21
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Munculnya Syi’ah dan Pernikahan Mut’ah
1. Syi’ah
Awal mula munculnya Syi’ah pertama kali adalah ketika pergantian
kepemimpinan setelah Rasulullah saw. wafat. Pada saat itu, muncul pro-kontra
antara kelompok yang mendukung adanya musyawarah untuk menentukan siapa
khalifah selanjutnya dengan kelompok yang merasa yakin bahwa Ali bin Abi
Thalib Ra. telah ditunjuk oleh Rasulullah saw. Meskipun pada awalnya kelompok
tersebut belum menunjukkan dirinya yang sebenarnya di hadapan khalifah yang
telah terpilih seperti Abu Bakar dan Umar bin Khatthab, tetapi, ketika masa
kekhalifahan Utsman Bin Affan, kelompok ini mulai muncul secara terang-
terangan. Bahkan, puncaknya adalah ketika dibunuhnya kekhalifahan Utsman
oleh kelompok pembuat fitnah dan kezhaliman yang mengakibatkan umat Islam
terpecah belah.
Pada masa kekhalifahan Ali, kelompok ini terbagi menjadi beberapa sekte
atau kelompok syi’ah, yakni, Ghulat, Ismailiyah, Imamiyyah (Itsna ‘Asyariyah),
Zaidiyyah. Berdasarkan dari empat sekte tersebut, sekte yang terkenal dan masih
memiliki pengikut yang cukup banyak adalah sekte Imamiyah atau Itsna
‘Asyariyah dan Zaidiyyah.
22
a) Syi’ah Ghulat
Kelompok Syi’ah ini tergolong ekstrem dan dapat dikatakan bahwa
pengikutnya telah punah. Kelompok ini dikatakan ekstrem dikarenakan
mereka telah menganggap Imam mereka, yaitu Ali ra dan Imam-Imam yang
lainnya adalah Tuhan dan ada pula yang menganggapnya sebagai Nabi yang
sebenarnya dan bukan Nabi Muhammad saw. Mereka menghalalkan
kebebasan seks dan kepemilikan wanita, mereka juga membatalkan shalat
dan puasa.
b) Syi’ah Ismailiyah
Syi’ah Ismailiyah merupakan kelompok yang meyakini bahwa Ismail
putera Imam Ja’far ash-Shadiq, adalah imam yang menggantikan ayahnya.
Namun, sekelompok penganut Syi’ah percaya bahwa putra Imam Ja’far yang
lain, yakni Musa al-Kadzim adalah imam yang ketujuh (dalam kepercayaan
Itsna ‘Asyariyah).
Kelompok ini yang mempercayai bahwa Ismail adalah imam setelah
ayahnya, padahal Ismail wafat lima tahun sebelum wafatnya sang ayah.
Kelompok ini percaya bahwa Ismail akan tampil kembali di muka bumi.
Kelompok ini masih memiliki pengikut yang setia dan tersebar di kelompok
minoritas di Afghanistan, India, Pakistan, Suriah, dan Yaman, serta di
beberapa negara Barat, Inggris dan Amerika Utara.
23
c) Syi’ah Imamiyah (Itsna ‘Asyariyah)
Kelompok ini merupakan kelompok syi’ah yang paling eksis hingga
saat ini. Di antara kelompok syi’ah tersebut, kelompok ini paling banyak
pengikutnya. Kelompok syi’ah ini adalah yang meyakini adanya dua belas
imam yang merupakan keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra
Kelompok ini tersebar di Iran, Irak, Suriah, Kuwait, Bahrain, India, Saudi
Arabia, dan beberapa di daerah bekas Uni Soviet.
d) Syi’ah Zaidiyyah
Kelompok ini merupakan pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali
Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib Ra. Imam Zaid lahir dan
dibesarkan, bahkan hidup dalam kondisi sosial yang tidak menyenangkan
semua orang yang hendak mengarah kepada Allah dan yang mendambakan
keadilan. Imam Zaid dikenal sebagai seseorang yang pemberani dalam
melawan musuh-musuhnya, seperti yang dilakukan Ali ra dan Husain ra.
dalam menumpas segala kezaliman yang ada di sekitarnya, sehingga inilah
yang menjadi dasar utama lahirnya Syi’ah Zaidiyah.
Syi’ah Zaidiyah berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan
sahabat Rasulullah yang paling mulia dan melebihi Abu Bakar dan Umar.
Namun, mereka tetap mengakui sahabat-sahabat Nabi itu sebagai khalifah-
khalifah yang sah. Itulah sebabnya mereka enggan mempersalahkan sahabat
Nabi, apalagi mencaci dan mengutuk mereka.
Zaidiyyah dikenal juga sebagai Rafidhah yang menurut Bahasa Arab
bermakna “meninggalkan”, sedangkah dalam terminologi syariat bermakna
24
“mereka yang menolak menyalahkan dan mencaci”. Namun, ada juga yang
mengartikan sebagai mereka yang menolak pandangan Imam Zaid tentang
tidak wajarnya memaki Sayyidina Abu Bakar dan Umar Ra., sehingga siapa
pun yang memakinya maka ia dinamai Rafidhiy”.1
Banyak orang yang masih belum mengetahui secara pasti bagaimana
syi’ah bisa muncul di tengah-tengah umat Islam. Bahkan muncul berita yang
masih simpang siur mengenai terbentuknya Syi’ah, yakni karena adanya
pendiri dari kelompok ini. Konon, pendiri kelompok Syi’ah ini adalah
seorang Yahudi dari Yaman yang bernama Abdullah bin Saba’ al-Himyari
yang muncul pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Ia mengenalkan
ajarannya kepada orang-orang di sekitarnya, bahwa kepemimpinan (imamah)
yang pantas untuk menggantikan Rasulullah setelah wafatnya harusnya jatuh
ke tangan Ali bin Abi Thalib atas petunjuk dari Rasulullah saw. sendiri.
Menurut Abdullah bin Saba’, ketiga khalifah yang sebelumnya,
seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman dianggap telah mengambil hak
kepemimpinan dari Ali, sehingga ia menunjukkan sikapnya bahwa Ali berhak
menjadi imam (khalifah) dan merupakan seseorang yang terjaga dari segala
dosa atau ma’shum hingga keturunannya kelak. Keyakinan itu berkembang
terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi
Thalib. Ali yang mengetahui sikap berlebihan tersebut kemudian memerangi
bahkan membakar mereka yang tidak mau bertaubat, sebagian dari mereka
melarikan diri.
1 Quraish Shihab, Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? (Jakarta: Lentera hati,
2010), hlm. 70-83.
25
Terlepas dari itu semua, banyak para ulama baik Sunni maupun
Syi’ah yang menganggap bahwa tokoh Abdullah bin Saba’ hanyalah tokoh
fiktif belaka yang sengaja dibuat untuk memecah belah umat Islam. Sulit
dipercaya apabila Abdullah bin Saba’ yang konon merupakan seorang
Yahudi, mampu mempengaruhi sahabat-sahabat Rasulullah saw. dengan
begitu mudahnya.
Penganut aliran Syi’ah dan juga pakar Ahlusunnah berpendapat
bahwa benih Syi’ah muncul sejak masa Rasulullah telah wafat, yakni
menjelang pembaiatan Abu Bakar di Saqifah. Keluarga Rasulullah saw.
menganggap bahwa Ali ra. merupakan orang yang tepat menggantikan Nabi
saw. dibandingkan dengan Abu Bakar yang bukan ‘orang dalam’. Kejadian
ini berlangsung saat jasad Rasulullah saw. masih terbaring dan belum
dikuburkan, tetapi sebuah kelompok bertindak dan sedang memilih khalifah
pengganti kaum muslimin yang selanjutnya tanpa sepengetahuan ahlul bait.
Setelah terjadi suatu musyawarah dan perdebatan dalam pemilihan
khalifah selanjutnya, kemudian akhirnya terpilihlah Abu Bakar, tetapi Ali
Ra.yang juga masuk dalam bursa pencalonan enggan berbaiat karena ia
merasa lebih berhak atas kedudukan itu. Meskipun pada awalnya Ali Ra.
telah ditawari untuk memangku jabatan tersebut, tetapi ia menolak syarat
yang diajukan Abu Bakar dan Umar sehingga kekuasaan itu luput dari beliau.
Demikian uraian singkat yang terlihat bahwa benih syi’ah bukan dari ajaran
Yahudi yang dibawakan Abdullah bin Saba’, syi’ah tumbuh berkembang
secara formal.2
2 Ibid, hlm. 64-69.
26
Hingga saat ini, kelompok syi’ah lebih banyak dikenal keberadaannya
yakni di Iran yang dulunya dikenal dengan daratan Persia. Mayoritas
penduduknya adalah penganut majusi atau penyembah api. Pada abad ke-7,
Umar bin Khatthab memperluas wilayah Islam hingga ke Persia (Sassania),
sehingga pada saat itu muncul peperangan antara Islam dan Parsi yang
bernama Qadisiyah. Namun, peperangan itu akhirnya dimenangkan oleh
kaum Muslimin.
Pada saat itu, banyak kaum Majusi yang berpura-pura memeluk
agama Islam karena hanya ingin menghancurkan Islam dari dalam dengan
mencampuradukkan keyakinan dan akidah mereka yakni, Majusi dan Yahudi.
Peperangan tersebut menghasilkan tawanan seorang putri dari Raja Persia
yang pada akhirnya dinikahkan kepada Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dari
pasangan tersebut, kemudian lahir seorang anak laki-laki yang bernama
Zainal Abidin. Darah yang mengalir pada Zainal Abidin sebagiannya
merupakan keturunan dari seorang majusi.
Hal inilah yang menjadikan mereka begitu fanatik dan cenderung
‘mendewakan’ Husain bin Ali. Karena itu orang Majusi mengkhususkan
keturunan Husain untuk menjadi syarat sah imamah. Itulah yang menjadikan
kelompok Syi’ah ini lebih banyak berpusat di Iran.
a. Pengertian Syi’ah
Syi’ah seperti yang kita ketahui bersama secara umum adalah sebuah
kelompok yang meyakini dan mengikuti adanya dua belas imam dari Ahlul
Bait Rasulullah melalui keturunan Ali, istrinya, dan anak-anak. Ali merupakan
27
salah satu panutan dan teladan yang penting bagi mereka, segala urusan ibadah
dan muamalah yang dilakukan mereka dilakukan oleh kelompok ini. Ahlul bait
merupakan orang-orang terdekat dari keluarga Rasulullah saw.
Namun, pengertian syi’ah di atas merupakan penjelasan secara
umumnya yang kita ketahui secara sekilas saja, padahal jika ditelisik lebih jauh
lagi pengertian syi’ah yang sesungguhnya sedikit berbeda dengan yang telah
dipaparkan di atas. Kata عة syi’ah di dalam al-Qur’an memiliki beberapa-شي
makna, seperti kata شيع–syi’un yang merupakan kata dasarnya, disebutkan di
dalam al-Qur’an sebanyak enam makna dengan objek yang berbeda.3
Tasyi>’un (Tersiar/Tersebar)-تشيع (1
Allah berfirman dalam al-Qur’an Surat an-Nur: 19 yang berbunyi:
اليم ... إنالذينيب ونأنتشيعالفاحشةيفالذينآمنوالمعذاب
Innalladzi>na yuhibbu>na an tasyi>’u al-fa>chisyatu fi>lladzi>na
a<manu lahum ‘adza>bun ali>mun...
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang
sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang
beriman...”
Kata tersebut juga dapat merujuk pada makna: “tersebarnya suatu
kabar atau berita” dan dapat juga berarti ”tersebarnya sekelompok
orang”.
3 Mu’jam Alfadhu al-Qur’an al-Karim, diterbitkan oleh Kelompok Bahasa Arab di Kairo tahun
1389 H, hal. 22 dalam buku “asy-Syi’ah wa Imamah Ali” karya Umar an-Najar (Kairo: Dar
al-Manar, th. 2004), hlm. 5.
28
عة (2 Asyi>’atu (Golongan/Kelompok)-الشي
Pengertian yang dimaksud dalam kata ini adalah golongan atau
sekelompok manusia satu dengan yang lain mengikuti pemimpin atau
penolong-penolong Nabi. Hal ini berdasarkan yang tercantum al-Qur’an
Surat Maryam: 69) yang berbunyi:
عة اي هماشدعلىالرمحانعيا كلشي لن نزعنمن ث
Tsumma lananzi ‘anna min kulli syi>’atin ayyuhum asyaddu ‘ala<
arrachma>ni ‘itiyyan
Artinya: “Kemudian pasti akan Kami tarik dari setiap golongan siapa di
antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih.”
Kata عة asyi>’atu yang dimaksud dalam ayat ini adalah-الشي
“golongan” atau “sekte kelompok”.
عته (3 Syi’atihi (Golongannya/Penolongnya)-شي
Kata ini telah disebutkan dalam al-Qur’an Surat al-Qashash: 15
yang berbunyi:
ي قالن,هذامنشي عهوهذامنعدوه... ف وجدفيهارجلي
Fawajada fi>ha> rajulayni yaqtatila>ni>, hadza> min syi>’atihi wa
hadza> min ‘aduwwihi...
Artinya: “Maka dia mendapati di dalam kota itu dua orang laki-laki
sedang berkelahi, yang seorang lagi dari golongannya (Bani Israil) dan
yang seorang lagi pihak musuhnya (Kaum Fir’aun).”
Berdasarkan hal yang telah disebutkan dalam al-Qur’an tersebut
adalah kata ini memiliki makna “golongannya atau pendukungnya”.
29
Syiya’un (Kaum/Umat)-شيع (4
Hal ini tercantum dalam al-Qur’an Surat al-Hijr: 10 yang berbunyi:
ولقدأرسلنامنق بلكيفشيعاألولي
Wa laqad arsalna> min qablika fi> syiya’i al-awwali>na
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah mengutus (beberapa Rasul) sebelum
engkau (Muhammad)kepada umat-umat terdahulu.
Kata yang dimaksud dalam ayat ini adalah berarti “sekelompok
atau umat terdahulu”.
Syiya’an (Golongan-Golongan)-شي عا (5
Kata tersebut terdapat dalam al-Qur’an Surat al-An’am: 65 yang
berbunyi:
ي ع ا... ...أوي لبسكمش
...aw yalbisakum syiya’an...
Artinya: “...atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan
(yang saling bertentangan)...”
Bi asy ya>’ihim (Orang-Orang Sepaham/Serupa)-بأشياعهم (6
Kata ini terdapat dalam al-Qur’an Surat Saba: 54 yang berbunyi:
كمافعلباشياعهممنق بل... مايش هون, ن هموب ي وحيلب ي
Wachi>la baynahum wa bayna ma> yastahu>na, kama> fa’ila bi-asy
ya>’ihim min qablu...
30
Artinya: “Dan diberi penghalang anatara mereka dengan apa yang
mereka inginkan, sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang
yang sepaham dengan mereka yang terdahulu”.
Kata yang telah disebutkan di atas memiliki makna yang sedikit
berbeda dan lebih mengerucut, yakni berkaitan dengan “manhaj atau
pemikiran mereka”.
Berdasarkan yang telah disebutkan dalam beberapa surat di dalam
al-Qur’an tentang penggunaan kata شيع-syi’un, penulis dapat berkesimpulan
bahwa kata tersebut merujuk pada sekumpulan orang atau golongan-golongan
tertentu yang memiliki ide dan gagasan di dalam sebuah komunitas untuk
mengikuti seseorang yang dianggap oleh mereka patut untuk diteladani.
