15
BAB II
SENI RUPA MODERN INDONESIA
DAN SENI RUPA MODERN INDONESIA BERNAFASKAN ISLAM
Seni rupa modern Indonesia bukanlah rantai kelanjutan dari perkembangan seni
rupa tradisional atau perkembangan seni rupa sebelumnya. Seni rupa jenis ini, merupakan
seni rupa yang ’baru’ dan berbeda. Sebagai kenyataannya seni rupa modern ini hidup dari
pengaruh dan interaksinya dari masukan dan informasi Barat. Demikianlah secara jelas,
sejarawan seni dan kritikus seni Sanento Yuliman, mencatat problematika ini:
”Apa yang kami namakan ’seni rupa modern Indonesia’ bukanlah lanjutan dalam bentuk apa pun juga, jadi juga bukan transformasi –dari seni rupa tradisional, baik seni rupa tradisonal salah satu, maupun semua, kelompok etnis. Ketika orang Indonesia, dari rakyat plurietnik di bawah penjajahan, berkehendak menjadi satu bangsa merdeka, mereka mencita-citakan bangsa baru. Mereka bertekad untuk bersatu dengan nama baru: bangsa Indonesia –bangsa yang masih harus dibentuk bersama pembentukan kebudayaan baru dan seni baru, dan yang harus berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain sebagai bangsa modern. Seni rupa modern bukan lanjutan seni rupa tradisional. Namun tetap ia harus berangkat dari seni rupa yang sudah ada. Masyarakat jajahan menyediakan titik tolak: seni rupa yang muncul dari kontak kebudayaan antara Indonesia dan Barat.” (Sanento Yuliman, 2004:55)
Sejarah seni rupa modern Indonesia, sejak awal kemunculannya merupakan
peristiwa dan kelangsungan antara pengaruh modernitas Barat dan aspek kolonialisasi
(Claire Holt, :1967). Pada dasarnya pengaruh modernitas Barat tersebut pengaruhnya
tidak hanya di Indonesia, hampir semua praktik seni rupa modern yang berkembang di
luar Eropa dan Amerika menghadapi masalah yang sama. Pada intinya, bagaimana gejala
dominasi wacana seni rupa modern Barat yang melahirkan prinsip universalisme, yang
hanya percaya hanya ada satu seni rupa modern dengan satu sistem nilai. Inilah yang
menyebabkan dipercayainya seni rupa modern Barat berlaku juga di seluruh dunia. Bagi
Jim Supangkat lahirnya pemikiran ini terbentuk atas dasar paradigma-paradigma Ero-
amerisentris dan karena itu sulit diterapkan di luar Eropa dan Amerika (Jim
Supangkat:1999).
16
Dalam dunia Islam sekalipun, hingga gagasan seni Islam, pengaruh modernitas
Barat itu terasa dan teralami. Pijakan yang paling mendasar adalah seni Islam juga
merupakan pengaruh sejarah dominasi modern Barat dan modernitas Barat sejak abad ke-
19 yang diyakini universal. Sejak kemunculannya pada abad pertengahan, Islam hampir
selalu dipersepsi oleh Barat sebaga i ’ancaman’ yang tidak toleran pada Barat (Majid
Tehranian, :2005).
Pengaruh modernitas Barat ini tidak dapat dihindari, dan akhirnya diterima sebagai
kenyataan sejarah dalam Islam. Tentang dominasi pembacaan modernitas Barat, kritikus
budaya dan pemikir Islam post-modern, seperti Ziauddin Sardar mencoba
menggambarkan lain, ia menulis:
"Modernitas adalah sebuah pandangan, dimana dengan pandangan itu kita memperhatikan kilas-balik dari keanekaragaman. Modernitas mengacu pada gaya sosial dan institusi budaya, yang dimunculkan di Eropa setelah masa pencerahan (enlightenment). Ia datang dan mendominasi dunia melalui kolonialisme namun menetapkan superioritasnya dalam periode poskolonial. ” (Ziauddin Sardar, :2004)
Pembacaan modernitas Barat yang terjadi di Eropa sejak kemunculannya pada era-
pasca pencerahan (enlightment) hingga kini, masih terus-menerus menampilkan sisa
dominasi di seluruh dunia sejak kolonialisme hingga menetapkan superioritasnya pada
periode poskolonial.
Islam dan Barat menderita problem persepsi dalam hubungan saling memusuhi
yang berakar dalam sejarah. Persepsi Barat atas Islam, bahkan seperti juga persepsi Islam
atas Barat, terdistorsi prasangka dan mitos yang sukar, untuk tidak mengatakan tidak
mungkin, diatasi (Majid Tehranian, :2005). Karena kekuatan pendulum bergerak ke
depan dan ke belakang, setidaknya telah dua kali dalam 14 abad, maka tema-tema
dominan hubungan ini juga sama-sama merasa takut, mengitimasi penolakan, dan
terutama muncul keengganan untuk menerima dan terkadang memberikan penghormatan
(Majid Tehranian, :2005). Pergeseran kekuasaan dan peradaban kekaisaran Romawi dan
17
Persia (yang masuk ke Barat melalui warisan Bangsa Arya) ke Khalifahan Islam pada
abad ke-7 sampai ke-13, dan kembali lagi pada Eropa industrial modern setelah
Renaissance dan reformasi, tetap membuat kedua pihak tidak berdiri pada titik yang sama
(Majid Tehranian, :2005).
