1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Thailand adalah satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang
belum pernah dijajah oleh bangsa asing. Melalui kudeta pada 1932, pemerintahan
di Thailand telah bertransformasi dari sistem monarki yang absolut menuju sistem
monarki konstitusional. Meski demikian, selama hampir setengah abad setelahnya
dunia politik di Thailand masih didominasi oleh elit militer dan birokrat. Rezim
pemerintahan militer saling bergantian dengan rezim demokrasi tetapi hanya
dalam periode yang singkat. Pergantian kekuasaan di Thailand sering terjadi
melalui kudeta militer sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan politik di
negeri gajah putih. Ketidakstabilan politik domestik ternyata tidak hanya
mempengaruhi kondisi internal negara, tetapi juga berdampak terhadap hubungan
luar negerinya. Dalam hal ini adalah terkait hubungan antara Thailand dan
Kamboja yang awalnya terjalin erat kemudian bisa berubah karena adanya krisis
politik domestik yang melibatkan rezim Thaksin Sinawatra dan kelas menengah di
negeri gajah putih (Zebioli, 2009, hal. 4).
Thaksin Sinawatra adalah Perdana Menteri Thailand yang memerintah dari
2001-2006. Melalui Partai Thai Rak Thai (TRT), Thaksin berhasil memenangkan
pemilu pada Januari 2001 dan kemudian berhasil kembali menang pada pemilu
Februari 2005. Pemerintahan Thaksin pada periode tahun 2001-2005 berjalan
dengan cukup baik. Bahkan ia sangat dicintai oleh masyarakat kelas bawah dan
pedesaan di Thailand. Thaksin mampu meningkatkan taraf perekonomian
2
masyarakat bawah melalui kebijakan ekonominya yang dinamakan Thaksinomics
yakni kebijakan pemberian dana bantuan pedesaan, penghapusan beban utang
petani, subsidi kesehatan, bantuan pengembangan usaha kecil menengah dan
lainnya. Ekonomi negeri gajah putih mampu tumbuh dengan positif pasca krisis
1997 dengan arus investasi asing yang relatif lancar (Maghribi, 2006).
Meski demikian, pemerintahan Thaksin Sinawatra tidaklah berjalan secara
mulus dan banyak mendapat kritikan dari oposisinya. Selama periode 2005-2008,
rezim Thaksin Sinawatra dan sekutunya di Thailand menghadapi perlawanan yang
kuat dari pihak oposisi yang dimotori oleh kelompok PAD yang menganggapnya
telah melakukan berbagai penyalahgunaan kekuasaan saat memerintah (Zahroh,
n.d.). Ada sejumlah kebijakan Thaksin yang menuai kontroversi dan menjadi cikal
bakal menurunnya hubungan antara Thaksin dengan kelas menengah termasuk
juga kepada kerajaan. Kebijakan Thaksin yang memilih jalur kekerasan dalam
menghadapi kelompok separatis di wilayah Thailand Selatan dan penjualan
perusahaan telekomunikasi yang strategis yaitu Shin Corp tanpa pajak ke
Singapura merupakan contoh kebijakan yang membuat citranya tercoreng. Meski
Thaksin kembali menang dalam pemilu 2005, tetapi berbagai kesalahan yang
pernah dilakukannya itu tetap tidak bisa diterima oleh kelompok masyarakat kelas
menengah yang tergabung dalam massa PAD di Thailand (Maghribi, 2006).
People’s Alliance for Democracy (PAD) atau juga disebut kaos kuning
merupakan kelompok gerakan untuk menentang pemerintahan Thaksin Sinawatra
di Thailand yang terdiri dari 23 organisasi masyarakat yang beraliansi dengan
pebisnis kaya yakni Sondhi Limthongkul. Sondhi adalah pemilik media yang setia
3
terhadap kerajaan yakni The Manager Media Group. Basis massa PAD adalah
kelas menengah di Bangkok yang berjumlah lebih dari 100.000 orang. Secara
keseluruhan, PAD mempunyai lima pemimpin dengan Sondhi Limthongkul
sebagai sosok yang paling dominan dalam menyediakan akses pendanaan dan
kampanye anti-Thaksin melalui media yang dimilikinya. Sementara keempat
pemimpin lainnya berperan dalam mengumpulkan dan mengerahkan massa untuk
melakukan demonstrasi 1(Ungpakorn, 2007, hal. 33-34).
Demonstrasi massa menentang pemerintahan Thaksin Sinawatra semakin
meningkat pada akhir 2005. Protes ini awalnya hanya dilakukan oleh kelompok
pimpinan Sondhi Limtongkul yang menuduh pemerintah telah melakukan korupsi
dan menyerukan supaya Raja Thailand segera mengangkat perdana menteri yang
baru. Namun, berbagai kelompok masyarakat kemudian ikut bergabung dalam
aksi demonstrasi ini dan membentuk sebuah gerakan bersama. PAD melakukan
unjuk rasa diberbagai tempat strategis seperti Monumen Demokrasi, gedung
pemerintahan, dan pusat-pusat bisnis di Thailand. Kemudian, untuk mengatasi
aksi demonstrasi yang semakin masif, Thaksin membubarkan parlemen dan
kembali menyelenggarakan pemilu pada April 2006. Hasilnya, Thaksin kembali
berhasil memenangkan pemilu ini dengan memperoleh 16 juta suara. Namun
pihak oposisi yang dimotori Partai Demokrat dan massa PAD memilih untuk
memboikot serta tidak mengakui hasil pemilihan tersebut (Ungpakorn, 2007, hal.