Kata “syi’ah” secara etimologi atau secara bahasa adalah berarti setiap
orang yang berkumpul, pengikut, pendukung, pembela, pencinta, yang
keseluruhannya tersebut cenderung pada suatu ide atau individu atau kelompok
tertentu.4 Lain halnya menurut Muhammad Jawad Maghniyah, seorang ulama
syi’ah, memberikan definisi tentang kelompok syi’ah, bahwa mereka adalah
kelompok yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw., telah menetapkan
nash (pernyataan yang pasti) tentang khalifah (pengganti) Beliau dengan
menunjuk Imam Ali.5 Sedangkan menurut Azhari, setiap kelompok yang
memiliki satu urusan dan mengikuti yang lain adalah syi’ah.6
4 Muhammad Tijani, al Syiah Hum Ahlu Sunnah (Jakarta: El Faraj Publishing, 2007), hlm. 16 5 Ibid. 6 Umar an-Najar , asy-Syi’ah wa Imamah Ali (Kairo: Dar al-Manar, 2004), hlm. 6
31
Kaum syi’ah begitu menginginkan adanya pemerintahan yang monarki
atau yang bersifat secara turun temurun, yakni berasal dari keluarga Rasulullah
saw. Inilah yang menjadikan Ali sebagai imam tertinggi mereka dan yang tepat
dijadikan khalifah yang sebenar-benarnya setelah sepeninggal Rasulullah saw.
Benar adanya bahwa Rasulullah pernah mengatakan penerus selanjutnya
adalah Ali bin Abi Thalib ketika mereka berada dalam haji wada’ tepatnya di
suatu daerah bernama “Ghadir Khum”. Namun, bukan berarti keputusan yang
dikatakan Rasulullah tersebut adalah keputusan yang final, karena Beliau
sendiri mengajarkan kepada kita untuk senantiasa bermusyawarah mufakat jika
dihadapkan pada suatu pilihan.
b) Dua Belas Imam Syi’ah
Imam atau pemimpin adalah gelar yang diberikan kepada seseorang
yang memegang pimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial, atau suatu
ideologi politik, atau suatu aliran pemikiran keilmuan atau keagamaan.
Biasanya, karena hubungannya dengan orang-orang yang dipimpinnya, dia
harus menyesuaikan tindakannya dengan kemampuan mereka, baik dalam
masalah-masalah penting maupun kurang penting.7
Di dalam suatu kehidupan sosial, masyarakat pasti memerlukan adanya
suatu figur pemimpin atau pengatur dalam kelangsungan hidup mereka. Jika
dalam suatu kelompok masyarakat tersebut tidak memiliki pemimpin, maka
kehidupannya menjadi berantakan dan tak terorganisir dengan baik. Bahkan di
dalam rumah tangga diperlukan adanya seorang pemimpin yaitu suami atau
7 Thabathaba’i, Islam Syiah: Asal Usul dan Perkembangannya (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1989), hlm. 199
32
ayah bagi anak-anak agar kehidupan mereka menjadi terarah dan teratur. Oleh
karena itulah, pemimpin di dalam suatu kelompok tertentu harus ada pemimpin
yang tepat dalam menangani berbagai masalah yang terjadi di sekitarnya.
Bagi para kaum Syi’ah, mereka mengenal dua belas Imam syi’ah yang
patut untuk diakui dan dipatuhi. Kaum syi’ah meyakini bahwasanya para Imam
tersebut merupakan seseorang yang dijamin kesuciannya dan terbebas dari
dosa. Imam merupakan seseorang yang patut untuk diteladani untuk kehidupan
mereka. Dua belas Imam tersebut diawali dengan Ali bin Abi Thalib, Hasan,
Husein, dan 9 Imam suci lainnya dari keturunan Husein. Di bawah ini
merupakan sekilas profil tentang Para Imam tersebut.
1) Ali bin Abi Thalib Ra.
Salah satu manusia suci bagi kaum syi’ah dan yang harus ditaati
adalah Ali bin Abi Thalib. Ia bergelar “al-Murtadha (yang diridhoi)” dan
juga merupakan khalifah keempat khulafa>’urra>syidi>n. Beliau adalah
menantu Rasulullah SAW. yang menikah dengan Fatimah az-Zahra. Ali
terbunuh oleh Abdurrahman bin Muljim (seorang Khawarij) di masjid
Kufah pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H pada saat memimpin salat
subuh.
Ali adalah putra dari Abu Thalib (Syekh Bani Hasyim) yang
merupakan paman dari Rasulullah saw. Menurut riwayat dari hadits-hadits
yang terkenal, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum adanya misi kenabian Nabi
saw. Beberapa tahun kemudian, ketika Nabi saw. dianugerahi wahyu Illahi
di Gua Hira untuk pertama kalinya dan setelah itu juga beliau kembali ke
33
rumahnya, Rasulullah saw. bertemu dengan Ali di tengah perjalanannya.
Lalu, beliau pun mengatakan kepadanya atas apa yang terjadi, kemudian Ali
pun masuk dalam agama baru tersebut.8
Ketika Rasulullah mengajak para sahabatnya untuk berkumpul
dalam suatu pertemuan, beliau menyampaikan bahwa orang pertama yang
menerima ajakannya akan menjadi khalifah, pewaris, dan wakilnya. Orang
pertama tersebut kemudian bangkit dari tempatnya dan menerima agama itu,
ia adalah Ali bin Abi Thalib dan Nabi saw. pun menerima deklarasi
keimanannya.
Ali selalu tampil dalam setiap perang bersama Rasulullah saw.
kecuali pada Perang Tabuk, ia menggantikan Rasulullah untuk tinggal di
Madinah. Pada hari kematian Rasulullah, Ali baru berusia 23 tahun dan itu
merupakan usia yang terbilang masih muda jika ia dijadikan seorang
khalifah dari kalangan keluarga Rasulullah saw. Banyak para sahabat yang
mengklaim bahwa Ali belum pantas menjadi khalifah (pemimpin) karena
memiliki banyak musuh karena perang-perang yang ia ikuti bersama
Rasulullah.
Pada akhirnya, Ali lebih banyak menghabiskan waktunya dengan
berdiam diri di rumah dengan menggembleng orang-orang yang
berkompeten di bidang ilmu-ilmu ketuhanan. Ketiga khalifah sebelum
dirinya telah ia lewati begitu saja dan Khalifah ketiga, yakni Utsman
terbunuh, banyak orang yang mengharapkan Ali menjadi khalifah
selanjutnya. Kekhalifahannya berlangsung selama 4 tahun 9 bulan dengan
8 Muhammad Husain, Mazhab Kelima: Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya (Jakarta: Nur
Al-Huda, 2013), hlm. 249.
34
diiringi berbagai gerakan spiritual, pembaharuan dan reformasi. Banyak
pertentangan yang dihadapi dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Ali
sehingga muncul berbagai konflik perang seperti, Perang Jamal (Unta),
Perang Shiffin, Perang Nahrawan (melawan Khawarij).
Menurut kesaksian para sahabat, Ali merupakan sosok yang
sempurna dalam mendidik dan melatih orang-orang yang ada di dekatnya.
Dia adalah orang pertama dalam Islam yang membuka pintu bagi
pembuktian dengan logika dan dalil serta yang membahas “Ilmu-ilmu Illahi
(metafisika)”. Sosok yang berani dan tak gentar dalam menghadapi musuh
ketika berperang bersama Rasulullah. Ia tidak akan membunuh musuh yang
lemah dan mengejar mereka yang melarikan diri. Ali dikenal sebagai
seorang yang dermawan dalam membantu fakir miskin, bahkan semua
ladang yang ia olah selama ini diperuntukkan untuk orang miskin yakni
sejumlah 24.000 dinar emas menjelang akhir hidupnya.
2) Hasan bin Ali ra.
Beliau merupakan salah satu anak dari Ali bin Abi Thalib yang
memiliki gelar “al-Mujtaba (yang terpilih)”. Hasan dilahirkan pada tahun
ke-3 H di Madinah dan hidup bersama Rasulullah saw. selama kurang lebih
7 tahun. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Dua anakku ini (Hasan dan
Husain) adalah para imam, baik mereka bangkit ataukah duduk”. Ada juga
beberapa hadist Nabi saw. dan Ali tentang fakta bahwa Hasan akan
mendapatkan fungsi imamah atau kekhalifahan setelah ayahnya.
35
Setelah kematian ayahnya, melalui perintah Allah Swt. dan wasiat
dari Ali, Hasan menjadi Imam kedua dan khalifah yang selanjutnya selama
6 bulan. Di tengah-tengah kepemimpinannya, datanglah Muawiyah, ia
merupakan musuh keluarga Ali yang terdapat dalam perang Shiffin dan
ingin balas dendam atas kematian Khalifah Ketiga. Perang pun kembali
bergejolak di Irak, tempat dimana Hasan tinggal. Para jenderal dan
komandan pun akhirnya tumbang, karena Muawiyah berhasil menyuap
dengan sejumlah uang dan janji-janji tipuan. Hasan tidak dapat mengelak
dan melakukan perdamaian dengan menyerahkan kekhalifahannya kepada
Muawiyah dengan catatan kekhalifahan akan kembali lagi kepada Hasan
setelah kematian Muawiyah.
Namun, semua janji-janji itu musnah setelah Muawiyah secara resmi
membatalkan seluruh syarat perdamaian dan ia melakukan berbagai tekanan
terhadap keluarga Rasulullah saw. dan sahabat. Pada tahun 50 H, Hasan
dibunuh dengan cara diracun yang didalangi oleh Muawiyah.
3) Husain bin Ali ra.
Beliau merupakan salah satu anak dari Ali bin Abi Thalib yang
memiliki gelar “asy-Syahi>d (yang mati syahid)”. Ia dilahirkan pada tahun
ke-4 H. Setelah kakaknya syahid, yakni Hasan Mujtaba, ia menjadi Imam
melalui perintah Allah dan wasiat saudaranya. Husain menjadi Imam selama
10 tahun bersamaan dengan Khalifah Muawiyah.
Hidup Husain diliputi berbagai macam tekanan dan penindasan.
Muawiyah yang pada saat itu memiliki andil yang besar dalam
36
pemerintahan Umayah sehingga ia berhak ntuk menyingkirkan keluarga
Nabi saw. beserta para sahabatnya. Muawiyah telah memiliki rencana untuk
kekhalifahan yang selanjutnya akan diteruskan oleh putranya yakni Yazid.
Hingga pada pertengahan tahun 60 H, Muawiyah mati dan Yazid
menggantikannya.
Baiat atau sumpah setia merupakan kegiatan yang biasanya
dilakukan oleh bangsa Arab dalam upaya pengangkatan raja atau gubernur.
Ketidaksetujuan setelah bay’at dianggap sebagai sesuatu yang jelas-jelas
merupakan kejahatan. Pada saat Muawiyah menjadi raja, ia telah berwasiat
kepada orang-orang terkenal di antara manusia untuk memberikan baiat
kepada Yazid, tetapi tidak memaksakan permintaan tersebut kepada Husain.
Ia berpesan kepada Yazid, jika Husain menolak, ia tidak perlu
mempersoalkan hal ini, tetapi Yazid tetap bersikukuh untuk memaksa
pemberian baiat dari Husain atau mengirimkan kepalanya ke Damaskus.
Husain menolak permintaan tersebut, karena Muawiyah dan Yazid
telah melanggar janji mengenai kekhalifahan sepeninggal Muawiyah.
Husain mengetahui jika ia menolak permintaan itu, ia akan dibunuh, bahkan
kemana pun ia pergi akan dibunuh.
Saat perjalanan menghindari itu semua, sekitar 70 kilometer dari
Kufah, tepatnya di gurun Karbala, ia dan keluarga serta sahabatnya bertemu
dengan pasukan Yazid yang berjumlah 300.000 orang. Rombongan pasukan
Yazid meminta kepada Husain untuk mempertimbangkan keputusannya dan
memilih antara “bay’at atau perang”.
37
Pada hari ke 10 Muharram tahun 61/680, Husain beserta pasukan
kecilnya yang berjumlah 70 orang memilih untuk perang. Di saat hari itu
pula, Husain dan beberapa pasukannya mati syahid, dan sisanya dipenggal,
ditelanjangi, dan membiarkan jasad-jasad itu tanpa dikuburkan.
Peristiwa Karbala ini cukup mempermalukan Bani Umayah karena
mereka berani membunuh keluarga Nabi, dan ini pula menjadi faktor utama
dalam tumbangnya kekuasaan Bani Umayah serta menguatkan akar-akar
Islam Syiah. Bersumpah setia pada Yazid merupakan penghinaan terhadap
Islam, karena Yazid merupakan seseorang yang tidak respek terhadap Islam
dan jauh dari nilai-nilai Islam.
4) Ali Zainal Abidin bin Husein.
Beliau lahir pada tahun 80 Hijriah dan kemudian wafat pada tahun
122 Hijriah. Ia memiliki gelar “as-Sajjad (yang bersujud)”. Ali Zainal
merupakan putra dari Imam ketiga dan istrinya merupakan putri Yazdigird
Raja Iran. Ia merupakan putra satu-satunya dari Imam Husain yang hidup.
Pada saat peristiwa Karbala, ia tidak ikut berperang karena sedang
sakit parah, sehingga ia terhalang ambil bagian dan luput dari pembunuhan.
Ali Zainal banyak menghabiskan hidup di rumahnya dengan menyebarkan
ilmu-ilmu agama ke tengah-tengah kaum Syi’ah. Bahkan, ia telah memiliki
kitab yang ditulisnya bernama al-Sahifah al-Sajjadiyah. Menurut beberapa
hadist kaum Syi’ah, Imam Keempat wafat karena diracun olehWalid bin
Abdulmalik melalui hasutan khalifah Bani Umayah, Hisyam pada tahun
95/712 setelah 35 tahun keimamahannya.
38
5) Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin.
Muhammad Baqir merupakan putra dari Imam Keempat yang
dilahirkan pada tahun 57/675 yang bergelar “Baqir” (orang yang membagi
dan membelah). Pada tahun 114/732 beliau wafat karena diracun Ibrahim
bin Walid bin Abdullah, keponakan Hisyam, Khalifah Bani Umayah.
Terjadi perselisihan dan pertengkaran di antara keluarga Bani
Umayah yang sibuk mempersoalkan kekhalifahan dan membiarkan para
anggota Ahlulbait Nabi. Faktor-faktor inilah yang membuat masyarakat dan
kaum Syi’ah dapat pergi ke Madinah dalam jumlah besar dan mendatangi
Majelis Imam Kelima. Sebelumnya, Muhammad Baqir tidak memiliki
peluang untuk menyebarkan kebenaran Islam dan ilmu-ilmu Ahlulbait Nabi,
tetapi kini menjadi terbuka bagi semua kalangan.
6) Ja’far Shadiq bin Muhammad Baqir.
Beliau merupakan putra Imam Kelima yang dilahirkan pada tahun
83/702. Ja’far Shadiq wafat pada tahun 148 Hijriah karena diracun dan mati
syahid melalui intrik dari Khalifah Abbasiyah, Manshur. Ia memiliki gelar
“ash-Shadiq (yang sejati).
Pada saat kepemimpinan Imam Keenam ini, banyak peluang untuk
menyebarkan ajaran-ajaran agama, karena adanya berbagai pemberontakan
di negeri-negeri Islam terutama pemberontakan Muswaddah untuk
menggulingkan kekhalifahan Bani Umayah. Selama hidupnya, Ja’far
menghasilkan hadist-hadits yang diperoleh dan dijaga dari Imam Kelima
39
dan Keenam, lebih banyak dari seluruh hadits yang pernah dicatat Nabi saw.
dan hadist-hadits dari sepuluh Imam lainnya.
