6
BAB II
TEORI DASAR
2.1 Sistem Tektonik Lempeng
Teori tektonik lempeng menyatakan bahwa struktur daratan dan lautan bersifat
dinamis. Konsep bumi yang bersifat dinamis pada awalnya dipelopori oleh teori
Continental Drift (pergeseran benua) oleh Lothar Waneger pada tahun 1915. Teori
ini menyatakan sekitar 200-an juta tahun lalu pada Zaman Kapur, semua benua
dahulunya menyatu yang disebut dengan Benua Pangea (Gambar 2.1. B). Adanya
arus konveksi yang terjadi pada lapisan mantel menyebabkan benua ini terpecah
menjadi lempeng-lempeng yang lebih kecil, berpindah menempati posisinya seperti
sekarang ini.
Gambar 2.1 (A) Ilustrasi struktur bumi dan (B) Pergerakan benua selama kurun
waktu 250 juta tahun terakhir [32].
Bumi tersusun atas beberapa lapisan, yaitu inti bumi bagian dalam, inti bumi bagian
luar, mantel, dan kerak dapat dilihat pada Gambar 2.1 (A). Inti bumi bagian dalam
bersifat padat, suhunya sangat tinggi, hal ini disebabkan tekanan di lapisan tersebut
sangat besar. Kemudian, Inti luar bersifat cair. Selanjutnya, lapisan mantel
umumnya lebih padat dari lapisan inti luar namun pada bagian yang bersentuhan
dengan kerak bumi yaitu asthenosphere memiliki sifat plastis mengarah ke cair.
Selanjutnya, kerak bumi/lempeng yang disebut juga lithosphere merupakan lapisan
terluar bumi, memiliki sifat kaku (rigid) terdiri dari kerak benua dan kerak samudra.
A B
7
Menurut konsep tektonik lempeng, kerak bumi terdiri atas beberapa lempeng besar
yang berada diatas astenosfer. Lempeng tektonik yang menyusun kerak bumi dapat
bergerak relatif satu dengan yang lainnya karena adanya pengaruh arus konveksi
yang terjadi pada lapisan astenosfer dengan posisi berada di bawah lempeng
tektonik kulit bumi (Gambar 2.1). Akibat arus konveksi terjadi mekanisme
pergerakan yang membentuk kerak baru di bagian permukaan bumi, yang dikenal
dengan pematang tengah samudera (mid ocean ridge) atau dalam istilah tektonik
disebut “Sea floor spreading”. Mekanisme ini mengutamakan gerak mendatar pada
kerak bumi (litosfer), adapun gerak secara vertikal disebabkan mekanisme sekunder
dari gerak mendatar. Litosfer yang keras dan kaku (rigid) bergerak di atas mantel
sehingga lempeng dapat bergerak relatif satu dengan yang lainnya. Biasanya
pergerakan lempeng terjadi akibat interaksi di batas lempeng yaitu saling menjauhi
(divergen), saling mendekati (konvergen), dan saling bergeser (transform) (Gambar
2.2). Daerah batas lempeng memiliki kondisi tektonik yang aktif, dapat
menyebabkan gempa bumi, aktivitas vulkanik, pembentukan gunung, pembentukan
palung samudera, sesar, rekahan, dan pembentukan dataran tinggi.
Gambar 2.2 Jenis-jenis interaksi antar lempeng A) Konvergen (gerak lempeng
saling mendekat) B) Divergen (Gerak lempeng saling menjauh), dan
C) Transform (Gerak lempeng bergerak secara horizontal) [21].
Jika dua lempeng bertemu, dapat mengalami interaksi seperti bergerak saling
menjauh, saling mendekati, dan saling bergeser antar lempeng (Gambar 2.2).
A
B
C
8
Pergerakan antar lempeng umumnya berlangsung lambat, bergerak perlahan dan
tidak dapat dirasakan oleh manusia namun terukur sebesar 1-15 cm per tahun.
Kadang-kadang pergerakan lempeng ini macet dan saling mengunci sehingga
terjadi pengumpulan tekanan yang berlangsung terus-menerus, ketika kuat tekanan
(stress) tidak dapat terkendali atau dengan kata lain melewati batas elastisnya maka
akan terjadi pelepasan stress berupa patahan bidang secara mendadak. Energi yang
terlepaskan dalam bentuk getaran gelombang seismik yang biasa dikenal sebagai
gempa bumi. Batuan akan kembali stabil, namun sudah mengalami deformasi atau
perubahan bentuk dan posisi, teori ini dikenal dengan teori elastic rebound [28].
2.2 Gempa Bumi
Gempa bumi adalah peristiwa guncangan atau bergetarnya bumi akibat adanya
pergerakan lapisan batuan pada kerak bumi sehingga menimbulkan pelepasan
energi secara tiba-tiba yang dapat merambat ke segala arah berupa gelombang
seismik, efeknya dapat dirasakan sampai ke permukaan bumi. Gempa bumi dapat
diakibatkan oleh aktivitas pergerakan lempeng tektonik (gempa tektonik) dan
aktivitas gunung berapi (gempa vulkanik). Gempa bumi dapat terjadi dimana saja
dan kapan saja. Walapun demikian, gempa bumi cenderung terkonsentrasi pada
tempat-tempat tertentu di lapisan kulit bumi. Umumnya, gempa bumi terjadi di
sekitar batas lempeng, daerah pertemuan dua lempeng dapat berupa zona
pemekaran dasar samudera, zona subduksi, sesar, pengangkatan maupun daerah
perlipatan.
Gempa bumi tektonik dapat disebabkan pergerakan lempeng, berupa tumbukan,
perlipatan, pergeseran, penyusupan yang berpengaruh terhadap media yang
dilewati proses tersebut. Pada daerah perbatasan lempeng, akan timbul tegangan
(stress) dan regangan (strain), disebabkan oleh mekanisme antar lempeng serta
sifat-sifat elastisitas batuannya. Teori yang menjelaskan proses terjadinya gempa
bumi adalah Teori Elastisitas (Elastic Rebound Theory). Teori ini dikemukakan
oleh seismologist Amerika bernama Reid. Teori Elastisitas menyatakan bahwa
gempa bumi merupakan gejala alam yang disebabkan oleh pelepasan energi
regangan elastik batuan akibat deformasi batuan pada lapisan litosfer. Deformasi
batuan dapat disebabkan tegangan (stress) dan regangan (strain) pada lapisan bumi.
9
Tegangan dan regangan yang terus menerus bertambah dapat menyebabkan daya
dukung pada batuan mencapai batas maksimum dan mulai terjadi deformasi berupa
patahan secara tiba-tiba, pada waktu itulah gempa bumi terjadi.
Gambar 2.3 Mekanisme gempa bumi “Elastic Rebound Theory” [16].
Pada gambar 2.3 menunjukkan mekanisme gempa bumi berdasarkan Teori
Elastisitas. Keadaan I menunjukkan daerah yang belum mengalami perubahan
bentuk geologi. Akibat bumi yang bergerak dinamis, lama-kelamaan terjadi
penumpukan stress yang dapat merubah bentuk geologi dari lapisan batuan.
Keadaan II menunjukkan penumpukan stress telah bekerja pada lapisan batuan
sehingga terjadi perubahan bentuk geologi. Pada daerah A, stress bekerja dari
bawah ke atas sedangkan daerah B stress bekerja dari atas permukaan ke bawah.
Proses penumpukan stress ini berlangsung terus-menerus sehingga mengakibatkan
gesekan antara daerah A dan B. Ketika lapisan batuan sudah tidak mampu lagi
untuk menahan stress, maka terjadi pergerakan atau perpindahan secara tiba-tiba
sehingga terjadi patahan. Peristiwa pergerakan secara tiba-tiba ini disebut gempa
bumi. Keadaan III menunjukkan lapisan batuan yang sudah mengalami patahan
atau terjadi deformasi lapisan batuan karena adanya pergerakan tiba dari lapisan
batuan tersebut. Proses ini akan terjadi secara berulang-ulang sampai terjadi gempa
bumi lagi.
10
Klasifikasi kedalaman hiposenter gempa bumi dibedakan menjadi tiga jenis [28],
yaitu:
1. Gempa bumi dangkal (shallow) memiliki kedalaman hiposenter kurang dari 70
km.
2. Gempa bumi menengah (intermediate) memiliki kedalaman hiposenter antara
70 hingga kurang dari 300 km.
3. Gempa bumi dalam (deep) memiliki kedalaman lebih besar dari 300 km.
Gempa bumi dangkal dapat menimbulkan efek goncangan dan kehancuran yang
lebih besar dibandingkan klasifikasi gempa bumi lainnya. Hal ini disebabkan
sumber gempa bumi berada dekat dengan permukaan sehingga energi
gelombangnya lebih besar.
Klasifikasi gempa bumi berdasarkan kekuatan gempa bumi atau magnitudo (M)
dengan Skala Richter (SR) [28], dibedakan menjadi:
1. Gempa bumi ultra mikro M < 1 SR
2. Gempa bumi mikro M 1 - 3 SR.
3. Gempa bumi kecil M 3 – 4 SR.
4. Gempa bumi sedang M 4 – 5 SR.
5. Gempa bumi merusak M 5 – 6 SR.
6. Gempa bumi besar M 7 – 8 SR.
7. Gempa bumi sangat besar M > 8 SR.
Tipe gempa bumi berdasarkan urutan kejadiannya, dibedakan menjadi:
I. Gempa bumi utama (mainshock) yang diikuti gempa bumi susulan (aftershock),
tanpa gempa bumi pendahuluan (foreshock). Biasanya gempa ini terjadi dengan
magnitudo yang besar kemudian diikuti dengan gempa bumi yang
magnitudonya lebih kecil. Gempa bumi ini terjadi pada daerah dengan medium
homogen dengan distribusi kuat tekan (stress) bekerja hampir merata. Contoh
gempa bumi tipe ini ialah gempa bumi tektonik.
