Besar), Burasa (Buras), berbagai ikan dan daging, untuk dimakan bersama-sama. 29Sejak tahun tersebut, upacara Mappanretasi tidak luput dari perhatian Pemerintah Daerah. Hal tersebut terlihat keterlibatan petugas Dinas Perikanan Bp. Sukmaraga dan Bp. Masguel dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan upacara tersebut menjadi lebih terorganisir dari tahun ke tahun. Faisal Batennie,“Sejarah Mappanretasi., 3. 30Dalam tulisannya, Faisal Batennie mengatakan bahwa gagasan untuk menyesuaikan hari pelaksanaan upacara Mappanretasi ini dengan Hari Nasional Nelayan berasal dari Bp. Masguel, yang juga memberikan sumbangan pemikiran dengan berbagai kegiatan kesenian Daerah khususnya kesenian Bugis Pagatan, sehingga disebut dengan perayaan Pesta Laut Mappanretasi. Faisal Batennie,“Sejarah Mappanretasi., 5. 31Penamaan upacara Mappanretasi dengan Pesta Laut, Pesta Pantai dan Pesta Adat dari masyarakat umum (selain Nelayan Bugis Pagatan) sekitar tahun 1980an, untuk memudahkan menyebut upacara tersebut dan juga menjadi lebih akrab (dekat) di hati para wisatawan lokal.
200
upacara tradisional Nelayan Bugis Pagatan yang mendapat dukungan Pemerintah
Daerah, baik Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan maupun Kabupaten
Kotabaru (sebelum terjadi pemekaran wilayah sebelum tahun 2003) dan juga
Kabupaten Tanah Bumbu (setelah pemekaran pada tahun 2003 sampai sekarang),
untuk menjadi salah satu aset berharga bagi budaya dan wisata daerah. Dengan
berbagai atraksi budaya daerah khususnya budaya Bugis Pagatan yang digelar dan
dilombakan pada setiap akan dilaksanakan upacara Mappanretasi ini, sehingga
upacara ini pada tahun 1991 ditetapkan sebagai Event Wisata Visit Indonesian
Year 1991, dan berikutnya pada tahun 1992 ditetapkan sebagai Visit Asean.32 Pada
tahun 2006 warga Nelayan Bugis Pagatan mendapat kunjungan tamu kehormatan
dari kehadiran Wakil Presiden RI H.M. Jusuf Kalla untuk menyaksikan prosesi
upacara Mappanretasi ini.
Upacara Mappanretasi ini dari pengamatan langsung peneliti dalam
pelaksanaannya selama 3 (tiga) tahun terakhir, sejak tahun 2009 sampai pada
tahun 2011 ini, masih tetap dalam kondisi yang terkonstruksi secara baik di
kalangan penerus Sandro maupun para Penata Adat Ogi Pagatan, dan masih tetap
mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Bumbu.
3. Pelaksana Upacara Mappanretasi
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa La Suke (1920-1955 sebagai
Pembakal Kampung Pejala) yang merupakan salah seorang tokoh yang sangat
32Dalam catatan Faisal Batennie, salah seorang yang sangat berperan dalam usaha mempromosikan upacara warga Nelayan Bugis Pagatan sampai ke Mancanegara adalah A. Khalik (1991) seorang mantan Kepala Kanwil Depparpostel Kalsel sejak tahun 1991. Faisal Batennie,“Sejarah Mappanretasi., 6.
201
dihormati di kalangan warga Nelayan Bugis Pagatan, dan dapat dikatakan sebagai
pelopor upacara Mappanretasi warga Nelayan Bugis Pagatan pada masanya. Di
mana ketika upacara ini dilaksanakan setiap tahun dengan memotong hewan
kerbau untuk disuguhkan kepada pengunjung, rumahnya menjadi tempat untuk
berkumpulnya para pengunjung untuk menikmati makanan yang disediakan
setelah upacara Massorongritasi di laut selesai.33
Setelah La Suke wafat, generasi selanjutnya pada tahun 1955-1970an
adalah La Saing (Abdul Saing). Pada masa La Saing ini teknologi alat tangkap
mulai berkembang seiring dengan meningkatnya kesejahteraan Nelayan Pagatan,
di samping itu pula adanya perhatian petugas Perikanan dari Pemerintah Daerah
yaitu Menteri Sukmaraga. Dengan demikian, maka pelaksanaan upacara
Mappanretasi lebih terorganisir dalam bentuk kepanitiaan, dengan
menyelenggarakan berbagai seni budaya dan olah raga dengan ciri khas daerah
terutama kesenian Bugis Pagatan sehingga mendapat sebutan Pesta Laut
Mappanretasi, selain itu adanya pekan pasar malam yang berlangsung di
kompleks Juku Eja. Sejak tahun 1970an ini juga pelaksanaan upacara warga
Nelayan Bugis Pagatan ini menyesuaikan dengan bulan April yang dijadikan
sebagai Hari Nasional Nelayan yaitu tepatnya pada setiap tanggal 6 April.34
33Faisal Batennie, “Sejarah Mappanretasi., 4. 34Para tokoh Nelayan yang ikut dalam kepanitiaan pada masa La Saing ini sampai pada tahun 1980 an, ialah Pambakal M. Saing (Desa Gusungnge), Alm H. Manukip (Desa Wirittasi), Alm La Batennie (Desa Juku Eja), Alm H. Baco Ganie (Desa Wirittasi), Alm. H. Side (Kota Pagatan), Alm Arpah Daude (Desa Pejala), Alm. Wa Kidang, (Desa Juku Eja), Alm. Santari (Desa Juku Eja), Alm. Wa Genda, (Desa Juku Eja), Alm. Wa Sennge (Desa Juku Eja), Alm H. Badewi (Banjarmasin), Zainuddin S (Desa Juku Eja), Alm. Nurdin, BT. (Desa Juku Eja), Alm. Abdul Syukur (Desa Gusungnge), Alm. H. Mahdin (Desa Wirittasi), Alm. H. Sani (Desa pejala), Alm. H. Burhani (Desa Kacapori), Alm. Pa Kandung (Desa Abatareng), Alm.Ismail BT, (Desa Juku Eja), H. Ambo Cinna (Desa Saring Sungai Binjai), Alm. H. Abdul Kadir (Desa Abatareng), Musaid AN (Ds. Wiritasi). Ibid., 5.
202
Padly Zour mengatakan bahwa Hari Nelayan yang dijadikan agenda
nasional oleh Pemerintah Indonesia di masa Orde Lama sejak tahun 1954 silam,
menjadi rujukan untuk waktu pelaksanaan upacara Mappanretasi warga Nelayan
Bugis Pagatan sejak saat itu. Meskipun setelah masuk pada masa Orde Baru,
agenda Hari Nasional Nelayan tersebut ditiadakan karena dianggap agendanya
Nasakom waktu itu, bulan April menjadi kebiasaan bagi warga Nelayan Bugis
Pagatan untuk melakukan upacara tersebut.35
Pua Saide (Musaid AN) mengatakan pada tahun 1955an, Nene’ Uke (La
Sukke) sebagai Kepala Kampung Pejala waktu itu merupakan tokoh utama
upacara Nelayan ini, kemudian dilanjutkan Pua Konding 1960an, setelah itu
sampai pada tahun 1970an dilanjutkan oleh H. Abdurrahman. Pada tahun 1970an,
upacara Nelayan Bugis Pagatan dengan nama Massorongritasi tersebut berubah
dengan sebutan upacara Mappanretasi dengan memakai Pejala (kapal Nelayan)
yang dilaksanakan menyesuaikan dengan tanggal 6 April bertepatan sebagai Hari
Nasional Nelayan.
Upacara Nelayan Bugis Pagatan ini kemudian menjadi event wisata pada
tahun 1980an yang dipelopori oleh Abdurrahim, sehingga upacara tersebut
dinamakan dengan Pesta Laut. Selanjutnya La Dekka pada tahun 1990an sampai
pada tahun 2007, di mana pada tahun 1997-1998 upacara warga Nelayan Bugis
pagatan ini menjadi Event Visit Asean yang menjadikannya terkenal dan masyhur
tidak hanya di Indonesia bahkan di mancanegara (Asia) khususnya. Pada tahun
2007, upacara Mappanretasi yang dipimpin Sandro La Dekka ini dihadiri oleh
35Padly Zour (72 Th), Wawancara, Kota Pagatan, 14 Mei 2011.
203
Jusuf Kalla Wakil Presiden RI. Selanjutnya Sandro sampai dengan sekarang ialah
Jafriansyah.36
Sandro Jafri mengungkapkan bahwa yang menjadi pelaku utama atau
pimpinan (Sandrotasi) sejak dulu pada Massorongritasi’e adalah nene’na (garis
keturunan dari pendahulunya), yaitu Datu Iccu, Wa’ Cendra, H. Abdurrahman, H.