Menjelang kematiannya Ja’far menjadi target kekhalifahan
Abbasiyah, yakni Manshur yang memerintahkan siksaan yang kejam dan
pembunuhan terhadap keturunan Nabi saw. dengan rencana tipu
muslihatnya. Ketika Ja’far telah wafat, Manshur menyurati gubernur
Madinah untuk pergi ke rumah Imam dengan dalih menyampaikan duka cita
dan meminta pesan wasiat serta membacanya. Manshur berencana
memenggal kepala imam selanjutnya yang telah diwasiati Ja’far, akan tetapi
ketika ia membaca wasiat itu, Ja’far telah memilih 4 orang untuk
menunaikan amanat dan wasiat terakhirnya itu, sehingga rencana jahat
Manshur menjadi gagal.
7) Musa Kadzim bin Ja’far Shadiq.
Imam Musa merupakan putra dari Imam Keenam dilahirkan pada
tahun 128/744. Ia merupakan imam penerus selanjutnya dari Ja’far ash-
Shadiq. Imam Ketujuh ini memiliki gelar “Kadzim (yang mampu menahan
diri)”.
Imam Ketujuh ini sezaman dengan para khalifah Abbasiyah,
Manshur, Hadi, Mahdi, dan Harun. Dia hidup dalam masa yang sulit,
hingga Harun Rasyid menahan Musa Kadzim ini saat tengah
melaksanakan salat di Masjid Nabawi. Ia ditahan di Bashrah dan dari
Bashrah ke Baghdad. Imam wafat di Baghdad dalam penjara Sindi bin
40
Syahik karena diracun, kemudian ia dikuburkan di pemakaman Quraisy
yang kini berlokasi di kota Kazhimain.
8) Ali Ridha bin Musa Kadzim.
Ali Ridha yang bergelar “ar-Ridha (yang diridhoi)” adalah putra dari
Imam Ketujuh yang lahir pada tahun 148/765 dan wafat pada tahun 203. Ia
menjadi Imamah ketika masa kekhalifahan Harun Rasyid beserta putra-
putranya, yakni Harun, Amin, dan Ma’mun. Pada masa itu, kaum Syi’ah
diperlakukan keras dan kejam sehingga membuat pendukung Ali (‘alawi)
memberontak dan menimbulkan peperangan. Namun, Para Imam Syi’ah
tidak ikut andil dalam pemberontakan tersebut dan lebih tidak ingin
mencampuri urusan mereka.
Ma’mun mencoba menemukan solusi atas kesulitan yang dihadapi
selama 70 tahun dari kekhalifahan Abbasiyah. Akhirnya, ia memilih Imam
Kedelapan ini sebagai penggantinya dengan harapan dapat
menyelesaikannya: pertama, mencegah para keturunan Nabi saw.
memberontak dan melawan pemerintahan, kedua, menyebabkan banyak
orang kehilangan kepercayaan spiritual mereka dan keterkaitan batiniah
kepada para Imam.
Akhirnya, Ma’mun meminta Imam Ridha untuk menemuinya di
Marwa dan Madinah pada tahun 200/814 serta langsung menawarkan
kekhalifahan dan kemudian suksesi kekhalifahan. Namun, Imam menolak
tawaran tersebut, tetapi dia menerima suksesi (sebagai putra mahkota)
41
dengan syarat bahwa ia tidak akan mencampuri urusan-urusan pemerintahan
atau penunjukkan dan pemecatan orang-orang pemerintah.
Namun, Ma’mun baru menyadari bahwa dengan keputusan tersebut
membuat penyebaran Mazhab Syi’ah tumbuh pesat, sehingga ia berusaha
untuk meracuni Imam hingga wafat. Ma’mun telah menunjukkan perhatian
besar terhadap ilmu pengetahuan dan sering melakukan pertemuan-
pertemuan antar ulama dalam perdebatan ilmiah dan keulamaan. Imam
Kedelapan juga ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini.
9) Muhammad Jawwad bin Ali Ridha.
Beliau lahir pada tahun 195 H dan wafat pada tahun 226 Hijriah. Ia
diracun oleh istrinya putri Ma’mun atas hasutan Khalifah Abbasiyah,
Mu’tashim. Ia memiliki gelar “Taqi (yang banyak taqwa)”.
Pada saat kematian ayahnya, dia berada di Madinah. Ma’mun
memanggilnya ke Bagdad yang masa itu merupakan ibukota kekhalifahan.
Ma’mun menikahkan putrinya kepada Imam tersebut.
Imam menghabiskan sebagian waktunya di Bagdad dan kemudian
dengan persetujuan Ma’mun pindah ke Madinah, tempat dimana dia
menetap hingga kematian Ma’mun. Ketika Mu’tashim menjadi khalifah, dia
memanggil Imam kembali ke Bagdad sebagaimana telah kita lihat dan
melalui istri Imam, dia diracun dan dibunuh.
42
10) Ali Hadi bin Muhammad Jawwad.
Imam ini lahir pada tahun 212 Hijriah di Madinah dan wafat pada
tahun 254 Hijriah karena diracun oleh Mu’taz, Khalifah Abbasiyah. Beliau
bergelar “Naqiy (yang suci bersih) dan al-Hadi (yang memberi petunjuk)”.
Imam Kesepuluh ini sezaman dengan tujuh khalifah Abbasiyah, yakni
Ma’mun, Mu’tashim, Watsiq, Mutawakkil, Muntashir, Musta’in, dan
Mu’taz. Pada tahun 243/857 sebagai akibat dari dakwaan-dakwaan palsu
tertentu, Mutawakkil memerintahkan salah satu pejabat pemerintahnya
untuk mengundang Imam dari Madinah ke Samarra yang merupakan
ibukota.
Ketika Imam tiba di Samarra, ia menunjukkan penghormatan dan
kesantunan, tetapi Mutawakkil mencoba mempermalukannya, menggeledah
rumah, bahkan membunuhnya. Mutawakkil sangat menentang Ali secara
terbuka. Selama kehidupan Mutawakkil, kondisi-kondisi kehidupan para
keturunan Ali di Hijaz sangat menyedihkan, hingga kaum perempuan tidak
memiliki busana muslimah yang menutupi tubuh mereka. Imam Kesepuluh
ini begitu sabar menerima siksaan dan penderitaan yang ditimpakan dari
Khalifah Mutawakkil dan penerusnya hingga wafat.
11) Hasan Askari bin Ali Hadi.
Hasan Askari lahir pada tahun 232 Hijriah dan wafat pada tahun 260
Hijriah karena diracun oleh hasutan Khalifah Abbasiyah Mu’tamid.
Ia digelari “Zaki (yang suci)”. Selama hidupnya, ia tidak memiliki kontak
43
sosial dengan orang-orang kalangan Syi’ah, hanya orang-orang terkemuka
Syi’ah saja yang bisa menemuinya.
Kaum Syi’ah masih mengalami penindasan karena populasi kaum
Syi’ah yang semakin banyak. Kekhalifahan berusaha untuk melenyapkan
dan menghancurkan mereka, bahkan mereka telah mengetahui bahwa Imam
Kesebelas akan memiliki putra yang bernama Mahdi dan akan menjadi
Imam yang selanjutnya. Kedatangan Mahdi telah diramalkan dalam hadits-
hadist sahih Nabi saw.
Alasan tersebutlah yang membuat Imam ini berada dalam
pengawasan yang ketat Khalifah Abbasiyah. Hingga akhirnya, Imam wafat
karena sakit dan dikuburkan di rumahnya, Samarra. Para Imam telah
mendidik dan menggembleng ratusan sarjana agama dan ulama hadits.
12) Muhammad Mahdi bin Muhammad al-Askari.
Imam terakhir adalah Muhammad Mahdi yang masih dinantikan
kedatangannya menjelang hari akhir nanti. Oleh karena itu beliau memiliki
gelar “Imam Muntadhar (Imam yang dinantikan)”. Namanya seperti Nabi
saw. Dia dilahirkan di Samarra tahun 256/868 dan hidup dalam pengawasan
ayahnya. Mahdi disembunyikan dari khalayak umum, hanya sedikit orang
yang dapat menemui dirinya. Selama menjadi Imam, ia hidup dalam
kegaiban (ghaibah) hingga Allah yang akan memberikan izin untuk dirinya
menampakkan diri.
Kegaiban Imam Keduabelas ini terbagi menjadi dua, pertama,
kegaiban kecil (ghaibah sughra) selama 70 tahun yang dimulai tahun
44
260/872 dan berakhir tahun 329/939. Kedua, kegaiban besar (ghaibah
kubra) yang dimulai tahun 329/939 dan akan terus berlanjut selama Allah
menghendakinya. Penunjukkan dua belas Imam ini telah dikabarkan oleh
Rasul dalam berbagai kesempatan dengan menyebutkan nama-nama mereka
secara jelas. Akan tetapi, kaum Sunni tidak mempercayai riwayat-riwayat
itu dengan alasan bagaimana mungkin Rasulullah saw. mengetahui sesuatu
yang gaib dan belum terjadi? Bukankah al-Qur’an sendiri mengatakan,
“Kalau seandainya Aku mengetahui yang gaib niscaya Aku akan
memperbanyak perbuatan baik dan tidak akan ditimpa kejelekan”
(Q.S. Al-A’raaf : 188).9
Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda, “Seandainya tidak
tersisa usia kehidupan dunia selain satu hari, maka Allah akan
memanjangkan hari itu hingga Dia mengutus di dalamnya seorang lelaki
dari umatku dan Ahlulbaitku. Namanya seperti namaku. Dia akan
memenuhi bumi dengan kebenaran dan keadilan sebagaimana sebelumnya
bumi dipenuhi oleh kezaliman dan tirani”.10
2. Pernikahan Mut’ah
Pernikahan merupakan suatu janji atau ikatan suci antara pasangan laki-laki
dan perempuan menuju arah yang lebih serius dan matang. Kata “nikah” berasal
dari Bahasa Arab, yaitu (nakacha – yankichu – nika>chan) نكاح ا-ي نكح–نكح
9 Muhammad Tijani, al Syiah Hum Ahlu Sunnah (Jakarta: El Faraj Publishing, 2007),
hlm. 99. 10 Ibid.
45
yang mengandung arti nikah atau kawin.11 Pernikahan merupakan sebuah
peristiwa yang sakral dan bahagia bagi sepasang mempelai laki-laki dan
perempuan. Banyak yang menginginkan bahwa pernikahannya dapat bertahan
untuk waktu yang lama dan dilakukan dalam sekali seumur hidup. Diharapkan
dengan melalui pernikahan, mereka dapat memberikan keturunan yang didamba-
dambakan bagi sepasang suami-isteri.
Namun, terlepas dari peristiwa itu semua, jika kita ketahui lebih jauh
mengenai pernikahan, ternyata terdapat pernikahan yang cukup fenomenal.
Pernikahan ini merupakan suatu persoalan yang marak dibicarakan sejak zaman
Rasulullah saw. Pernikahan itu adalah pernikahan mut’ah. Secara bahasa, mut’ah
berasal dari kata –مع yang (mata’a – yamta’u – mutu’a) موع–يع
mengandung arti: اسدتمحرته-istaddatu chamratuhu (bertambah merahnya/merah
tua).12 Kata ini dalam istilah fiqih, dapat memiliki 3 implikasi makna yang
berbeda. Pertama, Mut’ah dapat diartikan sebagai pemberian suami kepada
istrinya yang telah dithalaq. Kedua dan ketiga, dalam istilah hadis, mut’ah juga
disebut dengan dua nama yaitu: Mut’atu al-Hajj yang berarti haji tamattu’ dan
Mut’atu an-Nisa’ yang berarti nikah mut’ah.13
Pengertian mut’ah yang lain adalah, kata “mut’ah” berasal dari Bahasa Arab
yang memiliki beberapa arti, yaitu manfaat, bersenang-senang, menikmati, bekal,
dan lain-lain. Pakar-pakar hukum Islam, baik dari kalangan Sunni maupun Syi’ah,
11 Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990),
hlm. 467. 12 Allamah Abdillah al-Alayali, Lisan al-Arab al-Muhith, Jilid III (Beirut: Dar al-Lisan al-Arab,
t.th, hlm. 432. 13 Muhammad Faisal Hamdani, Nikah Mut’ah (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2008),
hlm. 37.
46
bahkan Nabi saw. dan sahabat-sahabat beliau, mengenal dua macam mut’ah, yaitu
mut’ah haji dan nikah mut’ah. Mut’ah haji secara singkat adalah memisahkan
antara ibadah haji dan umrah. Mereka melakukan umrah terlebih dahulu di musim
haji, kemudian melakukan ibadah haji. Sedangkan nikah mut’ah adalah
pernikahan yang menetapkan batas waktu tertentu berdasarkan kesepakatan antara
calon suami dan isteri.14
Berdasarkan makna-makna yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan
bahwa kata “mut’ah” memiliki arti bersenang-senang. Pada makna yang pertama
dimaksudkan untuk memberi kesenangan kepada istri yang telah di-thalaq agar
tidak bersedih ditinggal suaminya. Kemudian, makna yang kedua dan ketiga
adalah kesenangan karena dapat menjalan ibadah haji dengan mudah dan
kesenangan dapat menikahi wanita.
Sedangkan pernikahan mut’ah menurut Ibnu Mustafa adalah perkawinan
untuk bersenang-senang, karena di dalam perkawinan ini terdapat aturan-aturan
yang memberikan keringanan beban tanggung jawab kedua belah pihak (suami-
istri) dibanding tanggung jawab yang ada dalam perkawinan permanen.15
Pengertian nikah mut’ah yang lain adalah menurut Abdul Husain
Syarafuddin, apabila seorang wanita mengawinkan dirinya dengan pria dalam
keadaan tidak ada hambatan apa pun (pada diri wanita tersebut) yang membuatnya
haram dinikahi, sesuai dengan peraturan agama, dengan mahar tertentu sampai
batas waktu tertentu dan telah disetujui bersama dengan cara akad nikah yang
memenuhi seluruh persyaratan keabsahannya menurut syariat. Kemudian setelah
tercipta kesepakatan dan kerelaan di antara keduanya, wanita itu mengucapkan:
14 Quraish Shihab, Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2011), hlm 208. 15
Ibnu Mustafa (Ed), Perkawinan Mut’ah dalam, hlm. 15.
47
“Engkau kukawinkan...,” atau “Engkau ku-mut’ah-kan...atas diriku dengan
maskawin ‘sekian’, selam ‘sekian’, hari, bulan, atau tahun, atau selama masa
tertentu yang disebutkan secara pasti.” Kemudian pria tersebut harus segera–tanpa
diselingi ucapan apa pun- menjawab: “Aku terima.” Hal ini bisa dilakukan
sebaliknya jika laki-laki yang ingin menikah dengan wanita secara mut’ah.16
Jika diterjemahkan secara bebas, pernikahan mut’ah ini sering disebut
sebagai kawin kontrak berdasarkan jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
Banyak sekali kasus-kasus yang pernikahan mut’ah yang terjadi di Iran, karena
mayoritas dari mereka adalah penganut syi’ah yang taat kepada imam-imam
mereka. Meskipun banyak yang mempermasalahkan hal ini tentang
pro-kontranya, mereka tetap berkeyakinan untuk memegang teguh prinsip tersebut
bahwa pernikahan mut’ah merupakan sesuatu yang dianjurkan oleh
Rasulullah saw.
