16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Menstruasi
2.1.1 Pengertian Menstruasi
Menstruasi adalah pengeluaran cairan berupa darah, mukus, dan debris sel
dari mukosa uterus atau vagina secara berkala selama masa usia reproduktif
(Ramaiah, 2006). Menstruasi terjadi dalam interval-interval kurang lebih teratur, siklus,
dan dapat diperkirakan waktu-waktunya, sejak menarche sampai menopause kecuali
saat hamil, menyusui, anovulasi, atau mengalami intervensi farmakologis
(Cunningham, 2005).
Menstruasi adalah peristiwa keluarnya darah dari vagina. Darah berasal dari
rahim dan timbul akibat terlepasnya selaput lendir rahim yang mengalami proses
kemunduran dan kerusakan akibat sel telur yang tidak dibuahi. Pada umumnya, darah
bersifat cair atau hanya sedikit mengandung bekuan darah, berwarna merah atau
merah tua. Lamanya pendarahan haid berlangsung antara 2-6 hari. Menstruasi yang
berulang setiap bulan tersebut pada akhirnya akan membentuk siklus menstruasi.
Menstruasi pertama (menarche) pada remaja putri sering terjadi pada usia 11 tahun.
Namun tidak tertutup kemungkinan terjadi pada rentang usia 8-16 tahun. Menstruasi
merupakan pertanda masa reproduktif pada kehidupan seorang perempuan yang
dimulai dari menarche sampai terjadinya menopause (Kusmiyati, 2011).
Awal siklus menstruasi dihitung sejak terjadinya perdarahan pada hari
pertama dan berakhir tepat sebelum siklus menstruasi berikutnya. Umumnya, siklus
menstruasi yang terjadi berkisar antara 21-40 hari. Hanya 10-15% wanita yang
memiliki siklus 28 hari. Jarak antara siklus yang paling panjang biasanya terjadi sesaat
setelah menarche dan sesaat sebelum menopause (Kusmiyati, 2011).
17
2.1.2 Fisiologi Menstruasi
Mensteruasi normal merupakan hasil akhir suatu siklus ovulasi. Siklus ovulasi
diawali dari pertumbuhan beberapa folikel antral pada awal siklus, diikuti ovulasi dari
satu folikel dominan, yang terjadi pada pertengahan siklus. Kurang lebih 14 hari
pasca ovulasi, bila tidak terjadi pembuahan akan diikuti dengan menstruasi.
Sedangkan siklus anovulasi adalah siklus haid tanpa ovulasi sebelumnya. Gonadotropin-
releasing hormone (GnRH) yang disekresi hipotalamus mengontrol siklus pada ovarium
dan uterus. Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH) merangsang dilepaskannya Follicle-
Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) oleh pituitari anterior.
Follicle-Stimulating Hormone (FSH) berperan dalam pertumbuhan folikel, sedangkan
Luteinizing Hormone (LH) berperan dalam perkembangan dari folikel tersebut. Follicle-
Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) menstimulasi folikel-folikel
untuk mensekresikan estrogen. Selain itu, Luteinizing Hormone (LH) juga berperan
untuk merangsang theca cells dari suatu folikel yang sedang berkembang untuk
mensekresi androgen. Androgen yang dihasilkan ini nantinya akan dikonversi menjadi
estrogen karena adanya pengaruh dari Follicle-Stimulating Hormone (FSH). Luteinizing
Hormone (LH) akan memicu terjadinya ovulasi dan pembentukan corpus luteum,
corpus luteum akan menghasilkan estrogen, progesteron, relaxin dan inhibin (Tortora
& Derrickson, 2012).
Ovarium menghasilkan hormon steroid, terutama estrogen dan progesteron.
Beberapa estrogen yang berbeda dihasilkan oleh folikel ovarium, yang mengandung
ovum yang sedang berkembang dan oleh sel-sel yang mengelilinginya. Estrogen
ovarium yang paling berpengaruh adalah estradiol. Estrogen bertanggung jawab
terhadap perkembangan dan pemeliharaan organorgan reproduktif wanita dan
karakteristik seksual sekunder yang berkaitan dengan wanita dewasa. Estrogen
18
memainkan peranan penting dalam perkembangan payudara dan dalam perubahan
siklus bulanan dalam uterus. Progesteron juga penting dalam mengatur perubahan
yang terjadi dalam uterus selama siklus menstruasi. Progesteron merupakan hormon
yang paling penting untuk menyiapkan endometrium yang merupakan membran
mukosa yang melapisi uterus untuk implantasi ovum yang telah dibuahi. Jika terjadi
kehamilan sekresi progesteron berperan penting terhadap plasenta dan untuk
mempertahankan kehamilan yang normal. Sedangkan endrogen juga dihasilkan oleh
ovarium, tetapi hanya dalam jumlah kecil. Hormon endrogen terlibat dalam
perkembangan dini folikel dan juga mempengaruhi libido wanita (Suzanne, 2001).
Menstruasi disertai ovulasi terjadi selang beberapa bulan sampai 2-3 tahun
setelah menarche yang berlangsung sekitar umur 17-18 tahun. Pada umumnya
menstruasi akan berlangsung setiap 28 hari selama ±7 hari. Lama perdarahannya
sekitas 3-5 hari dengan jumlah darah yang hilang sekitar 30-40cc. Puncak
pendarahannya hari ke-2 atau 3 hal ini dapat dilihat dari jumlah pemakaian pembalut
sekitar 2-3 buah. Diikuti fase proliferasi sekitar 6-8 hari (Manuaba, 2007).
2.1.3 Siklus Menstruasi
Siklus menstruasi merupakan waktu sejak hari pertama menstruasi sampai
datangnya menstruasi periode berikutnya sedangkan panjang siklus menstruasi adalah
jarak antara tanggal mulainya menstruasi pada wanita normalnya berkisar antara 21-
35 hari dan hanya 10-15% yang memiliki siklus menstruasi 28 hari dengan
lamamenstruasi 3-5 kali dan panjangnya siklus menstruasi ini dipengaruhi oleh usia,
berat badan, tingkat stress, genetik dan gizi (Isnaeni, 2010).
Siklus menstruasi yang tidak teratur ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah perubahan kadar hormon akibat stress dalam keadaan emosi yang
kurang stabil. Selain itu perubahan drastis dalam porsi olahraga atau perubahan berat
19
badan yang drastis juga mampu memjadi penyebab ketidak teraturan siklus
menstruasi (Mulastin, 2013). Data dari Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas, 2010)
sebagian besar 68% perempuan di Indonesia berusia 10-59 tahun melaporkan haid
teratur dan 13,7% mengalami masalah siklus haid yang tidak teratur dalam 1 tahun
terakhir. Siklus menstruasi dibagi menjadi siklus ovarium dan siklus endometrium. Di
ovarium terdapat tiga fase, yaitu fase folikuler, fase ovulasi dan fase luteal. Di
endometrium juga dibagi menjadi tiga fase yang terdiri dari fase menstruasi, fase
proliferasi dan fase ekskresi.
1. Siklus Endometrium
Pada siklus endometrium terdiri dari empat fase, yaitu :
1) Fase Menstruasi
Fase menstruasi berawal dari hari pertama menstruasi sampai hari ke lima.
Proses mentruasi terjadi karena penurunan kadar estrogen dan progesteron dalam
darah, sebagai akibat tidak berfungsinya korpus luteum. Berkurangnya bahkan tidak
adanya dua hormon tersebut, endometrium hancur dan mulai luruh. Menstruasi
merupakan peluruhan endometrium uterus yang terdiri dari jarigan dan darah
(Warianto, 2011).
2) Fase Proliferasi
Fase proliferasi, segera setelah menstruasi, endometrium dalam keadaan tipis
dan dalam stadium istirahat, yang berlangsung kira-kira 5 hari. Kadar estrogen yang
meningkat dari folikel yang berkembang akan merangsang stroma endometrium
untuk mulai tumbuh dan menebal, kelenjar-kelenjar akan menjadi hipertropi dan
berproliferasi dan pembuluh darah menjadi banyak sekali. Kelenjar-kelenjar dan
stroma berkembang sama cepatnya. Kelenjar makin bertumbuh panjang tetapi tetap
20
lurus dan berbentuk tubulus. Lamanya fase proliferasi sangat berbeda-beda pasa
setiap wanita dan berakhir pada saat terjadinya ovulasi (Kusmiyati, 2011).