Abdurrahim, La Dekka kemudian Jafri sendiri. Dari garis keturunan ini juga
kemudian ia memperoleh pengetahuan dengan diceritakan secara langsung oleh
para nene’na (datu-datunya) dan pengalaman dengan selalu menyaksikan
pelaksanaan ritual Massorongritasi’e tersebut.37 Adapun La Dekka mengatakan
bahwa nene’na (keturunan pendahulunya) yang menjadi Sandro ialah Dato
Terong, Dato Iri, Wa’ Cendra, H. Abdurrahim, dan Dekka kemudian sekarang
dilanjutkan oleh Jafriansyah. Dekka juga mengatakan bahwa pengetahuan
mengenai pelaksanaan Massorongritasi’e ini diperolehnya dari Wa’ Rahing (H.
Abdurrahim) yang merupakan paman dari pihak ibunya.38
Pua Pesal dalam tulisannya menyatakan bahwa sejak tahun 1980 sampai
pada tahun 2007, upacara Nelayan Bugis Pagatan ini dikemas untuk lebih menarik
perhatian wisatawan lokal dan mancanegara dengan menjadi Pekan Mappanretasi
yang pergelarannya lebih banyak kegiatan dari sebelumnya dan tentunya lebih
meriah, bahkan bisa sampai dua dan tiga minggu di bulan April. Para tokoh
Nelayan yang menjadikan upacara ini masyhur dan dikenal di seluruh Kalimantan
36Pua Saide (Musaid AN), Wawancara, Ds. Wiritasi, 20 November 2010. Rujukan kepada tanggal 6 April sebagai Hari Nasional Nelayan untuk penyelenggaraan Mappanretasi sebasgai nama untuk upacara Massorongritasi pada waktu sudah ditugaskannya Sukmaraga sebagai Menteri Perikanan di Kecamatan Kusan Hilir Pagatan yaitu sekitar tahun 1976. 37 Jafriansyah (58), Wawancara, Desa Pejala, 16 Maret 2011. 38 La Dekka, Wawancara, Desa Pejala, 5 Juni 2010.
204
Selatan ialah Masry Abd. Ganie, Mohammad Jabir, Fadly Zour, Ismail BT, M.
Ikrunsyah, Musaid AN, Andi Amrullah, Hamsury, Abdul Aziz Hasboel,
Burhansyah, Machmud Mashur, Faisal Batennie, dan yang menjadi Sandro pada
waktu itu ialah La Dekka.39 Selanjutnya pada masa 2007 sampai dengan sekarang,
Jafriansyah menjadi Sandrotasi yang menjadi penerus Dekka, di mana sekarang
gaungnya (kabar) tentang pesta laut Mappanretasi sudah besar, masyarakat
sekitar Pagatan khususnya para Nelayan dan di Kalimantan pada umumnya ketika
bulan April sudah bersiap untuk menyambut penyelenggaraan upacara tersebut.40
Dalam ritual upacara Mappanretasi warga Nelayan Bugis Pagatan ini
beberapa tindakan dan kondisi dari para pelaku dapat digambarkan sebagai
berikut:
Upacara Mappanretasi ini dilakukan oleh tiga orang Sandro pria dan tiga
orang Sandro wanita, empat orang Sesepuh Adat, seorang Ponggawa, Juru Mudi,
dan Juru Batu, sepasang Pengantin berpakaian Adat Bugis, serta puluhan orang
sebagai Penggiring yang terdiri dari putra-putri Nelayan sebagai dayang, yang
berpakaian adat Bodo beraneka warna ditambah dengan sepasang muda-mudi
yang menjadi penganten Bugis yang juga memakai pakaian adat Bugis berwarna
Merah.41
Adapun pengamatan langsung di lapangan mengenai suasana dan kondisi
para pelaku upacara warga Nelayan Bugis Pagatan ini, digambarkan sebagai
berikut: 42
39Pua Pesal (Faisal Batennie), Wawancara, Kotabaru, 15 Maret 2011. 40Ibid.. 41Kanwil XII Depparpostel Kalsel, Pesta Laut., 4. 42Observasi lapangan, Pagatan, 26 April 2010 & 24 April 2011.
205
Sandro dan Passeppi (pendamping Sandro) beserta rombongan penggiring
(dayang-dayang dan pengawal) yang mengikuti dan membawa ‘Olo (sesajen)
sebanyak 17 (tujuh belas) orang, terdiri dari 1 (satu) orang Sandro, 2 (dua) orang
Passeppi (yang terdiri dari sesepuh Nelayan dari keturunan keluarga Sandrotasi
dan tokoh agama/ tokoh masyarakat), 12 (sebelas) orang Dayang yang terdiri dari
6 (enam) orang dayang laki-laki dan 6 (enam) orang dayang perempuan, serta 4
(empat) orang dari Penata Adat. Sebagaimana telah banyak disebutkan bahwa
Sandro sangat berperan dalam pelaksanaan ritual Massorongritasi’e ini, ia
merupakan tokoh sentral atau pelaku utama dalam ritual warga Nelayan Bugis
Pagatan ini. Passeppi adalah orang yang menjadi pendamping Sandro untuk
membantunya dalam melakukan Ma’gerre manu (pemotongan ayam). Dan Penata
Adat mempunyai peran dari merencanakan penyelenggaraan, mempersiapkan,
menjadi pengawal rombongan Sandro sampai mengikuti ritual Massorongritasi’e
di tengah laut.
Rombongan Sandro sebagaimana disebutkan di atas, dengan ciri khasnya
berpakaian lengkap dengan adat Ogi (Bugis) Pagatan. Pakaian Sandro dengan
warna kekuning-kuningan, waju kurung unyi (baju kurung lengan panjang
berwarna kuning), sulara lampe (celana panjang tipe Pagatan berwarna kuning)
yang dilapisi dengan lipa unyi sibawa pute (sarung Pagatan bercorak warna
kuning dan putih), serta memakai songko bone/Ogi (peci Bugis) yang juga
berwarna kuning, Sandro juga membawa sebilah bangkung lu unyi (pedang)
lengkap dengan kumpang (sarung pedang) juga berwarna kuning. Sedangkan
pakaian Passeppi dengan baju lengan panjang dan celana panjang berwarna krim
206
dengan songko bone (peci Bugis) warna hitam berleres kuning dengan lapisan lipa
(sarung Bugis), salah seorang dari Passeppi ini juga membawa sebilah bangkung
lu (pisau) yang ukurannya lebih kecil dari yang dibawa Sandro yang digunakan
untuk Ma’gere manu (menyembelih ayam di tengah laut). Adapun para Dayang
laki-laki, pakaian mereka sama dengan pakaian Passeppi yaitu mayoritas warna
pakaian yang berwarna kuning bercorak Bugis Pagatan, dan pakaian para Dayang
perempuan berwarna ungu dengan baju dan sarung adat Ogi (Bugis) Pagatan.
Sedangkan 4 (empat) orang penata adat yang juga mendampingi rombongan
Sandro ini, dan bertugas sebagai pengawal rombongan Sandrotasi dari rumah ke
Panggung Adat sampai pada selesainya melaksanakan Massorongritasi’e di
tengah laut, mereka berpakaian (celana dan baju) berwarna hitam, peci Bugis
dengan warna hitam juga yang berleres kuning dan juga memakai lapis sarung
adat Ogi (Bugis) Pagatan.43
Adapun dayang laki-laki dan dayang perempuan memiliki peran dan tugas
masing-masing dalam upacara tersebut. Beberapa orang dari dayang laki-laki
berperan membawa ‘Olo (sesajen) yang sudah disiapkan, ada juga yang membawa
todung unyi (payung kuning) untuk melindungi Sandro khususnya dari panasnya
matahari, selain itu perlengkapan todung unyi (payung) ini juga mempunyai
makna, bahwa payung sebagai bentuk penghormatan terhadap orang terhormat
dan dimuliakan. 44
Rombongan Sandro juga terlihat mempunyai barisan yang telah dibentuk.
Skema formasi ini dapat digambarkan sebagai berikut:
43Ibid. 44Ibid.
207
Skema 5.1 Formasi Rombongan Sandro
Passeppi Sandro Passeppi
Penata Adat Penata Adat Dayang (lk) Dayang (lk) Dayang (lk) Dayang (lk) Dayang (lk) Dayang (lk) Dayang (pr) Dayang (pr) Dayang (pr) Dayang (pr) Dayang (pr) Dayang (pr)
4. Waktu dan Tempat Upacara
Setiap kegiatan atau aktivitas yang melibatkan orang banyak senantiasa
dengan perencanaan yang matang. Demikian juga dengan upacara warga Nelayan
Bugis Pagatan ini. Biasanya pada bulan Maret dan April, Sandro, para Ponggawa
dan Penata Adat serta sesepuh Nelayan Bugis Pagatan terlebih dulu mengadakan
pertemuan untuk bermusyawarah mempersiapkan dan menetapkan hari serta
waktu pelaksanaan upacara Mappanretasi tersebut. Pertemuan ini biasanya
dilakukan pada masa akhir musim Barat (Oktober-April), dan memasuki musim
Tenggara (peceklik) yang merupakan masa pancaroba, bertempat di kediaman
Pembakal (Kepala Desa) Wirittasi atau di Sekretariat Penata Adat Mappanretasi.
