9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Hujan Tropis
2.1.1 Pola Distribusi Hutan Hujan Tropis
Secara geografis daerah hutan hujan tropis mencakup wilayah yang terletak
di antara titik balik rasi bintang Cancer dan rasi bintang Capricornus, yaitu suatu
wilayah yang terletak di antara 230 27’ LU dan 230 27’ LS (Weidelt, 1995). Hutan
hujan tropis memiliki penyebaran yang sangat luas di dunia, dimana kawasannya
meliputi kawasan Amerika Selatan seperti daerah Amazon, Karibia, Meksiko,
Brazil, Kolumbia, dan Ekuador dan sekitar daerah katulistiwa di Afrika Tengah,
Afrika Barat, Afrika Timur, dan Medagaskar. Pada Kawasan Malaysia, penyebaran
hutan tropis meluas ke Utara sampai pegunungan Himalaya, ke timur laut sampai
ke Indocina dan Filipina, serta ke Selatan dan Timur meliputi sebagian besar
wilayah Indonesia dan New Guinea sampai di Fiji dan kepulauan Pasifik bagian
Barat (Ewusie, 1980).
Hutan hujan tropika terbentuk di wilayah-wilayah beriklim tropis, dengan
curah hujan tahunan minimum berkisar antara 1.750 mm (69 in) dan 2.000 mm (79
in). Sedangkan rata-rata temperatur bulanan berada di atas 18 °C (64 °F) di
sepanjang tahun (Woodward, 2016). Pada umumnya wilayah hutan hujan tropis
dicirikan oleh adanya 2 musim dengan perbedaan yang jelas, yaitu musim
penghujan dan musim kemarau. Ciri lainnya adalah suhu dan kelembapan udara
yang tinggi, demikian juga dengan curah hujan, sedangkan hari hujan merata
sepanjang tahun (Walter, Burnett, & Mueller-Dombois, 1971). Sebagian besar
hutan-hutan tropis di Indonesia merupakan masyarakat kompleks, tempat yang
10
menyediakan pohon dari berbagai ukuran. Di dalam kanopi iklim mikro berbeda
dengan keadaan sekitarnya dimana cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi,
dan temperatur lebih rendah (Syarifuddin, 2013). Hutan hujan tropis adalah hutan
yang memiliki keanekaragaman tumbuhan yang sangat tinggi (Resosoedarmo et al.,
1989).
Secara Umum berbagai suku dari Angiospermae tropis menunjukan adanya
kesesuian terhadap faktor tanah dan iklim tetentu, seperti Meliaceae pada tanah
yang subur, Leguminosae pada daerah yang bermusim, Myrtaceae pada tanah yang
tercuci dan pada iklim yang tidak bermusim. Ericacea merupakan suku yang
bersifat kosmopolitan di pegunungan tropis, misalnya marga Erica, Rhododendrom
dan Vaccinum, khususnya di kawasan Malesia merupakan komponen khas dari
vegetasi daerah kawah gunung berap. Gymnospermae di tropis terdapat pada
ketinggian dan area distribusinya terbatas atau bersifat endemik, dapat juga berupa
populasi yang berada pada kondisi khusus seperti daerah gunung berapi dan tanah
kering dimana bentuk mereka hanya berupa semak (Anonim, 1978).
Pola penyebaran jenis erat pula kaitannya dengan ketinggian tempat. Hutan
hujan topis dataran rendah dan hutan hujan tropis pegunungan dapat dibedakan
menurut kehadiran jenis yang secara khas dapat dijumpai di daerah-daerah tersebut.
Jenis-jenis tumbuhan yang menjadi komponen hutan dataran rendah adalah
Pometia pinnata J. R. & G. Forst, Dysoxylum arborescens (Bl.) Miq., D.