19-20).
1 Selain Sondhi, PAD dipimpin oleh Chamlong Srimuang (mantan ketua Palang Tham Party),Somsak Kosaisuk (mantan pemimpin Badan Pekerja Kereta Api), Pipop Tongchai (penasehatCampaign for Popular Democracy), dan Somkiat Pongpaiboon (dosen Korat Rajpat Institute)
4
Kekacauan politik di Thailand akhirnya berujung pada kudeta militer
terhadap pemerintahan Thaksin Sinawatra pada September 2006. Pasca kudeta,
pihak militer kemudian menyelenggarakan pemilu pada Desember 2007 yang
berhasil dimenangkan oleh Samak Sundaravej dari People’s Power Party (PPP).
Hal itu memicu kembali terbentuknya gerakan PAD pada 2008 dengan
menganggap bahwa Samak hanyalah boneka Thaksin sebab partainya merupakan
reinkarnasi dari TRT yang merupakan partainya Thaksin. PAD melakukan aksi
yang semakin agresif dengan berupaya untuk menduduki gedung pemerintahan
dan jalur transportasi yang ada di luar Bangkok (Asian Correspondent, 2014).
Pada era pemerintahan Perdana Menteri Samak inilah muncul sebuah
kebijakan yang dianggap kontroversial ketika Menteri Luar Negeri Thailand
Noppadon Patama yang juga merupakan kuasa hukum Thaksin menandatangani
kesepakatan yang mendukung upaya Pemerintah Kamboja untuk mengajukan
Kuil Preah Vihear kepada UNESCO sebagai salah satu situs warisan budaya dunia
pada 18 Juni 2008. Pemerintah Thailand mengklaim bahwa kesepakatan itu akan
membuat hubungan bilateral kedua negara akan semakin kuat ke depannya.
Namun, keputusan itu kemudian justru menjadi senjata ampuh bagi PAD
yang berupaya mengobarkan api nasionalisme rakyat Thailand. Demi untuk
menjatuhkan kekuasaan Samak Sundaravej yang merupakan sekutunya Thaksin,
kelompok PAD yang juga didukung pihak oposisi yakni Partai Demokrat
memanfaatkan betul momentum tersebut. Mereka menggunakan slogan khai chat
(menjual bangsa atau negara kepada pihak asing) pada isu tersebut sebagai alat
propaganda politik untuk mendapatkan simpati rakyat di Thailand. Mereka
5
menuduh Pemerintahan Perdana Menteri Samak Sundaravej dan sosok Thaksin
yang berada dibelakangnya ingin mengorbankan wilayah seluas 4,6 kilometer
persegi yang mengelilingi kuil itu kepada Kamboja demi kepentingan pribadi
semata. Peristiwa ini kemudian berdampak terhadap kebijakan luar negeri
Thailand ke Kamboja sehingga turut berimbas pada pola hubungan bilateral kedua
negara (Chachavalpongpun, 2011, hal. 1026).
Sebenarnya hubungan bilateral antara kedua negara sudah terjalin erat
sejak tahun 1990an. Thailand menawarkan berbagai program investasi yang
dibutuhkan oleh masyarakat di Kamboja seperti pada bidang tekstil, telepon,
satelit komunikasi dan berbagai bidang lainnya yang berdampak pada
meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Kamboja dari tahun ke tahun. Sementara,
investasi pada industri seperti arena perjudian di perbatasan, lokalisasi, dan
penebangan kayu kurang memberikan dampak yang nyata. Perkembangan
hubungan bilateral antar kedua negara selanjutnya tidak bisa dilepaskan dari krisis
politik yang selama ini terjadi di domestik negara Thailand (Neher, 2013, hal. 67)
Di bawah tekanan publik yang tinggi, Samak Sundaravej akhirnya harus
turun dari jabatannya dan kemudian digantikan oleh Somchai Wongsawat yang
juga merupakan politisi dari PPP. Hal itu tidak membuat PAD menghentikan
aksinya dan bahkan mereka terus melakukan protes dengan kembali menduduki
gedung pemerintahan dan bandara di Bangkok. PAD menganggap bahwa
Somchai juga merupakan boneka dari Thaksin, apalagi keduanya mempunyai
hubungan saudara yang kemungkinan besar akan meneruskan pola kekuasaan
keluarganya. Di tengah situasi politik yang memanas, Mahkamah Konstitusi
6
kemudian memutuskan untuk membubarkan PPP atas tuduhan melakukan
kecurangan pada pemilu 2007 sehingga memaksa Somchai Wongsawat harus
turun dari jabatannya. Untuk menggantikan Somchai, maka pada Desember 2008
parlemen dengan dukungan militer menunjuk pihak oposisi yaitu Abhisit
Vejjajiva dari Partai Demokrat sebagai perdana menteri yang baru (Asian
Correspondent, 2014). Pergantian rezim ke Abhisit kemudian merubah
pendekatan hubungan antara Thailand dengan Kamboja menjadi lebih berpusat
pada masalah keamanan atau security centric. Hal itu tidak terlepas dari peranan
yang dimainkan oleh kelompok PAD yang berusaha meningkatkan sentimen anti-
Kamboja demi mendapatkan simpati publik dalam upayanya untuk melawan
Thaksin Sinawatra dan sekutunya di Thailand (Chachavalpongpun, 2013, hal. 72)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dibuat
peneliti adalah “Bagaimanakah implikasi gerakan People’s Alliance for
Democracy (PAD) terhadap kebijakan luar negeri Thailand terkait hubungan
bilateral Thailand-Kamboja tahun 2008-2011?”