Secara tidak langsung diyakini ataupun tidak, tumbuhnya seni rupa modern dalam
dunia Islam, merupakan hasil dari cerita panjang pergulatan bagaimana situasi dan
pengaruh konteks modernitas Barat secara jelas tampil sekaligus memberikan pengaruh
yang kuat.
2.1 Seni Rupa Modern Indonesia
Seni rupa modern Indonesia berkembang pesat di Indonesia sejak proklamasi
kemerdekaan 1945, seni ini tidak bertolak dari –dan karena itu bukan kelanjutan—seni
rupa tradisional dari salah satu, beberapa, atau pun semua kelompok etnik yang hidup di
kepulauan yang sangat luas itu (Sanento Yuliman, :1997). Seni rupa modern merupakan
bagian dari super-kultur metropolitan Indonesia dan erat hubungannya dengan kontak
kebudayaan antara Indonesia dan Barat. Kelahirannya termasuk dalam proyek
nasionalisme: ketika rakyat Indonesia, dari superkultur metropolitan Indonesia dan erat
hubungannya dengan kontak kebudayaan antara Indonesia, dari anekaragam kelompok
etnik bertekad menjadi satu bangsa baru (yakni bangsa Indonesia), mereka mencita-
citakan kebudayaan baru, dan, karena itu, seni baru (Sanento Yuliman:1997).
Kontak kebudayaan dengan Barat dapat dirunut ke belakang sampai dengan awal
abad ketujuh belas. Tetapi kontak yang erat dan luas baru terjadi di abad ke-sembilan
belas. Tepatnya di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang berdiri di awal
abad itu. Dalam abad itulah mulai terdapat orang-orang Indonesia yang mempelajari seni
lukis barat. Di antaranya, pelukis yang sangat terkenal di Hindia Belanda yaitu Raden
Saleh (1814-1880), yang selama 22 tahun mengembara di Belanda, Jerman, Austria,
18
Italia, dan Prancis, dan mendapat gelar Pelukis Raja dari Willem III, raja Negeri Belanda
(Sanento Yuliman:1997).
Sejak menjelang pecah perang dunia II bermunculan pemuda Indonesia yang di satu
pihak tertarik akan seni lukis modern Barat dan di lain pihak digerakkan oleh
nasionalisme. Mereka merengkuh seni lukis Barat untuk mengungkapkan lingkungan dan
subyektivitas mereka sendiri. Identifikasi dengan perjuangan bangsa; tiadanya badan atau
lembaga yang mendukung seni modern dan menyalurkan karya para pelukis serta
menyalurkan imbalan bagi mereka (kecuali pelukis dan perkumpulan pelukis. institusi
seni modern belum ada); pergolakan militer, politik, dan sosial; inilah antara lain faktor-
faktor di dalam kondisi yang menumbuhkan seni lukis yang emosional, tegang, dinamis,
dan mencitrakan alam kehidupan sekeliling (Sanento Yuliman:1997). Inilah seni lukis
Sudjojono, Affandi, dan Hendra Gunawan, untuk menyebut beberapa contoh.
Masa yang berlangsung hingga dasawarsa 60-an tersebut, yang merupakan masa
awal pembentukan serta pertumbuhan pelukis dan perkumpulan pelukis, merupakan
tahap pertama dalam perkembangan seni lukis modern di Indonesia. Tahap pertama
dalam perkembangan seni lukis modern di Indonesia. Tahap kedua memperlihatkan peran
penting lembaga-lembaga pendidikan tinggi seni rupa. Lembaga ini tumbuh dan
berkembang sejak sekitar 1950, dan dalam dasawarsa 70-an telah menjadi tempat utama
bagi pendidikan pelukis dan seniman rupa lainnya (Sanento Yuliman:1997).
Dasawarsa 60-an sampai 70-an ditandai oleh perkembangan anekaragam abstraksi
dan seni abstrak. Lirisisme abstrak non- figuratif secara konsisten dikerjakan oleh pelukis
seperti Ahmad Sadali, sedang seni lukis abstrak dengan geometrisme yang ketat, lugas,
oleh Handrio. Mochtar Apin adalah contoh pelukis dan penggrafis senior yang tak pernah
berhenti bereksperimen, menjelajah. (Sanento Yuliman:1997). Masa ini memang ditandai
oleh banyaknya eksplorasi dalam berbagai medium baru, diantaranya eksperimen dengan
collage, assemblage, dan media campur. Sedang seni patung menjejaki bahan seperti
bilah besi, baja, paraglass, fibreglass, polyester, dan lain-lain (Sanento Yuliman: 1997).