II. Gempa bumi yang dimulai dengan gempa bumi pendahuluan (foreshock),
kemudian diikuti gempa bumi utama (mainshock), dan diikuti gempa bumi
susulan (aftershock) yang cukup banyak. Gempa bumi tipe ini terjadi pada
11
daerah dengan struktur medium yang tidak seragam dengan sebaran stress tidak
seragam.
III. Gempa bumi swarm merupakan tipe gempa bumi yang terjadi terus-menerus
tanpa ada gempa bumi utama. Biasanya gempa bumi tipe ini terjadi pada daerah
terbatas, seperti gunung api dan daerah yang memiliki struktur medium yang
tidak merata, dengan stress bekerja pada daerah terbatas.
2.2.1 Parameter Gempa bumi
Berikut merupakan parameter-parameter pada gempa bumi:
a. Waktu Kejadian (origin time)
Waktu kejadian gempa bumi atau origin time adalah waktu pelepasan energi
pertama kali suatu gempa bumi di sumbernya pada kedalaman tertentu di lapisan
bumi. Pada saat waktu kejadian gempa bumi akumulasi stress terlepas dalam
bentuk penjalaran gelombang gempa bumi. Waktu kejadian dinyatakan dalam hari,
tanggal, bulan, tahun, jam, menit, detik dalam UTC (Universal Time Coorcinated).
Untuk menentukan origin time dapat menggunakan diagram Wadati.
Gambar 2.4 Diagram Wadati.
Diagram wadati dapat menentukan waktu kejadian gempa bumi (to/origin time)
dengan menggunakan data waktu tiba gelombang P (tp) dan selisih waktu tiba
gelombang (ts) dan (tp), yang terus bertambah sebanding dengan bertambahnya
jarak tempuh gelombang tersebut (Gambar 2.4). Jarak stasiun ke hiposenter (D)
pada medium homogen ditunjukkan sebagai berikut:
D = V𝑝 x (tp-to) (2.1)
D = V𝑠 x (ts-to) (2.2)
D = k x (tp-ts)
12
D = V𝑝 𝑥 V𝑠
V𝑝 −V𝑠 (tp-ts) (2.3)
Untuk mendapatkan hubungan nilai waktu tiba gelombang P (tp) dan origin time
ditunjukkan pada persamaan (2.4) dan selisih waktu tiba gelombang (ts) dan (tp)
ditunjukkan pada persamaan (2.5), didapatkan dari persamaan (2.1), (2.2), dan
persamaan (2.3)
𝑡𝑝 − 𝑡𝑜 =V𝑝
V𝑠 (𝑡𝑠 − 𝑡0) (2.4)
𝑡𝑠 − 𝑡𝑝 =V𝑠 (𝑡𝑠−𝑡0)
V𝑝 𝑋 V𝑠
V𝑝 −V𝑠
(2.5)
Sehingga dapat di peroleh besar sudut (∝ ) merupakan sudut kedatangan atau sudut
yang terbentuk ketika gelombang seismik di hiposenter merambat sampai ke stasiun
seismometer dari persamaan (2.4) dan (2.5), sehingga dari persamaan tere=sebut
diperoleh persamaan (2.6).
tan𝛼 =𝑡𝑠−𝑡𝑝
𝑡𝑝−𝑡𝑜=
V𝑠 (V𝑝 −V𝑠 )∗(𝑡𝑠−𝑡𝑜)
V𝑝 𝑥V𝑠
V𝑠 ∗(𝑡𝑠−𝑡𝑜)
V𝑝
=V𝑝
2−V𝑝 .V𝑠
V𝑝 ∗V𝑠 =
V𝑝
V𝑠 − 1 (2.6)
Data dari stasiun akan menghasilkan satu garis linear optimal dengan gradien 0,5
hingga 0,9, karena waktu tiba 𝑡𝑝 dan selisih antara 𝑡𝑠 − 𝑡𝑝 akan selalu bertambah
sebanding dengan jarak tempuh gelombang seismik yang terekam di setiap stasiun.
Bentuk persamaan umum gradiennya ialah y = Ax + B, dimana absis x merupakan
nilai tp, sedangkan ordinat y adalah nilai ts-tp, 𝐴 =V𝑝
V𝑠 − 1 dari persamaan (2.6), serta
B merupakan variabel pelengkap. Origin time (to) adalah titik potong garis regresi
terhadap sumbu koordinatnya, yang merupakan waktu terjadinya gempa pada titik
hiposenter, sehingga dari diagram wadati (Gambar 2.4), nilai origin time (to) dapat
dihasilkan dari persamaan (2.6) sebagai berikut :
V𝑝
V𝑠
− 1 =𝒕𝒔−𝒕𝒑
𝒕𝒑−𝒕𝒐 (2.7)
Sehingga untuk persamaan Origin time (to) ditunjukkan dengan persamaan (2.8):
𝒕𝒐 = 𝒕𝒑 −(𝒕𝒔−𝒕𝒑)
(V𝑝
V𝑠 −𝟏)
(2.8)
Dimana, 𝑉𝑝 merupakan kecepatan gelombang P, 𝑉𝑠 merupakan kecepatan
gelombang S, serta to merupakan origin time.
13
b. Lokasi Hiposenter
Hiposenter adalah titik di dalam bumi mengalami pelepasan energi secara tiba-tiba
sehingga menghasilkan guncangan gempa bumi atau disebut juga sumber gempa.
Posisi hiposenter direpresentasikan dalam tiga koordinat ruang (𝑥0, y0, z0) dan
waktu terjadinya gempa (𝑡0) (Gambar 2.5). Dalam penentuan titik hiposenter gempa
bumi membutuhkan hasil perekaman seismometer gempa dalam bentuk
seismogram yaitu data waktu tiba gelombang P (tp) dan/atau data waktu tiba
gelombang S (ts) [7]. Jarak hiposenter gempa bumi dapat di peroleh dari persamaan
(2.1) hingga persamaan (2.3), sehingga di dapatkan jarak hiposenter (D),
ditunjukkan pada persamaan (2.11) sebagai berikut:
D = V𝑠 * (𝑡𝑠 − 𝑡𝑜) (2.9)
D = (𝑡𝑠 − 𝑡𝑝) +(𝑡𝑝 − 𝑡𝑜) * V𝑠 (2.10
D = V𝑠 * ( Tsp + Tpo) (2.11)
Dimana Tsp merupakan 𝑡𝑠 − 𝑡𝑝, Tpo merupakan 𝑡𝑝 − 𝑡𝑜, serta Tso merupakan 𝑡𝑠 − 𝑡𝑜.
Pada Gambar 2.5, S merupakan titik hiposenter gempa (𝑥0, y0, z0) dengan origin
time (to), stasiun seismometer (R), dengan jarak hiposenter ke stasiun (D), ∆
merupakan jarak antara episenter dan stasiun seismometer, dan E adalah titik
episenter.
Gambar 2.5 Penjalaran gelombang seismik dari hiposenter gempa ke stasiun
seismometer pengamat.
c. Episenter
Episenter adalah sebuah titik di permukaan bumi yang diproyeksikan/tegak lurus
terhadap hiposenter. Dapat dilihat pada Gambar 2.5, dimana E merupakan titik
episenter. Lokasi episenter dibuat dalam koordinat kartesian dinyatakan dalam
derajat lintang dan bujur.
14
d. Magnitudo atau Kekuatan Gempa
Magnitudo adalah ukuran kekuatan gempa bumi, yang menggambarkan besar
energi yang terlepas pada saat gempa bumi terjadi di sumbernya. Konsep
magnitudo (kekuatan gempa bumi pada sumber) diperkenalkan oleh Richter dengan
satuan Skala Richter. Umumnya, magnitudo gempa bumi dapat dihitung dapat
dihitung menggunakan persamaan (2.12):
M = log a / T + f ( ∆, h) Cs + Cg (2.12)
dengan M merupakan magnitudo, a merupakan amplitudo gerakan tanah
(mikrometer), T merupakan periode gelombang (detik), f merupakan koreksi
terhadap (∆ merupakan jarak pusat gempa atau episentrum dan h merupakan
kedalaman gempa), Cs merupakan koreksi terhadap stasiun, dan Cg merupakan
faktor koreksi terhadap sumbernya. Magnitudo gempa dibagi menjadi beberapa
jenis, yaitu:
Magnitudo Lokal (Ml)
Magnitudo Body Wave (Mb)
Magnitudo Surface Wave (Ms)
Magnitudo Moment (Mw)
e. Intensitas gempa bumi
Intensitas merupakan ukuran kekuatan gempa bumi berdasarkan kerusakan yang
diakibatkan. Skala intensitas lebih bersifat subjektif karena nilainya bergantung
pada orang yang mengamati. Skala yang secara umum digunakan adalah Modified
Mercalli System (MMI).
2.3 Gelombang Seismik
Gelombang seismik adalah gelombang elastik dari gempa bumi yang menjalar ke
seluruh bagian dalam bumi dan permukaan bumi akibat adanya lapisan batuan yang
break/patah secara tiba-tiba atau adanya suatu ledakan. Gelombang elastik
termasuk gelombang seismik karena medium yang dilewati ialah bumi yang
bersifat elastik. Maka dari itu sifat penjalaran gelombang seismik bergantung pada
keelastisan batuan yang dilewatinya. Teori elastisitas adalah teori yang menjelaskan
kemampuan suatu benda untuk kembali ke bentuk semula. Batuan yang bersifat
15
elastis dapat berfungsi menyimpan energi stress dan juga media transmisi
gelombang seismik. Tingkat elastisitas suatu medium bumi ditentukan cara medium
tersebut melewatkan gelombang. Begitu juga dengan gelombang gempa bumi dapat
mengambarkan informasi tentang sumber seismik dan medium yang dilewatinya.
Keelastisan suatu medium tergantung pada besarnya kuat tekan (stress) dan kuat
regang (strain) terhadap suatu medium (Gambar 2.6). Tegangan (stress)
didefinisikan sebagai gaya per satuan luas, persamaan matematis dari tekanan (𝜎).
