36
BAB II
ANALISIS DATA
A. Kajian Filologis
Kajian Filologis (dalam filologi tradisional) bertujuan untuk menunjukkan
kondisi naskah beserta teksnya dalam bentuk mulanya, dan ketika teks naskah itu
sudah disajikan dalam bentuk yang terbaca oleh masyarakat masa kini, yakni dalam
bentuk suntingan (Siti Baroroh Baried, 1994: 8). Pada transmisi penyalinannya, suatu
teks profan sudah barang tentu tidak setia, banyak terdapat varian bahkan bacaan
yang korup dalam teks, meskipun dalam judul yang sama. Seperti halnya naskah
SSMM yang menjadi objek pokok dalam penelitian kali ini. Naskah tersebut
merupakan naskah profan yang secara garis besar isinya bersifat menghibur, sudah
barang tentu penyalin sadar akan sifat karya yang disalinnya. Artinya, karya yang
bersifat menghibur disalin tidak seserius ketika penyalin menyalin sebuah karya yang
serius. Sebuah karya yang serius harus ditransmisi dengan cermat dan tepat namun
karya yang bersifat menghibur tidak harus demikian (Robson, 1994: 30). Jadi,
perbedaan tulis antar naskah SSMM (A,B, dan C) dimungkinkan dipengaruhi oleh
ketidaktelitian penulis pada saat transmisi penyalinannya. Berbagai faktor manusiawi,
seperti kesalahan tulis secara tidak sengaja oleh penulis ketika mentransmisi sebuah
tulisan merupakan hal yang wajar dalam tradisi kesusastran, karena bagaimana pun
seorang penulis tetaplah manusia. Terkadang ditemui beberapa penyalin yang dengan
setianya dan amat berhati-hati dalam menyalin teks dari awal hingga akhir dengan
37
tidak sama sekali mengubah struktur frasa maupun kalimatnya bahkan hanya satu
huruf. Meskipun penyalin tahu bahwa ada beberapa kata yang mungkin kurang pas di
hati penyalin. Penyalin yang setia, yang menyalin dengan secermat mungkin, tetap
juga ia adalah manusia, yang tidak pernah luput dari kesalahan, dan dengan demikian
bisa saja membuat suatu kesalahan di dalam menyalin, namun teori kita berdasar pada
asumsi bahwa setiap penyalin betul-betul teliti, dan tidak membuat suatu kesalahan
yang disengaja (Robson, 1994: 17).
Sebagaimana tujuan utamanya, dalam penelitian kali ini akan disajikan bentuk
teks yang telah disunting, yang dipandang asli sebagai bentuk mulanya, yang
nantinya tidak akan membingungkan atau menyesatkan pembaca teks kemudian, dan
menjawab penyebab dari perbedaan teks ketiga saksi naskah di atas. Melalui langkah-
langkah kerja filologis, maka suntingan teks akan disajikan sebaik mungkin
sebagaimana yang diinginkan.
Penerapan langkah-langkah kerja filologis adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi Naskah
Identifikasi naskah ialah gambaran umum dan jelas serta terperinci tentang
aspek-aspek yang terdapat di dalam naskah, dengan tujuan mempermudah
pengenalannya terhadap naskah beserta konteks isinya (Emuch Hermansoemantri,
1986: 2). Deskripsi naskah akan diterapkan pada semua naskah yang ditemukan, yang
meliputi poin-poin penting seperti: (1) Judul naskah, (2) Nomor naskah, (3) tempat
penyimpanan naskah, (4) Asal naskah, (5) keadaan naskah, (6) ukuran naskah, (7)
tebal naskah, (8) jumlah baris perhalaman, (9) huruf, aksara tulisan, (10) cara
38
penulisan, (11) bahsan naskah, (12) bahasa maskah, (13) bentuk teks, (14) umur
naskah, (15) pengarang / penyalin, (16) asal-usul naskah, (17) fungsi sosial naksah,
(18) ikhtisar teks. Identifikasi dari ke- lima naskah yang ditemukan adalah sebagai b a
berkut:
a. Naskah SSMM A
1) Judul naskah
Sêrat Srikandhi Maguru Manah
Judul serat tersebut terdapat pada halaman judul naskah. Pada cover naskah
tidak terdapat sama sekali judul naskah. Judul naskah ditulis dengan menggunakan
aksara Jawa carik dengan ukuran besar, teks ditulis pada rata tengah, serta huruf Latin
kapital dengan menggunakan pensil (huruf Latin asumsi ditulis oleh petugas
perpustakaan) di bawah aksara carik tersebut, sedangkan angka 192 diasumsi sebagai
nomor target microfilm.
Gambar 12. Judul naskah pada cover dalam naskah.
Gambar 13. Judul naskah dengan huruf latin kapital oleh petugas museum.
39
2) Nomor naskah
SMP – RP 259
Tercantum pada cover naskah bagian pinggir, apabila pada katalog milik
Nancy K.Florida Javanese Literarure in Surakarta Manuscripts Volume 3
(manuscripts of the Radyapustaka museum and the Hardjonegaran library)
tertulis RP 259 192 (808.543 Sri s) Reel 16-40/17.
Gambar 14. Nomor lama dan nomor baru naskah pada halaman depan naskah.
3) Tempat penyimpanan naskah
Naskah tersimpan di museum Radyapustaka Surakarta. Berikut ditampilkan
cap museum versi baru maupun yang lama.
Gambar 15. Cap lama dan cap baru musem terdapat pada halaman pertama naskah.
Cap baru cap lama
40
4) Asal naskah
Belum diketahui secara pasti darimana naskah itu diperoleh, dari hibah
ataupun koleksi museum sendiri. Terdapat cap museum pada cover maupun
halaman pertama naskah, yang mengasumsikan bahwa naskah memang sudah
sejak lama berada di museum Radyapustaka (hal ini diperkuat dengan cap
lama Museum)
Gambar 16. Cap lama pada halaman 1 naskah.
Panah merah menunjukkan angka tahun dalam cap lama milik Museum,
bertuliskan angka tahun 1931.
5) Keadaan naskah
Cover naskah masih baik karena sudah direcover dari pihak museum. Mulai
halaman judul naskah hingga halaman terakhir tidak ada satupun halaman
yang tercicir/hilang. Terdapat beberapa halaman naskah yang robek, akan
tetapi sebagian sudah direstorasi sehingga sebagian teks masih bisa
terselamatkan serta masih dapat terbaca, sedangkan teks yang terlanjur hilang
41
karena kertas yang berlubang hingga saat ini belum mendapatkan perlakuan
khusus.
Gambar 17. Tampilan naskah dari muka serta bagian lembar naskah yang
direstorasi.
6) Ukuran naskah
Panjang naskah : 32 cm
Lebar naskah : 21 cm
Tebal naskah : 2cm
7) Ukuran teks
Panjang teks : 26 cm
Lebar teks : 14 cm
Margin atas teks : 3 cm
Margin bawah teks : 3 cm
Margin kanan rekto : 4,5 cm
Margin kiri rekto : 2,5 cm
42
Margin kanan verso : 2,5 cm
Margin kiri verso : 4,5 cm
8) jumlah halaman dan jumlah rata-rata baris per halaman
Jumlah halaman keseluruhan naskah adalah 221 halaman isi dan 9 lembar atau
18 halam rekto verso yang kosong, serta satu halaman yang berisi kolofon
tentang asal usul naskah.
Jumlah rata-rata tiap halaman adalah 23 baris pada tiap halaman.
9) Huruf, aksara, tulisan
a) Aksara yang digunakan adalah aksara Jawa carik (manuskrip)
b) Ukuran huruf sedang dan semakin besar (pada halaman permulaan hingga
bagian tengah, namun semakin maju pada halaman terakhir huruf
semakin besar/tidak konsisten)
c) Bentuk huruf semi miji ketumbar, agak condong ke kanan.
d) Keadaan tulisan jelas, dan mudah dibaca, namun pada bagian belakang
ada beberapa huruf yang samar akibat tinta yang tembus.
e) Jarak antar huruf sedang, jarak antar baris renggang.
f) Mayoritas bekas pena membekas pada halaman berikutnya.
10) Cara penulisan :
a) Penulisan dilakukan dengan cara bolak balik yaitu lembaran naskah yang
ditulis pada kedua halaman, muka dan belakang (rekto dan verso).
43
b) Penulisan dilakukan dari kiri ke kanan (seperti mayoritas naskah jawa)
artinya teks ditulis sejajar dengan lebar lembaran naskah.
c) model tulisan semi miji ketumbar sedikit condong ke kanan, penulis tidak
konsisten pada tulisannya sendiri, pada halaman awal tertulis rapi dengan
ukuran huruf sedang, akan tetapi pada halaman pertengahan (halaman
111) penulis mulai tidak konsisten, ukuran huruf mulai agak membesar,
hingga pada halaman terakhir ukuran huruf semakin bertambah besar serta
goresan tinta yang semakin menebal hingga pada halaman terakhir
(halaman 221).
d) Penggunaan sasmita têmbang pada setiap pergantian pupuh.
e) Awal penulisan ditandai dengan mandrawapada bukan purwapada
sebagaimana mestinya.
Gambar 18. Mandrawapada diletakkan pada awal penulisan.
f) Setiap akhir bait ditandai dengan penanda bait sebagai tanda pergantian
bait tembang.
Gambar 19. Penada bait sebagai tanda tiap pergantian bait.
g) Setiap pergantian pupuh tembang diberi tanda mandrawapada yang
dihiasi wêdanarenggan sederhana.
44
Gambar 20. Mandrawapada penanda pergantian pupuh.
h) Pada akhir pupuh menggunakan wasanapada seperti pada umumnya akhir
penulisan manuskrip Jawa.
Gambar 21. Wasanapada penanda akhir pupuh.
i) Penomoran halaman teks naskah ditulis dengan menggunakan angka
Jawa.
Gambar 22. Penomoran halaman naskah A
11) Bahan naskah : kertas HVS kecoklatan, warna kecoklatan dimungkinkan karena
usia naskah.
12) Bahasa teks :
Bahasa naskah yang digunakan adalah bahasa Jawa Baru, yang disisipi kata
arkais sebagai penghias kata seperti puisi Jawa klasik pada umumnya.
13) Bentuk teks :
Teks berbentuk puisi Jawa baru (Sekar Macapat/Sekar Alit) yang di dalamnya
mencakup 37 pupuh sêkar macapat, adapun perinciannya sebagai berikut:
45
(1) Asmaradana 20 bait, (2) Mijil 38 bait, (3) Asmaradana 31 bait, (4) Sinom 27 bait,
(5) Dhandhanggula 31 bait, (6) Mijil 35 bait, (7) Dhandhanggula 29 bait, (8)
Asmaradana 31 bait, (9) Pangkur 36 bait, (10) Sinom 27 bait, (11) Kinanthi 36 bait,
(12) Asmaranada 31 bait, (13) Pangkur 31 bait, (14) Durma 37 bait, (15)
Dhandhanggula 26 bait, (16) Asmaradana 32 bait, (17) Kinanthi 29 bait, (18)
Pangkur 28 bait, (19) Durma 34 bait, (20) Pangkur 29 bait, (21) Asmaradana 26 bait,
(22) Durma 24 bait, (23) Pangkur 25 bait, (24) Durma 34 bait, (25) Asmaradana 33
bait, (26) Kinanhti 36 bait, (27) Sinom 30 bait, (28) Asmaradana 32 bait, (29) Sinom
28 bait, (30) Pocung 41 bait, (31) Kinanthi 33 bait, (32) Pangkur 31 bait, (33) Durma
34 bait, (34) Dhandhanggula 23 bait, (35) Sinom 28 Bait, (36) Asmaradana 33 bait,
(37) Pocung 23 bait.
14) Umur naskah :
Secara eksplisit tidak sama sekali tertera angka tahun yang menandakan
waktu mulainya atau akhir dari penulisan naskah tersebut, akan tetapi terdapat sebuah
informasi pada lembar setelah halaman terakhir (bagian verso halaman 221) yang
menginformasikan tentang induk naskah, yakni naskah disalin dari naskah milik
G.K.R Pembayun putra PB VII. G.K.R Pambayun sendiri lahir pada tahun 1825 M
dan meninggal dunia pada tahun 1917 M. Nancy yang mengatakan bahwa gaya huruf
yang digunakan merupakan model huruf yang digunakan pada karya sastra era
Pakubuwana X, PB X memerintah pada tahun 1893-1939 M (Nancy K. Florida,
2012: 200). Artinya, secara terminus a quo naskah pasti disalin antara tahun 1893
sampai tahun 1939 M.
46
15) Pengarang / penyalin :
Naskah berjudul Sêrat Srikandhi Maguru Manah dikarang oleh R.Ng
Sindusastra di Surakarta pada tahun 1883 (Nancy K. Florida, 2012: 200). Mengenai
nama penyalin belum dapat diketahui secara pasti, dikarenakan tidak ditemukan sama
sekali mengenai informasi yang menunjukkan nama penyalin teks naskah.
Naskah tersebut diperkirakan disalin oleh juru tulis keraton kasunanan
Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwana X, mengingat gaya tulisan yang
mirip dengan gaya tulisan juru tulis keraton pada era Pakubuwana X (Nancy K.
Florida, 2012: 200).
16) Asal-usul naskah :
Sebagaimana kolofon yang terdapat pada akhir penulisan naskah yang tertulis
sebagai berikut:
Gambar 23. Kolofon pada halaman verso akhir.
Sêrat punika têdhakan saking kagunganipun Gusti Kangjêng Ratu Pambayun,
putri dalêm ingkang sinuhun Ki Jêng Susuhunan Pakubuwana ingkang kaping
pitu.
47
Terjemahan: Serat (karya sastra) ini salinan dari kepunyaan Gusti Kanjeng Ratu
Pambayun, anak perempuan baginda raja Ki Jeng Susuhunan Pakubuwana yang ke
tujuh.
Artinya naskah ini merupakan naskah têdhakan atau salinan dari naksah kepunyaan
Gusti Ratu Pambayun, putra dari Susuhunan PB VII, yang mana naskah ini dulunya
(naskah induknya) berasal dari keraton kasusnanan Surakarta.
17) Fungsi sosial naskah :
Naskah ini merupakan naskah yang mengandung ceritera pewayangan Jawa,
teks naskah ini diasumsikan sempat populer di zamannya, karena terbukti naskah ini
diperbanyak, bukan hanya disalin secara manual, namun juga secara cetak. Hal ini
menandakan naskah tersebut dulunya pernah populer, entah dalam kalangan
sastrawan ataupun para praktisi kesenian khususnya pedalangan sebagai sumber
referensi lakon wayang (wayang orang ataupun wayang kulit), serta tidak menutup
kemungkinan sebagai bahan bacaan sehari-hari entah dari kalangan keraton maupun
luar tembok keraton. Pada era sekarang, Lakon/ ceritera ini juga masih banyak
dipentaskan pada panggung-panggung kesenian, entah dalam bentuk wayang kulit
ataupun wayang orang.
18) Ikhtisar teks/ceritera :
Sêrat Srikandhi Maguru Manah ini berisi tentang ceritera pewayanangan
Jawa, yang mengisahkan tentang liku-liku kisah asmara kesatria Pandhawa bernama
Arjuna, dengan putri raja negara Pancalaradya atau Cêmpalarêja yang bernama Wara
Srikandhi. Kisah cinta mereka diceriterakan bermula ketika keduanya bertemu di
48
negara Dwaraka atau negara Dwarawati. Sejak pertemuanya dengan Arjuna itu,
Srikandhi mulai jatuh hati kepada salah satu kesatria Pandhawa tersebut. Kasih tak
sampai mengancam Srikandhi, dikarenakan tidak lama dari pertemuannya dengan
Arjuna itu ada seorang Raja dari negara Paranggubarja melamarnya. Seorang raja dari
tanah sabrang yang melamar Srikandhi itu bukanlah orang sembarangan, melainkan
seorang yang sakti keturunan dari seorang brahmana yang sangat sakti, di negaranya
raja yang bernama Jungkung Mardeya itu tiada tanding. Situasi kerajaan yang kurang
mendukung cinta mereka, mengakibatkan Srikandhi dijodohkan oleh Prabu Drupada
ayahnya dengan raja Jungkung Mardeya. Srikandhi adalah wanita berjiwa prajurit, ia
tidak menyetujui penjodhohan itu, ia tetap ingin mengejar cintanya, hingga pada
suatu malam Srikandhi kabur dari keraton dan pergi ke Kasatrian Madukara tempat
Arjuna berada.
Sesampainya di Madukara, ia bertemu dengan pujaan hatinya hingga pada
suatu malam mereka saling mengungkapkan perasaan masing-masing. Srikandhi
tidak hanya memburu kesenangnya semata, ia juga belajar memanah selayaknya
seorang prajurit. Keberadaanya semakin lama diketahui oleh permaisuri Amarta yang
tidak lain adalah kakaknya sendiri yakni Drupadi. Pada awalnya Drupadi tidak marah
jika lasan Srikandhi ke madukara adalah untuk belajar memanah dengan Arjuna, akan
tetapi ketika Drupadi mengetahui yang dilakukan adiknya bersama Arjuna, seketika
Drupadi sangat marah kepada adiknya, akhirnya Srikandhi pulang ke Pancala. Arjuna
yang dianggap menyembunyikan Srikandhi juga tidak luput dari kemarahan kakanya
yakni Yudhistira, akhirnya Sang Prabu Yudhistira melalui sri Krisna yang bijak bergi
49
ke Pancala untuk meminta maaf atas kelakuan Arjuna. Setibanya di Pancala Prabu
Dropada tidak marah, justri sang prabu mengakui kesalahanya karena kepergian
Srikandhi dari keraton tidak lain karena sang prabu memaksakan kehendak untuk
menjodohkan Srikandhi dengan prabu Jungkung Mardeya. Prabu Dropada juga
mengutarakan alasan penjodohan tersebut karena demi keamaan kerajaan dan rakyat
Pancala, sifat orang sabrang jika tidak dituruti keinginannya akan menggempur
perang.
Sang Wrêkodara yang mendengar kerjaan milik saudaranya diancam perang
oleh raja sabrang langsung berpamitan undur diri dari pasewakan dan mengajak
putranya yakni Gathotkaca dan pemimpin pasukan Wrêsni yakni Setyaki bersama
prajuritnya masing-masing untuk menggempur perang prabu Jungkung Mardeya.
Setibanya di tempat persinggahan Jugkung Mardeya, kedua kubu saling merapatkan
barisan, perang besarpun tidak terelakkan. Pada awalnya pasukan Bima tidak
terkalahkan, bahkan banyak prajurit bahkan tumenggung dari pihak mungsung yang
mati, akan tetapi ketika Prabu Jungkung Mardeya maju ke medan perang, banyak
prajurit Bima Yang kocar-kacir, termasuk Sêtyaki dan Gathotkaca juga kuwalahan,
Jungkung Mardeya sangat sakti, ia mampu mengeluarkan ajian sakti yang dapat
mengeluarlan angina besar dan ribuan senjata dari pusaka saktinya, hal itulah yang
mengakibatkan Bima dan prajuritnya kuwalahan. Matahari sudah tenggelam,
perangpun berhenti sejenak dan akan diteruskan pada esok harinya. Malam itu Krisna
mendapatkan firasat buruk, ia bersama Arjuna menyusul Wrêkodara ke
pasanggrahan dimana tempat Bima dan para prajurit istirahat, kepergian Krisan juga
50
disusul oleh seorang putra Raja Dropada bernama Drêsthajumêna bersama seribu
prajuritnya.
Pagi harinya perangpun dilanjutkan, kesaktian Jungkung Mardeya dapat
diimbangi oleh Arjuna, tiba-tiba pada saat perang berlangsung ayah Jungkung
Mardeya datang, Brahmana sakti itu mengeluarkan angina besar disertai petir
menyambar nyambar, akhirnya atas bantuan Krisna, arjuna mampu memanah leher
sang brahmana sehingga sang brahmana itupun tewas, Jungkungmardeya beserta
prajuritnya juga dihempaskan kembali ke negaranya dengan angina besar yang keluar
dari ajian Arjuna.
Pertandingan dimenangkan pihak Pancala, akan tetapi Srikandhi justru
menolak dinikahkan dengan Arjuna, Srikandhi mempunyai permintaan, apabila
seorang itu ingin menikahinya maka orang tersebut harus mampu mengalahkannya
dalam memanah. Arjuna tidak mau menandingi Srikandhi, hingga pada akhirnya
salah seorang istri Arjuna yakni Rarasati mengajukan diri untuk melawan Srikandhi.
Arjuna memarahi Rarasati dan meremehkan kemampuan Rarasati dalam menandingi
kemampuan Srikandhi dalam memanah, karena sepengetahuan Arjuna Rarasati tidak
bisa memanah apalagi berperang. Rarasati memang tidak pernah diajari Arjuna
memanah, akan tetapi ia mengintip Srikandhi dan Arjuna ketika mereka sedang
berlatih memanah. Pertandinganpun dimulai, tidak disangka Srikandhi yang semula
diremehkan Arjuna ternyata mampu mengalahkan Srikandhi dalam memanah, bahkan
tidak hanya memanah, ketika Srikandhi marah dan menantang untuk berperang
51
dengan keris, Rarasati mampu mengimbanginya. Akhirnya Srikandhi menikah
dengan Arjuna dan diboyong ke Kasatrian Madukara.
B. Naskah SSMM B
1) Judul naskah
Sêrat Srikandhi Maguru Manah
Judul naskah terdapat pada cover luar naskah :
Gambar 24. Judul naskah B pada cover depan.
Judul naskah juga disebutkan secara eksplisit pada kalimat pembuka yang
ditulis di awal sebelum penulisan ceritera, adapun kalimatnya adalah sebagai berikut :
Ing ngandhap punika dumuginipun sêrat Partakrama inggih nama sêrat Srikandhi
Maguru Manah.
Gambar 25. Judul naskah B pada awal penulisan.
52
2) Nomor naskah
270 Na
Tercantum pada cover luar naskah.
Gambar 26. Nomor naskah pada cover depan naskah.
Pada katalog Nancy K. Florida Javanese Literature in Surakarta Manuscripts
volume I tertulis dengan nomor katalog KS 412 / 270 Na.
3) Tempat penyimpanan naskah
Naskah teripan di Perpustakaan Sasanapustaka Keraton Kasunanan Surakarta
53
4) Asal naskah
Belum diketahui secara pasti darimana naskah itu diperoleh, karena tidak ada
keterangan apapun dari naskah mengenai asal naskah, hanya terdapat cap
perpustakaan yang menunjukan kepemilikan bahwa naksah tersebut adalah milik
Sasanapustaka.
Gambar 27. Cap perpustakaan pada naskah.
5) Keadaan naskah
Keadaan naskah baik, dan utuh. Artinya tidak ada satupun lembaran yang
hilang maupun robek, serta tulisan masih dapat dibaca dengan jelas.
6) Ukuran naskah
Mengenai ukuran naskah akan didasarkan pada katalog Nancy K. Florida
Javanese Literature in Surakarta Manuscripts volume I, hal dikarenakan peneliti
tidak diperkenankan oleh petugas perpustakaan berhadapan langsung dengan naskah
dengan alasan apapun, melainkan hanya diperbolehkan berhadapan dengan data
berbentuk digitalnya.
Panjang naksah : 32,3 cm
Lebar naskah : 20,6 cm
54
7) jumlah halaman
a) Jumlah halaman : 151 halaman
b) Satu lembaran kosong, yakni pada lembar pertama.
8) Jumlah rata-rata baris per halaman
rata-rata 35 baris pada tiap halaman
9) Huruf, aksara, tulisan
a) Aksara yang digunakan adalah aksara jawa carik (manuskrip)
b) Ukuran huruf sedang
c) Bentuk huruf semi miji ketumbar, agak condong ke kanan (cursive
Surakarta script).
d) Estetika bentuk tulisan sedang (hal ini didasarkan pada komparasi
terhadap naskah lain dalam tempat koleksi yang sama ), tidak terlalu
bagus dan tidak terlalu jelek.
e) Jarak antar huruf di halaman bagian awal sedang, namun pada halaman
akhir jarak antar huruf mulai agak renggang, jarak antarbaris rapat
(kurang konsisten).
f) Mayoritas bekas pena tidak membekas pada halaman disebaliknya
(meskipun ada beberapa yang membekas di halaman bagian awal), karena
kualitas kertas yang baik dan penekanan pena tidak terlalu keras sehingga
tidak membekas pada halaman disebaliknya.
55
10) Cara penulisan :
a) Penulisan dilakukan dengan cara bolak balik yaitu lembaran naskah yang
ditulis pada kedua halaman, muka dan belakang (rekto dan verso).
b) Penulisan dilakukan dari kiri ke kanan (seperti mayoritas naskah jawa)
artinya teks ditulis sejajar dengan lebar lembaran naskah.
c) Bentuk tulisan jelas, dan mudah dibaca, namun kurang konsisten dalam
mempertahankan keindahan tulisannya. Pada halaman bagian awal
nampak bagus, namun ketika sudah memasuki halaman akhir jarak antar
huruf mulai agak renggang dari sebelumnya dan sedikit kurang rapi dari
sebelumnya.
d) Penggunaan sasmita têmbang pada setiap pergantian pupuh.
e) Awal penulisan ditandai dengan mandrawa pada bukan purwa pada
sebagaimana lazimnya pada penulisan karya sastra Jawa baru umumnya.
Gambar 28. Mandrawapada sebagai penanda awal bait
f) Setiap akhir bait ditandai dengan penanda bait sebagai tanda pergantian
bait tembang.
Gambar 29. Penada bait sebagai tanda tiap pergantian bait.
g) Disetiap pergantian pupuh tembang diberi tanda mandrawapada yang
dihiasi dengan wêdanarênggan sederhana.
56
Gambar 30. Mandrawapada penanda pergantian tiap pupuh.
g) Akhir pupuh tetap menggunakan mandrawapada, bukan wasana pada
sebagaimana mestinya.
Gambar 31. Mandrawapada digunakan sebagai penanda akhir pupuh.
h) Penomoran halaman ditulis dengan menggunakan angka Arab.
Gambar 32. Penomoran halaman naksah B menggunakan angka Arab.
i) Setiap pergantian bait terdapat penanda bait yang disertai angka Arab
yang menandakan urutan bait.
Gambar 33. Penggunaan penanda bait disertai angka Arab.
11) Bahan naskah :
kertas bergaris (seperti folio), dan terdapat garis tipis sebagai garis
bantu pada batas margin kiri dan kanan.
57
12) Bahasa teks :
Bahasa naskah yang digunakan adalah bahasa Jawa baru yang disisipi
dengan kata-kata arkais.
13) Bentuk teks :
Bentuk teks puisi Jawa baru (Sekar Macapat/Sekar Alit) yang di
dalamnya mencakup 36 pupuh tembang macapat, adapun perinciannya
sebagai berikut:
(1) Asmaradana 20 bait, (2) Mijil 38 bait, (3) Asmaradana 31 bait, (4) Sinom
27 bait, (5) Dhandhanggula 31 bait, (6) Mijil 35 bait, (7) Dhandhanggula 29
bait, (8) Asmaradana 31 bait, (9) Pangkur 36 bait, (10) Sinom 27 bait, (11)
Kinanthi 36 bait, (12) Asmaranada 31 bait, (13) Pangkur 31 bait, (14) Durma
37 bait, (15) Dhandhanggula 26 bait, (16) Asmaradana 32 bait, (17) Kinanthi
28 bait, (18) Pangkur 28 bait, (19) Durma 34 bait, (20) Pangkur 29 bait, (21)
Asmaradana 26 bait, (22) Durma 24 bait, (23) Pangkur 24 bait, (24) Durma
34 bait, (25) Asmaradana 33 bait, (26) Kinanhti 36 bait, (27) Sinom 30 bait,
(28) Asmaradana 32 bait, (29) Sinom 28 bait, (30) Pocung 41 bait, (31)
Kinanthi 33 bait, (32) Pangkur 31 bait, (33) Durma 34 bait, (34)
Dhandhanggula 23 bait, (35) Sinom 28 Bait, (36) Asmaradana 33 bait.
14) Umur naskah :
Secara eksplisit tidak sama sekali tertera angka tahun yang menandakan waktu
mulainya atau akhir dari penulisan naskah tersebut, serta tidak dijumpai kolofon apapun yang
mungkin dapat dijadikan penanda waktu penulisan naskah tersebut. Namun Nancy K.
58
Florida dalam katalog Javanese Literature in Surakarta Manuscripts volume I
mengatakan bahwa Sêrat Srikandhi Maguru Manah tersebut dikarang oleh R.Ng
Sindusastra di Surakarta pada tahun 1883 (1993: hal. 229).
15) Pengarang / penyalin :
Pengarang SSMM adalah R.Ng Sindusastra, akan tetapi untuk
penyalin/penulis naskah ini belum dapat diketahui secara pasti.
16) Asal-usul naskah :
Secara tekstual naskah, belum diketahui naskah tersebut disalin dari induk
yang mana, serta siapa pemilik naskah tersebut sebelum pada akhirnya ditaruh di
Perpustakaan Sasanapustaka.
17) Fungsi sosial naskah :
Sebagaimana isi daripada teks naskah, yang mengadung sebuah ceritera
pewayangan Jawa yang dikutip dari induk ceritera dalam epos mahabarata, sudah
barang tentu bahwa teks naskah ini sering dijadikan sebagai babon lakon atau sumber
ceritera yang akan diangkat dalam sebuah pertunjukan wayang kulit ataupun wayang
orang. Pada era sekarang, juga tidak sedikit ditemui sebuah karya-karya seni yang
mengangkat judul Srikandhi Maguru Manah, seperti pertunjukan wayang orang dari
goroup wayang orang Sriwedari Sala. Substansi dari pada teks juga sering dijadikan
sebagai sumber inspirasi dalam berbagai karya literer lainnya, seperti Pesona Wanita
dalam Khasanah Pewayangan karya Sri Wintala Achmad.
59
18) Ikhtisar teks/ceritera:
Secara garis besar ikhtisar ceritera pada naskah B ini sama persis dengan
naskah A, yakni menceriterakan tentang liku-liku kisah Asmara Srikandhi dengan
Arjuna yang, dimulai keika pertemuan mereka di Dwaraka, dilamar oleh Prabu
Jungkung Mardeya raja negara Paranggubarja, perginya Srikandhi dari keraton,
pertandingan memanah antara Srikandhi dengan Rararsati, hingga pada pernikahan
Arjuna dengan Srikandhi dan diboyongnya Srikandhi ke Madukara (selengkapnya
lihat iktisar naskah A). Perbedaan ceritera hanya terdapat pada bagian akhir ceritera,
karena pada naskah C tidak terdapat pupuh ke- 36, pada pupuh tersebut berisi tentang
suasana di kasatrian Madukara ketika kedatangan Srikandhi sebagai tamu agung,
selebihnya sama persis dengan naskah A.
c). Nasakah SSMM C
1) Judul naskah
Serat Cariyos Srikandhi Maguru Manah
Judul serat tersebut terdapat pada lembar tengah naskah, tepatnya terletak
setelah ceritera Partakrama usai.
Gambar 34. Judul naskah C pada halaman tersendiri setelah ceritera
sebelumnya (Partakrama) selesai.
60
Hal ini dikarenakan naskah tersebut nerupakan naskah bendel yang mana di dalam
satu naskah terdapat dua judul sêrat. Naskah bendel ini berjudul Sêrat Partakrama
dumugi Srikandhi Maguru Manah.
2) Nomor naskah
D 59b, terletak pada cover depan naskah.
Gambar 35. Nomor naskah C terdapat pada cover depan naskah.
Pada katalog Nancy K.Florida Javanese Literature in Surakarta
Manuscripts, Volume 2 Manuscripts of the Mangkunegaran Palace tertulis dengan
nomor katalog MN 436.2 / D59b.
3) Tempat penyimpanan naskah
Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta.
4) Asal naskah
Sebagaimana informasi yang termuat pada kolofon yang terdapat pada lembar
tambahan (satu lembar sendiri bukan satu kesatuan naskah) yang terselip pada
lembar utama naskah yang menyatakan bahwa naskah ini dulunya kepunyaan
61
seorang Belanda bernama Ir. Moen, yang pada akhirnya naskah tersebut dihibahkan
kepada pihak Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta.
“Srikandhi Maguru Manah kagungan dalêm ugi wontên kirangipun. Kathah
cariyosanipun Srikandhi Maguru Manah ingkang saking Tuwan Ir. Moen. Kalêtipun
wiwit ing kaca purwaka – 106 (kaot 19 :ska)”…
Terjemahan: Srikandhi Maguru Manah milik beliau juga terdapat kekurangan.
Banyak ceritera Srikandhi Maguru Manah yang dari Tuan Ir. Moen. Yang dimulai
pada halaman pembuka sampai halaman 106
….
“Nuwun, ing sarèhning kagungan dalêm buku wau wontên kirangipun saking
panimbangipun pangagênging Kantor Rêksapustaka, amrayogèkakên kapundhut”.
Artinya: Terimakasih, dikarenakan buku milik beliau tadi terdapat kesalahan dari
perimtimbangan pimpinan Kantor Reksapustaka, diharapkan dijadikan maklum.
5) Keadaan naskah
Keadaan naskah tidak cukup baik, naskah sudah mengalami suatu upaya
pelestarian naskah yakni restorasi naskah. Kover naskah sudah direkover ulang,
jilidan sudah terlepas, kertas sebagian sudah dilaminasi karena kertas banyak yang
patah dikarenakan faktor pemakaian terdahulu dan faktor usia, terdapat beberapa
huruf yang hilang dikarenakan kondisi tersebut.
6) Ukuran naskah
Panjang naksah : 29 cm
Lebar naskah : 19 cm
Tebal naskah : 5 cm
62
7) Ukuran teks
Panjang teks : 22 cm
Lebar teks : 12 cm
Margin atas teks : 3, 5 cm
Margin bawah teks : 3, 5 cm
Margin kanan rekto : 4, 5 cm
Margin kiri rekto : 2, 5 cm
Margin kanan verso : 2, 5 cm
Margin kiri verso : 4, 5 cm
8) Jumlah halaman dan jumlah rata-rata baris tiap halaman
a) Jumlah halaman keseluruhan (satu naskah utuh) : 614 halaman + satu
halaman keterangan dari petugas Perpustakaan Reksa Pustaka.
b) Jumlah halaman Serat Srikandhi Maguru Manah : 204 halaman.
c) Jumlah rata-rata baris tiap halaman adalah 19 baris per halaman.
9) Huruf, aksara, tulisan
a) Aksara yang digunakan adalah aksara jawa carik (manuskrip)
b) Ukuran huruf sedang
c) Bentuk huruf semi miji ketumbar, agak condong ke kanan.
d) Keadaan teks jelas, dan mudah dibaca.
e) Jarak antar huruf sedang.
f) Jarak antar baris renggang.
63
g) Mayoritas bekas pena tidak membekas pada halaman disebaliknya,
dikarenakan penekanan pena tidak terlalu keras sehingga tidak membekas
pada halaman disebaliknya.
10) Cara penulisan :
a) Penulisan dilakukan dengan cara bolak balik yaitu lembaran naskah yang
ditulis pada kedua halaman, muka dan belakang (recto dan verso).
b) Penulisan dilakukan dari kiri ke kanan (seperti mayoritas naskah jawa)
artinya teks ditulis sejajar dengan lebar lembaran naskah.
c) model dan bentuk tulisan konsisten dari awal hingga akhir penulisan
termasuk kerapian dan keindahan dalam penulisan setiap hurufnya.
d) Penggunaan sasmita têmbang pada setiap pergantian pupuh.
e) Awal penulisan ditandai dengan purwapada.
Gamabar 36. Purwapada penanda awal penulisan
h) Tiap pergantian bait diberi tanda pembatas bait yang disertai dengan
angka Arab sebagai penanda pergantian bait sekaligus penomoran urutan
bait.
Gambar 37. Penada bait disertai angka Arab sebagai tanda tiap pergantian
bait.
64
i) Pada setiap pergantian pupuh tembang diberi tanda mandrawapada yang
dihiasi wêdanarênggan sederhana, dan disertai angka Arab sebagai
penomoran pupuh.
Gambar 38. Mandrawapada disertai angka Arab pada tiap pergantian
pupuh
i) Akhir pupuh menggunakan wasanapada dengan style yang berbeda
(berdasarkan pada perbandingan teks jawa klasik pada umumnya) yakni
tidak menggunakan aksara swara “i” melainkan menggunakan
sandhangan “wulu”.
Gambar 39. Bentuk wasanapada yang berbeda pada akhir pupuh.
j) Penomoran halaman ditulis dengan menggunakan angka Arab
Gambar 40. Penomoran halaman naskah menggunakan angka Arab.
11) Bahan naskah :
kertas dluwang sebagimana kertas asli dari Indonesia yang digunakan sebagai
media penulisan pada era Jawa klasik.
65
12) Bahasa teks :
Bahasa naskah yang digunakan adalah bahasa Jawa Baru, yang disisipi kata
arkais seperti puisi Jawa klasik pada umumnya.
13) Bentuk teks :
Teks berbentuk puisi Jawa baru (Sekar Macapat/Sekar Alit) yang di dalamnya
mencakup 37 pupuh tembang macapat, adapun perinciannya sebagai berikut:
(1) Asmaradana 20 bait, (2) Mijil 38 bait, (3) Asmaradana 31 bait, (4) Sinom 27 bait,
(5) Dhandhanggula 31 bait, (6) Mijil 35 bait, (7) Dhandhanggula 25 bait, (8)
Asmaradana 31 bait, (9) Pangkur 24 bait, (10) Sinom 27 bait, (11) Kinanthi 36 bait,
(12) Asmaranada 31 bait, (13) Pangkur 31 bait, (14) Durma 37 bait, (15)
Dhandhanggula 26 bait, (16) Asmaradana 32 bait, (17) Kinanthi 27 bait, (18)
Pangkur 28 bait, (19) Durma 34 bait, (20) Pangkur 29 bait, (21) Asmaradana 26 bait,
(22) Durma 24 bait, (23) Pangkur 24 bait, (24) Durma 34 bait, (25) Asmaradana 33
bait, (26) Kinanhti 36 bait, (27) Sinom 30 bait, (28) Asmaradana 29 bait, (29) Sinom
28 bait, (30) Pocung 41 bait, (31) Kinanthi 33 bait, (32) Pangkur 31 bait, (33) Durma
34 bait, (34) Dhandhanggula 23 bait, (35) Sinom 28 bait, (36) Asmaradana 33 bait,
(37) Pocung 23 bait.
14) Umur naskah :
Secara eksplisit tidak sama sekali tertera angka tahun yang menandakan
waktu mulainya atau akhir dari penulisan naskah tersebut, serta tidak dijumpai
kolofon berupa sêngkalan ataupun sandiasma yang mungkin dapat dijadikan
66
penanda waktu penulisan naskah tersebut. Namun Nancy K. Florida dalam katalog
Javanese Literature in Surakarta Manuscripts volume 2 mengatakan bahwa Serat
Srikandhi Maguru Manah itu ditulis pada tahun 1899, mungkin asumsi Nancy
berdasar pada gaya huruf khas naskah Yogyakarta (2000: 306).
15) Pengarang / penyalin :
Menurut katalog Nancy K. Florida Sêrat Srikandhi Maguru Manah dikarang
oleh R.Ng Sindusastra di Surakarta. Akan tetapi pada data naskah sama sekali tidak
tercantum nama pengarang maupun penyalinya (baik secara eksplisit maupun
implisit).
16) Asal-usul naskah :
Tidak ditemukan kolofon ataupun petunjuk lainnya mengenai induk dari
naskah ini (dari mana naskah ini disalin).
17) Fungsi sosial naskah :
Naskah ini merupakan naskah yang mengandung ceritera pewayangan Jawa,
naskah ini diasumsikan sempat populer di zamannya, karena terbukti naskah ini
diperbanyak, bukan hanya disalin secara manual, namun juga secara cetak. Hal ini
menandakan naskah tersebut dulunya pernah populer, entah dalam kalangan
sastrawan ataupun para praktisi kesenian khususnya pedalangan. Lakon/ ceritera ini
juga sudah banyak dipentaskan pada panggung kesenian, entah dalam bentuk
wayang kulit atau wayang orang.
67
18) Ikhtisar teks/ceritera :
Jalan ceritera maupun urutan pupuh pada naskah C sama persis dengan naskah
A dan B (selengkapnya lihat iktisar nasah A). Letak perbedaan hanya terdapat pada
pemotongan adegan, penulis naskah C banyak melakukan pemotongan adegan yang
dirasanya tidak perlu ada, karena mungkin adegan tersebut dianggap tidak
mempengaruhi esensi substansi ceritera. Naksah C memotong beberapa adegan dan
menggantinya dengan sekelompok kalimat sebagai penyambung ceritera sebelum
dengan sesudah adegan yang dipotong tersebut, sehingga terkesan tidak ada adegan
yang hilang dan ceritera terus mengalir (lihat perbandingan bait). Akhir ceritera pun
naskah C ini juga sama persis dengan akhir ceitera pada naskah A, oleh karena itulah
naskah C ini dianggap masih dalam versi yang sama dengan naskah A maupun B.
2. Perbandingan Naskah
Sebagaimana yang telah tersebut pada bab sebelumnya, bahwa dalam rangka
kritik teks harus terlebih dahulu melalui tahap perbandingan naskah, hal ini
dikarenakan metode yang digunakan adalah legger atau sering disebut dengan istilah
metode landasan. Metode landasan ini digunakan apabila salah satu dari objek
penelitian disinyalir sebagai naskah terbaik dari pada naskah lainya yang sejenis dan
seversi. Langkah kerja perbandingan naskah inilah yang sangat diperlukan guna
menentukan salah satu naskah yang dijadikan sebagai naskah landasan atau dasar
suntingan.
68
Perbandingan naskah pada penelitian kali ini, dilakukan dengan cara
mengambil teks naskah dari sepuluh bait pertama, sepuluh bait tengah dan sepuluh
bait akhir sebagai sempel data perbandingan. Perbandingan naskah dilakukan melalui
tahapan perbandingan umur naskah, perbandingan bait, kelompok kata, kata per kata,
dan bacaan. Hal ini dilakukan guna menemukan naskah yang paling baik sebagai
dasar suntingan.
a. Perbandingan Umur Naskah
Perbandingan umur naskah dilakukan guna mengetahui ketuaan naskah,
naskah yang tua biasanya disinyalir sebagi naskah yang lebih dekat dengan
autograph, meskipun tidak mutlak demikian. Banyak ditemukan naskah yang muda
akan tetapi mengandung teks yang tua dan lebih baik secara bacaan, dan diasumsi
sebagai naskah yang lebih dekat dengan aslinya.
Umur naskah A belum dapat ditentukan secara pasti, dikarenakan tidak
terdapat informasi yang akurat untuk dijadikan dasar penentuan kapan teks tersebut
ditulis. Berdasarkan pada style huruf, huruf yang digunakan seperti model huruf yang
digunakan oleh juru tulis keraton Kasunanan Surakarta pada masa pemerintahan PB
X yang memerintah pada tahun 1839-1939 M, oleh karenanya naskah diasumsi
disalin dari induknya sekitar tahun tersebut (Nancy K. Florida, 2012: 200).
Naksah B juga tidak dapat diperkirakan secara pasti mengenai waktu
penulisan teks tersebut. Hal ini dikarenakan pada teks naskah tidak dijumpai sama
sekali kolofon yang memberikan informasi mengenai waktu penulisan atau apapun
yang dapat membantu menentukan umur naskah, selain itu adanya kendala mengenai
69
tidak diperbolehkannya peneliti berhadapan langsung dengan objek oleh petugas
perpustakaan, sehingga tidak dapat diketahui ketuaan naskah ditinjau dari bahan
naskahnya.
Umur naskah C diperkirakan ditulis pada tahun 1899 M, perkiraan ini
didasarkan pada pendapat Nancy yang mengatakan bahwa naskah ditulis pada tahun
tersebut (Nancy K Florida, 2000: 306).
Perbandingan angka tahun penulisan sebagai penentu ketuaan naskah akan
disajikan dalam table berikut:
Tabel 1
Perbandingan Umur Naskah
Naskah A Naskah B Naskah C
±1893-1939 M - ±1899M
Pada data naskah A tidak sama sekali ditemukan informasi dari berbagai
sumber (termasuk katalog) yang menginformasikan mengenai kepastian tahun
penulisan teks naskah salinan tersebut, hanya diterangkan mengenai sumber salinan
(babon) dari naskah tersebut, yang mana sumber arketip diasumsi sangat dekat
dengan autograph.
70
Naskah B belum diketahui kapan waktu penulisannya, dikarenakan sama
sekali tidak diperoleh informasi dari sumber manapun yang menginformasikan
mengenai waktu penulisan naskah, hanya saja berdasarkan bentuk tulisannya yang
khas keraton Surakarta (Cursive Surakarta Script) diasumsi naskah ini disalin dari
induk yang sama dengan naskah A.
Naskah B secara pasti belum diketemukan kapan penulisan naskah tersebut,
dikarenakan pada data naskah tidak disebutkan secara pasti kapan waktu penulisan
teks naskah salinan tersebut, hanya tertuliskan mengenai asal naskah, yakni dari mana
naskah tersebut berasal. Namun demikian, diperkirakan teks naskah disalin pada
tahun 1899 yang mana perkiraan tersebut didasarkan pada pendapat Nancy pada
katalognya (Nancy K. Florida, 2000: 306).
b. Perbandingan Urutan Pupuh dan Jumlah Bait
Terlebih dahulu untuk mempermudah perbedaan jumlah bait pada tiap-tiap
naskah yang akan dijadikan sebagai objek pokok penelitian, dibuatkan tabel sebagai
berikut:
71
Tabel 2
Perbandingan Urutan Pupuh dan Jumlah Bait pada Tiap Naskah
No
Pupuh
Jenis Tembang Jumlah Bait Tiap-Tiap Naskah
A B C
1 Asmaradana 20 20 20
2 Mijil 38 38 38
3 Asmaradana 31 31 31
4 Sinom 27 27 27
5 Dhandhanggula 31 31 31
6 Mijil 35 35 35
7 Dhandhanggula 29 29 25
8 Asmaradana 31 31 31
9 Pangkur 36 36 24
10 Sinom 27 27 27
11 Kinanthi 36 36 36
12 Asmaradana 31 31 31
13 Pangkur 31 31 31
14 Durma 37 37 37
72
15 Dhandhanggula 26 26 26
16 Asmaradana 32 32 32
17 Kinanthi 29 28 27
18 Pangkur 28 28 28
19 Durma 34 34 34
20 Pangkur 29 29 29
21 Asmaradana 26 26 26
22 Durma 24 24 24
23 Pangkur 25 24 25
24 Durma 34 34 34
25 Asmaradama 33 33 33
26 Kinanthi 36 36 36
27 Sinom 30 30 30
28 Asmaradana 32 32 29
29 Sinom 28 28 28
30 Pocung 41 41 41
31 Kinanthi 33 33 33
32 Pangkur 31 31 31
73
33 Durma 34 34 34
34 Dhandhanggula 23 23 23
35 Sinom 28 28 28
36 Asmaradana 33 33 33
37 Pocung 23 - 23
Jumlah 37 36 37
Keterangan :
…: perbedaan jumlah bait pada naskah B.
… : perbedaan jumlah bait pada naskah C.
- : bait tembang tidak ada
Berdasarkan tabel perbandingan di atas, dapat diketahui berbagai
penyimpangan yang mencolok dari jumlah bait pada masing-masing pupuh, serta
perbedaan jumlah pupuh dari tiap-tiap naskah. Perbedan-perbedaan tersebut antara
lain (1) perbedaan jumlah pupuh pada naskah A, B, dan C. Naskah A = C, sedangkan
naskah B ≠ A dan C. Disamping itu juga terdapat perbedaan lainnya yaitu (2)
perbedaan jumlah bait pada naskah A yang terjadi pada urutan bait ke 11 dan 32,
nasakh B perbedaan terjadi pada urutan bait ke 17 dan 23, pada naskah C terdapat
banyak perbedaan kuantitas bait yakni pada urutan bait ke 7, 9, 17 dan 28.
74
c. Perbandingan Bait
Selanjutnya adalah perbandingan isi naskah yang diawali dengan
perbandingan bait terlebih dahulu. Sebelumnya pada tabel I telah ditampilkan
beberapa pupuh yang berbeda pada tiap-tiap naskah, yakni pada pupuh ke-7, 9, 11,
17, 23, 28, 32, dan 37. Secara lebih terperinci perbedaan-perbedaan jumlah bait pada
tiap-tiap pupuh tersebut ditampilkan pada tabel berikut:
Tabel 3
Perbandingan Bait pada Pupuh ke- 7 Tembang Dhandhanggula
Bait ke- Naskah A Naskah B Naskah C
1 V V V
2 V V V
3 V V V
4 V V V
5 V V V
6 V V V
7 V V V
8 V V V
75
9 V V V
10 V V V
11 V V V
12 V V V
13 V V V
14 V V -
15 V V -
16 V V -
17 V V -
18 V V V
19 V V V
20 V V V
21 V V V
22 V V V
23 V V V
24 V V V
76
25 V V V
26 V V V
27 V V V
28 V V V
29 V V V
Melalui table 3 perbandingan bait pada pupuh 7 di atas, nampak perbedaan
jumlah bait naskah C dibandingkan dengan naskah A dan B, naskah A dan B
berjumlah 29 bait, sedangkan naskah C berjumlah 25 bait saja. Perbedaan tersebut
sebenarnya terjadi pada bait 5 (lima) sampai dengan bait ke- 17 (tujuh belas), isi dari
teks pada bait-bait tersebutlah yang mengakibatkan perbedaan jumlah bait, teks tidak
hilang dan ceriteranya pun tidak terputus, dalam artian terjadi sebuah penyederhaan
ceritera namun tidak menghilangkan esensi dari pada ceritera itu sendiri. Pada bait
ke- 5-17, penulis naskah C lebih memadatkan ceritera, dengan menggunakan kosa
kata yang berbeda dan mengurangi beberapa adegan akan tetapi ceritera berujung
pada titik temu yang sama, seperti contoh pada naskah A dan B bait lima dan enam
yang tertulis sebagai berikut:
5. Sang kusuma alon anauri/ kula bibi wong sajaban kitha/ padesan pinggir
alase/ anguruh kadang sêpuh/ nguni wontên ing Dwarawati/ suwita
amawongan/ mangkya wartinipun/ umiring mring Madukara/ ing gustine
kusuma Banoncinawi/ kagarwa Dyan Janaka//
77
6. Kula bibi pan dèrèng udani/ Madukara pundi prênahira/ kang darbe
bango saure/ pan wus cêlak nakingsun/ lurung ingkang ngidul puniki/ têrusan
Madukara/ marga gêng jumujug/ anjog Taman Maduganda/ pan ing mangke
Kusuma Banoncinawi/ sampun ambabar putra//
Sebagai teks pembanding ialah bait lima pada naskah C yang tertulis sebagai berikut:
5. Sang kusuma angandika aris/ lah ta bibi ingsun atêtanya/ wong agung
Madukarane/ lah apa karyanipun/ anèng dalêm garwanirèki/ matur ingkang
tinanya/ gustiku sang bagus/ wong agung ing Madukara/ kalangênan lan
garwa putra puniki1/ sawêg ambabar anyar//
Pada naskah A dan B adegan pertemuan antara Srikandhi dengan Mbok
Nganten diwarnai dengan pertanyaan yang kompleks hingga dua bait tembang, akan
tetapi pada naskah C, adegan tersebut hanya tercakup dalam satu bait tembang saja.
Meskipun pertanyaan yang disodorkan Srikandhi kepada mbok bakul dalam naskah A
dan B berbeda dengan naskah C, akan tetapi esensi ceritera teteap sama, yakni
menanyakan seputar kasatrian Madukara dan Raden Arjuna yang mana diselimuti
kegembiraan atas kelahiran putra pertamanya yakni Angkawijaya.
Bait yang berbeda susunan kalimatnya akan tetapi masih tetap dalam satu
esensi ceritera yang sama, terjadi pada naskah C ditulis pada bait 5-13, untuk
memperjelas perbedaannya berikut ditampilkan bait tembang yang dimaksud:
1 Terjadi lacuna satu suku kata pada baris ke- 9. Pada teks asli kata „‟puniki‟‟ hanya tertulis „‟niki‟‟.
78
Tabel 4
Perbandingan Susunan Kalimat Pada Pupuh ke- 7 Tembang Dhandahnggula
Bait
ke-
Naskah A dan B
Bait
ke-
Naskah C
4 Lamun iku putraning narpati/
sang kusuma sayah lampahira/
rarywan pinggir lurung gedhe/
ngaub ana ing warung/ ingkang
darbe bango lon angling/ ing riki
den sakeca/ mbok ngantèn
alungguh/ ing pundi wisma
andika/ ayu anom têka lêlampah
pribadi/ pundi ingkang sinêdya//
4 Lamun iku putraning narpati/
sang kusuma sayah lampahira/
rarywan pinggir lurung gedhe/
ngaub ana ing warung/ ingkang
darbe bango lon angling/ ing riki
den sakeca/ mbok ngantèn
alungguh/ ing pundi wisma
andika/ ayu anom têka lêlampah
pribadi/ pundi ingkang sinêdya//
5 Sang kusuma alon anauri/ kula
bibi wong sajaban kitha/
padesan pinggir alase/ anguruh
kadang sêpuh/ nguni wontên
ing Dwarawati/ suwita
amawongan/ mangkya
wartinipun/ umiring mring
Madukara/ ing gustine kusuma
Banoncinawi/ kagarwa dyan
Janaka//
5 Sang kusuma angandika
aris/ lah ta bibi ingsun
atatanya/ wong agung
Madukarane/ lah apa
karyanipun/ anèng dalêm
garwanirèki/ matur ingkang
tinanya/ gustiku sang bagus/
wong agung ing Madukara/
kalangênan lan garwa putra
puniki/ sawêg ambabar
anyar//
6 Kula bibi pan dèrèng udani/
madukara pundi prênahira/
kang darbe bango sahure/ pan
wus cêlak nakingsun/ lurung
ingkang ngidul puniki/ têrusan
madukara/ marga gêng
jumujug/ anjog taman
maduganda/ pan ing mangke
kusuma Banoncinawi/ sampun
ambabar putra//
6 Putranipun kalangkung
apêkik/ cahyanipun
anuksmèng sasangka/
Angkawijaya parabe/ ling
malih sang rêtnayu/ wus
kariya bibi sirèki/ laju sang
rêtnaning dyah/ tan
kawarnèng ngênu/ wus
Prapta ing Madukara/ nulya
jujug kusuma Wara
Srikandhi/ mring taman
79
Madukara//
7 Miyos kakung warnane apêkik/
sinung nama dyan
Angkawijaya/ puniki lurung
kang ngalèr/ anjag ing
dalêmipun/ satriya gung ing
Jodhipati/ radèn Sadewa wetan/
de kilèn kadhatun/ dalême
Radèn Nakula/ ari catur dalêm
ngubêngi nagari/ pura madya
Ngamarta//
7 Sapraptaning jroning
tamansari/ juru taman tan
ana uninga/ sang rêtna duk
malêbune/ nulya
kusumaningrum/ mêthik
sêkar ing taman sari/ jaluki
sumarsana/ argulo nojèku/
kanikir wora-wari bang/
ambêlasah pinêthikan urut
margi/ sagung kang
kêmbang-kêmbang//
8 Pan wong agung Madukara
mangkin/ salamine kanggowa
ambabar/ awis kundur mring
dalême/ kêkuwu taman santun/
kalangênan lesan jêmparing/
sang rêtna duk miyarsa/ mèsêm
ngandika rum/ nggih bibi
bangêt tarima/ tuduh dika lah
bibi kari ya laris/ sang dyah
lajêng tumédhak//
8 Supayane sang rêtnaning
rêtnaning putri/ mrih
nêpsune kang darbe taman/
wong agung Madukarane/
nulya sang rêtnaningrum/
duk umiyat marang botrawi/
wus praptèng…7a./
…6u/…8a/ nèng botrawi
ting kulacar ting kulicir/
mina gêng samya
ngambang//
9 Saking bangu anurut ing
margi/ kang mangidul tan
dangu lampahnya/ katon
munggul gapurane/ pucuk
mutyara mancur/ nawung
sunaring surya kadi/ sasmita
angenggalna/ sang dyah
lampahipun/ wontên witing
naga puspa/ ngapit kori pangira
kanginan kadi/ angawe sang lir
rêtna//
9 Eram mulat kacaryan
ningali/ rêrênggane taman
Madukara/ kadya Suwarga
rakite/ urange runtung-
runtung/ wadêr bange bayak
ngulincir/ urang sapucang-
pucang/ kutuknya
malumpuk/ kunêng sang
rêtna nèng taman/
kawuwusa satriya
Madukarèki/ arsa têdhak
mring taman//
80
10 Lampahira sang kusuma prapti/
lajêng manjing salêbêting
taman/ pan maksih mênga
korine/ sang dyah eram andulu/
rêrênggane kang taman sari/
sarwa mas lan sêsotya/ lir
taman swarga gung/ bot rawi
binale kambang/ sri kawuryan
kêmbang-kêmbange ngubêngi/
kang samya jinêmbangan//
10 Sêmar Bagong wau kang
umiring/ tan kawarna wus
prapta ing taman/ satriya
Dananjayane/ jroning taman
wus rawuh/ amung Sêmar
Bagong kang ngiring/ anèng
ing jawi taman/ lawan
sutanipun/ sami angampil
woh-wohan/ Dananjaya wau
sarêng aningali/ sagung
kang kêmbang-kêmbang//
11 Eram mulat wêninging kang
warih/ umbul mijil tuke saking
sela/ udal andêdêl ganggênge/
urangi arêruntung/ wadêr
bange bayak ngêbyaki/ ucêng
sapucang-pucang/ kutuke
anglumpuk/ urut lêbinging
balumbang/ puspawarna
sangkêp sawarnaning sari/ sru
nilan sumarsana//
11 Sami rubuh balasah nèng
siti/ kocar-kacir pan saurut
marga/ kêkêmbangan
sadayane/ rahadyan
langkung bêndu/ sapa
ingkang angrusak iki/ iya
têka mêjana/ mring
sariraningsun/ sapa wonge
ingkang karya/ amêthiki
kakêmbangan urut margi/
apa warnane baya//
12 Nêdhêng panjrah ingkang
sarwa sari/ kamarutan
gandanya mrik ngambar/ sang
dyah ayêm ingtyas rèrèh/
kataman maruta rum/ midêr
mêthik kang sarwa sari/ kang
samya jinêmbangan/ satêpining
ranu/ karsanya sang lir
kusuma/ marma dangu
ngayêmkên sarira dingin/
nadyan mangke marêkta//
12 Laju sarwi angandika aris/
yèn lananga iya kang
mêjana/ sun tugêl-tugêl
gulune/ tan lêga ing tyas
ingsun/ yèn wadona ingsun
kauli/ sun kungkung pitung
dina/ iya pitung dalu/ anèng
sajroning paprêman/
Dananjaya sarêng wau
aningali/ marang putri
Cêmpala//
13 Mring sang Parta manawa wus
aring/ dene juru taman kalih
wêlas/ kang nyiram
pêpêthètane/ lawan ingkang
angangsu/ datan wontên
ngaruh-aruhi/ kinandêlkên
kewala/ sang dyah solahipun/
13 Dene iku kangbok dèwi
Ratih/ kang mêthiki
kêmbang urut marga/ nora
kêjamah anggêpe/ angrusak
taman santun/ mêjanani
marang ing mami/ sang
rêtna pinarpêkan/ wus cêlak
nggènipun/ marang putri ing
81
denira angambil sêkar/ nyana
lamun parêkan dinutèng gusti/
angundhuh kêmbang-
kêmbang//
Cêmpala/ Dananjaya ningali
dèrèng anggalih/ lamun
putri cêpala//
14 Marma datan ana kang
malangi/ ing sasolahira sang lir
rêtna/ denya angalap sêkare/
wauta kang winuwus/ radyan
Dananjaya marêngi/ tedhak
marang ing taman/ kang
umiring namung/ ki lurah
Bagong lan Sêmar/ pan
gumêdêr gêguyon samargi-
margi/ sang dyah kagyat
miyarsa//
-
15 Gugup minggah marang ing
botrawi/ saklèbatan sang parta
tumingal/ wanudya têmah
ciptane/ apa ta sibok ayu/ dewi
ratih prapta ing ngriki/ wus
sabêne mangkana/ yèn tuwi
anjujug/ jroning botrawi
kewala/ gya sang parta
ngubêngi kêmbang sarya
ngling/ mirungu kang
umpêtan//
-
16 Sapa iki kang angalap sari/
kocar-kacir kaliwat mêjana/ mèt
nora nêmbung kang duwe/ kaya
pawarnanipun/ yèn wanodya
punagi mami/ sun kungkung
pitung dina/ ana ing jinêmrum/
hèh Sêmar Bagong kariya/
anèng jaba sadhela sun arsa
guling/ ana ing Yasakambang//
-
17 Sang kusuma têtela miyarsi/
sang Arjuna dènira ngandika/
tambuh-tambuh ing solahe/
-
82
arsa medal kabutuh/ Dananjaya
mêngakên kori/ sang dyah
dheprok karuna/ anèng
ngarsanipun/ jungkêl nutupi
wadana/ Dananjaya ningali
dèrèng andugi/ lamun putri
cêmpala//
18 Maksih nyana lamun dèwi ratih/
sarwi gumujêng dènya ngandika/
hèh babo iki ta wonge/ kang
ngrusak taman ingsun/ liwat
saking amêjanani/ marang kang
duwe taman/ yêkti kênèng ukum/
wus dadi punaginingwang/
ingsun kungkung nèng paprêman
pitung bêngi/ sang dyah
sinambut sigra//
14 Maksih nyana lamun dèwi ratih/
sarwi gumujêng dènya ngandika/
hèh babo iki ta wonge/ kang
ngrusak taman ingsun/ liwat
saking amêjanani/ marang kang
duwe taman/ yêkti kênèng ukum/
wus dadi punaginingwang/
ingsun kungkung nèng paprêman
pitung bêngi/ sang dyah
sinambut sigra//
Berdasar pada table diatas, dapat dilihat bahwa adanya selisih empat bait
antara naskah C berjumlah 25 bait dengan naskah A dan B berjumlah 29 bait,
dikarenakan mulai bait ke- 5 sampai dengan 17 oleh penulis naskah C ceritera
dirangkum hanya dalam sembilan bait saja (bait 5-13 pada teks cetak tebal),
sedangkan naskah A dan B ceritera ditulis dalam tiga belas bait (bait 5-17 pada teks
cetak tebal), sehingga terjadi selisih empat bait pada jumlah bait pupuh ke-7 tersebut.
Selanjutnya adalah perbandingan bait ke- 9 tembang Pangkur yang mana juga
mengalami perbedaan jumlah bait antara naskah C dengan naskah B dan C.
perbedaan tersebut ditampilkan pada tabel berikut:
83
Tabel 5
Perbandingan bait pada pupuh ke- 9, bait tembang Pangkur
Bait ke- Naskah A Naskah B Naskah C
1 V V V
2 V V V
3 V V V
4 V V V
5 V V V
6 V V V
7 V V V
8 V V V
9 V V V
10 V V V
11 V V V
12 V V V
13 V V V
84
14 V V V
15 V V V
16 V V V
17 V V V
18 V V V
19 V V V
20 V V -
21 V V -
22 V V -
23 V V -
24 V V -
25 V V -
26 V V -
27 V V -
28 V V -
29 V V -
85
30 V V -
31 V V -
32 V V V
33 V V V
34 V V V
35 V V V
36 V V V
Kasus yang terjadi pada pupuh ke- 9 ini hampir sama dengan pupuh 7 di atas.
