8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Religiusitas dalam Karya Sastra
Kata religiusitas artinya bersifat religi, bersifat keagamaan yang bersangkut-
paut dengan religi. Sedangkan religi ialah kepercayaan akan adanya kekuatan
adikodrati di atas manusia, kepercayaan (animisme, dinamisme, danagama),
(Soeharso dan Ana Retnoningsih, 2009: 418).
Religiusitas pada dasarnya bersifat mengatasi atau lebih dalam dari agama
yang tampak, formal dan resmi, karena itu tidak bekerja dalam pengertian-
pengertian (otak), tetapi dalam pengalaman dan penghayatan yang mendahului
analisis dan konseptualisasi. Dengan demikian, religiusitas tidak langsung
berhubungan ketaatan ritual yang hanya sebagai huruf, tetapi dengan yang lebih
mendasar dalam diri manusia, yaitu roh, sebab huruf membunuh, sedangkan roh
menghidupkan (Mangunwijaya dalam Ratnawati,dkk. 2002: 2).
James dalam Wachid (2002: 176) mengemukakan bahwa bereligi berarti
menyerahkan diri, taat, tetapi dalam pengertian positif, yakni berkaitan dengan
kebahagiaan seseorang yang seakan memasuki dunia baru yang penuh kemuliaan.
Sementara itu, perasaan keagamaan adalah segala perasaan batin yang ada
hubungannya dengan Tuhan, seperti perasaan takut kepada Tuhan, perasaam
berdosa, mengakui kebenaran Tuhan.
Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan
dengan hukum-hukum yang resmi. Religiusitas di pihak lain melihat aspek yang
8
Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012
9
terdapat di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas kepada pribadi
manusia. Seorang religius adalah orang yang memahami dan menghayati hidup
dan kehidupan ini lebih dari yang lahiriah saja. Orang yang beragama idealnya
sekaligus religius, namun ada orang yang beragama tetapi tidak religius. Moral
religius menjunjung tinggi sifat-sifat menusiawi, hati nurani yang dalam, harkat
dan martabat serta kebebasan pribasi manusia (Nurgiyantoro, 2007: 327).
Religiusitas sesungguhnya merupakan sikap atau tindakan manusia yang
dilakukan secara terus-menerus dalam upaya mencari jawaban atas sejumlah
pertanyaan yang berkaitan dengan aspek eksistensialnya. Akan tetapi, jawaban
atas sejumlah pertanyaan itu tidak akan pernah diperoleh karena ia hanya bagai
bayangan yang berkelebat di dalam batin kita. Dengan demikian, religiusitas lebih
menunjuk ke suatu pengalaman, yaitu pengalaman religius, sehingga yang muncul
hanya rasa rindu, rasa ingin bersatu, dan rasa ingin berada bersama dengan
sesuatu yang abstrak, (Najib dalam Ratnawati, dkk., 2002: 2).
Salah satu cara yang dapat dilakukan manusia untuk meraih pengalaman
religius adalah dengan meningkatkan kepekaannya menangkap simbol atau
lambang-lambang yang ada di sekelilingnya. Dengan menangkap simbol atau
lambang-lambang itu manusia akan memperoleh pengalaman estetik, dan
pengalaman estetik itulah yang akan mengarahkan atau membangkitkan
pengalaman religius. Di sinilah letak keeratan hubungan antara pengalaman estetis
dan pengalaman religius. Jika diibaratkan sebuah simpul, dalam pengalaman
estetis simpul baru mulai diuraikan, sedangkan dalam pengalaman religius simpul
sudah terurai (Hartoko dalam Ratnawati, dkk., 2002:2-3).
Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012
10
Pada dasarnya karya sastra adalah wujud representasi dunia dalam bentuk
lambang (kebahasaan). Oleh karena itu, sesuai dengan kenyataan tersebut, karya
sastra merupakan salah satu media yang dapat menjadi sumber pengalaman estetis
yang ada gilirannya akan mengantar seseorang untuk mencapai pengalaman
religius. Hal itu dikatakan demikian karena persona atau tokoh-tokoh di dalam
karya sastra juga memiliki keinginan dan kerinduan seperti halnya manusia
sehingga mereka juga berusaha mencari jawaban atas berbagai pertanyaan
eksistensial mengenai dirinya. Itulah sebabnya, langsung atau tidak, karya sastra
juga mengandung sesuatu yang oleh Darma (dalam Ratnawati, dkk., 2002: 3)
disebut amanat atau moral yang mampu membangkitkan religiusitas manusia
(pembaca).
