1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gerakan buruh dunia, termasuk Indonesia sedang mengalami tantangan
yang sangat berat. Pengaruh eksternal ditandai dengan semakin meningkatnya
kompetisi di tingkat global yang meletakkan tekanan-tekanannya pada relasi
industri di tingkat nasional. Situasi semacam itu mendorong pemerintah untuk
lebih beradaptasi dan gerakan buruh menjadi tidak diinginkan terutama di negara-
negara yang gerakan buruhnya cukup mapan. Kondisi kerja yang demikian buruk
memicu munculnya bentuk perlawanan yang khas sebuah gerakan buruh, yakni
pemogokan. Kasus-kasus perburuhan, seperti aksi unjuk rasa dan PHK terhadap
buruh kerap mewarnai pemberitaan media-media massa. Dari tahun ke tahun
persoalan tersebut terus muncul dan tak pernah terselesaikan. Kondisi buruh di
Indonesia terus memburuk terutama di sektor-sektor padat karya yang banyak
memberlakukan tenaga kerja tidak tetap. Hal ini mau tidak mau menunjukkan
ketidakmampuan negara dalam menyelesaikan masalah perburuhan dan
mencerminkan tidak berkembangnya gerakan buruh di Indonesia.
Kondisi kerja yang demikian buruk memicu munculnya bentuk
perlawanan yang khas sebuah gerakan buruh, yakni pemogokan. Salah satu
pemogokan pertama dalam sejarah Indonesia tercatat di tahun 1882 di
Yogyakarta, di mana pada puncak gelombang pemogokan ini 21 pabrik gula
terpaksa menghentikan produksinya karena pemogokan. Isu yang diangkat adalah
2
upah, kerja gugur-gunung yang terlalu berat, kerja jaga 1 hari tiap 7 hari, kerja
moorgan yang tetap dijalankan padahal tidak lazim lagi, upah tanam sering tidak
dibayar, banyak pekerjaan tidak dibayar padahal bukan kerja wajib, harga yang
dibayar pengawas terlalu murah dibandingkan harga pasar, pengawas Belanda
sering memukul petani.
Kasus-kasus perburuhan, seperti aksi unjuk rasa dan PHK terhadap buruh
kerap mewarnai pemberitaan media-media massa. Dari tahun ke tahun persoalan
tersebut terus muncul dan tak pernah terselesaikan. Kondisi buruh di Indonesia
terus memburuk terutama di sektor-sektor padat karya yang banyak
memberlakukan tenaga kerja tidak tetap. Hal ini mau tidak mau menunjukkan
ketidakmampuan negara dalam menyelesaikan masalah perburuhan dan
mencerminkan tidak berkembangnya gerakan buruh di Indonesia.
Pada masa Kolonial, pergerakan buruh pertama muncul di Indonesia pada
abad ke-19, yaitu pada tahun 1897. Pada tahun tersebut serikat pertama yang
didirikan adalah NIOG (Nederland Indies Onderw Genootsch), suatu perserikatan
daripada guru-guru bangsa Belanda.1 Kapitalisme perkebunan awal di Indonesia
muncul sejak abad 17-18 di Jawa dan Sumatra Timur. Kapitalisme perkebunan ini
merupakan kolonisasi resmi Belanda, yang sebelumnya dirintis oleh kapitalisme
dagang Belanda, yakni VOC. Berkembang biaknya kapitalisme perkebunan di
Jawa dan Sumatra Timur akibat berkurangnya peran negara kolonial dalam
memaksa penduduk-penduduk pribumi menyediakan produk komoditi tertentu,
1 Sandra. Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia. PT TURC.Jakarta, 2007.
Hlm 3.
3
yang dikerjakan secara paksa.2 Setelah mengalami pergeseran politik di negeri
Belanda, akibat banyaknya kritikan dari tanah jajahan dan dari Belanda sendiri, di
samping mulai bangkrutnya VOC, maka kaum kapitalis Belanda memaksa
menghapuskan monopoli negara kolonial atas sistem kapitalis dagang. Kaum
borjuis baru ini mengusulkan untuk mengembangkan sistem kapitalis perkebunan
di tanah jajahan, seperti Jawa dan Sumatra Timur, yang cocok untuk sejumlah
komoditi ekspor dan ditemukan sumber energi baru, seperti minyak bumi.
Pemaksaan terhadap kuli agar mau bekerja tidak hanya dilakukan lewat
mekanisme hukuman. Cara lain yang dipakai adalah dengan memberi hadiah pada
kuli yang rajin dan tunduk pada perusahaan. Bentuk hadiahnya seperti diangkat
jadi pengawas atau diberi sepetak lahan kebun. Untuk menjamin kuli tidak
melarikan diri, pemilik kebun membangun tembok sekeliling kebunnya. Pemilik
kebun juga membentuk senacam tim untuk mengawasi tindak-tanduk para kuli.
Ada juga tim pelacak yang dibentuk untuk melacak kuli yang melarikan diri. Para
pemilik kebun memanfaatkan kekuasannya dengan sesuka hati menghukum kuli.
Bentuk-bentuk hukuman yang sering diterima kuli seperti disekap satu hari,
dipenjara, dicambuk, diikat pada tiang selama beberapa hari, dipukul, ditendang,
ditampar, dipasung, diborgol, dirantai, dijemur selama 2 minggu, dibenamkan ke
air, digosok kemaluannya dengan merica halus, ditusuk bagian bawah kukunya,
diseret dengan kuda, dipukuli dengan jekatang dan setelahnya disiram air.
