17
BAB II
KERANGKA TEORI: PENDIDIKAN ISLAM DAN EKOLOGI
A. Penelitian Terdahulu
Guna mempertegas orsinalitas serta keotentikan penulisan Disertasi ini
penulis memaparkan beberapa penelitan terdahulu yang mengkaji tentang ekologi di
pesantren sebagai berikut:
Kesadaran tentang lingkungan hidup di pesantren secara formal diinisiasi dan
diselenggarakan oleh Indonesian Forest and Media Campaign (INFORM) dan Pusat
Pengkajian Pemberdayaan dan Pendidikan Masyarakat (P4M) Jakarta, bertemakan
Menggagas Fiqh Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah) di Lido, Sukabumi, Jawa Barat pada
tanggal, 2 Mei 2004 yang dihadiri oleh lebih dari 30 ulama dari pondok pesantren di
Jawa, Lombok, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Sebagian ulama dan pimpinan
yang di minta kehadirannya dipertimbangkan adalah ulama yang bisa mewakili
kompetensi untuk mengkaji dan menggali ayat-ayat Al-Quran, Hadis dan kitab-kitab
salaf (kitab kuning) tentang lingkungan (Mangunjaya, 2014). Pertemuan ini
merekomendasikan dua hal. Pertama peran ulama sebagai figur yang tepat untuk
menyebarkan pemeliharaan lingkungan kepada masyarakat dan berfungsi sebagai
agen pelestarian lingkungan dengan integrasi pendidikan lingkungan dalam materi
pendidikan di pesantren sehingga dapat memberikan snow-ball effect. Kedua
rumusan tentang Fiqh al-Biah yang disajikan dalam sebuah buku laporan bertajuk
Fiqih Lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2005 (Muhammad et al., 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Romdloni dan Djazilan (2019) menjelaskan
tentang dua hal pertama, bahwa nilai-nilai spiritual ekologi menjadi alternatif
terbarukan dalam berperilaku terhadap lingkungan, tidak hanya berdasar pada kerja
sains dan teknologi, nilai spiritual ekologis ini sangat dibutuhkan jika manusia ingin
memperoleh respon dari alam berupa keramahtamahan dan kemurahan lingkungan
hidup; kedua, kiai mempunyai peran yang sangat signifikan dalam mengembalikan
krisis ekologi saat ini. Dengan modal kekuatan yang dimiliki kiai yaitu tingkat respek
atau kepercayaan masyarakat yang tinggi dan ikatan sosial yang kuat, kiai mampu
mengkonstruk cara pandang masyarakat terhadap lingkungan hidup dari sudut
pandang ideologi.
18
Penelitian yang dilakukan oleh Mahzumi, Suhermanto, and Iffah (2019), tentang
prajurit hutan ini berhasil mengeksplorasi pemikiran KH. Noer Nasroh Hadiningrat
dalam mengelola kesadaran ekologis di Pondok Pesantren Walisongo Tuban. Konsep
dasar yang digunakan adalah ekoteologi, yaitu paradigma ekologis yang bertumpu
pada semangat agama, ini diyakini mampu mengatasi krisis lingkungan yang terjadi
sekarang.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa konsepsi ekoteologi yang diprakarsai oleh
Kiai Noer adalah refleksi religius yang berasal dari teks utama Islam dikombinasikan
dengan tradisional kebijaksanaan. Pembentukan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri
(SMKN) adalah manifestasi konkret dari upaya untuk mengintegrasikan keyakinan,
tradisi, dan kehutanan sehingga santri dapat memanifestasikan diri dalam tindakan
nyata seperti reboisasi, konservasi, dan perubahan kesadaran publik tentang urgensi
konservasi hutan. Dalam aspek kontinuitas, keberadaan Sekolah Kejuruan Kehutanan
adalah forum untuk mencetak santri yang memiliki kesadaran akan konservasi hutan
serta mampu mencari kehidupan darinya. Gagasan Kiai Noer juga mendapat
dukungan dari pemerintah dan Komunitas Lingkungan Hidup. Konsep ekoteologi
juga mengilhami pesantren lainnya dengan membentuk paradigma ekologis yang
serupa.
Penelitian yang dilakukan oleh Aulia dkk (2018), berrtujuan untuk mengetahui
pengelolaan lingkungan di daerah khatulistiwa dengan Pondok Pesantren
Hidayatullah Balikpapan sebagai studi kasus. Penelitian ini menggunakan teori eko-
pesantren, terutama dalam aspek kebijakan pembangunan pesantren dan kebijakan
pembangunan untuk kegiatan ekstrakurikuler berbasis lingkungan. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa kebijakan pengembangan untuk pengelolaan lingkungan yang
dilakukan di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan, sebagai pesantren yang
berada di garis khatulistiwa, adalah membuat lingkungan buatan dan reboisasi.
Danau buatan yang berfungsi sebagai sumber mata air pesantren dan masyarakat
sekitar, hutan lindung sebagai benteng terhadap cuaca panas, sebagai tempat
memelihara ternak dan sebagian dijadikan sebagai agroforestri juga untuk pesantren
dan masyarakat sekitar. Bentuk aktualisasinya adanya alokasi anggaran Pondok
Pesantren untuk lingkungan, hukuman menanam pohon jika siswa melakukan
kesalahan, larangan menebang pohon, dan mempelajari manajemen lingkungan
19
dalam kurikulum. Kemudian membuat kebijakan pesantren partisipatif yaitu
menjadikan santri sebagai tim bantuan (satgas) untuk penyelamatan dan untuk
mengatasi bencana lingkungan yang biasa terjadi di daerah khatulistiwa, seperti
penanganan kebakaran lahan gambut.
Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth (2017) menjelaskan tentang program
pemberdayaan santri terhadap kesadaran dan pengetahuan tentang pola hidup bersih
dan sehat, pengelolaan sampah, dan arti penting pengelolaan sampah bagi
lingkungan hidup yang sehat di kalangan santri.
Penelitian yang dilakukan oleh Aulia, Isnaini dan Khumairoh (2017), tentang
Pengelolaan Lingkungan Berbasis Pesantren di Pesantren Nurul Hakim Lombok,
menjelaskan tentang penanaman kesadaran lingkungan integratif. Bentuk
penanamannya melalui materi fiqih Bi’ah yang disampaikan di kelas. Selain itu
melalui praktik langsung dilapangan dalam bentuk penangkaran rusa, pertanian
mandiri, dan pengelolaan sampah.
Penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim, Mulyo, dan Fatimah (2017), tentang
Konsep Ramah Lingkungan dalam perspektif Al-Quran, Hadis, dan Kitab Kuning di
Pesantren. Penelitian ini fokus terhadap konsep, formulasi, dan urgensi ramah
lingkungan dalam perspektif Al-Quran, Hadist, dan kitab kuning pesantren. Hasilnya
terdapat konsep tentang ramah lingkungan dalam Alquran, hadist, dan kitab kuning
pesantren, yaitu kewajiban untuk menjaga lingkungan. Formulasi konsep ramah
lingkungan adalah anjuran menjaga kebersihan, memanfaatkan lahan kosong menjadi
produktif, semangat penghijauan, membuat kawasan konservasi, larangan keras
mencemari lingkungan, dan sanksi berat bagi perusak lingkungan.
Konsep ekologis dalam Al-Quran diantaranya secara tegas memerintahkan
manusia untuk mengelola lingkungannya dengan baik, serta melarang untuk
membuat kerusakan di muka bumi (QS. Al-Qashash [28]:77), Menjaga lingkungan
menjadi tanggung jawab pokok manusia sebagai khalifah/wakil Allah di muka bumi
(QS.Al-Baqarah [2]:30). Konsep Hadis tentang ekologi dapat dijumpai dalam HR.
Muslim tentang kebersihan (kesucian) adalah sebagian dari iman, HR. Ahmad
tentang menghidupkan lahan mati, dan kawasan konservatif (hima), kemudian HR.
Bukhari dan Muslim tentang semangat penghijauan. Sementara itu konsep ekologis
dalam kitab kuning disarikan dalam pembahasan taharah dan haji.
20
Penelitian tentang peran pesantren terhadap kelestarian lingkungan hidup
diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Fatimatuzzahroh dkk (2015) bahwa
pesantren memiliki potensi dalam hal kelembagaan yang meliputi nilai-nilai dan
norma-norma yang mampu mengubah perilaku masyarakat yang kurang peduli
tentang lingkungan. Mempunyai koneksi dengan organisasi dan memiliki kekuatan
dalam hal kharisma yang dimiliki oleh pimpinan pesantren sehingga mampu
membantu menyelesaikan problem yang dihadapi masyarakat sekitar termasuk
tentang lingkungan hidup.
Penelitian yang dilakukan oleh Halid, Setyono dan Prabang (2014), tentang
implementasi nilai-nilai Islam dalam sikap ramah lingkungan di pondok pesantren,
menghasilkan sebuah konsep bahwa gerakan lingkungan yang dilakukan oleh warga
pesantren dilatarbelakangi oleh motivasi keyakinan dan pengetahuan agama dalam
mengemban amanah sebagai mahluk ciptaan Allah sebagai khalifah di muka bumi.
Sedangkan nilai-nilai ekologis lokal pesantren yang sesuai dengan ajaran Islam
adalah metu telu.
Penelitian yang dilakukan oleh Mangunjaya (2014) tentang Ekopesantren:
Bagaimana Merancang Pesantren Ramah Lingkungan?. Secara umum penelitian ini
mengkaji banyak aspek mulai persepktif Islam dan anjuran agama yang kuat tentang
upaya memperbaiki lingkungan dan menjaga bumi sebagai sebuah amanah yang
wajib dirawat. Juga mengkaji tentang kebijakan hingga desain program kegiatan
lingkungan di pesantren, dengan mengambil obyek kajian atas pesantren yang telah
berhasil menerapkan pengelolaan lingkungan dengan baik dan menguji secara
ilmiah kondisi pesantren selama kurun waktu penelitian. Penelitian ini ini juga
berupaya memberikan kerangka kritis dan praktis yang dapat dilakukan oleh
pesantren dalam pengelolaan lingkungan di pesantrennya masing-masing.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa membangun kesadaran lingkungan di
kalangan umat Islam Indonesia, terbukti penting dan seharusnya terus mendapatkan
tindak lanjut. Gerakan lingkungan dengan menggerakkan kalangan inti umat Islam
yaitu ulama pesantren yang menghasilkan dokumen fiqh lingkungan terbukti
mendapatkan sambutan yang kuat di beberapa tempat. Ulama moderat di kalangan
pesantren bisa bekerjasama dengan para aktivis lingkungan untuk mengadakan
pendekatan dalam kontribusi pemeliharaan alam dan gerakan lingkungan. Tidak ada
21
resistensi dikalangan ulama Indonesia apabila membicarakan tentang persoalan
lingkungan, karena mereka melihat sangat parahnya kerusakan lingkungan dan
bencana yang terjadi di Indonesia. Pesantren merupakan mediator yang sangat
penting dalam menjembatani kegiatan lingkungan di tingkat akar rumput antara
komunitas pesantren dan masyarakat sekitarnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Khitam (2011) tentang Manifestasi nilai
teologi dalam gerakan. Penelitian ini berhasil memotret dan mengesplorasi dinamika
gerakan ekologi di pesantren tradisional yang diwakili oleh Pesantren al-Amin
sukabumi dan pesantren modern yang dilakukan oleh Pesantren Daarul Ulum Lido,
Bogor. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan manifestasi gerakan
ekologi di kedua pesantren tersebut dengan dilandasi dua faktor penting. Pertama,
interpretasi, pemaknaan dan kontruksi teologi ekologi Islam pada masing-masing
pesantren terbangun berdasarkan pengetahuan dan refleksi spiritual kiayi. Kedua,
pengetahuan mengenai konservasi yang berkembang juga berdasarkan dari hasil
relasi dan pertukaran pengetahuan antara pesantren dan aktor luar.
Perbedaan pemaknaan atas konservasi yang dipahami oleh aktor luar dapat
membedakan pola manifestasi gerakan ekologi di Pesantren. Pada Pesantren Al-
Amin, interpretasi dan pemaknaan teologi ekologi termanifestasikan dalam bentuk
penanaman pohon. Sementara itu, Pesantren Daarul Ulum Lido termanifestasikan
dalam bentuk zona harim (harim zone). Tipe konservasi seperti yang terjadi di
Pesantren Daarul Ulum Lido ini merupakan hasil dari intimitas relasi dan interaksi
dengan sebuah LSM konservasi internasional.
Penelitian terdahulu tentang Pendidikan Agama Islam yang berkenaan
tentang Ekologi yang dapat peneliti telusuri antara lain; Penelitian yang dilakukan
oleh Muntaha (2019), berhasil menganalisis nilai-nilai ekologis yang tercantum
dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam tahun 2013 bahwa nilai-nilai ekologis
tersebut dijelaskan secara gamblang dalam bentuk materi pembelajaran pada Mata
Pelajaran Fikih, Akidah Akhlak dan Quran Hadis. Sedangkan secara tersirat
tersampaikan dalam seluruh Mata Pelajaran PAI.
Penelitian yang dilakukan oleh Herdiansyah, et al (2019), menjelaskan
perlunya intergrasi pendidikan agama Islam tentang lingkungan hidup dengan
Pesantren. Pendekatan ini dianggap sebagai formula jangka panjang dan
22
berkelanjutan mengingat formula lain yang bersifat instan belum memberikan
pengaruh terhadap laju kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini. Pesantren sebagai
salah satu lembaga pendidikan tradisional yang masih ada sejak ratusan tahun yang
lalu telah banyak melakukan perubahan, tidak lagi hanya mengajarkan tentang Islam
saja, lebih dari itu juga mencetak lulusan kader ekonomi, sektor budaya, dan bahkan
lingkungan. Dalam upaya menghasilkan kader sadar lingkungan hidup, sudah mulai
berkembang pesantren-pesantren hijau.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan sebagai dasar pembentukan karakter
moral perspektif lingkungan, yaitu: Pendirian Bank Sampah Pesantren, Instalasi Air
Limbah Sederhana, Pesantren Hijau, Eksplorasi Tanah dan Kurikulum Hijau.
Penelitian yang dilakukan oleh Nuha (2017), tentang Integrasi Pendidikan
Agama Islam dan Pendidikan Lingkungan Hidup di Pondok Pesantren membahas
tentang konsep Islam terhadap krisis lingkungan hidup, yaitu menyerukan lebih
lantang dimensi teologis tentang alam serta relasinya dengan Allah sebagai sumber
iman Islam dan melakukan integrasi ilmu agama islam terhadap wacana lingkungan
hidup yang lebih memadai dan lebih luas.
Penelitian Karim (2017), menjelaskan tentang pentingnya penyadaran
menjaga kelestarian lingkungan melalui pendidikan keagamaan (Islam). Agar
penyadaran tersebut dapat berhasil dengan baik perlu didukung dengan adanya
kegiatan-kegiatan keagamaan seperti majlis taklim yang dilaksanakan rutin satu
bulan sekali (selapanan) dan pekanan terutama untuk ibu-ibu. Kemudian peran
tokoh agama, dalam hal ini perlunya tokoh-tokoh agama dalam berda’wah
mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan pelestarian Lingkungan, tentunya juga
diperlukan keteladanan tokoh agama dalam kehidupan sehari-hari.
Jatmiko, 2016 tentang aktualisasi nilai lingkungan dalam kurikulum PAI
tahun 2006 menjelaskan bahwa, perwujudan nilai-nilai ekologis secara gamblang
belum terealisasi, kendatipun ada dua tema lingkungan yang ditelaah. Sedangkan
secara tersirat ada sepuluh tema yang bisa dikembangkan sebagai penghayatan
terhadap nilai-nilai ekologis.
Penelitian tentang Kontruksi Pendidikan Kesehatan Lingkungan dalam
Perspektif Islam (2016), yang dilakukan oleh Efendy, Hafidhuddin, dan Tanjung
menemukan konsep Islam tentang Pendidikan Lingkungan Hidup yaitu Pertama,
23
gagasan Barat tentang pendidikan lingkungan hidup bukan merupakan gagasan baru,
sebab Islam telah menunjukkan urgensi pemanfaatan dan pemelihataan alam dan
lingkungan sejak abad enam masehi yang termuat dalam Al-Quran, Hadis, dan
ucapan para sahabat Nabi sekaligus merupakan pilar utama mengenai pendidikan
lingkungan hidup dalam Islam. Kedua usaha memelihara, memanfaatkan, dan
melindungi alam dan lingkungan hidup merupakan bagian dari ibadah kepada Allah
SWT dan pelakunya diberikan ganjaran dunia dan akhirat.
Penelitian yang dilakukan Hidayat (2015), membahas tentang hubungan
pendidikan Islam dengan lingkungan hidup, fikih lingkungan hidup (fiqhul bi’ah)
dan menggagas pendidikan Islam berwawasan lingkungan hidup. Perubahan
paradigma dalam elemen-elemen kehidupan terlebih dalam pendidikan diyakini
sebagai suatu keharusan dalam rangka mempertimbangkan perkembangan sofistikasi
lingkungan hidup dan sebagai upaya strategis-ideologis untuk meningkatkan
kapasitas pemahaman yang pada giliranya dapat membentuk kesadaran baru yang
berpihak pada keseimbangan ekosistem. Model pendidikan alternatif yang dapat
dikembangkan adalah membangun “madrasah adiwiyata”, madrasah peduli dan
berbudaya lingkungan yang bertujuan meningkatkan kapasitas, pengetahuan, dan
pemahaman tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dalam
pembangunan berkelanjutan melalui dunia pendidikan.
Musaropah (2014), meneliti tentang Pendidikan Agama Islam Berwawasan
Lingkungan Pada Anak Usia Dini berhasil menemukan konsep perlunya pembiasaan
sejak usia dini (golden age) pada anak tentang kesadaran lingkungan yang
didasarkan pada nilai-nilai Islam dan Pentingnya keteladanan guru dalam
menanamkan nilai-nilai Islam termasuk nilai kesadaran terhadap lingkungan.
Lebih jelasnya penelitian ini mengembangkan konsep Pendidikan Agama
Islam yang diharapkan mampu menyelesaikan problem lingkungan hidup sebagai
bentuk perilaku kesalehan lingkungan dan sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT,
yang diperoleh dari kajian literatur terhadap teks Al-Quran dan Hadis.
Penelitian yang telah dilakukan berkenaan dengan Pendidikan Agama Islam
dan Kesalehan ekologis dimulai dari Penelitian yang dilakukan oleh Fua (2014),
bahwa pendekatan yang dianggap efektif dan dapat mengatasi aktivitas kerusakan
lingkungan adalah pendekatan agama yaitu Islam, dalam hal ini peran Pendidikan
24
Agama Islam diharapkan mampu untuk mengingatkan sekaligus mengatur tata
hubungan antara manusia dengan alam. Melalui aktualisasi pendidikan Islam
berbasis pelestarian lingkungan pesan-pesan ajaran agama Islam yang bersumber
dari Al-Quran dan Hadis Nabi diharapkan dapat memberi pengaruh jangka panjang
kepada manusia sehingga dapat menyadarkan manusia akan pentingnya alam
semesta dan menghasilkan kesalehan ekologis dalam berinteraksi dengan alam dan
lingkungan.
Penelitian yang dilakukan oleh Mardiana (2013), tentang kajian tafsir tematik
pelestarian lingkungan hidup menyimpulkan bahwa lingkungan hidup terungkap
dalam beberapa ayat Al-Quran sebagai perintah bagi manusia agar menjaga dan
memelihara lingkungan dengan baik. Adapun unsur-unsur lingkungan hidup yang
ditunjuk oleh Al-Quran, seperti; Flora, fauna, tanah, air, dan udara adalah bagian dari
upaya yang sebaiknya ditempuh dalam melestarikan lingkungan hidup, antara lain;
(1) memelihara dan melindungi hewan; (2) menanam pohon dan penghijauan; (3)
menghidupkan lahan mati; (4) memanfaatkan udara dan air dengan baik, serta
bagaimana agar keseimbangan alam atau lingkungan dan habitat tetap terjaga dan
terpelihara. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah meminimalisir kerusakan
akibat perbuatan manusia sendiri.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh siswanto (2008; 2010)
menjelaskan tentang upaya awal penanaman kesadaran lingkungan melalui
rancangan kurikulum madrasah hijau.
Asmanto (2015), melalui hasil penelitiannya berpendapat bahwa pandangan
teosentris spiritual ekologi Islam menyajikan sebuah imajinasi ekologi yang adil,
hormat, dan tanggung jawab dalam interaksi antara manusia dan alam. Sementara
pendidikan lingkungan turut membantu aktualisasi amanah dan mandat sebagai
khalifah Allah bagi tiap manusia, yang disempurnakan dengan pengetahuan seorang
Muslim terhadap kewajiban syariat agamanya untuk menyelamatkan alam. Dengan
demikian akan lahir proses aksi terhadap alam sebagai bentuk etika manusia terhadap
seluruh ciptaan Allah.
25
Islam dan Lingkungan Hidup
PAI dan Ekologi Ekologi dan Pesantren
Integrasi PAI dan Ekologi (Herdiansyah,2019;
Nuha,2017; Karim, 2017)
Ekologi dalam Fikih Lingkungan
(Yafie, 2006; Wardani, 2015; Hidayat)
Ekologi dalam Al-Quran dan Hadist (Ibrahim dkk, 2017; Mardiana, 2013)
Madrasah Adiwiyata (Hidayat, 2015)
Aktualisasi PAI tentang
Ekologi melalui Majlis
Taklim dan Kurikulum (Muntaha,
2019; Karim, 2017; Jatmiko, 2016; Efendi
dkk, 2016; Fua, 2014)
Kurikulum Madrasah Hijau
(siswanto, 2008;2010)
Ekologi pada Usia Dini (Musaropah, 2014)
Nilai-nilai spiritual ekologi (Romdloni dan Djazilan,
2019; Asmanto,2015)
Eko-teologi dan Kiai (Mahzumi dkk, 2019;
Nuha, 2017)
Eko Pesantren (Mangunjaya, 2014;
Aulia dkk,2018)
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (Elizabeth 2017)
Basis Partisipatif (Aulia et al,
2017; Halid et al, 2014;
Khitam, 2011 )
Ekologi dan Kitab Kuning (Ibrahim dkk, 2017)
Ekologi dan kiai (Fatimatuzzahroh, 2015;
Khitam, 2011)
Nilai metu telu (Halid et al, 2014),
Da’i Lingkungan (Fua dan Wekke, 2017)
Pembentukan Kesalehan Ekologis di Pesantren
Berdasardakan pada kerangka tersebut, bahwa penelusuran penelitian terdahulu yang berhasil peneliti temukan secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua topik yaitu tentang Pendidikan Agama Islam dan Aktualisasinya dalam pengelolaan lingkungan hidup (ekologi) dan Ekologi di pesantren.
