1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari peranan sumber daya
manusia sebagai penentu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang dapat
dicapai suatu daerah. Perbedaan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang
dapat dicapai oleh suatu wilayah paling tidak memberikan gambaran bahwa
terdapat dukungan perbedaan sumber daya manusia yang bersentuhan dengan
teknologi, sumber daya alam serta entrepreneurs sebagai penggerak aktivitas
inovasi dan kreativitas yang menciptakan nilai tambah produksi, perluasan
investasi dan tenaga kerja (Qastharin, 2012). Keberhasilan dalam mengelola
sumber daya dimaksud di atas diukur berdasarkan aspek ekonomi dengan tidak
menyertakan aspek non ekonomi. Selama ini keberhasilan capaian kemajuan
ekonomi hanya diukur dari aspek ekonomi saja seperti pertumbuhan ekonomi,
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), pendapatan perkapita dan ukuran-
ukuran lain yang selalu menggunakan ukuran nominal (material).
Berbeda dengan pola kesejahteraan nominal, yang hanya memandang
pembentukan pendapatan secara material, maka pemetaan tingkat kesejahteraan
dunia usaha dipolakan melalui pendekatan yang lebih holistik, dengan
pertimbangan bahwa pendekatan kesejahteraan pengusaha telah memuat di
dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial
kemasyarakatan, kekerabatan dan kebersamaan, sikap perilaku investasi secara
2
individual yang concern dengan upaya memperkuat sumber daya lokal (Flora dan
Flora, 1997) yang memungkinkan terpeliharanya infrastruktur sosial secara
berkelanjutan.
Kajian tentang kesejahteraan masyarakat yang diperluas ke bidang kajian
non ekonomi, dinyatakan sebagai the quality of life (Westgate, 1996; Kamya,
2000). The quality of life dinyatakan memiliki dimensi religious well-being
(Tsung, 2002), serta memiliki komponen yang berkaitan dengan dimensi
kesehatan masyarakat, kondisi fisik dan sosial, serta faktor intelektualitas (Ellison
dan Smith, 1991; Chandler et al., 1992; Kamya, 2000).
Pengukuran tingkat kesejahteraan secara lebih holistik dapat diwujudkan
dengan memperkuat komunitas melalui pengembangan entrepreneurs social
infrastructure sebagaimana digagas oleh Flora dan Flora (1993), Thompson
(2008), serta Ridley et al. (2011), akan menjadi pondasi bagi penguatan nilai-nilai
sosial dan spiritual, karena spiritual well-being yang diuraikan sebagai komponen
non ekonomi, memahami dengan baik tujuan dan hakekat hidup, menselaraskan
diri untuk mencapai kebahagiaan dan pandangan bahwa hidup adalah
kompleksitas dari banyak tujuan (Adams, 2000).
Tsuang et al. (2002), menyatakan bahwa dimensi spiritual well-being
adalah berkaitan dengan life of satisfaction dan tingkat kesehatan mental dan
psikologis. Dengan demikian, berbeda dengan konsep pengukuran kesejahteraan
secara nominal, maka pendekatan kesejahteraan sebagaimana dikembangkan
sejumlah peneliti, antara lain Ellison dan Smith (1991), Chandler et al. (1992),
Wesgate (1996), Kamya (2000), serta Tsung (2002). Pada garis besarnya
3
memberikan panduan pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat secara lebih
holistik dengan memasukkan komponen non ekonomi sebagai pola pengukuran
kesejahteraan. Selanjutnya akan dipergunakan menjadi rujukan penelitian ini
dalam mengukur tingkat kesejahteraan pengrajin.
Bersamaan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat
khususnya para pengusaha (pengrajin), maka peran pemerintah juga
dapat menjadi bagian yang menentukan dalam mendampingi dunia usaha,
memberikan fasilitas dan kebijakan pengembangan kinerja pasar pada
kelompok pengusaha yang bersangkutan. North (1990), menyatakan terdapat lima
fungsi kebijakan pemerintah dalam melakukan pendampingan kepada dunia
usaha, yaitu (a) fasilitas kebijakan pemerintah dalam pengembangan sumber daya,
(b) pendampingan pemerintah dalam penguatan teknologi yang lebih menghemat
biaya produksi, (c) peranan pemerintah dalam pemberdayaan organisasi dunia
usaha yang lebih efektif dan efisien dalam pengelolaan usaha, (d) peran
pemerintah dalam pengembangan mitra usaha dan bantuan pemasaran, dan (e)
daya saing produk dan pengembangan kelembagaan bisnis berkelanjutan.
Kemampuan pengrajin sangat terbatas untuk membangun kreativitas dan
inovasi yang diperlukan dalam pengembangan usaha. Dengan demikian, upaya
pengembangan inovasi menjadi kendala dalam membangun daya saing pengrajin.
Apalagi dengan diberlakukannya pembentukan pasar tunggal yang diistilahkan
dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang memungkinkan satu negara
menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia
Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat. Di sisi lain MEA dijadikan
4
sebagai kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang merata, dengan
memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Kemampuan daya saing
dan dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan memfasilitasi akses mereka
terhadap informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia
dalam hal peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi. Hadirnya ajang
MEA ini, UKM memiliki peluang untuk memanfaatkan keunggulan skala
ekonomi dalam negeri sebagai basis memperoleh keuntungan.
Pemerintah di berbagai negara memiliki kebijakan yang beragam dalam
memfasilitasi pengembangan inovasi untuk mendorong kemajuan usaha kecil
yang mencakup kebutuhan inovasi, bantuan pemerintah dalam rangka
pengembangan skill karyawan, serta upaya untuk membangun produktivitas
karyawan yang semakin berdaya saing (Chen dan Guan, 2012).
