1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori sebagai pisau analisis
atau alat dalam pemecahan permasalahan dalam sebuah penelitian. Adapun teori
yang dipakai oleh penulis adalah teori Politik Identitas. Teori ini digunakan oleh
penulis untuk menjelaskan dan menganalisis bagaimana sebuah perjuangan politik
identitas yang dilakukam oleh Suku Osing untuk mempertahankan keaslian
Bahasa Osing yang merupakan bahasa daerah asli, dan bukan dialek dari Bahasa
Jawa.
1.1 Kerangka Teoritis
1.1.2 Politik Identitas
Jika dilihat secara teoritis, politik identitas merupakan sesuatu yang
bersifat hidup atau ada di setiap etnis, dimana keberadaanya bersifat laten dan
potensial, dan sewaktu-waktu dapat muncul ke permukaan sebagai kekuatan
politik yang dominan. Secara empiris, politik identitas merupakan aktualisasi
partisipasi politik yang terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat, dan
mengalami proses internalisasi secara terus-menerus didalam kebudayaan
masyarakatnya dalam suatu jalinan interaksi sosial.1
Menurut Jonathan D. Hill dan Thomas M. Wilson Politik Identitas
mengacu pada praktik dan nilai politik yang berdasarkan berbagai identitas politik
dan sosial. Politik identitas merupakan suatu alat perjuangan politik suatu etnis
1 Buchari Sri Astuti, 2014, Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas, Jakarta, Yayasan Pustaka
Obor Indonesia. Hlm 19.
2
untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dimana kemunculannya lebih banyak
disebabkan oleh adanya faktor-faktor tertentu yang dipandang oleh suatu etnis
sebagai adanya suatu tekanan berupa ketidakadilan politik yang dirasakan oleh
mereka.2 Berdasarkan perasaan senasib tersebut maka mereka bangkit
menunjukkan identitas atau jati diri etnisnya dalam suatu perjuangan politik untuk
merebut kekuasaan dengan memanipulasi kesamaan identitas atau karakteristik
keetnisan tertentu yang tumbuh dalam kehidupan sosial budayanya.
Sedangkan menurut Kristianus dalam Dr. Sri Astuti Buchari,
mengemukakan bahwa “Politik Identitas berkaitan dengan perebutan kekuasaan
politik berdasarkan identitas etnis maupun agama”.3 Perjuangan Politik Identitas
pada dasarnya ialah perjuangan kelompok atau orang-orang pinggiran (periferi),
baik secara politik, sosial, maupun budaya dan ekonomi. Kristianus selanjutnya
mengutip Lukmantoro, yang mengatakan bahwa :
“Politik Identitas adalah tindakan politik untuk mengedepankan
kepentingan-kepentingan dari anggota suatu kelompok karena
memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan
pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan”. 4
Berdasarkan dari beberapa pendapat diatas dapat diartikan bahwa politik
identitas adalah aliran politik yang ingin melibatkan seseorang atau kelompok
masyarakat yang memiliki kesamaan karakteristik seperti suku, agama, etnisitas,
jender, jenis kelamin, dan orientasinya. Relevan dengan pemahaman di atas,
Suparlan dalam Sri Astuti Buchari menyebutkan bahwa identitas atau jati diri
adalah pengenalan atau pengakuan terhadap seseorang sebagai termasuk dalam
2 Ibid . 3 Ibid hlm 20. 4 Ibid.
3
sesuatu golongan yang dilakukan berdasarkan atas serangkaian ciri-cirinya yang
merupakan satu satuan yang bulat dan menyeluruh, yang menandainya sebagai
termasuk dalam golongan tersebut. Identitas atau jati diri itu muncul dan ada
dalam interaksi.