19
Kelompok Gerakan Seni Rupa Baru, dalam paruh kedua dasawarsa 70-an dan
dalam dasawarsa 80-an, memperlihatkan dalam karya mereka seni lingkungan, instalasi,
penyerapan unsur-unsur seni populer dari dunia komersial dan media massa, serta
pelibatan seni ke dalam masalah sosial dan masalah lingkungan hidup. Penyerapan unsur -
unsur seni lama atau tradisional juga nampak pada yang dinamakan ’seni lukis kaligrafi’,
yang dapat dianggap sebagai perpaduan antara seni lukis abstrak non-figuratif di satu
pihak, dan kaligrafi Arab, yang hidup dalam sejumlah tradisi di Indonesia, di pihak lain.
Bukan kebetulan bahwa salah seorang perintis dan salah seorang seniman terpenting
dalam arus ini adalah A.D Pirous, pelukis dan pegrafis berasal dari Aceh, salah satu pusat
agama Islam dan pusat tradisi kaligrafi Arab di Indonesia (Sanento Yuliman:1997).
Secara mendasar paradigma seni rupa modern Indonesia dipengaruhi konteks
sosiokultural yang terlihat dalam pandangan atau konsep para seniman, seperti tercermin
pada gaya periode maupun gaya pribadi (Agus Burhan, :2007). Paradigma estetik suatu
periode menjadi tesis yang disepakati bersama sesuai konteks sosiokultural yang
berkembang. Setiap kemunculan tesis, berpotensi membawa negasi dan kontradiksi yang
akan menjadi antitesis dan sintesis, sebelum akhirnya menjelma menjadi tesis yang baru
(Agus Burhan, :2007). Menurut Agus Burhan secara dialektikal, seni rupa modern
Indonesia memperlihatkan sedikitnya lima paradigma estetik, yang telah terjadi selama
beberapa periodik. Pertama, abad ke-20 sampai akhir 1930-an, berkembang pandangan
romantisisme eksotis mooi Indie serta perkembangan seni lukis Bali baru yang berasal dari
inovasi lukisan wayang tradisional gaya kamasan. Pandangan ini mencerminkan citra pelukis
Belanda, pelukis priyayi pribumi yang berada dalam setting zaman dan kebudayaan kolonial
feodal. Mereka memuja konvensi keharmonisan dan nilai ideal, yang dalam lukisan berupa
keindahan pemandangan alam dalam gaya naturalisme dan impresionisme. Lukisan-lukisan mooi
Indie dapat dilihat pada karya-karya Du Chattel, Locatelli, Hofker, Ernest Dezentje, Le Mayeur,
Pirngadi, Abdullah Suriosubroto, Basuki Abdullah.
Kedua, tahun 1938 – 1965, melalui para seniman masa Persagi hingga Lekra,
berkembang paradigma estetik faham kontekstualisme kerakyatan. Paradigma ini dipengaruhi
oleh perubahan sosial lewat konteks-konteks politik. Hal itu dapat dilihat pada karya -karya
20
Sudjojono, Hendra Gunawan, Affandi, Trubus Sudarsono, Amrus Natalsya, Djoni Trisno, Itji
Tarmidji, dan lain-lain.
Ketiga, tahun 1960’an – 1980’an. Ditandai paradigma estetik humanisme universal
menguat. Seni rupa membebaskan penciptaan dan pengaruh politik. Penghargaan pada kesadaran
pribadi dan kebebasan berekspresi mendorong penjelajahan individual untuk melahirkan
ungkapan bentuk yang beragam. Di samping itu, pengaruh modernisasi dan pembangunan sangat
signifikan pada sifat-sifat karya. Proses kreatif personal melahirkan berbagai ungkapan yang
menitikberatkan perasaan dan emosi (lirisisme). Beberapa fenomena visual memunculkan ciri
sifat intuitif, imajinatif, dekoratif, dan non formal improvisatoris. Seni abstrak merupakan gaya
paling dominan dalam periode ini. Keragaman itu dapat dilihat pada karya -karya Achmad Sadali,
A.D Pirous, Srihadi Soedarsono, Popo Iskandar, Fadjar Sidik, Widayat, Zaini, Nashar, Rusli dan
lain-lain.
Keempat, tahun 1974. Paradigma estetik kontekstualisme pluralistis. Masalah sosial
aktual dianggap lebih penting dari pada keharuan sentimen pribadi seniman. Gerakan Seni Rupa
Baru muncul dengan paradigma estetik yang melawan bentuk seni rupa personal dan liris.