Pada pupuh ke- 9 ini, ada beberapa adegan yang dihilangkan oleh penulis naskah C,
disinyalir penulis naskah C menganggap adegan tersebut tidak begitu penting
sehingga dihilangkan. Kutipan dua bait teks (bait ke- 18 dan 19) sebagai penyambung
ceritera sebagai berikut:
18. Antara samadya candra/ dènira nèng Madukara sang putri/ langkung rêpit
tingkahipun/ sanadyan wadyanira/ Madukara sadaya apan dèrèng wruh/
anyana gustine samya/ iya tapa kang sayêkti//
19. anèng sajrone ing taman/ wadyanira datan ana udani/ kunêng wau kang
winuwus/ ingkang lumampah kuma/ sabanira pramèswari Ngamartèku/ wus
prapta ing Madukara/ momor sagung para cèthi//
Pada naskah A dan B (lihat suntingan teks), konflik ceritera mengalami sedikit
pengembangan, dimulai dari bait ke- 19-31 terdapat percakapan antara Rarasati
86
dengan Sembadra, yang mana Rarasati menggosipkan Arjuna yang sedang tapa
nendra di taman kasatriyan Madukara ditemani dengan Srikandhi dan melakukan hal
yang tidak senonoh disertai sendau gurau lainya. Nampaknya penulis naskah C
menganggap hal itu tidak begitu penting, peristiwa yang ditulis sepanjang 13 (tigas
belas) bait itu ditiadakan, diganti dengan dua bait tembang saja, yakni pada bait ke
sembilan belas dan dua baris bagian akhir pada bait ke delapan belas sebagai
jembatan penyambung ceritera dari ceritera sebelumnya menuju setelahnya tanpa
merusak jalannya ceritera.
Tabel 6
Perbandingan Bait Pupuh ke- 17, tembang Kinanthi.
Bait ke- Naskah A Naskah B Naskah C
1 V V V
2 V V V
3 V V V
4 V V V
5 V V V
6 V V V
7 V V V
87
8 V V V
9 V V V
10 V V V
11 V V V
12 V V V
13 V V V
14 V V V
15 V V V
16 V - -
17 V V -
18 V V V
19 V V V
20 V V V
21 V V V
22 V V V
23 V V V
88
24 V V V
25 V V V
26 V V V
27 V V V
28 V V V
Perbedaan jumlah bait pada pupuh ke- 17 tembang Kinanthi ini terjadi pada
bait ke- 16 dan 17. Naskah B tidak mempunyai bait ke- 17 dan naskah C tidak
mempunya bait ke- 16 dan 17.
Berikut ditampilkan empat bait, yang mana dua dari bait tersebut merupakan
bait ke- 16 dan 17.
15. Narendra Krêsna andhêku/ pan inggih sami basuki/ paman aji lampah
kula/ mring Cêmpala pan tinuding/ ing putra Tuwan Ngamarta/
ngaturkên[…91] lêpatirèki//
16. Miwah pêjah gêsangipun/ putra tuwan pun Prêmadi/ kurêbêna ing
abahan/ dadosa tontonan nagri/ putra tuwan ing Ngamarta/ sumangga ing
asta kalih//
17. Botên ing grantês sarambut/ suka lila lair batin/ saking sangêt
merangira/ putra puwan yayi aji/ Ngamarta dhatêng paduka/ mèh kêdhik
arinirèki//
18. Pun Dananjaya pukulun/ dipuntélasi pribadi/ dene sangêt dènya karya/
saru-saruning praja di/ pocapan kang tan sayogya/ kapyarsa liyan nagari//
89
Bait tembang yang dicetak tebal di atas merupakan bait tembang yang di maksud
sebagai bait yang tidak ada pada naskah C. Pada bait-bait tersebut berisi kalimat-
kalimat penegas penyesalan Yudhistira atas perbuatan adiknya si Arjuna. Bait
tersebut dirasa harus ada, mengingat watak Yudhistira raja agung yang selalu
menjunjung tinggi nilai kejujuran dan keadilan, melihat kelakuan adiknya yang
melanggar norma seorang kesatria negara maka pantaslah untuk dihukum setimpal
dengan kesalahan yang diperbuat. Sehingga, apabila kedua bait tersebut dhilangkan
dirasa kurang mengena pada penggambaran watak seorang Yudhistira.
Selanjutnya adalah perbandingan bait pada pupuh ke- 23, tembang Pangkur.
Pada pupuh ini terjadi perbedaan kuantitas bait antara naskah B dengan naskah A dan
naskah C. Berikut akan ditampilkan table untuk mempermudah dalam mengetahui
letak perbedaan tersebut
Tabel 7
Perbandingan Bait pada Pupuh ke- 23 Tembang Pangkur.
Bait ke- Naskah A Naskah B Naskah C
1 V V V
2 V V V
3 V V V
4 V V V
90
5 V V V
6 V V V
7 V V V
8 V V V
9 V V V
10 V V V
11 V V V
12 V V V
13 V V V
14 V V V
15 V - V
16 V V V
17 V V V
18 V V V
19 V V V
20 V V V
91
21 V V V
22 V V V
23 V V V
24 V V V
25 V V V
Terjadi kekurangan jumlah bait pada naskah B pupuh ke- 23, kekurangan ini
diakibatkan karena hilangnya satu bait tembang yakni urutan bait ke-15. Berikut
kutipan bait tembang yang dimaksud:
5. Ingkang padha ling-ulingan/ hèh ta bapa kabèh prajurit mati/ mêngku
têmpuh ing prang pupuh/ dèn ajêg barisira/ aja owah mung sun pundhut
surakipun/ sira bae dèn waspada/ patih sandika tur nèki//
6. […121] sang prabu ngêtap ratanya/ gumrit nêngah gêbyar-gêbyar tulya
sri/ rêganing rata mas murub/ kataman diwangkara/ prabawaning makutha
muncar ngênguwung/ pan sarwi ngiwa gandhewa/ èndhong pamungkasing
tandhing//
7. Pantês wanguning prabawa/ asêmbada pêkike sri bupati/ sri Krêsna mulat
lingnya rum/ hèh yayi mungsuhira/ sida ngajak mungkasi ing aprang pupuh/
iya wus nêngahkên rata/ lah yayi dèn ngati-ati//
Bait tembang yang ditebalkan merupakan bait tembang yang tidak dimilliki
oleh naskah B. Hilangnya satu bait tembang ini bukan dari faktor kesengajaan, karena
dilihat dari segi isi, ketiga bait tersebut saling berkaitan antara satu dengan lainnya,
sehingga apabila salah satu dari bait-bait tersebut hilang dirasa ceritera tidak utuh dan
runtut, oleh karena itu hal ini memang dianggap sebagai kelalaian penyalin naskah,
92
bukan karena penyalin dengan sengaja ingin menghilangkan bait tersebut karena
dirasa tidak penting.
Perbandingan selanjutnya adalah perbandingan jumlah bait pada pupuh ke- 28.
Terjadi perbedaan kuantitas bait yang cukup banyak, antara naskah C dengan naskah
A dan naskah B. adapun perinciaanya akan ditampilkan pada table perbandingan
berikut:
Tabel 8
Perbandingan Bait pada Pupuh ke- 28 Tembang Asmaradana.
Bait ke- Naskah A Naskah B Naskah C
1 V V V
2 V V V
3 V V V
4 V V V
5 V V V
6 V V V
7 V V V
8 V V V
93
9 V V V
10 V V V
11 V V V
12 V V V
13 V V V
14 V V V
15 V V V
16 V V V
17 V V V
18 V V V
19 V V V
20 V V V
21 V V V
22 V V V
23 V V -
24 V V -
94
25 V V -
26 V V V
27 V V V
28 V V V
29 V V V
30 V V V
31 V V V
32 V V V
Kasus yang terjadi pada pupuh 28 ini hampir sama dengan kasus yang terjadi
pada pupuh ke- 7, terdapat beberapa adegan yang dihilangkan serta adanya beberapa
kalimat baru, akan tetepi ceritera berujung pada titik temu yang sama serta
penggunaan konvensi tembang dan kalimat yang sama pula. Berikut ditampilkan
perbedaan dari pernyataan yang dimaksut, sebagai contoh dari naskah A dimuai dari
bait ke- 18 hingga bait ke- 26, sedangkan naskah C dari bait ke- 18 hingga 23:
95
Tabel 9
Perbandingan Susunan Kalimat Pada Pupuh yang Sama
Bait
ke-
Naskah A
Bait
ke-
Naskah C
18 Kapan nggonmu anjêmparing/
nggepok gandhewa kewala/
durung tau saêjêge/ mangka
putri ing Cêmpala/ nguni lamun
mêmanah/ kang kinarya lesan
rambut/ anggêr wruh prênahe
kêna//
18 Kapan nggonmu anjêmparing/
nggepok gandhewa kewala/
durung tau saêjêge/ mangka
putri ing Cêmpala/ nguni lamun
mêmanah/ kang kinarya lesan
rambut/ anggêr wruh prênahe
kêna//
19 Miwah manah dhoging pêking/
sipat katon bae kêna/ nora luput
pangarahe/ samêngko pasthi
sangsaya/ wuwuh awas
wasisnya/ sanadyan ingsun
kang muruk/ rumasa yèn wus
kasoran//
19 Mèsêm nikèn Rarasati/ dyan
Parta maringi sigra/ gandhewa
lan jêmparinge/ karsanira kinèn
nyoba/ Rarasati tur nêmbah/
mbok sampun tanggêl pukulun/
inggih lesanipun pisan//
20 Têkarsa sira ayoni/ dêstun si
wong tanpa ngrasa/ dhêmên
gawe wiranging ngong/
Rarasati aturira/ inggih yêktos
kawula/ dèrèng nate asinau/
ananging manah kawula//
20 Rema lan terong gêlathik/
dhoging pêking pinasangan/
pan kawula salamine/ sapisan
dèrèng tumingal/ gèn tuwan
lesan liyan/ inggih namung
lesan rambut/ terong lan
dhoging kukila//
21 Kadi-kadi yèn kadugi/ ulah
sanjata mung kadya/ putri ing
Cémpala bae/ Dananjaya sru
21 Sang Parta ngêmpus sarya
ngling/ ewa têmên sun miyarsa/
ing ature si mêngkono/ lesane
96
anyêntak/ pintêrmu saka ngapa/
yèn nora lawan winuruk/
Rarasati aturira//
nulya pinasang/ terong gêlathik
lawan/ tiganing pêking
ginantung/ rema pinasang nèng
têngah
22 Inggih dèrèng anglampahi/
winulang nanging kawula/
asring ngintip sayêktine/ nggèn
tuwan mulang nyanjata/
dhatêng putri Cêmpala/ wontên
ing taman rumuhun/ manah
kawula kaduga//
22 Sinami longkangirèki/ terong
lan doging kukila/ angapit rema
ênggone/ nikèn Rarasati nulya/
ngewahi lungguhira/ rêspati
pangêmbatipun/ gandhewa
pamawasira//
23 Rakite dènya jêmparing/
panyêpêngirèng gandhewa/
miwah ta ing pamawase/
kaduga lamun nelada/ mring
rakite kang mulang/ Dananjaya
sigra mundhut/ jêmparing
lawan gandhewa//
-
24 Sun dêlênge si kumini/
tandange dènya amanah/ dene
lipat kumênèse/ lah iya iki
gandhewa/ lawan panah
manaha/ arahên wit randhu
iku/ samana apa ta kêna//
-
25 Mèsêm nikèn Rarasati/ denya
nampèni gandhewa/ sarta
lawan jêmparinge/ kêndhênge
sampun pinasang/ ngewahi
lungguhira/ rêspati
pangêmbatipun/ gandhewa
mawas sanjata//
-
97
26 Mèh lumêpas kang jêmparing/
cinandhak gandhewanira/ sang
parta lon andikane/ dhuh dene
parigêl sira/ pacak tandang-
tanduknya/ kaya wong wus olah
wuruk/ pangêmbatirèng
gandhewa//
23 Mèh lumêpas kang jêmparing/
cinandhak gandhewanira/ sang
Parta lon andikane/ dhuh dene
parigêl sira/ pacak tandang
tanduknya/ kaya wong wus olèh
wuruk/ pangêmbatirèng
gandhewa//
Bait tembang yang dicetak tebal di atas merupakan bait tembang yang berisi
susunan kalimat yang berbeda, akan tetapi substansi dari keduanya sama serta
dilanjutkan bait tembang yang sama baik secara konvensi tembang maupun susunan
kalimatnya.
Berdasarkan perbandingan-perbandingan bait di atas nampak bahwa naskah A
secara kuantitas lebih unggul dibandingkan naskah B maupun naskah C, akan tetapi
ditinjau dari segi kuantitas bait saja tidak cukup di dalam menentukan kualitas naskah
yang lebih unggul sebagai naskah dasar suntingan. Hal inilah yang dirasa perlu untuk
melakukan perbandingan lanjutan yakni perbandingan kata per kata dan kelompok
kata, guna menemukan keunggulan dari masing-masing naskah. Naskah yang secara
kualitas paling baik akan dijadikan sebagai naskah dasar suntingan/landasan.
d. Perbandingan Kata
Perbandingan pada tahapan ini dilakukan dengan cara mengambil sempel teks
naskah dari sepuluh bagian awal yakni pupuh pertama sepuluh bait, bagian tengah
98
yakni pupuh ke-19 sejumlah sepuluh bait, dan bagian akhir yakni pupuh ke- 36
sejumlah sepuluh bait. Perbandingan kata berikut dilakukan dengan cara memilih
diksi pada teks naskah yang mengalami penyimpangan entah karena kesalahan secara
tidak sengaja oleh penyalin pada saat mentransmisi teks, ataupun juga adanya varian
kata. Diksi dari salah satu bacaan teks naskah yang dipandang lebih baik daripada
lainya akan dimasukkan pada kolom edisi.
Tabel 10
Perbandingan Kata per-kata
No
Letak
(pupuh/bait/baris)
A B C Edisi
1 Pupuh 1/3/5 Manusa Manungsa Manungsa * A
2 Pupuh 1/5/4 Brêmana Brêmana Brêmara @ A, B
3 Pupuh 1/5/5 Sêkti Sêkti Sakti *A, B
4 Pupuh 1/5/1 Pinrêdi Pinrêdi Pinardi *A, B
5 Pupuh 1/6/1 Sakaning sangkaning Sangkaning * A
6 Pupuh 1/6/3 Popor Pupoh Popor * A, C
7 Pupuh 1/8/4 Wêntala mêntala Wantala * A
8 Pupuh 1/8/6 Warnanipun Warnanipun Dhapuripun * A, B
99
9 Pupuh 1/8/7 Parusa Purusa Parusa * A, C
10 Pupuh 1/10/2 Bupati Bupati Bopati * A, B
11 Pupuh 19/1/4 Kyèh Kyèh Kèh * A,B
12 Pupuh 19/2/1 Nglesanpura Nglesanpura Lesanpura @ A, B
13 Pupuh 19/2/7 Dening Dening Dene * A, B
14 Pupuh 19/3/1 Gathotkaca Gathutkaca Gathutkaca * A
15 Pupuh 19/4/1 Brajamikalpa Brajamikalpa Brajapikalpa * A, B
16 Pupuh 19/6/6 Tinut Tinut Tinurut # A, B
17 Pupuh 36/1/5 Saking Sangking Saking * A, C
18 Pupuh 36/2/3 Umyang Umyang Umyung * A, B
19 Pupuh 36/3/2 Dananjaya Dananjaya Danangjaya *A, B
20 Pupuh 36/3/3 Têdhakke têdhakke Atêdhak *A, B
21 Pupuh 36/3/7 Ngrêrêpa Ngrêrêpa Ngrarêpa *A, B
22 Pupuh 36/4/4 Rarasing Rarasing Larasing * A,B
23 Pupuh 36/6/4 Pasugata Pasunggata Pasugata *A, C
24 Pupuh 36/6/6 Dhadharan Gêgaran Dhadharan @ A, C
100
25 Pupuh 36/6/7 Narpadayita Narpatidayita Narpadayita # A, C
26 Pupuh 36/7/1 Dhadharan Dhaharan Dhadharan *A, C
27 Pupuh 36/7/3 Sagêde Sagêde Wagêde *A, B
28 Pupuh 36/7/5 Anggung Anggung Agung @ A, B
29 Pupuh 36/7/7 Pawongan Pawongan Parêkan @ A, B
30 Pupuh 36/8/1 Ana Ana Anèng *A, B
31 Pupuh 36/10/2 Maring Marang Ing *A
Jumlah edisi 31 19 7 -
* : Pembetulan berdasarkan pertimbangan lingguistik
# : Pembetulan berdasarkan pertimbangan konvensi tembang
@ : Pembetulan berdasarkan konteks ceritera
Berdasarkan tabel perbandingan di atas nampak bahwa dari 31 kata yang
dibandingkan, terdapat sejumlah 31 kata dari bacaan naskah A dipilihi sebagai kata
yang diedisikan.
101
e. Perbandingan kelompok kata
Berikut ditampilkan table perbandingan kelompok kata guna memperkuat
dugaan dalam menentukan teks naskah yang paling berkualitas yang nantinya akan
dijadikan sebagai dasar suntingan.
Tabel 11
Perbandingan Kelompok Kata
No
Letak
(pupuh/bait/baris)
A B C Edisi
1 Pupuh 1/1/1 Kuneng gantya
kang winarni
Kunêng gantya
kang winarni
Kasmaran
ingkang winarni
@A,B
2 Pupuh 1/4/7 kasor nungkul
sabalanya
kasor nungkul
sabalanya
kasor nungkul
saha bala//
*A, B
3 Pupuh 1/9/1 Dene punggawa
gêng nagri
Dene punggawa
gêng nagri
Dene kang
sumosor patih/
@A,B
4 Pupuh 1/9/3 bupati jêro bupati jêro bupati gêdhe #A,B
5 Pupuh 1/9/4 nênggih sami
pêpilihan
sami pêpilihan nênggih sami
pêpilihan
#A,C
6 Pupuh 1/10/4 sakawan
gêgêdhugira
sakawan
gêgêdhugira
kakawan
gagêdhugira
*A,B
102
7 Pupuh 19/3/7 Anindhihi Kang nindhihi Anindhihi *A,C
8 Pupuh 19/5/1 kinari rêngga kinari rêngga kêna rinêngga @A,B
9 Pupuh 19/8/7 ngobrak-abrik bobrak-babrik ngobrak-abrik *A,C
10 Pupuh 36/1/3 saking
kayungyun
sangking
kayuyun
saking kayungyun *A,C
11 Pupuh 36/4/1 Mèsêm
sasmitanira ja
Mèsêm
sasmitanira ji
Sarya mèsêm
sasmitaning
#B
12 Pupuh 36/4/6 Cêmpala
pasrahipun
Cêmpala
pasrahipun
Cêmpala sang
aprabu
@A,B
13 Pupuh 36/8/5 Kakurangan kang kurangan Kakurangan *A, C
Jumlah edisi 12 8 5
* : Pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik
# : Pembetulan berdasarkan pertimbangan konvensi tembang
@ : Pembetulan berdasarkan konteks ceritera
Tabel perbandingan kelompok kata di atas memperkuat dugaan bahwa naskah
A merupakan naskah yang memiliki bacaan terbaik, terbukti dari tabel perbandingan
kelompok kata di atas, dari 13 kelompok kata yang diperbandingan terdapat 12
kelompok kata yang dimasukkan pada kolom edisi. Hal ini berarti (berdasar pada
103
table II-X) naskah A merupakan naskah yang secara kualitas paling baik
dibandingkan dengan naskah B dan C.
3. Penentuan Naskah Dasar Suntingan
Sebagaimana metode yang dipilih dalam penelitian filologis kali ini, dalam
metode landasan harus ada satu naskah yang dipandang sebagai naskah yang secara
kualiatas paling baik untuk dijadikan naskah pegangan, sedangkan naskah sejenis
lainnya dijadikan sebagai pembanding. Penentuan naskah dasar ini tentunya tidak
boleh asal-asalan, akan tetapi harus berdasar pada teori yang relevan. Menurut Edi S.
Ekadjati (1980: 6-7) teori dalam menentukan naskah sebagai dasar suntingan adalah
sebagai berikut:
1. Isinya lengkap dan tidak menyimpang dari kebanyakan naskah lin;
2. Tulisannya jelas dan mudah dibaca;
3. Keadaan naskah baik dan utuh
4. Bahasanya lancar dan mudah dipahami;
5. Umur naskah lebih tua.
Naskah yang memenuhi kriteria sesuai dengan teori tersebut diatas adalah naskah
yang layak dijadikan sebagai naskah dasar suntingan.
Merujuk pada tabel perbandingan (perbandingan pupuh, bait, kata per kata,
kelompok kata), naskah A merupakan naskah yang memiliki jumlah pupuh dan
jumlah bait paling lengkap, serta mengandung bacaan paling baik di antara bacaan
pada naskah B dan C. Pada tabel I telah dijelaskah jumlah pupuh dari masing-masing
104
naksah, naskah A berjumlah 37 pupuh, naskah B 36 pupuh, dan naskah C 37 pupuh.
Meskipun jumlah pupuh antara naskah A dan naskah C sama, akan tetapi banyak
terjadi penyimpangan pada naskah C baik dari diksi maupun alur ceritera, banyak
terdapat adegan pada ceritera yang hilang (adegan dipadatkan), sehingga ceritera
terlihat kurang runtut. Selain dari keruntutan ceritera dan jumlah pupuh yang lengkap,
naskah A juga memiliki diksi paling baik diantara saksi naskah yang lain, nampak
pada table IX dan X bahwa naskah A tercatat memiliki diksi terbanyak pada kolom
edisi teks.
Pada point identifikasi naskah telah disebutkan mengenai kondisi serta gaya
tulisan pada teks masing-masing naskah. Mayoritas saksi memiliki tulisan yang jelas
serta mudah untuk dibaca, akan tetapi dari sekian banyak saksi, naskah A merupakan
naskah yang memiliki bacaan paling baik dan mudah untuk dimengerti, mulai dari
keruntutan ceritera hingga penggunaan diksinya naskah A merupakan naskah yang
lebih unggul secara kualitas bacaannya. Ditinjau dari perspektif kodekus, kondisi
naskah A juga masih baik dan utuh, begitu pula dengan naskah B dan C juga masih
utuh meskipun usia naskah dari ketiganya tergolong tua, tidak ada bagian lembar
naskah yang patah maupun hilang.
Berdasar pada tabel perbandingan umur naskah, disinyalir naskah A
merupakan naskah yang paling tua dibandingkan dengan saksi naskah lainnya, hal ini
didasarkan pada kolofon naskah A (baca identifikasi) yang menyatakan bahwa
naskah ini dulunya disalin langsung dari naskah induknya kepunyaan G.K.R
Pembayun putra dari PB VII. Artinya naskah ini sangat dekat dengan autograph,
105
dikarenakan penulis asli naskah SSMM ini adalah R.Ng Sindusastra yang tidak lain
merupakan carik atau juru tulis di Kapurbayan, carik dari Kangjeng Gusti Pangeran
Purbaya nama muda dari I.S.K.S Pakubuwana VII (Poerbatjaraka, 1954: 155).
Menurut Nancy, gaya huruf pada naskah A merupakan gaya huruf keraton yang
digunakan pada era I.S.K.S Pakubuwana X yang memerintah pada tahun 1893-1939
M (2012: 200). Oleh karenanya naskah A diperkirakan ditulis pada kisaran tahun
tersebut. Naskah B belum dapat dilacak kapan penulisan naskah tersebut dilakukan,
dikarenakan dalam naskah itu sendiri serta dari berbagai sumber literer lainnya belum
diketemukan kapan penulisan naskah tersebut dilakukan. Berdasarkan gaya huruf
yang digunakan pada teks naskah, naskah C diperkirakan ditulis pada tahun 1899
(Nancy K. Florida, 2000: 306). Pada naskah C secara pasti juga tidak dapat dipastikan
kapan waktu penulisannya, dikarenakan sama sekali tidak terdapat informasi apapun
mengenai waktu penulisan didalam naskah.
Berdasar pada lima kategori di atas, serta didukung dengan adanya data yang
kuat dengan melalui berbagai tahapan, serta berbagai pertimbangan filologis, maka
dapat diputuskan bahwa teks naskah terpilih sebagai teks naskah dasar suntingan
adalah teks milik naskah A.
4. Kritik Teks
Kritik teks merupakan kegiatan pemurnian teks, dimana seorang filolog
memberikan evaluasi terhadap teks yang disunting, meneliti dan menempatkan teks
pada tempatnya yang tepat (Siti Baroroh Baried, 1994: 61). Kegiatan kritik teks ini
bertujuan membersihkan teks dari kesalahan sehingga dapat menghasilkan teks yang
106
terbebas serta bersih dari kesalahan sehingga dapat ditemukan teks yang dipandang
sebagai bentuk mulanya.
Pada perbandingan kata, dan kelompok kata telah diperoleh beberapa kelainan
bacaan antar naskah sejenis. Kelainan tersebut di dalam kritik teks dikelompokkan
pada jenisnya masing-masing. Jenis-jenis kesalahan yang nampak pada teks naskah
SSMM adalah sebagai berikut:
Hiperkorek : perubahan ejaan karena pergeseran lafal.
Lacuna : bagian bacaan yang terlampaui, baik suku kata, kata, maupun
kelompok kata.
Adisi : bagian yang kelebihan atau terjadi penambahan pada bacaan, baik
suku ka ta, kata, maupun kelompok kata.
Substitusi : penggantian kata maupun kelompok kata yang mempunyai arti sama.
Kritik teks pada penelitian ini melibatkan 3 (tiga) naskah, yakni naskah A, B
dan naskah C. Pengkritisian dilakukan dengan sistem tabel, sebagaimana tersebut di
atas bahwa tiap-tiap tabel berisi kelainan bacaan yang telah dikelompokkan pada
jenisnya masing-masing. Perbaikan bacaan dilakukan atas dasar bacaan naskah
pembanding, serta adanya beberapa pertimbangan yakni pertimbangan Linguistis,
dan konvensi tembang (guru lagu, guru wilangan).
Berikut tabel varian bacaan yang ditampilkan secara berurutan sesuai dengan
jenis kelainan bacaan tersebut di atas.
107
Tabel 12
Hiperkorek Kata dan Kelompok Kata
No
Letak
(pupuh/bait/baris)
A B C Edisi
1 Pupuh 1/3/5 Manusa Manungsa Manungsa * A
2 Pupuh 1/5/5 Sêkti Sêkti Sakti *A, B
3 Pupu1/5/1 Pinrêdi Pinrêdi Pinardi *A, B
4 Pupu1/6/1 Sakaning sangkaning sangkaning * A
5 Pupuh 1/8/4 Wêntala Mêntala Wantala * A
6 Pupuh 1/10/2 Bupati Bupati Bopati * A, B
7 Pupuh 19/1/4 Kyèh Kyèh Kèh * A,B
8 Pupuh 19/2/1 Nglesanpura Nglesanpura Lesanpura @ A, B
9 Pupuh 19/3/1 Gathotkaca Gathutkaca Gathutkaca * A
10 Pupuh 19/4/1 Brajamikalpa Brajamikalpa Brajapikalpa * A, B
11 Pupuh 36/1/5 Saking Sangking Saking * A, C
12 Pupuh 36/2/3 Umyang Umyang Umyung * A, B
108
13 Pupuh 36/3/2 Dananjaya Dananjaya Danangjaya *A, B
14 Pupuh 36/3/7 Ngrêrêpa Ngrêrêpa Ngrarêpa *A, B
15 Pupuh 36/6/4 Pasugata Pasunggata Pasugata *A, C
16 Pupuh 36/7/1 Dhadharan Dhaharan Dhadharan *A, C
17 Pupuh 36/7/3 Sagête Sagête Wagête *A, B
18 Pupuh 36/8/1 Ana Ana Anèng *A, B
19 Pupuh 1/10/4 sakawan
gêgêdhugira
sakawan
gêgêdhugira
kakawan
gagêdhugira
*A,B
20 Pupuh 19/8/7 ngobrak-abrik bobrak-babrik ngobrak-abrik *A,C
Keterangan :
* : pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik.
@ : pembetulan berdasarkan konteks ceritera.
109
Tabel 13
Lakuna Kata dan Kelompok Kata
No
Letak
(pupuh/bait/baris)
A B C Edisi
1 Pupuh 1/9/4 nênggih sami
pêpilihan
sami pêpilihan nênggih sami
pêpilihan
#A,C
2 Pupuh 36/1/3 saking
kayungyun
sangking
kayuyun
saking
kayungyun
*A,C
3 Pupuh 36/4/1 Mèsêm
sasmitanira ja
Mèsêm
sasmitanira ji
Sarya mèsêm
sasmitaning
#B
Keterangan :
* : pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik.
# : pembetulan berdasarkan pada konvensi tembang.
110
Tabel 14
Adisi Kata dan Kelompok Kata
No
Letak
(pupuh/bait/baris)
A B C Edisi
1 Pupuh 19/6/6 Tinut Tinut Tinurut # A, B
2 Pupuh 36/6/7 narpadayita Narpatidayita narpadayita # A, C
3 Pupuh 36/8/5 Kakurangan kang kurangan Kakurangan *A, C
Keterangan :
* : pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik.
# : pembetulan berdasarkan pada konvensi tembang.
111
Tabel 15
Substitusi Kata dan Kelompok Kata
No
Letak
(pupuh/bait/baris)
A B C Edisi
1 Pupuh 1/6/3 Popor Pupoh Popor * A, B
2 Pupuh 1/8/6 Warnanipun Warnanipun Dhapuripun * A, B
3 Pupuh 19/2/7 Dening Dening Dene * A, B
4 Pupuh 36/2/3 Umyang Umyang Umyung * A, B
5 Pupuh 36/3/3 Têdhakke Têdhakke Atêdhak *A, B
6 Pupuh 36/4/4 Rarasing Rarasing Larasing * A,B
7 Pupuh 36/7/1 Dhadharan Dhaharan Dhadharan *A, C
8 Pupuh 36/7/3 Sagêde Sagêde Wagêde *A, B
112
10 Pupuh 36/8/1 Ana Ana Anèng *A, B
11 Pupuh 36/10/2 Maring Marang Ing *A
12 Pupuh 1/4/7 kasor nungkul
sabalanya
kasor nungkul
sabalanya
kasor nungkul
saha bala//
*A, B
13 Pupuh 19/3/7 Anindhihi Kang nindhihi Anindhihi *A,C
Keterangan :
* : pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik.
Tabel 16
Varian Kata dan Kelompok Kata yang Mengakibatkan Perbedaan Arti
No
Letak
(pupuh/bait/baris)
A B C Edisi
1 Pupuh 1/5/4 Bremana Bremana Brêmara @ A, B
2 Pupuh 1/8/7 Parusa Purusa Parusa * A, C
113
3 Pupuh 36/6/6 Dhadharan Gêgaran Dhadharan @ A, C
4 Pupuh 36/7/5 Anggung Anggung Agung @ A, B
5 Pupuh 36/7/7 Pawongan Pawongan Parêkan @ A, B
6
Pupuh 1/1/1 Kuneng gantya
kang winarni
Kunêng gantya
kang winarni
Kasmaran
ingkang
winarni
@A,B
7 Pupuh 1/9/1 Dene punggawa
gêng nagri
Dene punggawa
gêng nagri
Dene kang
sumosor patih/
@A,B
8 Pupuh 1/9/3 bupati jêro bupati jêro bupati gêdhe #A,B
9 Pupuh 19/5/1 kinari rêngga kinari rêngga kêna rinêngga @A,B
10 Pupuh 36/4/6 Cêmpala
pasrahipun
Cêmpala
pasrahipun
Cêmpala sang
aprabu
@A,B
Keterangan :
* : pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik.
# : pembetulan berdasarkan pada konvensi tembang.
114
@ : pembetulan berdasarkan konteks ceritera.
5. Suntingan Teks dan Aparat Kritik
Hasil akhir dari sebuah penelitian filologi tradisional adalah menyajikan teks
naskah yang dipandang sebagai bentuk mulanya dan murni dari kesalahan, agar teks
itu dapat dipahami sejelas-jelasnya oleh pembaca kemudian. Untuk membebaskan
teks naskah dari kesalahan, serta teks dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca
kemudian, diperlukan tahapan filologis yakni penyuntingan teks (Edwar Djamaris,
1991: 18). Dalam rangka penyuntingn teks, langkah penting yang perlu dilakukan
terlebih dahulu adalah transliterasi. Transliterasi atau alih huruf dalam pengertian
filologis adalah “penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang
lain, lepas dari lafal bunyi kata yang sebenarnya” (kamus filologi, 1977: 3). Prinsip
menurut kamus filologi tersebut tidak sepenuhnya dapat diterapkan, dikarenakan
sistem penulisan antara aksara Jawa dengan aksara Latin berbeda. Dalam transliterasi
teks manuskrip Jawa kali ini, digunakan Parama Sastra Gagrak Anyar Basa Jawa
(Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2013) dan kamus Baoesastra Djawa
(Poerwadarminta, dkk, 1939) sebagai dasar acuan dalam penulisan Suntingan teks ini.
Pentransliterasian aksara Jawa yang menggunakan Sastra laku tetap ditulis
sebagaimana ejaan dalam kaidah penulisan huruf latin pada umumnya, tidak ditulis
rangkap konsonan, seperti halnya penulisan pada frasa Prawirèng ngayuda (aksara
Jawa) diteransliterasikan pada ejaan latin Prawirèng ayuda dan lain sebagainya.
Penulisan tersebut dilakukan karena kata-kata tersebut tidak mencirikan bahasa lama,
untuk sistem penulisan aksara Jawa yang menunjukkan ciri-ciri bahasa lama
115
ditransliterasikan dengan tetap mempertahankan ciri bahasa lama tersebut, seperti
kata Hyang, ywa dan lain-lain. Pengkecualian untuk kata tempat seperti kata
Nglesanpura, Ngastina, Ngamarta, tetap ditulis apa adanya tidak dipisah berdasarkan
etimologinya seperti halnya ng-Lesanpura dan lain-lain. Penulisan kata jadian yang
terdapat dwi purwa salin swara seperti Kukuwu, ditulis sebagaimana mestinya pada
ejaan latin yang berlaku yakni Kêkuwu, begitu pula dengan kata “mangsa” yang
mana dalam aksara Jawa ejaan Sriwedari akan ditulis “mongsa”, akan tetapi pada
penulisan latin menggunakan sebagaimana mestinya yakni ditulis “mangsa”.
Mengingat teks naskah dalam naskah SSMM ini menggunakan aksara Jawa
(carik/tulisan tangan), maka hal ini sangat perlu dilakukan guna mempermudah
pembaca kemudian dalam memahami isi teks tersebut, selain itu juga sebagai sarana
bagi para peneliti dari bidang ilmu lain, dalam rangka meneliti teks ini secara lebih
lanjut sesuai dengan ilmu yang ditekuni.
Teks naskah yang sudah melewati tahapan perbandingan selanjutnya
ditentukan sebagai teks landasan suntingan. Teks terpilih sebagai teks landasan
dikritisi sebagai mana mestinya, apabila terdapat varian ataupun segala bentuk
kelainan bacaan yang diakibatkan ketidakcermatan penyalin dalam mentransmisi teks
tersebut, selanjutnya dibenarkan atas dasar bacaan pada naskah sejenis, sedangkan
bentuk mula pada teks landasan dimasukkan pada aparat kritik. Aparat kritik menurut
Kamus Filologi adalah “Perabot pembanding yang menyertai penyajian suatu teks
naskah” (1977: 5). Aparat kritik biasanya ditaruh pada bagian tersendiri, yakni pada
bagian bawah setelah bacaan utama dibawah garis dasar berupa Footnote dengan
disertai nomor urut dengan menggunakan angka Arab.
116
Agar memudahkan pemahaman pembaca terhadap Suntingan teks dalam
naskah SSMM, teks disajikan secara horizontal menyamping (kanan) dengan
menggunakan tanda sebagai berikut:
a. Tanda garis miring (/) sebagai pembatas tiap-tiap baris.
b. Tanda garis miring dua (//) sebagai penanda akhir bait.
c. Titik-titik diikuti angka dalam kurung kurawal […1], […2], […3] dan
seterusnya sebagai penanda pergantian halaman naskah.
d. Penomoran pupuh dengan menggunakan angka romawi, misal pupuh I
Asmaradana.
e. Penomoran bait menggunakan nomor dengan angka Arab.
f. Angka Arab kecil diatas kata ataupun kelompok kata yang salah (¹˒²˒³)
merupakan nomor urut kritik. Varian yang jumlahnya hingga satu bait atau
lebih tidak dimasukkan pada aparat kritik, melainkan ditampilkan pada
perbandingan bait.
g. Tanda * adalah tanda pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistic.
h. Tanda # merupakan tanda pembetulan berdasarkan konvensi tembang.
i. Tanda @ adalah tanda pembetulan berdasarkan konteks ceritera
j. Huruf „è‟ dibaca „Ɛ‟seperti kata dalam bahasa Indonesia “edisi”.
k. Huruf „ê‟ dibaca „Ə‟ seperti kata dalam bahasa Indonesia “petani”.
117
I. ASMARADANA
1. Kunêng gantya kang winarni/ wontên gêmpalaning kandha/ kadya yèn sarêng
lampahe/ nanging gênti kang carita/ paran yèn sinarênga/ wontên ratu kang
pinunjul/ prajane ing tanah sabrang//
2. Agêng karatonirèki/ kêkutha Paranggubarja/ bisikanira sang katong/ Sang
Prabu Jungkung Mardeya/ kasub kalokèng jana/ mandraguna ing prang pupuh/
sura sêkti ing ayuda//
3. Warnanya kalangkung pêkik/ taruna jumênêng raja/ sêmbada kaprawirane/
nênggih bêbala bacingah/ kang rong duman manusa/ ingkang saduman
dityagung/ sami prawirèng ayuda//
4. Dene kang kinarya patih/ tilas ratune duk kuna/ Prabu Jaya Sukendrane/ kasor
ing prang mring sang nata/ Prabu Jungkung Mardeya/ angabên kasuranipun/
kasor nungkul sabalanya//
5. Tinêtêpken dadya patih/ Sang Prabu Jungkung Mardeya/ apan trah wiku kinaot/
ing sabrang brêmana tapa/ marma gunaning aprang/ sêkti prawira pinunjul/ Sri
Maha Jungkung Mardeya//
6. Pinrêdi sakaning alit/ diwasanira sang nata/ lêlana andon prang popor/ bêdhah
praja tanpa rowang/ Nagri Paranggubarja/ gêmpur ing prang lajêng nungkul/
Sang Prabu Jaya Sukendra//
7. Sapunggawanira sami/ sadaya sinalin nama/ Prabu Jaya Sukendrane/ sinalinan
namanira/ Patih Jaya Sudarga/ kinarya manggalèng pupuh [...2]/ dadya patih
tur misesa//
8. Wuwuh kasantikanèki/ Kya Patih Jaya Sudarga/ mèh sami lawan gustine/ ing
aprang têguh wêntala/ bisa ngambah gêgana/ asêmbada warnanipun/ dêdêg
parusa berawa//
9. Dene punggawa gêng nagri/ pan sami santananira/ sakawan bupati jêro/
nênggih sami pêpilihan/ wasta Jaya Supana/ Jaya Pramana puniku/ katiga Jaya
Pralaya//
118
10. Sakawan Jaya Kartèki/ bupati jro kang pinatah/ dene punggawa jabane/
sakawan gêgêdhugira/ nama Jaya Sêngara/ miwah Jaya Sukathèku/ katiga Jaya
Supala//
11. Jaya Sudarma patnèki/ dene kang tunggu muwara/ bupati pasisir kabèh/ ing
sungapan lan pabeyan/ kalih samya punggawa/ ingkang sêpuh namanipun/ Ki
Tumênggung Juwalgita//
12. Dene namane kang rayi/ Dyan Wanènggati pan samya/ kalih pisan ingkang
angrèh/ wadya pasisir sadaya/ sagung manca nagara/ dene têtêlukanipun/
sagung kang bala wraksasa//
13. Ratune dadya pangarsi/ anama Kala Pramuka/ pra bupati sesorane/ catur
punggawa rasêksa/ anama Wil Prakêmpa/ Wil Pradêksa kalihipun/ katiga Kala
Pragangsa//
14. Lawan Prakênca prajurit/ kapat prakosèng ayuda/ sabên bupati sawiyos / ditya
sèwu balanira/ namung rêkyana patya/ ingkang bê-[...3]bala rongèwu/ lyan
prajurite sang nata//
15. Mantri jro ingkang sinêlir/ marang Sri Jungkung Mardeya/ sèwu pêpilihan
Kabèh/ ingkang sumêdhêng taruna/ trahing winani samya/ kang sêmbada
warnanipun/ kang nate sumêngka ing prang//
16. Duk samana sri bupati/ Jungkung Mardeya supêna/ kang katingal jroning sare/
nambut silaning akrama/ antuk putri Cêmpala/ Wara Srikandhi ranipun/
warnanya ayu utama//
17. Cahyane anuksmèng sasi/ galak ulat liringira/ tuhu musthikaning wadon/
gandhang tur raga karana/ sang nata duk tumingal/ jroning guling rangu-rangu/
kacaryan tyase sang nata//
18. Lagyarsa pinurwèng rêsmi/ kagyat wungu dènya nendra/ sang prabu ngungun
driyanê/ supênane kang kacipta/ tan antuk dhahar nendra/ anggung rangu
kapirangu/ ngênglêng ing supênanira//
19. Dhasare sri narapati/ dèrèng andarbèni garwa/ amung jêjamahan bae/ ngungun
tyasira sang nata/ sigra mêdal ing jaba/ nimbali pêpatihipun/ wus prapta ing
ngarsanira//
119
20. Ngandika sri narapati/ hèh apa sira miyarsa/ nagri Cêmpalarêjane/ bisikanira
narendra/ iya prabu Drupada/ adarbe putri pinunjul/ wijile anglir Supraba//
II. MIJIL
1. Kyana patih matur awotsari/ dhuh gusti sang katong/ pan kawula miyarsa
wartine/ lamun nagari ing Tanah Jawi/ wastanipun gusti/ Cêmpa- […4]la
Rêjèku//
2. Inggih Prabu Drupada nrêpati/ darbe putri kaot/ Rêtna Wara Srikandhi namane/
Tanah Jawa kasub ing sabumi/ Punapa karsaji/ dene tuwan dangu//
3. Mèsêm angandika sri bupati/ hèh ya patih ingong/ sun jarwani sira sayêktine/
mau bêngi patih sun angipi/ katêmu dyah luwih/ warnanira ayu//
4. Tinandhinga wanodya sabumi/ kabèh pasthi kasor/ nuksmèng sasangka bapa
cahyane/ katonira bapa jroning guling/ marang tilam mami/ ngunggahi
maringsun//
5. Sun takoni ratuning rêspati/ balaka maring ngong/ lamun putri Cêmpala rêjane/
pêparab Rêtna Wara Srikandhi/ marma tinggal nagri/ umarêg maringsun//
6. Dhasar nêdya mawongan mring mami/ ature maringong/ pan pasaja awantah
sêmune/ yèn anaa ingsung ora pangling/ pawakane ramping/ sêdhêng
dêdêgipun//
7. Pidêgsane aruruh rêspati/ rada kaduk sêmon/ kadya kilat thathit ing liringe/
raga karana solah mantêsi/ salêlewanèki/ têka nganyut-anyut//
8. Gonas-ganès nènès saprak ati/ wilêd ing pasêmon/ lathi rêngat sêdhêp
mêmanise/ yèn wacana kadya madu gêndhis/ myang cahyane ugi/ sumunar
umancur//
9. Jro supêna kacaryan ningali/ duk lagya patêmon/ ing asmara durung kong-
[…5]si olèh/ nulya kagèt ingsun sêlak nglilir/ rasane tyas mami/ bapa maksih
kuwur//
10. Kadi maksih anèng ngarsa mami/ cumanthèl ing panon/ pan gumantung ing tyas
ingsun bae/ yèn tan klakon mondhong sang rêtnadi/ tan wurung ngêmasi/ ingsun
wayang wuyung.
120
11. Mati ngarang kalurung ngranuhi/ linglung anglêlamong/ ngênglêng binglêng
ingsung tanpa sare/ bapa nuli parintahna aglis/ mring sagung bupati/ lan pra
mantrinipun//
12. Samêktaa kapraboning jurit/ bapa karsaningong/ ingsun tindak mring tanah
Jawane/ karsa nglamar mring Wara Srikandhi/ kya patih wotsari/ nêmbah sarwi
matur//
13. Yèn kenginga sampun nyarirani/ paduka sang katong/ mring cêmpala pan
kawula bae/ ingkang nglamar mring sang raja putri/ paduka narpati/ eca
angadhatun//
14. Ing karaton agêng padukaji/ lan Cêmpala katong/ sing pamanah ulun jêng
pamase/ langkung nistha yèn tindak pribadi/ ngasorkên kang pasthi/
panjênenêngan prabu//
15. Lampahipun pan kirang prayogi/ kawula kemawon/ gusti nuwun tinuding
lampahe/ pan anglamar mring sang raja putri/ kados-kados gusti/ ramanta sang
prabu//
16. Ing Cêmpala lajêng anampèni/ ing panduka katong/ masa dadak nampik sang
pamase/ yèn nampika ngupados punapi [...6]/ de paduka gusti/ ratu gung
pinunjul//
17. Miwah tanpa lawan ing ajaurit/ sudibya kinaot/ mandra guna sura sêkti dhewe/
bandha bandhu sugih baranadi/ asugih prajurit/ lan wadya gung-agung//
18. Dhasar pêkik paduka narpati/ dèrèng darbe katong/ pramèswari kang luwih
warnane/ masa dadak nampik padukaji/ yèn nampik sayêkti/ kawula kang
ngrêbut.
19. Anggêmpura kalawan ing jurit/ ing Cêmpala katong/ datan wande karêbut
putrine/ nuntên katur paduka narpati/ gumujêng sang aji/ sarwi ngandika rum//
20. Iya bênêr aturira patih/ Cêmpala sang katong/ agolèka mantu apa bae/ yèn
nampika marang jênêng mami/ satêmêne patih/ bapa karsaningsun//
21. Sun tuturi sawadine yêkti/ ana karyaning ngong/ marma ingsun anindaki dhewe/
aywa tanggung praptèng tanah Jawi/ ngiras maro kardi/ laladan prang pupuh//
121
22. Anêlukkên ing satanah Jawi/ sagung para katong/ tanah Jawa sumêmbaha
kabèh/ lamun ana ingkang duwe putri/ sun karya paminggir/ amung sang
rêtnayu/
23. Ingkang dadya jêjênênging padmi/ hèh patih dèn gupoh/ undhangana
wadyaningsun kabèh/ ingsun arsa budhalan tumuli/ marang tanah Jawi/ patih
nêmbah mundur//
24. [...7]Nulya mêdal rêkyana apatih/ saking ngarsa katong/ angundhangi pra dipati
kabèh/ asamêkta kapraboning jurit/ myang wadya pasisir/ kèn samêkta prabu//
25. Miwah sagung kang bala rasêksi / samêktèng palugon/ wus samêkta wadya
sadayane/ nulya têdhak wau sri bupati/ nitih rata rukmi / busana mas murub//
26. Sampun prapta pasisir sang aji/ lampahira katong/ sang aprabu wus numpak
palwane/ sawahananira sri bupati/ wus kamot sakoci/ amancal sang prabu//
27. Saking Paranggubaja nagari/ sagung wadya katong/ sampun numpak ing pêrau
kabèh/ tan kawarna lami nèng jaladri/ cinêndhak wus prapti/ ing muaranipun//
28. Ing pasisir nagri tanah Jawi/ labuh jangkar katong/ sigra minggah maring
dharatane/ lawan sagung wadyanira sami/ manusa raseksi/ mudhun saking
prau//
29. Minggah marang dharatan sang aji/ lan sawadya katong/ sri narendra wus
antuk wartane/ lamun ana Cêmpala nagari/ Drupada narpati/ darbe putra ayu//
30. Wus diwasa apan dèrèng krami/ warnanya kinaot/ rêtna Wara Srikandhi parabe/
langkung suka sang nata miyarsi/ nulya sri bupati/ aparentah gupuh//
31. Kinèn karya pasanggrahan dadi/ sawadya wus kamot/ [...8] rina wêngi ingkang
nambut gawe/ pan ambanjêng pakuwon pasisir/ sangking gungirèki/ wadyanya
sang prabu//
32. Kadya mêndhung pakuwon pasisir/ sinawung saking doh/ pakuwone sang
aprabu dhewe/ kang pinindha-pindha jroning puri/ dinulu tulya sri/ lir pendah
kadhatun//
33. Anglir pura wangunan pan asri/ pasebane kaot/ ngarsa wuri warata lêmahe/
alun-alun radin munggèng ngarsi / gapura tulya sri / lan têtarub agung//
122
34. Nulya karya sêrat sampun dadi/ parentah sang katong/ kinèn gambar marang
sarirane/ sampun darbe sang nata kang nyungging/ sing sabrang nagari/
ginambar sang prabu//
35. Nèng lêpiyan tan sewahing warni/ miwah ing pasêmon/ wus ngêblêgi sang Nata
warnane/ wusnya dadya sinungkên mring patih/ lan surat narpati/ ngandika sang
prabu//
36. Suratingsun aturêna dhingin/ ing rama sang katong/ yèn wis titi iya pamaose/
nuli gambar aturna tumuli/ supayane patih/ jêng rama sang prabu//
37. Ing Cêmpala ywa mamang ing galih/ mulat gambar ingong/ masa wandea
pinaringake/ gambaringsun mring putra sang putri/ miwah ibu sori/ bangêt
sarjunipun//
38. Sayêktine andulu sang putri/ marang gambaringong/ maksih anom tur pê-
[...9]kik warnane/ kaya-kaya tyasira sang putri/ mulat gambar mami/ kasmaran
andulu//
III. ASMARADANA
1. Aja liya kang nampani/ ngamungna natèng Cêmpala/ layang miwah
gambaringong/ aja sira kaya bocah/ dèn awas dèn prayitna/ patih sandika wus
mundur/ sapraptanira ing jaba//
2. Lajêng anapak wiyati / satunggal tan mawi bala/ kunêng gantya winiraos/ Sri
Narapati Cempala/ enjang duk sinewaka/ ing pancaniti supênuh/ sagunge kang
pradipatya//
3. Kang munggèng ngarsa narpati/ Rahadyan Drêsthajumêna/ rêkyana patih
jajare/ sri naranata ngandika/ marang rêkyana patya/ hèh ta Patih Candrakètu/
paran wartane ing jaba//
4. Ki patih matur wotsari/ wontên narendra lêlana/ saking sabrang pinangkane/
nagrine Paranggubarja/ Prabu Jungkung Mardeya/ ambêg narendra pinunjul/
balane tanpa wilangan//
123
5. Kêkuwu pinggir jaladri/ ing warti maksih jêjaka/ kalangkung pêkik warnane/
ratu abala bacingah/ manusa lawan ditya/ pakuwon pindha kadhatun/ banjêng
pinggiring samodra//
6. Jêjêl munggèng kanan kering/ pakuwone pra dipatya/ radi wiyar lun-alune/
pinindha pura wangunan/ mawi taratag rambat/ nanging wadyabalanipun/ tan
wontên gêndhak sika-[...10]ra//
7. Dhatêng abdi dalêm siti/ malah sami amrasanan/ kados yèn sae sêdyane/ Sang
Prabu Jungkung Mardeya/ praptaning tanah Jawa/ alon ngandika sang prabu/
ana èmpêre turira//
8. Wus karasa ing tyas mami/ Sang Prabu Jungkung Mardeya/ dènya ngajawa
marene/ kêrigan sawadyanira/ saka praboning yuda/ jumujuk nagaraningsun/
pantês lamun darbe karsa//
9. Iya marang nini putri/ sêmune yen tinampika/ ratu sabrang panglamare/ sayêkti
ngrabasèng yuda/ anggêmpur ing Cêmpala/ mangkono sarapatipun/ praptane
nagara ingwang//
10. Ngandika dèrèng dumugi/ sri bupati ing Cêmpala/ kasaru wau praptane/ Ki
Patih Jaya Sudarga/ anjog saking ngawiyat/ lajêng nunggil dènnya lungguh/
awor sagung pra dipatya//
11. Sêrate maksih pinundhi/ kawistarèng sri narendra/ Candrakètu muwus age/
andangu ing karyanira/ matur lamun dinuta/ nênggih marang gustinipun/ Sang
Prabu Jungkung Mardeya//
12. Kang kêkuwu nèng pasisir/ kinèn ngaturkên nawala/ sawusnya katur ature/ kinèn
ngirit marang ngarsa/ praptèng byantara nata/ sêratira sampun katur/ winaos
sinuksmèng driya//
13. Bêbukane atur tulis/ Sang Prabu Jungkung Mardeya/ ing sabrang ratu kinaot/
ingkang abala bacingah/ kutha Paranggubarja/ ingkang wirutamèng kewuh/
kang sudibya ing ayuda//
14. Ingkang prawira nom pêkik/ sura sêkti mandraguna/ katura paduka katong/
Cêmpala ingkang pinudya/ kang ambêg santabudya/ martèng tyas lêgawèng
kalbu/ wiyose prapta kawula//
124
15. Saking sabrang angajawi/ kabêkta dening supêna/ katarik ing tyas wirage/
katingal jroning supêna/ putranta sang lir rêtna/ Wara Srikandhi pukulun/
prapta ing Paranggubarja /
16. Tan mawi cèthi satunggil/ jumujug tilam kawula/ jro supêna wèlèh-wèlèh/ lajêng
kagarwèng kawula/ milamba nuntên bidhal/ sowan ing paduka prabu/ anuwun
dèn abdèkêna//
17. Ing putranta sang rêtnadi/ jro Pura Paranggubarja/ katura mring sang lir
sinom/ sêdyamba saking nagara/ inggih sampun pratignya/ suka lêburèng prang
pupuh/ yèn botên kalampahana//
18. Mondhong putranta sang putri/ mantuka aran kewala/ sawadya kawula kabèh/
rèhning paduka sang nata/ dèrèng nate tumingal/ anênggih ing warni ulun/ pun
Patih Jaya Sudarga//
19. Sampun kawula bêktani/ lêpiyan gambar kawula/ sêrat titi pamaose/ Ki Patih
Jaya Sudarga/ ningali pamaos-[...12]nya / ing nawala sampun putus/ lajêng
ngaturakên gambar//
20. Mèsêm dènira nampani/ sri narapati Cêmpala/ lajêng binuka gambare/ sang
prabu ngalêm ing driya/ mring Sri Jungkung Mardeya/ tuhu pêkik warnanipun/
sêmbada maksih taruna//
21. Sang prabu ngandika aris/ hèh Patih Jaya Sudarga/ antinên sawêngi mangko/
ingsun patih durung bisa/ kalamun wangsulana/ marang layange gustimu/ nini
putri wus diwasa//
22. Bênêre nganggo tinari/ nampèni kalawan ora/ mring gustimu panglamare/
sayektine nora kêna/ wong tuwa kang gêgampang/ hèh ta patih Candrakètu/ si
Patih Jaya Sudarga//
23. Gawanên wismanirèki/ aja kongsi kakurangan/ sawêngi ing pangrêksane/ Ki
Patih matur sandika/ wusnya dhawuh narendra/ kondur tumamèng kadhatun/
bubar sagung kang sewaka//
24. Dutèng sabrang wus kinanthi/ mring Candrakètu binêkta/ mantuk marang ing
dalême/ rinêngga sinuba-suba/ asrining pasugata/ wauta ingkang ngadhatun/ sri
narapati Cêmpala//
125
25. Pinêthuk ing pramèswari/ sawusnya tata alênggah/ sang prabu ngandika alon/
nutur lampahing caraka/ ingkang mundhi nawala/ sarta lawan gambaripun/
Sang Prabu Jungkung Mardeya//
26. Ratu[...13] prawira nom pêkik/ kêkutha Paranggubarja/ wus kêkuwu sabalane/
anèng muwara Cêmpala/ praptane pan anglamar/ marang sutanira iku/ patihe
ingkang dinuta//
27. Lah iki layange yayi/ lawan gambare paringna/ mring nini putri dèn age/
pramèswari dèn abisa/ maripih ing sutanta/ apan ingsung wus panuju/ mring
Prabu Jungkung Mardeya//
28. Kapindhone yen tinampik/ nora wurung dadi aprang/ wong sabrang abot
yudane/ ratune amandraguna/ abêbala bacingah/ kang dadi panujuningsun/
dene wus nora kuciwa//
29. Mêngkua mring nini putri/ sanadyan silih anaa/ ing tingkah dir diksurane/ pan
wus watake wong sabrang/ adi gung adi guna/ dene warnane abagus/ sun
watara sutanira//
30. Samangsane aningali/ gambare Jungkung Mardeya/ kaya yèn rêsêp atine/
pramèswari matur nêmbah/ lêrês paduka nata/ kawula inggih panuju/ tumingal
ing gambarira//
31. Sang prabu ngêndika malih/ yayi dèn bisa kewala/ maripih amrih kênane/
marang tyase sutanira/ pramèswari gya mentar/ umanjing mring taman santun/
gambar sri nata binêkta//
IV. SINOM
1. Wauta ingkang winarna/ Kusuma Wara Srikandhi/ ing uni sa-[...14]undurira/
saking nagri Dwarawati/ kêkuwu taman sari/ anggung dènira nahênkung/
manungku ingkung rimang/ kakênan kunjana kingkin / kênèng onang mangunêng
tyas mangunêngan//
2. Anggung wuyung mawuyungan/ angunêng tyas poyang-paying/ yayah kadya
kaprêyangyang/ kayungyun sruning wiyadi/ marang Radèn Prêmadi/ satriyadi
126
ambêg sadu/ widigdyèng priyêmbada/ pamrêdinirèng kênyadi / lir sadpada
ngudi maduning kusuma//
3. Kusuma putri Cêmpala/ tan antuk dhaharan guling/ solahira anèng taman/ lir
kênèng guna piranti/ ing tyas tan antuk aring/ anggung rangu kapirangu/
saparan karungrungan/ wirangrong ngarang ngranuhi/ kambuh-kambahing tyas
wimbuh-kawimbuhan//
4. Barubah kadya ginubah/ tyase rantas rontang-ranting/ katon ing sasolahira/ duk
ana ing Dwarawati/ ginagas ing tyas wingit/ tan lyan kang pinarandulu/ namung
Sang Dananjaya/ gumantung tung-tunging ati/ wus cumanthèl anèng padonira
netya//
5. Dhuh lae-lae wong ika/ baya nora aningali/ marang ing dhêdhayohira/ duk
kêmbên lukar sapalih/ wonga-wonga mèh kengis/ gêlung lukar tan kaetung/ pijêr
ngênglêng tumingal/ dènira liling-liniling/ mendah baya nèng langêning
pagulingan//
6. […15] Sumakèhan duwe garwa/ pinunjul yang-yanging bumi/ ingayap ing
pasamuan/ tan ana dèn kalingsêmi/ sanggone dènya linggih /dinuga nèng
pangkonipun / liling-liniling gantya / mulung gantyan saking lathi/ limang dina
durung kumon gone bênggang//
7. Kaya mimi lan mintuna/ konthal-kanthil akêkinthil/ anggung kanthèt
kêkanthètan/ marang patirtan kinanthi/ apa ta amêmengin/ wong agung mring
dhayohipun/ pantês lamun emana/ garwane lumakwèng siti/ saparane anèng
ngêmbanan kewala//
8. Mangkana sang rêtnaning dyah/ duk lagya wungu aguling/ uyang ing sarira
siram/ lênggah maksih ngore wèni/ sinêratan mring cèthi/ rema rawuh ing
jêjêngku/ mêmak cêmêng sinawang/ muyêk ngendra wila wilis/ sarirane alus
risak sawatara//
9. Labêtira tajin dhahar/ rarasing sarira kadi/ pradapa sore sinêmpal/ anglêlêntrih
èsmu wilis/ lir layoning apsari/ tingal kocak èsmu balut/ labête tajin nendra/
liring galak èsmu lindri/ cahya mancur pindha banguning kartika//
127
10. Pan sarwi anganggit sêkar/ gambir sinawung malathi/ jarijyalus ngrayung
ngraras/ kanaka ngudayaning ri/ jangga anglung rês-[…16]pati/ tuhu lamun
karya wuyung/ raja putri Cêmpala/ dènira anganggit sari/ anggung dènya
sinawang sawang nèng asta//
11. Sarwi mèsêm angandika/ sapa ta pantêse iki/ biyang ingkang anganggoa/
goningsun anganggit sari/ gambir lawan malathi/ rênyêp-rênyêp rayung-rayung/
ni êmban matur nêmbah/ pantês-pantêsipun gusti/ rayi dalêm Rahadèn
Drêsthajumêna//
12. Wong agung pêkik sêmbada/ sasolahe ngrêspatèni/ sang rêtna mèsêm ngandika/
ya bênêr aturirèki/ nanging pangrasa mami/ pan maksih kuciwa biyung/ ingkang
pantês nganggoa/ ing panganggit ingsun iki/ iya amung pamadyanirèng
pandhawa//
13. Kinalungakên nèng jangga/ mendah si dènya rêspati/ bok êmban matur alatah/
inggih lêrês-lêrês gusti/ tuhu Rahadèn Prêmadi/ wong agung baguse nulus/ sang
dyah mèsêm ngandika/ upama biyang kang nganggit/ pinangkua apa pantês
mring wong ika//
14. Bok êmban matur anêmbah/ kados lamun nyamlêng gusti/ lir sotya munggèng
kancana/ sudama anawung sasi/ gumujêng sang lir Ratih/ dhuh gêguyon bae
biyung/ masa dadak mikira/ wong ika mring awak mami/ garwane wus
ngasorkên langêning swarga//
15. Duk lagya sapagujêngan/ sang kusuma lawan cèthi/ kasaru sang ibu prapta/
sang rêtna gupuh nungkêmi/ ing padanira kalih/ rinang-[…17]kul lungayanipun/
sarya lon angandika/ dhuh babo putrèng ngong yêkti/ bangêt têmên rusake
sariranira//
16. Baya ana kang karasa/ anglong sariranirèki/ cahyanira ingsun sawang/
nglayung kadya gêrah gusti/ sang rêtna matur aris/ ibu kawula tan anglu/
marma nglong sawatara/ kawula sawêg nglampahi/ asêsilih cêgah dhahar lawan
nendra//
128
17. Duk lagya angsal2 sacandra / sêdyamba lamun dumugi / jangkêpa ing tigang
candra / sang ibu suka nauri / dhuh nyawa putra mami / tutugna karsanairèku/
sêsirih sawatara / lamun kaparênga ugi /lan karsane Jawata ingkang minulya//
18. Wus cêpak jatukramanta / praptaningsun pan tinuding / marang ing
sudarmanira / maringi uninga gusti / ramanira sang aji / katêkan kongkonanipun
/ Prabu Jungkung Mardeya / ratu sabrang sura sêkti / mandra guna kuthane
Paranggubarja //
19. Angaturakên nawala / pêpatihe kang tinuding / praptane ing tanah Jawa /
anglamar mring sira Gusti / ramanira sang aji / anggalihe wus anuju / mring Sri
Jungkung Mardeya / dene ratu gung linuwih / bagus anom dhasare maksih
jêjaka//
20. Sêmbada prawirèng yuda / mandra guna sura sêkti / pan ing mêngko
sawadyanya/ kêkuwu anèng pasisir/ balane lir jaladri / lah ta iki layangipun /
lawan gambare pisan / […18] sira tingalana nini / natèng sabrang tuhu yèn
bagus sêmbada //
21. Sang kusuma duk miyarsa / kumêpyar sakala kadi / pinêcat tyasira mêsat /
saking angga tumiba ring / ngarsèng radèn Prêmadi / ingkang pinaran ing dulu /
aris nampèni sêrat / lan gambar sangking bunèki / namung sêratira kang sampun
binuka//
22. Lajêng sinuksmèng wardaya / kadriya raosing tulis / panglamare Ratu Sabrang /
praptane mring tanah Jawi / katarik dening ngimpi / kapanggih sariranipun /
praptèng Paranggubarja / jumujug tilamirèki/ sawusira sang dyah ningali
sadaya//
23. Rêngu panduking sasmita / ngatirah laraping liring / sumrambah marang sarira
/ jêjabang lir wora-wari / sirung rêngu tur nèki / ibu matura dèn gupuh / ing jêng
rama narendra / kawula sru nuwun runtik / maksih rêmên momong sarira
kewala//
24. Dahat dèrèng arsa krama / wikana ibu ing benjing / yèn wus mangsa arsa
krama/ nadyan sampuna upami / kawula purun laki / yêkti botên numbuk-
2 *B, bacaan sebenarnya “asal”
129
numbuk / nubruking ratu sabrang / ngunggahi anyundêl anjing / ngêndêlake
lamun ratu sugih bala //
25. Bagus tur maksih taruna/ mandra guna sura sêkti/ masa ta nora nyandêra/ iya Si
Wara Srikandhi/ ngènèl mara kêkinthil / ngunggahi mring tilamipun / lamun
njêng rama mêksa/ sangking wus pa-[…19]rênging galih / inggih pintên ibu
sakiting palastra//
26. Sêrat gambare binuwang/ mundur sarwi lara nangis/ minggah marang yasa
kambang/ kang ibu èbêg ing galih/ mundur marang jro puri/ umatur marang
sang prabu/ yèn kang putra rudita/ sasampune maos tulis/ saha ture kang putra
katur sadaya//
27. Kagyat tayasira narendra/ miyarsa aturing sori/ gupuh dènira tumêdhak/ mring
taman Sri Narapati/ nusul minggah bot rawi/ Wara Srikandhi andulu/ ingkang
rama wus lênggah/ gupuh dènira nungkêmi/ anèng pangkon karuna pindha
Sarkara//
V. DHANDHANGGULA
1. Sri narendra angandika aris/ ngêlus-êlus srinataning putra/ sarwi ngusapi
waspane/ dhuh babo putraningsun/ sarèhêna tyasira dhingin/ aywa ge
kabêranang/ dene layangipun/ Sang Prabu Jungkung Mardeya/ pangêmote ing
layang dènira ngipi/ saking wantah pasaja//
2. Dene ana digunge sathithik/ wus watake wong tanah ing sabrang/ rada kurang
dêdugane/ pan ing besuk lamun wus/ lawas ana ing Tanah Jawi/ sayêkti bisa
padha/ solah bawanipun/ lawan sanak-sanakira/ masa dadak ninggal ta
warnanireki/ bagus raga karana//
3. Dhasar ratu agung sura Sêkti/ la-[…20]mun sira nini anampika/ golèki wong
apa manèh/ rasane ing tyas ingsung/ amêngkuwa mring sira nini/ pan wus nora
kuciwa/ loking jana patut/ sira laki ratu sabrang/ pinikala panglamare dèn
awaki/ prapta ing Tanah Jawa.