Adapun musyawarah para tokoh Nelayan ini dapat dideskripsikan sebagai
berikut:
a. Mappamula Gau (Menyusun Perencanaan).
Mappamula Gau adalah suatu kegiatan awal, yaitu membuat perencanaan
kegiatan yang akan dilaksanakan sebelum upacara Mappanretasi, begitu pula
persiapan yang harus dilakukan ketika acara puncak. Dalam hal ini, Kepala
208
Kampoeng (Kepala Desa) dan Pengurus Lembaga Ade Ogi (Penata Adat Bugis)
Pagatan akan melaksanakan kegiatan musyawarah dengan mengundang Sesepuh
dan Tokoh Nelayan, Ponggawa, dan Sandro selaku pemangku tradisi Ogi Pagatan.
Mengenai pertemuan para tokoh Nelayan ini, Pua Saide selaku Penata
Adat45 mengatakan:
Apabila melone labe bare sibawa melonne tama tunggara, biasanna pambakala akki wirittasi sibawa tomatua kamponge sirunttu sippa bicara, menentukang wattu esso makanja’e ilaksanakan massorong ritasi’e. Apabila enkana esso makanja isetujui, maka mulailah ibentu’ panitia pelaksana gau mappanretasi,e. Apabila ekanna esso makanja isepakati maka ihubungini Sandro’e, rilau resesena pimping acara masorong ritasi’e. (Apabila musim Barat berlalu dan memasuki musim Tenggera, para pembakal (Wirittasi) dan tokoh masyarakat (Sesepuh Adat) Nelayan berkumpul untuk bermusyawarah menentukan hari yang baik melaksanakan acara Mappanretasi. Apabila sudah disepakati waktu pelaksanaannya, maka Sandro diminta kesediaannya untuk memimpin acara ritual Mappanretasi).
b. Mappatentu Esso (Menetapkan hari H).
Waktu pelaksanaan pesta Mappanretasi warga Nelayan Bugis Pagatan ini,
sebagaimana disebutkan di atas, beberapa sumber mengatakan bahwa sejak
ditetapkannya bulan April pada masa Orde Lama Pemerintahan RI tepatnya pada
setiap tanggal 6 April sebagai Hari Nasional Nelayan, maka sejak saat itu pula
tokoh dan warga Nelayan Bugis Pagatan menyelenggarakan upacara adat
Mappanretasi pada bulan April dan puncak acara yaitu ritual Massorongritasi
dilaksanakan pada hari Minggu ketiga/keempat di bulan April tersebut.
Adapun menetapkan waktu di hari puncak acara/hari H pelaksanaan
Massorongritasi ini sepenuhnya menjadi hak prerogatif Sandrotasi (selaku
45Pua Saide (Musaid AN), Wawancara, Wiritasi, 21 November 2010.
209
pimpinan upacara Mappanretasi). Setelah Sandro menetapkan puncak acara/hari
H dan waktu upacara Massorongritasi, maka kemudian panitia pelaksana
Mappanretasi menyusun rencana dengan berbagai kegiatan, baik atraksi budaya
maupun seni serta olah raga yang bercirikan khas ke-Bugis-an. Adapun tujuan
atraksi pagelaran budaya, kesenian, dan olah raga tidak lain sebagai seremonial
memeriahkan pelaksanaan Mappanretasi.
Menurut salah seorang tokoh Adat Ogi (Bugis) Pagatan yang bernama
Abdul Aziz Hasbol46 mengatakan bahwa waktu pelaksanaan upacara tersebut
biasanya satu minggu dan bisa sampai satu bulan, dengan mempertimbangkan
kondisi dan keadaan pengunjung serta kemampuan pelaksana, penyelenggaraan
berupa beberapa budaya Ogi (Bugis) Pagatan seperti lomba Pejala (perahu)
Nelayan dengan hiasan, dll. Sekarang, lebih meriah lagi dengan adanya pasar
rakyat di Pagatan yang menyertai penyelenggaraan Pesta Laut Mappanretasi.
Menurut Faisal Batennie, sejak upacara Mappanretasi ditetapkan sebagai
Event Wisata Nasional pada tahun 1991, pelaksanaannya selalu di bulan April dan
tanggal hari H disesuaikan dengan pasang surut air laut di bibir pantai Pagatan.47
Ketika hari H telah ditetapkan, maka pelaksanaan acara puncak akan berlangsung
dari pagi hari pukul 08.30 Wita.48
Pua Saide (Musaid AN) mengatakan bahwa waktu pelaksanaan upacara ini
biasanya setelah musim Barat. Menurut hitungan Nelayan Pagatan selama 6 bulan
dimulai dari bulan Oktober sampai akhir April merupakan musim Barat, pada
46Abdul Aziz Hasbol, Wawancara, Pagatan, 13 April 2011. 47Faisal Batennie, “Sejarah Mappanretasi., 6. 48 Kanwil XII Depparpostel Kalsel, Pesta Laut., 4.
210
bulan-bulan tersebut menjadi musim iwak (ikan; khusus ikan Peda), maka upacara
diselenggarakan pada bulan April sebagai wujud ungkapan syukurnya Nelayan.49
Sedangkan mengenai tempat menyorongkan ‘Olo, menurut Sandro Jafri
adalah sebagai berikut:50
Silempu ni kandong ngoro sibawa lopie, gillenni mitai bulu’ dato, nakko si teppani bulu’ saniara sibawa bulu’ dato, makawe’ni onronna’ ma’berre (massorong ‘olo). (Arah Bulu Dato (Gunung Jambangan) di sebelah Timur sejajar dengan Tanjung Kandang Ngoro’/Haur (Desa Sungai Dua) di sebelah Barat dan dipotong secara simetris dengan Tanjung Petang dari Utara ke Selatan).
Sandro La Dekka mengatakan bahwa tempat Massorongritasi adalah
Tanjung Petang si toppo si bulu siniara (Tanjung Petang sejajar dengan Bulu
Dato/ anak gunung Jambangan).51 Berikut skema tempat Massorongritasi:
Skema 5.2 Tempat Ritual Massorongritasi
49Setelahnya akan masuk musim Tenggara yang menjadi musim berangin di laut dan sulit bagi Nelayan untuk melaut, pada musim ini laut senantiasa dengan gelombang tinggi dan hasil tangkapan ikan akan berkurang. Musaid, Wawancara, Ds. Wiritasi, 20 November 2010. 50 Jafriansyah, Wawancara, Desa Pejala, 17 Maret 2011. 51 La Dekka, Wawancara, Desa Pejala, 4 Juni 2010.
211
5. Kegiatan Seni dan Olahraga pada Pekan Mappanretasi.
Acara hiburan atraksi budaya selama pelaksanaan Mappanretasi berupa
kesenian Bugis Pagatan sampai olahraga tradisonal Nelayan Pagatan, seperti
Kacapi Tanneng (Kecapi Bugis), peragaan botting selelung, kesenian gorong-
gorong, kecapi, tarian baju bodo dan rebana masukkiri, serta tarian Mappanretasi.
Kegiatan lomba seperti Mappakalaring lopi (lomba perahu Pejala/perahu hias,
perahu lepa-lepa, perahu katir, kapal hias) dan lomba memancing di laut. Olah
raga seperti pencak silat, tarik tambang, membuat arca dari pasir, malogo,
butalele, tarik tambang, dan sepak bola pantai.
Menurut Padly Zour seorang Budayawan Pagatan, Masukkiri dan tarian
Mappanretasi yang selalu menyertai penyelenggaraan upacara Mappanretasi
memiliki makna yang sangat dalam bagi masyarakat Pagatan, khususnya warga
Nelayan Bugis Pagatan. Masukkiri yang asal katanya Madzikiri dimaknakan
sebagai pujian kepada Allah lewat zikir dan sholawat kepada Nabi Muhammad.
Sedangkan tarian Mappanretasi merupakan wujud tarian mensyukuri segala
nikmat yang Allah berikan lewat hasil usaha dari laut.52
B. Ritual dalam Upacara Mappanretasi Nelayan Bugis Pagatan
Bagian ini akan mendeskripsikan mengenai ritual yang terdapat dalam
pelaksanaan upacara Mappanretasi Nelayan Bugis Pagatan. Beberapa studi
tentang upacara ritual keagamaan menggunakan teori liminalitas Turner
52Padly Zour (72 Th), Wawancara, Kota Pagatan, 14 Mei 2011. Tarian Mappanretasi ia ciptakan sendiri beserta logo penyelenggaraan upacara Mappanretai pada tahun 1996an, untuk menjadi Event Wisata Daerah di Kalimantan Selatan. Sedangkan Masukkiri diciptakan oleh seorang seniman Pagatan yang bernama Pua Kudus seorang guru agama di Pagatan).