Kesemua bentuk hukuman ini dilakukan di tempat terbuka dan sengaja
2 Kertonegoro, Sentosa. Gerakan Serikat Pekerja (Trade Unionism) Studi
Kasus Indonesia dan Negara-Negara Industri. Yayasan Tenaga Kerja Indonesia
(YTKI). Jakarta, 1999. Hlm 58-59.
4
diperlihatkan pada semua kuli dengan maksud agar kuli tidak melakukan
pelanggaran lagi.
Wilayah pelarian yang paling sering dituju adalah pedalaman Sumatera
Timur. Untuk melacak kuli yang melarikan diri, maka pemilik kebun
menggunakan orang Batak yang sudah lama dikenal sebagai pemburu premi atau
hadiah. Menjalin kontrak dengan perusahaan lain juga merupakan salah satu
tujuan kuli melarikan diri. Namun bentuk perlawanan yang paling ekstrim yang
dilakukan kuli adalah bunuh diri. Kuli perempuan adalah golongan kuli yang
paling sering mengalami kekerasan seksual dan fisik. Banyak kuli perempuan
yang terjebak pada ikatan tanpa pernikahan dengan sesama kuli. Perempuan juga
dipaksa untuk menjadi gundik staf perusahaan, pemilik kebun atau mandor.3
Peranan buruh Indonesia pada masa kolonial dan pasca kekuasaan
pemerintah kolonial adalah membangun pembangunan nasional. Sebagai subyek
pembangunan kaum buruh memiliki kesempatan untuk memegang peranan
penting dalam meningkatkan partisipasinya dalam mencapai cita-cita
pembangunan nasional. Kaum buruh bersama-sama golongan lain dalam
masyarakat, seperti golongan pengusaha, dan lain-lain golongan merupakan
pelaku-pelaku utama dalam usaha-usaha tersebut. Maka dari itu betapa pentingnya
untuk menjaga keserasian hubungan antara pihak buruh dan pihak pengusaha
3 Jan Breman. Menjinakkan Sang Kuli : Politik Kolonial pada Awal Abad
ke-20 (trans.) Koelies, Planters en Koloniale Politiek : het arbeidsregime op de
grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s oostlust in het begin van de
twintigste eeuw. Koesalah Soebagyo Toer (trans.). Jakarta : Pustaka Utama
Grafiti, 1977. Hlm 43-44.
5
demi ketenangan kerja mereka dalam menunjang suksesnya pembangunan
nasional.4
Pada sistem kebijakan kontrak atau biasa disebut dengan Outsourcing
yang diberikan oleh pemerintah kolonial pada buruh pada waktu itu sangat
merugikan buruh, karena buruh tidak bisa lari dari belenggu pekerjaan di
perkebunan yang begitu berat selama satu hingga dua tahun. Untuk bisa hidup,
mereka harus bertahan dengan uang panjar yang diberikan di awal kontrak.
Kontrak kerja baru (sjoekoelien) dilakukan dalam jangka waktu 3 tahun.
Sementara itu, buruh yang memutuskan hubungan kerja dianggap melakukan
pelanggaran. Cara ini dengan mudah dijadikan dalih bahwa buruh bekerja atas
dasar kesukarelaan, dimana kesukarelaan ini kemudian menjadi dasar pembenaran
bagi tuan kebun untuk memperlakukan buruh secara sewenang-wenang.
Sejak masa kolonial dan pasca pemerintahan kolonial, peranan buruh
Indonesia adalah membangun pembangunan nasional. Sebagai subyek
pembangunan kaum buruh memiliki kesempatan untuk memegang peranan
penting dalam meningkatkan partisipasinya dalam mencapai cita-cita
pembangunan nasional. Tetapi pada prakteknya kaum buruh masa kolonial sangat
tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja.5
Hingga sekarang, Indonesia sebagai negara yang menginginkan
kesejateraan masyarakatnya yang tersirat dan terkandung di dalam Pancasila dan
UUD 1945, masih belum mampu menyelesaikan masalah tentang hak-hak kaum
4 Ali Moertopo. Buruh dan Tani Dalam Pembangunan. Yayasan
Proklamasi, Centre For Strategic And International Studies, 1975. Hlm 10. 5 Ibid. Hlm 18.
6
buruh dengan baik. Akar permasalahan yang terjadi pada buruh masih terletak
pada persoalan-persoalan hubungan antara kesepakatan pengusaha dan pemerintah
yang akhirnya berimbas buruk pada buruh dan msayarakat sebagai konsumen. Hal
itu disebabkan adanya praktik-praktik gratifikasi, kolusi, nepotisme dan Korupsi
yang melanda setiap bagian pelaksana pemerintahan mulai dari tingkat yang
paling bawah hingga tingkat yang paling tinggi. Imbas dari kelalaian pengawasan,
dan penetapan keputusan yang tidak adil memberikan masalah pada buruh berupa:
Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah
rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan upah/gaji yang diperoleh dengan
tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Faktor ini,
yakni kebutuhan hidup semakin meningkat, sementara gaji yang diterima relatif
tetap, menjadi salah satu pendorong gerak protes kaum buruh. Pemerintah
berkepentingan terhadap masalah upah, karena upah merupakan sarana
pemerataan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus
terkait dengan kemajuan perusahaan yang nantinya berpengaruh pada
perkembangan perekonomian nasional atau daerah. Untuk membantu mengatasi
problem upah maupun gaji, pemerintah biasanya membuat batas minimal gaji
yang harus dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerjanya, tetapi pada tahun
1940-an pemerintah Indonesia memang belum menerapkan batas minimal gaji
kepada buruh. Intervensi pemerintah dalam hal ini ditujukan menghilangkan
kesan eksploitasi pemilik usaha kepada buruh, karena membayar di bawah standar
hidupnya. Penentuan batas minimal gaji ini biasanya dihitung bersama berbagai
pihak yang merujuk kepada Kebutuhan Fisik Minimum Keluarga, Kebutuhan
Hidup Minimum, atau kondisi lain di daerah yang bersangkutan. Penetapan batas
7
minimal gaji sendiri sebenarnya sangat bermasalah dilihat dari realitas
terbentuknya kesepakatan upah antara pengusaha dan buruh.
