Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 23
BAB III
ENDAPAN BATUBARA
3.1 DASAR TEORI BATUBARA
3.1.1 Pengertian Batubara
Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa
tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami
proses fisika dan kimia yang mengakibatkan pengayaan pada kandungan karbon (Wolf,
1984; op.cit. Anggayana, 2002). Pembentukan batubara diawali dengan proses
peatification (penggambutan) dari sisa-sisa tumbuhan yang dapat berupa pepohonan,
ganggang, lumut, bunga, serta sisa tumbuhan lainnnya dan terakumulasi pada lingkungan
reduksi, yang berlanjut pada proses coalification (pembatubaraan) secara biologi, fisika
maupun kimia yang terjadi karena pengaruh beban sedimen yang menutupnya
(overburden), temperatur, tekanan dan waktu (Gambar 3.1).
Gambar 3.1. Proses terbentuknya batubara, dari pengendapan sisa tumbuhan, penggambutan (peatification) dan pembatubaraan (coalification) (Anggayana, 2002).
Skema pembentukan batubara diperlihatkan pada Gambar 3.2, pembentukan
batubara ini sangat menentukan kualitas batubara, sebab proses yang berlangsung selain
melibatkan metamorfosis dari sisa tumbuhan, juga tergantung pada keadaan pada waktu
geologi dan kondisi lokal seperti iklim dan tekanan. Dalam suatu cebakan yang sama,
sifat-sifat analitik yang ditemukan dapat berbeda, selain karena tumbuhan asalnya yang
Penggambutan P & T >> Pembatubaraan
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 24
mungkin berbeda, juga karena banyaknya reaksi kimia yang mempengaruhi kualitas suatu
batubara.
Gambar 3.2. Skema Pembentukan Batubara (Anggayana, 2002).
Kondisi lingkungan pengendapan dan proses geologi yang berlangsung juga
mempengaruhi proses pembentukan batubara. Oleh karena itu, karakteristik batubara
berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam).
3.1.2 Proses Pembentukan Batubara
Dalam proses pembentukan batubara, terdapat dua proses utama yang berperan,
yaitu proses penggambutan (peatification) dan pembatubaraan (coalification).
1. Penggambutan ( Peatification)
Gambut adalah sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari tumpukan
hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam kondisi tertutup udara
(di bawah air), tidak padat, memiliki kandungan air lebih dari 75% berat dan kandungan
karbon lebih kecil dari 60% dalam kondisi kering (Wolf, 1984; op.cit. Anggayana, 2002).
Proses penggambutan ini merupakan tahap paling awal dari proses pembentukan
batubara, yang meliputi proses mikrobial dan perubahan kimia (biokimia). Faktor yang
sangat penting dalam proses ini adalah keberadaan air dan mikroorganisme (bakteri).
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 25
Tumbuhan tersusun dari berbagai unsur, yaitu C, H, O dan N. Setelah tumbuhan mati
maka terjadi proses degradasi biokimia, kemudian tumbuhan akan mengalami
pembusukan, bakteri akan menguraikan unsur-unsur tersebut, memotong ikatan kimia
sehingga menjadi humus. Dalam keadaan melimpahnya oksigen dan jumlah bakteri yang
banyak, terjadi proses biokimia dan semua unsur tumbuhan akan terubah yang berakibat
lepasnya H, O, N dalam bentuk air (H2O) dan NH3, sebagian unsur C dalam bentuk gas
CO2, CO dan metana (CH4). Namun jika tumbuhan tertutup air (terendam) dengan cepat
maka akan terhindar dari proses pembusukan, perubahan unsur pada tumbuhan tidak
sempurna seluruhnya, sisa tumbuhan akan bertumpuk dan bereaksi menghasilkan gambut
(peat).
2. Pembatubaraan (Coalification)
Pada tahap selanjutnya, proses penggambutan akan diikuti oleh proses
pembatubaraan. Meliputi proses geologi dan perubahan kimia (geochemical coalification),
pada tahap ini bakteri tidak ikut berperan lagi.
Proses pembatubaraan adalah perkembangan gambut (peat) menjadi lignit (brown
coal), sub-bituminous, bituminous, dan anthracite. Proses pembatubaraan ini terutama
dikontrol oleh temperatur, tekanan dan waktu. Selama proses perubahan dari gambut
menjadi lignit, terjadi proses kenaikan temperatur dan penurunan porositas. Hal ini
ditunjukkan oleh penurunan kandungan airnya yang cepat. Kenaikan temperatur dan
penurunan porositas ini diakibatkan oleh kompaksi yang dihubungkan dengan peningkatan
tekanan overburden (pembebanan sedimen di atasnya) dalam kurun waktu tertentu. Seiring
peningkatan temperatur dan tekanan dalam kurun waktu geologi, yang diantaranya
disebabkan oleh adanya gradien geotermal dan tekanan overburden, lignit (brown coal)
akan berubah menjadi batubara sub-bituminous dan bituminous. Selama proses
pembatubaraan ini persentase karbon (C) meningkat karena unsur H, O dan N di dalamnya
akan terlepas menjadi gas O2, H2, dan N2. Proses akhir pembatubaraan adalah terbentuknya
batubara anthracite yang dicirikan oleh penurunan unsur H secara cepat. Faktor
peningkatan temperatur memegang peranan yang sangat penting pada tahapan ini.
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 26
3.1.3 Fasies Batubara
Fasies batubara berhubungan dengan tipe genetik batubara yang diekspresikan
melalui komposisi maseral, kandungan mineral, komposisi kimia dan tekstur batubara
tersebut. Faktor yang mempengaruhi karakteristik fasies batubara:
1. Tipe Pengendapan
Tipe pengendapan dibedakan atas autochtonous dan allotochtonous. Batubara
autochtonous berkembang dari tumbuhan yang ketika tumbang akan membentuk
gambut di tempat yang mana tumbuhan itu pernah hidup tanpa adanya proses
transportasi yang berarti. Batubara allotochtonous terendapkan secara detrital yang
mana sisa-sisa tumbuhan hancur dan tertransportasi kemudian terendapkan di tempat
lain, batubara allotochtonous akan lebih banyak mengandung mineral matter dan
material detritus karena penambahan material-material lain selama proses transportasi.