Cook et al. (2003), menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah menjadi
penentu dalam agenda pengembangan usaha kecil di banyak negara. Kebijakan
pemerintah juga menjadi pengendali arah perkembangan usaha kecil yang
berdampak kepada usaha bersangkutan, para konsumen pengguna produk serta
pihak lainnya (Herrera dan Nieto, 2008). Peranan pemerintah juga telah
berdampak secara nyata dan memberikan kontribusi pada basis kekuatan usaha
dan pembentukan kesejahteraan masyarakat (Wolff, 2002). Pemerintah di banyak
negara juga berperan, antara lain (1) mendorong pengembangan dan
pendampingan, (2) memberikan bantuan finansial, (3) regulasi untuk memproteksi
usaha, dan (4) kebijakan pemberdayaan (Mustar dan Laredo, 2002).
5
Instrumen kebijakan pemerintah sebagaimana disampaikan oleh North
(1990), Flora dan Flora (1993), Flora et al. (1997), Wolff (2002), Cook et al.
(2003), Emery dan Flora (2006) tentang pengembangan infrastruktur sosial; Van
de Ven dan Garud (1989) serta Wennekers dan Thurik (1999) tentang karakter
entrepreneur yang memicu pertumbuhan produksi dan lapangan kerja, adalah
komponen pendukung yang diharapkan dapat diintegrasikan dalam rangka
membangun penguatan dunia usaha menjadi semakin responsif terhadap pressure
yang terjadi, sehingga dunia usaha mampu mencapai tingkat produktivitas optimal
untuk mencapai tingkat keseimbangan baru, yaitu daya saing pasar produksi, yang
pada gilirannya membentuk pendapatan dan perluasan lapangan kerja.
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, bahwa instrumen kebijakan yang
diintegrasikan dalam rangka menciptakan kondisi dunia usaha yang responsif
terhadap effort sebagaimana digambarkan oleh Leibenstein (1977), maka
keberhasilan atas kinerja usaha untuk menjawab setiap pressure atas dinamika
pasar akan menciptakan nilai tambah dalam bentuk kesejahteraan pengusaha.
Terjaminnya keberlangsungan usaha menurut Flora dan Flora (1993), serta
Ashoka (2011), telah mengembangkan konsep teori entrepreneurs social
infrastructure meliputi tiga komponen, yaitu symbolic diversity, mobilization of
resources, dan network quality. Konsep rural community yang dikembangkan
Flora dan Flora lebih dimaksudkan sebagai konsep kelembagaan untuk
membangun kreativitas dan inovasi serta memelihara keberlanjutan inovasi yang
memungkinkan komunitas dapat mengelola daya saingnya. Pertama, symbolic
diversity adalah persepsi masyarakat lokal dalam membangun kesetaraan dan
6
kebersamaan untuk menghindari adanya perbedaan cara pandang, pendapat
bahkan aliran politik yang tidak sehaluan. Cara pandang individual yang menyatu
dengan komunitas adalah simbol masyarakat pedesaan yang perlu tetap
dipertahankan.
Dimensi kedua dari komponen entrepreneurs social infrastructure adalah
mobilization of resources, yang selalu mengupayakan tindakan individu untuk
memperbanyak sumber daya lokal untuk dimanfaatkan secara bersama.
Komunitas harus mencegah agar sumber daya tidak terkonsentrasi
kepemilikannya kepada sekelompok kecil masyarakat. Surplus atas sumber daya
dan meningkatnya pendapatan anggota komunitas menjadi kekuatan bagi
munculnya kreativitas dan inovasi baru yang akan menciptakan dorongan
daya saing.
Dimensi ketiga dari entrepreneurs social infrastructure dari Flora dan
Flora (1993), adalah network quality, yang akan menjadi penentu bagi terobosan
baru dalam mencapai kinerja pasar dan daya saing. Penguatan network community
dapat berupa nilai tambah information sharing, informasi tentang cara baru dalam
produksi, serta teknik pengelolaan manajemen usaha yang lebih efektif. Maka
penguatan social infrastructure adalah kunci bagi pengembangan entrepreneur
secara berkelanjutan.
Pengembangan social infrastructure dari Flora dan Flora (1993), diperkuat
oleh Flora et al. (1997), serta Emery dan Flora (2006). Pada tingkat kelembagaan
dengan lebih memfokuskan kepada organisasi formal kelembagaan, maka social
infrastructure yang mampu melahirkan dan mengembangkan secara berkelanjutan
7
entrepreneurs digagas oleh Van de Ven dan Garud (1989). Berbeda dengan
pendekatan Flora dan Flora (1993), maka pendekatan kelembagaan Van de Ven
dan Garud (1989), lebih terfokus kepada pembentukan organisasi formal yang
dapat membedakan dengan jelas pilar organisasi dalam rangka pengembangan
entrepreneurs berkelanjutan (Defourny dan Nyssens, 2008).
Penguatan infrastructure social yang dapat menjamin semakin
berkembangnya kualitas entrepreneur melalui rekomendasi teori yang digagas
oleh Flora dan Flora (1993), dilanjutkan oleh Flora et al. (1997), serta Emery dan
Flora (2006). Wennekers dan Thurik (1999), yang mengkaji peran entrepreneur
sebagai penggerak inovasi dan kreativitas usaha menuju daya saing, adalah
instrumen kebijakan yang dapat difungsikan dalam rangka membangun daya
saing yang menghemat biaya produksi dan peningkatan produktivitas.
Schumpeter (1934) adalah penggagas pertama tentang peranan
entrepreneurs terhadap pembangunan ekonomi, di mana peran nyata dari
entrepreneurs adalah bertindak sebagai innovator dalam rangka menggerakkan
produksi dan investasi. Wennekers dan Thurik (1999), menyajikan peran
entrepreneurs sebagai penggerak inovasi dan kreativitas dalam pengembangan
industri yang sarat dengan resiko bisnis, kepemilikan usaha dari perusahaan dan
menggerakkannya dalam rangka menghasilkan laba usaha, perluasan lapangan
kerja, serta pada gilirannya menggerakan pembangunan ekonomi secara
keseluruhan.