4. Lawan kakangira si Drupadi/ kagarwa ring kakangmu Ngamarta/ ing tyasingsun
padha bae/ panujune tyasingsun/ kapindhone yèn sira nampik/ nagara ing
130
Cêmpala/ yêkti rêmak rêmpu/ sira nini wus diwasa/ yêkti bisa bobot nimbang-
nimbang budi/ wêlas marang wong tuwa//
5. Sang kusuma wau duk miyarsi/ pangandikanira ingkang rama/ aris adrêng
pamêksane/ saking sampun panuju/ marang Ratu Sabrang kang prapti/ mangên-
angên upaya/ sang dyah kèndêlipun/ mangunêng angunandika/ baya ta wus
karsaning dewa linuwih/ margane raganingwang//
6. Anêmpuh byat wirang lawan isin/ ambruk marang wong Madukara/ nênuwun
sihing wêlase/ pangukupe maringsun/ marga saking wong sabrang iki/ ingkang
dadya jalaran/ ing panglamaripun/ ambêg digung adi guna/ yèn tinampik nêdya
misesa ing jurit/ gêmpur Cêmpala Rêja//
7. […21]Dadya sêdhêng goningsun angungsi/mring wong ika lumuh yèn lakia/
wong sabrang kumawambêge/ kaya-kaya wong agung/ yèn sun bruki bisa
ngukuhi/ bêcik sun samudana/ marang rama prabu/ amrih sarèhe wong sabrang/
sêdhêngingsun ing wuri pradandan budi/ sawusnya ngartikèngtyas//
8. Nêmbah matur sang raja pinutri/ dhuh pukulun karsa padukendra/ sampun
pasthi panujune/ dhatêng panglamaripun/ ratu sabrang kang lagya prapti/
paranta gèn kawula/ sagêda umingkuh/ suminggah ing rèh paduka/ wirang isin
sayêkti kula lampahi/ anyèthi ratu sabrang//
9. Pinisahkên lan yayah myang bibi// nanging ramaji panuwun amba/ ratu sabrang
ing karsane/ wontêna sarèhipun/ pan kawula sawêg nglampahi/ sêsirih tarak
brata/ sêdyamba pukulun/ dumugiya tigang candra/ dene ingkang sampun
kawula lampahi/ sawêg angsal sacandra//
10. Ingkang dèrèng kantuk kalih sasi/ lamun sampun jangkêp tigang candra/ Natèng
Sabrang pamundhute/ dhatêng kula pukulun/ pan sumangga ing siyang ratri/ yèn
dèrèng kalampahan/ praptèng kalih tèngsu/ kawula dahat lênggana/ sri
narendra langkung cumêplonging galih/ myarsa aturing putra//
11. Pan gina-[…22]lih ature sang putri/ yèn satuhu denira sêmaya/ tan wruh yèn
ngecani bae/ pangandikanira rum/ aja ingkang sarèh rong sasi/ sanadyan
patang candra/ sêmayanirèku/ Sang Prabu Jungkung Mardeya/ sayêktine nini
lamun angêntèni/ marang sêmayanira//
131
12. Lawan sêdhêng ibunira nini/ gone cawis rêrêngganing karya/ wus sampurna
sadayane/ lah ta wis putraningsung/ tutugêna sêdyanirèki/ sêsirih tarak brata/
sun karya sul-angsul/ layang mring nrêpati sabrang/ andhawuhkên mring
sêmayanira nini/ poma ta wêkasingwang//
13. Sajroning rong sasi dèn abêcik/ rumêksanta marang ing sarira/ nêlas kang rama
wêlinge/ nulya kondur sang prabu/ praptèng pura ngandikèng sori/ winartan yèn
kang putra/ ing mangke tyasipun/ wus manut ing sarèh ing wang/ apan amung
nyuwun sarèh ing rong sasi/ wus sêdhêng yayi sira//
14. Asanega sabeyaning kardi/ kurang pira mung kurang rong candra/ kang garwa
sandika ture/ ngling malih sang aprabu/ kapindhone sutanirèki/ natèng
Paranggubarja/ kadohan satuhu/ makuwon pinggir samudra/ yèn sêmbada iku
yayi sun kon ngalih/ marang ing sawojajar//
15. […23]Pasanggrahan wus katêmu dadi/ sêdhêng dohe kalawan jro pura/ kaya
kamot sabalane/ pramèsuri jumurung/ kunêng dalu wuwusên enjing/ Patih Jaya
Sudarga lawan Candrakètu/ wus saos nèng panangkilan/ pinaringan surat sul
angsul wus katampi/ Patih Jaya Sudarga//
16. Sampun mundur sangking pancaniti/ praptèng jawi lajeng dènya mêsat/ margèng
gêgana lampahe/ kya Patih Candrakètu/ dhinawuhan kinèn ngrêsiki/ pakuwon
Sawojajar/ wêwangunanipun/ kang wus risak rakit ira/ kinèn mulih bidhal
rêkyana apatih/ lawan catur punggawa//
17. Ya ta wau lampahe ki patih/ Jaya Sudarga pan sampun prapta/ pakuwonirèng
gustine/ lajêng tumamèng ayun/ katur solahira tinuding/ miwah nawalanira/
wangsulan wus katur/ kasêrat lajêng binuka/ sinuksmèng tyas kadriya raosing
galih/ suka dènya ngandika//
18. Iki bapa wus lêgêt tyas mami/ wus tinampan ing panglamaringwang/ jêng ramaji
wangsulane/ kang muni suratipun/ suka lila ing lair batin/ putrane yèn kagarwa/
marang jênêngingsun/ miwah ta sang rêtnaning dyah/ apan amung nuwun sarèh
ing rong sasi/ kapanggihe lan[…24] ingwang//
19. Pan kapalang lagya anglakoni/ tarak brata ing sampurnanira/ mung kurang
rong sasi bae/ yèn wus prapta rong tèngsu/ pan sumangga sakarsa mami/ ramaji
132
ing Cêmpala/ iki dhawuhipun/ kadohan pakuwoningwang/ nèng pasisir ingsun
kinèn nuli ngalih/ marang ing Sawojajar//
20. Pasanggrahan wus katêmu dadi/ sêdhêng dohe kalawan jro pura/ dênê mêngko
pêpatihe/ iya si Candrakètu/ wus dinuta kinèn ngrêsiki/ Pa kuwon Sawojajar/ ki
patih umatur/ pukulun tuwan anuta/ ing sakarsanipun rama paduka ji/ ngandika
sri narendra//
21. Iya bapa budhala tumuli/ wadyaningsun ing Paranggubarja/ kêbuta sadina kiye/
ki patih nêmbah mundur/ praptèng jawi sigra ngundhangi/ ing sagung pra
dipatya/ têngara gumuruh/ Sang Prabu Jungkung Mardeya/ sampun budhal
sangking pakuwon pasisir/ kêbut sabalanira//
22. Kunêng marga cinêndhak wus prapti/ lampahira nênggih Sawojajar/
masanggrahan sabalane/ ki Patih Candrakètu/ kang ambage pakuwon sami/
sagunging pra dipatya/ bala ditya pungkur/ ki patih makuwon ngar-[…25]sa/
pra dipati manungsa ing kanan kering/ wadya jro tumut ngarsa//
23. Langkung sukanira sri Bupati/ dênê pakuwon pinanggih dadya/ kamot sawadya
balane/ ing têngah dalêm agung/ tilamira sampun miranti/ tulya sri pinapajang/
gapurane munggul/ paseban tinarub rambat/ kanan kering sinungan bangsal
pangapit/ alun-alun ing ngarsa//
24. Pasanggrahan Sawojajar nguni/ dalêmira Radyan Gandamana/ wus kadya praja
rakite/ raden sasedanipun/ padalêman winangun dadi/ kinarya mêng-amêngan/
lawan sang aprabu/ rêkyana Patih Cêmpala/ tinimbalan marang ing ngarsa
narpati/ lawan catur punggawa//
25. Samya ginanjar busana adi/ pan sadaya samya ngalêmbana/ marang sang prabu
pêkike/ mung kêdhik solahipun/ rongèh kirang ajatmikani/ ing tingkah kaduk
ringas/ kirang sarêhipun/ wau ki Patih Cêmpala/ pamit mundur punggawa
sakawan maksih/ tinilar Sawojajar//
26. Anjagèni sêgahing nagari/ binage mring sagunging punggawa/ mêntah matêng
sugatane/ kang katur mring sang prabu/ pêparinge sang pramèswari/ andina
sangking pura/ dhaharan lumintu/ sêkar miwah ganda wida/ prabu Jungkung
Mar-[…26]deya suka tan sipi/ cipta tulus sihira//
133
27. Natèng Cêmpala myang pramèswari/ dadya sagung ing kang raja brana/ saking
sabrang bêbêktane/ pan kathah warnanipun/ guru bakal lan guru dadi/ pirang-
pirang gotongan/ ing ngaturkên sampun/ marang Sang Prabu Cêmpala/
linajêngkên marang salêbêting puri/ tinampan ingkang garwa//
28. Sang kusuma tan arsa ningali/ pisungsunge Sri Jungkungmardèya/ mung katur
kang ibu bae/ mangkana kang winuwus/ nênggih Rêtna Wara Srikandhi/ mêtêg
wiyoganira/ tan kêna sinayut/ miyarsa lamun kang rama/ myang kang ibu
kalangkung dènira asih/ marang nrêpati sabrang//
29. Sabên dina dènira pêparing/ miwah Sang Prabu Jungkung Mardeya/ wus kathah
atur-ature/ tinampèn mring kang ibu/ guru bakal lan guru dadi/ raja putri
Cêmpala/ tyas ira wus tamtu/ dènyarsa tilar nagara/ mêgat trêsna ing rama
myang ibu sori/ nuju sawiji dina//
30. Angandika mring êmbanirèki/ hèh ta biyung êmbaningsun arsa/ patigêni dina
kiye/ sarta lawan ambisu/ pitung dina lan pitung bêngi/ pan ora kêna mêdal/
saking tilamingsun/ poma biyang wêkasingwang/ lamun durung pitung dina
pitung bêngi/ kabèh parêkaningwang//
31. Aja ana kang marak ing mami/ babu[…27] inya lan cèthi parêkan/ sadaya
sandika ture/ nulya sang rêtnaningrum/ minggah tilam atangkêb samir/ sagung
cèthi parêkan/ anèng jawi tugur/ mangkana sang rêtnaningdyah/ praptèng dalu
ing tyasira mêrêm mêlik/ anggung angraras driya//
VI. MIJIL
1. Ngrasuk busana sang raja putri/ dênira salolos/ nulya têdhak angandhut
patrême/ tiningalan parêkan myang cèthi/ wus samya aguling/ lajêng
lampahipun//
2. Madya ratri kentarnya mangikis/ sira sang lir sinom/ saking taman miyos
butulane/ datan wontên cèthine3 udani/ lampahe lêstari/ wus ngambah marga
gung//
3 Terdapat interpolasi suku kata “thi” pada kata “cèthi”
134
3. Alon-lonan sahengga nganglangi/ langêning kalangon/ padhang bulan gumilang
langite/ wulan kalangan sumilak wêning/ duk lagya tumiling/ dumêling kadulu//
4. Angênglêngi lêlangêning langit/ wulan mèh mangulon/ lir nganglangi buwana
langêne/ kalong-kalongan golong tumiling/ pan kadya sung peling/ samar dalu-
dalu//
5. Kyèh kadulu lêlangêning ratri/ katanggrêna abyor/ ing gêgana ambabar sêkare/
lintang wuluh rênyêp-rênyêp kaki/ rumêngga asrining/ angsananing gêlung//
6. Gêtêr patêr dhèdhèt erawati/ kilat thathit mawor/ obar-[…28]abir ambabar
pinggire/ kêlap-kêlip kalamban belani/ lêlidhah lumindhih/ sang kusuma
ngadhuh//
7. Lidhah-lidhah lir andhudhah cêdhih/ kêlabe tan adoh/ clèrèting kilat kadya
angawe/ obar-abir ambabar ing pinggir/ wus kadya ngobari/ mring kang lampah
dalu//
8. Angkup-angkup rame pinggir margi/ lir sapdaning kayon/ rês-rês angrês
barungan walang krek/ lir namudana ingkang lumaris/ bêluk miwah kolik/ kadya
cêluk-cêluk//
9. Kongkang ngungkung jroning jurang trêbis/ barung cênggèrèt nong/ lir
pradangga barungan arame/ puyuh pêlung sahengga nyalahi/ pêpêlung mêlingi/
mêlung lir anulung//
10. Lawa-lawa maliwêran kadi/ ngawêri kang lolos/ pêcruk katêrak nglêpêr ibêre/
saking wuri tumuntur nglancangi/ ing ngarsa sang dèwi/ lir tuduh marga gung//
11. Rangu-rangu risang kadi ratih/ pan sarwi amirong/ rasa-rasa tumindak
lampahe/ kang kudhasih munya ngasih-asih/ pangangsahe kadi/ tangisirèng
dalu//
12. Bambang wetan wayahe kang wêngi/ mrêbabang sumorot/ mega malang sêmu
bang sunare/ têturutan lir wastra majêthi/ sèngga panyandhanging/ kang
pinaran ingkung//
135
13. Risang[…29]Parta sêsaji asalin4/ nira sang lir sinom/ Hyang Haruna samana
wijile/ mêntas saking we ning jalanidhi/ mungup-mungup mugwing/ udayaning
gunung//
14. Ngênthêt-ênthêt kadi ngintip-intip/ mring kang nut marga lon/ kathah kapinulur
ing lampahe/ ulur sêlur wong mring pasar sami/ nyimpang sang lir ratih/ saking
ing marga gung//
15. Manjing wana tan etang pringganing/ marga jurang segrong/ grênging ori ori
pêpinggire/ nut ing èrèng-èrèng jurang têbing/ pêpèringe miring/ parang curi
parung//
16. Jurang trêjung pinggir anggaligir/ ingkang rèpèh ropoh/ êmbês-êmbês rambas
rêmbêsing we/ nginggil bondhot bundhêt ri panjalin/ siluk-siluk sungil/ mangap
singup-singup//
17. Toya mijil saking lambung wukir/ gumrujuk toyanjog/ tirta jroning jurang
gumarènjèng/ lir tinalang kêkalène mili/ têtilase limit/ lêlumute lunyu//
18. Kang bêbaya wus tan bêbayani/ margewuh tan awoh/ sampun langkung sang
rêtna lampahe/ saking jroning jurang5 singnggrong ori/ ngambah wana radin/
tarataban ngayun//
19. Sata wana barungan munya njrit/ manyura nyêngonglong/ kadya nguwuh
ngampirkên lampahe/[…30]myang kukila andon rame munggwing/ mandera
gêng kadi/ ngaturi sêsuguh//
20. Singa warak andanu kang sami/ kapranggul kaprêgok/ giwar ajrih akongas
gandane/ wruh kalamun wanodya linuwih/ trah kusuma yêkti/ rumêmbêsing
madu//
21. Buron agêng-agêng samya nêbih/ lumakwèng ngarsadoh/ ana ingkang rumêksa
wurine/ miwah ingkang munggèng kanan kering/ wus kadya njajari/ ngiring
ngurung-ngurung//
4 #B: bacaan semula “alin”
5 *B: teks naskah A tertulis “jarang”
136
22. Silir lumrang satêpining margi/ sêsêkaran abyor/ neka warna sêdhêng duk
panjrahe/ argulo manglung sêkare kadi/ lumaku pinêthik/ mring sang
rêtnaningrum//
23. Tan wus lamun winuwus asrining/ wana kyèh katonton/ saya mancat baskara
wayahe/ mêmanisi sayahe sang dèwi/ lon-lonan anut ing/ iring-iring gunung//
24. Sang rêtnadi ningali we wêning/ kang naga puspayom/ gandapura tumurun
pinggire/ parang jatha pêpandhan maripit/ satêpining bèji/ mirit lir pinatut//
25. Sang kusuma kacaryan ningali/ rarywan anèng kono/ lunggwèng sela kumlasa
ênggone/ suku kanan kinobokên warih/ kang mina lit-alit/ ngrubung sukunipun//
26. Mangsa klalar wus kadya ngabêkti/ mring kang lagya rawoh/ […31]mina gêng-
agêng molah solahe/ lir nambrama marang sang rêtnaji/ puspita marnani/
satêpining ranu//
27. Sêdhêng panjrah ingkang sarwa sari/ bang putih pita byor/ aliwêran brêmara
arame/ wor maruta gumêr prasamya mrih/ mangrabasèng sari/ sarine
sumawur//
28. Tibèng tirtan larasa ngarsani/ sang kênèng wirangrong/ lir nyugata brêmara
karsane/ atur ganda mring sang kadya ratih/ trênyuh tyasnya tistis/ sang
juwitaningrum//
29. Paran baya dening awak mami/ dadining lêlakon/ lamun prapta ing
Madukarane/ uga nora sinapa tumuli/ tambuhira saking/ ering garwanipun//
30. Kalakona mangkono sayêkti/ ingsun mati ngênggon/ sang kusuma marêbêl
waspane/ mutêk kapêtêk ing tyas nampêki/ rênyuh lir rinujit/ emut ramanipun//
31. Pêtêng dhêdhêt kadya têngah wêngi/ udan adrês mawor/ pancawara prakêmpa
gora rèh/ sindhung riwut mawur bajra pati/ prahara gumérit/ lesus lir pinusus//
32. Grênging ori-ori rampal-rumpil/ Wrêksa gêng-agêng sol/ sêmpal papal kaprapal
êpange/ abusêkan ing sining wanadri/ buron alit-alit/ puyêngan sumawur//
33. Buron agêng[…32]-agêng gung kaguling/ gègèr ting galêmbor/ bilulungan
tambuh pangungsène/ madyèng wana gênjot lir ginunjing/ ladhu-ladhu mili/
agraning arga rum//
137
34. Sang kusuma kêkês ing tyas maksih/ tan owah saking gon/ andhêkukul ing
ngrêngkul jêngkune/ suruping arka riris sira ris/ samirana ngidid/ mawur kang
rum arum//
35. Rêrêm ing tyas sang raja pinutri/ ngudhar asta karo/ mingsêr saking talaga
lungguhe/ asasèndhen witing nagasari/ yayah tanpa guling/ dhandhang munyèng
ngayun//
VII. DHANDHANGGULA
1. Bangun mangu anom lêlangêning/ duk tumingal katon sirat wetan/ pêtha
pêpanthan thathite/ kilat-kilat abarung/ lir sasmitanira ing latri/ matur yèn wus
antara/ enjang wayahipun/ manuk muni mawurahan/ lir mawungu barungan
sata wanadri/ kadya matak mangkana//
2. Byar rahina baskara wus mijil/ sang kusuma saksana umêsat/ saking pinggir
talagane/ nut iring-iring gunung/ rangu-rangu sang kadi ratih/ lumampahing
satitah/ madyaning wana gung/ tan ana baya kaetang/ kalih dalu sanggone
dènira guling/ rinêksèng sato wana//
3. Tan winarna solahe nèng[…33] margi/ sang kusuma dènya nasak wana/ miwah
ngambah padesane/ cinêndhak lampahipun/ duk samana sang rêtna prapti/
nagara ing Amarta/ kathah kang kadulu/ ngambah rêratan nagara/ namur
momor mring wong bêbakulan sami/ tan ana kang grahita//
4. Lamun iku putraning narpati/ sang kusuma sayah lampahira/ rarywan pinggir
lurung gedhe/ ngaub ana ing warung/ ingkang darbe bango lon angling/ ing riki
dèn sakeca/ mbok ngantèn alungguh/ ing pundi wisma andika/ ayu anom têka
lêlampah pribadi/ pundi ingkang sinêdya//
5. Sang kusuma alon anauri/ kula bibi wong sajaban kitha/ padesan pinggir alase/
anguruh kadang sêpuh/ nguni wontên ing Dwarawati/ suwita amawongan/
mangkya wartinipun/ umiring mring Madukara/ ing gustine Kusuma
Banoncinawi/ kagarwa Dyan Janaka//
6. Kula bibi pan dèrèng udani/ Madukara pundi prênahira/ kang darbe bango
sahure/ pan wus cêlak nakingsun/ lurung ingkang ngidul puniki/ têrusan
138
Madukara/ marga gêng jumujug/ anjog taman Maduganda/ pan ing mangke
Kusuma Banoncinawi/ sampun ambabar6 putra//
7. Miyos kakung warnane apê[…34]kik/ sinung nama Dyan Angkawijaya7/ puniki
lurung kang ngalèr/ anjog ing dalêmipun/ satriya gung ing Jodhipati/ Radèn
Sadewa wetan/ de kilèn kadhatun/ dalême Radèn Nakula/ ari catur dalêm
ngubêngi nagari/ pura Madya Ngamarta//
8. Pan wong agung Madukara mangkin/ salamine kanggowa ambabar/ awis
kondur mring dalême/ kêkuwu taman santun/ kalangênan lesan jêmparing/ sang
rêtna duk miyarsa/ mèsêm ngandika rum/ nggih bibi bangêt tarima/ tuduh dika
lah bibi kariya laris/ sang dyah lajêng tumêdhak//
9. Saking bango anurut ing margi/ kang mangidul tan dangu lampahnya/ katon
munggul gapurane/ pucuk mutyara mancur/ nawung sunaring surya kadi/
sasmita angenggalna/ sang dyah lampahipun/ wontên witing Nagapuspa/ ngapit
kori pangira kanginan kadi/ angawe sang lir rêtna//
10. Lampahira sang kusuma prapti/ lajêng manjing salêbêting taman/ pan maksih
mênga korine/ sang dyah eram andulu/ rêrênggane kang taman sari/ sarwa mas
lan sêsotya/ lir taman swarga gung/ botrawi binale kambang/ sri kawuryan
kêmbang-kêmbange ngubêngi/ kang samya jinêm-[…35]bangan//
11. Eram mulat wêninging kang warih/ umbul mijil tuke8 saking sela/ udal andêdêl
ganggênge/ urange arêruntung/ wadêr bange bayak ngêbyaki/ ucêng sapucang-
pucang/ kutuke anglumpuk/ urut lêbinging balumbang/ puspawarna sangkêp
sawarnaning sari/ sruni lan sumarsana//
12. Nêdhêng panjrah ingkang sarwa sari/ kamarutan gandanya mrik ngambar/ sang
dyah ayêm ing tyas rèrèh/ kataman maruta rum/ midêr mêthik kang sarwa sari/
kang samya jinêmbangan/ satêpining ranu/ karsanya sang lir kusuma/ marma
dangu ngayêmkên sarira dhingin/ nadyan mangke marêka//
6 *B: bacaan sebelumnya terdapat adisi huruf layar, yakni berbunyi “ambarbar”
7 *B: naskah A penulisan nama tokoh “Angkawijaya” selalu ditulis “Ongkawijaya”, entah dengan
aksara Swara “O” (bila berdiri sendiri), atau pun dipergunakannya pasangan “ha” yang diapit huruf
“taling tarung” apabila didahului dengan kata “dyan”. 8 Pada teks manuskrip terdapat interpolasi huruf taling
139
13. Mring Sang Parta manawa wus aring/ dene juru taman kalih wêlas/ kang nyiram
pêpêthètane/ lawan ingkang angangsu/ datan wontên ngaruh-aruhi/ kinandêlkên
kewala/ sang dyah solahipun/ dènira angambil sêkar/ nyana lamun parêkan
dinutèng gusti/ angundhuh kêmbang-kêmbang//
14. Marma datan ana kang malangi/ ing sasolahira sang lir rêtna/ dènya angalap
sêkare/ wauta kang winuwus/ Radyan Dananjaya marêngi/ tedhak marang ing
taman/ kang umiring namung/ ki lurah Bagong lan Sêmar/ pan gumêdêr gêguyon
samargi-margi/ sang dyah kagyat miyarsa//
15. Gugup minggah marang ing botra-[…36]wi/ saklèbatan Sang Parta tumingal/
wanodya têmah ciptane/ apa ta sibok ayu/ dèwi Ratih prapta ing ngriki/ wus
abêne mangkana/ yèn tuwi anjujug/ jroning botrawi kewala/ gya Sang Parta
ngubêngi kêmbang sarya ngling/ mirungu kang umpêtan//
16. Sapa iki kang angalap sari/ kocar-kacir kaliwat mêjana/ mèt nora nêmbung kang
duwe/ kaya pawarnanipun/ yèn wanodya punagi mami/ sun kungkung pitung
dina/ ana ing jinêmrum/ hèh Sêmar Bagong kariya/ anèng jaba sadhela sun arsa
guling/ ana ing Yasakambang//
17. Sang kusuma têtela miyarsi/ Sang Arjuna dènira ngandika/ tambuh-tambuh ing
solahe/ arsa mêdal kabutuh/ Dananjaya mêngakkên kori/ sang dyah dheprok
karuna/ anèng ngarsanipun/ jungkêl nutupi wadana/ Dananjaya ningali dèrèng
andugi/ lamun Putri Cêmpala//
18. Maksih nyana lamun Dèwi Ratih/ sarwi gumujêng dènya ngandika/ hèh babo iki
ta wonge/ kang ngrusak taman ingsun/ liwat saking amêjanani/ marang kang
duwe taman/ yêkti kênèng ukum/ wus dadi punaginingwang/ ingsun kungkung
nèng paprêman pitung bêngi/ sang dyah sinambut sigra//
19. Miwah asta rinangkul wus kêni/[…37]nèng ngêmbanan pan ingaras-aras/ sang
dyah sumaput tingale/ nèng ngêmbanan lir kantu/ tan panon ngrat idhêpirèki/
miyarsa ngling Sang Parta/ yayah nguwus-uwus/ sêmbranane parikêna/
Dananjaya sarambut dèrèng anggalih/ lamun Putri Cêmpala//
20. Maksih ginalih yèn Dèwi Ratih/ pan satuhu sang rêtna mèh kêmbar/ Lan Dèwi
ratih citrane/ mangkana dangu-dangu/ Dananjaya dènya angliling/ ing wadana
140
sang rêtna/ waspada yèn dudu/ Kusuma ing Cakrakêmbang/ wruh kalamun
Kusuma Wara Srikandhi/ langkung pangungunira//
21. Dangu jêtung datan bisa angling/ Dananjaya wasana ngrêrêpa/ anungkêmi
wadanane/ dhuh babo mirah ingsun/ apuranên dasihirèki/ sumangga ing dêduka/
dènya kami purun/ akarya atur sêmbrana/ ing nah anggèr sarambut botên
angipi/ yèn dewaning kusuma//
22. Ingsun nyana lamun Dèwi Ratih/ jêr kêkadang pan ing saban-saban/ mring
Madukaramu dhewe/ jujug ing taman santun/ tan wruh lamun ratuning ratih/
sarining Ngendraloka/ sêkaring swarga gung/ musthikaning jagad raya/ kang
nêdhaki marang ing dasih kaswasih/ sun cipta pirang warsa//
23. Nalika nèng nagri Dwarawati/ mèh-mèh bae sun ngêmohi narpa/ mulat marang
sarirane/[…38]praptèng mangke durung wus/ ing panyipta kawula gusti/ mring
sang liring kusuma/ karsaning dewa gung/ kang asihing kawlas arsa/
gustiningsun tinibakakên pribadi/ nèng taman Maduganda//
24. Dènya mangke abdine tur pati/ sang kusuma lamat-lamat myarsa/ Dananjaya
pangrêpane/ dadyèngêt pungun-pungun/ nèng ngêmbanan umatur aris/ dhuh
mangke udhunêna/ kawula rumuhun/ amba matur liring sêdya/ saking praja
Sang Parta suka miyarsi/ ngaras sarwi ngandika//
25. Inggih mangke dhawuhêna gusti/ liring karsa wontên jro paprêman/ boten
kêkècèr karsane/ sang dyah binêkta sampun/ mring jinêmrum ingarih-arih/
sêrênging tyas pan samya/ putri lawan kakung/ rarasing rèh karasikan/ tan
cinatur sawusnya luwar sarêsmi/ mijil lênggah kaliyan//
26. Maksih munggèng pangkyan sang lir Ratih/ Dananjaya alon angandika/ sarwi
ngaras sri natane/ dhuh babo mirah ingsun/ dene kesah saking nagari/ jarwa
aliring karsa/ paran kang pinundhut/ gusti marang dasihira/ ciptaningsun datan
darbe pati urip/ sumangga kang sakarsa//
27. Sang kusuma aturira aris/ mila kesah saking ing nagara/ ngungsi marang
sarirane/ sumêdya nyuwun tulung/ saking susah ing tyas tan sipi/ linamar[…39]
ratu sabrang/ misesa mbêkipun/ yèn tinampik ngrabasèng prang/ rama prabu
ajrih satêmah nampèni/ kawula sru pinêksa//
141
28. Nglampahana ing karsanirèki/ marmanipun kawula glis kesah/ saking praja
sayêktine/ kawula lampu lampus/ laki ratu sabrang tan sudi/ tan lyan sêdya
kawula/ namung nyuwun tulung/ mring paduka lawan nêdya/ anggêguru
pangawasaning jêmparing/ marmamba kalampahan//
29. Anêmpuh byat ing wirang lan isin/ mring paduka sakêthi tan nyana/ lamun
makatên dadine/ sang rêtnanya rinangkul/ pan ingaras awanti-wanti/ dhuh atma
jiwaningwang/ kang sawang jumêrut/ intên-intênipun kakang/ dasihira gusti
ingkang angukuhi/ brangtane ratu sabrang//
VIII. ASMARADANA
1. Tumpêka ngêbêki bumi/ ratu sabrang ingkang prapta/ ing prang tan gumingsir
tanggon/ wuwuha sapuluh raja/ dèn bak ing tanah Jawa/ ditya rasêksa myang
diyu/ kang abdi datan suminggah//
2. Pangawasaning jêmparing/ inggih gusti dasihira/ ingkang mulang sêsagête/
lesan rambut mamrih sigar/ lawan mamrih pêgata/ myang lesan dhog pêking
rêmuk/ mrih bolong kawula wulang//
3. Sang kusuma maloroki/ andêlna yèn maksih anyar/ wong iki kèwês
luwêse[…40]/ yèn wus lawas luwas puwas/ sang dyah sigra ing ngaras/
sêtyanana dasihipun/ lumuh cidra ing ngubaya//
4. Sêmar Bagong dangu ngintip/ saking jawi wus waspada/ kalih sarêng dènya
dhèhèm/ Dananjaya sigra mêdal/ Sêmar umatur latah/ radèn sintên rowangipun/
ting garunêng gêgunêman//
5. Dananjaya anaturi/ kakang ingsun acarita/ Sêmar Bagong sru guyune/ sintên
rencange carita/ tingal kula wanodya/ warnanipun yu pinunjul/ munggèng
pangkon pindha garwa//
6. Dananjaya mèsêm angling/ kakang aja wara-wara/ sun jarwani sayêktine/ raja
putri ing Cêmpala/ wus tinutur sadaya/ ing tingkah myang sêdyanipun/ praptane
nèng Madukara//
142
7. Sêmar ngungun matur aris/ sinumpêt masa kenginga/ lamining dina tan wande/
dawaning catur kawarta/ dhatêng garwa paduka/ sayêktine sangêt bêndu/ pênêd
yèn jinarwanana//
8. Sayêkti lêga kang galih/ Dananjaya angandika/ kanang saprakara kiye/ lamun
kongsiya kapyarsa/ sri sinuhun Ngamarta/ mendah dukane maringsun/ tuwin
ramaji Cêmpala//
9. Miwah kang bok pramèswari/ iba dukane maringwang/ mulaningsun sidhêm
bae/ dene lamun arinira/ biyang kulup atanya/ mulane ingsun tan kondur/ lawas
nèng ta-[…41]man kewala//
10. Warahên yèn ingsun lagi/ anglakoni tapa nendra/ anèng botrawi wangêne/ iya
patangpuluh dina/ iku sira gumrahna/ mring kabèh kanca-kancamu/ haywa na
seba maringwang//
11. Yèn wis patang puluh ari/ ana pikir manèh kakang/ iya kang enak linakon/ rolas
sikêp juru nyiram/ wêtokna saking taman/ munga sira dhewe kantun/ iya lawan
sutanira//
12. Anèng jroning taman sari/ padha tunggua maringwang/ lawange kuncinên
kabèh/ poma kakang wêkas ingwang/ singa kang jaluk lawang/ nadyan silih
biyang kulup/ iya balèkne kewala//
13. Sêmar ngandika tur nèki/ mêdal panggih lan Sucitra/ pan sampun ginumyahake/
yèn gustine tapa nendra/ wangsulira mring taman/ lawange kalih tinutup/ pinati
kuncine samya//
14. Cinatur ing sabên ari/ Dananjaya pamulangnya/ jêmparing marang sang sinom/
lesane ingkang kinarya/ êndhog pêking lan rema/ yèn dalu karoron lulut/ anèng
jroning madeyasa//
15. Gumyah pawartaning jawi/ lamun lagya tapa nendra/ langkung rêpit pratikêle/
Satriya Andananjaya/ lawan Putri Cêmpala/ dènira nèng taman lulut/ sagung
wadya Madukara//
16. […42]Tan ana kang grahitani/ ing tingkahe gustinira/ nyana tapa sayêktine/
namung Bagong lawan Sêmar/ siyang dalu tan pisah/ ladosi sakarsanipun/
anèng taman Maduganda//
143
17. Kunêng gantya kang winarni/ nênggih nagari Cêmpala/ sapungkurira sang
sinom/ praptane ing pitung dina/ sagung êmban lan inya/ kang jaga jawining
pintu/ pra samya angarsa-arsa//
18. Têdhaka gustinirèki/ dene wus praptèng antara/ dadya sadaya rêmbage/
sagunging cèthi parêkan/ êmban babu lan inya/ wus rêmbag samya amungu/
sigra nikèn êmban inya//
19. Lumêbu jroning botrawi/ minggah marang pasareyan/ rumangkang miyak
samire/ gustine datan katingal/ sajroning pasareyan/ binalengkrah sadaya wus/
suwung gustine wus musna//
20. Êmban inya sarêng anjrit/ sagunging cèthi parêkan/ sadaya lara tangise/
sampun katur mring sang nata/ sigra têdhak mring taman/ miwah
pramèswarinipun/ lara dènira karuna//
21. Langkung ribêng tyas siraji/ wus pasthi panyiptanira/ lamun kang putra lolose/
saking dahat lumuhira/ akrama ratu sabrang/ sang prabu nimbali gupuh/ ing
radyan Drêsthajumêna//
22. Miwah rêkyana apatih/ wus prapta ngarsa narendra/ rahadyan lara tangise/
[…43]sang prabu alon ngandika/ lah wis aja karuna/ balikan sira dèn gupuh/
padha mikira ngupaya//
23. Sira patih ingsun tuding/ mring anak Prabu ing sabrang/ paring uninga lungane/
gustimu saka nagara/ murca sing pagulingan/ ingsun bangêt jaluk tulung/ mring
anak prabu ing sabrang//
24. Ing lungane nini putri/ dèn rewangana ngupaya/ hèh ta kulup sira dhewe/
lumakua mring Ngamarta/ lêlancaran kewala/ tur uninga anak Prabu/ ing
lungane kakangira//
25. Dene wadyanira sami/ Cêmpala kang pra dipatya/ sêbarên sadina kiye/ kabèh
padha ngulatana/ ngusak-asik mring wana/ miwah marang gunung-gunung/
kalih umatur sandika//
26. Wus mundur saking ngarsaji/ prapta ing jawi parentah/ pra dipati kang saparèh/
budhalan sawadyanira/ sinêbar angupaya/ kyana patih Candrakètu/ mring
pakuwon Sawojajar//
144
27. Radèn Drêsthajumêna glis/ lancaran marang Ngamarta/ namung turangga
sêlawe/ wau lampahe ki patya/ Candrakètu wus prapta/ pakuwon lajêng
tumundhuk/ ing ngarsa Jungkung Mardeya//
28. Umatur saha wotsari/ pukulun amba dinuta/ ing rama paduka katong/ kinèn
maringi uninga/ arinta sang lir rêtna/ musna kalanirèng da-[…44]lu/ murca
saking pagulingan//
29. Tan wontên banon kang gigrig/ icale sang lir kusuma/ kadya pinundhut dewane/
arinta sang narpa putra/ lan sagung pra dipatya/ Cêmpala sinêbar sampun/ pra
samya kinèn ngupaya//
30. Mring wana lan wukir-wukir/ pukulun rama paduka/ myang ibu pramèswarine/
sangêt ing panyuwunira/ dhatêng paduka nata/ wadyanta sadayanipun/
pinundhut pitulungira//
31. Ngupaya ari sang putri/ yèn kapanggih ing samangsa/ ibunta lan rama katong/
tumut ngèngèr mring paduka/ prabu Jungkung Mardeya/ ngandika héh
Candrakètu/ jêng rama têka mungkura//
IX. PANGKUR
1. Lah iya sira matura/ ing jêng rama miwah mring ibu sori/ aywa sungkawa ing
kalbu/ ilange sang kusuma/ lamun9 maksih urip ngêndi paranipun/ yèn maksih
ngambah bantala/ sayêkti lamun kapanggih//
2. Sanadyan silih ngungsiya/ Suralaya kacandhak dening mami/ Candrakètu amit
sampun/ mundur saking ngajêngan/ Prabu Jungkung Mardeya ngandika asru/
mring Patih Jaya Sudarga/ apa mataha dèn aglis//
3. Sagunging bala rasêksa/ budhalêna kabèh aywa na kari/ ngupaya gustinirèku/
lu[…45]nga saka nagara/ alas-alas guwa-guwa gunung-gunung/ aywa na kang
kalipatan/ jurang pèrèng kali-kali//
4. Konên ngosak-asik padha/ dalan-dalan sajabaning nagari/ kang sungil kang
siluk-siluk/ lah jaganana ditya/ pra dipati manusa patahên gupuh/ kang saparo
budhalêna/ sawadya balanirèki//
9 *B: bacaan pada teks naskah A dalah “yamun”
145
5. Ngusak-asik jro nagara/ sira dhewe bapa ingsun bubuhi/ anuksma jroning
kadhatun/ sabên dalu na mara/ aywa kongsi kawruhan lakunirèku/ kang sun jaga
bok manawa/ pagaweyan sri bupati//
6. Miguna mring jênêng ingwang/ kyana patih sandika turirèki/ mundur saking
ngarsa sampun/ praptèng jawi parintah/ marang sagung pra dipati ditya
sampun/ gumuruh nêmbang têngara/ budhal sawadyanirèki//
7. Ingkang ngalèr sapunggawa/ ingkang budhal mangetan sabupati/ ingkang
sapunggawa ngidul/ mangilèn sapunggawa/ alas-alas jurang-jurang guwa
gunung/ tan ana kang kaliwatan/ sadaya dèn osak-asik//
8. Dene kang bala raksêsa/ sapunggawa pinatah anjagèni/ sadaya kang lurung-
lurung/ pra dipati manusa/ sabalane pinatah sadayanipun/ nalasah sajroning
kitha/ namur mo-[…46]mor lan wong bumi//
9. Ki patih Jaya Sudarga/ sabên dalu anjêjêp jroning puri/ kunêng gantya kang
winuwus/ Radèn Drêsthajumêna/ lampahira praptèng Nagri Ngamarta wus/
tinimbalan marang ngarsa/ umatur lamun tinuding//
10. Mring kang rama tur uninga/ yèn kang raka Rêtna Wara Srikandhi/ kesah
nalikaning dalu/ murca sing pagulingan/ purwa madya wasana pan sampun
katur/ yèn linamar ratu sabrang/ pan dadya kesahirèki//
11. Sang Aprabu Yudhisthira/ duk miyarsa langkung10
ngungun ing galih/
pangandikanira arum/ iya yayi matura/ ing jêng rama mêngko sapungkurirèku/
bocahira ing Ngamarta/ ingsung sêbare ngulati//
12. Rahadyan Drêsthajumêna/ amit nêmbah mundur saking ngarsaji/ Prabu
Yudhisthira sampun/ parentah mring kya patya/ sigra matah pra mantri samya
angruruh/ mring raja putri Cêmpala/ budhal sagung para mantri//
13. Sang Aprabu Yudhistira/ sampun paring uninga marang sori/ ingkang rayi
praptanipun/ Radèn Drêsthajumêna/ pan dinuta mring kang rama sang aprabu/
kinèn maringi uninga/ kèsahe Wara Srikandhi//
10
*B: terdapat lacuna huruf pada bacaan sebelumnya yakni tertulis “lakung”
146
14. Linamar mring ratu sabrang/ ingkang dadya margane dènira nis/ saking
pagulingan dalu/ de wadya balanira/ ing Amarta kang saparo wus sun tuduh/
[…47]ngubrês sagung alas-alas/ jurang guwa wukir-wukir//
15. Pramèswari duk miyarsa/ langkung saking sungkawanirèng galih/ sigra nuduh
êmbanipun/ nuksma11
mring Madukara/ rêtna wara Drupadi grahitanipun/
mring satriya Dananjaya/ anatrêkanirèng galih//
16. Dene lami tan sewaka/ Sang kusuma tan antuk dhahar guling/ saking
sungkawaning kalbu/ kunêng gantya winarna/ Dananjaya ingkang tansah karon
lulut/ anèng taman Maduganda/ lan Rêtna Wara Srikandhi//
17. Apan wus sahengga garwa/ yèn rahina sang dyah lesan jêmparing/ kang kinarya
lesan rambut/ sang rêtna sampun wignya/ miwah lesan doging kukila ginantung/
sok wruha prênahe kêna/ miwah yèn maksih kaèksi//
18. Antara samadya candra/ dènira nèng Madukara sang putri/ langkung rêpit
tingkahipun/ sanadyan wadyanira/ Madukara sadaya apan dèrèng wruh/ yèn
raja putri Cêmpala/ anèng jroning taman sari//
19. Pan amung pamyarsanira/ kang satuhu gustine tapa guling/ mangkana ingkang
winuwus/ rêtna Wara Sumbadra/ lagya lênggah sarwi mangku putranipun/
Rahadèn Angkawijaya12
/ Rarasati lan Sulastri//
20. Kang tansah munggèng ngarsanya/ aglar sagung parêkan lawan cèthi/ sang
rêtna ngandika alus/ paran wartaning jaba/ dene la-[…48]was gustinira nora
kondur/ Rarasati matur nêmbah/ pukulun gumyahing jawi//
21. Raka paduka jêng pangran/ anèng taman nglampahi tapa guling/ winangênan
laminipun/ ing kawandasa dina/ nanging dènya tapa nendra rowangipun/ lan
raja putri Cêmpala/ Kusuma Wara Srikandhi//
22. Praptanipun Madukara/ lêlungsine gusti ngguru jêmparing/ kang kinarya lesan
rambut/ sipat katingalêna/ lamun dalu kang winuruk gantya muruk/ Srikandhi
kang dados lesan/ kapat gata sabên ratri//
11
*B: terdapat lacuna huruf pada bacaan sebelumnya sehingga tertulis “nukma” 12
*B: terjadi kesalahan tulis pada naskah A, pada bacaan mula tertulis “Ongkawijaya”, penulisan
diawali dengan menggunakan aksara swara “O”
147
23. Gumujêng Rêtna Sumbadra/ gumêr sagung parêkan para cèthi/ sang dyah
angandika arum/ apa sakarsanira/ gustinira dènira nèng taman santun/ lan raja
putri Cêmpala/ pan ingsun ora sasêrik//
24. Nadyan silih sawinduwa/ anèng taman apa sakarsanèki/ Rarasati sira iku/ ing
batin dèn narima/ padha momong bae mring iki sutamu/ sokur banjura kagarwa/
ana rewang ngong ngladèni//
25. Rarasati matur nêmbah/ botên manah gusti kang sapuniki/ nadyan kramaa
rongatus/ inggih sokur kewala/ nanging dipunpasaja ing karsanipun/ gusti
dhumatêng paduka/ sampun mawi angilapi//
26. Kang dados ngungun kawula/ inggih rayi tuwan Wara Srikandhi/ […49]dene ta
putraning ratu/ Sêmbada yu utama/ bok inggiha ngupaya margi kang patut/
sasêmbèr-sêmbèranneya/ dhêstun anginggih-inggihi//
27. Bok sampun bêdhug kewala/ ngandhag-adhag gumledhag nyundêl anjing/
numbuk-numbuk soroh bathuk/ ngandêlake kang warna/ jêr si ayu dhèwèke lan
gustinipun/ hèh Sulastri yèn anaha/ iya pangajaning gusti//
28. Padha samêngko kewala/ ingsun larak tan atur praptèng pati/ binêbêka kadi
bubuk/ mring jêng pangran sun têmah/ iya saking panas-panase atiku/ Kusuma
Wara Sumbadra/ pangandikanira aris//
29. Sira iku bocah apa/ lamun ngucap nora nganggo pakering/ wuwus tan pantês
rinungu/ bok wis padha narima/ pan wus ana samangko lêlirunipun/ kang
minangka gustinira/ iya sutanira iki//
30. Aja na kang munasika/ mring jêng pangran13
kang lagya tapa guling/ tutuga
sakarsanipun/ lawan putri Cêmpala/ Rarasati Sulastri myarsa tumungkul/
kungkulan kang pangandika/ ing gusti sang raja putri//
31. Dadya kandhêg aturira/ Rarasati mring gustinya sru ajrih/ kunêng wau kang
winuwus/ ingkang lumampah nuksma14
/ êmbanira pramèswari Ngamartèku/ wus
prapta ing Madukara/ momor sagung […50]para cèthi//
13
*C: pada naskah A dan B tertulis “paran” 14
*B: pada bacaan sebelumnya tertulis “nukma”
148
32. Parêkan ing Madukara/ sadayanya tan ana grahitani/ lamun dinuta puniku/
mring gusti pramèswara/ tan kawarna laminira tigang dalu/ antuk warta kang
sanyata/ yèn Rêtna Wara Srikandhi//
33. Anèng taman Maduganda/ lan satriya Dananjaya pribadi/ yèn dalu karêm mong
lulut/ apan sahengga garwa/ yèn rahina gêguru pamanahipun/ lesan jêmparing
ning taman/ winulang ing saben ari//
34. Ing sawusira mangkana/ nulya wangsul yun matur marang gusti/ sigra-sigra
lampahipun/ wus prapta ing Ngamarta/ laju marêk ing ngarsane gustinipun/
dinangu saha turira/ dhuh gusti sang raja putri//
35. Rayi dalêm sang lir rêtna/ inggih èstu wontên Madukarèki/ langkung rêmit
sasabipun/ tan wontên kang uninga/ karsanipun nèng taman rayi pukulun/ mring
wong agung Madukara/ inggih gêguru jêmparing//
36. Sabên rahina winulang/ ing rayinta Madukara jêmparing/ makatên ing
karyanipun/ sampun samadya candra/ rayi dalêm sang lir rêtna ing genipun/
wontên taman Maduganda/ kinêkêr angurewèni//
X. SINOM
1. Narpadayita Ngamarta/ miyarsa aturing cèthi/ yayah sinipi dukanya/ kagagas
wiranging galih/ mring so-[…51]lahe kang rayi/ pramèswari têdhak gupuh/
marang ing Madukara/ mung lawan cèthi satunggil/ ingkang mêntas nuksma15
marang Madukara//
2. Miyos lawang bêbutulan/ mring raka tan mawi pamit/ ing marga datan winarna/
ing Madukara wus prapti/ jumujug taman sari/ asru dènya ndhodhog pintu/
Sêmar kagyat miyarsa/ sapa ta kang jaluk kori/ dhodhog lawang liwat tan
wruhing dêduga//
3. Mokal yèn ora ngrunguwa/ gustine lagi aguling/ age baliya kewala/ pramèswari
anahuri/ kakang Sêmar dèn aglis/ ingsun ingkang jaluk pintu/ Pramèswari
Ngamarta/ ngrungu lamun si Srikandhi/ anèng kene ingsun arsa katêmuwa//
15
*B: pada bacaan sebelumnya “nukma”
149
4. Ki lurah Sêmar miyarsa/ swarane kang minta kori/ yèn pramèswari Ngamarta/
Sêmar lumayu angênthir/ nêdya atur udani/ pramèswari rawuhipun/ satriya
Dananjaya/ duk mijil saking botrawi/ lurah Sêmar matur sarwi mêgap-mêgap//
5. Pukulun atur uninga/ punika rakanta prapti/ Narpadayita Ngamarta/ asru
dhodhog minta kori/ kawula jrih ngêngani/ sampun uninga pukulun/ lamun rayi
paduka/ Wara Srikandhi nèng ngriki/ pan ing wau linge arsa pêpanggiha//
6. Dananjaya duk miyarsa/ langkung pangungunirèki/ ciptaning tyas paran ba-
[…52]ya/ dadine lêlakon iki/ dene kongsi kapyarsi/ mring kang bok sapa kang
matur/ kakang paranrèhira/ bêcik êndi sun wêngani/ lawan ora Sêmar alon
aturira//
7. Èwêt lêlakon punika/ upami dipunwêngani/ sayêkti yèn dados gêndra/ tan wande
ulêng sang putri/ yèn botên dèn wêngani/ pramèswari yêkti matur/ mring raka
Sri Narendra/ mendah ta dukanirèki/ kadhatêngan putri tan atur uninga//
8. Satriya Andananjaya/ langkung ribêng jroning galih/ alon dènira ngandika/ ayo
kakang dèn wêngani/ kapriye gone mikir/ ing budi pan wus kabutuh/ Sêmar sigra
wangsulnya/ sinuruk mênga kang kori/ pramèswari sampun manjing jroning
taman//
9. Tumundhuk Sang Dananjaya/ mêndhak satêpining kori/ pramèswari mèsêm
lingnya/ yayi dhayohan sirèki/ arinta si Srikandhi/ nèng ngêndi sun arsa
pangguh/ Dananjaya aturnya/ wontên sakilèn botrawi/ kalangênan jêmparing
sampun saenjang//
10. Lajêng Sang Narpadayita/ Dananjaya mêdal jawi/ Sêmar asru aturira/ niku
radèn dhatêng pundi/ têka dadak ngesahi/ lêrêse radèn têtulung/ boten wande
punika/ ingkang rayi dèn gêbagi/ Dananja-[…53]ya gumujêng dènya ngandika//
11. Ingsun ngadoh bae kakang/ mrana kang rada andhêlik/ aja kongsi amiyarsa/
kakang bok dukanirèki/ sira bae ywa têbih/ ngintipa sajaban pintu/ lan si Bagong
ngawasna/ paran ta dadine mangkin/ Sêmar Bagong wangsul ngintip anèng
lawang//
150
12. Wau sang narpa dayita/ wus praptèng kilèn botrawi/ Wara Srikandhi tumingal/
mring raka kagyat tan sipi/ gupuh dènya mlajêngi/ tundhuk ngrangkul16
padanipun/ sarwi lara karuna/ kathah sêsambatirèki/ pramèswari alon dènira
ngandika//
13. Wis yayi aja karuna/ dèn aris payo alinggih/ sun arsa atakon warta/ kang dadi
lunganirèki/ liwat karya prihatin/ sokur wis padha rahayu/ kang rayi duk
miyarsa/ asrêp ing galih dinugi/ ingkang raka rawuhe tan mawi suka//
14. Kèndêl dènira karana/ aris wus tata alinggih/ rêtna Srikandhi turira/ milamba
angikis ratri/ saking praja tan mawi/ pamit ing rama myang ibu/ linamar ratu
sabrang/ jêng rama myang ibu sori/ sampun parêng nampèni panglamarira//
15. Satêmah amba pinêksa/ mila nuntên angesahi/ kawula lampus17
palastra/ laki
sabrang botên sudi/ prapta kawula ngriki/ duk lagya samadya tèngsu/ sampun
lami sêdyamba/ mriki angguru jêmpa-[…54]ring/ dhatêng rayi paduka ing
Madukara//
16. Kang raka mèsêm ngandika/ apa ta wis pintêr yayi/ gonira sinau manah/ turnya
pan sawêg sairib/ lamun lesan dhok pêking/ sagêd amba namung rêmuk/ lamun
rema mung pêgat/ pramèswari ngandika ris/ lah ta mara manaha sun arsa
wikan//
17. Lesane nulya pinasang/ rema lawan dhoging pêking/ sang rêtna mênthang
gandhewa/ lumêpas ingkang jêmparing/ dhoging kukila pêking/ kacundhuk
sanjata sumyar/ nulya rema pinanah/ pêdhot kataman jêmparing/ pramèswari
gumujêng dènya ngandika//
18. Yayi wus pintêr têmênan/ iya gonira jêmparing/ mara ingsun wurukana/
kapencut bisa jêmparing/ kaya rêrakit nèki/ nalika sira winuruk/ marang ing
kakangira/ kang rayi umatur aris/ gih suwawe kakang bok kawula wulang//
19. kang raka sampun ngaturan/ gandhewa lawan jêmparing/ kêndhênge sampun
pinasang/ kang rayi lênggah nèng wuri/ sarwi umatur aris/ dhuh kakang bok
16
*B: bacaan pada naskah A tertulis “ngrakul” 17
@C: bacaan pada naskah A dan B tertulis “lampu”
151
kula nuwun/ langkung saking digsura/ rakite mulang jêmparing/ mara yayi
ngarah apa wus sun sêdya//
20. Kang rayi sigra tur sêmbah/ ngrakêti pungkurannèki/ asta kanan sami kanan/
nyêpêng nyênyêping jêmparing/ gandhewa asta kering/ rakite kadya
angrangkul[…55]/ manglung jangga tumumpang/ anèng pamidhangannèki/ pipi
kering tumèmpèl ing pipi kanan//
21. Rakite kadya angaras/ ing ringing grana nèmpèli/ pangarasan ingkang kanan/
jaja karakêt ing gigir/ jêngkunira kêkalih/ mipit ing wêwangkong kukuh/ astanya
kering kanan/ pangrangkule angêpithing18
/ Rêtna Wara Drupadi kalangkung
duka//
22. Nulya mingêr dènya lênggah/ angajêngakên kang rayi/ sarywa dik laraping
netra/ mawinga winga mawêngis/ sarêng pêdhês dènya ngling/ dhuh lae sira
wong ayu/ nanging jaba kewala/ ing jro ulêrên wus bacin/ bêcik têmên
mangkono ing solahira//
23. Dudu solahe wong manah/ solahe wong nyundêl anjing/ jêjamahan kang wus
lanyah/ rênyuh nyunyur nyonyor nyanyir/ bok ya dèn idhêp ngisin/ kêpiye ta
pangrasamu/ mendah dene dhudhaa/ têka dadak sira bruki/ bojone wus sèwu
kaya warnanira//
24. Pageneya kanjêng rama/ wèh kadang mangkene iki/ dene jêng ibu tan ramban/
pêputra têka mêtoni/ sêmbèr lèwèrnya luwir/ ngêlonthe kongsi mathunthung/
ngadhag-adhag gêladhag/ pêdhot amamah kêndhali/ lumah-lumah wong lumuh
kinèn jêjamah//
25. Dene ta tinari krama/ kumayu[…56] minggat ing wêngi/ ingsun nyana tyase
nyata/ dènira lumuh alaki/ praptaning dèn si anjing/ têka nubruk numbuk-
numbuk/ ngêbruki kongsi babrak/ bêdhug wong wus duwe rabi/ angur oblo
maksih anduwèni wirang//
26. Manglulu mangala-ala/ Kusuma Wara Drupadi/ mring kang rayi dukanira/
saputing tyasnya tan sipi/ anjrit njungkêl ing siti/ tan panon ngrat idhêpipun/
18
*B: pada teks naskah A tertulis “angêpinging"
152
myarsa dukaning raka/ gumrêgêt Wara Drupadi/ ingkang rayi dyan ing ngukêl
remanira//
27. Apan sarwi jinêjêgan/ lan age minggata anjing/ Nadyan sira ngêlontheya/ goleka
liyan nagari/ aja gêgawa mami/ wus dangu pamalanipun/ ing usulkên saksana/
kang rayi mundur anangis/ minggah marang bot rawi nganthi sanjata//
XI. KINANTHI
1. Endhonge sinandhang sampun/ anèng gendhongan mathinthing/ gandhewa nèng
asta kiwa/ pantês wanguning prajurit/ raja putri ing cêmpala/ acancut ramping
tarincing//
2. Ingkang pinundhut puniku/ marang sang raja pinutri/ apan dudu panah lesan/
sanjata agêming jurit/ denira Sang Dananjaya/ aran sanjata dhadhali//
3. Mijil saking taman santun/ Kusuma Wara Srikandhi/ mêdal lawang bêbutulan/
wauta[…57] ingkang winarni/ narpa dayita Ngamarta/ sawêdale ingkang rayi//
4. Ngandika mring êmbanipun/ biyang timbalana aglis/ ariningsun si Sumbadra/
nikèn ban sigra lumaris/ manjing dalêm panggih lawan/ Kusuma Banoncinawi//
5. Nikèn êmban nêmbah matur/ kawula anggèr pinuding/ ing raka Narpadayita/
paduka dipuntimbali/ dhatêng taman Maduganda/ ing rakanta pramèswari//
6. Sang dyah miyarsa kumêpyur/ apata wus suwe bibi/ kang bok rawuhe nèng
taman/ nikèn êmban matur aris/ gusti sawêg sapunika/ sang kusuma mangkat
aglis//
7. Lampahe amagêr timun/ mêndat mêntul ngrêspatèni/ sêngkang lir lintang mèh
enjang/ gonèl-gonèl balêrêngi/ nadyan kathah wong lumampah/ nora padha lan
sang putri//
8. Sarwi ngêmban putranipun/ Sulastri lan Larasati/ tan kantun lan wurinira/
samarga pating jêrawil/ hèh Sulastri tingalana/ gustimu gènnya lumaris//
9. Rêspati angêmban sunu/ tindake nglêlêntrih lirih/ mêntas babar kasangsaya/
bonyoning sarira maksih/ wênês ijo amrêdapa/ liringe luruh alindri//
10. Tejane wênês sumunu/ kasor raras ruming sasi/ kaya rêmuk kêkanginan/ lah ing
êndi ana putri/ ingkang[…58]kongkulan ngakasa/ kang kasangga dening bumi//
153
11. Ana miribing gustimu/ Sulastri alon nauri/ lagi pangeran kewala/ wong agung
dhêmênyar yêkti/ karêm putri ing Cêmpala/ yèn mungguh pangrasa mami//
12. Nêmbah amung patutipun/ marang gustiku sang dèwi/ bok lawan sira kewala/
warnane Wara Srikandhi/ tambuh ingkang piniliha/ maksih pantês jajar
lingggih//
13. Wauta sang dyah wus rawuh/ salêbêting taman sari/ pramèswari ngawe sigra/
kene linggih ari mami/ lah ta êndi sutanira/ bagus têmên sun tingali//
14. Kang putra ngaturkên sampun/ anèng pangkon gya liniling/ sang rêtna mèsêm
ngandika/ bagus têmên bocah iki/ ruruh sêmune jatmika/ lan bapakne wus tan
têbih//
15. Pira yayi ngumuripun/ sang rêtna umatur aris/ kang bok kalih wulanira/ namung
kirang pitung ari/ Narpadayita ngandika/ bênêr mung kacèk sêsasi//
16. Sutanira ngumuripun/ lan si Pancawala yayi/ kakang adhine mèh kêmbar/
pasêmone mèh sairib/ hèh ta yayi praptaningwang/ marma njujug taman sari//
17. Njujuk mring ari nirèku/ iya Sri Wara Srikandhi/ lunga saka ing nagara/ tanpa