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti bertujuan untuk
menggambarkan implikasi gerakan People’s Alliance for Democracy (PAD)
terhadap kebijakan luar negeri Thailand terkait hubungan bilateral Thailand-
Kamboja tahun 2008-2011.
7
1.4 Manfaat Penelitian
Peneliti berharap semoga penelitian ini bermanfaat, baik secara teoritis
maupun praktis
1) Manfaat Teoritis
Bagi para akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan
pengetahuan akademik dan keilmuan mengenai implikasi dari sebuah gerakan
sosial dalam suatu negara terhadap kebijakan luar negerinya terkait hubungan
negara tersebut dengan sebuah negara lain.
2) Manfaat Praktis
a. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai implikasi dari sebuah gerakan sosial dalam suatu negara terhadap
kebijakan luar negerinya terkait hubungan negara tersebut dengan sebuah negara
lain dan memberikan pertimbangan dalam setiap perumusan kebijakan pemerintah
agar benar-benar mencerminkan aspirasi seluruh lapisan masyarakat dengan tidak
hanya mengutamakan kepentingan dari satu golongan saja sehingga dapat
meredam segala benih konflik yang mungkin muncul dalam hubungan
bermasyarakat maupun antar negara.
b. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
wawasan mengenai implikasi dari sebuah gerakan sosial dalam suatu negara
terhadap kebijakan luar negerinya terkait hubungan negara tersebut dengan sebuah
negara lain.
8
1.5 Tinjauan Pustaka
Adapun tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Penelitian pertama dilakukan oleh Novandri Alexander (2012) yang
berjudul “Peran Kelompok Kaos Merah Dalam Menjatuhkan Rezim Abhisit
Vejjajiva di Thailand (2008-2011)”. Penelitian ini membahas mengenai krisis
politik di Thailand yang mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 2010.
Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva hanya dianggap sebagai boneka militer yang
terpilih bukan melalui pemilu yang demokratis. Para demonstran kaos merah atau
The United Front for Democracy Against Dictatorship (UDD) menuntut
pengunduran diri Abhisit, pembubaran parlemen, dan dilakukannya pemilu yang
demokratis. Berbagai upaya dilakukan oleh kelompok kaos merah dalam
menjatuhkan rezim Abhisit antara lain menduduki kawasan bisnis penting di
Bangkok yaitu Ratchaprasong, menduduki Hotel Royal Cliff Beach Resort di
Pattaya sehingga mengacaukan ASEAN Summits di Thailand, dan mendirikan
sekolah politik untuk merekrut massa yang lebih besar.
Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Novandri dengan
penelitian ini adalah terletak pada fokus, waktu penelitian, dan kerangka teori
yang digunakan. Jika penelitian dari Novandri lebih memfokuskan pada peran
kelompok kaos merah yang merupakan massa pendukung Thaksin Sinawatra
dalam menjatuhkan pemerintahan Abhisit Vejjajiva di Thailand dalam kurun
waktu tahun 2008-2011, maka sebaliknya penelitian ini membahas tentang upaya
kelompok kaos kuning atau People’s Alliance for Democracy (PAD) yang
9
merupakan aliansi masyarakat kelas menengah dalam melawan Thaksin Sinawatra
di Thailand dan pengaruhnya terhadap hubungan bilateral Thailand-Kamboja
tahun 2008-2011. Selain itu, penelitian dari Novandri menggunakan teori
kelompok penekan karena menganggap kelompok kaos merah berupaya untuk
terus menekan pemerintahan Abhisit. Sementara penelitian ini menggunakan teori
gerakan sosial karena peneliti menganggap bahwa PAD tidak hanya ingin
menekan jalannya pemerintahan Thaksin dan sekutunya saja, tetapi berupaya
untuk melengserkannya. Penelitian dari Novandri ini akan membantu peneliti
untuk memahami keadaan politik di Parlemen Thailand pasca jatuhnya
pemerintahan Thaksin yang kemudian menyebabkan pergantian rezim ke Abhisit
Vejjajiva yang juga berimplikasi pada hubungan Thailand dengan Kamboja
kedepannya.
Penelitian yang kedua dilakukan oleh Pavin Chachavalpongpun (2011) yang
berjudul “The Necessity of Enemies in Thailand’s Troubled Politics (The Making
of Political Otherness)”. Penelitian dari Pavin membahas tentang upaya dari para
elit tradisional di Thailand untuk melawan pengaruh Thaksin Sinawatra dan para
pendukungnya yang tergabung dalam kelompok kaos merah. Thaksin dan
pendukungnya menginginkan agar nilai-nilai demokrasi dan liberal diterapkan di
Thailand, sedangkan para elit tradisional yang terdiri dari kerajaan, militer, dan
birokrat menginginkan agar nilai-nilai tradisi yang sudah ada tetap dipertahankan.