212
yang terdiri dari pra pelaksanaan (pre-liminal), pelaksanaan (liminal) dan
pasca pelaksanaan (post-liminal).53 Studi terhadap upacara ritual
Mappanretasi warga Nelayan Bugis Pagatan ini juga dapat dilihat dalam
tiga tahap analisis tersebut.
Upacara warga Nelayan Bugis Pagatan ini diawali dengan
mempersiapkan atau membuat ‘Olo (sesajen)54 Sandro, penyerahan ‘Olo
(sesajen) dari Sandro perempuan kepada Sandro laki-laki di Panggung
Adat, yang kemudian dibawa ke laut untuk pelaksanaan Massorongritasi
yang menjadi acara puncak upacara Mappanretasi.
Dari data yang diperoleh di lapangan, dapat digambarkan dari
persiapan dan membuat ‘Olo (sesajen) Sandro ini sebagai berikut:
1. Maremme Berre (Merendam Beras)
Maremme Berre adalah kegiatan ritual menyiapkan dan membuat Sokko
yang menjadi bahan utama ‘Olo (sesajen) Sandro yang langsung dipimpin oleh
Sandro perempuan yang dikenal dengan sebutan ibu Nelayan. Dalam ungkapan
53Pada masa pra pelaksanaan (pre-liminal) seseorang merasakan keberadaannya yang semakin dekat dengan kehidupan beragama. Struktur sosial ini tidak dihilangkan, tetapi secara radikal disederhanakan dan lebih ditekankan hubungan-hubungan yang bersifat umum. Pada tahap pelaksanaan (liminal), seseorang telah tampil dalam wujudnya yang berubah. Periode ini dicirikan oleh Turner sebagai anti-struktur sosial atau suatu keterikatan yang muncul secara spontan dan dibangun secara normatif di antara makhluk manusia yang sejajar dan seimbang. Pelaku ritual secara jelas memperlihatkan kekuatan emosional dan tenggelam dalam suatu kesatuan. Maka dalam melakukan ritual tidak dipandang sebagai suatu yang memberatkan, karena terdapat emosi yang kuat secara emosional. Sedangkan pasca pelaksanaan (post liminal), seseorang dipaksa untuk menyusun kembali beberapa pola pikir yang lama untuk membuang pandangan yang kuno, dengan maksud memberikan pemaknaan terhadap apa yang telah dilakukan. Victor Turner, The Forest of Simbols; Studies in Ndebu Ritual (Ithaca, New York: Cornel University Press, 1967), 50-51. 54‘Olo merupakan sesajen yang disiapkan untuk upacara adat Nelayan Bugis Pagatan yang terbuat dari Ketan (putih, kuning, merah dan hitam) dan dibentuk seperti gunungan (tumpeng), pisang raja, ayam bakar, telur masak, inti yang terbuat dari kelapa yang diberi gula merah, dan lilin terbuat dari tawon, kelapa taruk, (Manutolasi, Kading, Cella), beras (putih dan merah), dan Benno-benno. Perlengkapan lain yaitu; piring melawin dan kappara sebagai tempat Olo’. Faisal Batenniee, Budaya Bugis., 28.
213
bahasa Ogi (Bugis) Pagatan dari salah seorang subjek penelitian Sandro La Dekka
mengatakan mengenai ritual Maremme berre ini sebagai berikut:55
Maremme berre abiasanna sokko napakei Sandro Massorongritasie yenatu sokko pute, sokko lotong, sokko cela’ sibawa sokko onnyi. Asipulu iremme yentu yasengnge maremme berre, purani iremme nappani inasue. Maremme berre biasanna ipammulai issa naratte subuh nappani inasue. Maremme berre makkibu sokko napigawi makkunrayye. (Merendam beras biasanya adalah beras ketan (sokko) yang dipakai Sandro untuk upacara Massorongritasi, yaitu ketan putih, ketan hitam, ketan merah dan ketan kuning, yang dibuat atau dicampur dengan santan kelapa yang dimasak. Proses pembuatannya adalah ketan terlebih dulu dibersihkan dan direndam sejak waktu Isya sampai menjelang waktu Subuh, kemudian dimasak. Membuat sokko ini dilakukan oleh perempuan ibu-ibu Nelayan) Sandro perempuan yang bernama Pua Kiramang (Siti Rahimah),
mengungkapkan tentang ritual Maremmeberre ini sebagai berikut:56
Makkibu sokko ipammulai maremme berre. berre irreme asepulu. Nappani inasu menjadi sokko yenatu sokko eppa warnana; sokko lotong, sokko pute, sokko cela, sibawa sokko maunnyi. Sokko inasu epasekore sibawa santan kaluk. Narekko manaasuni nappani esakko itaro akki penne torioloe. (Membuat Sokko untuk ‘Olo Sandro (sesajen) terdiri dari ketan yang terlebih dahulu dibersihkan dan direndam, terdiri dari empat macam warna ketan yaitu ketan hitam, ketan putih, ketan merah, dan ketan kuning. Kemudian ketan tersebut dimasak, setelah dimasak dicampur dengan santan kelapa, kemudian ditata di atas piring melawin berbentuk gunungan (tumpeng) terdiri/terbagi empat warna sama besar/ banyak. Pelaksanaan Maremme Berre dilakukan pada malam hari acara puncak
Massorongritasi’e, yaitu sejak dari petang sampai menjelang Subuh, bertempat di
rumah Sandro laki-laki. Pelaksanaan Maremme Berre ini diawali mempersiapkan
beberapa bahan yang diperlukan dan dilakukan oleh Sandro perempuan. Menurut
Sandro Jafri, segala urusan untuk Maremme Berre ini dari persiapan bahan,
55La Dekka, Wawancara, Ds. Pejala, 16 Maret 2011. 56Pua Kiramang (Siti Rahmah), Wawancara, Ds. Pasar Baru, 17 Maret 2011.
214
melakukan perendaman beras ketan, memasak dan membentuknya menjadi
gunungan Sokko (beras ketan) sampai menjadi ‘Olo Sandro diserahkan kepada
Sandro Perempuan.57
Sebagai pelaku Maremme Berre beberapa tahun terkahir, Sandro Pua
Kiramang (Siti Rahimah) mengatakan mengenai yang dilakukannya ketika
memulai kegiatan ritual Maremme Berre tersebut sebagai berikut:58
Me’demme berre ipammula iniakeng laleng ati; nurunnia muhammad artina ma’demme berre, rasulullah barakaki’ ademingeng berre’e, allah ta’alla artina passukui, nappa ipakanjaki ibacana istigfa>r, dhikr birawa s}alawat nabi. (Merendam beras diawali dengan pembacaan istigfa>r, dhikr dan s}alawat tiga kali, dan dihakikatkan dalam hati dengan “niat nur Muhammad yang datang merendam beras, yang menyampaikan dan memberkati, dan yang menyempurnakan adalah Allah Ta’alla”). Sandro La Dekka mengatakan bahwa ketika Maremme Berre diawali
dengan membacakan tawassul kepada baginda Nabi Muhammad, yang berbunyi :
.یھ وسلم الفاتحةالى حضرة النبي المصطفى محمد صلى هللا عل
Kemudian Sandro membacakan surat fa>tih}ah ampat (su>rat al-Ikhla>s}, su>rat
al-Falaq, su>rat an-Na>s dan su>rat al-Fa>tih}ah) pada masing-masing warna ketan dan
tempatnya, maka yang dibaca pada ketan hitam ialah su>rat al-Ikhla>s, pada ketan
kuning su>rat al-Falaq, dan pada ketan merah su>rat an-Na>s, dan pada ketan putih
su>rat al-Fa>tih}ah.59
Selanjutnya Pua Kiramang juga mengatakan bahwa ritual akan lebih
banyak lagi dilakukan ketika mempersiapkan Sokko (beras ketan) yang sudah
57Jafriansyah (58), Wawancara, Desa Pejala, 27 April 2011. 58Pua Kiramang (Siti Rahmah), Wawancara, Ds. Pasar Baru, 17 Maret 2011. 59Masing-masing ketan tersebut mempunyai maknanya sendiri. Hitam menyimbolkan tanah, kuning menyimbolkan angin, merah menyimbolkan api, dan putih menyimbolkan air. La Dekka, Wawancara, Ds. Pejala, 16 Maret 2011.