pamit ing ramaji/ nuli pasrah rakanira/ dadya ingsun angulari//
18. […59]Ingsung kongkon nyuluh nyuwuh/ katêmu arinirèki/ yèn ana ing
Madukara/ nuli ingsun anêkani/ jumujug ing tamanira/ wus panggih ingsun
dukani/
19. Mbuh ta mau paranipun/ lungane maksih anangis/ mbuh mulih marang
Cêmpala/ mbuh banjur minggata yayi/ Kusuma Wara Sumbadra/ miyarsa
ngungun tan sipi//
20. Nêmbah alon dènya matur/ punapaa dèn dukani/ kang bok pangraos kawula/
wontên Madukara ngriki/ sanadyan kalih winduwa/ apan dalême pribadi//
21. Datan wontên sanèsipun/ lawan ing Cêmpala nagri/ yèn kawula mêningana/
kang bok gèn tuwan dukani/ yêkti malang botên suka/ kesahipun saking ngriki//
22. Sêdya kawula pukulun/ têtêpa dadosa kanthi/ gumujêng Narpadayita/ iya sokur-
sokur yayi/ lamun mêngkana tyasira/ liwat panarima mami//
154
23. Lah wis ingsun pamit mantuk/ yayinya sutanirèki/ Wara Sumbadra tur sêmbah/
mbok inggih kèndêl rumiyin/ aso nèng dalêm sakêdhap/ pramèswari ngandika
ris//
24. Manawa dèn ayun-ayun/ mring rakanira sang aji/ goningsun mring Madukara/
nyolong bae nora pamit/ putra sampun tinampènan/ lajêng kondur pra-
[…60]mèswari//
25. Ki lurah Sêmar andulu/ yèn pramèswari wus mijil/ wauta Sang Dananjaya/
prapta angandika aris/ lahta priye mau kakang/ ing dadine si Srikandhi//
26. Apa nora ana mêtu/ iya saka taman sari/ Ki Lurah Sémar turira/ sayêktine lamun
maksih/ yèn kesaha saking taman/ wêdale kula udani//
27. Mung pramèswari kang kondur/ nanging kawula watawis/ sang rêtna sangêt
pinala/ kapyarsa dènira nangis/ paduka kang damêl dosa/ têka botên dèn
tulungi//
28. Mendah sakite tyasipun/ mring paduka sang suputri/ lahta dawêg dipunenggal/
linggih paduka rih-arih/ mupung maksih anèng taman/ Dananjaya ngandika ris//
29. Yèn age-ageya ingsun/ kakang nêmoni pribadi/ mêlang ingsun bok manawa/
maksih kabêranang runtik/ bêcik sira bae kakang/ ingkang nêmonana dhingin//
30. Dimène rèrèh tyasipun/ têkakna prasêtya mami/ dene ta padha wanodya19
›/
lawan kadange pribadi/ ingkang prapta anèng taman/ mulane ingsun lungani//
31. Yèn ta wonga liyanipun/ utawa lanang kang prapti/ aywa kang padha satunggal/
sanadyan sri narapati/ Ngamarta lan ing Cêmpala/ praptaa[…61]ing taman
sari//
32. Anggawa bakale mantu/ sawadyabalanirèki/ Sang Prabu Jungkung Mardeya/
ditya diyu myang rasêksi/ dèn bêka ing Madukara/ nora nêdya sun ginggangi//
33. Ajura dèn kumur-kumur/ sarambut datan gumingsir/ dene lamun sang kusuma/
keron tyasira ningali/ iya marang si Sumbadra/ jinaluk lunganirèki//
34. Aja sumêlang ing kalbu/ esuk sore sun turuti/ nora mada saking warna/ satuhu
ayu linuwih/ ing warnane si Sumbadra/ nanging atine tan bêcik//
19
› Terdapat interpolasi kelompok kata, kalimat sebelumnya berbunyi “dene padha wadon”
155
35. Bangêt lêngus wani kakung/ kongsi suwe anak siji/ lan ingsun anak pêpêksan/
saking tiwase tyas mami/ bêbutuhan wurungana/ ing budi ingkang nyondhongi//
36. Sêmar Jêngèk dènya matur/ niku radèn kadi pundi/ têka tombok Gustiningwang/
ingkang botên nika-niki/ sajagad masa ontêna/ brangta bêktine ing laki//
XII. ASMARADANA
1. Dananjaya ngandika ris/ wuwus lamis mung kinarya/ angenaki ati bae/ satus
putri ing Cêmpala/ masata kalakona/ ambuwang kang wus sêsunu/ lah ta wis
sira mangkata//
2. Sêmar pinêksa nuruti/ sampun lumêbêt ing taman/ ing wanci surup srêngenge/
lagya tanggal kaping tiga/ rêtna wa-[…62]ra Sumbadra/ samana lagyarsa
kondur/ kèndêl ningali mring Sêmar//
3. Dumuk-dumuk lampah nèki/ nguwuh mring putri Cêmpala/ sang dyah anggarjita
tyase/ wus nrêka lamun dinuta/ marang ing gustinira/ mring Rarasati lingnya
rum/ si Sêmar ika kang prapta//
4. Angulati si Srikandhi/ patute ika dinuta/ iya marang bêndarane/ Rarasati
saurana/ sira kang kêmbar swara/ kinongkon apa puniku/ nikèn Rarasati sigra//
5. Ngadêg ing ngarsa sang putri/ cumênthèng panguwuhira/ kakang sêmar kene-
kene/ bayata sira dinuta/ marang ingkang jêng pangran/ dene dadak cêluk-cêluk/
lurah Sêmar amiyarsa//
6. Mring swarane Rarasati/ dinuga putri Cêmpala/ dene sami cumêngklinge/ lurah
Sêmar sigra mara/ sarya sru aturira/ wontên jawi dalu-dalu/ puniki mundhut
punapa//
7. Kang mindha alon nauri/ iya ninis bae kakang/ kang rada isin nèng kene/ sarira
ingsun grah uyang/ Sêmar wus praptèng ngarsa/ ngulap-ulap alon matur/ dene
wau sru karuna//
8. Dipunnapakakên gusti/ ing raka Narpadayita/ kang minddha alon saure/ nora
kinapakkên kakang/ pan namung dinukanan/ kang dadi panangisingsun/ dene ta
tininggal lunga//
156
9. […63]Iya mring gustinirèki/ Sêmar alon aturira/ kawula niki kinèngkèn/ ing
rakanta jêng pangeran/ marang kèn prasêtyanya/ milane rakanta wau/ inggih
ngêsohi kewala//
10. Rawuhipun pramèswari/ dene priyayi wanodya/ wah kadang paduka dhewe/ yèn
priyaa ingkang prapta/ sayêkti katandangan/ sanadyan rakanta prabu/ ing
Amarta ingkang prapta//
11. Sayêktine dèn tanggoni/ miwah ramanta Cêmpala/ bêktaa badhe mantune/ ing
sabrang Jungkung Mardeya/ sabalane sadaya/ ditya Rasêksa myang diyu/ dèn
kèbêka Madukara//
12. Boten nêdya dèn ginggangi/ rangkêpa sayuta ngarsa/ tan gumingsir aprang
tanggon/ dene lamun tyas paduka/ sungkawa dèrèng rêna/ botên kêrsa kinêmaru/
lan Dèwi Wara Sumbadra//
13. Sampun sumêlang ing galih/ pan inggih samangsa-mangsa/ rakanta ing
pambucale/ dhasare wus lami dènya/ puwas marang kang garwa/ botên mada
warnanipun/ tuhu yèn ayu utama//
14. Nanging winada ing galih/ lêngus wani marang priya/ kang dados botên
condhonge/ malah ingkang pangandika/ dene ngantos pêputra/ satunggal ing
dadosipun/ pêpêksan ing galihira//
15. Lamine ngantos samangkin/ tinaksihakên kagarwa/ pan inggih saking dèrènge/
antuk kang condhonging karsa/ ing mang-[…64]ke mung paduka/ ingkang
dados/ condhongipun/ marma sih anrus ing driya//
16. Rarasati duk miyarsi/ ing ngampêt tyase tan kêna/ kadya sinêntak guyune/ iku
apanyata kakang/ mangkono jêng pangeran/ wus puwas mring garwanipun/
condhongingtyas mung maringwang//
17. Sih trêsna ing lair batin/ Sêmar umatur supata/ botên watak gawe-gawe/ lah ta
mangke ta takona/ yèn panggihan priyangga/ manawi dora tur ulun/ Rarasati
latah-latah//
18. Gya jinawil saking wuri/ mring Dèwi Wara Sumbadra/ winisik ing sêsaure/
Rarasati sawusira/ winisik gya ngandika/ iya kakang yèn satuhu/ mangkana
linge jêng pangran//
157
19. Prasêtyane marang mami/ nuli sira aturana/ sun arsa miyarsa dhewe/
pangandikane jêng pangran/ Sêmar umatur sagah/ inggih masthi mangka rawuh/
sampun tuwan kesah-kesah//
20. Kula turane tumuli/ raka paduka pangeran/ Rarasati lon dêlinge/ iya nuli
aturana/ kakang sira sun ganjar/ lah iki sêsupeningsun/ mirah rêga sèkêt reyal//
21. Sêmar gupuh anampèni/ mundur sarwi lênggak-lênggak/ Samarga-marga
sêsêndhon/ Kusuma Wara Sumbadra/ alon dènya ngandika/ Rarasati nya
sutamu/ gawanên ngiwa marana//
22. Ring-aringana kang bêcik/ ing mêngko kalamun prapta/[…65] ingsun têmonane
dhewe/ priyayining Madukara/ kêpriye prasêtyanya/ kang putra tinampan
sampun/ mring Rarasati ing êmban//
23. Lan Sulastri mundur aglis/ ngiwa marang pojok bata/ sang rama miranti gone/
jumênêng sor naga puspa/ lagya tanggal ping tiga/ sangandhaping naga santun/
radi pêtêng sawatara//
24. Tan pramana aningali/ nanging grêmênge katara/ pupusên wau lampahe/ ki
Lurah Sêmar wus prapta/ ing ngarsanira radyan/ wus katur saaturipun/ solah
tingkahe dinuta//
25. Dènya manggihi sang putri/ rahadyan saka miyarsa/ kaya pa mau dêlênge/ raja
putri ing Cêmpala/ apa nora sungkawa/ ki Lurah Sêmar umatur/ tingale sae
kewala//
26. Mila radyan dèn aturi/ têdhak soring naga puspa/ kêdah miyarsakên dhewe/
kang dados janji paduka/ mring kula tan pracaya/ Dananjaya sukèng kalbu/
sigra dènira tumêdhak//
27. Lumêbêt ing taman sari/ jujug soring naga puspa/ tan taha-taha galihe/ wus
pasthi putri Cêmpala/ kang jumênêng katingal/ nèng soring naga santun/ lajêng
pinondhong kewala//
28. Rinungrum ing arih-arih/ pan sarwi ing ngras-aras/ gusti mirah ingsung anggèr/
intên-intêne pun kakang/ ingkang sawang kumala/ apuranên dasihipun/ dahat
cidra ing ubaya//
158
29. Mar-[…66]mane ingsun lungani/ rawuhe Narpadayita/ dene ta priyayi wadon/
yèn lêlananga kewala/ aywa ingkang satunggal/ sanadya satusan èwu/ dèn
kèbêkan Madukara//
30. Nora sêdya sun ginggangi/ dhuh anggèr pan ora dora/ si Sêmar mau ature/
sayêkti lamun sakingwang/ ngaturakên prasêtya/ mring kusuma jiwaningsun/
anjanma akaping sapta//
31. Tan nêdya mulat dyah malih/ ngamungna sang lir kusuma/ kang asih marang
dasihe/ Kusuma Wara Sumbadra/ nalikane miyarsa/ yèn ingkang raka satuhu/
dènya ngungkurakên trêsna//
XIII. PANGKUR
1. Murub kadya binêranang/ datan kêna ingampêt tyasirèki/ miyarsa lingirèng
kakung/ dahat anglêsing driya/ lir tinunjêl ing sela tinotog alu/ pêdhês wêngis
wuwusira/ dhuh babo wong apa iki//
2. Jumujug prapta angêmban/ singa katon tan nganggo dèn tingali/ mondhong
dudu bedhangipun/ nora ngrasa sêmayan/ rinarêpa manawi mangke kaliru/ kula
dede lonthe dika/ ngêpithing kaya tan gêthing//
3. Angaras nora nganggo was/ bok dèn awas wuwuse ngasih-asih/ apa wuwus
nguwus-uwus/ age dika udhuna/ Dananjaya miyarsa kagyat kalangkung/ wruh
kaliru ingkang garwa/ nulya ing ngudhunkên lirih//
4. Satriya Andananjaya/ pan […67]anglênggêr merangi tyas tan sipi/ lêngêr-lêngêr
sèwu ngungun/ sakêthi nora nyana/ yèn kang garwa dhêlêg-dhêlêg joto jêtung/
datan kêna angandika/ sang rêtna wêngis dènya ngling//
5. Lah dawêg age ulihna/ awak kula mring nagri Dwarawati/ prapta kawula
rumuhun/ apan botên nênêka/ mara dhewe soroh badan nubruk-nubruk/
ngêbruki wong Madukara/ margane dika parani//
159
6. Ing mangke dika wus puwas/ inggih ulihêna kang klawan20
bêcik/ sampun mawi
nguwus-uwus/ sayêkti tanpa tuwas/ ngawètakên mring wong lawas bêngus
lêngus/ dhoso wani marang priya/ marma ulihna dèn aglis//
7. Botên nyênyukêri tingal/ yèn awèta kawula wontên ngriki/ nyênyampuri mring
wong agung/ karya nisthaning praja/ pantês dika kang timbang sayêkti namung/
raja putri ing Cêmpala/ bapa raja ibu sori//
8. Botên wontên kang kuciwa/ satriyadi akrama putri adi/ sêmbada bêkti ing
kakung/ beda lawan kawula/ ala rupa têtampikan ora payu/ lêngus wani marang
priya/ tan wruh kanisthanirèki//
9. Sumêngka angangka-angka/ nistha papa anyèthi mring wong singgih/ kaniaya
kakang prabu/ têka sêsoroh kadang/ têmahane mung dèn anggêp raganingsun/
bêbutuhan têtambalan/ aji wong anyun-[…68]dêl anjing//
10. Langkung garês wuwusira/ sang kusuma saking gêrusing galih/ ngoso-oso
nguwus-uwus/ mangundhat ngundhamana/ Dananjaya èbêg tyasira kalangkung/
miyarsa linge kang garwa/ sèwu susah sèwu sêdhih//
11. Angrasa ing lêpatira/ langkung saking rêrêpa ngasih-asih/ apuranên biyang
kulub/ sakèhe luputingwang/ pan wus nyata lamun ingsun sèwu luput/ nanging
biyang kulup aja/ sira trusakên ing galih//
12. Wuwus lamis mung sun karya/ angenaki atine si Srikandhi/ sakêthi ya
warnanipun/ kaya putri Cêmpala/ masa dadak kalakona raganingsun/
ambuwang kang wus sêsuta/ rewang ngong sapati urip//
13. Apa kang sira tamakna/ yèn nêdyaa cidra prasêtya mami/ ing nguni marang
sirèku/ bêbênduning jawata/ suralaya kabèh nampêka maringsun/ manawa darbe
panyipta/ ambuwang mring sira gusti//
14. Rowang ngong salara lapa/ kongsi prapta ing ari loka benjing/ tulus sarèntèng
rêruntung/ kusuma lawan sira/ gêgandhèngan aywana kang nyandhang-
nyandhung/ gustinya mung nalaningwang/ sang rêtna asru ambêkis//
20
Terdapat interpolasi kata, yakni bertuliskan “kala”, diasumsi kata “kalawan” untuk pengganti frasa
“kang klawan”
160
15. Dhuh ewa têmên wakingwang/ amiyarsa wuwus kinarya lamis/ lan ewa têmên
wakingsun/ mring kang tuhu ngubaya/ dene kaya wong alali raganingsung/ têtêp
mantêp ing[…69]prasêtya/ mung nêdya utamèng laki//
16. Sanadyan rabia sasra/ suka lila ing lair trus ing baitn/ wus sun sêdya momong
maru/ narima dadi tuwa/ ciptaningsun anjanma kaping sèwu/ tulus saha ngèstu
pada/ marang sariranirèki//
17. Tan wruh kinarya butuhan/ Dananjaya ngrêrêpa ngasih-asih/ dadiya ndhêg
amun-amun/ lamun duweya cipta/ kêlap-kêlap marang sira biyang kulup/ utawa
nganggêp butuhan/ lêbura padha saiki//
18. Sang dyah gabêr saurira/ dhuh-dhuh adhuh mambu wong tuhu janji/ inggih
sukur lae sukur/ botên nganggêp butuhan/ mring kawula sih trêsna anrusing
kalbu/ kula inggih tur prasêtya/ sanadyan nèng Dwarawati//
19. Botên ginggang ing panyipta/ gèn kawula marêkan anyênyèthi/ marang paduka
wong agung/ pisah ngriki kewala/ ing dêlahan taksih asariraningsun/ angèstu
pada paduka/ wus narima lair batin//
20. Amomong anak pêpêksan/ nanging sampun tunggil lan wontên ngriki/ karya
nisthaning wong agung/ inggih benjang kewala/ nèng dêlahan taksiha karsa
maringsun/ anganggêp cèthi butuhan/ Dananjaya duk miyarsi//
21. Aturing garwa mangkana/ ngêrês-êrês nanging nggarês tan sipi/ sang saya
ribêng tyasipun/ aris dènya ngandika/ dhuh bok[…70] aja mangkana ta biyang
kulup/ yèn kongsiya sira tinggal/ baya wurung wong wak mami//
22. Marang ngêndi paranira/ aja ingkang marang ing Dwarawati/ lumêbuwa gêni
murub/ ambyar têlêng samodra/ ingsun masa kariya sayêki milu/ kusuma
saparanira/ marang ngêndi sun tutwuri//
23. Mati urip aja pisah/ lawan sira Dananjaya mrêpêki/ kang garwa arsa sinambut/
nanging sampun prayitna/ pinrêpêkan mundur lajêng dènya kondur/ Sang Parta
maksih tut wuntat/ sang dyah nguwuh Rarasati//
24. Hèh Rarasati prènèkna/ sutanira sun bane pribadi/ putra ing ngaturkên sampun/
ngêmban sarwi lumampah/ pan ing ngoso-oso rahadyan sru muwun/ Dananjaya
angandika/ kene kulup milu mami//
161
25. Lah biyang kulup prènèkna/ sun êmbane dimène mari nangis/ sang dyah wêngis
sauripun/ lae anak pêpêksan/ yun ingêmban mring wong agung mênèk nguyuh/
wontên ngêmbanan paduka/ masa wandeya binanting//
26. Lah ta dene iku bocah/ nèng ngêmbanan dadak nganggo anangis/ sun kapakake
sirèku/ kaya wong dèn la-ela/ ngadi-adi budi dadak ngadu-adu/ bayi dadimu
pêpêksan/ bok iya dèn nglara ati//
27. Wus manjing dalêm sang rêtna/ miwah Rarasati lawan Su-[…71] lastri/ sang
dyah dènya nutup pintu/ ingantêp lir pêcaha/ wus kinunci Dananjaya kèndêl
mangu/ myarsa tangise kang putra/ cinêblèk anjêrit-jêrit//
28. Bingung tyasira Sang Parta/ sigra wangsul sang martibaning runtik/ Lurah
Sêmar kang kawuwus/ marang ing warung jajan/ sêsupene mirah kang kinarya
urup/ sêkul lawan pêpanganan/ Bagong anggung dèn pêpingin//
29. Dènya linggih têngah nglawang/ ambrêgagah sêgane dèn kakahi/ ngipit-ipit
dènya muluk/ lamun wus sapulukan/ nulya kèndêl nyawang pêpangananipun/
kapundhung kuwèni nangka/ Bagong anggung dènya ngrintih//
30. Dhuh ki rama bok iyaa/ ingsun jaluk sêga iwak sathithik/ lah mosok êntèka iku/
samana sira pangan/ eman-eman dadi wadhang pasthi mambu/ rama angur sun
pangana/ Sêmar njêngèk anauri//
31. Lah ambungên tanganira/ mambu apa têka sae si anjing/ jaluk sêga arsa muluk/
dudu sêga jalukan/ sira jaluk dene têka enak-enak/ sipunuk datanpa ngrasa/
mundura aja ngrêgoni//
XIV. DURMA
1. Bagong mêksa ngrêrêpa panjalukira/ Sêmar maksih mêmengin/ Dananjaya
prapta/ ngadêg nèng wurinira/ sinêndhal kuncungirèki/ tiba kalumah/ lajêng dèn
uncit-uncit//
2. […72]ginitikan gupuh angrukêbi pada/ sêgane kocar-kacir/ panganane wutah/
Bagong suka abungah/ panganane dèn kukubi/ sega wus wutah/ kètès awor lan
siti//
162
3. cikrak-cikrak Bagong sarwi amêmangan/ impènku21
mau bêngi/ tinêmune boya/
katone mangan tinja/ nangka madu baya iki/ lêgi lir gula/ Sêmar nangis
angrintih//
4. Bagong ngèngèhana nangkane kewala/ Bagong ginuyu bêlik/ iki pêlêm ganda/
lêgi wangi kalintang/ Sêmar jêlèh dènya nangis/ pêlême ganda/ ngèngèhana
sathithik//
5. Bagong nyêntak dene kobêre si gêrang/ nangis akon ngèngèhi/ pêlêm lawan
nangka/ gusti niku si murka/ sudhètên wêtênge aglis/ atine ala/ kumêde
nglêliwati//
6. Iya bagong patine mêngko kewala/ sun laranane dhingin/ dosane wus katrap/
gawe sakêthi wirang/ iya marang awak mami/ urip karyapa/ wus sêdhêng dèn
patèni//
7. Sêmar myarsa kèndêl dènira karuna// ngrêrêpa matur aris/ nggih mangke
bêndara/ sanadyan patènana/ dika tuduhake dhingin/ dosa kawula/ Dananjaya
ngling wêngis//
8. Pageneya sira ngloropakên ingwang/ mau tuturirèki/ putri ing Cêmpala/ anèng
sor naga puspa[…73]/ iya gone angêntèni/ banjur sun êmban/ ngandêl marang
sirèki//
9. Dene têka/ jêbul biyang kulup iki/ nêpsune nglêliwati/ si kulup pinala/ malah
ikarsa lunga/ mulih marang Dwarawati/ margane sira/ kang nglorobkên ing
mami/
10. Liwat karya sèwu sêdhih sèwu wirang/ Sêmar duk amiyarsi/ andikane radyan/
matur sarwi karuna/ yèn puniku dosa mami/ amung tinrêka/ nglorobakên ing
gusti//
11. Wong wis tuwa cadhok duwe lara mata/ wus pêtêng wayah nèki/ pantês kalirua/
saking nora waspada/ balikan radèn pribadi/ kaya wong tuwa/ andadak tumut
pangling//
21
*B: terdapat lacuna huruf pada bacaan sebelumnya tertulis “ipèn”
163
12. Nadyan silih nora waspada warnanya/ saking pêtêng wus wêngi/ dene wus dèn
êmban/ têka boten angrasa/ grayange pasthi katawis/ masa panglinga/ mring
garwane pribadi//
13. Dananjaya mèsêm aris angandika/ kakang Sêmar ya uwis/ bênêr saking sira/
ingsun kang kaluputan/ Sêmar anjrit nibèng siti/ agêgulungan/ saya sru dènya
nangis//
14. Sarwi ngundhut–undhut ngundhamana ingkang/ wus seda nguni-uni/ adhuh
gustiningwang/ ya Sang Manumayasa/ Bagawan Sakutrêm Sakri/ Sang
Parikênan/ rêsi Palasara ji//
15. Gustiningsun prabu Pandhu Dewanata/ kang asih marang dasih/ gusti
tingalana/ dasihe […74] kawlas arsa/ sabên dina dèn gitiki/ mring putra dika/
kula tan sagêd kari//
16. Inggih pintên turunan pamomong kula/ dèrèng nate nglampahi/ katibanan sada/
ing ngugung dèn la-êla/ lamun turu dèn kêbuti/ lamun lêlungan/ saparan dèn
payungi//
17. Pêpanganan apa sadoyanan ingwang/ tinêkan dèn pancèni/ ing mangke tinilar/
kinèn momong kang putra/ kêrênge anglêliwati/anggung pinala/ age gawanên
mami//
18. Botên bisa kula momong putra dika/ Sang Parta ngrês anggalih/ wis kakang
mênênga/ nya iki tampanana/ sêsupeningsun hèr thathit/ sèwu rêganya/ sun
paringkên sirèki//
19. Lurah Sêmar nampèni sarwa karuna/ masa Mênênga mami/ yèn
pangananingwang/ durung bali maringwang/ Dananjaya ngandikaris/ Bagong
balikna/ besuk ingsun lironi//
20. Bagong matur sampun têlas kula têdha/ Sêmar matur sarya njrit/ maksih kula
ninga/ kinandhut kantun nangka/ Bagong wuwuse masisil/ edan si picak/ têka
maksih udani//
164
21. Nangka kari sathithik anèng kandhutan/ binalangakên22
aglis/ Sêmar lenggak-
lenggak/ sarwi amangan nangka/ Dananjaya ngandikaris/ lah payo kakang/ sira
dêdana aglis/
22. Anututi marang putri ing Cêmpala/ kakang panduga mami/ sang rêtna
wus[…75] lunga/ mêtu saka ing taman/ putri lumaku pribadi/ watir manawa/
nêmu pakewuh margi//
23. Sêmar Bagong umatur dawêg dèn enggal/ Dananjaya nulya glis/ minggah
yasakambang/ ningali sanjatanya/ dhadhali datan kaèksi/ sampun anduga/ yèn
binêkta sang putri//
24. Dadya mundhut sanjatanya Sarotama/ sampun binêkta mijil/ lajêng lampahira/
satriya Dananjaya/ Sêmar Bagong atut wuri/ radyan amatak/ paganda wruhing
margi//
25. Ingkang kambah marang putri ing Cêmpala/ gandane pan katawis/ kunêng kang
winarna/ wauta lampahira/ Kusuma Wara Srikandhi/ wus byar rahina/ praptèng
madyèng wanadri//
26. Anêrajang barisanira rasêksa/ têtindhihe bupati/ Wil Kala Pradêksa/ ditya
Paranggubaja/ kagyat non putri lumaris/ datanpa rowang/ warnanira lir sasi//
27. Wus anduga lamun putri ing Cêmpala/ matag wadyanira glis/ ngêpung
amêlawang/ sigra kala pradêksa/ mrêpêki marang sang putri/ arsa têtanya/ sang
dyah mênthang jêmparing//
28. Wil Pradêksa kèndêl mangu lampahira/ têtanya saking têbih/ hèh sintên paduka/
lumampah tanpa rowang/ wanodya ayu linuwih/ tan wruhing samar/ lêlaku nèng
wanadri//
29. Rêtna Wara[…76] Srikandhi aris saurnya/ aja tambuh sirèki/ sun Putri
Cêmpala/ Wil Pradêksa miyarsa/ sukèng tyas asru tur nèki/ dhuh gustiningwang/
bêgja têmên wakmami//
30. Pun kawula abdine raka paduka/ Paranggubarja nagri/ Sri Jungkung Mardeya/
dinuta angupaya/ ing gusti sang raja putri/ mangke kapanggya/ samadyaning
wanadri//
22
Terdapat interpolasi “nga”
165
31. Lah suwawi kula dhèrèkkên paduka/ mring Sawojajar gusti/ nitiha jêmpana/
Sang dyah rêngu ngandika/ lah apa ucapirèki/ arsa anggawa/ marang sarira
mami//
32. Dene enak-enuk wuwuse gumampang/ basakakên raka ji/ hèh buta lungaa/ aja
na ngarsaningwang/ yên sira nora lunga glis/ yêkti sun panah/ wil pradêksa
miyarsi//
33. Latah-latah sarwi ngungalakên jaja/ dawêg gusti dèn aglis/ paduka tibakna/
abdine titir tatal/ dinadar ing rakanta ji/ gêret lumêpas/ dhadhali kadya thathit//
34. Wil pradêksa kacundhuk janggane pagas/ gumêbrug tibèng siti/ wadyanya
tumingal/ yèn punggawane pêjah/ gumuruh sarêng dènya ngrik/ mara kumêrab/
sêdyambyuk angêbyuki/
35. Ingkang anèng ngarsa kèh rampas kapapas/ ing sanjata dhadhali/ kêparêng
praptanya/ satriya Da-[…77]nanjaya/ kagyat mulat ing sang putri/ rinêbut ing
prang/ ditya lawaning jurit//
36. Sang kusuma tan owah saking gènira/ têtêg tatag têrampil/ wêsating sanjata/
Dhadhali nêngên ngiwa/ mangarsa susun ngênèni/ ditya kèh pêjah/ tuhu putri
prajurit//
37. Dananjaya nguculakên Sarotama/ mêtu muntab nampêki/ ing ditya suh sirna/
Sang dyah ngungun tumingal/ sirnane mungsuhirèki/ saking sanjata/ nyambêri
kadya pêksi//
XV. DHANDHANGGULA
1. Sang kusuma anolih ing wuri/ aningali yèn Sang Dananjaya/ ingkang nglêpasi
panahe/ mapalar kadya manuk/ sang kusuma ewa ningali/ kagagas merang ing
tyas/ lajêng lampahipun/ Sang Parta maksih tut wuntat/ saking têbih datan arsa
marêpêki/ lamun cêlak lampahnya//
2. Sang kusuma gya mênthang jêmaring/ dadya Sang Parta nêbih kewala/
ngêtutakên saparane/ cinêdhuk lampahipun/ sang kusuma pan sampun prapti/
nagari ing Cêmpala/ Dananjaya wangsul/ anèng sajawining kitha/ de sang rêtna
wus manjing jroning nagari/ ilang kuwatirira//
166
3. Tan kawarna solahirèng margi/ Dananjaya cinatur wus prapta/ ing Madukara
lampahe/ ningali garwanipun/ mak-[…78]sih sangêt rênguning galih/ tan kêna
pinrêpêkan/ dadya siyang dalu/ anèng Pandhawa kewala/ pan anganthi lilihe
garwanirèki/ kunêng gantya winarna//
4. Sakundure kusuma Drupadi/ saking Madukara sru sungkawa/ anggung ginagas
galihe/ kang rayi solahipun/ dahat merang marang ing laki/ datan arsa matura/
ing raka sang prabu/ antara ing catur dina/ prabu Yudhistira anggarjitèng galih/
kang garwa sungkawanya//
5. Dadya Nikèn êmban dèn timbali/ pan dinangu kang dadya purwanya/ ingkang
garwa sungkawane/ ni êmban aturipun/ amiwiti malah mêkasi/ nalika têdhakira/
anilingkên laku/ mring Madukara dêduka/ mring kang rayi Kusuma Wara
Srikandhi/ anéng taman pinala//
6. Prabu Yudhisthira duk miyarsi/ turing êmban langkung dukanira/ sang Prabu
nimbali age/ Radyan Nangkula sampun/ praptèng ngabyantara narpati/ asru
dènnya ngandika/ Nakula dèn gupuh/ timbalana kakangira/ Madukara sabojone
aja kari/ lan sabocahe pisan//
7. Watês lurah sapandhuwur yayi/ aja kari kabèh timbalana/ Nakula sandika ture/
mijil saking kadhatun/ radèn laju lampahirèki/ lêlancaran kewala/ […79]kang
umiring namung/ panakawan kalih wêlas/ tan kawarna ing margi pan sampun
prapti/ nênggih ing Madukara//
8. Manjing ngregol Nakula ningali/ mring kang raka lênggah nèng Pandhawa/
dhêkukul ngrangkul jêngkune/ Sêmar bagong nèng ngayun/ lan Sucitra kang
datan têbih/ sigra radèn Nakula/ mring raka umundhuk/ Sang Parta kagyat
tumingal/ mudhar asta kang rayi wus kinèn linggih/ Nakula matur nêmbah//
9. Dhuh kakang mas punapa prihatin/ lênguk-lênguk lênggah nèng pandhapa/
sarwa angrangkul jêngkune/ punapa grah pukulun/ lir gêgêtun tingalirèki/
Dananjaya ngandika/ yayi nora anglu/ prihatin yayi ya ora/ amung rada krêkês-
krêkês awak mami/ mau bêngi wiwitnya//
10. Dyan Nakula umatur wot sari/ dhuh kakangmas kawula dinuta/ paduka
ngandikan age/ ing rakanta sang prabu/ lan sagarwa putra myang abdi/ pra
167
mantri miwah lurah/ sampun wontên kantun/ Dananjaya lon ngandika/ iya yayi
dene gonira nimbali/ sarta lan bakyunira//
11. Bocah namung lurah para mantri/ liya yayi ingkang tinimbalan/ apa kang dadi
karsane/ Nakula nêmbah matur/ kangmas kula botên udani/ kang dados
karsanira/ rakanta sang prabu/ ananging dènira dhawah/ tingali-[…80]pun
kakangmas kalangkung runtik/ Dananjaya ngandika//
12. Ya sandika yayi atur mami/ nanging bakyumu masa bodhowa/ yayi dhawuhana
dhewe/ Nakula nêmbah matur/ mila kang mas têka nyelaki/ mring kang bok
paran ingkang/ dados wadinipun/ kang raka mèsêm ngandika/ satêmêne ingsun
lagi padu yayi/ iya lan bakyunira//
13. Kongsi mêngko maksih muring-muring/ mulaningsun wêdi katêmua/ Nakula
latah ature/ wau kumbi kalangkung/ botên ngakèn lamun prihatin/ mangke têmah
pasaja/ lamun lagya padu/ inggih kawula piyambak/ kang dhawuhkên timbalane
Sri Bupati/ paduka siyagaa//
14. Iya yayi matura pribadi/ mring bakyumu wuri sun siyaga/ Nakula tur Sêmbah
lèngsèr/ lumêbèng dalêm agung/ panggih lawan sang raja putri/ wus tata samya
lênggah/ Nakula umatur/ kakang bok kula dinuta/ inggih dhatêng raka paduka
sang aji/ paduka tinimbalan//
15. Asarênga lan salampah mami/ Rêtna Wara Sêmbadra ngandika/ yayi apa ingsun
dhêwê/ tinimbalan sang prabu/ Dyan Nakula umatur aris/ raka paduka kangmas/
inggih botên kantun/ saabdine tinimbalan/ ingkang nama lurah miwah para
mantri/ dhuh kang bok[…81] ulun tanya//
16. Dene kangmas sangêt dènya ajrih/ andhawuhi dhatêng ing paduka/ kula kinèn
panggih dhewe/ punapa padosipun/ sang dyah mèsêm dènya nauri/ kangmasmu
lagi duka/ marang raganingsun/ buh kang dadi luput ingwang/ wus sapasar
dènya tan sudi kapanggih/ iya lan raganingwang//
17. Sru gumuyu nakula miyarsi/ padha bae jaba ya mangkana/ kakang mas ing
pangakune/ lagya sinêrêng bêndu/ mring kakang bok wêdine panggih/ gumêr
saguh pawongan/ sang dyah ngandikarum/ lah iya yayi sandika/ ingsun dandan
antinên nèng jaba dhingin/ Nakula nulya mêdal//
168
18. Dananjaya sampun marentahi/ mring Sucitra caosa jêmpana/ sarta lan
sajajarane/ sadaya samêkta wus/ kawan dasa kang para mantri/ salawe para
lurah/ andhèr ngarsaningsun/ kusuma Wara Sumbadra/ nulya mijil ginarêbêg
para cèthi/ sampun nitih jêmpana//
19. Rarasati kalawan Sulastri/ ingkang nunggal sajroning jêmpana/ radèn putri
sakawane/ binudhalkên rumuhun/ kawan dasa ingkang jajari/ wong kaputrèn
sadaya/ upacara ngayun/ nunggil sagunging pawongan/ Dananjaya dharat
anèng wuri têbih/ lawan sa-[…72]abdinira//
20. Kawan dasa ingkang para mantri/ lurah slawe adharat sadaya/ wêlas asih ing
lampahe/ songsonge maksih mingkup/ miwah upacara tan mawi/ dadya Radèn
Nakula/ lan sawadyanipun/ belani dharat sadaya/ sampun prapta Ngamarta
sang raja putri/ lajêng manjing jro pura//
21. Dananjaya kèndêl srimanganti/ lajêng ingêrès sabalanira/ pinundhut kêrise
kabèh/ horêg sapraja ngrungu/ ing dukane sri narapati/ mring kang rayi tan ana/
wruh ing wadinipun/ Wrêkodara datan bisa/ umatura miyat dukaning raka jrih/
dadya kèndêl kewala//
22. Gathotkaca tinimbalan prapti/ ing Amarta ing sawadyanira/ langkung sami
sungkawane/ datan kenging kapangguh/ mring kang paman dipunawêri/ Santana
para putra/ sadaya tan sinung/ pêpanggih lawan Sang Parta/ dadya sanagara
wuyungan gung alit/ kunêng gantya winarna//
23. Nênggih sang prabu ing Dwarawati/ dahat onêng mring nata Pandhawa/ wus
budhal saking prajane/ nitih rata sang prabu/ Arya Wrêsniwira kang ngiring/
radèn Samba pinatah/ lan Udawa kantun/ ing marga datan winarna/ lampahira
Sang Aprabu Arimurti/ praptèng nagri Ngamarta//
24. Prabu Darma pu-[…83]tra umijil/ saking pura mêthuk ingkang rama/ lan para
ri sadayane/ tundhuk nèng siti luhur/ nêng-onêngan sang prabu kalih/ pra sami
rêrangkulan/ sawusira laju/ lumampah kakanthèn asta/ prabu Padmanaba23
mèsêm aningali/ kang anèng sri mangantya//
23
*B: naskah A tertulis “Papmanaba”.
169
25. Dananjaya sawadyanirèki/ kinênthêngan tan ana dhuwungan/ sampun kadugi
ing tyase/ wus rawuh jro kadhatun/ tata lênggah sang prabu kalih/ Wrêkodara
tan têbah/ munggèng ngarsanipun/ miwah Nakula Sadewa/ Wrêsniwira jajar lan
Sang Bimasiwi/ Sang Prabu Darmaputra//
26. Sangêt noraga aturirèki/ dhuh pukulun sami karaharjan/ kang tinilar sadayane/
garwa tanapi sunu/ nata Krêsna umatur aris/ inggih sami raharja/ sadaya kang
kantun/ ingkang wontên ing Aamarta/ kadang kula punapa sami basuki/ tan
wontên manggih Brangta//
XVI. ASMARADANA
1. Sri Yudhisthira turnya ris/ pan inggih sami raharja/ rayi tuwan sadayane/ Sri
Maha Narendra Krêsna/ alon dènya ngandika/ tingal kula yayi prabu/ punika
kirang satunggal//
2. Ki ipe botên kaèksi/ Sri Yudhisthira turira/ inggih sawêk kula êrès/ punika nèng
srimangantya[…84]/sarencangipun samya/ Narendra Krêsna gumuyu/ punapata
dosanira//
3. Dene ta ngantos amanggih/ dêdukane yayi nata/ Sri Yudhisthira ature/
dosanipun katamuwan/ rayi tuwan Cêmpala/ pun Srikandhi dhatêngipun/ pan
sampun samadya candra//
4. Botên mawi tur udani/ inggih dhumatêng kawula/ pun Srikandhi ing dhatênge/
rama paduka Cêmpala/ sampun paring uninga/ pun Srikandhi kesahipun/ ing
dalu nis saking pura//
5. Kang dados purwanirèki/ linamar ratu ing sabrang/ pinêksa sangêt lumuhe/
têmah kesah saking pura/ ing dalu tan wêwarta/ kantos samangke pukulun/ ratu
ing Paranggubarja//
6. Sabalane tugur maksih/ masanggrahan Sawojajar/ angêntosi pinanggihe/ balane
samya sinêbar/ miwah wadya Cêmpala/ sadaya pra samya ngruruh/ tan wruh
anèng Madukara//
170
7. Puruhita anjêmparing/ dhumatêng pun Dananjaya/ ingkang ginumrahkên
ngakèh/ pan Janaka tapa nendra/ wontên ing tamanira/ mila kawula sru bêndu/
sagêdipun kauningan//
8. Rayi tuwan pun Drupadi/ anglampahakên panuksma24
/ wus nyata tinêkan
dhewe/ dhatêng taman Maduganda/ pan Srikandhi pinala/ mangkya tambah
purugipun/ saking taman[…85] sampun kesah//
9. Sang aprabu Arimurti/ kapi ngungun galihira/ sarwi sidhakêp astane/ aris dènira
ngandika/ inggih sêdhêng kewala/ dêdukane yayi prabu/ samantên ing lêpatira//
10. Karya susah karya sêdhih/ mring rama aji Cêmpala/ myang yayi prabu wus
dene/ akarya sakêthi tiwas/ rama prabu Cêmpala/ iba ta panutuhipun/ inggih
dhatêng yayi nata//
11. Lah ing mangke kados pundi/ lajêngipun ri paduka/ ingkang dados patrapane/
Wrêkodara nambung sabda/ iku patrapan apa/ yèn bêcike pikir iku/ banjur
dhinaupna pisan//
12. Lanang wadone wus dadi/ sênênge atine padha/ apa kang pinikir manèh/ dene
lamun ana gugat/ saka nagri Cêmpala/ aja na kang milun-milu/ ingsun dhewe
wus kaduga//
13. Mangsuli gugatirèki/ lanangane25
nora ngundang/ wadone kang têka dhewe/ lah
ta patrapane apa/ liyane pinanggihna/ lamun kudu jaluk ukum/ ya lonthene dèn
ukuma//
14. Gumujêng Sri Arimurti/ bênêr yèn pikir wong jaba/ kaya padunira kuwe/ yèn
yayi prabu Amarta/ lan ramaji Cêmpala/ sayêkti yèn ora patut/ paduwa masang
drigama//
15. Sri Yudhisthira turnya ris/ puku-[…86]lun kula sumangga/ ngunjana
kapatrapane/ ukum pêjah miwah gêsang/ kawula nut ing karsa/ narendra Krêsna
lingnya rum/ yayi prabu yèn kawula//
24
*B: pada naskah A tertulis “Nukma” 25
*B: teks naskah A mengalami adisi huruf, tertulis “langnangane”
171
16. Sae aturna tumuli/ pun Janaka mring Cêmpala/ sumanggakna sadosane/
pinêjahan ginêsangan/ sumanggakna kewala/ ing ramanta sang aprabu/ katingal
taklim paduka//
17. Mring wong tuwa tur samya ji/ kawula purun dinuta/ mring Cêmpala
masarhake/ Sang Aprabu Yudhisthira/ dhêku anêkêm sirah/ kawula anut ing
tuduh/ sih parimarma paduka//
18. Pan inggih sèwu kapundhi/ narendra Krêsna ngandika/ yayi Wrêkodara kowe/
ingsun gawa mring Cêmpala/ lawan si Gathotkaca/ padha dèn samêktèng laku/
karana nagri Cêmpala//
19. Ana isine samangking/ ratu saka tanah sabrang/ aja gêgampang panggawe/
ewuh aya dudu bangsa/ Wrêkodara lingira/ wus pasthi yèn ingsun milu/ iya lan
si Gathotkaca//
20. Kudu-kudu wruh pribadi/ patrapane si Janaka/ narendra Krêsna dêlinge/ lah wis
padha siyagaa/ sun budhal benjang-enjang/ Wrêkodara mijil sampun/ saking
salêbêting pura//
21. Lan kang putra Pringgadani/ pra samya siyaga bala/ mring nyèwu pilihan[…87]
bae/ satriya Andananjaya/ pan sampun dhinawuhan/ ing ngaturkên bagenipun/
mring nagri Cêmpalarêja//
22. Linilan ambêkta dasih/ saka praboning ngayuda/ wadya pêpilihan bae/ gangsal
atus kathahira/ prajurit Madukara/ kajawi pra mantrinipun/ lawan ingkang para
lurah//
23. Pra samya trahing winani/ bagus-bagus warnanira/ usrêk anata barise/ wau
sang prabu kalihnya/ ingkang lumêbèng pura/ wus prapta jroning kadhatun/
tumundhuk wau kang garwa//
24. Kusuma Wara Drupadi/ ngabêkti mring nata Krêsna/ Wara Sumbadra wus dene/
ngraras padane kang raka/ Krêsna gumujêng lingnya/ lah puniki yayi prabu/
rabine tiyang dêdosan//
25. Punapa gawene kari/ bojone kênèng patrapan/ wajib lawan saanake/ tumuta
dados boyongan/ matur Sri Yudhisthira/ kawula jêng kakang prabu/ kang
nuwunkên pangaksama//
172
26. Sawêg rencang rare alit/ adamêl susah ing marga/ ing lampah kathah repote/
gumujêng narendra krêsna/ panuju si Sumbadra/ dèn maklumi yayi prabu/ yèn
kongsiya mèlu sira//
27. Boyongan wajib kinardi/ padang nutu sabêndina/ yêkti yèn pêdhot boyoke/
gumêr[…88] kang sami miyarsa/ ing tinimbalan Sri Krêsna/ Wara Sumbadra
tumungkul/ ngandika Sri Padmanaba//
28. Punika pun Rarasati/ inggih prayogi tumuta/ umiringakên gustine/ wontêna kang
ngladosana/ kaping kalih kinarya/ acungan boyongan patut/ ingkang rayi tur
sumangga//
29. Kunêng salabêting puri/ ingkang samya pagujêngan/ sadalu tan wontên sare/
enjang pan sampun samêkta/ ingkang siyaga wadya/ saka praboning prang
pupuh/ Radèn Arya Gathotkaca//
30. Kang pinatah manganjuri/ lah sèwu wadya rasêksa/ Pringgadani salamine/
sabên seba mring Ngamarta/ sira Radèn Guritna/ amung bêkta wadya sèwu/
liyane mantra punggawa//
31. Datan arsa anglangkungi/ lan balane ingkang rama/ amung sèwu prajurite/ mug
kala pangarakira/ kang paman Madukara/ mring Dwarawati rumuhun/ bêkta
rongèwu balanya//
32. Dèn nyana wus pasthi dadi/ sêsungut prang lan Kurawa/ nèng Dwarawati
rêrêmpon/ wau sadaya kang samya/ samêkta wadya bala/ saka praboning prang
pupuh/ tan pisah golonganira//
XVII. KINANTHI
1. Budhal kang dadya panganjur/ satriya ing pringgadani/ lan sawadya balanira/
saka praboning ngajurit[…89]/ sèwu ditya pêpilihan/ gumuruh lampah ing
margi//
2. Wurine ingkang sumambung/ wadyabala Jodhipati/ sèwu pamuking ayuda/
dharat samya mandhi bindi/ siji tan ana wahana/ gustine nindhihi wuri//
3. Dharat amandhi gada gung/ sengga prabata lumaris/ lumakuwa marga jurang/
alas gunung pèrèng kali/ sukane dharat kewala/ wong agung ing Jodhipati//
173
4. Lampahing bala gumrêgut/ ingkang sumambung ing wuri/ wadya bala
Madukara/ gangsalatus busana sri/ saka praboning ayuda/ kawandasa para
mantri/
5. Anung-anung bagus-bagus/ sadaya trahing winani/ pra samya wahana kuda/
ngiwa gandhewane sami/ gêndhing endhonge sinandhang/ patih Sucitra
nindhihi//
6. Adhangah sarwi pêpayung/ anitih turangga patih/ ingkang sumambung ing
wuntat/ wadya bala Dwarawati/ sèwu saka praboning prang/ têtindhih arya
Sêtyaki//
7. Prabu Padmanaba pungkur/ nitih rata manik wilis/ kumêlap maniking toya/
prabu Yudhisthira nunggil/ lan satriya Dananjaya/ kapat nikèn Rarasati//
8. Ngampil pakêcohanipun/ sumrêg lampahirèng baris/ prapta sajaban nagara/
wangsul Sang Yudhisthira ji/ pangatêre ingkang raka[…90]/ wus ungkur-
ungkuran sami//
9. Kunêng marga lampahipun/ cinêndhak pan sampun prapti/ nênggih nagari
Cêmpala/ horêg sapraja miyarsi/ Rahadèn Drêsthajumêna/ kang tinuduhing
rama ji//
10. Mêthuk marang rawuhipun/ sang prabu ing Dwarawati/ tundhuk sajawining
kitha/ ing ngaturan laju sami/ manjing nagari sadaya/ lumirig sagunging baris//
11. Sang Prabu Drupada sampun/ mijil maring pancaniti/ wau sri narendra Krêsna/
sawadya balanirèki/ ing alun-alun wus prapta/ têdhak saking rata manik//
12. Lan ingkang paman wus tundhuk/ cinandhak astanirèki/ binêkta lênggah sang
nata/ munggèng ing dhêdhampar rukmi/ pra putra angglar ing ngarsa/
Wrêkodara munggèng kèring//
13. Sri Drupada ngandika rum/ kawula boten angipi/ inggih lamun katamuwan/
anak prabu Dwarawati/ guguping manah wor lawan/ marwata suta tan sipi//
14. Cipta kawula satuhu/ sasat Sang Hyang Otipati/ kang tumêdhak mring Cêmpala/
mring pun bapa nugrahani/ punapa sami raharja/ ingkang tinilar ing wingking//
174
15. Narendra Krêsna andhêku/ pan inggih sami basuki/ paman aji lampah kula/
mring Cêmpala pan tinuding/ ing putra tuwan Ngamarta/ ngaturkên[…91]
lêpatirèki//
16. Miwah pêjah gêsangipun/ putra tuwan pun Prêmadi/ kurêbêna ing abahan/
dadosa tontonan nagri/ putra tuwan ing Ngamarta/ sumangga ing asta kalih//
17. Botên ing grantês sarambut/ suka lila lahir batin/ saking sangêt merangira/
putra puwan yayi aji/ Ngamarta dhatêng paduka/ mèh kêdhik arinirèki//
18. Pun Dananjaya pukulun/ dipuntêlasi pribadi/ dene sangêt dènya karya/ saru-
saruning praja di/ pocapan kang tan sayogya/ kapyarsa liyan nagari//
19. Mèh langkung samadya tèngsu/ kadhatêngan pun Srikandhi/ bok inggih darbe
pangrasa/ sanadyan kadang jêr èstri/ sêmbadane maksih Kênya/ tunggilan
samadya sasi//
20. Ngeca-eca manahipun tan mawi atur udani/ sanadyan silih wontêna/ karyane
guru jêmparing/ bok inggih darbe pangrasa/ yèn saru tinon ing nagri//
21. Mila sangêt dukanipun/ wus supe kadang sayêkti/ kawula kang sangêt ngampah/
sanadyan prapta ing pati/ wajibe saking jêng paman/ inggih ingkang amatrapi//
22. Yèn wontên karsa pukulun/ sampun sumêlang ing galih/ putranta pun Wrêko-
[…92]dara/ ingkang angantêpna pati/ mring arine pun Janaka/ nèng ngarsane
paman aji//
23. Sang Prabu Drupada jêtung/ miyarsa aturirèki/ kang putra Sri Padmanaba/
tyasira kadya jinahit/ lêrêpa dènya ngandika/ dhuh sutèng ngong Dwarawati//
24. Sakêthi panrimaningsun/ ing sêtyanira kang rayi/ Ngamarta Sri Yudhisthira/
pangraos kula ing ngriki/ apan dede pun Janaka/ awit saking pun Srikandhi//
25. Ingkang lêpat solahipun/ ananging ta kados pundi/ lamun botên pinupusa/
roning kalihira sami/ wus samya sênêng ing driya/ sayêktosipun samangkin//
26. Pun Srikandhi sampun mantuk/ wontên ing Cêmpala ngriki/ kawula dèrèng
kapanggya/ mung ibune kang wus panggih/ ing mangke karsa kawula/ yèn anak
prabu jurungi//
27. Pun Dananjaya puniku/ lan arine pun Srikandhi/ lajênga ing dhaupira/ narendra
Krêsna miyarsi/ lingira natèng Cêmpala/ langkung cumêplong ing galih//
175
28. Umatur sèwu jumurung/ ing karsane paman aji/ lajênga ing dhaupira/ pan botên
bêbadhe malih/ wus samya sadhênging driya/ sri Drupada ngandika ris//
29. Yèn paduka wus jumurung[…93]/ balikan sri narapati/ ing sabrang Jungkung
mardeya/ paran karsanta ing mangkin/ punika masa wandeya/ anggitik prang
saking wuri//
XVIII. PANGKUR
1. Wrêkodara duk miyarsa/ langkung suka asru dènira angling/ yèn iku
bubuhaningsun/ dadine ingayuda/ sira kabèh aja na kang milu-milu/ bakal
pangantèn lan sira/ krêsna aja milu jurit//
2. Karia sabalanira/ nèng jro pura sun dhewe kang mêtoni/ mungsuh sabrang
krodhanipun/ amung si Wrêsniwira/ lan Si Gathotkaca ingkang ingsun jaluk/ wis
kabèh padha karia/ sun mêtu sadina iki//
3. Sri narapati Cêmpala/ angandika kulub asowa dhingin/ maksih sayah sabalamu/
besuk-esuk kewala/ radèn wrêkodara asru dènya muwus/ tyas ingsun wus nora
kêna/ kudu ing sadina iki//
4. Narendra Krêsna ngandika/ lah ta yayi iya dèn ngati ati/ luwih abot mungsuh
iku/ Wrêkodara lingira/ iya namung pangèstunira sun jaluk/ wus kabèh padha
karia/ Wrêkodara Mêsat aglis//
5. Lawan radèn Gathotkaca/ Wrêsniwira sawadyanira sami/ têngara budhal
gumuruh/ jêngkar natèng Cêmpala/ manjing pura prabu Padmanaba
sampun[…94]/ ing aturan masanggrahan/ sawadyabalanirèki//
6. Myang satriya Dananjaya/ sawadyane sampun makuwon sami/ kunêng gantya
kang winuwus/ prabu Jungkung Mardeya/ kang kêkuwu lan sawadabalanipun/
masanggrahan Sawojajar/ pan sampun miyarsa warti//
7. Saking ki Patih turira/ lamun putri Cêmpala sampun prapti/ Wara Srikandhi
sang ayu/ ing uni kesahira/ dhatêng Madukara sang dyah anggêguru/ mring
satriya Dananjaya/ pangawasaning jêmparing//
8. Ing mangke rama paduka/ katamuwan Sang Prabu Dwarawati/ saka praboning
prang pupuh/ bêkta pun Dananjaya/ Rêtna Wara Srikandhi ingkang dènsuwun/
sagah mêngsah ing samangsa/ ing prang lawan paduka ji//
176
9. Sang Prabu Jungkung Mardeya/ sru gumujêng bapa haywa kuwatir/ dhasare
wus karsaningsun/ nglamar putri Cêmpala/ maro gawe lêlana andon prang
pupuh/ ingkang aran si Janaka/ miwah ratu Dwarawati//
10. Apa baya gunaning prang/ dene saguh ngayoni marang mami/ lagya ngandika
sang prabu/ kasaru praptanira/ bala buta ingkang sami dipunutus/ ngupaya putri
Cêmpala/ prapta mung tigang bupati//
11. Ingkang sapunggawa pêjah/ sabalane tumpês tan ana kari/ a-[…95]prang
wontên ing wana gung/ lawan radèn Janaka/ raja putri Cêmpala ingkang dèn
rêbut/ wontên malih tur uninga/ wadya kang pacalang baris//
12. Yèn wontên dêdamêl prapta/ arsa gitik ing prang paduka gusti/ apan ta
sarayanipun/ sang prabu ing Cêmpala/ akêkirab barisê sampun lumurug/ saking
nagari Ngamarta/ satriya ing Jodhipati//
13. Lawan Radèn Gathotkaca/ mawa bala ditya lir paduka ji/ sang prabu ngandika
asru/ payo bapa papagna/ ing ngayuda sun tontone saking pungkur prajuriting
tanah Jawa/ apa gunaning ajurit//
14. Ki patih matur sandika/ nêmbah mundur sapraptanirèng jawi/ nêmbang têngara
gumuruh/ sagung ing pra dipatya/ kat gadèng tyas sawadyanira gumrêgut/ bala
ditya kang kinarya/ manggala panganjur jurit//
15. Budhal wil catur punggawa/ saha bala gumuruh gêgirisi/ ing wuri budhal
kumrutug/ sagung bala manusa/ pra dipati sagolong sajuru-juru/ tumundhung
matundha-tundha/ asri kang kaprabon jurit//
16. Nawung sunaring baskara/ sênggani lan kyèh ning busana rukmi/ ting paluncar
ting paluncur/ prabu Jungkung mardeya/ nitih rata nawa rêtna ing palancur/
wuri ginrêbêg ing wadya/ ya ta wau kang winarni//
17. Pa[…96]-ngarsa bala rêksasa/ kèndêl dening mêngsah sampun kaèksi/ saking
jro kitha ambubul/ tan pae lawan rowang/ tur uninga kyana patih duk andulu/
mulad mungsuhe kang prapta/ ditya panganjuring jurit//
18. Kya patih sigra parentah/ masang byuha sagung wadya rasêksi/ tinêtêpakên
nèng patuk/ ditya patang punggawa/ pra dipati manusa pinatah sampun/ nèng
tênggak patang punggawa/ pangawat kanan lan kering//
177
19. Punggawa catur tinata/ ingkang munggèng dhadha rêkyana patih/ lan
sawadyabalanipun/ nganti tigang punggawa/ prabu Jungkungmardeya mungguhi
buntut/ kinubêng prajuritira/ miwah sagung para mantri//
20. Ngapit kanan kering rata/ mulan kèndêl wil bala Pringgadani/ dene mêngsah
wus kadulu/ masang gêlaring aprang/ radèn Gathotkaca krodha dènya dulu/
asru ngandika ing bala/ hèh apa sira andhêgi//
21. Dumèh mungsuh lir samodra/ ing prang lamun tan nêdya de rah pati/ yêkti tan
tumêkèng mungsuh/ têmbe kapaon padha/ gêlar sabên ing prang payo soroh
amuk/ aja ngetung kèhing mêngsah/ ing aprang tunjangên wani//
22. Hèh paman Brajamikalpa/ tindhihana wadyanira kang jurit/ ingsun[…97]
jangkung saking luhur/ Gathotkaca gya mêsat/ mring gêgana patih Braja
Mikalpa wus/ nglancangi sagung ing bala/ wil sèwu parêng dènya ngrik//
23. Anut ing Braja mikalpa/ ditya sèwu kumrutuk rêbut dhingin/ jujur banjur ing
prang numbuk/ ditya Paranggubarja/ angêrobi ing ngayuda bakuh kukuh/
tinunjang ing prang apanggah/ sarêng têpuh gada bindi//
24. Caruk cakra lan candrasa/ ujung dhêndha tandhing badhama gandhi/ silih piling
palu limping/ nênggala alugora/ ulêng lori musala trisula limpung/ mangkana
praptaning wuntat/ Wrêkodara lan Setyaki//
25. Mulat sawadya balanya/ kang pangarsa wil bala Pringgadani/ wus campuh ing
ngaprang pupuh/ kuwêl samya rasêksa/ radèn arya Wrêkodara asru muwus/ heh
Sêtyaki sutanira/ iku wus campuhing jurit//
26. Olèh tandhing padha buta/ lah ta payo sira ingsun bubuhi/ sawadyabalanirèku/
nêmpuh pangawat kanan/ kang pangawat kèring bubuhna26
maringsun/ Sêtyaki
matur sandika/ sawadyabalanira glis//
27. Nêmpuh kang pangawat kanan/ Wrêkodara nêmpuh pangawat kering/ lawan
sawadyabalanipun/ wadya Paranggubarja/ ngêrobi ing ngaprang angêrèp ru-
[…98]mêbut/ kanan kering wuri ngarsa/ ambyuk parêng angêbyuki//
26
Terdapat interpolasi berupa kelompok kata “buhna (bubuhna)”, serta mencoret suku kata yang salah
yakni “hê” (bubuh hê marang).
