29
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisa Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
Terkait Penyelenggaraan Pemeriksaan Cepat Ditinjau Dari Asas Peradilan
Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan.
1. Analisa atas Putusan PN Simalungun Nomor : 42/Pid.C/2015/PN.Sim
Perkara Pencurian Ringan dan Putusan PN Jember Nomor :
125/Pid.C/2016/PN.Jmr Perkara Penadahan Ringan.
Berdasarkan kasus dalam PN Simalungun Nomor:
42/Pid.C/2015/PN.Sim yang merupakan tindak pidana pencurian ringan dan
Putusan PN Jember Nomor : 125/Pid.C/2016/PN.Jmr yang merupakan tindak
pidana penadahan ringan diperiksa dengan menggunakan sistem pemeriksaan
acara cepat, bahwa terdakwa Lisbon Jawanter Hutasoit telah dinyatakan
melanggar Pasal 362 KUHPidana jo. Pasal 364 KUHPidana jo. Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 dan terdakwa 1. Gunarto
terdakwa 2. Suyoko telah dinyatakan melanggar Pasal 482 KUHPidana jo.
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012. Penanganan perkara
tindak pidana pencurian ringan yang dilakukan oleh terdakwa Lisbon
Jawanter Hutasoit dan penadahan ringan yang dilakukan oleh terdakwa 1.
Gunarto terdakwa 2. Suyoko dengan mekanisme Penyidik melimpahkan
perkara tindak pidana pencurian ringan ke Pengadilan Negeri dengan Acara
Pemeriksaan Cepat atas kuasa Penuntut Umum demi hukum dan disidangkan
dengan Hakim Tunggal dengan dibantu oleh Panitera Pengganti. Proses
pemeriksaan perkara tersebut diatur di dalam Pasal 205 sampai dengan Pasal
210 KUHAP.
30
2. Analisa atas Putusan PN Simalungun Nomor: 498/Pid.B/2013/PN.Sim
Perkara Pencurian Ringan dan Putusan PN Jember Nomor:
626/.Pid.B/2014/PN.Jmr Perkara Penadahan Ringan
Berdasarkan kasus dalam Putusan PN Simalungun Nomor:
498/Pid.B/2013/PN.Sim yang merupakan tindak pidana pencurian ringan dan
Putusan PN Jember Nomor: 626/.Pid.B/2014/PN.Jmr yang merupakan tindak
pidana penadahan ringan tidak diperiksa dengan menggunakan sistem
pemeriksaan acara cepat, namun diperiksa dengan acara pemeriksaan biasa.
Dalam menentukan acara pemeriksaan ketua pengadilan berpedoman
pada keterangan saksi yang tercantum dalam laporan kepolisian, dan
pedoman terhadap saksi korban ini juga dipakai oleh hakim dalam
menentukan nilai barang hasil tindak pidana. Meskipun keempat putusan
tersebut berbeda wilayah hukum namun pedoman dalam menggunakan tolak
ukur dalam menilai suatu barang sama. Jadi dapat disimpulkan bahwa ketua
pengadilan menggunakan keterangan kerugian saksi korban untuk
menentukan nilai suatu barang hasil tindak pidana dan Saksi korban menjadi
kunci penentu untuk menentukan nilai harga suatu barang hasil tindak pidana
yang awalnya dimiliki oleh korban.
Sesuai Putusan PN Simalungun Nomor: 498/Pid.B/2013/PN.Sim yang
merupakan tindak pidana pencurian ringan dan Putusan PN Jember Nomor:
626/.Pid.B/2014/PN.Jmr yang merupakan tindak pidana penadahan ringan,
prosedur penahanan tidak sesuai dengan alasan obyektif penahanan. Dengan
adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan jumlah denda dalam KUHP.
31
Maka dengan jumlah kerugian dari korban dalam putusan PN Simalungun
Nomor: 498/Pid.B/2013/PN.Sim yaitu 1 (satu) unit handphone merek Nokia
model 11 type RH-130 dan uang sebesar Rp.171.000,00 (Seratus tujuh puluh
satu ribu rupiah) masuk dalam Tindak Pidana Pencurian Ringan dan Putusan
PN Jember Nomor: 626/.Pid.B/2014/PN.Jmr yaitu 50 kg getah karet senilai
Rp.125.000,00 (seratus dua puluh lima ribu rupiah) masuk dalam Tindak
Pidana Penadahan Ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan,
harusnya tidak bisa dikenakan penahanan. Karena alasan penahanan obyektif
disini jelas diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang merumuskan :
“Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun
pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal Tindak pidana
itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih”
3. Perbandingan mekanisme pemeriksaan dalam Putusan Pengadilan
Negeri Simalungun Nomor: 42/Pid.C/2015/PN.Sim Perkara Pencurian
Ringan dan Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor :
125/Pid/C/2016/PN.Jmr Perkara Penadahan Ringan dengan Putusan
Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 498/Pid.B/2013/PN.Sim Perkara
Pencurian Ringan dan Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor :
125/Pid/C/2016/PN.Jmr Perkara Penadahan Ringan
Menurut KUHAP penahanan ialah : “Penahanan adalah penempatan
tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut atau
hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang ini (Pasal 1 Butir 21 KUHAP)”.