2. Rumpun tumbuhan pembentuk
Berdasarkan rumpun tumbuhan pembentuk dikenal empat macam tipe rawa yaitu:
• Daerah air terbuka dengan tumbuhan air
• Rawa ilalang terbuka
• Rawa hutan
• Rawa lumut
Rawa gambut dapat dibedakan menjadi 4 (empat) berdasarkan jenis tumbuhan
pembentuk, yaitu:
a) Bog, yaitu lokasi rawa yang banyak ditumbuhi oleh tanaman lumut atau tanaman
merambat yang miskin kandungan makanan / nutrisi.
b) Fen, yaitu lokasi rawa yang kaya akan tumbuhan perdu dan beberapa jenis pohon
lainnya. Umumnya terletak pada lingkungan ombrogenik yaitu transisi antara
daerah yang melimpah akan kandungan air dengan daerah yang terkadang kering.
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 27
c) Marsh, yaitu lokasi rawa yang didominasi oleh tumbuhan perdu atau tanaman
merambat yang sering terdapat di sekitar pinggir danau atau laut.
d) Swamp, yaitu daerah basah pada iklim tropis hingga dingin yang didominasi oleh
tumbuhan berkayu.
3. Lingkungan Pengendapan
Pembentukan batubara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi lingkungan pengendapan
dan geologi daerah tersebut. Distribusi lateral, ketebalan, komposisi dan kualitas
batubara banyak dipengaruhi oleh lingkungan pengendapannya. Beberapa tipe
lingkungan pengendapan batubara adalah sebagai berikut:
• Lingkungan Telmatis/Terestrial
Lingkungan yang berada pada daerah pasang surut ini menghasilkan gambut yang
tidak terganggu dan tumbuh insitu (forest peat, reed peat dan high moor moss
peat).
• Lingkungan Limnik
Lingkungan ini terendapkan di bawah air rawa danau. Batubara yang terendapkan
pada lingkungan telmatis dan limnis sulit dibedakan karena pada forest swamp
biasanya ada bagian yang berada di bawah air (feed swamp).
• Lingkungan Marine
Batubara yang terendapkan pada lingkungan ini mempunyai ciri khas kaya abu, S
dan N yang mengandung fosil laut. Untuk daerah tropis biasanya terbentuk dari
mangrove (bakau) dan kaya S.
• Lingkungan Ca-rich
Lingkungan ini menghasilkan batubara yang kaya akan Ca dan mempunyai ciri
yang sama pada endapan payau. Batubara Ca-rich selalu terjadi pada lingkungan
bawah air dengan kondisi oksigen terbatas. Lingkungan pengendapan ini juga
banyak mengandung fosil. Batubara Ca-rich banyak mengasilkan bitumen.
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 28
4. Persediaan Bahan Makanan
Rawa eutrophic, mesotrophic dan oligotrophic dibedakan dari banyak sedikitnya bahan
makanan yang bisa digunakan. Low moor biasanya eutrophic (kaya nutrisi) karena
menerima air dari air tanah yang banyak mengandung makanan terlarut. High moor
bersifat oligotrophic (miskin nutrisi) karena sirkulasi hanya mengandalkan air hujan.
Gambut pada high moor secara umum mengandung sisa-sisa tumbuhan yang terawetkan
dengan baik. Di bawah kondisi hidrologi yang seragam maka tumbuhan rawa eutropik
banyak speciesnya. Oligotrophic di daerah iklim sedang pada umumnya berupa
sphagnum sedangkan untuk daerah tropis bisa ditumbuhi oleh hutan kayu tetapi tidak
banyak spesiesnya karena rawa jenis ini akan asam (pH 3,5 – 4) dan kandungan
mineralnya sangat rendah.
3.1.4 Lingkungan Pengendapan Batubara pada Daerah Delta
Delta merupakan lingkungan pengendapan batubara yang sering ditemukan.
Berdasarkan morfologinya lingkungan delta dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : delta plain,
delta front, dan prodelta. Delta plain sendiri dapat dibagi menjadi upper delta plain dan
lower delta plain.
Horne (1978) memberikan kriteria cara untuk mengenali lingkungan pengendapan
antara lain barier, back-barier, lower delta plain, transitional lower delta plain dan upper
delta plain-fluvial. Berdasarkan karakteristik endapan batubara, ada empat lingkungan
pengendapan batubara di daerah delta menurut Horne (1978) (Gambar 3.3) yaitu:
1. Lingkungan back barrier, dengan ciri lapisan batubaranya tipis, pola sebarannya
memanjang sejajar sistem penghalang atau sejajar jurus perlapisan, bentuk lapisan
melembar karena dipengaruhi tidal channel setelah pengendapan atau bersamaan
dengan proses pengendapan, kandungan sulfur tinggi. Urutan stratigrafi pada
lingkungan back barier dicirikan oleh batulempung dan batulanau berwarna abu-abu
gelap yang kaya akan material organik, kemudian ditutupi oleh lapisan tipis
batubara yang tidak menerus atau zona sideritik dengan burrowing. Semakin ke arah
laut akan ditemukan batupasir kuarsa, sedangkan ke arah daratan terdapat batupasir
greywacke dari lingkungan fluvial-deltaik (Gambar 3.4a).
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 29
2. Lingkungan lower delta plain, dengan ciri lapisan batubaranya tipis, kandungan
sulfur bervariasi yang cenderung tinggi, pola sebaran umumnya sepanjang channel
atau jurus pengendapan, bentuk lapisan ditandai oleh hadirnya splitting karena
endapan creavase play, tersebar meluas cenderung memanjang jurus pengendapan
tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel bentuk lapisan batubara.
Endapan pada daerah ini didominasi oleh urutan butiran mengkasar ke atas yang
tebal, pada bagian atasnya terdapat batupasir dengan struktur sedimen ripple mark
(Gambar 3.4b).