Para elit itu berupaya untuk mencitrakan bahwa Thaksin dan pendukungnya
merupakan musuh bagi bangsa Thai. Thaksin seolah-olah dianggap orang lain
atau asing demi menurunkan legitimasi pemerintahannya sehingga sebaliknya
10
akan meningkatkan posisi dan pengaruh dari para elit tradisional demi mencapai
kepentingannya. Bahkan, elit tradisional tidak segan menganggap bahwa Thaksin
telah menjual bangsanya sendiri kepada pihak asing demi kepentingan pribadinya.
Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Pavin dengan penelitian ini
adalah terletak pada fokus penelitian. Jika penelitian dari Pavin membahas tentang
upaya dari keseluruhan elit tradisional yang terdiri dari militer, pihak kerajaan, elit
kelas menengah serta para birokrat yang gencar mencitrakan Thaksin dan
sekutunya sebagai pihak asing atau musuh dari bangsa Thai, maka penelitian ini
lebih berfokus pada upaya People’s Alliance for Democracy (PAD) yang
merupakan gabungan dari organisasi masyarakat kelas menengah dalam melawan
Thaksin Sinawatra yang kemudian berimplikasi terhadap hubungan bilateral
Thailand-Kamboja. Penelitian dari Pavin tersebut akan membantu peneliti untuk
memahami peristiwa yang membuat permasalahan politik yang terjadi dalam
domestik Thailand bisa berdampak ke ranah internasional yakni terkait hubungan
Thailand dengan Kamboja.
Penelitian yang ketiga dilakukan oleh Oliver Pye dan Wolfram Schaffar
(2008) yang berjudul “The 2006 Anti Thaksin Movement in Thailand: An
Analysis”. Penelitian dari Oliver dan Wolfram membahas tentang protes massa
terhadap Perdana Menteri Thaksin Sinawatra pada 2006. Dalam beberapa bulan
ratusan ribu orang terlibat dalam aksi demonstrasi yang menciptakan krisis politik
dan memaksa Thaksin untuk menyelenggarakan pemilu ulang. Krisis itu berakar
dari konflik antara elit tradisional dengan Thaksin yang menganut neoliberal
seperti adanya kebijakan perdagangan bebas, privatisasi, dan dunia politik yang
11
didominasi oleh para pebisnis. Hal itulah yang memicu pemberontakan dari PAD
yang terdiri dari gabungan kelompok masyarakat kelas menengah yang didukung
oleh elit tradisional dengan meminta pihak kerajaan melakukan intervensi sebagai
solusi demi mengatasi kekisruhan yang terjadi.
Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Oliver dan Wolfram dengan
penelitian ini adalah terletak pada fokus penelitian. Jika penelitian dari Oliver dan
Wolfram hanya berfokus pada upaya dari PAD sebagai sebuah gerakan sosial
yang menentang pemerintahan Thaksin Sinawatra di Thailand pada 2006, maka
penelitian ini tidak hanya berfokus pada upaya PAD dalam melawan Thaksin
Sinawatra di Thailand tetapi juga membahas mengenai implikasinya ke ranah
internasional yakni terhadap hubungan bilateral Thailand-Kamboja. Penelitian
dari Oliver dan Wolfram tersebut akan membantu peneliti untuk memahami
tentang alasan munculnya gerakan PAD dan upaya yang dilakukan untuk
melengserkan rezim Perdana Menteri Thaksin Sinawatra di negeri gajah putih.
1.6 Kerangka Konseptual
1.6.1 Teori Gerakan Sosial
Menurut Anthony Giddens, gerakan sosial adalah upaya yang dilakukan
secara kolektif demi mencapai kepentingan bersama di luar ruang lingkup
lembaga yang mapan. Gerakan sosial dapat dipahami sebagai sebuah tindakan
kolektif atau collective action untuk meraih tujuan kolektif pula dengan cara
menentang (Kamaruddin, 2012, hal. 22). Pola atau bentuk aksi dari sebuah
gerakan sosial dalam upayanya untuk mencapai tujuan selalu mengalami
perkembangan dari masa ke masa dan berbeda-beda di setiap tempat. Ada
12
berbagai bentuk aksi protes yang digunakan oleh sebuah gerakan sosial seperti
unjuk rasa atau demonstrasi, mengadakan pertemuan publik, menyebarkan
selebaran, petisi, boikot, berjaga-jaga, membentuk barikade, penyerangan, konflik
secara terbuka dan menduduki suatu tempat. Sebuah gerakan sosial berupaya
untuk menunjukkan bahwa gerakan mereka tersebut memang mempunyai
kelayakan, komitmen yang tinggi, rasa persatuan yang kuat, dan adanya jumlah
massa yang banyak (Tilly, dikutip oleh Haunss, 2007, hal.163)
Gerakan sosial mempunyai persamaan dengan berbagai bentuk aksi kolektif
lain (seperti kerusuhan) yaitu orang-orang yang terlibat di dalamnya melakukan
tindakan di luar dari nilai atau norma sosial yang biasa dalam masyarakat. Mereka
melakukan hal-hal yang bisa dibilang menyimpang atau aneh yang tidak biasa
dilakukan oleh kebanyakan orang seperti aksi protes, petisi, atau menduduki suatu
tempat. Hanya anggota dari sebuah gerakan sosial yang melakukan tindakan
seperti melawan pemerintah, menentang hukum, maupun mencela pejabat atau
institusi tertentu yang semuanya itu tidak mungkin terjadi pada kehidupan orang
normal.