Pendidikan Agama Islam dan aktualisasinya terhadap pengelolaan lingkungan
hidup yang berhasil peneliti telusuri adalah berkenaan aspek filosofis, yaitu nilia-
nilai ekologis perspektif Al-Quran, Hadit, Ilmu Kalam (teologi), tasawuf. Kemudian
nilai-nilai tersebut diaktualisasikan dalalm bentuk praksis seperti Madrasah hijau,
kurikulum hijau.
Gambar 1 Bagan Penelitian Terdahulu
26
Sedangkan Ekologi di pesantren yang peneliti temukan dari penelusuran
penelitian terdahulu berkenaan pada aspek normatif, yaitu nilai-nilai ajaran Islam
tentang lingkungan hidup yang sudah ditulis oleh ulama dalam kitab klasik
diaktulisasikan dalam bentuk konservasi, seperti membuat kawawan lindung diarea
pesantren.
Dengan demikian hasil penelusuran penelitian terdahulu masih
mengeksplorasi tentang bentuk pengelolaan lingkungan di pesantren dan
aktualisasinya, juga menjelaskan tentang nilai-nilai agama islam yang mendasari
perilaku sadar lingkungan bagi aktor pesantren, serta nilai-nilai pendidika Agama
Islam tentang pengelolaan lingkungan hidup. Penelitian terdahulu tersebut masih
belum mengungkap tentang makna kesalehan ekologis, mengapa kesadaran tentang
perilaku saleh ekologis dapat tumbuh. Oleh karena itu benang merah antara
penelitian terdahulu dengan penelitian ini terlatak pada fokus Pembentukan
Kesalehan Ekologis di Pesantern dengan pendekatan Fenomenologi.
B. Kajian Teoritik
1. Pengertian Ekologi
Pada awalnya ekologi dikembangkan pertama kali oleh Ernest Haeckel
dalam kerangka disiplin keilmuan biologi (El-Dusuqy, 2008; Setyono, 2011)
sebagai ilmu murni yang mempertanyakan, menyelidiki dan memahami prinsip
dasar bagaimana alam bekerja, bagaimana keberadaan makhluk hidup dalam
sistem kehidupan (Soemarwoto, 1983). Ilmu ini mulanya kurang menarik
perhatian ilmuan karena dianggap terlalu general dan kurang bermanfaat. Hanya
saja setelah terjadi krisis lingkungan yang berkepanjangan dan dilaksanakan
konferensi international tentang lingkungan hidup di Stockholm tahun 1972,
barulah ekologi menarik perhatian semua pihak mulai ilmuan, politisi dan
terlebih kaum agamawan (Abdillah, 2001; Arifin, 1994; Soemarwoto, 1983).
Ekologi adalah lmu tentang rumah atau tempat tinggal makluk atau ilmu
yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya (Dwidjoseputro, 1994; Keraf, 2014; Resosoedarmo, 1990),
Setyono (2011) menyebutnya sebagai korelasi dialektis dari dua unsur yang
menunjang. Keraf (2014) menuturkan bahwa tempat tinggal tidak hanya
27
dimaknai sebagai papan saja melainkan sebagai keseluruhan alam semesta dan
seluruh interaksi saling pengaruh yang terjalin didalamnya, diantara makhluk
hidup dengan makhluk hidup lainnya dan dengan seluruh ekosistem atau habitat.
Qaradhawi (2001) memaknai sebagai lingkup hidup tempat manusia
hidup, tinggal di dalamnya, baik ketika bepergian ataupun mengasingkan diri
sebagai tempat kembali, baik dalam keadaan rela ataupun terpaksa. Lingkungan
tersebut terbagi atas lingkungan dinamis dan statis. Lingkungan statis meliputi
alam yang diciptakan Allah dan industri (hasil kreasi teknologi) yang diciptakan
manusia. Sedangkan lingkungan yang dinamis meliputi wilayah manusia, hewan
dan tumbuhan.
Dari beberapa interpretasi diatas terdapat tiga kata kunci untuk
merumuskan ekologi, yakni hubungan timbal balik, hubungan antara sesama
organisme dan hubungan organisme dengan lingkungnnya. Jadi ekologi dapat
dimaknai sebagai pengakuan adanya hubungan timbal balik antara makhluk
hidup dan lingkungannya.
2. Perkembangan Pradigma Ekologi
Kekerabatan manusia dengan alam menurut Abdillah (2001) telah
mengalami evolusi sebanyak empat tahap yaitu;
Tahap Pertama, Tahap dimana jalinan manusia dengan alam masih bersifat
alami karena manusia merasa bahwa alam merupakan pusat segala-galanya,
manusia merupakan bagian dari lingkungan. Pandangan ini diistilahkan sebagai
pandangan ekosentrisme artinya seluruh komponen lingkungan termasuk
manusia harus sepakat menjadikan alam sebagai muara segala aktivitasnya.
Sebab manusia hakikatnya adalah milik lingkungan dan bagian integral alam
yang harus tunduk pada sunnah lingkungan. Pandangan ekosentrisme
mempunyai dua implikasi, satu sisi berimplikasi pada pembentukan kehidupan
yang selaras, serasi dan seimbang dengan alam dan di sisi lain berimplikasi
membentuk sikap irrasional yang sulit diajak maju.
Tahap kedua, Tahap ini disebut sebagai tahapan transisional artinya manusia
sudah merasa bukan lagi bagian integral dari alam secara utuh sebagaimana
unsur alam yang lain seperti hewan, karena manusia memiliki kelebihan
dibandingkan dengan hewan. Tahapan ini muncul secara alami sebagai akibat
28
bawaan dari evolusi yang mengalir secara linear dan perlahan. Pada tahap ini
manusia membutuhkan perangkat bantu. Disebabkan oleh meningkatnya
pengetahuan manusia yang sejalan dengan peningkatan kebutuhan hidupnya.
Pandangan teologi transisionalisme dapat berimplikasi pada terbentuknya sikap
tanggung, masyarakat yang berkepribadian terbelah karena masih didominasi
oleh sikap tradisonalnya.
Tahap ketiga. Pandangan ini lazim disebut exclusivisme atau
antroposentrisme yaitu manusia merasa dirinya sebagai makhluk istimewa, super
being dan sebagai penguasa absolut alam. tahapan ini ditandai oleh
meningkatnya rasa percara diri manusia dan merasa dirinya berkuasa penuh
terhadap alam. dan semakin berkembang pesat dan melahirkan masyarakat
industri yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Puncaknya manusia
merasa dirinya adalah pusat segala-galanya dan menjadikan alam untuk dikuasai
dan dikelola penuh untuk kepentingan manusia. Pandangan ini menimbulkan
sikap rakus dan mengekploitasi alam tanpa batas sehingga terjadilah kerusakan
alam dan lingkungan. , pada tahap ini manusia bukan lagi sebagai bagian dari
alam melainkan bagian di luar lingkungan.
Tahap keempat, pada tahap ini manusia merasa bahwa manusia adalah bagian
integral dari alam dan menyadari dirinya memiliki kelebihan berupa akal dan
kebebasan dibandingkan dengan komponen lingkungan yang lain. Oleh karena
itu manusia dalam mengelola lingkungan harus memperhatikan kepentingan
lingkungan secara simultan tidak parsial untuk manusia saja.
Pandangan ini diindentifikasikan sebagai ideologi holistik artinya manusia
memiliki akal dan kebebasan sebagai potensi dan kebebasan yang bertanggung
jawab dalam mengelola alam yang dilandasi pada nilai-nilai budaya dan agama.
Ideologi ini menawarkan satu sistem kehidupan berkesinambungan yang
menjadi prasyarat bagi terwujudnya kehidupan berkelanjutan. Manusia harus
mengerti posisinya dalam lingkungan dan harus menempatkan dirinya secara
proposional. Sehingga dapat menjanjikan merebaknya kearifan lingkungan dan
layak dikembangkan guna menggeser ideologi ekosentrisme maupun
antroposentrisme.
29
Mencermati lebih mendalam evolusi kekerabatan manusia dengan alam dari
tahap pertama sampai tahap ketiga dapat berimplikasi pada pemahaman linear
bahwa semakin maju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang digunakan manusia
untuk menguasai lingkungan alam akan semakin parahlah tingkat pencemaran
dan kerusakan alam. Pemecahannya adalah tahap keempat yaitu Ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berwawasan lingkungan dengan landasan nilai-
nilai budaya dan agama.
Heriyanto (2007) menjelaskan terdapat empat mazhab ekologi, atau
paradigma ekologi (Suwito, 2017) yang memiliki sistem pemikiran, sistem nilai
dan sistem tindakan dalam upaya mengatasi krisis ekologis dan
memperjuangkan pemeliharaan lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.
Mazhab-mazhab tersebut adalah (1) Ekologi Dangkal (the Shallow Ecology), (2)
Ekologi Dalam (the Deep Ecology), (3) Ekologi Sosial dan (4) Ekologi Islam
(Spiritual Ecology).
Mazhab ekologi tersebut merupakan pandangan dan pemikiran para
sarjana dan aktivis lingkungan seperti Seyyed Hussein Nasr, Arne Naes, Gary
Gardner, Thomas Berry dan Mary Evelyn Tucker berdasarkan tinjauan delapan
variabel potensi dan aset yang sangat diperlukan dalam menyelamatkan bumi,
yaitu aspek-aspek kosmologis, otoritas moral, tranformasi sosial, komitmen
ilmiah, pranata hukum, kepemimpinan dan organisasi, jaringan komunitas dan
dukungan finansial (Mangunjaya et al., 2007), variabel inilah yang dijadikan
pisau bedah dan penggunaannya disesuaikan dengan tema pembahasan yang
relevan (Suwito, 2017).
(a) Ekologi Dangkal (the Shallow Ecology)
Rene Descartes sebagaimana dikutip Keraf mendalilkan dominasi
manusia atas yang lainnya dengan mengatakan bahwa manusia berkedudukan
lebih terhormat dibandingkan makhluk lain. Manusia memiliki jiwa yang
memungkinkan untuk berpikir, dan berkomunikasi menggunakan bahasa.
Sebaliknya binatang hanya memiliki tubuh yang bergerak secara otomatis.
Binatang tidak memiliki jiwa yang bersumber pengetahuan dan keyakinan
(Keraf, 2014).
30
Tesis inilah sesungguhnya yang menunjukkan bahwa faham
antroposentrisme bersifat sangat instrumetalis, sebab pola hubungan antara
manusia dan alam dilihat hanya dalam relasi instrumentalnya saja (Keraf,
2010; Susilo, 2014), alam hanya dinilai sebatas alat bagi kepentingan
manusia. Kekayaan di alam semesta ini tidak lebih dipandang sebagai sebagai
alat untuk menggapai kesejateraan manusia. Alam tidak memiliki nilai
intrinsik dan hanya berharga dalam konteks kegunaannya terhadap
kesejahteraan manusia (Putri, 2015). Mazhab ini menganut Faham
Antroposentrisme sebagai aliran filsafat dan pandangan dunia (Mangunjaya et
al., 2007).
Mental antroposentris mewujud dalam bentuk manusia berkarakter
pembuka dan pendobrak lahan baru atau disebut Frontier yang mempunyai
tiga persepsi (Susilo, 2014); Pertama memandang alam dan bumi sebagai
pemberi sumber kehidupan yang tidak terbatas, dengan keyakinan “akan
selalu ada sesuatu lagi”. Kedua memandang manusia sebagai makhluk hidup
diluar alam, bukan bagian dari alam. Manusia eksklusif dan memiliki
dunianya sendiri, ia tidak bersama dengan alam. Ketiga memandang alam
sebagai sesuatu yang perlu dikuasai. Alam yang menguntungkan manusia saja
yang perlu dilindungi dan dimanfaatkan, sementara alam yang tidak
menguntungkan bagi manusia ditelantarkan saja.
Dampak dari faham ini manusia telah mereduksi makna alam. Alam
dipahami sebagai sesuatu yang tidak memiliki nilai intrinsik dan spiritual
kecuali semata-mata nilai yang dilekatkan oleh manusia terhadapnya. Alam
hanya dipandang sebagai obyek pemuas nafsu yang tidak berkesadaran,
pelayan nafsu syahwat eksploitatif manusia. Sehingga alam telah menjadi
layaknya pelacur yang dimanfaatkan tanpa rasa kewajiban dan tanggung
jawab terhadapnya (Amirullah, 2015; Nasr, 2003). Karena hanya beorientasi
pada kepentingan manusia akibatnya kerusakan lingkungan sebagai isu publik
kerap kali mengemuka dan disadari setelah bencana terjadi. Sementara itu
jika lingkungan belum memberikan dampak kerugian atau bencana persoalan
lingkungan belum dianggap sebagai sesuatu yang harus diwaspadai (Susilo,
2014).
31
Kelemahan bawaan yang dimiliki oleh faham antroposentrisme
menurut Keraf (2010) yaitu; Pertama, mengabaikan masalah-masalah
lingkungan yang tidak langsung menyentuh manusia. Kedua, kepentingan
manusia untuk mengekploitasi selalu berubah-ubah dan berbeda-beda
kadarnya. Ketiga, yang dipikirkan hanya kepentingan jangka pendek yang
berorientasi pada kepentingan ekonomi (Susilo, 2014).
Antroposentrisme hampir tidak bisa dibedakan dengan watak manusia
hal ini sangat mencemaskan, watak dari antroposentrisme yaitu; Pertama,
pandangan bahwa alam yang terbentang luas dan tidak akan pernah habis;
Kedua, keyakinan bahwa teknologi bisa menyelesaikan segala-galanya;
Ketiga, etika ingin terus maju; Keempat, kemodernan yang diukur dengan
tindakan-tindakan konsumsi; dan Kelima, sikap dan keyakinan dengan
menekankan dorongan personal tanpa memikirkan kepentingan dan kerugian
di fihak lain (Susilo, 2014).
(b) Ekologi Dalam (the Deep Ecology)
Deep Ecology menurut Naess adalah pendekatan terhadap lingkungan
yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan
kehidupan yang saling menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan
makna yang sama. Penekananannya pada kehidupan sebagai pusat utamanya.
Ekologi ini memiliki prinsip bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai
bawaan, nilai-nilai tersebut didasarkan pada pengalaman spritual bahwa alam
dan diri itu satu (Capra, 2001). Oleh karena itu memiliki hak untuk menuntut
penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup, hak untuk berkembang.
Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia
dengan memasukkan komunitas yang lebih luas yaitu menyertakan binatang
dan tumbuhan serta alam. Pandangan ini menekankan bahwa pemeliharaan
alam bukan hanya demi manusia tetapi juga demi alam itu sendiri (Capra,
1996; Naess, 1973). Mazhab ini menganut Paham Biosentrisme sebagai aliran
filsafat dan pandangan dunia.
Biosentrisme memiliki pandangan bahwa binatang berhak
mendapatkan pertimbangan moral dalam hidupnya seperti halnya manusia
dan komunitasnya (Susilo, 2014). Artinya semua hewan perlu
32
dipertimbangkan secara moral sekalipun tidak perlu mendudukkan semua
jenis hewan pada jenjang yang sama. Biosentrisme mendasarkan perhatian
dan perlindungnnya pada seluruh spesies, baik mamalia, melata, biota laut,
dan unggas.
Biosentrisme sebagaimana dijelaskan oleh Susilo (2014) memiliki
pokok-pokok pandangan yaitu; Pertama, alam memiliki nilai pada dirinya
sendiri (intrinsik) lepas dari kepentingan manusia. Artinya setiap setiap
kehidupan dan makluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya
sendiri tanpa harus dihubungkan dengan persoalan bagaimana harus
hubungan makhluk hidup dengan kebutuhan manusia. Kedua, alam
diperlakukan sebagai moral terlepas bagi manusia ia bermanfaat atau tidak,
sebab alam adalah komunitas moral.
Susilo (2014) lebih lanjut menjelaskan bahwa paham ini juga
mengajarkan tranformasi dari etika bahwa nilai-nilai kebaikan, tata krama dan
orientasi hidup hanya untuk manusia, menjadi etika manusia yang
dihubungkan dengan keadaan alam semesta. Biosentrisme juga berpegang
pada pilar-pilar berikut:
(1) Teori lingkungan yang berpusat pada kehidupan
Teori ini menyatakan bahwa penghargaan yang dilakukan
manusia tidak pada dirinya sendiri saja, tetapi pada semua bentuk
kehidupan, teori ini memiliki beberapa pilar, yaitu; (a) manusia adalah
anggota dari suatu komunitas, sama seperti makhluk hidup lainnya.
Derajatnya sama dengan makhluk lain; (b) spesies manusia bersama
spesies lain membangun sistem yang saling bergantung sedemikian rupa
sehingga keberlangsungan dan keberadaan manusia tidak ditentukan oleh
lingkungan fisik saja tetapi juga ditentukan lingkungan biologis; (c)
semua organisme merupakan pusat kehidupan yang memiliki tujuan dan
dunia tersendiri.
(2) Etika Bumi
Bumi tidak dilihat sebagai hak milik, bumi adalah subjek moral.
Bumi harus dihargai bernilai pada dirinya sendiri.
33
(3) Anti Spesiesisme
Rasisme menganggap dan menjustifikasi ras tertentu sebagai ras
yang lebih unggul diabnding ras lain. Sementara spesiesisme yang
ditolak oleh bioesentrisme adalah mengganggap bahwa spesies manusia
lebih unggul dibanding spesies lain (binatang dan tumbuhan).
Dari gagasan diatas karenanya ada kewajiban utama manusia
sebagai subjek moral terhadap alam. Manusia bisa menghormati moral
alam dengan cara: pertama kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu
yang merugikan alam dengan segala isinya. Kedua kewajiban untuk tidak
menghambat kebebasan organisme lain untuk berkembang sesuai dengan
hakikatnya. Ketiga kesediaan untuk tidak menjebak, memperdaya, atau
menjerat binatang.
(c) Ekologi Sosial
Ekologi sosial berpandangan bahwa manusia adalah makhluk sosial
yang sangat beragam statusnya sebagi orang miskin, kaya, pria, wanita, hitam
putih dan tertindas atau penidnas (Bookchin, 2018) hal ini berbeda dengan
pandangn ekologi dalam yang memandang manusia sebagai spesies belaka
sebagaimana mamalia dan makhluk lain. Bookchin (2011) lebih lanjut
menyatakan, bahwa eksploitasi manusia terhadap alam bukanlah produk dari
kerangka pikir antropsentris, melainkan manifestasi dari dorongan-dorongan
yang bertanggungjawab terhadap praktek penindasan manusia oleh manusia
(Gorz, 2011; Wicaksono, 2018).
Penindasan manusia secara luas difahami sebagai pengekangan
kebebasan individu dan perkembangan diri, sebagai sebuah problem
struktural dalam sistem sosial yang didasarkan atas relasi kuasa dan dominasi.
Oleh karena itu ekologi sosial berpandangan bahwa kunci membangun relasi
yang lestari dengan alam adalah perwujudan desentralisasi lingkungan politik
dengan kehadiran komunitas-komunitas semi-otonom yang mengkonstruksi
cara-cara hidup yang merefleksikan keragaman nilai-nilai keontetikan
manusia dan keragaman konteks bioregional.
Bookchin lebih lanjut menyediakan basis pemikiran yang mantap
bahwa permasalah ekologi saat ini bukan permasalahan konsumerisme,
34
ledakan populasi, teknologi, perdaban tetapi pemerintah yang tersentralisir
serta ekonomi kapitalisme. Daur ulang dan menghemat air saja tidak cukup,
selama proses produksi dimonopoli oleh segelintir pemodal yang terpaksa
menggunakan proses produksi menggunakan kantong plastik dan sumber-
sumber mata air. Mazhab ini menganut naturalisme dialektis sebagai aliran
filsafat dan pandangan dunia, diantaranya ekofeminisme.
Ekofeminisme Istilah ekofeminisme atau ecological feminism dikenal
pertama kali pada tahun 1974 dalam buku tulisan Francoisme d’eaubonne
yang berjudul le feminisme ou la mort (Susilo, 2014), dalam karya ini
diungkapkan pandangan tentang hubungan langsung antara ekploitasi alam
dengan penindasan pada perempuan. Faham ini menegaskan bahwa akar
kerusakan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari berkembangnya faham
antroposentrisme, sebagai kepanjangan tangan dari sistem kapitalis yang
dihasilkan oleh budaya patriarki.
Dominasi patriarkis laki-laki terhadap perempuan merupakan
prototipe semua dominasi dan eksploitasi bentuk-bentuk yang beraneka
ragam yang bersifat hirarkis, militeristik, kapitalis dan industrialis. Hal ini
menunjukkan bahwa ekploitasi terhadap alam secara khusus berjalan
bersamaan dengan ekploitasi terhadap perempuan (Capra, 2001) argumen ini
didasarkan pada adanya kesamaan karakter antara perempuan dan lingkungan
tempat manusia berpijak (bumi) yaitu karakter feminim (Nurani, 2017).
Ekofeminisme adalah pengembangan terkini dalam pemikiran
femininisme yang menyatakan bahwa krisis lingkungan global akhir-akhir ini
diprediksi merupakan hasil dari kebudayaan patriarkhal (Susilo, 2014), atau
hipermaskulinitas (Nurani, 2017). Susilo lebih lanjut menjelaskan bahwa
ekofeminisme bukan sebuah gerakan atau filsafat feminisme umum, akan
tetapi feminisme yang membatasi diri dan berfokus pada isu-isu lingkungan,
baik dengan dengan memanfaatkan gerakan akar rumput, wacana, maupun
penguatan ide-ide filosofis. Bahkan ekofeminisme juga sudah mempunyai
rumusan yang jelas tentang risalah etika lingkungan. Ada titik persamaan
antara ekosentrisme, biosentrisme dan Ekofeminisme yakni sama-sama
memberikan penghormatan atas bentuk-bentuk kehidupan non-manusia.
35
Artinya tidak hanya kehidupan manusia saja yang perlu dihormati, tetapi juga
menghormati kehidupan binatang, tumbuh-yumbuhan dan habitat-habitat
disekitar. Ekofeminisme sebagai filsafat ditopang oleh tiga fondasi yaitu
(Suliantoro, 2011).
