6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Tea Tree Oil
2.1.1 Sejarah Tanaman Tea Tree Oil
Banyak obat komplementer dan alternatif telah mengalami peningkatan
popularitas dalam beberapa dekade terakhir. Upaya untuk memvalidasi
penggunaan dalam melihat sifat terapeutik obat-obatan tersebut di bawah
pengawasan secara in vitro, dan dalam beberapa kasus in vivo. Salah satu produk
tersebut adalah minyak pohon teh (Tea Tree Oil), minyak esensial atsiri terutama
berasal dari tanaman asli Melaleuca alternifolia dari Australia. Sebagian besar di
gunakan sebagai antimikroba, dan di gunakan sebagai bahan aktif dalam formulasi
sediaan topikal yang di gunakan untuk mengobati infeksi kulit di Negara Australia,
Eropa, dan Amerika Utara (Carson et al., 2006).
Komponen yang paling berlimpah dalam Tea Tree Oil adalah terpinen-4-ol. Tea
Tree Oil memiliki aktivitas antimikroba spektrum luas dan memiliki aktivitas
antibakteri dalam kerusakan membran sel non spesifik. Studi klinis dengan produk
Tea Tree Oil telah menunjukkan khasiat untuk beberapa penyakit seperti, jerawat,
kandidiasis oral, tinea, onikomikosis, dan moluskum kontagiosum (Hammer,
2014).
Terpenin-4-ol adalah agen yang ampuh untuk membunuh bakteri
Staphylococcus aureus dan koagulase Staphylococcus negativ. Dalam sebuah
penelitian menunjukkan bahwa Tea Tree Oil di gunakan pada konsentrasi 10%
memiliki efek yang sebanding dengan mupirocin topikal terhadap bakteri S.
aureus. Tea Tree Oil dapat menjadi antioksidan
7
alternative yang baik, antioksidan tersebut terkandung dalam a-terpinen, a-
terpinolen, c-terpinen yang terdapat pada minyak mentah Tea Tree Oil yang telah
di pisahkan. Minyak Tea Tree Oil dapat membunuh jamur Candida secara in vitro,
dalam percobaan terkontrol acak (RCT) secara double blind dengan kadar Tea
Tree Oil sebanyak 25% dan 50% menunjukkan respon klinis dalam pengobatan
interdigital tinea pedis. Setelah itu telah di buktikan bahwa 2% butenafine
hidroklorida dan 5% Tea Tree Oil menyembuhkan 80% pada pasien onikomikosis
dengan tidak terjadinya relapse. Sebuah analisis secara in vitro sederhana
menunjukkan bahwa tidak ada tungau dari Sarcoptes scabiei var. hominis selama
tiga jam paparan dengan Tea Tree Oil. Penelitian lain menunjukkan penerapan 5%
Tea Tree Oil dengan komponen aktif terpinen-4-ol sangat efektif dalam
mengurangi waktu kelangsungan hidup Sa. Scabiei var. hominis (Pazyar dkk,
2012). Tea Tree Oil telah terbukti dapat meningkatkan deferensiasi monositik
secara in vitro, dan mengurangi peradangan sehingga membantu penyembuhan
luka kronis dengan adanya zat berkhasiat terpinen-4-ol yang telah terbukti dapat
menekan mediator inflamasi oleh monosit aktif secara in vitro (Stea et al., 2014).
Pada kasus impetigo di rekomendasikan untuk menggunakan perawatan dengan
bahan herbal yaitu dengan menggunakan Tea Tree Oil, dalam suatu penelitian
menunjukkan bahwa dengan menggunakan salep Tea Tree Oil efektif untuk
mengatasi impetigo dengan tingkat kesembuhan 81% (Adams et al., 2014).
Penggunaan Tea Tree Oil sebagai obat topikal bila minyak diformulasikan
dalam basis yang sesuai dalam bentuk sediaan krim, salep, dan gel dengan
konsentrasi 25% di terapkan sehari sekali sealama 21 hari, dalam penggunaan
tersebut tidak menyebabkan iritasi pada kulit, hal ini menunjukkan bahwa Tea
Tree Oil aman di gunakan sebagai obat topical (Thomas et al., 2016).
Pada sebuah penelitian uji coba terkontrol secara acak yang telah menguji
penggunaan Tea Tree Oil dengan konsentrasi 10% di bandingkan dengan krim
sulfadiazine 1% untuk mengatasi bakteri S. aureus yang resisten terhadap
methicillin di dadapatkan hasil bahwa Tea Tree Oil lebih efektif daripada
menggunakan terapi standar pada situs tubuh superfisial termasuk lesi kulit
8
terbuka, serta tidak ada efek samping pada penggunaan Tea Tree Oil (Low et al.,
2016).
2.1.2 Klasifikasi Tanaman Tea Tree Oil
a) Taksonomi
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae
Genus : Melaleuca
Spesies : Melaleuca alternifolia
(Depkes RI, 2006)
b) Nama Lain
Melaleuca, Tea Tree, Manuka .
c) Morfologi Tanaman
1) Batang
Bentuk batang tegak dan bulat, konsistensinya keras dengan
permukaan halus dan berwarna putih abu-abu.
2) Tipe daun tunggal berseling dan berwarna hijau. Panjang daun 2-3 cm,
dengan lebar 0,1- 0,2 cm. Pertulangan daun membujur, daging daun
tipis dan permukaannya halus.
3) Bunga
Tipe bunga majemuk dan tidak bertangkai. Mahkota bunga sebanyak 5
helai, berbentuk bulat telur dan berwarna putih.
4) Akar
Tipe akar tunggang, dan berwarna cokelat.
(Depkes RI, 2006)
9
Gambar 2.1 Tanaman Melaleuca alternifolia (http://www.onlineplantguide.com)
2.1.3 Kandungan Kimia Tanaman
Tea Tree Oil terdiri dari senyawa hidrokarbon yaitu terpen, terutama
monoterpen, seskuiterpen, dan alkohol. Terpen adalah senyawa volatile,
hidrokarbon aromatik dapat dianggap sebagai polimer dari isoprena yang memiliki
rumus molekul C5H8 (Carson et al., 2006). Tea Tree Oil memiliki kepadatan
relatif dari 0,885-0,906, sedikit larut dalam air, dan larut dalam pelarut nonpolar
(ISO, 2004). Tea Tree Oil berwarna kuning atau kuning pucat, dan mempunyai
bau mint seperti champor (Groot dkk, 2016).
Penyimpanan Tea Tree Oil adalah dengan cara di simpan pada botol tertutup
rapat dan terhindar dari cahaya matahari, panas, dan udara. Stabilitas Tea Tree Oil
juga berkurang karena penyimpanan yang lama (Yadav, 2016).