Densiflorum (Bl.) Miq., dan Litchocarpus sundaicus (Bl.) Rehd., sekalipun
penyebarannya dapat mencapai ketinggian 1.50 m dari permukaan laut. Jenis-jenis
yang termasuk komponen hutan pegunungan adalah Schima wallichii, Castanopsis
tungurrut (Bl.) DC., Polyosma integrifolia Bl. Dan Altingia excelsa. Pada
11
ketinggian tempat antara 1000-2000 m di Malesia dan Asia elemen-elemen floristik
dataran rendah seperti suku Dipterocarpaceae dan Lythraceae mengalami
pengurangan dan pegunungan seperti Araucariaceae, Podocarpaceae, Aceraceae,
Cunoniaceae, Elaeocarpaceae, Ericaceae, Fagaceae, Hamamelidaceae,
Juglandaceae, Megnoliaceae, Symplocaceae, dan Theaceae (Anonim, 1978).
2.1.2 Komposisi Floristik
Hutan hujan tropis hanya menutupi sekitar 7% dari luas permukaan bumi,
tetapi mengandung sekurang-kurangnya setengah dari seluruh jenis yang ada di
bumi (Whitmore, 1992). Hutan-hutan hujan tropis sangat kaya dalam hal jenis
karena terspesialisasi dalam relung yang khusus, seperti perbedaan tipe tanah,
gradien kelembapan dan ketinggian tempat dari permukaan laut (Primack & Hall,
1992). Komunitas biologis di daerah tropis memiliki keanekaragaman jenis yang
tinggi dibandingkan dengan komunitas temperata (Primack, 1992). Pada daerah
beriklim sedang biasanya terdapat sekitar 50 jenis pohon dan semak perhektar lahan
hutan, di hutan dataran rendah tropis dapat dijumpai 750 jenis atau lebih dalam
setiap hektarnya, utamanya di hutan tropis asia dan amerika selatan. Hampir dapat
dipastikan bahwa hutan tropis mendukung kehidupan jenis yang jauh lebih banyak
daripada hutan temperata (Ewusie, 1986).
Stabilitas dan perubahan komposisis jenis tumbuhan dalam suatu hutan
perlu dimengerti dalam kaitannya dengan perubahan struktur hutan tersebut dan
jika hutan mengalami perubahan struktur dalam skala besar maka komposisi jenis
dalam hutan tersebut akan tidak konstan (Primack, 1992). Kenaikan jumlah
keanekaragaman serta penurunan dominansi akan menunjukkan adanya asosiasi
12
dengan tahap kenaikan stabilitas. Keanekaragamnan adalah karakteristik alam dan
merupakan dasar dari kestabilan ekologi dan keanekaragaman ekosistem
menciptakan keragaman bentuk-bentuk kehidupan (Gupta, 1991).
2.1.3 Dinamika Komunitas
Hutan hujan tropis terdapat berbagai komunitas. Komunitas tersebut
mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan sakala ruang dan waktu tertentu.
Perubahan struktur dan komposisi hutan hujan tropis dipengaruhi oleh topografi
dan faktor-faktor lingkungan yang berhubungan, seperti faktor mikrolimat dan jenis
tanah (Basnet, 1993). Informasi mengenai dinamika komunitas sangat diperlukan
dalam konservasi jenis yang sedang tumbuh, disamping itu bermanfaat dalam
memprediksi stabilitas populasi suatu jenis dalam umur yang berbeda dan pada
tingkat gangguan yang berbeda dari aktivitas manusia (Primack, 1992).
Banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap komunitas tropis, antara
lain seperti perubahan iklim dalam jangka pendek yang tiba-tiba, kekeringan yang
panjang, dan peristiwa osilasi El Nino Selatan (Suleman, 1998). Faktor-faktor
tersebut secara periodik telah menyebabkan kematian pohon dalam kawasan yang
luas di Asia Tenggara (Primack, 1992). Penggundulan hutan dikawasan hutan hujan
tropis terus berlanjut dengan kecepatan tinggi. Perkiraan-perkiraan yang sangat
konservatif menyatakan laju penggundulan bisa mencapai rata-rata sekitar 0,6%
pertahun atau sekitar 7,3 juta ha untuk seluruh negara-negara tropis (Raven, 1992).