Fase ini merupakan periode pertumbuhan cepat yang berlangsung sejak
sekitar hari kelima ovulasi, misalnya hari ke-10 siklus 24 hari, hari ke-15 siklus 28 hari,
hari ke-18 siklus 32 hari. Permukaan endometrium secara lengkap kembali normal
dalam sekitar empat hari atau menjelang perdarahan berhenti. Sejak saat itu, terjadi
penebalan 8-10 kali lipat, yang berakhir saat ovulasi. Fase proliferasi dibagi menjadi 3
tahap, yaitu Fase proliferasi dini, terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-7. Fase ini
dapat dikenali dari epitel permukaan yang tipis dan adanya regenerasi epitel. Fase
proliferasi madya, terjadi pada hari ke-8 sampai hari ke-10. Fase ini merupakan
bentuk transisi dan dapat dikenali dari epitel permukaan yang berbentuk torak yang
tinggi. Fase proliferasi akhir, berlangsung antara hari ke-11 sampai hari ke-14. Fase
ini dapat dikenali dari permukaan yang tidak rata dan dijumpai banyaknya mitosis.
3) Fase sekresi/luteal
Fase sekresi, terjadi setelah ovulasi dibawah pengaruh progesteron yang
meningkat dan terus diproduksinya estrogen oleh korpus luteum, endometrium
semakin menebal dan menjadi seperti beludru, dilengkapi dengan jaringan yang
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya janin apabila dibuahi. Apabila tidak
dibuahi maka jaringan tersebut akan luruh (Kurniawan, 2016).
4) Fase iskemi/premenstrual
Implantasi atau nidasi ovum yang dibuahi terjadi sekitar 7 sampai 10 hari
setelah ovulasi. Apabila tidak terjadi pembuahan dan implantasi, korpus luteum yang
mensekresi estrogen dan progesteron menyusut. Seiring penyusutan kadar estrogen
dan progesteron yang cepat, arteri spiral menjadi spasme, sehingga suplai darah ke
21
endometrium fungsional terhenti dan terjadi nekrosis. Lapisan fungsional terpisah
dari lapisan basal dan perdarahan menstruasi dimulai.
Pada fase ini terdapat 2 tahap, yaitu Fase sekresi dini, pada fase ini
endometrium lebih tipis dari fase sebelumnya karena kehilangan cairan dan fase
sekresi lanjut, pada fase ini kelenjar dalam endometrium berkembang dan menjadi
lebih berkelok-kelok dan sekresi mulai mengeluarkan getah yang mengandung
glikogen dan lemak. Endometrium menjadi kaya dengan darah dan sekresi kelenjar.
Akhir masa ini, stroma endometrium berubah kearah sel-sel, desidua, terutama yang
ada di seputar pembuluh-pembuluh arterial. Keadaan ini memudahkan terjadinya
nidasi (Redeer, 2011).
2. Siklus Ovarium
Ovarium merupakan organ utama perempuan, karena dalam ovarium terjadi
proses pembentukan sel telur melalui proses oogenesis. Ovarium mengandung
banyak folikel primordial yang akan mengalami pertumbuhan hingga terjadi ovulasi.
Sebelum pubertas, ovarium masih dalam keadaan istirahat, tetapi ketika masa
pubertas hipofisi anterior mulai mensekresi hormon gonadotropin yaitu. Follicle-
Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH), folikel-folikel mengalami
pertumbuhan. Adanya hormon . Follicle-Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing
Hormone (LH), maka beberapa folikel primordial akan tumbuh dan hanya satu ovum
yang masak dan akan dikeluarkan dari ovarium, sedangkan yang lain mengalami
atresia (Kusmiyati, 2011).
Pada siklus ovarium terdapat 2 fase yaitu :
1) Fase Folikular
Secara konsevesional fase ini dikenal sebagai fase pertama yang terjadi pada
siklus menstruasi sampai terjadinya ovulasi. Pada siklus menstruasi 28 hari, fase ini
22
meliputi 14 hari pertama. Pada siklus Ovulatoir yang lebih atau kurang dari 28 hari,
adanya penyimpangan lamanya siklus tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan
lamanya fase folikular. Hari pertama perdarahan menstruasi ditetapkan sebagai hari
pertama fase folikular. Selama 4-5 hari pertama fase ini, perkembangan folikel
ovarium awal ditandai oleh proliferasi dan aktivitas aromatase sel granulosa yang
diinduksi oleh Follicle-Stimulating Hormone (FSH) (Linda & Danny, 2008).
Fase folikuler, disebut demikian karena pada fase ini terjadi pertumbuhan
folikel di dalam ovarium. Fase folikuler dimulai dari hari ke-1 sampai sesaat sebelum
kadar Luteinizing Hormone (LH) meningkat dan terjadi pelepasan ovum. Pada fase ini
hanya satu folikel yang terus berkembang membentuk folikel Graff dengan antrum
yang besar dan ovum dikelilingi dua lapis sel, lapisan dalam berupa sel granulosa yang
mensintesis progesteron dan disekresi ke dalam cairan folikuler. Progesteron ini
sebagai prekursor pada sintesis estrogen oleh sel teka interna. Lebih lanjut, pada
folikel ini oosit primer mengalami kematangan, dan pada waktu yang sama, folikel
yang sedang berkembang mensekresi estrogen lebih banyak. Meningkatnya kadar
estrogen menyebabkan pelepasan Luteinizing Hormone-Releasing Hormone (LHRH)
melalui umpan balik positif (Kurniawan, 2016).
2) Fase Ovulatoir
Fase ovulatoir dimulai ketika kadar Luteinizing Hormone (LH) meningkat dan
pada fase ini dilepaskan ovum. Pada saat ovulasi ini beberapa perempuan merasakan
nyeri tumpul pada perut bagian bawah (Tamsuri, 2007). Tidak ada pemilahan fase
pelepasan ovum sebagai fase ovulatori, tetapi dimasukkan sebagai fase luteal. Setelah
oosit lepas dari folikel Graff, lapisan granulosa menjadi banyak mengandung
pembuluh darah dan sangat terluteinisasi, berubah menjadi korpus luteum, sehingga
disebut sebagai fase luteal. Korpus luteum menghasilkan hormon estrogen dan
23
progesteron. Kadar estrogen yang tinggi dalam darah menghambat produksi Follicle-
Stimulating Hormone (FSH) , sehingga tidak ada folikel yang dirangsang menjadi folikel
Graff. Progesteron menyebabkan suhu tubuh sedikit meningkat, oleh karena itu
peningkatan suhu digunakan untuk memperkirakan terjadinya ovulasi Setelah 14 hari,
apabila telur tidak dibuahi, korpus luteum akan hancur (membentuk korpus albicans),
sehingga terjadi penurunan kadar estrogen dan progesteron serta dihasilkannya
kembali Follicle-Stimulating Hormone (FSH) dan siklus yang baru akan dimulai
(Warianto, 2011).
2.1.4 Gangguan Menstruasi
Gangguan menstruasi terbagi dalam beberapa klasifikasi yaitu kelainan dalam
banyaknya darah yang keluar dan lamanya perdarahan pada menstruasi yaitu
Hipermenorea atau Menoragia dan Hipomenorea, kelainan siklus menstruasi yaitu
Polimenorea, Oligomenorea dan Amenorea, pendarahan yang terjadi diluar
menstruasi yaitu Metroragia, gangguan yang lain ada hubungannya dengan menstruasi
yaitu Dismenorea (Manuaba, 2009).