Tea Tree Oil mengandung hampir 100 komponen, mayoritas monoterpen dan
alcohol (Papadopoulos, 2008). Memiliki kandungan minimal 30% dari terpinen-4-
ol dan kandungan maksimal 15% dari 1,8-cineol. Terpinen-4-ol adalah komponen
utama Tea Tree Oil yang mempunyai sifat anti mikroba dan anti inflamasi yang
kuat (Mondello, 2006). Tea Tree Oil mempunyai sifat anti inflamasi dengan
menekan produksi superoksida dan sitokin proinflamasi, yang di buktikan dengan
pengurangan peradangan (Tighe at al., 2013). Pada penyimpanan Tea Tree Oil
dapat merubah gradiennya, sehingga dapat meningkatkan kadar simen dan
10
menurunkan tingkat terpinen. Tea Tree Oil memunyai enam chemotypes, yang
merupakan minyak dengan komposisi kimia yang berbeda, yang terdiri dari
chemotypeterpinen-4-ol, achemotype terpinolen, dan empat 1,8-cineol (Homer,
2000). Dalam produksi komersial Tea Tree Oil yang di gunakan adalah kandungan
chemotype terpinen-4-ol (Carson, 2006). Komponen dan komposisi dari tanaman
Melaleuca alternifolia dapat di lihat pada tabel II.1:
Tabel II.1 Komponen dan Komposisi Tanaman Melaleuca alternifolia
(Carson et al., 2006)
Komponen Komposisi
1. Terpinen-4-ol
2. ɣ-terpinen
3. α-terpinen
4. 1,8-cineol
5. Terpinolen
6. P-simen
7. α-pinen
8. α-terpineol
9. Aromadendren
10. δ-cadinen
11. Limonen
12. Sabinen
13. Globulol
14. Viridiflorol
40,1%
23,0%
10,4%
5,1%
3,1%
2,9%
2,6%
2,4%
1,5%
1.3%
1,0%
0,2%
0,2%
0,1%
2.1.4 Mekanisme Antibakteri Tea Tree Oil
Terpinen-4-ol adalah agen yang efektif melawan Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) dan Coagulase Negative Staphylococcus (CoNS).
Pada sebuah penelitian menunjukkan bahwa Tea Tree Oil digunakan 10%
mempunyai efek sebanding dengan penggunaan mupirocin topikal terhadap S.
aureus. Selain itu mencuci dengan 5% Tea Tree Oil efektif dalam menghilangkan
11
MRSA dari kulit. Pada penelitian lain menyatakan bahwa Tea Tree Oil
memberikan efek bakteriostatik dan bakteriosidal pada sitoplasma bakteri S.aureus
secara in vitro (Christopher et al., 2003). Dengan adanya spektrum luas dari Tea
Tree Oil dan efek merusak membran akan menyebabkan peningkatan difusi
melalui dinding sel dan masuk ke daerah fosfolipid struktur membrane sel.
Mekanisme terpinen-4-ol untuk membunuh bakteri yaitu dengan merusak dinding
sel bakteri, ditunjukkan dengan hilangnya materi inti sel dan K+, mengganggu
keseimbangan garam dalam sel, dan adanya penghambatan respirasi glukosa
dalam pengamatan mikroskop electron setelah dilakukan pemberian Tea Tree Oil
secara in vitro pada bakteri S. aureus (Cox et al., 2000) .
Terpine-4-ol komponen antimikroba pada Tea Tree Oil yang dapat
menyebabkan kebocoran sel, dan membuat sel-sel rentan terhadap NaCl. Tea Tree
Oil menunjukkan efek antimikroba melalui lisis sel dan kehilangan integritas
membrane yang menyebabkan kebocoran ion dan penghambatan respirasi (Fong et
al., 2014).
Tea Tree Oil dapat mengendalikan strain bakteri dengan cara yang sangat
efisien pada konsentrasi penggunaan yang sangat rendah, hal ini menunjukkan
bahwa dirinya adalah agen antibakteri yang sangat baik (Falci et al., 2015).
2.2 Bakteri Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri dari famili Micrococcaceae yang
termasuk bakteri gram positif, bakteri ini di bedakan dari spesies Staphylococcal
lainnya atas dasar pigmentasi koloni emas dan hasil positif dari koagulase,
fermentasi manitol, dan tes deoksiribonuklease. Dinding sel bakteri ini tersusun
atas 50% peptidoglikan berat, yang terdiri dari sub unit sakarida yaitu, N- asetil
glukosamin, dan asam N- asetilmuramik. S. aureus merupakan penyebab utama
infeksi kulit, jaringan lunak, pernafasan, tulang, sendi, dan gangguan endovascular
(Franklin, 1998).
12
2.2.1 Klasifikasi Staphylococcus aureus
Domain : Bacteria
Kingdom : Eubacteria
Phylum : Firmicutes
Class : Bacilli
Order : Bacillales
Family : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus
(Brooks, 1995)
2.2.2 Morfologi dan Identifikasi Staphylococcus aureus
a. Ciri khas
Staphylococcus aureus sel berbentuk coccus dengan diameter 1μm. Tersusun
dalam bentuk kluster yang tidak teratur. Merupakan coccus tunggal
berpasangan, tetrad, dan bentuk rantai juga terlihat di biakan cair, spesies
micrococcus sering menyerupai. Koloni Staphylococcus aureus dapat
berwarna kuning, merah, atau jingga (Brooks dkk, 2005).
b. Biakan
Staphylococcus aureus tumbuh dengan baik pada berbagai media bakteriologi
di bawah suasana aerobic atau microaerofilik. Tumbuh cepat pada temperatur
370C namun membentuk pigmen yang terbaik pada temperatur kamar (20-
350C). Koloni pada media yang padat berbentuk bulat, lembut, dan
mengkilap. Biasanya membentuk koloni abu-abu hingga kuning emas. Jika
pada media cair tidak ada pigmen yang di hasilkan secara anaerobic (Brooks
dkk, 2005).
c. Karakteristik Pertumbuhan
Staphylococcus aureus dapat merugikan karbohidrat dengan membentuk asam
laktat tetapi tidak menghasilkan gas. Staphylococcus aureus telatif resisten
terhadap pengeringan panas (lahan pada suhu 500C selama 30 menit) dan
NaCl 9% tetapi mudah di hambat oleh bahan kimia tertentu seperti
heksaklorofen 3% (Jawetz et al., 2007).
13
d. Patogenesis
Kemampuan patogenik dari Staphylococcus aureus adalah pengaruh
gabungan antara faktor ekstraseluler dan toksin bersama dengan sifat daya
sebar invasif. Pada satu sisi semata-mata diakibatkan oleh ingestienterotoksin,
pada sisi lain adalah bakterimia, dan abses pada berbagai organ. Peranan
berbagai bahan ekstraseluler pada pathogenesis berasal dari sifat masing-
masing bahan.