Sementara itu, ada pula hal yang membedakan gerakan sosial dengan bentuk
aksi kolektif lainnya yaitu terorganisir, penuh pertimbangan, dan cenderung tahan
lama. Gerakan sosial merupakan gerakan terorganisir yang mempunyai misi
khusus dalam setiap aksinya dan memiliki strategi yang telah dirumuskan
sebelumnya. Berbeda dengan kebanyakan bentuk aksi kolektif lainnya (misalnya
kerusuhan) yang dilakukan tanpa terorganisir dengan baik. Gerakan sosial juga
dilakukan dengan penuh pertimbangan dalam hal pembentukannya dan orang-
13
orang yang terlibat di dalamnya secara hati-hati memutuskan diri untuk bergabung
atau tidak. Terdapat mekanisme perencanaan yang disusun secara matang dan
perekrutan anggota untuk memperkuat dukungan gerakan. Terakhir, sebuah
gerakan sosial cenderung bertahan lama dan bisa berlangsung sampai kurun waktu
bertahun-tahun. Berbeda dengan aksi kolektif lainnya (misalnya kerusuhan) yang
biasanya hanya berlangsung dalam hitungan menit, jam, dan hari (Locher, n.d.,
hal. 232-234).
Menurut Denny J.A., ada tiga kondisi yang menyebabkan munculnya
sebuah gerakan sosial yakni : (Fauzi, dikutip oleh Andrianthy, 2009, hal. 20-21)
a) Gerakan sosial muncul akibat adanya kondisi yang mendukung seperti
pemerintah dengan pemimpin yang moderat yaitu cenderung mencari jalan
tengah dan menghindari perilaku ekstrim. Hal tersebut tentu memberikan
jalan yang lebih leluasa bagi munculnya suatu gerakan sosial dibandingkan
dengan pemimpin yang otoriter.
b) Gerakan sosial muncul akibat dari meningkatnya rasa ketidakpuasan
terhadap kondisi yang ada.
c) Gerakan sosial muncul akibat dari adanya aktor penggerak yang mempunyai
kemampuan dalam menggerakkan massa, memberikan motivasi dan
inspirasi, mempunyai jaringan organisasi yang luas sehingga mampu
menarik minat orang untuk ikut dalam gerakan tersebut.
Menurut Aberle, ada empat tipe dari gerakan sosial di masyarakat yakni
sebagai berikut: (dikutip oleh Locher, n.d., hal. 234-238)
a) Alternative Social Movement
14
Gerakan sosial alternatif berupaya untuk melakukan perubahan terhadap
pemikiran dan perilaku individu pada suatu hal tertentu. Gerakan ini tidak
mempunyai keinginan untuk merubah sesuatu di luar hal yang menjadi
fokus utamanya. Mereka juga tidak berniat untuk menghancurkan suatu
tatanan yang ada, namun hanya berupaya merubah cara pandang orang
terhadap isu tertentu dengan cara tertentu pula.
b) Redemptive Social Movement
Gerakan sosial yang berupaya untuk melakukan perubahan terhadap
kehidupan para individu secara penuh. Gerakan ini ingin merubah secara
penuh hidup para pengikutnya yang hanya boleh berasal dari kalangan
tertentu saja. Misalnya, gerakan berbasis keagamaaan yang berupaya untuk
menyelamatkan hidup orang yang menjadi pengikutnya dengan memberikan
pencerahan untuk menjadi umat manusia yang baik dan berguna.
c) Reformative Social Movement
Gerakan sosial ini menghendaki adanya perubahan pada keseluruhan
komunitas atau masyarakat, tetapi dalam cara yang terbatas. Tujuannya
hanya untuk merubah perilaku atau sikap dari masyarakat terhadap suatu
topik atau isu tertentu. Gerakan ini tidak ingin merubah tatanan pemerintah
yang ada, namun menuntut pemerintah untuk melakukan perubahan pada
suatu isu tertentu. Reformative Social Movement dapat berbentuk gerakan
yang progresif yaitu menginginkan adanya perubahan dan bisa berbentuk
reaktif yaitu menentang perubahan yang ada.
d) Revolutionary Social Movement
15
Gerakan sosial yang bersifat revolusioner berupaya untuk menggantikan
sepenuhnya tatanan kekuasaan yang lama dengan sebuah tatanan yang baru
dan mempunyai tujuan untuk merubah masyarakat secara total. Mereka
menuntut penggantian terhadap para individu yang duduk di pemerintahan
dan digantikan oleh orang yang baru. Gerakan sosial ini merupakan yang
paling mengancam keberadaan sebuah tatanan kekuasaan atau
otoritastertentu. Terkadang mereka mempunyai suatu tujuan yang spesifik,
tetapi tidak jarang pula hanya merupakan angan-angan yang tidak jelas.
Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, maka gerakan sosial yang
dimaksud adalah People’s Alliance for Democracy (PAD). PAD merupakan
gerakan masyarakat yang berupaya secara kolektif untuk melawan pengaruh
Thaksin Sinawatra dan sekutunya di Thailand. PAD melakukan berbagai aksi
penentangan yang cenderung terorganisir, penuh pertimbangan, dan bertahan
dalam jangka waktu yang lama seperti unjuk rasa atau demonstrasi, penyerangan
serta menduduki gedung pemerintahan dan fasilitas umum seperti bandara.
Thaksin yang menjabat sebagai perdana menteri di Thailand pada periode 2001-
2006 dianggap tidak layak memimpin negeri gajah putih sebab melakukan
berbagai penyalahgunaan kekuasaan.
PAD mempunyai jaringan yang luas dan basis massa yang banyak dengan
didukung berbagai organisasi kemasyarakatan dan lembaga non-pemerintah.
Mereka merupakan kelompok kelas menengah perkotaan yang berusaha untuk
menentang pemerintahan Thaksin yang didukung oleh masyarakat kelas bawah
pedesaan. PAD muncul karena adanya kondisi yang mendorong seperti rasa
16
ketidakpuasan terhadap pemerintahan Thaksin Sinawatra, adanya sosok pemimpin
yang tangguh seperti Sondhi Limthongkul, dan rezim pemerintahan di Thailand
yang demokratis dengan adanya kebebasan menyuarakan pendapat atau aspirasi.
PAD tergolong ke dalam jenis gerakan sosial yang bersifat revolusioner. Sebab,
kelompok ini menuntut pengunduran diri Thaksin dari jabatannya sebagai perdana
menteri di Thailand. Mereka juga menuntut pembubaran parlemen dan segera
diadakannya pemilihan umum.
1.6.2 Konsep Hubungan Bilateral
Secara umum, hubungan bilateral adalah kerjasama yang dilakukan oleh dua
negara yang sifatnya saling menguntungkan. Dalam hubungan ini terdapat
perilaku saling mempengaruhi atau timbal balik satu sama lain yang berlangsung
pada serangkaian pola aksi reaksi sebagai berikut:
1) Adanya rangsangan kebijakan awal dari negara pemrakarsa
2) Adanya persespsi dari rangsangan itu oleh negara penerima
3) Munculnya respon balik dari negara penerima
4) Kembali munculnya persepsi atau respon balik dari negara pemrakarsa
(Perwita dan Yani, 2005 dikutip oleh Amaral, 2011, hal.32)
Menurut Juwondono (1991) dikutip oleh Portal HI (2014), hubungan
bilateral merupakan hubungan yang dijalin oleh dua negara dengan saling
menghormati hak masing-masing negara dalam menyelenggarakan kerjasama
pada berbagai bidang kehidupan tanpa mengabaikan dan mengucilkan
keberadaan dari negara itu, menciptakan perdamaian, serta hubungan yang dijalin
tersebut memberikan nilai keuntungan bagi kedua negara.
17
Dalam interaksi antar negara di kancah internasional, ada dua pendekatan
dalam kebijakan luar negeri suatu negara yang biasa disebut dengan hard power
dan soft power. Hard power merupakan pendekatan yang bersifat memaksa atau
memerintah yang dilakukan secara langsung seperti kekuatan militer, uang,
ataupun sanksi. Sementara, soft power merupakan pendekatan untuk
mempengaruhi negara lain secara tidak langsung yang berupa nilai-nilai,
kebudayaan, ataupun kebijakan (Portal HI, 2014).
Adapun pola-pola dari hubungan bilateral dalam hubungan internasional
adalah sebagai berikut:
a) Pola kerjasama yakni pola hubungan antara dua negara dengan adanya upaya
untuk menyesuaikan dan menyatukan keinginan satu sama lain demi meraih
tujuannya.
b) Pola konflik yakni pola interaksi dengan adanya penggunaan kekuatan dari satu
pihak terhadap pihak lainnya, meskipun tidak selalu berbentuk benturan secara
fisik.
c) Pola kompetisi yakni pola hubungan dengan adanya satu pihak yang selalu
berupaya untuk mendahului pihak yang lain dalam mencapai suatu tujuannya.
d) Pola akomodasi yakni pola hubungan penyesuaian antara konflik dan
kerjasama. Meski terdapat berbagai perbedaan tetapi tidak sampai menyebabkan
suasana konflik. Pola ini dalam interaksi antar negara sering disebut dengan
kompromi atau toleransi (Madjid, 2013, hal. 955-956).
Hubungan bilateral suatu negara dengan negara lainnya dapat berlangsung
dengan baik jika masing-masing negara itu didukung oleh kelompok-kelompok
18
domestik yang ada di dalamnya. Tetapi sering kali pada kenyataanya kepentingan
suatu negara bertentangan dengan kepentingan dari kelompok domestik itu
sendiri. Keterkaitan antara politik domestik dengan politik internasional
dirumuskan oleh Robert Putnam melalui konsep two-level games. Konsep two-
level games merupakan permainan politik yang terdiri dua tingkat yakni tingkat
nasional dan tingkat internasional.