Kesusastraan menjadi religius jika di dalamnya mempersoalkan dimensi
kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi transendental. Kesustraan religius
selalu membicarakan persoalan kemanusiaan yang bersifat profan dan ditopang
nilai kerohanian, yang berpuncak kepada Tuhan melalui lubuk hati terdalam
kemanusiaannya. Para penyair dan sastrawan yang mempunyai semangat religius
menyadari bahwa gejala-gejala yang tampak oleh mata dan pikiran ini ( realitas
alam dan budaya) hanyalah ungkapan lahir atau simbol dari suatu kenyataan yang
lebih hakiki. Gejala lahiriah ini adalah amanat (ayat) Tuhan yang harus dibaca dan
dihayati secara mendalam, sebab tidak ada suatu realitaspun jika ia tidak ilahiah
(Wachid, 2002: 177-178).
Berkaitan dengan hal tersebut menurut Hadikusumo (1996: 13) dimensi
kemanusiaan (humanisme) meliputi empat hal yaitu dimensi humanisme manusia
Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012
11
sebagai makhluk hidup, dimensi humanisme manusia sebagai makhluk sosial,
dimensi humanisme manusia sebagai makhluk susila dan dimensi humanisme
manusia sebagai makhluk beragama. Pertama, dimensi humanisme manusia
sebagai makhluk hidup adalah kesadaran manusia akan keindividualitas dirinya
bisa mengarah pada dua dimensi yaitu dimensi kedirian dan dimensi keegoisan.
Kedua, dimensi humanisme manusia sebagai makhluk sosial, pada hakikatnya
manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain atau kelompok lain, hal inilah
yang menjadikan manusia memliki naluri kemanusiaan terhadap sesama makhluk
hidup untuk saling tolong menolong dan hidup bermasyarakat. Ketiga, dimensi
humanisme manusia sebagai makhluk susila adalah dengan mengukur sejauh
mana kedalaman manusia itu untuk dapat membedakan antara yang baik dan yang
buruk. Dalam hal ini manusia ditekankan sebagai makhluk yang menilai. Apabila
dilihat dari sumbernya, nilai susila dappat berasal dari Tuhan dan dari manusia.
Namun dalam diri manusia terdapat nilai yang dianggap tidak bisa diubah dan
nilai yang dibiarkan berubah (Hadikusumo, 1996: 14). Keempat, dimensi
humanisme manusia sebagai makhluk beragama berkaitan dengan pengakuan
manusia tentang adanya Tuhan dan kesadaran manusia bahwa ada kekuatan lain di
luar dirinya di dalam kehidupan ini.
Bertolak dari pernyataan itulah pengamatan dan penelitian terhadap
religiusitas dalam karya sastra menjadi sangat penting dan perlu dilakukan.
Penelitian semacam itu dianggap penting bukan hanya karena alasan untuk
memperoleh pengetahuan tentang religiusitas dalam sastra, melainkan juga karena
secara pragmatis, sebagai suatu gerakan mencari ‘dimensi yang hilang dari religi’,
Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012
12
religiusitas merupakan sesuatu yang dapat digunakan sebagai sarana pembinaan
mental manusia (pembaca) yang saat ini dinilai mengalami reduksi akibat
merebaknya paham nasionalisme (Ratnawati, dkk., 2002: 3).
Religius sastra adalah seperangkat dimensi yang muncul dari sikap ide dan
pandangan hidup atau penulis sastra dan akhirnya terefleksi dalam karyanya.
