Download - BAB I NEW
PROPOSAL
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DALAM MEMBERIKAN STIMULASI BERMAIN TERHADAP PERKEMBANGAN
ANAK BALITA
Disusun oleh:
ROLA MESRANINIM. 0911121363
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANUNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tumbuh kembang seorang anak ditandai dengan pertumbuhan (growth) dan
perkembangan (development). Pertumbuhan merupakan bertambahnya jumlah dan
besarnya sel diseluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur, sedangkan
perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat dicapai
melalui proses kematangan dan belajar (Whaley & Wong, 2000). Pertumbuhan adalah
perubahan ukuran dan struktur tubuh, meliputi perubahan berat badan, tinggi badan, dan
lingkar kepala sedangkan perkembangan adalah perubahan fungsi tubuh untuk menguasai
tingkat yang lebih kompleks meliputi perkembangan fisik, kognitif, emosi, dan sosial
(Rosdahl & Kowalski, 2008; WHO, 2011).
Periode penting dalam proses tumbuh kembang anak adalah masa lima tahun pertama
(Center on the Developing Child Harvard University, 2009), yang merupakan masa emas
kehidupan individu atau disebut dengan the golden period (Kementerian Kesehatan RI,
2012). Golden period merupakan masa dimana kemampuan otak anak untuk menyerap
segala bentuk informasi sangatlah tinggi, karena sekitar 80% otak anak berkembang pada
periode emas tersebut (Ambarwati & Handoko, 2011). Masa ini juga merupakan jendela
kesempatan (windows of opportunity) bagi anak, yang memungkinkan anak untuk
mengasah seluruh aspek perkembangan motorik, penglihatan, kemampuan berpikir,
kemampuan bahasa, perkembangan sosial, serta kecerdasan emosional (Schiller, 2010).
Masa emas ini sekaligus merupakan periode kritis (critical period) bagi anak karena pada
masa ini lingkungan memiliki dampak yang besar terhadap perkembangan anak,
khususnya lingkungan yang tidak mendukung seperti asupan gizi yang tidak adekuat, tidak
mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, serta kurangnya stimulasi, akan
berdampak buruk pada perkembangan anak (Kemenkes RI, 2012).
McGregor, dkk. (2007) menyatakan lebih dari 200 juta anak usia dibawah 5 tahun di
dunia tidak memenuhi potensi perkembangan mereka dan sebagian besar diantaranya
adalah anak-anak yang tinggal di benua Asia dan Afrika. Beberapa tahun terakhir ini,
terjadi berbagai masalah perkembangan anak seperti keterlambatan motorik, berbahasa,
perilaku, autisme, dan hiperaktif yang semakin meningkat. Angka kejadian keterlambatan
perkembangan di Amerika serikat berkisar 12-16%, Thailand 24%, dan Argentina 22%,
sedangkan di Indonesia antara 13%-18% (Hidayat, 2010).
Periode emas pada anak (masa balita) merupakan saat yang tepat untuk
mengoptimalkan perkembangan anak sehingga kejadian keterlambatan perkembangan
anak dapat dicegah, dan diperlukan rangsangan atau stimulasi yang sesuai agar potensi
anak berkembang (Kania, 2007). Soetjiningsih (2008) menyatakan stimulasi adalah
rangsangan yang datangnya dari lingkungan di luar individu anak antara lain berupa
latihan atau bermain. Aktivitas bermain yang tepat untuk dilakukan anak adalah bermain
yang sesuai dengan tahapan pertumbuhan dan perkembangannya. Aktivitas bermain tidak
selalu menggunakan alat permainan, meskipun alat permainan dapat digunakan untuk
merangsang perkembangan anak. Aktivitas bermain yang dilakukan anak bersama orang
tuanya seperti membelai, bercanda, petak umpet, dan sejenisnya merupakan aktivitas
bermain yang menyenangkan pada masa balita serta memberikan kontribusi yang penting
bagi perkembangan anak (Nursalam, 2005).
Bermain sangat esensial/penting untuk kesejahteraan sosial, emosional, kognitif, dan
fisik anak dimulai sejak anak usia dini. Bermain dapat menggambarkan kemampuan fisik,
intelektual, emosional, dan sosial yang dimiliki anak, serta bermain merupakan media yang
baik untuk belajar, karena dengan bermain anak akan belajar berkomunikasi, belajar
menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan melakukan apa yang dapat dilakukannya.
Bermain juga merupakan cara yang alami bagi anak untuk mengembangkan ketahanan dan
memungkinkan anak untuk menjadi kreatif, karena mereka belajar untuk bekerja sama,
mengatasi tantangan, dan bernegosiasi dengan orang lain. Kegiatan bermain dapat
memberikan waktu bagi orangtua untuk terlibat penuh dengan anak mereka dan semakin
merekatkan ikatan kasih sayang (bonding) dengan anak-anak mereka (Wong, 2008;
Milteer & Ginsburg, 2012). Bermain pada anak sama halnya dengan bekerja pada orang
dewasa, dan merupakan aspek terpenting dalam kehidupan anak serta merupakan satu cara
yang paling efektif untuk menurunkan stres pada anak, dan penting untuk kesejahteraan
mental dan emosional anak (Champbell dan Glaser, 1995 dalam Supartini, 2004).