Pernikahan ini banyak yang menghalalkannya dan banyak juga yang
mengharamkannya. Terdapat yang menghalalkannya, yaitu dengan melakukannya
sesuka hati, dan ada yang membolehkannya hanya dalam keadaan darurat dan
terdesak saja. Sementara itu, yang mengharamkannya adalah karena hal tersebut
telah dilarang oleh Rasulullah saw.
a. Pandangan Sunni
Mayoritas kaum Sunni berpandangan bahwa pernikahan yang
diridhoi Allah adalah pernikahan yang permanen atau pernikahan yang
sesuai dengan sunnah Rasulullah saw., tanpa adanya jangka waktu
pernikahan, upah, dan sebagainya. Suatu pernikahan harus sesuai dengan
16 Abdul Husain Syarafuddin, Isu-Isu Penting Ikhtilaf (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 87.
48
syariat agama Islam tanpa merugikan satu pihak, misalnya dalam hal ini
wanita. Para ulama sunni berpendapat bahwasanya, pernikahan mut’ah
hukumnya adalah haram, karena bertentangan dengan anjuran Rasulullah
saw. yang pada saat itu telah mengharamkannya. Pada awal mula Islam
muncul di Makkah, pernikahan ini memang diperbolehkan karena kondisi
masyarakat yang masih dalam tahap peralihan Islam dan juga tradisi yang
masih dilakukan karena ketidaktahuan mereka.
Namun, kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-
Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Sahih Muslim yang artinya: “Yang
benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan
kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum Perang
Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika Perang Khaibar. Kemudian
dibolehkan selama tiga hari ketika “Fathu Makkah”, atau hari Perang
Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari
kiamat”. terdapat ayat yang berkaitan tentang makna mut’ah itu sendiri,
yakni terdapat pada firman Allah Swt. yang berbunyi,
هنف ئات وهنأجورهنفر يضةفمااسم عمبهمن
Fama>stamta’tum bihi minhunna fa a>tuhunna uju<rahunna fari>dhata
Artinya: “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka imbalannya sebagai suatu
kewajiban”.17
17 Al-Qur’an Surat An-Nisaa: 24
49
Berdasarkan ayat yang telah disebutkan, mayoritas ulama Sunni
memahami bahwa kata “فمااسمعم-fama>stamta’tum” tersebut, dilakukan
dalam pernikahan yang sesuai dengan syariat Islam tanpa dibatasi waktu
tertentu. Kemudian, kata “أجر-ajru” bermakna harfiah upah atau imbalan
dalam suatu jenis mahar atau mas kawin18.
Menurut al-Qadhi Abi Muhammad Abdu al-Haq bin Ghalib dalam
kitab “al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab”, kata “فمااسمعم-
fama>stamta’tum” adalah campur pada nikah yang sesuai syariat karena
diikuti kata wajibnya membayar mahar setelah mencampuri wanita itu. Ayat
sebelumnya berbicara mengenai para wanita yang haram dinikahi, jadi kecil
kemungkinannya bahwa ayat ini adalah ayat tentang nikah mut’ah19.
(6)إالعلىأزواجهمأوماملكتأياهنمفإهنمغريملومي(5)والذينهملفروجهمحافظون
اب غىورآءذلكفاوآلئكهمالعادونفمن (7)
Walladzi>nahum lifuru>jihim cha>fizhu>na, illa> ‘ala> azwa>jihim aw
ma> malakat ayma>nuhum fa innahum ghairu malu>mi>na,
famanibtagha< wa ra>< a dzalika fa u>la< ika hum al-‘a>du>n.
Artinya: ...dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu,
Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.20
18 Quraish Shihab, Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2011), hlm.190. 19 Muhammad Faisal Hamdani, Nikah Mut’ah (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2008), hlm 98. 20 Al-Qur’an Surat Al Mu’minun: 5-7
50
Berdasarkan ayat di atas, penulis berkesimpulan bahwa seorang
laki-laki hanya diperbolehkan untuk melakukan adanya suatu ikatan
pernikahan dengan wanita atau budak (yang pada saat itu masih ada pada
zaman Rasul) yang sah sebagai isteri dalam pernikahan yang permanen,
bukan dalam suatu pernikahan yang sementara atau mut’ah. Dengan
adanya hal itulah sunni menganggap bahwa pernikahan yang sah adalah
pernikahan yang permanen, artinya tidak ada tempo atau jangka waktu
tertentu yang biasa kita kenal dengan kontrak serta adanya hukum warisan
dalam pernikahan permanen. Suatu pernikahan harus didasari dengan niat
karena Allah, jadi tidak hanya bermodalkan cinta, tetapi juga agama itulah
yang paling penting.
Alasan pernikahan mut’ah itu ditiadakan adalah karena munculnya
suatu ayat tentang warisan pasangan suam-isteri yang di dalam pernikahan
mut’ah tidak ada saling waris-mewarisi.21 Menurut Aisyah dan Qasim Bin
Muhammad, ayat ini merupakan dalil penghapusan pernikahan mut’ah.
Pada ayat ini tidak disebutkan mut’ah, dengan demikian ayat ini
melarangnya atau nikah mut’ah bukanlah cara yang dibenarkan untuk
menyalurkan nafsu seksual. Wanita yang boleh dicampuri yakni istri dan
budak, sedangkan wanita yang di-mut’ah tidaklah tergolong dari salah satu
di antara keduanya. Kemudian dalam Q.S an-Nisaa: 12 mengenai hak waris,
21 M.H. Ma’rifat, Ahlul Bait dan Alqur’an (Jakarta: Nur al Huda, 2011), hlm. 115
51
...مكاجوزأكرات مفصنمكلو Wa lakum nishfu ma> taraka azwa>jukum
Artinya: “Dan bagimu (suami-istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-
istrimu...”22
Seorang istri berhak mendapat warisan dari suaminya. Sedangkan
wanita yang di-mut’ah tidak mendapatkan hak waris, maka ini menunjukkan
tidak sahnya pernikahan dirinya23.
Beberapa ulama sunni hampir seluruhnya mengharamkan
pernikahan mut’ah, salah satunya adalah Wahbah al-Juhaily. Berdasarkan
ayat di atas beliau mengatakan alasan pengharaman tersebut, yakni
pertama, menurut Mujahid dan Hasan: yang dimaksud dalam ayat tersebut
adalah nikah sahih, dan kedua menurut jumhur adalah nikah mut’ah.
Beliau mengutip riwayat Daruquthni dari Ali Ra. bahwa Nabi saw.
melarang nikah mut’ah, kemudian membolehkannya dan setelah turun
ayat thalaq, iddah, waris, maka nikah mut’ah itu ter-nasakh lagi.24
Beliau juga mengutip pendapat dari Ibn al-Arabiy, sesungguhnya
Ibnu Abbas pernah mengatakan kebolehan nikah mut’ah, tetapi kemudian
ia mencabut fatwa tersebut dan melarangnya, karena hal itu sudah tercatat
dalam kitab sahihaini bahwa Nabi saw. melarangnya25. Jadi, dapat
diketahui bahwa, kata tersebut bukan mengarah pada suatu pernikahan
mut’ah yang apabila telah selesai masa berlakunya diberikan suatu upah,
22 Al-Qur’an Surat An-Nisaa: 12 23 Muhammad Malullah, Katanya Nikah Ternyata Zina (Solo: Multazam, 2008), hlm. 16. 24 Wahbah az-Zuhaily, al-Tafsir al-Mizan fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj, Juz V
(Lebanon: Dar al-Fikr, 1991), I, hal 12, dikutip dalam buku Muhammad Faisal Hamdani,
Nikah Mut’ah (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2008), hlm .45 25 Ibid.
52
akan tetapi, upah atau imbalan yang dimaksud adalah mahar atau mas
kawin pada saat pernikahan.
Telah dijelaskan di awal bahwa, pernikahan mut’ah pada awalnya
diperbolehkan ketika awal mula masuknya Islam. Pada hadits Sahih
Bukhari dalam bab nikah dijelaskan tentang kebolehannya melakukan
nikah mut’ah oleh Rasulullah saw. beliau bersabda,
وامقدأذنلكم ارجل ن أنتسمعوافاسمعوا...أي ت واف قافعشرماب ي همارأأني زايداأو فإنأحب ت اركاي اركاثالثليال
Qad udzina lakum an tastamti’u> fa>stamti’u>...ayyuma> rajulin wa
imra ati tawa>faqa> fa’isyratu ma> baynahuma> tsala>tsa laya>lin fain
achabba an yataza>yada> aw yatataraka> tata>raka>.
Artinya: “Telah diizinkan (oleh Allah) untuk kamu melakukan mut’ah.
Maka, silahkan melakukannya. Siapa pun lelaki dan perempuan yang
bersepakat, pergaulan antara keduanya selama tiga hari. Bila keduanya
setuju untuk menambah (masa itu, boleh-boleh saja) dan bila mereka
sepakat untuk berpisah, mereka saling berpisah”.26
Banyak ulama Sunni yang tidak mengingkari adanya hadits
tersebut, karena memang Rasulullah saw. pernah menganjurkan untuk
melakukan nikah mut’ah ketika awal mula muncul Islam di Makkah, tetapi
kemudian diharamkan ketika Perang Khaibar dan Perang Hunain,
kemudian pada tiga hari peristiwa Fatkhu Makkah hingga hari kiamat.
Rasulullah saw. pernah bersabda,
كانمعرسولاهللصلىاهللعليهوس٤/١٣٢وفرواية له:) لمف قال:يآاي ها(:أنهكنتاذنتلكمف قد منالنساءوالناسان ي االسماع اناهللقدحرذلكا و
لهوال هنشيء ف ليخلسبي كانعندهمن ئ اتخذذواماآت يموهنشيالقيامة,فمن .
26 Sahih Bukhari dalam Bab Nikah No.4725
53
Wa fi> riwa>yatin lahu: (4/132); annahu ka>na ma’a rasu>lillahi
shalla>llahu ‘alaihi wa sallam faqa>la: ya< ayyuha> anna>su inni> qad
kuntu adzintu lakum fi>l istimta>’in minannisa> i wa innallaha qad
charrama dzalika ila> yawmil qiya>mati, faman ka>na ‘indahu
minhunna syay un falyukhali sabi>lahu wa la> ta’khudzu> mimma>
a<taytamu>hunna syay an.
Artinya: Rabi’ bin Saburah al-Juhaini menjelaskan larangan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. “Wahai manusia! Sesungguhnya aku pernah
mengizinkan kamu untuk nikah mut’ah, dan (sekarang) sesungguhnya
Allah telah mengharamkan nikah mut’ah tersebut sampai hari kiamat.
Maka barangsiapa yang masih mempunyai ikatan (mut’ah) dengan
perempuan-perempuan tersebut, hendaklah mereka lepaskan (putuskan
ikatan perjanjian nikah mut’ah tersebut), dan janganlah kamu mengambil
kembali sedikitpun juga apa-apa yang pernah kamu berikan kepada
mereka (perempuan tersebut)27.
Muslim dalam kitabnya Jami’u al-Shahih mengatakan, larangan ini
terjadi ketika penaklukan Makkah dan Tahun ‘Autas hingga diharamkan
sampai hari kiamat. Hadits ini menggambarkan bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam. membolehkan atau memerintahkan kepada para sahabat
untuk mut’ah ketika Fathu Makkah, kemudian beliau melarangnya
sebelum mereka keluar Makkah. Di dalam hadits ini terdapat kesamaan
redaksi dan sanad dari Ali bin Abi thalib bahwa nikah mut’ah dan
memakan daging keledai piaraan haram pada waktu Perang Khaibar28.
عةأنرسولاهللصلىاهللعليهوسلمن هىع(:٤/١٣٤وفرواية له:) نالم القيامةومنأع ي و مني ومكمهذاا طىشيئ افاليخذذهوقال:االان هاحرا .
Wa fi> riwa>yatin lahu: (4/134): anna rasu>lallahi shalla>llahu ‘alaihi
wa sallam naha> ‘ani almut’ati wa qa>la: ala> inha> chara>mun min
yawmikum hadza> ila> yawmil qiya>mati wa man a’tha> syay an fala>
ya’khudzhu.
27 HR. Muslim No.6 Jilid 4 hlm.132 28 Busyairi Ali, Nikah Mut’ah: Halal atau Haram? (Banjarmasin: Ar-Risalah, 2012), hlm. 157-
160).
54
Artinya: Dalam riwayat yang lain Muslim (4/134), Sabrah menjelaskan
sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang nikah mut’ah dan beliau
bersabda: “Ketahuilah! Sesungguhnya nikah mut’ah itu haram mulai
(sejak) hari ini (yakni ketika Fathul Makkah) sampai hari kiamat. Dan
barangsiapa yang telah memberikan sesuatu (harta atau mahar kepada
perempuan-perempuan yang dinikah secara mut’ah) janganlah ia
mengambilnya lagi”.29
Alasan Rasulullah saw. melarang dan mengharamkannya adanya
pernikahan mut’ah ini, terdapat dalam beberapa hadist sahih tentang bab
Nikah. Ulama Sunni juga berpendapat bahwasanya nikah mut’ah ini lebih
banyak mudharatnya daripada manfaatnya, nikah mut’ah ini lebih banyak
merugikan wanita, karena dikhawatirkan jika hamil, anaknya tersebut
tidak jelas siapa ayahnya, karena seorang wanita tersebut dapat menikah
berkali-kali dengan pria yang berbeda dalam kontrak yang belum selesai.
Kemudian, nikah mut’ah termasuk dalam zina, karena menikah tanpa
adanya saksi. Nikah mut’ah diperbolehkan ketika dalam keadaan darurat
saja, yakni ketika perang (safar).
Alasan-alasan yang lainnya adalah nikah mut’ah tidak
diberlakukan adanya warisan, tidak ada sabitnya (tetapnya) nasab dan
tidak adanya iddah, nikah ini juga dianggap mirip dengan pelacuran
karena laki-laki memberikan bayaran untuk dapat bercampur (hanya
memenuhi kebutuhan syahwat) dalam waktu yang ditentukan,
merendahkan derajat perempuan serta bertentangan dengan tujuan
perkawinan yang ingin mendapatkan keturunan dan membina rumah
29 HR. Muslim Jilid 4 hlm. 134
55
tangga yang bahagia dalam jangka waktu yang panjang
(dunia-akhirat)
b. Pandangan Syi’ah
Jika dalam perkara pernikahan mut’ah, kaum Sunni secara jelas dan
tegas mengharamkannya. Namun, berbeda halnya dengan kaum syi’ah yang
pada perkara ini sangat menganjurkan untuk melakukan pernikahan mut’ah.
Ternyata tidak semua syi’ah menerima mut’ah, misalnya Syi’ah Zaidiyah,
sebuah aliran pemikiran yang mendekati sunni ini mengharamkan mut’ah
berdasarkan hadits-hadits Nabi. Sebaliknya Itsna ‘Asyariyah atau Syi’ah
Imamiyah menganggap kawin sementara itu sah.30
Mayoritas ulama syi’ah berpegang kepada suatu ayat yang
menerangkan tentang diperbolehkannya melakukan pernikahan mut’ah.
Ayat-ayat tersebut terdapat dalam al-Qur’an Surat an-Nisaa ayat 24 dan
Surat al-Mu’minun ayat 5-7 yang menjadi andalan bagi mereka dalam
menghadapi tudingan dari kaum sunni.
Thaba’thaba’i membantah pandangan sunni tentang penafsiran
Q.S al-Mu’minun: 5-7 yang merupakan ayat-ayat penghapusan nikah
mut’ah. “Q.S an-Nisaa: 24 tidak mungkin di-nasakh oleh surat al-
Mu’minun: 7, sebab ayat mut’ah itu turun di Madinah sedangkan ayat 7
tersebut adalah Makkiyah”31.