178
28. Wadya bala ing pamênang/ ing prang kadya banthèng atawan kanin/ sakêthi
parêng angamuk/ tan kêna tinanggulang/ miwah wadya Dwarawati pamukipun/
kadya sardula mrih mangsa/ sakêthi tanpa ngunduri//
XIX. DURMA
1. Gathotkaca mulat lamun ingkang rama/ wus ngawaki ngajurit/ ngamuk
sawadyanya/ mêngsah kyèh kasulayah/ kababit ing gada bindi/ kabrubuh rêbah/
bêlasah bosah-basih//
2. Myang kang paman Nglesanpura pamukira/ sawadyanya mbêk pati/ kadya mong
sayuta/ krura samya mrih mangsa/ kang kaarsa tumpês tapis/ rampas kapapas/
dening Arya Sêtyaki//
3. Gathotkaca anjog sigra udhunira/ praptane anguwori/ pamuke balanya/ mulat
yèn gustinira/ wus mudhun ngawaki jurit/ ngantêp pamuknya/ gustine anindhihi//
4. Anut patih Brajamikalpa nèng ngarsa/ kadya lun anggulungi/ golong pamukira/
tan kêna tinanggulang/ gumulung anggêgilani/ gêgalanira/ wil bala
Pringgadani//
5. Saparane pan kadya kinari rêngga/ rinêbut kanan kering/ wuri miwah ngarsa/
tan kewran pamukira/ kang katêrak bo-[…99]brak-babrik/ rêbah bêlasah/
atusan kang ngêmasi//
6. Dening pamuk kya Patih Brajamikalpa/ kang munggèng turanggèsthi/ binabit
ing gada/ luluh lawan kang nunggang/ saparane mobat-mabit/ tinut ing bala/
miwah pamukirèki//
7. Radèn Gathotkaca mung kalawan asta/ dêkung-dêkung ambanting/ nyandhak
ngadu kumba/ nyêndhal dhadhal anêpak/ andêdêl cêngêl pinuntir/ sirahe parah/
dening Sang Bimasiwi//
8. Bubrah gêlaring prang wus worsuh liwêran/ wil bala Pringgadani/ sang saya
manêngah/ miwah bala pamênang/ tuwin wadya Dwarawati/ wus sami nêngah/
pamuke ngobrak-abrik/
9. Pan sadaya wus samya tilar wahana/ anut ing Jodhipati/ samya ngamuk dharat/
mangkana kawistara/ dening rêkyana apatih/ Jayasudarga/ eram dènya ningali//
179
10. Dene mungsuh sakêdhik ing balanira/ kadya tan kênèng pati/ wutuh saparanya/
wadya Paranggubarja/ kang kapêrak tumpês-tapis/ ewon kang pêjah/ tanpa
kiwul ing jurit//
11. Krodha patih Jaya Sudarga gya matag/ mring sagung pra dipati/ têtulung ing
bala/ pêpulih mamrih mêngsah/ tandang sagung pra dipati/ ngawaki ing[…100]
prang/ miwah rêkyana patih//
12. Wus tan ketung sanjata guna prabawa/ saking ramening jurit/ saênggèn
busêkan/ kuwêl kyèh liru papan/ sadaya wus wuru gêtih/ mungsuh lan rowang/
wus samya ambêk pati//
13. Wadya sabrang kaduk sura ing Ngayuda/ dhasare angêroti/ tan ketang kang
pêjah/ nêdya ngidak kewala/ tumpês ngarsa tangkêp wuri/ myang kering kanan/
ambyuk sarêng ngêbyuki//
14. Tanpa rungyan sambate ingkang kapranan/ panggrone buta kanin/ bruk tibaning
gada/ kêpruking alugora/ myang panjriting turanggèsthi/ rêkatak ingkang/ dwaja
lêlayu sêbit//
15. Pra dipati Paranggubarja keh samya/ dharat ngapaki jurit/ samya ngundha
gada/ ana ngikal bidhama/ têtulung marang tala mrih/ mrawasèng mêngsah/
mêmalu milih tandhing//
16. Harya Braja Mikalpa lon Wil Prakênca/ paguting ngaprang kalih/ sami
prakosanya/ dangu prang ujung dhêndha/ ditya Prakênca sor titih/ tiniban
dhêndha/ luluh ajur wor siti//
17. Duk tumingal krodha wil Kalaprakêmpa/ tinunjangkên ning èsthi/ nrêgakên
turangga/ patih Brajamikalpa[…101]/ dèn têlabung saking kering/ binarêng
dênya/ rêbah tinumbuk ngèsthi//
18. Pan kalênggak kêpagut bindhi mukanya/ rêbah pinumbuk ngèsthi/ mèh linud ing
gada/ krodha rya Gathotkaca/ lumumpat cinandhak aglis/ ditya Prakêmpa/
sinêndhal saking èsthi//
19. Gya dinêdêl cêngêlira wil Prakêmpa/ pêdhot gulu pinuntir/ dipangga cinandhak/
marang Brajamikalpa/ rinangkus sukune kalah/ gumêbruk tiba/ ajur linut ing
bindhi//
180
20. Ditya kala Pragangsa langkung krodhannya/ mangsah angundha bindhi/
pinapak Sang Sena/ putra wus katandangan/ ditya Pragangsa ngêmasi/ rêmuk
mukanya/ tinêpak Bima siwi//
21. Sapêjahe punggawa tri sabalanya/ giris lumayu ngisin/ ngungsi wurinira/ ditya
kala Pramuka/ tilas ratunya ing nguni/ ditya pangarsa/ ing prang anglêlajêri//
22. Krodha mangsah sarwi angundha badhama/ sêsumbar nguwuh tandhing/ hèh
saparanira/ sarayaning cêmpala/ ambêgmu prang ngléluwihi/ matèni ditya/ kaya
ngrêmêti cindhi//
23. Lah ta iki bongkotane ayonana/ ing mangko sira mati/ dening astaning wang/
lah[…102] iki tadhahana/ tibane badhama mami/ sumêbut mêsat/ Gathotkaca
nadhahi//
24. Pan gumadhug badhama suh tibèng jaja/ murub lan anêdhasi/ arya Gathotkaca/
asru ing wuwusira/ hèh buta sapa sirèki/ rupamu beda/ lan kabèh kang wus
mati//
25. Anauri ya ingsun Kalapramuka/ ditya raja ing nguni/ sor ing prang kabala/
mring sri Jungkungmardeya/ maksih kinèn misesani/ ing balaningwang/ kinarya
ndêling jurit//
26. Hèh prajurit ngakua aranmu sapa/ dene kêlar nadhahi/ ing badhamaningwang/
iki liwat bêbaya/ pilih kang kêlar nadhahi/ mung lagi sira/ Gathotkaca nauri//
27. Kalingane sira iku ratu buta/ pantês dhapurirèki/ lan kang akèh beda/ aja
tambuh ya ingwang/ satriya ing Pringgadani/ ing rat sang arya/ Gathotkaca ran
mami//
28. Sena putra mandra prakosèng ngayuda/ dèn padha ngungsi pati/ wil kala
Pramuka/ krodha angundha dhêndha/ mangsah manggalak anggitik/ sang
Senaputra/ panggah datan gumingsir//
29. Binarêngan tibaning dhêndha sinangga/ rinêbut sampun kêni/ dhêndhanya
binuwang/ sigra candhak-cinandhak/ rukêt rok tarik-tinarik/ sang Sena[…103]-
putra/ panyêndhale nguwati//
181
30. Karungkêp ing siti wil Kala Pramuka/ kèndhêg ing Bimasiwi/ mukanya
dhinupak/ rêmuk sirahe parah/ giris wadyanya ningali/ mawur sar-
saran/sakarine kang mati//
31. Ngungsi tênggak sapunggawa sampun dhadhal/ ngêlun marang ing wuri/
ngungsi dhadhaning prang/ patih Jayasudarga/ myang pangawak kanan kering/
wus samya sêmpal/ kamuk arya Sêtyaki//
32. Miwah kamuk radèn arya Wrêkodara/ catur punggawa mati/ kang munggèng
pangawat/ Jaya Pramana lawan/ Jayapralaya ngêmasi/ sang Wrêsniwira/
ingkang mrawasèng bindi//
33. Sabalane malêduk samya sasaran/ kathah ingkang ngêmasi/ miwah kang
pamawat/ kering sami sasaran/ tumpês ing prang bobrak-babrik/ Jaya Sudarga/
lan Jaya Sakamati//
34. Tinimbanan ing gada dyan Wrêkodara/ mawur wadyane ngungsi/ marang
gustinira/ prabu Jungkung Mardeya/ krodha ratanira gumrik/ ngêmbat
gandhewa/ majêng tan tolih wuri//
XX. PANGKUR
1. Kyana patih duk tumingal/ yèn gustine ngawaki ing ajurit/ mantri sêsêliranipun/
gumrêdêk majêng samya/ kyana patih gugup u[…104]-nduripun/ tilar mungsuh
sawadyanya/ ngumpul ing gustinirèki//
2. Tata malih undurira/ kyana patih munggèng ngarsa tan têbih/ wadya gung
pinrênah pungkur/ mung mantra sêsêliran/ sèwu ingkang munggèng kananira
prabu/ prajurit jro pêpilihan/ ingapit wontên ing kering//
3. Bupati sakawan ingkang/ mangawati kanan kering tan tébih/ sri
Jungkungmardeya prabu/ nglêpasi sanjatanya/ narawantah saking gandhewa
kumrusuk/ mawa prahara ruhara/ ngiring lêpasi jêmparing//
4. Ki patih Jayasudarga/ anusuli sanjatanir mijil/ saking gandhewa gumludhug/
mawa braja ruhara/ gumalêdhêg nênggala parasu limpung/ kunta cakra lan
candrasa/ badhama dhêndha myang gandhi//
182
5. Wêtune saking gandhewa/ gada bindhi lir ladhu kang umili/ mawa lesus lir
pinusus/ myang mantra sêsêliran/ sèwu sarêng nglêpasi sanjatanipun/ myang
prajurit pêpilihan/ sarêng dènya anglêpasi//
6. Kumrusuk ngayuh gêgana/ myang punggawa sakawanira sami/ sanjatanira
kumrusuk/ mêtu matumpa-tumpa/ samya mawa prahara sanjatanipun/
Wrêkodara Gathotkaca[…105]/ miwah Rahadèn Sêtyaki//
7. Kandhêk kadung pamukira/ katampêking sanjata kang mawa ngin/ gègèr lan
sawadyanipun/ dhasar wus sangêt sayah/ dhêdhêg kandhêg samya têkên
gadanipun/ katêmpuh gunging sanjata/ lan katampêg drêsing angin//
8. Tan nana bisa majua/ sanjata gung tan kêna dèn susupi/ prajurit kang tigang
èwu/ samya têguh wêntala/ datan pasah katiban jêmparing timbul/ nanging kyèh
kang galundhungan/ lèn kontal tiba kabanting//
9. Kantun arya Wrêkodara/ Radèn Gathotkaca lawan Sêtyaki/ adêge kang maksih
kukuh/ gègèr madyaning rana/ pira-pira hru prabawa tibanipun/ ngurugi
sariranira/ katri datan mantra busik//
10. Malêduk sumyur nèng angga/ nanging maju-maju mêksa kabalik/ dening lesus
lir pinusus/ kontal katampêk kunta/ kandhih dening nênggala parasu limpung/
trisula dhêndha badhama/ kêras tibanya mawangin//
11. Radèn Arya wrêkodara/ kapi têmên krodhanira ing jurit/ dènya mrih parêg tan
mungsuh/ bayunirèng sarira/ mêtu kabèh têmpuh lan27
bayuning mungsuh/ mulêk
madyaning ranangga[…106]/ lêbu malêdug nglimputi//
12. Marma bayune sang Sena/ datan bisa nulak sagung jêmparing/ têmpuh lan
angining mungsuh/ midid kang samirana/ mulêg mêsês mawêrdi kadi pinusus/
Sang Prabu Jungkung Mardeya/ mulad sukanya kang sipi//
13. Mungsuhe kyèh galundhungan/ tiba têbih wênèh kontal kabanting/ mung tiga
kang maksih wutuh/ gègèr madyaning rana/ katêmpuh ing sanjata kyèh datan
keguh/ mêksa maju nora bisa/ sinurakan saking têbih//
27
*B: Lacuna huruf, pada bacaan naskah A tertulis “lbayuning”
183
14. Radèn Arya Wrêkodara/ prasêtyèng tyas nêmah mati ing Jurit/ merang mundur
ing prang pupuh/ myang arya Gathotkaca/ Wrêsniwira samya pratignya ing
kalbu/ kasaput suruping arka/ esthane kadya anyapih//
15. Sang Prabu Jungkung Mardeya/ saha bala undurira dhingini/ praptèng pakuwon
gumuruh/ dalu samya bujana/ suka-suka tan lyan kang ginunêm namung/
prakosane mungsuhira/ dene sawadyanirèku//
16. Tan ana braja tumama/ rowang èwon kang mati ing ajurit/ mungsuh sabalane
wutuh/ tatu bae tan ora/ yèn ajaa bapa mungsuh lawan ingsun/ prajurit ing
tanah Jawa[…107]/ pilih kang kêlar nadhahi//
17. Bapa sapa kancanira/ pra dipati ingkang ing jurit/ kyana patih nêmbah matur/
gusti punggawa ditya/ pan sakawan sisan pêjah ing prang pupuh/ lawaning
prang sami ditya/ wadyane kantun sapalih//
18. Dene punggawa manusa/ ingkang munggèng pangawat kanan kering/ sakawan
pisan pukulun/ pêjah kasambut ing prang/ têtumpêsan balane kêdhik kang
kantun/ mêngsah maksih wutuh ayam/ eram kawula ningali//
19. Gumujêng narpati sabrang/ iya bapa ngeramakên ing jurit/ yèn aja mungsuh lan
ingsun/ sapa lawan ing aprang/ ngêndi bae ratu kang kawawa mungsuh/ besuk
esuk aja owah/ rakitira ing ajurit//
20. Kang prawira munggèng arsa/ pra dipati padha ngantêpa jurit/ kang luwih kaya
duk mau/ guna santikaning prang/ besuk esuk sun panahe gunung watu/
mungsuh ing têguh wêntala/ yèn maksih kêlar nadhahi//
21. Besuk maning têmpuh ing prang/ ingsun tibanane sanjata gêni/ ingkang luwih
panasipun/ lan gêni marca pada/ yèn tan gêsêng pinangan ing gêni murub/
panahingsun kang pamungkas/ sun tamakne ing ajurit[…108]//
22. Kunêng kang lagya mong suka/ natèng sabrang sawadaynira sami/ gunêm
tingkahing prang pupuh/ gantya ingkang winarna/ arya Wrêkodara ing
saunduripun/ Gathotkaca Wrêsniwira/ sawadyane samya sêdhih//
23. Radèn Arya Wrêkodara/ nglêngga jêtung dhêlêk-dhêlêk tan angling/ sarwi
ngêkêp gadanipun/ myang arya Gathotkaca/ asidhakêp sungkawa
sawadyanipun/ Radèn Arya Wrêkodara/ marêk arsa matur aris//
184
24. Pukulun paran ing karsa/ benjing enjing yèn têmpuh ing prang malih/ yèn
maksih ta kadya wau/ pan wande karisakan/ paduka mung prang wantah amara
bau/ pupuh rosa ngadu gada/ botên kendhang guna sêkti//
25. Sang prabu Jungkung Mardeya/ enjang-enjang lamun mêdal ing jurit/ yêkti
luwih saking wau/ gènya mêdalkên guna/ hru prabawa ing prang
kasantikanipun/ tan wande ing prang kinarya/ dolanan kadya duk wingi//
26. Prayogi atur uninga/ ing rakanta Sang Prabu Arimurti/ rayi paduka pukulun/
kakang mas Madukara/ tuwan suwun tulung ing aprang pupuh/ nadhahi
sêktining mêngsah/ paduka ingkang nadhahi//
27. Prangipun agal kewala/ sagêndhinge[…109] botên kuciwa tandhing/ Radèn
Wrêkodara bêkuh/ apa kang sira ucap/ ingsun wirang yèn kongsiya jaluk tulung/
sanadyan silih bisaa/ mungsuh angrubuhkên langit//
28. Masa ta ingsun mirisa/ lamun sira padha wêdi ngêmasi/ lah minggata dèn
agupuh/ pan wus wayahe aprang/ rebut pêjah kalah sirna28
mênang ngukup/
nyênyambat asile apa/ aku dhewe maksih wani//
29. Radèn arya Wrêkodara/ dhêku ajrih miyat kang raka runtik/ kunêng gantya kang
winuwus/ kang wontên jroning29
praja/ prabu Padmanaba sumêlanging kalbu/
mring kang samya mangun yuda/ manawi akarya kingkin//
XXI. ASMARADANA
1. Sang aprabu Arimurti/ lan satriya Dananjaya/ Drêsthajumêna kanthine/ sarêng
dalu manjing pura/ panggih prabu Drupada/ wus tata samya alungguh/
ngandika natèng30
Cêmpala//
2. Anak prabu Dwarawati/ dalu-dalu manjing pura/ baya ta wontên karsane/ matur
prabu Padmanaba/ jêng paman kawularsa/ têtinjo kang aprang pupuh/ mangkat
ing dalu punika//
28
Adisi huruf “pada lingsa” 29
*B: Lakuna huruf “cakra”, bacaan pada naskah A “joning” 30
*B: lacuna huruf “cêcêk”, bacaan pada naskah A adalah “natè”
185
3. Saking sumêlang tyas mami/ mring putra tuwan pun Bima/ lan Wrêsniwira
kalihe/ tuwin ta pun Gathot-[…110]kaca/ katri mung pupuh rosa/ prang wantah
mung mara bau/ mangka pun Jungkungmardeya//
4. Mandraguna sura sêkti/ ing sabrang wus tanpa lawan/ prawira sapunggawane/
ing tandhing yêkti kuciwa/ suka natèng cêmpala/ kawula sèwu jumurung/ anak
prabu darbe karsa//
5. Têtulung kang samya jurit/ arinta Drêsthajumêna/ sampun kantun salampahe/
dhèrèk paduka bantu prang/ kulub Drêsthajumêna/ prajurit Cêmpala sèwu/
gawanên bantu ngayuda//
6. Poma sajroning ajurit31
/ anuta ing rakanira/ Dwarawati sabarangrèh/ kang
putra matur sandika/ têtiga sarêng mêdal/ saking sajroning kadhatun/ prapta ing
jawi sanega//
7. Saka praboning ajurit/ sèwu wadya ing Cêmpala/ prajurit pilihan kabèh/ sadaya
sampun samêkta/ myang wadya Madukara/ gangsalatus samêkta wus/ para
mantra Madukara//
8. Wadya bala Dwarawati/ mung kantun kang upacara/ ingkang sèwu prajurite/
sadaya sampun binêkta/ mring Radèn Wrêsniwira/ prajurit budhale dalu/ saking
jro kitha Cêmpala//
9. Sang aprabu32
Arimurti/ lan satriya Danan-[…111]jaya/ kalih dhingine
lampahe/ sami anapak gêgana/ mung kantun kratonira/ kang ginrêbêg ing wadya
gung/ lan Radèn Drêsthajumêna//
10. Ingkang nindhihi ing wuri/ ing ngarsa patih Sucitra/ amung matah mantra bae/
kang rumêksèng pasanggrahan/ mangkana kang ngumbara/ prabu Padmanaba
sampun/ rawuh pasanggrahanira//
11. Wong agung ing Jodhipati/ lan satriya Dananjaya/ tan ana wruh ing lêbête/
Radèn Arya Wrêkodara/ maksih nglênggêr kewala/ sarwi ngrangkul gadanipun/
gêrêng-gêrêng tan ngandika//
31
*B: lacuna satu suku kata, bacaan pada naskah A adalah “jurit” 32
*B: lacuna satu suku kata, Bacaan pada naskah A adalah “prabu”
186
12. Gathotkaca munggèng ngarsi/ lawan arya Wrêsniwira/ ing ngadhêp wadya
balane/ siji tan ana sabawa/ mèsêm sri nata krêsna/ winêdalan saking pungkur/
kagyat Radyan Wrêkodara//
13. Mulat ingkang raka prapti/ lan kang rayi Madukara/ sigra nyèlèhkên gadane/
wus sami tata alênggah/ Sêtyaki Senaputra/ samya asrêp manahipun/ Wrêkodara
lan lingira//
14. Dene prapta bêngi-bêngi/ apa ta karyane padha/ liwat saking karya kagèt/
gumujêng narendra Krêsna/ yayi tinjo kewala/ paran wartane prang pupuh
Wrêkodara lon lingira//
15. Wingi têmpuh ing[…112] ajurit/ ya saking pangèstunira/ mungsuh kèh tumpês
balane/ rowang ngong siji tan ana/ ingkang mati ing aprang/ nanging ingsun lan
sutamu/ lan si arya Wrêsniwira//
16. Tan ana bisa mrêpêki/ marang gone ratu sabrang/ kadhangan dene panah kèh/
mawa prahara ruhara/ kèbêkan ing paprangan/ gumlêdhêg dhêdhêg tumêmpuh/
batur kabèh galundhungan//
17. Korugan panah mawa ngin/ kaya gunturing prabata/ lah iya ta sesuk bae/ ngong
susupane kewala/ panahe lamun kêna/ bisa aprak ratunipun/ age kêmbulana
gada//
18. Singa tiwas angêmasi/ sri Padmanaba ngandika/ ya yayi ingsun dulune/ sesuk
tingkahira aprang/ wrêkodara lingira/ iya sakarsanirèku/ yèn nêdya dulu
kewala//
19. Yèn arsa têtulung jurit/ maringsun yêkti tan arsa/ pan maksih wani wak ingong/
lan ratu Paranggubarja/ yèn sira nêdya aprang/ iya pranga dhewe sesuk/ apan
akèh mungsuh sabrang/
20. Sasukanira prang tandhing/ yêkti nora kakurangan/ aja têtulung maringong/
lamun durung asêsambat/ gumujêng nata Krêsna/ i-[…113]ya ngong nora
têtulung/ sun prang dhewe benjang enjang//
21. Suka sagung kang miyarsi/ ing dalu datan kawarna/ gagap enjing ing praptane/
Rahadèn Drêsthajumêna/ sawadya balanira/ lajêng tata barisipun/ miwah wadya
Madukara//
187
22. Enjang prabu Arimurti/ lan satriya Dananjaya/ sampun numpak ing ratane/
kinubêng prajuritipun/ Wrêkodara kalawan/ Sêtyaki Gathotkaca wus/ sabalane
tata ngarsa//
23. Ing prang kang badhe nadhahi/ nêmpuh marang mungsuhira/ pêpuling wingi
yudane/ sasat kinarya dolanan/ mangkana natèng sabrang/ sabalane mijil
sampun/ angglar munggèng pabaratan//
24. Tata baris kadya wingi/ kang para prawira ngarsa/ samya ngiwa gandhewane/
bala gung pinrênah wuntat/ kagyat dènya tumingal/ dene mungsuhira wuwuh/
Sang Prabu Jungkung Mardeya//
25. Krodha sru dènira angling/ hèh bapa Jayasudarga/ mungsuh ika bêbantune/
baya nrêpati Cêmpala/ iya kang munggèng rata/ payo kabèh wadyaningsun/ dèn
prayitna ing ayuda//
26. Dèn ngeja sadina iki/ pêpungkasaning ayuda/ sagunging guna kasêktèn/ lah
payo padha mêtokna/ wus-[…114]nya matag ing wadya/ mangsah gumrit
ratanipun/ ing prang tan nêdya mundura//
XXII. DURMA
1. Ngêmbat langkap Sang Prabu Jungkung Mardeya/ ginêdhêg-gêdhêg mijil/ eka
hru prabawa/ sela mong lan prahara/ kadya ladhu-ladhu mili/ saking gandhewa/
gumlêdhêg gêgilani//
2. Sawusira wêtuning prahara sela33
/ gêdhêg gadhewa malih/ mijil neka warna34
/
muntab saking gandhewa/ Nênggala parasu piling/ cakra candrasa/ dhêndha
badhama Gandhi//
3. Gada bindi salukun lan alugara/ samoga pugal lori/ musala trisula/ limpung
parasu kunta/ kumrusun ngayuh wiyati/ mawa prahara/ miwah rêkyana patih//
4. Sanjatane mêtu pirang-pirang yuta/ panthan makêthi-kêthi/ myang catur
punggawa/ prajurit jro sadaya/ lan sèwu mantra sinêlir/ sarêng dènira/
anglêpasi jêmparing//
33
Terjadi lacuna huruf “pada lingsa” 34
Terjadi lacuna huruf “pada lingsa”
188
5. Kadya têdhuh gêgana kyèh ning sanjata/ dhêdhêt ngampak-ampaki/ sela lêng-
ulêngan/ wor jêmparing arakan/ kumrusuk srêsêk nampêgi/ mara kumêrap/
kumêrut gêgirisi//
6. Sira prabu padmanaba sigra matag/ mring Parta kinèn aglis/ mêthak ing
panulak/ mi-[…115]wah Drêsthajumêna/ ngêmbat langkapira kalih/ sarêng
dènira/ nglêpasakên jêmparing//
7. Apan samya hru prabawa eka warna/ sela wor angin-angin/ têpuh nèng gêgana/
ibêgan dirgantara/ maworing sanjata kalih/ goraning swara/ lir Guntur
gêgêtêri//
8. Kêpruk ingkang sela têmpuh lawan sela/ bindi pan samya bindi/ gada samya
gada/ kunta pra samya kunta/ piling têmpuh samya piling/ dhêndha lan dhêndha/
Gandhi pra samya Gandhi//
9. Alugara têmpuh samya alugara/ lori pra samya lori/ musala trisula/ limpung
cakra candrasa/ sadaya kaprabon jurit/ katêmpuh ing prang/ tan ana liru
tandhing//
10. Wrêkodara Wrêsniwira Gathotkaca/ giyuh ing tyas tan sipi/ gègèr yudanira/ tan
antuk mangsah ing prang/ kadhangan gunging jêmparing/ katêmpuh ing prang/
jêjêl tan kêna pinrih//
11. Sela-sela lêlumbungan lêng-ulêngan/ jêmparing lir sêsiring/ tan kêna tinrajang/
nulya Sucitra prapta/ mêndhan nèng ngarsanirèki/ matur manêmbah/ ulun
dinutèng gusti//
12. Ing rakanta sang aprabu Padmanaba/ paduka dèn timbali/ mundur saha bala/
sampun[…116] mangsah ing ayuda/ kinèn asowa rumiyin/ raka paduka/ karsane
anuruti//
13. Ing krodhane Sang Prabu Jungkung Mardeya/ dènya ngabên kasêktin/ lan rayi
paduka/ satriya Madukara/ ing mangke35
yèn wus dumugi/ tuwan linilan/
mangsah ing aprang malih//
35
Lacuna huruf “cêcêk”
189
14. Wrêkodara myarsa ature sucitra/ kêju krodhaning jurit/ ajrih yèn nyingkirna/ ing
rèh narendra Krêsna/ mundur sawadyanirèki/ lan ingkang putri/ Gathotkaca
Sêtyaki//
15. Sampun nunggil lan barising Madukara/ Sang Prabu Arimurti/ matag mring
sang Parta/ kinèn nyampuni dènya/ ngabên prabawa kasêktin/ sanjatanira/ kang
samya têpuh jurit//
16. Radèn Parta musthi sanjata pratipa/ angin retuning angin/ linêpaskên sigra/
kêlapira kumupak/ wêdallingkang bajra pati/ saking gandhewa/ nyapu sagung
jêmparing//
17. Sirna larut hru prabawa eka warna/ siji tan nora kari/ sri Jungkung Mardeya/
kagyat ngungun kalintang/ sirnane sagung jêmparing/ asru ngandika/ marang
rêkyana patih//
18. Hèh ta bapa prajurit ing tanah Jawa/ nyata lamun linuwih/ gunane ing
aprang[…117/ padha sadhela bisa/ nimbangi kadebyan mami/ tan mantra
kewran/ nyapu sagung jêmparing//
19. Sêdhêng36
dadya kaojat ing tri bawana/ matur rêkyana patih/ lêrês padukendra/
sampun kirang prayitna/ ing aprang dèn ngati-ati/ mêngsah paduka/ botên
kewran ing tandhing//
20. Prange kasar prakosa prang lêmbut guna/ gumujêng sri bupati/ iya bênêr sira/
prawirane sêmbada/ yèn aja mungsuh lan mami/ sapa kuwawa/ nanggulang ing
ajurit//
21. Iya mêngko prajuriting tanah Jawa/ ingsun balange tulis/ sun jake prang rupak/
tandhing prang lawaningwang/ nganggo panah kang sayêkti/ singa tiwasa/ yèn
maksih ngadu sêkti//
22. Masa tekatan pawêkasaning yuda/ sira bae dèn eling/ gêlar sabên ing prang/ yèn
wus panah pinanah/ ingsun tan mungsuh dèn aglis/ sira niliba/ nyidra saking
wiyati//
36
Terdapat interpolasi kata “lamun”
190
23. Patih Jayasudarga matur sandika/ natèng sabrang nulya glis/ nênurat wus
dadya/ tinrap anèng sanjata/ linêpaskên kang jêmparing/ ing arah-arah/ tibanira
nglêrêsi//
24. Nèng ngarsane satriya Andananjaya/ kagyat dènya ningali/ jêmparing
cinandhak[…118]/ pinundhut suratira/ winaos sinuksmèng galih/ bêbukanira/
panantang ing prang wuri//
XXIII. PANGKUR
1. Pèngêt iki layang ingwang/ natèng sabrang kaprawira nom pêkik/ mandra
prakosa dibya nung/ lêlana andon yuda/ marang tanah Jawa ingkang anjêjuluk/
Sang Prabu Jungkung Mardeya/ Paranggubarja narpati//
2. Ingkang abala bacingah/ kang wus kasub tanpa lawan ing jurit/ têkaa marang
sirèku/ prajurit tanah Jawa/ ingkang bisa nulak ing kadibyaningsun/ lah ta sapa
aranira/ lan apa lungguhirèki//
3. Ratu utawa satriya/ aja mati tanpa aran ing jurit/ angakuwa mupung durung/
payo nuli prang rupak/ ngadu wulêding kulit tosing bêbalung/ padha nganggo
panah wantah/ singa tiwas angêmasi//
4. Yèn maksih ngadu prabawa/ masa tekatan pawêkasing jurit/ iya sun puja
satuhu37
/ ing guna sêktinira/ anèng tanah Jawa ing prang lalu wudhu, ananging
samêngka sira/ sayêkti yèn antuk tandhing//
5. Prajuriting tanah sabrang/ ingkang prapta38
lêlana andon jurit/ wus titi
pamaosipun/ satriya Da[…119]-nanjaya/ mèsêm ing tyas sêrat ing aturkên
gupuh/ mring raka narendra Krêsna/ winaos sinuksmèng galih//
6. Wus titi pamaosira/ sru gumujêng Sang Prabu Arimurti/ yayi wangsulana gupuh/
layange rajèng sabrang/ kudu ngajak amungkasi ing prang pupuh/ iya sarahên
kewala/ satriya Dananjaya glis//
37
*B: Terdapat interpolasi suku kata “hu” pengganti suku kata “pa”, kata sebelumnya adalah “satupa” 38
*B: terdapat kesalahan tulis, kata sebelumnya bertuliskan “pratta”.
191
7. Akarya surat wus dadya/ angsul-angsul tinrap anèng jêmparing/ sanjata agêm
prang pupuh/ anggrahita lir janma/ sarotama suwiwi lar kadya manuk/
linêpasakên saksana/ lumarap lir kilat thathit//
8. Ngarsane Jungkung Mardeya/ sarotama kêkêjêr kadya pêksi/ natèng sabrang
kagyat dulu/ jêmparing lir kukila/ bêkta sêrat wus dinuga angsul-angsul/ kang
sêrat wus tinampanan/ sarotama wangsul aglis//
9. Natèng sabrang eram mulat/ gya binuka sêrat sinuksmèng galih/ pèngêt iki
layangingsun/ satriya Madukara/ pamadyaning Pandhawa ingkang jêjuluk/
satriya Andananjaya/ pêparab prabu Karithi//
10. Iya Rahadèn Arjuna/ iya Radèn Janaka Dyan Pamadi/[…120] Pandhuputra iya
ingsun/ Radèn Indratanaya/ kang ing ngambil sraya tur binakal mantu/ mring
narapati Cêmpala/ têkaa marang sirèki//
11. Sang Prabu Jungkung mardeya/ natèng sabrang kang lêlanandon jurit/ kang
ambêg narendra punjul/ amrih putri misesa/ lire sira awèh layang marang
ingsun/ iya wus prapta maringwang/ sarta wus sun tupiksani//
12. Surasane layangira/ sira ngajak mungkasi ing ajurit/ prang rupak tandhing lan
ingsun/ nganggo panah pamungkas/ ngadu wulêding kulit tosing bêbalung/ lah
iya sakarêpira/ ing aprang ingsun ladèni//
13. Wus titi pamaosira/ natèng sabrang gumujêng sarya angling/ babo dene pirang
puluh/ jênêng saijab-ijab/ dèn dhèwèki sumakèhan kang pinunjul/ prajuriting
tanah Jawa/ durung tau olèh tandhing//
14. Ingkang padha ling-ulingan/ hèh ta bapa kabèh prajurit mati/ mêngku têmpuh
ing prang pupuh/ dèn ajêg barisira/ aja owah mung sun pundhut surakipun/ sira
bae dèn waspada/ patih sandika tur nèki//
15. […121] sang prabu ngêtap ratanya/ gumrit nêngah gêbyar-gêbyar tulya sri/
rêngganing39
rata mas murub/ kataman diwangkara/ prabawaning makutha
muncar ngênguwung/ pan sarwi ngiwa gandhewa/ endhong pamungkasing
tandhing//
39
*C: terdapat lacuna huruf “cêcêk", bacaan sebelumnya tertulis “rêganing”
192
16. Pantês wanguning prabawa/ asêmbada pêkike sri bupati/ sri Krêsna mulat
lingnya rum/ hèh yayi mungsuhira/ sida ngajak mungkasi ing aprang pupuh/ iya
wus nêngahkên rata/ lah yayi dèn ngati-ati//
17. Ing prang aja kurang yitna/ rajèng sabrang anak brahmana sêkti/ luwih gêntur
tapanipun/ tan kêna ginagampang/ Gathotkaca sira dèn prayitnèng luhur/ miwah
sira Wrêkodara ing dharat dèn ati-ati//
18. Tarombol lan jaganana/ wusnya mangsit Sang Prabu Arimurti/ gumrit nêngah
ratanipun/ namung sunaring surya/ gêbyar-gêbyar prabawaning rata murub/
kadya paguting baskara/ timbangan ratanirèki//
19. Lan ratane natèng sabrang/ dohnya sêdhêng satibaning jêmparing/ kalih kèndêl
ratanipun/ dangu sawang sinawang/ samya ngiwa gandhewa pamungkasipun/
dèrèng nguculkên sanjata/ mrih papan pantêsing jurit//
20. Pra samya molahkên rata/ natèng sabrang ratane ngrèd-ngèring/ Dananjaya
rata-[…122]nipun/ mingêr angèrèt nganan/ adu ngarsa adu ngiring adu
pungkur/ tan ewah têbih ing rata/ pan sami ngasta jêmparing//
21. Wusnya mubêng kaping tiga/ rata kèndêl jarang dènya nglêpasi/ jêmparing tikêl
pinêthuk/ têmpuh sami sanjata/ sarêng salin laras sami limpadipun/ laraping
warastra kadya/ sêsiringing kilat thathit//
22. Wadya gung surak gumêrah/ awor maras-maras surake sami/ mar-kumêsar
dènya dulu/ solah bawaning aprang/ Dananjaya lan Jungkung Mardeya prabu/
yayah lir wus caruk wastra/ rukêting ratannya kalih//
23. Rêkyana patih tumingal/ yèn gustine wus têmpuh ing ajurit/ panah-pinanahan
mungsuh/ sigra mêsat gêgana/ ngikal limpung arsa nyidra saking luhur/
Gathotkaca awas mulad/ garjita ing tyas nulya glis//
24. Mêsat marang ing gêgana/ wus ngungkuli marang rêkyana patih/ ngawaskên
sasolahipun/ ki patih tan grahita/ yèn mungsuhe wus ana ing luhuripun/ dupi
niyup arsa nyidra/ sinambêr saking wiyati//
25. Limpunge sinêndhal kêna/ wus binuwang ki patih kagyat nolih/ dhinupak
mukanira sru/ kontal tibèng banta-[…123]la/ sajabaning baris sangêt dènya
kantu/ asilir ing samirana/ èngêt tan mundur ing jurit//
193
XXIV. DURMA
1. Patih Jayasudarga sangêt krodhanya/ nyandhak kunta nulyaglis/ mêsat ing
gêgana/ nguwuh uwuh sêsumbar/ hèh sapa aranirèki/ mungsuh kang cidra/
nungkul prang saking wuri//
2. Angakuwa mupung maksih duwe nyawa/ dumèh apanirèki/ prakosa berawa/ bisa
ngambah gêgana/ lan apa lungguhirèki/ anèng Cêmpala/ Gathotkaca nauri//
3. Hèh wruhanta ingsun dudu wong Cêmpala/ wong sarayan sun iki/ prajurit
Ngamarta/ umiring kangjêng rama/ lan jêng paman ing ajurit/ ing ngambil
sraya/ mring eyang Cêmpala ji//
4. Ingsun Senaputra ya Bimaatmaja/ Gathotkaca ran mami/ ya Radèn Guritna/
parab prabu Têtuka/ satriya sasatnarpati/ kratoning uwa/ prabu kang ingsun
goni/
5. Pringgadani waris saking ibuningwang/ balikan sira iki/ dhapurmu sêmbada/
gagah dêdêg prakosa/ lan apa lungguhirèki/ ana ing sabrang/ satriya pa bupati//
6. Niggal dhapur nêdya culikèng ayuda/ nyidra saking wiyati/ iya mring jêng
paman/ […124] kaya dudu prawira/ marmane ingsun dhingini/ jêr sira cidra/
kya patih sru nauri//
7. Aja tambuh iya ingsun patih sabrang/ Paranggubarja nagri/ patih amisesa/ aran
Jayasudarga/ he Gathotkaca sirèki/ sêdhêng wus imbang/ ing prang tandhing lan
mami//
8. Sira iku satriya gung sasat raja/ ingsun iki pêpatih/ nanging tilas raja/ ratu
Paranggubarja/ sor ing prang maksih kinardi/ patih misesa/ andêl-andêling
jurit//
9. Mring gustiku Sang Prabu Jungkung Mardeya/ aywa sira kuwatir/ manawa
kacuwan/ nora tutug ing aprang/ sagêndhingmu sun tadhahi/ angajak apa/ toh
pati jayèng jurit//
10. Apa ngajak prang tata panah-pinanah/ ngadu wulêding kulit/ apa pupuh rasa/
prang rupak bindi gada/ apa ingsun kang dhingini/ apa ta sira/ kang dhingini
ngajurit//
194
11. Radèn Gathotkaca asru wuwusira/ ya wus sêdhêng sirèki/ tandhing prang lan
ingwang/ patih tilas raja/ pantês prawirèng ajurit/ aja ngucira/ dèn padha
ngungsi pati//
12. Lah ta payo apa kang ana ing sira/ tibakna sun tadhahi/ krodha ngikal dhêndha/
patih Jayasudarga/ pamupuh-[…125]e dèn tadhahi/ gapyuk cinandhak/
dhêndhane kyana patih//
13. Rame sêndhal sinêndhal anèng gêgana/ Gathotkaca nguwati/ nyêndhal sarwi
dhupak/ jajane kyana patya/ kontal dhêndhanya wus kêni/ sêbut binuwang/
krodha rêkyana patih//
14. Anêrajang tinadhahan sarêng tandang/ caruk-ruk rukêt sami/ kuwêl nèng
gêgana/ sami prakosanira/ sarêng dènya tibèng siti/ pan kalihira/ wangsule rukêt
malih//
15. Anèng dharat ngadu sudiraning prang/ dêdêr dinêdêr sami/ rame drêg-udrêgan/
silih gon maputêran/ untiran untir inguntir/ wêluk pulêtan/ kêkêt banting
binanting//
16. Rame dugang dinugang sarêng gulimpang/ gulungan gantya guling/ rame lêng
ulêngan/ lir cakra panggilingan/ rêkyana patih sor titih/ kadêkung ing prang/
dinêdêg wus kalindhih//
17. Kèngêr cêngêlira jojoh suh dinupak/ pêjahe kyana patih/ sarêng lan praptanya/
rêsi bramana tapa/ saking ing sabrang miyarsi/ dene kang putra/ dènira mamrih
putri//
18. Marang tanah Jawa ing temah dadya prang/ marma sang bramana glis/
sumusul ing putra/ praptèng na-[…126] gri cêmpala/ mênangi ramening jurit/
kang anèng wiyat/ ngungun dènya ningali//
19. Ing patine ki patih Jayasudarga/ mung mungsuh padha siji/ duk ana ing sabrang/
wus wudhu tanpa lawan/ ing mangkya nèng tanah Jawi/ luwih apêsnya/ prangira
tan ngudhili//
20. Mung tinangan kewala mring mungsuhira/ mati madyaning jurit/ lan malih
tumingal/ kang putra sri narendra/ wusnya campuh ing prang tandhing/ lan
mungsuhira/ samya nèng rata manik//
195
21. Rame tuju tinuju panah pinanah/ dèrèng wontên kasilib/ sami wasisira/ rikat
awase samya/ myang wêgigira mèh sami/ bramana tapa/ krura sru dènira ngrik//
22. Nèng gêgana swarane lir gêlap sasra/ gumuruh gêgirisi/ ibêkan ngawiyat/
sarêng pêpêtêng prapta/ sumaput pêtêng ngliputi/ madyèng payudan/ pêtêng lir
têngah wêngi//
23. Dadya kèndêl kang samya kang kalihira/ dene pêdhut nglimputi/ sri Jungkung
Mardeya/ suka ing tyas wus duga/ lamun ingkang rama prapti/ têtulung ing
prang/ angrik anèng wiyati//
24. Dadya mundur Sang Prabu Jungkung Mardeya/ ngingêrakên rata glis/
bênggang[…127] lun mungsuhnya/ sampun mawor ing bala/ maras wadya
Dwarawati/ Cêmpala lawan/ pamênang Pringgodani//
25. Samya sêdhih tan bisa mangsah ing yuda/ dene pêtêng nglimputi/ swara kadya
gêrah/ ibêkan dirgantara/ kang darbe swara tan kèksi/ kaku tyasira/ tan wruh
sawiji-wiji//
26. Wrêkodara Sêtyaki lan Gathotkaca/ samya prayitnèng jurit/ dhêdhêg
sawadyannya/ lawan Drêsthajumêna/ mung jêng prabu Arimurti/ kang nora
samar/ Arjuna wus winangsit//
27. Hèh ta yayi iki si Bramana tapa/ praptarsa nyidrèng jurit/ iya marang sira/
angrik anéng gêgana/ karya pêtêng anglimputi/ haywa pêpeka/ ing prang dèn
ngati-ati//
28. Ramanira Sang Prabu Jungkung Mardeya/ bramana luwih Sêkti/ wus gêntur
tapanya/ ing ajur ajèr bisa/ lah payo yayi dèn aglis/ sira lêpasa/ bramastra
mring wiyati//
29. Dèn wus padhang sarotama tamakêna/ mring si bramana sêkti/ kalamun wus
pagas/ dhase sira pisaha/ lan gêmbunge ingkang têbih/ dhase tibakna/ anèng
ngarsanirèki//
30. Naténg sabrang Sang Prabu Jungkung Mardeya/ gêmbung buncangên ngangin/
lamun maksih pêrak[…128]/ lan sirah yékti bisa/ patrap dhewe urip malih/
marma dohêna/ payo yayi dèn aglis//
196
31. Nora nistha dhingini prang mungsuh cidra/ dyan Parta wus winangsit/ ngêmbat
langkapira/ lumêpas kang bramastra/ murub nungsung mring wiyati/ bramana
tapa/ kênèng padhanging gêni//
32. Gugup ing tyas sigra anarik candrasa/ niyup saking wiyati/ pan arsa nigasa/
tênggake sang Arjuna/ pagas pinapag Jêmparing/ ki sarotama/ dhasar sapatrap
malih//
33. Mring gêmbunge tinadhahan endrasara/ tinibakakên aglis/ anèng ratanira/
prabu Jungkung Mardeya/ gêmbunge binuwang ing angin/ kabuncang sirna/ tiba
anèng Jaladri//
34. Tulus pêjahira sang bramana tapa/ dhase pinisah têbih/ lawan gêmbungira/
sarêng lawan ilangnya/ pêdhut kang pêtêng nglimputi/ katut maruta/ padhang
asmarèng jurit//
XXV. ASMARADANA
1. Sang prabu kagyat tan sipi/ andulu sirahing rama/ gumêbruk tibèng pangkone/
tiningalan nora samar/ yèn sirahe kang rama/ mustaka nulya sinambut/
sinungkêman[…129] anèng asta//
2. Pan sarwi dipuntangisi/ sang prabu wusnya karuna/ sakala èngêt ing tyase/
sigra dènira parentah/ mring sagung pra dipatya/ sadaya kinèn angruruh/
marang jisime kang rama//
3. Miwah sagung para mantri/ sadaya samya ngupaya/ bramana tapa jisime/
sajawining pabarisan/ mubêng datan kapanggya/ katur marang sang aprabu/
kalangkung ngungun ing driya//
4. Dene mungsuhe udani/ pêjah gêsange kang rama/ liwat guna waspadane/ sirah
tinibakkên ngrata/ gêmbungira binuwang/ saking pabarisan agung/ tan karuan
tibanira//
5. Anglês ing tyas sri bupati/ têlas ing pangarsa-arsa/ ingkang rama katigase/
mring mungsuh datanpa bisa/ miwah pêpatihira/ mati ing prang tanpa kiwul/
tuwin sagung pra dipatya//
197
6. Wus ngrasa kasor ing jurit/ Sang Prabu Jungkung Mardeya/ nanging wus
pratignyèng tyase/ tan arsa yèn ngoncatana/ ing prang miwah nungkula/ suka
lêbur awor mungsuh/ sadina mêngko kewala//
7. Lawan sawadyanirèki/ haywa na kari satunggal/ ing aprang sarêng sirnane/
ambela-[…130]ni mring kang rama/ miwah pêpatihira/ sawusnya pratignyèng
kalbu/ Sang Prabu Jungkung Mardeya//
8. Mêdal krodhaning ajurit/ ngêtap rata gumrit kontrag/ pan sarwi ngawe balane/
sasmita nggarubuh ing prang/ garjita pra dipatya/ ing karsane gustinipun/ nêdya
mungkasi ngayuda//
9. Ngantêp garubuh ing jurit/ wadya ing Paranggubarja/ samya sêtya ing gustine/
sami labuh karsanira/ tan nêdya lumayuwa/ miwah nungkula mring mungsuh/
nadyan sikêpe sadaya//
10. Suka matiyèng ngajurit/ lêbura wur musuhira/ anèng ngarsane gustine/ sigra
parêng dènya mangsah/ kumrêtêg rebut ngarsa/ angamuk ing aprang numbuk/
sigra Radèn Wrêkodara//
11. Gathotkaca lan Sêtyaki/ miwah dyan Drêsthajumêna/ nadhahi ing prang balane/
têmpuh ing yuda èbêkan/ wadya Paranggubarja/ mêrêm ing prangira numbuk/
tan ketung kèhing palastra//
12. Lir sulung alêbu gêni/ kamuk dening Arya Sena/ myang Gathotkaca pamuke/
miwah arya Wrêsniwira/ lawan putrèng Cêmpala/ musuh kang kaarsa
lêbur/[…131] ing wuri ngidak kewala//
13. Tumpês ngarsa tangkêp wuri/ narendra Krêsna tumingal/ garjita ing tyas
wuwuse/ hèh ki ipe tingalana/ mungsuhira ing aprang/ wadya Paranggubarjèku/
ing prang wus de rah palastra//
14. Sapunên ing sanjata ngin/ tibakna Paranggubarja/ haywa kari sabalane/ yèn
wus ilang sêrênging prang/ yêkti duwe pangrasa/ ing aprang wus tanpa kiwul/
angeman karatonira//
15. Sang Dananjaya nulya glis/ musthi astra pawanendra/ retuning angin têgêse/
kumyus ingkang bayu bajra/ mêtu saking gandhewa/ prahara gora gumuntur/
Sang Prabu Jungkung Mardeya//
198
16. Katut dening sanjata ngin/ kabuncang sabalanira/ sirna gusis sabalane/
tinibakakên sadaya/ nagri Paranggubarja/ kunêng wau kang winuwus/ kang
maksih anèng payudan//
17. Sang aprabu40
Arimurti/ miwah kang rayi sadya/ wus budhalakên barise/ tinata
lampahing marga/ lumirig manjing kitha/ swaraning bala gumuruh/ wus katur
ing sri narendra//
18. Yèn unggul kang magut jurit/ nulya miyos pagêlaran/ angurmati ing
prapta[…132]-ne/ kang mêntas unggul ing aprang/ tan dangu katingalan/
pangarsaning lampahipun/ manjing alun-alun samya//
19. Bala wil ing Pringgadani/ surak-surak giyak-giyak/ bêngkilung rame gêndhinge/
nulya wiyak ngering nganan/ baris angapit marga/ wadya Cêmpala sumundhul/
nulya wuri Madukara//
20. Nulya wadya Dwarawati/ kang mungkasi wuri pisan/ wadya Jodhipati kabèh/
anut bala ing pangarsa/ piyak angering nganan/ rakit baris ngurung larung/
wong agungira sadaya//
21. Lajêng marang pancaniti/ sri maha narendra Krêsna/ têdhake saking ratane/
sapraptanirèng naratag/ sri bupati Cêmpala/ nyandhak astanira gupuh/ kinanthi
binênta lênggah//
22. Saking sumêlang miyarsi/ ing warti Jungkung Mardeya/ langkung awrat ing
yudane/ umatur narendra Krêsna/ saèstu lamun awrat/ marma tilar
prajanipun/[…133] mring tanah Jawi andon prang//
23. Saking wus tan ngsal tandhing/ wontên sabrang gunaning prang/ naracak
sapunggawane/ samya prawirèng ayuda/ wadyanipun sadaya/ sêtya marang
ratunipun/ marmane awrat sinangga//
24. Sajroning prang tigang ari/ wadyanipun têtumpêsan/ tanpa kiwul ing yudane/
tan wontên kang lumayuwa/ maksih ambyuk kewala/ mêrêm ing prang soroh
amuk/ nèng ngarsane ratunira//
40
#B: terjadi lacuna suku kata, pada naskah A tertulis “prabu”.
199
25. Marmanya glis dèn lêpasi/ ing sanjata pawanendra/ mring pun Dananjaya age/
awlas kathah ing pêpêjah/ prabu Jungkung Mardeya/ kabuncang sabalanipun/
tiba ing Paranggubarja//
26. Miwiti manah mêkasi/ solah tingkahing ngayuda/ sampun katur sadayane/ sri
bupati ing Cêmpala/ langkung sukaning driya/ yèn makatên anak prabu/ tmuntên
kalampahana//
27. Rayi tuwan pun Srikandhi/ dhaupe lan pun Arjuna/ ing soma ngarsa pênêde/
sêdhêng ngaso ingkang wadya/ matur narendra Krêsna/ inggih kawula
jumurung/ paman prabu arsa tuwan//
28. Punapa kang[…134] dèn antosi/ ing rèh wus dadya ubaya/ prayogi nuntên
panggihe/ lingira natèng Cêmpala/ kulup Drêsthajumêna/ lan si patih
Candrakètu/ besuk ari soma ngarsa//
29. Padha dèn samêktèng kardi/ ing dhaupe bakyunira/ kang putra sandika ture/
nulya kondur sri Narendra/ lumêbèng dhatulaya/ prabu Padmanaba sampun/
masranggahan saha bala//
30. Bubar sagung kang anangkil/ wau Sang Prabu Drupada/ sarawuhirèng
kadhaton/ pinêthak marang kang garwa/ sawusnya tata lênggah/ alon ngandika
sang prabu/ hèh ta yayi mungsuhira//
31. Samêngko wus tumpês tapis/ Sang Prabu Jungkung Mardeya/ sirna lêbur
sabalane/ sutanira si Arjuna/ ingkang marwasèng yuda/ wus dadi ubayaningsun/
yèn kalakon mungsuh sirna//
32. Sutanira ni Srikandhi/ ingkang sun karya ganjaran/ mau wus sun dhawahakên/
besuk ari soma ngarsa/ dhaupe sutanira/ samêngko wus sêdhêngipun/ kanthinên
maring jro pura//
XXVI. KINANTHI
1. Watir anèng taman san-[…135]tun/ bêcik rêksanên jro puri/ kang garwa matur
sandika/ wus mundur saking ngarsa ji/ lajêng marèng patamanan/ kunêng
gantya kang winarni//
200
2. Kang kêkuwu taman santun/ Kusuma Wara Srikandhi/ rawuh saking Madukara/
anjujug ing taman sari/ dèrèng sowan mring kang rama/ miwah dèrèng dèn
timbali//
3. Wira-wiri mung kang ibu/ nênggih ingkang atutupi/ catur sang rêtnaning dyah/
ing galihira wus têbih/ Mring satriya Dananjaya/ tan ana labêtirèki
4. Brangtanira kang rumuhun/ wus supe ing tyasnya saking/ asru karêm
kaprawiran/ tan antuk dhahar lan guling/ tan lyan namung ciptanira/ dadiya
putri prajurit//
5. Sang Parta wêwulangipun/ pratingkah ngadoni jurit/ wus kang cakêt sadayanya/
mangkana sang raja putri/ pangawasaning sanjata/ miwah jaya wijayanti//
6. Kang dadya sêngsêming kalbu/ nalika binegal margi/ ditya ing Paranggubarja/
tan rêkasa ing ajurit/ pira-pira ingkang sirna/ dening sanjata dhadhali//
7. Samana sang rêtnaningrum/ duk lagya sinipèng cèthi/ lênggah soring
Nagapuspa/ dangu wartaning ajurit/ ni êmban u-[…136]matur nêmbah/ wau
praptanipun gusti//
8. Kang saking magut prang pupuh/ pinêthak nèng Pancaniti/ ing ramanta sri
narendra/ wartine mêngsah wus tapis/ Sang Prabu Jungkung Mardeya/ sabalane
wus sirnanting//
9. Sakantunipun kang lampus/ sinapu sanjata angin/ mring satriya Dananjaya/ tan
wontên kantun satunggil/ dadya rama padukendra/ kenging ing sayêmbarèki//
10. Janjinipun sang aprabu/ marang Rahadèn Prêmadi/ sintên kang sagêd
nyirnakna/ ning mungsuh ginanjar putri/ ingkang kinarya bang-êbang/ pan
inggih paduka gusti//
11. Ing wau pan sampun dhawuh/ sang prabu ing pancaniti/ benjang ari Soma
ngarsa/ ing panggih paduka gusti/ lan satriya Dananjaya/ sang rêtna duk
amiyarsi//
12. Mèsêm sarwi ngandika rum/ gumampang jêng rama aji/ ingsun kinarya
ganjaran/ mring wong ika tan tinari/ apa ta dumèh wak ingwang/ wus nunggal
samadya sasi//
201
13. Nèng Madukara gêguru/ pangawasaning jêmparing/ masa ta nora uwisa/
nunggal budi golong pikir/ mangkana panggalihira/ marma tan nganggo tinari//
14. […137] baya badhêdhêg sagunung/ atine kang mênang jurit/ wus pasthi tampa
ganjaran/ dhasare wus wanuh nguni/ yêkti yèn ora bêbakal/ kukur jinawil
sumrinthil//
15. Babo aja gupuh-gupuh/ amondhong Wara Srikandhi/ samêngko mênèk tan kêlar/
pamanggile ing akrami/ putrine natèng Cêmpala/ ayu prawirèng ajurit//
16. Lah ta dene rama prabu/ girisan têmên ing galih/ ukur mungsuh ratu sabrang/
dadaknya nyambat ing jurit/ yèn ing nguni ngandikaa/ ingsun kewala nguwisi//
17. Sadina sirna kang mungsuh/ ngandika dèrèng dumugi/ kasaru ing rawuhira/
ingkang ibu pramèswari/ gupuh mêthak sang lir rêtna/ tundhuk ing ngarsa wot
sari//
18. Rinangkul lungayanipun/ wusnya tata lênggah sami/ munggèng soring
nagapuspa/ kang ibu ngandika aris/ babo nini putraningwang/ lakuningsun pan
tinuding//
19. Mring ramanira sang prabu/ kinén maringi udani/ yèn mungsuh sabrang wus
sirna/ sabalane tumpês tapis/ rakanira Madukara/ iya kang marwasèng jurit//
20. Wus[…138] daya punaginipun/ ramanira sri bupati/ sira nini kang kinarya/
ganjarane ing ajurit/ mring rakanira ki Parta/ mau anèng pancaniti//
21. Ramanira pan wus dhawuh/ mring Sang Prabu Arimurti/ besuk ari Soma ngarsa/
karsane ginawe pasthi/ iya nini dhaupira/ kalawan rakanirèki//
22. Timbalane wong tuwamu/ sira ywa nèng taman sari/ kurang pira soma ngarsa/
bêcik rinêksa nèng puri/ ila-ilane wong kuna/ sang rêtna matur wot sari//
23. Dhuh ibu paduka matur/ ing jêng rama sri bupati/ karsane ingkang punika/
kawula tur pati urip/ nuwun dukane jêng rama/ dèrèng arsa nambut krami//
24. Sawêg kasêngsêm tyas ulun/ kaprawiraning ajurit/ kang ibu duk amiyarsa/ kang
putra rinangkul aglis/ dhuh ta nini kaya paran/ mangkono aturirèki//
25. Mendah ramanta sang prabu/ sungkawanira ing galih/ ratu iku nora kêna/ cidra
sasamaning aji/ dene wus kêna janjinya/ mring Sang Prabu Arimurti//
202
26. Ing satêmah nora wurung/ mindho papa dadi jurit/ ala mungsuh ratu sabrang/
dene […139] mungsuhira nini/ iya lan nata pandhawa/ apa kang kinarya wani//
27. Sang rêtna nêmbah umatur/ yèn kêdah misesèng jurit/ satriya ing Madukara/
kawula ingkang ngêmbari/ sagêndhingirèng ayuda/ ewa dene jêng ramaji//
28. Kapidêrêng galihipun/ ibu dènyarsa angambil/ mantu mring wong Madukara/
saking janjine wus kêni/ mring Sang Prabu Padmanaba/ inggih kawula lampahi//
29. Ananging paduka matur/ ibu mring kangjêng ramaji/ apan ing nguni kawula/
inggih gadhah pasang giri/ botên arsa nambut krama/ yèn tan antuk satriya di//
30. Kang sagêd dhatêngi ibu/ hamba nuwun apêpanggil/ lamun akrama tampiya/
tiba sampir wanodya di/ ingkang wasis ananjata/ bangkitipun kang ngungkuli//
31. Lan pamanah kula ibu/ lamun tan sagêd dhatêngi/ panuwun kula punika/ nadyan
praptèng nini-nini/ yêkti wadat tanpa krama/ dipundhawuhna tumuli//
32. Dhatêng kang binadhe mantu/ yèn botên sagêd dhatêngi/ sampun yèn mênggah
ginarwa/ wanuh kewala tan sudi/ wasis ndadosna mêngsah/ ing prang
pundi[…140] gone panggih//
33. Upami jêng rama prabu/ dukanipun mrih nêkani/ paripêksa mring kawula/
pintên sakite wong mati/ kang ibu langkung sungkawa/ miyarsa aturing siwi//
34. Ngandika sarwi angrangkul/ lah ta kaya para nini/ mring ramanira sang nata/
iya sun aturkên nini/ yèn mangkana ing tyasira/ nulya kondur pramèswari//
35. Sapraptanirèng kadhatun/ ing ngarsa sri narapati/ matur solahe dinuta/ miwiti
malah mêkasi/ dènya dhawuh mring kang putri/ miwah wangsulanirèki//
36. Kang putra panuwunipun/ sadaya wus katur sami/ sang prabu duk amiyarsa/
anglênggêr tan bisa angling/ cipta sru duka ing putra/ mèh têdhak angorewèni//
XXVII. SINOM
1. Kasaru ing praptanira/ sang aprabu Arimurti/ lan Radèn Drêsthajumêna/ gupuh
dènya ngacarani/ wus tata lênggah sami/ sri Drupada ngandika rum/ kaparêng
putraningwang/ lumêbêt sajroning puri/ yèn sampuna rawuh kawula utusan//
2. Inggih ngaturi paduka/ saking sungkawaning galih/ dene ta ari paduka/ pun
Srikandhi ing[…141] samangkin/ karya beka sayêkti/ ibunta kang kula tudhuh/
203
dhawuhi dhatêng taman/ mring arinta pun Srikandhi/ lamun mêngsah ing
sabrang mangke wus sirna//
3. Ing prang dening pun Arjuna/ sawadyane tumpês tapis/ pun Srikandhi ulun
karya/ ganjaran ungguling jurit/ kula panggihkên nuli/ inggih lawan
kadangipun/ benjang ing Soma ngarsa/ mopo tan purun nglampahi/ pamopone
arinta gadhah panêdya//
4. Marma dahat tyas kawula/ sungkawa wor muring-muring/ kadi wus kola-
koluwa/ mring arinta pun Srikandhi/ de mawi pasanggiri/ sadaya sampun
tinutur/ mring prabu Padmanaba/ panuwunira sang putri/ mung punika masgule
manah kawula//
5. Dhaupe lan pun Arjuna/ mawi gadhahi punagi/ kang dados panêdhanira/ botên
kaprah ing sabumi/ lan kono pramèswari/ aturna marang putramu/ kabèh-kabèh
kang dadya/ panuwune si Srikandhi/ aturêna aja na kang kakurangan//
6. Pramèswari aturira/ mring Sang Prabu Arimurti/ dènya dhawuh mring kang
putra/ miwah wangsul-[…142] lan nirèki/ panuwune sang putri/ sadaya pan
sampun katur/ pêpanggiling akrami/ tampiya patiba sampir/ wanodya di kang
wignya ulah sanjata//
7. Awase kang ngasorêna/ pun Srikandhi yèn Jêmparing/ lamun botên
kadhatêngan/ inggih botên nêdya krami/ Sang Prabu Arimurti/ gumujêng alon
umatur/ paman sampun dêduka/ mring putranta pun Srikandhi/ pinaksaa punika
masa kenginga//
8. Panêdhanipun wus dadya/ pasanggirining pawèstri/ lamun botên kadhatêngan/
yêkti dèn pilaur mami/ dhasar nêdya ngayoni/ inggih dhatêng gurunipun/
putranta pun Arjuna/ prayogi tuwan dhawuhi/ sri narendra Cêmpala alon
ngandika//
9. Anak prabu tyas kawula/ sampun bodho tanpa budi/ sumanggèng karsa kewala/
rayi tuwan pun Srikandhi/ Sang Prabu Arimurti/ nolih sarwi ngandika rum/ yayi
Drêsthajumêna/ pan sira kang ingsun tuding/ dhawuhana kakangira si Arjuna//
10. Kabèh sapanjalukira/ bakyumu dhawuhna sami/ mring rakanira[…143] ing
kana/ lamun bisa anêkani/ yêkti yèn sida rabi/ yèn tan bisa yêkti wurung/ Radèn
204
Drêsthajumêna/ sandika tur sêmbah mijil/ praptèng jawi lampahe lajêng
kewala//
11. Mung lan Panakawan sapta/ wau ta ingkang winarni/ satriya ing Madukara/
anèng pakuwonirèki/ lagya karya jêmparing/ Rarasati munggèng ngayun/ sarwi
ngrêmpêlas gandar/ radèn ingkang angêlari/ Dananjaya alon dènira ngandika//
12. Rarasati bêcik sira/ iya muliha dhingini/ maring nagara Ngamarta/ mangkata
ing benjing-enjing/ lakunira sun tuding/ matura mring biyang kulub/ lamun putri
Cêmpala/ karsane sri narapati/ pan ing mêngko pinaringakên maring wang//
13. Besok ari Soma ngarsa/ ingsun mopo nora kêni/ rèhning putri wus kinarya/
sayêmbaraning ajurit/ gustimu konên pamit/ iya ing jêng kakang prabu/ mulih
mring Madukara/ ngrêsiki wismanirèki/ lan nampani praptane putri Cêmpala//
14. Paturone dèn prênahna/ yèn lêga gustinirè-[…144]ki/ iya ning kamar kang
wetan/ Rarasati maleroki/ sarwi mèncêp tur nèki/ dhuh lae mambu wong luput/
mbok sampun samudana/ karya ewuh kang miyarsi/ sajatine pan inggih galih
paduka//
15. Lamun kawula maksiha/ anèng Cêmpala nagari/ panggihe pangantèn benjang/
mbok manawi makèwêdi/ akarya sanggarunggi/ mring pangantèn manahipun/
suwawi supatanan/ yèn botên kadya tur mami/ gusti sang dyah malah kula
gêgasaha//
16. Kondur asile punapa/ mindhak anyênyakit ati/ Dananjaya duk miyarsa/
gumujêng sarwi anjiwit/ lambene Rarasati/ gya tinampèl astanipun/ aja
mangkono sira/ bok dèn wêlas marang mami/ masa dadak ngalahna kang wus
sêsuta//
17. Mung lawan sira kewala/ ing tyas ingsun wus sayêkti/ nora bisa angalahna/
mulane sira dèn bangkit/ ing esuk amaripih/ mring atine biyang kulup/ yèn
kongsi bisa ilang/ muring-muringe mring mami/ sayêkti-[…145]ne gêdhe
ganjaran manira//
18. Sesuk-esuk si Sucitra/ sun kon ngiringkên pribadi/ iya marang lakunira/ lan
prajurit kang sapalih/ eca imbalan angling/ kasaru ing praptanipun/ Radén
Drêsthajumêna/ Dananjaya ngacarani/ lah ing kene yayi banjura kewala//
205
19. Rahadèn Drêsthajumêna/ majêng sarwi awotsari/ Rarasati mingsêr sigra/ nèng
wuri rada kapering/ maksih dènira ngampil/ dêdêr rêmpêlasan wau/
Drêsthajumêna mulad/ mring raka umatur aris/ dhuh kakang mas têmbe kawula
tumingal//
20. Sintên ing wingking paduka/ ingkang ngrêmpêlas jêmparing/ satriya
Andananjaya/ nolèh sarwi ngandika ris/ iku bocah ngong yayi/ palihane
bakayumu/ sinungakên maringwang/ sun karya garwa paminggir/ nêmbah matur
Rahadèn Drêsthajumêna//
21. Kakangmas lampah kawula/ dinuta kangjêng ramaji/ mring raka Sri
Padmanaba/ ing ngutus paring udani/ mring paduka manawi/ panggih tuwan
dèrèng tamtu/ lan kang bok Soma ngarsa/ wontên pakèwêt nusuli/ rayi tuwan ka-
[…146]kang bok akarya beka//
22. Mawi gadhahi panêdha/ pasanggirining akrami/ panuwune mring paduka/
tampiya pa tiba sampir/ wanodya kang linuwih/ awase pamanahipun/ kang
sagêd ngasorêna/ kakang bok yèn anjêmparing/ panuwune kakang bok amung
punika//
23. Kang wus kinarya ubaya/ yèn kangmas sagêd dhatêngi/ sampun mênggah kang
ginarwa/ padmi sanadyan paminggir/ marêkan anglampahi/ kakang bok
pratignyanipun/ kangmas lamun paduka/ botên sagêd andhatêngi/ praptèng nini-
nini wadat tanpa karma//
24. Dhuh kangmas manah kawula/ mring kang bok sèwu anggêni/ dene kumingsun
kalintang/ nuntên upadosna tandhing/ yèn kasor kang bok benjing/ sayêkti
kawula kaul/ sang Parta duk miyarsa/ Drêsthajumêna tur nèki/ langkung kagyat
anglênggêr sajroning driya//
25. Nanging sinambut ing netya/ gumujêng dènya nauri/ yayi mas aja gumampang/
mring rakanira sang putri/ awase yèn jêmparing/ sipat katon ora luput/
[…147]walikên tri buwana/ yèn padha samining putri/ nora ana kang nimbangi
sang lir rêtna//
26. Lah ta wis yayi matura/ iya mring sang prabu kalih/ ingsun wus nora kaduga/
iya yayi anêkani/ pamundhute sang putri/ ing tyas ingsun wus amupus/ yèn wus
206
karsaning dewa/ durung jinêdha lan mami/ Radèn Drêsthajumêna matur
mangrêpa//
27. Dhuh kangmas sèwu dupara/ paduka botên kadugi/ masa dadaka kewrana/
inggih ngupadoskên tandhing/ ingkang sagêd jêmparing/ kakang bok sintên kang
muruk/ inggih saking paduka/ Dananjaya ngandika ris/ ingsun yayi ingkang
muruk wus kasoran//
28. Rarasati duk miyarsa/ ing ngarsa gunêmirèki/ aturing Drêsthajumêna/
pamundhutira sang putri/ sang Parta tan nyagahi/ nulya jawil saking pungkur/
bêbisik aturira/ pangeran tuwan sagahi/ pamundhute sang raja putri Cêmpala//
29. Kawula kang ngladosana/ sagêndhingipun jêmparing/ ature tan piniyarsa/
nanging nikèn Rarasati/ sinikut-sikut maksih/ jawil matur saking pungkur/
[…148] dènya ken nyagahana/ Dananjaya rêngu nolih/ Radèn Drêsthajumêna
tyase grahita//
30. Tumingal marang kang raka/ gung jinawil saking wuri/ sinikut maksih kewala/
Rarasati dènya jawil/ dadya umatur aris/ kangmas paran karsanipun/ dene èsmu
dêduka/ mring kang jawil saking wuri/ punapa kang dados brangtane aturna//
XXVIII. ASMARADANA
1. Dananjaya ngandika ris/ sun srêngên ing bocahira/ cangkême angomèl bae/
nora atut piniyarsa/ ature wong angomyang/ lah wus kondur ariningsun/ aturna
mau turingwang//
2. Wus nora bisa nêkani/ wau dyan Drêsthajumêna/ maksih kèndêl ngawasake/
Rarasati solahira/ rinêngu mring kang raka/ maksa jawil saking pungkur/
sangsaya sru aturira/
3. Sang Parta èbêk ing galih/ nolih wuri asru nyêntak/ kèn Rarasati ambêkis/ yèn
pangeran botên sagah/ kula sakêthi merang/ darbe gusti mantuk ngunthul/
mêmirang angur[…149] matiya//
207
4. Luhung paduka ing nguni/ sampun ambêkta kawula/ kondur ngunthul sakarsane/
wau dyan Drêsthajumêna/ miyarsa langkung suka/ mring raka sru aturipun/
dhuh kangmas dene punika//
5. Tan mawi ngupados têbih/ bakayu wingking punika/ pan sampun nyagahi dhewe/
têka dadak dinukanan/ Dananjaya ngandika/ yayi aja sira rungu/ ing ngature
bocahira//
6. Saguhe wong andalêming/ gêpok gandhewa kewala/ durung tau sajêg-jêge/ têka
saguh ngayonana/ pamanahe sang rêtna/ dhêstun tan wruh ngawakipun/
mundhak mamirang kewala//
7. Lah ta wus kondura yayi/ Rarasati wus miyarsa/ tan kêna ingampah tyase/ sigra
majêng dènya lénggah/ nèng keringe sang Parta/ dhuh radèn paduka matur/ ing
ramanta sri narendra//
8. Yèn kawula kang nyagahi/ pamundhutipun sang rêtna/ angladosi sakarsane/
ngabên awasan sanjata/ Radèn Drêsthajumêna/ miyarsa suka kalangkung/ sarwi
kêplok saurira//
9. Ing-[…150]gih bakyu inggih-inggih/ kula kang matur jêng rama/ lamun bakyu
saguh dhewe/ kakangmas ingkang anakal/ wong saguh dinukanan/ radèn tur
sêmbah gya mundur/ saking ngarsane kang raka//
10. Latah sarwi asêsirig/ satriya Andananjaya/ muwuh asru pangêndhêge/ hèh ta
yayi aja-aja/ ature bocahira/ gongsiya katur sang prabu/ masa dadak sayêktiya//
11. Ingkang pasthi atur mami/ aturêna sri Narendra/ pan wus nora sagah sagoh/ iya
yèn anêkanana/ pamundhute sang rêtna/ Drêsthajumêna gumuyu/ sadasa
kangmas paduka//
12. Inggih botên anyagahi/ jêr bakyu ingkang asagah/ yêkti kula aturake/ wus lajéng
Drêsthajumêna/ ingandhêg datan kêna/ Dananjaya kari jêtung/ dhêlêg-dhêlêg
tan ngandika//
13. Ebêk ing tyas muring-muring/ muring-muringira marang/ Rarasati cinawowo/
sarwi ingagakan asta/ dhuh sirèki wong apa/ cangkêmu lêbang calêbung/ matur
mring putra Cêmpala//
208
14. Têka dadak anyaguhi/ pamundhut-[…151]e sang lir rêtna/ apa kang
kosaguhake/ kapan gonmu amêmanah/ lah ing mêngko kaya pa/ pasthi ika mau
matur/ iya amarang sri Narendra//
15. Lamun sira wus nyaguhi/ dhuh-adhuh iki wong apa/ têka mangkono cangkême/
Rarasati matur nêmbah/ pun pa kang dèn ucapa/ sagah kang sampun katrucut/
paran nggène wangsulana//
16. Kajawi dipunayoni/ inggih kantênanne bênjang/ yèn sampun sami kalakon/
kawula ingabên lesan/ lawan putri Cêmpala/ kantênan sor unggulipun/ sang
Parta atêbah jaja//
17. Dhuh kabanjur si wong iki/ baya kasurupan apa/ dene kumini kumênès/ sêdya
wani ngayonana/ lawan putri Cêmpala/ awase pamanahipun/ wong kudu
bêbarang wirang//
18. Kapan nggonmu anjêmparing/ nggêpok gandhewa kewala/ durung tau saêjêge/
mangka putri ing Cêmpala/ nguni lamun mêmanah/ kang kinarya lesan rambut/
anggêr wruh prênahe kêna//
19. Mi-[…152]wah manah dhoging pêking/ sipat katon bae kêna/ nora luput
pangarahe/ samêngko pasthi sangsaya/ wuwuh awas wasisnya/ sanadyan ingsun
kang muruk/ rumasa yèn wus kasoran//
20. Têkarsa sira ayoni/ dêstun si wong tanpa ngrasa/ dhêmên gawe wiranging
ngong/ Rarasati aturira/ inggih yêktos kawula/ dèrèng nate asinau/ ananging
manah kawula//
21. Kadi-kadi yèn kadugi/ ulah sanjata mung kadya/ putri ing Cémpala bae/
Dananjaya sru anyêntak41
/ pintêrmu saka ngapa/ yèn nora lawan winuruk/
Rarasati aturira//
22. Inggih dèrèng anglampahi/ winulang nanging kawula/ asring ngintip sayêktine/
nggèn tuwan mulang nyanjata/ dhatêng putri Cêmpala/ wontên ing taman
rumuhun/ manah kawula kaduga//
41
*B: terjadi lacuna suku kata, pada naskah A tertulis “nyêntak”.