Definisi penahanan, Andi Hamzah berpendapat bahwa: “Penahanan
merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang.
Jadi, di sini terdapat pertentangan dua asas, yaitu hak bergerak seseorang
yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati di satu pihak dan
kepentingan banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat tersangka. Di
sinilah letak keistimewaanya hukum acara pidana itu. Ia mempunyai
ketentuan-ketentuan yang menyingkirkan asas-asas yang diakui secara
32
universal yaitu hak-hak asasi manusia khususnya hak kebebasan seseorang
karena dilakukan upaya paksa penahanan. Oleh karena itu, penahanan
dilakukan jika perlu sekali. Kekeliruan dalam penahanan dapat
mengakibatkan hal-hal fatal bagi penahanan”42
Penahanan dalam Putusan PN Simalungun Nomor:
42/Pid.C/2015/PN.Sim yang merupakan tindak pidana pencurian ringan dan
Putusan PN Jember Nomor : 125/Pid.C/2016/PN.Jmr yang merupakan tindak
pidana penadahan ringan diperiksa dengan menggunakan sistem pemeriksaan
acara cepat dengan mekanisme Penyidik melimpahkan perkara tindak pidana
pencurian ringan ke Pengadilan Negeri dengan Acara Pemeriksaan Cepat atas
kuasa Penuntut Umum demi hukum dan disidangkan dengan Hakim Tunggal
dengan dibantu oleh Panitera Pengganti. Proses pemeriksaan perkara tersebut
diatur di dalam Pasal 205 sampai dengan Pasal 210 KUHAP.
Sedangkan kasus dalam Putusan PN Simalungun Nomor:
498/Pid.B/2013/PN.Sim yang merupakan tindak pidana pencurian ringan dan
Putusan PN Jember Nomor: 626/.Pid.B/2014/PN.Jmr yang merupakan tindak
pidana penadahan ringan tidak diperiksa dengan menggunakan sistem
pemeriksaan acara cepat, namun diperiksa dengan acara pemeriksaan biasa.
Menurut penulis sebenarnya Peraturan Mahkamah Agung ini terlalu
dipaksakan untuk berlaku dalam pengadilan. Karena jika pengadilan negeri
Simalungun dan Pengadilan Negeri Jember memang benar-benar
menggunakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 12 Tahun 2012 sebagai
bahan pertimbangan dalam memutus perkara ini, maka yang digunakan
42 Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta. Sinar
Grafika. Hal. 6
33
adalah acara pemeriksaan cepat. Namun dalam putusan, Pengadilan Negeri
Simalungun dan Pengadilan Negeri Jember menggunakan acara pemeriksaan
biasa. Ini sudah melanggar Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa jika
barang hasil tindak pidana bernilai tidak lebih dari Rp 2.500.000,- maka ketua
pengadilan segera menentukan hakim tunggal untuk memeriksa, mengadili,
memutus perkara tersebut dengan acara pemeriksaan cepat. Namun hal ini
tidak diindahkan oleh Pengadilan Negeri negeri Simaungun dan Pengadilan
Negeri Jember, pertimbangan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung
tersebut hanya sebagai formalitas saja agar terlihat digunakan oleh pengadilan
negeri dalam menjawab tuntutan masyarakat.
B. Analisa Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
Terkait Penjatuhan Sanksi
1. Sanksi Atas Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor:
42/Pid.C/2015/PN.Sim Perkara Pencurian Ringan dan Putusan
Pengadilan Negeri Jember Nomor : 125/Pid/C/2016/PN.Jmr Perkara
Penadahan Ringan
Sejatinya, masalah sanksi menjadi isu penting dalam hukum pidana
karena dipandang sebagai pencerminan sebuah norma dan kaidah yang
mengandung tata nilai yang ada di dalam sebuah masyarakat. Adanya
pengaturan dan penjatuhan sanksi muncul akibat adanya reaksi dan
kebutuhan masyarakat terhadap pelanggaran/kejahatan yang terjadi.43 Untuk
itu, Negara sebagai perwakilan dari masyarakat menggunakan
kewenangannya dalam mengatasi permasalahannya melalui kebijakan pidana
(criminal policy).
43 Titis Anindyajati.(Et.Al.). 2005. Konstitusionalitas Norma Sanksi Pidana Sebagai Ultimum
Remedium Dalam Pembentukan Perundang-Undangan. Jakarta. Jurnal Konstitusi Volume 12
Nomor 4, Desember 2015, Hal. 872.