S. aureus yang patogenik dan yang invasif menghasilkan koagulase dan
cenderung menghasilkan pigmen kuning dan menjadi hemolitik. Sedangkan
yang non patogenik dan non invasif cenderung menjadi non hemolitik
(Brooks dkk, 2005)
e. Patologi
S. aureus dapat menyebabkan terjadinya berbagai jenis infeksi mulai dari
infeksi kulit, keracunan makanan, sampai dengan infeksi sistemik.Infeksi kulit
yang biasanya di sebabkan oleh Staphylococcus aureus yaitu impetigo,
selulitis, folikulitis, dan abses (Salmenlina, 2002).
Gambar 2.2 Bakteri S.aureus (Healthhype.com)
14
2.3 Antibakteri
2.3.1 Definisi Antibakteri
Antibakteri terdapat pada produk metabolit yang terkandung pada organisme
tertentu, pada pemberiannya dalam jumlah amat kecil dapat merusak atau
menghambat mikroorganisme lain (Pelczar dan Chan, 1988).
Antibakteri adalah sifat dari suatu zat yang dapat membasmi bakteri, terutama
bakteri patogen. Zat antibakteri harus mempunyai toksisitas selektif, yaitu
berbahaya bagi parasit, tetapi aman bagi inangnya. Berdasarkan sifat toksisitasnya,
sifat bakteri di bagi menjadi dua yaitu bakteriostatik, dan bakterisid. Dimana
bakteriostatik mempunyai daya untuk menghambat pertumbuhan bakteri dengan
mempengaruhi sintesis protein sedangkan bakterisid memmpunyai mekanisme
mempengaruhi pembentukan dinding sel atau permeabilitas membran sel yang
bersifat membunuh bakteri (Xia et al., 2010).
Terdapat dua kategori efektifitas spectrum dari antimicrobial yaitu, broad
spectrum antibiotic dan narrow spectrum antibiotic. Broad spectrum antibiotic
merupakan antibiotik yang dapat merusak beberapa tipe bakteri seperti gram positif
dan bakteri gram negatif, sedangkan narrow spectrum antibiotic merupakan
antibiotik yang dapat merusak segolongan kecil bakteri misalnya hanya bakteri
gram negatif atau bakteri gram positif saja (Betsy dan Keogh, 2005).
2.3.2 Pemakaian Antibakteri
Antibiotika pertama kali di temukan oleh Paul Ehlrich pada tahun 1910,
sampai saat ini antibiotik masih banyak di gunakan dalam penanganan kasus-kasus
infeksi. Pemakaiannya selama lima dekade terakhir mengalami peningkatan yang
signifikan, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga menjadi masalah yang
serius di Negara maju seperti Amerika Serikat (Akalin, 2002). Menurut Menteri
Kesehatan sekitar 92% masyarakat di Indonesia tidak menggunakan antibiotik
secara tepat, apabila antibiotik tersebut di gunakan secara tepat akan memberikan
suatu kondisi yang lebih baik, begitupun sebaliknya apabila antibiotik di salah
gunakan maka akan memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan masyarakat.
15
Adanya kuman-kuman yang rentan terhadap salah satu atau beberapa jenis
antibiotika tertentu akan menyulitkan pengobatan. Pemakaian pengobatan lini
pertama yang sudah tidak mampu mengatasi bakteri akan diganti dengan lini ke dua
dan bahkan diganti dengan lini ke tiga, dimana harga dari antibiotik lini ke dua dan
lini ke tiga relatif lebih mahal di banding dengan lini pertama. Hal ini jelas sangat
merugikan pasien (APUA, 2011).
2.3.3 Mekanisme Kerja Antibakteri
Mekanisme antibakteri dapat di lakukan dengan empat cara yaitu, (Jawetz et
al, 2007):
1. Penghambatan Dinding Sel
Bakteri mempunyai lapisan luar yang kuat, yaitu dinding sel. Fungsi dari
dinding sel adalah mempertahankan bentuk bakteri dan pelindung sel
bakteri yang mempunyai tekanan osmotik tinggi. Terdapat bagian penting
dari dinding sel yang berfungsi untuk mempertahankan bentuk
mikroorganisme dan menahan sel bakteri, yaitu peptidoglikan. Mekanisme
kerja antibakteri yaitu dengan cara merusak dinding sel bakteri.
2. Penghambatan Sintesis Protein
Penghambatan sintesis protein di lakukan dengan menghambat perlekatan
tRNA dan mRNA ke ribosom, yang akan mengganggu proses translasi
dan transkripsi.
3. Pengubahan Fungsi Membran Plasma
Membran sitoplasma mempertahankan bahan tertentu di dalam sel serta
mengatur aliran keluar masuknya bahan lain. Membran akan memelihara
integritas komponen seluler. Kerusakan pada membrane tersebut
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau sel akan mengalami
kematian.
4. Penghambatan Sintesis Asam Nukleat
DNA, RNA, dan protein mempunyai peranan yang penting di dalam
kehidupan sel. Jika terdapat gangguan pada pembentukan atau pada fungsi
zat-zat dapat mengakibatkan kerusakan total pada sel. Bahan antibakteri
16
dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan ikatan yang sangat kuat
pada enzim DNA Dependent dan RNA Polymerase sehingga dapat
menghambat sintesis RNA bakteri.
Menurut Madigan et al., 2000, berdasarkan sifat toksisitas selektif,
senyawa antibakteri mempunyai 3 macam efek terhadap pertumbuhan
bakteri, yaitu:
1. Bakteriostatik
Bakteriostatik memberikan efek dengan cara menghambat
pertumbuhan. Senyawa ini seringkali menghambat sintesis protein
atau mengikat ribosom.
2. Bakteriosidal
Bakteriosidal memberikan efek membunuh bakteri tapi tidak terjadi
lisis atau pecah.
3. Bakteriolitik
Bakteriolitik menyebabkan sel lisis sehingga jumlah sel berkurang
atau terjadi kekeruhan setelah penambahan antibakteri.
2.3.4 Uji Aktifitas Antibakteri
Penetuan kepekaan bakteri pathogen terhadap antimikroba dapat dilakukan
dengan dua metode yaitu, metode dilusi dan metode difusi (Jawetz et al, 2007):
1. Metode Dilusi
Ada dua jenis metode dilusi, yaitu:
a. Metode Dilusi Cair/ Broth Dilution Test (Serial Dilution)
Metode ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau
Kadar Hambat Minimum (KHM) dan MBC (Minimum Bactericidal
Concentration) atau Kadar Bunuh Minimum (KBM). Cara yang
dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba
pada medium cair yang di tambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji
agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya
pertumbuhan mikroba uji di tetapkan sebagai KHM. Larutan yang di
tetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya di kultur ulang pada media
17
cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan di
inkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih
setelah di inkubasi di tetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008).
b. Metode Dilusi Padat/ Solid Dilution Test
Metode ini sama dengan metode cair namun menggunakan media
padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen
antimikroba yang di uji dapat di gunakan untuk menguji beberapa
mikroba uji (Pratiwi, 2008).