Aristoteles (filsuf Yunani) mendefinisikan kebutuhan mendasar manusia
adalah semua kebutuhan dasar yang menyangkut dimensi manusia meliputi
kebutuhan material, kesehatan, kebutuhan sosial (diterima masyarakat) hingga
kebutuhan untuk meng-aktulisasi sebagai manusia. Implikasinya adalah setiap
manusia berhak untuk secara leluasa mengambil inisiatif untuk memenuhi
kebutuhannya. Hak pemenuhan kebutuhan hidup didasarkan pada fakta bahwa
manusia adalah mahluk biologis yang memiliki kebutuhan dasar biologis meliputi
kecukupan makanan, perlindungan, pakaian, perawatan medis dan pendidikan.
Dalam masyarakat kapitalistis seperti saat ini, tugas negara lebih pada
fungsi regulasi, yakni pengatur kebebasan warga negaranya. Karena itu, sistem ini
tidak mengenal tugas negara sebagai "pengurus dan penanggung jawab
pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya". Rakyat yang ingin memenuhi
kebutuhannya harus bekerja secara mutlak, baik untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya maupun kebutuhan pelengkapnya sehingga prinsip struggle for life
benar-benar terjadi. Jika seseorang terkena bencana atau kebutuhan hidupnya
meningkat, ia harus bekerja lebih keras secara mutlak. Begitu pula ketika ia sudah
tidak mampu bekerja karena usia, kecelakaan, PHK atau sebab lainnya, maka ia
tidak punya pintu pemasukan dana lagi. Kondisi ini menyebabkan kesulitan hidup
luar biasa, terutama bagi seorang warga negara yang sudah tidak dapat bekerja
8
atau bekerja dengan gaji sangat minim hingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya.6
Gerakan buruh sebenarnya merupakan fenomena lama dalam masyarakat
Indonesia, terutama setelah kaum buruh mengorganisasikan diri dalam wadah-
wadah perburuhan. Lewat wadah tersebut kaum buruh melancarkan aksi untuk
memperjuangkan kepentingannya. Dalam memperjuangkan nasib yang pada
umumnya berorientasi pada kenaikan upah, jaminan keselamatan kerja dan
pembatasan jam kerja, kaum buruh juga sering melancarkan aksi-aksi. Pada
dasarnya aksi-aksi tersebut merupakan wujud konflik sosial-ekonomi, karena
perbedaan kepentingan antara buruh dan majikan.7 Dalam konteks perburuhan,
jauh sebelum orde baru yang mana pada orde ini buruh disebut sebagai hasil dari
paham kiri, bangsa Barat sebenarnya telah berencana mempercepat perubahan-
perubahan sosial di masyarakat Jawa.
Diberlakukannya sistem ekonomi uang telah memungkinkan bagi
pelaksanaan sistem pajak, perdagangan hasil bumi, buruh upahan, dan masalah
kepemilikan dan penggarap tanah. Dalam bidang politik timbul banyak
ketegangan dan ketidakstabilan sebagai akibat meluasnya penetrasi sistem
administrasi yang bersifat legal rasional yang dibawa oleh pemerintahan kolonial.
Sementara lembaga-lembaga tradisional semakin terdesak, penguasa-penguasa
tradisional melorot kedudukannya yang ditempatkan di bawah pengawasan
kekuasaan kolonial.
6 Djoko Sudjono. Tuntutan Membangun Sarekat Buruh. Jakarta: Penyiar
Penerbit Nasional, 1950. Hlm : 28-30.
7 Sartono Kartodirdjo. Ragam Gerakan di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka
Rakyat, 1977. Hlm 39.
9
Kemudian memasuki abad ke-20 Perserikatan Komunis Hindia yang
dipimpin oleh Semaun dan Tan Malaka, serta pendirian Perserikatan Pegawai
Spoor dan Kereta Api mengadakan pemogokan pada tahun 1923. Pemberontakan
di Jawa pada tahun 1926, dan di Sumatera pada tahun 1927 adalah bentuk aksi
akibat kezaliman imperialisme yang menindas bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia memang belum merata berpaham komunis, tetapi paham kebangsaan
dapat menggerakkan rakyat Indonesia menentang penindasan. Rusia telah
mempengaruhi rakyat Indonesia dengan revolusi dunianya, karena pada masa-
masa tersebut Rusia sedang terjadi perubahan besar komunis, kemudian keadaan
tersebut mengakibatkan terjadinya pemberontakan di berbagai daerah.