Keberadaan entrepreneurs sebagai penggerak pertumbuhan industri dan
investasi tidak sama di semua negara atau wilayah. Baumol (1993) menyatakan
8
bahwa total ketersediaan kebutuhan entrepreneurs yang berbeda di berbagai
daerah menjadi salah satu sumber penyebab perbedaan dalam tingkat
pertumbuhan industri, investasi dan perdagangan. Perkembangan krisis ekonomi
dan gejolak inflasi global tahun 1970-an telah merubah strategi persaingan pasar
melalui sejumlah langkah inovatif para entrepreneurs yang cenderung melakukan
perubahan dengan menggeser teknologi perusahaan besar menjadi unit
operasional yang lebih fleksibel, sehingga menjadi lebih lentur dalam upaya
menyesuaikan diri dengan perkembangan selera konsumen.
Carlson (1992) menjelaskan setidaknya terdapat dua faktor yang merubah
pendekatan perusahaan besar ke perusahaan kecil. Pertama, bahwa kondisi
persaingan global sebagai akibat krisis ekonomi yang disertai dengan berbagai
ketidak-pastian. Kedua, terdapatnya perubahan struktur pasar dan kemajuan
teknologi yang dapat dengan mudah menyesuaikan perubahan selera konsumen
dan arah persaingan pasar yang sangat cepat.
Piere dan Sable (1984) menyatakan bahwa krisis ekonomi dan
ketidakpastian pasar global telah merubah strategi entrepreneurs dari pendekatan
mass production kepada pendekatan produksi yang bersifat lebih mudah berubah
(flexibility). Maka, keberhasilan sejumlah entrepeneur dalam merubah strategi
mencapai pangsa pasar, adalah proses dari aktivitas inovasi dan pengendalian
resiko bisnis para entrepeneurs yang berhasil menggerakkan industri dan
perdagangan di sejumlah negara, dan gagal mencapai kinerja terbaik pada
sejumlah negara lain yang tidak memiliki ketersediaan entrepereneur secara
memadai untuk merubah pola pendekatan produksi dari mass production ke
9
bentuk perusahaan kecil yang lebih mampu mengembangkan produk baru secara
lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan pasar dan persaingan.
Pengrajin adalah pengusaha sekaligus produsen yang bertindak atas
kepentingan dirinya untuk membangun produksi dan memasarkannya, sehingga
keberhasilan dalam pengelolaan usaha tidak dapat dilepaskan dari komponen
entrepreneur. Konsep entrepreneur digagas oleh Miler (1983), yang memuat
didalamnya tiga komponen perilaku yang dimiliki oleh seorang pengusaha, antara
lain (1) sikap risk-taking, (2) sikap proactive dalam mendapatkan segmen pasar,
serta (3) sikap inovatif dan kreatif dalam pengembangan produksi.
Berkembangnya kepustakaan di bidang pengelolaan produksi dan
entrepreneurship, Lumpkin dan Dess (1996) menyimpulkan bahwa setiap
pengusaha yang ingin berhasil dalam membangun kegiatan usaha, setidaknya
memiliki orientasi dalam pengelolaan usaha yang dapat membangun nilai usaha
untuk semakin dikenal oleh publik. Miller dan Friesen (1982) mengindentifikasi
tiga komponen yang akan membangun sukses perusahaan mendapatkan pangsa
pasar pelanggan, yaitu (a) keinginan kuat bagi pengusaha untuk mengembangkan
product innovation, (b) bertindak untuk menghadapi resiko atas produk baru yang
dikembangkan, serta (c) menetapkan langkah proactive untuk mengambil peluang
mendapatkan segmen pasar yang baru.
Freiling dan Schelhowe (2014) mengembangkan konsep pengukuran
entrepreneurship yang bersumber dari Miller (1983), tetapi dengan perluasan
konsep menjadi empat komponen, yaitu (a) inovasi, (b) arbitrage, (c)
coordination, dan (d) resiko usaha. Dalam rangka pengukuran keberhasilan
10
pengusaha pengrajin yang diteliti, penelitian ini merujuk kepada Freiling dan
Schelhowe (2014), serta mengkombinasikan entrepreneurship dari Miller (1983),
Covin dan Slevin (1991), Lumpkin dan Dess (1996), untuk mengkonstruksi pola
karakter entrepreneurial pengusaha pengrajin.
Konsep pendekatan strategi entrepreneur dalam menggerakkan
pertumbuhan produksi dan investasi adalah menjadi penting untuk dikaji dan
diperluas jumlah pengadaannya sebagai upaya menggerakkan produksi. Flora et
al. (1997) menyatakan bahwa keberlangsungan pengadaan entrepreneur secara
berkesinambungan dapat dilakukan dengan menata sistem sosial kemasyarakatan
sebagai sumber yang dapat memberikan jaminan bagi lahirnya entrepreneur baru
dan keberlanjutan kinerja para entrepreneur dalam rangka memenuhi kebutuhan
sektor industri dan investasi untuk mampu bersaing di tingkat pasar global,
berdasarkan kondisi keunggulan sumberdaya di tingkat lokal (local to global
market). Konsep tentang strategi pengembangan entrepreneur melalui
pemahaman kondisi sosial kemasyarakatan juga banyak dibahas, antara lain oleh
Alvord et al. (2004) dan Kao (2013).
Leibenstein (1977) mengembangkan konsep teori daya saing melalui
pengembangan teori x-Efficiency, yang menyatakan bahwa teori neo-klasik
tentang efisiensi tidak pernah tercapai dalam dunia nyata. Teori x-Efficiency
menyatakan bahwa efisiensi yang dicapai pada dunia nyata tidak tercapai, karena
pressure yang terjadi ditanggapi oleh manusia sebagai faktor produksi yang
memiliki kepekaan yang berbeda-beda. Berbeda dari lingkungan komunitas
pengusaha di satu negara dengan komunitas pengusaha negara lainnya.