Linda Nicholson dalam Ikhwan Setiawan M.A. menjelaskan politik
identitas sebagai gerakan politik yang muncul dan berkembang dari pengalaman
kelompok yang dibedakan dari kelompok atau komunitas mayoritas dalam sebuah
negara. Pembedaan yang berlangsung dalam ranah kultural, bahasa, agama,
ekonomi, maupun politik memunculkan kesadaran komunal untuk lebih
memahami, memaknai, dan memaksimalkan potensi keberbedaan sebagai
kekuatan untuk melakukan gerakan-gerakan politis. Melalui keberbedaan identitas
itulah mereka yang merasakan solidaritas komunal akan bisa melakukan
perjuangan-perjuangan untuk melakukan perubahan terhadap sistem sosial,
politik, dan ekonomi yang tidak memberikan keuntungan bagi eksistensi mereka.
Sebagai kekuatan komunal, identitas kultural memang cukup efektif untuk
mengikat dan mengintegrasikan beragam anggota sebuah komunitas ke dalam
sebuah konstruksi kelompok yang memiliki persamaan nasib dan sejarah.5
Terlepas dari kritik-kritik di atas, banyak gerakan sosial-politik minoritas
etnis yang dilakukan dengan menggunakan politik identitas berbasis mobilisasi
budaya khas mereka. Mereka berusaha menegosiasikan dan memperjuangkan hak-
hak politik, ekonomi, sosial, dan kultural kepada rezim negara yang dianggap
telah me-liyan-kan komunitas mereka dalam proses berbangsa dan bernegara
5http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/73697/unej_fundamental_ikwan_setiawa
n_2015.pdf?sequence=1 diakses pada 8 Febuari 2017.
4
dengan memobilisasi identitas etnis/rasial ataupun menegaskan keberbedaan
kultural mereka di tengah-tengah negara multikultural agar eksistensi mereka
diakui. Bahkan, dalam perkembangan kontemporer, anggota dari komunitas etnis
partikular berusaha menegosiasikan, mewacanakan, menyebarluaskan, dan
memperluas ikatan identitas mereka melalui media sosial internet. Meskipun
demikian, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa politik identitas juga
seringkali menjadi legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap etnis atau ras
lain dalam sebuah negara serta menegaskan superioritas etnis dominan dalam
kehidupan multikultural.6
Menurut Deschenes, minoritas etnis memiliki keberbedaan budaya,
bahasa, atau, dalam kasus tertentu, praktik beragama, dibandingkan etnis-etnis
lain yang lebih dominan, sehingga mereka memiliki kekuatan kolektif, solidaritas,
dan kehendak komunal untuk bisa survive di tengah-tengah kehidupan bernegara
dan bersama-sama memperjuangkan kesamaan dalam segala bidang kehidupan.7
Selain pedapat dari beberapa tokoh di atas, Will Kymlica dalam bukunya
memaparkan tentang tiga macam hak kolektif yang diperjuangkan oleh Kymlica
sebagai penyelesaian terhadap masalah eksistensi kelompok-kelompok minoritas
dalam sebuah negara liberal. Dimana Kymlica mengidentifikasi dua kelompok
yang digunakan sebagai acuan dalam menganalisis tentang minoritas, yakni
“minoritas bangsa” dan “minoritas etnis”.8 Hal yang pertama ini bisa katakan
identitas kebangsaan yang selama ini mendapati sikap diskriminatif dari mayoritas
6 Ibid. 7Alia, Valerie & Simmon Bull. 2005. Media and Ethnic Minorities. Edinburgh: Edinburgh
University Press. 8Will Kymlicka, Kewargaan Multikulural: Teori Liberal Mengenai Hak-hak Minoritas, (Jakarta:
LP3ES, 2002)
5
bangsa yang menuntut homogenitas. Komuntas bangsa seringkali justru penduduk
pribumi yang asli dan tertindas setelah gelombang kolonisasi yang terjadi secara
tak terelakkan. Persoalan yang mereka hadapi adalah pemaksaan asimilasi,
integrasi dan konformitas Inggris yang diambil sebagai kebijakan nasional atau
kebijakan mayoritas.9
Menurut Kymlicka kelompok etnis juga menjadi bagian penting dari
minoritas, Persoalan yang mereka hadapi adalah seringkali mereka menjadi
korban dari regulasi dan aturan yang ditetapkan oleh kelompok mayoritas. Lebih
khusus lagi, mereka sering dibatasi hak-hak kulturalnya untuk mengeskpresikan
diri, menunjukkan ciri khas budaya dan gaya hidupnya sendiri.10 Dalam sejarah,
kebijakan-kebijakan mengenai minoritas sering berujung pada penghabisan fisik,
pembersihan etnis, pemaksaan asimilasi, pemaksaan bahasa, mengikuti agama dan
aturan adat kaum mayoritas.