(1) Ontologi, secara ontologi paradigma ini menjadikan eksistensi manusia dan
seluruh isi alam semesta merupakan “ada yang berelasi”. Maknanya seluruh
unsur yang ada di alam semesta ini saling berhubungan dan mempengaruhi.
Sebagai bagian dari ekosistem, bumi memiliki keterkaitan, keterhubungan,
dan saling memberi pengaruh. Mengikat diri dalam suatu bentuk jaring-jaring
kehidupan dimana pertumbuhan dan perkembangannya tidak adan optimal
jika tidak saling mendukung (Astuti, 2012). Karena itulah penyatuan diri
manusia dengan alam menjadi sebuah keharusan. Prinsip dengan
mengedepankan relasi adalah hal yang paling menonjol dari esensi wanita
(Suliantoro, 2011).
Relasi yang dikembangkan ekofeminisme adalah jaring-jaring
kehidupan yang meniadakan unsur penindasan. Manusia sebagai puncak
dalam rantai makanan seyogyanya menjadikan kedudukannya dalam struktur
kosmis sebuah keluarga yang saling membutuhkan dan tidak saling
menguasai (Shiva, 1997). Lebih lanjut shiva menggambarkan relasi manusai
dengan alam laksana ikatan emosional yang mendalam anatara ibu dan anak.
Karena pada prinsipnya manusia bukanlah pemilik bumi, sebaliknya manusia
milik bumi, kehadiran manusia di dunia sebagai tamu dan bukan sebagai
seorang pemilik dan bukan sebagai kolonialis (Shiva, 1997).
Ekofeminisme menolak cara berpikir dan bertindak dualistis-
dikotomis yang memandang realitas menjadi dua bagian yang sangat berbeda
sehingga keduanya terpisah sama sekali dan tidak ada hubungan. Bahaya dari
pola pikir dualistisdikotomis melahirkan kebijakan dominasi. Manusia merasa
memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada alam sehingga bersikap
eksploitatif. Kepentingan manusia selalu diutamakan sementara hutan
dengan seluruh organisme yang terdapat didalamnya hanya dilihat sebagai
objek dan sarana untuk memenuhi kepentingan manusia. Pola pikir dualisme
semakin memperkokoh cara pandang dunia yang menganggap bahwa alam
36
merupakan objek yang tak berdaya dan pasif maka dapat ditundukkan dan
dijarah untuk kepentingan manusia (Shiva, 1997). Dalam relasi sosial
kemasyarakatan, laki laki merasa memiliki kedudukan yang lebih tinggi
daripada perempuan sehingga menghasilkan budaya patriarkhi yang menindas
hak-hak perempuan.
Berbagai bentuk penindasan seperti subsordinasi, beban ganda,
kekerasan berlangsung secara sistematis-struktural menimpa perempuan.
Ontologi dualistik-dominatif menghasilkan relasi penindasan terhadap alam
dan perempuan. Rekonstruksi landasan ontologi pemikiran ekofeminisme
terhadap alam dan manusia dilakukan dengan cara mengubah paradigma
berpikir ontologi dualistik-dominasi dalam pemikiran patriarkhi harus diubah
menjadi ontologi nondualistis-nonhirakhispartisipatif. Perspektif ekofeminis
memandang dua hal yang berbeda tidak harus saling dipertentangkan
melainkan dapat dijalin kerjasama yang harmonis.
Ekofeminisme menolak model berpikir materialisme. Materialisme
merupakan aliran filsafat yang memandang realitas hanyalah kumpulan
materi semata. Ekofeminisme memperjuangkan kesucian badan dan alam
(the sacredness of our body and world) supaya tidak diperlakukan secara
sewenangwenang (Astuti, 2012). Gerakan ekofeminisme ingin
mendefinisikan ulang nilai “kesucian dan kesakralan” bumi dan manusia yang
selama ini dipersepsikan telalu profan (Suliantoro, 2011). Ekofeminisme
spiritual mengembangkan model spiritualitas yang berdasarkan alam yang
selama ini telah dihancurkan oleh dunia modern (Nurani, 2017).
(2) Landasan Epistemologi, Pengetahuan adalah kekuatan yang dapat membentuk
karakter dan karakteristik budaya. Melalui pengetahuan, manusia dapat
membudayakan diri mereka sendiri, orang lain dan lingkungan mereka.
Pengetahuan adalah salah satu dasar kebudayaan manusia, untuk itu
pengembangan pengetahuan harus berada di jalur tanggung jawab budaya
(Suliantoro, 2011).
Memahami dengan maksud menguasai adalah bentuk kegiatan yang
tidak manusiawi, karena memicu lahirnya logika penindasan dan eksplotasi.
Kegiatan untuk memahami yang kreatif dan manusiawi adalah takjub. Takjub
37
yang disertai rasa kagum adalah Ibu dari segala Ilmu Pengetahuan (Shiva, 1997).
Nilai-nilai feminimitas dapat menjadi visi dasar pengembangan epistemologi.
Nilai-nilai yang diasosiasi sebagai karakter yang melekat pada perempuan
seperti memelihara, menjaga, merawat, berbagi, kerjasama, relasional,
solidaritas merupakan sesuatu yang mengagumkan apabila dapat dijadikan dasar
pengembangan epistemologi.
Penempatan prinsip-prinsip feminimitas dalam pengembangan
pengetahuan menurut Shiva (1997) dapat menciptakan watak ilmu yang lebih
ramah lingkungan, berkeadilan gender, tidak ekploitatif dan tidak reduksionis.
Proses integrasi nilai-nilai feminimitas dapat dilakukan dengan cara
menyertakan perspektif feminis dalam memecahkan permasalahan ekologis.
Perspektif feminis harus menjadi bagian dari upaya mencari solusi terhadap
permasalahan ekologi (Nurani, 2017). Perspektif feminis hendaknya mewarnai
dan menyatu dalam setiap langkah kegiatan mencari pengetahuan. Langkah
kegiatan mencari pengetahuan pada hakikatnya memiliki sifat dasar reflektif,
kritis, komprehensif, integral, radikal dan sistematis (Suliantoro, 2011).
(3) Landasan Axiologi, Budaya patriarki mengutamakan kekuasaan dan merusak,
sedangkan budaya matriarki mengutamakan kelembutan dan relasi emosional
akan menjadikan alam lebih terawat dan terjaga kelestariannya (Suliantoro,
2011). Namun mereka menolak apabila predikat tersebut dilabelkan secara
ekslusif pada kodrat perempuan. Pelabelan dapat membuat laki-laki
membebaskan dirinya dari tanggung jawab dalam hal pelestarian lingkungan
(Nurani, 2017). Setiap manusia tanpa memandang jenis kelamin memiliki
tanggung jawab moral dan kesadaran yang tinggi untuk senantiasa terlibat dalam
pelestarian lingkungan. Selaiaknya pemikiran dan sikap manusia dikembangkan
ke arah panggilan berhati Ibu (Suliantoro, 2011). Menurut shiva (1997)
panggilan tersebut ditandai dengan pengembangan nilai-nilai keibuan
diantaranya: mendukung terhadap kehidupan; pengorbanan, yakni bersedia
berkorban untuk tercapainya kebaikan dan kesejahteraan bersama; kecantikan,
yakni membentuk lingkungan menjadi lebih indah dan nyaman; kedamaian,
yakni menghadirkan perasaan aman bagi lingkungan sekitar; dan welas asih
38
yakni mengorbankan kehidupannya bagi perkembangan kepribadian sesama
maupun lingkungannya.
Pemikiran ekofeminisme memiliki kelebihan dan kekurangan
(Suliantoro, 2011), kelebihannya adalah dapat membantu menyadarkan manusia
bahwa akar penindasan terhadap alam dan perempuan bersumber pada budaya
patriarki. Struktur patriarki menghancurkan lingkungan karena tidak
memberikan peran secara manusiawi terhadap perempuan dan tidak memikirkan
kelestarian lingkungan. Selain itu kajian ekofeminisme lebih kontekstual dan
membumi sehingga hasilnya dapat dengan mudah difahami.
Kelemahan ekofeminisme adalah terlalu memberikan nilai tinggi pada
kualitas perempuan dan bersifat apriori negatif terhadap kualitas maskulin, hal
ini dapat menimbulkan hirarki baru. Selain itu ekofeminisme juga melakukan
generalisasi dan universalitasasi terhadap nilai-nilai feminimitas secara seragam
melekat pada semua perempuan padahal pada kenyataannya pertumbuhan nilai
lebih banyak dipengaruhi oleh pendidikan dan pengalaman hidupnya
(Suliantoro, 2011)
(d) Ekologi Islam
Islam sebagai agama dalam mengatur hubungan manusia dengan
lingkungan dapat dirumuskan dengan istilah ekologi Islam (Mangunjaya et al.,
2007; Permana, 2016). Ekologi Islam mengacu pada pandangan realisme Islam,
yaitu bahwa Islam merupakan sebuah pandangan yang realis, dalam pengertian
bahwa kebenaran adalah sesuatu yang riel (nyata) dan yang nyata adalah tolok
ukur kebenaran; bahwa segala yang ada mengambil peran dan memiliki posisi
dalam lautan realitas yang tunggal. Pandangan realis ini kemudian diidentifikasi
sebagai Realisme Islam.
Ekologi Islam mendasari pandangannya pada prinsip-prinsip Realisme
Islam sebagai berikut;
(1) Mengakui semua jenis keberadaan pada keragaman tingkat eksistensi yang
mencakup alam fisik, alam mineral, alam biologis, alam psikologis, alam
imajinatif, alam intelektual, dan alam spritual. Mengafirmasi keberadaan
manusia, mengakui kebermaknaan instrinsik semua maujud di alam raya;
39
(2) Memandang alam raya dengan penuh simpati, cinta dan tanggung jawab
karena alam adalah sumber belajar kearifan, syarat makna simbolik, dan kaya
pesan spiritual, alam juga merupakan primodial bagi kemunculan mansuia;
(3) Manusia adalah makhluk pilihan Tuhan yang komplek, potensial,
multidimensi (makhluk fisik sekaligus ruhani; makhluk kultur sekaligus
struktur; makhluk moral sekaligus makhluk pencari legalitas); dan dinamis
(manusia tidak seragam). Manusia juga makluk sosial, sehingga
bermasyarakat bagi manusia adalah suatu fitrah dan bersemayam pada jati
diri manusia. Oleh karenanya bermasyarakat merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari cara berada manusia;
(4) Dalam hal pengetahuan, realisme Islam berpijak pada cara pandang realis-
eksistensial yang sangat kaya dan dinamis dengan makna-makna keilmuan
serta mengakui pengalaman empiris, imajinasi, akal, intuisi, sebagai sumber
dan sarana pengetahuan. Ekologi Islam juga sangat apresiatif terhadap
program riset ilmiah, pengembangan sains dan teknologi serta aktivitas-
aktivitas keilmuan lainnya yang sangat berguna dalam membantu mengatasi
krisis lingkungan.
(5) Ekologi Islam juga bisa mengintegrasikan dimensi sosial ekonomi dan politik
tanpa harus meremehkan atau menghilangkan salah satu sebagaimana yang
terjadi pada ekologi sosial dan Ekologi Dalam.
Ekologi islam memiliki beberapa karakteristik yaitu pertama, kemampuan
menawarkan dan mengakomodasi dimensi-dimensi lingkungan secara terpadu
tanpa saling meniadakan seperti yang terjadi pada mazhab-mazhab ekologi
lainnya. Karakter ini muncul karena ekologi Islam mengacu pada Proposisi
realisme yaitu mengafirmasi segala yang nyata. Maksudnya mengapresiasi semua
hal yang memiliki dampak dan pengaruh terhadap peristiwa alam dan sosial, baik
secara kultural maupun struktural, langsung atau tdak langsung, individu atau
sosial, profan atau sakral, teknikal maupun spiritual. Atau karakter ini dapat
disebut sebagai asas integrasi; kedua, asas proporsionalitas bahwa segala
sesuatu diletakkan pada tempatnya sesuai tingkat eksistensinya (Mangunjaya et
al., 2007), maksudnya meskipun manusia merupakan bagian integral dari alam
tetapi manusia bukan milik alam, dan bukan pula berasal dari alam (Abdillah,
40
2001) dan pada hakikatnya manusai dan alam adalah sama-sama karya cipta ilahi,
sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan
tersebut mejadi pemersatu bagi asas ketergantungan dan katerhubungan yang
niscaya dalam ekosistem.
Konsep pemeliharaan lingkungan juga dapat digali dari Kurikulum
Pendidikan Agama Islam yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama tahun 2013.
Ruang lingkup Keputusan Menteri Agama (KMA) RI nomor 912 tahun 2013
tentang Kurikulum Madrasah 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan
Bahasa Arab memuat lima elemen utama, yaitu Al-Quran Hadist, Akidah Akhlak,
Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab. Secara rasional
pengembangan, kurikulum PAI perlu dikembangkan sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan zaman agar Islam dapat difahami secara syaamil dan
kesempurnaannya dapat dipelajari secara kaffah.
Perubahan dan penyempurnaan tersebut menjadi penting seiring dengan
kontiunitas segala kemungkinan yang terjadi berkaitan dengan perkembangan
masyarakat, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni budaya termasuk isu
lingkungan pada tataran lokal, nasional, regional dan global di masa depan.
Secara penyempunaan pola pikir, perlu dikembangkan pola pikir dari pola
pembelajaran satu arah yaitu intekasi guru-peserta didik menjadi pembelajaran
interaktif yaitu interaktif guru-peserta didik-masyarakat-lingkungan alam-
sumber dan lainnya (Menteri Agama RI, 2013).
Secara substansi dapat dilihat bahwa materi pokok PAI memiliki
hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan ekologi. Materi tersebut dapat
dijabarkan berdasarkan materi PAI yaitu; (1) Al-Quran Hadis merupakan sumber
utama ajaran Islam, termasuk membahas tentang ekologi. Banyak ditemukan
ayat-ayat Al-Quran yang membahas secara langsung tentang ekologi dan
pelestariannya (2) Akidah Akhlak terdiri dari Akidah dan Akhlak. Akidah
merupakan akar atau pokok agama. Syariah/Fiqh dan Akhlak bertitiktolak dari
akidah, yakni sebagai manifestasi dan konsekuensi dari keimanan dan keyakinan
hidup. Sedangkan Akhlak merupakan aspek sikap hidup atau kepribadian hidup
manusia, yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan dengan
41
sesama manusia, dan dengan makhluk lainnya termasuk dengan lingkungan
(ekologi).
(3) Fikih merupakan manifestasi dan konsekwensi dari akidah. Fikih dalam
hal ini dikelompokkan menjadi dua yaitu, fikih ibadah dan fikih mu’amalah. Fikih
ibadah lebih mefokuskan terhadap hubungan vertikal dengan Allah. Sedangkan
fikih mu’amalah mengatur hubungan horizontal dengan sesama manusia dan
lingkungan. (4) materi Sejarah Kebudayaan Islam menggambarkan periode
perjalanan hidup umat Islam dalam mengaktualisasikan fikih (beribadah dan
bermuamalah) dan berakhlak serta dalam mengembangkan sistem kehidupannya
terhadap ekologi yang dilandasi oleh akidah dan materi tentang kemampuan
mengambil ibrah atau hikmah dari sejarah Islam untuk pengembangan Kebudayaan
dan Peradapan Islam pada masa kini dan masa yang akan datang. (5) Bahasa Arab
sebagai bahasa pengantar untuk memahami ajaran Islam. Dengan Bahasa Arab
ajaran Islam dapat difahami secara benar dan mendalam dari sumber utamanya,
yaitu Al-Quran dan Hadis serta literatur-literatur pendukungnya yang berbahasa
arab seperti Kitab Tafsir dan Syarah Hadi>st. Gambaran substansi Pendidikan Agama Islam tentang ekologis dalam
Kurikulum Pendidikan Agama Islam sebagaimana digambarkan Muntaha (2019)
sebagai berikut:
Al-Quran dan Hadist
Aqidah Akhlak
Fiqh Ekologi
Bahasa Arab
Sejarah Kebudayaan Islam
Gambar 2 Nilai-Nilai Ekologi dalam Kurikulum Madrasah 2013
42
Berikut ini merupakan perwujudan nilai-nilai ekologi dalam materi PAI MI, MTs
dan MA, yaitu:
a. Mata Pelajaran Quran Hadis.
Secara implisit perwujudan nilai-nilai ekologis terdapat dalam materi
tentang “Memahami Hadis tentang kebersihan yaitu Hadist Riwayat Muslim
dari Abi Malik al-Ansyari: Kebersihan sebagian dari iman. Hadist ini
mempunyai hubungan erat dengan pelestarian ekologi. Tidak sempurna iman
seseorang jika tidak peduli lingkungan. Keberimanan seseorang tidak hanya
diukur dari banyaknya ritual di tempat ibadah. Tapi juga menjaga dan
memelihara lingkungan merupakan hal yang sangat fundamental dalam
kesempurnaan iman seseorang (Masruri, 2014).
Pada tingkat MTs secara eksplisit terdapat pada dua materi yaitu
pertama, materi mengkaji Hadist tentang Menjaga Kelestarian Alam yaitu
Hadist Riwayat abu Daud dan Ahmad dari Sa’id bin Zaid: barang siapa
mengolah tanah yang mati maka tanah tersebut menjadi miliknya. Hadist ini
memberikan semangat penguasaan dan upaya memberikan nilai pada sebuah
kawasan yang tidak mempunyai manfaat sama sekali menjadi lahan produktif
karena dijadikan ladang, ditanami buah – buahan, sayur – sayuran dan tanaman
lain. Hal ini juga merupakan bentuk anjuran kepada setiap muslim untuk
mengelola lahan supaya tidak ada kawasan yang terlantar dan tidak produktif
sehingga dapat mewujudkan penghijauan, pemanfaatan, pemeliharaan dan
penjagaan (Masruri, 2014).
Kedua, materi tentang kekuasaan Allah pada fenomena alam yang terjadi
terdapat dalam surat al-Zalzalah. Pada Tingkat Aliyah secara eksplisit terdapat
dalam materi Memiliki budaya menjaga kelestarian lingkungan yang merupakan
implementasi dari QS ar-Rum: 41, al-A’raf: 56-58, Shad: 27, al-Furqaan: 45-50,
al-Baqarah: 204-206 dan Hadis tentang pemeliharaan lingkungan Riwayat
Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik. ”Tidaklah seorang mukmin yang
menanam pohon atau sebuah tanaman kemudian dimakan burung, atau dimakan
oleh manusia atau dimakan oleh binatang ternak lainnya melainkan baginya
pahala sedekah”. Hadis ini mengajarkan tentang pentingnya melakukan
penghijauan. Penghijauan merupakan amalan saleh yang mengandung banyak
43
manfaat bagi seluruh makhluk hidup bagi manusia, binatang, tumbuhan dan
alam.
Secara implisit terdapat dalam materi Makanan Halal dan Baik
(QS.2:168-169) dan Hadist nabi Riwayat Tirmidzi dari abu Hurairah
”sesungguhnya Allah baik tidak menerima kecuali hal-hal yang baik, dan
sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang beriman sebagaimana Allah
perintahkan kepada para rasul” Allah berfirman wahai para rasul, makanlah
apa-apa yang baik, berbuat baiklah sesungguhnya kami mengetahu terhadap
apa yang kamu lakukan” (Menteri Agama RI, 2013). Apabila nilai-nilai
kebersihan dan halal dapat diinternalisasi pada siswa, maka kesadaran siswa
tentang pentingnya menjaga lingkungan, mejaga bumi, menjaga air, menjaga
kualitas udara akan terwujud
b. Mata Pelajaran Akidah Akhlak
Pembahasan dan kajian unsur Akidah Akhlak pada jenjang MI, MTs dan
MA secara umum membahas tentang mencontoh nila-nilai akhlak tepuji dan
menjauhi nilai-nilai akhlak tercela. Secara tersurat nilai-nilai ekologis terdapat
pada tema lingkungan yang disampaikan pada kelas III yaitu: menampilkan
prilaku sayang terhadap hewan; Menampilkan prilaku penyanyang terhadap
lingkungan. Disampaikan pula pada kelas IX dengan tema adab terhadap
lingkungan, yaitu binatang dan tumbuhan.
Sedangkan secara tersirat disampaikan di tingkat Aliyah, terdapat dalam
materi meyakini dan terbiasa ber-tauhid dalam kehidupan sehari-hari, materi
tentang mpenerapan nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan modern dan materi
tentang menghindari perilaku tercela isyrof, tabzir dan bakhil. Allah melarang
kita untuk berlebih-lebihan dalam segala hal, baik dalam hal ibadah maupun
makan dan minum dan segala hal. Karena prilaku berlebihan, di samping tidak
disenangi Allah, juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam sistem
ekologi yang disebabkan eksploitasi berlebih-lebihan terhadap lingkungan
(Subdit Kurikulum dan Evaluasi Direktorat Pendidikan Agama Islam pada
Sekolah, 2007).
c. Mata Pelajaran Fikih
44
Nilai-nilai ekologis pada Mata pelajaran fikih secara tersurat
disampaikan pada materi “thaharah”, yang terdiri dari bersuci dari hadast dan
najis, berwudlu, termasuk tema tentang tayamum. Tayamun merupakan
materi yang sangat potensial untuk pengembangan dan internalisasi nilai-nilai
ekologi. Pada tingkat Tsanawiyah terdapat dalam materi Mengkonsumsi
minuman dan makan halal. Sedangkan pada jenjang Aliyah secara implisit
terdapat dalam materi Haji dan umrah
d. Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam
Mata Pelajaran SKI pada semua jenjang pendidikan Madrasah
menfokuskan pada materi kisah para Nabi, sejarah Rasulullah SAW dan para
sahabat yaitu al-Khulafa’ al-Ra>syidu>n, Muhajirin dan Anshar. Sejarah Nabi
Muhammad SAW sampai dengan dinasti Islam terakhir, menceritakan tentang
sejarah Islam di Nusantara. Secara tersirat nilai-nilai ekologi dapat ditelusuri
berdasarkan misi profetik Muhammad SAW sebagai rahmat bagi alam semesta
(termasuk lingkungan ekologis), pembawa kedamaian, kesejahteraan dan
kemajuan masyarakat.
Nilai-nilai ini dapat digali dari sepuluh wasiat Abu Bakar kepada Yazid
bin Abu Sufyan komandan pasukan yang akan bertempur di daerah Syria.