3. Lingkungan transitional lower delta plain, dengan ciri lapisan batubaranya tebal,
kandungan sulfur rendah. Ditandai oleh perkembangan rawa yang ekstensif. Lapisan
batubara tersebar meluas dengan kecenderungan agak memanjang sejajar dengan
jurus pengendapan. Splitting juga berkembang akibat channel kontemporer dan
wash out oleh aktivitas channel subsekuen. Batuan sedimen berbutir halus pada
bagian bay fill sequences lebih tipis daripada di bagian lower delta plain. Pada zona
ini terdapat fauna air payau sampai laut dan banyak ditemui burrowing.
4. Lingkungan upper delta plain - fluvial, dengan ciri lapisan batubaranya tebal,
kandungan sulfur rendah, lapisan batubara terbentuk sebagai tubuh-tubuh pod-
shaped pada bagian bawah dari dataran limpahan banjir yang berbatasan dengan
channel sungai bermeander. Sebarannya meluas cenderung memanjang sejajar
kemiringan pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong
channel atau sedikit yang menerus, bentuk batubara ditandai hadirnya splitting
akibar channel kontemporer dan washout oleh channel subsekuen. Urutan
stratigrafinya didominasi oleh tubuh batupasir yang menerus (Gambar 3.4c) dan
untuk lingkungan backswamp, terdiri dari urutan batubara, batulempung dan
batulanau.
Berdasarkan kendali lingkungan pengendapannya, maka lingkungan back barier dan lower
delta plain cenderung tipis batubaranya, sebaliknya lingkungan transitional lower delta
plain dan upper delta plain-fluvial, lapisan batubaranya relatif tebal.
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 30
Gambar 3.3. Model Lingkungan Pengendapan Batubara di daerah Delta (Horne, 1978).
Gambar 3.4. Model Lingkungan Pengendapan Batubara.
(3.4a) Back barier, (3.4b) Lower Delta Plain. (3.4c) Upper Delta Plain (Horne, 1978).
3.1.5 Material Organik Penyusun Batubara
Maseral pada batubara sama halnya mineral pada batuan, maseral merupakan bahan-
bahan organik pembentuk batubara. Maseral merupakan bagian terkecil dari batubara yang
bisa teramati dengan mikroskop. Maseral dikelompokkan berdasarkan tumbuhan atau
bagian tumbuhan penyusunnya menjadi tiga grup maseral, yaitu vitrinit, liptinit dan
inertinit. Tabel 3.1 menunjukkan pengelompokan maseral batubara yang mengacu pada
C A B
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 31
Australian Standards : AS 2856 (1986), kelebihan klasifikasi ini adalah sederhana dan
berlaku untuk semua peringkat batubara.
Tabel 3.1 Klasifikasi Maseral Organik Batubara Berdasarkan Australia Standards (1986).
a. Grup Vitrinit
Vitrinit adalah hasil dari proses pembatubaraan materi humic yang berasal dari selulosa
dan lignin dinding sel tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody tissues) seperti
batang, akar, daun dan akar. Vitrinit merupakan bahan utama penyusun batubara di
Indonesia. Dibawah mikroskop, kelompok maseral ini memperlihatkan warna pantul yang
lebih terang daripada kelompok liptinit, namun lebih gelap dari kelompok inertinit,
berwarna mulai dari abu-abu tua hingga abu-abu terang. Kenampakan di bawah mikroskop
tergantung dari tingkat pembatubaraannya, semakin tinggi tingkat pembatubaraan
warnanya akan semakin terang. Kelompok vitrinit mengandung unsur hidrogen dan zat
terbang yang persentasenya berada diantara inertinit dan liptinit. Mempunyai berat jenis
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 32
1,3-1,8 dan kandungan oksigen yang tinggi serta kandungan volatile matter sekitar
35,75%.
b. Grup Liptinit (exinit)
Liptinit tidak berasal dari materi yang dapat terhumifikasikan melainkan berasal dari
sisa tumbuhan atau dari jenis tanaman tingkat rendah seperti spora, ganggang (algae),
kutikula, getah tanaman (resin) dan serbuk sari (pollen). Berdasarkan morfologi dan bahan
asalnya, kelompok liptinit dibedakan menjadi sporinite (spora dan butiran pollen), cutinite
(kutikula), resinite (resin/damar), exudatinite (maseral sekunder yang berasal dari getah
maseral liptinit lainnya yang keluar pada proses pembatubaraan), suberinite (kulit kayu /
serat gabus), fluorinite (degradasi dari resinite), liptodetrinite (detritus dari maseral liptinit
lainnya), alginite (ganggang) dan bituminite (degradasi material algae).
Di bawah mikroskop, kelompok liptinit menunjukkan warna kuning muda hingga
kuning tua di bawah sinar fluoresence, sedangkan di bawah sinar biasa kelompok terlihat
berwarna abu-abu sampai gelap. Liptinit mempunyai berat jenis 1,0 – 1,3 dan kandungan
hidrogen yang paling tinggi dibanding dengan maseral lain, sedang kandungan volatile
matter sekitar 66%.
c. Grup Inertinit
Inertinit disusun dari materi yang sama dengan vitrinit dan liptinit tetapi dengan proses
dasar yang berbeda. Kelompok inertinit diduga berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar
dan sebagian lagi berasal dari hasil proses oksidasi maseral lainnya atau proses
decarboxylation yang disebabkan oleh jamur dan bakteri. Kelompok ini mengandung
unsur hidrogen paling rendah dan karakteristik utamanya adalah reflektansi yang tinggi
diantara dua kelompok lainnya.
Pemanasan pada awal penggambutan menyebabkan inertinit kaya akan karbon. Sifat
khas inertinit adalah reflektivitas tinggi, sedikit atau tanpa fluoresense, kandungan
hidrogen, aromatis kuat karena beberapa penyebab, seperti pembakaran dan penghancuran
oleh jamur, gelifikasi biokimia dan oksidasi serat tumbuhan. Sebagian besar inertinit sudah
pada bagian awal proses pembatubaraan. Inertinit mempunyai berat jenis 1,5 – 2,0 dan
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 33
kandungan karbon yang paling tinggi dibanding maseral lain serta kandungan volatile
matter sekitar 22,9%.