11
Komunitas dunia usaha dinyatakan menghadapi inertial cost, yaitu kondisi
pressure yang tidak berhasil di respon oleh dunia usaha karena berbagai sebab,
sehingga tidak menghasilkan perubahan apapun atas kinerja produksi. Pressure
tidak ditanggapi sebagai effort yang menurunkan fungsi biaya usaha dan
menghasilkan produktivitas lebih tinggi. Efisiensi pengelolaan usaha tidak dapat
diwujudkan, karena berbagai penyebab. Pertama, pressure yang berkembang dari
dinamika permintaan pasar tidak mendapat tanggapan berupa effort, disebabkan
oleh kondisi dunia usaha yang telah mencapai tingkat kesejahteraan tertentu,
sehingga insentif ekonomi yang ditawarkan tidak memberikan daya tarik yang
cukup untuk ditanggapi (backward bending of supply curve). Kedua, bahwa
pressure yang terbentuk dari dinamika pasar tidak dapat ditanggapi sebagai effort
karena keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengelola dan memberikan
respon pada dinamika pressure tersebut.
Teori x-Efficiency menyajikan ruang bagi dunia usaha untuk
menggerakkan produksinya mencapai tingkat optimalnya. Berdasarkan kondisi
pressure yang digerakkan baik oleh pasar regional maupun pasar global,
seharusnya dunia usaha dapat memanfaatkan pressure sebagai peluang usaha
dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegusaha bersangkutan.
Pengembangan infrastruktur sosial beserta upaya pendampingan
pemerintah menjadi relevan di kedepankan sebagai upaya untuk membangun
kesiapan dunia usaha dalam menjawab tantangan (pressure) sebagai akibat dari
dinamika pasar regional dan global tersebut. Keberhasilan menjawab setiap
pressure yang berkembang dari dinamika pasar akan membawa pada kondisi low
12
cost dan peningkatan produktivitas untuk mencapai nation competitiveness
(Porter, 1990).
Peningkatan sumber daya yang mampu bersaing, memerlukan pemahaman
tentang kualitas sumberdaya yang menjadi pendukung kegiatan usaha
bersangkutan. Sumberdaya bersaing ditentukan oleh faktor demografik dan faktor
ekonomi. Faktor demografik, meliputi antara lain yaitu (a) usia, (b) status sosial,
(c) tingkat pengetahuan, dan (d) diversifikasi mata pencaharian. Sedangkan
sumber daya bersaing yang ditentukan oleh faktor ekonomi (a) peluang
kesempatan kerja, (b) budaya kerja, kondisi ekonomi rumah tangga, serta (c)
indeks kesehatan relatif (Chang, 2007).
Peneliti lainnya, Hayes (2007) menyimpulkan paling sedikit terdapat
delapan dimensi yang menentukan kualitas sumber daya bersaing di masa
depan, dimana perubahan pasar global yang semakin cepat dan dinamis
memerlukan dukungan sumber daya perusahaan yang tanggap dan responsive
terhadap perubahan dinamika pasar dan persaingan usaha, sehingga
diperlukan pengembangan sumber daya yang semakin berkualitas, yaitu antara
lain (1) adalah kemampuan pengusaha dalam mengelola team work dan
kerja sama; (2) kemampuan pengusaha untuk membangun strategi mencapai
tujuan; (3) kemampuan pengusaha untuk membuka komunikasi dengan mitra
usaha; (4) kemampuan pengusaha untuk menetapkan sasaran pekerjaan yang
berorientasi mutu; (5) upaya untuk membangun nilai tambah organisasi; (6)
membangun pelayanan kepada pelanggan; (7) membangun integritas usaha untuk
13
menciptakan trust; serta (8) kegiatan pengembangan teknik dan keterampilan
professional knowledge.
Berbeda dengan Chang (2007) dan Hayes (2007) yang menggali pustaka
untuk menyajikan kompetensi sumber daya bersaing, maka peneliti lainnya, Khan
(2014) menyajikan sejumlah kendala yang dapat menghambat terwujudnya
sumber daya bersaing dalam rangka mendapatkan perluasan pasar dan
pengembangan potensi produksi, antara lain dinyatakan pada lima komponen
yang dapat menghambat potensi sumber daya untuk berkembang mencapai daya
saing mereka secara optimal, yaitu (1) kendala pengusaha dalam membangun
relasi interpersonal; (2) keterbatasan sumber daya dalam membangun team work
yang diperlukan pada organisasi usaha; (3) kendala perencanaan dan keterbatasan
menggerakkan usaha mencapai sasaran yang diinginkan; (4) keterbatasan
pengusaha menyesuaikan kebijakan pada masa transisi dengan perubahan yang
semakin cepat dan dinamis; serta (5) kendala pengelola usaha yang lebih terikat
pada visi jangka pendek.
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya bahwa instrumen kebijakan yang
diintegrasikan dalam rangka menciptakan kondisi dunia usaha yang responsif
terhadap effort sebagaimana digambarkan oleh Leibenstein (1977) dan aplikasinya
oleh Thomas (2004), maka keberhasilan atas kinerja usaha untuk menjawab setiap
pressure atas diamika pasar akan menciptakan nilai tambah dalam bentuk
kesejahteraan pengusaha. Ketika keberhasilan dunia usaha telah mencapai kinerja
low cost dan produkvitas yang membentuk kesejahteraan pengusaha tercapai,
maka sangatlah penting untuk membangun dunia usaha agar menjadi kekuatan
14
bisnis yang mampu mewujudkan daya saing berkelanjutan. Sehubungan dengan
strategi untuk membangun dunia usaha selalu siap dalam menghadapi setiap
gejolak permintaan pasar, maka pola pengukuran pendapatan tidak semata diukur
secara nominal, tetapi juga dilakukan pengukuran non ekonomi. Empat dimensi
yang dijadikan pengukuran untuk mendapatkan pola kesejahteraan pengrajin
adalah (1) sense of material well-being), (2) community well-being, (3) spiritual
well-being, serta (4) healthy dan safety (Kamya, 2000; Tsung, 2002; dan Kim et
al., 2008).