Dalam konteks pemecahan masalah ini, Kymlicka memperjuangkan tiga
macam hak kolektif bangsa dan etnis minoritas : 11
1) Hak Pemerintahan Sendiri bagi minoritas bangsa agar menarik batas
wilayah teritorial sehingga menjadi unit pemerintahan mandiri di sana dan
menjadi mayoritas. Pengakuan terhadap minoritas, baginya, belum cukup hanya
pada hak-hak politik personal dan individual (tindakan afirmatif dan HAM) tetapi
juga harus sampai pada pengakuan hukum dan konstitusional.
2) Hak Polietnis, mengenai kebebasan untuk mengekspresikan unsur-
unsur budayanya yang khas tanpa harus mengganggu stabilitas ekonomi dan
9Ibid hlm 17. 10Ibid hlm 24. 11Ibid hlm. 40
6
politik mayoritas. Yang utama adalah hak akan pengecualian dari undang-undang
yang penerapannya merugikan kelompok etnis itu, seperti bahasa, gaya hidup,
agama dan lain sebagainya. Salah satu kepentingan komunal yang fundamental, di
samping kepentingan kebangsaan, adalah kepentingan unsur-unsur polietnisitas.
Kepentingan ini penting untuk diberikan kepada komunitas etnis baik yang
berbasis suku, agama, ras ataupun golongan. Hak polientnis ini dibutuhkan untuk
melindungi setiap kelompok etnis agar dapat mengekspresikan seni dan
kebudayaan mereka, ritual keagamaan mereka, atau, yang terpenting, bahasa asli
mereka.
3) Hak perwakilan khusus, yang lebih difungsikan untuk membuka kran
keterkawilan atau representasi bagi pihak-pihak atau kelompok etnis tertentu yang
secara historis dirugikan. Hal ini misalnya terjadi pada kaum difabel, kaum
miskin, dan jompo, agar mereka juga terwakili dan mendapat aspirasi yang
memadai. Keterwakilan perempuan, misalnya, juga menjadi perhatian khusus
dalam hal ini.
Selain itu, terdapat pemikiran tokoh lagi yang membahas mengenai
masalah minoritas etnis yaitu pemikiran dari Joseph Raz terhadap teori
multikulturalisme Raz mengemukakan pokok pemikirannya tentang
keankearagaman kultural dengan jauh lebih ekplisit dan dari sudut pandang yang
berbeda. Dalam The Morality of Freedom, ia menganggap bahwa masyarakat
Barat telah bersifat liberal dan mempertanyakan bagaimana masyarakat tersebut
memperlakukan kelompok-kelompok non-liberal yang dipercaya sebagai
kelompok pinggiran. Kelompok-kelompok ini dilihat sebagai bagian integral dari
7
masyarakat yang meskipun liberal namun juga multikulturalisme. Teori liberalnya
tentang multikulturalisme menghendaki semua kebudayaan menghormati nilai-
nilai yang melekat dalam liberalism yang menipis. Karena ia mendasarkan nilai-
nilai itu dalam karakter historis individu barat modern, ia mampu menunjukkan
mengapa kebudayaan-kebudayaan terikat secara moral pada kelompok non-liberal
yang belum memilih mereka secara otonom dan menganggap tntunan Raz sebagai
sebuah bentuk kekerasan moral yang tidak dapat diterima.12
Menurut Raz terdapat dua jenis argumen untuk mendukung sebuah
toleransi, yaitu : 13
Pertama, alasan prinsip untuk membatasi penggunaan paksaan. Dalam
prinsip ini, kelompok budaya minoritas yang tidak merugikan kelompok
mayoritas tidak dapat diskriminalisasi.