Maseral inertinit merupakan komponen yang teroksidasi disebabkan berkurangnya
kelembaban gambut. Kandungan inertinit yang relatif rendah dapat menunjukkan batubara
berasal dari lingkungan pengendapan yang basah dan tingkat oksidasi yang rendah, pada
saat pengendapannya kelembaban gambut selalu terjaga dengan baik atau dengan kata lain
gambut selalu tergenangi oleh air yang menghalangi proses pembusukan dan oksidasi
(Stach dkk., 1982; op.cit. Anggayana, 2007).
3.1.6 Penentuan Lingkungan Pengendapan Batubara Berdasarkan Maseral
Peranan maseral dalam analisis penentuan lingkungan pengendapan batubara dapat
didasarkan pada sifat-sifat yang dimilikinya, antara lain: sifat atribut dan sifat skalar. Suatu
lapisan batubara mulai dari lapisan dasar (floor) hingga atas (roof) memiliki sifat-sifat
tertentu, yang mencerminkan kondisi lingkungan pengendapannya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi lingkungan pengendapan batubara adalah iklim, kondisi permukaan air
salinitas, tumbuhan asal, paleogeografi, dan proses tektonik. Setiap kali terjadi perubahan
kondisi lingkungan akan terendapkan batubara yang berbeda karakteristiknya.
Penentuan lingkungan pengendapan batubara dengan metode analisis komposisi
maseral didasarkan pada konsep bahwa komposisi maseral di dalam suatu lapisan batubara
erat kaitannya dengan jenis tumbuhan asal dan kondisi lingkungan pengendapan pada saat
pembentukan batubara, atau dengan kata lain adanya perubahan lingkungan pengendapan
akan menyebabkan perbedaan tipe maseral batubara, sehingga analisis komposisi maseral
dapat digunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan batubara (Daranin, 1995).
Dalam menentukan lingkungan pengendapan berdasarkan maseral batubara,
terdapat suatu sifat atribut dan sifat skalar dari maseral batubara.
Sifat atribut adalah suatu sifat yang dicirikan oleh ada tidaknya suatu maseral
tertentu, dalam hal ini kelimpahan maseral sangat penting untuk dijadikan penciri suatu
lingkungan tertentu (Diessel, 1992). Batubara yang diendapkan pada lingkungan lagoon
relatif kaya akan maseral desmocolinite, batubara pada lingkungan upper delta plain dan
fluvial (wet forest swamp) kaya akan vitrinit dan material klastik seperti mineral lempung,
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 34
sedangkan batubara dari lingkungan air tawar pada umumnya lebih banyak mengandung
maseral telinit, resinit dan inertinit.
Sifat skalar dari suatu maseral bukan berdasarkan fakor kehadiran maseral atau
material tertentu dari batubara, tetapi didasarkan pada hubungan kuantitatif antara tiap
maseral dalam batubara.
Dalam penelitian ini penulis mencoba menentukan lingkungan pengendapan
batubara melalui analisis komposisi maseral batubara berdasarkan model lingkungan
pengendapan batubara Diessel (1986), yang telah diaplikasikan di beberapa lapangan
batubara, serta telah dipakai oleh beberapa peneliti untuk menentukan lingkungan
pengendapan batubara salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Sener dan Senguler
(2002).
Penentuan lingkungan pengendapan batubara berdasarkan model lingkungan
pengendapan batubara Diessel (1986) menggunakan dua parameter yaitu TPI (Tissue
Preservation Index) dan GI (Gelification Index).
TPI (Tissue Preservation Index) menyatakan perbandingan antara struktur jaringan
pada maseral yang terawetkan dan struktur jaringan yang tidak terawetkan
(terdekomposisi). TPI juga dapat mengindikasikan derajat humifikasi yang terjadi pada
lahan gambut dalam proses penggambutan. Tingginya derajat humifikasi dapat
menyebabkan terjadinya penghancuran jaringan sel yang dinyatakan oleh harga TPI yang
kecil. Diessel (1986) memperkenalkan parameter TPI adalah sebagai berikut:
Pengerusakan struktur sel oleh organisme akan sangat mudah terjadi pada tumbuhan yang
mengandung banyak selulosa (tumbuhan perdu), sedangkan tumbuhan yang banyak
mengandung lignin (tumbuhan kayu) akan sulit dihancurkan. Harga TPI yang tinggi
mengindikasikan tingginya persentanse kehadiran tumbuh-tumbuhan kayu (ditunjukkan
dengan banyaknya telovitrinite), sedangkan harga nilai TPI < 1 menandakan maseral
tumbuhan perdu lebih banyak.
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 35
GI (Gelification Index) menyatakan perbandingan antara maseral yang terbentuk
karena proses gelifikasi dan maseral yang terbentuk akibat proses oksidasi serta
berhubungan dengan kontinuitas kelembaban pada lahan gambut. Harga GI akan
berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, dalam hal ini semakin kecil harga GI
menunjukkan tingkat oksidasi yang semakin besar. Diessel (1986) memperkenalkan
parameter GI adalah sebagai berikut:
Kombinasi nilai TPI dan GI dipergunakan untuk analisis penentuan lingkungan
pengendapan batubara serta memperkirakan derajat dekomposisi. Nilai TPI dan GI yang
tinggi dapat mengindikasikan tingkat dekomposisi aerobik yang rendah, sebaliknya
kondisi kering dicirikan oleh nilai TPI rendah dan GI yang tinggi mengindikasikan
dekomposisi aerobik yang terbatas. Untuk interpretasi lingkungan pengendapan batubara,
nilai TPI dan GI diplot dalam Diagram TPI-GI Batubara Diessel (1986) seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5 Diagram TPI - GI Batubara Diessel (Diessel, 1986).