Salah satu dari tujuan utama pembangunan adalah mewujudkan
kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata. Friendmann (dalam Effendi,
2000) menjelaskan bahwa strategi yang dapat dikembangkan untuk mendukung
tercapainya sasaran pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan adalah
meningkatkan dan memperluas kegiatan usaha-usaha berbasis komunitas
(community enterprises). Dimana selama ini kegiatan usaha-usaha masyarakat
tersebut telah eksis dalam masyarakat dan memberikan sumbangan yang cukup
berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Adapun kegiatan usaha-usaha
berbasis komunitas tersebut antara lain: usaha industri kecil kerajinan tas dan
koper di Tanggulangin-Sidoarjo, dan usaha industri kerajinan perak di Desa
Celuk-Gianyar. Selama krisis ekonomi melanda Indonesia, kegiatan industri kecil
tersebut tampaknya mampu bertahan dan menjadi sumber penghasilan andalan
masyarakat.
Keberadaan kegiatan atau usaha industri kecil dapat menjadi sumber
penghasilan andalan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari peranan industri kecil
15
dalam perekonomian nasional yang cukup diperhitungkan, dimana sektor industri
kecil menurut Thoha (2000) dapat menjadi sabuk pengaman (savety belt) bagi
masalah-masalah sosial ekonomi seperti penyediaan peluang kerja, penampung
terakhir tenaga-tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan
sebagainya. Senada dengan itu, menurut Rustani (1996) masih ada beberapa
kekuatan atau keunggulan yang dimiliki oleh industri kecil, yaitu: 1) Penyedia
lapangan kerja, 2) Penyedia barang-barang murah untuk dikonsumsi rakyat, 3)
Efisiensi dan fleksibelitasnya terbukti menjadi kekuatan yang mampu
membuatnya tetap bertahan hidup, dan 4) Industri kecil sebagai sumber penghasil
wirausahawan baru.
Melihat besarnya peranan industri kecil dalam pembangunan ekonomi
Indonesia, untuk itu menurut Soetrisno (1997) mengemukakan bahwa pemerintah
seharusnya berhenti melihat sektor industri kecil sebagai buffer sector yaitu sektor
ekonomi yang berfungsi sebagai penangkal krisis saja dan seharusnya sektor
industri kecil diberlakukan sebagai sektor yang mandiri seperti sektor pertanian,
sehingga dengan demikian sektor ini harus memperoleh perhatian yang sama
dengan sektor-sektor ekonomi lainnya. Dalam hal ini industri kecil telah
menunjukkan kinerja yang mengesankan, padahal selama ini praktis mereka tidak
memperoleh perlindungan sebagaimana dinikmati industri besar dalam berbagai
bentuk proteksi. Dengan demikian peranan industri kecil sebagai penyerap tenaga
kerja yang terbesar, semakin menunjukkan bahwa memang industri
kecil/pengusaha yang relatif lemah perlu memperoleh perhatian yang lebih besar
dalam rangka pembinaannya.
16
Berdasarkan fenomena kecenderungan meningkatnya peran usaha/industri
kecil, maka sudah selayaknya sektor ini memperoleh pembinaan dan masih
banyak yang perlu dilakukan untuk memajukan sektor industri kecil, seperti
diantaranya adalah pemihakkan yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk
sektor ini masih sangat diperlukan dan ditingkatkan. Dengan keberpihakan
pemerintah kepada ekonomi masyarakat dalam pembangunan nasional dapat
diwujudkan pembangunan yang memprioritaskan, mengembangkan dan
memberdayakan ekonomi lemah (skala kecil dan menengah).
Adapun kebijakan tentang UKM secara formal dituangkan dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Secara lebih teknis tercantum dalam PP Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah. Jelas disebutkan secara formal bahwa pemerintah dan pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan pemberdayaan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah. Pemberdayaan tersebut dilakukan dengan
pengembangan usaha, kemitraan, perizinan, serta koordinasi dan pengendalian.
Dengan demikian pemerintah telah menunjukkan kemauan politik dan komitmen
yang cukup untuk mengembangkan industri kecil dan semua program tersebut
bersifat memberdayakan (empowering) lapisan masyarakat kecil atau
usaha/industri kecil.
Begitu banyaknya program pemerintah untuk memberdayakan usaha/
industri kecil, namun dalam pelaksanaannya masih menjumpai sejumlah
permasalahan yang menyebabkan tujuan dari upaya-upaya tersebut tidak tercapai
17
secara optimal. Menurut Basri (1997), untuk mewujudkan tujuan tersebut ini
sangat dipengaruhi oleh definisi atau istilah atau sebutan dan kriteria yang amat
beragam bagi industri kecil (kelompok lemah) ini, serta berbagai program yang
diluncurkan tersebut cenderung saling tumpang tindih, menyebabkan alokasi dana
bagi pengembangan usaha kecil tidak optimal dan kurang efektif mencapai
sasarannya.
Program-program pemerintah tersebut masih memiliki beberapa
kelemahan. Beberapa kelemahan tersebut menurut Thoha (2000), salah satu di
antaranya adalah pengembangan industri kecil masih menggunakan pendekatan
yang parsial, terutama hanya dari aspek permodalan dan atau pelatihan teknis saja,
padahal masalah utama yang dihadapi oleh industri kecil yang terutama adalah
lemahnya kemampuan kewirausahaan, oleh karena itu pendekatan dari aspek
permodalan saja dan atau aspek teknis saja seringkali tidak mampu mengangkat
kemampuan industri kecil untuk meningkatkan skala usahanya.
Potensi sektor industri khususnya industri kecil dalam pembangunan
pedesaan, di daerah Bali memiliki potensi seni budaya dan kreativitas masyarakat
yang cukup tinggi di bidang kerajinan. Di samping itu perkembangan industri
kecil cukup pesat sejajar dengan pesatnya perkembangan industri pariwisata yang
membuka peluang pasar baik pasar lokal maupun internasional. Sementara itu
potensi wisata Kabupaten Badung yang cukup menarik adalah wisata pantainya
yang cukup indah dengan sendirinya mengundang kedatangan para wisatawan,
sehingga dengan demikian dapat mendorong tumbuhnya usaha industri kerajinan
ukiran kayu dan industri kerajinan ataupun usaha-usaha lainnya.