Menurut Aba Ja’far, pernikahan mut’ah diperbolehkan karena
terdapat dalam al-Qur’an, yaitu Surat an-Nisaa ayat 24. Ia mengemukakan
30 Mohammad Baharun, Dari Imamah Sampai Mut’ah (Pasuruan: Pustaka Bayan, 2013),
hlm. 163. 31 Muhammad Faisal Hamdani, Nikah Mut’ah (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2008),
hlm.76-77.
56
bahwa nikah mut’ah adalah halal hukumnya sebagaimana yang telah disebut
dalam ayat tersebut. Suatu ketika Abdullah bin Umair al-Laitsi pernah
datang menghadap Ja’far kemudian bertanya: “Bagaimana pendapatmu
tentang mut’ah?”, Ja’far menjawab: “Allah telah menghalalkannya dalam
kitab-Nya melalui lisan Nabi-Nya dan nikah itu halal sampai hari kiamat32.
Kemudian, laki-laki itu bertanya kembali, “Ya Aba Ja’far engkau
mengatakan demikian sedangkan Umar melarangnya?”, lalu Ja’far
menjawab, “engkau melaksanakan itu (karena larangan Umar silahkan), dan
aku lindungkan engkau dari sesuatu yang dihalalkan oleh Allah terhadap
apa yang diharamkan Umar, sedangkan saya berpegang pada perkataan
Rasulullah saw., maka tentu saja aku mengamalkan (mengutamakan) kata-
kata Rasul dan batillah perkataan saudaramu itu”. Mendengar hal itu,
Abdullah bin Umair menerima alasan ini dan berkata, “apakah engkau
membolehkan wanita-wanitamu, anak-anakmu, saudara-saudara
perempuanmu, dan kemenakan-kemenakan perempuanmu melakukan
mut’ah?”, Maka Ja’far-pun pergi berpaling darinya setelah disebutkan
perempuan-perempuannya (istrinya) dan kemenakan perempuannya.33
Berdasarkan riwayat kisah di atas mengenai percakapan antara
Abdullah bin Umair dan Aba Ja’far dapat diketahui bahwa, seseorang
seperti Aba Ja’far yang merupakan ulama syi’ah-pun secara tidak langsung,
beliau tidak merelakan istri-istri, anak-anak, dan saudara-saudara
perempuannya untuk melakukan nikah mut’ah. Padahal, Ja’far sendiri
32 Ibid, hlm.75. 33 Syeikh Muhammad Husin at-Thaba’ Thaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Jilid IV (Beirut:
Muassasah al-Islami, 1991 M- 1411 H), I, hal. 297. dikutip dalam buku Muhammad Faisal
Hamdani, Nikah Mut’ah (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2008), hlm. 75.
57
begitu getol mempromosikan kepada orang-orang untuk melakukan suatu
pernikahan mut’ah.
Selain Abu Ja’far yang menghalalkan adanya pernikahan mut’ah ini,
masih banyak ulama syi’ah yang mengemukakan pendapatnya tentang
kebolehan nikah mut’ah, salah satunya adalah Ja’far Murtadha al-Amili. Ia
mengatakan bahwa pernikahan mut’ah merupakan suatu pernikahan yang
diridhoi Allah dan Rasul-Nya sampai saat ini. Mengenai perkataan dari Ibnu
Abbas yang dahulu membolehkan nikah mut’ah dan kemudian
mengharamkannya tergolong riwayat yang lemah (dhaif), sedangkan
penafsiran tentang kebolehan nikah mut’ah ini yang lebih kuat.
Di kalangan kaum syi’ah, penghalalan adanya pernikahan mut’ah ini
bahkan memiliki hadits-haditsnya tersendiri. Seperti hadits yang dijadikan
Thaba’thaba’i dan Ja’far sebagai dalil kebolehan nikah mut’ah:
كنان غزحديثعبداهللبنمسعودرضياهللع يهومعرسولاهللصلىاهللعلنهقال:ف قلناأالنصيف ن هاناعنذلك لناب عدوسلمليسلنانساء رذف رذ ذلكث
ق رأ ث أجل بالث وبإ رأرموايبات اهللياأي هلناأنن نكحامل مااالذينآمنواال
المعدين يب ال أحلاهلللكموالت عدواأناهلل
Chadi>tsu ‘Abdullahi bin mas’u>d radhiya Allahu’anhu qa>la: kunna>
naghzu wa ma’a ras>ulillahi shala>allahu ‘alaihi wasallama laysa lana>
nisa>’u faqulna> ala> nakhtashiya fanaha>na> ‘an dzalika farukhsha
lana> ba’da dzalika tsumma rakhasha lana> an nankichu almar’ata
bitsaubi ila> ajalin tsumma qara’a Allahu ya> ayyuha>lladzi>na
a>manu> la> tuchrimu> thayyiba>tun ma> achalla Allahu lakum wa la>
ta’tadu> anna Allaha la> yuchibbu almu’tadi>ni
Artinya: “Hadits Abdullah bin Mas’ud dia berkata: Kami pernah berperang
bersama Rasulullah saw. sedang isteri-isteri kami tidak turut serta bersama
kami, kemudian kami bertanya kepada Rasulullah, apakah boleh kami
berkebiri? Maka Rasulullah saw. melarang kami berbuat demikian dan
memberikan rukhshah supaya kami kawin dengan perempuan dengan
maskawin baju untuk satu waktu tertentu (mut’ah) dan Abdullah bin
58
Mas’ud membaca ayat yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman
janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik yang dihalalkan Allah
kepadamu dan janganlah kamu melampaui batas karena sesungguhnya
Allah Swt. tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.34
Hadits di atas merupakan hadits dari sahih Bukhori dan Muslim
yang menerangkan tentang kebolehan pernikahan mut’ah, yakni terjadi
pada saat perang dan jauh dari isteri-isteri mereka. Kemudian Rasulullah
saw. membolehkannya dengan jangka waktu tertentu karena dalam
keadaan darurat atau terdesak.
Hadits lainnya yang dianggap kaum syi’ah sebagai kebolehan
melakukan nikah mut’ah adalah hadits riwayat Bukhori dari Ibnu Abbas:
عتابنعباسسئلعنم حدث ناشعبةعنأب رقال ل فقاللهمو هعةالنساءف رذالشديدويفالنساءقلة أونوهف قالابنع اذلكيفاحلال باسن عمإن
Chadatsana> syu’ubatu ‘an abi> jumrata qa>la sami’tu Ibnu ‘Abba>s
sa’ala ‘an mut’ati annisa>’in farakhasha faqa>la lahu Maula> lahu>>
innama> dzalika fi> alcha>lin asysyadi>di wa fi> annisa>’in qillatun aw
nachwihi faqa>la Ibnu ‘Abba>si na’am.
Artinya:”...Dari Abi Jamrah dia berkata: aku mendengar Ibnu Abbas
ditanya tentang nikah mut’ah maka beliau membolehkannya sebagai
rukhshah (dalam keadaan darurat) dan berkatalah Maula padanya
sesungguhnya kebolehan itu dalam kondisi sulit (terpaksa), sementara
jumlah wanita sedikit atau lainnya. Maka Ibnu Abbas berkata: ya”.35
Hadits yang telah disebutkan di atas merupakan salah satu hadits
sahih dari Bukhori yang berasal dari Ibnu Abbas. Hadits inilah yang
banyak diperbincangkan oleh para ulama-ulama sunni maupun syi’ah, ada
34 Abi Hafs Umar bin Badral-Mawasli, ditahqiq oleh Shalih Ahmad as-Sa’i, al-Jam’u Baina
ash-Shaihaini, Juz II, cet ke-1 (Beirut: Maktab al-Islami, 1995 M – 1416 H), hal. 520, dikutip
dalam ibid. hlm. 81 35 Bukhori, Sahih Bukhori li Syarh al-Karamani, Juz XIX, Jilid IX (Dar al-Fikr, t.th), hal 88.
dikutip dalam ibid. hlm. 82.
59
yang mengatakan bahwa hadits ini kemudian dihapus atau dicabut
fatwanya dari Ibnu Abbas sendiri atau memang benar adanya kebolehan
dari Ibnu Abbas.
Ja’far Murtadha al-Amili pernah berkata dan menyesalkan para
ulama sunni yang mengharamkan adanya pernikahan mut’ah karena
mereka memperjualbelikan fatwa dengan mendasarkan pikirannya pada
hadist-hadist yang dhaif. Mereka tidak menghiraukan kejadian pahit yang
dialami para remaja putra-putri kita. Orang-orang seperti itu biasanya
memiliki pemikiran sempit serta memihak satu golongan dan fanatik
dengan golongan itu. Hal ini disebabkan dengan jiwa yang sakit dan
kepribadian yang kurang baik.36
Pengesahan nikah mut’ah dalam Islam dilakukan dengan tujuan
untuk memperbolehkan dalam syariat agama kemungkinan-kemungkinan
yang memperkecil kejahatan sebagai akibat nafsu manusia, yang bila tidak
disalurkan menurut syariat, akan menampakkan dirinya dalam berbagai
cara yang lebih berbahaya di luar struktur syariat agama.37 Mayoritas
ulama syi’ah menganggap bahwa pernikahan mut’ah dapat menanggulangi
berbagai kejahatan dan godaan seksual yang dihadapi para remaja saat ini.
Melalui pernikahan mut’ah, masalah ini menjadi terselesaikan dan
merupakan solusi yang tepat serta halal. Pernikahan ini tidak tergolong
zina karena telah memenuhi syarat-syarat tertentu dan merupakan
pernikahan yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya serta berpahala.
36 Ja’far Murtadha, Nikah..., hlm. 14, dikutip dalam ibid. hlm. 85. 37 Allamah M.H. Thabathaba’i, Islam Syiah: Asal Usul dan Perkembangannya (Jakarta: PT.
Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 267.
60
Hukum Islam adalah hukum abadi yang menjawab seluruh
kebutuhan manusia. Ketika seorang pemuda ingin melanjutkan jenjang
pendidikan yang harus ditempuh bertahun-tahun di negara atau kota yang
jauh, dan dengan keterbatasannya pelajar tersebut tidak mampu melakukan
nikah daim, maka untuk menghadapi masalah ini ada tiga alternatif yang
harus dipilih: (1) tidak menikah, (2) pacaran, dan (3) menikah yang
dibenarkan syariat dalam jangka waktu tertentu (nikah mut’ah).38
Dikatakan kepada Abu Abdullah Alaihis Salam: “Apakah dalam
mut’ah terdapat pahala ?”, dia berkata, “Jika dengannya dia mengharap
ridho Allah, tidak ada satu kata pun yang dia katakan kecuali Allah akan
menuliskannya sebagai suatu kebaikan. Jika dia mendekatinya, maka Allah
akan mengampuni dosanya berkat mut’ah yang dia lakukan. Jika dia
mandi, maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak air yang
membasahi rambutnya”.39
Berdasarkan berbagai pendapat dari para ulama syi’ah ataupun para
pemikir lainnya, mereka berkeyakinan untuk tetap membolehkan adanya
pernikahan ini. Masih banyak hadits dan pendapat yang tercatat untuk
menghalalkan pernikahan mut’ah dalam kitab-kitab syi’ah.
c. Syarat-Syarat Pernikahan Mut’ah
Seperti halnya pernikahan-pernikahan pada umumnya, pernikahan mut’ah
memiliki beberapa syarat tertentu agar pernikahan itu dianggap sah. Jika biasanya
pada pernikahan permanen (daim) diperlukan beberapa syarat yang harus
38 Alireza Alatas, Biarkan Syi’ah Menjawab (seri 1) (Magelang: Bahtera, 2002), hlm. 132-133. 39 Man La Yahdhuruhu al-Faqih, 3/366 dikutip dalam buku Sayid Husain al-Musawi, Mengapa
Saya Keluar dari Syi’ah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002), hlm. 44.
61
dipenuhi segala keperluannya, namun pernikahan mut’ah memiliki syarat-syarat
yang cukup mudah untuk dilakukan.
Menurut Thabathaba’i, seorang ulama syi’ah, beliau mengatakan
bahwa syarat-syarat pernikahan mut’ah mencakup keharusan bahwa sang
wanita tidak bersuami, kawin hanya dengan satu laki-laki pada satu waktu,
dan setelah bercerai mengalami masa iddah yang selama itu ia belum boleh
kawin lagi, yakni seperdua masa iddah perkawinan permanen.40
Menurut Muhammad bin Hasan dari Ahmad bin Mufaddal dari
Assudiy, syarat-syarat pernikahan mut’ah antara lain41,
1) Sampai waktu tertentu dan penetapan mahar/upah
Di dalam pernikahan mut’ah memiliki batas waktu tertentu,
waktunya disepakati oleh kedua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang
telah dilakukan di dalam suatu kontrak. Waktunya bisa satu jam, harian,
mingguan, bulanan, bahkan tahunan.
2) Disaksikan oleh dua orang saksi.
Adanya saksi ini boleh dihadapkan pada kedua mempelai atau tidak,
karena hukum keberadaannya sunnah.
3) Dinikahi dengan izin walinya.
Pernikahan mut’ah dianggap sah apabila wali dari si wanita
memperbolehkannya dan tanpa ada paksaan dari pihak keluarga ataupun
pihak si pria. Jika si wanita tidak memperoleh izin dari walinya, maka
pernikahan itu tidak sah.
40 Allamah M.H. Thabathaba’i, Islam Syiah: Asal Usul dan Perkembangannya (Jakarta: PT.
Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 266. 41 Muhammad Faisal Hamdani, Nikah Mut’ah (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2008),
hlm.89.
62
4) Jika masanya habis maka mereka terpisah dengan sendiri.
Tidak seperti pernikahan permanen (daim) yang apabila ingin
berpisah secara hukum negara harus melakukan sidang dsb. Hal ini berbeda
dengan pernikahan mut’ah yang apabila masa kontraknya telah habis, dapat
berpisah dengan sendirinya. Hal ini hampir sama dengan ucapan talak pada
pernikahan permanen.
5) Wajib bagi isteri beriddah (mensucikan rahimnya).
Apabila seorang wanita telah berpisah dengan pria yang telah habis
masa kontraknya dan ia menginginkan untuk menikah secara mut’ah, maka
ia perlu untuk melakukan iddah yakni selama 45 hari. Alasannya adalah
untuk mengetahui nasab ayah jika sang wanita hamil dan jika seorang
wanita ingin memperbarui nikah mut’ah.42
6) Mereka berdua tidak saling mewarisi.
Di dalam pernikahan mut’ah baik pria maupun wanita tidak
memerlukan adanya hak waris. Namun, apabila wanita dari pasangannya
hamil dan melahirkan seorang anak, anak tersebut tetap mendapatkan hak
waris dan nasab dari ayahnya.43
Berdasarkan beberapa syarat-syarat pernikahan mut’ah, masih banyak
di dalam praktiknya saat ini sudah tidak sesuai dengan yang disebutkan di atas,
karena berbagai alasan. Dalam realitanya, masih banyak yang melakukan
pernikahan mut’ah yang melakukannya tanpa adanya saksi atau wali karena
faktor fleksibilitas. Menegenai masa iddah bagi wanita yang telah selesai masa
42 Sudabeh Morterzai, Film Dokumenter “In The Bazaar of Sexes” (Iran, 2008).
63
kontraknya dengan seorang pria, tetapi ia menginginkan untuk menikah secara
mut’ah lagi, terdapat beberapa pendapat dari sunni bahwa wanita yang
menikah secara mut’ah tidak memiliki masa iddah sehingga inilah yang
membuat pernikahan mut’ah itu haram, karena kegiatannya hampir sama
dengan pelacuran.
d. Perbedaan Pernikahan Mut’ah Zaman Rasulullah dan Zaman Modern
Secara historis, mut’ah adalah warisan masyarakat jahiliyah klasik.