Paradigma itu terus berkembang, sehingga tahun 1980-an mulai menjadi sintesis sebagai bentuk
seni rupa kontemporer Indonesia. Beberapa ciri paradigma yang diajukan, yaitu melalui proses
kreatif yang analitik, kontekstual, dan partisipatoris. Dalam karya-karyanya ada upaya kuat untuk
menampilkan kekonkretan baru lewat berbagai macam medium dari teknik kolase, pemanfaatan
ready made, seni instalasi, seni lingkungan, hingga performance art. Media realisme juga
dipergunakan dengan teknik fotografis sehingga mencapai super realis. Karya-karya dengan
medium tidak terbatas menjadi ciri ungkapan seniman-seniman GSRB, yaitu pada Jim Supangkat,
F.X Harsono, Nyoman Nuarta, Bonyong Muni Ardhi, Dede Eri Supria, dan lain-lainnya.
Kelima , akhir abad ke-20 sampai kini. Paradigma sintesis baru. Dalam kurun waktu 1980
sampai 1990-an, terjadi polarisasi lirisisme dan nonlirisisme dalam seni rupa Indonesia. Di antara
dua kutub, ada beberapa perupa moderat mencari jalan lain menyerap kedua sikap itu. Mereka
mengganti kanvas dengan material-material baru untuk mencapai ’kekonkretan baru’, namun
tidak menolak pandangan lirisisme. Gejala itu merupakan benih sintesis, meskipun belum
mendapat dukungan. Ada juga karya-karya bentuk lama muncul dengan kecenderungan
surrealisme, abstrak ekspresionisme, dan gaya lainnya. Banyaknya perupa muda yang
menggunakan ungkapan multi media, tidak hanya bersikukuh pada konsep estetik dan pandangan
21
sosial seperti kelompok GSRB, tetapi bebas dan tidak berpihak. Bahasa lirisisme masih sering
dipakai, namun mereka juga melakukan performance art dan membuat seni instalasi dan video
art. Di samping itu, mereka tidak melihat fenomena sosial hanya dari kebenaran searah yang
berpihak. Contoh tipikal dalam kecenderungan ini adalah pada karya Heri Dono, Dadang
Christanto, Tisna Sanjaya, Marida Nasution, Hendrawan Riyanto dan lain-lainnya
Dibandingkan di Eropa, ditengarai kemunculan seni rupa modern Indonesia
sesungguhnya sangat berbeda antara persepsi pada pandangan konservatif pada saat
zaman kolonial dengan harapan dan pandangan baru yang dipengaruhi oleh pengaruh
gerakan realisme Eropa yang dirintis semisal oleh Gustavo Courbet sebagai perintisnya
(Jim Supangkat, :1997). Dalam hal ini konflik dan kontradiksi bukan pada tataran murni
estetik. Akan tetapi kontradiksi demikian dipengaruhi oleh persepsi latar belakang
persoalan sosial dan kultural (Jim Supangkat, :1997).
Pemikiran lahirnya seni rupa modern Indonesia ditengarai dirintis oleh pemikiran-
pemikiran S.Sudjojono pada tahun 1939 pada saat mengkritik habis-habisan gerakan dan
gaya melukis ’Mooie Indie’ yang dipelopori oleh Basoeki Abdullah dan kawan-kawan
(Jim Supangkat, :1997). Kritik pedas atas kelangsungan gaya melukis Mooie Indie
tersebut bisa disimak dalam komentar S.Sudjojono berikut ini:
”Benar mooi-indie bagi si-asing, jang ta’ pernah melihat pohon kelapa dan sawah, benar mooi-indie bagi si-toeris jang telah djemoe melihat skyscrapers mereka dan mentjari hawa dan pemandangan baroe, makan angin katanja, oentoek menghemboeskan isi pikiran mereka jang hanja bergambar mata-oeang sahadja. ” (S.Sudjojono, :1946:5).
Pada dekade 1940-1960, seni rupa modern Indonesia mencatat pertentangan bipolar
antara gagasan semangat tradisi dan semangat modernis yang diwakili oleh dua kutub
institusi yang diyakini bersebarangan arus. Kota Bandung yang diwakili oleh seni rupa
ITB merefleksikan semangat modernis sementara kota Yogyakarta yang diwakili oleh
ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) merefleksikan semangat tradisi. Kubu Bandung
yang diwakili oleh seniman-seniman Ahmad Sadali, Mochtar Apin, But Muchtar, Srihadi
Soedarsono, A.D Pirous, Popo Iskandar, Umi Dachlan, G.Sidharta Soegiyo, Rita
Widagdo, Farida Srihadi, Yusuf Affendi, Rustam Arief, Syamsudin Hardjakusumah,
22
Sunaryo, Edith Ratna, Erna Pirous, T. Sutanto, Kaboel Suadi, Hariyadi Suadi, Heyi
Ma’mun, Biranul Anas, Setiawan Sabana (Jim Supangkat, :1997). Sementara kubu
Yogyakarta diwakili oleh Widayat, Suparto, Mustika, G.M Sudarta, O.H Supono,
Mulyadi W, Roedyat, Ida Hadjar, Handrio, Kartika Affandi, Amri Yahya, Nyoman
Gunarsa, Lian Sahar, Tulus Warsito, Made Wianta dan yang lainnya (Jim Supangkat,
:1997).