Beberapa penelitian terkait penerapan stimulasi dalam perkembangan anak balita telah
dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Penelitian oleh Heckman dan Masterov
(2007) menyatakan paparan lingkungan yang tidak mendukung adanya stimulasi
perkembangan terhadap anak selama beberapa tahun pertama kehidupan banyak
berdampak negatif saat remaja dan dewasa, seperti IQ (Intelligence Quotient) dan
pencapaian akademik rendah, peningkatan perilaku antisosial dan pendapatan yang lebih
rendah di masa dewasa. Penelitian yang dilakukan oleh Black, dkk. (2008) menyatakan
bahwa stimulasi yang kurang dalam masa balita akan mengerdilkan perkembangan
emosional, sosial, fisik dan kognitif.
Penelitian Briawan dan Herawati (2008) tentang peran stimulasi orangtua terhadap
perkembangan anak balita keluarga miskin menunjukkan adanya kecenderungan bahwa
perkembangan anak lebih baik pada kelompok status gizi kurang. Stimulasi perkembangan
anak yang lebih tinggi (intensif) pada kelompok status gizi kurang kemungkinan
menyebabkan perkembangan anak tersebut relatif lebih baik.
Maulik dan Darmstadt (2009) melakukan penelitian deskriptif tentang efektivitas
intervensi yang dilakukan pada anak usia 0-3 tahun. Intervensi stimulasi yang digunakan
antara lain bermain, musik, membaca, dan stimulasi taktil (misalnya perawatan kanguru
untuk bayi prematur). Hasil penelitian mereka menyimpulkan bahwa bermain berbasis
intervensi dan membaca bersama anak merupakan yang paling efektif dan intervensi ini
layak digunakan untuk negara-negara berkembang.
Hasil penelitian yang dilakukan di beberapa Negara di Asia, antara lain: China,
Filipina, dan Indonesia (Bali) pada tahun yang berbeda menggambarkan bahwa sebagian
besar ibu menganggap masa bayi dan balita adalah masa pasif, sehingga selama periode
tersebut anak dirawat dan diberi makan tanpa komunikasi atau bermain. Penelitian tersebut
adalah bukti bahwa kurangnya stimulasi atau rangsangan yang diberikan selama masa
balita termasuk di Indonesia (Li dkk., 2000; Williams dkk., 2000). Stimulasi yang kurang
dan terutama ketika ditambah dengan kekurangan gizi, mungkin menjadi elemen utama
yang menyebabkan keterlambatan perkembangan anak (Ertem dkk., 2007).
Orangtua, khususnya ibu, memiliki peranan penting dalam memberikan stimulasi
perkembangan pada anaknya. Hasil tinjauan studi membuktikan bahwa keterlibatan aktif
ibu dalam memberikan stimulasi menunjukkan hasil yang lebih baik bagi perkembangan
anak, dan disarankan stimulasi haruslah dilaksanakan dengan perhatian dan penuh kasih
sayang, bersifat umpan balik, serta dilakukan setiap hari (Aboud, 2007).
Ibu merupakan tokoh utama dalam perkembangan anak karena ibu adalah orang yang
paling banyak menghabiskan waktu dengan anaknya pada masa balita, sehingga ibu
mempunyai banyak kesempatan untuk memberi stimulasi kepada anak melalui bermain.
Pengetahuan ibu dalam memberikan stimulasi bermain sangat diperlukan, agar ibu dapat
memberikan stimulasi bermain yang tepat dan sesuai dengan tahap tumbuh kembang anak.
Hasil studi pendahuluan melalui kuesioner yang dilakukan peneliti pada tanggal 2
November 2012 kepada 9 orang ibu yang memiliki anak balita di Kelurahan Meranti
Pandak didapatkan hasil 100% ibu memiliki pengetahuan kurang dalam memberikan
stimulasi bermain pada anak balita.
B. Rumusan Masalah
Lima tahun pertama kehidupan anak merupakan periode emas (golden period), jendela
kesempatan (window opportunity), namun juga masa kritis (critical period), sehingga
pada masa ini anak perlu mendapat stimulasi yang mendukung tumbuh kembangnya.
Penelitian yang dilakukan oleh para ahli menunjukkan stimulasi yang paling efektif
adalah melalui bermain. Anak balita yang banyak mendapatkan stimulasi akan lebih cepat
berkembang, sebaliknya anak yang kurang mendapat stimulasi, kemungkinan dapat
mengalami keterlambatan perkembangan di masa depan, seperti penurunan fisik, kognitif,
emosi, dan kemampuan sosial.
Peran orangtua terutama ibu dalam memberikan stimulasi bermain selama masa balita
sangat penting, sehingga pengetahuan ibu tentang perkembangan bayi dan balita sangat
diperlukan. Orang tua dan perawat sebagai pendidik (educator) bagi keluarga, harus
mengetahui dan memberikan jenis permainan yang tepat untuk setiap tahapan
pertumbuhan dan perkembangan anak.