1. Amenorea
Amenorea adalah keadaan tidak adanya menstruasi untuk sedikitnya 3 bulan
berturut-turut. Dianggap amenore primer bila wanita tidak pernah mendapat daur
menstruasi dan amenorea sekunder bila wanita tersebut telah mengalami daur
menstruasi sebelumnya tetapi tidak lama. Amenore primer umumnya mempunyai
sebab-sebab yang lebih berat dan lebih sulit untuk diketahui, seperti kelainan-kelainan
kongenital dan kelainan-kelainan genetik. Adanya amenorea sekunder lebih menunjuk
kepada sebab-sebab yang timbul dalam kehidupan wanita, seperti gangguan gizi,
gangguan metabolisme, tumor-tumor, penyakit infeksi, dan lain-lain (Corwin, 2009).
Dalam amenorea primer, periode menstruasi tidak pernah dimulai (berdasarkan umur
24
16), sedangkan amenorea sekunder didefinisikan sebagai tidak adanya menstruasi
selama tiga siklus berturut-turut atau jangka waktu lebih dari enam bulan pada wanita
yang sebelumnya menstruasi.
2. Polimenorea
Polimenorea adalah siklus menstruasi yang tidak normal, lebih pendek dari
biasanya atau kurang dari 21 hari. Gangguan ini dikarenakan adanya masalah pada
ovulasi dan pembuahan. Polimenorea dapat menyebabkan wanita mengalami
kesulitan hamil dan gangguan yang lebih serius. Sedangkan oligomenorea adalah
kebalikan dari polimenorea, yakni wanita mengalami siklus menstruasi yang lebih
panjang atau lebih dari 35 hari, namun darah yang keluar saat menstruasi justru
berkurang atau lebih sedikit dari keadaan normal (Manuaba, 2009).
3. Menoragia
Menoragia adalah perdarahan yang terjadi pada masa menstruasi dengan
jumlah yang banyak dapat disertai gumpalan darah bahkan disertai dismenore
(Manuaba, 2009). Pada menoragia, jumlah total darah yang keluar melebihi 80 ml
dalam satu siklus, dan durasi lebih dari 7 hari, untuk frekuensi ganti pembalut dapat
lebih dari 2-5 kali dalam sehari (Prawirohardjo, 2011).
4. Hipomenorea
Hipomenorea merupakan pendarahan yang lebih sedikit dan lebih pendek
dari biasanya. Keadaan ini dapat dikarenakan gangguan rahim, adanya gangguan
endokrin dan gangguan lain di alat reproduksi. Hal ini bisa lebih parah jika wanita
tersebut mengalami tekanan atau stress (Wiknjosastro, 2005). Sedangkan
hipermenora adalah kebalikan dari hipomenora, yaitu pendarahan yang dirasa lebih
banyak dan lebih lama dari biasa atau lebih dari delapan hari. Hal ini bisa disebabkan
adanya mioma di rahim atau gangguan selaput lendir rahim pada saat menstruasi, juga
25
bisa disebabkan penggunaan alat kontrasepsi yang tidak cocok, sehingga
menimbulkan gangguan tersebut (Wiknjosastro, 2005).
5. Dismenore
Dismenore adalah nyeri saat haid yang terasa diperut bagian bawah dan
muncul sebelum, selama dan setelah menstruasi. Nyeri dapat bersifat kolik atau teru-
menerus. Dismenore timbul akibat kontraksi distritmik lapisan miometrium yang
menampilkan satu lebih gejala mulai dari nyeri ringan hingga nyeri berat pada perut
bagian bawah, daerah pantat dan sisi medial paha (Prawirohardjo, 2011).
2.2 Konsep Nyeri Haid (Dismenore)
2.2.1 Pengertian Nyeri Haid (Dismenore)
Nyeri haid biasa disebut dismenore, biasanya sangat menyiksa bagi
perempuan. Banyak diantara tidak bisa bangun dari tempat tidur atau mengalami
kesulitan berjalan, tidak jarang yang mengalami penderitaan sehingga tidak dapat
mengerjakan apapun. Remaja putri yang mengalami nyeri haid, biasanya harus
beristirahat sehingga dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari dan berdampak pada
kinerja atau produktivitas remaja (Kusmiyati, 2011).
Nyeri haid adalah sensasi nyeri/kram di perut bagian bawah yang sering
disertai gejala biologis lainnya termasuk pusing, kelelahan, berkeringat, sakit
punggung, sakit kepala, mual, muntah, dan diare yang terjadi sesaat sebelum atau
selama haid dan ejala dismenore yang paling umum adalah nyeri mirip kram di bagian
bawah perut yang menyebar dan gejala lain yang timbul diantaranya adalah muntah,
sakit kepala, cemas, kelelahan, diare, pusing dan rasa kembung (Shirvani, Tabari, &
Alipour, 2017).
Menurut Desi Nataria (2011), nyeri haid atau dismenore adalah nyeri yang
bersifat kram dan berpusat pada perut bagian bawah. Dismenore didefinisikan
26
sebagai nyeri haid yang sedemikian hebatnya sehingga memaksa penderita untuk
istirahat dan meninggalkan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari, untuk beberapa jam
atau beberapa hari. Dismenore adalah nyeri perut yang berasal dari kram rahim yang
terjadi selama haid. Rasa nyeri timbul bersamaan dengan permulaan haid dan
berlangsung beberapa jam hingga beberapa hari hingga mencapai puncak nyeri.
Dismenore terbagi menjadi dismenore primer dan sekunder. Dismenore primer
merupakan nyeri haid yang tiadak didasari kondisi patologis sedangkan dismenre
sekunder merupakan nyeri haid yang didasari dengan kondisi patologis (Alatas, 2016).
2.2.2 Klasifikasi Nyeri Haid (Dismenore)
1. Klasifikasi Berdasarkan Jenis Nyeri
Nyeri haid berdasarkan dengan jenis nyeri dapat dibagi menjadi nyeri haid
spasmodik dan nyeri haid kongestif
1) Nyeri Haid (Dismenore) Spasmodik
Nyeri haid spasmodik adalah nyeri yang dirasakan di bagian bawah perut dan
terjadi sebelum atau segera setelah haid dimulai. Nyeri haid spasmodik dapat dialami
oleh wanita berusia 40 tahun keatas. Sebagian wanita yang mengalami dismenore
spasmodik, tidak dapat melakukan aktivitas maupun kegiatan sehari-hari (Hartono,
2007).
2) Nyeri Haid (Dismenore) Kongestif
Nyeri haid kongestif dapat diketahui beberapa hari sebelum haid datang.
Gejala yang ditimbulkan berlangsung 2 dan 3 hari sampai kurang dari 2 minggu. Pada
saat haid datang, tidak terlalu menimbulkan nyeri. Bahkan setelah hari pertama haid,
penderita nyeri haid kongestif akan merasa lebih baik. Gejala yang ditimbulkan pada
nyeri haid kongestif, seperti pegal (pegal pada paha), sakit pada payudara, lelah,
mudah tersinggung, kehilangan keseimbangan (Nugraha, 2008).
27
2. Klasifikasi Berdasarkan Kelainan
Berdasarkan kelainan, nyeri haid dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu
primer dan sekunder.
1) Dismenore Primer
Dismenore primer adalah mentsruasi yang sangat nyeri, tanpa patologi pelvis
yang dapat diidentifikasi, dapat terjadi pada waktu menarche atau segera setelahnya.
Dismenore primer ditandi oleh nyeri kram yang mulai sebelum atau segera setelah
awitan alitan menstrual dan beranjut selama 48 jam hingga 72 jam. Dismenore primer
diduga terjadi sebagai akibat dari pembentukan prostaglandin yang berlebihan, yang
menyebabkan uterus untuk berkontraksi secara berlebihan dan juga mengakibatkan
vasospasme arteriolar. Dengan bertambahnya usia wanita, nyeri cenderung menurun
dan akhirnya hilang setelah melahirkan anak (Bare & Smeltzer, 2003). Penyebab lain
dari dismenore primer terkain dengan produksi hormone progesterone yang
meningkat, hormon progesterone di hasilkan oleh jaringan ikat kelenjar indung telur
(corpus leutem) setelah melepaskan sel telur yang matang setiap bulan. Hormone
tersebut memperbesar ketegangan mulut rahin hingga lubang mulut rahim menjadi
sempit, akibatnya otot-otot rahim akan lebih kaut berkontraksi untuk dapat
mengeluarkan darah haid melalui mulut rahim yang sempit. Kontarksi otot rahim
akan menyebabkan kejang otot yang dirasakan sebagai nyeri haid.