Tercatat sekitar abad IV Masehi, orang Quraisy sudah mengenal banyak model
perkawinan bersyarat, salah satunya adalah kawin kontrak itu. Ketika perjalanan
para kafilah (saudagar-saudagar) ke negeri-negeri yang jauh, mereka membawa
para wanita untuk menemani perjalanan mereka.44 Namun, ketika Islam tersiar di
kalangan penduduk Arab, tradisi ini awal mulanya masih diperbolehkan oleh
Rasulullah saw. Namun, kemudian diharamkan karena banyak merugikan kaum
wanita.
Pernikahan mut’ah di zaman Rasulullah saw. dan zaman modern memiliki
berbagai macam perbedaan yang cukup mencolok. Perbedaan tersebut terkait
dengan syarat-syarat pernikahan yang dahulunya diajukan Rasul. Perbedaan inilah
yang membuat penganut sunni dan syi’ah seringkali berselisih paham mengenai
halal atau haramnya pernikahan ini. Di bawah ini merupakan beberapa perbedaan
yang cukup mencolok mengenai pernikahan mut’ah zaman Rasulullah saw.
dengan zaman modern.
44 Mohammad Baharun, Dari Imamah Sampai Mut’ah (Pasuruan: Pustaka Bayan, 2013),
hlm. 166.
64
No. Zaman Rasulullah Zaman Modern
1. Jangka waktu mut’ah hanya
3 hari45
Dilakukan hingga jangka waktu
yang bertahun-tahun
2. Dilakukan dalam situasi
darurat (ketika perang atau
safar)46
Dilakukan bukan dalam keadaan
darurat (menetap di rumah atau
bukan saat perang atau safar)
3. Wanita yang dinikahi tidak
dalam ikatan pernikahan
Wanita yang dinikahi boleh
pelacur, majusi, dan yang telah
bersuami47
4. Tidak ada istri atau budak
wanita yang ikut dalam
perjalanan48
Ditemani wanita mut’ah selama
ikut perjalanan
5. Menikah dengan disaksikan
wali
Menikah boleh disaksikan atau
tidak disaksikan wali49
6. Menikah hanya dengan satu
wanita
Menikah boleh dengan seribu
wanita50
45 HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405 46 HR. Muslim hadits no. 1404 dan HR. Muslim no. 1406 47 Tahdzibul Ahkam 7/253-254 48 HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404 49 Al-Furu’ Minal Kafi 5/249 50 Al-Ibtishar 3/147
65
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa pernikahan mut’ah sudah
menjelma menjadi tradisi yang kian hari kian berkembang di kalangan penganut
syi’ah. Tidak hanya ditinjau sebagai aspek religi semata, melainkan telah berubah
menjadi kebutuhan hidup seseorang, baik lahir maupun batin. Bahkan, pernikahan
mut’ah saat ini memiliki berbagai macam jenis dan motifnya demi tetapnya
keberjalanan tradisi ini.
Sebuah film dokumenter yang membahas tentang nikah mut’ah, seorang
ulama syi’ah, Ayatullah Gerami menyatakan bahwa pernikahan mut’ah banyak
dilakukan oleh para pemuda yang tidak memiliki pengalaman tentang masalah
suami-istri. Jika mereka melakukan nikah mut’ah, mereka bisa memilih istri yang
lebih baik. Melalui pernikahan mut’ah inilah, baik laki-laki maupun perempuan
dapat mengambil solusi dari segala permasalahan rumah tangga dengan baik,
sehingga mereka dapat terhindar dari perceraian di dalam pernikahan permanen
kelak.51
Pernikahan mut’ah di era modern saat ini memiliki sasaran khusus, yaitu
pemuda dan pemudi. Mayoritas dari mereka menginginkan pernikahan ini dengan
alasan sebagai pembelajaran untuk menghadapi permasalahan rumah tangga di
dalam pernikahan permanen. Mereka tidak ingin ambil resiko melakukan
pernikahan permanen, karena pernikahan tersebut membuthkan dana yang sangat
besar daripada pernikahan mut’ah.
51 Sudabeh Morterzai, Film Dokumenter “In The Bazaar of Sexes” (Iran, 2008).
66
B. Fenomena Budaya Pernikahan Mut’ah Syi’ah di Iran
Pernikahan mut’ah di Iran memiliki hukum yang telah ditetapkan oleh
pemerintahnya. Permasalahan nikah mut’ah telah diatur dalam bab enam Undang-
Undang Hukum Perdata. Dalam UU tersebut dijelaskan: 1. Perkawinan mut’ah
berlaku untuk waktu tertentu karena diputuskan untuk jangka waktu tertentu pula,
2. Masa perkawinan harus disepakati secara spesifik dan, 3. Hukum tentang mahar
dan warisan sama dengan yang disebutkan dalam bab-bab yang berkaitan dengan
mahar dan kewarisan. Oleh karena itu berdasarkan UU ini seluruh ketentuan yang
berlaku pada nikah permanen berlaku juga pada nikah mut’ah.52 Seiring dengan
perkembangan zaman, pernikahan mut’ah memiliki beragam variasi
dalam pelaksanannya.
1. Macam-Macam Pernikahan Mut’ah
Pernikahan mut’ah khususnya yang terjadi di Iran, saat ini telah menjadi
hal yang biasa dilakukan, bahkan dari sejak zaman dahulu. Namun, dalam
praktiknya yang ada saat ini, orang-orang awam banyak yang baru
mengetahuinya. Pernikahan ini kini telah membudaya di kalangan masyarakat
Iran, karena budaya seperti ini dahulunya hanya bermula dari kepercayaan
mazhab syi’ah yang mereka anut, dan kemudian dilakukan sampai saat ini sesuai
dengan doktrin para Imam mereka.
52 Abdul al-Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1347, dikutip dalam buku Muhammad Faisal
Hamdani, Nikah Mut’ah: Analisis Perbandingan Hukum Antara Sunni & Syi’ah (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2008), hlm. 9.
67
Uniknya, pernikahan mut’ah ini dilanggengkan dan dilestarikan di negeri
Iran dengan mengatasnamakan agama. Secara ideologi, doktrin Syiah
membedakan pernikahan permanen dan pernikahan mut’ah. Tujuan pernikahan
mut’ah adalah untuk memperoleh kesenangan seksual dan istimta’, sementara itu
nikah permanen (daim) untuk mendapat keturunan. Pernikahan mut’ah yakni akad
personal yang berdasarkan kepada persetujuan antara seorang pria dan seorang
wanita yang tidak bersuami, biasanya tanpa intervensi dari keluarga wanita. Suatu
akad pernikahan mut’ah tidak memerlukan saksi-saksi dan juga tidak perlu
tercatat. Lamanya kontrak perkawinan mut’ah adalah tergantung dari keinginan
pasangannya. Di bawah ini merupakan macam-macam pernikahan mut’ah
menurut Sahla Haeri yang ia lakukan dalam penelitiannya di Iran53.
a. Mut’ah Seksual
Akad perkawinan mut’ah itu relatif tidak menimbulkan noda bagi
pria, praktik tersebut tidak terbatas kepada suatu kelas tertentu, akan tetapi,
faktor umum bagi pria yang memasuki perkawinan ini adalah afiliasi
religius mereka. Diketahui bahwa semakin dekat seorang pria
mengidentifikasikan diri dengan tatanan keagamaan, semakin besar
kecenderungannya untuk melakukan mut’ah. Karena itu, tidak
mengherankan bila perkawinan mut’ah khususnya populer di kalangan
Mullah (ulama). Mayoritas pria yang dapat diwawancarai, yang kebetulan
para mullah, adalah mendukung kepercayaan ini.
53 Majalah Ulumul Quran no.4 tahun 1995 hal. 47, Penelitian Sahla Haeri dalam Disertasi
Nikah Mut’ah di Iran 1981-1982, mahasiswa Pasca Doktoral Universitas Harvard.
68
Berdasarkan hal di atas, jenis nikah mut’ah yang satu ini
merupakan jenis pernikahan yang paling banyak dilakukan di kalangan
masyarakat yang menganut syi’ah di Iran. Mayoritas pelaku jenis
pernikahan ini adalah para Mullah (ulama). Jika dikaitkan lebih jauh lagi,
mut’ah seksual yang dilakukan adalah ditujukan bagi pria yang khusunya
memiliki tingkat religius yang tinggi, meskipun yang lainnya dapat
melakukannya.
b. Perkawinan Percobaan
Beberapa pemimpin rezim Islam sendiri telah menciptakan variasi
lain tentang Mut’ah, walaupun kata itu diganti dengan istilah “Perkawinan
Percobaan”. Alasan ulama dan prosedur bagi perkawinan ini tercantum
dalam teks agama sekolah lanjutan di Iran, dan diajarkan kepada pelajar-
pelajar dari kelas 10 ke atas.
Mereka berpanutan kepada almarhum Ayatullah Muthahhari, Dr.
Bahunar (mantan Perdana Mentri Islam) dan Gulyadih Gafuri (seorang
anggota Dewan Perwakilan) yang berpendapat, dorongan-dorongan
seksual itu merupakan suatu hal yang natural dan tidak dapat dihindarkan,
oleh karena itu diperlukan suatu pernikahan/perkawinan percobaan yang
ditujukan bagi kalangan muda yang tidak sanggup menikah secara
permanen, karena pernikahan permanen (daim) itu mahal.
69
Biaya pernikahan mut’ah justru lebih murah dibandingkan biaya
pernikahan permanen. Pernikahan mut’ah hanya mengeluarkan dana
berupa dokumen untuk pencatatan kontrak nikah, yaitu 1 juta Toman
(Rp. 475.697), dan biaya pernikahan mut’ah untuk membayar
upah wanita= 3 juta Toman (Rp. 1.427.091). Lain halnya dengan
pernikahan permanen yang membutuhkan dana sekitar 50 juta Toman
(Rp. 23.784.844) dan mahar untuk istri permanen adalah 300 juta Toman
(Rp. 142.709.063). Suatu perbandingan angka yang sangat besar antara
pernikahan mut’ah dan permanen (daim).54
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diketahui jenis pernikahan
ini adalah suatu jenis pernikahan yang ditujukan bagi kalangan muda kaum
syiah di Iran. Melalui pernikahan/perkawinan percobaan ini, diharapkan
para pemuda dapat mengambil manfaatnya sebagai pembelajaran di
kehidupan yang mendatang, yaitu melakukan pernikahan yang permanen
(daim). Mayoritas dari mereka tidak mau melakukan pernikahan permanen
dikarenakan biaya yang dikeluarkan justru lebih mahal daripada
pernikahan mut’ah.
c. Mut’ah Kelompok
Mut’ah kelompok secara jelas merupakan suatu gabungan antara
mut’ah seksual dan non-seksual. Dalam suatu wawancara dengan seorang
Mullah di Qum, ia secara grafik menguraikan secara variasi mut’ah ini.
Suatu mut’ah kelompok bisa dilakukan antara seorang wanita dengan
54 Sudabeh Morterzai, Film Dokumenter “In The Bazaar of Sexes” (Iran, 2008).
70
beberapa pria, agaknya secara serial, namun kadangkala juga dalam
periode terbatas selama beberapa jam.
Seorang Mullah melakukan suatu perjalanan tersebut ke Teheran
(pada Desember 1981) ia dihadapi oleh sekelompok pemuda yang sedang
berkumpul. Para pemuda itu mulai mengusik sang Mullah, dengan
mengklaim bahwa Islam membatasi kesenangan manusia tidak
membolehkan hubungan heteroseksualplural, seperti antara empat pria dan
seorang wanita.
Jenis pernikahan mut’ah ini merupakan jenis pernikahan yang
tergolong baru. Kasus seperti ini pada zaman dahulu belum ditemukan, hal
ini terjadi karena kegelisahan para pemuda Iran tentang hubungan seksual
di dalam Islam yang hanya diperbolehkan pada satu orang saja (tidak
berganti-ganti pasangan). Hingga pada akhirnya, muncullah suatu jenis
pernikahan mut’ah yang baru, yaitu mut’ah kelompok, yang diklaim
sebagai pernikahan yang menjawab segala permasalahan para pemuda
tersebut. Sehingga pada akhirnya mereka menganggap bahwa Islam selalu
memberikan solusi yang tepat bagi permasalahan mut’ah ini.
d. Mut’ah Pertobatan
Pemerintahan revolusi Islam menggusur daerah pelacuran di
Teheran dan menangkap, memenjarakan dan juga menghukum sejumlah
penduduk wanitanya, tetapi banyak yang lainnya dibawa ke suatu rumah
sitaan d i Teheran untuk direhabilitas dan purifikasi.
71
Uang mengalir dari mereka yang merasa simpatik dengan revolusi
dan ingin membantu program-program revolusi tersebut. Dua di antara
informan saya menyumbang sejumlah besar uang kepada pusat rehabilitasi
itu dengan harapan dapat membantu wanita yang “terjerumus” untuk
mengubah hidup mereka dan memulai dengan lebih baik.
Anggapan bahwa keperluan finansial adalah penyebab di belakang
prostitusi, pusat rehabilitasi tersebut menyediakan kamar dan makanan
bagi pelacur dan sebagai imbalannya mengharapkan mereka dapat
membantu berbagai pekerjaan di pusat rehabilitasi tersebut. Mereka
dilarang meninggalkan pusat rehabilitasi tersebut dan terus diawasi oleh
para pengawal revolusi, dengan adanya gemblengan yang intensif,
diharapkan mereka dapat direhabilitasi.
Akan tetapi keberhasilan bisa diraih dan pertobatan akan tercapai
ketika seseorang menjadi istri mut’ah dari salah seorang pengawal revolusi
atau seorang prajurit atau tentara yang kembali dari perang Iran-Irak.
Dalam bahasa metafora dan tidak terlalu halus, hal ini dikenal sebagai Ab-
Itubih Rikhtan, yang artinya adalah kemerdekaan (pencucian) melalui
pertobatan. Sementara dilaporkan bahwa beberapa wanita memilih cara ini
untuk memperoleh keselamatan di akhirat, beberapa wanita yang lainnya
dipaksa berulangkali untuk melakukan pernikahan mut’ah, dan banyak di
antara mereka tidak menyukai cara ini.
Pada intinya, jenis pernikahan ini sebagai wadah pertobatan bagi
wanita yang bekerja di pelacuran tanpa adanya ikatan hubungan dengan
seseorang. Jenis pernikahan ini adalah solusi bagi mereka yang hidup
72
menyendiri, namun berhubungan dengan banyak lelaki. Oleh karena itu,
mut’ah pertobatan ini dilakukan agar masalah ini terselesaikan.
e. Mut’ah Hukuman
Ketika faksionalisme55 antara rezim Islam yang baru terbentuk
dengan pihak oposisi menjadi jelas, pembersihan oposisi besar-besaran
dimulai. Banyak di antara mereka yang ditahan dan dipenjarakan adalah
wanita belasan tahun, rezim Islam dihadapkan pada situasi yang sulit. Jika
mereka dijatuhi hukuman sementara mereka masih perawan, menurut
kepercayaan agama, mereka akan masuk surga. Karena itu sebelum
dijatuhi hukuman, para perawan remaja ini dipaksa melakukan mut’ah
dengan salah seorang sipir penjara. Dengan “menodai” pada perawan
remaja ini, bukan hanya untuk merendahkan mereka tetapi juga untuk
mencegah mereka ke surga.