Penggundulan yang terjadi akan menyebabkan rusaknya komunitas di
hutan. Kerusakan hutan menyebabkan banyak jenis mengalami penurunan dengan
cepat dalam hal ukuran populasinya sehingga mengarah kepada kepunahan lokal
13
dan kerusakan juga dapat mempengaruhi tinggi tegakan dan menurunkan kerapatan
tumbuhan ( Primack, 1992). Akibatnya bukan saja ekosistem yang rusak dan tidak
lagi berfungsi sebagaimana mestinya dan banyak flora dan fauna yang rusak dan
menghilang (Supriatna, 2008). Eksploitasi secara berlebihan menimbulkan
kelangkaan dan kepunahan jenis sehingga menyebabkan krisis keanekaragaman
jenis (Suleman, 1998).
2.1.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Produktivitas Hutan
Produktivitas merupakan suatu parameter yang sangat penting di dalam
ekologi. Produktivitas ekosistem merupakan proses dan interaksi yang berlangsung
simultan di dalam ekosistem. Jika produktivitas pada suatu ekosistem hanya
berubah sedikit dalam jangka waktu yang lama maka hal ini menandakan kondisi
lingkungan yang stabil, tetapi jika terjadi perubahan yang dramatis, maka
menunjukkan telah terjadi perubahan lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan
yang penting dalam interaksi di antara organisme-organisme yang menyusun
ekosistem (Jordan, 1985).
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi produktifitas di wilayah hutan
hujan tropis antara lain :
a. Suhu dan Cahaya Matahari
Suhu Udara di daerah hutan hujan tropis tidak pernah turun sampai sampai
mencapai titik beku (0ºC) namun pada daerah yang sangat tinggi dimana kadang-
kadang tapi sangat jarang suhu turun hampir mencapai titk beku (Warsito, 1999).
Suhu rata-rata pada sebagian besar daerah adalah 27ºC, dan kisaran suhu bulanan
berkisar 24-28ºC, yang dengan demikian kisaran suhu musiman ini jauh lebih kecil
14
dibanding kisaran suhu siang dan malam (diurnal) yang dapat mencapai 100. Suhu
maksimum jarang mencapai 38ºC juga jarang jatuh sampai di bawah 20ºC
(Mabberly,1983). Berdasarkan gradasi suhu rata-rata tahunan, maka produktivitas
akan meningkat dari wilayah kutup ke wilayah ekuator (Barbour et al, 1987),
namun untuk daerah hutan hujan tropis suhu bukanlah faktor dominan yang
menentukan produktivitas, tapi lamanya musim tumbuh (Walter, 1981).
Wilayah hutan hujan tropis menerima lebih banyak sinar matahari tahunan
yang tersedia bagi fotosintesis dibanding dengan wilayah iklim sedang. Hal ini
disebabkan oleh 3 faktor: (1) Kemiringan poros bumi menyebabkan wilayah tropika
menerima lebih banyak sinar matahari dibanding pada atmosfer luarnya dibanding
dengan wilayah iklim sedang. (2) Lewatnya sinar matahari pada atmosfer yang
lebih tipis (karena sudut yang lebih tegak lurus di daerah tropika), mengurangi
jumlah sinaran yang diserap oleh atmosfer. Di wilayah hutan hujan tropis, 56%
sampai dengan 59 % sinar matahari pada batas atmosfer dapat sampai di permukaan
tanah. (3) Masa tumbuh, yang terbatas oleh keadaan suhu adalah lebih panjang di
daerah hutan hujan tropis (kecuali di tempat-tempat yang sangat tinggi) (Sanches,
1992).
Jordan (1995) menjelaskan bahwa adanya suhu yang tinggi dan konstan
hampir sepanjang tahun dapat bermakna musim tumbuh bagi tumbuh-tumbuhan
akan berlangsung lama, yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas.
b. Curah Hujan
Di daerah hutan hujan tropis jumlah curah hujan per tahun berkisar antara
15
1600 sampai dengan 4000 mm (Warsito, 1999) dengan sebaran bulan basah 9,5-12
bulan basah (Sanches, 1992). Kondisi ini memiliki curah hujan yang merata hampir
sepanjang tahun yang akan sangat mendukung produktivitas yang tinggi.