34
Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan
hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat
jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul
keresahan di dalam masyarakat.
Seperti kaitannya dalam Putusan PN Simalungun Nomor :
42/Pid.C/2015/PN.Sim. atas nama terdakwa Lisbon Jawanter Hutasoit
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana
Pencurian ringan 11 (sebelas) tandan buah kelapa sawit senilai Rp.300.000,00
dengan pidana penjara selama 2 bulan dan menetapkan pidana tersebut tidak
perlu dijalani kecuali dikemudian hari ada putusan Hakim yang menentukan
lain disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum
masa percobaan selama 6 (enam) bulan berakhir dan Putusan PN Jember
Nomor : 125/Pid/C/2016/PN.Jmr atas nama terdakwa 1. Gunarto terbukti sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “penadahan” 2. Suyoko
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Turut serta melakukan Penadahan” dengan pidana penjara masing-masing
selama 3 bulan. Menetapkan bahwa pidana tersebut tidak perlu dijalani
kecuali apabila dikemudian hari ada perintah lain dari putusan hakim yang
menentukan lain karena terdakwa melakukan perbuatan yang dapat dihukum
sebelum lewat masa percobaan selama 6 (enam) bulan.
Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hukuman
pidana percobaan diatur dalam Pasal 14 a ayat 1 yang berbunyi:
35
“Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana
kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam
putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah
dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan
lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum
masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau
karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus
yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu”
Secara singkat, pidana percobaan (voorwaardelijke) ini berarti
terdakwa Lisbon Jawanter Hutasoit dalam Putusan PN Simalungun Nomor
: 42/Pid.C/2015/PN.Sim. perkara Pencurian ringan tidak perlu menghuni
penjara selama 2 bulan dan Terdakwa 1. Gunarto 2. Suyoko dalam Putusan
PN Jember Nomor : 125/Pid/C/2016/PN.Jmr perkara Penadahan ringan
tidak perlu menghuni penjara selama 3 bulan, asalkan dalam 6 bulan ke
depan terdakwa dalam Putusan PN Simalungun Nomor :
42/Pid.C/2015/PN.Sim dan Putusan PN Jember Nomor :
125/Pid/C/2016/PN.Jmr berkelakuan baik dan tidak melakukan tindak
pidana lagi.
Berdasarkan Kedua Putusan tersebut penulis berpendapat bahwa Hakim
menggunakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 sebagai
pertimbangan. Dalam pertimbangan putusan dikatakan bahwa, walaupun
secara legislasi nasional belum keluar aturan resmi dari legislatif yang
merubah nilai barang tersebut, namun Mahkamah Agung sebagai salah satu
lembaga resmi yang menjalankan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat
(2) UUD 1945 jo Pasal 18 Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman) telah mengeluarkan penafsiran baru terkait dengan
nilai barang dalam beberapa pasal di KUHP antara lain delik Pencurian dan
36
Penadahan dalam KUHP yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun
2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda
Dalam KUHP.
2. Sanksi Atas Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor:
498/Pid.B/2013/PN.Sim Perkara Pencurian Ringan dan Pengadilan
Negeri Jember Nomor : 626/.Pid.B/2014/PN.Jmr Perkara Penadahan
Ringan
Analisa penulis dalam Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor:
498/Pid.B/2013/PN.Sim Perkara Pencurian Ringan dan Putusan Pengadilan
Negeri Jember Nomor : 626/.Pid.B/2014/PN.Jmr Perkara Penadahan Ringan
adalah hakim sudah seharusnya mempertimbangkan banyak hal sebelum
menjatuhkan pidana. Misalnya fakta-fakta yang terungkap di persidangan,
serta hal-hal lain yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh
terdakwa. Dalam menjatuhkan pidana hakim harus memperhatikan asas
legalitas.
Menurut Machteld Boot ada empat syarat yang termasuk dalam asas
legalitas. Pertama, prinsip nullum crimen, noela poena sine lege pravia yang
artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa uu sebelumnya.
Kedua, prinsip nullum crimen, noela poenasine lege scripta yang artinya
tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa uu tertulis. Ketiga, prinsip
nullum crime, nulla poena sine lege certa yang artinya tidak ada perbuatan
pidana, tidak ada pidana tanpa aturan uu yang jelas. Keempat, prinsip nullum
crimen, noela poena sine lege stricta yang artinya tidak ada perbuatan pidana,
tidak ada pidana tanpa Undang-undang yang ketat.44
Pada prinsip nullum crime, nulla poena sine lege certa yang artinya tidak
ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan uu yang jelas bermakna
bahwa rumusan perbuatan pidana harus jelas, agar tidak bersifat multitafsir
44 Eddy O.S Hiariej. 2009. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana. Jakarta.
Erlangga. Hal. 4.