Setelah Indonesia merdeka pun gelombang protes para buruh dan petani
masih sering terjadi di berbagai daerah. Salah satunya adalah di daerah Klaten,
yakni lebih tepatnya di wilayah Delanggu yang merupakan daerah Vorstenlanden
atau biasa disebut kantong milik raja dari Surakarta. Yang menonjol dari daerah
ini adalah bertumbuh suburnya perkebunan-perkebunan asing, karena di samping
terjamin status hak tanahnya, juga jumlah tenaga kerja yang diperlukan
memperoleh jaminan yang memadahi. Oleh karena itu, daerah Delanggu dapat
mengembangkan perkebunan-perkebunan asing secara subur dan mandiri.8
Pada dasarnya, Delanggu ada tiga jenis perkebunan. Perkebunan itu adalah
perkebunan kapas di daerah Juwiring, perkebunan rosela di daerah Delanggu kota,
sebagian di Juwiring, Kecamatan Wonosari, Kecamatan Polanharjo dan
Karanganom. Di samping dua jenis tanaman ini masih ada perkebunan tembakau
8 Audrey, Kahin R. 1990. Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Hlm : 18..
10
yang tersebar di beberapa tempat yang seluruhnya menempati tanah sewa.
Perkebunan-perkebunan ini pada umumnya termasuk dalam bagian usaha yang
menjadi bagian langsung dari pabrik karung Delanggu. Sebagian lain dari daerah-
daerah tersebut merupakan wilayah penanaman kapas yang langsung ditanami
oleh Badan Tekstil Negara dan sebagian lagi merupakan areal penanaman
tembakau yang ditangani oleh Klatensche Cultuur Maatschappy.
Pada awalnya Pabrik Karung Goni adalah sebuah pabrik gula yang
didirikan pada tahun 1901. Pendirian pabrik ini bertujuan untuk mempermudah
produksi gula, dikarenakan didaerah Delanggu dan sekitarnya memiliki
perkebunan tebu yang sangat luas. Pada tahun 1871 perkebunan tebu tersebut
menghasilkan 16.183 pikul, dengan melimpahnya hasil tebu maka diperlukan
sebuah pabrik yang mampu menampung dan mengolah hasil perkebunan tersebut.
Pada tahun 1930-an terjadi penurunan pasar gula di kawasan Indonesia
dan Eropa. Hal ini berimbas pula terhadap produksi gula di Indonesia, kemudian
pada tahun 1933 pabrik gula ditutup. Pada tahun 1934, Delanggu mulai ditanami
tanaman Rosela dan Rami sebagai bahan dasar pembuatan karung goni. Pabrik
tersebut digunakan untuk pertama kalinya memproduksi karung goni pada tahun
1938. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Delanggu menjadi
pusat perkebunan Rosela Indonesia. Keberadaan pabrik dan perkebunan di
Delanggu kemudian menunjukkan adanya perbedaan klas, antara buruh dengan
pegawai administratif pabrik. Bahwa dalam perkebunan dan pabrik, orang-orang
Belanda berkedudukan sebagai administrator, yaitu suatu jabatan yang berada
11
pada pucuk pimpinan, sementara masyarakat lokal sebagai buruh. Inilah yang
menjadi alasan munculnya konflik akibat perbedaan pendapatan yang mencolok.9
Setelah Indonesia merdeka, Pabrik Karung Goni di Delanggu yang telah
diambil alih oleh orang Indonesia ternyata tetap tidak memberikan perbaikan.
Kemudian saat-saat seperti ini dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok sosialis
dan komunis di Indonesia untuk memberikan janji membentuk masyarakat
Indonesia yang makmur.
Pergolakan sering terjadi di daerah ini antara tahun 1945-1950 yang
melibatkan para petani perkebunan, pengaruh paham komunis yang
memperjuangkan kesamaan kelas membuat para kaum buruh dan kaum petani
tertarik masuk ke dalam organisasi buruh yaitu Sarekat Buruh Perkebunan
Republik Indonesia. Organisasi inilah yang membuat buruh maupun buruh tani
berani melakukan protes kepada para pemilik modal apabila ketidakadilan
menimpa buruh dan tani.10
Delanggu juga dikenal sebagai penghasil karung goni.
Pabrik Karung Goni yang semula adalah pabrik gula, ternyata menyimpan
peristiwa mengenai pemogokan buruh yang memiliki hubungan dengan
keberadaan Partai Komunis Indonesia 1948.
Perbedaan aliran politik dari kelompok-kelompok sosial di Surakarta
memiliki pengaruh besar terhadap intensitas revolusi sosial. Peristiwa
pemberontakan buruh di Delanggu yang terjadi pada bulan Mei tahun 1948
dimulai oleh pemogokkan buruh-buruh perkebunan kapas di daerah Delanggu
9 Mubyarto. Tanah dan Tenaga Kerja, Kajian Sosial Ekonomi. Aditya
Media : Yogyakarta, 1992. Hlm 50. 10
Suyatno. Masyarakat Daerah Dalam Revolusi Indonesia. Prisma No.8,
Jakarta LPES, 1985. Hlm 21-22.