Sering ditekankan bahwa perbedaan seni rupa Yogyakarta dengan seni rupa
Bandung yakni jika Yogyakarta menekankan penggalian tradisi budaya kuno. Sekolah ini
berusaha menemukan perkembangan hasil karya yang menekankan kebudayaan
tradisional (Masahiro Ushiroshoji, :1997:32). Sementara itu seni rupa ITB (Bandung),
karena lingkungannya kondusif, bebas dan memberi kesan internasional. Benar-benar
berkesan sebagai universitas yang berlandaskan pada modernisasi Eropa Barat. Di sini
berkembang kepercayaan seni rupa universal yang merupakan dasar kepercayaan seni
rupa modern. Hasil karya abstrak dalam perkembangan seni rupa modern Indonesia
kebanyakan dihasilkan oleh orang-orang ITB ini (Masahiro Ushiroshoji, :1997:32).
Di sisi lain perupa A.D Pirous yang juga dikenal sebagai sosok pemikir masalah
seni rupa Indones ia mengungkapkan bagaimana dilema persoalan seni rupa modern
Indonesia ini yang dipengaruhi oleh modernitas Barat tersebut. Bagaimana tidak
pemahaman demikian muaranya, berujung pada persoalan identitas. Kemudian ia
menuliskan:
”Dengan menunjuk kenyataan itu, saya ingin mengajak untuk melihat bahwa tumbuhnya seni rupa modern Indonesia berdimensi global. Sehingga tidaklah mengherankan apabila persoalan utama di awal tumbuhnya kesenian modern adalah persoalan antara kebudayaan Barat dan Timur, atau memakai istilah yang sering dipakai sekarang adalah: antara modernisme dan tradisionalisme. Apakah kemodernan adalah juga proses pembaratan? Apakah nilai-nilai modern harus bertentangan dengan tradisis? Apabila kita telah begitu banyak menyerap nilai dan produk modern, di manakah kepribadian kita? (A.D Pirous, :2003:5)
Demikianlah, yang terjadi bagaimana proses terbentuknya seni rupa modern
Indonesia tersebut disamping mendapat pengaruh dari aspek kolonialisasi Barat dan
23
modernitas Barat. Sesungguhnya pula pemikiran seni rupa modern Indonesia, terbentuk
lewat pemikiran-pemikiran para pelakunya.
2.2 Kritik Seni Sebagai Pendekatan
Pendekatan kritik seni dalam penelitian seni sering dikelompokkan ke dalam
kelompok estetika empiris atau estetika keilmuan, selain mo rfologi estetik maupun
semiotika (Yustiono, :2004). Pada titik ini kritik seni langsung tertuju pada karya seni
sebagai objek pengetahuan. Sedangkan pendekatan-pendekatan lainnya seperti sejarah
seni, antropologi seni, sosiologi seni, psikologi seni, manajemen seni, dan hermeneutika
seni. Kerap digolongkan pada kajian kegiatan manusia dan seni (Yustiono, :2004).
Di Indonesia, bidang kritik seni telah muncul pada awal lahirnya seni rupa
modern pada dasawarsa 1930-an ketika Sudjojono yang juga pelukis dan pendiri Persagi
pada 1938 aktif menulis kritik terhadap peristiwa-peristiwa pameran pada masa itu
(Yustiono, :2004). Sesudah masa kemerdekaan tradisi kritik seni dalam bidang seni rupa
diteruskan oleh tokoh-tokoh seperti Trisno Sumardjo, Kusnadi, Sitor Situmorang, dan
pada periode 1970-an muncul Sudarmaji, Sanento Yuliman, Agus Dermawan dan
sebagainya. Sebagai salah satu bidang estetika empiris yang memiliki tradisi yang cukup
berarti dalam dunia seni rupa modern, kritik seni langsung menukik pada pembahasan
karya seni. Pada umumnya kritik seni sering dipandang sebagai suatu mata rantai dalam
proses sosialisasi karya seni di masyarakat (Yustiono, :2004).
Dalam buku Arts as Image and Ideas (1967), Feldman menjelaskan kinerja kritik
(critical performance) dalam 4 tahapan: deskripsi, analisis formal, interpretasi, dan
evaluasi. Keempat tahapan tersebut memiliki kesejajaran dengan tahap-tahap penelitian
ilmiah berupa observasi, klasifikasi fakta, pengajuan hipotesis, analisis, dan kesimpulan.