37
sehingga dapat membahayakan kepastian hukum.45 Ketika hakim akan
menjatuhkan pidana sebelumnya hakim melakukan proses pentautan antara
apa faktanya dan apa aturannya, aturan ini dibangun oleh unsur-unsur, pada
Pasal 362 memiliki unsur yaitu; mengambil, melawan hukum, dan memiliki
barang bagi diri sendiri. Ketiga unsur ini telah terbukti dilakukan oleh
terdakwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Pencurian terbagi atas; pencurian biasa (Pasal 362), pencurian berat
(Pasal 363), pencurian ringan (Pasal 364), pencurian dengan kekerasan (Pasal
365), pencurian dalam keluarga (Pasal 367) yang berarti adanya kemungkinan
adanya pencurian lain selain pencurian biasa. Adanya hal yang meringankan
maupun yang memberatkan merupakan salah satu unsur suatu pencurian
dapat digolongkan menjadi pencurian jenis lain.
Dalam perkara ini terdakwa Gunawan Purba dalam Putusan Pengadilan
Negeri Simalungun Nomor : 498/Pid.B/2013/PN.Sim telah terbukti
melakukan pencurian dan telah memenuhi unsur pada Pasal 362 KUHPidana
seperti yang telah diputuskan oleh hakim.
Namun menurut penulis, pidana yang paling tepat dikaitkan dengan
perbuatan terdakwa dengan pasal yang ada yaitu Pasal 364 karena barang
yang dicuri oleh terdakwa jika ditaksir kerugiannya dibawah Rp.2.500.000,00
(dua juta lima ratus ribu rupiah). Pada Perma No. 2 Tahun 2012 tentang
penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam
KUHPidana yang pada intinya memerintahkan kepada aparat hukum untuk
45 Ibid, hal, 5
38
mengaktifkan kembali ketentuan pasal 364 KUHPidana khususnya dalam
memproses sebuah kasus pencurian ringan. Salah satu unsur yang terdapat
pada pasal 364 KUHPidana tidak hanya sebatas pada nilai nominal barang
yang dicuri yakni tidak lebih dari Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah)
yang dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 sudah
dilipatgandakan sepuluh ribu kali lipat menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu rupiah), namun juga bahwa pencurian tersebut asal saja tidak
dilakukan di dalam sebuah rumah atau dalam pekarangan yang tertutup yang
ada rumahnya.
Perbuatan terdakwa memenuhi seluruh unsur-unsur yang ada pada Pasal
364 yaitu barang yang dicuri jika ditaksir kerugiannya dibawah Rp.
2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dan terdakwa tidak terbukti
melakukan tindakannya dalam sebuah rumah atau pun pekarangan yang ada
rumahnya.
Begitu juga Terdakwa Jumadin dalam Putusan Pengadilan Negeri
Jember Nomor : 626/.Pid.B/2014/PN.Jmr telah terbukti melakukan tindak
pidana penadahan dan telah memenuhi unsur pada Pasal 480 ayat (1)
KUHPidana seperti yang telah diputuskan oleh hakim. Namun menurut
penulis, pidana yang paling tepat dikaitkan dengan perbuatan terdakwa
dengan pasal yang ada yaitu Pasal 482 karena barang yang menjadi objek
penggelapan oleh terdakwa yaitu 50 kg getah karet senilai Rp.125.000,00
(seratus dua puluh lima ribu rupiah) kerugiannya dibawah Rp.2.500.000,00
(dua juta lima ratus ribu rupiah).
39
Kedua Putusan tersebut tidak menerapkan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2012 karena penjatuhan sanksi Pidana tidak seperti ketentuan
dalam Pasal 1 Nota Kesepakatan Bersama yang menyatakan :
“Tindak Pidana Ringan adalah Tidak Pidana yang diatur dalam pasal
364, 373, 379, 384, 407 dan 482 KUHP yang diancam dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) bulan atau denda 10.000 (sepuluh ribu) kali lipat dari
denda”
Terdakwa Gunawan Purba dalam Putusan Pengadilan Negeri
Simalungun Nomor : 498/Pid.B/2013/PN.Sim divonis pidana penjara selama
6 bulan dan terdakwa Jumadin dalam Putusan Pengadilan Negeri Jember
Nomor : 626/.Pid.B/2014/PN.Jmr divonis pidana penjara selama 4 Bulan 15
hari. Menurut penulis penjatuhan sanksi dalam Putusan Pengadilan Negeri
Simalungun Nomor: 498/Pid.B/2013/PN.Sim dan Putusan Pengadilan Negeri
Jember Nomor : 626/.Pid.B/2014/PN.Jmr telah melebihi ketentuan yang
diatur dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP yaitu paling lama 3 (tiga) bulan
Penjara.