Kedua, Membenarkan toleransi, demi perdamaian publik, ketenangan
masyarakat, dan legitimasi sistem pemerintahan, karena semuanya dapat terancam
oleh kebencian dan permusuhan dari kelompok minoritas yang tidak diinzinnkan
dalam kegiatan budaya mereka.
Disamping itu untuk mendukung hak-hak non diskriminasi
Multikulturalisme menekankan pentingnya dari aksi politik. Pertama, keyakinan
bahwa kebebasan individu dan kemakmuran tergantung pada keanggotaan penuh.
Dimana Multikulturalisme sebagai pendekatan evaluatif pada keyakinan saling
ketergantungan antara kesejahteraan dan kemakmuran individu yang berada pada
kelompok budaya. Kedua, Multikulturalisme muncul dari keyakinan nilai
12Parekh, Rithinting Multikulturalisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 129 dikutip dari
www.behaviorurldefaultvmlo.html diakses pada 13 Febuari 2017 13 Joseph Raz. Multikulturalisme: A Liberal Perspektif Pdf hlm. 173
8
pluralism, dan validitas nilai-nilai yang diwujudkan dalam praktek budaya yang
beragam dan banyak nilai-nilai yang tidak sesuai dengan masyarakat yang
berbeda.14
2.2 Definisi Konseptual
2.2.1 Suku Osing
Suku Osing atau bisa juga diucapkan Suku Using merupakan suku asli
yang berasal dari Banyuwangi yang sudah ada kehadirannya sejak zaman
Belanda. Suku Osing biasanya juga biasa disebut sebagai “wong Blambangan”
karena suku Osing adalah masayarakat yang hidup sejak pada kerajaan
Blambangan. Kerajaan Blambangan merupakan kerajaan yang didirikan oleh
masyarakat Osing dan berdiri di Banyuwangi pada saat zaman Belanda. Kini
kearajaan Blambangan menjadi ikon Kabupaten Banyuwangi dan biasa disebut
sebagai bumi Blambangan.
Dari sejak zaman Belanda sampai zaman modern seperti saat ini keaslian
adat dan budaya dari suku Osing tetap dilestarikan oleh masyarakatnya.
Melestarikan sebuah adat dan budaya adalah sebuah kewajiban khusus yang tidak
boleh dilanggar oleh masyarakat Osing. Kata “Osing” dalam Bahasa Osing sendiri
artinya adalah tidak. Sehingga ketika ada orang asing yang menanyakan apakah
orang Banyuwangi apakah kalian orang Bali atau tidak maka masyarakat suku
Osing akan menjawab dengan kata “Osing” yang artinya adalah tidak. Karena
Suku Osing berbeda dengan Suku Bali yang sebagian besar masyarakat Osing
tidak mengenal kasta tidak seperti Suku Bali. Hal ini dikarenakan banyaknya
14 Ibid hlm 174.
9
dipengaruhi agama Islam yang sebagian besar dianut oleh penduduk Suku Osing.
Menurut Elvin, (2012):
“Secara Etimologis kata Osing dapat diartikan dengan kata 'TIDAK'
dalam Bahasa Indonesia atau ORA dalam Bahasa Jawa. Dalam
konteks kebahasaan Pigeaud (1929) berpendapat bahwa, kata Osing
bermakna ketertutupan penduduk asli Banyuwangi terhadap
penduduk pendatang, atau dapat juga diartikan sebagai penolakan
penduduk asli Banyuwangi dalam menerima dan hidup bersama
dengan para pendatang dari luar Banyuwangi.”
Istilah itu telah menjadi nama suku Osing, namun dalam kehidupannya
mereka tidak lagi menolak orang asing masuk dan berdomosili di Banyuwangi.
Tidak hanya Suku Osing saja yang berasal dari Jawa Timur tetapi ada pula
beragam jenis yang berasal dari Jawa Timur diantaranya adalah suku Jawa,
Madura, Bali, Banjar, Melayu, Mandar dan Suku Osing yang mayoritas penghuni
kota Banyuwangi.