209
23. Rakite dènya jêmparing/ panyêpêngirèng gandhewa/ miwah ta ing pamawase/
kaduga lamun nelada/ mring rakite kang mulang/ Dananjaya sigra mundhut/
jêmparing lawan […153] gandhewa//
24. Sun dêlênge si kumini/ tandange dènya amanah/ dene lipat kumênèse/ lah iya iki
gandhewa/ lawan panah manaha/ arahên wit randhu iku/ samana apa ta kêna//
25. Mèsêm nikèn Rarasati/ denya nampèni gandhewa/ sarta lawan jêmparinge/
kêndhênge sampun pinasang/ ngewahi lungguhira/ rêspati pangêmbatipun/
gandhewa mawas sanjata//
26. Mèh lumêpas kang jêmparing/ cinandhak gandhewanira/ sang Parta lon
andikane/ dhuh dene parigêl sira/ pacak tandang-tanduknya/ kaya wong wus
olah wuruk/ pangêmbatirèng gandhewa//
27. Miwah pamawasirèki/ wus nyamlêng mung lungguhira/ rada kêmiringên bae/
lawan kamanglungên jangga/ yèku pangincêngira/ rada mambu pacak kakung/
dudu pacaking wanodya//
28. Ya bênêr nora ngowani/ lakune jêmparingira/ nanging saru sawanganne/
pawèstri lamun mêmanah/ nganggo pacaking priya/ lah tirunên ingsun wuruk/
kang nyamlêng pacak wanodya//
29. Mundhut […154] lesan dhoging pêking/ terong gêlathik kalawan/ rema
kinêncang ing gone/ pan anèng têngah jinangka/ sinami longkangira/ terong
lawan dhoging manuk/ sang parta ngêmbat gandhewa//
30. Mawas sanjata sarya ngling/ lah ta iki tingalana/ pamawas ingsun rakite/ kang
nyamlêng pacak wanodya/ dudu pacaking priya/ awasna ingkang katiru/ wus
lumêpas kang sanjata//
31. Terong gêlathik kang pinrih/ têngah bênêr ingkang kêna/ maksih tumancêp
panahe/ nulya maksih ananjata/ dhoging kukila kêna/ bolong têngah panah laju/
dhog katon wutuh kewala//
32. Nulya rema jinêmparing/ kêna têngah bênêr sigar/ maksih kêkanthil panahe/
Dananjaya angandika/ mara sira manaha/ tirunên pacakku mau/ sarwi ngusapi
sri nata//
210
XXIX. SINOM
1. Iku putri ing Cêmpala/ durung kongsi ngong wuruki/ manah rambut mamrih
sigar/ panahe maksih kêkanthil/ lan manah êndhog pêking/ […155] bolong
têngah panah laju/ nora rêmuk sinawang/ lan manah terong gêlathik/
jêmparinge maksih tumancêb kewala//
2. Kang wus sun wurukên marang/ putri ing Cêmpala wuni/ bisane mung manah
rema/ pêdhot nora bisa kanthil/ yèn manah êndhog pêking/ mêsthi kêna nanging
rêmuk/ mrih bolong durung bisa/ yèn manah terong gêlathik/ kêna sigar mrih
tumancêp wurung bisa//
3. Nora kudu sira bisa/ manah rambut mamrih kanthil/ bisa apapak kewala/
kalawan sang raja putri/ wus narima tyas mami/ dadi ana sasabipun/ goning sun
wurung krama/ duwe ya kêlik sathithik/ mung sêlare bae kang dèn adu lesan//
4. Manah kalawan sang rêtna/ bisa pun dènya jêmparing/ lah mara sira manahe/
sun awasne saking wuri/ Rarasati nampèni/ langkap lan jêmparingipun/ lajêng
ngêmbat gandhewa/ nyamlêng pacaking pawèstri/ dangu mawas cinandhak
gandhewanira//
5. Mangko manênga sadhela/ rada kasupèn sathithik/ iku[…156] ing pamawasira/
yêktine bakal ngowani/ mara mawasa maning/ yèn wus awor bedhoripun/ lan
lesan nuli culna/ sigra nikèn Rarasati/ ngêmbat langkap wus awor pamawasira//
6. Bedhore kalawan lesan/ lumêpas ingkang jêmparing/ lesan rambut kang dèn
angkah/ kêna sigar panah maksih/ nèng rema kanthil-kanthil/ Rarasati gya
rinangkul/ ingaras asru nyêngkah/ dhuh priyayi apa iki/ têka dadak angregoni
wong mamanah//
7. Kula dugèkne punika/ lesan ingkang kantun kalih/ bok mênawi mangke lêpat/
Dananjaya ngandika ris/ dhuh wode ing tyas mami/ apuranira sun pundhut/
goningsun adêduka/ kèh akèh marang sirèki/ iya sapa wonge ingkang duwe
nyana//
8. Dede dadakan kewala/ iya goningsun muruki/ mung dulu sadhela bisa/
angungkuli kang wus lami/ gonira anjêmparing/ nuli bisa manah rambut/
211
mendah ka-[…157]ul ngong benjang/ yèn kalakonna sirèki/ kongsi bisa
angrabèkakên maringwang//
9. Ingsun kêmbong pitung dina/ anèng sajroning jinêmrik/ dèn kongsi nêlaskên
karsa/ Rarasati maleroki/ nora kudu wak mami/ ginanjar mangkono iku/ namung
sok kalakonna/ sarirane sida krami/ ingkang dados panase manah kawula//
10. Mendah dene yèn ajaa/ jaba jêrone wus kêni/ têka dadak alêlewa/ nganggo duwe
pasanggiri/ majana ngêngilani/ iya marang kang amuruk/ satriya Dananjaya/
gumujêng ngandika aris/ lah ta mara tutukna pamanahira//
11. Ingkang lesan karo ika/ Rarasati nêmbah nuli/ ngêmbat gandhewa winawas/
lumêpas ingkang jêmparing/ doging kukila pêking/ kêna bolong nora rêmuk/
nulya malih sanjata/ kêna kang terong gêlathik/ têngah bênêr têrus maksih
jêmparingnya//
12. Tumancêp satêngah gandar/ gya pinondhong sa-[…158]king wuri/ angayang-
ayang pinêksa/ pangeran mangke rumiyin/ bok dèn sarèh ing galih/ kirang
pintên Soma ngayun/ panggih lawan paduka/ Kusuma Wara Srikandhi/
kawularsa dugèkkên lesan42
sanjata//
13. Satriya Andananjaya/ ngaras sarwi andika ris/ lah masa kuranga dina/ sesuk
manèh iya bêcik/ sun ngêping kaul dhingin/ binêkta marang jinêmrum/ nahênta
ingkang lagya/ angêla-êla mring dasih/ kawuwusa Rahadèn Drêsthajumêna//
14. Wus prapta sajroning pura/ ngarsane sang prabu kalih/ sri maha narendra
Krêsna/ apan ta maksih ngêntosi/ praptanira kang rayi/ rahadèn nêmbah
umatur/ sasolahnya dinuta/ miwiti manah mêkasi/ dènya dhawuh mring kang
raka Madukara//
15. Katur ing pamoponira/ sadaya wus katur sami/ wande krama wus tinêmbah/
wasana ingkang nyagahi/ garwanipun paminggir/ dinukanan maksa maju/ sagah
samangsa-mangsa/ mring kakang bok angêmbari/ […159] sami ngabên
pangawasaning sanjata//
16. Gumujêng narendra Krêsna/ mring kang paman matur aris/ paman aji putra
tuwan/ sae nuntên dèn dhawuhi/ yèn sampun sanggupi/ kang dados
42
Interpolasi huruf “sandhangan taling” dan “pasangan la”
212
panuwunipun/ matur natèng Cêmpala/ pun bapa wus pasrah yêkti/ Pan
sumangga ing anak prabu kewala//
17. Inggih ingkang andhawuhna/ sang Padmanaba lingnya ris/ hèh yayi
Drêsthajumêna/ banjura mring taman sari/ iya sira sun tuding/ dhawuhana
bakayumu/ yèn ing mêngko kang dadya/ panjaluke dèn saguhi/ iya marang
kakangira Madukara//
18. Sêlire ingkang kinarya/ sasrahan pa tiba sampir/ iya marang bakyunira/
sagêndhinge dèn ladèni/ ngêndi gone nglêkasi/ apa anèng taman santun/ lah iya
besuk apa/ dènira lesan jêmparing/ ing samangsa-mangsa kene wus samêkta//
19. Radèn tur sêmbah gya matur/ lajêng maring taman sari/ wau ta ingkang
winarna/ […160] Kusuma Wara Srikandhi/ gya sinipèng cèthi/ lênggah soring
naga santun/ êmban iya nèng ngarsa/ sang rêtna ngandika aris/ hèh ta biyang
kaya pa panduganira//
20. Priyayi ing Madukara/ apa bisa anêkani/ kang dadi panjalukingwang/ pa tiba
sampir pawèstri/ kang wignya anjêmparing/ ngasorna pamanahipun/ bok êmban
matur nêmbah/ kados botên sagêd gusti/ lah ing pundi inggih gènipun ngupaya//
21. Èstri kadi sang lir rêtna/ wignyanipun anjêmparing/ wikan yèn ing Endraloka/
yèn mênggah samining putri/ ingkang kasonggèng bumi/ masa wontêna pukulun/
jêmparing lesan rêma/ ukur wruh prênahe kêni/ sang kusuma mèsêm aris
angandika//
22. Hèh biyang aywa gumampang/ nora kêna dèn kilani/ priyaining Madukara/
garwane putri linuwih/ lan sêlire kêkalih/ bok mênawa wus winuruk/ iya marang
kang lanang/ pangawasaning jêmpa-[…161]ring/ nanging iya sanadyan wus
sawinulang//
23. Lagya lawase sawarsa/ sanadyan wisa rong warsi/ ingsun mung samadya
candra/ biyang rasane tyas mami/ kaduga angungkuli/ marang ingkang wus rong
taun/ malah-malah tyasingwang/ wis kaduga angayoni/ mring kang muruk
pangawasaning sanjata//
24. Dèrèng dugi angandika/ kagyat praptane kang rayi/ ingawe majêng mring
ngarsa/ sang dyah angandika aris/ yayi apa tinuding/ dene sun dulu agupuh/
213
kang rayi matur nêmbah/ inggih kakang bok tinuding/ ing ramaji myang raka sri
Padmanaba//
25. Kinèn dhawuhi paduka/ panuwun tuwan samangkin/ kakang mas ing Madukara/
inggih sampun anyagahi/ sêlire kang kinardi/ pa tiba sampir pukulun/ punika
ingkang sagah/ ingabên lesan jêmparing/ angayoni kang bok sagêndhing
paduka//
26. Pangawasaning sanjata/ nama nikèn Rarasati/ warnanipun yu utama/ lan
paduka mèh sairip/ panthêlênge madosi/ […162]wau kasagahanipun/
gênthilênge sêmbada/ pantês wignya anjêmparing/ dhuh kakang bok yèn parêng
atur kawula//
27. Bok inggih krama pasajan/ sampun mawi kêdhah-kêdhih/ inggih asile punapa/
yèn kawon ngisin-isini/ sagêd tuwan jêmparing/ inggih kakangmasmu ika/ ngrika
masa wandeya/ wus dèn ulig rina wêngi/ marma gadhah kandhuk tan manah
kaduga//
28. Sang rêtna rêngu ngandika/ lah ta wis aja cariwis/ pan wus dadi karêpingwang/
paran gene ambalèni/ yèku si Rarasati/ nadyan bisa manah lêmut/ ingusun masa
ulapa/ kang rayi umatur aris/ yèn saèstu mawi pocung ing43
ngakrama//
XXX. POCUNG
1. Kang bok nuwun ing pundi kambênganipun/ lan benjang punapa/ murwani lesan
jêmparing/ sang rêtna ngling iya nèng taman kewala//
2. Bangsalipun cilik taman kulon iku/ bakal gone kana/ lan kene sêdhêng doh nèki/
tarubana lan wangun-[…163]nên têtuwuhan//
3. Gustinipun sayêktine ika mèlu/ kêkinthil mring taman/ sêlire kang dèn botohi/
sun wangêni bature ingkang binêkta//
4. Patang puluh aja luwih saking iku/ ingsun gawe padha/ lan kèhe parêkan mami/
iya patangpuluh kalêbu ni êmban//
5. Bangsal agung kana taman ingkang kidul/ iya tarubana/ palênggahane ramaji/
lawan sira sang aprabu Padmanaba//
43
*B: terjadi salah tulis, kata pada naskah A adalah “king”
214
6. Santanèku nunggala kana gonipun/ pêrak gone lesan/ waspada dènya ningali/
têngah-têngah lan kene myang kulon kana//
7. Pasang tarub rêngganên kang sarwa patut/ singa kang amanah/ maju mring
bangsal gonèki/ dènya lêkas têtandhingan manah lesan//
8. Iya besuk Buda Cêmêngan puniku/ sêdhêng purnamanya/ lêboking si Rarasati/
ingsun jake lêkas manah ingkang enjang//
9. Lan sirèku matura jêng rama prabu/ yèn wus padha lesan/ ingsun lan si
Rarasati/ bêcik ngang-[…164]go gamelan sarta lan surak//
10. Bangsalipun ing kana lawan goningsun/ bêcik nganggo padha/ mangku gamêlan
pribadi/ tinon ngakèh nora kêmba piniyarsa//
11. Lamun antuk Rarasati panahipun/ ya bature kana/ dèn rame surakirèki/
patangpuluh kabèh aloka yèn kêna//
12. Lamun luput ing kana pamanahipun/ nora tibèng lesan/ ing kene ingkang
nyuraki/ bocah ingsun parêkan êmbanan ika//
13. Patangpuluh kabèh ngêlokna yèn luput/ kene ya tan beda/ yèn luput pamanah
mami/ ya bature kana ingkang anyuraka//
14. Patangpuluh kabèh ngêlokna yèn luput/ yèn tumibèng lesan/ sakèhe parêkan
mami/ ingkang surak patangpuluh alokêna//
15. Aturipun kang rayi sarwi gumuyu/ kang bok sayêktosan/ karsa paduka puniki/
tandhing lesan jêmparing mawi gamêl-[…165]lan//
16. Sartanipun surak lir wong ngabên sawung/ culipun kambêngan/ kakang bok dèn
ngati-ati/ misah tuwan sawung sampun lig-uligan//
17. Sawungipun wêton mrapi simpên ampuh/ kang bok kula sawang/ sêmune pun
Rarasati/ kadi-kadi katètèsan trah kusuma//
18. Kula dulu dede alit wijilipun/ sang rêtna ngandika/ iya karuhane benjing/
gêgitike yèn wis mêtu ing kalangan//
19. Panyuwunku44
yayi aturna sadarum/ aja kakurangan/ pangrêngganing taman
sari/ dèn samêkta poma yayi aturingwang/
44
Khusus untuk tembang Pocung pada setiap empat suku kata dberi tanda koma atau “padalingsa”,
akan tetapi terkadang juga tidak.
215
20. Awot santun kang rayi wus amit mundur/ saking patamanan/ wangsul manjing
jroning puri/ praptèng ngarsanira sang prabu kalihnya//
21. Awot santun mring nata Krêsna turipun/ lampahnya dinuta/ panggih kang raka
sang dèwi/ panuwune wus ingaturakên samya//
22. Duk angrungu Narendra Krêsna gumuyu/ Sang Prabu Drupada/ pangandikanira
aris/ […166] anak prabu paran ing karsa paduka//
23. Nulya prabu Padmanaba ngandikarum/ yayi parentahna/ kabèh-kabèh ingkang
dadi/ panuwune bakayumu dèn samêkta//
24. Sang aprabu Padmanaba pamit sampun/ mêdal masanggrahan/ Drêsthajumêna
tan kari/ prapta jawi lajêng dènya aparentah//
25. Dhawuhipun mring ki patih Candrakètu/ lawan pra dipatya/ ngrêsiki ing taman
sari/ lan amangun angrêngga bangsal têtiga//
26. Tarub-tarub kêmbang têtuwuhanipun/ wau kang winarna/ sang prabu ing
Dwarawati/ sampun dhawuh mring kang rayi Madukara//
27. Karsanipun putri Cêmpala wus tamtu/ ing Buda Cêmêngan/ dènira tandhing
jêmparing/ anèng taman mawi surak lan gamêlan//
28. Wangênipun gawabdi mung patangpuluh/ ingkang badhe surak/ ing benjang
nèng tamansari/ cinarita satriya Andananjaya//
29. Pan amêsu rong dina dènira jungkung/ ing pamulangira/ marang Nikèn
Rarasati/ wus tan owah wignyane dènya nanjata//
30. Lan winuruk pratingkah ing aprang pupuh/ kalamun pinanah/ tan kewran dènira
tangkis/ miwah nyandhak jêmparing lumarap bisa//
31. Myang winuruk ing aji jaya pinunjul/ kabèh wus tinampan/ Rarasati sampun
bangkit/ sapraptane ing ari Buda Cêmêngan//
32. Samêkta wus rêrêngganing taman santun/ kang bangsal têtiga/ panggènanira
jêmparing/ tarub-tarub kinêmbang ing têtuwuhan//
33. Sang aprabu Krêsna ingaturan sampun/ manjing jroning pura/ lajéng têdhak
taman sari/ lênggah munggèng bangsal gêng kang tinaruban//
34. Pandhusunu Rarasati datan kantun/ Radèn Wrêkodara/ Gathotkaca lan Sêtyaki/
amung bêkta kang ngampil-ampil kewala//
216
35. Tata lungguh nèng bangsal gêng kang tinarub/ sagung pra dipatya/ sadaya wus
dèn timbali/ manjing taman kèri dyan Drêsthajumêna//
36. Pandhusunu lawan Ra-[…168]rasati sampun/ lan saabdinira/ kawandasa
manggèn sami/ anèng bangsal alit kilèn kang rinêngga//
37. Samêkta wus gamelan niyaganipun/ miwah bangsal wetan/ panggènanira sang
putri/ pan pinajang-pajang lungsi ing kaswargan//
38. Sri dinulun kinêmbang-kêmbang kang tarub/ sang putri Cêmpala/ lênggah
munggèng kursi gadhing/ andhêr ngarsa parêkane kawandasa//
39. Lesanipun têtiga pinasang sampun/ êndhog pêking lawan/ rema myang terong
gêlathik/ kadya saban rema ingkang munggèng têngah//
40. Praptanipun dyan Drêsthajumêna matur/ kang bok katimbalan/ ramanta
kangjêng ramaji/ kinèn nuntên anglêkasana nanjata//
41. Dhawuhipun paduka kinèn rumuhun/ yèn sampun paduka/ gantya nikèn
Rarasati/ sang rêtna ngling lah Kanthiya dhawuhana//
XXXI. KINANTHI
1. Kang rayi tur sêmbah mundur/ wangsul ing ngarsa sang aji/ sang[…169] rêtna
nyandhak gandhewa/ têdhak saking kursi gadhing/ rêspati sasolahira/ ajênge
sang raja putri//
2. Munya gêndhing Ladrang Mangu/ wusnya lênggah sang lir Ratih/ munggèng
taratag wangunan/ ginêlaran prang wêdani/ lajêng angêmbat gandhewa/ kaping
tiga dèn kèndêli//
3. Ngewahi pamasangipun/ kêndhêngnya lawan jêmparing/ sarwi ngêluk dêdêrira/
sawunya ingêmbat malih/ lambunge kadya pêpêsa/ bêsus tangkêpe jêmparing//
4. Nanging maksih pacak kakung/ lênggahnya kapara miring/ lawan kamanglungên
jangga/ pamawasirèng jêmparing/ linêpasakên saksana/ dhoging kukila kang
kêni//
5. Kataman sanjata sumyar/ surak sagung para cèthi/ patang puluh alokêna/ wus
mundur sang raja putri/ ladrang Mangu sêsêg niba/ sang dyah lênggah kursi
gadhing//
217
6. Surak kèndêl gêndhing suwuk/ eram kang samya ningali/ sagunging kang pra
dipatya/ kang munggèng ngarsa narpati/ sajêg dèrèng wontên mulad/ lesan
panah doging[…170] pêking//
7. Saking kadohan kadulu/ nora luput jinêmparing/ pra samya angalêmbana/ mring
gustinira sang putri/ ing wignyanira sang rêtna/ tuhu punjul ing sabumi//
8. Lesan sinalinan sampun/ kang wus rêmuk doging pêking/ bangsal kilèn
dhinawuhan/ gantya majêng anjêmparing/ sang Dananjaya sasmita/ nêmbah
nikèn Rarasati//
9. Têdhak saking dènya lungguh/ gandhewanira cinangking/ sinawung nèng asta
kiwa/ rinangkêp lawan jêmparing/ ajêngnya binarêng lawan/ gêndhing
Gandrung Mangu muni//
10. Sapraptanirèng têtarub/ kèndêl nata silanya ris/ tarub gèn pamanahira/
ginêlaran prawêdani/ lajêng angêmbat gandhewa/ pasajana ing rêspati//
11. Pacak èstri solahipun/ sêrêngnya angrêspatèni/ wus ingêmbat langkapira/
winawas lesanirèki/ wus awor lumêpas sigra/ doging kang kukila kêni//
12. Bolong têngah panah[…171] laju/ saking doh datan kaèksi/ nyana kasèmpèt
kewala/ obah ingkang doging pêking/ tiningalan maksih wêtah/ surak sagung
para cèthi//
13. Patang puluh alok luput/ suka kêplok-kêplok sami/ Rarasati mèsêm ing tyas/
nolih sarwi angêjèpi/ mring lurah Bagong lan Sêmar/ tanggap sarêng surak
anjrit//
14. Garjita wong patangpuluh/ anut ing ki lurah kalih/ sarêng surak alokêna/ kang
wetan suraknya maksih/ arame surak sinurak/ mundur nikèn Rarasati//
15. Sêsêg gêndhing Gandrung Mangu/ wetan kulon surak sami/ alok luput lawan
kêna/ dhinawuhan kèndêl sami45
/ sarêng suwuk kang gamêlan/ nulya prabu
Arimurti//
16. Utusan lesan pinundhut/ prapta katur ing sang aji/ Cêmpala eram tumingal/
bolong ingkang lesan dening/ liwat saking nora majat/ wutuhe lesan
dhog[…172] pêking//
45
#B: Terjadi lacuna huruf, Tidak terdapat “padalingsa”
218
17. Ingkang pasthi yêkti rêmuk/ dog pêking kênèng jêmparing/ satêmah bolong
kewala/ pra santana pra46
dipati/ sadaya eram tumingal/ muji NIkèn Rarasati//
18. Wasise47
pamanahipun/ tuhu punjul ing sabumi/ sandhinge nambungi sabda/
punggawa ing Dwarawati/ satriya ing Madukara/ yèn bab sawiji jêmparing//
19. Pangira kêna ginayuh/ iya sêsamaning janmi/ wong agung ing Madukara/
jêmparingira pra sami/ duwe grahita lir janma/ banggane sang raja putri//
20. Gurune ingkang amuruk/ têka arsa dèn ayoni/ mundhak amba barang wirang/
kasoran mring Rarasati/ wau dyan Drêsthajumêna/ wus dinuta andhawuhi//
21. Lan ambêkta lesanipun/ praptèng raka matur aris/ kang bok kawula dinuta/ ing
rakanta sri bupati/ myang ramanta narendra/ gèn paduka anjêmparing//
22. Lesan doging pêking su-[…173]myar/ timbalan sri Arimurti/ kang bok kang
kinarya andhap/ inggih mring wus Rarasati/ ing rika dènya nanjata/ lesanipun
wêtah maksih//
23. Nanging têngah bolong têrus/ saking têbih tan katawis/ punika kawula bêkta/
lesane tuwan tinali/ pan amung bolong kewala/ botên rêmuk jinêmparing//
24. Sang rêtna tumingal ngungun/ dahat merang jronging galih/ nanging sinamun
ing netya/ sarwi gumujêng dènnya ngling/ iya yayi wus kasoran/ manah lesan
doging pêking//
25. Ingkang kari loro durung/ manawa bisa nulusi/ lah ta wis sira matura/ kang rayi
mundur wot sari/ sang rêtna nyandhak gandhewa/ munya gêndhing Gonjang-
ganjing//
26. Majêng marang ing têtarub/ kèndêl nata silanya ris/ lajêng amênthang
langkapnya/ lumêpas ingkang jêmparing/ sapa ngarahirakêna/ tugêl kang terong
gêlathik//
27. Kang nginggil maksih gumantung/ kang ngandhap tumibèng siti/ gumêr su-
[…174]raking pawongan/ mundur sang raja pinutri/ munya sêsêg gêndhing
niba/ wusnya lênggah kursi gadhing//
46
#B: Terjadi lacuna kata, pada nakah A tertulis “pra santana dipati” 47
#B: terjadi lacuna suku kata, pada naskah A tertulis “wasis”
219
28. Surak kèndêl gêndhing suwuk/ kilèn sampun dèn dhawuhi/ gantya majêng
ananjata/ nulya nikèn Rarasati/ majêng anyangking gandhewa/ munya gêndhing
Gambir Sawit//
29. Praptèng têngah ing têtarub/ lênggah nata silanya ris/ lajêng amênthang
gandhewa/ lumêpas ingkang jêmparing/ kras kêndhone winatara/ kang terong
gêlathik kêni//
30. Têngah bênêr bolong têrus/ kèndêl jêmparinge maksi,/ tumancêp satêngah
gandar/ nèng lesan terong gêlathik/ surak wadya Madukara/ mundur Nikèn
Rarasati//
31. Gêndhing sêsêg lajêng suwuk/ dyan Drésthajumêna prapti/ ngarsaning raka
turirira/ kakang bok kasoran malih/ gèn paduka ananjata/ tugêl kang terong
gêlathik//
32. Sapalih maksih gumantung/ kang sapalih tibèng siti/ ing raka dènya nanjata/
bolong jêmparinge mak-[…175]sih/ tumancêp satêngah gandar/ kang bok kasor
kantun wasis//
33. Sang rêtna nandika rêngu/ iya wus narima mami/ goningsun kasoran lesan/ dhog
pêking terong gêlathik/ kari siji pêpungkasan/ lesan rambut ing kawuri//
XXXII. PANGKUR
1. Ing kana wus karampungan/ sor unggule ingsun lan Rarasati/ yèn wus padha
manah rambut/ lah wis sira matura/ mring jêng rama ingkang rayi pamit
mundur/ sang rêtna nyandhak gandhewa/ têdhak saking kursi gadhing//
2. Majêng maring tarub têngah/ sarêng munya kang gêndhing Gandasuli/ lajêng
mênthang langkapipun/pinawas gya lumêpas/ angênèni tugêl ingkang lesan
rambut/ giyak sagunging pawongan/ surake gumuruh atri//
3. Patang puluh alokêna/ mundur saking tarub sang raja putri/ gêndhing sêsêg
lajêng suwuk/ sarêng kèndêl kang surak/ bangsal kilèn apan dhinawuhan
sampun/ Rarasati majêng sigra/ Da-[…176]nanjaya lingira ris//
220
4. Sapisan iki pungkasan/ sun rewangi ngêdên sing ngati-ati/ kari siji manah
rambut/ kèn Rarasati nêmbah/ nyandhak langkap mudhun saking dènya lungguh/
majêng maring tarub têngah/ gêndhing Calunthang munya sri//
5. Lajêng mênthang langkapira/ wus lumêpas jêmparing angênèni/ sigar ingkang
lesan rambut/ maksih sanjatanira/ kanthil-kanthil anèng lesan datan runtuh/
giyak wadya Madukara/ gumuruh surake atri//
6. Patang puluh alokêna/ mundur saking tarub kèn Rarasati/ gêndhing sêsêg lajêng
suwuk/ Radèn Drêsthajumêna/ sampun prapta ngarsaning raka umatur/ dhuh
kang bok ingkang timbalan/ ramanta kangjêng ramaji//
7. Lan raka sri Padmanaba/ kang bok kandhap awasipun jêmparing/ tugêl ingkang
lesan rambut/ ngrika sigar kewala/ kanthil-kanthil jêmparinge maksih gandhul/
kasor tuwan kaping tiga/ ingkang […177] têtêp kawon wasis//
8. Dhawuhipun jêng ramanta/ kang bok kinèn manjinga jroning puri/ sampun
anèng taman santun/ benjing ing soma ngarsa/ linajêngkên panggih paduka
pukulun/ lan kakangmas Madukara/ janji paduka wus kêni//
9. Botên kenging yèn selaka/ duk miyarsa Rêtna Wara Srikandhi/ ingkang rayi
aturipun/ jêjabang winga-winga/ wus tan kêna sinayutan dukanipun/ ginagas
merang ing driya/ ringas pasuryanira ndik//
10. Ya wus kasor panah ingwang/ nanging maksih ana kari sawiji/ iya ing
punaginingsun/ kang durung kalampahan/ ngadu wulêding kulit tosing bêbalung/
prang tandhing panah pinanah/ yèn nyata si Rarasati//
11. Bisa ngasorkên maringwang/ sakarsaning jêng rama sun takoni/ aja ingkang
Soma ngayun/ nadyan samêngko iya/ pan sandika sakarsane rama Prabu/ kinèn
mawongan marana/ yèn durung karuhan yayi//
12. Luwar-[…178]e pêpanggil ingwang/ aprang tandhing lawan si Rarasati/ kang
adu tosing bêbalung/ yêkti ingsun lênggana/ yèn tinari pêksa lawan rama prabu/
dhawuhkên duka maringwang/ pira larane wong mati//
13. Lah ta wis sira matura/ mring jêng rama mangkono atur mami/ kang rayi
sêdhakêp jêtung/ langkung èmêng tyasira/ amiyarsa kang raka timbalanipun/
dadya matur angrêrêpa/ ragi sêndhu nanging ririh//
221
14. Dhuh kakang bok kadya paran/ dene mawi pasanggiri nusuli/ janji ngajêng
inggih namung/ manah lesan têtiga/ mangke têka mawi garêndhèl ing pungkur/
nusuli gadhah panêdha/ punagi dolanan pati//
15. Angajak panah pinanah/ ngabên tosing balung wulêding kulit/ dede pabênan
satuhu/ punagining akrama/ ingkang kadi karsa paduka puniku/ angajak panah
pinanah/ singa tiwas angêmasi//
16. Ing ngrika masa sukaa/ kang mas Madu-[…179]kara darbe sêlir/ punapa
ingkang binuru/ upama nurutana/ yèn paduka kasoran sayêkti lampus/ punapa
ngrabèni bathang/ yèn kasor pun Rarasati//
17. Kenging panah yêkti pêjah/ wurung rabi malah sêlire mati/ utawi yèn kongsi48
sampyuh/ têmbung kopar-kapiran/ wus kawêngan sêlir bakal bojo lampus/ dhuh
kakang bok kadang ingwang/ dununge sêmbah ngong yêkti//
18. Apan botên wontên ngadat/ putri adi kang bok cidra ing janji/ tan sae
pinanggihipun/ yèn kang bok anglajêngan/ ing karsane kang kadya punika wau/
kang pasthi botên narima/ kakang mas ing Jodhipati//
19. Lan pun arya Gathotkaca/ watak kukuh rêmêne gêdhag-gêdhig/ wong kinarya
anglêlucu/ yêkti sangêt krodhanya/ dhuh kakang bok wêlasa mring rama ibu/
utawi dhatêng kawula/ sang rêtna ngandika wêngis//
20. […180] Sira iku bocah apa/ wong dikongkon cangkême acariwis/ masa ta
mundura ingsun/ marga ing aturira/ yèn kasuwèn mêngko sun panah matamu/
Rahadèn Drêstajumêna/ myat dukane kang raka jrih//
21. Mundur sarwi garundêlan/ praptèng ngarsanira sang prabu kalih/ ngaturkên
saaturipun/ ingkang raka sang rêtna/ nênggih dènya nusuli panuwunipun/ sri
narendra ing Cêmpala/ miyarsa duka tan sipi//
22. Jêjabang mawinga-winga/ gya rinapu mring prabu Arimurti/ paman aji sampun-
sampun/ krodha duka ing putra/ pun Srikandhi punika ing bekanipun/ sae tinurut
kewala/ yayi Drêsthajumêna glis//
48
*B: lacuna huruf “Cêcêk”, pada naskah A tertulis “kosi”
222
23. Iya banjura kewala/ panjaluke bakyumu si Srikandhi/ kapriye wangsulanipun/
kakangmu si Janaka/ Radèn Drêsthajumêna tur sêmbah mundur/ bangsal kilèn
sampun prapta/ umatur saha wot sari//
24. Kakang mas kula di-[…181]nuta/ ing rakanta Sang Prabu Arimurti/ dhawuhkên
panuwunipun/ inggih rayi paduka/ kakang bok ing mangke anusuli atur/
jêmparing lesan têtiga/ wus kasor sadaya sami//
25. Kakang bok sampun narimah/ kasorupun nanging kantun satunggil/ nênggih ing
pêpanggilipun/ kang dèrèng kalampahan/ ngabên wulêding kulit tosing
bêbalung/ prang tandhing panah pinanah/ lan bakyune Rarasati//
26. Yèn ngriku sagêd ngasorna/ mring kakang bok sakarsanta nglampahi/ sampun
kang ginarwa tuhu/ dados èndhèl parêkan/ pan sumaos sakarsa tuwan pukulun/
nadyan ari soma ngarsa/ samangke dhatêng nglampahi//
27. Nanging yèn dèrèng kantênan/ kasoripun ing prang tandhing jêmparing/ lan
bakyu kang anèng pungkur/ kakang bok sru lênggana/ dhinaupkên lawan
paduka pukulun/ prasêtya datan akrama/ wadat praptèng nini-nini//
28. […182]Utawi pinaripêksa/ mring jêng rama yêkti lampus ngêmasi/ lah punika
aturipun/ kados pundi paduka/ ing wangsulan tuwan kang pasthi pinundhut/
mring raka Sri Padmanaba/ sagah lan botên nirèki//
29. Satriya Andananjaya/ duk miyarsa gumujêng dènira ngling/ lah wis uwis
ariningsun/ nora kudu akrama/ dudu wadon mangkana pamundhutipun/ prang
tandhing panah pinanah/ uwis-uwis yayi uwis//
30. Mung pamitêna kewala/ mring sang prabu ingsun mêtu saiki/ saking taman sari
banjur/ mulih mring Madukara/ ing saduka-dukane pan ingsun suwun/ lan
aturna sêmbah ingwang/ katura sang prabu kalih//
31. Aran wus karsaning dewa/ ingsun wurung jinodho lan sang putri/ mulih isin wus
sun pupus/ Rarasati miyarsa/ de sang putri Cêmpala pamundhutipun/ yayah
kadya binêranang/ tyase tan nêdya ngunduri//
223
XXXIII. DURMA
1. […183]Dhuh pangeran lamun makatên kewala/ pamundhute sang putri/ kawula
pan sagah/ inggih angladosana/ sagêndhinge jro jêmparing/ nadyan rukêta/
inggih kula kêmbari//
2. Dananjaya nolih wuri asru nyêntak/ wis asu aja muni/ cangkêmmu gumampang/
pan dudu jêjalukan/ pasanggiri rêbut pati/ asile apa/ angur muliha aris//
3. Ingsun ora kudu krama saking sira/ marga dolanan pati/ si calak caluthak/ apa
asoroh badan/ maju kono bosah-basih/ bangkemu basah/ ajur dening
jêmparing//
4. Rarasati tur sêmbah nadyan ajura/ sampun kula andhêmi/ pan sakêthi merang/
lamun kula mêdala/ ngunthul saking taman ngriki/ luhung pêjaha/ aprang lawan
sang putri//
5. Dananjaya langkung kaku ing wardaya/ binungkêm Rarasati/ iki cangkêm apa/
dene mangap kewala/ apa lambene sun iris/ mari-[…184]ne mênga/ lah wis
payo dèn aglis//
6. Lah dhisika mêtuwa ing jaba kana/ aja kèh sira pikir/ wirang-wirang apa/ apan
ta dudu sira/ ingkang nora sida rabi/ isin lan wirang/ sun andhêmi pribadhi//
7. Lah wis-uwis payo ta mulih kewala/ Rarasati ambêkis/ nadyan kang tinantang/
inggih dede paduka/ dhumatêng sang raja putri/ apan kawula/ kang ingajak
prang tandhing//
8. Praptèng pêjah pan inggih dede paduka/ kawula kang ngêmasi/ lamun
padukarsa/ kondur inggih kondura/ kawula kantun pribadhi/ ngladosi ing prang/
tandhing lawan sang putri//
9. Dananjaya asru dènya têbah jaja/ saking kakuning galih/ dyan Drêsthajumêna/
nêmbah sru aturira/ dhuh kakangmas kadi pundi/ dene grêjêgan/ bakayu wus
nyagahi//
224
10. Têmah kangmas49
ngêkahi sarta dêduka/ paranta ingkang pasthi/ mangke tur
kawu-[…185]la/ sang Parta emêng ing tyas/ ngandika sarwi ngesahi/ sira tariya/
ingsun aja miyarsi//
11. Rarasati nulya matur mring rahadyan/ matura ing sang aji/ yèn kawula sagah/
latah Drêsthajumêna/ inggih bakyu inggih-inggih/ mangke kawula50
/ ingkang
matur sang aji//
12. Pan ing mangke matane kangbok kewala/ sipatên ing jêmparing/ wuwuh kaul
kula/ lamun kangbok kasoran/ sanadyan kadang pribadi/ tyase tan kaprah/
langkung ngakokkên ati//
13. Sigra wangsul wau dyan Drêsthajumêna/ praptèng ngarsa wot sari/ matur mring
kang rama/ sasolahe dinuta/ yèn Rarasati nyagahi/ tinandhing ing prang/ lan
kakangbok kadugi//
14. Wau kangmas sangêt kêkah botên suka/ nanging pun Rarasati/ dinukanan mêksa/
majêng ing sagahira/ prang tandhing sami jêmparing/ nadyan rukêta/ ing prang
sagah ngêmbari//
15. Sru gumu-[…186]jêng narendra51
Krêsna ngandika/ iya banjura yayi/ mring
bakyumu kana/ lamun wus sinaguhan/ iya mring si Rarasati/ dènira karya/
pasanggiri prang tandhing//
16. Nêmbah mundur Rahadèn Drêsthajumêna/ bangsal wetan wus prapti/ alon
aturira/ nèng ngarsane kang raka/ dhuh kangbok dèn ngati-ati/ pamundhut
tuwan/ pan sampun dèn sagahi//
17. Mring pun Rarasati prang tandhing sanjata/ sakarsanta ngladosi/ dhuh kang bok
tur kula/ bok bibaran kewala/ sampun mawi kêdhah-kêdhih/ lamun paduka/
lumuh-umuh sayêkti//
18. Mring kakangmas kawula ingkang matura/ yêkti tan dados runtik/ saene punapa/
ing wong dolanan pêjah/ manah kawula kuwatir/ miyat dènira/ sagah pun
Rarasati//
49
*B: lacuna huruh “cêcêk”, pada naskah A tertulis “kamas” 50
Lacuna huruf “padalingsa” 51
*B: Kesalahan tulis pada naksah A terulis “Garendra”, “Na murda” ditulis seperti huruf “Ga”
225
19. Kadya wêsi ingêlus-êlus tan kêna/ sang dyah ngandika wêngis/ dhasar wus sun
sêdya/ tandhing padha pra-[…187]wira/ hèh ta dhawuhna dèn aglis/
gamêlaningwang/ ing mêngko yèn wis muni//
20. Ingsun mijil kana nuli nimbangana/ mêtu gamêlan muni/ ing prang
anganggowa/ panah lesan kewala/ kang rayi mundur wotsari/ mring bangsalira/
kilèn wus dèn dhawuhi//
21. Rarasati lan sang rêtna sarêng dènya/ ngrasuk kaprabon jurit/ endhonge
sinandhang/ ngiwa gandhewa samya/ acancut singsêt mathinthing/ pantês
kalihnya/ wangun putri prajurit//
22. Sang dyah mijil gamêlan munya angangkang/ bangsal kilèn nimbangi/ muni
Sobrang barang/ mijil sarêng lan surak/ wus ayun-ayunan kalih/ sawang
sinawang/ ngiwa gandhewa sami//
23. Sêdhêng dohe dènira samya mrih papan/ satibaning jêmparing/ yayah lir
kinêmbar/ warnane kang tandhing prang/ kalihe ayu linuwih/ lir Wilutama/
tandhing prang lawan Ratih//
24. Prabu kalih sarêng têdhak dènya[…188] lênggah/ jumênêng satêpining/ tarub
dènya nglênggah/ myang sagung prasantana/ pra dipati dhodhok sami/ langkung
marmanya/ mulat kang arsa jurit//
25. Dananjaya sèwu maras sèwu susah/ tambuh solah ing jurit/ nora têgêl52
mulat/
mring kalih kang tandhing prang/ sakêthi saking kuwatir/ yèn ta sampuna/ ajrih
sri Arimurti//
26. Rarasati kadya linarak larakke/ sinêndhal saking wuri/ sagung kang pawongan/
lan wadya Madukara/ kang surak sadaya sami/ arawat waspa/ wauta kang
ngajurit//
27. Sang dyah ngawe sasmita kèn dhinginana/ Rarasati nulya glis/ mênthang
langkapira/ jêmparing wus lumarap/ tinangkis gandhewa gadhing/ sang rêtna
gantya/ jêmparing gya tinangkis//
52
*B, terjadi slah tulis pada naskah A, bacaan sebelumnya tertulis “têgêg”
226
28. Ing gandhewa lajêng mênthang langkapira/ lumarap kang jêmparing/ praptane
cinandhak/ tinikêl gya binuwang/ gantya wau anjêmparing/ cinan-[…189]dhak
kêna/ tikêl binuwang aglis//
29. Sarêng salin laras sarêng ananjata/ pur pupug papag sami/ sanjata sun sirna/
larape kang warastra/ lir sêsiring kilat thathit/ marma kang samya/ mulat
tingkah ing jurit//
30. Kalihira wasis miwah awasira/ tan nana kang kasisib/ wus dangu dènira/ aprang
lancaran panah/ gantya nyandhak gantya tangkis/ yèn sarêng culnya/ papag
sami jêmparing//
31. Dangu-dangu kaledhon panangkisira/ Rêtna Wara Srikandhi/ gandhewanya
pagas/ sinipat ing sanjata/ tumamèng jaja sang putri/ kantêp tan panah/ mung
badhonge kang sêbit//
32. Langkung merang yayah kadi tan panon ngrat/ narik patrêmira glis/ Rarasati
mulat/ nimbangi sigra mbuwang/ gandhewa patrêm tinarik/ paran-pinaran/
kumêsar kang ningali//
33. Kalihira kantun gapyuke kewala/ nulya sri Arimurti/ anyandhak sang rêtna/
[…190] sang Parta gurawalan/ gya nyandhak mring Rarasati/ sapih kalihnya/
ingundurakên sami//
34. Sang kusuma grêjêgan anjrit karuna/ kang raka ngarih-arih/ lah wis aja-aja/
sêdhêng samene uga/ ing wong ngluwari punagi/ lamun luwiha/ ilang manising
putri//
XXXIV. DHANDHANGGULA
1. Pan kantaka sang raja pinutri/ lajêng binêkta manjing jro pura/ pawongan
gumêr tangise/ bubar sadaya sampun/ mêdal saking ing taman sari/ wau ta sang
lir rêtna/ wungu pungun pungun/ èngête saking kantaka/ sang dyah wangsul
têdhak taman sari malih/ kang ibu nulya prapta//
2. Ngrangkul putra sarwi ngandika ris/ nini lakuningsun pan dinuta/ mring wong
tuwanira anggèr/ anodhi mring sirèku/ karêpira ingkang sayêkti/ samêngko
227
ingkang dadya/ panjalukira wus/ kalakon sadayanira/ miwah lesan jêmpa-
[…191]ring lan aprang tandhing/ wus kêna janjinira//
3. Nora kêna selak sri bupati/ yèn wus dadi parênge tyasira/ ing Soma arsa dadine/
dhinaupkên sirèku/ lan ki Parta karsa sang aji/ ewadene yèn sira/ nini bangêt
lumuh/ dhaup lan si Dananjaya/ wus tinanggung mring Sang Prabu Arimurti/
ing kana wus narima//
4. Ingkang putra sang dyah matur aris/ botên ewah ibu tur kawula/ rumiyin dalah
samangke/ panêdha kawula mung/ pasanggiri lesan jêmparing/ mangkya wus
kalampahan/ inggih luwaripun/ panêdha kula tinêkan/ lesan panah miwah prang
tandhing jêmparing/ ibu atur kawula//
5. Botên wontên putri cidrèng janji/ sampun mênggah kang kinarya garwa/
sanadyan inggih ginawe/ garwa paminggiripun/ sayêktine kula lampahi/ kang
ibu duk miyarsa/ kang putra rinangkul/ […192] ya mangkono putraningwang/
mendah baya ing mêngko sukaning galih/ ramanira sang nata//
6. Wus kariya anèng taman sari/ ingsun matur mring sudarmanira/ pramèswari
kondur age/ praptèng arsa sang prabu/ pramèswari matur wot sari/ saature kang
putra/ sadaya wus katur/ sang nata kalangkung suka/ sigra dènnya parèntah
marang apatih/ tuwin marang kang putra//
7. Asanengga samêktaning kardi/ panggihira sang rêtna kalawan/ satriya
Madukarane/ myang rêngganing têtarup/ ing jro pura lan pancaniti/ kunêng
malih winarna/ nênggih taman santun/ Kusuma Putri Cêmpala/ lênggah anèng
botrawi siniwèng cèthi/ êmbanira dinuta//
8. Sira biyang sebaa dèn aglis/ iya mring wong agung Madukara/ yèn parêng lêga
galihe/ abdine ingsun suwun/ mring jro pura si Rarasati/ ngla-[…193]dènana
maringwang/ anèng jro kadhaton/ lah biyang nuli mangkata/ lan pêthukên
lêbune si Rarasati/ rong puluh kang pawongan//
9. Apan iya sêlire kêkalih/ sasat garwa rêngganên ing marga/ êmban sandika
ature/ saking arsa wus mundur/ lawan upacara sapalih/ pawongan kang
ambêkta/ wau kang winuwus/ satriya Andananjaya/ nèng pakuwon duk lênggah
siniwèng dasih/ Sêmar Bagong nèng ngarsa//
228
10. Kagyat mulat pawongan kyèh prapti/ gumarêdêg sartane ambêkta/ pacara raja
kaputrèn/ nikèn êmban tumundhuk/ praptèng arsa matur wot sari/ gusti lampah
kawula/ dinuta pukulun/ ing ari sang rêtnaning dyah/ pan anuwun abdinta kèn
Rarasati/ tinimbalan mring taman//
11. Ngladosana ing ari sang dèwi/ sakarsane praptèng ari Soma/ punika upacarane/
kang sapalih pukulun/ pinêthukkên abdinta gusti/ sampun kuciwèng […194]
marga/ mangke lampahipun/ Dananjaya mèsêm ing tyas/ sarwi nolih ngandika
mring Rarasati/ sirèku tinimbalan//
12. Mring gustimu sang raja pinutri53
/ kaya ngapa iya aturira/ Rarasati tur
sêmbahe/ pintên-pintên pukulun/ sinaruwe marang ing gusti/ mugi tuwan
paringna/ Sang parta lingnyarum/ iya dèn bisa kèwala/ angladèni sun karya
patiba sampir/ nuli sira dandana//
13. Hèh Sucitra iringna pribadi/ arinira lakune nèng marga/ mung ngalanjajaran
bae/ aja anganggo tandhu54
/ pira dohe ing taman sari/ sucitra tur sandika/
Rarasati sampun/ nêmbah mundur saking ngarsa/ Dananjaya têdhak angatêr ing
kori/ ningali lampahira//
14. Rarasati pinayungan putih/ ginarêbêg rong puluh pawongan/ sakawan bêktane
dhewe/ nênggih parêkanipun/ sang kusuma Banoncinawi/ pan raras-[…195]se
sêngkêran/ warnanya yu-ayu/ binêktakên mring Cêmpala/ munggèng arsa wor
pawongan ingkang sami/ angampil upacara//
15. Jajarane waos rolas sisih/ mantra patang puluh wurinira/ arya Sucitra tindhihe/
adhangah apêpayung/ ing samarga-marga pan dadi/ tontonan lampahira/
têpining marga gung/ jêjêl tan kêna piniyak/ jalu èstri ting balêbar ingkang kari/
akèh kang tinggal karya//
16. Tilar jantra ingkang lagya ngantih/ ingkang lagya adang tinggal dandang/ kang
ngliwêt tinggal kêndhile/ ingkang ngangsu tinggal jun/ kang nusoni tinggal
bêbayi/ kêmbênne kulèwèran/ nora etang-etung/ susune sinonggèng asta/ pan
kasusu prêlu dènya ningali/ kang sawênèh wanodya//
53
#C: terjadi lacuna suku kata, pada naskah A tertulis “sang raja putri”, sedangkan pada naskah B
tertulis “sang kusuma adi”. 54
*B: terjadi lacuna huruf koma atau “padalingsa”
229
17. Ngêmban anak dènira ningali/ praptanira pinggiring dêdalan/ gumuyu ngliling
anake/ miluwa bapakamu/ yèku ingkang pêpayung wi-[…196]lis/ ana kang
nyablèk anak/ lah miluwa gupuh/ iya marang ibunira/ kang ginrêbêg ing arsa
pinayung putih/ pangantèn ngêndi baya//
18. Dene dharat lumaku sarimbit/ eman-eman pantêsa kalihnya/ nungganga jaran
bêcike/ wadonne munggèng tandhu, kang wus wikan alon nauri/ dudu pangantèn
anyar/ yèku patihipun/ satriya ing Madukara/ kang dèn iring iku garwane
paminggir/ kang dèn adu nèng taman//
19. Manah lèsan rambut dhoging pêking/ terong gêlathik sang dyah kasoran/ iku sun
wêruh pêrake/ iya nora sri gunung/ nyata lamun ayu linuwih/ sairib lan sang
rêtna/ ing pasêmonipun/ iku gumyah ing pawarta/ palihanne kusuma
Banoncinawi/ anake Antagopa55
//
20. Juru sawah ing Madukara nguni/ kang anggadhah sang rêtna Sumbadra/ miwah
kang raka kalihe/ sri Baladewa prabu/ […197] myang sri Krêsna ing
Dwarawati/ anake Antagopa/ among loro iku/ Patih Udawa kang tuwa/ wuragile
iku nikèn Rarasati/ nanging panduganingwang//
21. Dudu Antagopa kang nètèsi/ iya baya mambu trah kusuma/ sun sawang ana
tèmpèle/ iku kêkuwungipun/ lir trênggana angikis ratri/ layak sang dyah
kasoran/ prang tandhing lan iku/ galak ulate wus samya/ lan sang rêtna
pawakan ramping tarincing/ pantês wantir ing driya//
22. Tan wus wuwusan ingkang ningali/ pan lam-lamên samyal ngalêmbana/
mangkana prapta lampahe/ kèn Rarasati sampun/ lajêng manjing ing taman sari/
wangsul patih Sucitra/ lan sakancanipun/ wau ta sajroning taman/ sang kusuma
wus têdhak saking botrawi/ mêthuk ing prajanira//
23. Rarasati ginrêbêg pra cèthi/ pan kinanthi marang nikèn êmban/ sang rêtna
gupuh angawe/ […198] Rarasati tumundhuk/ praptèng arsa mêndhak wotsari/
sang dyah angrangkul sigra/ sarwi ngandikarum/ lah ta yayi basaningwang/
marang sira sun ngambil kadang sayêkti/ iya kadang taruna//
55
*B: pada setiap penulisan nama “Antagopa” pada naskah A tertulis “ontagopa”, sama dengan kasus
sebelumnya pada penulisan nama “Angkawijaya” yang ditulis “Ongkawijaya”.