Dismenore primer terjadi juga karena adanya peningkatan prostaglandin (PG)
F2-alfa yang merupakan suatu siklooksigenase (COX-2) yang mengakibatkan
hipertonus dan vasokonstriksi pada miometrium sehingga terjadi iskemia dan nyeri
pada bagian bawah perut. Adanya kontraksi yang kuat dan lama pada dinding rahim,
hormon prostaglandin yang tinggi dan pelebaran dinding rahim saat mengeluarkan
darah haid sehingga terjadilah nyeri saat haid (Alatas, 2016).
28
Dismenore primer lebih sering terjadi, kemungkinan lebih dari 50% wanita
mengalaminya dan 15% diantaranya mengalami nyeri hebat. Biasanya dismenore
primer timbul pada masa remaja, yaitu sekitar 2-3 tahun setelah menstruasi pertama.
Nyeri pada dismenore primer diduga berasal dari kontrkasi rahim yang dirangsang
oleh prostaglandin (kelenjar kelamin) dan mencapai puncaknya pada umur 15 dan 25
tahun. Adapun faktor lain yang dapat memperburuk dismenore adalah rahim yang
menghadap ke belakang, kurang berolahraga, dan stress psikis atau sosial. Perbedaan
berat ringannya nyeri tergantung pada kadar prostaglandin. Wanita yang mengalami
dismenore memiliki kadar prostaglandin 5-13 kali lebih tinggi dibandingkan wanita
yang tidak mengalami dismenore (Manan, 2011). Keluhan dismenore primer
berkurang atau amalahan hilang setelah kehamilan ata melahirkan anak pertama. Hal
ini di sebabkan karena rengangan pada waktu rahim membesar dalam kehamilan
membuat ujung-ujung saraf di rongga panggul dan sekitar rahim rusak.
Ada beberapa faktor peranan sebagai penyebab desminore primer, antara lain :
a. Faktor kejiwaan
Faktor kejiwaan terjadi pada remaja yang memiliki emosional tidak stabil, dan
sering terjadi akibat para remaja tidak mendapat penjelasan baik tentang nyeri haid
seperti proses terjadinya nyeri haid dan cara mengatasi nyeri haid yang dialami
(Prawirohardjo, 2011).
b. Faktor konstitusi (kebiasaan fungsional dari tubuh)
Faktor ini erat kaitannya dengan faktor kejiwaan, dapat juga menurunkan
ketahanan terhadap rasa nyeri. Faktor-faktor seperti anemia, penyakit menahun dapat
mempengaruhi timbulnya dismenore (Prawirohardjo, 2011).
c. Faktor obstruksi kanalis servikalis
29
Salah satu teori yang paling tua untuk menerangkan terjadinya dismenore
primer ialah stenosis kanalis servikalis (Prawirohardjo, 2011).
d. Faktor endokrin
Faktor endokrin yang menyebabkan nyeri haid yaitu kontraksi uterus yang
berlebihan, karena endometrium dalam fase sekseri yang akan mengahasilkan
prostaglandin, dan apabila prostagkandin dihasilkan secara berlebihan selain nyeri
haid makan akan dijumpai efek lainnya seperti muntah dan diare (Prawirohardjo,
2011).
e. Faktor alergi
Teori ini dikemukakan setelah memperhatikan adanya asosiasi antara
dismenore dengan urtikaria, migraine atau asma bronkhiale bahwa sebab alergi ialah
toksin haid (Prawirohardjo, 2011).
2) Dismenore Sekunder
Nyeri dengan pola yang berbeda didapatkan pada dismenore sekunder yang
terbatas pada onset haid. Dismenore terjadi selama siklus pertama atau kedua setelah
haid pertama, dismenore dimulai setelah usia 25 tahun (Priyanti & Anggraeni, 2014).
Dismenore sekunder disebut juga dengan dysmenorrhea ekstrinsik, adalah nyeri haid
yang disebabkan kelainan organ reproduksi. Biasanya terjadi pada wanita yang berusia
kurang dari 25 tahun dan dapat terjadi pada 25% wanita yang mengalami dismenore.
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan nyeri haid (dismenore) sekunder
seperti Endometriosis, yaitu pertumbuhan jaringan dan dinding rahim pada daerah di
luar rahim seperti tuba fallopi atau ovarium, Penyakit rongga dalam daerah kemaluan,
Peradangan tuba fallopi, Perlengketan abnormal antara organ di dalam perut dan
Pemakaian IUD (Andira, 2010). Rasa sakit akibat dismenore sekunder berkaitan
30
dengan hormon prostaglandin. Karena hormon tersebut banyak dihasilkan di dalam
rahim seperti alat KB atau tumor. Selain itu, prostaglandin juga berpengaruh dalam
meningkatkan kontraksi otot rahim yang bertujuan mendorong benda asing itu keluar
(Yatim, 2001).
2.2.3 Etiologi Nyeri Haid (Dismenore)
Penyebab nyeri dibedakan menjadi penyebab fisik dan psikis. Penyebab fisik
antara lain berupa trauma dan peradangan nyeri, sedangkan penyebab psikis akibat
trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik. Reseptor nyeri disebut nociseptor,
reseptor nyeri di kulit dan jaringan lain merupakan ujung saraf bebas, yang tersebar
dalam lapisan superfisial kulit, dan jaringan visera seperti pada periosteum,
permukaan sendi, dinding arteri dan sebagainya. Ketika suatu jaringan mengalami
cedera atau kerusakan, mengakibatkan dilepaskannya bahan-bahan yang dapat
menstimulus reseptor nyeri seperti histamin dan prostaglandin akan mengakibatkan
respon nyeri. Stimulus yang mengeksitasi reseptor nyeri dapat berupa mekanis, kimia
dan suhu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa beberapa serat nyeri hampir seluruhnya
terangsang oleh stres mekanis berlebihan atau kerusakan mekanis pada jaringan
disebut sebagai reseptor nyeri mekanosensitif. Sensitif terhadap panas dan dingin
yang ekstrim atau disebut reseptor nyeri termosensitif, dan lainnya sensitif terhadap
zat kimia seperti histamin, ion kalium, prostaglandin, asetilkolin dan enzim proteolitik,
sehingga disebut reseptor nyeri kemosensitif. Prostaglandin dapat menyebabkan
stimulasi serat saraf nyeri yang ekstrim tanpa harus merusaknya (Salbiah, 2015).
Fisiologi nyeri, rangsang nyeri yang tiba-tiba memberikan sensasi ganda, yaitu
nyeri tertusuk yang cepat diikuti sensasi nyeri terbakar yang lambat. Lintasan nyeri
memasuki medula spinalis melalui akar dorsal, dan berakhir pada kornu dorsalis
substansi grisea. Impuls naik ke otak melalui traktus spinotalamikus anterolateralis.
31
Ketika lintasan masuk dalam otak, terpisah menjadi dua lintasan, nyeri ditusuk dan
nyeri terbakar. Nyeri tertusuk dihantarkan ke talamus dan kortek sensori somatik.
Lintasan nyeri terbakar dan pegal berakhir pada daerah retikularis batang otak dan
nukleus intralaminar talamus, yang menghantarkan impuls ke seluruh bagian otak
termasuk hipotalamus. Jadi, karena serabut nyeri terbakar dan pegal merangsang
sistem pengaktivasi retikularis, maka mempunyai efek sangat kuat dalam menggiatkan
seluruh sistem saraf. Nyeri menyebabkan reaksi refleks motorik dan reaksi psikis.