Hujan selain berfungsi sebagai sumber air juga berfungsi sebagai sumber
hara. Whitmore (1986) mengatakan bahwa banyak nitrogen yang terfiksasi selama
terjadi badai dan turun ke bumi bersama dengan hujan. Hara lain yang banyak
masuk ke dalam ekosistem melalui curah hujan menurut Kenworty dalam
Whitmore (1986) adalah K, Ca, dan Mg.
Walaupun memberi dampak positif bagi produktivitas vegetasi menurut
Resosoedarmo et al. (1986) curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tanah-tanah
yang tidak tertutupi oleh vegetasi rentan sekali terhadap pencucian yang akan
mengurangi kesuburan tanah dengan cepat. Barbour et al. (1987) mengatakan
bahwa sebagai salah satu faktor siklus hara dalam sistem, pencucian adalah
penyebab utama hilangnya hara dari suatu ekosistem. Hara yang mudah sekali
tercuci terutama adalah Ca dan K.
c. Interaksi antara suhu dan curah hujan
Produktivitas yang tinggi dan kontinyu sepanjang tahun tidak akan
berlangsung jika hanya didukung oleh suhu yang tinggi. Banyak wilayah lain di
dunia yang memiliki suhu yang jauh lebih tinggi di banding wilayah hutan hujan
tropis, tetapi memiliki produktivitas yang rendah (Woodweell, 1967).
Interaksi antara suhu yang tinggi dan curah hujan yang banyak yang
berlangsung sepanjang tahun menghasilkan kondisi kelembapan yang sangat ideal
bagi vegetasi hutan hujan tropis untuk meningkatkan produktivitas. Warsito (1999)
menjelaskan bahwa kelembapan atmosfer merupakan fungsi dari lamanya hari
16
hujan, terdapatnya air yang tergenag, dan suhu. Sumber utama air dalam atmosfer
adalah hasil dari penguapan dari sungai, air laut, dan genangan air tanah lainnya
serta transpirasi dari tumbuhan. Menurut Jordan (1995) tingginya kelembapan pada
gilirannya akan meningkatkan laju aktivitas mikroorganisme. Selain itu, proses lain
yang sangat dipengaruhi oleh proses ini adalah pelapukan tanah yang berlangsung
cepat. Pelapukan terjadi ketika hidrogen dalam larutan tanah bereaksi dengan
mineralmineral dalam tanah atau lapisan batuan, yang mengakibatkan terlepas
unsur-unsur hara . Hara-hara ini ada yang dapat dengan segera diserap oleh
tumbuhan.
d. Produktivitas serasah
Hutan hujan tropis adalah ekosistem dengan laju dekomposisi serasah
tercepat dibanding ekosistem-ekosistem lainnya. Menurut Resosoedarmo et al.
(1986) hal ini disebabkan karena serasah yang jatuh ke permukaan tanah tidak akan
lama tertimbun di lantai hutan tetapi segera mengalami dekomposisi sehingga dapat
dengan segera diserap kembali oleh tumbuhan. Barbour et al. (1987) mengatakan
bahwa laju dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem
lainnya. Laju ini terutama dipengaruhi oleh kelembapan udara, organisme flora dan
fauna mikro dan kandungan kimia dari serasah.
e. Tanah
Tanah adalah faktor di daerah tropis yang tidak mendukung tingginya
produktivitas yang tinggi. Tanah di hutan hujan tropis adalah tanah yang berumur
sangat tua, kecuali tanah vulkanik. Periode Pleistocene tidak berpengaruh sama
sekali pada tanah disini, dan kemungkinan besar tanah disini berasal dari periode
Tertiary (Walter, 1981).
17
Pencucian terjadi menurut Brady (1974) karena beberapa hara tersimpan di
permukaan tanah liat atau pada bahan organik koloid, Permukaan ini bermuatan
negatif. Ion-ion bermuatan positif seperti K+, Ca++, dan NH4+ akan bergabung
dengan permukaan yang memiliki muatan negatif. Kemampuan tanah untuk
mempertahankan kation pada permukaan liat maupun humus terutama ditentukan
oleh nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) nya. Tanah yang memiliki kandungan liat
atau kandungan organik yang tinggi memiliki KTK yang tinggi yang berarti tanah
tersebut memiliki kemampuan tinggi dalam mempertahankan mineral-mineralnya.