Benda elastis yang mengalami stress maka akan mengalami perubahan bentuk
maupun dimensi. Perubahan tersebut disebut dengan regangan (strain). Regangan
merupakan jumlah deformasi per satuan luas. Berdasarkan Hukum Hooke, besaran
stress berbanding lurus dengan besaran strain. Jika stress sudah melewati batas
elastisitasnya maka medium akan pecah (brittle). Apabila stress belum mencapai
batas maksimumnya, maka medium dapat kembali ke bentuk semula sebagaimana
sifat elastisitas. Apabila stress diberikan pada suatu medium, kemudian stress
tersebut dilepaskan maka terjadi deformasi pada medium tersebut, bentuk medium
tidak dapat kembali kebentuk semula maka medium bersifat plastis (lentur).
Gambar 2.6 Skema proporsi stress dan strain.
Gelombang seismik menyebabkan vibrasi (getaran) pada medium karena sifat
gelombang seismik termasuk gelombang mekanik. Getaran menyebabkan efek
deformasi pada medium batuan seperti pada teori elastisitas. Selanjutnya parameter
elastisitas batuan berpengaruh terhadap kecepatan gelombang seismik pada suatu
medium. Elastisitas suatu material berbeda-beda tergantung bentuk-bentuk
deformasinya, secara kuantitas ditentukan oleh variasi modulus elastisitas, sebagai
berikut:
16
1. Modulus Young (E)
Modulus Young atau modulus elastis adalah ukuran perubahan suatu material
berubah bentuk ketika dikenai stress. Modulus Young di defenisikan sebagai
rasio dari ekstensi stress (𝜎 ) terhadap ekstensi strain (휀 ).
�� =𝑠𝑡𝑟𝑒𝑠𝑠
𝑠𝑡𝑟𝑎𝑖𝑛=
𝜎
��
=𝐹
𝐴𝑜⁄
∆𝐿 𝐿𝑜⁄
=𝐹 𝐿𝑜
𝐴𝑜∆𝐿 (2.13)
Jika suatu medium elastik ditarik oleh sebuah gaya (𝐹 ), medium tersebut akan
bertambah panjang (∆𝐿 ) sebanding dengan gaya yang bekerja dengan benda
tersebut, berarti ada sejumlah gaya yang bekerja pada setiap satuan panjang
medium (L), gaya yang bekerja sebanding dengan panjang benda dan
berbanding terbalik dengan luas penampangnya (Ao). Satuan SI untuk Modulus
Young ialah N/m2.
2. Modulus Bulk (K)
Modulus Bulk didefenisikan ukuran perubahan tekanan (�� ) yang bekerja pada
suatu volume. Modulus ini menunjukkan besarnya hambatan untuk mengubah
volume suatu benda.
�� = −��
∆𝑣𝑣⁄ (2.14)
Tanda negatif berarti bahwa ketika tekanan (�� ) meningkat, maka volume (v)
berkurang. Satuan modulus bulk ialah N/m2 atau Pa.
3. Modulus Shear (𝜇)
Modulus Shear atau modulus geser adalah perbandingan antara tegangan
terhadap regangan shear. Modulus Shear merupakan ketahanan material
menolak pergeseran dengan cara mengubah ukuran tanpa merubah volume.
Tekanan bekerja sejajar pada medium sehingga mengakibatkan deformasi
geser miring secara horizontal. Satuan Modulus Shear ialah N/m2 atau Pa.
𝜇 =𝜏xy
2∗𝑒𝑥𝑦 =
𝐹 𝐴⁄
∆𝐿 𝐿⁄=
𝐹 𝐿
𝐴∆𝐿 (2.15)
Dimana 𝜏 merupakan tegangan geser, 𝑒 merupakan regangan geser, 𝐹
merupakan gaya, A merupakan luasan medium, ∆𝐿 merupakan perubahan
panjang pada medium, dan L merupakan panjang medium.
17
4. Poisson’s Ratio
Poisson’s Ratio adalah ukuran kompresibilitas yang bekerja tegak lurus
terhadap sebuah benda atau perbandingan strain latitudinal dengan strain
longitudinal. Jika memiliki sampel berbentuk silinder kemudian ditekan oleh
suatu gaya, maka sampel tersebut akan memendek dan membuat jari-jari
bertambah. Perbandingan perubahan panjang (∆𝐿 ) dan perubahan jari-jari (∆𝑤 )
itulah yang disebut poisson’s ratio.
Poisson’s rasio (𝜎 ) = 𝑡𝑟𝑎𝑛𝑠𝑣𝑒𝑟𝑠𝑒 𝑠𝑡𝑟𝑎𝑖𝑛
𝑙𝑜𝑛𝑔𝑖𝑡𝑢𝑑𝑖𝑛𝑎𝑙 𝑠𝑡𝑟𝑎𝑖𝑛= −
∆𝑤 𝑤⁄
∆𝐼 𝐼
⁄ (2.16)
2.3.1 Penurunan Rumus Gelombang Seismik
Persamaan umum gelombang seismik, pada keadaan tidak teredam dinyatakan
dalam persamaan berikut:
𝛻2ѱ = 1
𝑣2
𝜕2ѱ
𝜕𝑡2 ; ∇= 𝑖𝜕
𝜕𝑥+ 𝑗
𝜕
𝜕𝑦+ ��
𝜕
𝜕𝑧 (2.17)
Keterangan:
ѱ = fungsi gelombang yang direalisasikan sebagai usikan yang menjalar.
𝑣 = kecepatan gelombang (m/s)
t = waktu (s)
Jika ditinjau sebuah elemen kecil volume dengan tegangan bekerja pada dua
permukaan yang tegak lurus terhadap sumbu x, maka komponen-komponen
tegangannya ditunjukkan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Komponen tegangan dan analisis tekanan dua dimensi [34].
18
Dalam bentuk tiga dimensi komponen perpindahan titik P (x, y, dan z) ditulis dalam
(u, v, dan w) sehingga regangan normal dapat dituliskan persamaan (2.18) sebagai
berikut:
휀𝑥𝑥 =𝜕𝑢
𝜕𝑥 ; 휀𝑦𝑦 =
𝜕𝑣
𝜕𝑦; 휀𝑧𝑧 =
𝜕𝑤
𝜕𝑧 (2.18)
regangan geser persamaan (2.19),
휀𝑥𝑦 =𝜕𝑣
𝜕𝑥+
𝜕𝑢
𝜕𝑦 ; 휀𝑦𝑧 =
𝜕𝑤
𝜕𝑦+
𝜕𝑣
𝜕𝑧; 휀𝑧𝑥 =
𝜕𝑢
𝜕𝑧+
𝜕𝑤
𝜕𝑥 (2.19)
komponen regangan pada benda yang mengalami perpindahan rotasional
ditunjukkan pada persamaan (2.20) sebagai berikut:
𝜃𝑥 =
1
2(𝜕𝑤
𝜕𝑦−
𝜕𝑣
𝜕𝑧) ; 𝜃𝑦
=1
2(𝜕𝑢
𝜕𝑧−
𝜕𝑤
𝜕𝑥) ; 𝜃𝑧
=1
2(𝜕𝑣
𝜕𝑥−
𝜕𝑢
𝜕𝑦) (2.20)
Perubahan dimensi akibat strain normal menyebabkan terjadinya perubahan
volume. Perubahan volume per satuan waktu disebut dilatasi ∆ = 𝜃 ditunjukkan
pada persamaan (2.21).
𝜃 = 휀𝑥𝑥 + 휀𝑦𝑦 + 휀𝑧𝑧 = 𝜕𝑢
𝜕𝑥+
𝜕𝑣
𝜕𝑦 +
𝜕𝑤
𝜕𝑧 (2.21)
Hubungan antara tegangan dan regangan dapat menyebabkan pergeseran disebut
dengan Modulus Rigiditas ditunjukkan dalam persamaan (2.22).
𝜇 =𝑇𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑔𝑒𝑠𝑒𝑟
𝑟𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛=
𝜎𝑥𝑥
𝜀𝑥𝑥 (2.22)
Hubungan konstanta elastik pada medium homogen isotropik, dinyatakan dalam
persamaan (2.23). Variabel 𝜆 merupakan konstanta Lame dan 𝜇 menyatakan
hambatan regangan geser.
𝜎 =𝜆
2(𝜆+�� ) (2.23)
Persamaan rambat gelombang P dan S dapat diturunkan dari Hukum Hooke yang
menyatakan hubungan tegangan dan regangan sebagai berikut:
𝜎𝑖𝑖 = 𝜆𝜃 + 2𝜇 휀𝑖𝑖 ; 𝑖 = 𝑥, 𝑦, 𝑧 (2.24)
𝜎𝑖𝑗 = 𝜇 휀𝑖𝑗 ; 𝑗 = 𝑥, 𝑦, 𝑧 𝑑𝑎𝑛 𝑖 ≠ 𝑗 (2.25)
Pada hukum II Newton menyatakan gaya (𝐹 ) merupakan perkalian antara massa
(m) dan percepatan (𝑎 ). Massa merupakan hubungan antara 𝜌 (massa jenis bahan)
dengan ukuran volume (v) dari bahan. Sehingga hubungan antara tekanan dan
perpindahan dinyatakan dalam persamaan (2.26).
𝐹 = 𝑚. 𝑎 = 𝜌𝑣𝑎 = 𝜌. 𝑑𝑥𝑑𝑦𝑑𝑧.𝜕2𝑢
𝜕𝑡2 (2.26)
19
Persamaan umum tekanan terhadap pergeseran dinyatakan dalam persamaan (2.27).
𝜎 (𝑖, 𝑗, 𝑘)(𝑥, 𝑡) = 𝜌𝜕2𝑢𝑖(𝑥,𝑡)
𝜕𝑡2 (2.27)
Pergeseran (u) akibat tekanan pada sumbu X dinyatakan pada persamaan (2.28),
sumbu Y pada persamaan (2.29), dan sumbu Z pada persamaan (2.30).