Pada tingkat nasional, kelompok-kelompok domestik berupaya untuk
mencapai kepentingannya dengan cara menekan pemerintah agar membuat
kebijakan yang sesuai dengan tuntutan mereka dan para politisi berupaya untuk
mencari pengaruh dengan cara menjalin koalisi dengan berbagai kelompok
tersebut. Sementara pada tingkat internasional, pemerintah nasional berupaya
untuk memaksimalkan kemampuannya demi memuaskan tekanan-tekanan dari
domestik dan juga berupaya untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya
konsekuensi yang bisa merugikan dengan pihak asing. Two-level games
digunakan untuk melihat bahwa hubungan luar negeri suatu negara berlangsung
baik maupun buruk dipengaruhi juga oleh kepentingan kelompok-kelompok
domestik sehingga pada dasarnya apabila ingin mendapatkan hasil yang
memuaskan dalam hubungan antar negara, maka pemerintah suatu negara harus
menyesuaikan antara kepentingan nasional dengan keinginan yang ada di
domestiknya (Putnam, 1988, hal. 434).
Dalam dunia internasional, hubungan antara sebuah negara dengan negara
lainnya juga bisa mengalami penurunan yang disebabkan oleh adanya konflik atau
perang yang terjadi atas berbagai alasan. Seperti adanya upaya untuk menciptakan
19
kekompakan internal melalui konflik eksternal. Faktor ini memandang bahwa
perang atau konflik merupakan sebuah produk kebijakan yang sengaja dirancang
untuk memantapkan kekompakan di dalam suatu negara dengan mengarahkan
seluruh perhatiannya kepada konflik dengan pihak di luar. Hal ini merupakan
proses untuk meningkatkan kebersamaan dalam menghadapi musuh bersama.
Apabila diterapkan dalam hubungan internasional, maka artinya bahwa perang
atau konflik dengan pihak luar digunakan sebagai alat untuk mengatasi konflik
yang terjadi di internal suatu negara ( Jones, 1993, hal. 199-200).
Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, maka hubungan bilateral yang
dimaksud adalah hubungan yang terjalin antara Thailand dengan Kamboja.
Permasalahan politik domestik di Thailand kemudian bisa berdampak terhadap
hubungan bilateral dengan Kamboja karena Pemerintah Thailand membuat
kesepakatan dengan Kamboja tentang kepemilikan Kuil Preah Vihear yang masih
disengketakan tanpa mengakomodasi kepentingan kelompok masyarakat kelas
menengah di Thailand. Momentum itu lalu dimanfaatkan PAD dengan
menggunakan isu sengketa perbatasan tersebut sebagai alat propaganda politik
demi menjatuhkan rezim Thaksin dan sekutunya yang kemudian membuat
kebijakan luar negeri Thailand ke Kamboja menjadi lebih represif. Hal itu
merupakan strategi PAD yang ingin menciptakan kekompakkan internal rakyat di
Thailand agar mendukung gerakannya melalui konflik eksternal dengan Kamboja.
Pola hubungan antar kedua negara kemudian cenderung bersifat konflik dengan
pendekatan hard power melalui adanya penggunaan kekuatan militer antar kedua
negara. Dalam hubungan ini terdapat perilaku saling mempengaruhi atau timbal
20
balik satu sama lain yang ditempuh dengan cara penyampaian protes secara
diplomatik, penarikan Duta Besar, serta sampai pada bentrokan bersenjata.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan jenis penelitian deskriptif. Menurut Creswell (1998), metode penelitian
kualitatif merupakan sebuah metode penelitian yang memberikan gambaran
secara kompleks, meneliti kata-kata, laporan yang terperinci dari pandangan
responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami serta landasan teorinya
dipakai sebagai pemandu supaya fokus penelitiannya sesuai dengan fakta yang
ada di lapangan. Jenis penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang berusaha
untuk memberikan gambaran mengenai suatu peristiwa atau kejadian yang
berlangsung dengan memusatkan perhatian pada masalah aktual saat dilakukan
penelitian. Dalam penelitian deskriptif, peneliti berusaha untuk tidak memberikan
perlakukan khusus terhadap peristiwa yang sedang diteliti (Noor, 2011, hal. 34-
35).
1.7.2 Ruang Lingkup Penelitian
Wilayah penelitian adalah Thailand. Hal yang menjadi pertimbangan
peneliti mengambil lokasi ini adalah karena peristiwa ini bermula dari
permasalahan politik yang terjadi dalam domestik negara Thailand, yang
selanjutnya berimplikasi ke internasional yakni hubungan bilateral Thailand-
Kamboja. Adapun peneliti memilih periode tahun 2008-2011 merupakan rentang
21
waktu implikasi gerakan PAD tersebut terhadap kebijakan luar negeri Thailand
terkait hubungan bilateral dengan Kamboja.
1.7.3 Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber
data sekunder yaitu sumber data yang didapat oleh peneliti secara tidak langsung
dan data tersebut biasanya bersumber dari dokumentasi-dokumentasi yang terkait
dengan penelitian. Data sekunder didapat daribuku-buku seperti buku karangan
Giles Ji Ungpakorn, jurnal-jurnal seperti jurnal Asia Kontemporer, media massa
online seperti BBC dan informasi dari internet serta website resmi yang terkait
dengan penelitian ini (Sugiyono, 2013, hal. 225).
1.7.4 Unit Analisis
Unit analisis dari penelitian ini adalah negara dan akan lebih dilihat
mengenai implikasi gerakan People’s Alliance for Democracy (PAD) terhadap
kebijakan luar negeri Thailand terkait hubungan bilateral Thailand-Kamboja tahun
2008-2011.