Masih kurangnya pengetahuan sebagian besar ibu dalam memberikan stimulasi
bermain membuat peneliti tertarik untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan ibu dalam
memberikan stimulasi bermain berpengaruh terhadap perkembangan anak balita.
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui status perkembangan anak balita.
2. Mengetahui gambaran pengetahuan ibu dalam memberikan stimulasi bermain untuk
anak balita.
3. Menganalisis hubungan tingkat pengetahuan ibu dalam memberikan stimulasi bermain
terhadap perkembangan anak balita.
D. Manfaat Penelitian
1. Perkembangan ilmu keperawatan
Memberikan informasi/data pendukung penelitian lain mengenai hubungan antara
pengetahuan ibu dalam memberikan stimulasi bermain terhadap perkembangan anak
balita.
2. Pelayanan Keperawatan
Memberikan informasi bagi tenaga kesehatan, khususnya profesi perawat mengenai
hubungan pengetahuan ibu dalam memberikan stimulasi bermain terhadap
perkembangan anak balita.
3. Masyarakat
a) Memberikan informasi dan pengetahuan tentang pentingnya stimulasi bermain dan
pengaruhnya terhadap perkembangan anak balita.
b) Meningkatkan kesadaran ibu yang memiliki anak usia balita untuk memberikan
stimulasi bermain agar anak mereka mencapai perkembangan yang optimal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori, Konsep dan Penelitian terkait
1. Tinjauan teori
a. Anak
1) Definisi Anak
Anak adalah individu yang unik dan bukan orang dewasa mini. Anak
juga bukan merupakan harta atau kekayaan orang tua yang dapat dinilai
secara sosial ekonomi, melainkan masa depan bangsa yang berhak atas
pelayanan kesehatan secara individual.
Badan kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) (2011)
menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang berusia 0-21 tahun,
sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2002
tentang perlindungan Anak pasal 1 menyatakan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk janin yang masih dalam
kandungan. Anak adalah individu yang berusia antara 0 sampai 18 tahun,
yang sedang dalam proses tumbuh-kembang, mempunyai kebutuhan yang
spesifik (fisik, psikologis, sosial, dan spiritual) yang berbeda dengan orang
dewasa (Supartini, 2004). Kebutuhan fisik/biologis anak mencakup makan,
minum, udara, eliminasi, tempat berteduh dan kehangatan. Kebutuhan
secara psikologis yaitu anak membutuhkan cinta dan kasih sayang, serta
rasa aman atau bebas dari ancaman. Anak membutuhkan disiplin dan
otoritas untuk menghindari bahaya, mengembangkan kemampuan berpikir,
dan bertindak mandiri. Anak juga membutuhkan kesempatan untuk belajar
berpikir dan membuat keputusan secara mandiri (Supartini, 2004).
2) Klasifikasi Anak
Beevi (2009) mengklasifikasikan pertumbuhan dan perkembangan anak
menjadi 7 tahap berdasarkan kematangan fisik, emosional, intelektual, dan
sosial, antara lain: prenatal (konsepsi-lahir), neonatal (0-1 bulan), infant (1
bulan-1 tahun), toddler (1-3 tahun), prasekolah (3-6 tahun), sekolah (6-12
tahun), dan remaja (12-18 tahun), sedangkan Hockenberry dan Wilson
(2007 dalam Potter & Perry, 2010) mengklasifikasikan usia perkembangan
anak menjadi 5 tahapan, yaitu masa prenatal (konsepsi-kelahiran), masa
infancy (kelahiran-12/18 bulan), masa anak-anak awal (1-6 tahun), masa
anak-anak menengah (6-11/12 tahun), masa anak-anak akhir (11-19 tahun).
Indonesia mengenal periode/ usia perkembangan anak BALITA (bawah
lima tahun) yang merupakan salah satu periode manusia setelah bayi
sebelum anak-anak awal. Rentang usia anak balita dimulai dari 1 sampai 5
tahun. Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita
karena pertumbuhan dasar pada masa ini yang memengaruhi dan
menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada masa ini perkembangan
kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan
intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan bagi
perkembangan selanjutnya (Soetjiningsih, 2008).
3) Tumbuh Kembang Anak
a) Definisi
Marlow (1988 dalam Supartini, 2004) mengemukakan pertumbuhan
sebagai suatu peningkatan ukuran tubuh yang dapat diukur dengan
meter atau sentimeter untuk tinggi badan dan kilogram atau gram untuk
berat badan. Pertumbuhan ini dihasilkan oleh adanya pembelahan sel
dan sintesis protein dan setiap anak mempunyai potensi gen yang
berbeda untuk tumbuh. Marlow mendefinisikan perkembangan sebagai
peningkatan keterampilan dan kapasitas anak untuk berfungsi secara
bertahap dan terus-menerus.
Pertumbuhan dan perkembangan, dianggap sebagai proses tunggal,
yang berlangsung mulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa.
Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan dalam ukuran tubuh dan
struktur sedangkan perkembangan adalah perubahan dalam fungsi tubuh
(Rosdahl & Kowalski, 2008). Definisi lain mengenai tumbuh kembang
juga dinyatakan oleh Wong (2008) yang menyatakan bahwa
pertumbuhan merupakan perubahan kuantitatif yaitu peningkatan
jumlah dan ukuran sel yang akan menghasilkan peningkatan ukuran dan
berat seluruh atau sebagian bagian sel sedangkan perkembangan
merupakan perubahan kualitatif yaitu perubahan fungsi tubuh yang
terjadi secara bertahap dari tingkat yang paling rendah ke tingkat yang
paling tinggi melalui proses kematangan dan belajar.
b) Pola Tumbuh Kembang
(1) Kecenderungan arah
Pertumbuhan dan perkembangan terjadi dalam urutan teratur dan
saling terkait, seseorang harus menyelesaikan tugas perkembangan
sederhana sebelum ia dapat mencoba tugas lain yang lebih kompleks
(Rosdahl & Kowalski, 2008; Wong, 2008). Pola pertama adalah
mengikuti arah cephalocaudal atau dari kepala ke kaki, misalnya
bayi mengangkat kepala mereka sebelum mereka duduk: mereka
membuat suara sebelum mereka berjalan. Kecenderungan kedua
adalah proximadistal atau dekat ke jauh yang berarti dari
pusat/tengah ke luar, misalnya bayi berguling sebelum mereka
menangkap/memegang benda-benda kecil. Kecenderungan ketiga
adalah diferensiasi yaitu perkembangan terjadi dari hal sederhana
sampai ke aktivitas dan fungsi yang kompleks, misalnya bayi belajar
duduk sebelum belajar berjalan, dan mengoceh sebelum belajar
untuk berbicara (Rosdahl & Kowalski, 2008; Wong, 2008).
Gambar 1.Kecenderungan arah tumbuh kembang
(2) Kecenderungan urutan
Pada semua dimensi tumbuh-kembang terdapat urutan yang jelas
dan dapat diperkirakan, yang biasanya dialami oleh setiap anak.
Anak-anak merangkak sebelum merambat, merambat sebelum
berdiri, dan berdiri sebelum berjalan. Tahap akhir dari kepribadian
terbentuk pada awal pembentukan rasa percaya. Anak mulai
mengoceh, kemudian membentuk kata-kata dan, akhirnya, kalimat,
serta menulis muncul dari mencoret-coret (Wong, 2008).
(3) Laju perkembangan
Meskipun perkembangan memiliki urutan yang pasti dan tepat,
namun laju perkembangan tidak sama. Pertumbuhan yang cepat
sebelum dan setelah kelahiran mengalami penurunan secara
bertahap di masa kanak-kanak awal. Pertumbuhan relatif lambat
selama masa kanak-kanak pertengahan, meningkat secara nyata
pada awal masa remaja, dan menurun pada masa dewasa awal.
Setiap anak tumbuh dengan kecepatannya masing-masing.
Perbedaan nyata terlihat pada anak-anak saat mereka mencapai dan
melewati developmental milestones (batu loncatan perkembangan)
(Wong, 2008).
(4) Periode sensitive
Proses tumbuh kembang memiliki batasan waktu ketika seseorang
berinteraksi dengan lingkungan tertentu dengan cara yang spesifik.
Periode yang disebut periode kritis, sensitif, rentan, dan optimal
adalah periode dalam kehidupan seseorang ketika seseorang tersebut
rentan terhadap pengaruh positif atau negatif (Wong, 2008).
c) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Setiap individu berbeda dalam proses perkembangannya karena
perkembangan anak dipengaruhi oleh beberapa faktor baik secara
herediter (keturunan) maupun lingkungan (Supartini, 2004). Faktor-
faktor yang mempengaruhi perkembangan antara lain:
(1) Keturunan
Karakteristik yang diturunkan mempunyai pengaruh besar pada
perkembangan, dan terdapat hubungan yang besar antara orang tua
dan anak dalam hal sifat fisik seperti tinggi badan, berat badan, dan
laju pertumbuhan, serta banyak dimensi kepribadian, seperti
temperamen. tingkat aktivitas, sifat responsif, dan kecenderungan ke
arah rasa malu, diyakini dapat diturunkan.Perbedaan kesehatan dan
kekuatan anak-anak dapat dikaitkan dengan sifat hereditas (Wong,
2008).
(2) Faktor Neuroendokrin
Penelitian menunjukkan kemungkinan adanya pusat
pertumbuhan di otak (regio hipotalamik) yang bertanggung jawab
untuk mempertahankan pola pertumbuhan yang ditetapkan secara
genetik (Wong, 2008).
(3) Nutrisi
Nutrisi mungkin merupakan satu-satunya pengaruh paling
penting pada pertumbuhan. Nutrisi mengatur pertumbuhan pada
semua tahap perkembangan, dan efeknya ditunjukkan pada cara
yang beragam dan rumit, misalnya selama periode kehamilan,
nutrisi buruk dapat memengaruhi perkembangan janin yang terdapat
dalam kandungan (Wong, 2008).
(4) Hubungan Interpersonal
Hubungan dengan orang terdekat memiliki peran penting dalam
perkembangan, terutama dalam perkembangan emosi, intelektual,
dan kepribadian. Kualitas, kuantitas, dan luasnya rentang kontak
dengan orang lain dapat memberi pengaruh pada anak yang sedang
berkembang, oleh karena itu hal ini penting untuk diperhatikan agar
tercapai pembelajaran dan perkembangan kepribadian yang sehat
(Wong, 2008).