𝜌𝜕2𝑢
𝜕𝑡2 = (𝜆 + 𝜇 )𝜕��
𝜕𝑥+ 𝜇 ∇2𝑢 (2.28)
𝜌𝜕2𝑣
𝜕𝑡2 = (𝜆 + 𝜇 )𝜕��
𝜕𝑦+ 𝜇 ∇2𝑣 (2.29)
𝜌𝜕2𝑤
𝜕𝑡2 = (𝜆 + 𝜇 )𝜕��
𝜕𝑧+ 𝜇 ∇2𝑤 (2.30)
Gelombang merambat dari sumber ke segala arah, secara 3-D arah perambatan
dinyatakan dalam sumbu x, y, dan z. persamaan (2.28), (2.29), dan (2.30)
dideferensialkan terhadap x, y, dan z, sehingga dapat diperoleh persamaan (2.31),
(2.32), dan (2.33).
𝜌𝜕2
𝜕𝑡2 (𝜕𝑢
𝜕𝑥) = (𝜆 + 𝜇 )
𝜕
𝜕𝑥(𝜕��
𝜕𝑥) + 𝜇 ∇2 (
𝜕𝑢
𝜕𝑥) (2.31)
𝜌𝜕2
𝜕𝑡2 (𝜕𝑣
𝜕𝑦) = (𝜆 + 𝜇 )
𝜕
𝜕𝑦(𝜕��
𝜕𝑦) + 𝜇 ∇2 (
𝜕𝑣
𝜕𝑦) (2.32)
𝜌𝜕2
𝜕𝑡2 (𝜕𝑤
𝜕𝑧) = (𝜆 + 𝜇 )
𝜕
𝜕𝑧(𝜕��
𝜕𝑧) + 𝜇 ∇2 (
𝜕𝑤
𝜕𝑧) (2.33)
Dengan menjumlahkan persamaan (2.31), (2.32), dan (2.33), maka;
𝜌𝜕2
𝜕𝑡2 (𝜕𝑢
𝜕𝑥+
𝜕𝑣
𝜕𝑦 +
𝜕𝑤
𝜕𝑧) = (𝜆 + 𝜇 ) (
𝜕2��
𝜕𝑥2 +𝜕2��
𝜕𝑦2 +𝜕2��
𝜕𝑧2) + 𝜇 ∇2 (𝜕𝑢
𝜕𝑥+
𝜕𝑣
𝜕𝑦 +
𝜕𝑤
𝜕𝑧) (2.34)
𝜕2𝜃
𝜕𝑡2 =(𝜆+2�� )
𝜌∇2𝜃 (2.35)
Persamaan (2.35) merupakan persamaan kecepatan gelombang P, kecepatan
gelombang P ditunjukkan dengan �� 𝑝 pada persamaan (2.36):
�� 𝑝 = √(𝜆+2�� )
𝜌 (2.36)
Untuk mendapatkan kecepatan gelombang S, persamaan (2.29) diturunkan terhadap
z, sehingga menghasilkan persamaan (2.37), kemudian persamaan (2.30)
diturunkan terhadap y sehingga menghasilkan persamaan (2.38)
𝜌𝜕2
𝜕𝑡2 (𝜕𝑣
𝜕𝑧) = (𝜆 + 𝜇 )
𝜕2��
𝜕𝑦𝜕𝑧+ 𝜇 ∇2 (
𝜕𝑣
𝜕𝑧) (2.37)
𝜌𝜕2
𝜕𝑡2 (𝜕𝑤
𝜕𝑦) = (𝜆 + 𝜇 )
𝜕2��
𝜕𝑧𝜕𝑦+ 𝜇 ∇2 (
𝜕𝑤
𝜕𝑦) (2.38)
20
Persamaan (2.37) dan (2.38) dikurangkan, sehingga:
2𝜕2(𝜕𝑣
𝜕𝑧−
𝜕𝑤
𝜕𝑦)
𝜕𝑡2 = 2��
𝜌∇2 (
𝜕𝑣
𝜕𝑧−
𝜕𝑤
𝜕𝑦) (2.39)
𝜕2�� 𝑥
𝜕𝑥2 =��
𝜌∇2𝜃 𝑥 (2.40)
Persamaan (2.40) merupakan persamaan gelombang seismik S dengan kecepatan
rambat �� S ditunjukkan pada persamaan (2.41):
�� 𝑠 = √��
𝜌 (2.41)
2.3.2 Penjalaran Gelombang Seismik
Gelombang seismik terdiri atas dua jenis, yaitu gelombang dalam (body waves) dan
gelombang permukaan (surface waves) seperti pada gambar 2.8.
Gambar 2.8 Jenis pergerakan gelombang seismik di permukaan dan di dalam
bumi [22].
1. Gelombang Dalam (Body Waves)
Gelombang dalam atau sering disebut body waves adalah gelombang seismik yang
merambat hingga ke dalam bumi dan dapat menjalar ke segala arah di dalam bumi.
Gelombang dalam terdiri dari gelombang primer dan gelombang sekunder.
a. Gelombang Primer (P)
Gelombang Primer atau disebut juga gelombang P merupakan gelombang
longitudinal atau gelombang kompresional, gerakan partikelnya sejajar dengan arah
perambatannya (Gambar 2.9). Gelombang ini pertama kali tercatat oleh
seismometer, hal ini karena gelombang P memiliki kecepatan paling besar
21
dibandingkan dengan gelombang seismik lainnya. Persamaan dari kecepatan
gelombang P adalah sebagai berikut:
�� 𝑝 = √𝜆+2��
𝜌= √
�� +43⁄ ��
𝜌 (2.42)
Dimana �� P merupakan kecepatan gelombang P, λ merupakan parameter Lame,
𝜇 merupakan modulus geser, �� merupakan modulus Bulk, dan 𝜌 merupakan
densitas/kerapatan batuan. Gelombang ini dapat merambat pada medium padat,
cair, dan gas. Semakin padat medium yang di lewatinya nilai kecepatannya semakin
besar.
Gambar 2.9 Ilustrasi gerak gelombang primer [24].
b. Gelombang Sekunder (Shear Wave)
Gelombang S atau yang disebut juga gelombang sekunder merupakan gelombang
transversal atau shear, gerakan partikelnya tegak lurus terhadap arah penjalaran
gelombangnya. Gelombang S terdiri dari dua komponen, yaitu gelombang SH
dengan arah gerak partikel horizontal dan gelombang SV dengan gerak partikel
vertikal. Gelombang S tiba setelah gelombang P karena waktu penjalaran
gelombang S lebih lama daripada gelombang P sehingga akan tercatat setelah
gelombang P terekam pada alat seismometer, tetapi gelombang ini memiliki
amplitudo lebih tinggi. Gelombang ini tidak dapat merambat pada fluida, sehingga
pada inti bumi bagian luar tidak dapat dideteksi sedangkan inti bumi bagian dalam
mampu dilewati. Berikut ini adalah persamaan kecepatan gelombang S:
�� 𝑠 = √��
𝜌 (2.43)
22
Dimana �� 𝑠 merupakan kecepatan gelombang S, 𝜇 merupakan gelombang geser, dan
𝜌 merupakan densitas batuan.
Gambar 2.10 Ilustrasi gerak gelombang sekunder [24].
2. Gelombang Permukaan (surface waves)
Gelombang permukaan adalah gelombang seismik yang hanya menjalar di
permukaan bumi. Amplitudo gelombang permukaan akan semakin melemah jika
semakin masuk ke dalam bumi. Gelombang ini di bagi menjadi dua yaitu
Gelombang Rayleigh dan Gelombang Love.
a. Gelombang Rayleigh
Gelombang Rayleigh adalah gelombang yang merambat pada batas permukaan,
arah getarnya berlawanan dengan arah perambatannya. Pada gelombang Rayleigh
getaran partikel batuan yang bergerak melingkar (ground roll) berbentuk elips
terhadap arah perambatan gelombang (Gambar 2.11). Gelombang ini hanya dapat
merambat pada medium padat.
Gambar 2.11 Ilustrasi gerak gelombang Rayleight [24].
23
b. Gelombang Love
Gelombang Love adalah gelombang yang merambat pada batas lapisan dan arah
rambat partikelnya bergetar melintang terhadap arah penjalarannya. Gelombang ini
merupakan gelombang transversal (Gambar 2.12).
Gambar 2.12 Ilustrasi gerak gelombang love [24].
2.3.3 Mekanisme Penjalaran Gelombang Seismik
Mekanisme penjalaran gelombang seismik dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Hukum Snellius
Hukum Snellius menyatakan bahwa bila suatu gelombang jatuh pada bidang batas
dua medium yang memiliki densitas yang berbeda, maka gelombang tersebut dapat
dibiaskan, dipantulkan, dan diteruskan.
Gambar 2.13 Pemantulan dan pembiasan gelombang.
Persamaan Hukum Snellius dinyatakan sebagai berikut:
��
sin𝜃𝑖=
�� 𝑝1
sin𝜃1′=
�� 𝑝2
sin𝜃2=
�� 𝑠1
sin∅1=
�� 𝑠2
sin∅2 (2.44)
24
Keterangan:
𝑣 merupakan kecepatan gelombang, 𝑣 P1 merupakan kecepatan gelombang P pada
medium 1, 𝑣 P2 merupakan kecepatan gelombang P pada medium 2, 𝑣 S1 merupakan
kecepatan gelombang S pada medium 1, 𝑣 S2 merupakan kecepatan gelombang S
pada medium 2, 𝜃1 merupakan sudut gelombang datang, 𝜃2 merupakan sudut
gelombang bias P, 𝜃1′ merupakan sudut gelombang bias P, 𝜙1 merupakan sudut
gelombang pantul S, dan 𝜙2 merupakan sudut gelombang pantul S.
b. Prinsip Huygens
Prinsip Huygens menyatakan bahwa setiap titik pada muka gelombang merupakan
sumber gelombang baru. Menurut [1], titik sumber gelombang menyebar ke segala
arah dan setiap titik-titik penganggu didepan muka gelombang menjadi sumber
untuk terbentuknya gelombang baru. Jumlah energi total deretan gelombang baru
tersebut sama dengan energi utama.
Gambar 2.14 Prinsip Huygens [1].
Gambar 2.15 Prinsip Fermat [1].