Agama menurut sastra religius bukan kekuasaan melainkan sebagai
pedemokrasian (Atmosuwito, 1989:126). Religius dimaksudkan sebagai pembuka
jalan agar kehidupan orang yang beragama semakin intens. Bagi orang beragama,
intensitas itu tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri
terus menerus terhadap pusat kehidupan. Pada awalnya segala sastra adalah religi,
istilah religius membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama
memang erat berkaitan. berdampingan bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan,
namun sebenarnya keduanya mengarah pada makna yang berbeda. Dengan
demikian religius bersifat mengatasi lebih luas dari agama yang tampak formal
dan resmi.
Religius sastra adalah seperangkat dimensi yang muncul dari sikap ide dan
pandangan hidup atau penulis sastra dan akhirnya terefleksi dalam karyanya.
Karya sastra merupakan wujud representasi dunia dalam bentuk lambang
(kebahasan) Oleh karena itu, karya sastra merupakan salah satu media yang dapat
menjadi satu pengalaman estektik yang mengantarkan seseorang untuk mencapai
religius. Salah satu cara yang dapat dilakukan manusia untuk meraih pengalaman
estetik dan itu pula yang mengarahkan atau membangkitkan religius. Untuk
mengetahui konsep religiusitas dalam karya sastra khususnya puisi peneliti
Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012
13
menggunakan teori simbol, dalam mengkaji puisi peneliti akan mencoba untuk
memaknai simbol-simbol religi yang terdapat dalam puisi.
B. Simbol dalam Puisi
Kata “simbol” yang berasal dari kata Yunani sumballo berarti
“menghubungkan atau menggabungkan”. Simbol merupakan suatu tanda, tetapi
tidak setiap tanda adalah simbol. Simbol yang berstruktur polisemik adalah
ekspresi yang mengkomunikasikan banyak arti. Bagi Ricoeur yang menandai
suatu tanda sebagai simbol adalah arti gandanya atau intensionalitas arti
gandanya. Ricoeur merumuskan bahwa setiap struktur pengertian adalah suatu arti
langsung primer, harfiah, yang menunjukkan arti lain yang bersifat tidak lengsung
sekunder, figuratif yang tidak dapat dipahami selain lewat arti pertama
(Poespoprodjo,2004:119).
Kajian terhadap simbol berjalan dengan dua kesulitan untuk masuk ke
struktur gandanya; pertama, simbol memiliki bidang penelitian yang terlalu
banyak dan terlalu beraneka ragam. Misalnya, ada tiga bidang yang dibahas
Ricoeur; (1) psikoanalisis, misalnya, berhubungan dengan mimpi-mimpi, gejala-
gejala lain, dan objek budaya yang dekat dengan mereka sebagai penyimbolan
konflik psikis yang dalam; (2) sastra (puisi), misalnya, simbol sebagai imaji
istimewa suatu puisi; (3) kesejarahan agama, yang diikat kepercayaan-
kepercayaan suci, misalnya simbol-simbol dalam kitab suci. Kedua, konsep
simbol mendekatkan pada dua dimensi atau dua semesta wacana, yaitu satu
tatanan linguistik dan tatanan nonlinguistik. Simbol linguistik dibuktikan oleh
Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012
14
fakta bahwa simbol dibangun oleh semantik simbol, yaitu teori yang menjelaskan
struktur simbol berdasarkan makna signifikasi. Dimensi nonlingusitik hanya bisa
dijelaskan oleh linguistik. Contoh : simbol “kakbah” bagi Islam berati “wajah
Tuhan”. Antara “kakbah” dan “wajah Tuhan” merupakan dimensi nonlinguistik
karena tidak ada hubungannya, “kakbah” makna semantiknya adalah “batu”
kemudian berubah menjadi “wajah Tuhan”. Akan tetapi keduanya mempunyai
dimensi linguistik karena “kakbah” dan “wajah Tuhan” mempunyai simbol
semantik yang dibangun dari “kultur islam” (Ricoeur dalam Kurniawan, 2009:28).