Jika dalam pendekatan ilmiah yang cenderung menghindari tahap evaluatif, maka
dalam kritik seni, tahap pentingnya yaitu pada evaluasinya. Kesejajaran antara deskripsi
24
dan observasi sdapat dilihat pada pengertian deskripsi yang mencakup proses
menemukan dan mencatat apa yang nampak pada pengamat atau dengan kata lain
menemukan apa yang objektif hadir dalam karya seni (Yustiono, :2004). Jika dalam
observasi seorang peneliti berusaha untuk tidak terlibat secara emosional pada objek
penelitiannya, deskripsi karya seni juga menuntut kemampuan untuk menyatakan suatu
bentuk deskripsi karya seni juga menuntut kemampuan untuk menyatakan suatu bentuk
deskripsi yang meminimalkan perbedaan pendapat. Selain itu, deskripsi juga meliputi
analisis teknis tentang karya-karya tersebut dibuat. Pada tahap analisis formal
sebagaimana klasifikasi fakta, peneliti berupaya masuk ke balik apa yang nampak dalam
deskripsi. Peneliti berupaya menghubungkan unsur-unsur baik itu berupa raut, bidang
warna, bentuk-bentuk dengan garis tertentu, tekstur, dan tempat ruang dalam suatu sistem
pengorganisasian tertentu (Yustiono, :2004).
Dalam analisis formal pengkritik mulai bergerak dari deskripsi objektif dari
bentuk ke arah pernyataan tentang cara kita mencerap bentuk. Tahap ketiga dalam
kinerja kritik yaitu interpretasi, peneliti berusaha mengunkapkan makna karya seni. Kerja
interpretasi merupakan kegiatan yang paling penting dalam kritik seni. Dalam tugas
interpretasi, peneliti mengajukan suatu asumsi atau hipotesis, pada titik ini menurut
Feldman adalah gagasan atau prinsip organisasi yang mempertautkan bahan deskripsi dan
analisa formal secara bermakna. Dalam tahap terakhir kinerja kritik yaitu tahap evaluasi
atau penghakiman, peneliti membuat penelitian karya seni secara kritis, yaitu memberi
peringkat karya seni dibanding karya seni yang lain (Yustiono, :2004).
25
2.3 Nilai-nilai Islam dalam Seni Rupa Modern Indonesia
Latar belakang kronologis seni rupa modern indonesia bernafaskan Islam. Diawali
oleh bentuk ’seni lukis kaligrafi Arab’ yang terjadi pada tahun 1970-an. Gaya seni lukis
kaligrafi ini, telah dipelopori kelahirannya oleh beberapa pelukis modern Bandung,
Yogyakarta, dan Surabaya.
Kedua, melalui ’Pameran Besar Seni Lukis Kaligrafi’ MTQ ke-11 tahun 1979, di
Semarang. Pameran MTQ di Semarang pada tahun 1979 yang diikuti oleh 26 pelukis.
Pameran pada tahun 1979 ini diadakan pameran seni lukis bernafaskan Islam (Pameran
Kaligrafi Nasional), di Semarang. Sehubungan dengan MTQ XI. Karya yang dipamerkan
sebanyak 120 buah dari 26 seniman mencakup (lukis, grafis, keramik, ukiran dan
tapestri).
Ketiga, melalui ’Pameran Lukisan Kaligrafi’ pada MTQ ke-21 tahun 1981, di
Aceh. Pada tahun 1981, diadakan pameran lukisan kaligrafi dan Mesjid di Banda Aceh,
sehubungan MTQ ke XXI, diikuti oleh 45 seniman dengan 255 karya (lukisan kaligrafi
dan fotografi.
Keempat, melalui ’Pameran Lukisan Kaligrafi’ pada MTQ ke-13, di Padang.
Tahun 1983, pameran lukisan kaligrafi di MTQ ke XIII, Padang, diikuti oleh 28 seniman
dengan 75 karya.
Kelima, lewat ’Pameran Kaligrafi’, tahun Hijriah 1425H tahun 1984. Pada tahun
1984 diadakan pameran lukisan kaligrafi menyambut tahun baru Hijriah 1425H , diikuti
oleh 8 pelukis di Jakarta oleh Yayasan Ananda.
Keenam , melalui ’Pameran Gaya Seni Lukis Kaligrafi’ Arab, oleh 5 pelukis
senior pada tahun 1985. Pada tahun ini, untuk pertama kali 5 orang pelukis senior
Indonesia yang mendukung gaya seni lukis kaligrafi Arab ini, berkesempatan berpameran
di Timur Tengah. Pameran ini mendapat kesan pertama tentang seni lukis bernafaskan
Islam untuk pertama kali di luar negeri.
26
Ketujuh, lewat ’Pameran Kaligrafi Islam Indonesia’ tahun 1987. Pada tahun 1987,
pameran kaligrafi Islam Indonesia, di Mesjid Istiqlal diikuti oleh 32 seniman.
Negara Indonesia berdekatan dengan negara Malaysia. Baik negara Indonesia
maupun negara Malaysia mempunyai banyak kesamaan, baik dari segi agama maupun
segi bahasa. Lewat telaahnya, kritikus seni asal Jepang Masahiro Ushiroshoji
mengemukakan, akan tetapi justru ditemukan dalam beberapa karya seniman Malaysia,
mereka tidak melukis atau menggambar bentuk orang. Sebagai gantinya menghasilkan
hasil karya yang mengembangkan keindahan ornamen-ornamen Islam yang bergaya
dekoratif (Masahiro Ushiroshoji, :1997).