3. Perbandingan Penjatuhan Sanksi Atas Putusan Pengadilan Negeri
Simalungun Nomor: 42/Pid.C/2015/PN.Sim Perkara Pencurian Ringan
dan Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor :
125/Pid/C/2016/PN.Jmr Perkara Penadahan Ringan dengan Putusan
Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 498/Pid.B/2013/PN.Sim Perkara
Pencurian Ringan dan Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor :
125/Pid/C/2016/PN.Jmr Perkara Penadahan Ringan
Dalam Putusan PN Simalungun Nomor : 42/Pid.C/2015/PN.Sim. atas
nama terdakwa Lisbon Jawanter Hutasoit terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak Pidana Pencurian ringan 11 (sebelas) tandan buah
kelapa sawit senilai Rp.300.000,00 dengan pidana penjara selama 2 bulan dan
menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali dikemudian hari ada
40
putusan Hakim yang menentukan lain disebabkan karena terpidana
melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 6 (enam)
bulan berakhir dan Putusan PN Jember Nomor : 125/Pid/C/2016/PN.Jmr atas
nama terdakwa 1. Gunarto terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “penadahan” 2. Suyoko telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Turut serta melakukan
Penadahan” dengan pidana penjara masing-masing selama 3 bulan.
Menetapkan bahwa pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali apabila
dikemudian hari ada perintah lain dari putusan hakim yang menentukan lain
karena terdakwa melakukan perbuatan yang dapat dihukum sebelum lewat
masa percobaan selama 6 (enam) bulan.
Secara singkat terdakwa Lisbon Jawanter Hutasoit dalam Putusan PN
Simalungun Nomor : 42/Pid.C/2015/PN.Sim. perkara Pencurian ringan tidak
perlu menghuni penjara selama 2 bulan dan Terdakwa 1. Gunarto 2. Suyoko
dalam Putusan PN Jember Nomor: 125/Pid/C/2016/PN.Jmr perkara
Penadahan ringan tidak perlu menghuni penjara selama 3 bulan, asalkan
dalam 6 bulan ke depan terdakwa dalam Putusan PN Simalungun Nomor:
42/Pid.C/2015/PN.Sim dan Putusan PN Jember Nomor:
125/Pid/C/2016/PN.Jmr berkelakuan baik dan tidak melakukan tindak
pidana lagi.
Sedangkan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor :
498/Pid.B/2013/PN.Sim Perkara Pencurian Ringan terdakwa Gunawan Purba
telah diputuskan oleh hakim divonis pidana penjara selama 6 bulan dan
41
Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor : 626/.Pid.B/2014/PN.Jmr Perkara
Penadahan Ringan Terdakwa Jumadin diputuskan oleh hakim dengan pidana
penjara selama 4 Bulan 15 hari.
Sesuai Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor :
498/Pid.B/2013/PN.Sim Perkara Pencurian Ringan dan Putusan Pengadilan
Negeri Jember Nomor : 626/.Pid.B/2014/PN.Jmr penjatuhan sanksi tidak
sesuai dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012
tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan jumlah denda dalam
KUHP. Maka Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor:
498/Pid.B/2013/PN.Sim dengan jumlah kerugian dari saksi korban yaitu
dompet berisikan 1 (satu) unit Handphone merk Nokia type RH-130 warna
biru dan uang sebesar Rp. 171.000,- (seratus tujuh puluh satu ribu rupiah)
masuk dalam Tindak Pidana Pencurian Ringan dan PN Jember Nomor:
626/.Pid.B/2014/PN.Jmr dengan objek perkara getah karet sebanyak 50 (lima
puluh) Kg dengan harga Rp. 2.500,- / Kg masuk dalam Tindak Pidana
Penadahan Ringan. Harusnya sanksi dalam kedua putusan tersebut tidak bisa
dikenakan pidana penjara lebih dari tiga bulan. Karena dalam Pasal 205 ayat
(1) KUHAP secara tegas disebutkan perihal acara pemeriksaan tindak pidana
ringan sebagai berikut :
“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah
perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama
tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah
dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian
ini”
42
Dengan demikian, kategori tindak pidana ringan sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal ini merupakan perkara dengan ancaman pidana paling
lama tiga bulan dan atau denda paling banyak tujuh ribu lima ratus rupiah.
Sehingga berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Pasal
1 maka perkara tindak pidana ringan yang disidangkan dengan acara
pemeriksaan cepat sebagaimana Pasal 205 ayat (1) KUHAP adalah Pasal 364
KUHP (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan),
384 (penipuan ringan oleh penjual), 407 ayat (1) (perusakan ringan), dan
Pasal 482 (penadahan ringan).
C. Implikasi Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
Dalam Putusan Hakim Perkara Pencurian Ringan dan Penadahan Ringan
1. Akibat Hukum Penahanan Terhadap Tersangka Dalam Putusan PN
Simalungun Nomor: 498/Pid.B/2013/PN.Sim Perkara Pencurian Ringan
dan Putusan PN Jember Nomor: 626/.Pid.B/2014/PN.Jmr Perkara
Penadahan Ringan Terkait Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02
Tahun 2012.
Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda
dalam KUHP yang menetukan bahwa :
“Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp
2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) Ketua Pengadilan yang
seharusnya segera menetapkan hakim tunggal untuk memeriksa, mengadili
dan memutus perkara dengan acara pemeriksaan cepat yang diatur dalam
Pasal 205-210 KUHAP”.
Putusan PN Simalungun Nomor : 498/Pid.B/2013/PN.Sim dan Putusan
PN Jember Nomor: 626/.Pid.B/2014/PN.Jmr tentunya mengusik rasa
keadilan masyarakat. Hal tersebut karena pada umumnya masyarakat tidak
memahami bagaimana proses jalannya perkara pidana sampai bisa masuk ke
43
pengadilan. Kemudian pihak-pihak mana saja yang memiliki kewenangan
dalam setiap tahapan dan masyarakat pun umumnya hanya mengetahui ada
tidaknya suatu perkara pidana hanya pada saat perkara tersebut disidangkan
di Pengadilan. Oleh karena sudah sampai tahap persidangan, di Pengadilan
sorotan masyarakat kemudian hanya tertuju ke Pengadilan dan menuntut agar
pengadilan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut
tentunya membebani Pengadilan, baik dari segi anggaran maupun dari segi
persepsi publik terhadap pengadilan, khususnya kepercayaan publik terhadap
lembaga pengadilan dalam hal penegakan hukum yang berkeadilan.
Oleh karena itu kedua putusan tersebut dalam tindak pidana pencurian
ringan dan penadahan ringan melanggar tiga unsur penegakan hukum, yaitu
kepastian hukum (Rechtssicherheit) dan kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan
keadilan (gerechtigkeit). Sekiranya dikaitkan dengan teori penegakan hukum
sebagaimana disampaikan oleh gustav rad-bruch dalam idee des recht yaitu
penegakan hukum harus memenuhi ketiga asas tersebut.46
Penegakan hukum pertama yaitu kepastian hukum, penahanan oleh
penyidik melanggar kepastian hukum karena Penahanan terhadap terdakwa
pencurian ringan dan penadahan ringan yang dilakukan penyidik disini tidak
sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 karena
tipiring harusnya tidak bisa dikenakan penahanan karena ancaman
hukumannya dibawah lima tahun penjara sesuai yang diatur dalam Pasal 21
ayat (4) KUHAP.
Penegakan hukum pidana yang kedua yaitu kemanfaatan, Penahanan
oleh penyidik yang dilakukan terhadap terdakwa dalam tindak pidana
46 Sudikno Mertokusumo. 2007. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. Yogyakarta, Liberty. Hal.
160.
44
pencurian ringan dan penadaha ringan tidaklah bermanfaat. Penerapan
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 02 Tahun 2012
tentang Penyesuaian Batasan tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam
KUHP akan mengurangi persoalan kelebihan kapasitas di Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS / Rumah Tahanan Negara (RUTAN) yang dapat
mewujudkan keadilan berdimensi Hak Asasi Manusia.
Mengenai keadilan, penahanan kepada Terdakwa atas nama Gunawan
Purba dalam tindak pidana pencurian ringan dan penadahan ringan pada
putusan PN Simalungun Nomor : 498/Pid.B/2013/PN.Sim dan Putusan PN
Jember Nomor: 626/.Pid.B/2014/PN.Jmr atas nama Terdakwa Jumadin tidak
memenuhi rasa keadilan bagi tersangka. Begitu juga rasa keadilan
dimasyarakat karena dirasa penahanannya tidak bermanfaat, Maka jelas
penahanannya secara yuridis normatif tidak sesuai dengan aturan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012.
Sedangkan bagaimana akibat hukum penahanan terhadap tersangka
dalam tindak pidana pencurian ringan dan penadahan ringan dalam Putusan
PN Simalungun Nomor : 498/Pid.B/2013/PN.Sim atas nama terdakwa
Gunawan Purba dan Putusan PN Jember Nomor: 626/.Pid.B/2014/PN.Jmr
atas nama Terdakwa Jumadin terkait Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02
tahun 2012, pengertian akibat hukum adalah:
“ Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk
memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh
hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni
45
tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki
hukum”47
“ Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi
dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap
obyek hukum atau akibat -akibat lain yang disebabkan karena kejadian-
kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau
dianggap sebagai akibat hukum.”48
Sesuai penjelasan akibat hukum diatas, suatu tindakan yaitu penahanan
oleh penyidik terhadap tersangka akan menimbulakan akibat hukum. Akibat
hukum yang ditimbulkan oleh penyidik terhadap penahanan tersangka tidak
menimbulkan akibat hukum seperti sanksi atau hukuman bagi penyidik
karena Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tidak mengatur
sanksinya. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 hanya
mengatur apabila penyidik sudah melakukan penahanan, maka Ketua
Pengadilan tidak menetapkan perpanjangan penahanan. Hal itu sesuai
ketentuan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
yang merumuskan:
Apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, Ketua
Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan
penahanan.”