Namun faktor lain juga turut berperan dalam hal ini, terutama jenis mineral liat yang
terdapat di tanah. Mineral liat yang mengalami pelapukan yang sangat kuat seperti
kaolinit memiliki KTK yang rendah (Sanchez, 1992).
Karakteristik dari tanah seperti tekstur, hara, dan kedalaman telah banyak
dibahas sebagai komponen yang penting dalam menentukan hubungan kompetisi
dan laju pertumbuhan dari tumbuhan di berbagai kondisi lingkungan. Namun
menurut Pastor dan Bockheim dalam Barbour at al. (1987) merupakan hal yang
sulit untuk mentranslasikan pengaruh edafik pada studi-studi produktivitas. Hal ini
disebabkan karena tidak semua spesies memiliki kebutuhan hara yang sama untuk
memproduksi sejumlah biomassa dengan ukuran yang sama.
2.2 Taman Nasional
Taman nasional dapat dikatakan tempat pelestarian alam secara alami,
letaknya di laut maupun di darat, terdapat berbagai jenis ekosistem didalamnya,
serta dapat dimanfaatkan dan bernilai untuk pendidikan, kepentingan ilmu
pengetahuan, panorama alam yang menonjol, pariwisata maupun sebagai tempat
18
untuk rekreasi. Menurut UU No.5 tahun (1990) Taman nasional adalah kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi
dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Selanjutnya menurut pasal 31 angka
1 PP No. 68 tahun (1998) tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
alam, dikatakan bahwa kriteria penunjukan taman nasional harus terdapat kawasan
yang luas untuk kelangsungan proses ekologis, memiliki sumber daya alam dan
ekosistem, memiliki keadaan alam yang asli dan merupakan kawasan yang dapat
dikelola. Salah satu taman nasional yang berada di Jawa Timur adalah Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru yang letaknya di wilayah Desa Ranu Pani,
Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Keuputusan menteri
kehutanan nomor: 278/Kpts-VI/1997 telah menetapkan taman nasional ini pada
tahun 1997.
Kronologis pengukuhan kawasan TNBTS yaitu dinyatakan dari surat
pernyataan Mentan Nomor: 736.Mentan/X/1982 tanggal 14 oktober 1982 luas
58.000 Ha. Tahun 1983-1986, pengukuran atau tata batas CTN.BTS. oleh INTAG,
Perhutani dan BKSDA IV, dengan hasil: Luas penataan 50.276, 30Ha. Tahun 1996,
Rekonstruksi Batas TNBTS oleh Kanwil, perhutani dan BTNBTS. Ditunjuk: SK
Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 278/Kpts-VI/ tanggal 23 Mei 1997
luas 50.276, 20 Ha. Tahun 2000 pengukuran batas fungsi oleh Kanwil, Perhutani,
dan BTNBTS. Ditetapkan: SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: SK.
178/Menhut-II/2005 tanggal 29 Juni 2005 tentang Penteapan Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru Seluas 50.276,20 Ha yang terletak di Kabupaten Pauruan,
Probolinggo, Lumajang dan Malang Provinsi Jawa Timur. Serah terima dari
19
pengelolaan kawasan hutan yang termasuk ke dalam Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru dari Direktur Umum Perum Perhutani kepada Direktur Jenderal
PHKA pada tanggal 29 Januari 2009 ( Profil TNBTS, 2009).
Gambar 3.1 Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS)
(Sumber: Dok. Pribadi, 2016)
Luas Kawasan TNBTS adalah 50.276,20 Ha, terdiri dari 50,265,95 Ha
daratan dan 10,25 Ha perairan yang berupa danau atau ranu. Secara Geografis
kawasan TNBTS terletak antara 7º51”39’-8º19”35’ Lintang Selatan dan
112º47”44’ - 113º 7”45’ Bujur Timur. Berdasarkan wilayah administarasi
pemerintahan, TNBTS termasuk dalam 4 wilayah kabupaten yakni kabupaten
Malang, Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang,-propinsi Jawa Timur. Kawasan
TNBTS berada pada ketinggian 750-3.676 meter dari permukaan laut, keadaan
topografinya bervariasi dari bergelombang dengan lereng yang landai sampai
berbukit bahkan bergunung dengan derajat kemiringan yang tegak. Suhu udara di
TNBTS antara 5ºC sampai 22 ºC . suhu terendah terjadi pada saat dini hari di
puncak musim kemarau antara 3 ºC -5 ºC bahkan dibeberapa tempat sering bersuhu
sampai 0 ºC (minus) khususnya di ranukumbolo dan puncak mahamer. Sedangkan
suhu maksimum antara 20 ºC -22 ºC (Profil TNBTS, 2009).