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 36
3.1.7 Tipe Lingkungan Pengendapan Batubara
Berdasarkan lingkungan sedimenternya, tempat terakumulasinya rawa gambut atau
lingkungan pengendapan batubara dibagi menjadi 4 bagian (Diessel, 1992), yaitu:
a) Braid Plain
Merupakan dataran aluvial yang terdapat diantara pegunungan, umumnya
terendapkan sedimen berukuran kasar (>2mm). Batubara yang terbentuk pada daerah ini
merupakan hasil diagenesa gambut ombrogenik yang mempunyai penyebaran lateral
terbatas dengan ketebalan rata-rata 1,5 meter.
Kandungan abu, sulfur total dan vitrinit umumnya rendah, sementara pada daerah
tropis kandungan vitrinit umumnya tinggi. Pada bagian tengah lahan gambut umumnya
kaya akan maseral inertinit (28%) karena suplai nutrisi yang terbatas. Kandungan inertinit
(khususnya semifusinite) yang besar menyebabkan nilai TPI (Tissue Preservation Index)
relatif tinggi yang sekaligus dapat menunjukkan bahwa tumbuhan asalnya didominasi oleh
bahan kayu. Sementara itu nilai GI (Gelification Index) yang rendah dan warna batubara
yang kusam dapat menunjukkan bahwa secara periodik permukaan gambut mengalami
kekeringan dan proses oksidasi. Kandungan abu yang kadang ditemukan cukup tinggi,
kemungkinan dapat berasal dari material yang dibawa ketika banjir musiman dan
keluarnya air tanah ke permukaan.
b) Alluvial Valley dan Upper Delta Plain
Kedua lingkungan ini agak sulit dibedakan karena adanya kesamaan litofasies dan
sifat batubara yang terbentuk sehingga pembahasannya dapat disatukan. Lingkungan ini
merupakan transisi dari lembah dan dataran aluvial dengan dataran delta, umumnya
melalui sungai berstadium dewasa yang memiliki banyak meander. Lapisan batubara
umumnya memiliki ketebalan bervariasi dan endapan sedimennya terutama terdiri atas
perselingan batupasir dan batulanau / batulempung.
Gambut dapat terakumulasi pada berbagai morfologi seperti pada rawa, dataran dan
cekungan banjir, bagian luar saluran sungai dan lain-lain. Permukaan gambut cenderung
selalu basah dan jarang mengalami periode kemarau sehingga menghasilkan endapan
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 37
batubara yang mengkilap dengan nilai TPI dan GI relatif tinggi serta didominasi oleh
maseral telovitrinite dan secara kualitas memiliki kandungan abu dan sulfur yang rendah
dibanding batubara pada lingkungan lainnya.
c) Lower Delta Plain
Lingkungan ini dibedakan dengan upper delta plain dari tingkat pengaruh pasang air
laut terhadap sedimentasi, batas antara keduanya adalah pada daerah batas tertinggi dari air
pasang. Endapan sedimen pada lower delta plain terutama terdiri dari batulanau,
batulempung dan serpih yang diselingi oleh batupasir halus.
Pada saat pasang naik, air laut akan membawa nutrisi ke dalam rawa gambut
sehingga memungkinkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik, namun di sisi lain dengan
naiknya batas pasang maka akan terendapkan sedimen klastik halus yang akan menjadi
pengotor dalam batubara. Di samping itu, pengaruh air laut akan meningkatkan kandungan
pirit dalam batubara yang terbentuk dari reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut.
Batubara yang terendapkan dalam lingkungan ini memiliki penyebaran luas tetapi
ketebalan relatif tipis. Batubaranya memiliki kandungan inertinit yang rendah dengan nilai
GI yang tinggi. Kandungan vitrinit terutama didominasi oleh detrovitrinite, sehingga nilai
TPI relatif rendah. Hal ini menunjukkan tingginya proporsi tumbuhan dengan jaringan
lunak (soft-tissued plant) dan biodegradasi pada kondisi pH yang relatif tinggi.
d) Barrier Beach
Pada lingkungan ini, morfologi garis pantai dikontrol oleh rasio suplai sedimen
dengan energi pantai, yaitu gelombang pasang dan arus. Jika nilai rasio tinggi maka akan
terbentuk delta, namun jika nilai rasio rendah maka sedimentasi akan terdistribusi di
sepanjang pantai.
Rawa gambut pada barrier beach memiliki permukaan yang relatif lebih rendah
terhadap muka air sehingga sering kebanjiran dan ditumbuhi alang-alang. Gambut akan
terakumulasi di suatu tempat jika fluktuasi air pasang tidak tinggi sehingga timbunan
material gambut tidak berpindah tempat. Dengan demikian rawa gambut pada lingkungan
ini sangar dipengaruhi oleh regresi dan transgresi air laut.
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 38
3.1.8 Kualitas Batubara
1. Analisis Proksimat
Analisis proksimat digunakan untuk menentukan kelas (rank) batubara, analisis ini
terdiri atas empat parameter utama, yaitu kandungan lengas (moisture), kadar abu
(ash), zat terbang (volatile matter) dan karbon tertambat (fixed carbon).
• Kandungan Lengas (moisture), yaitu kandungan air yang terdapat dalam batubara,
dapat dibedakan menjadi:
- Lengas Bebas (Free Moisture atau FM), kandungan air pada permukaan
batubara yang berasal dari air hujan atau air semprotan, dapat menguap pada
kondisi laboratorium (sekitar 400 C).
- Lengas Bawaan (Inherent Moisture atau IM), kandungan air dalam kapiler pada
mineral-mineral penyusun batubara, dapat hilang dengan pemanasan 1050-
1100C.
- Lengas Total (Total Moisture atau TM), yaitu istilah untuk menyebutkan
kandungan keseluruhan lengas pada batubara (lengas bebas dan bawaan).
• Kandungan Abu (ash), yaitu residu bahan inorganik yang tertinggal atau tidak
terbakar sewaktu batubara dibakar.