215
dimasak menjadi ‘Olo Sandrotasi, yang kegiatan ini dinamakan dengan Mattampa
Sokko.60 Bahan-bahan Maremme Berre yang diperlukan, yaitu terdiri dari; Beras
ketan putih dan ketan hitam. Ketan putih sebanyak 3 gantang (12 ltr) dan satu
gantang ketan hitam. 2 gantang dari Ketan putih diberi warna merah dan kuning,
sehingga menjadi empat macam warna beras ketan, yaitu putih, hitam, merah dan
kuning. Kemudian masing-masing ketan dimasukkan ke dalam baskom (bak air),
dan direndam dengan air kurang lebih lebih tujuh jam sebelum dimasak pada
waktu menjelang Subuh. Air santan kelapa juga digunakan sebagai campuran
pada waktu memasak keempat ketan di atas, dan disebut Massako (mencampur
dengan santan sampai merata dan berlemak), dan garam secukupnya, serta telur
ayam kampung yang sudah masak (direbus) paling banyak 4 biji, yang nantinya
akan diletakkan di atas puncak gunungan Sokko.61
Hasil pengamatan langsung di lapangan, ketika Maremme Berre
(perendaman beras ketan) dilakukan maupun setelah dimasak dan dibentuk
menjadi gunungan empat warna, bahan-bahan Maremme Berre dan ‘Olo Sandro
lainnya diletakkan di tempat khusus, dan di atasnya diberi tenda kain kuning
disebut dengan cindai unyi, serta todung unyi (payung kuning).62
2. Mannasu dan Mattampa Sokko (memasak dan membentuk ketan)
Pada malam hari menjelang subuh, dilakukan Mannasu Sokko (memasak
beras ketan) dan juga bahan-bahan ‘Olo lainnya.63 Waktu akan memasak ketan
60Pua Kiramang (Siti Rahmah), Wawancara, Ds. Pasar Baru, 17 Maret 2011. 61Ibid. 62Observasi Langsung, Ds. Pejala, 26 April 2011. 63La Dekka (84), Wawancara, Desa Pejala, 4 Juni 2010. Mannasu’ sokko ini biasanya dimulai dari pukul 01.00 Wita sampai selesai di waktu sholat subuh. Dan setelah sholat subuh dilakukan Mattampa sokko (membentuk sokko) menjadi gunungan.
216
ini, Pua Kiramang juga mengatakan bahwa ia membacakan tawassul kepada nabi
Muhammad dan kepada nabi Khaidir dan diakhiri dengan do’a selamat.
Adapun bacaan tawassul untuk kedua nabi tersebut ialah:64
والى حضرة سید نا خیضر بن ملكان .الى حضرة النبي المصطفى محمد صلى هللا علیھ وسلم الفاتحة
. الفاتحة
Nappa mbaca do’a salama (kemudian membaca do’a selamat).
Pua Kiramang menyatakan bahwa orang yang akan memasak ketan dan
‘Olo Sandro tidak boleh dalam keadaan datang bulan (haid), diharuskan memakai
tetudung (tutup) kain putih di atas kepalanya, karena apa yang dimasak itu hanya
diperuntukkan bukan kepada orang biasa-biasa saja, tetapi untuk orang-orang
yang terhormat.65
Setelah sokko (ketan) 4 (empat) warna tersebut masak, yaitu setelah selesai
sholat subuh, kemudian dilakukan Mattampa Sokko (membentuk ketan) menjadi
sebuah gunungan dengan masing-masing warna dari ke-4 (empat) sokko (ketan)
tersebut, gunungan sokko tersebut kemudian dikelilingi dengan bahan-bahan ’Olo
lainnya. Ada ritual khusus yang dilakukan oleh Sandro pada waktu Mattampa
Sokko (membentuk ketan) empat warna tersebut menjadi gunungan. Wa’ Jade
sebagai Sandro perempuan mengungkapkan bahwa pada waktu akan memasak
Sokko, dan membentuk Sokko yang sudah dimasak menjadi gunungan serta
menjadikannya ‘Olo Massorongritasi, yaitu membaca dua kalimah shaha>dah,
istighfa>r dan s}alawat: 66
64Pua Kiramang, (Siti Rahmah), Wawancara, Ds. Pasar Baru, 17 Maret 2011. 65Ibid. tutup kain putih tersebut juga tidak bisa diletakkan dan dibawa di sembarang tempat (wc dan lainnya) yang menjadikannya tidak suci. 66Wa’ Jade, Wawancara, Ds. Juku Eja, 23 April 2010.
217
اللھم صل على سید نا محمد و على . استغفر هللا العظیم. اشھد ان ال الھ اال هللا واشھد ان محمدا رسول هللا
.الھ وصحبھ اجمعین
Ketiga hal tersebut juga dilakukan pada waktu akan membuat bahan ‘Olo
Sandrotasi lainnya.
Pua Kiramang mengungkapkan bahwa ritual yang dilakukan ketika
membentuk dan menjadikan sokko tersebut sebagai ‘Olo Massorongritasi’e
adalah membacakan beberapa tawassul kepada para nabi dan wali Allah Ta’ala,
membaca doa nabi Sulaiman dan nabi Khaidir, dan membaca doa salama
(selamat).67 Pada Matampasokko ini ketan labih khusus diniatkan dan
diperuntukkan kepada beberapa nabi, ketan hitam untuk nabi Adam, ketan putih
untuk nabi Muhammad, ketan kuning untuk nabi Khaidir, dan ketan merah untuk
Ma’deppa Relappa Tellang (wali tujuh; yang tidak bisa disebutkan oleh Pua
Kiramang).68
3. Pembuatan Gella (simbol/lambang)
Sebelum sokko diletakkan dan dibentuk menjadi gunungan, terlebih
dahulu Sandro perempuan menyiapkan dan membuat Gella69 (simbol/lambang) di
atas piring melawin (pennetoriolo) sebagai alas untuk gunungan Sokko. Dan
bahan yang diperlukan untuk membuat Gella (simbol/lambang) ini, yaitu: Beras
empat warna; putih, hitam, merah dan kuning, daun sirih yang dibentuk dan
67Pua Kiramang (Siti Rahmah), Wawancara, Ds. Pasar Baru, 17 Maret 2011. Mengenai tawassul dan doa nabi Khaidir yang dibacakan waktu Mattampa sokko ini, Pua Kiramang berkenan memberikan catatannya kepada Penulis untuk difotocopy dan dilampirkan pada penelitian ini. 68Ibid. 69Gella (lambang) yang dibuat menjadi alas gunungan Sokko empat warna ini tidak diperlihatkan dipermukaan ‘Olo Sandro, karena Gella dalam anggapan Sandro masih merupakan lambang suci yang sarat makna dan tidak semuanya dapat membuat atau melakukannya dan juga tidak semuanya dapat memahaminya, serta tidak boleh atau famali untuk diperlihatkan kepada orang banyak (menjadi tontonan).
218
dilipat menjadi rekoota massulekka (sirih bentuk duduk bersila), beno (beras ketan
yang digoreng kering tanpa minyak/ulatih ketan), emas (yang merupakan syarat
dari ‘Olo; asalkan ada saja), dan daun pisang sebagai penutup Gella.
Menurut La Dekka, Gella merupakan bahasa Bugis bahari (dulu;kuno),
sekarang disebut juga Pappinang. Pappinang merupakan syarat yang harus ada
dalam pemberian kita yang diletakkan di bawah ‘Olo Sandro. Adapun bentuk dari
Pappinang ini ialah empat macam warna ketan yang dibuat berbaris 4 (empat)
sejajar, disela-selanya diletakkan daun sirih, daun wasu’ dan telur ayam kampung
serta emas perak sa’ semme’ (2,5 gr). Adapun yang mengerjakan Pappinang ini
diserahkan kepada Sandro perempuan yang disebut dengan ibu Nelayan.70
Menurut Pua Kiramang, terdapat beberapa macam Gella (lambang) yang
digunakan dan dibuat sebagai alas dari gunungan Sokko dan selalu dilakukan
warga Bugis Pagatan, yaitu: Pertama, Gella Wa’rani (lambang paling tinggi/sifat
pemberani) berbentuk segi empat kaliwara, di mana penggunaan lambang ini
hanya untuk garis keturunan tertentu, yaitu keturunan dari para Raja Bugis.
Kedua, Gella Penyu (lambang sifat penolong) dengan bentuk binatang penyu.
Ketiga, Gella masapi (lambang bella) yang berbentuk ikan.71
Pua Pusiah (Fauziah) mengatakan bahwa Gella/lambang yang dibentuk
biasanya seperti penyu dan buaya (kalau di laut itu simbol penyu dan di pesisir itu
dengan simbol buaya). Hal ini menurut cerita dari mulut ke mulut yang masih
dipegang kuat oleh keturunan Ogi Bugis Pagatan bahwa pernah suatu ketika
70La Dekka (84), Wawancara, Desa Pejala, 3 Juni 2010. Menurut La Dekka, empat baris ketan tersebut menyimbolkan tulisan Allah, dengan makna bahwa bahwa segalanya dari Allah dan kembali kepada Allah. 71Pua Kiramang (Siti Rahmah), Wawancara, Ds. Pasar Baru, 17 Maret 2011.