Mut’ah hukuman hampir merupakan antitesis terhadap Mut’ah
Pertobatan. Sementara pada mut’ah yang satu tindakan seksual dipercayai
untuk “membersihkan” dosa wanita (mut’ah pertobatan), sedangkan pada
mut’ah yang lain (mut’ah hukuman) dipercayai untuk “menodai”
kemurnian dan keperawanan.
Berdasarkan hal di atas, jenis pernikahan ini cenderung berbeda
dengan jenis-jenis pernikahan mut’ah sebelumnya. Jika pernikahan mut’ah
dipercaya sebagai sebuah ibadah untuk penyucian diri dan juga merupakan
ibadah yang harus dilakukan, tetapi dalam mut’ah hukuman ini tujuannya
55 Bentuk pergerakan yang mempunyai tujuan dan akar politik dan ideologi yang sama namun
muncul banyak perbedaan kecil yang sebenarnya tidak signifikan.
73
sangat berbeda sekali. Tujuan diadakannya mut’ah hukuman ini adalah
upaya untuk menodai wanita perawan yang melakukan kesalahan atau
dosa supaya tidak bisa masuk ke surga.
2. Faktor-Faktor Pernikahan Mut’ah
Pada pernikahan mut’ah, kita ketahui bahwa biasanya laki-laki dan
perempuan yang sudah menikah secara permanen (daim) atau belum menikah
melakukannya karena salah satu dari mereka berada dalam posisi menginginkan
pemuasan nafsu seksual yang dipandang baik jika melakukannya dengan suatu
pernikahan mut’ah, karena pernikahan ini merupakan pernikahan yang berkaitan
dengan aspek religi sekaligus kewajiban mereka sebagai penganut syi’ah.
Pernikahan ini dilakukan tidak hanya sebagai status agar hubungan di
antara mereka berdua jelas dan tertulis, tetapi juga sebagai ibadah yang wajib
dilakukan bagi penganut Syi’ah, karena pahala yang dijanjikan dari para Imam
mereka dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya terbilang sangat besar dan
jika ditinggalkan akan mendapat dosa yang besar pula.
Setelah mempelajari mengenai pernikahan mut’ah dari berbagai sumber,
penulis berpendapat bahwa pernikahan mut’ah tidak hanya sebagai ibadah dan
kewajiban para penganut syi’ah, tetapi memiliki berbagai macam faktor tertentu
untuk melakukannya. Di bawah ini merupakan faktor-faktor yang membuat
seseorang melakukan pernikahan mut’ah.
74
a. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang paling banyak
dilakukan oleh pelaku pernikahan mut’ah terutama bagi seorang wanita. Bagi
wanita yang melakukan pernikahan mut’ah, hal yang berkaitan dengan
ekonomi ini merupakan jalan terbaik untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Mayoritas dari mereka merupakan seorang janda yang hidupnya
terbatas.
Faktor ini bahkan menjadi titik balik seseorang yang dahulunya tidak
begitu menginginkan nikah mut’ah, tetapi karena tuntutan ekonomi keluarga
yang tidak memadai, membuat seseorang putus asa mencari pekerjaan yang
baru, sehingga berkeinginan kuat melakukan pernikahan mut’ah, semata-mata
hanya untuk menyambung hidup. Seperti dalam sebuah film dokumenter yang
menceritakan tentang nikah mut’ah di Iran, bahwasanya mereka melakukan
nikah mut’ah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka seperti membayar
cicilan rumah, membiayai anak mereka, dan lain-lain. Upah yang diterima pun
untuk membayar kebutuhan hidup tersebut dan harus sesuai dengan kontrak
atau perjanjian.56
b. Faktor Budaya
Faktor budaya merupakan faktor yang cukup banyak dijadikan alasan
utama seseorang melakukan pernikahan mut’ah. Sebagian besar dari mereka
beralasan bahwa pernikahan mut’ah merupakan budaya yang harus diwariskan
secara turun temurun, seperti yang nenek moyang mereka lakukan. Pernikahan
56 Sudabeh Morterzai, Film Dokumenter “In The Bazaar of Sexes” (Iran, 2008).
75
mut’ah terus digencarkan bagi penganut syi’ah untuk mempertahankan tradisi
ini.
Penganut syi’ah dengan mengatasnamakan imam mereka mengatakan
untuk melakukan nikah mut’ah meski hanya sekali, karena nikah mut’ah
merupakan kewajiban yang tidak mungkin dilepaskan oleh kalangan syi’ah.
Bagi mereka, nikah mut’ah merupakan tanda keimanan seseorang. Itulah yang
membuat penganut syi’ah terus melakukan pernikahan ini.57
Budaya berasal dari bahasa sansekerta yang berarti buddhi adalah akal
atau budi. Menurut ahli budaya, kata budaya merupakan gabungan dari dua
kata, yaitu budi dan daya (Sidi Gazalba, 1998:35). Budi mengandung makna
akal, pikiran, paham, pendapat, ikhtisar, perasaan, sedangkan daya
mengandung makna tenaga, kekuatan, dan kesanggupan.58
Berdasarkan hal tersebut, budaya adalah salah satu faktor penting
terwujudnya suatu pikiran dan paham, yaitu salah satunya adalah pikiran dan
paham mengenai pernikahan mut’ah. Pernikahan ini berawal dari kehidupan
jahiliyyah yang dulu sempat dilakukan, kemudian hadir Islam, hingga
kebolehan Rasulullah terhadap hal ini. Sehingga ada beberapa kelompok yang
sangat fanatik untuk terus menjalankan tradisi ini.
57 Muhammad Malullah, Katanya Nikah Ternyata Zina (Solo: Multazam, 2008), hlm. 193 58 Sulasman dan Setia Gumilar, Teori-Teori Kebudayaan (Bandung: Pustaka Setia, 2013)
hlm.17.
76
c. Faktor Biologis
Faktor ini merupakan faktor yang juga menjadi alasan kuat seseorang
melakukan pernikahan mut’ah. Faktor biologis menjadi penyebab seseorang
melampiaskan nafsu seksualnya melalui pernikahan ini. Sungguh sangat wajar
apabila laki-laki atau pun perempuan memiliki naluri seksual ketika memang
mereka berada dalam kondisi puncaknya dan tak terkendali. Oleh sebab itulah,
pernikahan mut’ah hadir menjadi solusi terbaik bagi mereka yang belum siap
untuk menikah secara permanen namun ingin melampiaskan nafsu seksualnya
saat itu juga secara legal.
Bagi syi’ah, mereka berpandangan bahwa pernikahan mut’ah dapat
dijadikan solusi untuk menanggulangi kejahatan dan godaan seksual yang
dihadapi para remaja putra dan putri.59 Mereka berpendapat bahwa Islam telah
memberikan kemudahan dalam masalah apapun termasuk permasalahan
pernikahan. Negara Iran memiliki ungkapan tradisi, yaitu pernikahan mut’ah
adalah obat atau pemulihan terbaik melawan prostitusi.60 Berdasarkan hal
tersebut, dapat diketahui bahwa praktik pernikahan mut’ah ini sebagai solusi
yang tepat dengan adanya permasalahan yang terjadi di negara mereka, yakni
permasalahan perzinahan seperti prostitusi, pemerkosaan, hubungan gelap, dan
lain- lain.
59 Muhammad Faisal Hamdani, Nikah Mut’ah: Analisis Perbandingan Hukum Antara Sunni &
Syi’ah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), hlm. 87 60 Sudabeh Morterzai, Film Dokumenter “In The Bazaar of Sexes” (Iran, 2008).
77
3. Shigheh
Terkait dengan adanya pernikahan mut’ah, penganut syi’ah memiliki
shigheh. Shigheh memiliki makna “cara atau metode”. Namun, seiring
berjalannya waktu, istilah ini berkembang menjadi arti yang berbeda jika
dikaitkan dengan mut’ah. Shigheh kini berkembang menjadi makna yang berbeda
dari istilah awalnya yaitu menjadi “perempuan yang melakukan mut’ah”61.
Shigheh biasanya merupakan perempuan yang masih muda namun sudah
bercerai atau janda. Bahkan terdapat shigheh yang sudah berumur 40-50 tahun-an.
Shigheh ini dapat dijumpai di beberapa tempat tertentu, seperti pemakaman atau
ketika seorang laki-laki syi’ah melakukan perjalanan yang sedang ditempuhnya.
Jarak perjalanan dan jauh dari keluarga sering mendorong seorang laki-laki
tersebut mengadakan nikah mut’ah dengan shigheh di salah satu kota tempat
singgah.
Ironisnya, sebelum ada batas-batas negara seperti sekarang ini, dulu,
kebiasaan mencari shigheh seperti itu pernah dimanfaatkan oleh para musafir
muslim dari negeri-negeri Islam atau bahkan musafir-musafir non-muslim yang
singgah di salah satu kota di negeri Persia. Mereka sengaja singgah untuk
mendapatkan seorang shigheh, meskipun tahu bahwa itu adalah bagian dari
kepercayaan Syiah.
Seorang perempuan Syiah terkadang juga bersedia menjadi shigheh untuk
menemani perjalanan calon pasangannya mut’ah-nya. Praktik seperti ini, bahkan
pernah dianjurkan oleh pihak penguasa Persia sebelum Dinasti Pahlevi menguasai
Persia pada pertengahan 1920-an. Dinasti Pahlevi pernah mengeluarkan kebijakan
61 Rimbun Natamarga, Mut’ah di Iran: Apa, Siapa, dan Bagaimana, diakses pada 29 Agustus
2015 dengan alamat
www.academia.edu/4026842/MUTAH_DI_IRAN_APA_SIAPA_DAN_BAGAIMANA
78
agar rakyat Iran meninggalkan praktik mut’ah dan poligami, karena hal tersebut
dapat mencemarkan nama baik. Di samping itu, para wanita (istri permanen) lebih
suka jika suami mereka mengunjungi tempat-tempat prostitusi dari pada harus
melakukan poligami dan nikah mut’ah. Hukum perceraian di Iran tidak disetujui
atau tidak diakui, karena jika terjadi suatu perceraian maka tidak ada status yang
jelas. Oleh karena itu, mereka (istri) lebih baik dianiaya untuk merahasiakan atau
menghindari perceraian supaya tidak diketahui oleh tetangganya.62
4. Motif-Motif Pernikahan Mut’ah
Motif adalah alasan seseorang melakukan sesuatu.63 Pernikahan mut’ah
juga memiliki berbagai macam motif tertentu untuk melakukannya, yaitu dengan
seksual dan non-seksual. Jika biasanya kedua belah pihak melakukan pernikahan
mut’ah hanya untuk kesenangan seksual semata, maka di bawah ini merupakan
motif-motif pernikahan mut’ah yang cukup unik dan tidak biasa64.
a. Motif Seksual
1) Motif Ziarah
Para penganut syi’ah merupakan kaum yang tidak bisa lepas dari
dari pemakaman-pemakaman. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang
gemar melakukan ibadah di depan dan/atau di atas kuburan. Mereka biasa
berdoa, berzikir, mengerjakan shalat (khas Syiah), mencari berkah,
memohon perlindungan untuk kehidupan akhirat atau bahkan membangun
62 Sudabeh Morterzai, Film Dokumenter “In The Bazaar of Sexes” (Iran, 2008). 63 Kamus Besar Bahasa Indonesia 64 Rimbun Natamarga, Mut’ah di Iran: Apa, Siapa, dan Bagaimana, diakses pada 29 Agustus
2015 dengan alamat
www.academia.edu/4026842/MUTAH_DI_IRAN_APA_SIAPA_DAN_BAGAIMANA
79
masjid-masjid megah di atas kuburan orang-orang yang mereka yakini
sebagai orang-orang suci dan tak berdosa.
Di tempat-tempat pemakaman, seringkali para peziarah
menyempatkan waktunya untuk melakukan mut’ah. Bahkan, para mullah
(ulama) juga menyediakan jasa pernikahan mut’ah lengkap dengan daftar
nama-nama shigheh. Meski demikian, tidak mudah pula bagi seorang
mullah untuk mengakui dirinya pernah atau sedang melakukan mut’ah.
Perlu diingat, praktek mut’ah di Qum dan Masyhad penuh dengan
kerahasiaan dan keanoniman, terlebih lagi di tengah kalangan shigheh
mereka.
Para shigheh yang melakukan motif ini biasanya wanita muda yang
sudah bercerai atau janda. Bahkan terdapat shigheh yang berumur 40-50
tahun-an, dan biasanya shigheh yang sudah berumur cukup tua tersebut
hanya melakukan pernikahan mut’ah yang bersifat non-seksual.
2) Motif Nazar
Motif jenis ini hampir sama kaitannya dengan motif ziarah. Motif
nazar atau yang diistilahkan shigheh nazri masih menggunakan jenis motif
pernikahan mut’ah yang bersifat seksual. Motif nazar dilakukan ketika
seorang perempuan memiliki nazar untuk melakukan mut’ah, sehingga
membuat dirinya dapat menjadi shigheh dikarenakan ia tengah berziarah
dan bernazar.
Sering kali, di wilayah pemakaman tersebut, banyak dijumpai para
perempuan yang mendatangi para mullah untuk melakukan pernikahan
80
mut’ah berdasarkan nazar mereka. Para mullah ini yang diyakini
merupakan keturunan Rasulullah memiliki gelar sayyid, karena itulah para
perempuan tersebut banyak yang bernazar ingin melakukan mut’ah dengan
para sayyid.
Shigheh tidak selalu menerima mahar atau imbalan jenis lainnya
dari pihak laki-laki. Sebaliknya, terkadang, pihak perempuan-lah yang
menyerahkan imbalan atas kontrak itu kepada pihak sayyid. Kemudian,
pihak perempuan yang berinisiatif menawarkan mut’ah dan merundingkan
jangka waktu kontrak mereka berdua.
Namun, terdapat kasus-kasus tertentu, seorang mullah yang sayyid
menolak permintaan dari pihak perempuan seperti itu, meskipun untuk
memenuhi nazar. Faktor umur, misalnya perempuan yang bernazar itu
masih di bawah umur atau bahkan sudah tua, menjadi salah satu faktor
yang membuat mullah tersebut menolaknya.
3) Motif Fleksibilitas
Motif jenis ini paling banyak digunakan di kalangan para pembantu
rumah tangga. Wanita-wanita Iran banyak yang memakai cadar ketika
berada di lingkungan yang bukan menjadi mahram-nya.
Terkait cadar, para majikan yang kaya raya memperkerjakan para
pembantu rumah tangga wanita untuk tetap membuka cadarnya. Alasannya
adalah sangat sederhana, hanya untuk membuat mereka bergerak secara
leluasa atau fleksibel bekerja di dalam rumah majikan-majikan tersebut,
daripada harus membuka dan menutup cadar yang harus dipakai. Oleh
81
karena itulah, banyak di antara majikan melakukan nikah mut’ah dengan
pembantu-pembantunya atas dasar persetujuan istri-istri majikan.
Bahkan, para pembantu tersebut sangat senang jika statusnya
diangkat menjadi seorang shigheh, karena hal itu merupakan suatu
kehormatan bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakat di desa tempat ia
tinggal.
Motif ini juga bisa dilakukan dalam rangka mencari keturunan,
ketika sang istri dari pernikahan permanen mengalami kemandulan. Hal
tersebut tentu menjadi dasar seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya,
tetapi, hal itu tidak diperbolehkan di kalangan syi’ah. Suami tersebut
dibolehkan untuk menikah secara permanen dengan perempuan lain (baca:
poligami) atau melakukan mut’ah dengan perempuan yang tidak mandul.