Perintah tersebut berbunyi:’sesunggguhnya aku berwasiat kepadamu dengan
sepuluh hal yaitu: (1) jangan membunuh wanita, (2) jangan membunuh anak-
anak, (3) jangan membunuh orang tua yang sudah pikun, (4) jangan menebang
pohon yang sedang berbuah, (5) jangan merobohkan bangunan, (6) jangan
menyembelih binatang kecuali untuk makan, (7) jangan merusak tanam-
tanaman, (8) jangan membakar tanam-tanaman, (9) jangan berkhianat, (10)
jangan menjadi pengecut (Seikh Faisal, 1986). Dari sepuluh wasiat tersebut,
empat di antaranya berkaitan dengan ekologi, yakni larangan memotong
tanaman yang sedang berbuah, larangan merusak bangunan, larangan memotong
unta tanpa ada manfaat, dan larangan membakar pohon (Efendy et al., 2016).
e. Mata Pelajaran Bahasa Arab.
Materi Bahasa Arab untuk MI, MTs dan MA berfokus untuk mendorong,
membimbing, mengembangkan, dan membina kemampuan serta menumbuhkan
sikap positif terhasap Bahasa Arab, baik reseptif maupun produktif.
45
Kemampuan reseptif yaitu kemampuan untuk memahami pembicaraan orang
lain dan memahami bacaan. Kemampuan produktif yaitu kemampuan
menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi baik secara lisan maupun secara
tertulis. Kemampuan berbahasa Arab serta sikap positif terhadap bahasa Arab
tersebut sangat penting dalam membantu memahami sumber ajara Islam yaitu
Al-Quran dan al- Hadis, serta kitab-kitab berbahasa Arab yang berkenaan
dengan Islam bagi peserta didik. secara ekplisit maupun implisit tidak
ditemukan tema yang berkaitan dengan ekologi.
Oleh karena itu pemeliharaan lingkungan dalam Islam sangat diwajibkan,
hal ini dikarenakan pemeliharaan lingkungan adalah amanah bagi semua
makhluk hidup untuk memelihara aneka ragam kehidupan dengan segenap
sistemnya. Konservasi yang dilakukan melalui pelestarian, perlindungan,
pemanfaatan secara lestari, rehabilitasi, dan peningkatan mutu lingkungan pada
dasarnya untuk menjamin kemaslahatan manusia beserta makhluk hidup lainnya
dalam jangka panjang dan berkesinambuangan. Dengan demikian, tanpa
lingkungan yang baik kehidupan manusia menjadi tidak berarti. Argumen ini
menegaskan bahwa konservasi lingkungan menjadi tujuan tertinggi syariah.
3. Taskhir Gambaran ideal bentuk ekologis yang digambarkan Al-Quran adalah
sebagaimana tertulis dalam surat saba’ ayat 15. Ayat ini mendeskripsikan secara
gamblang tentang lingkungan yang ideal. Kaum Saba’, adalah nama suatu
kabilah bangsa Arab yang diambil dari nenek moyang mereka, Shihab
menjelaskan dalam tafsirnya, di negeri Saba’ (Yaman), ada tanda yang
menunjukkan akan kekuasaan Allah SWT yaitu dua buah kebun di sebelah
kanan dan di sebelah kiri lembah tempat mereka tinggal. Dan dikatakan kepada
mereka, "Makanlah oleh kalian dari rezeki Rabb kalian dan bersyukurlah kalian
kepada-Nya." atas apa yang telah dikaruniakan-Nya kepada kalian berupa
nikmat-nikmat yang ada di negeri Saba. Negeri kalian, adalah negeri yang baik
tidak ada tanah yang tandus, tidak ada nyamuk, tidak ada lalat, tidak ada lalat
pengisap darah, tidak ada kalajengking dan tidak ada ular. Seandainya ada orang
asing lewat ke negeri itu dan pada bajunya terdapat kutu, maka kutu itu otomatis
akan mati karena harum dan bersihnya udara negeri Saba (Shihab, 2005)
46
Hadis tentang sedekah air menjadi salah satu bukti ajaran Islam tentang
ekologi, Hadis yang diriwayakan oleh Abu Daud tentang keutamaan air adalah
sebagai berikut: dari Said RA, sesungguhnya Sa’ad datang kepada Nabi SAW
dan bertanya: “Apakah sedekah yang paling engkau sukai?”, beliau menjawab:
“Air” (Shahih Sunan Abu Daud jilid 1).
Visi Misi Pendidikan Islam menurut al-Kilani (1987) adalah
menghantarkan peserta didik mencapai kemajuan insaninya hingga ke harkat
yang mulia yakni terwujudnya relasi harmonis antara peserta didik dengan Allah,
peserta didik dengan alam semesta, peserta didik dengan sesama, peserta didik
dengan kehidupan dunia dan peserta didik dengan kehidupan akhirat
(Dalimunthe, 2011). Yaitu: 1) keterhubungan antara peserta didik dengan Allah
disebut ‘ala>qoh ‘ub>udiyyah yaitu pertalian peribadatan; 2) keterhubungan antara
peserta didik dan alam semesta disebut ‘ala>qoh taskhi>r, yaitu terciptanya relasi
eksplorasi; 3) ketehubungan antara peserta didik dengan sesama disebut ‘ala>qoh
‘adl wa ihsa>n yaitu terciptanya relasi keadilan dan kebaikan; 4) keterhubungan
antara peserta didik dengan kehidupan duniawi disebut ‘ala>qah ibtila>’, yaitu
terjalinnya relasi ujian; 5) keterhubungan antara peserta didik dengan kehidupan
akhirat disebut ‘ala>qah mas’u>liyyah wa jaza>’, yaitu terjalinnya relasi tanggung
jawab dan pemberian balasan. Berikut adalah gambaran Visi Misi Pendidikan
Islam menurut Al-Kilani .
Menurut Al-Kilani (1987), ‘alaqoh ubu>diyyah merupakan relasi yang paling utama dan mendasar, sekaligus
sebagai dasar dan landasan terhadap relasi lainnya. Secara substansi bermakna bahwa konsep Ibadah mencakup tri-
tunggal dimensi, yaitu 1) dimensi kesalehan individu atau dimensi agamawai: hubungan manusia muslim dengan Allah
SWT; 2) dimensi kesalehan sosial atau dimensi sosial kemasyarakatan: hubungan manusia muslim dengan sesama dan
Gambar 3 Konsep Taskhir Madjid Irsan Al-Kilani (Al-Kilani , 1987)
47
masyarakat; 3) dimensi kesalehan ekologis atau dimensi kealaman, hubungan manusia muslim dengan lingkungan dan
alam.
Relasi-relasi tersebut di atas dapat terjalin harmonis bila keempat unsur atau komponen penunjangnya dapat
terealisasi yaitu; (1) komponen akidah yaitu dengan menentukan relasi antara Allah sebagai Dzat Yang Maha mendidik
dan objek pendidikan, yaitu manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya; (2) komponen sosial yaitu teraktualisasinya relasi
antar manusia, bahkan di antara seluruh individu yang menjadi peserta didik. (3) komponen setting tempat yaitu metode
yang digunakan peserta didik untuk mengelola sarana kehidupan demi mencapai kemajuan umat manusia di dunia; (4)
komponen latar waktu yaitu memperhatikan aspek waktu yang sedang dialami, semenjak peserta didik lahir di dunia
hingga kelak memasuki kehidupan akhirat.
48
1. Hakikat Taskhir Hubungan manusia dengan alam dalam perspektif Pendidikan Agama Islam
menurut Al-Kilani disebut dengan term relasi taskhir. Istilah ini diambil dari QS.
Luqman: 20, QS. al-Hajj: 65, QS. Ibrahim: 32, QS. al-Jasiyah: 12-13 dan QS.
an-Nahl: 14 (Kementerian Agama RI, 2009), secara bahasa kata taskhir berasal
dari kata sakhkhara bermakna membebani dengan pekerjaan tanpa upah (Al-
Munjid Fi Lughah Wa Al-A’lami, 1986) memaksa, menghina, atau kerja paksa
tanpa upah (Maya, 2018; Wardani, 2015) atau bekerja dan mengabdi tanpa
mengharapkan imbalan (Al-Kilani, 1987; Setia, 2004). Maksudnya
memberdayakan potensi alam semesta berdasarkan pelbagai fenomenanya
melalui upaya pemberdayaan atau usaha eksplorasi yang bermanfaat bagi sisi
kemanusiaan mereka sendiri dalam pelbagai aspek kehidupan, tanpa harus
memberikan bayaran kepada-Nya. Term taskhir secara eksplisit semakna
dengan mengendalikan, mengatur, memudahkan, mempersiapkan,
memperhambakan, menguasakan, mengelola, menyediakan, dan menyediakan
(Maya, 2018).
Kata sakhkhara-yusakhkhiru dalam mu’jam al-wasit dimaknai
menundukkan sesuatu sehingga melakukan yang dikehendaki oleh yang
menundukkannya (الوسيط Persis seperti pena yang ditundukkan .(2004 ,معجم
seorang penulis. Pena akan menulis sesuai kehendak penulis. Yang
menundukkan alam semesta adalah Allah swt, penundukannya untuk manusia.
Alam semesta ditundukkan dengan perintah (‘amr) dari Allah. Perintah tersebut
adalah dengan menjadikan ketetapan keteraturan pada alam semesta dengan
segala hukum fisikanya (Wardani, 2015) atau hukum-hukum alam (Shihab,
2005b), melalui perintah tersebut Allah memberi ketetapan (taqdir) pada alam
semesta, sehingga dengan ketetapan tersebut alam semesta menjadi tunduk dan
patuh.
Kata sakhara mengandung makna li tanfi’ yakni hak memanfaatkan,
bukan li tamlik yaitu hak kepemilikan (Riyadi, 2016). Implikasinya sebagai
khalifah manusia diberi hak dan wewenang olah Allah untuk memanfaatkan
sumber daya alam dan lingkungan dalam batas-batas kewajaran ekologis. Artinya
manusia harus memperhatikan spesies lain yang Allah beri hak yang sama untuk
49
mengespresikan diri dalam lingkungannnya. Sedangkan pada akhir QS. al-
Jasiyah: 12-13 kata yatafakkaru>na memberi makna urgensi akal manusia untuk
memelihara alam dan menghindari kerusakan.
Kemudian Al-Kilani menegaskan bahwa relasi antara manusia dengan
alam semesta tersebut tiada lain merupakan relasi eksploratif yang harus
dilandasi oleh ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum Allah yang berlaku di
alam semesta pada makhluk-Nya (sering dinyatakan sebagai fenomena alam),
dimana proses ini tentu saja tidaklah gratis, bahkan dibutuhkan banyak kajian
pemikiran kreatif dan melibatkan beragam disiplin ilmu serta umumnya
membutuhkan dan menghabiskan biaya yang cukup besar, baik dalam proses
pengkajian konseptual-teoritisnya maupun dalam usaha eksploratifnya. Menurut
Al-Kilani, relasi taskhir tersebut dalam perspektif Pendidikan Islam termasuk
dalam tritunggal dimensi ibadah, yang meliputi: 1) Dimensi kesalehan individu atau dimensi agamawi: hubungan manusia muslim dengan Allah SWT;
2) Dimensi kesalehan sosial atau dimensi sosial kemasyarakatan: hubungan manusia muslim dengan sesama
dan masyarakat;
3) Dimensi kesalehan ekologis atau dimensi kealaman, hubungan manusia muslim dengan lingkungan dan alam. Oleh karena itu, dalam perspektif Islam dinyatakan bahwa manusia telah
diberi mandat kekuasaan oleh Allah untuk mengelola alam semesta.
Perintah pada alam semesta bersifat ajeg dan harmonis hingga batas tertentu,
yaitu batas bertahan yang menandai terjadinya kiamat atau kehancuran total. lalu
manusia diilhami oleh Allah pengetahuan sehingga mampu melakukan apa yang
dikehendaki manusia atas izin Allah swt. selanjutnya karena penundukan itu
dimaksudkan-Nya untuk kepentingan manusia, maka Allah memberikan
kewenangan dan kemampuan kepada manusia untuk mengelola alam semesta.
Allah memerintahkan manusia untuk mengelola alam sesuai konsep yang
dikehendaki-Nya. Disaat yang sama konsep tersebut merupakan ujian bagi
manusia. Manusia akan melaksanakannya dan untuk itu manusia mendapat
ganjaran, atau mengabaikannya dan manusia akan mendapat kesengsaraan
(Shihab, 2005)
Wardani (2015) lebih lanjut menjelaskan dalam Al-Quran makna
menundukkan untuk kepentingan manusia digunakan terhadap semua isi alam
semesta: menundukkan kapal, sungai, matahari, bulan, malam, siang
50
(QS.Ibrahim: 32-33), laut (QS. An-Nahl: 14), gunung (QS.Shad: 18), angin
(QS.Shad: 36), dan semua yang ada di bumi dan di langit (QS. Al-Hajj: 65) dan
QS. Luqman: 20 (Maya, 2017). Sedang dari segi agama, berarti pemberian lisensi
bagi manusia untuk memanfaatkan alam secara gratis dalam rangka mendukung
proses kehidupannya pada segala sektor tanpa harus membayar harga tertentu
(Al-Kilani , 1987). Hanya saja, alam tidak bisa mengabdikan dirinya secara gratis
manakala manusia tidak memahami hukum yang berlaku padanya.
Menurut Al-Kilani bahwa Allah telah menundukkan alam semesta bagi
manusia, mulai dari yang memiliki pengaruh paling besar seperti matahari,
hingga zat yang paling kecil seperti lebah dan atom; semuanya dapat dan bahkan
harus dimanfaatkan untuk kebaikan dan bagi kepentingan manusia. Dengan cara
mengeksplorasinya secara tepat guna dan dengan bijak memberdayakannya
dengan bijak. Itu semua beserta harmonitas yang tidak tertandingi dan
keindahannya yang mengagumkan lagi tidak terbantahkan, memberikan petunjuk
yang jelas bahwa alam semesta tersebut benar-benar dimudahkan, dikendalikan,
dan telah ditundukkan oleh Allah sesuai dengan kehendak dan perintah-Nya. Lebih lanjut Al-Kilani (1987) menjelaskan bahwa konsep taskhir adalah hubungan manusia terhadap alam,
dalam hal ini manusia berperan sebagai khalifah. Peran khalifah ini merupakan konsekuensi dari sikap tauhid yang
mengharuskan manusia untuk mengimani Allah dan tidak boleh melakukan perbuatan Syirik. Hubungan manusia
dengan alam sebagaimana dijelaskan oleh Mawardi & sambodo (2011) mencakup beberapa hal, yaitu:
(1) Hubungan keimanan dan peribadatan.
Alam semesta berfungsi sebagai sarana bagi manusia untuk mengenal kebesaran dan kekuasaan Allah
(beriman kepada Allah) melalui alam semesta, karena Alam semesta adalah ayat-ayat Allah. Manusia tidak
dibenarkan menghamba kepada alam dan memperhamba alam. Hal ini sejalan dengan pendapat Madjid
(1998) yang melihat hubungan manusia dengan alam sebagai hirarki kemuliaan martabat manusia. Manusia
secara hirarkis lebih tinggi daripada alam semesta.
(2) Hubungan pemanfaatan yang berkelanjutan.
Allah SWT menciptakan Alam semesta beserta isinya dimaksudkan untuk memenuhi hajat manusia.
Untuk memenuhi hajat tersebut manusia tidak diperkenankan mengekploitasi alam melebihi hajat dan
kebutuhannya, harus mempertimbangkan keberlangsungan generasi berikutnya. Demikian pula dalam
pemenuhan hajat tersebut manusia tidak diijinkan melakukan penyalahgunaan pemanfaatan atau perubahan
alam dan sumberdaya alam untuk kepentingan tertentu saja sehingga berdampak hak pemanfaatannya bagi
semua kehidupan menjadi berkurang bahkan hilang.
(3) Hubungan pemeliharaan untuk semua makhluk.
Manusia memiliki kewajiban untuk memelihara lingkungan demi kelangsungan hidupnya, tidak terbatas
hanya untuk kemanusiaan saja tetapi untuk semua makhluk hidup. Tindakan manusia dalam menggunakan
sumber daya alam dan mengabaikan prinsip pemeliharaan dan konservasi yang mengakibatkan degradasi
51
lingkungan dilarang dan akan dihukum. Di sisi lain, manusia yang mampu memenuhi peran mereka
melestarikan dan melindungi alam akan diberi pahala oleh Allah SWT.
Lebih lanjut sambodo & mawardi (2011) menjelaskan bahwa manusia dalam hubungannya dengan Tuhan,
berhubungan pula dengan alam sebagai sesama makhluk ciptaan-Nya. Dalam berhubungan dengan Tuhan ini
manusia memerlukan alam sebagai sarana untuk mengenal dan memahami Allah yakni alam adalah ayat-ayat
kauniyah-Nya.
Manusia juga membutuhkan alam sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk menyembah
Allah. Hubungan antara manusia dan alam adalah suatu bentuk hubungan peran dan fungsi, lebih dari sekedar
hubungan sub-ordinat dimana manusia sebagai penguasa alam sebagaimana dipahami oleh antroposentrisme dan
materialis. Sementara alampun terkait dengan Allah yang menciptakan dan mengaturnya. Jadi Alam juga tunduk
dan patuh terhadap qadar dan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah yang maha memelihara alam. Agar
manusia bisa memahami alam dengan segala hukum-hukumnya manusia harus mempunyai pengetahuan (‘ilm)
dan ilmu tentang alam (qanun).
Ali Yafie (1994) memberikan kosep lingkungan hidup sebagaimana terdapat
dalam QS. Al-A'raf:156 yang menjelaskan tentang rahmat Allah yang meliputi
segala sesuatu dan QS. Al-Anbiya': 107 yang menegaskan tujuan pengutusan nabi
Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam. Yafie lebih lanjut merujuk
pada batang tubuh ajaran fikih yang meliputi empat garis besar yaitu: pertama
Rub'ul ibadat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dengan khaliknya,
kedua Rub'ul muamalat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dalam lalu
lintas pergaulan dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari,
ketiga Rub'ul munakahat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dengan
lingkungan keluarga, dan keempat Rub'ul jinayat, yaitu bagian yang menata
pengamanan dalam suatu tertib pergaulan, yang menjamin keselamatan dan
ketentraman dalam kehidupan.
Empat hal tersebut meliputi bidang pokok dari kehidupan umat manusia.
Masalah lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada sampah, pencemaran,
penghijauan kembali atau sekadar pelestarian alam tetapi lebih dari semua itu
masalah lingkungan hidup merupakan bagian dari suatu pandangan hidup. Sebab
hal tersebut merupakan kritik terhadap kesenjangan yang diakibatkan oleh
pengurasan energi dan keterbelakangan yang lebih merupakan ekses dari
pertumbuhan ekonomi yang ekplosif dan tidak bervisi konservasi.
Berbeda dengan Yafie, Qaradhawi (2001) memberikan sumbangan
pemikirannya berdasarkan pada maqasid syari’ah. Menurutnya memelihara alam
adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh umat Islam sebagaimana
52
menunaikan Ibadah sosial yang lainnya, bahkan setara dengan menjalankan rukun
Islam. Lebih lanjut Qaradawi menjelaskan bahwa mengelola alam semesta harus
berpijak pada lima konsep maslahat, yaitu menjaga alam sama dengan menjaga
Agama; menjaga Alam sama dengan menjaga jiwa; menjaga alam sama dengan
menjaga keturunan; menjaga alam sama dengan menjaga akal; menjaga alam
sama dengan menjaga harta benda. Keterjaminan keberadaan agama, jiwa,
keturunan, akal dan harta sanag dipengaruhi dengan kondisi lingkungan. Dalam
kondisi lingkungan yang sangat tercemar misalnya, maka keselamatan jiwa akan
terancam, manakala jiwa terancam harta benda, agama dan keturunan juga sulit
untuk di jaga.
Dengan demikian makna taskhir adalah keterhubungan manusia dengan
lingkungannya sebagai patner yang mendapat mandat langsung dari Allah
sebagai pemilik alam, dalam berpatner tersebut dibutuhkan ilmu pengetahuan,
dan ilmu tentang alam, sehingga cara pandang seperti ini membantu manusia
dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya secara porposional dan fungsional
terhadap alam serta didukung dengan rasa tanggung jawab untuk merawat dan
memelihara lingkungan.
2. Tujuan Esensial Taskhi>r Setelah mendefinisikan konsep taskhir dan mendeskripsikan hakikatnya,
Al-Kilani secara tegas mengemukakan bahwa tujuan taskhir adalah agar manusia
mengetahui dengan penuh kesadaran bahwa Allah memiliki kemutlakan, baik
dalam kemampuan, ilmu maupun dalam rahmat-Nya (Al-Kilani , 1987; Maya,
2018) dan agar manusia menyadari kekuasaan Allah, keilmuan Allah dan rahmat
Allah yang mutlak yang meliputi segala sesuatu, melalui alam semesta manusia
dapat melakukan kontemplasi terhadap dua hal. Pertama, kontemplasi tentang
kebenaran wahyu ilahi dan sabda Rasulullah yang mengungkap hakikat alam
semesta. Kedua, dengan memperhatikan alam semesta secara cermat, manusia
mampu menyaksikan kecermatan penciptaannya, fenomena hukum-hukumnya,
dan dinamika perubahan yang terjadi padanya (Maya, 2017). Dari kontemplasi ini
manusia kemudian dapat mengetahui besarnya pengayoman Allah terhadap
53
kehidupan umat manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan abiotik sekalipun
sebagimana dalam QS: Al-Thalaq:12.
Perintah Allah berlaku pada manusia, agar manusia mengetahui bahwa
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-
benar meliputi segala sesuatu. Wahyu dan alam semesta atau jagat raya
dinyatakan oleh Al-Kilani (1987) sebagai lembaran ilahi yang menyatu atau
bersifat dwi-tunggal. Wahyu mendeskripsikan ayat-ayat Allah SWT dalam Al-
Quran dan sabda-sabda Rasulullah dalam Al-Hadis. Sedangkan alam semesta
mendeskripsikan ayat-ayat Allah yang terbentang dalam ufuk atau kaki langit
yang kasat mata dan dalam jiwa yang bersifat psikis dan abstrak.