Ciri makna semantik simbol diindentifikasi dengan melihat hubungan
makna harfiah dengan figuratif dalam tuturan metaforis. Simbol dikaitkan dengan
bahasa sebab simbol muncul jika ia diujarkan, sedangkan metafora adalah pelaku
ulang yang membahas aspek simbol. Di sini teori metafora berguna mengungkap
simbol sehingga metafora memahami pelanggaran semantik pada kalimat menjadi
model untuk perluasan makna. Makna simbol bertentangan dengan makna
harfiah. Simbol sebenarnya menghasilkan dua tingkat makna. Dalam makna
simbolik, tentu tidak ada dua makna, maka dua makna itu menjadi satu tingkatan
(gerakan) yang memindahkan dari tingkat satu (linguistik) ke tingkat
(nonlinguistik) yang keduanya berasimilasi menjadi makna yang dicari.
Oleh karena itu, makna simbolik tersusun dalam dua makna. Makna
pertama adalah satu-satunya sarana memasuki makna tambahan. Arti primer
memberi makna sekunder, betul-betul sebagai arti dari suatu arti (the meaning of a
meaning). Simbol hubungan maknanya lebih kacau, tidak dapat dijabarkan
dengan baik dan logis. Simbol berbicara tentang asimilasi/pembaruan bukan
Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012
15
aprehensi/pengertian. Simbol mengasimilasi sesuatu yang ditandai dari satu hal ke
hal lain (Ricoeur dalam Kurniawan, 2009: 29).
Simbolisme hanya bekerja ketika strukturnya ditafsirkan. Hermeneutika
minimal diperlukan demi fungsinya simbolisme apapun. Akan tetapi, penjabaran
linguistik tidak menekankan pada apa yang disebut ketaatan simbolisme yang
khas semesta suci. Penafsiran suatu simbolisme, bahkan tidak dapat terjadi jika
karya mediasinya tidak diperjelas oleh hubungan langsung antara makna dan
hierofani di bawah pertimbangan. Oleh karena itu, kesucian alam mengatakan
dirinya simbolik (Ricoeur dalam Kurniawan, 2009: 30).
Menurut Ricoeur, simbol adalah ungkapan yang mengandung makna ganda.
Di dalamnya terdapat makna lapis pertama yang disebut makna referensial atau
denotatif. Makna lapis pertama ini mesti dirujuk pada makna lapis kedua, yaitu
makna konotatif dan sugestif yang tersembunyi di balik lapis pertama (Thompson
dalam Rafiek, 2010: 12). Namun sebagai teori sastra yang berkaitan dengan
penafsiran sebagai telaah untuk memahami karya sastra, penafsiran tidak harus
diarahkan pada fenomena makna ganda simbol tetapi juga, harus memandang
simbol sebagai sesuatu yang kaya akan makna.
C. Hermeneutika Paul Ricoeur
Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermeneuein, bahasa
Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Hermeneutika
dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan pesan Illahi
kepada manusia. Pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik bahasa lisan
maupun bahasa tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan lewat bahasa itu sendiri.
Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012
16
Karya sastra perlu ditafsirkan sebab disatu pihak karya sastra terdiri atas bahasa,
di pihak lain, di dalam bahasa sangat banyak makna yang tersembunyi, atau
dengan sengaja disembunyikan.
Hermeneutika mempunyai tiga pengertian umum, yaitu “menyatakan” atau
berbicara, menafsirkan atau menjelaskan, dan menerjemahkan. Dewasa ini
hermeneutika berkembang menjadi salah satu cabang ilmu telah mengalami
perubahan yang meluas. Bentuk dasar makna pertama dari hermeneuein adalah
“to epress” (mengungkapkan), “to assert” (menegaskan ) atau “to say”
(menyatakan). Ini terkait dengan fungsi “pemberitahuan” dari Hermes.
Signifikansi teologis hermeneutika merupakan etimologi yang berbeda yang
mencatat bahwa bentuk dari “herme” berasal dari kata latin sermo, “to say”
(menyatakan), dan bahasa latin lainnya verbum, “word” (kata). Ini
mengansumsikan bahwa utusan, di dalam memberikan kata, adalah
“mengumumkan” dan “menyatakan” sesuatu; fungsinya tidak hanya untuk
menjelaskan tetapi untuk menyatakan (proclaim) (Palmer, 2005: 16-17). Palmer
(2005: 23)mengatakan bahwa hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai
‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti’. Batasan
umum ini selalu dianggap benar, baik hermenautik dalam pandangan klasik
maupun dalam pandangan modern.
Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan kita pada apa
yang ditulis oleh Aristoteles dalam Perihermeneias atau De Interpretatione yaitu:
bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita,
dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu.
Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012
17
Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan dalam bahasa tulisan dengan
orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan
dengan yang lain. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang
disimbolkannya secara langsung itu adalah sama untuk semua orang, sebagaimana
juga pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu
(Sumaryono, 1999:24). Sedangkan Ratna (2011:44) mengungkapkan
Hermeneutika baik sebagai ilmu maupun metode, memegang peranan penting
dalam filsafat. Dalam sastra, pembicaraannya sebatas metode. Di antara metode-
metode yang lain, hermeneutika merupakan metode yang paling sering digunakan
dalam penelitian karya sastra. Metode hermeneutika bertujuan untuk menopang
teori persepsi yaitu teori dimana pembaca sendiri harus memberi makna pada
karya sastra yang dihadapinya bagi dirinya sendiri. Sebagai sebuah metode
penafsiran, hermeneutika sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno untuk
menafsirkan teks sastra klasik dan kitab suci. Semula hermeneutika merupakan
seni pemahaman, tetapi dewasa ini ada usaha memberi wujud metodologis dan
teoritis kepada teknik penafsiran menjadi ilmu pengetahuan hermeneutika.
Hermeneutika modern berdekatan dengan disiplin ilmu semiotik yang
memiliki dasar yang lebih luas dan filosofis, dan juga berkaitan dengan psikologi
dan metodologi ilmiah. Hermeneutika modern menjadi filsafat pemahaman tidak
hanya teks, tetapi hakikat ekstensi manusia. Dikaitkan dengan fungsi utama
hermeneutika sebagai metode untuk memahami agama, maka metode ini dianggap
tepat untuk memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa diantara karya
tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra. Pada tahap tertentu
Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012
18
teks agama sama dengan karya sastra. Perbedaannya, agama merupakan
kebenaran keyakinan, sastra merupakan kebenaran imajinasi. Agama dan sastra
adalah bahasa, baik lisan maupun tulisan. Asal mula agama adalah firman Tuhan,
asal mula sastra adalah kata-kata pengarang. Baik sebagai hasil ciptaan subjek
Illahi maupun subjek kreator, agama dan sastra perlu ditafsirkan sebab di satu
pihak, seperti disebutkan sebelumnya, kedua genre terdiri atas bahasa. Di pihak
yang lain, keyakinan dan imajinasi tidak bisa dibuktikan, melainkan harus
ditafsirkan (Ratna, 2011:45-46).
Paul Ricoeur, dalam De Interpretation, mendefinisikan hermeneutika yang
mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral
dalam hermeneutika. “ yang kita maksudkan dengan hermeneutika adalah teori
tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain, sebuah
interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang
dipandang sebagai sebuah teks. Psikoanalisa, dan khususnya interpretasi mimpi,
merupakan bentuk yang sangat nyata hermeneutika, unsur-unsur situasi
hermeneutis semuanya terdapat di sana: mimpi adalah teks, teks yang dipenuhi
dengan kesan-kesan simbolik, dan psikoanalisa menggunakan sistem interpretasi
untuk menerjemahkan penafsiran yang mengarah pada pemunculan makna
tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa
berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam
masyarakat atau sastra (Palmer, 2005: 47-48).
Berkaitan dengan hal tersebut peneliti menggunakan hermeneutika
interpretasi Paul Ricoeur. Ricoeur dalam Kurniawan (2009: 18) menjelaskan
Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012
19
bahwa teks adalah sebuah wacana yang membakukan lewat bahasa. Apa yang
dibakukan oleh tulisan adalah wacana yang dapat diucapkan, tetapi wacana ditulis
karena tidak diucapkan. Di sini, terlihat bahwa teks merupakan wacana yang
disampaikan dengan tulisan. Jadi, teks sebagai wacana, yang dituliskan dalam
hermeneutika Paul Ricoeur, berdiri secara otonom, bukan merupakan turunan dari
bahasa lisan, seperti yang dipahami oleh strukturalisme.