20
2.3 Tumbuhan Bawah
2.3.1 Dinamika dan Komposisi Tumbuhan Bawah
Dinamika tumbuhan adalah proses yang menunjukkan adanya dinamika
atau perubahan sepanjang fase pertumbuhan tumbuhan, secara khas dicirikan oleh
fungsi pertumbuhannya dan jangka waktu berlangsungnya pada proses ini dapat
bervariasi bisa kurang dari beberapa hari ataupun sampai bertahun-tahun,
tergantung pada organismenya atau organnya (Gardner, et al., 1991).
Vegetasi kumpulan tumbuhan yang sejenis yang hidup bersama-sama dalam
satu ekosistem. Dalam mekanisme kehidupannya terdapat interaksi yang erat, baik
sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya
sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis (Irwanto,
2007). Vegetasi memiliki peranan yaitu untuk pengaturan keseimbangan karbon
dioksida dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis tanah
serta pengaturan tata air tanah. Hal demikian akan memberikan dampak positif bagi
keseimbangan ekosistem. Meskipun kehadirannya memberikan dampak positif,
tetapi pengaruhnya bervariasi tergantung pada struktur dan komposisi vegetasi yang
ada pada daerah tersebut (Arrijani at al., 2006).
Salah satu anggota ekosistem yang terdapat di hutan hujan yang memiliki
peran penting bagi keseimbangan ekosistem adalah tumbuhan bawah yang berupa
semak, rerumputan, dan herba. Vegetasi ini banyak terdapat di tempat-tempat
terbuka, tepi jalan, tebing sungai, lantai hutan, lahan pertanian dan perkebunan
(Aththorick, 2005). Tumbuhan bawah terdiri dari tumbuhan selain permudaan
pohon, misal rumput, herba, dan semak belukar (Kusmana, 1995), serta paku-
pakuan (Ewusie, 1990).
21
Gambar 3.2 Tumbuhan Bawah
(Sumber: Dok. Pribadi, 2016)
Komposisi keanekaragaman tumbuhan bawah dipengaruhi beberapa faktor
lingkungan seperti cahaya, kelembaban, pH tanah, tutupan tajuk dari pohon di
sekitarnya, dan tingkat kompetisi dari masing-masing jenis (Nirwani, 2010).
Menurut Richard (1981), tumbuhan bawah yang sering dijumpai di kawasan hutan
tropik terdiri atas famili Araceae, Gesneriaceae, Urticaceae, Achantaceae,
Zingiberaceae, Begoniaceae, Rubiaceae, dan tumbuhan menjalar seperti kelompok
Graminae (Calamus sp.), Smilaceae, Piperaceae dan beberapa jenis tumbuhan
paku seperti Selaginellaceae.
Tumbuhan bawah berfungsi sebagai penutup tanah menjaga kelembaban
sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat, sehingga dapat
menyediakan unsur hara untuk tumbuhan pokok. Siklus hara akan berlangsung
sempurna dan guguran daun yang jatuh sebagai serasah akan dikembalikan lagi ke
pohon dalam bentuk unsur hara yang sudah diuraikan oleh bakteri (Irwanto, 2007).
Pada dasarnya setiap tumbuhan memiliki toleransi untuk bertahan hidup
yang berbeda-beda agar mampu beradaptasi dengan lingkungan yang ekstrim.
Tumbuhan Bawah
22
Hukum toleransi Sheford berbunyi “distribusi spesies akan dikontrol oleh faktor
lingkungan yang berada pada kisaran toleransi sempit”. Menurut Leksono (2007)
Toleransi suatu spesies akan berubah karena adanya seleksi alam.