25
c. Prinsip Fermat
Gelombang menjalar dari satu titik ke titik lainnya melalui jalur dengan waktu
penjalaran tercepat. Jika gelombang melewati medium yang memiliki variasi
kecepatan gelombang seismik, maka gelombang tersebut akan cenderung melalui
daerah dengan kecepatan tinggi dan menghindari daerah dengan kecepatan rendah
(Gambar 2.15).
2.4 Metode Penentuan Hiposenter
2.4.1 Metode Inversi Linier
Pemodelan inversi menggunakan data untuk menghasilkan model. Penentuan
hiposenter dengan pendekatan inversi linier menggunakan metode Least Square
dengan mencari nilai minimum dari hasil kuadratik antara data pengamatan dan
data perhitungan. Metode inversi linier mengasumsikan model bumi tersusun dari
komponen homogen isotropik. Metode ini mencari model terbaik (fit) dengan
kuadrat nilai error yang minimum. Model dengan nilai error minimum merupakan
model terbaik yang cocok dengan data yang digunakaan. Fungsi obyektif (E)
dinyatakan dalam persamaan (2.45). Dimana 𝑟𝑖 merupakan hasil selisih data
pengamatan dan data perhitungan (residual) ke-i, pada bentuk matriks ditunjukkan
dalam persamaan (2.46) dengan 𝑟𝑖(𝑥) merupakan fungsi residual waktu tiba.
𝐸 = ∑ (𝑇𝑖𝑜𝑏𝑠 −𝑁
𝑖=1 𝑇𝑖𝑐𝑎𝑙)2 = ∑ (𝑟𝑖
𝑁𝑖=1 )2 (2.45)
𝑟𝑖(𝑥) = [𝑟1(𝑥), 𝑟2(𝑥), 𝑟3(𝑥),… . ]𝑇 (2.46)
Sehingga persamaan (2.45) dan (2.46) disederhanakan menjadi:
E = 𝑟𝑇𝑟 (2.47)
Maka fungsi yang menghubungkan data dengan parameter model merupakan fungsi
linier yang disederhanakan pada persamaan (2.48). Dimana d merupakan elemen
data, G merupakan matriks Kernel (N x M) yang merupakan fungsi pemodelan
kedepan (forward modeling), dan m merupakan parameter model yang ingin dicari,
terdiri dari sejumlah parameter model (x0, y0, z0, to).
d = Gm (2.48)
E = 𝑟𝑇𝑟 = (𝑑 − 𝐺𝑚)𝑇(𝑑 − 𝐺𝑚) (2.49)
𝐸 = 𝑑𝑇𝑑 − 𝑑𝑇𝐺𝑚 − [𝐺𝑚]𝑇𝑑 + [𝐺𝑚]𝑇𝐺𝑚 (2.50)
𝜕𝐸
𝜕𝑚= −𝑑𝑇𝐺 − [𝐺]𝑇𝑑 + [𝐺]𝑇𝐺𝑚 + [𝐺𝑚]𝑇𝐺 (2.51)
26
0 = −𝐺𝑇𝑑 + 𝐺𝑇𝐺𝑚 (2.52)
𝒎 = [𝑮𝑻𝑮]−𝟏𝑮𝑻𝒅 (2.53)
Jika suatu fungsi mencapai nilai minimum maka turunannya terhadap variabel yang
tidak diketahui di titik minimum tersebut adalah nol, sehingga fungsi tersebut dapat
digunakan untuk mencari parameter model. Turunan fungsi objektif E terhadap
parameter model m ditunjukkan pada persamaan (2.51). Sehingga diperoleh solusi
inversi linier dengan optimasi least square pada persamaan (2.53)[19].
2.4.2 Metode Inversi Nonlinier dengan Pendekatan Linier
Metode inversi nonlinier dengan pendekatan linier disebut juga sebagai pendekatan
lokal (local search approach) atau linearisasi. Persamaan (2.48) dapat digunakan
pada pendekatan nonlinier, dengan cara melinearkan persamaan tersebut dengan
menggunakan ekspansi Taylor orde pertama. Pendekatan ini memerlukan model
awal (a priori) m0 yang cukup dekat dengan solusi. Dilakukan iterasi dari model
awal sampai mendekati model yang cukup dekat dengan solusi.
𝑚𝑗𝑖 = 𝑚𝑗
0 + 𝛿𝑚𝑗0 (2.54)
Dimana 𝛿𝑚𝑗0 merupakan variasi iterasi dari parameter model ke-j yang akan
bergerak sampai ke solusi terbaik. Maka persamaan (2.48) dapat dituliskan dalam
persamaan (2.54) hingga menghasilkan persamaan (2.55).
d = G (𝑚𝑗0 + 𝛿𝑚𝑗
0) (2.55)
Ekspansi Taylor orde pertama dari fungsi G(m) menghasilkan persamaan (2.56):
𝐺𝑖 (𝑚𝑗0 + 𝛿𝑚𝑗
0) ≈ 𝐺𝑖 (𝑚𝑗0) +
𝜕𝐺𝑖
𝜕𝑚𝑗|𝑚𝑜
𝛿𝑚𝑗0 + 𝑂(𝛿𝑚𝑗
0) (2.56)
Dimana 𝑂(𝛿𝑚𝑗0) merupakan suku sisa yang melibatkan orde ke-dua dan orde-orde
yang lebih tinggi, orde diatas dua akan diabaikan. Komponen turunan partial G(m)
terhadap elemen parameter model m membentuk maktriks Jakobi (J), ditunjukkan
pada persamaan (2.57)
𝐽𝑖𝑖 =𝜕𝐺𝑖
𝜕𝑚𝑗 (2.57)
Sehingga dapat disederhanakan menjadi:
∆𝑑 = 𝐽∆𝑚 (2.58)
Dimana J merupakan matriks Jakobi yang dievaluasi pada parameter model
tertentu. Persamaan (2.58) hampir sama dengan persamaan yang berlaku pada
27
hubungan linier antara data dan parameter model, yaitu d = Gm. Dapat dikatakan
data d diganti oleh pertubasi data 𝛿𝑑𝑖, model m digantikan dengan pertubasi model
ke 𝑚𝑖, dan matriks Kernel (G) digantikan dengan Matriks Jakobi (J). Solusi inversi
dengan pendekatan linierisasi dituliskan dalam persamaan (2.59):
∆𝑚 = [𝐽𝑇𝐽]−1𝐽𝑇∆𝑑 (2.59)
Pada dasarnya pendekatan fungsi nonlinier tidak dapat langsung menghasilkan
model optimum sehingga proses pertubasi model terhadap model awal dilakukan
secara iteratif pada iterasi ke (n+1) menggunakan persamaan berikut ini:
𝒎𝒏+𝟏 = 𝒎𝒏 + [𝑱𝒏𝑻𝑱𝒏]
−𝟏𝑱𝒏𝑻∆𝒅𝒏 (2.60)
Dalam metode inversi nonlinier dengan pendekatan linier ini, hanya melibatkan
turunan orde pertama dengan mengabaikan suku-suku orde yang lebih tinggi. Hal
tersebut dapat mengakibatkan masalah konvergensi. Solusi inversi dapat konvergen
menuju ke minimum lokal yang bukan merupakan solusi optimum. Sehingga solusi
inversi nonlinier dengan pendekatan linier dalam suatu permasalahan inversi
nonlinier kurang efektif digunakan [19].
2.4.3 Penentuan Hiposenter dengan Inversi Nonlinier
Persamaan nonlinier merupakan tidak persamaan garis, dimana antara data dan
parameter model tidak dapat dipresentasikan dalam persamaan garis. Secara umum
sebagian besar permasalahan inversi dalam geofisika ialah inversi nonlinier karena
memerlukan representasi model dengan jumlah parameter model yang cukup besar.
Metode nonlinier disebut juga pencarian menyeluruh atau global. Semakin tidak
linier suatu fungsi dan semakin banyak jumlah parameter model (underdetermine),
maka semakin kompleks fungsi obyeksitasnya. Dalam menyelesaikan
permasalahan nonlinier diperlukan pengetahuan secara menyeluruh atau global
mengenai bentuk permukaan fungsi obyektif [19]. Berikut beberapa sistem
pencarian hiposenter dengan nonlinier, sebagai berikut:
A. Grid Search
Grid search merupakan salah satu metode yang digunakan dalam nonlinier. Metode
ini melakukan pencarian lokasi hiposenter dengan menghitung grid satu per satu
secara sistematik. Metode grid search menentukan diskritisasi dengan interval
tertentu pada ruang model (x, y, dan z). Metode ini memiliki tingat akurasi yang
cukup tinggi apabila jarak antar grid diperkecil, sehingga mampu mendapatkan
28
hasil yang presisi. Namun, memakan waktu yang relatif lebih lama dibandingkan
dengan Metropolis karena jumlah model yang di uji lebih besar. Metode ini juga
kurang efisien untuk masalah dengan banyak parameter yang tidak diketahui dan
ruang parameter besar [3].
Untuk mendapatkan solusi inversi nonlinier, evaluasi secara sistematik fungsi
objektif pada setiap sampel model pada ruang model merupakan cara yang paling
mudah. Fungsi objektif yang digunakan merupakan perhitungan pemodelan
kedepan (forward modelling). Metode ini tidak memerlukan perhitungan gradien
atau turunan fungsi objektif, sehingga inversi diselesaikan dengan nonlinier tanpa
pendekatan linier atau linearisasi [19].
B. Metropolis
Metropolis merupakan metode penentuan lokasi hiposenter gempa bumi dengan
inversi nonlinier, yang menggunakan pencarian acak dalam ruang model pada
volume (x, y, dan z), untuk mendapatkan himpunan dari sampel. Seperti Grid
search, metode Metropolis tidak membutuhkan turunan parsial sehingga dapat
digunakan untuk menghitung struktur kecepatan 3-D yang kompleks. Pencarian
secara acak pada ruang solusi (x, y, dan z) dengan uji coba terdekat, yang mana
dapat diterima atau ditolak setelah dievaluasi dengan forward modeling.