219
nene’na (nenek moyang) mereka ketika melakukan pekerjaan melaut, dan terjadi
peristiwa badai yang memecahkan kapal mereka dan ditolong oleh penyu,
kemudian ia berjanji dan bersumpah bahwa ia dan seluruh anak keturunannya
tidak boleh memakan telur penyu. Apabila talanggar (termakan) telur penyu
tersebut, maka biasanya juga terjadi peristiwa yang tidak seperti kebiasaan di
masyarakat dan tidak dapat dianalisa secara medis kesehatan, Sandro akan
menyarankan untuk melakukan Don Rasulu, artinya bahwa yang bersangkutan
diminta untuk membuat Sokko untuk disorong di laut, dan Gella di dalamnya.72
Setelah Gella selesai dibuat dan ditutup dengan daung otti (daun pisang),
kemudian diletakkan Sokko empat warna di atasnya dibentuk menjadi gunungan.
4. ‘Olo Massorongritasi (Bahan Sesajen)
Sebagaimana deskripsi di atas bahwa bahan pokok yang menjadi ‘Olo
Sandro untuk Massorongritasi ialah sokko patan rupa/ketan 4 (empat) warna;
sokko lotong (ketan hitam), sokko pute (ketan putih), sokko cela (ketan merah),
dan sokko unyi (ketan kuning). Pua Saide mengatakan bahwa dalam setiap tradisi
dan kegiatan keagamaan orang Bugis Pagatan, ketan 4 (empat) macam warna
tersebut; putih, hitam, merah dan kuning yang dibentuk menjadi gunungan tidak
boleh ketinggalan beserta ayam yang dipanggang/dibakar.73
La Dekka mengatakan selain sokko lotong, sokko pute, sokko cella dan
sokko unnyi (ketan hitam, putih, merah dan kuning) yang ada Gella di bawahnya,
72Pua Pusiah (Fauziah), Wawancara, Desa Pakkatelu (Rantau Panjang Hilir), 12 November 2010. Pua Pusiah sendiri mengaku tidak boleh dan bahkan sampai sekarang tidak berani mencoba untuk memakan telur Penyu, sebab ia percaya akan lenyek (lemah) kepalanya kalau berani melanggar sumpah nenek moyangnya tersebut. Ia juga menceritakan pernah terjadi, suatu ketika seorang wanita hamil dan ia terinjak telur penyu, maka anaknya yang lahir kemudian kepalanya lemah seperti kulit telur penyu tersebut. 73 Pua Saide (Musaid), Wawancara, Ds. Wiritasi, 20 November 2010.
220
bahan ‘olo lainnya yang harus disiapkan juga adalah otti barangeng (satu sisir
pisang; sejenis pisang Raja), ayam kampung 2 ekor; mano kaliyabo (ayam jantan
berwarna hitam) dan mano kading (ayam betina berwarna kuning), pallise (inti
dari kelapa/parutan kelapa), benno (ulatih ketan), dan taibani (lilin bakar terbuat
dari tahi tawon).74
Wa’ Jade juga mengungkapkan bahwa selain sokko yang menjadi bahan
pokok ‘Olo Sandro, juga disiapkan bunga lobang, pisang raja, telor ayam, 4
(empat) ekor ayam bakar, perapen, dan lilin.75 Setelah Sokko selesai dimasak,
kemudian diletakkan di atas Kappaara (baqi makanan kuno, yang terbuat dari
perunggu) bersama dengan bahan-bahan ‘olo lainnya,
Sebelum ‘Olo Sandro diletakkan, Kappaara terlebih dulu diberi kain
kuning 1 meter yang dilipat-lipat sebagai alas/pelapis Kappara, dan setelah ‘Olo
Sandro sudah siap, pada pagi hari H (yang telah ditentukan sebelumnya) sekitar
pukul 08.00 Wita, ‘Olo dibawa dari rumah Sandro ke Panggung Adat oleh
rombongan Sandro, untuk dilakukan Manggade (penyerahan) ‘Olo Sandro. 76
5. Mangngade ‘Olo (Penyerahan Sesajen Sandro)
Panggung Adat Ogi (Bugis) Pagatan menjadi tempat khusus untuk
dilakukan Manggade (penyerahan) ‘Olo Sandro yang sudah disiapkan. Kondisi
dan suasana di atas Panggung Adat, sebagaimana pengamatan penulis di
lapangan, lebih dulu dihias dengan berbagai kain air guci (yang biasa digunakan
untuk hiasan pesta perkawinan di Pagatan), terdapat juga group Rebana Masukkiri
74La Dekka (84), Wawancara, Desa Pejala, 3 Juni 2010. 75Wa’ Jade, Wawancara, Ds. Juku Eja, 23 April 2010. 76Panggung Adat merupakan tempat yang dibuat oleh Lembaga Penata Adat Ogi Pagatan, yang digunakan sebagai pusat kegiatan adat masyarakat Bugis Pagatan. Dalam hal ini, termasuk upacara Mappanretasi. Faisal Batenni, Wawancara, Kotabaru, 23 Maret 2010.
221
yang akan membacakan syair maulid Barjanjy pada waktu menunggu kedatangan
rombongan Sandro, group Japin sebagai penggiring tarian massal Mappanretasi,
juga Wala Suji (pohon telur itik) yang dihias dengan bendera warna warni yang
terbuat dari kertas, dan juga alat pengeras suara (sound system). Sedangkan di
bawah Panggung Adat, telah siap grup Penari yang akan menarikan tarian
Mappanretasi dan grup musik tradisional Korong-korong (dari bahan bambu)
untuk menyambut kedatangan rombongan Sandro di lapangan Panggung Adat,
rebana Masukkiri juga dilakukan untuk menghantarkan keberangkatan Sandro dan
rombongan ke laut, dan beberapa persiapan lainnya seperti yang telah
direncanakan sebelumnya oleh para Penata Adat Ogi (Bugis) Pagatan.77
‘Olo yang dibawa rombongan Sandro ke Panggung Adat pada pagi hari H
telah ditentukan pada pukul 8.00 Wita. Kedatangan rombongan Sandro ini dengan
berjalan kaki disambut juga dengan ucapan s}alawat dari salah seorang Penata
Adat yang berbunyi:78
وشفیعنا وحبیبنا اللھم صل على سید نا وحبیبنا محمد اللھم صل على سید نا سید نا محمداللھم صل على
.محمد
Para hadirin yang ada di sekitar panggung Adat menjawab secara bersama-
sama setiap kali s}alawat tersebut diucapkan dengan jawaban: ھعلیاللھم صل .
Selanjutnya seorang tokoh Penata Adat mengucapkan “selamat datang”
kepada Sandro dan rombongan di Panggung Adat untuk menerima seserahan ‘Olo
(sesajen) secara resmi dari seorang Sandro perempuan (ibu Nelayan). Ada
77Observasi Langsung, Ds. Juku Eja, 23-24 April 2011. 78Ibid.
222
beberapa tindakan dan ucapan yang dapat digambarkan dalam penyerahan ‘Olo
Massorongritasi ini, yaitu:79
Tempat duduk rombongan Sandro diatur dan disusun secara bershaf ke
belakang dengan menghadap kepada para hadirin. ‘Olo (sesajen) diletakkan di
depan Sandro dan rombongan, kemudian salah seorang Sandro perempuan
menghadap kepada Sandro untuk menyerahkan sesajen yang telah disiapkan.
Adapun dialog yang terjadi pada waktu Manggade ‘Olo (penyerahan sesajen) ini
ialah sebagai berikut:80
Sandro perempuan menyerahkan ‘Olo (sesajen) kepada Sandro laki-laki dan berkata: “Tatarima ini iyena ‘Olo Sandro, bara yoddinni kapang takai massorong ritasie” (Inilah sesajen yang telah dibuat dan siapkan, silahkan digunakan untuk upacara Massorongritasi). Sandro laki-laki kemudian menerima dan menjawab: Iye lotarimana ninawa madeceta, iyenamatu lotiwi lopakai masorong ritasie. (Saya terima sesajen ini, dan akan saya bawa ke laut untuk digunakan Massorongritasi, terima kasih).
Selesai acara serah terima ‘Olo (sesajen) ini kemudian dilanjutkan dengan
pembacaan do’a salama (selamat), dipimpin oleh Sandro sendiri atau Pua Imang
(guru agama) yang hadir yang akan membacakan do’a selamat tersebut. Setelah
pembacaan do’a, kemudian Penata Adat menghadap kepada Sandro untuk
menyampaikan bahwa sarana Massorongritasi berupa kapal dan segala sesuatu
yang diperlukan telah siap, dan selanjutnya mempersilahkan Sandro beserta
rombongan untuk berangkat menuju laut tempat Massorongritasi.
Setelah acara Manggade ‘Olo ini selesai, kemudian para hadirin disuguhi
dengan tarian Masukkiri yang diiringi oleh grup musik tradisional Japin
Masukkiri untuk menghantarkan keberangkatan rombongan Sandro dari 79Ibid. 80Jafriansyah (58), Wawancara, Desa Pejala, 25 April 2011.
223
Panggung Adat menuju ke laut.81 Selanjutnya rombongan Sandro berangkat dari
Panggung Adat menuju ke laut untuk upacara Massorongritasi.