.
d) Penilaian Perkembangan Anak
Aspek-aspek perkembangan anak yang perlu diamati (Nursalam,
2005), meliputi:
(1) Gerak kasar atau motorik kasar
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak melakukan
pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan otot-otot besar seperti
duduk, berdiri, dan melompat.
(2) Gerak halus atau motorik halus
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak melakukan
gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan
dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang
cermat seperti, mengamati sesuatu, menggambar, dan menulis.
(3) Kemampuan bicara dan bahasa
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan untuk memberikan
respons terhadap suara, misalnya berbicara, berkomunikasi, dan
mengikuti perintah.
(4) Sosialisasi dan kemandirian
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri anak
(makan sendiri, merapikan mainan selesai bermain), berpisah
dengan ibu/pengasuh anak, bersosialisasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya.
Deteksi dini penyimpangan perkembangan anak dilakukan di semua
tingkat pelayanan kesehatan dan salah satunya adalah melakukan
pemeriksaan perkembangan anak menggunakan Kuesioner Pra Skrining
Perkembangan (KPSP) (Depkes RI, 2006).
Adapun tujuan pemeriksaan perkembangan anak menggunakan
KPSP adalah untuk mengetahui perkembangan anak normal atau ada
penyimpangan.
(1) Alat/instrumen yang digunakan
(a) Formulir KPSP menurut umur, yaitu formulir yang berisi 9-10
pertanyaan tentang kemampuan perkembangan yang telah
dicapai anak. Sasaran KPSP adalah anak umur 0-72 bulan.
(b) Alat bantu pemeriksaan berupa: pensil, kertas, bola sebesar bola
tenis, kerincingan, kubus berukuran sisi 2,5 cm sebanyak 6 buah,
kismis, kacang tanah, potongan biscuit kecil berukuran 0,5-1
cm.
(2) Cara menggunakan KPSP
(a)Hitung umur anak dengan menanyakan tanggal, bulan, dan tahun
anak lahir. Bila umur anak lebih 15 hari dibulatkan menjadi 1
bulan.
(b) Pilih kelompok kuesioner yang sesuai dengan umur anak.
(c) Baca dengan teliti pertanyaan di kuesioner tersebut satu persatu.
- Bila anak dapat melakukan aktifitas sesuai pertanyaan dalam
kuesioner, lingkari kata “ya” di sebelah kanan pertanyaan
tersebut.
- Bila anak tidak dapat melakukan aktifitas sesuai pertanyaan
dalam kuesioner, lingkari kata “tidak” di sebelah kanan
pertanyaan tersebut.
(3) Interpretasi hasil KPSP
(a) Jumlah jawaban ya= 9 atau 10, perkembangan anak dinyatakan
sesuai dengan tahap perkembangannya (S).
(b) Jumlah jawaban ya = 7 atau 8, perkembangan anak dinyatakan
meragukan (M).
(c) Jumlah jawaban ya= 6 atau kurang, perkembangan anak
dinyatakan menyimpang (P).
b. Bermain
Penelitian Briawan dan Herawati (2008) tentang peran stimulasi orangtua
terhadap perkembangan anak balita keluarga miskin menunjukkan adanya
kecenderungan bahwa perkembangan anak lebih baik pada kelompok status
gizi kurang. Stimulasi perkembangan anak yang lebih tinggi (intensif) pada
kelompok status gizi kurang kemungkinan menyebabkan perkembangan anak
tersebut relatif lebih baik.
Bermain sebagai salah satu cara stimulasi (rangsangan) perkembangan anak
dimasa-masa awal pertumbuhannya telah terbukti efektivitasnya melalui
berbagai penelitian. Salah satu penelitian dilakukan oleh Maulik dan
Darmstadt (2009) yang melakukan penelitian deskriptif tentang efektivitas
intervensi yang dilakukan pada anak usia 0-3 tahun. Intervensi stimulasi yang
digunakan antara lain bermain, musik, membaca, dan stimulasi taktil (misalnya
perawatan kanguru untuk bayi prematur). Hasil penelitian mereka
menyimpulkan bahwa bermain berbasis intervensi dan membaca bersama anak
merupakan yang paling efektif dan intervensi ini layak digunakan untuk
negara-negara berkembang.
1) Definisi Bermain
Bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa, dan merupakan aspek
terpenting dalam kehidupan anak serta merupakan satu cara yang paling
efektif untuk menurunkan stres pada anak, dan penting untuk kesejahteraan
mental dan emosional anak (Champbell dan Glaser, 2008 dalam Supartini,
2004).