2. Metode Difusi
Media yang di pakai adalah MHA (Meuller Hinton Agar), metode difusi
ada beberapa cara yaitu:
1. Cara Kirby Bauer
Koloni kuman di ambil dan di tumbuhkan selama 24 jam pada agar, di
suspensikan ke dalam BHI cair, di inkubasi pada 5-8 jam pada suhu
370C. Suspensi di tambah aquades steril hingga kekeruhan tertentu
sesuai dengan standar konsentrasi kuman 108 CFU per ml (CFU =
Colony Forming Unit). Kapas lidi steril di celupkan ke dalam suspensi
kuman lalu ditekan-tekan pada dinding tabung hingga kapasnya tidak
terlalu basah. Kapas lidi tersebut di oleskan pada permukaan media
agar hingga rata dan letakkan cakram disk yang mengandung
antibaktri di atasnya, lalu di inkubasi pada suhu 370C dan di baca
hasilnya.
Zona radikal adalah suatu daerah di sekitar disk, dimana tidak di
temukan bakteri sama sekali. Potensi antibakteri di ukur dengan
mengukur diameter dar zona radikal sedangkan zona irradikal adalah
suatu daerah di sekitar disk yang menunjukkan adanya pertumbuhan
bakteri yang di hambat oleh antibiotik tersebut, tetapi tidak dimatikan.
Pada zona irradikal akan terlihat adanya pertumbuhan yang kurang
suburatau jarang di bandingkan dengan daerah di luar pengaruh
antibiotik tersebut.
18
2. Cara Sumuran
Seperti cara Kirby Bauer, setelah dioleskan bakteri pada media agar
dibuat sumuran dengan garis tengah tertentu dan kedalam sumuran di
beri larutan antibakteri dan di inkubasi pada suhu 370C selam 18-24
jam, lalu di baca hasilnya.
3. Poor Plate
Tahap awal sama dengan cara Kirby Bauer. Satu mata ose bakteri di
ambil dengan menggunakan ose khusus dan di masukkan ke dalam 4
ml agar base 1,5% yang mempunyai temperatur 500C. Setelah
suspense kuman tersebut di buat homogen, kemudian di tuangpada
media MHA (Mueller Hinton Agar) dan di tunggu sebentar samapai
agar tersebut membeku, kemudian disk di letakkan dan dieramkan
selama 15-20 jam dengan suhu 370C, lalu di baca dan di sesuaikan
standar masing-masing.
2.3.5 Kontrol Positif Antibakteri
Kontrol positif yang di gunakan dalam penelitian untuk uji aktivitas antibakteri
sediaan cream Tea tree Oil ini adalah salep fucidin, bahwa dengan 2% salep fucidin
mampu melawan bakteri S. aureus menurut penelitian yang di lakukan oleh Cohen,
2011, serta di dukung oleh peneletian lain yaitu asam fucidat yang mana adalah
kandungan dari saleo fucidin dapat melawan bakteri S. aureus, Streptococcus, dan
Neisseria spp yang dilakukan oleh Bonner (2008).
2.4 Krim
2.4.1 Definisi Krim
Obat topikal terdiri dari vehikulum (bahan pembawa) dan zat aktif. Saat ini,
banyaknya sediaan topikal yang tersedia di tujukan untuk mandapatkan efikasi
maksimal zat aktif obat dan menyediakan alternatif pilihan untuk sediaan yang
terbaik. Obat topikal adalah salah satu obat yang sering di pakai dalam terapi
dermatologi. Obat topikal adalah obat yang mengandung dua komponen dasar yaitu
zat pembawa (vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif merupakan komponen bahan
topikal yang memiliki efek terapeutik, sedangkan zat pembawa adalah bagian
19
inaktif dari sediaan topikal dapat berbentuk cair atau padat yang membawa bahan
aktif kontak langsung dengan kulit (Yanhendri, 2012).
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan
obat terlarut atau terdispersi pada bahan dasar yang sesuai. Secara tradisional telah
di gunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair
pada formulasi sebagai emulsi air dalam minyak dan minyak dalam air. Yang dapat
di cuci dengan air dan lebih di tujukan untuk penggunaan kosmetik (Depkes RI,
1995).
Sediaan dalam bentuk krim banyak di gunakan karena mempunyai beberapa
keuntungan di antaranya lebih mudah di aplikasikan, lebih nyaman di gunakan pada
wajah, tidak lengket dan dapat di cuci dengan air, di bandingkan dengan sediaan
salep, gel, atau pasta (Wahyuni, 2005).
2.4.2 Cold Cream
Cold Cream adalah basis krim tipe air dalam minyak (w/o), terdiri dari minyak
sebagai fase luar , dan air sebagai fase dalam. Fase air terdispersi dalam fase minyak
dengan bantuan suatu emulgator.
Basis krim ini lebih mudah terdispersi, dapat memberikan efek oklusif dan
hangat pada kulit meskipun sedikit, karena setelah fase air menguap pada kulit
tertinggal suatu lapisan film dari lemak, dapat memberikan efek kerja obat yang lebih
lama karena dapat lebih lama tinggal di kulit dan tidak cepat mengering (Juwita,
2013).
2.4.3 Evaluasi Sediaan Semi Solida
Evaluasi sediaan di lakukan untuk mengetahui apakah sediaan yang telah di buat
sesuai criteria yang di inginkan dan telah mencapai hasil yang maksimal. Evaluasi
untuk sediaan dermatologi termasuk kosmetika terdiri dari stabilitas bahan aktif,
stabilitas bahan tambahan, organoleptis (warna, bau, dan tekstur), homogenitas,
distribusi ukuran partikel fase terdispersi, pH, pelepasan atau bioavailabitas,
viskositas (Barry, 1983).
Evaluasi suatu sediaan semisolida meliputi karakteristik fisik, kimia,
efektivitasnya, evaluasi karakteristik fisik sediaan meliputi: organoleptis,
20
homogenitas, viskositas, tipe emulsi dan daya sebar. Evaluasi karakteristik kimia
yaitu pengukuran pH. Evaluasi stabilitas dengan metode freeze and thaw (Setyawan
dkk, 2012).
2.5 Emulgator
Emulgator merupakan bahan yang di gunakan untuk menurunkan tegangan
antarmuka antara dua fasa yang dalam keadaan normal tidak saling bercampur,
sehingga keduanya dapat teremulsi. Secara structural, emulgator adalah molekul
amfifilik, yaitu memiliki gugus hidrofilik maupun lipofilik atau gugus yang suka air
dan suka lemak dalam satu molekul (Nasution et al., 2004).
Emulgator dapat dibedakan berdasarkan sumber dan mekanismenya: (Agoes dan
Darijanto 1990).
1. Sumbernya
a. Bahan alami, contih: gom arab, tragakan, agar, male extract.
b. Poliskarida semisintetik, contoh: metal selulosa, Na-
carboxymethylselulose (CMC-Na).
c. Emulgator sintetik: surfaktan, sabun, alkali, alcohol (cetyl alcohol,
gliserin), carbowaxes, lesitin (fosfolipid).