6. Massorongritasi (Ritual di Tengah Laut)
Setelah tiba di pinggiran pantai, Pejala (kapal) telah disiapkan oleh Penata
Adat secara khusus untuk Sandro dan rombongan, juga kapal-kapal yang
disiapkan untuk para undangan dan masyarakat pengunjung yang ingin
menyaksikan langsung prosesi ritual Massorongritasi di tengah laut. Kapal-kapal
yang telah disiapkan oleh Penata Adat ini beserta Juru Mudinya adalah kapal-
kapal para Ponggawa Nelayan Bugis Pagatan, yang juga telah dihias dengan
begitu meriahnya, agar para pengunjung yang naik di atasnya merasa nyaman.
Dari hasil observasi langsung penulis, mengenai ritual di tengah laut ini
dapat di gambarkan sebagai berikut:82
Di atas kapal, para Passeppi dan Dayang laki-laki mempersiapkan sesajen
yang akan disorong, setelah berlayar kapal sampai ke tempat yang telah
ditentukan oleh Sandro di tengah laut, maka pertama kali Sandro meminta kepada
Juru Mudi memposisikan kapal untuk dihadapkan ke Selatan, agar Sandro dapat
menghadap ke arah Kiblat (Barat). Setelah posisi kapal sesuai dengan yang
dikehendaki oleh Sandro, kemudian ia mengawali ritualnya dengan menundukkan
kepalanya.
Mengenai ritual yang pertama kali dilakukan oleh Sandro, Pua Jafri
mengatakan:
81Tarian Masukkiri ini, menurut Padly Zour, dimaksudkan untuk mengajak para hadirin agar bersama-sama melakukan pujian kepada Allah dengan melakukan zikr dan sholawat kepada nabi. Tarian ini diciptakan oleh salah seorang guru agama yang memang asli orang Pagatan yang bernama pa Kudus. Padly Zour (72 Th), Wawancara, Kota Pagatan, 13 Mei 2011. 82Observasi Langsung, Ds. Juku Eja, 24 April 2011.
224
Pertama kali Sandro akan melakukan tafakkur (memfokuskan pikirannya),
dan kemudian pada saat menundukkan kepala tersebut ia membaca shaha>datain :
.اشھد ان ال الھ اال هللا واشھد ان محمدا رسول هللا
Sandro Jafri juga mengungkapkan bahwa di dalam hatinya ia
mengutarakan: engkani ana apota’e, monroi jancinna melo’ ma’bere lalenna
sitaungnge (bahwa kami sudah ada di sini anak cucu pian untuk memenuhi janji
pemberian rezeki dalam setahun).83
Selanjutnya untuk memastikan bahwa tempat di tengah laut tersebut
menjadi tempat untuk Massorong, Sandro merendamkan tangan kanannya
beberapa saat sambil merasakan sesuatu. Sandro Jafri mengungkapkan bahwa
untuk mengetahui tanda menjadi tempat Massorong di tengah laut tersebut, ialah:
Nakko ipanoni’ limanna ma’bere selleng, irasa-rasani wayye, nakko mapalla
pallani ise’ding, inkaniakoe yawa onronna (apabila merasakan air laut sedikit
panas/hangat-hangat kuku mengitari tangan, maka itulah tempat yang tepat untuk
dilakukan ritual Massorong), dan lebih penting ada ‘kontak dengan batin (di hati)’
Sandro. Ketika sudah ada kontak batin itu, Sadnro meyakini dalam hatinya bahwa
Penunggu laut (Saweregading) sudah ada di bawah, kemudian ia mengucapkan
salam kepadanya melalui tafakkurnya sebagaimana disebutkan di atas.84
La Dekka juga mengatakan bahwa sewaktu menjadi Sandrotasi ia juga
melakukan hal yang demikian, ia menerangkan dengan bahasa yang
disampaikannya kepada penulis yaitu: Iloro’i limae angka kalepa, engkaa 83Jafriansyah, Wawancara, Desa Pejala, 26 April 2011. Ketika wawancara ini dilakukan bersama Sandro Jafri, hadir juga 2 anaknya yang bernama Asri (putra pertama) dan Islamuddin (Putra ketiga). Keduanya juga mendengarkan sambil sesekali memberikan keterangan kepada penulis maksud dari apa yang disampaikan oleh orang tuanya tersebut. 84 Ibid.
225
rassanna getteng-gettengngi limai (untuk menentukan tempat Massorong ia
menurunkan tangan kanannya ke dalam air laut sampai batas ketiak), setelah ada
rasa seperti tangan ditarik-tarik masuk ke dalam air, maka itulah tempat untuk
Massorong, dan kemudian ia membaca tawassul : 85
.علیھ سلم الفاتحة الى حضرة النبي المصطفى رسول هللا والى خیضر
Selanjutnya Sandro Jafri mengayun-ayunkan bangkung lu’ (parang)nya,
dengan berbentuk tulisan Lam Jalalah, dan bentuknya yang dituliskan oleh Jafri
yaitu ( ). Makna tulisan adalah segala yang dilakukan oleh warga Nelayan ini
karena kehendak Allah, tidak ada daya upaya hanya dari Allah, dan dengan
pertolonganNya Nelayan dapat melakukan segala sesuatunya.86 Adapun La
Dekka, sebagaimana yang diutarakannya kepada penulis, bahwa yang ditulisnya
dengan bangkung lu’ (parang)nya adalah bentuk ( ).87
Kemudian Sandro Jafri kembali duduk di pinggiran kapal sambil
mengepalkan kedua tangannya menghadap ke laut untuk melakukan makkaremo
beno mampori (menaburkan ulatih yang dicampurkan dengan bunga Lobang).88
Jafri mengatakan bahwa waktu itu ia membaca: Bismilla>h ar-rahma>n ar-rahi>m).
Tujuan makkaremo beno tersebut sebagai ungkapan selamat datang dan
penghormatan terhadap dato ta’/Penjaga laut.89
85 La Dekka, Wawancara, Desa Pejala, 29 April 2011. 86Jafriansyah, Wawancara, Desa Pejala, 26 April 2011. Menurut Jafri, Bangkung lu’ (parang) yang digunakannya tersebut merupakan warisan dari nene’na (keturunannya terdahulu) yang diolah dari bahan besi pilihan dan dibuat serta ditempat dengan tangan langsung tanpa dipukul dengan baja waktu sudah dipanaskan. 87La Dekka, Wawancara, Desa Pejala, 29 April 2011. Bagi La Dekka makna tulisan tersebut adalah bahwa kita melakukan hal ini karena kekauatan yang diberikan oleh Allah, tidak ada daya manusia selain pertolongan Allah. 88Observasi langsung, Ds. Juku Eja, 24 April 2011. 89Jafriansyah (58), Wawancara, Desa Pejala, 26 April 2011.
226
Demikian juga La Dekka mengungkapkan bahwa yang dilakukannya
kemudian yaitu iboloi minja’ bau nappani sinto ana’ beccingi, nappa yampori
benno (menaburkan minyak likat, dan menggunakan alat-alat sinto sandro untuk
kemudian menaburkan Ulatih dari beras ketan).90
Ritual kemudian dilanjutkan dengan ma’gere manu (penyembelihan ayam
kampung berwarna hitam dan kuning) yang juga disiapkan untuk ‘Olo
Massorongritasi’e (sesajen). Penyembelihan ayam ini dilakukan oleh 2 orang
Passeppi (pendamping/pembantu) Sandro secara bergantian, dan Sandro yang
memegang ayam tersebut untuk nantinya membiarkan darahnya menetes ke laut
setelah dilakukan penyembelihan tersebut. Sandro Jafri mengungkapkan bahwa ia
kembali mengutarakan dalam hatinya: engkani’e pa’berena ana appota’
(terimalah pemberian anak cucu engkau sebagai tanda rasa syukur Nelayan).91
Ritual Ma’gerre manu tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh Asri, salah
seorang Passeppi Sandro pada ritual Massorongritasi tahun 2011 ini dilakukan
dengan membaca: Bismilla>h alla>hu akbar, sebanyak 3 (tiga kali).92
Menurut pengamatan peneliti di lapangan, kedua ekor ayam yang sudah
disembelih secara bergantian tersebut kemudian disorong/dilepaskan di
permukaan air laut, namun selanjutnya keduanya boleh diambil oleh siapapun dari
para hadirin yang menginginkannya sebelum keduanya mati di laut.93 Sandro Jafri
juga mengatakan demikian, bahwa kedua ekor ayam tersebut diperbolehkan bagi
90La Dekka, Wawancara, Desa Pejala, 29 April 2011. 91Jafriansyah, Wawancara, Desa Pejala, 26 April 2011. 92Asri, Wawancara, Desa Pejala, 26 April 2011. Asri merupakan salah seorang keturunan dari Sandro Jafri, yang nantinya akan menjadi penerus Sandro. 93 Observasi Langsung, Ds. Juku Eja, 26 April 2010 & 24 April 2011.