Metropolis-Gibbs ini bekerja lebih lambat 10 kali lipat dibandingkan metode linier,
dan lebih cepat 100 kali lipat dibandingkan dengan metode grid search karena
sampel Metropolis melakukan pencarian secara stokastik dengan seluruh data 3-D
waktu tempuh pada ruang penyimpanan. Apabila ruang penyimpanan terbatas dari
jumlah data waktu observasi, maka grid waktu tempuh akan berlangsung sangat
lama [3].
Metropolis menggunakan solusi persamaan Simulated Annaeling. Simulated
Annealing merupakan bagian salah satu metode Guided Random Search. Pencarian
solusi atau probabilitas secara acak kurang efisien karena jumlah model yang
dievaluasi masih cukup besar dan setiap model dalam ruang model memiliki
probabilitas yang sama untuk dipilih sebagai lokasi optimum. Pertubasi model
dalam mekanisme simulated annealing adalah untuk mengeksplorasi ruang model
29
secara acak namun lebih terarah. Algoritma Metropolis terdiri dari dua langkah,
yaitu pertubasi model dan penentuan diterima atau tidaknya pertubasi model
tersebut.
Pada proses pencarian secara acak, ruang model harus didefinisikan terlebih dahulu
dengan menentukan “a priori” interval harga maksimum dan minimum parameter
model, parameter model pada penelitian ini ialah posisi gempa. Parameter model
ditentukan dengan mengambil bilangan acak dengan probabilitas seragam antara 0
dan 1 yang dipetakan menjadi harga parameter model [19].
C. Oct-tree
Oct-tree adalah struktur data pohon, dimana setiap pusat sel induk (ruang volume
x, y, dan z) menggunakan pembagian rekursif (proses pembagian berulang dimana
sel akan terus di partisi ke dalam sel yang lebih kecil) dengan pembagian sel
berdasarkan nilai probabilitas pada Posterior Density Function [6]. Nilai error dan
probabilitas akan dihitung di setiap sel, nilai probabilitas yang paling besar pada sel
akan dipilih menjadi sebuah luasan sel baru, kemudian luasan sel yang dipilih
kembali di partisi dengan ukurannya akan semakin kecil (Gambar 2.16). Hal ini
dilakukan berulang hingga mendapatkan hiposenter dengan nilai Probabilitas
Prosterior Density Function yang maksimum.
Oct-tree merupakan salah satu metode yang disediakan oleh program NonLinLoc
7.00. Metode ini merupakan solusi probabilitas dengan pendekatan secara global.
Sistem pencarian dalam metode ini memiliki waktu komputasi yang lebih cepat
1000 kali dari Grid Search, serta pencarian lebih kompleks dan menyeluruh
dibandingkan Metropolis [2].
Pada penelitian ini metode Oct-tree digunakan untuk mendapatkan solusi pencarian
hiposenter berdasarkan parameter waktu tiba gelombang. Semakin kecil nilai
misfit-nya maka nilai probabilitasnya semakin besar. Oct-tree didasari oleh inversi
probabilitas dengan analisis statistik untuk penentuan lokasi gempa bumi. Oct-tree
akan mencari nilai peluang terbesar dari model grid dengan menggunakan data
waktu tiba gelombang gempa. Metode ini akan membagi grid yang telah ditentukan
30
menjadi grid yang kecil, semakin kecil, dan lebih kecil lagi sehingga nilai peluang
akan semakin besar dan titik lokasi dapat ditentukan. Apabila misfit yang didapat
semakin kecil maka nilai peluang mendapatkan lokasi sumber gempa di lokasi
tersebut semakin besar.
Gambar 2.16 Ilustrasi grid model dalam metode Oct-Tree [6].
Solusi Probabilitas Prosterior Density Function (𝜗) dalam sistem pencarian inversi
nonlinier Oct-Tree ditunjukkan pada persamaan (2.61), sebagai berikut:
𝜗(𝑥) = ƙ𝑒−1/2(𝑚𝑖𝑠𝑓𝑖𝑡(𝑥)) (2.61)
ƙ = ∑ (𝐶𝑡 + 𝐶𝑇)−1
𝑖𝑗𝑖𝑗 (2.62)
Misfit = ∑ (𝑇𝑖𝑜𝑏𝑠 − 𝑇𝑖
𝑐𝑎𝑙)2𝑁
𝑖=1 (2.63)
Sehingga solusi probabilitas dalam sebuah sel grid pada suatu volume ke-i yaitu:
𝑃𝑖 = 𝑉𝑖𝜗(𝑥) (2.64)
Dimana 𝜗(𝑥) merupakan nilai probabilitas Posterior Density Function, ƙ
merupakan faktor normalisasi, 𝐶𝑡 merupakan matriks kovariansi a priori, 𝐶𝑇
merupakan matriks kovariansi teoritis, 𝑚𝑖𝑠𝑓𝑖𝑡 merupakan nilai error, 𝑃𝑖
merupakan solusi probabilitas pada suatu volume sel, 𝑉𝑖 merupakan volume sel.
31
2.5 Metode Posterior Density Function (PDF)
Metode PDF (Posterior Density Function) merupakan metode penentuan parameter
model berdasarkan kepadatan probabilitas inversi (peluang terbesar) dan analisis
statistik. Metode dapat diaplikasikan pada penentuan lokasi hiposenter (Xo, Yo, Zo)
dan origin time (to) berdasarkan kepadatan probabilistik inversi (peluang terbesar)
dengan analisis stastistik yang dinormalisasikan (data yang diurutkan) maupun
tidak dinormalisasikan. Metode PDF menggunakan algoritma nonlinier untuk
mengeksplorasi ruang model secara lebih terarah dengan memberi peluang lebih
besar pada model yang memiliki kontribusi signifikan pada perhitungan kuantitas
posterior, mengikuti formulasi inversi probabilitas yang dijelaskan pada [4] dan [5].
Fungsi kepadatan yang dinormalisasikan f(x) untuk nilai parameter x, memiliki nilai
probabilitas hiposenter (x) antara X dan X + ∆X ditunjukkan pada persamaan (2.65).
P( X ≤ 𝒙 ≤ 𝑿 + ∆𝑿 ) = ∫ 𝒇(𝒙)𝒅𝒙𝑿+∆𝑿
𝑿 (2.65)
Probabilitas hiposenter antara X hingga X + ∆X ditentukan dengan nilai misfit yang
sangat kecil. Fungsi PDF memiliki nilai antara 0 dan 1 mengikuti prinsip peluang
dan statistik.
Jika fungsi kepadatan a priori memiliki nilai variansi lebih kecil dari data dan
memiliki variansi yang besar pada parameter pada kasus underdetermined (D < P),
maka penyelesaian masalah mengunakan inversi nonlinier, begitu juga sebaliknya
jika jumlah data lebih besar daripada parameter model (D > P) maka menggunakan
penyelesaian kedepan (forward). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dengan
menggunakan penyelesaian dengan formulasi inversi maka harus membatasi nilai-
nilai dari parameter (P) yang tidak diketahui. Sehingga solusi Posterior Density
Function (PDF) untuk parameter (𝝑p(p)) dinyatakan dalam persamaan (2.66) [4],
sebagai berikut:
𝜗p (p) = 𝛼p(p) ∫𝛼𝑑(𝑑) ∅(𝑑|𝑝)
𝜑𝑑(𝑑)𝑑𝑑 (2.66)
Dimana 𝝑p(p) merupakan solusi Posterior Density Function (PDF) untuk parameter
model yang dicari, d merupakan data observasi, ∅(𝒅, 𝒑) merupakan hubungan
teoritis antara p dan d, 𝛼p(p) merupakan informasi a priori parameter, 𝛼d(d)
merupakan informasi a priori dari data observasi yang bersifat bebas, serta 𝜑𝑝(p)
32
dan 𝜑d(d) merupakan fungsi kepadatan null information pada parameter dan data
bersifat konstan.
Semua sampel grid pada model akan dihitung menggunakan PDF, sehingga solusi
umum lokasi koordinat hiposenter spasial sementara pada kasus data Gaussian
(distribusi normal) ditunjukkan pada persamaan (2.67).
𝝑(𝑿, 𝒀, 𝒁, 𝒕𝒐) = 𝜶(𝑿, 𝒀, 𝒁, 𝒕𝒐). 𝒆𝒙𝒑 {−
𝟏
𝟐[𝑇𝑖
𝑜𝑏𝑠− 𝑇𝑖
𝑐𝑎𝑙]𝑻. (𝑪𝑻 + 𝑪𝒕)
−𝟏 .
[𝑇𝑖𝑜𝑏𝑠
− 𝑇𝑖𝑐𝑎𝑙
]
} (2.67)
Dimana 𝜗(𝑋, 𝑌, 𝑍, 𝑡𝑜) merupakan lokasi PDF dari hiposenter dalam koordinat spasial
sementara.𝛼(𝑋, 𝑌, 𝑍, 𝑡𝑜) merupakan fungsi kepadatan dari parameter model.
𝑇𝑖𝑐𝑎𝑙 merupakan waktu tiba teoritis, 𝑇𝑖
𝑜𝑏𝑠 waktu tiba observasi, 𝑪𝑻 merupakan
matriks kovarian teoritis, dan 𝑪𝒕 merupakan matriks kovarian “a priori”.
Pada kasus penentuan lokasi gempa bumi, parameter yang ingin diketahui adalah
koordinat hiposenter (x, y, dan z) dan origin time 𝑡𝑜, dan data waktu tiba secara
teoritis. Jika hubungan error waktu tiba teoritis dan observasi memiliki asumsi
ketidakpastian Gaussian dengan kovariansi matriks CT dan Ct, dilakukan
peminimuman residu antara waktu tiba observasi dan waktu tiba teoritis sehingga
dapat menghasilkan model yang dekat dengan data pengamatan.
Karena origin time pada data informasi a priori belum diketahui, maka 𝑡𝑜
diasumsikan seragam ditunjukkan pada persamaan (2.68).