18
Penelitian ini menetapkan fokus penelitian pada wilayah Kabupaten
Badung, yaitu untuk mengkaji dan mengintegrasikan semua potensi sumberdaya
industri kerajinan yang ada di wilayah Badung untuk dikembangkan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan pengrajin pada khususnya dan masyarakat Kabupaten
Badung pada umumnya. Salah satu sumber kesejahteraan pengrajin dapat dilihat
dari pendapatan yang dihasilkan dari usahanya di bidang industri hasil kerajinan.
Untuk megetahui kinerja usaha produk hasil kerajinan dapat dilihat melalui
perdagangan ekspor non migas karena salah satu komoditi ekspor non migas
adalah industri hasil kerajinan. Data yang dipetik dari Badan Pusat Statistik
menunjukkan bahwa nilai ekspor non migas Indonesia pada kurun waktu tahun
2009 sampai degan 2015 mencapai puncaknya di tahun 2011 selanjutnya terus
menurun sampai tahun 2015. Nilai ekspor non migas Indonesia pada tahun 2009
sebesar US$ 97.491,7 juta, tahun 2010 sebesar US$ 129.739,5 juta, tahun 2011
sebesar US$ 162.019,6 juta, tahun 2012 sebesar US$ 153.043,0 juta, tahun 2013
sebesar US$ 149 918,8 juta, tahun 2014 sebesar US$ 145 961,2 juta, dan tahun
2015 sebsar US$ 131 791,9 juta. Demikian pula ekspor non migas di Provinsi
Bali dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2015 mengalami penurunan mulai
tahun 2011 sampai tahun 2015. Nilai ekspor non migas Provinsi Bali tahun 2010
sebesar US$ 372,0 juta, tahun 2011 sebesar US$ 356,0 juta, tahun 2012 sebesar
US$ 347,0 juta, tahun 2013 sebesar US$ 327,0 juta, tahun 2014 sebesar US$
298,0 juta, dan tahun 2015 sebsar US$ 254,0 juta.
19
Selanjutnya jika dilihat dari kinerja ekspor produk kerajinan di wilayah
Kabupaten Badung dalam 4 (empat) tahun terakhir, maka tampak bahwa
perdagangan ekspor non migas telah mengalami penurunan tajam sebagaimana
tersajikan pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1
Perkembangan Nilai Ekspor Non Migas Kabupaten Badung, 2009-2015
Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2015
Data menunjukkan bahwa ekspor non migas baik di Indonesia, di Provinsi
Bali maupun di Kabupaten Badung dalam kurun waktu empat tahun terakhir terus
mengalami penurunan yang walaupun besaran penurunannya bervariasi.
Penurunan ekspor non migas juga mencerminkan penurunan ekspor produk hasil
kerajinan begitu pula di Kabupaten Badung, karena sebagian besar komoditi
ekspor non migas Kabupaten Badung terdiri dari produk hasil kerajinan.
Berdasarkan kajian data pada Gambar 1.1 tampak bahwa ekspor non migas
(termasuk di dalamnya hasil kerajinan) telah mengalami penurunan pertumbuhan,
terutama pada tahun 2011 terjadi penurunan yang cukup tajam dan berlanjut
mengalami penurunan sampai tahun 2015 ini Penurunan ini terjadi disebabkan
karena kinerja usaha kerajinan belum optimal sebagai akibat tidak terjadinya
effort yang memadai dari pengusaha ketika terjadi pressure dari pasar global yang
20
ditunjukkan dengan kondisi belum tercapainya efisiensi yang optimal dari
sumberdaya dunia usaha dalam menanggapi pressure dinamika pasar, sehingga
dunia usaha tidak dapat mencapai daya saing yang diperlukan.
Nilai total ekspor non migas Kabupaten Badung pada Tahun 2014 sebesar
US$ 63.675.447,62. Kontribusi terbesar diberikan oleh komoditi hasil kerajinan
yaitu US$ 32.409.884,02 (50,90 persen) disusul komoditi hasil industri sebesar
US$ 27.177.767,97 (42,68 persen), sedangkan komoditi hasil pertanian
memberikan kontribusi sebesar US$ 3.564.365,9 (5,6 persen), komoditi hasil
perkebunan sebesar US$ 440.092,78 (0,69 persen) dan komoditi lainnya sebesar
US$ 83.336,95 (0,13 persen) sebagaimana tersajikan pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2
Pengelompokkan Potensi Industi Kabupaten Badung Tahun 2014
Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2015
Hal ini dapat dikatakan bahwa, sebagian besar ekspor non migas di
Kabupaten Badung berasal dari komoditi hasil kerajinan yang apabila tidak
dikelola dengan baik akan berpengaruh besar terhadap nilai ekspor khususnya non
migas. Oleh karenanya, perlu mendapat perhatian dan penanganan dari
pemerintah selain usaha dari pengusaha itu sendiri. Hal ini pula menjadi dorongan
akan ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian.
21
Potensi ekonomi dan sosial masyarakat pengusaha kerajinan, termasuk
dalam katagori usaha kecil dan menengah, yang memiliki pangsa pasar global
yaitu bersumber dari pasar pariwisata internasional yang berkembang di daerah
pusat tujuan wisata internasional di wilayah Badung Selatan dan Kota Denpasar,
serta sebagian wilayah Ubud, Gianyar.
Berdasarkan Gambar 1.2 bahwa di wilayah Badung terdapat sebanyak
50,90 persen komoditi hasil kerajinan, sehingga menjadi relevan untuk ditelusuri
dan dipolakan model teoritik dalam rangka mendorong peningkatan kinerja dan
perluasan segmen pasar internasional atas hasil kerajinan tersebut. Diharapkan
pada nantinya dapat mencapai kinerja usaha seperti tahun 2011 dan bahkan
dimungkinkan untuk mencapai kinerja usaha yang melebihi capaian tahun 2011.