• Zat terbang (Volatile Matter), yaitu komponen dalam batubara yang dapat lepas
atau menguap pada temperatur tertentu (950±250C) selain moisture, meliputi
Volatile Mineral Matter dan Volatile Organic Matter.
• Karbon tertambat (Fixed Carbon), yaitu jumlah karbon yang ada dalam batubara
setelah kandungan air, abu dan zat terbang dihilangkan (FC = 100% -
{IM+VM+ Ash}).
2. Analisis Ultimat
Analisis ultimat berfungsi untuk menganalisis jumlah kandungan unsur-unsur dalam
batubara seperti karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), sulfur (S) dan nitrogen (O).
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 39
Analisis ini menghasilkan parameter kualitas batubara berupa jumlah kandungan
(persentase) unsur-unsur tersebut. Jumlah kandungan unsur C, H dan O penting untuk
menilai kesesuaian pemakaian batubara, sedangkan jumlah kandungan unsur N dan S
penting untuk menilai potensi batubara menimbulkan polusi.
Selain kedua analisis utama di atas, ada pengujian nilai kalori (Calorific Value),
yaitu jumlah panas yang dilepaskan oleh batubara saat batubara tersebut dibakar.
Dalam penyajian data kualitas batubara, terdapat beberapa istilah basis data sebagai
dasar analisis pengujian yang harus dicantumkan setiap menuliskan nilai parameter
kualitas, antara lain:
1. As received (ar), merupakan kondisi alami batubara, yang berarti sampel yang
dianalisis sesuai keadaan pada waktu diterima di laboratorium.
2. Air dried basis (adb), merupakan kondisi batubara yang telah dikeringkan sehingga
sesuai dengan kondisi laboratorium, sampel batubara masih mengandung Inherent
Moisture.
3. Dry base (db), merupakan kondisi batubara kering, sampel batubara telah bebas dari
kandungan air / lengas.
4. Dry ash free (daf), merupakan kondisi batubara yang telah diproses di laboratorium
sehingga sampel batubara sudah bebas lengas dan kandungan abu.
5. Dry mineral matter free (dmmf), merupakan kondisi batubara yang sudah bebas dari
total moisture dan mineral matter.
3.1.9 Peringkat dan Klasifikasi Batubara
Untuk penggolongan batubara ada beberapa klasifikasi batubara, namun yang umum
digunakan baik oleh perusahaan tambang maupun untuk kepentingan yang bersifat
komersil adalah klasifikasi yang dikeluarkan oleh ASTM (American Standard for Testing
Materials) (Tabel 3.2). Parameter-parameter yang dipergunakan sebagai dasar klasifikasi
ini adalah:
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 40
- Jumlah karbon tertambat (fixed carbon) dan zat terbang (volatile matter) untuk
batubara dengan rank tinggi (FC ≥ 69%).
- Nilai kalori (calorific value) untuk batubara dengan rank rendah ( FC ≤ 69%).
- Parameter tambahan berupa sifat coking (karakter penggumpalan).
Tabel 3.2 Klasifikasi Batubara menurut ASTM (1981).
Klasifikasi batubara ASTM menggunakan basis data dry mineral matter free
(dmmf), sedangkan hasil analisis batubara di laboratorium biasanya menggunakan basis
data air dried basis (adb), sehingga untuk pengklasifikasian batubara menurut ASTM
harus terlebih dahulu mengubah basis adb menjadi basis dmmf. Rumus untuk mengubah
basis data adb ke basis data dmmf, dikenal dengan Parr Formulas, seperti dibawah ini:
FC (dmmf) =
VM (dmmf) = 100 – FC(dmmf)
CV (dmmf) =
FC = % karbon padat (adb)
M = % kadar air total (adb)
A = % kadar abu (adb)
S = % kadar sulfur (adb)
Btu = British thermal unit per pound (Btu/lb)
= 1,8185*CV (adb)
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 41
3.2 ENDAPAN BATUBARA DAERAH PENELITIAN
3.2.1 Penyebaran Lapisan Batubara
Berdasarkan hasil observasi singkapan pada daerah penelitian, endapan batubara
berada pada Satuan Batulempung. Lapisan-lapisan batubara merupakan sisipan dalam
Satuan Batulempung yang merupakan anggota dari Formasi Balikpapan berumur Miosen
Tengah - Miosen Akhir (15 juta – 5 juta tahun yang lalu).
Jenis batuan utama tanah penutup (overburden) adalah siltstone, mudstone, dan
sandstone. Mudstone yang sebagian carbonaceous, biasanya berbatasan langsung dengan
lapisan batubara. Sandstone tidak ditemukan dalam keadaan menerus secara lateral,
melainkan berbentuk lensa dalam berbagai ukuran.
Urut–urutan lapisan siltstone dan interbanded mudstone, siltstone, atau sandstone
merupakan bentuk perlapisan yang biasa dijumpai, sedangkan sandstone serta mudstone
dalam keadaan yang lebih massive mempunyai perkembangan perlapisan yang buruk.
Siltstone ditemukan sebagai sisipan tipis dalam lapisan batulempung. Batubara ditemukan
sebagai sisipan pada satuan batulempung, dengan ciri umum batubara berwarna hitam,
gores hitam, kilap bright – dull, terdapat cleat yang terisi lempung dan mineral pirit.
Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian sangat mempengaruhi
penyebaran endapan batubara dan kualitas batubara itu sendiri. Endapan batubara di
daerah penelitian telah mengalami deformasi tektonik berupa perlipatan dan pensesaran.
Akibat dari proses perlipatan menyebabkan lapisan batubara memiliki kemiringan yang
landai hingga terjal, bahkan bagian yang terlipat sangat kuat memiliki kemiringan lapisan
yang tegak. Pensesaran yang ditimbulkan oleh aktivitas tektonik menjadikan penyebaran
lapisan batubara sukar untuk dikorelasikan.