1.7.5 Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan atau dokumentasi. Dokumentasi merupakan kumpulan
berbagai catatan peristiwa yang telah berlalu. Data dokumentasi yang digunakan
dalam penelitian ini berupa tulisan yang didapat daribuku-buku seperti buku
karangan Giles Ji Ungpakorn, jurnal-jurnal seperti jurnal Asia Kontemporer,
media massa online seperti BBC dan informasi dari internet serta website terkait
(Sugiyono, 2013, hal. 240).
22
1.7.6 Teknik Analisis Data
Menurut Rosman dan Rallis (2003, hal. 278-290), analisa data terdiri dari
tujuh tahapan yaitu pengorganisasian data, membiasakan diri dengan data,
membuat kategori dan tema, coding data, interpretasi, pencarian pemahaman
alternatif, dan penulisan laporan. Dalam penelitian ini tidak digunakan teknik
wawancara sehingga peneliti hanya akan menggunakan empattahapan saja yaitu
sebagai berikut:
1) Pengorganisasian Data
Dalam analisis data, pengorganisasian data adalah tahap paling awal
yang dilakukan peneliti dengan pengecekan dan pemeriksaan kembali
terhadap data yang dikumpulkan. Data-data yang dianggap kurang penting
harus disisihkan dan data yang penting tetap dipertahankan. Ada sejumlah
alat yang bisa digunakan dalam proses ini yaitu kartu catatan, magic
markers, file folder, dan program software.
2) Interpretasi
Interpretasi merupakan proses pemberian makna terhadap sesuatu yang
ditemukan, memahami hasil temuan, memberi penjelasan, menarik suatu
konklusi, memprediksi, membuat kesimpulan, memberikan pertimbangan
makna, dan sebaliknya menentukan urutan (Patton,2002, dikutip dalam
Rosman & Rallis, 2003). Menurut Denzin (1994) dalam Rosman & Rallis
(2003), proses interpretasi bergerak dari lapangan menuju ke tulisan
merupakan sebuah proses yang kompleks danrefleks. Dalam hal ini
interpretasi adalah sebuah storytelling tentang sesuatu yang dilihat di
23
lapangan serta kata-kata, simbol, dan tanda yang dicatat dari narasumber
merupakan suatu pengalaman yang mempunyai makna tersendiri baik bagi
peneliti maupun narasumber.
3) Mencari Pemahaman Alternatif
Proses ini menghendaki agar peneliti kembali melakukan pengujian
terhadap hasil interpretasi yang dilakukan sebelumnya. Peneliti harus
mencari, mengidentifikasi, dan menggambarkan kemungkinan penjelasan
alternatif yang selalu ada dalam setiap interpretasi. Misalnya dengan
bertanya kepada para narasumber mengenai persetujuannya atau mereka
mempunyai pemahaman yang berbeda terkait interpretasi yang telah
dilakukan. Kemudian, peneliti juga bisa bertanya kepada komunitas yang
dimiliki terkait interpretasi peneliti dapat diterima secara akal sehat atau ada
interpretasi alternatif yang bisa diajukan kepada peneliti.
4) Penulisan Laporan
Penulisan laporan data kualitatif tidak dapat dipisahkan dari proses
analisis. Pada hakekatnya, proses ini merupakan proses yang utama
dalampenelitian kualitatif. Sebab dalam memilih suatu kata untuk
merangkum dan mencerminkan kompleksitas data, maka keterlibatan dari
peneliti sangatlah penting dalam proses interpretasi serta pemberian bentuk
dan makna terhadap berbagai data yang ada.
1.7.7 Teknik Penyajian Data
Penyajian data diperlukan untuk mempermudah pemahaman terhadap
permasalahan yang dikaji serta merencanakan kerja yang selanjutnya berdasarkan
24
pemahaman tersebut. Penelitian ini akan menggunakan teknik penyajian data
secara naratif yaitu data disajikan berdasarkan rangkaian peristiwa yang runtut
dari awal sampai akhir. Menurut Miles dan Huberman, penyajian data dalam
bentuk teks yang bersifat naratif merupakan teknik penyajian data yang paling
umum digunakan. Sementara, teknik pengorganisasian penyajian data yang
digunakan adalah tematik yakni pengorganisasian data berdasarkan tema-tema
tertentu (Sugiyono, 2013, hal. 249).
1.8 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan yang peneliti buat dalam penelitian ini
adalah:
BAB I :Dalam bab ini, peneliti akan membahas mengenai pendahuluan yang
didalamnya berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, metode
penelitian (yang didalamnya berisi jenis penelitian, ruang lingkup,
sumber data, unit analisis, teknik pengumpulan data,teknik analisis data,
danteknik penyajian data), serta sistematika penulisan.
BAB II :Dalam bab ini, peneliti akan membahas mengenai konflik politik
domestik di Thailand
BAB III :Dalam bab ini, peneliti akan membahas mengenai implikasi gerakan
PAD terhadap kebijakan luar negeri Thailand terkait hubungan bilateral
Thailand-Kamboja tahun 2008-2011.
BAB IV :Dalam bab ini, peneliti akan membahas mengenai penutup yang
didalamnya berisi simpulan dan saran