Impuls nyeri memasuki substansi grisea medula spinalis dapat langsung memulai
refleks penarikan diri yang menjauhkan tubuh dari rangsang berbahaya. Reaksi psikis
meliputi semua aspek nyeri seperti sedih, menangis, depresi, mual, muntah. Reaksi ini
sangat bervariasi antara satu orang dengan orang lain (Kusmiyati, 2011).
Nyeri haid atau dismenore terbagi dalam 2 jenis yaitu dismenore primer dan
sekunder. Banyak faktor penyebab terjadinya disminore primer. Penyebab dismenore
primer antara lain, faktor kejiwaan dan faktor endokrin. Faktor kejiwaan yang sering
terjadi disebabkan remaja tidak mendapat penjelasan yang baik tentang haid. Faktor
endokrin yang paling menentukan adalah kontraksi uterus yang berlebihan, karena
endometrium dalam fase sekresi, maka dihasilkan prostaglandin, yang menyebabkan
kontraksi otot polos, jika prostaglandin berlebihan dilepaskan, maka selain
dismenore dijumpai pula efek umum seperti muntah dan diare. Jadi pelepasan
endometrium dihasilkan dari penebalan atau peradangan lapisan endometrium uterus
dan prostaglandin dihasilkan sebagai bagian dari proses peradangan. Pelepasan
endometrium dihambat oleh progesteron, tetapi distimulasi oleh estrogen.
Dismenore sekunder adalah dismenore yang terjadi karena keadaan patologi,
misalnya pada wanita yang menderita endometritis. Rasa nyeri terjadi setiap kali haid,
jenis nyeri ini memerlukan pemeriksaan. Penyebab nyeri ini antara lain rahim terbalik,
32
sehingga darah haid tidak mudah dikeluarkan; adanya benjolan besar atau kecil di
rahim, pemakaian spiral; infeksi pelvis dan endometriosis (Mansjoer, 2000).
Penyebab dari dismenore sekunder biasanya disebabkan oleh kelainan-
kelainan organik, misalnya Rahim kurang sempurna karena ukurannya terlalu kecil,
Posisi rahim yang tidak normal, Adanya tumor dalam rongga rahim, misalnya myoma
uteri, Adanya tumor dalam rongga panggul, terutama tumor fibroid, yang letaknya
dekat permukaan selaput lendir rahim, adanya selaput lendir rahim di tempat lain
(Endometriosis), bisa ditemukan di dalam selaput usus, di jaringan payudara atau di
tempat lain. Pada waktu haid, jaringan selaput lendir yang di luar rahim juga seperti
ikut terlepas dan berdarah seperti jaringan aslinya di dalam rahim. Penyakit-penyakit
tubuh lain seperti tuberkulosa, kurang darah (anemia), buang air besar kurang lancar,
postur tubuh yang terlalu kurus (Yatim, 2001).
2.2.4 Faktor Risiko Nyeri Haid (Dismenore)
Berbagai faktor resiko dismenore telah diindentifikasi dalam berbagai literatur
dengan hasil prevalensi yang beragam. Faktor risiko yang berhubungan dengan
meningkatnya kejadian dismenore yaitu:
1. Menarke (Menarche) usia dini
Haid pertama kali yang dialami oleh waita adalah menarche merupakan indeks
dari pematangan fisik dari organ reproduksi seorang wanita. Hubungan antara
menarche dini dengan pola hormonal dari siklus menstruasi merupakan faktor risiko
penting terjadinya dismenore (Alatas, 2016). Menurut Widjanarko (2006), bila
menarche terjadi pada usia yang lenih awal darinormal dimana alat reproduksi belum
siap untuk mengalami perubahan dan masih terjadi penyempitan pada leher rahim
maka akan menimbulkan rasa sakit saat menstruasi.
33
2. Riwayat keluarga dengan keluhan dismenore
Sebanyak 39,46% wanita yang mengalami dismenore memiliki keluarga dega
keluhan dismenore hal ini disebabkan karena adanya faktor genetik yang
mempengaruhi sehingga apabila ada keluarga yang mengalami dismenore cenderung
mempengaruhi psikis wanita tersebut (Charu, Amita, & Sujoy, 2012).
3. Indeks masa tubuh yang tidak normal
Wanita dengan indeks masa tubuh (IMT) kurang dari berat badan normal dan
kelenihan berat badan (overweight) lebih mungkin lebih mungkin untuk menderita
dismenore jika dibandingkan dengan wanita dengan IMT normal (Charu, Amita, &
Sujoy, 2012).
4. Lama masa menstruasi
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tia Marta (2016), menunjukkan adanya
hubungan lama menstruasi dengan kejadian dismenore. Semakin lama menstruasi
terjadi maka semakin lama pula uterus berkontraksi sehingga timbul rasa nyeri.
Menurut Bobak (2004), lama mentruasi lebih dari normal menimbulkan adanya
kontraksi uterus yang lebih sering sehingga semakin banyak prostaglandin yang
dikeluarkan.
Lama durasi haid disebabkan oleh faktor psikologis maupun fisiologis. Secara
psikologis biasanya berkaitan dengan tingkat emosional wanita yang labil ketika akan
haid. Sementara secara fisiologis lebih kepada kontaksi otot uterus yang berlebihan
atau dapat dikatakan sangat sensitive terhadap hormon, akibatnya endometrium
dalam fase sekresi memproduksi hormon prostagandin yang lebih tinggi. Semakin
lama durasi haid, maka semakin uterus berkontaksi akibatnya semakin banyak pula
prostaglandin yang dikeluarkan sehingga timbul rasa nyeri saat haid (Alatas, 2016).
34
5. Stress
Saat seseorang mengalami stres respon neuroendokrin sehingga
menyebabkan Corticotrophin Releasing Hormone (CRH) maka terjadi sekresi
Adrenocorticotrophic Hormone (ACTH). ACTH akan meningkatkan sekresi kortisol
adrenal. Hormon-hormon tersebut menyebabkan sekresi Follicle Stimulating Hormone
(FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) terhambat sehingga pekembangan folikel
terganggu. Hal ini menyebabkan pelepasan progesteron terganggu. Kadar
progesteron yang rendah meningkatakan sintesis prostagladin. Ketidakseimbangan
antara prostaglandin menyebabkan iskemia pada sel-sel miometrium dan
peningkatan kontraksi uterus. Peningkatan kontraksi yang berlebihan menyebabkan
dismenore (Hendrik, 2006).
6. Alexythimia
Secara psikologi didapatkan hubungan antara Alexythimia dengan keadaan
dismenore. Alexythimia didefinisikan sebagai seseorang dengan kesulitan
mengidentifikasi perasaan dan sulit untuk membedakan antara perasaan dengan
sensasi tubuh dari rangsangan emosional. Pada pasien Alexythimia sulit untuk
menggambarkan dan menghargai perasaan orang lain, yang diduga menyebabkan
kurang empati terhadap orang lain. Faktor risiko dismenore 3,3 kali lebih tinggi pada
wanita dengan Alexythimia (Faramarzi & Salmalian, 2014).
Pada penderita didapatkan ciri-ciri pramenstruasi yang sangat menonjol.
Gejala menstruasi yang dialami wanita reproduksi terjadi pada akhir fase luteal dari
siklus haid. Gejala menstruasi mencakup psikologis dan fisik. Gejala psikologis dapat
berupa kecemasan, gangguan tidur serta peningkatan ambang nyeri. Sedangkan secara
fisik berupa nyeri punggung, sakit kepala, payudara membengkak, perut kembung
dan muntah (Charu, Amita, & Sujoy, 2012).
35
2.2.5 Derajat Nyeri Haid (Dismenore)
Dismenore atau nyeri haid sering di klasifikasikan sebagai ringan, sedang, atau
berat berdasarkan intensitas relatif nyeri. Nyeri tersebut dapat berdampak pada
kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Faridah Alatas, 2016). Intensitas
nyeri menurut Multidimensional Scoring of Andersch and Milsom mengklasifikasikan nyeri
dismenore sebagai berikut :
1. Dismenore ringan didefinisikan sebagai nyeri haid tanpa adanya pembatasan
aktifitas, tidak diperlukan penggunaan analgetik dan tidak ada keluhan sistemik
(Alatas, 2016).