Sebagian besar masyarakat Suku Osing terdapat di Kabupaten
Banyuwangi. Banyuwangi adalah kabupaten yang berada di ujung timur propinsi
Jawa Timur. Menurut Luthviatin Novia :
“Kabupaten ini terletak di ujung paling timur Pulau Jawa,
berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di utara, Selat Bali di
timur, Samudra Hindia di selatan serta Kabupaten Jember dan
Kabupaten Bondowoso di barat”.15
Sebagian Suku Osing di Banyuwangi mendiami di 9 kecamatan dari 24
kecamatan di Banyuwangi. Diantaranya adalah :
a) Kecamatan Glagah
b) Kecamatan Rogojampi
15Novia, Luthviatin. 2014. IbM Kelompok Masyarakat Osing Dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat
Tradisional Suku Osing Banyuwangi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember hlm 2.
10
c) Kecamatan Giri
d) Kecamatan Kalipuro
e) Kecamatan Songgon
f) Kecamatan Kabat
g) Kecamatan Singojuruh
h) Kecamatan Genteng
i) dan Kota Banyuwangi16
Serta juga tersebar di beberapa kecamatan lain di Jawa Timur. Dari
beberapa kecamatan diatas, masyarakat asli Suku Osing memiliki beberapa
komunitas Osing sebagai wadah masyarakat Osing untuk mempertahankan
keaslian suku budaya mereka. Komunitas Osing yang masih bertahan sampai saat
ini adalah Komunitas Adat Mangir, Komunitas Adat Cungking, Komunitas Adat
Grogol, Komunitas Adat Kemiren, Komunitas Adat Dukuh, Komunitas Adat
Glagah, Komunitas Adat Andong, Komunitas Adat Olehsari, Komunitas Adat
Mandaluka, Komunitas Adat Bakungan, Komunitas Adat Macan Putih,
Komunitas Adat Tambong, Komunitas Adat aliyan, dan Komunitas Adat
Alasmalang.
Dalam melakukan interaksi dengan sesama warga Osing mereka
menggunakan Bahasa Osing yang merupakan bahasa asli Suku Osing. Bahasa
Osing termasuk bahasa tertua di Jawa Timur. Dalam sejarahnya, Bahasa Osing
juga mendapat pengaruh dari Bahasa Bali. Hal ini dikarenakan letak Kabupaten
Banyuwagi sangat dekat dan bersebrangan dengan pulau Bali. Selain letaknya
16Diakses dari http://www.banyu-wangi.com/2015/05/mengenal-suku-osing-banyuwangi.html
pada 20 Januari 2017
11
berdekatan dengan Pulau Bali, di Banyuwangi juga cukup banyak terdapat
masyarakat Bali yang menetap di Kabupaten Banyuwangi. Sehingga pengaruh
dari masyarakat Bali yang tinggal di Banyuwangi dapat mempengaruhi
masyarakat Osing dalam menggunakan bahasa.
2.3 Hasil Penelitian Terdahulu (Optional)
Penelitian terdahulu adalah sebuah komponen yang juga penting dalam
pembuatan sebuah penelitian. Karena penelitian terdahulu ini menjadi salah satu
acuan penulis dalam melakukan sebuah penelitian. Melalui penelitian terdahulu,
penulis dapat mengetahui penelitan apa saja yang sudah diteliti oleh orang lain
dan penelitian apa saja yang belum di teliti. Sehingga dengan begitu peneliti bisa
melakukan penelitian dengan tema yang sama namun topik yang berbeda belum
pernah di teliti oleh peneliti lain sebelumnya. Hal ini juga mengurangi adanya
kesamaan judul yang dibuat oleh penulis-penulis lainnya. Dalam penelitian ini,
penulis menemukan beberapa penelitian yang mempunyai tema yang sama namun
spesifikasi konten yang di teliti tetap berbeda. Berikut tabel penelitian terdahulu
yang dibuat oleh penulis :
Tabel 2.1.1 : Penelitian Terdahulu
Judul Penulis,
Tahun
Metode
Penelitian Perbedaan
Hasil
Penelitian
Inventarisasi
Pemanfaatan
Tumbuhan
Obat Secara
Tradisional”Ol
Zailana
Mirza, 2010
Kualitatif Penelitian
berfokus
pada
bagaimana
masyarakat
Osing
Desa Kemiren,
Paspan dan
Banjar yang
menemukan 43
penyakit
dengan 96
12
eh suku Osing
Banyuwangi’’
menggunak
an bahan-
bahan alami
sebagai obat
tradisional
di tengah
berkembang
nya zaman
modern.
resep
tradisional.