Lesitin merupakan salah satu emulsifier yang berperan secara aktif
menurunkan tegangan permukaan dalam pembuatan emulsi. Lesitin
kasar biasanya diperoleh dari kedelai dan kuning telur. Lesitin ini
merupakan campuran dari lipida (fosfolipida) dengan fosfatidilkolin,
etanolamina, dan inositol sebagai komponen utama (Van der Meeren
et al., dalam Nollet, 1992).
2. Zat pengemulsi yang lazim digunakan untuk pembentukan emulsi dibagi
menjadi 4 golongan yaitu surfaktan, koloid hidrofil, partikel padat halus, dan
elektrolit.
a. Golongan surfaktan
Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki
gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri
21
dari air dan minyak dengan cara menurunkan tegangan permukaan
antar fase. Surfaktan dalam jumlah sedikit apabila di tambahkan ke
dalam suatu campuran dua fase yang tidak saling bercampur seperti
minyak dan air dapat mengemulsikan kedua fase tersebut menjadi
emulsi yang stabil. Aktifitas surfaktan diperoleh karena sifat ganda
dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka
akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang suka akan minyak/
lemak (lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan
positif, negatif, atau netral.Sifat rangkap ini yang menyebabkan
surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air,
dan zat padat-air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus
hidrofilik berada pada fase air dan rantai hidrokarbon ke udara, dalam
kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam fase minyak.
Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan rantai alkil
yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung
gugus hidroksil. Bagian kepala bersifat hidropilik masuk ke fase
hidropil dan bagian ekor bersifat hidropobik masuk ke fase
hidropobik (Jatmika, 1998).
Senyawa ini memiliki mekanisme kerja menurunkan tegangan
antar muka minyak dan air dengan membentuk lapisan film
monomolekuler pada permukaan globul fase terdispersi. Ada
beberapa jenis surfaktan berdasarkan muatan ionnya, yaitu surfaktan
anionic, kationik, non ionic, dan amfoterik. Surfaktan anionic
merupakan surfaktan yang memiliki gugus hidrofil anion,contohnya
natrium oleat, natrium laurat sulfat, natrium stearat. Surfaktan
kationik merupakan surfaktan yang memiliki gugus kation,
contohnya cetrimide, setil trimetil ammonium bromide, zehiran
klorida.Surfaktan non ionic merupakan surfaktan yang gugus
hidrofilnya non ionil, contohnya tween 80 dan span 80.Surfaktan
22
amfoterik yaitu surfaktan yang mengandung dua gugus hidrofil dan
lipofil (Agoes dan Darijanto 1990).
b. Golongan koloid hidrofil
Zat pengemulsi ini diadsorbsi pada antar muka minyak-air dan
akan membentuk lapisan film multimolekuler disekeliling globul
terdispersi. Bahan ini umumnya membentuk emulsi m/a. Ketika larut,
bahan ditambahkan ke fase air jika volume lebih banyak dari fase
minyak. Namun jika bahan ini ditambahkan dalam fase minyak dapat
membentuk emulsi dengan tipe a/m. Beberapa contoh kelompok ini
adalah protein, gom, amilum, turunan dari zat sejenis dekstrine, metil
selulosa, beberapa polimer sintetik seperti polivinil alcohol, akasia,
tragakan, dan CMC (Agoes dan Darijanto 1990).
c. Partikel Padat Halus Tidak Larut
Zat pengemulsi ini akan teradsorpsi pada antar muka minyak-
air dan akan membentuk lapisan film mono dan multimolekuler oleh
adanya partikel halus yang teradsopsi oada antar muka minyak-air.
Contohnya bentonit dan veegum (Agoes dan Darijanto 1990).
d. Elektrolit
Zat pengemulsi yang termasuk kelompok elektrolit merupakan
zat pengemulsi yang kurang efektif. Beberapa elektrolit anorganik
sederhana seperti KCNS jika ditambahkan kedalam air dalam
konsentrasi rendah akan memungkinkan terbentuknya disperse encer
minyak dalam air (m/a) yang lebih dikenal sebagai oil hydrosol. Ion
CNS menimbulkan potensial negative minyak pada antar muka
(Agoes dan Darijanto 1990).
23
2.5.1 Jenis Tween dan Span
1. Tween
Tabel II.2 Macam-macam Tween (Rowe et al., 2009)
Polysorbate Rumus molekul Berat molekul
Polysorbate 20 C58H14O26 1128
Polysorbate 21 C26H50O10 523
Polysorbate 40 C62H122O26 1284
Polysorbate 60 C64H26O26 1312
Polysorbate 61 C32H62O10 607
Polysorbate 65 C100H194O28 1845
Polysorbate 80 C64H124O26 1310
Polysorbate 81 C34H64O11 649
Polysorbate 85 C100H188O28 1839
Tabel II.3 Perbedaan Kandungan Tween 20, 40, 60, dan 80
(Rowe et al., 2009)
Asam lemak Polysorbate 20 Polysorbate 40 Polysorbate 60 Polysorbate 80
Asam kaproat ≤ 1.0% - -
Asam kaprilat ≤ 10.0% - -
Asam kaprat ≤ 10.0% - -
Asam laurat 40.0-60.0% - -
Asam miristat 14.0-25.0% - - ≤ 5.0%
Asam palmitat 7.0-15.0% ≥ 92.0% + ≤ 16.0%
Asam
palmitoleat
- - - ≤ 8.0%
Asam linolenat - - - ≤ 4.0%
24
2. Span
Tabel II.4 Sinonim Span (Rowe et al., 2009)
Nama Sinonim
Sorbitan monoisostearat Anhidrosorbitol
Sorbitan monolaurat Span 20
Sorbitan monooleat Span 80
Sorbitan monopalmitat Span 40
Sorbitan monostearat Span 60
Sorbitan sesquiisostearat Protacem
Sorbitan sesquioleat Sorgen 30
Tabel II.5 Macam-macam Span (Rowe et al., 2009)
Nama Rumus molekul Berat molekul
Sorbitan diisostearat C42H80O7 697
Sorbitan dioleat C42H76O7 693
Sorbitan monoisostearat C24H46O7 431
Sorbitan monolaurat C18H34O6 346
Sorbitan monooleat C24H44O6 429
Sorbitan monopalmitat C22H42O6 403
Sorbitan monostearat C24H46O6 431
Sorbitan sesquiisostearat C33H63O6,5 564
Sorbitan sesquioleat C33H60O6,5 561
2.6 Formulasi Basis
Pada penelitian ini menggunakan basis cold cream untuk di gunakan dalam
formulasi sediaan krim antibakteri Tea Tree Oil.