Bermain merupakan media belajar, anak belajar apa yang tidak diajarkan
oleh orang lain kepadanya. Mereka belajar tentang dunia mereka dan
bagaimana menghadapi lingkungan objek, waktu, ruang, struktur, dan orang
di dalamnya. Mereka belajar tentang diri mereka sendiri yang ada di dalam
lingkungan tersebut, mengenai apa yang dapat mereka lakukan, bagaimana
menghubungkan sesuatu dan situasi, dan bagaimana mengadaptasi diri
sendiri pada tuntutan sosial yang dibebankan pada mereka. Bermain adalah
pekerjaan anak, dalam bermain anak secara berkelanjutan mempraktikkan
proses hidup yang rumit dan penuh stres, komunikasi, dan mencapai
hubungan yang memuaskan dengan orang lain (Wong, 2008).
2) Fungsi Bermain
a) Perkembangan Sensorimotor
Aktivitas sensorimotor (melibatkan penglihatan dan alat gerak)
adalah komponen utama bermain pada semua usia dan merupakan
bentuk dominan permainan pada masa bayi. Permainan secara aktif
penting untuk perkembangan otot dan bermanfaat untuk melepas
kelebihan energi. Permainan sensorimotor menjadi semakin berbeda
seiring meningkatnya maturitas/ kematangan seorang anak. Anak yang
masih sangat kecil lebih menyukai berlari untuk menggerakkan tubuh,
sedangkan anak yang lebih besar menggabungkan atau memodifikasi
gerakan menjadi aktivitas yang lebih rumit dan terkoordinasi, seperti
berlomba, melakukan pemainan. naik sepeda, dan lainnya.
b) Perkembangan Intelektual
Bermain dapat meningkatkan kecerdasan anak, karena melalui
bermain anak-anak belajar rnengenai warna, bentuk, ukuran, tekstur dan
fungsi objek-objek. Kegiatan seperti menyusun puzzle dan permainan
sejenisnya membantu mereka mengembangkan kemampuan
menyelesaikan masalah. Buku, cerita, film dan koleksi benda dapat
memperluas pengetahuan sekaligus kesenangan. Bermain membantu
anak-anak memahami dunia tempat mereka tinggal dan membedakan
antara fantasi dan kenyataan. Ketersediaan materi permainan dan
kualitas keterlibatan orang tua adalah dua variabel terpenting yang
terkait dengan perkembangan kognitif selama masa bayi dan
prasekolah.
c) Sosialisasi
Anak-anak menunjukkan minat dan kesenangan apabila ditemani
dengan anak lain, hal ini dapat diperhatikan sejak anak masih bayi.
Hubungan sosial pertamanya adalah dengan pibadi ibu, tetapi melalui
bermain dengan anak lain, mereka belajar membentuk hubungan sosial
dan menyelesaikan masalah yang terkait dengan hubungan ini, Mereka
belajar untuk saling memberi dan menerima, mereka belajar dari
kritikan teman sebayanya dibandingkan dari orang dewasa. Anak-anak
mempelajari yang benar dan salah sesui standar masyarakat, dan
bertanggung jawab atas tindakan mereka.
d) Kreativitas
Bermain dapat mengembangkan kreatifitas, tidak ada situasi lain
yang lebih memberi kesempatan untuk menjadi kreatif selain bermain.
Anak-anak bereksperimen dan mencoba ide mereka dalam bermain
melalui setiap media yang mereka miliki, termasuk bahan-bahan
mentah, fantasi, dan eksplorasi diri.
e) Kesadaran Diri
Bermain dapat menumbuhkan kesadaran diri, karena saat bermain
anak-anak belajar mengenali siapa diri mereka dan dimana posisi
mereka. Mereka semakin mampu mengatur tingkah laku mereka sendiri,
mempelajari kemampuan diri, dan membandingkannya dengan anak-
anak yang lain. Bermain memberi kesempatan anak-anak untuk mampu
menguji kemampuan mereka, melaksanakan dan mencoba berbagai
peran dan mempelajari dampak dari perilaku mereka pada orang lain.
f) Manfaat Terapeutik
Bermain bersifat terapeutik pada berbagai usia. Bermain
memberikan sarana untuk melepaskan diri dari ketegangan dan stres
yang dihadapi di lingkungan. Anak dapat mengekspresikan emosi saat
bermain, dan selama bermain anak perlu penerimaan dari orang dewasa
dan perlu didampingi oleh orang dewasa untuk membantu mereka
mengontrol dan menyalurkan emosi dengan benar.
g) Nilai Moral
Anak telah diajarkan tentang perilaku yang dianggap benar dan salah
menurut budaya baik di rumah maupun di sekolah, meskipun begitu
interaksi dengan sebaya selama bermain berperan secara bermakna pada
pembentukan moral mereka. Bermain memberikan penguatan standar
moral yang kaku yang harus dilakukan anak, contohnya bila mereka
ingin diterima sebagai anggota kelompok dalam permainan, anak harus
menaati aturan perilaku yang diterima budaya (mis., adil, jujur, kontrol
diri, dan mempertimbangkan orang lain). Anak segera mempelajari
bahwa untuk mempertahankan tempat dalam kelompok bermain mereka
harus menyesuaikan diri dengan standar kelompok tersebut.
3) Jenis Alat Permainan untuk Anak dibawah Usia 5 Tahun (Balita)
Aktivitas bermain yang tepat untuk dilakukan anak adalah bermain yang
sesuai dengan tahapan pertumbuhan dan perkembangannya (Nursalam,
2005), antara lain:
a) 0 – 12 bulan
Tujuan:
- Melatih refleks-refleks (untuk anak berumur 1 bulan), misalnya
mengisap, menggenggam.