230
XXXV. SINOM
1. Iya milu raganingwang/ mring kangbok Banoncinawi/ pamundhute marang sira/
ingakên kadang sayêkti/ lir tunggal yayah bibi/ dhasare palihanipun/ haywa ta
sira beda/ panganggêpira ing mami/ lawan marang kakangbok gawenên padha//
2. Dene sagung kaluputan/ ingkang wus kalakon yayi/ padha binuwang kewala/
salin pikir ingkang kari/ gone bakal nglakoni/ yèn salamêt marang kakung/
ingsun yayi tuduhna/ kang dadi wadining laki/ lan kang dadi parênge iya
tuduhna//
3. Rarasati matur nêmbah/ dhuh gusti botên kuwawi/ kang abdi yèn nampènana/
pangandika sang rêtnadi/ dènya andhawuhkên sih/ […199] dasihe arsa
pinundhut/ kadang dede sawawrat/ mila-mila trahing abdi/ nèng dêlahan
pantêse angèstu pada//
4. Ing gusti sang rêtnaning dyah/ Kusuma Wara Srikandhi/ langkung rêsêp ing
wardaya/ myarsa ture Rarasati/ mèsêm ngandika aris/ yayi sun tannya satuhu/
lawase pirang candra/ sira winulang jêmparing/ mring jêng pangran samono
kawignyanira//
5. Rarasati matur nêmbah/ inggih naming kalih ari/ wontên ing ngriki kewala/
sarêng dhawah sang rêtnadi/ mundhut patiba sampir/ rakanta pamulangipun/
ingkang kinarya lèsan/ waluh gerong gêng saguling/ têbihipun naming kalih
dasa tindak//
6. Punika awis kengingnya/ gèn kawula anjêmparing/ mila ngong ngungun
kalintang/ wingi kala angladosi/ ing gusti sang rêtnadi/ lesan anèng taman
santun/ sarambut tan supêna/ lesan tigan […200]dènya kenging/ mila sarêng
pêpungkasan lesan rema//
7. Ciptèng ulun datan angsal/ ing pamawas langkung têbih/ lêt sadhêpa saking
lesan/ dumadakan kang jêmparing/ menggok mara pribadi/ mring lesan rema
cumundhuk/ kanthil-kanthil tan rêntah/ kados-kados dèn japani/ jêmparinge
gusti mring raka paduka//
231
8. Dene grahita lir janma/ mara mring lesan pribadi/ sang rêtna duk amiyarsa/
gumujêng sarwi gablogi/ gêgêre Rarasati/ suthik têmên sira iku/ yayi ingaran
wignya/ bojone ingkang kinardi/ aling-aling kang dèn aranana guna//
9. Masa ta dadak iyaa/ panah nganggo dèn japani/ gumêr gujênging pawongan/
sadaya rêsêp ningali/ marang kèn Rarasati/ gandhês luwêsing pamuwus/ wasis
ing pasang cipta/ ing têmbung manis patitis/ cinarita kusuma pu-[…201]tri
Cêmpala//
10. Yayah kasok ing tyasira/ sihira mring Rarasati/ tan kênacah sanalika/ kinanthi
ing siyang ratri/ dhahar sare tinunggill/ nèng tilam sakarang ulu/ prapta ing ari
soma/ jaba jro samêkta sami/ ing saupa rênggane sadayanira//
11. Rêroncène tan winarna/ cinandhak ramening kardi/ rêrênggan sang
pinangantyan/ wus pinanggihakên kalih/ Sang Parta lan sang putri/
sinêmbahkên rama ibu/ sri bupati Cêmpala/ lan Sang Prabu Arimurti/ pra
santana para putri pra dipatya//
12. Nutug suka parisuka/ jaba jro sukanya ngênting/ samya amboga ndrawina/
karamèn ing siyang ratri/ miwah sajroning puri/ sang pangantyan kalihipun/
rêsêping pagujêngan/ rapête karamèn sami/ Rarasati kang dadya sêsêdhepira//
13. Karya bêbukaning suka/ dhè-[…202]mês sapa ngucap manis/ kakênan tyase
sadaya/ jro pura myang pramèswari/ asih mring Rarasati/ rêsêping galih
rumasuk/ lir yayah gènnya yoga/ cinatur panggihirèki/ Dananjaya lan raja putri
Cêmpala//
14. Pan maksih anunggil warsa/ kalawan lahirirèki/ Rahadèn Angkawijaya56
/
jamanira purwa maksih/ sêngkalanira karti/ yèn wulana rasa mungguh/
mangkana sawusira/ nênggih ing panggihirèki/ catur dina sri Krêsna sampun
anduta//
15. Radèn Arya Gathotkaca/ ingkang tinuduh dhingini/ tur uninga mring Amarta/
dadosa lampahirèki/ radèn among pribadi/ mêsat ing gêgana ngayuh/ wadyanira
tinilar/ ing wuri samêkta sami/ enjing badhe budhale narendra Krêsna//
56
*B: pada naskah A tertulis “Ongkawijaya”
232
16. Angundhuh pangantènira/ ing dalu datan kawarni/ enjingira wus […203]
samêkta/ narendra Krêsna wus pamit/ lan pangantèn kêkalih/ nêmbah marang
rama ibu/ Radèn Drêsthajumêna/ nênggih kang kinèn umiring/ mring Ngamarta
lan sapalih pra dipatya//
17. Panganjur têngara budhal/ bala wil ing Pringgadani/ ki patih Brajamikalpa/
ingkang anindhihi baris/ umyang kêndhang saruni/ ing wuri ingkang
sumambung/ wadyabala Cêmpala/ pra dipati kang nindhihi/ munggèng wuri
Rahadèn Drêsthajumêna//
18. Nitih rata nawa rêtna/ nulya wadya Dwarawati/ Radèn Arya Wrêsniwira/
ingkang anindhihi baris/ nulya upacarèstri/ jêmpana ingkang sumambung/
titihane sang rêtna/ prajurit ingkang jajari/ wolung dasa prajurit kapraboning
prang//
19. Wadyabala Madukara/ ingkang sumambung ing wuri/ Sri Maha Narendra
Krêsna/ lawan ingkang rayi nunggil/ nèng jroning rata[…204] manik/ ing wuri
ingkang sumambung/ mungkasi wuri pisan/ wong agung ing Jodhipati/ mandhi
gada adharat sawadyanira//
20. Samarga dadya tontonan/ lampahi baris tulya sri/ sabên saupacara bra/ sagung
ingkang pradipati/ ingkang samya nindhihi/ pangkat-pangkat lampahipun/
prapta jawining kitha/ wus lêpas lampahing baris/ kari tistis nagari Cêmpala
Rêja//
21. Lir koncatan ing sêsotya/ kunêng kang maksih nèng margi/ gantya malih
kawuwusa/ satriya ing Pringgadani/ kang dinuta dhingini/ margèng gêgana
prapta wus/ nagari ing Ngamarta/ tumamènga byantara ji/ ngraup pada
rinangkul lungayanira//
22. Wus kinèn lênggah nèng ngarsa/ dinangu matur wotsari/ lamun dinuta kang
uwa/ Sang Aprabu Dwarawati/ kinèn atur udani/ raharjane lampah-[…205]ipun/
marang nagri Cêmpala/ dhawuhing pangapura ji/ mring kang paman
linajêngakên kewala//
23. Pinaringkên putranira/ ing têmah dadosing jurit/ lan prabu Jungkung Mardeya/
miwah duk nèng taman sari/ dadya lesan jêmparing/ praptèng prang
233
tandhinganipun/ wus katur sadayanya/ sasolah tingkahirèki/ nèng Cêmpala tan
wontên kang kakirangan//
24. Inggih sapêngkêr kawula/ rakanta ing Dwarawati/ budhalan sawadyanira/
saking Cêmpala nagari/ sang prabu duk miyarsi/ mèsêm ing tyas sigra dhawuh/
mring Nakula Sadewa/ miwah marang pramèswari/ asanega samêktanira ing
karya//
25. Badhe pangantèn praptanya/ kusuma Banoncinawi/ wus linilan kondurira/
sanega dalêmirèki/ dènya badhe nampèni/ pangantèn ing kunduripun/ Madukara
Ngamarta/ […206]saneganira ing kardi/ wus samêkta antara ing tigang dina//
26. Rawuh kang saking Cêmpala/ Sang Aprabu Arimurti/ ngambah rêratan nagara/
tinata lampahing baris/ sagunging pradipati/ ing sapangkat-pangkatipun/ tuwin
para Santana/ sabên saupacara sri/ ingkang nitih rata myang kang munggèng
kuda//
27. Busêkan wadya sapraja/ kayungyun tyasira sami/ ing rawuhe gustinira/ satriya
Madukara di/ suka-sukanya ngênting/ dene nguni akatipun/ maring nagri
Cêmpala/ sapraja samya prihatin/ bok manawa gustine manggih dêduka//
28. Satêmah rawuh raharja/ malah antuk boyong putri/ Wara Srikandhi kabêkta/
marma sukanya tan sipi/ yayah dadya punagi/ tyase kang wadya bala gung/ jêjêl
têpining marga/ jalwèstri ingkang ningali/ pan kasmaran ing rawuhe[…207]
gustinira//
XXXVI. ASMARADANA
1. Tan wus sukanira sami/ punagi ing gustinira/ saking kayungyun rawuhe/ miwah
srining lampahira/ ingkang saking Cêmpala/ cinêndhak sadaya sampun/
praptèng alun-alun samya//
2. Wadya gung anganan ngering/ amèt gon tata barisnya/ umyang gumuruh
swarane/ Sang Aprabu Yudhisthira/ wus mijil pagêlaran/ jêmpana ing
praptanipun/ linajêngakên mring pura//
234
3. Rawuh prabu Arimurti/ lan satriya Dananjaya/ têdhakke saking ratane/ anèng
têpining têratag/ Sang Prabu Yudhisthira/ mring raka sigra tumundhuk/
ngrêrêpa nyandhak astanya//
4. Mèsêm sasmitanira ji/ matur raharjaning lampah/ sri Krêsna latah gujênge/
karasa rarasing karsa/ dènya sarèh sumarah/ mring Cêmpala pasrahipun/ sapa
ekanira kêna//
5. Pangancase […208] nora sisip/ dènya mirapêt rêrênggang/ gumrèwèl kêna
putrine/ nulya kalih kanthèn asta/ aris ing lampahira/ pra santana grêbêg
pungkur/ sapraptanirèng jro pura//
6. Tata lênggahira sami/ anèng madyaning Pandhawa/ wus aglar sêsaosanne/
asrining kang pasugata/ tan nana kakurangan/ samya dhadharan anutub/ miwah
sang narpadayita//
7. Dhadharan lawan kang rayi/ luwar saking ing sungkawa/ kèn Rarasati sagête/
akarya sukane samya/ anggung dènya gujêngan/ cucud ing mêmanisipun/ gumêr
gujênging pawongan//
8. Kang ana ing Pancaniti/ pra dipati tinimbalan/ angladosi ing karamèn/
wadyagung wus sinêgahan/ tan ana kakurangan/ gumuruh ing alun-alun/ cinatur
ing tigang dina//
9. Sang Prabu ing Dwarawati/ dènya mung[…209] sukaning driya/ mring kang
rayi sadayane/ tan pêgat sukandrawina/ suka anutug suka/ ing sawuse tigang
dalu/ anèng nagari Ngamarta//
10. Prabu Padmanaba pamit/ kondur maring prajanira/ budhal sawadyabalane/
miwah putra ing Cêmpala/ lan Radèn Gathotkaca/ budhal lan sawadyanipun/
mantuk maring prajanira//
11. Nulya enjingipun malih/ Satriya Andananjaya/ sampun linilan pamite/ kondur
sarta lan kang garwa/ marang ing dalêmira/ kang umiring lampahipun/ Radèn
Nakula Sadewa//
12. Ing samarga maksih dadi/ tontonan ing lampahira/ tan wus sukaning wadyakèh/
kang mulat ing gustinira/ cinêndhak srining marga/ ing madukara prapta wus/
têdhakke saking jêmpana//
235
13. Kusuma Wara Srikandhi/ Rarasati tan kêna sah/ kinanthi ki-[…210]wa astane/
kusuma Wara Sumbadra/ mêthuk nèng paringgitan/ Wara Srikandhi tumungkul/
nêmbah anungkêmi pada//
14. Cinandhak astanirèki/ kinanthi binêkta lênggah/ nèng madyaning dalêm gêdhe/
Rarasati maksih dènya/ datan sinung pisaha/ acakêt dènira lungguh/ wuri rada
keringira//
15. Sulastri munggèng wurining/ gustine Rêtna Sumbadra/ kapara rada kananne/
aglar sagunging pawongan/ Rêtna Wara Sumbadra/ mèsêm angandika arum/
heh yayi putri Cêmapala//
16. Ingsun pasrah ing sirèki/ jroning dalêm Madukara/ tampanana saisine/ lan
sapawonganne pisan/ sira kang bakonana/ aja sumêlang maringsun/ lair batin
wus narima//
17. Momong mring sutanirèki/ lan ngawat-awati sira/ iya saka wuri bae/ ba-
[…211]rang parentahing driya/ sira kang nampanana/ ingsun darma dadi
sêpuh/ amung titip bocahira//
18. Rarasati lan Sulastri/ kanthinên nèng wurinira/ amung yèn ana lupute/ dèn
agung aksamanira/ miwah wêwulangira/ karana bocahirèku/ karo pisan pan
ugungan//
19. Durung pati ingsun prêdi/ tapsilanirèng wanodya/ marma ing tandang tanduke/
kurang tapsilaning krama/ mung wanine kewala/ nanging yayi lowung-lowung/
kanthinên wuri kewala//
20. Sulastri lan Rarasati/ myarsa linge gustinira/ samya tumungkul kalihe/ miwah
sagunging pawongan57
/ wau putri Cêmpala/ Wara Srikandhi anjêtung/ kakênan
tyasira kadya//
21. Rêmêk rêntah tibèng siti/ marêbêl mijil waspanya/ èsmu karuna ature/ dhuh sang
dewa-[…212]ning wanodya/ kangbok gusti kawula/ sarambut pinara sèwu/
botên andarbeni cipta//
57
#B: Terjadi lacuna satu suku kata, padanaskah A tertulis “pawong”.
236
22. Kumawawa ambawani/ kadya ingkang pangandika/ ing uni dalah samangke/
prapta ulun Madukara/ nêdya angèstu pada/ mring paduka nuting tuduh/ kadya
yayi kalihira.//
23. Sulastri lan Rarasati/ ngamping-ampingi paduka/ worên dèn atêmah layon/
lamun gadhahana cipta/ lyan saking sapunika/ Wara Sumbadra lingnyarum/
witne lamun mangkonoa//
24. Prasêtyanta yayi dèwi/ nêdya ngambil kadang tuwa/ marang ingsun lamis bae/
yèn sira tan nampanana/ marang ing pasrah ingwang/ yèn anggêpingsun satuhu/
yayi dèwi marang sira//
25. Kadang sayayah sabibi/ praptèng don aja sulaya/ lêbur luluha wong loro/
angladèni ma-[…213]rang priya/ duk sira durung prapta/ iya bocahira iku/ karo
pisan pan ugungan//
26. Aling-aling anampani/ barang parentahing priya/ ingsun jangkung wuri bae/ ing
mêngko wus ana sira/ wajibe mêngko sira/ wêrana ling-alingingsun/ Wara
Srikandhi miyarsa//
27. Sumungkêm ing pada kalih/ dhuh kangbok inggih sandika/ ulun nglampahi
sapakon/ lêbura awor lan kisma/ sarambut tan suminggah/ mangkana
pawonganipun/ bêbêktan saking Cêmpala//
28. Kawandasa dongong sami/ mulat ing Wara Sumbadra/ miyarsa pangandikane/
kadya tumètèsing kalang/ jawil-jinawil samya/ dene mau ingsun dulu/ warnane
babag kewala//
29. Lawan gustiku sang putri/ mung kacèk ruruh lan ladak/ mêngko basa suwe-suwe/
ayune sang-[…214]saya prapta/ miwah mêmanisira/ cahyane gumrêmêt muncul/
kêkuwunge kang wadana//
30. Ngasorkên rêsmining sasi/ soring wiyat ngêndi ana/ putri kang kaya mangkono/
sandhinge nambungi sabda/ mêndah sira mulata/ nguni duk pangantènipun/
rinêngga dèning busana//
31. Ingayap ing para cèthi/ ayune mijil sadaya/ miwah sêdhêpe manise/ kang
sinimpên kabèh prapta/ kalumut ing sarira/ cahya kêkuwunge rawuh/ mulêk
sênênne kang cahya//
237
32. Jro kadhaton Dwarawati/ sasat rinênggèng markata58
/ para putri surêm kabèh/
kang dadya pangarihira/ garwa hyang Kamajaya/ wartane guruning ayu/ apsari
Ngendra bawana//
33. Ingkang apan dèwi Ratih/ parandene nora bisa/ ngasorake putri kuwe/ ing
warna mi-[…215]wah ing cahya/ malah-malah kapara/ dèwi Ratih kari ruruh/
kurang mucung ing wanodya//
XXXVII. POCUNG
1. Tan wus lamun winuwus kang samya muwus/ pawongan Cêmpala/ idung-
idungên prasami/ ngalêmbana mring Rêtna Wara Sumbadra//
2. Ya ta wau kang karamèn Pandhawa gung/ Radèn Dananjaya/ nyugata mring
rayi kalih/ lan punggawa Ngamarta dhèrèk sadaya//
3. Pan sadalu dènira bojana nutug/ wadya Madukara/ prajurit kang para mantri/
lir punagi sukane anutug suka//
4. Dènya wau mêntas unggul ing prang pupuh/ gustinya akrama/ Kusuma Wara
Srikandhi/ ingkang mangka boyongan ing kondurira//
5. Enjingipun dyan59
Nakula Sadewèku/ kondur dalêmira/ kang kantun karamèn
malih/ cinari-[…216]ta Satriya Andananjaya//
6. Sukandulu garwanira ingkang sêpuh/ dene wus tan ana/ labête rênguning galih/
nênggih dènya nampèni putri Cêmpala//
7. Tangkêpipun wus tan mantra lamun maru/ wus sahengga kadang/ tunggil
sayayah sabibi/ miwah putri Cêmpala tansah bêktinya//
8. Sungkêmipun mring kang garwa sakalangkung/ anrus ing wardaya/ luwih saking
ibu sori/ lêbur luluh sapakone linampahan//
9. Sang dyah sampun pinatah panggenanipun/ nèng kamar kang wètan/ kusuma
Banoncinawi/ kamar kilèn wau pasareanira//
58
*B: terjadi kesalahan tulis, bacaan pada naskah A adalah “mangkata”. 59
Terdapat interpolasi huruf “pengkal”, bacaan sebelumnya “dan”.
238
10. Sêliripun kêkalih samya sih lulut/ mring putri Cêmpala/ basane samya anggusti/
nanging putri Cêmpala yayi basanya//
11. Kalihipun pan inganggêp kadang […217] tuhu/ marmanya sih samya/ runtut
datan walang ati/ dene sungkêmira mring Wara Sumbadra//
12. Katrinipun sungkême kadya mring ibu/ dènira mrih gungan/ nanging ing batin
anggusti/ luwih saking mring wong agung ajrihira//
13. Tuhu lamun winongwong ing jawata gung/ Rahadèn Janaka/ inutug karsanirèki/
sinatriya wibawa ngluwihi raja//
14. Lamun nuju siniwi ing para arum/ garwa kalih jajar/ tan têbih nèng kanan
kering/ munggèng kanan kusuma Wara Sumbadra//
15. Sang Dyah Ayu Srikandhi nèng keringipun/ Rarasati ngarsa/ jajar lan nikèn
Sulastri/ ngêpalani garwa paminggir sadaya//
16. Patang puluh pêpingitan ayu-ayu/ andhèr wuri ngarsa/ pawongan parêkan cèthi/
êmban inya wurine garwa kalihnya//
17. Sêliripun kalih sami kaduk pu-[…218]run/ mring Radèn Arjuna/ tan mantra
garwa paminggir/ luwih saking purune garwa kalihnya//
18. Nyiwêl pupu jiwiti wêntise purun/ lamun gêgujêngan/ nyablèk bêkis maleroki/
angosoa ing atur purun kewala//
19. Mangke sampun radèn putri yuswanipun/ dungkap tigang warsa/ sêdhênge
ambêbêlêri/ mring kang ibu gungane kalintang-lintang//
20. Siyang dalu anggêgêndhil mring kang ibu/ ginanti tan arsa/ mring Sulastri
Rarasati/ miwah marang kang ibu putri Cêmpala//
21. Radèn sunu sinaputan kang jinaluk/ budine sangsaya/ kang jinaluk solan-salin/
kang wus ana tinampik jaluk tan ana//
22. Ramanipun wêlas ing garwa duk dulu/ dadya gung pêpara/ misaya kidang
myang kancil/ jaring pêksi jontrot mangkat masang ka-[…219]la//
23. Kunêng wau kang bêbêdhag ing wana gung/ gantya kang winarna/ nênggih
ngastina nagari/ prabu Suyodana kang tansah sungkawa//
239
6. Ringkasan Isi Teks
Berikut ditampilkan ringkasan isi teks yang di ambil dari suntingan teks di
atas guna mempermudah pembaca dalam memahami isi pokok teks pada tiap-tiap
pupuh-nya
Pupuh I Asmaradana
Jêjêran atau pasewakan agung negara Paranggubarja, pertemuan Sang Raja
Jungkung Mardeya dengan Patih Jayasudarga, para punggawa keraton, dan segenap
raja-raja têtêlukan (raja kecil) serta para abdi keraton. Patih Jaya Sudarga adalah Raja
Paranggubarja sebelum ditakhlukan oleh Jungkung Mardeya, ketika masih menjadi
raja ia bernama Prabu Jaya Sukendra, ketika Paranggubarja dikuasi Jungkung
Mardeya semua punggawanya berganti nama. Dalam pertemuan besar tersebut sang
prabu menceriterakan tentang mimpi yang baru saja dialaminya semalam sebelum
pasewakan agung tersebut. Dalam mimpinya, sang prabu bertemu dengan putri
negara Pancala Radya yang tak lain ialah Srikandhi. Sang prabu menanyakan kepada
ki patih tentang keberadaan negara Pancala.
Pupuh II Mijil
Ki patih memberikan keterang bahwa negara Cêmpala Rêja atau Pancala
Radya itu berada di salah satu daerah di Tanah Jawa. Sang prabu merasa mimpinya
itu nampak seperti nyata sehingga membuatnya seperti orang kebingungan, Jungkung
Mardeya seketika itu memerintahkan Patih Jayasudarga untuk menyiapkan prajurit
karena hari itu juga akan berangkat ke Tanah Jawa. Atas perintah sang raja ki patih
240
mengundang segenap prajurit untuk menyiapkan perabot dan perbekalan untuk pergi
ke Tanah Jawa, setelah semua sudah nampak siap, sang prabu naik ke kapal dan
berangkatlah mereka ke Tanah Jawa.
Singkat ceritera sang prabu bersama prajuritnya sudah sampai di pelabuhan di
Tanah Jawa, para prajurit membuat pakuwon (seperti penginapan sementara) untuk
bermukim sementara di Tanah Jawa. Sang prabu memerintahkan ki patih supaya
membuat surat dan lukisan wajah sang prabu untuk ditujukan kepada raja negara
Cêmpala.
Pupuh III Asmaradana
Ki patih yang menerima perintah tersebut langsung menjalankannya, Ia
berangkat ke Cêmpala seorang diri dengan terbang ke angkasa. Berbeda yang
diceriterakan, adegan pasewakan agung negara Cêmpala Sang Prabu Drupada yang
dihadap Patih Trusthakètu, putra raja Radèn Trusthajumêna, dan segenap para
punggawa keraton. Pasewakan tersebut membahas tentang keberadaan raja dari tanah
seberang yang datang ke negara Cêmpala, di tengah perbincangan tersebut datanglah
Patih Jayasudarga dengan membawa segenap pesan rajanya. Patih Jayasudarga
mengutarakan maksut kedatangannya ke kedhaton Pancala dan menyerahkan surat
yang berisi lamaran Jungkung Mardeya beserta lukisan wajah rajanya kepada Prabu
Drupada. Prabu Drupada berkata bahwa ia harus bertanya kepada anaknya terlebih
dahulu, sehingga belum bisa memberi kepastian, sembari menunggu keputusan
241
tersebut sang prabu menyuruh Patih Trusthakètu untuk mengajak Jaya Sudarga
bermalam di tempat tinggalnya.
Pasewakan usai dan sang prabu pulang ke dalam kedhaton, sang prabu
bertemu prameswari dan memberi tahu bahwa Srikandhi telah dilamar oleh seorang
raja dari tanah seberang bernama Jungkung Mardeya. Prameswari diutus sang raja
untuk memeberitahu Srikandhi akan hal itu dan menyampaikan surat serta lukisan
Jungkung Mardeya.
Pupuh IV Sinom
Adegan taman sari, Srikandhi yang sedang jatu hati dengan Arjuna, ia seperti
orang terkena ilmu pèlèt, badanya tidak terawat, rambutnya terurai acak-acakan, dan
abdi-abdinya berusaha menghiburnya. Ketika mereka sedang bercanda tawa tiba-tiba
ibu suri datang menemui Srikandhi. ibu suri menyampaikan surat yang dibawanya
kepada Srikandhi sembari berkata bahwa Srikandhi telah dekat dengan jodohnya,
karena ada raja muda, tampan dan sakti melamarnya. Srikandhi membuka surat
tersebut dan membacanya, selesai membaca Srikandhi berkata, bahwa ia lebih baik
mati daripada menikah dengan orang yang sama sekali tidak ia cintai. Ibu suri kaget
dan sedih mendengarnya, ia pergi dan menemui sang raja, rajapun kaget dengan apa
yang disampaikan oleh permaisurinya, sang raja dengan segera menemui Srikandhi.
Pupuh V Dhandhanggula
Prabu Dropada menemui putrinya yang sedang menangis, sang prabu
berusaha menenangkan putrinya dan berkata dengan halus akan maksud kedatangan
242
Jungkung Mardeya ke Tanah Jawa, sang prabu mencoba memberi pengertian kepada
Srikandhi akan nasib negaranya apabila lamaran itu ditolak, karena sudah jadi watak
orang sabrang apabila ditolak sudah tentu akan mengajak berperang. Srikandhi yang
mengetahui ayahnya yang demikian menjadi tidak tega untuk menolaknya, Srikandhi
meminta izin untuk bersemedi selama dua bulan dan tidak ada seorang pun yang
boleh mengganggunya dengan alasan untuk memantaskan diri dan laku prihatin.
Sang prabu mengizinkannya, akan tetapi sang prabu tidak mengetahui apabiala
perkataan Srikandhi tersebut hanya sebagai dalih agar ayahnya tidak marah dan
bersedih, dan ia diam-diam mengatur rencana terselubung untuk kabur dari keraton.
Prabu Drupada memberi surat kepada Patih Jaya Sudarga untuk diberikan
kepada Raja Jungkung Mardeya, isi surat tersebut mengenai Srikandhi yang meminta
waktu dua bulan untuk bersemedi, sang prabu juga meminta Jungkung Mardeya
beserta segenap prajuritnya untuk bermukim di Sawojajar. Jungkung Mardeya yang
membaca surat terebut merasa senang dan langsung memerintahkan segenap
prajuritnya untuk berkemas dan pergi ke Sawojajar, tempat dimana penjamuan
mereka dari Sang Raja Dropada.
Bagian selanjutnya adalah Srikandhi dengan para dayangnya, Srikandhi
berpesan kepada para abdi bahwa selama tujuh hari tujuh malam ia akan melakukan
pertapaan pati geni, jangan sampai ada salah sorang pun yang mendekatinya.
243
Pupuh VI Mijil
Srikandhi nampak berkemas, ketika semua tertidur lelap ia pergi
meninggalkan keraton lewat jalan pintas taman sari yang tembus ke jalan utama.
Malam yang sangat terang benderang, namun ada kilat menyambar-nyambar
gumuruh suara petir seakan-akan mengingatkan sang dewi agar mengurungkan
niatnya, akan tetapi karena niatnya sudah bulat, Srikandhi tidak menghiraukannya
dan meneruskan perjalanan. Sampailah Srikandhi di tengah hutan, ia istirahat sejenak
duduk di bebatuan suatu telaga yang jernih airnya, kakinya dimasukkan ke air dan
dikerumuni ikan kecil-kecil, tidak lama kemudian langit yang semula cerah tiba-tiba
gelap sperti tengah malam, hujan lebat disertai angin kencang dan petir menyambar-
nyambar, hal itu membuat takut hati sang dewi, ia hanya bisa menangis dan pasrah, ia
hanya teringat kepada ayahandanya. Hewan-hewan seisi hutan tidak mandang kecil
atau pun besar lari terbirit-birit, gunung-gunung mengeluarkan lahar lumpur,
Srikandhi pergi dari telaga dan berlindung di bawah pohon Nagasari.
Pupuh VII Dhandhanggula
Sang surya muncul di ufuk timur, Srikandhi meneruskan perjalanannya, Ia
melewati pinggir telaga dan gunung-gunung masuk dan keluar hutan selama dua hari
lamanya. Singkat ceritera Srikandhi sudah sampai di negara Amarta, ia masuk ke
pasar dan bertanya kepada pedagang di pasar tersebut, satu pun tidak ada yang
mengira bahwa Srikandhi adalah putri Pancala. Srkandhi berusaha mencari informasi
mengenai kasatrian Madukara, setelah ia tahu dimana tempat kasatrian tersebut,
244
Srikandhi melanjutkan perjalanannya. Setibanya di kasatrian ia langsung masuk di
taman Maduganda tanpa meminta izin siapapun di taman itu, dan kebetulan pintu
taman masih terbuka. Arjuna tidak sengaja melihat Srikandhi, akan tetapi dikiranya
Bathari Ratih, Arjuna datang dan Srikandhi langsung tersungkur di hadapannya
karena sudah tidak sabar menyatakan perasaan sedihnya karena akan dijodohkan
dengan Jungkung Mardeya, akan tetapi Arjuna mengira itu adalah Bathari Ratih yang
sedang bercanda, setelah Arjuna tahu bahwa wanita di depannya itu adalah Putri
Pancala, Arjuna langsung berlutut dan meminta maaf atas ketidaksopanannya.
Srikandhi memaafkan Arjuna, dan Arjuna mengajak Srikandhi ke jinêmrum (tempat
tidur) untuk beristirahat sejenak sembari menceriterakan semua, di tempat tidur justru
naluri laki-laki dan perempuan mereka bergejolak, mereka pun pada akhirnya
melakukan sarêsmi (bersetubuh). Setelah kejadian itu usai, Srikandhi menceriterakan
alasannya pergi dari keraton dan menemui Arjuna. Srikandhi melarikan diri dari
keraton tidak lain untuk menghindari penjodohannya dengan Jungkung Mardeya,
selain itu Srikandhi juga ingin belajar kepiawaian dalam memanah kepada Arjuna.
Pupuh VIII Asmaradana
Dalam perbincangan itu Sêmar dan Bagong mengintip dari luar kamar, setelah
Dananjaya keluar Sêmar bertanya kepada Arjuna mengenai teman bicaranya di dalam
kamar, karena dari luar terdengar suara samar-samar. Arjuna berusaha menjelaskan
kepada Panakawan-nya bahwa ada Putri Cêmpala yang berkunjung ke Madukara,
Sêmar dan Bagong yang berpura-pura tidak tahu itu seketika tertawa terbahak-bahak.
Arjuna berniat unutk merahasiakan hal ini, karena apabila sampai terdengar berita
245
tersebut, maka semua orang akan menyalahkan Arjuna, ia pun memerintahkan kepada
para Panakawan untuk menjaga rahasia tersebut, semua pintu taman Maduganda
harus ditutup tidak ada yang boleh masuk meski itu adalah istri Arjuna sendiri. Setiap
malam Arjuna dan Srikandhi nampak bermesaraan, serta tiada hari tanpa berlatih
memanah, Arjuna mengajari Srikandhi berbagai tekhnik memanah, tidak ada yang
tahu mengenai keberadaan Srikandhi di taman kecuali Arjuna, Sêmar dan Bagong,
semua juru taman dan istri-istri Arjuna mengira Arjuna sedang melakukan tapa
nendra.
Adegan Negara Cêmpala, Sang Prabu Drupada kebingungan dan bersusah
hatinya karena hilangnya Srkandhi dari keraton, sang prabu mengira hal itu
disebabkan karena ia terlalu memaksa Srikandhi untuk menikah dengan Jungkung
Mardeya. Sang prabu mengutus Patih Trusthakètu untuk memberitahu Prabu
Jungkung Mardeya akan hal itu. Jungkung Mardeya yang mendengar berita tersebut
langsung mengerahkan bala tentaranya untuk mencari Srikandhi dimana pun tempat.
Pupuh IX Pangkur
Jungkung Mardeya merintahkan patih dan segenap prajuritnya untuk mencari
Srikandhi di dalam dan di luar keraton, di dalam negara bahkan di luar negara.
Drêsthajumêna pun pergi ke Negara Amarta untuk memberi tahu Prabu Yudhisthira
atas kepergian Srikandhi dari Negara Pancala, selain itu juga meminta bantuan untuk
menemukan Srikandhi. Prabu Yudhisthira menyanggupinya dan langsung
memerintahkan para prajurit untuk mencari Srikandhi di sekitaran negara Amarta.
246
Drupadi yang mendengar hal itu langsung curiga kepada Arjuna, karena sudah lama
Arjuna tidak datang di pasewakan Amarta. Drupadi mengutus salah satu dayangnya
untuk menyamar sebagai dayang di Madukara guna mencari informasi mengenai
keberadaan Srikandhi.
Dayang utusan Drupadi berhasil masuk ke Kasatria Madukara, dan tidak ada
satupun dayang di Madukara yang mengetahuinya. Dalam waktu tiga hari dayang
utusan Drupadi tersebut mengetahui kabar mengenai keberadaan Srikandhi yang
sedang berlatih memanah di dalam taman bersama Arjuna. Setelah mengetahui
informasi yang sebenarnya, dayang tersebut bergegas pulang untuk memberi tahu
Drupadi tentang keberadaan Srikandhi.
Pupuh X Sinom
Drupadi yang mendengar berita tersebut langsung bergegas pergi ke
Madukara, dalam hatinya marah dan merasa malu atas kelakuan adiknya itu.
Setibanya di Madukara ia mengetuk pintu dengan sangat keras, Sêmar pada mulanya
tidak membukakan pintu dan nyaris saja memarahi orang yang mengetuk pintu
dengan tidak sopan tersebut, setelah mengetaui bahwa yang mengetuk pintu tersebut
adalah permaisuri Amarta, Sêmar langsung membukakan pintu. Sêmar nampak
gugup menerima kedatangan Drupadi karena pasti akan terjadi perang mulut antara
adik dan kakak, Sêmar kemudian memberi tahu Arjuna akan hal itu, Arjuna pun
demikian, ia merasa tidak enak dengan Drupadi, Arjuna justru pergi dari taman dan
247
tidak mau melihat kemarahan Drupadi nanti, ia menyuruh Sêmar dan Bagong untuk
mengintip dari kejauhan.
Drupadi menemui adiknya di taman, Srikandhi merasa takut dan berusaha
menjelaskan kepada kakaknya motif kepergiannya dari Pancala. Pada awalnya
Drupadi tidak marah ketika mendengar penjelasan Srikandhi yang pergi karena ingin
belajar memanah kepada Arjuna dan menghindari penjodohan tersebut, akan tetapi
Drupadi menjadi marah besar ketika ia menyuruh Srikandhi untuk mengajarinya
memanah, melalui gerak-gerik Srikandhi dalam mengajari Drupadi nampak semua
apa yang dilakukan Srikandhi dengan Arjuna selama ini, yang dilakukan Srikandhi
diangggap sangat tidak pantas bagi seorang putri raja, kelakuannya tidak berbeda
dengan pelacur. Srikandhi menangis, Drupadi memarahinya sambil menendangnya
dan sangat merendahkannya, Srikadhi lalu pergi dengan membawa senjatanya.
Pupuh XI Kinanthi
Srikandhi pergi meninggalkan Madukara dengan membawa panah, bukan
panah biasa akan tetapi panah prajurit milik Arjuna yakni panah Dhadhali. Drupadi
menyuruh embanya untuk memanggil Rara Irêng, Drupadi ingin menanyakan kabar
Sumbadra yang mana baru saja melahirkan momongan pertamanya. Sumbadra tidak
lama kemudian datang dengan membopong putranya yakni Angkawijaya dan diiring
oleh Sulastri dan Rarasati (istri paminggir/selir Arjuna), keduanya saling melepas
rindu dan saling menanyakan putra pertamanya, Drupadi juga mengatakan motif
kedatangannya ke Madukara yang tidak lain karena mencari Srikandhi yang pergi
248
dari keraton tanpa sepengetahuan orang tuanya. Setelah dirasa urusan sudah cukup,
Drupadi segera berpamitan dan pulang ke Amarta.
Sêmar melihat Drupadi sudah nampak keluar dari Kasatrian, dan Arjuna
segera menemui sêmar guna menanyakan kabar tentang Srikandhi, Sêmar
menyalahkan Arjuna karena tidak menolong Sikandhi, Sêmar juga mengutarakan
bahwa Srikandhi belum keluar dari kasatrian dan menyuruh Arjuna untuk segera
menyusulnya.
Pupuh XII Asmaradana
Sêmar mengejar Srikandhi, Srikandhi nampak sangat sedih, selain karena
kemarahan Drupadi terhadapnya, ia juga sangat menyesalkan atas sikap Arjuna yang
justru malah meninggalkannya di saat ia membutuhkannya. Sêmar menjelaskan
kepada Srikandhi, bahwa ia diutus Arjuna untuk meyakinkan bahwa perasaan Arjuna
sungguh-sungguh kepadanya. Rarasati yang mendengar pebincangan Srikandhi
dengan Sêmar tertawa nada mengejek, Sumbadra lalu mencubitnya dari belakang dan
menyuruhnya bersama Sulastri untuk mengajak bermain Angkawijaya di sudut
taman. Srikandhi berkata kepada Semar bahwa ia percaya ucapanya apabila Arjuna
sendira yang mengatakannya, Sêmar menyampaikan pesan tersebut kepada Arjuna,
Arjuna serasa gembira hatinya dan langsung menemui Srikandhi di bawah pohon
Nagasari. Setibanya di hadapan Srikandhi, Arjuna berusaha menjelaskan bahwa
kepergianya dari taman karena yang marah adalah seorang perempuan, apabila lelaki
yang memarahinya jangankan seorang, ribuan orangpun akan dihadapinya. Arjuna
249
berusaha keras untuk meyakinkan cintanya kepada Srikandhi, hingga ia pun berkata
bahwa meskipun renkarnasi ke tujuh ia tidak akan melirik perempuan lagi kecuali
Srikandhi.
Pupuh XIII Pangkur
Sêmbadra yang mendengar perkataan Arjuna yang seolah melupakanya
sebagai istri utama merasa sangat sakit hati, seperti terbakar hatinya, seketika
menghampiri Angkawijaya dan mengajaknya pergi. Arjuna tidak menyangka kalau
Sumbadra menjadi marah karena perkataannya kepada Srikandhi. Arjuna
menghampiri Sumbadra, dan berusaha menjelaskan bahwa perkataanya terhadap
Srikandhi hanya untuk menenangkan hati Srikandhi saja, Arjuna berkata bahwa tidak
akan melupakan istri utamanya yang telah menemaninya suka dan duka. Sumbadra
sangat kecewa dengan segala ucapan Arjuna, bahkan saking sakit hatinya Sumbadra
bersedia untuk dipulangkan ke Dwarawati, Arjuna semakin sedih hatinya mendengar
perkataan Sumbadra.
Sêmar dan Bagong berusaha menghibur majikannya yang bersusah hati,
seperti biasa tingkah kocak mereka yang dipertontonkan di hadapan majikannya.
Sêmar membawa makanan dan Bagong berusaha memintanya akan tetapi Sêmar
tidak memperbolehkannya.
Pupuh XIV Durma
Sêmar dan Bagong masih sibuk berebut makanan di hadapan Arjuna, Bagong
berusaha untuk mendapatkan makanan itu, tak lama kemudian makanan tersebut
250
tumpah, nasi dengan lauknya yang lezat tidak lagi terlihat lezat, hanya tinggal buah
nagka dan mangga kuweni yang masih bisa dibersihkan, Bagong terus mengejek
Sêmar karena ia berhasil merebut mangga dan nangka milik Sêmar. Sêmar yang terus
merengek meminta belas kasihan Bagong, Bagong akhirnya melempar sebagian
mangga dan nangka itu ke arah Sêmar, Sêmar pun tertawa terbahak-bahak dan merasa
sangat senang.
Arjuna mengajak Sêmar untuk mengejar Srikandhi, karena Srikandhi
diperkirakan sudah keluar dari kasatrian, Arjuna pun melihat panah Dhadhali
miliknya juga tidak ada, dimungkinkan dibawa oleh Srikandhi. Arjuna mengeluarkan
ajian pangganda yang mana dapat melacak jalan yang dilewati Srikandhi berdasarkan
bau, Sêmar dan Bagong mengikuti Arjuna dari belakang. Pagi telah menyingsing,
Srikandhi sudah sampai di tengah hutan, langkahnya terhenti oleh barisan raksasa
yang dipimpin oleh Kala Pradêksa. Kala Pradêksa adalah utusan Jungkung Mardeya
yang sengaja diutus untuk mencari Srikandhi, karena Srikandhi tidak sudi untuk di
ajak pulang bersama sekawanan raksasa itu, akhirnya terjadi peperangan, Wil Kala
Pradêksa terkena panah Srikandhi seketika putus lehernya. Arjuna yang melihat
Srikandhi sedang dikroyok oleh para raksasa langsung membantunya, dilepaskanya
pusaka panah Kyai Sarotama melesat mengenai para raksasa bagaikan burung yang
terbang.
251
Pupuh XV Dhandhanggula
Srikandhi menoleh ke belakang dan ternyata yang membantunya adalah
Arjuna, Srikandhi merasa tidak senang akan hal itu, lalu ia melanjutkan perjalanan
pulang ke Pancala, Arjuna pun masih membuntutinya, setelah sudah sampai di
Pancala Arjuna merasa lega dan kembali ke kasatrian.
Adegan nagara Amarta, yudhisthira nampak kesal akibat laporan dayangnya
yang mengutarakan bahwa hilangnya Srikandhi dari Pancala ada hubungannya
dengan Arjuna, akhirnya sang prabu mengutus Nakula untuk memanggil Arjuna
bersama istri dan anaknya untuk ke keraton. Sesampainya di Madukara, Nakula
menyampaikan perintah rajanya kepada Arjuna, bahwa Arjuna bersama anak dan
istrinya diperintahkan untuk menghadap Yudhisthira ke keraton. Arjuna dan Drupadi
yang sedang bermarahan itu bersiap-siap untuk pergi keraton, setelah upacara
pemberangkatan selesai, mereka bersama dengan segenap prajurit berangkat ke
Amarta. Setibanya di Amarta Drupadi masuk ke dalam pura, sedangkan Arjuna
bersama para abdinya ditahan di srimanganti dihukum dan dilucuti senjatanya.
Gempar warga negara Amarta, Bima dan Gathotkaca nampak sangat sedih sekali.
Adegan negara Dwarawati, Sri Krisna yang sangat rindu dengan raja Amarta,
ia sangat ingin bertemu dengan putra bibinya itu, kepergian Krisna menuju Amarta
diiring oleh Sêtyaki, Raden Samba dan segenap prajurit. Sedangkan Patih Udawa
tinggal di keraton.
252
Pupuh XVI Asmaradana
Pada pertemuan agung itu, tidak nampak Arjuna karena ia sedang dihukum,
Sri Krisna yang bijak lalu menanyakan kepada Yudhisthira mengenai keberadaan
Arjuna, Yudhisthira lalu menjelaskannya bahwa Arjuna sedang menjalani hukuman
dan alasannya dihukum. Sri Krisna yang bijak lalu mengusulkan suatu solusi, bahwa
tidak Arjuna saja yang salah, melainkan Srikandhi pun juga, karena yang datang ke
kasatrian dari pihak wanita, oleh karena harus dipertemukan keduanya. Krisna
bersedia untuk menjadi juru bicara yang akan menyerahkan kebijaksanaan kepada
Prabu Drupada atas hukuman yang akan diterima Arjuna. Prabu Yudhistira
menyetujui usulan tersebut, Sri Krisna juga mengajak Wrêkodara dan Gathotkaca
bersama prajurit-prajuritnya untuk ikut dengan Krisna ke Pancala, karena pada saat
itu Pancala sedang kedatangan tamu dari tanah sabrang yakni Jungkung Mardeya dan
bala tentaranya, yang mana apabila lamaran mereka ditolak pasti akan menggempur
perang.
Keesokan harinya semua prajurit dari berbagai negara nampak bersiap-siap,
yakni prajurit Pringgadani, Jodhipati, Amarta, dan Dwarawati, setelah semuanya
sudah siap, mereka semua berangkat mengiring Arjunake negara Pancala.
Pupuh XVII Kinanthi
Berangkatnya para prajurit dari Pringgodani yang dipipimpin Gathotkaca,
para prajurit Jodhipati yang dipimpin oleh Wrekodara, prajurit dari Madukara yang
dipimpin oleh Arjuna, serta prajurit Dwarawati yang dipimpin oleh patih Sêtyaki,
253
mereka menuju ke negara Cempala guna memintakan maaf atas perbuatan Arjuna
yang dinilai tidak pantas untuk seorang kesatria negara.
Setibanya di Cempala, nampaknya kedatangan prajurit Amarta
menggemparkan rakyat Cempala, serta Sri Krisna yang juga ikut hadir pada kejadian
itu menambah rasa tersanjung bagi raja Cempala. Sri Krisna sebagai juru bicara atas
nama Prabu Puntadewa memintakan maaf atas kelakuan Arjuna yang dinilai kurang
baik, serta mengajukan lamaran agar Arjuna dan Srikandhi segera dinikahkan
mengingat keduanya nampak saling mencintai. Mendengar ucapan Sri Krisna
membuat lega hati Prabu Dropada, sang raja Cempala pun menyetujuinya, namun ada
sesuatu yang menjadi ganjalan yakni lamaran raja dari tanah sabrang Prabu Jungkung
Mardeya, yang mana akan memerangi negara Cempala apabila lamarannya ditolak.
Pupuh XVIII Pangkur
Wrêkodara yang nampaknya mendengar bahwa ada yang akan menggempur
perang sudah tak sabarkan hati, ia segera berpamitan untuk menggempur perang
Prabu Jungkung Mardeya beserta bala tentaranya, Krisna berserta prajurit Wresni dan
Gathotkaca beserta prajurit Pringgadani lekas menyusul Wrêkodara dan bala tentara
Jodhipati.
Berganti adegan pasanggrahan Sawojajar yang kala itu baru dihuni Jungkung
Mardeya dan bala tentaranya, mereka sedang membicarakan tentang informasi yang
diterimanya dari salah satu abdi, bahwa Srikandhi sebenarnya sedang berada di
Madukara belajar memanah bersama Arjuna, selain itu beberapa prajurit dan bupati
254
telah tewas terbunuh di tengah hutan ketika berperang dengan Prêmadi. Raja
Paranggubarja yang mendengar berita itu nampak marah dan ingin segera
melancarkan serangan, akan tetapi tidak lama kemudian salah satu abdi memberi
informasi bahwa di luar pasanggrahan sudah dinanti oleh Raden Wrêkodara bersama
Raden Gathotkaca dan Sêtyaki beserta balatentaranya untuk berperang. Para prajurit
Paranggubarja segera merapatkan barisan, perang pun tidak terelakan, Gathotkaca
berperang melawan Patih Jaya Sudarga beserta pasukannya di udara, Sêtyaki di sisi
kanan, sedangkan Wrêkodara di sisi kiri.
Pupuh XIX Durma
Perang besar tidak dapat dihindari, banyak prajurit Paranggubarja yang tewas
sia-sia di medan pertempuran, banyak para bupati yang tewas di tangan Sêtyaki,
Wrêkodara dan Gathotkaca. Perang semakin memanas, hingga pada akhirnya Patih
Jayasudarga turun tangan karena melihat prajuritnya kocar-kacir, ia melawan
Gathotkaca, setelah perang sengit diantara keduanya dimulai dan Gathotkaca berhasil
memenangkan peperangan itu, para prajurit Paranggubarja yang melihat kejadian
tersebut lari terbirit-birit dan melapor kepada Jungkung Mardeya.
Jungkung Mardeya yang mendapatkan kabar buruk dari salah seorang
punggawanya bahwa sang patih telah gugur, seketika hatinya serasa terbakar,
dicambuknya kuda perangnya dan menujulah ia ke medan peperangan.
255
Pupuh XX Pangkur
Perang semakin sengit, prabu Jungkung Mardeya yang diselimuti amarahnya
segera mengeluarkan ajiannya berupa angin besar yang keluar dari tubuhnya serta
ribuah berbagai jenis senjata yang keluar dari senjata andalanya yang berupa panah,
seketika dilepaskannya secara bersamaan, dan banyak para prajurit dari Amarta yang
berlarian dan terpelanting karena angin besar dari Jungkung Mardeya, di medan
pertempuran hanya tertinggal tiga orang prajurit Amarta yakni Bima, Gathotkaca dan
Sêtyaki.
Tiga prajurit Amarta yang sakti itu nyaris tak kuasa menerima ajian dari
Jungkung Mardeya, akan tetapi Wrêkodara berusaha menandinginya dengan cara
mengeluarkan ajian yang berupa angin besar, akan tetapi angin dari keduanya sama
kuat dan hanya berputar-putar di tengah medan peperangan, namun demikian senjata
yang beribu-ribu itu belum dapat dihentikan. Perang belum berhenti, kedua belah
pihak tidak ada yang mau mengalah, akan tetapi matahari sudah hampir tenggelam,
terpaksa perang dihentikan sejenak, kedua belah pihak kembali ke pakuwon masing-
masing.
Pada malam itu Jungkung Mardeya bersenang-senang dengan bala tentaranya,
serta mengatur siasat hendak menyerang prajurit Amarta dengan ajian yang lebih
dahsyat. Berbanding terbalik dengan Bima dan segenap prajurit yang sedang bersedih
hati, Raden Gathotkaca ingin kembali ke Pancala untuk meminta bantuan Sri Krisna
256
dan Arjuna, akan tetapi dilarang oleh Wrêkodara, raden Wrêkodara tidak ingin
mengecewakan sang kakak Puntadewa.
Berganti ceritera yakni di kedaton Pancala, Sri Krisna yang mengkawatirkan
sesuatu yang kurang menguntungkan terjadi.
Pupuh XXI Asmaradana
Sang Arimurti meminta mendapatkan firasat tidak baik, pada malam hari itu
pula meminta izin kepada prabu Dropada untuk melihat keadaan di medan perang,
dengan senang hati prabu Dropada mengizinkan, bersamaan dengan itu sang prabu
juga mengutus Drêsthajumêna putranya untuk memimpin seribu prajurit Pancala
guna membantu prajurit Amarta. Arimurti dan Prêmadi dengan segera bergegas
menuju peperangan dengan terbang, selagi prajurit Madukara dan Pancala dibawah
komando Drêsthajumêna berjalan di darat.
Setibanya di pakuwon Sang Arimurti dan Prêmadi melihat Sang Bima nampak
bersedih dan hanya memegang gadanya saja. Pada malam itu juga para prajurit
Amarta mengatur siasat untuk perang esok harinya. Fajar menyingsing para prajurit
kedua belah pihak saling merapatkan barisan masing-masing, dan siap untuk
berperang.
Pupuh XXII Durma
Prabu Jungkung Mardeya membentangkan panah saktinya, keluar angin besar
dan bebatuan hingga seperti lumpur yang mengalir, tidak hanya itu, dari panah
257
saktinya prabu Jungkung Mardeya juga mengeluarkan ribuan berbagai jenis senjata
dan saling beterbangan, senjata-senjata itu seperti alugara, limpung, ribuan busur
panah, musala dan lain sebagainya. Senjata-senjata tersebut digerakan dengan melalui
puja mantra, seketika angin, bebatuan serta ribuan senjata menyerang barisan prajurit
Amarta. Sang Arimurti bersama dengan Arjuna berpuja mantra untuk mengalahkan
ajian dari Jungkung Mardeya, bersamaan dengan itu Drêsthajumêna juga
mementangkan kedua panahnya secara bersamaan.
Peperangan berlangsung sengit, kedua belah pihak sama-sama kuat, tiba-tiba
datang seorang utusan dari Cêmpala bernama Sucitra memberikan pesan agar Sri
Krisna menyudahi peperangan sejenak dan diteruskan nanti. Arjuna berusaha
menandingi kesaktian Jungkung Mardeya, ia mengeluarkan senjata pamungkas,
keluar angina besar dari panah Arjuna, dan seketika menyapu habis ribuan senjata
yang dikendalikan Jungkung Mardeya, raja Paranggubarja itu seketika terkejut
melihat kesaktian para prajurit Tanah Jawa.
Akhirnya Jungkung Mardeya mengatur siasat, ia menantang perang panah,
karena di tanah sabrang tidak ada satupun yang dapat menandinginya. Surat
tantangan pun dikirimnya melalui sebuah busur panah, surat yang yang diikatkan di
sebuah busur itu secara kebetulan mengarah ke Arjuna. Seketika panah ditangkap
Arjuna dan dibacanya isi surat tersebut.
258
Pupuh XXIII Pangkur
Isi surat tersebut Jungkung Mardeya menantang Arjuna untuk berperang
panah, Dananjaya pun membalas surat tantangan tersebut, surat diikatkan pada busur
panah Sarotama dan diantarkannya ke hadapan raja negara Paranggubarja. Jungkung
Mardeya terheran-heran melihat busur panah yang seperti burung, mempunyai sayap
dan seperti hidup, setelah surat diterima Sarotama kembali kepada Arjuna. Isi surat
Arjuna adalah perkenalan dirinya kepada Jungkung Mardeya, dan akan melayani
tantangan Jungkung Mardeya. Raja Paranggubarja yang membaca isi surat balasan
itu, langsung mencambuk kudanya menuju ke tengah medan pertempuran, begitu
pula dengan Arjuna yang melihat musuhnya menuju tengah medan pertempuran,
langsung menuju ke tengah medan peperangan yang mana kereta kuda miliknya
dikusiri oleh Krisna.
Peperangan berlangsung sengit, keduanya saling beradu kepiawaian
memanah, di sisi yang lain Patih Jayasudarga yang melihat rajanya sedang berperang
berusaha melancarkan rencana liciknya, ia membawa limpung dan terbang ke
angkasa dengan tujuan hendak menyerang dari atas, akan tetapi ia tidak melihat
bahwa ada Gathotkaca yang terbang lebih tinggi dan mengawasinya dari atas, ketika
Patih hendak lancarkan aksinya, Sang Gathotkaca dengan cepat menyambar limpung
Jayasudarga dan menendang wajahnya.
259
Pupuh XXIV Durma
Patih Jayasudarga sangat marah atas kelakuan Gathotkaca yang
menyerangnya dari belakang, perang tanding pun tidak terelakkan. Perang tanding
antara Gathotkaca melawan Jayasudarga berlangsung sengit, perang di udara maupun
di daratan, Patih Jayasudarga akhirnya pun tewas di tangan Gathotkaca. Kematian
Jayasudarga bersamaan dengan datangnya seorang brahmana sakti ayah Jungkung
Mardeya.
Sang brahmana terheran-heran melihat kematian Jayasudarga yang mana di
tanah sabrang sakti tiada lawan akan tetapi di Tanah Jawa kematiannya hanya
melawan satu orang. Bersamaan dengan itu, sang brahmana juga melihat putranya
sedang berperang melawan seorang kesatria, melihat keadaan yang demikian
memprihatinkan menjadikan sang brahmana marah, kemarahannya mampu membuat
langit berwarna hitam, suara petir yang sangat dahsyat di angkasa semakin membuat
suasana semakin mencekam. Jungkung mardeya yang melihat ayahnya datang merasa
gembira seketika membalikkan keretanya untuk sementara menyudahi perang
melawan Janaka.
Sri Krisna yang cerdas segera menyuruh Permadi untuk melepaskan
brahmastra kearah sang brahmana, dan apabila leher sang brahmana sudah putus,
Permadi disuruh untuk memisahkan jauh-jauh kepala sang brahmana dengan
badannya. Arjuna yang pandai tanpa banyak mengulur waktu langsung melepaskan
pusaka Sarotama ke arah sang brahmana, seketika sang brahmana tewas, kepala
260
terpisah dengan badanya. Seperti yang diperintahkan Arimurti, Permadi membuang
jauh-jauh badan sang brahmana dan melempar kepala brahmana ke arah Sang Prabu
Jungkung Mardeya.
Pupuh XXV Asmaradana
Prabu Jungkung Mardeya yang melihat kepala ayahnya tergeletak di
pangkuanya seketika menangis sembari memberi penghormatan, ia menyuruh para
bupati untuk mencari jasat ayahnya, sedangkan Prabu Jungkung Mardeya dan
segenap prajuritnya kembali ke palagan untuk melanjutkan peperangan. Sri Krisna
menyuruh Arjuna mengeluarkan senjata angin, untuk menyapu Jungkung Mardeya
beserta prajuritnya dan menjatuhkannya ke negara asalnya. Sang Parta mengeluarkan
senjata Pawanendra dan menyapu habis pasukan Paranggubarja, hal ini dilakukan
karena sri Krisna menyayangkan negaranya, dan setelah dipulangkan agar Jungkung
Mardeya beserta balatentaranya berfikir bahwa prajuritnya sudah tidak
memungkinkan untuk berperang.
Setelah perang usai para prajurit dan senapati kembali ke negara Pancala,
setibanya di keraton Pancala sri Krisna menceriterakan semuanya kepada Prabu
Dropada, mendengar semua perkataan Krisna hati sang prabu sangat gembira, sang
prabu berkata bahwa pesta pernikahan Srikandhi dengan Arjuna akan dilaksanakan
pada hari senin depan.
261
Pupuh XXVI Kinanthi
Sang Prabu Dropada menyuruh permaisurinya untuk menjenguk putrinya
Srikandhi yang sedang berada di taman sari. Berganti ceritera, yakni yang sedang
berada di taman keputren, Srikandhi seorang diri yang sedang melamunkan peristiwa-
peristiwa yang baru saja dialaminya bersama Arjuna, tidak lama kemudian Srikandhi
dikagetkan dengan kedatangan salah seorang abdi keraton yang menginformasikan
bahwa pangeran Arjuna telah berhasil mengalahkan raja negara Paranggubarja
beserta segenap prajuritnya, ditengah-tengah perbincangan Srikandhi dengan abdinya,
tiba-tiba ibunda Srikandhi dhatang, Srikandhi dan embannya langsung memberi
hormat.
Kedatangan ibu suri tidak lain diutus Sang Prabu Dropada untuk
menyampaikan berita bahwa pangeran Arjuna telah berhasil memukul mundur
pasukan dari Paranggubarja. Ibu suri juga memberitahu Srikandhi bahwa pesta
pernikahannya dengan Permadi akan dilaksanakan hari Senin yang akan datang.
Srikandhi justru menolaknya, karena ia belum ingin menikah, Srikandhi masih ingin
banyak belajar olah kaprajuritan, ia mau menikah hanya dengan kesatria yang baik
lagi sakti, yang mampu mengalahkannya dalam memanah. Ibu suri menangis sembari
memeluk putrinya, akhirnya ibu suri kembali ke istana untuk memberitahu sang raja
atas jawaban putrinya. Mendengar berita yang disampaikan permaisuri, seketika sang
raja marah serta kecewa dengan jawaban dari putrinya.
262
Pupuh XXVII Sinom
Prabu Dropada meminta permaisurinya untuk menjelaskan semuanya di
hadapan Arimurti, setelah Krisna mendengar semua penjelasan dari permaisuri ia
hanya senyum dan meminta Drêsthajumêna untuk menyampaikan segala permintaan
Srikandhi kepada Arjuna.
Berganti yang diceriterkan yakni pangeran Arjuna bersama istrinya Rarasati
dan para Panakawan, Arjuna sedang berbincang-bincang dengan Rarasati, ditengah
perbincangan mereka tiba-tiba datanglah Drêsthajumêna. Pangeran Drêsthajumêna
memberi informasi bahwa kakaknya yakni Srikandhi mau menikah asalkan seorang
yang akan menikahinya itu mampu mengalahkan kepiawaiannya dalam memanah,
apabila tidak ada yang dapat mengalahkannya, Srikandhi memilih tidak menikah.
Sang Parta menolak untuk menandingi Srikandhi dalam memanah, namun dari
belakang Rarasati yang mendengar perbincangan itu membisikan kata-kata kepada
Arjuna bahwa dialah yang akan menandingi Srikandhi.
Pupuh XXVIII Asmaradana
Sang Arjuna tidak menggubris apa yang dibisikkan Rarasati, Arjuna berkata
kepada Drêsthajumêna agar menyampaikan pesan kepada raja Pancala bahwa ia tidak
sanggup untuk menandingi Srikandhi dalam beradu memanah. Drêsthajumêna
berkata bahwa ia lebih baik mati daripada pulang dengan tangan kosong, akhirnya
sang Rarasati memberanikan diri untuk unjuk bicara, ia mengatakan kepada
Drêsthajumêna bahwa ia sanggup menandingi Srikandhi dalam beradu memanah.
263
Drêsthajumêna yang mendengar jawaban Rarasati seketika bertepuk tangan dengan
penuh gembira, ia langsung berpamitan kepada Arjuna yang tidak sanggup berkata-
kata lagi karena tingkah Rarasati itu dan hendak menyampaikan berita baik itu
kepada Prabu Dropada.
Arjuna marah kepada Rarasati yang lancang berbicara, karena kawatir akan
membuat malu di hadapan orang banyak, selain itu sepengetahuan Prêmadi Rarasati
tidak tahu menahu soal memanah. Rarasati hanya berusaha menjelaskan kepada
Arjuna bahwa ia sebenarnya sering mengintip Srikandhi ketika belajar memanah
bersama Arjuna. Arjuna yang mendengar jawaban Rarasati seketika mengambil
panah beserta busurnya, ia menyuruh Rarasati membuktikan perkataanya. Rarasati
hanya tersenyum ketika Arjuna menyuruh memanah pohon kapas, ketika hendak
membentangkan panahnya, tiba-tiba Arjuna memegang panah tersebut seraya memuji
Rarasati, meskipun tidak diajari namun gaya memanahnya sudah terlihat lihai seperti
orang yang diajari seorang ahli. Suasana romantik pun terjadi, Arjuna mengajari
Rarasati dengan penuh kesabaran, Arjuna mengajari gaya memanah yang pantas
untuk wanita, karena gaya memanah Rarasati masih seperti laki-laki. Rarasati mampu
menguasai tekhnik memanah yang diajarkan Arjuna dengan cepat, ia memanah mulai
dari sasaran pohon kapas, terong, telur puyuh dan sehelai rambut, ia dapat mengenai
semua sasaran dengan tepat.
264
Pupuh XXIX Sinom
Rarsati dan Arjuna masih tetap berlatih, Arjuna dibuat kagum akan
kepiawaian Rarasati, meskipun baru sehari itu diajari oleh Arjuna akan tetapi
kemahirannya tidak kalah dengan yang telah lama belajar. Arjuna meminta maaf akan
ucapanya tadi, bahwa ia telah meremehkan Rarasati.
Berganti yang diceriterakan, yakni Drêsthajumêna yang sudah samapai di
Cêmpala, kedatangannya telah ditunggu oleh kedua raja agung yakni Sang Krisna dan
Dropada ayahnya. Drêsthajumêna membawa pesan baik, bahwa ada yang mau
menandingi kakaknya dalam memanah yang tidak lain adalah istri Arjuna yakni
Rarasati. Prabu Dropada meminta pertimbangan Sri Krisna, Sang Padmanaba itu
dengan bijak memerintahkan Drêsthajumêna untuk menemui kakaknya di taman
keputren guna memberi tahu bahwa ada seorang perempuan yang akan
menandinginya dalam beradu kepiawaian memanah, serta menanyakan waktu kapan
tanding memanah itu dilakukan dan dimana tempat itu dapat dilaksanakan,
berangkatlah Drêsthajumêna ke taman keputren. Setibanya di taman keputrèn,
Drêsthajumêna mengatakan semuanya kepada Srikandhi kakaknya, ia berusaha
mengingatkan Srikandhi untuk mengurungkan niatnya, akan tetapi justru menjadikan
kemarahan Srikandhi.
265
Pupuh XXX Pocung
Srikandhi menjawab pertanyaan Drêsthajumêna bahwa mengenai tempat
beradu memanah akan dilaksanakan di dalam taman keputren saja, dan akan
dilaksanakan pada hari Buda cêmêngan (Rabu Wage). Srikandhi menyuruh segenap
abdinya untuk mendekorasi taman agar terlihat lebih indah supaya jalanya tanding
panah semakin meriah, pada saat jalanya pertandingan juga harus diiringi lantunan
suara gamelan. Srikandhi juga menyuruh para abdinya berlaku adil pada saat jalanya
pertandingan, apabila ada salah satu dari peserta yang meleset ataupun tepat dalam
mengenai sasaran panahnya para emban harus bersorak, entah itu Rarasati ataupun
Srikandhi. Setelah selesai berpesan kepada semua abdinya, Srikandhi mengutus
Drêsthajumêna untuk menyampaikan semua permintaannya kepada Sang Sri
Padmanaba dan Prabu Dropada. Usai menerima perintah, Drêsthajumêna segera
berpamitan dan menemui kedua raja yang sedang menantinya.
Setibanya di dalam keraton Drêsthajumêna menyampaikan pesan yang
dibawanya kepada kedua raja agung di hadapanya, Sang Krisna hanya tersenyum
mendengar berita tersebut, Krisna yang bijak segera mengutus Drêsthajumêna untuk
menyiapkan segala perabot-perabot yang dibutuhkan dalam pertandingan sesuai yang
dikehendaki Srikandhi. Prabu Dropada setelah pertemuan usai segera keluar dari
dalam keraton dan memerintah patih Candrakètu dan segenap prajurit untuk
membersihkan taman keputren dan menghiasnya.