Formulasi cold cream berdasarkan (Rahmawati, 2010)
R/ Cera alba 8.9g
Cetaceum 11.1g
Parafin cair 49.8g
Aquades 19.1g
Ekstrak manggis 10g
25
Formulasi krim mengandung nipagin dan nipasol (Liony, 2014)
R/ Asam stearat 5g
Setil alkohol 5g
Parafin cair 2g
Olive oil 3g
Metyl paraben 0.2g
Propil paraben 0.02g
Trietanolamin 0.7g
Gliserin 2g
Monostearat 8g
BHT qs
2.6.1 Komposisi Penyususun
1. Tween 80 (Rowe et al., 2009)
Sinonim : Atlas E, Armotan PMO 20, Capmul POE-O,
Cremophor PS 80, Crillet 4, Crillet 50,
drewmulse PEO-SMO, drewpone 80K, durfax
80, durfax 80K, E433, emrite 6120, eumulgin
SMO, glycosperse O-20, hodag PSMO-20,
liposorb O-20, liposorb O-20K, montanox 80,
polyoxyethylene 20 oleate, polysorbatum 80,
protasorb O-20, ritabate 80, (Z)-sorbitan mono-
9-octadecenoate poly(oxy1,2-ethanediyl)
derivates, tego SMO 80, tego SMO 80V.
Rumus molekul : C64H124O26
BM : 1310
Pemerian : Merupakan cairan berminyak berwarna kuning
dan mempunyai bau yang khas dan hangat, rasa
agak pahit.
26
Kelarutan : Larut dalam etanol dan air, tetapi tidak larut
dalam minyak mineral dan minyak sayur.
Penggunaan : Digunakan kombinasi dengan pengemulsi
hidrofilik, emulsi tipe minyak dalam air dengan
konsentrasi 1%-10%.
Inkompatibilitas : Perubahan warna dan atau pengendapan terjadi
dengan berbagai zat, terutama fenol, tannin, tars,
dan bahan tarlike. Aktivitas antimikroba akan
berkurang jika ada penambahan polisorbat yaitu
methyl paraben.
Stabilitas : Polisorbat stabil terhadap elektrolit, asam
lemah, dan basa. Polisorbat yang higroskopis
harus dilakukan pemeriksaan kadar air sebelum
di gunakan dan jika perlu harus kering.
Penyimpanan yang lama akan menyebabkan
pembentukan peroksida. Polisorbat harus
disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung
dari cahaya, ditempat sejuk, dan kering.
2. Span 20 (Rowe et al., 2009)
Sinonim : Sorbitan monolaurate.
Rumus molekul : C18H34O6
BM : 346
Pemerian : Cairan kental berwarna kuning, mempunyai bau
dan rasa yang khas.
Kelarutan : Larut dalam minyak, sebagian besar larut
dalam pelarut organic, tidak larut dalam air
tetapi dapat terdispersi.
Penggunaan : Emulgator (Penggunaan sendiri dalam m/a= 1-
15%, kombinasi dengan emulgator lain 1-10%).
3. Vaselin putih (Rowe et al., 2009)
27
Sinonim : White petrolatum, white petrolatum jelly.
Pemerian : Putih atau kekuningan pucat, masa berminyak
transparan dalam lapisan setelah didinginkan
pada suhu 00C.
Kelarutan : Tidak larut dalam air, sukar larut dalam etanol
dingin atau panas dan dalam etanol mutlak
dingin; mudah larut dalam benzene, dalam
karbon disulfide, dalam kloroform; larut dalam
heksena; dan dalam sebagian besar minyak
lemak dan minyak atsiri.
Penggunaan : Emolien krim, topical emulsi, topical ointment
dengan konsentrasi antar 10-30%.
4. Cera Alba (Rowe et al., 2009)
Sinonim : Bleached wax.
Pemerian : Berwarna putih atau agak kekuningan. Bau yang
mirip dengan lilin kuning tetapi kurang intens.
Kelarutan : Larut dalam kloroform, eter, minyak atsiri, dan
karbon disulfida hangat; Sedikit larut dalam
etanol 95%; praktis tidak larut dalam air.
Penggunaan : Dalam sediaan topical digunakan untuk
meningkatkan konsistensi krim dan salep dan
digunakan untuk menstabilkan emulsi air dalam
minyak. Cera alba juga dapat digunakan untuk
menyesuaikan titik leleh pada sediaan
suppositoria.
Inkompatibilitas : Tidak kompatibel dengan agen oksidator.
Stabilitas : Pada pemanasan diatas 1500C terjadi esterifikasi
dengan cara menurunkan nilai asam dan
meningkatkan titik leleh. Cera alba stabil bila di
28
simpan dalam wadah tertutup baik dan
terlindung dari cahaya.
5. Nipagin (Rowe et al.,2009)
Sinonim : Metil paraben, metal p- hidroksibenzoat
Rumus molekul : C8H8O3
BM : 152,15
Pemerian : Serbuk kristal berwarna atau kristal putih, tidak
berbau atau hamper tidak berbau dan memiliki
sedikit rasa yang membakar.
Kelarutan : Pada suhu 250C larut dalam 2 bagian etanol, 3
bagian etanol (95%), 6 bagian etanol (50%), 10
bagian eter, 60 bagian gliserin, 2 bagian methanol,
praktis tidak larut dalam minyak mineral, larut
dalam 200 bagian minyak kacang, 5 bagian
propilen glikol, 400 bagian air (250C), 50 bagian
air (500C) dan 30 bagian air (800C).
Penguunaan : Aktivitas antimikroba berkurang dengan
kehadiran surfaktan non ionic seperti polisorbat
80 karena miselisasi. Penambahan 10% propilen
glikol menunjukkan efek potensiasi dan mencegah
interaksi antara paraben dengan polisorbat 80.
Inkompatibel dengan bentonit, magnesium
trisiklat talk, tragakan, sodium alginate, minyak
esensial, sorbitol dan atropine; diabsorbsi oleh
plastic tergantung pada jenis plastic dan pembawa
yang digunakan, botol polietilen tidak
mengabsorbsi metilparaben, mengalami
perubahan warna akibat hidrolisis dengan adanya
besi, alkali lemah atau asam kuat.
29
Stabilitas : Larutan pada pH 3-6 stabil (dekomposisi kurang
dari 10%) selam 4 tahun penyimpanan pada suhu
ruang. Larutan pH 8 atau lebih mengalami
hidrolisis (dekomposisi terjadi lebih dari 10%)
setelah penyimpanan selama 60 hari pada suhu
ruang.
Inkompatibilitas : Aktivitas antimikroba berkurang dengan adanya
surfaktan non ionic seperti polisorbat 80 karena
miselisasi. Penambahan 10% propilen glikol
menunjukkan efek potensiasi dan mencegah
interaksi antara paraben dengan polisorbat 80.
Inkompatibel dengan bentonit, magnesium
trisiklat talk, tragakan, sodium alginate, minyak
esensial, sorbitol dan atropine; diabsorbsi oleh
plastic tergantung pada jenis plastic dan pembawa
yang di gunakan, botol polietilen tidak
mengabsorbsi metal paraben; mengalami
perubahan warna akibat hidrolisis dengan adanya
besi, alkali lemah atau asam kuat.