227
siapa saja yang ingin mengangkat dan mengambilnya, apabila ayam tersebut
sudah jauh dari posisi penyembelihan dan Sandro.94
Sandro La Dekka mengatakan bahwa ketika Ma’gere manu (memotong
Ayam) di tempat ritual tersebut, ia mengutarakan sebagai berikut: 95
Apoleammu pole ritanae, maleka’e katenniko, nabimu gere’ko’, puangge taroeko nyawa. A’jamu kedo, eloko i’tujuang akki umma’na nabi Muhamma’ (Kamu dijadikan dari tanah, Malaikat yang memegangmu, Nabi yang memotongmu, Tuhan yang memberikan nyawamu, jangan bergerak sebab kamu akan dipotong/sembelih tujuannya untuk umat nabi Muhammad). Selanjutnya Sandro dibantu Passepinya mempersiapkan ‘Olo (sesajen)
yang akan disorong ke laut, dengan terlebih dulu menyalakan api taibani (lilin
yang terbuat dari cani/tahi lebah) yang ada pada piring pennetoriolo (melawin)
bersama dengan Sokko patan rupa (ketan empat warna). ‘Olo ini selanjutnya
dipaccuru (dimasukkan) oleh Sandro ke laut secara bersamaan.96
Jafri juga mengungkapkan ketika ia melakukan Massorong sokko patan
rupa ini, bahwa ia kembali mengutarakan dalam hatinya: engkani’e pa’berena
ana appota’ (ini ada sudah pemberian anak cucu engkau sebagai tanda
kesyukuran anak cucu Nelayan). Sebagaimana ungkapannya, maka ketika itu
katanya: wetunne sorrong rasanna engka gettekki (seperti ada yang menarik
tangannya dari dalam laut).97 Dan kemudian Sandro juga menyorong otti
Barangeng (memasukkan sesajen yang berikutnya berupa pisang Raja ke laut,
dibantu para Passeppinya.98
94 Jafriansyah, Wawancara, Desa Pejala, 26 April 2011. 95 La Dekka, Wawancara, Desa Pejala, 29 April 2011. 96 Observasi Langsung, Ds. Juku Eja, 26 April 2010 & 24 April 2011. 97 Jafriansyah, Wawancara, Desa Pejala, 26 April 2011. 98Observasi Langsung, Ds. Juku Eja, 26 April 2010 & 24 April 2011.
228
Menurut La Dekka bahwa Massorongritasi dilakukan untuk penghormatan
kepada nabi Khaidir yang dipercaya untuk menjaga laut. Ia mengatakan:
Issorrongi’e nabi Khaidir ma’su’na supaya idi pattasi’e yarekki asalamareng nannia dalle masewwa-sewwae. (dilakukannya Massorong itu diperuntukkan kepada nabi Khaidir sebagai Penguasa laut, supaya Nelayan diberikan keselamatan dan rezeki yang banyak melimpah) Dan ketika melakukan Massorong tersebut, yang dikatakan Dekka
adalah99: Engkani pa’berena ana apota, apabila kurangi maka tapa’gennei’,
apabila salah maka tapa’tujui (Terimalah pemberian anak cucu Nelayan,
manakala kurang maka genapkanlah, dan apabila salah maka benarkanlah).
Terdapat perbedaan mengenai aktivitas atau prosesi ritual
Massorongritasi antara Sandro La Dekka dengan Sandro Jafri, yaitu bahwa
Ma’gere manu dilakukan setelah dilakukannya ritual Massorong ‘Olo dan Otti,
sebagaimana pernyataan La Dekka berikut: 100
Isorongi ‘olona, birawa isorongi ottinna barangeng, nappani ma’geremanu; manu burani manu kaliyabo, sibawa manu ma’kunrai manu ka’ding, nappa ribacang doanna Nabi Heder: Alla>humma ma> kalla> ba’duh, ri>hina> Khaidir ismuhu Mulka>n Balya>ku>ny Abu> al-Abba>sy t}ayyif al-busta>ny ya Bu>lya> bin Mulkan, paccapurenna mabbaca do’a salama ilaleng lopi. Ritual Massorong dilakukan pertama kali dengan memasukkan sesajen yang telah disiapkan, kemudian memasukkan bahan lainnya seperti pisang Barangeng, kemudian selanjutnya menyembelih ayam; ayam jantan (kaliyabo) dan ayam betina (kading), kemudian membaca do’anya Nabi Khaidir. Ritual Massorong ditutup dengan membaca do’a selamat di atas kapal.
99 La Dekka, Wawancara, Desa Pejala, 28 April 2011. 100Ibid. Ketika Dekka ditanya mengenai doa’a selamat seperti apa yang dibacanya ketika menutup upacara Massorongritasi ini, dengan secara baik dan benar (dalam persepsi penulis) ia membacakan do’a selamat sebagai berikut: Alla>humma inna> nas’aluka sala>matan fi> ad-di>n, wa ‘a>fiyatan fi> al-jasad, wa s}ih}h}atan fi> al-jism, wa barakatan fi> ar-rizq, wa taubatan qabl al-maut, wa ra>h}atan ‘ind al- maut, wa ‘a>fiyyatan ba’ad al-maut, wa ra>h}atan ‘ind al-hisa>b…dan seterusnya.
229
Senada dengan pernyataan La Dekka di atas, Wa’ Mannu (Aminuddin)
juga menuturkan mengenai ucapan yang disampaikan ketika melakukan
Massorong ke laut ini, diawali dengan membaca istighfa>r dan shaha>datain:
.اشھد ان ال الھ اال هللا واشھد ان محمدا رسول هللا. استغفر هللا العظیم
kemudian ia mengucapkan dalam hatinya kalimat berikut : 101
السالم علیك یا خیضر علیھ السالمtatarimae paberena ana appota, nakko salai tapattujui, nakko kurangngi tapa’genne’i, wa na’udzubillahi min dzalik. (semoga keselamatan atasmu ya Khaidir as, terimalah pemberian kami ini anak cucu Nelayan, apabila salah benarkan, apabila kurang cukupkan, dan kami berlindung kepada Allah dari yang demikian tersebut).
Kemudian Sandro kembali duduk di pinggiran kapal dengan
menundukkan kepala.102 Pada kondisi ini, Sandro Jafri mengatakan bahwa hal
tersebut dilakukannya untuk ma’janci, insha>alla>h taong pemeng engka kasi
akkuehe marekki assorongenna ana’appota’ (bertafakkur dan berjanji bahwa
tahun akan datang insha>alla>h kembali melakukan Massorongritasi), dan kemudian
ia berdoa, di mana do’a ini sebagai penutup seluruh ritual Massorongritasi yang ia
pimpin.103
Setelah ritual Massorongritasi selesai, Sandro kembali duduk di tengah-
tengah tempat yang telah disediakan untuknya di atas kapal, kemudian salah
seorang Passepi kembali memimpin do’a bersama, do’a yang dibaca ialah do’a
salama (selamat).104 Do’a selamat ini sebagai penutup seluruh kegiatan upacara
101Aminuddin (71Th), Wawancara, Desa Pejala, 30 April 2011. 102 Observasi Langsung, Ds. Juku Eja, 26 April 2010 & 24 April 2011. 103Jafriansyah, Wawancara, Desa Pejala, 26 April 2011. Jafri mengatakan bahwa doa yang dibacanya ketika selesai Massorongritasi’e ini adalah do’a khusus, dan belum bisa ia sampaikan kepada penulis dan secara umum, karena itu wasiat dari nene’na (pendahulunya). 104Asri, Wawancara, Desa Pejala, 26 April 2011.
230
Mappanretasi warga Nelayan Bugis Pagatan. Dilanjutkan dengan makan secara
bersama-sama di atas kapal dengan berbagai suguhan makanan dan minuman
yang telah disiapkan.105
Idham Mansur menyatakan bahwa yang terpenting dari prosesi upacara
yang dilakukan oleh warga Nelayan Bugis Pagatan ini ialah mereka menyatakan
rasa terima kasih (syukur) kepada Tuhan atas ni’matnya berupa rezeki melaut dan
juga menjadikannya momen untuk sekaligus memohon keselamatan dengan
berbagai do’a selamat yang mereka dapatkan dan diajarkan secara turun temurun,
sehingga do’a selamat bagi warga Nelayan Bugis Pagatan menjadi kebiasaan
untuk memulai dan mengakhiri sesuatu pekerjaan, walaupun tidak sebaik dan
sefasih bacaan do’a selamat generasi selanjutnya yang datang dari bangku sekolah
dan pesantren, tetapi itulah kemampuan yang mereka realisasikan dalam bentuk
ajaran agama yang mereka yakini kebenarannya, yaitu memohon keselamatan
menjadi yang terpenting selain hasil jerih payah pekerjaan.106
105 Observasi Langsung, Ds. Juku Eja, 26 April 2010 & 24 April 2011. 106 Idham Mansur, Wawancara, Ds. Pasar baru, 26 Mei 2010.