Serta terdapat
64 tumbuhan,
3 hewan dan
12 bahan
mineral yang
digunakan oleh
masyarakat
Osing dalam
melakukan
pengobatan
tradisional
Kajian Yuridis
Terhadap
Perkawinan
Colong Suku
Adat Osing
Banyuwangi
Titis
Wahyuningt
yas, 2014
Kualitatif Penelitian
ini berfokus
pada
perkawinan
tradisional
berdasarkan
hukum adat.
Perkawinan
lari atau biasa
disebut sebagai
perkawinan
colong di Desa
Boyolangu
Banyuwangi
sudah
merupakan hal
yang biasa
terjadi.
Meskipun
dalam KUHP
telah
disebutkan
bahwa ada
hukuman bagi
seseorang yang
membawa
kabur seorang
perempuan
tanpa
sepengatahuan
dari pihak
keluarga yang
dibawa kabur.
Hal ini sudah
menjadi hal
yang biasa
bahkan sudah
menjadi tradisi
di Desa
Boyolangu
13
Banyuwangi.
Modal Sosial
Suku Osing
Dalam
Pengembangan
Desa Wisata
Adat Kemiren
di Banyuwangi
Naufal
Amin, 2015
Kualitatif Penelitian
ini
membahas
sub-sub
pokok
pembahasan
mengenai
modal
sosial yang
potensial
yang
dimiliki
oleh Suku
Osing.
Keberadaan
modal sosial
yang dimiliki
warga Desa
Kemiren
selama ini
telah menjadi
pijakan dalam
upaya
pengembangan
wisata
adat/budaya
Suku Osing.
Inti dari
operasional
Desa Wisata
Adat kemiren
adalah peran
dan partisipasi
aktif dari
masyarakat
sebagai modal
utamanya.
Sumber : Hasil Olahan Penulis 2017
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Zailana Mirza, Universitas Negri
Jember, pada tahun 2010 yang berjudul “Inventarisasi Pemanfaatan Tumbuhan
Obat Secara Tradisional Oleh suku Osing Banyuwangi’’. Dalam penelitiannya,
Zailana Mirza meneliti tentang manfaat obat tradisional bagi suku Osing di
Banyuwangi. Seperti diketahui pengobatan tradisional di Indonesia sudah menjadi
budaya dalam pengobatan. Namun dengan seiring adanya modernisasi budaya
dapat menyebabkan hilangnya pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh
masyarakat. Suku Osing merupakan salah satu masyarakat lokal yang masih
menjaga warisan leluhurnya dengan menggunakan obat tradisinonal. Salah
satunya yaitu apabila warga osing masuk angin, mereka menggunakan selembar
14
daun sirih yang kemudian dimakan setelah itu dilanjutkan dengan satu siung
bawang putih yang juga dimakan.
Tujuan dari penelitian Zailina Mirza ini adalah untuk melakukan
inventarisasi jenis tumbuhan yang dimanfaatkan Suku Osing sebagai obat
Tradisional. Mengetahui cara penggunaan tumbuhan sebagai obat tradisional dan
perbandingan penggunaan obat tradisional dan non tradisional oleh Suku Osing.
Sedangkan metode penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah observasi
lapangan dan wawancara semi structured dengan masyarakat dan pertanyaan yang
dipakai adalah pertanyaan dengan tipe open minded.
Lalu, hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Zailina Mirza yaitu peneliti
mendapati 3 (tiga) desa yaitu desa Kemiren, Paspan dan Bnjar yang menemukan
43 penyakit dengan 96 resep tradisional. Serta terdapat 64 tumbuhan, 3 hewan dan
12 bahan mineral yang digunakan oleh masyarakat Osing dalam melakukan
pengobatan tradisional.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Titis Wahyuningtyas, Universitas
Negri Jember Tahun 2014 yang berjudul “Kajian Yuridis Terhadap Perkawinan
Colong Suku Adat Osing Banyuwangi”. Dalam penelitiannya Titis
Wahyuningtyas meneliti tentang perkawinan lari salah satunya di Banyuwangi
yang pada masyarakat Osing terdapat perkawinan lari atau bisa disebut sebagai
perkawinan colong yang sampai saat ini masih dilakukan di Banyuwangi.