Motif seperti itu juga berlaku ketika seorang suami frustasi karena
istrinya selalu melahirkan anak perempuan. Sang suami dapat melakukan
mut’ah demi tujuan mendapatkan seorang putra dari shigheh-nya.
b. Motif Non-Seksual
Dilihat dari berbagai motif yang telah disebutkan di atas, pernikahan
mut’ah bisanya identik dengan suatu pernikahan yang dilakukan kepada laki-
laki dan perempuan dengan jangka waktu tertentu dan hanya untuk pemuasan
nafsu seksual semata. Namun, terdapat pernikahan mut’ah yang ditujukan
bukan untuk seks, yaitu shigheh mahramiyat.
Shigheh mahramiyat adalah suatu jenis motif pernikahan mut’ah yang
dilakukan dengan tujuan hanya untuk sekadar menjadi mahram saja. Di Iran,
82
hubungan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram
sangat dibatasi keberadaannya karena dapat menimbulkan fitnah atau
semacamnya. Bagi wanita, mereka harus memakai hijab ke seluruh tubuh
mereka di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Oleh karena itu, untuk
Untuk mengesahkan hubungan antara dua orang yang bukan mahram demi
persahabatan atau keakraban antara mereka, muncul apa yang diistilahkan
sebagai shigheh mahramiyyat.
Contohnya adalah ketika seorang laki-laki melakukan mut’ah dengan
seorang anak kecil yang berumur 4 atau 5 tahun tanpa melakukan hubungan
yang bersifat seksual dengan tujuan hanya untuk bertemu ibu si anak tersebut
tanpa menggunakan hijab. Dengan cara ini, ibu dari anak tersebut secara
otomatis menjadi mahram selama-lamanya bagi si laki-laki, walaupun masa
kontraknya hanya satu jam saja.
Motif seperti itu juga bisa diterapkan kepada kakek atau nenek. Seorang
laki-laki Syiah dapat melakukan mut’ah dengan cucu salah seorang majikannya
agar ia dapat melakukan tugas-tugas kerumahtanggaan di dalam rumah
majikan. Dengan mut’ah itu, ia menjadi mahram selama-lamanya bagi kakek
atau nenek, meskipun cucu yang menjadi shigheh itu baru berumur dua tahun.
Selain untuk tujuan seperti itu, shigheh mahramiyyat dapat dilakukan
karena tuntutan untuk melakukan sebuah perjalanan jauh. Misalnya, seorang
janda yang ditinggal mati suaminya dan ia tidak memiliki mahram. Sementara
itu, sebelum meninggal-dunia, sang suami telah berwasiat agar dimakamkan di
kampung halamannya yang jauh. Untuk tujuan seperti ini, istri tersebut dapat
83
melakukan mut’ah dengan seorang laki-laki yang bersedia menjadi suami tanpa
hubungan seksual dan menemaninya untuk melakukan wasiat itu.
Motif yang unik adalah mut’ah dalam rangka memudahkan seseorang
untuk mengambil keputusan. Sederhananya, seorang laki-laki ingin melakukan
pernikahan permanen dengan seorang perempuan yang tidak memiliki mahram
lewat perantaraan biro jodoh. Agar calon suami dapat mengenal calon istrinya
dengan lebih baik, seperti lewat tatap muka dan berbincang-bincang langsung,
pihak biro jodoh bersedia menugaskan salah seorang pegawai laki-lakinya
untuk men-shigheh-mahramiyyat-kan perempuan itu. Dengan demikian, calon
suami dapat mengenal lebih akrab calon istrinya meski harus ditemani oleh
salah satu pegawai biro jodoh. Mereka bisa meneruskan proses ta’aruf itu, jika
cocok. Jika tidak, mereka bisa menghentikannya.
Bentuk seperti itu pernah dipraktekkan pada akhir masa pemerintahan
Dinasti Pahlevi dulu. Setelah Revolusi Iran, praktik-praktik seperti itu mulai
menimbulkan skandal-skandal tidak mengenakkan dan mendapatkan sorotan
luas.
Motif seperti itu juga memiliki bentuk yang lain dan inilah yang cukup
umum dipraktikkan. Bentuk yang dimaksud disebut sebagai shigheh bala sar-i
atau shigheh makam suci. Bedanya, jika sebelumnya melalui perantaraan biro
jodoh, maka bentuk yang ini dilakukan di depan kuburan Ali Ridho di
Masyhad.
Dua calon suami-istri dapat mempersiapkan pernikahan permanennya
lewat shigheh mahramiyyat mereka masing-masing. Hanya saja, untuk tercipta
shigheh mahramiyyat, mereka melakukan akadnya di kuburan tersebut.
84
Artinya, mereka masing-masing melakukan mut’ah agar dapat terbuka peluang
untuk saling mengenal lewat perantaraan mahram-mahram mereka. Jika
mereka merasa cocok dalam proses saling mengenal itu, mereka berdua dapat
menikah secara permanen kemudian.
Dengan demikian, pernikahan mut’ah dengan berbagai macam jenis
motifnya, kini telah menjadi suatu fenomena yang sudah biasa di kalangan
masyarakat Iran. Bahkan, pernikahan mut’ah tidak melulu soal hubungan yang
bersifat seksual saja, tapi kini telah berkembang menjadi pernikahan mut’ah
yang bersifat non-seksual, yakni hanya untuk sekadar menjadi mahram saja.
Pelegalan suatu hubungan melalui jalan pernikahan mut’ah ini sangat
penting bagi penganut syi’ah, karena berkaitan erat dengan kelangsungan hidup
mereka dan juga menghindari berbagai fitnah serta zina yang sewaktu-waktu
bisa saja menghampiri. Pernikahan mut’ah perlu dipertahankan untuk
memberikan kemudahan dan service yang spektakuler dan daya tarik ampuh
bagi para kader dan pengikut, terutama kalangan remaja agar bersemangat
dalam gerakan revivalisme65 syi’ah. Dikaranglah buku-buku khusus masalah
mut’ah yang dikemas begitu menarik disertai argumen-argumen filosofis, dan
juga berfungsi untuk mematahkan argumentasi non-syiah yang mengharamkan
mut’ah.66
65 Seruan agar kembali kepada ajaran agama yang murni 66 Mohammad Baharaun, Dari Imamah Sampai Mut’ah (Pasuruan: Pustaka Bayan, 2013),
hlm. 164.
85
C. Dampak Pernikahan Mut’ah di Indonesia
Di dalam kehidupan ini, manusia pasti melakukan suatu tindakan tertentu,
entah itu perbuatan baik ataupun perbuatan yang buruk. Setiap perbuatan pasti
memiliki dampak yang mengharuskan seseorang untuk menerimanya, baik itu
dampak positif maupun negatif. Seperti halnya dalam tindakan seseorang untuk
memilih pernikahan mut’ah yang dianggap merupakan pernikahan yang
menimbulkan pro-kontra di kalangan tertentu. Pernikahan tersebut pasti memiliki
dampak positif maupun negatif bagi pelakunya.
Di Indonesia, nikah mut’ah sering disebut sebagai kawin kontrak.
Pernikahan ini biasanya dilakukan di kawasan wisata seperti Puncak Bogor.
Mayoritas pelaku pernikahan ini adalah turis-turis asing asal Timur Tengah yang
sedang berwisata dan menikmati keindahan alam sekitar. Mereka tinggal dan
menginap di villa kurang lebih 1 minggu hingga sampai 1 bulan.67 Umumnya
mereka menginginkan pelayanan plus-plus selama berada di kawasan tersebut,
salah satunya adalah dengan melakukan kawin kontrak dengan wanita daerah
sekitar. Wanita yang melakukan pernikahan ini biasanya berasal dari luar daerah
tersebut. Pelaksanaan kawin kontrak ini persyaratannya hampir sama seperti nikah
mut’ah yang terjadi di Iran.
Tujuan pria-pria Timur Tengah melakukan kawin kontrak ini adalah untuk
pemuasan nafsu seksual mereka karena tinggal di daerah tersebut dalam waktu
yang cukup lama, kemudian untuk penyesuaian lingkungan, karena mereka telah
terbiasa dengan tradisi nikah mut’ah atau kawin kontrak. Sementara itu, bagi
67 Rusli Doelbari, Kepala Desa Tugu Selatan, Wawancara Pribadi (Cisarua, 12 Maret 2011),
dikutip dalam skripsi Surahman, Praktek Nikah Wisata di Puncak Desa Tugu Selatan
Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor (Jawa Barat) Ditinjau Dari Hukum Islam (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2011), hlm. 56.
86
wanita yang menyediakan dan melakukan pernikahan ini disebabkan tergiur akan
penghasilan yang diperoleh. Uang yang didapat berkisar jutaan hingga ratusan
juta rupiah, itu pun dibagi secara merata untuk calo, makelar dan sewa villa.68
Pernikahan mut’ah yang terjadi di Indonesia menyisakan berbagai
pengalaman tersendiri bagi pelakunya. Setelah melakukan kawin kontrak ini,
mayoritas wanita dari pelaku nikah ini menilai positif profesi ini, namun ada juga
yang menilai profesi ini lebih banyak negatifnya.
1. Dampak Positif
Pernikahan mut’ah dinilai memiliki banyak dampak yang negatif
bagi pelakunya, namun pernikahan ini juga memiliki dampak positif yang
justru sangat dibutuhkan oleh pelaku. Dampak positif nikah mut'ah adalah
si pelaku mendapatkan apa yang ia inginkan yaitu kepuasan seksualnya.
Selain itu, kebutuhan ekonomi keluarga terutama bagi sang pelaku wanita
dapat terpenuhi sesuai dengan upah yang diberikan.
Berdasarkan hal tersebut, sekalipun pernikahan mut’ah atau kawin
kontrak dipandang sebagai suatu hubungan yang dianggap tak layak,
namun para pelaku nikah mut’ah ini tetap mendapatkan sesuatu yang
mereka inginkan, salah satunya adalah mendapatkan upah (mahar) yang
menjanjikan sesuai dengan keinginan mereka. Jika sang wanita hamil dan
melahirkan anak, anak tersebut tetap mendapat hak waris walaupun
pasangan tersebut tidak saling mewarisi. Namun dalam realitanya,
68 Mizter Imam, Arab Kawin Dengan ABG Puncak, 2011, diakses pada 14 September 2015,
pukul 14.30 dengan alamat https://www.youtube.com/watch?v=OKEjkvFp364
87
mayoritas anak dari hasil hubungan ini banyak yang tidak dianggap oleh
ayahnya, sehingga menimbulkan kerugian bagi si anak69.
2. Dampak Negatif
Dampak negatif pada pernikahan mut’ah atau kawin kontrak
cenderung lebih banyak dibandingkan dampak positifnya. Di Iran sendiri
yang merupakan negara penganut syi’ah terbesar di dunia dan memiliki
Undang-Undang Pernikahan Mut’ah pun sering kali ditentang oleh
masyarakatnya. Tampaknya yang paling gigih menentang praktik mut’ah
di negerinya sendiri adalah kalangan wanita. Belakangan kaum hawa Iran
memang pernah melakukan unjuk rasa menuntut penghapusan mut’ah dari
bumi Persia yang dipelopori oleh Fatimah Karrubi. Fatimah Karrubi
merupakan seorang putri dari Mahdi Karrubi, Ketua Parlemen Iran.70
Selain itu, masih ada dampak negatif dari pernikahan mut’ah yang
terjadi di era modern ini, seperti ketidakjelasan nasab dan timbulnya
penyakit kelamin, yaitu yang paling berbahaya adalah AIDS. Sebab, pihak
wanita tak ubahnya seperti barang dagangan yang dengan mudahnya dapat
dipindahtangankan, asal ia mau untuk dikontrak. Dalam proses berganti-
ganti pasangan tersebut, mitra seks pasti mengandung resiko tinggi
terjangkit penyakit AIDS. Pada tahun 1994 di Iran, tercatat 5000 orang
penderita AIDS, 82 meninggal (Republika 26 Juli 1994). Namun, berita
yang memilukan ialah adanya sekitar 250 ribu anak terlantar tanpa bapak
(seperti disiarkan Majalah Asshira’ dari Teluk, yang sempat
69 Ibid. 70 Majalah Semesta, Wanita Emoh Dimut’ah, Juli 1992, dikutip dalam Mohammad Baharun,
Dari Imamah Sampai Mut’ah (Pasuruan: Pustaka Bayan, 2013), hlm. 169.
88
didokumentasikan dalam ‘Kliping’ Yayasan Albayyinat Indonesia) akibat
nikah mut’ah yang tak bertanggung jawab.71
Kasus-kasus di atas hampir sama seperti yang ada di Indonesia.
Mayoritas dari kaum hawa banyak yang merasa diuntungkan dengan
penghasilan yang didapat. Namun, terdapat beberapa yang merasa trauma
dan tidak kuat mental dengan adanya kawin kontrak di daerah wisata
Puncak Bogor. Mereka merasa seperti dilecehkan karena alasan tertentu,
salah satunya adalah hanya dijadikan pembantu atau budak, bukan diakui
sebagai pasangan.
Selain beberapa dampak negatif yang telah disebutkan diatas,
terdapat dampak negatif lain cukup penting yakni rumah tangga dan
keluarga yang telah dibina menjadi rusak. Sebagian dari pelaku pernikahan
mut’ah atau kawin kontrak ini sudah berkeluarga dan memiliki anak. Jika
salah satu pasangannya melakukan perbuatan ini tanpa diketahui keluarga,
maka berakibat menjadi tidak terurus, timbul rasa tidak saling percaya dan
curiga, sehingga memicu adanya konflik internal. Anak-anak menjadi
tidak terdidik dengan baik dan hanya melahirkan generasi yang tak
bermoral.
Secara hukum positif Indonesia, kedudukan istri dalam nikah
mut’ah tidak diakui/tidak sah, jadi tidak berhak untuk menuntut apapun,
termasuk nafkah, harta gono-gini, baik sewaktu masih hidup, maupun
setelah meninggal. Selain itu, status anak yang dihasilkan dari pernikahan
mut’ah, tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sebagaimana
71 Mohammad Baharun, Dari Imamah Sampai Mut’ah (Pasuruan: Pustaka Bayan, 2013),
hlm. 168 (Data dihimpun pada tahun 2003, tidak diketahui perkembangan selanjutnya)
89
tercantum dalam pasal 42 dan pasal 43 UU pernikahan, pasal 10 KHI.
Secara sosial berkaitan dengan psikologi dari perempuan atau anak yang
dihasilkan karena jika lingkungan sudah menolak, maka akan
memengaruhi psikologi dari mereka, seperti tertutup dengan lingkungan
karena perasaan malu pada statusnya.72
Berdasarkan beberapa dampak yang telah disebutkan, baik dampak positif
maupun negatif, kita seharusnya bisa mengambil tindakan secara bijak. Jika
menjalin suatu hubungan yang serius, maka alangkah baiknya untuk
mempertimbangkan beberapa hal yang dapat memberi manfaat untuk diri sendiri
maupun orang lain. Tentu saja cara yang ditempuh haruslah yang baik dan tidak
merugikan yang lain. Kalau tujuannya untuk ibadah haruslah diniatkan Lillahi
Ta’ala dan tidak berlebih-lebihan.
72 LPPI Makassar, Keluarga di Kampung Tidak Tahu Kalau Anaknya Mut’ah di Kota, 2014,
diakses pada 14 September 2015, pukul 21.23 dengan alamat
http://www.lppimakassar.com/2014/04/keluarga-di-kampung-tidak-tahu-kalau.html