Dalam realitas empirik, banyak ayat Al-Quran yang berkenaan dengan
fenomena alam dan secara ilmiah terbuktikan kebenarannya. Al-Quran tidak
hanya memberikan doktrin-doktrin yang bersifat dogmatis, tetapi juga
memberikan peluang terhadap para ilmuwan untuk mengadakan penelitian
terhadap bukti kebenaran ayat-ayatnya sebatas pada wilayah yang bisa diteliti.
Di luar wilayah penelitian itu berarti penelitiannya yang tidak mampu
menjangkau, kita tidak bisa menyalahkan Al-Quran. Justru dalam wilayah yang
tidak terjangkau oleh pemikiran ilmiah inilah yang merupakan kelemahan sains
sekaligus keunggulan ilmu yang bersumber pada wahyu. Selanjutnya Al-Kilani
menjelaskan bahwa kedua ayat-ayat Allah SWT tersebut dapat diungkap melalui
pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi atau sains.
Semua itu, baik yang telah berhasil disingkap maupun yang akan terungkap di
kemudian hari, tiada lain merupakan berbagai mukjizat dari kebenaran risalah
Islam sebagaimana Allah jelaskan dalam QS. Fushishilat:53.
Dalam Tafsir Al-Misbah dinyatakan, pendapat terbaik tentang penafsiran
ayat ini bahwa yang dimaksud dengan tanda-tanda di ufuk atau kaki langit
adalah tanda-tanda kekuasaaan Allah yang nampak dalam matahari, bulan,
angin, dan alam semisalnya yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan tanda-
tanda di dalam jiwa psikis (anfus) adalah kontemplasi seseorang terhadap jasad
fisik (jismihi), panca indera (hawassihi), keajaiban penciptaan, fase-fase
pembentukannya dalam rahim, dan terhadap faktor-faktor psikis lainnya. Lebih
lanjut Shihab menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan himpunan dari
54
keseluruhan disiplin ilmu yang dikenal umat manusia, dan hal ini
mengisyaratkan tentang kemukjizatan Al-Qur‟an yang selaras dengan
perkembangan sains (mu’jizah mutajaddidah) yang bahkan mendahului pelbagai
disiplin ilmu-ilmu kontemporer (Shihab, 2005c).
3. Obyektifitas Taskhir
Al-Kilani menyatakan dan menyimpulkan bahwa objektifitas taskhir
secara makro terbagi menjadi dua klasifikasi. Pertama, objek berupa alam
semesta. Kedua objek yang berupa jiwa psikis. Namun yang memiliki
keterkaitan relasional dengan manusia secara langsung adalah alam semesta.
Berdasarkan penelusuran terhadap ayat-ayat tentang relasi taskhir dan
berdasarkan tiga perangkat pengetahuan berupa intuisi nalar atau rasionalitas
akal, pendengaran, dan penglihatan, objektifitas atau ruang lingkup taskhir dari
Allah terhadap alam semesta tersebut meliputi banyak sekali objek, terdiri dari
langit dan bumi beserta isinya, peredaran matahari, bulan, dan bintang,
pergantian siang dan malam, sungai, lautan, gunung, angin, dan unta serta objek-
objek lainnya yang terdapat di alam semesta dan yang terbentang luas. Al-Kilani
pada akhirnya mengklasifikasi objek alam semesta yang ditundukkan dan
dikendalikan Allah untuk kepentingan manusia pada hakekatnya terdiri dari tiga
unsur alam, yaitu: (1) Ruang angkasa yang dapat ditelisik atau benda; (2) benda
padat yang bisa diraba; (3) Air atau benda cair (Maya, 2017).
Dari ketiga unsur alam makro tersebut kemudian menjadi objek-objek
cabang alam mikro yang sangat banyak dan beragam, spesifiknya yang
termaktub dalam ayat-ayat Al-Quran, baik secara eksplisit maupun implisit.
Untuk lebih memperkuat pengetahuan tentang objektifitas taskhir, Al-Kilani
kemudian merinci beberapa contoh objek taskhir yaitu:
a) Planet dan bintang, termasuk di dalamnya adalah angkasa luar dan yang
berada di sekelilingnya seperti angin dan lainnya, antara lain dikemukakan
dalam Q.S. Al-Ra’du: 2, Al-Nahl: 12, Luqman: 29, Fathir: 13-15, Al- Zumar:
5, dan Shad: 36- 37.
b) Lautan dan objek-objek yang berada di sekitarnya, antara lain dikemukakan
dalam Q.S. Al- Jatsiyah: 12 dan Al-Nahl: 12.
c) Benda padat, antara lain dikemukakan dalam Q.S. Al- Hajj: 65.
55
Di samping itu, Al-Quran juga mendeskripsikan secara rinci terdapat
objek lain yang terdapat di antara tiga unsur alam makro tersebut, antara lain
dikemukakan dalam Q.S. Al-Zukhruf: 9-14, Al-Hajj: 36-37, Al-Anbiya: 79, dan
Shad: 18-19. Makin manusia mengenal objek-objek tersebut, maka semakin
banyak pula rahasia-rahasia alam yang terungkap. Pada gilirannya, temuan itu
akan turut mempunya andil dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
menciptakan kesejahteraan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Manusia yang tidak
merasakan keperluan akan hal ini termasuk dalam golongan yang tidak terpuji di
mata Allah.
Al-Kilani kemudian mengingatkan bahwa dalam Filsafat Pendidikan
Islam yang berbeda dengan filsafat pendidikan lainnya, agar manusia sekali-kali
tidak menyimpang dari konsep relasi taskhir dan tujuannya yang esensial. Jika
hal ini terjadi, menurutnya anugerah alam semesta yang telah ditundukkan Allah
kepada mereka untuk dieksplorasi dan diberdayakan tersebut dapat berubah dan
bahkan akan menjadi bencana dan potensi negatif pendatang marabahaya seperti
yang dialami oleh kaum terdahulu, seperti kaum ‘Ad dan Fir’aun Q.S. Al-
Jâtsiyah: 6-12 (Maya, 2009, 2018). Dalam realitas peradaban kontemporer
spesifiknya dalam konteks sains dan teknologi, Al-Kilani menengarai dan
mendeteksi bahwa kekhawatiran tersebut telah banyak terjadi dan masih terus
akan terjadi. Antara lain dalam masalah penyalah-gunaan bom atom atau nuklir
dan zat hidrogen (senjata kimia) serta dalam beberapa kajian dan penemuan yang
berkaitan dengan ruang angkasa, misal menipisnya lapisan ozon dan lain
sebagainya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Al-Kilani memberikan solusi agar relasi
taskhir dapat diaplikasikan berdasarkan kajian Filsafat Pendidikan Islam,
setidaknya ada tiga kompetensi yang harus dimiliki dalam melakukan eksplorasi
yaitu: Pertama, bahwa Allah menganugerahkan kemampuan atau daya
eksploratif kepada manusia untuk mengeksplorasi alam semesta dan telah
memberikannya mandat untuk menjadi pemakmur bumi. Kedua, bahwa manusia
telah dianugerahkan oleh Allah potensi atau keinginan untuk belajar dan
kemampuan untuk menyingkap rahasia alam semesta dan mengungkap hukum-
hukumnya, serta untuk memahami pelbagai substansi dan unsur-unsur
56
penyusunnya. Ketiga, manusia dituntut untuk memiliki kesetimbangan sinergitas
agar sesuai dengan peran dan tanggung jawab kekhalifahannya. Di samping, Al-
Kilani menyatakan bahwa untuk dapat mengimplementasikan relasi taskhir,
dibutuhkan antusiasme yang dilandasi oleh kejujuran dan kerja keras dalam
melakukan kajian dan realisasi operasionalnya, bukan sekedar perbincangan
sesaat tanpa ada kerja keras dan kesungguhan, karena hanya akan membuang-
buang waktu dan juga tenaga.
4. Prinsip-Prinsip Taskhir
Majlis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah bekerja sama dengan
kementerian lingkungan hidup (2011), prinsip Islam tentang lingkungan.
Sebagaimana uraian berikut ini:
(1) Tauhid
Secara paradigmatik, hubungan Tuhan, Manusia dan Alam terletak
dalam doktrin Islam tentang Tauhid (Al-Faruqi, 1988) yaitu pandangan dunia
yang memberikan penjelasan secara holistik tentang realitas. Dalam
paradigma tauhid terdapat tiga prinsip penting tentang realitas; Pertama,
dualitas yaitu setiap realitas terdiri dari pasangan dualitas dan keduanya
saling membutuhkan. Kedua, ideasionalitas bahwa segala ketentuan Allah
yang aksiomatik berupa hukum alam mengikuti hukum sunnatullah. Ketiga,
teologi bahwa pandangan ideasional bukanlah bersifat positivistik atau
materialistik. Karena hal ini bertentang dengan prinsip tauhid yang
memandang realitas bersifat teleologis, yang mempunyai tujuan, rancangan,
tidak sis-sia dan bertujuan universal (El-Dusuqy, 2008).
Asshiddiqie (2010) mengistilah hubungan Tuhan, Manusia dan alam
dengan istilah triadik dimana diantara ketiganya, Tuhan harus di tempatkan di
tengah, sehingga Manusia dan Alam berada dalam pisisi yang seimbang.
Selain itu ketiga-tiganya yaitu Tuhan-Manusia dan Alam harus di pandang
memiliki hak-hak dan konteks kekuasaan masing-masing.
Man
usi
a
Tuhan
Ala
m
57
Keyakinan agama-agama samawi khususnya Islam, mendalilkan alam
semesta ini diciptakan oleh Tuhan bersifat purposive dan berfungsi sesuai
kehendak-Nya (Mohamed, 2014). Oleh karena itu alam semesta ini
memperoleh eksistensi dan Yang Menciptakan. Tuhan adalah “Dzat” atau
“dimensi” yang non-empirik dan yang menciptakan sehingga memungkinkan
adanya dimensi lain termasuk alam semesta yang visual dan empirik ini. Dia
memberikan arti dan kehidupan pada setiap sesuatu. Dia serba meliputi (al
Muhith) dan tak terhingga. Sedangkan segala sesuatu selain Dia adalah serba
diliputi dan terhingga.
Alam semesta adalah makhluq ciptaan Tuhan. Karena itu alam semesta
ada dan bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh
Penciptanya. Dengan demikian di dalam setiap kejadian di alam ini berlaku
hukum sebab-akibat yang “alamiah”. Walaupun demikian tidak berarti bahwa
setelah mencipta, Tuhan kemudian lantas “istirahat atau tidur” dan tidak
berhubungan dengan perilaku alam. Demikian pula tidak berarti bahwa
terdapat “persaingan” antara Tuhan dengan makhluqnya dan masing-masing
merupakan eksistensi yang berdiri sendiri dan terpisah. Tidak pula berarti
bahwa Tuhan “bekerja” sendiri disamping manusia dan alam. Tuhan itu ada
(eksis) bersama setiap sesuatu. Karena setiap sesuatu itu secara langsung
berhubungan dengan Tuhan, maka setiap sesuatu itu melalui dan di dalam
hubungannya dengan lainnya, berhubungan pula dengan dan dikontrol oleh
Tuhan. Tanpa “aktifitas” Tuhan, manusia dan alam semesta menjadi tersesat,
liar dan sia-sia. Tuhan adalah makna dari realitas, sebuah makna yang
dimanifestasikan, dijelaskan serta dibawakan oleh alam semesta (termasuk
manusia).
Gambar 4 Konsep Dan Hubungan Antara Tuhan, Manusia Dan Alam (Asshiddiqie, 2010)
58
Dengan kata lain alam semesta termasuk dunia seisinya ini adalah sebuah
realitas empirik yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi berhubungan dengan
realitas yang lain yang non-empirik dan transenden. Setiap sesuatu di alam
semesta ini adalah pertanda akan eksistensi dan “aktifitas” Yang Ghaib. Hal
ini juga bermakna bahwa kehidupan di dunia yang fana ini bukan merupakan
sebuah kehidupan yang berdiri sendiri atau terpisah dengan kehidupan yang
lain. Kehidupan dunia sesungguhnya merupakan bagian dari kehidupan
akherat. Dengan demikian kualitas kehidupan manusia di dunia akan
menentukan kualitas kehidupannya di akherat kelak. Dan kualitas kehidupan
seseorang didunia ini bisa diukur dari seberapa jauh orang yang bersangkutan
menjalani hidup dan kehidupannya berdasarkan pedoman hidup di dunia yang
telah ditetapkan oleh Yang Menciptakan dunia.
(2) Khilafah
Bermula dari landasan yang pertama yakni tauhid, Islam mempunyai
ajaran atau konsep yang bernama khilafah dan amanah. Konsep khilafah ini
dibangun atas dasar pilihan Allah dan kesediaan manusia untuk menjadi
khalifah Allah di muka bumi (QS.al-Baqarah: 30, al-Isra: 70, al-An’am: 165
dan Yunus: 14). Sebagai wakil Allah, manusia wajib secara aktif untuk bisa
merepresentasikan dirinya sesuai dengan sifat-sifat Allah. Salah satu sifat
Allah tentang alam ini adalah bersifat sebagai pemelihara atau penjaga alam.
Jadi sebagai wakil Allah di muka bumi, manusia harus aktif dan bertanggung
jawab untuk menjaga bumi. tugas manusia sebagai khalifah tidak akan
bermakna apa-apa bila manusia tidak mampu melaksanakan tugas-tugasnya
dalam mengelola lingkungan dan mengkonservasi lingkungan (Arifullah,
2011). Merawat bumi bernilai sama dengan merawat keberlangsungan fungsi
bumi, dimana manusia dan makhluk lainnya tumbuh dan berkembang.
Khilafah bisa juga bermakna kepemimpinan.
Khalifah merupakan utusan Allah yang diberi mandat untuk
mengelola bumi dan bertanggungjawab memimpin makhluk Allah yang
lainnya. Mandat ini membawa implikasi bahwa manusia sebagai khali>fah
harus mampu mewakili Tuhan dalam memimpin dan memelihara
keberlangsungan kehidupan semua makhluk. Allah memilih manusia sebagai
59
wakilnya di bumi bukan tanpa alasan, Pilihan Tuhan ini bukan tanpa alasan.
Pilihan ini juga sudah mendapat persetujuan manusia (QS. al-Ahzab:72).
Konsekwensinya, sebagai khalifah manusia dituntut menegakkan keadilan
dan amanah di tengah-tengah lingkungan alamnya dimuka bumi ini.
Penghianatan terhadap amanah dan keadilah tersebut sama saja dengan
menghianati asa ketauhidan yang bermakna sama dengan berbuat syirik dan
dzalim.
(3) Amanah.
Manusia debagai khali>fah oleh Allah diberi hak untuk memanfaatkan
bumi dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya, namun hak tersebut
dibatasi sebatas memenuhi hajar hidupnya saja. Tidak ada Hak untuk
menguasai secara mutlak terhadap bumi termasuk sumber daya alamnya,
terlebih hanya untuk memenuhi nafsu keserakahannya. Hak penguasaan
mutlak tetat ada pada Allah SWT. Pada pengertian ini bumi dan segala isinya
sebagai tempat tinggal manusia adalah sebagai lahan ujian bagi manusia.
Supaya berhasil dalam menghadapi ujian tersebut manusia harus mampu
membaca tanda-tanda yang diberikan Allah. Persyaratan utama agar manusia
mampu membaca tanda-tanda Allah tersebut, manusia wajib mempunyai
pengetahuan dan Ilmu.
(4) Halal dan Haram.
Halal dan haram berkenaan dengan peran manusia sebagai khalifah
adalah sebagai rambu, untuk tetap menjaga keberlanjutan peran dan fungsi
alam serta harmoni kehidupan di alam ini. Segala sesuatu yang dapat
menenteramkan hati, yang baik, memberi dampak baik dan menguntungkan
adalah makna dari Halal. Sedangkan Haram adalah segala sesuatu yang jelek,
membahayakan atau merusak seseorang, masyarakat dan lingkungan alam
dan sosialnya. Termasuk dalam pengertian haram jika sesuatu tersebut dapat
membahayakan fisik dan jiwa manusia serta dapat merusak alam lingkungan.
Halal dan haram ini berlaku untuk manusia dan alam. Penghianatan terhadap
rambu-rambu tersebut membawa konsekwensi disekuilibrium bagi
keberlangsungan kehidupan manusia dan mengganggu keharmonisan dan
keseimbangan ekologis di alam.
60
(5) Keseimbangan
Allah SWT dalam menciptakan Alam semesta adalah berdasarkan asas
ekuilibrium (QS: Al-Mulk: 67). Keseimbangan sebagai sunnatullah yang
berlaku atas alam semesta beserta isinya. Ekuilibrium ini bisa mengalamai
desekulibrium apabila diantara isi alam semesta tersebut mengalami
gangguan. Gangguan tersebut bisa dalam bentuk kejadian alamiah terlebih
apabila berasal dari perilaku manusia. Apabila terjadi gangguan pada alam,
maka alam akan bereaksi atau merespon dengan membentuk ekuilibrium baru
yang bisa terjadi dalam waktu singkat, atau bisa pula dalam waktu yang
cukup lama tergantung pada intensitas gangguan serta sifat kelentingan
masing-masing sistem alam yang bersangkutan.
Ekulibrium baru yang terbentuk ini dapat secara alami berbeda secara
kuantitatif dan kualitatif dari keseimbangan sebelumnya. Pun demikian
ekulibrium baru ini bisa berdampak merugikan, juga bisa bermanfaat bagi
anggota masyarakat atau kelompok yang bersangkutan. Perilaku dan tindakan
manusia terhadap alam, sebenarnya bertujuan untuk memastikan bahwa alam
tidak mengalamai desekuilibrium. Larangan untuk tidak berkelahi,
mengatakan kotor, berbohong, berburu, melukai atau membunuh binatang
dan tumbuhan selama Ihram bagi orang-orang yang sedang naik haji atau
umrah, sebenarnya mengandung pesan bahwa keseimbangan alam dan
keharmonisan hidup tidak boleh diganggu oleh tindakan merusak (haram).
(6) Kemashlahatan
Istishlah atau manfaat publik adalah salah satu pilar utama syariah Islam,
termasuk dalam manajemen lingkungan. Faktanya, jelas bahwa Tuhan
melarang manusia untuk mengambil tindakan yang berbahaya bagi
lingkungan, termasuk penghancuran kehidupan manusia, setelah Tuhan
melakukan perbaikan. Ini bukan hanya kehidupan dunia tetapi akhirat (QS:
AlA'raf: 56). Tujuan tertinggi melindungi alam dan ekosistem adalah
kesejahteraan universal dan kesejahteraan semua makhluk baik di masa kini
(di dunia) dan di masa depan (di akhirat).
Istishlah juga dapat dimaknai sebagai memperlakukan alam, termasuk
kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan di bumi. Hewan dan tumbuhan
61
yang diciptakan oleh Allah diperuntukkan bagi manusia untuk mendukung
kehidupan mereka, dan tidak akan rusak. Dengan kata lain, pemanfaatan alam
termasuk hewan dan manusia adalah pemanfaatan yang berkelanjutan. Alam
telah diciptakan oleh Allah dalam desain yang sempurna dan seimbang,
sehingga gangguan penciptaan dan keseimbangan berarti bahwa ia juga
merupakan tindakan perusakan terhadap alam, yang berarti ia juga
menghancurkan alam termasuk kehidupan manusia, dan bahwa tindakan
tersebut termasuk dosa besar, setara dengan pembunuhan.
Konsep teologi lingkungan tersebut mengandung makna, penghargaan
yang sangat tinggi terhadap alam, penghormatan terhadap saling keterkaitan
setiap komponen dan aspek kehidupan, pengakuan terhadap kesatuan
penciptaan dan persaudaraan semua makhluk, serta menunjukkan bahwa etika
harus menjadi landasan setiap perilaku dan penalaran manusia.
Jika kerangka ini diaplikasikan sepenuhnya, atau dengan kata lain setiap
muslim menjalankan syari’at Islam dengan konsisten, maka permasalahan
tentang krisis lingkungan terutama di Negara-negara yang mayoritas
penduduknya muslim, insya Allah tidak akan separah saat ini.
Menurut Sumantri (2015) prinsip-prinsip relasi manusia dengan alam
adalah sebagai berikut:
(1) Muhasabah (Evaluasi Diri)
Alam semesta diciptakan oleh Allah bukan main-main (QS. 21:16),
melainkan dengan Hak (QS. 29:44) dan dengan Tujuan yang jelas (QS. 46:3)
yaitu sebagai tanda kekuasaan Allah bagi orang yang berakal, orang
mengetahui, orang yang bertaqwa dan orang yang mendengarkan pelajaran
(Mangunjaya & Abbas, 2010). Melakukan evaluasi terhadap pengelolaan
lingkungan merupakan suatu prinsip dasar bagi manusia sebagai bagian dari
lingkungan. Sebaliknya, dari perspektif teori mengenai hak asasi lingkungan,
kesalehan manusia menerima bahwa lingkungan dan segala isinya
mempunyai status moral dan hak, maka konsekuensi logisnya manusia
sebagai pelaku moral berkewajiban menghargai kehidupan alam, kehidupan
semua makhluk hidup yang ada di dalamnya (Sumantri, 2015). Mereka semua
adalah bagian dari sistem yang diciptakan dengan sempurna di mana semua
62
elemen menemukan diri mereka saling bergantung, saling mempengaruhi
secara positif atau negatif. Setiap makhluk memiliki fungsi takdirnya, yang
harus tetap tidak rusak dan dihormati (Mănoiu et al., 2016).
Sebagai makhluk multideminesional manusia berkewajiban menghargai
hak semua makhluk hidup untuk berada, hidup, tumbuh dan berkembang
secara alamiah sesuai dengan tujuan penciptaannya dengan melakukan
evaluasi terhadap segala perilakunya dalam pengelolaan lingkungan
(Muhaimin, 2015). Sebagai perwujudan nyata dari bukti adanya koreksi dan
evaluasi untuk menjadi lebih baik dalam pengelolaan lingkungan, maka
manusia perlu memelihara, menjaga, merawat, melindungi dan melestarikan
lingkungan beserta seluruh isinya (Yunansah & Herlambang, 2017).
Prinsip muhasabah adalah manusia memiliki tanggung jawab moral
terhadap lingkungan, karena secara ontologis manusia adalah bagian integral
dari alam. Kenyataan ini melahirkan prinsip moral bahwa manusia
mempunyai tanggung jawab melakukan muhasabah baik terhadap alam
semesta seluruhnya dan integritasnya, maupun terhadap keberadaan dan
kelestarian setiap bagian dan benda di alam semesta ini, lebih khusus
terhadap makhluk hidup. Setiap bagian dan benda di alam ini diciptakan oleh
Allah dengan tujuannya masing-masing, terlepas dari apakah tujuan tersebut
untuk kepentingan manusia atau tidak. Oleh karena itu manusia sebagai
bagian dari alam semesta bertanggung jawab untuk menjaganya (Fua, 2014;
Fua & Wekke, 2017).