Berdasarkan data yang berasal dari data singkapan batubara (Lampiran B) dan data
pemboran inti yang berjumlah 15 titik bor yang tersebar di daerah penelitian Pit J
(Lampiran A), diketahui di daerah penelitian terdapat lima seam batubara utama, yaitu
Seam JR, Seam BE, Seam E2, Seam ML, dan Seam L1. Adapun arah umum dari
perlapisan batubara di daerah penelitian antara N 1200 E sampai dengan N 1750 E, dengan
kemiringan lapisannya berkisar 10-200 dengan arah kemiringan ke arah baratdaya.
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 42
Penyebaran lapisan batubara di Pit J memanjang ke arah baratlaut-tenggara (NW-SE).
Penyebaran lapisan batubara di lapangan, lapisan-lapisannya menerus secara lateral,
lapisannya tebal, pada beberapa lokasi terdapat parting lapisan batubara, serta adanya
gejala splitting, dengan kemiringan lapisan batubara landai hingga terjal.
Dari data pemboran inti batubara diketahui lapisan batubara mengalami penebalan
dan penipisan lapisan, di beberapa titik bor lapisan batubara mengalami parting berupa
lempung (mudstone). Urutan stratigrafi seam batubara di daerah penelitian, dari yang tua
ke muda adalah sebagai berikut : JR, BE, E2, ML, dan L1. Gambar 3.6 menunjukkan
susunan batuan (secara vertikal) berdasarkan data litologi bor inti, sedangkan Gambar 3.7
merupakan gambaran penampang batubara dari data pemboran (Lampiran F).
Berdasarkan data pemboran inti, lapisan batubara paling bawah adalah Seam JR,
dengan ketebalan lapisan batubara JR adalah 0,72 – 4,68 meter. Di atas lapisan batubara
JR terdapat batubara Seam BE dengan tebal lapisan interburden ±30 meter, yang dominan
disusun oleh batulempung. Di beberapa titik bor, lapisan batubara BE ini dijumpai parting
dengan ketebalan 8 - 32 cm berupa mudstone. Lapisan batubara BE ini memiliki ketebalan
antara 0,60 – 6,84 meter.
Di atas lapisan batubara BE terdapat batubara Seam E2 dengan ketebalan lapisan
interburden ±20 meter, yang tersusun oleh batulempung. Ketebalan Seam E2 antara 0,23 –
4,00 meter. Lapisan batubara di atasnya adalah batubara Seam ML dengan lapisan
interburden berupa batulempung sisipan batupasir yang tebalnya ±25 meter. Ketebalan
batubara seam ML antara 1,57 - 4,00 meter.
Lapisan batubara paling atas adalah Seam L1 dengan lapisan interburden berupa
batulempung yang tebalnya ±25 meter. Ketebalan lapisan batubara L1 adalah 0,56 – 1,36
meter.
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 43
Gambar 3.6 Stratigrafi Batubara Pit J, Daerah Pinang, Kutai Timur.
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 44
Gambar 3.7 Penampang Data Pemboran di Daerah Penelitian.
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 45
3.2.2 Karakteristik Batubara di Pit J
Karakteristik batubara di daerah penelitian berdasarkan kondisi fisik, penyebaran.
karakteristik dan ketebalannya adalah sebagai berikut:
� Seam JR
Lapisan batubara ini tersingkap di lokasi J-11, J-31, J-32, J-61 dan J-71, dengan jurus
perlapisannya N 1090 – 1400 E, dengan kemiringan lapisan 13 - 190 ke arah baratdaya.
Seam JR ini memiliki penyebaran lapisan relatif baratlaut-tenggara. Berdasarkan data
singkapan di lapangan ketebalan seam batubara ini adalah 2,45 – 2,56 meter (Gambar 3.8),
sedangkan berdasarkan data pemboran inti ketebalan seam JR adalah antara 0,72 – 4,68
meter.
Ciri umum batubara pada seam ini adalah hitam, agak kusam, kekerasan hard, banyak
cleat yang terisi lempung dan pirit. Lapisan roof dan floor berupa batulempung, abu-abu,
non-karbonatan, getas.
Gambar 3.8 Singkapan Batubara Seam JR.
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 46
� Seam BE
Lapisan batubara ini tersingkap di lokasi J-12, J-21 dan J-33, adapun jurus perlapisannya N
1110 – 1250 E, dengan kemiringan lapisan 190 ke arah baratdaya. Seam BE mempunyai
penyebaran yang relatif memanjang baratlaut-tenggara. Berdasarkan data singkapan di
lapangan ketebalan seam batubara ini adalah 0,8 – 1,9 meter (Gambar 3.9), sedangkan
berdasarkan data pemboran inti ketebalan lapisan batubara BE adalah antara 0,60 – 6,84
meter.
Ciri umum batubara pada seam ini adalah warna hitam, mengkilap, terdapat cleat yang
terisi lempung dan kekar-kekar, gores hitam, lapisan batubara terdapat parting berupa
lempung. Lapisan alasnya (floor) berupa batulempung abu-abu, non-karbonatan, berlapis,
lunak, sedangkan lapisan atapnya (roof) berupa batulempung, abu-abu, non-karbonatan.
Gambar 3.9 Singkapan Batubara Seam BE.
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 47
� Seam E2
Lapisan batubara ini tersingkap di lokasi J-51, adapun jurus perlapisannya N 1600 E,
dengan kemiringan lapisan 100 ke arah baratdaya. Seam E2 mempunyai penyebaran yang
relatif memanjang baratlaut-tenggara. Berdasarkan data singkapan di lapangan, ketebalan
batubara ini adalah 1,00 meter (Gambar 3.10), sedangkan berdasarkan data pemboran tebal
lapisan E2 adalah 0,23 – 4,00 meter.
Ciri litologi batubara Seam E2, hitam, agak kusam, banyak cleat, gores hitam. Lapisan
roof batubara seam ini berupa batulempung dengan sisipan batupasir, sedangkan lapisan
floor berupa batulempung, abu-abu, non-karbonatan, getas.
Gambar 3.10 Singkapan Batubara Seam E2.