- Melatih kerja sama mata dengan tangan
- Melatih kerja sama mata dengan telinga
- Melatih mencari obyek yang ada tetapi tidak kelihatan
- Melatih mengenal sumber asal suara
- Melatih kepekaan perabaan
- Melatih keterampilan dengan gerakan berulang-ulang
Alat permainan yang dianjurkan:
- Benda-benda yang aman untuk dimasukkan mulut atau dipegang
- Alat permainan yang berupa gambar atau bentuk muka
- Alat permainan lunak berupa boneka orang atau binatang
- Alat permainan yang dapat digoyangkan dan keluar suara
- Alat permainan berupa selimut dan boneka
- Giring-giring
b) 12 – 24 bulan
Tujuan:
- Mencari sumber suara/mengikuti sumber suara
- Memperkenalkan sumber suara
- Melatih anak melakukan gerakan mendorong dan menarik
- Melatih imajinasinya
- Melatih anak melakukan kegiatan sehari-hari semuanya dalam bentuk
kegiatan yang menarik
Alat permainan yang dianjurkan:
- Genderang, bola denga giring-giring didalamnya
- Alat permainan yang dapat didorong dan ditarik
- Alat permainan yang terdiri dari: alat rumah tangga (cangkir, piring,
sendok, botol plastik, ember dll.), balok-balok besar, kardus-kardus
besar, buku bergambar, kertas-kertas untuk dicoret, krayon/pensil
warna.
c) 25 – 36 bulan
Tujuan:
- Menyalurkan emosi/perasaan anak
- Mengembangkan ketrampilan berbahasa
- Melatih motorik halus dan kasar
- Mengembangkan kecerdasan (memasangkan, menghitung, mengenal
dan membedakan warna)
- Melatih kerja sama mata dan tangan
- Melatih daya imajinasi
- Kemampuan membedakan permukaan dan warna benda
Alat permainan yang dianjurkan:
- Lilin yang dapat dibentuk
- Alat-alat untuk menggambar
- Puzzle sederhana
- Manik-manik ukuran besar
- Berbagai benda yang mempunyai permukaan dan warna berbeda
- Bola
d) 36 – 72 bulan
Tujuan:
- Mengembangkan kemampuan menyamakan dan membedakan
- Mengembangkan kemampuan berbahasa
- Mengembangkan pengertian tentang berhitung, menambah,
mengurangi.
- Merangsang daya imajinasi dengan berbagai cara bermain pura-pura
(sandiwara)
- Membedakan benda dengan perabaan
- Menumbuhkan sportivitas
- Mengembangkan kepercayaan diri
- Mengembang kreativitas
- Mengembangkan koordinasi motorik (melompat, memanjat, lari dll)
- Mengembangkan kemampuan mengontrol emosi, motorik halus dan
kasar
- Mengembangkan sosialisasi atau bergaul dengan anak dan orang
diluar rumahnya
- Memperkenalkan pengertian yang bersifat ilmu pengetahuan, misalnya
pengertian terapung dan tenggelam
- Mengenalkan suasana kompetisi, gotong royong
Alat permainan yang dianjurkan:
- Berbagai benda dari sekitar rumah, bulu bergambar, majalah anak-
anak, alat gambar & tulis, kertas untuk belajar melipat, gunting, air
- Teman-teman bermain: anak sebaya, orang tua, orang lain diluar
rumah.
c. Pengetahuan
1) Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan
umumnya terjadi melalui penginderaan panca indra manusia, yaitu indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan manusia
sebagian besar diperoleh melalui mata dan telinga (Efendi & Makhfudli,
2009; Fitriani, 2011).
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada
yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Roger (1974 dalam
Notoatmodjo 2007), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi
perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan,
yaitu:
a) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tertentu, di sini
sikap subjek sudah mulai timbul.
c) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik buruknya stimulus
terhadap dirinya, hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d) Trial (mencoba), dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu
sesuai dengan apa yang dikehendaki atau mencoba perilaku baru.
e) Adoption (adopsi), dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
2) Tingkatan Pengetahuan
Pengetahuan kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan terdiri dari 6 tingkatan
(Notoatmodjo, 2007), yaitu:
a) Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang dipelajari
sebelumnya, termasuk juga mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu
yang spesifik dari seluruh materi yang dipelajari atau rangsangan yang
telah diterima dan oleh sebab itu, tahu merupakan tingkatan
pengetahuan yang paling rendah. Ukuran bahwa seseorang tahu adalah
ia dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan
(Sunaryo, 2004).
b) Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan
materi tersebut secara benar. Seseorang yang telah paham tentang objek
atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang
dipelajari.
c) Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.