(2) Muroqobah (Kedekatan pada Pencipta Alam)
Prinsip muroqobah adalah setiap orang dituntut dan terpanggil untuk
memiliki kedekatan pada alam sebagai perwujudan kedekatan pada Allah,
kedekatan pada alam semesta ini sebagai milik bersama dengan rasa memiliki
yang tinggi seakan merupakan milik pribadinya. Kedekatan pada lingkungan
dengan memahami segala fenomenanya akan muncul jika pandangan dan
sikap moral yang dimiliki adalah bahwa alam bukan sekedar untuk
kepentingan manusia. Oleh karena itu muroqobah bersifat antroposentris-
kosmis yaitu kedekatan pada pencipta alam yang merupakan manivestasi
bentuk tanggung jawab karena panggilan kosmis untuk menjaga alam semesta
63
itu sendiri, untuk menjaga keseimbangan dan keutuhan ekosistem (Sumantri,
2015).
Sikap moral bertanggung jawab mencakup dua aspek, yaitu tanggung
jawab terhadap mutu/kualitas alam semesta dan tanggung jawab
keberlangsungannya. Sikap tanggung jawab terhadap menjaga
mutu/kualitanya adalah apabila tidak mampu semakin meningkatkan kualitas
alam semesta, minimal jangan merugikan orang lain. Sedangkan tanggung
jawab terhadap keberlangsungan alam semesta adalah hendaknya jangan
melakukan perbuatan yang berakibat mengganggu atau merugikan
lingkungan, membahayakan orang lain dan mengurangi kualitas hidup
generasi mendatang (Suliantoro, 2011).
(3) Muahadah (kesatuan)
Al-Quran menjelaskan bahwa alam adalah suatu kesatuan yang utuh,
memiliki sistem yang lengkap dan kompleks, setiap komponen saling
mendukung dan melindungi (Mănoiu et al., 2016). Alam semesta berjalan
atas dasar pengaturan yang serasi dan dengan perhitungan yang tepat (Yafie,
2006), jika salah satu komponen terpengaruh, maka akan mengganggu
tatanan dan fungsi normal dari keseluruhan sistem alam (Mănoiu et al., 2016).
Prinsip keteraturan yang serasi dan perhitungan yang tepat semacam ini
seharusnya menjadi dasar dan pegangan dalam menjalani kehidupan di bumi
ini.
Harmoni alam telah berada pada ukuran, porsi, dan perhitungan yang
stabil. Keseimbangan alam berada pada tingkat yang presisi. Hal itu
menunjukkan bahwa bumi dan semesta alam diciptakan dengan perhitungan
dan perencanaan yang begitu matang. Air, tanah, angin, panas bumi, dan
udara diatur sedemikian rupa yang kesemuanya mengandung energi yang
potensial bagi keperluan umat manusia. Gelombang laut, arus laut, uap dari
kawah, maupun energi nuklir menjadi potensi tambahan yang baru-baru ini
ditemukan dan dikembangkan. Semua tanggungjawab atas pemanfaatan alam
pada akhirnya berada di tangan manusia. Mau dibawa kepada kebaikan atau
mau dibawa kepada hal yang bertolak belakang dengan prinsip
keseimbangan: berbanding terbalik dengan hukum Tuhan.
64
Manusia dengan akalnya memiliki tanggungjawab untuk berupaya
menjaga keseimbangan alam di tengah keadaan di atas. Sebagaimana QS. Ar
Rahman: 8-9 yang berisi tentang keseimbangan alam tidak boleh diganggu
dan manusia diwajibkan menegakkan hukum keseimbagan tersebut.
Keseimbangan adalah untuk manusia, sumberdaya alam boleh dimanfaatkan
dalam porsi yang sesuai. Di antara pesan Al Qur’an tentang prosedur dalam
menafkahkan potensi alam dan potensi akal dan kecakapan adalah Al
Baqarah 267 tentang eksplorasi SDA dan Menafkahkannya secara seimbang
Keseimbangan dalam arti di atas juga bertujuan terhadap pemerataan
distribusi kekayaan alam untuk kesejahteraan bersama. Jangan sampai
kekayaan itu secara sepihak hanya tertumpuk pada sebagian orang. Untuk itu,
ayat di atas juga mengandung prosedur pemerataan ekonomi. Karena
pentingnya arti keseimbangan, kondisi alam saat ini yang berada pada level
yang belum sesuai standar dengan masih maraknya penebangan liar,
pembukaan lahan dengan pembakaran, dan pencemaran pengairan daerah
ladang kelapa sawit. Di tengah kondisi tersebut maka tugas manusialah untuk
memperbaikinya kembali.
Prinsip muahadah muncul dari kenyataan bahwa manusia adalah
bagian integral dari alam semesta yang memiliki sifat yang sama yaitu
nisbi/tidak mutlaq (Udin, 2016), memiliki kedudukan sederajat dan setara
dengan alam dan makhluk hidup (Sumantri, 2015), serta diberi tanggung
jawab mewujudkan harmoni yang maksimal antar seluruh kosmis (Suliantoro,
2011). Kenyataan ini membangkitkan dalam diri manusia perasaan
muahadah. Manusia harus menyadari sepenuhnya sebagai mikrokosmos
manusia adalah bagian kecil namun tidak dapat dipisahkan dengan yang lebih
besar dan universal, yaitu alam sebagai makrokosmos dan pada akhirnya akan
bersama-sama kembali menuju kepada Tuhan (Udin, 2016). Perasaan ini
akan membangkitkan rasa simpati yang dapat mengubah perasaan orang lain
menjadi persaannya juga (Keraf, 2014), perasaan sepenanggungan, perasaan
solider dengan alam dan dengan sesama makhluk hidup lainnya. Manusia ikut
merasakan apa yang dirasakan oleh makhluk lainnya di alam semesta.
Manusia dapat merasakan sakit ketika berhadapan dengan kenyataan yang
65
memilukan berupa rusak dan punahnya makhluk hidup tertentu (Sumantri,
2015).
Prinsip ini dalam kosmis mendorong manusia untuk menyelamatkan
lingkungan dan untuk menyelamatkan semua kehidupan di alam. Karena
alam dan semua kehidupan di alam ini memiliki nilai yang sama dengan
kehidupan manusia.
(4) Muaqobah )Hukuman)
Prinsip muaqobah pembatasan yang ditekankan pada nilai, kualitas,
cara hidup yang baik, dan bukan pada perolehan sebanyak-banyaknya
kekayaan, sarana dan standar material atau prinsip kesederhanaan (Suliantoro,
2011). Yang ditekankan bukan rakus dan tamak mengumpulkan harta dan
memiliki sebanyak-banyaknya. Yang lebih penting adalah mutu kehidupnan
yang lebih mulia dihadapan Allah.
Prinsip ini menjadi penting karena, pertama, krisis ekologi sejauh ini
terjadi karena pandangan antroposentris yang hanya melihat alam sebagai
obyek ekplorasi dan pemuas kepentingan hidup manusia. Kedua, krisis
ekologi terjadi karena pola dan gaya hidup manusia modern yang konsumtif,
tamak dan rakus. Kalau manusia memahami bahwa dirinya merupakan bagian
integral dari alam, maka manusia harus memanfaatkan alam secukupnya saja,
sekedar untuk hidup secara layak dan mulia sebagai manusia.
(5) Mujahadah
Prinsip mujahadah menjelaskan bagaimana manusia harus berperilaku
satu terhadap yang lain dalam kaitan dengan alam semesta dan bagaimana
sistem sosial harus diatur agar berdampak posistif pada kelestarian
lingkungan hidup. Prinsip ini menuntut manusia agar dapat melakukan ikhtiar
atau perjuangan pengelolaan lingkungan untuk mengamankan kepentingan
publik. setiap manusia adalah pemimpin dan dituntut untuk berusaha keras
sebagai orang yang bersih dan disegani oleh publik, karena mempunyai
kepedulian tinggi terhadap kepentingan umat. Manusia dituntut untuk tidak
menyalahgunakan amanah untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya
dengan merugikan umat.
66
Manusia dituntut untuk bertindak dengan tetap menjaga nama baik
sebagai orang yang mulia dalam berikhtiar mengelola lingkungan untuk
kepentingan umat (Sumantri, 2015). Kepentingan pribadi harus difikirkan
secara matang dan jangan sampai merusak ritme alam semesta maupun sosial
yang sudah berjalan secara teratur. Kapanpun manusia melakukan perubahan
dengan melanggar hukum alam semesta hasilnya selalu kehancuran
(Suliantoro, 2011)
Lima prinsip kesalehan ekologis tersebut dapat dihayati atau tidak
bergantung pada cara pandang masing-masing tentang manusia, alam, dan
tempat manusia dan alam. hal ini sangat bergantung pada pendidikan sejak
dari keluraga dan diteruskan di sekolah dan masyarakat. Keluarga dan
masyarakat sangat menentukan dalam membentuk cara pandang dan perilaku.
Bahkan sesungguhnya masyarakat mempunyai pengaruh yang jauh lebih
menentukan. Oleh karena itu pendidikan dan pembinaan sejak dini saja tidak
akan memadai. Karena kesalehan tidak dapat dipaksakan, yang dibutuhkan
adalah uswatun khasanah untuk memungkinkan prinsip-prinsis kesalehan
ekologis bisa dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan bersama ditengah
masyarakat. Mawardi dan Sambodo (2011) menambahkan bahwa prinsip relasi manusia dengan alam adalah:
(1) Keimanan dan peribadatan.
Alam semesta berfungsi sebagai sarana bagi manusia untuk mengenal kebesaran dan kekuasaan Allah
(beriman kepada Allah) melalui alam semesta, karena Alam semesta adalah ayat-ayat Allah. Manusia tidak
dibenarkan menghamba kepada alam dan memperhamba alam. Hal ini sejalan dengan pendapat Nurcholish
Madjid (1998) yang melihat hubungan manusia dengan alam sebagai hirarki kemuliaan martabat manusia.
Manusia secara hirarkis lebih tinggi daripada alam semesta.
(2) Pemanfaatan yang berkelanjutan.
Allah SWT menciptakan Alam semesta beserta isinya dimaksudkan untuk memenuhi hajat manusia.
Untuk memenuhi hajat tersebut manusia tidak diperkenankan mengekploitasi alam melebihi hajat dan
kebutuhannya, harus mempertimbangkan keberlangsungan generasi berikutnya. Demikian pula dalam
pemenuhan hajat tersebut manusia tidak diijinkan melakukan penyalahgunaan pemanfaatan atau perubahan
alam dan sumberdaya alam untuk kepentingan tertentu saja sehingga berdampak hak pemanfaatannya bagi
semua kehidupan menjadi berkurang bahkan hilang.
(3) Pemeliharaan untuk semua makhluk.
Manusia memiliki kewajiban untuk memelihara lingkungan demi kelangsungan hidupnya, tidak terbatas
hanya untuk kemanusiaan saja tetapi untuk semua makhluk hidup. Tindakan manusia dalam menggunakan
67
sumber daya alam dan mengabaikan prinsip pemeliharaan dan konservasi yang mengakibatkan degradasi
lingkungan dilarang dan akan dihukum. Di sisi lain, manusia yang mampu memenuhi peran mereka
melestarikan dan melindungi alam akan diberi pahala oleh Allah SWT.
Lebih lanjut sambodo & mawardi (2011) menjelaskan bahwa manusia dalam hubungannya dengan Tuhan,
berhubungan pula dengan alam sebagai sesama makhluk ciptaan-Nya. Dalam berhubungan dengan Tuhan ini
manusia memerlukan alam sebagai sarana untuk mengenal dan memahami Allah yakni alam adalah ayat-ayat
kauniyah-Nya.
Menjadi jelas, bahwa prinsip kesalehan ekologis adalah menjadikan manusia sebagai khalifah yang
mengelola bumi semata sebagai wujud keimanan dan peribadatan kepada Allah, untuk keberlangsungan
kehidupan semua makhluk yang ada sampai dengan batas waktu yang ditetapkan 5. Implikasi Relasi Taskhi>r
Pemahaman terhadap relasi taskhi>r dalam pola pemikiran dan perspektif
Al-Kilani harus melahirkan pemahaman adanya relasi antara manusia sebagai
hamba Allah dengan alam semesta dalam bingkai peribadatan kepada- Nya atau
dalam kerangka amal shalih. Relasi taskhi>r seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, menurut perspektif Al-Kilani selanjutnya harus mampu
memberikan implikasi dalam menumbuhkembangkan daya eksploratif untuk
mengungkap dan menyingkap beragam potensi alam dan jiwa psikis, mengkaji
fenomenanya, dan agar dapat mengeksplorasinya bagi kemashlahatan manusia
(Maya, 2017). Yang dimaksud dengan daya eksploratif adalah daya atau
kemampuan menyingkap hukum-hukum atau sunnah-sunnah penciptaan
(fenomena alam), baik yang ada di alam semesta maupun yang terdapat di dalam
jiwa psikis manusia dan upaya mengeksplorasinya bagi aspek kehidupan yang
bermanfaat dalam rangka menjaga eksistensi manusia dan mengarahkan
kemajuannya. Berdasarkan definisi tersebut, daya eksploratif sendiri terbagi
menjadi ada dua macam kategori, yaitu:
a) Daya eksploratif terhadap sumber daya alam adalah kemampuan untuk
menyingkap dan mengungkap hukum-hukum tertentu dari unsur-unsur alam
melalui fenomenanya untuk kemudian dikaji dan diimplementasikan secara
praksis bagi hal yang bermanfaat.
b) Daya eksploratif terhadap potensi psikis jiwa adalah kemampuan untuk
menyingkap dan mengungkap hukum-hukum tentang perilaku moral manusia
dan berbagai potensi psikisnya, baik secara personal- individual maupun
68
komunal-sosial, untuk dapat diberdayakan dalam meningkatkan kemajuan
kehidupan.
Manusia yang berusaha menyingkap ayat-ayat Allah berupa ufuk langit
akan memunculkan ilmu-ilmu kealaman atau sains, antara lain ilmu fisika,
biologi, kimia, kedokteran, dan disiplin lainnya dan manusia yang hendak
menyingkap ayat-ayat Allah berupa aspek psikis dalam jiwa manusia sendiri,
maka akan memunculkan disiplin ilmu psikologi dengan berbagai cabangnya.
Perspektif dan pemikiran seperti ini selaras dan merupakan inti dari paradigma
kesatuan ilmu pengetahuan (unity of science). Unity of science sendiri dapat
dipahami sebagai keterkaitan erat atau keterpaduan ilmu pengetahuan manusia,
baik pada aspek ontologis, epistemologis maupun aksiologis pengetahuan
tersebut, dalam satu kesatuan kesatuan kebenaran pengetahuan hakiki, dan tauhid
sebagai landasan utamanya.
The unity of science, dengan demikian merupakan antitesis dari dikotomi
ilmu pengetahuan, yakni pemisahan atau pembelahan ilmu pengetahuan menjadi
dua secara diametral, yang seolah-olah kedua ilmu yaitu ilmu- ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum berasal dari sumber yang berbeda, dan tidak bisa dipertemukan.
Istilah lain yang berkembang dewasa kini selain kesatuan ilmu pengetahuan
(unity of science) adalah integrasi ilmu yang sering dinyatakan sebagai
keterpaduan pengembangan dan penguasaan sains dan teknologi dengan
kesadaran ketuhanan atau kepribadian Islami.Dengan perkataan lain,
pengembangan sains dan teknologi harus tumbuh di atas fondasi keimanan.
Dengan itu, ketika sains dan teknologi itu tumbuh semakin rindang dan berbuah,
maka cabang, ranting, dan buahnya itu senantiasa bernuansa keimanan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa iman bisa diperoleh baik dari
wahyu maupun akal, dari observasi maupun intuisi, dan dari tradisi maupun
spekulasi teoritis. Sementara berbagai cara mengetahui alam dan realitas yang
bermacam ragam itu sama-sama valid menurut Islam, kesemuanya tunduk pada
wahyu Al-Quran. Oleh karena itu, dengan sendirinya beberapa aspek keterpaduan
yang dikehendaki oleh sistem pendidikan perlu diupayakan seperti keterpaduan
kurikulum, keterpaduan media pendidikan, dan keterpaduan tujuan pendidikan,
atau keterpaduan dalam aspek lainnya yang terkait (Maya, 2018).
69
Al-Kilani (1987) menyimpulkan bahwa pemahaman terhadap ayat-ayat
Allah dalam wahyu dan yang ada di alam semesta berupa ufuk langit dan jiwa
psikis manusia pada gilirannya melahirkan metode pendidikan yang khas, yaitu
metode pembacaan ayat-ayat yang sangat dibutuhkan oleh pendidikan
kontemporer, baik oleh pendidikan Islam maupun pendidikan umum sekalipun.
Tilawah atau pembacaan yang dimaksud dalam metode pembacaan ayat-ayat
adalah berupa pembacaan, kontemplasi, perenungan, tadabbur, dan mengikutinya
secara aplikatif, tidak hanya sekedar membaca tanpa makna dan tidak ada
implementasi terhadap proses dan hasil pembacaannya. Dari relasi taskhir yang
kemudian melahirkan daya eksploratif sebagaimana yang telah dikemukakan, Al-
Kilani senantiasa memotivasi agar pendidikan Islam dapat memacu daya kreatif-
inovatif dan memicu gerakan pembaruan sehingga mampu melahirkan
masyarakat yang terbuka lagi adaptif. Itu semua menurut Al-Kilani sangat
bergantung kepada “sehat dan sakitnya masyarakat” (shihhah wa maradh al-
mujtama’), terutama bergantung kepada “sehat dan sakitnya” pemikiran
masyarakat tersebut.
4. Ekologi Pesantren
Kesadaran tentang lingkungan hidup di pesantren secara formal diinisiasi dan
diselenggarakan oleh Indonesian Forest and Media Campaign (INFORM) dan
Pusat Pengkajian Pemberdayaan dan Pendidikan Masyarakat (P4M) Jakarta,
bertemakan Menggagas Fiqh Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah) di Lido, Sukabumi,
Jawa Barat pada tanggal, 2 Mei 2004 yang dihadiri oleh lebih dari 30 ulama dari
pondok pesantren di Jawa, Lombok, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Sebagian ulama dan pimpinan yang di minta kehadirannya dipertimbangkan
adalah ulama yang bisa mewakili kompetensi untuk mengkaji dan menggali ayat-
ayat Al-Quran, Hadis dan kitab-kitab salaf (kitab kuning) tentang lingkungan
(Mangunjaya, 2014; Muhammad et al., 2006).
Pertemuan ini merekomendasikan dua hal. Pertama peran ulama sebagai
figur yang tepat untuk menyebarkan pemeliharaan lingkungan kepada
masyarakat dan berfungsi sebagai agen pelestarian lingkungan dengan integrasi
pendidikan lingkungan dalam materi pendidikan di pesantren sehingga dapat
memberikan snow-ball effect. Kedua rumusan tentang Fiqh al-Bi’ah yang
70
disajikan dalam sebuah buku laporan bertajuk Fiqih Lingkungan yang diterbitkan
pada tahun 2005 (Muhammad et al., 2006).
Menurut Mangunjaya (2014), indikator untuk mewujudkan pesantren yang
ramah lingkungan “ekopesantren” adalah sebagai berikut:
Pertama, Pengelolaan sarana pendukung pesantren ramah lingkungan.
Tentunya untuk mewujudkan ekopesantren harus memiliki sarana dan prasaran
pendukung yang mumpuni dan mencerminkan upaya-upaya pengelolaan
lingkungan hidup. Pengembangan sarana pendukung pondok pesantren untuk
pendidikan lingkungan hidup, peningkatan kualitas pengelolaan lingkungan
hidup di dalam dan di luar pesantren, penghematan sumber daya alam (listrik,
air), peningkatan kualitas layanan makanan halal dan sehat, pengembangan
sistem pengelolaan sampah, pemanfaatan lahan dengan kegiatan ramah
lingkungan, pengelolaan sanitasi dan MCK yang bersih dan sehat, rancangan
pembangunan fisik yang ramah lingkungan.
Kedua, Pengembangan kegiatan Lingkungan berbasis partisipatif. Dalam hal
ini pesantren harus berpartisipasi langsung dalam memberikan pendidikan
lingkungan hidup kepada santri dan masyaratkat sekitar pesantren.
Ketiga, pengembangan kurikulum berbasis lingkungan. Penyampaian materi
lingkungan hidup kepada santri dapat dilakukan melalui kurikulum secara
terintegrasi dan terpadu, ataupun dalam mata pelajaran tersendiri.
Keempat, kebijakan pesantren peduli dan berbudaya lingkungan.
Prinsip ekologi pesantren adalah rub’ul iba>dah, (hal ihwal ibadah), Rub’ul
mu’amalah, (hal ihwal hubungan sosial kemasyarakatan), Rub’ul munakahat
(hal ikhwal kekeluargaan) dan rub’ul jina>yat (hal ihwal penerapan sanksi).
Sedangkan Norma dasar ekologi pesantren adalah Program-program yang
dikembangkan berdasarkan Al-Quran, as-Sunnah dan Kitab Salaf antara lain
Kemaslahatan, Kebersamaan, Keterbukaan, Kesetaraan, Kejujuran, Keadilan dan
Kelestarian Lingkungan.
Ekologi Pesantren juga menjadi salah satu model pendidikan lingkungan
berbasis agama yang direkomendasikan oleh konferensi international aksi
muslim 1 untuk perubahan iklim untuk diterapkan pada skala international.