Maka penahanan yang dilakukan oleh penyidik tidak diteruskan atau
perpanjangan penahanan di tingkat Pengadilan oleh Ketua Pengadilan. Dalam
hal penyalahan wewenang upaya paksa penahanan, KUHAP memeberikan
hak bagi tersangka melakukan Praperadilan yang diatur dalam pasal 1 angka
10 (a) KUHAP yang merumuskan :
47 Soeroso. 1996. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 295. 48 Syaripin dan Pipin. 1999. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia. Hal. 71.
46
“Sah atau tidaknya suatu penahanan atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka”.
Sebenarnya bisa dilakukan upaya praperadilan, tetapi kemanfaatan dari
praperadilan disini kurang. Mungkin tersangka juga merasa akan lebih lama
penyelesiannya karena acara pemeriksaan yang digunakan dalam penyelesian
tindak pidana pencurian ringan adalah acara pemeriksaan cepat,
menggunakan hakim tunggal dan sekali sidang langsung diputus pada hari itu
juga.
2. Penjatuhan sanksi dalam Putusan PN Simalungun Nomor:
498/Pid.B/2013/PN.Sim Perkara Pencurian Ringan dan Putusan PN
Jember Nomor: 626/.Pid.B/2014/PN.Jmr Perkara Penadahan Ringan
ditinjau dari asas Kepastian Hukum dan asas Persamaan didepan
Hukum.
Masalah sanksi menjadi isu penting dalam hukum pidana karena
dipandang sebagai pencerminan sebuah norma dan kaidah yang mengandung
tata nilai yang ada di dalam sebuah masyarakat
Mengutip pendapat dari H.G de Bunt dalam bukunya strafrechtelijke
handhaving van miliue recht, hukum pidana dapat menjadi primum remidium
jika korban sangat besar, tersangka/terdakwa merupakan recidivist, dan
kerugian tidak dapat dipulihkan (irreparable).49
Kemudian disimpulkan oleh Remmelink, bahwa sangat jelas dan nyata
sebagai sanksi yang tajam, hukum pidana hanya akan dijatuhkan apabila
mekanisme penegakan hukum lainnya yang lebih ringan telah tiada berdaya
guna atau tidak dipandang cocok.50 Bahwa mengacu pada beberapa pendapat
49 Romli Atmasasmita. 2010. Globalisasi dan Kejahatan Bisnis, Cetakan Ke-1, Jakarta. Kencana
Prenada Media Group. Hal. 192. 50 Ibid.
47
ahli diatas mengenai penggunaan hukum pidana, maka Syarat Hukum
Pidana/Sanksi Pidana dapat dijadikan sebagai suatu primum remedium yaitu:
1) Apabila sangat dibutuhkan dan hukum yang lain tidak dapat digunakan
(mercenary);
2) Menimbulkan korban yang sangat banyak;
3) Tersangka/terdakwa merupakan recidivist;
4) Kerugiannya tidak dapat dipulihkan (irreparable);
5) Apabila mekanisme penegakan hukum lainnya yang lebih ringan telah
tiada berdaya guna atau tidak dipandang.51
Namun demikian, Tindak Pidana Ringan yang diatur di dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 masih belum memenuhi Syarat
Hukum Pidana/Sanksi Pidana dapat dijadikan sebagai suatu primum
remedium karena dijelaskan dalam Nota Kesepakatan Bersama di pasal 4 ayat
(4) berbunyi “
Keadilan Restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
pada pelaku tindak pidana yang berulang sesuai dengan, ketentuan
peraturan perundang-undangan”. Dan “Pasal 5 ayat (4) Pelaku tindak
pidana yang berulang sebagaimana dimaksud dalam asal 4 ayat (4) tidak
dapat diberlakukan Acara Pemeriksaan Cepat”.
Hukum sebagai pedoman berperilaku harus mencerminkan aspek
keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat, dan negara, serta
mendorong terciptanya keadilan, kepastian hukum, ketertiban disamping
kesamaan kedudukan dalam hukum seperti yang dijelaskan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28D ayat (1)
disebutkan bahwa :
“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum”.
51 Ibid.
48
Artinya seseorang yang melakukan Tindak Pidana Pencurian Ringan dan
Penadahan Ringan dengan nilai kerugian di bawah ketentuan yang di atur
Perma yaitu Rp. 2.500.000; (dua juta lima ratus ribu rupiah) wajib
mendapatkan perlakuan hukum yang sama dan sanksi yang sama.