6. Nipasol (Rowe et al., 2009)
Sionim : Aseptoform, 4-hydroxybenzoic acid propyl ester,
propagin, propyl Aseptoform, propel paraben,
propyl parasept, solbrol
Rumus molekul : C10H12O3
BM : 180,20
Pemerian : serbuk kristal putih, tidak berbau dan tidak
berasa
Kelarutan : Larut dalam aseton, eter, 1,1 bagian etanol, 5,6
bagian etanol (50%), 250 bagian gliserin, 3330
bagian mineral oil, 70 bagian minyak kacang, 3,9
30
bagian propilen glikol, 110 bagian propilen glikol
(50%), 4350 bagian air (150C), 2500 bagian air,
225 bagian air (80%).
Penggunaan : Nipasol banyak digunakan sebagai pengawet
antimikroba dalam kosmetik, produk makanan,
dan formulasi farmasi. Nipasol dapat digunakan
tunggal ataupun kombinasi dengan ester paraben
lainnya. Pada sediaan topical nipasol biasa
dikombinasi dengan nipagin dengan kadar 0,01%-
6%.
Stabilitas : Larutan pada pH 3-6 stabil (dekomposisi kurang
dari 10%) selama 4 tahun penyimpanan pada
suhu ruang. Larutan pH 8 atau lebih mengalami
hidrolisis (dekomposisi terjadi lebih dari 10%)
setelah penyimpanan selam 60 hari pada suhu
ruang.
7. Propilenglikol (Rowe et al., 2009)
Sinonim : 1,2-Dihydroxypropane; 2-hydroxypropanol;
methyl ethylene glycol; methyl glycol; propane;
1,2-diol; propylenglycolum.
Rumus molekul : C3H8O2
BM : 76,09
Pemerian : Tidak berwarna, kental, praktis tidak berbau,
cair, manis, rasa sedikit pedas menyerupai
gliserin.
Kelarutan : Larut dalam aseton, kloroform, etanol 95%,
gliserin, dan air. Larut pada 1 dalam 6 bagian eter,
tidak larut dalam minyak atau minyak mineral,
tetapi akan larut dalam mknyak esensial.
31
Penggunaan : Propilenglikol banyak digunakan sebagai
pelarut, ekstraktan dan pengawet dalam sediaan
kosmetik dan makanan sebagai pembawa untuk
emulsifier. Dalam sediaan topikal konsentrasi
yang digunakan adalah≈15.
Stabilitas : Stabil pada suhu dingin dan tempat tertutup,
tetapi pada suhu tinggi dan tempat terbuka
cenderung akan teroksidasi, sehingga menjadi
produk seperti propionaldehida, asam laktat, asam
piruvat, dan asam asetat. Secara kimiawi
propilenglikol stabil saat dicampur dengan etanol
95%, gliserin, atau air.
Inkompatibilitas : Propilenglikol inkompatibel dengan reagen
pengoksidasi seperti kalium permanganate.
8. Aquadest (Rowe et al., 2009)
Sinonim : Aqua, aqua purificata, hydrogen oxide
Rumus molekul : H2O
BM : 18,02
Pemerian : Air digunakan untuk minum, air pada industry
farmasi yang digunakan adalah air murni, air
steril, air steril untuk injeksi, air steril untuk
irigasi, air steril untuk inhalasi, air merupakan
cairan yang encer, tidak berwarna, tidak berbau
rasa cairan.
Kegunaan : Khasiat dan penggunaan sebagai pelarut.
Penggunaan : Digunakan pada berbagai formulasi sediaan
farmasetika, pada formulasi farmasetika sediaan
topical dan kosmetik, gliserin utamanya
digunakan sebagai humektan dan pelembut.
32
Rentang gliserin yang digunakan sebagai
humektan sebesar ≤30%.
9. BHT (Rowe et al., 2009)
Sinonim : 2,6-bis (1,1-dimetiletil)-4-metilfenol; butil-
hidroksitoluena; butilhidroksitoluena; dibutil
hidroksitoluena; 2,6-di-tert-butil-p-cresol; 3,5-di-
tert-butil-4-hidroksitoluena.
Rumus molekul : C15H24O
BM : 220,35
Pemerian : Kristal padat atau bubuk berwarna putih atau
kuning pucat dengan bau seperti fenolik.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, gliserin,
propilenglikol, hidroksi alkali, dan asam mineral.
Bebas larut dalam aseton, benzene, etanol 95%,
eter, methanol, toluene, dan minyak mineral.Lebih
larut dalam butil hidroksi anisol.
Penggunaan : Digunakan pada berbagai formulasi sediaan
farmasetika, pada formulasi farmasetika sediaan
topical dan kosmetik digunakan sebagai
antioksidan dengan rentang pemakaian sebesar
0,0075-0,1. Digunakan untuk memperlambat atau
mencegah ketengikan lemak dan minyak.
Stabilitas : Aktivitas nya menurun bila terkena paparan
cahaya, disimpan di tempat yang lembab, dan
adanya panas dapat menyebabkan perubahan
warna. Disimpan di tempat yang terlindung dari
cahaya, ditempat yang sejuk, dan kering.
Inkompatibilitas : Dengan agen pengoksidasi kuat seperti peroksida
dan permanganat dapat menyebabkan pembakaran
spontan. Garam ferri dapat menyebabkan
33
perubahan warna dan hilangnya
aktifitas.Pemanasan dengan katalitik asam
menyebabkan dekomposisi cepat dengan
pelepasan gas isobutene yang mudah terbakar.
10. BHA (Rowe et al., 2009)
Sinonim : Butil Hidroksi Anisol; tert-butil-4-metoksifenol;
1,1-dimetiletil-4-metoksifenol; nipanox.
Rumus molekul : C11H16O2
BM : 180.25
Pemerian : Bubuk kristal berwarna putih atau hamper putih,
atau lilin berwarna putih kekuningan yang padat
dengan bau aromatic yang khas.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam
methanol, bebas larut dalam propilenglikol,
kloroform, eter, heksan, minyak biji kapas, mnyak
kacang, minyak kedelai, gliseril monoleat, dan
lemak babi.
Penggunaan : Digunakan pada berbagai formulasi sediaan
farmasetika, pada formulasi farmasetika sediaan
topikal dan kosmetik digunakan sebagai
antioksidan dengan rentang pemakaian sebesar
0.005-0.02%. Diigunakan untuk memperlambat
atau mencegah ketengikan lemak dan minyak.
Stabilitas : Paparan cahaya menyebabkan perubahan warna
dan hilangnya aktivitas. Disimpan dalam wadah
tertutup baik, terlindung dari cahaya, ditempat
yang sejuk dan kering.
Inkompatibilitas : Dengan agen pengoksidasi dan garam ferri.
Paparan cahaya dan banyaknya jumlah logam
34
menyebabkan perubahan warna dan hilamgmya
aktifitas.