Cendekiawan muslim dunia mengakui bahwa pesantren di indonesia memiliki
71
pemahaman maju dalam mengelola lingkungan seperti sampah menjadi kompos
dan barang bernilai ekonomi lainnya sehingga bisa mendapat kesejahteraan
pesantren
Tujuan Pendidikan Islam dalam Al-Quran berdasarkan taksonomi
transenden ada tiga yaitu Pertama, baik dalam kaitannya dengan hubungan
manusia dengan Tuhan oleh penulis dinamakan dengan dimensi ilahiyyah
(ketuhanan/ teosentris). Kedua, baik dalam kaitannya dengan hubungan
manusia dengan manusia dan interaksi sosial dimasyarakat dinamakan dengan
dimensi insaniyyah (kemanusiaan/ antroposentris). Ketiga, baik dalam
kaitannya dengan hubungan manusia dengan alam semesta yang dinamakan
dimensi kauniyah (alam semesta/ekosentris) (Fuad, 2014)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 Tentang
Pesantren, 2019), Nilai-nilai Islam rahmatan lil'alamin dan berdasarkan
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika dikembangkan sebagai jiwa-
jiwa Pesantren yang termasuk jiwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
nasionalisme, kehidupan ilmiah, kehidupan ilmiah, kesederhanaan kehidupan
spiritual, jiwa ukhuwah, jiwa kemerdekaan, jiwa kebebasan, dan jiwa
keseimbangan. Yang dimaksud dengan Jiwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan nasionalisme adalah jiwa yang merupakan prinsip utama dalam
administrasi sistem pendidikan yang dikembangkan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. yang dimaksud dengan Jiwa Ilmu Pengetahuan
adalah jiwa yang mendasari semua pemangku kepentingan dan akademisi
pesantren untuk menarik, mencari, dan mengembangkan ilmu yang tidak
berhenti.Untuk pesantren, mencari ilmu adalah keharusan yang harus dilakukan
sampai mati.
Demikian juga, antusiasme untuk mengembangkan dan menyebarluaskan
pengetahuan kepada masyarakat adalah bagian dari peribadatan sosial sebagai
perwujudan dari niat untuk mencapai pengetahuan yang bermanfaat. Yang
dimaksud dengan Jiwa Kesungguhan adalah jiwa yang tidak digerakkan oleh
ambisi apa pun untuk mendapatkan kepastian. manfaat, tetapi semata-mata demi
ibadah Allah. Jiwa ketulusan diwujudkan dalam semua rangkaian sikap dan
72
tindakan yang selalu dilakukan secara ritual oleh komunitas pesantren.
Diperkuat oleh adanya keyakinan bahwa perbuatan baik akan dihargai oleh
Allah, dengan imbalan yang baik, bahkan mungkin lebih baik.
Jiwa Kesederhanaan adalah sederhana yang tidak berarti pasif, tetapi
mengandung unsur kekuatan dan keberanian serta pengendalian diri dalam
menghadapi semua kesulitan. Di balik kesederhanaan itu, terkandung jiwa yang
besar dan berani, bergerak maju dalam menghadapi perkembangan dinamika
sosial. ini adalah identitas Santri yang paling khas.
Jiwa Ukhuwah adalah jiwa yang demokratis yang digambarkan dalam
situasi dialogis dan intim antara komunitas pesantren yang dipraktikkan setiap
hari. Apakah kita menyadarinya atau tidak, situasi ini akan menciptakan suasana
damai, takdir bersama, yang sangat membantu dalam membentuk dan
membangun idealisme Santri. Perbedaan yang dibawa oleh Santri ketika
memasuki pondok pesantren tidak menjadi penghalang dalam hubungan yang
berdasarkan spiritualitas Islam yang tinggi. Yang dimaksud dengan 'Jiwa
Kemandirian' bukanlah kemampuan untuk berurusan dengan masalah internal,
tetapi kemampuan untuk membentuk kondisi Pondok Pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam yang independen dan tidak bergantung pada bantuan dan harga
diri kepada pihak lain. Pesantren harus dapat berdiri di atas kekuatannya sendiri.
Kebebasan, yaitu bebas dalam memilih alternatif cara hidup dan
menentukan masa depan dengan jiwa besar dan sikap optimis untuk menghadapi
semua masalah kehidupan berdasarkan nilai-nilai Islam. Kebebasan juga
bermakna tidak dipengaruhi atau tidak didikte oleh dunia luar. Salah satu jiwa
pesantren yang termaktub dalam undang-undang pesantren adalah Jiwa
Keseimbangan yang bersumber dari nilai Islam rahmatal lilalamin, pancasila,
UUD ’45 dan Bhineka Tunggal Ika. Jiwa keseimbangan tersebut dalam
pesantren dimanifestasikan atas kesadaran yang sangat mendasar, yaitu fungsi
manusia sebagai hamba Allah SWT dan fungsi khalifah di muka bumi sebagai
hamba-hamba Allah SWT, manusia dituntut untuk beribadah dan menjalin
hubungan pribadi secara vertikal dengan Allah SWT melalui serangkaian ibadah
mahdlah dan fasilitasi keagamaan lainnya. Sebagai khalifah di muka bumi,
manusia diwajibkan untuk menjalin komunikasi, kerja sama, dan hubungan
73
sosial horizontal di antara sesama serta memanfaatkan alam semesta secara
harmonis untuk kepentingan kemanusiaan secara luas. Kedua fungsi itu
senantiasa mendasari sikap dan perilaku keberagamaan, pola pikir, dan kegiatan
sehari-hari secara seimbang.
5. Kesalehan Ekologis
a. Pengertian kesalehan ekologis
Kesalehan berasal dari kata “saleh” yang dirangkai dengan awalan “ke”
dan akhiran “an” yang berarti ketaatan atau kepatuhan dalam menjalankan
ibadah; kesungguhan menunaikan ajaran agama (kbbi.web.id). dalam Kamus
Al-Mu’jam al-Wasith (2004) kata shaluha sebagai akar kata shaliḥ berarti
bermanfaat, bagus, menghindari kerusakan, memperbaiki sesuatu yang rusak.
Dari akar kata salih tersebut menunjukkan pada satu makna yang sama yaitu
lawan dari kerusakan. Sehingga saleh dapat dimaknai sebagai perbuatan baik
menurut agama dan manusia (Saepudin et al., 2007). Sedangkan ekologis
bermakna bersifat ekologi (kbbi.web.id). yaitu hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya (Keraf, 2014). Jadi kesalehan ekologis
bermakna hubungan timbal balik manusia terhadap lingkungan dalam rangka
kepatuhan menjalankan ibadah.
Kesalehan ekologis menurut Sumantri (2015) adalah akhlak, karena
sesungguhnya agama itu adalah akhlak yang baik. Akhlak yang baik mencakup
relasi manusia dengan Allah, relasi antar manusia, dan relasi manusia dengan
lingkungan atau alam. Abdillah (2001) menyebut sebagai orang yang memiliki
daya nalar yang memadai, yaitu orang yang memiliki kesadaran lingkungan dan
kearifan lingkungan serta memiliki kepedulian lingkungan. Selanjutnya
kesadaran, kearifan dan kepedulian lingkungan tersebut dikristalisasikan dalam
tindakan pelestarian lingkungan.
Sedangkan Goleman (2010) mengistilahkan sebagai kecerdasan ekologi,
artinya kemampuan manusia beradaptasi dalam ceruk ekologi dimana manusia
tinggal (Goleman, 2010). Capra (2007) menyebutnya sebagai melek ekologi atau
ecological literacy yaitu menggambarkan manusia yang sudah mencapai tingkat
kesadaran tinggi tentang pentingnya lingkungan hidup. Gardner (2003)
menyebutnya sebagai kecerdasan naturalis, yakni kemampuan manusia dalam
74
memahami gejala-gejala alam, memperlihatkan kesadaran ekologis dan
menunjukkan kepekaan terhadap bentuk-bentuk alam. Sedangkan Khozin (2014)
mendalilkan sebagai suatu karakter yang perlu dimiliki siswa, disamping
kejujuran, kedisiplinan, dan daya juang. Karakter tersebut adalah mejadi
manusia yang menjunjung tinggi kebersihan dan keindahan terhadap diri dan
lingkungan. Bukan manusia yang dekil dan jorok,dan bukan manusia yang tidak
mempunyai kepedulian terhadap lingkungan.
Secara sederhana dapat dimaknai, bahwa esensi kesalehan ekologis adalah
manusia yang mampu menjaga, melestarikan, mengelola, memperbaiki, dan
mendayagunakan lingkungan demi kesejahteraan hidup manusia sebagai
khalifah sekaligus memberikan kenyamanan untuk beribadah dan mewujudkan
masa depan yang lebih baik.
Menjaga semakna dengan menunggui, mengasuh, mempertahankan
keselamatan, mengiringi untuk melindungi dari bahaya, mengawal, mengawasi
sesuatu supaya tidak mendatangkan bahaya, mencegah bahaya, memelihara dan
merawat. Berbeda dengan mengijinkan, membebaskan, dan membiarkan.
Menjaga bermakna menunggui supaya selamat atau tidak ada gangguan
Melestarikan artinya melindungi, memayungi, membela, membentengi agar
tetap seperti keadaan semula. Maknanya adalah upaya pengelolaan sumber daya
alam beserta ekosistem dengan tujuan mempertahankan sifat dan bentuk
perubahan yang terjadi dikendalikan oleh alam.
Mengelola adalah mengusahakan, memperjuangkan, mencarikan jalan,
menyurihkan jalan, mengakali. Pengelolaan berarti perihal mengelola alam
dengan tujuan menanam tanaman yang dapat memberi keuntungan dan
memelihara serta memperbaiki kesuburan alam untuk jangka waktu Panjang
Memperbaiki adalah membetulkan kerusakan alam dan menjadikannya lebih
bagus.
Sedangkan mendayagunakan semakna dengan memakai, mengenakan,
memasang, membubuhkan, mencantumkan, lawan katanya adalah
mengeksploitasi. Mendayagunakan artinya memanfaatkan alam agar memiliki
nilai guna bagi seluruh kehidupan.
75
Kesalehan ekologis dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 124 kali dalam
berbagai variasi makna (Nafisah, 2019; Rodin, 2017; Saepudin et al., 2007).
Satu diantaranya terdapat pada QS. al-Anbiya:105, yang mengabarkan tentang
keberadaan dan peran penting orang-orang saleh bagi kehidupan di muka bumi,
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur bahwa bumi ini dititipkan
kepada hamba-hamba-Ku yang saleh.” Tentang ayat ini, Shihab (2005),
menerangkan, bahwa bumi adalah planet tempat manusia berpijak. Yang
diberikan kepada hamba-hamba Allah yang siap membangun dan menyediakan
keperluan hidup yang layak. di setiap tempat di muka bumi ini terdapat orang
saleh. Ia ditugaskan Allah untuk mengatur dan mengelola lingkungannya. Ia bisa
siapapun, tidak harus seorang Muslim. Lebih lanjut Shihab dengan mengutip
penjelasan Sya’rawi, mengatakan orang saleh itu ada dua macam, saleh duniawi
dan saleh ukhrawi.
Saleh duniawi adalah saleh dalam arti asal, yakni orang yang berkepribadian
baik sehingga di manapun berada ia tidak merugikan tapi justru banyak memberi
manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Namun kesalehan semacam ini hanya
berdimensi etis, bahwa apa yang dilakukannya itu baik atau benar berdasarkan
pertimbangan akal sehat. Kesalehan tersebut bersifat universal dan dapat diakui
secara rasional oleh semua manusia. Orang saleh jenis ini bisa kita temukan di
tempat mana pun di muka bumi ini. Ia bisa seorang muslim, non-muslim bahkan
ateis sekalipun; apapun profesi, jenis kelamin dan status sosialnya (Rodin,
2017). Di lingkungannya, ia menciptakan keadilan, keteraturan, kedamaian,
kemajuan dan kemakmuran. Namun ibarat bangunan, kesalehan tersebut berdiri
tanpa fondasi relijius-spiritual sehingga hanya berdimensi duniawi.
Kedua, saleh ukhrawi, yakni kesalehan yang lahir dari keimanan. Kebaikan
yang dilakukan sebagai ekspresi dari ketaatan kepada Tuhan (Saepudin et al.,
2007; Shihab, 2005; Wardani & Mulyani, 2013). Artinya, seseorang
berkepribadian atau melakukan kebaikan tidak sekedar karena tuntutan etika,
tapi juga atas kesadaran penuh sebagai seorang hamba Allah untuk berbuat baik
kepada sesama hamba dan ciptaan-Nya. Untuk itu dalam setiap tindakannya, ia
juga selalu memperhatikan aturan-aturan dan hukum agama, seperti halal dan
haram, atau wajib dan sunnah. Garis pembeda antara saleh duniawi dan ukhrawi
76
ini ialah keimanan, sehingga saleh ukhrawi ini hanya bisa dimiliki oleh seorang
Muslim
Seorang Muslim yang saleh menyadari bahwa dirinya bukan hanya sebagai
manusia, tapi juga sebagai hamba Allah. Ia sadar, sebagai manusia tentu
memiliki kekurangan. Namun ia berusaha agar kekurangannya itu bisa
diminimalisir dan tidak merugikan orang lain. Sebaliknya, dengan kemampuan
dan kelebihan yang dimilikinya, ia berupaya memberi manfaat sebanyak-
banyaknya bagi orang lain dan lingkungannya. Ia pun sadar bahwa hidup ini
hanya sementara. Baik-buruk perilakunya selama hidup di dunia akan
dipertanggungjawabkannya di hadapan Allah kelak di hari kiamat (Nafisah,
2019).
Inilah orang saleh yang barangkali dimaksudkan Allah dalam QS. An-Nisa:
69, bahwa manusia yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya akan ditempatkan
bersama dengan orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu para Nabi, para
shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka ini adalah sebaik-baik
teman. (Shihab, 2005). Berdasarkan ayat ini, orang saleh adalah satu di antara
empat golongan manusia yang dimuliakan Allah. Di dunia ia memiliki banyak
teman, dan di akherat ia akan mendapat nikmat.
Seorang muslim mengamalkan ajaran Islam berarti mengamalkan ajaran
Islam dan berada pada proses pencapaian kesalehan. Pengamalan yang terus
menerus terhadap ajaran Islam menjadi awal tertanamnya kesalehan dalam
jiwa setiap muslim. Perintah menjalankan agama tujuan utamanya adalah
membentuk hamba Allah yang saleh yang tidak hanya berakibat positif pada
dirinya dan orang lain, tetapi juga pada lingkungannya (Istiqomah, 2019)
Kesalehan ekologis harus didasari pengetahuan, kesadaran, dan keterampilan
hidup yang selaras dengan alam, sehingga tidak hanya berdampak pada diri
sendiri dan orang lain saja, akan tetapi berdampak terhadap lingkungan alam
sebagai tempat tinggal yang harus dijaga dengan tetap memiliki daya dukung
bagi kehidupan manusia dan makhluk lain (Setiawati, 2016).
Jadi, sejatinya menjadi saleh adalah pilihan bagi siapa saja orang beriman.
Sebagai manusia, setiap kita tentu mempunyai kelemahan dan kekurangan,
namun itu semua adalah sisi manusiawi untuk disadari dan dikoreksi. Selain itu,
77
manusia juga dibekali Allah dengan berbagai kemampuan dan kelebihan. Semua
itulah yang menjadi modal baginya untuk berbagi kebaikan sebanyak-banyaknya
kepada orang lain dan lingkungan.
Menurut Sarwiji et al (2016), komponen yang tercakup dalam kesalehan
ekologis meliputi:
1. Mengidentifikasi komponen-komponen ekosistem, baik abiotik maupun
biotik;
2. Memahami fungsi dan kegunaan komponen ekosistem, baik abiotik maupun
biotik;
3. Memahami sistem pengelolaan alam dan lingkungan, baik abiotik maupun
biotik;
4. Memahami tata nilai lingkungan, yang meliputi nilai kearifan lokal, nilai
religius, dan nilai normatif;
5. Menunjukkan keprihatinan atas kerusakan lingkungan atau pencemaran
lingkungan, baik abiotik maupun biotik;
6. Melakukan adaptasi tingkah laku terhadap lingkungan, baik abiotok maupun
biotik;
7. Memecahkan masalah yang timbul dari dampak lingkungan (abiotik maupun
biotik), baik secara individual maupun kolektif;
8. Mengelola dan melestarikan sumber daya alam (abiotik dan biotik), baik
secara individual maupun kolektif.
Dengan memiliki kesalehan ekologis, diharapkan perilaku manusia
semakin ramah dan harmoni terhadap lingkungan hidup sekitarnya, karena
manusia juga yang akan merasakan akibatnya apabila tidak bersikap saleh
terhadap lingkungan yang ditempati. Terdapat dua alasan yang mendasar
membangun kesadaran kesalehan ekologis, yaitu; Pertama, lingkungan
hidup beserta sumber daya alamnya yang lestari pada gilirannya akan
menjamin keberlanjutan proses pembangunan. Kegiatan pembangunan
memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia, bahkan dapat merubah
tatanan sumber daya alami menjadi sumber daya buatan.
78
Kedua, martabat manusia dan kualitas hidupnya bergantung pada
lingkungan tempat hidupnya, dalam arti, baik-buruknya kualitas lingkungan
akan berpengaruh pada kualitas hidup manusia di dalamnya.
b. Langkah-Langkah Membentuk Kesalehan Ekologis
Yusuf Qaradhawi menawarkan cara praktis menurut Islam bagaimana
pemeliharaan lingkungan dapat dilihat dalam uraian berikut:
(1) Adanya rasa cinta terhadap lingkungan. Upaya menumbuh kembangkan rasa
cinta pada sekelilingnya yang terdiri atas makhluk hidup dan makhluk mati.
Yang hidup terdiri dari hewan-hewan melata sampai burung-burung,
kesemuanya itu harus dilihat sebagaimana layaknya makhluk seperti kita
(Q.S: al-An’am: 38). Oleh karena itulah tidak heran jika dari usaha
pemeliharaan lingkungan ini dapat menimbulkan atau menumbuhkan
perasaan insaf di antara orang-orang yang selalu bersujud dan mensucikan
Allah dengan cinta dan kasih sayang.
(2) Alam beserta isinya adalah sebuah kenikmatan akan keindahan ciptaan-Nya.
Ini tercermin ketika Allah memerintahkan Nabi Adam untuk memanfaatkan
semua fasilitas hiasan-Nya yang ada di alam ini, sebagaimana perintah untuk
makan dan minum yang menegaskan unsur keabadian di dalamnya. Dari sini
dapat dilihat bahwa pesan Islam tidak hanya terfokus pada suatu kepentingan
yang bermanfaat saja akan tetapi juga pada sesuatu yang bisa dinikmati
sekaligus.
(3) Amati dan rasakan sesungguhnya alam semesta ini adalah karunia Allah yang
tidak terhingga, nikmat yang tidak dapat diukur. Allah berikan semuanya
untuk manusia. Seyogianya sebagai hamba Allah, manusia senantiasa
mengikuti tuntunan-Nya dalam segala tindak tanduk, karena nikmat yang
Allah berikan bisa diambil kembali tanpa pemberitahuan. Sehingga rasa
syukur manusia kepada Allah akan semakin bertambah dan berusaha menjaga
dan memelihara segala nikmat tersebut.
Dengan demikian apabila pemeliharaan terhadap lingkungan dan
pelestariannya sama dengan tujuan penyempurnaan tujuan-tujuan syariat, maka
segala upaya perusakan, pencemaran sumber daya alam serta menghilangkan prinsip
79
ekosistemnya sama halnya dengan menghilangkan tujuan-tujuan syari’at serta
menodai prinsip kepentingan yang mencakup di dalamnya. Sehingga lingkungan
yang bersih dan sehat akan terkondisi dengan sendirinya.
Menurut Sumantri (2015) ada beberapa cara untuk membentuk kesalehan
ekologis, antara lain:
1. Revitalisasi ajaran agama, bentuk ajaran agama yang didominasi dogma-
dogma yang sempit perlu diperluas. Konstektualisasi agama perlu
diperbanyak agar cakrawala pemikiran dan tindakan lebih luas, tidak hanya
ritual keagaman saja. Untuk pembelajaran di kelas perlu dilakukan aksi nyata
dibanding pembelajaran yang menekankan aspek kognitif saja.
2. Tadabbur alam, birunya laut, gemuruh ombah, hijaunya alam dengan
beraneka ragam flora dan fauna-nya adalah anugerah Allah yang tiada tara.
Keeksotikan dan keindahan alam adalah modal untuk dipikirkan, dan
direnungkan dan bermuara pada aktivitas untuk memanfaatkan, mengelola
dan menjaganya dengan penuh tanggung jawab.
3. Muhasabah dari fenomena bencana alam, fenomena panas bumi, rusaknya
lapisan ozon adalah fenomena alam yang mestinya menjadi sumber
muhasabah bagi setiap individu terhadap berbagai aktifitas yang telah
dialkukan selama ini. Rusaknya alam pada wilayah tertentu berdampak pada
kekacauan lingkungan di seluruh muka bumi. Jadi dalam konteks muhasabah
terhadap lingkungan manusia tidak seyogyanya berpikir dan bertindak sempit
pada lingkungan wilayahnya, namun kesadaran atas tanggung jawab diri
sebagai warga dunia.
4. Berpartisipasi dalam program hijau. Saat ini telah banyak dilakukan program-
program hijau, oleh pemerintah maupun oleh lembaga swadaya masyarakat.
Setiap individu sudah semestinya memilih dan melaksanakan program hijau
yang mampu dilaksanakan dan sesui dengan karakeristik dirinya. Seorang ibu
rumah tangga bisa memulai aktifitas program hijau dengan mengelola
sampah rumah tangga. Jika setiap profesi melaksanakan program hijau sesuai
dengan karakteristik yang dijalaninya, maka kesalehan ekologis akan
berbentuk.
80
5. Program reward and punishment, kesalehan ekologis dapat dibentuk melalui
program reward and punishment yang dilakukan secara formal oleh
pemerintah seperti penghargaan kalpataru dan adiwiyata maupun yang
dilakukan oleh masyarakat. Penghargaan terhadap daerah atau lembaga yang
melaksanakan pengelolaan lingkungan dengan baik telah dilakukan oleh
pemerintah dengan memberikan penghargaan kalpataru setiap tahunnya.
Namun program punishment terhadap pelaku pengrusakan lingkungan belum
dilakukan dengan tegas. Hukuman yang tidak tegas akan menghambat
program kesalehan ekologis.
c. Karakter Saleh Ekologis
Karakter saleh Ekologis adalah sebagai berikut:
1. Religius
Menjaga kelestarian lingkungan merupakan perwujudan syukur manusia
kepada sang pencipta atas keberkahan alam, manusia selalu mengambil manfaat
dari lingkungan sekitarnya, karena alam diciptakan merupakan perwujudan kasih
sayang Allah SWT kepada manusia, sehingga menjaga keutuhan, kelestariannya
bagian dari ibadah.