𝛼(𝑋, 𝑌, 𝑍, 𝑡𝑜) = 𝛼(𝑡𝑜). 𝛼(𝑋, 𝑌, 𝑍) = 𝛼(𝑋, 𝑌, 𝑍) (2.68)
Perhitungan waktu tiba di stasiun ke-i, gi(X,Y,Z,T) dapat dituliskan menjadi:
𝑇𝑖𝑐𝑎𝑙(𝑋, 𝑌, 𝑍, 𝑇) = 𝑇𝑖
𝑐𝑎𝑙(𝑥, 𝑦, 𝑧) + 𝑡𝑜 (2.69)
Sehingga solusi Posterior Density Function (PDF) pada penentuan lokasi
hiposenter spasial pada kasus Gaussian, ditunjukkan pada persamaan (2.70):
33
𝝑(𝑿, 𝒀, 𝒁) = ƙ 𝛼(𝑿, 𝒀, 𝒁). 𝒆𝒙𝒑 {−𝟏
𝟐[𝑇𝑖
𝑜𝑏𝑠− 𝑇𝑖
𝑐𝑎𝑙]𝑻
𝑷 [𝑇𝑖𝑜𝑏𝑠
− 𝑇𝑖𝑐𝑎𝑙
]} (2.70)
Dimana P = (𝐶𝑡 + 𝐶𝑇)−1 merupakan bobot matriks kovariansi, Pi = ∑ 𝑝𝑖𝑗𝑗
merupakan bobot, dengan 𝑃𝑖 merupakan bobot matriks ke-i, 𝑝𝑖𝑗 merupakan bobot
kovariansi matriks pada stasiun ke-i hingga stasiun ke-j. Sehingga faktor
normalisasi (ƙ) ditunjukkan pada persamaan (2.71) dan kovarian matriks teoritis 𝐶𝑇
dapat dihitung menggunakan persamaan (2.72).
ƙ = ∑ 𝑃𝑖 =𝑖 ∑ 𝑝𝑖𝑗𝑖𝑗 (2.71)
[𝐶𝑇(𝑋, 𝑌, 𝑍)]𝑖𝑗 = 𝜗𝑇2. 𝑒𝑥𝑝 {−
1
2
𝐷𝑖𝑗2
∆2 } (2.72)
dengan 𝜗𝑇2 merupakan error teoritis, ∆ merupakan korelasi panjang error, dan 𝐷𝑖𝑗
2
adalah jarak antara stasiun ke-i dan stasiun ke-j. (Catatan: 𝐶𝑇 tergantung pada
(X,Y,Z) begitu juga dengan 𝑃𝑖, 𝑝𝑖𝑗, k).
Selanjutnya, perhitungan kemungkinan origin time maksimum (Tml) sesuai dengan
posisi hiposenter (X, Y, dan Z), dihitung berdasarkan perbedaan antara bobot rata-
rata dari waktu tiba observasi dan waktu tiba teoritis ditunjukkan pada persamaan
(2.73).
Tml(x) = ∑ ∑ 𝑃𝑖𝑗[𝑇𝑖
𝑜𝑏𝑠−𝑇𝑖
𝑐𝑎𝑙]𝑗𝑖
∑ ∑ 𝑃𝑖𝑗𝑗𝑖 (2.73)
Dengan 𝑇𝑖𝑜𝑏𝑠 merupakan waktu tiba gempa bumi pada stasiun ke-i secara
pengamatan dan 𝑇𝑖𝑐𝑎𝑙 merupakan waktu tiba teoritis. Waktu tiba teoritis dihitung
berdasarkan persamaan eikonal dengan pendekatan finite difference ditunjukkan
pada persamaan (2.74). Dengan ℎ𝑖(𝑥, 𝑦, 𝑧) merupakan waktu tempuh dari titik
hiposenter ke koordinat (X,Y,Z), dan 𝑆 merupakan slowness pada model 3-D.
(𝜕ℎ𝑖
𝜕𝑥)2
+ (𝜕ℎ𝑖
𝜕𝑦)2
+ (𝜕ℎ𝑖
𝜕𝑧)2
= 𝑠 2(𝑥, 𝑦, 𝑧) (2.74)
34
Gambar 2.17 Ilustrasi Posterior Density Function gempa bumi [2].
2.6 Metode Coupled Hypocenter Velocity
Metode Coupled Hypocenter Velocity merupakan salah satu metode dalam
penentuan model kecepatan gelombang seismik 1-D dengan menggunakan program
VELEST. Metode ini dapat menyelesaikan permasalahan penentuan hiposenter dan
juga penentuan model kecepatan lokal dengan penyelesaian menggunakan inversi
nonlinier dengan pendekatan linier kecuali [14]. Dalam penelitian Tugas Akhir ini,
metode Coupled Hypocenter Velocity digunakan untuk menghitung model
kecepatan 1-D lokal dan juga dapat menghasilkan relokasi hiposenter gempa bumi
pada daerah penelitian. Data yang diperlukan yaitu, informasi a priori lokasi gempa
bumi (latitude, longitude, depth, magnitude, origin time), travel time, referensi awal
model kecepatan daerah penelitian, serta koordinat dari stasiun seismometer gempa,
yang akan diolah menggunakan model kuantitatif dengan menghasilkan relokasi
hiposenter, model kecepatan baru, dan koreksi stasiun [15]. Model kecepatan
gelombang seismik yang dihasilkan merupakan model 1-D, hal ini dilakukan untuk
penyederhanakan model bawah permukaan sebenarnya dalam 1-D. Model
kecepatan 1-D biasanya digunakan sebagai parameter penting penentuan lokasi
gempa, model awal dalam penentuan model kecepatan 3-D seismik tomografi, dan
35
dapat memberikan informasi model perlapisan bumi berdasarkan parameter
kecepatan.
Metode Coupled Hypocenter Velocity merupakan metode penentuan relokasi
gempa bumi, model kecepatan, dan koreksi stasiun. Secara inversi simultan
menggunakan ekspansi Taylor orde pertama dalam inversi nonlinier dengan
pendekatan linier, untuk memperoleh hubungan linier antara waktu tiba residual
dan pencocokan parameter hiposenter (∆ℎ𝑘) dan kecepatan (∆�� 𝑖) ditunjukkan
dalam persamaan (2.75) [14].
𝒓 = 𝒕𝒐𝒃𝒔 − 𝒕𝒄𝒂𝒍 = ∑𝝏𝒇
𝝏𝒉𝒌∆𝒉𝒌 + ∑
𝝏𝒇
𝝏�� 𝒊∆�� 𝒊 + 𝒆𝒏
𝒊=𝟏𝟒𝒌=𝟏 (2.75)
Dimana
r = waktu residual (s)
𝑡𝑜𝑏𝑠 = waktu tiba observasi (s)
𝑡𝑐𝑎𝑙 = waktu tiba perhitungan (s)
𝑓 = fungsi dari waktu observasi (s)
e = error dari waktu tiba perngamatan maupun perhitungan (s)
ℎ𝑘 = lokasi hiposenter latitude, longitude, kedalaman (km) dan origin time (s)
�� = model kecepatan (km/s)
n = banyak data
Untuk menghitung waktu residual (r) yang merupakan selisih waktu pengamatan
(𝑡𝑜𝑏𝑠) dan waktu perhitungan (𝑡𝑐𝑎𝑙) secara matematis dirumuskan dalam
persamaan (2.76) sebagai berikut:
𝑟 = 𝑡𝑜𝑏𝑠 − 𝑡𝑐𝑎𝑙 (2.76)
Nilai error (e) dari proses pengamatan dan perhitungan dapat dihitung dengan
menggunakan least squares ditunjukkan pada persamaan (2.77) dan untuk
menentukan jumlah residual kuadrat (RMS) dengan mengakarkan nilai error (e)
dari waktu tiba terhadap banyaknya data (n), dinyatakan dalam persamaan (2.78).
𝑒 = ∑ (𝑟𝑖)2𝑛𝑖=1 (2.77)
RMS =√𝑒
𝑛 (2.78)
36
Tahapan berikutnya, nilai-nilai tersebut digunakan dalam forward modeling untuk
menghasilkan 𝑡𝑐𝑎𝑙 baru yang akan di bandingkan misfit-nya dengan 𝑡𝑐𝑎𝑙
sebelumnya. Tahapan tersebut adalah tahapan dalam program VELEST untuk satu
iterasi. Di setiap iterasinya, terdapat nilai RMS (root mean square) antara waktu
tiba observasi dan waktu tiba perhitungan, sehingga jumlah iterasinya dapat diatur
hingga memenuhi kriteria RMS yang diharapkan.
Penyelesaian permasalahan dengan Metode Coupled Hypocenter Velocity
menggunakan forward modeling dari ray tracing (penjejakan sinar) dari sumber ke
penerima yaitu, perhitungan penjalaran gelombang langsung (direct wave),
gelombang dibiaskan (refracted wave), dan gelombang dipantulkan (reflected
wave) melewati model 1-D [15]. Program VELEST melakukan perhitungan secara
iteratif yaitu inversi nonlinier dengan pendekatan linear, maka digunakan
pemodelan inversi dengan matriks damped least squares (L) digunakan sebagai
faktor pembobotan, ditunjukkan pada persamaan (2.83), yaitu:
d = Jm (2.80)
∆𝑑=J ∆𝑚 (2.81)
∆𝑚 = [JTJ]-1 JT ∆𝑑 (2.82)
∆𝑚 = [JTJ + IL]-1 JT ∆𝑑 (2.83)
dimana, J merupakan matrik Jakobian, JT adalah transpose matriks Jakobian, L
adalah damping matriks, I merupakan matriks identitas, d adalah data
observasi (𝑡𝑜𝑏𝑠), ∆𝑑 merupakan data observasi dikurangi data kalkulasi, m adalah
parameter model, dan ∆𝑚 adalah selisih parameter model observasi kalkulasi.
Penggunaan nilai damping akan mempengaruhi nilai pertubasi parameter model
(∆m), dengan hubungan antara besarnya damping dan nilai ∆m merupakan
kebalikannya. Kemudian hasil dari inverse modelling merupakan vektor kebalikan
dari ∆m, yang selanjutnya dapat diperoleh nilai parameter hiposenter, model
kecepatan gelombang seismik lokal 1-D, dan koreksi stasiun.