12
merupakan contoh aspek intensitas politik dalam revolusi sosial. Gerakan buruh di
Indonesia pada dasarnya tidak selalu berdasarkan pada kepentingan sosial-
ekonomi, tetapi juga ada faktor politik. Pada masa berkobarnya era kebangsaan
taun 1920 an dan masa setelahnya, sampai tahun 1965, gerakan buruh diwarnai
oleh perjuangan partai politik PKI, Masyumi, dan PNI. Sebab dalam
kenyataannya, pada, masa kolonial, bahkan berlanjut pada masa awal
kemerdekaan, kaum kapitalis tidak hanya dipandang sebagai majikan dalam
bidang ekonomi, tetapi mereka pun merupakan orang asing dalam arti sosial dan
sekaligus penguasa dalam arti politik. Maka dengan suatu wadah organisasi
Sarbupri selaku program legal dari PKI, maka buruh dapat terkoordinasi dalam
melancarkan aksi-aksinya yang menentang kebijakan-kebijakan majikan.11
B. Rumusan Masalah
Dilihat dari berbagai permasalahan yang ada dalam konflik buruh dengan
pimpinan dan pegawai administratif, maka pertanyaan yang dapat dijadikan
rumusan masalah oleh peneliti, yaitu :
1. Bagaimana kondisi buruh dan perkebunan di Pabrik Karung Goni
Delanggu pada tahun 1948?
2. Apa yang melatarbelakangi pemogokan massal yang dilakukan buruh
Pabrik Karung Goni Delanggu?
11
Sartono Kartodirdjo, Ragam Gerakan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Rakyat, 1977. Hlm 39-40.
13
3. Bagaimana langkah penyelesaian dalam meredam aksi ketidakpuasan
kaum buruh di Delanggu tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Dari tujuan yang didapat dari penelitian pemberontakan massa buruh pabrik
karung Delanggu adalah :
1. Untuk mengetahui kondisi buruh Pabrik Karung Goni Delanggu pada
tahun 1948.
2. Untuk mengetahui penyebab pemogokan massal yang dilakukan buruh
Pabrik Karung Goni Delanggu.
3. Untuk mengetahui langkah penyelesaian dalam meredam aksi
ketidakpuasan kaum buruh di Pabrik Karung Goni Delanggu.
D. Manfaat Penelitian
Selain mengusut tentang bagaimana buruh di Delanggu yang semula
adalah para pekerja yang narima, berubah menjadi agresif dan kritis terhadap
nasib mereka, penelitian ini juga diharapkan memiliki daya guna, yakni :
Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan melengkapi ilmu sejarah
tentang berbagai permasalahan di bidang sosial-ekonomi dan politik. Kemudian
penelitian ini juga diharapkan secara praktis dapat dipelajari dan berguna sebagai
14
bahan evaluasi kepada kaum majikan dalam mengorganisir dan mengelola buruh
dengan baik, sehingga kaum buruh dapat diperlakukan lebih adil.
E. Tinjauan Pustaka
Pada penelitian ini terdapat beberapa dasar-dasar maupun landasan teori
dari beberapa ahli yang profesional di bidang sosial-ekonomi maupun politik yang
mana teori mereka digunakan sebagai dasar-dasar teori di dalam penulisan skripsi
ini.
Buku Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia I dan II (1962) karangan Burger
D.H, isinya antara lain tentang struktur sosial petani berdasarkan status
kepemilikan tanah, misal penggarap yang tidak meiliki tanah harus mengabdi
kepada tuan tanah yang memiliki tanah pertanian. Sistem ini biasa disebut dengan
sistem Patront-Client, yaitu istilah yang digunakan untuk hubungan antara buruh
penggarap dengan tuan tanah. Lebih jelasnya, Patront-Client merupakan sistem
balas budi, jadi jika penggarap bekerja untuk tuan tanah, maka tuan tanah selain
membayarkan upahnya kepada buruh penggarap, si tuan tanah juga harus
memberikan jaminan keselamatan kerja atau kontribusi positif kepada buruh
penggarap yang telah ia pekerjakan. Ikatan feodal ini merupakan hubungan kolot
antara pemegang kekuasaan yang berdiri di atas desa dengan lapisan mesyarakat
kebanyakan. Jenis ikatan yang seperti ini pada akhirnya memudahkan masyarakat
kebanyakan dieksploitasi baik secara ekonomi maupun politik. Kondisi demikian
menyebabkan penguasa memiliki kedudukan yang istimewa dilingkungan
15
masyarakat biasa. Pada akhirnya struktur sosial masyarakat petani selalu berkaitan
dengan prinsip dua pihak yang tidak sejajar.
Buku Sosiologi Sistematik (1989) karangan D. Hendropuspito isinya
antara lain menjelaskan istilah konflik berasal dari kata Confligere yang berarti
saling memukul. Konflik sebagai suatu proses sosial dimana dua orang atau
kelompok berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkan atau
membuatnya tak berdaya. Konflik berasal dari kata confligere atau conflictum
yaitu saling bebenturan, dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan semua
bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian, pertentangan,
perkelahian, oposisi, dan interaksi-interaksi yang bersifat antagonis. Istilah
konflik juga sering diartikan sebagai suatu proses pencapaian tujuan dengan cara
melemahkan pihak lawan tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.
Hali ini terjadi karena adanya perbedaan pendapat dan nilai-nilai dari pihak yang
bertikai. Konflik selalu melekat pada setiap elemen masyarakat, akan tetapi
makna dari konflik sangat tergantung dari tingkat intensitasnya. Pertama, bentuk
konflik paling ringan adalah perbedaan pendapat dan jika dikelola dengan baik
akan memberikan manfaat pada masyarakat. Kedua, unjuk rasa demonstrasi yang
non kekerasan. Demonstrasi akan muncul apabila perbedaan pendapat tidak dapat
terselesaikan melalui proses negosiasi. Ketiga, serangan bersenjata merupakan
konflik yang intensitasnya paling tinggi. Maka Hendropuspito menyimpulkan
bahwa konflik dapat diartikan sebagai pertentangan, pertikaian, dan perbedaan
pendapat antara dua orang meupun kelompok yang terjadi karena adanya interaksi
sosial sehingga mengakibatkan pihak yang satu berusaha menyingkirkan pihak
yang lain.