Dalam program penguatan karakter yang dicanangkan oleh kementerian
pendidikan nasional (Herdarman et al., 2017), nilai karakter religius
mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bersih, toleransi
dan cinta lingkungan yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran
agama dan kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjunjung
tinggi sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain.
Nilai karakter religius ini meliputi tiga dimensi relasi sekaligus yaitu hubungan
individu dengan Tuhan, individu dengan sesama, dan individu dengan alam
semesta (lingkungan). Nilai karakter religius ini ditunjukkan dalam perilaku
mencintai dan menjaga keutuhan ciptaan, yaitu cinta damai, toleransi,
menghargai perbedaan agama dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri,
kerjasama antar pemeluk agama dan kepercayaan, antibuli, dan kekerasan,
persahabatan, ketulusan, tidak memaksaan kehendak, mencintai lingkungan,
melindungi yang kecil dan tersisih.
2. Disiplin
81
Khalifatullah fil Ard
Menjaga Mengelola
Melestarikan Memperbaiki
Mendayagunakan
LINGKUNGAN
Abdullah
Kemaslahatan Umat
Gambar 5 Kerangka Kesalehan Ekologis
Kedisiplinan merupakan pola sikap yang terbentuk karena kebiasaan,
karakter disiplin erat kaitannya dengan aktivitas menjaga lingkungan, yakni
bagaimana memperlakukan lingkungan sebagaimana mestinya, tidak melakukan
tindakan destruktif, ataupun melakukan eksploitasi yang berlebihan. Sikap
disiplin dalam memperlakukan lingkungan, merupakan bagian upaya untuk
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
3. Kreatif
Karakter yang kreatif terkait dengan lingkungan adalah bagaimana
seorang individu mampu melakukan inovasi-inovasi dalam usaha pemeliharaan
lingkungan misalnya pembuatan biopori dan pengolahan sampah dalam upaya
untuk mencegah banjir.
4. Mandiri
Karakter mandiri dalam konteks pemeliharaan lingkungan yakni dapat
dimulai dari sendiri secara mandiri, yang tentunya usaha terkait penyelamatan
lingkungan secara mandiri dapat memiliki efek sosial untuk menyelamatkan
orang banyak.
Mengacu pada penjelasan tersebut di atas, gambar berikut adalah
kontruksi teori kesalehan ekologis.
82
Berangkat dari pilihan Allah dan kesediaan manusia untuk menjadi
khalifah di muka bumi (QS.al-Baqarah: 30, al-Isra: 70, al-An’am: 165 dan
Yunus: 14), manusia wajib secara aktif untuk bisa merepresentasikan dirinya
sesuai dengan sifat-sifat Allah (Mawardi & Sambodo, 2011). Salah satu sifat
Allah adalah Allah sebagai pemelihara atau penjaga alam. Dengan sendirinya
sebagai wakil Allah di muka bumi, manusia harus aktif dan bertanggung jawab
untuk menjaga bumi. Tugas manusia sebagai khal>ifah tidak akan bermakna apa-
apa bila manusia tidak mampu melaksanakan tugas-tugasnya dalam mengelola
lingkungan (Arifullah, 2011). Merawat bumi bernilai sama dengan merawat
keberlangsungan fungsi bumi, dimana manusia dan makhluk lainnya tumbuh dan
berkembang.
Tugas sebagai khalifah diberikan bersamaan dengan tugas individual
manusia sebagai abdullah (hamba Allah) untuk menunaikan kewajiban-
kewajiban ibadah personalnya. Hubungan manusia dengan alam tidak dipandang
sebagai penakluk dan yang ditaklukkan, akan tetapi hubungan dalam
kebersamaan dan ketundukan kepada Allah. Bahkan hubungan ini diposisikan
sebagai pemelihara yang saling membutuhkan satu dan lainnya.
Khalifah merupakan utusan Allah yang diberi mandat untuk mengelola
bumi dan bertanggungjawab memimpin makhluk Allah yang lainnya. Mandat ini
membawa implikasi bahwa manusia sebagai khalifah harus mampu mewakili
Tuhan dalam memimpin dan memelihara keberlangsungan kehidupan semua
makhluk. Allah memilih manusia sebagai wakilnya di bumi bukan tanpa alasan,
Pilihan ini juga sudah mendapat persetujuan manusia (QS. al-Ahzab:72).
Konsekwensinya, sebagai khalifah manusia dituntut menegakkan keadilan dan
amanah di tengah-tengah lingkungan malamnya dimuka bumi ini. Penghianatan
terhadap amanah dan keadilah tersebut sama saja dengan menghianati asa
ketauhidan yang bermakna sama dengan berbuat syirik dan dzalim (Madjid,
2002). Khalifah dalam menjalankan tugas sebagai wakil Allah di muka bumi
setidaknya mempunyai tugas dan tanggung jawab yaitu 1) menjaga, 2)
mengelola, 3) melestarikan, 4) memperbaiki dan 5) mendayagunakan lingkungan
untuk kemaslahatan bersama.
83
Menjaga lingkungan merupakan tugas utama khalifah, mengingat
manusia secara antropokosmis adalah bagian organik dari alam, pola pikir ini
menuntut manusia untuk menerapkan Islam seraya menegaskan hubungan antara
keimanan dan lingkungan. sehingga keberadaanya akan bergantung pada kepada
kelestarian alam itu sendiri (Mufid, 2017). Septian (2016) berpendapat dalam
menjalankan tugas menjaga lingkungan tersebut manusia wajib membekali diri
dengan kompetensi kognitif berupa rasa empati terhadap lingkungan. Kompetensi
kognitif ini dimaknai sebagai pengetahuan tentang lingkungan (Al-Kilani , 1987).
Pengetahuan Lingkungan merupakan hasil tahu. Tahu akan ada setelah individu
melakukan penginderaan terhadap objek. Penginderaan dilakukan dengan
menggunakan alat indera yang terdiri dari mata, telinga, hidung, lidah dan kulit.
Dari kelima indera tersebut, mata dan telinga paling banyak menyumbang
pengetahuan kepada manusia (Suriasumantri, 2015).
Terdapat enam indikator yang termasuk ke dalam pengetahuan
lingkungan (Muhaimin, 2015: 124), yaitu: 1) Pengetahuan tentang penyebab
masalah lingkungan. 2) Pengetahuan tentang dampak dari masalah lingkungan. 3)
Pengetahuan mengenai solusi penyelesaian masalah lingkungan. 4) Pengetahuan
tentang prediksi masalah lingkungan di masa mendatang. 5) Pengetahuan tentang
masalah-masalah lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. 6) Pemahaman
tentang ketergantungan manusia dan lingkungan serta ketergantungan diantara
individu, masyarakat dan bangsa dalam mengelola lingkungan hidup baik dalam
konteks lokal maupun global.
Melestarikan lingkungan dapat diaktualisasikan melalui sikap peduli.
Sikap ini tidak dapat diketahui secara langsung, tetapi diketahui melalui perilaku
yang dilakukan. Misalkan, tidak membuang sampah ke sungai, berusaha menjaga
kelestarian hutan dari penebangan liar dan sebagainya. Sikap ini sangat
diperlukan, mengingat dewasa ini telah banyak lingkungan yang sudah rusak
akibat pemanfaatan lingkungan yang tidak baik. Sikap peduli lingkungan
merupakan perubahan perilaku yang ditunjukan oleh pemahaman, perasaan dan
kecenderungan untuk mengaplikasikan pengetahuan lingkungan yang dimilikinya
melalui tindakan yang memberikan dampak positif bagi lingkungan (Muhaimin,
84
2015). Seperti menjaga kebersihan dan berusaha mencegah pengaruh buruk
lainnya yang berpotensi merusak lingkungan.
Sikap peduli lingkungan terdiri dari lima bagian yang dikonsepsikan
dengan nama New Ecological Paradigm (NEP), terdiri dari: 1) Batasan untuk
tumbuh 2) Pandangan anti antrophosentris 3) Kemungkinan krisis lingkungan 4)
Gangguan terhadap keseimbangan lingkungan 5) Penolakan terhadap perilaku
sewenang-wenang terhadap lingkungan (Mufid, 2017)
Menurut pengertian di atas, melestarikan lingkungan dapat dipahami
sebagai aktivitas yang memberikan dampak buruk sekecil mungkin terhadap
lingkungan. Menurut Badan Pusat Statistik (Badan Pusat Statistik, 2018) perilaku
ramah lingkungan dapat ditunjukan oleh perilaku di bawah ini.
a. Fasilitas Tempat Tinggal 1) Ketersediaan area terbuka 2) Penggunaan
pencahayaan matahari untuk penerangan ruangan 3) Ketersediaan resapan air
Keberadaan tanaman keras
b. Pemanfaatan Energi 1) Menggunakan lampu hemat energi 2) Menggunakan
alat elektronik seperlunya 3) Memanfaatkan pencahayaan alami di ruangan
saat siang hari 4) Mengurangi pemakaian listrik minimal 50 watt saat beban
puncak 5) Mengatur suhu ruangan ber-AC di rumah pada suhu minimal 250C
c. Pemanfaatan Air 1) Memanfaatkan air bekas 2) Tidak membiarkan air
mengalir percuma 3) Mencuci peralatan tidak dengan air mengalir 4)
Menyediakan area resapan air di sekitar rumah 5) Menginvestasikan peralatan
yang dapat menghemat air
d. Penggunaan Transportasi 1) Perawatan kendaraan bermotor 2) Menggunakan
kendaraan umum dari pada kendaraan pribadi 3) Menggunaka moda
kendaraan secara bersama-sama (Car Pooling) 4) Memilih kendaraan yang
paling sedikit mengeluarkan emisi, seperti memilih menggunakan sepeda dari
pada motor
e. Pengelolaan Sampah 1) Tidak membakar sampah 2) Membuang sampah
sesuai jenisnya 3) Tidak membuang sampah sembarangan 4) Mendaur ulang
sampah organik menjadi kompos.
Selanjutnya dalam melaksanakan tugas sebagai Allah memberi hak
kepada manusia untuk memanfaatkan bumi dalam upaya pemenuhan
85
kebutuhan hidupnya, namun hak tersebut dibatasi sebatas memenuhi hajat
hidupnya saja (Mawardi & Sambodo, 2011). Tidak ada hak untuk menguasai
secara mutlak terhadap bumi termasuk sumber daya alamnya, terlebih hanya
untuk memenuhi nafsu keserakahannya. Hak penguasaan mutlak tetap ada
pada Allah. Pada pengertian ini bumi dan segala isinya sebagai tempat tinggal
manusia adalah sebagai lahan ujian bagi manusia (Al-Kilani , 1987). Supaya
berhasil dalam menghadapi ujian tersebut manusia harus mampu membaca
tanda-tanda yang diberikan Allah. Pemanfaatan alam ini adalah bentuk
amanah yang harus ditunaikan oleh manusia sebagai khalifah (Assya’bani,
2017; Rusli, 2004)
Sebagai rambu dalam memanfaatkan alam, nilai yang dijadikan landasan
adalah halal dan haram. Nilai ini sebagai rambu, untuk tetap menjaga
keberlanjutan peran dan fungsi alam serta harmoni kehidupan di alam ini.
Segala sesuatu yang dapat menenteramkan hati, yang baik, memberi dampak
baik dan menguntungkan adalah makna dari halal. Sedangkan Haram adalah
segala sesuatu yang jelek, membahayakan atau merusak seseorang,
masyarakat dan lingkungan alam dan sosialnya. Termasuk dalam pengertian
haram jika sesuatu tersebut dapat membahayakan fisik dan jiwa manusia serta
dapat merusak alam lingkungan. Halal dan haram ini berlaku untuk manusia
dan alam (Mawardi & Sambodo, 2011)
Tujuan tertinggi tugas khalifah ini adalah melindungi alam dan ekosistem
untuk kesejahteraan universal dan kesejahteraan semua makhluk baik di
masa kini (di dunia) dan di masa depan (di akhirat) dikenal dengan Istishlah
(Assya’bani, 2017; Rusli, 2004). Istishlah dapat dimaknai sebagai
memperlakukan alam, termasuk kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan di
bumi. Hewan dan tumbuhan yang diciptakan oleh Allah diperuntukkan bagi
manusia untuk mendukung kehidupan mereka, dan tidak akan rusak. Dengan
kata lain, pemanfaatan alam termasuk hewan dan manusia adalah
pemanfaatan yang berkelanjutan. Alam telah diciptakan oleh Allah dalam
desain yang sempurna dan seimbang, sehingga gangguan penciptaan dan
keseimbangan berarti bahwa ia juga merupakan tindakan perusakan terhadap
alam, yang berarti ia juga menghancurkan alam termasuk kehidupan manusia,
86
dan bahwa tindakan tersebut termasuk dosa besar, setara dengan
pembunuhan.
Dengan demikian, kesalehan ekologis adalah kesadaran dan kearifan serta
kepedulian tentang pentingnya lingkungan hidup dan dikristalisasikan dalam
tindakan pelestarian lingkungan hidup (Abdillah, 2001), dalam bentuk akhlak
yang tercakup didalamnya relasi manusia dengan Allah, relasi antar manusia, dan
relasi manusia dengan lingkungan atau alam (Al-Kilani , 1987; Sumantri, 2015)
dalam ceruk ekologi dimana manusia tinggal (Goleman, 2010).
Jadi, kesalehan ekologis adalah perilaku menjaga, mengelola,
melestarikan, memperbaiki dan mendayagunakan lingkungan untuk
kemaslahatan bersama, sebagai wujud tanggungjawab menjadi khalifah dan
dalam rangka mengabdi kepada Allah.
6. motivasi
Istilah motivasi berasal dari kata motive atau to move (Prihartanta, 2015)
dapat dimaknai sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang
menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat (Uno, 2009). Handayani
(2017) menyebut sebagai suatu kumpulan proses psikologis yang memiliki kekuatan
di dalam diri seseorang yang menyebabkan pergerakan, arahan, usaha, dan kegigihan
dalam menghadapi rintangan untuk mencapai suatu tujuan. Schunk, Pintrich dan
Meece (2012) mengistilahkan sebagai proses di mana aktivitas yang terarah pada
suatu tujuan tertentu didorong dan dipertahankan.
Motif tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat diinterpretasikan
dalam tingkah lakunya berupa rangsangan dorongan atau pembangkit tenaga
munculnya suatu tingkah laku tertentu.
Motif dapat dibedakan menjadi tiga yaitu (1) motif biogenesis yakni motif-
motif yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan organisme demi kelanjutan hidupnya
misalnya rasa lapar haus kebutuhan akan kegiatan istirahat mengambil nafas
seksualitas dan sebagainya. (2) motif sosiogenetis yaitu motif-motif yang
berkembang berasal dari lingkungan kebudayaan tempat orang tersebut berada. Jadi
motif ini tidak berkembang dengan sendirinya tetapi dipengaruhi oleh lingkungan
kebudayaan setempat misalnya keinginan mendengarkan musik dan lain-lain. (3)
motif teologis dalam motif ini manusia adalah sebagai makhluk yang berketuhanan
87
sehingga ada interaksi antara manusia dengan Tuhannya seperti ibadahnya dalam
kehidupan sehari-hari misalnya keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan Yang
Maha Esa untuk merealisasikan norma-norma sesuai agamanya
Menurut Uno (2009) dari sudut sumber yang menimbulkannya motivasi
dibedakan menjadi dua macam yaitu intrinsik dan ekstrinsik.
Motivasi intrinsik adalah motivasi untuk melibatkan diri dalam suatu aktifitas
karena nilai atau manfaat aktivitas itu sendiri (Schunk et al., 2012), yakni motivasi
yang muncul dari dalam atau kebutuhan bawaan dan timbulnya tidak memerlukan
rangsangan dari luar karena memang telah ada dalam diri individu sendiri (Abbas,
2013; Dauyah & Yulinar, 2018; Harmalis, 2019; Lukito et al., 2016; Uno, 2009).
Motivasi ini mengalami diferensiasi seiring perkembangan, melalui internalisasi
nilai-nilai danpengaruh pengaturan diri. Menurut Schunk, Pintrich dan Meece
(2012), motivasi intrinsik terbukti dapat meningkatkan pembelajaran dan prestasi
lebih baik dari pada yang dapat ditingkatkan oleh motivasi ekstrinsik. Oleh
karenanya pendidikan harus berusaha menimbulkan motivasi intrinsik dengan
menumbuhkan dan mengembangkan minat siswa terhadap bidang-bidang yang
relevan (Uno, 2009).
Schunk, Pintrich dan Meece (2012) lebih lanjut menjelaskan bahwa motivasi
intrinsik dapat dipengaruhi melalui empat sumber yaitu tantangan, keingintahuan,
kontrol dan fantasi dan ditunjukkan dalam tabel berikut ini.
Tabel 1 Sumber Motivasi Intrinsik dan Implikasinya
Sumber Implikasi Tantangan Berikanlah kepada para siswa tugas-tugas berlevel kesukaran
menengah, yang mereka rasakan efektif untuk mencapainya Keingintahuan Berikanlah kepada para siswa informasoi yang mengejutkan
yang memotivasi siswa untuk mengakhiri kesenjangan dengan pengetahuan siswa
Kontrol
Berikan kepada para siswa berbagai pilihan dan rasa mengontrol hasil-hasil hasil pembelajaran siswa
Fantasi
Libatkanlah para siswa dalam fantasi dan situasi tiruan melalui berbagai simulasi dan permainan.
Sumber: Schunk, Pintrich dan Meece, 2012
Aktivitas yang menantang penggunaan keterampilan para siswa mungkin
secara intrinsik memotivasi. Aktivitas tersebut harus berada pada level keseukaran
menengan, dimana siswa mampu mengembangkan keterampilannya. Pencapaian
88
tujuan yang menantang memberikan informasi kepada siswa bahwa mereka menjadi
lebih kompeten. Pada gilirannya siswa cenderung menetapkan tujuan-tujuan baru
yang lebih menantang.
Keingintahuan didorong oleh aktivitas yang menyajikan para siswa dengan
informasi atau ide yang tidak sesuai dengan pengetahuan atau keyakinan mereka saat
ini dan yang tampak mengejutkan atau tidak kongruen. Ketidakongruenan tersebut
memotivasi para siswa untuk mencari informasi dan menyelesaikan kesenjangan
tersebut. Sama seperti tantangan kesenjangan yang moderat adalah yang paling
efektif karena kesenjangan yang moderat dengan mudah digabungkan dengan
kerangka acuan mental individu, kesenjangan yang besar mungkin dapat cepat
dianggap tidak signifikan. Siswa perlu memiliki dasar pengetahuan yang sudah ada
sebelumnya, sehingga siswa dapat menyadari adanya suatu kesenjangan. Tanpa
adanya pengetahuan prasyarat ini tidak akan berefek banyak. Siswa juga harus
meyakini bahwa kesenjangan ini dapat dikelola, yang mana keyakinan ini dapat
dibantu perkembangannya melalui kesenjangan yang moderat. Siswa merasa ingin
tahu yang meyakini bahwa kesenjangan tersebut dapat diselesaikan seharusnya
merasakan keefektifan diri dan termotivasi untuk mengelola kesenjangan tersebut
dan belajar.
Aktivitas yang memberikan kepada siswa rasa kontrol terhadap hasil-hasil
akademis mungkin meningkatkan motivasi intrinsik. Persepsi kompetensi dan
kontrol personal siswa berkaitan posotif dengan motivasi intrinsik akademik siswa
dan prefernasi siswa terhadap tantangan. Memberikan kepada siswa berbagai pilihan
aktivitas dan suatu peran, menetapkan aturan dan prosedur dapat membantu
perkembangan persepsi kontrol. Persepsi kontrol juga dapat menimbulkan rasa
keefektifan diri untuk berkinerja baik. Sedangkan siswa yang tidak termotivasi untuk
melibatkan diri dalam aktivitas ketika mereka meyakini tindakan mereka, hanya
sedikit hubungannya dengan hasil-hasil. Persepsi kekurangan kontrol berkaitan
dengan ketidakberdayaan yang dipelajari
Motivasi intrinsik dapat ditingkatkan dengan menyajikan aktivitas yang
melibatkan siswa dalam fantasi atau situasi tiruan melalui berbagai simulasi dan
permainan, yang menempatkan mereka dalam berbagai situasi yang tidak benar-
benar ada. Dengan mengidentifikasikan diri dengan berbagai karakter fiktif, siswa
89
dapat memperoleh kesenangan yang dirasakan oleh berbagai karakter karakter fiktif
tersebut, yang biasanya tidak tersedia bagi diri mereka. Siswa yang menempatkan
nilai yang lebih besar pada pembelajaran cenderung lebih termotivasi secara intrinsik
pada aktivitas pembelajaran.
Motivasi ekstrinsik adalah motivasi melibatkan diri dalam sebuah aktivitas
sebagai suatu cara mencapai sebuah tujuan (Schunk et al., 2012), yakni motivasi
yang terbentuk karena faktor-faktor eksternal seperti untuk menerima ganjaran atau
menghindari hukuman (Harmalis, 2019; Prihartanta, 2015; Uno, 2009). Individu-
individu yang termotivasi secara ekstrinsik mengerjakan tugas-tugas karena mereka
meyakini bahwa partisipasi tersebut akan menyebabkan berbagai konsekuensi yang
diinginkan, seperti mendapatkan hadiah, menerima pujian atau terhindar dari
hukuman (Abbas, 2013; Handayani, 2017) atau karena melihat manfaatnya (Uno,
2009).
Menurut Uno (2009), dari berbagai teori tentang motivasi yang dikemukakan
oleh para ahli, terdapat berbagai teori motivasi yang bertitik tolak pada dorongan
yang berbeda satu sama lainnya. Ada teori motivasi yang bertitik tolak pada
dorongan dan pencapaian kepuasan,ada pula yang bertitik tolak pada asas
kebutuhan. Motivasi menurut kebutuhan saat ini banyak diminati.
Motivasi dianggap oleh banyak pendidik sebagai faktor yang sangat penting
dalam meningkatkan keterlibatan dan aktivitas siswa dalam pembelajaran dan
memiliki memiliki fungsi yang sangat penting karena motivasi menentukan usaha
siswa dalam proses belajar (Handayani, 2017)
Jadi dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah dorongan internal dan
eksternal dalam diri seseorang untuk mengadakan perubahan tingkah laku, dengan
indikator hasrat dan keinginan untuk melakukan kegiatan, adanya dorongan dan
kebutuhan, melakukan kegiatan adanya harapan dan cita-cita, penghargaan dan
penghormatan atas diri, adanya lingkungan yang baik dan adanya kegiatan yang
menarik.