2.3.2 Identifikasi Tumbuhan Bawah
Bagian terpenting dalam taksonomi yaitu pengenalan atau identifikasi.
Melakukan identifikasi diharapkan dapat mengungkapkan atau menetapkan
identitas. Mengidentifikasi tumbuhan berarti menentukan namanya yang benar dan
tempatnya yang tepat dalam sistem klasifikasi. Identifikasi sering dikenal dengan
istilah determinasi yang diambil dari bahasa belanda “determinatie” atau diartikan
sebagai “penentuan”. Menurut Tjitrosoepomo (2005) bahwa ada 2 kemungkinan
yang selalu dihadapi oleh seseorang ketika akan mengidentifikasi suatu tumbuhan.
Pertama, tumbuhan yang akan diidentifikasi belum dikenal oleh dunia ilmu
pengetahuan. Jadi belum ada nama ilmiahnya dan juga belum ditentukan tumbuhan
itu berturut-turut dimasukkan dalam suatu kategori. Kedua adalah tumbuhan yang
akan diidentifikasi sudah dikenal oleh dunia ilmu pengetahuan, sudah ditentukan
nama dan tempatnya yang tepat dalam sistem klasifikasi.
2.4 Pemanfaatan Hasil Penelitian menjadi Sumber Belajar Biologi
Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu
guru/infrastruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Bahan
ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun
tidak sehingga tercipta lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa untuk
belajar (Wasino, 2010). Menurut Kochar (2008) dalam bukunya menguraikan
23
Pentingnya bahan bacaan pelengkap sebagai tambahan bagi buku cetak dan
pelajaran lisan yang disampaikan oleh guru, bacaan pelengkap merupakan nilai
tambah dalam pembelajaran sejarah yang baik
Menurut Suhardi dalam Munajah (2015), sumber belajar biologi adalah
segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk memperoleh pengalaman dalam
rangka pemecahan permasalahan biologi tertentu. Pemanfaatan hasil penelitian
sebagai sumber belajar biologi harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai
berikut:
a. Kejelasan potensi Kejelasan potensi suatu objek ditentukan oleh ketersediaan
objek dan permasalahan yang dapat diungkap untuk menghasilkan fakta-fakta
dan konsep-konsep dari hasil penelitian yang harus dicapai dalam kurikulum.
b. Kesesuaian dengan tujuan
Kesesuaian yang dimaksud adalah hasil penelitian dengan kompetensi dasar
(KD) yang tercantum.
Sasaran kejelasan penelitian ini adalah objek dan subjek penelitian dan
subjek penelitian.
a. Kejelasan informasi yang diungkap, Kejelasan informasi dalam penelitian ini
dapat dilihat dari 2 aspek yaitu proses dan produk penelitian yang disesuaikan
dengan kurikulum.
b. Kejelasan pedoman eksplorasi, Kejelasan pedoman eksplorasi diperlukan
prosedur kerja dalam melaksanakan penelitian.
c. Kejelasan perolehan yang diharapkan, Kejelasan perolehan yang diharapkan
kejelasan hasil berupa proses dan produk penelitian yang dapat digunakan
sebagai sumber belajar berdasar aspek-aspek dalam tujuan belajar biologi.
24
Dalam hal ini, peneliti akan membuat sumber belajar biologi berbentuk
leaflet dan Jurnal Penelitian dengan memenuhi aspek diatas serta mengambil materi
SMA Kelas X Semester II materi Kingdom Plantae. Leaflet merupakan media
berbentuk selembar kertas yang diberi gambar dan tulisan (biasanya lebih banyak
tulisan) pada kedua sisi kertas serta dilipat sehingga berukuran kecil dan praktis
dibawa . Biasanya ukuran A4 dilipat tiga . Media ini berisikan suatu gagasan secara
langsung ke pokok persoalannya dan memaparkan cara melakukan tindakan secara
pendek dan lugas . (Azul, 2010). Agar leaflet terlihat menarik biasanya leaflet
didesain secara cermat dilengkapi dengan ilustrasi dan menggunakan bahasa yang
sederhana, singkat serta mudah dipahami (Majid, 2008).