2. Dismenore sedang didefinisikan sebagai nyeri haid yang memengaruhi aktifitas
sehari-hari, dengan kebutuhan analgetik untuk menghilangkan rasa sakit dan
terdapat beberapa keluhan sistemik (Alatas, 2016).
3. Dismenore berat didefinisikan sebagai nyeri haid dengan keterbatasan parah
pada aktifitas sehari-hari, respon analgetik untuk menghilangkan rasa sakit
minimal, dan adanya keluhan sistemik seperti muntah, pingsan dan lain
sebagainya (Alatas, 2016).
2.2.6 Epidemiologi Nyeri haid (Dismenore)
Dismenorea dapat dialami lebih dari setengah wanita yang sedang menstruasi,
dan prevalensinya sangat bervariasi. Di dunia angka kejadian nyeri hadi sangat tinggi,
disetiap negara lebih dari 50% wanita mengalami nyeri haid dalam satu siklus
menstruasi. Sebanyak 12% wanita mengalami nyeri haid sudah parah, 37% nyeri haid
sedang, dan 49% nyeri haid masih ringan (Calis, 2018).
Di Amerika Serikat diperkirakan hampir 90% wanita mengalami dismenorea
dan 10-15% diantaranya mengalami dismenorea berat, yang menyebabkan mereka
tidak mampu melakukan kegiatan apapun dan ini akan menurunkan kualitas hidup
36
pada individu masing-masing. Di Indonesia angka kejadian nyeri haid atau
dismenorea primer sebesar 54,89% sedangkan sisanya adalah menderita tipe sekunder.
Dismenorea menyebabkan 14% dari pasien remaja sering tidak hadir di sekolah dan
tidak menjalani kegiatan sehari-hari (Calis, 2018). Di Jawa Timur sendiri angka
kejadian nyeri haid mencapai 64.25% yang terdiri dari 54,89% dismenore primer dan
9,36% dismenore sekunder dan di Kota Malang sendiri angka kejadian nyeri haid
dikalangan pelajar maupun mahasiswi mencapai 58% dan 20% dilaporkan tidak dapat
hadir kuliah (Suban, Perwiraningtyas, & Susmini, 2017).
2.2.7 Patofisiologi Nyeri Haid (Dismenore)
Nyeri haid terjadi pada saat fase pramenstruasi (sekresi). Pada fase ini terjadi
peningkatan hormon prolaktin dan hormon estrogen. Sesuai dengan sifatnya,
prolaktin dapat meningkatkan kontraksi uterus. Hormon yang juga terlibat dalam
dysmenorrhea adalah hormon prostaglandin. Prostaglandin sangat terkait dengan
infertilitas pada wanita, dysmenorrhea, hipertensi, preeklamsi eklamsi, dan anafilaktik
syok. Pada fase menstruasi prostaglandin meningkatkan respon miometrial yang
menstimulasi hormon oksitosin. Dan hormon oksitosin ini juga mempunyai sifat
meningkatkan kontraksi uterus. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dismenore
sebagian besar akibat kontraksi uterus (Manuaba, 2007).
Nyeri haid biasanya terjadi akibat pelepasan berlebihan prostaglandin tertentu,
prostaglandin-F2 α, dari sel-sel endomerium uterus. Prostaglandin-F2α adalah suatu
perangsang kuat kontraksi otot polos miometrium dan konstriksi pembuluh darah
uterus. Hal ini memperparah hipoksia uterus yang secara normal terjadi pada haid,
sehingga timbul rasa nyeri hebat (Corwin, 2009).
Nyeri haid berpangkal pada mulainya proses menstruasi itu sendiri yang
merangsang otot-otot rahim untuk berkontraksi. Kontraksi otot-otot rahim tersebut
37
membuat aliran darah ke otot-otot rahim menjadi berkurang yang berakibat
meningkatnya aktivitas rahim untuk memenuhi kebutuhannya akan aliran darah yang
lancar, juga otot-otot rahim yang kekurangan darah akan merangsang ujung-ujung
syaraf sehingga terasa nyeri. Peningatan kadar prostaglandin penting peranannya
sebagai penyebab terjadinya dismenore. Prostaglandin sangat tinggi dalam
endometrium, miometrium dan darah haid wanita yang menderita dismenore primer.
Prostaglandin menyebabkan peningkatan aktivitas uterus dan serabut-serabut syaraf
terminal rangsang nyeri. Kombinasi antara peningkatan kadar prostaglandin dan
peningkatan kepekaan miometrium menimbulkan tekanan infra uterus sampai 400
mm Hg dan menyebabkan kontraksi miometrium yang hebat. Atas dasar itu
disimpulkan bahwa prostaglandin yang dihasilkan uterus berperan dalam
menimbulkan hiperaktivitas miometrium. Selanjutnya kontraksi miometrium yang
disebabkan oleh prostaglandin akan mengurangi aliran darah, sehingga terjadi iskemia
sel-sel miometrium yang mengakibatkan timbulnya nyeri spasmodik. Jika
prostaglandin dilepaskan dalam jumlah berlebihan ke dalam peredaran darah, maka
selain dismenore timbul pula pengaruh umum lainnya seperti diare, mual, muntah
(Genie, 2009).
2.2.8 Intensitas Nyeri Haid
Intensitas nyeri merupakan gambaran tingkat nyeri yang dirasakan oleh
seseorang. Pengukuran intensitas nyeri bersifat subjektif dan individual. Pengukuran
tingkat nyeri dengan pendekatan objektif dilakukan dengan menggunakan respon
fisiologi dari tubuh terhadap nyeri yang diraskan oleh seseorang (Tamsuri, 2007).
Ada beberapa jenis skala nyeri yang bisa digunakan untuk mengukur
intensitas nyeri dan yang paling biasa digunakan yaitu Skala Analog Visual (VAS) dan
Skala nyeri numerik (Smeltzer & Bare, 2002).
38
1. Skala Analog Visual (VAS)
Skala analog visual (VAS) adalah cara yang paling banyak digunakan untuk
menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang
mungkin dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10
cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap sentimeter (Yudiyanta, Khoirunnisa, &
Novitasari, 2015).
Visual Analog Scale
No Worst
pain possible pain
Gambar 2.1 Skala Analog Visual
2. Skala Deskritif
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale) merupakan sebuah garis
yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendiskrpsi yang tersusun dengan jarak yang
sama di sepanjang garis. Pendiskripsi di urutkan mulai dari “tidak terasa nyeri”
sampai “nyeri yang tidak tertahankan” (Perry & Potter, 2010).
Tidak Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri
nyeri ringan sedang hebat sangat paling
hebat hebat
Gambar 2.2 Skala Deskritif (Verbal Descriptor Scale).
3. Skala Nyeri Numerik (Numeral Rating Scale)
Skala Nyeri Numerik (Numeral Rating Scale) adalah alat ukur tingkat nyeri
seseorang yang digunakan dengan meminta pasien untuk menilai rasa nyeri yang
39
dialami sesuai dengan level intensitas nyeri yang ada pada skala numeral dari 0-10
(Perry & Potter, 2010).
Kriteria nyeri pada skala ini yaitu :
0 : Tidak ada nyeri.
1-3 : Nyeri ringan, secara objektif pasien dapat berkomunikasi dengan
baik.