16
Buku yang berjudul Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan
Surakarta 1830-1920 (1991) karya Suhartono. Buku ini membahas konsep dan
berbagai gerakan, serta efek yang diakibatkan oleh hukum pertanahan. Buku
tersebut juga membahas tentang aksi-aksi gerakan masyarakat yang bermotif
tentang pergesekan antara majikan dan buruh yang berakibat pada aksi protes
yang dilancarkan oleh kaum buruh.
Buku ini lebih menonjolkan jenis-jenis tanah dan hukum pertanahan
nasional. Buku ini menyajikan perubahan tentang penguasaan tanah apanage dan
peranan bekel. Karena dianggap menghambat modernisasi kolonial, sistem
apanage diubah oleh pemerintah kolonial menjadi sistem pemilikan tanah
individual. Dari perubahan ini, perusahaan perkebunan mendapat ekstraksi
maksimal dari petani.
Sistem apanage menciptakan peranan bekel sebagai penebas pajak. Guna
meningkatkan efisiensi penarikan pajak dari petani maka pemerintah kolonial
mengalihkan fungsi bekel sebagai penjaga keamanan desa. Sejak itu pula bekel
yang semula sebagai penebas dan pengumpul pajak, kemudian menjadi pemegang
kekuasaan desa. Dalam buku ini, Suhartono berhasil menelusuri bagaimana
perubahan itu terjadi serta implikasinya bagi kehidupan sosial, juga di bidang
politik dan ekonomi. Buku ini sangat membantu dalam mempelajari sejarah sosial
yang berimplikasi politik dan ekonomi di kawasan Surakarta sejak awal abad ke-
19 sampai 20.
Buku Partisipasi dan Partai Politik (1998) karangan Profesor Merriam
Budiarjo yang mengemukakan bahwa partai politik adalah bermacam-macam
17
kegiatan dalam sistem politik yang menyangkut proses menentukan tujuan. Politik
juga selalu menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik dan
kegiatan perseorangan. Pada buku Profesor Merriam Budiarjo yang lain yang
berjudul Dasar-dasar ilmu politik, beliau juga mendefinisikan partai politik secara
umum sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
memiliki orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan dari kelompok ini
adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
dalam melaksanakan kebijakannya.
Agar partai partai politik dapat berfungsi sebagai pengendali dan
mengawasi pemerintahan dengan baik, maka partai politik harus menjalankan
fungsimya dengan baik. Profesor Merriam membagi fungsi partai politik menjadi
beberapa macam seperti, sebagai pendidikan politik, memadukan pemikiran-
pemikiran politik, sosialisasi politik, pemilihan pemimpin politik,
memperjuangkan kepentingan rakyat, mengkritik rezim yang memerintah,
membina opini masyarakat, mengusulkan calon, memilih pejabat yang akan
diangkat, bertanggung jawab atas pemerintahan, menyelesaikan perselisihan dan
mempersatukan pemerintah. Profesor Merriam Budiarjo menyimpulkan bahwa
partai politik adalah organisasi yang beranggotakan sekelompok orang yang
melakukan aktivitas politik dan bertujuan untuk merebut dan mempertahankan
kekuasaan pemerintah.
Buku Tuntutan Membangun Sarekat Buruh (1950) karangan Djoko
Sudjono isinya antara lain mengulas tentang perasaan kaum buruh perkebunan
pabrik Delanggu yang mulai merasakan kesenjangan sosial. Di mata Djoko
Sudjono, buruh telah menjadi alat perkembangan suatu negara, maka
18
kesejahteraan buruh harus diperhatikan secara intensif. Mungkin hal tersebut bisa
dicontoh pada negara-negara industri maju, seperti Amerika Serikat dan Jepang,
di mana kedua negara tersebut menonjolkan sektor industri. Jadi, hampir setengah
dari penduduk di kedua negara tersebut menjadi buruh industri.
Kebutuhan akan buruh menjadi hal yang paling penting bagi kemajuan
industri suatu negara, selain menyerap tenaga buruh yang kontributif terhadap
kemajuan industri, maka kesejahteraan buruh harus diperhatikan. Pada penelitian
ini, Djoko Sudjono berpendapat tentang cerdasnya PKI dalam memanfaatkan
peluang emas dengan memasukkan kader-kader PKI ke dalam buruh perkebunan
pabrik karung Delanggu untuk mengatasi kesenjangan sosial yang cukup tinggi
melalui jalan legal (Sarbupri) maupun secara ilegal.
Perlawanan Kaum Tani (1993) karya James Scott isinya antara lain
mengemukakan tentang bagaimana ia menggambarkan perlawanan kaum buruh
perkebunan pabrik karung Delanggu dalam mengungkapkan kekecewaan mereka
terhadap sistem patront yang merugikan client, padahal seharusnya hubungan
patront-client dapat menciptakan hubungan timbal balik antara patront maupun
client. Dalam bukunya yang berjudul Perlawanan Kaum Tani, James Scoot juga
memberadakan kaum tani di Indonesia sebagai kelompok masyarakat yang minor,
hal ini sangat jelas bagaimana kaum tani sangat rentan terhadap ketidakadilan
pemerintahan dan sistem kapitalis barat maupun Jepang. Maka istilah
“perlawanan kaum tani” dirasa perlu karena kondisi pertanian di Indonesia yang
sebagai negara agraris cukup memprihatinkan.