266
Hari Rabu Wage tinggal dua hari lagi, Rarasati tidak henti-hentinya berlatih
bersama Arjuna, berlatih penuh semangat dan tak kenal lelah. Dua hari berlalu, saat
yang dinanti-nanti pun tiba, pertandingan akan segera dimulai, semua tamu agung
seperti Sri Krisna, segenap Pandawa, Sêtyaki nampak sudah duduk pada tempatnya
masing-masing, ketiga sasaran panah yakni telur puyuh, sehelai rambut, dan terong
gelathik sudah terpasang, abdi dalem penabuh gamelan juga mulai memainkan
tugasnya masing-masing. Drêsthajumêna diutus ayahnya untuk memberi tahu
kakaknya agar segera mempersiapkan diri.
Pupuh XXXI Kinanthi
Srikandhi memasuki arena pertandingan, sorak sorai para penonton
bergemuruh bersamaan dengan lantunan gendhing Ladrang Mangu mengiringi
langkah Srikandhi menuju panggung pertandingan. Srikandhi mulai duduk bersila
dan merentangkan panahnya dan mulai mengincar sasaran yang berwujud telor
puyuh, akan tetapi gaya memanahnya masih nampak seperti gaya seorang lelaki,
seiring dengan mencepatnya ritme iringan gamelan, Srikandhi melepaskan anak
panahnya dan mengenai sasaran dengan tepat, sorak sorai penonton bergemuruh.
Rarasati mendapatkan giliran, ia meminta restu kepada suaminya, langkahnya
menuju panggung diiringi dengan gending Gandrung Mangu, setibanya di panggung
Rarasati mulai merentangkan panahnya, mulai diincarnya sasaran busur yang berupa
telor puyuh itu, bersamaan dengan ritme lantunan gending mencepat, ia melepaskan
anak panah dan mengenai telor puyuh itu, akan tetapi telor tidak pecah nampak
267
seperti meleset dan hanya menyentuh saja, para pendukung Srikandhi bersorak
merendahkan. Rarasati hanya tersenyum, Sri Krisna yang bijak mengutus salah
seorang untuk mengambil telor puyuh yang dijadikan sasaran panah Rarasati dan
memberinya kepada Prabu Dropada, dang prabu terpaku keheranan melihat telor itu,
telor yang seharusnya hancur terkena busur panah namun hanya berlubang. Para
bupati dan pejabat keraton terheran-heran dan memuji kepiawaian Rarasati.
Drêsthajumêna membawa telor puyuh itu ke hadapan kakaknya, ia memberi
tahu bahwa Srikandhi telah kalah pada babak pertama, Srikandhi terpaku melihat
telor yang dipanah Rarasati, dalam hatinya merasa kecewa. Babak kedua dimulai,
dengan diiringi gending Gonjang-ganjing Srikandhi naik ke panggung,
direntangkannya panah dan mulai mengincar sasaran kedua yang berwujud terong
gelathik, terong putus terkena busur panah Srikandhi, bagian atas masih terganung di
atas, sedangkan sebagian jatuh ke tanah, sorak gemuruh beserta tepuk tangan para
penonton bergemuruh. Giliran Rarasati yang naik ke panggung, suara gending
Gambir Sawit mengiringi langkahnya menuju ke atas panggung, direntangkannya
panah dan diincarnya terong gelathik, seketika sasaran tembus dengan busur panah
sebagian masih menyangkut di tengah sasaran tanpa merusak wujud dari terong
gelathik. Drêsthajumêna menyampaikan kabar kepada kakanya bahwa pada sesi
kedua ini Srikandhi kakaknya juga kalah. Srikandhi dengan kesal mengatakan kepada
Drêsthajumêna bahwa masih ada sesi terakhir, yakni memanah sehelai rambut.
268
Pupuh XXXII Pangkur
Gending Gandasuli berbunyi, Sang Srikandhi segera menuju panggung,
segera dibentangkan panah olehnya, diincar tepat pada sasaran, dilepaskanlah busur
panah oleh Srikandhi tepat mengenai sasaran helai rambut putus seketika. Sorak sorai
para penonton pertandingan itu bergemuruh ketika Sang Srikandhi dapat mengenai
sasaran dengan tepat. Rarasati segera mempersiapkan diri, kembali ia meminta restu
kepada Sang Arjuna, dengan alunan gendhing Calunthang Rarasati naik ke atas
panggung, segera diincarnya sehelai rambut yang sudah terpasang di hadapannya,
dilepaskannya busur panah itu dan mengenai sehelai rambut hingga terbelah, rambut
tidak putus melainkan terbelah dengan busur panah masih bergantung pada rambut,
sorak bergemuruh para pendukung Rarasati.
Drêsthajumêna diutus ayahandanya untuk menemui Srikandhi guna memberi
tahu bahwa sayêmbara telah usai dan Srikandhi akan segera dinikahkan dengan
Arjuna. Srikandhi mengakui kekalahannya, akan tetapi ia mempunyai satu
permintaan lagi, ia harus perang tandhing dengan Rarasati, Drêsthajumêna menolak
untuk menyampaiakn kepada sang raja karena hal itu sangat membahayakan
Srikandhi, karena salah satu akan mati dan bahkan keduanya akan mati. Srikandhi
memarahi adiknya, ia tidak mau tahu akan hal itu, dan apabila ayahnya tidak
menuruti maka ia bersedia mati. Drêsthajumêna mendengar hal tersebut merasa
sangat bersedih, akhirnya dengan terpaksa Drêsthajumêna melaporkan permintaan
kakaknya itu kepada Prabu Dropada, sang prabu sangat marah mendengar berita
tersebut, Sri Krisna yang bijak berusaha menenangkan hati sang raja, ia mengusulkan
269
bahwa keinginan Srikandhi harus dituruti. Akhirnya dengan terpaksa Prabu Drupada
menuruti keinginan Srikandhi, karena apabila keinginannya tidak dituruti maka
Srikandhi tidak akan menikah meski sampai tua nanti, dan apbila ayahnya memaksa
maka ia lebih baik mati, lalu diutuslah Drêsthajumêna untuk menemui Arjuna guna
menyampaikan keinginan Srikandhi. Sesampainya di tempat Arjuna berada,
Drêsthajumêna menghaturkan permohonan maaf dan maksud kedatangannya. Arjuna
hanya tersenyum dan berkata dengan bijak bahwa ia tidak mau menuruti keinginan
Srikandhi, ia tidak jadi menikah tidak jadi masalah, dan meminta kepada
Drêsthajumêna untuk menyampaikan permintaan maafnya kepada Sri Arimurti dan
Prabu Drupada. Rarasati yang mendengar percakapan itu merasa tersinggung hatinya
bagai terbakar.
Pupuh XXXIII Durma
Rarasati menyela percakapan diantara keduanya, ia mengatakan kepada
Arjuna bahwa ia sanggup menuruti keinginan Srikandhi, Arjuna langsung
menyentaknya, dan menyuruh Rarasati untuk pulang ke Madukara karena permintaan
Srikandhi itu tidak wajar. Rarasati tetap bersi keras dengan keinginannya, di tengah
pedebatan di antara Arjuna dan Rarasati, Drêsthajumêna menyela meminta kepastian,
akhirnya Arjuna pergi sembari berkata kepada Drêsthajumêna untuk menanyakan
langsung kepada Rarasati tanpa sepengetahuan Arjuna, karena Arjuna dalam hati
tidak menegakan keduanya. Rarasati berkata kepada Drêsthajumêna bahwa ia
menyanggupi tantangan Srikandhi, Drêsthajumêna lalu menyembah dan pamit
pulang.
270
Sesampainya di Pancala, Drêsthajumêna menyampaikan berita bahwa
Rarasati sanggup untuk menandingi Srikandhi dalam berperang, Sri Krisna lalu
menyuruhnya untuk menemui Srikandhi dan menyampaikan berita itu.
Drêsthajumêna dengan sopan menyampaikan berita itu kepada Srikandhi sembari
menawarkan pilihan, apabila memang kakaknya tidak berniat menikah dengan Arjuna
maka Drêsthajumêna yang akan menyampaikannya kepada Sang Parta. Srikandhi
mengatakan bahwa memang hal itu disengaja olehnya, karena ia ingin berperang
tanding. Srikandhi menyuruh Drêsthajumêna untuk menyuruh para pangrawit untuk
membunyikan gamelan sebagai iringan, apabila gamelan sudah berbunyi Srikandhi
akan keluar dan begitupun Rarasati agar segera keluar. Gamelan Jawa
berkumandhang, Srikandhi dan Rarasati nampak bersiap-siap, kedua belah pihak
sama-sama menggunakan busana perang, Dananjaya miris dan tidak kuasa melihat
kedua orang yang dicintainya hendak berperang yang mana resiko dari peperangan itu
satu di antaranya bahkan keduanya akan mati.
Rarasati dan Srikandhi memasuki arena peperangan, mereka saling beradu
ketrampilan memanah, Rarasati memanah ke arah Srikandhi lalu di tangkis busur
panah itu, begitu sebaliknya. Keduanya nampak sama kuat, namun Srikandhi lengah,
panahnya putus terkena busur panah Rarasati, busur panah mengenai dada Srikandhi
akan tetapi hanya mengenai badhong-nya (bagian dari pakaian perang) hingga putus.
Srikandhi semakin memuncak amarahnya, lalu ia mencabut patrêm (keris kecil) dan
mendekati Rarasati, Rarasati yang melihat hal itu lalu membuang panahnya dan
mencabut patrêm miliknya, Sang Arjuna semakin khawatir melihatnya, begitupun
271
semua penonton yang melihat petandingan tersebut. Ketika keduanya hendak
menghantamkan petrêm-nya Sri Krisna sigap dan menangkis Srikandhi, begitupun
Arjuna ia menangkis Rarasati dan membawa keduanya menjauh dari arena
pertandingan.
Pupuh XXXIV Dhandhanggula
Srikandhi pingsan, lalu ia dibawa ke dalam pura, setelah Srikandhi sadar ibu
suri menanyakan kepastian kepada Srikandhi mengenai pernikahanya dengan Arjuna,
semua permintaan Srikandhi sudah terlaksana, apabila memang Srikandhi tidak mau
menikah dengan Arjuna maka Prabu Drupada yang akan menanggung segala
risikonya. Srikandhi mengatakan kepada ibunya bahwa tidak ada seorang putri raja
yang ingkar dengan janjinya, ia bersedia menjadi istri Arjuna meski pun hanya
menjadi istri paminggir saja. Ibu suri nampak sangat senang mendengar berita
tersebut, begitu pula sang baginda raja. Srikandhi menyuruh ke dua puluh abdinya
untuk menemui Rarasati guna mengajak Rarasati untuk pergi ke taman bertemu
dengan Srikandhi. Dua puluh abdi Srikandhi berangkat menuju pakuwon, Arjuna
kaget tiba-tiba melihat banyak abdi Srikandhi menemuinya, ternyata kedua puluh
abdi Srikandhi tersebut diutus oleh majikannya untuk membawa Rarasati ke taman
sari guna bersilaturahmi dengan Srikandhi. Arjuna tersenyum mendengarnya,
Rarasati lalu dibawa ke taman sari diiring oleh kedua puluh abdi Srikandhi dan
seorang kepercayaan Arjuna bernama Sucitra. Semua orang di jalan terkagum-kagum
melihat kecantikan Rarasati, bahkan kegiatan mereka rela dihentikan sejenak hanya
untuk melihat kecantikan Rarasati. Setibanya di taman keputren Rarasati langsung
272
menundukkan kepala hendak berlutut menyembah, akan tetapi Srikandhi langsung
merangkulnya, Srikandhi berkata bahwa sudah menganggap Rarasati seperti
saudaranya sendiri.
Pupuh XXXV Sinom
Srikandhi meminta maaf atas seluruh kesalahan yang diperbuatnya kepada
Rarasati, dan meminta pengarahan kepada Rarasati mengenai cara melayani Arjuna
dengan baik. Dalam taman keputren keduanya saling memahami satu sama lain,
bercanda tawa bersama dengan para dayangnya.
Hari senin yang telah dinanti-nanti pun tiba, pernikahan Srikandhi dan Arjuna
akhirnya terlaksana, kedua mempelai dirias dengan berbagai bunga-bunga yang indah
dan diiring menuju pura guna ditemukan dengan Prabu Dropada dan permaisuri
beserta para sanak saudara. Semua orang bersuka cita, pesta berlangsung meriah dari
siang hingga malam, makan besar bersama-sama. Pesta pernikahan terjadi masih
dalam satu bulan yang sama dengan kelahiran Angkawijaya anak pertama Arjuna,
pada jaman purwa yang ditengarai oleh sêngkalan “karti wulana rasa mungguh”
(1614). Empat hari berjalan sudah, Krisna mengutus Gathotkaca untuk mendahului ke
Amarta untuk mempersiapkan penyambutan pengantin keduanya. Esok harinya Sri
Krisna berpamitan kepada Prabu Drupada begitu pun mempelai keduanya, kedua
mempelai hendak di boyong ke Kasatrian Amarta, Drêsthajumêna ditugaskan oleh
ayahnya sebagai pengiring kedua mempelai hingga sampai di Amarta. Krisna
mewakili segenap keluarga besar negara Amarta untuk meminta maaf kepada
273
keluarga besar negara Cêmpala khususnya Prabu Drupada karena telah banyak
menyusahkan sang prabu, mulai terjadinya perang hingga sayembara Srikandhi.
Prabu Dropada tersenyum gembira dalam hati. Segenap prajurit Amarta pulang ke
negaranya, mereka tiba di negara Amarta dengan selamat, disambut gembira oleh
para warga negara Amarta.
Pupuh XXXVI Asmaradana
Setibanya di Amarta, rombongan mempelai disambut meriah dan penuh suka
cita oleh Prabu Yudhisthira, pesta berlangsung meriah, semua saling bersuka cita,
makan besar bersama-sama sembari bercanda tawa. Setelah tiga malam lamanya di
Amarta Sri Krisna berpamitan untuk pulang ke Dwarawati, begitu pula Raden
Gathotkaca, Raden Drêsthajumêna, semua pulang ke negaranya masing-masing.
Keesokan harinya giliran Arjuna bersama istri-istrinya berpamitan untuk pulang ke
kasatrian, dalam perjalanan ke Madukara mereka diiring oleh Raden Nakula dan
Sadewa. Setibanya di Madukara Srikandhi disambut sangat baik oleh Sumbadra,
bahkan Sumbadra memintakan maaf atas kelakuan Rarasati dan Sulastri apabila
kurang kurang sopan dalam bertutur maupun bertindak, bahkan Sumbadra
mempersilahkan Srikandhi untuk menjadi pimpinan istri-istri Arjuna, Srikandhi
langsung menangis tersendu tatkalan mendengar perkataan Sumbadra yang begitu
menyentuh hatinya. Srikandhi lalu mengatakan niat tulusnya bahwa ia tidak ingin
berkuasa, justru ingin melayani Arjuna sebagaimana yang dilakukan Rarasati dan
Sulastri.
274
Pupuh XXXVII Pocung
Arjuna menjamu adik-adinya yakni Nakula dan Sadewa, bersuka cita makan
besar bersama-sama selama semalam di Madukara. Pada keesokan harinya Raden
Nakula dan Sadewa berpamitan untuk pulang ke kasatriannya masing-masing.
Arjuna sangat bahagia melihat istri-istrinya rukun dan saling menghargai satu
sama lain, Sumbadra juga nampak tidak marah lagi dengannya. Kamar untuk para
istri Arjuna pun sudah tertata, sebelah timur adalah kamar Sumbadra, dan kamar yang
barat adalah kamar Srikandhi dan para selir Arjuna. Singkat cerita Angkawijaya
sudah berumur tiga tahun, saat-saat dimana seorang anak memasuki masa nakal-
nakalnya, aneh-aneh permintaanya Angkawijaya kepada ibunya, siang malam selalu
ingin dekat dengan ibunya, apabila meminta suatu hal dan sudah terpenuhi ia ganti
meminta yang tidak ada lagi. Arjuna menjadi tidak tega melihat istrinya yang begitu
kuwalahan mengasuh putranya, akhirnya Arjuna mencarikan kijang dan kancil di
hutan untuk mainan anaknya.
275
B. Kajian Isi Teks
Teks naskah SSMM secara garis besar berisi tentang ceritera pewayangan
Jawa, yang meceriterakan tentang kisah percintaan seorang putri raja dari negara
Pancala Radya yang bernama Wara Srikandhi dengan salah seorang kesatria
pandhawa yakni Pangeran Arjuna. Secara implisit, dalam ceritera Srikandhi Maguru
Manah sebenarnya banyak terkandung nilai-nilai etik yang dapat dijadikan pelajaran
bagi para pembaca, meskipun pemahaman seorang pembaca terhadap karya sastra
tersebut berbeda-beda. Jausz (dalam Teeuw, 1984: 196) berpendapat bahwa tiap-tiap
pembaca mempunyai horizon harapan yang tercipta karena pembacaannya terhadap
karya sastra terdahulu, pengalamanya selaku manusia budaya, dan seterusnya.
Artinya penafsiran seorang terhadap suatu karya sastra itu tergantung pada
pengalaman bacanya (terhadap karya sastra sejenis) dan pengalaman sosial yang
dialaminya sebagai manusia budaya. Seorang pembaca berhak menilai terhadap suatu
karya sastra yang dibacanya itu baik atau pun buruk, demikian pula terhadap SSMM
ini. Dalam ceritera Srikandhi Maguru Manah ini seorang pembaca bisa saja menilai
Srikandhi adalah seorang wanita yang tidak benar, melanggar etika keraton dan
sebagainya, begitu pula penilaiannya terhadap Arjuna yang dengan sengaja
menyembunyikan Srikandhi di taman Maduganda. Pembaca yang lain mungkin saja
mempunyai perspektif yang berbeda terhadap kelakuan Srikandhi dan Arjuna
begitupun tokoh-tokoh lainya. Pembaca yang lain itu tentunya mempunyai horizon
harapan yang berbeda dengan seorang pembaca pertama tadi. Perbedaan penafsiran
disebabkan oleh horizon harapan yang berbeda sehingga menimbulkan suatu
276
perspektif yang berbeda pula. Kelakuan Srikandhi bisa saja dinilai baik dan mulia
apabila ditinjau dari niatnya demi kemaslahatan rakyat dan negara Pancala, demikian
Arjuna, kelakuanya menyembunyikan Srikandhi di taman Maduganda bisa saja
dianggap suatu yang baik, apabila dilihat dari niatnya yang ingin mengajari Srikandhi
memanah dengan leluasa dan demi menyelamatkan Srikandhi dari sebuah pernikahan
paksa.
Dalam teks naskah SSMM memang secara eksplisit pengarang tidak
mengungkapkan mengenai peran perempuan secara konseptual sebagai mana karya
sastra Wulang pada zamannya, seperti Sêrat Wulang Putri, Sêrat Sandi Wanita, Sêrat
Candra Rini dan lain sebagainya, akan tetapi aktifitas-aktifitas, dialog, serta
keputusan-keputusan yang diambil oleh sang tokoh utama yakni Srikandhi dalam
ceritera, telah mencerminkan pandangan dan sikap pengarang terhadap emansipasi
wanita. Sebagaimana yang diketahui bersama, bahwasannya karya sastra Jawa
mayoritas ditulis oleh kaum laki-laki, sehingga pandangan laki-laki tentang
kedudukan wanita harus dibawah laki-laki dan menguntungkan laki-laki, itulah
hierarki gender yang mentradisi dalam masyarakat patriarki dan membuat perempuan
mengalami suatu penderitaan yang disebut Syndrome Patriarki (Christiana Dwi
Wardana: 2015: 5).
Hal inilah yang perlu untuk diteliti lebih lanjut, bahwasanya banyak nilai-nilai
etik yang dapat ditarik dari tiap-tiap konflik yang terjadi pada ceritera Srikandhi
Maguru Manah ini. Tokoh-tokoh utama yakni Srikandhi dan Arjuna, serta tokoh
figuran Rarasati, apabila dinilai dari perspektif etika keraton tentu saja ketiganya
277
melanggar kode etik keraton, akan tetapi apabila dilihat dari motif yang
melatarbelakangi tindakan-tindakan yang dilakukan tokoh-tokoh tersebut, tidak
menutup kemungkinan tindakan mereka dianggap terpuji dan mulia. Selain daripada
itu, ada sebuah keunikan dari karya sastra yang muncul di abad XIX tersebut, seorang
pengarang laki-laki yang hidup di kalangan keraton yang notabene diselimuti dengan
kekentalan budaya patriarkat. Pengarang juga seorang carik atau juru tulis keraton
(juru tulis dari pangeran Purboyo/PB VII), akan tetapi menulis sebuah karya sastra
yang justru secara tidak langsung melawan sistem terebut, dan karya sastra ini sempat
popular di zamannya, terbukti naskah ini diperbanyak, baik secara tradisional
(têdhak/mutrani) maupun secara cetak. Unsur-unsur feminisme sangat kental pada
karya sastra ini, padahal konsep emansipasi belum pernah muncul di kala itu, bukan
hanya Srikandhi, Rarasati pun juga memerankan sebagai wanita yang anti patriarkat.
Berikut akan dibahas secara rinci mengenai hal tersebut.
1. Nilai Etika dalam Sêrat Srikandhi Maguru Manah
Perspektif etik diterapkan pada ketiga tokoh dalam ceritera Srkandhi Maguru
Manah, dua tokoh utama yakni Srikandhi dan Arjuna, dan satu tokoh figuran
perempuan yakni Rarasati adalah sebagai berikut:
a. Srikandhi
Dalam ceritera Srikandhi Maguru Manah ini banyak peristiwa-peristiwa atau
adegan-adegan yang dinilai kurang etis, akan tetapi apabila dinilai dari sudut pandang
yang berbeda tidak menutup kemungkinan hal itu dapat dinilai sebagai sesuatu yang
278
etis bahkan mulia apabila dilihat dibalik motifnya. seperti yang tercermin pada pupuh
IV, bait ke- XXIII dan XXV tembang Sinom berikut:
24. Dahat dèrèng arsa krama / wikana ibu ing benjing / yèn wus mangsa arsa
krama/ nadyan sampuna upami / kawula purun laki / yêkti botên numbuk-
numbuk / nubruking ratu sabrang / ngunggahi anyundêl anjing / ngêndêlake
lamun ratu sugih bala //
Terjemahan:
Sangat belum ingin menikah/ ketahuilah ibu nanti/ kalau sudah waktunya
ingin menikah/ meski sudahlah saumpama/ hamba mau berkeluarga/ pasti
tidak nabrak-nabrak/ nabrak pada raja seberang/ mengemis cinta seperti
wanita rendah/ mengndalkan (mentang-mentang) raja yang mempunyai
banyakprajurit//
25. Bagus tur maksih taruna/ mandra guna sura sêkti/ masa ta nora nyandêra/
iya Si Wara Srikandhi/ ngènèl mara kêkinthil / ngunggahi mring tilamipun/
lamun njêng rama mêksa/ sangking wus pa-[…19]rênging galih / inggih
pintên ibu sakiting palastra//
Terjemahan:
Tampan dan masih muda/ sangat pandai pemberani sakti/ apa iya tidak
mendatangi (mau)/ ya Si Wara Srikandhi/ terpesona terkagum-kagum/ naik ke
ranjangnya/ apabila ayahanda memaksa/ karena sudah sangat menginginkan
pernikahan itu/ ya seberapa sakitnya orang mati//
Pada kutipan diatas berisi tentang penolakan Srikandhi atas penjodohannya dengan
Jungkung Mardeya, pada saat ibunya membawakan surat dari Jungkung Mardeya
kepadanya, Srikandhi menolak dengan alasan belum ingin menikah, dan apabila ia
ingin menikah maka sudah barang tentu ia tidak memilih raja dari tanah seberang
yang congkak. Pada kutipan di atas, Srikandhi memilih untuk mati apabila
ayahandanya memaksanya untuk menikah. Sekilas dari kutipan di atas, Srikandhi
nampak sebagai seorang anak yang tidak berbakti kepada orang tua, ia sudah
melanggar etika dalam kehidupan keraton, bahwasanya seorang raja apalagi Prabu
Drupada adalah ayah kandung Srikandhi, maka sudah sepantasnya Srikandhi
mengikuti perintah ayahandanya, toh hal itu juga demi kemaslahatan bersama, yakni
279
rakyat dan negara Pancala. Hal serupa terjadi pada adegan pertemuan antara Prabu
Dropada dengan Srikandhi tatkala setelah permaisuri melapor kepada sang prabu
bahwa Srikandhi menolak lamaran Jungkung Mardeya.
6. Dadya sêdhêng goningsun angungsi/mring wong ika lumuh yèn lakia/
wong sabrang kumawambêge/ kaya-kaya wong agung/ yèn sun bruki bisa
ngukuhi/ bêcik sun samudana/ marang rama prabu/ amrih sarèhe wong
sabrang/ sêdhêngingsun ing wuri pradandan budi/ sawusnya
ngartikèngtyas//
Terjemahan: jadi cukup untukku pergi mencari keselamata n/ dari orang
itu yang tak baik menjadi suami/ orang seberang semena-mena
perbuatanya/ sepintas seperti orang besar/ kalau kulawan bisa
mempertahankan (melawan)/ lebih baik aku mencari akal/ kepada
ayahanda prabu/ supaya orang sabrang mau menunggu/ secukupnya untuk
ku mencari akal/ setelah itu mengatur siasat// (bait VII tembang
Dhandhanggula)
Pada adegan tersebut diceriterakan bahwa srikandhi berpura-pura bersedia menerima
lamaran Jungkung Mardeya karena melihat keinginan ayahnya yang begitu
menggebu-gebu. Pandangan Prabu Dropada terhadap Jungkung Mardeya adalah
seorang raja yang muda, sakti, dan mempunyai kerajaan besar, sehingga nantinya
dapat menjamin kelangsungan hidup putrinya. Selain daripada itu, Prabu Dropada
juga mengkhawatirkan nasib rakyat dan negara Pancala, Jungkung Mardeya dengan
segenap pasukannya yang terdiri dari golongan manusia dan raksasa siap
menggempur Pancala kapan saja apabila lamaran Jungkung Mardeya ditolak.
Srikandhi nampaknya mempunyai pemikiran yang lain, ia ingin menyelamatkan
negara dan rakyat Pancala dengan cara mengusir Jungkung Mardeya beserta
balatentaranya dari Pancala, bukan menjadikan Jungkung Mardeya sebagai suaminya.
Srikandhi tidak ingin mempunyai seorang suami yang congkak dan haus akan
kekuasaan , yang pada nantinya justru ingin menjadikan Pancala sebagai negara
280
jajahannya. Hal tersebutlah yang mengakibatkan Srikandhi melancarkan rencana
terselubung, ia berpura-pura menyetujui penjodohan itu karena menghargai perasaan
ayahnya, dan kemudian ia berencana untuk pergi dari keraton untuk menemui Arjuna
guna meminta bantuan dan untuk mengajarinya memanah, disamping itu motif
perasan Srikandhi terhadap Arjuna yang sudah ia pendam lama sejak pertemuan
mereka di Dwarawati.
Tindakan terselubung Srikandhi di atas apabila dilihat dari kacamata etika
keraton dan masyarat pada umumnya, merupakan suatu tindakan yang salah, sangat
tidak etis untuk golongan priyayi bertindak tidak jujur hanya untuk memenuhi nafsu
lahirnya saja. Seorang wanita priyayi harus mempunyai sifat-sifat yang diantaranya
mampu bersikap sabar, halus, lembut, ikhlas, nrima ing pandum, mampu
mengendalikan emosi-emosi negatif, dan selalu bijaksana dalam mengambil
keputusan (Nugraheni Eko Wardani, 2011: 77). Ditinjau dari perspektif yang lain,
perbuatan Srikandhi tersebut juga dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang
terpuji meskipun jalan yang ditempuhnya melanggar kode etik dalam keraton. Secara
implisit, perbuatan Srikandhi dalam melancarkan rekncana terselubung tersebut agar
(1) tidak melukai persaan ayahanda slekaligus rajanya yang sangat ia hormati, (2)
Srikandhi juga tidak ingin apabila nasib buruk menimpa kerajaan Pancala dan
rakyatnya, karena dikawatirkan setelah pernikahan itu terjadi justru kerajaan Pancala
dijadikan sebaga daerah jajahan Paranggubarja, (3) Srikandhi tidak ingin memiliki
seorang suami raja dari tanah seberang yang terkenal congkak dan haus akan daerah
jajahan.
281
b. Arjuna
Seorang kesatria tidak boleh berkata dusta (lumuh ing wacana), Arjuna adalah
seorang kesatria yang cerdas, pikirannya jernih seperti air jambangan (Mardjono,
2008: 11), akan tetapi perbuatannya telah mencoreng nama baik Yudhisthira sebagai
raja Amarta dan sekaligus kakak kandungnya di mata dunia. Perbuatan Arjuna yang
telah berani menyembunyikan Srikandhi di taman Maduganda dinilai tidak etis
sebagai golongan kesatria, suatu perbuatan yang hina dan merendahkan martabatnya
sebagai seorang kesatria, apalagi dengan kebohongan yang ia sengaja dengan
menyuruh para panakawan-nya (abdi) untuk berbohong kepada siapapun termasuk
kepada para saudara dan istri-istri Arjuna sekalipun. Semua orang tidak
diperbolehkan mengetahui keberadaan Srikandhi di Maduganda kecuali para
panakawan (Semar, Garèng, Petruk, dan Bagong) Arjuna dan Srikandhi sendiri.
10. Warahên yèn ingsun lagi/ anglakoni tapa nendra/ anèng botrawi wangêne/ iya
patangpuluh dina/ iku sira gumrahna/ mring kabèh kanca-kancamu/ haywa na
seba maringwang//
Terjemahan:
Suruhlah jika aku sedang/ menjalani pertapaan tidur/ di jabangan taman lamanya/
empat puluh hari/ itu kau suarakan/ kepada semua teman-temanmu/ jangan ada
yang datang kepadaku//
11. Yèn wis patang puluh ari/ ana pikir manèh kakang/ iya kang enak linakon/ rolas
sikêp juru nyiram/ wêtokna saking taman/ munga sira dhewe kantun/ iya lawan
sutanira//
Terjemahan Kalau sudah empat puluh hari/ dipikir lagi kakak/ iya yang enak untuk dilakukan/
segenap duabelas juru (tukang) siram keluarkanlah/ keluarkanlah dari taman/
hanya kamu sendirian yang tinggal/ juga bersama putramu//
12. Anèng jroning taman sari/ padha tunggua maringwang/ lawange kuncinên
kabèh/ poma kakang wêkas ingwang/ singa kang jaluk lawang/ nadyan silih
biyang kulup/ iya balèkne kewala//
Terjemahan:
282
Di dalam taman sari/ pada tungguilah aku/ pintunnya kuncilah semua/ ini kakang
pesanku/ siapa yang meminta pintu/ meskipun para saudaraku/ iya suruhlah
kembali saja// (pupuh VIII Asmaradana).
Arjuna melakukan hal itu agar semua rang tidak ada yang mengetahui bahwa
Srikandhi berada di taman Madganda, apabila ada orang yang mengetahuinya dan
berita itu sampai tersebar di kerajaan Amarta bahkan Pancala, maka Yudhisthira akan
habis-habisan memarahinya, dan semua orang akan merendahkannya bahkan raja
Dropada sekalipun, selain itu Srkandhi pun juga aka terkena amarah dari kakaknya
yakni Drupadi dan Srikandi juga akan dipandang rendah di mata rakyat kedua negara.
Tindakan Arjuna sebenarnya tidak semata-mata mementingkan nafsu
lahiriahnya saja, dibalik itu semu Arjuna pun timbul perasaan belas kasihan melihat
Srikandhi yang akan dinikahkan paksa dengan Jungkung Mardeya raja dari tanah
seberang yang sama sekali tidak dicintai Srikandhi. Dilihat dairi sudut pandang yang
lain, kelakuan Arjuna ini sebenarnya dapat dikategorikan sebagai tindakan yang baik,
karena Arjuna ingin melindungi Srikandhi dari pernikahan paksa, serta mengajari
Srikandhi teknik-teknik dalam memanah dengan leluasa tanpa ada seorang pun yang
mengganggu mereka.
1. Tumpêka ngêbêki bumi/ ratu sabrang ingkang prapta/ ing prang tan gumingsir
tanggon/ wuwuha sapuluh raja/ dèn bak ing tanah Jawa/ ditya rasêksa myang
diyu/ kang abdi datan suminggah//
Terjemahan:
Datanglah memenuhi bumi/ raja seberang yang datang/ perang tidak
menyingkiri serta dapat diandalkan/ ditambah dengan sepuluh raja/ memenuhi
tanah Jawa/ (serta) para raksasa/ abdi ini tidak akan menghindar/
2. Pangawasaning jêmparing/ inggih gusti dasihira/ ingkang mulang sêsagête/
lesan rambut mamrih sigar/ lawan mamrih pêgata/ myang lesan dhog pêking
rêmuk/ mrih bolong kawula wulang//
283
Terjemahan:
Dalam kemahiran memanah/ ya gusti teman paduka ini/ yang mengajari
sebisanya/ sasaran rambut supaya terbelah/ serta supaya terputus/ serta telur
burung pêking hancur/ supaya berlubang hamba ajari//
(pupuh VIII Asmaradana bait 1-2)
Kutipan di atas merupakan penggambaran kesungguhan niat Arjuna dalam
melindungi Srikandhi, hal ini tentunya dikaitkan dengan sifat seorang kesatria lumuh
ing wacana, artinya Arjuna tidak mungkin berbohong kepada Srikandhi atau pun
hanya sebagai ungkapan rayuan belaka. Ungkapan tersebut dengan sungguh-sungguh
ia ucapkan bahwa ia akan melindungi Srikandhi apapun yang terjadi meskipun raja
seberang bersama segenap prajuritnya ditambah dengan sepuluh raja memenuhi
bumi, Arjuna tidak akan menghindarinya. Arjuna juga mengatakan bahwa ia sungguh
akan mengajari berbagai tekhnik dalam memanah sampai Srikandhi dapat menguasai
betul tekhnik tersebut, mulai dari teknik dalam memanah telur burung pêking dari
yang hanya pecah sampai pada teknik telur tersebut berlubang, serta tekhnik
memanah sehelai Rambut mulai dari rambut itu putus hingga sehelai rambt tersebut
terbelah. Hal ini berarti motif Arjuna dalam menyembunyikan Srikandhi dalam taman
tidak semata-mata memenuhi nafsu syahwatnya saja, akan tetapi lebih pada
kedarmaanya sebagai seorang kesatria yang mana harus senantiasa menjaga
kedamaian dan sêtya ing sêsanggêman atau pantang berdusta.
c. Rarasati
Dalam SSMM ini terdapat seorang tokoh figuran yang dianggap berperan
cukup penting dalam ceritera. Rarasati adalah salah satu dari sekian banyak istri
Arjuna, meskipun hanya sebagai istri selir, akan tetapi niatnya dalam memuliakan
284
suami pantas untuk ditiru, meskipun sekilas melanggar norma-norma dalam keraton
atau pun masyarakat umum. Rarasati mungkin dinilai kurang etis, ketika ia banyak
membantah perintah Arjuna sebagai suaminya, hal ini nampak jelas ketika Rarasati
diperintahkan Arjuna untuk mengurungkan niatnya menandingi Srikandhi dalam
memanah, karena Arjuna belum mengetahui bahwa Rarasati juga mempunyai
kemampuan memanah yang tidak kalah dengan Srikandhi meskipun tidak diajari
oleh Arjuna sebagaimana Srikandhi.
27. Rarasati duk miyarsa/ ing ngarsa gunêmirèki/ aturing Drêsthajumêna/
pamundhutira sang putri/ Sang Parta tan nyagahi/ nulya jawil saking
pungkur/ bêbisik aturira/ pangeran tuwan sagahi/ pamundhute sang raja
putri Cêmpala//
Terjemahan:
Rarasati ketika mendengar/ di depan percakapannya/ ucapan Drêsthajumêna/
permintaannya sang putri/ Sang Parta (Arjuna) tidak menyanggupi/ lalu
mencolek (Arjuna) dari belakang/ membisikan ucapanya/ pangeran tuan
sanggupi/ permintaan sang putri raja//
28. Kawula kang ngladosana/ sagêndhingipun jêmparing/ ature tan piniyarsa/
nanging nikèn Rarasati/ sinikut-sikut maksih/ jawil matur saking pungkur/
dènya ken nyagahana/ Dananjaya rêngu nolih/ radèn Drêsthajumêna tyase
grahita//
Terjemahan:
Hamba yang meladeni/ sepuasnya dalam memanah/ ucapnya tidak
didengarkan (Arjuna)/ akan tetapi Nikèn Rarasati/ masih menyiku-nyiku/
menyolek dari belakang/ supaya mau menyanggupi/ Dananjaya (Arjuna)
menoleh (Rarasati) dengan penuh amarah/ raden Drêsthajumêna hatinya
mengira//(pupuh XXVII tembang Sinom)
Pada kutipan di atas nampak bagaimana kuat tekat Rarasati untuk meyakinkan Arjuna
bahwa ia mampu menjadi tandingan Srikandhi, meskipun Arjuna memandangnya
dengan penuh amarah akan tetapi tidak mengurungkan niatnya untuk meyakinkan
Arjuna bahwa ia layak menandingi Srikandhi. Pada pupuh XXVIII tembang
285
Asmaradana (lihat suntingan) digambarkan betapa marahnya Arjuna kepada Rarasati
bahkan Arjuna mencaci maki meremehkan Rarasati, akan tetapi tidak sedikitpun
mematahkan semangatnya dalam meyakinkan Arjuna, hingga Drêsthajumêna
mengetahui niat Rarasati yang begitu bulat untuk menandingi Srikandhi dalam
memanah, sehingga dengan terpaksa Arjuna mengabulkan permintaan Rarasati.
Ketidakpatuhan Rarasati yang kedua, ketika Arjuna menyuruhnya untuk tidak
nekat meladeni amarah Srikandhi yang ingin meneruskan pertandingan dengan cara
berperang panah. Dalam hal ini Rarasati tetap nekat untuk menandingi Srikandhi
meskipun hal itu dapat membahayakan nyawanya, andai kata Rarasati yang
memenangkan pertandingan itu, pasti Srikandhi yang tewas berkalang tanah,
begitupun sebaliknya.
1. Dhuh pangeran lamun makatên kewala/ pamundhute sang putri/ kawula pan
sagah/ inggih angladosana/ sagêndhinge jro jêmparing/ nadyan rukêta/
inggih kula kêmbari//
Terjemahan:
Duh pangeran jika hanya itu saja/ permintaan sang putri/ hamba sanggup/ iya
meladeni/ sepuasnya dalam memanah/ meskipun bergulung-gulung (perang
tanding)/ iya hamba kembari (tandingi)//
2. Dananjaya nolih wuri asru nyêntak/ wis asu aja muni/ cangkêmmu
gumampang/ pan dudu jêjalukan/ pasanggiri rêbut pati/ asile apa/ angur
muliha aris//
Terjemahan:
Dananjaya menoleh kebelakang menyentak keras/ sudah anjing jangan bicara/
mulutmu menganggap enteng/ memang bukan permintaan/ nadir berebut mati
(pertaruhan nyawa)/ hasilnya apa/ lebih baik pulanglah saja//
3. Ingsun ora kudu krama saking sira/ marga dolanan pati/ si calak caluthak/
apa asoroh badan/ maju kono bosah-basih/ bangkemu basah/ ajur dening
jêmparing//
286
Terjemahan:
Aku tidak harus menikah dari (upaya) kamu/ karena bermain (pertaruhan)
kematian/ si lancang yang rakus/ apa menyerahkan badan/ majulah sana tidak
karuan/ bangkaimu busuk/ hancur karena panah//
4. Rarasati tur sêmbah nadyan ajura/ sampun kula andhêmi/ pan sakêthi
merang/ lamun kula mêdala/ ngunthul saking taman ngriki/ luhung pêjaha/
aprang lawan sang putri//
Terjemahan:
Rarasati menyembah meskipun hancur/ sudah saya niati/ meski seratus ribu
malu/ tetap saya keluar/ lari dari taman ini/ lebih baik mati/ berperang dengan
sang putri//
(pupuh XXXIII tembang Durma)
Kutipan di atas menggambarkan tekat kuat Rarasati dalam mempertahankan niatnya
untuk melawan Srikandhi meskipun Arjuna dengan keras melawannya.
Dalam dua kasus di atas, dua kali dalam waktu yang sama Rarasati menentang
perintah Arjuna. Secara etika dalam kehidupan berumahtangga, telah menyimpang
dari kebenaran, karena ia berani menentang perintah Arjuna yang notabene sebagai
panutannya (suami). Apabila ditinjau dari perspektif yang berbeda, Rarasati justru
merupakan seorang perempuan dan istri yang mulia dan patut dipuji, demi
memuliakan suaminya ia bahkan merelakan nyawanya sebagai tumbal.
Ketidakpatuhan Rarasati terhadap perintah Arjuna didasari oleh (1) rasa ingin
menunjukkan kepiawainya dalam memanah kepada Arjuna, meskipun tidak
mendapatkan perlakuan khusus layaknya Srikandhi, akan tetapi ia mampu dan layak
untuk menjadi istri yang baik dan membanggakan untuk Arjuna. (2) Rarasati juga
ingin memuliakan nama Arjuna dihadapan semua orang bahwa selain mempunyai
istri yang membanggakan dan berbakti, Arjuna juga sangat pantas untuk
mendapatkan putri Cempala Radya. Motif tersebutlah yang melatarbelakangi
287
pembangkangan Rarasati terhadap perintah suaminya, sehingga tidak mutlak apa
yang diperbuat Rarasati adalah perbuatan tercela.
2. Kesetaraan Gender dalam Sêrat Srikandhi Maguru Manah
Pada pertunjukan wayang, khususnya wayang kulit Jawa, jarang ditemui
seorang dhalang yang mengambil tokoh perempuan sebagai tokoh utama, hanya
beberapa dalang yang terkadang memakai tokoh wanita sebagai tokoh utama dalam
lakon, itu pun adalah dalang putri. Tokoh-tokoh perempuan rata-rata hanya dijadikan
sebgai tokoh pelengkap, hal ini mempertegas pandangan bahwa dalam masyarakat
Jawa wanita hanya sebagai kanca wingking (Sri Wintala Achmad, 2015: 13). Sistem
patriarkat semakin tumbuh subur di kalangan masyarakat Jawa terlebih di kalangan
para priyayi yang memandang wanita selalu dalam posisi inferior. Hal ini ditengarai
dengan banyaknya karya sastra Jawa yang bergenre ajaran (sastra wulang) yang
bermunculan di dalam tembok keraton, seperti Sêrat Candra Rini, Sêrat Sandi
Wanita, Sêrat Wulangrèh Putri dan lain sebagainya, yang mengarahkan kepada
kerabat, abdi bahkan kawula (rakyat) keraton untuk mematuhi ajaran-ajaran yang
terkandung di dalamnya.
Karya Sastra (Jawa khususnya) pada abad XIX yang muncul di dalam tembok
keraton, mayoritas pasti telah terpengaruh dengan konvensi keraton sentris dalam hal
ini adalah perspektif perempuan Jawa di kalangan priyayi. Gambaran perempuan
priyayi dalam karya sastra abad XIX adalah memposisikan perempuan pada posisi
domestik, dicetak untuk menjadi seorang istri yang senantiasa membahagiakan
suami, berpenampilan fisik menarik dan berbudi pekerti baik (Nugraheni Eko
288
Wardani, 2011: 75). Seorang perempuan apalagi notabene sebagai putri raja sudah
sepantasnya patuh terhadap perintah Ayahnya, seperti yang tertulis pada salah satu
karya sastra yang seabad dengan SSMM yakni Sêrat Wulangrèh Putri karya PB X
sebagai berikut:
Babo nini sira sun tuturi/ prakara kang abot/ rong prakara gedhene
panggawe/ ingkang dhingin parentah narpati/ kapindhone laki/ padha
abotipun//
Terjemahan: wahai putriku kamu aku beritahu/ masalah yang berat (suatu
yang penting)/ dua perkara yang besar/ yang pertama perintah raja/ keduanya
suami/ sama beratnya//”
Kutipan satu bait tembang Mijil di atas berisi akan kewajiban seorang perempuan
yang mana harus patuh dan mengutamakan kepada perintah Raja atau pun juga
suaminya.
Berbeda dengan karya sastra populer yang muncul dari dalam tembok keraton
lainya, SSMM merupakan naskah berjenis sastra wayang (lakon wayang gubahan)
yang mana didalamnya banyak terkandung nila-nilai feminisme yang menunjukan
anti patriarkat. Secara garis besar SSMM berisi kisah romantika Srikandhi dengan
Arjuna, dan bukan sama sekali naskah ber-genre piwulang yang mana isi daripadanya
secara eksplisit menuliskan ajaran perempuan secara konseptual. Dalam ceritera
Srikandhi Maguru Manah ini, banyak adegan-adegan yang berisikan perlawanan-
perlawanan seorang tokoh perempuan terhadap seorang tokoh laki-laki, seperti halnya
tokoh utama yang bernama Srikandhi. Srikandhi adalah seorang perempuan berjiwa
prajurit, ia memiliki kemampuan yang luar biasa dalam memanah dan olah kanuragan
layaknya seorang prajurit laki-laki. Artinya, hal ini sejalan dengan pendapat Sri
Wintala Achmad yang menyatakan bahwa Srikandhi tidak sekedar berperan sebagai
289
kanca wingking meskipun ia adalah seorang perempuan (2015: 107). Selain
Srikandhi, juga terdapat satu tokoh figuran perempuan yang berperan penting dalam
ceritera yakni Rarasati. Rarasati adalah salah satu dari sekian banyak istri Arjuna,
dalam ceritera ini Rarasati nampak sebagai seorang perempuan yang tidak sekedar
macak, masak, dan manak. Dalam perang mulut dengan Arjuna sebenarnya ia ingin
menunjukkan eksistensinya sebagai seorang istri yang tidak sekedar sebaga kanca
wingking, meskipun tidak seperti Srikandhi seorang putri raja yang diajari secara
khusus oleh Arjuna, akan tetapi ia ingin menunjukkan bahwa ketrampilannya dalam
memanah serta berperang tidak kalah dengan Srikandi.
Nilai kesetaraan gender yang menginginkan suatu hak yang sama antara laki-
laki dan perempuan, diperlihatkan Srikandhi tatkala menerima sebuah surat dari
Jungkung Mardeya melalui ibunya. Surat tersebut berisi tentang lamaran Jungkung
Mardeya kepada Srikandhi, raja dari tanah seberang itu mengaku bertemu dan
berolah asmara dengan Srikandhi di dalam mimpi, oleh karena mimpinya tersebut
Jungkung Mardeya datang jauh-jauh dari Paranggubarja ke tanah Jawa untuk mencari
dan melamar Srikandhi. Srikandhi mempunyai prinsip yang kuat, bahwasanya
seorang perempuan tidak hanya untuk dipilih akan tetapi juga berhak untuk memilih,
meskipun Srikandhi adalah seorang putri bangsawan akan tetapi tidak sudi untuk
dijodohkan dengan sembarang pria, terlebih pria itu adalah seorang yang berasal dari
tanah seberang. Hal ini nampak pada pupuh IV, bait ke- 23 dan 25 tembang Sinom
berikut:
26. Dahat dèrèng arsa krama / wikana ibu ing benjing / yèn wus mangsa arsa
krama/ nadyan sampuna upami / kawula purun laki / yêkti botên numbuk-
290
numbuk / nubruking ratu sabrang / ngunggahi anyundêl anjing / ngêndêlake
lamun ratu sugih bala //
Terjemahan:
Sangat belum ingin menikah/ ketahuilah ibu nanti/ kalau sudah waktunya
ingin menikah/ meski sudahlah saumpama/ hamba mau berkeluarga/ pasti
tidak nabrak-nabrak/ nabrak pada raja seberang/ mengemis cinta seperti
wanita rendah/ mengndalkan (mentang-mentang) raja yang mempunyai
banyakprajurit//
27. Bagus tur maksih taruna/ mandra guna sura sêkti/ masa ta nora nyandêra/
iya Si Wara Srikandhi/ ngènèl mara kêkinthil / ngunggahi mring tilamipun/
lamun njêng rama mêksa/ sangking wus pa-[…19]rênging galih / inggih
pintên ibu sakiting palastra//
Terjemahan:
Tampan dan masih muda/ sangat pandai pemberani sakti/ apa iya tidak
mendatangi (mau)/ ya Si Wara Srikandhi/ terpesona terkagum-kagum/ naik ke
ranjangnya/ apabila ayahanda memaksa/ karena sudah sangat menginginkan
pernikahan itu/ ya seberapa sakitnya orang mati//
Kutipan diatas berisi tentang ketidaksetujuan Srikandhi atas penjodohan
dirinya dengan Jungkung Mardeya. Srikandhi mengatakan kepada ibunya bahwa ia
belum mempunyai keinginan untuk menikah, apabila ingin pun tidak akan
merendahkan dirinya dengan mendatangi raja dari tanah seberang, ia lebih memilih
mati daripada bersuamikan seorang raja dari tanah seberang yang congkak dan
mengagung-agungkan kekuasaan, kesaktian, kekayaan, dan ketampanannya.
Perlawanan Srikandhi yang kedua adalah ketika ayahandanya sendiri yang
mendatangi dan bertanya mengenai penjodohan itu. Srikandhi dalam satu sisi adalah
seorang anak yang tidak tega melihat keinginan ayahandanya yang bergitu
menggebu-gebu ingin menjodohkannya dengan Jungkung Mardeya, akan tetapi satu
sisi ia sama sekali tidak mencintai raja dari tanah seberang tersebut. Srikandhi
mencari jalan tengah dan terpaksa unutuk berbohong kepada ayahandanya, ia
mengaku sedang mengalami pertapaan dan sudah berjalan satu bulan, pertapaannya
291
kurang dua bulan lagi, padahal Srikandhi tidak sedang menjalani pertapaan apapun,
waktu dua bulan tersebut digunakan Srikandhi untuk mengatur siasat untuk pergi dari
Pancala dan menemui pujaan hatinya di Maduganda untuk meminta bantuan dan
belajar memanah. Hal tersebut nampak pada pupuh ke- V bait ke- 6-7 tembang
Dhandhanggula dan pupuh ke-V bait ke- 1-2 tembang Mijil berikut:
Dhandhanggula
7. Anêmpuh byat wirang lawan isin/ ambruk marang wong Madukara/
nênuwun sihing wêlase/ pangukupe maringsun/ marga saking wong
sabrang iki/ ingkang dadya jalaran/ ing panglamaripun/ ambêg digung adi
guna/ yèn tinampik nêdya misesa ing jurit/ gêmpur Cêmpala Rêja//
Terjemahan: menempuh suatu yang berat dan memalukan/ jatuh (hati)
kepada Sang Arjuna/ meminta belas kasihannya/ belas kasihnya kepadaku/
karena orang dari tanah seberang ini/ yang menjadi penyebab/ lamaranya/
betindak sok kuasa dan pandai/ kalau ditolak lamarannya pasti mengajak
berperang/ menggempur negara Cempala.
8. Dadya sêdhêng goningsun angungsi/mring wong ika lumuh yèn lakia/
wong sabrang kumawambêge/ kaya-kaya wong agung/ yèn sun bruki bisa
ngukuhi/ bêcik sun samudana/ marang rama prabu/ amrih sarèhe wong
sabrang/ sêdhêngingsun ing wuri pradandan budi/ sawusnya
ngartikèngtyas//
Terjemahan: jadi cukup untukku pergi mencari keselamatan/ dari orang
itu yang tak baik menjadi suami/ orang seberang semena-mena
perbuatanya/ sepintas seperti orang besar/ kalau kulawan bisa
mempertahankan (melawan)/ lebih baik aku mencari akal/ kepada
ayahanda prabu/ supaya orang sabrang mau menunggu/ secukupnya untuk
ku mencari akal/ setelah itu mengatur siasat//
Mijil
36. Ngrasuk busana sang raja putri/ denira salolos/ nulya têdhak angandhut
patrême/ tiningalan parêkan myang cèthi/ wus samya aguling/ lajêng
lampahipun//
Terjemahan: memakai busana sang putri raja/ ia melarikan diri/ lalu ia
bawa patrem-nya (semacam keris tapi kecil)/ ditinggalkannya para
abdinya/ yang sudah terlelab tidur/ lalu langkahnya//
37. Madya ratri kentarnya mangikis/ sira sang lir sinom/ saking taman miyos
butulane/ datan wontên cèthine udani/ lampahe lêstari/ wus ngambah
marga gung//
292
Terjemahan: tengah malam perginya sudah di perbatasan/ ia yang masih
muda/ dari taman keluar tembus luar istana/ taka ada abdi perempuannya
yang tahu/ langkahnya selamat/ sudah sampai pada jalan besar//
Srikandhi tetap teguh dalam mempertahankan pendiriannya, meskipun jalan
yang ditempuhnya dinilai kurang baik, akan tetapi dalam hal ini lebih menekankan
pada kesamaan hak laki-laki dan perempuan. Kebohongan akan kesanggupannya
menikah dengan Jungkung Mardeya hanya untuk menyenangkan hati prabu Drupada
yang sangat menggebu-gebu ingin anaknya menikah dengan raja dari tanah seberang
terebut demi tidak terjadiya pertumpahan darah, rencana terselubung Srikandhi
tersebut dilanjutkan dengan aksinya melarikan diri dari Pancala tatkala semua sedang
tertidur lelap di tengah malam.
Contoh lainnya yang melukiaskan kejiwaprajuritan Srikandhi adalah ketika
pertempurannya melawan pasukan dari Paranggubarja yang diutus prabu Jungkung
Mardeya untuk mencari Srikandhi di tengah hutan, Srikandhi mampu membunuh
banyak raksasa dengan panahnya, sebagaimana kutipan berikut:
25. “Ingkang kambah marang putri ing Cêmpala/ gandane pan katawis/ kunêng
kang winarya/ wauta lampahira/ Kusuma Wara Srikandhi/ wus byar rahina/
praptèng madyèng wanadri//
32. Dene enak enuk wuwuse gumampang/ basakakên raka ji/ heh buta lungaa/
aja na ngarsaningwang/ yên sira nora lunga glis/ yékti sun panah/ wil
pradêksa miyarsi//
33. Latah-latah sarwi ngungalakên jaja/ dawêg gusti dèn aglis/ paduka tibakna/
abdine titir tatal/ dinadar ing rakanta ji/ gêret lumêpas/ dhadhali kadya
thathit//
34. Wil pradêksa kacundhuk janggane pagas/ gumêbrug tibèng siti/ wadyanya
tumingal/ yèn punggawane pêjah/ gumuruh sarêng dènya ngrik/ mara
kumêrab/ sêdyambyuk angêbyuki/”(pupuh XIV Durma )
Terjemahan:
25. yang dilewati sang putri Cêmpala/ baunya tak terlacak (karena pada saat itu
Arjuna mengejar Srikandhi dengan menelusuri jejak baunya)/ berganti yang
293
diceriterakan/ alkisah langkahnya/ Kusuma Wara Srikandhi/ sudah pagi hari/ sampai
di tengah hutan//
32. mudah sekalai kau berkata/ menyebut kakanda raja/ heh raksasa pergilah/ jangan
ada di depanku/ kalau kamu tidak segera pergi/ sungguh ku panah/ raksasa Pradêksa
mendengarnya//
33. tertawa terbahak-bahak melihatkan dhadhanya (menyombongkan diri)/ segera
gusti segeralah/ paduka lepaskan (panah)/ abdi yang tak henti berlatih/ dilatih oleh
kandha prabu/ panah dilepaskan/ dhadhali (nama panah) seperti kulat//
34. raksasa Pradêksa terkena lehernya putus/ jatuh di tanah/ prajuritnya melihat/ kalau
pimpinannya tewas/ bergemuruh semua berteriak/ datang berbondong/ bermaksud
menolong pimpinannya//
Kutipan empat bait diatas yakni bait 25, 32, 33, dan 34 merupakan bait yang berisi
tentang perjalanan pulang Srikandhi menuju Pancala, di tengah hutan ia dihadang
oleh sekawanan raksasa, raksasa tersebut merupakan utusan Jungkung Mardeya untuk
mencari Srikandhi tatkala Srikandhi dikabarkan menghilang dari keraton. Dalam
kutipan diatas secara tersirat nampak ketegasan Srikandhi dalam menolak lamaran
Jungkung Mardeya, tolakan itu nampak pada kedua kalimat ini “Dene enak ênuk
wuwuse gumampang/ basakakên raka ji” (bait ke- 32) yang secara bebas dapat
diartikan “mudah sekali kau berkata/ menyebut kandha raja”, maksutnya Srikandhi
tidak sudi menjadi istri Jungkung Mardeya, sebutan raka ji merupakan panggilan
Srikandhi untuk Jungkung Mardeya apabila mereka menikah. Srikandhi sangat marah
akan hal itu, ejekan para denawa yang menyombongkan diri itu semakin membuat
Srikandhi tidak sabar hati, dilepaskannya busur panah tepat pada leher pimpinan
denawa tersebut hingga terputus dari badanya. Hal ini berarti tokoh Srikandhi telah
membuktikan kepada siapapun bahwa dirinya monolak adanya satu sistem
kemasyarakatan yang kurang berpihak kepada kaum perempuan.
294
Selain Srikandhi, dalam SSMM ini juga terdapat salah seorang tokoh figuran
yang juga menonjolkan sikap anti inferioritas, tokoh tersebut adalah Rarasati, salah
seorang dari istri Arjuna. Rarasati juga berhak dan pantas apabila ia dianggap sebagai
tokoh feminisme dalam dunia pewayangan. Meskipun Rarasati termasuk salah satu
dari istri Arjuna (garwa paminggir/selir), akan tetapi keinginanya yang begitu kuat
untuk menjadi seorang prajurit putri layaknya Srikandhi pantas untuk diapresiasi.
Secara langsung memang Rarasati tidak mendapatkan bimbingan Arjuna dalam olah
kaprajuritan terutama dalam memainkan senjata panah, akan tetapi ia memanfaatkan
momen ketika Arjuna mengajarkan teknik memanah kepada Srikandhi di taman
Maduganda, Rarasati mengintip tanpa sepengetahuan Arjuna dan Srikandhi. Berikut
kutipan dari pengakuan Srikandhi kepada Arjuna:
24. “Kadi-kadi yèn kadugi/ ulah sanjata mung kadya/ putri ing Cémpala bae/
Dananjaya sru anyêntak/ pintêrmu saka ngapa/ yèn nora lawan winuruk/
Rarasati aturira//
25. Inggih dèrèng anglampahi/ winulang nanging kawula/ asring ngintip
sayêktine/ nggèn tuwan mulang nyanjata/ dhatêng putri Cêmpala/ wontên ing
taman rumuhun/ manah kawula kaduga//”(pupuh XXVIII Asmaradana)
Terjemahan:
24. seakan-akan kalau mampu/ memainkan senjata hanya seperti/ Putri dari
Pancala saja/ Dananjaya membentak dengan keras/ pintarmu dari mana/ kalau
tidak dengan diajari/ rarasati ujarnya/
25. iya memang belum pernah menjalani/ diajar akan tetapi hamba/ sebenarnya
sering mengintip/ ketika tuan mengajarkan senjata/ kepada putri Cêmpala/ di
taman dahulu/ perasaanku bisa//
Kutipan diatas berisi tentang pengakuan Rarsati kepada Arjuna bahwasanya ia telah
mahir dalam memanah meskipun tidak secara langsung diajari oleh Arjuna layaknya
295
Srikandhi. Pada pupuh XXVII dan XXVIII (lihat suntingan) terdapat dialog antara
Rarasati dengan Arjuna yang sangat menonjolkan bentuk tindakan anti patriarkat
yang mana hal itu dianggap kurang menguntungkan Rarasati. Ketika Rarasati
mendengar bahwa seorang yang menikahi Srikandhi harus bisa mengalahkannya
dalam memanah, Rarasati mengajukan diri untuk itu. Terjadi perdebatan antara
Rarasati dengan Arjuna, bahkan Arjuna memarahi Rarasati dan merendahkannya.
Rarasati sangat teguh hati dan berusaha meyakinkan Arjuna, bahwa ia bukan hanya
seorang istri yang tidak bisa berbuat apa-apa, meskipun tidak diajari oleh Arjuna
secara langsung dalam memanah, ia sangat yakin akan kebisaanya menandingi
Srikandhi dalam memanah. Pada saat pertandingannya melawan Srikandhi, Rarasati
mampu menandingi kemampuan Srikandhi dalam memainkan panah, bahkah teknik
Rarasati lebih baik dibandingkan Srkandhi. Srikandhi yang merasa terkalahkan, tidak
menerima akan hal itu, ia mengunus keris dan berusaha menyerang Rarasati, akan
tetapi Rarasati yang hanya sebagai garwa paminggir Arjuna itu ternyata mampu
menandingi Srikandhi yang telah lama belajar kaprajuritan.
Contoh-contoh yang tersebut di atas merupakan hal-hal yang tidak sewajarnya
dilakukan oleh seorang perempuan. Srikandhi adalah seorang wanita yang berjiwa
prajurit, meskipun ia dikodratkan sebagai seorang perempuan, akan tetapi fisiknya
sebagai seorang perempuan tidak menghalangi niatnya untuk menjadi seorang
prajurit, berlatih senjata dan berperang layaknya laki-laki. Srikandhi juga anak
seorang Raja negara Pancala atau Cempala yang dengan terpaksa berbohong kepada
ayahandanya demi perasaan cintanya, dan hal tersebut tidak sepantasnya dilakukan
296
oleh seorang perempuan dari golongan priyayi. Kebohongan dan rencana terselubung
Srikandhi tidak semata karena nafsu asmaranya saja, akan tetapi lebih menekankan
pada kesamaan hak yang diperoleh laki-laki dan perempuan, yang mana seorang
perempuan pun berhak untuk memilih pendamping hidupnya. Selain Srikandhi
seorang tokoh perempuan juga menentang adanya inferioritas terhadap perempuan,
tokoh tersebut adalah Rarasati. Seorang garwa paminggir biasanya juga tidak berani
untuk menentang suaminya yang notabene sebagai seorang kesatria agung, demi
untuk memantaskan dirinya di mata Arjuna, Rarasati nekat menentang segala
perkataan Arjuna yang menganggapnya remeh. Tindakannya dalam menentang
Arjuna bukan semeata-mata seorang istri yang berani terhadap suami, akan tetapi
lebih kepada kesamaan haknya sebagai seorang perempuan yang tidak hanya sebagai
kanca wingking, serba nurut kepada suami meski perintah suami tidak benar. Tekat
Rarasati yang begitu kuat akhirnya bukan hanya Arjuna saja yang mengakui
ketrampilan Rarasati dalam memanah, akan tetapi seluruh yang menyaksikan
pertandingan itu termasuk Srikandhi sendiri telah mengakui kemahiran Rarasati
dalam memanah.
Keinginan Srikandhi yang begitu besar di dalam mengejar cita-citanya untuk
menjadi seorang prajurit putri, serta usaha Rarasati dalam memantaskan diri sebagai
seorang istri kesatria agung patut untuk dijadikan contoh bagi perempuan Jawa masa
kini, tentunya disesuaikan dengan konteks kekinian.