Tabel 1.1
Perkembangan Ekspor Non Migas Kabupaten Badung
dan Indikator Pendukung Kinerja Ekspor
Tahun 2011-2014
KEGIATAN TAHUN
2011 2012 2013 2014
Ekspor Non Migas (US$) 132.796.094,68 62.094.645,50 59.063.996,05 63.675.447,62
Hasil Kerajinan(US$) 44.090.259,18
33,20 %
27.098.103,3
43,64 %
28.019.959,7
47,44 %
32.410.802,8
50,90%
PDRB perkapita (Rp) 29,245,000 47.306.000 53.973.000 61.495.000
Pertumbuhan Ekonomi (%) 7,07 7,64 6,82 6,97
Kredit MKM (Bidang
Industri)
125.678.000.000 164.610.000.000 168.141.000.000 213.090.000.000
Pengunaannya :
Modal Kerja 1.478.226.000 2.307.257.000 329.042.000 3.557.292.000
Investasi 5.622.000 1.101.964.000 899.193.000 2.306.288.000
Konsumsi - - 2.783.274.000 -
PINJAMAN PERBANKAN 211.686.000.000 230.948.000.000 254.567.000.000 321.166.000.000
Penggunaannya :
Modal Kerja 2.416.030.000 4.456.693.000 4.876.433.000 6.916.344.000
Investasi 2.758.746.000 4.547.397.000 7.623.042.000 10.153.712.000
Konsumsi 2.464.726.000 3.399.402.000 4.236.404.000 5.330.238.000
Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2015
22
Berdasarkan data yang tersajikan pada Tabel 1.1, ternyata penurunan
pangsa pasar ekspor kerajinan mulai tampak pada tahun 2013, yang juga
ditunjukkan oleh penurunan penyerapan pinjaman untuk modal kerja dari tahun
2012 sebesar Rp 2.307.257.000,- menjadi Rp 329, 042,000,-. Penurunan daya
serap kridit MKM hasil kerajinan tampak jelas berkaitan dengan kinerja pangsa
pasar ekspor. Searah dengan penurunan ekspor hasil kerajinan tersebut, kridit
MKM untuk usaha kerajinan dalam rangka investasi juga mengalami penurunan
dari tercatat sebanyak Rp 1,101,964,000,- pada tahun 2012, turun menjadi
Rp 899,193,000 pada tahun 2013.
Berdasarkan latar belakang kondisi hasil kerajinan tersebut, serta
relevansinya dengan rujukan pustaka yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti
tertarik untuk mengadakan penelitian ini dengan merumuskan research problem
sekaligus juga berusaha menetapkan model pemecahan masalah yang dijabarkan
sebagai keterbaharuan disertasi ini. Research problems yang dirumuskan adalah
bahwa kinerja usaha kerajinan belum optimal yang menyebabkan telah terjadinya
penurunan perdagangan ekspor produk hasil kerajinan dalam empat tahun terakhir
ini yang berakibat pada kesejahteraan pengrajin itu sendiri. Penurunan
perdagangan ekspor produk hasil kerajinan ini berakibat pada penurunan
kesejahteraan pengrajin.
Kinerja yang tidak optimal disebabkan oleh tidak terjadinya effort yang
memadai dari pengrajin ketika terjadi pressure dari pasar global sebagaimana
dirujuk dari Leibenstein dan Maital (1992). Kinerja yang tidak optimal
digambarkan oleh kondisi belum tercapainya efisiensi yang optimal dari
23
sumberdaya dunia usaha dalam menanggapi pressure dinamika pasar, merujuk
pada teori x-Efficiency Leibenstein dan Maital (1992), sehingga dunia usaha tidak
dapat mencapai daya saing yang diperlukan, serta juga pada gilirannya belum
terbentuk kesejahteraan yang dapat mendorong penguatan inovasi dan kreativitas
produksi. Hal ini diperkuat dengan hasil survey pendahuluan terhadap pengrajin
yang menyatakan bahwa banyak pesanan produk, tuntutan selera
konsumen/pelanggan, dan peluang pasar yang tidak dapat dipenuhi dan
dimanfaatkan oleh pengrajin itu sendiri. Seperti contohnya pengrajin kayu limbah
atas nama Gst. Ngurah Suta, alamat Banjar Gunung, Desa Abiansemal, pernah
menerima pesanan sebanyak 150 pcs hanya mampu dipenuhi sebanyak 100 pcs
diakibatkan bahan baku untuk produk yang dihasilkan terbatas. Begitu pula yang
dialami oleh pengrajin Furniture atas nama Putu Sutapa, alamat Desa Angantara,
Kecamatan Abiansemal hanya mampu memenuhi pesanan sebanyak 40 pcs dari
seluruh pesanan yang ada sebanyak 78 pcs akibat keterbatasan bahan baku.
Demikian pula halnya dengan pengrajin lainnya seperti kerajinan uang kepeng di
Mengwi, kerajinan perak di Bongkasa Pertiwi, Abiansemal dan beberapa
pengrajin lainnya di Kabupaten Badung yang rata-rata mengalami permasalahan
menyangkut ketersediaan bahan baku dan sebagaian kecil masalah ketersediaan
jumlah tenaga kerja. Dalam rangka menjawab dan mendapatkan pemecahan atas
permasalahan sumber daya dunia usaha, maka keterbaharuan dari penelitian ini
adalah dengan mengkondisikan entrepreneurs social infrastructure sebagai
fondasi sosial-ekonomi kemasyarakatan merujuk dari Flora dan Flora (1993),
Flora et al. (1997), Mair dan Marti (2004), Haugh (2005), Emery dan Flora
24
(2006), Meutia (2013), dimana komunitas masyarakat pedesaan atau yang
memiliki latar belakang agraris, bermukim pada suatu wilayah secara turun-
temurun, memiliki kedekatan antar pribadi sangat kuat (symbolic diversity),
menjadi pengelola sumber daya yang mengutamakan surplus sumberdaya lokal,
(mobilization of resources) serta telah menjalin network di antara mereka secara
berkelanjutan.