11. Cetyl Alkohol (Rowe et al., 2009)
Sinonim : Alcohol cetylicus; cachalot; cradacol C70;
cradacol C90; 1-heksadekanol; n-hexadecyl
alcohol.
Rumus molekul : C16H34O
BM : 242.44
Pemerian : Bentuk seperti lilin, serpihan putih, kubus,
butiran. Memiliki bau yang khas dan rasa hambar.
Kelarutan : Bebas larut dalam etanol 95% dan eter,
kelarutannya akan meningkat dengan
meningkatnya suhu, praktis tidak larut dalam air,
larut ketika di lelehkan dengan lemak, paraffin
padat, dan isopropyl miristat.
Inkompatibilitas : Kompatibel dengan oksidator kuat.
Penggunaan : Dalam sediaan lotion, krim, dan salep,
digunakan untuk meningkatkan stabilitas,
meningkatkn tekstur, dan meningkatkan
konsistensi. Memiliki sifat emolien karena
penyerapan dan retensi setil alkahol di epidermis
sebagai pelumas dan pelembut kulit.
12. Na-EDTA (Rowe et al.,2009)
Sinonim : Edetate sodium, edetic acid tetrasodium salt,
EDTA tetrasodium, N,N0-1,2-ethanediylbis [N-
(carboxymethyl)glycine] tetrasodium salt,
(ethylenedinitrilo) tetraacetic acis tetrasodium
salt, Sequestrene NA4, tetracemate edentate, dan
Versene.
35
Rumus molekul : C10H12N2Na4O8
BM : 380.20
Titik lebur : > 3000C
pH : 11.3 dalam 1% w/v dalam air
Pemerian : Serbuk kristal putih
Kelarutan : larut dalam air
Penggunaan : Na EDTA digunakan sebagai Chellating agent
dan juga sebagai pengawet anti mikroba. Pada
sediaan topical, Na EDTA digunakan sebagai
chelating agent dengan kadar 0.01-0.1%
Inkompatibilitas : Dengan agen pengoksidasi kuat, basa kuat, dan
logam polivalen.
2.7 Tinjauan Kulit
Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa sekitar 1.5 m2 dengan berat kira-
kira 15% berat badan (Wasitaatmadja, 2010).
2.7.1 Anatomi Kulit
Gambar 2.3 Struktur Kulit (Wasiaatmadja, 2010)
36
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu:
lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Lapisan epidermis terdiri
atas:
1. Stratum korneum (lapisan tanduk) merupakan lapisan kulit yang
terluar dan terdiri atas sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan
keratin.
2. Stratum lusidum merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan
protoplasma yang telah menjadi protein.
3. Stratum granulosum (lapisan keratohialin) yaitu dua atau tiga lapis
sel-sel gepeng dengan sitoplasma butir kasar dan berinti di antaranya.
4. Stratum spinosum (stratum malphigi) terdiri atas beberapa lapis sel
yang berbentuk polygonal dengan besar yang berbeda akibat adanya
proses mitosis.
5. Stratum basale terbentuk oleh sel-sel berbentuk kubus (kolumnar)
yang tersusun vertical dan berbaris seperti pagar (palisade).
Lapisan dermis berada di bawah lapisan epidermis dan lebih tebal
daripada lapisan epidermis.Lapisan ini terdiri atas elastic dan fibrosa
padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis
besar dibagi menjadi dua bagian yaitu:
a) Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis yang
berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah.
b) Pars retikulare, yaitu bagian yang menonjol kearah subkutan
yang berisi serabut-serabut penunjang misalnya: serabut kolagen,
elastin, dan retikulin.
Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas
jaringan ikat longgar berisi sel lemak. Lapisan sel-sel lemak
disebut panikulus adipose yang berfungsi sebagai cadangan
makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi
pembuluh darah, dan getah bening (Wasitaatmadja, 2010).
37
2.7.2 Fungsi Kulit
Beberapa fungsi pelindung utama adalah (Scanlon, 2011):
3. Termoregulasi
Kulit bertindak untuk mempertahankan kontrol suhu dengan
mengeluarkan keringat dari kelenjar keringat. Keringat ini membantu
menurunkan suhu tubuh (Scanlon, 2011). Di saat suhu dingin peredaran
darah dikulit berkurang guna mempertahankan suhu badan. Pada waktu
suhu panas peredaran darah dikulit meningkat dan terjadi penguapan
keringat dari kelenjar keringat, sehingga suhu tubuh dapat dijaga tidak
terlalu panas. Lapisan kulit yang berperan dalam pengaturan suhu tubuh
adalah epidermis, dermis, dan subkutan (Harahap, 2000).
4. Perlindungan
Kulit adalah lapisan utama sebagai perlindungan ketika organisme akan
masuk kedalam tubuh. Hal ini juga melindungi terhadap hilangnya air
yang berlebihan, bahan kimia, radiasi sinar UV dan zat berbahaya lainnya
(Scanlon, 2011), Melanin yang memberi warna pada kulit, melindungi
kulit dari akibat buruk sinar ultraviolet. Lapisan kulit yang berperan
dalam perlindungan adalah epidermis, dermis, dan subkutan (Harahap,
2000).
5. Sensasi
Indera perasa kulit terjadi karena rangsangan terhadap saraf sensoris
dalam kulit. Fungsi indera perasa yang pokok yaitu merasakan nyeri,
perabaan, panas, dan dingin. Lapisan kulit yang berperan terhadap
rangsangan adalah dermis dan subkutan (Harahap, 2000).
6. Ekskresi
Kulit membantu membersihkan tubuh dari kotoran melalui keringat.
Keringat mengeluarkan air, garam, dan sejumlah kecil bahan kimia
organic (Scanlon, 2011). Selain dikeluarkan melalui keringat sisa
metabolism dapat diekskresikan melalui sebum. Lapisan yang berperan
dalam ekskresi adalah epidermis, dermis, dan subkutan (Harahap, 2000).
38
7. Sintesis Vitamin D
Vitamin D diperlukan tubuh untuk menyerap kalsium dan fosfor. Ketika
kulit terpapar sinar ultraviolet arau sinar matahari, mengkonversi
precursor vitamin D menjadi vitamin D melalui hati dan ginjal (Scanlon,
2011).
8. Penyerap
Kulit dapat menyerap bahan-bahan tertentu seperti gas dan zat yang larut
dalam lemak, tetapi air dan elektrolit sukar masuk melalui kulit, zat-zat
yang larut dalam lemak lebih mudah masuk dalam kulit dan masuk ke
peredaran darah, karena dapat bercampur dengan lemak yang menutupi
permukaan kulit. Masuknya zat-zat tersebut melalui folikel rambut dan
hanya sedikit sekali yang melalui muara kelenjar keringat. Target dalam
penyerapan adalah bahan cair, padat, lemak, oksigen. Lapisan kulit yang
berperan dalam penyerapan adalah epidermis (Harahap, 2000).