Perkawinan colong di Banyuwangi terdapat di Desa Boyolangu, Kecamatan
Glagah Kabupaten Banyuwangi. Peneliti melakukan penelitian tentang kawin
colong berdasarkan Hukum adat.
15
Dimana dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak
mengaturnya. Semuanya terserah kepada selera dan nilai-nilai budaya dari
masyarakat yang bersangkutan, asalkan tidak bertentangan dengan kepentingan
umum. Sedangkan melarikan perempuan dalam KUHP hukum yang berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dalam 332 KUHP
walaupun perempuan yang dibawa lari atas kemauan sendiri. Tetapi, karena masih
dibawah umur dan atas tidak persetujuan orangtua maka akan dikenakan hukum
bagi yang melarikan.
Metode penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah metode penelitian
Yuridis Empiris yang menggunakan instrumen tulisan sendiri. Karena
menggunakan metode pengambilan data yang dilakukan secara observasi
partisipasi. Hasil penelitian yang didapat oleh penulis yaitu bahwa dalam
perkawinan colong di Banyuwangi sebelumnya ada kesepakatan antara laki – laki
dan perempuan tanpa pengetahuan dari keluarga perempuan. Dilakukan pada
malam hari dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali keluarga mempelai dari
pihak laki-laki.
Namun di desa Boyolangu hal ini sudah biasa terjadi. Sehingga jarang
sekali ada kejadian perkawinan colong yang sampai melaporkan kejadian ini ke
ranah hukum baik dari pihak keluarga laki-laki dan perempuan. Kecuali, dari
pihak laki-laki melakukan kesalahan diluar batas peraturan perkawinan colong
yang ditetapkan oleh masing-masing suku dan merugikan pihak keluarga
perempuan.
16
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Naufal Amin, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Jember, Tahun 2015 yang berjudul “Modal Sosial
Suku Osing Dalam Pengembangan Desa Wisata Adat Kemiren di Banyuwangi”.
Dalam penelitiannya Naufal Amin meneliti tentang pendekatan pengembangan
model pariwisata terbaru di bawah naungan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif dalam melihat kembali kearifan di Jawa Timur. Kemudian jenis wisata
yang diambil oleh Naufal Amin yaitu wisata yang banyak diminati oleh
wisatawan yaitu wisata yang berupa wisata pedesaan yang masih terpelihara
tradisi dan keaslian budaya masyarakatnya. Kemudian Desa Adat Kemiren lah
yang dijadikan penelitian karena Desa Kemiren sudah ditetapkan menjadi Desa
Adat wisata sejak 1993.
Penelitian yang dibahas oleh penulis adalah membahas tentang modal
sosial Suku Osing dalam pengembangan wisata adat Kemiren di Banyuwangi.
Dalam Penelitian yang dilakukan di Desa Adat Kemiren ini, penulis
menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Tujuan dari penilitian yang
ditulis oleh Naufal Amin adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan serta
menganalisis modal sosial yang bekerja dalam masyarakat Suku Osing dalam
upaya pengembangan wisata budaya di desa ada Kemiren. Dalam penelitian ini
fokus kajian yang dibahas adalah sub-sub pokok pembahasan mengenai modal
sosial yang potensial yang dimiliki oleh Suku Osing.
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui kegiatan
observasi dan wawancara untuk mendapatkan data primer dan dokumentasi yang
nantinya akan dioleh menjadi data sekunder. Uji keabsahan dari penelitian ini
17
dilakukan melalui cara trianggulasi data. Kemudian hasil dari penelitian ini adalah
keberadaan sosial yang dimiliki oleh warga Desa Kemiren selama ini telah
pijakan dalam upaya pengembangan wisata adat / budaya Suku Osing.