19
Buku yang berjudul Ketika Sarbupri Mengguncang Pabrik Karung
Delanggu 1948 : Sebuah Studi Awal dari Pemeberontakan PKI Madiun (2001)
karangan Sarjana Sigit Wahyudi, dalam buku ini memaparkan pemogokan buruh
yang diorganisir oleh Sarbupri (Serikat Buruh Republik Indonesia). Aksi tersebut
sarat muatan akan konstelasi politik yang melanda Indonesia pada waktu itu. Aksi
tersebut yang nantinya akan menjadi cikal bakal Pemberontakan Madiun tanggal
18 September 1948. Buku karangan Sarjana Sigit Wayudi ini selain membahas
mengenai peran Sarbupri yang mengendalikan buruh juga membahas kepentingan
politik yang masuk dan mengintervensi pihak-pihak yang bersangkutan karena
Pabrik Karung Goni Delanggu sendiri merupakan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) pada waktu itu. Maka dari itu beberapa pihak yang pro maupun yang
kontra terhadap pemerintah terlibat dalam kasus pemogokan ini.
Dalam penulisan karya ini, penulis telah menyeleksi dan mengkritisi isi
yang dipaparkan oleh Sarjana Sigit Wahyudi. Buku tersebut menitikberatkan inti
materinya hanya pada kepentingan politik dan peran Sarbupri. Hal tersebut dapat
dilihat dari segi bahasan pokok, alur penulisan dan kelengkapan sub bab yang
dipaparkan.
F. Metode Penelitian
Penelitian ilmiah perlu didukung dengan metode agar penulisan menjadi
teratur dan sesuai dengan petunjuk penulisan sejarah. Metode juga erat kaitannya
dengan prosedur, proses atau teknik yang sistematis untuk melakukan penelitian
20
disiplin tertentu. Hal itu bertujuan agar mendapat objek penelitian.12
Studi ini
adalah studi sejarah yang memperhatikan ruang dan waktu, maka digunakan
metode dan sistem pendekatan sejarah.
Metode sejarah merupakan kumpulan prinsip-prinsip atau aturan-aturan
yang sistematis yang dimaksudkan untuk memberikan bantuan secara efektif
dalam upaya mengumpulkan bahan-bahan bagi penulisan sejarah. Penelitian
sejarah menggunakan pandangan yang didasarkan pada metode sejarah.
Metode sejarah merupakan metode kegiatan mungumpulkan, menguji, dan
menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau, kemudian
merekonstruksi data-data yang diperoleh tersebut sehingga menghasilkan suatu
historiografi (penulisan sejarah).13
Metode sejarah memiliki empat tahap
penelitian, yaitu : heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.
1. Heuristik
Tahapan heuristik adalah tahapan pencarian, penemuan, pengumpulan sumber
atau data-data yang diperlukan. Penelitian dan penulisan skripsi tersebut
menggunakan metode pengumpulan sumber melalui studi arsip, studi pustaka,
studi wawancara. Adapun sumber- sumber yang digunakan dalam penelitian
sejarah dibedakan menjadi tiga yaitu:
12
Suhartono W. Pranoto., Teori & Metodologi Sejarah, Yogyakarta:
Graha ilmu, 2010, hlm. 11. 13
Louis Gottshalk, Mengerti Sejarah, Jakarta: Universitas Indonesia Press
1986, hlm. 32.
21
a. Studi Arsip
Dalam studi arsip ini, penulis pertama melakukan pencarian
dokumen yang berkaitan dengan pemberontakan kaum buruh dan tani di
Arsip Nasional Republik Indonesia dan Perpustakaan Nasional. Dalam
menemukan sumber-sumber, peneliti melakukan pencarian ke berbagai
perpustakaan dan museum serta kantor arsip. Pada tahapan ini arsip yang
diperoleh antara lain, Arsip Kementrian Penerangan yaitu Dokumen
Kongres Barisan Tani Indonesia di Surakarta Tahun 1948, Surat
Penjelasan Jawaban Tuntutan Dari L.B.T, berita harian Sarbupri dan
beberapa surat kabar yang memuat tentang pemogokan, serta beberapa
foto-foto saat pemogokan dan pemberian bantuan kepada buruh.
b. Studi Pustaka
Studi pustaka ialah teknik pengumpulan data dengan menggunakan
literatur dan referensi sebagai bahan informasi untuk mendapatkan teori
dan data sekunder yang baru sebagai pelengkap data yang tidak dapat
diperoleh melalui studi dokumen pada sumber data penelitian. Dalam studi
pustaka penulis menyaring dan mempelajari teori-teori yang tercantum
dalam buku yang dipaparkan oleh para ahli yang profesional di bidang
sosial-ekonomi dan politik. Dari berbagai studi pustaka yang penulis
paparkan dan juga melalui proses filterisasi, maka disini terdapat beberapa
buku, dan majalah yang berkenaan dengan perburuhan dan politik. Penulis
mendapatkan referensi pustaka dari Perpustakaan FIB UNS dan
22
Perpustakaan Jurusan Ilmu Sejarah UNS dan Perpustakaan Pusat UGM
Yogyakarta.
c. Studi wawancara
Dalam menyelesaikan penelitian ini, beberapa buku dan arsip
dirasa belum mencukupi keberadaan sumber, karena peristiwa konflik
identik dan sangat lekat dengan unsur sosial dan melibatkan masyarakat
umum, maka penulis juga menyaring beberapa pelaku dan saksi peristiwa.