Gustav Radbruch mengemukakan kepastian sebagai salah satu tujuan
dari hukum, normatif baik ketentuan maupun keputusan hakim dan merujuk
pada pelaksanaan tata kehidupan yang dalam pelaksanaannya jelas, teratur,
konsisten, dan konsekuen serta tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan
yang sifatnya subjektif dalam kehidupan masyarakat. Kepastian hukum dapat
mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan
multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan.52
Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung
keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan
hukum. Hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga
tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum
suatu negara yang mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir,
tidak menimbulkan kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu
menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya
masyarakat yang ada.53
Putusan oleh pengadilan pada dasarnya merupakan rangkaian proses
akhir dari rangkaian penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan oleh
pengadilan (pidana). Putusan sebagai rangkaian akhir dari proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan oleh pengadilan yang dilakukan berdasarkan
ketentuan normatif, sehingga proses dan prosedur yang diterapkan haruslah
benar-benar pengejawantahan dari aturan dalam KUHAP. dengan bahasa
singkat dalam proses pemeriksaan itu adalah tegakkan hukum gunakan
hukum.54
52 Dalam Jaka Mulyata. 2015. Keadilan, Kepastian, Dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 100/Puu-X/2012 Tentang Judicial Review Pasal 96
Undang-Undang Nomor : 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Surakarta. Tesis Program
Magister (S-2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Hal. 56. 53 Ibid. 54 Anthon Freddy Susanto, 2004, Tujuan utama peradilan pidana adalah memutuskan apakah
seseorang bersalah atau tidak. Peradilan pidana dilakukan memalaui prosedur yang diikat oleh
aturan-aturan ketat tentang pembuktian yang mencakup semua batas-batas konstitusional dan
berakhir pada proses pemeriksaan di pengadilan, proses pemeriksaan perkara pidana
merupakan bentuik birokarasi administrasi, yang di Indonesia diharapkan dapat diwujudkan
melalui aturan dan dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan
Akuntabilitas Peradilan Pidana. Bandung. Refiika Aditama. Hal. 1-3.
49
Adanya pembedaan perlakuan hukum dari apara penegak hukum,
berdasarkan asas kesamaan didepan hukum (equality before the law),
seharusnya secara hukum tidak ada perbedaan perlakuan yang diberikan oleh
aparat penegak hukum kepada sesama tersangka, karena proses hukum yang
digunakan merupakan proses hukum yang adil dan jujur dalam sistem
penegakan hukum, adanya perbedaan perlakuan hukum dalam penegakan
hukum yang konkrit dapat dilihat dan dirasakan secara langsung oleh sesama
terdakwa bahkan oleh masyarakat luas.55
Karena sebagai bagian dari proses peradilan, maka penegakan hukum
pidana tentunya tidak hanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan
pidana (hukum pidana positif) saja, tetapi juga harus memperhatikan rambu-
rambu proses peradilan (penegakan hukum dan keadilan).
Hal ini sebagaimana yang terjadi dalam Putusan Pengadilan Negeri
Simalungun Nomor : 498/Pid.B/2013/PN.Sim perkara pencurian ringan dan
Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor: 626/.Pid.B/2014/PN.Jmr perkara
penadahan ringan, terdakwa tindak pidana ringan diperiksa dengan acara
pemeriksaan biasa dan dilakukan penahanan, sanksi pidana penjara lebih dari
ketentuan yang diatur dalam Perma dan KUHAP yaitu paling lama 3 (tiga)
bulan penjara.
Ini menunjukan asas equality before the law belum dilaksanakan oleh
Penyidik (Polisi) maupun Pengadilan (Hakim). Bahwa faktor yang dapat
mempengaruhi penerapan asas equality before the law adalah merupakan
55 Barda Nawawi Arif, berpendapat bahwa “Penegakan hukum pidana terdiri dari dua tahap inti.
Pertama, penegakan hukum pidana in abstracto dan kedua penegakan hukum pidana in concreto.
Penegakan hukum pidana in abstracto merupakan tahap pembuatan/perumusan (formulasi)
undang-undang oleh badan legislatif (dapat disebut tahap legislasi). Penegakan hukum pidana in
concreto terdiri dari tahap penerapan/aplikasi dan pelaksanaan UU oleh aparat penegak hukum,
yang dapat disebut tahap judisial dan tahap eksekusi. “Penegakan Hukum Pidana Dalam
Konteks Sistem Hukum Dan Pembangunan” Dikutip dari buah pemikiran yang disampaikan
dalam Studium Generale, Fakultas Hukum Universitas Islam (UII) Yogyakarta, 15 Mei 2007
dan termuat dalam handout kuliah pada PMIH Untan.
50
faktor yang yang tidak dapat dipisahkan dari integritas Aparat Penegak
Hukum, yaitu sikap profesionalitas, moralitas hakim, terjadinya disorientasi
terhadap hukum, sikap emosional dan kesewenang-wenangan, penafsiran atas
ketentuan hukum sebagai dasar pemberian wewenang yang mengakibatkan
terjadinya kebijakan diskresi atau impunity yang melebih batas-batasnya.