Dibandingkan di Bandung. Dapat dianggap di Yogyakarta, tradisi kebudayaan
Jawa dan pemikiran-pemikran mistis lebih diprioritaskan dari pada prinsip Islamik. Islam
masuk ke Jawa dengan mengalahkan kerajaan-kerajaan Hindu. Dari sini terbentuk
kerajaan Islam. Tapi dalam perubahan filosofi Jawa asli yang berdasarkan paham mistis
dan paham animistis ternyata tidak hilang. Kepercayaan dan filosofi mistis Jawa ini
masih hidup sampai sekarang dan menjadi dasar kebudayaan Jawa atau spirit Jawa
(Masahiro Ushiroshoji, :1997).
Bangsa Indonesia mayoritas adalah muslim, perkembangan kebudayaan Islam
tidak meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu
pulau. Perkembangan kebudayaan Islam baru dimulai sekitar abad ke-12 dan 13 dan
mencari puncaknya pada abad ke-16, 17, 18 di zaman kerajaan Mataram Islam di pulau
Jawa, yang terkenal dengan pimpinan Walisongo dan masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda di Aceh, Sumatera (A.D Pirous, :2003). Perkembangan kesenian Islam selama
kurang lebih 4 abad hanya terbatas di beberapa daerah, seperti Sumatera, Jawa, Madura,
Kalimantan, Sulawesi, Lombok dan Kepulauan Maluku. Di luar daerah-daerah tersebut
tradisi seni etnik masih belum tersentuh oleh Islam sehingga tradisinya bertahan tanpa
mengalami perubahan (A.D Pirous, :2003).
27
Masa awal pertumbuhan seni rupa modern Indonesia hingga dasawarsa 60-an.
Ditandai beberapa indikator perkembangan. Sebagai tahap awal tahun 1938 ditandai oleh
pembentukan pertumbuhan pelukis dan perkumpulan pelukis, oleh Persagi pada tahun
1938 yang dikepalai oleh Sudjojono. Pada tahap kedua, memperlihatkan peran penting
pendidikan tinggi seni rupa. Lembaga ini tumbuh dan berkembang sejak sekitar tahun
1950, dan dalam dasawarsa 1970 telah menjadi tempat utama bagi pendidikan pelukis
dan seniman lainnya (A.D Pirous, :2003). Dalam perkembangan seni rupa modern ini,
mucul pula isu dan perhatian yang besar terhadap masalah lingkungan, baik melibatkan
aspek sosial, seni maupun budaya. Pada masa sebelumnya ditemukan perhatian terhadap
seni lama dan seni tradisonal, yang oleh beberapa pelukis melahirkan karya yang bergaya
dekoratif. Kemudian gaya dekoratif ini menjadi sebuah kecenderungan sendiri dalam seni
lukis Indonesia (A.D Pirous, :2003).
Di samping itu masalah yang sejak tahun 1950 telah hangat diperdebatkan di
Indonesia adalah masalah yang menyangk ut identitas seni rupa Indonesia, di mana
potensi kesenian modern ketiga kota seperti Bandung, Yogya dan Jakarta terlihat dalam
polemik yang panjang. Salah satu alternatif arah yang diambil adalah penggalakan
semangat untuk menggali khazanah seni tradisional Indonesia. Salah satu kekuatan seni
rupa tradisional Indonesia, terdapat dalam seni khat yang ditemukan pemakaiannya di
berbagai bidang. Mulai dari Al-Qur’an, makam, mesjid, kain dan berbagai benda lainnya.
Khat Islami pada masa itu memang lebih berperan sebagai seni terpakai daripada
seni khat murni yang berdiri sendiri. Kesadaran akan kekayaan unsur kaligrafi Islam
dalam seni rupa tradisional telah membangkitkan hasrat untuk menggelutinya sebagai
satu tantangan baru dalam mencari alternatif identitas seni rupa modern Indonesia.
Bentuk seni lukis khat/kaligrafi ini muncul di awal tahun 70-an dalam bentuk lukisan
abstrak, non-figuratif yang diperkaya denan unsur kaligrafi Arab. Sebagian besar lukisan
kaligrafi ini bertemakan ayat suci Al-Qur’an atau hadits (A.D Pirous, :2003).
Wacana seni rupa modern Indonesia pada tahun 70-an menampakkan dua arus
besar yang bertolak belakang. Arus pertama mengandung muatan spiritualitas religius
28
dan arus kedua adalah pan-Sensualisme (Yustiono, :2003). Spiritualitas religius
merupakan yang berpijak pada persoalan religi masyarakat atau ekspresi dari ide dan
keyakinan kolektif tentang agama tertentu, contohnya seniman muslim ramai-ramai
mengangkat kaligrafi sebagai isu tematik (Yustiono, :2003).