Pada penulisan ini, penulis mewawancarai buruh pabrik, pegawai
administratif, pemilik tanah, dan anggota keamanan.
2. Kritik Sumber
Kritik Sumber yaitu usaha untuk pencarian ontensitas dari data-
data yang diperoleh melalui kritikan intern maupun kritikan ekstern. Kritik
intern merupakan pencarian data dengan mempertimbangkan keaslian isi
sumber, sedangkan kritik ekstern adalah mencari keaslian sumber.
a. Kritik Intern
Kritik intern dilakukan untuk mencari kevalidan dari isi sumber.
Sehingga nantinya dapat ditentukan layak tidaknya isi sumber tersebut
untuk dijadikan sebagai bahan penelitian. Pengujian terhadap aspek isi dari
sumber sangat menentukan agar nantinya diperoleh data-data yang
terpercaya. Pengujian terhadap aspek isi dari sumber sangat menentukan
agar nantinya diperoleh data-data yang terpercaya. Data – data yang
23
diperoleh bisa melalui arsip dokumen-dokumen surat keputusan hasil rapat
Sarbupri maupun buku-buku yang membahas tentang sosial-politik.
b. Kritik Ekstern
Kritik Ekstern digunakan untuk mencari keabsahan sumber atau
otentitas. Kritik eksternal ini dimaksudkan sebagai kritik atas asal-usul
dari sumber dan suatu pemeriksaan keaslian atas sumber sejarah apakah
sumber itu telah diubah atau tidak.
3. Interpretasi
Interpretasi yaitu penafsiran terhadap fakta-fakta yang
dimunculkan dari data-data yang sudah terseleksi dengan disesuaikan pada
tema yang diteliti. Interpretasi juga merupakan cara menentukan maksud
saling berhubungan fakta-fakta yang diperoleh setelah terkumpul sejumlah
informasi mengenai peristiwa sejarah yang diteliti. Suatu peristiwa agar
menjadi kisah sejarah yang baik maka perlu diinterpretasikan berbagai
fakta yang lepas satu dengan yang lainya harus dirangkaikan atau
dihubungkan sehingga membentuk satu kesatuan bermakna.
Dalam proses interpretasi tidak semua fakta dapat dimasukan tetapi
harus di pilih mana yang relevan dengan gambaran cerita yang akan di
susun. Dalam tahap ini, digunakan pendekatan interdisipliner yaitu bentuk
pendekatan dalam penelitian sejarah yang menggunakan bantuan disiplin
ilmu lain dengan tujuan mempertajam analisis. Beberapa pendekatan ilmu
yang digunakan sebagai ilmu bantu dalam penulisan ini yaitu pendekatan
ilmu sosial-ekonomi dan ilmu politik.
24
4. Historiografi
Pada tahap yang paling akhir adalah Historiografi, yakni tahap
penulisan sejarah sebagai bentuk dari kelengkapan sumber dan jelasnya
arah penulisan sejarah, mulai dari tahap heuristik, kritik sumber,
intepretasi sampai pada tahap penulisan sejarah. Penulisan sejarah
dihasilkan melalui pemikiran kritis dan analisis dari fakta-fakta yang telah
disusun melalui proses pengujian dan penelitian terhadap sumber-sumber
sejarah, yang kemudian disajikan menjadi sebuah tulisan sejarah berupa
skripsi. Jadi historiografi merupakan gaya penulisan peneliti untuk
menyusun fakta sejarah menjadi suatu cerita sejarah yang menarik dan
dapat dipercaya kebenarannya,
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini rencananya akan menggunakan konsep penulisan
seperti penulisan skripsi pada umumnya, yakni terdiri dari lima bab. Adapun
tujuan dari pembagian perbab tersebut tidak lain adalah untuk memudahkan
pembaca dalam memahami skripsi ini. Pada setiap bab memiliki sub-sub bab yang
akan diuraikan dibawah ini :
Bab pertama berupa pendahuluan yang memuat tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
25
Bab kedua, yaitu berisi tentang gambaran Umum Kondisi Buruh dan
Perkebunan di Pabrik Karung Goni Delanggu Tahun 1948 dan penggologan
pegawai Pabrik Karung Goni Delanggu.
Bab ketiga memuat tentang sejarah dan latar belakang konflik yang
melibatkan buruh dan majikan yang mengakibatkan buruh melancarkan aksi
protes untuk menentang kebijakan majikan yang tidak dapat memberikan jaminan
kenyamanan dan keamanan kerja terhadap buruh dan bagaimana masuknya
program PKI dalam mewadahi aksi buruh, menjelaskan proses jalannya peristiwa
pemogokkan, dan pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam pemogokkan.
Bab keempat menguraikan tentang bagaimana proses penyelesaian konflik
hingga keterlibatan pemerintah dalam meredam aksi radikal buruh, peranan Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, tercapainya persetujuan, dan dampak
pemogokan.
Bab kelima berisi penutup, yaitu berupa saran-saran dan kesimpulan. Bab
tersebut merupakan rangkuman jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam
penelitian.