37
BAB III
TINJAUAN GEOLOGI DAN TEKTONIK
Daerah Yogyakarta merupakan suatu daerah cekungan, di bagian utara di batasi
oleh Gunung Merapi yang berumur Kuarter, bagian barat dibatasi oleh
Pengunungan Kulon Progo dengan batuan berumur Tersier, bagian timur dibatasi
oleh Pengunungan Selatan dengan batuan berumur Tersier, dan di sebelah selatan
dibatasi oleh Samudra Hindia. Batuan berumur Tersier dengan kisaran umur 57-18
juta tahun lalu berada pada Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo,
terdiri dari serial batuan klastik produk gunung api purba (Formasi Ngalanggrang,
Nanggulan, Kebobutak, Semilir, Wuni, dan Sambipitu). Kemudian ditumpangi oleh
serial batuan karbonatan dari pengendapan laut dangkal, dengan kisaran umur 20-
1,6 juta tahun lalu (Formasi Wonosari, Jonggarang, Kepek, dan Sentolo).
Pengangkatan Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo terjadi sekitar 1,6
juta tahun lalu yang membentuk cekungan Yogyakarta. Kemudian Gunung Merapi
muncul di sebelah Utara pada umur Kuarter yang mengisi cekungan Yogyakarta
dengan endapan vulkanik Gunung Merapi hingga saat ini.
Gambar 3.1 Peta Geologi Daerah Istimewa Yogyakarta [8].
38
3.1 Fisiografi Daerah Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta berada di bagian tengah Pulau Jawa, secara geografis
berada pada 8o30’-7o20’ LS dan 109o40’-111o0’ BT. Berdasarkan bentang alam,
daerah ini dibagi menjadi empat satuan fisiografi, yaitu Satuan Gunungapi Merapi,
Satuan Pengunungan Selatan (Pengunungan Seribu), Satuan Kulon progo, dan
Satuan Dataran Rendah.
3.1.1 Satuan Gunung Merapi
Satuan Gunungapi Merapi meliputi kerucut gunung api hingga daratan fluvial
termasuk juga bentang alam vulkanik, meliputi Sleman, Kota Yogyakarta, dan
sebagian Daerah Bantul. Daerah kerucut dan lereng gunung api merupakan daerah
hutan lindung sebagai kawasan resapan air daerah bawahan.
3.1.2 Satuan Pegunungan Selatan
Satuan Gunung Selatan terletak di wilayah Gunung Kidul atau yang dikenal dengan
Pengunungan Seribu. Satuan Pegunungan Selatan di bagi menjadi tiga zona, yaitu
Batuagung, Wonosari, dan Gunung Sewu. Wilayah ini terdiri dari dua kelompok
besar batuan yaitu batuan vulkanik dan batu gamping (limestone) dengan bentang
alam yang tandus dan selalu kekurangan air. Dengan bagian tengah merupakan
cekungan Wonosari yang telah mengalami pengangkatan secara tektonik sehingga
membentuk dataran tinggi Wonosari. Satuan ini terbentuk dari proses pelarutan
dengan bahan dasar batu gamping, memiliki karakteristik lapisan tanah dangkal,
dan vegetasi penutup yang jarang.
3.1.3 Satuan Pengunungan Kulon Progo
Satuan pengunungan Kulon Progo terletak di Kulon Progo bagian utara, merupakan
bentang lahan struktural denudasional dengan topografi berbukit yang memiliki
lereng curam dan potensi air tanahnya kecil. Statigrafi yang paling tua di daerah ini
ialah formasi Nanggulan, kemudian secara tidak selaras diatasnya diendapkan
batuan-batuan dari formasi Jonggaran dan Formasi Sentolo.
3.1.4 Satuan Dataran Rendah
39
Satuan Dataran Rendah memiliki bentang lahan fluvial (hasil proses pengendapan
sungai) yang didominasi oleh dataran aluvial, membentang hingga ke bagian
selatan Daerah Istimewa Yogyakarta mulai dari Kabupaten Progo sampai dengan
Kabupaten Bantul yang berbatasan dengan Pengunungan Seribu. Bentang lahan
lainnya belum didayagunakan secara optimal yaitu bentang lahan marine dan eolian
yang merupakan satuan wilayah pantai, yang terbentang dari Kulon Progo sampai
ke Bantul.
3.2 Statigrafi Daerah Yogyakarta
Berikut merupakan formasi batuan di daerah penelitian secara berurut dari berumur
tua ke muda [35], yaitu:
a. Formasi Semilir (Tms)
Formasi Semilir tersusun atas perselingan tuf, breksi batuapung, tuf dasitan, batu
pasir tuf-an, serpih, breksi tuf, breksi batuapung, tufa andesit, serta batu lempung
tufaan. Formasi diendapkan pada akhir Miosen bawah dan merupakan batuan
tertua di daerah penelitian. Formasi ini berada di daerah sekitar Wonosari,
Imogiri, Sambeng, Ngawan, Karangmojo, dan Semin.
b. Formasi Nglanggran (Tmng)
Formasi Nglanggran batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunung api dengan
fragmen andesitan, aglomerat, breksi aliran, dan lava. Dibeberapa tempat pada
formasi ini terdapat batuan beku andesit basalt yang berubah menjadi batuan
beku terkekarkan berstruktur bantal, breksi autoklastik, hialoklastik, dan
akhirnya menjadi breksi andesit. Formasi ini berumur Miosen tengah.
c. Formasi Sambipitu (Tmss)
Formasi Sambipitu tersusun atas perselingan batu pasir, serpih, batulanau, tuff,
dan konglomerat. Formasi ini berumur Miosen Tengah, dapat ditemukan di
Maladan dan Kedungwanglu.
d. Formasi Wonosari-Punung (Tmwl)
40
Formasi Wonosari-Punung berumur Miosen Tengah hingga Miosen Atas
penyebarannya sangat luas dari Wonosari sampai ke arah Selatan. Formasi ini
tersusun dari batu gamping terumbu, kalkarenit, dan kalkarenit tufan.
e. Kepek (Tmpk)
Formasi Kepek tersusun dari napal dan batu gamping berlapis. Formasi ini
berumur Miosen Atas, dapat dijumpai di sekitar cekungan Karangmojo dan
Sawahan.
f. Aluvium (Qa)
Endapan aluvium terdiri dari bahan endapan lempung, lumpur, lanau, pasir,
kerikil, kerakal, dan berakal. Endapan ini berumur Holosen, dapat dijumpai di
Ponjong, sebelah timur Wonosari, dan Nglabu sebelah barat laut Bantul.
Gambar 3.2 Urutan statigrafi penyusun daerah Yogyakarta dari tua ke muda
[27].
41
Gambar 3.3 Peta Geologi Yogyakarta yang telah dimodifikasi oleh Barianto dkk.
tahun 2009 dari peta Geologi 1:100000 Raharjo dkk. tahun 1995 [10].
3.3 Tektonik Daerah Yogyakarta
Secara tektonik Daerah Istimewa Yogyakarta terletak pada jalur subduksi lempeng,
yaitu Lempeng Indo-Australia di sebelah selatan menyusup terhadap Lempeng
Eurasia di sebelah utara [12]. Pergerakan lempeng ini menimbulkan terbentuknya
unsur-unsur tektonik, seperti Zona Benioff yang landai, palung laut Jawa, Gunung
Merapi, lipatan meliputi sinklin maupun antiklin, dan sesar aktif. Beberapa sistem
sesar yang berada di Yogyakarta di duga masih aktif yaitu, Sesar Opak, Sesar Oya,
Sesar Dengkeng, Sesar Progo, Sesar Siluk, dan sesar-sesar mikro lainnya yang
belum teridentifikasi. Aktifnya dinamika subduksi lempeng mendukung aktivitas
sesar didaratan. Kondisi tersebut menjadikan daerah Yogyakarta menjadi salah satu
kawasan dengan tingkat seismisitas tinggi di Indonesia.
Sketsa sistem tektonik di daerah Yogyakarta ditunjukkan pada Gambar (3.4).
Lempeng samudera terdorong kearah utara dan menyusup ke bawah Jawa.
Pelelehan sebagian (partial melting) terjadi pada kedalaman sekitar 100 km.
Material lelehan naik ke permukaan keluar melalui gunung api sehingga terjadi
penumpukan stress di daerah busur depan (forearc), membentuk fracture maupun
sesar. Daerah lemah di forearc berkorelasi juga dengan lokasi gempa, simbol
bintang kuning menunjukkan hiposenter gempa yang terjadi di sekitar Sesar Opak
42
pada 26 Mei 2006. Distribusi seismisitas di zona Benioff menunjukkan sudut
kemiringan dari slab. Pada 150 km dari palung (trench) slab tampak hampir
horizontal dan kemudian sudut kemiringan meningkat agak tajam hingga 450.
Perubahan ini dapat menyebabkan penumpukan dorongan dan tegangan ke utara.
Setelah lelehan magma naik dan mencapai batas forearc di utara maka terbentuk
konsentrasi gas dan magma yang tinggi dan menyebabkan vulkanik aktif [13].
Gambar 3.4 Visualisasi penampang lintang setting tektonik zona subduksi jawa
[13].
Yogyakarta memiliki struktur geologi yang unik yaitu Sesar Opak yang berada
disekitar Sungai Opak. Sesar Opak merupakan sesar geser berarah timur laut - barat
daya ± 235°𝐸/80°, yang memisahkan dataran tinggi perbukitan Wonosari dengan
daratan rendah Yogyakarta, tersusun dari endapan letusan Gunung Merapi yang
masih muda. Sesar ini pernah diteliti pada tahun 1980-an dan disimpulkan bahwa
sesar ini tidak aktif lagi sehingga tidak pernah diperhitungkan sebagai salah satu
potensi bahaya bagi Yogyakarta dan sekitarnya [35]. Sesar Opak nampaknya
kembali aktif setelah terjadinya gempa bumi yang berpusat di sekitar sesar tersebut,
maka perlu dikaji dan dianalisa kembali. Sesar-sesar minor banyak dijumpai di
daerah penelitian penelitian dominan berarah barat laut-tenggara.