Gambar 2.1 Lukisan karya Amri Yahya tema spiritualitas religius-Islam
yang mengangkat Kaligrafi. Sumber: Kertas Kerja Tim 7
29
Gambar 2.2
Lukisan karya Amang Rahman tema spiritualitas religius-Islam yang mengangkat Kaligrafi. Sumber: Kertas Kerja Tim 7
30
Gambar 2.3
Karya Haryadi Suadi gabungan tema spiritualitas religius-Islam dengan tradisi etnik . Sumber: Kertas Kerja Tim 7
31
Gambar 2.4
Lukisan Karya Fadjar Sidik tema spiritualitas religius-Islam dengan pendekatan abstrak Sumber: Kertas Kerja Tim 7
32
Gambar 2.5
Lukisan Karya Abay Subarna tema spiritualitas religius-Islam mengangkat Kaligrafi sebagai tema Sumber: Kertas Kerja Tim
Pada pembicaraan mengenai pan-Sensualisme, ia nampak memberi asumsi bahwa
pan-Sensualisme ini suatu arus besar internasional. Semua menunjuk pada suatu
gelombang pengaruh seni rupa modern mutakhir di Barat semenjak pertengahan tahun
50-an sampai masa Pop art, yang ternyata kemudian menyebar ke seluruh dunia
(Yustiono, :2002:110).
Pengertian sensualisme dalam arti budaya yang berkait dengan kebendaan atau
hal-hal yang menyentuh inderawi, yang sensus dan keduniawian. Hal itu bisa kita
relasikan dengan hal-hal yang lebih besar, yakni dengan pola-pola kapitalisme dan pola-
pola produksi kapitalistis. Kemudian menyebar ke seluruh dunia menjadi pola ekonomi
kapitalistis dengan sistem produksi dan konsumsinya yang terkait dengan pandangan
33
dunia Barat. Di Indonesia arus pan-sensualisme ini terjadi juga pada tahun 70-an pada
saat gerakan seni rupa baru yang muncul dengan membawa berbagai bentuk-bentuk
visual atau bentuk-bentuk gaya seperti seni Pop kemudian Neo-Dada, Optic Art, dan lain
sebagainya (Yustiono, :2002).
Perkembangan seni rupa Indonesia pada saat Persagi nilai-nilai budaya seni rupa
modern dipengaruhi oleh arus Barat dan arus Timur sehingga pada tahun 35-an ada yang
namanya polemik kebudayaan. Hal itu telah merepresentasikan perbenturan antara
Barat-Timur atau modern dan tradisional yang kemudian terefleksi dalam seni. Yustiono
(2003:110) menambahkan, setidaknya ada empat kekuatan pembentuk dalam nilai-nilai
seni rupa modern Indonesia, pertama, adalah nasionalisme dan ini tidak hanya di seni
tetapi juga sosial budaya secara umum. Nasionalisme ini nanti akan terwujud dalam
upaya-upaya untuk mendapatkan suatu bentuk ekspresi seni yang sesuai dengan
kepribadian nasional. Semacam kecenderungan budaya bangsa yang selalu berkeinginan
memiliki ekspresi seni yang sesuai dengan jati diri ataupun jiwa bangsa atau identitas
nasional. Itu dasarnya adalah nasionalisme. Kedua, adalah modernisme, yang didasari
oleh suatu pandangan universalisme. Kalau dalam bahasa politik umumnya istilahnya
adalah internasionalisme yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Soekarno. Hingga
pada tahun 63 muncul istilah humanisme universal. Tahun 50-an surat kepercayaan
gelanggang dan itu juga merupakan prinsip modernisme. Ketiga, realisme sosial atau
sosialisme. Seni adalah bagian dari usaha pendefinisian diri. Muncul gagasan seni
sebagai alat kekuasaan, seperti terdapat dalam jargon: ”politik sebagai panglima”.
Keempat, tradisi religi yang terakhir ini justru satu-satunya dari empat pernyataan itu
yang pijakannya berasal dari dalam atau dari budaya setempat, yakni akar tradisi.
Semenjak prasejarah sampai sekarang pola budaya semacam itu sudah ada.
Pada dasarnya tradisi religi ini, lebih berpijak pada nilai-nilai spiritual religius,
dalam karya sastra misalnya contoh ini bisa ditemukan dalam karya-karya sastra Amir
Hamzah. Selanjutnya di tahun yang sama 1970, gagasan niai Islam itu berkembang dan
dipelopori oleh pemikiran Ahmad Sadali, lalu diikutilah ileh pelukis-pelukis sezamannya
34
antara lain: A.D Pirous (Bandung), Abay Subarna (Bandung), Amri Yahya (Yogya), serta
Amang Rahman (Surabaya).
Di pihak lain fenomena perkembangan gagasan dan wacana nilai Islam tersebut
berkembang terus hingga puncaknya terjadi pada tahun 1991 dan 1995 melalui pameran
seni rupa modern Islam Indonesia yang disebut: Festival Istiqlal.