Aplikasi disini dapat diartikan sebagai penggunaan atau penerapan
hukum-hukum dan rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam
konteks atau situasi yang nyata.
d) Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur
organisasi tersebut dan ada kaitannya satu sama lain. Ukuran
kemampuan analisis seseorang adalah ia dapat menggambarkan, mem-
buat bagan, membedakan, dan memisahkan sesuatu yang dipelajari
(Sunaryo, 2004).
e) Sintesis (Syntesis)
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk
menyusun formulasi dari formulasi yang telah ada. Ukuran kemampuan
sintesis adalah dapat menyusun, meringkaskan, merencanakan, dan
menyesuaikan suatu teori atau rumusan yang telah ada (Sunaryo, 2004).
f) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu objek. Penilaian ini didasarkan pada suatu
kriteria yang ditentukan sendiri atau dengan menggunakan kriteria yang
telah ada.
3) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Notoatmodjo (2005) menyatakan bahwa pengetahuan seseorang dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pengalamam, tingkat pendidikan,
keyakinan, fasilitas dan sosial budaya.
a) Pengalaman
Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang
lain. Pengalaman yang sudah diperoleh dapat memperluas pengetahuan
seseorang. Pengalaman adalah sesuatu yang pernah dialami (dijalani,
dirasakan dan ditanggung). Pengalaman sebagai sumber pengetahuan
adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan
cara mengulang kembali penegtahuan yang diperoleh dalam
memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu.
b) Tingkat Pendidikan
Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang.
Secara umum seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan
mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan
seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah.
c) Keyakinan/Kepercayaan
Keyakinan/kepercayaan seseorang biasanya diperoleh secara turun
temurun dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu.
Keyakinan/kepercayaan berkembang dalam masyarakat yang
mempunyai tujuan dan kepentingan yang sama dan dapat tumbuh bila
berulang kali mendapatkan informasi yang sama. Keyakinan ini bisa
mempengaruhi pengetahuan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya
positif maupun negatif.
d) Fasilitas
Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat
mempengaruhi pengetahuan seseorang, misalnya radio, televisi,
majalah, koran dan buku.
e) Sosial Budaya
Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat
mempengaruhi pengetahuan, persepsi dan sikap seseorang terhadap
sesuatu.
4) Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek
penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui
atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan
(Notoatmodjo, 2003).
Menurut Arikunto (2006), untuk mengukur tingkat pengetahuan
seseorang dapat dituliskan dalam bentuk persentase dari skor yang ada.
Berdasarkan jumlah nilai maka tingkat pengetahuan dapat diklasifikasikan
menjadi 3 kategori, yaitu:
a) Kategori tinggi adalah apabila responden mendapat nilai 75-100% dari
seluruh skor yang ada.
b) Kategori sedang adalah apabila responden mendapat nilai 60-75% dari
seluruh skor yang ada.
c) Kategori rendah adalah apabila responden mendapat nilai <60% dari
seluruh skor yang ada.
2. Kerangka Konsep
Konsep merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal
khusus. Konsep tidak dapat langsung diamati atau diukur, dan hanya dapat diamati
atau diukur melalui variabel (Notoatmodjo, 2005). Kerangka konsep penelitian
pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati
atau diukur melalui penelitian-penelitin yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2005).
Pembuatan kerangka konsep ini mengacu pada masalah-masalah yang akan diteliti
atau berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan dan dibuat dalam bentuk
diagram. Penyusunan kerangka konsep akan membantu untuk membuat hipotesis,
menguji hubungan tertentu dan membantu menghubungkan hasil penemuan dengan
teori yang akan diamati atau diukur melalui variabel yang ada (Hidayat, 2007).
Kerangka konsep untuk penelitian ini dapat dilihat dalam skema 1.
Skema 1Kerangka Konsep Penelitian
B. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam
penelitian (Nursalam, 2005). Hidayat (2007) menyatakan bahwa hipotesis adalah suatu
pernyataan yang masih lemah dan membutuhkan pembuktian untuk menegaskan
Perkembangan anak balita (gerak kasar, gerak halus, bicara&bahasa, sosialisasi& kemandirian): KPSP (Kuesioner Pra Skrining Perkembangan)
- Sesuai (S)- Meragukan (M)- Penyimpangan (P)
Pengetahuan ibu dalam memberikan stimulasi bermain:
- Definisi bermain- Manfaat bermain- Aktivitas bermain sesuai
tahap tumbuh kembang
apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau harus ditolak berdasarkan fakta atau data
empiris yang telah dikumpulkan dalam penelitian. Hipotesis yang dirumuskan pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hipotesis Nol (Ho)
Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dalam memberikan stimulasi
bermain terhadap perkembangan anak balita.
2. Hipotesis Alternatif (Ha)
Tingkat pengetahuan ibu dalam memberikan stimulasi bermain secara signifikan
berpengaruh terhadap perkembangan anak balita.
C. Variabel Penelitian
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang
dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian
tertentu, misalnya umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan,
pengetahuan, pendapatan, penyakit, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005). Variabel
yang diamati atau diukur dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel
independen (bebas) dan variabel dependen (terikat). Variabel independen (bebas)
adalah variabel yang nilainya menentukan variabel yang lain, sedangkan variabel
dependen (terikat) adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain
(Nursalam, 2008). Variabel bebas pada penelitian ini adalah pengetahuan ibu dalam
memberikan stimulasi bermain sedangkan variabel terikat pada penelitian ini adalah
perkembangan anak balita.