2.5 Hasil Penelitian Terdahulu
Tumbuhan bawah adalah salah satu bagian dari ekosistem. Dalam hal ini,
tumbuhan bawah dapat menjaga kestabilan ekosistem. Untuk menjaga kestabilan
ekosistem kita diharapkan mengetahui dinamika populasi tumbuhan bawah. Hasil
penelitian Maritanti et al. (2013) menyatakan Interaksi maupun keanekaragaman
spesies sangat penting untuk diamati dalam tujuannya untuk mengetahui dinamika
keanekaragaman suatu spesies tumbuhan di habitat alaminya. Hasil penelitian
Amon et al. (2013) menyatakan penelitian dinamika tumbuhan ini bertujuan untuk
mengetahui sebaran spesies dan famili menurut fase tumbuh, mempelajari dominasi
spesies dan mengetahui kondisi komunitas tumbuhan. Hasil Penelitian Hilwan et
al. (2013) menyatakan untuk mengetahui dinamika tumbuhan dapat mengkaji
komposisi dan tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan bawah di areal revegetasi.
25
Setiap penelitian mengenai dinamika tumbuhan bawah memiliki metode
yang berbeda-beda. Dalam penelitian Marianti et al. (2013) metode yang digunakan
adalah meode survey dimana Menggunakan 3 lokasi ekosistem sawah dengan asal
mula lahan yang berbeda. Asal mula lahan dilihat dari pola tanam yang diterapkan
dalam 1 tahun. Lahan pertama pola tanam yang diterapkan yaitu jagung - padi -
bera. Lahan kedua, pola tanam yang diterapkan yaitu bera - padi - bera. Sedangkan
lahan ketiga, pola tanam yang diterapkan yaitu kacang hijau - padi - bera.
Sedangkan penelitian Amon et al. (2013) menyatakan Plot penelitian ditempatkan
secara sistematik dengan bantuan garis transek. Pembuatan jalur transek dimulai
pada batas kawasan Cagar Alam Gunung Ambang sebagai titik awal pembuatan
jalur. Jalur transek yang akan dibuat adalah berbatasan dengan Cagar Alam. Di
dalam jalur transek akan dibuat plot pengamatan, di mana plot tersebut dibuat di
dalam dan di luar Cagar Alam. Berbeda lagi dengan penelitian dari Hilwan et al.
(2013) menyatakan Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode
analisis vegetasi tumbuhan bawah. Petak pengamatan dubuat dengan ukuran 20 x
20 𝑚2 sebanyak 3 buah dengan jarak antar petak yaitu 20 m. Dibuat plot
pengamatan tumbuhan bawah sebanyak 5 buah plot berukuran 2 x 2 𝑚2.
Untuk melakukan pengujian struktur dan komposisi jenis tumbuhan setiap
penelitian memiliki cara yang berbeda yaitu menurut penelitan dari Marianti et al.
(2013) menggunakan indeks shannon-wienner, indeks simpson, dan indeks
morisita. Penelitian Amon et al. (2013) menggunakan rumus dari soerinegara dan
indrawan dimana menghitung dominasi spesies, maka akan ditentukan dengan
besarnya densitas (kerapatan) dan frekuensi suatu spesies tumbuhan. Sedangkan
penelitian Hilwan et al. (2013) menghitung indeks nilai penting, indeks dominan,
26
indeks keanekaragaman jenis, indeks kesamaan komunitas, indeks kekayaan jenis,
dan indeks kemerataan jen
27
2.6 Kerangka Konsep
Gambar 3.3 Kerangka Konsep Dinamika Tumbuhan Bawah di Hutan Hujan
Tropis Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Sebagai Sumber Belajar
Biologi
Hutan Hujan Tropis Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
Ekosistem Hutan Hujan Tropis
Abiotik
Tumbuhan Atas
Pohon
Tumbuhan Bawah
Rumputan
Herba
Semak
Biotik
Dinamika Tumbuhan Bawah
Suhu pH KelembapanIntensitas
Cahaya
Identifikasi
Ciri-ciri spesies Tumbuhan Bawah
Sumber Belajar Biologi SMA