4-6 : Nyeri sedang, secara objektif pasien mendesis, menyeringai, dapat
menujukkan lokasi nyeri, dapat mendiskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat, secara objektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dpat menujukkan
lokasi, tidak dapat mendiskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alis
posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri Nyeri
nyeri berat berat tidak
terkontrol terkontrol
Gambar 2.3 Skala Nyeri Numerik (Numeral Rating Scale)
2.2.9 Penanganan Nyeri Haid (Dismenore)
Penanganan nyeri haid dapat dilakukan dengan mengurangi atau menghambat
stimulus nyeri, agar tidak sampai ke otak. Seperti dijelaskan di atas, nyeri haid terjadi
karena peningkatan prostaglandin dalam darah yang merangsang peningkatan
kontraksi uterus, sehingga terjadi penurunan aliran darah dan oksigen ke uterus yang
40
mengakibatkan iskemia. Penanganan yang biasa diberikan untuk mengurangi nyeri
haid yaitu dengan pemberian terapi farmakologi dan non farmakologis. Terapi
farmakologis seperti pemberian obat penurun rasa nyeri, obat yang mempengaruhi
kerja hormonal, dan obat lainnya. Terapi non farmakologis juga diperlukan biasa
diberikan sebagai bentuk penanganan lain untuk mengurangi nyeri haid antarai lain
yaitu mengkonsumsi air jahe dan air kelapa (Lusa, 2010).
Menurut Sylvia Price dan Wilson (2005), beberapa cara untuk mengurangi
nyeri dapat dilakukan melalui tindakan farmakologis meliputi sedatif untuk
mengurangi kecemasan dan merangsang untuk tidur; analgesik menghilangkan nyeri
dengan mencegah impuls saraf ke otak, meliputi anti nyeri, relaksasi dan aktivitas
rileks. Enkefalin dan endorfin merupakan zat yang berhubungan dengan pengaturan
nyeri, berfungsi sebagai zat penghantar eksitasi yang mengaktivasi bagian sistem
analgesik otak. Infus zat ini ke dalam cairan serebrospinalis ventrikularis ketiga dapat
menyebabkan analgesia. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, nyeri haid dapat
dikurangi dengan obat anti peradangan atau obat-obat lain yang dapat menghambat
biosintesis prostaglandin (Sulistia, 2011).
Untuk mengatasi nyeri haid dapat digunakan obat anti inflamasi non-steroid
untuk mengurangi gejala yang ditimbulkan. Penanganan dismenore dapat dilakukan
degan dua cara yaitu terapi farmakologis dan terapi non-farmakologis. Terapi
farmakologis dasar dapat dengan pemberian obat anti inflamasi non-steroid (NSAID).
Sedangkan terapi non farmakologis terdapat beberapa cara yaitu mengkonsumsi air
kelapa, mengkonsumsi jahe, kompres air hangat, olahraga dan tidur yang cukup.
41
2.3 Konsep Jahe
Jahe (Zingiber officinale Rosc) merupakan rempah-rempah Indonesia yang sangat
penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam bidang kesehatan. Jahe
merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu dan termasuk
dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae). Jahe berasal dari Asia Pasifik yang tersebar
dari India sampai Cina (Paimin, 2008). Jahe (Zingiber officinale Rosc) merupakan salah
satu jenis tanaman yang termasuk kedalam suku Zingiberaceae. Jahe dikenal dengan
nama umum ginger atau garden ginger. Tanaman jahe diduga berasal dari Asia dan
merupakan rempah-rempah yang paling dahulu dikenal di Eropa (Ravindran dkk.,
2004). Jahe telah dimanfaatkan di Asia sejak ribuan tahun yang lalu untuk mengatasi
penyakit arthritis, rematik, keseleo, nyeri otot, penyakit selesma, batuk, sinusitis, sakit
tenggorokan, diare, kolik, kram, gangguan pencernaan, kehilangan nafsu makan,
mabuk, demam, flu, menggigil, dan penyakit menular (Attoe dan Osodeke, 2009).
Jahe (Zingiber officinale Rosc) merupakan tanaman rimpang yang termasuk
dalam familia Zingiberwme. Jahe sangat populer sebagai rempah-rempah dan bahan
obat, banyak dijumpai di daerah pendesaan. Jahe sering digunakan oleh ibu-ibu
rumah tangga sebagai bumbu untuk memasak dan juga sebagai penghangat tubuh.
Kandungan jahe sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh, karena kandungan senyawa
phenol yang terbukti memiliki efek anti radang dan diketahui ampuh mengatasi
penyakit sendi juga ketegangan yaag dialami oleh otot dan jahe juga mengandung
zingiberene dan shogol yang berfungsi sebagai anti oksidan, juga efektif melawan
penyakit kanker maupun jantung serta manfaat-manfaat lainnya (Wahyu W, 2010).
Jahe merupakan jenis tanaman herbal yang sudah banyak digunakan di
Indonesia, hal ini terlihat pada olahan jahe yang biasa dinikmati sebagai minuman
penghangat disaat cuaca dingin. Sebagai tanaman herbal, jahe menyimpan macam-
42
macam zat yang baik bagi tubuh seperti pencegahan timbulnya kanker, mengatasi
masalah pernafasan, melancarkan pencernaan, mengatasi memar dan rasa nyeri. Disisi
yang lain jahe ternyata juga mampu memberikan manfaatnya untuk kecantikan yakni
mengatasi kulit berminyak dan menghilangkan ketombe. Oleh karena jahe memiliki
banyak manfaat dan keuntungan, serta mudah didalam pengolahan, maka banyak
masyarakat Indonesia menanam jahe di berbagai daerah atau wilayah. Jahe
merupakan obat tradisional yang tercatat ratusan tahun penggunaannya untuk
mengobati berbagai penyakit seperti rematik, asma, stroke, sakit gigi, infeksi, sakit
otot, sakit tenggorokan, kram, hipertensi, mual, diabetes, nyeri haid (Arman, Almasdy,
& Martini, 2016).
2.3.1 Kandungan Jahe
Jahe mengandung komponen minyak menguap (volatile oil), minyak tak
menguap (non volatile oil) dan pati. Minyak menguap yang biasa disebut minyak atsiri
merupakan komponen pemberi bau yang khas, dalam minyak atsiri jahe terdapat
beberapa unsur seperti n-nonylaldehyde, d-cmphene, d-β phellandrene, methyl heptenone, cineol,
d-borneol, geransol, linalool, zingiberene, acetates dan caprylate. Unsur-unsur tersebut
merupakan sumber bahan baku dalam industris obat-obatan atau farmasi (Lantera,
2002).
Secara tradisional minyak atsiri digunakan untuk obat sakit kepala, gangguan
pada saluran pencernaan, stimulansia, diuretic, rematik, dan mabuk perjalanan.
Kandungan minyak atsiri jahe merah sekitar 2,5 – 2,7%. Besarnya kandungan minyak
atsiri dipengaruhi oleh umur tanaman, semakin tua umur jahe merah, semakin tinggi
kandungan minyaknya. Sedangkan minyak tak menguap yang biasa disebut oleoresin
merupakan komponen pemberi rasa pedas dan pahit (Mulyono, 2002). Beberapa
komponen kimia jahe, seperti gingerol, shogaol dan zingerone memberi efek
43
farmakologi dan fisiologi seperti antioksidan, anti inflamasi, analgesik,
antikarsinogenik (Hernani & Winarti, 2010).
2.3.2 Khasiat dan Manfaat Jahe
Jahe sebagai bahan baku dalam penangan dengan rasanya yang panas dan rasa
pedas telah terbukti khasiatnya dalam mengatasi berbagai jenis permasalahan seperti
untuk pencahar, penguat lambung, mengatasi masuk angin, radang tenggorokan,
asma, anemia, dan rasa nyeri (Lantera, 2002). Jahe tidak mengandung lemak dan gula
sehingga dapat ditambahkan pada produk makanan untuk meningkatkan aroma tanpa
penambahan kalori. Kandungan air dan minyak tidak menguap pada jahe berfungsi
sebagai enhancer yang dapat meningkatkan permeabilitas oleoresin menembus kulit
tanpa menyebabkan iritasi atau kerusakan hingga ke sirkulasi perifer (Swarbrick &
Boylan, 2002). Senyawa gingerol telah terbukti mempunyai aktivitas sebagai
antipiretik, antitusif, hipotensif anti inflamasi dan analgesik (Hernani & Winarti,
2010). Jahe merah mengandung 3 - 7 % golongan senyawa fenol seperti flovanoid
dan alkaloid. Alkaloid dalam jahe mampu menghambat sintesis dan pelepasan
leukotrin sehingga mengurangi rasa nyeri. Jahe telah digunakan untuk mengobati rasa
sakit akibat nyeri haid, osteoarthitis, rheumatoidarthritis, dan demam tinggi, seperti
juga gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, dan gangguan pencernaan.