Dengan adanya modal sosial yang berbentuk kepercayaan juga ditopang
oleh keberadaan organisasi komunitas lokal sebagai perwujudan adanya jaringan
sosial dalam struktur sosial masyarakat. Selain itu dengan adanya normanorma
setempat berperan penting dalam menjaga semangat dan integritas dalam upaya
pengembangan wisata budaya. Payung hukum berbentuk norma-norma adat
bekerja secara linier dalam pertalian sosial antar anggota komunitas Suku Osing
untuk mewujudkan cita-cita bersama. Semua itu bekerja saling interdependensi
dalam sistem sosial sehari-hari. Dan sebagai pelumas dari aspek-aspek modal
sosial tersebut yakni adanya nilai-nilai yang mereka percayai dan anut bersama.
18
2.4 Kerangka Berpikir
Dalam melaksanakan sebuah penelitian, penulis terlebih dahulu membuat
sebuah konsep pemikiran yang dapat berfungsi sebagai landasan berpikir yang
nantinya dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan penelitian. Tujuan dari
dibuatnya kerangka pemikiran adalah agar tetap fokus di dalam penelitian agar
nantinya penelitian yang dilakukan oleh penulis tidak keluar dari konteks dan
tetap fokus pada satu konsep.
Kerangka alur pemikiran yang dipakai oleh penulis dalam penelitian ini
adalah kerangka pemikiran dengan model induktif. Dimana dalam cara berpikir
induktif tersebut penjelasannya dimulai dari khusus yang kemudian dikerucutkan
pada spesifikasi yang lebih umum. Adapun konsep kerangka pemikiran yang
digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut :
19
Gambar 2.1.1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Sumber : Diolah oleh penulis 2017
Bahasa Osing sebagai Politik
Identitas
Suku Osing Banyuwangi
Perda No. 5 Tahun 2007 tentang
Pembelajaran Bahasa Daerah Pada Jenjang
Sekolah Dasar dan Sekolah menengah
Pertama
PERGUB No. 19 Tahun 2014
Menghapus Bahasa Osing dari
Kurikulum sekolah
Masyarakat
Suku Osing
20
Jadi, penjelasan kerangka pemikiran diatas adalah pada awal mulanya
Bahasa Osing merupakan bahasa asli daerah Banyuwangi khususnya bahasa yang
digunakan oleh masyarakat Suku Osing. Seiring dengan berjalannya waktu pada
tahun 2007 Bahasa Osing ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi
sebagai bahasa daerah yang masuk ke dalam kurikulum sekolah dalam mata
pelajaran Muatan Lokal bagi pelajar Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah
Pertama.
Bahkan keputusan ini telah ditetapkan oleh pemerintah dan diatur dalam
peraturan daerah Kabupaten Banyuwangi yaitu Perda No. 5 Tahun 2007. Namun
dengan seiringanya waktu muncul peraturan Gubernur Jawa Timur No. 19 Tahun
2004 yang menyatakan bahwa Bahasa Osing tidak layak masuk ke dalam mata
pelajaran muatan lokal dengan alasan karena Bahasa Osing dianggap hanya dialek
dari Bahasa Jawa. Tentu saja hal ini pastinya mengundang perhatian dari
masyarakat asli Suku Osing. Mereka merasa kecewa karena Bahasa Osing yang
menjadi identitas mereka selama ini tidak lagi diakui oleh Pemerintah Jawa Timur
sebagai bahasa asli daerah Kabupaten Banyuwangi.
Dalam kasus ini munculah penolakan dari masyarakat Banyuwangi
khususnya warga Osing terhadap keputusan Gubernur tentang pemberhentian
Bahasa Osing terhadap mata pelajaran muatan lokal. Dalam hal ini masyarakat
Suku Osing merasa mendapatkan ketidakadilan politik yang dirasakan oleh
mereka. Sehinga masyarakat Suku Osing khususnya mereka yang tinggal di Desa
Kemiren dan Bakungan bangkit untuk menunjukkan identitas atau jati diri
etnisnya dalam suatu perjuangan politik.