Konsep makna ini mengacu pada apa yang dilakukan pembaca dan apa yang
dilakukan kalimat. Makna teks sebagai proposisi merupakan sisi “objektif” makna
ini. Sisi “objektif” wacana itu sendiri bisa dijelaskan dengan dua cara berbeda.
Boleh diartikan “apa” wacana dan “tentang apa” wacana. “Apa”- nya wacana
adalah sense dan “tentang apa” wacana adalah reference-nya. Jika sense itu
imanen terhadap wacana dan objektif dalam arti ideal, sedangkan reference
mengungkapkan gerak ketika bahasa melampaui dirinya sendiri. Dengan kata lain,
sense berkolerasi dengan fungsi identifikasi dan fungsi predikatif dalam kalimat,
dan reference menghubungkan bahasa dengan dunia (Ricoeur dalam Kurniawan,
2009:20).
Untuk mengkaji hermeneutika Paul Ricoeur, tidak perlu melacak akarnya
kepada perlengkapan hermeneutika sebelumnya. Penempatan posisi hermeneutika
Paul Ricoeur terpisah dari tokoh-tokoh hermeneutik yang dibahas sebelumnya,
yaitu hermeneutika teori penafsiran kitab suci, hermeneutika metode filologi,
hermeneutika pemahaman linguistik, hermeneutika fondasi dari ilmu kemanusiaan
dan hermeneutika fenomenologi desain (Palmer, 2005: 38-47).
Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012
20
Teori hermeneutika, yang mengacu pada Paul Ricoeur, memandang karya
sastra sebagai wacana tertulis. Karya sastra tergolong wacana, kerana ia
merupakan gejala kebahasaan yang melampaui batas kata, yang satuan terkecilnya
adalah kalimat yang terdiri dari kata dengan fungsi subjek dan kata dengan fungsi
predikat.
Menurut Ricoeur, setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar
makna-makna yang masih terselubung atau usaha untuk membuka lipatan-lipatan
dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam makna kesusastraan
(Sumaryono 1999: 43). Ricoeur memperluas definisi hermeneutika dari sekedar
interpretasi terhadap simbol-simbol menjadi perhatian kepada teks. Hermeneutika
Ricoeur dalam hal ini hanya akan berhubungan dengan kata-kata yang tertulis.
Dengan demikian Ricoeur secara lengkap memberi batasan definisi
hermeneutikanya dengan interpretasi terhadap teks.
Hermeneutika Ricoeur adalah suatu jenis pembacaan yang merespon
otonomi teks dengan menggambarkan secara bersama elemen-elemen pemahaman
dan penjelasan serta menggabungkannya dalam satu proses interpretasi yang
kompleks. Sebuah teks harus dikonstruk dan ditafsirkan sebagai satu keseluruhan
yang mengakui karakternya sebagai satu totalitas struktur yang tidak dapat
direduksi ke dalam kalimat-kalimat yang menyusunnya. Sebagai satu konstruksi,
hermeneutika Ricoeur membutuhkan satu dugaan dan yang satu memperkirakan
yang lainnya. Hal ini disebabkan teks yang mengandung pluralitas makna yang
inhern yang memungkinkan ditafsirkan dengan berbagai macam cara. Hal ini
menandakan bahwa interpretasi merupakan proses yang terbuka, tetapi tidak
Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012
21
berarti sewenang-wenang dan berubah-ubah. Dalam melakukan penafsiran yang
mendalam. Penafsir memasuki dunia teks mengikuti gerak pemahaman ke makna
lain (referensial), dari struktur internal ke dunia yang diproyeksikan.
Menurut Ricoeur dalam Sumaryono (1999:105) kata-kata adalah simbol-
simbol juga, karena menggambarkan makna lain yang sifatnya “tidak langsung,
tidak begitu penting serta figuratif (berupa kiasan) dan hanya dapat dimengerti
melalui simbol-simbol tersebut ”. Jadi, simbol-simbol dan interpretasi merupakan
konsep-konsep yang mempunyai pluralitas makna yang terkandung di dalam
simbol-simbol atau kata-kata.
Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012