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 48
� Seam ML
Lapisan batubara ini tersingkap di lokasi J-13 dan J-22, adapun jurus perlapisannya antara
N 1200 E – N 1400 E, dengan kemiringan lapisan 150-190 ke arah baratdaya. Seam ML
mempunyai penyebaran yang relatif memanjang baratlaut-tenggara. Berdasarkan data
singkapan di lapangan ketebalan seam batubara ini adalah 1,96 - 2,0 meter (Gambar 3.11),
sedangkan berdasarkan data pemboran tebal lapisan ML adalah 1,57 - 4,00 meter.
Ciri umum batubara pada seam ini adalah, hitam, mengkilap, kekerasan hard, gores hitam,
ada cleat. Lapisan atap (roof) berupa batulempung abu-abu, non-karbonatan, keras,
sedangkan lapisan alas (floor) berupa batulempung sisipan lensa batupasir.
Gambar 3.11 Singkapan Batubara Seam ML.
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 49
� Seam L1
Lapisan batubara ini tersingkap di lokasi J-14, J-23 dan J-41, adapun jurus perlapisannya
antara N 1100 E – N 1600 E, dengan kemiringan lapisan 130-150 ke arah baratdaya. Seam
L1 ini memiliki penyebaran lapisan relatif baratlaut-tenggara. Berdasarkan data singkapan
di lapangan ketebalan seam batubara ini adalah 0,59 – 0,94 meter (Gambar 3.12),
sedangkan berdasarkan data pemboran tebal lapisan L1 adalah 0,56 – 1,36 meter.
Ciri umum batubara pada seam ini adalah, hitam, mengkilap, banyak retakan-retakan,
gores hitam, lapisan lantainya (floor) berupa batulempung abu-abu, non-karbonatan, getas.
Gambar 3.12 Singkapan Batubara Seam L1.
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 50
3.2.3 Interpretasi Lingkungan Pengendapan Batubara di Pit J
Secara umum karakteristik batubara di daerah penelitian lapisan batubaranya
mengalami penebalan dan penipisan lapisan Di beberapa lokasi lapisan batubara
mengalami parting dan setempat lapisan batubara mengalami gejala splitting. Sebaran
lapisan batubara menerus secara lateral, tetapi di beberapa lokasi kemenerusan secara
lateral terpotong channel. Kandungan sulfur batubara bervariasi dari yang high sulfur
hingga low sulfur. Berdasarkan ciri-ciri umum lapisan batubara di daerah penelitian, dapat
mengindikasikan terjadi perubahan lingkungan pengendapan selama batubara diendapkan,
lingkungan pengendapan juga dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yang menyebabkan
variasi kandungan sulfur. Litologi batuan di daerah penelitian didominasi oleh
batulempung, batulanau, batulempung perselingan batupasir, serta sisipan batubara.
Berdasarkan model lingkungan pengendapan batubara dari Horne (1978), yang
membagi lingkungan pengendapan batubara berdasarkan karakteristik endapan
batubaranya, maka dapat diinterpretasikan lingkungan pengendapan batubara di daerah
penelitian berada pada kisaran lingkungan lower – upper delta plain (Gambar 3.13).
Gambar 3.13 Interpretasi Lingkungan Pengendapan Batubara di Daerah Penelitian. (Horne, 1978)
Bab III Endapan Batubara
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 51
Gejala parting pada batubara di daerah penelitian dapat terjadi karena pada saat
pengendapan batubara yang kemudian terjadi limpahan banjir pada sungai atau terjadi
pasang naik air laut yang mengakibatkan material-material sedimen klastik halus masuk ke
dalam overbank swamp sehingga akumulasi material organik tergantikan untuk sesaat oleh
akumulasi material klastik pada daerah tersebut, namun ketika suplai material detritus
berhenti, maka vegetasi kembali tumbuh dan pembentukan gambut terjadi kembali yang
akhirnya terbentuk gejala parting (terdapatnya lapisan tipis bahan sedimen klastik halus
diantara lapisan batubara).
Kandungan abu (ash) dalam batubara di daerah penelitian dapat berasal dari
material-material detrital yang dibawa sungai dan masuk ke dalam rawa atau berasal dari
tumbuhan itu sendiri yang dipengaruhi oleh lingkungan pengendapan batubara.
Kandungan abu sangat tinggi juga bisa disebabkan dari abu yang terbentuk setelah
batubara diendapkan, yaitu berasal dari lapisan batuan penutup dan mengisi cleat pada
batubara.
Untuk kadar sulfur batubara di daerah penelitian dapat berasal dari air laut yang
masuk pada saat terjadi marine transgression, atau dapat berasal dari lapisan pengapit
batubara yang diendapkan di lingkungan laut. Kandungan sulfur batubara juga dipengaruhi
oleh lingkungan pengendapan batubara. Kandungan sulfur dalam batubara, dapat terbentuk
bersamaan dengan lapisan batubara diendapkan yang disebut sulfur syngenetik atau sulfur
yang terbentuk setelah lapisan batubara diendapkan yang disebut sulfur epigenetik.
Di daerah penelitian terdapat lapisan batubara yang tebal dan tipis, proses penebalan
dan penipisan lapisan batubara ini dipengaruhi oleh dua proses, yaitu proses yang bekerja
selama pengendapan dan proses setelah pengendapan. Proses yang bekerja selama
pengendapan adalah penurunan cekungan, jika penurunan cekungan cepat maka batubara
yang dihasilkan tebal, demikian pula sebaliknya. Sedangkan proses yang bekerja setelah
pengendapan adalah proses erosional oleh channel yang menyebabkan penipisan pada
lapisan batubaranya. Selain itu, bisa pula diakibatkan oleh perbedaan laju pertumbuhan
akumulasi gambut, jika laju pertumbuhan akumulasi gambut lebih cepat maka batubara
yang dihasilkan lebih tebal demikian pula sebaliknya. Perbedaan laju pertumbuhan gambut
ini disebabkan pengaruh lingkungan di dalam rawanya.