Keterbaharuan studi ini adalah menyusun sebuah framework, yaitu model
penelitian yang berfokus pada pengembangan entrepreneur social infrastructure
sebagaimana digagas oleh Van de Ven dan Garud (1989), Flora dan Flora (1993),
Flora et al. (1997), Tan dan Tan (2005), Emery dan Flora (2006), Koo (2013),
serta Burkett (2014). Keterbaharuan berikutnya, adalah pengembangan
pengukuran tingkat kesejahteraan secara lebih holistik dengan menyertakan
pengukuran faktor ekonomi dan non ekonomi merujuk pada Tsung et al. (2002),
tentang dimensi spiritual well-being yang dikaitkan dengan life of satisfaction dan
tingkat kesehatan mental dan psikologis. Dengan demikian, berbeda dengan
konsep pengukuran kesejahteraan secara nominal, maka pendekatan
kesejahteraan non ekonomi juga dikembangkan sejumlah peneliti antara lain
Ellison dan Smith (1991), Chandler et al. (1992), Wesgate (1996), Kamya,
(2000), dan Tsung et al. (2002).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan research problems dan rancangan keterbaharuan disertasi
yang telah disampaikan di atas, maka rumusan masalah penelitian dapat
dijabarkan, sebagai berikut.
25
1) Bagaimanakah pengaruh kebijakan pemerintah terhadap infrastruktur sosial
pada industri kerajinan di Kabupaten Badung?
2) Bagaimanakah pengaruh kebijakan pemerintah dan infrastruktur sosial
terhadap kewirausahaan pada industri kerajinan di Kabupaten Badung?
3) Bagaimanakah pengaruh kebijakan pemerintah, infrastruktur sosial, dan
kewirausahaan terhadap sumber daya bersaing pada industri kerajinan di
Kabupaten Badung?
4) Bagaimanakah pengaruh kebijakan pemerintah, infrastruktur sosial,
kewirausahaan dan sumber daya bersaing terhadap kesejahteraan pengrajin
pada industri kerajinan di Kabupaten Badung?
5) Bagaimanakah pengaruh kebijakan pemerintah terhadap kewirausahaan
melalui infrastruktur sosial pada industri kerajinan di Kabupaten Badung?
6) Bagaimanakah pengaruh kebijakan pemerintah terhadap sumber daya bersaing
melalui infrastruktur sosial dan kewirausahaan pada industri kerajinan di
Kabupaten Badung?
7) Bagaimanakah pengaruh kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan
pengrajin melalui infrastruktur sosial, kewirausahaan, dan sumber daya
bersaing pada industri kerajinan di Kabupaten Badung?
8) Bagaimanakah pengaruh infrastruktur sosial terhadap sumber daya bersaing
melalui kewirausahaan pada industri kerajinan di Kabupaten Badung?
9) Bagaimanakah pengaruh infrastruktur sosial terhadap kesejahteraan pengrajin
melalui kewirausahaan dan sumber daya bersaing pada industri kerajinan di
Kabupaten Badung?
26
10) Bagaimanakah pengaruh kewirausahaan terhadap kesejahteraan pengrajin
melalui sumber daya bersaing pada industri kerajinan di Kabupaten Badung?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini, adalah sebagai berikut.
1) Untuk menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah terhadap infrastruktur
sosial pada industri kerajinan di Kabupaten Badung.
2) Untuk menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah dan infrastruktur sosial
terhadap kewirausahaan pada industri kerajinan di Kabupaten Badung.
3) Untuk menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah, infrastruktur sosial, dan
kewirausahaan terhadap sumber daya bersaing pada industri kerajinan di
Kabupaten Badung.
4) Untuk menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah, infrastruktur sosial,
kewirausahaan dan sumber daya bersaing terhadap kesejahteraan pengrajin
pada industri kerajinan di Kabupaten Badung.
5) Untuk menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah terhadap kewirausahaan
melalui infrastruktur sosial pada industri kerajinan di Kabupaten Badung.
6) Untuk menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah terhadap sumber daya
bersaing melalui infrastruktur sosial dan kewirausahaan pada industri
kerajinan di Kabupaten Badung.
7) Untuk menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan
pengrajin melalui infrastruktur sosial, kewirausahaan, dan sumber daya
bersaing pada industri kerajinan di Kabupaten Badung.
27
8) Untuk menganalisis pengaruh infrastruktur sosial terhadap sumber daya
bersaing melalui kewirausahaan pada industri kerajinan di Kabupaten Badung.
9) Untuk menganalisis pengaruh infrastruktur sosial terhadap kesejahteraan
pengrajin melalui kewirausahaan dan sumber daya bersaing pada industri
kerajinan di Kabupaten Badung.
10) Untuk menganalisis pengaruh kewirausahaan terhadap kesejahteraan pengrajin
melalui sumber daya bersaing pada industri kerajinan di Kabupaten Badung.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini, adalah sebagai berikut.
1) Bagi Pemerintah Kabupaten Badung, hasil penelitian ini diharapkan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam mengeluarkan kebijakan
berupa peraturan bupati dan/atau keputusan bupati serta ketentuan
pelaksanaan lainnya dalam rangka pengembangan industri kerajinan di
Kabupaten Badung untuk peningkatan kesejahteraan para pengusaha
kerajinan yang bersangkutan.
2) Bagi para pengusaha dan semua pihak terkait dengan usaha industri kerajinan,
sebagai dasar untuk menetapkan strategi-strategi/langkah-langkah yang harus
ditempuh dalam rangka memperkuat sistem kelembagaan atau infrastruktur
sosial pengusaha pengrajin, jiwa kewirausahaannya, dan kemampuan
28
bersaingnya yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan pengrajin itu
sendiri.
1.4.2 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmu
khususnya pada konstruksi kondisi sosial kemasyarakatan, budaya lokal sebagai
penguat infrastruktur sosial menuju etos kerja keras yang mampu mewujudkan
daya saing. Pengkajian teoritik diperlukan dalam rangka melakukan matching
antara fenomena dengan perkembangan teori yang sedang berkembang
dewasa ini. Hasil penelitian merupakan model empirik yang dihasilkan dari
kerangka model teoritik utuk mendapatkan validasi lapangan melalui penggunaan
metodologi ilmiah. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana baru dalam
kajian ilmiah tentang perilaku usaha pengrajin khususnya di Kabupaten Badung.