Jahe adalah salah satu produk alami yang paling umum digunakan dikalangan wanita
dengan nyeri haid. Penelitian praklinis menunjukkan bahwa jahe menekan sintesis
prostaglandin (melalui penghambatan siklooksigenase) dan leukotrien yang terlibat
dalam patogenesis nyeri haid (Chen, Barrett, & Kwekkeboom, 2016).
Penurunan intensitas nyeri haid yang dialami dikarenakan adanya implus rasa
hangat yang merupakan efek dari jahe yang mengenai bagian yang terasa nyeri yaitu
perut bagian bawah, rasa hangat dari jahe direspon oleh ujung syaraf yang berada
44
didalam kulit dan sensitif terhadap suhu. Stimulus ini mengirimkan implus dari
perifer ke hipotalamus sehingga timbul kesadaran terhadap suhu lokal dan memicu
respon adaptif untuk mempertahankan suhu normal tubuh (Potter & Perry, 2005).
Konsumsi jahe juga telah dilaporkan memiliki efek bermanfaat meringankan
nyeri dan frekuensi sakit kepala migrain, dan penelitian tentang kerjanya pada
keadaan rematik menunjukkan efek yang bermanfaat. Pembedaan dibuat antara
indikasi untuk rimpang segar (muntah, batuk, kembung abdomen, dan pireksial) dan
rimpang yang dikeringkan atau telah diolah (nyeri abdomen, lumbago, dan diare). Hal
ini dapat dibenarkan karena kandungan kimianya terdapat dalam perbandingan
berbeda di dalam sediaan yang berbeda (Michael, 2009).
Jahe merupakan obat alami anti inflamasi atau penghilang rasa sakit saat
menstruasi. Ekstrak jahe dapat menekan pengeluaran prostaglandin dan leukotrin
pada endometrium yang mengakibatkan kontraksi kuat sehingga timbul rasa nyeri
yang disebut dismenore atau nyeri haid (Burner, 2012). Jahe yang bisa dimanfaatkan
dalam mengatasi nyeri haid yaitu jenis jahe merah karena mempunyai banyak
keunggulan di bandingkan dengan jenis jahe lainnya terutama jika dilihat dari segi
kandungan senyawa dalam rimpang jahe merah. Di dalam rimpang jahe merah
terkandung zat gingerol, oleoresin, dan mintak atsiri yang tinggi atau lebih banyak di
banding dengan jenis jahe lainnya. Cara mengonsumsi jahe untuk mengatasi nyeri
haid yaitu pemberian air jahe dan cara pembuatan yaitu menggunakan jahe merah
sebanyak 15gr yang di rebus dengan air putih sebanyak 400ml dan ditambahkan 2
sendok makan gula merah yang kemudian di minum 2 kali sehari selama 3 hari pada
saat menstruasi dan di minum sesuai dengan suhu normal ruangan 200C-250C,
kemudian ditunggu reaksinya selama 15 menit untuk mengukur tingkat nyeri pada
dismenore (Hua, 2012).
45
2.4 Konsep Air Kelapa
Kelapa (Cocos Nucifera L.) adalah salah satu jenis tumbuhan dari suku aren-
arenan atau Arecaceae yang paling banyak manfaatnya dan mudah tumbuh ditanah
tropis di Indonesia, sehingga negara Indonesia termasuk penghasil kelapa terbesar
didunia. Pohon kelapa terdiri dari bagian-bagian yang bisa dimanfaat untuk kesehatan,
salah satu bagian dari tumbuhan ini yang bisa dimanfaatkan dan memiliki banyak
kegunaan yaitu air kelapa (Bogadenta, 2013 dalam Lestari Fitri & Sarwinanti, 2015).
Air kelapa bisa dimanfaatkan untuk mengataasi berbagai masalah kesehatan dan
manfaat yang begitu besar dari air kelapa disebabkan karena air kelapa mengandung
banyak zat yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh (Nawawi, 2011 dalam
Lestari Fitri & Sarwinanti, 2015).
Air kelapa telah lama dikenal sebagai sumber zat tumbuh yaitu sitokinin, nilai
kalori rata-rata yang terdapat pada air kelapa berkisar 17 kalori per 100 gram.
Kandungan zat kimia lain yang menonjol yaitu berupa enzim yang mampu mengurai
sifat racun. Komposisi kandungan zat kimia yang terdapat pada air kelapa antara lain
asam askorbat atau vitamin C, protein, lemak, hidrat arang, kalsium atau potassium.
Mineral yang terkandung pada air kelapa ialah zat besi, fosfor dan gula yang terdiri
dari glukosa, fruktosa dan sukrosa. Kadar air yang terdapat pada buah kelapa
sejumlah 95,5 gram dari setiap 100 gram. Manfaat air kelapa yaitu rehidrasi cairan
tubuh, membantu menurunkan berat badan, meningkatkan sistem imun,
meningkatkan sirkulasi, menjaga keseimbangan elektrolit, mengurangi nyeri haid
(Sumino, Nursanti, & Trisnawati, 2012). Jenis kelapa yang gunakan untk mengatasi
nyeri haid yaitu jenis air kelapa hijau sebanyak 200cc ditambahkan 2 potong gula aren
yang kemudian diminum 2 kali sehari selama 3 hari berturut-turut dan di minum
sesuai dengan suhu normal ruangan 200C-250C.
46
Air kelapa mengandung sejumlah cairan berelektrolit yang dapat mencegah
terjaduinya dehidrasi karena pada saat menstruasi tubuh mengeluarkan cairan dan
darah. Asam folat yang terkandung di dalamnya juga bermanfaat untuk menggantikan
darah yang keluar. Asam folat merupakan salah satu komponen yang dibutuhkan
dalam produksi sel darah merah. Dengan produksi darah yang cukup akan
memperlancar peredaran darah. Peredaran darah yang lancar akan mencukupi sel
akan kebutuhan oksigen dan nutrisi. Dengan kondisi ini, tubuh akan lebih tahan
terhadap sensasi nyeri yang ditimbulkan saat haid. Keluhan rasa nyeri saat menstruasi
dapat disebabkan karena adanya hiperkontraktilitas rahim yang disebabkan oleh
prostaglandin (Sumino, Nursanti, & Trisnawati, 2012).
Air kelapa memiki berbagai manfaat bagi tubuh, antara lain :
1. Rehidrasi cairan tubuh
Air kelapa mengandung semua elektrolit yang dibutukan oleh tubuh seperti
sodium, potasium, klorida, kalsium, dan magnesium. Elektrolit dan air minum
memiliki peran penting dalam menjaga cairan tubuh tetap tercukupi terutama selama
kegiatan olahraga yang menguras keringat.
2. Meningkatkan sistem imun
Air kelapa mengandung asam lauric yang juga ditemukan dalam ASI dan
fungsi dari asam lauric ini yaitu antimikroba serta antijamur sehingga dapat
menigkatkan sistem imun tubuh untuk melawan berbagai virus dan penyakit.
3. Baik untuk pencernaan
Komponen air kelapa mengandung berbagai enzim bioaktif yang bisa
membantu mengatasi masalah-masalah pencernaan dan metabolisme, selain itu air
kelapa juga dapat menghilangkan rasa mual serta menjaga keseimbangan eletrolit
dalam tubuh.
47
4. Menguragi nyeri haid
Air kelapa mengandung kalsium, magnesium dan vitamin C. Kalsium dan
magnesium mengurangi ketegangan otot dan vitamin C merupakan zat-zat alami anti
inflamasi yang membantu meringankan rasa sakit akibat kram menstruasi (Kristina &
Syahid, 2012 dalam Lestari Fitri & Sarwinanti, 2015).